Bab 2. Proses Produksi Kecap [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

2.1. Proses Produksi Kecap Alur proses produksi kecap oleh dapat dilihat sebagai berikut : •



Tahap Persiapan Kedelai



Penyortiran



Pencucian



Perendaman



Perebusan (± 4 jam) Pendinginan



Fermentasi koji (3-4 hari)



Fermentasi moromi (2-4 bulan)



Penyaringan



Sari kedelai







Tahap Pembuatan Kecap



Air + gula



Karamelisasi



Sari kedelai



Rempah-rempah yang telah dikupas dan dihaluskan



Pendidihan (105oC ± 15 menit)



Botol kaca bekas



Penyaringan



Pencucian



Pendinginan



Botol plastik, sachet



Pengemasan



Kecap



Pengeringan



Botol kaca bersih



2.1.1. Tahap Persiapan Pertama-tama dilakukan tahap persiapan untuk kedelai yang akan diolah menjadi kecap. Kedelai yang digunakan untuk setiap proses produksi yaitu sebanyak 200 kg. Diawali dengan penyortiran kedelai, pencucian, dan perendaman dalam air bersih kurang lebih selama semalam. Tujuan dilakukannya perendaman yaitu agar kedelai menyerap air hingga kedelai mengembang, sehingga menghemat waktu pemasakan serta biaya. Biaya yang murah disebabkan karena kedelai yang mengembang tersebut akan bertambah besar, sehingga tempat bertumbuhnya jamur akan lebih luas, meskipun jumlah kedelai yang digunakan sedikit. Setelah perendaman, kedelai direbus hingga masak, ditiriskan kemudian didinginkan di atas tampah bambu dengan cara ditebarkan dengan ketebalan sekitar 2 cm. Ketebalan tersebut dimaksudkan agar jamur dapat tumbuh dengan rata pada kedelai. Kedelai yang sudah ditebar di atas tampah kemudian ditambah starter kecap yaitu kapang Aspergillus oryzae dan Rhizopus oligosporus. Proses penambahan starter dilakukan dengan cara meremas-remas kapang beserta media tempat tumbuhnya yang dilakukan di dalam plastik, kemudian ditebarkan secara merata ke atas kedelai. Penambahan kapang bertujuan untuk menghasilkan enzim protease yang aktif agar protein dari kedelai dapat terekstrak ke dalam larutan kecap. Pada saat penaburan kapang, suhu kedelai harus berkisar antara 30-35oC. Campuran kedelai dan starter tersebut didiamkan selama 3-4 hari hingga tumbuh spora dengan warna hijau kekuning-kuningan. Tahap ini merupakan tahap fermentasi koji (fermentasi tahap 1). Terdapat dua ruangan untuk fermentasi koji. Ruang fermentasi ini memiliki temperatur berkisar antara 30-32oC dan dilengkapi dengan blower yang berfungsi untuk mengatur kelembaban (80-90%). Kedelai yang dijamurkan diletakkan di atas tampah, kemudian tampah-tampah tersebut diletakkan pada rak-rak bertingkat. Setelah 3-4 hari, kedelai dan jamur yang terletak di tampah kemudian dikerok. Hasilnya dimasukkan ke dalam drum dan ditambah dengan garam secara berlapislapis. Konsentrasi garam yang digunakan harus 20%, karena jika konsentrasi garam terlalu rendah dapat menyebabkan bau kecap menjadi kurang baik serta bahan dapat membusuk karena kurangnya efek pengawet yang berasal dari garam. Kemudian akan



terjadi proses fermentasi moromi (fermentasi II) yang berlangsung selama 2-4 bulan (jika dalam keadaan cuaca yang baik). Apabila keadaan cuaca kurang baik, lama waktu perendaman bisa menjadi lebih lama. Selama proses perendaman dalam larutan garam, bahan disimpan dalam wadah berupa drum. Bahan disimpan dalam tempat terbuka supaya dapat disinari oleh cahaya matahari, kemudian ditutup pada malam hari serta bila hari hujan. Selama perendaman, bahan diaduk dua kali sehari. Semakin lama proses fermentasi garam, kecap yang dihasilkan akan semakin enak. Proses fermentasi dianggap sudah selesai apabila sudah terbentuk aroma dan bau yang khas. Pada tahap fermentasi ini akan tumbuh secara spontan jenis bakteri Lactobacillus delbrueckii dan ragi Sacharomyces. Selama perendaman bahan terjadi pemecahan komponen bahan oleh enzim kapang dan pembentukan senyawa-senyawa organik yang dapat memberikan bau yang khas pada kecap. Enzim tersebut terus memecah protein, lemak, dan karbohidrat menjadi senyawa yang lebih sederhana seperti asam amino, glukosa, dan asam lemak.



2.1.2. Proses Pembuatan Kecap Proses pembuatan kecap terdiri dari beberapa proses, sebagai berikut : 3.1.2.1. Proses pembuatan karamel Air sebanyak volume tertentu dididihkan, kemudian gula dimasukkan sedikit demi sedikit hingga kapasitas yang diinginkan, agar larutan dapat homogen. Penambahan gula terus dilakukan hingga terjadi perubahan bentuk dan warna. Perubahan warna dan bentuk pada larutan ini disebut proses karamelisasi. Pada tahap ini tidak dilakukan penyaringan, penyaringan terhadap kotoran yang mungkin berasal dari gula dilakukan pada proses selanjutnya. 2.1.2.2. Proses pembuatan sari kedelai Hasil dari proses fermentasi moromi atau fermentasi dengan larutan garam diambil dalam jumah tertentu. Kemudian disaring untuk diambil sari kedelainya. Penyaringan dilakukan dengan menggunakan kain saring sebanyak 2 kali penyaringan sehingga didapatkan sari kedelai yang bebas dari kotoran.



2.1.2.3. Proses pemasakan Proses selanjutnya, gula karamel dan sari kedelai dididihkan hingga aroma dan rasanya terbentuk. Bumbu dan rempah-rempah yang lain ditambahkan sesuai resep masing-masing jenis kecap. Untuk mencapai kekentalan tertentu diambil sampel untuk diteliti. Apabila sudah memenuhi standart kekentalan yang ditentukan, kemudian disaring dan dimasukkan ke dalam tangki penampungan. Apabila terlalu kental maka ditambahkan air sari kedelai dan dilakukan pengadukan. Penambahan sari kedelai dilakukan sedikit demi sedikit. Setelah larutan kecap homogen kemudian diambil sampel dan diukur kekentalannya lagi. Hal ini dilakukan berulang kali hingga memenuhi standart kekentalan kecap yang ditentukan. 2.1.2.4. Proses penyaringan Proses penyaringan dilakukan sebanyak dua kali. Penyaringan pertama menggunakan penyaring yang ukuran meshnya lebih besar dan pada tahap kedua digunakan penyaring yang ukuran meshnya lebih kecil. Diharapkan pada produk akhir kecap yang dihasilkan dapat benar-benar murni dan bersih sehingga dapat dialirkan ke bak penampungan dengan lancar. 2.1.2.5. Proses pengisian Kecap disalurkan dari tangki penampungan ke tangki-tangki pengemasan, kemudian diisikan ke dalam kemasan dalam keadaan hangat atau agak dingin. Pengisian kecap ke dalam kemasan botol dan kemasan sachet dilakukan dengan cara yang berbeda. Untuk pengisian kecap pada botol kaca, botol plastik, serta jirigen plastik dilakukan secara manual dengan kran-kran pasif yang dapat dibuka dan ditutup oleh karyawan. Proses pengisian tersebut dapat dilihat pada Gambar 15. Terdapat standar volume pengisian atau aturan pengisian dalam pengisian produk kecap ke dalam kemasan. Pengisian kecap ke dalam botol kaca tidak diisikan sampai penuh. Hal ini memiliki tujuan untuk meminimalkan kandungan oksigen dalam tabung, mengatur tekanan dalam botol, serta mengontrol mutu produk. Untuk pengemasan dengan botol kaca, botol yang digunakan merupakan botol bekas dari kecap sebelumnya. Botol-botol tersebut dicuci terlebih dahulu secara manual hingga botol kaca bersih. Kemudian setelah dikeringkan dan



diteropong, digunakan untuk mengemas kecap. Proses pengisian kecap ke dalam kantong sachet dilakukan secara otomatis menggunakan mesin. 2.1.2.6. Proses sortasi Setelah pengisian kecap ke dalam kemasan kemudian dilakukan proses sortasi untuk mengendalikan faktor yang mempengaruhi kualitas kecap secara fisik, kimia, maupun mikrobiologis. Faktor fisik dipengaruhi oleh adanya labelling dan penutupan botol, sedangkan faktor mikrobiologi dipengaruhi adanya kegagalan penutupan sehingga kecap yang dihasilkan dapat ditumbuhi oleh mikroorganisme. Pengisian secara manual dapat memungkinkan terjadinya perbedaan jumlah volume, penutupan yang kurang rapat, dan sebagainya. 2.1.2.7. Proses pengemasan Setelah dilakukan sortasi, dilakukan proses pengemasan untuk memudahkan distribusi dan juga untuk memperindah produk jadi. Volume pengisian kecap disesuaikan dengan standarnya masing-masing, antara lain 610 ml, 600 ml, 300 ml, 260 ml, 225 ml, 140 ml, 130 ml, 6 kg, dan 25 kg. Kecap yang dikemas dalam botol kaca ditutup dengan tutup botol yang terbuat dari campuran aluminium dan seng. Tujuannya yaitu untuk meningkatkan keamanan dan menghindari pencemaran dari lingkungan sekitar. Setelah itu dilanjutkan dengan proses pelabelan dengan menggunakan alat modern sistem ban berjalan. Penutupan dan pelabelan dilakukan secara terpisah. Selain menggunakan botol kaca juga digunakan kemasan yang terbuat dari plastik, baik yang berbentuk botol maupun kantong atau sachet. Hal ini bertujuan agar harga jualnya dapat menjadi lebih murah. Proses sealing pada kemasan plastik menggunakan sealer dengan sistem pemanasan atau biasa disebut hot sealer. Umur simpan produk kecap yaitu 2 tahun. Pada proses pelabelan dicantumkan jenis produk, merek atau nama produk, kode produksi, tempat produksi, dan berat bersih. 2.1.2.8. Proses penyimpanan dan distribusi Produk kecap yang sudah dikemas dengan kemasan sekunder kemudian disimpan dalam gudang penyimpanan produk jadi. Peletakkan produk disesuaikan dengan jenisnya masing-masing dan diberi kode atau catatan tanggal produksi. Sehingga produk yang lebih dahulu diproduksi yang akan keluar atau didistribusikan lebih dulu,



atau dengan kata lain menggunakan sistem FIFO. Produk kecap didistribusikan pada warung-warung, restoran, dan supermarket.



Kecap merupakan makanan tradisional yang dibuat dari fermentasi kedelai hitam atau kacang-kacangan lainnya yang menghasilkan cairan warna coklat sampai hitam (Rahman, 1992). Menurut Astawan & Astawan (1991), kecap merupakan salah satu jenis makanan kesukaan penduduk Indonesia, bahkan penggunaannya sudah meluas sampai ke pedalaman. Pembuatan kecap di Indonesia, kebanyakan dilakukan secara tradisional yaitu dengan membiarkan kapang tumbuh secara spontan, sehingga mutu kecap yang dihasilkan pun berbeda-beda. Peranan kecap dapat memperkuat flavor dan memberikan warna pada daging, ikan, sayuran dan bahan pangan lain. Kecap juga bermanfaat sebagai pencegahan hypolipidemic dalam kehidupan sehari-hari dan untuk pencegahan atau perbaikan sindrom metabolik dalam tubuh (Kobayashi et al., 2008). Rahman (1992) menambahkan, sebagian besar masyarakat kita menggunakan kecap sebagai penyedap daripada sebagai makanan. Rasa sedap tersebut ditimbulkan oleh asam glutamat yang dalam kecap terdapat dalam kondisi bebas. Rahayu et al. (1993) menyatakan bahwa berdasarkan rasa, kecap yang beredar di Indonesia dibagi menjadi 2 golongan. Golongan pertama yaitu kecap manis dengan kandungan gula 26-61% serta sedikit garam (3-6%). Golongan lain yaitu kecap asin dengan kandungan gula 4-19% serta garam 18-21%. Menurut Astawan & Astawan (1991) pembuatan kecap dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu dengan fermentasi, dengan cara kimia maupun cara kombinasi fermentasi dan kimia. Ada pun prinsip pembuatan kecap secara kimia yaitu protein kedelai dihidrolisa dengan asam. Sedangkan cara kombinasi merupakan gabungan cara fermentasi dan cara kimia, mula-mula sebagian protein dihidrolisa dengan asam, lalu diteruskan dengan fermentasi. Tetapi dibandingkan dengan kecap yang dibuat dengan cara hidrolisa, kecap yang dibuat dengan cara fermentasi umumnya mempunyai flavor yang lebih baik. Astawan & Astawan (1991) menyatakan, ada beberapa keuntungan dalam proses fermentasi kecap, antara lain dalam hal keamanan pangan, di mana keamanan



produknya terjamin. Selain itu juga terjadi peningkatan nilai gizi dan penerimaan konsumen. Proses fermentasi dapat meningkatkan fraksi terlarut dan terjadi peningkatan kandungan protein dan vitamin, sementara nutrisi akan mengalami penurunan. Biasanya setelah proses fermentasi, dikombinasikan dengan proses pemasakan, hal ini akan dapat meningkatkan nutrisi bahan pangan. Pada tahap persiapan dilakukan perlakuan terhadap kedelai seperti pencucian, perendaman, dan perebusan kedelai. Kemudian diletakkan di atas tampah, ditambah kapang, dan akan terjadi proses fermentasi koji. Pencucian kedelai bertujuan untuk memisahkan kotoran yang terdapat pada kedelai agar tidak ikut terbawa ke dalam proses



selanjutnya. Selama proses perendaman, dilakukan pergantian air rendaman (Fukushima, 2004). Menurut Rahayu et al. (1993), perendaman biji kedelai dengan interval waktu yang lama perlu dilakukan pergantian air dengan air bersih. Hal ini dilakukan untuk menghindari bakteri gram positif yang dapat menghasilkan flavor yang tidak diinginkan. Pertumbuhan bakteri ini dapat diketahui secara visual dengan adanya spora pada kedelai dan terdapat buih pada permukaan air rendaman. Tortora et al. (1995) juga menambahkan, perendaman bertujuan untuk hidrasi air ke dalam biji sehingga apabila kedelai tersebut dimasak maka hanya akan memerlukan waktu yang pendek karena kedelai tersebut akan mudah lunak akibat perlakuan perendaman. Setelah perendaman, dilakukan pemasakan atau perebusan kedelai, di mana menurut Sulistyo & Sayuki (2005) kedelai direbus selama 2-3 jam. Fukushima (2004) menyebutkan tujuan dilakukan pemasakan adalah untuk melunakkan biji kedelai, merusak protein inhibitor, menginaktifkan zat-zat anti nutrisi, menghilangkan bau langu, serta membunuh bakteri yang ada di permukaan kedelai. Dengan pemasakan tersebut diharapkan kedelai sudah mengalami banyak pengurangan kandungan mikroorganisme dalam bahan tersebut. Selain itu, perebusan kedelai juga berfungsi untuk mempermudah enzim kapang menghidrolisis protein kedelai saat fermentasi kapang. Setelah direbus, kedelai didinginkan terlebih dahulu dengan cara dianginanginkan agar kadar airnya berkurang dan tidak menyebabkan pertumbuhan mikroorganisme pembusuk. Hal ini diyatakan oleh Tortora et al. (1995). Kedelai yang strukturnya sudah lunak, kapang lebih mudah untuk menembus biji kedelai itu sendiri dan kapang juga lebih mudah menggunakan protein untuk pertumbuhannya.



Setelah direbus, kedelai diletakkan di atas tampah secara merata, kemudian ditambah kapang. Kedelai yang sudah ditebar di atas tampah kemudian ditambah starter kecap yaitu kapang Aspergillus oryzae dan Rhizopus oligosporus. Penambahan kapang bertujuan untuk menghasilkan enzim protease yang aktif agar protein dari kedelai dapat terekstrak ke dalam larutan kecap. Aspergillus oryzae dan Rhizopus oligosporus memiliki kemampuan menghasilkan enzim proteolitik dan amiolitik yang tinggi. Judoamidjojo et al. (1989) menyatakan bahwa pada tampah anyaman bambu telah terdapat banyak spora kapang yang akan membantu proses pembuatan koji. Pada saat penaburan kapang, suhu kedelai harus berkisar antara 30-35oC. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rahayu et al. (1993), bahwa suhu 35-400C merupakan kondisi yang sesuai untuk pertumbuhan kapang. Parry & Powsey (1973) menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme. Faktor-faktor tersebut antara lain : 1. air Air dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk melakukan aktivitasnya. Nilai Aw yang dibutuhkan oleh kapang yaitu 0,80-0,87. 2. pH pH optimal untuk pertumbuhan kapang yaitu sekitar 6,8-8,0. 3. asupan zat gizi Asupan gizi mempengaruhi faktor pembelahan dan pertumbuhan sel, karena ketersediaan unsur kimia yang ada dalam media tumbuh akan digunakan oleh mikroorganisme sebagai sumber energi. 4. suhu Suhu mempengaruhi kehidupan dan pertumbuhan mikroorganisme. Jika suhu meningkat maka kecepatan metabolisme akan menurun dan pertumbuhannya melambat. Apabila suhu naik turun dapat menyebabkan berhentinya pertumbuhan mikroorganisme karena komponen sel menjadi tidak aktif dan dapat mematikan selsel. Ada 3 golongan suhu yaitu suhu minimum, suhu optimum, dan suhu maksimum. Di bawah suhu minimum pertumbuhan mikroorganisme tidak terjadi lagi. Di atas suhu maksimum mikroorganisme tidak akan tumbuh. Pertumbuhan mikroorganisme yang tercepat yaitu pada suhu optimum. 5. waktu Waktu di sini berhubungan dengan waktu pembelahan mikroorganisme. Pembelahan mikroorganisme terdiri dari beberapa tahap. Tahap pertama yaitu fase lag atau adaptasi, kemudian memasuki fase log atau tahap pembelahan. Berikutnya



pertumbuhan dan pembelahan sel mikroorganisme akan melambat akibat menurunnya zat gizi dan meningkatnya zat racun yang dihasilkan oleh mikroorganisme itu sendiri. Tahap ini disebut fase stasioner. Selanjutnya tahap terakhir disebut fase penurunan, yaitu fase dimana mikroorganisme tersebut akan mati karena sumber karbon yang digunakan untuk pertumbuhan telah habis. 6. ketersediaan oksigen Jumlah oksigen yang diperlukan oleh mikroorganisme bervariasi sesuai dengan kebutuhannya. Berdasarkan kebutuhan terhadap oksigen, mikroorganisme ada yang bersifat aerobik (memerlukan oksigen untuk pertumbuhan), anaerobik (tidak dapat tumbuh apabila terdapat oksigen), anaerobik fakultatif (dapat tumbuh meskipun terdapat oksigen), dan mikrothermofilik (dapat tumbuh dengan kadar oksigen lebih rendah dibandingkan dengan yang terdapat pada atmosfer). Rahman (1992) menyatakan bahwa proses koji sering disebut sebagai fermentasi media padat. Kelebihan dari proses koji adalah operasinya sederhana, kontaminasi bukan merupakan masalah yang penting, bahan untuk media/substrat mudah diperoleh dan relatif murah. Sedangkan kelemahan proses koji adalah memerlukan ruang yang luas, membutuhkan banyak tenaga kerja, sulit mengatur komposisi komponenkomponen media, dan meniadakan komponen yang berpengaruh negatif terhadap proses fermentasi serta sulit mengatur kondisi fermentasi. Dengan penggunaan strain jamur yang unggul dan mengontrol kondisi fermentasi diharapkan dapat membantu keberhasilan proses hidrolisis, sehingga kecap yang dihasilkan juga berkualitas. Hal ini bertujuan untuk menghindari adanya produksi mikotoksin oleh jamur. Sesuai dengan pernyataan Wood & Yong (1975), dengan penggunaan inokulum murni, proses fermantasi kapang yang berlangsung selama 4-7 hari dan bahkan sampai 12 hari, dapat diperpendek. Waktu yang optimal untuk fermentasi dengan kapang Aspergillus oryzae dan Rhizopus oligosporus kira-kira selama 3 hari. Dalam waktu yang terlalu pendek, jamur belum tentu dapat tumbuh dengan baik dan enzim yang diproduksi sedikit. Sedangkan waktu fermentasi yang terlalu lama dapat menyebabkan “mouldy of flavor” pada kecap dan munculnya senyawa toksin. Selama tahap fermentasi koji, ternyata khamir dan bakteri juga dapat tumbuh. Hal ini terjadi karena kondisi kedelai yang masak dan kadar air yang tinggi merupakan substrat yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme. Oleh karena itu perlu



memperhatikan beberapa faktor untuk menghindari kontaminasi pada fermentasi koji ini. Faktor-faktor tersebut antara lain : 1. kadar air Kadar air biji kedelai akan meningkat karena perendaman dan pemasakan kedelai sebelum proses fermantasi. Hal tersebut akan memudahkan penetrasi miselia ke dalam biji, sehingga komponen di dalamnya mudah digunakan atau didegradasi oleh jamur. 2. suhu dan waktu pemanasan Pada pembuatan kecap secara tradisional, pemasakan biji kedelai biasanya dilakukan dalam waktu yang cukup lama, yaitu sekitar 4-5 jam. Pemasakan yang terlalu lama ini akan menyebabkan komponen kedelai yang terlarut meningkat, sehingga perlu dilakukan pemasakan dengan menggunakan tekanan. 3. kondisi perlakuan panas Kondisi ini dapat mempengaruhi kerentanan protein kedelai untuk dihidrolisis oleh jamur protease. Dengan waktu pemanasan yang lebih pendek namun dengan menggunakan tekanan yang tinggi dapat meningkatkan aktivitas proteolitik. 4. aerasi Proses koji menentukan keberhasilan dari fermentasi kecap, karena jumlah suplai oksigen harus sesuai. Jika kurang maka pertumbuhan jamur menjadi terhambat dan apabila kondisi fermentasi menjadi aerob maka akan dihasillkan bakteri anaerob penghasil racun. Namun apabila oksigen sangat berlebihan, maka pertumbuhan miselia akan menjadi cepat dan terjadi penguraian senyawa komplek dengan cepat yang akan menghasilkan panas tinggi sehingga dapat menyebabkan kematian pada jamur itu sendiri. Difusi udara ke dalam biji kedelai secara perlahan merupakan aerasi yang baik. Pada fermentasi jamur, aerasi secara perlahan-lahan dilakukan dengan membolak-balik biji kedelai yang sedang difermentasikan. Setelah fermentasi pertama, kedelai dikerok dan dimasukkan ke dalam tong, kemudian ditambah larutan garam dan akan terjadi proses fermentasi berikutnya yaitu fermentasi moromi. Konsentrasi larutan garam yang digunakan yaitu 20%. Menurut Nunomura & Sasaki (1992), larutan garam yang cukup tinggi dalam moromi dapat berfungsi sebagai selektor terhadap mikroorganisme yang tumbuh. Konsentrasi garam yang terlalu tinggi dapat menghambat aktivitas enzim. Penggunaan larutan garam dengan konsentrasi yang cukup tinggi pada fermentasi moromi berfungsi untuk menghentikan pertumbuhan kapang lebih lanjut karena akan menyebabkan perubahan yang tidak



diinginkan, terutama perubahan warna. Larutan garam juga dapat mencegah pertumbuhan bakteri putrefactive yang tidak diinginkan selama fermentasi oleh bakteri asam laktat dan khamir (Nunomura dan Sasaki, 1992). Menurut Astawan & Astawan (1991) pada cara tradisional, fermentasi dalam larutan garam ini berlangsung selama 2-4 minggu. Tetapi fermentasi selama 30-40 hari atau lebih, akan memberikan hasil yang makin baik dan bau yang sedap. Selama fermentasi ini, warna larutan kecap akan berubah yang disebabkan oleh warna yang terbentuk sebagai hasil reaksi browning antara gula pereduksi dengan gugus amino dari protein. Protein akan dihidrolisis menjadi asam amino sedangkan pati akan dipecah menjadi asam laktat, alkohol, dan karbon dioksida.



Selama proses perendaman dalam larutan garam, bahan disimpan dalam wadah yang tahan panas. Bahan disimpan dalam tempat terbuka supaya dapat disinari oleh cahaya matahari, kemudian ditutup pada malam hari serta bila hari hujan. Selama perendaman, bahan diaduk dua kali sehari. Menurut Yokotsuka (1985) selama proses fermentasi moromi dilakukan pengadukan secara reguler setiap hari. Hal ini bertujuan untuk menjaga keseragaman konsentrasi garam, merangsang pertumbuhan bakteri dan mencegah terjadinya pertumbuhan mikroba yang tidak diinginkan terutama mikroba pembusuk. Selain itu pengadukan juga berfungsi untuk mencegah pertumbuhan khamir pembentuk film pada kondisi aerob. Garam dalam jumlah yang tinggi akan mempunyai tekanan osmotik yang tinggi, sehingga mampu menarik air dari bahan pangan. Adanya garam dalam jumlah tinggi juga akan melindungi kedelai dari pencemaran oleh lalat, serangan belatung, dan pembusukkan oleh bakteri pembusuk. Proses pembuatan kecap ini juga dibantu oleh aktivitas enzim protease dan lipase yaitu enzim yang memecah protein dan lemak kedelai menjadi komponen-komponen asam amino dan asam lemak yang lebih sederhana sehingga mudah diserap oleh tubuh (Astawan & Astawan, 1991). Pada tahap fermentasi ini akan tumbuh secara spontan jenis bakteri Lactobacillus delbrueckii dan ragi Sacharomyces. Atlas (1984) menyatakan, selama inkubasi larutan garam, enzim protease dan amilase dari koji menjadi aktif dan hal ini menyebabkan populasi mikroba bertambah. Mikrobia yang berperan di dalam fermentasi garam ini berasal dari lingkungan sekitar tempat fermentasi berlangsung (alami) yaitu bakteri dan



yeast. Bakteri khususnya bakteri asam laktat (Lactobacillus delbrueckii) akan menghasilkan asam laktat dan mencegah terjadinya pembusukan oleh mikroorganisme lain. Sedangkan yeast (Saccharomyces rouxii,) akan menggunakan gula-gula sederhana hasil pemecahan fermentasi kapang untuk menghasilkan alkohol. Yokotsuka (1977) menambahkan, bakteri asam laktat tumbuh pada awal fermentasi sehingga akan menghasilkan asam laktat dan menurunkan pH. Keuntungan dari pertumbuhan bakteri ini yaitu terbentuknya flavor dan aroma yang khas pada kecap. Setelah masa fermentasi moromi kemudian disaring untuk mendapatkan sari kedelai. Penyaringan dilakukan hingga dua kali untuk mendapatkan sari kedelai yang bebas dari kotoran.



Setelah tahap persiapan, berikutnya adalah tahap pembuatan kecap yang didahului dengan pembuatan karamel dan sari kedelai, kemudian proses pemasakan, penyaringan, dan pengemasan. Pembuatan sari kedelai dilakukan dengan penyaringan hasil fermentasi dalam larutan garam. Sedangkan pembuatan karamel dilakukan dengan memasak air dan gula hingga mendapat larutan gula yang diinginkan. Agar larutannya homogen, penambahan gula dilakukan sedikit demi sedikit setelah air mendidih. Gula yang digunakan adalah gula aren (gula merah atau gula kelapa). Amalia (2008) menjelaskan, gula merah merupakan gula yang secara tradisional dihasilkan dari pengolahan nira, dengan cara menguapkan airnya sampai cukup kental dan kemudian dicetak atau dibuat serbuk, dimana gula ini berbentuk padat, berwarna coklat kemerahan sampai dengan coklat tua. Amalia (2008) juga menambahkan peranan gula dalam pembuatan kecap sangat penting karena dapat menyebabkan terjadinya reaksi Maillard dan karamelisasi, yang berperan dalam pembentukan flavor dan karakteristik kecap manis. Gula merah memiliki tekstur dan struktur yang kompak, serta tidak terlalu keras sehingga mudah dipatahkan dan memberi kesan empuk. Rasa karamel pada gula merah diduga disebabkan adanya reaksi karamelisasi akibat pemanasan selama pemasakan. Karamelisasi juga menyebabkan timbulnya warna coklat pada gula merah. Gula merah memiliki sifat-sifat spesifik sehingga perannya tidak dapat digantikan oleh jenis gula lainnya. Gula merah memiliki rasa manis dengan rasa asam. Rasa asam disebabkan oleh kandungan asam organik didalamnya. Adanya asam-asam organik ini menyebabkan gula merah mempunyai aroma khas, sedikit asam dan berbau karamel.



Selanjutnya dilakukan proses pemasakan kecap yang dilakukan dengan memasak sari kedelai, larutan karamel dan ditambah dengan rempah-rempah. Rempah-rempah dikupas, dibersihkan, dan dihaluskan terlebih dahulu sebelum digunakan. Sesuai dengan pendapat Santoso (1994) yang mengungkapkan bahwa urutan perebusan atau pemasakan kecap yaitu, air bersih dimasukkan terlebih dahulu ke dalam filtrat, lalu direbus hingga mendidih. Setelah itu disusul dengan larutan gula dan bumbu-bumbu penyedap. Amalia (2008) menyatakan proses pemasakan ini memiliki tujuan untuk mematikan mikroorganisme, menginaktivasi kerja enzim dan untuk meningkatkan kualitas kecap terutama dari segi flavor dan warna kecap. Rahayu (1985) menambahkan, tujuan lain dilakukannya pemasakan adalah mengekstrak komponenkomponen flavor dari bumbu-bumbu dan meningkatkan kejernihan kecap karena partikel yang terkoagulasi selama pemanasan dapat dipisahkan. Selama pemasakan dilakukan pengadukan terus-menerus untuk mencegah terjadinya pemanasan yang terlalu tinggi pada bagian bawah adonan. Proses pemasakan merupakan tahapan penting dalam menentukan warna dan flavor kecap. Untuk menguji apakah kecap sudah masak atau matang, dilakukan dengan meneteskan kecap ke dalam air. Apabila tetesan yang terbentuk tidak pecah dan membentuk benang-benang, maka kecap tersebut dianggap sudah masak. Kecap yang dihasilkan perlu diukur kekentalannya agar sesuai



standar yang ditentukan. Uji kekentalan kecap dilakukan dengan menggunakan viskometer. Setelah proses pemasakan selanjutnya dilakukan proses penyaringan. Penyaringan pertama menggunakan penyaring yang ukuran meshnya lebih besar yaitu 100 mesh dan pada tahap kedua digunakan penyaring yang ukuran meshnya lebih kecil yaitu 150 mesh. Dilakukan penyaringan sebanyak dua kali agar produk akhir kecap yang dihasilkan dapat benar-benar murni dan bersih sehingga dapat dialirkan ke bak penampungan dengan lancar. Amalia (2008) menyatakan tahap penyaringan berfungsi untuk memisahkan kotoran fisik yang terbawa oleh bahan baku gula merah saat dimasukkan ke dalam kuali untuk dimasak. Selain itu, penyaringan juga berfungsi untuk memisahkan serat-serat kasar dari bahan baku gula merah tersebut. Sebelum dilakukan pengemasan, kecap didinginkan terlebih dahulu dalam tangki penampungan, kemudian dilakukan pengemasan. Proses pengisian kecap ke dalam kantong sachet dilakukan secara otomatis menggunakan mesin. Sedangkan untuk



pengisian kecap pada botol kaca, botol plastik dan jirigen plastik dilakukan secara manual dengan kran-kran pasif yang dapat dibuka dan ditutup oleh karyawan. Setelah itu dilakukan penutupan botol yang dilanjutkan dengan proses pelabelan sesuai dengan pendapat Wirya (1999), dengan menggunakan alat modern sistem ban berjalan. Pengisian kecap ke dalam botol kaca tidak diisikan sampai penuh untuk meminimalkan kandungan oksigen dalam tabung, mengatur tekanan dalam botol, serta mengontrol mutu produk. Botol kaca sebelum digunakan dicuci hingga bersih kemudian dikeringkan. Proses peneropongan dilakukan untuk mengetahui pecah atau tidaknya botol tersebut, serta memilih botol bersih yang layak digunakan untuk mengemas produk dengan menggunakan penerangan lampu. Kemasan botol dan kemasan kantong sachet merupakan pengemas primer produk kecap. Kemudian kemasan tersebut dikemas lagi dengan kemasan sekunder sehingga dapat memudahkan dalam proses distribusinya. Pengemas sekunder botol kaca berupa krat yang terbuat dari kayu, dimana masing-masing krat dapat menampung 24 botol kecap. Botol plastik menggunakan karton sebagai kemasan sekunder. Sedangkan kemasan sachet dikemas lagi dalam plastik untuk melindungi produk, kemudian dikemas dengan kemasan tersier yang dapat menampung 50 kemasan sachet. Menurut Kotler (1989), kemasan primer adalah kemasan yang melindungi atau bersentuhan langsung dengan produk. Sedangkan kemasan sekunder merupakan kemasan yang membungkus kemasan primer. Kemasan pengiriman merupakan kemasan yang melindungi sejumlah kemasan primer atau sekunder dalam proses pengiriman atau pendistribusian produk tersebut. Wirya (1999) menyebutkan beberapa manfaat kemasan, yang pertama yaitu sebagai pengaman, kemasan berfungsi melindungi produk dari segala kemungkinan yang dapat menyebabkan kerusakan barang. Manfaat dari segi ekonomi, dalam perancangan kemasan biaya produksi harus diperhitungkan secara efektif. Dari faktor pendistribusian, kemasan dirancang agar mudah didistribusikan dari pabrik, distributor, hingga sampai ke tangan konsumen. Kemasan berfungsi untuk mempermudah distribusi. Sebagai faktor komunikasi, dimana kemasan dapat berfungsi sebagai media komunikasi untuk menyampaikan informasi produk. Kemasan mempengaruhi konsumen dalam menentukan pemilihannya, sehingga pada akhirnya turut berfungsi menjual produk di salamnya. Selain itu, kemasan juga merupakan identitas produk sehingga konsumen mudah mengenali dan membedakan dari produk-produk pesaing.



DAFTAR PUSTAKA Amalia,T. (2008). Pengaruh Karakteristik Gula Merah dan Pemasakan Terhadap Mutu Organoleptik Kecap Manis. http://iirc.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/ 13813/2/F08tam.pdf. Astawan, M. & W. M. Astawan (1991). Teknologi Pengolahan Pangan Nabati Tepat Guna. Akademika Pressindo. Atlas, R. M. (1984). Microbiology Fundamental and Application. Collier Mcmillan Inc. New York. Fukushima, D. (2004). Industrialization of Fermented Soy Sauce Production Centering Around Japanese Shoyu. Di dalam : Steinkraus, K. H. (ed.). Industrialization of Indigenous Fermented Foods Second Edition. Marcel Dekker, Inc., New York and Basel. Judoamidjojo, R. M., E. G. Said & L. Hartoto. (1989). Biokonversi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB, Bogor. Kobayashi, Makio; Norihiro Magishi; Hiroaki Matsushita; Tadaaki Hashimoto; Mayumi fujimoto, Makoto Suzuki, Keisuke Tsuji, Masami Saito, Eishi Inoue, Tukako Yoshikawa; and Toshiki Matsuura. (2008). Hypolipidemic Effect of Shoyu Polysaccharides from Soy Sauce in Animals and Humans. http://www.spandidospublications.com/.../ijmm_22_4_565_PDF.pdf?...PDF Kotler, P. (1989). Manajemen Pemasaran, Analisis, Perencanaan, dan Pengendalian. Erlangga, Jakarta. Nunomura, N. & M. Sasaki. (1992). Japanese Soy Sauce Flavour with Emphasis on Off Flavours. Di dalam : Charalambous, G. (ed.). Off Flavours in Foods and Beverages. Elsevier Science Pub. B. V., Amsterdam. Parry, T. J. & R. K. Pawsey. (1973). Principles of Food Microbiology. Hutchinson Educational. London. Rahayu, E.; R. Indrati; T.utami; E. Harmayani & M.N. Cahyanto. (1993). Bahan Pangan Hasil Fermentasi Food & Nutition. Collection. PAU Pangan & Gizi. Yogyakarta. Rahayu, F. S. (1985). Hidrolisis Protein Kedelai oleh Aspergillus soyae, A. oryzae, dan Rhizopus oligosporus. Fakultas Pasca Sarjana, Univesitas Gadjah Mada. Yogyakarta.



Rahman, A. (1992). Teknologi Fermentasi. Penerbit Arcan. Jakarta.



Santoso, H. B. (1994). Kecap dan Taoco Kedelai. Kanisius. Yogyakarta. Sulistyo, Joko & Sayuki Nikkuni. (2005). Development of Pure Culture Starter For Kecap. Berita Biologi, Volume 7, No 6. Tortora, G.J., R. Funke & C.L. Case. (1995). Microbiology. The Benjamin / Cummings Publishing Company, Inc. USA. Troller, J. A. (1993). Sanitation in Food Processing. Academic Press. London. Wirya, I. (1999). Kemasan yang Menjual. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Wood, B. J. B. & F. M. Yong. (1975). Oriental Food Fermentation. Di dalam : Smith, J. E. & D. R. Berry (ed). The Filamentous Fungi. Departement of Applied Microbiology, University of Yokotsuka. Chiba, Japan. Yokotsuka, T. (1977). Japanese Shoyu : Koikuchi & Tamari. Di dalam : Steinkraus K. H. (ed.). Handbook of Indigenous Fermented Foods. Marcell Dekker, Inc. New York. Yokotsuka, T. (1985). Traditional Fermented Soybean Foods. Di dalam : Young, M. (ed.). Comprehensive Biotechnology. Pergamon Press, Oxford.