Bab Iv Perdarahan Uterus Abnormal (Abnormal Uteri Bleeding) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB IV PERDARAHAN UTERUS ABNORMAL (ABNORMAL UTERI BLEEDING) A. Definisi Perdarahan uterus abnormal (PUA) adalah perubahan pada frekuensi, durasi dan jumlah atau volume perdarahan menstruasi. Terdapat dua jenis, yaitu PUA yang berhubungan dengan siklus ovulasi, yang biasanya merupakan gangguan organik, dan perdarahan yang tidak berhubungan dengan siklus ovulasi (Beckmann, et al., 2014). Pada wanita tidak hamil di usia reproduktif, perdarahan memiliki patologi yang sangat luas. Ada banyak sekali terminologi yang digunakan baik untuk mendeskripsikan gejala maupun mengenai gangguannya sendiri. Gangguan haid atau disebut juga dengan perdarahan uterus abnormal merupakan keluhan yang sering menyebabkan seorang perempuan datang berobat ke dokter atau tempat pertolongan pertama (Badziad et al, 2011). Manifestasi klinis PUA dapat berupa perdarahan banyak, sedikit, siklus haid yang memanjang atau tidak beraturan. Terminologi menoragia saat ini diganti dengan perdarahan haid banyak atau heavy menstrual bleeding (HMB) sedangkan perdarahan uterus abnormal yang disebabkan faktor koagulopati, gangguan hemostatis lokal endometrium dan gangguan ovulasi merupakan kelainan yang sebelumnya termasuk dalam perdarahan uterus disfungsional (PUD) (Badziad et al., 2011). Tabel 2.1 Batasan Perdarahan Uterus Abnormal (Badziad et al, 2011) Batasan



Pola Abormalitas Perdarahan



Oligomenorea



Perdarahan uterus yang terjadi dengan interval > 35 hari dan disebabkan oleh fase folikuler yang memanjang.



Polimenorea



Perdarahan uterus yang terjadi dengan interval < 21 hari dan disebabkan oleh defek fase luteal.



Menoragia



Perdarahan uterus yang terjadi dengan interval normal (21-35 hari) tetapi jumlah darah haid > 80



ml atau > 7 hari. Menometroragia



Perdarahan uterus yang tidak teratur, interval nonsiklik dan dengan darah yang berlebihdan (> 80 ml) dan atau dengan durasi yang panjang (> 7 hari).



Metroragia atau perdarahan antara haid



Perdarahan uterus yang tidak teratur di antara siklus ovulatoir dengan penyebab antara lain penyakit serviks, AKDR, endometritis, polip, mioma submukosa, hiperplasia endometrium, dan keganasan.



Bercak intermenstrual



Bercak perdarahan yang terjadi sesaat sebelum ovulasi yang umumnya disebabkan oleh penurunan kadar estrogen.



Perdarahan pasca menopause



Perdarahan uterus yang terjadi pada wanita menopause yang sekurang-kurangnya sudah tidak mendapatkan haid selama 12 bulan.



Perdarahan uterus abnormal akut



Perdarahan uterus yang ditandai dengan hilangnya darah yang sangat banyak dan menyebabkan gangguan hemostasisis (hipotensi, takikardia atau renjatan).



Perdarahan uterus disfungsi



Perdarahan uterus yang bersifat ovulatoir atau anovulatoir yang tidak berkaitan dengan kehamilan, pengobatan, penyebab iatrogenik, patologi traktus genitalis yang nyata dan atau gangguan kondisi sistemik.



A Etiologi Perdarahan uterus abnormal dapat disebabkan oleh faktor hormonal, berbagai komplikasi kehamilan, penyakit sistemik, kelainan endometrium (polip), masalahmasalah serviks atau uterus (leiomioma) atau kanker. Faktor-faktor etiologik (Callahan et al, 2009): 1. Komplikasi kehamilan a. Perdarahan implantasi Pendarahan implantasi merupakan tanda awal kehamilan yang terjadi pada sekitar 1/3 dari semua wanita yang hamil, jadi memang tidak semua wanita



hamil mengalaminya. Telur yang telah dibuahi berjalan menuruni tuba fallopi ke dalam rahim, di mana akan menempel sebagai implan ke dalam lapisan rahim. Ketika hal itu terjadi, jaringan yang terbentuk di sekitar telur yang dikenal sebagai trofoblas, dapat merusak beberapa pembuluh darah ibu di dalam rahim, menghasilkan sejumlah kecil pendarahan pada leher rahim dan turun ke vagina (Achadiat, 2003). b. Abortus Abortus/aborsi adalah pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan dengan berat badan janin 27 termasuk obesitas)



-



Tanda-tanda hiperandrogen



-



Pembesaran kelenjar tiroid atau manifestasi hipotiroid atau hipertiroid



-



Galaktorea (kelainan hiperprolaktinemia)



-



Gangguan lapang pandang (karena adenoma hipofisis)



-



Faktor risiko keganasan endometrium (obesitas, nulligravida, hipertensi, diabetes mellitus, riwayat keluarga)



a



Menyingkirkan: -



Kehamilan, kehamilan ektopik, abortus, penyakit trofoblas



-



Servisitis, endometritis



-



Polip dan mioma uteri



-



Keganasan serviks dan uterus



-



Hiperplasia endometrium



-



Gangguan pembekuan darah (Telner, 2007).



1



Pemeriksaan Ginekologi Pemeriksaan ginekologi yang teliti perlu dilakukan termasuk pemeriksaan pap smear dan harus disingkirkan kemungkinan adanya mioma uteri, polip, hiperplasia endometrium atau keganasan.



3. Penilaian Ovulasi Siklus haid yang berovulasi berkisar 22-35 hari. Jenis perdarahan PUA-O bersifat ireguler dan sering diselingi amenorea. Konfirmasi ovulasi dapat dilakukan dengan pemeriksaan progesteron serum fase luteal madya atau USG transvaginal bila diperlukan. 4. Penilaian Endometrium Pengambilan sampel endometrium tidak harus dilakukan pada semua pasien PUA. Pengambilan sampel endometrium hanya dilakukan pada: a. Perempuan umur > 45 tahun b. Terdapat faktor risiko genetik c. USG transvaginal menggambarkan penebalan endometrium kompleks yang merupakan faktor risiko hiperplasia atipik atau kanker endometrium d. Terdapat faktor risiko diabetes mellitus, hipertensi, obesitas, nulipara e. Perempuan dengan riwayat keluarga nonpolyposis colorectal cancer memiliki risiko kanker endometrium sebesar 60% dengan rerata umur saat diagnosis antara 48-50 tahun Pengambilan sampel endometrium perlu dilakukan pada perdarahan uterus abnormal yang menetap (tidak respons terhadap pengobatan). Beberapa teknik pengambilan sampel endometrium seperti D & K dan biopsi endometrium dapat dilakukan. 1



Penilaian Kavum Uteri Bertujuan untuk menilai kemungkinan adanya polip endometrium atau mioma uteri submukosum. USG transvaginal merupakan alat penapis yang tepat dan harus dilakukan pada pemeriksaan awal PUA. Bila dicurigai terdapat polip endometrium atau mioma uteri submukosum disarankan untuk melakukan SIS atau histeroskopi. Keuntungan dalam penggunaan histeroskopi adalah diagnosis dan terapi dapat dilakukan bersamaan.



5. Penilaian Miometrium Bertujuan untuk menilai kemungkinan adanya mioma uteri atau adenomiosis. Miometrium



dinilai



abdominal),



SIS,



menggunakan histeroskopi



USG



atau



(transvaginal,



MRI.



transrektal



Pemeriksaan



dan



adenomiosis



menggunakan MRI lebih unggul dibandingkan USG transvaginal. 6. Pemeriksaan Penunjang



A Langkah Diagnostik Perdarahan Uterus Abnormal 1. Perdarahan uterus abnormal didefinisikan sebagai setiap perubahan yang terjadi dalam frekuensi, jumlah dan lama perdarahan menstruasi. Perdarahan uterus abnormal meliputi PUD dan perdarahan lain yang disebabkan oleh kelainan organik. 2. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik menyeluruh untuk menyingkirkan diagnosis diferensial perdarahan uterus abnormal. 3. Pada wanita usia reproduksi, kehamilan merupakan kelainan pertama yang harus disingkirkan. Perdarahan yang terjadi dalam kehamilan dapat disebabkan oleh abortus, kehamilan ektopik atau penyakit trofoblas gestasional.



4. Penyebab iatrogenik yang dapat menyebabkan perdarahan uterus abnormal antara lain penggunaan obat-obatan golongan antikoagulan, sitostatika, hormonal, anti psikotik, dan suplemen. 5. Setelah kehamilan dan penyebab iatrogenik disingkirkan langkah selanjutnya adalah melakukan evaluasi terhadap kelainan sistemik meliputi fungsi tiroid, fungsi hemostasis, dan fungsi hepar. Pemeriksaan hormon tiroid dan fungsi hemostasis perlu dilakukan bila pada anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan gejala dan tanda yang mendukung (rekomendasi C). Bila terdapat galaktorea maka perlu dilakukan pemeriksaan terhadap hormon prolaktin untuk menyingkirkan kejadian hiperprolaktinemia. 6. Bila tidak terdapat kelainan sistemik, maka langkah selanjutnya adalah melakukan pemeriksaan untuk menyingkirkan kelainan pada saluran reproduksi. Perlu ditanyakan adanya riwayat hasil pemeriksaan pap smear yang abnormal atau riwayat operasi ginekologi sebelumnya. Kelainan pada saluran reproduksi yang harus dipikirkan adalah servisitis, endometritis, polip, mioma uteri, adenomiosis, keganasan serviks dan uterus serta hiperplasia endometrium. 7. Bila tidak terdapat kelainan sistemik dan saluran reproduksi maka gangguan haid yang terjadi digolongkan dalam perdarahan uterus disfungsional (PUD). 8. Bila terdapat kelainan pada saluran reproduksi dilakukan pemeriksaan dan penanganan lebih lanjut sesuai dengan fasilitas. 9. Pada kelainan displasia serviks perlu dilakukan pemeriksaan kolposkopi untuk menentukan tata laksana lebih lanjut. 10. Bila dijumpai polip endoserviks dapat dilakukan polipektomi. 11. Bila dijumpai massa di uterus dan adneksa perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dengan USG transvaginal atau saline infusion sonography (SIS). Ultrasonografi transvaginal merupakan lini pertama untuk mendeteksi kelainan pada kavum uteri (rekomendasi A). Sedangkan tindakan SIS diperlukan bila penilaian dengan USG transvaginal belum jelas (rekomendasi A). 12. Bila dijumpai massa di saluran reproduksi maka dilanjutkan dengan tata laksana operatif.



13. Diagnosis infeksi ditegakkan bila pada pemeriksaan bimanual uterus teraba kaku dan nyeri. Pada kondisi ini dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan Chlamydia dan Neisseria. Pengobatan yang direkomendasikan adalah doksisiklin 2 x 100 mg selama 10 hari.



A Patomekanisme Perdarahan Uterus Abnormal Perdarahan uterus abnormal termasuk di dalamnya adalah perdarahan menstruasi abnormal, dan perdarahan akibat penyebab lain seperti kehamilan, penyakit sistemik, atau kanker. Diagnosis dan manajemen dari perdarahan uterus abnormal saat ini menjadi sesuatu yang sulit dalam bidang ginekologi. Pasien mungkin tidak bisa melokalisir sumber perdarahan berasal dari vagina, uretra, atau rektum (Chou B, dkk; 2002, Ronald; 2008). Perdarahan abnormal uterus dibagi dua, yaitu organik dan fungsional. Sebab yang dikarenakan organik adalah, perdarahan dari uterus, tuba, dan ovarium yang disebabkan oleh kelainan oleh (Malcolm et all, 2011; Simanjutak P, 2005): 1. Serviks uteri, seperti polip servisik uteri, erosio porsio uteri, ulkus pada porsio uteri, karsinoma servik uteri 2. Korpus uteri, seperti polip endometrium, abortus iminens, abortus insipiens, abortus



inkomplit,



mola



hidatidosa,



koriokarsinoma,



subinvolusiouteri,



karsinoma korporis uteri, sarkoma uteri, mioma uteri 3. Tuba falopi, seperti kehamilan ektopik terganggu, radang tuba, tumor tuba 4. Ovarium, seperti radang ovarium, tumor ovarium Perdarahan dari uterus yang tidak mempunyai hubungan dengan penyebab organik, dikategorikan sebagai perdarahan disfungsional. Perdarahan disfungsional dapat terjadi pada setiap umur antara menarche dan menopause (Norwitz et al., 2001; Silberstein T, 2003; Pfeifer et al., 2008). Perdarahan uterus disfungsional dapat terjadi pada siklus ovulasi maupun pada siklus anovulasi. Pada siklus ovulasi, perdarahan teratur dan banyak terutama pada tiga hari pertama siklus haid. Penyebab perdarahan adalah terganggunya mekanisme hemostasis lokal di endometrium (Simanjutak P, 2005). Namun, pada siklus anovulasi, perdarahan tidak teratur dan siklus haid memanjang disebabkan oleh gangguan pada hypothalamushipofisis-ovarium. Perubahan pada sekresi katekolamin dan metabolisme umpan balik hormon steroid atau perubahan dari aliran darah yang melewati plexus portal hipotalamik ptuitari dapat mengganggu proses sinyal menuju ovulasi. Kebanyakan amenorea akibat gangguan hipotalamik ptuitari hanya melibatkan gangguan fungsional dan



dapat diperbaiki dengan mengubah penyebab-penyebabnya dengan menstimulasi sekresi gonadotropin atau dengan memberikan Exogen Human Menopausal Gonadotrophin (Breckmann, et al., 2014). Adanya siklus anovulasi menyebabkan efek estrogen tidak terlawan (unopposed estrogen) terhadap endometrium (Silberstein T, 2003). Adanya siklus anovulasi menyebabkan efek estrogen tidak terlawan (unopposed estrogen) terhadap endometrium (Silberstein T, 2003). 1. Perdarahan uterus abnormal pada siklus ovulasi Perdarahan terjadi pada pertengahan menstruasi maupun bersamaan dengan waktu menstruasi. Perdarahan ini terjadi karena rendahnya kadar hormon estrogen, sementara hormon progesteron tetap terbentuk. Ovulasi abnormal (DUB ovulatori ) terjadi pada 15– 20 % pasien DUB dan mereka memiliki endometrium sekretori yang menunjukkan adanya ovulasi intermitten apabila tidak reguler. Pasien ovulatori dengan perdarahan abnormal lebih sering memiliki patologi organik yang mendasari, dengan demikian bukan pasien DUB murni menurut definisi tersebut (Silberstein P, 2003). 2. Perdarahan uterus abnormal di luar siklus ovulasi Perdarahan yang sering terjadi pada masa pre-menopause dan masa reproduksi. Hal ini karena tidak terjadi ovulasi, sehingga kadar hormon estrogen berlebihan sedangkan hormon progesteron rendah. Akibatnya dinding rahim (endometrium) mengalami penebalan berlebihan (hiperplasi) tanpa diikuti penyokong yaitu pembuluh darah dan kelenjar yang memadai. Kondisi inilah sebagai penyebab terjadinya perdarahan rahim karena dinding rahim yang rapuh (Silberstein P, 2003).



A Penanganan Perdarahan Uterus Abnormal Berdasar Penyebab (HIFERIPOGI, 2011) 1. Polip (PUA-P) a. Reseksi secara histeroskopi (Rekomendasi C); b. Dilatasi dan kuretase; c. Kuret hisap; d. Hasil dikonfirmasi dengan pemeriksaan histopatologi. 1



Adenomiosis (PUA-A) a. Diagnosis adenomiosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan USG atau MRI; b. Tanyakan pada pasien apakah menginginkan kehamilan; c. Bila pasien menginginkan kehamilan dapat diberikan analog GnRH + addback therapy atau LNG IUS selama 6 bulan (Rekomendasi C); d. Adenomiomektomi dengan teknik Osada merupakan alternatif pada pasien yang ingin hamil (terutama pada adenomiosis > 6 cm); e. Bila pasien tidak ingin hamil, reseksi atau ablasi endometrium dapat dilakukan (Rekomendasi C). Histerektomi dilakukan pada kasus dengan gagal pengobatan.



1



Leiomioma uteri (PUA-L) a. Diagnosis mioma uteri ditegakkan berdasarkan pemeriksaan USG; b. Tanyakan pada pasien apakah menginginkan kehamilan; c. Histeroskopi reseksi mioma uteri submukosum dilakukan terutama bila pasien menginginkan kehamilan (Rekomendasi B). 1) Pilihan pertama untuk mioma uteri submukosum berukuran < 4 cm, 2) Pilihan kedua untuk mioma uteri submukosum derajat 0 atau 1 (Rekomendasi B), 3) Pilihan ketiga untuk mioma uteri submukosum derajat 2 (Rekomendasi C). a



Bila terdapat mioma uteri intra mural atau subserosum dapat dilakukan penanganan sesuai PUA-E / O) (Rekomendasi C). Pembedahan dilakukan bila respon pengobatan tidak cocok;



d. Bila pasien tidak menginginkan kehamilan dapat dilakukan pengobatan untuk mengurangi perdarahan dan memperbaiki anemia (Rekomendasi B); e. Bila respon pengobatan tidak cocok dapat dilakukan pembedahan. Embolisasi arteri uterina merupakan alternatif tindakan pembedahan (Rekomendasi A).



1



Malignancy and hyperplasia (PUA-M) a. Diagnosis hiperplasia endometrium atipik ditegakkan berdasarkan penilaian histopatologi; b. Tanyakan apakah pasien menginginkan kehamilan; c. Jika pasien menginginkan kehamilan dapat dilakukan D & K dilanjutkan pemberian progestin, analog GnRH atau LNG-IUS selama 6 bulan (Rekomendasi C); d. Bila pasien tidak menginginkan kehamilan tindakan histerektomi merupakan pilihan (Rekomendasi C); e. Biopsi endometrium diperlukan untuk pemeriksaan histologi pada akhir bulan ke-6 pengobatan; f. Jika keadaan hyperplasia atipik menetap, lakukan histerektomi.



1



Coagulopathy (PUA-C) a. Terminologi koagulopati digunakan untuk kelainan hemostasis sistemik yang terkait dengan PUA; b. Penanganan multidisiplin diperlukan pada kasus ini; c. Pengobatan dengan asam traneksamat, progestin, kombinasi pil estrogenprogestin dan LNG-IUS pada kasus ini memberikan hasil yang sama bila dibandingkan dengan kelompok tanpa kelainan koagulasi; d. Jika terdapat kontraindikasi terhadap asam traneksamat atau PKK dapat diberikan LNG-IUS atau dilakukan pembedahan bergantung pada umur pasien (Rekomendasi B); e. Terapi spesifik seperti desmopressin dapat digunakan pada penyakit von Willebrand (Rekomendasi C).



1



Ovulatory dysfunction (PUA-O) a. Gangguan ovulasi merupakan salah satu penyebab PUA dengan manifestasi klinik perdarahan yang sulit diramalkan dan jumlah darah yang bervariasi. b. Pemeriksaan hormon tiroid dan prolaktin perlu dilakukan terutama pada keadaan oligomenorea. Bila dijumpai hiperprolaktinemia yang disebabkan oleh hipotiroid maka kondisi ini harus diterapi. c. Pada perempuan umur > 45 tahun atau dengan risiko tinggi keganasan endometrium



perlu



dilakukan



pemeriksaan



USG



transvaginal



dan



pengambilan sampel endometrium. d. Bila tidak dijumpai faktor risiko untuk keganasan endometrium lakukan penilaian apakah pasien menginginkan kehamilan atau tidak. e. Bila menginginkan kehamilan dapat langsung mengikuti prosedur tata laksana infertilitas. f. Bila pasien tidak menginginkan kehamilan dapat diberikan terapi hormonal dengan menilai ada atau tidaknya kontraindikasi terhadap PKK. g. Bila tidak dijumpai kontraindikasi, dapat diberikan PKK selama 3 bulan (rekomendasi A). h. Bila dijumpai kontraindikasi pemberian PKK dapat diberikan preparat progestin selama 14 hari, kemudian stop 14 hari. Hal ini diulang sampai 3 bulan siklus (rekomendasi A). i. Setelah 3 bulan dilakukan evaluasi untuk menilai hasil pengobatan.



j. Bila keluhan berkurang pengobatan hormonal dapat dilanjutkan atau distop sesuai keinginan pasien. k. Bila keluhan tidak berkurang, lakukan pemberian PKK atau progestin dosis tinggi (naikkan dosis setiap 2 hari sampai perdarahan berhenti atau dosis maksimal). Perhatian terhadap kemungkinan munculnya efek samping seperti sindrom pra haid. Lakukan pemeriksaan ulang dengan USG TV atau SIS untuk menyingkirkan kemungkinan adanya polip endometrium atau mioma uteri (rekomendasi A). Pertimbangkan tindakan kuretase untuk menyingkirkan keganasan endometrium. Bila pengobatan medikamentosa gagal, dapat dilakukan ablasi endometrium, reseksi mioma dengan histeroskopi atau histerektomi. Tindakan ablasi endometrium pada perdarahan uterus yang banyak dapat ditawarkan setelah memberikan informed consent yang jelas pada pasien. Pada uterus dengan ukuran < 10 minggu.



1



Endometrial (PUA-E) a. Perdarahan uterus abnormal yang terjadi pada perempuan dengan siklus haid yang teratur.



b. Pemeriksaan fungsi tiroid dilakukan bila didapatkan gejala dan tanda hipotiroid atau hipertiroid pada anamnesis dan pemeriksaan fisik (rekomendasi C). Pemeriksaan USG transvaginal atau SIS terutama dapat dilakukan untuk menilai kavum uteri (rekomendasi A). c. Jika pasien memerlukan kontrasepsi lanjutkan ke G, jika tidak lanjutkan ke 4. d. Asam traneksamat 3 x 1 g dan asam mefenamat 3 x 500 mg merupakan pilihan lini pertama dalam tata laksana menoragia (rekomendasi A). e. Lakukan observasi selama 3 siklus menstruasi. f. Jika respons pengobatan tidak adekuat, lanjutkan ke 7. g. Nilai apakah terdapat kontra indikasi pemberian PKK. h. PKK mampu mengurangi jumlah perdarahan dengan menekan pertumbuhan endometrium. Dapat dimulai pada hari apa saja, selanjutnya pada hari pertama siklus menstruasi (rekomendasi A). i. Jika pasien memiliki kontra indikasi terhadap PKK maka dapat diberikan preparat progestin siklik selama 14 hari diikuti dengan 14 hari tanpa obat. (rekomendasi A) Kemudian diulang selama 3 siklus. Dapat ditawarkan penggunaan LNG-IUS. j. Jika setelah 3 bulan, respons pengobatan tidak adekuat dapat dilakukan penilaian USG transvaginal atau SIS untuk menilai kavum uteri. k. Jika dengan USG TV atau SIS didapatkan polip atau mioma submukosum segera pertimbangkan untuk melakukan reseksi dengan histeroskopi (rekomendasi B). l. Jika hasil USG TV atau SIS didapatkan ketebalan endometrium > 10 mm, lakukan pengambilan sampel endometrium untuk menyingkirkan hiperplasia (rekomendasi B). m. Jika terdapat adenomiosis dapat dilakukan pemeriksaan MRI, terapi dengan progestin, LNG IUS, GnRHa atau histerektomi. n. Jika hasil pemeriksaan USG TV dan SIS menunjukkan hasil normal atau terdapat kelainan tetapi tidak dapat dilakukan terapi konservatif maka dilakukan evaluasi terhadap fungsi reproduksinya.



o. Jika pasien sudah tidak menginginkan fungsi reproduksi dapat dilakukan ablasi



endometrium



atau



histerektomi.



Jika



pasien



masih



ingin



mempertahankan fungsi reproduksi anjurkan pasien untuk mencatat siklus haidnya dengan baik dan memantau kadar Hb.



1



Iatrogenik (PUA-I) a. Perdarahan karena efek samping PKK 1) Penanganan efek samping PUA-E disesuaikan dengan algoritma PUA-E. 2) Perdarahan sela (breakthrough bleeding) dapat terjadi dalam 3 bulan pertama atau setelah 3 bulan penggunaan PKK. 3) Jika perdarahan sela terjadi dalam 3 bulan pertama maka penggunaan PKK dilanjutkan dengan mencatat siklus haid.



4) Jika pasien tidak ingin melanjutkan PKK atau perdarahan menetap > 3 bulan lanjutkan ke 5. 5) Lakukan pemeriksaan Chlamydia dan Neisseria (endometritis), bila positif berikan doksisiklin 2 x 100 mg selama 10 hari. Yakinkan pasien minum PKK secara teratur. Pertimbangkan untuk menaikkan dosis estrogen. Jika usia pasien lebih dari 35 tahun dilakukan biopsi endometrium. 6) Jika perdarahan abnormal menetap lakukan TVS, SIS atau histeroskopi untuk menyingkirkan kelainan saluran reproduksi. 7) Jika perdarahan sela terjadi setelah 3 bulan pertama penggunaan PKK, lanjutkan ke 5. 8) Jika efek samping berupa amenorea lanjutkan ke 9. 9) Singkirkan kehamilan. 10) Jika tidak hamil, naikkan dosis estrogen atau lanjutkan pil yang sama.



a



Perdarahan karena efek samping kontrasepsi progestin 1) Jika terdapat amenorea atau perdarahan bercak, lanjutkan ke 2.



2) Konseling bahwa kelainan ini merupakan hal biasa. 3) Jika efek samping berupa PUA-O, lanjutkan ke 4. 4) Jika usia pasien > 35 tahun dan memiliki risiko tinggi keganasan endometrium, lanjutkan ke 5, jika tidak lanjutkan ke 6. 5) Biopsi endometrium. 6) Jika dalam 4-6 bulan pertama pemakaian kontrasepsi, lanjutkan ke 7. Jika tidak lanjutkan ke 9. 7) Berikan 3 alternatif sebagai berikut: a) Lanjutkan kontrasepsi progestin dengan dosis yang sama; b) Ganti kontrasepsi dengan PKK (jika tidak ada kontra indikasi); c) Suntik DMPA setiap 2 bulan (khusus akseptor DMPA). 1



Bila perdarahan tetap berlangsung setelah 6 bulan, lanjutkan ke 9.



8) Berikan estrogen jangka pendek (EEK 4 x 1.25 mg / hari selama 7 hari) yang dapat diulang jika perdarahan abnormal terjadi kembali. Pertimbangkan pemilihan metoda kontrasepsi lain.



a



Perdarahan karena efek samping penggunaan AKDR



1) Jika pada pemeriksaan pelvik dijumpai rasa nyeri, lanjutkan ke 2. 2) Berikan doksisiklin 2x100 mg sehari selama 10 hari karena perdarahan pada pengguna AKDR dapat disebabkan oleh endometritis. Jika tidak ada perbaikan, pertimbangkan untuk mengangkat AKDR. 3) Jika tidak dijumpai rasa nyeri dan AKDR digunakan dalam 4-6 bulan pertama, lanjutkan ke 4. Jika tidak, lanjutkan ke 5. 4) Lanjutkan penggunaan AKDR, jika perlu dapat ditambahkan AINS. Jika setelah 6 bulan perdarahan tetap terjadi dan pasien ingin diobati, lanjutkan ke 5. 5) Berikan PKK untuk 1 siklus. 6) Jika perdarahan abnormal menetap lakukan pengangkatan AKDR. Bila usia pasien > 35 tahun lakukan biopsi endometrium.



A Pemilihan Obat-obatan pada Perdarahan Uterus Abnormal (HIFERI-POGI, 2011) 1. Non Hormonal a. Asam traneksamat Obat ini bersifat inhibitor kompetitif pada aktivasi plasminogen. Plasminogen akan diubah menjadi plasmin yang berfungsi untuk memecah



fibrin menjadi fibrin degradation products (FDPs). Oleh karena itu obat ini berfungsi sebagai agen anti fibrinolitik. Obat ini akan menghambat faktorfaktor yang memicu terjadinya pembekuan darah, namun tidak akan menimbulkan kejadian trombosis. Efek samping: gangguan pencernaan, diare dan sakit kepala. Dosisnya untuk perdarahan mens yang berat adalah 1g (2x500mg) dari awal perdarahan hingga 4 hari. b. Obat anti inflamasi non steroid (AINS) Kadar prostaglandin pada endometrium penderita gangguan haid akan meningkat. AINS ditujukan untuk menghambat siklooksigenase, dan akan menurunkan sintesa prostaglandin pada endometrium. AINS dapat mengurangi jumlah darah haid hingga 20-50 persen. Pemberian AINS dapat dimulai sejak perdarahan hari pertama atau sebelumnya hingga hingga perdarahan yang banyak berhenti. Efek samping : gangguan pencernaan, diare, perburukan asma pada penderita yang sensitif, ulkus peptikum hingga kemungkinan terjadinya perdarahan dan peritonitis. 1



Hormonal a. Estrogen Sediaan ini digunakan pada kejadian perdarahan akut yang banyak. Sediaan yang digunakan adalah EEK, dengan dosis 2.5 mg per oral 4x1 dalam waktu 48 jam. Pemberian EEK dosis tinggi tersebut dapat disertai dengan pemberian obat anti-emetik seperti promethazine 25 mg per oral atau intra muskular setiap 4-6 jam sesuai dengan kebutuhan. b. PKK (Pil Kontrasepsi Kombinasi) Perdarahan haid berkurang pada penggunaan pil kontrasepsi kombinasi akibat endometrium yang atrofi. Dosis yang dianjurkan pada saat perdarahan akut adalah 4 x 1 tablet selama 4 hari, dilanjutkan dengan 3 x 1 tablet selama 3 hari, dilanjutkan dengan 2 x 1 tablet selama 2 hari, dan selanjutnya 1 x 1 tablet selama 3 minggu. Selanjutnya bebas pil selama 7 hari, kemudian dilanjutkan dengan pemberian pil kontrasepsi kombinasi paling tidak selama 3 bulan. Apabila pengobatannya ditujukan untuk menghentikan haid, maka obat tersebut dapat diberikan secara kontinyu, namun dianjurkan setiap 3-4



bulan dapat dibuat perdarahan lucut. Efek samping dapat berupa perubahan mood, sakit kepala, mual, retensi cairan, payudara tegang, deep vein thrombosis, stroke dan serangan jantung. c. Progestin Obat ini akan bekerja menghambat penambahan reseptor estrogen serta akan mengaktifkan enzim 17-hidroksi steroid dehidrogenase pada selsel endometrium, sehingga estradiol akan dikonversi menjadi estron yang efek biologisnya lebih rendah dibandingkan dengan estradiol. Meski demikian penggunaan progestin yang lama dapat memicu efek anti mitotik yang mengakibatkan terjadinya atrofi endometrium. Progestin dapat diberikan secara siklik maupun kontinyu. Pemberian siklik diberikan selama 14 hari kemudian stop selama 14 hari, begitu berulang-ulang tanpa memperhatikan pola perdarahannya. Apabila perdarahan terjadi pada saat sedang mengkonsumsi progestin, maka dosis progestin dapat dinaikkan. Selanjutnya hitung hari pertama perdarahan tadi sebagai hari pertama, dan selanjutnya progestin diminum sampai hari ke 14. Pemberian progestin secara siklik dapat menggantikan pemberian pil kontrasepsi kombinasi apabila terdapat kontraindikasi (misalkan : hipersensitivitas, kelainan pembekuan darah, riwayat stroke, riwayat penyakit jantung koroner atau infark miokard, kecurigaan keganasan payudara ataupun genital, riwayat penyakit kuning akibat kolestasis, kanker hati). Sediaan progestin yang dapat diberikan antara lain MPA 1 x 10 mg, noretisteron asetat dengan dosis 2-3 x 5 mg, didrogesteron 2 x 5 mg atau nomegestrol asetat 1 x 5 mg selama 10 hari per siklus. Apabila pasien mengalami perdarahan pada saat kunjungan, dosis progestin dapat dinaikkan setiap 2 hari hingga perdarahan berhenti. Pemberian dilanjutkan untuk 14 hari dan kemudian berhenti selama 14 hari, demikian selanjutnya bergantiganti. Pemberian progestin secara kontinyu dapat dilakukan apabila tujuannya untuk membuat amenorea. Terdapat beberapa pilihan, yaitu: -



-



pemberian progestin oral : MPA 10-20 mg per hari



-



Pemberian DMPA setiap 12 minggu



-



Penggunaan LNG IUS Efek samping: peningkatan berat badan, perdarahan bercak, rasa



begah, payudara tegang, sakit kepala, jerawat dan timbul perasaan depresi. a



Androgen Danazol Obat tersebut memiliki efek androgenik yang berfungsi untuk menekan produksi estradiol dari ovarium, serta memiliki efek langsung terhadap reseptor estrogen di endometrium dan di luar endometrium. Pemberian dosis tinggi 200 mg atau lebih per hari dapat dipergunakan untuk mengobati perdarahan menstrual hebat. Danazol dapat menurunkan hilangnya darah menstruasi kurang lebih 50% bergantung dari dosisnya dan hasilnya terbukti lebih efektif dibanding dengan AINS atau progestogen oral. Dengan dosis lebih dari 400mg per hari dapat menyebabkan amenorea. Efek sampingnya dialami oleh 75% pasien yakni: peningkatan berat badan, kulit berminyak, jerawat, perubahan suara.



d. Agonis Gonadotropine Releasing Hormone (GnRH) Obat ini bekerja dengan cara mengurangi konsentrasi reseptor GnRH pada hipofisis melalui mekanisme down regulation terhadap reseptor dan efek pasca reseptor, yang akan mengakibatkan hambatan pada pelepasan hormon gonadotropin. Pemberian obat ini biasanya ditujukan pada wanita dengan kontraindikasi untuk operasi. Obat ini dapat membuat penderita menjadi amenorea. Apabila pemberiannya melebihi 6 bulan, maka dapat diberikan tambahan terapi estrogen dan progestin dosis rendah (add back therapy). Efek samping biasanya muncul pada penggunaan jangka panjang, yakni: keluhan-keluhan mirip wanita menopause (misalkan hot flushes, keringat yang bertambah, kekeringan vagina), osteoporosis (terutama tulang-tulang trabekular apabila penggunaan GnRH agonist lebih dari 6 bulan).



BAB V KESIMPULAN 1. Perdarahan uterus abnormal (PUA) adalah perubahan pada frekuensi, durasi dan jumlah atau volume perdarahan menstruasi. 2. Penyebabnya dapat diklasifikasikan menjadi Palm and Coein (Polip, Disfungsi Miometrial, Leiomyoma, Adenomiosis, Keganasan dan Hiperplasia, Koagulopati, Disfungsi ovulasi, Endometrial, Iatrogenik, Belum diklasifikasikan) 3. Faktor resiko dari perdarahan uterus abnormal meliputi umur 35 tahun atau lebih, obesitas, sindrom polikistik ovarium, endometriosis, penggunaan estrogen dan progesteron jangka panjang, hipertensi keadaan stres, diet, tidur yang tidak teratur, bekerja berlebihan, latihan yang bertenaga, penyalahgunaan alkohol dan obatobatan. 4. Tatalaksana dapat beruapa pemberian : NSAID, Pil kontrasepsi oral, Terapi progestin, intrauterin levonorgestrel, Gonadotropin-releasing hormone agonis, Danazol, Estrogen konjugasi, asam traneksamat



DAFTAR PUSTAKA Achadiat, C. M. 2003. Prosedur Tepat Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Badziad, A. Hestiantoro, A. Wiweko, B. Sumapradja, K. 2011. Panduan Tatalaksana Perdarahan Uterus Abnormal. Himpunan Endokrinologi Reproduksi dan Fertilitas Indonesia dan Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi. Indonesia: Aceh. Beckmann, Charles R. B., Frank W. Ling, William N. P. Hebbert, Douglas W. Laube, et al. 2014. Obstetrics and Gynecology. Edisi Ketujuh. Philadelpia: Lippincott William and Wilkins. Callahan, T. L. dan Caughey, A. B. 2009. Obstetric and Gynecology 5th ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins. Himpunan Endokrinologi - Reproduksi Dan Fertilitas, Perkumpulan Obstetri Dan Ginekologi Indonesia (Hiferi-Pogi). 2011. Panduan Tata Laksana Perdarahan Uterus Abnormal. Jakarta: Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. Malcolm G. M., et al. 2011. The FIGO classification of causes of abnormal uterine bleeding in the reproductive years. American Society for Reproductive Medicine Elsevier. Mansjoer, Arif. 2001. Perdarahan Uterus Disfungsional. Dalam: Arif Mansjoer ed. Kapita Selekta Kedokteran edisi ketiga. Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Norwitz E. R., Schorge J. O. 2001. Obstetric and Gynecology at a Glance. Blackwell Science. p 10.38. Pfeifer S. M. N. M. S. 2008. Obstetrics and Gynecology. 6th edition. Lippincott Williams & Wilkins. Chapter 19.20. Schorge, O., John, et al. 2008. Williams Gynecology 23rd Edition. Section 1 Benign General Gynecology, Chapter 8. Abnormal Uterine Bleeding. China: McGrawHill. Silberstein Taaly. 2003. Complications of Menstruation; Abnormal Uterine Bleeding. Dalam: DeCherney Alan H; Nathan Lauren, Current Obstetric & Gynecologic Diagnosis and Treatment, 9th Edition, Los Angeles: Lange Medical Books/McGraw-Hill. pp 623-630. Simanjuntak Pandapotan. 2005. Gangguan Haid dan Siklusnya. Dalam: Wiknjosastro G. H., Saifuddin A. B., Rachimhadhi T., editor. Ilmu Kandungan. Edisi 5. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo: pp. 223-228. Telner D. 2007. Approach to Diagnosis and Management Abnormal Uterine Bleeding. Can Fam Physician.