Bimbingan, Konseling Dan Psikoterapi Inovatif [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Edisi 2



Edisi 2



&



Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si.



i



ii



BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF



Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si.



&



Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si.



iii



BIMBINGAN, KONSELING & PSIKOTERAPI INOVATIF Cetakan Pertama Juni 2011 Edisi 2 Cetakan Pertama Juni 2018 Penulis Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si. Perwajahan Buku Jendro Yuniarto Desain Sampul Haitamy el-Jaid



PUSTAKA PELAJAR Celeban Timur UH III/548 Yogyakarta 55167 Telp. 0274 381542, Faks. 0274 383083 E-mail : [email protected] ISBN :978-602-229-915-8 iv



BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF



PRAKATA



Alhamdulillah, sudah sepatutnya penulis memanjatkan syukur ke hadhirat Ilahi Rabby, dengan terbitnya buku “Bimbingan, Konseling dan Psikoterapi Inovatif” ini. Tiada kemampuan apapun yang penulis miliki, kecuali bekal nekad, motivasi diri, dan dukungan dari berbagai fihak, terutama Rektor IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Prof Dr. H.Maksum Mukhtar, yang telah mendorong penulis mempublikasikan gagasan-gagasan sederhana ini kepada khalayak, juga dukungan orang-orang terkasih, suami, ibunda, anak-anak, cucu, dan adik-adik. Dalam ajaran Islam yang penulis yakini, bahwa misi penciptaan manusia di muka bumi adalah untuk beribadah atau menyembah kepada Allah, Dzat Pencipta seluruh makhluk di jagat raya ini, sebagaimana termaktub dalam kitab suci: “Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembahKu” (QS.al-Dzariyat [51]: 56). Makna “menyembah” dalam ayat tersebut adalah mengaku diri sebagai “hamba” yang memiliki segala kekurangan, kekeliruan, kesalahan, ketidakberdayaan kepada Dzat yang Maha Sempurna, Maha Agung, dan Maha Perkasa. Pengakuan manusia sebagai hamba yang tidak berdaya itu berimpilkasi kepada kebutuhan pertolongan dan bantuan dari faktor eksternal, selain dirinya, yaitu dari Dzat yang Maha Perkasa melalui washilah para Nabi, para Rasul, para ulama, termasuk para ahli yang kompeten berkaitan dengan persoalan kehidupan yang mengakibatkan



Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si.



v



dirinya menemukan ketidak-berdayaan. Pengakuan diri merasa kuat, terkuat, atau terhebat, sesungguhnya bukan saja mengingkari keMaha-Kuasaan Tuhan, melainkan juga mengingkari eksistensi diri sebagai hamba Tuhan. Dalam konteks sebagai makhluk Tuhan, ketidakberdayaan itu bukan saja milik manusia, melainkan juga milik seluruh makhluk, termasuk Malaikat, Jin, dan Syetan. Akan tetapi, pengakuan diri akan ketidak-berdayaan hanya lazim ditekankan kepada manusia yang diberi potensi oleh Tuhan sisi baik dan buruk. Malaikat mengakui kebesaran Tuhan, tetapi itu merupakan sesuatu pengakuan yang logis dan niscaya, karena para Malaikat selalu memiliki potensi sisi baik semata. Syetan dengan tegas mengaku diri besar dan takabbur, itupun pengakuan yang logis karena mereka hanya diberi potensi sisi buruk. Sementara itu, manusia diciptakan oleh Tuhan dengan sangat sempurna dengan diberi potensi sisi baik dan buruk, serta diberi akal pikiran. Dengan “akal fikiran”nya itu, manusia akan diuji oleh Tuhan, akankah manusia cenderung ke sisi baik ataukah buruk. Kesempurnaan potensi yang diberikan Tuhan kepada manusia ditegaskan dalam firmanNya: “Sesungguhnya Kami (Tuhan) telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya” (QS.Al-Thin [95]; 4-6 ). Oleh karena manusia sebagai makhluk yang diciptakan paling sempurna oleh Tuhan, maka manusia diamanati oleh Tuhan untuk memimpin dunia, hingga membuat tercengang para Malaikat, sebagaimana firman Allah: “Sesungguhnya Aku akan menjadikan seorang khalifah di muka bumi ini” (QS Al-Baqarah [2]: 30). Misi menjadi khalifah fil ardh berimpilkasi kepada manusia agar selalu berupaya berada di jalan yang benar, berperilaku yang sesuai dengan norma agama, norma moral, dan norma masyarakat, di mana pun manusia itu hidup. Manusia dituntut untuk hidup selaras dalam berhubungan secara vertikal maupun horizontal, selaras dengan vi



BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF



ajaran Tuhan, selaras dengan manusia lainnya, lingkungan, dan alam sekitarnya. Untuk melaksanakan misi tersebut, manusia perlu saling bahu membahu, tolong menolong, dan saling mendukung “dalam hal-hal yang positif dengan cara-cara yang positif’. Bimbingan dan konseling adalah merupakan ilmu pengetahuan, seni, sekaligus sarana untuk menolong manusia yang sedang membutuhkan pertolongan dari masalah yang sedang dihadapi atau dari masalah yang kemungkinan akan dihadapinya. Dengan demikian bantuan yang diberikan dalam bimbingan, konseling,dan psikoterapi dapat berupa bantuan preventif, kuratif, diagnostik, maupun pengembangan. Sebagai seni, ilmu pengetahuan, dan sarana pemberian bantuan, setiap orang dituntut untuk banyak belajar, banyak membaca, banyak mendengar, banyak bertukar gagasan dan pengalaman untuk saling berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam membantu sesama yang membutuhkan bantuan. Dalam perspektif tersebut, buku ini yang tengah berada di tangan pembaca, sebagai pengisi untuk saling berbagi agar mendapat umpan balik yang semestinya. Buku ini terbagi menjadi tiga bab pembahasan, yaitu: seting bimbingan, seting konseling, dan seting psikoterapi. Mengawali pembahasan, buku ini menyajikan tulisan: “Model Kecakapan Berpikir dan Kemandirian Belajar mahasiswa”. Model bimbingan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kecakapan berpikir dan kemandirian belajar mahasiswa. Pembahasan tersebut dipandang penting oleh penulis, dilatar belakangi karena memperhatikan kondisi ideal dan aktual yang terjadi pada diri mahasiswa dan sistem pembelajaran di perguruan tinggi. Kondisi ideal pada diri mahasiswa secara internal adalah mereka sedang berada pada tahap berpikir operasional formal, pembentukan identitas diri, kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri, dan kebutuhan untuk mandiri, termasuk dalam belajar. Kondisi ideal secara eksternal karena Sistem Kredit Semester di perguruan tinggi yang menuntut keman-



Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si.



vii



dirian dalam belajar, tuntutan memiliki kecakapan berpikir yang sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta tuntutan moral agar mengembangkan akal pikiran sebagai potensi yang sudah dianugerahkan Tuhan kepada manusia yang membedakan dengan makhluk lainnya. Berdasarkan kondisi ideal tersebut, mahasiswa semestinya sudah mampu berpikir kritis dan kreatif, serta mandiri dalam belajar. Namun dalam realitasnya menunjukkan, umumnya mahasiswa masih rendah dalam kecakapan berpikir dan kemandirian belajarnya. Atas dasar alasan-alasan itulah, penulis ingin mengajak pembaca memformulasikan bentuk bantuan untuk meningkatkan kecakapan berpikir dan kemandirian belajar dalam bentuk model bimbingan. Untuk melengkapi pemahaman, penulis mengetengahkan: “Konsep Dasar Bimbingan Kecakapan Berpikir dan Kemandirian Belajar”, yang mencakup: makna belajar; makna kecakapan berpikir kritis dan kreatif. Di samping itu, dibahas tentang: makna kemandirian belajar, makna bimbingan, serta urgensi bimbingan untuk meningkatkan kecakapan berpikir dan kemandirian belajar mahasiswa. Dalam seting konseling, penulis menyajikan “Konseling Keluarga yang Sensitif Gender untuk mengatasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)” mencakup: dasar pemikiran, tujuan, sasaran; kriteria keberhasilan, prinsip dasar, teknik, tahapan konseling. Seperti pada pembahasan awal, penulis melengkapi pembahasan dengan “Konsep Dasar Konseling yang Sensitif Gender untuk Mengatasi KDRT” mencakup: perihal KDRT berbasis gender, fenomena KDRT, penelitianpenelitian tentang KDRT, urgensi konseling untuk mengatasi KDRT. Masih berkaitan dengan konseling rumah tangga, penulis menyuguhkan “Konseling Pernikahan yang Sensitif Gender untuk Membangun Rumah Tangga As-Sakinah, Mawaddah, wa Rahmah (ASMARA) mencakup: dasar pemikiran, tujuan, prinsip dasar, tahapan, teknik, ruang lingkup, dan penelitian tentang keharmonisan rumah tangga. Di samping itu penulis melengkapi dengan pembahasan “Konsep viii



BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF



Dasar Konseling Pernikahan yang Sensitif Gender dan Rumah Tangga Asmara”, yang terbagi ke dalam dua bagian besar. Pertama, Perihal Pernikahan, mencakup: makna pernikahan bagi manusia; pola relasi suami isteri dalam rumah tangga, hak dan kewajban suami isteri, pengertian rumah tangga asmara, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap relasi suami isteri, kriteria rumah tanggga asmara. Kedua, Perihal Konseling Pernikahan yang Sensitif Gender, mencakup: asal usul konseling pernikahan yang sensitif gender, paradigma konseling pernikahan yang sensitif gender, kesalahan pengaplikasian konsep gender dalam praktek konseling, tujuan konseling pernikahan yang sensitif gender, prinsip dasar konseling pernikahan yang sensitif gender. Konseling yang sensitif gender atau terapi feminis yang ditulis dalam buku ini memusatkan perhatian serius pada isu keadilan gender. Prasangka masyarakat dan perempuan sendiri selama ini, telah mendesak lahirnya praktek konseling yang sensitif gender. Konseling ini menyajikan petunjuk untuk menguji pandangan yang bias gender dan efek yang merugikan dan bias pada pengembangan perempuan. Posisi perempuan dalam keluarga begitu ditekan dan mereka ditolak untuk mencapai keberhasilan pemenuhan diri pribadi. Konseling ini mengusulkan perbaikan di mana perempuan harus memiliki akses sama kepada peluang dan mendapat penghargaan untuk membantu memenuhi potensi mereka. Perbaikan terhadap kondisi ini harus dimulai dari lingkungan terkecil, yaitu rumah tangga. Pembahasan berikutnya “Konseling Karir untuk Meningkatkan Produktivitas Kerja Karyawan”, mencakup: dasar pemikiran, tujuan, sasaran, bidang garapan, strategi; personalia, mekanisme, tempat, waktu, evaluasi, dan tindak lanjut. Penulis memandang bahwa berkarir dengan sukses merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan dan didambakan oleh setiap orang. Seseorang yang berkarir karena ada sesuatu yang hendak dicapainya dengan harapan bahwa aktivitas kerja yang dilakukan membawa kepada suatu perubahan dan keadaan yang lebih memuaskan daripada keadaan sebelumnya. Kecintaan terhadap karir merupakan langkah



Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si.



ix



awal untuk dapat menghargai diri dan pekerjaannya, sehingga tujuantujuan yang hendak dicapainya dapat menumbuhkan motivasi dan kepuasan dalam melakukan pekerjaannya. Kepuasan dalam berkarir akan mempengaruhi produktivitas kerjanya. Kepuasan dan produktivitas kerja untuk setiap orang tidaklah sama ukurannya. Namun secara umum seseorang cenderung puas dan produktif dalam bekerja jika memiliki tindakan konstruktif, percaya pada diri sendiri, bertanggung jawab, cinta terhadap pekerjaan, mempunyai pandangan ke depan, mampu mengatasi persoalan, dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berubah-ubah, mempunyai kontribusi positif terhadap lingkungan (kreatif dan imajinatif), dan memiliki kekuatan untuk mewujudkan potensinya. Kegagalan yang dialami oleh seorang karyawan dalam menyesuaikan diri dengan karirnya merupakan suatu masalah besar, baik di lingkungan kerja, keluarga, maupun masyarakat yang lebih luas. Oleh karena itu program layanan konseling karir bagi karyawan, diharapkan mampu membantu klien dalam membuat keputusan karir yang tidak hanya untuk kepuasan dirinya tetapi juga untuk kebaikan yang lainnya, seperti lembaga tempat kerja, keluarga, dan masyarakat pada umumnya, setidaknya ini menurut penulis. Masih tentang konseling karir, penulis membahas “Konseling Karir dengan pendekatan Happenstance”, yang mengupas serba singkat tentang: Problematika karir dewasa ini, faktor-faktor yang mempengaruhi karir, aspek psikologis dalam karir, karir dalam perspektif happenstance, implikasi bagi konseling karir. Sebagai akhir pembahasan dalam buku ini penulis menyajikan beberapa model terapi dari para ahli, seperti: Therapy Sex, Aqua Energetics Therapy, Covert Conditioning Therapy, Focusing, Multimodal Therapy, Poetry Therapy, dan Feminist Therapy. Sangat banyak model terapi yang dilahirkan oleh para ahli, sebagian besar sudah populer bahkan sudah diimplementasikan oleh para praktisi konselor dan psikoterapis di lapangan, dan sebagian “mungkin” kurang populer secara konsep, tetapi sudah diimplemenx



BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF



tasikan oleh para praktisi, secara sengaja atau kebetulan. Untuk tataran ini, pembahasan beberapa model terapi yang sekarang ditulis dalam buku ini, meski tidak harus disikapi secara apriori dengan diabaikan, kiranya dapat menjadi stimulan untuk mengelaborasi formulasi terapi yang lebih implementatif, praktis, dan efektif sesuai dengan konteks realitas individu (klien) yang dihadapi dalam praktik terapeutik. Namun bagi para mahasiswa Pendidikan, terutama jurusan Bimbingan dan Konseling, para pendidik, dan berbagai pihak yang berminat terhadap bidang bimbingan, konseling, dan psikoterapi, buku ini pantas dan layak dibaca. Penulis sama sekali tidak memposisikan diri kompeten di bidang ini, tetapi sekedar ingin belajar dan berpartisipasi dengan pembaca memperhatikan masalah bimbingan, konseling, dan psikoterapi yang pernah “sedikit” penulis pelajari dari beberapa guru besar, dan beberapa buku, meski terkadang sambil mengantuk. Mudah-mudahan ada manfaatnya bagi penulis maupun bagi pembaca yang sesuai dengan sasarannya. Penulis berbesar hati menerima kritik, masukan, dan saran dari pembaca untuk perbaikan penulis ke depan.



Cirebon, Awal 2018 Penulis,



Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si.



xi



xii



BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF



DAFTAR ISI PRAKATA  v DAFTAR ISI  xiii BAB I. SETING BIMBINGAN  1 1.



Bimbingan Kecakapan Berpikir dan Kemandirian Belajar Mahasiswa  3



2.



Konsep Dasar Bimbingan Kecakapan Berpikir dan Kemandirian Belajar  19



BAB II. SETING KONSELING  105 1. 2.



Konseling Keluarga Yang Sensitif Gender untuk Mengatasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga  107 Konsep Dasar Konseling Keluarga Yang Sensitif Gender untuk Mengatasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga  127



3. 4.



Konsep Dasar Konseling Keluarga  173 Konseling Pernikahan Yang Sensitif Gender untuk Membina Rumah Tangga Asmara  185



5.



Konsep Dasar Konseling Pernikahan Yang Sensitif Gender untuk Membina Rumah Tangga Asmara  203



6.



Konseling Karir untuk Meningkatkan Produktivitas Kerja Karya-



7.



wan  281 Konseling Karir dengan Pendekatan Happenstance  291



Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si.



xiii



BAB III. SETING PSIKOTERAPI  309 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.



Sex Therapy  311 Aqua Energetics Therapy  325 Covert Conditioning Therapy  333 Focusing Therapy  341 Multimodal Therapy  349 Poetry Therapy  359 Feminist Therapy  267



DAFTAR PUSTAKA  389 BIODATA PENULIS  403



xiv



BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF



BAB I. SETING BIMBINGAN 1. 2.



Bimbingan Kecakapan Berpikir dan Kemandirian Belajar Mahasiswa Konsep Dasar Bimbingan Kecakapan Berpikir dan Kemandirian Belajar



Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si.



1



2



BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF



1 BIMBINGAN KECAKAPAN BERPIKIR DAN KEMANDIRIAN BELAJAR MAHASISWA



A.



Dasar Pemikiran Sebagaimana dimaklumi, usia mahasiswa untuk strata 1 (S1)



umumnya sekitar 18 – 24 tahun, mereka berada pada masa remaja akhir dan dewasa awal, atau berada di antara keduanya, yakni transisi dari masa remaja ke masa dewasa (Hurlock, 1980). Ada dua tinjauan terhadap kondisi ideal dan aktual mahasiswa yang menjadi dasar pemikiran mengembangkan model bimbingan untuk meningkatkan kecakapan berpikir dan kemandirian belajarnya. Dilihat dari kondisi ideal, terdapat dua faktor yang menjadi fokus perhatian, yaitu faktor internal dan eksternal. Dilihat dari faktor internal, sekurang­kurangnya, ada empat alasan kebutuhan mengembangkan model bimbingan akademik berdasarkan tinjauan terhadap potensi dan kebutuhan pada usia mahasiswa. Pertama, ada potensi internal pada individu mahasiswa untuk mengembangkan daya berpikirnya. Usia mahasiswa berdasar­ kan perkembangan kognitifnya, mereka sudah mencapai tahap berpikir “operasional formal”, yaitu sudah mampu berpikir abstrak, hipotetis, dan kritis (Piaget, 1983). Dengan perkembangan berpikir operasional formal, cara berpikir mahasiswa sudah memungkinkan mandiri daripada masa sebelumnya, yang diperlukan untuk mempersiapkan diri memasuki dunia kerja dan mengembangkan karir masa depan sesuai dengan potensi, bakat, dan minatnya.



Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si.



3



Kedua, ada dorongan internal untuk meraih kemandirian pada masa tersebut. Usia mahasiswa berdasarkan perkembangan psiko­ sosialnya, mereka sudah mencapai tahap pembentukan identitas (Erikson, 1980), di mana kebutuhan bereksplorasi sedang meningkat dan sedang memperjuangkan kemandirian sebagai manifestasi kedewa­ saan mereka. Mereka sudah ingin mandiri dari ketergantungan orang tua dan orang dewasa lainnya (Hurlock, 1980). Di samping ingin mandiri, mereka mulai memperoleh identitas peran gender, meng­ internalisasi moral, memilih karir, mencoba beberapa peran orang dewasa, mencari identitas diri, dan sebagian mulai bekerja (Newman & Newman, 1987). Menurut Gormly & Brodzinsky (1993: 396), usia remaja sedang memasuki periode pengambilan keputusan dan dapat dianggap dewasa, meski belum banyak mengambil peran orang dewasa, sebagaimana dikatakannya: ”Youth age is a period of development in which an individual is legally an adult but has not yet undertaken adult work and roles”. Hal ini mengisyaratkan, ciri kedewasaan adalah, yang ditunjukkan oleh kemampuan bertanggung jawab dan mengambil keputusan, seperti Fasick (Rice, 1996:336) mengemukakan: “One goal of every adolescent is to be accepted as an autonomous adult”. Ketiga, ada kebutuhan internal pada individu untuk mengaktuali­ sasikan diri secara mandiri sebagai manifestasi dari kedewasaannya (Maslow, 1970), sehingga kemandirian dalam aspek kognitif, sikap, maupun perbuatan, termasuk kemandirian dalam belajar, merupakan tugas perkembangan usia mahasiswa. Namun pada mulanya tidak mudah bagi mahasiswa menumbuhkan kemandirian itu, sebab usaha untuk memutuskan ikatan infantil yang telah berkembang dan dinik­ mati dengan penuh rasa nyaman selama masa kanak­kanak, seringkali menimbulkan reaksi yang sulit dipahami oleh dirinya (Rice, 1996). Mereka sering tidak dapat memutuskan simpul­simpul ikatan emosio­ nal kanak­kanaknya dengan orang­tua dan guru/dosen secara logis dan objektif. Dalam usaha itu mereka kadang­kadang menentang, berdebat, beradu pendapat, dan mengkritik dengan pedas sikap­sikap orang dewasa (Thornburg, 1982). Meskipun tugas ini sulit dipahami 4



BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF



oleh dirinya, orang­tua dan dosen perlu berupaya secara bijaksana untuk mengembangkan kemandirian mereka, karena mencapai kemandirian merupakan tugas perkembangan yang lazim bagi mereka yang sudah menginjak dewasa (Steinberg, 1993; Rice, 1996; Thornburg, 1982; Lerner dan Spanier, 1980). Keempat, ada potensi internal untuk mampu belajar secara man­ diri. Menurut Merriam & Caffarella (1999), usia mahasiswa dipandang sudah cukup matang dan mampu merancang program dan melakukan kegiatan belajar yang sesuai dengan minat dan cita­citanya dan cara belajar mereka sudah berbeda dengan cara belajar anak­anak. Para ahli juga berpendapat, usia mahasiswa sudah mampu mendiagnosa kebutuhan belajarnya, apa yang akan dipelajari dan bagaimana cara mempelajarinya, dapat merumuskan program belajar, mengidentifikasi sumber­sumber belajar, memilih strategi belajar yang sesuai bagi dirinya, membuat keputusan sesuai dengan kebutuhan belajarnya, mengatur sendiri kegiatan belajar atas inisiatifnya sendiri tanpa selalu tergantung kepada orang lain, mengikuti proses belajar, dan mengeva­ luasi hasil belajarnya (Gredler, 1989; Knowles, 1970; Kozma, Belle dan Williams, 1978; Aristo, 2007; Wedmeyer,1973). Dilihat dari faktor eksternal, ada tiga hal yang menjadi alasan pentingnya mengembangkan model bimbingan akademik untuk meningkatkan kecakapan berpikir dan kemandirian belajar mahasiswa di perguruan tinggi. Pertama, ada tuntutan ekternal dari sistem belajar dengan Sistem Kredit Semester (SKS) yang berlaku di perguruan tinggi. Karakteristik utama belajar dengan SKS menuntut kemandirian, baik dalam pelaksanaan proses belajar maupun dalam pengelolaan dirinya sebagai mahasiswa. Mahasiswa dituntut mampu belajar sendiri, mencari, menemukan, dan mendayagunakan sumber­sumber belajar, memperdalam dan mengkaji sendiri bahan perkuliahan tanpa banyak menggantungkan diri kepada dosen, serta menentukan apa yang bermanfaat bagi dirinya, apalagi dengan pembatasan waktu studi yang ketat, menuntut mereka membuat perencanaan yang matang bagi dirinya dan menuntut mereka menguasai kecakapan berpikir kritis,



Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si.



5



kreatif, dan mandiri dalam belajar. Kedua, kondisi eksternal dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) sekarang ini menuntut penguasaan kecakapan berpikir kritis dan kreatif dalam belajar. Keterampilan hidup yang diperlukan sekarang tidak cukup dalam bentuk keterampilan yang konvensional saja, tetapi perlu menguasai pelbagai keterampilan untuk memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi seoptimal dan seefektif mungkin bagi kemajuan hidupnya. Salah satu keterampilan yang penting dikuasai oleh mahasiswa adalah kecakapan berpikir sebagai alat belajar (tools of learning) yang digunakan untuk memecah­ kan masalah belajar dan masalah kehidupan pada umumnya (Dahlan, 1996; Wahidin, 2004; Novak & Gowin, 1999; Jones, et al., 1987). Ketiga, tuntutan eksternal sebagai hamba Tuhan agar terus menerus mendayagunakan potensi berpikir sepanjang hayat. Usia mahasiswa ditinjau dari segi agama Islam, sudah termasuk mukallaf, yaitu yang sudah dikenai kewajiban­kewajiban agama dan sudah mampu memahami kewajiban agama. Banyak ayat al­Qur’an yang memberi pesan moral agar mengembangkan daya berpikir, antara lain: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergan­ tian siang dan malam, terdapat tanda­tanda bagi ‘ulil albab’. Yaitu or­ ang­orang yang selalu mengingat Allah ketika berdiri, duduk, atau berbaring, serta mereka mau memikirkan penciptaan langit dan bumi, seraya berkata, ‘Wahai Tuhan kami, Engkau tidaklah menciptakan semua ini hanya sia­sia. Maha suci Engkau, maka jagalah kami dari siksa neraka’ (QS.Ali Imran/3:191). Meskipun kecakapan berpikir dan kemandirian dalam belajar merupakan potensi dan kebutuhan internal setiap individu yang merangkak dewasa seperti sudah dipaparkan di atas, namun kecakapan berpikir dan kemandirian belajar tidak otomatis tumbuh sendiri seiring dengan usianya. Menurut penelitian Wahidin (2004), pembelajar yang mendapat latihan kecakapan berpikir, skor kemampuan berpikirnya lebih tinggi daripada pembelajar yang tidak mendapat latihan berpikir (Wahidin, 6



BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF



2004). Para ahli juga sependapat, bahwa kecakapan berpikir dapat ditingkatkan melalui latihan dan pembelajaran (De Bono, 1998; Som & Dahlan, 2000; Liliasari, 1996; Philips, 1997; Rampengan, et al., 1981). Oleh karena itu di Universitas Kebangsaan Malaysia, kecakapan berpikir kritis dan kreatif masuk ke dalam kurikulum sebagai mata pelajaran yang wajib dipelajari oleh seluruh pembelajar (Wahidin, 2004; Som & Dahlan, 2000). Kriteria proses berpikir yang baik melibatkan empat komponen: (1) Berpikir membutuhkan pengetahuan; (2) Berpikir melibatkan proses mental yang membutuhkan keterampilan; (3) Berpikir bersifat aktif; (4) Berpikir menghasilkan tingkah laku atau sikap (Nickerson, 1985). Rampingan, et al. (1981) dikutip dari Wahidin (2004) menjelaskan bahwa: (1) Proses berpikir dapat dipelajari; (2) Proses berpikir adalah transaksi aktif antara individu, dan dosen dapat membantu mahasiswa dalam konseptualisasi proses mental; (3) Proses berpikir berkembang secara bertahap dan memerlukan strategi yang sistematik. Demikian pula kemandirian belajar. Kemandirian belajar mem­ butuhkan lingkungan yang memberi kesempatan mengembangkan aspek­aspek kemandirian, seperti kebebasan yang bertanggung jawab, rasa identitas, dan kesehatan psikososial (Lipps & Skoe, 1998; Baumrind, 1971). Menurut Steinberg (1993:293), “emotional autonomy develops under conditions that encourage both individuation and emotional close­ ness”. Collins (1990:101) menegaskan, “adolescents can become emotion­ ally autonomous form their parents without becoming detached form them”. Memperhatikan beberapa pendapat tersebut di atas, maka ke­ cakapan berpikir dan kemandirian dalam belajar dapat dilatih dan ditingkatkan secara bertahap melalui strategi yang sistematik. Layanan bimbingan akademik dapat diprogram secara sistematik untuk membantu meningkatkan kecakapan berpikir dan kemandirian maha­ siswa dalam belajar. Menurut Sidjabat (2008) perguruan tinggi seyogyanya dapat menyelenggarakan proses pembelajaran dan menyediakan layanan bimbingan akademik kepada mahasiswa sesuai dengan perkembangan usia mereka, khususnya dalam mengupayakan peningkatan kecakapan berpikirnya. Dengan meningkatnya kecakapan



Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si.



7



berpikir, dimungkinkan meningkat kemandirian belajar mereka. Kondisi tersebut di atas memberi dampak fungsional kepada perguruan tinggi untuk membantu mahasiswa yang memiliki masalah dalam belajarnya. Perguruan tinggi dalam melaksanakan misi Tri­ dharma, khususnya dalam bidang pendidikan dan pengajaran, penting memberi bekal keterampilan belajar kepada mahasiswa. Tugas pergu­ ruan tinggi selain menyelenggarakan pembelajaran, dituntut dapat menyediakan layanan bimbingan akademik untuk membantu maha­ siswa mengembangkan sikap dan kebiasaan belajar yang baik. Dalam rangka mengembangkan sikap dan kebiasaan belajar yang baik itulah, penyediaan layanan bimbingan akademik merupakan bagian integral dari keseluruhan program pendidikan (Jones, et al., 1977:71; Mortensen & Schmuller, 1964:3). Dalam perspektif inilah penting mengembangkan model layanan bimbingan akademik yang lebih fungsional yang sesuai dengan kebutuhan mahasiswa, harapan dosen, dan pimpinan. Hal ini tidak berarti akan merombak sistem bimbingan akademik secara revolu­ sioner dan gradual, melainkan untuk menambah bobot dan kualitas bimbingan dalam meningkatkan kecakapan berpikir dan kemandirian belajar mahasiswa. Atas dasar alasan­alasan tersebut, maka disusunlah model bimbingan untuk meningkatkan kecakapan berpikir dan kemandirian belajar mahasiswa.



B.



Tujuan Bimbingan Tujuan bimbingan adalah membantu mahasiswa dalam hal:



1.



Mengembangkan pemahaman akan pentingnya kecakapan ber­ pikir dan kemandirian belajar dalam suasana belajar dengan SKS.



2.



Mengembangkan kecakapan berpikir kritis dan berpikir kreatif sebagai alat berpikir dalam menghadapi masalah belajar.



3.



Mengembangkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan untuk mandiri dalam belajar sehingga mengurangi ketergantungan kepada orang lain dalam belajar.



8



BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF



C.



Prinsip Bimbingan Dalam proses bimbingan, ada beberapa prinsip yang perlu



diperhatikan: 1.



Hubungan dosen dan mahasiswa dalam bimbingan harus merupakan hubungan yang egaliter dan setara. Dalam arti, hu­ bungan dosen sebagai fasilitator dan mahasiswa yang difasilitasi sebagai hubungan subjek­subjek, bukan hubungan subjek – objek yang hirarkhis, bukan hubungan atasan ­ bawahan, dan bukan hubungan guru – murid. Dengan demikian, fasilitator tidak mendominasi kegiatan, bahkan sebaliknya mahasiswa diusahakan agar aktif terlibat dalam kegiatan, bukan sebagai pendengar, penerima informasi, atau pelaksana instruksi, atau peraga simulasi saja.



2.



Proses bimbingan menggunakan pendekatan andragogi. Dalam arti, mahasiswa bimbingan dipandang dan diposisikan sebagai manusia dewasa yang telah memiliki pengalaman dan pengeta­ huan dari lingkungan sebelumnya. Dengan pandangan ini, fasili­ tator tidak boleh menganggap mahasiswa bimbingan seperti botol kosong yang siap menerima apapun yang dituangkan oleh fasilita­ tor kepadanya. Sebagai botol yang telah terisi, maka tugas fasili­ tator hendaknya dapat menggali, mengembangkan, dan me­ ningkatkan potensi yang telah dimiliki mahasiswa untuk berkem­ bang secara optimal. Dalam perspektif bimbingan dan konseling, bimbingan seperti ini menggunakan pendekatan client centered dari Rogers. Tugas fasilitator adalah memfasilitasi jalannya proses bimbingan, sementara tugas mahasiswa aktif terlibat dalam kegiatan bimbingan.



3.



Proses bimbingan menggunakan metode yang bervariasi seperti diskusi kelompok, tukar gagasan, tukar pengalaman, presentasi, kuesioner, game, membaca, menuliskan gagasan, simulasi, renungan, abstraksi, dan lain­lain, dengan prinsip berusaha meminimalisir menggunakan metode ceramah.



4.



Bimbingan kelas dilaksanakan pada proses bimbingan inti untuk Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si.



9



memberi materi keterampilan berpikir kritis, berpikir kreatif, dan kemandirian belajar. Pelaksanaan bimbingan inti dapat dilakukan secara bekerja sama antara 2­3 orang dosen Pembimbing Aka­ demik (PA) yang membimbing mahasiswa di kelas tersebut bertindak sebagai tim fasilitator. Fasilitator bekerja dalam sebuah tim yang saling mendukung guna membantu memperlancar jalannya kegiatan bimbingan inti. Tata cara kerja dapat dibicara­ kan dengan kesepakatan dalam tim. Fasilitator harus bergiliran berbicara dan tidak saling mendominasi kelas. Misalnya jika seorang fasilitator sedang berbicara, fasilitator lain dapat meng­ amati jalannya kegiatan, dapat membantu memperlancar maha­ siswa dalam menyelesaikan tugas­tugas, dapat menambahkan keterangan yang diperlukan, dapat melakukan pencatatan untuk keperluan bimbingan, dapat membantu menyediakan fasilitas yang diperlukan, seperti kertas, lakban, spidol, kartu­kartu, dan lain­lain. 5.



Setiap materi bimbingan inti terdiri atas: pemahaman terhadap konseptual materi bimbingan, latihan­latihan, refleksi diri, dan klarifikasi/penguatan dari fasilitator.



6.



Bimbingan kelompok dilaksanakan oleh dosen PA bersama kelompok mahasiswa bimbingannya untuk melaksanakan latihan­ latihan dan beberapa assignment.



7.



Bimbingan individual dilaksanakan oleh dosen PA terhadap individu yang memerlukan bimbingan khusus.



D.



Asumsi Keberhasilan Bimbingan



1.



Model bimbingan akademik ini dapat diimplementasikan dengan asumsi jika didukung oleh kebijakan (political will) pimpinan untuk menyediakan layanan bimbingan akademik yang lebih berkualitas dan sesuai dengan kebutuhan mahasiswa.



2.



Bimbingan akademik akan efektif dengan asumsi jika pimpinan institusi dapat menyiapkan sarana dan prasarana yang dibutuh­ kan untuk penyelenggaraan bimbingan, seperti: penyediaan



10



BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF



modul bimbingan untuk setiap mahasiswa, panduan operasional untuk setiap dosen PA, alat tulis, alat­alat latihan, termasuk insentif yang layak untuk para dosen PA. 3.



Bimbingan akademik akan efektif dengan asumsi jika didukung oleh dosen PA yang profesional dan terlatih. Oleh karena itu, pimpinan institusi dituntut untuk menyelenggarakan pelatihan kepembimbingan akademik bagi para dosen PA dari ahli bim­ bingan konseling yang profesional.



4.



Bimbingan akademik akan efektif dengan asumsi jika ditunjang oleh kesungguhan dan kepedulian para dosen, khususnya dosen PA, untuk meningkatkan kinerja bimbingannya dalam rangka meningkatkan mutu akademik mahasiswa bimbingannya.



5.



Bimbingan akademik akan efektif dengan asumsi jika ditunjang oleh kebutuhan dosen untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan, baik mencakup materi maupun strategi bimbingan yang semakin kreatif dan berkualitas, melalui referensi yang dipelajari atau pertemuan­pertemuan ilmiah yang diikuti tentang bimbingan dan konseling, khususnya bimbingan konseling di perguruan tinggi.



6.



Bimbingan akademik akan efektif dengan asumsi jika ditunjang oleh tenaga administrasi untuk membantu kelancaran pengadmi­ nistrasian yang dilakukan oleh dosen PA.



7.



Bimbingan akademik akan efektif dengan asumsi jika ada moni­ toring dan evaluasi dari pimpinan isntitusi secara periodik, dan memberi apresiasi kepada dosen PA teladan yang sudah melak­ sanakan tugas pokok dan fungsinya secara baik berdasarkan suatu norma evaluasi yang terukur dan akuntabel.



8.



Bimbingan akademik akan efektif dengan asumsi jika disediakan kesempatan kepada dosen PA untuk terus menerus mengembang­ kan kompetensinya melalui pelatihan yang diselenggarakan oleh institusi langsung, atau institusi lain, penelitian­penelitian, dan studi banding kepada perguruan tinggi lain yang terindikasi penyelenggaraan layanan bimbingan akademiknya sudah baik.



Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si.



11



9.



Bimbingan akademik akan efektif dengan asumsi jika ditunjang oleh institusi dengan membentuk sebuah Unit Pelaksana Teknis Bimbingan dan Konseling (UPT BK) yang dipimpin oleh dosen bimbingan dan konseling yang profesional. Tugas UPT BK antara lain: (a) mengkoordinir tugas layanan bimbingan yang dilaksana­ kan oleh dosen PA, (b) membantu kelancaran layanan bimbingan yang dilaksanakan oleh dosen PA, (c) membantu pimpinan dalam melakukan monitoring dan evaluasi layanan bimbingan akademik yang dilaksanakan oleh dosen PA, (d) memfasilitasi pengem­ bangan kompetensi kepembimbingan bagi para dosen PA, (e) melakukan penelitian­penelitian, diskusi, sharing pengalaman dan pengetahuan antar dosen PA dalam bidang bimbingan konseling, (f) mengembangkan layanan bimbingan yang bersifat kuratif sebagai rujukan dari dosen PA.



E.



Sasaran Bimbingan



Sasaran bimbingan adalah mahasiswa strata satu (S1) yang sedang belajar di perguruan tinggi, baik untuk mahasiswa baru sebagai persiapan menghadapi pembelajaran, maupun mahasiswa lama untuk meningkatkan kecakapan berpikir dan kemandirian belajarnya.



F.



Pelaksana Bimbingan Bimbingan akademik dilaksanakan oleh dosen PA berdasarkan



Surat Keputusan (SK) Rektor atas usul Dekan. Dosen yang sudah di­ SK­kan oleh Rektor sebagai dosen PA untuk setiap angkatan maha­ siswa, wajib melaksanakan tugas. Tugas umum dosen PA adalah: (1) Memberi pelayanan bimbingan akademik kepada mahasiswa, baik secara klasikal, kelompok, maupun individual; (2) Membantu mahasiswa dalam mengembangkan sikap dan cara belajar yang baik. Tugas khusus dosen PA antara lain: (1) Memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk membicarakan masalah yang dialami, khususnya masalah studi; (2) Menginformasikan peraturan­peraturan 12



BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF



Pemerintah atau institusi, seperti program pendidikan yang tersedia, sistem penyelenggaraan pendidikan, sistem penilaian, cara belajar efektif; (3) Memberi bimbingan cara menyusun rencana belajar, seperti menyusun program studi, mengisi Kartu Rencana Studi (KRS), mengisi Kartu Perubahan Rencana Studi (KPRS), dan memberi pertimbangan kredit mata kuliah yang diambil; (4) Menandatangani KRS dan KPRS; (5) Memonitor kelancaran studi; (6) Mengevaluasi IP/IPK mahasiswa untuk melakukan tindakan pencegahan; (7) Memberi bantuan menye­ lesaikan masalah­masalah yang dihadapi mahasiswa; (8) Membantu mengembangkan sifat­sifat kepribadian agar kelak menjadi sarjana yang berakhlak luhur, mandiri, dan dewasa.



G.



Teknik Bimbingan Bimbingan akademik ini menggunakan tiga teknik sebagai



berikut: 1.



Bimbingan kelas. Bimbingan kelas diselenggarakan untuk mem­ beri wawasan dan pemahaman kepada mahasiswa akan penting­ nya keterampilan dan kemandirian belajar dalam suasana belajar dengan SKS, memberi wawasan berpikir kritis, berpikir kreatif, dan kemandirian dalam pengetahuan, keterampilan, dan sikapnya dalam belajar. Teknik bimbingan kelas dilaksanakan oleh dosen PA sebagai tim di kelas tersebut, sehingga kelancaran penyeleng­ garaan bimbingan kelas terletak tanggung jawabnya pada dosen PA sebagai tim yang membimbing mahasiswa di kelas tersebut, dengan asumsi setiap dosen PA membimbing mahasiswa tiap angkatan antara 10­15 orang.



2.



Bimbingan kelompok. Bimbingan kelompok diselenggarakan untuk menerapkan pengetahuan dan wawasan yang diperoleh dalam bimbingan klasikal, dalam bentuk mengerjakan latihan­ latihan berpikir kritis, berpikir kreatif, kemandirian dalam aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikapnya dalam belajar, serta menyelesaikan beberapa assignment. Teknik bimbingan kelompok dilakukan oleh dosen PA kepada kelompok mahasiswa bim­ Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si.



13



bingannya, dapat dilaksanakan di kelas atau di luar kelas. 3.



Bimbingan individual. Bimbingan individual diselenggarakan untuk menangani individu yang memerlukan bimbingan khusus berkaitan dengan lemahnya keterampilan dan kemandirian belajarnya, sehingga mereka terampil dan mandiri dalam belajar. Teknik bimbingan individual dilaksanakan oleh dosen PA dalam menangani masalah mahasiswa bimbingannya masing­masing.



H.



Waktu Bimbingan Untuk mengimplementasikan model bimbingan akademik ini



membutuhkan waktu idealnya selama satu semester yang dialokasikan kepada beberapa tahapan kegiatan secara terjadual yang dapat ditentu­ kan saat membuat kontrak bimbingan dengan mahasiswa agar tidak mengganggu perkuliahan. Namun jika dimungkinkan tidak mengganggu waktu perkuliahan, misalnya saat liburan semester atau sebelum memulai perkuliahan, dapat dipadatkan selama enam minggu. Bimbingan akademik selanjutnya sepanjang mahasiswa meng­ ikuti pendidikan dapat diberikan bimbingan rutin dan bimbingan sesuai kebutuhan mahasiswa, baik secara individual maupun kelom­ pok, baik di awal, sepanjang, dan di akhir semester.



I.



Strategi Bimbingan Sesuai dengan karakteristik sasaran bimbingan adalah maha­



siswa, di mana mereka sedang beranjak dewasa dan sedang memper­ juangkan desakan internalnya untuk mandiri, termasuk kemandirian dalam belajarnya, maka strategi bimbingan yang dikembangkan menggunakan strategi learner centered, atau self­directed learning, yaitu membimbing manusia dewasa dengan segala atribut kemandiriannya dalam segi pengetahuan, keterampilan, maupun sikapnya (Rogers, 2003). Sebagai manusia dewasa, mahasiswa dalam layanan bimbingan dipandang sebagai subjek aktif, sehingga proses layanan tergantung kepada keaktifan mahasiswa, dan tugas pembimbing hanya mem­ fasilitasi kegiatan dan menggali seoptimal mungkin potensi, kemam­ 14



BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF



puan, dan keterlibatan seluruh mahasiswa dalam kegiatan tersebut, dari mulai kegiatan pra bimbingan, assignment, memahami modul, melaksanakan tugas­tugas modul, merefleksikan, mengevaluasi, sampai mengisi kuesioner di akhir program untuk mengetahui perfor­ mance yang dicapai mahasiswa.



J.



Materi Bimbingan



1.



Kecakapan berpikir kritis, mencakup kecakapan: membedakan dua perkara/lebih berdasarkan karakteristiknya, menentukan pilihan terbaik dari dua/lebih alternatif pilihan, menyusun urutan, meneliti bagian kecil dan keseluruhan, menjelaskan sebab akibat, membuat kategori, hipotesis, pengandaian, kesimpulan, dan generalisasi.



2.



Kecakapan berpikir kreatif, mencakup kecakapan: mengakses, menyeleksi, mengorganisasi informasi, memanfaatkan sumber informasi, memunculkan gagasan orisinal, membuat beberapa alternatif pemikiran, membuat keputusan, bereksplorasi, meng­ evaluasi pemikiran sendiri, dan terbuka terhadap kritik dan saran.



3.



Kemandirian belajar, mencakup: pemahaman pentingnya keman­ dirian dalam belajar, pemahaman disiplin akademik, pengetahuan kecakapan dasar yang dibutuhkan dalam belajar, pemahaman kapan saatnya perlu mandiri dan kapan perlu bantuan orang lain dalam belajar, pemahaman makna belajar dan urgensinya bagi keberhasilan belajar, pemahaman kapasitas diri dalam belajar, penguasaan prosedur kecakapan belajar, kecakapan bergaul dengan orang lain, kemampuan memecahkan masalah belajar dan masalah kehidupan, berprinsip dan berkomitmen untuk mandiri dalam belajar, serta percaya pada kemampuan sendiri dalam belajar.



K.



Prosedur Bimbingan Secara ringkas prosedur bimbingan meliputi beberapa tahapan



sebagai berikut:



Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si.



15



Prosedur bimbingan harus dimulai dari tahapan dan materi awal sampai akhir sebagaimana tercantum pada tabel di atas. Harus dipasti­ kan setiap tahapan dan materi dapat diselesaikan oleh mahasiswa dengan tuntas, sebelum masuk pada tahapan dan materi berikutnya. Berhubung pola kerja fasilitator sebagai tim, maka keberhasilan dalam memfasilitasi mahasiswa terletak pada kerja tim secara solid. Ketika seorang fasilitator berbicara, fasilitator lain bisa menyimak, memantau, melengkapi penjelasan jika diperlukan, membantu mahasiswa dalam pelaksanaan tugas­tugas, membantu membuat kelompok mahasiswa dalam tugas­tugas, memantau diskusi, bergantian berbicara, dan membuat catatan selama kegiatan berlangsung untuk bahan evaluasi. Fasilitator pada dasarnya harus mengikuti penuh kegiatan sebagai tim, kecuali dengan alasan logis fasilitator dapat absen maksimal hanya satu materi pada satu tahapan selama proses bimbingan berlangsung. Absennya fasilitator pada satu materi tidak lebih dari satu orang pada satu kelas yang menjadi tanggung jawabnya, sehingga jika seorang fasilitator absen, dua fasilitator lainnya dapat mengambil alih tugas fasilitator yang absen. 16



BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF



Untuk memulai materi bimbingan, fasilitator memberi waktu kepada mahasiswa untuk membaca teks materi yang akan dipelajari, konseptual dan tujuan seperti yang sudah disusun dalam modul mahasiswa. Setelah membaca, mahasiswa diberi kesempatan untuk menyampaikan hasil pemahaman bacaannya. Setelah semua maha­ siswa memahami, mulai mengerjakan latihan­latihan sesuai dengan petunjuk yang telah ditulis dalam modul mahasiswa dan panduan operasional dosen. Di akhir latihan, mahasiswa diminta merefleksikan diri apa yang mereka rasakan, apa yang mereka dapat pelajari dari latihan yang telah dilakukan. Sebagai penguatan dan penyempurnaan hasil bimbingan, dosen dapat memberi penekanan kepada hal­hal yang diharapkan terjadi pada diri mahasiswa.



L.



Evaluasi Bimbingan Evaluasi yang dikembangkan terdiri atas evaluasi terhadap proses



dan hasil. Evaluasi terhadap proses dapat dilakukan melalui peng­ amatan selama proses melaksanakan program bimbingan akademik di lapangan. Indikator keberhasilan dalam proses adalah apabila fasilitator dapat menerapkan model bimbingan akademik di lapangan dengan lancar tanpa mengalami hambatan berarti dan mahasiswa aktif berpartisipasi dan mudah mengikuti kegiatan. Evaluasi terhadap hasil dengan membandingkan skor inventori sebelum dan sesudah mahasiswa program bimbingan akademik. Indikator keberhasilannya apabila skor inventori keterampilan belajar dan kemandirian belajar mahasiswa meningkat sesudah perlakuan model bimbingan akademik, dapat diinterpretasikan bimbingan akademik efektif untuk meningkatkan keterampilan dan kemandirian belajar.



Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si.



17



7 FEMINIST THERAPY



A.



Problematika Relasi Manusia dalam Kehidupan Perempuan sebagai makhluk individual, sosial, dan religius,



memiliki hak yang sama dengan laki­laki dalam mengembangkan keseluruhan aspek kepribadian sebagai upaya mengakualisasikan dirinya. Sebagai makhluk individual, perempuan memiliki hak untuk mengembangkan bakat, minat, keterampilan, cita­cita, hobi, dan aspek­ aspek lainnya yang berkaitan dengan diri pribadi secara optimal. Sebagai makhluk sosial, perempuan berhak mengembangkan relasi sosial secara produktif dalam berpartisipasi aktif merekonstruksi kehidupan bermasyarakat. Sebagai makhluk religius, perempuan berhak mengembangkan hubungan vertikal dengan Tuhannya secara ber­ makna. Semua hak dan tugas ini sama pada perempuan, sebagaimana pada kaum laki­laki. Secara hakiki, martabat perempuan dan laki­laki sama di hadapan Allah. Perempuan dilahirkan ke bumi ini membawa misi sebagai khalifah sebagaimana kaum laki­laki. Oleh karena itu, perempuan dan laki­laki harus bekerja sama saling melengkapi dalam mengelola bumi ini. Barang siapa yang dapat menunjukkan performansi yang opti­ mal dalam mengelola bumi ini dan menunjukkan keberhasilannya yang bermakna, maka orang itulah yang berhak memperoleh pengu­ atan (reinforcement). Dengan demikian, keberhasilan, akses kemudahan, dan hak­hak istimewa yang diperoleh seseorang harus dipandang dari karya yang ditunjukkannya, bukan dari latar belakang gendernya.



Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si.



367



Namun dalam kenyataan menunjukkan berbeda dari apa yang diharapkan. Perempuan banyak mengalami kerugian akibat konstruksi sosial yang mendeterminasi peran­peran yang berbeda untuk perem­ puan dan laki­laki secara rigid. Pada dasa warsa terakhir ini, banyak perhatian dipusatkan pada pengaruh streotip peran gender dan efeknya yang merugikan kaum perempuan, sebagaimana dikemukakan oleh Ohlsen (1983), Gibson & Mitchell (1995) bahwa banyak hambatan yang dihadapi kaum perem­ puan untuk merealisasikan potensinya secara optimal sebagai manusia. Hambatan­hambatan tersebut sangat kompleks dan multi dimen­ sional, di mana beberapa di antaranya berada di luar kendali perem­ puan, misalnya jenis kelamin, etnis, dan streotip sosial. Meskipun terdapat beberapa upaya positif dari Pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM) saat ini untuk meningkatkan potensi perempuan dengan menstimulasi kesetaraan gender, namun realitas perempuan masih banyak yang menghadapi kendala psikologis, sosiologis, politis, kultural, dan ekonomi, sehingga kaum perempuan tetap (makin) tersudutkan. Ketersudutan dan keterpurukan kaum perempuan telah menjadi fenomena di berbagai kultur hampir di seluruh belahan dunia. Adanya fenomena semacam itu diperlukan suatu upaya yang dapat membantu kaum perempuan bermasalah yang berkaitan dengan kesenjangan gender dan ketidak­puasan mereka terhadap apa yang diperolehnya selama ini dalam kehidupan sosial. Banyak masalah yang diakibatkan oleh kesenjangan relasi antara perempuan dan laki­laki dalam kehidupan sosial berpengaruh terhadap kesehatan psikologis seorang individu, dan yang paling banyak meng­ alami gangguan psikologis akibat dari relasi yang senjang adalah kaum perempuan, baik gangguan psikologis yang ringan maupun yang berat, seperti: depresi, kemarahan yang tidak jelas sasarannya (free floating anger), sangat agresif (borderline), sangat emosional (his­ trionik), suka membual (narsistik), sangat pemalu (avoidant), mudah tersinggung (paranoid), mengutuk dan mempersalahkan diri (turning 368



BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF



around upon the self), suka mengisolasi diri (skizotipal), tidak percaya diri (skizoid), ingin bunuh diri (suicide), ketakutan kepada hal­hal yang tidak rasional (phobia), cemas (anxiety), migren (psichophysiological dis­ order), mimpi buruk (hypocondria), psikosomatis, psikosis, psikopat, dan lain­lain. Terapi feminis merupakan sebuah model bantuan konseling untuk individu atau komunitas yang mengalami masalah dalam kehidupan kesehariannya yang disebabkan adanya bias­bias gender yang meng­ akibatkan terjadi kesenjangan sosial yang sangat menekan perasaan, kepribadian, harapan, dan cita­cita individu. Terapi feminis tidak identik dengan terapi untuk perempuan atau oleh terapis perempuan. Terapi feminis adalah terapi untuk individu, siapapun, perempuan maupun laki­laki, yang dilakukan oleh terapi perempuan atau laki­laki, untuk membantu masalah kesenjangan yang disebabkan oleh relasi gender yang bias, yang menyudutkan satu pihak dan sangat merugikan. Pihak yang tersudutkan biasanya adalah mereka yang dianggap atau merasa diri lebih lemah, lebih inferior, sementara pihak yang menyudutkan dipandang atau memandang dirinya lebih kuat, lebih hebat, lebih superior dari yang disudutkan. Dengan demikian, terapi feminis selain sebagai terapi, juga sebagai advokasi bagi individu atau sekelompok individu yang termarginal­ kan. Dalam perkembangannya, terapi feminis lebih populer dipandang sebagai terapi untuk perempuan, karena yang banyak mengalami marginalisasi adalah perempuan.



B.



Sejarah Terapi Feminis Terapi feminis adalah suatu upaya metodologis untuk mengubah



epistemologi terapi dalam memahami kompleksitas permasalahan kesenjangan relasi antara perempuan dan laki­laki. Terapi ini ter­ inspirasi karena terjadi akar bias gender dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat yang telah berlangsung cukup lama. Terapi feminis bertujuan agar individu mengenali perilaku dan Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si.



369



mengenali perilaku yang salah sesuai untuk pertimbangan bersama, memelihara kualitas adaptif dalam hubungan dan memusatkan pada aspek positif hubungan untuk mengetahui interaksi antara perempuan dan laki­laki dalam kehiduan di masyarakat Terapi feminis lahir dari dari gerakan feminis yang dimulai tahun 1960. Terapi ini mengundang banyak respon dan reaksi dari pelbagai pihak, karena banyak merugikan dan melemahkan perempuan akibat tidak terpecahkan oleh terapi tradisional yang mapan (Chesler, 1972; Sholevar, et al, 2003). Asumsi yang mendasari terapi feminis menurut L.Sunny Sundal­ Hansen (dalam Pedersen, 1985:217) menyebutkan: 1.



Terapis harus menyadari bahwa ada perbedaan dalam perkem­ bangan karir perempuan dan laki­laki. (There are differences in the career development of women and men of which counselors need to be aware)



2.



Isu peran seks perempuan dan laki­laki dipergunakan untuk mengurangi efek negatif stereotip (The sex­role issues affect both women and men and that both sexes need to work on reducing the negative effects of stereotyping);



3.



Stereotip peran seks mempengaruhi semua aspek kehidupan, mencakup: pekerjaan, keluarga, pendidikan, dan kesenangan... Lima kebutuhan psikologis yang selalu berkaitan dengan laki­ laki adalah kekuasaan, otonomi, agresi, pamer, dan prestasi, sedangkan empat kebutuhan psikologis yang sering berkaitan dengan perempuan adalah The sex­role stereotyping pervades society and affects all aspects of the culture, including work, family, education, and leisure... The five psychological needs always more highly associated with men than women were dominance, autonomy, aggression, exhibition, and achievement. The four needs more frequently associated with women were abasement, deference, succorance, and nurturance);



4.



Gender adalah faktor utama yang menentukan peran dan pilihan hidup (The gender is a major factor in determining life roles and options);



5. 370



Studi tentang perkembangan manusia sepanjang rentang kehi­



BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF



dupan yang diperoleh digunakan untuk melihat perbedaan pengalaman, persepsi antara perempuan dan laki­laki dalam beberapa tahapan perkembangan yang berbeda (The study of hu­ man development over the life span requires us to look at the differential experiences and perceptions of women and men at different life stages); 6.



Beberapa variabel sikap, interes, dan nilai yang terkandung digunakan untuk menghadapi isu­isu peran gender dalam terapi (The several variables besides aptitudes, interests, and values have to be taken into account while attending to sex­role issues in counseling). Terapi feminis merupakan perwujudan dari masyarakat bawah



(grass­roots phenomenon). Praktek ini berkembang luas berdasarkan kesadaran feminis terhadap kondisi sosial yang bias gender, yang hanya menguntungkan kaum laki­laki. Menurut Rawling & Carter (dalam Pedersen, 1985), terapis feminis tidak sekedar memiliki kemam­ puan umum berdasarkan prinsip­prinsip dasar psikoterapis, tetapi harus juga memiliki kepekaan gender (gender sensitiveness) dalam hubungan terapeutik. Survey yang pernah dilakukan oleh APA (American Psychological Assocition) membenarkan adanya bias gender dalam proses psikoterapi (Brown, 1983) yaitu: 1.



Terapis memelihara paradigma tradisional terhadap peran domestik perempuan.



2.



Klien perempuan tidak mendapat penghargaan secara moral oleh terapis, dan terapis membatasi harapan klien perempuan untuk menggali potensi­potensi mereka.



3.



Terapis cenderung memegang teguh konsep psikoanalisis Freud­ ian yang berkaitan dengan peran seks yang disosialisasikan dalam keluarga.



4.



Terapis memposisikan klien perempuan sebagai objek seksual, sehingga dalam batas­batas tertentu masih mengindikasikan melecehkan peran perempuan. Terapi feminis bukan merupakan suatu teknik khusus dalam



Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si.



371



psikoterapi, tetapi lebih sebagai dasar filosofis dan paradigma dalam praktek psikoterapi. Oleh karena itu, pendefinisian terapi feminis dipandang kurang popolis, formal dan universal. Terapi feminis adalah suatu pendekatan filosofis untuk melakukan terapi, konseling, dan konsultasi yang dapat memasukkan berbagai teknik dan metode di bawah prinsip­prinsip dasarnya. Terapi feminis merupakan model pemecahan masalah kesenjangan relasi antara perempuan dan laki­laki dalam kehidupan di masyarakat berkaitan dengan peran gender (feminity dan masculinity) yang dilekat­ kan untuk perempuan dan laki­laki. Perempuan yang dahulu hanya menerima saja identitas gender yang dilekatkan kepada dirinya melalui pola sosialisasi orang tua,antar generasi, secara turun temurun. Akan tetapi sekarang setelah perempuan memperoleh pendidikan setaraf atau lebih dari laki­laki, perempuan mulai mempertanyakan hak­hak yang diperolehnya yang mengalami kesenjangan dan ketidakadilan. Perempuan sekarang, teru­ tama yang terdidik, mulai dapat menempatkan dirinya sejajar dengan kaum laki­laki. Kalau dahulu perempuan “membiarkan demi harmoni”, saat ini perempuan telah bangkit dan mulai beradaptasi dalam kehi­ dupan yang terus diperjuangkan melalui suatu semangat “kesetaraan gender”, meski tanpa menanggalkan kodrat biologis sebagai perem­ puan. Sifat­sifat yang dilekatkan oleh kultrur kepada kaum perempuan dan laki­laki dikritik dalam terapi feminis dan kemudian menjadi paradigma yang membedakan dengan terapi lainnnya. Untuk mema­ hami lebih dalam tentang sifat­sifat feminity yang selalu dilekatkan kepada perempuan dan sifat­sifat masculinity kepada laki­laki, akan dipaparkan lebih lanjut.



C.



Feminity dan Masculinity Identitas seks sebagai perempuan atau laki­laki segera dapat



dikenali begitu seorang bayi lahir ke dunia berdasarkan jenis kelamin yang dimilikinya. Jika bayi memiliki penis diidentifikasi sebagai bayi 372



BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF



laki­laki, dan jika bayi memiliki vagina diidentifikasi sebagai bayi perempuan. Dari kedua jenis kelamin ini ada yang kreatif membedakan dengan sebutan si “peny” untuk laki­laki karena memiliki penis, dan si “pegy” untuk perempuan karena memiliki vagina. Ilmu biologi telah menjelaskan bahwa setiap sel tubuh menusia memiliki 46 kromosom dari orangtuanya, yaitu 23 kromosom dari sperma bapak, dan 23 kromosom dari sel telur ibu. Sejumlah 22 kromosom dari sperma dan 22 kromosom dari sel telur bersifat sama, akan tetapi yang satu pasang kromosom dari sperma bersimbol XY dan satu pasang kromosom dari sel telur bersimbol XX sebagai kromosom penentu jenis kelamin. Kromosom X dari sperma yang menyatu dengan kromosom X sel telur, akan melahirkan bayi perem­ puan, sedangkan kromosom Y dari sperma yang bertemu dengan kromosom X dari sel telur akan melahirkan bayi laki­laki. Begitu sel sperma dan sel telur bersatu, janin yang akan terbentuk tidak akan berubah jenis kelaminnya. Dengan demikian, anak perempuan mem­ punyai satu kromosom X dari bapak dan satu kromosom X dari ibu, dan anak laki­laki mempunyai satu kromosom Y dari bapak, dan satu kromosom X dari ibu. Jadi semua manusia mempunyai separuh dirinya dari bapak dan separuh dari ibu (Harlock, 1982). Tiap kromosom terdiri dari sejumlah unit keturunan individu yang disebut dengan “gen”, yaitu segmen yang terdiri dari deoxyribonucleic acid (DNA) sebagai pembawa informasi genetik. Jumlah gen dalam setiap kromosom berkisar antara seribu atau lebih, karena sede­ mikian banyak, maka kecil kemungkinan manusia mempunyai kepri­ badian yang sama, meskipun mereka satu keturunan, kecuali yang kembar identik. Kembar identik adalah berasal dari satu sel telur ibu yang dibuahi oleh satu sel sperma bapak sehingga mempunyai gen yang tepat sama (Atkinson, dkk, 1983). Gen manusia selalu berbentuk pasangan. Tiap gen berpasangan itu mempunyai asal yang berbeda, satu dari kromosom sel sperma dan satunya lagi dari kromosom sel telur. Setiap anak hanya menerima setengah dari gen masing­masing kedua orangtuanya. Atas dasar pola



Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si.



373



genetik ini, Jung menyimpulkan bahwa dalam diri manusia memiliki potensi feminin dan maskulin (Feminity and Masculinity in Human Being). Setiap bayi yang terlahir telah memiliki potensi aspek keperempuan dan kelaki­lakian, yang dapat dikembangkan dan diperkuat oleh ling­ kungan kulturalnya. Maka dari itu, identitas gender diperoleh anak dari kultur tidak lama setelah dilahirkan sebagai peran yang dilekat­ kan/ditugaskan (gender assignment) kepada perempuan dan laki­laki. Peran yang dilekatkan ini tergantung kepada nilai kultur yang ber­ kembang. Anak­anak sejak kecil sudah belajar kepantasan perilaku gender dari orangtua, televisi, gambar­gambar, buku­buku, di sekolah, surat kabar, kartu ucapan selamat, mas media, iklan, dan lingkungan masya­ rakat di mana ia tinggal (Decckard dikutip oleh Brown & Levinson dalam Corsini, 1981). Proses belajar peran gender ini disebut dengan Gender-role learning. Melalui proses belajar dalam kultur, anak akan menyadari bahwa jenis kelamin merupakan suatu bagian permanen dari individu dan identitasnya. Untuk anak perempuan, tahap identifikasi seksual secara kognitif dimulai dari identitas gender (saya anak perempuan), kemudian diikuti oleh sex typing (saya feminin), dan diakhiri dengan identifikasi terhadap orangtua (saya seperti ibu). Anak kemudian akan mengasosiasikan perilakunya terhadap stereotip kultur, sehingga peran jenis kelamin yang dipilih menjadi menarik baginya karena mengan­ dung penilaian positif. Karena body image dan stereotip kultur bagi perempuan dan laki­laki berbeda, maka penghayatan femaleness dan maleness akan dipengaruhi oleh pengalaman individu selama berinter­ aksi sosial. Bila anak ini perempuan, maka ia akan mengidentifikasi diri dengan ibunya sebagai sumber awal dari pengalaman interaksio­ nalnya (Hyde, 1991; Williams, 1977). Menurut Chesler (dalam Corsini, 1981), perbedaan identitas gen­ der perempuan dan laki­laki semakin tampak pada masa dewasa. Perempuan dalam mencapai kedewasaan tidak sebanyak pada laki­ laki (seperti yang didefinisikan oleh standar laki­laki). Perempuan 374



BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF



umumnya bekerja pada pekerjaan yang berstatus rendah dengan upah kecil, mempunyai depresi yang rata­rata tinggi, cenderung mengalami phobia, lebih mungkin untuk mencoba bunuh diri dan mengalami schizophrenia, serta minimal tiga kali mendapat valium seperti laki­laki. Menurut teori feminis, perbedaan perempuan dan laki­laki dewasa sebagian besar diakibatkan oleh penekanan perbedaan peran sebagai­ mana dibentuk oleh kultur. Dalam kultur yang patriarkhi, laki­laki diharapkan tidak boleh bersikap emosional, tetapi harus bergantung pada kemampuannya sendiri. Laki­laki harus kuat dan tidak boleh meminta bantuan, karena tindakan meminta bantuan merupakan tin­ dakan yang memalukan dan dianggap tidak memiliki harga diri. Sebaliknya, perempuan dibolehkan untuk bersandar secara emosional pada laki­laki, apakah bapaknya atau suaminya. Dalam beberapa kultur, menangis diizinkan bagi seorang perempuan, tetapi akan dicibirkan jika dilakukan oleh seorang laki­ laki. Maka, cengeng dan mudah menangis bukanlah sifat pembawaan lahir, melainkan sifat yang dilekatkan oleh kultur kepada perempuan. Kepribadian perempuan biasanya dihubungkan dengan sifat pendiam, patuh, kebodohan, dan status minoritas (Rawling & Carter dikutip oleh Brown & Levinson dalam Corsini, 1981). Anggapan bahwa laki­ laki lebih kuat, lebih cerdas, lebih stabil emosinya, sementara perem­ puan lemah, kurang cerdas, dan labil emosinya, hanyalah persepsi stereotip yang dikonatruksi dalam kultur masyarakat. Perbedaan anatomi tubuh dan genetika antara perempuan dan laki­laki sering didramatisir dan dipolitisir terlalu jauh, sehingga seolah­ olah secara substansial perempuan lebih rendah dari laki­laki. Anggapan seperti ini diperkuat oleh berbagai mitos dan sering mengklaim sebagai pernyataan dari kitab suci tanpa kesempatan menginterpretasikan secara kritis akan keabsahannya. Persepsi seperti ini kemudian meng­ endap dalam alam bawah sadar perempuan, sehingga mereka “rela” menerima perbedaan peran gender meski terasa kurang adil sekalipun. Padahal peran gender bukan merupakan kodrat atau fakta biologis (devine creation), melainkan karena bentukan kultur (cultural construction).



Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si.



375



Selama ini masih banyak orang beranggapan bahwa kepribadian perempuan dan laki­laki sangat berbeda dan tidak ada kesamaan yang dapat menjembatani keduanya. Anggapan ini menimbulkan banyak orang mengalami penderitaan psikis karena mereka terikat untuk berperan sebagai perempuan saja atau laki­laki saja, seperti yang telah digariskan oleh masyarakat. Mereka seolah membawa suratan takdir sejak lahir untuk berperilaku dan berperan sesuai dengan yang telah digariskan masyarakat terhadapnya. Mereka tidak boleh keluar dari batas itu. Begitu mereka bertindak sebaliknya dari yang diharapkan masyarakat, mereka dianggap mempunyai kelainan. Sedangkan kalau mereka tetap dalam jalur yang diharapkan masyarakat, kendati merasa sakit, mereka tetap dianggap sehat (Constantinople,1973). Mereka sebenarnya menjadi neurosis bukan karena ketidakmampuannya mengalahkan diri sendiri, tetapi sebagai akibat pembatasan masyarakat mendefinisikan kehidupan mereka (Miller, 1976). Mengenai stereotip sifat­sifat feminity dan masculinity yang dikonstruksi secara kultur oleh mayoritas masyarakat diidentifikasi oleh Unger (1979:30): SIFAT LAKI-LAKI (MASCULINITY) 5 Sangat agresif 5 Independen 5 Tidak emosional 5 Dapat sembunyikan emosi 5 Lebih objektif 5 Tak mudah terpengaruh 5 Tidak submissif 5 Lebih suka pengetahuan eksakta 5 Tidak mudah goyah pada krisis 5 Aktif 5 Kompetitif 5 Logis 5 Berorientasi ke luar 5 Trampil berbisnis 5 Terus terang 5 Memahami seluk beluk dunia 5 Tidak mudah tersinggung



376



SIFAT PEREMPUAN (FEMINITY) 5 Kurang agresif 5 Kurang independen 5 Emosional 5 Sulit sembunyikan emosi 5 Subjektif 5 Mudah terpengaruh 5 Submissif 5 Kurang suka penget.eksakta 5 Mudah goyah hadapi krisis 5 Pasif 5 Kurang kompetitif 5 Kurang logis 5 Berorientasi ke dalam (domestik) 5 Kurang trampil berbisnis 5 Tertutup 5 Kurang faham seluk beluk dunia 5 Mudah tersinggung



BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF



SIFAT LAKI-LAKI (MASCULINITY) 5 Suka petualangan 5 Mudah atasi masalah 5 Jarang menangis 5 Tampil sebagai pemimpin 5 Percaya diri 5 Mendukung sikap agresif 5 Ambisi 5 Bisa membedakan rasa & rasio 5 Merdeka 5 Tak canggung dlm penampilan 5 Pemikiran lebih unggul 5 Bebas bicara



SIFAT PEREMPUAN (FEMINITY) 5 Kurang suka petualangan 5 Sulit atasi masalah 5 Sering menangis 5 Tak lazim sebagai pemimpin 5 Kurang percaya diri 5 Tidak suka sikap agresif 5 Tidak ambisi 5 Sulit bedakan rasa dan rasio 5 Kurang merdeka 5 Canggung 5 Pemikiran kurang unggul 5 Tidak bebas bicara



Maka banyak ahli psikologi saat ini, yang berusaha untuk memperbaharui konsep berfikir masyarakat tentang peran perempuan dan laki­laki yang sangat stereotip itu. Carl Jung adalah seorang ahli psikologi yang mencoba menjelaskan bahwa pada dasarnya manusia memiliki dua aspek sekaligus dalam dirinya, yaitu aspek feminin dan maskulin, di mana kedua aspek tersebut dalam psikologi dikenal dengan istilah “androgenitas”, yang berasal dari bahasa Yunani andro adalah laki­laki, dan gyne adalah perempuan, yaitu integrasi sifat maskulin dan feminin yang saling melengkapi (complementer), bukannya saling bertentangan. Jung mengistilahkan aspek feminin dan maskulin ini dengan Anima dan Animus. Jadi secara genetik setiap manusia ber­ unsur androgenitas, hanya berbeda kadarnya. Tinggi rendahnya kadar feminin dan maskulin itu mempengaruhi cara seseorang bertingkah laku (Spence &Heimrich, 1978). Seorang perempuan biasanya memiliki sifat maskulin yang rendah, dan laki­laki mempunyai sifat feminin yang rendah. Orang yang androgen dianggap memiliki keseimbangan yang tinggi dari kedua ciri feminin dan maskulin itu. Dengan demikian, seharusnya tidak ada dikhotomi yang perlu dipertentangkan antara sifat keperempuanan dan kelaki­lakian pada kedua jenis itu, sebab setiap manusia memiliki kedua aspek tersebut. Dalam hal ini, androgenitas tidak semestinya diartikan sebagai aspek jasmaniah, akan tetapi merupakan kesadaran individu di mana sifat



Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si.



377



maskulin dan feminin saling bertemu dalam koeksistensi harmonis (Meiyer, 1979).



D.



Paradigma Terapi Feminis



Terapi feminis sebagai jawaban atas perwujudan psikoterapi tradisional yang umumnya menggunakan model laki­laki. Dalam psikoterapi tradisional, banyak terjadi penyimpangan dengan cara merendahkan dan mendevaluasikan perempuan. Terapis feminis menyadari pembatasan yang dikenakan oleh kultur tentang kekakuan peran untuk perempuan dan laki­laki (sex-role regidity) dan mendukung suatu pandangan kesehatan mental untuk perempuan dan laki­laki. Mereka dengan penuh kesadaran memahami berbagai kesulitan individu yang mencerminkan perbedaan sex-role yang kaku dan penyim­ pangan eksternal. Terapis feminis membantu individu menyortir faktor eksternal yang menghambat potensi internal. Mereka mendorong individu untuk mengubah tanggung jawab pribadi. Peran terapis diper­ luas bukan sekedar memberi terapi, melainkan juga memberi advokasi sebagai sehingga dukungan ditawarkan kepada individu untuk mela­ kukan tindakan politis yang mengarah pada perubahan masyarakat atau kelembagaan. Seluruh proses terapi dikonstruksi oleh prinsip feminis. Klien dipandang sebagai seorang konsumen mencari­cari suatu layanan. Kontrak sering dikembangkan antara klien dan terapis. Terapi maupun klien dalam terapi feminis memiliki posisi yang sama penting dan wewenang bersama dalam hubungan yang setara. Terapis diasumsikan mempunyai keterampilan tertentu dalam memberi bantuan konseling, sementara klien diasumsikan sebagai ahli yang mengetahui mengenai dirinya sendiri. Isu yang biasanya dibahas dalam terapi feminis adalah kemarahan, self-nurturance, kekuasaan, dan otonomi, masalah seksual, depresi, dan kekerasan.Terdapat beberapa paradigma yang harus menjadi landasan terapi feminis, yaitu: Pertama, terapi feminis bukan bersifat pribadi. Selama ini ada 378



BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF



anggapan bahwa masalah perempuan dipandang sebagai masalah pribadi perempuan itu sendiri, sehingga tidak perlu meminta bantuan fihak luar karena akan mengakibatkan citra perempuan tersebut “negatif” di mata masyarakat. bantuan konseling atau terapi untuk perempuan merupakan sesuatu yang mengada­ada, karena menurut kultur perempuan seharusnya mengetahui eksistensi dirinya yang unik dan berbeda dengan kaum laki­laki. Oleh karena itu, masalah yang menimpa perempuan harus dipandang sebagai masalah sosial yang harus dipecahkan agar relasi antara perempuan dan laki­laki dalam kehidupan sosial menjadi fungsional kembali. Lagi pula, semua perilaku dan pengalaman manusia, perempuan maupun laki­laki, harus dipandang dalam kaitan dengan kondisi sosiopolitis yang lebih luas di mana mereka berada. Pengalaman manusia tidaklah terisolasi dan berlawanan dengan kenyataan, tetapi bagian pola sosialisasi yang diperoleh di masyarakat, Dengan demikian, aplikasi terapi feminis dalam memahami masalah dan memecahkan masalah yang dihadapi oleh perempuan harus dipan­ dang dari sudut sosio­politis di mana perempuan tersebut tinggal, bukan masalah pribadi yang terpisah dari kondisi sosiopolitis. Kedua, terapi feminis menggunakan paradigma bahwa peran seks perempuan dan laki­laki tidak ada batas yang kaku yang mengkotak­ kotakkan kepantasan peran untuk jenis kelamin tertentu. Dengan demikian dalam praktek terapi, terapis perlu memberi penghargaan yang setara kepada tanggung jawab, prestasi, dan karya yang dicapai perempuan dan laki­laki secara adil, tidak memandang berat sebelah. Terapis harus membiarkan klien yang perempuan mau­ pun laki­laki menentukan peran masing­masing berdasarkan bakat, kemampuan, dan produktivitas mereka, bukan dibatasi pada “kepan­ tasan” atau “kelumrahan” secara kultur untuk menentukan peran berdasar jenis kelamin. Ketiga, terapi feminis perlu menggunakan pengertian mendalam tentang politis feminisme untuk menciptakan strategi baru intervensi dan struktur baru layanan yang berbeda dengan norma­norma sex­



Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si.



379



ism budaya terapis. Terapi feminist menggambarkan norma­norma dan etika politis feminisme dalam teori dan tindakan. Seperti itu, thera­ pists feminis mempunyai komitmen mengembangkan suatu hubungan setara dengan klien. Therapist feminis menggambarkan tatacara di mana klien terstruktur oleh kultur, seperti halnya tatacara di mana dia atau ia telah mempelajari. Therapi feminis bukanlah suatu teknik tertentu. Melainkan, merupakan suatu prinsip operasional terapis dalam bertanya dan membuat aneka pilihan dalam bekerja dengan klien. Keempat, terapis harus sadar sistem nilai­nilai pribadinya, terutama nilai­nilai kesetaraan gender. Isu penting yang sering muncul dalam terapi feminis antara lain masalah finansial, waktu kerja, dan wewenang untuk membuat kepu­ tusan dalam keluarga. Ketidaksamaan yang paling merugikan adalah tugas pengasuhan anak yang semata untuk perempuan yang mengu­ rangi peluang perempuan untuk mengejar minat dalam karir, peker­ jaan, dan aktivitas lain. Terapis harus mendorong klien perempuan dan laki­laki agar memiliki konsekuensi untuk melengkapi peranannya dengan mengem­ bangkan sifat­sifat feminity dan masculinity (androgenitas) secara seimbang sebagaimana konsep Jung. Terapis harus mampu menepis anggapan klien bahwa peran yang dilakukan oleh perempuan maupun laki­laki berbeda sama sekali, dan tidak dapat dikompromikan satu sama lain, dalam kondisi yang tersulit sekalipun, karena kekakuan dalam peran akan menimbulkan tekanan psikologis, baik pada perempuan maupun laki­laki. Kekakuan peran juga dapat menimbulkan kesenjangan relasi antara perempuan dengan laki­laki. Banyak peran yang ditugaskan kepada perempuan yang membosankan, tidak ada hentinya, dinilai rendah terutama penghar­ gaan terhadap potensi ekonominya. Sindrom perempuan yang men­ derita depresi, respon yang tidak tepat dan perasaan hampa mungkin hasil dari peran yang ditancapkan dan terjerat dalam peran yang tiada penghargaan. Terapi feminis merupakan suatu alat efektif untuk mening­ katkan fleksibilitas peran, mengizinkan perempuan untuk mencari dan 380



BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF



mengejar yang lebih memberi penghargaan terhadap tugas dan karir, sejalan dengan bakat mereka dan peluang yang tersedia. Perempuan dan laki­laki umumnya disosialisasikan pada kualitas nilai hubungan antar pribadi yang berbeda yang menghasilkan ketegangan, konflik, dan potensi disfungsi. Perempuan disosialisasikan untuk menghargai tinggi pada hubungan dan perawatan orang lain, sosialisasi laki­laki menekankan prestasi dan kemerdekaan (Giligan, 1982). Perkembangan perempuan berdasarkan pada pentingnya peme­ liharaan kedekatan dan hubungan (Giligan, 1982; Jordan et al, 1991). Goldner yang dikutip Brown & Levinson dalam Corsini (1981) mencatat, perbedaan perkembangan berperan penting dalam pola interaksi keluarga. Giligan (1982) berpendapat, kesulitan perempuan memelihara kedekatan ketika menginginkan otonomi. Anak perem­ puan belajar mengendalikan kemarahan dan agresi yang membuat kesulitan untuk bertindak tegas. Chodorow (1978) berargumentasi, perempuan sejak awal masa kanak­kanak lebih banyak dilibatkan dalam hubungan antar pribadi untuk mempersiapkan mereka dalam kehidupan berkeluarga dan pengasuhan. Ini menyiratkan bahwa perempuan diharapkan dapat melayani orang lain dahulu. Menurut Giligan (1982:73) moral perempuan didasarkan pada kepedulian, sedangkan moral laki­laki didasarkan pada kebenaran individu. Laki­laki cenderung otonomi, dan perempuan cenderung terpojok dan dipersalahkan (blaming) untuk permasalahan anak­anak. Perempuan cenderung untuk memelihara hubungan, sedangkan laki­ laki dipandang sebagai standar keadilan dan kebenaran tertentu. Perbedaan ini dapat dilihat bagaimana perempuan tidak diajar untuk mempertentangkan kekuasaan dan ketidak setaraan dalam perlakuan di keluarga maupun di masyarakat, seperti ketidak setaraan dalam upah, posisi, dan kepemimpinan. Menurut Schwoeri, et al. (2003) secara umum terapi feminis sering menghadapi masalah menyangkut kehidupan rumah tangga, antara lain: (1) Kekuasaan dan keuangan; (2) Tanggung jawab pengasuhan;



Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si.



381



(3) Perawatan anak setelah perceraian; (4) Pemojokan Peran Keibuan; (5) Ketidak­berdayaan; (6) Peran gender secara kultural. Kekuasaan, keuangan dan penghasilan sebagai suatu sistem dalam rumah tangga yang saling berhubungan. Kapasitas pendapatan yang lemah mempunyai efek pada struktur kekuasaan dalam keluarga. Umumnya berlaku, laki­laki sebagai kontrol sumber daya keuangan yang kemudian disalah gunakan sebagai makna kuasa terhadap isteri dan anak­anak. Penghargaan suami terhadap keuangan isteri dapat memposisikan isteri sebagai seorang yang mandiri, tetapi sekaligus dipandang dapat merendahkan posisi suami. Ini menunjukkan bahwa secara kultur cenderung masih memberi penghargaan lebih pada kontribusi keuangan laki­laki dalam keluarga, sementara tidak atau kurang menghargai pada keuangan perempuan. Ketidak setaraan perhargaan ini diperkuat ketika isteri mempunyai tanggung jawab merawat anak sehingga mengurangi kesempatan memperoleh penghasilan, yang memberi peluang suami untuk bekerja dan mungkin memperoleh pendapatan yang lebih tinggi, dan ini dimanfaatkan sebagai kuasa suami terhadap isteri. Oleh karena itu, agar tidak terjadi ketimpangan, maka perawatan anak harus menjadi tanggung jawab bersama, bukan hanya kewajiban ibu. Tugas ibu merawat anak sendirian dapat sangat melelahkan. Tanggung jawab dapat dilakukan bersama dalam mengawasi anak pada berbagai aktivitas sosial mereka, seperti mengawasi PR, mengajar privat mereka dalam bidang tertentu, dan bangun malam hari meng­ urus bayi. Pada beberapa kultur, tanggung jawab bangun malam hari mungkin secara total ditugaskan kepada ibu tanpa keikutsertaan bapak, padahal pengaturan ini memperlemah hubungan emosional bapak dengan anak. Di beberapa kultur, pekerjaaan bapak dianggap selesai ketika tiba di rumah, sedangkan pekerjaan ibu tidak ada hentinya. Ibu mungkin menahan untuk memperoleh pendidikan atau pekerjaan lebih tinggi, sebab ia harus tinggal di rumah dan mengasuh anak. Pembatasan seperti ini sering tidak berlaku bagi bapak. Bapak mungkin mampu 382



BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF



mengambil berhari­hari tanpa kritik untuk kegiatan ke luar­masuk kota, sedangkan pilihan yang sama oleh ibu dapat dianggap sebagai tidak bertanggung jawab. Konseling pernikahan berwawasan gen­ der diarahkan untuk memunculkan tanggung jawab bersama dalam pengasuhan anak bagi suami isteri. Perawatan dan dukungan terhadap anak setelah perceraian sering menyulitkan keuangan perempuan. Mayoritas keluarga yang bercerai, ibulah yang harus bertanggung jawab merawat anak secara penuh. Ketiadaan perhatian para bapak terhadap keluarga yang diceraikan mencakup rencana pendidikan lanjutan untuk anak­anak, kesejah­ teraan masa depan anak, dan pertahanan sumber daya ekonomi, sering luput dalam penyelesaian perceraian, dan perempuan umumnya yang dipersalahkan dan menjadi ujung tombak perawatan anak, meski apapun keadaannya. Para ibu juga sering dipersalahkan untuk ber­ bagai kesulitan emosi anak, padahal menyalahkan satu pihak sangat tidak produktif bagi penyelesaian masalah anak. Peran gender perempuan adalah suatu konsep yang dibangun secara kultur yang mengacu pada sikap, perilaku, dan harapan. Walau­ pun cakupan peran harus mempertimbangkan lintas kultur, peran pengasuhan anak umumnya tetap ditugaskan kepada perempuan (Levine & Padilla, 1991 dalam Pedersen, 1985). Teori dan terapi pada peran gender yang kronis ini didasarkan pada suatu pandangan sempit mengenai perkembangan perempuan di mana awal pengalaman gen­ der mempengaruhi interaksi antara kedua jenis kelamin. Ini mengindi­ kasikan bahwa perempuan dan laki­laki memiliki peran berbeda yang ditugaskan oleh kultur melalui sosialisasi orangtua. L.Sunny Sundal­Hansen (Pedersen, 1985:215­216) menyebutkan beberapa isu gender dalam terapi feminis mencakup hal­hal sebagai berikut: 1.



Tingkat perubahan masyarakat (the rate of societal change)



2.



Stereotipe peran jenis kelamin dihasilkan dari sosialisasi dalam kultur (sex­role stereotyping and socialization)



3.



Tujuan individu vs tujuan keluarga/masyarakat (individual goals



Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si.



383



versus family and societel goals) 4.



Buta huruf dan pilihan pendidikan (literacy and educational options)



5.



Pembagian kerja menurut jenis kelamin (sexual division of labor)



6.



Perubahan peran laki­laki dalam keluarga (men’s changing roles is family)



7.



Derajat kesanggupan untuk persamaan dalam pendidikan, pekerjaan dan keluarga (degree of commitment to equality)



8.



Kebebasan memilih vs seleksi dan penempatan (freedom of choice versus selection and placement) Sebagai acuan operasional, pendapat Piercy & Sprenkle (dalam



Schwoeri, 2003) dapat diadopsi untuk mengembangkan terapi feminis yang sensitif gender, yaitu sebagai berikut: 1.



Membuat isu kesetaraan gender menjadi bagian dari ideologi treat­ ment. Ini mengharuskan suatu pergeseran berfikir untuk meng­ konter sikap lama mengenai kemampuan perempuan dan standar untuk menentukan perilaku mereka, sukses mereka, dan kebu­ tuhan mereka dalam kehidupan sosial.



2.



Harus memahami struktur keluarga klien. Misalnya siapa yang berkuasa dan dominan dalam keluarga. Struktur keluarga ideal­ nya tidak hirarkhis, tetapi harus timbal balik, saling melengkapi, dan demokratis.



3.



Berupaya untuk menghargai keterampilan, perasaan, dan kebu­ tuhan klien dengan cara: (a) membangun keyakinan diri dengan menunjukkan kontribusinya kepada keluarga atau masyarakat selama ini, (b) mendukung mereka dalam membangun hubungan sosial, (c) menyiapkan mereka untuk menangani reaksi yang tidak menyenangkan dari keluarga ketika mereka mengaktuali­ sasikan diri sesuai dengan minat dan kemampuannya, (d) mem­ beri penguatan ketika klien menyatakan hak­haknya untuk mengejar karir di luar rumah. Dalam konsultasi terapeutik, klien harus memperoleh kesempatan



seluas­luasnya untuk mengungkapkan perasaan, pengalaman dan



384



BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF



kebutuhannya, serta menyadari kelebihan dan kekurangan masing­ masing untuk menjadi modal bagi keputusan yang dibuatnya. Dalam hubungan terapeutik, terapis harus berusaha membantu klien memperoleh pemahaman mendalam tentang diri sendiri dan masalahnya, seperti kelebihan dan kekurangan dirinya, dinamika sejarah kehidupannya selama ini, termasuk pemahaman bagaimana dirinya dikonstruksi oleh kultur menjadi berkepribadian seperti sekarang ini. Dengan memperoleh insight tentang beberapa hal tersebut, klien akan lebih mudah mengembalikan kepercayaan diri dan bangkit dari keterpurukan, menyadari kesalahan dan ingin mengubah perilaku yang salah suai.



C.



Keunggulan Terapi Feminis Terapi feminis memiliki beberapa keunggulan daripada terapi lain



dalam menyelesaikan masalah kesenjangan relasi antara perempuan dan laki­laki. Rawling & Carter yang dikutip Brown & Levinson (dalam Corsini, 1981) menyebutkan beberapa nilai dalam terapi feminis, yaitu sebagai berikut: 1.



Terapis sadar akan nilainya sendiri (The therapist is a aware of her/ his own values).



2.



Tidak menentukan perilaku peran seks (There are no prescribed sex­ role behaviors)



3.



Ketidak beruntungan peranan seks dalam gaya hidup bukan la­ bel patologis (Sex­role reversals in life style are not labeled pathologi­ cal)



4.



Pernikahan tidak dianggap sebagai sesuatu hasil terapi yang sangat baik untuk seorang perempuan maupun laki­laki (Mar­ riage is not regarged as any better an outcome of therapy for a female than for a male).



5.



Teori­teori berdasarkan perbedaan anatomis itu ditolak (Theories based on anatomical differences are rejected)



6.



Status rendah perempuan tidak sebesar kekuatan ekonomi dan politik laki­laki (The inferior status of women is due to their having less



Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si.



385



political and economic power than men) 7.



Nilai terapis bukan merupakan kelas tinggi atau kelas menegah terhadap klien, tetapi lebih pada level kerja klien (A feminist thera­ pist does not value an upper or middle­calss client more than a working­ class client)



8.



Perempuan diharapkan mandiri dan tegas sebagaimana laki­laki, dan laki­laki diharapkan ekspresif sebagaimana perempuan (Fe­ males are expected to be as autonomous and assertive as males. Males are expected to be as expressive and tender as females).



9.



Sumber utama psikologi perempuan adalah sosial, bukan per­ sonal (The primary source of women’s pathology is social not personal).



10. Fokus penekanan lingkungan sebagai suatu sumber utama patologis tidak digunakan sebagai jalan keluar dari pertanggung jawaban individu (The focus on environmental stress as a major source of pathology is not used as an escape from individual responsibility). 11. Terapi feminis berlawanan pada penyesuaian personal terhadap kondisi sosial. Tujuannya adalah perubahan politik dan sosial (Feminist therapy is opposed to personal adjusment to social conditions. The goal is social and political change). 12. Perempuan lain bukan musuhnya (Other women are not the enemy) 13. Laki­laki juga bukan musuhnya (Men are not the enemy either) 14. Perempuan secara ekonomi dan psikologis harus mandiri (Women must be economically and psychologically autonomous). 15. Hubungan persahabatan, cinta, dan perkawinan harus setara dalam kekuatan personal (Relationships of friendship, love, and mar­ riage should be equal in personal power). 16. Perbedaan utama perilaku peranan seks yang “tepat” harus tidak ditampakkan (Major differences between “appropriate” sex­role behav­ iors must disappear). Terapis dapat mendorong seorang perempuan mengubah konsep diri dan perilakunya. Perempuan sering mulai melihat diri mereka sendiri mampu dan kuat. Mereka menjadi memperkokoh diri, mengurus diri mereka sendiri, secara fisik maupun emosional. Mereka menjadi 386



BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF



lebih tegas dalam berhubungan dengan orang lain. Sejumlah teori menekankan perhatiannya pada tiga hal yang terjadi selama konseling, yaitu kemarahan, pemeliharaan diri, dan otonomi. Dalam terapi feminis menekankan pada bagaimana konselor mampu melihat, merasakan, dan mengalami dunia klien sebagaimana dilihat, dirasakan dan dialami oleh klien. Terapis dapat meyakini bahwa dirinya mampu memasuki dunia klien dengan membuat komitmen emosional terhadap klien, terutama melalui cara menunjukkan diri yang memiliki kelebihan dan kelemahan (self­disclosure). Terapi feminis memusatkan perhatian serius pada isu keadilan gender. Prasangka masyarakat dan perempuan sendiri selama ini, telah mendesak lahirnya praktek terapi yang sensitif gender. Terapi ini menyajikan petunjuk untuk menguji pandangan yang bias gender dan efek yang merugikan dan bias pada pengembangan perempuan. Posisi perempuan dalam keluarga begitu ditekan dan mereka ditolak untuk mencapai keberhasilan pemenuhan diri pribadi. Terapi ini mengusulkan perbaikan di mana perempuan harus memiliki akses sama kepada peluang dan mendapat penghargaan untuk membantu memenuhi potensi mereka. Dalam terapi feminis, terapis berusaha menciptakan hubungan kemitraan dengan klien dan menghilangkan hubungan hirarkhis konselor dengan klien. Oleh karena itu, peran konselor lebih sebagai fasilitator berdasarkan pedoman dan aturan yang telah disusun ber­ sama oleh konselor dan klien untuk pemecahan masalah. Seting kemi­ traan ini bermanfaat untuk menghilangkan perasaan sakit secara fisik dan psikologis, ketidak berdayaan, dan terisolasi (Mander, 1977:287). Terapis mendorong klien agar mampu berinstrospeksi dengan belajar mengenal dan memahami diri mereka sendiri secara lebih baik, mendorong untuk dapat membedakan dengan jelas apakah gangguan itu termasuk faktor sosial atau faktor internal (Lerman,1976:379­380). Selama proses terapi, terapis mengambil peran bukan sebagai figur otoritatif yang selalu mengarahkan klien, tetapi lebih sebagai mitra yang mampu mendengarkan secara aktif keluh kesah klien. Terapis



Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si.



387



memiliki komitmen pada bentuk hubungan yang sederajat (egalitar­ ian) dengan klien. Penerimaan secara penuh dari terapis (unconditional positive regard) merupakan kunci keberhasilan proses terapi. Sikap penerimaan penuh dari terapis ini mendorong klien untuk meneliti perasaan­perasaan tidak sadar itu menjadi kesadaran. Dalam hubungan terapeutik yang aman, perasaan yang selama ini mengancam dapat diasimilasikan ke dalam struktur diri. Asimilasi ini membutuhkan reorganisasi yang agak drastis dalam konsep diri klien supaya sejalan dengan realitas pengalaman organismik. Klien akan lebih bersatu dengan dirinya sebagai organisme dan ini merupa­ kan hakikat dari terapi (Hall & Lindsey, 1993). Menurut Brown & Liz Levinson (1981), terapi diarahkan untuk membantu klien dalam: (1) meningkatkan kesadaran diri, (2) menerima keadaan diri, (3) memperkuat penerimaan diri, (4) mengembangkan kekuatan untuk mengembangkan diri, (5) memelihara dan mengem­ bangkan hubungan dengan orang lain, (6) menyadari hambatan­ hambatan yang ada di masyarakat, (7) mengembangkan rencana tindakan pengubahan hambatan­hambatan sosial. Meningkatkan status perempuan pada hakekatnya adalah mengangkat status keluarga, masyarakat, dan bangsa secara keselu­ ruhan. Oleh karena itu, pemberdayaan perempuan merupakan pemberdayaan seluruh anggota keluarga, dan keterpurukan perkem­ bangan dan pertumbuhan perempuan akan mengakibatkan keman­ degan semua anggota keluarga. Pemberdayaan perempuan yang pal­ ing penting adalah membuat mereka sadar akan pilihannya, membantu mereka agar mampu bicara terus terang, mampu angkat bicara, menjadi sadar akan bakat mereka, dan dengan aktif dapat mencari pemenuhan tanpa takut gagal dan merasa bersalah (self guilt).



388



BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF



DAFTAR PUSTAKA



Abbas, I. (tanpa tahun). Tanwir al­Miqbas min Tafsir Ibn Abbas. Penyunting: Abu Thahir Ibn Ya’qub al­Fayruzzabadi. Beirut: Daar al­Fikr. Ahmad, I. (1993). “Perempuan dalam Kebudayaan”. Ridjal, Mariyani & Husein (eds). Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia. Yogyakarta: Tiara Wacana. Al­Thabari. (1988). Jami al­Bayan an Ta’wil Ayat al­Qur’an. Jilid 14.Beirut: Dar al­Fikr. Andersen, ML. (1983). Women: Sociological and Feminist Perspectives. New York: Macmillan Publishing Co.Inc. Archer, SL. Ed. (1994). Intervention for Adolescent Development. Califor­ nia: Sage Publications. Aristo. (2008).”Kemandirian Belajar’. [Online]. Tersedia: http:// www.adprima.com/ dears.html.[16April 2008]. Asad, M. (1980). The Message of the Qur’an. Gibraltar: Dar al­Andalus. Balqis Women Crisis Centre. (2004). Data Kekerasan terhadap Perempuan. Cirebon: BWCC. Baumrind, D. (1971). Developmental Psychology Monographs. 4 (1). Beck, CE. (1971). Philosophical Guidelines for Counseling: The Place of Values in Counseling and Psychotherapy. Iowa:WM.C. Brown Company Publishers. Beyer, BK. (1995). Improving Student Thinking: A Comprehensive Approach. Boston: Allyn & Bacon.Inc. Biggs, DA. & Blocher, H. (1986). The Cognitive Approach To Ethical Counseling:Values in Counseling Ethic. New York: State University of Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si.



389



New York at Albany. Black, D. (1976). The Behavior of Law. New York:Academic Press. Bogard, K & Yllo, K. (1988). Feminist Perpectives on Wife Abuse. London: Sage Publication. Brammer, L. M, Abrego, P. J. & Shostrom, E. L. (1993). Therapeutic Psychology. Fundamentals of Counseling and Psychotherapy. Englewood Cliffs­New Jersey: Prentice­Hall. Brown, JA. & Pate, JR, RH. (1983). Being a Counselor: Directions and Chalenges. California: Brooks­Cole Publishing Company. Brown, L.S. & Levinson, L.N. (1981). “Feminist Therapy I”. Corsini, R.J. ed. Handbook of Innovative Psychotherapies. New York: John Wiley & Sons. Buzawa, E.S. & Carl G. B. (1996). Domestic Violence: The Criminal Justice Response. California: Sage. Campbell, J. (1992). “Wife­battering: Cultural Contexts Versus Western So­ cial Sciences”. Counts, Brown & Campbell. Sanctions and Sanctuary: Cultural Perspectives on the Baeting of Wives. Boulder: Westview Press. Cantos, A.et al. (1994). “Injuries of Women and men in a Treatment Program for Domestic Violence”. Journal of Family Violence 9:113­124. Cascardi, M.et al. (1992). Marital Aggression: Impact, Injury, and Health Correlates for Husbands and Wives. Arch Intern Med 152:1178­1184. Chodorow, N. (1978). The Reproduction of Mothering. California: Univer­ sity California Press. Christian, J.et al. (1994). “Depressive Symptomatology in Maritally Discor­ dant Women and Men:The Role of Individual Relationship Variables”. Journal of Family Psychology. Ciciek, F. (1999). Ikhtiar Mengatasi Kekerasan dalam Rumah Tangga: Belajar dari Kehidupan Rasulullah. Jakarta: Kerjasama Lembaga Kajian Agama dan Gender, Solidaritas Perempuan & The Asia Founda­ tion. Coleman, D. & Straus,M. (1986). “Marital Power,Conflict and Violence in a Nationally Representative Sample of American Couples”. Violence Vict I (2). Collier, HV. (1982). Counseling Women:A Guide for Therapists. New york: 390



BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF



The Free Press. A Devision of Macmillan Publishing Co,Inc and London:Collier Macmilan Publishers. Collier, R. (1998). Pelecehan Seksual: Hubungan Dominasi Mayoritas dan Minoritas. Yogyakarta: Tiara Wacana. Collins, WA. (1990). dalam Montemayor. (Ed). Advances in Adolescent Development: The Transition form Childhood to Adolescence. California: Sage. Core Curriculum Advisory Committee. (1986). “Independent Learning”. [Online]. Tersedia: http://www.sasked.gov.sk.ca/docs/policy/cels/ e17.html.[17April 2008]. Corey, G. et al (1988). Issues and Ethics in the Helping Professions: The Counselor as a Person and as a Profesisonal. New Yowk:Brooks/Cole Publishing Company. Corsini, RJ Ed. (1972). Current Psychoterapies. Alih Bahasa Ahcmad Kahfi & Mochtar Zurni. 2003. Psikoterapi Dewasa Ini: Dari Psikoanalisa hingga Analisa Transaksional. Surabaya: Ikon Teraliletara. Corsini, RJ. Ed. (1981). Handbook of Innovative Psychotherapies. New York: John Wiley & Sons. Dahlan, M. et al. (1996). Model Kemahiran Berpikir Kritis dan Kreatif. Kuala Lumpur: Longman. Davidson, N.P & Siegel, L.J. (1985). “Family Counseling”. Dalam Husen,T. & Potletwhite, T.N. (eds). The International Encyclopedia of Education: Research and Studies. p. 1827­1831. Oxford: Pergamon Press. Davison, J.A. & Pate, Jr. R.H. (1983). Being a Counselor: Directions and Challenges. California: Brooks – Cole Publishing Company. DeBono, E. (1998). Berpikir Lateral. Kuala Lumpur:PTS Publications and Distributors. Sdn.Bhd. Departemen Pendidikan Nasional. (2003). Pengembangan Kurikulum Berbasi Kompetensi. Jakarta: Direktorat Pendidikan Menegah Umum. Division for the Advancement of Women Centre for Social Develop­ ment and Humanitarian Affairs. (1992). “Violence Agains Women”.



Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si.



391



Women 2000. Austria:Vienna International Centre. Djannah, F.et.al. (2003). Kekerasan terhadap Isteri. Yogyakarta:LkiS. Dobash, RP.et al. (1992).”The Myth of Sexual Symmetry in Marital Vio­ lence”. Social Problem [39]. Echol, JM. & Shadily, H. (1983). Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia. Emosda. (1989). “Keberhasilan Belajar di Perguruan Tinggi ditelaah dari Kemandirian dan Kreativitas Mahasiswa”. Tesis. Bandung FPS IKP. Tidak diterbitkan. Engineer, AA. (1994). Hak­hak Perempuan dalam Islam. Alih Bahasa: Farid Wajidi dan Cici Farcha Assegaf. Yogyakarta: Bentang. Erikson, EH. (1989). Identitas dan Siklus Hidup Manusia. Jakarta: Gramedia Faqih, M. (1999). Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Faqihuddin, A. (2000). “Kritik Matan Hadits:Metode Memahami Hadits­hadits Relasi Laki­laki dan Perempuan”. Makalah. Cirebon: Fahmina Institute. Faqihuddin, A. “Kritik Matan Hadits:Metode Memahami Hadits­hadits Relasi Laki­laki dan Perempuan”. Makalah. Cirebon:Fahmina In­ stitute. Faturahman. (2002). “Implementasi Konseling Berperspektif Gander Pada Perempuan Korban Kekerasan: Studi Kasus di Rifka Annisa Women’s Crisis Center”. Laporan Penelitian.Yogyakarta:UNY. Fazlurahman. (1983). Tema Pokok Al­Qur’an. Alih Bahasa:Anas Mahyudin. Bandung: Pustaka. FISIP UNSOED. (2002). Jurnal Sosiologi:Interaksi. Foley,V.D. (1989). “Family Therapy”.Corsini, R.J.& Wedding, D. Con­ temporary Psychotherapies:Models and Methods. Columbus, Ohio: Bell & Howell Company. Fridan, B. (1982). The Second Stage. Summit books NY. Frieze, I. et al. (1978). Women and Sex Roles. A Social Psychological Per­ spective. Norton & Co. 392



BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF



Galbreath, J. (1999). “Critical Thinking”. [Online]. Tersedia: http:// en.wikipedia.org/ wiki/critical thinking.[15 April 2008]. Gati, I, et al. (1995). “Gender Differences in Career Decision Making: The Content and Structure of Preferences”. Journal of Counseling Psychology. 42 (2) 204­216. Giligan, C. (1982). In a Different Voice: Psychological Theory and Women’s Development. Cambridge: Harvard University Press. Golan, E. & Fisher,W.A. (1998). “Effects of Counselor Gender and Gender­ Role Orientation on Client Career Choice Traditionality”. Journal of Coun­ seling Psychology, 35 (3) 287­293. Gormly, AV & Brodzinsky, DM. (1993). Lifespan Human Development. 5th edition. Tokyo: Harcourt Brace Collage Publishers. Gozali, AM, et al. (2002). Tubuh, Seksualitas dan Kedaulatan Perempuan:Bunga Rampai Pemikiran Ulama Muda. Yogyakarta: LkiS, Rahima & The Ford Fondation Greadler, MB. (1989). Learning and Instruction: Theory to Practice. New York: McMillan Publishing Company. Grotevant, HD. & Cooper, CR. (1998). “Individuality and Connectedness in Adolescent Development: Review and Prospects for Research on Iden­ tity, Relationships and Context” dalam E. Skoe & Vander Lipps (eds). Personality Development in Adolescence: A Cross National and Life Span Perspective. London: Routledge. Guilford, JP. (1956). “Convergent and Divergent Production”. [Online]. Tersedia: http:// en.wikipedia.org/wiki/convergent and divergent production. [13 April 2008]. Hall & Lindsey. (1993) .Teori­teori Holistik:Organismic Fenomenologis. Yogyakarta: Kanisius. Haridadi,S. (1995). “Tindakan Kekerasan terhadap Wanita dalam Keluarga”.T.O. Ihromi (ed).Kajian Wanita dalam Pembangunan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Haridadi,S.(1993).”Tindak Kekerasan Terhadap Wanita dalam Keluarga”. Laporan Penelitian. Surabaya:Pusat Penelitian Studi Wanita Universitas Airlangga.



Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si.



393



Hasbianto, E.N. “Kekerasan dalam Rumah Tangga: Sebuah Kejahatan yang Tersembunyi”. Hasyim, Sy. (eds).(1999). Menakar Harga Perempuan. Bandung: Mizan. Hasyim, Sy. Ed. (1999). Menakar Harga Perempuan. Bandung:Mizan. Heise, L.P.J & Bermain, A. (1994). “Violence Againts Women: The Hidden Health Burden”. Paper. Washington DC: World Bank. Hill, NC. (1981). Counseling at The Work Place. New York: McGraw­Hill Book Company. Hinkle, J. S. 1992. “Family Counselicy in the Schools”. [Online]. Tersedia: ERIC Digest.ED347482. Hurlock, EB. (1973). Adolescent Development. Fourth Edition. New York: McGraw­Hill,Inc. Hurlock, EB. (1980). Developmental Psychology: A Lifespan Approach. 4th Edition. New York: McGraw­Hill Inc. Husein, M. (2001). “Diskriminasi Gender dan kekerasan terhadap Perempuan dalam Wacana Keagamaan Islam”. Harkat: Jurnal Me­ dia Komunikasi Gender. Pusat Studi Wanita IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Husein, M. (2004). Islam Agama Ramah Perempuan. Yogyakarta:LkiS & Fahmina Institute. Husen, T. (1995). Masyarakat Belajar. Jakarta:Grafindo Persada. Ihromi, TO. (1995). Kajian Wanita dalam Pembangunan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Indracaya, A. (2000). Menyingkap Tirai Psikologi Psikoseksual dan Seksologi. Yogyakarta: Galang Press. Johnson (2000). “Convergent­Divergent”. [Online]. Tersedia: http:// faculty.washington. edu/ezent/imdt.htm. [13 April 2008]. Jordan, JK, et al. (1991). Women’s Growth in Connection:Writings from the Stone Centre. New York:Guilford. Kaplan, AG.(1979).”Clarifying the Concept of Androgyny:Implication for Therapy”. Psychology of Women Quarterly. [3]: 231­240. Kaplan, D. M. & Cole, M. J. 2002. “Incorparating Family Work into Indi­ vidual Counseling: Establishing a Relationship with Families”. [Online]. 394



BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF



Tersedia: ERICDigest. ED470596. Kaplan, HS (1977). “Hypoactive Sexual Desire”. Journal of Sex and Marital Therapy. [3]: 3­9. Kaplan, HS. (1974). The New Sex Therapy. New York:Brunner Mazel. Kartadinata, S. (2002). “Paradigma Baru Bimbingan dan Konseling”. Makalah. Lampung: Konvensi IPBI. Kedaulatan Rakyat. (1993). “Bukan Perkosaan, Pemaksaan Hubungan Seks Perkawinan”. 16 Maret. Knowles, MS. (1980). The Modern Prcatice of Adult Education: From Peda­ gogy to Andragogy. New York.: The Adult Education Company. Knowles, MS. (1993). “Contributions of Malcom Knowles”. The Christian Handbook on Adult Education. K.O.Gangel & James C. Wilhoit. Eds. Victor Books. Knowless, MS. (1975). Self­ Directed Learning: A Guide for Learners and Teachers. Chicago: Associates Press Follett Publishing Company. Koentjoro. (1999). “Melacur sebagai Kewajiban Kerja: Sebuah Ketidakadilan Gender Sistemik”. Jurnal Perempuan. [11] Konwles, M. (1970). The Modern Practice of Adult Education: Andragogy Versus Pedagogy. New York: Association Press. Kozma, RB, Belle, LW, William, GW. (1978). Instructional Techniques in Higher Education. New Jersey: Educational Technology Publica­ tions. Kubow. (2003). “Creative Thinking”. [Online]. Tersedia: http://e­learn­ ing­bpplsp­reg5. go.id/?pilih=news.[15 April 2008]. Lacan, J. 1990. A Feminist Introduction. Sidney:Allen and Unwin. Langley, R. & Levy, R.C (1987). Memukul Isteri. ALih Bahasa: Mosasi. Jakarta: Cakrawala Cinta. Lerner, RM & Spanier, GB. (1980). Adolescent Development: A Lifespan Perspectives. New York: McGraw Hill Co. Liliasari. (1996). “Beberapa Pola Berpikir dalam pembentukan Pengetahuan Kimia oleh Siswa SMA”. Disertasi.Tidak diterbitkan. Bandung: IKIP. Lindsey, L.L. (1990). Gender Roles: A Sociological Perspectives. New Jer­



Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si.



395



sey: Prentice Hall­Englewood Cliffs. Lindsey, L.L. (1994). Gender Roles: A Sociological Perspectives. New Jer­ sey: Prntice Hall­Englewood Cliffs. Lipps,V & Skoe, E. Eds. (1998). Personality Development in Adolescence: A Cros National and Lifespan Perspective. London: Routldge. Lips, HM. (1993). Sex and Gender: An Introduction. London: Mayfield Publishing Company. Lupri. et al. (1994). “Socioeconomic Status and Male Violence in the Canadian Home: A Reexamination”. Canadian Journal of Sociology 19:47­73. Marcia, JE. (1980). “Identity in Adolescence”. J.Adelson (ed). Handbook of Adolescent Psychology. New York:Wiley. Marcia, JE. (1983). ‘Some Direction for The Investigation of Ego Development in Early Adolescence”. Journal of Early Adolescence. Canada: Simon Fraser University. Mary, A. (1988). Counseling Families from a Systems Perspective. ERIC/ CAPS Digest.ED304634. Maslow, AH (1970). Motivation and Personality. New York: Harper & Row Publishers. Masters, WH. & Johnson, VE. (1966). Human Sexual Response. Boston: Little, Brown. Matlin, M. (2002). Cognition. 5th Edition. New York:Wiley. Merchan, KM & Kurtz, KM. (1997). “Gizi Wanita pada Setiap Fase Siklus Kehidupan: Kerentanan Sosial dan Biologis”. Marge Koblinsky (eds). Kesehatan Wanita: Sebuah Perspektif Global. Yogyakarta: UGM Press. Merriam, S.B. & Cafferella, RS. (1999). Learning in Adulthood. San Fransisco:Josey Bass Publishers. Milller, JB. 1976. Toward a New Psychology of Women. New York: Beacon Press. Monks, K & Haditono, ST. (1992). Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta:UGM Press. Murniati, A.N.P. (2004). Getar Gender I: Perempuan di Indonesia dalam Perspektif Sosial, Politik, Ekonomi, Hukum, dan HAM. 396



BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF



Megelang:Indonesiatera. Murniati, A.N.P. (2004). Getar Gender II: Perempuan di Indonesia dalam Agama, Budaya dan Keluarga. Megelang:Indonesiatera. Natawidjaja, R. (2003). “Kompetensi dan Etika Konselor Masa Depan”. Makalah Bandung: Seminar dan Workshop PPS UPI tanggal 17 Pebruari 2003. Newman, B.M. & Newman, P.R. (1987). Development Through Life: A Psychosocial Approach. Chicago: The Dorsey Press. Nickerson, R; Perkins, D & Smith, E. (1985). The Teaching of Thinking. New Jersey: Lawrence Erlbaum. Noble, F.C. (1991). “Counseling Couples and Families”. Capuzzi, D. & Gross, D.R (eds). Introduction to Counseling:Perspective for the 1990s. Boston:Allyin & Bacon. Noerhadi, T.H. & Vitalaya, A.S.H. (1990). Dinamika Wanita Indonesia. Seri 01 Multidimensional. Jakarta: Pusat Pengembangan Sumber Daya Wanita. Nor, S & Dahlan, M. (2000). Kemahiran Berpikir dalam Pengajaran dan Pembelajaran Sain. Kuala Lumpur: Kementrian Pendidikan Ma­ laysia. Norman C. Hill. (1981). Counseling at The Work Place. New York: McGraw­Hill Book Company. Novak, JO & Gowin, DB. (1999). Learning How to Learn. London: Cam­ bridge University Press. Nugroho, F. & Nugroho, B. (1991).”Tindakan Kekerasan Suami terhadap Isteri: Perbuatan Kriminal yang Tersembunyi”. Jurnal Antarwidya [3]. Nurhayati. (2000). Panduan Untuk Pendamping Perempuan Korban Kekerasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Nuriyah, S. et al. (2003). Wajah Baru Relasi Suami­Isteri: Telaah Kitab ‘Uqud al­Lijjayn. Yogyakarta:LkiS & FK3. Nurjannah, I. (2003). Perempuan dalam Pasungan: Bias Laki­laki dalam Penafsiran. Yogyakarta:LkiS. Oxford, J. (1992). Community Psychology: Theory and Practice. Chicester:



Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si.



397



John Wiley and Sons. Parwati, S. (1988). “Pengaruh Perkembangan Psikologi Wanita terhadap Perilaku Wanita Masa Depan”. Makalah pada Dies Natalis XXVII dan Hari Sarjana. Bandung: UNPAD. Paterson C.H. (1986). Theories of Counseling and Psychotherapy. New York: Harper & Row, Publishers Pengadilan Agama. (2005). Data Perceraian Tahun 2004. Cirebon: PA. Perry, J. (1993). Counseling for Women. Buckingham­Philadelphia: Open University Press. Peterman, LM & Dixon, C.G. (2003).”Domestic Violence Between Same­ Sex Partner: Implications for Counseling”. Journal of Counseling & De­ velopment. [81]. Philips, JA. (1981). Piaget’s Theory: A Primer. San Fransisco:Freeman. Philips, JA. (1997). Pengajaran Kemahiran Berpikir: Teori dan Amalan. Kuala Lumpur: Utusan Publication & Didtributor.Sdn.Bhd. Piaget, J. (1983). Science of Education and Psychology of the Child. New York: Orient Press. Poerwandari, K. (1995). “Aspirasi Perempuan Bekerja dan Aktuali­ sasinya”. T.O. Ihromi (ed). Kajian Wanita dalam Pembangunan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Poerwandari, K. (2002). “Kekerasan Berbasis Gender: Kompleksitas Masalah dan Penanggulangannya . Makalah. Cirebon: Fahmina Institut. Prayitno & Amti, E. (1999). Dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Rineka Cipta. Presseisen, BZ. (1985). “Thinking Skill: Meaning and Model”. Costa, AL. ed. Developing Minds: A Resource Book for Teaching Thinking. Alexandria:ASCD. Rahman, F. (2002). “Implementasi Konseling Berperspektif Gander Pada Perempuan Korban Kekerasan: Studi Kasus di Rifka Annisa Women’s Crisis Center”. Thesis.Yogyakarta:UNY. Rampingan, MJ; Habiburrahman, RL & Tobing. (1981). Model Mengajar dalam Pendidikan IPA. Jakarta: P3G Depdikbud. 398



BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF



Rao, S.N. (1984). Counseling Psychology. New Delhi: Tata McGraw­Hill Publishing Reid, ST. (1985). Crime and Criminology. Edisi IV.New York:CBS College. Republika. (2005). “Kekerasan Terhadap Perempuan Semakin Meningkat”. Republika. [8 Maret] Rice, F.P. (1996). The Adolescent, Development, Relationships and Culture. Massachusetts: Allyn & Bacon. Rohling, L.J. et al. (1995). “Violent Marriages: Gender Diffrences in Levels of Current Violence and Past Abuse”. Journal of Family Violence [10]. Rossenberg, ML. & Fenelly, MA. Eds.(1991). Violence in America: A Public Health Approach. New York: Oxford University Press. Saadawi, E.N. (2001). Perempuan dalam Budaya Patriarkhi. Zulhilmiyasri (Alih Bahasa). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Saptari, R & Holzner,B. (1997). Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial: Sebuah Pengantar Studi Perempuan. Jakarta: Grafiti Pers. Schneider, E. (1994). “The Violence of Privacy”. Fineman & Mykitiuk. The Public Nature of Private Violence: The Discovery of Domestic Abuse. New York:Routledge. Schwoeri, LD. et al. (2003). “Gender Sensitive Family Therapy”. . Texbook of Family and Couple Tharapy: Clinical Aplications. Washington DC: American Psychiatric Publishing,Inc. Sciortino, R. (1999). Menuju Kesehatan Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Shaleh, Q. (1982). Asbab al­Nuzul. Bandung:Diponegoro. Shanti. (2001). “Kuota Perempuan Parlemen: Jalan Menuju Kesetaraan Politik”. Jurnal Perempuan. [19]. Jakarta: YJP. Sheltzer, B. & Stone, S.C. (1980). Fundamentals of Guidance. Boston: Houghton Mifftin Company. Shihab, Q.(2005). Perempuan. Seri III. Jakarta:Lentera Hati. Sholehuddin. M. (1993). “Proses Konseling”. Makalah. PPB FIP IKIP Bandung: Workshop dalam Dies Natalis ke 28 tanggal 25­26 Juni 1993. Sidjabat, BS. (2008). “Prinsip Pedagogi dan Andragogi”. [Online].



Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si.



399



Tersedia: http://www. tiranus.net/?p20. [3 Maret 2008]. Singer, J. (1977). Androgyny: Towards a New Theory of Sexuality. Routledge & Kegan Paul. Smith, P.B. & Bond, M.H. (1994). Social Psychology Across Cultures: Analy­ sis and Perspectives. Massachusetts: Allyn and Bacon. Smith, RL & Smith, SP. (1992). “Basic Techniques in Marriage and Family Counseling and Therapy”. ERIC Digest. ED350526. [Online]. Tersedia: http://www.ericdigest.org/ 1992/1/basic.html. [15 Januari 2008]. Soebono, NI.Ed (2000). Negara dan Kekerasan terhadap Perempuan. Jakarta:YJP & The Asia Fondation. Soemandoyo, P. (1999). Wacana Gender dan Layar Televisi: Studi Perempuan dalam Pemberitaan Televisi Swasta. Yogyakarta: LP3Y & The Ford Foundation. Stanford, F. (1979). A Women Guide to Therapy. New York: New Ameri­ can Library. Steinberg, L. (1993). Adolescence. 3rd Edition. New York: McGraw­Hill Inc. Stone, G. & Peeks, B. (1986). “The Use of Strategic Family Therapy in the School Setting: A Case Study”. Journal of Counseling and Development . [65]. Straus, MA. & Gelles, RJ. (1990). Gender Differences in Reporting Marital Violence and Psychological Consequences, in Physical Violence in Ameri­ can Families: Risk Factors and Adaptation to Violence in 8145 Families. Edited by Straus, MA. Gelles, RJ. New Brunswick, NJ Transac­ tion Publisher. Straus, MA. (1979). “Measuring Intrafamily Conflict and Violence:The Con­ flict Tactics (CT) Scales”. Journal of Mariage and the Family [41]:75­88. Strene, B. (1976). “Wife­Beating”. Session National Conference on Women and Crime. Washington DC: National League of Cities and US Conference of Mayors. Subandi, MA. (2003). Psikoterapi: Pendekatan Konvensional dan Kontemporer. Yogyakarta: Fak Psikologi UGM Press. Suleeman, E. (1995). “Pendidikan Wanita di Indonesia”. T.O. Ihromi Ed. Kajian Wanita dalam Pembangunan. Jakarta: Yayasan Obor In­ 400



BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF



donesia. Sundal, SL & Hansen. “Sex Role Issues in Counseling Women and Men”. Dalam Pedersen, P. (1985). Handbook of Cross­Cultural Counseling and Therapy. London: Greenwood Press. Super, DE. et al. (1963). Career Development: Self Concept Theory. New York: College Entrance Examination Board. Supriadi, D. (2002). “Isu­Isu dan Relevansi Penerapan Konseling Lintas Budaya”. Makalah. Pidato Pengukuhan Guru Besar UPI. Bandung: UPI. Surya, M. (2001). “Tren Bimbingan dan Konseling dan Peningkatan Kualitas Konselor” Makalah. Bogor: Seminar Guru pembimbing se­Wilayah II Bogor 10 April 2001. Surya, M. (2004).”Peluang dan Tantangan Globalisasi Bagi Profesi Bimbingan dan Konseling: Implikasi Bagi Strategi Organisasi dan Standarisasi Bimbingan dan Konseling”. Makalah. Bandung: Konvensi ABKIN 8­10 Pebruari 2004. Team. (2004).Undang­Undang RI Nomor 23 Tahun 2004. Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Jakarta:Fokusmedia. Thackeray, MG. (1994). Introduction to Social Work. New Jersey: Prentice Hall International Inc. Thornburg, HD. (1982). Development in Adolescence. California:Brooks/ Cole. Tiezen, C. (1991). “Feminist Practice and Family Violence”. Feminist Social Work Practice in Clinical Settings. Source Books for Human Service Series. Newbury Park: Sage. Trilling & Hood. (1999). “Hakikat Kreativitas”. [Online]. Tersedia: http:/ /artikel pendidikan.blogspot.com/2008/01/hakikat kreativitas.html. [15 April 2008]. Truong, T. (1992). Seks, Uang dan Kekuasaan: Pariwisata dan Pelacuran di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES. Umar, N. (1999).Argumen Kesetaraan Gender:Perspektif Al­Qur’an. Jakarta: Paramadina. Wadud, AM. (1992). Wanita di dalam al­Qur’an. Yaziar Radianti (Alih



Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si.



401



Bahasa). Bandung: Pustaka Wahidin. (2004). “Peta Konsep, Peta Vee dan Kemahiran Berpikir dalam Pengajaran Kimia”. Disertasi. Malaysia:Universitas Kebangsaan. Walgito, B. (1982). Bimbingan dan Konseling di Perguruan Tinggi. Yogyakarta:Fak Psikologi UGM. Walkers, CE. Ed. (1983). The Handbook of Clinical Psychology: Theory, Research and Practice.Homewood Illionis: Dow Jones Irwin Walklate, S. (1989).Victimology:The Victim and Criminal Justice Process. London: Unwim and Hyman. Waterman, A.S & Archer, S.L. (1993). “Identity Status during the Adult Years: Scoring Criteria”. Marcia, J.E, et al. Ego Identity: A Handbook for Psychososial Research. New York: Springer­Verlag. Wedmeyer. (1973). “Independent Learning”. [Online]. Tersedia: http:// www.heghlaid schoolc­virtualib.org.uk/itt/whole learner independent.htm.[16 April 2008]. White, B. (1976). “Population, Involution and Employment in Rural Java”. Gary, E.H. (ed.). Agricultural Development in Indonesia. Cornell Uni­ versity Press. Wignjosoebroto, S. (2000). “Tindak Kekerasan terhadap Perempuan: Adakah Kondisi Sosial Budaya Yang Ikut Menyebabkannya”. Makalah. Seminar Nasional “Islam, Seksualitas dan Kekerasan terhadap Perempuan. 27­28 Juli 2000. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga. Wilkin, P. (1997). Personal and Professional Development for Counselors. London: Sage Publication, Ltd. Windhu, M. (1992). Kekuasaan dan Kekerasan Menurut J. Galtung. Yogyakarta: Kanisius. Yusuf, AA. (1993). Al­Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Pustaka Firdaus. Zeidler, et al. (1992). “Creativity”. [Online]. Tersedia: http:// en.wikipwdia.org/wiki/ creativity. [15 April 2008]. Zunker, VG. (1981). Career Counseling Applied Concepts of Life Planning. Califotnia: Brooks/Vole Publishing.



402



BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF



BIODATA PENULIS Penulis bernama lengkap Eti Nurhayati, biasa dipanggil sehari­hari, Eti. Beralamat di jalan Kandang Perahu No 27 RT 01 RW 11 Karyamulya Cirebon, kode pos 45135, telephon 0231­483213 (018564610679), email: etinoorhayatie09@gmail. com. Lahir di sebuah Kota kecil, Jatiwangi Kabupaten Majalengka tanggal 13 Desember 1959 dari seorang ibu bernama Hj. St Shofiyah dan ayah bernama H.Ahmad Masduki, Mz (almarhum), merupakan anak tertua dari delapan bersaudara, yaitu: Yayah Nurhidayah, Obah Nurshobah, Aji Nurfajri, Eni Nuraeni, Eli Nurlaeli, Ela Nurlaela, dan Iis Ikhlasiyah. Menikah 30 Januari 1983 dengan seorang laki­laki bernama Prof. Dr. H.Abdus Salam, Dz. Dari pernikahan tersebut dikaruniai tiga orang anak yang jantan dan insya Allah shaleh, Khairil Fikri, Nafis El Fariq, dan Fa’iz Muttaqy, seorang menantu yang cantik dan shalihah, Nova Nurfadhilah, dan Mumtaz ‘Alim El­Najah, cucu yang cerdas. Sejak 1 September 1987 sampai sekarang bertugas di Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Gunung Jati Cirebon, kemudian tahun 1998 berubah menjadi STAIN Cirebon, dan sejak 9 Januari 2010 resmi menjadi IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Mata kuliah yang diampu antara lain: Psikologi Belajar, Psikologi Perkembangan, dan Psikologi Kepribadian. Pendidikan terakhir penulis ditempuh di strata tiga (S3) bidang Bimbingan dan Konseling Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si.



403



Bandung tahun 2010. Pendidikan strata dua (S2) bidang Psikologi Perkembangan di Universitas Padjadjaran Bandung tahun 2000. Pendidikan strata satu (S1) diselesaikan di fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta tahun 1984. Sebelum menginjak bangku kuliah, belajar di Madrasah Muallimat (Sekolah Guru khusus puteri tingkat Tsanawiyah dan Aliyah) di Majalengka tamat 1978. Pendidikan dasar diperoleh dari SDN 4 Kadipaten Kabupaten Majalengka tamat tahun 1972. Pengalaman menulis buku terakhir, antara lain: (1) Pembelajaran dalam Berbagai Seting. 2010. Cirebon: IAIN Press. (2) Bimbingan Keterampilan dan Kemandirian Belajar. 2010. Bandung: Batic Press. (3) Tim Penulis Smart Step of Learning in Higher Education. 2009. Cirebon: STAIN Press. (4) Tim Penulis Sukses Belajar di Perguruan Tinggi. (2008). Cirebon: STAIN Press. (5) Tim Penulis Revitalisasi Peran PUI dalam Pemberdayaan Ummat. (2006). Bandung: PW PUI Jawa Barat. (6) Tim Penulis Pendidikan dan Konseling di Era Global. Bandung: RIZQI Press. Pengalaman menulis artikel terakhir antara lain: (1) “Citra Perempuan dalam Puisi WS Rendra” Jurnal EQUALITA Vol 10 No 8 Desember 2009. (2) “Alternative Model of Education for Women: An Effort of Formulate the Education Based Gender”. Jurnal EQUALITA Vol 6 No 1 Juli 2006. (3) “Active Learning as a Globalization Demand in the Field of Education”.Jurnal Lektur Vol 12 No 1 Juni 2006. (4) “Misogyny: Roots of Gender Inequality in Psychology”. Jurnal EQUALITA Vol 5 No 2 Desember 2006. (5) “The Family Prototype of Worker Mother and its Implication to Family Education”. Jurnal Holistik Vol 5 No 2 2005. Di samping menulis, melakukan beberapa penelitian yang didanai dari DIPA IAIN, dan terkadang menjadi narasumber seminar, tim trainers/fasilitator pelatihan­pelatihan, seperti: “Desain Pembelajaran”, “Kurikulum Berbasis Kompetensi”, dan “Active Learning” untuk guru­ guru Sekolah Menengah maupun dosen­dosen muda, serta pelatihan “Belajar Efektif di Perguruan Tinggi” untuk mahasiswa setiap tahun ajaran baru.



404



BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF