Buku Ajar Gastrohepatologi - File Untuk Rapat 09 Maret 2019 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

File Buku Ajar Gastro untuk rapat Gastro 9 Maret 2019



Buku Ajar



Gastrohepatologi Anak Tim Penyunting



IGM Reza Ranuh Alpha Fardah Athiyyah Ninung Rose Diana K Mohammad Juffrie Sri Suparyati Soenarto Hanifah Oswari Nenny Sri Mulyani Titis Widowati Supriatmo Muzal Kadim Jeanette I Christiene Manoppo Sjamsul Arief Ina Rosalina



BADAN PENERBIT IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA Committed in Improving the Health of Indonesian Children



File Buku Ajar Gastro untuk rapat Gastro 9 Maret 2019



Perpustakaan Nasional Katalog Dalam Terbitan (Kdt) BUkU AJAR GASTROhepatologi anak Hak pengarang dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa seizin Penyunting dan Penerbit Tim Penyunting:



IGM Reza Ranuh Alpha Fardah Athiyyah Ninung Rose Diana K



Mohammad Juffrie Sri Suparyati Soenarto Hanifah Oswari Nenny Sri Mulyani Titis Widowati Supriatmo Muzal Kadim Jeanette I Christiene Manoppo Sjamsul Arief Ina Rosalina



o str



uk



t Jilid I, Cetakan Pertama 2010 un o r st Jilid I, Cetakan Kedua 2011 Ga r Jilid I, Cetakan Ketiga 2012 Aja u 2015 k Jilid I, Cetakan Keempat u eB l Cetakan Pertama 2019 i F



Ga at p ra



Type Setting : Astri Sulastri Prasasti Diterbitkan oleh: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia Gedung IDAI Jl. Salemba I No. 5 Jakarta Pusat 10430 Telp. / Fax. : (021) 3912577 E-mail: [email protected]



ii



9



01



2 ret a 9M



Kontributor Achirul Bakri Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI/ RSUP Moh.Hoesin Padang



Bambang Subagyo Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNS/ RS Dr. Moewardi Surakarta



Agus Firmansyah Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/ RS Dr. Ciptomangunkusumo Jakarta



Budi Santosa Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNDIP/ RS Dr. Karyadi Semarang



Alpha Fardah Athiyyah Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/ RS Dr. Sutomo Surabaya



Deddy Satriya Putra Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNRI/ RSUD Arifin9 Achmad 01 Pekanbaru et 2



Andy Darma Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/ RS Dr. Sutomo Surabaya



r Ma 9 Dwi Prasetyo tro asIlmu Bagian Kesehatan Anak G atUNPAD/ RS Dr. Hasan Sadikin p FK a r



k ntu Bandung u o str Hanifah Oswari Ga



Aswitha Boediarso jar A u Departemen Ilmu Kesehatan uk Anak B FKUI/ RS Dr. Ciptomangunkusumo e Fil Jakarta



Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/ RS Dr. Ciptomangunkusumo Jakarta



Atan Baas Sinuhaji Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK USU/ RS H. Adam Malik Medan



Hasri Salwan Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI/ RSUP Moh. Hoesin Palembang



Badriul Hegar Syarif Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/ RS Dr. Ciptomangunkusumo Jakarta



I. Sudigbia Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNDIP/ RS Dr. Karyadi Semarang



Bagus Setyoboedi Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/ RS Dr. Sutomo Surabaya



Iesje Martiza Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD/ RS Dr. Hasan Sadikin Bandung



iii



Ina Rosalina Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD/ RS Dr. Hasan Sadikin Bandung



Nenny Sri Mulyani Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UGM/ RS Dr. Sardjito Yogyakarta



IGM Reza Gunadi Ranuh Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/ RS Dr. Sutomo Surabaya



Nurtjahjo Budi Santosa Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UB/ RS Dr. Saiful Anwar Malang



I Putu Gede Karyana Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNUD/ RSUP Sanglah Bali



Pitono Soeparto Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/ RS Dr. Sutomo Surabaya



Jeanette I Christiene Manoppo Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRAT/ BLU RUSP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Julfina Bisanto Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/ RS Dr. Ciptomangunkusumo Jakarta Liek Djupri G Bagian Ilmu Kesehatan Anak jar A u FK UNAIR/ RS Dr. Sutomo uk B Surabaya e il



F



Mohammad Juffrie Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UGM/ RS Dr. Sardjito Yogyakarta Muzal Kadim Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/ RS Dr. Ciptomangunkusumo Jakarta Ninung Rose Diana K. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNDIP/ RSUP. Kariadi Semarang



iv



ntu



u ro ast



Pramita Gayatri Dwipoerwantoro Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/ RS Dr. Ciptomangunkusumo Jakarta



9



01 Rusdi Ismail t2 e r Bagian Ilmu Kesehatan Anak a MRS 9 FK UNSRI/ Dr. Mohammad Husein o str Palembang a G



at ap r k Satrio Wibowo



Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UB/ RS Dr. Syaiful Anwar Malang Sjamsul Arief Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/ RS Dr. Sutomo Surabaya Subijanto Marto Sudarmo Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/ RS Dr. Sutomo Surabaya Sulaiman Yusuf Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK UNSYIAH / RSUD Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh



Supriatmo Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan



Yorva Sayoeti Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNAND/ RSUP Dr. M. Djamil Padang



Sri Suparyati Soenarto Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UGM/ RS Dr. Sardjito Yogyakarta



Yusri Dianne Jurnalis Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNAND/ RSUP Dr. M. Djamil Padang



Titis Widowati Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fk UGM/ RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta



9



01



o str



Fi



G jar A u uk B e l



k ntu u ro ast



Ga at p ra



2 ret a 9M



v



Pengantar Tim Penyunting Setelah menunggu sekian lama, akhirnya terkumpul 38 naskah topik buku ajar Gastrohepatologi. Tim penyunting telah bekerja keras selama ini mengumpulkan, menyusun, menyunting, dan syukur Alhamdulillah pada awal tahun 2019 ini bisa diselesaikan buku ajar Gastrohepatologi Anak. Pada kesempatan ini tim penyunting ingin menyampaikan terima kasih kepada para kontributor atau penulis naskah atas jerih payah, waktu yang diluangkan untuk menyusun naskah dan partisipasinya mengirimkan naskahnya ke tim penyunting. Selanjutnya tim penyunting mohon maaf jika yang tertulis dibuku ajar tidak sesuai dengan aslinya dikarenakan penyesuaian dengan hal hal baru, penyesuaian format 9dari penerbit dan 01 suntingan bahasa. t2 e r Ma Hardiono Pusponegoro, Tim penyunting mengucapkan terima kasih kepada9 Dr. ro Sp.A(K) (ketua PP IDAI 2002-2005), Dr. Sukman Tulus ast Putra Sp.A(K), FACC, FESC G (ketua PP IDAI 2005-2008), Dr. Badriul Hegar, Sp.A(K) (ketua PP IDAI 2008-2014), DR. at rapIDAI 2014-2020), Prof Dr Yati Soenarto, Dr. Aman Bhakti Pulungan, Sp.A(K) (ketuaukPP t Sp.A(K), Ph.D (ketua UKK Gastrohepatologi 2002-2005), Prof. DR. Dr. Subijanto MS, un o r st 2005-2008), Prof. Dr. Mohammad Juffrie, Sp.A(K), Sp.A(K) (ketua UKK Gastrohepatologi a G Ph.D (ketua UKK Gastrohepatologi 2008-2014), Dr. IGM Reza Ranuh,dr.,Sp.A(K) (ketua jar A u k UKK Gastrohepatologi 2014-2017) atas ide dan saran sarannya sehingga tercetak buku ajar u eB l ini. i F Tim penyunting menyadari bahwa dalam pembuatannya buku ajar ini jauh dari sempurna, tetapi kontributor tentunya sudah berusaha keras untuk membuat sesuai kebutuhan para peserta pendidikan dokter spesialis maupun teman sejawat dokter spesialis anak. Oleh karena itu kritik dan saran terhadap penyempurnaan buku ini sangat diharapkan. Tim penyunting mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang berperan dalam pembuatan buku ajar Gastrohepatologi Anak dan semoga buku ini memberikan manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.



Jakarta, 2019



Tim Penyunting



vii



Sambutan Ketua UKK Gastrohepatologi IDAI Teman sejawat yang terhormat, Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME, yang telah memberikan rahmat dan karunia Nya, sehingga buku ajar gastrohepatologi anak ini dapat diselesaikan dengan baik. Buku ajar ini merupakan buku rujukan ilmu gastrohepatologi anak yang nantinya akan dipakai oleh peserta didik spesialis satu dan dua, dokter spesialis anak di Indonesia serta tentunya semua dokter atau siapapun yang membutuhkannya. Buku ajar ini disusun sesuai kesepakatan bersama para pakar gastrohepatologi anak Indonesia yang terangkum 9 01 dalam bermacam judul dan berasal dari bermacam macam referensi terbaru baik dari 2 t re representasi ilmu ilmu jurnal maupun text book, sehingga keberadaannya merupakan a 9M gastrohepatologi anak masa kini. o r st Ga Saya sebagai ketua UKK GH 2014-2020 memberikan ucapan selamat dan penghargaan t a p a yang setinggi tingginya kepada para kontributor dan editor dengan diterbitkannya buku r tuk sebesar besarnya oleh para pengguna. ajar ini, semoga buku ini bisa dimanfaatkan n ou str ini masih jauh dari sempurna, karena mungkin Kami menyadari bahwa abuku G masih banyak kekurangan, jarbaik karena keterbatasan waktu maupun kemampuan dan A u pengetahuan kami, namun uk kami berharap dapat memberi sumbangan bagi khazanah ilmu B e pengetahuan khususnya Ilmu Gastrohepatologi. Fil Sekali lagi saya ucapkan selamat atas terbitnya buku ajar ini dan selamat mempergunakan buku ajar ini kepada masyarakat gastrohepatologi dan kepada semua dokter anak di Indonesia. Salam, Jakarta, 2019 Dr. IGM Reza Gunadi Ranuh, dr., Sp.A(K) Ketua UKK-Gastrohepatologi



viii



Sambutan Ketua Badan Penerbit IDAI Salam dari Badan Penerbit Buku ajar adalah salah satu produk ilmiah yang harus dihasilkan oleh sebuah organisasi profesi. Ikatan Dokter Anak Indonesia telah memiliki Buku Ajar sebanyak bidang kajian ilmu yang dimilikinya sejak tahun 2005. Pembaharuan buku ajar sangat diperlukan agar para pembaca terpapar dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Sebuah kehormatan bagi Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) yang masih diberikan kepercayaan oleh IDAI untuk menerbitkan buku-bukunya termasuk buku ajar. Sekaligus merupakan kebanggan bagi Tim Badan Penerbit yang telah melakukan perubahan desain dan tampilan buku ajar IDAI pada penerbitan kali 9ini sehingga buku 01 terasa lebih dekat dengan pembaca karena mengikuti “trend” di masa t 2 nya. e r a M Badan Penerbit IDAI mengucapkan terima kasih banyak untuk Unit Kerja Koordinasi 9 ro (UKK) atas kerjasamanya dalam penerbitan buku ajarnya ast di Badan Penerbit IDAI. G t Semoga apa yang telah kita berikan untuk aanggota IDAI dan pembaca lainnya dapat pa r k memberikan manfaat. Aamiin YRA. tu



n



Jakarta, 2019



Fi



G jar A u uk B e l



u ro ast



Prof. dr. Badriul Hegar, Ph.D, Sp.A(K) Ketua Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia



ix



Sambutan Ketua Kolegium IKA Indonesia Assalamu’alaikum wr. wb., salam sejahtera bagi kita semua Seperti yang kita ketahui rekognasi keilmuan seorang dokter diberikan oleh peer grup atau oleh masyarakat yang menerima pelayanan. Rekognasi keilmuan tersebut harus terus menerus dipertahankan bahkan ditingkatkan sesuai dengan standar nasional pelayanan kesehatan. Untuk mendapatkan rekognasi sebagai profesional yang mempunyai standar tinggi harus dimulai sejak dini yaitu ketika masih menjalanai program pendidikan. Hal tersebut menjadi tanggung jawab masing-masing program studi dan Departemen Ilmu Kesehatan Anak serta Kolegium Ilmu Kesehatan Anak Indonesia. Oleh karena itu harus diyakini bahwa proses pendidikan berjalan dengan baik dan selanjutnya pasca pendidikan 9 tanggung jawab pemeliharaan dan peningkatan kompetensi berada 01 di tangan Pengurus 2 t Pusat, UKK dan Pengurus Cabang. are M Semua dokter termasuk dokter spesialis anak juga dituntut untuk mampu 9 ro t s mempertahankan kompetensinya dengan berbagaiGcara a mandiri. Di era teknologi informasi at bukan merupakan suatu hal yang sulit, yang demikian canggih saat ini belajar mandiri p a k rdapat dengan mudah di akses melalui internet. semua materi dan keilmuan yang dibutuhkan u t un masih dibutuhkan dan relevan dalam mendukung Namun demikian keberadaan bukuroajar t as upaya pemeliharaan kompetensi r G secara mandiri walaupun buku ajar secara berkala harus a j diperbaharui. Masih bermanfaatnya keberadaan buku ajar karena buku ajar dibuat oleh A ku dari institusi pendidikan atau profesi yang disesuaikan bukan saja u pakar-pakar yang berasal eB dengan keilmuan Filterkini, tetapi juga memperhatikan kompetensi-kompetensi yang spesifik untuk negara Indonesia bahkan masing - masing daerah. Oleh sebab itu Kolegium Ilmu Kesehatan Anak Indonesia memberikan apresiasi kepada seluruh UKK yang telah berhasil menyusun dan merevisi buku ajar sesuai keilmuan masing - masing. Kami yakin buku ajar ini akan mampu memberikan kontribusi bukan saja untuk menjaga kompetensi dokter spesialis anak tetapi juga untuk mendukung proses pendidikan PPDS bahkan untuk petugas kesehatan lain. Semoga makin banyak buku ajar yang dapat dihasilkan dilingkungan Ikatan Dokter Anak Indonesia. Wassalam. Jakarta, 2019 DR. Dr. Aryono Hendarto, Sp.A(K), MPH Ketua Kolegium Ilmu Kesehatan Anak Indonesia x



Sambutan Ketua Umum pp iDAi Salam hormat dari Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia. Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kesehatan dan kesempatan untuk tetap berkarya. Selamat dan terima kasih kepada Unit Kerja Koordinasi (UKK) Gastrohepatologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) atas diterbitkan Buku Ajar Gastrohepatologi Anak ini. Dalam meningkatkan derajat kesehatan dan kesejahteraan anak Indonesia, IDAI senantiasa melakukan pengembangan dalam pelayanan kesehatan anak melalui pengabdian masyarakat, penelitian, dan pendidikan. Ilmu pengetahuan di bidang kedokteran terus berkembang pesat, oleh karena itu penting untuk melakukan revisi berkala dari sebuah buku ajar sehingga materi buku sesuai dengan evidence based terbaru.019 2 ret yang masih terus Khusus bidang gastrohepatologi, salah satu masalah utama a 9 M Berdasarkan data Riset menyumbang mortalitas maupun morbiditas adalah rodiare. st Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, insidens diare paling Ga tinggi pada kelompok anak kurang t a dari 1 tahun, yaitu sebesar 5,5%, diikuti insidens rap pada kelompok 1-4 tahun yaitu sebesar k 5,1%. Hal ini menunjukkan bahwa diare masih tu merupakan masalah kesehatan yang penting un o pada balita di Indonesia. r st Ga r Dengan berbagai perkembangan di bidang gastrohepatologi, kini prosedurja A prosedur modern, sepertikudiagnosis menggunakan endoskopi telah tersedia di Indonesia. u Perkembangan yang e Bsangat patut kita beri penghargaan adalah pencapaian UKK l i F Gastrohepatologi yang telah berhasil melakukan transplantasi hati. Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada para kontributor dan anggota UKK Gastrohepatologi IDAI yang telah bekerja keras dan meluangkan waktunya untuk memberikan sumbangan pemikiran dalam penyusunan buku ajar ini. Kami berharap buku ajar ini dapat dipergunakan sebagai pedoman bagi sejawat dokter spesialis anak, peserta program studi Ilmu Kesehatan Anak, dan para mahasiswa kedokteran di seluruh fakultas kedokteran di Indonesia, serta dapat membantu terwujudnya Sustainable Development Goals (SDG) pada tahun 2030. Semoga buku ajar ini dapat memenuhi kebutuhan ilmiah dan bermanfaat bagi kemajuan Ilmu Kesehatan Anak di Indonesia. Jakarta, 2019 DR. Dr. Aman B. Pulungan, Sp.A(K), FAAP Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia xi



Daftar Isi Kontributor.......................................................................................................... iii Pengantar Tim Penyunting..................................................................................vii Sambutan Ketua UKK Gastrohepatologi IDAI................................................. viii Sambutan Ketua Badan Penerbit IDAI.................................................................ix Sambutan Ketua Kolegium IKA Indonesia...........................................................x Sambutan Ketua Umum pp iDAi.........................................................................xi Daftar Tabel...................................................................................................... xxiii Daftar Gambar.................................................................................................xxvii 9 01 2 t re Keseimbangan Cairan Dan Elektrolit....................................................................1 Ma 9 ro Mohammad Juffrie ast G 1.1 Ilustrasi Kasus................................................................................................................... 1 at ap r 1.2 Larutan Tubuh.................................................................................................................. 1 k ntu 1.3 Komposisi Larutan Tubuh ....................................................................................2 u ro 1.4 Difusi dan Osmosis.......................................................................................................... 2 ast G r Natrium ...........................................................................5 1.5 Kesimbangan Air dan a j A 1.6 Pengaturan Keseimbangan Natrium dan Larutan...................................................... 5 ku u B e 1.7 Keseimbangan Kalium...................................................................................................11 Fil 1.8



Keseimbangan Kalsium dan Magnesium...................................................................17



Kegawatdaruratan Gastrointestinal.....................................................................26 Pitono Soeparto & Reza Ranuh 2.1 Ilustrasi Kasus.................................................................................................................26 2.2 Pendahuluan....................................................................................................................26 2.3 Dehidrasi .........................................................................................................................27 2.4 Perdarahan Saluran Gastrointestinal (Perdarahan GIT)..........................................30 2.5 Demam Berdarah ..........................................................................................................38 2.6 Demam Tifoid.................................................................................................................38 2.7. Muntah Akut...................................................................................................................39 2.8 Distensi Abdominal Akut ............................................................................................40 2.9 Nyeri Abdomen Akut....................................................................................................41 2.10. Disfagia ............................................................................................................................43



Disfagia.................................................................................................................50 Yorva Sayoeti



xiii



3.1 3.2 3.3 3.6 3.4 3.5 3.6 3.7 3.8 3.9 3.10 3.11



Ilustrasi Kasus ................................................................................................................50 Pendahuluan....................................................................................................................51 Definisi.............................................................................................................................51 Patogenesis.......................................................................................................................52 Kejadian...........................................................................................................................52 Kejadian...........................................................................................................................52 Kejadian...........................................................................................................................52 Gejala Klinis....................................................................................................................57 Diagosis............................................................................................................................58 Terapi................................................................................................................................60 Prognosis..........................................................................................................................64 Pencegahan......................................................................................................................64



Anoreksia pada Anak...........................................................................................66 I. Sudigbia 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6 4.7



Ilustrasi Kasus.................................................................................................................66 Pendahuluan ...................................................................................................................66 Definisi ............................................................................................................................67 9 Patomekanisme...............................................................................................................67 01 2 t Diagnosis Diferensial ....................................................................................................68 re Ma Penatalaksanaan Anoreksia Anak................................................................................71 9 ro Ringkasan ........................................................................................................................72 ast



5.5 5.6 5.7 5.8 5.9 5.10 5.11



Etiologi.............................................................................................................................76 Patogenesis.......................................................................................................................76 Manifestasi Klinis...........................................................................................................78 Diagnosis..........................................................................................................................78 Terapi................................................................................................................................80 Prognosis..........................................................................................................................81 Pencegahan......................................................................................................................82



G at p a r Gagal Tumbuh pada Penyakit Gastrointestinal..................................................73 tuk n Rusdi Ismail ou 5.1 Ilustrasi kasus..................................................................................................................73 str a G 5.2 Pendahuluan ...................................................................................................................73 jar A u 5.3 Definisi ............................................................................................................................74 uk B e 5.4 Kejadian...........................................................................................................................74 Fil



Diare Akut ...........................................................................................................83 Bambang Subagyo & Nurtjahjo Budi Santoso 6.1 Ilustrasi Kasus.................................................................................................................83 6.2 Pendahuluan....................................................................................................................83 6.3 Definisi ............................................................................................................................83 6.4 Epidemiologi ......................................................................................................84 6.5 Cara Penularan dan Faktor Risiko .............................................................................84 6.6 Etiologi ............................................................................................................................85 6.7 Transpor Air di Dalam Sel dan Patofisiologi Diare...................................................88 xiv



6.8 6.9 6.10 6.11 6.12 6.13 6.14 6.15 6.16



Mekanisme Diare............................................................................................................95 Manifestasi Klinis ..........................................................................................................98 Diagnosis........................................................................................................................100 Terapi..............................................................................................................................104 Komplikasi.....................................................................................................................110 Kegagalan Upaya Rehidrasi Oral...............................................................................111 Pencegahan ..................................................................................................................112 Probiotik.........................................................................................................................112 Prebiotik.........................................................................................................................113



Diare Kronis dan Diare Persisten......................................................................116 Yati Soenarto 7.1 Ilustrasi Kasus ..............................................................................................................116 7.2 Pendahuluan..................................................................................................................116 7.3 Definisi...........................................................................................................................117 7.4 Kejadian.........................................................................................................................118 7.5 Etiologi...........................................................................................................................118 7.6 Patogenesis.....................................................................................................................119 9 7.7 Manifestasi Klinis (Komplikasi).................................................................................122 01 2 t 7.8 Diagnosis........................................................................................................................122 re Ma 7.9 Terapi..............................................................................................................................123 9 ro 7.10 Faktor Risiko dan Pencegahan...................................................................................126 ast G t 7.11 Diare Persisten pada Kondisi Khusus.......................................................................127 pa



a kr u t n Muntah ...............................................................................................................131 ou r t Badriul Hegar as rG 8.1 Ilustrasi kasus................................................................................................................131 a j A 8.2 Pendahuluan.u.................................................................................................................131 ku eB 8.3 FisiologiilMenelan.........................................................................................................132 F 8.4 8.5 8.6 8.7 8.8 8.9 8.10 8.11



Definisi...........................................................................................................................133 Patogenesis.....................................................................................................................133 Etiologi...........................................................................................................................134 Manifestasi Klinis.........................................................................................................135 Diagnosis........................................................................................................................136 Terapi .............................................................................................................................137 Pencegahan....................................................................................................................138 Simpulan........................................................................................................................139



Sakit Perut pada Anak........................................................................................141 Aswitha Boediarso 9.1 Ilustrasi kasus ...............................................................................................................141 9.2 Pendahuluan..................................................................................................................142 9.3 Patofisiologi...................................................................................................................142 9.4 Patogenesis ....................................................................................................................144 9.5 Etiologi...........................................................................................................................144 9.6 Manifestasi Klinik.........................................................................................................146



xv



9.7 9.8 9.9



Pendekatan Diagnosis..................................................................................................146 Tata Laksana..................................................................................................................149 Sakit Perut Berulang....................................................................................................149



Kembung............................................................................................................157 Pramita G. Dwipoerwantoro 10.1 Ilustrasi Kasus...............................................................................................................157 10.2 Pendahuluan..................................................................................................................158 10.3 Intoleransi Laktosa.......................................................................................................158 10.4 Bakteri Tumbuh Lampau............................................................................................161



Alergi Makanan (Food Allergy)..........................................................................168 Liek Djuprie & Pitono Soeparto 11.1 Ilustrasi Kasus...............................................................................................................168 11.2 Pendahuluan..................................................................................................................168 11.3 Definisi...........................................................................................................................168 11.4 Epidemiologi.................................................................................................................169 11.5 Perjalanan Alami..........................................................................................................170 11.6 Klinis...............................................................................................................................170 9 01 2 11.7 Diagnosis........................................................................................................................177 t re 11.8 Pengobatan ...................................................................................................................185 Ma



9 ro t s a Konstipasi pada Anak........................................................................................188 tG a p Agus Firmansyah a kr u t 12.1 Ilustrasi kasus................................................................................................................188 n ou r 12.2 Pendahuluan..................................................................................................................188 t as 12.3 Definisi...........................................................................................................................189 rG a j A 12.4 Epidemiologi.................................................................................................................189 ku u Bdan Patofisiologi.............................................................................................189 12.5 Etiologi i le F 12.6 Gejala dan Tanda Klinis Konstipasi Kronis..............................................................191 12.7 Diagnosis .......................................................................................................................193 12.8 Komplikasi.....................................................................................................................195 12.9 Pemeriksaan Penunjang..............................................................................................196 12.10 Tatalaksana Konstipasi Fungsional............................................................................196 12.11 Simpulan........................................................................................................................199



Inflammatory Bowel Diseases.............................................................................201 Dwi Prasetyo 13.1 Ilustrasi Kasus...............................................................................................................201 13.2 Pendahuluan..................................................................................................................201 13.3 Definisi...........................................................................................................................201 13.4 Epidemiologi dan Genetik..........................................................................................202 13.5 Patogenesis.....................................................................................................................202



Pankreatitis pada Anak......................................................................................229 Budi Santosa xvi



14.1 Ilustrasi Kasus...............................................................................................................229 14.2 Pendahuluan .................................................................................................................229 14.3 Klasifikasi dan Definisi................................................................................................230 14.4 Kejadian dan Epidemiologi ........................................................................................230 14.5 Pankreatitis akut .........................................................................................................230 14.6 Etiologi...........................................................................................................................233 14.7 Manifestasi klinik.........................................................................................................233 14.8 Diagnosis........................................................................................................................235 14.9 Komplikasi.....................................................................................................................239 14.10 Tatalaksana....................................................................................................................239 14.11 Prognosis........................................................................................................................240 14.12 Pankreatitis herediter...................................................................................................241 14.13 Pankreatitis kronis........................................................................................................241



Ikterus.................................................................................................................243 Iesje Martiza 15.1 Ilustrasi Kasus...............................................................................................................243 15.2 Pendahuluan..................................................................................................................243 9 15.3 Definisi...........................................................................................................................244 01 2 t 15.4 Metabolisme Bilirubin ................................................................................................244 are 15.5 Neonatal Jaundice.........................................................................................................253 9M



ro ast G Hepatitis Virus...................................................................................................265 at ap r Sjamsul Arief k ntu 16.1 Ilustrasi Kasus...............................................................................................................265 u ro 16.2 Pendahuluan..................................................................................................................265 ast G 16.3 Diagnosis Banding.......................................................................................................266 jar A u 16.4 Hepatitis A.....................................................................................................................266 uk 16.5 HepatitisileBB.....................................................................................................................271 F 16.6 16.7 16.8 16.9



Hepatitis C.....................................................................................................................278 Hepatitis D.....................................................................................................................289 Hepatitis E......................................................................................................................292 Hepatitis G.....................................................................................................................293



Drug Induced Hepatitis.......................................................................................301 Ina Rosalina 17.1 Ilustrasi Kasus...............................................................................................................301 17.2 Pendahuluan..................................................................................................................301 17.3 Metabolisme Obat di Hati...........................................................................................302 17.4 Mekanisme Kerusakan Hati........................................................................................303 17.5 Gejala yang Timbul......................................................................................................303 17.6 Bentuk Kelainan Hati dan Obat-obat yang Menyebabkan Kelainan Hati..........304 17.7 Upaya Diagnosis Drug Induced Hepatitis.................................................................309 17.8 Pengobatan ...................................................................................................................310 17.9 Prognosis .......................................................................................................................310 17.10 Ringkasan ......................................................................................................................310



xvii



Penyakit Sistemik yang Berpengaruh pada Hati...............................................312 Atan Baas Sinuhaji 18.1 Ilustrasi kasus................................................................................................................312 18.2 Pendahuluan .................................................................................................................314 18.3 Kejadian dan etiologi...................................................................................................316 18.4 Patogenesis.....................................................................................................................316 18.5 Manifestasi klinis ....................................................................................................318 18.6 Diagnosis .......................................................................................................................318 18.7 Pengobatan, prognosis dan pencegahan...................................................................319 18.8 Beberapa penyakit sistemik yang mempengaruhi hepar.................................................320



Hepatitis Kronis pada Anak...............................................................................326 Nenny Sri Mulyani 19.1 Ilustrasi kasus................................................................................................................326 19.2 Pendahuluan..................................................................................................................326 19.3 Definisi...........................................................................................................................326 19.4 Angka Kejadian ............................................................................................................326 19.5 Etiologi...........................................................................................................................327 9 19.6 Patogenesis.....................................................................................................................327 01 2 t 19.7 Manifestasi Klinis.........................................................................................................331 re Ma 19.8 Diagnosis........................................................................................................................332 9 o str 19.9 Penatalaksanaan............................................................................................................333 Ga



at ap ....................................................337 r Kolestasis Intrahepatik pada Bayi dan Anak. k ntu Julfina Bisanto u ro 20.1 Ilustrasi kasus ..............................................................................................................337 ast G 20.2 Pendahuluan..................................................................................................................337 jar A u 20.3 Faktor predisposisi terjadinya kolestasis intrahepatik pada neonatus.................338 uk B e l 20.4 Patogenesis kolestasis intrahepatik............................................................................338 i F 20.5 Etiologi .........................................................................................................................339 20.6 Angka kejadian.............................................................................................................341 20.7 Manifestasi klinis dan komplikasi..............................................................................341 20.8 Diagnosis........................................................................................................................342 20.9 Beberapa Etiologi Kolestasis Intrahepatik pada Bayi.............................................345 20.10 Tata laksana...................................................................................................................349 20.11 Prognosis........................................................................................................................351



Hipertensi Porta.................................................................................................353 Hanifah Oswari 21.1 Ilustrasi kasus................................................................................................................353 21.2 Pendahuluan..................................................................................................................353 21.3 Definisi...........................................................................................................................354 21.4 Angka kejadian.............................................................................................................354 21.5 Etiologi...........................................................................................................................354 21.6 Patogenesis/Patofisiologi.............................................................................................354 21.7 Manifestasi klinis..........................................................................................................356 xviii



21.8 Diagnosis........................................................................................................................357 21.9 Terapi..............................................................................................................................358



Gangguan Saluran Cerna Fungsional (FGID) ..................................................367 Reza Gunadi Ranuh 22.1 Ilustrasi Kasus...............................................................................................................367 22.2 Pendahuluan..................................................................................................................367 22.3 Patogenesis.....................................................................................................................368 22.4 Regurgitasi ....................................................................................................................369 22.5 Kolik Infantil.................................................................................................................373 22.6 Konstipasi......................................................................................................................377



Gangguan Motilitas Saluran Cerna...................................................................384 Satrio Wibowo 23.1 Ilustrasi kasus................................................................................................................384 23.2 Pendahuluan..................................................................................................................384 23.3 Definisi dan Fisiologi Motilitas..................................................................................385 23.4 Klasifikasi.......................................................................................................................385 23.5 Identifikasi Awal...........................................................................................................385 9 23.6 Beberapa Penyakit dengan Gangguan Motilitas Saluran Cerna...........................386 01 2 t 23.7 Tanda dan Gejala .........................................................................................................387 are M 9 23.8 Tanda Bahaya atau Red Flag pada Gangguan Motilitas.........................................387 ro ast 23.9 Pemeriksaan Penunjang Diagnostik..........................................................................390 G at 23.10 Tata Laksana..................................................................................................................390 ap r k 23.11 Penutup..........................................................................................................................391 ntu



ou str Atas............................................................393 a Perdarahan Saluran Cerna Bagian G jar Deddy Satriya Putra A u 24.1 Ilustrasi Kasus uk..............................................................................................................393 B e 24.2 Pendahuluan .................................................................................................................393 Fil 24.3 24.4 24.5 24.6 24.7



Definisi ..........................................................................................................................394 Epidemiologi ................................................................................................................394 Etiologi...........................................................................................................................394 Diagnosis dan Tata Laksana........................................................................................397 Simpulan .......................................................................................................................398



Perdarahan Saluran Cerna Bagian Bawah.........................................................400 Supriatmo 25.1 25.2 25.3 25.4 25.5 25.6 25.7 25.8



Ilustrasi kasus................................................................................................................400 Pendahuluan..................................................................................................................400 Evaluasi awal..................................................................................................................401 Gejala dan Tanda..........................................................................................................401 Pemeriksaan Fisis.........................................................................................................402 Diagnosa Banding Hematokesia................................................................................402 Pemeriksaan Darah......................................................................................................402 Pemeriksaan Radiologi ...............................................................................................403 xix



25.9 Tata Laksana..................................................................................................................405



Endoskopi Gastrointestinal pada Anak ............................................................408 Andy Darma 26.1 Ilustrasi kasus................................................................................................................408 26.2 Latar Belakang...............................................................................................................408 26.3 Endoskopi Gastrointestinal pada Anak....................................................................408 26.4 Indikasi...........................................................................................................................410 26.5 Ringkasan.......................................................................................................................413



Diare pada Anak Penderita HIV........................................................................416 Muzal Kadim 27.1 Ilustrasi Kasus...............................................................................................................416 27.2 Pendahuluan..................................................................................................................416 27.3 Klasifikasi Infeksi HIV.................................................................................................417 27.4 Diare pada Anak HIV..................................................................................................418 27.5 Tata Laksana..................................................................................................................422 27.6 Penutup..........................................................................................................................423



9 Aspek Nutrisi pada Kelainan Saluran Cerna Anak...........................................425 01 2 t I Putu Gede Karyana re Ma 28.1 Ilustrasi Kasus...............................................................................................................425 9 ro 28.2 Pendahuluan..................................................................................................................425 ast G 28.3 Kebutuhan Nutrisi........................................................................................................425 at ap r k 28.4 Diare Akut.....................................................................................................................426 ntu u 28.5 Toddler Diarrhoea ........................................................................................................428 tro asSaluran 28.6 Alergi Makanan pada Cerna........................................................................428 G r a j 28.7 Penyakit Seliak..............................................................................................................432 uA kKarbohidrat...............................................................................................433 28.8 Intoleransi u eB 28.9 Defisiensi Fil Disakaridase................................................................................................433 28.10 Defisiensi Sukrase-isomaltase Kongenital................................................................434 28.11 Defisiensi Laktase ........................................................................................................435 28.12 Malabsorpsi Monosakarida........................................................................................435 28.13 Malabsorpsi Lemak......................................................................................................436 28.14 Makanan Modular pada Diare Berkepanjangan atau Sindrom Usus Pendek....437 28.15 Kelainan Motilitas Usus ..............................................................................................438 28.16 Konstipasi......................................................................................................................441 28.17 Gangguan Motilitas Usus............................................................................................443 28.18 Penyakit Crohn..............................................................................................................443 28.19 Kolitis Ulseratif.............................................................................................................447



Terapi Farmakologi pada Muntah.....................................................................451 Subijanto Marto Sudarmo 29.1 Ilustrasi Kasus...............................................................................................................451 29.2 Pendahuluan..................................................................................................................451 29.3 Patofisiologi...................................................................................................................451 29.4 Metoklopramid & Domperidon.................................................................................453 xx



29.5 Antagonis 5-HT3..........................................................................................................455 29.6 Obat-obatan Penetralisir dan Penekan Produksi Asam Lambung.......................456



Terapi Farmakologi pada Diare.........................................................................474 Alpha Fardah Athiyyah 30.1 Ilustrasi Kasus...............................................................................................................474 30.2 Pendahuluan..................................................................................................................474 30.3 Terapi Farmakologis pada Anak Diare.....................................................................475



Kelainan Fungsi Hati..........................................................................................484 Hasri Salwan, Achirul Bakri 31.1 Ilustrsi Kasus.................................................................................................................484 31.2 Pendahuluan..................................................................................................................484 31.3 Fungsi Metabolisme Makronutrien Hati dan Kelainannya ..................................485 31.4 Fungsi Hati Lainnya dan Kelainannya......................................................................487 31.5 Kerusakan Hati.............................................................................................................488 31.6 Diagnosis........................................................................................................................489 31.7 Penutup..........................................................................................................................491



Atresia Bilier.......................................................................................................493 9 01 2 Jeanette Irene Christiene Manoppo t re 32.1 Ilustrasi Kasus...............................................................................................................493 Ma 9 ro 32.2 Pendahuluan..................................................................................................................493 ast G 32.3 Epidemiologi.................................................................................................................494 at ap r 32.4 Etiologi...........................................................................................................................494 k ntu..............................................................................494 32.5 Mekanisme Patogenesis Penyakit. u ro 32.6 Klasifikasi.......................................................................................................................497 ast G 32.7 Diagnosis........................................................................................................................497 jar A u 32.8 Diagnosis Banding.......................................................................................................499 uk B e 32.9 Tata Laksana Fil Bedah......................................................................................................499 32.10 Komplikasi.....................................................................................................................500 32.11 Luaran Pasien dengan Atresia Bilier..........................................................................501



Non Alcoholic Fatty Liver Disease......................................................................504 Ninung RD Kusumawati 33.1 Ilustrasi Kasus...............................................................................................................504 33.2 Pendahuluan..................................................................................................................504 33.3 Definisi...........................................................................................................................505 33.4 Insiden dan Prevalensi ................................................................................................505 33.5 Skrining .........................................................................................................................506 33.6 Diagnosis........................................................................................................................507 33.7 Tata Laksana .................................................................................................................510



Penyakit Kandung Empedu pada Anak.............................................................516 Sjamsul Arief 34.1 Ilustrasi Kasus...............................................................................................................516 34.2 Pendahuluan .................................................................................................................516



xxi



34.3 Batu Empedu ................................................................................................................517 34.4 Diskinesia Kandung Empedu.....................................................................................520 34.5 Ringkasan.......................................................................................................................520



Sirosis Hati pada Anak.......................................................................................522 Bagus Setyoboedi 35.1 Ilustrasi kasus................................................................................................................522 35.2 Pendahuluan..................................................................................................................522 35.3 Patogenesis ....................................................................................................................523 35.4 Diagnosis........................................................................................................................524 35.5 Tata Laksana.................................................................................................................528 35.6 Komplikasi.....................................................................................................................529 35.7 Monitoring dan Prognosis..........................................................................................533



Asites Refrakter..................................................................................................538 Titis Widowati 36.1 Ilustrasi Kasus...............................................................................................................538 36.2 Pendahuluan..................................................................................................................538 36.3 Definisi...........................................................................................................................538 9 36.4 Etiologi...........................................................................................................................539 01 2 t 36.5 Patofisiologi...................................................................................................................541 are M 9 36.6 Gejala Klinis..................................................................................................................543 ro ast 36.7 Diagnosis........................................................................................................................544 G at 36.8 Tata Laksana .................................................................................................................548 ap r k 36.9 Komplikasi ....................................................................................................................552 ntu u 36.10 Prognosis........................................................................................................................555 tro



as r G Hati...................................................................557 a Prosedur Diagnostik Penyakit j A Yusri Diane Jurnalis uku eB 37.1 Ilustrasi Fil Kasus...............................................................................................................557 37.2 37.3 37.4 37.5 37.6 37.7 37.8



Ultrasonografi (USG) Hati dan Saluran Empedu...................................................557 CT Scan Hati..................................................................................................................559 Skintigrafi Hepatobilier...............................................................................................561 Tes Aspirasi Duodenum (duodenal aspiration test /DAT).....................................562 Biopsi Hati.....................................................................................................................563 Kolangiografi.................................................................................................................566 Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)...................................567



Terapi Farmakologi pada Penyakit Hati............................................................570 Sulaiman Yusuf 38.1 Ilustrasi Kasus...............................................................................................................570 38.2 Pendahuluan..................................................................................................................570 38.3 Terapi..............................................................................................................................570 38.4 Obat untuk Komplikasi Sirosis Hati..........................................................................573 38.5 Masalah Terapi Obat....................................................................................................575



Indeks.................................................................................................................577 xxii



Daftar Tabel Tabel 2.3.1. Klasifikasi dehidrasi sesuai defisit cairan.........................................................27 Tabel 2.3.2. Pemeriksaan laboratorium pada gangguan keseimbangan asam-basa.......27 Tabel 2.3.3. Terapi cairan standar (iso-hiponatremia)........................................................29 Tabel 2.4.1. Etiologi perdarahan............................................................................................30 Tabel 2.4.2. Diagnosis diferensial..........................................................................................32 Tabel 2.7.1. Penanganan farmakologis.................................................................................39 Tabel 2.8.1. Klasifikasi etiologis obstruksi intestinal..........................................................40 Tabel 2.8.2. Gambaran esensial dari resusitasi....................................................................40 Tabel 2.9.1. Etiologi nyeri abdomen akut berdasarkan simptom......................................41 Tabel 2.9.2. Penanganan penyakit peptik pada anak..........................................................42 Tabel 3.6.1. Gangguan-gangguan yang dapat menyebabkan disfagia pada bayi dan anak......................................................................................................................53 Tabel 3.8.1. Keluhan-keluhan dan gejala klinis yang memerlukan pemeriksaan videofluoroskopi menelan.................................................................................60 9 01 fungsi 2 Tabel 3.9.1. Contoh terapi yang digunakan pada anak dengan gangguan t re menelan................................................................................................................62 Ma 9 ro otomatis............................63 Tabel 3.9.2. Terapi motorik mulut dengan masalah struktur ast G Tabel 3.9.3. Beberapa cara stimulasi nonnutritive..............................................................64 at rap Tabel 5.4.1. Prevalensi stunting pada usia 3 ktahun.............................................................75 ntu Tabel 6.9.2. Gejala khas diare akut olehuberbagai penyebab..............................................100 o r t s Tabel 6.10.1. Penentuan derajat dehidrasi menurut MMWR 2003....................................101 Ga r dehidrasi a Tabel 6.10.2. Penentuan derajat menurut WHO 1995........................................101 j u A dehidrasi menurut WHO 1980........................................102 Tabel 6.10.3. Penentuanukderajat e B derajat dehidrasi menurut sistem pengangkaan-Maurice King Tabel 6.10.4. Penentuan Fil (1974)...................................................................................................................102 Tabel 7.5.1. Enteropatogen penyebab diare di Surabaya (1984-1993)..............................119 Tabel 7.10.1. Faktor-faktor risiko terjadinya diare persisten...............................................127 Tabel 8.6.1. Penyebab muntah pada neonatus.....................................................................134 Tabel 8.6.2. Penyebab muntah pada bayi.............................................................................134 Tabel 8.6.3. Penyebab muntah pada anak............................................................................135 Tabel 9.3.1. Mediator dan moderator dari sakit perut berulang fungsional....................143 Tabel 9.5.1. Penyebab utama sakit perut akut menurut umur, yang memerlukan tindakan bedah...................................................................................................145 Tabel 9.5.2. Penyebab non-bedah sakit perut akut.............................................................145 Tabel 9.5.3. Penyebab sakit perut akut pada neonatus.......................................................146 Tabel 9.7.1. Gejala abdomen akut pada neonatus...............................................................148 Tabel 9.7.2. Gejala klinis beberapa penyakit dengan sakit perut akut pada anak...........148 Tabel 9.9.2. Beberapa penyebab organik sakit perut berulang..........................................151 Tabel 9.9.3. Gejala klinis sakit perut berulang yang klasik ...............................................152



xxiii



Tabel 9.9.4. Alarm symptoms sakit perut berulang yang disebabkan oleh kelainan organik.................................................................................................................152 Tabel 9.9.5. Pemeriksaan laboratorium dan penunjang sakit perut berulang.................153 Tabel 9.9.6. Ringkasan pengobatan sakit perut berulang fungsional...............................155 Tabel 10.4.1. Flora normal usus di saluran cerna normal....................................................162 Tabel 10.4.2. Bakteri intra-lumen: efek pada pejamu...........................................................163 Tabel 10.4.3. Manifestasi klinik bakteri tumbuh lampau di usus halus..............................164 Tabel 10.4.4. Uji diagnostik bakteri tumbuh lampau di usus halus....................................165 Tabel 11.6.1. Alergi makanan : organ target dan gangguannya...........................................171 Tabel 11.6.2. CMPSE di Surabaya............................................................................................176 Tabel 11.7.1. Bahan-bahan / keadaan yang dapat memberikan gejala mirip gangguan hipersensitivitas makanan.................................................................................178 Tabel 11.7.2. Tanda & gejala rekasi alergik makanan dalam berbagai organ target.........179 Tabel 11.7.3. Elemen-elemen yang menunjukkan adanya alergi makanan sebagai penyebab penyakit gastrointestinal..................................................................183 Tabel 11.7.4. Faktor-faktor yang meningkatkan kemungkinan alergi makanan sebagai kausa penyakit gastrointestinal.........................................................................183 Tabel 11.7.5. Jenis diet eliminasi..............................................................................................183 9 Tabel 11.7.6. Modalitas untuk tantangan makanan oral......................................................183 01 2 t Tabel 11.7.7. Bagaimana hidup dengan allergi makanan.....................................................185 are M 9 Tabel 12.5.1. Frekuensi normal defekasi pada anak .............................................................190 ro ast Tabel 12.6.1. Pemeriksaan fisik pada anak denganGkonstipasi............................................192 at membedakan konstipasi organik dari Tabel 12.6.2. Temuan pada pemeriksaan fisikapyang r k fungsional............................................................................................................192 ntu u Tabel 12.7.1. Penyebab tersering konstipasi pada anak........................................................193 ro ast Tabel 12.7.2. Obat yang menyebabkan konstipasi. ................................................................194 G r Aja Tabel 12.7.3. Penyebabukonstipasi berdasarkan umur..........................................................194 uk konstipasi kronis pada anak.........................................................195 Tabel 12.8.1. Komplikasi B e Fil Tabel 13.5.2. Gambaran klinis dari 325 anak dengan PC....................................................207 Tabel 13.5.3. Terapi Farmakologis PC.....................................................................................215 Tabel 13.5.4. Indikasi tindakan bedah pada PC....................................................................216 Tabel 13.5.5. Efek samping SASP.............................................................................................225 Tabel 13.5.6. Indikasi untuk tindakan bedah .....................................................................227 Tabel 14.7.1. Etiologi pankreatitis akut pada anak................................................................234 Tabel 14.7.2. Gambaran klinis pankreatitis akut...................................................................235 Tabel 14.8.1. Diagnosis diferensial hiperamilase .................................................................236 Tabel 16.4.1. Dosis imunoglobulin yang dianjurkan pada saat, sebelum dan setelah paparan................................................................................................................270 Tabel 16.4.2. Dosis Havrix TM yang dianjurkan.......................................................................270 Tabel 16.5.1. Daerah distribusi genotip dan serotip HBV....................................................274 Tabel 16.5.2. Penanda serologis infeksi HBV.........................................................................275 Tabel 16.6.1. Indikasi dan kontraindikasi pengobatan hepatitis C kronis.........................287 Tabel 16.6.2. Evaluasi pada pengobatan hepatitis C kronis.................................................288 Tabel 17.6.1. Kategori hepatotoksik dan bentuk kelainan....................................................304



xxiv



Tabel 17.6.2. Daftar obat hepatotoksik...................................................................................305 Tabel 18.1.1. Penyebab utama Syndrome of Inappropriate Secretion of Antidiuretic Hormone (SIADH)..............................................................................................314 Tabel 18.4.1. Penyebab penyakit sistemik yang berpengaruh pada hati............................317 Tabel 18.8.1. Imaturitas sirkulasi enterohepatik asam empedu...........................................324 Tabel 20.3.1. Faktor predisposisi neonatus untuk menderita kolestasis intrahepatik......338 Tabel 20.5.1. Diagnosis diferensial kolestasis intrahepatik pada bayi dan upaya diagnostiknya......................................................................................................340 Tabel 20.8.1. Gejala klinik pada beberapa penyebab kolestasis intrahepatik pada bayi ......................................................................................................................343 Tabel 20.10.1. Tata laksana spesifik pada beberapa penyebab sindrom hepatitis neonatal................................................................................................................350 Tabel 21.6.1. Penyakit anak yang berhubungan dengan hipertensi porta-klasifikasi berdasarkan patofisiologi .................................................................................355 Tabel 21.7.1. Patogenesis hipertensi porta pada sirosis........................................................356 Tabel 21.7.2. Patogenesis sirkulasi hiperdinamik hipertensi porta.....................................356 Tabel 22.4.1. Red Flag................................................................................................................371 Tabel 23.5.1. Tanda dan gejala gangguan motilitas dan organ yang diduga terlibat........386 9 Tabel 23.8.1. Gangguan motilitas saluran cerna pada beberapa penyakit.........................388 01 2 t e beberapa Tabel 23.8.2. Tanda dan gejala gangguan motilitas saluran cernaardari M 9 penyakit................................................................................................................389 o str asaluran Tabel 23.8.3. Tanda bahaya untuk gangguan motilitas cerna................................389 G at Tabel 23.9.1. Pemeriksaan diagnostik gangguanapmotilitas saluran cerna..........................390 r Tabel 23.10.1. Pendekatan pembedahan, nutrisional dan farmakologis untuk tata laksana tuk n ucerna.....................................................................391 gangguan motilitas saluran o r ast Tabel 24.5.1. Etiologi perdarahan cerna atas pada anak.........................................394 Gsaluran r ja perdarahan saluran cerna atas berdasarkan manifestasi A Tabel 24.5.2. Diagnosis bandingl u uk klinis.....................................................................................................................395 B e Filobat-obatan pada perdarahan saluran cerna atas ..............................398 Tabel 24.7.1. Terapi Tabel 25.5.1. Pemeriksaan fisis pada PSMBB.........................................................................402 Tabel 25.7.1. Pemeriksaan dini pada PSMBB........................................................................403 Tabel 25.8.1. Pemeriksaan radiologi pada PSMBB...............................................................403 Tabel 25.8.2. Pemeriksaan endoskopi yang dapat dilakukan pada PSMBB ......................404 Tabel 26.4.1. Indikasi endoskopi saluran cerna bagian atas................................................410 Tabel 26.4.2. Indikasi endoskopi saluran cerna bagian atas sesuai dengan usia ..............410 Tabel 26.4.3. Tindakan endoskopi pada tertelan benda asing.............................................411 Tabel 26.4.4. Indikasi endoskopi saluran cerna bagian bawah...........................................412 Tabel 27.3.2. Stadium klinis WHO untuk bayi dan anak yang terinfeksi HIV.................417 Tabel 27.3.3. Stadium klinis WHO untuk bayi dan anak yang terinfeksi HIV (lanjutan).............................................................................................................418 Tabel 27.3.1. Klasifikasi WHO mengenai penyakit yang berhubungan dengan HIV......417 Tabel 27.4.2. Mikroorganisme patogen penyebab diare pada HIV....................................420 Tabel 27.4.1. Gangguan fungsi usus dan pankreas pada anak dengan HIV......................420 Tabel 27.5.1. Terapi spesifik infeksi usus pada anak penederita HIV.................................422 Tabel 28.3.1. Kebutuhan untuk bayi dengan malabsorpsi..................................................426 xxv



Tabel 28.9.1. Aktivitas enzim bursh border di usus halus....................................................434 Tabel 29.6.1. Klasifikasi obat penurun keasaman lambung.................................................457 Tabel 30.3.1. Indikasi, jenis, serta dosis probiotik yang disarankan untuk masing-masing diagnosis..............................................................................................................478 Tabel 31.3.1. Rujukan nilai normal PT dan aPTT pada bayi prematur (usia gestasi 30-36 minggu) yang baru lahir dan sehat. ................................................................487 Tabel 31.5.1. Rujukan nilai normal kadar gamma glutamil-tranferase sesuai umur........489 Tabel 33.3.1. Definisi spektrum histopatologi klinis NAFLD10.........................................505 Tabel 34.3.1. Penyakit/keadaan yang dihubungkan dengan batu empedu........................517 Tabel 34.3.2. Penyakit penyerta utama...................................................................................518 Tabel 35.2.1. Berbagai penyakit yang berpotensi mengakibatkan sirosis pada anak.......523 Tabel 35.4.1. Gejala dan tanda umum komplikasi sirosis....................................................525 Tabel 35.7.1. Sistem skor Child-Turcotte-Pugh......................................................................534 Tabel 35.7.2. Interpretasi sistem skoring Child-Turcotte-Pugh............................................534 Tabel 36.4.1. Penyakit penyebab asites fetal...........................................................................539 Tabel 36.4.2. Penyebab asites kongenital/neonatal ...............................................................540 Tabel 36.4.3. Penyebab asites pada anak.................................................................................540 Tabel 36.6.1. Klasifikasi tingkat keparahan asites..................................................................543 9 Tabel 36.6.2. Staging asites.......................................................................................................543 01 2 t Tabel 36.6.3. Pengertian dan kriteria diagnostik asites refrakter are pada sirosis...................544 M 9 Tabel 36.7.1. Warna cairan asites secara makroskopis tergantung penyakit yang o str a mendasarinya......................................................................................................546 G at Tabel 36.7.2. Klasifikasi infeksi cairan asites aberdasarkan hasil kultur .............................547 p r k Table 36.7.3. Interpretasi diagnosis SAAG. ntu ............................................................................547 Tabel 36.7.4. Karakteristik cairantasites o u di berbagai kondisi...............................................548 r as Tabel 36.7.5. Interpretasi spesifik r G cairan asites......................................................................548 a j Tabel 36.9.1. Varian asites u A dengan infeksi bakteri pada anak dengan sirosis hati............552 k u Tabel 36.9.2. Usulan e B diagnostik kriteria untuk HRS pada anak..........................................553 Fil Tabel 38.4.1. Obat-obat untuk terapi asites............................................................................573 Tabel 38.4.2. Obat-obat untuk terapi ensefalopati hati.........................................................574 Tabel 38.4.3. Obat-obat untuk terapi abses hati....................................................................574



xxvi



Daftar Gambar Gambar 2.4.2. Pendekatan Klinis Perdarahan GIT Bawah .................................................31 Gambar 2.4.1. Penentuan letak perdarahan............................................................................31 Gambar 2.4.3. Algoritma penatalaksanaan pada anak dengan kecurigaan perdarahan varises usofagus.................................................................................................35 Gambar 2.5.1 Aluran tata laksana pemberian cairan dan plasma/darah pada DBD derajat III dan IV .............................................................................................38 Gambar 3.6.2a. Skema gambar samping dari saluran aerodigestif atas struktur rongga mulut dan faring dapat dilihat bagitu juga pintu masuk laring, trakea dan esofagus.......................................................................................................54 Gambar 3.6.2b. Dari gambaran samping saluran aerodigestif atas menunjukkan batas anatomi nasofaring, orofaring dan hipofaring.............................................54 Gambar 3.6.3. Skema dari seorang anak yang menggambarkan fase menelan yang normal ...............................................................................................................55 9 Gambar 3.6.4. Diagram sistem saraf perifer dan sentral untuk menelan 01 sinyal efferen 2 t antara lain saraf kranial, kortikal dan jalur subkortikal re menuju Nukleus Ma Traktus Solitarius (NTS) dan Ventral Medial Retikular Formation 9 o r t s (VMRF) (sist. generator sentral). Sinapa saraf efferen dengan Inti motor G at XII........................................................57 primer saraf pusat V, VII, IX, X adan p k r golongan sosial ekonomi tinggi dan Gambar 5.4.1. Tinggi rata-rata anak usia 7tutahun n u rendah.................................................................................................................75 tro s a Gambar 5.6.1. Lingkaran setan kompleks diare–MEP–infeksi............................................77 rG jadi Gambar 7.5.1. Insidensi diare beberapa negara berkembang..........................................118 A u uk Gambar 7.6.2. Alur perjalanan diare akut menjadi diare persisten.....................................120 B e l i Gambar 7.6.1. Konsep patogenesis diare persisten dan kronis............................................120 F Gambar 7.9.1. Diagram manajemen diare persisten.............................................................126 Gambar 9.9.1. Konsep yang menggambarkan peran penyebab multifaktorial pada sakit perut berulang..........................................................................................150 Gambar 9.9.6. Pendekatan diagnosis sakit perut berulang...................................................154 Gambar 11.6.1. Gangguan hipersensitivitas GI .......................................................................172 Gambar 13.5.1. Faktor-faktor yang berperan untuk terjadinya malnutrisi dan gagal tumbuh pada anak dan remaja dengan IBD.................................................210 Gambar 14.2.1. Pankreas dengan duktus pankreatikus dan duktus billiaris.......................230 Gambar 14.5.1. Mekanisme patogenesis pankreatitis akut ....................................................232 Gambar 14.5.2. Aktivasi enzim-enzim pankreas.....................................................................232 Gambar 15.4.2. Gambaran eksresi empedu pada orang dewasa, dengan menggunakan larutan khromatografi high performance........................................................250 Gambar 15.4.3. Gambaran eksresi empedu pada bayi baru lahir, dengan menggunakan larutan khromatografi high performance........................................................250 Gambar 15.4.4. Reduksi dan oksidasi bilirubin menjadi sebuah kelompok yang mempunyai kesamaan komposisi yaitu urobilinoid....................................251 xxvii



Gambar 15.5.1. Pendekatan klinis ikterus neonatus................................................................254 Gambar 16.4.1. Pola respons terhadap infeksi HAV................................................................269 Gambar 16.5.1. Pola respons terhadap infeksi akut HBV........................................................273 Gambar 16.7.1. Perubahan serologis dan biokimia pada koinfeksi HDV.4.........................290 Gambar 16.7.2. Perubahan serologis dan biokimia pada superinfeksi HDV.4....................290 Gambar 16.7.1. Kemungkinan akibat dari infeksi HDV.........................................................291 Gambar 17.3.2. Mekanisme drug induced hepatitis.................................................................302 Gambar 17.3.1. Metabolisme tahap I dan tahap II..................................................................302 Gambar 17.6.2. Metabolisme asetaminofen..............................................................................306 Gambar 17.6.3. Metabolisme isoniazid (INH).........................................................................307 Gambar 17.7.1. Upaya Diagnosis Drug Induced Hepatitis......................................................309 Gambar 18.2.1. Hubungan antara arteri hepatika, v. porta, sinusoid dan hepatosit...........315 Gambar 18.8.1. Hubungan masing-masing area menurut asinus hepar dari Rappaport (pusat di triade portal) dan lobulus hepar klasik dari Kiernan (pusat di vena sentralis) ...................................................................................................321 Gambar 18.8.2. Patogenesis kelainan hepatobiliaris pada sepsis...........................................323 Gambar 20.8.1. Sekuele kolestasis kronik..................................................................................343 Gambar 21.9.1. Algoritme tatalaksana anak dengan kecurigaan perdarahan varises........362 9 Gambar 22.4.1. Algoritne tata laksana regurgitasi...................................................................372 01 2 t Gambar 22.5.1. Kolonisasi mikrobiota usus.............................................................................374 are M 9 Gambar 22.5.2. Algoritma tata laksana kolik............................................................................376 ro ast Gambar 22.7.1. Algoritma tata laksana konstipasi G fungsional. ..............................................379 at 12 th.......................................................396 Gambar 24.5.1. Ulkus gastrikum anak perempuan p a k r 3 thn.............................................................396 Gambar 24.5.3. Varises esofagus anak laki-laki u t un Gambar 24.5.2. Esofagitis pada anak 10 th..........................................................396 o perempuan r t as Gambar 24.5.4. (PA) Adenoma duodenum anak laki-laki 14thn..........................................396 G jar anak laki-laki 8 thn................................................................397 A Gambar 24.5.5. Gastritis erosif u ukvarises esofagus anak laki-laki 11 thn.................................................397 Gambar 24.5.6. Ligasi B e il Gambar 27.4.1. F Mekanisme malnutrisi pada anak dengan HIV...........................................419 Gambar 29.3.1. Mekanisme muntah..........................................................................................452 Gambar 29.3.2. Cara kerja obat anti muntah............................................................................453 Gambar 29.4.1. Jalur proses muntah..........................................................................................454 Gambar 29.6.1. Mekanisme fisiologis sekresi ion hydrogen oleh sel parietal......................457 Gambar 29.6.2. Mekanisme kerja obat-obat menetralisir dan menekan produksi asam lambung..............................................................................................................458 Gambar 29.6.3. Aspek fungsional dari sekresi lambung, menunjukkan jalur stimulasi dan penghambatan utama yang mengatur sekresi asam lambung............459 Gambar 29.6.4. Mekanisme kerja obat anti sekresi.................................................................460 Gambar 30.3.1. Estimasi prevalensi dari asupan zinc yang inadekuat .................................476 Gambar 31.6.1. Klasifikasi kolestasis neonatal.........................................................................491 Gambar 33.6.1. Investigasi pasien dengan NAFLD.................................................................508 Gambar 33.6.2 Alat diagnostik untuk anak dan remaja dengan NAFLD5.........................509 Gambar 36.5.1. Patofisiologi terjadinya asites..........................................................................542 Gambar 36.8.1. Tata laksana pasien dengan asites refrakter..................................................551



xxviii



BAB



1



Keseimbangan Cairan Dan Elektrolit Mohammad Juffrie



1.1 Ilustrasi Kasus Seorang anak laki laki berumur 3 tahun masuk di unit gawat darurat dengan keluhan diare cair akut, muntah-muntah, dan panas. Tiga jam sebelum masuk rumah sakit anak tersebut mengalami kejang-kejang selama 5 menit. Kesadaran agak menurun. Dari riwayat yang diceritakan oleh neneknya yang mengantar anak tersebut ditemukan bahwa di rumah anak tersebut sudah menderita diare selama 3 hari, cair, warna kuning, tidak berdarah dan berlendir. Anak tersebut di rumah telah diberi larutan oralit selama diare. Neneknya mencampur 1 bungkus oralit dengan setengah gelas kecil untuk mempermudah memasukkan oralitnya.



1.2 Larutan Tubuh Larutan tubuh terbagi menjadi larutan intraselular (CIS) dan larutan ekstraselular (CES). Volume CIS tidak dapat diukur langsung, akan tetapi dapat diukur dengan mengurangkan volume CES dari volume air tubuh total. Jumlah CIS sebanyak 30%-40% dari berat badan. CIS merupakan representasi dari jumlah larutan dari berbagai macam sel di seluruh tubuh, yang tersebar dan mempunyai fungsi yang berbeda-beda serta mempunyai komposisi yang berbeda. Volume larutan ekstraselluler lebih besar dibanding volume larutan intraselluler pada fetus, tetapi rasio CES dan CIS ini akan berubah setelah umur 9 bulan. CES berkurang secara relatif disebabkan karena pertumbuhan sel jaringan lebih cepat dibanding pertumbuhan jaringan kolagen menjadi jaringan otot. Setelah itu jumlah CES akan bertambah berhubungan dengan bertambahnya berat badan. Pada keadaan hidrasi normal jumlah CES pada anak adalah 20%-25% berat badan yang terbagi dalam larutan plasma 5% berat badan, larutan interstisiel 15% berat badan dan larutan transelluler 1%-3% berat badan. Larutan transelluler terdiri dari larutan di saluran gastrointestinal dan larutan serebrospinal, intraokular, pleural, peritoneal dan larutan sinovial.



1



Bab 1 Keseimbangan Cairan dan Elektrolit



1.3 Komposisi Larutan Tubuh CIS terdiri dari air dan elektrolit yaitu protein ditambah dengan K+, PO4--, Na+, Mg++, HCO3, dan HHCO3 . Elektrolit yang terbanyak adalah K+. Plasma darah terdiri dari protein, Na+, Cl-, HCO3-, K+, Ca++, Mg++, SO4--, HPO4--, HHCO3 dan nonelektrolit. Larutan interstisial terdiri dari Na+, Cl-, HCO3-, K+, Mg++, Ca++, SO4--, HPO4--, HHCO3 dan nonelektrolit. Elektrolit yang terbanyak adalah Na+. Membran sel berfungsi sebagai barrier primer perpindahan zat-zat antara CES dan CIS. Zat-zat yang larut dalam lemak seperti gas (oksigen dan karbon dioksida) bisa langsung memintas membran. Ion-ion seperti Na+ dan K+ berpindah melalui mekanisme transport seperti pompa Na+/K+ yang berlokasi di membran sel elektrolit dalam larutan tubuh adalah substansi yang terurai dalam bentuk partikel atau ion misalnya NaCl akan terurai menjadi ion positif Na+, atau ion negatif yaitu Cl-. Karena kekuatan berikatan keduanya selalu akan bersatu. Distribusi elektrolit di antara kompartemen tubuh dipengaruhi oleh potential listriknya. Walaupun begitu satu kation dapat diganti dengan yang lain, misalnya H+ diganti dengan K+ dan ikatannya HCO3- diganti dengan Cl-.



1.4 Difusi dan Osmosis



9



01



2 ret a 9M



Difusi adalah pergerakan partikel bermuatan atau tidak ro bermuatan di sepanjang gradien stair a konsentrasinya. Semua molekul dan ion termasuk dan larutannya dalam keadaan G at energi masing masing yang diperoleh p konstan. Pergerakan partikel ini dipengaruhi oleh ra k gerakan u dari konsentrasinya, sehingga akan terjadi dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi t un o rendah. r st Gamelewati membran semi permeabel. Air akan bergerak dari Osmosis adalah gerakan air r ja tempat yang sedikit mengandung partikel ke tempat yang banyak partikelnya. Perpindahan uA k u B air ini membutuhkan ile tekanan yang disebut tekanan osmotik. Aktifitas osmotik ini diukur dengan ukuran Fyang disebut osmol. Aktifitas osmosik larutan diekspresikan dalam bentuk osmolaritas dan osmolalitas. Osmolaritas adalah konsentrasi osmolar dalam 1 liter larutan (mOsm/L), sedangkan osmolalitas adalah konsentrasi osmolar dalam 1 kg air. Osmolaritas biasa dipakai untuk larutan yang berada di luar tubuh, sedangkan osmolalitas untuk menjelaskan larutan di dalam tubuh. Osmolalitas serum yang ditentukan oleh natrium dan anion yang mengikatnya (klorida dan bikarbonat) mempunyai angka berkisar antara 275 dan 295 mOsm/kg. Tonisitas. Perubahan kandungan air menyebabkan sel menjadi membengkak atau mengkerut. Pengertian tonisitas adalah tekanan atau efek dari tekanan osmotik efektif dari larutan dengan zat terlarut yang tidak permeabel terhadap ukuran sel karena perpindahan air melalui membran sel. Jadi tonisitas diukur dengan zat terlarut yang tidak bisa melalui membran sel misalnya glukosa menyebabkan kekuatan osmotik yang menekan air masuk atau keluar dari sel dan menyebabkan perubahan ukuran sel. Larutan dimana sel-sel tubuh berasa didalamnya dapat dibagi menjadi tiga macam jenis osmotiknya yaitu isotonik, hipotonik dan hipertonik tergantung pada apakah dia menyebabkan sel membengkak atau mengkerut. Sel yang berada pada larutan isotonis jika 2



Buku Ajar Gastrohepatologi



larutan itu mempunyai osmolalitas sama seperti CIS (280 mOsm/l) tidak akan membengkak atau mengkerut. Sebagai contoh larutan isotonik adalah larutan NaCl 0,9%. Jika sel berada dalam larutan hipotonik jika larutan itu mempunyai osmolalitas efektif lebih rendah dari CIS, sel akan membengkak karena air masuk ke dalam sel. Apabila sel berada di larutan hipertonis dimana osmolalitas efektif nya lebih besar dari CIS sel akan mengkerut karena air keluar dari sel.



Pertukaran larutan dalam kapiler dan jaringan interstisial Pertukaran larutan dari vaskular ke interstisial terjadi di semua tingkatan kapiler. Ada 4 kekuatan yang mengatur pertukaran ini yaitu 1) tekanan filtrasi kapiler, yang mendorong air keluar dari kapiler menuju jaringan interstisial; 2) tekanan osmotik koloid kapiler, yang mendorong air kembali ke dalam kapiler; 3) tekanan hidrostatik interstisial sebagai kebalikan gerakan air keluar kapiler; dan 4) tekanan osmotik koloid jaringan yang mendorong menarik air keluar dari kapiler ke jaringan interstisiel. Pada keadaan normal semua air akan bergerak oleh 4 kekuatan tersebut, hanya dalam jumlah sedikit yang tersisa di jaringan interstisial dan akan masuk ke sistem limfatik yang nantinya masuk ke siskulasi darah. 9 karena faktor Filtrasi kapiler dimaksudkan gerakan air melalui pori-pori kapiler 01 2 t mekanis, bukan karena tenaga osmotik. Tekanan filtrasi kapiler kadang re disebut juga tekanan Ma kapiler ke dalam jaringan hidrostatik kapiler yaitu tekanan yang mendorong air keluar dari 9 tro vena, yaitu tahanan prekapiler interstisial. Hal tersebut menggambarkan tekanan arteriasatau G at arteri atau vena menaikkan tekanan (arteriol) dan post kapiler (venula). Kenaikan tekanan ap r k tahanan vena akan menaikkan tekanan kapiler. Penurunan tahanan arteri atau kenaikan ntu u kapiler dan suatu kenaikan tahanan arteri atau penurunan tahanan vena akan menurunkan tro s a tekanan kapiler. Gaya gravitasi meningkatkan tekanan kapiler pada posisi tertentu. Pada G jarberat darah di sepanjang pembuluh darah menyebabkan orang yang berdiri tegak maka A u uksetiap 13,6 mm jaraknya dari jantung. Tekanan ini hasil dari berat kenaikan 1 mmHg untuk B e air oleh karenanyaFildisebut tekanan hidrostatik. Pada orang dewasa yang berdiri tegak, tekanan di vena kaki bisa mencapai 90 mmHg. Tekanan ini kemudian dialihkan ke kapiler. Tekanan osmotik koloid kapiler adalah tekanan osmotik yang berasal dari protein plasma yang terlalu besar melewati pori-pori dinding kapiler. Tekanan osmotik ini berbeda pengertiannya dari tekanan osmotik di membran sel karena elektrolit dan nonelektrolit. Karena protein plasma normal tidak bisa melalui pori-pori kapiler dan konsentrasinya lebih besar di plasma daripada di jaringan interstisial maka inilah yang menarik air kembali ke kapiler. Tekanan larutan interstisiel dan tekanan osmotik koloid jaringan mempengaruhi gerakan air dari dan ke jaringan interstisial.



Edema Adalah bengkak yang disebabkan karena ekspansi volume larutan interstisial. Edema tidak akan tampak sebelum volume mencapai 2,5 l atau 3 l. Mekanisme fisiologi edema adalah: 1) kenaikan tekanan filtrasi kapiler, 2) penurunan tekanan osmotik koloid kapiler, 3) kenaikan permeabilitas kapiler, 4) obstruksi saluran limfe.



3



Bab 1 Keseimbangan Cairan dan Elektrolit



Kenaikan tekanan filtrasi kapiler Jika tekanan filtrasi kapiler naik maka perpindahan larutan vaskular ke dalam jaringan interstisial naik. Faktor-faktor yang menaikkan tekanan kapiler adalah: 1) penurunan tahanan aliran melalui sfingter prekapiler; 2) kenaikan tekanan vena atau tahanan aliran keluar pada sfingter postkapiler, dan distensi kapiler karena meningkatnya volume vaskular.



Penurunan tekanan osmotik koloid kapiler Protein plasma mengeluarkan kekuatan osmotik yang dibutuhkan untuk menarik kembali cairan ke dalam kapiler dari jaringan interstisial. Protein plasma terdiri dari albumin, globulin dan fibrinogen. Karena bobot molekul albumin paling rendah maka konsentrasi albumin paling tinggi. Edema disebabkan oleh penurunan tekanan osmotik koloid kapiler sebagai akibat produksi yang tidak adekuat atau kehilangan tidak normal protein plasma terutama albumin. Protein plasma disintesis di hati. Pada penderita penyakit hati yang berat kegagalan sintesis albumin menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid. Pada kelaparan dan malnutrisi edema terjadi karena ada kebocoran kebutuhan asam amino dalam sintesis protein plasma. Kebocoran protein plasma yang paling sering melalui ginjal seperti pada 9 sindroma nefrotik, 01 terutama albumin. 2 kapiler glomerular menjadi permeabel terhadap protein plasma t are terjadi pada fase awal luka Kebocoran lain terjadi jika ada kerusakan kulit, sehingga edema M 9 bakar akibat cedera kapiler dan kehilangan protein plasma. ro Karena protein plasma terdapat t s Ga di seluruh tubuh dan tidak tergantung oleh gravitasi at maka edema bisa terjadi dimana-mana.



rap k tu un Kenaikan permeabilitas kapiler o r ast integritas dinding kapiler rusak maka permeabilitas Gatau Jika pori-pori kapiler melebar r ja kapiler akan naik. Apabila u A ini terjadi protein plasma dan partikel aktif osmotik bocor ke k u meningkatkan tekanan osmotik koloid jaringan dan menyebabkan dalam jaringan interstisial eB l i F interstisiel. Keadaan ini disebabkan oleh luka bakar, bendungan kapiler, akumulasi larutan radang dan respon imun.



Sumbatan aliran limfe Protein plasma aktif osmotik dan partikel lain yang berat molekulnya besar yang tidak bisa melalui pori-pori membran kapiler maka akan direabsorpsi lewat saluran limfe dan masuk ke sirkulasi. Edema yang disebabkan oleh kegagalan aliran limfe disebut limfedema.



Akumulasi di tempat ketiga Yang dimaksud dengan hal ini adalah hilangnya atau terjebaknya CES di ruang transelular. Ruang-ruang serous adalah ruang traseluler yang terletak di tempat strategis dimana ada gerakan-gerakan kontinu dari bentuk tubuh, seperti saccum perikardial, cavum peritoneal, dan pleura. Perubahan CES antar kapiler, ruang interstisial dan transelular melaui cara sama di manapun di seluruh tubuh. Cavum serosa sangat dekat dengan sistem drainase limfe.



4



Buku Ajar Gastrohepatologi



1.5 Kesimbangan Air dan Natrium Perpindahan larutan tubuh antara CES dan CIS terjadi pada membran sel dan tergantung pada pengaturan air dan natrium. Air merupakan 90% sampai 93% dari pelarut CES. Dalam keadaan normal perubahan keseimbangan natrium dan air sering terjadi, dan volume serta osmolalitasnya dipertahankan normal. Konsentrasi Na+ yang mengatur osmolalitas CES, perubahan Na+ biasanya diikuti oleh perubahan secara proporsional volume air. Gangguan keseimbangan Na+ dan air dibagi menjadi 2 kategori: 1) kontraksi isotonis atau ekspansi volume CES dan 2) dilusi hipotonis (hiponatremia) atau konsentrasi hipertonis (hipernatremia) dari natrium yang membawa perubahan pada CES. Kelainan isotonis biasanya dimaksudkan kontraksi produksi kompartemen CES (defisit volume larutan) atau ekspansi (kelebihan volume larutan) dari larutan vaskular dan interstisial. Kelainan konsentrasi natrium menyebabkan perubahan osmolalitas CES dengan gerakan air dari kompartemen CES ke dalam kompartemen CIS (hiponatrium) atau dari kompartemen CIS ke dalam kompartemen CES (hipernatremia).



1.6 Pengaturan Keseimbangan Natrium dan Larutan 19 Pengaturan keseimbangan Na+



0



2 ret a 9M



ro kurang lebih 60 meq/kgBB. Na+ adalah kation yang paling rumit dalam tubuh, rata-rata ast + G Kebanyakan dari Na tubuh ada dalam CES (135-145 at mEq/l) dan hanya sedikit dalam CES ap r (10-14 mEq/l). k ntu volume CES termasuk kompartemen vaskular. Fungsi Na+ terutama mengaturo u r ast CES Na+ dan anion pasangannya (Cl- dan HCO3) Sebagai kation yang paling banyakGdalam jar osmotik dalam CES. Karena Na+ adalah bagian dari mengatur sebagian besar aktifitas A ku molekul NaHCO3 maka Bupenting dalam pengaturan keseimbangan asam basa. e Fil



Masuk dan hilangnya Na+ Na+ secara normal masuk ke dalam tubuh melalui saluran pencernaan. Pemasukan Na+ didapat dari makanan, atau infus natrium atau infus yang lain. Na+ keluar dari tubuh melalui ginjal, saluran cerna dan kulit. Sebagian besar Na+ keluar lewat ginjal. Dengan fungsi ekskresi dan reabsorpsi Na+ maka kadar Na+ dalam tubuh dipertahankan. Hanya 10% Na+ keluar lewat saluran pencernaan dan kulit.



Mekanisme regulasi Na+ Ginjal adalah regulator utama Na+. Ginjal akan menyesuaikan terhadap tekanan arteri; jika tekanan arteri turun maka Na+ akan ditingkatkan, jika tekanan arteri naik maka Na+ akan dibuang. Pengaturannya dibawah kendali saraf simpatis dan sistem renin-angiotensinaldosteron. Saraf simpatis bertanggung jawab terhadap tekanan arteri dan volume darah dengan cara mengatur filtrasi glomerulus dan Na+. Saraf simpatis juga mengatur reabsorpsi tubular dari Na+ dan pelepasan renin. Sedangkan sistem renin-angiotensin-aldosteron



5



Bab 1 Keseimbangan Cairan dan Elektrolit



beraksi melalui angiotensi II dan aldosteron. Angiotensin II menyebabkan meningkatnya reabsorpsi Na+ dan pembuangan K+.



Pengaturan larutan Total larutan tubuh bervariasi tergantung jenis kelamin dan berat badan. Perbedaan ini disebabkan karena perbedaan lemak tubuh. Pada laki-laki larutan tubuh sekitar 60% berat badan pada dewasa muda dan akan turun menjadi 50% setelah dewasa. Pada wanita muda jumlah larutan tubuh 50% berat badan dan akan turun menjadi 40% setelah dewasa. Pada orang gemuk akan terjadi penurunan jumlah larutan tubuh sampai 30%-40% berat badan. Pada bayi larutan tubuh 75%-80% berat badan. Pada bayi prematur lebih besar lagi. Jumlah larutan CES pada bayi relatif lebih banyak dibanding dewasa. Lebih dari separuh larutan tubuh bayi berada di CES. CES yang lebih banyak ini disebabkan metabolisme yang lebih tinggi, area permukaan tubuh yang lebih luas dan struktur ginjal yang belum matur. Karena CES lebih mudah hilang maka bayi lebih mudah hilang larutannya dibanding dewasa.



Masuk dan hilangnya larutan



19



20setiap 100 kalori untuk Tanpa melihat umur, semua orang sehat membutuhkan 100 ccetair r a proses metabolisme dan membuang sisa-sisa metabolisme. Dengan kata lain jika seseorang 9M o r mengeluarkan kalori 1800 maka dibutuhkan 1800 scc air untuk keperluan metabolisme. at G Laju metabolisme (metabolic rate) akan meningkat t jika terjadi peningkatan suhu. Setiap pa aakan r kenaikan suhu sebesar 10 C, laju metabolisme meningkat sebesar 12%. tuk n Sumber air tubuh yang utamao u adalah dari pemasukan lewat oral dan metabolisme strdan makanan solid) diabsorbsi dari saluran cerna. Proses a nutrien. Air (termasuk dari larutan G jar air. Jumlah air dari proses ini bervariasi antara 150 cc - 300 cc. metabolisme juga menghasilkan A ku ukehilangan Pada umumnya larutan yang paling banyak adalah lewat ginjal, kemudian B e Fil paru-paru, dan saluran pencernaan. Walaupun pemasukan oral atau lewat kulit, lewat parenteral sedikit ginjal tetap memproduksi urin sebagai hasil metabolisme tubuh. Urin yang bertujuan membuang sisa metabolisme ini disebut output urin obligatori. Kehilangan larutan lewat urin obligatori ini sekitar 300-500 cc/hari. Kehilangan larutan lewat kulit dan paru-paru disebut kehilangan larutan insensibel.



Mekanisme pengaturan Terdapat 2 mekanisme fisiologis yang mengatur larutan tubuh: haus dan hormon antidiuretik (ADH). Rasa haus terutama mengatur pemasukan larutan, sedangkan ADH mengatur larutan keluar. Kedua mekanisme ini bertanggung jawab terhadap perubahan osmolalitas ekstraselular dan volume.



Rasa haus Rasa haus dikendalikan oleh pusat rasa haus di hipotalamus. Terdapat 2 stimuli untuk rasa haus karena benar-benar membutuhkan larutan: 1) dehidrasi selular yang disebabkan oleh 6



Buku Ajar Gastrohepatologi



kenaikan osmolalitas ekstraselular dan 2) penurunan volume darah yang bisa atau tidak ada hubungannya dengan penurunan serum osmolalitas. Neuron pensensor yang disebut osmoreseptor bertempat di atau dekat pusat haus di hipotalamus. Osmoreseptor berespon terhadap perubahan pada osmolalitas ekstraselular dengan cara memacu sensasi haus. Rasa haus normal muncul jika ada sedikit saja perubahan 1% atau 2% pada osmolalitas serum. Reseptor pada kapiler sangat sensitif terhadap perubahan tekanan darah arteri dan volume darah sentral juga membantu dalam pengaturan rasa haus. Stimulus yang penting ketiga untuk rasa haus adalah angiotensin II, yang mana meningkat karena respon terhadap volume aliran darah dan tekanan aliran darah. Mulut kering menyebabkan sensasi rasa haus. Sensasi rasa haus terjadi juga pada orang-orang yang bernafas dengan mulut misalnya perokok dan penderita dengan penyakit saluran pernafasan kronis atau sindrom hiperventilasi. Hipodipsia Menggambarkan penurunan kemampuan rasa haus. Terdapat bukti bahwa haus adalah penurunan pemasukan air, selain kadar osmolalitas dan Na+ yang tinggi. Ketidakmampuan menerima dan berespon terhadap rasa haus biasanya terjadi pada pasien stroke atau gangguan sensorik. Polidipsia dibagi dalam 3 jenis yaitu: 1) simtomatik atau rasa haus sejati, 2) rasa haus yang tidak tepat atau rasa haus yang salah yang terjadi dimana jumlah19larutan tubuh dan 20 osmolalitas serum normal, 3) minum larutan kompulsif. ret a Simtomatik haus muncul jika ada kehilangan larutan 9 Mtubuh. Diantara penyebab o r st akibat diare, muntah, diabetes rasa haus yang paling banyak adalah kehilangan larutan Ga t atepat terjadi jika ada gagal ginjal, dan melitus, dan diabetes insipidus. Haus yang tidak rap haus pada kelompok ini tak jelas tetapi k gagal jantung kongestif. Walaupun penyebab rasa tu un mungkin karena peningkatan kadar rangiotensin. Haus dirasakan juga pada orang yang o t s a mengalami penurunan aktivitas kelenjar air ludah karena pengaruh obat-obatan misalnya G jar antikolinergik (termasuk atropin). A u uk Poldipsia psikogenik biasanya dialami oleh penderita gangguan Polidipsi psikogenik. B e Fil jiwa. Keadaan ini disebabkan oleh pemakaian obat antipsikosis yang efeknya meningkatkan kadar ADH.



Hormon antidiuretik (ADH) Reabsorpsi air oleh ginjal diatur oleh ADH yang juga dikenal dengan vasopressin. ADH disintesis oleh sel di nukleus supraoptikus dan nukleus paraventrikularis hipotalamus. ADH diangkut di sepanjang akson saraf ke neurohipofisis kemudian dilepas ke sirkulasi. Dengan rasa haus, kadar ADH terkontrol oleh volume dan osmolalitas ekstraselular. Osmoreseptor di hipotalamus merasakan perubahan osmolalitas ekstraselular dan merangsang produksi serta melepas ADH. Sedikit kenaikan osmolalitas serum (1%) sudah cukup untuk melepas ADH. Baroreseptor sensitif terhadap perubahan tekanan darah dan volume darah sentral untuk membantu pengaturan pelepasan ADH. Penurunan volume darah 5%-10% akan menyebabkan kadar ADH maksimal. Seperti mekanisme homeostatis lainnya keadaan akut menyebabkan perubahan yang besar terhadap kadar ADH dibanding keadaan yang kronis. Perubahan dalam waktu yang lama tidak akan mempengaruhi kadar ADH. 7



Bab 1 Keseimbangan Cairan dan Elektrolit



Keadaan tidak normal akan meningkatkan sintesis dan pelepasan ADH seperti pada nyeri yang hebat, mual, trauma, operasi, zat anestesi dan beberapa narkotik (morfin dan meperidin). Mual adalah rangsangan yang poten untuk sekresi ADH, sehingga menyebabkan kenaikan kadar ADH 10-1000 kali. Nikotin merangsang pelepasan ADH sedangkan alkohol menghambatnya. Dua keadaan yang mengganggu kadar ADH yaitu diabetes insipidus dan sekresi ADH yang tidak tepat.Diabetes insipidus adalah keadan dimana terjadi defisiensi atau penurunan respon terhadap ADH. Sindrom ADH tidak tepat (syndrome of inappropriate ADH/ SIADH) adalah akibat kegagalan sistem umpan balik negatif yang mengatur pelepasan dan penghambatan ADH.



Gangguan volume larutan isotonik Gangguan volume larutan isotoik adalah penambahan atau kehilangan CES dengan perubahan perbandingan air dan Na+ yang proporsional.



Defisit volume larutan isotonik Defisit volume larutan isotonik ditandai dengan penurunan CES, termasuk volume darah sirkulasi. Istilah ini dipakai untuk membedakan defisit larutan 9 dengan perubahan 01 terjadi penurunan 2 perbandingan air dan Na+ yang tidak proposional. Keadaan dimana t are volume darah sirkulasi maka disebut hipovolemia. M 9 ro air dan elektrolit hilang dengan Penyebab: Defisit volume larutan isotonik apabila t s a tG proporsi isotonik. Keadaan ini hampir selalu aterjadi pada keadaan kehilangan larutan p ra tubuh yang disertai penurunan pemasukank larutan. Biasanya terjadi pada kehilangan lewat tu saluran cerna, poliuria, berkeringat karena un panas dan aktifitas fisik. o r ast Setiap hari 8-10 liter CES G dikeluarkan ke saluran cerna. Sebagian besar diserap kembali r ja hanya 150-200 cc setiap hari dikeluarkan bersama feses. di ileum dan kolon proksimal, A u Muntah dan diare mengganggu proses reabsorpsi dan pada beberapa keadaan menyebabkan uk B e l kenaikan sekresiFilarutan ke dalam saluran cerna. Kehilangan air dan Na+ dapat juga terjadi lewat ginjal. Beberapa penyakit ginjal ditandai dengan pembuangan Na+ karena kegagalan reabsorpsi Na+. Defisit volume larutan juga disebabkan sebagai hasil dari diuresis osmotik atau pemakaian obat-obat diuretik. Glukosa dalam urin mencegah reabsorpsi air di tubulus ginjal menyebabkan hilangnya Na+ dan air. Pada penyakit Addison terjadi kehilangan Na+ dalam urin yang tidak teratur yang menyebabkan kehilangan CES. Kulit sebagai permukaan tempat perubahan panas dan barrier vaporasi mencegah air hilang dari tubuh. Kehilangan air dan Na+ dari permukaan tubuh meningkat pada saat keringat berlebihan atau sebagian besar permukaan kulit rusak. Udara panas dan badan panas meningkatkan pengeluaran keringat. Frekuensi pernafasan dan keringat biasanya meningkat jika suhu tubuh meningkat. Kebakaran juga menyebabkan kehilangan larutan. Defisit volume larutan berdampak pada penurunan volume CES. Manifestasi defisit volume larutan adalah sebagai berikut. Kehilangan berat badan (% berat badan); defisit volume larutan ringan (2%); defisit volume larutan sedang (5%); defisit volume larutan berat (>8%). Tanda tanda mekanisme kompensasinya adalah: meningkatnya 8



Buku Ajar Gastrohepatologi



rasa haus, meningkatnya ADH: oligouri dan tingginya berat jenis urin. Volume larutan interstisial turun: Turgor jaringan dan kulit turun, membran mukosa kering, mata cekung dan lembek, pada bayi ubun-ubunnya cekung. Volume vaskular turun: Hipotensi postural, nadi lemah dan cepat, isi darah vena menurun, hipotensi dan syok. Penanganan defisit volume larutan adalah mengganti larutan. Biasanya larutan elektrolit isotonik dipakai untuk mengganti larutan. Hipovolemia akut dan syok hipovolemik menyebabkan kerusakan ginjal, oleh karena itu menentukan derajat defisit larutan secara cepat dan adekuat sangat penting untuk penanganan penyebab utama.



Kelebihan volume larutan isotonik Kelebihan volume larutan adalah perluasan CES isotonik dengan meningkatnya volume vaskular dan interstisial. Walaupun peningkatan volume larutan biasanya hasil dari kondisi penyakit, sebenarnya tidak seluruhnya benar. Misalnya kompensasi cuaca yang panas akan terjadi peningkatan volume CES sebagai mekanisme pengeluaran panas tubuh. Penyebab kelebihan volume larutan isotonik hampir selalu akibat dari meningkatnya kadar Na+ tubuh total yang diikuti oleh peningkatan larutan tubuh secara proporsional. Hal ini bisa terjadi karena pemasukan Na+ yang berlebihan atau pengeluaran Na+ dan air 9 gagal hati, dan lewat ginjal yang berkurang, misalnya pada penyakit ginjal, gagal jantung, 01 2 t re kelebihan kortikosteroid. Ma 9 Gagal jantung akan menyebabkan aliran darahtroke ginjal berkurang sehingga s Ga+. Pada gagal hati terjadi gangguan dikompensasi dengan peningkatan retensi air dan tNa a metabolisme aldosteron, gangguan perfusi ginjal, rap menyebabkan meningkatnya retensi air k tu dan Na+. Kortikosteroid meningkatkan reabsorpsi Na+ oleh ginjal. un o r t Manifestasi kelebihan volumeaslarutan isotonik ditandai oleh meningkatnya larutan G r a vaskular dan interstisial. Berat jbadan akan naik dalam periode waktu yang pendek. Kelebihan A volume larutan ringan menyebabkan kenaikan berat badan 2%. Kelebihan volume larutan ku u B e sedang menyebabkan Fil kenaikan berat badan 5%. Sedangkan kelebihan volume larutan berat menyebabkan kenaikan berat badan >8%. Edema akan terjadi di seluruh tubuh. Nadi akan penuh, vena distensi, dan edema paru disertai nafas pendek, sesak dan batuk. Penanganan kelebihan larutan biasanya dengan membatasi Na+, dan jika perlu diberikan diuretika.



Gangguan keseimbangan konsentrasi Na+ Dalam keadaan normal konsentrasi Na+ berkisar antara 135 sampai 145 mEq/l (135 sampai 145 mmol/l). Nilai Na+ serum ditentukan dengan mEq/l yang berarti konsentrasi atau dilusi dari Na+ dalam air. Karena Na+ adalah anion CES (90%-95%) maka perubahan konsentrasi Na+ serum umumnya diikuti oleh perubahan osmolalitas serum.



Hiponatremia Hiponatremia terjadi apabila konsentrasi Na+ kurang dari 135 mEq/l. Karena efek partikel aktif lainnya terhadap osmolalitas CES seperti glukosa, maka hiponatremia berhubungan dengan tinggi rendahnya tonisitas.



9



Bab 1 Keseimbangan Cairan dan Elektrolit



Hiponatremia hipertonik (translokasional) adalah keadaan sebagai akibat suatu peralihan osmotik air dari CIS ke CES seperti yang terjadi pada hiperglikemia. Pada keadaan ini Na+ di CES menjadi lebih encer karena air pindah keluar dari sel sebagai respon terhadap tekanan osmotik karena hiperglikemia. Hipotonik sejauh ini merupakan keadaan yang sering pada hiponatremia. Ini terjadi karena retensi air dan ditandai dengan penurunan osmolalitas serum. Hiponatremia dilusi bisa terjadi pada keadaan hipervolemik, euvolemik atau hipovolemik. Hiponatremia hipervolemik terjadi jika CES meningkat dan ini terjadi jika diikuti dengan edema seperti pada gagal jantung , sirosis, dan penyakit ginjal berat. Hiponatremia euvolemik terjadi apabila ada retensi air sehingga konsentrasi Na+ turun tetapi tidak disertai peningkatan volume CES. Ini terjadi pada keadaan rasa haus yang tak tepat (SIADH). Hiponatremia hipovolemik terjadi jika air hilang disertai Na tetapi jumlah Na+ lebih banyak yang hilang, ini terjadi pada keadaan banyak berkeringat pada cuaca panas, muntah dan diare. Penyebab hiponatremia dilusi, pada dewasa adalah karena obat-obatan (diuretika, sehingga kadar ADH naik), penggantian larutan yang tak tepat setelah latihan dan cuaca 9 panas, SIADH, polidipsi pada pasien skizofrenia. 01 2 t are berkeringat pada cuaca Diantara penyebab hiponatremia hipovolemia adalahM banyak 9 panas, setelah latihan, hiponatremia karena minum lebih robanyak air yang tidak mengandung ast di atas. cukup elektrolit. Lavemen juga menyebabkan keadaan G at apyaitu: Hasil laboratorium: Na+ serum 145 mEq/l, dan osmolalitas lebih besar 295 mOsm/kg. Karena Na+ ini fungsinya sebagai larutan impermeabel maka ia berperan dalam tonisitas dan gerakan air menembus sel membran. Hipernatremia ditandai dengan hipertonisitas dari CES dan hampir selalu menyebabkan dehidrasi selular. Hipernatremia terjadi karena defisit air dibanding dengan kadar Na+ tubuh. Hal ini disebabkan oleh jumlah bersih Na+ atau jumlah bersih air yang hilang. Pemberian Na+ secara cepat tanpa disesuaikan jumlah air yang masuk akan menyebabkan hipernatremia. Hipernatremia juga bisa terjadi apabila timbul kehilangan air lebih banyak dibanding jumlah kehilanagn Na+. Hal ini terjadi pada keadaan peningkatan kehilangan lewat respirasi pada keadaan panas atau latihan yang berat, diare cair, atau saat pemberian makanan lewat pipa lambung dengan sedikit air. Pada keadaan normal defisit larutan akan memacu rasa haus sehingga meningkatkan pemasukan air. Pada hipernatremia terjadi pada bayi atau anak yang rasa hausnya kurang 10



Buku Ajar Gastrohepatologi



peka sehingga akan kurang minum air. Pada keadaan hipodipsi atau rasa haus yang lemah kebutuhan larutan tidak merangsang pusat haus. Manifestasi klinis yang terjadi adalah kehilangan larutan CES dan terjadi dehidrasi selular. Gejala dan tanda lebih berat jika ada kenaikan konsentrasi Na+ serum yang tinggi dan terjadi dalam waktu yang cepat. Berat badan akan turun sesuai dengan jumlah air yang hilang. Karena plasma darah 90%-93% air maka konsentrasi sel darah, hematokrit, BUN, akan naik sesuai penurunan air di CES. Rasa haus adalah gejala yang pertama kali muncul, terjadi jika air hilang setara dengan 0.5% air tubuh. Output urin turun dan osmolalitas meningkat karena mekanisme absorpsi air di ginjal. Suhu tubuh sering meningkat dan kulit menjadi hangat dan memerah. Karena volume vaskular turun maka nadi menjadi cepat dan lemah, tekanan darah turun. Hipernatremia menyebabkan peningkatan osmolalitas serum dan akibatnya air akan keluar dari dalam sel, sehingga kulit dan mukosa menjadi kering, saliva dan air mata menjadi kurang. Mulut menjadi kering dan keras, lidah menjadi tebal dan luka, sulit menelan. Jaringan subkutan memerah. Jika air banyak keluar dari sel saraf maka akan terjadi penurunan refleks, agitasi, sakit kepala, gelisah. Koma dan kejang terjadi pada hipernatremia yang berat. Penanganan hipernatremia terutama ditujukan pada penyebabnya, yaitu penggantian kehilangan larutan (dehidrasi). Penggantian larutan ini bisa oral atau intravena atau dua19 0Pada 2 duanya. Larutan, glukosa dan elektrolit merupakan pilihan yang tepat. dehidrasi berat et r a penggantian larutan diberikan sesuai dengan protokol WHO. M



1.7 Keseimbangan Kalium



G at p a r



9 ro t s a



k ntu u o Kalium adalah kation yang terbanyak strkedua di dalam tubuh dan jumlah terbesar di dalam a G CIS. Kurang lebih 98% kalium tersebut berada di dalam sel-sel tubuh dengan konsentrasi jar 150 mEq/l. Kandungan kalium di dalam CES (3.5 sampai A didalam intraseluler 140 sampai u uk Karena kalium merupakan ion intraselular, maka jumlah B 5.0 mEq/l) sangat rendah. e Fil berhubungan dengan ukuran tubuh dan massa otot. Sekitar 65% penyimpanan kalium sampai 70% dari kalium berada di dalam otot. Sehingga total kalium di dalam tubuh turun bersamaan dengan perubahan umur terutama sebagai hasil dari berkurangnya massa otot. Sebagai kation intraselular utama, kalium penting untuk beberapa fungsi tubuh. Kalium berkaitan dengan beberapa fungsi tubuh, termasuk menjaga kesempurnaan osmosis sel, keseimbangan asam basa dan kemampuan ginjal untuk memproduksi urin. Kalium diperlukan untuk pertumbuhan dan memberi reaksi kimia yang mengubah karbohidrat menjadi energi, glukosa menjadi glikogen dan asam amino menjadi protein. Kalium juga berperan penting dalam mengatur denyut nadi dan kemampuan untuk merangsang tulang rangka, bagian jantung dan otot halus dengan cara mengatur: (1) selaput potensial yang tidak aktif, (2) keluarnya natrium untuk mengendalikan aliran arus potensial, dan (3) tingkatan repolarisasi. Perubahan kemampuan di saraf dan otot pada umumnya penting untuk jantung, dimana perubahan pada kalium serum dapat menghasilkan ketidakharmonisan yang serius dan kerusakan konduksi. Perubahan konsentrasi kalium serum juga mempengaruhi otot tulang rangka dan otot halus pembuluh darah dan saluran pencernaan. 11



Bab 1 Keseimbangan Cairan dan Elektrolit



Selaput potensial yang tidak aktif ditentukan dari rasio kalium intraselular terhadap ekstraselular. Penurunan konsentrasi kalium serum mengakibatkan selaput potensial tersebut menjadi lebih bermuatan negatif (hyperpolarization) bergerak menjauhi nilai ambang kejutan. Maka dari itu, diperlukan stimulasi yang besar untuk mencapai nilai ambang dan membuka saluran natrium yang bertanggung jawab atas aktivitas potensial. Kenaikan konsentrasi kalium serum mempunyai efek yang berlawanan, mengakibatkan selaput potensial yang tidak aktif menjadi lebih bermuatan positif (hypopolarized), bergerak mendekati nilai ambang. Ini menyebabkan kenaikan awal kemampuan rangsangan. Aktifitas pembukaan saluran natrium yang mengatur aliran arus saat aktivitas yang efektif juga dipengaruhi oleh kadar kalium kemudian menyebabkan turunnya rangsangan. Pada hiperkalemia yang berat, saluran natrium menjadi tidak aktif mengakibatkan penurunan rangsangan. Tingkatan repolarisasi juga beragam sesuai dengan kadar kalium serum. Tingkatan repolarisasi lebih cepat pada keadaan hiperkalemia dan lebih lambat pada hipokalemia. Tingkatan repolarisasi tersebut secara klinis sangat penting karena merupakan predisposisi untuk terjadinya defek konduksi dan disritmia jantung.



Pengaturan keseimbangan kalium



9 Pemasukan kalium berasal dari makanan. Pada orang yang sehat,01keseimbangan kalium 2 t e biasanya terpenuhi dari makanan kira-kira 50 sampai 100 mEq setiap hari. Kalium r Ma Kehilangan kalium yang tambahan juga dibutuhkan pada keadaan trauma dan stress. 9 o str paling banyak adalah melalui ginjal. Sekitar 80% asampai 90% dari kalium yang hilang G at melalui feses dan keringat. adalah melalui urine, sedangkan yang lainnyaaphilang tuk un



r



ro ast G Dalam kondisi normal, konsentrasi kalium di CES berkisar 4,2 mEq/ml. Dibutuhkan jar A u pengaturan yang tepat karena banyak fungsi sel sensitif terhadap perubahan yang sangat k u B e kecil dari kadarFkalium CES. Kenaikan kadar kalium serum sekitar 0,32 sampai 0,4 mEq/l il



Mekanisme pengaturan



saja bisa menyebabkan disritmia jantung dan kematian. Kadar kalium serum pada dasarnya diatur melalui dua mekanisme: 1) mekanisme ginjal yang mengabsorpsi dan membuang kalium, dan 2) pergeseran transelular kalium antara kompartemen CIS dan CES. Umumnya hal ini berlangsung 6 sampai 8 jam untuk membuang 50% pemasukan kalium. Untuk menghindari kenaikan kadar kalium ekstraselular selama berlangsungnya hal tersebut, kelebihan kalium sementara dipindah ke eritrosit dan sel lain seperti otot, hati, dan tulang.



Pengaturan di ginjal Ginjal merupakan rute utama dalam pembuangan kalium. Kalium pertama-tama difiltrasi di dalam glomerulus, diserap lagi di dalam tubulus proksimal bersama dengan air dan natrium dan bersama dengan natrium dan klorida di dalam ansa Henle asenden, kemudian dikeluarkan ke dalam tubulus kortikal untuk dibuang bersama urin. Mekanisme tersebut berfungsi sebagai pengatur kadar kalium di dalam CES. Aldosteron perperan utama dalam pengaturan pembuangan kalium oleh ginjal. Dengan adanya aldosteron, kalium kembali ke aliran darah dan kalium dikeluarkan 12



Buku Ajar Gastrohepatologi



tubulus untuk dibuang lewat urin. Ada juga sistem pertukaran kalium-hidrogen di dalam tubulus kolektivus ginjal. Ketika kadar kalium serum naik, kalium dibuang ke dalam urin dan hidrogen diserap kembali ke dalam darah, yang kemudian menyebabkan penurunan pH dan terjadi asidosis metabolik. Sebaliknya, jika kadar kalium rendah, kalium diserap kembali dan hidrogen dibuang ke dalam urin menyebabkan alkalosis metabolik.



Pergesaran ekstaselular-intraselular Pergerakan kalium dari CES ke CIS dan sebaliknya, memungkinkan kalium bergerak ke sel tubuh ketika kadarnya dalam serum tinggi, dan bergerak keluar ketika kadar dalam serum rendah. Beberapa faktor yang mengubah distribusi kalium antara CES dan CIS adalah: insulin, stimulus ß-adrenergik, osmolalitas serum dan ketidakteraturan asam basa. Kedua faktor insulin dan ß-adrenergik katekolamin (misalnya adrenalin) meningkatkan masuknya kalium selular. Insulin menaikkan pemasukan kalium selular setelah makan. Kandungan kalium setiap kali makan kurang lebih sebesar 50 mEq, kerja insulin mencegah peningkatan kadar kalium serum ke tingkat yang mengancam kehidupan. Katekholamin, terutama adrenalin, memfasilitasi pergerakan kalium kedalam jaringan otot pada saat stres fisik. 9 Osmolalitas ekstraselular dan pH juga mempengaruhi pergerakan 01 dari kalium antara 2 t CIS dan CES. Peningkatan yang tajam osmolalitas serum mengakibatkan kalium bergerak re Ma keluar dari sel-sel. Ketika osmolalitas serum naik akibat adanya larutan impermeabel 9 ro t s seperti glukosa (tanpa insulin), air meninggalkan sel. G Hilangnya air dalam sel menyebabkan a at kenaikan konsentrasi kalium intraselular yang menyebabkan kalium intraselular keluar dari p ra k sel ke dalam CES. Kelainan asam-basa sering diikuti oleh perubahan konsentrasi kalium ntu u serum. Hidrogen dan kalium bermuatan o positif, dan kedua ion tersebut bergerak secara str aasidosis bebas diantara CIS dan CES. Pada metabolik, ion hidrogen bergerak ke dalam sel G jar tubuh untuk buffer, hal ini menyebabkan konsentrasi kalium keluar dari sel dan bergerak ke A u uk dalam CES. Alkalosis metabolik mempunyai pengaruh yang berlawanan. B e l i Olahraga jugaF dapat menyebabkan pergeseran kalium. Kontraksi otot yang berulang melepaskan kalium ke dalam CES. Walaupun peningkatan biasanya kecil sesuai keadaan latihan. Bahkan pada saat mengepalkan tangan yang mengencang dan mengendor yang berulang-ulang pada saat pengambilan darah dapat menyebabkan kalium keluar dari sel dan meningkatkan kadar kalium serum.



Hipokalemia Hipokalemia apabila kadar kalium serum kurang dari 3.5 mEq/l (3.5 mmol/l). Akibat dari pergeseran transelular, perubahan sementara pada konsentrasi K+ serum kemungkinan terjadi karena pergerakan dari CIS dan CES.



Penyebab Penyebab kekurangan kalium bisa dikelompokkan menjadi 3 kategori: (1) pemasukan kurang, (2) kehilangan melalui ginjal, kulit dan saluran cerna, dan (3) penyebaran kembali antara CIS dan CES. Konsumsi yang tidak mencukupi sering menjadi penyebab hipokalemia. 13



Bab 1 Keseimbangan Cairan dan Elektrolit



Pemasukan 10 sampai 30 mEq/hari diperlukan untuk mengkompensasi pengeluaran lewat ginjal. Seseorang yang sedang diet kalium akan kehilangan sekitar 5 sampai 15 mEq setiap harinya. Kegagalan pemasukan kalium disebabkan karena kesulitan makan, karena diet, atau makanan yang sedikit mengandung kalium. Kehilangan kalium yang berlebihan dari ginjal terjadi karena diuretika, alkalosis metabolik, penurunan kadar magnesium , trauma atau stress, dan peningkatan kadar aldosteron. Terapi diuretika, kecuali diuretika dengan kalium adalah penyebab utama hipokalemia. Derajat hipokalemia berhubungan secara langsung dengan dosis diuretika dan lebih tinggi saat banyak mengkonsumsi natrium. Penekanan magnesium menyebabkan pengeluaran kalium melalui ginjal. Defisiensi magnesium sering muncul bersamaan dengan penekanan kalium misalnya pada penyakit diare. Perlu diperhatikan bahwa mengoreksi kekurangan kalium akan gagal pada saat terjadi defisiensi magnesium. Ginjal tidak mempunyai mekanisme homeostatik yang diperlukan untuk mempertahankan kalium pada saat stress atau konsumsi yang tidak mencukupi. Setelah situasi trauma dan stres, kehilangan kalium dalam urin meningkat, terkadang mendekati kadar 150 sampai 200 mEq/l. Ginjal kehilangan kalium dipengaruhi oleh aldosteron dan kortisol. Trauma dan operasi menyebabkan hormon-hormon tersebut meningkat. Aldosteronisme primer, yang disebabkan oleh tumor yang memacu aldosteron pada korteks 9 01 Kortisol mengikat adrenal, dapat menghasilkan kehilangan banyak kalium dalam urin. 2 t re reseptor aldosteron dan berefek menyerupai aldosteron untuk Ma mengeluarkan kalium. 9 Meskipun kehilangan kalium dari saluran cernasdan ro kulit biasanya sedikit, kehilangan a t merupakan salah satu tempat yang G ini bisa meningkat saat kondisi tertentu. Saluran cerna t pa Muntah-muntah dan aspirasi saluran aakut. r sering menjadi tempat kehilangan kalium uk ntsebagian cerna memacu terjadinya hipokalemia, disebabkan oleh kehilangan kalium dan u o berhubungan dengan alkalosis metabolik. Diare dan r t juga karena kehilangan di ginjalayang s r Gmenyebabkan kehilangan kalium yang banyak. Evaporasi aspirasi gastrointestinal juga a j A lewat kulit dan keringan ku yang banyak akan menyebabkan kehilangan kalium yang banyak u e B jenis luka kulit lain meningkatkan hilangnya kalium. Kehilangan yang juga. Luka bakar idan Fl disebabkan oleh keringat pada seseorang yang sensitif cuaca panas, sebagian dikarenakan oleh pengeluaraan aldosteron yang meningkat saat meningkatnya panas meningkatkan hilangnya kalium lewat urin dan keringat. Karena rasio kalium CIS dan CES tinggi maka aliran kalium dari CES ke CIS mengakibatkan turunnya konsentrasi di serum. Salah satu penyebabnya adalah insulin. Karena insulin meningkatkan gerakan glukosa dan kalium ke dalam sel, pengurangan kalium sering terjadi saat pengobatan ketoasidosis diabetes. Obat agonis reseptor ß-adrenergik, seperti pseudoefedrin dan albuterol, memiliki efek yang sama terhadap distribusi kalium.



Manifestasi Manifestasi hipokalemia adalah efek gangguan potensial membran pada sistem kardiovaskular, neuro-muskular dan gastrointestinal. Tanda dan gejala dari kekurangan kalium jarang terjadi jika kadar serum kalium kurang dari 3.0 mEq/l. Biasanya gejala datang pelan-pelan sehingga sulit terdeteksi.



14



Buku Ajar Gastrohepatologi



Akibat dari hipokalemia yang paling serius adalah gangguan fungsi kardiovaskular. Hipotensi postural sering terjadi. Kebanyakan orang dengan kadar kalium serum kurang dari 3.0 mEq/l mengalami perubahan elektrokardiografi (EKG), ini sangat spesifik untuk hipokalemia. Perubahan ini meliputi pemanjangan gelombang PR, depresi dari segmen ST, gelombang T yang datar dan tampak gelombang U yang nyata. Meskipun perubahan EKG ini biasanya tidak serius, tetapi ini menyebabkan sinus bradikardi dan disritmia ektopik ventrikular. Keracunan digitalis dapat terjadi pada orang yang sedang memakai obat ini dan akan menaikkan risiko disritmia ventrikular, khususnya pada orang dengan dasar penyakit jantung. Kalium dan senyawa digitalis akan berikatan dengan pompa Na+/ K+ ATPase. Hipokalemia sedang sering terjadi pada kelemasan, kecapekan dan kram otot, khususnya saat olahraga sebagai moderate hypokalemia (konsentrasi kalium serum 3.0 sampai 2.5 mEq/l) yang umum. Paralisis otot pernafasan bisa terjadi pada hipokalemia berat (konsentrasi kalium serum 5 -10 mg/dL). Bingung dan koma bisa terjadi pada hipermagnesemia yang berat (> 10 mg/dL). Pada hipermagnesemia sangat berat (> 15 mg/ dL) bisa menyebabkan cardiac arrest.



24



Buku Ajar Gastrohepatologi



Pengobatan hipermagnesemia dilakukan dengan mengurangi pemasukan magnesium. Pemberian kalsium intravena sebagai antagonis magnesium sangat berguna untuk menurunkan hipermagnesemia. Dialisis peritoneal atau hemodialisis bisa dilakukan jika perlu.



Daftar Pustaka 1. Batchell J. (1994). Syndrome of inappropriate antidiuretic hormone. Critical Care Clinics of North America 69, 687-691. 2. Behrman R.E., Kliegman R.M.., Jenson H.B. (2000). Nelson textbook of pediatrics (16th ed., pp. 215-218). Philadelphia: W.B. Saunders. 3. Berne R.M., Levy M. (2000). Principles of physiology (3rd ed., p. 438). St. Louis: Mosby. 4. Braxmeyer D.L., Keyes J.L. (1996). The pathophysiology of patossium balance. Critical Care Nurse 16 (5), 59-71. 5. Cogan M.G. 1991. Fluid and Electrolyte (pp. 1, 43, 80-84, 100-111, 112-123,125-130,242-245) Norwalk, CT:Appleton & Lange. 6. Fried L.F., Palevsky P.M. (1997). Hyponatremia and hypernatremia. Medical Clinics of North America 81, 585-606. 7. Gennari F.J. (1998). Hypokalemia. New England Journal of Medicine 339, 451-458 8. Guyton A., Hall J.E. 2000. Textbook of medical physiology (10th ed., pp. 157-171, 264-278, 3229 01 2 345, 346-363, 820-826). Philadelphia: W.B.Saunders. t are 104-105). Norwalk, CT: 9. Krieger J.N, Sherrad D.J. 1991. Practical fluid and electrolytes (pp. M 9 Appleton & lange. ro t s 10. Kugler J.P., Hustead T. 2000. Hyponatremia and hypernatremia in erderly. American Family Ga at Physician 61, 3623-3630 p a k rmetabolism: Hypernatremia and hyponatremia. 11. Oh M.S., Carroll H.J. (1992). Disorders of sodium u t n Critical Care Medicine 20, 94-103. ro u t th s 12. Rose B.D., Post T.W. (2001). Clinical Ga physiology of acid-base and electrolyte disorders (5 ed., pp. 168-178, 822, 835, 858,A 909). jar New York: McGraw-Hill. u 13. Stearns R.H., Spital A., 1996. Disorders of water balance. In Kokkp J., Tannen R.L., ukClark E.C B rd e (Eds). Fluid and Electrolytes (3 ed., pp. 65, 69, 95) Philadelphia: W.B. Saunders. Fil 14. Swain R., Kaplan-Machlis B. (1999). Magnesium for the next millennium. Southern Medical Journal 92, 1040-1046. 15. Tannen R.L. (1996). Potassium disorders. In Kokko J., Tannen R.L. (Eds.), Fluid and electrolytes (3rd ed., pp. 116-118). Philadelphia: W.B. Saunders. 16. Toto K., Yucha C.B. (1994). Magnesium: Homeostasis, imbalances, and therapeutic uses. Critical Care Nursing Clinicw of North America 6, 767-778. 17. Whang G., Whang G.G., Ryan M.P. (1992). Refractory potassium repletion: A consequence of magnesium deficiency. Archives of Internal Medicine 152 (1), 40-45. 18. Workman L. (1992). Magnesium and phosphorus: The negelected electrolytes. AACN Clinical Issues 3, 655-663. 19. Yucha C.B., Toto K.H. (1994). Calcium and phosphorous derangement. Critical Care Clinics of North America 6, 747-765. 20. Zaloga G.F. (1992).Hypocalcemia in critically ill patients. Critical Care Medicine20, 251-261.



25



BAB



2



Kegawatdaruratan Gastrointestinal Pitono Soeparto & Reza Ranuh



2.1 Ilustrasi Kasus Seorang anak perempuan umur 7 tahun dibawa ke UGD karena mengeluh sakit perut yang amat sangat, dan anak tidak bisa berhenti menangis karena sakitnya. Sakit dirasakan pertama kali 1 jam yang lalu dan belum mereda. Saat sakit di rumah sempat BAB 1x, nyeri dan keluar sedikit kotoran campur darah. Dari pemeriksaan fisik anak tampak kesakitan, dinding perut tidak kaku, dan disebelah kiri atas umbilicus dapat diraba massa yang panjang seperti pisang.



2.2 Pendahuluan Kegawatdaruratan merupakan hal yang sering terjadi dalam praktik klinis, dan dapat dibagi dalam 2 kelompok utama: bedah dan non bedah.



Kelompok non bedah • Dehidrasi • Perdarahan saluran gastrointestinal −− Penyakit peptik −− Demam berdarah −− Demam tifoid −− Hipertensi portal −− Polip • Muntah akut • Nyeri abdominal akut • Distensi abdomen akut • Disfagia akut



26



Buku Ajar Gastrohepatologi



Kelompok bedah Obstruksi intestinal • Atresia duodenal • Malrotasi dan volvulus • Anus imperforata • Atresia esofagus dengan atau tanpa fistula Defek dinding abdominal • Eksomfalus • Gastroskisis Abdomen akut • Apendisitis akut • Adenitis mesenterik



2.3 Dehidrasi Tabel 2.3.1. Klasifikasi dehidrasi sesuai defisit cairan % Kehilangan berat badan Bayi



5 % ( 50 ml/kg ) tuk 5 – 10 % ( 50 – 100 ml/kgu)n o 10 – 15 % ( 100 –a150 strml/kg )



Dehidrasi ringan Dehidrasi sedang Dehidrasi berat Sumber: Huang, 2008.



i



9



01



o str



Ga at p ra



G jar A u uk B e l



2 ret a 9M



Anak besar



3 % ( 30 ml/kg ) 6 % ( 60 ml/kg ) 9 % ( 90 ml/kg )



F Tabel 2.3.2. Pemeriksaan laboratorium pada gangguan keseimbangan asam-basa pH



PCO2



Bikarbonat



*Asidosis metabolik















*Alkalosis metabolik















*Asidosis respiratorik















*Alkalosis respiratorik















*Asidosis metabolik + asidosis respiratorik



↓↓



↑, N, ↓



↑, N, ↓



*Alkalosis metabolik + asidosis respiratorik



↑, N, ↓











*Asidosis metabolik + alkalosis respiratorik



↑, N, ↓











*Alkalosis metabolik + alkalosis respiratorik



↑↑



↑, N, ↓



↑, N, ↓



Gangguan tunggal



Gangguan campuran



Sumber: Quak, 1989.



27



Bab 2 Kegawatdaruratan Gastrointestinal



Prinsip Terapi Cairan Pemberian terapi cairan pada gangguan cairan dan elektrolit ditujukan untuk memberikan pada penderita: (1) kebutuhan akan rumatan (maintenance) dari cairan dan elektrolit, (2) mengganti kehilangan yang terjadi, dan (3) mencukupi kehilangan abnomal dari cairan yang sedang berlangsung (on going abnormal losses). Perencanaan terapi ketiga komponen ini perlu ditujukan secara individual sehingga tidak ada kebutuhan dasar yang terlewati. Selain itu pemberian terapi cairan perlu dibagi menjadi beberapa tahap yang berurutan yaitu: (1) menjaga perfusi yang cukup, (2) memperbaiki defisit cairan & elektrolit sekaligus memperbaiki gangguan asam-basa, dan (3) mencukupi kebutuhan nutrisi. Pemberian cairan pada penderita dengan dehidrasi berat atau dalam keadaan syok merupakan tindakan kedaruratan medis. Penderita dapat dinilai secara lengkap apabila pemberian cairan sudah dimulai dan penderita dalam keadaan stabil. Dalam perencanaan pemberian terapi cairan, yang penting dipertimbangkan adalah defisit Na+ dan air, perubahan kualitatif dari susunan tubuh yang terjadi akibat hilangnya elektrolit yang terkait dengan air, dan keseimbangan ion kalium dan hidrogen.



9 01 2 t re Ma Pemberian terapi cairan meliputi pemberian cairan yang 9ditujukan untuk: o • Memperbaiki dinamika sirkulasi (bila ada syok)astr G at • Mengganti defisit yang terjadi p a r • Rumatan (maintenance)/ untuk mengganti tuk kehilangan cairan dan elektrolit yang sedang n berlangsung (on going loss) ro u ast dapat dilakukan secara oral atau parenteral. Pelaksanaan pemberian terapi G cairan r ja uA k Dehidrasi berat le Bu Fi dehidrasi berat, yaitu dehidrasi lebih dari 10% untuk bayi dan lebih dari Penderita dengan



Pemberian Terapi Cairan



9% untuk anak besar serta menunjukkan gangguan organ vital tubuh (somnolen - koma, pernafasan Kussmaul, gangguan dinamika sirkulasi) memerlukan pemberian cairan dan elektrolit secara parenteral. Terapi rehidrasi parenteral memerlukan 3 tahap: • Terapi awal (initial therapy) yang bertujuan untuk memperbaiki dinamika sirkulasi dan fungsi ginjal dengan cara re-ekspansi dengan cepat volume cairan ekstraselular. • Terapi lanjutan yang ditujukan untuk mengganti defisit air dan elektrolit pada kecepatan yang lebih rendah dengan mengganti Na+ mendahului K+. • Terapi akhir yang ditujukan untuk menjaga/memulihkan status gizi penderita.



Terapi awal Tahap ini dimaksudkan untuk mencegah atau mengobati renjatan (syok) dengan secara cepat mengembangkan volume cairan ekstraselular, terutama plasma. Idealnya adalah bahwa seluruh cairan yang diberikan hendaknya tetap berada dalam ruang vaskular.



28



Buku Ajar Gastrohepatologi



Terapi lanjutan Begitu sirkulasi dapat dipulihkan kembali, terapi cairan berikutnya ditujukan untuk mengoreksi secara menyeluruh sisa defisit air dan Na+ dan mengganti kehilangan abnormal dari cairan yang sedang berjalan (on going losses) serta kehilangan obligatorik. Walaupun pemberian K+ sudah dapat dimulai, namun hal ini tidak esensial, dan biasanya tidak diberikan sebelum 24 jam. Perkecualian dalam hal ini adalah bila didapatkan hipokalemia yang berat dan nyata. Pada saat tercapainya tahap ini, kadang perlu diketahui nilai elektrolit serum sehingga terapi cairan dapat dimodifikasi sesuai dengan kadar Na+ yang ada (isonatremia, hiponatremia, hipernatremia).



Terapi akhir (koreksi dari defisiensi nutrisi) Walaupun pada diare terapi cairan parenteral tidak cukup bagi kebutuhan kalori penderita, namun hal ini tidaklah menjadi masalah besar karena hanya menyangkut waktu yang pendek. Apabila penderita telah kembali diberi diet sebagaimana biasanya, segala kekurangan tubuh akan lemak dan protein dapat segera terpenuhi. Itulah mengapa pada pemberian terapi cairan, bila memungkinkan diusahakan agar penderita cepat 9 mendapatkan makanan/minuman sebagaimana biasanya. Bahkan pada 01 dehidrasi ringan 2 t sedang yang tidak memerlukan terapi cairan parenteral, makan aredan minum tetap dapat M 9 dilanjutkan (continued feeding). o



str



Tabel 2.3.3. Terapi cairan standar (iso-hiponatremia) Derajat Dehidrasi Berat 10 % Gagal sirkulasi (Plan C) Sedang 6-9 %



Kebutuhan cairan



Ga at p ra



k ntu Jenis u cairan ro ast



+ 30 ml/kg/1 jam rG ( + 10 tt/kg/menit Aja )



u uk B e Fil + 70 ml/kg/ 3 jam



( + 5 tt/kg/menit )



Cara/lama Pemberian



Na Cl 0.9% Ringer laktat Asering (Otsuka)



IV / 1 jam



Na Cl 0.9% Ringer laktat 1/2 darrow KAEN 3 B (> 3bl) KAEN 4 B (< 3bl)



I.V. / 3 jam atau I.G. / 3 jam atau oral 3 jam



Ringan 5 % (Plan B)



+ 50 ml/kg/ 3 jam (+ 3-4 tt/kg/menit)



1/2 darrow atau oralit (Paedialyte)



I.V. / 3 jam bila oral tidak mungkin atau I.G. / oral



Tanpa dehidrasi (Plan A)



+ 10-20 ml/kg setiap kali diare



Oralit atau cairan rumah tangga



Oral sampai diare berhenti



IV = intravena IG = intragastrik Sumber: Lozner, 2009.



Untuk neonatus ( 3bl) KAEN 4 B (usia 3bl) KAEN 4 B (usia persentil 25). Anak belum bisa tengkurap. Dari lahir diberi ASI, tetapi karena berat badan tidak naik, dibantu susu botol sejak usia 3 bulan. Kadang-kadang anak mengalami gumo. Tidak ada manifestasi atopik lain pada anak. Riwayat reaksi atopik pada ibu dan ayah juga negatif. Berdasarkan observasi refluks sehabis minum, ditegakkan diagnosa klinis: anak menderita batuk berulang yang dipresipitasi refluks gastro-esofageal. Dengan terapi obat prokinetik, pengaturan posisi dan nasihat makanan, pada usia 12 bulan berat badan naik menjadi 8900 g (>persentil 10), panjang badan 74 cm (>persentil 25), lingkar kepala 46 cm (pada persentil 25), dengan berat badan untuk tinggi >persentil 25) dan anak telah kuat merangkak.



5.2 Pendahuluan Tumbuh kembang merupakan proses penumbuhan (dimensi fisik) dan pengembangan (dimensi fungsi) potensi genetik menjadi potensi dewasa. Ada tiga kelompok faktor penentu keberhasilan: (1) kecukupan dan keselarasan pasokan nutrien, sebagai bahan baku dan bahan bakar, (2) stimulasi dan interaksi fisik dan psikososial sebagai pemicu dan pemacu spektrum dan arah tumbuh kembang, (3) penyakit yang dapat menganggu dan merusak struktur dan fungsi, baik secara temporer maupun permanen. Gangguan pada kedua faktor penentu pertama dan dampak buruk faktor penentu ketiga dapat memperlambat atau menghambat proses tumbuh kembang. Jika intensitasnya telah mencapai kriteria tertentu, dinamakan anak menderita gagal tumbuh (GT). Pengaruh ketiga faktor ini 73



Bab 5 Gagal Tumbuh pada Penyakit Gastrointestinal



lazimnya saling terkait. Misalnya kecukupan gizi mempengaruhi prevalensi penyakit; tingkat rasa aman dan stabilitas emosi mempengaruhi nafsu dan kapasitas makan; dan penyakit tertentu dapat mengubah pola perilaku anak. Dapat dimengerti bahwa penyakit gastrointestinal dapat menimbulkan GT. Di lain pihak setiap GT, apapun penyebabnya, dapat menimbulkan kelainan struktur dan fungsi saluran pencernaan. Lebih dari itu rehabilitasi gizi lazimnya merupakan pintu masuk dalam menanggulangi GT. Sehingga dapat dikatakan bahwa seluruh GT memiliki dimensi gastroenterologi.



5.3 Definisi GT adalah terhenti atau melambatnya pertumbuhan dan perkembangan secara signifikan. Ada tiga pengertian dalam bahasa Inggris yang bermanfaat untuk dipahami terkait dengan GT (failure to thrive): (1) wasting (diterjemahkan menjadi “kerempeng”) mengacu pada keadaan sewaktu, (2) stunting (diterjemahkan menjadi “kerdil”) mengacu pada hasil akhir, (3) catching up (diterjemahkan menjadi “kejar tumbuh”) mengacu pada pencapaian upaya rehabilitasi. Kaitan ketiga pengertian ini tercermin dalam keadaan berikut: saat GT terjadi 9 anak dapat terlihat “kerempeng”. Meski kecepatan tumbuh kembang 01 dapat dipacu kembali 2 t menjadi normal, jika “kejar tumbuh” tidak terjadi, anak akan re tumbuh menjadi manusia Ma dan dalam keadaan ekstrim dewasa yang potensinya lebih rendah dari potensi genetiknya 9 ro dapat dikelompokkan sebagai “kerdil”. ast G at tumbuh kembang yang dipakai berada Batasan operasional GT adalah nilai indikator ap r k dalam persentil ketiga atau menurun lebih ntu dari satu kuartil berturut-turut selama dua bulan u o pada anak usia kurang dari 6 bulan strdan tiga bulan pada anak berusia 6 bulan keatas.



G jar A u uk B e l



5.4 Kejadian i F



a



Data kejadian GT, khususnya di Indonesia, sangat terbatas. Kompilasi data yang dilakukan tim WHO menunjukkan bahwa di negara berkembang sekitar 10-80% anak usia 3 tahun dapat dikategorikan kerdil, sedangkan di negara maju hanya di bawah 3% (Tabel 5.4.1). Sebagian besar anak yang kerdil ini nantinya setelah dewasa tidak kelihatan sakit. Ada yang memakai istilah small but healthy. Beberapa studi memperlihatkan disamping lebih pendek, anak yang kerdil kemampuan fisiknya lebih rendah, IQ rata-ratanya lebih rendah, serta kemampuan imunitasnya terbatas. Kinerja mereka juga lebih rendah. Angka kematian mereka jauh lebih tinggi. Jelas bahwa pencapaian potensi dewasa mereka tidak sesuai dengan potensi genetiknya. Satyanarayana dari India menyimpulkan telah terjadi suatu adaptasi biologis sehingga mereka tetap kelihatan sehat tetapi semuanya bergerak dalam skala yang lebih rendah. Data pada tabel 5.4.1 menunjukkan 79% anak Indonesia pada usia 3 tahun pada tahun 1977 dikategorikan kerdil. Prosentase ini mungkin terlalu tinggi, antara lain karena standar yang dipakai berdasar data NCHS, yang mungkin terlalu tinggi untuk anak Indonesia. Bagaimanapun kita yakin permasalahan yang dihadapi dunia berkembang sebagaimana diuraikan di atas kita temukan pula di Indonesia. Data dari beberapa negara (Gambar 5.4.1) 74



Buku Ajar Gastrohepatologi



Tabel 5.4.1. Prevalensi stunting pada usia 3 tahun Negara



Tahun



Persentase



Etiopia



1982



42



Zambia



1972



44



Nigeria



1980



28



Bolivia



1981



60



Peru



1985



52



Jamaika



1970



9



Bangladesh



1983



79



Indonesia



1977



79



Mesir



1978



37



Pakistan



1984



14



Palestina



1984



17



Filipina



1982



43



Papua New Guinea



1970



57



Sumber: WHO, 2005.



9



01



o str



Fi



G jar A u uk B e l



k ntu u ro ast



Ga at p ra



2 ret a 9M



Gambar 5.4.1. Tinggi rata-rata anak usia 7 tahun golongan sosial ekonomi tinggi(2) dan rendah(-->)



menunjukkan terdapatnya perbedaan tinggi sekitar 10 cm pada anak usia 7 tahun antara anak dari keluarga mampu dan keluarga miskin. Pada awal milenium ketiga ini sekitar 20% penduduk Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan. 75



Bab 5 Gagal Tumbuh pada Penyakit Gastrointestinal



5.5 Etiologi GT hanyalah kumpulan gejala. Spektrum penyebabnya sangat luas dan saling berinteraksi. Lazimnya dikelompokkan menjadi dua, kelompok non-organik dan kelompok organik. Kelompok non-organik umumnya muncul berupa penyimpangan pola asuh dan/atau interaksi ibu dan anak yang bermuara pada kurangnya pasokan gizi dan penyimpangan stimulasi fisik dan psikososial. Berbagai kelainan pada semua organ dan sistem dapat menimbulkan GT (kelompok penyebab organik), termasuk kelainan gastrointestinal. Untuk membantu sistematika pendekatan diagnostik, kelainan gastrointestinal dapat dipilah mejadi: • Kelainan organik atau fungsional yang mengganggu fungsi motorik saluran pencernaan, yang mengakibatkan gangguan pasase makanan. Kelainan ini dapat terjadi pada semua tingkatan saluran pencernaan, mulai dari palato-gnato skhisis, striktura esofagus, khalasia/akhalasia, refluks, pseudoobstruksi, penyakit Hirschsproeng, termasuk sindroma usus iritabel dan lain sebagainya. • Kelainan organik/fungsional yang menimbulkan ganguan fungsi sekresi dan digesti. Lazimnya berupa kelainan kongenital atau berupa gangguan metabolisme bawaan lahir. Misalnya akhlorhidria, gangguan glikosilasi kongenital, hipobetalipoproteinemia 9 01 2 kongenital, dan lain sebagainya. t re • Inflamasi non-infektif dan infeksi spesifik saluran 9pencernaan. Termasuk penyakit Ma o r Crohn, penyakit inflamasi kolon, serta infeksi Helicobacter pylori. st Ga energi protein)-infeksi. t • Lingkaran setan kompleks diare-MEP(malnutrisi a rap k Di negara maju sebagian besar GT disebabkan kelainan non-organik. Di negara ntu oleh kompleks diare-MEP-infeksi. Jauh lebih u berkembang sebagain besar GT disebabkan ro ast negara berkembang, disamping disebabkan besarnya tingginya kejadian GT/kerdilGdi jar peranan kompleks diare-MEP-infeksi, juga disebabkan terlambat dan kurang adekuatnya A ku organik, misalnya terlambatnya tindakan koreksi pada kelainan penanggulangan penyakit u B jantung bawaanFile



5.6 Patogenesis Baik pada kelainan non-organik maupun pada kelainan organik, kurangnya pasokan gizi dibandingkan dengan kebutuhan merupakan mekanisme utama munculnya GT. Terdapat interaksi timbal balik antara hubungan ibu dan anak. Ibu harus reseptif dan responsif terhadap berbagai bentuk komunikasi anak (tawa, tangis, mimik, celotehan, dsb), termasuk ungkapan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis anak yang mencakup kebutuhan akan makanan, tidur, lingkungan yang higienis dan hangat, proteksi terhadap rasa sakit, trauma dan penyakit. Ibu juga harus reseptif dan responsif dalam berinteraksi secara psikis dan emosional dengan anak agar anak senang dan puas. Kegagalan interaksi ini dapat dalam bentuk kuantitas, sehingga kebutuhan fisiologis dan atau psikologis anak tidak terpenuhi. Dalam kondisi yang ekstrim dinamakan terjadi deprivasi pada anak. Tetapi kegagalan juga dapat terjadi pada ketidakserasian pola kepribadian/perilaku anak dengan perilaku/ekspektasi ibu. Kegagalan interaksi ini dapat menimbulkan anoreksia, 76



Buku Ajar Gastrohepatologi



rasa tidak aman, ansietas, depresi, menarik diri dan lain sebagainya pada anak. Gangguan proses interaksi dan pola asuh ini dapat menimbulkan berkurangnya pasokan nutrien serta gangguan pola stimulasi yang dapat bermuara pada GT. Kelainan atau penyakit dapat menimbulkan kurangnya makanan yang disediakan, anoreksia, gangguan digesti dan absorpsi, kehilangan nutrien serta meningkatnya kebutuhan. Lebih dari itu defisit dan gangguan stimulasi, baik fisik maupun psikososial tidak hanya berpengaruh pada pola perkembangan fungsi tetapi juga dapat menghambat pertumbuhan fisik. Pada kelainan organik tertentu, meskipun pasokan gizi dan stimulasi cukup, GT dapat muncul. Misalnya akibat defisiensi enzim atau kelainan hormonal. Kelainan enzim atau hormon ini tetap mempunyai dimensi gizi, karena patogenesisnya mencakup gangguan pendayagunaan nutrien tertentu. Penyakit gastrointestinal dapat menimbulkan: (1) gangguan fungsi motorik, baik berupa obsruksi, gangguan propulsi, maupun menurunnya kapasitas tampung, dan (2) gangguan digesti dan absorpsi; yang akhirnya bermuara pada berkurangnya absorpsi nutrien. Patogenesis kompleks diare-MEP-infeksi tercermin dalam konsep yang dikembangkan 9 usus dianggap kelompok kerja Lebenthal (Gambar 5.6.1), dimana kerusakan/atrofi mukosa 01 2 t merupakan titik sentral dari lingkaran setan keadan patologis yang re ditimbulkan diare yang Ma tumbuh ganda, absorpsi mencakup malabsorpsi, gangguan hormonal, infeksi berulang, 9 ro protein asing yang menimbulkan reaksi alergi, dan gangguan regenerasi vili. Semuanya ast G atberlanjut dapat berakhir dalam bentuk dapat bermuara pada semakin beratnya MEP. Jika p ra GT. tuk



n



Fi



G jar A u uk B e l



u ro ast



Infeksi dan tumbuh ganda



Malnutrisi energi protein Kerusakan mukosa usus berlanjut



Gangguan regenerasi vili



hormon enterik Absorpsi protein asing



Gambar 5.6.1. Lingkaran setan kompleks diare–MEP–infeksi.



77



Bab 5 Gagal Tumbuh pada Penyakit Gastrointestinal



Lazimnya munculnya kompleks diare-MEP-infeksi dipicu oleh munculnya diare atau infeksi tertentu, misalnya morbili. Sebagian besar GT menimbulkan kurang gizi, sehingga apapun etiologinya, khususnya di negara berkembang, GT yang disebabkan kelainan organik atau non-organik dapat diperberat oleh kompleks diare-MEP-infeksi.



5.7 Manifestasi Klinis Anak kelihatan lebih “kecil” dari semestinya. Melalui pengukuran antropometrik dan diplot pada grafik tumbuh kembang yang sesuai, anak yang kelihatan kecil ini dapat dipilah menjadi MEP, pendek atau dismorfi. Temuan MEP mungkin disertai gejala terkait, misalnya: edema, rambut jarang mudah dicabut, lemak subkutan menipis, distrofi otot, dan lain sebagainya. MEP tentu dapat disertai dengan gejala spesifik defisiensi mikronutien, misalnya gejala avitaminosis. Lebih lanjut manifestasi MEP dapat disertai dengan gejala yang terkait dengan kompleks diare-MEP-infeksi. Pendek atau dismorfi dapat ditemukan pada kelainan metabolik/neuroendokrin. Tentu dapat pula ditemukan kelainan lain sesuai faktor penyebab. Anak dapat kelihatan gelisah, iritabel dan banyak menangis, atau 9 sebaliknya pasif dan 01 2 t diam. Temuan ini lazimnya berkaitan dengan latar belakang psikososial ibu yang tercermin are M dalam pola asuh serta pola interaksi ibu dan anak. 9 ro t s Gejala penyebab organik bervariasi sesuai jenisnya. Gejala yang terkait kelainan Ga t a melalui penelusuran gejala terkait yaitu gastrointestinal dapat didentifikasi secara sistematis ap k r perut dan lain sebagainya. makan/menelan, defekasi, muntah, diare,tusakit



n



G jar A u uk B e l



5.8 Diagnosis



u ro ast



Fi Petunjuk atau kecurigaan klinis bahwa kita mungkin berhadapan dengan GT adalah anak kelihatan lebih “kecil” dari semestinya. Sebagai tindak lanjut ada tiga aspek diagnostik yang harus ditegakkan. Pertama, menetapkan apakah telah terjadi GT, untuk memacu kita melakukan langkah penanggulangan dan pencegahan agar “kejar tumbuh” dapat menjadi maksimal dan risiko terjadinya “kerdil” menjadi minimal. Kedua, mengelaborasi permasalahan klinis yang dihadapi anak sehingga langkah pemulihan dan rehabilitasi dapat direncanakan. Ketiga, menetapkan faktor penyebab sehingga disamping terapi kausal, langkah pencegahan dan promotif dapat direncanakan. Diagnosis GT ditegakkan berdasarkan pengukuran antropometrik. Indikator utama yang dipakai adalah umur, berat dan panjang/tinggi. Dengan membandingkannya dengan nilai standar (lazim dipakai data NCHS) diterjemahkan menjadi tiga indikator: berat untuk umur, tinggi untuk umur dan berat untuk tinggi. Indikator berat untuk tinggi lebih mencerminkan keadaan patologis sewaktu, sehingga lebih lazim dipakai sebagai dasar diagnosis GT. Nilai yang didapat diplot dalam grafik pertumbuhan. Ada dua cara membuat acuan kurva baku pertumbuhan: (1) berdasarkan simpangan dari mean, kurva baku atas = mean + 2SD, diikuti mean + 1SD, mean, mean - 1SD dan kurva paling bawah mean - 2SD, (2) berdasarkan persentil dimana kurve paling atas = sentil 97, diikuti sentil 75, sentil 50, sentil 78



Buku Ajar Gastrohepatologi



25 dan sentil 3. Anak dengan kurva pertumbuhan berdasarkan berat untuk tinggi, berada di bawah sentil 3 atau mean - 2SD, atau kurva pertumbuhannya turun melewati dua garis baku kurva pertumbuhan berturut-turut selama dua bulan pada anak berusia kurang dari 6 bulan, atau berturut-turut 3 bulan pada anak usia 6 bulan atau lebih dianggap telah menderita GT. Berdasarkan kriteria di atas diagnosis GT membutuhkan pengamatan longitudinal. Tetapi secara klinis kita dapat menegakkan diagnosis GT berdasarkan riwayat sehingga berdasarkan pengamatan retrospektif dapat diperkirakan telah terjadi hambatan pertumbuhan yang telah berlangsung lama, sehingga dapat diperkirakan telah memenuhi kriteria diagnostik di atas. Indikator tinggi untuk umur dan berat untuk umur tetap bermanfaat untuk dianalisis untuk lebih memahami proses gangguan pertumbuhan yang terjadi serta faktor penyebabnya. Pemahaman akan lebih rinci jika dibantu dengan pengukuran lingkar kepala, tebal lemak subkutan, serta proporsi bagian tubuh. Indikator perkembangan fungsi, meskipun tidak dipakai untuk menegakkan diagnosis GT karena lebih bersifat kualitatif tetap harus dinilai, misalnya dengan memakai standar DDST. Keberhasilan penanggulangan dinilai tidak hanya melalui perbaikan indikator antropometrik, tetapi juga melalui indikator fungsi. 9 01 2 t Kondisi klinis anak sangat tergantung pada faktor penyebab re dan penyakit penyerta Mayang ditimbulkannya. Kita yang harus dielaborasi gejalanya dan ditegakkan permasalahan 9 ro harus mengelaborasi sampai di mana telah terjadi gangguan fungsi vital serta muncul ast G t ahipoglikema keadaan yang membahayakan kehidupan seperti atau hipotermia sehingga p ra k langkah resusitasi dan stabilisasi dapat segera dilakukan. Nafsu makan, kemampuan makan tu ndinilai u dan kemampuan pencernaan anak harus sehingga langkah rehabilitasi gizi dapat tro s a dimulai. Kedaruratan serta gangguan G makan ini umumnya terkait dengan kompleks diarejarberkembang penting untuk mengelaborasi sampai di mana MEP-infeksi. Bagi kita di negara A u uk telah berkembang, termasuk sampai di mana manifestasi kompleks diare-MEP-infeksi B e defisiensi mikronutrien Fil menjadi masalah. Lebih lanjut perlu ditelusuri penyakit penyerta yang masih aktif serta permasalahan klinis yang ditimbulkannya. Kemungkinan gangguan pola asuh dan interaksi ibu dan anak sebagai penyebab GT dapat diduga melalui perilaku anak; kita dapat berhadapan dengan anak yang gelisah, iritabel dan banyak menangis, atau sebaliknya pasif dan diam. Berdasarkan pengalaman di negara maju, deskripsi dan kepastian terjadinya deprivasi, pengacuhan dan penyimpangan pola asuh anak, sulit untuk dielaborasi dan ditegakkan diagnosisnya melalui wawancara/ pengamatan di tempat praktik dokter anak. Peranan faktor ini dapat dibuktikan secara eks-juvantibus dengan merawat anak di rumah sakit, dalam arti kata mengalihkan pengasuhan anak dari ibu ke petugas kesehatan. Melalui langkah rehabilitasi gizi intensif disertai dengan asuhan yang atentif dan hangat, biasanya pemulihan dengan cepat terjadi. Diagnosis penyimpangan perilaku ibu lazimnya membutuhkan penilaian psikologis oleh ahlinya. Faktor penyebab organik non-gastrointestinal ada yang dengan mudah diidentifikasi misalnya kelainan jantung bawaan, tetapi ada juga yang membutuhkan kejelian karena jarang ditemukan serta membutuhkan pemeriksan yang lebih rumit misalnya kelaian endokrin atau penyakit metabolik. 79



Bab 5 Gagal Tumbuh pada Penyakit Gastrointestinal



Diagnosis kelainan organik gastrointestinal dapat dikenal melalui penelusuran gejala utama kelainan gastrointestinal seperti gangguan menelan, muntah, nyeri abdomen, diare serta konstipasi. Temuan gejala menjuruskan kita untuk memikirkan sampai di mana terjadi kelainan fungsi motorik, fungsi digesti dan/atau fungsi absorpsi. Kepastian diagnosis fungsional, serta kelainan struktur yang mendasarinya tentu harus didukung dengan pemeriksaan penunjang yang sesuai. Lebih lanjut ditelusuri diagnosis kausal kelainan yang ditemukan. Referensi pelaksanaan rangkaian proses ini tentu harus mengacu pada keseluruhan isi buku ajar ini.



5.9 Terapi Spektrum terapi GT sangat bervariasi sesuai perbedaan penyebab, keberadaan penyakit penyerta, spektrum keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan yang berlangsung, derajat MEP, serta gannguan pola asuh dan interaksi ibu-anak. Tetapi secara umum rehabilitasi gizi merupakan langkah awal terapi yang dapat dijadikan pintu masuk untuk melaksanakan penaggulangan secara menyeluruh. Pola penanggulangan MEP yang dikembangkan Bagian IKA FKUI dapat dijadikan sebagai acuan perencanaan rehabilitasi gizi, melalui pendekatan 4 tahap: 9 fase penyelamatan, 01 2 t fase penyesuaian, fase pemulihan dan fase pembinaan. re Ma stabilisasi gangguan fungsi Pada fase penyelamatan dilaksanakan resusitasi 9dan tro vital misalnya mengatasi syok/dehidrasi berat sertaasmenanggulangi komplikasi misalnya G t a hipotermia atau hipoglikemia. rap Pada fase penyesuaian, melaluitukpemberian makanan bertahap jumlah dan n anak untuk makan dalam jumlah dan volume komposisinya, kita membiasakan kembali ou r t as secara selektif sesuai denngan kapasitas pencernaan yang besar serta memilih makanan r Gkita juga harus memulai penanganan terfokus terhadap a anak. Pada fase penyesuaian j A defisiensi mikronutrien ku serta mengobati penyakit penyerta. Terapi kausal juga dapat u eB dimulai atau dapat Fil menunggu sampai keadaan umum anak lebih baik yaitu pada fase berikutnya. Penyakit penyerta dan penyakit yang mendasari GT tentu harus ditanggulangi sesuai dengan standar yang berlaku. Pada fase pemulihan kita memberikan makanan berimbang dengan prosentase kalori 120% - 200% dari perhitungan kebutuhan berdasarkan berat badan. Sasaran kita adalah mengupayakan kejar tumbuh maksimal. Langkah penyelamatan dan penyesuaian lazimnya dilakukan di rumah sakit. Fase pemulihan dan pembinaan dilakukan melalui rawat jalan. Kita harus memberikan nasihat gizi yang operasional, yang secara wajar diperkirakan dapat dilaksanakan ibu di rumah. Misalnya bagi keluarga mampu kita dapat menganjurkan pemakaian formula nutrisi lengkap dengan kalori 1 kkal/ml. Sebagai alternatif bagi yang kurang mampu kita dapat menerapkan konsep “multi-mixed” dari Cameron, di mana berdasarkan ketersediaan dan keterjangkauan bahan makanan lokal, ibu diajarkan untuk menyusun menu berdasarkan kombinasi bahan yang ada, berdasarkan pengayaan bahan pokok (beras) dengan pilihan cerdik sumber protein lokal disertai pemanfaatan minyak untuk meningkatkan kalori. Pada fase pembinaan dilaksanaan langkah promotif dan preventif agar GT tidak muncul kembali. Telah dibuktikan, peningkatatn stimulasi fisik dan psiko sosial akan meningkatkan keberhasilan upaya promotif secara keseluruhan. 80



Buku Ajar Gastrohepatologi



Keberhasilan rehabilitasi gizi membuka peluang bagi penyaji untuk memberikan konseling pada ibu. Jika dilaksanakan secara bijak tanpa sikap menuding dan menggurui, lazimnya dapat memperbaiki pola asuh anak serata peningkatan interaksi ibu dan anak.



5.10 Prognosis Perkembangan longitudinal indikator antropometrik seorang anak dinyatakan dalam persentil terhadap nilai standar, lazimnya berada pada track tertentu. Anak yang menderita GT track pertumbuhannya akan menurun. Meskipun GT berhasil ditanggulangi, jika GT berlangsung lama atau berat, track pertumbuhan anak dapat menetap pada jalur yang lebih rendah. Penurunan permanen track ini hanya terjadi pada GT usia muda, di bawah usia 5 tahun. Untuk itu kita kita harus memberikan perhatian khusus agar GT pada usia muda ini dapat dicegah atau ditanggulangi sedini dan seadekuat mungkin. Jika track menetap pada jalur di bawah 3 persentil (mean-2SD) anak akan menjadi dewasa sebagai orang kerdil. Secara umum dapat dikatakan, jika terjadi penurunan track pertumbuhan secara permanen, berarti proses penumbuh-kembangan potensi genetik menjadi potensi dewasa kurang berhasil. Sepenuhnya disadari, penurunan track pertumbuhan, akan disertai penurunan 9 01 2 t optimasi perkembangan, baik fisiologis maupun psikososial. Penurunan kedua dimensi are M tumbuh kembang ini akan menurunkan pula kesempatan9 anak nantinya untuk hidup ro secara produktif dan kompetitif setelah dewasa. ast G at normal suatu organ dan sistemnya Telah diketahui pertumbuhan dan perkembangan ap r kTerdapat waktu puncak (sesuai umur anak) yang terkait tidak berlangsung secara linier. ntu u tingkat pertumbuhan dan perkembangan ro yang berbeda untuk berbagai organ dan system ast organ atau sistem organ sedang berada pada puncak organ. GT yang terjadi pada saat suatu G jar akan menimbulkan gangguan dan defisit yang lebih pertumbuhan dan perkembangan A u uk sistem organ tersebut. Sehungga sesuai dengan waktu puncak menonjol pada organ B atau e il GT yang lazimnya muncul pada usia bayi akan sangat berpengaruh tumbuh kembang F otak, terhadap tumbuh kembang otak serta potensi intelektual anak nantinya setelah dewasa.2,10,11 Keberhasilan kejar tumbuh disamping ditentukan oleh kedinian dan intensitas penggulngan GT, tentu juga ditentukan sampai di mana faktor penyebab dapat di sembuhkan. GT yang datang dengan kelainan fungsi vital apalagi kalau disertai gangguan pencernaan yang berat dengan angka kematian kasus yang cukup tinggi, pada masa dahulu dapat mencapai 30% - 50%. Tetapi dengan acuan penanganan MEP berat yang dikembangkan WHO yang juga telah diadopsi di Indonesia, dimana melalui pemahaman tentang gangguan keseimbangan elektrolit, gangguan sistem kardivaskuler, serta berbagai dimensi defisiensi nutrien, telah disusun langkah stabilisasi dan pemulihan yang sesuai sehingga angka kematian kasus dapat ditekan mendekati 10%. GT yang telah mencapai fase pemulihan lazimnya angka kematian kasusnya sangat rendah.



81



Bab 5 Gagal Tumbuh pada Penyakit Gastrointestinal



5.11 Pencegahan Untuk kita di negara berkembang, dimana sebagian besar GT muncul dalam bentuk kompleks diare-MEP-infeksi, langkah pencegahannya sejalan dengan upaya pencegahan diare. Di samping menekan kejadian diare, kita harus melaksanakan penanggulangan tepat guna agar diare tidak berlanjut dan dampak gizinya dapat ditekan menjadi seminimal mungkin. Identifikasi faktor risiko dan gejala dini deprivasi, pengacuhan anak dan penyimpangan interaksi ibu dan anak dilanjutkan dengan pembinaan yang tepat dapat menekan kejadian GT non-organik. Meskipun penanggulangannya secara tuntas membutuhkan disiplin lain, permasalahan harus diidentifikasi oleh dokter anak. Langkah lain yang layak untuk dilaksanakan adalah mengidentifikasi penyakit organik termasuk kelainan gastrointestinal sedini mungkin, melakukan langkah korektif dan penanggulangan lainnya seadekuat mungkin, disertai dengan bimbingan gizi dan pola asuh yang baik agar kemungkinan munculnya GT dapat ditekan menjadi seminimal mungkin.



9 01 2 t Daftar Pustaka are M 1. American Academy of Pedaitrics. Failure to thrive (Pediatric undernutrition). In: Kleinman RE, 9 ro ed. Pediatric Nutrition Handbook. 5th ed. Elk Grove Village, ast IL: American Academy of Pediatric. G 2003: 443-457. at apClin North Am. Dec 1988; 35(6): 1187-206. r 2. Farnk DA, Zeisel SH. Failure to thrive. Pediatr tuk 3. Zanel JA Jr. Failure to thrive: a generalunpediatrician’s perspective. Pediatr Rev. 1997; 18: 371-378. o growth. In: kessler DB, Dawson P, eds. Failure to thrive r t 4. Sherry B. Epidemiology of inadequate as r Ga transdisciplinary approach. Baltimore: Brookes. 1999. 19-36. and pediatric undernutrition: a j A 5. WHO. Failure to thrive: ku a manual for physicians and other senior health workers Child Health/ u B WHO.CDR 95.le2005. i 6. Levy Y, LevyF A, Zangen T, et al. Diagnostic clues for identification of nonorganic vs organic



causes of food refusal and poor feeding. J Pediatr Gastroenterol Nutr. MAr 2009; 48(3): 355-62. 7. Wright CM. Identification and management of failure to thrive: a community perspective. Arch Dis Child. 2000; 82:5-9. 8. Hay WW. Current pediatric diagnosis and treatment. 15th ed. Norwalk, Conn: Appleton & Lange. 2001: 250. 9. Sills RH. Failure to thrive. The role of clinical and laboratory evaluation. Am J Dis Child. Oct 1978; 132(10): 967-9. 10. Maggioni A, Lifshitz F. Nutritional management of failure to thrive. Pediatr Clin North Am. Aug 1995; 42(4): 791-810. 11. Reif S, Beler B, Villa Y. Long-term follow-up and outcome of infants with non-organic failure to thrive. Isr J Med Sci. Aug 1995; 31(8): 483-9.



82



BAB



6



Diare Akut Bambang Subagyo & Nurtjahjo Budi Santoso



6.1 Ilustrasi Kasus Seorang anak berumur 4 tahun diperiksa ke poliklinik karena mencret sejak dua hari yang lalu. BAB sehari 6 kali cair, tak ada darah, tak ada lendir, dan muntah 1 kali. Saat dilakukan pemeriksaan fisik anak tampak rewel, lahap ketika diberi minum. Mata tampak cekung, turgor kulit lemah. Di rumah diberi minum biasa ditambah sup asam, tanpa diberi obat.



6.2 Pendahuluan Diare akut masih merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak di negara berkembang. Terdapat banyak penyebab diare akut pada anak. Pada sebagian besar kasus penyebabnya adalah infeksi akut intestinum yang disebabkan oleh virus, bakteri atau parasit. Walaupun umumnya self limited, dehidrasi masih merupakan penyebab morbiditas yang serius serta kematian dari penderita. Di Indonesia penyakit diare menjadi beban ekonomi yang tinggi disektor kesehatan oleh karena rata–rata sekitar 30 % dari jumlah tempat tidur yang ada di rumah sakit ditempati oleh bayi dan anak dengan penyakit diare selain itu juga di pelayanan kesehatan primer, diare masih menempati urutan kedua dalam urutan 10 penyakit terbanyak dipopulasi. Diare juga erat hubungannya dengan kejadian kurang gizi. Setiap episod diare dapat menyebabkan kekurangan gizi oleh karena adanya anoreksia dan berkurangnya kemampuan menyerap sari makanan, sehingga apabila episodnya berkepanjangan akan berdampak terhadap pertumbuhan dan kesehatan anak.



6.3 Definisi Diare akut adalah buang air besar pada bayi atau anak lebih dari 3 kali perhari, disertai perubahan konsistensi tinja mejadi cair dengan atau tanpa lendir dan darah yang berlangsung kurang dari satu minggu. Pada bayi yang minum ASI sering frekuensi buang air besarnya lebih dari 3–4 kali per hari, keadaan ini tidak dapat disebut diare, tetapi masih bersifat fisiologis atau normal. Untuk bayi yang minum ASI secara eksklusif definisi diare 83



Bab 6 Diare Akut



yang praktis adalah meningkatnya frekuensi buang air besar atau konsistensinya menjadi cair yang menurut ibunya abnormal atau tidak seperti biasanya. Kadang – kadang pada seorang anak buang air besar kurang dari 3 kali perhari, tetapi konsistensinya cair, keadaan ini sudah dapat disebut diare.



6.4 Epidemiologi Diare masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang termasuk Indonesia dan merupakan salah satu penyebab kematian dan kesakitan tertinggi pada anak, terutama usia di bawah 5 tahun. Di dunia, sebanyak 6 juta anak meninggal tiap tahunnya karena diare dan sebagian besar kejadian tersebut terjadi di negara berkembang. Sebagai gambaran 17% kematian anak di dunia disebabkan oleh diare sedangkan di Indonesia hasil Riskesdas 2007 diperoleh bahwa diare masih merupakan penyebab kematian bayi yang terbanyak yaitu 42% dibandingkan pneumonia 24%, untuk golongan 1-4 tahun penyebab kematian karena diare 25,2% dibandingkan pneumonia 15,5%.



6.5 Cara Penularan dan Faktor Risiko



9 01 2 t re Cara penularan diare pada umumnya melalui cara fekal–oral Ma yaitu melalui makanan atau 9 minuman yang tercemar oleh enteropatogen, atau kontak ro langsung tangan dengan penderita ast atau tidak langsung melalui lalat G atau barang-barang yang telah tercemar tinja penderita at ap (melalui 4 F = finger, flies, fluid, field). r k ntu Faktor resiko yang dapat meningkatkan penularan enteropatogen antara lain : tidak u o r t memberikan ASI secara penuh untuk as 4 – 6 bulan pertama kehidupan bayi, tidak memadainya rG a penyediaan air bersih, pencemaran air oleh tinja, kurangnya sarana kebersihan (MCK), j A udan kebersihan lingkungan pribadi yang buruk, penyiapan dan penyimpanan makanan k u B e yang tidak higienis Fil dan cara penyapihan yang tidak baik. Selain hal-hal tersebut, beberapa faktor pada penderita dapat meningkatkan kecenderungan untuk dijangkiti diare antara lain : gizi buruk, imunodefisiensi, berkurangnya keasaman lambung, menurunnya motilitas usus, menderita campak dalam 4 minggu terakhir dan faktor genetik.



Faktor umur Sebagian besar episode diare terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan. Insidensi tertinggi terjadi pada kelompok umur 6 – 11 bulan pada saat diberikan makanan pendamping ASI. Pola ini menggambarkan kombinasi efek penurunan kadar antibodi ibu, kurangnya kekebalan aktif bayi, pengenalan makanan yang mungkin terkontaminasi bakteri tinja dan kontak langsung dengan tinja manusia atau binatang pada saat bayi mulai merangkak. Kebanyakan enteropatogen merangsang paling tidak sebagian kekebalan melawan infeksi atau penyakit yang berulang, yang membantu menjelaskan menurunnya insiden penyakit pada anak yang lebih besar dan pada orang dewasa.



84



Buku Ajar Gastrohepatologi



Infeksi asimtomatik Sebagian besar infeksi usus bersifat asimtomatik dan proporsi asimtomatik ini meningkat setelah umur 2 tahun dikarenakan pembentukan imunitas aktif. Pada infeksi asimtomatik yang mungkin berlangsung beberapa hari atau minggu, tinja penderita mengandung virus, bakteri atau kista protozoa yang infeksius. Orang dengan infeksi asimtomatik berperan penting dalam penyebaran banyak enteropatogen terutama bila mereka tidak menyadari adanya infeksi, tidak menjaga kebersihan dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain.



Faktor musim Variasi pola musiman diare dapat terjadi menurut letak geografis. Didaerah sub tropik, diare karena bakteri lebih sering terjadi pada musim panas, sedangkan diare karena virus terutama rotavirus puncaknya terjadi pada musim dingin. Didaerah tropik (termasuk Indonesia), diare yang disebabkan oleh rotavirus dapat terjadi sepanjang tahun dengan peningkatan sepanjang musim kemarau, sedangkan diare karena bakteri cenderung meningkat pada musim hujan.



9 01 2 t re Ma epidemi dan pandemi Vibrio cholera 0.1 dan Shigella dysentriae 1 dapat menyebabkan 9 ro pada semua golongan usia. yang mengakibatkan tingginya angka kesakitan dan kematian ast G t Sejak tahun 1961, kolera yang disebabkan oleh aV.pacholera 0.1 biotipe Eltor telah menyebar r k ke negara-negara di Afrika, Amerika Latin, Asia, Timur Tengah dan di beberapa daerah tu un waktu yang sama Shigella dysentriae tipe 1 di Amerika Utara dan Eropa. Dalamrokurun st menjadi penyebab wabah yang besar Ga di Amerika Tengah dan terakhir di Afrika Tengah r jatahun 1992, di kenal strain baru Vibrio cholera 0139 yang dan Asia Selatan. Pada akhir uA k u Asia dan lebih dari 11 negara mengalami wabah. menyebabkan epidemiBdi e l i F



Epidemi dan pandemi



6.6 Etiologi



Pada saat ini, dengan kemajuan di bidang teknik laboratorium kuman-kuman patogen telah dapat diidentifikasikan dari penderita diare sekitar 75 % pada kasus yang datang disarana kesehatan dan sekitar 50 % kasus ringan di masyarakat. Penyebab infeksi utama timbulnya diare umumnya adalah golongan virus, bakteri dan parasit. Dua tipe dasar dari diare akut oleh karena infeksi adalah non inflammatory dan inflammatory. Enteropatogen menimbulkan non inflammatory diare melalui produksi enterotoksin oleh bakteri, destruksi sel permukaan villi oleh virus, perlekatan oleh parasit, perlekatan dan / atau translokasi dari bakteri. Sebaliknya inflammatory diare biasanya disebabkan oleh bakteri yang menginvasi usus secara langsung atau memproduksi sitotoksin. Beberapa panyebab diare akut yang dapat menyebabkan diare pada manusia adalah sebagai berikut :



85



Bab 6 Diare Akut



Golongan Bakteri : 1. Aeromonas 2. Bacillus cereus 3. Campylobacter jejuni 4. Clostridium perfringens 5. Clostridium defficile 6. Escherichia coli 7. Plesiomonas shigeloides Golongan Virus : 1. Astrovirus 2. Calcivirus 3. Enteric adenovirus Golongan Parasit : 1. Balantidium coli 2. Blastocystis homonis 3. Cryptosporidium parvum 4. Entamoeba histolytica



8. Salmonella 9. Shigella 10. Staphylococcus aureus 11. Vibrio cholera 12. Vibrio parahaemolyticus 13. Yersinia enterocolitica 4. Rotavirus 5. Cytomegalovirus * 6. Herpes simplex virus * 5. 6. 7. 8.



Giardia lamblia Isospora belli Strongyloides stercoralis Trichuris trichiura



9 01 2 t * umumnya berhubungan dengan diare hanya pada penderitaarimunocompromised e M 9 ro ast penting diare akut pada anakDi negara berkembang kuman patogen penyebab G at anak yaitu : Rotavirus, Escherichia coli enterotoksigenik, Shigella, Campylobacter jejuni dan ap r k u t Cryptosporidium. n o u disebabkan virus yaitu virus yang menyebabkan r t Patogenesis terjadinya diare yang as r G menginfeksi dan menghancurkan sel-sel ujung-ujung diare pada manusia secarajaselektif u A usus halus menunjukkan berbagai tingkat penumpulan villus villus pada usus halus.ukBiopsi e B pada lamina propia. Perubahan-perubahan patologis yang diamati dan infiltrasi sel ibudar Fl Sumber = Nelson Textbook of Pediatric, 2004.



tidak berkorelasi dengan keparahan gejala-gejala klinis dan biasanya sembuh sebelum penyembuhan diare. Mukosa lambung tidak terkena walaupun biasanya digunakan istilah “gastroenteritis”, walaupun pengosongan lambung tertunda telah didokumentasi selama infeksi virus Norwalk. Virus akan menginfeksi lapisan epitelium di usus halus dan menyerang villus di usus halus. Hal ini menyebabkan fungsi absorbsi usus halus terganggu. Sel-sel epitel usus halus yang rusak diganti oleh enterosit yang baru, berbentuk kuboid yang belum matang sehingga fungsinya belum baik. Villus mengalami atrofi dan tidak dapat mengabsorbsi cairan dan makanan dengan baik. Selanjutnya, cairan dan makanan yang tidak terserap/ tercerna akan meningkatkan tekanan koloid osmotik usus dan terjadi hiperperistaltik usus sehingga cairan beserta makanan yang tidak terserap terdorong keluar usus melalui anus, menimbulkan diare osmotik dari penyerapan air dan nutrien yang tidak sempurna. Pada usus halus, enterosit villus sebelah atas adalah sel-sel yang terdiferensiasi, yang mempunyai fungsi pencernaan seperti hidrolisis disakharida dan fungsi penyerapan seperti transport air dan elektrolit melalui pengangkut bersama (kotransporter) glukosa dan asam amino. Enterosit kripta merupakan sel yang tidak terdiferensiasi, yang tidak 86



Buku Ajar Gastrohepatologi



mempunyai enzim hidrofilik tepi bersilia dan merupakan pensekresi (sekretor) air dan elektrolit. Dengan demikian infeksi virus selektif sel-sel ujung villus usus menyebabkan (1) ketidakseimbangan rasio penyerapan cairan usus terhadap sekresi, dan (2) malabsorbsi karbohidrat kompleks, terutama laktosa. Pada hospes normal, infeksi ekstra-intestinal sangat jarang, walaupun penderita terganggu imun dapat mengalami keterlibatan hati dan ginjal. kenaikan kerentanan bayi (dibanding dengan anak yang lebih tua dan orang dewasa) sampai morbiditas berat dan mortalitas gastroenteritis virus dapat berkaitan dengan sejumlah faktor termasuk penurunan fungsi cadangan usus, tidak ada imunitas spesifik, dan penurunan mekanisme pertahanan hospes nonspesifik seperti asam lambung dan mukus. Enteritis virus sangat memperbesar permeabilitas usus terhadap makromolekul lumen dan telah dirumuskan menaikkan risiko alergi makanan. Disamping itu penyebab diare non infeksi yang dapat menimbulkan diare pada anak antara lain : Kesulitan makan Defek Anatomis - Malrotasi 9 - Penyakit Hirchsprung 01 2 t re - Short Bowel Syndrome Ma 9 - Atrofi mikrovilli ro ast G - Stricture at ap r Malabsorpsi k ntu - Defisiensi disakaridase u ro ast - Malabsorpsi glukosa – galaktosa G jar A - Cystic fibrosis ku - Cholestosis le Bu Fi - Penyakit Celiac Endokrinopati - Thyrotoksikosis - Penyakit Addison - Sindroma Adrenogenital Keracunan makanan - Logam Berat - Mushrooms Neoplasma - Neuroblastoma - Phaeochromocytoma - Sindroma Zollinger Ellison Lain -lain : - Infeksi non gastrointestinal - Alergi susu sapi 87



Bab 6 Diare Akut



- Penyakit Crohn - Defisiensi imun - Colitis ulserosa - Gangguan motilitas usus - Pellagra Sumber : Nelson Textbook of Pediatric, 2004.



6.7 Transpor Air di Dalam Sel dan Patofisiologi Diare Anatomi Gaster Sel-sel epitel di gaster adalah merupakan kelenjar gaster. Terdapat 3 tipe kelenjar yaitu : cardiac, oxyntic dan pyloric. Cardiac merupakan penghasil mukus yang terletak pada perbatasan cincin gaster sampai oesophagus. Oxyntic merupakan yang paling banyak dan didapatkan pada fundus. Tipe ketiga yaitu piloric merupakan 10% permukaan mukosa gaster, ditandai adanya pits yang dalam. Dua tipe sel yang utama adalah 9 sel penghasil mukus 01 2 t dan sel penghasil gastrin. re Mamencampur, menggilas dan Fungsi neuromuskuler gaster meliputi penyimpanan, 9 ro melakukan kontrol terhadap pengeluaran makanan astke dalam duodenum. Sekresi gaster G at terdiri dari asam hidroklorid (HCl), gastrin, pepsinogen, faktor intrinsik, lipase dan mukus. ap



tuk un



r



ro ast G Merupakan produksi sel tunggal jar dari berbagai spesies. HCl ini diproduksi oleh sel parietal. A u diproduksi dengan cara mengubah-ubah bahan alkaline amnion Pada bayi baru lahir, HCl uk B yang ditelan hingga dapat mencapai pH lambung kurang dari 4. Konsentrasi HCl tertinggi e Fil terjadi pada hari ke-7 sampai hari ke-10 setelah lahir dan akan terus meningkat sampai



Asam hidroklorid (HCl)



mencapai kadar dewasa pada usia 60 sampai 90 hari. Pada bayi aterm 2 hari pertama setelah lahir, stimulasi sekresi tidak dapat meningkat dengan stimulasi pentagastrin, dan reaksi terhadap bahan-bahan histamin seperti betazole hidrochloride (histalog) tidak timbul sampai usia 1 bulan. Pentagastrin akan meningkatkan sekresi HCl mulai usia 1 minggu dan lebih besar pada bayi-bayi aterm daripada yang preterm. Respon stimuli makanan pada bayi aterm oleh HCl lambung terjadi setelah 2 jam. Sekresi asam lambung dikendalikan oleh sistem sekresi dan inhibisi. Sistem persarafan gaster ada dua yaitu pleksus myenteric dan pleksus mukosal. Pleksus myenteric menginervasi lapisan otot dan melakukan regulasi fungsi motorik. Sarafsaraf ini terdiri atas 80 sampai 90 % saraf afferen dan 10 sampai 20% saraf efferen. Pleksus mukosal terdiri dari neuropeptide transmiter seperti acetylcholin, serotonin, dan GABA dan transmiter peptide seperti bombesin, vasoactive intestinal peptide (VIP) dan substansi kalium.



88



Buku Ajar Gastrohepatologi



Gastrin Disintesis dan dilepaskan oleh sel endokrin G yang terletak pada antrum gaster. Sekresi sel G yaitu gastrin secara lokal dihambat oleh somatostatin yang berasal dari sel D yang letaknya berdekatan dengan sel G. Terdapat 2 bentuk gastrin yaitu G-17 dan G-34 dimana G-34 mempunyai waktu paruh lebih panjang. Peregangan ringan pada gaster terutama antrum akan mengaktifkan saraf VIP yang akan menghambat sekresi gastrin dengan cara melepaskan antral somatostatin dan prostaglandin E (PGE). Pada peregangan yang lebih besar terutama pada proksimal lambung akan menstimuli pelepasan cholinergic vagal gaster. Sebagian makanan dalam lambung dan protein duodenum terutama triptofan dan phenylalanin akan merangsang pelepasan gastrin. Hambatan pelepasan gastrin tidak hanya oleh somatostatin, tapi juga oleh sekretin, neurotensin, gastric inhibitory polypeptide (GIP) dan PGE. Sel-sel somatostatin yang tersebar hingga melewati usus bekerja sebagai hormon endokrin seperti halnya parakrin yang menghambat sekresi sel G. Lemak usus merupakan perangsang utama pelepasan somatostatin, sehingga terjadi penurunan gastrin dan perlambatan pengosongan lambung. Sekretin terdapat nyata di usus halus proksimal dan dilepaskan karena pengasaman 9 intraduodenal. Neurotensin disintesis di ileum untuk merespon lemak 01usus, menurunkan 2 t keasaman lambung. PGE seperti halnya somatostatin bekerja menurunkan produksi asam re Ma oleh sel parietal. 9 o



str



Pepsinogen



uk



Ga at p ra



t Diproduksi oleh sel kepala dan sel mukosa un leher fundus, badan dan cardiac gaster. Fundus o r gaster memproduksi 4 proteinase aacidic yaitu pepsinogen I atau A, pepsinogen II atau st G r C, captensin D dan captensinjaA. Sekresi pepsinogen dipacu oleh stimuli cholinergic dan A beta adrenergik. Perangsangan beta adrenergik diperantarai oleh cAMP dan dihambat ku u e B oleh atropin atau cimetidine. Stimuli cholinergic dihambat oleh dengan propanolol,iltidak F atropin dan mengikuti perubahan Ca intrasel. Pepsinogen juga dirangsang secara langsung oleh histamin, cholesystokinin (CCK), sekretin dan VIP. CCK bekerja melalui pelepasan Ca intrasel, sedangkan sekretin dan VIP bekerja melalui cAMP. Somatostatin dan PGE menghambat sekresi pepsinogen dengan menurunkan cAMP.



Faktor intrinsik Merupakan glikoprotein yang diproduksi oleh sel parietal di mukosa oxyntic badan dan fundus gaster. Faktor intrinsik didapatkan pada jaringan gaster fetus pada usia kehamilan 11 minggu. Sekresi kontinyu sedikit demi sedikit terjadi di bawah kondisi basal oleh transpor membran vesikuler. Peningkatan sekresi distimuli oleh agent penginduksi sekresi sel parietal seperti histamin, acetylcholin, dan gastrin. Puncak pelepasan terjadi 25 sampai 30 menit. Sekresi dihambat oleh H2 reseptor antagonis. Pada bayi aterm atau pretem sekresi basal ini tidak tergantung sekresi asam gestasi atau kelebihan nutrisi enteral. Disosiasi stimuli pelepasan asam dan faktor intrinsik secara baik terdapat pada usia anak mulai berjalan. Sekresi faktor ini mendekati kadar dewasa pada usia 3 bulan. 89



Bab 6 Diare Akut



Lipase gaster Aktifitas lipase pada semua usia maksimal di badan gaster dan minimal di antrum. Meski pH optimun 5.5 tetapi lipase aktif bekerja dalam 1 jam setelah lahir, dan pelepaskan lipolytic intragaster merangsang sekresi CCK; pelepasan asam lemak rantai sedang menyebabkan absorbsi lemak langsung segera di gaster.



Mukus gaster Epitel gaster dan sekresi sel mukus pit merupakan gel mukus tak larut air yang membentuk lapisan kontinyu dan berfungsi protektif. Sintesis mucin dan volume total mukus meningkat dengan stimuli oleh histamin, acetylcholin dan gastrin. Mukus bekerja sebagai barier difusi terhadap pepsin luminal dan HCl. Kerusakan lapisan mukosa menyebabkan difusi kembali asam peptide dan kehilangan gradien pH bikarbonat, yang penting untuk mempertahankan integritas epitel dan pembentukan epitel yang baru.



Usus halus Memanjang dari pilorus hingga cecum. Pada neonatus memiliki panjang 275 cm dan tumbuh mencapai 5 sampai 6 meter pada dewasa. Epitel usus halus tersusun atas lapisan tunggal sel 19 luas dengan adanya 0lebih kolumnar disebut juga enterosit. Permukaan epitel ini menjadi 300 kali 2 t are vilus dan kripta. Vilus berbeda dalam bentuk dan densitas padaMmasing-masing regio usus halus. 9 Di duodenum vilus tersebut lebih pendek, lebih lebar dan ro lebih sedikit; menyerupai bentuk ast kecil dan lebih meruncing di ileum. jari dan lebih tinggi pada jejunum; serta menjadi t G lebih a Densitas terbesar didapatkan di jejunum. Di antara rap vilus tersebut terdapat kripta (Lieberkuhn) k tu dan pembaharuan epitel. Terdapat perbedaan yang merupakan tempat proliferasi enterosit un o r tight junction antara jejunum danstileum, tight junction ini berperan penting dalam regulasi Ga permeabilitas epitel dengan melakukan kontrol terhadap aliran air dan solut paraseluler. jar



Sel goblet



A ku u le B



Merupakan selFipenghasil mukus yang terpolarisasi. Mukus yang disekresi sel goblet menghampar di atas glikokaliks berupa lapisan yang kontinyu, membentuk barier fisikokimia, memberi perlindungan pada epitel permukaan. Mukus ini paling banyak didapatkan pada gaster dan duodenum.



Sel kripta Sel kripta yang tidak berdiferensiasi merupakan tipe sel yang paling banyak terdapat di kripta Lieberkuhn. Merupakan prekursor sel penyerap vilus, sel paneth, sel enteroendokrine, sel goblet dan mungkin juga sel M. Sel kripta yang tidak berdiferensiasi ini mensintesis dan mengekspresikan komponen sekretori pada membran basolateral, dimana molekul ini bertindak sebagai reseptor untuk sintesis IgA oleh lamina propria sel plasma.



Sel Paneth Terdapat di basis kripta. Memiliki granula eosinophilic sitoplasma dan basophil. Granula lisosom dan zymogen didapatkan juga pada sitoplasma, meskipun fungsi sekretori sel panet belum diketahui. Diduga berperan dalam membunuh bakteri dengan lisosom dan imunoglobulin intrasel, menjaga keseimbangan flora normal usus. 90



Buku Ajar Gastrohepatologi



Sel enteroendokrin Merupakan sekumpulan sel khusus neurosekretori, sel enteroendokrin terdapat di mukosa saluran cerna, melapisi kelenjar gaster, vilus dan kripta usus. Sel enteroendokrin mensekresi neuropeptide seperti gastrin, sekretin, motilin, neurotensin, glukagon, enteroglukagon, VIP, GIP, neurotensin, cholesistokinin dan somatostatin.



Sel M Merupakan sel epitel khusus yang melapisi folikel limfoid.



Usus besar Terdiri atas sekum, appendik, kolon, rektum dan anus. Mukosa usus besar bertambah dengan adanya plika semilunar yang irreguler dan adanya kripta tubuler Lieberkuhn. Tidak terdapat vilus pada usus besar. Baik permukaan mukosa dan kripta dilapisi oleh sel epitel kolumnar (kolonosit) dan sel goblet yang membatasi dari jaringan mesenkim lamina propria. Kolonosit memiliki mikrovilus lebih sedikit dan lebih pendek daripada usus halus. Epitel bagian bawah kripta terdiri atas proliferasi sel kolumnar yang tidak berdiferensiasi, sel goblet dan sedikit sel endokrin. Morfologi sel goblet dan sel endokrin mirip seperti pada 9 usus halus. 01 2 t Sel kolumnar penyerap berasal dari sel imatur dari bagian re bawah kripta yang Ma akan dilepaskan dari berdiferensiasi dan bermigrasi ke bagian atas kripta, akhirnya 9 ro permukaan mukosa ke dalam lumen. Proses siklusGpembaharuan sel ini berlangsung 3 ast atsarung fibroblas dalam lamina propria, sampai 8 hari pada manusia. Kripta dikelilingi oleh p a k r dengan migrasi sel epitel. Jumlah total mengalami proliferasi dan migrasi secara sinkron u t n sel terbanyak pada kripta kolon desenden, o u menurun secara progresif di sepanjang kolon r t as transversum dan kolon desenden r Gdan meningkat lagi pada sekum.



ja uA k Bu dan mineral Fisiologi absorpsi e air l i F



Pengaturan transport air dan elektrolit Pengaturan intraseluler diperankan oleh pembawa pesan intrasel seperti : cyclic AMP, cyclic GMP, Ca++, dan metabolit dari phosphatidylinositol. Pembawa pesan ini akan ditingkatkan dengan cara perangsangan reseptor yang diaktifkan oleh enzim adenilate siklase, guanilate siklase atau phospholipase C. Kenaikan cAMP dalam sel vilus menghambat proses transport Na+ berpasangan Cl melalui aktivasi guanilate siklase. Pembawa pesan yang lain bekerja dengan cara yang sama yaitu menghambat transport Na+, perbedaannya terdapat pada protein kinase yang diaktifkan. Pengaturan ekstraseluler diperankan oleh sistem hormonal, sistem neuronal dan sistem imun. Segmen terpenting sistem persarafan usus (enteric nervous system, ENS) berupa jaringan saraf intrinsik yaitu pleksus myenterik (Auerbach’s) dan pleksus submukosal (Meissner’s). Lebih dari 20 neurotransmiter dan hormon terdapat dalam sistem persarafan usus ini. Hormon seperti Acetylcholine (Ach) dan serotonin (5-HT) serta beberapa toksin kuman dan laksatif meningkatkan konsentrasi Ca++ intrasel. Peningkatan Ca++ intrasel 91



Bab 6 Diare Akut



menurunkan penyerapan netral NaCl dan merangsang sekresi Cl elektrogenic. Hormon adrenal baik glukokortikoids maupun mineralokortikoids merangsang penyerapan Na+ dan air dengan meningkatkan saluran Na+ yang terblok amiloride (amiloride-blockable Na channels). Selain itu kortikoids adrenal juga meningkatkan aktivitas Na,K-ATPase di kolon dan ileum. Sistem imun yang berperan penting pada regulasi transport air dan elektrolit adalah sel fagosit (makrofag, eosinofil, netrofil) dan mast sel di mukosa. Sel fagosit melepaskan oksigen reaktif (seperti anion peroksid dan hydrogen peroksid) dan berbagai mediator inflamasi terlarut (seperti prostaglandin (PGs), leukotrien (LTs) dan platelet acticating factor (PAF). Prostaglandin secara langsung merangsang sekresi Cl- dan mengaktifkan saraf sekretori di ENS. PGs dan LTs juga merupakan produk penting dari degranulasi sel mast. Sel mast melepaskan adenosine, histamin, 5-HT yang merangsang sekresi Cl dan menghambat absorbsi NaCl. Semua segmen usus dari duodenum sampai kolon bagian distal mempunyai fungsi absorpsi dan sekresi air serta elektrolit. Fungsi ini penting untuk menjaga homeostasis tubuh. Perpindahan Na+ ke dalam sel dan K+ keluar sel merupakan peristiwa yang penting dari semua pertukaran ion. Ada 2 komponen yang berfungsi memindahkan K+ dan Na+ tersebut yaitu komponen protein dan komponen ATP-ase. Komponen protein mempunyai 3 sifat : sifat pertama memiliki 3 tempat reseptor untuk mengikatkan Na pada bagian 9 01 reseptor untuk ion protein yang menonjol ke bagian dalam sel, kedua memiliki 2 ttempat 2 re K+ pada bagian luar, dan ketiga bagian dalam dari protein ini Maberbatasan atau dekat dengan 9 tempat pengikat natrium yang memiliki aktivitas ATPase. tro



Absorpsi



tuk



G at p a r



as



n Zat-zat yang ditranspor oleh transpor o u aktif primer adalah: Natrium, Kalium, Kalsium, r t s lainnya. Air ditranspor melalui proses pasif mengikuti Hidrogen, Klorida dan beberapa aion rG a j gerakan ion. A



Absorpsi air



u uk B e Fil



Air diabsoprsi oleh membran usus seluruhnya melalui proses difusi. Difusi ini akan mengikuti hukum osmosis biasa. Apabila kimus bersifat encer maka air akan diabsorpsi melalui mukosa usus ke dalam vilus melalui osmosis. Sebaliknya, air akan ditranspor dari plasma ke intraluminal apabila kimus bersifat sebaliknya. Kimus yang hiperosmosis akan menyebabkan air dihantarkan ke dalam intraluminal agar terjadi isoosmosis kimus dengan plasma. Sewaktu bahan yang larut diabsoprsi dari lumen usus ke dalam darah, maka tekanan osmotik kimus akan menurun sampai terjadi isoosmotik, air akan berdifusi masuk kedalam sel melalui membran usus melalui tight junction bersama ion dan nutrien.



Absorpsi natrium Transport Na+ terjadi melalui 3 mekanisme yaitu natrium masuk sel akibat perbedaan gradien elektrokimia, absorbsi Na+ bersama solut seperti glukosa dan asam amino yang merupakan mekanisme absorbsi utama Na+, dan masuknya natrium dengan kotransport netral Na+ dan Cl-. Ion Na+ secara aktif akan melalui membran basolateral, sampai kadar Na+ intrasel mencapai sekitar 50 mEq/L. Konsentrasi Na+ intraluminal sekitar 142 mEq/L sama dengan konsentrasi di plasma. Na+ akan bergerak menuruni gradien elektrokimia 92



Buku Ajar Gastrohepatologi



yang tinggi dari kimus melalui brush border epitel ke dalam sitoplasma sel. Secara aktif Na+ ini akan keluar sel oleh kerja pompa NaK-ATPase ke ruang paraselluler. Kedua absorbsi Na+ berpasangan dengan glukosa dan asam amino. Na+ masuk yang masuk ke dalam sel akibat gradien elektrokimia akan menyediakan energi yang cukup untuk transport solut. Gradien elektrokimia ini akan dijaga keseimbangannya dengan pengeluaran Na+ secara aktif oleh pompa NaK-ATPase. Mekanisme ketiga ion Cl- ikut bersama Na+ ditarik diabsorpsi. Ini terjadi akibat gerakan menurun Na+ melintasi membran apikal ke dalam sel akan menyediakan energi untuk gerakan Cl- ke dalam sel. Akibat mekanisme absorbsi pasangan ini, potensial elektrokimia Cl- intraseluler lebih dari kompartemen serosa, Cl- akan keluar dari sel melalui gerakan menurun atau proses pasif yang membutuhkan energi. Transport berpasangan Na+ dan Cl- timbul dari mekanisme dua pertukaran meliputi Na+ dan H+ sebagaiman Cl- dengan HCO3-. Absorbsi melalui pertukaran Na+-H+ dikaitkan dengan transpor ALRP ke dalam sel mukosa yang menghasilkan H+ intrasel. Ion H+ kemudian keluar dari sel melalui mekanisme berpasangan dengan gerakan masuknya Na+. Tahap selanjutnya dalam proses transport adalah osmosis air kedalam ruang paraselular. Osmosis ini disebabkan gradien osmotik yang dibentuk oleh peningkatan konsentrasi ion di ruang paraseluler. Osmosis ini sebagian besar melalui tight junction, sebagian kecil melalui sel. Pergerakan osmotik air merupakan aliran kedalam dan melewati 9 01 paraselular masuk kedalam sirkulasi darah vilus. t2



re Ma 9 o str mekanisme. Pertama, melalui Absorbsi Cl- terjadi melalui epitel usus halus dengan adua G t pertukaran klorida dan bikarbonat yang terjadi aterutama di seluruh membran sel apikal di pa r k jaringan ileum. Kedua, lebih menonjol jaringan jejunum yaitu perpindahan pasif ion Cltu n u melalui jalur paraseluler, yang berespon troterhadap sejumlah besar volume Cl yang diabsorbsi s a di proksimal. Dalam epitel jejunal, G sejumlah besar natrium ditransport ke dalam sel dan jar- melalui tight junction serta masuknya klorida ke dalam menguntungkan pergerakan Cl A u uk Absorbsi Cl- di kolon ke dalam sirkulasi darah terjadi dengan ruang inter seluler lateral. B e Fil lintasan paraselular maupun transelular melalui pertukaran dengan cara difusi pasif melalui



Absorbsi klorida (Cl)



bikarbonat; dengan konsentrasi yang seimbang antara Na+ dan Cl-, absorbsi Cl- melampaui absorbsi Na+. Bila Cl- diabsorbsi, HCO3 disekresi. Terdapatnya Cl- dalam lumen membantu sekresi HCO3. Sepertinya sejumlah kecil klorida juga ditransport melalui pembawa minor (carrier minor) seperti sodium-chlorid symport.



Absorbsi kalium Pada proses ini yang penting adalah pompa natrium-kalium (Na+-K+) yaitu proses memompa ion Na+ keluar melalui membran sel, dalam saat yang sama memompa K+ dari luar masuk kedalam sel. Ion Na+ sejumlah 3 akan keluar sel, ditukar 2 ion K+ dengan bantuan tenaga hasil pemecahan ATP menjadi ADP + P1 (fosfat yang merupakan energi tinggi untuk memindahkan Na+ keluar sel dan K+ ke dalam sel). Dengan demikian maka ion di luar sel cenderung lebih positif dari pada di dalam sel. Di dalam sel mengandung sejumlah senyawa protein dan senyawa organik lainnya, yang tidak dapat keluar dari dalam sel. Muatan listrik di dalam sel cenderung negatif apabila dibandingkan keadaan di luar sel, sehingga ada kecenderungan adanya aliran air masuk ke dalam sel. Untuk mencegah terjadinya pemasukan yang berlebihan tersebut, maka fungsi pertukaran Na+ dan K+ melalui 93



Bab 6 Diare Akut



ATPase sangat penting. Pertukaran ini untuk mencegah terjadinya pembengkaan sel akibat kadar Na+ yang cenderung tinggi di dalam sel. Pompa ini terdapat dalam seluruh sel, yang bertanggung jawab atas pemeliharaan perbedaan konsentrasi Na+ dan K+ antara bagian luar dan bagian dalam membran sel demikian juga untuk menetapkan potensial listrik negatif di dalam sel. Pompa ini merupakan dasar fungsi saraf untuk menjalarkan sinyal saraf ke seluruh sistem syaraf. Absorbsi secara aktif maupun sekresi K+ keduanya terjadi di kolon, di usus halus absorbsi terjadi melalui difusi. Serum mempunyai konsentrasi kalium lebih rendah daripada feses. Absorbsi K+ melalui jalur paraseluler dimana K+ masuk ke sel melalui membran basolateral karena pompa NaK-ATPase mengikuti keluarnya Na+ dari sel seperti dijelaskan di atas. Di distal kolon K+ diabsorbsi secara aktif melalui HK-ATPase. Absorbsi K+ dipengaruhi oleh pelepasan Na+ dan K+, dan dihambat oleh cAMP.



Absorbsi kalsium (Ca) Diabsorpsi secara aktif dari duodenum. Penyerapan kalsium yang penting dikontrol hormon parathyroid dan vitamin D. Hormon parathyroid mengaktifkan vitamin D di dalam ginjal, vitamin D yang teraktifasi akan sangat meningkatkan absorpsi kalsium.



Absorpsi karbonat



9



01



t2 HCO3- disekresi oleh pankreas dan empedu, diabsorbsi direjejunum, dan disekresi di a + M duodenum, ileum dan kolon. Ion H dalam jumlah cukup banyak disekresikan ke dalam o 9+ akan diabsosrbsi. Ion hidrogen rNa t lumen usus untuk ditukar dengan beberapa Na+, ion s a tG akan bergabung dengan ion bikarbonat untukpamembentuk asam karbonat (H2CO3) yang a r kemudian berdisosiasi membentuk air dan k CO2. Ketika H2O tetap berada di lumen usus, ntu secara u CO2 akan diabsorpsi masuk ke dalam darah bertahap di ekspirasi. Proses ini disebut o str paru-paru. absorpsi aktif ion bikarbonat melalui a G ar melalui pertukaran Na+-H+, sekresi H+ menetralkan Di jejunum NaHCOA3 jdiabsorbsi u k u HCO3- yang setara Bdalam lumen. Pergerakan Cl- murni terjadi secara pasif. Di ileum dan e l i kolon sekresi ion F bikarbonat akan bertukar dengan ion Cl-. Ion Cl- akan berdifusi secara pasif melalui membran basolateral. Ion karbonat akan menetralisir asam yang dibentuk kuman terutama yang banyak berada di kolon.



Sekresi Sekresi Cl-,Na+ dan air Kripta merupakan tempat sekresi Na+,Cl- dan air ke dalam lumen usus yang akan direabsorpsi vilus ( akan bercampur dengan pencernaan usus). Sekresi Cl- terjadi dalam sel kripta usus karena terdapatnya dua mekanisme spesifik sel: saluran Cl- selektif yang terdapat di apikal dan kotransport khusus Na+ berpasangan Cl- yang terdapat di membran basolateral. Gradien Na+ merangsang Cl- melintasi membran basolateral dengan proses transport NaCl atau Na/K/2Cl. Na+ akan dikeluarkan lagi oleh NaK-ATPase sehingga Clmengumpul di dalam sel pada konsentrasi di atas keseimbangan elektrokimia. Terjadi peningkatan cyclic AMP, cyclic GMP atau Ca++ bebas merangsang fosforilase membran protein oleh protein kinase, membuka saluran Cl- di membran sel kripte sehingga terjadi



94



Buku Ajar Gastrohepatologi



sekresi Cl-. Sekresi air mengikuti pergerakan ion.



Sekresi kalium Terjadi di kolon, sekresi di lumen kolon terjadi secara aktif melalui saluran K+ apikal. Pada kolon saluran kalium terutama terletak pada sisi luminal, sehingga K+ yang masuk ke dalam sel melalui pompa Na dan kotransport akan disekresi kedalam lumen. Sekresi kalium dipengaruhi oleh cAMP dan diit kronik berlebih kalium



Sekresi karbonat Terjadi di duodenum, ileum dan kolon. Sekresi karbonat sebagian melalui pertukaran Cl/ HCO3, tetapi sebagian besar melalui CTFR, yang permeable baik terhadap HCO3- maupun Cl-, sekresi relative HCO3- dan Cl- ditentukan oleh perbedaan konentrasi sel dan lumen dan kemampuan konduksi relative melalui CTFR.



6.8 Mekanisme Diare Secara umum diare disebabkan 2 hal yaitu gangguan pada proses absorbsi atau sekresi. Terdapat beberapa pembagian diare: 9 01 1. Pembagian diare menurut etiologi 2 t 2. Pembagian diare menurut mekanismenya yaitu gangguan are 9M a. Absorbsi o r st b. Gangguan sekresi. Ga t 3. Pembagian diare menurut lamanya diarerapa k a. Diare akut yang berlangsung kurang ntudari 14 hari u b. Diare kronik diare yang berlangsung lebih dari 14 hari ro ast G Kejadian diare secara umum jar terjadi dari satu atau beberapa mekanisme yang saling A u tumpang tindih. Menurutkmekanisme diare maka dikenal: u B e Diare akibat Fgangguan absorpsi yaitu volume cairan yang berada di kolon lebih il besar daripada kapasitas absorpsi. Disini diare dapat terjadi akibat kelainan di usus halus, mengakibatkan absorpsi menurun atau sekresi yang bertambah. Apabila fungsi usus halus normal, diare dapat terjadi akibat absorpsi di kolon menurun atau sekresi di kolon meningkat. Diare dapat juga dikaitkan dengan gangguan motilitas, inflamasi dan imunologi.



Gangguan absorpsi atau diare osmotik. Secara umum terjadi penurunan fungsi absorpsi oleh berbagai sebab seperti celiac sprue, atau karena: a. Mengkonsumsi magnesium hidroksida b. Defisiensi sukrase-isomaltase adanya laktase defisien pada anak yang lebih besar c. Adanya bahan yang tidak diserap, menyebabkan bahan intraluminal pada usus halus bagian proksimal tersebut bersifat hipertonis dan menyebabkan hiperosmolaritas. Akibat perbedaan tekanan osmose antara lumen usus dan darah maka pada segmen usus jejenum yang bersifat permeabel, air akan mengalir ke arah lumen jejenum, sehingga 95



Bab 6 Diare Akut



air akan banyak terkumpul air dalam lumen usus. Na akan mengikuti masuk ke dalam lumen, dengan demikian akan terkumpul cairan intraluminal yang besar dengan kadar Na yang normal. Sebagian kecil cairan ini akan diabsorpsi kembali, akan tetapi lainnya akan tetap tinggal di lumen oleh karena ada bahan yang tidak dapat diserap seperti Mg, glukose, sukrose, laktose, maltose di segmen illeum dan melebihi kemampuan absorpsi kolon, sehingga terjadi diare. Bahan-bahan seperti karbohidrat dari jus buah, atau bahan yang mengandung sorbitol dalam jumlah berlebihan, akan memberikan dampak yang sama.



Malabsoprsi umum Keadaan seperti short bowel syndrom, celiac, protein, peptida, tepung, asam amino dan monosakarida mempunyai peran pada gerakan osmotik pada lumen usus. Kerusakan sel (yang secara normal akan menyerap Na dan air) dapat disebabkan virus atau kuman, seperti Salmonella, Shigella atau Campylobacter. Sel tersebut juga dapat rusak karena inflammatory bowel disease idiopatik, akibat toksin atau obat-obat tertentu. Gambaran karakteristik penyakit yang menyebabkan malabsorbsi usus halus adalah atropi villi. Lebih lanjut, mikororganisme tertentu (bakteri tumbuh lampau, giardiasis, dan enteroadheren E. coli) menyebabkan malabsorbsi nutrien dengan merubah faal membran 9 brush border tanpa 01 t2 merusak susunan anatomi mukosa. Maldigesti protein lengkap,rekarbohidrat, dan trigliserid a M diakibatkan insufisiensi eksokrin pankreas menyebabkan9malabsorbsi yang signifikan dan ro mengakibatkan diare osmotik. ast G at menyebabkan kegagalan pemecahan Gangguan atau kegagalan ekskresi pankreas ap r k kompleks protein, karbohidrat, trigliserid,tuselanjutnya menyebabkan maldigesti, malabsorpsi n u dan akhirnya menyebabkan diare osmotik. Steatorrhe berbeda dengan malabsorpsi protein tro s a dan karbohidrat dengan asam lemak rantai panjang intraluminal, tidak hanya menyebabkan G jar diare osmotik, tetapi jugaAmenyebabkan pacuan sekresi Cl- sehingga diare tersebut dapat u k u karbohidrat oleh karena kerusakan difus mukosa usus, defisiensi disebabkan malabsorpsi eB l i sukrosa, isomaltosa F dan defisiensi congenital laktase, pemberian obat pencahar; laktulose, pemberian Mg hydroxide (misalnya susu Mg), malabsorpsi karbohidrat yang berlebihan pada hipermotilitas pada kolon iritabel. Mendapat cairan hipertonis dalam jumlah besar dan cepat, menyebabkan kekambuhan diare. Pemberian makan/minum yang tinggi KH, setelah mengalami diare, menyebabkan kekambuhan diare. Infeksi virus yang menyebabkan kerusakan mukosa sehingga menyebabkan gangguan sekresi enzim laktase, menyebabkan gangguan absorpsi nutrisi laktose.



Gangguan sekresi atau diare sekretorik Hiperplasia kripta Teoritis adanya hiperplasia kripta akibat penyakit apapun, dapat menyebabkan sekresi intestinal dan diare. Pada umumnya penyakit ini menyebabkan atrofi vili.



Luminal secretorygogues Dikenal 2 bahan yang menstimulasi sekresi lumen yaitu enterotoksin bakteri dan bahan 96



Buku Ajar Gastrohepatologi



kimia yang dapat menstimulasi seperti laksansia, garam empedu bentuk dihydroxy, serta asam lemak rantai panjang. Toksin penyebab diare ini terutama bekerja dengan cara meningkatkan konsentrasi intrasel cAMP, cGMP atau Ca++ yang selanjutnya akan mengaktifkan protein kinase. Pengaktifan protein kinase akan menyebabkan fosforilasi membran protein sehingga mengakibatkan perubahan saluran ion, akan menyebabkan Cl- di kripta keluar. Di sisi lain terjadi peningkatan pompa natrium, dan natrium masuk kedalam lumen usus bersama Cl-. Bahan laksatif dapat menyebabkan bervariasi efek pada aktivitas NaK-ATPase. Beberapa diantaranya memacu peningkatan kadar cAMP intraseluler., meningkatkan permeabilitas intestinal dan sebagian menyebabkan kerusakan sel mukosa. Beberapa obat menyebabkan sekresi intestinal. Penyakit malabsorpsi seperti reseksi ileum dan penyakit Crohn dapat menyebabkan kelainan sekresi seperti menyebabkan peningkatan konsentrasi garam empedu, lemak,



Blood-Borne Secretagogues Diare sekretorik pada anak-anak di negara berkembang, umumnya disebabkan enterotoksin E. coli atau Cholera. Derbeda dengan negara berkembang, di negara maju, diare sekretorik jarang 9 ditemukan, apabila ada kemungkinan disebabkan obat atau tumor seperti 01 ganglioneuroma 2 t atau neuroblastoma yang menghasilkan hormon seperti VIP. aPada re orang dewasa, diare M yang menghasilkan VIP, sekretorik berat disebabkan neoplasma pankreas, sel non-beta 9 ro Polipeptida pankreas, hormon sekretorik lainnya (sindroma watery diarrhe hypokalemia ast G at ini termasuk jarang. Semua kelainan achlorhydria (WDHA). Diare yang disebabkan tumor p ra k berlebihan mukosa usus, berakibat sekresi air dan mineral pada vilus dan kripta serta semua u t n u enterosit terlibat dan dapat terjadi mukosa ro usus dalam keadaan normal.



rG Aja



ast



u Diare akibat gangguan uk peristaltik B



e Meskipun motilitas Fil jarang menjadi penyebab utama malabsorbsi, tetapi perubahan motilitas mempunyai pengaruh terhadap absorbsi. Baik peningkatan ataupun penurunan motilitas, keduanya dapat menyebabkan diare. Penurunan motilitas dapat mengakibatkan bakteri tumbuh lampau yang menyebabkan diare. Perlambatan transit obat-obatan atau nutrisi akan meningkatkan absorbsi. Kegagalan motilitas usus yang berat menyebabkan stasis intestinal berakibat inflamasi, dekonjugasi garam empedu dan malabsorbsi. Diare akibat hiperperistaltik pada anak jarang terjadi. Watery diare dapat disebabkan karena hipermotilitas pada kasus kolon iritabel pada bayi. Gangguan motilitas mungkin merupakan penyebab diare pada thyrotoksikosis, malabsorbsi asam empedu dan berbagai penyakit lain.



Diare inflamasi Proses inflamasi di usus halus dan kolon menyebabkan diare pada beberapa keadaan. Akibat kehilangan sel epitel dan kerusakan tight junction, tekanan hidrostatik dalam pembuluh darah dan limfatik menyebabkan air, eletrolit, mukus, protein dan seringkali sel darah merah dan sel darah putih menumpuk dalam lumen. Biasanya diare akibat inflamasi ini berhubungan dengan tipe diare lain seperti diare osmotik dan diare sekretorik.



97



Bab 6 Diare Akut



Bakteri enteral patogen akan mempengaruhi struktur dan fungsi tight junction, menginduksi sekresi cairan dan elektrolit, dan akan mengaktiflkan kaskade inflamasi. Efek infeksi bakterial pada tight junction akan mempengaruhi susunan anatomis dan fungsi absorpsi yaitu cytoskeleton dan perubahan susunan protein. Penelitian oleh Berkes J dkk. 2003 menunjukkan bahwa peranan bakteri enteral patogen pada diare terletak pada perubahan barrier tight junction oleh toksin atau produk kuman yaitu perubahan pada cellular cytoskleleton dan spesifik tight junction. Pengaruh itu bisa pada kedua komponen tersebut atau salah satu komponen saja sehingga akan menyebabkan hipersekresi clorida yang akan diikuti natrium dan air. Sebagai contoh C. difficile akan menginduksi kerusakan cytoskeleton maupun protein, Bacteroides fragilis menyebabkan degradasi proteolitik protein tight junction, V. cholera mempengaruhi distribusi protein tight junction, sedangkan EPEC menyebabkan akumulasi protein cytoskeleton.



Diare terkait imunologi Diare terkait imunologi dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe I, III dan IV. Reaksi tipe I yaitu terjadi reaksi antara sel mast dengan IgE dan alergen makanan. Reaksi tipe III misalnya pada penyakit gastroenteropati, sedangkan reaksi tipe IV terdapat pada Coeliac disease dan protein loss enteropaties. Pada reaksi tipe1I,9 alergen yang masuk 20 tubuh menimbulkan respon imun dengan dibentuknya IgE yang ret selanjutnya akan diikat a oleh reseptor spesifik pada permukaan sel mast dan basofil. 9 M Bila terjadi aktivasi akibat o r pajanan berulang dengan antigen yang spesifik, sel mast st akan melepaskan mediator seperti Ga reaksi tipe III terjadi reaksi komplek t histamin, ECF-A, PAF, SRA-A dan prostaglandin. Pada a rap darah yang mengaktifkan komplemen. antigen-antibodi dalam jaringan atau pembuluh k tu unmelepaskan Machrophage Chemotactic Factor yang Komplemen yang diaktifkan kemudian o r akan merangsang sel mast dan G basofil ast melepas berbagai mediator. Pada reaksi tipe IV terjadi r respon imun seluler, disiniAtidak ja terdapat peran antibodi. Antigen dari luar dipresentasikan u k sel APC ke sel Th1 yang MHC-II dependen. Terjadi pelepasan berbagai sitokin seperti u le B MIF, MAF danFiIFN-gama oleh Th1. Sitokin tersebut akan mengaktifkan makrofag dan menimbulkan kerusakan jaringan. Berbagai mediator diatas akan menyebabkan luas permukaan mukosa berkurang akibat kerusakan jaringan, merangsang sekresi klorida diikuti oleh natrium dan air.



6.9 Manifestasi Klinis Infeksi usus menimbulkan tanda dan gejala gastrointestinal serta gejala lainnya bila terjadi komplikasi ekstra intestinal termasuk manifestasi neurologik. Gejala gastrointestinal bisa berupa diare, kram perut dan muntah. Sedangkan manifestasi sistemik bervariasi tergantung pada penyebabnya. Penderita dengan diare cair mengeluarkan tinja yang mengandung sejumlah ion natrium, klorida, dan bikarbonat. Kehilangan air dan elektrolit ini bertambah bila ada muntah dan kehilangan air juga meningkat bila ada panas. Hal ini dapat menyebabkan dehidrasi, asidosis metabolik dan hipokalemia. Dehidrasi merupakan keadaan yang paling



98



Buku Ajar Gastrohepatologi



berbahaya karena dapat menyebabkan hipovolemia, kolaps kardiovaskuler dan kematian bila tidak diobati dengan tepat. Dehidrasi yang terjadi menurut tonisitas plasma dapat berupa dehidrasi isotonik, dehidrasi hipertonik (hipernatremik) atau dehidrasi hipotonik. Menurut derajat dehidrasinya bisa tanpa dehidrasi, dehidrasi ringan, dehidrasi sedang atau dehidrasi berat. Infeksi ekstraintestinal yang berkaitan dengan bakteri enterik patogen antara lain : vulvovaginitis, infeksi saluran kemih, endokarditis, osteomielitis, meningitis, pneumonia, hepatitis, peritonitis dan septik tromboplebitis. Gejala neurologik dari infeksi usus bisa berupa paresthesia (akibat makan ikan, kerang, monosodium glutamat) hipotoni dan kelemahan otot (C. botulinum). Manifestasi immun mediated ekstraintestinal biasanya terjadi setelah diarenya sembuh, contoh : Tabel 6.9.1. Manifestasi immun mediated ekstraintestinal dan enteropatogen yang terkait Manifestasi



Enteropatogen terkait



Manifestasi Reactive arthritis Guillain Barre Syndrome Glomerulonephritis IgA nephropathy Erythema nodusum Hemolytic anemia Hemolytic Uremic Syndrome Sumber : Nelson Textbook of Pediatrics, 2004.



ntu



u ro ast



Enteropatogen terkait Salmonella, Shigella, Yersinia, Camphylobacter, Clostridium difficile 19 20 Camphylobacter ret a Shigella, Camphylobacter, Salmonella M Camphylobacter o 9 r st Yersinia, Camphylobacter, Ga Yersinia Salmonella t Camphylobacter, a ap kS.rdysentrie, E. coli



G ar j A Bila terdapat panas dimungkinkan karena proses peradangan atau akibat dehidrasi. u uk pada penderita dengan inflammatory diare. Nyeri perut yang B Panas badan umum eterjadi Fil lebih hebat dan tenesmus yang terjadi pada perut bagian bawah serta rektum menunjukkan terkenanya usus besar. Mual dan muntah adalah simptom yang non spesifik akan tetapi muntah mungkin disebabkan oleh karena organisme yang menginfeksi saluran cerna bagian atas seperti : enterik virus, bakteri yang memproduksi enterotoksin, Giardia, dan Cryptosporidium. Muntah juga sering pada non inflammatory diare. Biasanya penderita tidak panas atau hanya subfebris, nyeri perut periumbilikal tidak berat, watery diare, menunjukkan bahwa saluran cerna bagian atas yang terkena. Oleh karena pasien immunocompromise memerlukan perhatian khusus, informasi tentang adanya imunodefisiensi atau penyakit kronis sangat penting. Manifestasi klinis dari beberapa kuman penyebab diare yang sering dijumpai dapat dilihat pada tabel 6.9.2.



99



Bab 6 Diare Akut



Tabel 6.9.2. Gejala khas diare akut oleh berbagai penyebab Gejala klinik Masa tunas Panas Enek dan muntah Nyeri perut



Rotavirus 17-72 jam + sering tenesmus



Nyeri kepala Lamanya sakit Sifat tinja Volume Frekuensi Konsistensi Lendir Darah Bau Warna Leukosit Lain-lain



Salmonella 6-72 jam ++ sering tenesmus kolik + 3-7 hari



ETEC 6-72 jam +



5-7 hari



Shigella 24-48 jam ++ jarang tenesmus kramp + > 7 hari



Kolera 48-72 jam sering kramp



2-3 hari



EIEC 6-72 jam ++ tenesmus kramp variasi



sedang 5-10x/hr cair



sedikit >10x/hr lembek



sedikit sering lembek



banyak sering cair



sedikit sering lembek



banyak terus-menerus cair



-



sering



kadangkadang busuk kehijauan



-



+



-



kuninghijau anorexia



± merahhijau + kejang ±



+ tak berwarna meteorismus



tidak merahhijau infeksi sistemik 9



amis khas seperti air cucian beras ±



+ sepsis ±



Sumber : Sunoto, 1991.



6.10 Diagnosis



o str



Ga at p ra



3 hari



01



2 ret a 9M



k ntu u ro Pada anamnesis perlu ditanyakan asthal-hal sebagai berikut : lama diare, frekuensi, volume, G konsistensi tinja, warna, bau, jar ada / tidak lendir dan darah. Bila disertai muntah : volume A u : biasa, berkurang, jarang atau tidak kencing dalam 6–8 jam dan frekuensinya. Kencing uk B e terakhir. Makanan dan minuman yang diberikan selama diare. Adakah panas atau penyakit Fil



Anamnesis



lain yang menyertai seperti : batuk, pilek, otitis media, campak. Tindakan yang telah dilakukan ibu selama anak diare : memberi oralit, membawa berobat ke Puskesmas atau ke Rumah Sakit dan obat-obatan yang diberikan serta riwayat imunisasinya.



Pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan fisik perlu diperiksa : berat badan, suhu tubuh, frekuensi denyut jantung dan pernapasan serta tekanan darah. Selanjutnya perlu dicari tanda-tanda utama dehidrasi: kesadaran, rasa haus dan turgor kulit abdomen dan tanda-tanda tambahan lainnya : ubunubun besar cekung atau tidak, mata : cowong atau tidak, ada atau tidak adanya air mata, bibir, mukosa mulut dan lidah kering atau basah. Pernapasan yang cepat dan dalam indikasi adanya asidosis metabolik. Bising usus yang lemah atau tidak ada bila terdapat hipokalemi. Pemeriksaan ekstremitas perlu karena perfusi dan capillary reffil dapat menentukan derajat dehidrasi yang terjadi.



100



Buku Ajar Gastrohepatologi



Penilaian beratnya atau derajat dehidrasi dapat ditentukan dengan cara : obyektif yaitu dengan membandingkan berat badan sebelum dan selama diare. Subyektif dengan menggunakan kriteria WHO, Skor Maurice King, kriteria MMWR dan lain-lain dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 6.10.1. Penentuan derajat dehidrasi menurut MMWR 2003 Simptom Kesadaran Denyut jantung Kualitas nadi Pernapasan Mata Air mata Mulut dan lidah Cubitan kulit Capillary refill Extremitas Kencing



Minimal atau tanpa dehidrasi kehilangan BB < 3% Baik Normal Normal Normal Normal Ada Basah Segera kembali Normal Hangat Normal



Dehidrasi Ringan - Sedang, Kehilangan BB 3 % - 9 % Normal, lelah, gelisah, irritable Normal - meningkat Normal – melemah Normal – cepat Sedikit cowong Berkurang Kering Kembali < 2 detik Memanjang Dingin Berkurang



Sumber : adapatasi dari Duggan C, Santosham M, Glaso RI, MMWR 1992 dan WHO 1995 Tabel 6.10.2. Penentuan derajat dehidrasi menurut WHO 1995 Penilaian Penilaian 1. Lihat : keadaan umum mata air mata mulut dan lidah rasa haus 2. 3.



A Baik, sadar Normal ro Ada ast G Basah jar A Minum ku biasa tidak haus



Periksa : turgor kulite Bu Fil Kembali cepat Hasil pemeriksaan : Tanpa dehidrasi



o B str Ga * Gelisah,t rewel



Dehidrasi Berat Kehilangan BB > 9% Apathis, letargi, tidak sadar Takikardi, bradikardia pada kasus berat Lemah, kecil, tidak teraba Dalam Sangat cowong Tidak ada Sangat kering Kembali > 2 detik Memanjang, minimal Dingin, mottled, sianotik Minimal



a rap k tu un Cekung



Tidak ada Kering * Haus, ingin minum banyak * Kembali lambat



Dehidrasi ringan / sedang Bila ada 1 tanda * ditambah 1 atau lebih tanda lain 4. Terapi : Rencana Terapi A Rencana Terapi B Sumber : adapatasi dari Duggan C, Santosham M, Glaso RI, MMWR 1992 dan WHO 1995



9



01



2 ret a 9M



C * Lesu, lunglai atau tidak sadar Sangat cekung dan kering Sangat kering * Malas minum atau tidak bisa minum * Kembali sangat lambat Dehidrasi berat Bila ada 1 tanda * ditambah 1 atau lebih tanda lain Rencana Terapi C



101



Bab 6 Diare Akut



Tabel 6.10.3. Penentuan derajat dehidrasi menurut WHO 1980 TANDA dan GEJALA 1. Keadaan umum dan kondisi - Bayi dan anak kecil



DEHIDRASI RINGAN



DEHIDRASI SEDANG



DEHIDRASI BERAT



Haus, sadar, gelisah



Haus, gelisah atau letargi tetapi irritable



Mengantuk, lemas, extremitas dingin, berkeringat, sianotik, mungkin koma Biasanya sadar, gelisah, extremitas dingin, berkeringat dan sianotik, kulit jari-jari tangan dan kaki berkeriput, kejang otot Cepat, halus, kadang tak teraba Dalam dan cepat Sangat cekung Sangat lambat (> 2 detik)



- Anak lebih besar dan dewasa Haus, sadar, gelisah



Haus, sadar, merasa pusing pada perubahan



2. Nadi radialis



6. Mata 7. Air mata 8. Selaput lendir 9. Pengeluaran urin



Normal (frekuensi dan isi) Normal Normal Pada pencubitan, elastisitas kembali segera Normal Ada Lembab Normal



10.Tekanan darah sistolik % kehilangan berat Prakiraaan kehilangan cairan



Normal 4–5% 40 – 50 ml/kg



3. Pernapasan 4. Ubun-ubun besar 5. Elastisitas kulit



Cepat dan lemah Dalam, mungkin cepat Cekung Lambat Cekung Kering Kering Berkurang dan warna tua



Sangat cekung Sangat kering Sangat kering Tidak ada urin untuk beberapa jam, kandung kencing kosong < 80 mmHg, mungkin tak terukur < 80 mmHg, mungkin tak terukur



st Ga t a Tabel 6.10.4. Penentuan derajat dehidrasi menurut sistem pengangkaan rap– Maurice King (1974) k Bagian tubuh yang diperiksa Nilai untuk gejala yangnditemukan tu u o 0 1 r ast Keadaan umum Sehat Gelisah, cengeng, apatis, ngantuk G jar Kekenyalan kulit Normal Sedikit kurang A u kNormal u Mata Sedikit cekung e B Normal l i Ubun-ubun besar Sedikit cekung F



Mulut Denyut nadi/menit Sumber : Sunoto, 1991.



Normal Kuat < 120



9



01 Normal – rendah t2 e r 6–9% 10 % atau lebih Ma 60 – 90 ml/kgro 9 100 – 110 ml/kg



Kering Sedang (120-140)



2 Mengigau, koma atau syok Sangat kurang Sangat cekung Sangat cekung Kering & sianosis Lemah > 140



Hasil yang didapat pada penderita diberi angka 0, 1 atau 2 sesuai dengan tabel kemudian dijumlahkan. Nilai : 0 – 2 = d. ringan 3 – 6 = d. sedang 7 – 12 = d. berat



Laboratorium Pemeriksaan laboratorium lengkap pada diare akut pada umumnya tidak diperlukan, hanya pada keadaan tertentu mungkin diperlukan misalnya penyebab dasarnya tidak diketahui atau ada sebab-sebab lain selain diare akut atau pada penderita dengan dehidrasi berat. Contoh : pemeriksaan darah lengkap, kultur urine dan tinja pada sepsis atau infeksi saluran kemih. Pemeriksaan laboratorium yang kadang-kadang diperlukan pada diare akut : Darah : darah lengkap, serum elektrolit, analisa gas darah, glukosa darah, kultur dan tes kepekaan terhadap antibiotika. 102



Buku Ajar Gastrohepatologi



Urin : urin lengkap, kultur dan test kepekaan terhadap antibiotika. Tinja : Pemeriksaan makroskopik : Pemeriksaan makroskopik tinja perlu dilakukan pada semua penderita dengan diare meskipun pemeriksaan laboratorium tidak dilakukan. Tinja yang watery dan tanpa mukus atau darah biasanya disebabkan oleh enterotoksin virus, protozoa atau disebabkan oleh infeksi diluar saluran gastrointestinal. Tinja yang mengandung darah atau mukus bisa disebabkan infeksi bakteri yang menghasilkan sitotoksin, bakteri enteroinvasif yang menyebabkan peradangan mukosa atau parasit usus seperti : E. histolytica, B. coli dan T. trichiura. Apabila terdapat darah biasanya bercampur dalam tinja kecuali pada infeksi dengan E. Histolytica darah sering terdapat pada permukaan tinja dan pada infeksi EHEC terdapat garis-garis darah pada tinja. Tinja yang berbau busuk didapatkan pada infeksi dengan Salmonella, Giardia, Cryptosporidium dan Strongyloides. Tabel 6.10.5. Tes laboratorium tinja yang digunakan untuk mendeteksi entereopatogen Test Laboratorium Mikroskopik : Lekosit pada tinja Trophozoit, kista, oocysts, spora Rhabditiform lava Spiral atau basil gram (-) berbentuk S Kultur tinja : Standard Spesial



Organisme diduga / identifikasi 19 0sitotoksin Invasive atau bakteri yang memproduksi 2 t re I. belli, Cyclospora G. lamblia, E. histolytika, Cryptosporidium, Ma 9 Stongyloides o str ajejuni Camphylobacter G t E. coli,aShigella, pa Salmonella, Camphylobacter jejuni r Y.kenterocolitica, V. cholerae, V. parahaemolyticus, C. difficile, E. coli, O 157 ntu: H 7 u ro Enzym imunoassay atau latex aglutinasi Rotavirus, G. lamblia, enteric adenovirus, C. difficile ast G r a Serotyping E. coli, O 157 : H 7, EHEC, EPEC j uA k Latex aglutinasi setelah broth enrichment Salmonella, Shigella u B e Test yang dilakukan di laboratorium Bakteri yang memproduksi toksin, EIEC, EAEC, PCR untuk genus yang Fil riset virulen Sumber: Suparto, 2003.



Pemeriksaan mikroskopik : Pemeriksaan mikroskopik untuk mencari adanya lekosit dapat memberikan informasi tentang penyebab diare, letak anatomis serta adanya proses peradangan mukosa. Lekosit dalam tinja diproduksi sebagai respon terhadap bakteri yang menyerang mukosa kolon. Lekosit yang positif pada pemeriksaan tinja menunjukkan adanya kuman invasif atau kuman yang memproduksi sitotoksin seperti Shigella, Salmonella, C. jejuni, EIEC, C. difficile, Y. enterocolitica, V. parahaemolyticus dan kemungkinan Aeromonas atau P. shigelloides. Lekosit yang ditemukan pada umumnya adalah lekosit PMN, kecuali pada S. typhii lekosit mononuklear. Tidak semua penderita kolitis terdapat lekosit pada tinjanya, pasien yang terinfeksi dengan E. histolytica pada umumnya lekosit pada tinja minimal. Parasit yang menyebabkan diare pada umumnya tidak memproduksi lekosit dalam jumlah banyak. Normalnya tidak diperlukan pemeriksaan untuk mencari telur atau parasit kecuali terdapat riwayat baru saja bepergian kedaerah resiko tinggi, kultur tinja negatif untuk 103



Bab 6 Diare Akut



enteropatogen, diare lebih dari 1 minggu atau pada pasien immunocompromised. Pasien yang dicurigai menderita diare yang disebabkan giardiasis, cryptosporidiosis, isosporiasis dan strongyloidiasis dimana pemeriksaan tinja negatif, aspirasi atau biopsi duodenum atau yeyunum bagian atas mungkin diperlukan. Karena organisme ini hidup di saluran cerna bagian atas, prosedur ini lebih tepat daripada pemeriksaan spesimen tinja. Biopsi duodenum adalah metode yang spesifik dan sensitif untuk diagnosis giardiasis, strongylodiasis dan protozoa yang membentuk spora. E. hystolitica dapat didiagnosis dengan pemeriksaan mikroskopik tinja segar. Trofozoit biasanya ditemukan pada tinja cair sedangkan kista ditemukan pada tinja yang berbentuk. Teknik konsentrasi dapat membantu untuk menemukan kista amuba. Pemeriksaan serial mungkin diperlukan oleh karena ekskresi kista sering terjadi intermiten. Sejumlah tes serologis amubiasis untuk mendeteksi tipe dan konsentrasi antibodi juga tersedia. Serologis tes untuk amuba hampir selalu positif pada disentri amuba akut dan amubiasis hati. Kultur tinja harus segera dilakukan bila dicurigai terdapat Hemolytic Uremic Syndrome, diare dengan tinja berdarah, bila terdapat lekosit pada tinja, KLB diare dan pada penderita immunocompromised. Oleh karena bakteri tertentu seperti : Y. enterocolitica, V. cholerae, V. Parahaemolyticus, Aeromonas, C. difficile, E. coli 0157: H7 dan Camphylobacter membutuhkan prosedur 19 0pada 2 laboratorium khusus untuk identifikasinya, perlu diberi catatan label apabila ada et r a salah satu dicurigai sebagai penyebab diare yang terjadi. Deteksi toksin C. difficile sangat 9M o berguna untuk diagnosis antimikrobial kolitis. Proctosigmoidoscopy mungkin membantu r astsimptom kolitis berat atau penyebab G dalam menegakkan diagnosis pada penderita dengan t pa asetelah r inflammatory enteritis syndrome tidak jelas dilakukan pemeriksaan laboratorium tuk n pendahuluan. u



o str



6.11 Terapi



a rG a j A



u uk B e Fil umumnya self limited, tetapi terapi non spesifik dapat membantu Infeksi usus pada



penyembuhan pada sebagian pasien dan terapi spesifik, dapat memperpendek lamanya sakit dan memberantas organisme penyebabnya. Dalam merawat penderita dengan diare dan dehidrasi terdapat beberapa pertimbangan terapi : 1. Terapi cairan dan elektrolit 2. Terapi diit 3. Terapi non spesifik dengan antidiare 4. Terapi spesifik dengan antimikroba Walaupun demikian, berdasarkan penelitian epidemiologis di Indonesia dan negara berkembang lainnya, diketahui bahwa sebagian besar penderita diare biasanya masih dalam keadaan dehidrasi ringan atau belum dehidrasi. Hanya sebagian kecil dengan dehidrasi lebih berat dan memerlukan perawatan di sarana kesehatan. Perkiraan secara kasar menunjukkan dari 1000 kasus diare yang ada di masyarakat, 900 dalam keadaan dehidrasi ringan, 90 dalam keadaan dehidrasi sedang dan 10 dalam keadaan dehidrasi berat, 1 diantaranya disertai komplikasi serta penyakit penyerta yang penatalaksanaannya cukup rumit. Berdasarkan data diatas, sesuai dengan panduan WHO, pengobatan diare akut dapat dilaksanakan secara sederhana yaitu dengan terapi cairan dan elektrolit per-oral 104



Buku Ajar Gastrohepatologi



serta melanjutkan pemberian makanan, sedangkan terapi non spesifik dengan anti diare tidak direkomendasikan dan terapi antibiotika hanya diberikan bila ada indikasi. Pemberian cairan dan elektrolit secara parenteral hanya untuk kasus dehidrasi berat.



Pengobatan diare tanpa dehidrasi TRO ( Terapi Rehidrasi Oral) Penderita diare tanpa dehidrasi harus segera diberi cairan rumah tangga untuk mencegah dehidrasi, seperti : air tajin, larutan gula garam, kuah sayur-sayuran dan sebagainya. Pengobatan dapat dilakukan di rumah oleh keluarga penderita. Jumlah cairan yang diberikan adalah 10 ml/kgBB atau untuk anak usia < 1 tahun adalah 50 – 100 ml, 1 – 5 tahun adalah 100 – 200 ml, 5 – 12 tahun adalah 200 – 300 ml dan dewasa adalah 300 – 400 ml setiap BAB. Untuk anak dibawah umur 2 tahun cairan harus diberikan dengan sendok dengan cara 1 sendok setiap 1 sampai 2 menit. Pemberian dengan botol tidak boleh dilakukan. Anak yang lebih besar dapat minum langsung dari cangkir atau gelas dengan tegukan yang sering. Bila terjadi muntah hentikan dulu selama 10 menit kemudian mulai lagi perlahan-lahan misalnya 1 sendok setiap 2 – 3 menit. Pemberian cairan ini dilanjutkan sampai dengan diare 19 0dimakan 2 berhenti. Selain cairan rumah tangga ASI dan makanan yang biasa tetap harus et r a diberikan. Makanan diberikan sedikit-sedikit tetapi sering (lebih kurang 6 kali sehari) serta 9 M yang merangsang (pedas, o rendah serat. Buah-buahan diberikan terutama pisang. Makanan r st Ga karena dapat menyebabkan diare asam, terlalu banyak lemak) jangan diberikan dulu t a ap diare tetap berlangsung atau bertambah bertambah berat. Bila dengan cara pengobatan rini k tu hebat dan keadaan anak bertambah berat un serta jatuh dalam keadaan dehidrasi ringano r sedang, obati dengan cara pengobatan ast dehidrasi ringan – sedang.



G jar A u uk Pengobatan diaree Bdehidrasi ringan – sedang : l i F TRO ( Terapi Rehidrasi Oral)



Penderita diare dengan dehidrasi ringan–sedang harus dirawat di sarana kesehatan dan segera diberikan terapi rehidrasi oral dengan oralit. Jumlah oralit yang diberikan 3 jam pertama 75 cc/kgBB. Bila berat badannya tidak diketahui, meskipun cara ini kurang tepat, perkiraan kekurangan cairan dapat ditentukan dengan menggunakan umur penderita, yaitu : untuk umur < 1 tahun adalah 300 ml, 1–5 tahun adalah 600 ml, >5 tahun adalah 1200 ml dan dewasa adalah 2400 ml. Rentang nilai volume cairan ini adalah perkiraan, volume yang sesungguhnya diberikan ditentukan dengan menilai rasa haus penderita dan memantau tanda-tanda dehidrasi. Bila penderita masih haus dan masih ingin minum harus diberi lagi. Sebaliknya bila dengan volume diatas kelopak mata menjadi bengkak, pemberian oralit harus dihentikan sementara dan diberikan minum air putih atau air tawar. Bila oedem kelopak mata sudah hilang dapat diberikan lagi. Apabila oleh karena sesuatu hal pemberian oralit tidak dapat diberikan secara per-oral, oralit dapat diberikan melalui nasogastrik dengan volume yang sama dengan kecepatan 20 ml/kgBB/jam. Setelah 3 jam keadaan penderita dievaluasi, apakah membaik, tetap atau 105



Bab 6 Diare Akut



memburuk. Bila keadaan penderita membaik dan dehidrasi teratasi pengobatan dapat dilanjutkan dirumah dengan memberikan oralit dan makanan dengan cara seperti pada pengobatan diare tanpa dehidrasi. Bila memburuk dan penderita jatuh dalam keadaan dehidrasi berat, penderita tetap dirawat di sarana kesehatan dan pengobatan yang terbaik adalah pemberian cairan parenteral.



engobatan diare dehidrasi berat TRP ( Terapi Rehidrasi Parenteral) Penderita diare dehidrasi berat harus dirawat di puskesmas atau Rumah Sakit. Pengobatan yang terbaik adalah dengan terapi rehidrasi parenteral. Pasien yang masih dapat minum meskipun hanya sedikit harus diberi oralit sampai cairan infus terpasang. Disamping itu, semua anak harus diberi oralit selama pemberian cairan intravena (±5 ml/kgBB/jam),apabila dapat minum dengan baik, biasanya dalam 3–4 jam (untuk bayi) atau 1–2 jam (untuk anak yang lebih besar). Pemberian tersebut dilakukan untuk memberi tambahan basa dan kalium yang mungkin tidak dapat disuplai dengan cukup dengan pemberian cairan intravena. Untuk rehidrasi parenteral digunakan cairan Ringer Laktat dengan dosis 100 ml/kgBB. Cara pemberiannya 9 untuk 90 – 120 mEq/L. CRO – WHO (Oralit) telah terbukti selama lebih dari 25 tahun efektif baik untuk terapi maupun rumatan pada anak dan dewasa dengan semua tipe diare infeksi. Walaupun demikian, dari hasil-hasil riset klinik berikutnya, pada metaanalisa mendukung penggunaan CRO yang osmolaritasnya rendah. CRO dengan osmolaritasnya yang lebih rendah berkaitan dengan muntah lebih sedikit, keluaran tinja yang lebih sedikit, berkurangnya pemberian intravena dibandingkan dengan CRO standard, pada bayi dan anak non kolera. Pada kolera tidak ada perbedaan klinik antara penderita yang diberi CRO osmolaritas rendah dengan CRO standard kecuali angka kejadian hiponatremi.



106



Buku Ajar Gastrohepatologi



Atas dasar hasil tersebut WHO dan Unicef mengadakan konsultasi tentang penggunaan CRO dengan osmolaritas lebih rendah untuk digunakan secara global. Pada tahun 2002 WHO mengumumkan CRO formula baru yang sesuai dengan rekomendasi tersebut dengan 75 mEq/L Natrium, 75 mmol/L glukosa dan osmolaritas total 245 mOsm/L. CRO formula baru ini juga direkomendasikan untuk digunakan pada anak dan dewasa dengan kolera, meskipun post marketing surveilans sedang dilakukan untuk memastikan keamanan dan indikasinya.



Cairan Rehidrasi Oral Baru Resep untuk memperbaiki CRO antara lain menambahkan substrat untuk kotransport natrium (contoh : asam amino glycine, alanine dan glutamin) atau substitusi glukosa dengan komplek karbohidrat (CRO berbasis beras atau cereal). Asam amino tidak menunjukkan lebih efektif dari CRO tradisional dan lebih mahal. CRO berbasis beras dapat direkomendasikan bila cukup latihan dan penyediaan dirumah dapat dilakukan, dan mungkin sangat efektif untuk mengobati dehidrasi karena kolera. Walaupun demikian, kemudahan dan keamanan CRO paket dinegara berkembang dan secara komersial tersedia CRO dinegara maju, maka CRO standard tetap merupakan 9 pilihan utama dari sebagian besar klinisi. 01 2 t reSCFA (amylase resistent Potential aditive pada CRO termasuk mampu melepaskan Ma 9 starch derivat dari jagung) dan partially hydrolized guar o gum. Mekanisme kerja yang str terikat pada transport SCFA. a diharapkan adalah meningkatkan uptake natrium oleh kolon G at masa depan adalah penambahan Kemungkinan lain dari perbaikan komposisirapCRO k probiotik, prebiotik, seng dan protein polimer. ntu u o str



a rG a j A ku Defisiensi seng sering didapatkan pada anak-anak di negara berkembang dan dihubungkan u B efungsi l i dengan menurunnya imun dan meningkatnya kejadian penyakit infeksi yang serius. F



Seng (Zinc)



Seng merupakan mikronutrien komponen berbagai enzim dalam tubuh, yang penting antara lain untuk sintesis DNA. Pada sistematik review dari 10 RCT yang semuanya dilakukan di negara berkembang pada tahun 1999 didapatkan bahwa suplementasi seng dengan dosis minimal setengah dari RDA Amerika Serikat untuk seng, ternyata dapat menurunkan insiden diare sebanyak 15% dan prevalensi diare sampai 25%, kurang lebih sama dengan hasil yang dicapai upaya preventif yang lain seperti perbaikan higiene sanitasi dan pemberian ASI. Sejak tahun 2004, WHO dan UNICEF telah menganjurkan penggunaan seng pada anak dengan diare dengan dosis 20 mg perhari selama 10 – 14 hari, dan pada bayi 0,5%,. Setelah diare berhenti, pemberian tetap dilanjutkan selama 2 hari kemudian coba kembali dengan susu atau formula biasanya diminum secara bertahap selama 2–3 hari. Bila anak berumur 4 bulan atau lebih dan sudah mendapatkan makanan lunak atau padat, makanan ini harus diteruskan. Paling tidak 50% dari energi diit harus berasal dari makanan dan diberikan dalam porsi kecil atau sering (6 kali atau lebih) dan anak dibujuk 9 untuk makan. Kombinasi susu formula dengan makanan tambahan 01 seperti serealia pada 2 t umumnya dapat ditoleransi dengan baik pada anak yang telah re disapih. Pada anak yang Ma pokok setempat, misalnya lebih besar, dapat diberikan makanan yang terdiri dari : makanan 9 ro nasi, kentang, gandum, roti, atau bakmi. Untuk meningkatkan kandungan energinya dapat ast G t a 100 ml makanan. Minyak kelapa sawit ditambahkan 5 – 10 ml minyak nabati untukasetiap r p Campur makanan pokok tersebut dengan k sangat bagus dikarenakan kaya akan karoten. ntu ditambahkan tahu, tempe, daging atau ikan. userta kacang-kacangan dan sayur-sayuran, o r st Sari buah segar atau pisang baik Ga untuk menambah kalium. Makanan yang berlemak atau r ja banyak gula seperti sari buah manis yang diperdagangkan, makanan yang mengandung uA k minuman ringan, sebaiknya dihindari. Bu



e Fil



Pemberian makanan setelah diare



Meskipun anak diberi makanan sebanyak dia mau selama diare, beberapa kegagalan pertumbuhan mungkin dapat terjadi terutama bila terjadi anoreksia hebat. Oleh karena itu perlu pemberian ekstra makanan yang kaya akan zat gizi beberapa minggu setelah sembuh untuk memperbaiki kurang gizi dan untuk mencapai serta mempertahankan pertumbuhan yang normal. Berikan ekstra makanan pada saat anak merasa lapar, pada keadaan semacam ini biasanya anak dapat menghabiskan tambahan 50% atau lebih kalori dari biasanya.



Terapi medikamentosa



Berbagai macam obat telah digunakan untuk pengobatan diare seperti : antibiotika, antidiare, adsorben, antiemetik dan obat yang mempengaruhi mikroflora usus. Beberapa obat mempunyai lebih dari satu mekanisme kerja, banyak diantaranya mempunyai efek toksik sistemik dan sebagian besar tidak direkomendasikan untuk anak umur kurang dari 2 – 3 tahun. Secara umum dikatakan bahwa obat-obat tersebut tidak diperlukan untuk pengobatan diare akut.



108



Buku Ajar Gastrohepatologi



Antibiotik



Antibiotika pada umumnya tidak diperlukan pada semua diare akut oleh karena sebagian besar diare infeksi adalah rotavirus yang sifatnya self limited dan tidak dapat dibunuh dengan antibiotika. Hanya sebagian kecil (10 – 20%) yang disebabkan oleh bakteri patogen seperti V. cholera, Shigella, Enterotoksigenik E. coli, Salmonella, Camphylobacter dan sebagainya. Bila secara klinis jelas diduga disebabkan oleh karena kuman tersebut, dapat diberikan antibiotika seperti misalnya tetrasiklin untuk kolera, kotrimoksazole / ampisilin untuk Shigella dan eritromisin untuk Camphylobacter.



Obat antidiare Obat-obat ini meskipun sering digunakan tidak mempunyai keuntungan praktis dan tidak diindikasikan untuk pengobatan diare akut pada anak. Beberapa dari obat-obat ini berbahaya. Produk yang termasuk dalam kategori ini adalah :



Adsorben Contoh: kaolin, attapulgite, smectite, activated charcoal, cholestyramine. Obat-obat ini 19 mengikat dan dipromosikan untuk pengobatan diare atas dasar kemampuannya20untuk t re diare serta dikatakan menginaktifasi toksin bakteri atau bahan lain yang menyebabkan Ma 9 mempunyai kemampuan melindungi mukosa usus. Walaupun demikian, tidak ada bukti o str a keuntungan praktis dari penggunaan obat ini untuk pengobatan rutin diare akut pada anak. G



at ap r k



tu un o r (Contoh: loperamide hydrochloride,adiphenoxylate dengan atropine, tinctura opii, paregoric, st G r codein). Obat-obatan ini dapatjamengurangi frekuensi diare pada orang dewasa akan tetapi u A pada anak. Lebih dari itu dapat menyebabkan ileus paralitik tidak mengurangi volume ktinja u e B fatal atau dapat memperpanjang infeksi dengan memperlambat yang berat yang dapat Fil



Antimotilitas



eliminasi dari organisme penyebab. Dapat terjadi efek sedatif pada dosis normal. Tidak satu pun dari obat-obatan ini boleh diberikan pada bayi dan anak dengan diare.



Bismuth subsalicylate Bila diberikan setiap 4 jam dilaporkan dapat mengurangi keluaran tinja pada anak dengan diare akut sebanyak 30% akan tetapi, cara ini jarang digunakan.



Kombinasi obat Banyak produk kombinasi adsorben, antimikroba, antimotilitas atau bahan lain. Produsen obat mengatakan bahwa formulasi ini baik untuk digunakan pada berbagai macam diare. Kombinasi obat semacam ini tidak rasional, mahal dan lebih banyak efek samping daripada bila obat ini digunakan sendiri-sendiri. Oleh karena itu tidak ada tempat untuk menggunakan obat ini pada anak dengan diare.



109



Bab 6 Diare Akut



Obat-obat lain : Anti muntah Termasuk obat ini seperti prochlorperazine dan chlorpromazine yang dapat menyebabkan mengantuk sehingga mengganggu pemberian terapi rehidrasi oral. Oleh karena itu obat anti muntah tidak digunakan pada anak dengan diare, muntah karena biasanya berhenti bila penderita telah terehidrasi.



Cardiac stimulan Renjatan pada diare akut disebabkan oleh karena dehidrasi dan hipovolemi. Pengobatan yang tepat adalah pemberian cairan parenteral dengan elektrolit yang seimbang. Penggunaan cardiac stimulan dan obat vasoaktif seperti adrenalin, nicotinamide, tidak pernah diindikasikan.



Darah atau plasma Darah, plasma atau plasma expander tidak diindikasikan untuk anak dengan dehidrasi oleh karena diare. Yang dibutuhkan adalah penggantian dari kehilangan air dan elektrolit. Walaupun demikian, terapi rehidrasi tersebut dapat diberikan untuk penderita dengan 9 01 hipovolemia oleh karena renjatan septik. t2



Steroid



tG



re Ma 9 ro ast



a Tidak memberikan keuntungan dan tidak diindikasikan. rap



6.12 Komplikasi



k ntu u ro ast



G jar A u Beberapa masalah mungkin terjadi selama pengobatan rehidrasi. Beberapa diataranya uk B e membutuhkan Fpengobatan khusus. il



Gangguan Elektrolit Hipernatremia Penderita diare dengan natrium plasma > 150 mmol/L memerlukan pemantauan berkala yang ketat. Tujuannya adalah menurunkan kadar natrium secara perlahan-lahan. Penurunan kadar natrium plasma yang cepat sangat berbahaya oleh karena dapat menimbulkan edema otak. Rehidrasi oral atau nasogastrik menggunakan oralit adalah cara terbaik dan paling aman. Koreksi dengan rehidrasi intravena dapat dilakukan menggunakan cairan 0,45% saline – 5% dextrose selama 8 jam. Hitung kebutuhan cairan menggunakan berat badan tanpa koreksi. Periksa kadar natrium plasma setelah 8 jam. Bila normal lanjutkan dengan rumatan, bila sebaliknya lanjutkan 8 jam lagi dan periksa kembali natrium plasma setelah 8 jam. Untuk rumatan gunakan 0,18% saline - 5% dektrosa, perhitungkan untuk 24 jam. Tambahkan 10 mmol KCl pada setiap 500 ml cairan infus setelah pasien dapat kencing. Selanjutnya pemberian diet normal dapat mulai diberikan. Lanjutkan pemberian oralit 10 ml/kgBB/setiap BAB, sampai diare berhenti. 110



Buku Ajar Gastrohepatologi



Hiponatremia Anak dengan diare yang hanya minum air putih atau cairan yang hanya mengandung sedikit garam, dapat terjadi hiponatremi (Na< 130 mol/L). Hiponatremi sering terjadi pada anak dengan Shigellosis dan pada anak malnutrisi berat dengan oedema. Oralit aman dan efektif untuk terapi dari hampir semua anak dengan hiponatremi. Bila tidak berhasil, koreksi Na dilakukan bersamaan dengan koreksi cairan rehidrasi yaitu : memakai Ringer Laktat atau Normal Saline. Kadar Na koreksi (mEq/L) = 125 – kadar Na serum yang diperiksa dikalikan 0,6 dan dikalikan berat badan. Separuh diberikan dalam 8 jam, sisanya diberikan dalam 16 jam. Peningkatan serum Na tidak boleh melebihi 2 mEq/L/jam.



Hiperkalemia Disebut hiperkalemia jika K >5 mEq/L, koreksi dilakukan dengan pemberian kalsium glukonas 10% 0,5–1 ml/kgBB i.v. pelan-pelan dalam 5–10 menit dengan monitor detak jantung.



Hipokalemia Dikatakan hipokalemia bila K 10 g/kg/24 jam, sedangkan rata-rata pengeluaran p a k rdiare akut dan diare yang berkepanjangan g/kg/24 jam. Diare umumnya dibagi menjadi u t n (kronis dan/atau persisten). Diare kronis o u dan diare persisten seringkali dianggap suatu r t as kondisi yang sama.5,6 Ghishan menyebutkan diare kronis sebagai suatu episode diare rG a j lebih dari 2 minggu, sedangkan kondisi serupa yang disertai berat badan menurun atau A u uk sukar naik oleh Walker-Smith et al. didefinisikan sebagai diare persisten.5,6 Di lain pihak, B e l i dasar etiologi diare F kronis yang berbeda diungkapkan oleh Bhutta dan oleh The American



Gastroenterological Association. Definisi diare kronis menurut Bhutta adalah episode diare lebih dari dua minggu, sebagian besar disebabkan diare akut berkepanjangan akibat infeksi, sedangkan definisi menurut The American Gastroenterological Association adalah episode diare yang berlangsung lebih dari 4 minggu, oleh etiologi non-infeksi serta memerlukan pemeriksaan lebih lanjut.5,6 Bervariasinya definisi ini pada dasarnya disebabkan perbedaan kejadian diare kronis dan persisten di negara berkembang dan negara maju, dimana infeksi merupakan latar belakang tertinggi di negara berkembang, sedangkan penyebab non-infeksi lebih banyak didapatkan di negara maju. Demikian juga porsi serta prioritas penelitian maupun pembahasan lebih didominasi permasalahan diare non infeksi, antara lain karena dalam tatalaksananya, diare bentuk ini lebih banyak membutuhkan biaya. Akan sangat membantu apabila terdapat suatu definisi standar sehingga dapat dilakukan pembandingan antar studi serta pembuatan rekomendasi pengobatan. Di lingkungan masyarakat gastrohepatologi anak di Indonesia digunakan pengertian bahwa ada 2 jenis diare yang berlangsung ≥14 hari, yaitu diare persisten yang mempunyai dasar etiologi infeksi, serta diare kronis yang mempunyai dasar etiologi non-infeksi. Untuk selanjutnya batasan tersebut yang akan dipakai dalam bab Diare Kronis dan Diare Persisten ini. 117



Bab 7 Diare Kronis dan Diare Persisten



7.4 Kejadian Diare persisten/kronis mencakup 3–20% dari seluruh episode diare pada balita. Insidensi diare persisten di beberapa negara berkembang berkisar antara 7-15% setiap tahun dan menyebabkan kematian sebesar 36-54% dari keseluruhan kematian akibat diare. Hal ini menunjukkan bahwa diare persisten dan kronis menjadi suatu masalah kesehatan yang mempengaruhi tingkat kematian anak di dunia. Meskipun penelitian epidemiologis mengenai diare persisten masih terbatas, sebuah studi komunitas di Bangladesh menunjukkan bahwa secara keseluruhan angka kejadian diare persisten masih belum menurun secara bermakna dalam rentang tahun 1980-1992. Di Indonesia, prevalensi diare persisten/kronis sebesar 0,1%, dengan angka kejadian tertinggi pada anak-anak berusia 6-11 bulan.



7.5 Etiologi Sesuai dengan definisi yang digunakan dalam bab ini, terdapat perbedaan etiologi antara diare persisten dan diare kronis. Diare berkepanjangan dapat disebabkan berbagai macam kondisi. Di negara maju sebagian besar membahas penyebab non 9 infeksi, umumnya 01 2 t meliputi intoleransi protein susu sapi/kedelai (pada anak usia 200ml/24jam), konsistensi tinja yang sangat cair, konsenstrasi Na+ dan Cl- >70mEq, dan tidak berespon 9 terhadap penghentian makanan. Contoh penyebab diare sekretoris 2adalah 01 Vibrio cholerae t e di mana bakteri mengeluarkan toksin yang mengaktivasi cAMPardengan mekanisme yang M 9 telah disebutkan sebelumnya. ro



G at p a r



ast



k ntu u ro ast bermanifestasi ketika terjadi kegagalan proses Diare dengan mekanisme osmotik G jar nutrien dalam usus halus sehingga zat tersebut akan pencernaan dan/atau penyerapan A u langsung memasuki colon. uk Hal ini mengakibatkan peningkatan tekanan osmotik di lumen B e usus sehingga menarik Fil cairan ke dalam lumen usus. Absorpsi usus tidak hanya tergantung



Osmotik



pada faktor keutuhan epitel saja, tetapi juga pada kecukupan waktu yang diperlukan dalam proses pencernaan dan kontak dengan epitel. Perubahan waktu transit usus, terutama bila disertai dengan penurunan waktu transit usus yang menyeluruh, akan menimbulkan gangguan absorbsi nutrien. Contoh klasik dari jenis diare ini adalah diare akibat intoleransi laktosa. Absennya enzim laktase karena berbagai sebab baik infeksi maupun non infeksi, yang didapat (sekunder) maupun bawaan (primer), menyebabkan laktosa terbawa ke usus besar dalam keadaan tidak terserap. Karbohidrat yang tidak terserap ini kemungkinan akan difermentasi oleh mikroflora sehingga terbentuk laktat dan asam laktat Kondisi ini menimbulkan tanda dan gejala khas yaitu pH 14 hari disertai malnutrisi)



Diagnosis, resusitasi dan stabilisasi awal • • •



Intravena atau rehidrasi oral (cairan rehidrasi oral) Atasi gangguan elektrolit Pelacakan dan pengobatan infeksi sistemik ASI diteruskan Mengurangi asupan laktosa dengan: Diet susu sereal (umumnya berbahan dasar beras) Atau mengganti susu dengan yogurt Suplemen mikronutrien (zink, vit. A, folat)



Diare berlanjut9atau berulang 01 Berat badan t 2 tidak baik



Sembuh



Pemantauan pertumbuhan



Fi



G jar A u uk B e l



k ntu u ro ast



re Ma 9 ro ast Pelacakan ulang untuk penyebab infeksi G at Terapi diet sekunder p ra Ayam dan diet elemnetasi Diarre berlanjut dan dehidrasi



Pelacakan ulang untuk menyingkirkan Diare intraktable pada bayi Hiperalimentasi intravena



Gambar 7.9.1. Diagram Manajemen Diare Persisten Sumber: Bhutta, 2006



7.10 Faktor Risiko dan Pencegahan Malnutrisi, defisiensi mikronutrien dan defisiensi status imun pasca infeksi atau trauma menyebabkan terlambatnya perbaikan mukosa usus, sehingga menjadi kontribusi utama terjadinya diare persisten. Kelompok penderita diare persisten terbanyak adalah kelompok usia < 12 bulan. Hal ini didukung dengan studi Fraser et al (1998) yang mengemukakan bahwa kejadian diare persisten paling banyak pada anak usia < 3 bulan. Studi yang dilakukan di Bangladesh menunjukkan bahwa rata-rata usia anak penderita diare persisten adalah 10,7 bulan. Baqui et al (1993) menyatakan bahwa kelompok usia terbanyak penderita diare persisten adalah usia kurang dari 1 tahun. 126



Buku Ajar Gastrohepatologi



Tabel 7.10.1. Faktor-faktor risiko terjadinya diare persisten Faktor bayi



• • • • •



Faktor maternal



• Ibu berusia muda dengan pengalaman yang terbatas dalam merawat bayi • Tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu mengenai higienis, kesehatan dan gizi, baik menyangkut ibu sendiri ataupun bayi. • Pengetahuan, sikap, dan perilaku dalam pemberian ASI serta makanan pendamping ASI.



Pemberian susu pada bayi



• Pengenalan susu non-ASI • Penggunaan botol susu



Riwayat infeksi sebelumnya



• Riwayat diare akut dalam waktu dekat (khususnya pada bayi 2 tahun) kemungkinan besar penyebabnya fungsional. Walaupun lebih dari 90% konstipasi pada anak tergolong konstipasi fungsional, pada beberapa anak etiololginya mungkin mulktifaktorial. Bila terapi logis tidak efektif atau bila konstipasi terjadi pada masa neonatus atau bayi, eksplorasi untuk mencari penyebab lain harus dilakukan. Meski masa awitan manifestasi berbagai penyebab konstipasi dapat saling tumpang-tindih, pengelompokan penyebab berdasarkan umur terlihat 1pada 9 Tabel 12.7.3.



0



12.8 Komplikasi



2 ret a 9M



ro ast G at komplikasi primer konstipasi pada Nyeri perut atau rektum dan enkoporesis merupakan ap r k anak. Komplikasi lain dapat dilihat pada Tabel ntu 12.8.1. u o str Tabel 12.8.1. Komplikasi konstipasi kronis pada anakGa jar o Nyeri: anus atau abdomen A u o Fisura ani uk B o Enkopresis e Fil o Enuresis



o Infeksi saluran kemih/obstruksi ureter o Prolaps rektum o Ulkus soliter o Sindrom stasis - Bakteri tumbuh lampau - Fermentasi karbohidrat, maldigesti - Dekonjugasi asam empedu - Steatorea Sumber: Young, 1996.



Eneuresis dilaporkan terjadi pada lebih dari 40% anak dengan enkoporesis. Pada beberapa kasus, eneuresis menghilang bila massa tinja dievakuasi sehingga memungkinkan kandung kemih mengembang. Komplikasi urologis penting lainnya adalah dilatasi kolon distal, sehingga berperan dalam meningkatkan frekuensi infeksi saluran kemih dan obstruksi ureter kiri. Dilatasi kolon distal dapat mengurangi tonus kolon yang menyebabkan terjadinya invaginasi, yang dapat bermanifestasi sebagai prolaps rekti setelah defekasi. Prolaps kolon ringan tetapi berlangsung lama akan menciptakan suatu ulkus iskemik pada dinding mukosa rektum (ulkus soliter) yang secara klinis tampak sebagai tinja berlendir



195



Bab 12 Konstipasi pada Anak



dan berdarah apapun konsistensi tinjanya. Iritasi difus pada kolon akibat tinja yang amat keras bahkan dapat menyebabkan protein-losing enteropathy. Sindrom stasis terutama terlihat pada pseodo-obstruksi. Stigma sosial yang berkaitan dengan sering kentut dan kecepirit yang menimbulkan bau tidak sedap dapat mempengaruhi anak. Sebagian besar anak dengan enkoporesis kronis akan menyangkal bila ditanya tentang masalah enkoporesisnya dan bahkan sering menyembunyikan celana dalamnya yang kena kecepirit.



12.9 Pemeriksaan Penunjang Beberapa pemeriksaan penunjang dilakukan pada kasus-kasus tertentu yang diduga mempunyai penyebab organik. 1. Pemeriksaan foto polos abdomen untuk melihat kaliber kolon dan massa tinja dalam kolon. Pemeriksaan ini dilakukan bila pemeriksaan colok dubur tidak dapat dilakukan atau bila pada pemeriksaan colok dubur tidak teraba adanya distensi rektum oleh massa tinja. 2. Pemeriksaan enema barium untuk mencari penyebab organik seperti Morbus Hirschsprung dan obstruksi usus. 9 01mukosa rektum secara 3. Biopsi hisap rektum untuk melihat ada tidaknya ganglion pada 2 t re histopatologis untuk memastikan adanya penyakit Hirschsprung. Ma 9 4. Pemeriksaan manometri untuk menilai motilitas kolon. ro astorganik lain, seperti hipotiroidisme, 5. Pemeriksaan lain-lain untuk mencari penyebab G at ultrasonografi abdomen, MRI, dll. rap



k ntu u ro ast



G 12.10 Tata laksana Konstipasi Fungsional jar uA



k Tata laksana meliputi orangtua, evakuasi tinja, terapi rumatan, modifikasi prilaku, uedukasi B e l i obat dan konsultasi. F



Evakuasi tinja (disimpaction) Fecal impaction adalah massa tinja (skibala) yang teraba pada palpasi regio abdomen bawah, rektum yang dilatasi dan penuh dengan tinja yang ditemukan pada pemeriksaan colok dubur, atau tinja yang berlebihan dalam kolon yang terlihat pada foto abdomen. Evakuasi skibala ini perlu dilakukan sebelum terapi rumatan. Evakuasi tinja dapat dilakukan dengan obat oral atau rektal. Program evakuasi tinja biasanya dilakukan selama 2-5 hari sampai terjadi evakuasi tinja secara lengkap/sempurna. Bila menggunakan obat per oral, dapat digunakan mineral oil (parafin liquid) dengan dosis 15-30 ml/tahun umur (maksimum 240 ml sehari) kecuali pada bayi. Larutan polietilen glikol (PEG) 20 ml/kg/jam (maksimum 1000 ml/jam) diberikan dengan pipa nasogastrik selama 4 jam per hari. Evakuasi tinja dengan obat per rektum dapat menggunakan enema fosfat hipertonik (3 ml/kg 2 kali sehari maksimum 6 kali enema), enema garam fisiologis (600-1000 ml) atau 120 ml mineral oil. Pada bayi digunakan supositoria/enema gliserin 2-5 ml.



196



Buku Ajar Gastrohepatologi



Terapi rumatan Segera setelah berhasil melakukan evakuasi tinja, terapi ditujukan untuk mencegah kekambuhan. Terapi rumatan meliputi intervensi diet, modifikasi perilaku dan pemberian laksatif untuk menjamin interval defekasi yang normal dengan evakuasi tinja yang sempurna. Anak dianjurkan untuk banyak minum dan mengkonsumsi karbohidrat dan serat. Buah-buahan seperti pepaya, semangka, bangkuang dan melon banyak mengandung serat dan air sehingga dapat digunakan untuk melunakkan tinja. Serat dan sorbitol banyak terkandung dalam buah prune, pear dan apel, sehingga dapat dikonsumsi dalam bentuk jus untuk meningkatkan frekuensi defekasi dan melunakkan tinja. Komponen penting dalam terapi rumatan adalah modifikasi perilaku dan toilet training. Segera setelah makan pagi dan malam, anak dianjurkan untuk buang air besar. Tidak perlu terlalu terburu-buru, yang akan membuat anak makin tertekan, tetapi berilah waktu 10-15 menit bagi anak untuk buang air besar. Bila dilakukan secara teratur akan mengembangkan reflek gastrokolik pada anak. Dianjurkan membuat catatan harian yang mencatat kejadian defekasi dan konsistensi tinja. Sistem pemberian hadiah dapat diterapkan bila anak berhasil melakukan defekasi. Bila dengan cara di atas tidak berhasil, mungkin 9 perlu dikonsulkan ke ahli psikiatri anak. 01 2 t re (larutan 70%) dapat Obat umumnya masih diperlukan pada terapi rumatan. Laktulosa Ma 9 diberikan dengan dosis 1-3 ml/kgBB/hari dalam 2 kali pemberian. Sorbitol (larutan 70%) tro s a diberikan 1-3 ml/kgBB/hari dalam 2 kali pemberian. GMineral oil (parafin liquid) diberikan at 1-3 ml/kgBB/hari, tetapi tidak dianjurkan untukranak ap dibawah 1 tahun. Larutan magnesium tuk hidroksida (400mg/5 ml) diberikan 1-3 nml/kgBB/hari, tetapi tidak diberikan pada bayi u dan anak dengan gangguan ginjal.stBila ro respon terapi belum memadai, mungkin perlu a ditambahkan cisapride denganadosis r G 0,2 mg/kgBB/kali untuk 3-4 kali pada hari selama 4-5 j minggu. Terapi rumatan kmungkin diperlukan selama beberapa bulan. Bila defekasi telah uA u B normal, terapi rumatan dapat dikurangi untuk kemudian dihentikan. Pengamatan masih i le F perlu dilakukan karena angka kekambuhan tinggi, dan pada pengamatan jangka panjang banyak anak yang masih memerlukan terapi rumatan sampai adolesen.



Evidence-based medicine dan konstipasi Seiring dengan perhatian yang serius terhadap evidence-based medicine, berikut tertera beberapa rekomendasi berdasarkan pada bukti-bukti penelitian dan kategori kualitas buktinya.



Rekomendasi umum • Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap dan cermat merupakan bagian penting dari evaluasi komprehensif bayi atau anak dengan konstipasi (III). • Melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap dan cermat ternyata cukup untuk mendiagnosis konstipasi fungsional pada banyak kasus (III). • Uji darah samar dalam tinja dianjurkan pada semua bayi dengan konstipasi dan pada anak dengan konstipasi yang juga mengalami sakit perut, gagal tumbuh, diare atau riwayat keluarga menderita polip atau kanker kolorektal (III). 197



Bab 12 Konstipasi pada Anak



• Pada kasus tertentu, pemeriksaan foto polos abdomen, bila diinterpretasi dengan benar, dapat bermanfaat dalam mendiagnosis fecal impaction (II-2) • Biopsi rektum dengan pemeriksaan histopatologis dan manometri rektum merupakan satu-satunya cara yang akurat untuk menyingkirkan penyakit Hirschsprung (II-1) • Pada kasus tertentu, pengukuran waktu singgah dengan petanda radioopak dapat menentukan apakah terdapat konstipasi (II-3).



Rekomendasi untuk bayi • Pada bayi, evakuasi feses dapat dilakukan dengan supositoria gliserin. Enema harus dihindari (II-3) • Pada bayi, jus yang mengandung sorbitol, seperti jus prune, pear dan apel, dapat mengurangi konstipasi (II-3) • Barley malt extract, corn syrup, laktulosa atau sorbitol (laksatif osmotik) dapat digunakan sebagai pelunak tinja (III) • Mineral oil (parafin) dan laksatif stimulan tidak dianjurkan pada bayi (III).



Rekomendasi untuk anak • Pada anak, evakuasi tinja dapat dilakukan dengan pengobatan peroral atau rektal, 9 termasuk enema (II-3) 01 2 t re dan sayuran dianjurkan • Pada anak, diet seimbang yang mengandung whole grains,abuah M 9 sebagai bagian pengobatan konstipasi (III) o str amodifikasi • Pemakaian obat-obatan dikombinasikan dengan perilaku dapat mengurangi G t a p waktu remisi pada anak dengan konstipasi a fungsional (I) k r hidroksida, laktulosa dan sorbitol (laksatif u • Mineral oil (pelicin) dan magnesium t un dan efektif (I). oaman osmotik) merupakan obat yang r t as • Terapi emergensi denganr Gpemberian laksatif stimulan dapat dilakukan pada kasusa j A kasus tertentu (II-3). u uk (laksatif stimulan) dapat bermanfaat pada kasus tertentu yang sulit B • Senna dan bisakodil e Fil ditangani (II-1) • Cisapride telah terbukti bermanfaat sebagai laksatif pada beberapa penelitian (walaupun tidak semua) dan dapat digunakan pada kasus tertentu (I). • Larutan elektrolit polietilen glikol (PEG), diberikan dalam dosis rendah dalam waktu lama, mungkin merupakan alternatif pengobatan efektif pada konstipasi yang sulit diatasi (III).



Catatan: Kategori kualitas bukti adalah sebagai berikut: I



Bukti diperoleh dari minimal satu penelitian RCT



II-1



Bukti diperoleh dari penelitian kohort atau kasus-kontrol tanpa randomisasi



II-2



Bukti diperoleh dari penelitian kohort atau kasus-kontrol, terutama pada lebih dari 1 senter atau pusat penelitian



II-3



Bukti penelitian dari laporan kasus berkala dan multipel dengan atau tanpa intervensi.



III



Pendapat ahli yang didasarkan pada pengalaman klinis, penelitian deskriptif, atau laporan komite ahli.



198



Buku Ajar Gastrohepatologi



12.11 Simpulan Konstipasi sering ditemukan pada anak, baik yang akut maupun kronis. Sebagian besar (90%) konstipasi pada anak merupakan konstipasi fungsional. Pada sebagian besar kasus, anamnesis dan pemeriksaan fisik saja sudah cukup memadai untuk penatalaksanaan anak dengan konstipasi. Pada sebagian kecil kasus, yang diduga penyebabnya organik, beberapa pemeriksaan perlu dilakukan untuk memastikan penyebabnya. Pengobatan konstipasi terdiri dari evakuasi tinja bila terjadi skibala dan dilanjutkan dengan terapi rumatan yang terdiri dari obat, modifikasi perilaku, edukasi pada orangtua dan konsultasi. Terapi memerlukan waktu lama (berbulan-bulan) dan memerlukan kerjasama yang baik dengan orangtua. Prognosis umumnya baik sepanjang orangtua dan anak dapat mengikuti program terapi dengan baik.



Daftar pustaka 1. Abel E. Managing constipation in a pediatric patient: It is more than a simple problem. Clin Excell Nurs Pract 2001;5:211-7. 2. Abi-Hanna A, Lake AM. Constipation and encopresis in childhood. Pediatr Rev 1998;19:1-17. 3. Baker SS, Liptak GS, Colletti RB, et al. Constipation in infants and children: evaluation and treatment. A medical position statement of the North American 1Society for Pediatric 9 0 2 Gastroenterology and Nutrition. JPGN 1999;29:615-26. t re 4. Baker SS, Liptak GS, Colletti RB, Croffie JM. Clinical Practice Ma Guideline. Evaluation and 9 o treatment of constipation in infants and children : Recommendations of the North American str Socierty for Pesdiatric Gastroenterology, Hepatologyt and Ga Nutrition. JPGN 2006;43:e1-e13. a 5. Borowitz SM, Cox DJ, Tam A, et al. Precipitants rapof constipation during early childhood. J Am k Board Fam Pract 2003;16:213-8. tu un of dietary fiber on stools and transit-times, and its 6. Burkitt DP, Walker ARP, Painter NS.rEffect o st role in the causation of disease. Lancet Ga 1972;2:1408-12. r 7. DiPalma JA. Current treatment options for chronic constipation. Rev Gastroenterol Dis Aja u k 2004;4:34-42. u eB 8. Dodge JA. Functional Fil disorders of the gastrointesrtinal tract. In: Gracey M, Burke V, editors. Pediatric Gastroenterology and Hepatology. Oxford: Blackwell, 1993.p.880-9. 9. Drossman DA, Sandler RS, McKee DC, et al. Bowel patterns among subjects nor seeking health care. Gastroenterology 1982;83:529-34. 10. Firmansyah A. Konstipasi pada anak. Sari Pediatri 1994;2:51-6. 11. Focht III DR, Baker RC, Heubi JE, Moyer MS. Variability in the management of childhood constipation. Clin Pediat 2006;45:251-6. 12. Lewis C, Muir J. A collaborative approach in the management of childhood constipation. Health Visitor 1996;69:424-6. 13. Loening-Baucke V. Sensitivity of the sigmoid colon and rectum in children treated for chronic constipation. JPGN 1984;3:454-9. 14. Loening-Baucke V. Factors determining outcome in children with chronic constipation and fecal soiling. Gut 1989;30:999-1006. 15. Loening-Baucke V. Chronic constipation in children. Gastroenterology1993;105:1557-64. 16. Loening-Baucke V. Urinary incontinence and urinary tract infection and their resolution with treatment of chronic constipation of childhood. Pediatrics 1997;100:228-32. 17. Ludwig S. Constipation. In: Fleisher GR, Ludwig S, editors. Textbook of Pediatric Emergency Medicine. Baltimore: Williams & Wilkins, 1988.p.118-22.



199



Bab 12 Konstipasi pada Anak



18. Meunir P, Marechal JM, De Beaujeu MJ. Rectoanal pressure and rectal sensitivity studies in chronic childhood constipation. Gastroenterology 1979;77:330-6. 19. Muller-Lissner SA. Effect of wheat bran on weight of stool and gastrointestinal transit time: a metaanalysis. BMJ 1988;296:615-7. 20. Preston DM, Lennard-Jones JE. Anismus in chronic constipation. Dig Dis Sci 1985;30:413-8. 21. Rogers J. Childhood constipation and the incidence of hospitalization. Nursing Standard 1997;12:40-2. 22. Roy CC, Silverman A, Alagile D. Pediatric clinical gastroenterology. Mosby, St Louis, 1994. 23. Rubin G, Dale A. Chronic constipation in children. BMJ 2006;333:1051-5. 24. Steffen R, Loening-Baucke V. Constipation and encopresis. In: Wylie RW, Hyams JS, editors. Pediatric gastrointestinal diseases. Pathophysiology, diagnosis, management. Saunders, Philadelphia, 1999:43-50. 25. Stefen R, Schroeder TK. Paradoxical puborectalis contraction in children. Dis Colon Rectum 1992;35:1193-4. 26. Taitz LS, Water JKH, Urwin OM, et al. Factors associated with outcome in management of defecation disorders. Arch Dis Chil 1986;61:472-77. 27. Tobias N, Mason D, Lutkenhoff M, Stoops M, Ferguson D. Management principle of organic causes of childhood constipation. J Pediat Health Care 2008;22:12-23. 28. Weaver LT, Ewing G, Taylor LC. The bowel habit of young children. Arch Dis Child 1984;59:64952. 9 29. Weaver LT, Steiner H. The bowel habit of milk-fed infants. JPGN 1988;7:568-71. 01 2 t re 30. Whitehead WE, Schuster MM. Anorectal physiology and pathophysiology. Am J Gastroenterol Ma 9 1987;82:487-97. ro 31. Young R. Pediatric constipation. Gastroenterol Nursing. ast 1996;19:88-93.



Fi



200



G jar A u uk B e l



k ntu u ro ast



G at p a r



BAB



13



Inflammatory Bowel Diseases Dwi Prasetyo



13.1 Ilustrasi Kasus Seorang anak berusia 9 tahun dibawa ke poliklinik karena diare yang tidak sembuh-sembuh. Diare dirasakan sejak 6 bulan yang lalu. Mulanya diarenya cair tanpa lender, tanpa darah. Lama kelamaan muncul lendir dan darah. Anak juga sering mengeluh sakit perut, yang juga dirasakan sejak 6 bulan yang lalu. Sakit perut dirasakan baik saat BAB maupun saat tidak BAB. Sakit perut ini telah menyebabkan anak berkali-kali tidak masuk sekolah. Badan anak semakin lama semakin kurus. Dari pemeriksaan fisik didapatkan anak tampak lemah dan kurus, nyeri tekan di perut bagian kanan dan kiri. Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan angka leukosit yang meningkat. Pada pemeriksaan tinja didapatkan darah dan lender. Anak tinggal bersama kedua orangtuanya di lingkungan industri. Paman si anak juga sering sakit perut dan diare yang telah dirasakan bertahun-tahun dan sering menyebabkan sang paman datang ke dokter.



13.2 Pendahuluan Inflamatory bowel disease (IBD) adalah istilah umum yang digunakan untuk membedakan dua kelainan yang berhubungan dengan proses inflamasi di saluran pencernaan, yaitu: Penyakit Crohn (PC) dan Kolitis Ulserativa (KU). Kelainan ini harus dibedakan dengan penyakit-penyakit lain yang mempunyai gejala klinis dan laboratoris yang hampir sama, seperti infeksi, alergi dan neoplasma. Oleh karena IBD juga mempunyai manifestasi ekstraintestinal, maka sebagai klinikus harus mampu mengenal gejala klinis dengan baik, hal ini penting untuk dapat mengatasi masalah yang bisa ditimbulkan seperti keterlambatan pertumbuhan, artritis, hepatitis dan anemia.



13.3 Definisi Kolitis ulserativa adalah proses peradangan yang mukosanya relatif homogen, dimulai dari rektum dan meluas sampai kolon proksimal. Abses kripta sering ditemukan. Inflamasi yang terbatas pada rektum didapatkan pada 10% pasien, dinamakan proktitis ulserativa, 30% 201



Bab 13 Inflammatory Bowel Diseases



kasus didapatkan pada kolon bagian kiri dan sekitar 40%-50% didapatkan pada seluruh kolon, dinamakan pankolitis. Penyakit Crohn adalah proses peradangan kronis transmural yang dapat ditemukan di salah satu bagian dari saluran pencernaan, mulai dari mulut sampai anus. Pada awalnya ulkus terjadi superfisial termasuk folikel limfoid (aphthous lesion), kemudian inflamasi dapat menyebar secara bertahap ke dalam lapisan submukosa, muskularis dan serosa. Peradangan transmural dapat menyebabkan fistula. Granuloma sebagai gejala yang patognomonik untuk PC, hanya ditemukan pada sebagian kecil pasien. Proses inflamasi yang ditemukan di ileum terminalis berkisar 30% kasus, sedangkan yang disertai ileum dan kolon sekitar 60%, dan yang terbatas pada kolon 10%-20%. Inflamasi gastroduodenal didapatkan 30%-40%.



13.4 Epidemiologi dan Genetik IBD didapatkan sama pada laki-laki dan perempuan, umumnya pada orang kulit putih, di belahan bumi utara lebih banyak daripada selatan, daerah urban lebih sering daripada rural, dan sering ditemukan pada keturunan Yahudi. PC banyak terjadi pada pasien dengan Turner syndrome, Hermansky-Pudlak syndrome dan Glycogen storage disease type IB. Salah satu faktor resiko yang berperan penting untuk terjadinya IBD adalah adanya hubungan 9 keluarga yang menderita pada tingkat pertama. Kemungkinannya 01 mencapai 10%-25%. 2 t Diduga tempat kelainannya adalah pada kromosom 6 dan 16. Faktor re lain yang juga berperan Ma limfosit B, adhesi leukosit adalah reseptor komplemen, adhesi sel mikrobakterial,o 9fungsi r dan reseptor interleukin-4 (IL-4). Perinuclear antineutrophil antibody (pANCA) ditemukan ast G t sekitar 70% pada penderita KU, dan 6% padaapenderita PC. pa



13.5 Patogenesis



o str



a rG a j A



tuk un



r



Penyebab pasti dari IBD u belum diketahui secara pasti, serta mempunyai perjalanan klinik uk B yang bersifat akut-remisi-eksaserbasi kronis. Kemungkinan genetik telah diketahui sebagai e Fil IBD, yang dapat terlihat bahwa terjadinya IBD adalah pada etnik faktor predisposisi tertentu dan bersifat familial. Kebanyakan peneliti mempertimbangkan kemungkinan akibat suatu infeksi, tetapi sampai saat ini tidak ada infeksi spesifik yang berhubungan dengan IBD. Beberapa bakteri, termasuk Salmonella, Shigella, Campylobacter dan Yersinia dapat menyebabkan inflamasi intestinal akut, tetapi secara histopatologis biasanya dapat dibedakan dengan IBD kronis. Tidak ada bukti yang menunjang bahwa Mycobacterium paratuberculosis berperan dalam patogenesis PC. Hal ini berbeda dengan pendapat pada beberapa tahun yang lalu. Diduga infeksi virus campak dapat menyebabkan vaskulitis granulomatosa yang berperan penting pada patogenesis PC. IBD jarang terjadi pada anak yang mengalami gangguan koagulasi bawaan seperti hemofilia dan penyakit Von Willebrand. Patogenesis dan PC dan KU dibahas lebih rinci dalam bab masing-masing.



202



Buku Ajar Gastrohepatologi



Tabel 13.5.1. Perbedaan antara KU dan PC Lokasi penyakit



Kolitis Ulserativa



Penyakit Crohn



Saluran pencernaan atas Ileum Ileum dan kolon Kolon



0% 0% Backwash ileitis 90% (predominan pada kolon distal ) +100% Jarang Continuous involment, forehortening, loss of haustra, irregular mucosal margins, normal terminal ileum Hemorrhagic mucosa, diffuse continuous inflammation, pseudopolyps



20% 19% 52% 9% ( predominan pada kolon proksimal) 50% 25% Segmental involvement, skip regions, mural thickening, stenotic separate loops, abnormal terminal ileum Patchy involvement, skip regions, relative rectal sparing, focal aphtae, linear ulcers Transmural inflammation, non-caseating granulomas, prominent lymphoid tissue, preserved goblet cells, fibrosis



Rektum Perianal Radiologi Sigmoidoskopi Histologi



Mucosal and submucosal inflammation, cryptitis, crypt abscess, distortion of architecture



Sumber: Jackson & Grand, 1991.



Penyakit Crohn



9



01



2 Penyakit ini terutama terjadi pada dewasa muda, ditandai dengan ret inflamasi subakut atau a kronis. Ulserasi yang terjadi pada mukosa berhubungan dengan 9 M adanya disproporsi reaksi o r jaringan ikat pada dinding usus, suatu proses yang sering st mengakibatkan stenosis usus dan Ga t berhubungan dengan pembentukan fistula yang multipel. a ap rnontuberkulosa k Sejak pertama kali dikenal sebagai ileitis pada tahun 1813 dengan ntu u karakteristik yang unik sebagai chronic inflammatory disease, yaitu regional ileitis, oleh tro s a Crohn, Ginzburg dan Oppenheimer pada tahun 1932. PC kemudian menjadi lebih G jar heterogen termasuk dalam perubahan anatomi dan histologinya. PC dapat mengenai bagian A u uk manapun dari saluran B pencernaan, tidak hanya regional dan gambaran histologisnya tidak e l i harus ada gambaran F granulomatosa. Pada anak-anak, PC sama dengan yang terjadi pada dewasa, kecuali dalam hal pengaruh terhadap pertumbuhan dan pematangan pada anak dan remaja. Sekarang telah diketahui bahwa PC adalah suatu penyakit kronis, transmural dan proses inflamasinya dapat mengenai berbagai segmen saluran cerna, mulai dari mulut sampai anus, tetapi tidak secara kontinyu. Usus besar adalah sebagai tempat utama yaitu 90% kasus, terutama terjadi pada ileum distal (70%) dan biasanya kombinasi dengan kolitis, yaitu ileokolitis (50%). PC yang mengenai mulut, esofagus dan gaster frekuensinya jarang dan biasanya tidak berdiri sendiri, tetapi disertai dengan kelainan pada tempat lain. Secara klinis sangat sulit untuk diprediksi dengan berbagai variasi respon terhadap terapi dan cenderung untuk berulang dan berakhir dengan tindakan operasi.



Epidemiologi Studi epidemologi penyakit inflamasi saluran cerna pada anak-anak sangat terbatas. Insidensi PC di Skandinavia adalah 5,3 per 100.000 populasi, dengan insidensi spesifik pada usia 15-19 tahun, yaitu 16 per 100.000 dan untuk umur kurang dari 15 tahun 2,5 per 203



Bab 13 Inflammatory Bowel Diseases



100.000. Di Skotlandia, insidensi PC pada anak kurang dari 16 tahun pada tahun 1983 adalah 2,3 per 100.000. Prevalensi PC pada saat itu diperkirakan sekitar 9,5 per 100.000 anak, sedangkan survei oleh British Pediatric Gastroenterelogy Group, prevalensi PC adalah 11 per 100.000 anak berusia diatas 18 tahun. Walaupun insidensi PC pada kebanyakan populasi di negara barat meningkat tajam dari tahun 1950 sampai 1980, tetapi pada penelitian terbaru memperlihatkan adanya penurunan kasus baru. PC lebih banyak terjadi pada orang berkulit putih, mengenai pria dan wanita sama banyak. Sekitar 25% kasus baru PC terjadi pada usia 0,9) antara indeks jaundice dan kadar bilirubin serum. Di pasaran, jaundicemeter sudah dijual dengan beberapa variasi interinstrumen untuk pengukuran berulang. Lebih jauh lagi, dalam suatu penelitian telah tampak bahwa baik indeks jaundice pada usia 24 jam, dan ratio peningkatan indeks jaundice selama 24 jam pertama perkilogram berat badan, berguna untuk memperkirakan timbulnya hiperbilirubinemia. Jaundicemeter telah dianjurkan sebagai sarana skrining yang berguna. Sebagai tambahan, beberapa orang menyatakan bahwa warna kuning pada kulit merupakan indikator risiko yang lebih baik untuk menilai kerusakan otak akibat bilirubin dibandingkan kadar bilirubin serum. Metode yang lebih manual untuk menilai jaundice adalah dengan menggunakan plexiglas color chart yang ditekan ke hidung bayi, ternyata berguna dan lebih murah daripada jaundicemeter dalam penilaian jaundice. Saat ini telah dikembangkan metode noninvasif yang lebih baru, yang dapat membaca bilirubin serum dalam satuan miligram perdesiliter dan efektif terhadap semua warna kulit dan usia kehamilan.



15.5 Neonatal Jaundice Secara umum tidak ada bayi yang jaundice sejak lahir, walaupun jaundice akan timbul segera setelahnya. Hal ini dikarenakan kemampuan plasenta untuk membersihkan bilirubin dari 9 01 t2 sirkulasi fetus dalam beberapa hari berikutnya, hampir semua bayiremengalami peningkatan a M kadar bilirubin serum (>1,4 mg/dl). Dengan meningkatnya9 kadar bilirubin serum, kulit ro menjadi lebih jaundice dengan urutan sefalo-kaudal. Mula-mula ikterus tampak di kepala ast G t dan bergerak ke arah kaudal ke telapak tangan danpatelapak kaki. Kremer menemukan kadar a bilirubin indirek serum sebagai perkembangan k r jaundice, kepala dan leher = 4-8 mg/dl, u t un tubuh sebelah atas = 5-12 mg/dl, tubuho sebelah bawah dan paha = 8-16 mg/dl, lengan dan r t s tangan dan telapak kaki jika >15 mg/dl, walaupun tungkai bawah = 11-18 mg/dl, telapak a r G mg/dl, seluruh tubuh akan ikterik. Cara terbaik untuk demikian jika kadar bilirubin ja>15 A u melihat jaundice adalahukdengan menekan kulit secara hati-hati dengan jari dibawah B e il penerangan yang Fcukup. Setidaknya 1/3 bayi akan tampak jaundice. Kombinasi analisis pada beberapa penelitian besar yang melibatkan ribuan bayi berusia 1 minggu menunjukan bahwa moderate jaundice (kadar bilirubin 15 mg/dl) tampak pada 2% bayi yang mendapatkan ASI dan 0,3% bayi yang mendapat PASI. Terjadi pergeseran dimana lama rawat ibu setelah melahirkan lebih singkat. Dua dekade yang lalu, para ibu dan bayi dirawat di rumah sakit lebih dari 1 minggu setelah kelahiran normal tanpa komplikasi selama perawatan. Selama di rumah sakit, jaundice dinilai setiap hari oleh para dokter dan perawat sehingga dapat didiagnosis dan diterapi, sesuai dengan kegawatan tingginya kadar bilirubin baru-baru ini, dengan kenaikan biaya kesehatan yang begitu tinggi dan adanya organisasi pelayanan kesehatan untuk mengurangi biaya ini, lama perawatan menjadi 2 hari untuk kelahiran spontan dan 4 malam untuk kelahiran secara sectio caesaria. Banyak orang yakin bahwa dalam dekade berikutnya, lama perawatan akan menjadi 6-12 jam setelah melahirkan. Pada beberapa penelitian besar ditemukan bahwa bayi-bayi yang terlalu cepat dibawa pulang ( 24 jam setelah kemoterapi). Obat ini paling efektif apabila diberikan sebagai injeksi intravena, dosis tunggal 30 menit sebelum pemberian kemoterapi dalam dosis berikut: ondansetron, 8 mg; granisetron, 1 mg; dolasetron, 100 mg; atau palonosetron 0,25 mg.4,15,18 Pemberian dosis oral tunggal yang diberikan 1 jam sebelum kemoterapi mungkin sama efektif dengan pemberian intravena 455



Bab 29 Terapi Farmakologi Pada Muntah



dalam rejimen berikut: ondansetron 8 mg, 2x/hari atau 24 mg sekali; granisetron, 2 mg; dolasetron, 100 mg. Meskipun antagonis reseptor 5-HT3 yang efektif sebagai agen tunggal untuk pencegahan mual akibat kemoterapi dan muntah, keberhasilan mereka dapat ditingkatkan dengan terapi kombinasi dengan kortikosteroid (deksametason) dan antagonis reseptor NK1. Rekomendasi dosis: 0,15 mg/kg IV, dengan dosis pertama (diinfuskan selama 15 menit) 30 menit sebelum dimulainya kemoterapi emetogenik, dan dosis berikutnya diberikan 4 dan 8 jam setelah dosis pertama. Dosis maksimum 16 mg (per dosis).16,18,21,22



2. Mual dan muntah pascaoperasi dan pasca radiasi.



Antagonis reseptor 5-HT3 digunakan untuk mencegah atau mengobati mual dan muntah pasca operasi. Karena efek samping dan peningkatan pembatasan penggunaan agen antiemetik lainnya, antagonis reseptor 5-HT3 menjadi semakin banyak digunakan untuk indikasi ini. Mereka juga efektif dalam pencegahan dan pengobatan mual dan muntah di pasien yang menjalani terapi radiasi di seluruh tubuh atau perut. Rekomendasi dosis: 0,1 mg/kg IV lebih dari 2-5 menit segera sebelum/setelah induksi anestesi atau pasca operasi (mual dan/atau muntah terjadi tak lama setelah operasi).1,13,16,17



Efek Samping



9 01 2 t e Antagonis reseptor 5-HT3 yang ditoleransi agen dengan profil yang sangat baik. arkeamanan Efek samping yang paling sering dilaporkan adalah sakit okepala, 9 M pusing, dan sembelit. Semua r keempat agen ini menyebabkan sedikit perpanjangan ast interval QT tapi tidak signifikan G at secara statistik, tapi temuan ini paling menonjol ap pada dolasetron. Meskipun aritmia jantung r k tidak boleh diberikan untuk pasien dengan QT belum dikaitkan dengan dolasetron, obattuini n u berkepanjangan atau bersama dengan obat lain yang dapat memperpanjang interval QT.23–25 o str a G jar A Interaksi Obat uku eB Tidak ada interaksi Fil obat signifikan yang telah dilaporkan dengan antagonis reseptor 5-HT3. Semua keempat agen akan mengalami metabolisme oleh sistem sitokrom P450 hati tetapi mereka tidak mempengaruhi metabolisme obat lain. Namun, obat-obat lain dapat mengurangi klirens hati dari antagonis reseptor 5-HT3 yang kemudian akan mengubah waktu paruh serum mereka.26–28



29.6 Obat-obatan Penetralisir dan Penekan Produksi Asam Lambung Penyakit terkait asam lambung antara lain adalah refluk gastroesofageal, ulkus peptikum (gastrik dan duodenal), kerusakan mukosa yang berhubungan dengan stres. Pada semua kondisi ini, erosi mukosa dan ulserasi muncul karena efek kaustik dari faktor agresif (yaitu asam lambung, pepsin, dan cairan empedu) yang mengalahkan faktor defensif dari mukosa gastrointestinal (mukus dan sekresi bikarbonat, prostaglandin, aliran darah dan proses regenerasi setelah jejas sel). Lebih dari 90% penyakit ulkus peptik disebabkan oleh infeksi Helicobacter pylori atau karena penggunaan obat-obat anti inflamasi non-steroidal 456



Buku Ajar Gastrohepatologi



(NSAID). Obat-obatan yang digunakan pada terapi penyakit-penyakit yang berhubungan dengan asam dibagi menjadi dua macam yaitu obat-obatan yang mengurangi keasaman lambung dan obat-obatan yang meningkatkan pertahanan mukosa.29–34 Tabel 29.6.1. Klasifikasi obat penurun keasaman lambung Inhibitor sekresi asam lambung a. Antihistamin H2: simetidin, ranitidin, famotidin, roksatidin b. Inhibitor pompa proton (proton pump inhibitor/PPI): omeprazol, esomeprazol, lansoprazol, pantoprazol, pantoprazol-S, rabeprazol, dekstrabeprazol c. Antikolinergik: pirenzepin, propantelin, oksifenonium d. Analog prostaglandin: misoprostol Penetralisi asam lambung (antasid) a. Sistemik: natrium bikarbonat, natrium sitrat b. Non-sistemik: maknesium hidroksida, magnesium trisilikat, gel alumunium hidroksida, magaldrat, kalsium karbonat



Obat-obatan yang Mengurangi Keasaman Lambung Fisiologi Sekresi Asam Lambung



9 Sel parietal memiliki reseptor-reseptor untuk gastrin (CCK-B), histamin 01(H2), dan asetilkolin 2 t (muskarinik, M3). Ketika asetilkolin (yang berasal dari nervus vagus are post-ganglionik) atau M 9 gastrin (disekresi dari sel G antrum ke darah) berlekatan dengan reseptor parietal sel, akan ro styang menyebabkan meningkatnya kadar kalsium sitosolik, akan menstimulasi protein a G at kinase yang akan menstimulasi sekresi asam alambung melalui H+/K+-ATPase (pompa p r proton) pada permukaan kanalikuler.29,30,35,36tuk n



Fi



G jar A u uk B e l



u ro ast



Gambar 29.6.1. Mekanisme fisiologis sekresi ion hydrogen oleh sel parietal93 Keterangan: ATPase, H+ /K+-ATPase proton pump; CCK, kolesitokinin; M3-R, reseptor muskarinik (Dimodifikasi dari Kenneth R. McQuaid, MD. Drugs Used in the Treatment of Gastrointestinal Disease http://basicmedicalkey.com/ drugs-used-in-the-treatment-of-gastrointestinal-disease/)



457



Bab 29 Terapi Farmakologi Pada Muntah



Sel parietal memiliki sel tetangga yaitu gut endocrine cells yang disebut sel enterochromaffin-like (ECL). Sel ECL juga memiliki resptor untuk gastrin dan asetilkolin, yang akan menstimulasi pelepasan histamin. Histamin berikatan dengan reseptor H2 di sel parietal, yang akan mengaktivasi adenilil siklase dimana akan meningkatkan kadar cyclic adenosine monophosphate intrasel dan mengaktivasi protein kinase yang menstimulasi sekresi asam lambung melalui H+/K+-ATPase. Pada manusia, dipercaya bahwa efek gastrin pada sekresi asam lambung lebih dimediasi secara tidak lansung melalui rpelepasan histamin dari sel ECL daripada melalui stimulasi langsung ke sel parietal, hal ini sangat berbeda dengan asetilkolin yang mampu menstimulasi sel parietal secara langsung.30,35,37,38 Gambar skema model untuk kontrol fisiologis sekresi ion hidrogen (asam) oleh sel parietal dari kelenjar fundus lambung. Sel parietal dirangsang untuk mensekresi asam (H+) oleh gastrin (bekerja pada reseptorgastrin/CCK-B), asetilkolin (reseptor M3), dan histamin (reseptor H2). Asam disekresi di membran kanalikular sel parietal oleh proton pump H+ /K+-ATPase ke lumen lambung. Gastrin disekresi oleh sel G antral ke dalam pembuluh darah sebagai respon dari adanya peptida makanan intraluminal. Di lambung, gastrin keluar dari pembuluh darah ke dalam jaringan submukosa dari kelenjar fundic, dimana ia akan mengikat reseptor gastrin-CCK-B pada sel parietal dan enterochromaffin-seperti (ECL) sel. Saraf vagus akan merangsang neuron postganglionik dari sistem saraf enterik 9 01 sel parietal dan sel untuk melepaskan asetilkolin (Ach), yang mengikat reseptor M3 pada 2 t are ECL. Stimulasi sel ECL oleh gastrin (CCK-B reseptor) atauMasetilkolin (reseptor M3) akan 9 merangsang pelepasan histamin. Di dalam lumen antrum lambung, stimulasi vagal dari tro s a neuron enterik postganglionik akan meningkatkan G pelepasan gastrin secara langsung oleh atpeptide, GRP) dan secara tidak langsung p stimulasi sel G antral (melalui gastrin-releasing a kr akan menghambat sekresi somatostatin ntudari sel D antral. Sel D antral dirangsang untuk



Fi



jar A u uk B e l



ou str a G



Gambar 29.6.2. Mekanisme kerja obat-obat menetralisir dan menekan produksi asam lambung94 (Dimodifikasi dari S.J. Konturek, T. Brzozowski, P.C. Konturek, M.L. Schubert, W.W. Pawlik, S. Padol, J. Bayner http://www. aboutcancer.com/stomach_anatomy.htm. http://www.jpp.krakow.pl/journal/archieve/08_08_s2/article/01_article.html)



458



Buku Ajar Gastrohepatologi



9 01 2 t are Gambar 29.6.3. Aspek fungsional dari sekresi lambung, menunjukkan jalur stimulasi dan penghambatan utama yang mengatur M 95 9 sekresi asam lambung ro (Dimodifikasi dari http://alviziahealthcare.com/ATMOZOLE-D.html) ast G at ap r melepaskan somatostatin oleh kenaikan konsentrasi H+ intraluminal dan oleh CCK yang tuk unI duodenum dalam menanggapi adanya protein dilepaskan ke dalam aliran darah olehrosel st dan lemak (tidak ditampilkan). Pengikatan reseptor somatostatin pada sel G antral yang Ga r a j berdekatan akan menghambat A pelepasan gastrin lebih lanjut. ku u eB Fil



Agonis Reseptor H2



Sejak diperkenalkan pada tahun 1970-an sampai awal 1990-an, antagonis reseptor H2 (umumnya disebut H2 blocker) merupakan obat yang paling banyak diresepkan di dunia. Dengan diketahuinya peran Helicobacter pylori pada penyakit ulkus peptikum (yang dapat diterapi dengan pengobatan antibiotik yang memadai) dan mulainya penggunaan PPI, maka penggunaan H2 blocker saat ini sudah banyak ditinggalkan.



Sifat-sifat Kimia dan Farmakokinetik Empat antagonis reseptor H2 yang dipakai adalah simetidin, ranitidin, famotidin, dan nizatidin. Keempat obat ini secara cepat diserap dari usus. Simetidin, ranitidin, dan famotidin menjalani proses first pass metabolism hepatik yang menyebabkan bioavaibilitasnya menjadi 50%, sedangkan nizatidin hanya sedikit terkena efek first pass metabolism hepatik. Waktu paruh serum dari keempat obat ini hanya berkisar antara 1,1-4 jam, tetapi durasi kerjanya berdasarkan dosis yang diberikan. Antagonis H2 yang beredar dibersihkan dari serum melalui metabolisme hepatik, filtrasi gromerular, dan sekresi tubulus ginjal. Pengurangan dosis diperlukan pada pasien yang memiliki gangguan ginjal tingkat sedang sampai berat.39,40 459



Bab 29 Terapi Farmakologi Pada Muntah



ANTRUM SOMATOSTATIN



FUNDUS



Okreotid/sst



ENS



Antikolinergik



GASTRIN



ST2 G(CCK B) +



M1 +



Sel ECL



H



Sirkulasi darah



H



H



AA COX1 OAINS Antagonis H2



Okreotid/SST



Antikolinergik



ST2 -



Sel G



Sel D



Antagonis H2



Minoprostat



PGE &I Antikolinergik



M? +



EP3 +



EP3 +



Sel epitel mukosa non-parietal



M3 +



SEL PARIETAL ATPase



+ PROTEIN



G(CCK B) +



H 1



H



Sel epitel mukosa



+



Proton pump inhibitor



+



Mukus & bikarbonat



+



K



PH 15 tahun >15 tahun



Jenis kelamin Kadar (U/L) 9 1 L,P 80 U/L), dan rasio AST/ALT >1. Faktor risiko klinis untuk u B i le NASH danFfibrosis berat meliputi panhypopituitarism dan diabetes tipe 2. [Strength 1, Evidence B] 3. Penggunaan USG tidak direkomendasikan untuk penentuan steatosis berkait kurangnya spesifitas dan sentivitas USG. USG dapat digunakan untuk menentukan penyakit hati lain seperti massa, penyakit kandung empedu, perubahan yang berkait dengan hipertensi portal, dll. [Strength 1, Evidence B] 4. Penggunaan CT-scan tidak direkomendasikan untuk menentukan steatosis berkait risiko radiasi. [Strength 1, Evidence B] Namun demikian, meskipun mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang terbatas, USG dan tes fungsi hati masih merupakan pilihan pertama dalam mendiagnosis NAFLD pada anak.16,17 Temuan radiologis dan histopatologi harus ditafsirkan dengan hati-hati, karena kadar aminotransferase serum dapat tetap normal pada sebagian besar kasus anak, terlepas dari tingkat keparahan penyakit dan sering diabaikannya steatosis hati pada kasus NASH anak yang advanced berkontribusi pada kesimpulan bahwa USG hati tidak sensitif. Bahkan ada literature yang mengatakan bahwa biopsi hati tidak selalu dapat diandalkan pada 508



Buku Ajar Gastrohepatologi



ALAT DIAGNOSTIK Kecurigaan klinis tinggi



1



2



3



Gambaran klinis



Biomarker serum



Biomarker serum



• Kelebihan BB/obesitas • Hipertensi (penyakit kardiovaskular) • Resistensi insulin (DM tipe 2) • > 3 tahun • Riwayat keluarga dengan NAFLD • Hepatomegali • Acanthosis nigricans



• • • • • •



Transaminase ALT, AST Bilirubin total Penanda proinflamasi Penanda profibrogenik Sitokin Penanda apoptosis hepatosit • Profil lipid (trigliserida, asam lemak bebas, kolesterol) • Autoantibodi serum



• • • •



USG abdomen MRI Computerised tomography Elastografi transien



4 Biomarker serum



• Inflamasi • Fibrosis • Infiltrasi selular



Gambar 33.6.2 Alat diagnostik untuk anak dan remaja dengan NAFLD5



kasus pediatrik NAFLD karena lesi steatosis hati kurang menyebar dan 9 ditandai dengan 01 2 t perubahan histopatologi yang kurang jelas.5,10,17,18 re Ma pasien dengan NAFLD, Peningkatan kadar berbagai biomarker telah diketahui pada 9 ro apolipoprotein A1, bilirubin termasuk AST dan ALT, fragmen sitokeratin 18 (CK-18), ast G at total, asam hyaluronic, C-reaktif protein, fibroblast ap growth factor-21, antagonis reseptor r k sampai saat ini, belum ada biomarker yang interleukin 1, adiponektin, dan TNF. Namun, ntu u dapat membedakan antara simple steatosis dan NASH.5 o str a GALT) adalah biomarker serum yang paling sering dirujuk Aminotransferase (AST dan ar j A untuk mengetahui kerusakan u hati pada berbagai macam penyakit hati, termasuk NAFLD. uk Pemeriksaan ini dapat diakses dengan mudah, biayanya rendah dan peningkatannya pada B e Fil dengan diagnosis dan tingkat keparahan NAFLD pada dewasa.5,16,19,20,21 berbagai studi dikaitkan Pada sebuah studi multisenter dengan sampel 176 anak, AST dan GGT dapat memprediksi baik NAFLD maupun NASH tetapi kurang dapat membedakan secara akurat dan andal kasus NASH dari steatosis sederhana.22 Namun, konsensus mengenai nilai normal aminotransferase sampai saat ini belum ditentukan. Penelitian lain dari 502 subyek usia 18-64 tahun dengan NAFLD menunjukkan penurunan progresif ALT berjalan linier seiring dengan bertambahnya usia, sedangkan AST tetap stabil, hal ini menunjukkan bahwa peningkatan ALT pada usia anak mungkin kurang dapat digunakan sebagai alat diagnosa dibanding pada dewasa.21 Hal penting yang harus diketahui adalah beberapa studi telah melaporkan bahwa pada dua pertiga dari anak-anak dengan NASH tidak didapatkan peningkatan serum ALT dan AST, bahkan pada penyakit yang parah.23-25 Nilai AST dan ALT yang normal tidak menyingkirkan kemungkinan adanya kerusakan hati yang parah atau adanya fibrosis pada NAFLD anak. Ketika dijumpai nilai AST dan ALT yang meningkat maka kecurigaan akan adanya kelainan hati harus ditingkatkan, terutama pada anak dengan obesitas dan overweight dengan riwayat keluarga NAFLD, sehingga AST dan ALT dapat digunakan sebagai alat skrining NAFLD.5



509



Bab 33 Non Alcoholic Fatty Liver Disease



USG dikatakan merupakan alat yang efektif untuk mengidentifikasi steatosis hepatis dan NASH ringan pada anak. Pada penderita NAFLD hati biasanya membesar dan tampak echogenic atau bright, yang mengindikasikan adanya akumulasi lemak dalam parenkim hati. Namun demikian USG tidak dapat menghitung peningkatan sesungguhnya dari steatosis yang terjadi. Dan sensitivitas USG menurun secara signifikan pada kasus-kasus dimana akumulasi lemak di hati < 30% pada individu dengan obesitas berat dan pada NASH berat.19,26,27 USG juga tidak dapat membedakan antara steatosis fokal dan steatohepatitis. Efektivitas USG juga sangat tergantung pada operator.5 Biopsi hati tetap merupakan baku emas untuk mendiagnosis NAFLD, membedakan antara simpel steatosis dan NASH dan menentukan tingkat keparahan kerusakan hati, inflamasi dan fibrosis.12,28 Biopsi juga dapat menyingkirkan kelainan hati yang lain, akan tetapi biopsi hati merupakan prosedur yang invasif dengan risiko yang tentunya lebih besar dibanding prosedur lain dan tidak cocok digunakan sebagai alat skrining, khususnya pada anak-anak. Biopsi juga mahal dan kemungkinan kesalahan saat sampling juga ada, dimana analisa histologi dengan sampel yang kecil tidak dapat mewakili keseluruhan liver. Sehingga, bahkan hasil biopsi yang normal tidak dapat mengeksklusi NAFLD dan harus selalu dipertimbangkan dalam hubungannya dengan gambaran klinis yang lebih luas.5 Guideline terbaru yang dipublikasikan oleh American Association 9 for the Study of Liver 01pada pasien di bawah 2 Diseases (AASLD) merekomendasikan biopsi hati hanya dilakukan t are 10 tahun dengan riwayat keluarga dengan NAFLD, hepatosplenomegali, hasil laborat M 9 o yang abnormal, yang meliputi peningkatan transaminase, resistensi insulin, tidak adanya r st Ga autoantibodi dan hasil yang inkonklusif dari tesatbiokimia untuk penyakit liver yang berat/ ap progresif.12 kr



ntu



rG 33.7 Tata Laksana Aja ku



u ro ast



Bu anak dengan NAFLD sampai saat ini merupakan tantangan. Hal Tatalaksana efektife untuk l i ini dikarenakanF kurangnya validasi biomarker non-invasif dan kurangnya pengetahuan tentang perjalanan alamiah penyakit. Penelitian yang berkualitas tentang tatalaksana NAFLD memerlukan penilaian histologis asessmen hati atau, minimal, pengukuran kuantitatif non-invasif dari lemak hati dan / atau fibrosis dan pengukuran biokimia tentang inflamasi hati (ALT). Penurunan ALT yang bermakna atau normalisasi juga dapat menjadi pengganti pada uji coba pengobatan NAFLD, khususnya dalam studi fase awal, tapi kurang akurat dibanding pemeriksaan histologi atau radiologi.13 Target terapi NAFLD adalah tercapainya regresi NAFLD, dimana hal ini didefinisikan sebagai penurunan steatosis, inflamasi dan / atau fibrosis. Tujuan berikutnya adalah resolusi NASH. Pada anak waktu pencapaian regresi ini tidak diketahui. Penurunan ALT dapat digunakan sebagai penanda perbaikan histologi NAFLD.29,30 Pengukuran ALT pada 1 titik kurang memiliki korelasi dengan fenotip NAFLD, penurunan nilai ALT 10 U/L lebih dari 96 minggu berhubungan dengan 1.28 odds ratio peningkatan keadaan histologi dan 1.37 odds rasio resolusi NASH.30 Tujuan lain dari terapi NAFLD adalah untuk mengurangi kelebihan adiposa dalam rangka memperbaiki dislipidemia, resistensi insulin, tekanan darah tinggi dan adipositas sentral, yang semuanya terkait erat dengan NAFLD, dan juga dengan Diabetes Mellitus 510



Buku Ajar Gastrohepatologi



Tipe 2 (DMT2) dan risiko Cardio Vascular Disease (CVD). Pada anak-anak, komorbiditas NAFLD (diabetes, CVD, dan hipertensi) merupakan pertimbangan penting dalam tatalaksana NAFLD dalam rangka meningkatkan pencapaian klinis di masa depan.13



Rekomendasi13 1. Sampai saat ini penanda non invasif untuk peningkatan NAFLD belum didapatkan, sehingga penurunan terus-menerus dari ALT dari baseline dapat digunakan sebagai penanda respon terhadap pengobatan, khususnya untuk jangka waktu ≤ 1 tahun. [Strength 2, Evidence C] 2. Penilaian derajat fibrosis dari waktu ke waktu merupakan penanda yang dapat diterima sebagai penilaian hasil pengobatan pada anak-anak selama periode waktu yang lebih lama (≥ 2 tahun) dimana cara ini membutuhkan biopsi hati untuk menentukan derajat fibrosis. [Strength 2, Evidence C] Saat ini intervensi perubahan pola makan dan gaya hidup merupakan terapi utama untuk pediatric NAFLD karena eratnya hubungan antara NAFLD dengan berat badan lebih dan obesitas.13 Pendekatan perubahan gaya hidup multidisiplin intensitas sedang hingga tinggi (> 25 jam kontak selama lebih dari 6 bulan) telah terbukti paling efektif dalam 9 penatalaksanaan masalah berat badan anak.31 01 2 t re Data yang tersedia tidak mendukung keunggulan satu diet Ma dibanding diet yang lain 9 o untuk pengobatan NAFLD (misal: diet indeks glikemik trendah dibandingkan diet rendah sr lemak). Dua percobaan RCT besar menunjukkan tbahwa Ga pengurangan minuman manis pa dapat menurunkan adipositas pada anak-anakradengan NAFLD.32,33 Didapatkan manfaat k tu yang jelas dari intervensi diet dan aktivitas un fisik pada anak-anak dengan NAFLD, sehingga o r perubahan diet dan aktivitas fisisk merupakan lini pertama teraapi NAFLD pada anak.13 ast



Rekomendasi13



i



G jar A u uk B e l



F hidup yang terdiri dari perbaikan pola makan dan peningkatan aktivitas 1. Modifikasi gaya fisik direkomendasikan sebagai pengobatan lini pertama untuk semua anak dengan NAFLD. [Strength 1, Evidence B] 2. Menghindari minuman manis direkomendasikan sebagai strategi untuk mengurangi adipositas. [Strength 1, Evidence A] 3. Meningkatkan aktivitas fisik intensitas sedang hingga tinggi dan membatasi waktu di depan layar TV/monitor 2 cm kemungkinan hilang spontan kecil sehingga harus dilakukan pengobatan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya keganasan kandung empedu setelah beberapa dekade kemudian.19,20,23,26,27,28



Pengobatan Medikamentosa Asam ursodeoksikolat dan asam kenodeksikolat berguna untuk pengobatan batu kolesterol. Pemberian hidroksi urea dapat menurunkan frekuensi batu empedu pada penyakit hemolitik. Extra corporeal shock wave litotrophy dapat digunakan pada batu empedu tanpa gejala dan radiolusen.29,30



519



Bab 34 Penyakit Kandung Empedu pada Anak



34.4 Diskinesia Kandung Empedu Diskinesia kandung empedu adalah akalkulus-kolesistitis kronis atau juga disebut nyeri empedu tanpa batu. Pada anak dihubungkan dengan infeksi virus, bakteri enteral seperti Salmonella, Shigella, E Coli, Streptococcus dan Pneumonia. Secara objektif disebut diskinesia kandung empedu apabila fraksi ejeksi kandung empedu dengan pemberian infus analog kolesistokinin memberikan hasil < 35 %, didapatkan uptake pada hati dan masuk ke duodenum pada pemeriksaan HIDA scan. Pada pemeriksaan USG akan terlihat penebalan dinding kandung empedu, distensi, adanya sludge dalam lumen disertai edema subserosal tetapi tidak ada gambaran batu. Kondisi ini merupakan salah satu indikasi dilakukan kolesistektomi. Gambaran hasil pemeriksaan histopatologi adalah kolesistitis kronik.21



34.5 Ringkasan Penyakit kandung empedu pada anak sebagian besar asimtomatis. Faktor risiko utama batu empedu antara lain penyakit hemolitik, obesitas, umur, gender, genetik, ras dan geografi. Pemberian seftriakson yang terlalu sering dapat menjadi faktor risiko. Walaupun kedua jenis kelamin pada anak dapat terkena batu empedu, tetapi mulai usia 9 pubertas risiko anak 01 2 t perempuan menderita batu empedu meningkat dibanding laki-laki. Pada setiap penyakit are M batu empedu perlu dicari kemungkinan penyebabnya Batu empedu dengan ukuran < 2 cm 9 o r perlu dilakukan evaluasi secara periodik, sedang bila st > 2 cm perlu diberikan pengobatan Ga t untuk mencegah komplikasi. pa



Daftar Pustaka



o str



a rG a j A



tuk un



ra



1. Miltenburg DM, Schaffer R, III, Breslin T, Brandt ML.Changing indications for pediu uk B atriccholecystectomy.Pediatrics.2000;105 (6):1250–1253. i le 2. Friesen CA, FRoberts CC. Cholelithiasis.Clinical characteristics in children. Case analysis and literature rreview. Clin Pediatr(Phila).1989;28(7):294–298. 3. Shafer AD, Ashley JV,Goodwin CD, Nangas VN Jr, Elliott D. A newlook at the multi- factorial etiology of gall bladder disease in children. Am Surg.1983;49(6):314–319. 4. WesdorpI, Bosman D, de Graaff A , Aronson D, van der Blij F, Taminiau J . Clinical pre-sentations and predisposing factors of cho-lelithiasis and sludge in children. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2000;31(4):411–417. 5. Lobe TE. Cholelithiasis and cholecystitisin children. Semin Pediatr Surg.2000;9(4): 170–176. 6. Calabrese C, Pearlman DM. Gallbladder disease below the age of 21 years.Surgery 1971; 70(3): 413–415. 7. Herzog D,BouchardG.High rate of complicated idiopathic gallstone disease in pediatric patients of a North American ter-tiary care center. World J Gastroenterol. 2008;14(10):1544–1548. 8. Bogue CO, Murphy AJ, Gerstle JT, Moineddin R, Daneman A. Risk factors, complications, and out comes of gallstones in children :a single-center review. J Pediatr Gastro- enteral Nutr.2010;50(3):303–308. 9. Glenn F.25-year sex perience in the surgical treatment of 5037 patients with non- malignant biliary tract disease. Surg Gynecol Obstet. 1959;109:591–606. 10. Al-Homaidhi HS, Sukerek H, Klein M, Tolia V. Biliary dyskinesia in children. Pediatr Surg. Int. 2002;18(5-6):357–360.



520



Buku Ajar Gastrohepatologi



11. Holcomb GW, Jr, O’NeillJA, Jr, Holcomb GW III. Cholecystitis, cholelithiasis and common ductstenosis in children and adolescents. Ann Surg. 1980;191(5):626–635. 12. Kaechele V, Wabitsch M, Thiere D, et al. Prevalence of gallbladder stone disease in obese children and adolescents: influence of the degree of obesity, sex, and pubertal development. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2006;42(1):66–70. 13. Koivusalo AI, Pakarinen MP, Sittiwet C, etal. Cholesterol, non cholesterolsterols and Bile acids in paediatric gallstones. Dig Liver Dis. 2010;42(1):61–66. 14. Friesen CA, Roberts CC. Cholelithiasis. Clinical characteristics in children. Case analysis and literature review. ClinPediatr (Phila) 1989;28(7):294-8. 15. Roslyn JJ, Berquist WE, PittHA, etal. Increased risk of gallstones in children receiving total parenteral nutrition. Pediatrics 1983;71(5):784–789. 16. King DR, Ginn-Pease ME, Lloyd TV, Hoffman J, Hohenbrink K. Parenteral nutrition with associated cholelithiasis: another iatrogenic disease of infants and children. J Pediatr Surg.1 987;22(7):593–596. 17. Debray D, Pariente D, Gauthier F, Myara A, Bernard O. Cholelithiasis in infancy: a study of 40 cases. J Pediatr 1993;122(3) :385–391. 18. Ogden CL,Carrol MD, Curtin L R, Mc Dowell MA, Tabak CJ, Flegal KM. Prevalence of overweight and obesity in the United States, 1999-2004. JAMA.2006;295(13):1549–1555. 19. Angelico M, Gandin C, Canuzzi P, Bertasi S, Cantafora A, De Santis A, etal. Gallstones in cystic fibrosis: a critical appraisal. Hepatology. 1991;14(5):768–75.[PubMed:1937382]. 9 20. Stringer MD, Taylor DR, Soloway RD. Gallstone composition: are children 01 different? .J Pediatr. 2 t 2003;142(4):435–40. are 9 M and Fisherman DS. Clinical 21. Mehta S, Lopez M, Chumpitazi BP, Mazzioti MV, Brandto ML, r Characteristics and Risk Factors for Symptomatic Pediatric ast Gallbladder Disease. Pediatr 2012, G 129: e 82 – 88. at ap A, Vacca M, Baldassarre G, et al. Impaired r 22. Portincasa P, Moschetta A, Berardino M, Di-Ciaula k ntutransit contribute to pigment gallstone and biliary gallbladder motility and delayed oro-cecal u ro sludge formationin beta-thalassemia ast major adults. World J Gastroenterol. 2004;10(16):2383–90. G 23. Friesen CA, Roberts CC. Cholelithiasis. Clinical characteristics in children. Case analysis and jar A literature review. Clin Pediatr (Phila) 1989;28(7):294-8[PubMed:2661103]. ku uAA, B 24. Karami H, Sahebpour Ghasemi M, Karami H, Dabirian M, Vahid-shahi K, et al. Hyaline e Fil vascular-type Castleman’s disease in the hilum of liver: A case report. Cases J. 2010;3:74.doi: 10.1186/1757-1626-3-74. 25. Reif S, Sloven DG, Lebenthal E. Gallstones in children. Characterization by age, etiology, and outcome. Am J Dis Child. 1991;145(1):105–8. 26. Bailey PV, Connors RH, Tracy TJ, Sotelo-Avila C, Lewis JE, Weber TR. Changing spectrum of cholelithiasis and cholecystitis in infants and children. Am J Surg. 1989;158(6):585–8. [PubMed:2511775]. 27. Wyllie R, Hyams JS, Kay M. Pediatric gastrointestinal and liver disease. 5th ed. Philadelphia, PA: Elsevier ;2016. 28. Vegunta RK, Raso M, Pollock J, Misra S, Wallace LJ, Torres AJ, et al. Bil-iary dyskinesia: the most common indication for cholecystectomy in children. Surgery. 2005;138(4):726–31. 29. Carey MC, Small DM. The physical chemistry of cholesterol solubility in bile. Relationship of all stone formation and dissolution in man. J Clin Invest. 1978;61(4):998–1026. 30. Mousavi SA, Karami H, Barzegarnejad A.The effect of extra corpo-real shock wave lithotripsyin the management of idiopathic gall-stones in children. JIndian Assoc Pediatr Surg. 2014;19(4):218– 21.doi:



521



BAB



35



Sirosis Hati pada Anak Bagus Setyoboedi



35.1 Ilustrasi kasus Seorang bayi wanita 7 bulan, BB 7 kg datang dengan keluhan perut membesar, terlihat semakin membesar sejak 2 bulan yang lalu. Penderita juga nampak kuning sejak usia 2 minggu dan tidak mendapatkan pengobatan apa-apa, hanya dijemur saja, warna feses pucat kadang kehitaman. Pada pemeriksaan fisik didapatkan anak tampak lemah, kesadaran compos mentis, nadi 120 x/m, 50 x/m, temperatur 37,8ºC, anemis dan ikterus. Distensi abdomen, ukuran hepar 6 x 6 x 5 cm dengan konsistensi padat keras. Lien membesar S4/H2. Didapatkan pula asites, vena dinding perut prominen dan edema pada tungkai bawah. Pemeriksaan laboratorium: Hb 8,4 g/dL, Lekosit 13.800/cumm, trombosit 185.000 / cumm, hitung jenis 3/-/-/6/50/41/-, bilirubin direk 12, 1 mg/dL, bilirubin total 15,83 mg/ dL; SGOT 204 iu/L, SGPT 176 iu/L, AFP 708 iu/L, γ-GT 258, albumin 2,1 g/dL, dan PPT/ APTT yang memanjang. Urin lengkap: bilirubin +, urobilin +, sedimen urin eri -/ leko 3-5/epitel 2-3/cyst + asam urat; dan feses lengkap lembek putih, sterkobilin negatif. Hasil USG menunjukkan hepatomegali dengan gambaran ekoparenkim yang kasar, dan asites. Apakah diagnosa kerja kasus tersebut?



35.2 Pendahuluan Sirosis adalah proses difus, ditandai dengan fibrosis dan regenerasi nodular, yang menyebabkan disorganisasi arsitektur hati.  Sirosis dapat diklasifikasikan dalam beberapa cara, berdasarkan morfologi, histologi, etiologi dan kriteria klinis.  Karena sirosis adalah tahap akhir dari beberapa jenis penyakit hati yang progresif, klasifikasi etiologi sering penting untuk perencanaan terapi.1 Sirosis merupakan penyebab utama rawat inap dan kematian karenapenyakit hati pada penderita dewasa.  Sementara kejadianpada anak masih belum banyak diketahui. Kemajuan dalam teknologi diagnostik dan pengobatan, terutama operasi transplantasi liver, memberikan kontribusi signifikan terhadap tata laksana penderita dengan sirosis hati.  Saat ini, mayoritas anak-anak yang didiagnosis dengan sirosis pada tahun-tahun pertama kehidupannya dapat tumbuh dan berkembang mencapai usia dewasa.1,2 522



Buku Ajar Gastrohepatologi



Infeksi virus hepatitis dan alkohol merupakan penyebab paling umum sirosis hati pada dewasa. Pada anak, atresia bilier dan sindroma kolestasis intrahepatik herediter merupakan penyebab terbanyak penyakit hati kronis yang dapat berakhir dengan sirosis.2  Penyebab paling umum dari sirosis pada tahun-tahun pertama kehidupan adalah atresia bilier dan penyakit metabolik bawaan, sedangkan pada anak-anak, sirosis biasanya disebabkan oleh penyakit hepatitis virus kronis dan autoimun.  Penyebab 5-15% kasus sirosis pada anak tidak dapat ditentukan, kondisi ini disebut kriptogenik. Sirosis kriptogenik pada anak diduga disebabkan oleh perkembangan penyakit perlemakan hati atau sindrom metabolik yang kompleks, seperti mitokondriopati.3 Tabel 35.2.1. Berbagai penyakit yang berpotensi mengakibatkan sirosis pada anak1 Obstruksi saluran empedu • atresia bilier • kista duktus koledokus • batu empedu • stenosis saluran empedu



Obat dan racun: • nutrisi parenteral total • isoniazid • metotreksat • keracunan vitamin A



Kolestasis intrahepatik familial: • sindroma Alagille • defisiensi FIC1 (ATP8B1) • defisiensi BSEP (ABCB11) • defisiensi MDR3 (ABCB4) • gangguan sintesis asam empedu



Penyakit autoimun: • hepatitis autoimun • primary sclerosing cholangitis



ro



Infeksi virus hepatotropik: • hepatitis B dan D • hepatitis C • hepatitis E



jar



Penyakit genetik-metabolik yang diwariskan: uA • defisiensi alfa-1-antitripsin Buk e • glicogenosis tipe III dan FiIVl • galaktosemia • fruktosemia • tirosinemia tipe 1 • penyakit Wilson • hepatopati mitokondrial • porfiria kulit lanjut • fibrosis kistik • hemokromatosis • penyakit Wolman



9



01



2 ret a 9M



Perubahan vaskuler ast t G Budd-Chiari • a sindroma r• appenyakit veno-oklusif k tu • ardiopati kongenital un o • gagal jantung kongestif r st • perikarditis konstriktif Ga



Lainnya • penyakit perlemakan hati • hepatitis neonatal • penyakit Zellweger



35.3 Patogenesis Berbagai jenis cidera hati kronis dapat menyebabkan fibrosis. Penyakit hati akut yang dapat sembuh sendiri (misalnya hepatitis A akut), tidak selalu merusak arsitektur hati sehingga tidak menyebabkan fibrosis meskipun terjadi kerusakan hepatosit, bahkan pada tipe fulminan. Pada tahap awal, fibrosis hati dapat mengalami regresi jika penyebabnya bersifat reversibel dan dapat kita hilangkan. Setelah berlangsung lama (berbulan-bulan atau 523



Bab 35 Sirosis Hati pada Anak



tahun) atau cedera kronis berulang, fibrosis akan menjadi permanen. Fibrosis hati dapat berkembang lebih cepat, misalnya pada obstruksi saluran bilier.4 Dua hal utama yang mendasari patofisiologi sirosis hati, yaitu: fibrosis hati dan regenerasi sel-sel hati. Fibrosis hati dapat terjadi akibat reaksi penyembuhan luka yang berlebihan pada hati yang dipicu adanya suatu cedera kronis terutama jika ada komponen inflamasi. Keadaan tersebut menyebabkan tertimbunnya jaringan ikat di hati akibat produksi berlebih dan/ degradasi yang tidak sempurna dari matriks ekstraseluler. Regulator pertumbuhan mendorong hiperplasia hepatoselular (menghasilkan nodul regenerasi) dan pertumbuhan arteri (angiogenesis) sebagai respon terhadap adanya kerusakan dan hilangnya sel-sel hati. Regulator pertumbuhan yang ada di hati meliputi sitokin dan hepatic growth factor(epithelial growth factor, hepatocyte growth factor, transforming growth factor-α, dan tumor necrosis factor). Insulin, glukagon, dan pola aliran darah intrahepatik menentukan bagaimana dan di mana nodul berkembang.5 Mekanisme lain terjadinya fibrosis atau sirosis hati adalah melalui mekanisme kolangiopati. Kolangiopati merupakan reaksi duktus (proliferasi sel-sel duktus empedu atau kolangiosit) terhadap kerusakan atau sumbatan saluran bilier, yang diketahui sebagai pemicu terjadinya fibrosis porta. Proliferasi intensif sel-sel epitel saluran empedu (kolangiosit) ini berhubungan dengan perubahan signifikan pada 9sel-sel mesenkim di 1 20 sekitarnya. Awalnya terjadi pada fibroblas porta, diikuti aktifasi stellate cell (HSC) t hepatic e r 5,6 a melalui invasi parenkim dan matriks ekstra seluler (ECM).M 9 ro terjadi pembentukan pembuluh t Dalam selubung fibrosa yang mengelilingi nodul s Ga darah baru akibat proses angiogenesis. Pada atperkembangannya, proses tersebut akan p a arteri hepatika dan vena porta dengan membentuk “jembatan” yang menghubungkan kr u t n jalur sirkulasi intrahepatik. Interkoneksi yang vena hepatika sebagai usaha memulihkan ou r t terjadi menyebabkan volume Gdarah as menjadi relatif rendah dan tekanan drainase vena r mengakomodasi darah dalam jumlah yang banyak seperti a tinggi, sehingga tidak dapat j A kuberakibat terjadi peningkatan tekanan vena porta dan hipertensi biasa. Kondisi tersebut u B dari fibrosis menjadi sirosis dan morfologi sirosis bervariasi porta.7 Tingkat Fperkembangan i le pada setiap penderita. Variasi tersebut kemungkinan disebabkan tingkat paparan terhadap stimulus/bahan berbahaya dan respon individu.8



35.4 Diagnosis Riwayat Penyakit dan Manifestasi Klinis Diagnosis sirosis hati dapat ditegakkan dengan beberapa pemeriksaan, meliputi :9 • Tes fungsi hati, tes koagulasi, darah lengkap, dan tes serologi virus penyebab • Biopsi hati • Identifikasi penyebab berdasarkan evaluasi klinis



Pendekatan umum Penderita dengan manifestasi komplikasi seperti tertera pada Tabel 35.4.1 dapat dicurigai kemungkinan adanya sirosis. Terutama pada manifestasi komplikasi hipertensi porta atau asites perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan ada atau tidaknya 524



Buku Ajar Gastrohepatologi



sirosis. Sirosis dini harus dipertimbangkan pada penderita dengan gejala nonspesifik atau kelainan laboratorium yang terdeteksi secara kebetulan saat pemeriksaan laboratorium, khususnya pada penderita yang memiliki suatu kelainan atau mengkonsumsi obat yang dapat menyebabkan fibrosis. Pemeriksaan yang dilakukan bertujuan untuk mendeteksi sirosis dan setiap komplikasi yang terjadi, serta menentukan penyebabnya.10 Tabel 35.4.1. Gejala dan tanda umum komplikasi sirosis Gejala atau Tanda Distensi perut Rasa tidak nyaman di perut disertai demam atau ensefalopati hepatik (kadang dengan tanda-tanda peritoneal) Jari tabuh (clubbing finger)



Kemungkinan Penyebab Asites Peritonitis bakteri spontan



Kebingungan, letargi



Ensefalopati Hepatik



Sesak, hipoksia



Sindroma Hepatopulmoner



Kelelahan, pucat



Overload cairan, oliguria, gejala gagal ginjal Fraktur akibat kerapuhan Penyakit kuning Peteki, purpura, perdarahan



Pruritus, santelasma Perdarahan rektum Splenomegali Steatorrhea



ku Pendarahan saluran cerna atas e Bu Fil



Anemia karena perdarahan, hipersplenisme, gizi buruk dengan defisiensi folat (atau besi atau vitamin B12), penyakit kronis, atau efek alkohol (supresi sumsum tulang) Sindroma Hepatorenal 9 Osteoporosis 01 2 t Kolestasis re Trombositopenia dari: splenomegali Ma karena hipertensi porta; efek 9 langsung alkoholtpada ro sumsum tulang. as karena gangguan fungsi sintesa hati, kekurangan KoagulopatiGbaik at vitamin ap K, atau keduanya. r tukKolestasis



n



rG Aja



u ro ast



Sindroma Hepatopulmoner



Varises rektum Hipertensi Porta



Malabsorpsi lemak Varises Esofagus Gastropati akibat hipertensi porta



Pemeriksaan Laboratorium Uji diagnostik diawali dengan tes fungsi hati, tes koagulasi, darah lengkap, dan tes serologi untuk virus penyebab (misalnya, hepatitis B dan C). Pemeriksaan laboratorium sendiri dapat meningkatkan kecurigaan pada sirosis tetapi tidak dapat menegakkan diagnosis.11 Biopsi hati penting untuk menegakkan diagnosis, karena diagnosis yang jelas akan mengarah pada manajemen dan hasil yang lebih baik.12 Hasil pemeriksaan laboratorium mungkin normal atau mendeteksi adanya kelainan nonspesifik akibat komplikasi sirosis.  Kadar ALT dan AST umumnyahanya sedikit meningkat. Kadar alkali fosfatase dan γ-glutamil transpeptidase (GGT) biasanya normal, jika meningkat menunjukkan adanya kolestasis atau obstruksi saluran empedu. Bilirubin umumnya juga normal, tetapi bila meningkat menunjukkan proses sirosis sedang berlangsung, terutama pada sirosis bilier.  Penurunan serum albumin dan pemanjangan 525



Bab 35 Sirosis Hati pada Anak



waktu protrombin (PT) mencerminkan terjadinya gangguan fungsi sintesis hati yang merupakan tahap akhir penyakit.  Serum globulin meningkat pada sirosis dan gangguan hati yang disertai komponen inflamasi.  Anemia umum terjadi dan biasanya normositik dengan RDW tinggi.  Penyebab anemia sering multifaktorial: mikrositik dari perdarahan gastrointestinal kronis; makrositik karena kekurangan asam folat atau hemolisis dan hipersplenisme.13



Diagnostik Radiologis Pemeriksaan radiologis sangat tidak sensitif atau spesifik untuk diagnosis sirosis, tetapi seringkali dapat mendeteksi komplikasi yang terjadi.  Pada sirosis lanjut, ultrasonografi menunjukkan gambaran nodular dan ukuran hati mengecil. Ultrasonografi juga dapat mendeteksi adanya hipertensi porta dan asites.10 CT-scan juga dapat mendeteksi tekstur nodular, tetapi tidak lebih baik dari ultrasonografi.  Radio-nuklir hati menggunakan technetium-99m mungkin dapat menunjukkan serapan tidak beraturan pada hati, serta meningkat limpa dan sumsum tulang serapan.  Sedangkan pemeriksaan MRI biayanya lebih mahal dan hanya memiliki sedikit keuntungan.14



Endoskopi



9



01



2 ret a 9M



ro Endoskopi merupakan metode terbaik untuk evaluasi ast keberadaan, ukuran dan perluasan G varises lambung, esofagus dan duodenum. Selain at itu, dapat juga membantu mendiagnosa ap prospektif temuan endoskopi pada anakr gastropati hipertensi (kongesti).9,15 Sebuah studi tuk nbahwa anak dengan atresia bilier menemukan adanya red cherry sign dan varises lambung u o str perdarahan gastrointestinal.16  Kerusakan mukosa berkaitan dengan peningkatan arisiko G lambung atau gastropati A hipertensi ditandai dengan dilatasi atau ektasi pembuluh darah jar u k di mukosa dan submukosa tanpa tanda-tanda inflamasi. Meskipun kriteria ini tidak selalu u le B digunakan padaFianak-anak, studi temuan endoskopi pada 51 anak-anak dengan hipertensi porta ditemukan kondisi tersebut pada 59% dari 28 anak dengan sirosis.17Endoskopi juga penting untuk menyingkirkan penyebab lain dari perdarahan gastrointestinal, seperti ulkus lambung atau duodenum dan Mallory-Weiss.18 



Biopsi Hati Jika hasil pemeriksaan klinis dan penunjang noninvasif masih meragukan, maka dipertimbangkan untuk dilakukan biopsi hati yang memiliki sensitifitas mendekati 100%.  Non-alkohol steatohepatitis (NASH), yang sering dikaitkan dengan obesitas, diabetes, atau sindrom metabolik, dapat terlihat pada USG scan tetapi memerlukan biopsi hati untuk konfirmasi.  Pada kasus sirosis yang ditandai dengan koagulopati, hipertensi porta, asites, dan kegagalan hati, biopsi sebaiknya tidak dilakukan bila tidak merubah tatalaksana penderita.19,20



526



Buku Ajar Gastrohepatologi



Tes Lain Pengukuran HVPG orang dewasa merupakan metode terbaik untuk menilai keberadaan dan tingkat keparahan hipertensi portal, dan dapat digunakan untuk memantau efektivitas pengobatan.21 Namun, prosedur ini masih belum rutin dilakukan pada anak-anak. CT-scan dan MRI perut perlu dilakukan untuk penilaian pre-transplantasi penderita dengan atresia bilier.  Modalitas pencitraan tersebut memungkinkan identifikasi anomali kongenital atau perubahan akibat sirosis (pirau portosistemik, trombosis porta) yang mungkin memerlukan modifikasi teknik bedah.22  Sebagian besar dari metode ini belum diteliti secara ekstensif pada anak karena invasif. Pemeriksaan angiografi biasanya hanya dilakukan pada anak sebagai bagian dari penilaian pra operasi portosystemic shunt atau transplantasi hati.21



Identifikasi Penyebab Identifikasi penyebab spesifik dari sirosis membutuhkan informasi klinis dari riwayat penyakit, temuan pada pemeriksaan fisik, dan pemeriksan penunjang.10  Sirosis bilier akibat sumbatan saluran bilier (misalnya atresia bilier) merupakan 9 penyebab terbanyak sirosis pada usia dini (bayi). Umumnya didapatkan 01 riwayat ikterus 2 t sejak tiga bulan pertama kehidupan, disertai adanya feses pucat, are kencing gelap (seperti M 9 teh), dan perut membesar (hepatomegali). Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan o str transpeptidase (GGT).23 a peningkatan bilirubin direk, alkali fosfatase, dan γ-glutamil G at ap C penting, jika didapatkan adanya Pemeriksan serologi virus hepatitis B rdan k paparan terhadap virus tersebut baik secara ntu vertikal maupun horizontal. Deteksiantigen u o permukaan hepatitis B (HBsAg) danstrantibodi IgG pada hepatitis B (anti-HBc IgG) dapat a G mengkonfirmasikan adanya hepatitis B kronis, sedangkan identifikasi antibodi serum r ja A hepatitis C (anti-HCV) dan HCV-RNA untuk hepatitis C.13 ku u B Jika penyebabileumum seperti sirosis bilier atau hepatitis virus tidak didapatkan, F dipertimbangkan untuk mencari penyebab lainnya yang lebih jarang terjadi:4 • Keberadaan antibodi antimitokondrial (AMA) pada 95% penderita sirosis empedu primer (PBC). • Sumbatandan dilatasi dari saluran empedu ekstrahepatik dan intrahepatikpada pemeriksaan magnetic resonance cholangio-pancreatography (MRCP) menguatkan dugaan kolangitis sclerosing primer (PSC). • Peningkatan Fe dan transferin serum didukung hasil pemeriksaan genetik mengarah pada hemochromatosis. • Penurunan seruloplasmin serum dan peningkatan tembaga menunjukkan penyakit Wilson. • Hipergamaglobulinemia dan adanya autoantibodi (antinuclear antibodies/ANA or antismooth antibodies/SMA) mengarah pada hepatitis autoimun. • Alkohol merupakan kemungkinan penyebab pada penderita dengan riwayat peminum alkohol dan didukung temuan klinis seperti ginekomastia, spider angiomas (telangiektasia), atrofi testis.



527



Bab 35 Sirosis Hati pada Anak



35.5 Tata Laksana Pengobatan Penyebab Karena fibrosis/sirosis merupakan respon terhadap kerusakan hati, pengobatan primer harus fokus pada menghilangkan penyebab yang mendasari kerusakan hati. Terapi medis khusus padaberbagai penyakit hati dilakukan sebagai upaya untuk mengurangi gejala dan/atau mencegah terjadinya sirosis, misalnya prednison dan azatioprin untuk hepatitis autoimun, interferon dan obat antivirus lainnya untuk hepatitis B dan C, flebotomi untuk hemokromatosis, asam ursodeoksikolat untuk sirosis bilier, serta trientin dan zinc untuk penyakit Wilson.9,10  Tetapi hal tersebut menjadi semakin kurang efektif jika telah berkembang menjadi sirosis.  Setelah sirosis berkembang, pengobatan ditujukan untuk pengelolaan komplikasi yang terjadi, diantaranya perdarahan varises, asites, dan ensefalopati hepatik.  Namun, keluhan konstitusional kronis pada penderita juga perlu mendapat perhatian. Transplantasi hati diindikasikan pada penderita gagal hati stadium akhir yang memenuhi syarat.10



Pengobatan Suportif



19



20 Secara umum, pengobatan suportif meliputi penghentikan eobat-obatan hepatotoksik, rt a dukungan nutrisi (termasuk vitamin tambahan), serta penanganan kelainan dasar dan M 9 ro hati harus dikurangi. Penderita komplikasiyang terjadi. Dosis obat yang dimetabolisme dalam t s Ga mencegah perdarahan.9,10 dengan varises esophagus perlu diberikan terapiatuntuk p ra Sebagian besar penderita mengalami yang mungkin juga diperburuk oleh kanoreksia, u t un kompresi asites pada saluran cerna.o Penderita harus menerima cukup kalori dan protein r ast penambahan suplemen nutrisi cair dan bubuk sering dalam makanan mereka, sehingga G jar bermanfaat bagi. Jarang A didapatkan penderita yang mengalami intoleransi protein, baik ku sayuran, dan suplemen gizi. Anjuran pemberian diet rendah dalam bentuk ayam, ikan, u B i le protein untuk Fmengantisipasi terjadinya ensefalopati hepatik mungkin menempatkan penderita pada resiko semaki berkurangnya massa otot (wasting).10 Pemberian asam ursodeoksikolat (15 mg/kg, po, 1x/hari) dapat menghambat laju kerusakan hati, memperpanjang hidup, dan menunda kebutuhan transplantasi hati. Sekitar 20% penderita akan jatuh pada kondisi lanjut yang tidak menunjukkan perbaikan biokimia setelah ≥ 4 bulan, dan memerlukan transplantasi hati dalam beberapa tahun.10,23  Pruritus dapat dikontrol dengan kolestiramin  6-8 g, po, 2x/hari.  Obat pengikat anionik ini akan mengikat garam empedu dalam lumen usus, sehingga dapat memperburuk terjadinya malabsorpsi lemak.  Jika kolestiramin  diberikan dalam jangka panjang, perlu dipertimbangkan pemberian suplemen vitamin yang larut dalam lemak. Kolestiramin dapat mengurangi penyerapan asam ursodeoksikolat, sehingga obat ini tidak boleh diberikan secara bersamaan.Beberapa penderita dengan pruritus respon terhadap pemberian asam ursodeoksikolat dan sinar ultraviolet, namun ada juga yang tidak menunjukkan respon sehingga perlu dipertimbangkan pemberian rifampisin atau antagonis opioid (naltrekson).10  Penderita dengan malabsorpsi lemak akibat gangguan aliran empedu ke usus perlu diberikan suplemen vitamin A, D, E dan K.9,10,23 528



Buku Ajar Gastrohepatologi



Pengobatan Antifibrosis Pengobatan yang ditujukan untuk membalik proses fibrosis umumnya terlalu toksik untuk penggunaan jangka panjang (misalnya kortikosteroid, penisilamin), dan tidak terbukti efektif (misalnya, kolkisin).  Beberapa pengobatan antifibrotik lainnya masih dalam penelitian.  Kombinasi beberapa obat antifibrotik mungkin akan terbukti lebih menguntungkan.24



35.6 Komplikasi Gangguan Nutrisi Malnutrisi merupakan faktor prognostik yang penting, yang dapat mempengaruhi perjalanan klinis penyakit hati kronis dan berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas baik pada periode pra dan post-transplant.25 Kebutuhan energi yang tinggi pada anak dan remaja, disertai gejala anoreksia dan mual dapat mempersulit penanganan gizi buruk.26 Anak dengan penyakit hati kronis kebutuhan gizinya meningkat.  Penderita dengan risiko kekurangan gizi memerlukan 20-80% lebih banyak kalori daripada anak sehat untuk 9 mencapai pertumbuhan normal.27  Rekomendasi ini bertujuan untuk01memastikan bahwa 2 t e anak memiliki energi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mengatasi defisit r a Mpenyakit gizi yang disebabkan oleh kebutuhan energi meningkat akibat hati sirosishati dan 9 o r 28 t s mencegah katabolisme protein. a tG a p Asupan protein tidak perlu dibatasi bilaratidak ada hiperamonemia.  Bayi dengan k sirosis disertai kolestasis memerlukan asupan ntu protein 2-3 g/kg BB/hari untuk mencapai u pertumbuhan yang normal dan sintesis ro endogen. Suplementasi protein hingga 4 g/kg ast G BB/hari umumnya aman dan diperlukan untuk menjaga pertumbuhan yang normal dan ar j 27 A menghindari katabolisme berlebihan. u uk B Lipid merupakan komponen makanan penting pada anak dengan penyakit hati, dan e Fil berkisar 30-35% dari total kalori dalam diet. Medium-chain triglycerides harus diperhitungkan (MCT) harus 30-50% dari asupan lemak, karena dapat diserap langsung oleh epitel usus dan tidak memerlukan garam empedu untuk pencernaan dan penyerapan.  Meskipun suplemen MCT sangat penting untuk pengelolaan gizi anak dengan kolestasis, trigliserida rantai panjang tidak boleh dihilangkan, untuk tetap menyediakan asam lemak esensial dan penyerapan molekul larut lemak.25,26 Kekurangan vitamin larut lemak merupakan masalah umum, terutama pada anakanak dengan kolestasis. Oleh karena itu, kadarnya harus tetap dipantau.28 Nutrisi oral harus selalu jadi pilihan utama, meskipun suplemen enteral atau parenteral mungkin diperlukan jika tidak semua kebutuhan gizi dapat dipenuhi dari asupan oral.  Suplementasi enteral umumnya direkomendasikan ketika asupan oral kurang dari 60% dari kebutuhan energi yang direkomendasikan atau dalam kasus-kasus gizi buruk.29



Infeksi Penderita dengan sirosis sangat rentan terhadap infeksi, dan yang paling umum adalah peritonitis bakterial spontan (SBP).  Infeksi saluran kencing dan pernapasan juga umum 529



Bab 35 Sirosis Hati pada Anak



terjadi. Pada penderita dengan sirosis, infeksi dapat menyebabkan komplikasi ensefalopati, asites dan sindrom hepatorenal.30 Langkah-langkah pencegahan yang direkomendasikan meliputi suplementasi gizi, vaksinasi dan antibiotik profilaksis untuk prosedur invasif. Vaksinasi pneumokokus dan meningokokus direkomendasikan untuk anak dengan asplenia fungsional karena hipertensi portal. Pada anak dengan sirosis yang direncanakan transplantasi hati, program vaksinasi harus dipertimbangkan untuk dipercepat.31



Varises Gastroesofagus dan Perdarahan Gastrointestinal Pecahnya varises gastroesofagus adalah penyebab paling umum dari perdarahan gastrointestinal pada anak dengan sirosis. Kondisi ini merupakan komplikasi yang paling parah dari sirosis dan dianggap sebagai kedaruratan medis.  Tatalaksana perdarahan gastrointestinal akibat varises gastroesofagus pada anak umumnya sama dengan orang dewasa, yang diklasifikasikan dalam terapi farmakologi, endoskopi, mekanik dan bedah.32



Asites Asites adalah komplikasi umum pada sirosis anak, terutama anak19dengan penyakit hati 33 20 terminal pada usia yang lebih muda dan umumnya dengan prognosis ret yang buruk.  Penderita a anak dengan peningkatan mendadak dalam asites atau episode 9 M baru dari retensi air perlu o r dilakukan paracentesis.34  Analisis cairan asites berguna ast untuk membedakan asites dari G hipertensi portal dengan penyebab lain. Gradien t antara albumin serum dan cairan asites pa adihitung r (serum-ascites albumin gradient/SAAG) yang dengan mengurangkan konsentrasi tuk dapat mendiagnosa hipertensi portal dengan n albumin dari cairan asites dari serum albumin u tro g/dL. Uji amilase, sitologi, reaksi polimerase berantai akurasi 97% jika lebih besar darias1,1 G (polymerase chain reaction/PCR) dan kultur bakteri/jamur juga harus dilakukan pada jar A u kasus dengan ketidakpastian diagnostik atau jika diduga asites pankreas, tumor ganas atau k u B 35 e tuberkulosis. Fil Dalam kebanyakan kasus, asites akibat sirosis dapat diatasi pembatasan diet sodium dan penggunaan diuretik. Namun, anak dengan diet rendah sodium harus dipantau secara hati-hati, karena pembatasan diet tersebut sering membuat rasa tidak enak dan mengurangi asupan makanan. Pembatasan cairan sangat dianjurkan dalam kasus hiponatremia dengan kadar natrium serum di bawah 125 mEq/L. Jika diperlukan diuretik, spironolactone (1-6 mg / kg per hari) sebagai pilihan utama dan jika perlu dikombinasikan dengan loop diuretik seperti furosemide (1-6 mg/kg/hari).  Kombinasi dengan furosemide menurunkan risiko hiperkalemia karena peningkatan ekskresi kalium. Diuretik tiazid dapat digunakan untuk terapi pemeliharaan.  Selama perawatan diuretik hingga penderita stabil, pemeriksaan laboratorium harus sering dilakukan untuk memverifikasi elektrolit serum, kreatinin, urea darah dan kadar natrium urin.  Kehilangan cairan berlebih dapat menyebabkan berkurangnya plasma dan kerusakan fungsi ginjal.18 Penderita dengan asites refrakter disertai gangguan pernapasan dapat diobati dengan paracentesis dengan volume besar.  Pengeluaran cairan asites bisa dilakukan hingga 100 mL/kg pada satu waktu dengan back-up infus albumin pasca-paracentesis (1 g/kg albumin 25%). Infus albumin dan furosemide dapat digunakan untuk mengobati penderita dengan 530



Buku Ajar Gastrohepatologi



albumin serum di bawah 2 mg / dL. Pada asites refrakter berat atau berulang, dapat dilakukan transjugular intrahepatic portosystemic shunt / TIPS sebagai jembatan untuk transplantasi hati. Namun, prosedur ini mungkin berhubungan dengan peningkatan risiko gagal ginjal dan ensefalopati.18 Penderita dengan asites harus menghindari beberapa obat, misalnya  antibiotik aminoglikosida dapat meningkatkan risiko gagal ginjal, dan anti-inflamasi non-steroid menyebabkan risiko tinggi retensi natrium, hiponatremia dan gagal ginjal.35



Peritonitis Bakterial Spontan Peritonitis bakterial spontan (spontaneous bacterial peritonitis/SBP) adalah infeksi bakteri asites tanpa bukti adanya perforasi usus atau sumber infeksi intraabdominal lain.  Infeksi biasanya bersifat monomikrobial dan disebabkan oleh  E. coli,  Klebsiella  spp.  dan  Enterococcusfaecalis.  Infeksi polimikrobial merupakan indikasi adanya perforasi usus atau peritonitis sekunder.  SBP merupakan komplikasi yang relatif umum dan berpotensi menjadi penyebab kematian pada anak dengan asites.18 Terjadinya hipertensi portal pada penderita dengan sirosis meningkatkan kerentanan terhadap bakteremia dan SBP. Fenomena tersebut mungkin disebabkan oleh translokasi bakteri usus 9 dan defisit sistem kekebalan tubuh. Pertumbuhan bakteri yang berlebihan 01 dan perubahan 2 36 t dalam permeabilitas usus diduga memainkan peranan penting dalam are translokasi bakteri.   M 9 SBP harus selalu dipertimbangkan pada anak dengan ro sirosis dan asites bila disertai t s a dengan demam, sakit perut atau leukositosis. FaktorGrisiko SBP diantaranya adalah asites, t a p hipoalbuminemia, perdarahan gastrointestinal,raperawatan di pediatric intensive care unit/ k PICU dan pemeriksaan endoskopi.37 ntu u ro Anak dengan SBP biasanya diobati ast dengan sefalosporin intravena generasi ketigaselama G 14 hari. Sebagai pencegahan, antibiotik harus selalu digunakan selama prosedur invasif. Jika jar A SBP berulang, penggunaan uantibiotik profilaksis oral seperti kotrimoksazol, ciprofloksasin uk 37 B atau norfloksasin dapat dipertimbangkan. e il



F



Ensefalopati Hepatik Ensefalopati hepatik (hepatic encephalopathy/HE) adalah gangguan fungsi otak yang disebabkan oleh insufisiensi hati dan/atau portosystemic shunt.  Penyebab utama HE adalah infeksi. Perdarahan gastrointestinal, dosis diuretik berlebihan, ketidakseimbangan elektrolit dan konstipasi juga sering dikaitkan dengan kondisi ini. HE juga dapat disebabkan oleh kelebihan asupan protein, obat anestesi dan penenang. Penderita dengan HE datang dalam berbagai manifestasi neurologis dan psikiatris, mulai dari perubahan subklinis hingga koma. Gejala awal HE pada anak kadang tidak nyata, diantaranya keterlambatan perkembangan, kesulitan akademis, lesu atau gangguan pola tidur. Perubahan kepribadian, gangguan intelektual, berkabut kesadaran (obtundation), pingsan dan koma mungkin juga terjadi pada anak dengan HE.38 Diagnosis HE pada anak melibatkan indeks kecurigaan yang tinggi. HE ringan bahkan lebih sulit untuk didiagnosa, mengingat kesulitan melakukan tes psikometri dan tidak adanya pengukuran tervalidasi yang dapat digunakan. HE pada anak biasanya didiagnosis berdasarkan gejala klinis. Tes psikometri yang mengevaluasi fungsi memori dan neuromotor 531



Bab 35 Sirosis Hati pada Anak



sering digunakan untuk menilai penderita dengan ensefalopati ringan. Wechsler Intelligence Scales dan the Dutch Child Intelligence test paling umum digunakan pada anak. Tes lain yang sederhana dan dapat diandalkanuntuk penilaian HE ringan adalah critical flicker frequency test, namun hanya dapat digunakan pada anak usia lebih dari 8 tahun.38 Penggunaan obat sedatif (terutama benzodiazepin dan opiat) pada penderita HE harus dihindari, karena dapat memperburuk ensefalopati. Identifikasi dan pengobatan penyebab HE sangat penting untuk penyembuhan penyakit pada lebih kurang 90% kasus.  Diet rendah protein berkepanjangan harus dihindari,  ketika diperlukan pembatasan protein, asupan harus dikurangi menjadi 2-3 g/kg BB/hari. Disakarida yang tidak diabsorbsi adalah pengobatan pilihan untuk penderita dengan HE. Dosis optimal laktulosa pada anak adalah 0,3-0,4 mL/kg, 2-3 x/hari.18,38 Sebuah studi terapi laktulosa 22 anak dengan sirosis dan HE mendapatkan pemulihan lengkap pada 73% dari penderita.39 Beberapa antibiotik, seperti neomycin, vankomisin, metronidazole dan rifaximin, dapat digunakan untuk mengurangi jumlah bakteri yang memproduksi amonia dalam saluran pencernaan.38  



Gagal Hati Acute-on-Chronic



Gagal hati acute-on-chronic (acute-on-chronic liver failure/ACLF) adalah penurunan 9 dari faktor ekstra secara akut fungsi hati pada penderita dengan sirosis yang disebabkan 01 2 t re Infeksi bakteri didapatkan atau intrahepatik. Data epidemiologi ACLF jarang didapatkan. Ma 9 pada 50% kasus.  Faktor pencetus yang paling umum o pada anak adalah infeksi.  ACLF str a dapat berkembang menjadi dekompensasi dan kegagalan multi organ, sehingga angka tG a p kematiannya tinggi. Kematian penderita rawat ra inap dengan sirosis sangat terkait dengan infeksi. Penderita dengan sirosis yang nterinfeksi virus hepatitis menunjukkan penurunan tuk u fungsi hati yang sangat cepat.40 stro



a rG a j A Sindroma Hepatopulmonal ku u eB Sindroma hepatopulmonal (hepatopulmonary syndrome/HPS) adalah komplikasi umum Fil



pada penderita dengan hipertensi portal dan sirosis, ditandai dengan vasodilatasi intrapulmonal yang menghasilkan cukup oksigenasi.  Diagnosis HPS harus dilakukan hanya ketika kecurigaan klinis tinggi, karena manifestasi klinisnya samar dalam tahap awal penyakit. Adanya tiga gejala, yaitu disfungsi hati, pirau arteriovena dan saturasi O2 rendah, penting untuk diagnosis.41  HPS berbeda dari hipertensi paru (dikenal juga sebagai hipertensi portopulmonal) yang memiliki etiologi vasokonstriksi. Hipertensi ringan sampai sedang dapat diperbaiki dengan transplantasi hati.42



Sindroma Hepatorenal Sindroma hepatorenal merujuk pada penderita dengan sirosis yang menunjukkan penurunan progresif fungsi ginjal. Ada dua jenis sindroma hepatorenal (hepatorenal syndrome/HRS), yaitu: HRS Tipe 1 dikaitkan dengan gagal ginjal progresif cepat dan memiliki harapan hidup yang sangat rendah (waktu hidup rata-rata hanya 2 minggu jika tidak diobati);  HRS tipe 2 berhubungan dengan gagal ginjal progresif lambat dan memiliki prognosis yang lebih baik 532



Buku Ajar Gastrohepatologi



dari pada tipe 1. Anak-anak juga bisa menunjukkan perubahan dalam fungsi ginjal setelah transplantasi hati, terutama karena pengobatan dengan inhibitor kalsineurin.35



Perubahan Hematologi Pemeriksaan laboratorium koagulasi dasar (PT, APTT) yang digunakan untuk mengevaluasi risiko perdarahan, mempunyai hubungan yang lemah dengan kejadian atau durasi perdarahan setelah biopsi hati atau prosedur yang berpotensi menimbulkan perdarahan lainnya. Namun demikian, penderita dengan kolestasis dan waktu protrombin memanjang harus menerima suplemen vitamin K parenteral. Dosis yang dianjurkan untuk anak adalah 2-10 mg IV, 1x/hari selama 3 hari, atau 5-10 mg IM/minggu. Infus plasma segar beku/FFP (5-10 mL/kg) dan krioglobulin dan/atau transfusi trombosit juga dapat digunakan sebagai pengobatan untuk perdarahan atau profilaksis terhadap pendarahan selama prosedur biopsi hati.43 Anemia kronis umum terjadi pada penderita dengan sirosis, dan kemungkinan disebabkan oleh kehilangan darah, kekurangan zat besi dan kadar asam folat rendah akibat retensi natrium dan air, dan hemolisis sekunder pada hipersplenisme.18



Karsinoma Hepatoseluler



9



01



2 ret a 9M



Karsinoma hepatoseluler (hepatocellular carcinoma/HCC) tro dapat terjadi pada penderita s a dengan penyakit hati kronis. Pada penderita anak, HCC t G mungkin terjadi dari perkembangan pa penyakit kolestatik, metabolik, maupun virus. raPatogenesisnya kompleks dan melibatkan k u t baik faktor genetik maupun lingkungan. Gejala-gejala yang umum didapatkan adalah rasa un o r tidak nyaman di perut, distensi, dan skesulitan makan. Massa abdomen juga dapat dideteksi t Ga pada pemeriksaan fisik atau USG, disertai peningkatan kadar alpha-fetoprotein.44 r ja A Penelitian di Italiaumenemukan HCC pada 2% dari 103 anak-anak dengan sirosis ku B e yang menjalani transplantasi hati primer. Meskipun muncul pada usia dini, prognosisnya Fil setelah transplantasi hati sangat baik dan tidak didapatkan kekambuhan.45 Kejadian HCC dilaporkan pada anak dengan atresia bilier dan sindroma Alagille46, serta remaja dengan hepatitis B atau C kronis.47,48 Anak-anak dengan sirosis apapun etiologinya harus menjalani pemeriksaan USG perut dan pengukuran kadar alpha-fetoprotein setiap 6 bulan atau setidaknya setiap tahun.44,49



35.7 Monitoring dan Prognosis Penderita dengan sirosis, terutama jika karena virus hepatitis kronis B atau C atau hemochromatosis, harus dilakukan skrining dan monitoring terhadap kemungkinan terjadi karsinoma hepatoseluler (misalnya, mengukur kadarα-fetoprotein dan ultrasonografi setiap 6-12 bulan).13 Prognosis sering tak terduga. Hal ini tergantung pada beberapa faktor, seperti etiologi, beratnya penyakit, adanya komplikasi, penyakit penyerta, kondisi penderita, dan efektifitas



533



Bab 35 Sirosis Hati pada Anak



terapi.50 Sistem skor Child-Turcotte-Pugh digunakan untuk mengelompokkan tingkat keparahan penyakit, risiko bedah, dan prognosis dengan menggunakan informasi klinis dan laboratorium (Tabel 35.7.1).51 Tabel 35.7.1. Sistem skor Child-Turcotte-Pugh51 Faktor klinis atau laboratorium Ensefalopati († grade)



Asites



Prothrombin time (memanjang detik) Atau INR (internasional normalized ratio) Albumin (g / dL)



Bilirubin (mg / dL)



Sedang (B): 7-9



G jar A u uk B e l



Skor 1 2 3 1 2 3



6 2,3 9 01 > 3,5 2 t re 2,8-3,5 Ma 9 2 mg/dL pada pasiendengan asites yang berespon terhadap terapi. Hiponatremia yang dipicu diuretik didefinisikan sebagai penurunan natrium serum >10 mmol/lLsampai 6 mmol/L meskipun dengan pengukuran yang tepat.



(Modifikasi dari Moore et al., 2003). II + III + IV +



Asites mudah terdeteksi tetapi volumenya relative tidak banyak. Asites yang mudah terlihat dengan inspeksi tetapi tidak tegang Asites yang sangat tegang



9



01



2 ret a 9M



Terjadinya asites refrakter tidak ditentukan oleh tro tingkat keparahan asites, namun s a ditentukan berdasarkan kriteria kriteria diagnostik t Gpada Tabel 36.6.3.



36.7 Diagnosis



r tuk n u



a ap



ro ast G r Asites harus dibedakan dari abdomen yang disebabkan oleh penyebab lain seperti jadistensi A u k obesitas, meteorismus, Bu obstruksi mekanik, kista abdomen, atau massa. Asites refrakter dapat emonitoring l dideteksi dengan serial progresivitas penambahan cairan asites melalui cara i F



pengukuran lingkar perut secara rutin selama mendapat pengobatan diuretik. Pengukuran lingkar perut harus dilakukan pada tempat yang sama setiap harinya. Berat badan harus ditimbang setiap hari sebagai penanda adanya peningkatan atau penurunan yang signifikan akibat cairan asites.



Anamnesis Pada anamnesis perlu ditanyakan gejala dan tanda yang mengarah pada etiologi tertentu dan kemungkinan komplikasinya.



Pemeriksaan Fisis Asites dapat dideteksi dengan pemeriksaan fisis shifting dullness yang mempunyai sensitivitas 60-88% dan spesifisitas 56-90%. Pemeriksaan yang lebih sensitif dan lebih mudah dikerjakan untuk memeriksa cairan asites pada anak kecil adalah "puddle sign". Pemeriksaan undulasi memerlukan 2 pemeriksa, posisi pasien terlentang dan pasien yang kooperatif. Pemeriksaan ini mempunyai sensitivitas 20-80% tetapi spesifisitasnya cukup tinggi yaitu 82-100%.11 544



Buku Ajar Gastrohepatologi



Pemeriksaan Penunjang Pencitraan 1. Foto polos abdomen Walaupun tidak terlalu jelas untuk mendiagnosis asites, namun hasil foto polos abdomen mungkin bisa memberikan gambaran asites berupa pergeseran colon ke tepi garis preperitoneal, di bagian central terlihat gambaran usus halus yang mengambang dan terpisah dari batas tepi liver dan limpa. Adanya akumulasi cairan di rongga pelvis memberikan gambaran peningkatan densitas di atas kandung kemih yang disebut dogears signs.2



2. Ultrasonografi abdomen



USG abdomen cukup sensitif untuk mendeteksi asites. USG abdomen dapat mendeteksi minimal 100 ml cairan asites di rongga peritoneal. Bila cairan asites bertambah banyak akan tampak akumulasi cairan di area pericolic gutters (Morison’spouch), di sekitar liver dan limpa. Adanya gambaran ekho pada cairan asites menunjukkan adanya eksudat, jendalan darah atau keganasan.2,11



9 01 2 t re CT abdomen dapat menunjukkan gambaran akumulasi cairan ekstrapankreatik pada anak Ma 9 dengan pankreatitis akut dan gambaran asites dengan rdensitas tinggi pada peritonitis o st adengan tuberkulosa. Chylous ascites dapat ditunjukkan baik pemeriksaan CT ataupun G t a p USG berupa gambaran unique biphasic fat-fluidralevel ketika pasien dalam posisi berbaring. k MRI sangat bagus untuk mendeteksi akumulasi ntu cairan ekstraperitoneal, cairan bebas atau u o terlokalisir di rongga abdomen. Keuntungan MRI adalah paparan radiasi rendah dan bagus str a G diterapkan pada anak karena waktu pemeriksaan lebih pendek.5,18 jar A u uk B Berikut merkupakan pemeriksaan penunjang yang dapat membantu mengarahkan e Fil pada etiologi tertentu:



CT dan MRI abdomen



1. Darah perifer a. Hitung jenis leukosit: Cairan asites normal mengandung < 500 leukosit/mL dan < 250 leukosit polimorphonuklear/mL. Inflamasi dapat menyebabkan peningkatan leukosit. Hitung jenis leukosit >350/μL menunjukkan adanya infeksi. Jumlah neutrophil > 250 sel/mL sangat mengarah ke peritonitis bakterial. Limfosit yang dominan biasanya terjadi pada peritonitis tuberkulosis danperitoneal karsinoma. Jika sel polimorfonuklear meningkat lebih mengarah ke infeksi bakteri, sedang bila sel mononuklear yang meningkat maka patut dicurigai adanya infeksi tuberkulosis atau jamur. b. Hitung jenis eritrosit > 50.000/μL menunjukkan asites perdarahan yang biasanya disebabkan oleh keganasan, tuberkulosis atau trauma. 2. Pemeriksaan urin 3. Tes fungsi hati 4. Tes fungsi ginjal 5. Parasentesis (invasif): merupakan prosedur penting dalam proses penegakkan diagnosis terutama untuk menentukan berbagai macam etiologi asites dan menyingkirkan 545



Bab 36 Asites Refrakter



komplikasi seperti spontaneous bacterial peritonitis (SBP) dengan melakukan analisis cairan asites.



Parasentesis Indikasi 1) 2) 3) 4)



Asites yang baru pertama kali terjadi Pasien sirosis dengan asites pada saat rawat inap Pasien sirosis dengan asites disertai tanda-tanda infeksi Pasien sirosis disertai asites dengan perburukan kondisi yang tidak diketahui penyebabnya.11,19



Kontraindikasi 1) 2) 3) 4)



Disseminated intravascular coagulation (DIC) Fibrinolisis primer Ileus dengan distensi abdomen Bekas luka operasi pada area akan dilakukan parasentesis.22



9



01



Analisis cairan asites 1. Warna dan konsistensi.



ro



2 ret a 9M



st Cairan asites biasanya berwarna spesifik translusen Ga dan kekuningan. Perubahan warna t a pada penyakit yang mendasarinya (Tabel dan konsistensi cairan asites dapat mengarah rap k 36.7.1). tu



n ou r t 2 s Tabel 36.7.1. Warna cairan asites secara makroskopis Ga tergantung penyakit yang mendasarinya r ja Warna cairan asites Penyakit uA k u Hipertensi portal Jernih atau pucat e B Keganasan, trauma abdomen, tindakan invasif seperti biopsi hati atau kolangiografi transhepatik Berwarna merah darah Fil Purulen Chylous (seperti susu) Hitam/ seperti teh Coklat



Peritonitis piogenik Sirosis, trauma duktus torakikus, limfoma Asites karena penyakit pankreas Hiperbilirubinemia (paling sering), kandung empedu atau perforasi bilier, kista duktus koledokus



2. Hitung jenis dan kultur cairan asites



Infeksi bakteri cairan asites biasanya adalah monomikrobial dengan konsentrasi bakteri yang rendah. Hasil kultur dengan metode pemeriksaan rutin sekitar 40–60 %, namun dengan teknik bedside inoculation, yaitu memasukkan10 mL cairan asites ke dalam botol kultur darah akan meningkatkan kemungkinan hasil positif hingga 90%.20



3. Pengecatan Gram Pada SBP pengecatan gram memberikan hasil positif kurang dari 10%. Pemeriksan ini mungkin bermanfaat pada kasus SBP dengan kecurigaan perforasi karena biasanya terdapat infeksi multi organism.2



546



Buku Ajar Gastrohepatologi



4. Serum-ascites albumin gradient (SAAG) SAAG adalah pemeriksaan analisis cairan asites terbaik untuk mengklasifikasikan apakah cairan asites terjadi akibat hipertensi portal (SAAG >1.1 g/dL) atau non hipertensi portal (SAAG 250



Bakterasitis neutrositik kultur negatif



>250



Positif (1 organisma) 9



Bakterasitis non-neutrositik monomikroba



2,5 (50%) hemoragik, chylous



< 1,1



Neoplasma



Kekuningan, hemoragik, musinus, atau chylous Chylous, kekuningan atau kehijauan Kekuningan atau chylous Kekuningan



>2,5 (75%)



< 1,1



20%



>1000 (50%); jenis sel bervariasi



10,000/L 7% >1000 (70%), biasanya > 70% limfosit



Kondisi



uk



G at p a r



t Kadar un o r ↑ (>200amg/dL) st r G IU/L) atau 5x kadar serum ↑ja(>1000 A ku ↓ u ↑ (> 240 IU/L) eB Fil ↑ (> 6 mg/dL) dan lebih dari bilirubin serum



Adenosine deaminase (ADA)



↑ (> 20–40) U/L



Pemeriksaan lain Biopsi peritoneal, pewarnaan dan kultur untuk basilus acid fast, Aseitic flaid ADA naik Sitologi, cell block, biopsi peritoneal



Biopsi peritoneal, pewarnaan dan kultur basilus acid fast Jika chylous, ekstraksi ether, pewarnaan sudan



Pewarnaan Gram positif, kultur Peningkatan amilase pada cairan asitik dan serum



Interpretasi Asites chylous Pankreatitis, trauma pankreas Tuberkulosis dan peritonitis bakterial Perforasi usus halus, hollow viscous trauma Asites bilier (ruptur kista koledokus), perforasi duktus bilier Asites tuberkulosis



36.8 Tata Laksana Penanganan asites pada anak mempunyai banyak tantangan yang tidak dijumpai pada pasien dewasa. Tujuan terapi asites pada anak tidak hanya bertujuan untuk mengurangi jumlah akumulasi cairan asites tetapi juga harus mempertimbangkan dampak terapi terhadap pertumbuhan anak. Terapi restriksi air dan natrium yang ditujukan untuk mengurangi pembentukan cairan asites seringkali menyebabkan asupan kalori menjadi tidak adekuat, sehingga penting untuk memantau asupan makanan anak selama terapi dengan melibatkan ahli gizi anak yang berpengalaman. Dukungan nutrisi dan pemeliharaan homeostasis protein yang adekuat menjadi kunci utama penanganan asites pada anak.19,22 548



Buku Ajar Gastrohepatologi



Sesuai pengertiannya asites refrakter tidak berespon terhadap pemberian diuretik dosis maksimum dan diet pembatasan natrium (diuretic resistant) atau pemberian diuretik akan memicu terjadinya komplikasi sehingga terapi diuretik tidak bisa diberikan secara optimal (diuretic intractable ascites). Sebelum memastikan asites refrakter harus dipikirkan terlebih dulumengenai riwayat diit sebelumnya, penggunaan NSAID atau angiotensin converting enzyme atau angiotensin 2 receptor blocker dan kepatuhan minum obat dengan regimen obat yang sudah optimal11. Bila telah memenuhi kriteria diagnostik asites refrakter maka tata laksana pasien dengan asites refrakter adalah sebagai berikut :



Terapi Diuretik



Asites refrakter ditentukan bila tidak berespon dengan terapi diuretik berikut: tujuan terapi diuretik adalah mencapai keseimbangan negatif sebesar 10 mL/kg/hari. Ada beberapa obat diuretik yang biasa digunakan pada anak-anak baik diberikan sebagai terapi tunggal atau terapi kombinasi. Pilihan obat diuretik dengan terapi tunggal yang pertama adalah spironolakton dengan dosis awal 100-200 mg/hari dibagi dalam 2 dosis. Bila tidak berespon dosis dapat ditingkatkan100 mg tiap 3 atau 4 hari sampai maksimum dosis 600 mg/hari hingga konsentrasi natrium urin lebih tinggi dibanding konsentrasi kalium 1urin. 9 Dengan dosis 0 2 tersebut biasanya spironolakton akan memberikan respon diuresis yang optimal pada 50ret 90% kasus. Dosis awal pada bayi 0,5-1 mg/kg BB/hari sedang9pada Ma anak kecil spironolakton ro dimulai dengan dosis 1-3 mg/kg BB/hari dan dapat dinaikkan 1 mg/kg BB/hari hingga ast G mencapai dosis maksimum 6 mg/kg BB/hari. at ap r Bila spironolakton tidak memberikanukrespon baik (penurunan berat badan dan t un terapi kombinasi dengan loop diuretic seperti natriuresis tidak optimal) maka pemberian o r ast lain pemberian terapi kombinasi adalah bila asites furosemid bisa dipertimbangkan.GAlasan r sangat masif sehingga perlu respon Aja cepat untuk mengurangi asites, sedangkan spironolakton u k memerlukan beberapaBhari u (3-5 hari) untuk memberikan respon terapi. e l i F Furosemid dimulai dengan dosis awal 40 mg/hari dibagi dalam 2 dosis. Dosis dapat ditingkatkan 40 mg/hari hingga mencapai dosis naksimum 240 mg/hari. Pada bayi dan anak kecil dosis awal furosemid dimulai 0,5-2 mg/kg BB/hari dan dapat dinaikkan 1 mg/ kg BB/hari hingga dosis maksimum 6 mg/kg BB/hari. Efek samping hipokalemia sering terjadi sehingga direkomendasikan untuk memberikan suplemen kalium, namun bila furosemid diberikan bersama-sama spironolakton maka tidak perlu penggantian kalium. Terapi kombinasi spironolakton dan furosemid biasanya diberikan dengan perbandingan 5:2 untuk memelihara kondisi normokalemia. Obat diuretik secara umum dapat menimbulkan komplikasi berupa azotemia, hipokalemia, hiperkalemia, alkalosis metabolik, sindrom hepatorenal dan ensefalopati hepatik. Efek samping spesifik spironolakton sebagai potassium sparing diuretic adalah hiperkalemia, ruam kulit dan ginekomastia pada laki-laki. Monitoring keberhasilan terapi diuretik bisa dilihat dari hasil ekskresi natrium urin.3,22,23



Pembatasan Natrium dan Air Tujuan terapi ini adalah mengeliminasi dan mencegah reakumulasi cairan asites. Pada 549



Bab 36 Asites Refrakter



anak-anak pembatasan konsumsi natrium sekitar 1–2 mEq/kg BB/hari, sedang pada anak remaja direkomendasikan 1–2 g/hari. Pembatasan natrium ini tidak perlu untuk bayi yang masih mendapat ASI eksklusif, karena ASI mengandung natrium rendah.23 Pembatasan cairan hanya diperlukan bila terjadi hiponatremia dilusi atau hiponatremia persisten (Na 250 sel/mm3 sangat dicurigai infeksi bakteri. Jika dicurigai SBP maka terapi empirik bisa diberikan. Sefotaksim merupakan pilihan antibiotik yang efektif terhadap kuman tunggal dan mempunyai 552



Buku Ajar Gastrohepatologi



konsentrasi yang tinggi di dalam cairan asites. Antibiotik lain yang cukup sensitif antara lain seperti seftriakson dan amoksisilin-asam klavulanat. Durasi pengobatan sekitar 5-7 hari. Pemberian 1,5 g albumin/kg pada saat SBP terdiagnosis, diikuti 1 g albumin/kg pada hari ke 3 dapat membantu menurunkan risiko gangguan ginjal dan memperbaiki harapan hidup.30 Monitoring terapi dengan parasentesis hanya diindikasikan bila dicurigai terjadi peritonitis sekunder atau bila terdapat respon buruk antibiotik. Pemberian norfloksasin jangka panjang (5–7.5 mg/kg/hari) sekali sehari direkomendasikan untuk pasien sirosis yang sembuh dari SBP pertama kali dan pasien yang mengalami perdarahan gastrointestinal dengan profilaksi jangka pendek. Pasien asites yang mengalami SBP berisiko mengalami kekambuhan dengan rerata kekambuhan 69% dalam 1 tahun.2, 5,19, 22, 25



Hepatorenal Renal Sindrome (HRS) HRS adalah terjadinya insufisiensi renal progresif pada penderita penyakit hati berat tanpa adanya penyebab gagal ginjal lain. Diagnosis HRS merupakan diagnosis yang ditegakkan sesudah mengeksklusi penyebab lain. HRS merupakan komplikasi penyakit hati (end state) yang terjadi lebih jarang pada anak-anak dibanding dewasa. Insidensi HRS sekitar 5% tetapi 9 data ini mungkin di bawah kejadian yang sesungguhnya mengingat 01 kriteria diagnostik 2 t reKriteria diagnosis HRS yang lebih spesifik untuk anak-anak hingga saat ini belum ada. Ma 9 pada anak-anak dan dewasa menggunakan kriteria diagnosis o dari International Ascites Club str tetap sulit digunakan terutama a (IAC) dan sudah mengalami revisi beberapa kali namun tG untuk bayi dan anak kecil (Tabel 36.9.2).17,31 rapa



k ntu u Tabel 36.9.2. Usulan diagnostik kriteria untuk HRS pada anak ro ast Kriteria mayor G jar Sirosis dengan asites A u uk tanpa nilai cut off yang pasti Dua kali atau lebih kadar serumBkreatinin e l Fiserum Tidak ada perbaikan kadar kreatinin setelah pemberian diuretik dan albumin setidaknya selama 2 hari 31



Tidak ada syok Tidak ada riwayat pemakaian obat-obat nefrotoxik Tidak ada penyakit ginjal yang ditandai dengan proteinuria >500 mg/day, mikrohematuria >50 sel darah/lpp dan/atau USG ginjal yang abnormal Kriteria tambahan Kadar serum Na ≤130 mmol/L Urin output 24 jam 2,5 mg/dL (221 lmol /L). 1 ditandai dengan peningkatan kadar kreatinin tidak lebih dari 2.5 mg/dL dari dua kali nilai batas normal pasien. Pasien bisa juga ditandai dengan penurunan hingga 50% dalam klirens kreatinin dalam 24 jam dari data baseline menjadi kurang dari 20 mL/menit kurang dari 2 minggu. HRS tipe 2 terjadi pada pasien asites refrakter dengan gagal ginjal fungsional yang stabil atau moderat dan sering 553



Bab 36 Asites Refrakter



disertai dengan retensi natrium. HRS tipe 2 dapat memicu terjadinya HRS tipe 1 secara spontan atau sesudah adanya faktor pencetus seperti SBP. HSR diduga disebabkan karena retensi air dan natrium yang berkepanjangan akibat peningkatan produksi agen vasoaktif yang diaktivasi oleh vasodilatasi splanchnik pada pasien dengan penyakit hati berat. Ada empat faktor yang terlibat dalam patogenesis HRS: (1) Terjadinya vasodilatasi splanknik yang menyebabkan penurunan volume darah arteri yang efektif dan penurunan tekanan arteri rata-rata, (2) Aktivasi sistem saraf simpatik dan reninangiotensin-aldosteron sistem yang menyebabkan vasokonstriksi ginjal dan pergeseran kurva autoregulasi ginjal sehingga aliran darah ginjal mudah terpengaruh oleh perubahan tekanan arteri rata-rata, (3) Penurunan fungsi jantung yang disebabkan kardiomiopati sirosis, sehingga terjadi penurunan relatif dari peningkatan kompensasi curah jantung akibat sekunder vasodilatasi, (4) Peningkatan sintesis beberapa mediator vasoaktif yang dapat mempengaruhi aliran darah ginjal atau glomerulus microcirculatory hemodynamics, seperti leukotrien cysteinyl, tromboksan A2, prostan F2-iso-, dan endotelin-1, namun peran faktor-faktor ini dalam pathogenesis HRS hingga saat ini masih belum jelas.22,25,32,33 Tata laksana secara umum: 1. Monitoring ketat untuk pasien HRS tipe 1 yaitu diuresis, keseimbangan cairan, tanda vital dan tekanan arteri. Pasien dianjurkan untuk dirawat di ruang 9 intensif atau semi 01 2 intensif t are cairan asitesi dilanjutkan 2. Skrining infeksi dengan pemeriksaan kultur darah, urine, M 9 terapi antibiotik. Antibiotik empirik tidak direkomendasikan ro t s Ga 3. Large Volume Paracentesis cukup bermanfaat at untuk mengurangi keluhannya bila p a asitesnya sangat masif kr u t n saat investigasi dan diagnosis awal. Furosemid 4. Semua diuretik harus dihentikanupada o memelihara luaran urin atau bila ada bukti volume r t mungkin bisa digunakan untuk as r G tidak dianjurkan karena risiko hiperkalemia. overload sentral. Spironolakton a j A ku Terapi spesifik uadalah pemberian obat vasokonstriktor (terlipressin, noradrenalin e B okreotid). Terapi lini pertama untuk HRS tipe 1 adalah pemberian l dan midodrin dengan i F terlipressin (15-20 µg/4 jam bolus intravena) disertai pemberian albumin (Yousef N, 2010). Tujuan terapi adalah memperbaiki fungsi ginjal dengan menurunkan kreatinin serum ≤ 133 lmol/L (1.5 mg/dL). Jika tidak terjadi penurunan sedikitnya 25% sesudah 3 hari, dosis terlipressin harus dinaikkan bertahap sampai maksimum 2 mg/4 jam. Untuk pasien yang memberikan respon parsial kreatinin serum tidak menurun 20 mg/dl) di samping false positif dan negatifnya sebesar 10%.4,15 561



Bab 37 Prosedur Diagnostik Penyakit Hati



Indikasi14



1. Kolesistitis akut 2. Untuk mengetahui kondisi sistem bilier 3. Kebocoran empedu 4. Kista koledokus 5. Menghitung ejeksi fraksi kantong empedu 6. Menilai fungsi hati sebelum hepatektomi parsial 7. Menilai anomali lobulasi hepar 8. Menilai bypass enteric empedu ( misalnya prosedur Kasai) 9. Refluks enterogastrik (duodenogastrik) 10. Refluks empedu-esofagus setelah gastrektomi 11. Disfungsi spingter oddi.



Kontraindikasi14 Hipersensitivitas terhadap zat radioaktif.



Persiapan14



9 Anak dipuasakan 2-4 jam dan bayi dipuasakan 2 jam sebelum injeksi 01 zat radioaktif. Puasa 2 t lebih dari 24 jam (termasuk pada nutrisi parenteral total), adapat re menyebabkan kantong empedu tidak mengisi radiotracer dalam waktu yang diharapkan. 9M o str



Gambaran



uk



Ga at p ra



nt Pada penyakit kolestasis intrahepatik uambilan kontras oleh hati biasanya lebih lambat, tapi o r t ada eksresinya ke dalam usus. Pada as atresia bilier ambilan kontras oleh hati biasanya cepat r Gusus tidak ada.4,15 Pada hepatitis neonatal idiopatik, ambilan atau normal, tapi eksresinyajake 4 uA kontras oleh hati tertunda, uk tapi eksresinya normal. e Fil



B



37.5 Tes Aspirasi Duodenum (duodenal aspiration test / DAT) Tes aspirasi duodenum adalah uji bilirubin pada cairan duodenum yang diperoleh melalui aspirasi dengan menggunakan sonde (Levin tube).16



Persiapan Pasien dipuasakan 3-4 jam sebelum pemeriksaan dilakukan. Pada saat akan dilakukan DAT, pasien diberi sedatif (luminal, valium, atau kloralhidrat). Bila pasien dirawat di rumah sakit, maka puasa dilakukan 24 jam dan diberikan cairan intravena. Pemeriksaan aspirasi cairan lambung dapat dikerjakan tiap 4 jam. Untuk mempercepat peristaltik usus, dapat diberikan metoklorpramid 0,4 mg/kgBB.16 Setelah pasien tenang, dimasukkan sonde lambung (Levin tube) no. 8 untuk anak usia 1 bulan. Setelah sonde mencapai lambung 562



Buku Ajar Gastrohepatologi



pasien dimiringkan ke kanan. Kemudian masukkan udara 100 mL dengan spuit 20 cc, dan dalam posisi miring ke kanan lambung dimasase untuk mendorong sonde masuk ke dalam pilorus. Biasanya dalam waktu 15-30 menit sonde telah masuk ke duodenum. Untuk membuktikan sonde telah masuk ke duodenum, dilakukan kontrol dengan foto rontgen atau dengan fluoroskopi. Ujung sonde yang diberi tanda radioopak harus terletak setinggi vertebra L1-2. Sesudah itu sonde diisap dan akan keluar cairan jernih berwarna kuning/ hijau yang dibuktikan bersifat alkalis dengan kertas lakmus.16 Setelah sonde masuk ke duodenum, dimasukkan magnesium sulfat 25% sebanyak 2 mL/ kg BB melalui spuit untuk melemaskan sfingter Oddi dan untuk meransang cairan empedu keluar. Dua puluh menit kemudian cairan empedu dihisap dan ditampung untuk dilakukan uji bilirubin dengan Ictotest. Ictotest adalah reagen yang berbentuk tablet yang digunakan untuk menunjukkan ada/tidaknya bilirubin. Cara kerja Ictotest adalah dengan meneteskan 5 tetes cairan duodenum pada kertas absorben, kemudian tablet Ictotest diletakkan di atas kertas absorben, teteskan 2 tetes air di atas tablet, hasilnya dibaca 60 detik kemudian.16



Kelebihan 16 Ketepatan diagnosisnya tinggi, cara relatif mudah, murah, dan akurat.



9



01



Interpretasi18 • •



ro



2 ret a 9M



Hasil positif: bila timbul warna ungu/biru di Gsekitar tablet, berarti dalam cairan ast t duodenum tersebut mengandung bilirubin. apa r Hasil negatif : bila timbul warna merah di tuksekitar tablet, berarti dalam cairan duodenum n u tidak mengandung bilirubin. tro



G jar A u uk B e l



as



37.6 Biopsi Hati Fi



Biopsi hati merupakan baku emas pada berbagai penyakit hati seperti sirosis hepatis, tumor, abses, dan kista hepar. Biopsi hati merupakan tes diagnostik definitif untuk evaluasi penyebab kolestasis pada bayi, dengan sensitivitas 100% dan spesifisitas 95%.4 Beberapa penelitian membuktikan bahwa biopsi hati dapat menegakkan diagnosis hampir 90% pasien dengan gangguan fungsi hati yang tidak jelas penyebabnya. Pemeriksaan biopsi hati juga dapat mengarahkan pada penyakit sistemik yang kelainannya bisa terdapat di hati, seperti limfoma dan amiloidosis.17



Indikasi17 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.



Menentukan grading atau staging hepatitis kronis Mencari penyebab kolestasis yang belum jelas etiologinya Evaluasi tes fungsi hati yang abnormal dengan hasil serologi negatif Menilai kandungan zat dalam hati Evaluasi efikasi pasca terapi (contoh interferon pada hepatitis virus) Menilai efek samping pengobatan Diagnosis massa di hati 563



Bab 37 Prosedur Diagnostik Penyakit Hati



8. Evaluasi pasca transplantasi 9. Kadang dapat sebagai pedoman terapi.



Teknik Biopsi17 Biopsi hati per-kutan (interkostal) Menjadi pilihan pada kelainan hati yang difus. Tindakan dapat dilakukan tanpa panduan USG atau CT-scan bila pekak hati ditemukan minimal sepanjang 5 cm longitudinal mid aksila kanan. Jarum untuk biopsi hati perkutan dibagi atas 3 jenis 1. Suction neddle: jarum Menghini, jarum Klatskin, jarum Jamshidi 2. Cutting needles: jarum Vim Silverman, jarum Tru-cut 3. Spring-Loadedcutting needle.



Kontraindikasi biopsi hati per-kutan17 A. Kontraindikasi absolut : • Pasien tidak kooperatif • Kelainan hemostasis 9 01 2 t • Masa protrombin ≥ 3-5 detik dari kontrol re Ma • Trombosit < 60.000/L 9 o • Masa perdarahan memanjang lebih daria8-10 str menit G t • Penggunaan NSAID dalam 7-10 hari pa terakhir a r • Tidak dapat mengidentifikasi lokasi k biopsi ntu vaskuler lain u • Kecurigaan hemangioma atau tumor ro B. Kontraindikasi relatif ast G • Obesitas berat Ajar u • Asites uk B e • Hemofilia Fil • Infeksi rongga pleura kanan atau di bawah diafragma kanan



Protokol biopsi hati per-kutan 1. Alat dan bahan • Desinfektan • Spuit 10 cc untuk menyuntikkan lidokain • 10 cc lidokain 2 % • Sarung tangan steril • Botol penyimpanan sampel dengan media formalin • Jarum biopsi • Skalpel • Kain kassa dan plester 2. Jelaskan prosedur pada pasien 3. Tandai lokasi biopsi 4. Lakukan desinfeksi 5. Pasien dilatih menahan nafas 564



Buku Ajar Gastrohepatologi



6. Suntikkan anestesi lokal di kulit dan subkutis 7. Buat insisi kecil di kulit untuk memudahkan penusukan jarum 8. Jarum biopsi ditusukkan sambil mendorong cairan saline di dalamnya 9. Setelah pasien diminta menahan nafas, biopsi dilakukan dengan cepat 10. Bila biopsi gagal atau jaringan tidak adekuat, lakukan biopsi kedua 11. Tutup luka dengan kain kasa dan plester 12. Jaringan dimasukkan ke dalam botol dan diberi label keterangan.



Aspirasi biopsi dengan jarum halus Tindakan biopsi aspirasi hati dengan jarum halus dilakukan di bawah panduan USG atau CT. Prosedur ini menjadi pilihan untuk pasien-pasien dengan kecurigaan keganasan atau lesi di hati. Kelebihannya adalah risiko penyebaran tumor lebih kecil dan relatif aman dibanding biopsi dengan cara lain.



Persiapan17 1. Informed concent 2. Pemeriksaan hemostasis 9 01 2 Pemeriksaan masa protrombin, masa perdarahan, masa pembekuan dan trombosit t are dilakukan 24 jam sebelum tindakan. M 9 ro 3. Vitamin K, fresh frozen plasma (FFP) dan trombosit t s Ga Sering diberikan untuk mengoreksi kelainan hemostasis menjelang biopsi hati. Vitamin at p a vitamin K tidak berhasil memperbaiki r K diberikan 6 jam sebelumnya. Jika pemberian k ntu prosedur biopsi dengan dosis 12-15 mL/kg masa protrombin diberikan FFP sebelum u ro BB dengan target perbaikan masa ast protrombin. Pada trombositopenia disarankan untuk G transfusi trombosit 1 unit/10 jar kg BB dilanjutkan dengan pemeriksaan kadar trombosit 1 A u jam setelah selesai transfusi. uk B e 4. USG pra biopsiFil Manfaat USG pra biopsi adalah menemukan masa yang tidak terdeteksi secara palpasi dan menggambarkan anatomi hati serta posisi relatif kandung empedu, paru-paru dan ginjal.



Komplikasi17 Nyeri Nyeri di perut kanan atas atau pundak kanan serta rasa tidak nyaman sering terjadi setelah menjalani biopsi hati. Dapat diatasi dengan analgetik parasetamol. Nyeri yang hebat dapat sebagai tanda perdarahan atau akumulasi cairan empedu di subkapsular hati. Bila nyeri hebat bersifat mendadak harus dicurigai peritonitis bilier akibat tusukan jarum biopsi yang menimbulkan perforasi empedu.



Perdarahan Perdarahan hebat umumnya terjadi intraperitoneal, tapi dapat pula intratorakal dari arteri interkostalis. Perdarahan biasanya akibat perforasi vena porta yang melebar, tusukan langsung arteri hepatika atau robekan hati ketika pasien menarik nafas dalam. 565



Bab 37 Prosedur Diagnostik Penyakit Hati



Hipotensi yang menetap, peningkatan distensi abdominal atau bertambahnya volume darah intraperitoneal yang terdeteksi melalui USG adalah indikasi untuk dilakukannya laparatomi. Perdarahan dengan awitan lambat dapat terjadi 15-30 hari pasca biopsi.



Perforasi Kandung Empedu Komplikasi penusukan dapat terjadi pada pasien dengan posisi abnormal kandung empedu atau ukuran hati yang sangat kecil. Gejala yang muncul yaitu nyeri perut hebat dan hipotensi tidak lama setelah dilakukan biopsi. Peritonitis bilier dapat sembuh sendiri dan jarang memerlukan tindakan bedah. Terapi asimptomatik dengan pemberian analgetik dan antibiotik. Pencegahan terjadinya penusukan kandung empedu dilakukan dengan USG pre biopsi dan puasa agar ukuran kandung empedu menjadi kecil.



Monitoring17 • Pasien berbaring di tempat tidur, sebaiknya miring ke arah luka selama 2 jam. • Tekanan darah dan nadi diperiksa setiap 15-30 menit. 19 • Bila perlu berikan obat analgetik seperti parasetamol. 20



t are M 9



ro ast G Gambaran biopsi hati pada atresia bilier ditemukan tanda karakteristik adanya obstruksi at ap r duktus biliar komunis antara lain proliferasi tuk duktus biliaris, fibrosis portal, bile plug pada un edema yang dapat dilihat pada umur 4-7 minggu. duktus biliaris, pelebaran portal tracko dan tr asmenegakkan Oleh karena itu biopsi hati untuk diagnosis atresia bilier baru dapat dilakukan G r a j setelah bayi berumur 4 minggu. Pada hepatitis neonatal: tampak perubahan arsitektur A kunekrosis hepatoseluler fokal, pembentukan pseudoroset, dan giant lobulus yang menyolok, u e B pada sitoplasma.4,15,17 cells dengan balloning Fil



Gambaran



Pada hepatitis akibat infeksi CMV atau herpes simpleks ditemukan badan inklusi virus.19 Pada kolestasis intrahepatik lebih banyak terlihat fokus hematopoesis ekstrameduler, deposit hemosiderin pada sel hati dan sel Kupffer, inflamasi intralobuler, dan hiperplasia sel Kupffer. Pada sindrom Alagille tampak paucity duktus biliaris dengan paling sedikit 3 kelainan utama. Terlihat jumlah duktus bilier berkurang, dengan rationya terhadap portal tract kurang dari 0,9 (Normal : 0,9 – 1,8).15



37.7 Kolangiografi Kolangiografi merupakan pemeriksaan baku emas untuk atresia bilier, dengan sensitivitas 100% dan spesifisitas 95%.4 Kolangiografi adalah prosedur yang memungkinkan visualisasi saluran empedu dan duktus kistik yang membawa empedu dari hati dan kantong empedu ke dalam usus. Setelah suntikan pewarna radioopak (meglumine iodipamide) ke dalam saluran, gambar X-ray (kolangiogram) diambil di daerah perut sesuai lokasi saluran empedu. Tidak adanya pewarna pada saluran-saluran empedu memberikan bukti bahwa saluran tersebut terhambat.18 566



Buku Ajar Gastrohepatologi



Ada empat jenis kolangiografi18 : 1. Kolangiografi intra operatif (laparatomi) 2. Endoscopy retrograde cholangiopancreatography (ERCP) 3. Percutan transhepatic cholangiography (PTC) 4. Magnetic resonance cholangiopancreatography (MRCP).



37.8 Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP) ERCP merupakan pencitraan pilihan yang bersifat invasif dengan angka morbiditas relatif rendah (3%-5%), mampu memberikan pencitraan dan mengobati penyakit saluran empedu, ampula, pankreas, dan duodenum. ERCP digunakan untuk terapi seperti sfingterotomi endoskopik, drainase bilier, pengambilan batu saluran empedu dan pemasangan endoprotesa bilier.18



Indikasi18



9 Kolestasis yang sebabnya tidak jelas. 01 2 t Batu di saluran empedu. are M 9 Keganasan pada sistem hepatobilier dan pankreas. ro Pankreatitis kronis. ast G at Tumor pankreas termasuk kista. ap r kberat badan menurun, untuk menyingkirkan Diabetes mellitus dengan nyeri perut atau ntu u pancreatitis atau karsinoma. ro ast 7. Divertikel duodenum sekitarr G papil. ja 8. Metastase tumor ke sistem u A bilier atau pankreas. k u tanpa kelainan pada pankreas, lambung, duedonum dan hati. 9. Nyeri perut bagianBatas 1. 2. 3. 4. 5. 6.



e Fil



Kontraindikasi18



1. Syok berat karena perdarahan, oklusi koroner akut, gagal jantung berat, koma, emfisema, dan penyakit paru obstruktif berat. 2. Luka korosif akut pada esofagus, aneurisma aorta, aritmia jantung yang berat. 3. Pasien pasca bedah abdomen. 4. Alergi kontras iodium.



Komplikasi18 1. Perdarahan 2. Perforasi atau pembentukan kista submukosa duodenum 3. Infeksi



567



Bab 37 Prosedur Diagnostik Penyakit Hati



Persiapan18 1. Pasien dipuasakan minimal 6 jam lalu diberikan premedikasi hyosine N butil bromide 40 mg (Buscopan) dan sulfas atropin 0,5 mg. Dimetikon diberikan 15 cc untuk menghilangkan buih dari saluran cerna dan disemprotkan anastesi lokal silokain 10 %. 2. Pasien berbaring ke kiri dengan tangan kiri dibelakang punggung agar mudah ditelungkupkan. Lazimnya diberikan diazepam 10 mg IV sebelum pemeriksaan dimulai.



Perawatan Pasca ERCP18 1. Pasien boleh makan dan minum setelah 2 jam pasca ERCP untuk menghindari aspirasi, dimulai makanan cair atau lunak selama 24-48 jam. 2. Bila pasien diberikan sedasi, harus diawasi di ruang pemulihan sampai pasien sadar, untuk memonitor kemungkinan komplikasi. 3. Penderita diberikan antibiotika secara selektif untuk mencegah infeksi akibat gangguan drainase. Pada kolangiografi intraoperatif perlu ditentukan apakah sistim bilier mengalami obstruksi. Apabila ditemukan obstruksi perlu ditentukan tempatnya dan kemudian dilakukan prosedur untuk mengalirkan empedu dari hati ke duodenum. 9 Pada atresia bilier 01 difus sistim bilier 2 ditemukan ukuran kandung empedu kecil dan fibrotik diikuti tfibrosis are dilakukan kolangiografi. ekstrahepatik. Untuk menentukan patensi sistem bilier, M perlu 9 o Sebuah jarum atau kateter diinsersikan ke kandungstrempedu kemudian disuntikkan zat a G kontras sambil diamati dengan fluoroskopi untuk menentukan luasnya obstruksi dan variasi at p a anatomi. Variasi anatomi yang umum dipakai r adalah menurut Japanese Society of pediatric tuk 3 tipe. Atresia tipe 1 meliputi terutama duktus Surgeons yang membagi keadaan ini menjadi n ou biliaris komunis. Atresia bilier tipe str2 naik sampai ke duktus hepatikus komunis dan tipe 3 a G 5 atresia bilier mengenai seluruh jar sistem bilier ekstrahepatik. A u Pemeriksaan kolangiografi ini merupakan baku emas untuk memastikan diagnosis uk B e l atresia bilier. Sindrom Alagille merupakan keadaan yang dapat mirip dengan atresia bilier i F dan apabila tidak dilakukan kolangiografi akan membuat pasien menjalani prosedur Kasai. Bila hal ini terjadi, potoenterostomi akan menyebabkan pasien Alagille mengalami sirosis bilier dan memperburuk diagnosis.5



Daftar Pustaka 1. Breyer B, Bruguera C.A, Gharbi H.A, et al. Hepar. Dalam : Palmer P.E.S, penyunting. Panduan pemeriksaan diagnostik USG. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2002: h71-3. 2. Goldberg BB. Ultrasonography. Dalam: Goldberg BB, Petterson H, penyunting. A Global textbook of radiology.1996. The Nicer Institute. h452-5. 3. Bisanto Julfina. Kolestasis pada bayi. Dalam : Trihono Partini, dkk, penyunting. Hot topics in pediatrics II.Balai Penerbit FKUI, Jakarta. 2002:h84-99. 4. Juffrie M, Mulyani NS, editor. Modul kolestasis. UKK Gastro-Hepatologi IDAI. Jakarta. 2008. 5. Oswari H. Kolestasis: atresia bilier dan sindrom hepatitis neonatal. Dalam: Diagnosis dan tatalaksana penyakit anak dengan gejala kuning.PKB IKA LIII. Penerbit FKUI.Jakarta. 2007: h42-54.



568



Buku Ajar Gastrohepatologi



6. Wulandari HF. Peranan pencitraan pada diagnosis ikterus. Dalam : Diagnosis dan tatalaksana penyakit anak dengan gejala kuning. PKB IKA LIII. Penertbit FKUI.Jakarta. 2007: h87-91. 7. David J. Allison, Carl Gustuf. Chapter 23 The Liver, biliary tract, pancreas, and speen. Dalam: Petterson, penyunting. A global text book of radiology. The Nicer Institute Norwegiac. 1995:h1027-78. 8. Santosa B. Pankreatitis pada anak. Dalam: Juffrie M, Soenarto SSY, Oswari H, Arief S, dkk, penyunting. Buku ajar Gastroenterologi-Hepatologi, UKK Gastroenterologi-hepatologi IDAI. Jakarta, 2010;h247-61. 9. Whitcomb DC, Lowe ME. Pancreatitis. Dalam: Walker WA, Goulet O, Kleinman RE, Sherman PM, penyunting. Pediatric Gastrointestinal Disease. 4th ed. Boston, BC Becker Inc; 2004;h158594. 10. Brunetti J.C. Cholelithiasis Imaging. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/ article/366246-imaging. Update: May 7,2009. 11. Suyono,dkk. Sonografi Sirosis Hepatis di RSUD Dr Moewardi. Cermin Dunia Kedokteran No. 150, 2006. 12. Pettesson H,MD. Computed tomography. Dalam : Pettersson H, penyunting.A Global Textbook Of Radiology.The Nicer Institute.1996.h1028-29. 13. Steere M, Joseph MM. Pancreatitis. Dalam: Baren JM, Rothrock SG, brennan JA, et all, penyunting. Pediatric emergency medicine. Philadelphia: Saunders;2008;h613-7. 14. Society of Nuclear Medicine Procedure Guideline for Hepatobiliary Scintigraphy Revisi 2010. 9 15. Bisanto Julfina. Kolestasis pada bayi. Dalam : Hot topics in pediatrics II.2Editor 01 : Trihono Partini, t re dkk. Balai Penerbit FKUI, Jakarta. 2002: p84-99. Ma Boediarso A, Halimun EM, 9 16. Suharyono. Duodenal Aspiration Test (DAT). Dalam : Suharyono, ro penyunting. Gastroenterologi anak praktis.. Balai Penerbit ast FKUI. 1988. h385-7. G 17. Arora G. Percutaneous liver biopsy. Diunduh daripwww.emedicine.medscape.com. at a r 18. Rani AA. Kolangio pankreatografi retrograduendoskopik. Dalam : Hadi S, Thahir G, Daldijono, k nt bidang gastro entero hepatologi. . Balai Penerbit Rani A, Akbar N, penyunting. Endoskopiudalam ro FKUI. Jakarta. 1987. ast



Fi



G jar A u uk B e l



569



BAB



38



Terapi Farmakologi pada Penyakit Hati Sulaiman Yusuf



38.1 Ilustrasi Kasus Seorang anak laki-laki, Y, usia 6 tahun, datang ke instalasi gawat darurat dengan keluhan utama nyeri perut kanan atas semenjak 5 hari sebelum masuk rumah sakit. Rasa sakit dirasakan terus menerus, terasa seperti tertekan, melilit, akan tetapi tidak menjalar. Selain itu perut pasien tampak semakin membesar. Didapatkan keluhan demam yang naik turun terutama menjelang dan saat malam hari. Tidak didapatkan mual maupun muntah. Dari hasil USG perut menunjukkan hasil berupa abses hati.



38.2 Pendahuluan Hati merupakan organ yang sangat penting dalam pengaturan homeostasis tubuh meliputi metabolisme, biotransformasi, sintesis, penyimpanan dan imunologi. Penyebab penyakit hati bervariasi, sebagian besar disebabkan oleh virus yang menular secara fekal-oral, parenteral, seksual, efek toksik dari obat-obatan, akohol, racun, jamur dan lain-lain. Walaupun angka pasti prevalensi dan insidens penyakit hati di Indonesia belum diketahui, tetapi data WHO menunjukkan bahwa untuk penyakit hati yang disebabkan oleh virus, Indonesia termasuk dalam peringkat endemik yang tinggi.



38.3 Terapi Hati yang normal akan terasa halus dan kenyal bila disentuh. Ketika hati terinfeksi suatu penyakit, hati menjadi bengkak. Sel hati mulai mengeluarkan enzim alanin aminotransferase ke dalam darah. Dengan keadaan ini dokter dapat memberitahukan pasien apakah hati sudah rusak atau belum. Bila konsentrasi enzim tersebut lebih tinggi dari normal, menandakan hati mulai rusak. Sewaktu penyakit hati berkembang, perubahan dan kerusakan hati meningkat. Pengendalian atau penanggulangan penyakit hati yang terbaik adalah dengan terapi pencegahan agar tidak terjadi penularan maupun infeksi. Terapi penyakit hati dapat berupa: a. Terapi tanpa obat b. Terapi dengan obat c. Terapi dengan vaksinasi d. Terapi transplantasi hati 570



Buku Ajar Gastrohepatologi



Terapi tanpa obat tidak menjamin kesembuhan, untuk itu dilakukan cara lain dengan menggunakan obat-obatan. Golongan obat yang digunakan antara lain adalah aminoglikosida, antiamuba, antimalaria, antivirus, diuretik, kolagogum, koletitolitik dan hepatic protector dan multivitamin dengan mineral.



Aminoglikosida Antibiotik digunakan pada kasus abses hati yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Preparat ini diberikan 3x/hari secara teratur selama tidak lebih dari 7 hari. Gagal pengobatan maka efeknya berkembang ke arah resistensi bakteri terhadap preparat tersebut. Antibiotik kombinasi biasanya digunakan untuk mencegah ketidakefektifan obat yang disebabkan enzim yang dihasilkan bakteri. Obat tersebut biasanya mempunyai derajat keaktifan antibakterial, tetapi umumnya digunakan untuk melawan degradasi dari enzim tersebut. Obat-obat yang masuk ke dalam golongan aminoglikosida adalah streptomisin, gentamisin, kanamisin, amikasin, dibekasin tobramisin, netilmisin, neomisin, paromomisin, dan framisetin.



Antiamuba



19



Antiamuba seperti dehidroemetin, diiodohidroksikuinolin, diloksanid furoat, emetin, 20 ret adalah preparat yang a etofamid, metronidazol, seknidazol, teklozan, tibrokuinol, tinidazol 9M o digunakan untuk amubiasis. Dengan terapi ini maka risiko terjadinya abses hati karena r ast G amuba dapat diminimalkan. t



Antimalaria



r tuk n u



a ap



ro ast G Antimalaria, misalnya klorokuin, jar dapat juga digunakan untuk mengobati amubiasis. Obat A u ini mencegah perkembangan uk abses hati yang disebabkan oleh amuba. B e Fil



Antivirus



Lamivudin adalah obat antivirus yang efektif untuk penderita hepatitis B. Virus hepatitis B membawa informasi genetik DNA. Obat ini mempengaruhi proses replikasi DNA dan membatasi kemampuan virus hepatitis B berproliferasi. Lamivudin merupakan analog nukleosida deoksisitidin dan bekerja dengan menghambat pembentukan DNA virus hepatitis B. Pengobatan dengan lamivudin akan menghasilkan HBV DNA yang menjadi negatif pada hampir semua pasien yang diobati dalam waktu 1 bulan. Lamivudine akan meningkatkan angka serokonversi HBeAg, mempertahankan fungsi hati yang optimal, dan menekan terjadinya proses proses nekrosis-inflamasi. Lamivudin juga mengurangi kemungkinan terjadinya fibrosis dan sirosis serta dapat mengurangi kemungkinan terjadinya kanker hati. Profil keamanan lamivudin sangat memuaskan, dimana profil keamanannya sebanding dengan plasebo. Lamivudin diberikan peroral sekali sehari, sehingga memudahkan pasien dalam penggunaannya dan meningkatkan keteraturan pengobatan. Oleh karenanya penggunaan lamivudin adalah rasional untuk terapi pada pasien anak dengan hepatitis B kronis aktif. 571



Bab 38 Terapi Farmakologi pada Penyakit Hati



Diuretik Diuretik tertentu, seperti furosemid, dapat membantu mengatasi edema yang menyertai sirosis hati, dengan atau tanpa asites. Obat ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan gangguan keseimbangan elektrolit atau gangguan ginjal berat karena menyebabkan ekskresi elektrolit. Obat diuretik lain yang digunakan dalam pengobatan penyakit hati selain furosemid adalah spironolakton yang efektif untuk pasien yang gagal memberikan respon terhadap furosemid. Obat lain seperti tiazid atau metolazon dapat bermanfaat pada keadaan tertentu. Pengobatan bersama obat yang dapat meningkatkan konsentrasi kalium (misal ACE inhibitor) dapat meningkatkan risiko hiperkalemia. Hindari kombinasinya atau dengan memonitor konsentrasi kalium. Pada pasien dengan kerusakan ginjal dapat meningkatkan risiko hiperkalemia. Hindari penggunaan spironolakton pada pasien dengan kerusakan ginjal berat. Pada pasien dengan sirosis, spironolakton dapat memperburuk gagal ginjal, hyperchloreamic metabolic acidosis dan ensefalopati hati. Risiko menjadi lebih besar jika spironolakton digunakan bersama diuretik lainnya.



9 01 2 t re Ma Golongan ini digunakan untuk melindungi hati dari kerusakan yang lebih berat akibat 9 o r hepatitis dan kondisi lain. Kolagogum misalnya kalsium st pantotenat, L-ornitin-L-aspartat, Ga dan asam ursodeoksikolat, dapat t laktulose, metadoksin, fosfatidil kolin, silimarin, a rapkarena kongesti atau insufisiensi empedu, digunakan pada kelainan yang disebabkan k tu misalnya konstipasi biliari yang keras, unikterus dan hepatitis ringan, dengan menstimulasi o r t aliran empedu dari hati. Namunasdemikian, jangan gunakan obat ini pada kasus hepatitis G r a viral akut atau kelainan hati yang sangat toksik. j A ku u eB Fil



Kolagogum, Kolelitolitik dan Hepatic protector



Multivitamin dengan Mineral



Golongan ini digunakan sebagai terapi penunjang pada pasien hepatitis dan penyakit hati lainnya. Biasanya penyakit hati menimbulkan gejala-gejala seperti lemah, malaise, dan lain-lain, sehingga pasien memerlukan suplemen vitamin dan mineral. Hati memainkan peranan penting dalam beberapa langkah metabolisme vitamin. Vitamin terdiri dari vitamin-vitamin yang larut dalam lemak seperti vitamin A, D, E dan K atau yang larut dalam air (water-soluble) seperti vitamin C dan B-kompleks. Kekurangan vitamin-vitamin yang larut dalam air dapat terjadi pada pasien dengan penyakit hati tahap lanjut, tetapi hal ini biasanya terjadi karena masukan makanan dan gizi yang kurang atau tidak layak. Penyimpanan vitamin B12 biasanya jauh melebihi kebutuhan tubuh; defisiensi jarang terjadi karena penyakit hati atau gagal hati. Tetapi, ketika masukan gizi makanan menurun, biasanya tubuh juga kekurangan tiamin dan folat. Biasanya suplemen oral cukup untuk mengembalikan tiamin dan folat ke level normal. Vitamin-vitamin yang larut dalam lemak tidak hanya membutuhkan asupan gizi makanan yang cukup tetapi juga pencernaan yang baik serta penyerapan yang baik oleh tubuh. Oleh sebab itu, produksi bilirubin dalam jumlah normal sangat penting. Bilirubin di 572



Buku Ajar Gastrohepatologi



dalam saluran cerna atau usus dibutuhkan untuk penyerapan vitamin-vitamin larut lemak ke dalam tubuh. Bilirubin bekerja sebagai deterjen, memecah-mecah dan melarutkan vitamin-vitamin ini agar mereka dapat diserap tubuh dengan baik. Jika produksi bilirubin buruk, suplemen oral vitamin-vitamin A, D, E, K mungkin tidak akan cukup untuk mengembalikan level vitamin ke level normal. Penggunaan larutan serupa deterjen dari vitamin E cair meningkatkan penyerapan vitamin E pada pasien dengan penyakit hati tahap lanjut. Larutan yang sama juga dapat memperbaiki penyerapan vitamin A, D, dan K jika vitamin K diminum secara bersamaan dengan vitamin E. Asupan vitamin A dalam jumlah cukup dapat membantu mencegah penumpukan jaringan sel yang mengeras, yang merupakan karakteristik penyakit hati. Tetapi penggunaan vitamin yang larut lemak ini untuk jangka panjang dan dengan dosis berlebihan dapat menyebabkan pembengkakan hati dan penyakit hati. Vitamin E dapat mencegah kerusakan pada hati dan sirosis, menurut percobaan dengan memberi suplemen vitamin E pada tikus dalam jumlah yang meningkatkan kosentrasi vitamin E hati. Tikus-tikus itu kemudian diberi karbon tetraklorida untuk mengetes apakah perawatan dengan vitamin E yang dilakukan sebelumnya dapat melindungi mereka baik dari kerusakan hati akut atau kronis dan sirosis. Suplemen vitamin E meningkatkan kandungan vitamin dalam tiga bagian hati dan mengurangi kerusakan oksidatif pada9 sel-sel hati, tetapi 01 tidak memiliki dampak perlindungan apapun pada infiltrasi lemakehati. t 2 Sirosis juga tampak r dapat dicegah dalam kelompok tikus yang diberi suplemen vitamin Ma E. Tampaknya vitamin 9 E memberi cukup perlindungan terhadap nekrosis akibat rokarbon tetraklorida dan sirosis, ast lipid dan mengurangi jangkauan G mungkin dengan mengurangi penyebaran proses oksidasi at ap r kerusakan oksidatif hati. k



ntu



u ro ast



38.4 Obat untuk Komplikasi Sirosis Hati rG Aja Asites



u uk B e Fil



Tabel 38.4.1. Obat-obat untuk terapi asites Obat Spironolakton



Dosis 3 mg/kgBB/ hari (1x pagi)



Keuntungan Antagonis aldosteron Diuresis lambat



Furosemid



0,1-0,4 mg/ kgBB/kali



Diuresis cepat



Bumetamide



1-2 mg/hari



Diuresis cepat



Amiloride



5-10 mg/hari



Sebagai agen hemat kalium atau diuresis lemah, digunakan jika kontraindikasi terhadap spironolakton



Metolazon



Dosis awal 5 mg (dosis dewasa)



Berfungsi dalam induksi diuresis dalam kasus resistensi



Efek samping Hiperkalemia, ginekomastia, mengantuk, letargi, ruam, sakit kepala, ataksia, impotensi, jarang agranulositosis Rasa tidak enak pada abdominal, hipotensi ortostatik, gangguan saluran cerna, penglihatan kabur, pusing, dehidrasi, hipokalemia atau hiponatremia Nefrotoksik, dehidrasi, hipokalemia, hiponatraemia Hiperkalemia, hipoatraemia, hipokloremia (khususnya waktu dikombinasi dengan tiazid), lemah, sakit kepala, nausea, muntah, konstipasi, impotensi, diare, anoreksia, mulut kering, nyeri perut, flatulen Hiponatraemia atau hipokalemia



573



Bab 38 Terapi Farmakologi pada Penyakit Hati



Ensefalopati Hati Tabel 38.4.2. Obat-obat untuk terapi ensefalopati hati Obat Laktulose



Dosis 15-30 mL per oral 2-4 x sehari



Metronidazol



35-50 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis



Neomycin



50-100 mg/kgBB/hari per oral dibagi 4 dosis



Efek sampinng Flatulen, rasa tidak enak pada perut, diare ketidakseimbangan elektrolit Gangguan saluran cerna, mual, anoreksia, rasa kecap logam, muntah, urtikaria, pruritus Nausea, muntah, diare, reaksi alergi, diare, jarang ototoksisitas, nefrotoksisitas



Abses Hati Tabel 38.4.3. Obat-obat untuk terapi abses hati Obat Dibekasin



Dosis Efek samping Interaksi obat Dewasa: IM 100mg/hari Syok, ototoksisitas, nefrotoksisitas Anestesi, diuretik, karbenisilin, Anak: 1-2mg/kg/hari dalam 1-2 dosis terbagi sulbenisilin, tikarsilin, piperasilin Netilmisin Dewasa: 4-5g/kg/hari dibagi dalam 8-12 jam Ototoksisitas, nefrotoksisitas Obat ototoksik, nefrotoksik Anak: 6-7,5 mg/kg/hari terbagi dalam 8 jam 9 diberikan 7-14 hari 01 2 t Kanamisin Dewasa: 15 mg/kg/hari dalam dosis terbagi, Ototoksisitas, nefrotoksisitas,ralergi Diuretik, anestetik ae maksimum 1,5 g/hari M 9 Anak: 15 mg/kg/hari dalam dosi terbagi ro t s a Bayi baru lahir 7,5 mg/kg/ hari dalam dosis terbagi tG a p Obat ototoksik, nefrotoksik, Pusing, Gentamisin Dewasa: IM/IV 4-7 mg/kg 1x sehari ra vertigo, tinnitus, telinga k berdengung neurotoksik, diuretik, anestesi Anak: 1bulan-10tahun, IM/IV 7,5 mg/kg 1xsehari dan kehilangan u t n pendengaran, depresi napas, letargi, umum u atau 2,5 mg/kg setiap 8 jam o str 8 jam gangguan penglihatan, hipotensi, anak >5 tahun 1,5-2,5mg/kg/ hariasetiap G >10 tahun, IM/IV 6mg/kgj1xsehari ar atau 1-2mg/ ruam, urtikaria A kg setiap 8 jam u uk mg/kg 1x sehari atau dalam Ototoksisitas, nefrotoksisitas Diuretik poten, anestesi Amikasin Dewasa: IM/IV 16-24 B e il 2-3 dosisFterbagi Anak >10tahun, IM/IV 18 mg/kg 1x sehari atau 15 mg/kg/hari dalam 2-3 dosis Anak