BAB II Tinjauan Pustaka [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

13



TINJAUAN PUSTAKA



Varanus indicus Varanus indicus adalah biawak yang hidup secara terestrial dan arboreal, yang memiliki sinonim biawak Ambon, mangrove monitor atau pacific monitor. Hewan ini memiliki taksonomi kingdom Animalia, filum Chordata, subfilum Vertebrata, kelas Reptilia, ordo Squamata, subordo Autarchoglossa, famili Varanidae, genus Varanus, dan spesies Varanus indicus-Daudin 1802 (Banks 2004). Hewan ini ditemukan di Australia (bagian Utara, Queensland), Indonesia (Irian Jaya, Maluku), Kirabati, Papua New Guinea (Bismarck Archipelago, pulau Solomon Utara), kepulauan Marshall, dan kepulauan Mariana Utara (Bennett & Sweet 2010). Bagian kepala, badan, punggung, ekor, dan kaki V. indicus dominan berwarna hitam dengan bintik-bintik kuning yang menyebar secara merata dan bagian perut berwarna putih kekuning-kuningan. Hewan ini memiliki kepala dan leher yang panjang, empat kaki yang kuat dengan lima kuku yang tajam. Penampang hidung V. indicus berbentuk bulat sedangkan penampang hidung spesies lain seperti V. salvator dan V. togianus berbentuk oval. Jarak hidung lebih dekat ke moncong dibandingkan jaraknya ke mata. Lidah biawak ini berwarna hitam (Philipp et al. 1999), ekor berbentuk pipih, keras, sangat kokoh dan panjangnya melebihi panjang kepala dan badan. Panjang ekor terhadap kepala 7.5 kali sedangkan panjang ekor terhadap badan 2.5 kali. Bobot badan berkisar antara 500-1900 g dan panjang tubuh berkisar antara 50-200 cm. Ukuran tubuh yang jantan lebih besar dari betina. Jenis kelamin biawak dapat ditentukan dengan ada tidaknya sepasang hemipenis, yang bila dilakukan pemijatan akan keluar di sekitar kloaka. Gambar V. indicus beserta susunan anatominya disajikan pada Gambar 1 dan 2.



14



Gambar 1 Varanus indicus. Seluruh badan berwarna hitam dengan bintik-bintik kuning yang menyebar merata. Sumber: Cota (2008).



Gambar 2 Anatomi biawak jantan. Sumber: Barten (1996a). V. indicus telah dikategorikan sebagai hewan Least Concern oleh IUCN pada tahun 2009 karena memiliki distribusi dalam jumlah yang besar dan umum ditemukan di berbagai habitat,namun spesies ini mungkin terancam punah di masa



15



depan akibat diburu untuk dimakan, dieksploitasi untuk perdagangan kulit dan terancam oleh kerusakan habitat. Saat ini belum ada upaya konservasi khusus yang dilakukan untuk spesies ini (Bennett & Sweet 2010). Semua spesies dan subspesies dari biawak termasuk dalam CITES Appendix II, kecuali Varanus bengalensis, Varanus flavescens, Varanus griseus, Varanus komodoensis, dan Varanus nebulosis termasuk dalam Appendix I (Ananjeva et al. 2006). Spesies yang termasuk dalam Appendix I adalah spesies terancam punah yang dipengaruhi atau dapat dipengaruhi oleh perdagangan satwa liar. Perdagangan spesies dalam Appendix I harus diatur dan diawasi secara ketat untuk mencegah kepunahan dan menjaga kelangsungan hidupnya. Spesies yang termasuk dalam Appendix II adalah spesies yang belum terancam punah namun dapat terancam punah bila perdagangan spesies tersebut tidak diatur dan diawasi secara ketat. Oleh karena itu, perdagangan spesies dalam Appendix II harus diatur dan diawasi secara ketat untuk menjaga kelangsungan hidupnya (CITES 1979). Habitat Habitat V. indicus diantaranya bakau, hutan hujan dan rawa dengan pakan yang terdiri atas siput, katak, ikan, serangga, burung, telur burung, dan telur reptil lain. Biawak adalah predator oportunistik sehingga dapat mengubah pola pakannya berdasarkan ketersediaan pakan di habitatnya (Bennett 2007).



Nilai Ekonomi Biawak Indonesia telah lama menjadi negara pengeskpor reptil, baik dalam bentuk reptil hidup maupun bentuk kulit. Reptil hidup diekspor untuk diambil daging atau bagian lainnya, atau sebagai hewan peliharaan. Reptil hidup yang diambil dagingnya umumnya diekspor ke Cina, Hongkong dan Singapura, sedangkan reptil untuk hewan peliharaan lebih banyak diekspor ke Amerika Serikat (Mardiastuti & Soehartono 2003). Di beberapa daerah, biawak diolah dagingnya menjadi bermacam-macam hidangan. Biawak atau dalam bahasa Nias disebut boroe mulai dikenal dan dikonsumsi masyarakat Nias, khususnya di Gunungsitoli. Konsumen daging biawak meningkat karena daging biawak enak dan bermanfaat untuk mengatasi asam urat (Hulu 2011). Daging biawak dipercaya dapat bertindak sebagai aphrodisiac (Anonim 2009), dan memiliki khasiat untuk mengobati gatal-



16



gatal, menghaluskan kulit, mengobati luka bakar, dan mengencangkan payudara (Anonim 2011). Selain daging, kulit biawak juga memiliki pasar yang baik. Perdagangan kulit biawak didominasi oleh satu jenis biawak yaitu biawak air Asia (Varanus salvator) karena tersebar di seluruh Indonesia bagian barat meliputi Jawa, Sumatra dan Kalimantan. Jumlah ekspor kulit biawak air Asia lebih banyak dari jumlah ekspor kulit buaya yaitu rata-rata sebanyak 650.000 lembar per tahun sedangkan ekspor kulit buaya hanya 1.000-3.500 lembar per tahun. Negara pembeli utama kulit biawak adalah Amerika Serikat, Jepang, Singapura, Meksiko dan Italia. Permasalahan utama ekspor reptil adalah belum adanya data jumlah populasi di alam untuk menentukan jumlah kuota, perdagangan sulit dilakukan berdasarkan ketentuan Konvensi CITES, dan kemungkinan menurunnya populasi beberapa



spesies



reptil



komersial



akibat



banyaknya



pemanenan



dari



alam(Mardiastuti & Soehartono 2003).



Reproduksi pada Biawak Biawak jantan memiliki sepasang hemipenis yang berbentuk seperti kantung, terletak di pangkal ekor dan menimbulkan tonjolan pada bagian ventral ekor. Walaupun mempunyai sepasang hemipenis, pada saat kopulasi hanya satu yang dimasukkan ke liang kloaka betina (Iyai & Pattiselanno 2006). Hemipenis tidak digunakan pada saat urinasi karena urin dikeluarkan langsung dari kloaka melalui ureter. Biawak betina memiliki sepasang oviduk dan ovarium. Ovarium terletak pada posisi yang sama dengan testes pada biawak jantan yaitu di dorsomedial rongga abdomen (Barten 1996a). Faktor penentu utama kematangan seksual pada biawak adalah ukuran tubuh. Usia dianggap tidak terlalu berpengaruh pada kematangan seksual karena berbeda antara biawak di alam liar dan penangkaran. Usia kematangan seksual biawak di alam liar berkisar antara 3-4 tahun, sedangkan usia kematangan seksual biawak di penangkaran tidak dapat ditentukan karena dipengaruhi oleh perawatan dan pakan yang berbeda. Musim kawin pada biawak ditentukan oleh suhu, hujan dan ketersediaan pakan. Biawak jantan akan menjadi agresif dan menjaga teritorial ketika musim



17



kawin (Barten 1996b). Frekuensi reproduksi biawak tergantung pada kondisi lingkungan dan nutrisi biawak tersebut. Biawak bersifat ovipar dan dapat menghasilkan telur lebih dari satu kali dalam setahun. Bila kopulasi terjadi sebelum ovulasi, sperma akan disimpan oleh betina. Hal ini menyebabkan reptil betina mampu untuk menghasilkan telur tanpa adanya kopulasi. Namun fertilisasi akan meningkat bila kopulasi terjadi saat berlangsungnya pembentukan telur. Gangguan reproduksi yang sering terjadi pada biawak adalah distokia, prolapsus oviduk, kloaka dan hemipenis. Prolapsus oviduk dan kloaka terjadi akibat oviposisi, namun banyak kasus yang terjadi akibat kesalahan penanganan distokia. Prolapsus hemipenis terjadi karena trauma setelah kopulasi dan mengalami inflamasi sehingga tidak dapat masuk kembali ke kloaka. Hemipenis dapat mengalami pendarahan dan bahkan nekrosis sehingga harus diamputasi. Prolapsus penis tidak mengganggu kemampuan reproduksi biawak karena memiliki dua hemipenis (DeNardo 1996).



Penyakit-Penyakit pada Biawak Penyakit pada biawak meliputi penyakit-penyakit yang umum terjadi pada reptil. Biawak dapat mengalami gangguan kesehatan atau penyakit pada sistem pernapasan, sistem pencernaan, sistem metabolisme, tulang, kulit, dan sistem reproduksi (Wilson 2010). Gangguan kesehatan pada sistem pernapasan biawak umumnya adalah pneumonia. Pneumonia dapat disebabkan oleh bakteri aerobik dan anaerobik, fungi, serta parasit dan terjadi akibat manajemen pemeliharaan yang kurang baik. Suhu dan kelembaban berpengaruh terhadap fungsi pernapasan dan sistem imun yang baik (Barten 1996b). Selain itu, nutrisi yang tidak seimbang terutama kurangnya vitamin A dan protein dapat mengakibatkan gangguan pernapasan. Kurangnya vitamin A mengakibatkan metaplasia pada sel epitel dan duktus kelenjar mukus saluran pernapasan (Murray 1996). Beberapa spesies Varanus spp. dapat mengalami luka pada kulit yang disebabkan oleh gesekan hewan tersebut dengan kandang. Luka tersebut dapat terinfeksi



bakteri



atau



fungi



sehingga



diperlukan



pengobatan



dengan



menggunakan antibiotik sistemik (Wilson 2010). Biawak juga dapat terinfeksi oleh berbagai jenis ektoparasit terutama kutu dan tungau. Terdapat tujuh genus



18



tungau dan lebih dari 250 spesies kutu sebagai parasit reptil. Kutu dan tungau dapat menyebabkan kegatalan dan menghisap darah serta menjadi vektor penyakit infeksius. Salah satu contoh adalah kutu pembawa Aeromonas hydrophila yang dapat menyebabkan pneumonia dan stomatitis (Mader 1996a). Amblyomma dan Aponomma adalah caplak yang paling umum ditemukan di reptil. Selain itu, Hirstiella sp. adalah tungau berukuran