Bahan PPT Bahasa Jawa [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

1. Upacara Sekaten



Sekaten atau Upacara Sekaten adalah acara ulang tahun Nabi Muhammad SAW yang diadakan pada setiap tanggal 5 bulan Jawa mulud (Rabiul Awal tahun hijriah) di alun-alun utara Surakarta dan Yogyakarta. Upacara ini dahulu di pakai oleh Sultan Hamengkubuwono I, Pendiri Keraton Yogyakarta untuk mengundang masyarakat mengikuti dan memeluk agama Islam. Pada hari pertama, Upacara ini akan diawali saat malam hari dengan iring-iringan abdi dalem (punggawa kraton) bersama-sama dengan dua set Gamelan Jawa Kyai Nogowilogo dan Kyai Gunturmadu. Iring-iringan ini bermula dari pendapa Ponconiti menuju Masjid Agung di alun-alun utara dengan dikawal oleh prajurit kraton. Kyai Nogowilogo akan menempati sisi utara dari Masjid Agung sementara Kyai Gunturmadu akan berada di Pagongan sebelah selatan Masjid Agung. Kedua set gamelan ini akan dimainkan secara bersamaan sampai dengan tanggal 11 bulan Mulud, selama 7 hari berturut-turut. Pada malam hari terakhir, kedua gamelan ini akan dibawa pulang kedalam kraton.



2. Grebeg Muludan



Acara puncak peringatan Sekaten akan ditandai dengan Grebeg Muludan yang diadakan pada tanggal 12 Rabiul Awal (persis hari ulang tahun Nabi Muhammad SAW) dari jam 08.00 - 10.00 wib dengan dikawal oleh 10 macam Bregada (kompi) prajurit kraton, Wirabraja, Dhaheng, Patangpuluh, Jagakarya, Prawiratama, Nyutra, Ketanggung, Mantrijero, Surakarsa dan Bugis.



Sebuah gunungan yang terbuat dari beras ketan, makanan dan buah-buahan serta sayur-sayuran akan dibawa dari Istana Kemandungan melewati Sitihinggil dan Pagelaran menuju Masjid Agung. Setelah di do'akan, gunungan yang melambangkan kesejahteraan Kerajaan Mataram ini dibagikan kepada masyarakat yang mengganggap bahwa bagian dari gunungan ini akan membawa berkah bagi mereka. Bagian Gunungan yang dianggap sakral ini akan dibawa pulang dan ditanam di sawah ladang agar sawah ladang mereka menjadi subur dan bebas dari segala macam bencana dan malapetaka.



3. Tumplak Wajik



Dua hari sebelum acara Grebeg Muludan, Suatu upacara yaitu Upacara Tumplak Wajik diadakan di halaman Istana Magangan pada jam 16.00 wib. Upacara ini berupa Kotekan atau permainan lagu dengan memakai kentongan, lumpang (alat untuk menumbuk padi) dan semacamnya yang menandai awal dari pembuatan gunungan yang akan diarak pada saat Upacara Grebeg Muludan. Lagu-lagu yang dimainkan dalam acara Numplak Wajik ini adalah lagu jawa populer seperti Lompong Keli, Tudhung Setan, Owal Awil atau lagu-lagu rakyat lainnya.



4. Upacara Labuhan



Upacara Labuhan merupakan Upacara Adat Yogyakarta yang telah dilakukan sejak zaman Kerajaan Mataram Islam pada abad ke XIII hingga sekarang di Provinsi Daerah Istimewa



Yogyakarta. Masyarakat meyakini bahwa dengan melakukan Upacara Labuhan secara tradisional akan terbina keselamatan, ketentraman dan kesejahteraan masyarakat serta negara. Upacara Labuhan biasanya dilaksanakan pada empat tempat yang berjauhan letaknya. Masingmasing tempat itu mempunyai latar belakang sejarah tersendiri sehingga pada masing-masing tempat tersebut perlu dan layak dilakukan upacara labuhan. Keempat tempat tersebut adalah Dlepih yang berada di Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, Tempat yang kedua adalah Parangtritis di sebelah selatan Yogyakarta, Yang ketiga adalah Puncak Gunung Lawu dan yang keempat adalah di Puncak Gunung Merapi. Upacara Labuhan ini bersifat religius yang hanya dilaksanakan atas titah raja sebagai kepala kerajaan. Dan menurut tradisi Kraton Kesultanan Yogyakarta, Upacara Labuhan dilakukan secara resmi dalam rangka peristiwa-peristiwa seperti Penobatan Sultan, Tingalan Panjenengan (Ulang tahun penobatan Sultan) dan peringatan hari "Windo" hari ulang tahun penobatan Sultan "Windon" berarti setiap delapan tahun. Tidak mengherankan jika upacara tradisional langka ini menjadi daya tarik wisatawan untuk menyaksikannya. Susana khidmat upacara, keberanian para pembantu juru kunci melaksanakan Labuhan di lautan serta keramaian masyarakat memperebutkan benda-benda Labuhan, Semakin menarik acara Labuhan menjadi menarik untuk disaksikan.



5. Upacara Siraman Pusaka



Upacara Siraman Pusaka adalah Upacara Adat Kraton Yogyakarta membersihkan segala bentuk pusaka yang menjadi milik kraton. Tradisi ini diadakan pada setiap bulan Suro pada hari Jum;at Kliwon atau Selasa Kliwon dari pagi hingga siang hari yang biasanya dilakukan selama 2 hari. Adapun bentuk pusaka yang dibersihkan diantaranya Tombak, Keris, Pedang, Kereta, Ampilan (banyak dhalang sawunggaling) dan lain sebagainya. Pusaka yang dianggap paling penting oleeh Kraton Yogyakarta adalah Tombak K.K Ageng Plered, Keris K.K Ageng Sengkelat, Kereta Kuda Nyai Jimat, Khusus Sri Sultan membersihkan K.K Ageng Plered dan Kyai Ageng Sengkelat. Setelah itu baru pusaka yang lainnya dibersihkan oleh para pengeran, Wayah Dalem dan Bupati.



6. Upacara Saparan (Bekakak)



Desa Ambarketawang, yang terletak di Kecamatan Gamping, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki tradisi khas berupa Upacara Adat Yogyakarta Penyembelihan Bekakak. Yaitu penyembelihan sepasang boneka temanten (pengantin jawa) muda yang terbuat dari tepung ketan yang dilaksanakan setahun sekali dalam bulan Sapar (kalender jawa). Tradisi ini terkait dengan tokoh Ki Wirasuta, satu dari tiga bersaudara dengan Ki Wirajamba dan Ki Wiradana yang merupakan Abdi Dalem Hamengkubuana I yang sangat dikasihi. Ketika pembangunan Kraton Yogyakarta berlangsung, para abdi dalem tinggal di pesanggrahan Ambarketawang kecuali Ki Wirasuta yang memilih tinggal di sebuah gua di Gunung Gamping. Pada bulan purnama antara tanggal 10 dan 15, pada hari Jum'at terjadi musibah. Gunung Gamping longsor, Ki Wirasuta dan keluarganya tertimpa longsoran dan dinyatakan hilang karena jasadnya tidak ditemukan. Hilangnya Ki Wirasuta dan keluarganya di Gunung Gamping menimbulkan keyakinan pada masyarakat sekitar bahwa jiwa dan arwah Ki Wirasuta tetap ada di Gunung Gamping. Upacara Saparan semula bertujuan untuk menghormati kesetiaan Ki Wirasuta dan Nyi Wirasuta kepada Sri Sultan Hamengkubuana I tetapi kemudian berubah dan dimaksudkan untuk mendapatkan keselamatan bagi penduduk yang mengambil Batu Gamping agar terhindar dari bencana. Sebab pengambilan Batu Gamping cukup sulit dan berbahaya.



7. Upacara Nguras Enceh



Upacara Nguras Enceh adalah tradisi ritual tahunan yang dilaksanakan setiap hari Jum'at Kliwon atau Selasa Kliwon pada bulan Sura (penanggalan jawa). Ritual ini berupa membersihkan Gentong



yang berada di makam raja-raja Jawa di Imogiri, Bantul, D.I Yogyakarta. Upacara ini dimaknai sebagai upaya membersihkan diri dari hati berbagai hal kotor. Sementara itu Ritual 1 Sura lainnya diperingati oleh masyarakat Jawa lainnya seperti Tradisi Sedekah Laut di pesisir-pesisir Pantai Selatan Jawa dengan Melabuh "Uba Rambe" di tengah laut. Uba Rambe adalah sesaji atau sesajen yang berupa nasi tumpeng, kepala kambing, ayam dan aneka makanan kecil tradisional lainnya. Untuk masyarakay Jawa pedalaman, ritual tradisi 1 Sura berupa Sedekah Gunung Merapi di Kabupaten Boyolali dan Ritual Mendaki Puncak Sangalikur di Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus.



8. Upacara Rabo Pungkasan Wonokromo Pleret



Upacara Rabo Pungkasan Wonokromo Pleret adalah salah satu upacara adat yang ada di Yogyakarta atau lebih tepatnya berada di Desa Wonokromo, Pleret, Kabupaten Bantul. Upacara adat ini biasanya diselenggarakan pada hari Rabu terakhir (Rabo Pungkasan) pada bulan Syafar yang dimaksudkan sebagai wujud ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pusat kegiatan upacara ini diadakan di depan Masjid dan seminggu sebelum acara ini berlangsung biasanya ada acara yang sifatnya keramaian (pesta rakyat). Seiring berjalannya waktu karena dianggap pesta rakyat ini mengganggu ibadah masjid maka kegiatan upacara ini dipindahkan ke depan Balai Desa di lapangan Wonokromo. Dalam Upacara Rabo Pungkasan banyak acara kegiatan yang dilakukan yang bersifat hiburan seperti Perayaan Pasar Malam Sekaten. Puncak acaranya sendiri berupa Kirab Lemper Raksasa dari Masjid Wonokromo menuju Balai Desa Wonokromo. Kirab ini di awali pasukan kraton Ngayogyakarta, kemudian lemper raksasa, dan kelompok kesenian rakyat seperti Shalawatan, kubrosiswo, rodat dan sebagainya. Pada akhir upacara, lemper tesebut akan dibagikan kepada masyarakat karena ini dianggap akan memberikan berkah tersendiri bagi mereka yang bisa membawa pulang lemper tersebut.



9. Upacara Adat Pembukaan Cupu Ponjolo



Upacara ini digelar setiap Pasaran Kliwon di penghunjung musim kemarau pada bulan Ruwah (kalender Jawa) bertempat di Desa Mendak Girisekar, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunungkidul. Cupu Panjala adalah tiga buah cupu keramat yang disimpan dalam kotak kayu berukuran kurang lebih 20 x 10 x 7 cm dan dibungkus dengan ratusan lembar kain mori. Ritual ini sebenarnya prosesi pembukaan atau pergantian pembungkus cupu yang dilakukan setiap tahun sekali. Ritual ini dilakukan oleh Abdi Dalem Keraton Yogyakarta dengan memakai Pakaian Adat Jawa dan sebelumnya telah berpuasa terlebih dahulu. Ritual ini selalu menarik minat masyarakat tak hanya dariGunungkidul saja namun juga dari wilayah lain di Pulau Jawa. Hal ini tidak terlepas dari keyakinan masyarakat yang mempercayai bahwa setiap gambar yang terlihat dalam lapisan kain mori pembungkus cupu tersebut merupakan ramalan peristiwa setahun ke depan. Yan menarik dari Upacara Adat Pembukaan Cupu Ponjolo ini adalah tak jarang dalam setiap Pembukaan Cupu Ponjolo sering ditemukan beberapa benda seperti jarum, gabah kering, kulit kacang hingga motif gambar menyerupai wayang atau sosok tertentu. Padahal selama setahun Cupu tersebut selalu disimpan dilemari dengan sangat rapat dan tidak boleh dibuka sama sekali.



10. Jamasan Kereta Pusaka



Upacara Jamasan Kereta Pusaka Kraton Yogyakarta dilakukan setiap malam Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon di bulan Suro bertempat di Museum Keraton Yogyakarta. Jamasan merupakan ritual untuk merawat dan membersihkan benda-benda pusaka yang dilakukan sejak berabad-abad silam oleh masyarakat Jawa dalam mengisi bulan Suro. Berbagai macam Benda Pusaka milik Keraton Yogyakarta seperti Kereta, Gamelan, Keris, Tombak dan lain sebagainya di cuci yang diistilahkan dengan "Dijamasi" pada bulan Suro (Muharram) yang dilakukan pada hari istimewa yaitu Jum'at Kliwon atau Selasa Kliwon. Salah satu proses Upacara Adat Yogyakarta Jamasan yang bisa dilihat oleh umum adalah Jamasan Kereta Pusaka Kanjeng Nyai Jimat. Kereta Pusaka ini merupakan kereta buatan Portugis tahun 1750-an hadiah dari Gubernur Jenderal Belanda dan menjadi tunggangan utama Sultan Hamengkubuwono I - IV. Yang menarik dari prosesi Jamasa ini ribuan warga dari berbagai daerah selalu berebut air dari sisa cucian kereta karena percaya air tersebut memiliki berkah tersendiri. Terima kasih telah membaca 10 Upacara Adat Yogyakarta yang hingga saat ini masih tetap ada dan berlangsung setiap tahunnya di Yogyakarta. Semoga artikel ini dapat bermanfaat buat kita semua dan semoga tradisi di Yogyakarta ini tetap terjaga kelestariannya.



TRADISI NYADRAN A. PURWAKA Tradisi Jawa pancen unik, nduweni ngelmu sing menehi pepeling marang anak(putu) supaya ngerti marang leluhur. Anak dikekudhang supaya ngerti bapa biyung sing ngukir jiwa ragane. Sabanjure digulawenthah supaya ngerti marang mula bukane wiwit mbah, mbah buyut, canggah, wareng, lan sapendhuwure. Ana sesebutan liyane supaya anak putu ngerti silisilahe. Sawise ngerti, diweling supaya dipepundhi, amarga kabeh mau pepundhene. Kanggo wong jawa kagiyatan taunan sing jenenge nyadran utawa manganan iku ungkapan refleksi social-keagamaan. Iku kabeh dilakoni karo salahsawijining masyarakat ing desa Sambong Kec. Purwosari Kab.Bojonegoro iku dianakake kanggo ziarah ning makam leluhur. Manganan iki salah sijine wujud pelestarian warisan tradisi lan budaya nenek moyang. Tradisi nyadran iku symbol anane gegayutane karo para leluhur lan Mahakuasa. Manganan utawa nyadran iku ritual antarane budaya lokal lan nilai-nilai islam saengga manganan isih ditindakake kanthi cara islami.



Amarga budaya masyarakat iku wus ngraket dening masyarakat ndadekake masyarakat jawa njunjung tinggi nilai-nilai luhur kabudayaan. Saengga ora dadi kagete maneh yen nyadran isih ana budaya Hindhu-Budha lan animisme sing diakulturasikne kro nilai-nilai islam. Acara nyadran iku erat kaitane kaliyan adat lan istiadat Jawa. Apa maneh yen masyarakat gelem ngrembakakake, adat istiadat sing ana iku bakal dadi salah sijine wisata budaya sing adi luhung. Apa maneh tradisi kasebut nganti saiki isih ditindakake lan nduweni nilai islami. Buktine, kayata masyarakat desa Sambong, senajan wus akeh sing agamane islam nanging wektu nindakake ritual nyadran utawa manganan isih nganut budaya biyen. Salah sijine yaiku tasyakuran ning panggon-panggon sing dianggep keramat karo masyarakat.



B. ANDHARAN Tradisi nyadran yaiku pesta rakyat sing awujud bentuk rasa syukure masyarakat marang Gusti Allah amarga bumi iki bisa dadi sumbere urip. Acara manganan utawa nyadran lumrahe saben desa nduweni dina, tradisi lan panggonan sing beda-beda. Ana sing dirindakake ing sendang, kuburan lan punden. Panggonan sing kaanggep masyarakat iku dadi cikal bakale anane desa iku. Yen ing desa Sambong manganan iku dianakake ing pesarehan mBah Gerit, masyarakat ing kana nduweni kapercayan yen panggonan iku dianggep keramat dadi masyarakat desa Sambong yen nganakake manganan saka wujud rasa syukure marang Gusti Kang Murbeng Dumadi iku ing pesarehane mBah Gerit. Sakliyane mengeti nyadran utawa manganan sing nduweni wujud rasa syukur marang Gusti Kang Akarya Jagad yaiku supaya ora ana gangguan roh jahat lan mahluk alus. Lumrahe sawise nganakake manganan utawa nyadran, masyarakat uga nganakake hiburan. Hiburane uga beda-beda. Ana sing nanggap tayuban, wayang kulit, wayang krucil utawa wayang golek sing miturut wong jaman biyen iku senengane Danyang desa. Yen ing desa Sambong lumrahe masyarakat ing kana nganakake wayang ing panggonan sing digawe acara manganan utawa ing omahe Kepala desa.



Kagiyatan manganan iki dipengeti karo masyarakat ing desa Sambong Kec. Purwosari Kab.Bojonegoro kanthi turun temurun. Tradisi nyadran utawa manganan iki wus ana awit jaman biyen, tepate ing jaman kerajaan. Masyarakat Bojonogoro isih nduweni kapercayaan ngenani cariyos kuna saengga nyadran isih dipengeti senajan wus katerak owahing jaman. Tradisi



nyadran



tumrap



wong



jawa



dianggep



wigati



banget.



Umume ditindakake ing sasi Ruwah (saka tembung arab arwah). Tradisi nyadran ora bisa pisah karo kembang utawa sekar. Mula ana istilah nyekar para leluhur nganggo uba rampe kembang (mawar, kenanga, mlati, telasih lan liya-liyané). ana ing bebrayan, kembang dadi pratandha (lambang, simból) sesambungan utawa talirasa tresna, asíh, dúhkita, sungkawa lan liya-liyane. Tradisi nyadran pranyata wís



lumaku



wiwít



jaman



Majapahít



nganti



saiki.



Pakurmatan kanggo leluhur isíh lestari tekan saiki lan dipepetri deníng masyarakat, khususe ing tlatah padésan. Nyekar ing sasi Ruwah nduweni surasa utawa wulangan marang anak putu supaya padha tresna lan eling marang leluhur. Ing sasi ruwah iki akeh pepundhen kang disowani lan diresiki. Nyadran tumrap wong Jawa dianggep wigati, amarga ana bab kang sambung karo tradisi spiritual. Istilah tradisi, mula bukane saka tembung latin tradere utawa tradition tegese ” maringake saka ndhuwur”. Sing diparingake babagan kang nduweni nilai kang adi(luhur, luhung).



Uba Rampe Nyadran Ing sajrone nganakake manganan ana syarat uba rampe sesaji sing kudu ana. Uba rampe iku yaiku apem, ketan lan kolak. Telung sesajen iku dimaknai kanthi cara islami. Apem iku saka tembung Afuan ing tegese ampunan. Ketan iku saka tembung khoto’an sing nduweni teges putih lan suci, yen kolak saka tembung kholaqo sing tegese ang Pencipta. Saka telung sesajen iku dimaknai kanggo symbol eling marang Gusti. Nanging yen masyarakat jawa negesi yen kolak iku tegese ojo ditolak artine apa sing dadi panjaluke moga-moga ora sampek ditolak. Ketan tegese raketa yaiku supaya doa kawulo manunggal dening Gusti. Telung sesajen pokok iku uga ditambahi karo tumpeng lan sego kaliyan lauk kayata iwak pitik. Apem, ketan lan kolak iku saliyane dadi uba rampe sing wajib uga digunakake munjung (ater-ater) kanggo dulur-dulure sing luwih tuwa lan tangga teparuhe. Saka iku nuduhake yen iku kabe dilakoni masyarakat wujud rasa solidaritas lan sosial marang wong liya.



Tata Cara Upacara Nyadran Ing nyadran, sadurunge acara inti lumrahe ing desa Sambong masyarakat sing ana ngresiki panggonan sing digawe nganakake acara nyadran. Sawise ngresiki, masyarakat kampong nggelar kenduri ing panggonan Mbah Gerit utawa panggon kosong sing ana sakiwa tengene panggon upacara nyadran. Saben kulawarga lumrahe nggawa macem-macem panganan, banjur lungguh bareng-bareng ing pesarehan kanthi sila. Banjur kepala desa mbukak acara sing isine iku nduweni maksud ngucapne rasa syukur lan matur suwun marang wargane sing wus gelem nggawa jajan lan tumpeng (ambengan) uga wus gelem nyempatne melu upacara nyadran.



Saka tata cara iku, cetha yen nyadran iku ora amung ziarah ing pesarehane leluhur nanging uga nduweni nilai-nilai social budaya kayata gotong royong, guyub. Saengga nyadran iku bisa ningkatne ngrembakane kabudayaan Jawa lan tradisi sing wus ngrembaka dadi luwih ngrembaka utawa tetep lestari. Kanthi cara sosio-kultural, upacara nyadran iku ora bisa kaanggep ngresiki pesarehan leluhur, slametan (kenduri), nggawe apem, kolak, lan ketan sing dadi sesaji. Nyadran utawa manganan iku ndadekake silaturahmi kulawarga tetep utuh lan dadi transformasi sosial, budaya, dan keagamaan. Saka ndhuwur iku cetha yen ana hubungan kekerabatan, kebersamaan, kasih sayang antarane warga. Sawise iku mBah Moden sing wus dipilih dadi rois mimpin donga sing isine nyuwun sepura lan ngapura marang leluhur lan marang Tuhan Yang Mahakuasa. Dongane nggunakake tata cara agama islam lan warga sing ana padha ngamini. Sawise donga iku rampung, kabeh warga Sambong sing ana ing panggonan upacara manganan iku mbagi-mbagi tumpeng sing wus digawa. Saliyane iku, para warga uga padha barter jajan sing digawa, padha omong-omongan utawa guyon-guyonan. Banjur sing ora bisa melu utawa warga sing ora mamu ing desa Sambong diwenehi tumpeng (berkat) lan jajan kanthi cara diwenehne ning omahe.



C. PANUTUP Nyadran utawa manganan yaiku ungkapan kesalehan social masyarakat sing nduweni rasa gotong royong lan solidaritas sing dadi tujuwan utamane tradisi iki. Saliyane iku, nyadran uga bisa ningkatne hubungan marang Gusti lan masyarakat social saengga bakal ningkatne rembakane kabudayaan lan tradisi sing wus ngrembaka dadi luwih ngrembaka maneh. Manganan iki uga dadi salahsijine dalan kanggo njaga silaturahmi antarane masyarakat. Yen manganan iki dtiingkatne maneh rasa sosiale masyarakat Indonesia iki bisa bener-bener dadi rukun, ayom-ayem lan tentrem. Intine rembug, sakabehing titah kudu tansah mbekteni marang leluhur, senajan wis mapan ing alam kelanggengan. Salah sawijining amalan kang ora pedhot ganjarane yaiku dongane anak putu kang sholeh lan sholehah marang bapa ibu lan para leluhur. Dadi ora teges anak putu nyembah marang arwahe para leluhur, ananging ndongakake supaya arwahe para leleuhur kapapanake ing papan kang mulya ing sandhinge Gusti. Bektine anak kudu mikul lan mendhem jero karo wong tuwa. Pungkasane, nyadran iku ngluhurake leluhur kang tundhone supaya eling lan manembah marang Kang Maha Luhur.



Upacara Saparan (Bekakak) Upacara Saparan Desa Ambarketawang, yang terletak di Kecamatan Gamping, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki tradisi khas berupa Upacara Adat Yogyakarta Penyembelihan Bekakak. Yaitu penyembelihan sepasang boneka temanten (pengantin jawa) muda yang terbuat dari tepung ketan yang dilaksanakan setahun sekali dalam bulan Sapar (kalender jawa). Tradisi ini terkait dengan tokoh Ki Wirasuta, satu dari tiga bersaudara dengan Ki Wirajamba dan Ki Wiradana yang merupakan Abdi Dalem Hamengkubuana I yang sangat dikasihi. Ketika pembangunan Kraton Yogyakarta berlangsung, para abdi dalem tinggal di pesanggrahan Ambarketawang kecuali Ki Wirasuta yang memilih tinggal di sebuah gua di Gunung Gamping. Pada bulan purnama antara tanggal 10 dan 15, pada hari Jum'at terjadi musibah. Gunung Gamping longsor, Ki Wirasuta dan keluarganya tertimpa longsoran dan dinyatakan hilang karena jasadnya tidak ditemukan. Hilangnya Ki Wirasuta dan keluarganya di Gunung Gamping menimbulkan keyakinan pada masyarakat sekitar bahwa jiwa dan arwah Ki Wirasuta tetap ada di Gunung Gamping. Upacara Saparan semula bertujuan untuk menghormati kesetiaan Ki Wirasuta dan Nyi Wirauta kepada Sri Sultan Hamengkubuana I tetapi kemudian berubah dan dimaksudkan untuk mendapatkan keselamatan bagi penduduk yang mengambil Batu Gamping agar terhindar dari bencana. Sebab pengambilan Batu Gamping cukup sulit dan berbahaya.



PENDAHULUAN 1.



1. LATAR BELAKANG PENULISAN Upacara adat merupakan suatu rangkaian kegiatan sekelompok manusia yang diatur oleh tradisi yang berkaitan dengan kepercayaan.Tujuan dari penyelenggaraan upacara adat umumnya untuk mensyukuri pemberian dari Tuhan Yang Maha Esa serta memohon pertolongan kepada-Nya. Upacara adat mengandung nlai-nilai sakral.Nilai-nilai sakral tersebut merupakan inti dari upacara adat itu sendiri.Di dalam penyelenggaraan upacara adat paling tidak ada empat komponen yang perlu di perhatikan: 1.Tempat Upacara Yaitu suatu tempat khusus yang di anggap pantang untuk di datangi orang.



setiap waktu dan sembarang



Tempat ini biasanya berupa makam leluhur,mata air,pundhen,dan lain-lain. 2.Waktu Upacara Yaitu saat dimana upacara adat tersebut diselenggarakan. Biasanya upacara dilaksanakan pada bulan Suro,Sapar,hari Selasa kliwon dipercaya mengandung makna tertentu.



ataupun Jum’at kliwon yang



3.Perlengkapan Upacara Yaitu benda-benda yang harus ada di dalam penyelenggaraan upacara adat , senjata,pakaiaan,sesaji, dan lain-lain.



seperti:



4.Pelaku Upacara Yaitu siapa saja yang terlibat dalam penyelenggaraan upacara adat. Bisa sebagai penyelenggara upacara adat tersebut. 1.



sebagai peserta upacara maupun



2. METODE PENGUMPULAN DATA Penulisan tugas ini berdasarkan data yang dikumpulkan dan pengembangan sendiri dengan mencari di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Bantul.



BAB II RAGAM UPACARA ADAT di KABUPATEN BANTUL UPACARA ADAT BERSIFAT INDIVIDUAL 1.



A. PERNIKAHAN



A. i. ii. iii.



iv. v. vi. vii.



viii. ix.



x.



1. A. B.



C.



D. E. F.



G. H.



I. J.



K. L. M. N.



O.



P. Q.



PRANIKAH Dwi Windonan, pada usia 16 tahun baik wanita atau pria sudah dikatakan sudah menginjak usia remaja. Dahulu pada usia seperti ini sudah siap untuk menikah. Pingitan, seorang wanita remaja mulai dipingit yaitu dibatasi untuk keluar rumah apabila tidak diperlukan. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kehormatan wanita tersebut. Dom Sumuruping banyu dan nontoni, yaitu menyelidiki calon menantu dengan memperhatikan bibit, bebet, bobot. Apabila sudah merasa cocok maka dilakukan nontoni, yaitu menyuruh seseorang untuk melihat secara dekat calon pengantin. Wakil tersebut disebut congkok. Datang ke pihak wanita untuk melamarnya Ini di barengi Peningset, yaitu pengikatn agar calon pengantin wanita tidak berpaling kepada orang lain. Lamaran, tahap ini bersifat resmi karena pihak keluarga dari pria, jawaban dari lamaran tersebut dapat seketika dan dapat juga ditunda pada beberapa waktu. Untuk memutuskan yang terbaik Asok Tukon dan peningset, apabila lamaran sudah diterima maka langkah selanjutnya adalah pemberian sejumlah dana kepada keluarga calon mempelai wanita sebagai bentuk pertanggungjawaban dari pihak keluarga calon pengantin pria. Tukar cincin, yaitu setelah menyerahkan peningset dilanjutkan dengan acara tukar cincin. Tukar cincin merupakan tanda pepacangan atau pertunangan. Penentuan Hari Pernikahan, biasanya pihak calon pengantin menentukan hari pernikahan dengan mempertimbangkan masukan dari pihak keluarga pria, jika di permintaan hari khusus dari calon mempelai wanita itu merupakan bebana yang akan dipenuhi oleh pihak pengantin pria. Kumbakarnan, disebut pula rubukan yaitu pada saat itu pihak keluarga pengantin mengumpulkan para pinisepuh, sanak saudara, para pemuda, serta masyarakat setempat untuk dimintai bantuan segala keperluan pada waktu hajatan. TAHAP PERNIKAHAN Cethik Geni, yaitu membuat api untuk mengawali kegiatan menanak nasi oleh pemangku hajat dan di lanjutkan dengan memasak lain-lainnya. Memasang bleketepe, pasang tarub, dan tuwuhan, di pintu gapura masuk yang punya hajat. Bleketepe mempunyai makna sebagai simbolisasi dari kebersamaan ayah dan ibu serta petanda pembuka pintu hajatan, setelah itu dilanjutkan dengan memasang tarub, yaitu memasang calon tempat yang dipakai untuk hajatan. Kemudian dilengkapi dengan memasang tuwuhan di dapura depan rumah yang diikatkan pada tiang gapura agar tidak rubuh. Selamatan / kenduri, yaitu mengadakan makan bersama semua yang membantu memasang tarub. Ubarampe slamatan : tumpeng nasi gurih, lengkap dengan lauknya, nasi golong 19 biji lengkap dengan lauknya, bubur putih merah, dan baro-baro, tumpeng robyong, tukon/jajan pasar Piranti sesaji, yaitu berupa sesaji buangan, sesaji sanggan, dan sesaji syukur. Majang, yaitu menghias rumah yang punya hajat, tempat yang dipajang adalah depan rumah dengan di pasang tratag dan dikamar pengantin. Biasanya di sudut-sudut kamar pengantin di pasang bunga melati. Siraman dan dodol dhawet, yaitu dilaksanakan satu hari sebelum hari pernikahan oleh kedua orang tua dan sesepuh yang lain. Biasanya di lakukan pada sore hari, tetapi ada juga yang di laksanakan pada pukul 11.00, yaitu pada saat bidadari turun ke bumi untuk mandi. Srah-srahan, yaitu penyerahan barang-barang oleh keluarga pihak mempelai putri sebelum acara ijab qobul dilaksanakan. Tantingan, yaitu bagian upacara pernikahan yang meniru adat kraton, upacara ini dilaksanakan di dalam kamar calon pengantin putri. Selanjutnya kedua orang tua menanyakan kepada putrinya tentang kesanggupan untuk berumah tangga. Nyantri, yaitu pihak calon pengantin pria menginap semalam di rumah pihak mempelai putri sebelum diadakan upacara pernikahan. Menebus kembang mayang, yaitu upacara pernikahan biasanya diadakan pada jam 23.00 atau 24.00 sebelum hari pernikahan. Biasanya yang membawa kembar mayang adalah orang yang sudah tidak menstruasi dan pernah menantu dengan menggunakan kain sindur untuk menggendhongnya. Sengkeran/Pingitan, yaitu sebagai pengamanan sementara bagi kedua calon mempelai sebelum upacara panggih. Langkahan/Plangkahan, yaitu upacara calon pengantin apabila mendahului saudara tuanya untuk menikah. Calon pengantin meminta doa restu dan memenuhi permintaan saudara tuanya Ngerik/ngalub-alubi, yaitu calon pengantin putri dibawa ke kamar untuk dirias dengan mengerik dahi. Midodareni, yaitu upacara yang diadakan di rumah pihak pengantin putri, sehari sebelum hari pernikahan, diharapkan calon pengantin tidak tidur sebelum pukul 24.00. Acara ini dibarengi dengan majemukan, yaitu kenduren pada malam midodareni. Ijab atau Nikahan, yaiu pernikahan yang dilakukan di hadapan orang tua masing-masing pihak pengantin, penghulu, pemuka agama dan disaksikan oleh para tamu undangan. Penghulu akan membantu pengantin pria dalam mengucapkan ijab. Pelafalan ijab harus jelas dan mudah di mengerti. Merias Pengantin, yaitu kedua mempelai dirias untuk menghadapi upacara panggih. Membasuh kaki (ranupada) yaitu acara membasuh kaki pengantin pria oleh pengantin wanita, yaitu pihak wanita jongkok dan membasuh kaki pria dengan air kembang setaman setelah membasuh kaki dilanjutkan dengan memecahkan telur, yaitu perias mengambil telur dari pengaron yang berisi kembang setaman kemudian



disentuhkan di dahi kedua mempelai setelah itu dibanting ke tanah. Artinya kedua mempelai sudah pecah perjaka dan gadisnya. R. Panggih Temanten, yaitu upacara bertemunya kedua mempelai. kedua mempelai saling melempar suruh, pria melempar sebanyak 4 x sedangkan pihak wanita sebanyak 3 x secara bergantian, setelah itu kedua mempelai bergandengan tangan berjalan ke pelaminan untuk duduk bersanding di pelaminan, S. Bubak Kawah, yaitu kedua orang tua pengantin wanita mencicipi rujak degan dan rujak tape untuk selanjutnya diberikan kepada kedua mempelai setelah itu ada acara tanpa Kaya (Kacar-Kucur) yaitu acara pihak pengantin wanita menerima gunakarya dari pihak pria secara simbolis. T. Pangkon,yaitu pihak ayah dari pengantin memangku kedua mempelai di paha kanan dan kirinya. Sang ibu menanyakan kepada sang ayah berat yang mana, oleh sang ayah dijawab sama. Berarti kedua mempelai dianggap sama seperti anak sendiri. U. Dhahar Kalimahan (walimahan) yaitu kedua mempelai saling menyuapi nasi kuning dalam satu piring dan minum air bening melambangkan bahwa kedua pengantin saling bertukar pikiran dengan hati yang bening. V. Tumplak Punjen, yaitu pihak orang tua bersyukur telah selesai melaksanakan tanggungjawabnya menikahkan putrinya. W. Mapag besan, yaitu kedua orang tua pengantin putri menjemput kedua orang tua pengantin pria untuk diajak duduk bersanding dengan kedua mempelai, kemudian menerima jabat tangan dari para tamu X. Sungkem, yaitu kedua mempelai mohon doa restu kepada kedua orang tua baik pihak wanita ataupun pria. 1. A. B. C.



1. 2. A.



SETELAH PERNIKAHAN Menengok anak, yaitu acara 3 hari pasca pernikahan, kedua orang tua pihak pengantin pria datang ke rumah pihak pengantin wanita. Sepekanan atau Memberi Nama Tua, 5 hari setelah acara pernikahan di rumah pihak pengantin wanita diadakan acara sepsaran. Boyong Pengantin, setelah sepekan di rumah pengantin wanita, kedua pengantin secara resmi keluar dari rumah, ini berarti pihak pengantin pria bertanggungjawab akan kelangsungan rumah tangganya. B. KEMATIAN



Rapat waris, setelah, yaitu mengadakan pembicaraan dengan keluarga yang ditinggalkn mengenai hal –hal tentang kematian. Misalnya, mengumumkan verita kematian kepada sanak saudara dan keluarga. B. Pangrukti laya, yaitu mempersiapkan pemandian jenazah berupa meja tempat memandikan dan jembangan air serta siwur yang akan digunakan untuk menyiram jenazah. Selanjutnya jenazah di letakkan diatas debog dan dimandikan dengan mengguyur tubuh jenazah dengan air, setelah bersih tubuhnya dikeringkan dan dikafani. C. Upacara Pemberangkatan Jenazah, didahului dengan acara sambutan dari pihak keluarga, aparat setempat dan diakhiri dengan do’a. setelah diberi doa, jenazah diberangkatkan ke pemakaman. Di sepanjang jalan menuju pemakaman, sanak saudara ataupun orang yang mengantarkan jenazah, menaburkan bunga dan uang logam D. Upacara Slametan hari I yaitu geblag, dilaksanakan sebelum jenazah dimakamkan. Sedangkan surtanah, adalah upacara adat setelah acara pemakaman selesai. E. Slametan hari ketiga. Sesaji takir pontahan berisi nasi, daging gorengan kering, srundeng, sega asahan 3 pemapi kecil. Diadakan yasinan bagi muslim. F. Slametan hari ketujuh, sesaji takir berisi apem, ketan kolak. Sega asahan 3 penampil, daging dimasak kering, pindang merah, pindang putih dan jeroan. Biasanya malam terakhir yasinan. G. Slametan hari keempat puluh. Diadakan kenduri dengan sesaji sama dengan hari ketujuh, hanya ditambah dengan sega wuduk dan ingkung lembaran. H. Slametan hari keseratus. Diadakan kenduri yasinan. Sesaji sama dengan hari keempat puluh. I. Slametan mendak sepisan dan mendak pindho. Mendak pisan merupakan peringatan satu tahun, sedangkan mendak pindho merupakan peringatan dua tahun. J. Slametan hari keseribu. Peringatan hari keseribu biasanya diikuti dengan pemasangan batu nisan pada keesokan harinya. Slametan hari yang keseribu merupakan slametan yang terakhir. K. Khaul, merupakan peringatan hari geblag setelah peringatan seribu hari. Khaul dapat diadakan setiap tahun, semuanya tergantung keluarga yang di tinggalkan. UPACARA BERSIFAT MASSAL 1.



A. Upacara Bersih Desa Parangtritis Kretek Upacara ini sering juga disebut upacara adat Bekti Pertiwi Di Sumgsung Jaladri.Upacara dilaksanakan di joglo dusun Manangan, Kretek. Upacara ini bertujuan sebagai ungkapan rasa syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberi rejeki dan memohon agar di masa mendatang diberi rejeki yang lebih baik lagi. Selain itu juga dimaksudkan untuk melestarikan budaya luhur serta menciptakan aset wisata budaya daerah. Waktu apabila bertepatan dengan bulan syuro maka upacara di tunda sebulan hari selasa wage setelah warga panen, perleng kapan upacara adalah sesajen berupa wajik, jadah, pisng raja, kembang rasulan, jajan pasar, jenang merah putih, tumpeng, ancak. Prosesi upacara pada jam 09.00 WIB. Yang selanjutnya diadakan kenduri dengan diiringi doa dan diakhiri dengan makan bersama.



1.



B. Upacara Labuhan Parangkusuma Upacara ini merupakan tradisi yang dilaksanakan untuk keratin Yogyakarta. Upacara ini tujuannya untuk memberi sesaji kepada Kanjeng Ratu Kidul yang dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai penguasa laut selatan. Sesaji berasal dari keraton Yogyakarta kemudian sesaji tersebut di bawa ke pendopo Parangkusuma untuk di beri doa selanjutnya di labuhkan di tengah laut. Para pengunjung menceburkan diri ke tengah laut dan berebut benda-benda yang di labuhkan tadi, menurut kepercayaan benda-benda tersebut mempunyai kekuatan gaib.



1.



C. Upacara Tumuruning Mahesa Sura. Latar belakang upacara ini berkaitan dengan mitos, seekor kerbau hitam Mahesa sura, yang membantu para petai mengolah sawahnya hingga berhasil. Tempat upacara di pantai Samas Tegalrejo Srigading Sanden waktu upacara adalah malam menjelang tanggal 1 Suro. Perlengkapan nya adalah sesaji seperti kembang telon, tumpeng dan juga golek mahesa sura. Prosesi upacaradengan mengadakan doa mengarak golek Mahesa Sura sera melabuhkan sesaji di pantai Samas



1.



D. Upacara Nyadran Wijirejo Pandak Tujuan dari upacara ini adalah untuk menghormati leluhur yang dimakamkan di makam Sewu Wijirejo Pandak dan mohon diberi keselamatan, murah sandang pangan. Tempat nya di Bangsal Makam Panembahan Bodo di Makam Sewu. Waktu penyelenggaraannya hari Minggu Paing s.d Senin Pon setelah tanggal 20 Ruwah.



1.



E. Upacara Rebo Pungkasan Wonokromo Pleret Latar belakang upacara ini adalah pertemuan antara Sri Sultan Hamengku Buwono I dengan Kyai Fakih Usman seorang ulama setempat yang sekaligus sebagai penasehat spiritual dari Raja Ngayogyakarta. Tempat pertemuan di tempuran kali Opak dan kali Gajahwong. Upacara ini bertujuan untuk memanjatkan doa puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala berkah yang selama ini di terima. Waktu penyelenggaraan adalah pada hari rabu terakhir bulan Sapar. Peralatan yang di gunakan pada umumnya terbuat dari bamboo yang dipergunakan untuk memikul sesaji berupa lemper raksasa dan gunungan. Prosesi upacara di awali dengan penyelenggaraan pasar malam dengan berbagai stand permainan jualan. Pada puncak acara diadakan kirab dengan mengusung gunungan dan lemper raksasa dengan ukuran 2,5 meter berdiameter 45 cm. Lemper raksasa di potong serta di bagikan kepada tamu undangan. Sedangkan gunungan yang berisi makanan di perebutkan oleh warga yang hadir dalam upacara ini.



1.



F. Upacara Nawu Kong Nawu Kong adalah mengganti air padasan yang berada di makam Imogiri. Prosesi upacara ini di namakan Kirab Budaya, yaitu mengiring sesaji berupa air kembang telon dan siwur yang akan di pergunakan untuk upacara Nawu Kong yang disertai dengan barisan prajurit seperti di kraton dan juga irin-iringan kesenian yang ada di Imogiri.Waktu upacara adalah hari Jum’at Kliwon bulan Suro. Pelaku upacara adalah abdi dalem makam Imogiri baik dari krton Yogyakarta maupun dari kraton Surakarta.



1.



G. Upacara Cembengan Madukismo Upacara ini berkaitan dengan musim penggilingan tebu di Pabrik Gula Madukismo, Kasihan. Tempat upacara di sekitar pabrik gula. Waktu pelaksanaan adalah pada saat memasuki musim giling pabrik gula Madukismo. Peralatan yang digunakan adalah tumpeng, sepasang tebu penganten, Penanaman kepala kerbau dan sapi serta pembacaan ayat suci Al Qur’an. Pelaku upacara adalah masyarakat dan karyawan pabrik gula Madukismo.



1.



H. Upacara Merti Dusun Goa Cerme Upacara ini adalah merupakan upacara bersih dusun yang dilakukan oleh masyarakat dusun srunggo. Upacara ini bertujuan ungkapan rasa syukur dan permohonan agar diberi keselamatan, kebahagiaan, ketentraman kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tempat upacara di pelataran Goa Cerme. Waktu pelaksanaannya hari Minggu Paing bulan Suro antara pukul 09.00 s.d. 12.00.Prosesi acara adalah dengan dibawanya jodhang yang berisi sesaji. Pada pukul 10.00 dilanjutkan dengan penanaman kepala kerbau yang dibungkus kain mori. Upacara diakhiri dengan acara makan bersama.



1.



I. Upacara Rasulan Desa Wukirsari, Imogiri Upacara adat ini adalah untuk menghormati Panembahan Juminahan dan Kanjeng Sultan Cirebon. Tempat upacara, karena berkaitan dengan keberadaan makam Giriloyo, upacaranya berada dalam kompleks makam Giriloyo. Waktu upacara adalah setelah bulan Purnama dengan mengambil hari pasaran Legi atau Wage. Ubarampe upacara: sega ambeng, sega tumpeng, sega wuduk, ingkung, jadah tumpak, gula jawa, pisang raja, kembang, boreh, jajan pasar. Prosesi upacara diawali dengan berbagai acara kesenian berupa rodad, shalawatan, dan mauludan.Pada pagi harinya diadakan kendhuri dengan makan nasi di dalam besekan disertai dengan minum dawet. Wujud dari kendhuri adalah doa bersama dipimpin oleh kaum rois.



1.



J. Upacara Rasulan Jopaten, Poncosari Srandakan Latar belakang diadakan upacara ini adalah untuk menghormati leluhur dusun Poncosari. Tempat penyelenggara acara ini berada di Poncosari, Srandakan. Upacara ini bertujuan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas melimpahnya hasil pertanian. Upacara diawali dengan doa bersama pada pukul 10.00 WIB, dan malam harinya diadakan pertunjukan wayang kulit dengan lakon Baratayudha. Pelaksanaan wayang kulit hari Rabu kliwon. BAB III PENUTUP Upacara adat merupakan warisan para pendahulu yang mengandung nilai-nilai luhur. Kondisi saat ini upacara adat sudah tidak dilaksanakan lagi oleh generasi muda,yang beranggapan bertentangan dengan agama.Sosialisasi yang terus menerus akan membuat masyarakat mengerti esensi dari penyelenggaraan upacara adat itu sendiri. Berdasarkan hasil pengamatan, generasi sekarang merasa tidak ada manfaatnya menyelenggarakan upacara adat. Oleh karena itu, pengembangan upacara adat harus lebih menarik dan diberi makna arti simbolis. Selain itu juga membuka wawasan bagi para pelaku upacara adat.



Karena kebanyakan masyarakat disana mencari nafkah dengan cara menambang batu. Dalam pelaksanaan Upacara Bekakak ini terdapat 4 tahapan, yaitu : 1. Tahap Midodareni Bekakak 2. Tahap Kirab 3. Tahap Nyembelih Pengantian Bekakak 4. Tahap Sugengan Ageng Midodareni Bekakak – Kata “midodareni” bersal dari bahasa Jawa “widodari” yang berarti bidadari. Di sini terkandung makna bahwa pada malam midodareni para bidadari turun dari surga untuk memberi restu pada pengantin bekakak. Tahap upacara ini berlangsung pada malam hari (kamis malam) dimulai ± jam 20.00. Dua buah jali berisi pengantin bekakak dan sebuah jodhang berisi sesaji disertai sepasang suami istri gendruwo dan wewe, semua diberangkatkan ke balai desa Ambarketawang dengan arak-arakan. Kemudian semua jali dan lain-lain diserahkan kepada Bapak Kepala Desa Ambarketawang. Pada malam midodareni itu, diadakan malam tirakatan seperti hanya pengantin benar-benar, bertempat di pendhopo ataupun diadakan pertunjukan hiburan wayang kulit, uyon-uyon, reyog. Di tempat lain diadakan pula tahlilan yang dilaksanakan oleh bapak-bapak dari kemusuk kemudian dilanjutkan dengan malam tirakatan yang diikuti oleh penduduk sekitar. Di pesanggrahan Ambarketawang juga diadakan tirakatan. Kirab – Tahap ‘kirab’ pengantin bekakak ini merupakan pawai atau arak-arakan yang membawa jali pengantin bekakak ke tempat penyembelihan. Bersama dengan ini diarak pula rangkaian sesaji sugengan Ageng yang dibawa dari Patran ke pesanggrahan. Juga diarak ke balai desa terlebih dahulu. Nyembelih Pengantin Bekakak – Apabila arak-arakan telah tiba di Gunung Ambarketawang, maka joli pertama yang berisi sepasang pengantin bekakak, diusung ke arah mulut gua. Kemudian ulama (kaum) memberi syarat agar berhenti dan memanjat doa. Selesai pembacaan doa, boneka ketan sepasang pengantin itu disembelih dan dipotongpotong dibagikan kepada para pengunjung demikian pula sesaji yang lain. Arak-arakan kemudia dilanjutkan menuju Gunung Kliling untuk mengadakan upacara penyembelihan pengantin bekakak yang kedua dan pembagian potongan bekakak yang kedua kepada para pengunjung. Adapun jodhang yang berisi sajen selamatan dibagikan kepada petugas di tempat penyembelihan terakhir. Sugengan Ageng – Sugengan Ageng yang dilaksanakan di Pesanggrahan Ambarketawang ini dipimpin oleh Ki Juru Permana pada hari tersebut. Pesanggrahan telah dihiasi janur (tarub) dan sekelilingnya diberi hiasan kain berwarna hijau dan kuning. Sesaji Sugengan Ageng yang dibawa dari patran, berujud jodhang, jali kembang mayang, kelapa gadhing (cengkir), air amerta, bokor tempat sibar-sibar, pusaka-pusaka, dan payung agung telah diatur dengan rapi di tempat masing-masing. Upacara ini dilaksanakan di Gunung Kliling selesai. Pertama-tama pembakaran kemenyan, lalu dilanjutkan oleh Ki Juru Permana membuka upacara tadi dengan mengikrarkan adanya Sugengan Ageng tersebut, dilanjutkan pembacaan doa dalam bahasa Arab. Setelah selesai maka dilepaskannya sepasang burung merpati putih oleh Ki Juru permana. Pelepasan burung merpati ini disertai tepuk tangan para hadirin yang menyaksikannya. Kemudian dilakukan pembagian sesaji Sugengan Ageng yang berada dalam joli rahmat Allah kepada semua yang hadir, terutama makanan tawonan kegemaran Sultan Hamengku Buwana I. Sampai saat ini, Upacara Bekakak masih tetap lestari dan dilaksanakan setiap tahunnya. Warga pun tak bosan melihatnya karena pelaksanaannya yang seperti festival dan sangat menarik. Semoga Upacara Bekakak yang merupakan salah satu budaya dan kesenian Indonesia ini akan tetap terus lestari sampai kapan pun.



Berikut adalah foto-foto Upacara Bekakak :







1. Tahap Midodareni Bekakak



dua buah jali berisi pengantin bekakak dan sebuah jodhang berisi sesaji disertai sepasang suami istri gendruwo dan wewe, semua dibawa ke balai desa Ambarketawang. 2. Kirab arak-arakan yang membawa jali pengantin bekakak ke tempat penyembelihan 3. Nyembelih pengantin bekakak boneka ketan sepasang pengantin itu disembelih dan dipotong-potong dibagikan kepada para pengunjung demikian pula sesaji yang 4. Sugengan ageng Upacara ini dilaksanakan di Gunung Kliling selesai. Pertama-tama pembakaran kemenyan, lalu dilanjutkan oleh Ki Juru Permana membuka upacara tadi dengan mengikrarkan adanya Sugengan Ageng tersebut, dilanjutkan pembacaan doa dalam bahasa Arab.