Askep Komunitas Populasi Rentan KLP 7 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MATA KULIAH KEPERAWATAN KOMUNITAS II “ASUHAN KEPERAWATAN KOMUNITAS PENYAKIT MENTAL, KECACATAN, POPULASI TERLANTAR”



Oleh



1. 2. 3. 4. 5.



Kelompok 7 : Kadek Ayu Ulan Sudariyanthini Ni Nyoman Ayu Krisna Sari Ni Putu Cintya Dewi Ni Putu Eka Cintya Parwita Putu Riska Pramudita Dewi



( 193213020 ) ( 193213037 ) ( 193213038 ) ( 193213040 ) ( 193213049 )



PROGAM STUDI KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA BALI DENPASAR 2021



LAPORAN PENDAHULUAN A. Konsep Teori a. Populasi Rentan Pengertian Kelompok Rentan tidak dirumuskan secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan, seperti tercantum dalam Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang No.39 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. Dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kelompok masyarakat yang rentan, antara lain, adalah orang lanjut usia, anakanak, fakir miskin, wanita hamil dan penyandang cacat. Sedangkan menurut Human Rights Reference disebutkan, bahwa yang tergolong ke dalam Kelompok Rentan adalah: a) b) c) d) e)



Refugees (pengungsi) Internally Displaced Persons (IDPs) (orang orang yang terlantar) National Minoritie (kelompok minoritas) Migrant Workers (pekerja migran) Indigenous Peoples (orang pribumi/penduduk asli dari pemukimannya) f) Children (anak) g) Women (wanita)



tempat



Menurut Departeman Hukum dan Hak Asasi Manusia, kelompok rentan adalah semua orang yang menghadapi hambatan atau keterbatasan dalam menikmati standar kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan berlaku umum bagi suatu masyarakat yang berperadaban. Jadi kelompok rentan dapat didefinisikan sebagai kelompok yang harus mendapatkan perlindungan dari pemerintah karena kondisi sosial yang sedang mereka hadapi. Menurut Undang-undang No.4 tahun 1997 yang dimaksud dengan penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya. Dari sisi pengelompokkannya, maka penyandang cacat dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) hal : Penyandang cacat fisik, Penyandang cacat mental, Penyandang cacat fisik dan mental.



b. Gangguan Mental (Mental Disorder) 1. Definisi Gangguan Mental (Mental Disorder) Istilah gangguan mental (mental disorder) atau gangguan jiwa merupakan istilah resmi yang digunakan dalam PPDGJ (Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa). Definisi gangguan mental (mental disorder) dalam PPDGJ II yang merujuk pada DSM-III adalah: “Gangguan mental (mental disorder) atau gangguan jiwa adalah sindrom atau pola perilaku, atau psikologi seseorang, yang secara klinik cukup bermakna, dan secara khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) atau hendaya (impairment/disability) di adalm satu atau lebih fungsi yang penting dari manusia. Sebagai tambahan, disimpulkan bahwa disfungsi itu adalah disfungsi dalam segi perilaku, psikologik, atau biologik, dan gangguan itu tidak semata- mata terletak di dalam hubungan orang dengan masyarakat”. (Maslim, tth:7). Dari penjelasan di atas, kemudian dirumuskan bahwa di dalam konsep gangguan mental (mental disorder) terdapat butir-butir sebagai berikut: 1. Adanya gejala klinis yang bermakna, berupa: Sindrom atau pola perilaku Sindrom atau pola psikologik 2. Gejala klinis tersebut menimbulkan “penderitaan” (distress), antara lain berupa: rasa nyeri, tidak nyaman, tidak tentram, terganggu, disfungsi organ tubuh, dll. 3. Gejala klinis tersebut menimbulkan “disabilitas” (disability) dalam aktivitas kehidupan sehari-hari yang biasa dan diperlukan untuk perawatan diri dan kelangsungan hidup (mandi, berpakaian, makan, kebersihan diri, dll). (Maslim, tth:7). Secara lebih luas gangguan mental (mental disorder) juga dapat didefinisikan sebagai bentuk penyakit, gangguan, dan kekacauan fungsi mental atau kesehatan mental, disebabkan oleh kegagalan mekanisme adaptasi dari fungsifungsi kejiwaan/mental terhadap stimuli ekstern dan keteganganketegangan; sehingga muncul gangguan fungsional atau struktural dari satu bagian, satu orang, atau sistem kejiwaan/mental (Kartono, 2000:80). Pendapat yang sejalan juga dikemukakan Chaplin (1981) (dalam Kartono, 2000:80), yaitu:



“Gangguan



mental



(mental



disorder)



ialah



sebarang



bentuk



ketidakmampuan menyesuaikan diri yang serius sifatnya terhadap tuntutan dan



kondisi lingkungan yang mengakibatkan ketidakmampuan tertentu. Sumber gangguan/kekacauannya bisa bersifat psikogenis atau organis, mencakup kasuskasus reaksi psikopatis dan reaksi-reaksi neurotis yang gawat”. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gangguan mental (mental disorder) adalah ketidakmampuan seseorang atau tidak berfungsinya segala potensi baik secara fisik maupun phsikis yang menyebabkan terjadinya gangguan dalam jiwanya. 2. Macam-Macam Gangguan Mental (Mental Disorder). Dalam menjelaskan macam-macam gangguan mental (mental disorder), penulis merujuk pada PPDGJ III (dalam Rusdi Maslim, tth:10), yang digolongkan sebagai berikut: 1.



Gangguan mental organik dan simtomatik;Gangguan mental organik adalah gangguan mental yang berkaitan dengan penyakit atau gangguan sistematik atau otak yang dapat di diagnosis secara tersendiri. Sedangkan gangguan simtomatik adalah gangguan yang diakibatkan oleh pengaruh otak akibat sekunder dari penyakit atau gangguan sistematik di luar otak (extracerebral). (Maslim, tth:22).



2.



Gangguan mental dan perilaku akibat zat psikoaktif. Gangguan yang disebabkan karena penggunaan satu atau lebih zat psikoaktif (dengan atau tidak menggunakan resep dokter). (Maslim, tth:36).



3.



Gangguan skizofrenia dan gangguan waham. Gangguan skizofrenia adalah gangguan yang pada umumnya ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar (inappropriate) atau tumpul (blunted).” (Maslim, tth:46). Sedangkan gangguan waham adalah gejala ganguan jiwa di mana jalan pikirannya tidak benar dan penderita itu tidak mau di koreksi bahwa hal itu tidak betul; suatu jalan pikiran yang tidak beralasan. (Sudarsono, 1993:272).



4.



Gangguan suasana perasaan (mood/afektif). Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) adalah perubahan suasana perasaan (mood) atau afek, biasanya kearah depresi (dengan atau tanpa anxietas yang menyertainya), atau kearah elasi (suasana perasaan yang meningkat). (Maslim, tth:60).



5.



Gangguan neurotik, somatoform dan gangguan stres. Gangguan neurotik, somatoform dan gangguan stes merupakan satu kesatuan dari gangguan jiwa yang disebabkan oleh faktor psikologis. (Maslim, tth:72).



6.



Sindrom perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis dan faktor fisik. Gangguan mental yang biasanya ditandai dengan mengurangi berat badan dengan segaja, dipacu dan atau dipertahankan oleh penderita (Maslim, tth:90).



7.



Gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa Suatu kondisi klinis yang bermakna dan pola perilaku yang cenderung menetap, dan merupakan ekspresi dari pola hidup yang khas dari seseorang dan cara- cara berhubungan dengan diri-sendiri maupun orang lain (Maslim, tth:102).



8.



Retardasi mental Retardasi mental adalah keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atau tidak lengkap, terutama ditandai oleh terjadinya hendaya keterampilan selama masa perkembangan sehingga berpengaruh pada tingkat keceradsan secara menyeluruh (Maslim, tth:119)



9.



Gangguan



perkembangan



psikologis.



Gangguan



yang



disebabkan



kelambatan perkembangan fungsifungsi yang berhubungan erat dengan kematangan biologis dari susunan saraf pusat, dan berlangsung secara terus menerus tanpa adanya remisi dan kekambuhan yang khas. Yang dimaksud “yang khas” ialah hendayanya berkurang secara progresif dengan bertambahnya usia anak (walaupun defisit yang lebih ringan sering menetap sampai masa dewasa) (Maslim, tth:122). 10. Gangguan perilaku dan emosional dengan onset masa kanak kanak. Gangguan yang dicirikan dengan berkurangnya perhatian dan aktivitas berlebihan. Berkurangnya perhatian ialah dihentikannya terlalu dini tugas atau suatu



kegiatan sebelum



tuntas/selesai.



Aktivitas berlebihan



(hiperaktifitas) ialah bentuk kegelisahan yang berlebihan, khususnya dalam situasi yang menuntut keadaan yang relatif tenang (Maslim, tth:136). Berkaitan dengan pemaparan di atas, Sutardjo A. Wiramihardja (2004:1516), mengungkapkan bahwa gangguan mental (mental disorder) memiliki rentang yang lebar, dari yang ringan sampai yang berat. Secara ringkas dapat diklasifikasikan sebagai berikut:



a) Gangguan emosional (emotional distubance) merupakan integrasi kepribadian yang tidak adekuat (memenuhi syarat) dan distress personal. Istilah ini lebih sering digunakan untuk perilaku maladaptive pada anak-anak. b) Psikopatologi (psychopathology), diartikan sama atau sebagai kata lain dari perilaku abnormal, psikologi abnormal atau gangguan mental. c) Sakit mental (mental illenes), digunakan sebagai kata lain dari gangguan mental, namun penggunaannya saat ini terbatas pada gangguan yang berhubungan dengan patologi otak atau disorganisasi kepribadian yang berat. d) Gangguan mental (mental disorder) semula digunakan untuk nama gangguan gangguan yang berhubungan dengan patologi otak, tetapi saat ini jarang digunakan. Nama inipun sering digunakan sebagai istilah yang umum untuk setiap gangguan dan kelainan. e) Ganguan prilaku (behavior disorder), digunakan secara khusus untuk gangguan yang berasal dari kegagalan belajar, baik gagal mempelajari kompetensi yang dibutuhkan ataupun gagal dalam mempelajari pola penanggulangan masalah yang maladaptif. f) Gila (insanity), merupakan istilah hukum yang mengidentifikasikan bahwa individu secara mental tidak mampu untuk mengelolah masalahmasalahnya



atau



melihat



konsekuensikonsekuensi



dari



tindakannya. Istilah ini menunjuk pada gangguan mental yang serius terutama penggunaan istilah yang bersangkutan dengan pantas tidaknya seseorang yang melakukan tindak pidana di hukum atau tidak. 3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Timbulnya Gangguan Mental (Mental Disorder) Untuk mendapatkan jawaban mengenai faktor faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya gangguan mental (mental disorder), maka yang perlu ditelusuri pertama kali adalah faktor dominan yang dapat mempengaruhi kepribadian seseorang. Dalam hal ini, penulis merujuk pada pendapat Kartini Kartono (1982:81), yang membagi faktor dominan yang mempengaruhi timbulnya gangguan mental (mental disorder) ke dalam dua faktor, yaitu:



1) Faktor Organis (somatic), misalnya terdapat kerusakan pada otak dan proses dementia. 2) Faktor-faktor psikis dan struktur kepribadiannya, reaksi neuritis dan reaksi psikotis pribadi yang terbelah, pribadi psikopatis, dan lain-lain. Kecemasan, kesedihan, kesakitan hati, depresi, dan rendah diri bisa menyebabkan orang sakit secara psikis, yaitu yang mengakibatkan ketidakseimbangan mental dan desintegrasi kepribadiannya. Maka sruktur kepribadian dan pemasakan dari pengalaman-pengalaman dengan cara yang keliru bisa membuat orang terganggu psikisnya. Terutama sekali apabila beban psikis ternyata jauh lebih berat dan melampaui kesanggupan memikul beban tersebut. 3) Faktor-faktor lingkungan (milieu) atau faktor-faktor sosial. Usaha pembangunan dan modernisasi, arus urbanisasi dan industialisasi menyebabkan problem yang dihadapi masyarakat modern menjadi sangat kompleks. Sehingga usaha penyesuaian diri terhadap perubahan-perubahan sosial dan arus moderenisasi menjadi sangat sulit. Banyak orang mengalami frustasi, konflik bathin dan konflik terbuka dengan orang lain, serta menderita macam-macam gangguan psikis. 4. Pencegahan Gangguan Mental Tujuan utama pencegahan gangguan mental adalah membimbing mental yangsakit agar menjadi sehat mental danmenjaga mental yang sehat agar tetap sehat. Namun sebelumnya akan penulis paparkan terlebih dahulu tentang pengertian pencegahan gangguan mental. 1) Pengertian Pencegahan Gangguan Mental Dalam dunia kesehatan mental pencegahan didefinisikan sebagai upaya mempengaruhi dengan cara yang positif dan bijaksana dari lingkungan yang dapat menimbulkan kesulitan atau kerugian. (Prayitno, 1994:205). Sementara AF. Jaelani (2000:87), berpendapat bahwa pencegahan mempunyai pengertian sebagai metode yang digunakan manusia untuk menghadapi diri sendiri dan orang lain guna meniadakan atau mengurangi terjadinya gangguan kejiwaan. Dengan demikian pencegahan gangguan mental didasarkan pada upaya individu terhadap diri dan orang lain untuk menekan serendah mungkin agar tidak terjadi gangguan mental sesuai dengan kemampuannya.



2) Upaya pencegahan Banyak para ahli yang memberikan metode upaya pencegahan mulai dari faktor yang mempengaruhi sampai akibat yang ditimbulkan. Pada dasarnya upaya pencegahan ialah didasarkan pada prinsip-prinsip kesehatan mental. Prinsipprinsip yang dimaksud adalah: a) Gambaran dan sikap baik terhadap diri-sendiri Orang yang memiliki kemampuan mnyesuaikan diri, baik dengan diri sendiri maupun hubungan dengan orang lain, hubungan dengan alam lingkungan, serta hubungan dengan Tuhan. Hal ini dapat diperoleh dengan cara penerimaan diri, keyakinan diri dan kepercayaan kepada diri-sendiri (Yahya, 1993:83). b) Keterpaduan atau integrasi diri Berarti adanya keseimbangan antara kekuatan-kekuatan jiwa dalam diri, kesatuan pandangan (falsafah dalam hidup) dan kesanggupan mengatasi ketegangan emosi (stres) (Yahya, 1993:84). c) Pewujudan diri (aktualisasi diri) Merupakan sebuah proses pematangan diri dapat berarti sebagai kemampuan mempengaruhi potensi jiwa dan memiliki gambaran dan sikap yang baik terhadap diri-sendiri serta meningkatkan motivasi dan semangat hidup. Oleh karena itu, agar terhindar



dari



gangguan



mental,



maka



sedapat



mungkin



mengaktualisasikan diri dan memenuhi kebutuhan dengan baik dan memuaskan (Kartono, 1986:231). Dengan demikian upaya pencegahan dapat berhasil apabila manusia dapat berpotensi untuk menjadikan dirinya sebagai yang terbaik dan tidak hanya pasrah pada kemampuan dasar manusia seperti menggembangkan bakat dan sebagainya. d) Kemampuan menerima orang lain Melakukan aktivitas sosial dan menyesuaikan diri dengan lingkunagn tempat tinggal. Lingkungan di samping sebagai faktor penyebab timbulnya gangguan mental, juga memiliki peran penting dalam usaha mencegah timbulnya gangguan mental. Sebab bagi individu yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya, dapat menyebabkan timbulnya kecemasan dan kesulitan dalam mengahadapi tuntutan dan persoalan yang dapat terjadi setiap hari. (Syukur, 2000:13). Dalam ungkapan kata lain disebtkan bahwa mereka yang tidak mempunyai ikatan status di masyarakat dan



mereka yang tidak mempunyai fungsi atau peran dalam masyarakat lebih mudah mengalami gangguan kejiwaan. (Hawari, 1999:11). Sebagai upaya pencegahannya manusia sedapat mungkin menghindarinya, yaitu dengan melakukan aktivitas sosial dalam masyarakat, dan lain sebagainya. e) Agama dan falsafah hidup. Dalam hal ini agama berfungsi sebagai therapy bagi jiwa yang gelisah dan terganggu. Selain itu agama juga berperan sebagai alat pencegah (preventif) terhadap kemungkinan gangguan mental dan merupakan faktor pembinaan (konstruktif) bagi kesehatan mental. (Daradjat, 1975:80). Dengan keyakinan beragama, berarti seseorang telah hidup dekat dengan Tuhan serta tekun menjalankan agama. Pada akhirnya akan terwujud kesehatan mental secara utuh. Sedangkan falsafah hidup merupakan wujud dari kumpulan prinsip atau nilai-nilai. Sehingga setiap orang berusaha sesuai dengan ketentuannya. Dengan demikian apabila seseorang memiliki falsafah hidup, maka akan dapat menghadapi tantangannya dengan mudah (Fahmi, 1982:92). f) Pengawasan diri Agar dapat terhindar dari gangguan mental, maka sedapat mukin melindungi diri dari dorongan dan keinginan atau berbuat maksiat dengan mengawasi diri kita. Secara umum orang yang wajar adalah orang yang mampu mengendalikan keinginannya dan mampu menunda sebagian dari pemenuhan kebutuhannya, serta bersedia meninggalkan kelezatankelezatan dengan segera, demi untuk mencapai keuntungan (pahala) yang lebih lama sifatnya serta lebih kekal. (Fahmi, 1982:114). Manfaat lain dari pengawasan diri adalah menghindarkan seseorang dari perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan norma dan adat yang berlaku. Berdasarkan pada eksplorasi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pencegahan gangguan mental dimaksudkan untuk mewujudkan kesehatan mental yang didasarkan pada kemauan dan kemampuan setiap pribadi untuk merubah dari masalah yang buruk agar menjadi baik.



c. Penyandang Cacat / Disabilitas a. Pengertian Pengertian Penyandang Disabilitas Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia1 penyandang diartikan dengan orang yang menyandang (menderita) sesuatu. Sedangkan disabilitas merupakan kata bahasa Indonesia yang berasal dari kata serapan bahasa Inggris disability (jamak: disabilities) yang berarti cacat atau ketidakmampuan. Menurut Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 10 Tahun 2013 tentang Pelayanan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas, penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari: penyandang disabilitas fisik, penyandang disabilitas mental serta penyandang disabilitas fisik dan mental. Orang berkebutuhan khusus (disabilitas) adalah orang yang hidup dengan karakteristik khusus dan memiliki perbedaan dengan orang pada umumnya. Karena karakteristik yang berbeda inilah memerlukan pelayanan khusus agar dia mendapatkan hak- haknya sebagai manusia yang hidup di muka bumi ini.Orang berkebutuhan khusus memiliki defenisi yang sangat luas, mencakup orang-orang yang memiliki cacat fisik, atau kemampuan IQ (Intelligence Quotient) rendah, serta orang dengan permasalahan sangat kompleks, sehingga fungsi-fungsi kognitifnya mengalami gangguan. Penyandang Cacat dalam pokok-pokok konvensi point 1 (pertama) pembukaan memberikan pemahaman, yakni; Setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat menganggu atau merupakan rintangan dan hamabatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari, penyandang cacat fisik; penyandang cacat mental; penyandang cacat fisik dan mental. Menurut Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 10 Tahun 2013 tentang Pelayanan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas, penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari: penyandang disabilitas fisik, penyandang disabilitas mental serta penyandang disabilitas fisik dan mental. Orang berkebutuhan khusus (disabilitas) adalah orang yang



hidup dengan karakteristik khusus dan memiliki perbedaan dengan orang pada umumnya. Karena karakteristik yang berbeda inilah memerlukan pelayanan khusus agar dia mendapatkan hak-haknya sebagai manusia yang hidup di muka bumi ini.Orang berkebutuhan khusus memiliki defenisi yang sangat luas, mencakup orang-orang yang memiliki cacat fisik, atau kemampuan IQ (Intelligence Quotient) rendah, serta orang dengan permasalahan sangat kompleks, sehingga fungsi-fungsi kognitifnya mengalami gangguan. b. Jenis-jenis Disabilitas Terdapat beberapa jenis orang dengan kebutuhan khusus/disabilitas. Ini berarti bahwa setiap penyandang disabilitas memiliki defenisi masing-masing yang mana kesemuanya memerlukan bantuan untuk tumbuh dan berkembang secara baik. Jenis-jenis penyandang disabilitas 5 : 1. Disabilitas Mental. Kelainan mental ini terdiri dari: a. Mental Tinggi. Sering dikenal dengan orang berbakat intelektual, di mana selain memiliki kemampuan intelektual di atas rata-rata dia juga memiliki kreativitas dan tanggungjawab terhadap tugas. b. Mental Rendah Kemampuan mental rendah atau kapasitas intelektual/IQ (Intelligence Quotient) di bawah rata-rata dapat dibagi menjadi 2 kelompok yaitu anak lamban belajar (slow learnes) yaitu anak yang memiliki IQ (Intelligence Quotient) antara 70-90. Sedangkan anak yang memiliki IQ (Intelligence Quotient) di bawah 70 dikenal dengan anak berkebutuhan khusus. c. Berkesulitan Belajar Spesifik Berkesulitan belajar berkaitan dengan prestasi belajar (achievment) yang diperoleh 2. Disabilitas Fisik. Kelainan ini meliputi beberapa macam, yaitu7: a. Kelainan Tubuh (Tuna Daksa) Tunadaksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan neuro- muskular dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit atau akibat kecelakaan (kehilangan organ tubuh), polio dan lumpuh. b. Kelainan Indera Penglihatan (Tuna Netra) Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan. Tunanetra dapat



diklasifikasikan kedalam dua golongan yaitu: buta total (blind) dan low vision. c. Kelainan Pendengaran (Tunarungu) Tunarungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran baik permanen maupun tidak permanen. Karena memiliki hambatan dalam pendengaran individu tunarungu memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka biasa disebut tunawicara. d. Kelainan Bicara (Tunawicara) Adalah seseorang yang mengalami kesulitan dalam mengungkapkan pikiran melalui bahasa verbal, sehingga sulit bahkan tidak dapat dimengerti oleh orang lain. Kelainan bicara ini dapat dimengerti oleh orang lain. Kelainan bicara ini dapat bersifat fungsional di mana kemungkinan disebabkan karena ketunarunguan, dan organik yang memang disebabkan adanya ketidaksempurnaan organ bicara maupun adanya gangguan pada organ motorik yang berkaitan dengan bicara. e. Tunaganda (disabilitas ganda).Penderita cacat lebih dari satu kecacatan (yaitu cacat fisik dan mental)



KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN KOMUNITAS A. Pengkajian Suatu proses tindakan untuk mengenal komunitas dengan mengidentifikasi faktor positif dan negatif yang berbenturan dengan masalah kesehatan B. Factors contributing to vulnerability Keterbatasan sumber-sumber fisik , lingkungan dan personal. ➢ Sumber fisik terdiri dari kemiskinan, dukungan sosial. ➢ Sumber lingkungan seperti lingkungan orang-orang berpenyakit menular atau penyakit infeksi. ➢ Sumber personal yaitu keterbatasab pendidikan, pengangguran dan tidak memiliki tempat tinggal C. Pengkajian komunitas terdiri dari ➢ Pengkajian inti komunitas, terdiri dari sejarah wilayah, data demografi dan etnik, satitistik vital, nilai, kepercayaan dan keyakianan dalma komunitas ➢ subsystem yang terdiri dari lingkungan fisik, pelayanan kesehatan dan social, ekonomi, transportasi dan keamanan, politik dan pemerintahan, komunikasi, pendidikan dan rekreasi ➢ persespsi dari masyarakat dan perawat (Anderson and Mcfarlane, 2011). ➢ Metode pengumpulan data dalam pengkajian komunitas terdiri dari data langsung dan data pelaporan. ➢ Data langsung diperoleh dari wawancara dengan informan kunci, obsevasi informan, windshield survey dan angket. Sedangkan pelaporan diperoleh dari secondary analysis berupa hasil focus group discuss atau community meeting, dokumen public, statistic kesehatan dan data kesehatan yang lain. Selain itu bisa dari hasil survey berupa data dari sample. ANALISA DATA KASUS 1 Di RW 5 terdapat suatu populasi kelompok cacat dengan nama Himpunan Penyandang Cacat. Menurut kepala Himpunan Penyandang Cacat, beberapa dari komunitasnya tidak bisa memenuhi tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga untuk mencari nafkah . Di RW 5 Tidak tersedia program untuk meningkatkan kesejahteraan penyandang cacat, Sebanyak 23% penyandang cacat mengalami stress karena faktor



ekonomi, Tidak ada lapangan pekerjaan yang bersedia menanmpung penyandang cacat. Apa yang akan Anda lakukan sebagai perawat komunitas? a. Data Subyektif Menurut kepala Himpunan Penyandang Cacat, beberapa dari komunitasnya tidak bisa memenuhi tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga untuk mencari nafkah b. Data Obyektif : ➢ Tidak tersedia program untuk meningkatkan kesejahteraan penyandang cacat ➢ Sebanyak 23% penyandang cacat mengalami stress karena faktor ekonomi ➢ Tidak ada lapangan pekerjaan yang bersedia menanmpung penyandang cacat Masalah keperawatan : Defisiensi kesehatan komunitas Diagnosa Keperawatan Komunitas : Defisiensi kesehatan komunitas pada Himpunan Penyandang Cacat RW 5 berhubungan dengan keterbatasan sumber daya ditandai oleh (data obyektfi) KASUS 2 Di sebuah gudang di Jl. Sukakaya No. 5 tinggallah 15 kepala keluarga. Mereka adalah sekumpulan orang terlantar. Menurut Suryanto, salah seorang dari mereka, beberapa orang yang tinggal bersamanya saat ini mengalami batuk yang cukup lama dan mereka tidak paham bagaimana caranya periksa, Sebanyak 80% mengalami batuk lebih dari 1 bulan, Sebanyak 90% tidak mengetahui tentang penyakit yang diderita dan tidak pernah memeriksakannya, Sebanyak 56% memiliki berat badan tergolong kurus, Sebanyak 57% tidak melakukan pengobatan terhadap batuknya, Sebanyak 60% tidak bekerja. Apa yang akan Anda lakukan sebagai perawat komunitas? a. Data Subyektif : Menurut Suryanto, beberapa orang yang tinggal bersamanya saat ini mengalami batuk yang cukup lama dan mereka tidak paham bagaimana caranya periksa b. Data Obyektif : ➢ Sebanyak 80% mengalami batuk lebih dari 1 bulan ➢ Sebanyak 90% tidak mengetahui tentang penyakit yang diderita dan tidak pernah memeriksakannya ➢ Sebanyak 56% memiliki berat badan tergolong kurus ➢ Sebanyak 57% tidak melakukan pengobatan terhadap batuknya



➢ Sebanyak 60% tidak bekerja Masalah keperawatan : Manajemen kesehatan tidak efektif Diagnosa Keperawatan Komunitas : manajemen kesehatan tidak efektif pada kelompok populasi terlantar di JL. Sukakaya No. 5 berhubungan dengan kurang terpapar informasi ditandai oleh KASUS 3 Di RSJ Subandi, terdapat 150 pasien gangguan jiwa. Menurut Kepala RSJ Subandi, tempatnya tidak dilengkapi dengan ruang isolasi sehingga pasien amuk terkadang melukai pasien lain. Tidak terdapat ruang isolasi. Sebanyak 15 pasien amuk berada dalam satu ruang dengan pasien gangguan sensori persepsi. Apa yang Anda lakukan sebagai perawat komunitas a. Data subyektif Menurut Kepala RSJ Subandi, tempatnya tidak dilengkapi dengan ruang isolasi sehingga pasien amuk terkadang melukai pasien lain b. Data obyektif ➢ Tidak terdapat ruang isolasi ➢ Sebanyak 15 pasien amuk berada dalam satu ruang dengan pasien gangguan sensori persepsi Masalah kesehatan : Pemeliharaan kesehatan tidak efektif Diagnosa keperawatan : Pemeliharaan kesehatan tidak efektif pada populasi gangguan mental di RSJ Subandi berhubungan dengan ketidakcukupan sumber daya ditandai oleh (Data objektif) PERENCANAAN ➢ Perlu adanya keterlibatan masyarakat dalam merumuskan perencanaan ➢ Perencanaan disusun bersama dengan masyarakat ➢ Perencanaan yang disusun menyesuaikan dengan sumber daya yang terkait ➢ Penanggung jawab program adalah dari perawat komunitas dan masyarakat ➢ Perencanaan dimaksutkan untuk memberdayakan masyarakat KASUS seorang perempuan, usia 30 tahun,dengan dua orang anak pulang dari rumah sakit setelah 20 hari dirawat di rumah sakit, perempuan tersebut dirawat karena marahmarah, tertawa, berbicara sendiri, merusak alat rumah tangga dan curiga dengan suaminya. Diagnosa medis skizofrenia. Suami perempuan tersebut bekerja



sebagai buruh di kota dan pulang seminggu sekali. Perempuan tersebut sudah 2 kali dirawat di rumah sakit. Dirumah ia hanya tinggal dengan kedua anaknya, 1 minggu setelah pulang kader melaporkan keperawat puskesmas bahwa perempuan tersebut mulai marah-marah, bicara dan tertawa sediri lagi dan tidak mau minum obat A. Pengkajian : Satu minggu setelah pulang dari rumah sakit perempuan tersebut marah-marah, bicara sendiri, tertawa sendiri, merusak alat rumah tangga, dan curiga dengan suaminya. Selama satu minggu terakhir perempuan tersebut tidak minum obat. B. Diagnosa keperawatan Individu : Dx : Halusinasi Resiko perilaku kekerasan Penatalaksanaan regimen terapeutik inefektif Keluarga : Kurang pengetahuan Perencanaan : Tujuan jangka panjang Individu 1. Halusinasi berkurang atau hilang 2. Perilaku mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan dapat di cegah 3. Patuh dalam penatalaksanaan regimen terapeutik Keluarga Merawat



pasien



dengan



halusinasi,



resiko



perilakukekerasan



dan



penatalaksanaan regimen terapeutik inefektif Tujuan jangka pendek: Individu 1. Mengenal masalah dan mengontrol halusinasi dengan 4 cara : menghardik, bercakapcakap, kegiatan terjaduan dan patuh minum obat 2. Mengontrol prilaku kekerasan dengan cara : fisik, sosial, spiritual, deescalasi dan patuh obat 3. Memahami manfaat 6 benar obat dan dampak bila putus obat



Keluarga 1.



Mengenal masalah halusinasi, resiko perilaku kekerasan dan penatalaksanaan regimen terapeutik



2.



Memutuskan cara merawat perempuan tersebut.



3.



Memodivikasi lingkungan



4.



Melakukan follow-up dan rujukan



Tindakan Individu 1.



Melatih mengontrol halusinasi dengan 4 cara : menghardik, bercakap-cakap, kegiatan terjadual dan patuh minum obat.



2.



Melatih mengontrol prilaku kekerasan dengan cara: fisik, sosial, spiritual, deescalasi dan patuh obat.



3.



Mendiskusikan tentang manfaat obat



Keluarga : 1.



Melatih mengenal masalah



2.



Melatih keluarga mengambil keputusan



3.



Melatih keluarga cara memodivikasi lingkungan



4.



Melatih keluarga cara merawat ODGJ dengan halusinasi, resiko perilaku kekerasan dan ketidak efektifan penatalaksanaan regimen terapeutik



Evaluasi : Individu : 1.



Halusinasi terkontrol atau hilang



2.



Tidak menciderai diri, orang lain dan lingkungsn



3.



Patuh minum obat



4.



Keluarga



5.



Pengetahuan keluarga meningkat



6.



Mampu merawat perempuan tersebut



Pencegahan : Primer : pendidikan kesehatan dan melatih cara manajemen setres untuk suami dan anak-anak pasien tersebut Sekunder : monitor kepatuhan minum obat dan memberikan perawatan Tersier : meningkatkan kemampuan koping dan mengembangkan sistem pendukung



DAFTAR PUSTAKA Anderson, E.T . 2006 . Buku Ajar Keperawatan Komunitas Teori dan Praktik , Jakarta : EGC Mary



A.



Nies,



Melaine



McEwen.Keperawatan



kesehatan



komunitas



keluarga.2019.Elsevier.Singapore Mubarak, Wahit Iqbal, dkk. (2009). Ilmu Keperawatan Komunitas; Konsep dan Aplikasi. Jakarta : Salemba Medika R, Fallen. Catatan Kuliah Keperawatan Komunitas. (2010). Yogyakarta: Nuha Medika Vaughan, 2000, General Oftamology, Jakarta.



dan