Asuhan Keperawatan Guillain-Barre Syndrome [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KEPERAWATAN



KRITIS



“Asuhan Keperawatan Guillain barre syndrome”



Dosen pengampu : Ns. Diah Tika Anggraeni, M.kep



Disusun oleh : Mastika Khusnul Khotimah



1710711067



Tsilmi adhari



1710711069



Clara Widya Mulya M



1710711070



Dila Sari Putri



1710711071



Aldin Aditya Fareza



1710711075



Tryono



1710711086



Muhamad Alfian



1710711103



PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”JAKARTA 2020



A. Definisi Guillain Barre Sindrom Menurut World Health Organization (2016), Guillain-Barre syndrome (GBS) adalah suatu kondisi langka dimana sistem imun seseorang menyerang saraf perifer. Gullain Barre Syndrome atau yang bisa disebut radang polineuropati demyelinasi akut merupakan suatu penyakit yang berkembang pesat yang umumnya muncul sebagai kelemahan simetris, kehilangan sensorik, dan areflexia. Kondisi ini adalah peradangan neuropati perifer di mana limfosit dan makrofag melepaskan mielin dari akson (Morton and Fontaine, 2018). Pada definisi lain Gullain Barre Syndrome (GBS) adalah kumpulan gejala kelemahan pada anggota gerak atau kelumpuhan di otot-otot penggerak bola mata dan kadang-kadang dengan sedikit kesemutan pada lengan atau tungkai disertai penurunan refleks (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011).



B. Penyebab Guillain Barre Sindrom Sindrom Guillain Barre disebabkan oleh proses autoimun di mana tergetnya adalah saraf tepi. Insiden SGB berkisar antara 0,4-1,7 kasus per 100.000 orang pertahun dengan prevalensi wanita lebih banyak dibanding pria. Puncak insidensi SGB antara usia 15-35 tahun. SGB sering berhubungan dengan infeksi akut. Insidensi kasus SGB berkaitan dengan infeksi saluran pernafasan atau infeksi gastrointestinal yaitu sebanyak 56%-80% sekitar 1 sampai 4 minggu sebelumnya. Infeksi akut yang sering berhubungan dengan SGB yaitu infeksi Campylobacter jejuni, cytomegalovirus, varisela, EBV (Epstein-Barr Virus), dan Mycoplasma pneumoniae. (Hans and Puspitasari, 2016) Penyebab pasti GBS masih belum diketahui, tetapi sindrom ini melibatkan respons kekebalan yang dimediasi sel dan pengembangan antibodi imunoglobulin G (IgG). Sebagian besar pasien melaporkan infeksi virus 1 hingga 3 minggu sebelum timbulnya manifestasi klinis, biasanya melibatkan saluran pernapasan atas. Banyak penyebab sebelumnya, atau pemicu peristiwa, telah dikaitkan dengan GBS. Mereka termasuk infeksi virus (misalnya, virus influenza; cytomegalovirus; virus hepatitis A, B, atau C; virus Epstein-Barr; virus human immunodeficiency),



infeksi



bakteri



(misalnya,



gastrointestinal



Campylobacter



jejuni,



Mycoplasma pneumoniae), vaksin (misalnya, rabies, tetanus, influenza), limfoma, pembedahan, dan trauma (Urden, Stacy and Lough, 2016).



C. Tipe – Tipe Guillain Barre Syndrome



sumber : Berg, B. van den et al. (2014) ‘Guillain-Barre syndrome : pathogenesis, diagnosis, treatment and prognosis’, Nature Reviews, 10, pp. 469–482. doi: 10.1038/nrneurol.2014.121. a.



Acute Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy (AIDP) Gejala tambahan : Fase progresif berlangsung berhari-hari hingga 4 minggu, Simetri gejala relatif, Gejala atau tanda sensorik ringan, Keterlibatan saraf kranial, terutama kelemahan bilateral otot-otot wajah, Disfungsi otonom, Nyeri (sering) Temuan studi konduksi saraf, Fitur demielinasi (hanya dapat dinilai jika amplitudo CMAP distal> 10% LLN), Latensi motorik distal yang lama, Penurunan kecepatan konduksi saraf motorik, Peningkatan latensi gelombang F, blok konduksi dan dispersi temporal. (Berg et al., 2014)



b.



Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN) Gejala tambahan : Fase progresif berlangsung berhari-hari hingga 4 minggu, Simetri gejala relatif, Tidak ada gejala atau tanda sensorik, Keterlibatan saraf kranial (jarang), Disfungsi otonom, Nyeri (kadang-kadang) Temuan studi konduksi saraf, Tidak ada fitur demielinasi (atau, satu fitur demielinasi dalam satu saraf jika



amplitudo CMAP distal adalah 50 sel per μl) atau sel polimorfonuklear dalam cairan serebrospinal 2) Disfungsi paru yang parah dengan kelemahan anggota gerak yang terbatas saat onset 3) Tanda sensoris berat dengan kelemahan terbatas saat onset 4) Disfungsi kandung kemih atau usus saat onset 5) Demam saat onset 6) Tingkat sensor sumsum tulang belakang yang tajam 7) Perkembangan lambat dengan kelemahan terbatas dan tanpa keterlibatan pernapasan (pertimbangkan polineuropati demielinisasi inflamasi subakut atau onset kronis kronis polieluropati demielinisasi inflamasi) 8) Ditandai asimetri kelemahan yang persisten 9) Disfungsi kandung kemih atau usus persisten E. Tahap kemajuan GBS dapat dibagi menjadi 3 fase, yakni: 1. Fase Progresif Pada umumnya, fase progresif berlangsung selama dua sampai tiga minggu sejak timbulnya gejala awal sampai gejala menetap yang dikenal sebagai “titik nadir”. Pada fase ini timbul nyeri, kelemahan bersifat progresif dan gangguan sensorik. Derajat keparahan gejala bervariasi dan tergantung seberapa berat serangan yang muncul pada penderita. Penatalaksanaan secepatnya akan mempersingkat transisi menuju fase penyembuhan, dan mengurangi resiko kerusakan fisik yang permanen. 2. Fase Plateau Fase progresif akan diikuti oleh fase plateau yang stabil dimana tidak didapati baik perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti namun derajat kelemahan



tetap ada sampai dimulai fase berikutnya, yaitu fase penyembuhan. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat peradangan saraf serta kekakuan otot dan sendi. Keadaan umum penderita sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan khusus, serta fisioterapi. Terapi ditujukan terutama dalam memperbaiki fungsi yang hilang atau mempertahankan fungsi yang masih ada. Pengawasan terhadap tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi, keseimbangan cairan, serta status generalis perlu dilakukan dengan rutin. Imunoterapi dapat dimulai di fase ini. Lama fase ini tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien langsung mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi, sementara pasien lain mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa bulan, sebelum dimulainya fase penyembuhan. 3. Fase Penyembuhan Fase yang terakhir adalah fase penyembuhan dimana terjadi perbaikan dan penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibodi yang menghancurkan mielin, dan gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan saraf mulai terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang normal dan optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat muncul relaps. Kebanyakan penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien lainnya tetap menunjukkan gejala ringan sampai waktu yang lama setelah penyembuhan. Derajat penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan saraf yang terjadi pada fase infeksi. F. Pathogenesis Pada sindrom Guillain-Barré, selubung mielin yang mengelilingi akson hilang. Selubung mielin rentan terhadap cedera oleh banyak agen dan kondisi, termasuk trauma fisik, hipoksemia, bahan kimia beracun, insufisiensi vaskular, dan reaksi imunologis. Demielinisasi adalah respons umum dari jaringan saraf terhadap salah satu kondisi buruk ini. Akson myelinated melakukan impuls saraf lebih cepat daripada akson unmyelinated. Pergerakan ion masuk dan keluar dari akson dapat terjadi dengan cepat hanya di simpul Ranvier; Oleh karena itu, impuls saraf sepanjang serat mielin dapat melompat dari node ke node (dikenal sebagai konduksi garam) cukup cepat karena disepanjang mylinated terdapat simpul Ranvier. Kehilangan selubung mielin



membuat konduksi garam menjadi tidak mungkin, dan transmisi impuls saraf dibatalkan. Sebuah teori saat ini mengenai proses penyakit sindrom Guillain-Barré berspekulasi bahwa mekanisme sel T limfositik primer adalah penyebab inflasi ke saraf perifer. Hasilnya adalah edema dan peradangan perivaskular. Makrofag kemudian memecah myelin. Proses sekunder yang potensial adalah bahwa demielinisasi diprakarsai oleh serangan antibodi terhadap myelinvearly selama perjalanan penyakit. Demielinisasi menyebabkan atrofi akson, yang menghasilkan konduksi saraf yang lambat atau tersumbat (Morton and Fontaine 2018). Gejala biasanya mencapai puncak keparahan dalam 1 minggu setelah onset dan berlanjut sampai 3 minggu atau lebih. Kematian jarang terjadi namun dapat diikuti dengan pneumonia aspirasi, emboli paru, infeksi interkuren, atau disfungsi autonom. Laju penyembuhan dapat bervariasi. Beberapa kasus terjadi pengembalian fungsi normal dengan cepat dalam beberapa minggu. Kebanyakan terjadi secara lambat dan tidak sembuh secara sempurna dalam hitungan bulan. Penyembuhan dapat dipercepat dengan tindakan plasmapharesis lebih awal atau terapi immunoglobulin intravena. Pada kejadian yang tidak diterapi, 35% pasien memiliki residu hiporefleksi permanen, atrofi, dan kelemahan otot distal atau parese otot wajah. Sebuah penyakit bifasik dengan penyembuhan sebagian diikuti oleh relaps terjadi pada 10% pasien. Rekurensi setelah penyembuhan sempurna terjadi pada sekitar 2% pasien (Nandar 2018).



Pathway Guillain Barre Syndrome Faktor – Faktor predisposisi terjadi 2-3 minggu ssebelum onset,



Selaput myelin hilang akibat dari respons alergi, respons autoimun, hipoksemia, toksik kimia, dan insufisiensi vaskular



Proses dimielinasi



Konduksi saltatori tidak terjadi dan tidak ada transmisi impuls saraf Gangguan fungsi saraf perifer dan kranial



Gangguan fungsi saraf kranial : III, IV, V, VI, VII, IX, dan X Paralisis pada ocular, wajah dan otot orofaring, kesulitan berbicara, mengunyah dan menelan Gangguan pemenuhan nutrisi dan cairan Risiko tinggi deficit cairan tubuh. Risiko tinggi pemenuhan Paralisis lengkap, otot pernapasan nutrisi kurang dari kebutuhan. tekana, mengakibatkan insufisiensi pernapasan



Gangguan saraf perifer dan neuromuskular



Disfungsi otonom Kurang bereaksinya system saraf simpatis dan parasimpatis, perubahan sensori



Parestesia dan kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang ke ekstremitas atas, batang tubuh dan otot wajah Penurunan tonus otot seluruh tubuh, perubahan estetika wajah



Gangguan HR dan ritme, perubahan TD dan gg. vasomotor



Gangguan pemenuhan ADL Kerusakan Mobilitas Fisik Ganggunan konsep diri



Gawat Kardiovaskular



Penurunan curah jantung ke otak dan jantung



Risiko tinggi penurunan perfusi perifer



Risiko tinggi gagal pernapasan (ARDS), penurunan kemampuan batuk, peningkatan sekresi mukus



Penurunan curah jantung ke ginjal



Penurunan filtrasi glomerulus Ketidakefektifan bersihan jalan nafas



Ketidakefektifan pola napas Gagal Ginjal Akut



Sekresi mucus masuk lebih ke bawah jalan napas dan parenkin paru



Pneumonia



Gagal fungsi pernapasan Koma Kematian



G. Pemeriksaan penunjang/ Pemeriksaan diagnostik Pasien yang diduga mengidap GBS diharuskan melakukan tes: a. Darah lengkap Pemeriksaan laboratorium dasar seperti pemeriksaan darah lengkap dan metabolik dasar biasanya akan memberikan hasil yang normal.  Namun pemeriksaan ini tetap dapat dilakukan untuk menyingkirkan penyebab lain. b. Lumbal puncti Prosedur ini menarik sejumlah kecil cairan dari kanal tulang belakang di daerah lumbal. Cairan cerebspinal kemudian diuji untuk jenis tertentu. Perubahan yang biasanya terjadi pada orang yang memiliki sindrom Guilain Barre dapat menunjukkan peningkatan jumlah protein dalam cairan tulang belakang tanpa tanda infeksi lain. Pada fase akut, pemeriksaan CSS akan menunjukkan peningkatan protein (>0.55g/dl) tanpa peningkatan jumlah sel darah putih.  Konsentrasi protein biasanya normal pada minggu pertama, lalu meningkat pada lebih dari 90% pasien pada minggu kedua.  Peningkatan konsentrasi protein ini kemungkinan disebabkan inflamasi yang luas pada saraf.  Konsentrasi protein yang normal pada CSS tidak menyingkirkan diagnosis GBS, karena hasil analisa CSS yang normal ditemukan pada 10% penderita. c. EMG (electromyogram) Pemeriksaan elektromiografi (EMG) dan konduksi saraf sangat membantu dalam penegakan diagnosis GBS. Pemeriksaan EMG dapat memberikan hasil yang normal pada fase akut, dan baru menunjukkan hasil yang abnormal pada minggu ke 3-4. Hasil yang abnormal dari pemeriksaan konduksi saraf, memiliki nilai sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi pada pemeriksaan GBS. EMG ini berfungsi membaca aktivitas listrik dalam otot untuk mnentukan apakah kelemahan disebabkan oleh kerusakan otot atau kerusakan saraf. d. Pemeriksaan konduksi hantar syaraf Pemeriksaan ini berfungsi menilai bagaimana saraf dan otot menanggapi rangsangan listrik kecil. Jika seseorang menderita GBS, hasilnya mungkin menunjukkan melambatnya fungsi saraf, yang biasanya menunjukkan bahwa kerusakan selubung mielin dari saraf tepi telah terjadi.



H. Manajemen pada Guillain Barre Syndrome di ICU 1.



Manajemen Klinis Plasmapheresis dan intravenous immune globulin (IVIG) biasanya digunakan untuk treatment GBS (Urden, Stacy and Lough, 2016). Perawatan harian dengan IVIG dapat membantu dalam sindrom Guillain-Barré akut ketika pasien memburuk dengan cepat. Dosis IVIG ditetapkan pada 2 g / kg, dan biasanya dosis total dibagi menjadi lima infus harian masing-masing 400 mg / kg. Ahli saraf yang menggunakan IVIG untuk sindrom Guillain-Barré akrab dengan efek samping, yang meliputi demam ringan, kedinginan, mialgia, diaforesis, kelebihan cairan, hipertensi, mual, muntah, ruam, sakit kepala, meningitis aseptik, dan neutropenia.38, 41 Efek samping paling serius adalah nekrosis tubular akut, yang terjadi pada penyakit penyerta yang membahayakan filtrasi glomerulus ginjal. Saat ini, tidak ada data kemanjuran yang mendukung IVIG daripada plasmapheresis dalam mengelola sindrom Guillain-Barré. IVIG dan pertukaran plasma memiliki kemampuan yang sama untuk mempercepat pemulihan pasien. Keadaan masing-masing pasien, seperti ketersediaan sumber daya untuk melakukan plasmapheresis dan kondisi medis yang mendasari, menentukan perawatan khusus untuk setiap pasien. IVIG adalah perawatan yang menarik karena dapat dengan mudah diberikan dalam pengaturan perawatan kritis.(Morton and Fontaine, 2018)



2.



Manajemen Keperawatan Saat merawat pasien dengan sindrom Guillain-Barré, tujuan utamanya adalah mencegah infeksi dan komplikasi imobilitas, menyediakan pemeliharaan fungsional sistem tubuh, menangani krisis yang mengancam jiwa segera, dan memberikan dukungan psikologis bagi pasien dan keluarga. Dalam hal status neurologis pasien, kelemahan menghasilkan gangguan mobilitas (Morton and Fontaine, 2018). Prioritas dalam manajemen keperawatan pada Guillain Barre Syndrome adalah 5 hal berikut(Urden, Stacy and Lough, 2016) : a. Maintaining Surveillance for Complications Penilaian berkelanjutan terhadap kelumpuhan progresif yang terkait dengan GBS sangat penting untuk dilakukan intervensi tepat waktu dan pencegahan henti pernapasan dan kerusakan neurologis lebih lanjut. Setelah



pasien diintubasi dan ditempatkan pada ventilasi mekanis, pengamatan cermat untuk komplikasi paru seperti atelektasis, pneumonia, dan pneumotoraks diperlukan. Disfungsi otonom (disautonomia) pada pasien GBS dapat menghasilkan variasi dalam denyut jantung dan tekanan darah yang dapat mencapai nilai ekstrem. Hipertensi dan takikardia mungkin memerlukan terapi beta-blocker. Semua pasien dengan GBS harus diperhatikan untuk fenomena ini. (Urden, Stacy and Lough, 2016) Kegagalan pernafasan adalah komplikasi paling parah dari sindrom Guillain-Barré. Otot pernapasan yang lemah menempatkan pasien pada risiko besar untuk hipoventilasi dan infeksi paru berulang. Lima puluh persen pasien dengan sindrom Guillain-Barré memiliki beberapa gangguan pernapasan, yang mengakibatkan berkurangnya volume tidal dan kapasitas vital atau mungkin gangguan pernapasan total. Trakeostomi dapat diindikasikan jika pasien membutuhkan ventilasi mekanik jangka panjang. Jika ada keterlibatan sistem saraf otonom, perubahan BP yang drastis (hipotensi atau hipertensi), denyut jantung, atau keduanya dapat terjadi. Hipertensi dan disritmia labil sering terjadi, mendorong masuk dan manajemen di ICU. Pemantauan jantung memungkinkan identifikasi dan pengobatan disritmia yang cepat. Karena manuver, batuk, dan pengisapan Valsava dapat memicu gangguan sistem saraf otonom, pasien perlu diawasi dengan ketat. (Morton and Fontaine, 2018) b. Initiating Rehabilitation ( Memulai Rehabilitasi) Pada pasien dengan GBS, imobilitas dapat berlangsung selama berbulanbulan. Latihan GBS yang biasa melibatkan rata-rata 10 hari perkembangan gejala dan 10 hari tingkat disfungsi maksimal, diikuti oleh 2 hingga 48 minggu pemulihan. Meskipun GBS biasanya sepenuhnya reversibel, pasien akan memerlukan rehabilitasi fisik dan latihan karena masalah imobilitas jangka panjang. Rehabilitasi dimulai di area perawatan kritis, dengan tim multidisiplin merancang dan mengimplementasikan rencana individual untuk memaksimalkan potensi pasien untuk rehabilitasi (Urden, Stacy and Lough, 2016). Terapi fisik



dimulai sejak awal rawat inap dan dilanjutkan selama periode pemulihan. (Morton and Fontaine, 2018) c. Facilitating Nutritional Support (Memfasilitasi Pemberian Nutrisi). Dukungan nutrisi diimplementasikan pada awal perjalanan penyakit. Karena pemulihan dari GBS adalah proses yang panjang, dukungan nutrisi yang memadai akan tetap menjadi masalah untuk waktu yang lama. Dukungan nutrisi biasanya dicapai melalui penggunaan makanan enteral (Urden, Stacy and Lough, 2016). Jika pasien tidak dapat makan melalui oral, pemberian makanan enteral dapat dimulai. Konsultasi nutrisi dengan ahli diet dan gizi harus dilakukan untuk menyediakan kalori yang cukup untuk kegiatan rehabilitasi. Dukungan nutrisi enteral yang memasok maksimum 1.500 hingga 2.000 kkal / hari harus diberikan jika pasien tidak dapat menerima makanan melalui mulut(Morton and Fontaine, 2018). d. Providing Comfort and Emotional Support (Memberikan Kenyamanan dan Dukungan Emosional) Pengendalian rasa sakit adalah komponen penting lainnya dalam perawatan pasien dengan GBS. Meskipun pasien mungkin memiliki fungsi motorik minimal atau tidak, fungsi sensorik tetap dapat menyebabkan pasien mengalami rasa sakit yang cukup pada otot. Karena lamanya penyakit ini, solusi yang aman, efektif, dan jangka panjang untuk manajemen nyeri harus diidentifikasi. Pasien ini juga memerlukan dukungan psikologis yang luas. Meskipun penyakitnya hampir 100% reversibel, kurangnya kontrol atas situasi, rasa sakit yang konstan atau ketidaknyamanan, dan sifat jangka panjang dari gangguan ini membuat kesulitan dalam mengatasi pasien. GBS tidak mempengaruhi tingkat kesadaran atau fungsi otak. Interaksi dan komunikasi pasien adalah elemen penting dari rencana manajemen keperawatan.(Urden, Stacy and Lough, 2016) Langkah-langkah seperti penempatan belat diimplementasikan untuk mencegah hyperflexion pergelangan tangan dan kaki. Langkah-langkah kenyamanan, seperti perubahan posisi yang sering, dapat membantu. Ketika remielinasi terjadi, seringkali tidak nyaman, dan pasien mungkin mengeluh mati



rasa dan sakit. Ini bisa menjadi tanda yang menggembirakan bagi pasien karena proses penyakitnya berbalik. Meskipun pasien tidak mampu secara fisik, ia sepenuhnya menyadari lingkungan. Pasien mungkin mengalami rasa takut, kehilangan kendali, serta ketidakberdayaan dan keputusasaan. Penjelasan yang sering dari intervensi dan kemajuan berguna.1 Pasien harus diizinkan untuk berpartisipasi dalam perawatan sebanyak mungkin secara fungsional. Sangat penting bahwa perawat dalam pengaturan perawatan kritis memberikan empati, kasih sayang, sensitivitas, dan mendengarkan aktif pasien dengan sindrom Guillain-Barré sehingga masalah emosionalnya dapat diatasi.(Morton and Fontaine, 2018) e. Educating the Patient and Family (Edukasi Pasien dan Keluarga) Di awal rawat inap pasien, pasien dan keluarga harus diajari tentang GBS dan perawatannya yang berbeda. Ketika pasien bergerak menuju pemulangan, pengajaran berfokus pada intervensi untuk memaksimalkan potensi rehabilitasi pasien. Keluarga pasien harus didorong untuk berpartisipasi dalam perawatan pasien dan mempelajari beberapa teknik rehabilitasi dasar. Pentingnya berpartisipasi dalam program rehabilitasi neurologis (jika perlu) harus ditekankan. Prioritas Pendidikan Pasien: Patofisiologi dari GBS, pentingnya mengambil madication, mengukur untuk mengkompensasi defisit residu, teknik rehabilitasi dasar, pentingnya berpartisipasi dalam program rehabilitasi neurologis, jika perlu (Urden, Stacy and Lough, 2016)



I. Discharge planning Pendidikan pasien dan keluarga tentang semua masalah perawatan merupakan hal yang penting. Perawat dapat memberikan informasi tentang proses penyakit, latihan, dan pemulihan. Pasien perlu tahu bahwa penyakit dapat berkembang ke titik di mana ventilasi mekanik diperlukan. Selain itu, mereka harus memahami bahwa mereka dapat dipulangkan dan melakukan rehabilitasi di tempat pemulihan dapat dilanjutkan. Rehabilitasi berbulan-bulan mungkin diperlukan bagi mereka untuk mendapatkan kembali kekuatan dan tingkat fungsi sebelumnya. Pasien dapat terus menunjukkan peningkatan hingga 2 tahun. Perawat dapat memberi tahu pasien dan keluarganya tentang Yayasan Internasional Sindrom Guillain Barré, yang menyediakan informasi dan sumber daya. Sebelum pulang ke rumah, pasien dapat dirujuk ke sumber daya untuk dukungan sehingga ia dapat berinteraksi dengan orang lain yang memiliki sindrom Guillain-Barré. J. Pengkajian pada Guillain Barre Syndrome Setelah sindrom Guillain-Barré dicurigai, pasien dirawat di rumah sakit sehingga penilaian sering dapat dilakukan untuk memantau pasien untuk kerusakan. Karena sifat progresif penyakit, penilaian harus fokus pada pemeriksaan neurologis (yaitu, keterlibatan saraf kranial, kelemahan motorik, dan perubahan sensorik). Defisit saraf kranial mengidentifikasi apakah pasien berisiko mengalami aspirasi. Fungsi motorik dan sensorik pasien harus sering dipantau. Penilaian kardiovaskular dilakukan untuk memonitor tekanan darah dan denyut jantung. Sistem saraf otonom sering terlibat dalam sindrom Guillain-Barré. Disautonomia memanifestasikan dirinya sebagai sinus takikardia tetapi dapat menyebabkan disritmia jantung lainnya atau BP yang labil yang memerlukan pemantauan ketat karena dapat mengancam jiwa. Status pernapasan pasien harus dipantau, dan FVC harus dinilai setidaknya sekali setiap shift. GI dan fungsi saluran kemih juga harus diawasi. Pasien berisiko mengalami konstipasi dan infeksi saluran kemih akibat retensi urin. Komplikasi imobilitas lainnya adalah potensi ulkus tekan dan DVT (Morton and Fontaine, 2018). Menurut (Urden, Stacy and Lough, 2016), Terdapat lima komponen yang dilakukan oleh perawat untuk mengevaluasi dan mengkaji neurologic pada pasien kritis adalah 1) tingkat kesadaran, 2) fungsi motoric, 3) fungsi pupil, 4) fungsi resporasi, dan 5) tanda-tanda vital. 1. Tingkat Kesadaran Pengkajian dari tingkat kesadan merupakan salah satu aspek yang paling penting dalam pengkajian neurologic.



a. Kaji tingkat kesadaran



b. Kaji orientasi dengan menanyakan nama, tempat, waktu dan situasi c. Kaji Glasgow Coma Scale



2. Fungsi Motorik a. Evaluasi ukuran otot dan resistensi otot Kaji apakah otot mengalami atrofi atau tidak. Pasien mungkin mengalami resistensi otot seperti tanda-tanda flacid (no resistence), hipotonia (sedikit resistensi) dan hipertonia (peningkatan resistensi), spaticity atau rigidity. b. Evaluasi kekuatan otot



3. Fungsi Pupil a. reaksi terhadap cahaya, ukuran dan bentuk pupil



b. gerakan bola mata



c. refleks abnormal



4. Fungsi Respirasi a. kaji pola nafas



b. Kaji status Airway Kaji apakah terdapat batuk atau mengorok, refleks menelan dan faktor-faktor lain yang dapat mengganggu jalan nafas. 5. Tanda – tanda Vital Kaji mengenai tekanan darah, observasi heart rate dan ritme nya, adakah cushing triad atau cushing reflex ( systolic hypertension, bradicardia, dan abnormal respirations)



KASUS An.W (16 tahun) dirawat di ICU dengan diagnose medis Respiratory failure e.c Guillainbarre syndrome. Riwayat masuk RS: Pasien mengalami flu, demam sedang selama 2 minggu sebelum masuk RS. Kemudian, pasien merasa badan pegal – pegal dan lemah pada tangan kiri, kemudian menjalar pada kedua kaki, disertai dengan sulit menelan dan bernafas.  



GCS : E4MtidakterkajiVETT. Kesadaran Composmentis. Ukuran pupil dan reflex cahaya:  +3mm/+3mm. Skor CPOT : 3. Terdapat secret seperti buih putih pada mulut, terdengar suara gurgling, bentuk dan gerakan dada ki/ka simetris, barel chest (-), perkusi paru sonor, suara paru ronki basah ka/ki pada lapang paru atas sampai bawah, tidak tampak penggunaan otot pernapasan tambahan. CVP : 8-12,5 cmH2O.     Mukosa bibir tampak kering dan pecah – pecah, kulit tampak kemerahan, teraba hangat. Tampak kebiruan pada tangan (bekas penusukan pada arteri radialis). Total Intake dalam 24 jam (Enteral, Parenteral): 3954 cc Output cairan dalam 24 jam (Urin dan IWL): 4364cc Balance cairan dalam 24 jam (cc): -410 cc (0, 68 cc/kgBB/jam)     TTV : TD: 125-140/ 60-65 mmHg MAP: 80 s/d 90 mmHg, HR: 150-160 x/menit. Irama jantung dari monitor sinus takikardi, Suhu: 37,5 – 38,4 oC, SaO2: 94 - 96%, RR: 24 32x/menit dengan mode ventilator : CPAP +PS, RR : 24 – 32x/menit, PEEP : 7, FiO2 : 50%, Pressure support : 6,Peak pressure : 15.    Hasil pemeriksaan torax : Foto asimetris ·         Cor: tidak membesar ·         Sinus dan diafragma kanan tertutup perselubungan tampaknya tidak membesar ·         Pulmo : hillus kanan tertutup perselubungan, kiri normal ·         Corakan bronkovaskuler kanan sebagian normal, kiri normal ·         Tampak perselubungan opak inhormogen di lapang tengah paru kanan ·         Tampak CVC dengan ujung setinggi paravertebra TH 7-8 kanan ·         Tampak ujung NGT setinggi paravertebra TH-11 – 12 Kesan : Parapneumonic effusion kanan     Pemeriksaan Kultur Sputum Hasil       : Candida albicans. Sensitif dengan : Fluconazole, voriconazole, flucytosin Hasil pemeriksaan Hematologis : Hb : 10,9 g/dl Hematokrit : 33,9 % Leukosit : 16,52 x103/uL Trombosit : 140 x103/uL Eritrosit : 4 x106/uL Limfosit : 6% GDS : 138 mg/dl Albumin : 2,8 g/dl Kalsium : 4,53 mEq/L Kalium : 3,1 mEq/L Magnesium : 1,9 mEq/L INR : 1,58 PT : 17,10 detik APTT : 32,60 detik D-dimer kuantitatif : 4mg/dl   Hasil AGD  : PH : 7,50 PCO2 : 36,5 mmHg HCO3: 28,9mmol/L PO2: 196,8 mmHg



SpO2 :99,8 %   Terapi : ·         Ringer Fudin 20 tetes/menit ·         N-asetil sistein 3x200 mg (PO) ·         Amikasin 1x1gr (IV) ·         Paracetamol 4x1gr (IV) ·         Cotrimoxazole 2x960 mg (PO) ·         KCL 25 meq dalam NS 0,9% (50cc) dalam 2 jam ·         Cotrizine 10 mg (PO) K. Pengkajian 1. Identitas a. Identitas Pasien Nama



: An.W



Umur



: 16 tahun



Jenis Kelamin



: Laki-Laki



Agama



: Islam



Pendidikan



: SMP



Pekerjaan



: Pelajar



Alamat



: Jl. Melati no 32



Suku/ Bangsa



: Jawa



Tanggal Masuk RS



: 10 November 2019 pukul 07.45 WIB



Tanggal Pengkajian



: 10 November 2019 pukul 09.00 WIB



No Rekam Medis



: 101119001



Diagnosa Medis



: Respiratory failure e.c Guillain-barre syndrome



b. Identitas Penanggung Jawab Nama



: Ny. K



Umur



: 47 thn



Hub. Dengan Pasien



: Ibu



2. Riwayat Kesehatan a. Keluhan utama Badan pegal – pegal dan lemah pada tangan kiri, kemudian menjalar pada kedua kaki, disertai dengan sulit menelan dan bernafas. b. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien mengalami flu, demam sedang selama 2 minggu sebelum masuk RS.



c. Keluhan Penyakit dahulu tidak ada d. Riwayat Penyakit Keluarga Tidak ada 3. Pemeriksaan Fisik a. Keadaan Umum Keadaan umum sakit berat Tingkat kesadaran : Composmentis GCS :  E4MtidakterkajiVETT b. Tanda-tanda Vital 1) Tekanan Darah Sistolik



: 125-140 mmhg



Diastolik



: 60-65 mmhg



MAP



: 80 s/d 90 mmhg



Herat Rate



: 150-160 x / menit



Respirasi



: 24 – 32 x / menit



2) Suhu



: 37,5 – 38,4 ° c



3) Nilai CPOT : (diisi kalau ada keluhan nyeri dengan pasien terintubasi) No 1 2 3



4



Indikator



Skala pengukuran



Ekspresi wajah



Rileks, netral Tegang Meringis Gerakan tubuh Tidak bergerak Perlindungan Gelisah Kesesuaian dengan Dapat mentoleransi Batuk, tapi dapat ventilasi mekanik mentoleransi Fighting ventilator Ketegangan otot Rileks Tegang dan kaku Sangat tegang /kaku Total skor



c. Pemeriksaan Sistem Tubuh 1) Sistem Perepsi sensori Badan pegal – pegal dan lemah pada tangan kiri 2) Sistem Pernapasan



Sko



Hasil



r



Penilaian



0 1 2 0 1 2 0 1 2 0 1 2



2 2



1



1 6



Hasil pemeriksaan torax : Foto asimetris ·         Cor: tidak membesar ·         Sinus dan diafragma kanan tertutup perselubungan tampaknya tidak membesar ·         Pulmo : hillus kanan tertutup perselubungan, kiri normal ·         Corakan bronkovaskuler kanan sebagian normal, kiri normal ·         Tampak perselubungan opak inhormogen di lapang tengah paru kanan ·         Tampak CVC dengan ujung setinggi paravertebra TH 7-8 kanan ·         Tampak ujung NGT setinggi paravertebra TH-11 – 12 Kesan : Parapneumonic effusion kanan   3) Sistem Kardiovaskuler normal 4) Sistem Pencernaan normal 5) Sistem Perkemihan normal 6) Sistem Neurologis Motori ekstremitas 1/5 7) Sistem Endokrin tidak ada masalah 8) Sistem Muskuloskeletal normal 9) Sistem Integumen tidak ada masalah d. Aspek Psikologis gelisah e. Aspek Sosial Ibu sering mengunjungi klien f. Aspek Spiritual tidak terkaji 4. Data Penunjang a. Data Laboratorium (Hematologi, Anilisis gas darah arteri, dll)      



Hb : 10,9 g/dl Hematokrit : 33,9 % Leukosit : 16,52 x103/uL Trombosit : 140 x103/uL Eritrosit : 4 x106/uL Limfosit : 6%



        



GDS : 138 mg/dl Albumin : 2,8 g/dl Kalsium : 4,53 mEq/L Kalium : 3,1 mEq/L Magnesium : 1,9 mEq/L INR : 1,58 PT : 17,10 detik APTT : 32,60 detik D-dimer kuantitatif : 4mg/dl



5. Penatalaksanaan Medis a. Obat Obatan       



Ringer Fudin 20 tetes/menit N-asetil sistein 3x200 mg (PO) Amikasin 1x1gr (IV) Paracetamol 4x1gr (IV) Cotrimoxazole 2x960 mg (PO) KCL 25 meq dalam NS 0,9% (50cc) dalam 2 jam Cotrizine 10 mg (PO)



b. Balance Cairan   



Total Intake dalam 24 jam (Enteral, Parenteral): 3954 cc Output cairan dalam 24 jam (Urin dan IWL): 4364cc Balance cairan dalam 24 jam (cc): -410 cc (0, 68 cc/kgBB/jam)



c. Ventilator Mode ventilator : CPAP +PS, PEEP : 7 FiO2 : 50% Pressure support : 6 Peak pressure : 15. L. Analisa Data No 1



Jam/tangga l



Analisa data DS : 



Ketidakefektifan bersihan nafas berhubungan dengan obstruksi jalan Klien mengalami flu & demam nafas, mukus berlebihan. selama 2 minggu sebelum masuk RS







Diagnosa keperawatan



Klien mengatakan sulit menelan dan bernafas



DO : 



GCS : E4, M Tidak terkaji, VETT







Terdapat secret seperti buih putih pada mulut







Terdengar suara gurgling







Geerakan dada ka/ki simetris







Barel Chest (-)







Perkusi paru sonor







Suara paru ronki basah ka/ki pada lampung paru atas sampai bawah







Sinus Takikardia







TTV : - TD : 125-140/60-65 mmHg - MAP : 80 – 90% - HR : 150 – 160 x/menit - Suhu 37,5 – 38,4 C



RR : 24 – 32 x/menit 2



Ds:



Risiko pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d kesulitan menelan



1. Klien mengatakan sulit menelan 2. Klien mengatakan badan pegal – pegal dan lemah pada tangan kiri, kemudian menjalar pada kedua kaki Do: 1. Mukosa bibir tampak kering dan pecah 2. Kulit tampak kemerahan, teraba hangat Total intake 24 jam (enteral, parenteral) : 3954cc Output cairan dalam 24 jam (urin dan IWL): 4364CC Balance cairan dalam 24 jam (cc): -410cc (0,68cc/kgBB/jam) M. Intervensi No 1



Diagnosa keperawatan Ketidakefektifan



Tujuan & kriteria hasil Setelah



Intervensi



dilakukan 1. Pantau



Rasional



frekuensi, 1. Peningkatan distress



bersihan nafas berhubungan dengan obstruksi jalan nafas, mukus berlebihan.



tindakan selama



keperawatan 3x24



dan



pernapasan



kesimetrisan



menandakan adanya



diharapkan jalan nafas



pernafasan. Catat kerja



kelelahan pada otot



klien



nafas dan observasi



pernapasan.



adekuat



jam



kedalaman,



dengan



kriteria hasil :



warna







Tidak sesak nafas



membran mukosa.







RR klien normal (16- 2. Catat







dan 2. Indikator yang baik adanya



terhadap



gangguan



fungsi



nafas/



24 x/menit)



kelemahan pernapasan



menurunnya



Tidak menggunakan



selama berbicara



kapasitas vital paru



3. Tinggikan



otot bantu nafas 



kulit



tidak



ada



tambahan



suara



kepala 3. Meningkatkan



tempat



tidur



(semifowler)



usaha



4. Evaluasi refleks batuk, refleks



ekspansi paru dan



gag/menelan



secara periodik 5. Lakukan penghisapan



batuk,



menurunkan kerja pernapasan 4. Evaluasi



dilakukan



untuk



mencegah



sekret, catat warna dan



aspirasi,



jumlah sekret



pulmonia, dan gagal



6. Lakukan pemeriksaan laboratorium



infeksi



napas 5. Kehilangan kekuatan



7. Berikan terapi oksigen



dan



fungsi



otot



sesuai indikasi (nasal



mengakibatkan



kanul, masker oksigen,



ketidakmampuan



atau



klien



ventilator



mekanik)



untuk



mempertahankan



8. Siapkan



untuk



dan/atau



mempertahankan



membersihkan jalan



inkubasi



nafas



mekanik kebutuhan



ventilator



sesuai 6. Menentukan keefektifan ventilasi



dari sekarang



dan kebutuhan klien. 7. Mengatasi hipoksia 8. 10-20% klien yang mengalami gangguan



pernapasan



berarti



memerlukan monitoring terus – 2



Risiko pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d kesulitan menelan



Setelah dilakukan Terapi menelan (1860) tindakan keperawatan, 1. Tentukan masalah keperawatan kemampuan risiko pemenuhan nutrisi pasien untuk kurang dari kebutuhan memfokuskan tubuh dapat diatasi. perhatian pada Dengan kriteria hasil: belajar/melakuka Status nutrisi: asupan n tugas makan makanan dan cairan dan menelan (1008) 2. Monitor 1. Asupan makanan pergerakan lidah secara oral pasien selama sepenuhnya makan adekuat 3. Monitor tanda2. Asupan cairan tanda kelelahan secara oral selama makan, sepenuhnya minum dan adekuat menelan 3. Asupan cairan 4. Bantu pasien intravena untuk duduk sepenuhnya tegak (sebisa adekuat mungkin 4. Asupan nutrisi mendekati 90 parenteral derajat ) untuk sepenuhnya makan/latihan adekuat makan Status menelan (1010) 5. Monitor hidrasi 1. Mempertahanka tubuh (misalnya n di mulut tidak intake, output, terganggu turgor kulit, 2. Kemampuan membrane mengunyah tidak mukosa) terganggu Manajemen cairan 3. Prningkatan (4120) usaha menelan 1. Jaga tidak ada intake/asupan 4. Tidak nyaman yang akurat dan dengan menelan catat output tidak ada pasein Perfusi jaringan: 2. Monitor status perifer (0407) hidrasi (missal 1. Suhu kulit tidak membrane ada devisiasi dari mukosa lembab, kisaran normal denyut nadi



menerus 1. Agar pasien dapat fokus



pada



saat



melakukan makan dan menelan 2. mengecek pergerakan lidah pasien selama makan 3. mengecek kemampuan pasien pada saat makan, minum dan menelan 4. untuk memudahkan pasien saat makan 5. membantu kebutuhan cairan dalam tubuh pasien 6. agar pasien terhindar dari dehidrasi 7. agar kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi 8. agar memudahkan pasien menelan



2. Kelemahan otot tidak ada



adekuat, dan tekanan darah osmotik Manajemen nutrisi (1100) 1. Tentukan status gizi pasien dan kemampuan pasien untuk memenuhi kebutuhan gizi 2. Anjurkan pasien mengenai modifikasi diet yang diperlukan (misalkan seperti makanan yang lembut) Kolaborasi: - konsultasi dengan trapis dan atau dokter untuk meningkatkan konsistensi makanan pasien secara bertahap - konsultasi dengan ahli gizi menganai makanan pasien - Beri obatobatan sebelum makan ( misal, penghilang rasa sakit, antiemetic) jika diperlukan



Daftar Pustaka World Health Organization (2016) Guillain–Barré syndrome, 31 Oktober 2016. Available at: https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/guillain-barré-syndrome.



Diakses



pada tanggal 6 Oktober 2020. Berg, B. van den et al. (2014) ‘Guillain-Barre syndrome : pathogenesis, diagnosis, treatment and prognosis’, Nature Reviews, 10, pp. 469–482. doi: 10.1038/nrneurol.2014.121. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2011) Guillain Barre Sindrom (GBS). Morton, P. G. and Fontaine, D. K. (2018) Critical Care Nursing : A Holistic Approach. 11th edn. Philadelphia: Wolters Kluwer Health. Hans, N. E. and Puspitasari, V. (2016) ‘Case Report Sindrom-Guillain Barre Pada Pasien Demam Dengue’, pp. 76–80. Urden, L. D., Stacy, K. M. and Lough, M. E. (2016) Priorities in Critical Care Nursing. Seventh Ed. St.Louis, Missouri: ELSEVIER Mosby. Morton, Patricia Gonce, and Dorrie K. Fontaine. 2018. Critical Care Nursing : A Holistic Approach. 11th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer Health. Nandar, Shahdevi. 2018. “SINDROMA GUILLAIN-BARRE ( GUILLAIN-BARRE SYNDROME ) ( GBS ).” (July). Wijayanti, Sri. 2016. “Aspek Klinis Dan Penatalaksanaan Guillain – Barré Syndrome.” Kepaniteraan Klinik Madya Bagian/Smf Neurologi Fk Unud / Rsup Sanglah 1–18.