Biopsikologi Emosi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BIOPSIKOLOGI EMOSI Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Biopsikologi Kelas 2 Dosen Pengampu: Dr.phil. Dian Veronika Sakti Kaloeti S.Psi., M.Psi. Lusi Nur Ardhiani, S.Psi., M.Psi.



Disusun oleh : 1) Diva Indira Ulayna



(15000120130162)



2) Eka Fatma



(15000120130150)



3) Arlieta Helga Maharani



(15000120130170)



4) Farida Saraswati



(15000120130149)



5) Hafid Praditya Abimanyu



(15000120130190)



6) Dhimas Aldry Dyanfa Yudistya



(15000120140072)



7) Yusuf Faisal Adhicahyono



(15000120130276)



8) Bi'tsatul Auliya Gusti Eka putri



(15000120130229)



FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG TAHUN 2020



I



KATA PENGANTAR



Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Kuasa atas rahmat dan ridho-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul ”Biopsikologi Emosi” tanpa suatu halangan apapun. Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari Ibu Lusi Nur Ardhiani, S.Psi., M.Psi. dalam mata kuliah Biopsikologi. Tim penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Lusi Nur Ardhiani, S.Psi., M.Psi. Selaku dosen pengampu mata kuliah Biopsikologi dan semua pihak yang berperan dalam penyusunan makalah ini. Kami berharap makalah ini bisa bermanfaat bagi diri kami sendiri dan juga diri orang lain. Kami menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna dan memiliki kekurangan. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun akan berarti bagi kami guna kebaikan bersama sehingga kedepanya kami bisa memberikan hasil yang lebih baik.



Semarang, 5 November 2020



Tim Penulis



1



BAB I



DAFTAR ISI



PENDAHULUAN



1 1



A. Latar Belakang



1



B. Rumusan Masalah



1



C. Tujuan



1



BAB II



2



PEMBAHASAN



2



A. Biopsikologi Emosi



2



a). Peristiwa Peristiwa Penting Dalam Investigasi Biopsikologi Emosi



2



b). Emosi dan Sistem Saraf Otonom



7



c). Emosi dan Ekspresi Wajah



9



B. Ketakutan, Pertahanan, dan Agresi



10



a). Tipe Tipe Perilaku Agresif



11



b). Agresi dan Testosteron



12



C. Mekanisme Neural Untuk Pengkondisian Ketakutan



14



a). Amigdala dan Pengkondisian Ketakutan



14



b). Pengkondisian Ketakutan Kontekstual dan Hipokampus



15



c). Kompleks Amigdala dan Pengkondisian Ketakutan



16



D. Mekanisme Otak Untuk Emosi Manusia



17



a). Neurosains Kognitif Emosi



17



b). Amigdala dan Emosi Manusia



18



c). Lobus Prefrontal Medial dan Emosi Manusia



18



d). Lateralisasi Emosi



19



e). Mekanisme Neural Emosi Manusia : Perspektif Terkini



20



E. Stres dan Kesehatan



20



a). Respons Stres



20



b). Model Binatang Untuk Stres



21



c). Gangguan Psikosomatik Kasus Gastric Ulcers



21



d). Psikoneuroimunologi : Stres, Imun, dan Otak



22



e). Efek Stres Pada Fungsi Kekebalan



23



f). Proses Stres Mempengaruhi Fungsi Kekebalan



23



g). Apakah Stres Mempengaruhi Kerentanan terhadap Penyakit Infeksi?



23



h). Pengalaman Stres Usia Dini



23



i). Stres dan Hipokampus



23 2



BAB III



25



PENUTUP



25



A. Kesimpulan



25



DAFTAR PUSTAKA



26



3



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Emosi adalah suatu keadaan yang terangsang dari organisme mencakup perubahanperubahan yang disadari, yang mendalam sifatnya dari perubahan perilaku. Beberapa studi menunjukkan bahwa orang-orang yang berasal dari budaya yang berbeda membuat ekspresi wajah yang serupa dalam situasi serupa dan mereka dapat mengidentifikasikan dengan benar signifikansi emosional berbagai ekspresi wajah yang ditunjukkan oleh orang-orang dari budaya di luar budayanya sendiri. Keenam emosi di bawah ini adalah ekspresi-ekspresi primer: terkejut, marah, sedih, muak, takut, dan bahagia. Mereka lebih jauh menyimpulkan bahwa semua ekspresi wajah lain dari emosi murni terdiri atas campuran dari keenam ekspresi primer tersebut. Untuk mengetahui lebih dalam lagi pembahasan kali ini akan menjelaskan mengenai peran sistem saraf otonom dalam pengalaman emosional, dan ekspresi wajah dalam berbagai emosi. B. Rumusan Masalah 1. Apakah yang dimaksud dengan biopsikologi emosi? 2. Bagaimanakah hubungan antara ketakutan, pertahanan, dan agresi? 3. Bagaimanakah mekanisme neutral pengkondisian ketakutan? 4. Bagaimana mekanisme otak untuk emosi manusia? 5. Apakah pengaruh stress terhadap kesehatan? C. Tujuan Penulisan 1. Menjelaskan mengenai mekanisme biopsikologi emosi. 2. Menjelaskan mengenai hubungan antara ketakutan, pertahanan, dan agresi. 3. Menjelaskan mengenai mekanisme neutral pengkondisian ketakutan. 4. Menjelaskan mengenai mekanisme otak untuk emosi manusia. 5. Memaparkan pengaruh stress terhadap kesehatan manusia?



1



BAB II PEMBAHASAN A. BIOPSIKOLOGI EMOSI Chaplin (1989) dalam Dictionary of Psychology mengungkapkan bahwa emosi adalah suatu keadaan yang terangsang dari organisme mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam sifatnya dari perubahan perilaku. Chaplin (1989) membedakan emosi dengan perasaan-perasaan (feelings) adalah pengalaman disadari yang diaktifkan baik oleh perangsang eksternal maupun oleh bermacam-macam keadaan jasmaniah. Bagian ini akan membahas tentang beberapa penemuan awal klasik dan setelah itu membahas peran sistem saraf otonom dalam pengalaman emosional, dan ekspresi wajah dalam berbagai emosi. a) Peristiwa-Peristiwa Penting dalam Investigasi Biopsikologi Emosi 1. Kasus Phineas Gage Phineas Gage, seorang mandor Rutland and Burlington Railroad, adalah seseorang yang bertanggung jawab, cerdas, religius, terhormat, reliabel, secara sosial mudah menyesuaikan diri, dan sangat disukai teman-temannya. Pada tahun 1848, Ia mengalami kecelakaan kerja. Pada saat melakukan tugasnya yakni memadatkan material bubuk mesiu ke bawah besi pemadat besar sebelum meledakkannya dengan sumbu, bubuk mesiu tersebut meledak terlebih dahulu, melontarkan besi pemadat setebal 3 cm sepanjang 90 cm masuk ke wajahnya, menembus tulang tengkorak dan otaknya, serta ke luar dari sisi lain kepalanya. Luar biasanya, Gage selamat dari kecelakaan tersebut. Namun, setelah sembuh dari kecelakaan itu, kehidupan emosional Gage berubah total. Gage menjadi seorang yang kurang sopan, impulsif, kasar, tidak dapat diandalkan sehingga Ia kehilangan pekerjaannya, dan tidak memiliki rasa tanggung jawab. Gage hidup berpindah-pindah sampai akhirnya meninggal di San Fransisco. Lima tahun kemudian, neurolog John Harlow mendapat izin keluarga Gage untuk mengambil tubuh dan besi pemadat celaka itu untuk dipelajari. Sejak itu, tengkorak dan besi pemadat Gage dipamerkan di Warren Anatomical Medical Museum di Harvard University.



2



Pada 1994, Damasio dan teman-temannya mengambil gambar sinar-X tulang tengkoraknya dan mengukurnya dengan tepat, memberi perhatian khusus pada posisi lubang masuk dan keluar besi. Dari penelitian tersebut, tampaknya kerusakan pada otak Gage memengaruhi kedua lobus prefrontal medial, yang sekarang diketahui terlibat dalam perencanaan dan emosi.



2. Teori Darwin dan Evolusi Emosi Di dalam buku Darwin yang berjudul The Expression of Emotions in Man and Animals pada 1872, Darwin mengatakan, pada respon-respon emosional tertentu, seperti wajah manusia, cenderung menyertai keadaan emosional yang sama di semua anggota spesies. Darwin percaya bahwa ekspresi emosi adalah produk evolusi; oleh sebab itu Ia mencoba memahaminya dengan membandingkan dengan spesies yang lain. Dari perbandingan antar spesies tersebut, Darwin mengembangkan teori ekspresi emosional yang terdiri atas 3 pokok: ● Ekspresi emosi berevolusi dari perilaku yang menunjukkan perilaku apa yang kemungkinan akan dilakukan oleh seekor binatang setelah itu. ● Bila sinyal-sinyal yang diberikan itu menguntungkan binatang yang memperlihatkan perilaku tersebut, maka perilaku itu akan berevolusi dengan cara yang memperkuat fungsi komunikatif mereka, dan fungsi aslinya mungkin hilang. ● Pesan-pesan yang berlawanan sering kali diberikan dengan sinyal yang berupa gerakan dan postur yang berlawanan, sebuah ide yang disebut the principle of antithesis (prinsip antithesis). Teori Darwin menjelaskan tentang evolusi sikap mengancam. Awalnya, menghadap ke arah lawan, berdiri tegak, dan memperhatikan senjata yang dimiliki adalah komponen pada tahap awal pertempuran. Akan tetapi, begitu lawan menunjukkan tanda-tanda perilaku itu sebagai sinyal agresi yang akan menyusul setelah itu, keuntungan penyelamatan diri akan bertambah bagi si penyerang yang dapat mengkomunikasikan agresinya secara sangat efektif dan mengintimidasi korbannya tanpa benar-benar harus bertempur. Hasilnya sikap mengancam yang elaboratif pun berevolusi, dan pertempuran aktual pun 3



berkurang. Agar benar-benar efektif, sinyal-sinyal agresi dan submisi harus dapat dibedakan dengan jelas, jadi sinyal itu harus berevolusi dengan arah yang berlawanan. Contohnya adalah prinsip antithesis pada anjing. Postur agresi anjing ditandai dengan telinga yang mengarah ke depan, punggung terangkat ke atas, bulu- bulu berdiri, dan ekor tegak ke atas; sedangkan postur submisi kebalikannya.



3. Teori James-Lange dan Cannon-Bard Teori ini diusulkan oleh James dan Lange pada 1884. Menurut teori ini, stimuli sensorik yang menginduksi emosi diterima dan diinterpretasikan oleh korteks, yang memicu perubahan pada organ-organ visceral melalui sistem saraf otonom dan pada otot-otot skeletal melalui sistem saraf somatic. Setelah itu, respon somatic memicu pengalaman emosi di otak. Teori ini mengatakan bahwa aktivitas dan perilaku otonom yang dipicu oleh kejadian emosional (misalnya detak jantung yang cepat) menghasilkan perasaan emosi. Sekitar 1915, Cannon mengusulkan sebuah alternatif untuk teori James-Lange, dan teori itu kemudian diperluas dan dipromosikan oleh Bard. Menurut teori Cannon-Bard, stimulus emosional memiliki 2 efek eksitatorik independent. Mereka membangkitkan perasaan emosi di sistem saraf otonom dan somatic. Teori James-Lange dan Cannon-Bard membuat prediksi yang berbeda tentang peranan feedback dari aktivitas sistem saraf otonom dan somatic dalam pengalaman emosional. Menurut teori James-Lange, pengalaman emosional sepenuhnya bergantung pada feedback dari aktivitas sistem saraf otonom dan somatic. Menurut teori Cannon-Bard, pengalaman emosional sepenuhnya independen dari feedback semacam itu. Kedua pendapat itu terbukti tidak benar. Tidak ditemukan dukungan yang berkualitas untuk kedua teori itu melahirkan pandangan biopsikologi modern. Menurut pandangan ini, masingmasing dari 3 faktor—persepsi tentang stimulus yang menginduksi emosi, respon otonom dan somatic terhadap stimulus itu, dan pengalaman emosi— memengaruhi keduanya.



4



4. Sham Rage Pada akhir 1920-an, Bard menemukan bahwa kucing-kucing dekortikat— kucing-kucing yang korteksnya telah dibuang—merespons secara agresif terhadap provokasi yang sangat kecil sekalipun. Dengan sentuhan kecil saja mereka melengkungkan punggungnya ke atas, menegakkan bulu-bulunya, menggeram, mendesis, dan mempertontonkan gigi-giginya. Respons agresif binatang dekortikasi ini abnormal dilihat dari dua hal; respon itu terlalu berat dan tidak diarahkan kepada target tertentu. Bard menyebut respon agresif yang berlebihan dan tak tentu arah pada binatang dekortikasi itu sham rage. Sham rage dapat ditimbulkan pada kucing yang hemisfer serebralnya telah dipotong ke bawah tetapi tidak termasuk hipotalamusnya; tetapi sham rage tidak dapat ditimbulkan bila hipotalamusnya juga dibuang. Berdasar observasi ini, Bard menyimpulkan bahwa hipotalamus sangat penting untuk ekspresi respon agresif dan bahwa fungsi korteks adalah untuk menghambat mengarahkan respon-respon ini.



5



5. Sistem Limbik dan Emosi Pada 1937, Papez mengusulkan bahwa ekspresi emosional dikontrol oleh beberapa nuclei dan traktus yang saling berhubungan melingkari thalamus.



Papez mengatakan bahwa keadaan emosional diekspresikan melalui aksi struktur limbik lain di hipotalamus dan bahwa mereka dialami melalui aksi struktur-struktur limbik di korteks. Teori emosi Papez direvisi dan diperluas oleh Paul MacLean pada 1952 dan menjadi teori liimbik sistem emosi yang berpengaruh. 6. Sindrom Kluver-Bucy Pada 1939, Kluver dan Bucy melihat sebuah sindrom yang mengerikan pada kera-kera yang lobus temporal anteriornya telah dibuang. Sindrom ini, sering disebut sindrom Kluver-Bucy, meliputi perilaku-perilaku sebagai berikut: mengonsumsi hampir semua yang dapat dimakan, peningkatan aktivitas seksual yang sering diarahkan pada objek-objek yang tidak semestinya, kecenderungan untuk meneliti berulang-ulang objek yang sudah sangat dikenal, kecenderungan untuk meneliti objek-objek dengan mulut, dan tidak punya ketakutan. Kera-kera yang sebelum operasi tidak dapat dikendalikan, melalui lobektomi temporal anterior bilateral, diubah menjadi subjek yang jinak, tidak memiliki ketakutan. Pada primata, kebanyakan gejala sindrom ini tampaknya merupakan akibat kerusakan pada amygdala, sebuah struktur yang berperan penting dalam penelitian tentang emosi. 6



Pada manusia, contohnya adalah seseorang yang awalnya gelisah, tetapi akhirnya menjadi sangat tenang dengan afek dasar. Ia hanya sedikit bereaksi dengan orang atau aspek di lingkungannya. Kadang Ia tersenyum dengan tidak pas dan meniru tindakan orang lain dalam jangka waktu cukup lama.



b) Emosi dan Sistem Saraf Otonom Penelitian tentang sistem saraf otonom (ANS) memfokuskan pada dua isu, yaitu sejauh mana pola aktivitas ANS berhubungan dengan emosi dan efektivitas ukuran-ukuran ANS dalam poligraf (deteksi kebohongan). 1. Kespesifikan emosional sistem saraf otonom. Teori James-Lange mengatakan bahwa stimulus emosional yang berbeda menginduksi pola aktivitas ANS yang berbeda ini menghasilkan pengalaman emosional yang berbeda. Sebaliknya, Teori Connan-Bard mengatakan bahwa semua stimulus emosional menghasilkan pola-pola aktivasi simpatik yang secara umum sama, yang mempersiapkan organisme yang bersangkutan untuk bertindak (seperti detak jantung yang meningkat, tekanan darah naik, dll). Bukti-bukti eksperimental menunjukkan bahwa kespesifikan reaksi-reaksi ANS terletak diantara ekstrem spesifik-total dan generalitas-total.



7



2. Poligrafi Poligrafi adalah metode interogasi yang menggunakan indeks sistem saraf otonom emosi untuk menyimpulkan kejujuran subjek. Metode yang digunakan adalah control-question technique (Teknik pertanyaan control), dimana respon fisiologis terhadap pertanyaan target, dibandingkan dengan respon fisiologis terhadap pertanyaan control yang jawabannya sudah diketahui. Asumsinya adalah berbohong akan berhubungan dengan aktivasi simpatik yang lebih besar. Poligrafi sebenarnya mendeteksi emosi, bukan kebohongan. Konsekuensinya, kecil kemungkinan untuk mengidentifikasi kebohongan dengan sukses dalam kehidupan nyata daripada eksperimen. Guilty-knowledge technique (Teknik



untuk mengetahui kebersalahan), yang juga dikenal sebagai concealed information test (tes untuuk menggali informasi yang disembunyikan) mengatasi masalah ini. Untuk menggunakan Teknik ini, poligrafer harus memiliki sekeping informasi tentang kejahatan yang hanya diketahui oleh orang bersalah. Alih-alih menangkap basah tersangka yang berbohong, poligrafer hanya mengakses reaksi tersangka terhadap sejumlah detail yang sengaja disusun tentang kejahatan yang dimaksud. Para tersangka yang tidak bersalah (karena tidak mengetahui tentang kejadian tersebut) akan bereaksi terhadap semua detail itu, sedangkan tersangka yang bersalah bereaksi dengan cara yang berbeda.



c) Emosi dan Ekspresi Wajah 8



Ekman dan rekan-rekannya adalah tokoh terkenal di bidang studi ekspresi wajah. Mereka mulai sejak 1960-an dengan menganalisis ratusan film dan foto orangorang yang sedang mengalami berbagai macam emosi riil. Dari sana mereka menyusun sebuah atlas ekspresi wajah yang biasanya berhubungan dengan emosi yang berbeda (Ekman & Friesen, 1975). 1. Universalitas Ekspresi Wajah Beberapa studi menunjukkan bahwa orang-orang yang berasal dari budaya yang berbeda membuat ekspresi wajah yang serupa dalam situasi serupa dan mereka dapat mengidentifikasikan dengan benar signifikansi emosional berbagai ekspresi wajah yang ditunjukkan oleh orang-orang dari budaya di luar budayanya sendiri. 2. Ekspresi Wajah Primer Ekman dan Friesen menyimpulkan bahwa keenam emosi di bawah ini adalah ekspresi-ekspresi primer: terkejut, marah, sedih, muak, takut, dan bahagia. Mereka lebih jauh menyimpulkan bahwa semua ekspresi wajah lain dari emosi murni terdiri atas campuran dari keenam ekspresi primer tersebut.



3. Facial Feedback Hypothesis Facial feedback hypothesis adalah hipotesis bahwa ekspresi wajah kita mempengaruhi pengalaman emosional kita. Dalam sebuah tes terhadap hipotesis facial feedback, Routledge dan Hupka (1985) menginstruksikan para relawan untuk membuat salah satu di antara dua pola konstruksi wajah selama mereka menonton berbagai rangkaian slide; pola-pola itu berkorespondensi dengan wajah bahagia atau marah, meskipun subjek tidak menyadarinya. Subjek mengatakan bahwa slide-slide itu membuat mereka lebih bahagia dan tidak begitu marah ketika mereka membuat wajah bahagia, dan kurang bahagia serta lebih marah ketika mereka membuat wajah marah.



9



4. Control Ekspresi Wajah yang Disengaja Karena kita dapat mengontrol otot wajah kita secara sengaja, maka dimungkinkan untuk menghambat ekspresi wajah aslinya dan menggantinya dengan ekspresi wajah palsu. Ada dua cara untuk membedakan ekspresi wajah asli dan palsu (Ekman, 1985). Pertama, microekspresi (ekspresi wajah yang sangat singkat), sebuah emosi riil seringkali menerobos diantara ekspresi wajah palsu. Mikroekspresi itu hanya berlangsung selama sekitar 0,95 detik, tetapi dengan latihan mereka dapat dideteksi tanpa bantuan fotografi. Kedua, sering kali ada perbedaan subtil antara ekspresi wajah asli dan palsu yang dapat dideteksi oleh pengamat ahli. 5. Ekspresi Wajah: Perspektif Saat Ini Hasil studi Ekman tentang ekspresi wajah dimulai sebelum perekaman video lazim digunakan. Teknologi ini memberikan kontribusi pada empat kualifikasi penting pada teori Ekman, yaitu: 1. Sekarang jelas bahwa keenam teori primer Ekman jarang muncul dalam bentuk murni-mereka adalah ekspresi ideal dengan banyak variasi subtil. 2. Keberadaan ekspresi primer lain telah ditengarai. 3. Isyarat tubuh, bukan hanya ekspresi wajah, memainkan peran penting dalam ekspresi emosi. 4. Ada perbedaan jelas, baik dalam ekspresi maupun pengenalan ekspresi wajah, antara individu-individu Barat Kaukasia dan Asia Timur. B. Ketakutan, Pertahanan, dan Agresi Kebanyakkan penelitian biopsikologis tentang emosi difokuskan pada ketakutan dan perilaku defensif. Takut adalah reaksi emosional terhadap ancaman, kekuatan pendorong untuk perilaku defensif. Perilaku defensif adalah perilaku yang fungsi primernya adalah untuk melindungi organisme dari ancaman atau bahaya. Sebaliknya, perilaku agresif adalah perilaku yang fungsi primernya untuk mengancam atau mencelakai. 10



Barret (2006) mengatakan bahwa kemajuan dalam bidang studi tentang dasar neural emosi terbatas karena para pakar neurosains seringkali dipedomani oleh asumsiasumsi kultural tentang emosi yang tidak dapat dibenarkan; oleh karena kita memiliki kata-kata seperti ketakutan, kebahagiaan, dan, kemarahan dalam bahasa kita, maka para ilmuwan seringkali berasumsi bahwa emosi-emosi ini ada sebagai entitas-entitas di otak, dan mereka telah berusaha untuk menemukannya- biasanya tidak banyak membawa hasil. a) Tipe-Tipe Perilaku Agresif Kemajuan yang cukup besar dalam pemahaman tentang perilaku agresif dan defensif berasal dari penelitian Blanchard R.J., Blanchard D.C (lihat 1989,1990) tentang Colony-Intruder Model of Aggression and Defense (model penyusupkoloni untuk agresi dan pertahanan) pada tikus. Blanchard mengambil deskripsi yang kaya dari perilaku-perilaku agresif dan defensif intraspesifik dengan mempelajari interaksi antara alpha male (jantan alfa)-jantan yang dominan- dalam sebuah koloni berjenis kelamin campuran yang besar dan seekor jantan penyusup jantan yang bertubuh kecil: ketika bertemu dengan penyusup, jantan alfa biasanya mengejarnya, berulang kali menggigit punggungnya selama pengejaran. Penyusup akhirnya berhenti berlari dan membalikkan tubuhnya menghadap jantan alfa. Penyusup lalu bertumpu pada kaki belakangnya, tetap menghadap ke arah penyerangnya dan menggunakan kaki-kaki depannya untuk mengusir penyerang. Sebagai respons, jantan alfa berubah ke orientasi lateral, dengan poros panjang tubuhnya tegak lurus dengan bagian depan penyusup yang berada di posisi bertahan. Lalu jantan alfa bergerak menyamping ke arah penyusup, mendesak dan kadang-kadang mendorongnya sampai kehilangan keseimbangan. Bila tikus yang bertahan itu berdiri solid terhadap gerakan “serangan lateral” ini, jantan alfa seringkali bereaksi dengan cepat memutari tubuh tikus yang bertahan dalam upaya menggigit punggungnya. Sebagai respons terhadap sergapan itu, tikus yang bertahan biasanya berputar dengan bertumpu pada telapak kaki belakangnya, dengan arah yang sama dengan gerakan penyerang, melanjutkan orientasi frontalnya terhadap penyerang sebagai upaya untuk mencegah gigitan di punggungnya.



11



Analisis tentang perilaku agresif dan perilaku defensif telah menyebabkan berkembangnya konsep tempat-target. Ide bahwa perilaku agresif dan defensif seekor binatang sering kali dirancang untuk menyerang tempat-tempat terntentu di tubuh binatang lain sambil melindungi tempat-tempat tertentu di tubuhnya sendiri. Penemuan bahwa perilaku agresif dan defensif muncul dengan beragam bentuk lazim-spesies yang stereotipikal adalah langkah pertama dalam mengidentifikasi dasar-dasar neuralnya. Oleh karena kategori perilaku agresif dan defensif yang berbeda dimediasi oleh sirkuit-sirkuit neural yang berbeda, baru sedikit kemajuan yang dicapai dalam mengidentifikasi sirkuit-sirkuit ini sebelum berbagai kategori ditetapkan. Sebagai contoh, septum lateral pernah diyakini menghambat semua agresi, karena lesi septal lateral membuat tikus-tikus laboratorium sulit dikendalikan- perilaku tikus-tikus yang dilesi lazim disebut septal-aggression (agresi septal) atau septal rage (amukan septal). Akan tetapi, sekarang kita tahu bahwa lesi septal lateral tidak meningkatkan agresi: tikus-tikus dengan lesi septal lateral tidak menginisiasi lebih banyak serangan, tetapi mereka menjadi hiper defensif ketika terancam. b) Agresi dan Testosteron Fakta bahwa agresi sosial pada banyak spesies terjadi lebih lazim di kalangan spesies jantan dari betina biasanya dijelaskan dengan mengacu pada efek-efek organisasional dan aktivasional testosteron. Periode singkat pelepasan testosteron yang terjadi di seputar kelahiran spesies jantan genetik diduga mengorganisasikan sistem saraf mereka di sepanjang garis maskulin dan oleh sebab itu menciptakan 12



potensi bagi pola-pola agresi sosial jantan untuk diaktifkan oleh kadar testosteron yang tinggi yang muncul setelah pubertas. Efek organisasional dan aktivasional ini telah didemonstrasikan pada beberapa spesies mamalia non primata. Sebagai contoh, kastrasi neonatal tikus jantan mengeliminasi, kemampuan suntikan testosteron untuk menginduksi agresi sosial di masa dewasa, dan kastrasi di masa dewasa mengeliminasi agresi sosial pada tikus jantan yang tidak menerima suntikan penggantian testosteron. Namun, penelitian tentang testosteron dan agresi pada spesies-spesies lain belum selempang itu (lihat Carre & Olmstead, 2015). Soma dan rekan-rekan sejawatnya telah meninjau literatur penelitian ekstensif tentang testosteron dan agresi (Demas et al.2005; Soma, 2006). Inilah kesimpulankesimpulan utama mereka: 1. testosteron meningkatkan agresi sosial pada jantan di banyak spesies; agresi banyak berkurang dengan kastrasi pada spesies yang sama. 2. pada beberapa spesies, kastrasi tidak memiliki efek pada agresi sosial, dan pada yang lainnya, kastrasi mengurangi agresi selama musim kawin tetapi tidak pada waktu-waktu lainnya di sepanjang tahun. 3. hubungan antara agresi dan kadar testosteron sulit diinterpretasi karena keterlibatan di dalam kegiatan agresif itu sendiri dapat menaikkan kadar testosteron. Sebagai contoh, hanya dengan bermain-main dengan senjata api saja dapat menaikkan kadar testosteron mahasiswa laki-laki (Klinesmith, Kasser & McAndrew, 2006). 4. kadar testosteron dalam darah, yang menjadi satu-satunya ukuran yang digunakan di banyak studi, bukanlah ukuran terbaik. Yang lebih penting adalah bahwa kadar testosteron di daerah-daerah otak yang relevan. Meskipun studi-studi yang memfokuskan pada kadar testosteron di otak sangat jarang, telah ditemukan bahwa pada beberapa spesies, testosteron dapat disintesis di tempat-tempat tertentu di otak dan tidak di tempat-tempat lain. Kecil kemungkinannya bahwa manusia adalah pengecualian dalam hal keterlibatan testosteron dalam agresi sosial mamalia. Akan tetapi, bukti-buktinya masih belum jelas. Pada manusia laki-laki, perilaku agresif tidak meningkat pada saat pubertas ketika kadar; akan tetapi, korelasi ini mungkin menunjukkan bahwa perilaku agresif meningkatkan testosteron, bukan sebaliknya. Kurangnya bukti yang kuat tentang keterlibatan testosteron dalam agresi manusia bisa berarti bahwa regulasi hormonal dan neural untuk agresi pada manusia berbeda dengan yang terjadi pada spesies-spesies mamalia non primata. Atau, hal ini bisa jadi merefleksikan kenyataan bahwa penelitian pada manusia memiliki kelemahan. Sebagai contoh, studi-studi manusia biasanya didasarkan pada kadar testosteron dalam darah (yang seiring disimpulkan dari kadar testosteron di dalam saliva/air ludah karena mengumpulkan air ludah lebih lebih aman dan lebih mudah dibanding mengumpulkan darah) dan bukan didasarkan kadar testosteron di otak. Akan tetapi, kadar sebuah hormon dalam darah belum tentu menunjukkan berapa banyak hormon yang mencapai otak. Di samping itu, para peneliti yang mempelajari agresi manusia sering kali tidak mengapresiasi perbedaan antara agresi sosial, yang berhubungan dengan testosteron di banyak spesies, dan agresi 13



defensif, yang tidak berhubungan dengan testosteron (Montoya et al., 2012; Sobolewski, Brown & Mitani, 2013). Kebanyakan ledakan yang tampak agresif pada manusia adalah reaksi yang berlebihan terhadap ancaman riil atau terhadap sesuatu yang dipersepsi sebagai ancaman, dan oleh sebab itu mereka lebih tepat untuk dilihat sebagai serangan defensif, bukan agresi sosial. C. Mekanisme Neural Untuk Pengkondisian Ketakutan Banyak yang kita ketahui tentang mekanisme ketakutan datang dari studi tentang pengkondisian ketakutan. Fear conditioning (pengkondisian ketakutan) adalah pembentukan ketakutan sebagai respons terhadap stimulus yang semula netral (stimulus kondisional) dengan memperlihatkannya, biasanya beberapa kali, sebelum datangnya stimulus aversif (stimulus tak-kondisional). Dalam eksperimen pengkondisian ketakutan standar, subjek, seringkali tikus, mendengar bunyi (stimulus kondisional) dan kemudian menerima sengatan listrik ringan di telapak kakinya (stimulus tak kondisional). Setelah beberapa pemasangan bunyi dan kejutan, tikus merespons bunyi itu dengan perilaku defensive (misalnya, diam dan meningkatnya kerentanannya untuk kaget) dan respons sistem saraf simpatik (misalnya, meningkat denyut jantung dan tekanan darah). LeDoux dan rekan-rekannya telah memetakan mekanisme neural yang memediasi bentuk pengkondisian ketakutan auditorik ini. a) Amigdala dan Pengkondisian Ketakutan LeDoux dan rekan-rekannya mulai mencari mekanisme neural untuk pengkondisian ketakutan auditorik dengan membuat lesi di jalur auditorik tikus. Mereka menemukan bahwa lesi bilateral pada nukleus genikulat medial (nucleus relay [pemancar sinyal] auditori di thalamus) memblokir pengkondisian ketakutan pada bunyi, tetapi lesi bilateral pada korteks auditori tidak demikian. Hal ini menunjukkan bahwa agar pengkondisian ketakutan auditorik terjadi, sinyal-sinyal yang diberikan oleh bunyi itu perlu mencapai nukleus genikulat medial tetapi bukan korteks auditorinya. Hal ini juga menunjukkan bahwa jalur nukleus genikulat medial ke struktur selain korteks auditori memainkan peran kunci dalam pengkondisian ketakutan. Jalur ini terbukti menjadi jalur dari nukleus geniculatum medial untuk amigdala. Lesi amigdala, seperti lesi pada nukleus genikulat medial, memblokir pengkondisian. Amigdala menerima input dari semua sistem sensorik, dan diyakini sebagai struktur di mana signifikansi emosional dan sinyal sensorik dipelajari dan disimpan.



14



Beberapa jalur membawa sinyal-sinyal dari amigdala ke berbagai struktur batang otak yang mengantar berbagai respons emosional. Sebagai contoh, sebuah jalur ke periaqueductal gray di otak tengah membangkitkan respons defensif yang sesuai, dimana sebuah jalur lain ke hipotalamus lateral membangkitkan respons simpatik yang sesuai. Fakta bahwa lesi korteks auditori tidak mendisrupsi pengkondisian ketakutan terhadap bunyi-bunyi sederhana bukan berarti bahwa korteks auditori tidak terlibat di dalam pengkondisian ketakutan auditorik. Ada dua jalur dari nukleus genikulat medial ke amigdala: jalur langsung dan jalur tidak langsung yang berproyeksi melalui korteks auditori. Kedua rute itu mampu memediasi pengkondisian ketakutan terhadap bunyi-bunyi sederhana bila hanya satu yang rusak, pengkondisian tetap berjalan normal. Akan tetapi, hanya rute kortikal yang mampu memediasi pengkondisian ketakutan terhadap bunyi-bunyi yang kompleks. b) Pengkondisian Ketakutan Kontekstual dan Hipokampus Lingkungan, atau konteks, dimana stimulus yang menginduksi ketakutan ditemui, dapat membangkitkan ketakutan. Sebagai contoh, bila anda berulang kali bertemu seekor beruang di jalan tertentu di hutan, jalan itu saja akan membangkitkan ketakutan dalam diri anda. Proses dimana konteks yang tidak berbahaya membangkitkan ketakutan melalui asosiasinya dengan stimulus yang menginduksi ketakutan disebut contextual fear conditioning (pengkondisian ketakutan kontekstual).



15



Pengkondisian ketakutan kontekstual dihasilkan di laboratorium dengan du acara. Pertama, pengondisian ini dihasilkan melalui prosedur pengkondisian ketakutan konvensional, seperti yang baru saja didiskusikan. Sebagai contoh, bila seekor tikus menerima kejutan listrik berulang kali setelah menemui stimulus kondisional, misalnya sebuah bunyi, tikus itu akan menjadi takut terhadap konteks kondisionalnya (bilik tes) maupun bunyi itu. Kedua, pengkondisian ketakutan kontekstual ini dihasilkan dengan memberikan stimuli aversif dalam konteks tertentu tanpa adanya stimulus kondisional lain. Sebagai contoh, bila seekor tikus menerima kejutan listrik di sebuah bilik tes yang benar-benar berbeda, tikus itu akan menjadi takut terhadap bilik itu.



Mengingat fakta bahwa hipokampus memainkan peran kunci dalam ingatan akan lokasi spasial, masuk akal untuk menduga bahwa hipokampus mestinya terlibat di dalam pengkondisian ketakutan kontekstual. Inilah yang tampaknya terjadi. Lesi hipokampus bilateral memblokir perkembangan respons ketakutan terhadap konteks selanjutnya tanpa mendisrupsi retensi respons ketakutan terhadap stimulus kondisional eksplisitnya (misalnya sebuah bunyi).



c) Kompleks Amigdala dan Pengkondisian Ketakutan 16



Amigdala sebenarnya klaster dari banyak nuclei, yang sering disebut amygdala complex (kompleks amigdala). Amigdala terdiri atas kira-kira selusin nuclei utama, yang masing-masing memiliki koneksi yang berbeda, sehingga kemungkinan besar memiliki fungsi yang berbeda pula.



Studi pengkondisian ketakutan memberikan demonstrasi yang sangat menarik tentang tidak disarankannya untuk berasumsi bahwa amigdala adalah struktur tunggal. Bukti-bukti menunjukkan bahwa nukleus lateral amygdala bukan seluruh amigdala yang terlibat secara kritis dalam perolehan, penyimpanan, dan pengekspresian ketakutan terkondisi. Korteks prefrontal maupun hipokampus berproyeksi ke nukleus lateral amigdala: Korteks prefrontal diduga mempengaruhi nucleus lateral amygdala untuk menekan ketakutan terkondisi, dan hipokampus diduga berinteraksi dengan bagian amigdala itu untuk memperantarai belajar tentang konteks berbagai kejadian terkait ketakutan. Amigdala diduga mengontrol perilaku defensif melalui output-output dari nucleus sentral amigdala. D. MEKANISME OTAK UNTUK EMOSI MANUSIA



a) Neurosains Kognitif Emosi Neurosains kognitif saat ini adalah pendekatan dominan yang digunakan untuk mempelajari mekanisme otak untuk emosi manusia. Studi-studi otak fungsional terhadap berbagai emosi telah menetapkan tiga hal yang telah memajukan



17



pemahaman secara fundamental tentang mekanisme otak untuk emosi (Neumann et al., 2014; Wood et al., 2016): ● Aktivitas otak yang berkaitan dengan setiap emosi manusia bersifat menyebar, tidak ada sebuah pusat untuk setiap emosi. Pikiran “mosaik” dan bukan “pusat” untuk lokasi mekanisme otak untuk emosi. ● Nyaris selalu ada aktivitas di korteks motorik dan sensorik ketika seseorang mengalami sebuah emosi atau berempati dengan seseorang yang sedang mengalami sebuah emosi. ● Pola-pola aktivitas otak serupa cenderung terekam ketika seseorang mengalami sebuah emosi, membayangkan emosi itu, atau melihat orang lain mengalami emosi itu. Ketiga temuan fundamental ini memengaruhi bagaimana para peneliti memikirkan tentang mekanisme neural emosi. b) Amigdala dan Emosi Manusia Meskipun amigdala manusia tampaknya merespon paling kuat terhadap ketakutan, amigdala juga merespon emosi-emosi lain. Bahkan, amigdala tampaknya berperan dalam performa tugas apa pun yang memiliki komponen emosional, positif atau negatif. Hal ini memunculkan pandangan bahwa amigdala berperan dalam mengevaluasi signifikansi emosional berbagai situasi. c) Lobus Prefrontal Medial dan Emosi Manusia Emosi dan kognisi sering kali diteliti secara independen, tetapi sekarang diyakini bahwa mereka lebih baik diteliti sebagai komponen berbeda dari system yang sama. Porsi-porsi medial lobus prefrontal (termasuk porsi-porsi medial korteks orbitofrontal dan korteks singulat) adalah tempat interaksi emosi-kognisi yang telah menerima perhatian paling besar. Banyak studi aktivitas lobus prefrontal medial menggunakan paradigma supresi (penekanan) atau paradigma reappraisal. Dalam studi yang menggunakan paradigma supresi, partisipan diarahkan untuk menghambat reaksi emosionalnya terhadap film atau gambar yang tidak menyenangkan; dalam studi yang menggunakan



paradigma



menginterpretasikan



gambar



reappraisal, untuk



partisipan



mengubah



diinstruksikan



reaksi



emosional



untuk mereka



terhadapnya. Lobus prefrontal medial aktif bila kedua paradigma ini digunakan, 18



dan mereka tampaknya menerapkan control kognitif emosi dengan cara berinteraksi dengan amigdala. Banyak teori tentang fungsi-fungsi spesifik lobus medial telah diusulkan. Lobus prefrontal medial diduga memonitor perbedaan antara hasil dan ekspektasi, mengode nilai stimulus dari waktu ke waktu, memprediksi kemungkinan kesalahan, memperantarai kesadaran yang disadari tentang stimulus emosional, dan memperantarai pengambilan keputusan sosial. d) Lateralisasi Emosi Ada bukti bahwa fungsi-fungsi emosional ter-lateralisasi, yakni bahwa hemisfer sebelah kiri dan kanan terspesialisasi untuk menjalankan fungsi-fungsi emosional yang berbeda. Berikut ada dua teori studi yang paling menonjol tentang lateralisasi serebral emosi: ● Model hemisfer-kanan tentang lateralisasi serebral emosi mengatakan bahwa hemisfer kanan terspesialisasi untuk semua aspek pemrosesan emosi: persepsi, ekspresi, dan pengalaman emosi. ● Model valensi mengatakan bahwa hemisfer kanan terspesialisasi untuk memproses emosi negatif dan hemisfer kiri terspesialisasi untuk memproses emosi positif. Kebanyakan studi tentang lateralisasi serebral emosi menerapkan metode-metode pencitraan-otak fungsional, dan hasilnya kompleks dan beragam. Wager dan rekan-rekan sejawatnya melakukan sebuah meta-analisis terhadap data dari 65 studi semacam itu. Kesimpulan pokok Wager dan rekan-rekan sejawatnya adalah bahwa teori-teori lateralisasi emosi saat ini terlalu umum bila dilihat dari perspektif neuroanatomis. Beberapa jenis pemrosesan emosional ter-lateralisasi di hemisfer kiri di strukturstruktur tertentu dan di hemisfer kanan di struktur-struktur lainnya. Studi-studi pencitraan-otak fungsional tentang emosi sering melihat lateralisasi di amigdala, lebih banyak aktivitas sering terlihat di amigdala kiri. Jelas bahwa model hemisfer-kanan atau model valensi tentang laterisasi emosi tidak didukung oleh bukti. Kedua model ini terlalu umum.



19



Pendekatan lain untuk mempelajari lateralisasi emosi didasarkan pada observasi terhadap asimetri ekspresi wajah. Pada kebanyakan orang, setiap ekspresi wajah dimulai di sisi kiri wajah dan, ketika diekspresikan sepenuhnya, ekspresi itu lebih jelas, yang menyiratkan dominasi hemisfer kanan. e) Mekanisme Neural Emosi Manusia: Perspektif Terkini Meskipun ada konsensus umum bahwa amigdala dan korteks prefrontal medial memainkan peran penting dalam persepsi dan pengalaman emosi manusia, hasilhasil studi pencitraan umum meletakkan konsensus ini dalam perspektif. Di bawah ini adalah empat poin pentingnya: ● Situasi emosi menghasilkan peningkatan menyebar dalam aktivitas serebral, bukan hanya di amigdala dan korteks prefrontal. ● Semua daerah otak yang diaktifkan oleh stimulus emosional juga selama proses-proses psikologi yang lain. ● Tidak ada struktur otak yang jelas berkaitan dengan sebuah emosi tertentu. ● Stimuli emosional yang sama sering kali mengaktifkan daerah-daerah berbeda pada orang-orang yang berbeda. E.



STRES DAN KESEHATAN Stres merupakan kondisi ketika tubuh terpapar bahaya atau ancaman. Semua stressor baik yang bersifat psikologis maupun fisik menghasilkan pola perubahan fisiologis inti serupa. Akan tetapi, stres psikologis kronis adalah yang paling berimplikasi dalam kesehatan. a. Respons Stres



20



Hans Selye (1950) mengatribusikan respons stres pada aktivasi sistem korteksadrenal pituitari-anterior. Ia menyimpulkan bahwa stressor yang mempengaruhi sirkuit-sirkuit neural menstimulasi pelepasan adrenocorticotropic hormone (ACTH) dari pituitari anterior sehingga ACTH pada gilirannya akan memicu pelepasan glukokortikoid dari korteks adrenal sehingga glukokortikoid menghasilkan banyak komponen respons stres. Selye banyak mengabaikan kontribusi sistem saraf simpatik pada respons stres tetapi stressor mengaktifkan sistem saraf simpatik sehingga meningkatkan jumlah epinefrin dan norepinefrin yang dilepaskan dari medula adrenal.



Fitur utama teori Selye atas pendapatnya bahwa stresor fisik dan psikologis mampu menginduksi respons stres secara umum sama. Respons bergantung pada stresornya, kapan, bagaimana sifat dan orang yang stres bereaksi terhadap stresornya. Pada 1990 ditemukan bahwa stresor singkat menghasilkan peningkatan kadar sitokin dalam darah. Sitokin adalah kelompok hormon-hormon peptida yang dilepaskan oleh banyak sel dan berpartisipasi di berbagai respons fisiologis dan imunologis yang menyebabkan inflamasi dan demam. Sitokin bersama hormon adrenal adalah hormon stres utama. b. Model Binatang untuk Stres Penelitian stres awal tentang stres dilakukan pada non-manusia cenderung melibatkan bentuk-bentuk ekstrem stres seperti paparan kejutan listrik berulang atau penahanan fisik untuk kurun waktu yang lama. Ada dua masalah dalam penelitian, pertama, etika. Penelitian yang melibatkan penciptaan situasi yang memicu stres menjadi kontroversial. Kedua, studi yang menggunakan bentuk stres ekstrem sering dipertanyakan keilmiahannya. Model binatang yang lebih baik untuk stress melibatkan studi tentang ancaman dari conspecifics (spesies yang sama). Bila ancaman itu menjadi fitur berkelanjutan, hasilnya adalah stres subordinasi (membentuk hierarki dominansi). Ancaman sosial kronis yang menginduksi stres subordinasi pada anggota banyak spesies, disebut bullying pada manusia. 21



c. Gangguan Psikosomatik Kasus Gastric Ulcers Gastric Ulcers atau tukak lambung adalah gangguan medis pertama yang diklasifikasikan sebagai psikosomatis, yaitu lesi yang menyakitkan pada lapisan lambung dan duodenum (usus 12 jari) yang dalam kasus ekstrem mengancam jiwa manusia. Pandangan gastric ulcers sebagai gangguan psikosomatik prototipikal berubah dengan adanya temuan bahwa gastric ulcers disebabkan oleh bakteri H.pylori yang menyingkirkan stres sebagai penyebabnya. Namun, fakta membuktikan lebih sering orang yang hidup dalam stressful dan stresor menghasilkan gastric ulcers. Jadi, stres juga merupakan faktor yang meningkatkan kerentanan dinding lambung rusak.



d. Psikoneuroimunologi: Stres, Imun dan Otak Psikoneuroimunologi (1980-an) merupakan studi tentang interaksi antara faktor psikologis, sistem saraf, dan sistem imun. Tubuh memiliki empat lini pertahanan. Pertama, behavioral immune system dan kedua, penghalang permukaan tubuh yaitu kulit. Jika mikroorganisme sanggup menerobos kedua lini tersebut maka ada dua lini pertahanan lain yaitu sistem imun bawaan dan sistem imun adaptif. Sistem imun bawaan bereaksi dengan cepat di dekat titik masuk patogen ke dalam tubuh. Dipicu ketika toll-like receptors mengikat diri pada molekul-molekul permukaan patogen. Reaksi pertama sistem imun ini terhadap invasi patogen adalah inflamasi (pembengkakan) yang dipicu oleh pelepasan bahan kimia dari sel yang rusak. Sitokin sangat berpengaruh dan menarik leukosit dan fagosit ke dalam daerah yang terinfeksi. Sementara itu, sistem imun adaptif bereaksi lebih lambat terhadap patogen daripada sistem imun bawaan. Sel-sel utama sistem imun adaptif adalah leukosit terspesialisasi (limfosit) yang dihasilkan oleh sumsum tulang belakang dan kelenjar thymus dan tersimpan dalam sistem limfatik sampai mereka diaktifkan. Dua golongan utama limfosit yaitu: sel B untuk menggerakkan kekebalan dimediasi-antibodi dan sel T untuk mengarahkan dimediasi-sel. Reaksi kekebalan dimediasi-sel dimulai ketika faagosit mencerna mikroorganisme asing. Kemudian fagosit memperlihatkan antigen di atas permukaan membran selnya dan menarik sel-sel T. Setelah sel-T dengan reseptor untuk antigen asing mengikatkan diri pada permukaan sebuah makrofagus yang terinfeksi, maka



22



serangkaian reaksi akan terinisiasi. Terdapat multiplikasi sel T untuk menghancurkan seluruh penyerbu dan sel tubuh yang terinfeksi. Reaksi kekebalan dimediasi-antibodi dimulai ketika sel-B mengikatkan diri pada antigen asing yang berisi reseptor sesuai. Hal ini menyebabkan sel-B bermultiplikasi dan mematikan molekul reseptornya. Molekul reseptor mematikan (antibodi) dilepaskan ke dalam cairan intraseluler yang mengikatkan diri pada antigen-antigen asing dan menghancurkan mikroorganisme yang mendudukinya.



e. Efek Stres pada Fungsi Kekebalan Diyakini secara luas bahwa stres mendistrupsi fungsi kekebalan. Segerstom dan Miller menemukan bahwa efek stres pada fungsi imun bergantung pada jenis stresornya. Mereka menemukan bahwa stresor akut (singkat), misalnya, berbicara depan umum, sebetulnya menghasilkan perbaikan dalam fungsi kekebalan. Sebaliknya, stresor kronis (lama) misalnya, merawat orang pengangguran yang dikasihi dapat menyebabkan mendisrupsi kesehatan atau distress. f. Proses Stres Mempengaruhi Fungsi Kekebalan Rute-rute perilaku ketika stres dapat mempengaruhi fungsi kekebalan. Sebagai contoh, orang-orang yang sedang mengalami stres berat sering memperlihatkan pola diet, olahraga, tidur, dan penggunaan obat yang berubah yang bagiannya dapat mempengaruhi fungsi kekebalan. Selain itu, perilaku orang stres atau sakit akan menimbulkan stres atau sakit pada orang lain. g. Apakah Stres Mempengaruhi Kerentanan terhadap Penyakit-Penyakit Infeksi? Alasan mengapa penyakit-penyakit yang dihasilkan stres menurunkan fungsi imun mungkin tidak terefleksi dalam peningkatan kerentanan terhadap penyakit infeksi: 23



1. Sistem kekebalan memiliki banyak komponen sehingga disrupsi pada salah satu komponen mungkin hanya memiliki sedikit atau sama sekali tidak memiliki efek pada kerentanan terhadap infeksi 2. Perubahan akibat stres pada sistem kekebalan mungkin terlalu singkat untuk memiliki efek yang substansial 3. Menurunnya beberapa aspek fungsi kekebalan dapat menginduksi peningkatan kompensatorik pada aspek-aspek lainnya. Telah terbukti sulit untuk menunjukkan bahwa stres menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap penyakit-penyakit infeksi. Alasannya adalah karena hanya studi korelasional yang mungkin dilakukan. Banyak sekali studi yang melaporkan korelasi positif antara stres dan sakit pada subjek manusia. h. Pengalaman Stres di Usia Dini Anak-anak yang menjadi subjek perlakuan tidak semestinya atau bentuk stres berat lainnya memperlihatkan berbagai macam abnormalitas otak dan sistem endokrin. Paparan stres usia dini sering meningkatkan intensitas respons stres selanjutnya, dan dapat memengaruhi perkembangan neural dan endokrin secara adversif. Dari salah satu penelitian peran pengalaman usia dini dalam perkembangan respons stres, didapatkan hasil bahwa perpisahan anak tikus pada usia dini dari ibunya memiliki efek yang berlawan dengan mereka yang mendapatkan perawatan tingkat tinggi di usia dini. Misalnya, tikus-tikus yang dipisahkan dari ibunya semasa bayi memperlihatkan respons behavioral dan hormonal yang lebih tinggi terhadap stres. i. Stres dan Hipokampus Paparan stres mempengaruhi struktur dan fungsi otak dengan berbagai cara. Akan tetapi, hipokampus sangat rentan terhadap efek-efek yang diinduksi stres. Alasan kerentanan ini adalah populasi reseptor glukokortikoid yang sangat padat di hipokampus. Stres mengurangi percabangan dendritik di hipokampus, mengurangi neurogenesis dewasa di hipokampus, memodifikasi struktur beberapa sinapsis hipokampus, dan mendisrupsi performa dalam tugas-tugas yang bergantung hipokampus. Efek-efek stres pada hipokampus nampaknya diperantarai oleh meningkatnya kadar glukokortikoid. Efek itu dapat diinduksi oleh corticosterone dan dapat diblokir oleh adrenalektomi, pembuangan kelenjar adrenal melalui operasi.



24



BAB III PENUTUP Kesimpulan 1. Chaplin (1989) dalam Dictionary of Psychology mengungkapkan bahwa emosi adalah suatu keadaan yang terangsang dari organisme mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam sifatnya dari perubahan perilaku. Chaplin (1989) membedakan emosi dengan perasaan-perasaan (feelings) adalah pengalaman disadari yang diaktifkan baik oleh perangsang eksternal maupun oleh bermacam-macam keadaan jasmaniah. 2. Kebanyakkan penelitian psikologis tentang emosi difokuskan pada ketakutan dan perilaku defensif. Takut adalah reaksi emosional terhadap ancaman, kekuatan pendorong untuk perilaku defensif. Perilaku defensif adalah perilaku yang fungsi primernya adalah untuk melindungi organisme dari ancaman atau bahaya. Sebaliknya, perilaku agresif adalah perilaku yang fungsi primernya untuk mengancam atau mencelakai. 3. Barret (2006) menyatakan bahwa kemajuan dalam bidang studi tentang dasar neural emosi terbatas karena para pakar neurosains seringkali dipedomani oleh asumsiasumsi kultural tentang emosi yang tidak dapat dibenarkan; oleh karena kita memiliki kata-kata seperti ketakutan, kebahagiaan, dan, kemarahan dalam bahasa kita, maka para ilmuwan seringkali berasumsi bahwa emosi-emosi ini ada sebagai entitas-entitas di otak, dan mereka telah berusaha untuk menemukannya- biasanya tidak banyak membawa hasil. 4. Banyak yang kita ketahui tentang mekanisme ketakutan datang dari studi tentang pengkondisian ketakutan. Fear conditioning (pengkondisian ketakutan) adalah pembentukan ketakutan sebagai respons terhadap stimulus yang semula netral (stimulus kondisional) dengan memperlihatkannya, biasanya beberapa kali, sebelum datangnya stimulus aversif (stimulus tak-kondisional). 5. Dalam eksperimen pengkondisian ketakutan standar, subjek, seringkali tikus, mendengar bunyi (stimulus kondisional) dan kemudian menerima sengatan listrik ringan di telapak kakinya (stimulus tak kondisional). Setelah beberapa pemasangan bunyi dan kejutan, tikus merespons bunyi itu dengan perilaku defensive (misalnya, diam dan meningkatnya kerentanannya untuk kaget) dan respons sistem saraf simpatik (misalnya, meningkat denyut jantung dan tekanan darah). LeDoux dan rekan-rekannya telah memetakan mekanisme neural yang memediasi bentuk pengkondisian ketakutan auditorik ini. 6. Stres merupakan kondisi ketika tubuh terpapar bahaya atau ancaman. Semua stressor baik yang bersifat psikologis maupun fisik menghasilkan pola perubahan fisiologis inti serupa 7.



25



Daftar Pustaka Pinel, John P.J., & Barnes, Steven J. (2019). BIOPSIKOLOGI. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.



26