Bab 9 Hipokrisi Akuntan Di Zaman Edan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

HIPOKRISI AKUNTAN DI ZAMAN EDAN



Tugas Mata Kuliah Etika Bisnis dan Profesi



Oleh : Nadiya Az Zahra 180810301239



Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jember 2019



BAB I PENDAHULUAN



Tindakan yang diambil oleh individu terjadi karena adanya interaksi dengan masyarakatnya, pengertian individu ini merujuk pada pengertian agensi, dan masyarakat merujuk pada pengertian struktur sosial. Demikian halnya dengan struktur sosial, yang meliputi aturan-aturan dan sumberdaya yang secara rekursif dilibatkan dalam institusi, terbangun dan berkembang secara dimanis, selain karena kehendak individu-individu di dalamnya, juga sesuai dengan konteks situasi lingkungan yang lebih besar yang mengitarinya. Demikian halnya dengan praktik etika dalam profesi akuntan. Praktik ini diwarnai oleh dinamika yang berkembang dalam situasi lingkungan yang dinamis pula. Dinamika lingkungan, bagaimanapun, terjadi dalam konteks lokalitas yang berbeda di mana etika (profesi) itu dikembangkan dan diterapkan. Bab ini mendiskusikan lebih lanjut atas berbagai hasil eksplorasi dan sintesa antara ranah agensi dan ranah struktur atas praktik etika. Dalam hal ini lebih terfokus pada konteks hubungan yang lebih luas, yaitu dengan struktur sosial dalam lingkungan yang melingkupi praktik etika tersebut. Sintesa ini sudah diawali di bab-bab sebelumnya dengan pengenalan dimensi strukturatif dalam tekanan ranah individu (agensi), dan kemudian tekanan pada ranah struktur (organisasi). Dengan ini diharapkan pemahaman strukturasi atas praktik etika berkembang dalam dimensi yang lebih luas dari sekedar dalam konteks organisasi.



BAB II PEMBAHASAN



1



2.1 Pengantar Dalam pemikiran strukturasinya, Giddens (2003:xxvii) mengemukakan bahwa hakikatnya interaksi sosial bisa ditelaah dalam kaitannya dengan lokal-lokal yang berbeda yang



dikoordinasikan



oleh



aktifitas-aktifitas



harian



individu.



Dalam



pemahaman



strukturatif, tindakan individu tidaklah terjadi sekehendak individu yang bersangkutan, tetapi merupakan hasil persinggungan dengan konteks yang mengitarinya. Demikian yang disampaikan juga oleh Fromm (2002; 28) menyangkut kerangka pemikiran Marx tentang konsep manusia, di mana Marx tidak pernah lupa bahwa “bukan hanya lingkungan yang membuat manusia, tetapi manusia juga membuat lingkungan”. Tindakan yang diambil oleh individu terjadi karena adanya interaksi dengan masyarakatnya, pengertian individu ini merujuk pada pengertian agensi, dan masyarakat merujuk pada pengertian struktur sosial. Demikian halnya dengan struktur sosial, yang meliputi aturan-aturan dan sumberdaya yang secara rekursif dilibatkan dalam institusi, terbangun dan berkembang secara dimanis, selain karena kehendak individu-individu di dalamnya, juga sesuai dengan konteks situasi lingkungan yang lebih besar yang mengitarinya. Demikian halnya dengan praktik etika dalam profesi akuntan. Praktik ini diwarnai oleh dinamika yang berkembang dalam situasi lingkungan yang dinamis pula. Dinamika lingkungan, bagaimanapun, terjadi dalam konteks lokalitas yang berbeda di mana etika (profesi) itu dikembangkan dan diterapkan. Dalam konteks ini pula, dapat dicermati bahwa struktur sosial dapat dipahami secara bertingkat, yaitu dalam konteks organisasi dan konteks masyarakat dalam pengertian yang lebih luas. Sekaligus dalam pemahaman strukturasi atas praktik etika, ternyata tidak cukup jika hanya memahami praktik etika dalam konteks hubungan individu dengan organisasi tempat dua beraktifitas. Ini dikarenakan sebagai tindakannya dan tindakan organisasinya



juga



sangat



dipengaruhi



oleh



konteks



lingkungan



sosial



yang



melingkupinya. Maka di sinilah sangat relevan mengkaitkan struktur sosial dengan istilah sistem sosial, di mana Giddens (2003: 199) menyebutkan bahwa seluruh masyrakat merupakan sistem sosial dan sekaligus terdiri dari persinggungan-persinggungan sistem



2



sosial ganda. Sistem sosial merupakan hubungan yang direproduksi antara aktor atau yang diorganisasikan sebagai praktik sosial regular (Gidden, 2003: 30) 2.2 Praktik Profesional di Tengah Realitas Zaman Edan Dalam skala makro sosial dapat dicermati bahwa praktik sosial yang berlangsung dewasa ini menggambarkan kebobrokan moral dalam segala dimensinya. Dalam konteks sosial masyarakat Indonesia, kebobrokan moral dapat ditemukan pada meluasnya skala korupsi di berbagai bidang kehidupan. Sebuah kondisi yang menempatkan Indonesia pada peringkat atas sebagai negara terkorup di dunia. Dengan indeks 2,0 dari yang tertinggi 10, daftar indeks persepsi korupsi yang dirilis oleh Transparancy International tahun 2004 menempatkan Indonesia (bersama dengan enam negara miskin lainnya) di peringkat kelima negara paling korup di antara 146 negara (Republika, 21 Oktober 2004; hal. 3). Sebuah kondisi yang berlangsung dalam kurun waktu yang cukup panjang, mengingat pada tahun 1999 indeks persepsi korupsi tersebut pada angka 1,7. Dalam skala internasional, kasus ambruknya Enron dan meruginya perusahaan lainnya di Amerika Serikat telah menunjukkan lemahnya moralitas di kalangan professional. Bahkan akuntan dalam kasus ini disebut sebagai aktor sentral dari terjadinya berbagai skandal. Skandal-skandal ini yang kemudian mendorong lahirnya sebuah undang-undang di bidang perusahaan publik di Amerika Serikat yang disebut sebagai “Sarbanes & Oxly Act 2002”, Undang-undang tersebut mengatur praktik auditing oleh akuntan publik dan praktik akuntabilitas yang harus dijalankan oleh perusahaan. Kondisi makro yang demikian menunjukkan karakteristik “edan” dari suatu zaman, di mana moralitas telah diletakkan dibalik jubah dan mahkota kehormatan duniawi. Kondisi ini tentu saja berdampak pada preferensi moral individu para akuntan, khususnya yang beraktifitas di KAP. Tuntutan untuk menjaga kelangsungan keberadaan KAP, serta “tanggungjawab” untuk menghidupi staf dan karyawan di KAP menjadi argumentasi yang dipermalukan oleh sebagian kalangan untuk larut dalam situasi “edan” ini. Demikian juga tuntutan untuk mendapatkan penghasilan dari praktiknya sebagai akuntan.



3



Konteks terjadinya suatu praktik etika dapat terdorong karena aspek yang bersifat internal di KAP ataupun eksternal dari pihak luar KAP. Praktik professional akuntan dan KAP dipengaruhi oleh IAI dan Departemen Keuangan serta beberapa pihak lainnya, di mana pengaruh ini dapat bersifat positif maupun negatif bagi keberlangsungan praktik etika. Hal lain yang dapat mendorong profesional akuntan larut dalam situasi “edan” ini berasal dari tekanan pihak luar yang berkaitan langsung dengan output jasa profesi akuntan. Pihak luar tersebut adalah klien, perbankan dan petugas pajak, tidak dipungkiri bahwa keberadaan klien menjadi pendorong utama berlangsungnya praktik etis maupun tidak etis bagi sebuah KAP. Hal ini dapat dicermati dari pengaturan etika yang dikeluarkan oleh IAI, pengaturan ini dapat di perhatikan dari Aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik tentang independensi (AE 100) dan tentang tanggungjawab kepada klien AE 300) Dalam hal independensi, akuntan dalam memberikan jasa profesionalnya kepada klien harus menjaga sikap mental yang independen dalam fakta (in fact) maupun independen dalam penampilan (in appearance). Sementara itu dalam pengaturan tentang tanggungjawab kepada klien, akuntan harus memperhatikan aspek-aspek yang menyangkut kerahasiaan klien dan fee profesional. Dalam konteks yang lebih sederhana, pemakai langsung (sebagai pihak yang berkepentingan) atas hasil jasa akuntan itulah yang mendominasi eksistensi KAP. Struktur dominasi menandai adanya penguasaan atas kepentingan ekonomis dari proses kerja profesional akuntan. Kondisi sosial ini menempatkan struktur dominasi (ekonomi) atas profesional akuntan pada keadaan “mendapatkan klien atau tidak”, dominasi ekonomi ini kemudian juga menjadi dominasi psikologis bagi profesional akuntan. “Mendapatkan klien atau tidak” kemudian menjadi idiom sosial di kalangan akuntan dan KAP. Dalam konotasi negatif hal demikian menandai bentuk struktur signifikasi atas praktik sosial akuntan dan KAP. struktur signifikasi (disebut juga sebagai struktur penandaan) menyangkut skemata simbolik, pemaknaan, penyebutan dan wacana. Mendapatkan klien berarti merupakan skemata



simbolik



atas



keberlangsungan



praktik



profesional.



Sementara



tidak



mendapatkan klien merupakan skemata simbolik atas kemungkinan harus ditutupnya KAP. Karena



itulah



mereka



harus



menjadi



familiar



keberlangsungan praktik profesional.



4



dengan



skemata



simbolik



atas



Dalam kondisi sosial yang demikian, berbagai hukum dan norma moral (kode etik profesi) menjadi tidak berfungsi untuk menjaga kewibawaan profesi. Yang ada hanyalah idiom “tahu sama tahu” di antara rekan seprofesi dan rekan bisnis, serta inipun akhirnya menjadi struktur signifikasi pula di kalangan akuntan, maupun kalangan pelaku bisnis lainnya. Sehingga beberapa pengaturan tentang KAP pun akan disiasati bersama. Bagaimanapun perilaku tidak etis adalah suatu fenomena sosial yang in heren, di mana dia meliputi hubungan antara aktor yang ada juga terlibat dalam struktur hubungan sosial dengan yang lain ( Brass dkk., 1998). Dengan penstrukturan yang demikian, akuntan maupun KAP harus turut edan jika ingin keduman pekerjaan (rejeki), pada akhirnya strukturasi dari refleksifitas ini mengalami pelembagaan dan menjadi refleksifitasinstitusional (Priyono,2002;47). 2.3 Belenggu Kapitalisme : Sebuah Manifestasi Kehidupan Profesional Akuntan di Zaman Edan Dorongan atas nilai-nilai materialistik, bagaimanapun telah tertanam kepada hampir semua lapisan masyarakat. Dalam perspektif kekinian, dorongan seperti ini dapat dimaklumi karena iklim kehidupan modern yang berlangsung dewasa ini memang sangat berorientasi pada pencapaian kepuasan secara fisik semata. Alam modem (modemitas), bagi kalangan penulis Marxian, merupakan buah . kekuatan transformatif dari kapitalisme (Giddens, 2001; 18). Dalam pengertian ini aturan sosial modernitas adalah kapitalisasi sistem ekonomi dan institusi-institusi lainnya. Dengan kerangka ini dapat dipahami bahwa kehidupan modern adalah kehidupan yang selalu didorong dan disifati oleh nilai-nilai yang mengagungkan pencapaian keuntungan di atas segalanya. Keuntungan adalah puncak pencapaian usaha manusia, sehingga proses bagaimana keuntungan itu dicapai bukanlah persoalan yang perlu diperhatikan. Jadi mengapakah yang menjadi bottom line laporan keuangan adalah laba (secara spesifik, earning per share), oleh karena itulah ukuran keberhasilan suatu perusahaan. Ini pula yang menjadi perhatian utama investor untuk menanamkan hartanya ke suatu perusahaan atau proyek tertentu, terlepas bagaimana proyek dan perusahaan itu dikelola.



5



Kapitalisme, sebagai sebua sistem ekonomi, mempunyai beragam keunikan. Sebagaimana dideskripsikan oleh Suseno (2003: 163-164), Karl Mark melihat bahwa dari segi proses, kapitalisme adalah sistem ekonomi yang hanya mengakui satu hukum, yaitu tawar menawar di pasar dan bebas dari pembatasan-pembatasan. Dengan pemahaman demikian, tujuan sistem ekonomi kapitalis adalah semata-mata keuntungan (uang), di mana makin banyak keuntungan perusahaan maka makin kuat kedudukannya di pasar. Perhatian berlebih pada nilai-nilai materialistik dan kepentingan diri individu pemilik modal dalam kapitalisme ini, kemudian mendorong terjadinya pola usaha dan pola kehidupan destruktif. Dalam konteks Capra (2003; 342) mengemukakan, “Obsesi kita dengan pertumbuhan ekonomi dan sistem nilai yang mendasarinya telah menciptakan suatu lingkungan fisik dan mental di mana kehidupan telah menjadi sangat tidak sehat”. Bidang akuntansi merupakan bidang yang sangat dekat atau tidak dapat dipisahkan dari bidang ekonomi dan bisnis, dan karenanya akuntansi sebagai unsur penting dari bangunan komunitas ekonomi dan bisnis. Oleh karena itu Statements of Accounting Principles Board No 4 menyebutkan akuntansi sebagai suatu aktifitas jasa yang berfungsi untuk menghasilkan informasi kuantitatif yang bersifat keuangan dari entitas ekonomik yang dimaksud untuk digunakan dalam pengambilan keputusan ekonomik (Suwardjono 1996 : 6). Demikian yang tampak dari tujuan pelaporan keuangan sebagaimana dirumuskan oleh Financial Accounting Standard Board (FASB), di mana dalam Statement of Financial Accounting Concept (SFAC) No 1 disebutkan dalam salah satu highlights-nya bahwa pelaporan keuangan bukanlah akhir dari dirinya tetapi dimaksudkan untuk memberikan informasi yang berguna dalam pengambilan keputusan bisnis dan ekonomi. Sementara disebutkan pula bahwa fokus utama pelaporan keuangan adalah informasi tentang laba dan komponen-komponennya. Di Amerika Serikat akuntansi berkembang mengiringi perkembangan pasar modal. Berdasarkan pemaparan Mathews & Perera (1993; 131) kerangka pengembangan (pengaturan) akuntansi berangkat dari kolaborasi kepentingan pasar (liberalisme) dengan negara (legalisme), sehingga disebut sebagai mode associationis. Dalam mode seperti ini peran masyarakat untuk memperjuangkan kepentingannya menjadi sangat minim. Demikian kemudian Wallman 91995) mengemukakan “… Untuk semua alasan yang 6



dinyatakan sebelumnya, arus informasi pelaporan keuangan adalah komponen kriris dari sistem kapitalisme dan demokrasi kita”. Keberadaan profesi akuntansi (secara spesifik auditor) ditentukan oleh adanya hubungan antara principal dan agen. Konstruksi hubungan agensi ini adalah konflik kepentingan di antara kedua belah pihak atas kepemilikan dan pengelolaan harta perusahaan. Akuntan berada di tengahnya untuk “meredam” terjadinya konflik di antara keduanya. Hubungan agensi dalam konteks masyarakat Amerika Serikat terfasilitasi dalam aktifitas di pasar modal. Dengan suasana ini akuntansi berkembang, dan dalam suasana ini pula profesi akuntansi di Amerika Serikat tumbuh menjadi besar. Sementara jika kita mencermati lebih mendalam yang terjadi di Indonesia, pasar modal bukanlah instrumen terpenting yang mendorong keberlangsungan perekonomian negara atau masyarakat. Demikian halnya pasar modal bukanlah satu-satunya media yang penting bagi profesi akuntansi untuk memainkan perannya sebagai seorang profesional. Yang banyak bermain pasar modal adalah segelintir kalangan akuntan, terutama hanya mereka yang tergabung dalam KAP yang terkategori besar (khusunya the big four). Hukum keras kapitalisme adalah persaingan. Demi persaingan, produktivitas produksi harus ditingkatkan terus menerus. Artinya, biaya produksi perlu ditekan serendah mungkin sehingga hasilnya dapat dijual semurah mungkin dan dengan demikian menang terhadap hasil produksi saingan. Dengan demikian lama kelamaan semua bentuk usaha yang diarahkan secara tidak mumi ke keuntungan akan kalah dan lama kelamaan semua bidang produksi maupun pelayanan dijalankan secara kapitalistik. Apa yang semula dijalankan secara iseng-iseng dan sampingan, misalnya membuka biro perjalanan, akan dijalankan dengan semakin efisien dan hal itu hanya mungkin dilakukan oleh usaha besar. Maka usaha kecil akan dimakan oleh yang besar (Suseno, 2003: 165).



7



BAB III KESIMPULAN



Dengan demikian dualitas struktur tidak hanya terjadi antara individu dan struktur organisasionalnya, tetapi juga antara individu dan struktur organisasionalnya di satu sisi dengan lingkungan sosial yang melingkupinya di sisi lainnya. Realitas sosial yang melingkupi senyatanya tidak dapat diabaikan dalam memahami kehidupan manusia dan organisasi. Kesalinghubungan struktural merupakan konsekuensi dari interaksi yang berlangsung secara integratif di antara individu, organisasi, dan struktur makro sosial. Dalam situasi di mana lingkungan sosial yang besar sedang mengidap penyakit moral yang komplikatif, maka struktur sosial yang lebih kecil pun terpaksa harus turut menderita. Analogi seperti ini berlangsung dalam praktik profesional akuntan. Ketika etika sosial mengalami distorsi yang luar biasa pada tataran makro sosial, maka etika profesi yang berada pada tataran meso pun menjadi tidak cukup berwibawa mengatur anggota organisasi. Demikian pula kemudian yang terjadi pada tataran mikro (individu). Di sinilah peringatan futuristik dari Ronggowarsito atas berlangsungnya situasi zaman edan sangat relevan untuk diperhatikan. Profesi di bidang akuntansi, dengan cara pandang bisnis dan ekonomi yang melingkupinya, telah menempatkan profesionalismenya pada kepentingan propaganda kapitalisme.



Dalam



banyak



area



aktifitasnya,



profesional



akuntan



akan



lebih



mementingkan hasrat penncapaian keuangan maksimal dari pada pencapaian kehidupan manusiawinya. Konstruksi budaya yang mementingkan pencapaian kekayaan materi inilah yang menjiwai praktik kehidupan sehari-hari sebagian besar akuntan. Di tengah situasi seperti ini Madia mempunyai pandangan dan praksis yang berbeda dalam kerangka profesionalisme yang dicoba untuk dikembangkannya, baik dalam konteks organisasi maupun konteks sosial dalam arti luas disinilan benturan kemudian dapat terjadi oleh karena paradigma etika profesi yang dipakainya pun telah dilandasi oleh kerangka kapitalisme ini.



DAFTAR PUSTAKA



8



Ludigdo, U.2007. Paradoks Etika Akuntan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta



9