BJT Tugas 3 HKUM4402 [PDF]

  • Author / Uploaded
  • Mita
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BUKU JAWABAN TUGAS MATA KULIAH TUGAS 3



Nama Mahasiswa



: SYAMSUDIN



Nomor Induk Mahasiswa



: 021910362



Kode/Nama Mata Kuliah



: HKUM4402/Hukum Perjanjian



Kode/Nama UPBJJ



: 47/Pontianak



Masa Ujian



: 2021/22.1 (2021.2)



KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS TERBUKA



1. Perhatikan Kasus Posisi di bawah ini ! Perjanjian konsinyasi yang dilakukan oleh para breeder anjing ras dalam memasarkan atau menjual koleksi-koleksi hasil dari pembiakan dengan cara menitipjualkan kepada toko-toko penjual binatang dan segala keperluannya atau sering disebut dengan istilah pet shop, salah satunya adalah Pet Gallery Kota Bekasi. Para breeder menitipkan anjing ras sebagai produk dari pembiakannya untuk dijualkan oleh Pet Gallery Kota Bekasi, yang tentunya mempunyai kesepakatan dalam perhitungan bagi hasil atau bagi keuntungan. Dalam prakteknya, perjanjian konsinyasi dirasakan sangat menguntungkan baik pihak breeder maupun pihak Pet Gallery Kota Bekasi. Namun masih terdapat kekurangan maupun celah-celah yang dapat menimbulkan permasalahan hukum, baik pada saat perjanjian konsinyasi tersebut masih berlangsung maupun setelah anjing ras tersebut laku terjual, karena klausula-klausula mengenai hak dan kewajiban para pihak biasanya tidak diatur secara rinci dan tegas dalam perjanjian konsinyasi tersebut. Permasalahan yang timbul dari perjanjian konsinyasi di Pet Gallery Kota Bekasi yaitu adanya anjing ras yang sakit atau bahkan mati karena adanya unsur kelalaian dan/atau wanprestasi dari pihak pet shop khususnya di Pet Gallery Kota Bekasi. Permasalahan yang lain yaitu anjing ras yang dititip jualkan oleh breeder kepada pihak Pet Gallery Kota Bekasi ada yang memiliki kelainan yang belum atau memang tidak terlihat. a. Berdasarkan kasus diatas, apakah jenis perjanjian tersebut bernama atau perjanjian tidak bernama, jelaskan pendapat saudara ? Jawab: Perjanjian konsinyasi termasuk perjanjian tidak bernama atau innominaat dimana timbulnya perjanjian ini karena adanya asas kebebasan berkontrak, sebagaimana tercantum dalam pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, perjanjian ini lahir dan berkembang dalam praktek bisnis, landasan hukum terutama bertumpu pada prinsip kebebasan berkontrak dan asas kepercayaan. b. Bagaimanakah penyelesaian hukum akibat adanya anjing ras yang sakit atau mati pada saat dititip jualkan di Pet Gallery Kota Bekasi ? Jawab: Penyelesaian hukum akibat adanya anjing ras yang sakit atau mati pada saat dititip jualkan di Pet Gallery Kota Bekasi sesuai dengan Pasal 16 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu menyelesaikan perkara perdata secara perdamaian. Dengan adanya kelalaian dari pihak Pet Gallery Kota Bekasi, maka pihak Pet Gallery Kota Bekasi segera melakukan konfirmasi dan negosiasi untuk mendapatkan solusi bersama, yang pada akhirnya disepakati bahwa pihak Pet Gallery Kota Bekasi memberikan ganti rugi atas kerugian yang dialami oleh breeder. c. Bagaimanakah penyelesaian hukum akibat adanya kelainan dalam tubuh anjing ras yang tidak terlihat pada saat dititip jualkan di Pet Gallery Kota Bekasi Jawab: Penyelesaian akibat adanya kelainan dalam tubuh anjing ras yang tidak terlihat pada saat dititip jualkan di Pet Gallery Kota Bekasi sesuai dengan Pasal 16 Undangundang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu menyelesaikan perkara perdata secara perdamaian. Dengan negosiasi yang dilakukan para pihak, dapat ditemukan solusi sehingga tercapai kesepakatan bersama untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Solusi yang disepakati adalah dengan pemberian ganti rugi karena adanya pembatalan pembelian yang tentunya dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan yang ada sebelumnya. Ganti rugi yang dimaksud berupa



pengembalian uang pembelian dan pengembalian anjing ras sebagai barang konsinyasi. 2. Pengusaha A melakukan perjanjian kerjasama dengan Pengusaha B dengan proses negosiasi sehingga menghasilkan kesepakatan. Pengusaha A juga melakukan perjanjian dengan Pengusaha C tanpa proses negosiasi namun tetap terjadi kesepakatan. a. Berdasarkan kasus diatas, menurut pendapat saudara tindakan mana yang memiliki kekuatan hukum berdasarkan ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata terhadap perjanjian dengan proses negosiasi atau perjanjian tanpa negosiasi ? Jawab: Pembuatan kontrak bisnis pada umumnya diawali dengan negosiasi yang dilakukan oleh para pihak kemudian dituangkan dalam sebuah MoU yang merupakan perjanjian pendahuluan yang dibuat sebagai perwujudan dari kesepahaman dan kehendak para pihak sebelum memasuki tahap kontraktual. Hal tersebut disebabkan karena struktur dan anatomi MoU sama dengan perjanjian. Sehingga MoU tunduk pada prinsip, asas dan norma hukum perjanjian yang diatur di dalam Buku III KUH perdata. Jika dalam tahap perjanjian pendahuluan terjadi pembatalan secara sepihak, maka sebagai akibat hukumnya, pihak yang melakukan pembatalan tersebut harus bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkannya. Bentuk tanggung jawab tersebut berupa pengembalian biaya yang telah dikeluarkan pada saat melakukan negosiasi dan ganti rugi atas kehilangan kesempatan untuk melakukan kontrak dengan pihak ketiga. Jadi, kedua kasus di atas sama-sama memiliki kekuatan hukum. Berdasarkan ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata terhadap perjanjian dengan proses negosiasi atau perjanjian tanpa negosiasi yang berbunyi sebagai berikut; untuk sahnya perjanjianperjanjian, diperlukan empat syarat: 1) Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; 2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3) Suatu hal tertentu; 4) Suatu sebab yang tidak terlarang. Jika asas konsensual menemukan dasar keberadaannya pada ketentuan angka (1) dari Pasal 1320 KUH Perdata, asas kebebasan berkontrak mendapatkan dasar eksistensinya dalam rumusan angka (4) Pasal 1320 KUH Perdata. Asas kebebasan berkontrak memungkinkan para pihak untuk membuat dan mengadakan kesepakatan atau perjanjian termasuk MoU yang melahirkan kewajiban apa saja, selama dan sepanjang prestasi yang wajib dilakukan tersebut bukanlah hal yang terlarang. KUH Perdata yang menjadi sumber hukum primer untuk kontrak belumlah mengatur mengenai tahapan prakontraktual, KUH Perdata hanya mengatur ketika syarat sahnya sebuah kontrak yang dapat kita lihat dari Pasal 1320 KUHPerdata. Momentum terjadinya kontrakpun tidak diatur dalam KUH Perdata tersebut, apabila terjadi kasus, maka hakim akan merujuk kepada teori-teori dari para ahli tentang lahirnya sebuah kontrak. Menurut teori kehendak (will theory), faktor yang menentukan adanya perjanjian adalah kehendak. Meskipun demikian, terdapat hubungan yang tidak terpisahkan antara kehendak dan pernyataan. “Kehendak adalah batu penjuru (dasar) dari keseluruhan hukum keperdataan”, demikian dikatakan oleh Nieskens-Ipshording dalam buku (Budiono, 2006: 383). Ia selanjutnya menambahkan bahwa pengingkaran terhadap kehendak yang otonom dari orang yang melakukan tindakan/perbuatan justru tidak akan memecahkan masalah apapun, tetapi lebih dari itu akan sekaligus menafikan hukum keperdataan.



Oleh karena itu suatu kehendak harus dinyatakan. Namun apabila terdapat ketidak sesuaian antara kehendak dan pernyataan, maka tidak terbentuk suatu perjanjian. Berdasarkan teori kehendak suatu kesepakatan mengikat karena memang merupakan keinginan para pihak yang menginginkan kesepakatan itu mengikat. Para pihak sendirilah yang pada intinya menyatakan kehendaknya melalui pembuataan MoU untuk mengikatkan diri. Jadi apabila terjadi ketidaksesuaian antara kehendak dan penyataan maka kehendak dari para pihaklah yang menentukan. Agar suatu kehendak untuk bekerjasama dalam bidang bisnis dapat menjadi perjanjian, maka kehendak tersebut harus dinyatakan baik dalam bentuk MoU maupun langsung ke dalam bentuk kontrak. Sehingga yang menjadi dasar dari terikatnya seseorang terhadap suatu perjanjian adalah apa yang dinyatakan oleh orang tersebut melalui substansi sebuah kesepakatan. Lebih lanjut menurut teori ini, jika terdapat ketidaksesuaian antara kehendak dan pernyataan, maka hal ini tidak akan menghalangi terbentuknya perjanjian. Teori pernyataan lahir sebagai jawaban terhadap kelemahan teori kehendak (Budiono, 2006: 76). Pernyataan atau ungkapan kehendak manusia tidak memiliki kekuatan normatif. Untuk itu dapat pula dikatakan jika seseorang menyatakan akan membuat suatu kesepakatan tertentu, hal itu adalah karena ia memang berkehendak untuk itu. Namun teori ini juga memiliki kelemahan. Karena teori pernyataan hanya hanya berfokus pada pernyataan dan tidak memperhatikan kehendak seseorang. Sehingga terdapat potensi kerugian yang terjadi apabila tidak terdapat keseuaian antara kehendak dan pernyataan. Menurut teori pernyataan, pembentukan kehendak terjadi dalam ranah kejiwaan seseorang. Sehingga pihak lawan tidak mungkin mengetahui apa yang sebenarnya terdapat di dalam benak seseorang, dengan demikian suatu kehendak yang tidak dapat dikenali oleh pihak lain tidak mungkin menjadi dasar dari terbentuknya suatu perjanjian. Teori kepercayaan berusaha untuk mengatasi kelemahan dari teori pernyataan. Oleh karena itu teori ini juga dapat dikatakan sebagai teori pernyataan yang diperlunak. Menurut teori ini, tidak semua pernyataan melahirkan perjanjian. Suatu pernyataan hanya akan melahirkan perjanjian apabila pernyataan tersebut menurut kebiasaan yang berlaku di dalam masyarakat menimbulkan kepercayaan bahwa hal yang dinyatakan memang benar dikehendaki. Atau dengan kata lain, hanya pernyataan yang disampaikan sesuai dengan keadaan tertentu (normal) yang menimbulkan perjanjian. Adalah penting bahwa pihak lawan “tidak peduli terhadap soal apakah mitra atau lawannya dalam kontrak pada saat pernyataan dibuat memang hendak terikat dan ingin tetap terikat”, apa yang penting ialah bahwa atas dasar pernyataan yang dibuat seseorang berakibat mitra atau lawannya akan mengambil tindakan tertentu. Berdasarkan teori ini maka perjanjian bergantung pada kepercayaan atau pengharapan yang muncul dari pihak lawan sebagai akibat dari pernyataan yang diungkapkan, dengan demikian MoU merupakan wadah sebagai tempat para pihak yang akan berbisnis menyatakan kehendaknya masing-masing (sekalipun kehendak itu masih berupa pokok-pokoknya saja dan belum mendetail) sebelum memasuki proses kontrak dimana para pihak tersebut menaruh harapan satu sama lain agar bisa diteruskan ke kontrak yang sesungguhnya. Pembuatan MoU tergolong dalam tahap pra kontraktual, karena MoU dibuat para pihak sebelum membuat suatu perjanjian. Pembuatan MoU tersebut dimaksudkan oleh para pihak sebagai tahap permulaan, yang dikemudian hari akan ditindak lanjuti dengan pembuatan perjanjian (Yuanitasari & Kusmayanti, 2020: 301).



b. Jelaskan dampak perjanjian hasil negosiasi dan perjanjian tanpa negosiasi dalam kasus diatas ? Jawab: Negosiasi dan kontrak adalah dua hal yang berhubungan. Kontrak lahir karena adanya kesepakatan para pihak, dan kesepakatan para pihak dapat terjadi setelah melalui proses negosiasi. Negosiasi merupakan proses penting sebelum dibuatnya suatu kontrak, negosiasi merupakan tahap awal dalam menyusun kontrak dan terjadi pada tahap pra kontrak. Negosiasi merupakan sebuah kegiatan atau proses tawar menawar untuk membahas perbedaan kepentingan para pihak, dan tujuan dari tawar menawar ini adalah mencapai suatu kesepakatan. Negosiasi merupakan hal yang penting dalam proses pembentukan kontrak, negosiasi akan mempengaruhi isi dan pelaksanaan kontrak. Apabila para pihak yang membuat kontrak menerapkan strategi dan tahapan kontrak dengan benar maka diharapkan kontrak tersebut dapat memberikan kepastian hukum, perlindungan hukum serta mencerminkan keseimbangan dan keadilan para pihak. Negosiasi tidak hanya terjadi pada tahap pra kontrak dengan melahirkan kesepakatan yang hasil kesepakatan dituangkan dalam suatu kontrak tertulis. Negosiasi juga digunakan untuk menyelesaikan sengketa atau konflik yang terjadi dalam pelaksanaan kontrak, karena biasanya para pihak menyepakati dalam isi kontrak bahwa apabila terjadi perselisihan dalam pelaksanaan kontrak akan diselesaikan secara negosiasi, baru apabila tidak tercapai sepakat akan diselesaikan secara litigasi ke Pengadilan Negeri. Suatu negosiasi dapat berdampak positif, jika dilandasi oleh itikad baik, dalam arti dilakukan berdasarkan keyakinan, semangat dan kejujuran tanpa ada unsur maksud atau tujuan yang tidak baik yang disembunyikan oleh para pihak, dalam merancang dan membuat kontrak. Kemudian, negosiasi dilakukan secara interaktif, komunikatif dan efektif, dalam arti dilakukan secara sadar, saling menghargai posisi tawar-menawar dan argumentasi yang rasional dan wajar dari masing-masing pihak yang dikemukakan secara dialogis (urun rembug, dua arah) dan dinamis (dalam arti berkembang sesuai dengan arah yang dikehendaki oleh para pihak), dalam bingkai musyawarah untuk mencapai mufakat tentang maksud dan tujuan para pihak untuk membuat kontrak. Negosiasi juga dapat berdampak negatif, jika gagal menghasilkan mufakat tentang maksud dan tujuan para pihak untuk membuat kontrak, karena dilandasi oleh itikad buruk, dalam arti dilakukan secara tidak jujur dan mengandung maksud atau tujuan yang tidak baik yang disembunyikan oleh para pihak dalam merancang dan membuat kontrak. Negosiasi hampir selalu ada dalam proses pembuatan atau penyusunan kontrak, meskipun pada prakteknya ada juga kontrak yang diawali dengan tanpa proses negosiasi. Kontrak yang tidak diawali dengan negosiasi seperti halnya jual beli di minimarket atau supermarket, kita menginginkan sebuah baju kemudian dibawa ke kasir untuk di bayar, saat pembeli membayar dan penjual memberikan baju maka terjadilah jual beli. Jual beli tersebut dilakukan tanpa pembeli menawar harganya, ketika membayar pembeli berarti setuju atas harga tersebut. Penyusunan kontrak yang menyangkut nilai yang sangat besar, tindakan negosiasi merupakan hal yang wajib dilakukan karena untuk memperoleh kepastian dan perlindungan kepentingannya. Negosiasi dapat dilakukan secara rinci maupun secara sederhana, tergantung kepentingan dan kesepakatan para pihak. Tujuan diadaakannya negosiasi adalah untuk mempertemukan dua kepentingan yang berbeda. Negosiasi telah menjadi elemen penting dalam suatu kontrak, apalagi dalam kontrak bisnis internasional. Negara-negara maju, baik yang menganut Civil Law maupun Common Law telah menempatkan negosiasi sebagai elemen penting dalam suatu kontrak dan telah mengikat para pihak. Jadi dampak perjanjian hasil negosiasi dan perjanjian tanpa negosiasi dalam



kasus di atas, yaitu sebagai berikut : Untuk perjanjian hasil negoisasi dapat memberikan kepastian hukum, perlindungan hukum serta mencerminkan



keseimbangan dan keadilan para pihak karena hal tersebut sudah di sepakati kedua belah pihak dalam proses negoisasi. Sedangkan untuk perjanjian tanpa negosiasi menurut Pasal 1320 KUHPerdata tetap sah, asalkan telah terjadi kesepakatan kedua belah pihak. Akan tetapi apabila menyangkut penyusunan kotrak dengan nilai yang sangat besar, tindakan negosiasi merupakan hal yang wajib dilakukan karena untuk memperoleh kepastian dan perlindungan hukum.



c. Jelaskan tips negosiasi yang baik agar anda dapat mencapai kesepakatan terbaik yang menguntungkan bagi bisnis Anda ? Jawab: Beberapa tips negosiasi yang baik agar Anda dapat mencapai kesepakatan terbaik yang menguntungkan bagi bisnis Anda. 1) Lakukan riset tentang pihak lain. 2) Sampaikan sebanyak mungkin informasi yang relevan. 3) Tentukan batas waktu negoisasi. 4) Tetap bersikap profesional. 5) Buat kontrak atau perjanjian. 3. Perhatikan Kasus Posisi di bawah ini ! Pada tahun 2010 PT. X telah mengikat perjanjian asuransi kebakaran dengan PT. Asuransi Y dengan objek pertanggungan berupa pabrik pengolahan kelapa sawit dan stok minyak kelapa sawit yang terdapat di Provinsi Lampung, kemudian pada akhir tahun 2012 pabrik yang dipertanggungkan tersebut dijarah (dicuri) serta dibakar oleh sekelompok orang tak dikenal yang menyebabkan seluruh pabrik musnah terbakar seluruhnya (total loose) berikut stok minyak kelapa sawit yang juga merupakan objek pertanggungan. PT. X mengajukan klaim atas kejadian tersebut tetapi PT. Asuransi Y menolak klaim tersebut dengan alasan peristiwa yang menyebabkan pabrik dan stok kelapa sawit yang berada di dalamnya musnah terbakar adalah merupakan peristiwa ”pencurian dengan tindak kekerasan” yang tidak termaksud kedalam penyebab yang dipertanggungkan dalam polis yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Sedangkan menurut PT. X penyebab musnahnya pabrik beserta stok minyak kelapa sawit yang ada didalamnya merupakan penyebab yang juga dipertanggungkan di dalam polis asuransi yang terdapat dalam kalusa perluasan jaminan yaitu klausula ”perbuatan jahat” yang merupakan bagian dari polis asuransi tersebut. Perbedaan penafsiran inilah yang menimbulkan ambiguitas yang berujung pada timbulnya sengketa di kedua belah pihak. a. Berdasarkan kasus diatas, menurut pendapat saudara bagaimana penerapan mengenai penafsiran isi perjanjian antara PT.X dengan PT.Asuransi Y ? Jawab: Pengaturan mengenai penafsiran perjanjian di dalam sistem hukum Indonesia yang menganut sistem hukum Civil Law terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dalam pasal 1342 sampai dengan pasal 1350. Sedangkan dalam sistem hukum Common Law, pengaturan mengenai penafsiran perjanjian terdapat dalam The Restatement (second) of Contract, yang tidak lain merupakan upaya menghimpun dan menyimpulkan ketentuan hukum yang terjadi di pengadilan beberapa diantaranya mengenai pelaksanaan perjanjian dan lainnya mengenai isi dari perjanjian tersebut untuk ditarik kaidah-kaidah hukumnya yang kemudian akan digunakan dalam praktek hukum professional. Doktrin Contra Proferentem adalah salah satu ajaran dalam hukum perjanjian mengenai penafsiran perjanjian. Dalam KUHPer sebenarnya juga dikenal metode penafsiran perjanjian yang mirip dengan Doktrin Contra Proferentem hanya saja



penamaan atau istilah yang digunakan berbeda. Metode ini terdapat dalam pasal 1349 KUHPer, pasal ini mengandung suatu prinsip dalam penafsiran perjanjian, yaitu prinsip kerugian pengusul atau penyusun kontrak. Prinsip ini mempunyai sebuah tujuan yuridis yaitu agar para pihak yang terikat dalam perjanjian terhindar dari eksploitasi pihak lainnya yang biasanya mempunyai kedudukan ekonomi lebih kuat. b. Bagaimana penerapan doktrin contra proferentem bila terjadinya perbedaan penafsiran terhadap klausul dalam perjanjian asuransi ? Jawab: Doktrin Contra Proferentem sebagai salah satu metode penafsiran perjanjian sangat tepat jika diterapkan pada penyelesaian sengketa perjanjian asuransi, terutama sengketa yang disebabkan oleh adanya ambigiuitas atau ketidakjelasan makna pada polis. Karena pada perjanjian asuransi bukti perjanjian yang berupa polis dibuat dalam suatu perjanjian baku yang telah disusun oleh pihak perusahaan asuransi yang berkedudukan sebagai penanggung. Penerapan metode penafsiran ini dalam penyelesaian sengketa perjanjian asuransi sebagai suatu perjanjian baku mempunyai tujuan untuk perlindungan tertanggung. Doktrin Contra Proferentem sebagai metode penafsiran perjanjian dapat diterapkan jika ada kata, kalimat, atau klausula yang oleh para pihak diperdebatkan atau dipersengketakan yang biasanya terjadi ketika perjanjian dilaksanakan. Upaya penafsiran ini dapat dilaksanakan dengan cara dimintakan oleh para pihak yang bersengketa maupun atas inisiatif lembaga yang berwenang dimana sengketa tersebut diselesaikan, misalnya dengan badan mediasi atau pengadilan.