Bab I, II, III, IV & DP [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Trauma pada tulang belakang adalah cedera mengenai servikalis, vertebralis, dan lumbalis akibat dari suatu trauma (meliputi: kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olahraga, kecelakaan industri, atau kecelakaan lain seperti jatuh dari pohon atau bangunan, luka tusuk, luka tembak, dan kejatuhan benda keras) yang mengenai tulang belakang. Trauma pada tulang belakang dapat mengenai jaringan lunak pada tulang belakang, yaitu ligamen dan diskus, tulang belakang sendiri, dan sumsum tulang belakang/medula spinalis (Muttaqin, 2008). Medula spinalis merupakan bagian lanjutan dari medulla oblongata yang menjulur ke arah kaudal melalui foramen magnum, selanjutnya berakhir diantara vertebra lumbal pertama dan kedua. Fungsi medulla spinalis yaitu mengadakan komunikasi antara otak dan semua bagian tubuh serta bergerak refleks. Cedera medulla spinalis dapat diartikan sebagai suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan oleh benturan pada daerah medulla spinalis. Berdasarkan ada atau tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah lesi, cedera medulla spinalis dapat dibagi menjadi komplet dan inkomlplet. Pembagian ini penting untuk menentukan prognosis dan penanganan selanjutnya (Brunner dan Suddarth, 2002). Cedera medula spinalis paling umum terjadi pada usia usia 16 sampai 30 tahun, sehingga termasuk salah satu penyebab gangguan fungsi saraf yang sering menimbulkan kecacatan permanent pada usia produktif. Quadriplegia sedikit lebih umum daripada paraplegia. Di antara kelompok usia ini, kejadian lebih sering pada laki-laki (82%) dari pada



wanita



(18%).



Penyebab



paling



umum



adalah



kecelakaan



kendaraan



bermotor (39%), jatuh (22%), tindakan kekerasan (25%), dan olahraga 7% (Morton, 2005). Pusat Data Nasional Cedera Medula Spinalis (The National Spinal Cord Injury Data Research Centre) memperkirakan terdapat 10.000 kasus baru CMS setiap tahunnya di Amerika Serikat. Insidensi paralisis komplet akibat kecelakaan diperkirakan 20 per 100.000 penduduk(Pinzon, 2007).



1



Oleh karena cedera tulang belakang (cedera medula spinalis) merupakan salah satu penyebab gangguan fungsi saraf yang sering terjadi, maka sebagai seorang perawat hendaknya mengetahui dan mampu mengaplikasikan asuhan keperawatan pada klien dengan cedera tulang belakang (cedera medula spinalis). B. Rumusan Masalah a. Apa definisi cedera tulang belakang (cedera medula spinalis)? b. Bagaimana etiologi cedera tulang belakang (cedera medula spinalis)? c. Apa manifestasi klinis cedera tulang belakang (cedera medula spinalis)? d. Apa evaluasi diagnostik cedera tulang belakang (cedera medula spinalis)? e. Bagaimana patofisiologi atau WOC cedera tulang belakang (cedera medula spinalis)? f. Bagaimana penatalaksanaan medis dan keperawatan pada cedera tulang belakang (cedera medula spinalis)? g. Bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan cedera tulang belakang (cedera medula spinalis)? h. Bagaimana penatalaksanaan farmakologi dan non farmakologi cedera tulang belakang (cedera medula spinalis)? i. Apa pendidikan kesehatan (penkes) yang perlu diberikan pada klien dengan cedera tulang belakang (cedera medula spinalis)? C. Tujuan Makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas individu mata kuliah KK IX. Meningkatkatkan pengetahuan penulis serta pembaca dalam asuhan keperawatan terutama pada klien dengan cedera medula spinalis sehingga mampu memahami dan mengaplikasikannya dalam praktik profesional keperawatan secara holistik.



2



BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Anatomi dan Fisiologi Tulang belakang bekerja sebagai penunjang utama bagi sumsum tulang belakang dan jalur saraf yang membawa informasi dari lengan, kaki, dan seluruh tubuh, dan membawa sinyal dari otak ke tubuh. Punggung tersusun dari 33 tulang yang disebut vertebra, 31 pasang saraf, 40 otot dan banyak tendon dan ligament yang menghubungkan mulai dari dasar tengkorak hingga sepanjang tulang ekor. Diantara tulang belakang terdapat serat, tulang rawan elastis yang disebut cakram, yang berfungsi untuk mempertahankan agar tulang punggung fleksibel dan sebagai bantalan tulang belakang keras saat bergerak.



(Sumber: http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/images/ency/fullsize/9561.jpg) Columna Vertebralis dikelompokkan sebagai berikut : a. Cervical spine (Vertebra servikal) Ada tujuh tulang servikal. Tulang servikal dirancang untuk memungkinkan fleksi, ekstensi, membungkuk, dan memutar kepala. Tulang ini lebih kecil dari tulang belakang lainnya, yang memungkinkan sejumlah besar gerakan. Setiap vertebra servikalis terdiri dari dua bagian, tubuh dan lengkungan pelindung bagi sumsum tulang belakang disebut lengkungan saraf.



3



b. Thoracic Spine (Vertebra torakal) Di daerah dada, tulang belakang torakal menempel pada tulang rusuk. Ada 12 tulang torakal. Kanal tulang belakang di daerah torakal relatif lebih kecil dari daerah servikal atau lumbal. Hal ini membuat tulang belakang torakal memiliki risiko lebih besar jika ada patah tulang. Gerak yang terjadi pada tulang belakang torakal sebagian besar rotasi. Adanya tulang rusuk mencegah menekuk ke samping. Sejumlah kecil gerakan tulang belakang torakal yang terjadi yaitu membungkuk ke depan dan ke belakang. c. Lumbar Spine (Vertebra lumbar) Tulang belakang lumbar berukuran besar, lebar, dan tebal. Ada lima tulang belakang lumbar. Vertebra lumbar terendah (L5) berartikulasi dengan sakrum. Sakrum menempel pada panggul. Gerakan utama dari daerah lumbal yaitu membungkuk ke depan dan membentang kebelakang, serta menekuk ke samping juga terjadi. d. Os. Sacrum Sacrum terdiri dari 5 vertebra yang menyatu. Tulang sacrum disebut pula dengan tulang kelangkang. e. Os. Coccygis Tulang kecil berbentuk segitiga, disebut juga tulang ekor. Terdiri dari 4 tulang yang bergabung menjadi satu. Tulang ini berartikulasi dengan sacrum dan membentuk sebagian dinding posterior pelvis.



4



(Sumber: http://www.spinalinjury.net/assets/images/anatomy2.jpg) Sama halnya seperti tulang belakang yang dibagi menjadi daerah servikal, thoraks, dan lumbar, begitu pula sumsum tulang belakang (Medula spinalis). Setiap bagian dari sumsum tulang belakang dibagi menjadi segmen neurologis spesifik.



5



Sumsum tulang belakang servikal dibagi menjadi delapan pasang saraf. Setiap tingkat memberikan kontribusi untuk fungsi yang berbeda di leher dan lengan. Sensasi dari tubuh sama-sama diangkut dari kulit dan area lain dari tubuh dari leher, bahu, dan lengan hingga ke otak. Pada daerah torakal, terdiri dari 12 pasang saraf. Saraf dari sumsum tulang belakang menyuplai otot-otot dada yang membantu dalam bernafas dan batuk .Wilayah ini juga berisi saraf dalam sistem saraf simpatik. Sumsum tulang belakang lumbosakral dan saraf menyuplai kaki, panggul, usus dan kandung kemih. Sensasi dari kaki, tungkai, panggul, dan perut bagian bawah ditransmisi melalui saraf lumbosakral dan sumsum tulang belakang untuk segmen yang lebih tinggi dan akhirnya otak. Isyarat-isyarat sensoris dihantarkan melalui syaraf spinalis ke dalam tiap segmen medula spinalis, dan saraf ini dapat menyebabkan reaksi motorik setempat di dalam segmen tubuh dari mana informasi sensoris diterima atau didalam segmen-segmen yang berdekatan. Pada dasarnya semua reaksi motorik medula spinalis bersifat otomatis dan terjadi hampir segera sebagai reaksi terhadap isyarat sensoris. Di samping itu, mereka terjadi dalam pola reaksi khusus yang disebut refleks (Guyton, 2000). Untuk terjadinya gerakan refleks, dibutuhkan struktur sebagai berikut : 1. Organ sensorik : menerima impuls, misalnya kulit 2. Serabut saraf sensorik ; mengantarkan impuls-impuls tersebut menuju sel-sel dalam ganglion radix pasterior dan selanjutnya menuju substansi kelabu pada karnu pasterior mendula spinalis. 3. Sumsum tulang belakang, dimana serabut-serabut saraf penghubung menghantarkan impuls-impuls menuju karnu anterior medula spinalis. 4. Sel saraf motorik ; dalam karnu anterior medula spinalis yang menerima dan mengalihkan impuls tersebut melalui serabut saraf motorik. 5. Organ motorik yang melaksanakan gerakan karena dirangsang oleh impuls saraf motorik. 6. Kerusakan pada sumsum tulang belakang khususnya apabila terputus pada daerah torakal dan lumbal mengakibatkan (pada daerah torakal) paralisis beberapa otot interkostal, paralisis pada otot abdomen dan otot-otot pada kedua anggota gerak bawah, serta paralisis sfinker pada uretra dan rektum.



6



Saraf-saraf spinal a. Motorik Otot (asal inervasi) M. deltoideus dan biceps brachii (C5) M. extensor carpi radialis longus dan brevis (C6) M. flexor carpi radialis (C7) M. flexor digitorum superfisialis dan profunda (C8) M. interosseus palmaris (T1) M. illiopsoas (L2) M. quadricep femoris (L3) M. tibialis anterior (L4) M. extensor hallucis longus (L5) M. gastrocnemius-soleus (S1) b. Sensoris protopatik Asal inervasi C2-C4 C5-T1 T2-T12 L1-L5 S1-S5



Fungsi Abduksi bahu dan fleksi siku Ekstensi pergelangan tangan Fleksi pergelangan tangan Fleksi jari-jari tangan Abduksi jari-jari tangan Fleksi panggul Ekstensi lutut Dorsofleksi kaki Ekstensi ibu jari kaki Plantarfleksi kaki



Dermatom Dermatom occiput sampai bagian belakang leher Lengan sampai jari-jari Bagian dada dan axilla, beberapa titik penting : T4 papila mamae, T10 umbilicus, T12 groin Tungkai Tumit, bagian belakang tungkai, regio perinea



c. Saraf otonom Saraf-saraf yang bekerjanya tidk dapat disadari dan bekerja secara otomatis. Organ Rangsangan simpatis Rangsangan parasimpatis Jantung Denyut dipercepat Denyut diperlambat Arteri koronari Dilatasi Kontriksi Pembuluh darah perifer Vasokontriksi Vasodilatasi Tekanan darah Naik Turun Bronkus Dilatasi Kontriksi Kelenjar ludah Sekresi berkurang Sekresi bertambah Kelenjar lakrimalis Sekresi berkurang Seekresi bertambah



7



Pupil mata Sistem pencernaan makanan (SPM) Kelenjar-kelenjar SPM Kelenjar keringat



Dilatasi Peristaltik berkurang



Kontriksi Peristaltik bertambah



Sekresi berkurang Ekskresi bertambah



Sekresi bertambah Eksresi berkurang



B. Cedera tulang belakang (Cedera Medula Spinalis) a. Definisi Trauma pada tulang belakang adalah cedera mengenai servikalis, vertebralis, dan lumbalis akibat dari suatu trauma (meliputi: kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olahraga, kecelakaan industri, atau kecelakaan lain seperti jatuh dari pohon atau bangunan, luka tusuk, luka tembak, dan kejatuhan benda keras) yang mengenai tulang belakang. Trauma pada tulang belakang dapat mengenai jaringan lunak pada tulang belakang, yaitu ligamen dan diskus, tulang belakang sendiri, dan sumsum tulang belakang/spinal cord (Muttaqin, 2008). Medula spinalis (spinal cord) merupakan bagian susunan saraf pusat yang terletak di dalam kanalis vertebralis dan menjulur dari foramen magnum ke bagian atas region lumbalis. Trauma pada medula spinalis dapat bervariasi dari trauma ekstensial fiksasi ringan yang terjadi akibat benturan secara mendadak sampai yang meyebabkan tramseksi lengkap dari medula spinalis dengan quadriplegia (Batticaca, 2008). Cedera medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan oleh benturan pada daerah medulla spinalis. Cidera medulla spinalis adalah kerusakan tulang dan sumsum yang mengakibatkan gangguan sistem persyarafan didalam tubuh manusia (Brunner & Suddarth, 2002). Cedera medula spinalis bagian servikalis yang letaknya tinggi berkaitan dengan berbagi masalah. Perawatan awal trauma, termasuk imobilisasi vertebta servikalis dan penanganan jalan napas telah berperan dalam meningkatkan kemampuan bertahan hidup akibat cedera serius ini. Cedera pada vertebra servikalis pertama (C1) merupakan 3% hingga 13% dari semua fraktur vertebra servikalis. Defisit berat pada C1 biasanya berakibat fatal. Diagnosis fraktur servikalis yang letaknya tinggi sulit ditegakkan dan cedera jenis ini seringkali berkaitan dengan cedera yang terjadi bersamaan, termasuk cedera arteria



8



vertebralis. Pasien-pasien ini memiliki kontrol motorik pada kepala, sehingga bergantung pada ventilator.



Penderita cedera pada tingkat C2 atau C3 masih dapat sedikit mengendalikan lehernya penderita sedikit banyak masih bisa menegakkan kepala. Persarafan otot-otot pernapasan tambahan (otot sternokleido mastoideus dan skalenus) sebagian masih dapat dipertahankan sehingga penderita tetap akan bergantung pada ventilator tetapi kadang kadang mampu tidak memakai ventilator untuk beberapa saat. Penderita semacam ini disebut Quadriplegia respiratorius. Quadriplegia adalah kelumpuhan dapat berupa sebagian atau lengkap. Quadriplagia, juga dikenal sebagai tetraplagia. Pada pernapasan medula spinalis terutama terletak pada tingkat C4. Radiks saraf frenikus harus utuh bila penderita ingin dapat melakukan pengendalian volunter terhadap ventilasi. Kapasitas ventilasi pada penderita ini tidak akan normal karena tergantung pada beberapa faktor lain, mereka dapat mencapai hidup tanpa ventilator yang menawarkan tindakan pengendalian dan kebebasan. Penderita cedera C5 dapat mengendalikan kepala, leher, bahu, diagfagma dan kadang-kadang dapat sedikit mengendalikan siku. Pada cedera dengan setinggi C6 pengendalian pergerakan tangan masih dapat dipertahankan sebagian, pada cedera setinggi C7, penderita dapat melakukan ekstensi siku dengan sempurna, fleksi pergelangan tangan, dan dapat mengendalikan sebagian jari tangan. Penderita yang mendapat cedera setinggi C8 sampai T1 dapat mengendalikan jari tangannya dengan cukup baik, sehingga dapat hidup bebas dan melakukan berbagai aktivitas sehari-hari (Price dan Wilson, 2006). Saraf sumsum tulang



Kontrol Sinyal



belakang Saraf servikal (C1-C8)



Belakang kepala, leher dan bahu, lengan dan tangan, dan



Saraf thorakal (T1-T12) Saraf lumbar (L1-L5)



diafragma. Otot dada, beberapa otot-otot punggung, dan bagian perut. Bagian bawah perut dan punggung, pantat, beberapa bagian



Saraf sacrum (S1-S5)



organ genital eksternal, dan bagian kaki. Paha dan bagian bawah kaki, kaki, sebagian besar organ



Saraf coccygeal tunggal



genital eksternal, dan daerah sekitar anus. Membawa informasi sensori dari kulit punggung bawah.



9



b. Etiologi Penyebab terjadinya cedera tulang belakang (cedera medula spinalis) (cedera medula spinalis), antara lain: 1.



Kecelakaan di jalan raya



2.



Olahraga



3.



Menyelam pada air yang dangkal



4.



Luka tembak atau luka tekan



5. Cedera medulla spinalis dapat pula disebabkan oleh kelainan lain pada vertebra, misalnya arthropathi spinal, keganasan yang mengakibatkan fraktur patologik, infeksi, kelainan kongenital, dan gangguan vaskular. Cedera medula spinalis traumatik lebih sering terjadi di daerah servikal.



c. Klasifikasi Trauma cedera medula spinalis diklasifikasikan kedalam 5 kategori oleh The American Spinal Cord Injury Classification System (modifikasi dari klasifikasi Frankel) (Dawodu, 2008): 1. A - komplet adalah



tidak ada fungsi sensori atau



motorik.



Mempertahankan segmen sacral S4-S5. 2. B - Inkomplet adalah sensori, tidak motorik, fungsinya mempertahankan dibawah level neurologi dan meluas pada segmen sacral S4-S5. 3. C - Inkomplet adalah fungsi motorik adalah mempertahankan dibawah level neurologi, dan paling penting otot dibawah level neurology mempunyai tingkatan lebih kecil dari 3. 4. D - Inkomplet adalah fungsi motorik adalah menjaga dibawah level neurology, dan paling penting dibawah level neurology mempunyai tingkatan lebih dari atau sama dengan 3. 5. E – Normal adalah fungsi sensori dan motorik adalah normal. Sedangkan menurut American Spinal Injury Association (ASIA):



10



1) Grade A: Hilangnya seluruh fungsi motorik dan sensorik di bawah tingkat lesi. 2) Grade B: Hilangnya seluruh fungsi motorik dan sebagian fungsi sensorik di bawah tingkat lesi.



3) Grade C: Fungsi motorik intak tetapi dengan kekuatan di bawah 3. 4) Grade D: Fungsi motorik intak dengan kekuatan motorik di atas atau sama dengan 3. 5) Grade E: Fungsi motorik dan sensorik normal. Berdasarkan ada atau tidaknya fungsi lesi cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi komplet dan tidak komplet yaitu: a) Komplet (kehilangan sensasi dan fungsi motorik total) b) Inkomplet (campuran kehilangan sensori dan fungsi motorik) Terdapat 5 sindrom utama cedera medula spinalis inkomplet menurut American Spinal Cord Injury Associatio yaitu: 1. Central Cord Syndrome, kerusakan medula spinalis pada bagian sentral. a) Disebabkan hiperekstensi spinal servikal. b) Gejala khas paralisis pada lengan dan tangan, tidak dengan deficit pada kaki atau kandung kemih. c) Adanya indikasi edema 2. Anterior Cord Syndrome, kerusakan pada bagian anterior dari medula spinalis. a) Disebabkan trauma hiperfleksi. b) Mengalami paralisis motorik komplet dibawah batas luka atau trauma (bagian kortikospinal). c) Kehilangan sensasi nyeri, dan suhu dibawah batas luka (bagian spinotalamik). d) Sensasi posisi, sentuhan dan popriosepsi masih baik (kolumna posterior).



11



3. Brown Sequard Syndrome, kerusakan pada salah satu sisi dari medula spinalis. a)



Terjadi akibat trauma pada bagian anterior dan posterior pada



satu sisi b) Terdapat hemiparesis c) Ipsilateral paralisis dibawah trauma d) Ipsilateral hilangnya sentuhan, vibrasi, proprioseption dibawah trauma e) Kontralateral hilangnya sensasi nyeri dan temperatur dibawah lesi



4. Posterior Cord Syndrome, kerusakan pada bagian posterior dari medula spinalis. a) Sangat jarang terjadi dan disebabkan trauma hiperekstensi b) Gangguan traktus desenden ringan 5. Cauda equina syndrom, luka pada serabut saraf lumbosacral dikanal spinal sehingga menyebabkan disfungsi kandung kemih, bowel. Tabel 1. Komparasi Karakteristik Klinik Sindrom Cedera Medula Spinalis Karakteristik Klinik



Central Cord Syndrome



Anterior Cord Syndrome



Brown Sequard Syndrome



Posterior Cord Syndrome



Kejadian



Sering



Jarang



Jarang



Sangat jarang



Biomekanika



Hiperekstensi



Hiperfleksi



Penetrasi



Hiperekstensi



Motorik



Gangguan bervariasi dan jarang paralisis komplet



Sering paralisis komplet (gangguan tractus desenden) dan biasanya bilateral



Kelemahan anggota gerak ipsilateral lesi dan gangguan traktus desenden (+)



Gangguan bervariasi dan gangguan tractus desenden ringan



Protopatik



Gangguan bervariasi tidak khas



Sering hilang total (gangguan tractus ascenden) dan bilateral



Sering hilang total Gangguan (gangguan tractus bervariasi dan ascenden) dan biasanya ringan kontralateral



12



Propioseptik



Jarang sekali terganggu



Biasanya utuh



Perbaikan



Sering nyata dan Paling buruk cepat, serta khas diantara lainnya kelemahan tangan dan jari menetap



Hilang total Terganggu ipsilateral;ggn tractus ascenden Fungsi buruk, NA namun independensi paling baik



Tabel 2. Tabulasi perbandingan klinik lesi komplet dan inkomplet Karakteristik



Lesi Komplet



Lesi Inkomplet



Motorik



Hilang di bawah lesi



Sering (+)



Protopatik (nyeri dan suhu)



Hilang di bawah lesi



Sering (+)



Propioseptik (joint position dan Hilang di bawah lesi vibrasi)



Sering (+)



Sacral sparing



Negatif positif



Ro. vertebra



Sering fraktur, luksasi, atau listesis



MRI (Ramon, 1997) data 55 Hemoragi (54%), pasien cedera medula spinalis, 28 Kompresi (25%), komplet dan 27 inkomplet) Kontusi (11%)



Sering normal Edema (62%), Kontusi (26%), normal (15%)



(Pinzon, 2007)



13



(Sumber: http://www.asia-spinalinjury.org/publications/59544_sc_Exam_Sheet_r4.pdf) d. Manifestasi Klinik Gejala bervariasi tergantung pada lokasi cedera. Cedera tulang belakang menyebabkan kelemahan dan kehilangan sensori pada dan di bawah titik cedera. Tingkat keparahan gejala tergantung pada apakah sumsum seluruh terluka parah (lengkap) atau hanya sebagian yang terluka (tidak lengkap). a) Cedera Servikal Ketika cedera tulang belakang terjadi di daerah servikal, gejala dapat mempengaruhi lengan, kaki, dan tengah tubuh. Gejala dapat terjadi pada satu atau kedua sisi tubuh. Gejala dapat termasuk: 1. Kesulitan pernapasan (dari kelumpuhan otot-otot pernapasan, jika cedera yang tinggi di leher)



14



2. Kehilangan kontrol buang air besar normal dan kontrol kandung kemih (mungkin termasuk sembelit, inkontinensia, kejang kandung kemih) 3. Kebas (numbness) 4. Perubahan sensory 5. Nyeri 6. Spasticity (tonus otot meningkat) 7. Kelemahan (Quadriparese) / kelumpuhan (Quadriplegia) b) Cedera Torakal Ketika cedera tulang belakang terjadi pada tingkat torakal, gejala dapat terjadi pada kaki (ekstremitas bawah). Gejala lain termasuk: 1. Kehilangan kontrol buang air besar normal dan kandung kemih (mungkin termasuk sembelit, inkontinensia, kejang kandung kemih). 2. Kebas (numbness) 3. Perubahan sensory 4. Nyeri 5. Spasticity (tonus otot meningkat) 6. Kelemahan, kelumpuhan (paraplegia). 7. Adanya



masalah



tekanan



darah,



keringat



abnormal,



dan



kesulitan



mempertahankan suhu tubuh normal.



c) Cedera Lumbar Sacral Ketika cedera tulang belakang terjadi pada tingkat punggung bawah, berbagai tingkat gejala dapat mempengaruhi satu atau kedua kaki, serta otot-otot yang mengontrol usus dan kandung kemih. Gejala lain berupa: 1. Kehilangan kontrol buang air besar normal dan kandung kemih (mungkin termasuk sembelit, inkontinensia, kejang kandung kemih). 2. Kebas (numbness) 3. Perubahan sensory 4. Nyeri 5. Spasticity (tonus otot meningkat) 6. Kelemahan, kelumpuhan (paraplegia).



15



(Sumber: http://www.texastriallawyer.com/images/spine3.jpg) e. Evaluasi Diagnostik Pemeriksaan neurologis lengkap juga diperlukan. Pada setiap trauma tulang belakang harus dilakukan pemeriksaan yang teliti terhadap trauma yang mungkin menyertainya seperti trauma pada kepala, toraks, rongga perut serta panggul. Pemeriksaan diagnostik mencakup kegiatan sebagai berikut:



1.



Pemeriksaan Rontgen Foto Rontgen sering kali digunakan untuk mengidentifikasi adanya fraktur, dislokasi, dan abnormalitas tulang lainnya, terutama dalam penatalaksaan trauma akut. Prosedur pembuatan foto polos kepala dan medulla spinalis mengharuskan klien dalam posisi yang cermat dan secara relative tidak menimbulkan sakit. Peran perawat mencakup pemantauan klien dan peralatan yang digunakan selama prosedur dan selalu waspada terhadap komplikasi yang berhubungan dengan posisi klien dan lamanya prosedur.



2.



Pemeriksaan Computed Tomography (CT) scan CT scan merupakan suatu teknik diagnostik dengan menggunakan sinar. Pemeriksaan terutama untuk melihat fragmentasi, pergeseran fraktur 16



dalam kanal spinal. Juga dapat menentukan tempat luka / jejas, mengevaluasi ganggaun struktural.



(Sumber: http://www.sci-recovery.org/images/ctscan.jpg) 3.



Mielografi Myelography adalah teknik pencitraan yang melibatkan suntikan intratekal media kontras dan menunjukkan bagian dalam ruang subarachnoid lumbar atau servikal sekitar saraf tulang belakang dan akar saraf. Myelography menggunakan bentuk real-time dari sinar-X disebut fluoroskopi. Media kontras adalah larut dalam air diformulasikan khusus bahan yang mengandung yodium. CT



myelography:



CT



scan



dilakukan



setelah



myelography.



Menggabungkan CT scan dengan myelography memberikan pandangan yang lebih baik dari sumsum tulang belakang dan akar dalam ruang subarachnoid. Myelography dapat digunakan untuk mendeteksi kelainan sumsum tulang



belakang,



kanal



tulang



belakang



dan



akar



saraf



tulang



belakang. Myelography juga dapat mendiagnosis stenosis tulang belakang dan herniasi dari disk intervertebralis ke dalam kanal tulang belakang. 4.



Pemeriksaan MRI (Magnetic resonance imaging ) Terutama untuk melihat jaringan lunak, yaitu diskus intervertebralis dan ligamen flavum serta lesi dalam sumsum tulang belakang serta mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi.



17



Trauma mengenai tulang belakang



Cedera volumna vertebralis, cedera medula spinalis



Blok saraf parasimpatis



Perdarahan mikroskopik



Kerusakan jalur sipatetik desending



(Sumber: http://www.sci-recovery.org/images/incomplete.jpg) Kehilangan kontrol tonus vasomotor persarafan simpatis ke jantung



Refleks spinal Aktivasi sistem saraf simpatis



Kontriksi pembuluh darah



Risiko infark pada miokard



Penekanan jaringan setempat



Dekubitu s 10. Resiko terhadap kerusakan integritas kulit



Reaksi peradangan Terputus Kelumpuhan otot 5. Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas vita, dan volume tidal) jaringan saraf pernafasan medula spinalis Mengukur volume inspirasi maksimal khususnya pada pasien dengan Edema Reaksi Syok spinal pembengkakan trauma servikat bagian bawah atau pada trauma torakal dengan gangguan Iskemia dan anestetik hipoksemia Paralisis pada dan saraf frenikus atau otot interkostal). paraplegi Respon nyeri Penekanan hebat dan Ileus paralitik, saraf dan 7. Hambatan 6. GDA akut 1. Gangguan gangguan pembuluh mobilitas fisik pola fungsi rektum, darah Menunjukan kefektifan penukaran gas atau upaya ventilasi (Marilyn E.napas dan kandung Doengoes, 2000). kemih Kelemahan 4.Nyeri Hipoventilasi 3. Penurunan fisik umum perfusi jaringan



f. Web Of Caution (WOC) Secara Teoritis



Kemampuan batuk menurun, kurang mobilitas fisik



2.Risiko ketidakbersihan jalan napas



9. Defisit perawatan diri



Gagal napas



Kematian Disfungsi persepsi spasial dan kehilangan sensori



Asupan nutrisi tidak adekuat



5. Ketidakseimbangan nutrisi



6. Gangguan elimnasi uri dan alvi



11. Perubahan persepsi sensorik



12. Koping individu tidak efektif 13. Risiko ketidakpatuhan terhadap penatalaksanaan



Penurunan tingkat kesadaran



8. Risiko trauma (cedera)



koma



14. Gangguan psikologis 15. Perubahan proses keluarga 16. Kecemasan klien dan keluarga 17. Risiko penurunan 18 pelaksanaan ibadah spiritual



(Sumber: Muttaqin, 2008)



g. Kemungkinan Diagnosa Keperawatan No 1.



Diagnosa Keperwatan Pola napas tidak efektif berhubungan dengan resiko tinggi terhadap kerusakan persarafan dari diafragma (lesi pada atau di atas C5).



Tujuan/Kriteria hasil TJ: Mempertahankan ventilasi yang adekuat. KH:



- Tidak -



adanya distres pernapasan GDA dalam batas yang dapat diterima.



Intervensi



Rasional



1. Pertahankan jalan 1. Pasien napas: posisi kepala dalam posisi netral, tinggikan sedikit kepala tempat tidur jika dapat ditoleransi pasien. Gunakan tambahan/beri jalan napas buatan jika ada indikasi.



2. Lakukan penghisapan bila perlu. Cata jumlah, jenis, dan karakteristik



dengan trauma servikal bagian atas dan gangguan muntah/batuk akan membutuhkan bantuan untuk mencegah aspirasi/mempertahankan jalan napas.



2. Jika batuk tidak efektif, prnghisapan dibutuhkan untuk mengeuarkan sekret, meingkatkan distribusi udara, dan mengurangi resiko infeksi



19



sekresi.



pernapasan. Catatan: Penghisapan yang utin dapat meningkatkan resiko terjadinya hipoksia, bradikardi (karena repon vagal), trauma jaringan oleh karenanya kebutuhan penghisapan didasarkan pada adanya ketidak mampuan untuk mengeluarkan sekret.



3. Kaji



fungsi pernapasan dengan menginstruksikan pasien untuk melakukan napas dalam. Catat adanya/tidak ada pernapasan spontan, contoh pernapasan labored, menggunakan otot aksesori.



4.



5.



3. Trauma pada C1-C2 menyebabkan hilangnya fungsi pernapasan secara menyeluruh. Trauma C4-C5 mengakibatkan hilangnya fungsi pernapasan yang bervariasi tergantung pada terkenanyan saraf frenikus dan fungsi diafragma tetapi biasanya menurunkan kapasitas vital dan selalu melakukan upaya ekstra ntuk bernapas. Trauma dibawah C6C7 fungsi otot pernapasan tidak terganggu tetapi kelemahan oto intercostal mengganggu aktivitas batuk yang efektif, napas panjang dan kemampuan napas dalam.



4. Hipoventilasi biasanya terjadi atau menyebabkan akumulasi/atelektasis Auskultasi suara atau pneumonia (komplikasi yang napas. Catat sering terjadi). bagian-bagian paru yang bunyinya menurun atau tidak adanya suara napas adventisius (ronki, mengi, dan krekels). 5. Letak trauma menentukan fungsi Catat kemampuan otot-otot interkostal atau kemampuan (kekuatan) dan untuk batuk pontan/mengeluarkan keefektifan dari sekret. fungsi batuk.



6. “Quad coughing” dilakukan untuk 6. Bantu pasien untuk batuk (jika diperlukan) dengan meletakkan tangan dibawah diafragma dan mendorong keatas sewaktu pasien melakukan ekpirasi.



7.



Observasi kulit: sianosis,



menambah volume batuk atau untuk memfasilitasi pengenceran sekret agar sekret tersebut mengalir keatas sehingga mudah dihisap. Catatan: Prosedur ini biasanya dilakukan pada pasien yang stabil setelah fase trauma akut.



7. Menggambarkan akan terjadinya gagal napas yang memerlukan warna evaluasi dan intervensi medis dengan adanya segera. keabu-



20



abuan.



8.



8. perasaan penuh pada abdomen dapat menggambarkan kelainan pada Kaji adanya diafragma, penurunan ekspansi paru, distensi abdomen dan penurunan ekspansi paru lebih dan spasme otot. lanjut.



9. Ubah



posisi/balik secara teratur, hindari/batasi posisi telungkup jika diperlukan.



10. Anjurkan untuk (minimal ml/hari).



pasien minum 2000



9. Meningkatkan



ventilasi semua bagian paru, mobilisasi sekret, mengurangi resiko komplikasi, contoh atelektasis dan pneumonia. Catatan: Posisi telungkkup mengurangi kapasitas vital paru, dicurigai dapat menimbulkan peningkatan resiko terjadinya gagal napas.



10.



Membantu mengencerkan sekret, meningkatkan mobilisasi sekret/sebagai ekspektoran.



11. 11. Pantau/batasi pengunjung dipelukan.



jika



Kelemahan secara umum dan gangguan pernapasan membuat resiko tinggi bagi pasien mendapatkan infeksi saluran pernapasan atas.



12. Gali/pertanyakan mengenai alat-alat ventilasi mekanik . berikan jawaban yang jujur.



12.



13. Bantu pasien untuk “mengontrol” pernapasan jika diperlukan. Ajarkan dan anjurkan pasien untuk melakukan napas dalam, fokuskan perhatian pada prnapasan.



13.



14. Pantau



gerakan



Menyatakan keadaan/situasi yang ada /nyata. bantuan/fungsi pernapasan selanjutnya tidak akan diketahui sampai syok spinal tersebut sembuh dan fase rehabiliatasi akut selesai. Jika napas bantuan masih diperlukan alat-alat mekanik/alat-alat alternatif lain dapat digunakan untuk meningkatkan mobilisasi dan meningkatkan kemandirian.



Bernapas mungkin bukan hanya aktivitas volunter tetapi membutuhkan usaha secara sadar tergantung pada lokasi trauma yang berhubungan dengan otot-otot pernapasan.



14.



Stimulasi pada saraf frenikus meningkatkan usaha pernapsan,



21



diafragma jika alat pacu frenik telah dipasang.



Kolaborasi:



mengurangi ketergantungan pada ventilator mekanik.



1. Menentukan fungsi otot pernapasan. Pengkajian yang terus menerus daat dilakukan untuk memperkirakan terjadinya gagal napas (trauma akut) atau menetukn keadaan fungsi tubuh setelah fase syok spinal dan setelah proses penyapihan ventilator.



1.



Lakukan pengukuran/buat grafik terhadap; Kapasitas vital, volume tidal, dan kekuatan pernapasan.



2.



Analisa gas darah arteri dan nadi oksimetri.



2. Menyatakan keadaan ventilasi atau oksigenasi. Mengidentifikasi masalah pernapasan. Contoh: Hiperventilasi (PaO2 rendah/PaCO2 menigkatkan) atau adanya kompilkasi paru.



3. 3. Berikan



oksigen dengan cara yang tepat seperti dengan kanul oksigen, masker, intubasi dan sebagainya.



4. Rujuk/konsultasika n pada ahli terapi pernapasan dan fisik. 5. Bantu dengan fisioterapi dada (seperti perkusi dada) dan gunakan alat-alat bantu pernapasan (seperti spirometri, botol tiup, dan sebagainya). 2.



Resiko tinggi terhadap cedera spinal tambahan berhubungan dengan ketidakstabilan kolumna spinalis.



TJ: Mempertahankan kesejajaran yang tepat dari spinal tanpa cedera medula spinalis lanjut. KH:



1. Pertahankan tirah baring dan alat-alat imobilisasi seperti traksi, halo brace,kollar leher, bantal pasir dan sebagainya.



Metode yang akan dipilih tergantung dari lokasi trauma, keadaan insufisiensi pernapasan, dan banyaknya fungsi otot pernapsan yang sembuh setelah fase syok spinal.



4. Membantu dalam mengidentifikasi latihan-latihan yang tepat untuk menstimulasi dan menguatkan otootot pernapasan/tenaga.



5. Mencegah sekret tertahan dan perlu untuk memaksimalkan difusi udara dan mengurangi resiko terjadinya pneumonia.



1. Menjaga kestabilan dari kolumna vertebra dan membantu proses penyembuhan.



22



2. Periksa



alat



traksi skeletal untuk meyakinkan bahwa kerangkanya aman, katrolnya lurus, pemberat tergantung bebas.



2. Sangat diperlukan untuk pemeliharaan traksi untuk reduksi dan stabilitas dari kolumna vertebra dan mencegah trauma saraf spinal.



3. Pemberat 3. Periksa



pemberat untuk menark traksi (iasanya 10-20 pon).



4. Tinggikan bagian atas dari kerangka traksi atau tempat tidur jika diperlukan.



tergantung pada berat pasien dan besarnya reduksi yang diperlukan untuk mempertahankan posisi kolumna vertebralis. 4. Membuat keseimbangan untuk mempertahankan posisi pasien dan tarikan traksi.



5. Mempertahankan 5. Ganti posisi, gunakan alat bantu untuk miring dan menahan, seperti alat pemutar, selimut tergulung, bantal dan sebagainya. Minta bantuan perawat lain sewaktu memiringkan pasien. Ikuti instruksi khusus untuk peraatan traksi halo.



Kolaborasi: 1. Pertahankan traksi skeletal dengan tang/jepitan, jangka lengkung, atau halo jika diperlukan.



2. Siapkan pasien untuk tindakan operasi, seperti laminektomi spinal atau fusi spinal jika diperlukan. 3.



Gangguan atau



TJ:



1. Kaji



secara



teratur



posisi kolumna spninalis yang tepat sehingga dapat mengurangi resiko terjadinya trauma. Catatan: menyentuh brace/traksi halo sewaktu memiringkan atau mengubah posisi pasien dapat mengakibatkan trauma.



1. Mengurangi fraktur/dislokasi vertebra.



2. Operasi mungkin diperlukan pada kompresi spinal atau adanyapemindahan fragmenfragmen tulang yang fraktur.



1. Mengevaluasi



keadaan



secara



23



kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskular.



Mempertahankan posisi fungsi tubuh. KH: Tidak adanya kontraktur. - Footdrop. - Meningkatkan kekuatan bagian tubuh yang sakit/kompensasi. - Mendemonstrasik an teknik /perilakuyang memungkinkan - Melakukan kembali aktivitas.



fungsi motorik (jika timbul suatu keadaaan syok/edema yang berubah) dengan menginstruksikan pasien untuk melakukan gerakan seperti mengangkat bahu, meregangkan jari-jari, menggenggam tangan pemeriksa atau melepas genggaman pemeriksa.



2. Berikan suatu alat agar pasien mampu untuk meminta pertolongan, seperti bel atau lampu pemanggil.



khusus (gangguan sensori motorik dapat bermacam-macam dan tidak jelas). Pada beberapa lokasi trauma mempengaruhi tipe dan pemilihan intervensi.



2. Membuat pasien memiliki rasa aman, dapat mengatur diri dan mengurangi ketakutan karena ditinggal sendiri. Catatan: pasien quadriplegia dengan memakai ventilator memerlukan observasi ynag teratur dalam perawatan diri.



3. Bantu/lakukan latihan sirkulasi, room pada semua 3. Meningkatkan mempertahankan tonus otot dan ekstermitas dan lembut. moblisasi sendi dan mencegah Lakukan hiperekstensi kontraktur dan atrofi otot. pada paha secara teratu (periodik).



4. Letakkan tangan dalam 4. Mencegah kotraktur pada daerah bahu. posisi (melipat) ke dalam menuju pusaran 90 derajat dengan teratur.



5. Pertahankan sendi pada 90 derajat terhadap papan kaki, sepatu dengan hak yang tinggi dan sebagainya, gunakan rol trokhanter di bawah bokong selama brbaring di tempat tidur.



5. Mencegah footdrop dan rotasi eksternal pada paha.



6. Tinggikan ekstermitas bawah beberapa saat sewaktu duduk atau 6. Hilangnya tonus pembuluh darah dan gerakan otot mengakibatkan angkat kaki/bagian bendungan darah dan vena akan bawah tempat tidur jika menjadi stastis dibgian bawah diinginkan pada abdomen, ekstermitas bawah, keadaan tertentu. Kaji



24



adanya edema pada kaki/pegelangan tangan.



meningkatnya resiko terjadinya hipotensi dan pembentukan trombus.



7. Buat rencana aktivitas untuk pasien sehingga pasien dapat beristirahat 7. Mecegah kelelahan, memberikan kesempatan untuk berperan tanpa terganggu. serta/melakukan uapaya yang Anjurkan pasien untuk maksimal. erperan serta dalam aktivitas sesuai dengan kemampuan pasien/sesua dengan toleransi. 8. Ukur/pantau tekanan darah sebelum dan sesudah meakukan aktivitas dalam fase akut atau sampai keadaan pasien stabil ganti posisi dengan perlahan. Gunakan “tempat tidur kardiak” atau meja atau tempat tidur sirkoelektrik (dapat berputar). Jika ingin meningkatkan pola aktivitas.



9. Gantilah posisi secara periodik walaupun dalam fase akut atau sampai keadaan duduk. Ajarkan pasien untuk menggunakan teknik “memindahkan berat badan”.



8. Hipotensi ortostatik dpat terjadi sebagai akibat dari bendungan vena (sekunder akibat hilangnya tonus otot vaskuler). Memiringkan/meninggikan kepala dapat menyebabkan hipotensi dan bahkan pingsan.



9. Mengurangi tekanan pada salah satu area dan meningkatkan sirkulasi perifer.



10.



Persiapkan pasien pada saat akan 10. Latihan berat badan sendiri dapat mengurangi terjadinya osteoporosis melakukan aktivitas pada tulang panjang dan membebani tubuh, mengurangi terjadinya infeksi misalnya gunakan “meja saluran kemih dan batu ginjal. pengangkat” untuk posisi tegak lurus, latihan untuk menguatkan/mengkondi sikan bagian bagian tubuh yang normal.



11. Anjurkan pasien untuk menggunakan teknik relaksasi.



11. Mengurangi



ketegangan otot/kelelahan dapat membantu mngurangi nyeri, spasme otot,



25



spastisitas/kejang. 12. Inspeksi kulit setiap hari. Obserpasi adanya daerah yang tertekan dan lakukan perawatan kulit dengan benar.



12. Gangguan



sirkulasi, hilangnya sensasi atau kelumpuhan merupakan resiko tinggi terjadinya luka karena tekanan.



13.



Ajarkan pasien 13. Pertimbangan untuk seumur hidup. untuk menginspeksi keadaan kulitnya dan gunakan cermin untuk melihat bagian yang sulit dilihat.



14.



Bantu/anjurkan untuk melakukan 14. Imobilisasi/tirah baring meingkatan resiko terjadinya infeksi paru. “bersihan paru” misalnya; napas dalam, batuk efektif, dan penghisapan.



15. Kaji rasa nyeri, kemerahan, bengkak, dan ketegangan otot jari.



16. Amati adanya dispnea tiba-tiba,sianosis dan tanda-tanda lain dari distres pernapasan.



15. Banyak



sekali pasien dengan trauma saraf srevikal mengalami pembentukan trombus karena gangguan sirkulasi perifer, imobilisasi dan kelumpuhan flaksid.



16. Perkembangan emboli paru terjai perlahan karena persepsi nyeri terganggu dan trombus vena bagiam dalam tidak diketahui.



Kolaborasi: 1. Tempatkan pasien pada tempat tidur kinetik jika diperlukan.



2. Gunakan



kaos kaki/stoking antiembolik, alat SCD (sequential compression device) pada kaki.



1. Imobilisasi yang efektif dari kolumna spinal dapat menstabilkan kolumna spinal dan meningkatkan sirkulasi sitemik, yang dapat mengurangi komplikasi karena imobilisasi. 2. Membatasi bendungan darah pada ekstermitas bawah atau abdomen, selanjutnya meningkatkan tonus vasomotor dan mengurangi pembentukan trombus dan emboli paru.



26



3. Konsultasi dengan ahli terapi fisik/terapi kerja dari tim rehabilitasi.



4. Berikan relaksan otot sesuai kebutuhan dan diazepam (valium), baklopen (lioresal), serta kantrolen (dantrium).



4.



Nyeri (akut) berhubungan dengan cedera psikis



TJ: Rasa nyeri dan ketidaknyamanan menurun. KH:



3. Membantu dalam merencanakan dan melaksanakan latihan secara individual dan mengidentifikasi/mengembangkan alat-alat bantu untuk mempertahankan fungsi, mobilisasi dan kemandirian pasien. 4. Berguna untuk mengatasi dan mengurangi nyeri yang berhubungan dengan spastisitas (kejang).



1. Kaji terhadap adanya



1. Pasien biasanya meloporkan nyeri



rasa nyeri. Bantu pasien mengidentifikasi dan menghitung nyeri, misalnya; lokasi, tipe nyeri, dan intensitas nyeri pada skala 0-10.



diatas tingkat cedera. Misalnya dada/punggung atau kemungkinan sakit kepala dari alat stabiliser. Setelah fase syok spinal, pasien melaporkan spasme otot dan nyeri fantom di bawah tingkat cedera.



2. Evaluasi



2. Petunjuk nonverbal nyeri/ketidaknyamanan memerlukan intervensi.



3. Bantu pasien dalam mengidentifikasi faktor pencetus.



3. Nyeri terbakar dan spasme otot dicetuskan/diperberat oleh banyak faktor, misalnya; ansietas, tegangan suhu eksternal eksterm, duduk lama, dan distensi kandung kemih.



peningkatan iritabiltas, tegangan otot, gelisah, dan perubahan tanda vital yang tidak dapat dijelaskan.



4. Berikan tindakan kenyamanan, misalnya; perubahan posisi, masase, kompres hangat/dingin, sesuai indikasi.



dari



4. Tindakan alternatif mengontrol nyeri digunakan untuk keuntungan emosional, selain menurunkan kebutuhan obat nyeri/efek tidak diinginkan pada fungsi pernapasan.



5. Dorong



penggunaan tekhnik relaksasi, misalnya: pedoman imajinasi, visualisasi, dan latihan napas dalam. Berikan aktivitasi hiburan, misalnya: televisi, radio, telepon, dan kunjungan tidak terbatas.



5. Memfouskan kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol, dan dapat meningkatkan kemampuan koping.



27



Kolaborasi: 1. Berikan obat sesuai indikasi: relaksan otot, misalnya; dantren (dantrium), analgesik dan antiansietas, misalnya; diazepam (valium).



5.



Perubahan pola eliminasi K.H: urinarius b.d a.Mengungkapkan gangguan dalam pemahaman persarafan tentang kondisi. kandung kemih, atoni kandung b.Mempertahanka kemih. n keseimbangan masukan/haluar an dengan urin jernih, bebas bau . c.Mengungkapkan/ mendemonstras ikan perilaku dan teknik untuk mencegah retensi/infeksi urinarius.



1. Dibutuhkan untuk menghilangkan spasme/nyeri otot atau untuk menghilangkan ansietas dan meningkatkan istirahat.



1. Kaji pola berkemih, 1. Mengidentifikasi fungsi seperti frekuensi dan kandung kemih (mis. jumlahnya. Pengosongan kandung kemih, Bandingkan haluaran fungsi ginjal dan keseimbangan urin dan masukan cairan). cairan dan catat berat jenis urin. 2. Palpasi adanya 2. Disfungsi kandung kemih distensi kandung bervariasi, ketidakmampuan kemih dan observasi berhubungan dengan hilangnya pengeluaran urin. kontraksi kandung kemih untuk merilekskan sfingter urinarius (retensi/refluks). 3. Anjurkan pasien 3. Membantu untuk mempertahankan fungsi ginjal, minum/masukan mencegah infeksi dan cairan (2-4 l/hari) pembentukan batu. Catatan: termasuk juice yang cairan dibatasi hanya untuk mengandung asam beberapa saat selama fase awal arkorbat (contoh: kateterisasi intermitten. krenberi). 4. Observasi adanya urin seperti awan atau 4. Tanda-tanda infeksi saluran berdarah, bau yang perkemihan atau ginjal dapat tidak enak. menyebabkan sepsis. 5. Bersihkan daerah perineum dan jaga 5. Menurunkan risiko agar tetap kering, terjadinya iritasi kulit/ kerusakan lakukan perawatan kulit atau infeksi keatas menuju kateter bila perlu. ginjal. Kolaborasi: 6. Jangan biarkan kandung kemih penuh. Jika awalnya 6. Kateter Volley digunakan memakai kateter selama fase akut untuk mulai melakukan mencegah retensi urin dan



28



program katerisasi secara intermitten jika diperlukan.



memantau haluaran. Kateter intermitten digunakan untuk mengurangi komplikasi yang biasanya berhubungan dengan penggunaan kateter yang lama, kateter suprapubik dapat digunakan dalam jangka waktu lama.



7. Pantau BUN, kreatinin, SDP. 7.



Menggambarkan fungsi ginjal, dan mengidentifikasikan komplikasi.



8. Berikan pengobatan sesuai indikasi, seperti vitamin dan 8. Mempertahankan atau antiseptik lingkungan asam dan urinarius, contohnya menghambat pertumbuhan methenamin bakteri (kuman). mandelete (Mandelamine) 6.



Disrefleksia, resiko tinggi terhadap perubahan fungsi saraf (cedera medulla spinalis pada T6 dan diatasnya)



KH: a. Mengenal tandatanda/gejala-gejala sindrom. b.Mengidentifikasi kan tindakan pencegahan/ korektif c. Tidak mengalami episode disrefleksia.



1. Identifikasi/monitor faktor-faktor resiko/faktor pencetus, seperti distensi kandung kemih/usus, spasme otot kandung kemih, batu kandung kemih, infeksi kandung kemih, daerah kulit/ jaringan yang tertekan, posisi duduk yang lama, suhu ekstrem.



1. Distensi viseral biasanya disebabkan oleh disrefleksia autonom yang dianggap suatu masalah gawat. Pengobatan pada fase akut harus dilakukan segera (untuk mengurangi stimulasi, mengobati gejalagejala yang tidak pernah hilang) kemudian intervensi dan tindakan harus diarahkan pada upaya pencegahan.



2. Observasi adanya tanda-tanda/gejalagejala sindrom, seperti perubahan tanda-tanda vital, hipertensi paroksismal, takikardia atau bradikardia, respons autonom, berkeringat, rasa terbakar dibawah daerah trauma, menggigil, hidung tersumbat, sakit kepala yang menyebar. Catat halhal yang berhubungan dengan



2. Deteksi dini dan intervensi segera sangat penting untuk mencegah masalah yang mungkin muncul atau komplikasi yang serius.



29



keluhan/tanda atau gejala yang berhubungan dengan sakit dada, pandangan kabur, mual, rasa metalik, sindrom Horner. 3. Dampingi terus pasien selama fase seperti ini.



3. Masa seperti ini sangat potensial untuk terjadinya komplikasi yang fatal. Pemantauan/intervensi yang terus menerus dapat mengurangi kecemasan pasien.



4. Pantau tekanan darah sesering mungkin (35menit) selama fase disrefleksia autonomik akut dan kurangi stimulasi. Lanjutkan untuk melakukan pemantauan tekanan darah setelah gejalagejala tersebut reda.



4. Terapi/pengurangan terhadap stimulus yang berlebihan dapat menurunkan tekanan darah dengan cepat mengakibatkan krisis hipotensi, terutama pada pasien yang tekanan darahnya rendah. Disrefleksia autonom dapat terjadi terutam jika stimulus tidak hilang.



5. Tinggikan bagian kepala tempat tidur sampai 45 derajat atau sampai posisi duduk.



Kolaborasi: 6. Berikan pengobatan sesuai indikasi dan pantau respons: - Penyakit ganglion, contohnya: trimtafan kamsilat (Arfonad) - Atropin sulfat



- Diazoksid (Hyperstat); hidralazin (Apresoline)



5.



Tekanan darah yang rendah dapat mencegah perdarahan intrakranial, kejang, atau bahkan meninggal. Catatan: Menempatkan pasien quadriplegia pada posisi duduk secara otomatis dapat menurunkan tekanan darah.



- Menghambat transmisi saraf autonom yang berlebihan. - Meningkatkan jantung jika bradikardi.



frekuensi terjadi



- Menurunkan TD yang berlebihan/mempertahankan terjadinya hipertensi.



30



- Nifedipin (Procardia)



- Penyekat adrenergik seperti metisergid maleat (Sansert). - Antihipertensi, contoh: prazosin (Minipress), fenoksibenzamin (Dibenzyline)



7.



Resiko gangguan integritas kulit b.d ketidakadekuatan sirkulasi perifer immobilisasi



Tujuan : Mempertahankan Intergritas kulit Kriteria Hasil : Keadaan kulit pasien utuh, bebas dari kemerahan, bebas dari infeksi pada lokasi yang tertekan.



- Pemberian sublingual mungkin efektif jika tidak ada Hyperstat yang dimasukkan lewat IV. - Dapat digunakan sebagai profilaksis jika terjadi masalah yang berlanjut. - Penggunaan jangka waktu yang lama dapat merilekskan leher kandung kemih/ meningkatkan pengosongan kandung kemih, menghilangkan penyebab yang paling umum disrefleksia autonomik kronik.



a. Kaji faktor resiko terjadinya gangguan integritas kulit



a. Salah satunya yaitu immobilisasi, hilangnya sensasi, Inkontinensia bladder /bowel.



b. Kaji keadaan pasien setiap 8 jam.



b. Mencegah lebih dini terjadinya dekubitus.



c. Gunakan tempat tidur khusus (dengan busa) d. Ganti posisi setiap 2 jam dengan sikap anatomis e. Pertahankan kebersihan dan kekeringan tempat tidur dan tubuh pasien. f. Lakukan pemijatan khusus / lembut diatas daerah tulang yang menonjol setiap 2 jam dengan gerakan memutar. g. Kaji status nutrisi pasien dan berikan



c. Mengurangi tekanan 1 tekanan sehingga mengurangi resiko dekubitas. d. Daerah yang tertekan akan menimbulkan hipoksia, perubahan posisi meningkatkan sirkulasi darah. e. Lingkungan yang lembab dan kotor mempermudah terjadinya kerusakan Kulit f. Meningkatkan sirkulasi darah



g. Mempertahankan integritas kulit dan proses penyembuhan h. Mempercepat proses penyembuhan



31



makanan dengan tinggi protein. h. Lakukan perawatan kulit pada daerah yang lecet / rusak setiap hari.



h. Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan (Batticaca, 2008) : 1.



Cidera pada cervikal



- Immobilisasi sederhana - Traksi skeletal - Pembedahan untuk spinaldekompresi 2.



Cidera pada thoracal dan lumbal



- Immobilisasi pada lokasi fraktur - Hiperekstensi dan branching - Bed-rest 3.



Obat: adrenal corticosteroid untuk mencegah dan mengurangi edema



medulla spinalis. a) Terapi dilakukan untuk mempertahankan fungsi neurologis yang masih ada, memaksimalkan pemulihan neurologist, tindakan atas cedera lain yang menyertai, mencegah, serta mengobati komplikasi dan kerusakan neural lebih lanjut. Reabduksi atas subluksasi (dislokasi sebagian pada sendi disalah satu tulang) untuk mendekompresi koral spiral dan tindakan imobilisasi tulang belakang untuk melindungi koral spiral. b) operasi lebih awal sebagai indikasi dekompresi neural, fiksasi internal, atau debridemen luka terbuka.



c) fiksasi internal elektif dilakukan pada klien dengan ketidakstabilan tulang belakang, cedera ligamen tanpa fraktur, deformitas tulang belakang progesif, cedera yang tak dapat direabduksi, dan fraktur non-union. 4.



Terapi steroid, nomidipin, atau dopamin untuk perbaiki alirn darah koral spiral. Dosis tertinggi etil prednisolon atau bolus adalah 30 mg/kgBB diikuti 32



5,4 mg/kgBB/jam untuk 23 jam berikutnya. Bila diberikan dalam 8 jam pertama cedera akan memperbaiki pemulihan neurologis. Gangliosida mungkin juga akan memperbaiki pemulihan setelah cedera koral spiral. 5.



Penilaian keadaan neurologis setiap jam, termasuk pengamatan fungsi sensorik, motorik, dan penting untuk melacak defisit yang progesif atau asenden.



6.



Mempertahankan fungsi jaringan yang adekuat, fungsi ventilasi, dan melacak keadaan dekompensasi.



7.



Pengelolaan cedera stabil tanpa defisit neurologis seperti angulasi atau baji dari badan ruas tulang belakang, fraktur proses transversus, spinosus, dan lainnya. Tindakannya simptomatis (istirahat baring hingga nyeri berkurang), imobilisasi dengan fisioterapi untuk pemulihan kekuatan otot secara bertahap.



8. Cedera tak stabil disertai defisit neurologis. Bila terjadi pergeseran, fraktur memerlukan reabduksi dan posisi yang sudah baik harus dipertahankan. a.



Metode reabduksi antara lain: 1) Traksi memakai sepit (tang) metal yang dipasang pada tengkorak. Beban 20 kg tergantung dari tingkat ruas tulang belakang, mulai sekitar 2,5 kg pada fraktur C1.



2)



Manipulasi dengan anestesi umum.



3)



Reabduksi terbuka melalui operasi.



b.



Metode imobilisasi antara lain: 1) Ranjang khusus, rangka, atau selubung plester. 2) Traksi tengkorak perlu beban sedang untuk mempertahankan cedera yang sudah direabduksi. 3) Plester paris dan splin eksternal lain. 4) Operasi



33



9.



Cedera stabil disertai defisit neurologis. Bila terjadi fraktur stabil, kerusakan neurologis disebabkan oleh: a. Pergeseran yang cukup besar yang terjadi saat cedera menyebabkan trauma langsung terhadap koral spiral atau kerusakan vascular. b. Tulang belakang yang sebetulnya sudah rusak akibat penyakit sebelumnya seperti spondiliosis servikal. c. Fragmen tulang atau diskus terdorong ke kanal spinal. Pengelolaan kelompok ini tergantung derajat kerusakan neurologia yang tampak pada saat pertama kali diperiksa:



1) Transeksi neurologis lengkap terbaik dirawat konservatif. 2) Cedera didaerah servikal, leher dimobilisasi dengan kolar atau sepit (kapiler) dan diberi metil prednisolon. 3) Pemeriksaan penunjang MRI. 4) Cedera neurologis tak lengkap konservatif. 5) Bila terdapat atau didasari kerusakan adanya spondiliosis servikal, traksi tengkorak, dan metil pednisolon. 6) Bedah bila spondiliosis sudah ada sebelumnya. 7) Bila tidak ada perbaikan atau ada perbaikan tetapi keadaan memburuk maka lakukan mielografi. 8) Cedera tulang tak stabil. 9) Bila lesi total, dilakukan reabduksi yang diikuti imobilisasi. Melindungi dengan imobilisasi seperti penambahan perawatan paraplegia. 10) Bila defisit neurologis tak lengkap, dilakukan reabduksi, diikuti imobilisasi untuk sesuai jenis cederanya.



34



11) Bila diperlukan operasi dekompresi kanal spinal dilakukan pada saat yang sama. 12)



Cedera yang menyertai dan komplikasi: a) Cedera mayor berupa cedera kepala aatau otak, toraks, berhubungan dengan ominal, dan vaakular. b) Cedera berat yang dapat menyebabkan kematian, aspirasi, dan syok.



Pengelolaan cedera 1. Pengelolaan hemodinamika a) Bila terjadi hipotensi, cari sumber perdarahan dan atasi syok neurogenik akibat hilangnya aliran adrenergik dari sistem saraf simpatis pada jantung dan vaskuler perifer setelah cedera di atas tingkat T6. Terjadi hipotensi, bradikardia, dan hipotermi. Syok neurogenik lebih mengganggu distribusi volume intravaskular daripada menyebabkan hipovalensi sejati sehingga perlu pertimbangan pemberian terapi atropin, dopamin, atau fenilefrin jika penggantian volume intravaskular tidak bereaksi. b)



Pada fase akut setelah cedera, dipasang beberapa jalur intravena perifer (No.16) dan pengamatan tekanan darah melalui jalur arteri dipasang, dan resusitasi cairan dimulai



c) Bila hipotensi tak bereaksi atas cairan dan pemberian transfusi, lakukan kateterisasi pada arteri pulmonal untuk mengarahkan ke perbedaan mekanisme hipovolemik, kardiogenik, atau neurogenik. 2. Pengelolaan sistem pernapasan a) Ganti posisi tubuh berulang b) Perangsangan batuk c) Pernapasan dalam



35



d) Spirometri intensif e) Pernapasan bertekanan (+) yang berkesinambungan dengan masker adalah cara mempertahankan ekspansi paru atau kapasitas residual fungsional f) Klien yang mengalami gangguan fungsi ventilasi dilakukan trakeostomi 3. Pengelolaan nutrisional dan sistem percernaan a) Lakukan pemeriksaan CT-scan berhubungan dengan omen atau lavasi peritoneal bila diduga ada perdarahan atau cedera berhubungan dengan ominal b) Bila ada ileus lakukan pengisapan (suction) nasogastrik, penggantian elektrolit dan pengamatan status cairan c) Terapi nutisional awal harus dimetabolisme (50-100% diatas normal) d) Bila ada hiperalimentasi internal elemental. Pasang Duoclenol yang fleksibel melalui atau dengan bantuan fluoroskopi (ileus) e) Pencegahan ulkus dengan antagonis hz (simetidin, ranitidin) atau antasid f) Bila mendapat gastric feeding, pasang duodenal feeding (NGT) g) Bila difonoksilat hidroklorida dengan atropin sulfat bila mendapat NGT untuk mencegah diare h) Jika terjadi kehilangan fungsi sfingter anal beri Dulcolax. 4. Pengelolaan gangguan koagulasi a) Untuk mencegah terjadinya trombosis vena dan emboli paru beri heparin dosis minimal (500 untuk subkutan, 2-3 x sehari) b) Ranjang yang berosilasi c) Ekspansi volume d) Stoking elastis setinggi paha e) Stoking prenmatis anti emboli



36



f) Antiplatelet serta antikoagulasi untuk pencegahan 5. Pengelolaan genitourinaria a) Pasang kateter Dower (dower catheter- DC) b) Amati urine output (UO) 6. Pengelolaan ulkus dekubitus a) Untuk cegah tekanan langsung pada kulit, kurang berfungsi jaringan,dan berkurangnya mobilitas, gunakan busa atau kulit kambing penyangga tonjolan tulang b) Putar atau ganti posisi tubuh berulang c) Perawatan kulit yang baik d) Gunakan ranjang berosilasi 7. Pengelolaan klien paraplegia a) Respirasi dengan pemasangan endotrakea, kemudian trakeostomi serta perbaikan keadaan neurologi dengan menutup trakeostomi b) Perawatan kulit dengan mengubah posisi tidur klien setiap 2 jam c) Kandung kemih 1) Lakukan kompresi manual untuk mengosongkan kandung kemih secara teratur agar mencegah terjadinya inkontinensia overflow dam dribbling. 2) Kateterisasi intermitten 3) Katerisasi indwelling 4) Tindakan bedah jika cara-cara tersebut gagal. d) Buang air besar (BAB) Untuk mendapatkan pengosongan rektum mendadak dilakukan dengan cara:



37



1) Tambahkan diet serat 2) Gunakan laksatif 3) Pemberian supositoria 4) Enema untuk BAB atau pengosongan rektum teratur tanpa inkontinensia mendadak. e) Anggota gerak 1) Cegah kontraktur akibat pembedahan spastisitas kelompok otot berlawanan dengan latihan memperbaiki medikasi dan mencegah pemisahan tendo tertentu 2) Nutrisi umum tinggi kalori.



Rehabilitasi Klien yang Mengalami Paraplegia 1. Rehabilitasi fisik a. Fisioterapi dan latihan peregangan otot yang masih aktif pada lengan atas dan tubuh bagian bawah b. Pembiasaan terhadap alat dan perangkat rumah tangga c. Perlengkapan splint dan kapiler d. Transplantasi tendon 2. Perbaikan mobilisasi a. Latihan dengan kapiler dan kruk untuk klien cedera tulang belakang (cedera medula spinalis) bawah b. Latihan kursi roda untuk klien dengan otot tulang belakang dan tungkai yang tak berfungsi c. Kendaraan khusus untuk di jalan raya d. Rehabilitasi psikologis



38



e. Penerimaan di rumah.



BAB III KASUS A. Uraian Kasus Nn. GA usia 24 tahun, masuk rumah sakit dengan keluhan tangan dan kakinya tidak bisa digerakkan (Quadriparese). Klien sebelumnya lompat ke kolam renang yang dikira dalam ternyata dangkal. Pada pemeriksaan MRI terlihat jejas pada tulang belakang tepatnya pada servikalis 5. Saat ini klien mengalami hiperventilasi RR 35x/menit, TD: 130/80 mmHg, N: 98 x/menit, S: 37,3o C. Klien koma dan terjadi robekan pada medula spinalis. B. 1.



Pengkajian



Anamnesa a) Identitas Klien Nama: Nn. GA Umur: 24 tahun b)



Alasan Masuk



Klien masuk rumah sakit dengan keluhan tangan dan kakinya tidak bisa digerakkan. Klien sebelumnya lompat ke kolam renang yang dikira dalam ternyata dangkal. 2. Pemeriksaan Fisik a. Tingkat kesadaran : Koma b. TTV: - TD: 130/80 mmHg - RR: 35 x/menit - HR: 98 x/menit - S: 37,3 0C 3. Pemeriksaan penunjang



39



Pada pemeriksaan MRI terlihat jejas tulang belakang tepatnya pada C-5.



C. Analisa Data No 1



Data DS : -



Etiologi Trauma mengenai tulang belakang



Masalah Keperawatan Pola napas tidak efektif



DO : a. TTV - RR: 35 x/menit (hiperventilasi)



Cedera Columna vertebralis, cedera medula spinalis



- N: 98 x/menit - TD: 130/80 x/menit - S: 37,3 0C



Blok saraf parasimpatis



b. Pasien dalam keadaan koma



Kelumpuhan otot pernapasan



Iskemik dan hipoksia



Pola nafas tidak efektif



40



2



DS:



Trauma mengenai tulang



a. Klien masuk rumah sakit dengan



belakang



Gangguan atau kerusakan mobilitas fisik



keluhan tangan dan kakinya tidak bisa digerakkan (Quadriparese)



Cedera volumna vertebralis, cedera medula spinalis S-5



DO: c. TTV - RR: 35 x/menit - N: 98 x/menit



Kerusakan jalur sipatetik desending



- TD: 130/80 x/menit - S: 37,3 0C



d. Pasien dalam keadaan koma e.



Terdapat jejas pada tulang



Terputus jaringan saraf medula spinalis



belakang tepatnya pada C5



f.



Terdapat robekan ada



medula spinalis



Quadriparese



Gangguan atau kerusakan 3



DS: -



mobilitas fisik Trauma mengenai tulang



DO:



belakang



Resiko terhadap kerusakan integritas kulit



a. Pasien dalam keadaan koma b. TTV: RR: 35x/menit N: 98x/menit



Cedera Columna vertebralis, cedera medula spinalis S5



TD: 130/80 x/mnt S: 37,3 0C c. Terdapat jejas pada tulang belakang tepatnya pada C5



Kerusakan jalur sipatetik desending



d. Terdapat robekan ada medua spinalis Terputus jaringan saraf medula spinalis



41



Quadriparese



Kelemahan fisik umum



Penekanan jaringan setempat Dekubitus



Resiko terhadap kerusakan integritas kulit



D. Pohon Masalah (WOC) Trauma mengenai tulang belakang Cedera volumna vertebralis, cedera medula spinalis



Kerusakan jalur sipatetik desending Terputus jaringan saraf medula spinalis



Paralis dan paraplagia MK: Hambatan mobilitas fisik



Perdarahan mikroskopik



Reaksi peradangan



Syok spinal



Penurunan tingkat kesadaran



Blok saraf parasimpatis



Kelumpuhan otot pernapasan



Iskemik dan hipoksia



MK: pola nafas tidak efektif



Kelemahan fisik umum



Penekanan jaringan setempat



hipoventilasi



dekubitus



MK:Resiko terhadap kerusakan integritas E. Asuhan Keperawatan kulit



Gagal nafas



koma



Kematian



42



No 1.



Diagnosa



Tujuan/



Intervensi



Rasional



Keperawatan Kriteria Hasil Pola napas tidak TJ:



1. Pertahankan jalan



1.



efektif



Mempertahankan



napas: posisi kepala



trauma servikal bagian



berhubungan



ventilasi yang



dalam posisi netral,



atas



tinggikan



muntah/batuk



dengan tinggi



resiko adekuat terhadap KH:



kerusakan



-



Pernapasa



sedikit



akan



untuk



aspirasi/mempertahank



pasien.



diafragma



(lesi



normal (16-



tambahan/beri



24 x/mnt)



napas buatan jika ada



Gunakan



C-5).



indikasi.



Dimanifestasikan



2. Lakukan



oleh:



penghisapan



- Pasien



gangguan



jika dapat ditoleransi



n kembali



keadaan koma



dan



membutuhkan bantuan



dari



- Pasien dalam



dengan



kepala tempat tidur



persarafan



pada atau di atas



Pasien



jalan



an jalan napas.



2. bila



perlu. Catat jumlah, jenis,



dan



karakteristik sekresi.



mencegah



Jika batuk tidak



efektif,



prnghisapan



dibutuhkan



untuk



mengeuarkan



sekret,



meingkatkan distribusi udara, dan mengurangi



mengalami



resiko



hiperventilasi



pernapasan. Catatan:



dengan RR



Penghisapan yang utin



35x/menit



dapat



meningkatkan



resiko



terjadinya



hipoksia,



bradikardi



infeksi



(karena repon vagal), trauma jaringan oleh karenanya



kebutuhan



penghisapan didasarkan



pada



adanya



ketidak



mampuan



untuk



mengeluarkan sekret. 3.



Hipoventilasi



3. Auskultasi suara



biasanya terjadi atau



napas. Catat bagian-



menyebabkan



bagian



akumulasi/atelektasis



bunyinya



paru



yang



menurun



atau



pneumonia



43



atau



tidak



adanya



suara



napas



adventisius



(komplikasi



yang



sering terjadi).



(ronki,



mengi, dan krekels) 4. Observasi warna kulit:



adanya



sianosis,



keabu-



abuan.



4.



Menggambarkan



akan terjadinya gagal napas



yang



memerlukan



evaluasi



dan intervensi medis dengan segera.



5. Kaji



adanya



5.



perasaan



penuh



distensi abdomen dan



pada abdomen dapat



spasme otot.



menggambarkan kelainan



pada



diafragma, penurunan ekspansi



paru,



penurunan



dan



ekspansi



paru lebih lanjut. 6. Pantau/batasi pengunjung



6. jika



dipelukan.



Kelemahan



secara



umum



dan



gangguan pernapasan membuat resiko tinggi mendapatkan



infeksi



pernapasan



atas.



1. Lakukan pengukuran/buat terhadap:



Kapasitas volume



pasien



saluran



Kolaborasi



grafik



bagi



vital, tidal,



dan



kekuatan pernapasan



1. Menentukan otot



fungsi



pernapasan.



Pengkajian yang terus menerus daat dilakukan untuk memperkirakan terjadinya gagal napas (trauma menetukn



akut)



atau



keadaan



fungsi tubuh setelah fase syok spinal dan



44



setelah 2. Analisa gas darah arteri



proses



penyapihan ventilator.



nadi 2. Menyatakan



dan



keadaan



ventilasi



oksimetri



atau



oksigenasi. Mengidentifikasi masalah



pernapasan.



Contoh: Hiperventilasi (PaO2



rendah/PaCO2



menigkatkan) adanya 3. Berikan oksigen dengan



cara



atau



kompilkasi



paru.



yang 3. Metode



yang



akan



tepat seperti dengan



dipilih tergantung dari



kanul



lokasi trauma, keadaan



oksigen,



masker, intubasi dan



insufisiensi



sebagainya.



pernapasan,



dan



banyaknya fungsi otot pernapsan sembuh



yang setelah



fase



4. Rujuk/konsultasi



syok spinal. kan pada ahli terapi 4. Membantu dalam pernapasan dan fisik. mengidentifikasi latihan-latihan tepat



untuk



menstimulasi



dan



menguatkan 2.



Gangguan mobilitas



Mempertahankan fisik posisi



berhubungan



fungsi



tubuh.



dengan kerusakan neuromuscular. Dimanifestasikan oleh:



room



pada



semua



ekstermitas lembut.



dan Lakukan



hiperekstensi KH:



paha



- Tidak adanya



(periodik).



kontraktur. -



oto-otot



pernapasan/tenaga 1. Bantu/lakukan latihan 1. Catatan: pasien



atau TJ:



kerusakan



yang



Footdrop.



secara



2. Letakkan



pada teratu



quadriplegia memakai



dengan ventilator



memerlukan observasi ynag



teratur



dalam



perawatan diri. 2. Meningkatkan



tangan



sirkulasi,



45



- Pasien dalam keadaan koma - Terdapat jejas



-



Meningkatkan



dalam posisi (melipat)



mempertahankan tonus



kekuatan



ke



menuju



otot dan



derajat



sendi dan mencegah



bagian



tubuh



pada tulang



yang



belakang



sakit/kompens



tepatnya pada



asi.



C5 - Terdapat



dalam



pusaran



90



dengan teratur.



kontraktur dan atrofi otot. 3. Mencegah



- Mendemonstra sikan



teknik



robekan pada



/perilakuyang



medula spinalis



memungkinka n



- Melakukan kembali aktivitas.



moblisasi



3. Pertahankan pada



sendi



90



kotraktur



pada daerah bahu.



derajat



terhadap papan kaki, sepatu



dengan



hak



yang



tinggi



dan



sebagainya, gunakan rol



trokhanter



di



bawah bokong selama brbaring



di



tempat



tidur.



4. Mencegah



4. Tinggikan ekstermitas bawah beberapa saat



dan



rotasi



footdrop eksternal



pada paha.



sewaktu duduk atau angkat



kaki/bagian



bawah tempat tidur jika diinginkan pada keadaan tertentu. Kaji adanya edema pada kaki/pegelangan



5. Mengurangi



tangan. 5. Inspeksi kulit setiap hari.



Obserpasi



adanya daerah yang tertekan dan lakukan perawatan



kulit



ketegangan otot/kelelahan



dapat



membantu mngurangi nyeri, spasme otot, spastisitas/kejang.



dengan benar. 6. Kaji rasa nyeri, 6. Imobilisasi/tirah kemerahan, bengkak, baring meingkatan



46



dan ketegangan otot



resiko



jari.



infeksi paru.



7. Amati dispnea



adanya 7. Banyak sekali pasien tiba-



tiba,sianosis



terjadinya



dan



dengan trauma saraf srevikal



mengalami



tanda-tanda lain dari



pembentukan



distres pernapasan.



trombus



karena



gangguan



sirkulasi



perifer, dan



imobilisasi kelumpuhan



flaksid. Kolaborasi: 1. Tempatkan pada



tempat



kinetik



pasien 1. Imobilisasi yang efektif tidur



dari kolumna spinal



jika



dapat menstabilkan kolumna spinal dan



diperlukan.



meningkatkan sirkulasi sitemik, yang dapat mengurangi komplikasi karena imobilisasi. 2. Membatasi bendungan



2. Gunakan



kaos



kaki/stoking antiembolik, alat SCD (sequential compression



device)



pada kaki.



darah pada ekstermitas bawah atau abdomen, selanjutnya meningkatkan tonus vasomotor dan mengurangi pembentukan trombus dan emboli paru. 3. Membantu dalam merencanakan dan



3. Konsultasi



dengan



ahli terapi fisik/terapi kerja



dari



rehabilitasi.



tim



melaksanakan latihan secara individual dan mengidentifikasi/meng embangkan alat-alat bantu untuk



47



mempertahankan fungsi, mobilisasi dan kemandirian pasien. 4. Berguna untuk



4. Berikan relaksan otot sesuai kebutuhan dan diazepam



(valium),



baklopen



(lioresal),



serta



kantrolen



mengatasi dan mengurangi nyeri yang berhubungan dengan spastisitas (kejang).



(dantrium).



3.



Resiko



Tujuan :



gangguan



Mempertahanka



integritas kulit



n Intergritas kulit



1. Kaji faktor resiko terjadinya gangguan integritas kulit



b.d ketidakadekuata



Kriteria Hasil :



n sirkulasi



Keadaan kulit



perifer



pasien utuh,



immobilisasi



bebas dari



2. Kaji keadaan pasien setiap 8 jam. 3. Gunakan tempat tidur khusus (dengan busa)



1. Salah satunya yaitu immobilisasi, hilangnya sensasi, Inkontinensia bladder /bowel. 2. Mencegah lebih dini terjadinya dekubitus. 3. Mengurangi tekanan 1 tekanan sehingga mengurangi resiko dekubitas.



kemerahan, bebas dari infeksi pada lokasi yang



4. Ganti posisi setiap 2 jam dengan sikap anatomis



tertekan. 5. Pertahankan kebersihan dan kekeringan tempat tidur dan tubuh pasien. 6. Lakukan pemijatan khusus / lembut diatas daerah tulang yang menonjol setiap 2 jam dengan gerakan memutar. 7. Kaji status nutrisi pasien dan berikan makanan dengan



4. Daerah yang tertekan akan menimbulkan hipoksia, perubahan posisi meningkatkan sirkulasi darah. 5. Lingkungan yang lembab dan kotor mempermudah terjadinya kerusakan Kulit 6. Meningkatkan sirkulasi darah



7. Mempertahankan integritas kulit dan proses penyembuhan



48



tinggi protein.



8. Mempercepat proses penyembuhan



8. Lakukan perawatan kulit pada daerah yang lecet / rusak setiap hari. F. Penatalaksanaan Farmakologi dan Non-farmakoogi a) Farmakologi Terapi pada cedera medula spinalis terutama ditujukan untuk meningkatkan dan mempertahankan fungsi sensoris dan motoris. Pasien dengan cedera medula spinalis komplet hanya memiliki peluang 5% untuk kembali normal. Lesi medula spinalis komplet yang tidak menunjukkan perbaikan dalam 72 jam pertama, cenderung menetap dan prognosisnya buruk. Cedera medula spinalis tidak komplet cenderung memiliki prognosis yang lebih baik. Apabila fungsi sensoris di bawahlesi masih ada, maka kemungkinan untuk kembali berjalan adalah lebih dari 50%. Metilprednisolon merupakan terapi yang paling umum digunakan untuk cedera medula spinalis traumatika dan direkomendasikan oleh National Institute of Health di Amerika Serikat. Namun demikian penggunaannya sebagai terapi utama cedera medula spinalis traumatika masih dikritisi banyak pihak dan belum digunakan sebagai standar terapi. Kajian oleh Braken dalam Cochrane Library menunjukkan bahwa metilprednisolon dosis tinggi merupakan satu-satunya terapi farmakologik yang terbukti efektif pada uji klinik tahap 3 sehingga dianjurkan untuk digunakan sebagai terapi cedera medula spinalis traumatika. Dosis metilprednisolon 30 mg/kgBB diberikan secara bolus IV dalam 8 jam setelah cedera, di ikuti dengan dosis maintenace 5,4 mg/kgBB/jam selama 23 jam kemudian. Metilprenidsolon menghambat lipid peroxidase dan hidrolisis yang menghambat destruksi membran sel. Kerusakan membransel mencapai puncaknya kira-kira 8 jam dan alasan inilah mengapa harus diberikan dalam waktu tersebut. Lipidperoksidasi mengacu pada degradasi oksidatif lipid . Ini adalah proses di



mana radikal



bebas "mencuri"



elektron



dari



lipid



pada membran



sel ,



mengakibatkan kerusakan sel. b) Non-Farmakologi



49



Tindakan rehabilitasi medik merupakan kunci utama dalam penanganan pasien cedera medula spinalis. Beberapa tindakan non-farmakologi yang dapat dilakukan adalah: a.



Memakai



penyangga eksternal untuk



mengontrol



posisi tulang



belakang, menerapkan korektif forces, menstabilkan tulang belakang ketika jaringan lunak (misalnya, ligamen) tidak bisa dan membatasi gerakan. b.



Karena luka trauma pada sumsum tulang belakang biasanya



melibatkan cedera pada tulang dan ligamen tulang belakang, operasi dapat dilakukan. Tujuan dari beberapa operasi adalah untuk menghilangkan tulang (ini disebut "dekompresi") yang menekan pada atau ke sumsum tulang belakang. c.



Terapi okupasional terutama ditujukan untuk memperkuat dan



memperbaiki fungsi ekstremitas atas, mempertahankan kemampuan aktivitas hidup sehari-hari/ activities of daily living (ADL). d.



Fisioterapi. Tujuan utama fisioterapi adalah untuk mempertahankan



ROM (Range of Movement) dan kemampuan mobilitas, dengan memperkuat fungsi otot-otot yang ada. Pasien dengan



Central Cord Syndrome/ CSS



biasanya mengalami pemulihan kekuatan otot ekstremitas bawah yang baik sehingga dapat berjalan dengan bantuan ataupun tidak. CCS adalah salah satu tipe acute cervical spinal cord injury (SCI) yang terjadi akibat injuri inkomplit pada medula spinalis segmen servikal dan ditandai oleh kelemahan motorik yang lebih parah pada ekstremitas atas dibandingkan pada ekstremias bawah, disfungsi kandung kemih dan gangguan sensori yang bervariasi di bawah level lesi. G.



Health Education ( Pendidikan Kesehatan )



a) Pencegahan Mengikuti saran ini dapat mengurangi resiko dari cedera tulang belakang: - Mengemudi dengan aman. Kecelakaan mobil adalah salah satu penyebab paling umum dari cedera tulang belakang. Kenakan sabuk pengaman setiap kali Anda mengemudi atau naik di dalam mobil. Pastikan bahwa anak-anak Anda mengenakan sabuk pengaman atau menggunakan usia dan berat badan yang sesuai kursi keselamatan anak.



50



-



Periksa kedalaman air sebelum menyelam. Untuk memastikan Anda tidak menyelam ke dalam air dangkal, tidak menyelam ke dalam kolam kecuali jika 9 kaki atau lebih dalam, jangan menyelam ke dalam kolam di atas tanah, dan tidak menyelam ke dalam setiap air yang anda tidak tahu kedalaman.



-



Mencegah jatuh. Mis. gunakan bangku/alat bantu untuk menjangkau benda-benda di tempat tinggi. Tambahkan pegangan tangan di sepanjang tangga.



-



Berhati-hati saat bermain olahraga. Selalu memakai peralatan keselamatan yang direkomendasikan.



b) Perhatian utama pada penderita cedera tulang belakang (cedera medula spinalis) ditujukan pada usaha mencegah terjadinya kerusakan yang lebih parah atau cedera sekunder. Untuk maksud tersebut dilakukan immobilisasi ditempat kejadian dengan memanfaatkan alas yang keras. pengangkutan penderita tidak dibenarkan tanpa menggunakan tandu atau sarana apapun yang beralas keras. Selalu harus diperhatikan jalan nafas dan sirkulasi. Bila dicurigai cedera didaerah servikal harus diusahakan agar kepala tidak menunduk dan tetap ditengah dengan menggunakan bantal kecil untuk menyanngga leher pada saat pengangkutan. Perawatan penderita memegang peranan penting untuk mencegah timbulnya penyakit. Perawatan ditujukan pada pencegahan : 1.



Perawatan kulit: agar tidak timbul dekubitus karena daerah yang



anaestesi. Perawatan posisi berganti dapat mencegah timbulnya decubitus yaitu dengan cara miring kanan, kiri, telentang dan telungkup 2.



Anggota gerak: agar tidak timbul kontraktur. Karena kelainan saraf



maka timbul pula posisi sendi akibat inbalance kekuatan otot. Pencegahan ditujukan terhadap timbulnya kontraktur sendi dengan melakukan fisioterapi, latihan dan pergerakan sendi serta meletakkan anggota dalam posisi netral.



BAB IV PENUTUP



51



A. Kesimpulan Columna Vertebralis adalah pilar utama tubuh yang berfungsi melindungi medula spinalis dan menunjang berat kepala serta batang tubuh, yang diteruskannya ke lubang-lubang paha dan tungkai bawah. Masing-masing tulang dipisahkan oleh disitus intervertebralis. Cidera medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan sering kali oleh kecelakaan lalu lintas. Apabila cedera itu mengenai daerah servikal pada lengan, badan dan tungkai mata penderita itu tidak tertolong dan apabila saraf frenitus itu terserang maka dibutuhkan pernafasan buatan, sebelum alat pernafasan mekanik dapat digunakan. B. Saran Mahasiswa diharapakan mampu mengasah kemampuannya dan pengetahuannya melalui media diskusi yang telah direncanakan dalam mata kuliah ini. Bagi para dosen agar dapat memberikan bimbingan yang lebih intensif agar mahasiswa lebih faham mengenai asuhan keperawatan terutama pada klien dengan cidera medula spinalis.



DAFTAR PUSTAKA



52



Batticaca, Fransisca B.(2008). Asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem persarafan.Jakarta: Salemba Medika. Brunner & Suddarth.(2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Vol. 3 . Jakarta :EGC. Dawodu, S, et all.(2008). Spinal cord injury-definition, epidemiology, pathophysiology. Diambil



pada



tangal



26



Februari



2012



dari



http://emedicine.medscape.com/article/322480-overview Doenges, Marilynn E.(2000). Rencana asuhan keperawatan: pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien.Jakarta: EGC. Isselbacher, Kurt J.(2002). Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam volume 5 edisi 13.Jakarta: EGC. Kee, Joyce Lefever. (2008). Pedoman pemeriksaan laboratorium dan diagnostik edisi 6.Jakarta: EGC. Mardjono, Mahar & Sidharta, Priguna.(2004). Neurologi klinis dasar.Jakarta: Dian Rakyat. Muttaqin, Arif.(2008). Buku ajar asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem persyarafan.Jakarta: Salemba Medika. Muttaqin, Arif.(2008). Pengantar asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem persyarafan.Jakarta: Salemba Medika. Patel, Pradip R.(2007). Lecture notes: Radiologi edisi 2.Jakarta: Erlangga. Pearce, Evelyn C.(2007). Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia. Pinzon.(2007). Mielopati servikal traumatika diambil tanggal 25 Februari 2012 dari http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/154_13_Mielopatiservikaltraumatika.pdf/154_1 3_Mielopatiservikaltraumatika002.png Price & Wilson.(2006). Patofisiologi. Jakarta : EGC Smeltzer & Bare.(2002). Buku ajar keperawatan medikal bedah volume 3 edisi 8.Jakarta: EGC.



53