Asuhan Keperawatan Jiwa Dengan Kasus Pemerkosaan Pada Remaja [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA KORBAN PEMERKOSAAN KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA II DOSEN PENGAMPUH: NS. ESROM KANINE, M.KEP, SP KEP.J. DISUSUN OLEH: KELOMPOK IV MILITIA SUNDALANGI 16011104018 OLVIA WOWOR



16011104004



EGA PAAT



16011104014 EKA PANE



16011104022



KURNIA MUNDUNG



16011104008 YESI SINGAL



16011104030



JEFERSON AREROS



16011104026



PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SAM RATULANGI MANADO 2018



KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan kasih karuniaNya, kami dapat menyelesaikan Tugas mengenai “ASUHAN KEPERAWATAN PADA KORBAN PEMERKOSAAN” dan semoga tugas ini dapat bermanfaat dengan baik meskipun banyak kekurangan di dalamnya. Kami sangat berharap hasil laporan ini dapat berguna dalam memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Kesehatan Jiwa II. Kami juga menyadari bahwa di dalam hasil laporan ini masih terdapat kekurangan dan masih jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami mengharapkan kritik, saran dan usulan yang membangun demi perbaikan hasil laporan yang telah kami buat di masa mendatang. Semoga hasil laporan ini dapat memberikan manfaat bagi dunia pendidikan pada umumnya dan proses pembelajaran Keperawatan Kesehatan Jiwa II.



Manado, Oktober 2018



Kelompok IV



i



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ......................................................................................................... i DAFTAR ISI.......................................................................................................................ii BAB I PENDAHULUAN A.



Latar Belakang………………………………………......………………………...1



B.



Tujuan Penulisan………………………………………..………………………....2



BAB II KONSEP DASAR TEORI A.



Pengertian………………………………………………………………………….3



B.



Etiologi……….…………………………………………………………………....4



C.



Klasifikasi ….……………………………………………………………...,,,,,,,…7



D.



Patofisiologi………...…………………………………………………………..…9



E.



Pathway……………………………………………………………………...…...13



F.



Manifestasi Klinis………………………….…..……..…………………………..14



G.



Penatalaksanaan…………………………………………….………………...….16



H.



Pemeriksaan Penunjang……………………………………………….………….17



I.



Pengkajian………………………………………………………………………..18



CONTOH KASUS ASKEP………………………………………………………………37 NASKAH ROLEPLAY HALUSINASI………………………………………………….61 BAB III : PENUTUP A.



Kesimpulan ……………………………………………………………...….........74



B.



Saran …………………………………………………………………..................75



Daftar Pustaka ……………..…………………………………………………….............76



ii



BAB I PENDAHULUAN



A. LATAR BELAKANG MASALAH Pelecehan yang berulang sering ditemui pada lebih dari setengah kasus pelecehan seksual di komunitas dan terdapat pada 75% kasus yang ditemukan di klinik.sexual abuse (kekerasan seksual) dikenal pada tahun 70-an dan 80-an. Penelitian lain telah mengarah pada perkiraan kekerasan pada anak yang lebih luas di Inggris, seperti dari Childhood Matters (1996): Sekitar 100 000 anak mengalami pengalaman seksual yang berpotensi mengarah ke seksual abuse (FKUI, 2006). Banyak anak yang mendapat perlakuan kurang manusiawi, bahkan tidak jarang dijadikan objek kesewenangan.Berdasarkan catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia, ada 481 kasus kekerasan anak (2003).Jumlah ini menjadi 547 kasus pada tahun 2004. Dari situ, ada 140 kasus kekerasan fisik, 80 kasus kekerasan psikis, 106 kasus kekerasan lainnya, dan 221 kasus kekerasan seksual. Gambaran paradoks tersebut memancing pertanyaan.Mengapa kekerasan seksual sering menimpa diri anak dan siapa yang paling berpotensi sebagai pelakunya? Di samping dapat menimbulkan dampak yang luar biasa pada diri si korban, kasus kekerasan seksual juga dapat menguji kebenaran dari pernyataan Singarimbun (2004),



bahwa



modernisasi sering diasosiasikan sebagai keserbabolehan melakukan hubungan seksual (Suda, 2006). Kekerasan seksual (sexual abuse) merupakan kasus yang menonjol yang terjadi pada anak-anak. Dalam catatan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) pada tahun 1992-2002 terdapat 2.611 kasus (65,8 persen) dari 3.969 kasus kekerasan seksual dialami anak-anak di bawah usia 18 tahun. Dari jumlah itu, 75 persen korbannya adalah anak perempuan. Kasus yang menonjol terutama pemerkosaan (42,9 persen) dengan kejadian terjadi di rumah tinggal (35,7 persen) (FKUI, 2006)



1



B. TUJUAN PENULISAN 1. Untuk mengetahui tentang definisi dari seksual abuse. 2. Untuk mengetahui tentang etiologi dari seksual abuse. 3. Untuk mengetahui tentang klasifikasi dari seksual abuse. 4. Untuk mengetahui tentang patofisiologi dari seksual abuse. 5. Untuk mengetahui tentang pathway dari seksual abuse. 6. Untuk mengetahui tentang manifestasi klinis dari seksual abuse. 7. Untuk mengetahui tentang penatalaksanaan dari seksual abuse. 8. Untuk mengetahui tentang pemeriksaan penunjang dari seksual abuse. 9. Untuk mengetahui tentang pengkajian dari seksual abuse. 10. Untuk mengetahui tentang diagnosa keperawatan dari seksual abuse. 11. Untuk mengetahui tentang intervensi dan rasional dari seksual abuse. 12. Untuk mengetahui tentang discharge planning dari seksual abuse.



2



BAB II KONSEP DASAR



A. PENGERTIAN Penyiksaan seksual (sexual abuse) terhadap anak disebut Pedofilian atau penyuka anak-anak secara seksual. Seorang Pedofilia adalah orang yang melakukan aktivitas seksual dengan korban anak usia 13 tahun ke bawah. Penyakit ini ada dalam kategori Sadomasokisme : adalah suatu kecenderungan terhadap aktivitas seksual yang meliputi pengikatan atau menimbulkan rasa sakit atau penghinaan (Pramono, 2009). Kemudian klasifikasi kekerasan/penganiayaan seksual pada anak menurut Resna dan Darmawan (dalam Huraerah, 2006:60) diklasifikasi menjadi tiga kategori, antara lain: perkosaan, incest, dan eksploitasi. Perkosaan biasanya terjadi pada saat



pelaku



terlebih



dahulu



mengancam



dengan



memperlihatkan



kekuatannya kepada anak. Incest, diartikan sebagai hubungan seksual atau aktivitas seksual lainnya antarindividu yang mempunyai hubungan dekat, yang perkawinan di antara mereka dilarang, baik oleh hukum, kultur, maupun agama. Eksploitasi seksual meliputi prostitusi dan pornografi (Suda, 2006). Kekerasan seksual (sexual abuse), dapat didefinisikan sebagai perilaku seksual secara fisik maupun non fisik oleh orang yang lebih tua atau memiliki kekuasaan terhadap korban, bertujuan untuk memuaskan hasrat seksual pelakunya. Korban mungkin saja belum atau tidak memahami perlakuan yang dilakukan terhadap dirinya, mereka hanya merasa tidak nyaman, sakit, takut, merasa bersalah, dan perasaan lain yang tidak menyenangkan (FKUI, 2006). Kekerasan seksual (sexual abuse) pada anak mencakup penganiayaan seksual secara fisik dan non fisik. Kekerasan fisik antara lain menyentuh alat kelamin atau bagian tubuh lain yang bersifat pribadi, seks oral, penetrasi vagina/anus menggunakan penis atau benda lain, memaksa anak membuka pakaian, sampai tindak perkosaan. Sedangkan penganiyaan non fisik diantaranya memperlihatkan benda-benda yang bermuatan pornografi atau aktivitas seksual orang dewasa,



3



eksploitasi anak dalam pornografi (gambar, foto, film, slide, majalah, buku), exhibitionism, atau mengintip kamar tidur/kamar mandi (voyeurism). (Suda, 2006). B. ETIOLOGI/ PREDISPOSISI Berdasarkan jurnal “Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual: Sebuah Studi Fenomenologi”, Faktor penyebab sexual abuse adalah : Faktor-fakor yang menyebabkan terjadinya tindakan kekerasan seksual yang dialami oleh subyek adalah sebagai berikut: a. Faktor kelalaian orang tua.. Kelalaian orang tua yang tidak memperhatikan tumbuh kembang dan pergaulan anak yang membuat subyek menjadi korban kekerasan seksual.. b. Faktor rendahnya moralitas dan mentalitas pelaku. Moralitas dan mentalitas yang tidak dapat bertumbuh dengan baik, membuat pelaku tidak dapat mengontrol nafsu atau perilakunya. c. Faktor ekomoni. Faktor ekonomi membuat pelaku dengan mudah memuluskan rencananya dengan memberikan imingiming kepada korban yang menjadi target dari pelaku. (Jurnal Terlampir) Berdasarkan jurnal “play therapy dalam



identifikasi kasus kekerasan



seksual terhadap anak”, dampak sexual abuse adalah : Dampak kekerasan seksual terhadap anak diantaranya adanya perasaan bersalah dan menyalahkan diri sendiri, bayangan kejadian dimana anak menerima kekerasan seksual, mimpi buruk, insomnia, takut hal



yang berhubungan



dengan



penyalahgunaan (termasuk benda, bau, tempat, kunjungan dokter, dll), masalah harga diri, disfungsi seksual, sakit kronis, kecanduan, keinginan bunuh diri cedera, bunuh diri, keluhan somatik, depresi (Roosa, Reinholtz., Angelini, 1999). Selain



4



itu muncul gangguan-gangguan psikologis seperti pasca-trauma stress disorder, kecemasan,



jiwa penyakit lain (termasuk gangguan kepribadian dan gangguan



identitas disosiatif, kecenderungan untuk reviktimisasi di masa dewasa, bulimia nervosa, cedera fisik kepada anak, (Widom, 1999; Levitan, Rector, Sheldon, & Goering, 2003; Messman-Moore, Terri



Patricia, 2000; Dinwiddie , Heath ,



Dunne, Bucholz , Madden, Slutske, Bierut, Statham et al, 2000) (Jurnal Terlampir) Menurut Townsend (1998) factor yang predisposisi (yang berperan dalam pola penganiayaan anak (seksuak abuse) antara lain: 1. Teori biologis a.



Pengaruh neurofisiologis. Perubahan dalam system limbik otak dapat mempengaruhi perilaku agresif pada beberapa individu



b. Pengaruh



biokimia,



bermacam-macam



neurotransmitter (misalnya



epinefrin, norepinefrin, dopamine, asetilkolin dan serotonin) dapat memainkan peranan dalam memudahkan dan menghambat impulsimpuls agresif c.



Pengaruh genetika. Beberapa penyelidikan telah melibatkan herediter sebagai komponen pada predisposisi untuk perilaku agresif seksual, baik ikatan genetik langsung maupun karyotip genetik XYY telah diteliti sebagai kemungkinan.



d. Kelainan otak. Berbagai kelainan otak mencakup tumor, trauma dan penyakit-penyakit tertentu (misalnya ensefalitis dan epilepsy), telah dilibatkan pada predisposisi pada perilaku agresif. 2. Teori psikologis a. Teori psikoanalitik. Berbadai teori psikoanalitik telah membuat hipotesa bahwa



agresi



dan



kekerasan



adalah



ekspresi



terbuka



dari



ketidakperdayaan dan harga diri rendah, yang timbul bila kebutuhankebutuhan masa anak terhadap kepuasan dan keamanan tidak terpenuhi. b. Teori pembelajaran. Teori ini mendalilkan bahwa perilaku agresif dan kekerasan dipelajari dari model yang membawa dan berpengaruh.



5



Individu-individu yang dianiaya seperti anak-anak atau yang orang tuanya mendisiplinkan dengan hukuman fisik lebih mungkin untuk berperilaku kejam sebagai orang dewasa.



3. Teori sosiokultural (pengaruh sosial) Pengaruh sosial.Ilmuwan social yakin bahwa perilaku agresif terutama merupakan hasil dari struktur budaya dan social seseorang.Pengaruhpengaruh social dapat berperan pada kekerasan saat individu menyadari bahwa kebutuhan dan hasrat mereka tidak dapat dipenuhi melalui cara-cara yang lazim dan mereka mengusahakan perilaku-perilaku kejahatan dalam suatu usaha untuk memperoleh akhir yang diharapkan. Menurut Freewebs (2006) kekerasan seksual (sexual abuse) pada anak sering muncul dalam berbagai kondisi dan lingkup sosial. 1. Kekerasan seksual dalam keluarga (Intrafamilial abuse) Mencakup kekerasan seksual yang dilakukan dalam keluarga inti atau majemuk, dan dapat melibatkan teman dari anggota keluarga, atau orang yang tinggal bersama dengan keluarga tersebut, atau kenalan dekat dengan sepengetahuan keluarga.Kekerasan pada anak adopsi ataupun anak tiri juga termasuk dalam lingukup ini. 2. Kekerasan seksual di luar keluarga (Extrafamilial abuse) Mencakup kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa yang kenal dengan anak tersebut dari berbagai sumber, seperti tetangga, teman, orangtua dari teman sekolah.



3. Ritualistic abuse Mencakup kekerasan yang di lakukan oleh orang dewasa untuk mendapatkan ilmu gaib atau ilmu hitam demi keperluan pribadinya.



4. Institutional abuse



6



Mencakup kekerasan seksual dalam lingkup institusi tertentu seperti sekolah, tempat penitipan anak, kamp berlibur, seperti kegiatan pramuka, dan organisasi lainnya.



5. Kekerasan seksual oleh orang yang tidak dikenal (Street or stranger abuse) Penyerangan pada anak-anak di tempat-tempat umum. Ada beberapa pandangan berbeda penyebab kekerasan seksual yang menimpa anak. Orang yang mencabuli anak-anak dianggap orang yang mengalami disfungsi karena kecanduan alkohol, tidak memiliki pekerjaan tetap dan penghasilan yang mapan, serta tingkat pendidikan yang rendah. Menurut Cok Gede Atmadja, pencabulan terhadap anak terjadi karena himpitan ekonomi. Sementara Magdalena Manik, aktivis Forum Sayang Anak, menyatakan pencabulan terhadap anak disebabkan meluasnya budaya permisif, dan ketidakkonsistenan pihak kepolisian dalam mengambil tindakan hukum terhadap pelaku incest (Suda, 2006). Koran Tokoh (Edisi 337/TahunVII, 5—11 Juni 2005:14) menulis beberapa pemicu terjadinya pencabulan terhadap anak, khususnya oleh orangtua. 1. Pertama, pelaku tidak bisa lagi melakukan hubungan dengan istri karena alasan kesehatan atau telah lama menduda. 2. Kedua, pelaku ingin menyempurnakan ilmu kebatinan yang sedang ditekuninya. 3. Ketiga, pelaku tidak tahan melihat kemontokan tubuh anak perempuannya, atau melihat anak perempuannya ke luar kamar mandi menggunakan handuk. Bahkan, bisa pula pelaku melakukan pelecehan seksual terhadap anak perempuan, karena terpengaruh film porno (Atmadja, 2005:139 dalam Suda, 2006). C. KLASIFIKASI Klasifikasi dari sexual abuse pada anak menurut (Suda, 2006) adalah : 1. Perkosaan.



7



Perkosaan adalah jenis kekerasan yang paling mendapat sorotan. Diperkirakan 22% perempuan dan 2% laki-laki pernah menjadi korban perkosaan. Untuk di Amerika saja, setiap 2 menit terjadi satu orang diperkosa. Hanya 1 dari 6 perkosaan yang dilaporkan ke polisi. Sebagian besar perkosaan dilakukan oleh orang yang mengenal korban alias orang dekat korban. 2. Kekerasan seksual terhadap anak-anak. Suatu tinjauan baru-baru ini terhadap 17 studi dari seluruh dunia menunjukkan bahwa di manapun, sekitar 11% sampai dengan 32% perempuan dilaporkan mendapat perlakuan atau mengalami kekerasan seksual pada masa kanak-kanaknya. Umumnya pelaku kekerasan adalah anggota keluarga, orang-orang yang memiliki hubungan dekat, atau teman. Mereka yang menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap anak biasanya adalah korban kekerasan seksual pada masa kanak-kanak. 3. Kekerasan seksual terhadap pasangan. Kekerasan ini mencakup segala jenis kekerasan seksual yang dilakukan seseorang terhadap pasangan seksualnya. Sebesar 95% korban kekerasan adalah perempuan. Temuan penelitian yang dilakukan Rifka Annisa bersama UGM, UMEA University, dan Women’s Health Exchange USA di Purworejo, Jawa Tengah, Indonesia, pada tahun 2000 menunjukkan bahwa 22% perempuan mengalami kekerasan seksual. Sejumlah 1 dari 5 perempuan (19%) melaporkan bahwa biasanya mereka dipaksa untuk melakukan hubungan seksual dengan pasangan mereka selama dipukuli. Termasuk kekerasan seksual adalah kekerasan



yang dilakukan seorang laki-laki terhadap



seorang perempuan, semata-mata karena sang korban adalah perempuan. Istilah untuk ini adalah kekerasan berbasis gender. Berikut adalah kekerasan berbasis gender: 4. Kekerasan



fisik



:



Menampar,



memukul,



menendang,



mendorong,



mencambuk, dll. 5. Kekerasan emosional/ verbal: Mengkritik, membuat pasangan merasa bersalah, membuat permainan pikiran, memaki, menghina, dll.



8



6. Ketergantungan finansial: Mencegah pasangan untuk mendapat pekerjaan, membuat pasangan dipecat, membuat pasangan meminta uang, dll 7. Isolasi sosial: Mengontrol pasangan dengan siapa boleh bertemu dan di mana bisa bertemu, membatasi gerak pasangan dalam pergaulan, dll 8. Kekerasan seksual: Memaksa seks, berselingkuh, sadomasokisme, dll. 9. Pengabaian/penolakan:



Mengatakan



kekerasan



tidak



pernah



terjadi,



menyalahkan pasangan bila kekerasan terjadi, dll. 10. Koersi, ancaman, intimidasi: Membuat pasangan khawatir, memecahkan benda-benda, mengancam akan meninggalkan, dll.



D. PATOFISIOLOGI



Menurut Tower (2002) dalam Maria (2008) kekerasan seksual pada anak dapat terjadi satu kali, beberapa kali dalam periode berdekatan, bahkan menahun. Walaupun berbeda-beda pada setiap kasus, kekerasan seksual tidak terjadi begitu saja, melainkan melalui beberapa tahapan antara lain : 1. Tahap awal, pelaku membuat korban merasa nyaman. Ia menyakinkan bahwa apa yang dilakukannya "tidak salah" secara moral. Pelaku mencoba menyentuh sisi kbutuhan anak akan kasih saying dan perhhatian, penerimaan dari orang lain, atau mencoba menyamakannya dengan permainan dan menjanjikan



imbalan



material



yang



menyenangkan.



Pelaku



dapat



mengintimidasi secara halus ataupun bersikap memaksa secara kasar. 2. Tahap kedua, adalah interaksi seksual. Perilaku yang terjadi bisa saja hanya berupa mengintip sampai perilaku yang intensitasnya berat, yaitu memakasa anak untuk melakukan hubungan seksual. Setelah kejadian tersebut, pelaku mengancam korban agar merahasiakan apa yang terjadi kepada orang lain. 3. Tahap berikutnya, adalah tahapan dimana korban mau menceritakan pengalamannya kepada orang lain. Kemungkinan korban merahasiakan pengalamannya sampai berusia dewasa, atau menceritakannya kepada orang yang mempunyai kedekatan emosional dengannya, sehingga ia merasa aman. Pelaku "mencobai" korban sedikit demi sedikit, mulai dari :



9



a.



Pelaku membuka pakaiannya sendiri



b.



Pelaku meraba-raba bagian tubuhnya sendiri



c.



pelaku memperlihatkan alat kelaminnya



d.



Pelaku mencium korban dengan pakaian lengkap



e.



Pelaku meraba bagian-bagian tubuh korban : payudara, alat kelamin, dan bagian lainnya.



f.



Masturbasi, dilakukan oleh pelaku sendiri atau pelaku dan korban saling menstimulasi.



g.



Oral sex, dengan menstimilasi alat kelamin korban



h.



Sodomi



i.



Petting



j.



Penetrasi alat kelamin pelaku Anak yang memiliki resiko mengalami kekerasan seksual biasanya adalah



anak-anak yang biasa ditinggalkan sendiri dan tidak mendapat pengawasan dari orang yanglebih dewasa, terutama ibu.Tidak hanya kehadiran secara fisik, kedekatan emosional antara ibu dan anak pun merupakan faktor yang penting (Maria, 2008). Menurut Maria (2008) dampak kekerasan seksual pada anak adalah sebagai berikut : 1. Stress: akut, traumatic – PTSD (post traumatik stress disorder) 2. Agresif, menjadi pelaku kekerasan, tidak percaya diri 3. Rasa takut, cemas 4. Perilaku seksual yang tidak wajar untuk anak seusianya Tidak diragukan lagi bahwa kekerasan seksual dapat memberikan dampak jangka pendek maupun jangka panjang bagi korbannya. Pada anak lainnya, ada kemungkinan gangguan tersebut di 'tekan' sehingga tidak teramati dari luar sampai ada pemicu yang menampilkan gejolak emosi mereka, misalnya saat anak memasuki usia remaja dan mulai dekat dengan lawan jenis, atau pada saat mereka akan menikah. selain itu, sangat mungkin anak yang



10



menjadi korban kekerasan seksual kemudian justru malah menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap anak lain (Maria, 2008). Menghadapi anak yang mengalami kekerasan seksual, kata Maria, hendaknya tetap mempertimbangkan faktor psikologis.Tidak hanya pada posisi anak sebagai korban, yang tentunya berisiko mengalami stres bahkan trauma, tapi juga perlu penanganan yang baik pada anak sebagai pelaku kekerasan. Anak sebagai pelaku kekerasan seksual, sangat mungkin sebelumnya adalah korban



dari



kekerasan



seksual



yang



dilakukan



oleh pelaku lain.



Kemungkinan motif kekerasan yang dilakukannya adalah untuk eksploitasimemuaskan rasa ingin tahu, atau menirukan kejadian yang dialami sebelumnya, baik dari perlakuan langsung maupun dari media yang dilihatnya.Dengan adanya azas praduga tak bersalah, hendaknya ditelusuri dengan mendalam faktor yang mendorong anak menjadi pelakukekerasan seksual, agar anak tidak dua kali menjadi korban (Maria, 2008). Berbagai bentuk kekerasan seksual terhadap anak, khususnya anak perempuan



di



masyarakat,



selalu



diwarnai



kekerasan



fisik



atau



psikologis.Jika meminjam gagasan Giddens (2004) tentang kekerasan lakilaki dalam menyalurkan libidonya, tindakan tersebut berkaitan dengan label yang



diberikan



masyarakat



kepada



laki-laki.Laki-laki



harus



jantan



menangani sektor publik dan urusan seksual. Di sisi lain, meluasnya sistem ekonomi kapitalisme global mengakibatkan banyak orang termarjinal, bahkan terhimpit, baik secara ekonomi maupun psikologis. Akibatnya, harga diri mereka dalam keluarga dan masyarakat mengalami goncangan.Begitu pula hubungan seksual mereka dengan istrinya bisa terganggu. Kondisi ini bisa diperparah lagi karena usia tua, impotensi, ejakulasi dini, kekhawatiran ukuran dan fungsi penis, dan lainnya. Ini menimbulkan rasa tidak aman dan kekawatiran yang mendalam (Suda, 2006). Berikut ini jenis-jenis kekerasan seksual berdasarkan pelakunya (Tower, 2002 dalam Maria, 2008) : 1. Kekerasan yang dilakukan oleh anggota keluarga.



11



Dilakukan oleh ayah, ibu atau saudara kandung. Selain itu, kekerasan seksual mungkin pula dilakukan oleh orang tua angkat/tiri, atau orang lain yang tinggal serumah dengan korban. 2. Kekerasan yang dilakukan oleh orang lain di luar anggota keluarga Kekerasan seksual dapat dilakukan oleh siapa saja, tidak dibatasi perbedaan jenis kelamin, suku, agama, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya.Sebagian besar pelaku adalah pria dan orang yang melakukan orang yang cukup dikenal oleh korban, misalnya tetangga, guru, sopir, baby-sittter.Pelaku bisa saja mengalami kelainan seperti paedophilia, pecandu seks, atau sangat mungkin teman sebaya. Kemungkinan pelaku penah menjadi korban kekerasan seksual sebelumnya,atau menirukan perilaku orang lain. salah satu penyebabnya adalah untuk mengatasi trauma akibat kekesaran seksual yang dialaminya, atau sekedar memenuhi rasa ingin tahu. Efek klinis pencabulan berkisar dari pendarahan pada genital dan anus, fisur pada anus, pembesaran liang vagina dan anus, dan penipisan/kerusakan hymen pada vagina. Efek psikologis pencabulan terhadap anak umumnya berjangka panjang, antara lain: kemarahan, kecemasan, mimpi buruk, rasa tak Iman, kebingungan, ketakutan, kesedihan, dan perubahan perilaku baik menjadi buruk



12



E. PATHWAYS KEPERAWATAN Berdasarkan jurnal “Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual: Sebuah Studi Fenomenologi”, pathway sexual abuse adalah :



13



F. MANIFESTASI KLINIK Berdasarkan jurnal “Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual: Sebuah Studi Fenomenologi”, Dampak psikologis sexual abuse adalah : Dampak psikologis yang dialami oleh subyek dapat digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu gangguan perilaku, gangguan kognisi, gangguan emosional. a. Gangguan Perilaku, ditandai dengan malas untuk melakukan aktifitas sehari-hari. b. Gangguan Kognisi, ditandai dengan sulit untuk berkonsentrasi, tidak fokus ketika sedang belajar, sering melamun dan termenung sendiri. c. Gangguan Emosional, ditandai dengan adanya gangguan mood dan suasana hati serta menyalahkan diri sendiri. (Jurnal Terlampir) Patricia A Moran dalam buku Slayer of the Soul, 1991 dalam Minangsari (2007), mengatakan, menurut riset, korban pelecehan seksual adalah anak lakilaki dan perempuan berusia bayi sampai usia 18 tahun. Kebanyakan pelakunya adalah orang yang mereka kenal dan percaya. Gejala seorang anak yang mengalami pelecehan seksual tidak selalu jelas. Ada anak-anak yang menyimpan rahasia pelecehan seksual yang dialaminya dengan bersikap "manis" dan patuh, berusaha agar tidak menjadi pusat perhatian.Meskipun pelecehan seksual terhadap anak tidak memperlihatkan bukti mutlak, tetapi jika tanda-tanda di bawah ini tampak pada anak dan terlihat terus- menerus dalam jangka waktu panjang, kiranya perlu segera mempertimbangkan kemungkinan anak telah mengalami pelecehan seksual (minangsari, 2007) Tanda dan indikasi ini diambil Jeanne Wess dari buku yang sama: 1. Balita a. Tanda-tanda fisik, antara lain memar pada alat kelamin atau mulut, iritasi kencing, penyakit kelamin, dan sakit kerongkongan tanpa penyebab jelas bisa merupakan indikasi seks oral.



14



b. Tanda perilaku emosional dan sosial, antara lain sangat takut kepada siapa saja atau pada tempat tertentu atau orang tertentu, perubahan kelakuan yang tiba-tiba, gangguan tidur (susah tidur, mimpi buruk, dan ngompol), menarik diri atau depresi, serta perkembangan terhambat. 2. Anak usia prasekolah Gejalanya sama ditambah tanda-tanda berikut: a. Tanda fisik: antara lain perilaku regresif, seperti mengisap jempol, hiperaktif, keluhan somatik seperti sakit kepala yang terus-menerus, sakit perut, sembelit. b. Tanda pada perilaku emosional dan sosial: kelakuan yang tiba-tiba berubah, anak mengeluh sakit karena perlakuan seksual. c. Tanda pada perilaku seksual: masturbasi berlebihan, mencium secara seksual, mendesakkan tubuh, melakukan aktivitas seksual terang-terangan pada saudara atau teman sebaya, tahu banyak tentang aktivitas seksual, dan rasa ingin tahu berlebihan tentang masalah seksual. 3. Anak usia sekolah Memperlihatkan tanda-tanda di atas serta perubahan kemampuan belajar, seperti susah konsentrasi, nilai turun, telat atau bolos, hubungan dengan teman terganggu, tidak percaya kepada orang dewasa, depresi, menarik diri, sedih, lesu, gangguan tidur, mimpi buruk, tak suka disentuh, serta menghindari hal-hal sekitar buka pakaian. 4. Remaja Tandanya sama dengan di atas dan kelakuan yang merusak diri sendiri, pikiran bunuh diri, gangguan makan, melarikan din, berbagai kenakalan remaja, penggunaan obat terlarang atau alkohol, kehamilan dini, melacur, seks di luar nikah, atau kelakuan seksual lain yang tak biasa. Sedangkan



menurut



Townsend



(1998)



simtomatologi



penganiayaan/kekerasan seksual pada anak (sexual abuse) antara lain : 1. Infeksi saluran kemih yang sering 2. Kesulitan atau nyeri saat berjalan atau duduk



15



dari



3. Kemerahan atau gatal pada daerah genital, menggaruk daerah tersebut secara sering atau gelisah saat duduk 4. Sering muntah 5. Perilaku menggairahkan, dorongan masturbasi, bermain seks dewasa sebelum waktunya 6. Ansietas berlebihan dan tidak percaya kepada orang lain 7. Penganiyaan seksual pada anak yang lain



G. PENATALAKSANAAN Berdasarkan jurnal “play therapy dalam



identifikasi kasus kekerasan



seksual terhadap anak”, terapi sexual abuse adalah : Cholidah (2005) menyatakan bahwa diantara tujuan terapi bermain adalah mengurangi atau menghilangkan gangguan-gangguan perilaku, fisik, psikis, social, sensori dan komunikasi dan mengembangkan kemampuan yang masih dimiliki secara optimal. Terkait dengan kasus kekerasan seksual pada anak, Jongsma, Peterson dan Mclnnis (2000) menyatakan bahwa terapi bermain (play therapy) merupakan salah satu metode untuk mengidentifikasi dan menggalikan perasaan anak korban kekerasan seksual. Melalui terapi bermain selain kasus dapat diidentifikasi apa yang terjadi pada diri anak, anak juga dapat mengekpresikan perasaan atas kasus yang terjadi pada dirinya. (Jurnal Terlampir) Menurut Suda (2006) ada beberapa model program counseling yang dapat diberikan kepada anak yang mengalami sexual abuse, yaitu : a. The dynamics of sexual abuse. Artinya, terapi difokuskan pada pengambangan konsepsi. Pada kasus tersebut kdsalahan dan tanggung jawa berada pada pelaku bukan pada korban. Anak dijamin tidak disalahkan meskipun telah terjadi kontak seksual. b. Protective behaviors counseling.



16



Artinya, anak-anak dilatih menguasai keterampilan mengurangi kerentannya sesuai dengan usia. Pelatihan anak prasekolah dapat dibatasi; berkata tidak terhadap sentuhan-sentuhan yang tidak diinginkan; menjauh secepatnya dari orang yang kelihatan sebagai abusive person; melaporkan pada orangtua atau orang dewasa yang dipercaya dapat membantu menghentikan perlakuan salah. c. Survivor/self-esteem counseling. Artinya, menyadarkan anak-anak yang menjadi korban bahwa mereka sebenarnya bukanlah korban, melainkan orang yang mampu bertahan (survivor) dalam menghadapi masalah sexual abuse. Keempat, feeling counseling. Artinya, terlebih dahulu harus diidentifikasi kemampuan anak yang mengalami sexual abuse untuk mengenali berbagai perasaan. Kemudian mereka didorong



untuk



mengekspresikan



perasaan-perasaannya



yang



tidak



menyenangkan, baik pada saat mengalami sexual abuse maupun sesudahnya. Selanjutnya mereka diberi kesempatan untuk secara tepat memfokuskan perasaan marahnya terhadap pelaku yang telah menyakitinya, atau kepada orang tua, polisi, pekerja sosial, atau lembaga peradilan yang tidak dapat melindungi mereka. d. Cognitif terapy. Artinya, konsep dasar dalam teknik ini adalah perasaan-perasaan seseorang mengenai beragam jenis dalam kehidupannya dipengaruhi oleh pikiran-pikiran mengenai kejadian tersebut secara berulang-lingkar. H. PEMERIKSAAN PENUNJANG Menurut Doenges et. al (2007) pemeriksaan diagnostic yang dilakukan pada anak dengan sexual abuse bergantung pada situasi dan kebutuhan individu. Uji skrining (misalnya Daftar Periksa Perilaku Anak), peningkatan nilai pada skala internalisasi yang menggambarkan perilaku antara lain ketakutan, segan, depresi, pengendalian berlebihan atau di bawah pengendalian, agresif dan antisosial.



17



I. PENGKAJIAN



Menurut



Doenges



et.al



(2007)



pengkajian



anak



yang



mengalami



penganiayaan seksual (sexual abus) antara lain : 1. Aktivitas atau istirahat : Masalah tidur (misalnya tidak padat tidur atau tidur berlebihan, mimpi burukm, berjalan saat tidur, tidur di tempat yang asing, keletihan. 2. Integritas ego a. Pencapaian diri negatif, menyalahkan diri sendiri/meminta ampun karena tindakannya terhadap orang tua. b. Harga diri rendah (pelaku/korban penganiayaan seksual yang selamat.) c. Perasaan bersalah, marah, takut dan malu, putus asa dan atau tidak berdaya d. Minimisasi atau penyangkalan signifikasi perilaku (mekanisme pertahanan yang paling dominan/menonjol) e. Penghindaran atau takut pada orang, tempat, objek tertentu, sikap menunduk, takut (terutama jika ada pelaku) f. Melaporkan faktor stres (misalnya keluarga tidak bekerja, perubahan finansial, pola hidup, perselisihan dalam pernikahan) g. Permusuhan terhadap/objek/tidak percaya pada orang lain 3. Eliminasi a. Enuresisi, enkopresis. b. Infeksi saluran kemih yang berulang c. Perubahan tonus sfingter. 4. Makan dan minum : Muntah sering, perubahan selera makan (anoreksia), makan berlebihan, perubahan berat badan, kegagalan memperoleh berat badan yang sesuai . 5. Higiene a. Mengenakan



pakaian



yang



tidak



sesuai



dengan



kondisi



(penganiayaan seksual) atau tidak adekuat memberi perlindungan.



18



cuaca



b. Mandi berlebihan/ansietas (penganiayaan seksual), penampilan kotor/tidak terpelihara. 6. Neurosensori a. Perilaku ekstrem (tingkah laku sangat agresif/menuntut), sangat amuk atau pasivitas dan menarik diri, perilaku tidak sesuai dengan usia b. Status mental : memori tidak sadar, periode amnesia, lap[oran adanya pengingatan



kembali.



Pikiran



tidak



terorganisasi,



kesulitan



konsentrasi/membuat keputusan. Afek tidak sesuai, mungkin sangat waspada, cemas dan depresi. c. Perubahan alam perasaan, kepribadian ganda, cinta, kebaikan dan penyesalan yang dalam setelah penganiayaan seksual terjadi. d. Kecemburuan patologis, pengendalian impuls yang buruk, ketrampilan koping terbatas, kurang empati terhadap orang lain. e. Membantung. Menghisap jempol atau perilaku kebiasaan lain : gelisah (korban selamat). f.



Manifestasi psikiatrik (misal : fenomena disosiatif meliputi kepribadian ganda (penganiayaan seksual), gangguan kepribadian ambang (koeban inses dewasa)



g. Adanya defisit neurologis/kerusakaan SSP tanpa tanda-tanda cedera eksternal 7. Nyeri atau ketidaknyamanan a. Bergantung pada cedera/bentuk penganiayaan seksual b. Berbagai keluhan somatik (misalnya nyeri perut, nyeri panggul kronis, spastik kolon, sakit kepala) 8. Keamanan a. Memar, tanda bekas gigitan, bilur pada kulit, terbakar (tersiran air panas, rokok) ada bagian botak di kepala, laserasi, perdarahan yang tidak wajar, ruam/gatal di area genital, fisura anal, goresan kulit, hemoroid, jaringan parut, perubahan tonus sfingter. b. Cedera berulang, riwayat bermacam kecelakaan, fraktur/ cedera internal.



19



c. Perilaku mencederai diri sendiri (bunuh diri), keterlibatan dalam aktivitas dengan risiko tinggi d. Kurangnya pengawasan sesuai usia, tidak ada perhatian yang dapat menghindari bahaya di dalam rumah 9. Seksualitas a. Perubahan kewaspadaan/aktivitas seksual, meliputi masturbasi kompulsif, permainan seks dewasa sebelum waktunya, kecenderungan mengulang atau melakukan kembali pengalaman inses. Kecurigaan yang berlebihan tentang seks, secara seksual menganiaya anak lain. b. Perdarahan vagina , laserasi himen linier, bagian mukosa berlendir. c. Adanya PMS, vaginitis, kutil genital atau kehamilan (terutama pada anak). 10. Interaksi sosial Merikan diri dari rumah, pola interaksi dalam keluarga secara verbal kurang responsif, peningkatan penggunaan perintah langsung dan pernyataan kritik, penurunan penghargaan atau pengakuan verbal, merasa rendah diri. Pencapaian restasi dis ekolah rendah atau prestasi di sekolah menurun.



J. DIAGNOSA KEPERAWATAN



Menurut Townsend (1998), dan Doenges et.al (2007) diagnosa keperawatan yang dapat dirumuskan pada anak yang mengalami sexual abuse antara lain : 1. Sindrom trauma perkosaan berhubungan dengan menjadi korban perkosaan seksual yang dilakukan dengan menggunakan kekuatan dan berlawanan dengan keinginan dan persetujuan pribadi seseorang 2. Ketidakberdayaan berhubungan dengan harga diri rendah 3. Perubahan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan pengasuhan yang tidak adekuat dan penderitaan oleh pengasuh dari nyeri fisik atau cidera dengan tujuan untuk menyebabkan bahaya, biasanya terjadi dalam waktu lama.



20



4. Ansietas (sedang sampai berat) berhubungan dengan ancaman konsep diri, rasa takut terhadap kegagalan, disfungsi system keluarga dan hubungan antara orang tua dan anak yang tidak memuaskan 5. Gangguan harga diri rendah berhubungan dengan koping individu tidak efektif 6. Gangguan pola tidur berhubungan dengan a nsietas dan hiperaktif 7. Koping defensif berhubungan dengan harga diri rendah, kurang umpan balik atau umpan balik negatif yang berulang yang mengakibatkan penurunan makna diri 8. Koping keluarga tidak efektif berhubungan dengan perasaan bersalah yang berlebihan, marah atau saling menyalahkan diantara anggota keluarga mengenai perilaku anak, kepenatan orang tua karena menghadapi anak dengan gangguan dalam jengka waktu lama 9. Defisit pengetahuan tentang kondisi, prognosis, perawatan diri dan kebutuhan terapi berhubungan dengan kurang sumber informasi, interpretasi yang salah tentang informasi



K. INTERVENSI DAN RASIONAL



Menurut Videbeck (2008), Townsend (1998), dan Doenges et.al (2007) intervensi keperawatan yang dapat dirumuskan untuk mengatasi diagnosa keperawatan diatas antara lain : 1. Sindrom trauma perkosaan berhubungan dengan menjadi korban perkosaan seksual yang dilakukan dengan menggunakan kekuatan dan berlawanan dengan keinginan dan persetujuan pribadi seseorang Tujuan : a. Tujuan jangka pendek : Luka fisik anak akan sembuh tanpa komplikasi b. Tujuan jangka panjang : anak akan mengalami resolusi berduka yang sehat, memulai proses penyembuhan psikologis.



21



Intervensi: a. Smith (1987) menghubungkan pentingnya mengkomunikasikan empat ucapan berikut ini pada korban perkosaan : saya prihatin hal ini terjadi padamu, anda aman disini, saya senang anda hidup, anda tidak bersalah. Anda adalah korban. Ini bukan kesalahan anda. Apapun keputusan yang Anda buat pada saat pengorbanan adalah hak seseorang karena anda hidup. Rasional : Wanita tau anak yang telah diperkosa secara seksual takut terhadap kehidupannya dan harus diyakinkan kembali keamanannya. Ia mungkin juga sangat ragu-ragu dengan dirinya dan menyalahkan diri sendiri dan pernyataan-pernyataan ini membangkitkan rasa percaya secara bertahap dan memvalidasi harga diri anak b. Jelaskan setiap prosedur pengkajian yang akan dilakukan dan mengapa dilakukan. Pastikan bahwa pengumpulan data dilakukan dalam perawatan, cara tidak menghakimi Rasional : Untuk menurunkan ketakutan atau ansietas dan untuk meningkaytkan rasa percaya c. Pastikan bahwa anak memiliki privasi yang adekuat untuk semua intervensi-intervensi segera pasca krisis. Cobaan sedikit mungkin orang yang memberikan perawatan segera atau mengumpulkan bukti segera. Atau mengumpulkan bukti segera Rasional : Anak pasca trauma sangat rentan. Penambahan orang dalam lingkungannya



meningkatkan



perasaan



rentan



ini



dan



bertindak



meningkatkan ansietas d. Dorong anak untuk menghitung jumlahs erangan kekerasan seksual. Dengarkan, tetapi tidak menyelidiki Rasional : Mendengarkan dengan tidak menghakimi memberikan kesempatan untuk katarsis bahwa anak perlu memulai pemulihan. Jumlah yang rinci mungkin dibutuhkan untuk tindak lanjut secara legal, dan seorang perawat sebagai pembela anak dapat menolong untuk mengurangi trauma dari pengumpulan bukti



22



e. Diskusikan dengan anak siapa yang dapat dihubung untuk memberikan dukungan atau bantuan. Berikan informasi tentang rujukan setelah perawatan Rasional : Karena ansietas berat dan rasa takut, anak mungkin membutuhkan bantuan dari orang lain selama periode segera pasca-krisis. Berikan informasi rujukan tertulis untuk referensi selanjutnya (misalnya psikoterapi, klinik kesehatan jiwa, kelompok pembela masyarakat)



2. Ketidakberdayaan berhubungan dengan harga diri rendah Tujuan : a. Tujuan jangka pendek : Anak mengenali dan menyatakan secara verbal pilihan-pilihan yang tersedia dengan demikian merasakan beberapa kontrol terhadap situasi kehidupan (dimensi waktu ditentukan secara individu) b. Tujuan jangka panjang : Anak memperlihatkan kontrol situasi kehidupan dengan membuat keputusan tentang apa yang harus dilakukan berkenaan dengan hidup bersama siklus penganiyaan seksual (dimensi waktu ditentukan secara individual) Intervensi : a. Dalam berkolaburasi dengan tim medis, pastikan bahwa semua cedera fisik, fraktur, luka bakar mendapatkan perhatian segera, mengambiul foto jika anak mengijinkan merupakan ide yang baik Rasional : Keamanan anak merupakan prioritas keperawatan. Foto dapat digunakan sebagai bukti jika tuntutan dilakukan b. Bawa anak wanita tersebut ke dalam area yang pribadi untuk melakukan wawancara Rasional : Jika anak disertai dengan pria yang melakukan pelecehan seksual pada anak, kemungkinan besar ia tidak jujur sepenuhnya tentang cederanya atau pengalaman seksualnya



23



c. Jika seorang anak wantia datang sendiri atau berserta dengan orang tuanya, pastikan tentang keselamatannya. Dorong untuk mendiskusikan peristiwa pemerkosaan yang telah dilakukan. Tanyakan pertanyaan tentang apakah hal ini telah terjadi sebelumnya. Jika pelaku kekerasan seksual minum obat bius, jika anak tersebut memiliki tempat yang aman untuk pergi dan apakah ia berminat dalam tuntutan yang mendesak Rasional : Beberapa anak wanita berusaha untuk menyimpan rahasia tentang bagimana cedera seksual yang dideritanya terjadi dalam usaha untuk melindungi orang tuanya atau saudaranya atau karena mereka takut bahwa orang tuanya atau saudaranya akan membunuh mereka jika menceritakan hal tersebut d. Pastikan bahwa usaha-usaha menyelamatkan tidak diusahakan oleh perawat. Berikan dukungan, tetapi ingat bahwa keputusan akhir harus dibuat oleh anak Rasional : Membuat keputusan untuk dirinya sendiri memberikan rasa kontrol situasi kehidupannya sendiri. Memberikan penilaian dan nasehat adalah tidak terapeutik e. Tekankan pentingnya keamanan, smith (1987) menyarankan suatu pernyataan seperti, ya itu telah terjadi. Sekarang ke mana anda ingin pergi dari sini ?. Burgess (1990) menyatakan "Korban perlu dibuat sadar tentang berbagai sumber yang tersedia untuk dirinya. Hal ini dapat mencakup hotline krisis, kelompok-kelompok masyarakat untuk wanita dan anak yang pernah dianiaya secara seksual, tempat perlindungan, berbagai tempat konseling. Rasional : Pengetahuan tentang pilihan-pilihan yang tersedia dapat membantu menurunkan rasa tidak berdaya dari korban, tetapi kewenangan yang sesungguhnya datang hanya saat ia memilih untuk menggunakan pengetahuan itu bagi keuntungannya sendiri.



3. Perubahan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan pengasuhan yang tidak adekuat dan penderitaan oleh pengasuh dari nyeri fisik atau cidera



24



dengan tujuan untuk menyebabkan bahaya, biasanya terjadi dalam waktu lama. Tujuan : a. Tujuan jangka pendek : Anak akan mengembangkan hubungan saling percaya dengan perawat dan melaporkan bagaimana tanda cedera terjadi (dimensi waktu ditentukan secara individu) b. Tujuan jangka panjang : Anak akan mendemonstrasikan perilaku yang konsisten dengan usia tumbuh dan kembangnya. Intervensi : a. Lakukan pemeriksaan fisik secara menyeluruh pada anak. Buat catatab yang teliti dari luka memarnya (dalam berbagai tahap penyembuhan), laserasi, dan keluhan anak tentang area nyeri pada derah yang spesifik, misalnya kemaluan. Jangan mengabaikan atau melalaikan kemungkinan penganiayaan seksual. Kaji tanda nonverbal penganiayaan, perilaku agresif, rasa takut yang berlebihan, hiperaktivitas hebat, apatis, menarik diri, perilaku yang tidaks esuai dengan usianya Rasional : Suatu pemeriksaan fisik yang akurat dan seksama dibutuhkan agar perawatan yang tepat dapat diberikan untuk pasien b. Adakan wawancara yang dalam dengan orang tua atau orang dekat yang menyertai anak. Pertimbangkan jika cidera dilaporkan sebagai suatu kecelakaan, apakah penjelasan ini berlasan? Apakah cedera tersebut konsisten dengan penjelasan yang diberikan? Apakah cedera tersebut konsisten dengan kemampuan perkembangan anak ? Rasional : Ketakutan terhadap hukuman penjara atau kehilangan kesempatan memelihara anak mungkin menempatkan orang tua penyiksa pada sikap membela diri. Ketidaksesuaian dapat ditandai dalam deskripsi kejadian, dan adanya usaha untuk menutupu keterlibatan merupakan suatu pertahanan diri yang umum yang dapat dilepaskan dalam suatu wawancara yang dalam.



25



c. Gunakan pertandingan atau terapi bermain untuk memperoleh rasa percaya anak. Gunakan teknik-teknik ini untuk membantu dalam menjelaskan sisi lain dari cerita anak tersebut Rasional : Menetapkan hubungan saling percaya dengans eorang anak yang teraniaya sangatlah sukar. Mereka mungkin tidak ingin untuk disentuh. Jenis-jenis aktivitas bermain ini dapat memberikan suatu lingkungan yang tidak



mengancam



yang



dapat



meningkatkan



usaha



anak



untuk



mendiskusikan masalah-masalah yang menyakitkan ini d. Tentukan apakah cedera yang dialami dibenarkan untuk dilaporkan kepada yang berwenang. Undang-Undang negara yang spesifik harus masuk ke dalam keputusan apakah ya atau tidak untuk melaporkan dugaan penganiayaan seksual anak. Rasional : Suatu laporan (umumhya dibuat) jika ada alasan untuk mencurigai bahwa seseorang anak telah dicederai sebagai suatu akibat penganiayaan seksual. Alasan untuk mencirugai ditetapkan saat ada tanda- tanda ketidaksesuaian atau ketidakkonsistenan dalam menjelaskan cedera pada anak. Kebanayakan negara membutuhkan individu-individu berikut melaporkan kasus dari anak yang dicurigai dianiaya seksual : semua pekerja kesehatan, semau terapis kesehatan jiwa, guru-guru, pengasuhpengasuh anak, pemadam kebakaran, anggota medis gawat darurat dan anggota penyelenggara



hukum. Laporan dibuat



oleh Departemen



Pelayanan Sosial dan rehabiulitasi atau Badan penyelenggara Hukum.



4. Koping individu tidak efektif berhubungan dengankelainan fungsi dari system keluarga dan perkembangan ego yang terlambat, serta penganiayaan dan pengabaian anak Tujuan : a. Anak mengembangkan dan menggunakan keterampilan koping yang sesuai dengan umur dan dapat diterima sosial dengan kriteria hasil :



26



b. Anak mampu menundakan pemuasan terhadap keinginannya, tanpa terpaksa untuk menipulasi orang lain c. Anak mampu mengekspresikan kemarahan dengan cara yang dapat diterima secara sosial d. Anak mampu mengungkapkan kemampuan-kemampuan koping alternatif yang dapat diterima secara sosial sesuai dengan gaya hidup dari yang ia rencanakan untuk menggunakannya sebagai respons terhadap rasa frustasi Intervensi: a. Pastikan bahwa sasaran-sasarannya adalah realistis Rasional : penting bagi anak untuk nmencapai sesuatu, maka rencana untuk aktivitas-aktivitas di mana kemungkinan untuk sukses adalah mungkin. Sukses meningkatkan harga diri b. Sampaikan perhatian tanpa syarat pada anak Rasional : Komunikasi dari pada penerimaan anda terhadapnya sebagai makhluk hidup yang berguna dapat meningkatkan harga diri c. Sediakan waktu bersama anak, keduanya pada saty ke satu basis dan pada aktivitas-aktivitas kelompok Rasional : Hal ini untuk menyampaikan pada anak bahwa anda merasa bahwa dia berharga bagi waktu anda d. Menemani anak dalam mengidentifikasi aspek-aspek positif dari dan dalam mengembangkan rencana-rencana untuk merubah karakteristik yang lihatnya sebagai negatif Rasional : identifikasi aspek-aspek positif anak dapat membantu mengembangkan aspek positif sehingga mempunyai koping individu yang efektif e. Bantu anak mengurangi penggunaan penyangkalan sebagai suatu mekanisme sikap defensif. Memberikan bantuan yang positif bagi identifikasi masalah dan pengembangan dari perilaku-perilaku koping yang lebih adaptif



27



Rasional : Penguatan positif membantu meningkatkan harga diri dan meningkatkan penggunaan perilaku-perilaku yang dapat diterima oleh anak f. Memberi dorongan dan dukungan kepada anak dalam menghadapi rasa takut terhadap kegagalan dengan mengikuti aktivitas-aktivitas terapi dan melaksanakan tugas-tugas baru. Beri pangakuan tentang kerja keras yang berhasil dan penguatan positif bagi usaha-usaha yang dilakukan Rasional : Pengakuan dan penguatan positif meningkatkan harga diri



5. Ansietas (sedang sampai berat) berhubungan dengan ancaman konsep diri, rasa takut terhadap kegagalan, disfungsi system keluarga dan hubungan antara orang tua dan anak yang tidak memuaskan Tujuan : Anak



mampu



mempertahankan



ansietas



di



bawah



tingkat



sedang,



sebagaimana yang ditandai oleh tidak adanya perilaku-perilaku yang tidak perilaku yang tidak mampu dalam memberi respons terhadap stres . Intervensi : a. Bentuk hubungan kepercayaan dengan anak. Bersikap jujur, konsisten di dalam berespons dan bersedia. Tunjukkan rasa hormat yang positif dan tulus Rasional : Kejujuran, ketersediaan dan penerimaan meningkatkan kepercayaan pada hubungan anak dengan staf atau perawat b. Sediakan aktivitas-aktivitas yang diarahkan pada penurunan tegangan dan pengurangan ansietas (misalnya berjalan atau joging, bola voli, latihan dengan musik, pekerjaan rumah tangga, permainan-permainan kelompok Rasional : tegangan dan ansietas dilepaskan dengan aman dan dengan manfaat bagi anak melalui aktivitas-aktivitas fisik c. Anjurkan anak untuk mengidentifikasi perasaan-perasaan yang sebenarnya dan untuk mengenali sensiri perasaan-perasaan tersebut padanya



28



Rasional : Anak-anak vemas sering menolak hubungan antara masalahmasalah emosi dengan ansietas mereka. Gunakan mekanisme-mekanisme pertahanan projeksi dan pemibdahan yang dilebih-lebihkan d. Perawat harus mempertahankan suasana tentang Rasional : Ansietas dengan mudah dapat menular pada orang lain e. Tawarkan bantuan pada wajtu-waktu terjadi peningkatan ansietas. Pastikan kembali akan keselamatan fisik dan fisiologis Rasional : Keamanan anak adalah prioritas keperawatan f.



Penggunaan sentuhan menyenangkan bagi beberaoa anak. Bagaimanapun juga anak harus berhati-hati terhadap penggunaannya Rasional : sebagaimana ansietas dapat membantu mengembangkan kecurigaan pada beberapa individu yang dapat salah menafsirkan sentuhan sebagai suatu agresi



g. Dengan berkurangnta ansietas, temani anak untuk mengetahui peristiwaperistiwa tertentu yang mendahului serangannya. Berhasil pada responsrespons alternatif pada kejadian selanjutnyta Rasional : Rencana tindakan memberikan anak perasaan aman untuk penanganan yang lebih berhasil terhadap kondisi yang sulit jika terjadi lagi h. Berikan obat-obatan dengan obat penenang sesuai dengan



yang



diperintahkan. Kaji untuk keefektifitasannya, dan beri petunjukkepada anak mengenai kemungkinan efek-efek samping yang memberi penharuh berlawanan Rasional



:



Obat-obatan



terhadap



ansietas



(misalnya



diazepam,



klordiasepoksida, alprazolam) memberikan perasaan lega terhadap efekefek yang tidak berjalan dari ansietas dan mempermudah kerjasama anak dengan terapi



6. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ansietas dan hiperaktif Tujuan :



29



a. Anak mampu untuk mencapai tidur tidak terganggu selama 6 sampai 7 jamn setiap malam dengan kriteria hasil: b. Anak mengungkapkan tidak adanya gangguan-gangguan pada waktu tidur c. Tidak ada gangguan-gangguan yang dialamti oleh perawat d. Anak mampu untuk mulai tidur dalam 30 menit dan tidur selama 6 sampai 7 jam tanpa terbangun Intervensi : a. Amati pola tidur anak, catat keadaan-keadaan yang menganggu tidur Rasional : Masalah harus diidentifikasi sebelum bantuan dapat diberikan b. Kaji gangguan-gangguan pola tidur yang berlangsung berhubungan dengan rasa takut dan ansietas-ansietas tertentu Rasional : Ansietas yang dirasakan oleh anak dapat mengganggu pola tidur anak sehingfga perlu diidentifikasi penyebabnya c. Duduk dengan anak sampai dia tertidur Rasional : kehadiran seseorang yang dipercaya memberikan rasa aman d. Pastikan bahwa makanan dan minuman yang mengandung kafein dihilangkan dari diet anak Rasional : Kafein adalah stimulan SSP yang dapat mengganggu tidur e. Berikan sarana perawatan yang membantu tidur (misalnya : gosok punggung, latihan gerak relaksasi dengan musik lembut, susu hangat dan mandi air hangat) Rasional : Sarana-sarana ini meningkatkan relaksasi dan membuat bisa tidur f. Buat jam-jam tidur yang rutin, hindari terjadinya deviasi dari jadwal ini Rasional : Tubuh memberikan reaksi menyesuaikan kepada suatu siklus rutin dari istirahat dan aktivitas g. Beri jaminan ketersediaan kepada anak jika dia terbangun pada malam hari dan dalam keadaan ketakutan Rasional : Kehadiran seseorang yang dipercaya memberikan rasa aman



30



7. Koping defensif berhubungan dengan harga diri rendah, kurang umpan balik atau umpan balik negatif yang berulang yang mengakibatkan penurunan makna diri Tujuan : a. Anak akan mendemonstrasikan kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain tanpa menjadi defensif, perilaku merasionalisasi atau mengekspresikan pikiran waham kebesaran dengan kriteria hasil : b. Anak



mengungkapkan



dan



menerima



tanggung



jawab



terhadap



perilakunya sendiri c. Anak



mengungkapkan



korelasi



antara



perasaan-perasaan



ketidakseimbangan dan keperluan untuk mempertahankan ego melalui rasionalisasi dan kemuliaan d. Anak tidak menertawakan atau mengkritik orang lain e. Anak berinteraksi dengan orang lain dengan situasi-situasi kelompok tanpa bersikap defensif Intervensi : a. Kenali dan dukung kekuatan-kekuatan ego dasar Rasional : memfokuskan pada spek-aspek positif dari kepribadian dapat membantu untuk memperbaiki konsep diri b. Beri semangat kepada anak untuk menteahui dan mengungkapkan dan bagaimana



perasaan



ini



menimbulkan



perilaku



defensif,



seperti



menyalahkan oprang lain karena prilakunya sendiri Rasional : Pengenalan masalah adalah langkah pertama pada proses perubahan ke arah resolusi c.



Berikan segera sebenarnya umpan balik yang tidaj mengancam untuk perilaku-perilaku yang tidak dapat diterima Rasional : Anak mungkin kurang pengetahuan tentang bagaiamna dia diterima oleh orang lain. Berikan informasi ini dengan cara yang tidak



31



mengancam dapat membantu untuk mengeliminasi perilaku yang tidak diinginkan d. Bantu anak untuk mengidentifikasi situasi-situasi yang menimbulkan sifat defensif dan praktik bermain peran dengan respons-respons yang lebih sesuai Rasional : Bermain peran memberikan percaya diri untuk menghadapi situasi-situasi yang sulit jika hal-hal tersebut benar-benar terjadi e. Berikan dengans egera umpan balik positif bagi perilaku-perilaku yang dapat diterima Rasional : Umpan balik positif meningkatkan harga diri dan memberi semangat untuk mengulangi perilaku-perilaku yang diinginkan f. Membantu anak untu menetapkan sasaran-sasaran yang realistis, konkret dan memerlukan tindakan-tindakan yang cocok untuk mencapai sasaran- sasaran ini Rasional : Keberhasilan akan meningkatkan harga diri g. Evaluasi dengan anak keefektifan perilaku-perilaku yang baru dan diskusikan adanya perubahan untuk perbaikan Rasional : Karena keterbatasan kemampuan untuk memecahkan masalah, bantuan



mungkin



diperlukan



untuk



menetapkan



kembali



dan



mengembangkan strategi baru, pada keadaan di mana metode-metode koping baru tertentu terbukti tidak efektif



8. Koping keluarga tidak efektif berhubungan dengan perasaan bersalah yang berlebihan, marah atau saling menyalahkan diantara anggota keluarga mengenai perilaku anak, kepenatan orang tua karena menghadapi anak dengan gangguan dalam jangka waktu lama Tujuan : a. Orang tua mendemonstrasikan metode intervensi yang lebih konsisten dan efektif dalam berespons perilaku anak dengan kriteria hasil : b. Mengungkatkan dan mengatasi perilaku negatif pada anak



32



c. Mengidentifikasi dan menggunakan sistem pendukung yang diperlukan Intervensi : a. Berikan informasi dan material yang berhubungan dengan gangguan anak dan teknik menjadi orang tua yang efektif Rasional : Pengetahuan dan ketrampilan yang tepat dapat meningkatkan keefektifan peran orang tua b. Dorong individu untuk mengungkapkan perasaan secara verbal dan menggali alternatif cara berhubungan dengan anak Rasional



:



Konseling



suportif dapat



membantu



keluarga dalam



mengembangkan strategi koping c. Beri umpan balik positif dan dorong metode menjadi orang tua yang efektif Rasional : Penguatan positif dapat meningkatkan harga diri dan mendorong kontinuitas upaya d. Libatkan saudara kandung dalam diskusi keluarga dan perencanaan interaksi keluarga yang lebih efektif Rasional : Masalah keluarga mempengaruhi semua anggota keluarga dan tindakan lebih efektif bila setiap orang terlibat dalam terapi tersebut e. Libatkan dalam konseling keluarga Rasional : terapi keluarga dapat membantu mengatasi masalah global yang mempengaruhi seluruh struktur keluarga. Gangguan pada salah satu anggota keluarga akan mempengaruhi seluruh anggota keluarga f. Rujuk pada sumber komunitas esuai indikasi, termasuk kelompok pendukung orang tua, kelas menjadi orang tua Rasional : mengembangkan sistem pendukung dapat meningkatkan kepercayaan diri dan keefektifan orang tua. Pemberian model peran atau harapan untuk masa depan



33



9. Defisit pengetahuan tentang kondisi, prognosis, perawatan diri dan kebutuhan terapi berhubungan dengan kurang sumber informasi, interpretasi yang salah tentang informasi Tujuan : a. Mengungkapkan secara verbal pemahaman tentang penyebab masalah perilaku, perlunya terapi dalam kemampuan perkembangan dengan kriteria hasil : b. Berpartisipasi dalam pembelajaran dan m,ulai bertanya dan mencari informasi secara mandiri c. Mencapai tujuan kognitive yang konsisten sesuai tingkat temperamen Intervensi : a. Berikan lingkungan yang tenang, ruang kelas berisi dirinya sendiri, aktivitas kelompok kecil. Hindari tempat yang terlalu banyak stimulasi, seperti bus sekolah, kafetaria yang ramai, aula yang ramai Rasional : Peredaan dalam stimulasi lingkungan dapat menurunkan distraktibilitas. Kelompok kecil dapat meningkatkan kemampuan untuk tepat pada tugas dan membantu klien mempelajari interaksi yang tepat dengan orang lain, menghindari rasa terisolasi b. Beri materi petunjuk format tertulis dan lisan dengan penjelasan langkah demi langkah Rasional



:



Keterampilan



belajar



yang



terurut



akan



meningkat.



Mengajarkan anak keterampilan pemecahan masalah, mempraktikkan contoh situasional. Keterampilan efektif dapat meningkatkan tingkat prestasi c. Ajarkan anak dan keluarga tentang penggunaan psikostimulan dan antisipasi respons perilaku Rasional : penggunaan psikostimulan mungkin tidak mengakibatkan perbaikan kenaikan kelas tanpa perubahan pada ketrampilan studi anak



34



d. Koordinasi seluruh rencana terapi dengan sekolah personel sederajat, anak, dan keluarga Rasional : keefektifan kognitif paling mungkin meningkat ketika terapi tidak terfragmentasi, juga tidak terlewatkannya intervensi signifikan karena kurangnya komunikasi interdisiplin.



L. DISCHARGE PLANNING



Hasil yang diharapkan dari pemberian asuhan keperawatan pada anak dengan penganiayaan seksual (sexual abuse) antara lain : 1. Anak tidak mengalami ansietas panik lagi 2. Anak mendemonstrasikan derajat percaya kepada perawat primer 3. Anak menerima perhatian dengan segera terhadap cedera fisiknya 4. Anak memulai perilaku yang konsisten terhadap respons berduka 5. Anak mendapatkan perhatian segera untuk cedera fisiknya jika ada 6. Anak menyatakan secara verbal jaminan keamanannya dengan segera 7. Anak mendiskusikan situasi kehidupannya dengan perawat primer 8. Anak mampu menyatakan secara verbal pilihan –pilihan yang tersedia untuk dirinya yang dari hal ini ia menerima bantuan 9. Anak mendemosntrasikan rasa percaya kepada perawat utama melalui mendiskusikan perlakuan penganiayaan melalui penggunaan terapi bermain 10. Anak mendemonstrasikan suatu penurunan dalam perilaku agresif



35



KASUS ISOLASI SOSIAL AKIBAT KORBAN PEMERKOSAAN (SEXUAL ABUSE) A. KASUS Nn. S 15 tahun, klien datang diantar oleh keluarganya pada tanggal 17 September 2018, dengan keluhan tidak mau bergaul dengan orang lain, tidak banyak bercakap-cakap, banyak melamun, mengurung diri dan sering menyendiri. Menurut keluarga, klien pernah mengalami gangguan jiwa sebelumnya sejak 1 tahun yang lalu dan di rawat di RSJ Ratumbuysang Manado yang pertama pada tanggal 12 Juni 2017 dikarenakan klien apatis, diam di kamar (mengurung diri), menolak berhubungan dengan orang lain karena mngalami keekrasan sexual lagi dari tetangganya. Dari pengkajian, didapatkan: klien tidak minum obat secara teratur sehingga pengobatan kurang berhasil. Keluarga klien tidak ada yang mengalami gangguan jiwa seperti yang dialami oleh klien. Klien mengatakan punya pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan karena klien mengalami kekerasan sexual oleh pamannya sendiri dulu. Klien juga merasa malu karena sampai sekarang dia merasa dirinya sudah kotor akibat kejadian waktu itu. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan TD : 120/ 80 mmHg, N: 86X/mnt, S:37,4°C, P:20X/mnt, TB:160cm, BB:50kg. Hasil pengkajian juga didapatkan klien tidak mengeluh terhadap keadaan fisiknya dan pada tubuh klien tidak menunjukkan adanya kelainan ataupun gangguan fisik lainnya.



B. 1.



PENGKAJIAN Identitas Klien :



Nama



: Nn. S



Umur



: 19 tahun



Agama



: Islam



Alamat



: Tuminting Link 4



Pekerjaan



:-



Tanggal masuk RS



: 17 September 2018



Tanggal pengkajian



: 19 September 2018



No. RM



: 67.95 36



2.



Alasan masuk :



Klien datang diantar oleh keluarganya pada tanggal 17 September 2018, dengan keluhan:  Tidak mau bergaul dengan orang lain  Tidak banyak bercakap- cakap  Banyak melamun  Mengurung diri  Sering menyendiri 3.



Faktor Predisposisi



a. Klien pernah mengalami gangguan jiwa sebelumnya sejak 1 tahun yang lalu dan di rawat di RSJ Ratumbuysang Manado yang pertama pada tanggal 12 juni 2017 dikarenakan klien apatis, diam di kamar (mengurung diri), menolak berhubungan dengan orang lain. b. Klien tidak minum obat secara teratur sehingga pengobatan kurang berhasil. c. Klien pernah mengalami, seksual d. Keluarga klien tidak ada yang mengalami gangguan jiwa seperti yang dialami oleh klien. e.



Klien mengatakan punya pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan.



Klien mengatakan pernah mengalami tindakan kekerasan sexual oleh pamannya f. Klien mengatakan malu karena sampai sekarang klien merasa dirinya kotor karena kejadian itu 4.



Faktor Presipitasi



Pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan: a. Masa anak-anak Klien tidak pernah mengalami hal yang tidak menyenangkan. b. Masa remaja Klien mengatakan punya pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan sesuai pernyataan klien “saya dulu pernah di perkosa oleh paman saya”. c. Masa Sekarang Klien mengatakan “ malu karena sampai sekarang merasa dirinya kotor karena telah di perkosa”.



5.



Pemeriksaan Fisik



a. Tanda- tanda vital TD : 120/ 80 mmHg 37



N : 86 X/ mnt S : 37,4° C P : 20 X/ mnt b. Ukur TB : 160 cm BB : 50 kg c. Keluhan fisik Dari hasil pengkajian didapatkan klien mengeluh terhadap keadaan fisiknya nyeri pada bagian genetalia. 6.



Psikososial



a. Genogram Klien belum menikah dan klien tinggal bersama ayah, ibu dan kedua adiknya,serta kakaknya. pengambilan keputusan dilakukan secara musyawarah, yang dipimpin oleh ayahnya. Pola asuh klien keras, penuh dengan kedisiplinan, klien merasa dirinya kotor dan hina akibat kejadian buruk tersebut. b. Konsep diri  Citra tubuh Klien mengatakan: menyukai seluruh bagian tubuhnya. Tidak ada kecacatan anggota tubuh dan dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Dengan pernyataan klien: “ saya menyukai seluruh bagian tubuh saya”.  Identitas diri Di



rumah



klien



berperan



sebagai



seorang



anak



dan



seorang



kakak,



menuntut klien merasa puas sebagai seorang Wanita , karena di keluarga klien di ajarkan untuk bertanggung jawab dan disiplin, serta di diperlakukan sebagai seorang anak perempuan. Dengan pernyataan klien: “saya di perlakukan sebagai seorang kakak perempuan yg bertanggung jawab”.  Peran Klien berperan sebagai anak dan kakak, yang harus berbakti dan menuntun adik- adik. Dengan pernyataan klien: “ di rumah saya di tuntut untuk bisa menuntun adik- adik saya.”  Harga diri Klien mengatakan malu apabila bergaul dengan teman dan orang- orang sekitar, karena mereka merasa apa yang terjadi padanya adalah sebuah aib. 38



Dengan pernyataan klien: “saya malu bermain dengan teman- teman.” c. Hubungan sosial  Orang terdekat Klien mengatakan tidak memiliki orang yang berarti dalam hidup, bila punya masalah,hanya memendam masalah sendiri. Dengan pernyataan klien: “ kalau saya ada masalah saya tidak punya tempat untuk bercerita, saya hanya memendamnya sendiri.”  Peran serta dalam kegiatan kelompok/ masyarakat Klien mengatakan dahulu pernah ikut-ikut mengaji Bersama teman-teman tapi semenjak kejadian itu saya merasa malu dan hina dan lebih banyak menhabiskan waktu sendirian, selama di RSJ lebih banyak menyendiri, tiduran dan jarang mengikuti kegiatan kelompok.” Dengan pernyataan klien: “ saya di rumah hanya diam di kamar, tidak pernah ikut kegiatan apapun.”  Hambatan dalam berhubungan dengan orang lain Klien mengatakan di rumah klien termasuk orang yang pendiam, malas bicara dengan orang lain, tidak ada teman dekat dengan klien dan klien tidak nyaman di lingkungan banyak orang dan ramai. Dengan pernyataan klien: “ saya tidak mempunyai teman dekat, saya juga tidak menyukai tempat yang ramai dan banyak orang.” d. Spiritual  Nilai dan keyakinan Klien beragama islam dan yakin adanya Allah, klien pasrah dengan keadaannya mungkin sudah ditakdirkan oleh Allah. Dengan pernyataan klien: “ saya yakin kalau saya bisa senbuh atas kehendak Allah.”  Kegiatan ibadah Klien mengatakan selama berada di RSJ tidak pernah menjalankan ibadah shalat 5 waktu, klien hanya berdoa dan yakin akan kesembuhan. Dengan pernyataan klien: “ saya tidak pernah sholat, saya hanya berdoa sama Allah supaya saya cepat sembuh.” 7.



Status Mental



a. Penampilan Klien tampak tidak rapi, baju tidak rapi, kuku klien tampak panjang, rambut acak- acakan. 39



b. Pembicaraan Kontak mata kurang selama komunikasi, berbicara seperlunya, klien tampak tidak mampu memulai pembicaraan,cenderung menolak untuk diajak berkomunikasi. c. Aktivitas motorik Klien terlihat lesu, lebih banyak duduk menyendiri dan tiduran daripada beraktivitas, klien mau beraktivitas apabila dimotivasi. d. Alam perasaan Klien tampak sedih, karena klien merasa sendiri, tidak ada yang peduli dengan dirinya, klien merasa putus asa dan tidak berharga dalam hidup ini. e. Afek Tidak ada perubahan roman muka pada saat diceritakan cerita lucu yang membuat tertawa, klien tampak biasa saja, hanya bereaksi bila ada stimulus emosi yang kuat (afek tumpul). f. Interaksi selama wawancara Klien lebih banyak diam, kontak mata pada saat wawancara kurang, klien lebih sering menunduk, bahkan sampai memutuskan pembicaraan atau pergi saat diajak bercakapcakap. g. Persepsi halusinasi Klien mengatakan klien suka mendengar bisikan seperti suara temannya menyuruh pergi, biasanya bisikan itu datang pada saat klien melamun. Dengan pernyataan pasien: “ saya suka mendengar bisikan dan bisikannya datang kalau saya sedang melamun.” h. Proses pikir Pembicaraan klien secukupnya. i. Isi pikir Selama wawancara, klien mengalami depersonalisasi (perasaan klien yang asing terhadap diri sendiri, orang atau lingkungan), sehingga klien menolak untuk berhubungan dengan orang lain dan tampak memisahkan diri dari orang lain. j. Tingkat kesadaran Klien sadar sepenuhnya ditandai klien tidak tampak bingung klien bisa menyebutkan namanya dengan benar, juga bisa membedakan waktu pagi, siang dan malam serta dapat menyebutkan tempat di mana klien berada.



40



k. Memori Klien mampu mengingat dengan baik kejadian jangka panjang, dan jangka pendek dan kejadian saat ini.  Jangka panjang Klien mampu mengingat tanggal masuk ke RSJP magelang.  Jangka pendek Klien mampu mengingat apa yang terjadi pada minggu ini.  Memori saat ini Klien dapat mengingat apa yang dilakukan tadi sebelum melakukan interaksi. l. Tingkat konsentrasi dan berhitung Klien mampu berhitung sederhana, klien mampu menyebutkan angka, klien juga mampu menjawab 3 dikurangi 1, klien menjawab 2. m. Kemampuan penilaian Klien mampu mengambil keputusan yang ringan misalnya klien memilih cuci tangan dulu sebelum makan. n. Daya tilik diri Klien menyadari bahwa dirinya berada di RSJ dan menyadari dirinya sakit. 8.



Kebutuhan Persiapan Peluang



a. Makan Klien makan 3X sehari, mampu menghabiskan 1 porsi makan dengan menu seimbang yang sudah disiapkan dari instalasi gizi (nasi, lauk, sayur, buah- buahan), klien makan pagi pukul 07.00 WIB, makan siang pukul 12.00 WIB, makan malam jam pukul 19.00 WIB, setelah makan klien merapikannya sendiri Dengan pernyataan klien: “ saya makan sesuai dengan jadwal yang di berikan di RSJ.” b. BAB/ BAK Bila klien ingin BAB/ BAK pergi ke WC tanpa bantuan orang lain, BAK ± 3X sehari dan BAB ± 1X sehari. Dengan pernyataan klien: “ saya BAB/BAK sendiri tanpa bantuan suster, biasanya BAK ± 3X sehari dan BAB ± 1X sehari.” c. Mandi Klien mandi di kamar mandi 2X sehari tanpa bantuan orang lain dan tidak lupa menggosok gigi, mencuci rambut 1 minggu sekali. 41



Dengan pernyataan klien: “ saya mandi 2X sehari tanpa di bantu siapapun, dan keramas 1 minggu sekali.” d. Berpakaian/ berhias Klien mengganti pakaian 1X sehari dilakukan sendiri walaupaun kurang rapi. Dengan pernyataan klien: “ saya ganti baju 1X sehari.” e. Istirahat dan tidur Klien tidur siang pukul 11.00- 12.00 WIB dan tidur malam pukul 20.00- 05.00 WIB, aktivitas sebelum tidur klien adalah melamun dan diam, tapi tidak lupa untuk membaca doa sebelum tidur. Setelah bangun klien langsung mandi. Dengan pernyataan klien: “ biasanya sebelum tidur saya melamun dan tidak lupa membaca do’a.” f. Penggunaan obat Klien mengatakan tidak mengetahui obat apa yang klien minum dan tidak mengetahui efek samping dan manfaat dari obat tersebut, minum obat 2X sehari dengan bantuan dari perawat, setelah minum obat merasa ngantuk dan lemas. Dengan pernyataan klien: “Saya tidak tahu apa nama obat yang saya minum, efek samping dan manfaatnya, tapi setelah minum obat tersebut saya merasa ngantuk dan lemas.” g. Pemeliharaan kesehatan Klien tidak mengetahui akan berobat kemana jika telah keluar dari tumah sakit. Dengan pernyatan klien: “Saya tidak tahu harus berobat kemana kalau saya sudah sembuh nanti.” h. Aktivitas di dalam rumah Klien mengatakan ketika di rumah klien tidak suka melakukan kegiatan apapun, seperti kegiatan rumah tangga sehari-hari. Klien tidak ikut dalam mengatur keuangan untuk kebutuhan seharinya. Dengan pernyataan klien: “Di rumah saya tidak pernah mengerjakan apapun, dan tidak pernah ikut mengatur biaya kebutuhan sehari- hari.” i. Aktivitas di luar rumah Klien mengatakan jarang keluar rumah, tidak suka berbelanja atau melakukan perjalanan. Dengan pernyataan klien: “Saya tidak jarang keluar rumah, tidak suka belanja dan melakukan perjalanan apapun.” 9.



Mekanisme Koping 42



Maladaptif: Klien mengatakan jika ia mempunyai masalah, klien senang memendamnya dan tidak mau menceritakannya kepada orang lain. 10. Masalah Psikososial dan Lingkungan Klien mengatakan tidak mengenal semua teman dan jarang berinteraksi dengan lingkungan. 11. Pengetahuan Keluarga klien mengerti bahwa klien mengalami gangguan jiwa, oleh sebab itu keluarga membawanya ke RSJ. 12. Aspek Medik Terapi medis: a. Clarpramazine(cpz)  Warna obat orange.  Dosis yg diberikan 10 mg/hari. 



Indikasi:



Untuk penanganan psikotik seperti skizopenia bisa menimbulkan efek seperti:ansietas dan agitasi,cegukkan yang sulit diatasi .anak hiperaktif yang menunjukkan aktifitas motorik yang berlebihan,masalah perilaku berat pada anak yang dikaitkan dengan perilaku hiperaktif lagi atau menyerang mual dan muntah berat.  Mekanisme kerja: Mekanisme kerja antipsikatik yang tepat belum dipahami sebelumnya namun mungkin berhubungan dengan antiodapaminergik.antipsikotik dapat menyeliat reseptor domain post maps pada ganglia basal,hipotalamus,sistem umbila batang ptak dan medula.  Efek samping : Seperti sedasi,sakit kepala, kejang, insomnia, pusing, keletihan, penglihatan kabur, kegelisahan, ansietas dan depresi.  Kontra indikasi : Penyakit hati, penyakit ginjal, kelainan jantung, ketergantungan obat, penyakit ssp, gangguan kesadaran disebabkan oleh depresi ssp.  Manfaat : Memberikan pikiran tenang,perilaku jadi lebih adaktif. b. Haloperidol (HPD)  Warna obat pink.  Dosis yang diberikan 3- 5 mg/ hari. 43



 Indikasi : Penatalaksanaan psikopsus kronik dan akut, pengendalian TIK dan pengucapanb vokal pada gangguan jiwa . penanggulangan dimensia pada lansia, pengendalian hiperaktivitas dan masalah perilaku berat pada anak- anak  Kontra indikasi: Penyakit hati, penyakit darah tinggi, epilepsi, kelainan jantung, ketergantungan obat, gangguan kesadaran, penyakit sindrom saraf pusat.  Efek samping: Mengantuk, penglihatan kabur, mulut kering, kelemahan otot, konstipasi.  Manfaat: Memberikan pikiran tenang, perilaku menjadi lebih adaftif. c. Trihexypenidil (THP)  Warna obatnya putih.  Dosis yang diberikan 2 mg/ hari.  Indikasi: Segala jenis penyakit parkinson, gejala ekstra piramida, berkaitan dengan obat- obat psikotik.  Kontra indikasi: Hipersensitivitas terhadap obat ini atau pada anti polinergik lain glaukoma sudut tertutup.  Efek samping: Mulut kering, penglihatan kabur, pusing, mual, muntah, bingung, agitasi, konstipasi, dilatasi ginjal, retensi urin.  Manfaat: Anti depresi, menetralkan dan menghilangkan efek samping dari anti spikasi seperti mual.



C. ANALISA DATA Data



Etiologi



Data objektif :



Masalah Keperawatan Isolasi Sosial



44



- Tidak mau bergaul dengan orang lain. - Tidak banyak bercakapcakap. - Banyak melamun. - Mengurung diri. - Sering menyendiri. - klien tidak minum obat secara



teratur



sehingga



pengobatan



kurang



berhasil. - Klien tampak sedih. -



Kontak



mata



selama



kurang



komunikasi,



berbicara seperlunya, klien tampak



tidak



memulai



mampu



pembicaraan,



cenderung menolak untuk diajak berkomunikasi. -



Tidak



ada



perubahan



roman muka pada saat diceritakan



cerita



yang membuat



lucu



tertawa,



klien tampak biasa saja, hanya bereaksi bila ada stimulus emosi yang kuat (afek tumpul). -



Klien



mengalami



depersonalisasi (perasaan klien yang asing terhadap diri sendiri, orang atau lingkungan),



sehingga 45



klien



menolak



untuk



berhubungan dengan orang lain



dan



tampak



memisahkan diri dari orang lain. Data subjektif : - Klien mengatakan punya pengalaman



masa



lalu



yang tidak menyenangkan dan dulu pernah dikucilkan oleh



teman-



temannya



waktu SMA. - Klien merasa malu karena sampai sekarang belum mendapatkan pekerjaan. - Klien mengatakan tidak memiliki



orang



yang



berarti dalam hidup, bila punya



masalah,hanya



memendam



masalah



sendiri. - Klien mengatakan tidak mengenal dan



semua teman



jarang



berinteraksi



dengan lingkungan. Data Objektif : -



Kontak selama



mata



Kegagalan kurang



situasional



komunikasi,



berbicara seperlunya, klien tampak memulai



tidak



Harga diri rendah



mampu



pembicaraan,



46



cenderung menolak untuk diajak berkomunikasi. - Klien terlihat lesu, lebih banyak duduk menyendiri dan



tiduran



beraktivitas,



daripada klien



beraktivitas



mau



apabila



dimotivasi. -



Klien



tampak



karena



sedih,



klien



merasa



sendiri, tidak ada yang peduli



dengan



dirinya,



klien merasa putus asa dan tidak berharga dalam hidup ini. Data subjektif - Klien mengatakan malu karena sampai sekarang belum



mendapatkan



pekerjaan dan keluarganya selalu



menuntut



klien



untuk segera bekerja. Data objektif :



Isolasi sosial



- Tidak mau bergaul dengan orang lain. - Mengurung diri. - Sering menyendiri. -



Kontak selama



mata



kurang



komunikasi,



berbicara seperlunya, klien tampak memulai



tidak



mampu



pembicaraan, 47



Resiko kesepian



cenderung menolak untuk diajak berkomunikasi. -



Klien



mengalami



depersonalisasi (perasaan klien yang asing terhadap diri sendiri, orang atau lingkungan), klien



sehingga



menolak



untuk



berhubungan dengan orang lain



dan



tampak



memisahkan diri dari orang lain. Data subjektif : - Klien mengatakan tidak memiliki



orang



yang



berarti dalam hidup, bila punya



masalah,hanya



memendam



masalah



sendiri. - Klien mengatakan tidak mengenal dan



semua teman



jarang



berinteraksi



dengan lingkungan.



D. DIAGNOSA & INTERVENSI KEPERAWATAN Diagnosa Keperawatan



NOC



NIC



1. Isolasi Sosial Domain Kenyamanan.



12



: 1. Lonliness severity



1. Counseling



Definisi: keparahan respon emosi Definisi: menggunakan



Kelas 3 : Kenyamanan , sosial atau respon isolasi.



proses interaktif yang



sosial.



Indikator:



berfokus



- Depresi menurun



kebutuhan masalah atau



48



pada



Definisi



:



pengalaman - Rasa mengisolasi diri menurun



sendirian yang dialami - Kesulitan menurun dalam



meningkatkan



individu



dukungan



dan



disadari merencanakan sesuatu



menyelesaikan masalah



lain dan sebagai hal yang



dan



negatif atau tahap yang2. Social Involvement



interpersonal.



mengancam



Aktifitas:



Definisi: Interaksi sosial dengan



Tidak



mau



orang, kelompok maupun



-



bergaul organisasi.



dengan orang lain.



cakap. - Banyak melamun.



-



- Mengurung diri. - Sering menyendiri.



-



Interaksi dengan teman



-



mengidentifikasi situasi



Interaksi dengan tetangga



atau masalah yang dapt



meningkat



menyebabkan distres



Interaksi dengan anggota



-



-



Definisi: tingkah laku individu



klien



seperlunya,tampak



mampu



menolak



Minta pasien mendata



Identifikasi perbedan pandangan pasien dan psikiatri.



-



kaji kemampuan atau



Bekerja sama dengan orang lain kekuatan pasien.



tidak meningkat. memulai-



Mengesampingkan sensitifitas 2. Self Esteem



pembicaraan, cenderung pada orang lain. untuk



diajak



Enhancement Definisi: membantu



berkomunikasi. -



-



yang mengintepretasikan



komunikasi,Indokator:



berbicara



tekhnik



alternatif masalah



Kontak mata kurang hubungan. selama



Gunakan refleksi



kurang3. Social interaction skills



- Klien tampak sedih.



Bantu pasien untuk



meningkat



secara teratur sehingga



berhasil.



Minta pasien untuk



perasaan



- Klien tidak minum obat keluarga



pengobatan



hubungan



mengekspresikan



Indikator:



- Tidak banyak bercakap--



-



koping,



sebagai beban oleh orang - Aktifitas dapat ditingkatkan



Batasan Karakterisitik : -



perasaan pasien untuk



pasien untuk



Tidak ada perubahan



meningkatkan



roman muka pada saat



kepribadian dalam



diceritakan



menilai dirinya.



cerita



lucu



yang membuat tertawa,



Aktifitas: 49



klien tampak biasa saja,



-



Monitor pernyataan



hanya bereaksi bila ada



tentang harga diri



stimulus emosi yang kuat



pasien.



(afek tumpul).



-



- Klien mengatakan punya pengalaman



meningkatkan atau



lalu



mengidentifikasi



yang tidak menyenangkan



kemampuannya.



dan



masa



Bantu pasien



dulu



pernah



-



Tingkatkan kontak



dikucilkan oleh teman-



mata paien dalam



temannya waktu SMA.



komunikasi dengan



- Klien merasa malu karena



orang lain.



sampai sekarang belum



-



Tingkatkan



mendapatkan pekerjaan.



kemampuan pasien



- Klien mengatakan tidak



untuk mengevaluasi



memiliki



orang



yang



tingkah lakunya.



berarti dalam hidup, bila punya



-



masalah,hanya



memendam



Tingkatkan kemampuan pasien



masalah



untuk menerima



sendiri.



kesempatan baru.



- Klien mengatakan tidak



-



Fasilitasi lingkungan



mengenal semua teman



dan aktifitas yang



dan jarang berinteraksi



dapat meningkatkan



dengan lingkungan.



harga diri. -



Monitor tingkat harga diri tiap waktu



-



Buat pernyataan positif tentang pasien.



3. Therapy group Definisi: Mengaplikasikan tekhnik psikoterapeutik 50



ke kelompok termasuk kesatuan dalam interaksi diantara anggota kelompok. Aktifitas: -



Tentukan tujuan kelompok (kominikasi, dukungan).



-



Bentuk kelompok maksimal 5-12 anggota.



-



Pilih anggota yang aktif dari kelompok untuk membuat respon yang baik.



-



Tentukan motivasi yang akan didapat dari kelompok terapi.



-



Gunakan ketua kelompok jika memungkinkan.



-



Bertemu tiap 1-2 jam setiap sesi.



-



Mulai dan akhiri dengan mempertahankan partisipasi pasien dan beri kesimpulan.



-



Susun kursi secara melingkar



-



51



Tingkatkan diskusi.



-



Gunakan role play dan menyelesaikan masalah



-



Ambil anggota baru untuk mempertahankan integritas kelompok.



STRATEGI PELAKSANAAN SP 1 Pasien: Membina hubungan saling percaya, membantu pasien mengenal penyebab isolasi sosial, membantu pasien mengenal keuntungan berhubungan dan kerugian tidak berhubungan dengan orang lain, dan mengajarkan pasien berkenalan SP 2 Pasien : Mengajarkan pasien berinteraksi secara bertahap (berkenalan dengan orang pertama-seorang perawat-) SP 2 Pasien : Mengajarkan pasien berinteraksi secara bertahap (berkenalan dengan orang pertama -seorang perawat-) SP 1 Keluarga :



Memberikan penyuluhan kepada keluarga tentang masalah isolasi sosial,penyebab isolasi sosial, dan cara merawat pasien dengan isolasi sosial



SP 2 Keluarga :



Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan masalah isolasi sosial langsung dihadapan pasien



1.



SP 3 Keluarga :



Membuat perencanaan pulang bersama keluarga



IMPLEMENTASI 1. Tindakan Keperawatan Untuk Klien SP 1 Pasien: Membina hubungan saling percaya, membantu pasien mengenal penyebab isolasi sosial, membantu pasien mengenal keuntungan berhubungan dan kerugian tidak berhubungan dengan orang lain, dan mengajarkan pasien berkenalan Orientasi (Perkenalan): “Assalammu’alaikum ” “Saya Perawat Mili ……….., Saya senang dipanggil Ses Mili …………, Saya perawat di Ruang Mawar ini… yang akan merawat Ibu.” “Siapa nama Ibu? Senang dipanggil siapa?” 52



“Apa keluhan S hari ini?” Bagaimana kalau kita bercakap-cakap tentang keluarga dan teman-teman S? Mau dimana kita bercakap-cakap? Bagaimana kalau di ruang tamu? Mau berapa lama, S? Bagaimana kalau 15 menit” Kerja: ”Siapa saja yang tinggal serumah? Siapa yang paling dekat dengan S? Siapa yang jarang bercakap-cakap dengan S? Apa yang membuat S jarang bercakap-cakap dengannya?” (Jika pasien sudah lama dirawat) ”Apa yang S rasakan selama S dirawat disini? O.. S merasa sendirian? Siapa saja yang S kenal di ruangan ini” “Apa saja kegiatan yang biasa S lakukan dengan teman yang S kenal?” “Apa yang menghambat S dalam berteman atau bercakap-cakap dengan pasien yang lain?” ”Menurut S apa saja keuntungannya kalau kita mempunyai teman ? Wah benar, ada teman bercakap-cakap. Apa lagi ? (sampai pasien dapat menyebutkan beberapa) Nah kalau kerugiannya tidak mampunyai teman apa ya S ? Ya, apa lagi ? (sampai pasien dapat menyebutkan beberapa) Jadi banyak juga ruginya tidak punya teman ya. Kalau begitu inginkah S belajar bergaul dengan orang lain ? « Bagus. Bagaimana kalau sekarang kita belajar berkenalan dengan orang lain” “Begini lho S, untuk berkenalan dengan orang lain kita sebutkan dulu nama kita dan nama panggilan yang kita suka asal kita dan hobi. Contoh: Nama Saya S, senang dipanggil Si. Asal saya dari Tumnting, hobi saya memasak” “Selanjutnya S menanyakan nama orang yang diajak berkenalan. Contohnya begini: Nama Kamu siapa? Senang dipanggil apa? Asalnya dari mana/ Hobinya apa?” “Ayo S dicoba! Misalnya saya belum kenal dengan S. Coba berkenalan dengan saya!” “Ya bagus sekali! Coba sekali lagi. Bagus sekali” “Setelah S berkenalan dengan orang tersebut S bisa melanjutkan percakapan tentang halhal yang menyenangkan S bicarakan. Misalnya tentang cuaca, tentang hobi, tentang keluarga, pekerjaan dan sebagainya.” Terminasi: ”Bagaimana perasaan S setelah kita latihan berkenalan?” ”S tadi sudah mempraktekkan cara berkenalan dengan baik sekali” ”Selanjutnya S dapat mengingat-ingat apa yang kita pelajari tadi selama saya tidak ada. Sehingga S lebih siap untuk berkenalan dengan orang lain. S mau praktekkan ke pasien lain. Mau jam berapa mencobanya. Mari kita masukkan pada jadwal kegiatan hariannya.” ”Besok pagi jam 10 saya akan datang kesini untuk mengajak S berkenalan dengan teman saya, perawat N. Bagaimana, S mau kan?” ”Baiklah, sampai jumpa. Assalamu’alaiku



SP 2 Pasien : Mengajarkan pasien berinteraksi secara bertahap (berkenalan dengan orang pertama -seorang perawat-) Orientasi : “Assalammualaikum S! ” “Bagaimana perasaan S hari ini? « Sudah dingat-ingat lagi pelajaran kita tetang berkenalan »Coba sebutkan lagi sambil bersalaman dengan Suster ! » 53



« Bagus sekali, S masih ingat. Nah seperti janji saya, saya akan mengajak S mencoba berkenalan dengan teman saya perawat N. Tidak lama kok, sekitar 10 menit » « Ayo kita temui perawat N disana » Kerja : ( Bersama-sama S saudara mendekati perawat N) « Selamat pagi perawat N, ini ingin berkenalan dengan N » « Baiklah S, S bisa berkenalan dengan perawat N seperti yang kita praktekkan kemarin « (pasien mendemontrasikan cara berkenalan dengan perawat N : memberi salam, menyebutkan nama, menanyakan nama perawat, dan seterusnya) « Ada lagi yang S ingin tanyakan kepada perawat N . coba tanyakan tentang keluarga perawat N » « Kalau tidak ada lagi yang ingin dibicarakan, S bisa sudahi perkenalan ini. Lalu S bisa buat janji bertemu lagi dengan perawat N, misalnya jam 1 siang nanti » « Baiklah perawat N, karena S sudah selesai berkenalan, saya dan S akan kembali ke ruangan S. Selamat pagi » (Bersama-sama pasien saudara meninggalkan perawat N untuk melakukan terminasi dengan S di tempat lain) Terminasi: “Bagaimana perasaan S setelah berkenalan dengan perawat N” ”S tampak bagus sekali saat berkenalan tadi” ”Pertahankan terus apa yang sudah S lakukan tadi. Jangan lupa untuk menanyakan topik lain supaya perkenalan berjalan lancar. Misalnya menanyakan keluarga, hobi, dan sebagainya. Bagaimana, mau coba dengan perawat lain. Mari kita masukkan pada jadwalnya. Mau berapa kali sehari? Bagaimana kalau 2 kali. Baik nanti S coba sendiri. Besok kita latihan lagi ya, mau jam berapa? Jam 10? Sampai besok.”



SP 3 Pasien : Melatih Pasien Berinteraksi Secara Bertahap (berkenalan dengan orang kedua-seorang pasien) Orientasi: “Assalammu’alaikum S! Bagaimana perasaan hari ini? ”Apakah S bercakap-cakap dengan perawat N kemarin siang” (jika jawaban pasien: ya, saudara bisa lanjutkan komunikasi berikutnya orang lain ”Bagaimana perasaan S setelah bercakap-cakap dengan perawat N kemarin siang” ”Bagus sekali S menjadi senang karena punya teman lagi” ”Kalau begitu S ingin punya banyak teman lagi?” ”Bagaimana kalau sekarang kita berkenalan lagi dengan orang lain, yaitu pasien O” ”seperti biasa kira-kira 10 menit” ”Mari kita temui dia di ruang makan” Kerja: ( Bersama-sama S saudara mendekati pasien ) « Selamat pagi , ini ada pasien saya yang ingin berkenalan. » « Baiklah S, S sekarang bisa berkenalan dengannya seperti yang telah S lakukan sebelumnya. » 54



(pasien mendemontrasikan cara berkenalan: memberi salam, menyebutkan nama, nama panggilan, asal dan hobi dan menanyakan hal yang sama). » « Ada lagi yang S ingin tanyakan kepada O» « Kalau tidak ada lagi yang ingin dibicarakan, S bisa sudahi perkenalan ini. Lalu S bisa buat janji bertemu lagi, misalnya bertemu lagi jam 4 sore nanti » (S membuat janji untuk bertemu kembali dengan O) « Baiklah O, karena S sudah selesai berkenalan, saya dan S akan kembali ke ruangan S. Selamat pagi » (Bersama-sama pasien saudara meninggalkan perawat O untuk melakukan terminasi dengan S di tempat lain) Terminasi: “Bagaimana perasaan S setelah berkenalan dengan O” ”Dibandingkan kemarin pagi, N tampak lebih baik saat berkenalan dengan O” ”pertahankan apa yang sudah S lakukan tadi. Jangan lupa untuk bertemu kembali dengan O jam 4 sore nanti” ”Selanjutnya, bagaimana jika kegiatan berkenalan dan bercakap-cakap dengan orang lain kita tambahkan lagi di jadwal harian. Jadi satu hari S dapat berbincang-bincang dengan orang lain sebanyak tiga kali, jam 10 pagi, jam 1 siang dan jam 8 malam, S bisa bertemu dengan N, dan tambah dengan pasien yang baru dikenal. Selanjutnya S bisa berkenalan dengan orang lain lagi secara bertahap. Bagaimana S, setuju kan?” ”Baiklah, besok kita ketemu lagi untuk membicarakan pengalaman S. Pada jam yang sama dan tempat yang sama ya. Sampai besok.. Assalamu’alaikum” 2. Tindakan Keperawatan untuk Keluarga SP 1 Keluarga : isolasi



Memberikan penyuluhan kepada keluarga tentang masalah sosial, penyebab isolasi sosial, dan cara merawat pasien dengan isolasi sosial



Orientasi: “Assalamu’alaikum Pak” ”Perkenalkan saya perawat H, saya yang merawat, anak bapak, S, di ruang Mawar ini” ”Nama Bapak siapa? Senang dipanggil apa?” ” Bagaimana perasaan Bapak hari ini? Bagaimana keadaan anak S sekarang?” “Bagaimana kalau kita berbincang-bincang tentang masalah anak Bapak dan cara perawatannya” ”Kita diskusi di sini saja ya? Berapa lama Bapak punya waktu? Bagaimana kalau setengah jam?” Kerja: ”Apa masalah yang Bp/Ibu hadapi dalam merawat S? Apa yang sudah dilakukan?” “Masalah yang dialami oleh anak S disebut isolasi sosial. Ini adalah salah satu gejala penyakit yang juga dialami oleh pasien-pasien gangguan jiwa yang lain”. ” Tanda-tandanya antara lain tidak mau bergaul dengan orang lain, mengurung diri, kalaupun berbicara hanya sebentar dengan wajah menunduk” ”Biasanya masalah ini muncul karena memiliki pengalaman yang mengecewakan saat berhubungan dengan orang lain, seperti sering ditolak, tidak dihargai atau berpisah dengan orang–orang terdekat” 55



“Apabila masalah isolasi sosial ini tidak diatasi maka seseorang bisa mengalami halusinasi, yaitu mendengar suara atau melihat bayangan yang sebetulnya tidak ada.” “Untuk menghadapi keadaan yang demikian Bapak dan anggota keluarga lainnya harus sabar menghadapi S. Dan untuk merawat S, keluarga perlu melakukan beberapa hal. Pertama keluarga harus membina hubungan saling percaya dengan S yang caranya adalah bersikap peduli dengan S dan jangan ingkar janji. Kedua, keluarga perlu memberikan semangat dan dorongan kepada S untuk bisa melakukan kegiatan bersamasama dengan orang lain. Berilah pujian yang wajar dan jangan mencela kondisi pasien.” « Selanjutnya jangan biarkan S sendiri. Buat rencana atau jadwal bercakap-cakap dengan S. Misalnya sholat bersama, makan bersama, rekreasi bersama, melakukan kegiatan rumah tangga bersama.” ”Nah bagaimana kalau sekarang kita latihan untuk melakukan semua cara itu” ” Begini contoh komunikasinya, Pak: S, bapak lihat sekarang kamu sudah bisa bercakapcakap dengan orang lain.Perbincangannya juga lumayan lama. Bapak senang sekali melihat perkembangan kamu, Nak. Coba kamu bincang-bincang dengan saudara yang lain. Lalu bagaimana kalau mulai sekarang kamu sholat berjamaah. Kalau di rumah sakit ini, kamu sholat di mana? Kalau nanti di rumah, kamu sholat bersana-sama keluarga atau di mushola kampung. Bagiamana S, kamu mau coba kan, nak ?” ”Nah coba sekarang Bapak peragakan cara komunikasi seperti yang saya contohkan” ”Bagus, Pak. Bapak telah memperagakan dengan baik sekali” ”Sampai sini ada yang ditanyakan Pak” Terminasi: “Baiklah waktunya sudah habis. Bagaimana perasaan Bapak setelah kita latihan tadi?” “Coba Bapak ulangi lagi apa yang dimaksud dengan isolasi sosial dan tanda-tanda orang yang mengalami isolasi sosial » « Selanjutnya bisa Bapak sebutkan kembali cara-cara merawat anak bapak yang mengalami masalah isolasi sosial » « Bagus sekali Pak, Bapak bisa menyebutkan kembali cara-cara perawatan tersebut » «Nanti kalau ketemu S coba Bp/Ibu lakukan. Dan tolong ceritakan kepada semua keluarga agar mereka juga melakukan hal yang sama. » « Bagaimana kalau kita betemu tiga hari lagi untuk latihan langsung kepada S ? » « Kita ketemu disini saja ya Pak, pada jam yang sama » « Assalamu’alaikum » SP 2 Keluarga :



Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan masalah isolasi sosial langsung dihadapan pasien



Orientasi: “Assalamu’alaikum Pak/Bu” ” Bagaimana perasaan Bpk/Ibu hari ini?” ”Bapak masih ingat latihan merawat anak Bapak seperti yang kita pelajari berberapa hari yang lalu?” “Mari praktekkan langsung ke S! Berapa lama waktu Bapak/Ibu Baik kita akan coba 30 menit.” ”Sekarang mari kita temui S” Kerja: ”Assalamu’alaikum S. Bagaimana perasaan S hari ini?” 56



”Bpk/Ibu S datang besuk. Beri salam! Bagus. Tolong S tunjukkan jadwal kegiatannya!” (kemudian saudara berbicara kepada keluarga sebagai berikut) ”Nah Pak, sekarang Bapak bisa mempraktekkan apa yang sudah kita latihkan beberapa hari lalu” (Saudara mengobservasi keluarga mempraktekkan cara merawat pasien seperti yang telah dilatihkan pada pertemuan sebelumnya). ”Bagaimana perasaan S setelah berbincang-bincang dengan Orang tua S?” ”Baiklah, sekarang saya dan orang tua ke ruang perawat dulu” (Saudara dan keluarga meninggalkan pasien untuk melakukan terminasi dengan keluarga) Terminasi: “ Bagaimana perasaan Bapak/Ibu setelah kita latihan tadi? Bapak/Ibu sudah bagus.” « «Mulai sekarang Bapak sudah bisa melakukan cara merawat tadi kepada S » « Tiga hari lagi kita akan bertemu untuk mendiskusikan pengalaman Bapak melakukan cara merawat yang sudah kita pelajari. Waktu dan tempatnya sama seperti sekarang Pak » « Assalamu’alaikum »



SP 3 Keluarga : Membuat perencanaan pulang bersama keluarga Orientasi: “Assalamu’alaikum Pak/Bu” ”Karena besok S sudah boleh pulang, maka perlu kita bicarakan perawatan di rumah.” ”Bagaimana kalau kita membicarakan jadwal S tersebut disini saja” ”Berapa lama kita bisa bicara? Bagaimana kalau 30 menit?” Kerja: ”Bpk/Ibu, ini jadwal S selama di rumah sakit. Coba dilihat, mungkinkah dilanjutkan di rumah? Di rumah Bpk/Ibu yang menggantikan perawat. Lanjutkan jadwal ini di rumah, baik jadwal kegiatan maupun jadwal minum obatnya” ”Hal-hal yang perlu diperhatikan lebih lanjut adalah perilaku yang ditampilkan oleh anak Bapak selama di rumah. Misalnya kalau S terus menerus tidak mau bergaul dengan orang lain, menolak minum obat atau memperlihatkan perilaku membahayakan orang lain. Jika hal ini terjadi segera hubungi perawat K di puskemas Indara Puri, Puskesmas terdekat dari rumah Bapak, ini nomor telepon puskesmasnya: (0651) 554xxx ”Selanjutnya perawat K tersebut yang akan memantau perkembangan S selama di rumah Terminasi: ”Bagaimana Pak/Bu? Ada yang belum jelas? Ini jadwal kegiatan harian S untuk dibawa pulang. Ini surat rujukan untuk perawat K di PKM Inderapuri. Jangan lupa kontrol ke PKM sebelum obat habis atau ada gejala yang tampak. Silakan selesaikan administrasinya!”



57



CATATAN PERKEMBANGAN KEPERAWATAN Nama klien : Nn. S No. CM : 67.95 Ruangan : Mawar Hari/Tgl/Pukul Nm.



Nama perawat/mahasiswa : Militia Sundalangi



Implementasi



Evaluasi



SP I Mengidentifikasi penyebab isolasi social Berdiskusi dengan pasien tentang keuntungan erinteraksi dengan orang lain Berdiskusi dengan pasien tentang kerugian menarik diri Mengajarkan klien cara berkenalan dengan satu orang



S: -Klien mengatakan senang berkenalan dengan temannya Klien mengatakan akan mencoba melakukan kegiatan yang telah diajarkan suster O : - Klien tampak kooperatif dengan perawatan -Klien dapat melakukan tindakan yang diajarkan oleh perawat A : - Klien mampu melakukan hal yang di contohkan perawat PK : Menganjurkan klien untuk melakukan kegiatan tersebut dan memasukan ke dalam jadwal kegiatan PP : Intervensi di lanjutkan



Dx Kep. Rabu/ Isolasi 19 September Sosial 2018 10.30-10.50 WITA -



-



58



Paraf



CATATAN PERKEMBANGAN KEPERAWATAN Nama Klien : Tn. J No CM : 67.95 Ruang : Mawar Hari/Tgl No.Dx Kep Kamis/ 20/09/2018 Jam 12.30 – 12.40



Nama perawat : Militia Sundalangi



Implementasi



Evaluasi



Isolasi sosial SP II



Paraf



S : - klien tampak



- Mengevaluasi jadwal



termenung



kegiatan harian



-



- Memberi kesempatan



Klien



kadang



menundukan kepala



kepada pasien



ketika interaksi



mempraktekan cara



-



Klien



suka



berkenalan dengan satu



menyendiri



orang



O:



- Membantu pasien



-



memasukan kegitan berbincang-bincang dengan orang lain



klien tampak jarang berinteraksi



-



klien lebih suka tidur A : klien mampu berinteraksi



dengan



temannya PK : menganjurkan klien



untuk



sering



tetap



berinteraksi



dengan



temannya



serta



berkenalan



dengan yang lain PP



:



melanjutkan



intervensi yaitu



isos



II



membantu



pasien untuk lebih sering dengan temannya 59



berinteraksi teman







CATATAN PERKEMBANGAN KEPERAWATAN Nama Klien No CM Ruang



: Tn. J : 67.95 : Mawar



Hari/Tgl



No.Dx Kep



Jumat/



Isolasi



21/09/2018



Sosial



Nama perawat : Militia Sundalangi



Implementasi SP III



kegiatan harian



– 08.15



senang



berkenalan



dengan temannya



- Memberi kesempatan



-



Paraf



S : Klien mengatakan



- Mengevaluasi jadwal



Jam 08.30



Evaluasi



O



:



Klien



tampak



kepada pasien



berinteraksi



mempraktekan cara



temannya



berkenalan dengan dua



A



orang



mepraktekan kegiatan



Membantu pasien



yang dicontohkan oleh



memasukan kegitan



perawat



berbincang-bincang dengan



PK



orang lain



klien untuk tetap sering



:



Klien



:



dengan



mampu



menganjurkan



berinteraksi



dengan



temannya



serta



berkenalan



dengan



yang lain PP



:



melanjutkan



intervensi isos III yaitu membantu pasien untuk lebih berinteraksi



sering dengan



teman – temannya



60



NASKAH ROLEPLAY KEPERAWATAN JIWA IMPLEMENTASI ASKEP PASIEN DENGAN GANGGUAN JIWA HALUSINASI: PENDENGARAN



Pada suatu hari di Rumah Sakit Jiwa Amino Gondohutomo tepatnya di Ruang Bougenville terdapat seorang pasien bernama Ni Made Wintari berumur 21 tahun akan dirawat dengan diagosa gangguan persepsi sensori: halusinasi (pendengaran). Beberapa menit kemudian, seorang perawat bernama Perawat Ilham menghampiri pasien tersebut yang tampak gelisah, sendiri, dan histeris. Perawat Ilham, pun langsung melakukan SP1 Pasien dimana salah satunya membantu pasien mengenal halusinasi, menjelaskan cara mengontrol halusinasi, mengajarkan pasien mengontrol halusinasi dengan menghardik halusinasi.



SP1 Pasien: Membantu pasien mengenal halusinasi, menjelaskan cara mengontrol halusinasi, mengajarkan pasien mengontrol halusinasi dengan menghardik halusinasi. Perawat : “Selamat pagi, Ibu. Saya Perawat dari Unsrat Manado yang akan merawat anda. Perkenalkan nama saya Perawat Ilham Haqiqi, senang dipanggil Perawat Ilham. Nama anda siapa? Senang di panggil apa?” Pasien



: “Nama saya Ibu Wintari, senang dipanggil Ibu Wiwin”



Perawat : “Baiklah Ibu Wiwin. Bagaimana perasaannya hari ini? Apa ada keluhannya hari ini?” Pasien



: “Saya takut Pak. Dari tadi ada orang yang terus membisik-bisikan saya.



Dia menyuruh saya bunuh diri. Saya takut Pak” Perawat : “Tenang bu, tenang. Dimana orangnya bu, dimana?” Pasien



: “Saya tidak tau Pak, tapi suara-suara itu terus saja datang!”



Perawat : “Baiklah, bagaimana kalau kita bercakap-cakap tentang suara yang selama ini Ibu Wiwi dengar, tetapi tidak tampak wujudnya?” Pasien



: “Iya Pak, baiklah.”



Perawat : “Dimana kita duduk?”



61



Pasien



: “Di sana Pak, di ruang tamu saja!”



Perawat : “Diruang tamu? Baiklah bu, ayo kita ke ruang tamu!” Pasien



: “Ayo Pak, cepat.”



Perawat : “Kalau boleh tau kita bercakap-cakapnya berapa lama bu?” Pasien



:



“Tolong Pak, suara itu datang lagi Pak. Ayo pak tolong saya!” Perawat : “Baiklah bu bagaimana kalau 30 menit?” Pasien



: “Iya, ya. Ayo cepat!”



Perawat : “Baiklah bu, apakah Ibu Wiwin mendengar suara tanpa ada wujudnya?” Pasien



: “Iya, Pak! Dari tadi suara itu terus mengganggu saya! Tolong saya



Pak!” Perwat



: “Kalau boleh tau bu, apa yang dikatakan suara itu?”



Pasien



: “Mati Kamu, Mati! Begitu Pak yang saya dengar. Saya jadi takut Pak.



Tolong saya!” Perawat : “Ibu Wiwin? Apakah suara itu terus-menerus terdengar atau sewaktuwaktu?” Pasien



: “Suara itu sering datang mengganggu saya Pak. Saya jadi takut. Mati



Kamu, Mati! Begitulah yang saya dengar Pak!” Perawat : “Kapan Ibu Wiwin sering mendengar suara itu?” Pasien



: “Suara itu sering datang ketika saya lagi sendiri Pak”



Perawat : “Biasanya berapa kali sehari Ibu Wiwin mendengar suara-suara itu?” Pasien



: “Biasanya, sering Pak. Lebih dari lima kali”



Perawat : “Lebih dari lima kali sehari ya? Kalau begitu, pada keadaan apa suara itu terdengar? Apakah pada waktu sendiri?” Pasien



: “Iya Pak. Suara-suara itu datang pas saya lagi sendiri Pak, pas lagi sepi-



sepinya suara itu juga pasti datang!” Perawat : “Apa yang Ibu Wiwin rasakan pada saat mendengar suara itu?” Pasien



: “Saya takut Pak, takut sekali!”



Perawat : “Apa yang Ibu Wiwin lakukan saat mendengar suara itu?” Pasien



: “Saya teriak Pak. “Tidak! Tidak! Saya Tidak Mau Mati!” Begitu saya bilang



Pak” Perawat : “Apakah dengan cara itu suara-suara itu hilang?”



62



Pasien



: “Tidak Pak, suara-suara itu tetap saja saya dengar. Tolong saya Pak, apa



yang harus saya lakukan, suara-suara itu terus saja datang!” Perawat : “Baiklah bu, Ibu Wiwin harus tenang sekarang ya! Bagaimana kalau kita belajar cara-cara untuk mencegah suara-suara itu muncul?” Pasien



: “Bagaimana caranya Pak?”



Perawat : “Begini Ibu Winin, ada empat cara untuk mencegah suara-suara itu muncul. Pertama, dengan menghardik suara tersebut. Kedua, dengan cara bercakap-cakap dengan orang lain. Ketiga, melakukan kegiatan yang sudah terjadwal, dan yang keempat minum obat dengan teratur.” Pasien Perawat



: “Ada empat ya Pak?” : “Iya bu. Bagaimana kalau kita belajar satu cara dulu, yaitu dengan



menghardik. Caranya adalah saat suara-suara itu muncul, langsung Ibu Wiwin bilang, “Pergi! Saya tidak mau dengar! Saya tidak mau dengar, kamu suara palsu!” sambil Ibu Wiwin menutup kedua telinganya, begitu diulang-ulang sampai suara itu tidak terdengar lagi. Coba Ibu Wiwin peragakan!” Pasien



: “(sambil menutup kedua telinganya) “Pergi! Saya tidak mau dengar! Saya tidak mau dengar, kamu suara palsu!” Begitu ya Pak?”



Perawat : “Iya bu. Nah begitu… bagus! Coba lagi bu!” Pasien



: “(sambil menutup kedua telinganya) “Pergi! Saya tidak mau dengar! Saya tidak mau dengar, kamu suara palsu!” Perawat : “Iya bagus, Ibu Wiwin sudah



bisa!” Pasien



: “Yeeeey. Saya bisa!”



Perawat : “Nah, bu, bagaimana perasaan Ibu Wiwin setelah memeragakan latihan tadi?” Pasien



: “Saya sudah lega. Dan saya sudah tidak takut lagi Pak”



Perawat : “Baguslah kalau begitu bu, nanti kalau suara-suara itu muncul lagi, silahkan coba cara tersebut ya bu! Pasien



: “Iya Pak, nanti saya coba lakukan”



Perawat : “Bagaimana kalu kita buat jadwal latihannya? Apakah Ibu Wiwin mau” Pasien



: “Mau Pak!”



63



Perawat : “Baiklah bu, maunya jam berapa saja latihannya bu? Pasien



: “Mmmm, jam 9 pagi, jam 3 sore sama jam 7 malam saja!”



Perawat : “Jam 9 pagi, jam 3 sore sama jam 7 malam pagi ya bu? (Memasukkan kegiatan latihan menghardik halusinasi dalam jadwal kegiatan harian Ibu Wiwin)” Pasien



: “Iya Pak”



Perawat : “Baiklah bu, tempatnya mau di mana?” Pasien



: “Di sini saja Pak!”



Perawat : “Baiklah bu, di sini ya bu!” Pasien



: “Iya Pak!”



Perawat : “Kalau begitu bagaimana kalau kita bertemu lagi untuk belajar dan latihan mengendalikan suara-suara dengan cara yang ke dua?” Pasien



: “Baik Pak!”



Perawat : “Pukul berapa maunya Ibu Wiwin?” Pasien



: “Nanti saja, pukul.... pukul....



berapa ya?” Perawat : “Bagaimana kalau dua jam lagi?” Pasien



: “Baiklah Pak!” Perawat : “Dimana tempatnya?” Pasien



: “Di sini saja



Pak!” Perawat : “Baiklah bu, kalau begitu saya permisi dulu. Sampai jumpa!” Pasien



: “Dadah!”



Setelah Perawat Ilham selesai melakukan SP1 Pasien, Perawat Ilham pun mengontrak waktu dua jam kemudian untuk mengevaluasi apa yang telah dijelaskan pada pasien dan sekaligus melakukan SP2 Pasien yaitu melatih pasien mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap bersama orang lain.



SP 2 Pasien: Melatih pasien mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap bersama orang lain. Perawat : “Selama siang, Ibu Wiwin?”



64



Pasien



: “Pagi, Pak!”



Perawat : “Bagaimana perasaanya Ibu Wiwin siang hari ini?” Pasien



: “Baik Pak!”



Perawat : “Apakah suara-suara itu masih muncul?” Pasein



: “Masih Pak!”



Perawat : “Apakah sudah dipakai cara yang telah kita latih tadi itu bu?” Pasien



: “Sudah Pak, tapi masih saja suara-suara itu datang Pak!”



Perawat : “Apa berkurangkah suara-suaranya bu?” Pasien



: “Iya, Pak. Suara-suara itu agak berkurang!”



Perawat : “Bagus bu! Sesuai janji kita tadi, saya akan latih Ibu cara kedua mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap dengan orang lain. Kita akan latihan selama 20 menit. Mau dimana kita latihannya bu? Disini saja?” Pasien



: “Iya Pak, di sini saja!”



Perawat : “Baiklah bu, cara kedua untuk mencegah/mengontrol halusinasi adalah dengan bercakap-cakap dengan orang lain. Jadi kalu nanti Ibu Wiwin mulai mendengar suara-suara itu lagi, langsunga saja cari teman untuk diajak ngobrol. Minta teman untuk ngobrol dengan Ibu Wiwin. Contohnya begini, “Tolong, saya mulai dengar suara-suara. Ayo ngobrol dengan saya!” Atau kalau ada orang dirumah, misalnya kakaknya Ibu Wiwin, katakan,”Kak, ayo ngobrol dengan Wiwin. Wiwin sedang mendengar suara-suara.” Begitu bu. Coba Ibu Wiwin lakukan seperti yang saya lakukan tadi!” Pasien



: “Tolong, saya mulai dengar suara-suara. Ayo ngobrol dengan saya!”



Perawat : “Iya, begitu. Bagus bu! Coba sekali lagi bu!” Pasien



: “Tolong, saya mulai dengar suara-suara. Ayo ngobrol dengan saya!”



Perawat : “Bagus! Nah, latih terus ya Ibu Wiwin!” Pasien



: “Iya Pak!”



Perawat : “Disini, Ibu Wiwin dapat mengajak perawat atau pasien lain untuk bercakap-cakap jika nanti suara-suara itu datang lagi. Apakah Ibu Wiwin mengerti?” Pasien



: “Iya Pak, saya mengerti!” 65



Perawat : “Baguslah kalau begitu bu. Nah sekarang bagaimana perasaan Ibu Wiwin setelah latihan ini?” Pasien



: “Saya merasa lega Pak!”



Perawat : “Baguslah bu. Jadi, sudah ada berapa cara yang Ibu Wiwin pelajari untuk mencegah suara-suara itu datang lagi?” Pasien



: “Sudah dua cara Pak!”



Perawat : “Bagus, cobalah kedua cara ini kalau nanti Ibu Wiwin mendengar suara-suara itu lagi. Bagaiman kalau kita masukkan dalam jadwal kegiaan harian Ibu Wiwin?” Pasien



: “Iya Pak”



Perawat : “Mau jam berapa kita latihan bercakap-cakapnya bu?” Pasien



: “Jam 9 pagi, jam 3 sore sama jam 7 malam Pak!”



Perawat : “Wah bagus bu. Jadi, nanti Ibu Wiwin lakukan secara teratur jika sewaktu-waktu suara itu muncul lagi ya bu! Besok pagi saya akan kesini lagi.” Pasien



: “Iya Pak”



Perawat : “Bagimana kalau kita latih cara yang ketiga, yaitu melakukan aktifitas terjadwal?” Pasien



: “Iya Pak, boleh!”



Perawat : “Kira-kira maunya jam berapa bu?” Pasien



: “Besok pagi-pagi Pak!”



Perawat : “Bagaimana kalau jam 10 pagi bu?” Pasien



: “Iya Pak, boleh”



Perawat : “Mau dimana kita latihannya bu? Disini lagi?” Pasien



: “Disini lagi Pak!”



Perawat : “Baiklah bu kalau begitu besok jam 10 pagi kita latihan disini ya bu. Sampai besok bu. Selamat siang!” Pasien



: “Siang Pak!” Dua puluh menit kemudian Perawat Ilham selesai melakukan SP2 pasien



dan telah memasukkan kegiatan yang telah dilakukan dalam jadwal kegiatan harian pasien. Perawat Ilham pun mengontrak waktu untuk besok pagi.



66



Keesokan harinya, sesuai dengan yang telah disepakati dengan pasien, Perawat Ilham pun kembali ke ruangan pasien Ibu Wiwin untuk mengevaluasi kegiatan yang telah dilakukan sebelumnya, sekaligus melakukan SP3 Pasien yaitu melatih pasien mengontrol halusinasi dengan melaksanakan aktivitas terjadwal. SP 3 Pasien: Melatih pasien mengontrol halusinasi dengan melaksanakan aktivitas terjadwal. Perawat : “Selamat pagi Ibu Wiwin! Bagaimana perasaanya hari ini?” Pasien



: “Pagi, baik Pak!”



Perawat : “Apakah Ibu Wiwin masih ingat dengan saya?” Pasien



: “Masih Pak!”



Perawat : “Coba Ibu Wiwin sebutkan nama saya!” Pasien



: “Nama bapak, Perawat Ilham!”



Perawat : “Wah, bagus bu. Ibu Wiwin masih mengingat nama saya dengan benar! Bagus bu!” Pasien



: “Hehehe”



Perawat : “Oh iya, Bu! Apakah suara-suaranya masih muncul bu?” Pasien



: “Iya Pak, suaranya masih terus saja muncul, “Mati Kamu, Mati!” Ituitu saja yang saya dengar Pak!”



Pasien Pasien



: “Apakah sudah dipakai dua cara yang telah kita latih kemarin bu?” : “Iya Pak, saya sudah memakai dua cara yang sudah Bapak ajarkan kemarin”



Perawat : “Bagaimana hasilnya bu?” Pasien



: “Begini Pak, suara-suaranya agak mulai berkurang. Lebih sedikit dari pada yang kemarin itu Pak!”



Perawat : “Wah bagus, bu. Ibu Wiwin sudah pintar menggunakan dua cara yang saya ajarkan kemarin, bagus bu! Kalau begitu sesuai janji kita kemarin, hari ini kita akan belajar cara yang ketiga untuk mencegah halusinasi yaitu melakukan kegiatan terjadwal! Kalau begitu ibu maunya dimana kita bicara bu?” 67



Pasien



: “Di ruang tamu saja Pak!”



Perawat : “Baik, kita duduk diruang tamu ya bu! Kira-kira berapa lama kita bicara bu?” Pasien



: “Iya Pak. Lama-lama juga boleh!”



Perawat : “Bagaimana kalau 30 menit bu?” Pasien



: “Iya Pak, boleh!”



Perawat : “Baiklah kalu begitu bu, ayo kita ke ruang tamu!” Pasien



: “Ayo Pak!”



Perawat : “ Nah, kalau boleh tau apa saja yang biasa Ibu Wiwin lakukan?” Pasien



: “Apa ya?! Banya Pak”



Perawat : “Oh, banyak ya bu? Kalu pagi-pagi apa kegiatannya?” Pasien



: “Kalau pagi-pagi, saya membersihkan tempat tidur, mandi, sarapan, senam, menyiram bunga, menonton tv, menyapu, sama apalagi ya? Banyak Pak!”



Perawat : “Wah bagus bu. Kegiatannya di pagi hari banyak juga ya! Terus jam berikutnya apa?” Pasien



: “Maksud Bapak, siang?”



Perawat : “Iya bu, kalau siang kegiatannya apa saja?” Pasien



: “Kalau siangnya, saya makan siang, menonton tv, menyapu, membersihkan jendela, dan tidur siang Pak!”



Perawat : “Kalau malamnya, apa saja kegiatannya bu?” Pasien



: “Kalau malam harinya, saya menonton tv, makan malam, mentup jendela, dan minum obat Pak!”



Perawat : “Wah banyak sekali kegiatannya ya bu! Kalau begitu bu, mari kita latih dua kegiatan hari ini yaitu, latihan menyapu dan membersihkan jendela. Bagaimana bu, apakah Ibu Wiwin mau?” Pasien



: “Mau Pak!”



Perawat : “Baiklah bu, coba sekarang Ibu Wiwin menyapu lantai di ruang tamu ini, apakah Ibu Wiwin bisa?” Pasien



: “Bisa Pak! (sambil menyapu lantai ruang tamu)”



Perawat : “Nah, bagaimana kalau sekarang Ibu Wiwin membersihkan jendela ruang tamu ini?” 68



Pasien



: “Baik Pak! (sambil membersihkan jendela ruang tamu)”



Perawat : “Wah bagus sekali bu, Ibu Wiwin sudah menyapu dan membersihkan jendela dengan benar. Bagus sekali bu!” Pasien



: “Yeyyyy, bagus, bagus!”



Perawat : “Baik bu, kegiatan ini dapat Ibu Wiwin lakukan untuk mencegah suara tersebut muncul kembali. Kegiatan yang lain akan kita latih lagi agar dari pagi sampai malam ada kegiatan, bagaimana bu apakah ibu bersedia?” Pasien



: “Iya Pak, saya bersedia!”



Perawat : “Nah, sekarang, bagaimana perasaan Ibu Wiwin setelah kita bercakapcakap cara yang ketiga untuk mencegah suara-suara itu kembali lagi?” Pasien



: “Saya merasa senang dan lega Pak!”



Perawat : “Bagus sekali bu! Coba Ibu Wiwin sekarang sebutkan tiga cara yang telah kita latih untuk mencegah suara-suara itu muncul lagi bu!” Pasien



: “Iya Pak. Yang pertama menghardik, yang kedua bercakap-cakap dengan orang lain, dan yang ketiga dengan melakukan aktivitas terjadwal Pak”



Perawat : “Wah, bagus sekali bu. Nah sekarang mari kita masukkan dalam jadwal kegiatan harian Ibu Wiwin.” Pasien



: “Iya Pak!”



Perawat : “Nah, nanti Ibu Wiwin bisa mencoba melakukan latihan-latihan yang sudah kita lakukan itu sesuai jadwal ya!” Pasien



: “Iya, baik Pak!”



Perawat : “Kalau begitu bagaimana bu kalau menjelang malam nanti, kita membahas cara minum obat yang baik serta kegunaan obat?” Pasien



: “Iya Pak, boleh!”



Perawat : “Maunya jam berapa bu?” Pasien



: “Siang aja Pak!”



Perawat : “Bagaimana kalau jam 12 bu?” Pasien



: “Boleh Pak!”



Perawat : “Ibu Wiwin maunya di tempat biasa atau dimana?” Pasien



: “Di ruang makan saja Pak!” 69



Perawat : “Baiklah bu, diruang makan ya! Kalau begitu saya pamit dulu bu. Sapai jumpa!” Pasien



: “Sampai jumpa!” Perawat Ilham pun selesai melakukan SP2 Pasien dan tak lupa juga



perawat mengontrak waktu pada pukul 12 siang untuk melakukan SP4 Pasien. Setelah pukul 12 siang, perawat pun datang sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat dengan pasien. Dan setelah itu, perawat pun melakukan SP4 Pasien yaitu melatih pasien minum obat secara teratur. SP 4 Pasien: Melatih pasien minum obat secara teratur. Perawat : “Selamat siang Ibu Wiwin! Bagaimana perasaannya siang ini?” Pasien



: “Siang Pak. Saya baik Pak!”



Perawat : “Apakah suara-suaranya masih muncul bu?” Pasien



: “Masih Pak, tapi sedikit!”



Perawat : “Apakah sudah digunakan tiga cara yang sudah kita latih kemarin itu bu?” Pasien



: “Sudah Pak!”



Perawat : “Apakan jadwal kegiatannya sudah dilaksanakan bu?” Pasien



: “Sudah Pak!”



Perawat : “Apakah pagi tadi sudah minum obat bu?” Pasien



: “Sudah Pak!”



Perawat : “Baik. Siang hari ini kita akan mendiskusikan tentang obat-obatan yang Ibu Wiwin minum. Kita akan diskusi selama 20 menit sambil menunggu makan siang. Disini saja ya Ibu Wiwin?.” Pasien



: “Iya Pak, disini saja sambil menunggu makan siang. Saya sudah lapar soalnya!”



Perawat : “Kalau boleh tau Ibu Wiwin, adakah bedanya setelah minum obat secara teratur?” Pasien



: “Kalau saya minum obat secara teratur, saya merasa tenang, lega dan ringan Pak!”



Perawat : “Apakah suara-suara itu berkurang atau menghilang bu?”



70



Pasien



: “Tetap saja suara-suara itu muncul Pak, walaupun saya sudah eminum obat yang diberikan! Kenapa begitu Pak? Padahal setiap hari saya selalu meminum obat saya secara teratur!”



Perawat : “Begini Ibu Wiwin, minum obat itu sangat penting agar suara-suara yang Ibu Wiwin dengar dan mengganggu selama ini tidak muncul lagi. Nah, kalau boleh tahu berapa macam obat yang Ibu Wiwin minum?” Pasien



: “Banyak Pak!”



Perawat : “(Perawat menyiapkan obat pasien). Jadi bu, ini yang warna orange (chlorpromazine, CPZ) gunanya untuk menghilangkan suara-suara. Obat yang warna putih (tpyhexilpendil, THP) gunanya agar Ibu Wiwin merasa rilex dan tidak kaku, sedangkan yang merah jambu (haloperidol, HIP) berfungsi untuk menenangkan pikiran dan menghilangkan suarasuara. Semua obat ini diminum 3 kali sehari, tiap pukul 7 pagi, 1 siang, dan 7 malam. Apakah Ibu Wiwin mengingat fungsi obat-obat ini? Coba diulangi bu!” Pasien



: “Baik Pak. Kalau yang berwarna oranye untuk menghilangkan suarasuara, yang berwarna putih agar merasa rilex, dan yang merah jambu untuk menenangkan pikiran!”



Perawat : “Wah, Ibu Wiwin pintar sekali. Bagus sekali Ibu Wiwin mengingat fungsi obat-obatnya. Baiklah bu nanti kalau suara-suara sudah hilang obatnya tidak boleh dihentikan ya.” Pasien



: “Iya Pak”



Perawat : “Nanti konsultasikan dengan dokter, sebab kalau putus obat, Ibu Wiwin akan kambuh dan sulit sembuh seperti keadaan semula. Dan kalau obatnya habis, Ibu Wiwin bisa minta ke dokter untuk mendapatkan obat lagi. Apakah Ibu Wiwin mengerti?” Pasien



: “Iya Pak, saya mengerti!”



Perawat : “Baiklah. Ibu Wiwin juga harus teliti saat minum obat-obatan ini. Pastikan obatnya benar, artinya Ibu Wiwin harus memastikan bahwa itu benar-benar obat punya Ibu Wiwin. Jangan keliru dengan obat milik orang lain. Baca nama kenasannya. Pastikan obat diminum pada



71



waktunya, dengan cara yang benar, yaitu diminum sesudah makan da tepat jamnya ya bu ya!” Pasien



: “Iya Pak!”



Perawat : “Ibu Wiwin juga harus memperhatikan berapa jumlah obat sekali minum, dan Ibu Wiwin juga harus cukup minum 10 gelas per hari. Bagaimana bu, apakah Ibu Wiwin mengerti?” Pasien



: “Iya, ya saya mengerti Pak!”



Perawat : “Baiklah kalau begitu. Nah, sekarang bagaimana perasaan Ibu Wiwin setalah kita bercakap-cakap mengenai obat?” Pasien



: “Saya merasa lega, bahagia, dan saya sudah mengerti tentang apa yang Bpak Ilham katakan.”



Perawat : “Wah bagus bu. Nah sekarang coba sebutkan sudah berapa cara yang kita latih untuk mencegah suara-suara, coba sebutkan bu!” Pasien



: “Sudah empat cara Pak, yang pertama menghardik, yang kedua bercakap-cakap dengan orang lain, yang ketiga melakukan aktivitas yang terjadwal dan yang keempat minum obat Pak!”



Perawat : “Bagus! Ibu Wiwin sudah menyebutkan empat cara yang sudah kita latih dengan benar. Bagus sekali bu! Kalau begitu mari kita masukkan jadwal minum obatnya pada jadwal kegiatan harian Ibu Wiwin!” Pasien



: “Yeyyy, bagus... bagus...!”



Perawat : “Oh iya bu, jangan lupa pada waktunya minum obat, minta obatnya pada perawat atau pada keluarga Ibu Wiwin kalau dirumah ya bu ya!” Pasien



: “Iya Pak”



Perawat : “Nah, makanan Ibu Wiwin sudah datang! Kalau begitu, kita ketemu lagi untuk melihat manfaat 4 cara mencegah suara-suara muncul yang telah kita bicarakan. Bagaimana kalau minggu depan?” Pasien



: “Iya Pak, boleh!”



Perawat : “Ibu Wiwin maunya pukul berapa?” Pasien



: “Seperti tadi itu Pak!”



Perawat : “Bagaiman kalau pukul 10 pagi?” Pasien



: “Baik Pak”



Perawat : “Kalau begitu, selamat istirah ya bu. Sampai jumpa. Selamat siang!”



72



Pasien



: “Selamat siang Pak Ilham!”



73



BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Kasus kekerasan seksual yang dialami oleh anak dibawah umur belakangan ini semakin banyak muncul dipermukaan.Hal ini belum tentu merupakan indikator meningkatnya jumlah kasus, karena fenomena yang terjadi adalah fenomena gunung es, jumlah yang terlihat belum tentu menunjukkan fakta yang sesungguhnya.Meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap penegakan hukum merupakan salah satu faktor meningkatnya pelaporan kasus kekerasan seksual. Penganiayaan seksual pada anak didefinisikan sebagai adanya tindakan seksual yang mencakup tetapi tidak dibatas pada insiden membuka pakaian, menyentuh dengan cara yang tidak pantas dan penetrasi (koitus seksual), yang dilakukan dengan seorang anak untuk kesenangan seksual orang dewasa. Insest telah didefinisikan sebagai eksploitasi seksual pada seorang anak di bawah usia 18 tahun oleh kerabat atau buka kerabat yang merupakan orang dipercaya dalam keluarga (Townsend, 1998). Anak sebagai pelaku kekerasan seksual, sangat mungkin sebelumnya adalah korban dari kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelaku lain. Kemungkinan motif kekerasan yang dilakukannya adalah untuk eksploitasi-memuaskan rasa ingin tahu, atau menirukan kejadian yang dialami sebelumnya, baik dari perlakuan langsung maupun dari media yang dilihatnya.Dengan adanya azas praduga tak bersalah, hendaknya ditelusuri dengan mendalam faktor yang mendorong anak menjadi pelakukekerasan seksual, agar anak tidak dua kali menjadi korban (Maria, 2008). Efek klinis pencabulan berkisar dari pendarahan pada genital dan anus, fisur pada anus, pembesaran liang vagina dan anus, dan penipisan/kerusakan hymen pada vagina. Efek psikologis pencabulan terhadap anak umumnya berjangka panjang, antara lain: kemarahan, kecemasan, mimpi buruk, rasa tak Iman, kebingungan, ketakutan, kesedihan, dan perubahan perilaku baik menjadi buruk



74



B. SARAN Berdasarkan asuhan keperawatan anak pada retardasi mental maka disarankan : 1. Perawat Perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pada anak dengan seksual abuse dapat melibatkan anak dalam brain Gym untuk memfokuskan perhatian anak dan melupakan peristiwa trauma akibat penganiayaan seksual. 2. Sekolah Sekolah dapat bekerja sama dengan keluarga dan para dokter untuk membantu anak korban aniaya seksual di sekolah. Komunikasi terbuka antara orangtua dan staf sekolah dapat merupakan kunci keberhasilan anak dalam menyesuaikan diri di sekolah. 3. Keluarga/Orang tua Keluarga atau orang tua dalam membantu anak yang mengalami seksual abuse harus memberikan perawatan anak dengan metode yang berbeda dengan anak yang normal. Oleh karena itu hendaknya orang tua atau keluarga menyusun kegiatan sehingga anak mempunyai rutinitas yang sama tiap hari, mengatur kegiatan harian, menggunakan jadwal untuk pekerjaan rumah, dan memperpertahankan aturan secara konsisten dan berimbang.



75



DAFTAR PUSTAKA Doengoes, M.E. Townsend, M.C. Moorhouse, M.F. (2007). Rencana asuhan keperawatan Psikiatri (terjemahan).Edisi 3.Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC Elia,



H.



(2003).



Korban



Pelecehan



Seksual



Usia



Muda



..!.



http://64.203.71.11/kesehatan/news/0307/21/103523.htm. Diakses tanggal 28 Februari 2015 FKUI.(2006).



Pendahuluan



Sebuah



Tinjauan



.http://www.freewebs.com/ childabusea1/.htm. Diakses tanggal 28 Februari 2015 Freewebs,



(2006).Pola



Child



Sexual



Abuse.



http://www.freewebs.com/



forensik_sexual_abuse/.htm. Diakses tanggal 28 Februari 2015 Jeanne Wess, and Videbeck (2008) Metode Penelitian Pengetahuan Sosial. Alih



bahasa:



Sulistia,



Mujianto, Sofwan,



Ahmad,



dan



Suhardjito. Semarang: IKIP Semarang Press. Maria. (2008). Hadapi Kekerasan Seksual Pada Anak Hendaknya Tetap Mempertimbangkan



Faktor



Psikologis



http://apindonesia.com/new/index.php?option=com_content&task =view&id=1656&Itemid=62. Diakses 28 Februari 2015 Minangsari, D. (2007. Merespons Anak yang Mengalami Pelecehan Seksual!. http://www.kesrepro.info/?q=node/194.



Diakses



tanggal



28



Februari 2015 Pramono, B. (2009). Penyiksaan Anak. http://groups.yahoo.com/group/ urantiaindonesia/message/1516. Diakses tanggal 28 Februari 2015



76



Smith, M.S. (1998). Sexual harassment in the Workplace: Perspectives, Frontiers and Response Strategies. Vol 5 Women & Work, Sage Publications, New Delhi. Suda, I.K, (2006). Topik Interaktif: "Membedah Penyebab Kekerasan Seksual terhadap Anak"Penyebab Kekerasan Seksual terhadap Anak http://www.dradio1034fm.or.id/detail.php?id=4269. Diakses 28 Februari 2015 Townsend, M.C. (1998). Buku Saku Diagnosa Keperawatan pada Keperawatan Psikiatri



pedoman



Untuk



Pembuatan



rencana



Perawatan



(terjemahan).Edisi 3.Jakarta : penerbit Buku Kedokteran EGC.



77