Book Review, Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

1



BOOK REVIEW



PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA



Oleh: HAS I NU DD I N NIP: 198209152009011008 (PENYULUH AGAMA ISLAM FUNGSIONAL)



KANTOR KEMENTERIAN AGAMA KABUPATEN JEMBER 2018



2



BOOK REVIEW



PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA A. KATALOG BUKU Judul



: Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia



Penulis



: Dr. Ahmad Rofiq, M.A.



Jenis



: Penelitian kualitatif / deskriptif analitis



Tebal



: 20 halaman (bagian depan) dan 248 halaman (bagian belakang)



B. BIODATA PENULIS Ahmad Rofiq, lahir di Kudus, 14 Juli 1959. Menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang. Kemudian melanjutkan ke jenjang S2 dan S3 di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sekarang mengabdikan diri sebagai dosen di Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang. C. LATAR BELAKANG Hukum Islam sering dituduh sebagai sebagai penyebab dari kemuduran umat Islam. Beban psikologis ini tidak lain dikarenakan Hukum Islam yang dalam sejarahnya lebih banyak (untuk tidak mengatakan seluruhnya) mengacu kepada kitabkitab kuning yang ditulis pada abad-abad II dan III H, kemudian ditelan “mentahmentah” sebagai kebenaran final dan par-exellence. Padahal banyak sekali dari produk-produk kitab kuning tersebut merupakan respon yang bersifat lokal dan partikular, sesuai dengan dimensi ruang dan waktunya. Akibatnya banyak sekali dari muatan produk Hukum Islam yang diakomudir lewat kitab kuning tersebut mengalami “beban aktualitas”, tidak cukup antisipatif dalam merespon perkembangan zaman. Belum lagi dalam merespon perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan kebudayaan yang berkembang secara cepat dan menglobal. Oleh karena itu, agar tidak menjadi “gagap dan kaku (rigid), sudah semestinya hukum Islam dituntut lebih fleksibel daya jangkaunya, baik sebagai sosial control maupun sosial engineering. Melihat kenyataan ini maka, perlu adanya pembaharuan (tajdid/renewal), baik secara individu maupun kelompok pada kurun waktu tertentu yang telah dimapankan pemikirannya oleh produk pemikiran lama. Agar Umat Islam bisa lepas dari tuntutan sejarahnya dan agar tidak kehilangan elan vitalnya (rohnya) dalam upaya memberi arah dan bimbingan bagi masyarakat pemeluknya.



3



Menurut Satjipto Rahardjo, secara sosiologis, perubahan sosial merupakan ciri yang melekat pada masyarakat. Diskarenakan masyarakat mengalami perubahan. Oleh karenanya perubahan ini perlu direspon oleh Hukum Islam, yang pada gilirannya Hukum Islam diharapkan memiliki kemampuan fungsi sosial control dan sosial engineering, atau meminjam istilahnya T. Mulya Lubis, selain Hukum Islam sebagai repressive laws dan sanggup menjadi facilitative laws. Hukum Islam sebagai suatu produk kerja intelektual, perlu dipahami tidak hanya terbatas pada fiqh saja. Persepsi yang tidak proposional dalam memandang eksistensi Hukum Islam sering melahirkan kekeliruan persepsi baru dalam memandang perkembangan atau perubahan yang terjadi dalam Hukum Islam itu sendiri. Selain fiqh, setidaknya ada tiga produk Hukum Islam lainnya, yaitu fatwa, keputusan pengadilan, dan perundang-undangan. Ketika Hukum Islam dipahami hanya fiqh saja, maka kesan yang diperoleh adalah Hukum Islam mengalami stagnasi atau jumud dan tidak sanggup menjawab tantangan perubahan. Kegelisahan inilah yang mendorong Ahmad Rofiq untuk meneliti lebih jauh sekaligus memberikan kontribusi pemikiran dalam menyerukan pembaharuan hukum Islam di Indonesia yang kemudian dituangkan dalam tulisannya yang berjudul Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia. D. METODOLOGI Adapun kajian yang digunakan oleh Ahmad Rofiq adalah kajian pustaka (library research) pada produk-produk Hukum Islam yang telah dituangkan dalam undang-undang dengan menggunakan metode penelitian kualitatif atau deskriptif analitis. E. LANDASAN TEORI 1. Sejarah perkembangan Hukum Islam di Indonesia Secara substantif, uapaya-upaya penghimpunan fiqh kedalam bahasa perundang-undangan telah lama dirintis oleh ahli hukum dan ulama Indonesia. Kelahiran UU No.1 Tahun 1974, sebanarnya dapat dilihat sebagai upaya kompilasi, meskipun namanya Undang-Undang. Secara yuridis, bila dilihat dari tertib perundang-undangan menurut TAP MPRS No.XX/MPRS/1996 memang



4



istilah KHI tidak termasuk. Namun, UU No.1 tahun 1974 justru memiliki kedudukan lebih tinggi dari hanya sekedar kompilasi. Karena Undang-undang memiliki daya ikat dan daya paksa pada subyek dan obyek hukumnya, sedangakan kompilasi sesuai dengan karakaternya, hanya menjadi pedoman saja, yang relatif tidak mengikat. Maka pandangan bahwa Hukum Islam tidak hanya terbatas kepada fiqh saja menjadi sebuah kenscayaan dan mutlak diperlukan. Disahkannya Kompilasi Hukum Islam dengan Inpres No.1 tahun 1991 yang kemudian ditindak lanjuti dengan SKMA RI No.154 Tahun 1991dan disebarluaskan melaui surat Edaran Direktorat



Pembinaan



Badan



Peradilan



Agama



Islam



No.3694/Ev/HK.003/AZ/91menjadi puncak pemikiran fiqh Indonesia. Hal ini didasarkan pada kenyataan proses panjang perumusan kompilasi yang ditempuh dengan diadakannya Lokakarya Nasional yang diikuti oleh ulama-ulama fiqh dari organisasi-organisasi Islam, ulama fiqh dari perguruan tinggi, dan ulama-ulama yang ada pada masyarakat umum, sehingga patut kemudian dianggap sebagai konsensus (ijma’) ulama Indonesia. Kelahiran Kompilasi Hukum Islam yang didalamnya meliputi hukum perkawinan, kawarisan, hibah, shadaqah dan perwakafan, bukanlah menjadi produk hukum yang sudah selesai. Harus disadari Hukum Islam di Indonesia sebagai produk dari hasil kerja intelektual, tidak terbatas pada lingkup materi yang berkisar hukum keluarga atau al-ahwal al-syakhsiyah saja. Namun baru-baru ini muncul gagasan-gagasan baru. Misalnya fiqh sosial yang digagas oleh Prof. KH. Ali Yafie dan KH. M.A. Sahal Mahfudh. Persoalannya



sekarang adalah sejauh mana indikasi dan muatan



kemaslahatan dari kompilasi tersebut, perlu dilihat dari isi pokok komplikasi dan kenyataan aplikasinya di lapangan. Secara historis, Hukum Islam di Indonesia memiliki sejarah panjang seiring dengan masuk, tumbuh dan berkembangnya Islam di Indonesia. Dalam perkembangannya dapat diperiodisasi kedalam beberapa kategori sebagaimana berikut. 1. Hukum Islam diterima menyeluruh oleh Umat Islam. Kenyataan ini dipahami dan diakui oleh pejabat Belanda seperti van den Berg. Dari sini kemudian dimunculkan teori reciptio in complexu. Salah satu buktinya adalah Statuta



5



Batavia 1642 yang menyatakan sengketa warisan anatara orang pribumi yang beragama Islam harus diselesaikan menggunakan Hukum Islam, yakni hukum yang dipakai oleh rakyat sehari-hari. 2. Hukum Islam diberlakukan apabila ia telah diterima oleh Hukum Adat. Karena yang berlaku bagi masyarakat Islam adalah Hukum Adat. Jadi Hukum Adatlah yang menentukan berlakunya Hukum Islam. Kenyataan ini kemudian menjadi teori yang dikenal dengan teori reciptie oleh van Vollenhoven (1874-1933) dan C. Snouck Hurgronje (1874-1936). Sedang menurut Prof. Dr. Hazairin disebut teori Iblis. 3. Hukum Adat berlaku apabila dirsepsi oleh Hukum Islam. Jadi, yang menentukan berlakunya Hukum Adat adalah Hukum Islam. Dengan kata lain Hukum Adat dapat belaku selama Hukum Adat tidak bertentangan dengan Hukum Islam. Teori ini kemudian oleh Sjuti Thalib disebut dengan teori receptio a contrario atau teori receptio exit. 2. Tipologi Pembaharuan Hukum Islam J.N.D. Anderson dalam bukunya Islamic Law in the Modern World membuat tipologi pembaharuan Hukum Islam di kawasan dunia muslim menjadi tiga, yaitu:1) Negara-negara yang masih menganggap syari’ah sebagai hukum dasar dan masih menganggap dapat diterapkan selruhnya. 2) Nagara yang membatalkan Hukum Syari’ah dan telah menggantinya dengan dengan hukum yang seluruhnya sekuler (hukum Barat). 3) Negara yang menempuh jalan kompromi antara Syari’ah dan Hukum Sekuler. Sedangkan Noul J. Couson mengkategorikan kecenderungan pembaharuan Hukum Islam menjadi empat. 1) Diskodifikasikannya (pengelompokan hukum yang sejenis ke dalam kitab undang-undang) Hukum Islam menjadi hukum perundang-undangan negara yang disebutnya sebagai doktrin siyasah. 2) Tidak terikatnya Umat Islam pada hanya satu madzhab hukum tertentu saja, yang disebutnya dengan doktrin takhayyur (menyeleksi) pendapat mana yang paling dominan dalam masyarakat. 3) Perkembangan hukum dalam mengantisipasi perkembangan peristiwa hukum yang baru timbul, yang disebut doktrin tathbiq (penerapan hukum terhadap peristiwa baru), dan 4) Perubahan hukum yang timbul, yang disebut doktrin tajdid atau neo-ijtihad.



6



Perlu ditegaskan bahwa kajian Anderson dan Coulson ini, tidaklah merupakan kajian Hukum Islam di Indonesia, melainkan analisis secara umum yang terjadi di beberapa negeri muslim di dunia. Hal ini bisa dijadikan pisau analisis dalam melihat tipologi dan nuansa pembaharuan Hukum Islam di Indonesia.



F. NUANSA-NUANSA PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA Menyikapi analisis Daniel S. Lev yang mengatakan bahwa secara keseluruhan pembaharuan Hukum Islam di Indonesia berjalan relatif lamban dibanding dengan negara-negara muslim lainnya, terutama di negara-negara Timur Tengah, Afrika Utara, India dan



Pakistan. ---Jika di Indonesia melakukan pembaharuan pada era 70-an



dengan ditandai lahirnya UU No.1 Tahun 1974, Yordania menetapkan Jordania Law of Familiy Right Tahun 1951, Syiria menetapkan Syirian Law of Personal Status pada Tahun 1953, Maroko menetapkan Family Law Of Marocco pada Tahun 1957, Pakistan Pada tahun 1955 mengumandangkan Family Law Of Pakistan, Irak tahun 1955 mengumandangkan Law of Personal Status for Iraq, Tunisia tahun 1957 menetapkan Tunisian Code of Personal Status, dan Sudan menetapkan Sudan Family Law pada tahun 1960. Menurut Ahmad Rofiq, kelambanan ini terjadi karena: 1. Masih kuatnya anggapan bahwa taqlid terhadap pendapat para ulama sebagaimana terekam dalam kitab-kitab fiqh, masih cukup memadai untuk menjawab persoalanpersoalan kontemporer. ----(adapun perubahan yang dilakukan oleh Jamaluddin alAfghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, gagasan pembaharuannya mencakup semua aspek ajaran. Tidak menyentuh langsung kepada Hukum Islam. Karena menurut Daniel S. Lev, sama sekali tidak mengandung penolakan terhadap fiqh. Yang dituntut hanyalah perubahan-perubahan fleksibel dan pengakuan terhadap perlunya adannya perubahan-perubahan. Akan tetapi Hukum Harus bersumberkan pada keimanan dan kekuasaan agama.) 2. Hukum Islam di Indonesia dalam konteks sosial masa kini selalu mengundang polemik. Pertama, Hukum Islam berada pada titik tengah antara paradigma agama dan paradigma negara. Sebagai bagian dari agama, penerapan Hukum Islam secara nyata menjadi misi agama. Namun pada saat yang sama Hukum Islam menjadi



7



bagian dari paradigma negara yang memiliki pluralitas (dengan dasar Benika Tunggal Eka). Akibatnya, negara terpaksa mereduksi tidak hanya hukum Islam tapi juga perangkat lainnya. Kedua, Hukum Islam berada di titik ketegangan antar agama itu sendiri. Dalam kondisi masyarakat Indonesia yang agamanya berbedabeda, pemekaran agama yang satu dapat menjadi ancaman bagi agama lainnya. Karena itu pembaharuan Hukum Islam yang dapat terlihat setelah adanya campur tangan negara, melalui legalisasi, juga menimbulkan ketegangan dan kecemburuan dari penganut agama lainnya. 3. Adanya konsep-konsep atau teori-teori yang dikembangkan oleh pemerintah Belanda (terutama Teori Resiptie), yang oleh kelompok-kelompok tertentu dipandang masih relevan untuk mereka kembangkan guna membela kepentingan kelompok mereka, dengan sering mengatasnamakan negara. 4. Dari faktor internal, adanya persepsi “yang kurang tepat” tentang fiqh, yang notabene merupakan hasil kerja intelektual seorang faqih atau ulama dan kebenarannya relatif , serta dipengaruhi sosio-kultural perumusnya, produk Tuhan



sebagai



yang bersifat absolut. Tidak jarang penyelesaiannya cenderung



menafikan nilai dan norma yang hidup dalam masyarakat. Meskipun terkesan lamban, kelahiran UU. No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, PP. No.9 tahun 1975, PP. No.10 tahun 1983, PP. No.28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, dan Konpilasi Hukum Islam (Inpres No.1 Tahun 1991), merupakan dinamika pembaharuan yang perlu disyukuri. Sebagai produk pemikiran Hukum Islam beberapa hukum diatas adalah kerjasama saling membantu antara lembaga ekskutif (uli al-amr) dan legislatif (ahl al-hall wa al-‘aqd dalam bahasanya al-Mawardy dan Abu Ya’la al-Hanbaly dalam Al-Ahkam Al-Sulthaniyah), yang secara normatif dan historis wajib dipatuhi. Dalam perundang-undangan tersebut hemat Ahmat Rofiq, ada beberapa ide-ide yang menjadi pembaharuan Hukum Islam di Indonesia. Hal ini didasarkan kerena ideide yang baru tersebut belum pernah dibicarakan dalam kitab-kitab fiqh sebelumnya, atau dalam hal tertentu belum ada penegasan secara eksplisit. 1. Hukum Perkawinan Adapun ide-ide pembaharuan yang ada dalam UU Perkawianan dan KHI menurut Ahmad Rofiq adalah: a. Pencatatan perkawinan



8



Sebagaimana diketahui untuk pencatatan pekawianan nampaknya belum ditemukan di kitab-kitab fiqh tentang pentingnya pencatatan perkawinan tersebut oleh PPN selaku petugas yang diberikan wewenang oleh pemerintah (uli al-amr), yaitu PPN untuk orang Islam dan Kantor Catatan Sipil (KCS) bagi selain pemeluk Islam. Menurut Ahmad Rofiq, boleh jadi hal ini karena pada waktu kitab-kitab fiqh dibuat, tingkat amanah kaum muslimin relatif tinggi. Sehingga adanya kemungkinan penyalahgunaan lembaga perkawinan untuk tujuan sesaat, yang tidak sejalan dengan tujuan ideal perkawinan dan yang merugikan pihak lain, relatif kecil. Pernyataan ini tidaklah mengeneralisir bahwa sekarang ini tingkat amanah masyarakat ssudah luntur. Namun pemerintah sebagai penjelmaan uli al-amr menurut Abu Hasan al-Mawardy memiliki dua fungsi. Pertama, fi harasah al-din (menjaga agama), kedua, fi siyasah al-dunya (mengatur urusan dunia) berhak untuk dipatuhi oleh warga negaranya, sepanjang negaranya tersebut



tidak



kemudharatan.



mengajak Oleh



kepada



karenanya



kemungkaran



negara



dan



berkewajiban



mendatangkan mempersiapkan



peraturan-peraturan untuk mengantisipasi adanya tindakan-tindakan yang merugikan salah satu pihak, terutama pihak perempuan. Sejalan dengan kaedah Imam Syafe’i yang sangat terkenal, yaitu tasharruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manuth bi al-maslahah. Artinya, tindakan pemimpin atau pemerintah bagi kepentingan rakyat adalah berorientasi kemashlatan. Adapun nikah sirri menurut Ahmad Rafiq, sah menurut fiqh tetapi tidak atau belum sah menurut agama. Mengapa demikian? Karena pesan agama adalah universal dibawah prinsip rahmatan lil ‘alamin, artinya segala tindakan manusia hanya dibenarkan menggunakan justifikasi agama, sejauh ia mendatangkan manfaat bagi kepentingan umum, bukan kemaslahatan yang bersifat perorangan atau kasuistik. Ini berbeda dengan fiqh yang diformulasikan oleh fuqaha’ yang dipengaruhi oleh ruang dan waktu. Jadi bisa jadi, jika pendapat ulama dulunya diterapkan



mendatangkan



kemashlahatan,



jika



diterapkan



sekarang



mendatangkan kemudharatan. Apalagi didukung oleh data-data faktual, bahwa perkawinan yang tidak dicatat akan mendatangkan kesengsaraan bagi seorang istri yang ditinggal suaminya tanpa adanya tanggung jawab yang jelas. Untuk



9



itu Amir Syamsuddin mengatakan, bukan fiqhnya yang tidak relevan, tetapi kesalahan itu berada pada orang-orang yang menempatkan fiqh yang ditulis untuk waktu itu, untuk kepentingan sekarang. Menurutnya juga secara metodologis, pencatatan ini digagas dengan prinsip maslahah al-mursalah (public intrest), jangan dipahami bahwa pencatatan itu hanya sekedar bersifat administratif saja. b. Usia kawin dan persetujuan kedua calon mempelai Secara tektual, syariat Islam dan kitab kitab fiqh memang tidak ada yang menjelaskan usia kawin. Ini bukan berarti usia kawin dalam Hukum Indonesia 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk wanita, bertentangan dengan syariat Islam. Sebetulnya pembatasan dimaksudkan agar amanah Allah dalam surat al-Nisa’:9 yang artinya “agar manusia tidak meninggalkan generasi yang lemah”, dapat terwujud. Dan salah satu usaha untuk itu, adalah perkawinan itu dilakukan oleh calon yang sudah matang jiwa dan raganya, dan masing-masing dapat menyatakan persetujuannya. Jadi, ini adalah hanya interpetasi dari ayat tersebut, yang disesuaikan dengan tuntutan kehidupan sekarang, tanpa mengurangi prinsip dan tujuan syar’inya. Kalaupun masih banyak pendapat yang menyandarkan pada prilaku Nabi Muhammad yang menikahi siti Aisyah dalam usia masih belia, hendaklah prilaku nabi tersebut dijadikan sebagai pengecualian atau kekhususan. Kendatipun demikian, pembatasan usia nikah ini pada tingkat praktik penerapannya bersifat fleksibel. Artinya jika secara kasuistik memang sangat mendesak maka kedua calon mempelai harus segera dikawinkan, sebagai perwujudan dari metode sadd al-zari’ah, untuk menghindari kemungkinan timbulnya mudharat yang lebih besar, misal terjadi perzinahan, maka perkawinan dapat dilangsungkan dengan izin orang tua atau dispensasi pengadilan. c. Izin poligami Izin poligami dari pengadilan agama atas persetujuan istri adalah manifestasi dari firman Allah (QS.al-Nisa’:3), “dan jika kalian khawatir tidak bisa berbuat adil kepada istri-istri, hendaklah kawini seorang saja”. Untuk mengantisipasi terjadinya tindakan ketidak adilan suami kepada istri-istri dan anak-anaknya, maka izin tertulis dari Pengadilan Agama merupakan upaya



10



hukum yang meskipun merupakan administratif, namun ia memiliki fungsi sosial preventif yang sangat besar. Ini sesuai dengan kaedah fiqh yang mengatakan, dar’ al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-masalih, artinya mengindari kerusakan/kemudharatan didahulukan dari pada memperoleh kemaslahatan. Hal ini baru terasa dan kelihatan jelas jika pihak istri-istri dan anak-anak ditinggal suami tanpa tanggung jawab yang jelas. Maka dengan adanya surat Izin poligami ini bisa dijadikan sebagai sarana hukum bagi mereka yang mengajukan tututan dan gugatan ke pengadilan. d. Perceraian harus dilakukan di depan sidang pengadilan Perceraian harus dilakukan di depan sidang pengadilan, bahkan bagi PNS dan ABRI untuk melakukan perkawinan dan perceraian harus mendapatkan izin dari atasannya. Ini dimaksudkan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi masyarakat. Tujuannya adalah agar suami tidak semenamena menggunakan kata talak atau cerai. Pengaturan ini, dimaksudkan agar suami lebih berhati-hati, tidak emosional dalam mengucapkan kata-kata cerai atau talak sebagai penyelesaian konflik yang mungkin terjadi diantara mereka. Demikian juga adanya pandangan konvesional bahwa talak adalah wewenang penuh suami. Sehingga dengan demikian, secara bertahap anggapan yang salah tersebut bisa diubah. Karena perkawinan adalah perjanjian yang suci, yang perlu dipertahankan keutuhannya. Dan istri jjuga memiliki hak untuk menuntut cerai, jika suami melakukan tindakan yang semena-mena. Sebenarnya yang lebih penting adalah agar mesing-masing memahami tugas, fungsi, dan tanggung jawabnya. Secara metodologis, ketentuan izin dari pengadilan bagi suami yang akan melakukan poligami adalah menggunakan metodologi maslahah almursalah. e. Semua tindakan hukum yang merupakan upaya-upaya untuk mewujudkan perkawinan dengan segala akibat hukumnya. Tercakup



di dalamnya masalah perjanjian perkawinan, yang



didalamnya taklik talak, pengaturan pencegahan, pembatalan perkawinan, dan ketentuan tentang harta bersama. Demikian juga adanya ketentuan hukuman



11



pidana bagi pelanggaran terhadap ketentuan dalam UU Perkawinan maupun PP tentang pelaksanaan UU Perkawinan. Dibanding dengan UU di negara lain Indonesia sangat lamban, baik dari substansi gagasannya maupun dari kurun waktu pengundangannya. Dari kurun waktu pengundangannya Indonesia selisih 20 tahun. Sedangkan dari substansi gagasan pembaharuannya. Misalnya, Hukum Keluarga Tunis lebih spektakuler melarang poligami, dan bagi yang melanggar ketentuan ini didenda 240.000 Franc. 2. Hukum Kewarisan Menurut Ahmad Rofiq ide-ide pembaharuan hukum Islam dalam kewarisan tampak diantaranya: a. Pembagian warisan dengan cara damai Pasal 183 KHI menyatakan bahwa ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan setelah masing-masing menyadari bagiannya. Cara ini dimungkinkan karena adanya kebiasaan di masyarakat yang kemudian dianggap baik oleh masyarakat tersebut. Kebiasaan ini dalam terminologi fiqh disebut ‘urf atau adat. ‘urf seakar dengan kata ma’ruf yang bermakna baik. Maka jika penggunaan bahasa ini konsisten, tidak dapat dikatakan ‘urf kalau tidak membawa kebaikan dan manfaat bagi masyarakat. Ini sejalan dengan kaedah fiqh yang mengatakan, al-adah Muhakkamah (adat kebiasaan dapat dijadikan hukum). Cara ini bisa dilakukan bila efektif meredam terjadinya konflik. Cara lain yang ideal adalah dengan cara pembagian warisan menurut ketentuan Faraid.



Ada juga pembagian



warisan dengan cara penerimaannya disesuaikan dengan kondisi masingmasing. Intinya adalah kesepakatan damai, kalau tidak sepak harus diselesaikan dengan faraid menurut putusan PA. b. Penggantian kedudukan (Mawali) Pasal 185 KHI menyatakan, 1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173. 2) bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. Secara konseptual, konsep penggantian kedudukan atau mawali yang dikemukakan



12



Hazairin mirip dengan fiqh Syi’ah, yang menempatkan cucu dari garis perempuan sebagai ahli waris. ???? c. Warisan anak Zina atau Li’an Menurut pasal 186 KHI, anak zina atau anak li’an hanya mempunyai hak waris kepada ibu atau keluarga ibunya. Ini penegasan fiqh yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, yang diikuti oleh fiqh Syafe’i. Rasulullah saw menjadikan anak li’an



(mal’anah) kepada ibunya dan ahli waris ibu



sesudahnya. Kemudian yang menjadi persoalan adalah tentang status kawin hamil. bila wanita hamil, kemudian yang menikahinya adalah yang menghamilinya, sebagamana yang diperbolehkan dalam surat al-Nur:3. Mungkin tidak jadi persoalan, meskipun hasil anak tersebut adalah anak zina. Namun bila si wanita hamil karena zina kemudian kawin dengan orang yang bukan pezinanya, seperti kawin tembelan atau penutup malu, masih menarik untuk diperbincangkan. d. Pembagian warisan ketika pewaris masih hidup. Pembagian warisan ketika masih hidup ini dibolehkan sesuai dengan pasal 187 KHI. Prinsipnya pembagian warisan semacam ini didasarkan pada musyawarah antar ahli waris yang berhak mewarisi. Ini sejalan dengan cara yang pertama, yaitu dengan cara pembagian damai.



e. Sistem Kewarisan Kolektif. Sistem kewarisan ini tertuang dalam pasal 189 KHI. Gagasan kewarisan kolektif ini agaknya dimunculkan karena kepentingan pragmatis dan situasional. Dilihat dari nilai-nilai yang berkembang dan hidup di masyarakat, ketentuan ini diakomodasi dari sistem Hukum Adat. Sepanjang penyelesaian sistem ini tidak menimbulkan kerugian pada sebagiah ahli waris, maka dapatdilaksanakan dalam batas-batas tertentu. Misal sistem adat yang ada di Minangkabau, ciri sitem kolektifnya adalah harta peningalan diwarisi oleh sekumpulan ahli waris dimana harta tersebut tidak boleh dibagi-bagikan ahli waris berikutnya, yang kemudian harta ini disebut dengan harta pusaka. Jadi



pembagian



warisan



dengan



sistem



kolektif



ini,



lebih



mengedepankan pada musyawarah keluarga. Secara metodologis cara ini bisa



13



ditempuh dengan istihsan, yaitu dengan meninggalkan ketentuan umum dengan memilih ketentuan khusus, karena ada pertimbangan kemaslahatan yang lebih besar. f. Harta bersama atau Gono-gini Harta bersama atau gono-gini dijelaskan dalam pasal 190 KHI. Cara pembagian harta gono-gini ini dilaksanakan sebelum harta warisan dibagi kepada ahli waris lainnya. Harta warisan dibagi dua atau menurut jumlah istri yang ada. Sebanding dengan durasi waktu lamanya masing-masing istri mengarungi bahtera perkawinan dengan pewaris (suaminya), baru setelah itu dibagi kepada ahli waris lainnya. Gagasan harta bersama yang diperkenalkan oleh KHI ini kelihatannya belum di bicarakan dalam kitab-kitab fiqh. Kelihatannya pembagian warisan harta bersama diakomodasi dari Hukum Adat yang berlaku di masyarakat. 3. Hukum Perwakafan Pembaruan hukum Islam pada perwakafan ini tampak pada pencatatan atau pensertifikasian tindakan wakaf.



Hal ini menurut Ahmad Rofiq masih belum



dibicarakan pada kitab-kitab fiqh. Menurutnya pencatatan/pensertifikasian wakaf lebih dekat qiyas kepada hutang piutang (QS. Al-Baqarah: 282). Ada kekhawatiran sebagian masyarakat, dengan adanya pencatatan melalui akta wakaf, akan mengurangi nilai jariah wakaf tersebut, utamanya soal keikhlasan si wakif. Tidak terbayangkan di benak mereka bahwa wakaf mereka akan dengan mudah disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu yang tidak bertanggung jawab, atau digunakan untuk kepentingan pribadi. Dari semua keterangan diatas, menurut Ahmad Rofiq pembaharuan Hukum Islam dapat dilaksanakan dengan cara berikut. 1. Kebijaksanaan administratif. Usaha ini untuk menjebantani fiqh yang tidak akan berubah dengan tuntutan masyarakat (karena tidak ada ulama yang berani menempuhnya), yang sudah berbeda dengan tututan kekinian, dengan membuat kebijaksanaan administratif. Contohnya, pencatatan perkawinan. 2. Aturan tambahan.



14



Aturan ini ditempuh dengan tanpa mengurangi dan mengubah materi fiqh yang sudah ada. Karena adanya pertimbangan sosiologis tertentu. Contohnya, ahli waris pengganti. 3. Menempuh cara talfiq Yaitu meramu beberapa pemikiran atau hasil ijtihad dalam suatu masalah tertentu menjadi suatu bentuk yang kelihatannya seperti baru. Hal ini efektif, bila menggunakan satu pemikiran tertentu akan ditemukan titik lemah yang menyebabkan fiqh itu akan kehilangan aktualitasnya. Contohnya KHI merujuk kepada 36 kitab fiqh. 4. Reinterpretasi dan reformulasi Yaitu mengkaji ulang dalil dan bagian-bagian fiqh yang tidak aktual lagi dalam situasi dan kondisi tertentu, untuk kemudian disusun penafsiran dan formulasi baru. Disini nampaknya Ahmad Rofiq lebih cenderung melengkapi teori yang sudah ada. Yaitu dengan mencari medologinya pada yang nampak di pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, dengan pencarian metodologi istinbat/ijtihad yang telah dirumuskan oleh ulama ushul. Adapun cara pembaharuannya, baik dengan cara kebijakan administratif, aturan tambahan, dengan cara talfiq, maupun reinterpretasi dan reformulasi, adalah teori baru. G. TIPOLOGI PEMBAHRUAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA Dalam masalah tipologi pembaharuan hukum Islam di Indonesia, Ahmad Rofiq menggunakan analisis dari teorinya J.N.D. Anderson yang mebagi tipologi pembaharuan Hukum Islam menjadi tiga, yaitu: 1) Negara-negara yang masih menganggap syari’ah sebagai hukum dasar dan masih menganggap dapat diterapkan selruhnya. 2) Nagara yang membatalkan Hukum Syari’ah dan telah menggantinya dengan dengan hukum yang seluruhnya sekuler (hukum Barat). 3) Negara yang menempuh jalan kompromi antara Syari’ah dan Hukum Sekuler. Tampaknya Ahmad Rofiq dengan menggunakan analisis diatas cenderung mentipologikan pembaharuan Hukum Islam di Indonesia kepada tipologi yang ketiga, yaitu, mengkromikan Hukum Barat,



Hukum Adat dan Syariah, dengan tetap



berwawasan ke-Indonesiaan. Ini nampak sekali dari produk hukum yang ada di Indonesia, yang mana merupakan gambungan/ kompromi ketiga-tiganya.



15



Jadi disini Ahmad Rofiq hanya mendukung teori yang sudah ada menggunakankannya sebagai pisau analisis. H. PENDEKATAN (APPROACH) Setelah mengalami kegelisahan intelektual terhadap perkembangan Hukum Islam di Indonesia, yang menjadi latar belakang penelitiannya. Kata kuncinya adalah adanya pembaharuan Hukum Islam di Indonesia. Ahmad Rofiq mencoba mendekati masalah tersebut dengan berusaha menggeser mindset pemikiran Hukum Islam pada umat Islam Indonesia yang fiqh oriented. Dimana fiqh merupakan produk kerja intelektual yang dari karakternya dipengaruhi ruang dan waktu. Ahmad Rofiq mencoba memberikan pemahaman tentang perlunya pemahaman yang proporsional terhadap Hukum Islam, baik fiqh, fatwa, keputusan pengadilan, perundang-undangan. Juga termasuk dilamnya adalah KHI, yang menjadi Hukum Islam di Indonesia. Untuk menguatkan pendapatnya itu, maka Ahmad Rofiq dalam penelitiannya berusaha menggambarkan nuansa-nuansa perubahan Hukum Islam di Indonesia, sekaligus tipologinya dengan mengkaji UU Perkawian dan KHI dalam perspektif metodologi istinbat/ijtihad yang telah dirumuskan oleh ulama ushul. Dan rupanya Ahmad Rofiq ingin menampakkan bahwa di Indonesia sudah terjadi pembaharuan Hukum Islam, meskipun perlu dikembangkang lebih luas lagi. I. SUMBANGAN PEMIKIRAN / GAGASAN 1. Ahmad Rofiq mampu menggambarkan nuansa-nuansa perubahan-perubahan Hukum Islam di Indonesia baik yang ada di UU No.1 tahun 1974 dan KHI secara rinci dan gamblang. 2.



Ia mampu memetakan secara umum pembaharuan hukum islam di indonesia kedalam empat bagian, yaitu, lewat kebijakan administratif, lewat aturan tambahan, lewat dengan cara talfiq, dan lewat reinterpretasi dan reformulasi.



3. Tipologi pembaharuan hukum Islam di Indonesia, ia meminjam tipologisasi Anderson dan memasukkan pembahruan Hukum Islam di Indonesia kedalam tipologi yang ketiga. Yaitu, mengkrompromikian Huklum Barat, Hukum Adat dan syariah. J. REFLEKSI



16



Beberapa hal yang baru dalam Hukum perkawinan anatara lain, pencatatan perkawinan, pembatasan usia perkawinan, persetujuan calon mempelai, izin poligami, perceraian harus dilakukan di depan sidang pengadilan. Dan tindakan hukum yang merupakan upaya untuk mewujudkan perkawinan dengan segala akibat hukumnya. Sementara dalam Hukum Kewarisan, beberapa gagasan pembaharuan diantaranya adalah pembagian warisan dengan cara damai, penggantian kedudukan (mawali) warisan anak zina atau anal li’an, pembagian warisan ketika pewaris masih hidup, sistem kewarisan kolektif, dan harta bersama atau gono gini. Dalam masalah perwakafan yang menonjol adalah upaya tertib administrasi berupa sertifikasi dan prosedur teknis lainnya yang tidak atau belum tercover dalam kitab-kitab fiqh. Ide-ide tersebut itulah yang dicoba oleh Ahmad Rofiq dianalisis selain selain menganalisi nuansa dan tipologi pembaharuan pemikiran hukumnya.



Dan juga



mencoba melihat persoalan tersebut dalam perspektif metodologi istinbat/ijtihad yang telah dirumuskan oleh ulama ushul. Ahmad rofiq membatasi ruang lingkup analisisnya pada Kompilasi Hukum Islam, karena menurutnya Kompilasi Hukum Islam, memiliki posisi yang penting dalam konteks legalisasi Hukum Islam. Terlepas KHI tidak termasuk kedalam hierarki perundang-undangan yang secara yuridis tidak mengikat, namun KHI sebagai produk uli al-amr (pemerintah) yang dikemas dalam konsensus para ulama dan para ahli hukum di Indonesia, ia dapat dipandang “mengikat” secara moral. Menurut Abu al-Hasan al-Mawardy (w.450H) dalam al-Ahkam al-Sulthaniyah, perintah mentaati uli al-amr telah telah dinyatakan dalam al-Qur’an 1. Kita wajib mentaati (keputusan) pemerintah, yaitu yang memerintah kita, sepanjang apa yang menjadi keputusan pemerintah (uli al-amr) tersebut membawa manfaat dan nilai-nilai positif bagi kepentingan rakyat. Ini sejalan dengan kaidah yang diformulasikan oleh Imam Syafe’i yang sangat terkenal, yaitu tasharruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manuth bi al-maslahah. Artinya, tindakan pemimpin atau pemerintah bagi kepentingan rakyat adalah berorientasi kemashlatan. Memotret nuansa dan tipologi pembaharuan pemikiran Hukum Islam tampaknya memang tidak bisa dilihat secara hitam putih. Pengamat sendiri tidak sepakat tentang pola mana yang digunakan. Racmat Djamika, misalnya lebih 1



Lihat Surat al-Nisa’ ayat 59



17



mengedepankan metodologis, bahwa pembaharuan Hukum Islam mengacu kepada metode-metode yang telah dirumuskan para ulama dan digunakan secara simultan. Meski istilah takhayyur atau talfiq masih relatif “asing” bagi sebagian umat Islam di Indonesia. Tanpaknya untuk kepentingan “kodifikasi” langkah ini tidak bisa dihindari. Hal ini karena plaralisme hukum, baik kepada tataran fiqh madzhab sunny sendiri maupun sistem hukum yang diakui keberadaannya, yaitu Hukum Adat dn Hukum Barat yang telah mengakar di Indonesia. Karena itu, formulasi hukum sebagai wujud pembaharuan pemikiran hukum Islam di Indonesia tampaknya belum atau tidk dapat beranjak jauh dari pola mengakomodasi hukum syariah di satu sisi, dan Hukum Adat dan Hukum Barat di sisi lain. Apakah langkah formulasi tersebut dengan segala implikasinya merupakan resiko atau sebuah pilihan, tampaknya harus dilihat sebagai sebuah proses. Karena betapapun sempurnanya formulasi Hukum Islam, meski “diatasnamakan” sebagai pembaharuan pemikiran Hukum Islam, sesuai dengan karakteristiknya yang harus berubah seiring dengan tuntutan ruang dan waktu. Ia harus menjadi “fosil” dan segera diformulasikan dengan hukum yang baru. Sejalan dengan kaidah yang dirumuskan oleh Ibn al-Qayyim yaitu taqhayyur al-ahkam bi taghayyur al-amkinah wa alazminah wa al-ahwal. Artinya, berubahnya hukum karena perubahan tempat, waktu dan keadaan. Maka disinilah kedudukan ijtihad atau tajdid dikedepankan. Sebagai sebuah ikhtiar untuk memotret nuansa dan tipologi pembaharuan pemikiran Hukum Islam di Indonesia, Ahmad Rofiq telah berusaha melakukan telaah ini.