(B) Kelompok Asal 7 - Productive and Counterproductive Employee Behavior [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Mata Kuliah



: Psikologi Industri dan Organisasi



Dosen Pengampu



: 1. Dr. Ismarli Muis, S. Psi., M. Si., Psikolog 2. Dr. Hilwa Anwar, S. Psi., M. A., Psikolog 3. Dr. Resekiani Mas Bakar, S. Psi., M. Psi., Psikolog 4. Andi Nasrawaty Hamid, S. Psi., M. A. 5. Iradat Rayhan Sofyan, S. Psi., M. Psi., Psikolog 6. Rahmawati Syam, S. Psi., M. Psi., Psikolog 7. Abdul Rahmat. S. Psi., M. Psi. T. 8. St. Hadjar Nurul Istiqamah, S. Psi., M. Psi., Psikolog



PAPER PRODUCTIVE AND COUNTERPRODUCTIVE EMPLOYEE BEHAVIOR



Disusun Oleh : Dhede Tazkiya Octsananda R (200701501040) Muh. Ashril Ilmi (200701501024) Muhammad Rifky Nurhidayat (200701500026) Wandayanti (200701502062) Kelas B



FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR 2021



A. Productive Behavior: Task Performance Pada beberapa tingkat kemahiran yang wajar. Hal ini berlaku untuk organisasi pemerintah, di mana kinerja yang buruk berarti kegagalan untuk memberikan layanan publik yang diamanatkan, seperti halnya untuk perusahaan swasta, di mana kinerja yang buruk dapat berarti kebangkrutan. Dari sudut pandang masyarakat, adalah kepentingan terbaik setiap orang bagi organisasi untuk memiliki karyawan yang melakukan pekerjaan mereka dengan baik. Orang dapat melakukan pekerjaan mereka dengan baik hanya jika mereka memiliki kemampuan yang diperlukan dan motivasi yang diperlukan. Praktik organisasi dan kondisi pekerjaan dapat meningkatkan karakteristik pribadi ini atau berfungsi sebagai kendala yang mengganggu kinerja pekerjaan. 1. Ability and Task Performance Sebagian besar upaya seleksi oleh psikolog I/O berfokus pada pengidentifikasian kemampuan dan keterampilan yang diperlukan untuk pekerjaan tertentu dan menemukan orang yang memilikinya. Pertama, metode analisis pekerjaan berorientasi pekerja \digunakan untuk menentukan KSAO yang diperlukan (pengetahuan, keterampilan, kemampuan, dan karakteristik pribadi lainnya) untuk suatu pekerjaan. Setelah KSAOs diidentifikasi, prosedur seleksi diterapkan untuk menemukan individu yang memiliki karakteristik yang sesuai. Meskipun KSAO menangani berbagai atribut, sebagian besar perangkat seleksi dirancang untuk menilai kemampuan dan keterampilan. Akhirnya, selain apa yang dibawa oleh karyawan, pengetahuan dan keterampilan tambahan dapat dikembangkan melalui pelatihan. Jika sebuah organisasi ingin memiliki tenaga kerja dengan atribut yang diperlukan untuk kinerja pekerjaan yang baik, ketiga langkah tersebut—analisis pekerjaan, seleksi. Telah ditetapkan dengan baik bahwa berbagai ukuran kemampuan berhubungan dengan kinerja Seperti yang diharapkan, sifat pekerjaan



menentukan campuran kemampuan khusus yang diperlukan. Misalnya, Gutenberg, Arvey, Osburn, dan Jeanneret (1983) menunjukkan bahwa kemampuan kognitif memprediksi kinerja untuk sebagian besar pekerjaan. Semakin mental menuntut pekerjaan, bagaimanapun, semakin kuat hubungan antara kemampuan kognitif dan kinerja pekerjaan. Dengan kata lain, kemampuan kognitif lebih penting untuk pekerjaan yang menuntut mental (misalnya, insinyur) daripada untuk pekerjaan sederhana (misalnya, petugas arsip). Caldwell dan O'Reilly (1990) menunjukkan bahwa mencocokkan kemampuan orang dengan persyaratan KSAO dari analisis pekerjaan dapat menjadi strategi yang berguna untuk meningkatkan kinerja pekerjaan. Mereka juga menemukan bahwa karyawan yang kemampuannya sesuai dengan pekerjaan mereka lebih puas. 2. Motivation and Task Performance Motivasi adalah karakteristik individu, tetapi dapat muncul baik dari dalam diri pekerja (misalnya, kepribadian) dan kondisi lingkungan. Upaya organisasi untuk meningkatkan motivasi dalam angkatan kerja lebih terfokus pada intervensi lingkungan daripada seleksi individu. Secara teori, seseorang mungkin menilai motivasi pelamar kerja dan mempekerjakan mereka yang memiliki tingkat tertinggi. Psikolog I/O, bagaimanapun, telah mengarahkan sebagian besar perhatian seleksi mereka pada penilaian kemampuan daripada motivasi. Upaya untuk meningkatkan motivasi terutama berkaitan dengan struktur pekerjaan, dengan sistem insentif, atau dengan desain teknologi. 3. Personal Characteristics and Task Performance Beberapa karakteristik karyawan relevan dengan performa mereka dan dapat mempengaruhi kemampuan untuk melakukan suatu pekerjaan. Selain itu, juga mempengaruhi motivasi karyawan untuk bekerja keras (Tett & Burnett, 2003). Dalam kebanyakan kasus, tidak



semua efek kemampuan sejalan dengan efek dari motivasi. Misalnya, orang dengan kemampuan yang tinggi dapat memiliki tingkat motivasi yang tinggi, karena tingkat kemampuan mereka dipengaruhi oleh penghargaan yang diberikan sehingga motivasi dapat ditingkatkan. Orang yang berkemampuan tinggi mungkin berperforma lebih baik karena lebih terampil atau karena berusaha lebih keras ataupun keduanya. a. The “Big Five” and Task Performance Banyak psikolog saat ini percaya bahwa kepribadian manusia dapat digambarkan dengan Five dimention, yang disebut Big Five: extraversion, conscientiousness, agreeableness, neuroticsm dan opennes. Beberapa meta-analisis telah merangkum hubungan antara masing-masing dari Five dimention dan performa tugas (Hurtz & Donovan, 2000; Salgado, 2003). Kedua studi tersebut menyimpulkan bahwa kepribadian dikaitkan dengan performa pekerjaan, dengan conscientiousness sebagai prediktor terbaik. Selanjutnya, Hurts & Donovan (2000) menemukan bahwa dimensi kepribadian tertentu berkorelasi lebih kuat dengan performa untuk beberapa pekerjaan daripada yang lain. Meskipun korelasinya tidak besar, studi ini memberikan bukti bahwa kepribadian merupakan faktor penting untuk kinjerka pekerjaan di berbagai jenis pekerjaan. Namun, korelasi yang lebih kuat dapat ditemukan dengan mencocokkan secara dekat ciri-ciri kepribadian tertentu dengan pekerjaan dan tugas tertentu (Hogan & Holland, 2003); Tett, Steele, & Beauregard, 2003). Misalnya, seseorang mungkin akan berharap bahwa stabilitas emosional akan memprediksi performa dalam pekerjaan yang membutuhkan kemampuan untuk menangani stres, misalnya polisi. Extraversion akan relevan bagi tenaga penjualan yang harus berhadapan langsung dengan pelanggan tersebut.



b. Locus of Control and Performance Locus of control menyangkut keyakinan orang tentang kemampuan mereka untuk mengontrol bala bantuan di lingkungan mereka. Individu dengan locus control internal percaya bahwa mereka dapat mengendalikan bala bantuan, memiliki tingkat motivasi kerja yang tinggi dibandingkan dengan individu dengan locus control eksternal yang percaya bahwa mereka tidak dapat mengendalikan bala bantuan. Meskipun individu dengan locus control internal memiliki motivasi yang lebih besar, namun hubungan antara locus of control dengan performa cukup kecil (Ng et al., 2006). Blau (1993) mengatakan bahwa individu dengan locus control internal berperforma lebih baik dalam mengembangkan keterampilan kerja yang penting, sedangkan individu dengan locus control eksternal berperforma lebih baik pada tugas-tugas yang sangat terstruktur. c. Age and Performance Banyak orang yang beranggapan bahwa prestasi kerja seorang individu menurun seiring bertambahnya usia individu tersebut. Stereotipe ini berasal dari banyak kemampuan fisik seseorang menurun seiring bertambahnya usia. Misalnya, hampir semua atlit profesional pensiun sebelum mencapai usia 40 tahun. Namun, penelitian telah menunjukkan bahwa stereotipe ini tidak benar. Karyawan yang lebih tua di banyak pekerjaan sama produktifnya dengan rekan kerja mereka yang lebih muda. Hal yang kurang dimiliki oleh karyawan yang lebih tua dalam hal kemampuan fisik, mereka mungkin akan mengimbanginya dengan strategi tugas yang lebih baik, manajemen waktu yang lebih baik, dan pendekatan yang lebih efisien. Kecuali dalam kondisi kesehatan yang buruk, bukan hanya karyawan berumur yang terpengaruhi, karyawan yang muda pun tentu terpengaruh.



4. Environmental Conditions and Task Performance Lingkungan kerja dapat mempengaruhi performa tugas dalam banyak cara. Lingkungan dapat berpengaruh positif maupun negarit pada karyawan yang mengarah pada peningkatan maupun penurunan performa karyawan. Salah Satu studi menunjukkan bahwa sesuatu yang sederhana seperti memungkinkan karyawan untuk mendengarkan musik melalui headset stereo meningkatkan performa tugas, tampaknya dengan mengurangi ketegangan (Oldham, Cummings, Mischel, Schmidtke, & Zhou, 1995). a. Job Characteristics and Task Performance Salah satu teori paling berpengaruh yang menghubungkan sifat pekerjaan dengan performa adalah teori karakteristik pekerjaan Hackman dan Oldham (1976, 1980). Teori ini didasarkan pada anggapan bahwa orang dimotivasi oleh sifat intrinsik tugas pekerjaan. Ketika pekerjaan itu menarik dan menyenangkan, orang akan menyukai pekerjaan mereka, termotivasi tinggi, dan berperforma baik. Teori ini menyatakan bahwa fitur pekerjaan menginduksi keadaan psikologis yang mengarah pada kepuasan, motivasi, dan performa tugas. Fitur pekerjaan, atau karakteristik inti, mengarah ke tiga keadaan psikologis. Keragaman keterampilan, identitas tugas, dan signifikansi tugas mengarah pada kebermaknaan kerja yang dialami; otonomi mengarah pada perasaan tanggung jawab; dan umpan balik mengarah pada pengetahuan tentang hasil. Ketiga keadaan ini sangat penting untuk kepuasan dan motivasi karyawan. Ketika pekerjaan mendorong mereka, individu akan termotivasi dan puas dan akan tampil lebih baik. Tingkat karakteristik inti menentukan seberapa memotivasi pekerjaan itu. Hackman dan Oldham (1976) mencatat bahwa Motivation Potential Score (MPS) pekerjaan dapat dihitung dengan



menggabungkan skor pada karakteristik inti. Secara khusus, rumus berikut digunakan: MPS = (Variasi Keterampilan + Signifikansi Tugas + Identitas Tugas)/3 ×Otonomi × Masukan Ada satu bagian terakhir dari teori: efek moderator dari pertumbuhan membutuhkan kekuatan (GNS). GNS adalah variabel kepribadian yang menyangkut kebutuhan pemenuhan kebutuhan tingkat tinggi, seperti pertumbuhan pribadi, otonomi, dan prestasi. Menurut Hackman dan Oldham (1976), hubungan dari karakteristik pekerjaan ke keadaan psikologis untuk hasil berlaku terutama untuk individu yang tinggi pada GNS. Ini berarti bahwa ini adalah teori kecocokan orang pekerjaan, di mana hanya tipe orang tertentu yang akan merespons pekerjaan dengan MPS tinggi dengan baik. Hackman dan Oldham tidak banyak bicara tentang orang-orang dengan GNS rendah dan apa yang mungkin memotivasi mereka. b. Incentive Systems and Performance Cara yang mungkin untuk meningkatkan performa tugas, setidaknya kuantitas performa, adalah sistem insentif yang memberi penghargaan kepada karyawan untuk setiap unit pekerjaan yang dilakukan. Agar sistem insentif menjadi efektif, tiga elemen harus ada. Pertama, karyawan harus memiliki kemampuan untuk meningkatkan produktivitas. Jika mereka bekerja pada batas kemampuan mereka, memperkenalkan sistem insentif tidak akan meningkatkan performa. Kedua, karyawan harus menginginkan insentif. Tidak semua orang mau bekerja lebih keras demi uang atau imbalan lainnya. Agar sistem insentif bekerja, insentif harus menjadi sesuatu yang diinginkan orang. Akhirnya, sistem insentif tidak akan berfungsi jika ada kendala fisik atau psikologis pada performa. Seorang penjual di toko tidak bisa menjual jika tidak ada pelanggan.



c. Design of Technology Studi Hawthorne menunjukkan bahwa faktor sosial bisa lebih penting daripada lingkungan fisik dalam performa pekerjaan. Namun, tidak ada keraguan bahwa fitur fisik dari pengaturan pekerjaan dapat mempengaruhi performa. bidangfaktor manusia (disebut juga ergonomis atau psikologi teknik) berkaitan dengan antarmuka antara orang dan lingkungan fisik, termasuk alat, peralatan, dan teknologi. d. Displays and Controls Fokus utama faktor manusia adalah pada interaksi antara manusia dan alat, mesin, atau teknologi. Dua bidang utama yang menjadi perhatian adalah penyajian informasi kepada orang tersebut dan manipulasi alat atau mesin oleh orang tersebut. Sebuah mesin dapat memberikan informasi kepada seseorang dalam banyak cara. Sifat dan penggunaan informasi menentukan bagaimana sebaiknya disajikan. Sebagian besar informasi mesin disediakan melalui saluran visual atau pendengaran, atau terkadang keduanya. Untuk sinyal bahaya atau peringatan, seperti di perlintasan kereta api, yang terbaik adalah menggunakan keduanya, seperti bel dan lampu yang berkedip. Ada sejumlah pertimbangan desain penting yang berkaitan dengan kontrol. Pertama, tombol kontrol harus ditempatkan di tempat yang logis, dengan kontrol untuk fungsi yang sama bersama-sama. Sebuah konsol mobil yang dirancang dengan baik, misalnya, akan menempatkan kontrol pencahayaan bersama-sama, wiper kaca depan dan kontrol washer bersama-sama, pemanas dan kontrol AC bersama-sama, dan seterusnya. Kontrol untuk bekerja jendela depan harus di depan kontrol untuk bekerja jendela belakang, dan kontrol untuk bekerja fitur di sisi kanan mobil harus di sebelah kanan kontrol untuk bekerja fitur yang sama di sebelah kiri samping. Kedua, kontrol vital yang dapat menghasilkan



konsekuensi penting harus mudah dikenali. Ketiga, kontrol harus memberikan umpan balik yang tepat sehingga orang tersebut bahwa fungsinya telah tercapai (Wickens, Lee, Liu, & Becker, 2004). e. Computer-Human Interaction Interaksi komputer-manusia adalah interaksi antara orangorang dengan komputer dan teknologi terkait yang telah menyebabkan perubahan luar biasa di tempat kerja baik untuk pekerjaan kerah biru maupun kerah putih. Otomatisasi dan komputerisasi telah mengubah sifat banyak pekerjaan, sehingga individu harus menggunakan sistem berbasis komputer untuk menyelesaikan tugas yang semakin banyak. Sistem berbasis web dengan cepat menggantikan sistem kertas dan pensil fisik untuk banyak tugas, seperti membayar tagihan. Masalah utama untuk interaksi komputer-manusia adalah komunikasi antara manusia dan mesin. Artinya, bagaimana sebaiknya komputer memberikan informasi kepada orang-orang, dan bagaimana cara terbaik agar orang dapat memberitahu komputer mengenai apa yang dia inginkan? Agar seseorang dapat berkomunikasi secara efektif dengan komputer, mereka harus mengembangkan pemahaman mereka tentang bagaimana komputer beroperasi (Wickens et al., 2004). Frese (1987) mencatat bahwa penggunaan komputer secara efisien oleh orangorang dapat muncul dengan berfokus pada dua elemen penting: melatih orang dan desain sistem yang tepat. Pelatihan diperlukan karena dalam banyak pekerjaan orang dipekerjakan tanpa semua keterampilan yang diperlukan untuk sistem komputer yang harus mereka gunakan. Bahkan ketika orang memiliki keterampilan yang diperlukan, sistem komputer dan perangkat lunak terus berubah, membutuhkan upaya pelatihan yang berkelanjutan untuk mempertahankan kemahiran. Penelitian



tentang pelatihan komputer telah menyarankan cara-cara yang dapat meningkatkan performa. Augustine dan Coovert (1991), misalnya, telah menunjukkan bahwa penggunaan model animasi bisa sangat efektif dalam meningkatkan performa tugas komputer. Model animasi menunjukkan sistem komputer dalam tindakan daripada memberikan deskripsi atau instruksi tertulis. CSCW adalah studi tentang bagaimana teknologi dapat digunakan untuk membantu orang bekerja sama dalam tugas (Coovert & Thompson, 2001). Teknologi berbasis komputer memungkinkan orang di lokasi terpencil untuk mengirim pesan hampir seketika (e-mail atau SMS) atau untuk melihat dan mendengar satu sama lain (konferensi video). Orang dapat bekerja dalam tim virtual yang "bertemu" hanya secara elektronik. Penelitian tentang efek dan efektivitas teknologi tersebut dibandingkan dengan komunikasi langsung adalah hal baru, tetapi kita sudah tahu bahwa ada perbedaan. Misalnya, orang-orang yang bekerja sama melalui email, dibandingkan dengan interaksi langsung, kurang terhambat (lebih mungkin untuk membuat komentar bermusuhan dan menghina satu sama lain), cenderung tidak sesuai dengan pendapat satu sama lain, memiliki lebih banyak kesulitan dalam mengambil keputusan, dan kesulitan dalam mengkoordinasikan upaya mereka (Coovert & Thompson, 2001). Prinsip-prinsip faktor manusia dapat digunakan untuk merancang alat dan perlengkapan sehingga orang dapat melakukan tugas mereka dengan lebih mudah dan efisien. Dari perspektif faktor manusia, tujuannya adalah untuk merancang teknologi yang akan membantu manusia. Namun, teknologi bisa datang dengan harga tertentu, dan tidak semua efeknya positif. Pengenalan komputer di bidang manufaktur telah mengubah pekerjaan tetapi tidak selalu menjadi lebih baik. Meskipun sistem pabrik baru mungkin lebih efisien, mereka dapat meningkatkan kebosanan dan



stres karyawan (Wall & Davids, 1992). Seringkali orang yang dulunya merupakan peserta aktif di jalur perakitan diturunkan ke pasif menonton mesin beroperasi. Hilangnya kendali atas tugas ke mesin dapat dikaitkan dengan ketidakpuasan kerja dan kesejahteraan emosional yang buruk (Mullarkey, Jackson, Wall, Wilson, & Grey-Taylor, 1997). 5. Organizational Constraints Kendala organisasi adalah aspek lingkungan kerja yang mengganggu atau mencegah kinerja tugas yang baik. Mereka dapat muncul dari segala aspek pekerjaan, termasuk lingkungan fisik; praktik pengawasan; dan kurangnya pelatihan, peralatan, peralatan, atau waktu yang dibutuhkan. Peters dan O'Connor (1980) menguraikan delapan bidang kendala yang berbeda, yang berasal dari insiden kritis. Mereka meminta 62 orang pekerja untuk menggambarkan sebuah insiden di mana sesuatu di tempat kerja mengganggu kinerja pekerjaan mereka. Dari analisis insiden, mereka datang dengan daerah kendala Menurut Hochwarter, Witt, Treadway, dan Ferris (2006), kendala organisasi memiliki efek merugikan pada kinerja pekerjaan, mencegah karyawan dari cukup menggunakan keterampilan mereka untuk melakukan tugas pekerjaan. HJ Klein dan Kim (1998) menemukan bahwa laporan kendala tenaga penjualan berkorelasi dengan kinerja penjualan objektif mereka. Individu yang mendapat skor tertinggi pada kendala menjual jumlah paling sedikit Tingkat kendala yang lebih tinggi menyebabkan tingkat kinerja yang lebih rendah untuk kru seperti yang dinilai oleh manajer. O'Connor, Peters, Rudolf, dan Pooyan (1982) lebih lanjut menunjukkan bahwa kendala dapat berpotensi merugikan kesejahteraan karyawan, serta kinerja. Mereka menemukan bahwa tingkat kendala situasional yang tinggi, seperti yang dilaporkan oleh karyawan, dikaitkan dengan ketidakpuasan kerja dan frustrasi.



B. Organizational Citizenship Behavior (OCB) Organizational citizenship behavior (OCB) adalah perilaku yang melampaui tugas inti persyaratan pekerjaan (tugas yang tercantum dalam deskripsi pekerjaan) dan biasanya bermanfaat untuk organisasi. OCB biasanya dinilai dengan meminta supervisor menilai bawahan mereka pada perilaku OCB. Contoh item dari C. Smith, Organ, dan Near (1983) populer Skala OCB ditunjukkan pada Tabel 10.3. Perhatikan bahwa meskipun beberapa item ini sesuai dengan definisi melampaui persyaratan (misalnya, membuat saran), yang lain tidak (misalnya, tepat waktu). Organ dan Konovsky (1989) membagi OCB menjadi dua kategori perilaku: mereka yang secara khusus diperlukan dan yang tidak. Altruisme membantu karyawan lain atau supervisor dengan masalah, meskipun tidak diperlukan. Ini mungkin melibatkan membantu a rekan kerja yang tidak hadir atau memberikan saran untuk memperbaiki kondisi. Kepatuhan adalah melakukan apa yang perlu dilakukan dan mengikuti aturan, seperti datang ke tempat kerja tepat waktu dan tidak membuang waktu. OCB dapat menjadi aspek penting dari perilaku karyawan yang berkontribusi terhadap efektivitas organisasi secara keseluruhan. Individu yang tinggi pada OCB belum tentu pemain terbaik di bidang lain, namun. MacKenzie, Podsakoff, dan Fetter (1991) menilai OCB dan kinerja penjualan yang objektif dari tenaga penjualan. Mereka menemukan sedikit hubungan antara kedua jenis perilaku tersebut. Karyawan yang memiliki catatan penjualan terbaik tidak berbeda dalam hal OCB mereka dari mereka yang memiliki catatan paling buruk. Dalam beberapa kasus, tenaga penjualan yang berkinerja buruk dalam penjualan mungkin telah memberikan kontribusi yang signifikan untuk organisasi melalui OCB mereka. PM Podsakoff, Ahearne, dan MacKenzie (1997) mempelajari 40 kru kerja di pabrik kertas, menilai OCB anggota individu di kaitannya dengan kinerja keseluruhan kru daripada kinerja individu karyawan. Hasil menunjukkan bahwa tingkat OCB yang lebih tinggi di antara anggota kru terkait dengan produktivitas kru total yang lebih tinggi dan cacat yang



lebih sedikit. Demikian juga, NP Podsakoff, Whit- meta-analisis ing, Podsakoff, dan Blume (2009) menunjukkan bahwa tingkat OCB yang tinggi antara orang-orang dalam kelompok kerja dikaitkan dengan profitabilitas organisasi dan pelanggan kepuasan. Beberapa faktor telah diusulkan sebagai anteseden OCB. Sebuah meta-analisis dari OCB studi oleh Hoffman, Blair, Meriac, dan Woehr (2007) menyarankan bahwa kemungkinan besar OCB ketika karyawan puas dengan pekerjaan mereka, memiliki tingkat komitmen afektif yang tinggi, merasa diperlakukan secara adil, dan memiliki hubungan baik dengan atasannya. Ada juga karakteristik kepribadian yang berhubungan dengan OCB. Kaplan, Bradley, Luchman, dan Haynes (2009) dalam metaanalisis mereka menemukan bahwa tingkat OCB yang tinggi dikaitkan dengan tingkat afektif negatif (kecenderungan untuk mengalami emosi negatif) dan tinggi tingkat afektif positif (kecenderungan untuk mengalami emosi positif). Tambahan, OCB mungkin menular orang-orang yang bekerja dalam kelompok di mana orang-orang cenderung berprestasi OCB cenderung melakukannya sendiri (Bommer, Miles, & Grover, 2003). Beberapa hasil ini telah terbukti berlaku di negara lain juga. Farh, Podsakoff, and Organ (1990) menemukan bahwa OCB berkorelasi dengan kepuasan kerja dan persepsi karyawan perilaku suportif supervisor di Taiwan. Munene (1995) menemukan OCB berhubungan dengan pekerjaan kepuasan dan komitmen organisasi di Nigeria. McNeely dan Meglino (1994) membagi OCB menjadi tindakan yang membantu karyawan lain (OCBI) dan tindakan yang menguntungkan organisasi (OCBO). Mereka menemukan bahwa berbagai jenis OCB terkait dengan variabel yang berbeda; misalnya, OCBI berkorelasi dengan individu kepedulian terhadap orang lain, sedangkan OCBO berkorelasi dengan ekuitas yang dirasakan karyawan, dan keduanya berkorelasi dengan kepuasan kerja. Demikian pula, komitmen organisasi telah dikaitkan dengan kedua jenis OCB, dengan itu menjadi lebih kuat terkait dengan OCBO daripada OCBI di Amerika Serikat (Lavelle et al., 2009)



dan Turki (Wasti, 2005). Namun, OCB terkait untuk komitmen afektif dan tidak berkelanjutan (Johnson & Chang, 2006). Selanjutnya, Lee dan Allen (2002) melaporkan bahwa baik OCBI dan OCBO berhubungan dengan suasana hati yang positif di tempat kerja, tetapi hanya OCBO yang berhubungan dengan keadilan prosedural. Hasil dari semua studi ini menunjukkan bahwa kedua jenis OCB memiliki kombinasi penyebab yang berbeda, dengan beberapa penyebab yang sama dan beberapa unik. Meskipun OCB sering dianggap sebagai tindakan altruistik yang dilakukan individu tanpa pamrih alasan, penelitian terbaru menunjukkan bahwa setidaknya dalam beberapa kasus, OCB dapat menjadi strategi untuk maju dalam pekerjaan. Hui, Lam, dan Law (2000), dalam sebuah penelitian yang dilakukan di perusahaan multinasional bank di antara teller, menilai tingkat OCB pada karyawan sebelum dan sesudah menerima promosi. Selain itu, sebelum karyawan promosi ditanya apakah mereka percaya keterlibatan ini di OCB akan meningkatkan peluang promosi. Bagi mereka yang mengira itu akan terjadi, Tingkat OCB tinggi sebelum promosi dan menurun setelah promosi, menunjukkan ini karyawan meningkatkan OCB mereka sebagai taktik untuk mendapatkan promosi yang diinginkan tetapi kemudian mengurangi OCB mereka setelah tujuan mereka tercapai.



C. Counterproductive Work Behavior: Withdrawal Pada hari tertentu di hampir semua organisasi besar, beberapa orang akan datang bekerja lembur, beberapa orang akan melewatkan seluruh hari kerja, dan beberapa orang akan berhenti dari pekerjaan secara permanen. Semua perilaku penarikan ini melibatkan karyawan yang tidak bekerja saat dijadwalkan atau dibutuhkan, baik sementara (absen dan keterlambatan) maupun permanen (perputaran). Kebanyakan penelitian tentang perilaku penarikan telah menganggap mereka sebagai fenomena terkait. Sebagai dicatat oleh Mitra, Jenkins, dan Gupta (1992), beberapa peneliti telah mempertimbangkan ketidakhadiran dan turnover menjadi reaksi alternatif atas ketidakpuasan kerja. Keduanya mungkin



mencerminkan upaya oleh karyawan untuk melarikan diri, baik sementara atau permanen, dari situasi yang mereka temukan tidak menyenangkan. Dalam meta-analisis mereka, Mitra et al. (1992) menemukan bahwa ketidakhadiran dan pergantian adalah mod-berkorelasi erat satu sama lain. Dengan kata lain, karyawan yang berhenti dari pekerjaannya adalah cenderung memiliki tingkat ketidakhadiran yang relatif tinggi sebelum mereka berhenti. Dalam meta-analisis, Koslowsky, Sagie, Krausz, dan Singer (1997) menemukan bahwa keterlambatan (tidak untuk bekerja tepat waktu) berkorelasi dengan ketidakhadiran dan pergantian. Orang yang telat sering bolos orang dan cenderung berhenti. Meskipun korelasi antara langkah-langkah penarikan mungkin berarti bahwa mereka memiliki penyebab yang sama, penjelasan lain mungkin. Misalnya, orangorang yang berencana untuk berhenti dari pekerjaan mereka mungkin menggunakan cuti sakit mereka daripada kehilangannya setelah pergi, dan mereka mungkin tidak hadir dan terlambat untuk mencari pekerjaan. 1. Ketiadaan Ketidakhadiran , karyawan tidak muncul untuk bekerja saat dijadwalkan, bisa menjadi masalah besar untuk organisasi. Banyak pekerjaan membutuhkan kehadiran seseorang bahkan ketika pekerjaan yang dijadwalkan anaknya tidak ada. Dalam kasus seperti itu, ketidakhadiran mengharuskan organisasi untuk kelebihan staf bahwa cukup banyak orang akan tersedia setiap hari atau memiliki pengganti panggilan. Sedangkan ide pengganti guru tidak diragukan lagi akrab bagi semua orang, banyak organisasi, terutama pabrik, juga tersedia pengganti untuk jenis pekerjaan lain. Seringkali pengganti panggilan adalah karyawan tetap yang mungkin diminta untuk bekerja shift ekstra untuk mengisi dalam, sering pada tingkat gaji lembur yang lebih tinggi. Pendekatan utama untuk memahami mengapa ketidakhadiran terjadi berfokus pada penarikan sebagai respons terhadap pekerjaan dan kondisi pekerjaan yang tidak memuaskan. Ketidakhadiran dan kepuasan kerja adalah terkait, tetapi penelitian telah menemukan korelasi yang



cukup kecil di antara mereka. Meta-analisis Bowling dan Hammond (2008) menemukan korelasi .10 antara ketidakhadiran dan kepuasan kerja. Farrell dan Stamm (1988) melakukan meta-analisis 72 studi ketidakhadiran dan mencatat bahwa dua prediktor terbaik adalah riwayat ketidakhadiran sebelumnya dan kebijakan ketidakhadiran organisasi daripada kepuasan kerja. Orang yang sering tidak hadir di masa lalu cenderung tidak ada di masa depan. Organisasi yang memiliki kebijakan yang dirancang untuk mengendalikan ketidakhadiran dengan memberi penghargaan atau menghukum ketidakhadiran memiliki ketidakhadiran yang lebih sedikit. Meskipun tampak jelas bahwa ketidakhadiran mungkin timbul dari seorang karyawan yang sakit atau karena tidak termotivasi untuk pergi bekerja, tanggung jawab keluarga dapat menjadi faktor utama lainnya. Goff, Mount, dan Jamison (1990) menemukan bahwa memiliki tanggung jawab utama untuk pengasuhan anak ketidakhadiran yang diprediksi dengan korelasi yang jauh lebih tinggi daripada yang biasanya ditemukan dengan pekerjaan kepuasan. Erickson, Nichols, dan Ritter (2000) menemukan bahwa ketidakhadiran dikaitkan dengan jumlah anak di bawah enam tahun. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan di Finlandia, tingkat ketidakhadiran tertinggi untuk wanita muda yang mungkin usia subur (Elovainio, Kivimaki, Vahtera, Virtanen, & Keltikakangas-Jarvinen, 2003). Secara bersama-sama, studi mendukung gagasan bahwa ketidakhadiran dapat disebabkan karena harus mengasuh anak, bentuk konflik pekerjaan keluarga, apakah karyawan menyukainya atau tidak atau pekerjaannya. Budaya absensi dan kebijakan absensi adalah dua yang terbesar faktor ketidakhadiran. Meskipun kepuasan kerja telah menjadi fokus sebagian besar penelitian ketidakhadiran, tampaknya efek potensialnya dibayangi oleh budaya dan kebijakan. Tidak puasindividu yang mungkin ingin melarikan diri dari pekerjaan dengan memanggil sakit tidak mungkin melakukannya jika ketidakhadiran dihukum atau dipandang oleh rekan



kerja sebagai tidak dapat diterima. Organisasi bisa mengurangi ketidakhadiran dengan mengubah kebijakan untuk mendorong kehadiran dan mencegah ketidakhadiran. prosedur sederhana yang ditemukan dalam satu penelitian hanyalah mengirim surat kepada setiap karyawan yang menunjukkan jumlah hari dia tidak hadir (Gaudine & Saks, 2001). Baru tahu bahwa manajemen khawatir tentang ketidakhadiran sudah cukup untuk meyakinkan karyawan untuk mengurangi itu. 2. Keterlambatan Untuk banyak pekerjaan, karyawan memiliki jadwal kerja yang tetap, tetapi seringkali karyawan gagal untuk masuk kerja tepat waktu. Beberapa karyawan mungkin dapat meluangkan waktu dengan melewatkan istirahat, makan siang sebentar, atau begadang. Namun, seringkali karyawan gagal untuk waktu, atau waktu tidak dapat dibuat; misalnya, jika seorang profesor terlambat ke kelas, waktunya biasanya tidak akan dijadwalkan ulang. Keterlambatan menghasilkan biaya untuk organisasi yang memanggil sub lembaga dan dapat menempatkan beban yang tidak adil pada rekan kerja yang mungkin harus mengambil kelonggaran. Keterlambatan, seperti halnya ketidakhadiran, dapat memiliki banyak penyebab. Koslowsky (2000) mencatat bahwa meskipun sikap, seperti ketidakpuasan kerja, telah dikaitkan dengan keterlambatan, penyebab penting lainnya adalah jarak perjalanan dan kemudahan serta konflik pekerjaan-keluarga. Orang yang sudah lama berkomunikasi bisu bisa terjebak dalam lalu lintas. Individu dengan anak-anak, misalnya, mungkin terlambat karena anak sakit dan harus dibawa ke dokter. Faktor penting lainnya adalah Budaya nasional. Ketepatan dianggap lebih penting di beberapa negara daripada di negara lain. misalnya, orang Amerika lebih menghargainya daripada orang Brasil. Organisasi juga memiliki budaya keterlambatan mereka sendiri, sama seperti mereka memiliki budaya absen (Elicker, Foust, O'Malley, & Retribusi, 2008). Foust, Elicker, dan Levy (2006) berpendapat bahwa sikap tentang keterlambatan itu sendiri lebih



penentu penting dari perilaku keterlambatan daripada sikap kerja lainnya yang lebih umum. Akhirnya, Iverson dan Deery (2001) menyelidiki keterlambatan dan berangkat lebih awal dari pekerjaan, yang mereka temukan terkait. Datang terlambat dan pulang lebih awal dikaitkan dengan persepsi ketidakadilan dan ketidakpuasan kerja. 3. Pergantian Di setiap organisasi, karyawan akan berhenti dari pekerjaan mereka dari waktu ke waktu. Berhentinya karyawan disebut turnover . Persentase tenaga kerja yang berhenti dalam periode tertentu waktu disebut tingkat turnover . Ketika tarif menjadi berlebihan, organisasi tenaga kerja bisa menjadi terlalu tidak berpengalaman dan tidak terlatih, yang mengakibatkan inefisiensi dan kesulitan dalam mencapai tujuan organisasi. Omset adalah masalah jika bagus pelaku berhenti tetapi tidak jika yang berhenti adalah orang yang berkinerja buruk. Trevor, Gerhart, dan Boudreau (1997) mempelajari hubungan antara kinerja tugas dan pergantian. Mereka menemukan hubungan lengkung di mana karyawan terbaik dan terburuk kemungkinan besar akan berhenti. Pergantian dapat memiliki hasil yang menguntungkan jika pengganti yang lebih baik dapat ditemukan untuk orang miskin pemain. Namun, orang yang berkinerja baik mungkin juga berhenti karena seringkali orang-orang terbaik adalah mereka yang paling menarik bagi organisasi lain. Untuk penampil terbaik, bagus gaji naik turunkan omset. Berkinerja buruk akan berhenti karena beberapa alasan. Saat pembayaran dan imbalan lainnya adalah bergantung pada kinerja, mereka mungkin berhenti karena imbalannya rendah (Williams, 1999). Selain itu, jika mereka tahu bahwa mereka tidak melakukan pekerjaan dengan baik, mereka mungkin mencoba untuk menemukan pekerjaan yang lebih cocok untuk mereka. Atau, tidak jarang bagi supervisor untuk "mendorong" pergantian dengan menargetkan individu untuk pelecehan. Performa buruk mungkin ditolak hadiahnya, diberikan tugas pekerjaan yang tidak



menyenangkan, dan diperlakukan tidak baik untuk membuat mereka berhenti. Beberapa alasan ini melampaui tempat kerja, tetapi organisasi dapat melakukan hal yang hebat kesepakatan untuk mengatasi beberapa penyebab turnover ini. Sebuah organisasi dapat menciptakan yang lebih aman lingkungan kerja untuk mengurangi cedera dan dapat mendorong perilaku sehat untuk mengurangi cedera. Banyak organisasi telah melembagakan program kesehatan karyawan, yang dapat mencakup: program olahraga, kelas merokok dan pengendalian berat badan, dan pekerjaan manajemen stres. toko. Kebijakan dan praktik organisasi dapat membantu karyawan mengejar minat lain sambil terus bekerja. Misalnya, penitipan anak di tempat dan jadwal kerja yang fleksibel dapat memudahkan karyawan dengan anak kecil untuk melanjutkan pekerjaannya. Dengan di tempat program pengasuhan anak, pengasuhan anak disediakan di tempat kerja sehingga karyawan dapat membawa anakanak mereka bekerja dan menghabiskan waktu istirahat dan makan siang bersama mereka. Memiliki anak-anak mereka di dekatnya dapat memberikan ketenangan pikiran yang memudahkan karyawan untuk memusatkan perhatian pada pekerjaan. Jadwal kerja yang fleksibel yang memungkinkan karyawan untuk bekerja pada waktunya yang tidak mengganggu kepentingan lain dapat mencegah beberapa karyawan berhenti dari pekerjaannya.



D. Counterproductive Work Behavior: Aggression, Sabotage, and Theft Counterproductive Work Behavior atau CWB mengacu pada perilaku yang merugikan organisasi dan orang lain di tempat kerja, seperti rekan kerja, supervisor, dan pelanggan. CWB dapat terdiri dari agresi fisik dan verbal, mengarahkan permusuhan dan perilaku buruk pada rekan kerja, merusak property organisasi, sengaja melakukan pekerjaan dengan tidak benar, mencuri, dan menahan kinerja tugas. Sabotase, perusakan



property atau penghentian kinerja yang disengaja, menghasilkan biaya langsung dari kerusakan property dan biaya tidak langsung dari hilangnya produktivitas sementara property yang dibutuhkan untuk pekerjaan sedang diperbaiki. Penyebab CWB dimulai dengan kondisi pekerjaan yang penuh tekanan, seperti kendala organisasi atau ketidakadilan. Kondisi stress dan ketidakadilan memicu emosi negative, seperti kemarahan atau ketakutan. Perasaan ini pada akhirnya mengarah pada perilaku yang dapat konstruktif, seperti mengembangkan strategi yang lebih efektif untuk mengatasi kondisi atau ketidakadilan, atau destruktif seperti CWB. Keyakinan tentang control menentukan apakah sebagian individu memilih tanggapan konstruktif atau destruktif. Seorang karyawan yang percaya bahwa upaya konstruktif bisa efektif kemungkinan akan mencobanya. Tetapi seorang karyawan yang percaya bahwa dia tidak dapat mengendalikan situasi mungkin menggunakan CWB sebagai cara untuk mengatasi emosi negative. 1. Labor Unrest and Strikes Kejadian lain di mana perilaku kontraproduktif terjadi sebagai respons terhadap kemarahan atau perlakuan tidak adil adalah dalam perselisihan manajemen-tenaga kerja. Kerusuhan dan pemogokan buruh dapat terjadi karena berbagai alasan dan sering disertai dnegan frustasi di pihak karyawanyang percaya bahwa mereka tidak diperlakukan secara adil. Keyakinan ini dpat menyebabkan berbagai perilaku kontraproduktif seperti perlambatan kerja atau sabotase, kemarahan da persepsi perlakuan tidak adil telah dikaitkan dnegan pemogokan (Giacalone & Knouse, 1990).



Pertanyaan 1. Jelaskan teori apa yang paling berpengaruh untuk menghubungkan sifat perkejaan dengan performa? 2. Apa yang dimaksud dengan GNS? 3. Bagaimana Penyeban CWB bisa terjadi atau dimulai? 4. Apa yang dimaksud dengan turnover? 5. Sebutkan apa saja yang termasuk dalam The “Big Five”! 6. Bagaimana cara yang memungkinkan untuk meningkatkan peforma tugas? 7. Menurut Anda mana yang lebih penting antara kemampuan karyawan atau motivasi karyawan? 8. Sebutkan cara mengatasi turnover dan hal yamg daapt mendoromg perilaku sehat untuk karyawan! 9. Apa saja yang berpengaruh terhadap productive behavior? 10. Apakah benar anggapan bahwa semakin bertambah usia seseorang, semakin menurun pula prestasi kerjanya? Jelaskan!



DAFTAR PUSTAKA Spector, P. E. (2012). Industrial and organizational psychology : Research and practice. Edisi ke- 6. John Wiley & Sons, INC