Asuhan Keperawatan SSJ [PDF]

  • Author / Uploaded
  • icha
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Kata Pengantar Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang Asuhan Keperawatan Syndrom Steven Johnson. Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini. Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang Asuhan Keperawatan Syndrom Steven Johnson ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca. Madiun,29-Oktober- 2015



Penyusun



1



Daftar Isi Kata Pengantar………………………………………………………………………………….1 Daftar Isi………………………………………………………………………………………..2 BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang……………………………………………………………………………..3-4 1.2Rumusan Masalah…………………………………………………………………………..4 1.3Manfaat……………………………………………………………………………………..4 1.4Tujuan………………………………………………………………………………………4 BAB II Tinjauan Pustaka 2.1Definisi…………………………………………………………………………………….5 2.2 Prevalensi………………………………………………………………………………….5 2.3 Etiologi…………………………………………………………………………………….5-6 2.4 Patofisiologi……………………………………………………………………………….6-8 2.5 Tanda dan gejala…………………………………………………………………………..8-9 2.6 Pemeriksaan Diagnostic…………………………………………………………………..9-10 2.7 Penatalaksanaan…………………………………………………………………………..10-11 BAB III Asuhan Keperawatan………………………………………………………...……………….11-14 BAB IV (Penutup) Kesimpulan……………………………………………………………………………………..15 Daftar Pustaka……………………………………………………………………………..…15-16



2



BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara lain : sindrom de Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom muko-kutaneo-okular, dermatostomatitis, dll. Etiologi SSJ suit ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat. Beberapa faktor penyebab timbulnya SSJ diantaranya : infeksi (virus, jamur, bakteri, parasit), obat (salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif), makanan (coklat), fisik (udara dingin, sinar matahari, sinar X), lain-lain (penyakit polagen, keganasan, kehamilan). Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks soluble dari antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG dan reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik. Stevens-Johnson Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) sejak dahulu dianggap sebagai bentuk eritem multiformis yang berat. Baru-baru ini diajukan bahwa eritema multiformis mayor berbeda dari SJS dan TEN pada dasar penentuan kriteria klinis.Konsep yang diajukan tersebut adalah untuk memisahkan spectrum eritem multiformis dari spectrum SJS/TEN. Eritem multiformis, ditandai oleh lesi target yang umum, terjadi pasca infeksi, sering rekuren namun morbiditasnya rendah. Sedangkan SJS/TEN ditandai oleh blister yang luas dan makulopapular, biasanya terjadi karena reaksi yang diinduksi oleh obat dengan angka morbiditas yang tinggi dan prognosisnya buruk. Dalam konsep ini, SJS dan TEN kemungkinan sama-sama merupakan proses yang diinduksi obat yang berbeda dalam derajat keparahannya. Terdapat 3 derajat klasifikasi yang diajukan :



3



1. Derajat 1 : erosi mukosa SJS dan pelepasan epidermis kurang dari 10% 2. Derajat 2 : lepasnya lapisan epidermis antara 10-30% 3. Derajat 3 : lepasnya lapisan epidermis lebih dari 30% 1.2 Rumusan masalah 1.



Apa pengertian sindrom steven johnson?



2.



Bagaimana etiologi sindrom steven johnson?



3.



Bagaimana patofisiologi sindrom steven johnson?



4.



Bagaimana pemeriksaan diagnostik sindrom steven johnson?



5.



Bagaimana penatalaksanaan sindrom steven johnson?



6.



Bagaimana asuhan keperawatan sindrom steven johnson?



1.3 Manfaat Dengan adanya karya tulis ilmiah ini,dapat menambah ilmu pengetahuan



dan wawasan



mahasiswa tentang Sindoma Steven Jonhson sehigga mahasiswa dapat mendiagnosa dengan tepat dan membuat rencana solusi terhadap kelainan yang didapat pada Sindroma Steven Jonhson. 1.4 Tujuan Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk memberikan pengetahuan dapat memberikan informasi dan pemahaman mengenai asuhan keperawatan pada klien anak yang menderita sindrom steven johnson.



4



BAB II Tinjauan Pustaka 2.1 Definisi Sindrom Steven Johnson adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk. Sindrom Steven Johnson adalah penyakit kulit akut dan berat yang terdiri dari erupsi kulit, kelainan di mukosa dan konjungtivitis. Sindrom Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dan ringan sampai berat, kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel atau bula dapat disertai purpura. 2.2 Prevalensi Berdasarkan kasus yang terdaftar dan diobservasi kejadian SSJ terjadi 1-3 kasus per satu juta penduduk setiap tahunnya. SSJ juga telah dilaporkan lebih sering terjadi pada ras Kaukasia. Walaupun SSJ dapat mempengaruhi orang dari semua umur, tampaknya anak lebih rentan. Tampaknya juga perempuan sedikit lebih rentan daripada laki-laki (Siregar, 2004). 2.3 Etiologi 1.



Obat-obatan dan keganasan merupakan penyebab utama pada pasien dewasa dan usia lanjut.



2.



Kasus pediatrik lebih banyak berhubungan dengan infeksi daripada keganasan atau reaksi obat. Jarang pada anak usia 3 tahun atau dibawahnya, karna imunitas belum berkembang sepenuhnya.



3.



NSAID oksikam dan sulfonamid merupakan penyebab utama di negara-negara Barat. Di Asia Timur allopurinol merupakan penyebab utama.



4.



Obat seperti sulfa, fenitoin atau penisilin telah diresepkan kepada lebih dari dua pertiga pasien dengan SSJ.



5.



Lebih dari setengah pasien dengan SSJ melaporkan adanya infeksi saluran napas atas.



6.



4 kategori etiologi adalah infeksi, reaksi obat, keganasan dan idiopatik.







Penyakit viral yang pernah dilaporkan termasuk HSV, AIDS, infeksi virus coxsakie, hepatitis, influensa, variola, lymphogranuloma venerum dan infeksi ricketsia.



5







Etiologi bakterial termasuk streptokokus grup A, difteria, bruselosis, mikobakteria, Mycoplasma pneumoniae dan tifoid.







Koksidioidomikosis, dermatofitosis danhistoplasmosis merupakan kemungkinan dari infeksi jamur.







Malaria dan trikomoniasis dilaporkan sebagai penyebab dari protozoa.







Pada anak-anak, EBV dan enterovirus telah diidentifikasi.







Etiologi dari antibiotik termausk penisilin dan sulfa. Antikonvulsan termasuk fenitoin, karbamazepin, asam valproat, lamotrigin dan barbiturat.







Berbagai karsinoma dan limfoma juga dimasukkan sebagai faktor yang berhubungan.







SSJ bersifat idiopatik pada 25-50% kasus.



2.4 Patofisiologi SSJ merupakan kelainan hipersensitivitas yang dimediasi kompleks imun yang disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus dan keganasan. Akhir-akhir ini kokain dimasukkan dalam daftar obat yang dapat menyebabkan SSJ. Sampai dengan setengah dari total kasus, tidak ada etiologi spesifik yang telah diidentifikasi. SSJ sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe II (sitolitik) menurut Coomb dan Gel. Gejala klinis atau gejala reaksi bergantung kepada sel sasaran (target cell). Sasaran utama SSJ dan NET ialah pada kulit berupa destruksi keratinosit. Pada alergi obat akan terjadi aktivitas sel T, termasuk CD4 dan CD8, IL-5 meningkat, juga sitokin-sitokin lain. CD4 terutama terdapat di dermis, CD8 di epidermis. Keratinosit epidermis mengekspresikan ICAM-1, ICAM-2 dan MHC-II. Sel langerhans tidak ada atau sedikit. TNF alfa meningkat di epidermis. Oleh karena proses hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan kulit sehingga terjadi (Carroll, 2001) : 1.



Kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan



2. Stres hormonal diikuti peningkatan resisitensi terhadap insulin, hiperglikemia dan glukosuriat. 3.



Kegagalan termoregulasi



4.



Kegagalan fungsi imun



5.



Infeksi



6



Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan tambahan yang dapat berupa didahului panas tinggi, dan nyeri kontinyu. Erupsi timbul mendadak, gejala bermula di mukosa mulut berupa lesi bulosa atau erosi, eritema, disusul mukosa mata, genitalia sehingga terbentuk trias (stomatitis, konjunctivitis, dan uretritis). Gejala prodormal tidak spesifik, dapat berlangsung hingga 2 minggu. Keadaan ini dapat menyembuh dalam 3-4 minggu tanpa sisa, beberapa penderita mengalami kerusakan mata permanen. Kelainan pada selaput lendir, mulut dan bibir selalu ditemukan. Dapat meluas ke faring sehingga pada kasus yang berat penderita tak dapat makan dan minum. Pada bibir sering dijumpai krusta hemoragik (Ilyas, 2004). Walaupun tidak sepenuhnya relevan dengan praktek keadaan gawat darurat, penelitian terhadap patofisiologi SSJ/NET dapat memberikan kesempatan pemeriksaan untuk membantu diagnosis selain untuk membantu pasien yang memiliki resiko. Berdasarkan hasil penelitian Steven J Parrillo, DO, FACOEP, FACEP Adjunct Professor, School of Health and Science, Philadelphia University, secara patologis, nekrosis sel menyebabkan pemisahan antara epidermis dan dermis. Reseptor nekrosis sel, Fas, dan ligannya, FasL, telah dihubungkan dengan proses seperti TNF-alfa. Peneliti telah menemukan peningkatan kadar FasL pada pasien dengan SSJ/NET sebelum pelepasan kulit atau inset dari lesi mukosa. Beberapa peneliti lain menghubungkan sitokin inflamatori pada patogenesis. Terdapat juga bukti kuat mengenai predisposisi genetik pada reaksi kutaneus berat dari efek samping obat seperti SSJ. FDA dan Health Canada menyarankan screening terhadap antigen leukosit manusia, HLA-B*1502, pada pasien etnis Asia Tenggara sebelum memulai terapi dengan karbamazepin. Antigen lainnya, HLA-B*5801, memberikan reaksi yang berhubungan dengan allopurinol.. Screening sebelum terapi belum tersedia.



PATHWAY Alergi obat2an, infeksi mikroorganisme, neoplasma dan faktor endokrin, faktor fisik dan makanan Masuk ke dalam tubuh Sel B dan plasma cel Antigen berikatan dengan antibodi (Ig M dan Ig G) Komplek imun 7



Deposit pembuluh darah Mengaktifkan komplemen & degranulasi sel mast Neutrofil tertarik kedaerah infeksi Kerusakan jaringan kapiler/ organ Inflamasi



Kerusakan submukosa : lidah



Akumulasi Neutrofil



Gangguan menelan Intake in adekuat



Merangsang



Peningkatan



nociseptor



permeabilitas vaskuler



Reaksi radang



Mengirim impuls



Diorbital



Kelainan kulit dan



Reseptor ditolak



Respon inflamasi



eritema Gangguan nutrisi



Inflamasi dermal dan



< keb tubuh



epidermal



(konjungtivitas) Diintepretasi nyeri



↑ eksudat & merangsang cairan mata



Gangguan integritas



Gangguan rasa



kulit



nyaman : nyeri



Gangguan fungsi mata



Gangguan persepsi sensori : penglihatan



2.5 Tanda dan gejala a) Gejala Klinis Umum Secara umum gejala klinis Sindrom Stevens-Johnson didahului gejala prodormal seperti demam, malaise, batuk, sakit kepala, pilek dan nyeri tenggorok. Gejala prodormal ini dapat berlangsung selama dua minggu dan bervariasi dari ringan sampai berat. Pada keadaan ringan kesadaran pasien baik, sedangkan dalam keadaan yang berat gejala-gejala menjadi lebih hebat, sehingga kesadaran pasien menurun bahkan sampai koma. b) Kelainan kulit 8



Kelainan kulit terdiri dari eritema, vesikel dan bula. Vesikel danbula kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu dapat juga terjadi purpura. Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata. c). Kelainan mata Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus yang tersering ialah konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa kongjungtivitis purulen, perdarahan, ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis.Disamping trias kelainan tersebut dapat pula terdapat kelainan lain,misalnya: nefritis dan onikolisis d) Gejala pada Genital Lesi pada genital dapat menyebabkan uretritis, balanitis dan vulvovaginitis. Balanitis adalah inflamasi pada glans penis (Gambar 2.3) e) Gejala pada Rongga Mulut Lesi oral mempunyai karakteristik yang lebih bervariasi daripada lesi kulit, seluruh permukaan oral dapat terlibat, namun lesi oral lebih cenderung banyak terjadi pada bibir, lidah palatum mole, palatum durum, mukosa pipi sedangkan pada gusi relatif jarang terjadi lesi(Pindborg, 1994; Langlais and Miller, 2003) Patofisiologi 2.6 Pemeriksaan Diagnostik  Pemeriksaan Laboratorium : Tidak ada pemeriksaan laboratorium selain biopsi yang dapat menegakkan diagnosis SSJ. a) Pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan jumlah leukosit yang normal atau leukositosis yang nonspesifik. Leukositosis yang nyata mengindikasikan kemungkinan infeksi bakteri berat. b) Kultur jaringan kulit dan darah telah disetujui karena insidensi infeksi bakteri yang serius pada aliran darah dan sepsis yang menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas. c) Mengevaluasi fungsi renal dan evaluasi urin untuk melihat adanya hematuria. d) Imunofluoresensi banyak membantu membedakan sindrom Steven Johnson dengan panyakit kulit dengan lepuh subepidermal lainnya. e) Elektrolit dan kimia lainnya mungkin diperlukan untuk membantu menangani masalah lainnya. f)



Kultur darah, urin dan jaringan pada luka diindikasikan ketika dicurigai adanya infeksi.



g)



Bronkoskopi, esofagogastroduodenoskopi dan kolonoskopi dapat dilakukan.  Pemeriksaan Radiologi: 9



Foto rontgen thorak dapat menunjukkan adanya pneumonitis ketika dicurigai secara klinis. Akan tetapi foto rontgen rutin biasa tidak diindikasikan.  Pemeriksaan Histopatologi: Biopsi kulit merupakan pemeriksaan definitif tetapi pemeriksaan ini bukan merupakan prosedur ruang gawat darurat. a)



Spesimen biopsi kulit memperlihatkan bahwa bula terletak subepidermal.



b)



Nekrosis sel epidermal dapat dilihat.



c)



Area perivaskular diinfiltrasi oleh limfosit.



2.7 Penatalaksanaan 1.



Kortikosteroid Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan prednisone 30-40 mg sehari. Namun bila keadaan umumnya buruk dan lesi menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat. Kortikosteroid merupakan tindakan file-saving dan digunakan deksametason intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari. Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa hari. Pasien steven-Johnson berat harus segera dirawat dan diberikan deksametason 6×5 mg intravena. Setelah masa krisis teratasi, keadaan umum membaik, tidak timbul lesi baru, lesi lama mengalami involusi, dosis diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari, deksametason intravena diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisone yang diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari, sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut dihentikan. Lama pengobatan kira-kira 10 hari. Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakukan pemeriksaan elektrolit (K, Na dan Cl). Bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi hipokalemia diberikan KCL 3 x 500 mg/hari dan diet rendah garam bila terjadi hipermatremia. Untuk mengatasi efek katabolik dari kortikosteroid diberikan diet tinggi protein/anabolik seperti nandrolok dekanoat dan nanadrolon. Fenilpropionat dosis 25-50 mg untuk dewasa (dosis untuk anak tergantung berat badan).



2.



Antibiotik Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumonia yang dapat menyebabkan kematian, dapat diberi antibiotic yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas dan bersifat bakteriosidal misalnya gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg.



3.



Infus dan tranfusi darah 10



Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan serta kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus misalnya glukosa 5 % dan larutan Darrow. Bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut, terutama pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena sehari dan hemostatik. 4.



Topikal : Terapi topical untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase. Untuk lesi di kulit yang erosif dapat diberikan sufratulle atau krim sulfadiazine perak.



BAB III Asuhan Keperawatan 1. Pengkajian: Riwayat Kesehatan Sekarang a. Keluhan utama Adanya kerusakan / perubahan struktur kulit dan mukosa berupa kulit melepuh, mata merah, mukosa mulut mengelupas a. Pemeriksaan Fisik Lakukan pengkajian fisik dengan penekanan khusus: o Adanya eritema yaitu area kemerahan yang disebabkan oleh peningkatan jumlah darah yang teroksigenisasi pada vaskularisasi dermal. o Vesikel, bula dan purpura. o Ekimosis yaitu kemerahan yang terlokalisir atau perubahan warna keunguan yang disebabkan oleh ekstravasasi darah ke dalam jaringan kulit dan subkutan. o Ptekie yaitu bercak kecil dan berbatas tajam pada lapisan epidermis superficial o Lesi sekunder yaitu perubahan kulit yang terjadi karena perubahan pada lesi primer, yang disebabkan oleh obat, involusi dan pemulihan. o Kelainan selaput lender di mukosa mulut, genetalia, hidung atau anus o Konjungtivitis, ulkus kornea, iritis dan iridoksiklitis



11



2. Diagnosa Keperawatan a. Gangguan integritas kulit b.d. inflamasi dermal dan epidermal Tujuan : menunjukkan kulit dan jaringan kulit yang utuh Intervensi: 1. Observasi kulit setiap hari catat turgor sirkulasi dan sensori serta perubahan lainnya yang terjadi. Rasional: menentukan garis dasar dimana perubahan pada status dapat dibandingkan dan melakukan intervensi yang tepat 2. Gunakan pakaian tipis dan alat tenun yang lembut Rasional: menurunkan iritasi garis jahitan dan tekanan dari baju, membiarkan insisi terbuka terhadap udara meningkat proses penyembuhan dan menurunkan resiko infeksi 3. Jaga kebersihan alat tenun Rasional: untuk mencegah infeksi 4. Kolaborasi dengan tim medis Rasional: untuk mencegah infeksi lebih lanjut b. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. kesulitan menelan Tujuan : menunjukkan berat badan stabil/peningkatan berat badan Intervensi: 1. Kaji kebiasaan makanan yang disukai/tidak disukai Rasional: memberikan pasien/orang terdekat rasa kontrol, meningkatkan partisipasi dalam perawatan dan dapat memperbaiki pemasukan. 2. Berikan makanan dalam porsi sedikit tapi sering Rasional: membantu mencegah distensi gaster/ketidaknyamanan 3. Hidangkan makanan dalam keadaan hangat Rasional: meningkatkan nafsu makan



12



4. Kerjasama dengan ahli gizi Rasional: kalori protein dan vitamin untuk memenuhi peningkatan kebutuhan metabolik, mempertahankan berat badan dan mendorong regenerasi jaringan. c. Gangguan rasa nyaman, nyeri b.d. inflamasi pada kulit Tujuan : a. Melaporkan nyeri berkurang b. Menunjukkan ekspresi wajah/postur tubuh rileks Intervensi: 1. Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi dan intensitasnya Rasional: nyeri hampir selalu ada pada beberapa derajat beratnya keterlibatan jaringan 2. Berikan tindakan kenyamanan dasar ex: pijatan pada area yang sakit Rasional: meningkatkan relaksasi, menurunkan tegangan otot dan kelelahan umum 3. Pantau TTV Rasional: metode IV sering digunakan pada awal untuk memaksimalkan efek obat 4. Berikan analgetik sesuai indikasi Rasional: menghilangkan rasa nyeri d. Gangguan intoleransi aktivitas b.d. kelemahan fisik Tujuan: klien melaporkan peningkatan toleransi aktivitas Intervensi: 1. Kaji respon individu terhadap aktivitas Rasional: mengetahui tingkat kemampuan individu dalam pemenuhan aktivitas sehari-hari. 2. Bantu klien dalam memenuhi aktivitas sehari-hari dengan tingkat keterbatasan yang dimiliki klien Rasional: energi yang dikeluarkan lebih optimal 3. Jelaskan pentingnya pembatasan energi Rasional: energi penting untuk membantu proses metabolisme tubuh 4. Libatkan keluarga dalam pemenuhan aktivitas klien Rasional: klien mendapat dukungan psikologi dari keluarga



13



e. Gangguan Persepsi sensori: kurang penglihatan b.d konjungtifitis Tujuan : - Kooperatif dalam tindakan - Menyadari hilangnya pengelihatan secara permanen Intervensi: 1. Kaji dan catat ketajaman pengelihatan Rasional: Menetukan kemampuan visual 2. Kaji deskripsi fungsional apa yang dapat dilihat/tidak. Rasional: Memberikan keakuratan thd pengelihatan dan perawatan. 3. Sesuaikan lingkungan dengan kemampuan pengelihatan: Rasional: Meningkatkan self care dan mengurangi ketergantungan. 4. Orientasikan thd lingkungan. -Letakan alat-alat yang sering dipakai dalam jangkuan pengelihatan klien. -Berikan pencahayaan yang cukup. -Letakan alat-alat ditempat yang tetap. -Berikan bahan-bahan bacaan dengan tulisan yang besar. -Hindari pencahayaan yang menyilaukan. -Gunakan jam yang ada bunyinya. 5. Kaji jumlah dan tipe rangsangan yang dapat diterima klien. Rasional: Meningkatkan rangsangan pada waktu kemampuan pengelihatan menurun.



14



BAB IV PENUTUP



KESIMPULAN Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Etiologi SJS sukar ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat. Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe II (sitolitik). Manifestasi SSJ pada kulit berupa eritema, vesikel, bula, kadang terdapat purpura, pada selaput lendir orifisium berupa vesikel dan bula yang gampang pecah, mata dapat berupa konjungtivitis, konjungtivitas kataralis , blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, simblefaron, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Diagnosis banding dari Sindrom Steven Johnson ada 2 yaitu Toxic Epidermolysis Necroticans, Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (Ritter disease) dan konjungtivitis membranosa atau pseudomembranosa. Penanganan Sindrom Steven Johnson dapat dilakukan dengan memberi terapi cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral pada penderita dengan keadaan umum berat. Pemberian antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah. Penggunaan steroid sistemik masih kontroversi, ada yang mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan penyembuhan yang lambat dan efek samping yang signifikan, namun ada juga yang menganggap steroid menguntungkan dan menyelamatkan nyawa.



Daftar Pustaka https://gens2ktp.wordpress.com/2013/10/23/sjs/ https://alergianakonline.wordpress.com/2016/06/09/penyebab-dan-penanganan-terkini-sindromsteven-johnson/ http://dadangdot.blogspot.co.id/2013/12/makalah-sindrom-steven-jhonson.html http://sricriacriaa.blogspot.co.id/2011/12/makalah-sindrom-stevens-johnson.html 15



https://robyraman.wordpress.com/2012/03/19/makalah-sindrom-steven-johnson-ssj/ http://agustinus-profile.blogspot.co.id/2009/07/asuhan-keperawatan-pada-sistem-imunitas.html http://yohanesaprie.blogspot.co.id/2011/05/stevens-johnson-syndrome.html http://riskichairi.blogspot.co.id/2014/04/sindrom-steven-johnson-ssj.html



16