Bab 1 Stunting [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stunting



merupakan



kondisi



kronis



yang



menggambarkan



terhambatnya pertumbuhan karena malnutrisi jangka panjang. Stunting menurut (WHO, 2012) Child Growth Standart didasarkan pada indeks panjang badan dibanding umur (PB/U) atau tinggi badan dibanding umur (TB/U) dengan batas (z-score) kurang dari -2 SD. MCA indonesia 2016 mengatakan stunting (tubuh pendek) adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu yang cukup lama aibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kbutuhan gizi. Stunting pada balita



perlu



menjadi



perhatian



khusus



karena



dapat



menghambat



perkembangan fisik dan mental anak. Stunting berkaitan dengan peningkatan risiko kesakitan dan kematian serta terhambatnya pertumbuhan kemampuan motorik dan mental. Balita yang mengalami stunting memiliki risiko terjadinya penurunan kemampuan intelektual, produktivitas, dan peningkatan risiko penyakit degeneratif di masa mendatang Gizi pada balita dipengaruhi oleh faktor sosio ekonomi dan latar belakang sosial budaya yang berhubungan dengan pola makan dan nutrisi. Nutrisi yang tidak adekuat dalam lima tahun pertama kehidupan berakibat pada gangguan pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan otak yang bersifat irreversible. Ukuran keberhasilan dalam pemenuhan nutrisi adalah status gizi. Status gizi balita mencerminkan tingkat perkembangan dan kesejahteraan masyarakat dalam suatu negara serta berhubungan dengan status kesehatan anak di masa depan (Bhandari, et al., 2013). Balita yang mengalami stunting meningkatkan risiko penurunan kemampuan intelektual, menghambatnya kemampuan motorik, produktivitas, dan peningkatan risiko penyakit degeneratif di masa mendatang. Hal ini dikarenakan anak stunting cenderung lebih rentan menjadi obesitas, karena



orang dengan tubuh pendek berat badan idealnya juga rendah. Kenaikan berat badan beberapa kilogram saja bisa menjadikan Indeks Massa Tubuh (IMT) orang tersebut naik melebihi batas normal (Astari,2015). Berdasarkan Laporan Gizi Global 2014 menempatkan Indonesia diantara 31 negara yang tidak akan mencapai target global untuk menurunkan angka kurang gizi di tahun 2025. Data pemerintah menunjukkan 37% anak balita menderita stunting, 12% menderita wasting (terlalu kurus untuk tinggi badan mereka) dan 12% mengalami kelebihan berat badan. Penduduk miskin di Indonesia memiliki kemungkinan menderita stunting 50 persen lebih tinggi dibandingkan dengan mereka dari golongan menengah keatas. Namun demikian, hampir 30 persen anak Indonesia dari golongan menengah keatas juga mengalami stunting. Kesenjangan prevalensi kekurangan gizi antar provinsi dan kabupaten masih cukup lebar. Angka-angka tersebut termasuk sangat tinggi bagi negara berpenghasilan menengah. terus meningkat seiring dengan bertumbuhnya jumlah penduduk. (Unicef, 2015). Di seluruh dunia kerdil dapat mempengaruhi hampir sepertiga dari anak dibawah lima tahun, dengan prevalensi yang lebih tinggi di negara-negara sumber daya SubSahara Afrika dan Asia Selatan (Renyoet dkk 2013), sedangkan menurut data yang dikeluarkan Unicef terdapat sekitar 195 juta anak yang hidup di negara miskin dan berkembang mengalami stunting (Shashidar 2009 dalam Wiyogawati 2010). Data dari World Health Statistic 2011 menunjukkan prevalensi stunting secara global mencapai 26,7% dan gizi kurang mencapai 16,2% (WHO 2012 dalam Soemardi dkk 2013). Para pemerediksi status gizi anak mengunjungi fasilitas kesehatan di wilayah Jimma Zone, Etiopia Barat Selatan analisis menunjukkan bahwa 14,4% kekurangan berat badan (underweight), 33,9% kerdil/pendek, dan 19,2% kurus (Beyene 2012 dalam Renyoet dkk 2013). Prevalensi stunting pada tahun 2007 di Asia adalah 30,6% (UNSCN 2008 dalam Fitri 2012). Penelitian Sengupta, Phillip dan Benjamin (2010) dalam Fitri (2012) yang dilakukan di Ludhinia India,



prevalensi stunting pada anak usia 12-59 bulan adalah 74,55% , sedangkan di Asia tenggara prevalensi stunting pada tahun 2007 sebesar 29,1% (UNSCN 2008, Riskesdas 2010 dalam Susilo dan Widyastuti 2013). Indonesia telah berhasil menurunkan angka kekurangan gizi pada anak usia dibawah lima tahun (balita) dari 24,50% dari tahun 2005 menjadi 17,90% pada tahun 2010 (Riskesdas, 2010). Dalam perjalanannya Indonesia telah berhasil menurunkan angka gizi kurang dan gizi buruk, namun demikian Indonesia dihadapkan pada pembangunan pangan dan gizi yang lain, yaitu masih tingginya prevalensi balita yang pendek (stunting). (Bappenas, 2011). Pprevalensi balita pendek menurut WHO menjadi masalah kesehatan masyarakat jika prevalensinya 20% atau lebih. Karenanya persentase balita pendek di Indonesia masih tinggi dan merupakan masalah kesehatan yang harus ditanggulangi. Dibandingkan beberapa negara tetangga, prevalensi balita pendek di Indonesia juga tertinggi dibandingkan Myanmar (35%), Vietnam



(23%),



Malaysia



(17%),



Thailand



(16%)



dan



Singapura



(4%)(UNSD, 2014). Global Nutrition Report tahun 2014 menunjukkan Indonesia termasuk dalam 17 negara, di antara 117 negara, yang mempunyai tiga masalah gizi yaitu stunting, wasting dan overweight pada balita. Penilaian pertumbuhan pada anak merupakan indikator penting dalam menilai status kesehatan terutama status gizi anak, karena dapat mempengaruhi kualitas hidup anak, oleh sebab itu pertumbuhan perlu dipantau secara berkala. Diperkirakan terdapat 162 juta balita pendek pada tahun 2012, jika tren berlanjut tanpa upaya penurunan, diproyeksikan akan menjadi 127 juta pada tahun 2025. Sebanyak 56% anak pendek hidup di Asia dan 36% di Afrika persentase status gizi balita pendek (pendek dan sangat pendek) di Indonesia Tahun 2013 adalah 37,2%, jika dibandingkan tahun 2010 (35,6%) dan tahun 2007 (36,8%) tidak menunjukkan penurunan/ perbaikan yang signifikan. Persentase tertinggi pada tahun 2013 adalah di Provinsi Nusa Tenggara Timur (51,7%), Sulawesi Barat (48,0%) dan Nusa Tenggara Barat



(45,3%) sedangkan persentase terendah adalah Provinsi Kepulauan Riau (26,3%), DI Yogyakarta (27,2%) dan DKI Jakarta (27,5%). Pada tahun 2015 Kementerian Kesehatan melaksanakan Pemantauan Status Gizi (PSG) yang merupakan studi potong lintang dengan sampel dari rumah tangga yang mempunyai balita di Indonesia. Menurut hasi PSG 2015, sebesar 29% balita Indonesia termasuk kategori pendek, dengan persentase tertinggi juga di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Barat. Masalah kesehatan masyarakat dianggap berat bila prevalensi pendek sebesar 30-39 %, dan serius bila prevalensi pendek ≥40% (WHO, 2010 dalam Riskesdas 2013). Sulawesi Selatan merupakan urutan ketiga provinsi yang mengalami masalah kesehatan serius setelah Maluku yang menempati urutan kedua (Riskesdas, 2013). Upaya peningkatan status gizi masyarakat termasuk penurunan prevalensi balita pendek menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional yang tercantum di dalam sasaran pokok rencana Pembangunan jangka Menengah Tahun 2015-2019. Target penurunan prevalensi stunting (pendek dan sangat pendek) pada anak baduta (dibawah 2 tahun) adalah menjadi 28% (RPJMN, 2015 – 2019). Oleh karenanya Infodatin yang disusun dalam rangka hari anak-ana balita tanggal 8 April ini mengangkat data yang terkait dengan upaya penurunan prevalensi balita pendek. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak, pengertian pendek dan sangat pendek adalah status gizi yang didasarkan pada indeks Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) yang merupakan padanan istilah stunted (pendek) dan severely stunted (sangat pendek). Balita pendek (stunting) dapat diketahui bila seorang balita sudah diukur panjang atau tinggi badannya, lalu dibandingkan dengan standar, dan hasilnya berada di bawah normal. Balita pendek adalah balita dengan status gizi yang berdasarkan panjang atau tinggi badan menurut umurnya bila dibandingkan dengan standar baku WHO-MGRS (Multicentre Growth



Reference Study) tahun 2005, nilai z-scorenya kurang dari -2SD dan dikategorikan sangat pendek jika nilai z-scorenya kurang dari -3SD. Hasil pemantauan status gizi (PSG) yang merupakan program dari Direktorat Gizi Kemenkes RI dengan menggandeng Dinas Kesehatan Bali tahun 2017, jumlah kasus stunting atau balita dengan tinggi badan tidak sesuai dengan umur di Kabupten Bangli di angka 28,4 % sementara secara umum untuk Bali mencapai angka 19,1 persen. Kabid Kesmas dr I Nyoman Arsana. Dikatakan, angka 28,4 persen tersebut sepenuhnya hasil pemanantuan yang dilakukan Pusat dikoordinir Diskes Bangli bekerjasama dengan Jurusan Gizi Poltekes Denpasar. Dalam pemantauan menyasar rumah tangga yang memiliki balita dan ibu hamil. Pada balita dilakukan pengukuran berat badan, tinggi dan panjang badan. Sedangkan pada ibu hamil dilakukan pengukuran status gizi. Pada tahun 2015 angka stunting di Bangli 28,6 persen dan ditahun 2016 diangka 25,7 persen. Menurut I Nyoman Arsana masalah utama stunting atau tinggi badan anak tidak sesuai usia terjadi akibat kekurangan asupan gizi. Gizi menjadi salah satu komponen yang harus dipenuhi dalam mewujudkan masyarakat yang sehat, terutama pada periode seribu hari pertama kehidupan. Pada tahun 2018 prevalensi stunting di Gianyar pun diklaim sudah menurun, Gianyar sebelumnya tercatat sebagai wilayah dengan angka stunting tertinggi di Bali. Gianyar telah digantikan dua kabupaten lainnya Buleleng dan Bangli keduanya memiliki prevalensi stunting sekitar 20%-23%. Kondisi ini berbeda dengan kabupaten lainnya di Bali yang prevalensi stunting di bawah 20%. Dua kabupaten ini masih menjadi prioritas kami, memang harus ada intervensi gizi dari awal agar orang tua terutama ibu memahami tentang gizi yang harus diberikan kepada anaknya. Faktor utama terjadinya stunting adalah pola asupan gizi yang tidak tepat. Berdasarkan fenomena yang ada ibu memberikan makanan kepada balitanya berdasarkan kesukaan dan pilihan anaknya, bukan berdasarkan



kandungan gizi, seperti memberikan junk food atau pemberian gizi yang tidak seimbang seperti memberikan nasi dengan lauk brekedel jagung yang dimana nasi dan brekedel jagung ini termasuk karbohidrat. Pengetahuan dan sikap ibu akan mempengaruhi asupan makanan yang ada di dalam keluarga terutama anak (Rakhmawati, 2014). Ibu yang berpendidikan dapat menerimaberbagai informasi dari luar danmeningkatkan pemahaman dan pengetahuan termasuk tentang pola asuh anak ( Sartika, 2010).



Berdasarkan permasalahan diatas peneliti tertarik meneliti tentang “Gambaran pola asuh ibu dalam pemberian makanan kepada balita dengan meningkatnya kejadian stunting”. Diharapkan setelah penelitian ini peneliti mengetahui kebenaran tentang fenomena kejadian stunting di Bali dan dapat mengetahui faktor apa sebenarnya yang mempengaruhi kejadian stunting di Bali meningkat, serta dengan adanya penelitian dapat memebantu pemerintah untuk mencari intervensi yang tepat untuk mengatasi masalah stunting di Bali. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, kejadian stunting pada balita di Bali khususnya pada wilayah Bangli masih cukup tinggi dan hal ini merupakan masalah kesehatan masyarakat. Pola asuh ibu dalam pemberian makanan merupakan faktor yang dapat mempengaruhi kesehatan balita. Penelitian ini di lakukan untuk menggali informasi mendalam dan mencari tahu kebenaran yang terjadi tentang “bagaimana gambaran pola asuh yang diterapkan ibu dalam pemberian makanan pada balita dengan kejadian meningkatnya stunting di daerahnya ?” 1.3 Tujuan 1.3.1 Tujuan Umum : Mengetahui gambaran dari pola asuh ibu dalam pemberian makanan ke balita dengan kejadian meningkatnya stunting di kabupaten Bangli.



1.3.2 Tujuan Khusus : 1. Mengetahui gambaran ibu dalam pemberian makanan yang mencakup gizi yang tepat untuk balita. 2. Mengetahui pengetahuan ibu tentang masalah kesehatan balita khususnya stunting. 3. Mengetahui gambaran pola asuh ibu terhadap balita untuk menghindari kejadian stunting. 4. Mengetahui gambaran yang diketahui ibu tentang pola asuh dalam pemberian makanan pada balita.



1.4 Manfaat 1.4.1 Kepada Pemerintah Penelitian ini dapat membantu pemerintah dengan mengetahui kebenaran tentang fenomena kejadian stunting ini dapat membantu pemerintah mencari sulusi dan intervensi yang tepat di masyarakatnya.



1.4.2 Kepada Masyarakat Penelitian ini dapat membantu masyarakat khususnya orang tua, ibu dan calon ibu dalam memberikan makanan yang tepat pada balitanya untuk mengurangi kejadian stunting.



1.4.3 Kepada Peneliti Lain Peneliti lain dapat membuat penelitian kuantitatif setelah mengetahui kebenaran yang terjadi dari kejadian stunting dari penelitian ini dan membuat penelitian yang lebih baik lagi setelah membaca dan mendapatkan hasil akhir penelitian ini.