Buku Biru Anestesi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

★★•



PUBLICATION *



Editor:



Profc Dr.4>oenarjo, SpAn KIC, KAKV Dr. Heru Dwi Jatmiko, StiAn KAKV, KAP



BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNDIP/RSUP Dr. KARIADI SEMARANG



ANESTESIOLOGI



UNDANG-UNDANG HAK CIPTA NO. 19 TAHUN 2002 Pasal 2 (1). Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta dan Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Pasal 72 (1) . Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah). (2) . Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedar kan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagal-mana dimaksud pada Pasal 2 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).



V ________________________________________________



J



ANESTESIOLOGI



Editor: Prof. Dr. Soenarjo, SpAn, KIC, KAKV Dr. Heru Dwi Jatmiko, SpAn, KAKV, KAP



BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNDIP/RSUP Dr. KARIADI SEMARANG



Anestesiologi Penulis: Prof. dr. Soenarjo, SpAn. KIC, KAKV - Prof. dr. H. Marwoto, SpAn, KIC, KAO dr. Witjaksono, SpAn, Mkes - dr. Hariyo Satoto, SpAn (K) - dr. Uripno Budiono, SpAn (K) dr. Abdul Lian, SpAn, KNA - dr. Heru Dwi Jatmiko, SpAn, KAKV, KAP dr. Ery Leksana, SpAn, KIC, KAO - Dr. dr. M. Sofyan Harahap, SpAn, KNA dr. Widya Istanto N, SpAn, KAKV, KAR - dr. Johan Arifin, SpAn, KAP, KIC dr. Jati Listlyanto P, SpAn, KIC, dr. Doso Sutlyono, SpAn dr. Aria Dian Primatika, M.Si. Med, SpAn - dr. Himawan Sasongko, M.Si. Med, SpAn, KNA dr. Danu Susilowati, SpAn, KIC - dr. Yulia Wahyu Villyastuti, SpAn dr. Hari Hendriarto S ,M.Si. Med, SpAn, KAKV - dr. Yusmalinda, SpAn dr. Mochamat, M.Si. Med, SpAn - dr. Taufik Eko N, M.Si. Med. SpAn



Editor: Prof. dr. Soenarjo, SpAn, KIC, KAKV dr. Heru Dwi Jatmiko, SpAn, KAKV,KAP



Desain Isi: dr. Aunun Rofiq dr. Mohammad Arief Kurniawan



Desain Cover: dr. Iwan Dwi Cahyono, SpAn dr. Puja Laksana Maqbul



PENERBIT: PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF (PERDATIN) CABANG JAWA - TENGAH RS. dr. Kariadi Jl. dr. Sutomo 16 Semarang



ISBN 978-602-96968-0-6 Hak Cipta dilindungi Undang-undang No. 19 Th. 2002



All rights reserved Edisi Pertama, Cetakan Pertama, Juni 2010 M. Edisi Kedua, Cetakan Pertama April 2013 M Edisi Kedua, Cetakan Kedua April 2015 M



PENGANTAR Puji suku kami panjatkan kehadirat Allah yang Maha Kuasa, karena kami masih diberi kesempatan dan kesehatan sehingga buku Anestesiologi edisi kedua ini dapat terwujud. Terbitnya edisi kedua buku Anestesiologi ini adalah dalam rangka menyesuaikan perkembangan Ilmu Anestesiologi yang semakin pesat. Dalam edisi kedua ini ada beberapa perubahan, terutama adalah perubahan di bab CPR dimana sekarang sudah terjadi perubahan tentang pedoman CPR dengan mengikuti AHA 2010. Sedangkan untuk penambahan bab adalah tentang ICU dimana hal ini sesuai dengan cakupan anestesiologi dan terapi intensif yang berkompeten dalam penanganan pasien di ICU. Kemudian untuk sejarah anestesi ada penambahan sub bab tentang anestesi di masa depan, hal ini dalam rangka mengikuti perkembangan ilmu anestesi yang semakin pesat, dimana sekarang cabang ilmu anestesi sudah berkembang banyak, antara lain: anestesi kardiovaskuler, neuroanestesi, intensif care, obsetri anestesi, pediatric anestesi, regional anestesi, pain managemen. Mudah-mudahan edisi kedua ini semakin membuat para pembaca bisa lebih mudah mempelajari Ilmu Anestesiologi.



Semarang, April 2013



Tim Penyusun



v



SAMBUTAN KEPALA SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF RSUP DR. KARI ADI



Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya sekali lagi saya ucapkan kepada para staf Anestesiologi FK Undip dan tim penyusun yang terus tiada henti mengembangkan buku Anestesiologi sehingga terbitlah buku edisi kedua ini. Buku edisi kedua ini diharapkan lebih lengkap dan lebih baik dari edisi sebelumnya sehingga dapat memberikan sumbangsih yang lebih baik bagi pelayanan Bagian Anestesiologi pada umumnya serta dapat membantu adik- adik mahasiswa, coas, residen dalam mendalami Ilmu Anestesi pada khususnya. Dengan semakin meningkatnya peran bagian anestesi dalam pelayanan di rumah sakit tentunya juga harus diimbangi dengan peningkatan pengetahuan tentang perkembangan terbaru Ilmu Anestesiologi sehingga pelayanan yang kita berikan telah sesuai dengan standart yang telah ada baik di level nasional maupun internasional. Mari kita berikan yang terbaik bagi pasien, anak didik kita serta bangsa dan negara. Semarang, April 2013



dr. Heru Dwi Jatmiko, SpAn, KAKV, KAP



vi



SAMBUTAN DEKAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO



Ucapan selamat dan terima kasih saya ucapkan kepada Bagian Anes- tesiologi dan Terapi Intensif FK UNDIP bekerjasama dengan PERDATIN (Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesi dan Terapi Intensif) cabang Jawa Tengah yang telah berhasil menyusun buku Anestesiologi edisi kedua ini. Kami bangga dengan kerja keras dari para staf Bagian Anestesiologi demi kemajuan pendidikan Ilmu Anestesi di FK UNDIP dan demi perkembangan Ilmu Anestesiologi pada umumnya, oleh karena itu FK UNDIP akan terus memberikan dukungan kepada Bagian Anestesiologi. Hasil yang positif ini juga diharapkan mampu mendorong bagian-bagian yang lain untuk menghasilkan karya yang serupa. FK UNDIP dengan para civitas akademik yang terkait akan terus berupaya menjadikan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro menjadi center pendidikan Kedokteran yang modern, dan diharapkan akan terus mencetak dokter-dokter di Indonesia yang berkualitas dan berintegritas tinggi. Dan itulah sumbangsih yang akan kita berikan bagi bangsa dan Negara kita tercinta. Saya berharap dan memohon kepada para staf Bagian Anestesiologi agar karya ini terus berkembang dan tidak berhenti sampai disini. Semoga buku edisi kedua ini bisa bermanfaat bagi para mahasiswa, coas, residen, dan civitas akademik yang terkait dalam mendalami Ilmu Anestesi. Semarang, April 2013 Dekan



dr. Hj. Endang Ambarwati, Sp.KFR (K) ix



DAFTAR ISI PENGANTAR-v SAMBUTAN KEPALA SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF RSUP DR. KARIADI - vii SAMBUTAN DEKAN FK. UNDIP - ix DAFTAR ISI—xi Bab I



: Sejarah Anestesi -1 Soenarjo, Witjaksono Bab II : Fisiologi-9 Widya Istanto Nurcahyo, Himawan Sasongko, Hari Hendriarto Satoto Bab III : Tes Faal Paru - 27 Hari Hendriarto Satoto, Himawan Sasongko, Widya Istanto Nurcahyo Bab IV : Resusitasi Jantung Paru - 47 Soenarjo, Mochamat Bab V : Mesin Alat Anestesi - 65 Heru Dwi Jatmiko, Yusmalinda, Hari Hendriarto Satoto Bab VI : Persiapan Preanestesi - 95 Johan Arifin, M. Sofyan Harahap, Himawan Sasongko Bab VII : Anestesi Umum -111 Uripno Budiono Obat Anestesi inhalasi - 131 Obat Anestesi Intravena Non Narkotik -149 Bab VIII Bab IX Bab X Bab XI



: Muscle Relaxant / Pelumpuh Otot -171 Uripno Budiono : Narkotik Analgetik -183 Uripno Budiono : Pengelolaan Jalan Nafas -197 Doso Sutiyono, Danu Susilowati, Widya Istanto Nurcahyo : Intubasi Endotrakea - 209 Doso Sutiyono, Yulia Wahyu Villyastuti, Danu Susilowati



xi



Bab XII Bab XIII Bab XIV Bab XV Bab XVI Bab XVII Bab XVIII Bab XIX Bab XX Bab XXI Bab XXII Bab XXIII Bab XXIV Bab XXV



: Terapi Oksigen - 221 Widya Istanto Nurcahyo, Danu Susilowati, Doso Sutiyono : Pemantauan Selama Anestesi - 241 Himawan Sasongko, Heru DwiJatmiko, M. Sofyan Harahap : Terapi Cairan - 271 Ery Leksana, Jati Listiyanto P, Danu Susilowati : Syok dan Pengelolaan Hemodinamik – 281 Jati Listiyanto Pujo, Heru DwiJatmiko, Johan Arifin : Resusitasi Cairan - 297 Soenarjo : Masalah Nyeri - 309 Witjaksono, Yulia Wahyu Villyastuti, Doso Sutiyono : Anestesi Lokal / Regional - 323 Marwoto, Aria Dian Primatika : Teknik Anestesi Spinal dan Epidural - 339 Aria Dian Primatika, Marwoto, Doso Sutiyono : Anestesi Obstetri - 345 Danu Susilowati, Ery Leksana, M. Sofyan Harahap : Anestesi Pada Pediatri - 351 Yulia Wahyu Villyastuti, Danu Susilowati, Jati Listiyanto Pujo : Perawatan Pasca Operasi di Ruang Pemulihan - 357 Hariyo Satoto, Hari Hendriarto Satoto : Tanda-tanda Kematian dan Mati Batang Otak – 375 M. Sofyan Harahap, Abdul Lian, Himawan Sasongko : Perawatan Intensive/lntensive Care Unit (ICU) - 385 Johan Arifin, Taufik Eko Nugroho : Anestesi untuk Pelayanan Bedah Sehari/Pembedahan Pasien dengan Rawat Jalan (One Day Surgery) - 421 Johan Arifin



xii



BABI



SEJARAH ANESTESI Soenarjo, Witjaksono, Moh. Sofyan Harahap



PERKEMBANGAN ANESTESIOLOGI PADA masa lalu, masyarakat umum bahkan filusuf dan tabib beranggapan bahwa nyeri adalah hal penting bagi pembentukan watak seseorang dan harus diterima sebagai bagian dari kehidupan. Ketabahan dan pengalaman penderitaan adalah penting bagi penyembuhan selanjutnya. Penyelesaian kekerasan membutuhkan pribadi berani dan ruang operasi diisi oleh korban- korban perang, jeritan penderita dan penolong, dan pemaksaan kehendak terhadap penderita. Ahli bedah melakukan operasi pada lesi permukaan, amputasi atau operasi besar dalam jumlah yang terbatas dalam suasana seperti kejagalan yang tak terbayangkan dan rasa nyeri yang luar biasa. Hippocrates (400 SM) memberikan perhatian terhadap masalah nyeri dan menjelaskan penghilang nyeri dengan opium. Selama beberapa abad kemudian ahli bedah telah berusaha meringankan nyeri pembedahan dengan ekstrak tumbuh-tumbuhan dan cara-cara mekanik yang lain. Discorides (100 M) dari Yunani, memberikan campuran akar mandragora, sedangkan Huang To (250 M) dari Cina, menggunakan ganja untuk membuat penderita tak sadar selama pembedahan, Nicolás (1200 M) dari Salerno, memberikan pertimbangan tentang manfaat inhalasi uap dari "busa saporifik" (yang di celupkan dalam ganja, opium, mandragora, dll) pada anestesi bedah. Valerius Cardus (1540 M) mensitesis "minyak manis vitriol" dan Paracelsus dari Swiss menjelaskan induksi tidur dengan uapnya pada ayam. August Froberins (1730 M) dari Jerman, memberikan nama ether pada minyak manis dari vitrol. Michael Faradey (1818 M) dari Inggris, mengamati efek analgesi dari inhalasi ether. Sebelumnya dari Inggris, Joseph Priestly secara berurutan menemukan oksigen (1771) dan



BAB I - Sejarah Anestesi \ | 1



nitrogen oksida (1772), sedangkan Humprey Davy (1880) mengemukakan dugaan manfaat nitrogen oksida untuk naestesi pembedahan. Pada Desember 1864, di dua tempat yang berbeda, dua orang dokter gigi, Morton WTG (USA) dan Robinson J. (Inggris) memberikan ether pada pencabutan gigi penderitanya. Simpson JY. (1846) memperkenalkan khloro- form untuk menghilangkan nyeri pada persalinan di Edinburg Skotlandia. Robinson J. (1847) menerbitkan buku ajar pertama tentang anesthesia di dunia dan sejak tahun tersebut berkembanglah anestesi modern, anestesi secara farmakologik. Snow J. dari London (1847) menjadi ahli anestesi pertama dan pada tahun yang sama menghasilkan bukunya yang pertama dan Snow J. (1853) juga memberikan khloroform pada Ratu Victoria sewaktu melahirkan Pangeran Leopold. Perbedaan pengembangan dan penggunaan obat, ether di USA yang mempunyai keamanan tinggi dan khloroform di Inggris yang bersifat aritmogenik dan hepatotoksik, memberikan pengaruh pada perkembangan anestesiologi di kemudian hari. Moore J. (1796) dari Inggris menghasilkan analgesik lokal bagi Yang Mulia John Flunter dengan mengkompresi nervus perifer. Baron Larey (1807) dari Perancis menemukan hilangnya nyeri amputasi pada ekstremitas yang beku. Pada tahun 1884, di dua tempat yang berbeda, masing-masing Cari Koller (Austria) memperkenalkan anestesi topikal dengan kokain di konggres opthalmologi di Fleidelberg sedangkan Halstead WS (USA) mengembangkan kokain untuk anestesi lokal, meskipun Von Anrep (1880) sudah mengusulkan kokain sebagai obat anestesi permukaan di bidang urologi dan laringologi. August Bier (1898) dari Jerman, memperkenalkan anestesi spinalis secara klinik. Torsten Gordh (1947) dari Swedia memperkenalkan lignokain sedangkan U Telivio (1963) dari Swedia memperkenalkan bupivakain. Di masa ini, teknik anestesi lokal dipakai pula untuk mengatasi nyeri non pembedahan, seperti persalinan dan nyeri membandel. Selain didukung pengembangan obat dan farmakologi, perkembangan anestesiologi didukung oleh perkembangan alat-alat pembantu. Wood A. (1857) dari Inggris memperkenalkan semprit gelas tabung dan jarum berlubang. Clover JT. (1877) dari London, menjelaskan tentang pengatur inhaler ether yang dapat dibawa ke mana-mana. Flewitt F (1887) dari Inggris menjelaskan tabung dan peralatan campuran nitrogen oksida dan oksigen. Pada tahun 1917, masing-masing Marshall G dan Boyle EG dari Inggris, memperkenalkan mesin untuk penggunaan anestesi. Macintosh RR (1942) dari Inggris menjelaskan laryngoskop lengkung. Pada masa ini, pelaksanaan anestesi modern di kamar operasi, tidak saja didukung oleh alat anestesi canggih tetapi juga dengan alat pantau yang modern. Peperangan selalu membawa kesedihan tetapi juga membawa perubahan pemahaman. Perang Dunia II dan perang Korea (1952-1954) membawa konsep baru tentang resusitasi cairan, kedokteran di tempat terpencil, kedokteran gawat darurat dan membawa tenaga anestesi melibatkan diri di bidang tersebut. Pekerjaan ahli anestesi yang awalnya mempunyai peranan pencegahan nyeri selama pembedahan di kamar bedah, menyebar ke ruang pulih sadar, unit perawatan intensif, klinik nyeri, unit gawat darurat



2 II Anestesiologi



bahkan di lapangan bencana. Mungkin hal tersebut disebabkan kemampuannya dalam mempertahankan fungsi normal pada penderita dengan penyakit pra operasi yang seringkah komplek di kamar operasi. Selain penemuan Morton WTG (1846) dan Cari Koller (1884), penggunaan kurare dan ventilasi terkendali oleh Gray TC. dan Halton J. (1946) membuka cakrawala baru pelaksanaan anestesi multi farmasi yang di mulai sejak awal 1950. Gray TC. dari Liverpool, menggambarkan bahwa anestesi terdiri dari 3 komponen, yang dapat dan seharusnya dikendalikan secara terpisah. Pada masa ini, pelaksanaan anestesi modern dapat membantu operasi pada organ penting seperti otak, jantung dan sebagainya, dengan kondisi-kondisi tertentu seperti keadaan hipotensi dan hipothermi. Perkembangan anestesiologi di Indonesia di mulai pada awal 1950-an di Jakarta oleh Prof. Kelan (Alm), bersama Prof. Haditopo (Alm) dari Semarang, Prof. Muhardi dan dr. Untung (Alm) dari Jakarta, dr. Zuhradi dari Bandung, Prof. Kariadi W dari Surabaya, di kembangkan penelitian, pelayanan anestesi dan rawat intensif dan pendidikan dokter ahli anestesiologi setelah belajar di pusat pendidikan anestesiologi di luar negeri. Pada saat ini, pendidikan dokter ahli anestesiologi dapat di lakukan Fakultas Kedokteran Negeri di Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Ujung Pandang, Medan dan Surakarta.



KAJIAN DAN BIDANG ILMU YANG TERKAIT Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran, pendidikan anestesiologi di Indonesia bagi "pelaksana" anestesiologi yang mandiri, diperuntukkan bagi seorang dokter yang sehat, beriman dan bertakwa, dan memegang teguh sumpah dan etika kedokteran. Ilmu anestesi mempunyai basis ilmu kedokteran dasar, seperti Anatomi, Farmakologi dan Fisiologi. Ketika ilmu kedokteran dikembangkan lagi atas dasar biomolekuler, imunologi, dan epidemiologi, maka sering dijumpai riset-riset anestesiologi berdasarkan ilmu-ilmu kedokteran dasar baru tersebut di atas. Pendidikan Ahli Anestesiologi memerlukan pula dasar ilmu praklinik seperti laboratorium klinik, mikrobiologi dan gizi, berhubungan erat dengan Ilmu Kedokteran Klinik seperti Ilmu Penyakit Dalam, Ilmu Kesehatan Anak, Ilmu Saraf, Radiologi. Dan bekerja sama mengelola penderita bersama dokter Bedah, Kebidanan dan Kandungan, Mata, Telinga Hidung dan Tenggorokan. Keberadaan seorang ahli anestesi di kamar operasi tidak akan tergugat sampai kapanpun. Kehadirannya di ruang pasca operasi adalah bagian yang tak terpisah dari pekerjaannya sebagai ahli anestesi. Masalah nyeri adalah persoalan yang digeluti dan risetriset untuk mengatasi secara efektif diperlukan bagi pekerjaannya mengatasi nyeri pasca operasi. Keterlibatan di klinik nyeri di timbulkan akibat ahli anestesi banyak mengetahui cara-cara mengatasi nyeri, termasuk blokade saraf perifer. Pada banyak center, ahli anestesi yang di anggap mengerti aplikasi fisiologi, seperti ventilasi mekanik, masalah sirkulasi, pengendalian gangguan keseimbangan cairan elektrolit dan asam basa, memimpin unit perawatan intensif. Pada saat ini banyak pula ahli anestesiologi, yang bekerja secara eksklusif hanya pada unit tersebut. Karena ketrampilan klinik dan kemampuan managerial,



BAB I - Sejarah Anestesi \ | 3



ahli anestesi dapat pula bekerja di unit gawat darurat dan kedokteran bencana.



ISTILAH DI BIDANG ANESTESIOLOGI Beberapa istilah yang di pakai seringkali memusingkan karena mempunyai penafsiran banyak, akibat perbedaan latar belakang, dan mungkin berbeda dari penafsirannya secara umum. Anestesi adalah istilah yang di turunkan dari dua kata Yunani yaitu "an" dan "esthesia", dan bersama-sama berarti "hilangnya rasa atau hilangnya sensasi." Para ahli saraf memberikan makna pada istilah tersebut sebagai kehilangan rasa secara patologis pada bagian tubuh tertentu. Istilah anestesi dikemukakan pertama kali Oliver Wendell Holmes(1809-1894) untuk proses "eterisasi" Morton (1846), untuk menggambarkan keadaan pengurangan nyeri sewaktu pembedahan. Pada saat ini, bila digunakan kata tunggal anestesi, berarti anestesi umum. Anestesi umum adalah keadaan tak sadar tanpa nyeri (dengan reflek otonomik minimal) yang reversible akibat pemberian obat obatan. Anestesi inhalasi, anestesi intravena, anestesi intravaskular, anestesi perrektal adalah sub bagian dari anestesi umum, dan kata "menerangkan" menunjukkan jalur masuknya obat ke dalam tubuh untuk menghasilkan anestesi umum. Anestesi lokal (atau mungkin lebih tepat analgesi lokal) menunjukkan anestesi pada sebagian tubuh, keadaan bebas nyeri tanpa kehilangan kesadaran kecuali digunakan teknik anestesi gabungan anestesi umum dan anestesi lokal atau digunakan sedasi. Anestesi regional (atau mungkin lebih tepat analgesi regional) seringkali digunakan sebagai sinonim anestesi lokal, lebih menunjukkan akibat blokade saraf, pleksus, medulla spinalis yang jauh dari daerah yang di buat tidak peka. Analgesi adalah kata yang berarti hilangnya atau bebas dari nyeri. Istilah ini pada masa kini menunjukkan makna ganda. Pertama, untuk menunjukkan proses penderita bebas dari nyeri tanpa kehilangan kesadaran. Kedua, dipergunakan oleh beberapa pakar dalam kaitannya dengan istilah anestesi untuk menunjukkan anestesi lokal atau regional. Obat analgesi dibagi ke dalam dua kelompok, yakni golongan NSAID dan golongan opioid, yang bekerja di perifer atau sentral, sedangkan obat untuk melakukan analgesi lokal adalah kelompok obat anestesi lokal, seperti prokain, lidokain dan bupivakain. Hipnosis mempunyai makna kata berupa keadaan menjadi tidur. Seringkali hipnosis diartikan sebagai komponen pertama trias anestesi, keadaan tak sadar, tidur secara farmakologik yang tetap bereaksi terhadap nyeri dengan reflek penarikan diri atau reflek otonomik, jika penderita tidak cukup diberikan analgetik. Hipnosis adalah istilah yang ditimbulkan oleh hipnotism, yakni penurunan sifat kritis seseorang akibat hipnotism. Narkosis, seringkali diartikan sebagai komponen pertama trias anestesi, keadaan tak sadar, tidur secara farmakologi oleh obat anestesi umum. Istilah ini mungkin lebih tepat dibandingkan hipnosis, tetapi narkosis seringkali diartikan sebagai akibat pemberian obat narkotik (opioid).



4 II Anestesiologi



ANESTESIA DI MASA DEPAN Bentuk pelayanan di bidang medis, yang mempunyai kaitan erat dengan penggunaan peralatan dan pemanfaatan teknologi dalam pelaksanaannya, seperti misalnya Anestesia, akan mengalami perkembangan yang terus menerus sejalan dengan perkembangan teknologi peralatan yang digunakan. Salah satu perkembangan adalah teknik untuk mengetahui komorbiditas pada pasien yang akan menjalani operasi, dengan suatu pemeriksaan yang non invasif. Misalnya pemeriksaan non invasif untuk mengetahui risiko anestesia pada pasien dengan kelainan jantung, mengetahui profil genetik seorang penderita terhadap obat-obat yang akan diterimanya. Contoh lain adalah pemberian infus yang diatur komputer, sehingga secara otomatis dapat memberikan umpan balik kondisi fisiologis pasien yang selanjutnya dapat mengatur sendiri jumlah obat yang di infus. Perkembangan alat monitor intraoperatif non invasif, monitor intraoperatif yang dapat dilihat dari jarak jauh, demikian pula hasil laboratorium yang dapat dipantau dari jarak jauh. Pertanyaan yang timbul dari para pengambil keputusan dalam bidang pendidikan ahli anestesi adalah: Bagaimana cara mempersiapkan seorang ahli anestesi pada tahun 2015-2025 untuk dapat menjalankan karier dengan baik ditengah kemajuan teknologi seperti ini. Kita ketahui bahwa pola pelayanan kesehatan berbasis keluarga makin maju disamping teknologi home care, sehingga dimasa depan Rumah Sakit hanya untuk perawatan pasien dengan penyakit akut dan kritis, artinya dimasa depan ruang rawat intensif akan lebih banyak dari pada ruang bangsal perawatan. Obat-obatan masa depan juga diharapkan akan lebih aman, karena perkembangan di bidang farmakogenetik akan memungkinkan untuk mengatur jenis dan dosis obat yang tepat untuk seorang pasien. Monitor yang non invasif juga akan makin berkembang, demikian juga pemeriksaan laboratorium yang pengambilan sampelnya secara transdermal atau trans- mukosa makin memberi rasa nyaman pada pasien. Sehingga tidak diperlukan lagi pengalaman dan ketrampilan menggunakan alat-alat monitor invasif, demikian juga ketrampilan mengambil sampel darah dari akses intravena atau intra arteri akan makin berkurang.[]



BAB I - Sejarah Anestesi \ | 5



DAFTAR PUSTAKA Kapur PA. The Future Practice of Anesthesiology. CSA bulletin, 2008.



6 II Anestesiologi



BAB II



FISIOLOGI Widya Istanto Nurcahyo, Himawan Sasongko, Hari Hendriarto Satoto



FISIOLOGI JANTUNG MESKIPUN secara anatomi jantung hanya terdiri dari satu organ tunggal, tetapi secara fungsional jantung terbagi atas dua pompa yaitu pompa jantung kanan dan kiri di mana masing-masing terdiri atas atrium dan ventrikel. Ventrikel, baik kanan maupun kiri, bertindak sebagai pompa utama. Ventrikel kanan menerima darah dari sistem vena yang miskin oksigen (deoxygenated) dan memompanya masuk ke sirkulasi pulmoner. Ventrikel kiri menerima darah yang kaya oksigen (oxygenated) dari vena pulmonaris dan memompanya masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Empat katup yang bergerak dalam arah yang sama menjadi pintu masuk ke dalam dan pintu keluar darah dari tiap-tiap ruangan jantung (Gambar 1).



BAB II - Fisiologi || 7



Normal JH Oxygen-'ich blood □



to lungs



Oxygen poor blood



lungs



Superior



vena cava Pulmonary veins from



iunijs



Atrial septum



P Aortic valve ulmonary veins from lungs



Tricuspid



valve



Ventricular



Left atrium



septum



Inferior vena cava Pulmonary valve



Mitral valve



Gambar 1 Struktur Anatomi Jantung Normal dan Arah Aliran Darah di Jantung



Aksi pompa jantung secara normal merupakan hasil peristiwa mekanik dan elektrik yang sangat kompleks. Otot jantung dapat dibagi atau dibedakan menjadi empat jenis yaitu atrial, ventrikular, specialized pacemaker dan sel- sel konduksi. Eksitasi alamiah dari sel-sel otot jantung dan organisasi yang unik menyebabkan jantung dapat berfungsi sebagai pompa yang sangat efisien.



POTENSIAL AKSI DARI JANTUNG Bagian jantung normalnya berdenyut dalam rangkaian teratur, yaitu kontraksi atrium (sistole atrium) diikuti oleh kontraksi ventrikel (sistole ventrikel) dan selama diastole keempat ruang pada jantung dalam keadaan relaksasi. Denyut jantung berasal dari sistem hantaran jantung, dikhususkan dan menyebar melalui sistem ini ke seluruh bagian dari miokardiurrv Struktur yang membentuk sistem hantaran merupakan simpul sinoatrial (simpul SA), lintasan atrium internodal, simpul atrioventrikuler (simpul AV), berkas His dan cabangnya serta sistem Purkinje. Berbagai bagian sistem hantaran dan dalam keadaan abnormal, mampu melepaskan listrik secara spontan (Gambar2).



8 H Anestesiologi



Simpul SA normalnya paling cepat melepaskan listrik, kemudian de- polarisasi menyebar ke seluruh bagian miokardium sebelum melepaskan listrik spontan. Simpul SA merupakan pacu jantung normal di mana kecepatan pelepasan listriknya menentukan frekuensi denyut jantung. Impuls yang dibentuk dalam simpul SA melewati lintasan atrium ke simpul AV, kemudian ke berkas His dan cabang-cabangnya dilanjutkan melalui sistem Purkinje sebelum ke otot ventrikel.



KEJADIAN MEKANIK SIKLUS JANTUNG Kejadian dalam Akhir Diastole Pada akhir diastole, katup mitrai dan trikuspidal terbuka dan katup aorta dan pulmonalis tertutup. Darah mengalir ke dalam jantung selama diastole, mengisi atrium dan ventrikel. Kecepatan pengisian menurun sewaktu ventrikel distensi dan cuspis katup AV menyimpang ke arah posisi menutup. Tekanan dalam ventrikel tetap rendah.



Sistole Atrium Kontraksi atrium mendorong sejumlah darah tambahan ke dalam ventrikel, tetapi 70% pengisian ventrikel terjadi secara pasif selama diastole. Kontraksi otot atrium yang mengelilingi ostium vena kava dan vena pulmonalis menyempitkan ostium tersebut serta inersia darah yang bergerak ke arah jantung cenderung menjaga darah di dalamnya, tetapi terjadi regurgitasi sejumlah darah ke dalam vena selama sistole atrium.



BAB II - Fisiologi || 9



Sistole Ventrikel Masa kontraksi ventrikel isovolumetrik (isovolumik, isometrik) ditandai dengan menutupnya katup mitrai dan trikuspidal. Otot ventrikel mula-mula memendek, tetapi tekanan pada ventrikel meningkat tajam karena mio- kardium menekan darah ke dalam ventrikel. Masa ini berlangsung sekitar 0,05 detik sampai tekanan dalam ventrikel melebihi tekanan dalam aorta (80 mmHg) dan arteria pulmonalis (10 mmHg) serta katup aorta dan pulmonalis membuka. Selama kontraksi isovolumetrik, katup AV menonjol ke dalam atrium, yang menyebabkan peningkatan kecil tapi tajam pada atrium. Fase ejeksi ventrikel dimulai saat katup aorta dan pulmonalis membuka. Ejeksi ini mula-mula cepat kemudian pelan-pelan menurun dengan berlanjutnya sistole. Tekanan intraventrikel meningkat sampai maksimum (120 mmHg pada ventrikel kiri dan 25 mmHg pada ventrikel kanan), kemudian agak menurun sebelum sistole ventrikel berakhir. Katup AV didorong ke bawah oleh kontraksi otot ventrikel dan tekanan atrium turun. Jumlah darah yang disemburkan setiap ventrikel menguncup saat istirahat mencapai 70-90 mL Volume ventrikel akhir diastolik sekitar 130 mL. Fraksi ejeksi, persentasi volume ventrikel yang disemburkan setiap menguncup sekitar 65% dan sekitar 50mL darah tetap dalam ventrikel pada akhir sistole (volume ventrikel akhir sistolik). Fraksi ejeksi merupakan indeks fungsi ventrikel yang relatif baik serta seperti dihitung dalam berbagai keadaan klinik.



Awal Diastole Setelah otot ventrikel kontraksi penuh, maka tekanan ventrikel turun dengan cepat (masa protodiastole) dan berlangsung sekitar 0,04 detik. Pada masa ini diakhiri dengan menutupnya katup aorta dan pulmonalis. Setelah katup menutup, tekanan kontinyu turun cepat selama masa relaksasi ventrikel isovolumetrik. Masa relaksasi ventrikel isovolumetrik ini berakhir bila tekanan ventrikel turun di bawah tekanan atrium dan katup AV membuka,



yang menyebabkan ventrikel terisi darah. isovolumetrik



isovolumetrik



Gambar 3 Aliran Darah dalam Jantung dan Pembuluh Darah Selama Siklus Jantung



10 || Anestesiologi



FISIOLOGI SIRKULASI JANTUNG NORMAL Sistem sirkulasi terdiri atas jantung, pembuluh darah dan darah itu sendiri. Fungsinya adalah untuk menyediakan oksigen dan zat-zat makanan bagi jaringan dan membawa hasil metabolisme yang tidak perlu untuk dibuang. Jantung membagi darah menjadi dua sistem sirkulasi yang bekerja secara seri. Pada sirkulasi pulmoner, darah mengalir melalui membran kapiler alveolar untuk mengambil oksigen dan mengeliminasi karbondioksida. Pada sirkulasi sistemik, darah yang kaya oksigen dipompakan ke jaringan untuk metabolisme, dan produk-produk metabolisme diangkut untuk dieliminasi melalui paru, ginjal atau hati. Darah yang kaya oksigen dari ventrikel kiri dipompa keluar jantung saat ejeksi sistolik, masuk ke dalam aorta melewati katup aorta dan akan dialirkan ke sirkulasi darah sistemik. Darah kembali ke jantung melalui sistem vena masuk ke atrium kanan melalui vena kava superior dan inferior, kemudian masuk ke ventrikel kanan melewati katup trikuspidal. Darah yang miskin oksigen ini oleh ventrikel kanan dipompa masuk ke paru melalui arteria pulmonalis, melewati katup pulmoner. Di paru kemudian darah mengalami oksigenasi, kemudian dialirkan kembali ke jantung. Darah yang kaya oksigen ini melalui vena pulmonlis masuk ke atrium kiri kemudian masuk ventrikel kiri melewati katup mitrai. Oleh ventrikel kiri kemudian dipompakan kembali untuk masuk ke sirkulasi darah sistemik (Gambar 4,5), | Kepala dan Ekstremitas Atas



| Tubuh dan Ekstremitas Bawah]



Gambar 4 Struktur Jantung dan Aliran Darah yang Melewati Ruang Jantung



BAB II - Fisiologi || 11



Hukum Frank-Starling Makin panjang otot jantung sebelum kontraksi, makin kuat kontraksi yang terjadi. Tapi ini hanya sampai keadaan maksimum. Jika otot jantung diregang melampaui batas maksimum, maka kekuatan kontraksi akan melemah. Hal ini disebut juga dengan mekanisme Frank-Starling yaitu kekuatan kontraksi tergantung pada panjang serat otot sebelum kontraksi. Pada otot jantung akan berlaku keadaan di mana panjang awal itu adalah sebanding dengan volume akhir diastolik. Kalau volume besar, maka pemenjangan otot jantung bertambah. Namun demikian pemanjangan serat jantung yang akan menambah kekuatan kontraksi ini hanya sampai batas tertentu, yang kalau melampaui batas itu kontraksi akan sangat berkurang.



Gambar 5 Skema Sirkulasi Sistem Kardiovaskuler



12 || Anestesiologi



Paru-paru merupakan organ elastis berbentuk kerucut dan terletak di dalam rongga dada atau toraks. Kedua paru-paru saling terpisah oleh medias- tinum sentral yang berisi jantung dan beberapa pembuluh darah besar. Setiap paru-paru mempunyai apeks (bagian atas paru-paru) dan basis. Pembuluh darah paru-paru, bronkial, saraf dan pembuluh limfe memasuki tiap paru- paru pada bagian hilus dan membentuk akar paru-paru. Paru-paru kanan lebih besar daripada paru-paru kiri dan dibagi menjadi tiga lobus oleh fisura interlobaris, sedangkan paru-paru kiri dibagi menjadi dua lobus (Gambar 6) Lobus-lobus tersebut dibagi lagi menjadi beberapa segmen sesuai dengan segmen bronkusnya. Paruparu kanan dibagi menjadi 10 segmen sedangkan paru-paru kiri menjadi 9 segmen. Pleura merupakan lapisan tipis, kontinyu mengandung kolagen, dan jaringan elastis yang melapisi rongga dada (pleura parietalis) dan menyelubungi setiap paru-paru (pleura viseralis). Di antara pleura parietalis dan pleura viseralis terdapat suatu lapisan tipis berisi cairan pleura yang berfungsi untuk memudahkan kedua permukaan itu bergerak selama pernafasan dan untuk mencegah pemisahan toraks dan paru-paru. Kavum pleura atau pleura hanyalah suatu ruangan potensial karena tidak ada ruangan sesungguhnya antara pleura parietalis dan pleura viseralis. Tekanan dalam rongga pleura lebih rendah dari tekanan atmosfir sehingga dapat mencegah kolapsnya paru- paru. Trachea



{Wind Pipe)



Gambar 6



Pembagian Lobus Paru-paru



Terdapat beberapa mekanisme yang berperan memasukkan udara ke dalam paruparu sehingga pertukaran gas dapat berlangsung. Fungsi mekanis



BAB II - Fisiologi || 13



pergerakan udara masuk dan keluar paru-paru disebut sebagai ventilasi. Yang mempunyai peranan penting adalah pompa resiprokatif yang disebut pipa penghembus nafas. Pipa ini mempunyai dua komponen volume-elastis: paru- paru itu sendiri dan dinding yang mengelilingi paru-paru. Dinding terdiri dari rangka dan jaringan dinding toraks, diafragma, isi abdomen dan dinding abdomen. Otot-otot pernafasan yang merupakan bagian dinding toraks merupakan sumber kekuatan untuk menghembus pipa. Diafragma merupakan otot utama yang ikut berperan dalam peningkatan volume paru-paru dan dinding toraks selama inspirasi; ekspirasi merupakan suatu proses pasif pada pernafasan tenang. Penurunan tekanan parsial oksigen dalam darah arteri Pa02 dapat juga merangsang ventilasi. Kemoreseptor perifir yang terdapat dalam badan karotis pada percabangan arteri karotis komunis dan dalam badan aorta pada lengkung aorta peka terhadap penurunan Pa02. Akan tetapi Pa02 harus turun dari tingkat normal sebesar 90 sampai 100 mmHg hingga mencapai sekitar 60 mmHg sebelum ventilasi mendapat rangsangan cukup berarti. Hubungan antara Ventilasi-Perfusi Pemindahan gas secara efektif antara alveolus dan kapiler paru-paru membutuhkan distribusi merata udara dalam paru-paru dan perfusi (aliran darah) dalam kapiler. Pada orang normal dengan posisi tegak dan keadaan istirahat maka ventilasi dan perfusi hampir seimbang kecuali pada apeks paru-paru. Sirkulasi pulmonar dengan tekanan dan resistensi rendah mengakibatkan aliran darah di basis paru-paru lebih besar daripada bagian apeks. Nilai rata-rata rasio antara ventilasi terhadap perfusi (V/Q) adalah 0,8. Angka ini didapatkan dari rasio rata-rata laju ventilasi alveolar normal (4 L/menit). Ketidakseimbangan antara proses ventilasi-perfusi terjadi pada kebanyakan penyakit pernafasan. Tiga unit pernafasan abnormal secara teoritis terlihat pada gambar 8Gambar 8A menggambarkan unit ruang sepi yang mempunyai ventilasi normal, tetapi tanpa perfusi sehingga ventilasi terbuang percuma (V/Q = tidak terhingga). Unti pernafasan abnormal kedua (Gambar 8B) merupakan unit pirau, di mana tidak ada ventilasi tetapi perfusi normal sehingga perfusi terbuang sia-sia (V/Q = 0). Unit terakhir Gambar 8C merupakan unit diam di mana tidak ada ventilasi dan perfusi. Transport Oksigen dalam Darah Oksigen dapat diangkut dari paru ke jaringan melalui dua jalan: secara fisik larut dalam plasma atau secara kimia berkaitan dengan hemoglobin sebagai oksihemoglobin (Hb02). Ikatan kimia oksigen dengan hemoglobin ini bersifat reversibel. Jumlah sesungguhnya yang di angkut dalam bentuk ini mempunyai hubungan monoliner dengan Pa02 (tekanan parsial oksigen dalam darah arterial), yang ditentukan oleh jumlah oksigen yang secara fisik larut dalam plasma darah. Selanjutnya jumlah oksigen yang secara fisik larut dalam plasma mempunyai hubungan langsung dengan tekanan parsial oksigen dalam alveolus (PA02). Kecuali itu juga tergantung daya larut oksigen dalam plasma. Jumlah oksigen dalam keadaan normal larut secara fisik sangat kecil karena daya larut oksigen dalam plasma yang rendah. Hanya sekitar 1% dari jumlah oksigen total yang diangkut ke



BAB II - Fisiologi \ | 14



jaringan ditranspor dengan cara ini. Cara transpor seperti ini tidak dapat memadai untuk mempertahankan hidup walaupun penderita dalam keadaan istirahat sekalipun. Sebagian besar oksigen diangkut oleh hemoglobin yang terdapat dalam sel darah merah. Dalam keadaan tertentu (misalnya: keracunan karbon dioksida atau hemolisis masif di mana terjadi Insufisiensi hemoglobin) maka oksigen yang cukup untuk mempertahankan hidup dapat ditranspor dalam bentuk larutan fisik dengan memberikan oksigen tekanan yang lebih tinggi dari tekanan atmosfer (ruang oksigen hiperbarik). Hal-hal yang berkaitan dengan transpor oksihemoglobin dilukiskan pada Gambar 7. Satu gram hemoglobin dapat mengikat 1,34 ml oksigen. Karena konsentrasi hemoglobin rata-rata dalam darah pria dewasa besarnya sekitar 15 g per 100 ml, maka 100 ml darah dapat mengangkut (15 x 1,34)= 20,11 ml oksigen bila darah jenuh total (Sa02= 100%). Tetapi darah yang sudah teroksi- genisasi dan meninggalkan kapiler paru ini mendapatkan sedikit tambahan darah vena campuran dari sirkulasi bronkial (Gambar 7). Proses pengenceran ini yang menjadi penyebab sehingga darah yang meninggalkan paru hanya jenuh 97 persen, dan hanya (0,97 x 20,1) = 19,5 volume persen diangkut ke jaringan.



Pada tingkat jaringan oksigen akan berdisosiasi dari hemoglobin dan berdifusi ke dalam plasma. Dari plasma oksigen berdifusi ke sel jaringan tubuh untuk memenuhi kebutuhan jaringan yang bersangkutan. Meskipun kebutuhan jaringan bervariasi, namun sekitar 75% dari hemoglobin kembali ke paru dalam bentuk darah vena campuran. Jadi sesungguhnya hanya sekitar 25 % oksigen dalam darah arteria yang digunakan untuk keperluan jaringan. Hemoglobin yang telah melepaskan oksigen pada tingkat jaringan disebut hemoglobin tereduksi (Hb). Hemoglobin tereduksi berwarna ungu dan menyebabkan warna kebiruan pada darah vena, seperti yang kita lihat pada vena superfisial, misalnya pada tangan. Sedangkan oksihemoglobin (hemoglobin yang berkaitan dengan oksigen) berwarna terang dan menyebabkan warna ke merah merahan pada darah.



BAB II - Fisiologi || 15



Transpor Karbon Dioksida dalam Darah Homeostasis karbon dioksida juga suatu aspek penting dalam kecukupan respirasi. Transpor karbon dioksida dari jaringan ke paru untuk dibuang dilakukan dengan tiga cara. Sekitar 10% C02 secara fisik larut dalam plasma, karena tidak seperti O2, C02 mudah larut dalam plasma. Sekitar 20% C02 berikatan dengan gugus amino pada hemoglobin (karbaminohemoglobin) dalam sel darah merah, dan sekitar 70% diangkut dalam bentuk bikarbonat plasma. Karbon dioksida berikatan dengan air dalam reaksi berikut ini:



Carbon Dioxide Transport o



Gambar 8 Transport Karbon Dioksida



Reaksi ini reversibel dan dikenal dengan nama persamaan dasar asam karbonatbikarbonat. Keseimbangan asam-basa tubuh sangat dipengaruhi oleh fungsi paru dan homeostatis karbon dioksida. Pada umumnya hiper- ventilasi menyebabkan alkalosis akibat ekskresi C02 berlebihan dari paru. Hipoventilasi dapat menyebabkan asidosis (penurunan kadar pH di bawah pH normal 7,4) akibat retensi karbon dioksida oleh paru. Dengan memeriksa persamaan dapat terbukti bahwa penurunan PC02 seperti yang terjadi pada hiperventilasi, akan menyebabkan reaksi menjurus ke kiri dengan akibat terjadi penurunan kesentrasi H+ (kenaikan pH), dan peningkatan PC02 menyebabkan reaksi menjurus ke kanan, menimbulkan kenaikan H+ (penurunan pH). Hipoventilasi terjadi pada banyak keadaan yang mempengaruhi napas. Retensi karbon dioksida juga dihubungkan dengan emfisema dan bronkitis kronik akibat udara yang terperangkap dalam paru. Sama seperti jumlah 02 yang diangkut dalam darah berkaitam dengan P02 pada darah tersebut, demikian jumlah C02 dalam darah berkaitan dengan PC02. tidak seperti kurva disosiasi oksihemoglobin yang bentuknya seperti huruf S, kurva disosiasi C02 hampir linier pada batas-batas fisiologis PC02. ini berarti bahwa kandungan karbondioksida dalam darah berhubungan langsung dengan PC02. Selain itu tidak pernah ada hambatan yang nyata terhadap difusi C02. karena itu PaC02 merupakan petunjuk yang baik akan kecukupan ventilasi.



16 11 Anestesiologi



FISIOLOGI HEPAR Hepar merupakan organ kelenjar tubuh yang terbesar dengan berat 1000-4000 gram dengan rata-rata berat sekitar 1500 gram atau dihitung secara kasar kira-kira seperlimabelas dari berat badan. Pada bayi heparnya relatif lebih besar, kurang lebih seperdelapan belas berat badan waktu lahir, sebagian besar terdiri dari lobus kiri sehingga perut bayi tampak seperti lebih menonjol. Hepar merupakan organ plastis lunak yang terletak oleh struktur di- sekitarnya. Permukaan superior adalah cembung dan terletak di bawah kubah kanan diafragma dan sebagian kubah kiri setinggi iga ke-5 dan procesus xyphoideus. Bagian bawah hepar adalah cekung dan merupakan atap dari ginjal, lambung, pankreas, dan usus. Unit fungsional dasar hepar adalah lobulus hepar yang berbentuk silindris dengan panjang beberapa milimeter dan berdiameter 0,8 sampai 2 milimeter, yang merupakan unit mikroskopis dan fungsional organ. Hepar manusia terdiri dari 50.000 sampai 100.000 lobulus. Lobulus-lobulus ini terdiri dari lempengan-lempengan sel hepar yang tersusun secara radier dan centrifugal dari vena centralis seperti jari-jari sebuah roda. Tiap lobulus dipisahkan oleh jaringan interseptal di mana terdapat banyak pembuluh-pembuluh darah cabang-cabang kecil dari vena porta, a. hepatis, selain itu duktus terminalis saluran empedu, saluran limfe dan jaringan ikat lainnya. Hepar manusia terdiri dari dua lobus utama, kanan dan kiri. Lobus kanan dibagi menjadi segmen anterior dan posterior oleh fisura segmentalis kanan yang tidak terlihat dari luar. Lobus kiri dibagi menjadi segmen medial dan lateral oleh ligamentum falsiforme yang dapat dilihat dari luar. Ligamentum falsiforme berjalan dari hati ke diafragma dan dinding depan abdomen. Permukaan hati diliputi oleh peritoneum viseralis, kecuali daerah kecil pada permukaan posterior yang melekat langsung pada diafragma. Beberapa ligamentum yang merupakan lipatan peritoneum membantu menyokong hepar. Di bawah peritoneum terdapat jaringan penyambung padat yang dinamakan kapsula glisson, yang meliputi seluruh permukaan organ; kapsula ini pada hilus atau porta hepatis di permukaan inferior, melanjutkan diri ke dalam massa hati, membentuk cabang-cabang vena porta, arteri hepatika, dam saluran empedu. Pada umumnya lempengan sel hepar terdiri dari beberapa sel yang di antaranya terdapat kanal-kanal kecil yang mengalirkan cairan empedu ke- duktus terminalis saluran empedu (dalam septal). Di dalam septal berjalan venul portal yang membentuk sinus hepatis yang semuanya menuju vena centralise. Jadi sel-sel hepar terletak di antara sinus hepatis kanal-kanal kecil dari saluran empedu, sel kupffer (disebut juga sel retikuloendotel) yang bersifat fagosit terletak pada dinding sinus hepatis. Di antara sel-sel hepar terdapat ruang-ruang yang sangat kecil yang disebut ruang dari Disse (space of Disse), membentuk pori-pori yang besar sehingga plasma protein dapat berdiffusi secara bebas melalui ruang ini. Ruang dari Disse ini juga berhubungan dengan saluran limfe, bilamana terjadi kelebihan cairan dalam ruangan ini, akan dialirkan ke dalam saluran limfe. Seperti telah kita ketahui hepar merupakan organ parenkim terbesar yang



BAB II - Fisiologi || 17



mempunyai daya regenerasi dan cadangan kemampuan yang besar serta menduduki urutan pertama dalam hal banyaknya, kerumitan dan ragam dari fungsinya. Bila terjadi kerusakan kurang dari 80% atau fungsi hati sekitar 10-20% saja dari jaringan normal, hepar mampu mempertahankan kehidupan. Jelaslah peranan hepar sangat penting untuk mempertahankan kehidupan dan kesehatan seseorang sebagai tanggung jawab fungsi metabolisme dan lebih dari 500 aktivitas berbeda. Fungsi utama hepar meliputi: 1. Pembentukan dan ekskresi empedu. 2. Metabolisme pigmen empedu (billirubin). 3. Metabolisme karbohidrat. 4. Metabolisme protein. 5. Metabolisme lemak. 6. Metabolisme steroid. 7. Penyimpanan air, vitamin dan mineral.R 8. Regulasi koagulasi darah. 9. Penyimpanan besi. 10. Metabolisme obat (detoksikasi). 11. Fungsi sistem retikuloendotelial. Bilirubin serum merupakan indikasi yang sederhana dan test terbaik untuk mengetahui adanya kelainan pada fungsi obstruksi. Pada keadaan normal total bilirubin serum kurang dari 1,5 mg/100 ml dan akan mulai terlihat adanya ikterus bila lebih besar sama dengan 3 mg/100 ml. Albumin dan waktu protrombine merupakan out-come test dari indikator gangguan fungsi sintesa. Waktu protrombine mencerminkan keadaan faktor pembekuan II, V, VII, dan X yang semuanya diproduksi di hepar. Faktor VII mempunyai waktu paruh biologik dalam serum lebih kurang 5 jam. Apabila terjadi gangguan fungsi sintesa ini maka akan terjadi pemanjangan beberapa jam waktu protrombine. Pada kelainan hepar yang kronis fungsi sintesa albumin akan terlihat secara sensitif oleh karena waktu paruh albumin yang hanya 10-14 hari, apabila dibandingkan pada penyakit hepar yang akut. Dengan demikian pada penyakit hepar yang kronis penurunan kadar serum albumin sering diikuti perpanjangan waktu protrombine. Peningkatan nilai serum SGOT dan SGPT sering digunakan untuk menilai gangguan dan kerusakan pada hepatoseluler. Perbandingan ratio SGOT/SGPT digunakan untuk menentukan jenis kelainan penyakit hepar. Bila ratio meningkat tapi SGPT normal, peningkatan SGOT ini menggambarkan kelainan di luar hepar, bila SGOT dan SGPT meningkat keduanya dengan peningkatan ratio di atas 4 menggambarkan kelainan hepatitis Wilson, bila nilai ratio antara 2-4 menunjukkan penyakit liver alkoholik, bila nilai ratio di bawah 1 berarti penyakit nonalkoholik steatosis atau hepatitis (tanpa cirrhosis). Apabila SGOT dan SGPT di bawah 300IU/L dan ratio melebihi 2 pasti penyakit liver alkoholik atau chirrosis karena penyebab apapun. Nilai aminotransferase < 250 IU/L kelainannya hepatik steatosis, hepatitis karena



18 11 Anestesiologi



alkohol atau obat, hepatitis kronik virus, cirrhosis, hemochromatosis, cholestasis, neoplasma atau previus jejunoileal by pass. Nilai aminotransferase 250-500 IU/L gambarannya hepatocelluler necrosis kelainannya hepatitis virus atau karena obat, excacerbations hepatitis kronik. Nilai aminotransferase di atas 1000 IU/L selalu serangan virus atau induksi obat yang menyertai penyakit liver alkoholik, outoimmune dan hepatitis. Nilai aminotransferase lebih 2000 IU/L gambarannya massive hepatic necrosis biasanya karena obat (acethaminophen, halothane hepatitis). Peningkatan LDH ditemukan di hepar dan non hepar jadi test ini kurang spesifik dibandingkan test aminotransferase. Serum alkaline phosphatase biasanya digunakan untuk screening test penyakit hepar atau saluran billier termasuk hepatitis akut, keganasan, dan cholestatic disorder. Serum ini juga ditemukan di tulang, plasenta, usus halus, ginjal, leukosit, dan neoplasma. Peningkatan y-Gluyamyl Transpeptidase hampir selalu disertai kenaikan bilirubin akan tetapi enzim ini tidak diproduksi di tulang. Jadi bila ada penyakit tulang tidak akan ditemukan peningkatan enzim ini.



FISIOLOGI GINJAL Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang terletak di rongga peritoneal bagian atas. Bentuknya menyerupai kacang dengan sisi cekungnya menghadap ke medial. Pada sisi ini terdapat hilus ginjal yaitu tempat struktur- struktur pembuluh darah, sistem limfatik, sistem syaraf dan ureter menuju dan meninggalkan ginjal. Walaupun hanya merupakan 0,5% massa tubuh, namun keberadaan ginjal sangatlah penting dalam kehidupan manusia. Berbagai fungsi seperti pengaturan keseimbangan elektrolit dan air, pengaturan osmolalitas cairan tubuh dan konsentrasi elektrolit, ekskresi produk sisa metabolik dan zat asing, pengaturan tekanan arterial, pengaturan keseimbangan asam basa, pengaturan osmolalitas cairan tubuh dan konsentrasi elektrolit, sekresi hormon dan glukoneogenesis. Seluruh proses yang demikian kompleks dikerjakan oleh bagian tertentu dari ginjal baik secara independen ataupun simultan antara satu bagian ginjal dengan bagian ginjal yang lain ataupun dengan sistem organ lain. Pada masing-masing ginjal terdapat 1 juta nefron sebagai unit fungsional dasar ginjal. Nefron tidak dapat dibentuk lagi dan jumlahnya akan menurun bertahap oleh karena trauma, penyakit atau proses penuaan, sehingga jumlahnya akan berkurang 10% setiap 10 tahun sejak usia 40 tahun. Penurunan jumlah ini tidak akan membahayakan karena adanya perubahan adaptif pada nefron yang tersisa sehingga tetap dapat mengekresikan air, elektrolit dan produk sisa dengan tepat. Berdasarkan anatomi fungsionalnya nefron terdiri atas: 1. Kapiler Glomerolus. 2. Tubulus Proksimal. 3. Ansa Henle. 4. Tubulus Distal.



BAB II - Fisiologi || 19



5. 6.



Tubulus Kolektivus. Aparatus Juxta Glumerular. Glomerolus merupakan tempat utama terjadi proses filtrasi. Jumlah filtrat yang dibentuk setiap menitnya pada semua nefron kedua ginjal disebut laju filtrasi glomerolus, dengan nilai normal rata-rata 125 ml/menit. Proses filtrasi tergantung dari permeabilitas barier filtrasi dan selisih dari gaya hidros- tatik yang mendorong cairan ke celah Bowman.



Gambar 2 Anatomi Nefron Tubulus merupakan tempat utama terjadinya proses reabsorpsi zat-zat yang berguna bagi tubuh. Kapasitas maksimum dari tubulus dalam mengabsorpsi zat-zat tersebut dapat diukur dan disebut sebagai proses obligatorik. Tubulus memiliki kapasitas yang besar untuk reabsorpsi air dan NaCl. Tubulus juga mempunyai fungsi ekskresi zat-zat asing dari kapiler peritubuler ke dalam filtrat dan sintesis amonia sebagai regulator asam basa. Ansa Henle menyerap 15-20% dari natrium yang terfiltrasi. Ansa Henle bersama dengan tubulus kolektivus dan vasa recta berperan dalam mekanisme countercurrent Selain itu ansa Henle juga berperan dalam reabsorpsi kalsium, magnesium, dan hormon paratiroid. Proses filtrasi glomerolus dan reabsorpsi tubulus secara kuantitatif berpengaruh besar terhadap produksi urin. Ginjal memiliki kemampuan untuk mengubah komposisi urin dari waktu ke waktu yang mencerminkan kebutuhan tubuh dalam mengatur berbagai zat. Mekanisme ini disebut juga dengan countercurrent, yang terbagi menjadi countercurrent multiplier dan counter- current exchanger. Ginjal merupakan organ tubuh yang penting dalam pengaturan cairan tubuh dengan mengontrol volume darah, volume cairan ekstraseluler, osmo- laritas cairan tubuh, dan konsentrasi beberapa ion dalam tubuh. Bekerja sama dengan paru-paru, ginjal menjaga keseimbangan asam basa dalam tubuh. Mekanismenya dengan menghasilkan buter natrium bikarbonat, buter kombinasi



20 11 Anestesiologi



ion H+ dengan karbonat hasil filtrasi glomerolus, buter lainnya, antara lain fosfat inorganik, urat, ion kreatinin dan juga mampu mengabsorpsi amonia. Ginjal berperan dalam pengaturan kerja hormon renin, aldosteron, atrial natruretik peptida dan anti diuretik hormon. Selain itu ginjal juga memproduksi hormon eritropoeitin yang menstimulasi produksi sel darah merah.[]



BAB II - Fisiologi || 21



DAFTAR PUSTAKA 1.



Maas ML, Kumpulan Makalah dalam Pertemuan Ilmiah Berkala X Ikatan Dokter Spesialis Anesthesiology Indonesia, Bandung Mei 2000, hal. 231- 145. 2. Price SA, Wilson LM, editors. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-proses Penyakit, editors. Wijaya C. dr. Alih bahasa: Peter A; ed. 4, cetakan I, EGC, Jakarta 1995 3. Guyton AC; Hall JE, Editor Bahasa Indonesia oleh Setiawan I; Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 9 Jakarta, EGC: p.1323-1325 4. Collins VJ. Hepatobiliary Disease and Anesthesia, in: Physiologic and Pharmacologic Base of Anesthesia. Baltimore: Williams dan Wilkins, 1996: p. 396-416 5. Orfei E. dr, Drug Induced Liver Injury, Available from URL http:// www.medicalcentre.osu.edu//ptiencare/healthinformation/otherhealth opik/liverbilliery pancreatic dos 4540/the liver anatomy function 4542. 6. Orfei E. dr, The liver: Anatomy and Function, available from URL, http:// www.medden.luc.edu/lumen/med ED/orfpath/drug %20hepatitis. 7. Martini FH, Ober WC, Garrison CW, Editors Development and Inheritance, in: Fundamentals of Anatomy and Physiology; 7th ed, San Fransisco: Pearson Education Benyamin Commings, 2006: p.1074-1109. 8. Morgan GE, Mikhail MS, Muray MJ, Clinical Anestesiology; 3th ed. New York: Me. Grawhill; 2002. p. 808-873,2312. 9. Mushlin PS, Gelman S, Hepatic Physiology and Patophysiology. In: MillerRD, editors. Miller's Anesthesia. 9th ed. Philadelphia: Elseiver Churchill Livingstone 2005. p. 743750 10. Katzung, BG, Editor Bahasa Indonesia oleh: Sjabana D. dkk: Farmakologi Dasar dan Klinik, Edisi 8-Buku 2 Jakarta; Salemba Medika: 2002: p.24-56, 130-203,469-479. 11. Aitkenhead AR, Rowbotham DJ, Smith G, Text Book of Anesthesia; 4th ed. London: Elseiver Churchill Livingstone 2005. P250-258.



22 11 Anestesiologi



BAB III



TES FAAL PARU Hari Hendriarto Satoto, Himawan Sasongko, Widya Istanto Nurcahyo



PENDAHULUAN Tes faal paru mempunyai peranan penting dalam persiapan pre anestesi. Meskipun sederhana dan tanpa resiko, tes faal paru sering dilakukan tanpa indikasi yang jelas akibat keterbatasan pengetahuan tentang fisiologi dari para dokter. Hal ini menyebabkan para dokter sering mengalami kesulitan untuk menginterpretasi hasil tes.1 Tes faal paru sebagai pemeriksaan pre anestesi ditujukan untuk mengetahui fungsi paru seseorang apakah terdapat kelainan paru dan tingkat keparahannya.1,2 Tujuannya untuk mengurangi resiko terjadinya kegagalan fungsi paru, komplikasi paru post anestesi lain dan mengetahui kemajuan perbaikan paru setelah pemberian obat-obatan.1 Wighman (1968) menyatakan faktor resiko terjadinya komplikasi paru adalah pembedahan di daerah thorax dan abdomen atas, penyakit paru sebelumnya, merokok, operasi > 180 menit dan usia tua.3 Tisi (1979) menyatakan bahwa faktor resiko komplikasi paru adalah umur > 70 tahun, obesitas, pembedahan di daerah thorax dan abdominal atas, riwayat merokok dan adanya kelainan paru sebelumnya. Pada perkembangannya, data menurut Tisi ini masih dianggap terlalu luas, maka American College of Chest Physician (1995) membuat guidelines baru yaitu tes faal paru perlu diperiksa pada reseksi paru, riwayat merokok, dyspnea, bedah jantung, pembedahan di



BAB III- Tes Faal Paru || 23



daerah abdominal atas dan bawah dan pada kelainan paru dengan gejala tidak spesifik. Dari beberapa penelitian didapatkan bukti bahwa faktor resiko yang sudah disebutkan di atas meningkatkan komplikasi paru. Kroenke et. al. (1993) menyatakan komplikasi paru meningkat pada pasien dengan kelainan paru sebelumnya.4 Badgett et. al. (1993) menyatakan pemeriksaan fisik saja tidak terlalu sensitif untuk mengetahui kelainan paru ringan dan sedang.5 Walsh et. al. (1994) menyatakan tes exercise berguna untuk memeriksa fungsi kardiopulmonal pada pasien yang akan dilakukan bedah thoraks.6 Bolliger CT. (1995) menyatakan kadar V02 max kurang dari 10 ml/kg/menit merupakan kontrain dikasi reseksi paru karena mempunyai tingkat mortalitas 100%.7 Nomori H. et. al. (1994) menyatakan kekuatan otot paru yang ditingkatkan melalui exercise akan sangat berguna dalam mengatasi komplikasi paru post operasi.8 Passannante AN (2003) menyatakan spirometri pre operatif tidak akan berguna bila tidak disertai dengan anamnesa dan pemeriksaan fisik yang baik.9 Collins (1996) membagi tes faal paru menjadi 3 bagian yaitu untuk mengetahui fungsi ventilasi paru, fungsi sirkulasi paru dan mekanisme difusi- alveolar paru.10 Sedangkan Miller (2005) membagi tes faal paru 2 bagian yaitu untuk mendeteksi abnormalitas dari pertukaran gas paru dan untuk mengetahui fungsi mekanis ventilasi paru dan dinding dada.1



TEST FAAL PARU A.



Anamnesa



Seorang anestesiologis disarankan untuk melakukan anamnesa pada pasiennya. Dalam anamnesa, ditanyakan riwayat batuk, sputum, sesak nafas saat berjalan dan riwayat merokok. Pada pasien dengan riwayat batuk, perlu diketahui pula tingkat batuk dan berapa lama batuk berlangsung. Pemeriksaan yang mudah dilakukan adalah melihat kemampuan untuk menyelesaikan satu kalimat panjang dalam satu nafas.2



B.



Pemeriksaan Fisik



Tujuan pemeriksaan fisik adalah menentukan tingkat obstruksi jalan nafas, tingkat retensi sputum dan penyakit di daerah paru dan sekitarnya.2 Saat inspeksi dilihat bentuk dan ukuran thoraks, deformitas, gerakan dada dan diafragma. Auskultasi digunakan untuk menilai fungsi aerasi10 Pada obstruksi jalan nafas, seperti bronkitis, emfisema dan asma terdapat 3 tanda utama. Tanda pertama adalah hiperinflasi. Pada inspeksi terlihat dada selalu pada posisi inspirasi dengan costa naik turun. Pada perkusi terasa hipersonor terutama di daerah jantung dan pekak diafragma kurang dari normal. Tanda kedua adalah wheezing. Wheezing terjadi karena aliran udara dengan kecepatan tinggi melalui jalan nafas yang sempit. Pada obstruksi ringan, wheezing baru terdengar bila pasien bernafas nafas sampai mencapai VC. Pada obstruksi jalan nafas berat,



24 II Anestesiologi



aliran udara bisa sangat pelan, sehingga tidak terdengar wheezing, ini disebut silent chest. Tanda ketiga adalah memanjangnya waktu ekspirasi. Dapat dilihat saat pemeriksaan FVC. Pemeriksa meletakkan stetoskopnya di atas laring. Secara normal terdengar suara bronkial selama 1-2 menit. Di mana pada obstruksi berat, pasien mengambil nafas lagi sebelum ekspirasi dalam selesai. Suara yang ditimbulkan karena retensi sputum paling baik didengarkan pada paru bagian posterior. Pada kelainan bronkial ringan, suara hilang bila pasien batuk. Tetapi bila suara tetap ada setelah batuk, kemungkinan besar terjadi bronkiektasis.2,11



C.



Fluoroskopi



Fluoroskopi dapat memberi informasi tambahan tentang fungsi paru. Penilaian dalam fluoroskopi menurut rekomendasi dari American Medical Association adalah:10 1. Kecepatan udara masuk dan keluar. 2. Pernafasan (diafragma, abdominal, intercostal dan aksesoria). 3. Perpanjangan aerasi selama inspirasi dan ekspirasi. 4. 5. 6.



Gerakan abnormal atau adanya fixasi: hila, mediastinum, tanda paru lain. Perbedaan antara paru dan segmen paru. Bukti adanya kista dan proses patologis yang lain.



D.



Spirometri



Pemeriksaan kuantitatif ventilasi diukur menggunakan spirometri.10 John Hutchinson adalah penemu spirometer pada abad ke-19. Ada 2 macam spirometer, yaitu wet spirometer dan dry spirometer. Wet spirometer adalah alat yang terdiri dari silinder padat yang di dalamnya terdapat rongga berisi air. Wet spirometer sangat akurat tetapi kurang nyaman dipakai karena gerakan air sangat mempengaruhi pengukuran aliran udara. Dry spirometer lebih sering digunakan. Di sini udara mengisi rongga dalam silinder. Pasien meniup spirometer saat ekhalasi maksimal menuju tube. Pengembangan spirometer kemudian dicatat di tabel yang bergerak sesuai axis x. Pengukuran dilakukan 3-5 kali, kemudian diambil hasil pengukuran tertinggi.12



BAB III- Tes Faal Paru || 25



Ventilation



Gambar 1 Pengukuran Paru dengan Spirometer



1.



Vital capacity a. Cara Pemeriksaan Vital Capacity (VC) adalah volume yang diukur pada individu yang melakukan inspirasi dalam dan maksimal sampai mencapai Totai Lung Capacity (TLQ dan kemudian ekspirasi maksimal hingga mencapai Residual Volume (RV) kemudian ditiupkan pada spirometer sebanyak 3 kali secara perlahan.2,13 b.



Harga normal dan interpretasi Harga normal vital capacity dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 1 Harga Normal untuk Vital Capacity (VC)10 Vital Capacity



Pria



Wanita



ml/mV permukaan tubuh ml/cm tinggi badan



2500 25,0



2000 20,0



VC dikatakan abnormal jika turun kurang dari 80 % dari nilai yang diprediksi. Harga normal VC lebih rendah pada pasien yang tidur terlentang daripada pasien duduk dan bervariasi tergantung berat badan dan umur. Pasien dengan penyakit paru restriktif seperti pneumonia, atelektasis atau fibrosis pulmonal, mempunyai nilai VC yang rendah. Penurunan VC jug



26 II Anestesioiogi



terjadi pada kelemahan otot atau nyeri sehingga pasien sulit melakukan inspirasi maksimal.14



2.



Forced Vital Capacity (FVC)



a.



Cara pemeriksaan Forced Vital Capacity (FVC) adalah volume yang diukur pada individu yang melakukan inspirasi dalam dan maksimal sampai mencapai Total Lung Capacity (TLC) dan kemudian ekspirasi maksimal hingga mencapai Residual Volume (RV) kemudian ditiupkan pada spirometer sebanyak 3 kali lagi secara cepat.2 Ekspirasi sekurang-kurangnya dilakukan dalam waktu 4 detik dan tidak boleh diganggu batuk, penutupan glotis atau obstruksi mekanis.1 b.



Harga normal dan interpretasi FVC menggambarkan resistensi udara jalan nafas. Pada obstruksi jalan nafas, FVC akan berkurang dari VC normal karena adanya air trapping. Untuk mengetahui obstruksi jalan nafas, aliran udara dihitung dari volume ekspirasi selama interval waktu tertentu. Yang paling sering diukur adalah volume ekspirasi detik pertama, disebut Forced Expiratory Volume detik ke-1 (FEVj). Di mana pasien sehat dapat mengekspirasi 75-80% dari FVC pada detik ke-1 dan sisanya diekspirasi dalam 2 atau 3 detik berikutnya. (Gambar2)110



Time (see)



Gambar 2 Forced Vital Capacity (FVC) dan Forced Expiratory Volume Detik ke-1 (FEVi) pada Pasien Normal1 Pada penyakit paru obstruktif, terjadi penurunan FEVX dan FEVj/FVC akibat penurunan aliran ekspirasi.1,10 Pada penyakit paru restriktif terjadinya penurunan TLC yang menyebabkan penurunan FVC. Akibat dari bermacam- macam kelainan paru dapat dilihat pada tabel 2.1 Tabel 2



BAB III-Tes Faal Paru || 27



Forced Vital Capacity (FVC) dan Forced Expiratory Volume Detik ke-l(FEVi) pada Berbagai Macam Penyakit



Penyakit



FVC



Normal Obstruksi jalan nafas (asma, bronkitis) Kelainan paru (pneumonia, udem pulmo, Menurun fibrosis paru) Kelemahan otot pernafasan (miastenia Menurun gravis)



FEVi



FEVi/FVC



Menurun



Menurun



Menurun



Normal



Menurun



Normal



Derajat obstruksi jalan nafas diketahui dengan prosentase FEV]/FVC. Nilai FEVj/FVC 110 >100 >90 120.....................>140



257 11 Anestesiologi



Nafas (x/mnt) Status mental Kehilangan darah



16



16-20



21-26



>26



anxious



agitated 750-1500ml 15%30%



confuse 1500-2000ml 30%40%



lethargic



40%



Maximal allowable blood loss : (Ht-30)/Ht x EBV. Hematokrit (Ht) normal : 36-45% (40%). Pada dewasa, perdarahan > 15% EBV harus dilakukan : (Hbx-Hbpasien) x BB x 6 =... ml. transfusi. : (Hbx-Hbpasien) x BB x 3 =... ml. Transfusi dengan: Whole blood Packed red cell



: 3 x volume darah yang hilang. : Sesuai dengan volume darah yang hilang.



Bila diganti cairan: Kristaloid Koloid



CAIRAN Berdasarkan jenisnya, cairan intravena ada 3 macam: 1. Cairan kristaloid Misal: Na Cl 0,9%, Lactate Ringer, Ringer's solution, 5% Dextrose 2. Cairan koloid Misal: a. Albumin b. Plasma protein fraction: plasmanat c. Koloid sintetik : dextran, hetastarch 3. Cairan khusus Misal: NaCI 0,9%, mannitol 20% dan sodium bicarbonas. Berdasarkan tujuan terapi, cairan intravena ada 3 macam: 1. Cairan rumatan (maintenance). Cairan bersifat hipotonis Misal: 5% Dextrose, 5% Dextrose in 0,25NS dan 5% Dextrose in 0,5 NS 2. Cairan pengganti (replacement). Cairan bersifat isotonis. Misal: Lactate Ringers, NaCI 0,9% dan koloid. 3. Cairan khusus. Cairan bersifat hipertonis. Misal: Na Cl 3%, mannitol 20% dan sodium bicarbonas (bic-nat).



258 || Anestesiologi



TERAPI CAIRAN Cairan resusitasi terbaik, sampai saat ini masih menjadi perdebatan, karena masingmasing mempunyai keuntungan dan kerugian.



Kontroversi Kristaloid dan Koloid Kristaloid



Koloid lebih baik (efisien, volume lebih kecil dan menetap lebih lama).



Efek volume intravaskuler



Efek volume interstisial lebih baik D02 sistemik Edema paru Edema perifer Koagulopati Aliran urine



-



Reaksi-reaksi Harga



tidak ada murah



lebih tinggi + jarang dextran > hetastarch GFR menurun



+ sering lebih besar



jarang albumin mahal, non albumin sedang



Tujuan Terapi Cairan Pemberian cairan intravena adalah untuk memulihkan volume sirkulasi darah. Pada syok, tujuan resusitasi cairan adalah untuk memulihkan perfusi jaringan dan pengiriman oksigen ke sel (D02) agar tidak terjadi iskemia jaringan yang berakibat gagal organ. Dalam terapi cairan perlu dipertimbangakan distribusi diferensial air, garam dan protein plasma. Volume cairan pengganti yang diperlukan untuk mengembalikan volume sirkulasi darah ditentukan oleh: ruang distribusi cairan pengganti, yang tergantung kadar koloid dan Na+ cairan pengganti. Formula efek sejumlah cairan dalam mengekspansiplasma volume (PV): A PV = volume Infus (PV/Vd)



BAB XIV- Terapi Cairan || 259



A PV = Perubahan yang diharapkan. Vd = Volume distribusi cairan infus. PV: 5% dari BB ECF: 20% dari BB Contoh: Pasien dengan berat 50 kg, kehilangan darah 2 L (A PV). a. Berapa jumlah NaCI 0,9% diperlukan untuk meningkatkan PV 2 L? Na+terbanyak di ekstrasel Vd (volume distribusi) ECF: 20% dariBB Vd = 20% x 50 = 10 L PV = 5% dariBB = 5% x 50 = 2,5 L. A PV = volume infus (PV/Vd) 2L = volume infus (2,5 L/10 L) Volume infus = 20/2,5 = 8 L NaCI 0,9%. b.



Berapa jumlah koloid yang diperlukan untuk meningkatkan PV 2 L? Koloid distribusi di plasma -> Vd Plasma: 5% dari BB. Vd = 5% x 50 = 2,5 L PV = 5% dari BB = 5% x 50 = 2,5 L A PV = volume infus (PV/Vd) 2L = volume infus (2,5 U/2,5 L) Volume infus = 5/2,5 = 2 L koloid.



Contoh di atas berlaku bila tidak ada: syok, sepsis atau hipoksemia yang berkepanjangan, sebab keadaan tersebut akan mengganggu kemampuan membran kapiler untuk membatasi perpindahan transvaskuler protein serum. Resusitasi cairan: 1. Kristaloid: NaCI 0,9% : maksimal 15 ml/kg Lactate Ringer : dapat sampai 5 L 2. Koloid: 6% H ES 0,5 dalam NaCI : maksimal 15 ml/kg 6% HES 0,5 dalam larutan berimbang : maksimal 33 ml/kg HES BM 130.000 dan derajat substitusi 0,4 adalah ideal. Koloid pada umumnya: maksimal 20 ml/kg



KESIMPULAN 1. a.



b.



Resusitasi cairan Kristaloid: NaCI maksimal 15 ml/kg Lactate Ringer -> sesuai hemodinamik, walaupun dapat lebih besar dari NaCI. Koloid: pada umumnya, maksimal 20 ml/kg 6%HES0,5 dalam NaCI 0,9% : maksimal 15 ml/kg



BAB XIV - Terapi Cairan 1 1



260



6% HESO, 5 dalam larutan berimbang : maksimal 33 ml/kg NaCI 0, 9% dalam jumlah besar menyebabkan metabolic acidosis yang berkaitan dengan penurunan strong ion difference (SID). Juga menyebabkan dilutional acidosis (plasma expansion yang menyebabkan dilutional reduction of plasma bicarbonat). Hyperchloremic metabolic acidosis akan memperburuk perfusi end organ. Pemberian kristaloid 3x dari volume darah yang hilang, sedangkan koloid lx volume darah yang hilang 2.



Transfusi



Dilakukan bila: a. b. 3.



Perdarahan: > 15% berat badan Hb : < 7g% Resusitasi berhasil bila: Central venous pressure : 8-12 mmHg Mean arterial pressure : > 65 mmHg Urine output : > 0,5 ml/kg/hour Central venous (superior vena Cava) or mixed venous oxygen saturation: > 70% Cardiac index : > 2,5 L/min/m2 Normal mental status



SHOCK Adalah sindroma klinis akibat kegagalan sirkulasi dalam mencukupi kebutuhan oksigen jaringan tubuh.



Stadium shock 1. Stadium kompensasi Pada stadium ini fungsi organ vital dipertahankan melalui mekanisme kompensasi fisiologis tubuh, dengan cara meningkatkan refleks simpatis, sehingga terjadi: a. Resistensi sistemik meningkat: Distribusi selektif aliran darah dari organ sekunder ke organ primer (otak, jantung) Resistensi arteriol meningkat -> diastolic pressure meningkat. b. Heart rate meningkat -> cardiac output meningkat c. Sekresi vasopressin, rennin-angiotensin-aldosteron meningkat ginjal menahan air dan Na* di dalam sirkulasi Manifestasi klinis: takikardia, gelisah, kulit pucat dan dingin, pengisian kapiler lambat (> 2 detik). 2. Stadium dekompensasi Pada stadium ini telah terjadi: a. Perfusi jaringan buruk -> 02 sangat turun -> metabolisme anaerob -> laktat 'T" -> lactic BAB XIV - Terapi Cairan \ | 261



b.



c.



d.



acidosis, diperberat dengan penumpukan CO2, di mana C02 menjadi asam karbonat. Asidemia akan menghambat kontraktilitas miokardium dan respons terhadap katekolamin. Gangguan metabolisme energy dependent Na*/K* pump ditingkat seluler -> integritas membran sel terganggu, fungsi lisosom dan mitokhondria memburuk -> kerusakan sel. Aliran darah lambat dan kerusakan rantai kinin serta sistem koagulasi, akan diperburuk denganterbentuknya agregasi thrombocyt dan pembentukan thrombus disertai tendensi perdarahan. Pelepasan mediator vaskuler: histamin, serotonin, cytokine (TNF a dan interleukinl) xanthin oxydase -> membentuk oksigen radikal serta pltelet aggregating factor. Pelepasan mediator oleh makrofag menyebabkan vasodilatasi arteriol dan permeabilitas kapiler 1s venous return 4/ preload 4/ cardiac output Manifestasi klinis: takikardia, tekanan darah 4^4/, perfusi perifer buruk, asidosis oliguria dan kesadaran 4/.



3. Stadium ireversibel Syok yang berlanjut akan menyebabkan kerusakan dan kematian sel multiorgan failure. Cadangan phosphate energi tinggi (ATP) akan habis, terutama di jantung dan hepar -> tubuh kehabisan energi. Manifestasi klinis: nadi tak teraba, tekanan darah tak terukur, anuria dan tanda kegagalan organ.



DARAH Transfusi berperan penting pada penanganan syok perdarahan dan diperlukan bila kehilangan darah mencapai 25% volume darah sirkulasi. Kadar Hb merupakan faktor penting untuk pengiriman 02 kejaringan. Pengiriman ditentukan oleh cardiac output dan kandungan 02 arterial (Ca02).



262 11 Anestesiologi



Sedangkan Ca02 berkaitan dengan saturasi 02 arterial (Sa02) dan Hb. V02 (02 uptake = deman = consumption) akan meningkat setelah cardiac output meningkat, V02 tidak akan meningkat setelah peningkatan Ht pasca transfusi. Cardiac output = heart rate x stroke volume D02 akan meningkat bila cardiac output 1\ Obat yang dipergunakan untuk meningkatkan cardiac output akan meningkatkan D02. Stroke volume dipengaruhi oleh preload, contractility dan afterload. Transfusi sel Oxygen extraction ratio (02 ER) = V02/D02 x 100 (n = 0,25-0,30) darah merah merupakan standar terapi untuk meningkatkan DOi dengan tujuan untuk mengoptimalkan V02. D02 V02 Sa02 Sv02



= CO x Ca02 = 640-140 ml/min. = CO x (Ca02-Cv02) x 10 = 180-280 ml/min. = 93-98% = 65-75% Hb minimal yang masih dapat mengangkut 02 untuk memenuhi kebutuhan jaringan adalah 8 g%. Kriteria transfusi dengan RBC concentrate: Hb < 8g% Hb 8-10 g%, normovolemia disertai tanda-tanda gangguan miokardial, respirasi atau cerebral. Perdarahan hebat > 10 ml/kg pada 1 jam pertama atau 5 ml/kg pada 3 jam pertama.[]



BAB XIV - Terapi Cairan \ | 263



DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.



Sunatrio S. Resusitasi Cairan. Media Aesculapius FKUI: Jakarta, Agustus 2000. Balk AR, Elly EW, Goyette RE. Sepsis Hand Book. Society of Critical Care Medicine. 2nd edition, 2004. Giesecke AH, Egbert LD. Perioperative Fluid Thearpi Crystaloid. Miller RD (ed). Anesthesia, 2nd ed. Churchil Livingstone New York, Melbourne, 1986. Surjiani-Karsono. Prinsip Dasar Resusitasi Cairan. PT Widatra Bhakti, 2005. http://koas kamar 13. wordpress. com/2007/11/09/terapi-cairan. Pedoman Cairan Infus. PT Otsuka Indonesia, Edisi VI: 1996. Fluid Replacement. http://en. Wikipedia, org/wiki/fluid replacement. Smith RM. Anesthesia For Infant And Children. Fluid Therapy and Blood Replacement. 4th ed. The CV Mosby Company, St Louis, Toronto, London, 1980:566-7. Arifianto. Pemberian Cairan Intravena. Available from URL http://www. sehatgroup. web. id/guidelines/isiGuideasp? Guide ID=6. Hiponatremia dan hipernatremia. http://terapicairan. wetpaint. com /pagr/hiponatremia+dan+hipernatremia?t=anon. Robert KB. Fluid deficit, http: Hartanto WW. Tempi Cairan dan Elektmlit Perioperatif. Bagian Farmakologi Klinik dan Terapeutik. FK Unpad, 2007. Huang LH, Anchala KR. Ellsbury DL, George CS. Dehydration: Treatment & Medication. Available from URL: http://emedicine. medscape. com /a rticle/906999-treatment. Yarboro Y, Janoff S. Dehydration. http://yourtotalhealth. ¡village, com /dehydration. html?page Num=9. Mcllwaine JK, Corwin HL. Hypernatremia and Hyponatremia. In: Fink MP, Abraham E, Vincent JL, Kochanek PA. Textbook of Critical Care. 5th ed. Elsevier Saunders. Philadelphia, Pennsylvania, 2005:63-5.



264 11 Anestesiologi



BAB XV- Syoir



dan Pengelolaan Hemodinamik || 265



BAB XV



SYOK DAN PENGELOLAAN HEMODINAMIK Jati Listiyanto Pujo, Heru Dwi Jatmiko, Johan Arifin



I.



II.



III.



Pengelolaan pasien yang memiliki hemodinamika tidak stabil membutuhkan perawatan di Intensive Care Unit (ICU), di mana mereka dapat menerima pengawasan dan tindakan resusitasi yang tepat. Tujuan dari pengelolaan hemodinamik adalah menjaga perfusi dan fungsi organ akhir. Terapi yang kurang tepat akan mengarah pada hipoperfusi jaringan, kerusakan seluler, disfungsi sistem multipel organ dan kematian. Pemahaman yang benar dari pengawasan hemodinamika adalah kunci menuju pengelolaan hemodinamika yang optimal. Hipotensi dan syok adalah sindrom dari menurunnya perfusi jaringan akibat kerusakan seluler. Pada awalnya mekanisme kompensasi neuro- humoral membantu menjaga perfusi organ vital. Namun, bila perawatan suportif tidak diadakan dengan tepat, mekanisme kompensasi akan kewalahan dan iskemia jaringan yang progresif akan mengarah pada kegagalan organ. Tanda-tanda klinis hipoperfusi organ akhir termasuk oliguria/ anuria, perubahan status mental dan acidemia. Syok digolongkan berdasarkan penyebab dan karakteristik pola hemodinamik. Syok bukanlah suatu bentuk penyakit tunggal, tetapi lebih merupakan hasil akhir yang umum dari sebab-sebab yang bervariasi. Oleh karena itu, diasumsikan bahwa diagnosis dan penanganan sebab utama dilakukan dengan serius. Syok dikenali dari aliran darah yang inadekuat untuk memenuhi kebutuhan jaringan. Pengenalan yang cepat akan hipotensi dan hipoperfusi (aliran darah yang inadekuat) adalah penting untuk penanganan yang tepat pada waktunya dan peningkatan hasil. Pada pasien dewasa, tekanan darah sistolik 20%-25% dari volume darah yang beredar. Penyebab dari syok hipovolemik termasuk hemoragi dan penumpukan cairan dalam tubuh, misalnya pada obstruksi usus. Syok hipovolemik dikenali dari penurunan tekanan darah (Blood Pressure/BP), penurunan kardiak output (Cardiac Output/CO), penurunan tekanan vena sentral (Central Venous Pressure/CVP) dan penurunan tekanan arteri pulmonal (PulmonaryArtery Pressure/PAP). Syok kardiogenik disebabkan oleh kegagalan utama dari jantung untuk menghasilkan CO (cardiac output) yang adekuat. Ini bisa dikarenakan kegagalan ventrikel kiri, ventrikel kanan atau keduanya. Penyebab umum tersering dari syok kardiogenik adalah infark miokard dan komplikasi akutnya, disritmia ventrikuler, miokarditis, kontusio kardiak dan pembedahan aorta proksimal. Wujud fisiologis syok kardiogenik termasuk hipotensi, CO rendah walaupun status volume adekuat, peningkatan PAP (Pulmonary arterial pressure) dan tekanan oklusi arteri pulmonal (Pulmonal Artery Occlusion Pressure/?AOP) serta tanda-tanda klinis hipoperfusi. Syok distributif dikenali dari penurunan denyut vaskuler akibat vasodilatasi arterial, venous pooling, dan redistribusi aliran darah. Hal ini dapat dikarenakan oleh bakteria hidup dan produk mereka dalam syok septik, mediator sindrom respon inflamasi sistemik (Systemic Inflammatory Response Syndrome/SIRS), berbagai macam bahan vasoaktif dalam syok anafilaktik, atau dikarenakan hilangnya denyut vaskuler dalam syok neurogenik atau apopleksi adrenal. Syok distributif dikenali dari BP yang rendah dan CO yang tinggi. Syok obstruktif dikaitkan dengan kesukaran mekanis pada arus balik vena dan/atau aliran arteri ke jantung. Penyebab-penyebabnya antara lain tension pneumothorax, emboli pulmonal, pericardial tamponade, sindrom kompartemen abdominal dan kadang-kadang ventilasi tekanan positif, positive end-expiratory pressure (PEEP) dan auto-PEEP. Syok obstruktif dikenali



BAB XV- Syoir



dan Pengelolaan Hemodinamik || 267



dari penurunan BP dan CO disertai kenaikan CVP. Bentuk hemodinamik berbagai tipe syok terangkum dalam tabel-1. Tabel-1 Parameter Hemodinamik dalam Syok Tipe Syok



Hipovolemik Kardiogenik Distributif Septik Anafilaktik Neurogenik Obstruktif



Tekanan Darah Sistemik



CVP/PAOP



co/sv



U u



u n



U U



(i



(i



u u



0 ft



u



U U



B. Dasar Fisiologis Syok Dasar fisiologis syok adalah perkembangan dari hipoperfusi jaringan, tidaklah sepenting perluasan hipotensi dan/atau penurunan pengantaran oksigen. Hipoperfusi jaringan akan mengarah pada hipoksia jaringan, metabolisme anaerob dan gangguan integritas seluler. Mekanisme kompensasi pada awalnya membantu menjaga perfusi organorgan vital. Mekanisme kompensasi itu antara lain adalah: 1.



Respon Neurohumoral Respon neurohumoral meningkatkan rangsang simpatetik, di mana hal ini akan menaikkan kontraktilitas miokardial dan vasokonstriksi peri- pheral, serta melepaskan hormon-hormon stres seperti epinefrin, glukagon, aldosteron, kortisol dan hormon antidiuretik.



2.



Respon Metabolik Respon metabolik melepaskan hormon-hormon anti insulin yang akan merangsang resistensi insulin, hiperglikemia dan lipolisis.



3.



Pelepasan Mediator Inflamasi Pelepasan mediator inflamasi menyebabkan proteolisis otot, menghasilkan asam amino yang penting untuk menyokong sintesis protein sebagai dasar pertahanan host (misalnya reaktan-reaktan fase akut). Keadaan katabolik yang umum ini dapat menyebabkan muscle wasting, kelemahan, penyembuhan luka yang buruk, kehilangan integritas mukosa gastrointestinal, hipoalbuminemia dan energi. Luka seluler juga dapat disebabkan oleh reperfusi jaringan ketika oksigen, metabolitmetabolit lokal dan enzim-enzim oksidatif menghasilkan radikal-radikal bebas dan



BAB XV- Syok dan Pengelolaan Hemodinamik || 268



zat-zat sitotoksik lainnya.



C. Tanda dan gejala disfungsi organ tunggal tidaklah sepenting aliran organ akhir yang inadekuat. Antara lain: 1. 2. 3. 4. 5.



Sistem saraf pusat: perubahan status mental. Jantung: nyeri dada, iskemia dalam elektrokardiogram (EKG), hemodinamik yang tidak stabil. Ginjal: penurunan jumlah urin, peningkatan konsentrasi urea, nitrogen dan serum kreatinin dalam darah. Gastrointestinal: nyeri abdominal dan kembung, penurunan bising usus dan hematochezia. Perifer: akral dingin, waktu pengisian kapiler yang buruk dan pulsasi yang lemah.



D. Pengawasan 1. 2.



Pengawasan standar termasuk EKG, puise oxymetry, pengukuran non- invasif tekanan darah sistemik, pengeluaran urin, dan suhu tubuh inti. Pengawasan perfusi jaringan. Pengukuran tekanan darah merupakan dasar untuk menilai adekuatnya perfusi jaringan. Pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil harus memiliki kateterisasi arterial untuk pengawasan tekanan karena hal itu merupakan metode yang paling reliabel untuk mengukur tekanan darah. Pasien ini juga akan sering membutuhkan central venous access untuk pengawasan CVP dan untuk memasukkan obat-obatan vasoaktif. Kateterisasi arteri pulmonal diizinkan untuk pengukuran CO dan penilaian status volume sirkulasi sistemik dan pulmonal. Bagaimanapun, pengawasan tekanan darah konvensional merupakan hal yang kompleks, dan dipengaruhi banyak variable lebih dari sekedar status volume sirkulasi, dan metode ini relatif tidak sensitif untuk menilai perfusi jaringan. Metode pengawasan tambahan dan beberapa indikator metabolik untuk menilai adekuatnya perfusi jaringan telah diusulkan sebagai alternatif atau pelengkap dalam pengawasan tekanan darah (lihat juga tabel8-2). Antara lain: a. Metabolic academia dapat menjadi tanda dari metabolisme anaerob dan ini merupakan tanda yang penting. Namun demikian, hal ini tidak spesifik dan relatif terlambat muncul. b. Laktat serum adalah produk dari metabolisme anaerob yang dapat diukur, sehingga menjadi indikator logis dari hipoperfusi jaringan. Walaupun beberapa studi menganjurkan korelasi langsung antara level laktat dalam darah dan keparahan syok, tapi studi yang lain tidak mengatakan demikian, dan nilai diagnostik/prediksi masing- masing pasien tidak sama. c. Mixed venous P02 (Pv02) atau Saturation (Sv02) dipengaruhi oleh derajat pengambilan 02 jaringan. Oleh karenanya dapat mengindikasikan adanya peningkatan penggunaan energi atau bahkan hutang oksigen ("oxygen debt) yang berbahaya. Namun demikian, perubahan pada Pv02 dapat terjadi untuk alasan fisiologis lainnya (terangkum dalam tabel 8-3). Untuk mengerti tanda



BAB XV - Syok dan Pengelolaan Hemodinamik || 269



d.



klinis yang signifikan dari penurunan PvO^ harus ada pengukuran Pa02 dan CO di mana hal ini membutuhkan pengawasan invasif. Banyak studi klinis yang mengatakan pemanfaatan Pv02 atau Sv02 sebagai penanda perfusi jaringan. Namun, studi terkini dari pasien-pasien septik yang ditambahkan dalam departemen emergensi menganjurkan sasaran pengukuran Sv02 secara kontinyu melalui kateterisasi vena sentral (tidak sepenuhnya mixed karena diukur sebelum darah vena benar- benar tercampur) dapat menjadi nilai untuk menentukan resusitasi awal. pH mukosa lambung digunakan sebagai taksiran pH interseluler (pH|) dalam perut dengan mengukur pC02 dalam kantung berisi saline yang merupakan bagian dari nasogastric tube (NGT) khusus. pC02 ini harus seimbang dengan pC02 mukosa lambung tempat kantung berada. Nilai pH kemudian dikalkulasi dengan persamaan Henderson-Hasselbach menggunakan konsentrasi bikarbonat arterial. Kekurangan utama metode ini adalah tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap operator, kecenderungannya terpengaruh oleh variabel lain selain splanchnic perfusion, misalnya penggunaan acid secretion blockers dan kecacatan teoretisnya, dalam hal ini penggunaan arterial sebagai pengganti konsentrasi bikarbonat mukosa lambung.



Tabel 2 Tanda-tanda Klinis Hipoperfusi Jaringan dan Disfungsi Seluler Tekanan darah arteri dan cardiac output rendah, pengeluaran urin sedikit, penurunan turgor kulit, perubahan status mental. Asidosis metabolik, defisit basa, bikarbonat serum rendah. Peningkatan laktat serum. pH intra gastric rendah. Mixed venous P02 rendah Tabel3 Determinan Mixed Venous P02 Cardiac Output Pa02 02 dissociation curve shift Konsumsi 02jaringan (V02) ________________________



E. Pengelolaan Syok 1.



Pengukuran menyeluruh dilakukan dengan segera termasuk terapi suportif dan studi diagnostik. a. Akses intravena (IV) yang adekuat harus terjamin, termasuk saluran IV perifer kaliber besar mendekati akses sentral, dengan tujuan untuk memastikan pengaturan volume aliran. b. Evaluasi jalan napas harus dilakukan karena intubasi endotrakheal dan ventilasi mekanik mungkin diperlukan ketika terjadi hipoksemia, hiperkarbia, edema



270 11 Anestesiologi



2.



jalan napas atau perubahan status mental. Penggantian volume intravaskuler merupakan dasar dari perawatan hipotensi dan syok, terutama syok hipovolemik dan syok distributif. Pasien dengan diagnosis tipe syok yang lain juga memerlukan evaluasi dan optimalisasi status cairan mereka. Penggantian volume yang tepat membutuhkan pengertian tentang hemodinamik dan pilihan sistem pengawasan yang tepat. Sayangnya, tidak ada parameter tunggal yang dapat digunakan sebagai pedoman terpercaya volume resusitasi. Re- susitasi yang inadekuat dapat terlihat dari hipoperfusi jaringan, tetapi penggantian volume yang berlebihan dapat menyebabkan edema jaringan, gagal jantung kongestif, kekacauan metabolisme dan koagulopati. a. Kristaloid. Larutan kristaloid yang paling sering dipakai adalah Ringer Lactate dan normal saline. Larutan-larutan ini hampir isotonik, cepat keluar dari ruang intravaskuler dan volumenya setara % kali defisit intravaskuler yang dibutuhkan untuk mengembalikan volume sirkulasi. Keuntungan larutan kristaloid termasuk biaya rendah, penyimpanan yang mudah dan ketersediaan. Larutan yang mengandung Dextrose tidak boleh digunakan dalam resusitasi volume karena bahaya hiperglikemia dan kesukaran mengawasi level glukosa darah dengan tepat selama resusitasi. Sedikit volume Hypertonic saline [3% NaCI) dapat memenuhi volume intravaskuler tanpa menaikkan volume intravaskuler secara signifikan dan dapat berguna pada resusitasi pasien dengan/tanpa cidera kepala.



BAB XV - Syok dan Pengelolaan Hemodinamik || 271



b.



c.



Koloid meningkatkan tekanan onkotik plasma dan menjaga volume sirkulasi lebih lama disbanding kristaloid. Koloid termasuk larutan alami dan sintetis. 1) Human albumin adalah turunan dari pooled human plasma dan tersedia sebagai larutan normal saline 5% dan 25%. Terapi panas mengurangi risiko penularan infeksi virus. 2) Allogenic blood products seperti paket sel darah merah dan plasma segar beku tidak dianjurkan untuk ... karena potensinya menularkan penyakit virus (albeit low), imunosupresi dan terbatasnya ketersediaan serta biaya yang tinggi. 3) Dextran adalah larutan glukosa polimer sintetis salah satu dari 40 kd (D4Q) atau 70 kd (D-70). Kekurangan utama dari dextran adalah tingginya reaksi anafilaktik (l%-5%). Hampir seluruh dextran telah digantikan oleh komponen dari bahan dasar zat tepung. 4) Hydroxyethyl starch (HE5) adalah komponen glukosa high- polymeric yang tersedia dalam sediaan dan konsentrasi yang bervariasi. Frekuensi reaksi anafilaktik karena HES jauh lebih sedikit dibadingkan larutan berbahan dextran. HES memiliki efek yang bergantung dari dosis pada level faktor VIII, sehingga merusak fungsi platelet. Dosis maksimum yang dianjurkan untuk meminimalisasi efek samping négative adalah 1500 ml/24 jam. Tidak ada bukti yang mendukung bahwa suatu tipe cairan itu lebih baik dibanding yang lainnya dalam meresusitasi syok. Walaupun beberapa studi eksperimental mengatakan superioritas suatu larutan dibanding lainnya melihat pada keluaran yang spesifik seperti fungsi sel, edema usus dan pertukaran gas, satu-satunya percobaan yang luas, prospektif dan acak dari koloid (human albumin) versus kristaloid untuk resusitasi volume dalam populasi ICU yang heterogen menunjukkan tidak ada keuntungan dalam penggunaan koloid. Karena memberikan perbedaan yang signifikan dalam harga, kami menganjurkan kristaloid sebagai solusi utama yang digunakan untuk resusitasi volume secara umum.



Kontroversi penyaluran oksigenAonsumsi oksigen ("oxygen delivery/oxygen consumption") a. Suatu rangkaian studi yang diadakan pada tahun 1980-an mengatakan bahwa mencapai status hemodinamik yang "supranormal" (mis. Pengisian tekanan tinggi, CO tinggi dan pengantaran 02 yang tinggi [D02]) oleh resusitasi volume yang agresif dan penggunaan inotropik akan meningkatkan keluaran pada pasien syok. Lebih lanjut, sekelompok kecil pasien dapat mengalami suatu ketergantungan patologis ("pathologic dependence") akan konsumsi oksigen (V02) dalam DO2, di mana V02 meningkat hampir untuk jangka waktu yang tak terbatas seperti D02 yang meningkat secara farmakologis, mengindikasikan sebuah hutang oksigen tersembunyi ("hidden oxygen debt") yang dikaitkan



BAB XV -Syok dan Pengelolaan Hemodinamik || 272



terutama dengan tingkat motalitas yang tinggi. b. Penelitian lebih lanjut mengatakan kekurangan utama teori ini dan disain percobaan klinis serta entusiasme akan "supranormal" re- susitasi ditolak. Namun, studi terkini yang diadakan dengan metodologi yang lebih teliti menyarankan ke-agresifitas-an itu. Resusitasi yang lebih cepat dengan volume dan vasopresor dari pasien dengan syok septik dan akan menjalani bedah mayor bias saja benar-benar meningkatkan hasil. Walaupun kontroversi tetap ada mengenai perlunya mencapai nilai "supranormal", studi-studi ini menegaskan pentingnya meresusitasi pasien syok lebih cepat dan lengkap. 4.



Perawatan spesifik a. Syok Hipovolemik mengharuskan resusitasi volume yang cepat dan adekuat. Koagulopati dilusional dan hipotermia dapat mengiringi pengaturan volume cairan atau produk darah dalam jumlah besar. b. Syok kardiogenik adalah hasil dari disfungsi sistolik miokardial yang akut dan parah, yang biasanya akan menjadi infark miokardial. Mortalitas karena kondisi ini mencapai 30%-60%. c. Syok septic adalah hasil dari komplikasi infeksi oleh bakterial hidup, bakterial endotoksin dan produk inflamasi, dikenali dari hipotensi dan tanda-tanda kegagalan sistem organ. Secara hemodinamis, ini adalah contoh klasik dari syok distributive, dengan denyut vaskuler yang rendah dan kardiak output yang tinggi. Arus utama dari terapi adalah pemberian antibiotik yang tepat, drainase bedah infeksi yang dapat diambil, serta pengukuran suportif untuk meningkatkan denyut vascular dan optimalisasi perfusi jaringan. Patogenesis dan perawatan syok septik termasuk terapi spesifik seperti kortikosteroid dan protein C teraktivasi. d. Syok anafilaktik adalah reaksi akut yang dimediasi oleh immu- noglobulin E (IgE) sehingga menyebabkan lepasnya mediator dari sel mast dan basofil ketika terjadi pemaparan kembali oleh antigen yang sebelumnya telah tersensitisasi individu ybs. Penyebab umum anafilaktik termasuk antibiotik dan obat lainnya, agen kontras radiografi serta látex. Secara klinis, sindrom ini termasuk vasodilatasi dan hipotensi yang disertai flushing, urtikaria, peningkatan permeabilitas kapiler, edema jalan napas dan bronkokonstriksi. Perawatan membutuhkan identifikasi yang cepat dan menghilangkan antigen yang diduga menjadi penyebabnya, menyokong sirkulasi dengan volume dan obat-obatan vasoaktif serta terapi farmakologis langsung menuju mediator imun termasuk epinefrin, diphen- hydmmine penghambat reseptor histamine-Hi dan histamine-H2 dan ranitidin serta kortikosteroid. e. Syok obstruktif membutuhkan intervensi spesifik tergantung penyebabnya. Tension pneumothorax ditangani dengan needle décompression yang dilanjutkan oleh tube thoracostomy. Sindrom kompartemen abdominal



BAB XV - Syok dan Pengelolaan Hemodinamik || 273



ditangani dengan bedah dekompresi abdomen. Emboli pulmonal ditangani dengan ... dan mungkin melibatkan fungsi trombolisis atau pembedahan embolectomy. Cardiac tamponade ditangani dengan perikardiosentesis.



IV. Farmakologi Terapi Hipotensi dan Syok Bila penggantian cairan yang tepat gagal untuk mengembalikan tekanan darah dan perfusi organ yang adekuat, terapi vasopresor harus segera dilakukan. Terapi vasopresor juga dibutuhkan untuk menjaga perfusi organ menghadapi hipotensi yang mengancam nyawa bahkan ketika fluid challenge masih berlangsung dan hipovolemia belum terkoreksi sepenuhnya. Obat yang tepat dipilih berdasarkan etiologi dan patofisiologi tipe syok yang dicurigai pada pasien (lihat juga tabel 8-4).



Tabel 4 Inotropik dan Vasopresor yang Umum Digunakan Nama Obat Katekolamin - Dopamin



Target Reseptor Otl, ßl,



Efek



- Epinefrin



a



- Norepinefrin



Otl,ßl



CO, BP, HR, perfusi ginjal CO, BP, HR, bronkodilator CO, BP



Katekolamin Sintetis Dobutamin



ßl/ ß2



CO, HR, / BP



l; ßl/ ß2



Dopexamin



ßii ßi



Efedrin



Otl, ßl, ß2



Fenilefrin



Cti



BP, H R, / / CO



Inhibitor Fosfodiesterase-lll Milrinon



Cyclic GMP mediated



Hormon Vasopresin



G protein mediated



274 11 Anestesiologi



CO, H R, perfusi ginjal Seperti epinefrin, tapi tidak sekuat epinefrin



/ BP, HR, CO



BP



A. Zat inotropik Menaikkan Kontraktilitas Jantung 1.



2.



3.



4.



5.



6.



Dopamin adalah pelopor norepinefrin dan epinefrin. Pada dosis rendah akan mempengaruhi vascular rdopamine receptors (ginjal dan mesen- terika) mengarah ke vasodilatasi. Pada dosis yang lebih tinggi, dopamine akan mempengaruhi 6radrenergic receptors yang bergabung dengan inotropik positif dan efek kronotropik. Pada dosis yang jauh lebih tinggi dopamine akan mengajak aradrenergik receptors yang akan bergabung dengan efek vasokonstriktif. Dopamine sering dipilih sebagai zat utama untuk syok karena potensi efeknya yang bermanfaat dalam sirkulasi ginjal dan CO. Namun efek kronotropik dan prodisritmik yang diperkirakan akan berkurang pada pasien dengan iskemia miokardial. Dobutamin juga menstimulasi reseptor 3-adrenergik, tetapi tidak berefek pada -dan a-mediated. Oleh karena itu dobutamine menaikkan kontraktilitas jantung dan menurunkan denyut vaskuler. Kombinasi dua efek ini membuat dobutamine menjadi zat yang sempurna untuk perawatan syok kardiogenik. Yang membatasi kerja dobutamine adalah efek vasodilator intrinsiknya, di mana hal ini menyebabkan hipotensi sistemik dan efek kronotropik yang lumayan. Dopexamin adalah turunan sintetis dari dopamine dengan dan (32yang lebih baik dibandingkan aktifitas Pi serta tidak ada aktifitas a, sehingga mengurangi tipikal efek kronotropik dan efek pro-disritmik dopamine. Dopexamine tidak diizinkan untuk penggunaan klinis di USA, dan penggunaannya di Eropa dihindari karena harganya yang mahal. Epinefrin adalah katekolamin kuat yang menstimulasi reseptor a-, pr dan p2adrenergik. Epinefrin tetap pilihan utama untuk resusitasi kardio- pulmonar. Efeknya terhadap BP tergantung pada efek positif inotropik dan kronotropik serta dasar vasokonstriksi vaskuler, terutama kulit, mukosa dan ginjal. Efek ß2 epinefrin yang kuat memicu bronkodilasi dan menghambat degranulasi sel mast. Sehingga membuat epinefrin menjadi obat pilihan untuk anafilaksis. Pada dewasa, pemberian epinefrin IV 0, 1-0, 5 mg (0,1-0, 5 ml dalam larutan 1:1000) merupakan dosis awal umum yang tepat untuk pasien hipotensi berat, diikuti infus kontinyu 1-4 pg/menit. Norepinefrin atau katekolamin, memiliki aktifitas a-dan ß-adrenergik. Efek vasokonstriksi dan inotropiknya yang kuat menjadikan norepinefrin sebagai obat pilihan di ICU untuk mengatasi ketidakstabilan hemodi- namik pada pasien yang membutuhkan bantuan untuk denyut vaskuler dan kontraktilitas miokardial. Contoh tipikal adalah pasien-pasien syok septic yang memiliki derajat preexistent atau disfungsi miokardial akut. Dibandingkan dengan epinefrin, norepinefrin tidak memiliki aktifitas ß2. Inhibitor Phosphodiesterase-lll (PDE-III). Amrinone dan milrinone menggunakan efek hemodinamiknya melewati inhibisi dari PDE-III, di mana hal ini meningkatkan jumlah cydic guanosine monophosphate (GMP) dalam endothelium, sehingga meningkatkan kontraktilitas miokardial dan relaksasi diastolik



BAB XV - Syok dan Pengelolaan Hemodinamik || 275



serta menurunkan denyut vaskuler. Efek- efek ini berguna dalam mengatasi gagal jantung sistolik. Infus intravena dimulai dengan dosis bolus diikuti dengan infusi. Amrinone telah banyak digantikan oleh milrinone karena durasi kerja yang lebih pendek dan titratabilitasnya yang lebih mudah. Milrinone diberikan dalam bolus 50pg/kg diikuti oleh infus kontinyu .... 60 menit, dibandingkan dengan 2- 3 jam amrinone. Hipotensi dan takikardi adalah efek samping utama yang membatasi kerja milrinone.



B. Vasopresor 1. Phenylephrine adalah agonis a2 selektif yang menyebabkan vasokonstriksi arterial



2.



3.



murni. Fenilefrin meningkatkan BP dengan cepat, berkaitan dengan reflek bradikardi. Fenilefrin adalah obat yang berguna untuk mengatasi vasodilatasi murni dan sedang, seperti mengikuti pemberian obat hipnotik kuat atau anestesi lokal epidural atau dalam kejadian infeksi ringan atau sedang. Karena onsetnya yang cepat dan pengurangan titrasi (obat ini tidak sekuat norepinefrin), fenilefrin sering digunakan melalui akses IV perifer sebagai tindakan pertama mengatasi hipotensi agar cepat menunjukkan kembali BP yang adekuat. Walaupun ketepatan penggunaannya perlu direvisi setelah kestabilan tercapai. Karena efek vasokonstriksinya yang murni, fenilefrin dapat merusak pada pasien dengan fungsi ventrikuler kiri yang membahayakan. Vasopressin (VP) adalah hormon yang disintesis dalam hipotalamus dan disimpan dalam pituitari posterior. VP juga dikenal sebagai antidiuretic hormone (ADH) dan terutama terlibat dalam proses osmosis dan homeostasis volume seperti regulasi hormon yang lain. VP juga merupakan Vasokonstriktor langsung tanpa efek inotropik atau kronotropik. Studi terkini menunjukkan bahwa syok hipovolemik dan syok septik terkait dengan respon VP bifasik. Sebelum itu, level VP menjadi tinggi terutama ketika tubuh melepaskan semua simpanan VP dalam usaha untuk vaso- konstriksi dan untuk bertahan dalam sodium dan air untuk menahan tekanan darah. Ketika syok terjadi, level VP bisa jatuh karena sebab yang tidak diketahui. Pemberian VP dosis rendah (terapi "pengganti"/ "replacement therapy") dalam sebuah populasi kecil pasien dengan syok septik, meningkatkan BP, menurunkan kebutuhan akan vasopresor lain seperti norepinefrin, dan bias dikaitkan dengan peningkatan hasil. VP juga meningkatkan produksi kortisol, yang bias jadi relevan pada psaien dengan syok septik. Terapi dosis rendah VP mengandung 0, 04 unit/menit. Dosis ini tidak cocok dengan iskemia miokardial atau iskemia organ akhir lainnya dan berkurang dalam kardiak output. Efedrin adalah a-indirek dan agonis ß-yang menyebabkan peningkatan denyut jantung dan kardiak output dengan vasokonstriksi sedang.



V. Oliguria Oliguria didefinisikan sebagai pengeluaran urin 2 jam. Hal ini



276 11 Anestesiologi



merupakan penanda penting untuk hipoperfusi. Oliguria bisa juga karena cidera ginjal langsung atau obstruksi postrenal. Dua keadaan ini menghalangi penggunaan output urin sebagai target adekuatnya resusitasi syok. Penyebab oliguria dibagi menjadi prerenal, renal dan postrenal (lihat table 7-3). Untuk pasien anak, output urin 1010



Osmolalitas urin (mOsm/L)



>500



3 bulan, hilang timbul atau terus menerus, tanda respon parasimpatis, penderita depresi sedangkan keluarga lelah. Berdasarkan etiologi, ke dalam: a. Nyeri nosiseptik; rangsang timbul oleh mediator nyeri, seperti pada paska trauma-operasi dan luka bakar. b. Nyeri neuropatik: rangsang oleh kerusakan saraf atau disfungsi saraf, seperti pada diabetes mellitus, herpes zoster. Berdasarkan intensitas nyeri, ke dalam: a. Skala visual analog score: 1-10 b. Skala wajah Wong Baker: tanpa nyeri, nyeri ringan, sedang, berat, tak tertahankan. Berdasarkan lokasi: a. Nyeri superfisial: nyeri pada kulit, subkutan, bersifat tajam, terlokasi b. Nyeri somatik dalam: nyeri berasal dari otot, tendo, tumpul, kurang terlokasi.



BAB XVII - Masalah Nyeri || 293



c. d.



e.



Verbal Descriptor



Nyeri viskeral: nyeri berasal dari organ internal atau organ pembungkusnya, seperti nyeri kolik gastrointestinal dan kolik ureter. Nyeri alih/referred: masukan dari organ dalam pada tingkat spinal disalah artikan oleh penderita sebagai masukan dari daerah kulit pada segmen spinal yang sama. Nyeri proyeksi: misalnya pada herpes zooster, kerusakan saraf menyebabkan nyeri yang dialihkan ke sepanjang bagian tubuh yang diinerfasi oleh saraf yang rusak tersebut. f. Nyeri NO pAIN



MODERATE MODERATE PAIN PAIN



MILD PAIN



Scale



9



No humor Kriout



CAN



Hi



9 Mow blink



Furrow«! brow purvd lip* breath holding



BE IGNORED



Eyes dosed moaning crying



open mouth



BEDREST REQUIRED



phantom: persepsi nyeri dihubungkan dengan bagian tubuh yang hilang seperti pada amputasi ekstremitas.



UNIVERSAL PAIN ASSESSMENT TOOL



This pain assessment too! is intended to help patient care providers assess pain according to individual patient needs. Explain and use 0-10 Scale for patient self-assessment. Use the faces or behavioral observations to interpret expressed pain when patient cannot communicate his/her pain intensity.



01



Wrinkle«! nose raised upper lips rapid breathing



2



3



4



5



6



7



8



9



10



INTERFERES INTERFERES INTERFERES WITH WITH WITH BASIC TASKS CONCENTRATION NEEDS



Gambari



Skala Intensitas Nyeri Nyeri dikelompokkan pula berdasar area nyeri, ke dalam: nyeri kepala, leher, dada, abdomen, punggung, pinggang bawah, pelvik, ekstremitas dan sebagainya. Berdasarkan sifat nyeri ke dalam nyeri tusuk, teriris, terbakar, kemang, nyeri sentuh, nyeri gerak, berdenyut, menyebar, hilang timbul, dan sebagainya. Klasifikasi nyeri akan sangat berguna untuk menentukan penyebab, membedakan nyeri neuropatik dari nosisepsi, merencanakan terapi dan evaluasi penderita.



294 || Anestesiologi



MEKANISME NYERI Nyeri adalah fenomena yang rumit dan komplek dan sekurang terdapat 3 hal yang penting, yakni: mekanisme nosisepsi, perilaku nyeri (neuromatrik melzack) dan plastisitas saraf. 1.



Mekanisme nosisepsi, mekanisme ini melibatkan periode transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi



Proses tranduksi: Rangsang noksius dapat berasal dari bahan kimia, seperti yang terjadi pada proses inflamasi menimbulkan sup sensitasi dan mengaktifasi reseptor nyeri. Sensitisasi perifer menimbulkan keadaan yang disebut allodinia dan hiperalgesia, Allodinia artinya, rangsang lemah seperti rabaan normal kini terasa nyeri; sedangkan hiperalgesia artinya rangsang kuat normal menimbulkan nyeri kini dirasakan amat nyeri, Proses transduksi dihambat oleh obat nonsteroid anti inflamasi. Proses transmisi: Penyaluran impuls saraf sensorik dilakukan oleh serabut A delta bermielin dan serabut C tak bermielin sebagai neuron pertama, kemudian dilanjutkan traktus spinotalamikus sebagai neuron kedua dan selanjutnya di daerah talamus disalurkan oleh neuron ke tiga sensorik pada area somatik primer di kortek serebri. Proses tranmisi ini dapat dihambat oleh anestetik lokal di perifer maupun sentral. Proses modulasi: Modulasi nyeri terjadi pada sistem saraf sentral ketika aktifasi nyeri dapat dihambat oleh analgesi endogen seperti endorfin, sistem inhibisi sentral seretonin dan noradrenalin, dan aktifitas serabut A beta. Proses persepsi: persepsi merupakan hasil akhir proses interaksi yang komplek, dimulai dari proses transduksi, transmisi dan modulasi sepanjang aktifasi sensorik yang sampai pada area primer sensorik kortek serebri dan masukan lain bagian otak yang pada gilirannya menghasilkan suatu perasaan subyektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri.



Sensitizing “Soup"



H. ion NE Bradikmin



Histnmin Potassium ion Prostaglandin



Gambar 2 SupSensitisasi



295 || Anestesiologi



Purin Cytokine 5HT



Leukotrinc NGF Neuropeptide



2.



Perilaku nyeri [neuromatrik meizaek) Descending Modulation Pathway Neuromatrik adalah sistem yang komplek, meliputi jaras-jaras yang melibatkan medula spinalis,talamus, jaringan abu-abu periaquaductal, kortek somatosensorik dan sistem limbik. Faktor yang mempengaruhi neuromatrik termasuk faktor genetik, keadaan fisiologik, faktor psikososial, termasuk masukan aferen primer yang dianggap dari kerusakan jaringan, sistem imuno endokrin, sistem inhibisi nyeri, tekanan emosi dan status penyakit. Neuromatrik dianggap bertanggung jawab terhadap pembentukan persepsi kita terhadap nyeri dan menentukan perilaku nyeri. Ascending Pain Pathway



296 || Anestesiologi



Gambar4 Neuromatrik Melzack



BAB XVII - Masalah Nyeri || 297



3.



Mekanisme adaptif menjadi maladaptif



Mekanisme adaptif mendasari konsep nyeri sebagai alat proteksi tubuh, merujuk kerusakan jaringan pada proses inflamasi dan trauma pada nyeri akut. Pada nyeri fisiologik, nyeri memiliki tendensi untuk sembuh dan berlangsung terbatas selama nosisepsi masih ada, serta dianggap sebagai gejala penyakit. Pada nyeri kronik, fenomena allodinia, hiperalgesia, nyeri spontan bukan saja menjadi gejala tetapi merupakan penyakit tersendiri. Keadaan nyeri patologik terjadi ketika nosisepsi tetap timbul setelah penyembuhan usai dan tidak proportional dengan kelainan fisik yang ada. Mekanisme maladaptif terjadi oleh karena plastisitas saraf di tingkat perifer maupun sentral. Di tingkat perifer, mekanisme I o 45 mmHg, bila 60 mmHg menunjukkan signifikan terjadinya hipoventilasi.



346 11 Anestesiologi



Penyebab hipoventilasi: Cedera SSP setelah trauma kepala/pembedahan saraf. Sisa-sisa obat anestesi: volatile dan golongan opiat. Nyeri Bronkospasme Pneumotorak Gejala: Somnolen Nafas melambat Takipneu dengan nafas dangkal Penanganan: Menghilangkan penyebab: Bila penyebab gol opiat: nalokson 0,2 mg. Bila penyebab gol benzodiazepin: flumazenil 0,5 mg. Bila penyebab gol pelumpuh otot: physostikmint 2 mg. Bila penyebab nyeri: analgetik adekuat. Bila penyebab bronkospasme: steroid, simpatomimetik (epinefrin) dan aminofilin. Bila penyebab pneumotorak oleh karena operasi, maka dikerjakan: ventilasi 02 100% dan suntik dengan jarum no. 14-16 pada interkostal II garis medioklavikuler dan diaspirasi udaranya. 3.



Masalah kardiovaskuler



a.



Hipotensi



Menurut Barbour dan Little dikatakan hipotensi bila tekanan darah sistolik di bawah 90 mmHg atau menurun 40-60 mmHg pada penderita hipertensi. Penyebab hipotensi: Hipovolemia: tanda dan gejala: haus, membrana mukosa kering, takikardi dan oliguria dan terapi infus kristaloid 250-500 ml, bila dipasang CVP. Peningkatan tekanan intratorak/ekstratorak, misalnya penggunaan ventilator, tension pneumotorak, tamponade perikard. Penurunan tonus vaskuler disebabkan vasodilatasi, misal: pada anestesi spinal dan epidural, reaksi anafilaksis, sepsis dan obat antihipertensi. Disfungsi miokard: disebabkan iskemik/infark miokard, gagal jantung kongestif, sepsis, hipertiroid dan aritmia.



b. Hipertensi Etiologi hipertensi pasca operasi: Nyeri (post operasi, kandung kencing penuh). Agitasi. Hipoksemia. Hiperkarbia. BAB XXII - Perawatan Pasca Operasi di



Ruang Pemulihan \ | 347



Tekanan intrakranial yang meninggi. Penanganan, tergantung penyebab hipertensi: Analgetik yang adekuat. Oksigenasi dan ventilasi yang adekuat. Pengawasan ketat. Obat terpilih yang sifatnya "short acting" oleh karena sifat hipertensinya singkat.



c. Disritmia Etiologi: penyakit jantung sebelumnya. Hiperkapmia. Hipoksemia. Toksemia obat. Rangsangan simpatis. Iskemik miokard. Gangguan elektrolit. 1) Sinus takikardi. Penyebab: Nyeri, agitasi, hipovolemia/demam. Terapi tidak diperlukan, kecuali berhubungan dengan hipotensi/iskemik miokard. 2) Sinus bradikardi Penyebab: Analgetik narkotik, refleks vagal. Terapi: Pemberian sulfas atropin.



d.



Emboli udara



Etiologi: Operasi: dapat mengakibatkan terjadinya emboli udara antara lain operasi dileher dengan terputusnya vena, operasi pada toraks, mammae, hati, kuretase dan insuflasi pada uterus serta operasi otak. Operasi pada keadaan emphysema. Kecelakaan saat injeksi intra vena. Faktor yang penting dalam emboli: volume udara, kecepatan masuknya udara, tekanan vena, posisi tubuh dan keadaan umum penderita. Tanda dan gejala adanya suara seperti tiupan angin pada jantung kanan dan paru oleh karena obtruksi udara pada arteri pulmonalis atau bising prekordial, sianosis, hipotensi, takikardi, respirasi irregulär, takipnue dan berakhir henti jantung. Penanganan: Cegah udara masuk ke dalam sirkulasi. Kepala penderita kebawah agar udara keluar dari sirkulasi serebal. Beri oksigen 100% dan penggunaan N20 dihentikan waktu anestesi. Bila perlu pasang kateter Swan Ganz di arteri pulmonalis dan lakukan aspirasi langsung dari jantung kanan. Beri kompresi dalam ruang hiperbarik.



348 11 Anestesiologi



4.



Akibat posisi penderita Posisi penderita tergantung jenis operasi yang dilakukan, macam posisi bisa trendelenberg, prone, litotomi, lateral atau supine. Posisi ini sering menyulitkan pelaksanaan anestesi berupa: Menimbulkan penekanan pada saraf tepi sehingga terjadi parese, jadi bagian tubuh tidak boleh tertekan, tertarik dan teregang. Menimbulkan gangguan respirasi, misal: posisi trendelenberg menekan diafragma, posisi telungkup dan lain-lain. Tertekuknya pipa endrotrakeal pada posisi kepala tertentu. 5.



Vomitus dan regurgitasi Vomitus dapat terjadi karena rangsangan pada pusat muntah, penyebabnya bisa karena rangsangan pada lambung/esofagus, obstruksi intestinal, lambung kosong terlalu lama. Bahaya vomitus: Aspirasi isi lambung ke dalam paru dan terjadi trauma kimia. Spasme laring dan terjadi hipoksia. Refleks vagal dan terjadi bradikardi. Dikatakan berbahaya jika volume yang teraspirasi mencapai 25 ml dengan pH kurang dari 2,5. Regurgitasi terjadi bila ada ketidakseimbangan antara tekanan intragastrik dengan kontraksi sfingter esofagus bagian bawah. Faktor predisposisi: Cairan lambung pH nya kurang dari 3. Tekanan intra abdominal tinggi. Tekanan intra torakal rendah. Kegemukan. Kehamilan. Pencegahan: Jangan beri sedasi dosis besar sebelum operasi. Pastikan lambung kosong: puasa, pasang pipa gastrik. Sekresi asam lambung dihambat dengan H2 antagonis. Asam lambung di netralisir dengan antasida. Induksi cepat, oksigenasi adekuat dan "Sellick Manuvre". Bisa dikerjakan blok regional. Intubasi sadar. Bila operasi selesai, miringkan penderita dan ekstubasi atau ekstubasi bila penderita susah sadar. Penanganan: Intubasi pipa trakea, isap lendir dari pipa trakea segera oksigenasi, bila perlu beri bronkodilator, antibiotika dan fisioterapi. BAB XXII - Perawatan Pasca Operasi di



Ruang Pemulihan \ | 349



6.



Kegagalan hati Biasanya terjadi pada operasi besar dan penyebab pastinya sering tidak diketahui, diduga pulih sadar terlalu lama dan penderita meninggal dalam waktu 48 jam, obat anestesi seperti halotan dan kloroform bersifat hepatotoksik. Faktor lain yang berpengaruh: Hipoksia: secara normal sel hati membutuhkan 1/3 dari seluruh kebutuhan tubuh terhadap 02 atau 40 ml/menit/m2 permukaan. Hiperkapnia. Hipotensi: normal aliran darah kehati 1, 5-1, 6 liter/menit di mana 20- 40% berasal dari" arteri hepatica" dan sisanya dari "aorta". Status gizi penderita. Transfusi darah. Obat-obat non anestesi. Virus hepatitis dan infeksi lain. Trauma operasi. Penanganan: Ditujukan penyebabnya. Pernafasan terkontrol dengan baik. 7.



Kegagalan urologi Olguria yang terjadi 24 jam pertama post operasi masih di dalam batas normal dan oliguria patologis dapat terjadi pada prerenal, renal dan post renal. Oliguria prerenal dapat disebabkan karena tekanan darah turun, hipovolemia, hemoragi, hilangya cairan intestinal, sepsis. Oliguria pada renal dapat karena hipoksia, toksin bakteri, transfusi darah yang tidak cocok dan hipotensi. Oliguria post renal dapat oleh kerena obtruksi ureter dan vesika urinaria, ligasi ureter dan lain-lain. Kesulitan kencing bisa juga terjadi pada blok regional. Dari semua kesulitan di atas maka penderita perlu diberi semangat, penderita posisi duduk, ligasi dibebaskan dengan operasi lagi. 8.



Gangguan neurologis Komplikasi setelah anestesi umum bisa disebabkan oleh efek samping obat anestesi, antara lain: a. Kejang Gerakan otot yang abnormal selama anestesi bisa oleh karena hipoksia. Tremor bisa disebabkan oleh karena barbiturat intravena. EEG dapat timbul gambaran epileptoform karena pemakaian enfluran, althesin dan methohexitone. Penanganan: Kejang akibat obat anestesi local bisa diberi thiopental iv, oksigen dan suksamethonium. b. Ensefalopati Keadaan anoksia akut bisa terjadi degenerasi sel saraf pada korteks, hipokampus dan



350 11 Anestesiologi



globus pallidus, hal ini dapat terjadi beberapa hari/minggu setelah tampak gambaran anoksia dan bila berlanjut bisa terjadi" brain death". Penanganan: Oksigenasi dan pengawasan ketat oleh dokter. c. Neuropati Penyebab: Tekanan dan peregangan saraf, iritasi saraf akibat suntikan intravena/intramuskuler, penggunaan torniquet yang kurang benar, iskemi/hipotensi, efek toksik obat anestesi dan hipotermi.



BAB XXII - Perawatan Pasca Operasi di



Ruang Pemulihan \ | 351



Penanganan: Ditujukan penyebab dan sejauh mungkin dihindari factor penyebab. d. Gangguan ekstrapiramidal Obat anestesi tertentu bisa menyebabkan gangguan ekstrapiramidal misal: fenotiazin, butirofenon, metoklopramide, metildopa, alkaloid rauwolfia dan levodopa. Gejala: Distonia akut, kontraksi spasmodic, pseudoparkinsonisme, grimaceren dan lain-lain. Penanganan: Berikan prometasin 25 mg iv, procyclidine 10 mg iv atau diazepam 10 mg iv. 9. Hiperpireksia maligna Suatu keadaan di mana produksi panas melebihi kehilangan panas dari tubuh yang disebabkan meningkatnya temperatur tubuh sedikitnya 2 °C/jam. Diagnosa: suhu tubuh tinggi lebih dari 40 °C post operasi, disertai sianosis, kekakuan otot, spasme masseter, hiperkapnia, hiperventilasi, hiperkalemia, disritmia dan kulit eritemateus. Obat yang sering menyebabkan: suksametonium dan halotan, enfluran, isoflurance, MAOI, fenotiazin, lignokain trisiklik antidepresan. Penanganan: Penggunaan obat anestesi dihentikan. Hiperventilasi dengan 02100 %. Asidosis dikoreksi dengan bikarbonas natrikus. Bila terjadi hiperkalemia diberi infus glukosa 5 % +10 unit insulin. Panas diturunkan dengan kompres es. Beri kortiko steroid 30 mg/kg BB iv. Bila mungkin operasi dihentikan. 10. Reaksi Anafilaksis Predisposisi 3 kali lebih banyak pada wanita, bisa terjadi dalam beberapa menit walaupun jumlahnya sedikit. Gejala: Kolaps kardiovaskuler: hipotensi, nadi hilang, takikardi, disritmia. Spasme bronkus, udem laring dan sampai hipoksia. Kulit eritema, urtikaria dan udem menyeluruh. Mual, muntah dan diare. Penanganan: Hentikan anestesi jika memungkinkan. Oksigenasi. Tinggikan kaki. Adrenalin bolus 50-100 ug, bila perlu ulang dengan dosis 1 mg. Infus kristaloid/koloid dengan cepat paling sedikit 2 liter. Bronkodilator: aminofilin bolus 250-500 mg pelan, anti histamin, steroid dan bikarbonas bila asidosis.



352 11 Anestesiologi



11.



Komplikasi lain: a. Mata Kornea mengering karena mata tidak tertutup selama anestesi, sehingga bisa mengalami kebutaan. b. Lokal Tromboplebitis dan hematom pada tempat suntikan dan infus yang lama. c. Reaksi termal Suhu kamar operasi yang terlalu dingin menimbulkan reaksi termal dan kebutuhan oksigen meningkat, sehingga penderita menggigil selain itu juga bisa diakibatkan pemakaian thiopental dan halotan.



Penanganan: Selimuti penderita Oksigenasi Largaktil 5-10 mg iv. Kriteria keluar dari ruang pemulihan Setelah pasien dilakukan anestesi dan masuk ruang pemulihan, dokter anestesi harus mencatat dan melakukan instruksi tabel 1



Tabel 1 Assesment Open Admission Into Post Anesthesia Care Unit 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.



Airway patency and oxygen saturation Administration of suplemental oxygen Basic vital sign, blood pressure, pulse, respiration rate and temperature Position of the patient Condition of dressing (s) or wound (s) if evident Types and patency of catheters and drainage tubec (amount and type of draiage) Location of lines, tipe and amount of fluid infusing Level of conciousness Muscular strength and response Level of pain



BAB XXII - Perawatan Pasca Operasi di



Ruang Pemulihan \ | 353



Untuk keluar dari RR yang biasanya digunakan adalah AS, SS dan BS. Aldrete Score ______________________________________________________ Activity _________________________________________________________ Moves 4 extremities voluntarily or on command 2 Moves 2 extremities voluntarily or on command 1 Unable to move extremities voluntarily or on command 0 Respiration ______________________________________________________ Able to breath deeply, cough and or cry 2 Dyspneic on limited breathing 1 Apneic _________________________________________________________0 Circulation Blood pressure +-20% of praanasthetic value 2 Blood pressure +-20-49% of praanasthetic value 1 Blood pressure +-50% of praanasthetic value ___________________________0 Conciosness Fully awake 2 Anousable to stimulate 1 Unresponsive ____________________________________________________0 Oxygen Saturation Able to maintain oxygen saturation >92% on room air 2 Needs oxygen inhalation to maintain oxygen saturation 1 >90% Oxygen saturation =5 boleh keluar dari recovery room



354 11 Anestesiologi



Score 2 1 0 2 1 0 2 1 0



Bromage Score Kriteria Gerak penuh dari tangkai Tidak mampu ekstensi tungkai Tidak mampu fleksi lutut Tidak mampu fleksi pergelangan kaki



Score 0 1 2 3



Score 50 mmHg) Asidosis harus ditangani dengan perlahan.



BAB XXIV - Manajemen Perawatan tntensiveiIntensive Care Unit (iCU) \ | 392



Penanganan penyebab utama.



ALKALOSIS RESPIRASI Didefinisikan sebagai turunnya pC02 yang cukup untuk meningkatkan pH lebih dari 7.45



Penyebab Hiperventilasi: Ini adalah penyebab yang sering terjadi saat anestesi umum (ventilasi manual selalu terdapat kecenderungan hiperventilasi) latrogenik Kehamilan Keracunan salisilat Hipoksia Cidera SSP



Penanganan Penyesuaian pengaturan ventilator (mengurangi frekuensi) dan meningkatkan rebreathing. Inhalasi C02. Penanganan penyebab utama.



ASIDOSIS METABOLIK Didefinisikan sebagai turunnya pH < 7.35



Penyebab Gagal Ginjal Kegagalan sirkulasi (syok) yang menyebabkan akumulasi asam laktat. Gagal Hati Diare dengan kehilangan bikarbonat Keracunan sianida



Penanganan Asidosis Metabolik Penanganan penyebab biasanya memperbaiki asidosis. Penggunaan sodium bikarbonat hanya digunakan pada asidosis berat (pH < 7.20) (beberapa klinisi merekomendasikan penggunaan bikarbonat hanya jika pH < 7.15) 1. Sodium bikarbonat: Dosis dapat dihitung dengan rumus: Sodium bikarbonat (mEq) = 0.3 x berat badan x deficit basa. Setengah dari dosis yang dihitung diberikan segera dan dosis sisanya diberikan setelah mendapatkan hasil analisis gas darah selanjutnya. Sebaiknya pasien mendapatkan ventilasi adekuat sebelum diberikan sodium bikarbonat karena sodium bikarbonat menghasilkan karbon dioksida saat metabolism (1 mEq menghasilkan 180 ml C02) yang akan



BAB XXIV - Manajemen Perawatan Intensive / Intensive Care Unit (ICU) 11 393



memperburuk asidosis. Komplikasi lain adalah hipeprtonus (6 kali lebih banyak daripada plasma) yang dapat menyebabkan hipernatremi dan hiperosmolaritas.



Bufferlain: Carbicarb: (Sodium bicarbonate + sodium karbonat): ini adalah non C02 alternatif umum selain sodium bikarbonat tetapi dengan penelitian klinis yang kurang THAM: komponen non sodium 2.



Menangani penyebab utama.



ALKALOSIS METABOLIK Didefinisikan sebagai pH > 7,45.



Penyebab Muntah Aspirasi tune Ryle's (kehilangan HCI) Diuretik. Hipovolemia. Diare dengan kehilangan klorida latrogenik



Pananganan Tangani penyebab utama Infus IV ammonium klorida, 0.1 N asam hidroclorid (tidak lebih dari 0.2 Eq/kg/hari) atau AAcetazoIamide untuk kasus berat.



INTERPRETASI BGA/CARA PEMBACAAN BGA Skema berikut adalah ringkasan untuk membuat penilaian secara cepat terhadap hasil BGA dan gangguan asam-basa dalam tubuh:



Interpretasi Sederhana Cara termudah untuk menginterpretasikan hasil gas darah adalah dengan metode langkah demi langkah.



1.



Langkah 1



Apakah pH dalam kisaran normal atau tidak? Jika pH berada di luar kisaran normal, harus ditentukan apakah ada alkalosis atau asidosis. pH> 7.45 = alkalosis (misalnya 7,52) pH maka asidosis AG lebar. 8. Periksa gap-gap rasio :AA G/ A HC03= 1, t asidosis metabolik AG meningkat murni 2 asidosis metabolik. 9. Jika pH menunjukkan alkalosis, kemudian lihat HC03-dan PaC02. 10. Jika paC02 -i, -> maka alkalosis respiratorik primer. a. Apakah itu akut atau kronis (dengan rumus yang sama seperti di atas). b. Hitung kompensasi oleh metode masing-masing: Akut: [HC03-] 4, 2 mEq / L untuk setiap ^ lOmmHg pada paC02di bawah 40. Kronis: [HC03-] 5 mEq / L untuk setiap -i' lOmmHg pada PaC02 di bawah 40. 11. Jika PaC02 't dan HC03-juga -> maka alkalosis metabolik primer. Hitung perkiraan PaC02. PaC02 = [0,7 x HC03-+ 21] ± 2 Atau 40 + [0,7 AHC03] -> alkalosis metabolik murni PaC02 bersamaan alkalosis respiratorik. PaC02> PaC02 perkiraan bersamaan asidosis respiratorik. 12. Periksa klorida urin jika klorida urin 20 -> resisten klorida. 13. Jika pH BGA normal mungkin gangguan normal atau campuran a. 'T" PaC02 dan ^ HC03--> asidosis respiratorik dan metabolik. b. vl/ PaC02 dan ^ HC03--> alkalosis respiratorik dan metabolik. Hitung selisih% (AHC03-/HC03-and ApaC02/paC02) untuk melihat gangguan yang dominan.[]



396 || Anestesiologi



DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5.



6.



7. 8.



Morgan EG, Mikhail SM, Murray JM, Larson PCM. Clinical anesthesiology. 4th Edition. New York: McGraw Hill; 2005.708-724 Wilkes P. Acid-base lecture in Acid-base management. University of Ottawa Departemen of Anesthesiology, Physics and Fluids Core Program, October 11,2001. Kellum JA. Determinants of Blood pH in Health and Disease. Critical Care 2000;4:6-14. Schalkwyk JV.m A Basic Approach to Body pH.. Cited on 1999, Available on; http://www.anaesthetist.com/icu/elec/ionz Brandis «.Quantitative Analysis of Acid-Base Disorders, In: Acid-Base Physiology An Online Tutorial, chapter lO.Cited On 14 March 2002, Available on: http://www.qldanaesthesia.com. Magder S. Pathophysiology of metabolic acid-base disturbances in patients with critical illness.ln: Critical Care Nephrology. Kluwer Academic Publishers, Dordrecht, The Netherlands, 1998. pp 279- 296.Ronco C, Bellomo R (eds). Orlando Health. Interpretation of the Arterial Blood Gas. 2010 . Orlando Health, Education & Development Pramod Sood, Gunchan Paul, and Sandeep Puri. Interpretation of arterial blood gas. Indian J Crit Care Med. 2010 Apr-Jun; 14(2): 57-64.



BAB XXIV - Manajemen Perawatan Intensive / Intensive Care Unit (ICU) 11 397



BAB XXV



ANESTESI UNTUK PELAYANAN BEDAH SEHARI/PEMBEDAHAN PASIEN DENGAN RAWAT JALAN (ONE DAY SURGERY) Johan Arifin



Beberapa tahun ini terjadi peningkatan jumlah pasien pelayanan bedah sehari (pembedahan dengan rawat jalan) karena beberapa alasan: 1. Berkurangnya waktu dan biaya rawat inap. Secara keseluruhan, insidensi perawatan karena penyebab yang tidak diduga adalah 1% dan penyebab terbanyak adalah mual dan muntah diikuti dengan nyeri dan rasa mengantuk (drowsiness). Insidensi perawatan kembali (atau kedatangan darurat) adalah