Bed Side Teaching - Sindroma Nefrotik Ihsiani Nadhifa [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Bed Side Teaching



SINDROMA NEFROTIK



Oleh :



Ihsiani Nadhifa



1940312077



Preseptor : dr. Fitrisia Amelin, SpA, M. Biomed



BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS RSUP DR. M. DJAMIL PADANG 2021



PROBLEM Mayoka Ikhsani, Perempuan, 17 tahun bulan, 01.10.03.81 Keluhan Utama : Pasien datang ke Poliklinik Anak RSUP Dr. M. Djamil Padang dengan keluhan sembab di wajah, kaki dan perut yang semakin meningkat sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit. Subjektif : Jul 2013  Pertama kali pasien mengeluhkan sembab pada mata, kaki dan perut serta mengaku sering kelelahan



Nov 2014 Apr 2015  Pasien kembali



Agust 2013  Pasien untuk pertama kalinya



Sept 2013 Jan 2014



Feb -Sept 2014



 Pasien minum obat  Pasien mengalami remisi dan kembali rutin berupa normal



Okt 2014  Pasien kembali kambuh dan dirawat di RSUD



dirawat selama 13



prednison dan



hari di RSUD



captopril selama 5



Arosuka selama 17



Arosuka dengan



bulan serta pernah



hari



diagnosis sindroma



dilakukan transfusi



nefrotik idiopatik



albumin



May - Des 2015  Pasien remisi



relaps dan



normal dan



melakukan rawat



berhenti



jalan selama 6



pengobatan



bulan dengan



Jan - Feb 2016  Pasien kembali



Mar 2016 



Pasien di



Apr - Okt 2016 Pasien diberikan



kambuh dan



rujuk ke



kemoterapi



dirawat di RSUD



RSUP M



denga CPA 1x



Arosuka selama



Jamil dan



sebulan ke



37 hari



rutin kontrol



RSUP M Jamil



ke poli RSUP



namun masih



M Jamil



tetap proteinuria



setiap bulan



+3



mengkonsumsi CPA



Nov 2016 -



Nov 2017 -



Agust 2018 -



Agust 2019 -



Okt 2017



Jul 2018



Jul 2019



May 2021



Jun - Jul 2021



 Pasien melanjutkan



 Pasien berhenti



 Pasien relaps



 Pasien kembali



 Pasien



kembali namun



remisi normal dan



mengeluhkan



tidka dilakukan



berhenti



sembab yang



rawat inap serta



pengobatan, namun



semakin memberat



dan rutin kontrol ke



pasien



tetap kontrol ke



sejak kontrol



M Jamil setiap



mengeluhkan



RSUP M Jamil



terakhir bulan Juni



bulan, didapatkan



sembab pada alat



setiap bulan nya



sehingga



hasil protein urin



genitalia dan terasa



diputuskan untu di



negatif



perih, pasien rutin



rawat di bangsal



mengkonsumsi



kronik anak RSUP



MMF



M Jamil



pengobatan dengan rawat jalan dan minum CyA oral



pengobatan dan remisi normal



Objektif : Keadaan umum



: Tampak sakit sedang



Kesadaran



: Composmentis Kooperatif



Tekanan darah



: 130/100 mmHg Percentile p5 p10 p90 p95 p99 p99+5



Systolic 98 111 122 126 132 137



Diastolic 57 68 77 79 84 89



Frekuensi nadi



: 96 x/menit



Frekuensi napas



: 22 x/menit



Suhu



: 36,6°C



Berat badan



: 45 kg (BB sebelum sakit 38 kg)



Panjang badan



: 138 cm



BB/U TB/U



: 45/55 x 100% = 81% (Baik) : 138/164 x 100% = 84% (Kurang)



BB/TB



: 45/33 x 100% = 136 % (Obesitas)



Status gizi



: Gizi Baik



Gambar 1. Antropometri



Khusus : Kulit



: Teraba hangat



Wajah



: Tampak udem



Kelenjar getah bening : Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening Kepala



: Normocephal



Rambut



: Hitam, lebat, dan tidak mudah rontok



Mata



: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),



Telinga



pupil isokor (2 mm/2mm), reflek cahaya (+/+) : Tidak ada kelainan



Hidung



: Nafas cuping hidung tidak ada, sekret tidak ada



Tenggorok



: Faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1 tidak



Gigi dan mulut



hiperemis : Sianosis sirkum oral tidak ada



Toraks o



Paru Inspeksi



: normochest, retraksi dinding dada tidak ada



Palpasi



: fremitus kanan=kiri



Perkusi



: sonor - redup



Auskultasi



: suara napas bronkovesikuler, ronki(-/-), Wheezing (-/-)



o Jantung Inspeksi



: Iktus kordis tidak terlihat



Palpasi



: Iktus kordis teraba di LMCS RIC V



Perkusi



: batas jantung sulit dinilai



Auskultasi



: irama reguler, murmur(-), gallop(-)



Abdomen O



Inspeksi



: distensi (+), pelebaran vena tidak ada



O



Palpasi



: supel, hepar dan lien sulit dinilai, Ballotement ginjal sulit dinilai , Nyeri tekan (-), pitting udem (+)



O



Perkusi



: timpani - redup



O



Auskultasi



: Bising usus (+) normal



Punggung



: tidak ada kelainan



Genitalia



: tidak dilakukan pemeriksaan



Ekstremitas



: Akral hangat, pitting udem (+), CRT 40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+), hipoalbuminemia < 2,5 g/dL, edema, dan hiperkolesterolemia > 200 mg/dL. Pasien memiliki 3 dari 4 karakteristik tersebut yaitu edema, hipoalbuminemia dan proteinuria masif, untuk kolesterol tidak dilakukan pemeriksaan pada pasien Pasien sebelumnya sudah dikenal sindroma nefrotik sejak 8 tahun yang lalu. Anak pernah mendapatkan kortikosteroid, dan mengalami perbaikan dalam 4 minggu terapi. Namun setelah itu relaps kembali dan diterapi hingga pasien sudah pernah mendapatkan siklofosfamid pulse dan oral hingga menjadi remisi normal dan pasien mengkonsumsi siklosporin, hingga pasien berhenti minum obat namun



lalu kambuh kembali, dan saat ini pasien mengeluhkan sembab dan berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan proteinuria +3 dan hypoalbuminemia sehingga dapat ditegakkan bahwa pasien mengalami sindrom nefrotik dependen steroid. Sindroma nefrotik dependen steroid dapat ditegakkan apabila SN relaps 2 x berurutan pada saat dosis steroid diturunkan (alternating) atau dalam 14 hari setelah pengobatan. Pasien ditatalaksana dengan tujuan utama untuk restriksi cairan karena sudah terjadi edem pada wajah, tungkai dan asites yaitu dengan pemberian loop diuretik berupa furosemid 1x40 mg. Pasien yang tidak membaik dengan pemberian diuretik merupakan edem refrakter dan harus diberikan infus albumin sebagai retriksi cairan. Untuk tatalaksana sindrom nefrotik diberikan sesuai dengan panduan sindroma nefrotik dependen steroid prednison 3x5 tab (po), Pemberian captopril 3x12,5 dianjurkan pada pasien dengan SN dependen steroid untuk mengurangi proteinuria urin. Pada pasien juga diberikan antibiotik karena dicurigai adanya infeksi saluran kemih yaitu ceffriaxon 1x1,75 mg IV dan juga sebagai tambahan diberikan Zink 1x20 mg PO, serta pasien di infus dengan IVFD KAEn1b 1cc per jam. Pasien diberikan makanan biasa 1800 kkal dengan 1 gram garam perhari dan protein 25 gram perhari. Pasien dengan sindrom nefrotik perlu dilakukan pemantaun pemberian diet dengan diet rendah garm 1-2 gr/hari selama edem untuk mencegah adanya retriksi cairan, Pemberian protein sesuai dengan rekomendasi diberikan sebanyak 1,5-2 mg/kgbb/hari. Protein pada anak dengan SN tidak boleh dibawah atau lebih dari yang dianjurkan karena akan memperberat kerja glomerulus apabila berlebihan dan akan menimbulkan malnutrisi energi protein saat pemberian protein dibawah anjuran.



MORE INFORMATION Laboratorium (13 Juli 2021) Hematologi Lengkap: Hb: 14,9 Leukosit: 20.130 Eritrosit: 5.440.000 Trombosit: 174.000 Hematokrit: 42% Retikulosit: 2,59% MCV/MCH/MCHC: 77/27/36 Hitung Jenis: 0/0/2/87/6/4 Gambaran darah tepi: Eritrosit: normositik normokrom Leukosit: meningkat, neutrofilia shift to the right, mielosit 1% Trombosit: jumlah cukup, morfologi normal Kimia klinik: Total protein: 3,7 Alb/Glob: 1,2/2,5 Ur/Cr: 58/0,6 Asam urat: 2,2 GDR: 140 Na/K/Cl: 125/4,6/102



Urinalisa (14 Juli 2021) = Urin Lengkap Makroskopis Warna



:



Kuning



Kekeruhan



:



Positive



BJ



:



1,005 (N: 1,003-1,030)



pH



:



6,5 (N: 4,6-8)



Mikroskopis



Leukosit



:



6-7/LPB(N:40mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu >2mg/mg atau dipstick ≥+2)



2.



Hypoalbuminemia 200mg/dL.



Epidemiologi Angka kejadian sindrom nefrotik di Amerika dan Inggris berkisar antara 27 per 100.000 anak berusia di bawah 18 tahun per tahun, sedangkan di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 anak per tahun, dengan perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1. Di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM Jakarta, sindrom nefrotik merupakan penyebab kunjungan sebagian besar pasien di Poliklinik Khusus Nefrologi, dan merupakan penyebab tersering gagal ginjal anak yang dirawat antara tahun 1995-2000. Perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1.1 Sebagian besar (90%) SN pada anak-anak merupakan SN yang idiopatik. Sisanya (10%) merupakan SN sekunder yang berhubungan dengan kelainan glomerulus



seperti



nefropati



membranosa



dan



glomerulonefritis



membranoprolifratif. Etiologi Berdasarkan etiologi Sindrom Nefrotik dibagi menjadi: 1. Sindrom Nefrotik Kongenital Merupakan sindroma nefrotik yang muncul pada dua bulan pertama kehidupan. Terdapat 2 tipe umum yaitu tipe Finlandia dan tipe heterogeny. 2. Sindrom Nefrotik Idiopati/Primer Etiologi dari sindrom nefrotik primer masih belum diketahui. Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer terjadi



akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain. Golongan ini paling sering dijumpai pada anak. Kelainan histopatologik glomerulus pada sindrom nefrotik primer dikelompokkan menurut rekomendasi dari ISKDC (International Study of Kidney Disease in Children). Kelainan glomerulus ini sebagian besar ditegakkan melalui pemeriksaan mikroskop cahaya, dan apabila diperlukan, disempurnakan dengan pemeriksaan mikroskop elektron dan imunofluoresensi. a.



Simdrom Nefrotik dengan kelainan minimal (SNKM)



b.



Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)



c.



Mesangial proliferative difus (MPD)



d.



Glomerulonephritis membrano proliferative (GNMP)



e.



Nefropati membranosa (GNM)



3. Sindrom Nefrotik Sekunder Sindrom nefrotik sekunder timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat. Penyebab yang sering dijumpai adalah penyakit metabolik atau kongenital (seperti diabetes mellitus, amiloidosis, sindrom Alport, miksedema), infeksi (seperti hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis, streptokokus, AIDS), toksin dan alergen (seperti logam berat, penisillamin, probenesid, racun serangga, bisa ular), penyakit sistemik bermediasi imunologik (contohnya lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schönlein, sarcoidosis), dan neoplasma. Patofisiologi a. Proteinuria Glomerulus ginjal terdiri dari vaskular bed yang kompleks yang berfungsi sebagai ultrafiltrasi selektif terhadap protein plasma. Sistem filtrasi glomerulus terdiri dari tiga lapisan, yaitu sel endotel, membran basal glomerulus dan lapisan sel epitel atau padosit. Dalam keadaan normal membran basal glomerulus memiliki mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan kedua muatan



listrik (charge barrier). Pada SN kedua mekanisme penghalang ini tergangggu. Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non-selektif berdasarkan ukuran molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif apabila yang keluar terdiri dari molekul kecil seperti albumin sedangkan non selektif jika yang keluar terdiri dari molekul besar seperti imunoglobulin. b.



Hipoalbuminemia Hipoalbuminemia terjadi apabila kadar albumin dalam darah < 2,5 gr/100



ml. Hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik dapat disebabkan oleh proteinuria masif peningkatan reabsorbsi dan katabolisme albumin oleh tubulus proksimal. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid plasma, unutk mempertahankan tekanan onkotik plasma maka hati berusaha meningkatkan sistesi albumin. Peningkatan sisntesis albumin hati tidak dapat mengkompensasi kehilangan albumin. Dalam keadaan normal hati dapat mensintesis albumin total sebesar 25g/hari. c.



Edema Edema pada sindrom nefrotik merupakan suatu proses yang dinamik dan



proses underfill dan overfill berlangsung bersamaan atau pada waktu berlainan pada individu yang sama, karena patogenesis penyakit glomerulus mungkin merupakan suatu kombinasi rangsangan yang banyak.8 Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia adalah faktor kunci terjadinya edema pada SN. hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma sehingga cairan berpindah dari intravaskular ke jaringan intertitium mengikuti hukum Starling dan terjadi edema. Akibat terjadinya penurunan tekanan onkotik plasma dan bergesernya cairan plasma terjadi hipovolemia, ginjal melakukan kompensasi dengan sistem renin angiotensin sehingga terjadi retensi natrium dan air di tubulus distal. Penurunan volume intravaskular juga merangsang pelepasan hormon antideuritik yang mempertinggi penyerapan air dalam duktus kolektivus. Karena tekanan onkotik kurang maka cairan dan natrium yang telah direabsorbsi masuk kembali ke ruang intersisial sehingga memperberat edema. d.



Hiperlipidemia



Hiperlipidemia terjadi akibat penurunan tekanan onkotik, disertai oleh penurunan aktivitas degradasi lemak karena hilangnya a-glikoprotein sebagai perangsang lipase. Apabila kadar albumin serum kembali normal, baik secara spontan ataupun dengan pemberian infus albumin, maka kadar lipid dapat kembali normal. Tidak hanya kolesterol yang meningkat ( kolesterol > 250 mg/100 ml ), tetapi beberapa konstituen lemak juga meningkat dalam darah, seperti Low Density Lipoprotein (LDL), Very Low Density Lipoprotein (VLDL), dan trigliserida (baru meningkat apabila plasma albumin < 1 gr/100 mL). Akibat hipoalbuminemia, sel-sel hepar terpacu untuk memproduksi banyak albumin. Bersamaan dengan sintesis albumin, sel-sel hepar juga akan memproduksi VLDL. Pada keadaan normal, VLDL diubah menjadi LDL oleh lipoprotein lipase. Tetapi, pada



sindrom



nefrotik,



aktivitas



enzim



ini



terhambat



oleh



adanya



hipoalbuminemia dan tingginya kadar asam lemak bebas. Selain itu, menurunnya aktivitas lipoprotein lipase juga disebabkan oleh rendahnya kadar apolipoprotein plasma akibat keluarnya protein ke dalam urine. Sehingga, hiperkolesteronemia ini tidak hanya disebabkan oleh produksi yang berlebihan , tetapi juga akibat gangguan katabolisme fosfolipid. Manifestasi Klinis -



Edema, manifestasi klinis utama adalah edema, yang tampak pada sekitar 95% anak dengan sindrom nefrotik.



-



Gangguan gastrointestinal, sering timbul dalam perjalanan penyakit sindrom nefrotik. Diare, hepatomegali, nyeri perut dll.



-



Napsu makan menurun, nafsu makan menurun karena edema.



-



Asites berat, dapat menimbulkan hernia umbilikalis dan prolaps ani.



-



Sesak napas, karena adanya distensi abdomen baik disertai efusi pleura atau tidak



-



Gangguan psikososial



-



Hipertensi dapat dijumpai pada semua tipe sindrom nefrotik.



Diagnosis



Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. a.



Anamnesis Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di kedua kelopak



mata,perut, tungkai, atau seluruh tubuh dan dapat disertai jumlah urin yang berkurang. Keluhan lain juga dapat ditemukan seperti urin berwarna kemerahan. b.



Pemeriksaan fisis Pada pemeriksaan fisik sindrom nefrotik dapat ditemukan edema di kedua



kelopak mata, tungkai, atau adanya asites dan edema skrotum/labia. Kadangkadang ditemukan hipertensi. c.



Pemeriksaan penunjang



Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan : -



Pada urinalisis, proteinuria yang masif ditemukan yaitu > 40 mg/m2/jam



atau > 50 mg/kg/24 jam; biasanya berkisar antara 1-10 gram per hari. albumin secara kualitatif +2 sampai +4. Secara kuantitatif > 50 mg/kgBB/hari ( diperiksa memakai reagen ESBACH ). Pada sedimen ditemukan oval fat bodies yakni epitel sel yang mengandung butir-butir lemak, kadang-kadang dijumpai eritrosit, leukosit, toraks hialin dan toraks eritrosit.8,9,10 -



Pada pemeriksaan darah didapatkan protein total menurun (N:6,2-8,1



gm/100ml), albumin menurun (N: 4-5,8 gm/100ml), α1 globulin normal (N: 0,10,3 gm/100ml), α2 globulin meninggi (N:0,4-1 gm/100ml), β globulin normal (N: 0,5-09 gm/100ml), γ globulin normal (N:0,3-1 gm/100ml), rasio albumin/globulin 2 mg/ kgbb/



hari atau total >20 mg/hari, selama lebih dari 14 hari, merupakan pasien imunokompromais.Pasien SN dalam keadaan ini dan dalam 6 minggu setelah obat dihentikan hanya boleh diberikan vaksin virus mati, seperti IPV (inactivated polio vaccine).Semua anak SN sangat dianjurkan untuk mendapatkan imunisasi terhadap infeksi pneumokokus dan varisela. d.



Kortikosteroid



Klasifikasi dari sindroma nefrotik terkait tatalaksana pemberian steroid dibagi menjadi dua yaitu sindroma nefrotik sensitif steroid (SNSS) dan sindroma nefrotik resisten steroid (SNRS).



Sindroma Nefrotik Sensitif Steroid



Pengobatan



inisial



kortikosteroid



berdasarkan



konsesus



penatalaksanaan



sindroma nefrotik anak IDAI, namun Rekomendasi ini mengalami perubahan sesuai dengan rekomendasi Kidney Disease Improving Global Outcomes (KGIDO) tahun 2012 dan 2013, dimana batasan resisten diperpanjang menjadi 8 minggu dan ditambah dengan tappering off sebelum prednison diberhentikan. Apabila pasien remisi pada 4 minggu pertama disebut early responder sedangkan pada 4 minggu kedua disebut late responder.



Rekomendasi KDIGO memberikan dua pilihan dalam pengobatan inisial sindroma nefrotik dengan prednison/prednisolone: - Prednison oral dosis penuh selama 6 minggu (maksimal 60mg/m2/hari) dilanjutkan 6 minggu dengan dosis alternating single dose dipagi hari



- Prednison dosis penuh pada 4 minggu pertama dan 4 minggu kedua 40 mg/m2/hari atau 1,5 mg/kgbb/hari alternating, lalu dilanjutka 3 bulan dosis tappering off sebelum prednison dihentikan Rekomendasi lain: - pemberian kortikosteroid pada pasien sindrom nefrotik relaps, sama dengan panduan lama. Hal ini berlaku juga pada pasien sindroma nefrotik yang relaps jarang. - Pada sindrom nefrotik yang sudah remisi namun sedang mengalami infeksi (antara lain ISPA) diberi prednison tiap hari selama infeksi untuk mencegah relaps, juga jika infeksi terjadi pada saat pemberian dosis alternating. Sindrom nefrotik sering relaps atau dependen steroid pada sindrom nefrotik sering relaps/dependen steroid pengobatan lanjutan adalah pemberian steroid jangka panjang dan penggunaan kortikosteroid sparing agent. Jika terjadi relaps sering diberi prednison dosis penuh sampai terjadi remisi (paling sedikit 2 kinggu) dan dilanjutkan dengan dosis alternating bersama dengan kortikosteroid sparing agent. Disamping itu KDIGO juga menganjurkan pemberian CPA (siklofosfamid) selama 8-12 minggu, apabila tidak ada oral maka sindrom nefrotik sering relaps dapat diberikan CPA sama seperti pada dependen steroid selama 6 bulan



Preparat kortikosteroid sparing agent yang di anjurkan pada sindrom nefrotik adalah: 



siklofosfamid dosis 2 mg/kgbb/hari selama 8-12 minggu (maksimal 168 mg/kg)



dan diberikan setelah pasien remisi dengan steroid dosis penuh. Aatau Pemberian klorambusil dengan dosis 0,1-0,2 mg/kgbb/hari (maksimal 11,2 mg/kg) 



Levamisol dosis 2,5 mg/kgbb/hari diberikan bersamaan dengan prednison dosis



alternating selama 12 bulan, jika obat berhenti pasien sering relaps kembali 



kalsineurin inhibitor siklosporin dosis 4-5 mg/kg/hari 2x1 selama 12 bulan, atau



takrolimus dosis 0,1 mg/kgbb/hari 2x1 diberikan jika ada efek samping kosmetik pada pemberian siklossporin, jika obat berhenti pasien sering relaps kembali 



Mikofenolat Mofetil (MMF) dengan dosis 1200 mg/m2/hari 2x1 selama 12



bulan, jika obat berhenti pasien sering relaps kembali 



Rituximab hanya diberikan pada kasus dependen steroid yang terus menerus



relaps jika sudah mendapat kalsineurin inhibitor dengan dosis optimal atau menderita efek samping 



Mizoribin tidak di anjurkan untuk pengobatan pasien relaps sering/dependen



sterois. Azatioprin juga tidak dianjurkan untuk diberikan pada sindrom nefrotik anak. Pemberian siklofosfamid pada pasien SN relaps sering atau dependen steroid menghasilkan luaran yang sama dalam mengurangi relaps. CPA dapat diberikan oral 8-12 minggu atau intravena (CPA Pulse) satu kali perbulan selama 6 bulan.



Sindroma nefrotik resisten steroid Terdapat dua jenis sindroma nefrotik resisten steroid yaitu primer apabila resisten terjadi pada pengobatan inisial yaitu setelah pemberian kortikosteroid selama 8-12 minggu tidak terjadi remisi, atau resisten sekunder jika pada pasien



sindrom nefrotik yang telah berulang kali mendapat steroid (relaps frekuen) atau dependen steroid. Obat imunosupresan yang dianjurkan KDIGO pada sindrom nefrotik resisten steroid adalah kalsineurin inhibitor, MMF, dan tambahan pemeberian ACE inhibitor dan atau angotensin II reseptor blocker (ARB). pengobatan sindrom nefrotik steroid resisten primer atau sekunder meliputi: a. kalsineurin inhibitor, diberikan selama 6 bulan bersama dosis rendah kortikosteroid. Apabila dalam 6 bulan terjadi remisi partial atau total dapat dilanjutkan 6 bulan lagi b. Mikofenolat Mofetil, diberikan apabila dengan CNI tidak remisi. Cara penggunaan MMF sama dengan CNI yaitu 6 bulan pertama bila terjadi remisi partial atau total dilanjutkan 6 bulan lagi. Apabila pasien sindrom nefrotik steroid resisten mengalami relaps kembali setelah pengobatan maka dianjurkan diberikan preparat kortikosteroid oral seperti pengobatan relaps, pada umumnya remisi cepat tercapai. Dapat juga kembali ke imunosupresan yang sebelumnya, kecuali jika dipergunakan CPA untuk menghndari efek kumulatif atau menggantikan dengan obat imunosupresan yang lain.



Komplikasi a.



Infeksi sekunder :



b.



Syok



c.



Trombosis vaskuler



e.



Hipertensi



f.



Malnutrisi atau kegagalan ginjal.



Prognosis Penentuan prognosis dilakukan dengan penilaian respoons terhadap steroid, 60-80% dari sindrom nefrotik sensitif steroid akan mengalami relaps dan 60% dari itu akan mengalami 5 kali atau lebih relaps. Usia onset lebih dari 4 tahun dan remisi 7-9 hari pada saat terapi steroid dan tidak adanya mikrohematuria di perkirakan akan mengalami relaps yang lebih sedikit. Pada penelitian dari 398 anak, proporsi untuk tidak mengalami relaps meningkat dari 44% pada usia 1 tahun, 69% pada usia 5 tahun dan 84% pada usia 10 tahun.



PROBLEM SOLVING o



IVFD KAEn1B 1cc/jam



o



Tranfusi albumin 25% 1 gr (140cc)/hari selang hari setelah edema refrakter



o



Prednison 3x5 tab PO



o



Furosemid 1x40 mg IV



o



Captopril 3x12,5 mg PO



o



Ceftriaxon 1x1,75 mg IV



o



Zink 1x20 mg PO