Asuhan Keperawatan Pada Ibu Hamil Dengan HIV [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Asuhan Keperawatan pada Ibu Hamil dengan HIV/AIDS Pembuatan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah HIV/AIDS. Dosen: Raihany Solihatul M, S. Kep., Ners.,M.Kep Disusun: Kelompok 2, Kelas A



1. Agus R Azaki 2. Dapid Arian 3. Elih Nurul Hasanah 4. Juliana Hidayati 5. Lani Ana Fauziah 6. Lisna Widiyanti 7. Lisnasari 7. M. Irsal 8. M. Wisnu Suryaman 9. N. Aneu Nuraeni 10. Palma Alfira 11. Rati 12. Siska Komariah 13. Tirta Budiman



AK.1.16.06 AK.1.16.011 AK.1.16.016 AK.1.16.027 AK.1.16.030 AK.1.16.031 AK.1.16.032 AK.1.16.033 AK.1.16.035 AK.1.16.040 AK.1.16.042 AK.1.16.044 AK.1.16.048 AK.1.16.051



PROGRAM STUDY S1 KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BHAKTI KENCANA BANDUNG 2018



KATA PENGANTAR



Alhamdulillah segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan pada Ibu Hamil dengan HIV/AIDS”. Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat saran, dorongan, serta keterangan-keterangan dari berbagai pihak yang merupakan pengalaman yang tidak dapat diukur secara materi, namun dapat membukakan mata penulis bahwa sesungguhnya pengalaman dan pengetahuan tersebut adalah guru yang terbaik bagi penulis. Dalam penyusunan makalah ini, penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan yang dibuat baik sengaja maupun tidak sengaja, dikarenakan keterbatasan ilmu pengetahuan dan wawasan serta pengalaman yang penulis miliki. Untuk itu kami mohon maaf atas segala kekurangan tersebut dan tidak menutup diri terhadap segala saran dan kritik serta masukan yang bersifat kontruktif bagi penulis. Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.



Bandung, Mei 2018



Tim Penyusun



i



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR .................................................................................... i DAFTAR ISI ................................................................................................... ii BAB I



PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang........................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ..................................................................... 6 1.3 Tujuan Penulisan ....................................................................... 7 1.4 Manfaat Penulisan ..................................................................... 7



BAB II



TINJAUAN TEORI 2.1 HIV/AIDS pada Kehamilan....................................................... 8 2.1.1 Definisi HIV/AIDS .......................................................... 8 2.1.2 Epidemiologi ................................................................... 11 2.1.3 Etiologi ............................................................................ 16 2.1.4 Pathogenesis ................................................................... 18 2.1.5 Klasifikasi HIV ................................................................ 21 2.1.6 Gejala-Gejala HIV/AIDS ................................................ 23 2.1.7 Penularan HIV dari Wanita pada Bayi ........................... 23 2.1.8 Faktor yang berperan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi ... 27 2.1.9 Waktu dan Resiko Penularan HIV dari Ibu ke Bayi ........ 29 2.1.10 Pencegahan Penularan HIV pada Anak ......................... 31 2.1.11 Perawatan Kehamilan, Persalinan, dan Pascasalin ........ 32 2.1.12 Nutrisi Wanita dan Anak dengan HIV/AIDS ................ 33 2.1.13 Pemeriksaan Diagnostik ................................................ 36 2.1.14 Penatalaksanaan ............................................................. 39 2.1.15 Dukungan Sosial, Spiritual, pada Wanita dan Anak dengan HIV/AIDS ........................................................ 47 2.2 Manajemen Persalinan............................................................... 48



ii



2.2.1 Tatalaksana Persalinan .................................................... 48 2.2.2 Tatalaksana Postnatal ...................................................... 49 2.2.3 Tatalaksana Neonatal....................................................... 50 2.2.4 Tatalaksana Komplikasi Obstetrik .................................. 50 2.3 Luaran Maternal ........................................................................ 51 2.3.1 Ketuban Pecah Dini ......................................................... 51 2.3.2 Prematuritas ..................................................................... 52 2.3.3 Perdarahan Post Partum ................................................... 53 2.3.4 Infeksi Nifas .................................................................... 54 2.3.5 Kematian Maternal .......................................................... 54 2.4 Luaran Neonatal ........................................................................ 54 2.4.1 Asfiksia Neonatal ............................................................ 54 2.4.2 Berat Bayi Lahir .............................................................. 55 2.4.3 Kematian Neonatal .......................................................... 56 2.5 Asuhan Keperawatan ................................................................. 56 2.5.1 Pengkajian ....................................................................... 56 2.5.2 Diagnosa Keperawatan .................................................... 61 2.5.3 Intervensi Keperawatan ................................................... 61 2.5.4 Implementasi ................................................................... 65 2.5.5 Evaluasi ........................................................................... 65



BAB III



PENUTUP 3.1 Kesimpulan ................................................................................. 66 3.2 Saran ........................................................................................... 66



DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 67



iii



BAB I PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang Kehamilan merupakan peristiwa alami yang terjadi pada wanita, namun kehamilan dapat mempengaruhi kondisi kesehatan ibu dan janin terutama pada kehamilan trimester pertama. Wanita hamil trimester pertama pada umumnya mengalami mual, muntah, nafsu makan berkurang dan kelelahan. Menurunnya kondisi wanita hamil cenderung memperberat kondisi klinis wanita dengan penyakit infeksi antara lain infeksi HIV-AIDS. HIV/AIDS adalah topik yang sangat sensitive dan lebih banyak sehingga banyak penelitian melibatkan anakanak yang rentan untuk terjangkit HIV. Setiap usaha dilakukan untuk memastikan bahwa keluarga akan merasa baik. Penyakit AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan suatu syndrome/kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh Retrovirus yang menyerang sistem kekebalan atau pertahanan tubuh. Dengan rusaknya sistem kekebalan tubuh, maka orang yang terinfeksi mudah diserang penyakitpenyakit lain yang berakibat fatal, yang dikenal dengan infeksi oportunistik. Kasus AIDS pertama kali ditemukan oleh Gottlieb di Amerika Serikat pada tahun 1981 dan virusnya ditemukan oleh Luc Montagnier pada tahun 1983. Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) adalah penyebab penyakit dan kematian yang terkemuka di kalangan perempuan dan anak-anak di negara-negara dengan tingkat infeksi human immunodeficiency virus (HIV) yang tinggi. Transmisi HIV dari ibu ke anak (Mother To Child Transmission – MCTC) adalah rute infeksi HIVpada anak yang paling signifikan. Beberapa intervensi telah terbukti efektif dalam mengurangi MTCT termasuk pilihan persalinan secara caeseran, substitusi menyusui dan terapi antiretroviral selama kehamilan, persalinan, dan pasca melahirkan. Jika intervensi ini diterapkan dengan benar maka dapat mengurangi MTCT sebesar 2%.



4



Orang-orang yang terinfeksi positif HIV yang mengetahui status mereka mungkin dapat memberikan manfaat. Namun, seks tanpa perlindungan antara orang yang yang berisiko membawa HIV sero-positif sebagai super infeksi, penularan infeksi seksual, dan kehamilan yang tidak direncanakan dapat membuat penurunan kesehatan seksual dan reproduksi. Hal ini jelas bahwa banyak pasangan yang harus didorong untuk melakukan tes HIV untuk memastikan status mereka dengan asumsi bahwa mereka mungkin terinfeksi karena pernah memiliki hubungan seksual denga seseorang yang telah diuji dan ditemukan sero-positif HIV. Komunikasi seksualitas antara orangtua dan anak telah diidentifikasi sebagai factor pelindung untuk seksual remaja dan kesehatan reproduksi, termasuk infeksi HIV. Meningkatkan kesehatan seksual dan reproduksi remaja merupakan prioritas dunia. Intervensi yang bertujuan untuk menunda perilaku seksual, mengurangi jumlah pasangan seksual dan meningkatkan penggunaan kondom. Dari penelitian yang dilakukan di negara berkembang menunjukkan bahwa pendidikan seksualitas memiliki potensi untuk memberikan dampak positif pada pengetahuan, sikap, norma dan niat, meskipun mengubah perilaku seksual sangat terbatas. Evolusi infeksi HIV menjadi penyakit kronis memiliki implikasi di semua pengaturan perawat klinis. Setiap perawat harus memiliki perawatan klinis. Setiap perawat harus memiliki pengetahuan tantang pencegahan, pemeriksaan, pengobatan, dan kronisitas dari penyakit dalam rangka untuk memberikan perawatan yang berkualitas tinggi kepada orang-orang dengan atau berisiko untuk HIV. Pada tahun 2000 terjadi peningkatan penyebaran epidemi HIV secara nyata melalui pekerjaan seks komersial, tetapi ada penomena baru penyebaran HIV/AIDS melalui pengguna narkoba suntik (Injekting Drug User –IDU), tahun 2002 HIV sudah menyebar ke rumah tangga (Depkes RI, 2003).



5



Sejauh ini lebih dari 6,5 juta perempuan di Indonesia jadi populasi rawan tertular HIV. Lebih dari 24.000 perempuan usia subur telah terinfeksi HIV, dan sedikitnya 9.000 perempuan hamil terinveksi HIV positif setiap tahun. Bila tidak ada program pencegahan, lebih dari 30% diantaranya melahirkan bayi yang tertular HIV. Pada tahun 2015, diperkirakan akan terjadi penularan pada 38.500 anak yang dilahirkan dari ibu yang terinfeksi HIV. Sampai tahun 2006, diprediksi 4.360 anak terkena HIV dan separuh diantaranya meninggal dunia. Saat ini diperkirakan 2.320 anak terinfeksi HIV. Anak yang didiagnosis HIV juga akan menyebabkan terjadinya trauma emosi yang mendalam bagi keluarganya. Orangtua harus menghadapi masalah berat dalam perawatan anak, pemberian kasih sayang, dan sebagainya sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan mental anak. Orangtua memerlukan waktu untuk mengatasi masalah emosi, syok, kesedihan, penolakan, perasaan berdosa, cemas, marah, dan berbagai perasaan lain. Dukungan nutrisi, pemberian ARV, psikososial, dan perawatan paliatif membantu anak menghadapi HIV/AIDS. Kebanyakan wanita mengurus keluarga dan anak-anaknya selain mengurus dirinya sendiri sehingga gangguan kesehatan pada wanita akan mempengaruhi seluruh keluarganya. Wanita dengan HIV/AIDS harus mendapatkan dukungan dan perawatan mencangkup penyuluhan yang memadai tentang penyakitnya, perawatan, pengobatan, serta pencegahan penularan pada anak dan keluarganya. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, didapatkan rumusan masalah sebagai berikut : 1.



Apa yang dimaksud dengan HIV/AIDS pada ibu hamil?



2.



Bagaimana Epidemiologi kasus HIV/AIDS pada ibu hamil?



3.



Jelaskan Etiologi HIV/AIDS pada ibu hamil?



4.



Bagaimana Pathogenesis HIV/AIDS pada ibu hamil?



6



5.



Apa saja Klasifikasi HIV/AIDS pada ibu hamil?



6.



Jelaskan Gejala-Gejala HIV/AIDS pada ibu hamil?



7.



Bagaimana Penularan HIV dari Wanita pada Bayi HIV/AIDS pada ibu hamil?



8.



Apa saja faktor yang berperan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi?



9.



Bagaimana Waktu dan Resiko Penularan HIV dari Ibu ke Bayi?



10. Bagaimana Pencegahan Penularan HIV pada Anak? 11. Bagaimana Perawatan Kehamilan, Persalinan, dan Pascasalin? 12. Bagaimana Nutrisi Wanita dan Anak dengan HIV/AIDS? 13. Bagaimana Pemeriksaan Diagnostik pada Ibu hamil dengan HIV/AIDS? 14. Bagaimana Penatalaksanaan pada Ibu hamil dengan HIV/AIDS? 15. Bagaimana Dukungan Sosial, Spiritual, pada Wanita dan Anak dengan HIV/AIDS? 16. Bagaimana aplikasi Asuhan Keperawatan HIV/AIDS pada Ibu Hamil?



1.3 Tujuan Penulisan Tujuan pembuatan makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah HIV/AIDS khususnya pada kasus HIV/AIDS pada ibu hamil untuk memberi pengetahuan kepada mahasiswa mengenai bagaimana asuhan keperawatan yang diberikan untuk pasien dengan masalah tersebut.



1.4 Manfaat Penulisan Makalah ini sekiranya dapat dijadikan sebagai sumber pengetahuan mengenai penyakit HIV/AIDS pada Ibu Hamil serta dapat menambah wawasan mahasiswa keperawatan secara lebih dalam tentang asuhan keperawatan khusus pada ibu hamil dengan positif HIV/AIDS.



7



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1 HIV/ AIDS pada Kehamilan 2.1.1 Definisi HIV/AIDS



Gambar 1. Ibu Hamil dengan HIV/AIDS Human immunodeficiency virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi sel-sel sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak fungsinya. Selama infeksi berlangsung, sistem kekebalan tubuh menjadi lemah, dan orang menjadi lebih rentan terhadap infeksi. Tahap yang lebih lanjut dari infeksi HIV adalah acquired immunodeficiency syndrome (AIDS). Hal ini dapat memakan waktu 10-15 tahun untuk orang yang terinfeksi HIV hingga berkembang menjadi AIDS, obat antiretroviral dapat memperlambat proses lebih jauh. HIV ditularkan melalui hubungan seksual (anal atau vaginal), transfusi darah yang terkontaminasi, berbagi jarum yang terkontaminasi, dan antara ibu dan bayinya selama kehamilan, melahirkan dan menyusui. Kehamilan adalah keadaan mengandung embrio atau fetus didalam tubuh, setelah penyatuan sel telur dan spermatozoon. Kehamilan ditandai dengan



8



berhentinya haid, mual yang timbul pada pagi hari (morning sickness), pembesaran payudara dan pigmentasi puting, pembesaran abdomen yang progresif. Tanda-tanda absolut kehamilan adalah gerakan janin, bunyi jantung janin, dan terlihatnya janin melalui pemerikasaan sinar-X, atau USG. AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) adalah sindrom gejala penyakit infeksi oportunistik atau kanker tertentu akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) (Fogel, 1996). Menurut laporan CDR (Center for Disease Control) Amerika mengemukakan bahwa jumlah wanita penderita AIDS di dunia terus bertambah, khususnya pada usia reproduksi. Sekitar 80 % penderita AIDS anak-anak mengalami infeksi prenatal dari ibunya. Seroprevalensi HIV pada ibu prenatal adalah 0,0-1,7%, saat persalinan 0,4-0,3% dan 9,4-29,6% pada ibu hamil yang biasa menggunakan narkotika intravena. Wanita usia produktif merupakan usia yang berisiko tertular infeksi HIV. Dilihat dari profil umur, ada kecenderungan bahwa infeksi HIV pada wanita mengarah ke umur yang lebih muda, dalam arti bahwa usia muda lebih banyak terdapat wanita yang terinfeksi, sedangkan pada usia di atas 45 tahun infeksi pada wanita lebih sedikit. Dilain pihak menurut para ahli kebidanan bahwa usia reproduktif merupakan usia wanita yang lebih tepat untuk hamil dan melahirkan. Hasil survey di Uganda pada tahun 2003 mengemukakan bahwa prevalensi HIV di klinik bersalin adalah 6,2%, dan satu dari sepuluh orang Uganda usia antara 30-39 tahun positif HIVAIDS perlu diwaspadai karena cenderung terjadi pada usia reproduksi. Kehamilan merupakan usia yang rawan tertular HIV-AIDS. Penularan HIV-AIDS pada wanita hamil terjadi melalui hubungan seksual dengan suaminya yang sudah terinfeksi HIV. Pada negara berkembang isteri tidak berani mengatur kehidupan seksual suaminya di luar rumah. Kondisi ini dipengaruhi oleh sosial dan ekonomi wanita yang masih rendah, dan isteri sangat percaya bahwa suaminya setia, dan lagi pula masalah seksual masih dianggap tabu untuk dibicarakan.



9



Wanita hamil lebih berisiko tertular Human Immunodeficien Virus (HIV) dibandingkan dengan wanita yang tidak hamil. Jika HIV positif, wanita hamil lebih sering dapat menularkan HIV kepada mereka yang tidak terinfeksi daripada wanita yang tidak hamil. Peningkatan kerentanan untuk terinfeksi HIV selama kehamilan adalah mereka yang berperilaku seks bebas dan mungkin karena penyebab biologis yang tidak diketahui. Sebagaimana diketahui penderita HIV (Human Immunodeficiency Virus) dan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) meningkat setiap tahunnya di seluruh dunia, terutama di Afrika dan Asia. Diperkirakan dewasa ini terdapat puluhan juta penderita HIV/AIDS. Sekitar 80% penularan terjadi melalui hubungan seksual, 10% melalui suntikan obat (terutama penyalahgunaan narkotika), 5% melalui transfusi darah dan 5% dari ibu melalui plasenta kepada janin (transmisi vertikal). Angka terjadinya transmisi vertikal berkisar antara 1348%. Pada pemeriksaan antenalal (ANC), pada ibu hamil biasanya dilakukan pemeriksaan laboratorium terhadap penyakit menular seksual. Namun, ibu hamil memiliki otonomi untuk menyetujui atau menolak pemeriksaan terhadap HIV, setelah diberikan penjelasan yang memuaskan mereka dan dokter harus menghormati otonomi pasiennya. Bagi ibu hamil yang diperiksa dan ternyata HIV sero-positif, perlu diberi kesempatan untuk konseling mengenai pengaruh kehamilan terhadap HIV, risiko penularan dari ibu ke anak, tentang pemeriksaan dan terapi selama hamil, rencana persalinan, masa nifas dan masa menyusui. Kerahasiaan perlu dijaga dalam melaporkan kasus-kasus HIV sero-positif. Dalam hal ini diserahkan kepada ibu bersangkutan untuk menyampaikan hasilnya kepada pasangannya, perlu dipertimbangkan untuk ruginya membuka rahasia pekerjaan dokter. Tentulah dalam memabuka rahasia ini akan berpengaruh terhadap hubungannya dengan keluarga, teman-teman, dan kesempatan kerja, juga berkurangnya kepercayaan pasien terhadap dokternya. Untuk pasangan infertil yang menginginkan teknologi reproduksi yang dibantu dan salah satu atau keduanya terinfeksi HIV adalah etis, jika kepada mereka diberikan pelayanan tersebut. Dengan kemanjuan pengobatan masa kini,



10



penderita HIV dapat hidup lebih panjang dan risiko penularan dari ibu ke anak berkurang. Dokter dengan HIV positif tidak perlu memberitahukan pasiennya tentang dirinya, tetapi harus berhati-hati melakukan tindakan-tindakan medik yang mengandung risiko, seperti pembedahan obstetrik dan ginekologi, serta berhati-hati dengan alatalat yang digunakan. Kasus HIV dan AIDS disebabkan oleh transmisi heteroseksual. Kehamilan pada ibu dengan AIDS menimbulkan dilema, yaitu perkembangan penyakit, pilihan penatalaksanaan, dan kemungkinan transmisi vertikal pada saat persalinan. Transmisi infeksi lewat plasenta ke janin lebih dari 80%. Antibodi ibu melewati plasenta, dan dapat diteliti melalui uji bayi mereka. Uji antiboti bayi dapat menentukan status HIV ibu. Uji terbaru untuk bayi adalah reaksi rantai polimer (polymerase chain reaction, PCR) yang mengidentifikasi virus HIV neonatus. Diperlukan pemeriksaan virus HIV yang terintegrasi pada pemeriksaan rutin ibu hamil untuk melindunginya.



2.1.2 Epidemiologi Sindrom HIV/AIDS pertama kali dilaporkan oleh Michael Gottlieb pada pertengahan tahun 1981 pada lima orang penderita homoseksual dan pecandu narkotika suntik di Los Angeles, Amerika Serikat. Sejak penemuan pertama inilah, dalam beberapa tahun dilaporkan lagi sejumlah penderita dengan sindrom yang sama dari 46 negara bagian Amerika Serikat lain. Penyakit ini telah menjadi pandemi yang mengkhawatirkan masyarakat dunia dan menjadi masalah global. UNAIDS dan WHO memperkirakan bahwa AIDS saat ini sekitar 60 juta orang telah tertular HIV dan 26 juta telah meninggal karena AIDS, sedangkan saat ini orang yang hidup dengan HIV sekitar 34 juta orang. Di Asia terdapat 4,9 juta orang yang terinfeksi HIV, 440 ribu diantaranya adalah infeksi baru dan telah menyebabkan banyak kematian pada penderitanya. Cara penularan di Asia bervariasi, namun tiga perilaku yang beresiko tinggi menularkan adalah berbagi alat suntik di kalangan pengguna napza, seks yang tidak terlindungi dan lelaki seks dengan lelaki yang tidak terlindung.



11



Berdasarkan data dari UNAIDS, diperkirakan 34 juta orang terinveksi HIV diseluruh dunia. Pada Asia Tenggara dan Selatan terdapat 4 juta orang dewasa dan anak anak yang terinveksi HIV, diantaranya kematian orang dewasa dan anak-anak karena AIDS sebesar 250.000 orang dan 280.000 orang adalah penderita infeksi HIV baru.



Gambar 2. Perkiraan jumlah orang dewasa dan anak anak dengan HIV secara global. Penyakit AIDS dewasa ini telah terjangkit dihampir setiap negara didunia (pandemi), termasuk diantaranya Indonesia. Hingga November 1996 diperkirakan telah terdapat sebanyak 8.400.000 kasus didunia yang terdiri dari 6,7 juta orang dewasa dan 1,7 juta anak-anak. Di Indonesia berdasarkan datadata yang bersumber dari Direktorat Jenderal P2M dan PLP Departemen Kesehatan RI sampai dengan 1 Mei 1998 jumlah penderita HIV/AIDS sebanyak 685 orang yang dilaporkan oleh 23 propinsi di Indonesia. Data jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia pada dasarnya bukanlah merupakan gambaran jumlah penderita yang sebenarnya. Pada penyakit ini berlaku teori “Gunung Es” dimana penderita yang kelihatan hanya sebagian kecil dari yang semestinya. Untuk itu



12



WHO mengestimasikan bahwa dibalik 1 penderita yang terinfeksi telah terdapat kurang lebih 100-200 penderita HIV yang belum diketahui. Epidemi HIV di Indonesia telah berlangsung 20 tahun. Sejak tahun 2000 epidemi tersebut sudah mencapai tahap terkonsentrasi pada beberapa subpopulasi berisiko tinggi (dengan prevalens > 5%), yaitu pengguna Napza suntik (penasun), wanita penjaja seks (WPS), dan waria. Situasi demikian menunjukkan bahwa pada umumnya Indonesia berada pada tahap concentrated epidemic. Situasi penularan ini disebabkan kombinasi transmisi HIV melalui penggunaan jarum suntik tidak steril dan transmisi seksual di antara populasi berisiko tinggi. Di Tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat), keadaan yang meningkat ini ternyata telah menular lebih jauh, yaitu telah terjadi penyebaran HIV melalui hubungan seksual berisiko pada masyarakat umum (dengan prevalens > 1%). Situasi di Tanah Papua menunjukkan tahapan telah mencapai generalized epidemic. Epidemi HIV yang terkonsentrasi ini tergambar dari laporan Departemen Kesehatan (Depkes) tahun 2006. Sejak tahun 2000 prevalens HIV mulai konstan di atas 5% pada beberapa sub-populasi berisiko tinggi tertentu. Dari beberapa tempat sentinel, pada tahun 2006 prevalens HIV berkisar 21% – 52% pada penasun, 1%-22% pada WPS, dan 3%-17% pada waria. Situasi epidemi HIV juga tercermin dari hasil Estimasi Populasi Dewasa Rawan Tertular HIV pada tahun 2006. Diperkirakan ada 4 juta sampai dengan 8 juta orang paling berisiko terinfeksi HIV dengan jumlah terbesar pada subpopulasi pelanggan penjaja seks (PPS), yang jumlahnya lebih dari 3,1 juta orang dan pasangannya sebanyak 1,8 juta. Sekalipun jumlah subpopulasinya paling besar namun kontribusi pelanggan belum sebanyak penasun dalam infeksi HIV. Gambaran tersebut dapat dilihat dari hasil estimasi orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) di Indonesia tahun 2006, yang jumlahnya berkisar 169.000-217.000, dimana 46% diantaranya adalah penasun sedangkan PPS (Peria Penjajah Seks)14%.



13



Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit (Ditjen PP) dan Penyehatan Lingkungan (PL) Kementrian Kesehatan RI melaporkan bahwa kasus HIV di Indonesia secara kumulatif sejak 1 April 1987 - 30 September 2014 sebanyak 150.296 jiwa, sedangkan untuk kasus AIDS berjumlah 55.799 jiwa. Jumlah infeksi HIV tertinggi adalah DKI Jakarta berjumlah 32.782 jiwa, Jawa Tengah masuk dalam peringkat ke 6 dengan jumlah penderita HIV sebanyak 9.032 jiwa. Kasus AIDS terbanyak yaitu di Papua berjumlah 10.184 jiwa dan Jawa Tengah menduduki peringkat ke 6 dengan jumlah 3.767 jiwa.Namun, saat ini sudah diwaspadai telah terjadi penularan HIV yang meningkat melalui jalur parenteral (ibu kepada anaknya), terutama di beberapa ibu kota provinsi. Jumlah kumulatif kasus AIDS di Indonesia dari transmisi perinatal sebanyak 1.506 jiwa, jumlah tersebut berasal dari data kumulatif wanita sebanyak 16.149 yang terinfeksi AIDS. Kondisi ini menunjukan terjadi feminisasi epidemik HIV di Indonesia. Perkembangan HIV positif sampai tahun 2013 disajikan pada Gambar 3 berikut ini.



Gambar 3. Jumlah kasus baru HIV positif di Indonesia sampai tahun 2013.



Setelah tiga tahun berturut-turut (2010-2012) cukup stabil, perkembangan jumlah kasus baru HIV positif pada tahun 2013 kembali mengalami peningkatan secara signifikan, dengan kenaikan mencapai 35% dibanding tahun 2012.



14



Gambar 4. Jumlah kasus baru dan kumulatif penderita AIDS yang terdeteksi dari berbagai sarana kesehatan di Indonesia sampai tahun 2013.



Adanya kecenderungan peningkatan penemuan kasus baru sampai tahun 2012. Namun pada tahun 2013 terjadi penurunan kasus baru AIDS menjadi sebesar 5.608 kasus. Secara kumulatif, kasus AIDS sampai dengan tahun 2013 sebesar 52.348 kasus. Sampai saat ini obat dan vaksin yang diharapkan dapat membantu memecahkan masalah penanggulangan HIV/AIDS belum ditemukan. Salah satu alternatif dalam upaya menanggulangi problematik jumlah penderita yang terus meningkat adalah upaya pencegahan yang dilakukan semua pihak yang mengharuskan kita untuk tidak terlibat dalam lingkungan transmisi yang memungkinkan dapat terserang HIV. Prevalensi HIV-AIDS menurun dikalangan wanita hamil pendapat ini berdasarkan hasil survey di daerah perkotaan Kenya terutama di Busnia, Meru, Nakura, Thika, dimana rata-rata prevalensi HIV menurun tajam dari kira-kira 28% pada tahun 1999 menjadi 9% pada tahun 2003. Di wilayah India prevalensi secara nasional dikalangan wanita hamil masih rendah di daerah miskin padat penduduk yaitu Negara bagian utara Uttar Pradesh dan Bihar. Tetapi peningkatan angka penularan relatif kecil dapat berarti sejumlah besar orang terinfeksi karena wilayah tersebut dihuni oleh seperempat dari seluruh populasi



15



India. Prevalensi HIV lebih dari 1% ditemukan dikalangan wanita hamil, di wilayah industri di bagian barat dan selatan India. Namun data terbaru dari Afrika Selatan memperlihatkan bahwa prevalensi HIV dikalangan wanita hamil saat ini telah mencapai angka tertinggi, yaitu 29,5% dari seluruh wanita yang mengunjungi klinik bersalin yang positif terinfeksi HIV ditahun 2004. Prevalensi tertinggi adalah dikalangan wanita usia 25-34 tahun atau lebih yaitu satu dari tiga wanita yang diperkirakan akan terinfeksi HIV. Tingkat prevalensi yang tertinggi melebihi 30% dikalangan wanita hamil masih terjadi juga pada empat Negara lain di wilayah Botswana, Lesotho, Nambia dan Swaziland.



2.1.3 Etiologi Penyebab AIDS adalah sejenis virus yang tergolong Retrovirus yang disebut Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus ini pertama kali diisolasi oleh



Montagnier



dkk



di



Prancis



pada



tahun



1983



dengan



nama



Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo di Amerika Serikat pada tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas kesepakatan internasional pada tahun 1986 nama firus dirubah menjadi HIV.



Gambar 5. Human Immunodeficiency Virus (HIV)



16



Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis Retrovirus RNA. Dalam bentuknya yang asli merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai sampai ia masuk ke sel target. Sel target virus ini terutama sel Lymfosit T, karena ia mempunyai reseptor untuk virus HIV yang disebut CD-4. Didalam sel Lymfosit T, virus dapat berkembang dan seperti retrovirus yang lain, dapat tetap hidup lama dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian virus dalam tubuh pengidap HIV selalu dianggap infectious yang setiap saat dapat aktif dan dapat ditularkan selama hidup penderita tersebut.



Gambar 6. Struktur Virus HIV



Secara mortologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core) dan bagian selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua untaian RNA (Ribonucleic Acid). Enzim reverce transcriptase dan beberapa jenis prosein. Bagian selubung terdiri atas lipid dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120). Gp 120 berhubungan dengan reseptor Lymfosit (T4) yang rentan. Karena bagian luar virus (lemak) tidak tahan panas, bahan kimia, maka HIV termasuk virus sensitif terhadap pengaruh lingkungan seperti air mendidih, sinar matahari dan mudah dimatikan dengan berbagai disinfektan seperti eter, aseton, alkohol, jodium hipoklorit dan sebagainya, tetapi telatif resisten terhadap radiasi dan sinar utraviolet.



17



Virus HIV hidup dalam darah, saliva, semen, air mata dan mudah mati diluar tubuh. HIV dapat juga ditemukan dalam sel monosit, makrotag dan sel glia jaringan otak.



2.1.4 Pathogenesis



Gambar 7. Virus HIV dalam Peredaran Darah



HIV merupakan retrovirus yang ditransmisikan dalam darah, sperma, cairan vagina, dan ASI. Cara penularan telah dikenal sejak 1980-an dan tidak berubah yaitu secara, seksual hubungan seksual, kontak dengan darah atau produk darah, eksposur perinatal, dan menyusui. HIV muncul sebagai epidemic global pada akhir tahun 1970. Pada tahun 2007 diperkirakan 33 juta orang diseluruh dunia hidup dengan HIV, 2 juta orang meninggal dari komplikasi AIDS, dan 15 juta anak-anak menjadi yatim piatu akibat kehilangan salah satu atau kedua orang tua mereka karena AIDS. Secara umum ada 5 faktor yang perlu diperhatikan pada penularan suatu penyakit yaitu sumber infeksi, vehikulum yang membawa agent, host yang rentan, tempat keluar kuman dan tempat masuk kuman (port’d entrée). Transmisi human immunodefiency virus (HIV) terjadi terutama melalui pertukaran cairan tubuh (misalnya darah, semen, peristiwa perinatal). Depresi 18



berat pada sistem imun selular menandai sindrom immunodefiensi didapat (AIDS). Walaupun populasi berisiko tinggi telah didokumentasi dengan baik,semua wanita harus dikaji untuk mengetahui. Begitu HIV memasuki tubuh, serum HIV menjadi positif dalam 10 minggu pertama pemaparan. Walaupun perubahan serum secara total asimptomatik, perubahan ini disertai viremia, respons tipe-influenza terhadap infeksi HIV awal. Gejala meliputi demam, malaise, mialgia, mual, diare, nyeri tenggorok, dan ruam dan dapat menetap selama dua sampai tiga minggu. Virus HIV sampai saat ini terbukti hanya menyerang sel Lymfosit T dan sel otak sebagai organ sasarannya. Virus HIV sangat lemah dan mudah mati diluar tubuh. Sebagai vehikulum yang dapat membawa virus HIV keluar tubuh dan menularkan kepada orang lain adalah berbagai cairan tubuh. Cairan tubuh yang terbukti menularkan diantaranya semen, cairan vagina atau servik dan darah penderita. Banyak cara yang diduga menjadi cara penularan virus HIV, namun hingga kini cara penularan HIV yang diketahui adalah melalui: 1. Transmisi Seksual Penularan melalui hubungan seksual baik Homoseksual maupun Heteroseksual merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi. Penularan ini berhubungan dengan semen dan cairan vagina atau servik. Infeksi dapat ditularkan dari setiap pengidap infeksi HIV kepada pasangan seksnya. Resiko penularan HIV tergantung pada pemilihan pasangan seks, jumlah pasangan seks dan jenis hubungan seks. Pada penelitian Darrow (1985) ditemukan resiko seropositive untuk zat anti terhadap HIV cenderung naik pada hubungan seksual yang dilakukan pada pasangan tidak tetap. Orang yang sering berhubungan seksual dengan berganti pasangan merupakan kelompok manusia yang berisiko tinggi terinfeksi virus HIV. 1) Homoseksual Didunia barat, Amerika Serikat dan Eropa tingkat promiskuitas homoseksual menderita AIDS, berumur antara 20-40 tahun dari semua golongan rusial.



19



Cara hubungan seksual anogenetal merupakan perilaku seksual dengan resiko tinggi bagi penularan HIV, khususnya bagi mitra seksual yang pasif menerima ejakulasi semen dari seseorang pengidap HIV. Hal ini sehubungan dengan mukosa rektum yang sangat tipis dan mudah sekali mengalami pertukaran pada saat berhubungan secara anogenital. 2) Heteroseksual Di Afrika dan Asia Tenggara cara penularan utama melalui hubungan heteroseksual pada promiskuitas dan penderita terbanyak adalah kelompok umur seksual aktif baik pria maupun wanita yang mempunyai banyak pasangan dan berganti-ganti.



2. Transmisi Non Seksual 1) Transmisi Parenral Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik) yang telah terkontaminasi, misalnya pada penyalah gunaan narkotik suntik yang menggunakan jarum suntik yang tercemar secara bersama-sama. Disamping dapat juga terjadi melaui jarum suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan tanpa disterilkan terlebih dahulu. Resiko tertular cara transmisi parental ini kurang dari 1%. Transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di negaranegara barat sebelum tahun 1985. Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di negara barat sangat jarang, karena darah donor telah diperiksa sebelum ditransfusikan. Resiko tertular infeksi/HIV lewat trasfusi darah adalah lebih dari 90%. 2) Transmisi Transplasental Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai resiko sebesar 50%. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan sewaktu menyusui. Penularan melalui air susu ibu termasuk penularan dengan resiko rendah.



20



2.1.5 Klasifikasi HIV Klasifikasi HIV menggunakan beberapa sistem klasifikasi, klasifikasi berdasarkan Centers for Disease Control and Prevention (CDC) jarang digunakan dalam pengelolaan rutin pasien HIV secara klinis, sistem CDC lebih sering digunakan dalam penelitian klinis dan epidemiologi. CDC mengklasifikasikan HIV/AIDS yaitu dengan melihat jumlah kekebalan tubuh yang dialami pasien serta stadium klinis. Jumlah kekebalan tubuh ditunjukan oleh limfosit T Helper. Sistem ini terdiri dari tiga kategori yaitu: Tabel 1. Sistem Klasifikasi klinis dan CD4 untuk dewasa dan remaja menurut CDC. Limfosit CD4



Kategori A (asimtomatis, Infeksi akut)



Kategori B



Kategori C



(Simtomatis)



(AIDS )



>500 sel/ml



A1



B1



C1



200-499 sel/ml



A2



B2



C2



1 bulan



c.



Demam dengan sebab yang tidak jelas (intermittent atau tetap), > 1 bulan



d.



Kandidiasis oris



e.



Oral hairy leukoplakia



f.



TB Pulmoner, dalam satu tahun terakhir



g.



Infeksi bacterial berat (missal: pneumonia, piomiositis)



h.



Dengan penampilan/aktivitas fisik skala III: Lemah, berada di tempat tidur, 1 bulan



d.



Cryptococcosis ekstrapulmoner



e.



Infeksi virus Sitomegalo



f.



Infeksi Herpes simpleks > 1 bulan



g.



Berbagai infeksi jamur berat (histoplasma, coccidioidomycosis)



h.



Kandidiasis esophagus, trachea atau bronkus



i.



Mikobakteriosis atypical



j.



Salmonelosis non tifoid disertai setikemia



k.



TB, Ekstrapulmoner



l.



Limfoma maligna



m.



Sarkoma Jerovici



n.



Ensefalopati HIV



o.



Dengan penampilan/aktivitas fisik skala IV: sangat lemah, selalu berada di tempat tidur >50% per hari dalam bulan terakhir



Tahap klinis dikategorikan menjadi 1 sampai 4, mengikuti perkembangan infeksi HIV primer menjadi HIV tahap lanjut/AIDS. Tahap – tahap ini ditentukan oleh kondisi klinis atau gejala tertentu. Untuk tujuan dari sistem klasifikasi WHO, remaja dan orang dewasa didefinisikan sebagai individu yang berusia > 15 tahun.



2.1.6 Gejala-gejala Penyakit HIV/AIDS Seseorang yang terkena virus HIV pada awal permulaan umumnya tidak memberikan tanda dan gejala yang khas, penderita hanya mengalami demam selama 3 sampai 6 minggu tergantung daya tahan tubuh saat mendapat kontak virus HIV tersebut. Setelah kondisi membaik, orang yang terkena virus HIV akan tetap sehat dalam beberapa tahun dan perlahan kekebelan tubuhnya menurun/lemah hingga jatuh sakit karena serangan demam yang berulang. Satu 23



cara untuk mendapat kepastian adalah dengan menjalani Uji Antibodi HIV terutamanya jika seseorang merasa telah melakukan aktivitas yang berisiko terkena virus HIV (Andy, 2011). Menurut Andy (2011), adapun tanda dan gejala yang tampak pada penderita penyakit AIDS diantaranya adalah seperti dibawah ini: 1.



Saluran pernafasan. Penderita mengalami nafas pendek, henti nafas sejenak, batuk, nyeri dada dan demam seprti terserang infeksi virus lainnya (Pneumonia). Tidak jarang diagnosa pada stadium awal penyakit HIV AIDS diduga sebagai TBC.



2.



Saluran Pencernaan. Penderita penyakit AIDS menampakkan tanda dan gejala seperti hilangnya nafsu makan, mual dan muntah, kerap mengalami penyakit jamur pada rongga mulut dan kerongkongan, serta mengalami diarhea yang kronik.



3.



Berat badan tubuh. Penderita mengalami hal yang disebut juga wasting syndrome, yaitu kehilangan berat badan tubuh hingga 10% dibawah normal karena gangguan pada sistem protein dan energy didalam tubuh seperti yang dikenal sebagai Malnutrisi termasuk juga karena gangguan absorbsi/ penyerapan makanan pada sistem pencernaan yang mengakibatkan diarhea kronik, kondisi letih dan lemah kurang bertenaga.



4.



System Persyarafan. Terjadinya gangguan pada persyarafan central yang mengakibatkan kurang ingatan, sakit kepala, susah berkonsentrasi, sering tampak kebingungan dan respon anggota gerak melambat. Pada system persyarafan ujung (Peripheral) akan menimbulkan nyeri dan kesemutan pada telapak tangan dan kaki, reflek tendon yang kurang, selalu mengalami tensi darah rendah dan Impoten.



5.



System Integument (Jaringan kulit). Penderita mengalami serangan virus cacar air (herpes simplex) atau carar api (herpes zoster) dan berbagai macam penyakit kulit yang menimbulkan rasa nyeri pada jaringan kulit. Lainnya adalah mengalami infeksi jaringan rambut pada kulit (Folliculities), kulit kering berbercak (kulit lapisan luar retak-retak) serta Eczema atau psoriasis.



24



6.



Saluran kemih dan Reproduksi pada wanita. Penderita seringkali mengalami penyakit jamur pada vagina, hal ini sebagai tanda awal terinfeksi virus HIV. Luka pada saluran kemih, menderita penyakit syphillis dan dibandingkan Pria maka wanita lebih banyak jumlahnya yang menderita penyakit cacar. Lainnya adalah penderita AIDS wanita banyak yang mengalami peradangan rongga (tulang) pelvic dikenal sebagai istilah pelvic inflammatory disease (PID) dan mengalami masa haid yang tidak teratur (abnormal).



2.1.7 Penularan HIV dari Wanita Kepada Bayinya Penularan HIV bisa akibat hubungan seksual yang tidak aman (biseksual atau homoseksual), pemakaian narkoba injeksi dengan jarum bergantian bersama pengidap HIV, tertular melalui darah dan produk darah, penggunaan alat kesehatan yang tidak steril, serta alat untu menoreh kulit. Menurut CDC penyebab terjadinya infeksi HIV pada wanita secara berurutan dari yang terbesar adalah pemakaian obat terlarang melalui injeksi 51%, wanita heteroseksual 34%, dtransfusi darah 8%, dan tidak diketahui sebanyak 7%. Cara penularan virus HIV-AIDS pada wanita hamil dapat melalui hubungan seksual. Salah seorang peneliti mengemukakan bahwa penularan dari suami yang terinfeksi HIV ke isterinya sejumlah 22% dan isteri yang terinfeksi HIV ke suaminya sejumlah 8%. Namun penelitian ain mendapatkan serokonversi (dari pemeriksaan laboratorium negatif menjadi positif) dalam 1-3 tahun dimana didapatkan 42% dari suami dan 38% dari isteri ke suami dianggap sama. Penularan HIV dari ibu ke bayi dan anak bisa melalui darah, penularan melalui hubungan seks. Penularan dari ibu ke anak karena wanita yang menderita HIV atau AIDS sebagian besar (85%) berusia subur (15-44 tahun) sehingga terdapat resiko penularan infeksi yang bisa terjadi saat kehamilan (in utero). Berdasarkan laporan CDC Amerika prevalensi penularan HIV dari ibu ke bayi adalah 0,01 % sampai 0,7%. Bila ibu baru terinfeksi HIv dan belum ada



25



gejala AIDS kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak 20-35%, sedangkan kalau gejala AIDS sudah jelas pada ibu kemungkinannya mencapai 50%. Penularan juga terjadi pada proses persalinan melalui transfuse fetomaternal atau kontak antara kulit atau membrane mukosa bayi dan darah atau sekresi maternal saat melahirkan. Semakin lama proses persalinan semakin besar resiko, sehingga lama persalinan bisa dicegah dengan operasi section caesarea. Transmisi lain terjadi selama periode post partum melalui ASI, resiko bayi tertular melalui ASI dari ibu yang positif sekitar 10%. Kasus HIV-AIDS disebabkan oleh heteroseksual. Virus ini hanya dapat ditularkanmelalui kontak langsung dengandarah, semen, dan sekret vagina. Dan sebagian besar (75%) penularan terjadi melalui hubungan seksual. HIV tergolong netrovirus yang memiliki materi genetik RNA. Bilamana virus masuk kedalam tubuh penderita (sel hospes), maka RNA diubah menjadi DNA oleh enzim reverse transcriptase. DNA provirus tersebut diintegrasikan kedalam sel hospes dan selanjutnya diprogramkan untuk membentuk gen virus. Penularan secara vertikal dapat terjadi setiap waktu selama kehamilan atau pada periode intrapartum atau postpartum. HIV ditemukan pada jaringan fetal yang berusia 12 dan 24 minggu dan terinfeksi intrauterin sejumlah 30-50% yang penularan secara vertikal terjadi sebelum persalinan, serta 65% penularan terjadi saat intrapartum. Pembukaan serviks, vagina, sekresi serviks dan darah ibu meningkatkan risiko penularan selama persalinan. Lingkungan biologis, dan adanya riwayat ulkus genitalis, herpes simpleks, dan SST (Serum Test for Syphilis) yang positif meningkatkan prevalensi infeksi HIV karena adanya lukaluka merupakan tempat masuknya HIV. Sel-sel limfosit T4/CD4 yang mempunyai reseptor untuk menangkap HIV akan aktif mencari luka-luka tersebut dan selanjutnya memasukkan HIV tersebut ke dalam peredaran darah. Perubahan anatomi dan fisiologi maternal berdampak pula pada perubahan uterus, serviks dan vagina, dimana terjadi hepertropi sel otot oleh karena meningkatnya elastisitas dan penumpukan jaringan fibrous, yang menghasilkan vaskularisasi,



kongesti,



udem



pada



trimester



pertama,



keadaan



ini



mempermudah erosi ataupun lecet pada saat hubungan seksual. Keadaan ini juga



26



merupakan media untuk masuknya HIV. Penularan HIV yang paling sering terjadi antara pasangan yang salah satunya sudah terinfeksi HIV mendekati 20% setelah melakukan hubungan seksual dengan tidak menggunakan kondom. Peneliti lain mengemukakan faktor yang dapat meningkatkan penularan HIV heteroseksual dengan tidak menggunakan kondom pada saat melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang memiliki lesi pada organ vital, yang disebabkan oleh infeksi sifilis atau herpes simpleks, meningkatkan transfer virus melalui lesi sehingga terjadi kerusakan membran mukosa dan merangsang limfosit CD4 untuk bergabung dengan jaringan yang mengalami inflamasi.



2.1.8 Faktor yang Berperan dalam Penularan Hiv dari Ibu ke Anak Ada tiga faktor utama yang berpengaruh pada penularan HIV dari ibu ke anak, yaitu faktor ibu, bayi/anak, dan tindakan obstetrik. 1. Faktor Ibu a. Jumlah virus (viral load) Jumlah virus HIV dalam darah ibu saat menjelang atau saat persalinan dan jumlah virus dalam air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya sangat mempengaruhi penularan HIV dari ibu ke anak. Risiko penularan HIV menjadi sangat kecil jika kadar HIV rendah (kurang dari 1.000 kopi/ml)



dan sebaliknya jika kadar HIV di atas 100.000 kopi/ml. b. Jumlah Sel CD4 Ibu dengan jumlah sel CD4 rendah lebih berisiko menularkan HIV ke bayinya. Semakin rendah jumlah sel CD4 risiko penularan HIV semakin besar. c. Status gizi selama hamil Berat badan rendah serta kekurangan asupan seperti asam folat, vitamin D, kalsium, zat besi, mineral selama hamil berdampak bagi kesehatan ibu dan janin akibatntya dapat meningkatkan risiko ibu untuk menderita penyakit infeksi yang dapat meningkatkan jumlah virus dan risiko penularan HIV ke bayi.



27



d. Penyakit infeksi selama hamil Penyakit infeksi seperti sifilis, infeksi menular seksual,infeksi saluran reproduksi lainnya, malaria,dan tuberkulosis, berisiko meningkatkan jumlah virus dan risiko penularan HIV ke bayi. e. Gangguan pada payudara Gangguan pada payudara ibu dan penyakit lain, seperti mastitis, abses, dan luka di puting payudara dapat meningkatkan risiko penularan HIV melalui ASI sehingga tidak sarankan untuk memberikan ASI kepada bayinya dan bayi dapat disarankan diberikan susu formula untuk asupan nutrisinya.



2. Faktor Bayi a. Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir Bayi lahir prematur dengan berat badan lahir rendah (BBLR) lebih rentan tertular HIV karena sistem organ dan sistem kekebalan tubuhnya belum berkembang dengan baik.



b. Periode pemberian ASI Semakin lama ibu menyusui, risiko penularan HIV ke bayi akan semakin besar.



c. Adanya luka dimulut bayi Bayi dengan luka di mulutnya lebih berisiko tertular HIV ketika diberikan ASI.



3. Faktor obstetrik Pada saat persalinan, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir. Faktor obstetrik yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke anak selama persalinan adalah: a. Jenis persalinan Risiko penularan persalinan per vagina lebih besar daripada persalinan melalui bedah sesar (seksio sesaria). b. Lama persalinan



28



Semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko penularan HIV dari ibu ke anak semakin tinggi, karena semakin lama terjadinya kontak antara bayi dengan darah dan lendir ibu. c. Ketuban pecah lebih dari 4 Jam sebelum persalinan meningkatkan risiko penularan hingga dua kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari 4 jam. d. Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forceps meningkatkan risiko penularan HIV karena berpotensi melukai ibu Tabel 3. Faktor yang berperan dalam penularan HIV dari ibu ke bayi.



Faktor Ibu



Faktor Bayi



Kadar HIV (Viral Load)



Faktor Obstetrik



Prematuritas dan berat Janis persalinan bayi saat lahir



Kadar CD4



Lama menyusu



Lama persalinan



Status gizi hamil



Lama di mulut bayi (jika Adanya ketuban pecah dini bayi menyusu)



Penyakit



infeksi



saat



hamil



Tindakan



episiotomi,



ekstraksi vacum dan forceps



Masalah dipayudara (jika menyusui)



2.1.9 Waktu dan resiko penularan HIV dari ibu ke Anak Pada saat hamil, sirkulasi darah janin dan sirkulasi darah ibu dipisahkan oleh beberapa lapis sel yang terdapat di plasenta. Plasenta melindungi janin dari infeksi HIV. Tetapi, jika terjadi peradangan, infeksi ataupun kerusakan pada plasenta, maka HIV bisa menembus plasenta, sehingga terjadi penularan HIV dari ibu ke anak. Penularan HIV dari ibu ke anak pada umumnya terjadi pada saat persalinan dan pada saat menyusui. Risiko penularan HIV pada ibu yang tidak mendapatkan penanganan PPIA saat hamil diperkirakan sekitar 15-45 %.



29



Risiko penularan 15-30 % terjadi pada saat hamil dan bersalin, sedangkan peningkatan risiko transmisi HIV sebesar 10-20% dapat terjadi pada masa nifas dan menyusui. Tabel 4. Waktu dan risiko penularan HIV dari ibu ke anak. Waktu



Risiko



Selama hamil



5 – 10 %



Bersalin



10 – 20 %



Menyusui (ASI)



5 – 20 %



Resiko penularan keseluruhan



20 – 50 %



Apabila ibu tidak menyusui bayinya, risiko penularan HIV menjadi 20-30 % dan akan berkurang jika ibu mendapatkan pengobatan anti retrovirus (ARV). Pemberian ARV jangka pendek dan ASI eksklusif memiliki risiko penularan HIV sebesar 15-25% dan risiko penularan sebesar 5-15 % apabila ibu tidak menyusui. Akan tetapi, dengan terapi antiretroviral jangka panjang, risiko penularan HIV dari ibu ke anak dapat diturunkan lagi hingga 1-5%, dan ibu yang menyusui secara eksklusif memiliki risiko yang sama untuk menularkan HIV ke anaknya dibandingkan dengan ibu yang tidak menyusui. Dengan pelayanan PPIA yang baik, maka tingkat penularan dapat diturunkan menjadi kurang dari 2%. Tabel 5. Resiko penularan HIV dari ibu ke anak saat hamil, bersalin dan menyusui. 0-14 minggu



1%



14-16 minggu



4%



36 minggu



12%



Persalinan



Selama Persalinan



8%



Post Partum melalui ASI



0-6 bulan



7%



6-12 bulan



3%



Masa kehamilan



30



2.1.10



Pencegahan penularan HIV pada anak Pencegahan penularan HIV pada wanita dilakukan secara primer yang mencakup mengubah prilaku seksual dengan menerapkan prinsip ABC, yakni Abstinence (tidak melakukan hubungan seksual), Be faithful (setia kepada pasangan), dan condom (pergunakan kondom jika terpaksa melakulan hubungan dengan pasangan). Wanita juga disarankan untuk tidak menggunakan narkoba, terutama narkoba suntikan dengan pemakaian jarum yang bergantian, serta pemakaian alat menoreh kulit dan benda tajam secara bergantian dengan orang laim (misalnya tindik, tato, silet cukur, dan lain lain). Petugas kesehatan perlu menerapkan kewaspadaan universal dan menggunakan darah serta produk darah yang bebas dai HIV untuk pasien (Nursalam, 2005). Menurut Depkes RI (2003), WHO mencanangkan empat strategi untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke bayi dan anak, yaitu dengan mencegah jangan sampai wanita trinfeksi HIV/AIDS, apabila sudah dengan HIV/AIDS dicegah supaya tidak hamil, apabila sudah hamil dilakukan pencegahan supaya tidak menular pada bayi dan anaknya, namun bila ibu dan anak sudah terinfeksi maka sebaiknya diberikan dukungan dan perawatan bagi ODHA dan keluarganya. Penularan HIV dari ibu ke bayi bisa dicegah melalui empat cara, mulai saat hamil, saat melahirkan, dan setelah lahir yaitu: penggunaan antiretroviral selama kehamilan. Penggunaan antiretroviral saat persalinan dan saat bayi yang baru di lahirkan, penggunaan obstetrik selama persalinan, penatalaksanaan selama menyusui. Pemberian antiretroviral bertujuan agar viral load rendah sehingga jumlah virus yang ada dalam darah dan cairan tubuh kurang efektif untuk menularkan HIV. Obat yang bisa di pilih untuk negara berkembang adalah nevirapine, pada ibu saat persalinan diberikan 200 mg dosis tunggal, sedangkan pada bayi bisa di berikan 2 mg/kg BB 72 jam pertama setelah lahir dosis tunggal. Obat lain yang biasa dipilih adalah AZT yang di berikan mulai kehamilan 36 minggu 2 x 300 mg/hari dan 300 mg setiap jam selama persalinan berlangsung (Depkes RI, 2003).



31



Persalinan sebaiknya dpilih dengan metode sectio caesaria karena erbukti mengurangi risiko penularan HIV dari ibu ke bayi sampai 80%. Bila bedah caesar selektif disertai penggunaan terapi antiretroviral, maka risiko dapat diturunkan sampai 87%. Walaupun demikian bedah caesar juga mempunyai risiko karena imunitas ibu yang randah sehingga bisa terjadi keterlambatan penyembuhan luka, bahkan bisa terjadi kematian saat operasi. Oleh karena itu persalina per vagina atau sectio caesaria harus di pertibangkan sesuai kondisi gizi, keuangan, dan faktor lain, bila persalina pervagina dipilih, tindakan invasif seperti episiotomi rutin, eksraksi vakum, eksraksi cunam memecahkan ketuban sebelum pembukaan lengkap, terlalu sering melakukan periksa dalam, serta memantau analisa gas darah dengan mengambil sampel dari kulit kepala janin selama persalinan harus dihindari karena menigkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke janin (Depkes RI, 2003).



2.1.11



Perawatan Kehamilan, Persalinan, dan Pascasalin Wanita dengan HIV/AIDS yang hamil harus diberikan penyuluhan tentang kehamilannya, baik berupa penghentian atau kelanjutan kehamilan karena adanya risiko tranmisi vertikal HIV/AIDS dan ibu ke bayi sebesar 25-45%. Pada wanita hamil diperlukan pemeriksaan awal pada kunjungan pertama meliputi antibodi toksoplasmosis dan virus sitomegalo, tes mantox, kultur serviks untuk mengetahui adanya Neiseria gonorrhea dan Chlamydia trachomatis, HbsAg, VDRL, antigen kriptokokus, pemeriksaan CD4 setiap 3 bulan (setiap bulan jika 250sel/mm3 jika manfaatnya lebih banyak



43



dari pada risiko yang berhubungan dengan hepatotoxicity. Didanosine dan stavudine sebaiknya tidak digunakan dalam kombinasi lainnya



Regimen Pengobatan yang Direkomendasikan dan Regimen yang Dihindari Obat yang direkomendasikan yaitu zidovudine (ZDV) yang menjadi bagian dari beberapa regimen untuk pengobatan wanita hamil, kecuali terdapat dokumentasi riwayat keparahan ZDVberhubungan dengan toksisitas atau resisten. Untuk wanita yang memiliki riwayat keracunan ZDV atau resisten, regimen sebaiknya termasuk sedikitnya 1 obat antiretroviral yang melewati plasenta untuk memberikan fetus preexposure prophylaxis. Obat antiretroviral lainnya yang melewati plasenta manusia termasuk didanosine, lamivudine (3TC), tenofovir, nevirapine (NVP), dan lopinavir. Beberapa dari inhibitor protease juga memiliki variabel yang sedikit ke bagian plasenta. Ketika memilih regimen yang sesuai untuk wanita hamil, kombinasi regimen antiretroviral terdiri dari 3 obat yang direkomendasikan. Pada umumnya, prinsip pedoman pengobatan untuk wanita yang tidak hamil sebaiknya benar-benar dipertimbangkan. Harus terdapat dua kekuatan inhibitor nukleosida reverse-transkriptase dengan inhibitor nonnukleosida reverse-transkriptase atau inhibitor pratease yang cocok. Efavirenz pada umumnya dihindari selamas trimester pertama kehamilan karena menyangkut teratogenitas. NVP tidak direkomendasikan untuk wanita dengan jumlah sel CD4 >250 sel/mm3 karena meningkatkan risiko terjadinya ruam dan hepatotoksik. Tetapi jika si wanita telah toleransi terhadap NVP terdiri dari regimen sebelumnya saat kehamilan, regimen ini sebaiknya dilanjutkan selama kehamilan. Kombinasi dari stavudine dan didanosine sebaiknya dihindari selama kehamilan karena berpotensi menyebabkan toksisitas mitokondrial dan asidosis laktat. Pada umumnya, monoterapi sebaiknya dihindari selama kehamilan karena berpotensi dalam menyebabkan perkembanagan



44



resistensi



antiretroviral.



Pengobatan



ZDV



intravena



intrapartum



direkomendasikan untuk semua wanita yang terinfeksi HIV kecuali terdapat riwayat hipersensitif terhadap ZDV. Paling utama, dan mungkin sangat penting, langkah dalam mencegah MTCT merupakan uji umum HIV dari semua wanita yang hamil untuk diidentifikasi mana yang berisiko menularkan virus untuk janinnya. Di negara berkembang, terapi kombinasi antiretroviral direkomendasikan selama masa kehamilan tanpa memperhatikan jumlah sel CD4 atau jumlah virus untuk menurunkan risiko penularan HIV kepada fetus. Jadwal operasi caesar direkomendasikan untuk wanita hamil dengan muatan plasma RNA HIV > 1000 kopi/ mL. Di United States dan negara berkembang lainnya, hindarkan pemberian air susu direkomendasikan untuk menurunkan lebih lanjut risiko penularan perinatal. Dari sumber- negara terbatas, penelitian yang sederhana dan singkat dari regimen antiretroviral juga berperan dalam mengurangi transmisi MTCT. Terapi yang optimal untuk infeksi maternal dalam kehamilan, dan perawatan untuk janin akan sukses dengan pendekatan multidisiplin untuk merawat wanita hamil yang terinfeksi HIV. Keterangan untuk obat yang digunakan pada pasien HIV/AIDS: 3 TC (nama dagang): 1. Lamivudine 150 mg Indikasi:



pengobatan



HIV



pada



dewasa



dengan



progresive



immunodefeciency dengan atau tanpa pengobatan sebelumnya dengan antiretroviral, infeksi HIV pada anak-anak (umur 3 bulan) dengan progresif



immunodefeciency



dengan



atau



tanpa



pengobatan



sebelumnya dengan retrovir Norvir (nama dagang). 2. Ritonavir Indikasi: monoterapi untuk infeksi HIV. Kontra indikasi: Hipersensitifitas Efek samping: astenia, gangguan GI dan neurologi, termasuk mual, muntah, diare, anoreksia, nyeri abdomen, gangguan pengecapan, prestesis perifer dan sirkum oral



45



Dosis: kapsul/solid sehari 2 x 600mg 3. Atazanavir sulfat Indikasi: terapi untuk infeksi HIV-1 dalam kombinasi dengan obat antiretroviral lain. Kontra indikasi: hipersensitifitas terhadapa atazanavir, kombinasi dengan



midazolam,



dihiroergotamin,



ergotamin,



ergonovin,



metilergonovin, cisapride, dan pimozid. Efek samping: skit kepala, mual, ikterus, muntah, diare, nyeri abdomen, pusing, insomnia, gangguan saraf perifer, ruam kulit. Dosis: dewasa (pasien yang belum pernah mendapat terapi) sehari 1 x 400mg, dewasa (pasien yang sudah pernah mendapat terapi) sehari 1 x 300mg, pasien ditambah dengan ritnovir sehari 1 x 100mg + efavirenz. Pengobatan untuk ibu hamil dengan HIV salah satunya dapat menggunakan obat anti HIV dimana menurut penelitian dapat mencegah terjadinya transmisi virus HIV kepada janin dengan cara penggunaan sebagai berikut: 1.



Selama kehamilan setelah trimester pertama: dengan memberikan antiHIV sedikitnya tiga anti-HIV yang berbeda yang dikombinasikan (atripla).



2.



Selama labor dan persalinan: diberikan AZT (zidovudine)



IV,



kemudaian diberikan anti-HIV yang lain melalui mulut. 3.



Setelah melahirkan: diberikan cairan AZT selama 6 minggu. Prinsip pemberian ART pada wanita dan anak hampir sama dengan



dewasa, tetapi pemberian ART pada ibu dan anak memerlikan perhatian khusus tentang dosis dan toksisitasnya terutama pada anak-anak. Sistem kekebalan bayi mulai di bentuk dan berkembang selama beberapa tahun pertama. Efek obat ART pada bayi dan anak juga akan berbeda dengan orang dewasa (Depkes RI, 2003).



46



2.1.15



Dukungan Sosial Spiritual pada Wanita dan Anak dengan HIV/AIDS Wanita banyak menerima diskriminasi saat membutuhkan pengobatan HIV, bantuan dari fasilitas rehabilitasi obat, dan percobaan riset karena dia sedang hamil atau sedang dalam masa subur (Richard, et al., 1997). Wanita keturunan Afrika Amerika dan Hispanik seringkali mengalami siksaan fisik jika dia menyarankan penggunaan kondom pada pasangannya karena pria Hispanik mengganggap kondom hanya digunakan pada wanita yang tidak mempunyai moral yang baik dan bukan pada istri atau pasangan tetapnya. Wanita juga lebih jarang menanyakan kebiasaan seksual pasanganya dibandingkan pria dan bila mereka bertanya tidak ada jaminan bahwa pasangannya akan mengatakan hal yang sebenarnya (Braun, et al., dalam Richard, et al., 1997). Anak yang didiagnosis HIV juga mendatangkan trauma emosi yang mendalam bagi keluarganya. Orangtua harus menghadapi masalah berat dalam perawatan anak, pemberian kasih sayang, dan sebagainnya sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan mental anak. Orangtua memerlukan waktu untuk mengatasi masalah emosi, syok, kesedihan, penolakan, perasaan berdosa, cemas, marah, dan berbagai perasaan lain (Depkes RI, 2003). Wanita dan anak perlu diberikan dukungan terhadap kehilangan dan perubahan mencangkup: 1. Memberi dukungan dengan memperbolehkan pasien dan keluarga untuk membicarakan hal-hal tertentu dan mengungkapkan perasaan keluarga, 2. Membangkitkan harga diri wanita dan anak serta keluarganya dengan melihat keberhasilan hidupnya atau mengenang masa lalu yang indah, 3. Menerima perasaan marah, sedih, atau emosi dan reaksi lainnya, 4. Mengajarkan pada keluarga untuk mengambil hikmah, dapat mengendalikan diri dan tidak menyalahkan diri atau oarang lain (Nursalam, et al., 2005).



47



Selain itu perlu diberikan perawatan paliatif dan terminal yang mencangkup empat hal, yaitu pemberian kenyamanan, pengelolaan nyeri, serta menyiapkan pasien menghadapi kematian. Perawatan kenyamanan mencangkup tindakan relaksasi dan distraksi, menjaga pasien tetap bersih dan kering, penggantian posisi secara teratur, memberi toleransi maksimal terhadap permintaan pasien dan keluarga serta menghormat kebutuhan untuk mandiri (Nursalam, et al., 2005). Pengelolaan nyeri bisa dilakukan dengan teknik relaksasi, pemijatan, distraksi, meditasi, maupun pengobatan anti nyeri. Persiapan menjelang kematian meliputi penjelasan yang memadai tentang keadaan penderita, bantuan mempersiapkan pemakaman serta pengurusan jenazah sesuai budaya pasien.



2.2 Manajemen Persalinan 2.2.1



Tata Laksana Persalinan Sebagian besar bayi tertular infeksi HIV pada saat persalinan, maka cara persalinan bayi lahir dari ibu terinfeksi HIV sangat menentukan terjadinya penularan vertikal. Adanya trauma dan kerusakan pada jaringan tubuh ibu maupun bayi akan mengakibatkan terjadinya penularan vertikal. Untuk menghindari penularan vertikal, maka pecah ketuban dini dan penggunaan elektrode kepala perlu dihindari. Selain itu, jangan melakukan pertolongan persalinan yang mengakibatkan trauma seperti menggunakan forsep atau vakum untuk persalinan lama dengan penyulit. Cara persalinan harus ditentukan sebelum umur kehamilan 38 minggu untuk meminimalkan terjadinya komplikasi persalinan. Sampel plasma viral load dan jumlah CD4 harus diambil pada saat persalinan. Pasien dengan HAART



harus



mendapatkan



obatnya



sebelum



persalinan,



jika



diindikasikan, sesudah persalinan. Semua ibu hamil dengan HIV positif disarankan untuk melakukan persalinan dengan seksio sesaria. Operasi seksio sesarea pada usia kehamilan 38 minggu sebelum onset persalinan atau mencegah ketuban pecah dini direkomendasikan untuk wanita yang telah mendapatkan terapi HAART dengan kadar viral load yang masih >



48



1000 kopi/ml, wanita yang mendapatkan monoterapi alternative dengan zidovudin. Operasi seksio sesarea elektif dapat dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: 1. Pemberian zidovudin intravena diberikan sesuai indikasi, dimulai 4 jam sebelum operasi dimulai sampai dengan pemotongan tali pusat. 2. Sedapat mungkin meminimalisir perdarahan selama operasi dan 3. diusahakan kulit ketuban dipecah sesaat sebelum kepala dilahirkan 4. Antobiotika spectrum luas diberikan sebelum operasi sebagaimana umumnya. Persalinan pervaginam yang direncanakan hanya boleh dilakukan oleh wanita yang mengkonsumsi HAART dengan viral load 6 bulan)







VL > 1.000 kopi/µL



VL < 1.000 kopi/µL







Pemberian ARV dimulai pada usia kehamilan ≥ 36 minggu.



Tabel Alur pemberian terapi antiretroviral pada ibu hamil



2.2.2



Tatalaksana Postnatal Setelah melahirkan, ibu sebaiknya menghindari kontak langsung dengan bayi. Dosis terapi antibiotik profilaksis, ARV dan imunosuportif harus diperiksa kembali. Indikasi penggunaan infus ZDV adalah kombinasi single dose NVP 200 mg dengan 3TC 150 mg tiap 12 jam, dan dilanjutkan ZDV/3TC kurang lebih selama 7 hari pospartum untuk mencegah resistensi NVP. Imunisasi MMR dan varicella zoster juga diindikasikan, jika jumlah 49



limfosit CD4 diatas 200 dan 400. Ibu disarankan untuk menggunakan kontrasepsi pada saat berhubungan seksual. Secara teori, ASI dapat membawa HIV dan dapat meningkatkan transmisi perinatal. Oleh karena itu, WHO tidak merekomendasikan pemberian ASI pada ibu dengan HIV positif dengan stadium kronik, meskipun mereka mendapatkan terapi ARV. Saran suportif mengenai susu formula pada bayi sangat diperlukan untuk mencegah gizi buruk pada bayi.



2.2.3



Tatalaksana Neonatal Semua bayi harus diterapi dengan ARV < 4jam setelah lahir. Kebanyakan bayi diberikan monoterapi ZDV 2x sehari selama 4 minggu. Jika ibu resisten terhadap ZDV, obat alternatif bisa diberikan pada kasus bayi lahir dari ibu HIV positif tanpa indikasi terapi ARV. Tetapi untuk bayi beresiko tinggi terinfeksi HIV, seperti anak lahir dari ibu yang tidak diobati atau ibu dengan plasma viremia >50 kopi/mL, HAART tetap menjadi pilihan utama. Pemberian antibiotik profilaksis, cotrimoxazole terhadap PCP wajib dilakukan. Tes IgA dan IgM, kultur darah langsung dan deteksi antigen PCR merupakan serangkaian tes yang harus dijalankan oleh bayi pada umur 1 hari, 6 minggu dan 12 minggu. Jika semua tes ini negatif dan bayi tidak mendapat ASI, orang tua dapat menyatakan bahwa bayi mereka tidak terinfeksi HIV. Konfirmasi HIV bisa dilakukan lagi saat bayi berumur 18 sampai 24 bulan.



2.2.4



Tatalaksana Komplikasi Obstetrik Komplikasi yang berhubungan dengan HIV sebaiknya dianggap sebagai penyebab dari penyakit akut pada ibu hamil dengan status HIV tidak diketahui. Pada keadaan ini, tes diagnostik HIV harus segera dikerjakan. HAART dapat meningkatkan resiko lahir prematur. Oleh sebab itu, pemilihan dan penggunaan terapi ARV yang tepat berperan penting dalam hal ini. Wanita yang terancam lahir prematur baik dengan atau tanpa PROM



50



harus melakukan skrining infeksi, khususnya infeksi genital sebelum persalinan. Bayi prematur 34 minggu, persalinan harus dipercepat. Augmentation dapat dipertimbangkan jika viral load