Bab II Basa Rinengga [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

library.uns.ac.id



digilib.uns.ac.id



BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR A. Kajian Pustaka 1. Hakikat Cerkak a. Pengertian Cerkak Tidak dapat dipungkiri jika sebuah karya fiksi memiliki kemiripan cerita yang dapat terjadi dimana dan kapan saja. Pada genre fiksi terdapat karya sastra yang disebut novel, roman dan cerita pendek. Peneliti akan lebih fokus pada cerita cekak. Dalam istilah bahasa Jawa cerita pendek disebut cerkak. Kedua istilah ini memiliki kesamaan kesamaan, mulai dari ukurannya, jalan ceritanya yang searah, dan hanya memiliki satu permasalahan dalam cerita. Hal yang menjadi pembeda adalah bahasa pengantar yang digunakan. Cerpen menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantarnya, sedangkan cerkak menggunakan bahasa Jawa sebagai pengantarnya. Pernyataan tersebut seperti pendapat Prabowo, dkk (2007: 53) yang menyatakan istilah cerkak merupakan terjemahan dari bahasa Indonesia ‘cerita pendek’ atau cerpen. Dalam kesastraan Indonesia maupun kesastraan Jawa istilah cerpen atau cerita pendek itu ialah terjemahan dari istilah dalam bahasa Inggris ‘short story’. Mengingat sampai saat ini teori Jawa yang berkenaan dengan cerita cekak belum ada. Maka dari itu, peneliti menggunakan teori-teori cerpen sebagai patokan dalam penelitian ini. Cerkak merupakan sebuah cerita yang mengangkat suatu peristiwa dalam kehidupan manusia dan lingkungan sekitarnya. Karya sastra fiksi ini memanglah hampir sama dengan novel, yang membuat cerita cekak ini berbeda adalah panjang ceritanya yang relatif pendek dan konflik yang diangkat merupakan konflik tunggal tidak bercabang seperti cerita dalam novel. Pernyataan ini sejalan dengan pendapat Kusmana (2014: 33) yang menjelaskan bahwa cerita pendek merupakan karya sastra berbentuk prosa fiksi yang mengangkat suatu peristiwa. Lebih jelasnya lagi, Waluyo (2011: 34) memaparkan bahwa dalam cerita pendek dikisahkan salah satu momen dalam



8



library.uns.ac.id



9 digilib.uns.ac.id



kehidupan manusia, waktu penceritaannya pendek, jumlah baris (halaman pendek), dapat dibaca dalam a single sitting. Ukuran panjang pendeknya suatu cerita memanglah relatif. Namun, pada umunya cerita pendek merupakan cerita yang habis dibaca sekitar sepuluh menit atau setengah jam. Hal ini diperkuat dengan pendapat Sayuti (2000: 8) yang menjelaskan bahwa sebuah cerpen bukanlah sebuah novel yang dipendekkan dan juga bukan bagian dari novel yang belum dituliskan. Cerita pendek merupakan karya prosa fiksi yang dapat selesai dibaca dalam sekali duduk dan ceritanya cukup dapat membangkitkan efek tertentu dalam diri pembaca. Dengan kata lain, sebuah kesan tunggal dapat diiperoleh dalam sebuah cerpen dalam sekali baca. Ada hal yang dapat dijadikan patokan sebagai pembeda cerita pendek dengan bentuk sastra lainnya, yaitu dilihat dari panjang pendeknya cerita yang disajikan pengarang. Stanton (2012: 76) menyampaikan bahwa cerita pendek haruslah berbentuk padat, jumlah kata lebih sedikit ketimbang novel, dan pengarang menciptakan karakter beserta tindakannya secara bersamaan. Tidak jauh berbeda dengan pendapat Stanton, Dewojati (2012: 18) juga berpendapat bahwa salah satu ciri yang terpenting cerita pendek haruslah berbentuk padat. Jumlah kata, konflik dan ide yang tertuang dala cerpen haruslah lebih sedikit daripada novel. Pendapat diatas juga didukung dengan pendapat Rosidi (Tarigan, 1993: 176) bahwa semua bagian dari sebuah cerita pendek terikat pada satu kesatuan jiwa pendek, padat, dan lengkap, tidak boleh ada bagianbagian yang dikatakan lebih dan bisa dibuang. Cerpen atau cerkak sendiri berbentuk prosa, bahasa yang digunakan bebas dan panjang dengan penyampaian secara naratif atau bercerita. Cerkak memiliki ukuran yang pendek. Oleh karena itu, cerita cekak pada umumnya bertema sederhana, jumlah tokohnya terbatas, jalan ceritanya sederhana ,dan latar yang meliputi ruang lingkup juga terbatas. Hal ini bertujuan supaya mendukung jumlah kata yang tersedia untuk menciptakan cerkak. Berdasarkan tema yang sederhana, jumlah tokohnya terbatas, jalan ceritanya yang sederhana tidak berbelit-belit, serta latar/setting dengan lingkup yang terbatas maka



library.uns.ac.id



10 digilib.uns.ac.id



pembaca akan mudah memahami apa yang akan disampaikan dalam cerkak tersebut dengan waktu yang singkat. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa cerkak atau cerpen memiliki ciri-ciri, yaitu alur lebih sederhana, tokoh yang dimunculkan hanya beberapa orang serta latar yang dilukiskan hanya sesaat dan dalam lingkup yang relatif terbatas. Sebuah cerpen biasanya memiliki plot yang diarahkan pada insiden atau peristiwa tunggal yang memiliki signifikansi besar bagi tokohnya. Di samping hal tersebut, kualitas watak tokoh dalam cerpen juga jarang dikembangkan secara penuh. Hal ini dikarenakan pengembangan semacam itu membutuhkan waktu untuk menceritakannya. Sementara pengarang sendiri sering kurang memiliki kesempatan untuk itu. Tokoh dalam cerpen biasanya langsung ditunjukkan karaternya. Selanjutnya, dimensi waktu dalam cerpen juga cenderung terbatas walaupun dijumpai pula cerpen-cerpen yang menunjukkan dimensi waktu yang relatif luas. Kosasih (2012: 34) cerita pendek sering diungkapkan dengan cerita yang dapat dibaca dalam sekali duduk. Pendapat tersebut menunjukkan bahwa dimensi waktu pembacaan cerpen tergantung pada seberapa banyak isinya. Berkaitan dengan panjang/ pendeknya cerkak, Reid (Waluyo, 2011: 4) menyebutkan antara 1.600 kata sampai 20.000 kata. Sementara Tarif (Waluyo, 2011: 4) menyatakan menyatakan bahwa panjang cerita pendek antara 500 sampai dengan 32.000 kata. Tarigan (Waluyo, 2011: 4) membandingkan panjang cerpen 10.000 kata, sedangkan novel kurang lebih 35.000 kata. Beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa cerpen atau cerkak merupakan cerita fiksi yang tidak terlalu kompleks dan memuat satu episode yang berisikan imajinasi, khayalan, dan rekaan seorang pengarang mengenai kehidupan masyarakat. Untuk panjang dari cerkak sendiri relatif, mulai dari 500 kata hingga 20.000 kata. Oleh sebab itu, cerkak dapat dinikmati atau dibaca hanya dengan memerlukan waktu yang singkat dan tidak lebih dari satu jam.



library.uns.ac.id



11 digilib.uns.ac.id



b. Ciri-ciri Cerkak Berdasarkan pengertian cerita pendek yang sederhana dan luas yang dikemukakan di bagian terdahulu, Purba (2010: 52) menyebutkan ciri-ciri khusus cerita pendek sebagai berikut: 1) singkat, padu, intensif (brevity, unity, intensity). 2) Unsur-unsur utama cerita pendek adalah: adegan, tokoh, dan gerak (scene, character, and action). 3) Bahasa cerita pendek haruslah tajam, sugestif, dan menarik perhatian (incisive, suggestive, alert). 4) Cerita pendek harus mengandung interpretasi pengarang tentang konsepsinya mengenai kehidupan, baik secara langsung ataupun tidak langsung. 5) Sebuah cerita pendek harus menimbulkan satu efek dalam pikiran pembaca. 6) Cerita pendek harus menimbulkan perasaan pada pembaca bahwa jalan ceritalah yang pertama-tama menarik perasan, dan baru kemudian menarik pikiran. 7) Cerita pendek mengandung detail-detail dan insiden-insiden yang dipilih dengan sengaja, dan yang bisa menimbulkan pertanyaanpertanyaan dalam pikiran pembaca. 8) Dalam sebuah cerita pendek sebuah insiden yang terutama menguasai jalan cerita. 9) Cerita pendek harus mempunyai seorang pelaku yang utama. 10) Cerita pendek harus mempunyai efek atau kesan yang menarik. 11) Cerita pendek bergantung pada (satu) situasi. 12) Cerita pendek memberikan impresi tunggal. 13) Cerita pendek memberikan suatu kebulatan efek. 14) Cerita pendek menyajikan satu emosi. 15) Jumlah kata-kata yang terdapat dalam cerita pendek biasanya di bawah 10.000 kata, tidak boleh lebih dari 10.000 kata (atau kirakira 33 halaman kuarto spasi rangkap) Tarigan dalam Purba (2010: 52). Dari uraian di atas dapat dijelaskan bahwa cerpen harus memiliki ciri-ciri singkat, padat, padu dan jelas. Pembacaan cerpen membutuhkan waktu yang singkat atau dapat dibaca sekali duduk. Jadi panjang cerpen juga harus singkat, walaupun tidak memiliki patokan yang jelas panjang cerpen sekitar 500-10.00 kata. Hal ini beracuan pada ciri cerpen yang singkat. Pelaku dalam sebuah cerpen juga harus jelas wataknya. Biasanya watak setiap tokoh tidak akan berubah. Hal ini dikarenakan kapasitas kata yang



library.uns.ac.id



12 digilib.uns.ac.id



menjadi ciri sebuah cerpen. Kalimat pertama dalam cerpen mempengaruhi minat pembaca untuk membaca lebih lanjut cerita tersebut. Jadi, cerpen harus dibuat semenarik mungkin. Akan tetapi, kalimat-kalimat selanjutnya harus konsisten dengan kalimat sebelumnya agar pembaca tidak merasa bosan dan semakin penasaran akan isi dari cerpen tersebut. Cerpen harus padat dan singkat. Ceritanya tidak boleh berbelit-belit, agar tidak melampaui aturan kata yang digunakan. Biasanya dimulai dengan pengenalan, lalu menuju konflik, penyelesaian konflik, dan ending. Dapat disimpulkan bahwa cerpen merupakan cerita yang memiliki ciri singkat, padat, padu, dan jelas. Bahasa yang digunakan tidak boleh berbelit-belit. Ciri cerpen hanya memiliki satu situasi/ permasalahan. Selain memiliki ciri-ciri yang menjadi dasar pembuatannya, cerpen juga memiliki unsur pembangun didalamnya. Unsur ini dinamakan unsur instrinsik. c. Unsur-unsur Pembangun Cerpen atau Cerkak Cerita pendek mempunyai ciri khusus yang membedakan dengan prosa fiksi lainnya seperti novel dan roman. Meskipun demikian cerpen, novel, dan roman memiliki unsur pembangun yang sama. Pada penelitian ini peneliti



akan



menjelaskan



unsur-unsur



pembangun



cerpen.



Unsur



pembangun cerpen dapat disebut dengan unsur instrinsik. Menurut Ichsan (2013: 2) unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual dapat dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur-unsur pembangun cerpen menurut Kosasih (2012: 34) sebagai berikut: 1) Alur Alur merupakan tulang punggung cerita, sebuah cerita tidak akan pernah dimengerti tanpa adanya pemahaman terhadap peristiwaperistiwa yang mempertautkan alur. Pertanyaan di atas diperkuat dengan pendapat beberapa ahli. Menurut Semi (1993: 43) alur adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai sebuah interelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalama



library.uns.ac.id



13 digilib.uns.ac.id



keseluruhan fiksi. Pendapat tersebut sejalan dengan penndapat Waluyo (2011: 11) yang menjelaskan bahwa plot sebagai kerangka cerita, yakni jalinan cerita yang disusun dalam urutan waktu yang menunjukkan hubungan sebab akibat serta memiliki kemungkinan supaya pembaca dapat menebak-nebak kejadian selanjutnya. Tidak jauh berbeda dengan pendapat di atas Nurgiyantoro (2005: 113) menjelaskan bahwa alur adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan peristiwa yang lain. Selanjutnya, menurut Kosasih (2012: 34‒35) alur dibagi menjadi 5 bagian, yaitu: a) Pengenalan Situasi Cerita (exposition) Dalam bagian ini, pengarang memperkenalkan para tokoh, menata adegan, dan hubungan antar tokoh. b) Pengungkapan Peristiwa (Complication) Dalam bagian ini, disajikan peristiwa awal yang menimbulkan berbagai masalah. Pertentangan, ataupun kesukaran-kesukaran bagi para tokohnya. c) Menuju Pada Adanya Konflik (Rising Action) Terjadi peningkatan perhatian kegembiraan, kehebohan, ataupun keterlibatan berbagai situasi yang menyebabkan bertambahnya kesukaran tokoh. d) Puncak Konflik (Turning Point) Bagian ini disebut pula sebagai klimaks. Inilah bagian cerita yang paling besar dan mendebarkan. Pada bagian ini pula ditentukannya perubahan nasib beberapa tokohnya, misalnya apakah dia berhasil menyelesaikan masalahnya atau gagal. e) Penyelesaian (Ending) Sebagai akhir cerita, pada bagian ini berisi penjelasan tentang nasib-nasib yang dialami tokohnya setelah mengalami peristiwa puncak itu. Namun ada pula cerpen yang penyelesaian akhir ceritanya itu diserahkan kepada imajinasi pembaca. jadi, akhir ceritanya itu dibiarkan menggantung, tanpa ada penyelesaian. Menurut Pujiharto (2010: 32) alur tidak semata-mata dijajarkan begitu saja, tetapi memiliki hubungan kausalitas antara satu dengan lainnya. Dalam kausalitas antarperistiiwa tersebut alur menunjukkan pada pembaca adanya hukum-hukum yang tetap yaitu; alur memiliki bagian awal; tengah; akhir yang nyata, masuk akal, logis, dan dapat menciptakan



bermacam



kejutan,



serta



memunculkan



sekaligus



library.uns.ac.id



14 digilib.uns.ac.id



mengakhiri ketegangan. Hukum alur tersebut yaitu: pertama, pengenalan situasi cerita (exposition), kedua pengungkapan cerita (complication), ketiga menuju pada adanya konflik (turning point), kelima penyelesaian (ending). Berdasarkan pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa alur atau plot adalah urutan peristiwa atau kejadian dalam sebuah cerita yang saling berkesinambungan antara peristiwa yang satu dengan yang lain. Melalui alur pembaca dapat mengetahui jalannya cerita, penyebab permasalahan dalam cerita. 2) Tokoh dan Penokohan Tokoh dan penokohan adalah salah satu unsur yang terdapat dalam sebuah karya fiksi. Tokoh mempunyai fungsi bagi lakuan. Dalam karya fiksi, tokoh menduduki sebuah wahana khusus dalam penceritaan fiksi. Hal ini didukung oleh pendapat Kosasih (2010: 43) yang menjelaskan



bahwa



Penokohan



merupakan



cara



pengarang



menggambarkan dan mengembangkan karakter tokoh-tokoh dalam cerita. Senada dengan hal tersebut Pujiharto (2010: 43) menggunakan istilah tokoh untuk menunjuk pada pelaku cerita. Tokoh yang merupakan pelaku cerita tersebut juga memiliki watak, karakter, dan sifat. Nurgiyantoro (2013: 165) menyamakan karakterisasi dengan karakter dan perwatakan, yaitu menunjukkan pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak tertentu dalam sebuah cerita. Oleh karena itu, pengunaan istilah tokoh atau watak akan sangat terkait dengan konteks, apakah istilah itu memang menunjukkan pelaku atau watak. Tokoh sendiri dibagi menjadi tiga, yaitu tokoh antagonis, tokoh protagonis, dan tritagonis. Menurut Waluyo (2014: 19) menyatakan tokoh antagonis merupakan kebalikan dari tokoh protagonis, yaitu tokoh yang menentang arus cerita atau yang menimbulkan perasaan benci pada diri pembaca. Dari pendapat-pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa penokohan adalah pelaku yang memiliki watak tertentu dalam sebuah



library.uns.ac.id



15 digilib.uns.ac.id



cerita. Watak tokoh sendiri dibagi menjadi tiga, yaitu protagonis, antagonis, dan tritagonis. 3) Latar Setting atau latar dalam sebuah karya sastra dihadirkan dengan fungsi untuk mengidentifikasi keadaan dan situasi dalam rangkaian cerita. Secara umum setting merupakan tempat kejadian cerita, tempat kejadian cerita dapat berkaitan dengan aspek fisik, aspek sosiologi, aspek psikis (kejiwaan), namun setting juga dapat dikaitkan dengan tempat dan waktu. Hal ini didukung oleh pendapat Kosasih (2012: 38) yang menyatakan bahwa latar atau setting merupakan tempat dan waktu berlangsungnya kejadian dalam cerita. Pendapat ini dilengkapi oleh Nurgiyantoro (2005: 216) bahwa latar atau setting digunakan sebagai landas tumpu yang berupa tempat, hubungan waktu, dan lingkungan. Lalu Pujiharto (2010: 47) menambahkan bahwa latar adalah elemen fiksi yang menyatakan pada pembaca di mana dan kapan terjadinya peristiwa. Latar berfungsi untuk memperkuat atau mempertegas keyakinan pembaca terhadap jalannya cerita ataupun pada karakter tokoh. Dengan demikian apabila pembaca sudah menerima latar itu sebagai sesuatu yang benar adanya, maka cenderung dia pun akan lebih siap dalam menerima karakter tokoh ataupun kejadian-kejadian yang berada dalam cerita itu. Latar biasanya menggambarkan tempat dan waktu kejadian cerita dalam cerpen. Pernyataan ini dipertegas dengan pendapat Kosasih (2012: 38) latar dibagi menjadi dua bagian, yaitu (a) latar tempat, merupakan tempat berlangsungnya cerita mungkin berupa daerah yang luas, seperti nama daerah atau negara, mungkin pula berada di daerah yang sempit. (b) latar waktu, merupakan waktu berlangsungnya cerita, mungkin pada pagi hari, malam hari, dan waktu-waktu lainnya. Seperti halnya latar tempat, penggambarannya dapat secara langsung oleh pengarang ataupun melalui penuturan. Pendapat di atas sedikit berbeda dengan pendapat Nurgiyantoro. Menurut Nurgiyantoro (2005: 227‒233)



library.uns.ac.id



16 digilib.uns.ac.id



latar dibedakan atas tiga unsur pokok yaitu (a) latar tempat, adalah lokasi peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. (b) latar waktu, berhubungan dengan masalah tentang kapan terjadinya peristiwaperistiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. (c) latar sosial, menyangkut pada hal-hal yang bersangkutan dengan perilaku kehidupan sosial samyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam yang cukup kompleks. Kehidupan sosial ini dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, dan lain-lain. Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa latar merupakan situasi yang melatar belakangi terjadinya peristiwa dalam karya sastra baik itu novel maupun cerpen/cerkak. Latar sendiri dibagi menjadi tiga yaitu latar tempat, waktu, dan sosial. 4) Tema Karya prosa pada dasarnya adalah sebuah karya yang dibangun oleh beberapa unsur. Salah satu unsur pembangun dari karya prosa tersebut adalah tema. Tema merupakan ide atau gagasan utama dalam sebuah cerita yang sarat dengan makna. Pernyataan di atas senada dengan pendapat Kosasih (2012: 40) yang menyatakan bahwa tema adalah gagasan yang menjalin struktur cerita. Tema suatu cerita menyangkut segala persoalan, baik itu berupa masalah kemanusiaan, kekuasaan, kasih sayang, kecemburuan, dan sebagainya. Selanjutnya, Stanton (2012: 8) berpendapat bahwa pengarang memanfaatkan tema sejauh tema memberi makna pada pengalaman. Sedikit berbeda dengan pendapat di atas, Nurgiyantoro (2005: 68) menambahkan tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tema dapat dipandang sebagai dasar cerita, gagasan dasar umum karya sastra. Gagasan dasar inilah yang digunakan pengarang untuk mengembangkan ceritanya.



library.uns.ac.id



5)



17 digilib.uns.ac.id



Sudut Pandang (point of view) Sudut



pandang



berhubungan



dengan



cara



pengarang



memosisikan dirinya di dalam cerita, baik posisi sebagai narator atau pengantar cerita maupun sebagai tokoh yang terlibat langsung di dalam cerita. Pengertian di atas diperkuat dengan pendapat Waluyo (2011: 31) yang menyatakan bahwa point of view merupakan sudut pandang yang digunakan oleh pengarang untuk berperan dalam cerita tersebut. selanjutnya menurut Nurgiyantoro (2005: 248) sudut pandang adalah strategi, teknik, siasat yang digunakan pengarang sebagai saran untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang berbentuk suatu cerita. Sudut pandang sangat penting bagi pengarang untuk menentukan gaya ceritanya. Pengarang dapat menyampaikan cerita dari sisi dalam atau sisi luar. Cerita bisa disampaikan oleh salah satu tokoh di dalam cerita dan cerita bisa disampaikan oleh orang ketiga. Pujiharto (2012: 66) berpendapat bahwa sudut pandang dapat dikelompokkan menjadi beberapa yaitu pertama, sudut pandang orang pertama pelaku utama dan sudut pandang orang pertama sampingan. Kedua, sudut pandang orang ketiga terbatas dan sudut pandang orang ketiga tidak terbatas. Sudut pandang orang pertama yaitu tokoh utama bercerita dengan kata-katanya sendiri. Tokoh utama menggunakan kata “aku”, “saya” atau kata sejenis dengan itu sebagai pusat pengisahan. Sedangkan sudut pandang orang pertama sampingan, cerita dituturkan oleh satu tokoh bukan utama (tokoh sampingan). Selanjutnya sudut pandang orang ketiga



terbatas,



pengarang



mengacu



pada



semua



tokoh



dan



memosisikannya sebagai orang ketiga, tetapi hanya menggambarkan apa yang dapat dilihat, didengar, dan dipikirkan oleh satu tokoh saja. Sedangkan pada sudut pandang orang ketiga tidak terbatas pengarang mengacu pada setiap tokoh dan memosisikannya sebagai orang ketiga.



library.uns.ac.id



18 digilib.uns.ac.id



Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sudut pandang adalah penempatan pembaca pada cerita tersebut. Pembaca dapat berperan sebagai orang pertama sebagai tokoh utama atau orang ketiga serba tahu. 6) Gaya Bahasa Setiap pengarang memiliki gaya bercerita yang khas. Pengarang juga menggunakan gaya bahasa dan bahasa figuratif. Pernyataan tersebut seperti pendapat Semi (1993: 47) yang mengungkapkan bahwa gaya penceritaan adalah tingkah laku pengarang dalam menggunakan bahasa. Pengarang selalu berusaha menciptakan bahasa yang khas, yang lebih hidup, ekspresif, dan estetis. Selanjutnya menurut Nurgiyantoro (2005: 276) bahwa gaya bahasa adalah suatu cara pengucapan bahasa dalam prosa atau karya sastra. Bahasa dijadikan sebagai cara seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan dalam cerita. Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa gaya bahas adalah cara pengarang menyajikan bahasa dalam cerita sesuai dengan pandangan dan kepribadian pengarang terhadap lingkungan sekitarnya. Dalam penelitian ini peneliti lebih memilih untuk mengkaji gaya bahasa dalam cerkak. Hal ini dikarenakan gaya bahasa merupakan aspek khusus dari sebuah karya sastra. gaya bahasa merupakan sentuhan pemanis dalam karya sastra oleh pengarangnya. Selain itu, gaya bahasa setiap karya sastra memiliki keunikan tersendiri tergantung pengarangnya. 7) Amanat Setiap karya sastra diciptakan dengan sebuah manfaat yang bisa diambil. Manfaat itu biasa disebut dengan amanat. Amanat merupakan pesan yang ingin disampaikan oleh penulis kepada pembaca. pada hakikatnya menikmati karya sastra tidak hanya semata untuk hiburan saja, melainkan dapat diambil sesuatu dari karya tersebut yaitu amanat. Pernyataan ini dipertegas dengan pernyataan Kosasih (2012: 41) yang menyatakan bahwa amanat merupakan ajaran moral atau pesan didaktis



library.uns.ac.id



19 digilib.uns.ac.id



yang hendak disampaikan pengarang kepada pembaca melalui karyanya. Hal ini didukung oleh Nurgiyantoro (2013: 320) bahwa amanat adalah makna yang terkandung dalam sebuah karya, makna yang disarankan lewat cerita. Amanat tersirat di balik kata-kata yang disusun, dan juga dibalik tema yang diungkapkan. Karena itu, amanat selalu berhubungan dengan tema cerita itu. Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa amanat merupakan pesan yang disampaikan oleh pengarang, baik tersirat maupun tersurat. Amanat sebuah cerita dapat diketahui setelah membaca keseluruhan cerita tersebut. Analisis cerpen juga pernah dilakukan oleh Retno Puji Lestari (2015) (Skripsi) dengan judul “Kajian Stilistika Cerpen Pilihan Kompas 2013 Klub Solidaritas Suami Hilang dan Relevansinya sebagai Bahan Ajar di Kelas XI SMA”. Penelitian tersebut memliki relevansi dengan penelitian ini, yaitu mendiskripsikan gaya bahasa. Kedua penelitian ini sama-sama menggunakan pendekatan stilistika untuk menganalisis objek. Perbedaannya adalah penelitian yang dilakukan Retno Puji Lestari menggunakan objek cerpen yang dimuat dalam Kompas, sedangkan penelitian ini menggunakan kumpulan cerpen karya Sri Setya Rahayu. Penelitian yang dilakukan oleh Retno Puji Lestari tidak menganalisis nilai pendidikan yang terdapat dalam cerpen, sedangkan peneliti dalan penelitian ini menganalisis nilai pendidikan yang terdapat dalam cerpen. Dalam relevansi juga terdapat perbedaan yaitu dalam penelitian yang dilakukan Retno Puji Lestari direlevansikan sebagai bahan ajar, sedangkan di dalam penelitian ini direlevansikan sebagai materi ajar. Perbedaan lainnya adalah bahasa pengantar yang digunakan kedua cerpen. Penelitian yang dilakukan Retno Puji Lestari menggunakan objek



cerpen



berbahasa



Indonesia



sedangkan



penelitian



menggunakan cerpen berbahasa Jawa atau disebut juga cerkak.



ini



library.uns.ac.id



20 digilib.uns.ac.id



2. Pengertian Stilistika Stilstika merupakan alat atau sarana bagi pengarang untuk mengeluarkan kekhasanya dalam menciptakan karya sastra. Berdasarkan uraian Bab I fokus permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah gaya kata, gaya kalimat, gaya bahasa dan pencitraan. Oleh karena itu, teori yang dianggap relevan untuk mengkaji permasalahan tersebut adalah stilistika. Hal ini dikarenakan, stilistika menitikberatkan kajian pada wujud teks karya sastra yang berupa penggunaan bahasa pengarang. Gaya dalam penggunaan ini mengacu pada penggunaan bahasa dalam karya sastra. Pernyataan ini diperkuat dengan pendapat Aminuddin (1995: 3) menyatakan bahwa stilistika adalah bidang kajian yang mempelajari dan memberikan deskripsi sistematis tentang gaya bahasa. Jadi, pusat kajian stilistika adalah style atau cara-cara yang digunakan seorang pembicara atau penulis untuk menyampaikan maksud dengan memakai bahasa sebagai sarananya. Sebenarnya tidak hanya dalam ragam karya sastra saja stilistika digunakan akan tetapi juga dalam beberapa ragam penggunaan bahasa yang tidak terbatas dalam karya sastra saja. Hal ini diperkuat dengan pendapat Chapman (Nurgiyantoro, 2013: 279) menyatakan bahwa kajian stilistika sendiri sebenarnya dapat ditujukan terhadap berbagai ragam penggunaan bahasa dan tidak hanya terbatas dalam karya sastra saja, namun biasanya stilistika lebih sering dikaitkan dengan bahasa dalam sastra. Senada dengan pendapat sebelumnya Chantik (Aminuddin, 1995: 21) mengemukakan bahwa stilistika sebagai studi bahasa dalam teks sastra merujuk pada bentuk penggunaan bahasa sebagai kode estetik, sebagai hasil kreasi seni memiliki ciri semantik dan isi tertentu. Stilistika sendiri merupakan studi tentang wujud performansi kebahasaan, khususnya yang terdapat dalam karya sastra. Analisis stilistika lazimnya untuk menerangkan hubungan antara bahasa dengan fungsi artistik dan maknanya. Pernyataan ini diperkuat dengan pendapat Aminuddin (1995: 42) yang menyatakan bahwa studi stilistika hanya terfokus pada aspek gaya, bahwa aspek gaya secara esensial berkaitan dengan wujud pemaparan karya sastra sebagai bentuk penyampaian gagasan pengarangnya. Penggunaan stilistika sebagai metode analisis sastra adalah untuk menghindari kritik sastra yang bersifat



library.uns.ac.id



21 digilib.uns.ac.id



impresionistis dan subjektif. Sudjiman (1990: 17) menjelaskan bahwa stilsitika merupakan ilmu yang meneliti penggunaan bahasa dan gaya bahasa di dalam sebuah karya sastra. Bahasa memiliki peranan penting dalam karya sastra. Hal ini dikarenakan keindahan sebuah karya sastra tergantung pemilihan bahasa yang digunakan pengarang. Bahasa yang memiliki nilai estetis biasanya mengandung unsur stilistika. Hal ini senada dengan pendapat dari Endraswara (Sugiarti, 2010: 559) yang menjelaskan tentang kajian stilistika berdasarkan asumsi bahwa bahasa sastra mempunyai tugas mulia. Bahasa memiliki pesan keindahan dan sekaligus membawa makna. Tanpa keindahan bahasa karya sastra menjadi monoton. Keindahan karya sastra hampir sebagian besar dipengaruhi oleh kemampuan penulis memainkan bahasa. Kelenturan penulis berolah bahasa akan menciptakan keindahan khas karya sastra. Dengan kata lain, bahasa adalah wahana khusus ekspresi sastra. Kemudian, stilistika sendiri merupakan ilmu tentang gaya bahasa dalam karya sastra. Stilistika mengkaji keindahan atau estetika yang terbentuk dari penggunaan bahasa yang tepat dalam karya sastra. Hal ini diperkuat dengan pendapat Ratna (2009: 10) yang mendefinisikan stilistika sebagai berikut: ilmu tentang gaya bahasa, ilmu interdisipliner antara linguistik dengan sastra, ilmu tentang penerapan kaidah-kaidah linguistik dalam penelitian gaya bahasa, ilmu yang menyelidiki pemakaian bahasa dalam karya sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek keindahan sekaligus latar belakang sosialnya. Dari pendapat di atas dapat dijelaskan bahwa stilsitika kesusastraan merupakan disiplin ilmu antara linguistik dan kritik sastra yang menyelidiki estetika dan nilai-nilai yang dihasilkan oleh bentuk-bentuk linguistik untuk menyampaikan tujuan, sikap atau karakter pengarang guna meningkatkan kekuatan dan keefektifan dari pesan yang berkontribusi pada karakterisasi dan membuat fungsi realitas fiksi menjadi efektif dalam kesatuan tematik. Secara umum, penelitian stilistika selalu merujuk pada gaya bahasa atau permajasan. Akan tetapi, ada beberapa unsur stilistika yang dapat kita analisis dalam sebuah karya sastra, seperti pencitraan. Berdasarkan uraian di atas maka



library.uns.ac.id



22 digilib.uns.ac.id



dapat disimpulkan bahwa stilistika adalah ilmu yang mengkaji wujud pemakaian bahasa



dalam



sebuah



karya



sastra



dengan



mempertimbangkan



aspek



keindahannya yang meliputi bahasa figuratif, pemilihan kata atau diksi dalam sebuah karya. Berdasarkan beberapa pengertian yang sudah dijelaskan di atas, penelitian ini mengacu pada pendapat Sudjiman yang mengatakan bahwa gaya bahasa mencakup diksi (gaya kata), gaya kalimat, gaya bunyi, pencitraan, dan permajasan. a) Gaya Kata (Diksi) Gaya kata merupakan unsur yang paling penting dalam karya sastra. gaya kata dapat disebut juga dengan istilah diksi. Dalam penulisan suatu karya sastra, pengarang memiliki pilihan kata yang akan dia gunakan dalam menulis. Pernyataan di atas sejalan dengan pendapat Pradopo (2007: 54) yang menjelaskan bahwa diksi adalah pemilihan kata. Pengarang harus memilih kata yang setepatnya untuk mencurahkan dan mengekspresikan perasaan dan isi pikiran yang dialami batinnya juga dengan ekspresi yang dapat menjelmakan pengalaman jiwa tersebut. Diksi memiliki nilai rasa tertentu sehingga dapat menciptakan efek makna tertentu. Sejalan dengan pernyataan tersebut Al-Ma’ruf (2012: 49) menjelaskan bahwa gaya kata atau diksi dapat diartikan sebagai pilihan kata-kata yang dilakukan oleh pengarang dalam karyanya guna menciptakan efek makna tertentu. Pemilihan kata dalam penulisan karya sastra hendaknya dapat menambah unsur estetik karya sastra tersebut. Selain itu, diksi dapat diartikan sebagai pilihan kata-kata yang dipilih oleh pengarang dalam karyanya guna menciptakan efek makna tertentu. Pilihan kata dalam suatu karya sastra disebut diksi. Diksi tidak hanya dipergunakan untuk menentukan kata apa yang dipilih dalam penulisan karya sastra, melainkan juga harus memperhatikan persoalan gaya bahasa, ungkapan-ungkapan, dan sebagainya. Pernyataan ini sejalan dengan pendapat dari Asis (2010: 104) yang menjelaskan bahwa gaya pemilihan kata/kata-kata dalam karya sastra adalah cara penggunaan kata-kata dalam



teks sastra sebagai



alat



untuk



menyampaikan gagasan dan nilai-nilai estetis tertentu. Bisa dikatakan bahwa



library.uns.ac.id



23 digilib.uns.ac.id



kata merupakan sarana yang digunakan seseorang dalam membuat karya sastra untuk mengungkapkan apa yang dipikirkannya dengan cara yang estetis. Diksi dalam konteks sastra merupakan pilihan kata pengarang untuk mengungkapkan gagasannya guna mencapai efek tertentu dalam karya sastranya. Sementara itu, Sudjiman (1990: 21) menyatakan bahwa yang dimaksud diksi adalah pemilihan kata untuk mengungkapkan gagasan. Diksi yang baik berhubungan dengan pemilihan kata yang bermakna tepat dan selaras, yang penggunaannya cocok dengan pokok pembicaraan, peristiwa, dan khalayak pembaca atau pendengar. Sedikit berbeda dengan pendapat tersebut Keraf (2007: 24) menjelaskan bahwa pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar. Ada banyak kata yang telah ada sejak dahulu. Namun, di antara ribuan kata tersebut ada beberapa kata yang mempunyai kemiripan atau kesamaan makna. Kemiripan atau kesamaan makna dari beberapa kata tersebut merupakan suatu bentuk kekayaan bahasa. Adanya beberapa kata yang memiliki makna yang sama, orang-orang memiliki pilihan dalam menentukan kata-kata yang akan diungkapkannya. Diksi dibagi menjadi beberapa bagian, berikut penjelasan mengenai macam-macam gaya kata. 1) Kata Konotatif Secara garis besar, cakupan diksi adalah kata konotatif dan leksem. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Suwandi (2011: 97) yang menjelaskan bahwa jika makna sebuah leksem tersebut bersifat netral, maka leksem tersebut bermakna denotatif. Namun, jika leksem mengandung nilai rasa tertentu, makna leksem bermakna konotatif. Mengenai makna konotatif Pradopo (2005: 59) menjelaskan bahwa konotasi adalah kumpulan asosiasi-asosiasi perasaan yang terkumpul dalam sebuah kata yang diperoleh dari setting yang dilukiskan. Al-Ma’ruf



library.uns.ac.id



24 digilib.uns.ac.id



(2012: 53) juga menambahkan, konotatif adalah kata yang mengandung makna komunikatif yang terlepas dari makna harfiahnya yang didasarkan atas perasaan dan/atau pikiran pengarang atau persepsi pengarang tentang sesuatu yang dibahaskan. Makna konotatif sebagian terjadi karena pembicara ingin menimbulkan perasaan setuju-tidak setuju, senang-tidak senang dan sebagainya pada pihak pendengar. Di pihak lain, kata yang dipilih itu memperlihatkan bahwa pembicaranya juga memendam perasaan yang sama. Biasanya kata konotatif digunakan untuk menambah unsur estetika atau keindahan dalam suatu karya sastra. Memahami makna konotatif jauh lebih sulit dibandingkan makna denotatif. Untuk memperoleh makna konotatif yang dapat dimengerti, pilihan kata atau diksi memegang peran penting. Jika salah dalam memilih kata, maka makna konotatif tersebut akan sulit, atau bahkan tidak dapat dipahami. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa makna konotatif adalah makna yang memiliki nilai rasa tertentu atau makna yang tidak secara harfiahnya. Contoh: Agama ageming aji (lirik tembang pangkur) “Agama pegangan yang baik” Jika diterjemahkan berdasarkan kata, lirik tembang ini memiliki arti “agama pakaian kebaikan”. Dalam lirik tembang tersebut, pengarang menggunakan kata ageming yang berasal dari kata dasar agem yang berarti ‘pakai’. Sesuatu yang dipakai di badan manusia mempunyai maksud untuk menutupi auratnya. Di sini, sesuatu yang dipakai manusia diartikan sebagai pegangan yang selalu dipakai manusia untuk senantiasa berbuat kebaikan sehingga lirik tembang ini dapat diartikan ‘agama pegangan yang baik’.



library.uns.ac.id



25 digilib.uns.ac.id



2) Kata Konkret Pengarang suatu karya sastra diharapkan dapat memperjelas ungkapan yang ada dalam karya sastranya supaya pembaca seolah-olah dapat melihat, mendengarkan, atau merasakan keadaan yang dituliskan pengarang. Menurut Scott (Al Ma’ruf, 2012: 53) menjelaskan bahwa kata konkret



merupakan



kata



yang



dapat



dilukiskan



dengan



tepat,



membayangkan dengan jitu akan apa yang hendak dikemukakan oleh pengarang. Hal ini sejalan dengan pendapat dari Waluyo (2010: 94) yang menjelaskan bahwa kata konkret merupakan akibat dari pencitraan katakata yang diciptakan pengarang sehingga menimbulkan citraan pembaca yang menimbulkan imaji (daya bayang) pembaca. Jika daya imaji yang ditangkap oleh pembaca merupakan efek pengimajian dari kata-kata yang digunakan pengarang, maka kata-kata konkret yang memiliki makna lugas atau sesungguhnya itu merupakan sebab dari munculnya pengimajian tersebut. Menurut Nurgiyantoro (2013: 304) menjelaskan bahwa pencitraan dapat dipergunakan untuk mengkonkretkan pengungkapan gagasan-gagasan yang sebenarnya abstrak melalui kata-kata dan ungkapan yang mudah membangkitkan tanggapan imajinasi. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kata konkret adalah gaya kata yang hampir sama dengan pencitraan. Gaya kata ini lebih menekankan pada imaji pembaca. Contoh: Dumadakan tangane kumlawe nyilakake rambutku saka pipi. Dumadakan atiku kumesar. Tanganku digegem kenceng. (Antologi cerkak Rembulane Wis Ndhadhari, Ing Kana Ana Gang Opor Wewe: 37) “Tiba-tiba tangannya membelai rambutku dari pipi. Tiba-tiba hatiku bergetar. Tanganku digenggam erat.” Kutipan di atas mengandung kata konkret. Kata tersebut pengongkretan keadaan seorang wanita yang sedang disentuh oleh laki-



library.uns.ac.id



26 digilib.uns.ac.id



laki. Melalui penjelaskan dari penutur semakin memperjelas bagaimana situasi saat itu. 3) Kata Seru Kata seru merupakan kata yang digunakan pengarang pada awal seruan untuk menegaskan suatu gagasan Pernyataan ini diperkuat dengan pendapat Kridalaksana (2008: 112) yang menyatakan bahwa kata seru adalah kata atau frase yang dipakai untuk mengawali seruan. Sementara itu, menurut Al-Ma’ruf (2010: 122) menyatakan bahwa kata seru juga dapat digunakan pengarang untuk menambah unsur estetis dalam karya sastranya, yaitu untuk mengekspresikan gagasan yang dikemukakan. Dalam karya sastra berbentuk prosa, misalnya novel, kata seru lazim digunakan untuk menciptakan suasana santai, akrab, dalam hubungan informal. Dapat disimpulkan bahwa kata seru merupakan kata yang digunakan pengarang untuk menegaskan suatu gagasan, kata ini berada di awal seruaan, kata seruan ini juga digunakan pengarang untuk menambah nilai keindahan sebuah karya sastra. Contoh: Lah Jeng Yoek iki kebangetan, manggon ono kene setaun kok ora pirsa carane wong nyambut gawe ono sawah (Antologi cerkak Rembulane Wis Ndhadhari, Mitra: 85) “Lah Jeng Yoek ini kebangetan, tinggal di sini sudah setahun kok ga pernah lihat caranya orang bekerja di sawah.” Pada kata pertama pengarang menggunakan kata seru lha. Jika dalam penulisan bahasa Indonesia, kata lah tersebut sering ditulis ‘lha’ dalam situasi tidak formal. Kata lah tersebut bertujuan untuk menegaskan gagasan yang diungkapkan pengarang. Kata lah tersebut menegaskan bahwa seorang bernama Jeng Yoek yang belum mengetahui caranya orang bekerja di sawah di suatu wilayah yang sudah dia tinggali selama setahun ini.



library.uns.ac.id



27 digilib.uns.ac.id



4) Kata Serapan Kata serapan merupakan kata yang diambil dari bahasa asing atau daerah. Kata ini biasanya sudah beradaptasi kedalam bahasa itu sendiri. Kata serapan ini akan menimbulkan nilai keindahan tersendiri bagi sebuah karya pengarang. Pernyataan ini sejalan dengan pendapat Al Ma’ruf (2012: 56) yang menjelaskan bahwa kata serapan merupakan kata yang diambil atau dipungut dari bahasa lain, baik bahasa asing maupun bahasa daerah, baik mengalami adaptasi struktur, tulisan, dan lafal, maupun sudah dan tidak dikategorikan sebagai kosakata bahasa Indonesia. Kata serapan tersebut ada yang mengalami perubahan struktur tulisan, ada juga yang tidak mengalami perubahan. Pendapat di atas didukung oleh pendapat Keraf (2007: 58) yang berbunyi kata serapan yang mengalami adaptasi (penyesuaian) biasanya dari bahasa Barat seperti bahasa Latin, Perancis, Arab, Belanda, dan Spanyol. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kata serapan merupakan kata yang diambil dari bahas asing atau bahasa daerah yang diterapkan dalam sebuah kalimat atau karya sastra. Contoh: Rasa syukur marang paringane Allah bisa mahanani ati tentrem, urip tentrem. (Antologi cerkak Rembulane Wis Ndhadhari, Sawise Sertifikasi: 166) “Rasa syukur terhadap pemberian Allah bisa membuat hati tentram, hidup tentram.” Dalam kutipan di atas dapat pengarang menggunakan sebutan Allah untuk menyebutkan Tuhan. Kata tersebut di serap dari bahasa Arab, biasanya orang Jawa akan menyebut Allah dengan kata Gusti. 5) Kata Sapaan dan Nama Diri Aspek diksi selanjutnya adalah kata sapaan khas atau nama diri. Nama diri yang dipakai sebagai sapaan adalah kata yang dipakai untuk menyebut diri seseorang, kata ini digunakan untuk menunjukkan orang atau sebagai penanda identitas seseorang. Pernyataan ini diperkuat dengan



library.uns.ac.id



28 digilib.uns.ac.id



pendapat Keraf (2007: 90) yang menjelaskan bahwa kata sapaan atau nama diri adalah istilah yang paling khusus, tetapu menimbulkan konotasi yang berlainan dalam perkembangan waktu dalam budaya tertentu. Sedikit berbeda dengan pendapat sebelumnya, Al Ma’ruf (2012: 54) menjelaskan bahwa nama diri atau sapaan merupakan satuan lingual yang dapat disebut sebagai tanda, dimana tanda tersebut berfungsi sebagai sebutan untuk menunjukkan orang atau sebuah penanda identitas seseorang. Kata sapaan ini dapat berupa kata, frasa yang digunakan untuk menyapa atau menyebut seseorang. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kata sapaan selain berfungsi sebagai penanda identitas, juga dapat berfungsi sebagai simbol tentang sesuatu. Contoh: “Wuk tulung jupukke sega kanggo adhimu.” Terjemahan: Nak (cewek) tolong ambilkan nasi buat adikmu. Kutipan di atas terdapat kata ‘Wuk’ yang memiliki arti nak, kata ini digunakan oleh orang tua untuk memanggil anak perempuannya. Kata tersebut merupakan kata ganti orang kedua. Kata ini digunakan oleh masyarakat di Jawa (Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DIY). Kata “Wuk” ini berasal dari kata “bawuk” yang merupakan sebuah kata yang digunakan untuk menyebutkan kelamin perempuan. Kata ini digunakan oleh seseorang yang lebih tua dalam sebuah keluarga (ibu, nenek, bibi, dan tante) kepada seorang anak perempuan yang masih kecil dalam keluarga tersebut. Kata ini digunakan untuk menunjukkan hubungan kerabat penutur dengan yang dipanggil. Selain kata sapaan khas di atas, di bawah ini terdapat satu contoh kata sapaan khas dari daerah Jawa Timur. Contoh: “Ison kowe uwis sembahyang durung?” Terjemahan: Nak kamu sudah solat belum?



library.uns.ac.id



29 digilib.uns.ac.id



Dalam kutipan di atas terdapat kata “Ison” yang merupakan kata sapaan khas sebagian orang Jawa Timur, tepatnya daerah sekitar perbatasan Banyuwangi. Kata “Ison” ini memiliki arti “Nak”. Kata ini dapat digunakan untuk memanggil perempuan dan laki-laki, tergantung penutur mengucapkannya kepada siapa. Kata “Ison” ini dapat digunakan oleh orang tua kepada anak, kakak kepada adiknya, adik kepada kakaknya, dan dapat digunakan oleh sesama teman. Kata ini hampir sama dengan kata “ingson” yang berarti kamu dalam bahasa osing Banyuwangi, namun beda arti dan kegunaannya. 6) Kata dengan Objek Realitas Alam Penyebutan suatu nama tempat atau penggambaran suatu daerah tertentu akan menambah kesan realitas alam yang dibangun pengarang dalam karya sastranya. Salah satu penggambaran tersebut adalah penggambaran mengenai keadaan daerah atau alam, Sehingga tidak jarang pula kata dengan objek realitas alam ini akan memunculkan daya imaji atau citraan pembaca. pernyataan di atas sejalan dengan pendapat Al Ma’ruf (2012: 57) yang menjelaskan bahwa kata dengan objek realitas alam adalah kata atau frasa (bahkan tidak sedikit yang berbentuk klausa) yang menggunakan objek atau suasana alam. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kata dengan objek realitas alam adalah penggambaran suatu realitas alam yang digambarkan oleh pengarang agar pembaca dapat merasakan keadaan alam yang dijelaskan dalam cerita. Contoh: Colt iku mandheg ing tengahe bulakan, Pram mudhun. Ransele dicangking. Banjur ngener ing lurung sepi tengah-tengah bulak kono. Ketiga ngerak, panase sumelet, tegalan kiwa tengene katon cengkar, nelanela. (Antologi cerkak Rembulane Wis Ndhadhari, Sumendhe Ing Pepesthen: 60) “Colt itu berhenti di tengah sawah, Pram turu. Ranselnya dibawa. Lalu berjalan di jalan sepi tengah-tengah sawah sana. Musim kemarau yang



library.uns.ac.id



30 digilib.uns.ac.id



kering, panasanya membakar, sawah-sawah kiri kananya terlihat gersang, tanahnya berongga.” Pada contoh di atas menjelaskan tentang keadaan alam ketika musim kemarau di suatu tempat. Kalimat di atas membuat pembaca tergugah akan imajinya saat membaca. 7) Kata Vulgar Aspek diksi berikutnya adalah kata vulgar. Kata vulgar merupakan kata yang kurang terpelajar. Hal ini didukung oleh pendapat Saddhono (2013: 38) yang menjelaskan bahwa kata vulgar adalah kata yang ciri-ciri pemakaian bahasanya oleh kelompok sosial yang kurang terpelajar atau dari kalangan yang tidak berpendidikan. Hal ini didukung oleh pendapat dari Al-Ma’ruf (2012: 57) yang menjelaskan bahwa kata vulgar merupakan kata-kata yang tidak intelek, kurang beradab, dipandang tidak etis, dan melanggar sopan santun yang berlaku dalam masyarakat berpendidikan. Dalam lingkungan masyarakat kata vulgar merupakan kata yang kurang sopan untuk diucapkan, terlebih lagi diucapkan kepada orang yang lebih tua. Kata ini biasanya digunakan untuk mengatai atau menghina. Jadi dapat disimpulkan bahwa kata vulgar merupakan kata-kata yang tidak intelek, kurang beradab, dipandang tidak etis dan melanggar sopan santun atau etika sosial yang berlaku dalam masyarakat intelek atau terpelajar. Contoh: Dumadakan lambeku diambung karo Teguh, aku kaget nanging ora bisa ngapa-ngapa “tiba-tiba bibirku dicium oleh Teguh, aku kaget tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa.” Kutipan di atas mengandung kata vulgar dimana tidak ada penghalus bahasa di dalamnya. Adegan di mana ciuman itu merupakan kata vulgar yang tidak patut untuk dicontoh.



library.uns.ac.id



31 digilib.uns.ac.id



8) Pemanfaatan bahasa kias Kata kias merupakan kata yang digunakan oleh seorang pengarang untuk menggambarkan suatu objek dengan menggunakan kata lain. Hal ini diperjelas dengan pendapat Chaer (2009: 77) yang menyatakan bahwa kata kias merupakan semua bentuk bahasa (kata, frasa, maupun kalimat) yang tidak merujuk pada arti sebenarnya. Menurut istilah bahasa Jawa kata kias memiliki nama tembung entar, menurut Padmosoekotjo (1960: 56) menyatakan bahwa tembung entar yaiku tembung silihan. Tembung kang ora kena ditegesi sawantahe wae. Artinya kata kias merupakan kata yang dipinjam. Kata yang tidak bisa diartikan secara mentah-mentah. Hal ini dapat disimpulkan bahwa kata kias merupakan kata yang tidak merujuk pada arti sebenarnya, kata ini tidak dapat diartikan secara mentah-mentah. Contoh: Lambe turah makna sebenarnya suka bergosip Adus kringet makna sebenarnya bekerja keras dan sungguh-sungguh 9) Sinonim (Persamaan Kata) Gaya kata ini merupakan penggunaan kata yang memiliki arti yang sama untuk menggantikan kata tersebut. Hal ini biasanya digunakan pengarang dengan tujuan memperindah karyanya. Sejalan dengan pernyataan tersebut Keraf (2007: 34) menjelaskan bahwa sinonim atau sinonimi merupakan keadaan di mana dua kata atau lebih memiliki makna yang sama. Hampir sama dengan pendapat sebelumnya, Padmosoekotjo (1960: 88) berpendapat bahwa sinonim atau tembung dasanama yaiku tembung-tembung kang padha tegese utawa meh padha tegese. “sinonimi merupakan kata-kata yang sama artinya atau hampir sama.” Dapat ditarik kesimpulan bahwa sinonim merupakan kata yang memilik arti sama atau hampir sama dalam sebuah kalimat. Contoh: Srengenge: surya, baskara, bagaskara, lsp Ati: driya, galih, kalbu, nala, penggalih, prana, tyas, wardaya.



library.uns.ac.id



32 digilib.uns.ac.id



Gunung: aldaka, ancala, arga, ardi, giri, meru, parwata, prabata, wukir. 10) Simbolisme Lambang atau simbolisme memiliki hubungan tidak langsung dengan kenyataan. Menurut Djajasudarma (2009: 37) simbol merupakan tanda yang berbentuk huruf-huruf. Cara mengungkapkan simbol dapat melalui beberapa macam, seperti dengan cara tingkah laku, gambar, dan kalimat. Contoh: Bhineka Tunggal Ika = simbol atau lambang negara Indonesia Kencana Jaya Kerta Bhumi = lambang kota Blora 11) Idiom Majas ini merupakan konstruksi yang maknanya tidak sama dengan gabungan makna anggotanya. Idiom hampir peribahasa dalam bahasa Indonesia, yang membedakannya adalah idiom bersifat lebih luas. Maknanya tergantung konteks yang dibicarakan. Lebih jelasnya lagi AlMa’ruf (2012: 72) menjelaskan bahwa idiom merupakan konstruksi unsurunsur yang saling memilih, masing-masing anggota mempunyai makna yang ada hanya karena bersama yang lain. Sedikit berbeda dengan pendapat sebelumnya, Keraf (2007: 109) menjelaskan bahwa idiom merupakan pola-pola structural yang menyimpang dari kaidah-kaidah bahasa yang umum, biasanya berbentuk frasa, sedangkan artinya tidak bisa diterangkan secara logis atau secara gramatikal, dengan bertumpu pada makna kata-kata yang membentuknya. Contoh: Seseorang telah mengetahui makna kata “makan” dan “tangan”, tidak akan memahami makna frasa “makan tangan” jika tidak disertai kalimat dan konteks yang mendukung. Makan tangan dapat memiliki arti “kena tinju” atau “beruntung besar”. 12) Tembung Kawi Tembung Kawi termasuk bahasa Sanksekerta, hanya saja istilah tembung kawi ini lebih sering digunakan dalam kasusastran Jawa atau



library.uns.ac.id



33 digilib.uns.ac.id



sebagai retorika. Biasanya tembung Kawi lebih sering digunakan oleh pujangga atau penyair. Hal ini diperjelas oleh pendapat Patmosoekotjo (1960: 27) yang menyatakan bahwa tembung Kawi yaiku tembung Sanksekerta utawa tembung Jawa kuna. Artinya tembung Kawi adalah kata yang berasal dari bahasa Sanksekerta atau kata Jawa kuna. Kata ini biasanya digunakan pengarang untuk memperindah karya-karyanya. Contoh: Ing awan iki bagaskara katon ndhelik ing suwalike mendhung Terjemahan: Di siang ini matahari terlihat bersembunyi di balik awan. Bagaskara: srengenge, matahari 13) Afiksasi Arkais Afiksasi merupakan bentuk terikat yang dapat ditabahan di awal, tengah, maupun akhir kata. afiksasi ini digunakan pengarang untuk memperindah karyanya. Lebih jelasnya lagi Putrayasa (2008: 5) mendefinisikan afiksasi sebagai proses pembentukan kata dengan bubuhan afiks (imbuhan) pada bentuk dasar, baik bentuk dasar tunggal maupun kompleks Contoh: Rasa tresnamu marang aku uwis kinancing ing jero atiku.



Terjemahan: “Rasa cintamu kepadaku sudah terkunci di dalam hatiku’ Kata kinancing berasal dari kata kancing dan mendapatkan ibuhan –in ditengah kata sehingga menjadi kinancing. Penelitian tentang diksi pernah dilakukan oleh Setiyawati (2005) dengan judul Analisis Diksi dan Gaya Bahasa Dalam Lirik Lagu rap. Dalam penelitian ini, diksi yang dikaji yaitu pada penggunaan makna konotasi, penggunaan kata serapan dari bahasa Indonesia, serapan dari bahasa asing, kata khusus, makna kata, dan gaya bahasa. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan, penulis akan menekankan diksi pada kawruh kagunan



library.uns.ac.id



34 digilib.uns.ac.id



bahasa Jawa yaitu penggunaan tembung saroja, tembung kawi, plutan, garba, yogyaswara, dasanama, rura basa, tembung entar, dan lain-lain. Sejalan dengan teori di atas, Padmosoekotjo (1960: 37) menyebutkan beberapa kata dan bahasa yang dapat dipakai dikasusastraan Jawa agar cerkak indah. Beberapa gaya sudah disebutkan di atas, seperti simbolisme (pralambang), tembung kawi, pemanfaatan bahasa kias (tembung entar), sinonimi (dasanama). Di bawah ini termasuk kata dan bahasa yang dapat digunakan dalam kasusastran Jawa yang belum disebutkan di atas. 1) Tembung saroja Tembung saroja yaitu dua kata yang memiliki makna hampir sama dan digunakan secara bersama-sama. Biasanya memiliki unsur bunyi yang sama atau hampir sama. Tembung saroja ateges tembung loro utawa luwih sing meh padha tegese dirangkep dadi siji, nduweni teges mbangetake. “Dua kata atau lebih yang memiliki kesamaan makna dan di gabungkan menjadi satu, dengan tujuan melebihkan”. Contohnya: Kang wus kebak dosa…angkara murka (Takbir Katresnan, Romaluatis, majalah PS: Oktober 2013). Takbir kanggo ndhedher rasa lila legawa (Takbir Katresnan, Romaluatis, majalah PS: Oktober 2013). Angkara murka = kejahatan. Lila legawa = ikhlas atau rela. 2) Tembung yogyaswara Yogyaswara berasal dari kata ‘yogya’ yang berarti becik dan swara ‘suara’. Yogyaswara yaiku tembung loro sing dirangkep dadi siji sing nduweni teges lanang wadon, “yogyaswara yaitu dua kata yang digabung menjadi satu, yang memiliki makna laki-laki perempuan”. Contoh: Dewa-dewi Pemudha-Pemudhi



library.uns.ac.id



35 digilib.uns.ac.id



Yaksa-yaksi Contoh dalam kalimat: Para pemudha-pemudhi padha sayuk rukun ngresiki desa “Para pemuda-pemudi bersama-sama gotong royong membersihkan desa”. 3) Tembung garba Tembung garba yaiku tembung loro sing dirangkep dadi siji, nanging kanggo ngurangi cacahing wanda. Tembung garba yaitu dua kata yang digabung menjadi satu, bertujuan untuk mengurangi jumlah suku kata. Contoh: Prapta + ing = prapteng Iya + iku = yeku Sura + ing = sureng Parama+iswari= prameswari Contoh dalam kalimat: Dadya prameswari kang mituhu marang raja “Jadilah ratu yang taat terhadap raja” 4) Tembung plutan Tembung plutan yaiku tembung sing diringkes cacahing wanda supaya luwih sethithik. Tembung plutan yaitu kata yang diringkas atau dikurangi jumlah suku katanya agar lebih sedikit. Contoh: Serat menjadi srat Suwara menjadi swara Contoh kalimat: Swara iku bali nasak ati kang sepi “Suara itu kembali masuk kehati yang sepi” 5) Rura basa Rura tegese rusak utawa salah. Rura basa tegese basa sing wis rusak utawa luput, nanging yen dibenerake dadi saya salah. Mula rura



library.uns.ac.id



36 digilib.uns.ac.id



basa uga diarani basa sing salah kaparah. ‘Rura berarti rusak atau salah. Rura basa berarti bahasa yang salah, tetapi jika dibenarkan menjadi lebih salah. Maka rura basa juga disebut sebagai bahasa yang salah kaprah. Contoh: Nguleg sambel yang benar yaitu nguleg lombok Adang sega yang benar yaitu adang beras Nggodhog wedang yang benar yaitu nggodhog banyu Dari penjelasan mengenai diksi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa bahasa Jawa memiliki diksi tersendiri. Diksi dalam bahasa Jawa berupa kawruh kagunan basa yang meliputi tembung saroja, tembung yogyaswara, tembung garba, tembung plutan, rura basa, tembung entar, tembung dasanama, pralambang, purwakanthi, tembung kawi, dan afiksasi arkhais. Dalam bahasa Jawa, tembung-tembung di atas disebut sebagai basa rinengga. b) Gaya Kalimat Setelah menentukan diksi yang digunakan untuk menyusun suatu karya sastra, maka diksi-diksi tersebut akan membentuk suatu kalimat. Menurut Nurgiyantoro (2013: 292‒293) menyatakan bahwa kalimat merupakan salah satu unsur penting dalam penambahan unsur estetik penulisan karya sastra. Ditinjau dari kepentingan gaya bahasa, kalimat lebih penting dan bermakna daripada sekedar kata walaupun kegayaan kalimat dalam banyak hal juga dipengaruhi oleh pilihan kata. Menurut Keraf (2007: 124) struktur kalimat dapat dijadikan landasan untuk menciptakan gaya bahasa. Terkadang untuk mencapai efek estetis yang diharapkan, pengarang melakukan penyimpangan struktur kalimat. Menurut Al-Ma’ruf (2010: 36) penyimpangan struktur kalimat itu dapat bermacam-macam wujudnya, mungkin berupa pembalikan, pemendekan, pengulangan, penghilangan unsur tertentu, dan sebagainya. 1) Kalimat dengan Penyiasatan Struktur Kalimat dengan penyiasatan struktur menurut Al-Ma’ruf (2010: 137‒140) adalah sebagai berikut.



library.uns.ac.id



37 digilib.uns.ac.id



(a) Kalimat Inversi atau Anastrof Gaya bahasa ini merupakan pembalikan susunan kata yang biasa dalam sebuah kalimat. Pernyataan ini didukung oleh pendapat Keraf (2007:130) yang menjelaskan bahwa anastrof atau inversi adalah semacam gaya retoris yang diperoleh dengan pembalikan susunan kata yang biasa dalam kalimat. Menurut Ducrot & Todorov (Tarigan, 2013: 85) anastrof atau inversi adalah gaya bahasa yang merupakan permutasi atau perubahan urutan unsur-unsur kontruksi sintaksis. Lebih jelasnya lagi Al-Ma’ruf (2012: 112) menjelaskan inversi adalah semacam gaya bahasa retoris yang digunakan dengan pembalikan susunan kata yang biasa dalam kalimat. Kesimpulannya adalah anastrof atau inversi adalah gaya bahasa yang diperoleh dengan pembalikan susunan kata yang biasanya. Contoh: “Pergilah



ia



meninggalkan



kami,



keheranan



kami



melihat



peringainya.” Dalam kutipan di atas terjadi pembalikan susunan kata yang biasa dalam kalimat. Seharusnya susunan kata dalam kalimat di atas adalah ‘Iya pergi meninggalkan kami, kami keheranan melihat peringainya.’ (b) Kalimat Elipsis Gaya bahasa ini merupakan penghilangan kata yang seharusnya memenuhi bentuk kalimat, akan tetapi kata tersebut dapat ditafisrkan dan diisi sendiri oleh pembaca. pernyataan ini didukung oleh pendapat Tarigan (2013: 133) yang menjelaskan bahwa ellipsis adalah gaya bahasa yang didalamnya dilaksanakan penanggalan atau penghilangan kata atau kata-kata yang memenuhi bentuk kalimat berdasarkan tata bahasa. Sementara itu, Keraf (2007: 132) berpendapat bahwa ellipsis adalah suatu gaya yang berwujud menghilangkan suatu unsur kalimat yang dengan mudah dapat diisi atau ditafsirkan sendiri oleh pembaca atau pendengar, sehingga struktur gramatikal atau kalimatnya



library.uns.ac.id



38 digilib.uns.ac.id



mmemenuhi pola yang berlaku. Kesimpulannya adalah gaya kalimat elipsis merupakan gaya bahasa yang menghasilkan kalimat rumpang atau



yang



mengandung



suatu



unsur



yang



dengan



sengaja



disembunyikan. Contoh: Kowe isih ora percaya yen saka segi pisik sliramu ora apa-apa, awakmu sehat, nangis psikis…. Terjemahan: “Masihkah kau tidak percaya bahwa dari segi fisik engkau taka pa-apa, badanmu sehat, tetapi psikis….” Dalam kalimat di atas terdapat kata yang dihilangkan, yang mana kata tersebut diharapkan pembaca dapat menafsirkan sendiri apa isinya. (c) Kalimat Pendek dan Sederhana Seperti istilahnya kalimat sederhana ini hanya terdiri dari subjek saja atau subjek predikat. Pernyataan ini sejalan dengan pendapat dari Al-Ma’ruf (2010: 138) yang menjelaskan bahwa kalimat pendek dan sederhana adalah kalimat yang hanya terdiri atas subjek saja atau subjek dan predikat. Tujuan dari penulisan kalimat pendek dan sederhana ini supaya kalimat menjadi lebih efektif sehingga tidak ada kata yang mubazir atau tidak terpakai, melalui pemendekan kalimat ini penegasan makna dalam kalimat yang dibuat pengarang akan semakin jelas. Contoh: Panjenengan mesem. (Antologi cerkak Rembulane Wis Ndhadhari, Dheweke Sebenere Mitraku Kang Setya: 17) Terjemahan: “kamu tersenyum.”



library.uns.ac.id



39 digilib.uns.ac.id



Dalam kalimat diatas hanya terdapat susunan subjek dan predikat. “Kamu” merupakan subjek dan “Mesem” merupakan predikat. (d) Kalimat Majemuk Kalimat majemuk merupakan kalimat yang memiliki dua pola kalimat atau lebih. Kalimat majemuk terdiri dari induk dan anak kalimat. Menurut Al-Ma’ruf (2010: 139) menjelaskan bahwa kalimat majemuk merupakan pemanfaatan kalimat yang terdiri atas dua klausa atau lebih, baik kalimat majemuk setara maupun majemuk bertingkat. Sejalan dengan pendapat di atas Kridalaksana (2008: 105) menjelaskan bahwa kalimat majemuk adalah kalimat yang terjadi dari beberapa klausa bebas. Unsur keindahan yang ingin dimunculkan pengarang akan lebih jelas dengan pemanfaatan kalimat majemuk ini. Contoh: Arsyad sregep latian olahraga bal-balan kamangka saiki dheweke dadi atlet unggulan Indonesia. Terjemahan: “Arsyad rajin berlatih olahraga sepak bola sehingga dia menjadi atlet unggulan Indonesia.” Dalam kutipan di atas merupakan kalimat majemuk setara yang mana lebih mengacu pada setara sebab akibat. Hal ini nampak pada kutipan di atas yang menyebutkan penyebab Arsyad menjadi atlet unggulan Indonesia adalah latihan rajin yang dilakukannya. (e) Penggunaan Konjungsi pada Awal Kalimat Konjungsi merupakan kata penghubung dalam sebuah kalimat. Dalam kajian ini konjungsi digunakan di awal kalimat. Pernyataan di atas didukung oleh pendapat Kridalaksana (2008: 131) yang menjelaskan bahwa konjungsi merupakan partikel yang digunakan untuk menggabungkan kata dengan kata, frase, klausa, kalimat dengan kalimat, atau paragraf dengan paragraf. Sedikit berbeda dengan pendapat di atas Al-Ma’ruf (2010: 140) menyatakan bahwa menurut



library.uns.ac.id



40 digilib.uns.ac.id



aturan kaidah bahasa Indonesia, penulisan konjungsi pada awal kalimat yang bertujuan untuk menekankan gagasan tertentu merupakan suatu bentuk penyimpangan. Konjungsi tidak boleh diletakkan pada awal kalimat. Namun, pengarang terkadang melakukan penyimpangan dengan menggunakan konjungsi pada awal kalimat. Hal ini bertujuan untuk menekankan gagasan tertentu yang ingin dikemukakan pengarang. Ada beberapa jenis konjungsi, antara lain konjungsi yang menyatakan sebab akibat, perbandingan, penambahan, syarat, dan lainlain. Contoh: Bener dheweke, bener omah gebyok kebak tanduran puspanyidra. Nanging iki memori lawas, lawas banget. (Antologi cerkak Rembulane Wis Ndhadhari, Ing Kana Ana Gang Opor Wewe: 37) “Betul dia, betul rumah Jawa yang penuh dengan tanaman bunga. Tapi ini memori lama, lama banget.” Dalam kutipan di atas terdapat konjungsi atau kata penghubung yang diletakkan di awal kalimat, kata tersebut adalah “nanging”. 2) Kalimat dengan Sarana Retorika Kalimat dengan penyiasatan sarana retorika menurut Al-Ma’ruf (2010: 141‒145) adalah sebagai berikut. (a) Kalimat Paralelisme Paralelisme termasuk gaya bahasa dengan menonjolkan kata atau kelompok kata yang sama fungsinya. Hal ini sejalan dengan pendapat Tarigan (2013: 131) yang mengemukakan bahwa paralelisme adalah semacam gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau frase-frase yang menduduki fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama. Pendapat tersebut didukung oleh pendapat Al-Ma’ruf (2012: 111) yang menyatakan bahwa gaya bahasa paralelisme merupakan gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau frasa-frasa yang



library.uns.ac.id



41 digilib.uns.ac.id



menduduki fungsi yang sama dalam bentuk grmatikal yang sama. Hampir sama dengan pendapat di atas, Keraf (2007: 126) berpendapat bahwa paralelisme adalah gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata atau frase yang menduduki fungsi yang sama dengan bentuk gramatikal yang sama. Sementara itu, Nurgiyantoro (2013: 407) berpendapat paralelisme adalah gaya bahasa yang menunjuk pada penggunaan bagian-bagian kalimat yang mempunyai kesamaan struktur gramatikal secara berurutan. Jadi dapat disimpulkan bahwa paralelisme adalah gaya bahasa yang berusaha mengulang kata atau yang menduduki fungsi gramatikal yang sama untuk mencapai suatu kesejajaran. Contoh: “Bukan saja perbuatan itu harus dikutuk, tetapi juga harus diberantas.” Dalam kutipan di atas terdapat kesejajaran kata yang membuat kalimat ini termasuk gaya bahasa paralelisme. Kata yang disejajarkan adalah “kutuk” dan “berantas”. (b) Kalimat Repetisi Terdapat berbagai stile yang terlahir dari penyiasatan struktur kalimat. Salah satu jenis yang banyak dipergunakan orang adalah yang berangkat dari bentuk pengulangan, repetisi baik yang berupa pengulangan bunyi, kata, bentukan kata, frase, kalimat, maupun bentuk-bentuk yang lain (Nurgiyantoro, 2013: 406). Pendapat tersebut didukung oleh pendapat Keraf (2007: 127) yang menyatakan bahwa repetisi adalah perulangan bunyi, suku kata, kata, atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam konteks yang sesuai. (1) Epizeuksis Repetisi ini merupakan perulangan kata secara langsung, kata yang dipentingkan diulang-ulang secara langsung. Hal ini sejalan dengan pendapat Keraf (2007: 127) yang menjelaskan bahwa yang dinamakan epizeukis adalah repetisi yang bersifat



library.uns.ac.id



42 digilib.uns.ac.id



langsung, artinya kata-kata yang dipentingkan diulang beberapa kali berturut-turut. Sejalan dengan Keraf, Sumarlam, dkk (2003: 35) berpendapat bahwa epizeukis adalah pengulangan satuan lingual (kata) yang dipentingkan beberapa kali secara berturutturut. Sementara itu, menurut Tarigan (2013: 182) epizeuksis adalah gaya bahasa perulangan yang bersifat langsung, yaitu kata yang ditekankan atau yang dipentingkan diulang beberapa kali berturut-turut. Kesimpulannya adalah epiizeuksis merupakan perulangan kata yang bersifat langsung secara berturut-turut untuk menegaskan maksud. Contoh: Kita kudu makarya, makarya, lan makarya kanggo nututi kabutuhan urip iki Terjemahan: “Kita harus bekerja, bekerja, dan bekerja untuk mengejar kebutuhan hidup ini.” Dalam kalimat di atas mengandung gaya bahasa epizeuksis yang mana kata “makarya” di sini lebih ditekankan. (2) Tautotes Tautotes merupakan repetisi atau perulangan dalam sebuah konstruksi. Keraf (2007: 127) berpendapat bahwa tautotes adalah gaya bahasa perulangan atau repetisi atas sebuah kata berulangulang dalam sebuah konstruksi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tautotes merupakan pengulangan kata yang sifatnya saling bertautan untuk memberikan penegasan maksud. Contoh: Kowe ngaploki dheweke, dheweke ngaploki kowe, kowe lan dheweke ra ono bedane Terjemahan: “Kau memukuli dia, dia memukuli kau, kau dan dia taka ada bedanya”



library.uns.ac.id



43 digilib.uns.ac.id



Dalam kutipan di atas kata yang diulang-ulang dalam sebuah konstruksi adalah kata “Ngaploki” yang memiliki arti memukuli. (3) Anafora Anafora merupakan gaya bahasa perulangan yang mana kata pertama tiap baris atau kalimat diulang di baris atau kalimat berikutnya. Sumarlam, dkk (2003: 36) berpendapat bahwa anafora adalah pengulangan satuan lingual berupa kata atau frasa pertama pada tiap baris atau kalimat berikutnya. Sejalan dengan pendapat sebelumnya Tarigan (2013: 184) berpendapat bahwa anafora adalah gaya bahasa repetisi yang berupa perulangan kata pertama pada setiap baris atau setiap kalimat. Pengertian tidak jauh berbeda dikemukakan oleh Sutejo (2010: 28) yang menyatakan bahwa anafora adalah gaya bahasa yang menggunakan kata atau frasa yang sama di depan larik-larik secara berulang-ulang. Lalu menurut Keraf (2007: 127) anafora adalah repetisi yang berwujud pengulangan kata pertama pada tiap baris atau kalimat berikutnya. Sependapat dengan itu, Nurgiyantoro (2013:407) menjelaskan bahwa anafora adalah pengulangan kata pada awal beberapa kalimat yang berurutan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa anafora adalah pengulangan kata pertama yang sama pada kalimat berikutnya. Contoh: Nangisa, kanggo dheweke kang kokasihi. Nangisa, nanging aja kok rendheti lakune sowan ing ngarsane Pangeran-e. nangisa, kanthi mengkono kowe bisa ngrasakake kepriye rasane kelangan. (Antologi cerkak Rembulane Wis Ndhadhari, Dheweke Wis Ninggalake Kowe Yayuk: 43) “Menangislah, untuk dia yang kamu kasihi. Menangislah, tapi jangan sampai kau menghalanginya pergi ke Tuhan-nya.



library.uns.ac.id



44 digilib.uns.ac.id



Menangislah, dengan begitu kkamu bisa merasakan bagaimana rasanya kehilangan.” Dalam kutipan di atas kata yang diulang di awal kalimat adalah “nangisa” yang memiliki arti menangisllah. (4) Epistrofa Gaya bahasa ini merupakan perulangan kata atau frasa pada akhir baris secara berurutan. Hal ini diperjelas oleh pendapat Tarigan (2013: 186) yang menjelaskan bahwa epistrofa adalah semacam gaya bahasa repetisi yang perupa perulangan kata atau frase pada akhir baris atau kalimat berurutan. Selanjutnya, Keraf (2007: 128) berpendapat epistrofa adalah repetisi yang berwujud perulangan kata atau frasa pada akhir baris atau kalimat berurutan. Lalu menurut Sutejo (2010: 29) epistrofa merupakan bahasabahasa paralelisme yang menempatkan kata atau kelompok kata pada akhir larik secara berulang-ulang. Dapat disimpulkan bahwa epistrofa adalah pengulangan kata atau frasa pada setiap akhir baris atau kalimat. Contoh: Sagelas the kok anggurke. Sacangkir wedang kok anggurke. Sapiring sega kok anggurke. Aku ora ngerti ana apa karo kowe. Terjemahan: “Segelas teh kau anggurkan. Secangkir kopi kau anggurkan. Sepiring nasi kau anggurkan. Aku tak tahu ada apa dengan kau.” Dalam kutipan di atas terdapat perulangan frasa di akhir kalimat. Frasa tersebut adalah “kok anggurke” yang memiliki arti kau anggurkan. (5) Simploke Gaya bahasa ini merupakan perulangan kata atau frasa yang terjadi pada bagian awal dan bagian akhir suatu kalimat secara berturut-turut. Sejalan dengan pernyataan di atas Keraf (2007: 128) menjelaskan bahwa simploke adalah repetisi yang berupa



library.uns.ac.id



45 digilib.uns.ac.id



perulangan pada awal dan akhir beberapa baris atau kalimat berturut-turut. Dapat dikatakan bahwa simploke merupakan wujud dari pengulangan kalimat berturut-turut. Contoh: “Kau bilang Ibumu merepotkanmu, aku bilang kau keterlaluan. Kau



bilang



ibumu



mengganggumu,



aku



bilang



kau



keterlaluan.” Kutipan di atas mengandung gaya bahasa simploke yang mana mengulang frasa “kau bilang ibumu” di awal kalimat setiap baris dan “aku bilang kau keterlaluan” di akhir baris tiap kalimat. (6) Mesodiplosis Gaya bahasa iini merupakan perulangan kata, frasa, klausa yang terjadi pada bagian tengah suatu kalimat. Pernyatan tersebut didukung oleh pendapat Keraf (2007: 128) yang menyatakan bahwa mesodiplosis merupakan repetisi ditengah baris-baris atau beberapa kalimat berurutan. Tidak jauh berbeda dengan pendapat sebelumnya, Tarigan (2013: 188) berpendapat bahwa mesodiplosis adalah sejenis gaya bahasa repetisi yang berwujud perulangan kata atau frase di tengah-tengah baris atau beberapa kalimat berurutan. Dapat disimpulkan bahwa mesodiplosis merupakan pengulangan kata di tengah baris secara berurutan. Contoh: Kringetmu sing terus mili, sikilmu sing terus mlangkah, lambemu sing terus dzikir, kabeh kok lakoni mung kanggo aku. Terjemahan: “Keringatmu yang terus mengucur, kakimu yang terus melangkah, bibirmu yang terus berdzikir, semua hanya kau lakukan untukku.” Dalam kutipan di atas terdapat perulangang frasa yang mana frasa tersebut diulang di tengah baris atau kalimat. Frasa tersebut adalah “sing terus” atau dalam bahasa Indonesia memiliki arti “yang terus”.



library.uns.ac.id



46 digilib.uns.ac.id



(7) Epanalepsis Gaya bahasa epanalepsis merupakan majas repetisi yang memuat pengulangan kata pertama pada bagian akhir suatu kalimat. Sejalan dengan hal tersebut Tarigan (2013: 190) berpendapat bahwa epanalepsis adalah semacam gaya bahasa yang berupa perulangan kata pertama dari baris, klausa, atau kalimat menjadi terakhir. Sejalan dengan pendapat Tarigan, Keraf (2007: 128) berpendapat bahwa epanalepsis adalah pengulangan yang berwujud kata terakhir dari baris, klausa atau kalimat, mengulang kata pertama. Dapat disimpulkan bahwa epanalepsis adalah pengulangan kata pertama pada suatu kalimat atau baris menjadi kata terakhir dalam kalimat atau baris tersebut. Contoh: “kita pergunakan kesempatan yang ada untuk menata masa depan kita.” Dalam kutipan di atas kata pada awal kalimat yang diulang di akhir kalimat adalah kata “kita”. (8) Anadiplosis Gaya bahasa ini merupakan repetisi yang memuat perulangan kata, frasa, atau klausa terakhir kalimat pertama menjadi kata, frasa, atau klausa pertama pada kalimat berikutnya. Pernyataan tersebut didukung oleh pendapat Keraf (2007: 128) yang mengemukakan bahwa anadiplosis adalah pengulangan kata atau frasa terakhir dari suatu kalusa atau kalimat menjadi kata atau frasa pertama dari klausa atau kalimat berikutnya. Sejalan dengan pendapat Keraf, Tarigan (2013: 191) menjelaskan bahwa anadiplosis adalah sejenis gaya bahasa repetisi di mana kata atau frase terakhir dari suatu klausa atau kalimat menjadi kata atau frase pertama dari klausa atau kalimat berikutnya. Dapat disimpulkan bahwa anadiplosis adalah pengulangan kata terakhir baris pertama menjadi kata pertama baris selanjutnya.



library.uns.ac.id



47 digilib.uns.ac.id



Contoh: Lan sapa kang rumangsa mongkog weruh kemajuwanmu saiki, ora liya, dheweke. Dheweke kang prasaja, kang sabar, kang ora tau duwe lara ati. (Antologi cerkak Rembulane Wis Ndhadhari, Dheweke Wis Ninggalake Kowe Yayuk: 41) “Dan siapa yang merasa senang hatinya mengetahui kemajuanmu sekarang, bukan lain, dia. Dia yang ikhlas, dia yang sabar, yang tidak pernah mempunyai sakit hati.” Dalam kutipan di atas terdapat perulangan kata pada akhir kalimat pertama menjadi kata pertama kalimat berikutnya. Kata tersebut adalah “dheweke” yang berarti dia. (c) Kalimat Klimaks Jika ditinjau dari bahasa, pengertian gaya bahasa klimaks adalah suatu gaya bahasa yang digunakan untuk menyatakan suatu hal yang secara runtut semakin memuncak. Pernyataan ini didukung oleh pendapat Sutejo (2010:29) yang menjelaskan bahwa klimaks merupakan gaya bahasa penegasan dan menyatakan hal berturut-turut, makin lama makin memuncak intensitasnya. Selanjutnya tidak jauh berbeda dengan pendapat Sutejo, Keraf (2007:124) berpendapat bahwa gaya bahasa klimaks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung urutan-urutan



pikiran



yang



setiap



kali



semakin



meningkat



kepentingannya dari gagasan-gagasan sebelumnya. Pendapat ini juga didukung



oleh



pendapat



Shadily



(Tarigan,



2013:



79)



yang



mengemukakan bahwa gaya bahasa klimaks adalah sejenis gaya bahasa yang berupa susunan ungkapan yang semakin lama semakin mengandung penekanan. Pendapat-pendapat di atas diperjelas oleh pendapat Al-Ma’ruf (2012: 110) yang menjelaskan bahwa klimaks merupakan gaya bahasa yang mengandung urutan-urutan pikiran setiap kali semaikn meningkat kepentingannya dari gagasan-gagasan sebelumnya.



library.uns.ac.id



48 digilib.uns.ac.id



Sehingga, dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa klimaks merupakan gaya bahasa yang menyatakan gagasan secara berturutturut dan semakin lama semakin meningkat kepentingannya serta semakin memuncak intensitasnya. Contoh: Rakyat kudu pinter milih pemimpin. Awit saka lurah, camat, bupati, gubernur, kabeh kudu saka wong sing kopeten. Terjemahan: “Rakyat harus pintar memilih pemimpin. Mulai dari kepala desa, camat, bupati, gubernur, semuanya harus dari kalangan yang berkopeten.” Dalam kutipan di atas mengandung gaya bahasa klimaks dimana terdapat tingkatan kepemimpinan yang disebutkan. Mulai dari kepala desa hingga gubernur. Hal ini menunjukkan bahwa kalimat di atas termasuk gaya bahasa klimaks. (d) Kalimat Antiklimaks Gaya bahasa ini merupakan kebalikan dari gaya bahasa klimaks. Gaya bahasa ini menyampaikan sesuatu secara berangsur menurun. Hal ini diperjelas oleh pendapat Keraf (2007:124) yang menjelaskan bahwa antiklimaks adalah gaya bahasa yang gagasangagasannya diurutkan dari yang terpenting berturut-turut ke gagasan yang kurang penting. Sementara itu, Tarigan (2013: 81) menjelaskan gaya bahasa antiklimaks merupakan suatu acuan yang berisi gagasangagasan yang diurutkan dari yang terpenting berturut-turut ke gagasan yang kurang penting. Tidak jauh berbeda dengan pendapat sebelumnya Al-Ma’ruf (2012: 110) menjelaskan bahwa gaya bahasa antiklimaks adalah gaya bahasa yang merupakan acuan yang gagasan-gagasannya diurutkan dari yang terpenting berturut-turut ke gagasan yang kurang penting. Dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa antiklimaks adalah gaya bahasa yang urutannya klimaks terlebih dahulu baru berturutturut ke gagasan yang kurang penting.



library.uns.ac.id



49 digilib.uns.ac.id



Contoh: Kabeh bocah nduweni hak oleh pendidikan sing layak, mboh iku anak presiden, pejabat, wong sugih, utawa anake wong mlarat. Terjemahan: “Semua anak berhak mendapatkan pendidikan yang layak, entah itu anak presiden, pejabat, orang kaya, maupun anaknya orang miskin.” Dalam kutipan di atas mengandung gaya bahasa antiklimaks. Di mana terdapat pengungkapan strata sosial dalam masyarakat. Dari anak presiden hingga anaknya orang miskin. (e) Kalimat Antitesis Majas antitesis dapat diartikan sebagai suatu gaya bahasa yang dibuat dengan memadukan dua kata yang saling berlawanan pada kondisi yang saling berhadapan. Pernyataan ini didukung oleh pendapat dari Sutejo (2010: 28) yang menyatakan bahwa antitesis merupakan jenis gaya bahasa yang mempergunakan kata-kata secara berlawanan. Sejalan dengan itu, Keraf (2007: 126) berpendapat bahwa antitesis adalah sebuah gaya bahasa yang mengandung gagasangagasan yang bertentangan dengan menggunakan kata-kata atau kelompok kata yang berlawanan. Sementara itu, Ducrot & Todorov (Tarigan, 2013: 26) menjelaskan bahwa antitesis adalah sejenis gaya bahasa yang mengadakan komparasi atau perbandingan antara dua antonim yaitu kata-kata yang mengandung ciri-ciri semantik yang bertentangan. Tidak jauh berbeda dengan pendapat-pendapat di atas Al-Ma’ruf (2012: 111) menjelaskan bahwa gaya bahasa antitesis merupakan gaya bahasa yang mengandung gagasan-gagasan yang bertentangan, dengan mempergunakan kata-kata atau kelompok kata ang berlawanan. Jadi dapat disimpulkan bahwa antitesis merupakan gaya bahasa dengan kata-kata yang digunakan merupakan dua hal yang bertentangan. Contoh:



library.uns.ac.id



50 digilib.uns.ac.id



Mulya asore drajat manungsa ing paningal Gusti, naming bisa katentukake saka ketakwaane. Terjemahan: “Tinggi rendahnya derajat manusia di mata Allah, hanya ditentukakan oleh tingkat ketakwaannya.” Dalam kutipan di atas mengandung gaya bahasa antitesis, yang mana terdapat dua kata yang berlawanan yaitu “mulya” yang berarti tinggi dengan “asor” yang berarti rendah. (f) Kalimat Hiperbola Majas ini memiliki sifat yang melebih-lebihkan sehingga kenyataan yang diungkapkan menjadi tidak masuk akal. Hal tersebut didukung oleh Sutejo (2010: 29) yang berpendapat bahwa merupakan gaya bahasa yang dipakai untuk melukiskan suatu keadaan secara berlebihan daripada sesungguhnya. Sejalan dengan pengertian ini Nurgiyantoro (2013: 403) berpendapat bahwa majas hiperbola dipakai jika seseorang bermaksud melebihkan sesuatu yang dimaksudkan dibandingkan makna yang sebenarnya dengan maksud untuk menekankan



penuturnya.



berpendapat



bahwa



Sementara



hiperbola



itu,



merupakan



Tarigan gaya



(2013: bahasa



55) yang



mengandung pernyataan yang berlebih-lebihan jumlahnya, ukurannya atau sifatnya dengan maksud memberi penekanan pada suatu pernyataan atau situasi untuk memperhebat, meningkatkan pesan dan pengaruhnya. Sejalan dengan pendapat-pendapat sebelumnya, Keraf (2007: 135) berpendapat bahwa majas hiperbola adalah semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan suatu hal. Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan



bahwa



hiperbola



merupakan



gaya



mengandung pernyataan yang berlebihan dari kenyataan. Contoh: Wong wadon iku ayu banget ngati kaya widodari surge Terjemahan:



bahasa



yang



library.uns.ac.id



51 digilib.uns.ac.id



“Wanita itu cantik sekali, secantik bidadari surge. Dalam kalimat di atas pendeskripsian seorang wanita terlalu berlebihan. Penutur mengatakan bahwa wanita tersebut cantik sampai seperti bidadari surga. Secara normal belum ada manusia yang pernah melihat bidadari surga, karena itu adalah proses kehidupan yang akan datang. Menurut pembaca hal ini merupakan sesuatu yang dilebihlebihkan. (g) Kalimat Paradoks Dalam kehidupan sehari-hari tanpa disadari kita sering menemukan



kalimat-kalimat



yang



menggunakan



gaya



bahasa



paradoks. Paradoks sendiri merupakan kalimat opini atau argumen atau pernyataan yang berlawanan dengan pendapat umum, sehingga terdengar aneh. Pernyatan ini diperkuat dengan pendapat Sutejo (2010:31) yang menjelaskan bahwa paradoks merupakan gaya bahasa pertentangan yang hanya kelihatan pada arti kata yang berlawanan padahal sesungguhnya objeknya berlainan. Sejalan dengan ini Keraf (2007: 136) juga mengemukakan pendapatnya bahwa paradoks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Hal ini didukung oleh pendapat Tarigan (2013: 77) yang menjelaskan bahwa paradoks adalah pernyataan yang bagaimanapun



diartikan



selalu



berakhir



dengan



pertentangan.



Nurgiyantoro (2013:403) berpendapat bahwa majas paradoks adalah cara



penekanan



penuturan



yang sengaja



menampilkan unsur



pertentangan didalamnya. Dapat ditarik kesimpulan bahwa paradoks merupakan gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Contoh: Montor iku resik banget, nanging sing nduwe rusuh tenan. Terjemahan: “motor itu bersih sekali, tapi pemiliknya sangat kotor.”



library.uns.ac.id



52 digilib.uns.ac.id



Dalam kutipan di atas terdapat pertentangaan nyata yang diungkapkan yaitu “resik” yang berarti bersih, dengan “rusuh” yang berarti jorok. c) Gaya Bahasa atau Permajasan Gaya atau khususnya gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah style. Gaya bahasa atau style menjadi masalah atau bagian dari diksi yang mempersoalkan cocok tidaknya pemakaian kata, frasa atau klausa tertentu untuk mengahadapi situasi tertentu. Sebab itu, persoalan gaya bahasa meliputi semua semua herarki kebahasaan yaitu pilihan kata secara individual, frasa, klausa, dan kalimat, bahkan mencakup pula sebuah wacana secara keseluruhan. Masalah nada yang tersirat di balik sebuah wacana termasuk pula persoalan gaya bahasa. Hal ini diperkuat dengan pendapat Laila (2016: 174) yang menjelaskan bahwa permajasan merupakan gaya bahasa yang mempergunakan susunan kata-kata yang artinya sengaja disimpangkan dari susunan dan arti biasa dengan maksud mendapatkan kesegaran dan kekuatan ekspresi. Tidak jauh berbeda dengan pendapat sebelumnya, Tarigan (2013: 4) menjelaskan bahwa gaya bahasa adalah bahasa indah yang digunakan untuk meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan serta membandingkan suatu benda atau hak tertentu dengan benda atau hal lain yang lebih umum. Jangkauan gaya bahasa sebenarnya sangat luas, tidak hanya mencakup unsur-unsur kalimat yang mengandung corak-corak tertentu. Gaya bahasa memungkinkan kita dapat menilai pribadi, watak dan kemampuan seseorang yang mempergunakan bahasa itu. Semakin baik gaya bahasanya, semakin baik pula penilaian orang terhadapnya. Semakin buruk gaya bahasa seseorang, semakin buruk pula penilaian diberikan kepadanya. Hal ini diperkuat dengan pendapat dari Keraf (2007: 113) yang menyatakan bahwa gaya bahasa adalah cara



mengungkapkan



pikiran



melalui



bahasa



secara



khas



yang



memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa). Senada dengan pendapat Keraf, Mihardja (2012: 28) berpendapat bahwa majas adalah gaya bahasa dalam bentuk tulisan maupun lisan yang dipakai dalam suatu karangan yang bertujuan untuk mewakili perasaan dan pikiran dari pengarang.



library.uns.ac.id



53 digilib.uns.ac.id



Sebuah gaya bahasa yang baik harus mengandung tiga unsur berikut: kejujuran, sopan santun, dan menarik. Salah satu unsur yang harus terdapat dalam karya sastra yang mengandung gaya bahasa adalah menarik. Ha ini mengakibatkan para pengarang karya sastra menggunakan bahasa-bahasa yang tak lazim digunakan. Akan tetapi, bahasa yang digunakan itu masih dalam batas sopan santun dan jujur. Nama lain dari bahasa-bahasa yang tak lazim tersebut adalah bahasa kias. Pernyataan tersebut di dukung oleh pendapat Dewi (2013: 17) yang menjelaskan bahwa pemajasan merupakan gaya bahasa yang sengaja mendayagunakan penuturan dengan memanfaatkan bahasa kias. Pendapat ini senada dengan pendapat dari Bachtiar (2015: 16) yang menjelaskan bahwa majas merupakan gaya bahasa yang sengaja mendayagunakan penuturan dengan pemanfaatan bahasa kias. Sedangkan, menurut Nurgiyantoro (2013: 398) pemajasan merupakan teknik pengungkapan bahasa, penggayabahasaan, yang maknanya tidak menunjuk pada makna harfiah kata-kata yang mendukungnya, melainkan pada makna yang ditambahkan atau makna yang tersirat. a) Simile Majas simile merupakan majas perbandingan atau perumpamaan. Simile



membandingkan



suatu



hal



dengan



hal



lainnya



dengan



menggunakan kata penghubung. Pernyataan ini sejalan dengan pendapat Keraf (2007:



138)



yang



berpendapat



bahwa simile merupakan



perbandingan yang bersifat eksplisit atau langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain. Lebih jelasnya lagi Nurgiyantoro (2013: 400) berpendapat bahwa simile adalah majas yang menunjuk pada adanya perbandingan yang langsung dan eksplisit. Senada dengan pendapat sebelumnya



Tarigan



(2013:



9)



berpendapat



bahwa



simile



atau



perumpamaan adalah perbandingan dua hal yang pada hakikatnya berlainan dan yang sengaja kita anggap sama. Pendapat di atas didukung oleh pendapat Pradopo (2005: 62) yang menjelaskan bahwa simile merupakan gaya bahasa yang menyamakan satu hal dengan hal lain



library.uns.ac.id



54 digilib.uns.ac.id



dengan menggunakan kata-kata pembanding seperti: bagai, sebagai, seperti, semisal, seumpama, laksana, ibarat, bak, dan sebagainya. Dapat disimpulkan bahwa simile atau perumpamaan merupakan suatu majas yang membandingkan dua hal/ benda dengan menggunakan kata penghubung. Contoh: Mlakune kaya macan luwe Terjemahan: “jalannya seperti macan yang kelaparan” Dalam kutipan di atas terdapat kata yang menyamakan dua hal yang berbeda secara langsung. Hal yang disamakan adalah cara berjalan seorang manusia dengan seekor macan. b) Metafora Majas metafora merupakan majas yang melukiskan sesuatu dengan perbandingan langsung dan tepat atas dasar sifat yang sama atau hampir sama. Majas ini hampir sama dengan majas simile, pembedanya adalah majas ini tidak menggunakan kata hubung. Pernyataan ini didukung dengan pendapat Poerwadarminta (Tarigan, 2013: 15) yang menyatakan pemakaian kata-kata bukan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan. Tidak jauh berbeda dengan pendapat di atas, Nurgiyantoro (2013: 400‒401) berpendapat majas metafora merupakan gaya perbandingan yang bersifat tidak langsung dan implisit. Pendapat ini sejalan dengan pendapat AlMa’ruf (2012: 62) yang menjelaskan bahwa metafora merupakan majas seperti simile, hanya saja tidak menggunakan kata-kata pembanding seperti bagai, sebagai, laksana, seperti, dan sebagainya. Sesuatu yang dibandingkan itu sendiri dapat berupa ciri-ciri fisik, sifat, keadaan, aktivitas, atau sesuatu yang lain kesemuanya harus ditemukan untuk dapat memahami makna yang ditunjuk. Dapat disimpulkan bahwa metafora adalah gaya bahasa yang membandingkan secara implisit yang tersusun singkat, padat, dan rapi.



library.uns.ac.id



55 digilib.uns.ac.id



Contoh: “Perasaan Rini sejernih embun pagi.” Dalam kutipan di atas terdapat persamaan secara langsung. Hal yang disamakan adalah persaan Rini dengan embun pagi. c) Personifikasi Majas personifikasi merupoakan majas yang memberikan suasana atau sifat-sifat manusia pada benda mati, dengan kata lain benda mati dianggap hidup. Pernyataan ini sejalan dengan pendapat Sutejo (2010: 31) yang menyatakan bahwa personifikasi adalah gaya bahasa perbandingan yang membandingkan benda mati atau tidak bergerak seolah-olah bernyawa dan dapat berperilaku seperti manusia. Senada dengan pendapat Sutejo, Tarigan (2013: 17) menjelaskan personifikasi merupakan jenis majas yang melekatkan sifat-sifat insani kepada benda yang tidak bernyawa dan ide yang abstrak. Tidak jauh berbeda dengan pendapat di atas, menurut Keraf (2007: 140) personifikasi adalah gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat kemanusiaan.



Artinya sifat yang



diberikan itu sebenarnya hanya dimiliki oleh manusia. Pendapat di atas didukung oleh pendapat Pradopo (2005: 75) yang menyatakan bahwa personifikasi merupakan bahasa kiasan yang mempersamakan benda dengan manusia, benda-benda mati dibuat dapat berbuat, berfikir, dan sebagainya seperti manusia. Dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa personifikasi merupakan majas yang memberikan sifat hidup pada benda mati dan seolah-olah bergerak. Contoh: “Rembulane kang awe-awe” Terjemahan: Rembulan yang melambai-lambai Dalam kutipan di atas mengibaratkan bulan yang hidup seperti manusia. Rembulan tersebut dapat melambai-lambaikan tangan, padahal bulan tidak memiliki tangan.



library.uns.ac.id



56 digilib.uns.ac.id



d) Metonomia Majas ini merupakan majas yang menggunakan merk atau lebel suatu benda/barang untuk menggantikan nama benda/barang tersebut dalam sebuah kalimat. Hal ini bertujuan agar lebih mudah difahami. Hal ini sejalan dengan pendapat Sutejo (2010: 30) yang menyatakan bahwa metonomia adalah gaya bahasa yang berupa penggunaan sebuah atribut, sebuah objek atau penggunaan sesuatu yang sangat dekat berhubungan dengan untuk menggantikan objek. Hal ini sependapat dengan pendapat Keraf (2007: 142) metonomia merupakan suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain karena mempunyai pertalian yang sangat dekat. Sementara itu, menurut Moeliono (Tarigan, 2013: 121) metonomia adalah majas yang memakai nama ciri atau nama hal yang ditautkan dengan nama orang, barang, atau hal, sebagai penggantinya. Tidak jauh berbeda dengan pendapat-pendapat sebelumnya Altenbernd dan Lewis (Al-Ma’ruf, 2012: 71) menjelaskan bahwa metonomia adalah penggunaan sebuah atribut sebuah objek atau penggunaan sesuatu yang sangat dekat berhubungan dengannya untuk menggantikan objek tersebut. Dapat disimpulkan metonomia merupakan penamaan terhadap suatu benda dengan menggunakan nama yang sudah terkenal atau melekat pada suatu benda tersebut. Contoh: “Colt iku mandheg ing tengah bulakan, Pram mudhun.” (Antologi cerkak Rembulane Wis Ndhadhari, Sumendhe Ing Pepesthen: 60) Colt itu berhenti di tengah persawahan, Pram turun. Pada contoh di atas terdapat kata yang berupa merk untuk menggantikan benda. Kata tersebut adalah “colt” yaitu salah satu jenis mobil. e) Sinekdoke Majas ini dibagi menjadi dua, yang pertama adalah menyebutkan sebagian untuk keseluruhan dan yang kedua adalah menyebutkan



library.uns.ac.id



57 digilib.uns.ac.id



keseluruhan untuk sebagian. Hal ini sejalan dengan pendapat Moeliono (Tarigan, 2013: 123) yang menjelaskan sinekdoke adalah majas yang menyebutkan nama bagian sebagai pengganti nama keseluruhannya. Sejalan dengan pendapat tersebut, Sutejo (2010: 32) berpendapat bahwa sinekdoke merupakan gaya bahasa yang terdiri dari dua bagian, yaitu pars prototo (sebagian untuk keseluruhan) dan totem to parte (keseluruhan untuk sebagian). Sementara itu, Keraf (2007: 142) menjelaskan bahwa sinekdoke adalah semacam bahasa figuratif yang mempergunakan sebagian dari sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan (pars pro toto) atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian (totum pro parte). Sedangkan menurut Nurgiyantoro (2013: 404) majas sinekdoke merupakan gaya yang didalammnya terdapat dua kategori yang berkebalikan. Pertama adalah pernyataan yang menyebut sebagian untuk menyatakan keseluruhan atau disebut pars pro toto. Kedua pernyataan yang menyebut keseluruhan untuk sebagian atau disebut totem pro parte. Kesimpulannya adalah sinekdoke merupakan majas yang memiliki dua jenis yaitu pars pro toto menyebutkan sebagian untuk menyatakan keseluruhan dan totem pro parte menyebutkan keseluruhan untuk sebagian. Contoh: “Sanajan wis diusir saka ngomah, Parno nekad midakke sikile ing omahe kanggo niliki Ibune sing Gerah.” Terjemahan: Meski telah diusir dari rumahnya, Parno nekat menginjakkan kakinya ke rumahnya untuk melihat Ibunya yang sakit. Dalam kutipan contoh di atas memiliki maksud bahwa bukan kakinya saja yang diinjakkan di rumahnya. Akan tetapi, keseluruhan badan Parno utuh telah datang untuk menemui Ibunya yang sakit. f) Alegori Majas ini merupakan salah satu bentuk dari majas perbandingan yang mengungkapkan makna dengan cara membandingkan satu hal



library.uns.ac.id



58 digilib.uns.ac.id



dengan objek lainnya. Lebih jelasnya lagi, Tarigan (2013: 24) berpendapat bahwa alegori merupakan cerita yang dikisahkan dalam lambang-lambang, merupakan metafora yang diperluas dan berkesinambungan, tempat atau wadah objek-objek atau gagasan-gagasan yang diperlambangkan. Menurut Keraf (2007: 140) alegori adalah suatu cerita singkat yang mengandung kiasan. Tidak jauh berbeda dengan pendapat sebelumnya Pradopo (2005: 71) menjelaskan bahwa alegori merupakan cerita kiasan ataupun lukisan kiasan. Cerita kiasan atau lukisan kiasan ini mengisahkan hal lain atau kejadian lain. Makna kiasan itu harus ditarik dari bawah permukaan ceritanya. Dapat disimpulkan gaya bahasa alegori merupakan gaya bahasa yang menggunakan kata sebagai lambang yang untuk pendidikan serta kesatuan yang utuh. Contoh: “Mencari seseorang yang berkepribadian jujur kini bagaikan mencari jarum dalam tumpukan jerami.” Kutipan contoh di atas mengungkapkan tentang kesulitan dalam mencari seseorang yang berkepribadian jujur yang diibaratkan dengan mencari jarum di dalam tumpukan jerami. Mencari jarum dalam tumpukan jerami merupakan kiasan terhadap maksud dan tujuan yang ingin disampaikan dalam kalimat tersebut. g) Pleonasme Majas ini menggunakan kata secara berlebihan yang seharusnya tidak diperlukan. lebih jelasnya, Tarigan (2013: 29) berpendapat bahwa pleonasme adalah acuan yang menggunakan kata-kata lebih banyak dari pada yang dibutuhkan untuk menyatakan suatu gagasan atau pikiran. Pendapat di atas di dukung dengan pendapat Keraf (2007: 133) yang menyatakan



bahwa



pleonasme



adalah



semacam



acuan



yang



mempergunakan kata-kata lebih banyak daripada yang diperlukan untuk menyatakan satu gagasan atau pikiran. Jadi dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa pleonasme merupakan gaya bahasa yang menggunakan dua kata yang sama arti sekaligus tetapi sebenarnya tidak diperlukan.



library.uns.ac.id



59 digilib.uns.ac.id



Contoh: “Getih kang abang iku wis ngebaki awake” Terjemahan: Darah yang merah itu sudah melumuri badannya Dalam kutipan contoh di atas kata yang berlebihan adalah menyebutkan bahwa darah itu merah. Hal ini dikarenakan sudah menjadi hal pasti bahwa darah itu merah, jadi tidak perlu disebutkan lagi. h) Perifrasis Perifrasis merupakan sejenis gaya bahasa yang mirip dengan pleonasme, kedua-duanya menggunakan kata-kata lebih banyak daripada yang dibutuhkan. Walaupun begitu terdapat perbedaan yang penting antara keduanya, pada gaya bahasa perifrasis kata-kata yang berlebihan itu pada prinsipnya dapat diganti dengan sebuah kata saja (Tarigan, 2013: 31). Pendapat tersebut didukung dengan pendapat Keraf (2007: 134) yang menyatakan bahwa gaya bahasa perifrasis adalah gaya bahasa yang mempergunakan kata lebih banyak dari yang diperlukan. Dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa perifrasis penggunaan kata-kata berlebihan dalam sebuah kalimat yang sebenarnya dapat diganti dengan menggunakan satu kata saja. Contoh: Bapakmu wis lunga menyang alam kang langgeng = meninggal Terjemahan: Bapakmu sudah pergi ke alam abadi = meninggal Dalam kutipan di atas kata yang berlebihan tersebut seharusnya dapat diganti dengan satu kata saja yaitu meninggal. i) Litotes Majas ini bertujuan untuk mernedahkan diri kepada orang lain. Hal ini didukung oleh Keraf (2007:132) yang berpendapat bahwa litotes adalah gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang dikurangi (dikecilkan) dari makna sebenarnya. Hamper sama dengan pendapat Keraf, Nurgiyantoro (2013:403) berpendapat bahwa majas litotes adalah



library.uns.ac.id



60 digilib.uns.ac.id



majas yang dimaksudkan untuk mengecilkan fakta yang ada. Biasanya hal ini dimaksudkan untuk merendahkan diri agar tidak dipahami sebagai sombong walau yang sebenarnya juga justru untuk menekankan penuturnya. Dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa litotes merupakan pernyataan yang dikurangi dari makna sebenarnya yang dimaksudkan untuk mengecilkan fakta yang ada. Contoh: “Amung gubuk kang reyok iki hasil rekadayaku pirang-pirang taun.” Terjemahan: Hanya gubuk reyot ini hasil kerja kerasku bertahun-tahun. Kutipan di atas mengandung majas litotes. Penutur mengucapkan bahwa yang ia dapat hanya gubuk reyot padahal rumahnya bagus seperti istana. Dia hanya merendahkan dirinya dihadapan orang lain. j) Ironi Majas ini menyatakan kebalikan dari fakta yang bertujuan untuk menyindir.



Sejalan



dengan



pernyataan



tersbut



Sutejo



(2010:28)



berpendapat bahwa ironi adalah gaya bahasa sindiran yang menyatakan sebaliknya dengan maksud menyindir. Sementara itu, Tarigan (2013: 61) menjelaskan bahwa ironi adalah majas yang menyatakann makna yang bertentangan dengan maksud berolok-olok. Sejalan dengan itu, Keraf (2007: 143) mengemukakan pendapatnya bahwa ironi merupakan suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya. Dapat disimpulkan bahawa majas ironi merupakan majas yang menyatakan sebaliknya dengan tujuan menyindir atau mengolok-olok, contoh: “isuk tenan leh mu mangkat le! Iki wae lagi jam 11.00.” terjemahan: Pagi sekali kamu berangkat nak! Ini saja baru jam 11.00.



library.uns.ac.id



61 digilib.uns.ac.id



Kutipan di atas bermaksud untuk menyindir bahwa muridnya datang terlalu siang. Akan tetapi sindiran tersebut diungkapkan dengan membalikan kenyataan atau fakta. k) Zeugma dan Silepsis Majas



ini



menggunakan



dua



konstruksi



rapatan



dengan



menghubungkan sebuah kata dengan dua kata lain yang sebenarnya hanya salah satunya yang mempunyai hubungan dengan kata pertama. Hal ini sejalan dengan pendapat Tarigan (2013: 68) yang menjelaskan bahwa zeugma dan silepsis adalah gaya bahasa yang mempergunakan dua kontruksi rapatan dengan cara menghubungkan sebuah kata dengan dua atau lebih kata lain yang pada hakikatnya hanya sebuah saja yang mempunyai hubungan dengan kata pertama. Sejalan dengan pendapat tersebut, Keraf (2007: 135) menjelaskan bahwa zeugma dan silepsis adalah gaya dimana orang menggunakan dua kontruksi rapatan dengan menghubungkan sebuah kata dengan dua kata lain yang sebenarnya hanya salah satunya mempunyai hubungan dengan kata pertama. Dapat disimpukan bahwa zeugma merupakan gaya bahasa yang mempergunakan dua kontruksi rapatan dengan cara menghubungkan menghubungkan sebuah kata dengan dua atau lebih kata lain yang sebenarnya hanya salah satunya yang mempunyai hubungan dengan kata pertama. Contoh: “Dheweke wis kelangan topi lan semangate.” Terjemahan: Dia sudah kehilangan topi dan semangatnya. Kutipan di atas kata yang mempunyai hubungan dengan kata pertama adalah kata “semangat”. l) Antifrasis Gaya bahasa ini menggunakan kata dengan makna kebalikannya. Gaya bahasa ini akan diketahui dengan jelas jika pembaca melihat bahwa yang dikatakan itu adalah sebaliknya. Pernyatan ini sejalan dengan Keraf (2007:144) yang menjelaskan bahwa antifrasis adalah semacam ironi yang



library.uns.ac.id



62 digilib.uns.ac.id



berwujud penggunaan sebuah kata dengan makna kebalikannya, yang bisa saja dianggap ironi sendiri, atau kata-kata yang dipakai untuk menangkal kejahatan, roh jahat, dan sebagainya. Tidak jauh berbeda dengan pendapat Keraf, Tarigan (2013: 76) berpendapat bahwa antifrasis adalah gaya bahasa yang berupa penggunaan sebuah kata dengan makna kebalikannya. Dapat ditarik kesimpulan bahwa antifrasis merupakan gaya bahasa yang berwujud penggunaan sebuah kata dengan makna kebalikannya. Contoh: “Tilikana Si Buta wis teka.” (maksudnya si Cebol) Terjemahan: Lihatlah sang Raksasa telah tiba (maksudnya si Cebol) Dalam contoh di atas menjelaskan bahwa sang raksasa telah tiba. Akan tetapi, yang dimaksud di sini adalah si Cebol yang tiba. m) Apostrof Gaya bahasa ini berupa pengalihan amanat dari yang hadir kepada yang tidak hadir. Hal ini sejalan dengan pendapat Keraf (2007: 131) yang menjelaskan bahwa apostrof adalah semacam gaya bahasa yang berbentuk pengalihan amanat dari para hadirin kepada sesuatu yang tidak hadir. Sejalan dengan itu, Tarigan (2013: 83) menjelaskan apostrof adalah sejenis gaya bahasa yang berupa pengalihan amanat dari yang hadir kepada yang tidak hadir. Sementara itu, Al-Ma’ruf (2012: 113) menjelaskan bahwa apostrof adalah semacam gaya yang berbentuk pengalihyan amanat dari para hadirin kepada sesuatu yang tidak hadir. Jadi kesimpulannya apostrof adalah gaya bahasa yang digunakan untuk mengalihkan amanat. Contoh: “Wahai dewa yang agung, datanglah dan lepaskan kami dari cengkraman durjana.” Kutipan di atas menyebutkan bahwa penutur meminta dewa untuk mmenyelamatkannya dari cengkraman durjana. Padahal dewa tidak mungkin akan datang dan menampakkan diri di depan dia.



library.uns.ac.id



63 digilib.uns.ac.id



n) Apofasis atau Preterisio Gaya bahasa ini berupa pernyataan yang tampaknya menolak sesuatu tetapi sebenarnya justru menegaskannya. Hal ini sejalan dengan pendapat Tarigan (2013: 86) yang menjelaskan bahwa apofasis atau preterisio gaya bahasa yang digunakan untuk menegaskan sesuatu tetapi tampaknya menyangkalnya. Sementara itu, Keraf (2007: 130) berpendapat bahwa apofasis atau preterisio merupakan sebuah gaya bahasa dimana penulis



atau



pengarang



menegaskan



sesuatu,



tetapi



tampaknya



menyangkal. Berpura-pura membiarkan sesuatu berlalu, tetapi sebenarnya iya menekankan hal itu. Berpura-pura melindungi atau menyembunyikan sesuatu, tetapi sebenarnya memamerkannya. Sejalan dengan pendapatpendapat sebelumnya Al-Ma’ruf (2012: 112) menjelaskan bahwa preterisio merupakan sebuah gaya di mana penulis atau pengarang menegaskan sesuatu, tetapi tampaknya menyangkalnya. Kesimpulannya adalah apofasis adalah majas yang mana penulis atau pengarang sengaja menegaskan sesuatu, tetapi tempaknya menyangkalnya. Contoh: “Sebenere aku ora tega ngandhakna yen anakmu kurang ajar.” Terjemahan: Sebenarnya saya tidak sampai hati mengatakan bahwa anakmu kurang ajar. Dalam kutipan contoh di atas sebenarnya penutur memperjelas bahwa anak dari mitra tutur benar-benar kurang ajar. Dia hanya mengalihkan pembicaraan pada awal kalimat lalu memperjelas di kata berikutnya. o) Hiteron Proteron Gaya bahasa ini berisi kebalikan dari sesuatu yang logis atau kebalikan dari sesuatu yang wajar. Lebih jelasnya, Keraf (2007: 133) berpendapat bahwa histeron proteron adalah gaya bahasa yang merupakan kebalikan dari sesuatu yang logis atau kebalikan dari sesuatu yang wajar, misalnya menempatkan sesuatu yang terjadi kemudian pada awal



library.uns.ac.id



64 digilib.uns.ac.id



peristiwa. Kesimpulannya adalah hysteron proteron adalah gaya bahasa yang mengatakan dari suatu yang logis atau yang wajar. Contoh: “Jika kau memenangkan pertandingan itu maka kematian akan kau alami.” Dalam contoh di atas sesuatu hal yang tidak logis adalah akibat jika dia memenangkan pertandingan tersebut. p) Hipalase Gaya bahasa ini berupa sebuah pernyataan yang menggunakan kiata untuk menerangkan suatu kata yang seharusnya lebih tepat dikarenakan kata yang lain. Hal ini sejalan dengan pernyataan Keraf (2007: 142) yang mengemukakan bahwa hipalase adalah semacam gaya bahasa di mana sebuah kata tertentu dipergunakan untuk menerangkan sebuah kata, yang seharusnya dikenakan pada sebuah kata yang lain. Kesimpulannya adalah hipalase merupakan suatu kebalikan dari suatu relasi alamiah antara dua komponen gagasan. Contoh: “Dheweke lungguh ing kursi kang lagi nandang sungkawa.” Terjemahan: Dia duduk di kuris yang sedang bersedih. Contoh di atas sebenarnya menjelaskan bahwa bukan kursinya yang sedang sedih. Akan tetapi orang yang duduk di kuris tersebut yang sedang sedih. q) Sinisme Gaya bahasa ini merupakan sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan atau ketulusan hati. Hal ini diperkuat dengan pendapat Tarigan (2013: 91) yang menjelaskan bahwa sinisme adalah sejenis gaya bahasa yang berupa sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati. Sama dengan pendapat Tarigan, Keraf (2007: 143) juga berpendapat bahwa sinisme adalah suatu sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati. Dapat



library.uns.ac.id



65 digilib.uns.ac.id



disimpulkan bahwa sinisme adalah gaya bahasa yang bertujuan menyindir sesuatu secara kasar. Contoh: “Anda benar-benar hebat sehingga pasr di gurun Sahara pun dapat anda hitung.” Kutipan



di



atas



sebetulnya



menyindir



seseorang



yang



kemampuannya belum terlalu hebat. r) Sarkasme Majas ini merupakan gaya bahasa yang mengandung sindiran atau olok-olok yang pedas atau kasar. Pernyataan ini diperkuat oleh pendapat Poerwadarminta (Tarigan, 2013: 92) yang menjelaskan bahwa sarkasme merupakan jenis gaya bahasa yang mengandung olok-olok atau sindiran pedas dan menyakiti hati. Tidak jauh berbeda dengan pendapat Tarigan, Keraf (2007: 143) berpendapat sarkasme adalah suatu acuan yang mengandung kepahitan dan celaan yang getir. Gaya bahasa ini selalu akan menyakiti hati dan kurang enak didengar. Jadi, sarkasme adalah gaya bahasa sindiran dengan menggunakan kata-kata kasar dan menyakiti hati. Contoh: “Kowe pancen edan, edan tenan.” Terjemahan: Kamu memang gila, gila beneran. Dalam kutipan contoh di atas penutur menggunakan kata kasar yaitu “edan” yang berarti gila. s) Alusi Gaya bahasa ini menunjuk secara tidak langsung ke suatu peristiwa atau tokoh yang telah umum dikenal/diketahui orang. Sejalan dengan pernyataan tersebut Sutejo (2010: 27) berpendapat bahwa alusio adalah gaya bahasa perbandingan yang mempergunakan ungkapan atau peribahasa yang sudah lazim diketahui orang. Sementara itu, Keraf (2007: 141)



berpendapat



bahwa



alusio



adalah



acuan



yang



berusaha



mensugestikan kesamaan antar orang, tempat, atau peristiwa. Tidak jauh



library.uns.ac.id



66 digilib.uns.ac.id



berbeda dengan pendapat-pendapat sebelumnya, Moeliono (Tarigan, 2013: 124) berpendapat bahwa alusi atau kilatan adalah gaya bahasa yang menunjuk secara tidak langsung ke suatu peristiwa atau tokoh berdasarkan anggapan adanya pengetahuan bersama yang dimiliki oleh pengarang dan pembaca serta adanya kemampuan para pembaca untuk menangkap pengacuan itu. Dari ketiga pendapat diatas dapat disimpulkan alusio adalah gaya bahasa yang menunjukkan sesuatu secara tidak langsung kesamaan antara orang, peristiwa atau tempat. Contoh: “Apa kadadeyan ’98 bakal kalampahan maneh ing kene?” Terjemahan: Apakah peristiwa ’98 akan terjadi lagi disini? Dalam kutipan di atas bahwa penutur menyebutkan peristiwa 98. Peritiwa tersebut merupakan peristiwa terjadinya bentrok dan kekacauan di sejumlah daerah di Indonesia. t) Eufemisme Majas ini berwujud ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasa lebih kasar yang dianggap merugikan atau yang tidak menyenangkan. Pernyataan ini didukung oleh pendapat Keraf (2007: 132) yang menjelaskan bahwa eufimisme adalah acuan berpua ungkapanungkapan yang halus untuk menggantian acuan-acuan yang mungkin dirasakan menghina, menyinggung perasaan atau mensugesti sesuatu yang tidak menyenangkan. Sementara itu, Moeliono (Tarigan, 2013: 125‒126) menjelaskan bahwa eufemisme adalah ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasakan kasar yang dianggap merugikan, atau yang tidak menyenangkan. Dapat disimpulkan bahwa eufimisme merupakan majas yang digunakan untuk memperhalus kalimat yang dirasa menghina dan menyinggung perasaan agar kalimat yang diujarkan tidak terasa tajam bagi yang menerima kalimat itu. Contoh: “Para tunasusila kena grebek nalika mangkal ing taman Kenjeran.”



library.uns.ac.id



67 digilib.uns.ac.id



Terjemahan: Para tunasusila terciduk razia ketika mangkkal di taman Kenjeran. Dalam kutipan di atas terdapat kata yang diganti yaitu pelacur diganti tunasusila. Hal ini dikarenakan pelacur merupakan kata yang dianggap kasar untuk digunakan sehingga diganti menjadi tunasusila. u) Eponim Keraf (2007: 141) menjelaskan bahwa eponim adalah suatu gaya bahasa dimana seseorang yang namanya begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan sifat. Sejalan dengan pendapat sebelumnya, Tarigan (2013: 127) berpendapat bahwa eponim merupakan semacam gaya bahasa yang mengandung nama seseorang yang begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan sifat itu. Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa eponim merupakan pemakaian nama seseorang yang dihubungkian dengan sifat yang sudah melekat padanya. Contoh: “kalicikanmu kayata Sangkuni.” Terjemahan: Kelicikanmu seperti Sangkuni. Dalam kutipan di atas seseorang yang disebutkaan memiliki sifat yang licik seperti Sangkuni. v) Epitet Gaya bahasa ini berupa keterangan yang menyatakan sesuatu sifat atau ciri yang khas dari seseorang atau suatu hal. Pernyataan tersebut didukung oleh pendapat Tarigan (2013: 128) yang menyatakan bahwa epitet adalah semacam gaya bahasa yang mengandung acuan yang menyatakan suatu sifat atau ciri yang khas dari seseorang atau sesuatu hal. Tidak jauh berbeda, Keraf (2007: 141) berpendapat bahwa epitet adalah semacam acuan yang menyatakan suatu sifat atau ciri yang khusus dari seseorang atau sesuatu hal. Keterangan ini adalah suatu frasa deskriptif yang menjelaskan atau menggantikan nama seseorang atau suatu barang.



library.uns.ac.id



68 digilib.uns.ac.id



Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa epitet merupakan gaya bahasa yang menyatakan suatu sifat atau ciri khas dari seseorang atau sesuatu yang digunakan untuk menggantikan nama orang atau barang. Contoh: “Putri malam menyambut kedatangan remaja yang sedang mabuk asmara.” Dalam kutipan di atas terdapat kata putri malam yang menunjuk pada “bulan”. w) Antonomasia Majas ini menggunakan gelar resmi atau jabatan sebagai pengganti nama diri. Sejalan dengan itu, Tarigan (2013: 129) berpendapat bahwa antonomasia adalah semacam gaya bahasa yang merupakan bentuk khusus dari sinekdoke yang berupa pemakaian sebuah epitet untuk menggantikan nama diri atau gelar resmi, atau jabatan untuk menggantikan nama diri. Sementara itu, menurut Keraf (2007: 142) antonomasia juga merupakan bentuk khusus dari sinekdoke yang berwujud penggunaan sebuah epiteta untuk menggantikan nama diri, atau gelar resmi, atau jabatan untuk menggantikan nama diri. Kesimpulannya adalah antonomasia merupakan gaya bahasa yang menggatikan nama diri, gelar resmi, atau jabatan. Contoh: “Pak Lurah lagi menehi sambutan ing acara Agustusan.” Terjemahan: Pak Lurah sedang memberi sambutan di acara Agustusan. Dalam kutipan di atas gelar yang digunakan untuk mengganti nama adalah “Pak Lurah”. x) Erotesis Gaya bahasa ini merupakan jenis gaya bahasa yang berupa pertanyaan yang tidak menuntut jawaban sama sekali. Sejalan dengan itu, Keraf (2007: 134) mengemukakan bahwa erotesis adalah semacam pertanyaan yang digunakan dalam pidato atau tulisan dengan tujuan untuk



library.uns.ac.id



69 digilib.uns.ac.id



mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar, dan sama sekali tidak menghendaki adanya suatu jawaban. Sependapat dengan pendapat diatas Sutejo (2010: 32) menjelaskan erotesis adalah gaya bahasa yang mempergunakan kalimat tanya yang sebenarnya tidak memerlukan jawaban karena sudah diketahuinya. Sementara itu, Tarigan (2013: 130) menjelaskan bahwa erotesis adalah sejenis gaya bahasa yang berupa pertanyaan yang digunakan dalam tulisan atau pidato yang bertujuan untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar, dan sama sekali tidak menuntut suatu jawaban. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa erotesis merupakan gaya bahasa berupa pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban. Contoh: “Kowe tega yen bocah-bocah iku sengsara?” Terjemahan: Kamu tega kalau anak-anak itu sengsara? Kutipan di atas merupakan pertanyaan yang mana tidak memerlukan jawaban. Hal ini dikarenakan jawabannya sudah tahu semua. y) Asindenton Gaya bahasa ini menggunakan kata-kata yang sejajar, tetapi tidak dihubungkan dengan kata-kata penghubung. Hal ini didukung oleh pendapat Keraf (2007: 131) yang mengemukakan bahwa asindeton adalah suatu gaya bahasa berupa acuan, yang bersifat padat dan mampat di mana beberapa kata, frasa, atau klausa yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung. Sama seperti pendapat sebelumnya, Tarigan (2013: 136) berpendapat bahwa asindeton adalah semacam gaya bahasa yang berupa acuan padat dan mampat di mana beberapa kata, frase, atau klausa yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung. Kesimpulannya adalah asindeton merupakan gaya bahasa yang berupa acuan padat di mana kata, frasa, klausa tidak dihubungkan dengan kata sambung. Contoh: “Rama, Ibu, lan anak yaiku ingkang inti saking sawijining kaluwarga.”



library.uns.ac.id



70 digilib.uns.ac.id



Terjemahan: Bapak, Ibu, dan anak merupakan inti dari sebuah keluarga. Kutipan di atas menggunakan kata yang sejajar, yaitu bapak, ibu, dan anak. z) Polisindenton Majas ini berupa kalimat atau sebuah kontruksi yang mengandung kata-kata yang sejajar dan dihubungkan dengan kata sambung. Sejalan dengan pernyatan tersebut, Tarigan (2013: 137) menjelaskan bahwa polisindeton adalah suatu gaya bahasa yang merupakan kebalikan dari asindeton. Lebih jelasnya lagi Keraf (2007: 131) berpendapat bahwa polisidenton adalah suatu gaya yang beberapa kata, frasa, atau klausa yang berurutan dihubungkan satu sama lain dengan kata-kata sambung. Dalam polisindeton,



beberapa



kata,



frase,



atau



klausa



yang



berurutan



dihubungkan satu sama lain dengan kata-kata sambung. Kesimpulannya adalah gaya bahasa ini beberapa kata, frasa, atau klausa yang berurutan dihubungkan dengan kata sambung. Contoh: “Pembangunan memerlukan sarana dan prasarana juga dana serta kemampuan pelaksana.” Dalam kutipan di atas menggunakan kata penghubung yaitu “dan”, “serta”. Hal ini merupakan wujud dari gaya bahasa polisidenton. Analisis stilistika juga pernah dilakukan oleh Ahmad Ali Ihsanudin (2012) (skripsi) dengan judul “Analisis Stilistika dan Nilai Pendidikan



Pada



Novel



Pudarnya



Pesona



Cleopatra



Karya



Habiburrahman El Shirazy”. Penelitian tersebut memiliki relevansi dengan penelitian ini, yaitu sama-sama meneliti gaya bahasa yang terdapat dalam karya sastra berbentuk prosa, perbedaannya terdapat dalam jenis prosanya. Pada penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Ali Ihsanudin menggunakan novel sebagai objek penelitian, sedangkan dalam penelitian ini peneliti menggunakan cerpen sebagai objek penelitian. Perbedaan lainnya adalah penelitian Ahmad Ali Ihsanudin tidak menganalisis nilai



library.uns.ac.id



71 digilib.uns.ac.id



pendidikan dari sebuah karya sastra, sedangkan dalam penelitian ini peneliti menganalisis nilai pendidikan dalam sebuah karya sastra. penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Ali Ihsanudin juga tidak merelevansikannya sebagai materi ajar, oleh karena itu peneliti dalam penelitian ini merelvansikannya sebagai materi ajar. Hal ini dilakukan karena sehubungan dengan jurusan yang diambil peneliti berkaitan dengan pendidikan, maka peneliti harus mengkaitkannya sebagai materi ajar supaya bermanfaat untuk pembelajaran. d) Citraan Citraan merupakan penggambaran kejadian dalam sebuah karya melalui kata, frasa, atau kalimat yang digunakan. Pencitraan bertujuan agar pembaca dapat membayangkan apa yang sebenarnya terjadi di dalam cerita tersebut baik secara visual, audio, gerak, penciuman, maupun perabaan. Pernyataan ini didukung oleh pendapat dari Nurgiyantoro (2014: 276) menjelaskan bahwa citra merupakan suatu bentuk penggunaan bahasa yang mampu membangkitkan kesan yang konkret terhadadap suatu objek, pemandangan, aksi, tindakan, atau pernyataan yang dapat membedakannya dengan pernyataan atau eksplositori yang absktrak dan biasanya ada kaitannya dengan simbolisme. Selanjutnya, Pradopo (2007: 81) berpendapat bahwa pencitraan merupakan bentuk imajinatif atau angan-angan yang ditimbulkan oleh bahasa pengarang dalam karya sastra. Gambaran-gambaran angan tersebut



ada



bermacam-macam,



dihasilkan



oleh



indera



penglihatan,



pendengaran, perabaan, pengecapan, maupun penciuman. Pencitraan digunakan untuk mengkonkretkan pengungkapan gagasangagasan yang sebenarnya abstrak melalui kata-kata dan ungkapan yang mudah membangkitkan tanggapan imaji. Pernyataan ini dipertegas dengan pendapat Warren (Sutejo, 2010: 19) yang menjelaskan bahwa pencitraan dapat mencakup tentang citra pencicipan, penciuman, citraan terikat dan citraan bebas. Bentuk imajinatif atau angan-angan tersebut dapat menumbuhkan rasa seolah-olah pembaca melihat, mendengarkan, meraba, mencium, merasakan suasana atau keadaan yang dibangun oleh pengarang melalui bahasa yang



library.uns.ac.id



72 digilib.uns.ac.id



digunakannya dalam suatu karya sastra. Senada dengan pendapat di atas Waluyo (2011: 91) berpendapat bahwa citraan atau pengimajian (imagery) adalah kata atau susunan kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensoris, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Pembagian citraan dapat berdasarkan panca indera manusia. Seperti yang dijelaskan Wyatmi (2006: 68) yang membagi jenis citraan sesuai dengan indera yang menghasilkannya, yaitu citraan penglihatan (visual imagery), citraan pendengaran (auditory imagery), citraan pencecapan (tactile imagery), citraan penciuman (alfactory imagery), citraan gerak (kinesthetic imagery). Hal ini sejalan dengan pendapat Pradopo (2005: 81) yang menjelaskan bahwa citraan itu ada beberapa macam, yang dihasilkan oleh indera penglihatan, pendengaran, perabaan, pencecapan, dan penciuman. Citra merupakan unsur dasar yang khas dalam karya prosa dan puisi sedangkan citraan merupakan cara membentuk citra mental, pribadi, atau gambaran sesuatu. Pemakaian bahasa untuk melukiskan kelakuan, orang, benda, atau gagasan secara deskriptif. Biasanya pencitraan menyarankan gambar yang tampak oleh mata (batin) kita, tetapi dapat jugan menyarankan hal-hal yang merangsang panca indra lainnya. Pencitraan dalam karya sastra menurut Al-Ma’ruf (2010: 55 – 57) adalah sebagai berikut. 1) Citraan Penglihatan (Visual Imagery) Citra



penglihatan



menekankan



pada



pengalaman



visual



(penglihatan) yang dialami pengarang kemudian diformulasikan ke dalam rangkaian kata yang sering kali metaforis dan simbolis. Penggambaran setting misalnya, hakikatnya merupakan pengalaman visual yang dialami oleh pengarang. Tanpa pengalaman visual, tentunya pengarang akan gagal dalam pelukisan pelataran secara empatif dan deskriptif. Pernyatan tersebut seperti pendapat Nurgiyantoro (2014: 279) yang berpendapat bahwa citraan penglihatan merupakan citraan yang terkait dengan pengongkretan objek yang dapat dilihat oleh mata, objek yang dapat dilihat secara visual. Jadi, objek visual adalah objek yang tampak seperti meja, kursi, jendela, pintu, dan lain-lain. Senada dengan pendapat



library.uns.ac.id



73 digilib.uns.ac.id



Nurgiyantoro, Pradopo (2007: 81) berpendapat bahwa citraan penglihatan merupakan citraan yang timbul oleh indera penglihatan. Pelukisan karakter tokoh



misalnya



keramahan,



kemarahan,



kegembiraan



dan



fisik



(kecantikan, keseksian, keluwesan, keterampilan, kejantanan, kekuatan, ketegapan) sering dikemukakan pengarang melalui citraan visual iniLewat penuturan yang sengaja dikreasikan dengan cara tertentu, benda-benda yang secara alamiah kasat mata tersebut dapat dilihat secara mental lewat rongga imajinasi, lewat pengimajian walau secara faktual benda-benda tersebut tidak ada disekitar pembaca. benda-benda tersebut lengkap dengan spesifikasi rinciannya merupakan objek penglihatan imajinatif yang sengaja dibangkitkan oleh penulis. Dalam karya sastra selain pelukisan karakter tokoh cerita, citraan penglihatan ini juga sangat produktif dipakai oleh pengarang untuk melukiskan keadaan, tempat, pemandangan, atau bangunan. Citraan visual tersebut



mengusik



indera



penglihatan



pembaca



sehingga



akan



membangkitkan imajinasinya untuk memahami karya sastra. Perasaan estetis akan lebih mudah terangsang melalui citraan visual tersebut. Pernyataan tersebut diperkuat dengan pendapat dari Al-Ma’ruf (2012: 79) yang berbunyi citraan penglihatan adalah citraan yang timbul oleh penglihatan. Citraan visual dapat mengusik indera penglihatan pembaca sehingga akan membangkitkan imajinasinya untuk memahami karya sastra. Perasaan estetis akan lebih mudah terangsang melalui citraan visual ini. Selain itu, dalam karya sastra pengarang melukiskan karakter tokoh, melukiskan keadaan tempat, pemandangan, atau bangunan dalam menciptakan citraan visual. Contoh: Wengi-wengi nalika bocah loro padha sibuk sinau, nonton tv, banjur guyon lan maca majalah ing ruwang tengah, aku lan sisihanku lungguh ana teras. Nyawang langit kang kaling-kalingan godhong pelem. Nyawang cecak kang godhag-godhagan ing plafon teras.



library.uns.ac.id



74 digilib.uns.ac.id



(Antologi



cerkak



Rembulane



Wis



Ndhadhari,



Katresnan



Kang



Ngrembuyung: 171) “Malam-malam ketika dua anak sedang sibuk belajar, nonton tv, lalu bercanda dan membaca majalah di ruang tengah, aku dan kekasihku duduk di teras. Menatap langit yang terhalang lebatnya daun manga. Melihat cicak yang sedang kejar-kejaran di plafon teras.” Kutipan ini menunjukkan, bagaimana pelukisan keadaan yang merupakan perwujudan dari pengalaman penglihatan. Karena itulah contoh diatas dapat digolongkan sebagai salah satu contoh citraan penglihatan. Citraan penglihatan sendiri biasanya dapat memberikan rangsangan kepada indera penglihatan sehingga hal-hal yang semula terlihat akan tampak atau hadir di depan penikmat. Cintraan penglihatan ini juga banyak ditemukan dalam kumpulan cerkak “Rembulane Wis Ndhadhari” karya Sri Setya Rahayu karya pada hakekatnya dalam setiap karya sastra selalu akan menggambarkan keadaan visual dari cerita tersebut. Walaupun secara konkret ciri bahasa yang merupakan citra penglihatan lebih tampak penggunaannya dalam puisi, akan tetapi di dalam cerkak pun juga banyak terdapat citraan ini. Adapun yang dimaksud dengan citraan penglihatan ialah jenis citraan yang sering menekankan pengalaman visual (penglihatan) yang dialami pengarang kemudian diformulasikan ke dalam rangkaian kata yang seringkali metaforis dan simbolis. Penggambaran setting misalnya, hakekatnya merupakan pengalaman visual yang dialami oleh pengarang. Tanpa pengalaman visual, tentunya pengarang akan gagal dalam pelukisan pelataran secara empatif dan deskriptif. Akhirnya, citra penglihatan itu sendiri dapat dipahami sebagai ciri penglihatan yang memberi rangsangan kepada indera penglihatan, hingga sering hal-hal yang tak terlihat jadi seolah-olah terlihat. 2) Citraan Pendengaran (Audio Imagery) Citraan pendengaran adalah citraan yang ditimbulkan oleh pendengaran. Peristiwa pengalaman hidup yang berhubungan dengan



library.uns.ac.id



75 digilib.uns.ac.id



pendengaran akan lebih mudah dimunculkan dengan citraan pendengaran. Citraan pendengaran merupakan bagaimana pelukisan bahasa yang merupakan perwujudan dari pengalaman pendengaran atau audio. Jadi, imaji pembaca dalam mendengarkan apa yang dimunculkan pengarang dalam karya sastra akan lebih mudah muncul dengan menggunakan citraan pendengaran. Pernyataan tersebut senada dengan pendapat Al-Ma’ruf (2012: 80) yang menyatakan bahwa citraan pendengaran adalah citraan yang ditimbulkan oleh pendengaran. Disamping itu, citraan pendengaran akan lebih mudah melukiskan keadaan untuk merangsang imaji pembaca dalam mencapai efek estetis. Hal ini sependapat Sutejo (2010: 22) bahwa citraan pendengaran merupakan bagaimana pelukisan bahasa yang merupakan perwujudaan dari pengalaman pendengaran (audio). Citra pendengaran juga dapat memberi rangsangan kepada indera pendengaran sehingga mengusik imajinasi pembaca untuk memahami teks sastra secara lebih utuh. Hal ini diperkuat dengan pendapat Nurgiyantoro (2014: 281) yang menyatakan bahwa citraan pendengaran adalah pengonkretan objek bunyi yang didengar oleh telinga. Sejalan dengan pendapat tersebut Pradopo (2010: 81) menjelaskan bahwa citraan pendengaran adalah citraan yang ditimbulkan oleh pendengaran. Citraan auditif terkait usaha pengonkretan bunyi-bunyi tertentu, baik yang ditunjukkan lewat deskripsi verbal maupun tiruan bunyi, sehingga seolaholah pembaca dapat mendengar bunyi-bunyi itu walau hanya secara mental lewat rongga imajinasi. Lewat penuturana yang sengaja dikreasikan dengan cara tertentu, bunyi-bunyi tertentu yang secara alamiah dapat didengar, menjadi dapat didengar lewat pengimajian pembaca. pembangkitan bunyi-bunyi alamiah tertentu lewat penataan kata-kata tertentu dapat memberikan efek pengonkretan dan alamiah sehingga penuturan terlihat lebih teliti dan meyakinkan. Di samping citraan penglihatan, citraan pendengaran juga produktif dipakai dalam karya sastra. Berbagai peristiwa dan pengalaman hidup yang berkaitan dengan pendengaran yang tersimpan dalam memori



library.uns.ac.id



76 digilib.uns.ac.id



pembaca akan mudah bangkit dengan adanya citraan audio. Pelukisan keadaan dengan citraan pendengaran akan mudah merangsang imaji para pembaca yang kaya dalam pencapaian efek estetik. Contoh: Aku bener-bener turu tanpa eling ana ngendi papane. Kaya ana pangimpen aku ngelekake mripat. Samar-samar, mau ing kupingku aku krungu swara lirih. “Isih bobok. Katon kesel banget, Mas San.” “Banjur keprungu lawing ditutup alus. Ah, swara iku. Saiki aku ngelekake mripat amba. Tangi alon. Pira suwene ya olehku turu iki mau?” (Antologi



Cerkak



Rembulane



Wis



Ndhadhari,



Kenangan



Kang



Pungkasan: 106) Aku benar-benar tidur tanpa mengetahui tempatnya. Seperti adan mimpi aku membuka mata. Samar-samar, aku mendengar suara bisik-bisik. “Masih tidur. Terlihat kecapekan sekali, Mas San.” “Lalu terdengar pintu ditutup halus. Ah, suara ini. sekarang aku membuka mataku lebar-lebar. Bangun dengan pelan. Seberapa lama ya aku tertidur ini tadi?” Kutipan diatas menjelaskan bagaimana pencitraan pendengaran dipergunakan pengarang untuk merangsang intensitas pembacaan pembaca dalm memperoleh lukisan yang intensif. Citra pendengaran biasanya dapat meberikan rangsangan kepada indera pendengaran sehingga hal-hal yang semula tak terlihat akan tampak atau hadir di depan penikmat dengan rangsangan pendengaran. 3) Citraan Penciuman (Smell Imagery) Dalam penulisan karya sastra, citraan penciuman jarang dipakai pengarang. Citraan penciuman adalah penggambaran atau imaji yang diperoleh melalui pengalaman indera penciuman. Citraan penciuman membantu pembaca dalam menghidupkan emosinya. Pernyataan ini dipertegas dengan pendapat Pradopo (2007: 81) yang berbunyi bahwa citraan penciuman jarang digunakan dibanding citraan gerak, visual, atau



library.uns.ac.id



77 digilib.uns.ac.id



pendengaran. Namun demikian citraan penciuman memiliki fungsi penting dalam menghidupkan imajinasi pembaca. pendapat ini dperkuat dengan pendapat dari Sutejo (2010: 23) yang berpendapat bahwa citraan penciuman dipakai pengarang untuk membangkitkan imaji pembaca dalam hal memperoleh pemahaman yang utuh atas teks sastra yang dibacanya melalui indera penciumannya. Menurut Al-Ma’ruf (2012: 84) menyatakan bahwa citraan penciuman adalah pelukisan imajinasi yang diperoleh melalui indera penciuman. Contoh: Yu Tini bikut marasi bocah-bocah cilik mau. Luki mesam-mesem bae. Kembang tanjung roncen ing dhadhane diambu bola-bali. Wangi. Esuk mau dheweke golek karo Yu Tini. (Antologi cerkak Rembulane Wis Ndhadhari, Saiki Wis Ora Ana Kembang Tajung Semi: 149) “Yu Tini sibuk mendandani anak-anak kecil tadi. Luki senyum-senyum terus. Kembang tanjung yang sudah dirangkai di dananya diciumi terus. Wangi. Pagi tadi dia mencari sama Yu Tini.” Dari kutipan diatas dapat dipahami bahwa citraan penciuman itu berhubungan dengan bebauan yang dapat dibayangkan oleh pembaca saat membaca adegan dalam cerkak tersebut. pembaca dapat membayangkan aroma dari bunga tanjung tersebut 4) Citraan Perabaan (Tactile Imagery) Citraan perabaan ialah penggambaran atau pembayangan dalam cerita yang diperoleh melalui pengalaman indera peraba. Sama dengan citraan penciuman, citraan perabaan jarang digunakan pengarang dalam membuat karya sastra. Biasanya citraan perabaan digunakan untuk lebih menghidupkan imaji pembaca dalam memahami teks karya sastra sehingga timbul efek estetis. Pernyataan ini senada dengan pendapat AlMa’ruf (2012: 83) yang menjelaskan bahwa citraan perabaan adalah citraan yang ditimbulkan melalui indra peraba. Hal ini sependapat dengan Pradopo (2007: 81) citraan perabaan adalah citraan yang ditimbulkan



library.uns.ac.id



78 digilib.uns.ac.id



melalui



perabaan.



Biasanya,



citraan



perabaan



digunakan



untuk



menghidupkan imaji pembaca dalam memahami karya sastra sehingga timbul efek estetis. Dalam fiksi, citra perabaan terkadang dipakai untuk melukiskan keadaan emosional tokoh. Berbeda dengan citraan penglihatan dan pendengaran yang produktif, citraan perabaan agak sedikit dipakai oleh pengarang dalam karya sastra. Dalam fiksi misalnya citraan perabaan dipergunakan untuk lebih menghidupkan imaji pembaca dalam memahami teks karya sastra. Contoh: Dheweke mesem, tangane kumlawe, lembut nyilakake rambut kang nglembreh ing bathuk lan pipiku. Dhadhaku krasa trenyuh. Ing wates sore lan bengi, ing kumandange adzan ngelusi kembang-kembang flamboyan, aku lan dheweke nyoba gawe kepastian. (Antologi cerkak Rembulane Wis Ndhadhari, Aku lan Dheweke: 92) “Dia tersenyum, tangannya bergerak, lembut membuka rambut yang tergerai mengenai jidat dan pipiku. Dadaku trenyuh. Di batas sore dan malam, di kumandangnya adzan membelai bunga-bunga flamboyan, aku dan dia mencoba membuat kepastian.” Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa perabaan yang dijelaskan adalah “nyiblake rambut” atau membenarkan rambutnya. Di sini dapat dapat dikatakan citraan perabaan dikarenakan ada kontak fisik antara kedua tokoh dalam cerita. 5) Citraan Gerak (Movement Imagery) Melalui pelukisan gerak (kinestetik) imaji pembaca mudah sekali dibangkitkan mengingat di dalam pikiran pembaca tersedia imaji gerakan itu. Citraan gerak menggambarkan sesuatu yang sesungguhnya tidak bergerak, tetapi dilukiskan sebagai dapat bergerak, ataupun gambaran gerak pada umumnya. Dalam karya fiksi, citraan gerak dapat menggambarkan sesuatu lebih dinamis. Citraan gerak sangat produktif digunakan dalam karya sastra karena mampu membangkitkan imaji



library.uns.ac.id



79 digilib.uns.ac.id



pembaca. Hal tersebut dapat terjadi karena pikiran pembaca terdapat imaji gerakan itu. Sependapat dengan pernyataan di atas Al-Ma’ruf (2012: 82) berpendapat bahwa citraan gerak adalah citraan yang melukiskan sesuatu sesungguhnya tidak bergerak tetapi dilukiskan sebagai dapat bergerak ataupun gerak umumnya. Citraan gerak sendiri hampir mirip dengan citraan visual. Namun, dalam citraan gerak objek yang dibangkitkan untuk dilihat adalah suatu aktivitas, gerak motoric, bukan objek diam. Lewat penggunaan kata-kata yang menyaran pada suatu aktivitas, lewat kekuatan imajinasinya, pembaca (seolah-olah) juga dapat melihat aktivitas yang dilukiskan. Penghadiran berbagai aktivitas baik yang dilakukan oleh manusia maupun oleh makhuk atau hal-hal lain lewat penataan kata-kata tertentu secara tepat dapat mengonkretkan dan menghidupkan penuturan sehingga terlihat lebih teliti dan meyakinkan. Hal ini diperkuat dengan pendapat Nurgiyantoro (2014: 282) yang menjelaskan bahwa citraan gerak adalah citraan yang terkait dengan pengonkretan objek gerak yang dapat dilihat oleh mata. Hal ini mirip dengan citraan visual yang juga terkait dengan penglihatan. Pada dasarnya citraan gerak membawa pembaca membayangkan kejadian atau kegiatan yang digambarkan dalam cuplikan cerita yang dinikmati. Akan tetapi, hal tersebut sesungguhnya tidak terjadi. Pernyataan di atas didukung oleh pendapat Pradopo (2007: 81) yang berbunyi bahwa citraan gerak melukiskan sesuatu yang sesungguhnya tidak bergerak tetapi dilukiskan dapat bergerak ataupun gambaran gerak pada umumnya. Citraan gerak dapat membuat sesuatu menjadi terasa hidup dan dinamis. Citraan gerak juga sangat produktif dipakai oleh pengarang dalam karya sastra kerana mampu membangkitkan imaji pembaca. Melalui citraan gerak (kinestetik) imaji pembaca akan mudah sekali dibangkitkan mengingat di dalam pikiran pembaca tersedia imaji gerak tersebut.



library.uns.ac.id



80 digilib.uns.ac.id



Contoh: Sawise ngaso sedhela lan Ibu durung ana rawuh, aku ngobahake sikil mengetan, menyang daleme Simbah. (Antologi cerkak Rembulane Wis Ndhadhari, Mawarni: 146) “Setelah beristriahat sebentar dan Ibu belum pulang, aku melangkahkan kaki ini ke arah timur, ke rumah Simbah.” Dalam kutipan cerkak diatas sudah dapat dilihat bahwa ada beberapa citraan gerak yang digambarkan. Dalam kutipan di atas yang menunjukkan citraan perabaan adalah pada kutipan “aku ngobahake sikil” atau aku melangkahkan kaki. Kutipan ini dapat dikatakan citraan gerak karena terdapat salah satu tokoh yang melakukan gerakan melangkahkan kaki. 6) Citraan Pencecapan Citraan ini merupakan gambaran dari apa yang dirasakan manusia melalui indera pencecap yaitu lidah. Jenis citraan ini jarang sekali digunakan oleh pengarang disetiap karyanya. Menurut Al-Ma’ruf (2012: 85) citraan pencecapan merupakan pelukisan imajinasi yang ditimbulkan oleh pengalaman indera pencecapan dalam hal ini lidah. Jenis citraan pencecapan dalam karya sastra dipergunakan untuk menghidupkan imajinasi pembaca dalam hal-hal yang berkaitan dengan rasa di lidah atau membangkitkan selera makan. Contoh: Sapungkure saka Rumah Sakit aku langsung ngombe obat sing di wenehke Dhokter. Rasane pait tenan. Terjemahan: “Sepulangnya dari Rumah Sakit aku langsung meminum obat yang diberikan dokter. Rasanya pahit sekali.” Dalam kutipan di atas menjelaskan rasa dari obat yang diminum. Rasanya pahit. Pembaca kalimat di atas langsung akan dapat membayangkan rasa dari obat tersebut yang benar-benar pahit. Sebuah karya sastra tidak hanya mengandung unsur pencitraan saja. Akan tetapi,



library.uns.ac.id



81 digilib.uns.ac.id



terdapat unsur lain yang mendukungnya seperti gaya bahasa atau permajasan. Di bawah ini peneliti akan membahas gaya bahasa yang digunakan dalam karya sastra. 3. Nilai Pendidikan a. Hakikat Nilai Pendidikan Dalam sebuah karya sastra tentu terdapat berbagai nilai yang dapat di ambil sebagai bahan pembelajaran bagi para pembaca. Bahkan tidak jarang, dengan mempelajari unsur nilai pendidikan dalam suatu karya sastra dapat membentuk karakter atau kepribadian seseorang. Nilai pendidikan dalam karya sastra pastilah mengajarkan hal-hal positif dan kebaikan yang dapat diambil oleh orang lain. Pernyataan di atas sejalan dengan pendapat Bertens (1999: 139) yang berbunyi nilai adalah sesuatu yang menarik, sesuatu yang dicari, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang disukai dan diinginkan, atau secara singkatnya merupakan sesuatu yang baik. Hampir sama dengan pendapat Bertens menurut Soelaeman (2005: 19) nilai adalah sesuatu yang dipentingkan manusia sebagai subjek, menyangkut segala sesuatu yang baik dan yang buruk, sebagai abstraksi, pandangan atau maksud dari berbagai pengalaman dengan seleksi perilaku yang sangat ketat. Nilai yang dimaksudkan adalah sebagai sesuatu yang berlaku, sesuatu yang mengikat atau mengimbau seseorang. Nilai berperan dalam suasana apresiasi atau penilaian sehingga akan menimbulkan perbedaan penilaian oleh berbagai orang. Hal ini juga diperkuat dengan pendapat dari Mulyana (2004: 11) yang menyatakan nilai adalah rujukan dan keyakinan dalam menentukan pilihan. Nilai tidak dapat dilihat dalam benda-benda fisik sebab nilai adalah sesuatu hal bagi proses manusia untuk manusia. Tingkatan nilai dibagi menjadi tiga, yaitu perasaan (sentiment) yang abstrak, norma-norma moral, dan keakuan (kedirian). Ketiga tingkatan tersebut ditemukan didalam kepribadian seseorang. Perasaan dipakai sebagai sesuatu landasan bagi orangorang membuat keputusan dan sebagai standar tingkah laku yang berfungsi sebagai kerangka patokan (frame of reference) dalam berinteraksi. Adapun



library.uns.ac.id



82 digilib.uns.ac.id



keakuan (kedirian) berperan dalam membentuk kepribadian melalui proses pengalaman sosial. Nilai pendidikan merupakan segala sesuatu yang baik maupun buruk yang berguna bagi kehidupan manusia diperoleh melalui proses pengubahan sikap dan tata laku dalam upaya mendewasakan diri manusia melalui upaya pengajaran. Pengajaran tersebut tidak hanya didapatkan dari lingkungan lingkungan sosial. Akan tetapi, dapat juga didapat dari karya sastra. Di dalam karya sastra terkandung beberapa nilai, salah satunya adalah nilai pendidikan. Menurut Mardiatmadja (1986: 55) nilai pendidikan dibagi menjadi empat, yakni: 1) nilai kultural; 2) nilai kesosialan; 3) nilai kesusilaan; dan 4) nilai keagamaan. Berkaitan dengan nilai yang terdapat dalam karya sastra, nilainilai pendidikan dalam karya sastra adalah sebagai berikut. 1) Nilai Keagamaan atau Religius Nilai religius memiliki tujuan untuk mendidik manusia agar lebih dekat dengan Tuhan. Di dalam suatu karya sastra, penulis atau pengarang sering mencantumkan nilai-nilai religius di dalamnya. Nilai religius tersebut dimaksudkan supaya pembaca dapat merenungi batinnya yang bersumber pada nilai agama. Pernyataan tersebut didukung dengan pendapat Rosyadi (1995:90) yang menyatakan bahwa religi tidak hanya menyangkut segi kehidupan secara lahiriah melainkan juga menyangkut keseluruhan diri pribadi manusia secara total dalam integrasinya hubungan ke



dalam



keesaan



Tuhan.



Senada



dengan



pendapat



Rosyadi,



Purwaningtyastuti, dkk (2014: 6) mengemukakan bahwa nilai religi dapat menanamkan sikap pada manusia untuk tunduk dan taat kepada Tuhan serta menumbuhkan sikap sabar, tidak sombong, dan pasrah. Agama atau sumber dari nilai religius mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam penciptaan suatu karya sastra. Agama merupakan suatu ajaran bagi manusia untuk berhubungan secara vertikal dengan Tuhan. Agama merupakan dorongan penciptaan sastra, sebagai sumber ilham, dan sekaligus sering membuat karya sastra bermuara kepada agama (Semi, 1993: 22). Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan



library.uns.ac.id



83 digilib.uns.ac.id



bahwa nilai religius yang merupakan nilai kerohanian tertinggi dan mutlak serta bersumber pada kepercayaan atau keyakinan manusia. 2) Nilai Kesusilaan atau Moral Moral merupakan sesuatu yang igin disampaikan pengarang kepada pembaca, merupakan makna yang terkandung dalam karya sastra. Moral berhubungan dengan kelakuan atau tindakan manusia. Nilai moral inilah yang lebih terkait dengan tingkah laku kehidupan kita sehari-hari. Nilai pendidikan moral inilah yang diharapkan dapat membawa manusia menjadi lebih bijaksana untuk memilih dan menilai antara yang benar dan yang salah. Pernyataan ini senada dengan pendapat Soekanto (1982: 60) adalah kaidah-kaidah yang mengatur kepentingan pribadi, maupun kepentingan hubungan antar manusia yang bertujuan agar manusia pribadi hidup berahlak. Pengarang atau penulis suatu karya sastra juga sering memasukkan nilai moral ke dalam karya sastranya. Hal tersebut dimaksudkan supaya pembaca dapat mengetahui pandangan nilai kebenaran yang berlaku dalam masyarakat, supaya manusia lebih mengenal etika, baik buruk suatu perbuatan, yang harus dihindari dan yang harus dikerjakan, sehingga tercipta tatanan hubungan yang baik. Pernyataan di atas diperkuat dengan pendapat Hasbullah (2005: 194) yang menyatakan bahwa nilai moral merupakan kemampuan seseorang membedakan antara yang baik dan yang buruk. Senada dengan itu Purwaningtyastuti, dkk (2014: 7) berpendapat bahwa nilai moral merupakan perilaku atau perbuatan manusia dipandang dari nilai-nilai dan buruk, benar dan salah, dan berdasarkan adat kebiasaan di mana individu berada. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa nilai pendidikan moral adalah nilai yang menunjukkan peraturan tingkah laku dan etika yang berlaku di lingkungan masyarakat. 3) Nilai Kesosialan Kata sosial sangat dekat dengan istilah masyarakat atau kepentingan umum. Nilai sosial juga berkaitan dengan pola tingkah laku



library.uns.ac.id



84 digilib.uns.ac.id



seseorang atau individu di tengah lingkungan masyarakat, baik cara seseorang bersosialisasi dengan orang lain maupun interaksi seseorang di tengah kehidupan bermasyarakat. Manusia sebagai makhluk sosial pasti akan memiliki dorongan untuk bersosialisasi. Pernyataan ini diperkuat dengan pendapat Purwaningtyastuti, dkk (2014: 8) yang menjelaskan bahwa nilai sosial adalah nilai yang diperoleh manusia dalam pergaulannya dengan manusia lain di masyarakat yang berhubungan dengan pembentukan dan pemeliharaan tingkah laku. Dalam karya sastra nilai sosial digunakkan supaya pembaca mengetahui latar sosial, aktivitas sosial dalam cerita. Nilai sosial dalam karya sastra juga bermanfaat agar pembaca mengetahui bagaimana interaksi masyarakat yang disajikan dalam cerita. Hal ini juga bertujuan agar pembaca dapat membayangkan latar tempat seperti apa yang digunakan dalam sebuah cerita. Hal ini dipertegas dengan pendapat dari Semi tentang hubungan sastra dengan nilai sosial.



Hubungan sastra



dengan nilai sosial menurut Semi (1993: 22) yaitu dorongan sosial yang mendorong penciptaan sastra memperjuangkan berbagai bentuk aktivitas sosial. Aktivitas sosial yang dimaksud antara lain aktivitas sosial, ekonomi, politik, etik, kepercayaan, dan lain-lain. Nilai sosial dalam karya sastra merupakan cerminan kehidupan masyarakat. Hal ini disebabkan lingkungan masyarakat merupakan kehidupan sosial antara satu individu dengan individu lain. Nilai pendidikan sosial akan menjadikan manusia sadar akan pentingnya kehidupan berkelompok dalam ikatan kekeluargaan antara satu individu dengan individu lainnya. Jadi, dapat disimpulkan nilai sosial sebagai kumpulan sikap dan tingkah laku seseorang dalam bersosialisasi maupun dalam berinteraksi dengan orang lain yang diwujudkan melalui perilaku yang mempengaruhi perilaku seseorang yang memiliki nilai tersebut. Nilai sosial merupakan sikap-sikap dan perasaan yang diterima secara luas oleh masyarakat dan merupakan dasar untuk merumuskan apa yang benar dan apa yang penting.



library.uns.ac.id



85 digilib.uns.ac.id



4) Nilai Kultural atau Budaya Setiap



cerita



pasti



memiliki



nilai



budaya



yang



melatarbelakanginya. Berbeda dengan nilai sosial, nilai budaya lebih mengarah pada sikap, cara berpakaian, tradisi setempat yang dijunjung luhur oleh masyarakat setempat dan belum tentu dianggap benar oleh masyarakkat luar. Pernyataan ini didukung oleh pendapat Rosyadi (1995: 74) yang menjelaskan bahwa nilai budaya merupakan sesuatu yang dianggap baik dan berharga oleh suatu kelompok masyarakat atau suku bangsa yang belum tentu dipandang baik pula oleh kelompok masyarakat atau suku bangsa lain sebab nilai budaya membatasi dan memberikan karakteristik pada suatu masyarakat dan kebudayaannya. Senada dengan pendapat tersebut Khan (2016: 98) mendefinisikan budaya sebagai berikut “Culture can be defined from individual’s viewpoints. Culture includes various dimensions of society. It includes the way of life, dress code, food types, local customs, values, traditions etc. Broadly speaking, culture is a ‘ an environment created by humans. A culture is something that a group shares pertaining to the elements of culture: style, dress, customs etc. Artinya adalah budaya dapat didefiniskan dari sudut pandang individu. Budaya mencakup berbagai dimensi masyarakat termasuk cara hidup, kode berpakaian, jenis makanan, adat istiadat setempat, nilai, tradisi dan sebagainya. Secara umum, budaya adalah lingkungan yang diciptakan oleh manusia. Budaya adalah sesuatu yang dimiliki oleh sekelompok yang berkaitan dengan unsur budaya: gaya, pakaian, adat istiadat dll. Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa nilai budaya merupakan cara hidup, cara berpakaian, tradisi yang dijunjung tinggi oleh suatu masyarakat tertentu dan belum tentu berlaku di masyarakat lain. Penelitian mengenai nilai pendidikan juga pernah dilakukan oleh Sulistyawan (2013) (tesis) dengan judul “Analisis Stilistika dan Nilai-nilai Pendidikan dalam Geguritan Solopos Bulan Desember 2012 Serta Relevansinya dengan Pembelajaran Bahasa Jawa Di Sekolah”. Penelitian tersebut memiliki relevansi dengan penelitian ini, yaitu sama-sama



library.uns.ac.id



86 digilib.uns.ac.id



meneliti gaya bahasa dan nilai pendidikan dalam karya sastra. Penelitian ini juga sama-sama merelevansikan sebagai bahan ajar di sekolah. Perbedaannya adalah penelitian yang dilakukan oleh Sulistiyawan menggunakan objek geguritan sedangkan penelitian ini menggunakan objek cerkak atau cerpen. Perbedaan lainnya adalah jenis-jenis pencitraan yang dianalisis. Dalam kesimpulannya penelitian yang dilakukan oleh Sulistiyawan hanya terdapat empat pencitraan yaitu penglihatan, gerak, pendengaran, dan penciuman. Sedangkan, penelitian ini menganalisis lima pencitraan penglihatan, penciuman, perabaan, gerak, dan pengecapan. 4. Materi Ajar Dalam setiap kegiatan belajar mengajar pastilah dibutuhkan materi pembelajaran. Materi pembelajaran diperlukan guna mencapai target yang diinginkan. Pernyataan ini diperkuat dengan pendapat Winkel (1991: 193) yang berbunyi Materi pembelajaran merupakan sarana yang digunakan untuk mencapai tujuan instruksional, bersama dengan prosedur didaktik dan media pengajaran, materi pelajaran membawa siswa ke tujuan instruksional, yang mempunyai aspek jenis perilaku dan aspek isi. Senada dengan pendapat di atas menurut Suryani & Agung (2012: 41) memberikan pengertian mengenai materi atau bahan pembelajaran adalah seperangkat pengetahuan ilmiah yang dijabarkan dari kurikulum untuk disampaikan kepada peserta didik atau dibahas dalam proses belajar-mengajar agar sampai kepada tujuan yang telah ditetapkan. Hal ini berlaku pula dengan pembelajaran bahasa Jawa. Materi yang dibutuhkan saat melakukan kegiatan belajar mengajar terkadang kurang memadai dalam buku yang disediakan agar mencapai tujuan yang diterapkan. Menurut Widodo dan Jasmadi (2008: 40) menjelaskan bahwa materi ajar yang baik harus dirancang dan ditulis sesuai kaidah intruksional, karena materi ajar akan digunakan pendidik untuk membantu tugas mereka dalam proses belajar mengajar. Maka dari itu, seorang guru harus memiliki referensi lain sebagai bahan ajar yang sesuai dengan materi yang diajarkan. Semisalnya, guru sedang melakukan kegiatan belajar mengajar dengan materi cerita cekak, terkadang guru merasa kurang dengan materi yang disediakan oleh buku LKS. Sebagai seorang



library.uns.ac.id



87 digilib.uns.ac.id



pengajar guru harus memiliki referensi lain seperti cerkak yang terdapat dalam majalah atau buku kumpulan cerkak supaya materi yang disajikan diharapkan diterima oleh murid. Materi pelajaran dapat berupa macam-macam bahan, seperti suatu naskah, persoalan, gambar, isi audiocassette, preparat, topik perundingan dengan siswa, jawaban dari siswa, dan lain sebagainya. Jadi, pada intinya bahan atau materi ajar yang bisa digunakan oleh guru tidak hanya berasal dari buku teks atau buku pelajaran saja, melainkan juga dari sumber-sumber lain yang telah disebutkan di atas. Bahan ajar merupakan segala bahan (baik informasi, alat, maupun teks) yang disusun secara sistematis, yang menampilkan sosok utuh dari kompetensi yang akan dikuasai peserta didik dan digunakan dalam proses pembelajaran dengan tujuan perencanaan dan penelaahan implementasi



pembelajaran



(Prastowo, 2011: 17). Pendapat tersebut menitikberatkan pada segala bahan yang mendukung pembelajaran yang disusun secara sistematis. Selain itu, pendidik juga dituntut untuk menyusun bahan ajar yang kreatif, inovatif, dan variatif yang sesuai dengan tingkat kebutuhan peserta didik. Dalam menentukan materi ajar, seorang tenaga pengajar atau guru harus menyelaraskan dengan kebutuhan siswa. Materi ajar yang akan disampaikan kepada siswa harus sesuai dengan silabus dan tercantum dalam draf kurikulum yang berlaku. Materi atau bahan ajar yang tercantum dalam kurikulum sudah sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didik. Jadi, guru hanya tinggal menyusun bahan ajarnya dan disesuaikan dengan kurikulum yang berlaku. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa materi ajar merupakan segala bahan pembelajaran yang disusun sistematis yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa dan kurikulum yang berlaku. Akan tetapi, semua itu tercapainya ketuntasan sebuah materi tergantung dari guru yang mengajarnya. Bagaimana seorang guru tersebut menggunakan media dan teknik pembelajaran. Guru harus memiliki ide yang inofatif dalam pembelajaran, sehingga membuat siswa tidak merasa bosan dan mudah memahami materi yang disampaikan.



library.uns.ac.id



88 digilib.uns.ac.id



Tabel 2.1 Standar Kopetensi dan Kopetensi Dasar Bahasa Jawa Kelas X Semester 2 (dua) No. Standar Kopetensi



Kopetensi Dasar



1



a. mendengarkan berita yang disampaikan melalui media elektronik b. mendengarkan pembacaan cerkak yang disampaikan secara langsung atau rekaman.



MENDENGARKAN Mampu mendengarkan dan memahami wacana lisan sastra maupun nonsastra dalam berbagai ragam bahasa Jawa.



2



BERBICARA Mampu mengungkapkan pikiran, pendapat, gagasan, dan perasaan secara ;isan sastra maupun nosastra dengan menggunakan berbagai ragam dan unggah ungguh bahasa Jawa



3



MEMBACA



4



MENULIS



a. menyampaikan informasi yang diperoleh melalui radio, televisi, atau internet b. membahas atau mendiskusikan isi cerkak



a. Membaca nyaring naskah berita Mampu membaca dan memahami b. Membaca nyaring cerkak bacaan sastra maupun nonsastra, berhuruf latin maupun Jawa dengan berbagai keterampuilan dan teknik membaca.



Mampu mengungkapkan pikiran, pendapat, gagasan, dan perasaan dalam berbagai jenis karangan nonsastra maupun sastra menggunakan berbagai ragam bahasa Jawa sesuai dengan unggah ungguh dan menulis dengan huruf Jawa



a. Menulis wacana eksposisi dalam bentuk naskah berita pendek b. Menulis narasi dalam bentuk sinopsis cerkak



Sumber: Kurikulum Mata Pelajaran Muatan Lokal Bahasa Jawa untuk SMA/SMK/MA Kelas X Provinsi Jawa Tengah Tahun 2011 B. Kerangka Berfikir Penelitian ini mengkaji bahasa dan nilai pendidikan dalam kumpulan cerkak “Rembulane Wis Ndhadhari” karya Sri Setya Rahayu. Hal ini dikarenakan, sampai sekarang karya sastra selain geguritan atau puisi yang masih mudah untuk ditemui di



library.uns.ac.id



89 digilib.uns.ac.id



majalah-majalah, surat kabar, dan bahkan ada yang berbentuk buku yang berbentuk antologi adalah cerkak. Cerkak sendiri merupakan salah satu karya sastra yang menggambarkan suatu peristiwa kehidupan masyarakat secara singkat, padu dan lugas.



Penelitian mengenai bahasa dalam cerkak “Rembulane Wis Ndhadhari”



menggunakan pendekatan stilistika. Pendekatan stilistika tersebut dapat membuat peneliti mengetahui karakteristik bahasa, keindahan, dan maksud yang terdapat dalam cerkak tersebut. Bagian kedua dalam penelitian ini berkaitan dengan nilai pendidikan di dalam kumpulan cerkak “Rembulane Wis Ndhadhari” karya Sri Setya Rahayu. Dalam kumpulan cerkak “Rembulane Wis Ndhadhari” akan dianalisis nilai pendidikan yang terkandung didalamnya, semisal nilai moral, nilai pendidikan religius, dan nilai pendidikan sosial. Setelah dianalisi kajian stilistika dan nilai-nilai pendidikannya, kemudian ditarik kesimpulan.



library.uns.ac.id



90 digilib.uns.ac.id



Latar Belakang 1. Kurangnya penggunaan ragam bahasa yang sesuai oleh siswa 2. Kurangnya minat siswa untuk mempelajari karya sastra Jawa 3. Pengaruh gadget yang menyebabkan siswa lebih suka menggunakan bahasa tulis dari pada bahasa lisan. 4. Kurangnya pemahaman tentang gaya bahasa dan bahasa figurative pada karya sastra oleh siswa Kumpulan cerkak “Rembulane Wis Ndhadhari” karya Sri Setya Rahayu



Analisis Gaya Bahasa 1. Gaya Kata (Diksi) 2. Gaya Kalimat 3. Permajasan 4. Pencitraan



Analisis Nilai Pendidikan 1. Nilai Keagamaan atau Religius 2. Nilai Kesusilaan atau Moral 3. Nilai Kesosialan 4. Nilai Kultural atau Budaya



Relevansi kumpulan cerkak “Rembulane Wis Ndhadhari” dengan pembelajaran bahasa Jawa SMA



Bahan ajar materi cerkak



Gambar 2.1 Kerangka Berpikir