Aswaja Kelompok 10 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Konsep Taqlid, Ittiba’, Tarjih, dan Talfiq Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Aswaja Yang diampun oleh M.Subhan Ansori, M.Pd.I



Oleh Muna Hilmi Wardhatul Jannah



1988201032



Ika Nur Fitria



1988201062



Syaniatul Romdiah



1988201016



UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA BLITAR FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN PENDIDIKAN PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA November 2019



KATA PENGANTAR Syukur alhamdulilah atas kehadirat Allah SWT . Yang mana telah memberikan rahmat dan karuniaNya pada penulis. Sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Konsep Taklid, Ittiba’, Tarjih, dan Talfiq” untuk memenuhi tugas mata kuliah Aswaja. Tidak lupa peneliti menyampaikan terima kasih kepada. 1. H. M. Subhan Ansori,M.Pdi selaku dosen pengampu mata kuliah Aswaja. 2. Kelompok 10 dan teman-teman Universitas Nahdlatul Ulama Blitar progam



studi



Pendidikan



Bahasa



Indonesiayang



telah



membatu



menyelesaikan tugas ini. Penulis menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan di dalamnya, untuk itu peneliti sangat mengharapkan adanya kritikan dan masukan yang bersifat membangun demi kesempurnaan laporan ini. Ahkir kata peneliti berharap semoga makalah ini berguna dan bermanfaat bagi para pembaca dan peneliti selanjutnya.



Blitar, November 2019



Penulis



i



DAFTAR ISI SAMPUL DAFTAR ISI ...................................................................................................ii KATA PENGANTAR ...................................................................................iii BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang ............................................................................... 1 1.2.Rumusan Masalah .......................................................................... 1 1.3Tujuan Pembahasan ........................................................................ 1 BAB II PEMBAHASAN 2.1 Pengertian Taklid………………………………………………...2 2.2 Pengertian Ittiba’…………………………………………………5 2.3 Pengertian Tarjih…………...…………………………………….9 2.4 Pengertian Talfiq………………………………….……………...11



BAB III PENUTUP 3.1.Kesimpulan ................................................................................... 16 3.2 Saran .............................................................................................. 17 DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………...… 18



ii



1. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG



Ilmu ushul fiqih merupakan metode dalam menggali dan menetapkan hukum. Ilmu ini sangat berguna untuk membimbing para mujtahid dalam mengistinbatkan hokum syara’ secara benar dan dapat dipertanggungjawabkan hasilnya. Maka dari itu sudah seharusnya kita mempelajari dan mengetahui tentang taqlid, ittiba’, tarjih, dan talfiq. Maka pada kesempatan ini makalah ini akan membahas tentang taqlid, ittiba’, tarjih, dan talfiq beserta hukumnya.



1.2 RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana Pengertian Taqlid? 2. Bagaimana Pengertian Ittiba’? 3. Bagaimana Pengertian Tarjih? 4. Bagaiman Pengertian Talfiq? 1.3 TUJUAN PEMBAHASAN 1. Untuk mengetahui Bagaimana Pengertian Taqlid 2. Untuk mengetahui Bagaimana Pengertian Ittiba’ 3. Untuk mengetahui Bagaimana Pengertian Tarjih 4. Untuk mengetahui Bagaimana Pengertian Talfiq



1



2. PEMBAHASAN 2.1 Pengertian Taqlid Taqlid menurut



bahasa



berasal



dari



bahasa



Arab



yaitu qalada, yuqalidu, taqlidan, yang berarti mengulangi, meniru dan mengikuti. [1] Para ulama ushul memberikan defenisi taqlid dengan “mengikuti pendapat seseorang mujtahid atau ulama tertentu tanpa mengetahui sumber dan



cara



pengambilan



pendapat



tersebut.



Orang



yang



bertaqlid disebut mukallid. Dari defenisi di atas terdapat dua unsur yang perlu diperhatikan dalam pembicaraan taqlid, yaitu: 1.



Menerima atau mengikuti suatu perkataan seseorang



2.



Perkataan tersebut tidak diketahui dasarnya, apakah ada dalam Al-



Qur’an dan hadits tersebut. Defenisi taqlid menurut para ahli ushul fiqih: Taqlid menurut Imam Al-Ghazali dalam Al-Mustasyfa adalah: ْ ‫التّقليد قبول بغير ح ّجة وليس طريقا للعلم الفى ا‬ ‫الصول والفى الفروع‬ “Taqlid adalah menerima suatu perkataan dengan tidak ada hujjah. Dan tidak ada taqlid itu menjadi jalan kepada pengetahuan (keyakinan), baik dalam urusan ushul maupun dalam urusan furu’.” Al-Asnawi dalam kitab Nihayat Al-Ushul mendefinisikan: ْ ‫التّقليد هو ا‬ ‫الخذ بقول غير دليل‬ “Mengambil perkataan orang lain tanpa dalil” Ibnu Subki dalam kitab Jam’ul jawami mendefinisikan: ‫التقليد هو اخذ القول من غير معرفة دليل‬ “Taqlid adalah mengambil suatu perkataan tanpa mengetahui dalil”.



2



Contoh taqlid: Seseorang yang mengikuti Umar bin Khattab dalam melaksanakan shalat tarawih 20 rakaat, tetapi dia tidak mengetahui alasan yang dijadikan dasar oleh Umar.



Para ulama membagi hukum taqlid menjadi tiga, yaitu: 1.



Taqlid yang Haram Para ulama sepakat bahwa haram melakukan taqlid yang jenis ini. Jenis taqlid ini ada tiga macam, yaitu: a.



Taqlid semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat nenek moyang atau orang-orang dahulu kala yang bertentangan dengan al-Qur’an dan hadits. Contohnya, tradisi nenek moyang tirakatan selama tujuh malam di makam, dengan keyakinan bahwa hal itu akan mengabulkan semua keinginannya. Padahal perbuatan tersebut tidak sesuai dengan firman Allah, antara lain dalam surat al-Ahzab ayat 64-67 yang artinya:



“Sesungguhnya Allah melaknati orang-orang kafir, dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala. Mereka kekal di dalamnya, mereka tidak mendapat perlindungan dan tidak pula penolong. Di hari itu muka mereka dibolak-balik di dalam api neraka, mereka berkata: “Alangkah baiknya andai kami taat kepada Allah dan kepada Rasul. Dan mereka berkata: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu menyesatkan kami”. (QS. Al-Ahzab: 64-67) b.



Taqlid kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedang yang bertaqlid



mengetahui bahwa perkataan atau pendapat itu salah. Firman Allah dalam surat At-Taubah: 31 yang artinya: “Mereka menjadikan para tokoh agama dan rahib-rahibnya sebagai Tuhan selain Allah, dan menuhankan al-Masih anak Maryam, padahal mereka (tahu) hanya disuruh menyembah Tuhan yang satu, Tiada Tuhan selain-Nya. Maha Suci Dia dari segala apa yang mereka sekutukan”. (QS. At-Taubah: 31).[4]



3



c.



Taqlid kepada orang atau sesuatu yang tidak diketahui kemampuan dan



keahliannya, seperti menyembah berhala,



tetapi dia tidak mengetahui



kemampuan, kekuasaan atau keahlian berhala itu. 2.



Taqlid yang Dibolehkan Yaitu taqlid kepada mujtahid, dengan syarat bahwa yang bersangkutan selalu berusaha menyelidiki kebenaran masalah yang diikuti. Dengan kata lain, bahwa taqlid seperti ini sifatnya hanya sementara.



3.



Taqlid yang Diwajibkan Taqlid kepada orang yang perkataan, perbuatan, dan ketetapannya dijadikan hujjah, yakni Rasulullah Saw.  Pesan para Ulama Mengenai Taqlid Imam Abu Hanifah berkata:[8] ‫هذا رأي أبي حنيقة وهو أحسن ما قدّرنا عليه فمن جاء بأحسن منه فهو أولى بالصواب‬ “ini adalah pendapat saya (Abu Hanifah) dan itulah sebaik baik yang aku dapati padanya maka siapa yang datang pada ku dengan yang lebih baik dialah yang lebih benar.” Imam Malik berkata: “Aku adalah manusia yang dapat juga salah dapat juga benar, maka lihatlah oleh mu pendapat mu. Apa yang sesuai dengan kitab allah dan sunah rasulnya (Quran dan Sunah) maka ambillah. Dan ayng tidak sesuai dengan keduanya itu tingggalkan lah.” Imam syafi’i berkata: “Hai Abu Ishaq! Jaganlah negkau bertaqlid belaka kepada ku dalam segala apa yang aku katakan, tetapi li hatlah pada dirimu, karena sesungguhnya itu adalah urusan agama.”



4



Iamam Ahmad bin Hambal bekata: “Janganlah engkau mengikuti pendapatku, juga pendapat Maliki, dan pendapat Auza’i, tetapi caaarilah dari mana mereka mengambilnya.”



2.2 Pengertian Ittiba’ Secara bahasa, kata ittiba’ (‫ )ا ِّت ّباَع‬merupakan mashdar dari kata ittaba’a (‫ )اتَّبَ َع‬yang memiliki akar kata dari huruf taa, baa dan ‘ain. Ibnu Faris rahimahullah berkata, “Huruf taa, baa, dan ‘ain; adalah akar kata yang semua kata turunannya tidak menyimpang dari makna asalnya, yaitu mengikuti. Apabila dikatakan (‫ )تَ ِّب ْعتُ فُالَنا‬maknanya adalah engkau mengikutinya. Dan dikatakan (ُ‫ )أ َ ْت َب ْعتُه‬maknanya adalah engkau menyusulnya.” [2] Kata ittiba’ pada asalnya bermakna mengikuti jejak orang yang berjalan. Kemudian digunakan untuk makna melakukan amalan seperti amalan orang lain, sebagaimana dalam firman Allah, 3. ‫سان‬ َ ْ‫َوا َّلذِّينَ اتَّبَعُوهُم ِّبإِّح‬ “Dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik..” ((QS. AtTaubah: 100.)) Kemudian kata tersebut digunakan untuk makna melaksanakan perintah dan mengamalkan apa yang diperintahkan oleh syariat.” [3] [4] Adapun dalam pengertian secara syar’i, makna ittiba’ adalah berpegang teguh dan menerima apa yang ada dalam Al-Kitab dan yang sahih dari Sunnah, melaksanakan perintah-perintahnya dan menjauhi laranganlarangannya. As-Sam’ani rahimahullah berkata, “Ittiba’ menurut para ulama adalah berpegang teguh dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sahih menurut para ahlinya, para penukilnya, dan para penjaganya, serta tunduk kepada sunnah, dan menerima perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ada di dalam sunnah. Mengikuti orang yang diperintahkan Allah untuk diikuti. Melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan Nya.” [5]



5



 Hukum Ittiba’ Allah telah mewajibkan kepada hamba-hamba Nya untuk menaati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah memerintahkan mereka untuk menaati dan mengikuti perintah beliau. Allah juga memperingatkan mereka dari sikap menyelisihi beliau, durhaka kepada beliau, dan tidak menaati beliau. [6] Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Allah mewajibkan kepada manusia untuk ittiba’ (mengikuti) wahyu-Nya dan sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah berfirman dalam kitab-Nya, ْ ‫َربَّنَا َوا ْب َع‬ ُ ‫َاب َو ْال ِِّح ِْك َمةَ َويَُزَ ِّ ِّّكي ِّه ْم ِِّإنَّكَ أَنتَ ْالعَ َِّز‬ ‫يَز ْال َِح ِِّكي ُم‬ ُ ‫ث فِّي ِّه ْم َر‬ َ ‫سوال ِّّم ْن ُه ْم َيتْلُو َعلَ ْي ِّه ْم آيَاتِّكَ َويُعَ ِّلّ ُم ُه ُم ْال ِِّكت‬ Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. ((QS. Al-Baqarah: 129.)) Maka Allah menyebutkan Al-Kitab, yaitu Al-Quran. Dan Allah juga menyebutkan Al-Hikmah. Dan aku mendengar di antara ulama yang memahami Al-Quran mengatakan, Al-Hikmah adalah Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan bahwa Allah mewajibkan kepada manusia untuk menaati RasulNya dan mengikuti perintahnya. Maka tidak boleh dikatakan wajib kecuali karena (adanya dasar dari) Kitab Allah kemudian Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [7]



6



 Dalil Wajibnya Ittiba’ Sangat banyak nash dalam Al-Quran maupun dalam As-Sunnah yang memerintahkan kita untuk ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan melarang kita dari menyelisihi tuntunan beliau. Dan hukum asal dari suatu perintah adalah wajib. Terlebih lagi di antara dalil-dalil itu terdapat pula ancaman bagi orang yang menyelisihi dan tidak mau ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka menjadi sangat jelas akan wajibnya ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah berfirman, ‫سو ُل فَ ُخذُوهُ َو َما نَ َها ُِّك ْم َع ْنهُ فَانت َ ُهوا‬ ُ ‫الر‬ َّ ‫َو َما آت َا ُِّك ُم‬ “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” ((QS. Al-Hasyr: 7.)) Tentang ayat ini, Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata, “Ini berlaku umum mencakup pokok-pokok agama dan cabang-cabangnya, yang lahir maupun batin. Dan bahwa apa yang dibawa oleh Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wa sallam) wajib untuk dipegangi dan diikuti oleh para hamba. Tidak boleh menyelisihinya. Dan bahwa nash Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wa sallam) atas suatu hukum (kedudukannya) sama dengan nash Allah. Tidak ada rukhshah (keringanan) ataupun udzur sama sekali bagi seorang pun untuk meninggalkannya. Dan tidak boleh pula mendahulukan perkataan seseorang atas perkataan beliau.” [8]



7



Ittiba’ kepada Allah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terwujud dengan beberapa hal berikut: [13]



o Mencontoh dan meneladani Nabi



Allah berfirman, َّ ‫َّللاَ َو ْاليَ ْو َم ْاْل ِّخ َر َوذَِّك ََر‬ َّ ‫سنَةٌ ِّلّ َمن َِّكانَ يَ ْر ُجو‬ َّ ‫سو ِّل‬ ‫َّللاَ َِّكثِّيرا‬ ُ ‫لَّقَدْ َِّكانَ لَ ُِك ْم فِّي َر‬ َ ‫َّللاِّ أُس َْوة ٌ َح‬ “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” ((QS. Al-Ahzab: 21.))



o Menjadikan Sunnah sebagai hakim dan berhukum kepadanya Allah berfirman, َّ ‫ش ْيء فَ ُردُّوهُ ِِّإلَى‬ َّ ‫َيا أَيُّ َها الَّذِّينَ آ َمنُوا أ َ ِّطيعُوا‬ َ ‫سو َل َوأُو ِّلي ْاْل َ ْم ِّر ِّمن ُِك ْم َفإِّن تَنَازَ ْعت ُ ْم ِّفي‬ ُ ‫الر‬ َّ ‫َّللاَ َوأ َ ِّطيعُوا‬ ِّ‫َّللا‬ َّ ِّ‫سو ِّل ِإِّن ُِّكنت ُ ْم تُؤْ ِّمنُونَ ب‬ ‫سنُ ت َأ ْ ِّويال‬ ُ ‫الر‬ َّ ‫َو‬ َ ْ‫اَّللِّ َو ْاليَ ْو ِّم ْاْل ِّخ ِّر َٰذَلِّكَ َخي ٌْر َوأَح‬ “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” ((QS. An-Nisa: 59.))



o Ridha terhadap hukum dan syariat Rasulullah



8



Allah berfirman, ‫س ِّلّ ُموا تَ ْس ِّليما‬ َ ‫فَ َال َو َربِّّكَ َال يُؤْ ِّمنُونَ َحت َّ َٰى يُ َِح ِّ ِّك ُموكَ فِّي َما‬ َ َ‫ش َج َر بَ ْينَ ُه ْم ث ُ َّم َال يَ ِّجد ُوا فِّي أَنفُ ِّس ِّه ْم َح َرجا ِّّم َّما ق‬ َ ُ‫َضيْتَ َوي‬ “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” ((QS. An-Nisa: 65.)) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, َ َ‫ذَاق‬ َّ ‫ى ِّب‬ ‫سوال‬ ُ ‫اإل ْسالَ ِّم دِّينا َو ِّب ُم َِح َّمد َر‬ ِّ ‫ان َم ْن َر‬ ِّ ‫اَّللِّ َربًّا َو ِّب‬ ِّ ‫اإلي َم‬ ِّ ‫ط ْع َم‬ َ ‫ض‬ “Akan merasakan manisnya iman; orang yang ridha Allah sebagai Rabbnya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad sebagai rasulnya.” [14]



2.3 Pengertian Tarjih Secara etimologi (bahasa) Tarjih berarti “menguatkan” Muhammad jawab Mughniyah1 menyebutkan bahwa tarjih menurut bahasa adalah menjadikan sesuatu lebih kua sementara sementara itu Muhammad al-Jarjani2 menyebutkan bahwa tarjih menuru bahasa ialah metetapkan salah satu dari dalil yang tingkatannya lebih kuat dari yang lainnya.



9



Sedangkan menurut istilah syara’, seperti di kemukakan oleh Muhammad jawab Mughniyah1 adalah sebagai berikut; ‫ تقد یم أحدى الحجتین على التانیة لمنیة توجب ذلك‬Artinya ; Berpegang (mengutamakan) salah satu dari dua Hijjah yang lebih kuat dari yang



lainnya, karena memang ada keistimewaan yang mengharuskan demikian. Kemudian, Badran Abu Al-Ainan Badran2 menjelaskan pada defenisi Tarjih dengan mengutip pendapat Jamaliddin Al-Aswani sebagai berikut; menguatkan salah satu dari dua alasan yang tampak untukdiamalkan. Ibnu Al – Hajib dan Al- Amidi seperti dijelaskan oleh Badran, nahwa Tarjih itu sesungguhnya adalah merupakan hubungan yang memberi petunjuk adanya alasan untuk menguatkan salah satu dari dua dalil yang berlawanan. Dari beberapa defenisi yang telah dikemukakan diatas sapat dipahami bahwa Tarjih adalah merupakan usaha untuk mencari dalil atau alasamn yang terkuat, karena duantara dall-dalil tersebut terdapat perlawanan satu sama lainnya. Dengan kata lain, konsep tarjih itu adalah berawal dari upaya penyesuaian dua dalil ata lebih yang berlawanan yang penyelesaiannya lewat tarjih, denhgan berpegang dengan dalil yang lebih kuat dari dalil yang berlawanan tersebut. Kalau memperhatikan beberapa defenisi diatas, secara redaksional, dikalangan Ulama Ushul Fiqh memang terdapat beberapa perbedaan, misalnya Muhammad Al-Janjani menggunakan istilah yang berarti menetapkan atau memastikan mana yang terlihat dari dua dalil yang berlawanan yang dapat di jadikan pegangan. Beda halnya dengan Muhammad Jawad Al-Mughniyah. Ia menggunakan istilah (‫ )ﺗﻘﺪﯾﻢ‬yang berarti berpegang (mengutamakan). Sementara iru Jamaluddin alAsnawi menggunakan istilah (‫ )ﺗﻘﻮﯾﺔ‬yang berarti menguatkan. Kedua istilah ini pada prinsipnya mengandung pengertian



1



Muhammad Jawab Muqniyah, Ilmu Ushul al-Fiqih FiSaubih al-Jadid, Beirut; Dar al-Ilm Lilmalayin, Cet. I, 1975, h. 441 2 Muhammad, al-Jarjani, Kitab al-Ta’rifat, Singapore, Jeddah, tth, h. 56



10



yang sama, yaitu mengutamakan, mendahulukan atau menguatkan salah satu dari dua dalil yang berlawanan.



1 Muhammad Jawab Muqniyah, Ilmu Ushul al-Fiqih FiSaubih al-Jadid, Beirut; Dar al-Ilm Lilmalayin, Cet. I, 1975, h. 441 2 Muhammad, al-Jarjani, Kitab al-Ta’rifat, Singapore, Jeddah, tth, h. 56



2.4 Pengertian Talfiq Talfiq secara bahasa berarti menyesuaikan beberapa hal, cara mengamalkan ajaran agama dengan mengikuti secara taqlid tata cara berbagai madzhab, sehingga dalam satu amalan terdapat pendapat berabagai madzhab. Ulama ushul fiqh mendefinisikan talfiq dengan melakukan suatu amalan dengan tatacara yang sama sekali tidak dikemukakan



mujtahid



manapun,



metode



talfiq



berkaitan



erat



dengan ijtihad dan taqlid. Contoh talfiq dapat dikemukakan sebagai berikut: ketika berwudlu’, khususnya dalam masalah menyapu kepala, seseorang mengikuti tatacara yang dikemukakan Imam Syafi’i, Imam Syafi’i berpendapat bahwa dalam berwudlu’ seseorang cukup menyapu sebagian kepala, yang batas minimalnya tiga helai rambut, setelah berwudlu’ orang tersebut bersentuhan kulit dengan seorang wanita yang bukan mahram atau muhrim- nya, menurut Imam Syafi’i wudlu’ seorang laki-laki batal apabila bersentuhan kulit dengan wanita dan sebaliknya. Namun, dalam bersentuhan kulit dengan wanita setelah berwudlu’ orang tersebut mengambil pendapat Imam Abu Hanifah dan meninggalkan pendapat Imam Syafi’i. Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa persentuhan kulit tersebut tidak membatalkan wudlu’. Dalam kasus seperti ini, pada amalan wudlu’ terkumpul dua pendapat sekaligus, yaitu pendapat Imam al-Syafi’i dan Imam Abu Hanifah. Jika dilihat dari pendapat dua madzhab itu secara terpisah, maka wudlu’ tersebut dinyatakan tidak sah. Dalam madzhab Syafi’i, wudlu’ itu tidak sah karena yang bersangkutan telah bersentuhan kulit dengan wanita yang bukan mahram atau muhrim-nya. Dilihat dari pendapat madzhab Hanafi wudlu’ itupun tidak sah karena orang tersebut hanya menyapu sebagian kepalanya, menurut imam abu hanifah dalam berwudlu’ kepala harus disapu seluruhnya.



11



Pemikiran tentang talfiq muncul setelah berkembangnya madzhab yang diiringi



dengan



semakin



kuatnya



pemikiran taqlid,



sehingga



muncul



pernyataan bahwa ijtihad telah tertutup. Di zaman Rosulullah SAW. Sahabat dan Tabi’in tidak dijumpai pemikiran tentang talfiqtersebut. Bahkan di zaman imam Madzhab yang empat pun (Abu Hanifah, Maliki, Syafi’i, Hanbali) tidak



ditemukan pembahasan tentang talfiq, karena tidak seorangpun di antara mereka yang melarang orang lain untuk mengikuti pandapat siapapun di antara mereka. Para ahli ushul fiqh kontemporer, seperti Zakiyuddin Sya’ban, Imam Muhammadabu Zahrah (w. 1394 H/1974 M), Ali al-Khafif, ketiganya dari Mesir,



mengatakan



perasaan taqlid yang



bahwa



konsep talfiqmuncul



ditanamkan



ulama’



akibat



madzhab



di



kuatnya zaman



berkembangnya taqlidyang mengharamkan seorang pengikut madzhab tertentu untuk mengmbil pendapat dari madzhab lain. Ulama’ fiqh dan ushul fiqh yang tidak membolehkan talfiq jumlahnya sangat sedikit, di antaranya Abu Bakar al-Qaffal (291-365 H).  Dasar Hukum Talfiq Mayoritas ulama’ fiqh dan ushul fiqh berpendapat bahwa talfiq boleh dilakukan dalam mengamalkan sesuatu, hal ini didasari oleh tidak adanya suatu nash (al-Qur’an dan Hadits) yang menyatakan bahwa talfiq dilarang. Di samping itu, Rosulullah saw. ketika berhadapan dengan dengan dua pilihan yang dibenarkan agama selalu memilih yang paling mudah dan ringan (HR. al-Bukhori, at-Tirmidzi, dan Malik). Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT adalam surat al-Baqarah (2) ayat 185 yang artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” Namun demikian ulama’ fiqh juga mengemukakan beberapa ketentuan berkenaan dengan dibolehkannya memilih pendapat yang termudah dalam



12



mengamalkan suatu ajaran agama. Ketentuan-ketentuan tersebut adalah sebagai berikut: Mengambil



cara



yang



termudah



tersebut



harus



disebabkan



adanya udzur. Dalam hal ini Imam al-Ghozali (ahli ushul fiqh madzhab Syafi’i)berpendapat bahwa talfiq tidak boleh didasarkan pada keinginan mengambil yang termudah dengan dorongan hawa nafsu, dan hanya boleh apabila disebabkan oleh adanya udzur atau situasi yang menghendakinya. Talfiq tidak boleh membatalkan hukum yang telah ditetapkan hakim, karena apabila hakim telah menentukan suatu pilihan hukum dari beberapa pendapat tentang suatu masalah, maka hukum itu wajib ditaati, hal ini sejalan dengan kaidah fiqh “keputusan hakim itu mengahapuskan segala perbedaan pendapat”. Talfiq tidak boleh dilakukan dengan mencabut kembali suatu hukum atau amalan yang sudah diyakini, misalnya, serorang Mujtahidmenceraikan isterinya



secara



mutlak,



tanpa



menyebutkan



bilangan talak yang



dijatuhkannya. Ketika itu Ia berkeyakinan bahwa talak yang dijatuhkannya secara mutlak tersebut adalah talak tiga sekaligus. Oleh karena itu ia tidak berhak rujuk kepada isterinya, kecuali setelah isterinya menikah dan bercerai dengan orang lain, kemudian Mujtahid tersebut berubah pikiran, sehingga ia berpendapat bahwa talak yang diucapkan secara mutlak (tanpa menyebut bilangan talak) tersebuit hanya jatuh satu, sehingga ia boleh rujuk dengan istrinya. Menurut imam Ghozali perkawinan seperti itu tidak dibolehkan, karena akan membuat aqad talak sebagai permainan belaka dan nilai sakralitas dari perkawinan akan hilang. Ulama’ fiqh berpendapat bahwa talfiq dapat dilakukan dalam hukumhukum furu’ (cabang)



yang



ditetapkan



berdasarkan



dalil dzonni (kebenarannya tidak pasti), adapun dalam masalah aqidah dan akhlak tidak dibenarkan talfiq. Sementara ulama’ ushul fiqh dalam masalah furu’ tersebut menjadi tiga macam. Hukum yang ditetapkan berdasarkan kemudahan dan kelapangan yang dapat berbeda dengan perbedaan kondisi setiap pribadi. Hukum-hukum seperti ini adalah hukum yang termasuk al-ibadah al-mahdah (ibadah khusus). Karena dalam masalah ibadah khusus tujuan yang ingin dicapai



13



adalah kepatuhan dan loyalitas seseorang pada Allah SWT dengan menjalankan perintah-Nya. Dalam ibadah seperti ini faktor kemudahan dan menghindarkan diri dari kesulitan amat diperhatikan. Hukum



yang



didasarkan



pada



sikap



kewaspadaan



dan



penuh



perhitungan. Hukum-hukum seperti ini biasanya berhubungan dengan sesuatu yang dilarang. Allah SWT tidak mungkin melarang sesuatu, melainkan didasari atas kemudaratan. Oleh karenanya pada hukum-hukum seperti ini tidak dibenarkan kemudahan dan talfiq, kecuali dalam keadaan darurat, misalnya larangan memakan daging babi dan bangkai. Dalam mhal ini Rasulullah SAW bersabda: segala yangb dilarang, hindarilah dan segala yang saya perintahkan ikutilah sesuai dengan kemampuanmu (HR. Al-bukhori dan Muslim dari Abu Hurairah)berangkat dari hadits ini, ulama’ ushul fiqh menyatakan bahwa hukum-hukum yang bersifat perintah dikaitkan dengan kemampuan. Hal ini menunjukkan adanya kelapangan dan kemudahan dalam menjalankan suatu perintah. Namun untuk yang bersifat larangan tidak ada toleransi dan tidak ada peluang memilih berbuat atau tidak berbuat. Karenanya seluruh yang dilarang wajib dihindari. Hukum yang intinya mengandung kemaslahatan dan kebahagiaan bagi manusia. Misalnya pernikahan, muamalah dan pidana/hukuman. Dalam pernikahan tujuan yang hendak dicapai adalah kebahagiaan suami isteri beserta keturunan mereka. Oleh sebab itu segala cara yang dapat mencapai tujuan perkawinantersebut boleh dilakukan, sekalipun terkadang harus dengan talfiq. Namun talfiqyang diambil tersebut tidak bertujuan untuk menghilangkan esensi perperkawinanitu sendiri. Oleh sebab itu ulama’ fiqh mengatakan bahwa nikah dan talak tidak bisa dipermainkan. Adapun dalam bidang muamalah dan pidana yang disyari’atkan untuk memelihara jiwa dan lain sebagainya, patokannya adalah kemaslahatan pribadi dan masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut cara-cara talfiq dibolehkan. Dan terkadang harus dilakukan. Hal ini dibolehkan karena persoalan muamalah berkembang sesuai dengan perkembangan masa dan tempat. Oleh karena itu segala cara yang dapat menjamin dan mencapai kemaslahatan manusia sekaligus menghindarkanmereka dari kemudaratan, boleh dilakukan.



14



Berdasarkan kenyataan di atas ulama fiqh kontemporer menyatakan bahwa talfiq diperbolehkan, asal tidak menimbulkan sikap main-main dalam ber-agama atau mengambil pendapat alasan tertentu. Layaknya ulama’ tersebut di atas, terdapat juga pendapat dari para mujtahid yang beraliran rasionalisme, pada dasarnya aliran rasinalisme mempunyai arti aliran ijtihad yang berpandangan bahwa hukum syara’ itu merupakan sesuatu yang dapat ditelaah esensi-esensi yang mendasari ketentuan-ketentuan doktrinnya dengan mengacu pada kemaslahatan kehidupan umat manusia. Dalam hal ini para mujtahid mengkaji ilat untuk setiap



norma



hukum



dengan



melihat



pada



setiap



sisi



yang



memungkinkannya untuk memperoleh ilat sebanyak-banyaknya, Para rasionalis selalu menganggap bahwa talfiq sah dilakukan guna menjaga serta memperdayakan hukum syara’. Salah satu tokoh yang dimaksud di sisni adalah Wahbah Al-Zuhaili yang memberikan ketetapanketetapan



hukum talfiq dengan



pertimbangan al-azri’ah guna



menjga



kemaslahatan umat manusia. Ketetapan-ketetapan tentang talfiq ini dianggap sah karena tidak ada kepastian hukum dari Nabi maupun sahabat, dan bahkan para mujtahid pun belum menyinggung soal ini, karena pada masanya belum ada kecenderungan talfiq. Sikap ini baru terlihat setelah madzhabitu mapan dimasyarakat, dan mampu mempelajarinya secara leluasa.



15



3. Penutup



3.1 Kesimpulan 3.1.1



Pengertian Taqlid



Para ulama ushul memberikan defenisi taqlid dengan “mengikuti pendapat seseorang mujtahid atau ulama tertentu tanpa mengetahui sumber dan cara pengambilan pendapat tersebut. Orang yang bertaqlid disebut mukallid. 3.1.2



Pengertian Ittiba’



Secara bahasa, kata ittiba’ (‫ )ا ِّت ّباَع‬merupakan mashdar dari kata ittaba’a (‫ )اتَّ َب َع‬yang memiliki akar kata dari huruf taa, baa dan ‘ain. Ibnu Faris rahimahullah berkata, “Huruf taa, baa, dan ‘ain; adalah akar kata yang semua kata turunannya tidak menyimpang dari makna asalnya, yaitu mengikuti. Apabila dikatakan (‫ )ت َ ِّب ْعتُ فُالَنا‬maknanya adalah engkau mengikutinya. Dan dikatakan (ُ‫ )أَتْ َب ْعتُه‬maknanya adalah engkau menyusulnya.” [2] Kata ittiba’ pada asalnya bermakna mengikuti jejak orang yang berjalan. Kemudian digunakan untuk makna melakukan amalan seperti amalan orang lain



3.1.3



Pengertian Tarjih



Tarjih adalah merupakan usaha untuk mencari dalil atau alasamn yang terkuat, karena duantara dall-dalil tersebut terdapat perlawanan satu sama lainnya. Dengan kata lain, konsep tarjih itu adalah berawal dari upaya penyesuaian dua dalil ata lebih yang berlawanan yang penyelesaiannya lewat tarjih, denhgan berpegang dengan dalil yang lebih kuat dari dalil yang berlawanan tersebut.



16



3.1.4



Pengertian Talfiq



Talfiq secara bahasa berarti menyesuaikan beberapa hal, cara mengamalkan ajaran agama dengan mengikuti secara taqlid tata cara berbagai madzhab, sehingga dalam satu amalan terdapat pendapat berabagai madzhab. Ulama ushul fiqh mendefinisikan talfiq dengan melakukan suatu amalan dengan tatacara yang sama sekali tidak dikemukakan



mujtahid



manapun,



metode



talfiq



berkaitan



erat



dengan ijtihad dan taqlid.



3.2 Saran Kami menyadari bahwa makalah ini banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran mengenai pembahasan makalah diatas.



17



DAFTAR RUJUKAN Dahlan Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT Ikhtiar Van Hoeve, 2003). Drs. H. Moh. Rifa’I Ushul Fiqh wicaksana. Semarang 1984  Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin. Ushul Fiqh. Jakarta . Kencono 2009



18