4 0 444 KB
MAKALAH KEPERAWATAN ANAK “Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Hisprung, Atresia Ani, Atresia Bilier”
Oleh: Kelompok 6: Azzahra
(183110206)
Fini Andrika
(183110214)
Nabila Maliha Rakha Rahadi
(183110222)
Rahayu Tri Utami
(183110228)
Taufal Hidayat
(183110236) Tingkat: II(B)
DOSEN PEMBIMBING: Delima, S. Pd, M.Kes
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN PADANG POLTEKKES KEMENKES RI PADANG 2020
KATA PENGANTAR Puji syukur saya panjatkan kehadiran Allah Swt, karena atas berkat dan limpahan rahmatnyalah makalah tentang ”Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Hisprung, Atresia Ani, Atresia Biliaris” ini dapat terselesaikan dengan baik. Meskipun masih banyak kekurangan baik dari isi, sistematika maupun cara penyajiannya. Saya berharap semoga makalah ini dapat membantu mahasiswa dalam mempelajari materi tentang “Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Hisprung, Atresia Ani, Atresia Biliaris”. Semoga dapat bermanfaat bagi pembaca, khusus nya bagi kami sendiri sebagai penyusun.
Padang, 26 Februari 2020
Kelompok 6
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………i DAFTAR ISI……………………………………………………………………..ii
BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang..........................................................................................1
B.
Rumusan Masalah.....................................................................................3
C.
Tujuan........................................................................................................3
BAB 11 TINJAUAN PUSTAKA A.
Konsep Asuhan Keperawatan Pada Hisprung...........................................4
B.
Asuhan Keperawatan Pada Hisprung......................................................10
C.
Konsep Asuhan Keperawatan Pada Atresia Ani ....................................19
D.
Asuhan Keperawatan Pada Atresia Ani..................................................26
E.
Konsep Asuhan Keperawatan Pada Atresia Biliaris...............................33
F.
Asuhan Keperawatan Pada Atresia Biliaris.............................................41
BAB III PENUTUP A.
Kesimpulan..............................................................................................50
B.
Saran........................................................................................................50
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................51
ii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Penyakit hisprung merupakan suatu kelainan bawaan yang menyebabkan gangguan pergerakan usus yang dimulai dari spingter ani internal ke arah proksimal dengan panjang yang bervariasi dan termasuk anus sampai rektum. Penyakit hisprung adalah penyebab obstruksi usus bagian bawah yang dapat muncul pada semua usia akan tetapi yang paling sering pada neonatus. Penyakit hisprung juga dikatakan sebagai suatu kelainan kongenital dimana tidak terdapatnya sel ganglion parasimpatis dari pleksus auerbach di kolon, keadaan abnormal tersebutlah yang dapat menimbulkan tidak adanya peristaltik dan evakuasi usus secara spontan, spingter rektum tidak dapat berelaksasi, tidak mampu mencegah keluarnya feses secara spontan, kemudian dapat menyebabkan isi usus terdorong ke bagian segmen yang tidak adalion dan akhirnya feses dapat terkumpul pada bagian tersebut sehingga dapat menyebabkan dilatasi usus proksimal. Pasien dengan penyakit hisprung pertama kali dilaporkan oleh Frederick Ruysch pada tahun 1691, tetapi yang baru mempublikasikan adalah Harald Hirschsprung yang mendeskripsikan megakolon kongenital pada tahun 1863. Namun patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara jelas. Hingga tahun 1938, dimana Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh gangguan peristaltik dibagian distal usus defisiensi ganglion. Atresia Ani berasal dari bahasa Yunani, artinya tidak ada, atresia artinya nutrisi atau makanan. Dalam istilah kedokteran atresia itu sendiri adalah keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang badan normal atau organ tubuler secara kongenital disebut juga clausura. Dengan kata lain tidak adanya lubang di tempat yang seharusnya atau buntutnya saluran atau rongga tubuh. Hal ini bisa terjadi karena bawaan sejak lahir atau terjadi kemudian karena proses penyakit yang mengenai saluran itu. Atresia ani yaitu tidak berlubangnya dubur. Atresia ani memiliki nama lain yaitu Anus imperforata. Atresia bilier merupakan proses inflamasi progresif yang menyebabkan fibrosis saluran 1
empedu intrahepatik maupun ekstrahepatik sehingga pada akhirnya akan terjadi obstruksi saluran tersebut (Donna L. Wong, 2008). Atresia bilier terjadi karena proses inflamasi berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan progresif pada duktus bilier ekstrahepatik sehingga menyebabkan hambatan aliran empedu. Tindakan operatif atau bedah dapat dilakukan untuk penatalaksanaannya. Pada lebih kurang 80% - 90% bayi dengan atresia biliaris ekstrahepatik yang menjalani pembedahan ketika usianya kurang dari 10 minggu dapat dicapai drainase getah empedu (Halamek dan Stevenson, 1997). Meski demikian, sirosis yang progresif tetap terjadi pada anak, dan sampai 80% - 90% kasus pada akhirnya akan memerlukan transplantasi hati (Andres, 1996). Atresia bilier ditemukan pada 1 dalam 10.000 kelahiran hidup dan 1 dalam 25.000 kelahiran hidup. Tampaknya tidak terdapat predileksi rasial atau genetik kendati ditemukan predominasi wanita sebesar 1,4:1 (McEvoy dan Suchy, 1996; Whitington, 1996). Di Belanda, dilaporkan kasus atresia bilier sebanyak 5 dari 100.000 kelahiran hidup, di Perancis 5,1 dari 100.000 kelahiran hidup, di Inggris dilaporkan 6 dari 100.000 kelahiran hidup. Di Texas tercatat 6.5 dari 100.000 kelahiran hidup, 7 dari 100.000 kelahiran hidup di Australia, 7,4 dari 100.000 kelahiran hidup di USA dan dilaporkan terdapat 10,6 dari 100.000 kelahiran hidup di Jepang menderita atresia bilier. Dari 904 kasus atresia bilier yang terdaftar di lebih 100 institusi, atresia bilier di dapatkan pada ras Kaukasia (62%), berkulit hitam (20%), Hispanik (11%), Asia (4,2%) dan Indian amerika (1,5%). Walau jarang namun jumlah penderita atresia bilier yang ditangani RS. Cipto Mangun Kusumo (RSCM) pada tahun 2002-2003 tercatat mencapai 37-38 bayi atau 23% dari 163 bayi berpenyakit kuning akibat kelainan fungsi hati. Sedangkan di RSU Dr. Soetomo Surabaya antara tahun 1999-2004 ditemukan dari 19.270 penderita rawat inap di Instalansi Rawat Inap Anak, tercatat 96 penderita dengan penyakit kuning gangguan fungsi hati didapatkan 9 (9,4%) menderita atresia bilier ( Widodo J, 2010). Pada atresia bilier terjadi penyumbatan aliran empedu dari hati ke kandung empedu. Atresia bilier terjadi karena adanya perkembangan abnormal dari saluran empedu di dalam maupun di luar hati. Tetapi penyebab terjadinya gangguan perkembangan saluran empedu ini tidak diketahui. Jika aluran empedu buntu, maka empedu akan menumpuk di hati. Selain itu akan terjadi ikterus atau kuning di kulit dan mata akibat tingginya kadar bilirubin dalam darah. Hal ini bisa menyebabkan kerusakan hati dan sirosis hati, yang jika tidak diobati bisa berakibat fatal atau sampai terjadi kematian. Deteksi dini dari kemungkinan adanya atresia bilier sangat penting sebab efikasi 2
pembedahan hepatik-pontoeterostomi (operasi Kasai) akan menurun bila dilakukan setelah umur 2 bulan. Bagi penderita atresia bilier prosedur yang baik adalah mengganti saluran empedu
yang
mengalirkan
empedu
ke
usus.
Selain
itu,terdapat
beberapa
intervensi keperawatan yang penting bagi anak yang menderita atresia bilier. Penyuluhan yang meliputi semua aspek rencana penanganan dan dasar pemikiran bagi tindakan yang akan dilakukan harus disampaikan kepada anggota keluarga pasien. (Donna L. Wong, 2008).
B. Rumusan Masalah 1.
Apa konsep Asuhan Keperawatan pada Hisprung?
2.
Apa Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Hisprung?
3.
Apa konsep Asuhan Keperawatan pada Atresia Ani?
4.
Apa Asuhan Keperawatan pada Atresia Ani?
5.
Apa konsep Asuhan Keperawatan pada Atresia Bilier?
6.
Apa Asuhan Keperawatan pada Atresia Bilier?
C. Tujuan 1.
Untuk mengetahui Konsep Asuhan Keperawatan pada Hisprung
2.
Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Hisprung
3.
Untuk mengetahui konsep Asuhan Keperawatan pada Atresia Ani
4.
Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan pada Atresia Ani
5.
Untuk mengetahui konsep Asuhan Keperawatan pada Atresia Bilier
6.
Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan pada Atresia Bilier
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Asuhan Keperawatan Pada Hisprung 1.
Pengertian Hisprung Penyakit Hirschsprung atau Mega Kolon adalah kelainan bawaan penyebab gangguan
pasase usus tersering pada neonatus, dan kebanyakan terjadi pada bayi aterm dengan berat lahir 3 Kg, lebih banyak laki – laki dari pada perempuan. Hirschsprung atau Mega Colon adalah penyakit yang tidak adanya sel – sel ganglion dalam rectum atau bagian rektosigmoid Colon. Dan ketidak adaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya peristaltik serta tidak adanya evakuasi usus spontan Penyakit Hirscprung (megacolon anganglionik congenital) adalah anomali congenital yang mengakibatkan obstruksi mekanik karena ketidakadekuatan motilitas sebagian dari usus. Penyakit hirschprung adalah suatu kelainan tidak adanya sel ganglion parasimpatis pada usus, dapat dari kolon sampai usus halus ( Ngastiyah,2005:219) Jadi megakolon atau hirschprung adalah kelainan tidak adanya sel ganglion dalam rectum atau bagian rektosigmoid, namun pada intinya sama yaitu penyakit yang disebabkan oleh obstruksi mekanis yang disebabkan oleh tidak adekuatnya motilitas pada usus sehingga tidak ada evakuasi usus spontan dan tidak mampunya spinkter rectum berelaksasi. Hisprung atau mega kolon adalah penyakit yang tidak adanya sel – sel ganglion dalam rectum atau bagian rectosigmoid colon. Dan ketidak adaan ini menimbulkan abnormal atau tidak adanya evakuasi usus spontan (Betz, Cecily &Sowden : 2000) 2.
Etiologi Mungkin karena adanya kegagalan sel-sel ”Neural Crest” ambrional yang berimigrasi ke
dalam dinding usus atau kegagalan pleksus mencenterikus dan submukoisa untuk berkembang ke arah kranio kaudal di dalam dinding usus. Disebabkan oleh tidak adanya sel ganglion para simpatis dari pleksus Auerbach di kolon. Adapun yang menjadi penyebab Hirschsprung atau Mega Colon itu sendiri adalah diduga terjadi karena faktor genetik dan lingkungan sering terjadi pada anak dengan Down syndrom, kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi, kranio kaudal 4
pada myentrik dan sub mukosa dinding plexus 3.
Patofisiologi Penyakit HIrschsprung, atau megakolon konginetal, adalah tidak adanya sel-sel ganglion
dalam rectum atau bagian rektosigmoid kolon. Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya peristalsis serta tidak adanya evakuasi usus spontan. Selain itu, sfingter rectum tidak dapat berelaksasi, mencegah keluarnya feses secara normal. Isi usus terdorong ke segmen aganglionik dan feses terkumpul didaerah tersebut, menyebabkan dilatasinya bagian usus yang proximal terhadap daerah itu. Penyakit Hirschsprung diduga terjadi karena factor-faktor genetic dan factor lingkungan, nmaun etiologi sebenarnya tidak diketahui. Penyakit hirschsprung dapat muncul pada sembarang usia, walaupun paling sering terjadi pada neonatus. (Buku Saku, Keperawatan Pediatri, Cecily L. Betz dan Linda A. Sowden, EGC : 2002)
5
WOC HISPRUNG
Kegagalan sel neuron pada dinding usus di masa embrio
Segmen pendek (Anus-sigmoid) Segmen panjang (anus-seluruh kolon Terlambat/Tidak ada mekonium yg keluar Serabut saraf dan otot polos menebal Penyempitan lumen usus
Gagal eksistensi carniokaudal pada myentrik dan submukosa dinding pleksus
Tidak adanya neuron meisner dan aorbach di segmen
Prosedur Duhamel
Penyakit kongenital aganglionik Tidak adanya peristaltik usus
Gagal migrasi sel ganglion pada perkembangan embrio
Prosedur Swenson
MK : Resiko infeksi
Intervensi pembedahan Prosedur Soave
Membuat feses tertahan pada daerah aganglionik Feses menumpuk diusus
Kerusakan jaringan pasca pembedahan
infeksi
MK : Gg rasa nyaman nyeri
Diare
konstipasi MK : Hipovolemi Proses evakuasi feses terganggu MK : Gg rasa nyaman nyeri
Dorongan gas, makanan, feses kearah spingter cardia
Distensi abdomen
Mual
Muntah berwarna hijau
Tidak nafsu makan
MK : Defisit Nutrisi
4.
Manifestasi klinik Menurut (Buku Saku, Keperawatan Pediatri, Cecily L. Betz dan Linda A. Sowden, EGC : 2002) :
Masa Neonatal a.
Gagal mengeluarkan mekonium dalam 48 jam setelah lahir
b.
Muntah berisi empedu
c.
Enggan minum
d.
Distensi abdomen
Masa Bayi dan Kanak-Kanak
5.
a.
Konstipasi
b.
Diare berulang
c.
Tinja seperti pita, berbau busuk
d.
Distensi Abdomen
e.
Gagal tumbuh.
Pemeriksaan penunjang a.
Biopsi isap, yakni mengambil mukosa dan submukosa dengan alat penghisap and mencari sel ganglion pada daerah submukosa.
b.
Biopsy otot rectum, yakni pengambilan lapisan otot rectum, dilakukan dibawah narkos. Pemeriksaan ini bersifat traumatic.
c.
Pemeriksaan aktivitas enzim asetilkolin dari hasil biopsy asap. Pada penyakit ini klhas terdapat peningkatan aktivitas enzim asetikolin enterase.
d.
Pemeriksaan aktivitas norepinefrin dari jaringan biopsy usus.
(Ngatsiyah, 1997 : 139) a.
Foto abdomen (telentang, tegak, telungkup, dekubitus lateral) diagnostik; untuk mengetahui adanya penyumbatan pada kolon.
b.
Enema barium (diagnostic) ; untuk mengetahui adanya penyumbatan pada kolon.
c.
Biopsi rectal ; untuk mendeteksi ada tidaknya sel ganglion.
d.
Manometri anorektal ; untuk mencatat respons refluks sfingter interna dan eksterna. (Betz, 2002 : 197).
6.
Penatalaksanaan
a.
Medis Penatalaksaan operasi adalah untuk memperbaiki portion aganglionik di usus besar untuk membebaskan dari obstruksi dan mengembalikan motilitas usus besar sehingga normal dan juga fungsi spinkter ani internal. Ada dua tahap pembedahan pertama dengan kolostomi loop atau double barrel dimana diharapkan tonus dan ukuran usus yang dilatasi dan hipertropi dapat kembali menjadi normal dalam waktu 3-4 bulan . Terdapat prosedur dalampembedahan diantaranya: 1) Prosedur duhanel biasanya dilakukan terhadap bayi kurang dari 1 tahun dengan cara penarikan kolon normal kearah bawah dan menganastomosiskannya dibelakang usus aganglionik, membuat dinding ganda yaitu selubung aganglionik dan bagian posterior kolon normal yang telah ditarik. 2) Prosedur Swenson membuang bagian aganglionik kemudian menganastomosiskan end to end pada kolon yang berganglion dengan saluran anal yang dilatasi dan pemotongan sfingter dilakukan pada bagian posterior. 3) Prosedur soave dilakukan pada anak-anak yang lebih besar dengan cara membiarkan dinding otot dari segmen rectum tetap utuh kemudian kolon yang bersaraf normal ditarik sampai ke anus tempat dilakukannya anastomosis antara kolon normal dan jaringan otot rektosigmoid yang tersisa.
b.
Keperawatan Perhatikan perawatan tergantung pada umur anak dan tipe pelaksanaanya bila ketidakmampuan terdiagnosa selama periode neonatal, perhatikan utama antara lain : 1) Membantu orang tua untuk mengetahui adanya kelainan kongenital pada anak secara dini 2) Membantu perkembangan ikatan antara orang tua dan anak 3) Mempersiapkan orang tua akan adanya intervensi medis ( pembedahan ) 4) Mendampingi orang tua pada perawatan colostomy setelah rencana pulang. Pada perawatan preoperasi harus diperhatikan juga kondisi klinis anak – anak dengan malnutrisi tidak dapat bertahan dalam pembedahan sampai status fisiknya meningkat. Hal ini sering kali melibatkan pengobatan simptomatik seperti enema. Diperlukan juga adanya diet rendah serat, tinggi kalori dan tinggi protein serta situasi dapat digunakan nutrisi parenteral total ( NPT )
Perencanaan pulang dan perawatan dirumah : 1) Ajarkan pada orang tua untuk memantau adanya tanda dan gejala komplikasi jangka panjan berikut ini. a) Stenosis dan kontriksi b) Inkontinensia c) Pengosongan usus yang tidak adekkuat 2) Ajarkan tentang perawatan kolostomi pada orang tua dan anak. a) Persiapan kulit b) Penggunaan alat kolostomi c) Komplikasi stoma (perdarahan, gagal defekasi, diare meningkat , prolaps, feses seperti pita ) d) Perawatan dan pembersihan alat kolostomi e) Irigasi kolostomi 3) Beri dan kuatkan informasi-informasi tentang penatalaksanaan diet. a) Makanan rendah sisa b) Masukan cairan tanpa batas c) Tanda-tanda ketidakseimbangan elektrolot dan dehidrasi. 4) Dorong orang tua dan anak untuk mengekspresikan perasaannya tentang kolostomi. a) Tampilan b) Bau c) Ketidaksesuaian antara anak mereka dengan anak “ideal” 5) Rujuk ke prosedur institusi spesifik untuk informasi yang dapat diberikan pada orang tua tentang perawatan dirumah. c.
Kolaboratif Untuk mencegah terjadinya komplikasi akibat penyumbatan usus, segera dilakukan kolostomi sementara. Kolostomi adalah pembuatan lubang pada dinding perut yang disambungkan dengan ujung usus besar. Pengangkatan bagian usus yang terkena dan penyambungan kembali usus besar biasanya dilakukan pada saat anak berusia 6 bulan atau lebih. Jika terjadi perforasi (perlubangan usus) atau enterokolitis, diberikan antibiotik.
7.
Prognosis Secara umum prognosisnya baik, 90% pasien dengan penyakit hirschprung yang
mendapat tindakan pembedahan mengalami penyembuhan dan hanya sekitar 10% pasien yang masih mempunyai masalah dengan saluran cernanya sehingga harus dilakukan kolostomi permanen. Angka kematian akibat komplikasi dari tindakan pembedahan pada bayi sekitar 20%. 8.
Komplikasi a.
Gawat pernapasan (akut)
b.
Enterokolitis (akut)
c.
Striktura ani (pascabedah)
d.
Inkotinensia (jangka panjang)
B. Asuhan Keperawatan Pada Hisprung 1.
Pengkajian Informasi identitas/data dasar meliputi, nama, umur, jenis kelamin, agama, alamat,
tanggal pengkajian, pemberi informasi. Antara lain : a.
Anamnesis Identitas klien Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor register, dan diagnosis medis.Masalah yang dirasakan klien yang sangat mengganggu pada saat dilakukan pengkajian, pada klien Hirschsprung misalnya, sulit BAB, distensi abdomen, kembung, muntah. 1) Keluhan utama Klien Masalah yang dirasakan klien yang sangat mengganggu pada saat dilakukan pengkajian, pada klien Hirschsprung misalnya, sulit BAB, distensi abdomen, kembung, muntah. 2) Riwayat kesehatan sekarang Yang diperhatikan adanya keluhan mekonium keluar setelah 24 jam setelah lahir, distensi abdomen dan muntah hijau atau fekal. Tanyakan sudah berapa lama gejala dirasakan pasien dan tanyakan bagaimana upaya klien mengatasi masalah tersebut.
3) Riwayat kesehatan masa lalu Apakah sebelumnya klien pernah melakukan operasi, riwayat kehamilan, persalinan dan kelahiran, riwayat alergi, imunisasi. 4) Riwayat Nutrisi Meliputi : masukan diet anak dan pola makan anak 5) Riwayat psikologis Bagaimana perasaan klien terhadap kelainan yang diderita apakah ada perasaan rendah diri atau bagaimana cara klien mengekspresikannya. 6) Riwayat kesehatan keluarga Tanyakan pada orang tua apakah ada anggota keluarga yang lain yang menderita Hirschsprung. 7) Riwayat social Apakah
ada
pendakan
secara
verbal
atau
tidak
adekuatnya
dalam
mempertahankan hubungan dengan orang lain. 8) Riwayat tumbuh kembang Tanyakan sejak kapan, berapa lama klien merasakan sudah BAB. 9) Riwayat kebiasaan sehari-hari Meliputi – kebutuhan nutrisi, istirahat dan aktifitas. b.
Pemeriksaan Fisik 1) Sistem integument Kebersihan kulit mulai dari kepala maupun tubuh, pada palpasi dapat dilihat capilary refil, warna kulit, edema kulit. 2) Sistem respirasi Kaji apakah ada kesulitan bernapas, frekuensi pernapasan 3) Sistem kardiovaskuler Kaji adanya kelainan bunyi jantung (mur-mur, gallop), irama denyut nadi apikal, frekuensi denyut nadi / apikal. 4) Sistem penglihatan Kaji adanya konjungtivitis, rinitis pada mata 5) Sistem Gastrointestinal Kaji pada bagian abdomen palpasi adanya nyeri, auskultasi bising usus, adanya kembung pada abdomen, adanya distensi abdomen, muntah (frekuensi dan karakteristik muntah) adanya keram, tendernes.
Pre Operasi 1) Kaji status klinik anak (tanda-tanda vital, asupan dan keluaran) 2) Kaji adanya tanda-tanda perforasi usus. 3) Kaji adanya tanda-tanda enterokolitis 4) Kaji kemampuan anak dan keluarga untuk melakukan koping terhadap pembedahan yang akan datang 5) Kaji tingkat nyeri yang dialami anak Post Operasi 1) Kaji status pascabedah anak (tanda-tanda vital, bising usus, distensi abdomen) 2) Kaji adanya tanda-tanda dehidrasi atau kelebihan cairan 3) Kaji adanya komplikasi 4) Kaji adanya tanda-tanda infeksi 5) Kaji tingkat nyeri yang dialami anak 6) Kaji kemampuan anak dan keluarga untuk melakukan koping terhadap pengalamannya di rumah sakit dan pembedahan. 7) Kaji kemampuan orang tua dalam menatalaksanakan pengobatan dan perawatan yang berkelanjutan. 2.
Diagnosa keperawatan Pre operasi a.
Konstipasi berhubungan dengan mekanik : megakollon
b.
Defisit pengetahuan berhubungan dengan tidak mengenal dengan sumber informasi
c.
Hipovolemi b.d kehilangan volume caian secara aktif
d.
Ansietas berhubungan dengan perubahan dalam status kesehatan anak
e.
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan absorbsi usus
Post operasi a.
Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik
b.
Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif
3.
Rencana Keperawatan Pre Operasi Diagnosis Konstipasi
Tujuan Intervensi Setelah dilakukan Bowel management
berhubunga
tindakan
n
keperawatan 1. selama 1x24 jam 2. diharapkan Konstipasi dapat teratasi dg 3.
dengan
mekanik
:
megakollon
kriteria sbb: 1.
Faeses lunak
2.
Anak tidak kesakitan saat
4.
Catat BAB terakhir Memonitor tanda konstipasi Anjurkan keluarga mencatat warna, frekuensi BAB.
untuk jumlah,
Berikan supositoria jika perlu. Bowel irrigation
BAB. 1.
Jelaskan
tujuan
dari
irigasi
rektum. 2.
Check order terapi.
3.
Jelaskan prosedur pada orangtua pasien.
4.
Berikan posisi yang sesuai.
5.
Cek suhu cairan sesuai suhu tubuh.
6.
Berikan
jelly
sebelum
rektal
dimasukkan. 7.
Monitor effect dari irigasi. Persiapan preoperatif
1.
Jelaskan persiapan yang harus dilakukan.
2.
Lakukan
pemeriksaan
laboratorium:
darah
rutin,
elektrolit, AGD. 3.
Transfusi darah bila perlu Anxiety reduction
Ansietas
Setelah
dilakukan
berhubunga
tindakan
keperawatan 1.
Jelaskan semua prosedur yang
n
selama
1x24
akan dilakukan.
dengan
perubahan
diharapkan
jam
Ansietas 2.
Kaji
pemahaman
orangtua
dalam
dapat
teratasi
status
kriteria sbb:
dg
yang akan dilakukan pada anak.
kesehatan
1.
Ibu terlihat lebih tenang
anak
2.
Ibu
dapat
Orang
pengetahua
mengenai
n
anak dengan kriteria:
n
dengan
tidak mengenal
tua
Bantu
pasien
mengungkapkan
ketegangan dan kecemasan Teaching: proses penyakit
tahu
perawatan 1.
Kaji pengetahuan pasien tentang penyakit.
Mampu
menjelaskan 2.
Jelaskan
tentang
penyakit,
prosedur
prosedur
tindakan
operasi 2.
Anjurkan orang tua untuk berada dekat dengan anak.
4.
Defisit
1.
3.
bertoleransi
dengan keadaan anak
berhubunga
terhadap kondisi anak, tindakan
Mampu
perawatan menyebutkan
penyakit, dan
cara
bersama
dengan
jadwal
rencana
dokter.
dengan
tindakan
sumber
yang harus dilakukan.
operasi:
Mampu menyebutkan cara
tempat operasi, lama operasi.
informasi
3.
perawatan
keperawatan 3.
4.
Informasikan
waktu,
tanggal,
dan
Jelaskan kegiatan praoperasi : anestesi, diet, pemeriksaan lab, pemasangan infus, tempat tunggu keluarga.
5.
Jelaskan medikasi yang diberikan sebelum operasi: tujuan, efek samping. Health education:
1.
Jelaskan tindakan keperawatan yang akan dilakukan.
2.
Jelaskan
mengenai
prosedur
tindakan
penyakit, dan
cara
perawatan dengan dokter. 3.
Lakukan diskusi dengan keluarga pasien dengan penyakit yang sama.
4.
Jelaskan cara perawatan post
Ketidaksei
Status
mbangan
dengan kriteria:
nutrisi
1.
kurang dari
Diet
nutrisi
seimbang,
baik, 1.
operatif Kaji
nafsu
makan,
lakukanpemeriksaan intake
abdomen,adanya
adekuat.
distensi,
hipoperistaltik.
kebutuhan
2.
BB normal.
tubuh
3.
Nilai lab darah normal:
per oral / cairan intravenasesuai
HB, Albumin, GDR.
program (hidrasi adalah masalah
berhubunga n
2.
dengan
Ukur intake dan output, berikan
yang paling penting selama masa
penurunan
anak-anak).
absorbsi
3.
usus
Sajikan makanan favorit anak, dan berikan sedikit tapi sering.
4.
Atur anak pada posisi yang nyaman (fowler)
5. Hipovolemi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam 1. b.d diharapkan Status hidrasi kehilangan 2. dapat teratasi dg kriteria sbb: volume 3. 1. Menunjukkan urine output caian secara normal aktif 4. 2. Menunjukkan TD, nadi dan suhu dbn 5. 3. Turgor kulit, kelembaban 6. mukosa dbn. 7. 4. Mampu menjelaskan yang dapat
dilakukan
mengatasi cairan
untuk
kehilangan
Timbang BB tiap hari pada skala yang sama Manajemen cairan Timbang berat badan tiap hari Kelola catatan intake dan output Monitor status hidrasi (membran mukosa, nadi adekuat, ortostatik) Monitor hasil laboratorium yang menunjukkan retensi cairan Monitor keadaan hemodinamik Monitor vital sign Monitor tanda- tanda kelebihan atau kekurangan volume cairan
8.
Administrasi terapi Intra vena
9.
Monitor status nutrisi
10. Berikan cairan dan intake oral. Monitor cairan 1.
Kaji jumlah dan jenis intake cairan dan kebiasaan eliminasi
2.
Kaji faktor resiko
terjadinya
ketidakseimbangan cairan 3.
Monitor intake dan output
4.
Monitor serum, dan elektrolit
5.
Jaga keakurtan pencatatan intake dan output
6.
Administrasi pemberian cairan Managemen hipovolemi
1.
Monitor status cairan termasuk intake dan output
2.
Jaga kepatenan terpi intra vena
3.
Monitor kehilangan cairan
4.
Monitor hasil laboratorium
5.
Hitung kebutuhan cairan
6.
Administrasi pemberian cairan hipotonik/isotonik
7.
Observasi indikasi dehidrasi
8.
Kelola pemberian intake oral
9.
Monitor tanda dan gejala over hidration
Post Operasi Diagnosa Tujuan Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan berhubunga keperawatan selama 1x24 jam 1. diharapkan Nyeri dapat teratasi n dengan dg kriteria sbb: agen injuri 1. Anak tidak rewel fisik 2. 2. Ekspresi wajah dan sikap tubuh rileks 3.
Tanda vital Normal
Intervensi Management nyeri Kaji nyeri meliputi karakteristik, lokasi, durasi, frekuensi, kualitas, dan faktor presipitasi. Observasi ketidaknyamanan non verbal
3.
Berikan posisi yang nyaman
4.
Anjurkan ortu untuk memberikan pelukan agar anak merasa nyaman
dan tenang. 5.
Tingkatkan istirahat Teaching
1.
Jelaskan pada ortu tentang proses terjadinya nyeri
2.
Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit
3.
Evaluasi
keluhan
nyeri
atau
ketidaknyamanan 4.
Perhatikan lokasi nyeri. Administrasi analgetik
1.
Tentukan
lokasi,
karakteristik,
kualitas dan derajat nyeri sebelum pemberian obat. 2.
Cek program medis tentang jenis obat,
dosis
dan
frekuensi
benar
sebelum
pemberian 3.
Ikuti
5
memberikan obat 4.
Cek riwayat alergi
5.
Monitor tanda vital sebelum dan sesudah pemberian obat
Resiko infeksi berhubunga n
dengan
prosedur invasif
6. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam 1. diharapkan Resiko Infeksi dapat teratasi dg kriteria sbb: 1.
Bebas
dari
tanda-tanda
infeksi 2.
Tanda vital dalam batas normal
Dokumentasikan pemberian obat Infektion control Terapkan kewaspadaan universal cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan keperawatan.
2.
Gunakan sarung tangan setiap melakukan tindakan.
3.
Berikan personal hygiene yang baik.
Proteksi infeksi 1.
Monitor tanda-tanda infeksi lokal maupun sistemik.
2.
Monitor hasil lab: wbc, granulosit dan hasi lab yang lain.
3.
Batasi pengunjung
4.
Inspeksi
kondisi
luka
insisi
operasi. Ostomy care 1.
Bantu dan ajarkan keluarga pasien untuk
melakukan
perawatan
kolostomi 2.
Monitor insisi stoma.
3.
Pantau dan dampinggi keluarga saat merawat kolostomi
4.
Irigasi stoma sesuai indikasi.
5.
Monitor produk stoma
6.
Ganti kantong kolostomi setiap kotor. Medikasi terapi
1.
Beri antibiotik sesuai program
2.
Tingkatkan nutrisi
3.
Monitor keefektifan terapi. Health education
1.
Ajarkan pada orang tua tentang tanda-tanda infeksi.
C. Konsep Asuhan Keperawatan Pada Atresia Ani 1.
Pengertian Atresia Ani
2.
Ajarkan cara mencegah infeksi.
3.
Ajarkan cara perawatan colostomi
Atresia Ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus imperforate meliputi anus, rectum atau keduanya (Betz. Ed 3 tahun 2002) Atresia ini atau anus imperforate adalah tidak terjadinya perforasi membran yang memisahkan bagian entoderm mengakibatkan pembentukan lubang anus yang tidak sempurna. Anus tampak rata atau sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus namun tidak berhubungan langsung dengan rectum. (sumber Purwanto. 2001 RSCM) Atresia Ani merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya lubang atau saluran anus (Donna L. Wong, 520 : 2003). Atresia berasal dari bahasa Yunani, a artinya tidak ada, trepis artinya nutrisi atau makanan. Dalam istilah kedokteran atresia itu sendiri adalah keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang badan normal atau organ tubular secara kongenital disebut juga clausura. Dengan kata lain tidak adanya lubang di tempat yang seharusnya berlubang atau buntunya saluran atau rongga tubuh, hal ini bisa terjadi karena bawaan sejak lahir atau terjadi kemudian karena proses penyakit yang mengenai saluran itu. Atresia dapat terjadi pada seluruh saluran tubuh, misalnya atresia ani. Atresia ani yaitu tidak berlubangnya dubur. Atresia ani memiliki nama lain yaitu anus imperforata. Jika atresia terjadi maka hampir selalu memerlukan tindakan operasi untuk membuat saluran seperti keadaan normalnya Menurut Ladd dan Gross (1966) anus imperforata dalam 4 golongan, yaitu: a.
Stenosis rektum yang lebih rendah atau pada anus
b.
Membran anus yang menetap
c.
Anus imperforata dan ujung rektum yang buntu terletak pada bermacam-macam jarak dari peritoneum
d.
Lubang anus yang terpisah dengan ujung
2.
Etiologi
Atresia dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: a.
Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur sehingga bayi lahir tanpa lubang dubur
b.
Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu/3 bulan
c.
Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik didaerah usus, rektum bagian distal serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara minggu keempat sampai keenam usia kehamilan.
3.
Patofisiologi Atresia ani atau anus imperforate dapat disebabkan karena : a.
Kelainan ini terjadi karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit karena gangguan pertumbuhan, fusi atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik
b.
Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur, sehingga bayi lahir tanpa lubang dubur
c.
Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani, karena ada kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau tiga bulan
d.
Berkaitan dengan sindrom down
e.
Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan
Terdapat tiga macam letak a.
Tinggi (supralevator) → rektum berakhir di atas M.Levator ani (m.puborektalis) dengan jarak antara ujung buntu rectum dengan kulit perineum >1 cm. Letak upralevator biasanya disertai dengan fistel ke saluran kencing atau saluran genital
b.
Intermediate → rectum terletak pada m.levator ani tapi tidak menembusnya
c.
Rendah → rectum berakhir di bawah m.levator ani sehingga jarak antara kulit dan
ujung rectum paling jauh 1 cm. Pada wanita 90% dengan fistula ke vagina/perineum Pada laki-laki umumnya letak tinggi, bila ada fistula ke traktus urinarius
4.
Manifestasi Klinis a. Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran. b. Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rectal pada bayi. c. Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang salah letaknya. d. Distensi bertahap dan adanya tanda-tanda obstruksi usus (bila tidak ada fistula). e. Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam. f. Pada pemeriksaan rectal touché terdapat adanya membran anal. g. Perut kembung. (Betz. Ed 7. 2002)
5.
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita atresia ani antara lain : a.
Asidosis hiperkioremia.
b.
Infeksi saluran kemih yang bisa berkepanjangan.
c.
Kerusakan uretra (akibat prosedur bedah).
d.
Komplikasi jangka panjang. 1) Eversi mukosa anal 2) Stenosis (akibat kontriksi jaringan perut dianastomosis)
e.
Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet training.
f.
Inkontinensia (akibat stenosis awal atau impaksi)
g.
Prolaps mukosa anorektal.
h.
Fistula kambuan (karena ketegangan diare pembedahan dan infeksi) (Ngustiyah, 1997 : 248)
23
6.
Klasifikasi
Klasifikasi atresia ani : a.
Anal stenosis adalah terjadinya penyempitan daerah anus sehingga feses tidak dapat keluar.
b.
Membranosus atresia adalah terdapat membran pada anus.
c.
Anal agenesis adalah memiliki anus tetapi ada daging diantara rectum dengan anus.
d. 7.
Rectal atresia adalah tidak memiliki rectum (Wong, Whaley. 1985).
Penatalaksanaan Medis a.
Pembedahan Terapi pembedahan pada bayi baru lahir bervariasi sesuai dengan keparahan kelainan. Semakin tinggi gangguan, semakin rumit prosedur pengobatannya. Untuk kelainan dilakukan kolostomi beberapa lahir, kemudian anoplasti perineal yaitu dibuat anus permanen (prosedur penarikan perineum abnormal) dilakukan pada bayi berusia 12 bulan. Pembedahan ini dilakukan pada usia 12 bulan dimaksudkan untuk memberi waktu pada pelvis untuk membesar dan pada otot-otot untuk berkembang. Tindakan ini juga memungkinkan bayi untuk menambah berat badan dan bertambah baik status nutrisnya. Gangguan ringan diatas dengan menarik kantong rectal melalui afingter sampai lubang pada kulit anal fistula, bila ada harus tutup kelainan membranosa hanya memerlukan tindakan pembedahan yang minimal membran tersebut dilubangi degan hemostratau skapel
b.
Pengobatan 1) Aksisi membran anal (membuat anus buatan) 2) Fiktusi yaitu dengan melakukan kolostomi sementara dan setelah 3
24
bulan dilakukan korksi sekaligus (pembuat anus permanen) (Staf Pengajar FKUI. 205) 8.
Pemeriksaan Penunjang a.
Pemeriksaan rectal digital dan visual adalah pemeriksaan diagnostik yang umum dilakukan pada gangguan ini.
b.
Jika ada fistula, urin dapat diperiksa untuk memeriksa adanya sel-sel epitel mekonium.
c.
Pemeriksaan sinyal X lateral infeksi (teknik wangensteen-rice) dapat menunjukkan adanya kumpulan udara dalam ujung rectum yang buntu pada mekonium yang mencegah udara sampai keujung kantong rectal.
d.
Ultrasound dapat digunakan untuk menentukan letak rectal kantong.
e.
Aspirasi jarum untuk mendeteksi kantong rectal dengan menusukan jarum tersebut sampai melakukan aspirasi, jika mekonium tidak keluar pada saat jarum sudah masuk 1,5 cm Derek tersebut dianggap defek tingkat tinggi.
f.
Pemeriksaan radiologis dapat ditemukan 1) Udara dalam usus berhenti tiba-tiba yang menandakan obstruksi di daerah tersebut. 2) Tidak ada bayangan udara dalam rongga pelvis pada bagian baru lahir dan gambaran ini harus dipikirkan kemungkinan atresia reftil/anus impoefartus, pada bayi dengan anus impoefartus. Udara berhenti tibatiba di daerah sigmoid, kolon/rectum. 3) Dibuat foto anterpisterior (AP) dan lateral. Bayi diangkat dengan kepala dibawah dan kaki diatas pada anus benda bang radio-opak, sehingga pada foto daerah antara benda radio-opak dengan dengan bayangan udara tertinggi dapat diukur.
25
D. Asuhan Keperawatan pada Atresia Ani 1.
Pengkajian a.
Biodata klien
b.
Riwayat keperawatan 1) Riwayat keperawatan/kesehatan sekarang 2) Riwayat kesehatan masa lalu
c.
Riwayat psikologis Koping keluarga dalam menghadapi masalah
d.
Riwayat tumbuh kembang 1) BB lahir abnormal 2) Kemampuan motorik halus, motorik kasar, kognitif dan tumbuh kembang pernah mengalami trauma saat sakit 3) Sakit kehamilan mengalami infeksi intrapartal 4) Sakit kehamilan tidak keluar mekonium
e.
Riwayat sosial Hubungan sosial
f.
Pemeriksaan fisik
2.
Diagnosa Keperawatan
a.
Dx Pre Operasi 1) Konstipasi berhubungan dengan aganglion. 2) Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan menurunnya intake,
26
muntah. 3) Cemas orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit dan prosedur perawatan. b.
Dx Post Operasi 1) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan terdapat stoma sekunder dari kolostomi. 2) Kurang pengetahuan berhubungan dengan perawatan di rumah.
3.
Rencana Keperawatan Diagnosa
SLKI
Nyeri
Akut
Agen
Pencedera keperawatan,
Fisiologis
SIKI
b.d Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nyeri : diharapkan
Nyeri Akut dapat teratasi
1.
dengan Tingkat Nyeri dengan
Identifikasi
lokasi,
karakteristik,
durasi,
frekuensi nyeri
KH : 2.
Identifikasi skala nyeri
3.
Identifikasi
1.
Keluhan nyeri menurun
2.
Meringis menurun
3.
Gelisah menurun
4.
Kesulitan tidur menurun
4.
Identifikasi respon nyeri
5.
Anoreksia menurun
5.
Anjurkan
6.
Sikap protektif menurun
7.
Pola tidur membaik
8.
Nafsu makan membaik
27
faktor
memperberat
yang atau
memperingan nyeri
teknik
nonfarmakologis 6.
Kolaborasi analgetik
pemberian
9.
Fungsi
berkemih
membaik Risiko Infeksi
Setelah dilakukan tindakan Pencegahan Infeksi : keperawatan,
diharapkan
Risiko Infeksi dapat teratasi dengan
Tingkat
1.
Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik
Infeksi
dengan KH :
2.
Batasi jumlah pengunjung
1.
Demam menurun
3.
Berikan
2.
Kemerahan menurun
3.
Nyeri menurun
4.
Bengkak menurun
5.
Cairan
berbau
pada
area kulit 4.
Pertahankan teknik aseptik pada pasien berisiko tinggi
5. busuk
menurun 6.
Letargi menurun
7.
Nafsu makan meningkat
8.
Kultur darah membaik
9.
Kultur
Jelaskan tanda dan gejala infeksi
6.
area
perawatan
Kolaborasi
pemberian
imunisasi, jika perlu
luka
membaik Ansietas
Setelah dilakukan tindakan Reduksi Ansietas : keperawatan,
diharapkan
ansietas dapat teratasi dengan
1.
Perilaku
Gelisah
2.
tingkat
Temani
pasien
untuk
mengurangi kecemasan
menurun 3.
28
saat
ansietas berubah
Tingkat Ansietas dengan KH : 1.
Identifikasi
Gunakan pendekatan yang
2.
Anoreksia menurun
tenang dan meyakinkan
3.
Frekuensi
Kolaborasi pemberian obat
pernapasan 4.
menurun 4. Hipovolemia
antiansietas
Pola tidur membaik
Setelah dilakukan tindakan Manajemen Hipovolemia : keperawatan,
diharapkan
Hipovolemia dapat teratasi
1.
Periksa tanda dan gejala hipovovelemia
dengan Status Cairan dengan KH :
2.
Hitung kebutuhan cairan
1.
Turgor kulit meningkat
3.
Berikan asupan ccairan oral
2.
Output urine meningkat
3.
Dispnea menurun
4.
Suara napas tambahan menurun
Gangguan Nyaman
5.
Frekuensi nadi membaik
6.
Tekanan darah membaik
Rasa Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nyeri : keperawatan, Gangguan
diharapkan Rasa
Nyaman
1.
dapat teratasi dengan Status
Kesejahteraan meningkat
2.
Gelisah menurun
29
Fisik
lokasi,
karakteristik,
durasi,
frekuensi nyeri
Kenyamanan dengan KH : 1.
Identifikasi
2.
Identifikasi skala nyeri
3.
Identifikasi
faktor
memperberat memperingan nyeri
yang atau
3.
Menangis menurun
4.
Identifikasi respon nyeri
4.
Pola eliminasi membaik
5.
Anjurkan
teknik
nonfarmakologis 6.
Kolaborasi
pemberian
analgetik Gangguan
Citra Setelah dilakukan tindakan Promosi Citra Tubuh :
Tubuh
keperawatan,
diharapkan
Gangguan Citra Tubuh dapat
1.
1.
2.
Verbalisasi
Verbalisasi
Jelaskan
pada
tentang
kehilangan
keluarga perawatan
perubahan citra tubuh
bagian tubuh meningkat 2.
perubahan
tubuh dan fungsinya
teratasi dengan Citra Tubuh dengan KH :
Diskusikan
perubahan
gaya hidup menurun Inkontinensia Urin Setelah dilakukan tindakan Perawatan Inkontinensia Fekal: keperawatan, Inkontinensia teratasi
diharapkan Fekal
dengan
dapat
1.
inkontinensia
Fungsi
Defisit Nutrisi
Nafsu makan meningkat
2.
Muntah menurun
3.
Nyeri abdomen menurun
4.
Jumlah feses membaik
5.
Warna feses membaik
penyebab fekal
2.
Monitor kulit perianal
3.
Monitor diet dan kebutuhan cairan
Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nutrisi :
30
baik
fisik maupun pskologis
Gastrointestinal dengan KH : 1.
Identifikasi
keperawatan,
diharapkan
Defisit Nutrisi dapat teratasi dengan Status Nutrisi dengan KH : 1.
Kekuatan
otot
1.
Identifikasi status nutrisi
2.
Monitor berat badan
mnelan 3.
Identifikasi
asupan
makanan
meningkat 2.
Nyeri abdomen menurun
3.
Berat badan membaik
4.
Nafsu makan membaik
5.
Bisisng usus membaik
Gangguan
Setelah dilakukan tindakan Pemantauan Respirasi :
Pertukaran Gas
keperawatan, Gangguan dapat
diharapkan
Pertukaran teratasi
Gas
1.
kedalaman
dengan
Tingkat
kesadaran
meningkat 2.
Dispnea menurun
3.
Geelisah menurun
4.
PCO2 membaik
5.
PO2 membaik
6.
Sianosis membaik
7.
Pola Napas
31
dan
upaya
napas
Pertugaran Gas dengan KH : 1.
Monitor frekuensi, irama,
2.
Monitor pola napas
3.
Monitor adanya sumbatan jalan napas
4.
Auskultasi bunyi napas
5.
Monitor nilai AGD
Hipertermi
Setelah dilakukan tindakan Manajemen Hipertermia: keperawatan, Hipertermi
diharapkan dapat
dengan
teratasi
1.
Identifikasi
penyebab
hipertermia
Termoregulasi
Neonatus dengan KH :
2.
Monitor suhu tubuh
1.
Menggigil menurun
3.
Monitor kadar elektrolit
2.
Konsumsi
Oksigen 4.
dingin
meningkat 3.
Suhu tubuh menurun
4.
Suhu kulit menurun
5.
Ventilasi menurun
Sediakan lingkungan yang
5.
Berikan cairan oral
E. Konsep Asuhan Keperawatan Pada Atresia Bilier 1.
Definisi Atresia Bilier Atresia Billier adalah suatu defek kongenital yang merupakan hasil dari tidak
adanya atau obstruksi satu atau lebih saluran empedu pada ekstrahepatik atau intrahepatik (Suriadi dan Rita Yulianni, 2006). Atresia bilier merupakan kegagalan perkembangan lumen pada korda epitel yang akhirnya menjadi duktus biliaris, kegagalan ini bisa menyeluruh atau sebagian. (Chandrasoma & Taylor,2005).
32
Atresia biliary merupakan obliterasi atau hipoplasi satu komponen atau lebih dari duktus biliaris akibat terhentinya perkembangan janin, menyebabkan ikterus persisten dan kerusakan hati yang bervariasi dari statis empedu sampai sirosis biliaris, dengan splenomegali bila berlanjut menjadi hipertensi porta. (Kamus Kedokteran Dorland 2002: 206). Atresia Billier adalah suatu keadaan dimana saluran empedu tidak terbentuk atau tidak berkembang secara normal. Atresia biliaris adalah kelainan konginetal yang ditandai dengan obstruksi atau tidak adanya duktus atau saluran empedu. Atresia bilier merupakan suatu defek congenital yang merupakan hasil dari tidak adanya atau obstruksi satu atau lebih saluran empedu pada ekstrahepatik atau intrahepatik. Pada atresia bilier terjadi penyumbatan aliran empedu dari hati ke kandung empedu. Hal ini bisa menyebabkan kerusakan hati dan sirosis hati, yang jika tidak diobati bisa berakibat fatal. Tipe- tipe atresia biliaris, secara empiris dapat dikelompokkan dalam 2 tipe: a.
Tipe yang dapat dioperasi / Operable/ correctable Jika kelainan/sumbatan terdapat dibagian distalnya. Sebagian besar dari saluran-saluran ekstrahepatik empedu paten.
b.
Tipe yang tidak dapat dioperasi / Inoperable/ incorrectable Jika kelainan / sumbatan terdapat dibagian atas porta hepatic, tetapi akhirakhir ini dapat dipertimbangakan untuk suatu operasi porto enterostoma hati radikal. Tidak bersifat paten seperti pada tipe operatif.
Klasifikasi dengan menggunakan system klasifikasi Kasai, cara ini banyak digunakan. Mengklasifikasikan kasus atresia biliaris berdasarkan lokasi dan tingkat patologinya. Klasifikasi atresia bliaris sesuai dengan area yang terlibat. a.
Tipe I : saluran empedu umumnya paten pada daerah proksimal.
b.
Tipe II : atresia pada saluran empedu dapat terlihat, dengan sumbatan saluran
33
empedu ditemukan pada porta hepatis. c.
Tipe IIa : fibrosis dan saluran empedu umumnya bersifat paten
d.
Tepi IIb : umumnya duktus biliaris dan duktus hepatic tidak ada.
e.
Tipe III : lebih mengacu pada terputusnya duktus hepatic kanan dan kiri sampai pada porta hepatic. Bentuk atresia ini adalah umum terjadi, sekitar lebih dari 90% kasus
2.
Etiologi Penyebab atresia billiaris tidak diketahui dengan jelas, tetapi diduga akibat proses
inflamasi yang destruktif. Atresia billiaris terjadi karena adanya perkembangan abnormal dari saluran empedu di dalam maupun diluar hati. Tetapi penyebab terjadinya gangguan perkembangan saluran empedu ini tidak diketahui. Meskipun penyebabnya belum diketahui secara pasti, tetapi diduga karena kelainan kongenital, didapat dari proses-proses peradangan, atau kemungkinan infeksi virus dalam intrauterine. Penyebab atresia masih kontroversial, beberapa ahli percaya bahwa hal ini terjadi akibat infeksi intrauterine. Atresia biasanya hanya mengenai duktus biliaris ekstrahepatik, duktus intrahepatik lebih jarang terkena. Atresia biliaris komplit yang mengenai seluruh system menyebabkan kematian yang tinggi. Hati menunjukan gambaran obstruksi hebat duktus biliaris yang besar dengan sirosis biliaris sekunder. Tanpa pengobatan, kematian terjadi pada masa bayi. Terapi bedah dapat berhasil pada kasus atresia parsial. Pada kasus atresia yang mengenai duktus intrahepatik, transplantasi hati merupakan satu-satunya harapan. Hal yang penting perlu diketahui adalah bahwa atresia billiaris adalah bukan merupakan penyakit keturunan. Kasus atresia billiaris tidak diturunkan dari keluarga. Atreia billiaris paling sering disebabkan karena sebuah peristiwa yang terjadi saat bayi dalam kandungan. Kemungkinan hal yang dapat memicu terjadinya atresia
34
billiaris diantaranya: infeksi virus atau bakteri, gangguan dalam system kekebalan tubuh, komponen empedu yang abnormal, kesalahan dalam perkembangan hati dan saluran empedu. 3.
Tanda dan Gejala
Gejala biasanya timbul dalam waktu 2 minggu setelah lahir, yaitu berupa: a.
Air kemih bayi berwarna gelap
b.
Kulit berwarna kuning
c.
Tinja berwarna pucat
d.
Berat badan tidak bertambah atau penambahan berat badan berlangsung lambat
e.
Hati membesar.
f.
Pada saat usia bayi mencapai 2-3 bulan, akan timbul gejala berikut: 1) Gangguan pertumbuhan 2) Gatal-gatal 3) Rewel 4) Tekanan darah tinggi pada vena porta (pembuluh darah yang mengangkut darah dari lambung, usus dan limpa ke hati).
4.
Patofisiologi Penyebabnya sebenarnya atresia billiaris tidak diketahui sekalipun mekanisme
imun atau viral injurio bertanggung jawab atas progresif yang menimbulkan obstruksi saluran empedu. Berbagai laporan menunjukkan bahwa atresia billiaris tidak terlihat pada janin, bayi yang baru lahir. Keadaan ini menunjukan bahwa atresia billiaris terjadi pada akhir kehamilan atau pada periode perinatal dan bermanisfestasi
35
dalam waktu beberapa minggu sesudah dilahirkan. Inflamasi terjadi secara progresif dengan menimbulkan obstruksi dan fibrosis pada saluran empedu intrahepatik atau ekstrahepatik (Wong, 2008). Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi aliran normal empedu keluar hati, kantung empedu dan usus akhirnya akan menyebabkan peradangan, edema, degenerasi hati, bahkan hati menjadi fibrosis dan sirosis. Obstruksi melibatkan dua duktus hepatic yaitu duktus biliaris yang menimbulkan ikterus dan duktus didalam lobus hati yang meningkatkan ekskresi bilirubin. Obstruksi yang terjadi mencegah terjadi bilirubin ke dalam usus menimbulkan tinja berwarna pucat seperti kapur. Obstruksi billier menyebabkan akumulasi garam empedu di dalam darah sehingga menimbulkan gejala pruritus pada kulit. Karena tidak adanya empedu dalam usus, lemak dan vitamin A, D, E, K tidak dapat di absorbsi sehingga mengalami kekurangan vitamin yang menyebabkan gagal tumbuh pada anak
36
5.
WOC
37
6.
Komplikasi dan Prognosis
Komplikasi yang dapat terjadi pada atresia billiaris yaitu: a.
Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi aliran normal empedu keluar hati dan kantong empedu dan usus. Akhirnya terbentuk sumbatan dan menyebabkan empedu balik ke hati ini akan menyebabkan peradangan, edema, degenerasi hati. Bahkan hati menjadi fibrosis dan cirrhosis. Dan hipertensi portal sehingga akan mengakibatkan gagal hati.
b.
Progresif serosis hepatis terjadi jika aliran hanya dapat dibuka sebagian oleh prosedur pembedahan, permasalahan dengan pendarahan dan penggumpalan.
c.
Degerasi secara gradual pada hati menyebabkan joundice, ikterik dan hepatomegali.
d.
Karena tidak ada empedu dalam usus, lemak dan vitamin larut lemak tidak dapat diabsorbsi, kekurangan vitamin larut lemak dan gagal tumbuh.
e.
Hipertensi portal
f.
Pendarahan yang mengancam nyawa dari pembesaran vena yang lemah di esofagus dan perut, dapat menyebabkan Varises Esophagus.
g.
Asites merupakan akumulasi cairan dalam kapasitas abdomen yang disebabkan penurunan produksi albumin dalam protein plasma.
h.
Komplikasi pasca bedah yakni kolangitis menaik. Harapan hidup pasien yang tidak diobati adalah 18 bulan. Progresi fibrosis hepatic sering terjadi walaupun sudah mendapat terapi bedah paliatif, meskipun 30 – 50 % pasien mungkin tetap anikterik. Angka harapan hidup transplantasi jangka pendek sekitar 75 %. Menurut Carlassone & Bensonsson (1977) menyatakan bahwa operasi atresia billiaris tipe
38
“noncorrectable” adalah buruk sekali sebelum adanya operasi Kasai, tetapi sampai sekarang hanya sedikit penderita yang dapat disembuhkan. Bila pasase empedu tidak dikoreksi, 50 % anak akan meninggal pada tahun pertama kehidupan, 25 % pada tahun ke dua, dan sisanya pada usia 8-9 tahun. Penderita meninggal akibat kegagalan fungsi hati dan sirosis dengan hipertensi portal.
7.
Penatalaksanaam
a.
Terapi nutrisi yang bertujuan untuk memungkinkan anak untuk bertumbuh dan berkembang seoptimal mungkin yaitu: 1) Pemberian makanan yang mengandung middle chain triglycerides (MCT) untuk mengatasi mal-absorpsi lemak. 2) Penatalaksanaan defisiensi vitamin yang larut dalam lemak. 3) Dan pembedahan itu untuk menghasilkan drainase getah empedu yang efektif harus dilaksanakan dalam periode 2 hingga 3 bulan sesudah lahir agar kerusakan hati yang progresif dapat dikurangi
b.
Terapi Bedah Setelah diagnosis atresia bilier ditegakkan maka segera dilakukan intervensi bedah Portoenterostomi terhadap atresia bilier yang Correktable yaitu tipe Idan II. Pada atresia bilier yang Non Correktable terlebih dahulu dilakukan laparatomi eksplorasi untuk menentukan potensi duktus bilier yang ada di daerah hilus hati dengan bantuan Frozen section. Bila masih ada duktus bilier yang paten maka dilakukan operasi kasai. Tetapi meskipun tidak ada duktus bilier yang paten tetap dikerjakan operasi kasai dengan tujuan untuk menyelamatkan penderita (tujuan jangka pendek) dan bila mungkin untuk persiapan transplantasi hati (tujuan jangka panjang). Pembedahan itu untuk menghasilkan drainase getah
39
empedu yang efektif harus dilaksanakan dalam periode 2 hingga 3 bulan sesudah lahir agar kerusakan hati yang progresif dapat dikurangi. 8.
Pemeriksaan diagnostic
Adapun pemeriksaan diagnostic pada atresia biliaris sebagai berikut : a.
Darah lengkap dan fungsi hati Pada pemeriksaan laboratorium ini menunjukkan adanya hiperbilirubinemia direk, serta peningkatan kadar serum transaminase,fosfatase alkali, dan gamma glutamil transpeptidase yang dapat membantu diagnosis atresia bilier pada tahap awal.
b.
Pemeriksaan urin Pemeriksaan urobilinogen penting artinya pada pasien yang mengalami ikterus, tetapi urobilin dalam urine negative, hal ini menunjukkan adanya bendungan saluran empedu total.
c.
Pemeriksaan feses Warna tinja pucat karena yang memberi warna pada tinja/stercobilin dalam tinja berkurang karena adanya sumbatan.
d.
Biopsi hati Untuk mengetahui seberapa besar sumbatan dari hati yang dilakukan dengan pengambilan jaringan hati.
e.
USG abdomen Kandung empedu yang kecil atau tidak sama sekali, adanya tanda Triangular cord sangat sensitive menunjukkan adanya atresia bilier.
40
F. Asuhan Keperawatan Pada Atresia Bilier 1.
Pengkajian
a.
Identitas Meliputi Nama,Umur, Jenis Kelamin dan data-data umum lainnya. Hal ini dilakukan sebagai standar prosedur yang harus dilakukan untuk mengkaji keadaan pasien. Umumnya Atresia billiaris lebih banyak terjadi pada perempuan. Atresia bilier dtemukan pada 1 dari 15.000 kelahiran. Rasio atresia bilier pada anak perempuan dan anak laki-laki adalah 2:1.
b.
Keluhan Utama Keluhan utama dalam penyakit Atresia Biliaris adalah Jaundice dalam 2 minggu sampai 2 bulan Jaundice adalah perubahan warna kuning pada kulit dan mata bayi yang baru lahir. Jaundice terjadi karena darah bayi mengandung kelebihan bilirubin, pigmen berwarna kuning pada sel darah merah.
c.
Riwayat Penyakit Sekarang Anak dengan Atresia Biliaris mengalami Jaundice yang terjadi dalam 2 minggu atau 2 bulan lebih, apabila anak buang air besar tinja atau feses berwarna pucat. Anak juga mengalami distensi abdomen, hepatomegali, lemah, pruritus. Anak tidak mau minum dan kadang disertai letargi (kelemahan).
d.
Riwayat Penyakit Dahulu Adanya suatu infeksi pada saat Infeksi virus atau bakteri masalah dengan kekebalan tubuh. Selain itu dapat juga terjadi obstruksi empedu ektrahepatik. yang akhirnya menimbulkan masalah dan menjadi factor penyebab terjadinya Atresia Biliaris ini. Riwayat Imunisasi: imunisasi yang biasa diberikan yaitu BCG, DPT, Hepatitis, dan Polio.
41
e.
Riwayat Perinatal
1) Antenatal: Pada anak dengan atresia biliaris, diduga ibu dari anak pernah menderita infeksi penyakit, seperti HIV/AIDS, kanker, diabetes mellitus, dan infeksi virus rubella 2) Intra natal: Pada anak dengan atresia biliaris diduga saat proses kelahiran bayi terinfeksi virus atau bakteri selama proses persalinan. 3) Post natal: Pada anak dengan atresia diduga orang tua kurang memperhatikan personal hygiene saat merawat atau bayinya. Selain itu kebersihan peralatan makan dan peralatan bayi lainnya juga kurang diperhatikan oleh orang tua ibu. f.
Riwayat Kesehatan Keluarga Anak dengan atresia biliaris diduga dalam keluarganya, khususnya pada ibu pernah menderita penyakit terkait dengan imunitas HIV/AIDS, kanker, diabetes mellitus, dan infeksi virus rubella. Akibat dari penyakit yang di derita ibu ini, maka tubuh anak dapat menjadi lebih rentan terhadap penyakit atresia biliaris. Selain itu terdapat kemungkinan adanya kelainan kongenital yang memicu terjadinya penyakit atresia biliaris ini.
g.
Pemeriksaan Tingkat Perkembangan Pemeriksaan tingkat perkembangan terdiri dari adaptasi sosial, motorik kasar, motorik halus, dan bahasa. Tingkat perkembangan pada pasien atresia biliaris dapat dikaji melalui tingkah laku pasien maupun informasi dari keluarga. Selain itu, pada anak dengan atresia biliaris, kebutuhan akan asupan nutrisinya menjadi kurang optimal karena terjadi kelainan pada organ hati dan empedunya sehingga
42
akan berpengaruh terhadap proses tumbuh kembangnya. h.
Keadaan Lingkungan yang mempengaruhi timbulnya penyakit Kedaan lingkungan yang mempengaruhi timbulnya atresia pada anak yaitu pola kebersihan yang cenderung kurang. Orang tua jarang mencuci tangan saat merawat atau menetekkan bayinya. Selain itu, kebersihan botol atau putting ketika menyusui bayi juga kurang diperhatikan.
i.
Pola Fungsi Kesehatan 1) Pola Aktivitas/Istirahat : Pola aktivitas dan istirahat anak dengan atresia biliaris terjadi gangguan yaitu ditandai dengan anak gelisah dan rewel yang gejalanya berupa letargi atau kelemahan 2) Pola Sirkulasi : Pola sirkulasi pada anak dengan atresia biliaris adalah ditandai dengan takikardia, berkeringat yang berlebih, ikterik pada sklera kulit dan membrane mukosa 3) Pola Eliminasi : Pola eliminasi pada anak dengan atresia biliaris yaitu terdapat distensi abdomen dan asites yang ditandai dengan urine yang berwarna gelap dan pekat. Feses berwarna dempul, steatorea. Diare dan konstipasi pada anak dengan atresia biliaris dapat terjadi. 4) Pola Nutrisi : Pola nutrisi pada anak dengan atresia biliaris ditandai dengan anoreksia,nafsu makan berkurang, mual-muntah, tidak toleran terhadap lemak dan makanan pembentuk gas dan biasanya disertai regurgitasi berulang. 5) Pola kognitif dan persepsi sensori: pola ini mengenai pengetahuan orang tua terhadap penyakit yang diderita klien 6) Pola konsep diri: bagaimana persepsi orang tua dan/atau anak terhadap pengobatan dan perawatan yang akan dilakukan.
43
7) Pola hubungan-peran: biasanya peran orang tua sangat dibutuhkan dalam merawat dan mengobati anak dengan atresia biliaris. 8) Pola seksual-seksualitas: apakah selama sakit terdapat gangguan atau tidak yang berhubungan dengan reproduksi sosial. Pada anak yang menderita atresia biliaris biasanya tidak ada gangguan dalam reproduksi. 9) Pola mekanisme koping: keluarga perlu memeberikan dukungan dan semangat sembuh bagi anak. 10) Pola nilai dan kepercayaan: orang tua selalu optimis dan berdoa agar penyakit pada anaknya dapat sembuh dengan cepat. j.
Pemeriksaan Fisik
Gejala biasanya timbul dalam waktu 2 minggu setelah lahir, yaitu berupa: 1) Air kemih bayi berwarna gelap 2) Tinja berwarna pucat 3) Kulit berwarna kuning 4) Berat badan tidak bertambah atau penambahan berat badan berlangsung lambat 5) Hati membesar. 6) Pada saat usia bayi mencapai 2-3 bulan, akan timbul gejala berikut: a)
Gangguan pertumbuhan
b) Gatal-gatal c)
Rewel
d) Tekanan darah tinggi pada vena porta (pembuluh darah yang mengangkut darah dari lambung, usus dan limpa ke hati).
44
7) Pemeriksaan Fisik a)
Keadaan umum
: lemah.
TTV
: Tekanan Darah : terjadi peningkatan terutama pada vena porta
Suhu
: Suhu tubuh dalam batas normal
Nadi
: takikardi
RR
: terjadi peningkatan RR akibat diafragma yang tertekan
(takipnea) b) Kepala dan leher Inspeksi
: Wajah : simetris
Rambut
: lurus/keriting, distribusi merata/tidak
Mata
: pupil miosis, konjungtiva anemis
Hidung
: kemungkinan terdapat pernafasan cuping Hidung
Telinga
: bersih
Bibir dan mulut : mukosa biibir kemungkinan terdapat ikterik Lidah Palpasi
: normal : tidak ada pembesaran kelenjar thyroid dan limfe pada
leher c)
Dada Inspeksi
: asimetris, terdapat tarikan otot bantu pernafasan dan tekanan pada otot diafragma akibat pembesaran hati (hepatomegali).
Palpasi
: denyutan jantung teraba cepat, terdapat nyeri tekan(-)
45
Perkusi
: Jantung
Paru
: sonor
: dullness
Auskultasi : tidak terdengar suara ronchi kemungkinan terdengar bunyi wheezing d) Abdomen
e)
Inspeksi
: terdapat distensi abdomen
Palpasi
: dapat terjadi nyeri tekan ketika dipalpasi
Perkusi
: sonor
Auskultasi
: kemungkinan terjadi pada bising usus
Kulit Turgor kurang, pucat, kulit berwarna kuning (jaundice)
f)
Ekstremitas Tidak terdapat odem pada pada extremitas
2.
3.
Diagnosa Keperawatan a.
Resiko Infeksi
b.
Resiko deficit nutrisi b.d ketidakmampuan mengabsorbsi nutrient
c.
Gangguan tumbuh kembang b.d efek ketidakmampuan fisik
Rencana Keperawatan
Diagnosa Keperawatan
SLKI
Resiko Infeksi
Setelah dilakukan tindakan Pencegahan infeksi keperawatan selama 1x24
46
SIKI
1.
Monitor
tanda
dan
jam
diharapkan
Infeksi
Resiko
dapat
teratasi
dengan kriteria sbb:
2.
Demam menurun
2.
Kemerahan menurun
3.
Nyeri menurun
4.
Gangguan
dengan
pasien
dan
lingkungan pasien 3.
Pertahankan
teknik
aseptic pada pasien
kognitif
menurun
beresiko tinggi infeksi 4.
5.
Kultur darah membaik
6.
Kultur urin membaik
7.
Kultur
area
Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak
1.
8.
gejala infeksi
Jelaskan
tanda
dan
gejala infeksi 5.
Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar
luka
membaik
6.
Ajarkan etika batuk
Kultur feses membaik
7.
Anjurkan meningkatkan asupan cairan
Resiko deficit nutrisi b.d Setelah dilakukan tindakan Manajemen nutrisi ketidakmampuan
keperawatan selama 1x24
mengabsorbsi nutrient
jam
diharapkan
resiko
1.
yang
deficit nutrisi dapat teratasi
Bb membaik
2.
IMT membaik
3.
Frekuensi membaik
47
factor
mempengaruhi
asupan gizi
dg kriteria sbb: 1.
Identifikasi
2.
Identifikasi perubahan BB
3. makan
Identifikasi
kelainan
pada kulit 4.
Identifikasi
kelainan
4.
Nafsu
makan
membaik 5.
pola makan 5.
Porsi makanan yang dihabiskan
Identifikasi kemampuan menelan
6.
Identifikasi
kelainan
eliminasi 7.
Monitor mual muntah
8.
Timbang berat badan
9.
Hitung perubahan BB
10. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
Gangguan kembang
tumbuh Setelah dilakukan tindakan Perawatan perkembangan b.d
ketidakmampuan fisik
efek keperawatan selama 1x24 jam diharapkan gangguan tumbuh
kembang
1.
pencapaian
dapat
Respon
sosial
2.
Kontak
mata
Keterampilan/prilaku meningkat sesuai usia
4.
dan yang
ditunjukkan bayi 3.
Minimalkan nyeri
4.
Motivasi berinteraksi
Pola tidur meningkat
anak lain 5.
48
isyarat
disiologis
meningkat 3.
Identifikasi perilaku
meningkat 2.
tugas
perkembangan anak
teratasi dg kriteria sbb: 1.
Identifikasi
Pertahankan
anak dengan
kenyamanan anak 6.
Jelaskan ortu dan/atau pengasuh
tentang
milestone perkembangan
anak
dan perilaku anak 7.
Anjurkan orang tua berinteraksi anaknya
49
dengan
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Penyakit hisprung merupakan penyakit yang sering menimbulkan masalah. Baik masalah fisik, psikologis maupun psikososial. Masalah pertumbuhan dan perkembangan anak dengan penyakit hisprung yaitu terletak pada kebiasaan buang air besar. Orang tua yang mengusahakan agar anaknya bisa buang air besar dengan cara yang awam akan menimbulkan masalah baru bagi bayi/anak. Penatalaksanaan yang benar mengenai penyakit hisprung harus difahami dengan benar oleh seluruh pihak. Baik tenaga medis maupun keluarga. Atresia ini atau anus imperforate adalah tidak terjadinya perforasi membran yang memisahkan bagian entoderm mengakibatkan pembentukan lubang anus yang tidak sempurna. Anus tampak rata atau sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus namun tidak berhubungan langsung dengan rectum. (sumber Purwanto. 2001 RSCM) Atresia Billier adalah suatu defek kongenital yang merupakan hasil dari tidak adanya atau obstruksi satu atau lebih saluran empedu pada ekstrahepatik atau intrahepatik (Suriadi dan Rita Yulianni, 2006). B. Saran Setelah membahas tentang Hisprung, Atresia Ani dan Atresia Bilier diharapkan mahsiswa mampu memahami dan dapat menerapkan asuhan keperawatan saat dilapangan nanti Adapun saran yang dapat kelompok sampaikan bagi pembaca khususnya mahasiswa/i Jurusan Keperawatan , hendaknya memberikan asuhan keperawatan lansia dengan benar dan tepat sehingga dapat sesuai dengan evaluasi yang diharapkan
50
DAFTAR PUSTAKA Betz, Sowden, 2002, Keperawatan Pediatric Edisi 3, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Betz, Cecily, L. Dan Linda A. Sowden 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisi ke-3. Jakarta : EGC. Kartono, Darmawan. 2004. Penyakit Hirschsprung. Jakarta : Sagung Seto. Suriadi dan Yulianni Rita. 2006. Asuhan Keperawatan Pada Anak Edisi 2. Jakarta :Penebar Swadaya Widodo Judarwanto. 2010. Atresia Bilier, Waspadai Bila Kuning Bayi Baru Lahir yang berkepanjangan. Wong, D.L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong Edisi 6 Volume 2. Jakarta : EGC SDKI SLKI SIKI