Buku Filsafat Umum Full [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN… 1 A. Pengertian Filsafat… 1 B. Munculnya Filsafat… 4 1. Filsafat dalam Periode Pra-Sejarah… 7 2. Filsafat dalam Periode Klasik… 8 a. Yunani Periode Sebelum Socrates (600-400 SM)… 9 b. Yunani Periode Trio Filosof Legendaris… 11 c. Yunani Periode Setelah Trio Filosof Legendaris… 13 3. Filsafat dalam Periode Pertengahan… 14 4. Filsafat dalam Periode Modern… 16 5. Filsafat dalam Periode Kontemporer… 20 BAB II FILSAFAT SEBAGAI ILMU PENGETAHUAN... 22 A. Filsafat Sebagai Pandangan Hidup... 22 B. Filsafat sebagai Ilmu Pengetahuan... 28 C. Perbedaan Filsafat dengan Agama... 35 BAB III CIRI-CIRI FILSAFAT… 48 A. Filsafat India… 48 1. Zaman Weda… 53 2. Zaman Skeptisisme… 54 3. Zaman Puranis… 54 4. Zaman Muslim… 54 5. Zaman Modern… 55 B. Filsafat China… 56 1. Konfusius… 56



i



2. Taoisme… 58 3. Mencius dan Xunzi… 58 4. Mohisme… 59 5. Daoisme… 60 6. Neo Konfusianisme… 60 C. Filsafat Islam… 65 1. Al-Kindi… 74 2. Al-Ghazali… 75 D. Filsafat Barat… 77 BAB IV SISTEMATIKA FILSAFAT… 85 A. Epistemologi… 85 B. Ontologi… 101 C. Aksiologi… 120 BAB V FILSAFAT YUNANI… 128 A. Filsafat Yunani pada masa Pra-Socrates… 128 1. Thales… 129 2. Anaximandros… 131 3. Anaximenes… 131 4. Pythagoras… 133 5. Heraclitos… 133 B. Sophis… 134 1. Protagoras…138 2. Georgias… 143 3. Hippias… 144 4. Prodikos… 145 C. Socrates… 147 BAB VI FILSAFAT PATHRISTIK DAN SCHOLASTIK… 159 A. Filsafat Kristen… 159



ii



1. Patristik Timur… 163 2. Patristik Barat… 168 B. Filsafat Hindu… 173 1. Adwaita Wedanta… 183 2. Wishistadwaita… 184 3. Dwaita… 185 BAB VII FILSAFAT ISLAM… 187 A. Filsafat Islam di Dunia Timur… 187 1. Al-Kindi… 192 2. Al-Farabi… 195 3. Ibnu Maskawaih… 203 4. Ibnu Sina… 208 5. Al-Ghazali… 214 B. Filsafat Islam di Dunia Barat… 225 1. Ibnu Rusyd… 238 2. Ibnu Bajjah… 256 3. Ibnu Tufail… 268 BAB VIII LATAR BELAKANG FILSAFAT MODERN… 281 A. Renaissance… 281 B. Aufklarung… 295 BAB IX RASIONALISME, EMPIRISME DAN KRITISISME… 307 A. Rasionalisme… 307 1. Rene Descartes… 309 2. Gootfried Eihelm von Leibniz... 314 3. Blaise Pascal... 315 4. Spinoza... 316 B. Empirisme… 317



iii



1. Francis Bacon... 320 2. Thomas Hobbes... 321 3. John Locke... 321 4. David Hume...323 5. Herbert Spencer... 324 C. Kritisisme… 325 1. Kritik terhadap Rasionalisme… 329 2. Kritik terhadap Empirisme… 334 3. Kombinasi antara rasionalisme dan empirisme… 335 BAB X POSITIVISME, IDEALISME… 336 A. Positivisme… 336 B. Idealisme… 346 1. Jenis Aliran Idealisme... 354 a. Idealisme Subjektif… 354 b. Idealisme Objektif… 357 2. Tokoh-tokoh Aliran Idealisme... 360 1. J.G. Fichte… 360 2. F.W.J. Shelling… 367 3. G.W.F Hegel… 376 BAB XI FENOMENOLOGI... 386 A. Fenomenologi… 386 BAB XII MATERIALISME… 402 A. Pengertian materialism… 402 B. Pendapat-pendapat yang Ada Pada Paham Materialisme… 404 C. Aliran-aliran dalam Materialisme… 405 1. Aliran Materialisme Mekanik… 405 2. Aliran Materialisme Metafisik… 408



iv



3. Aliran Materialisme Dialektis… 410 D. Tokoh-Tokoh Aliran Materialisme… 411 1. Ludwig Feuerbach… 411 2. Karl Marx… 416 BAB XIII PRAGMATISME… 426 A. Kemunculan dan Perkembangan Pragmatisme…426 B. Tokoh Pragmatisme… 436 1. Charles Sandre Peirce… 436 2. William James… 437 3. John Dewey… 440 C. Kritik atas Praggmatisme… 457 1. Kekuatan Pragmatisme… 457 2. Kelemahan Pragmatisme… 459 DAFTAR PUSTAKA… 464



v



BAB I PENDAHULUAN A. Pengertian Filsafat Pengertian filsafat sendiri banyak sekali yang memberikannya, dari pengertian tersebut antara yang satu dengan yang lain berbeda-beda, akan tetapi tidak berlawanan hanya saling melengkapi. Namun, pengertian filsafat secara bahasa adalah berasal gabungan antara bahasa Arab falsafah dan bahasa Inggris philoshopy, yang mana kedua bahasa tersebut berasal dari bahasa Yunani philoshopia yang berarti philos: cinta dan shopia: bijaksana, pengetahuan, hikmah (wisdom).1 Jadi bila digabungkan artinya adalah cinta kepada kebijaksanaan atau kepada kebenaran. Sedangkan dalam pengertian praktisnya filsafat adalah alam pikiran atau alam berpikir. Berfilsafat artinya berpikir.2 Sedangkan dalam pengertian praktisnya filsafat adalah alam pikiran atau alam berpikir. Berfilsafat artinya berpikir, Namun tidak semua kegiatan berpikir disebut filsafat, hanya berpikir secara mendalam dan sungguh-sunguh serta secara radikal sampai ke akar-akarnya dan sistematis saja yang disebut berfilsafat.3 1



A. Mustofa. Filsafat Islam (Bandung; Pustaka Setia, 2009), 7. Namun tidak semua kegiatan berpikir disebut filsafat, hanya berpikir secara mendalam dan sungguh-sunguh serta secara radikal sampai ke akar-akarnya dan sistematis saja yang disebut berfilsafat. Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung; Pustaka Setia. 2009), 12. 3 Ibid., 13. 2



1



Istilah filsafat secara terminologi (dilihat dari konteks penggunaannya) memiliki beberapa arti. Pertama, filsafat berarti pandangan hidup, yakni suatu cara pandang seseorang tentang kehidupan yang didasarkan pada suatu prinsip atau nilai tertentu yang diyakini kebenarannya. Filsafat, dalam hal ini bersifat praktis.4 Kedua, filsafat berarti metode atau cara berfikir. Cara berfikir filsafati bersifat khas, berbeda dengan cara berfikir orang awam atau berbeda dengan cara berfikir para spesialis. Kekhasan berfikir filsafati ditandai dengan penekanan pada tiga hal, yaitu; radikalitas, komprehensivitas dan integralitas. Radikalitas berfikir filsafat ditandai dengan kemampuan berfikir secara mendalam, dalam rangka menemukan hakikat suatu persoalan.5 Komperehensivitas berfikir filsafati adalah kemampuan dan kemauan memikirkan segala aspek yang terkait dengan suatu persoalan, karena sesungguhnya setiap persoalan tidak berdiri sendiri sebagai satu variabel saja, tetapi selalu terkait dengan banyak variabel. Sedangkan, integralitas berfikir filsafat adalah kemampuan mensistematisasi berbagai variabel dari suatu persoalan sebagai suatu keutuhan. Filsafat 4



yakni merupakan praktek kehidupan, yang semua orang melakukannya. M.M. Syarif, Para Filosuf Muslim (Bandung; Mizan. 1991), 236. 5 Berfikir radikal dapat dilakukan apabila minimal beberapa syarat berikut dipenuhi, yakni; adanya sikap yang bebas, kritis, argumentatif, wawasan yang luas dan terbuka. Betrand Russel, The Problems of Philoshopy, Terj. Ahmad Asnawi (Yogyakarta; Ikon teralitera, 2002), 39.



2



dalam arti metode berfikir maka bersifat teoritis, dari metode berfikir yang demikian kemudian melahirkan ilmu yang disebut dengan ilmu filsafat. 6 Bila dalam tradisi pemikiran Barat filsafat diartikan sebagai cinta kebenaran, maka dalam alam pikiran Jawa filsafat berarti cinta kesempurnaan atau ngudi kawicaksanan atau kearifan, wisdom. Pemikiran Barat lebih menekankan hasil renungan dengan rasio atau cipta-akal pikir-nalar. Sedangkan dalam kebudayaan Jawa, kesempurnaan berarti mengerti tentang awal dan akhir hidup atau wikan sangkan paran.7 Seorang filsuf berarti seorang pecinta kebijaksanaan, berarti orang tersebut telah mencapai status adimanusiawi atau wicaksana. Orang yang wicaksana disebut juga sebagai jalma sulaksana, waskitha ngerti sadurunge winarah atau jalma limpat seprapat tamat.8 Banyak sekali definisi yang diberikan oleh para filosuf-filosuf pada filsafat di antaranya adalah sebagai berikut: Plato (tahun 427 SM-347 SM), menurutnya filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada (ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang sesungguhnya). Aristoteles (tahun 382 SM-322 SM), mendefinisakn bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran, yang di dalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik dan 6



Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Dalam Perspektif Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu (Jakarta; Yayasan Obor Indonesia, 1978), 30-33. 7 Purwadi, Filsafat Jawa Dan Kearifan Lokal ( Yogyakarta; Panji Pustaka, 2007), 10. 8 Purwadi dan Djoko Dwinyanto, Filsafat Jawa; Ajaran Hidup Yang Berdasarkan Nilai Tradisiomal (Yogyakarta; Panji Pustaka, 2009), 3.



3



estetika (filsafat menyelidiki sebab dan asas segala benda). Al-Farabi (wafat 950 M), mengatakan filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya. Immanuel Kant (1724 -1804), mempunyai pendapat juga bahwa filsafat adalah itu ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencangkup di dalamnya ada empat persoalan, yaitu: apa yang dapat kita ketahui? (dijawab metafisika), apa yang boleh kita kerjakan? (dijawab etika), apa yang bisa kita harapkan? (dijawab oleh agama), apa manusia itu? (dijawab antropologi).9 Dari beberapa definisi yang diajukan oleh para filosuf di atas dapat dilihat bahwa filsafat dari masa kemasa memiliki pengertian atau definisi yang berubah-ubah sesuai dengan konteks zamannya, akan tetapi yang tidak berubah hanyalah bahwa filsafat merupakan sebuah kegiatan berfikir kritis sesuai dengan konteks zamannya. B. Munculnya Filsafat Awalnya filsafat diartikan sebagai “cinta terhadap kebijaksanaan” (love wisdom) atau mencintai kebijaksanaan (love for wisdom). Pada masa ini filsafat berarti sifat seseorang yang berusaha menjadi orang yang bijaksana atau sifat orang yang ingin atau mencintai pada kebijaksanaan. Pada tahapan ini pula filsafat juga berarti sebagai kerja seseorang yang berusaha menjadi orang yang bijak. Jadi, yang pertama filsafat menjadi sifat, dan yang kedua filsafat menjadi kerja. 9



4



Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Bandung; PT. Remaja Rosda Karya, 2009), 10-11.



Dari masa-masa filsafat diartikan sebagai cinta kebijaksanaan ini, khususnya pada zaman Ariestoteles hidup, pengertian filsafat masih sangat umum. Pada waktu itu, segala usaha dalam mencari kebenaran dinamakan filsafat, begitu pula hasil usaha tersebut, dapat dikatakan luas sekali karena semua pengetahuan, termasuk special science, tercakup dalam filsafat.10 Perkembangan selanjutnya memperlihatkan bahwa pengertian filsafat mulai menyempit, yaitu lebih menekankan pada latihan berpikir untuk memenuhi kesenangan intelektual. Definisi dari Bertrand Rusell bahwa philoshophy is the attempt to answer ultimate question critically. Pada fase ini jelas pengertian filsafat jauh lebih sempit dari pada pengertian filsafat pada masa Aristoteles tadi. Tugas filsafat pada masa ini, menurut definisi Rusell tersebut, adalah menjawab pertanyaan yang tinggi, yaitu pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh sains. Definisi dari William James berbeda dari definisi Rusell. James menyatakan bahwa filsafat ialah kumpulan pertayaan yang belum pernah terjawab secara memuaskan. Penulisan sejarah ideal tentang sejarah filsafat mestinya mencakup seluruh pikiran semua filosof yang ada dalam sejarah hidup manusia. Jika mengikuti sejarah ideal tentang filsafat ini, tentu tulisan yang akan dihasilkan membutuhkan banyak waktu 10



Akibatnya definisi dari Ariestoteles tidak dapat dipahami oleh para pelajar, karena ia memisahkan special science dari pengertian filsafat.



5



dan tidak cukup hanya ratusan atau ribuan jilid buku. Di antara mereka yang mencoba memasuki penulisan sejarah filsafat ideal adalah Copleston. 11 Dalam bagian ini, hanya akan mencoba memahami sejarah filsafat dengan cara yang sangat sederhana dan serba ringkas, karena yang penting setidaknya bisa mengerti sejarah filsafat secara sekilas dengan karakter dasar berfilsafatnya. Salah satu cara melakukan penyederhanaan pemahaman tentang sejarah filsafat adalah melalui pendekatan periodisasi sejarah filsafat. Yang dimaksudkan pendekatan periodisasi sejarah filsafat adalah upaya menemukan ciri-ciri fundamental pemikiran filosofis yang sama dilakukan oleh para filosof dalam kurun waktu tertentu, dan dikurun waktu berikutnya bisa ditemukan tanda perubahan ciri-ciri fundamental pemikiran filsofis yang berbeda yang menunjukkan kontinuitas kritisnya terhadap kurun sebelumnya, demikian seterusnya. Kemudian masing-masing kurun yang menunjukkan kesamaan atau setidaknya kecenderungan berfilsafat yang sama diberi nama-nama yang membedakan periode pertama dengan periode berikutnya. Sejarah filsafat dengan penggunaan pendekatan periodisasi sejarah ini banyak dilakukan para penulis filsafat. Umumnya sejarah filsafat dibagi ke dalam tiga periode, yaitu periode klasik, pertengahan, dan modern. Munitz menyebut ada empat 11



6



Dia mencoba menulis tentang sejarah filsafat dari awal sejak filsafat pada masanya, dan hasilnya adalah buku sejarah filsafat yang berjumlah beberapa jilid.



periode besar sejarah filsafat, yaitu periode klasik (ancient period), periode pertengahan (medieval period), periode modern (modern period), dan periode kontemporer (contemporary period). Tulisan dalam buku ini akan menggunakan periodisasi Munitz tersebut dengan menambahkan satu periode lagi, yaitu periode sebelum periode klasik, yang disebut di sini periode pra-sejarah. Periode ini untuk membari pengakuan adanya eksistensi aktivitas berfilsafat yang tak pernah sampai kepada kita karena tidak ada peninggalan tertulisnya, atau secara singkat untuk memasukkan periode berfilsafat sebelum masa Yunani.12 1. Filsafat dalam Periode Pra-Sejarah Yang sampai pada kita tentang informasi historis mengenai filsafat dalam periode paling awal adalah dari tradisi Yunani Kuno, ketika Thales dan kawan-kawan mencoba menjawab misteri asal-usul alam semesta dengan cara-cara rasional yang kemudian tradisi berpikir ini oleh Pythagoras disebut ФіλοσοФіα atau Philosophia. Informasi ini sampai karena pikiran-pikiran mereka terekam dalam bentuk tulisan. Thales dan pemikir-pemikir semasanya waktu itu juga tidak pernah menyebut pemikirannya dengan filsafat, namun cara-cara berpikir mereka yang baru dalam mengerti dunia yang berbeda dengan caracara orang yang hanya mengerti dunia dengan mengikuti mitos-mitos yang ada ini oleh orang 12



Yang biasa disebut sebagai periode klasik. Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 21-26.



7



setelahnya dinamai aktivitas berpikir awal yang disebut filsafat. Boleh jadi orang yang berpikir seperti cara berpikir Thales dan kawan-kawannya juga bisa ditemukan jauh sebelum Thales dan kawannya. Sayangnya, tidak ada jejak tertulis untuk mengenali tradisi berpikir orang-orang dulu jauh sebelum era Yunani Kuno yang pantas dipayungi dengan istilah filsafat. Untuk mengapresiasi mereka dalam periodisasi sejarah filsafat, mereka perlu diberi tempat masuk dalam periode sejarah filsafat pra-sejarah. 2. Filsafat dalam Periode Klasik Periode klasik dari sejarah filsafat biasanya banyak disebutkan dimulai dari filosof praSocrates.13 Dari filosof pra-Socrates, kemudian diikuti filosof Yunani legendaris, seperti Socrates, Plato, Aristoteles. Setelah mereka, periode klasik sejarah filsafat diakhiri dengan serentetan filsafat-filsafat mulai dari Neoplaonisme, Epicureanisme, Skeptisisme, Stoisisme, dan rumusan-rumusan paling awal dari pemikiran orang-orang Yahudi dan Kristen. Oleh karena itu, sejarah filsafat periode klasik, yaitu pada jaman Yunani Kuno, sering dalam literatur-literatur filsafat dibagi menjadi dua peiode. Ada yang menyebut Periode Klasik I dan Periode Klasik II, ada yang menamai Periode Yunani Kuno dan Yunani Setelah Klasik, dan lain 13



8



seperti Thales, Anaximenes, Anaximander, Parmenides, Heraclitus, Pythagoras, dan Democritos.



sebagainya. Tulisan dalam buku ini lebih suka menggunakan Yunani Periode Sebelum Socrates, Yunani Periode Trio Filosof Legendaris, serta Periode Setelah Trio Filosof Legendaris. a. Yunani Periode Sebelum Socrates (600-400 SM) Zaman Yunani pra-Socrates, merupakan masa pertumbuhan pemikiran filosofis yang membedakan diri dari kondisi pada saat itu yang didominasi oleh pemikiran mitologis. ara filosof cenderung menawarkan pemikiran rasional yang penuh dengan argumen logis yang sebelumnya menganggap bahwa alam tercipta karena adanya dewa Apollo, atau dewa-dewa yang ada di planet lain. Selain terkenal sebagai “pemikir”, para filosof pada masa ini juga dikenal sebagai ilmuwan dan agamawan seperti Phytagoras. “The earliest Western philosophers were Greeks: men who spoke dialects of the Greek language, who were familiar with the Greek poems of Homer and Hesiod, and who had been brought up to worship Greek Gods like Zeus, Apollo, and Aphrodite…, These early philosophers were also early scientists, and several of them were also religious leaders.14” Argumen yang ditawarkan para filosof masa ini cenderung menganggap alam ini berasal dari air demikian dikemukakan oleh Thales. Bahkan Thales menambahkan bahwa 14



Anthony Kenny, An Ilutrated Brief History of Western Philosophy (Oxford: Blackwell-Wiley, 2006), 1.



9



air adalah segala sesuatu, sebab air dibutuhkan oleh semua yang ada. Air dapat diamati dalam bentuknya yang bermacam-macam. Air dapat berbentuk benda halus (uap), sebagai benda cair (air), sebagai benda keras (es). Air dapat diamati di mana-mana, bahkan di makanan sekalipun. Berbeda dengan pemikiran Thales, yaitu Anaximandros mengatakan bahwa, realitas terdasar bukanlah air melainkan to apeiron yaitu sesuatu yang tidak terbatas. Sebab air masih ada lawannya, yaitu api. Api tidak mungkin berasal dari air. Oleh sebab itu to apeiron pada dasarnya adalah sesuatu yang tidak terbatas. Alam terjadi dari to aperion disebabkan oleh adanya penceraian (ekliresis) dari yang tidak terbatas (to apeiron), dilepas unsur-unsur yang berlawanan seperti panas dan dingin, kering dan basah dan sebagainya, selain itu juga ada hukum keseimbangan. Juga terdapat pendapat beda, yaitu Anaximenes berpendapat lain bahwa alam ini berasal dari hawa dan udara. Heraklitos mengatakan bahwa segala sesuatu menjadi, segala yang ada bergerak terus menerus, bergerak secara abadi artinya perubahan adalah pangkal dari yang ada. Lain halnya Parmindes yang berbeda dari Heraklitos. Filosof-filosof awal pada periode ini mengenalkan suatu cara baru dalam memahami dunia di sekitarnya. Cara baru mereka adalah berpikir memahami dunia atau alam



10



semesta dengan cara yang non-mitologis. Mereka menggunakan daya nalar rasional untuk menjelaskan alam semesta. Mereka tidak memahami alam dari luar diri manusia, seperti hanya mengambil jawaban dari mitos-mitos yang sudah ada, melainkan dari dalam diri manusia itu sendiri, yakni dengan menggunakan rasio atau akal manusia itu sendiri. b. Yunani Periode Trio Filosof Legendaris Periode ini adalah masa yang terbentang antara 500-300 SM di Yunani Kuno. Era ini merupakan pola pemikiran Yunani Klasik yang sangat menonjol dari segi analisis rasionalnya. Era ini bersinar dan berpengaruh luas ke seluruh dunia karena pemikiran tiga filosof Yunani yang legendaris, yaitu Socrates (470-400 SM), Plato (428-348 SM), dan Aristoteles (384-322 SM).15 Trio filosof besar diataslah yang banyak memberikan kontribusi besar terhadap dunia filsafat dan ilmu pengetahuan. Bahkan dapat dikatakan bahwa puncak filsafat Yunani dicapai pada zaman ini. Banyak sekali temuan filosofis yang disumbangkan pada zaman ini, antara lain Sokrates menyumbangkan tentang nilai kebaikan yang dicapai melalui pengetahuan tentang apa yang baik itu.



15



Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004).



11



Plato merupakan penggabung pemikiran Heraklitos dan Parminendes dan melahirkan tentang faham idealisme. Idealisme Plato menekankan tentang alam idea yang menjadi sumber dari yang tampak sebagai fenomena. Ia berkesimpulan sebenarnya realitas yang tampak itu secara empiris bukan merupakan realitas yang sesungguhnya. Realitas yang sesungguhnya adalah apa yang ada dibalik realitas yang tampak. Plato meyakini bahwa dalam pikiran manusia terdapat ide-ide bawaan. Ide-ide ini akan terpanggil kembali ketika melihat hal-hal, benda, atau realitas yang bisa dipersepsi.16 Berbeda dengan Plato yang berbicara tentang sesuatu yang ada secara hakiki dalam ide, Aristoteles murid dari Plato berseberangan dengan pandangan gurunya. Dia cenderung mengabaikan ide sebagai sesuatu yang ada secara sejati, dan mengatakan bahwa bendabenda dan kejadian-kejadian ada dan terjadi secara empiris yang bisa dipersepsi merupakan realitas-realitas yang ada secara nyata, bukan fatamorgana. Dari pemikirannya ini lahir paham realisme. Realisme merupakan paham filsafat yang mengakui bahwa yang ada secara empiris adalah ada meskipun ia tidak dipersepsi atau dipikirkan, sebagaimana nyatanya 16



12



Pengetahuan tidak lebih dari proses rekoleksi ide-ide yang telah ada secara bawaan melalui pengamatan terhadap benda-benda atau kejadian-kejadian empiris.



pemikiran yang menghasilkan gagasan atau ide. Ketiga tokoh inilah sebagai cikal bakal pengembangan ilmu pengetahuan, karena merekalah yang memulai berpikir mikrokosmos yakni memasuki alam dan seisinya termasuk manusia. Aristoteles membagi filsafat menjadi empat: Pertama; Logika, Kedua; Filsafat Teoritik: metafisika, fisika dan matematika, Ketiga; Filsafat Praktik: politik, ekonomi dan etika, serta Keempat; Filsafat Poetika yakni estetika. Inilah landasan ontologik ilmu pengetahuan dan sekaligus juga landasan epistimologik. Pandangan Aristoteles memetakan adanya konsep filsafat sebagai landasan pengembangan ilmu pengetahuan. c. Yunani Periode Setelah Trio Filosof Legendaris. Gagasan trio filosofis ini diteruskan oleh filosof berikutnya sebagai upaya meneruskan dan mengembangkan pemikiran mereka. Tercatat adanya Stoisisme berbicara tentang etika, juga Epikurisme tentang etika. Selanjutnya yang paling berpengaruh adalah Neo-Platonisme filosof dari Mesir yang bernama asli Plotenus yang merupakan pendukung Trio Filosof. Ia cenderung mengatakan bahwa seluruh kenyataan ini merupakan suatu proses imanisasi, yang berasal dari yang Esa. Yang Esa adalah sumber dari yang ada.



13



Konsep ini banyak dikembangkan kedalam nilai-nilai dari doktrin agama. Sebab ada relevansinya dengan kaidah agama, untuk memperkuat doktrin agama digunakanlah argument akal seperti pada pandangan Neo Platonisme. Jadi ilmu pengetahuan pada saat ini bukan hanya bergerak dari masalah makrokosmos ke mikroskosmos bahkan melampaui pada hal-hal yang berada pada masalah metafisik. Zaman ini berlangsung hingga awal abad pertama Masehi. 3. Filsafat dalam Periode Pertengahan Periode pertengahan dari sejarah filsafat adalah periode antara Abad ke-8 sampai dengan Abad ke-15. Periode pertengahan biasanya memasukkan pemikiran filosof-filosof seperti St. Anselm, St. Thomas Aquinas, Duns Scotus, William of Ockham, Maimonide, dan termasuk para filosof muslim, seperti Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu Rusyid. Zaman (abad) pertengahan dikenal sebagai abad keemasan bagi dunia Kristen dan dibalik itu dunia filsafat dan ilmu pengetahuan terjadi kemunduran (jumud) bahkan pada masa ini filsafat dan ilmu pengetahuan adalah identik dengan agama. Sebab agama (Kristen) yang bersifat dogmatik cenderung menolak keberadaan filsafat dan ilmu, dianggap gerejalah sebagai pusat kebenaran (The Trust is in the Church); tak ada keselamatan di luar gereja (there is no salvation outside the church). Jadi ukuran kebenaran adalah



14



apa yang menjadi keputusan gereja. Gereja sangat otoriter dan otoritas gereja harus ditegakkan. Pada dasarnya, memang pada masa ini filsafat tidak identic dengan ajaran individual filosof melainkan Gerejawi lewwat sistem kependetaan. For the Middle Ages it was not the individual who taught, but the Church through the clergy. Clerical science was the corporate transmission of traditional wisdom. The task of the monastic teacher was ordered to the service of God and centered on the understanding of God’s word as recorded in the sacred writings and interpreted by the Fathers.17 Ekses yang dirasakan pada saat ini adalah tidak adanya kebebasan berpikir seperti yang dialami pada masa Trio filosof dan hasilnya banyak para pemikir yang dijebloskan kedalam penjara seperti Galilio Galilei, Cicero adalah ilmuan dan pemikir kondang pada saat itu dan tidak ketinggalan adalah Copernicus seorang astronom. Sedemikian berkuasanya dan dominannya gereja maka masa ini dikenal juga sebagai zaman Patristik dan Skolastik. Disebut zaman Patristik diambil dari kata Patres artinya Bapa-Bapa Gereja, yang mana fase ini dikuasai oleh para teolog dan tokoh gerejani, seperti Augustinus. Kemudian disebut Skolastik berarti guru, atau 17



Charles H. Lohr, “The Ancient Philosophical Legacy and its Transmission to the Middle Ages”, dalam Jorge J. E. Gracia dan Timothy B. Noone, A Companion to Philosophy in The Middle Ages (Oxford: Blackwell, 2002), 15.



15



sarjana yang menjadi pengajar seperti Thomas van Aquinas dan Bonaventura. 4. Filsafat dalam Periode Modern Periode modern dari sejarah filsafat biasanya dimulai dari filosof-filosof pada Abad ke-16 sampai Abad ke-19. Periode modern mulai dari filosof-filosof Abad ke-16 seperti Francis Bacon dan Thomas Hobbes; kemudian filosof-filosof Abad ke-17 seperti Rene Descartes, Baruch de Spinoza, dan Leibnizt; lalu filosof-filosof Abad ke-18 seperti John Locke, George Berkeley, dan David Hume, dan akhirnya filosof-filosof Abad ke-19, seperti Immanuel Kant, Hegel, Schopenhauer, dan Nietzsche. Filsafat modern membalikkan paradigma filsafat abad tengah, skolastisisme. Karakter dari filsafat abad pertengahan memandang alam semesta dalam logika hirarkhi wujud atau konsepsi organis tentang alam semesta ini yang berujung pada Tuhan sebagai puncak dari hirarkhi ini. Segala penyikapan pengetahuan dihubungkan dengan keberadaan Tuhan. Filosof-filosof modern tidak berarti menyalahkan begitu saja proses berfilsafat seperti ini, namun yang menjadi pertanyaan besar mereka adalah ketidak terbukaannya pada cara-cara objektif dalam melihat dan mengetahui alam dan kebebasan kritis manusia dalam mengupayakan kebenaran. Francis Bacon, misalnya, di masa kemunduran filsafat abad pertengahan, mengritik cara-cara mengetahui yang mencampur-adukkan gejala-



16



gejala alam objektif dengan kepercayaankepercayaan mitologis dan religius. Cara-cara ini telah membengkokkan ilmuilmu perbintangan dan planet-planet yang seharusnya berupa astronomi menjadi astrologi; ilmu-ilmu alam yang seharusnya dibangun pada penyelidikan empiris menjadi ilmu-ilmu alam magis. Francis Bacon menawarkan cara mengetahui alam dengan mengamati gejala-gejalanya secara induktif. Menemukan hukum-hukum alam dari alam itu sendiri, sehingga manusia bisa menguasai dan mengontrol alam; bukan memahami alam dengan mengkaitkan dengan cerita mitologis sehingga manusia dibawa pada ketakutan dan ketidakberdayaan pada alam. Jika Francis Bacon bereaksi terhadap filsafat abad pertengahan dengan mengambil fokus pada cara induktif mengetahui alam, Réné Descartes bereaksi dengan mengambil fokus pada ketiadaan kebebasan manusia dalam berpikir. Dalam memahami realitas manusia selalu dipaksa tunduk pada doktrin-doktrin pengetahuan yang sudah ada, dan seolah potensi pengetahuan dalam diri manusia sendiri tidak boleh diaktualisasikan berseberangan dengan teori-teori pengetahuan yang sudah ada. Rasionalismenya dengan slogan filosofisnya yang sangat terkenal, cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada, telah menggugah masyarakat Eropa waktu itu bahwa ada bergantung pada manusia itu sendiri selama dia mau berpikir.



17



Sejak saat itu, subjektifisme menjadi ciri filsafat baru. Subjektivisme yang dimaksud adalah kesadaran baru bahwa manusia adalah subjek realitas atau pusat realitas, menggantikan Tuhan yang selalu menjadi pusat pembicaraan. Kebebasan berpikir berkembang dan karenanya humanisme, paham yang mencoba menggali pengertian manusia dan maksud menjadi manusia, berkembang pesat. Karena pikirannya ini, kemudian Descartes disebut-sebut sebagai bapak filsafat modern. Sebenarnya, Francis Bacon pun pantas disebut sebagai filsafat modern dari segi tawaran barunya dalam mengerti alam yang bukan lagi dalam logika organisisme, melainkan mekanisme; yakni dari memahami alam yang hanya sekedar berupa hubungan antar wujud yang digerakkan dan dihidupkan oleh Wujud Tertinggi berubah memahami alam dari alam secara objektif dengan mencari hukum-hukum dan mekanika-mekanika alam secara objektif yang ditemukan dengan cara-cara induktif. Bocheński menggarisbawahi filsafat modern terdiri dari dua prinsip fundamental, yaitu mechanism dan subjectivism. Mekanisme sebagai prinsip dari filsafat modern adalah pemahaman alam sebagaimana diinginkan oleh Francis Bacon. Yang perlu dikembangkan manusia dalam memahami alam dengan paradigma mekanisme adalah tidak lagi memperpanjang cara mengetahui alam sebagai diciptakan dan dikuasai oleh Tuhan atau kekuatan-kekuatan mitologis dari



18



kepercayaan-kepercayaan animistik, dan sebagai gantinya, mengatahui alam dengan melihat alam dari alam itu sendiri, belajar dari alam untuk mengerti hukum-hukum pastinya dan hidup dengannya. Subjektivisme yang dia maksudkan adalah pandangan yang mengalihkan manusia dari konsentrasi sebelumnya pada Tuhan dan menggantinya dengan manusia atau subjek sebagai pusat perhatiannya. Dengan mengamati karakter pokok dari filsafat modern yang lahir dari respon kritikal terhadap cara berfilsafat Abad Pertengahan, dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri dasar dari filsafat modern adalah sebagai berikut: a) Reformasi keagamaan Filsafat modern tidak akan lahir jika tanpa ada gerakan internal keagamaan yang menentang hegemoni Gereja Abad Tengah. Dalam padangan para Kristiani yang melakukan gerakan protes keagamaan, Gereja tidak hanya bermasalah dengan kebebasan berpikir, kebebasan berpolitik, dan kebebasan berilmu pengetahuan, namun juga bermasalah dengan kemurnian agama Kristen itu sendiri. Gerakan protes keagamaan ini dikenal dengan gerakan reformasi keagamaan yang dipimpin oleh Martin Luther King. Inti dari gerakan ini adalah purifikasi keagamaan. Kristen telah dinodai oleh Gereja penguasa waktu itu. Mereka bermaksud membongkar praktek keagamaan Gereja waktu itu yang menurut mereka telah menyimpang dari pesan



19



substansial dari agam Kristen. Gerakan ini kemudian memuculkan aliran keagamaan baru yang dikenal dengan Kristen Protestan.18 b) Kebebasan ekspresi kreasi manusia dengan mengabaikan tabu-tabu yang menyelimuti perkembangan pemikiran manusia c) Meningkatnya otoritas Ilmu (science) d) Pergeseran otoritas pemerintahan: Negara menggantikan gereja e) Pergeseran paradigma sosial: Feodalisme ke kapitalisme (labour intensive to capital intensive) f) Humanisme liberal, manusia sebagai fokus sentral atau antroposentrisme. g) Akal mengkondisikan segala sesuatu, Yaitu; Akal sebagai instrumen objektivasi realitas/uniformisasi-homogenisasi nalar dan nilai. 5. Filsafat dalam Periode Kontemporer a) Agama, ilmu, dan sumber pengetahuan lain: masalah diversitas epistemologi b) Kebebasan ekspresi kreasi manusia dengan mempertimbangkan nilai lingkungan serta nilai tradisi c) Paradigma interkoneksitas antara Agama, ilmu (science), dan sumber pengetahuan lain 18



20



Kritik dan protes dari orang-orang beragama sendiri telah menggoyang hegemoni Gereja dari dalam. Gerakan reformasi keagamaan ini mengawali keruntuhan kekuasaan Gereja Abad Pertengahan yang sangat dominan. Gerakan kritik dan protes ini memberi dorongan yang kuat bagi komunitas lain selain agamawan, yaitu filosof, seniman, dan ilmuwan.



d) Dari nalar objektivisme-justifikatif menuju nalar kritis-komunikatif e) Akal dikondisikan segala sesuatu, akal sebagai instrument pemahaman tidak terkondisikan oleh realitas atau diversitas-pluralitas nalar dan nilai f) Pergeseran sosial politik: Monokultulaisme ke multikulturalisme atau nasionalisme ke internasionalisme



21



BAB II FILSAFAT SEBAGAI ILMU PENGETAHUAN A. Filsafat sebagai Pandangan Hidup Setiap manusia tentu mempunyai pandangan hidup, sementara pandangan hidup itu bersifat kodrati. Karena itu ia menentukan masa depan seseorang. Untuk itu perlu dijelaskan pula apa arti pandangan hidup. Pandangan hidup artinya pendapat atau pertimbangan yang dijadikan pegangan, pedoman, arahan, petunjuk hidup di dunia. Pendapat itu merupakan hasil pemikiran manusia berdasarkan pengalaman sejarah menurut waktu dan tempat hidupnya. Pandangan hidup banyak sekali macam dan ragamnya. Akan tetapi pandangan hidup dapat diklasifikasikan berdasarkan asalnya yaitu terdiri dari 3 macam: Pandangan hidup yang berasal dari agama yaitu pandangan hidup yang mutlak kebenarannya. Pandangan hidup yang berupa ideologi yang disesuaikan dengan kebudayaan dan norma yang terdapat pada negara tersebut. Dan pandangan hidup hasil renungan yaitu pandangan hidup yang relatif kebenarannya. Pandangan hidup itu bersifat kodrati karena ia menentukan masa depan seseorang. Pandangan hidup artinya pendapat atau pertimbangan yang dijadikan pegangan, pedoman, arahan, petunjuk hidup di dunia. Pendapat atau pertimbangan itu merupakan hasil pemikiran manusia berdasarkan pengalaman sejarahmenurut waktu dan tempat



22



hidupnya. Dengan demikian pandangan hidup itu bukanlah timbul seketika atau dalam waktuyang singkat saja, melainkan melalui proses waktu yang lama dan terus menerus, sehingga hasil pemikiran itu dapat diuji kenyataannya. Hasil pemikiran itu dapat diterima oleh akal, sehingga diakui kebenarannya. Atas dasar itu manusiamenerima hasil pemikiran itu sebagai pegangan, pedoman, arahan, atau petunjuk yang disebut pandangan hidup. Pandangan hidup berdasarkan asalnya yaitu terdiri dari 3 macam: 1) Pandangan hidup yang berasal dari agama yaitu pandangan hidup yang mutlak kebenarannya. 2) Pandangan hidup yang berupa ideologi yang disesuaikan dengan ke-budayaan dan norma yang terdapat pada suatu negara. 3) Pandangan hidup hasil renungan yaitu suatu pandangan hidup yang relatif kebenarannya. Apabila pandangan hidup itu diterima oleh sekelompok orang sebagai pendukung suatu organi-sasi, maka panndangan hidup itu disebut ideologi. Pandangan hidup pada dasarnya mempunyai unsur: cita-cita, kebajikan, usaha, keyakinan. Citacita ialah apa yang diinginkan yang mungkin dapat dicapai dengan usaha atau per-juangan. Tujuan yang hendak dicapai ialah kebaji-kan, yaitu segala hal yang baik yang membuat manusia makmur, bahagia, damai,tentram. Usaha atau perjuangan adalah kerja keras yang dilandasi keyakinan. Keyakinan diukur dengan kemampuan akal, ke-



23



mampuan jasmani, dan kepercayaan kepada Tuhan. Menurut kamus umum bahasa Indonesia, yang disebut cita–cita adalah keinginan, harapan, tujuan yang selalu ada dalam pikiran. Baik keinginan, harapan, maupun tujuan merupakan apa yang mau diperoleh seseorang pada masa mendatang. Dengan demikian cita–cita merupakan pandangan masa depan, merupakan pandangan hidup yang akan datang. Pada umumnya cita–cita merupakan semacam garis linier yang makin tinggi, dengan perkataan lain, cita–cita merupakan keinginan, harapan dan tujuan manusia yang makin tinggi tingkatannya. Kebajikan atau kebaikan atau perbuatan yang mendatangkan kebaikan pada hakekatnya sama dengan perbuatan moral, perbuatan yang sesuai dengan norma–norma agama dan etika. Untuk melihat apa itu kebajikan, kita harus melihat dari tiga segi, yaitu manusia sebagai mahluk pribadi, manusia sebagai anggota masyarakat dan manusia sebagai mahluk Tuhan. Sebagai makhluk pribadi, manusia dapat menentukan senditi apa yang baik dan apa yang buruk. Suara hati selalu memilih yang baik, sebab itu ia selalu mendesak orang untuk berbuat yang baik bagi dirinya. Manusia sebagai anggota masyarakat, maka seseorang juga terikat dengan suara masyarakat. Setiap masyarakat adalah kumpulan pribadi–pribadi, sebagaimana suara hati tiap pribadi selalu menginginkan yang baik. Sebagai mahluk Tuhan, manusia pun harus mendengarkan perintah Tuhan. Perintah tuhan selalu memerintahkan agar manusia berbuat baik dan menghindari



24



perbuatan yang tidak baik. Usaha/perjuangan adalah kerja keras untuk mewujudkan cita–cita. Setiap manusia harus kerja keras untuk kelanjutan hidupnya. Sebagian hidup manusia adalah usaha. Perjuangan untuk hidup dan ini sudah kodrat manusia. Tanpa usaha, manusia tidak dapat hidup sempurna. Apabila manusia bercita– cita menjadi kaya, ia harus bekerja keras. Apabila seseorang bercita–cita menjadi ilmuwan, ia harus rajin belajar dan tekun serta memenuhi semua ketentuan akademik. Keyakinan yang menjadi dasar pandangan hidup berasal dari akal atau kekuasaan Tuhan. Menurut Prof.Dr.Harun Nasution, ada tiga aliran filsafat, yaitu aliran naturalisme, aliran intelektualisme dan aliran gabungan. Aliran Naturalisme, hidup manusia itu dihubungkan dengan kekuatan gaib yang merupa-kan kekuatan tertinggi. Aliran Intelektualisme, dasar aliran ini adalah logika/akal. Manusia mengutamakan akal, dengan akal manusia berpikir. Mana yang benar menurut akal itulah yang baik walaupun bertentangan dengan hati nurani. Aliran Gabungan, dasar aliran ini ialah kekuatan gaib dan juga akal. Kekuata gaib artinya kekuatanya yang berasal dari Tuhan (percaya adanya Tuhan sebagai dasar keyakinan). Sedangkan akal adalah dasar kebudayaan, yang menentukan benar tidaknya sesuatu. Manusia pasti mempunyai pandangan hidup walau bagaimanapun bentuknya. Bagaimana kita memperlakukan pandangan hidup itu tergantung pada orang bersangkutan. Ada yang memperlakukan pandangan hidup itu sebagai sarana mencapai



25



tujuan dan ada pula yang memperlakukan sebagai penimbul kesejahteraan, ketentraman dan sebagainya. Akan tetapi yang terpenting, kita seharusnya mempunyai langkah–langkah berpandangan hidup. Adapun langkah–langkah itu sebagai berikut : Mengenal, merupakan suatu kodrat bagi manusia yaitu merupakan tahap pertama dari setiap aktifitas hidupnya yang dalam hal ini mengenal apa itu pandangan hidup. Mengerti, yang dimaksud dengan mengerti di sini adalah mengerti terhadap pandangan hidup itu sendiri. Menghayati, dengan menghayati pandangan hidup kita dapat memperoleh gambaran yang tepat dan benar mengenai kebenaran pandangan hidup itu sendiri. Meyakini, merupakan suatu hal untuk cenderung memperoleh suatu kepastian sehingga dapat mencapai suatu tujuan hidupnya. Mengabdi, pengabdian merupakan suatu hal yang penting dalam menghayati dan meyakini sesuatu yang telah dibenarkan dan diterima, baik oleh dirinya lebih–lebih orang lain. Dengan mengabdi maka kita akan merasakan manfaat dari tujuan hidup yang kita hayati dan yakini tersebut. Filsafat diartikan sebagai pandangan hidup karena filsafat pada hakikatnya bersumber pada hakikat kodrat pribadi manusia (sebagai makhluk individu, makhluk sosial, dan makhluk Tuhan). Hal ini berarti bahwa filsafat mendasarkan pada penjelmaan manusia secara total dan sentral sesuai dengan hakikat manusia sebagai makhluk monodualisme (manusia secara kodrat terdiri dari jiwa dan raga). Manusai secara total (menyeluruh)



26



dan sentral didalamnya memuat sekaligus sebagai sumber penjelmaan macam-macam filsafat sebagai berikut : a) Manusia dengan unsur raganya dapat melahirkan filsafat biologi. b) Manusia dengan unsur rasanya dapat melahirkan filsafat keindahan (estetika). c) Manusia dengan monodualismenya (kesatuan jiwa dan raganya) melahirkan filsafat antropologi. d) Manusia dengan kedudukannya sebagai makhluk Tuhan dapat melahirkan filsafat ketuhanan. e) Manusia dengan kedudukannya sebagai makhluk sosial dapat melahirkan filsafat sosial. f) Manusia sebagai makhluk yang berakal dapat melahirkan filsafat berpikir (logika). g) Manusia dengan unsur kehendaknya untuk berbuat baik dan buruk dapat melahirkan filsafat tingkah laku (etika). h) Manusia dengan unsur jiwanya dapat melahirkan filsafat psikologi. i) Manusia dengan segala aspek kehidupannya dapat melahirkan filsafat nilai (aksologi). j) Manusia dengan dan sebagai warga Negara dapat melahirkan filsafat Negara. k) Manusia dengan unsur kepercayaannya terhadap spiritual dapat melahirkan filsafat agama. Filsafat sebagai pandangan hidup (Weltsanchaung) merupakan suatu pandangan hidup yang dijadikan dasar setiap tindakan dan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari, juga diperguna-kan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang



27



dihadapi dalam kehidupan. Pandangan hidupnya itu akan tercermin didalam sikap hidup dan cara hidup. Sikap dan cara hidup tersebut dapat muncul apabila manusia memikirkan dirinya sendiri secara total. B. Filsafat sebagai Ilmu Pengetahuan Istilah filsafat bisa ditinjau dari dua segi, yaitu; semantik dan praktis. Sebagaimana telah disinggung pada bahasan sebelumnya bahwa, dari segi semantik perkataan filsafat berasal dari kata Arab falsafah, yang berasal dari bahasa Yunani, philosophia yang berarti philos = cinta, suka (loving) dan Sophia = pengetahuan, hikmah (wisdom). Jadi philosopia berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran.1 Pengertian ilmu yang dikemukakan Mohammad Hatta adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut kedudukannya tampak dari luar, maupun menurut hubungannya dari dalam. Harsojo, sekaligus Guru Besar antropologi Universitas Pajajaran mendefinikan ilmu adalah akumulasi pengetahuan yang disistemati-sasikan 1



Kembali pada keterangan di atas, bahwa, maksudnya, setiap orang yang berfilsafah akan menjadi bijaksana. Orang yang cinta kepada pengetahuan disebut philosopher dalam bahasa Arab disebut failasuf. Dari segi praktis filsafat berarti alam pikiran atau alam berfikir. Berfilsafat artinya berpikir. Namun tidak semua berpikir berarti berfilsafat. Berfilsafat maknanya berpikir secara mendalam dan sungguh-sungguh. A. Mustofa, Filsafat Islam (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 9.



28



suatu pendekatan atau metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris yaitu dunia yang terikat oleh faktor ruang dan waktu yang pada prinsipnya dapat diamati panca indera manusia. Suatu cara menganlisis yang mengizinkan kepada ahli-ahlinya untuk menyatakan suatu proposisi dalam bentuk: “jika,….maka…” Pengetahuan adalah merupakan hasil “Tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu yang mana penginderaan ini terjadi melalui panca indera manusia yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba yang sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan adalah informasi atau maklumat yang diketahui atau disadari oleh seseorang. Pengetahuan termasuk, tetapi tidak dibatasi pada deskripsi, hipotesis, konsep, teori, prinsip dan prosedur yang secara Probabilitas Bayesian adalah benar atau berguna. Pengertian lain, pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia melalui pengamatan indrawi. Pengetahuan muncul ketika seseorang menggunakan indera atau akal budinya untuk mengenali benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya. Misalnya ketika seseorang mencicipi masakan yang baru dikenalnya, ia akan mendapatkan pengetahuan tentang bentuk, rasa, dan aroma masakan tersebut. Pengetahuan yang lebih menekankan pengamatan dan pengalaman inderawi dikenal sebagai



29



pengetahuan empiris atau pengetahuan aposteriori. Pengetahuan ini bisa didapatkan dengan melakukan pengamatan dan observasi yang dilakukan secara empiris dan rasional.2 Pengetahuan empiris tersebut juga dapat berkembang menjadi pengetahuan deskriptif bila seseorang dapat melukiskan dan menggambarkan segala ciri, sifat, dan gejala yang ada pada objek empiris tersebut. Pengetahuan empiris juga bisa didapatkan melalui pengalaman pribadi manusia yang terjadi berulangkali. Misalnya, seseorang yang sering dipilih untuk memimpin organisasi dengan sendirinya akan mendapatkan pengetahuan tentang manajemen organisasi. Selain pengetahuan empiris, ada pula pengetahuan yang didapatkan melalui akal budi yang kemudian dikenal sebagai rasionalisme. Rasionalisme lebih menekankan pengetahuan yang bersifat apriori; tidak menekankan pada pengalaman. Misalnya pengetahuan tentang matematika. Dalam matematika, hasil 1 + 1 = 2 bukan didapatkan melalui pengalaman atau pengamatan empiris, melainkan melalui sebuah pemikiran logis akal budi.3 Sedangkan membicarakan masalah ilmu pengetahuan beserta definisinya ternyata tidak semudah dengan yang diperkirakan. Adanya berbagai definisi tentang ilmu pengetahuan ternyata belum dapat menolong untuk memahami hakikat ilmu 2



Lorens Bagus, Metafisika (Jakarta: Gramedia, 1991), 62. Kaelan, Filsafat Bahasa dan Semiotika ( Yogyakarta: Paradigma, 2009), 17-20. 3



30



pengetahuan itu. Sekarang orang lebih berkepentingan dengan mengadakan klasifikasi sehingga garis demarkasi antara (cabang) ilmu yang satu dengan yang lainnya menjadi lebih diperhatikan. Pada prinsipnya ilmu merupakan usaha untuk mengorganisir dan mensitematisasikan sesuatu. Sesuatu tersebut dapat diperoleh dari pengalaman dan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari. Namun sesuatu itu dilanjutkan dengan pemikiran secara cermat dan teliti dengan menggunakan berbagai metode. Ilmu dapat merupakan suatu metode berfikir secara objektif (objective thinking), tujuannya untuk menggambarkan dan memberi makna terhadap dunia faktual. Ini diperoleh melalui observasi, eksperimen, dan klasifikasi. Analisisnya merupakan hal yang objektif dengan menyampingkan unsur pribadi, mengedepankan pemikiran logika, netral (tidak dipengaruhi oleh kedirian atau subjektif). Ilmu sebagai milik manusia secara komprehensif yang merupakan lukisan dan keterangan yang lengkap dan konsisten mengenai hal-hal yang dipelajarinya dalam ruang dan waktu sejauh jangkauan logika dan dapat diamati panca indera manusia.4 Ilmu adalah kumpulan pengetahuan. Namun bukan sebaliknya kumpulan ilmu adalah pengetahuan. Kumpulan pengetahuan agar dapat dikatakan ilmu harus memenuhi syarat-syarat tertentu. 4



Listiyono Santoso, et. al. Epistemologi Kiri. (Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2010). 228.



31



Syarat-syarat yang dimaksudkan adalah objek material dan objek formal. Setiap bidang ilmu baik itu ilmu khusus maupun ilmu filsafat harus memenuhi kedua objek tersebut. Ilmu merupakan suatu bentuk aktiva yang dengan melakukannya umat manusia memperoleh suatu lebih lengkap dan lebih cermat tentang alam di masa lampau, sekarang dan kemudian serta suatu kemampuan yang meningkat untuk menyesuaikan dirinya.5 Ada tiga dasar ilmu yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi. Dasar ontologi ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh panca indera manusia. Jadi masih dalam jangkauan pengalaman manusia atau bersifat empiris. Objek empiris dapat berupa objek material seperti ide-ide, nilai-nilai, tumbuhan, binatang, batu-batuan dan manusia itu sendiri.6 Pada umumnya metodologi yang digunakan dalam ilmu kealaman disebut siklus-empirik. Ini menunjukkan pada dua macam hal yang pokok, yaitu siklus yang mengandaikan adanya suatu kegiatan yang dilaksanakan berulang-ulang, dan empirik yang menunjukkan pada sifat bahan yang diselidiki, yaitu hal-hal yang dalam tingkatan pertama dapat diregistrasi secara indrawi. Metode siklus-empirik mencakup lima tahapan yang disebut observasi, induksi, deduksi, eksperimen, dan evaluasi. Sifat ilmiahnya terletak pada kelangsungan proses yang runut dari segenap 5



Charleshworth, Philoshophy and Linguistic Analysis (Pittsburgh: Duquesne University, 1959), 49. 6 Bakker, Metode-Metode, 28.



32



tahapan prosedur ilmiah tersebut, meskipun pada prakteknya tahap-tahap kerja tersebut sering kali dilakukan secara bersamaan.7 Ilmu dalam usahanya untuk menyingkap rahasia alam haruslah mengetahui anggapan kefilsafatan mengenai alam tersebut. Penegasan ilmu diletakkan pada tolok ukur dari sisi fenomenal dan struktural. Dalam dimensi fenomenal ilmu menampakkan diri pada halhal berikut: 1. Masyarakat yaitu suatu masyarakat yang elit yang dalam hidup kesehariannya sangat konsern pada kaidah-kaidah universaI, komunalisme, disinterestedness, dan skeptisme yang terarah dan teratur 2. Proses yaitu olah krida aktivitas masyarakat elit yang melalui refleksi, kontemplasi, imajinasi, observasi, eksperimentasi, komparasi, dan sebagainya tidak pernah mengenal titik henti untuk mencari dan menemukan kebenaran ilmiah. 3. Produk yaitu hasil dari aktivitas tadi berupa dalildalil, teori, dan paradigma-paradigma beserta hasil penerapannya, baik yang bersifat fisik, maupun non fisik. Dalam dimensi struktural ilmu tersusun atas komponen-komponen berikut: 1. Objek sasaran yang ingin diketahui 2. Objek sasaran terus menerus dipertanyakan tanpa mengenal titik henti 3. Ada alasan dan dengan sarana dan cara tertentu objek sasaran tadi terus menerus dipertanyakan. 7



A.J. Ayer, Logical Positivisme (Newyork:tp, 1959), 63-70.



33



Temuan-temuan yang diperoleh selangkah demi selangkah disusun kembali dalam satu kesatuan sistem. Pada hakikatnya setiap ilmu memiliki objek, begitu juga dengan filsafat. Seperti halnya ilmu-ilmu yang lain, filsafat memiliki dua objek, yang pertama objek material yaitu sesuatu yang dijadikan sasaran penyelidikan, diibaratkan seperti tubuh manusia adalah objek material ilmu kedokteran. Sedangkan yang kedua adalah objek formal yaitu cara pandang tertentu tentang objek material tersebut, seperti pendekatan empiris dan induktif dalam ilmu-ilmu modern.8 Filsafat sebagai proses berpikir yang sistematis dan radikal juga memiliki objek material yaitu segala yang ada. Segala yang mencakup “ada” yang tampak dan “ada” yang tidak tampak. Ada yang tampak adalah alam fisik/empiris, sedangkan yang tidak tampak adalah alam metafisika. Sebagian para filosuf membagi objek material filsafat atas tiga bagian, yaitu yang ada dalam kenyataan, yang ada dalam pikiran dan yang ada dalam kemungkinan. Sedangkan objek formal filsafat adalah sudut pandang yang menyeluruh, rasional, radikal, bebas, dan objektif tentang yang ada, agar dapat mencapai substansinya.9 Cakupan objek filsafat lebih luas dibandingkan dengan ilmu, karena ilmu hanya terbatas hanya 8 9



Bahtiar, Filsafat Agama, 34. Amsal Bahtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta; Rajagrafindo, 2010), 1.; Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsfat Dan Etika (Jakarta; Prenada Media, 2008), 18.



34



pada permasalahan empiris tertentu saja, sedangkan filsafat mencakup hal-hal yang empiris maupun yang metafisika. Objek ilmu terkait dengan filsafat pada objek empiris. Selain itu secara historis membuktikan bahwa ilmu berasal dari kajian filsafat karena awalnya filsafatlah yang melakukan pembahasan tentang segala yang ada ini secara sistematis, rasional dan logis, termasuk hal-hal yang bersifat empiris.10 Dengan demikian filsafat disebut-sebut sebagai induk dari ilmu-ilmu modern yang ada sekarang.11 C. Perbedaan Filsafat dengan Agama Istilah filsafat dan agama mengandung pengertian yang dipahami secara berlawanan oleh banyak orang. Filsafat dalam cara kerjanya bertolak dari akal, sedangkan agama bertolak dari wahyu. Oleh sebab itu, banyak kaitan dengan berfikir sementara agama banyak terkait dengan pengalaman. Filsafat mebahas sesuatu dalam rangka melihat kebenaran yang diukur, apakah sesuatu itu logis atau bukan. Agama tidak selalu mengukur kebenaran dari segi logisnya karena agama kadang tidak terlalu memperhatikan aspek logisnya. Perbedaan tersebut menimbulkan konflik berkepan-jangan antara orang yang cenderung berfikir filosofis dengan orang yang berfikir agamis, pada hal filsafat dan agama mempunyai fungsi yang 10 11



Bahtiar, Filsafat Agama, 2-6. Dikarenakan dari segala kegiatan yang dilakukan filosuf seperti di atas melahirkan ilmu-ilmu modern yang sekarang. Suriasumantri, Ilmu Dalam Perspektif, 31.



35



sama kuat untuk kemajuan, keduanya tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Untuk menelusuri seluk-beluk filsafat dan agama secara mendalam perlu diketahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan agama dan filsafat itu. Kata “agama” berasal dari bahasa Sanskrit “a” yang berarti tidak dan “gam” yang berarti pergi, tetap di tempat, diwarisi turun temurun dalam kehidupan manusia. Ter-nyata agama memang mempunyai sifat seperti itu. Agama, selain bagi orang-orang tertentu, selalu menjadi pola hidup manusia. Dick Hartoko menyebut agama itu dengan religi, yaitu ilmu yang meneliti hubungan antara manusia dengan “Yang Kudus” dan hubungan itu direalisasikan dalam ibadat-ibadat. Kata religi berasal dari bahasa Latin rele-gere yang berarti mengumpulkan, membaca. Agama me-mang merupakan kumpulan caracara mengabdi kepada Tuhan dan semua cara itu terkumpul dalam kitab suci yang harus dibaca. Di sisi lain kata religi berasal dari religare yang berarti mengikat. Ajaran-ajaan agama memang mempunyai sifat mengikat bagi manusia. Seorang yang beragama tetap terikat dengan hukum-hukum dan aturan-aturan yang ditetapkan oleh agama. Sidi Gazalba mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata relegere asal kata relgi mengandung makna berhati-hati. Sikap berhati-hati ini disebabkan dalam religi terdapat norma-norma dan aturan yang ketat. Dalam religi ini orang Roma mempunyai anggapan bahwa manusia harus hati-



36



hati terhadap Yang kudus dan Yang suci tetapi juga sekalian tabu. Yang kudus dipercayai mempunyai sifat baik dan sekaligus mempunyai sifat jahat. Religi juga merupakan kecenderungan asli rohani manusia yang berhubungan dengan alam semseta, nilai yang meliputi segalanya, makna yang terakhir hakikat dari semua itu. Religi mencari makna dan nilai yang berbeda-beda sama sekali dari segala sesuatu yang dikenal. Karena itulah religi tidak berhubungan dengan yang kudus. Yang kudus itu belum tentu Tuhan atau dewa-dewa. Dengan demikian banyak sekali kepercayaan yang biasanya disebut religi, pada hal sebenarnya belum pantas disebut religi karena hubungan antara manusia dan yang kudus itu belum jelas. Religireligi yang bersahaja dan Budhisma dalam bentuk awalnya misalnya menganggap Yang kudus itu bukan Tuhan atau dewa-dewa. Dalam religi betapa pun bentuk dan sifatnya selalu ada penghayatan yang berhu-bungan dengan Yang Kudus. Manusia mengakui adanya ketergantungan kepada Yang Mutlak atau Yang Kudus yang dihayati sebagai kontrol bagi manusia. Untuk mendapatkan pertolongan dari Yang Mutlak itu manusia secara bersama-sama men-jalankan ajaran tertentu. Jadi religi adalah hubungan antara manusia dengan Yang Kudus. Dalam hal ini yang kudus itu terdiri atas ber-bagai kemungkinan, yaitu bisa berbentuk benda, tenaga, dan bisa pula berbentuk pribadi manusia.



37



Selain itu dalam al-Qur’an terdapat kata din yang menunjukkan pengertian agama. Kata din dengan akar katanya dal, ya dan nun diungkapkan dalam dua bentuk yaitu din dan dain. Al-Qur’an menyebut kata din ada me-nunjukkan arti agama dan ada menunjukkan hari kiamat, sedangkan kata dain diartikan dengan utang. Dalam tiga makna tersebut terdapat dua sisi yang berlainan dalam tingkatan, martabat atau kedudukan. Yang pertama mempunyai kedudukan, lebih tinggi, ditakuti dan disegani oleh yang kedua. Dalam agama, Tuhan adalah pihak pertama yang mempunyai kekuasaan, kekuatan yang lebih tinggi, ditakuti, juga diharapkan untuk memberikan bantuan dan bagi manusia. Kata din dengan arti hari kiamat juga milik Tuhan dan manusia tunduk kepada ketentuan Tuhan. Manusia merasa takut terhadap hari kiamat sebagai milik Tuhan karena pada waktu itu dijanji-kan azab yang pedih bagi orang yang berdosa. Adapun orang beriman merasa segan dan juga menaruh harapan mendapat rahmat dan ampunan Allah pada hari kiamat itu. Kata dain yang berarti utang juga terdapat pihak pertama sebagai yang berpiutang yang jelas lebih kaya dan yang kedua sebagai yang berutang, bertaraf rendah, dan merasa segan terhadap yang berpiutang. Dalam diri orang yang berutang pada dasarnya terdapat harapan supaya utangnya dimaafkan dengan arti tidak perlu dibayar, walaupun harapan itu jarang sekali terjadi. Dalam Islam manusia berutang kepada Tuhan berupa kewajiban melaksanakan ajaran agama.



38



Dalam bahasa Semit istilah di atas berarti undang-undang atau hukum. Kata itu juga berarti menundukkan, patuh, utang, balasan, kebiasaan dan semua itu memang terdapat dalam agama. Di balik semua aktifitas dalam agama itu terdapat balasan yang akan diterimanya nanti. Balasan itu diperoleh setelah manusia berada di akhirat. Semua ungkapan di atas menunjuk kepada pengerti-an agama secara etimologi. Namun banyak pula di antara pemikir yang mencoba memberikan definisi agama. Dengan demikian agama juga diberi definisi oleh berbagai pemikir dalam bentuk yang berbagai macam. Dengan kata lain agama itu mempunyai berbagai pengertian. Dengan istilah yang sangat umum ada orang yang mengatakan bahwa agama adalah peraturan tentang cara hidup di dunia ini. Sidi Gazalba memberikan definisi bahwa agama ialah kepercayaan kepada Yang Kudus, menyatakan diri berhubungan dengan Dia dalam bentuk ritus, kultus dan permohonan dan membentuk sikap hidup berdasarkan doktrin tertentu. Karena dalam definisi yang dikemuka-kan di atas terlihat kepercayaan yang diungkapkan dalam agama itu masih bersifat umum, Gazalba mengemukakan definisi agama Islam, yaitu: kepercayaan kepada Allah yang direalisasikan dalam bentuk peribadatan, sehingga membentuk taqwa berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah. Muhammad Abdul Qadir Ahmad mengatakan agama yang diambil dari pengertian din al-haq ialah sistem hidup yang diterima dan diredai Allah



39



ialah sistem yang hanya diciptakan Allah sendiri dan atas dasar itu manusia tunduk dan patuh kepada-Nya. Sistem hidup itu mencakup berba-gai aspek kehidupan, termasuk akidah, akhlak, ibadah dan amal perbuatan yang disyari`atkan Allah untuk manusia. Selanjutnya dijelaskan bahwa agama itu dapat dikelompokkan menjadi dua bentuk, yaitu agama yang mene-kankan kepada iman dan kepercayaan dan yang ke dua menekankan kepada aturan tentang cara hidup. Namun demikian kombinasi antara keduanya akan menjadi defi-nisi agama yang lebih memadai, yaitu sistem kepercayaan dan praktek yang sesuai dengan kepercayaan tersebut, atau cara hidup lahir dan batin. Bila dilihat dengan seksama istilah-istilah itu ber-muara kepada satu fokus yang disebut ikatan. Dalam agama terkandung ikatan-ikatan yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh setiap manusia, dan ikatan itu mem-punyai pengaruh yang besar dalam kehidupan sehari-hari. Ikatan itu bukan muncul dari sesuatu yang umum, tetapi berasal dari kekuatan yang lebih tinggi dari manusia. Harun Nasution mengemukakan delapan definisi untuk agama, yaitu: 1) Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi. 2) Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia. 3) Mengikatkan diri kepada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sum-



40



ber yang berada di luar diri manusia dan yang mempengaruhi perbuatan manusia. 4) Kepercayaan kepada sesuatu ikatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu. 5) Suatu sistem tingkah laku yang berasal dari kekuatan gaib. 6) Pengakuan terhadap adanya kewajiban yang diyakini berasal dari suatu kekuatan gaib. 7) Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia. 8) Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul. Definisi yang dikemukakan Harun Nasution dapat disederhanakan menjadi dua definisi saja. Dari nomor 1 sampai 7 dapat diketahui bahwa agama berkaitan dengan keterikatan manusia dengan kekuatan gaib yang lebih tinggi dari manusia yang mendorong manusia untuk berbuat baik, bisa yang berkekuatan gaib itu dewa-dewa, atau roh-roh yang dipercayai mempunyai kekuasaan luar biasa melebihi dari dirinya, sekalipun pada hakikatnya yang dipercayai itu adalah benda mati seperti berhala dalam zaman Jahiliah. Adapun definisi nomor 8 terfokus kepada agama wahyu yang diturunkan melalui nabi-nabi. Jika disimpulkan, definisi agama itu menunjuk kepada kuatan gaib yang ditakuti, disegani oleh manusia, baik oleh kekuasaan maupun karena sikap pemarah dari yang gaib itu.



41



Dari delapan difinisi di atas dapat diklasifikasikan bahwa terdapat empat hal penting dalam setiap agama, yaitu : Pertama, kekuatan gaib, manusia merasa dirinya lemah dan berhajat pada kekuatan gaib itu sebagai tempat minta tolong. Oleh sebab itu, manusia merasa harus mengadakan hubungan baik dengan kekuatan gaib tersebut. Hubungan baik itu dapat diwujudkan dengan mematuhi perintah dan larangan kekuatan gaib itu. Kedua keyakinan manusia bahwa kesejahteraannya di dunia ini dan hidup akhirat tergantung pada adanya hu-bungan baik dengan kekuatan gaib itu. Dengan hilangnya hubungan baik itu, kesejahteraan dan kebahagiaan, yang dicari akan hilang pula. Ketiga respon yang bersifat emosionil dari manusia. Respon itu bisa berupa rasa takut seperti yang terdapat dalam agama-agama primitif, atau perasaan cinta seperti yang terdapat dalam agamaagama monoteisme. Selanjutnya respon mengambil bentuk penyembahan yang terdapat di dalam agama primitif, atau pemujaan yang terdapat dalam agama menoteisme. Lebih lanjut lagi respon itu mengambil bentuk cara hidup tertentu bagi masyarakat yang bersangkutan. Keempat paham adanya yang kudus (sacred) dan suci dalam bentuk kekuatan gaib, dalam bentuk kitab yang mengandung ajaran-ajaran agama itu dan dalam bentuk tempat-tempat tertentu.



42



Setelah diketahui pengertian masing-masing dari agama dan filsafat, perlu diketahui apa sebenarnya pengertian filsafat agama. Harun Nasution mengemukakan bahwa filsafat agama adalah berfikir tentang dasar-dasar agama menurut logika yang bebas. Pemikiran ini terbagi menjadi dua bentuk, yaitu: Pertama membahas dasar-dasar agama secara analitis dan kritis tanpa terikat kepada ajaran agama, dan tanpa tujuan untuk menyatakan kebenaran suatu agama. Kedua membahas dasar-dasar agama secara analitis dan kritis dengan maksud untuk menyatakan kebenaran suatu ajaran agama atau sekurang-kurangnya untuk menjelaskan bahwa apa yang diajarkan agama tidaklah mustahil dan tidak bertentangan dengan logika. Dasar-dasar agama yang dibahas antara lain pengiriman rasul, ketuhanan, roh manusia, keabadian hidup, hubungan manusia dengan Tuhan, soal kejahatan, dan hidup sesudah mati dan lain-lain. Oleh sebab itu pengertian filsafat agama adalah berfikir secara kritis dan analitis menurut aturan logika tentang agama secara mendalam sampai kepada setiap dasar-dasar agama itu. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa agama dan filsafat adalah dua pokok persoalan yang berbeda. Agama banyak berbicara tentang hubungan antara manusia dengan Yang Maha Kuasa. Dalam agama samawi (Yahudi, Nas-rani dan Islam), Yang Kuasa itu disebut Tuhan atau Allah, sedangkan dalam agama ardi Yang Kuasa itu mempunyai sebutan yang bermacam-macam, antara lain Brahma,



43



Wisnu dan Siwa dalam agama Hindu, Budha Gautama dalam agama Budha, dan sebagainya. Semua itu merupa-kan bagian dari ajaran agama dan setiap ajaran agama itulah yang menjadi objek pembahasan filsafat agama. Filsafat seperti yang dikemukakan bertujuan menemukan kebenaran. Jika kebenaran yang sebenarnya itu mem-punyai ciri sistematis, jadilah ia kebenaran filsafat. Menurut Prof. Dr. H. H. Rasyidi, perbedaan antara filsafat dan agama bukan terletak pada bidangnya, tetapi terletak pada cara menye-lidiki bidang itu sendiri. Filsafat adalah berfikir, sedangkan agama adalah mengabdikan diri, agama banyak hu-bungan dengan hati, sedangkan filsafat banyak hubungan dengan pemikiran. Williem Temple, seperti yang dikutip Rasyidi, mengatakan bahwa filsafat menuntut pengetahuan untuk memahami, sedangkan agama menuntut pengeta-huan untuk beribadah atau mengabdi. Pokok agama bukan pengetahuan tentang Tuhan, tetapi yang penting adalah hubungan manusia dengan Tuhan. Lewis mengidentikkan agama dengan enjoyment dan filsafat dengan contemplation. Kedua istilah ini dapat dipahami dengan contoh: Seorang laki-laki mencintai perempuan, rasa cinta itu dinamai dengan enjoyment, sedangkan pemikiran tentang rasa cinta itu disebut contemplation. Di sisi lain agama mulai dari keyakinan, sedangkan filsafat mulai dari mempertanyakan sesuatu. Mahmud Subhi mengatakan bahwa agama mulai dari keyakinan yang kemudian dilanjutkan dengan mencari argumentasi untuk memperkuat



44



keyakinan itu, (ya`taqidu summa yastadillu), sedangkan filsafat berawal dari mencari-cari argumen dan bukti-bukti yang kuat dan kemudian timbul-lah keyakinannya (yastadillu summa ya`taqidu). Dalam pendapat Mahmud Subhi, agama di sini kelihatan identik dengan kalam, yaitu berawal dari keyakinan, bukan ber-awal dari argumen. Perbedaan lain antara agama dan filsafat adalah bahwa agama banyak hubungan dengan hati, sedangkan filsafat banyak hubungannya dengan pikiran yang dingin dan tenang. Agama dapat diidentikkan dengan air yang terjun dari bendungan dengan gemuruhnya, sedangkan filsafat diumpamakan dengan air telaga yang jernih, tenang dan kelihatan dasarnya. Seorang penganut agama biasanya selalu mempertahankan agama habis-habisan karena dia sudah mengikatkan diri kepada agamanya itu. Sebaliknya seorang ahli filsafat sering bersifat lunak dan sanggup meninggalkan pendiriannya jika ternyata pendapatnya keliru. Dalam diri seorang ahli filsafat terdapat maksud meneliti argumen yang mendukung pendapatnya dan kelemahan argumen tersebut meski untuk argumen dia sendiri, sedangkan dalam diri penganut suatu agama tidak terdapat keinginan seperti itu. Di sisi lain Harun Nasution membandingkan pembahasan filsafat agama dengan pembahasan teologi, karena setiap persoalan tersebut juga menjadi pembahasan tersen-diri dalam teologi. Jika dalam filsafat agama pembahasan ditujukan kepada dasar setiap agama, pembahasan teologi ditujukan pada dasar-dasar agama tertentu. Dengan demikian



45



terdapatlah teologi Islam, teologi Kristen, teologi Yahudi dan sebagainya. Pemikiran-pemikiran seperti itu kurang tepat karena pandangan masing-masing penganut agama dan filosof bersifat sepihak. Pendirian yang lebih baik dan lebih berfaedah adalah pendirian seorang penganut suatu agama yang bersedia mendengarkan uraian tentang paham atau agama lain dan meminta bukti dari paham atau agamanya itu. Seseorang memerlukan kepiawaian dalam mengemukakan argumen, memahami teknik analisa serta mengetahui sejumlah bahan pengetahuan untuk memikirkan segala sesuatu secara logis, termasuk setiap problem kehidupan yang ada hubungannya dengan hal itu. Melihat sesuatu itu memerlukan pemikiran luas, dan jauh dari emosi. Tetapi harus disadari bahwa agama pada satu sisi memang ditandai dengan unsur-unsur yang bersifat memi-hak kepada keyakinannya sendiri. Tanpa ada sifat memi-hak, agama kadang-kadang kurang terasa maknanya. Dengan demikian, seorang ahli agama bisa menyeli-diki ajaran agamanya sendiri, demikian juga agama lain, tetapi dia harus menyadari posisinya pada waktu meneliti agama untuk menghindari banyaknya unsur subjektif yang sering muncul dalam pekiran ahli agama itu. Meskipun filsafat dan agama sangat pada dasarnya sangat berlainan, keduanya tak jarang berinteraksi satu sama lain. Hal ini terjadi lebih dikarenakan kebutuhan manusia akan keduanya. Manusia dalam hidupnya tak akan lepas dari agama,



46



filsafat, sains dan seni. Dari fenomena pertemuan ini, kemudian muncullah berbagai paradigma yang coba dirumuskan. Dalam hal ini, Ian Barbour dalam bukunya Science and Religion memberikan tipologi yang agaknya paling relevan. Ia membedakan empat hubungan filsafat-agama yaitu; konflik [conflict], perpisahan [independence], dialog [dialogue], dan integrasi-perpaduan [integration]. Walaupun ia sendiri tidak menuturkan tendensinya sendiri, Barbour menunjukkan intensi utamanya yakni memberikan ruang bagi agama, yang notabene penuh metafisik, dalam dunia ilmu pengetahuan yang serba empirik. ….my goals are to explore th e place of religion in an age of science and to present an interpretation of Christianity that is responsive both to the biblical faith and to contemporary science.12



12



Ian Barbour, Religion And Science: Historical And Contemporary Issues (San Fransisco: Harper Collins, 1989), 9.



47



BAB III CIRI-CIRI FILSAFAT A. Filsafat India India terkenal dengan filsafat spiritual yang sangat kaya dalam menunjukkan petunjuk ideal tentang hidup. Filsafat India tidak hanya menyajikan intelektualitas tapi juga menyentuh jantung eksistensi yang mengarah pada perbaikan diri. Umumnya orang hanya mengenal India sebagai asal dari agama Hindu dan Buddha. Penyebutan Hindu itu sendiri terlalu luas. Kenyataannya Hindu itu sendiri memuat beberapa sistem filsafat. Secara populer, orang mengenal ajaran Hindu dalam epos Mahabharata dan Ramayana yang mendunia. Penyebutan Hindu itu sendiri ada ketika orang Islam menyebut orang yang beragama berbeda di lembah Indus. Hindu mengacu pada agama orang-orang yang tinggal di sekitar lembah Indus. Sementara agama Buddha akhirnya lenyap di India namun menyebar melampaui batas benua asalnya. Dalam tulisan ini, saya menjelaskan sejarah filsafat India secara singkat. Tujuan saya adalah menjadikan tulisan ini sebagai pengantar awal sebelum mungkin pembaca nantinya mempelajari filsafat India tertentu secara lebih mendalam. Bagi mereka yang tertarik dengan latihan spiritual, memahami filsafat India bisa menjadi rujukan utama dan dapat diandalkan. Sejarah filsafat India menunjukkan evolusi pemikiran dan spiritual yang mungkin menjadi pemikiran yang sama dengan



48



yang sedang kita alami. India adalah laboratorium yang menampung banyak pelajaran karena telah menghasilkan banyak sistem filsafat. Ada keunikan mendasar dalam sejarah filsafat India. Dunia Barat pada akhirnya mengakui kecanggihan sistem pemikiran India. Sementara sekarang ini banyak orang Timur justru tidak tahu menahu identitas dirinya. Cenderung mengikuti gaya hidup Barat, suatu sikap dan gaya hidup yang sudah banyak ditinggalkan oleh orang Barat itu sendiri. Memahami sejarah filsafat India, kita mesti tahu latar belakang sebelum masuknya bangsa Arya yang nantinya membawa Veda dan menetapkan sistem kasta. Veda disebut sebagai literatur India kuno paling awal. Max Muller menyebutkan Veda ada tahun 1200 SM. Hang tahun 2400 SM, dan Balgangadhara Tilak menyebutkannya lebih lama lagi yaitu sekitar 4000 SM. Sebelum masuknya bangsa Arya, lembah Indus sudah memiliki peradabannya sendiri, kebudayaan Dravida, dengan peninggalan Mahenjo Daro yang berawal sekitar 4000 SM. Dari reruntuhan situs menunjukkan bahwa bangsa Dravida yang dicirikan bertubuh pendek, berkulit gelap dan berhidung pesek, memiliki bentuk religi yang menghormati kultus lingga dan praktik bertapa yang lebih mengarahkan diri kedalam. Ada juga peninggalan bangsa Dravida dalam memuja dewi ibu. Bangsa Arya merupakan satu rumpun dengan bangsa Mesir dan Indo Jerman, yang bercirikan bertubuh tinggi, hidung mancung, mata lebar dan



49



kulit putih. Bangsa Arya gemar berperang dan lebih progresif dalam menaklukkan lawan-lawannya. Semangat seperti ini juga nampak dalam himnehimne Veda. Agama yang ditampilkan bangsa Arya lebih berorientasi ke luar seperti memuj dewa-dewa yang mewakili kekuatan alam. Masa berkuasanya bangsa Arya juga membuat adanya pergeseran cara hidup nomaden menjadi bertani. Dari situlah peradaban bangsa Arya dibangun. Ketika bangsa Arya menguasai bagian barat laut dan utara tengah, bangsa Dravida menjadi kasta bawah. Namun kemuliaan bangsa Dravida tidak sepenuhnya lenyap di bagian timur laut. Nantinya religi bangsa Dravida bangkit kembali dengan munculnya Jainisme. Ada dugaan kuat bahwa tantra yang berkembang belakangan adalah bentuk religi awal bangsa pribumi ini karena simbol lingga juga menjadi bagian dari simbol tantra. Seperti yang sudah saya sebutkan, bentuk awal agama bangsa Arya lebih berorientasi keluar lalu mulai mengalami pembalikan ke dalam dengan mengadopsi agama bangsa Dravida. Pada masa munculnya Brhadaranyaka Upanisad (salah satu bagian dari Veda) sekitar 2000-900 SM, nampak adanya pergeseran penekanan pada orientasi ke dalam. Penemuan religi ini adalah kalimat sayasca ayam puruse yasca ditye sa ekah (dia yang ada dalam manusia dan dia yang ada di matahari adalah satu, dan Satyam Brahman (the true brahman) adalah aham (cahaya) di dalam matahari dan aham (saya) didalam manusia.



50



Konsep Ketuhanan Veda adalah Brahman, yang sering disimbolkan seperti cahaya, sebagai sumber utama. Kebudayaan pra-Arya (Dravida) bukan hanya tradisi kontemplatif seperti meditasi. Ada juga pemujaan populer pada dewa-dewa tertentu. Bangsa Arya tidak menghancurkan semuanya tapi mengubah bentuk pemujaan pra-Arya dan juga dewa-dewa Arya sebagai simbol tahapan proses spiritual. Bangsa Arya memuja kekuatan alam, itu nampak dari dewa-dewa yang menunjukkan kekuatan alam yang mengontrol hidup manusia. Namun kesibukan filosofis bangsa Arya akhirnya mengarah pada pemahaman bahwa keselamatan bukan dari luar tapi dari dalam diri manusia sendiri. Walaupun demikian, kultus dewa tetap dilakukan namun terarah pada jalan pengenalan diri, yang berpuncak pada realisasi atman atau nirvana, bukan berorientasi pada surga atau tujuan-tujuan duniawi. Tujuan manusia bukan lagi pada kesenangan (kama), kesuksesan (artha) saja, tapi juga pada kewajiban (dharma), dan juga kebebasan atau keselamatan (moksha).Veda dikenal sebagai literatur awal India kuno, paling tidak dalam bentuknya yang lebih tertata, karena memang menjadi sumber rujukan bangsa Arya. Dr. Radhakrishnan membagi periode filsafat India dalam empat periode: 1. Periode Veda, 2. Periode Epik, 3. Periode Sutra, dan 4. Periode Sekolah (school).



51



Periode Veda terhitung 1500-600 SM. Artinya, Veda tidak disusun dalam satu masa, tapi dalam kurun waktu yang lama, hingga akhirnya menjadi empat bagian, yaitu: Rig Veda, Yajur Veda, Sama Veda, dan Atharva Veda. Masing-masing bagian terbagi dalam empat bagian, yaitu: samhitas (mantras), brahmana, aranyakas, dan upanisad. ada periode Epik, filosof spiritual menyelamatkan kekayaan spiritual dalam bentuk Sutra. Sutra adalah kalimat epikgramatis dalam bentuk syair. Periode ini terhitung 600 SM- 200 M. Pada periode ini Badarayana menulis Brahma-Sutra atau juga disebut sebagai Vedanta-Sutra. Sutra inilah yang menjadi fondasi sekaligus perbedaan interpretasi sistem filsafat di India. Disebutkan ada enam sistem filsafat India yang menjadikan Brahma-Sutra sebagai dasarnya: 1. Vaishesika, 2. Nyaya, 3. Samkhya, 4. Yoga, 5. Purva-mimamsa, sering disebut karma-mimamsa atau mimamsa, dan 6. Uttar-mimamsa, sering disebut vedanta. Enam sistem filsafat ini disebut juga saddharshana, yang digolongkan sebagai sistem ortodoks (astika). Pada periode Epik ini juga muncul sistem filsafat lain, yang digolongkan sebagai sistem heterodoks (nastika). Disebut heterodoks, karena mereka menolak otoritas Veda, seperti Carvakisme, Jainisme, dan Buddhisme. Beriringan periode Sutra Periode adalah periode Sekolah (school) yang



52



terhitung 200–1700 M. Pada periode ini, para filosof membuat komentar Sutra untuk memudahkan pemahaman siswa bahkan tiap filosof membuat versi pemahamannya sendiri. Filosof yang terkenal adalah Shamkaracharya, Ramanujacharya, dan Madhavacharya. Akhirnya Vedanta memiliki tiga sekolah: Advaita Vedanta versi Shamkaracharya, Vishishtadvaida Vedanta versi Ramanujacharya, dan Dvaita Vedanta versi Madhavacharya. Berikut pembagian periode filsafat India: 1. Zaman Weda (2000 - 600 SM) Bangsa Aryam masuk ke India dari utara, sekitar 1500 SM. Literatur suci mereka disebut Weda, yang terdiri dari Samhita, Brahmana, Aranyaka, dan Upanisad. Samhita memuat Rigweda (kumpulan pujian-pujian), Samaweda (himne-himne liturgis), Yajurweda (rumus-rumus korban), dan Artharwaweda (rumus-rumus magis). Brahmana, Aranyaka, dan Upanisad memuat komentar-komentar pada semua literatur. Upanisad merupakan yang terpenting dari filsafat India, yang sepanjang sejarah India merupakan sumber yang sangat kaya untuk inspirasi dan pembaharuan. Tema yang menonjol untuk Upanisad adalah ajaran tentang hubungan Atman dan Brahman. Atman adalah segi subjektif dari kenyataan, "diri" manusia. Sedangkan Brahman adalah segi objektif, makrokosmos, alam semesta. Upanisad mengajarkan bahwa Atman dan Brahman memang sama dan bahwa manusia



53



mencapai keselamatan (moksa, mukti) kalau ia menyadari identitas Atman dan Brahman. 2. Zaman Skeptisisme (600 SM – 300 M) Tahun 600 SM mulai suatu reaksi, baik terhadap ritualisme imam-imam maupun terhadap spekulasi hubungan dengan korban para rahib. Para imam mengajarkan ketaatan dating secara dari pada Sekolah itu adalah Saddharsana (Nyaya, Waisesika, Samkhya, Yoga, PurwaMimamsa, dan Ynana). Adalah yang terpenting dari sekolah itu adalah Samkhya (artinya jumlah) dan Yoga (dari kata "juj", menghubungkan). Yoga mengajarkan suatu jalan (marga) untuk mencapai kesatuan dengan ilahi. Samkhya mengajarkan sebagai tema terpenting hubungan alam-jiwa, kesadaran-materi. 3. Zaman Puranis (300 – 1200) Setelah tahun 300, Buddhisme mulai lenyap dari India. Pemikiran India dalam abad pertengahan dikuasai oleh spekulasi teologis, terutama mengenai inkarnasi dewa-dewa. Contoh cerita tentang inkarnasi dewa terdapat dalam dua epos besar, Mahabharata dan Ramayana. 4. Zaman Muslim (1200 – 1757) Dua nama yang menonjol dalam periode muslim yaitu Kabir (yaitu seorang pengarang syair) yang mencoba mengembangkan suatu agama universal, dan Guru Nanak (yaitu sang pendiri aliran Sikh) yang mencoba menyerasikan Islam dan Hinduisme.



54



5. Zaman Modern (setelah 1757) Zaman modern adalah zaman pengaruh Inggris di India mulai tahun 1757. Periode ini memperlihatkan kembali nilai-nilai klasik India, bersama dengan pembaharuan sosial. Nama penting dalam periode ini adalah Raja Ram Mohan Roy (1772-1833) yang mengajarkan monoteisme berdasarkan Upanisad dan suatu moral berdasarkan Khotbah di Bukit dari Injil, Vivekananda (1863-1902) yang mengajarkan semua agama benar tetapi agama Hindu paling cocok di India, Gandi (1869-1948), dan Rabindranath Tagore (1861-1941) sang pengarang syair dan penmikir religius yang membuka pintu untuk ideide luar. Sejumlah pemikir India zaman sekarang melihat banyak kemungkinan untuk dialog antara filsafat Timur dan filsafat Barat. Radhakrishnan (1888-1975) mengusulkan pembongkaran batasbatas ideologis untuk mencapai suatu sinkretisme hindu-kristiani, yang dapat berguna sebagai pola berpikir masa depan seluruh dunia. Pemikir lain tidak begitu optimis dengan kemungkinan ini. Menurut mereka, perbedaan antara corak berpikir Timur dan Barat terlalu besar untuk mengadakan suatu interaksi, dalam arti "saling melengkapi". Filsafat India dapat belajar dari rasionalisme dan positivisme Barat. Filsafat Barat dapat belajar dari intuisi Timur mengenai kesatuan dalam kosmos dan mengenal identitas mikrokosmos. Mungkin, filsafat Barat terlalu duniawi sedangkan filsafat Timur terlalu mistik.



55



B. Filsafat China Dalam memahami asal mula Filsafat Cina, ada 3 hal yang perlu diketahui. Pertama, filsafat adalah sebuah usaha sadar untuk memformulasikan pandangan dan nilai-nilai sebagai ekspresi dari keyakinan fundamental sekelompok orang. Karenanya filsafat tidak dapat dilepaskan dari latar belakang budaya dan tradisi kelompok tersebut. Dalam hal ini adalah bahasa, seni, literatur, dan agama. Yang kedua, filsafat sebagai sebuah aktivitas yang berkelanjutan haruslah dipandang sebagai sesuatu yang muncul dari aktivitas praktis kehidupan yang berfokus pada pemecahan masalah tentang pengetahuan yang benar, pemahaman asali, dan penghargaan yang wajar atas berbagai masalah kehidupan, entah secara individu ataupun sosial. Yang ketiga adalah lebih berupa konstruksikonstruksi teoretis sebagai hasil pemikiran filosofis ataupun kegiatan kultural dari suatu kelompok orang/masyarakat. Filsafat Cina terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu: 1. Konfusius Ulasan yang lebih detail tentang kehidupaan Confusius adalah biografi yang terangkum dalam bab empat puluh tujuh Shih Chi atau Historical Records (sejarah dinasti Cina pertama, lengkap 86 SM). Dari riwayat hidupnya ini, bisa diperoleh ide bahwa ajaran Konfusius lahir atas keprihatinannya akan situasi sosial dan politik pada saat itu. Maka tak heran jika doktrin utama Konfusianisme adalah tidak adanya disparitas



56



antara hak pribadi dan kepentingan umum. One of the key points of Confucianism is that there is no essential disparity between the „self-cultivation‟ of the individual and the interests of the community.1



Bagi Konfusius kekacauan itu timbul karena Li kehilangan jiwanya. Untuk menghidupkan kembali Li berarti menghidupkan kembali ritual dan musik denngan pendasaran pada Ren. Seperti kita ketahui, Konfusiuslah yang mengambil kitab klasik dinasti Zhou keluar dari tempat penyimpanannya dan membeberkannya di depan umum. Konfusius pulalah yang mengubah aneka tata cara dan upacara serta kebiasaan feudal menjadi suatu sistem etika. Konfusius berjuang tanpa kenal lelah sepanjang hidupnya untuk membangun dan memelihara suatu masyarakat yang tertib dan teratur dengan terus menerus menekankan pentingnya hubungan antara manusia atas dasar doktrin ren. Ren, adalah gagasan sentral dari Konfusianisme yang juga merupakan kelanjutan yang lebih jernih dari gagasan yang hidup sebelum jaman Konfusius. Ren bisa dipahami sebagai: kebaikan hati ataupun kasih antar manusia. Kebaikan ini adalah hakikat terdalam manusia yang membuat unsur lain (dalam hidupnya) menjadi mungkin. Menurut Konfusius „ren‟ adalah sesuatu di dalam diri yang membuat seseorang sungguh-sungguh manusia.



1 Oliver



Leaman, Eastern Philosophy: Key Readings (New York: Routledge, 2000), 86.



57



Sedangkan Li mengandung arti „tatacara dan upacara keagamaan‟, tetapi Konfusianisme memberi arti lebih luas dari pada sekedar ritus dan ritual, yaitu, segala sesuatu yang terkait pada tindakan tepat manusia, dan Xiao merujuk pada tindakan antar manusia yang menumbuhkan „ren‟ yang juga berarti “hormat bakti yang muda terhadap yang lebih tua”. 2. Taoisme Taoisme diajarkan oleh Lao Tse (“guru tua”) yang hidup sekitar 550 S.M. Lao Tse melawan Konfusius. Menurut Lao Tse, bukan “jalan manusia” melainkan “jalan alam” yang merupakan Tao. Tao menurut Lao Tse adalah prinsip kenyataan objektif, substansi abadi yang bersifat tunggal, mutlak dan tak-ternamai. Ajaran Lao Tse lebih pada metafisika, sedangkan Konfusius lebih pada etika. Puncak metafisika Taoisme adalah kesadaran bahwa kita tidak tahu apa-apa tentang Tao. 3. Mencius dan Xunzi Konfusianisme bermula dari ajaran Konfusius, tetapi kemudian dibangun dan dikembangkan oleh Mencius dan Xunzi. Seperti Konfusius, Mencius mendasarkan ajarannya pada Ren, tapi ia menyatakan bahwa untuk membina Ren harus dikembangkan yi atau kebaikan. “Yang disimpan dalam hati adalah ren, yang dipakai dalam tindakan adalah yi.” Jadi, ren adalah prinsip tepat untuk mengawasi gerak internal, sedangkan yi adalah cara tepat untuk membimbing tindak eksternal.



58



Lebih lanjut lagi, Ia menekankan Sistem Keluarga yang diungkap Confusius; yaitu sistim masyarakat Tionghoa, ada 5 jenis hubungan yaitu Raja-Menteri, Ayah-Anak, Suami-Istri, KakakAdik, teman-teman. 4. Mohisme Adapun perbedaan pendapat anatara konfusianis dan mohis adalah sebagai berikut: Para Konfusianis mementingkan relasi yang tepat (Lǐ), tanpa memikirkan keberuntungan. Dari segi moral atau pendirian, para Konfusianis mengutamakan kebenaran dan kemurnian, tanpa menghitung keberhasilan-nya. Penganut Mo Tzŭ lebih pragmatis. Mereka mengutamakan secara khusus keberuntungan (Lì) dan pencapaian (Kung). Dengan demikian, tolok ukur kebenaran sebuah prinsip menurut Mo Tzŭ adalah seberapa besar keberuntungan yang diberikan kepada negara dan rakyat jelata. Segala sesuatu harus berguna, dan semua prinsip harus bisa diaplikasikan supaya menyumbang sesuatu nilai secara mandiri. Maka sesuatu prinsip yang tidak bisa diejawantahkan nilainya, ataupun tidak bisa diajarkan secara efektif kepada manusia lain untuk mengejawantahkan nilainya, hanya rasio belaka. Tetapi pendirian Mo Tzŭ ini bertabrakan dengan idealisme Konfusianis, yang mengutamakan pembentukan moralitas yang mendukung tindakan seseorang, supaya bertindak mengikut apa yang benar, dan bukan mengikut apa yang lebih memanfaatkan.



59



5. Daoisme Lao Zi dan pengikutnya menduga bahwa ada yang salah dalam hakekat masyarakat dan peradabannya. Mereka menganjurkan rakyat Cina untuk membuang semua pranata dan konvensi yang ada. Mereka percaya bahwa manusia yang dulu mempunyai suatu surga kemudian hilang karena kekeliruannya sendiri, yaitu karna ia mengembangkan peradaban. Menurut Lao Zi dan pengikut pengikutnya, cara terbaik untuk hidup adalah menarik diri dari peradaban dan kembali kepada alam, dari keadaan beradab ke keadaan alami. Inilah jalur pemikiran naturalistic yang dikenal sebagai Daoisme yang menjunjung tinggi Dao dan alam. Chuang Tzu memandang Dao sebagai totalitas dari spontanitas segala sesuatu di alam semesta ini. Semua hal harus dibiarkan berkembang sendiri, secara alami dan spontan, Akan tetapi Yang Tzu berpendapat bahwa Dao adalah suatu kekuatan fisis yang buta. Dao menghasilkan dunia tidak atas dasar perencanaan atau kehendak, tetapi atas dasar keniscayaan atau kebetulan. Pendapat ini merupakan pendapat yang mewakili kaum materialistic Daoisme. Apapun perbedaannya, mereka menekankan bahwa manusia harus cocok dan serasi dengan kodratnya dan puas dengan apa adanya 6. Neo Konfusianisme Neo-Konfusianisme adalah bentuk Konfusianisme yang terutama dikembangkan selama Dinasti Song, tetapi aliran ini mulai nampak ke



60



permukaan sudah sejak zaman dinasti Tang lewat Han Yu dan Li ao. Mereka membuka cakrawala baru Neo-Konfusianisme, yaitu dimensi kosmologis dalam refleksi mereka. Zhou Dunyi merupakan tokoh yang tak boleh dilupakan. Kosmologi Zhou Dunyi merupakan pengembangan butir-butir ajaran Apendiks dari Kitab Yi Jing dan dia memakai diagram daois untuk ilustrasi dan membentuk „Tai Ji Tu dan Tai JI Shuo-nya. Selain Zhou Dunyi masih ada Shao Yong (kosmologis lain yang mengembangkan ajarannya berdasar juga Apendiks dari Kitab Yi Jing. Bedanya dengan Zhuo dia memakai 64 hexagram Yi Jing). Sementara Zhang Zhai (kosmologis lain yang juga mengembangkan ajarannya berdasar juga Apendiks dari Kitab Yi Jing. Namun dia menekankankan dan mengolah lebih jaug gagasan Qi). Mewarisi „ke-satu-an‟ dari segala dari Zhang Cai, itu yang dikembangkan Cheng Hao menjadi filsafatnya. Ren = rangkuman dari: Yi, Li, Zhi dan Xin, pahami itu dan tempa-tumbuhkan dengan ketulusan dan kecermatan, itulah segalanya. Secara metafisis ada kesatuan antara semua yang ada. Gagasan tersebut kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Lu Jiuyuan dan Wang Yangming yang pada akhirnya membentuk sekolah Lu wang. Pertama-tama karena masalah politik dan pemerintahan merupakan masalah sehari-hari yang tidak dapat dihindarkan, maka filsafat Cina berkecendrungan mengutamakan pemikiran praktis berkenaan masalah dan kehidupan sehari-



61



hari. Dengan perkataan lain ia cenderung mengarahkan dirinya pada persoalan-persoalan dunia. Para ahli sejarah pemikiran mengemuka-kan beberapa ciri yang muncul akibat kecenderungan tersebut, Pertama, dalam pemikiran kebanyakan orang Cina antara teori dan pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan. Dengan demikian pemikiran spekulatif kurang mendapat tempat dalam tradisi filsafat Cina, sebab filsafat justru lahir karena adanya berbagai persoalan yang muncul dari kehidupan yang aktual. Kedua, secara umum filsafat Cina bertolak dari semacam „humanisme‟. Tekanannya pada persoalannya kemanusiaan melebihi filsafat Yunani dan India. Manusia dan perilakunya dalam masyarakat dan peristiwa kemanusiaan menjadi perhatian utama sebagian besar filosof Cina. Ketiga, dalam pemikiran filosof Cina etika dan spiritualitas (masalah keruhanian) menyatu secara padu. Etika dianggap sebagai intipati kehidupan manusia dan sekaligus tujuan hidupnya. Di lain hal konsep keruhanian diungkapkan melalui perkembangan jiwa seseorang yang menjunjung tinggi etika. Artinya spiritualitas seseorang dinilai melalui moral dan etikanya dalam kehidupan sosial, kenegaraan dan politik. Sedangkan inti etika dan kehidupan sosial ialah kesalehan dan kearifan. Keempat, meskipun menekankan pada persoalan manusia sebagai makhluk sosial, persoalan yang bersangkut paut dengan pribadi atau



62



individualitas tidak dikesampingkan. Namun demikian secara umum filsafat Cina dapat diartikan sebagai „Seni hidup bermasyarakat secara bijak dan cerdas‟. Kesetaraan, persamaan dan kesederajatan manusia mendapat perhatian besar. Menurut para filosof Cina keselerasan dalam kehidupan sosial hanya bisa dicapai dengan menjunjung tinggi persamaan, kesetaraan dan kesederajatan itu. Kelima, filsafat Cina secara umum mengajarkan sikap optimistis dan demokratis. Filosof Cina pada umumnya yakin bahwa manusia dapat mengatasi persoalan-persoalan hidupnya dengan menata dirinya melalui berbagai kebijakan praktis serta menghargai kemanusiaan. Sikap demokratis membuat bangsa Cina toleran terhadap pemikiran yang anekaragam dan tidak cenderung memandang sesuatu secara hitam putih. Keenam, agama dipandang tidak terlalu penting dibanding kebijakan berfilsafat. Mereka menganjurkan masyarakat mengurangi pemborosan dalam penyelenggaraan upacara keagamaan atau penghormatan pada leluhur. Ketujuh, penghormatan pada kemanusiaan dan individu tampak dalam filsafat hukum dan politik. Pribadi dianggap lebih tinggi nilainya dibanding aturan-aturan formal yang abstrak dari hukum, undang-undang dan etika. Dalam memandang sesuatu tidak berdasarkan mutlak benar dan mutlak salah, jadi berpedoman pada relativisme nilai-nilai.



63



Kedelapan, dilihat dari sudut pandang intelektual, Para filosof Cina berhasil membangun etos masyarakat Cina seperti mencintai belajar dan mendorong orang gemar melakukan penelitian mendalam atas segala sesuatu sebelum memecahkan dan melakukan sesuatu. Demikianlah pengetahuan dan integritas pribadi merupakan tekanan utama filsafat Cina. Aliran pemikiran, teori dan metodologi apa saja hanya bisa mencapai sasaran apabila dilaksana-kan oleh seseorang yang memiliki pengetahuan luas dan integratitas pribadi yang kokoh. Dapat disimpulkan pemikiran filsafat Cina antara teori dan pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan; bertolak dari semacam „humanisme‟, pemikiran filosof Cina etika dan spiritualitas (masalah keruhanian) menyatu secara padu; persoalan yang bersangkut paut dengan pribadi atau individualitas tidak dikesampingkan, mengajarkan sikap optimistis dan demokratis; agama dipandang tidak terlalu penting dibanding kebijakan berfilsafat; penghormatan terhadap kemanusiaan dan individu tampak dalam filsafat hukum dan politik, dalam memandang sesuatu tidak berdasarkan mutlak benar dan mutlak salah, jadi berpedoman pada relativisme nilai-nilai; membangun etos masyarakat Cina seperti mencintai belajar dan mendorong orang gemar melakukan penelitian mendalam atas segala sesuatu sebelum memecahkan dan melakukan sesuatu.



64



C. Filsafat Islam Islam berasal dari kata salam yang terutama berarti damai dan juga berarti menyerahkan diri, maka keseluruhan pengertian yang dikandung nama ini adalah kedamaian sempurna yang terwujud jika hidup seseorang diserahkan kepada Allah. Kata sifat yang berkenaan dengan ini adalah Muslim. Penyebutan filsafat barat-timur untuk filsafat Islam terkesan buat-buatan karena secara geografis, sebagian filosof Islam bermukim di Eropa dan Afrika. Sangat sulit menemukan batasan-batasan yang tepat dimana barat-timur ini diawali dan diakhiri. “The whole concept of „Eastern‟ philosophy is rather an artificial one, since there are difficult issues in defining where „East‟ starts and ends. Some of the thinkers included here operated pretty far in the „West‟ (ibn Rushd, for example, spent his life in Spain and North Africa).”2 Akan tetapi, Filsafat Islam bisa digolongkan ke dalam filsafat timur karena lebih dominan sifatnya yang menunjukkan idealisme seperti umumnya filsafat-filsafat yang muncul di dunia timur, seperti Cina dan India. Jadi, yang dimaksud filsafat timur disini adalah yang memiliki aliran idealism, utamanya bercirikan spiritualis, yang esensinya adalah dengan berfikir. Juhaya mengungkapkan bahwa kata idealis itu dapat mengandung beberapa pengertian, antara lain:



2 Ibid.,



ix.



65



1. Seseorang yang menerima ukuran moral yang tinggi, estetika, dan agama serta menghayatinya. 2. Orang yang dapat melukiskan dan menganjurkan suatu rencana atau program yang belum ada. Dalam buku Mulyadhi Kartanegara yang berjudul Gerbang Kearifan, dia mendiskusikan beberapa pandangan sarjana tentang istilah filsafat Islam. Ada yang megatakan bahwa Islam tidak pernah dan bisa memiliki filsafat yang independen. Adapun filsafat yang dikembangkan oleh para filosof Muslim adalah pada dasarnya filsafat Yunani, bukan filsafat Islam. Ada lagi yang mengatakan bahwa nama yang tepat untuk itu adalah filsafat Muslim, karena yang terjadi adalah filsafat Yunani yang kemudian dipelajari dan dikembangkan oleh para filosof Muslim. Ada lagi yang mengatakan bahwa nama yang lebih tepat adalah filsafat Arab, dengan alasan bahwa bahasa yang digunakan dalam karya-karya filosofis mereka adalah bahasa Arab, sekalipun para penulisnya banyak berasal dari Persia, dan namanama lainnya seperti filsafat dalam dunia Islam. Adapun dia sendiri cenderung pada sebutan filsafat Islam (Islamic philosophy), dengan setidaknya 3 alasan : 1. Ketika filsafat Yunani diperkenalkan ke dunia Islam, Islam telah mengembangkan sistem teologi yang menekankan keesaan Tuhan dan syari‟ah, yang menjadi pedoman bagi siapapun. Begitu dominannya Pandangan tauhid dan syari‟ah



66



ini,sehingga tidak ada suatu sistem apapun, termasuk filsafat, dapat diterima kecuali sesuai dengan ajaran pokok Islam tersebut (tawhid) dan pandangan syari‟ah yang bersandar pada ajaran tauhid. Oleh karena itu ketika memperkenalkan filsafat Yunani ke dunia Islam, para filosof Muslim selalu memperhatikan kecocokannya dengan pandangan fundamental Islam tersebut, sehingga disadari atau tidak, telah terjadi “pengislaman” filsafat oleh para filosof Muslim. 2. Sebagai pemikir Islam, para filosof Muslim adalah pemerhati flsafat asing yang kritis. Ketika dirasa ada kekurangan yang diderita oleh filsafat Yunani, misalanya, maka tanpa ragu-ragu mereka mengeritiknya secara mendasar. Misalnya, sekalipun Ibn Sina sering dikelompokkan sebagai filosof Peripatetik, namun ia tak segan-segan mengertik pandangan Aristoteles, kalau dirasa tidak cocok dan 1menggantikannnya dengan yang lebih baik. Beberapa tokoh lainnya seperti Suhrawardi, Umar b. Sahlan al-Sawi dan Ibn Taymiyyah, juga mengeriktik sistem logika Aristotetles. Sementara al-„Amiri mengeritik dengan pedas pandangan Empedokles tentang jiwa, karena dianggap tidak sesuai dengan pandangan Islam. 3. Adanya perkembangan yang unik dalam filsafat islam, akibat dari interaksi antara Islam, sebagai agama, dan filsafat Yunani. Akibatnya para filosof Muslim telah mengembangkan beberapa isu filsfat yang tidak pernah dikembangkan oleh para filosof



67



Yunani sebelumnya, seperti filsafat kenabian, mi‟raj dan sebagainya. Berbeda dengan lingkup filsafat modern, filsafat Islam, sebagaimana yang telah dikembangkan para filosof agungnya, meliputi bidang-bidang yang sangat luas, seperti logika, fisika, matematika dan metafisika yang berada di puncaknya. Seorang filosof tidak akan dikatakan filosof, kalau tidak menguasai seluruh cabang-cabang filosofis yang luas ini. Satu hal lagi yang perlu didiskusikan dalam mengenal filsafat Islam ini adalah pandangannya yang bersifat integral-holistik.Integrasi ini, sebagaimana yang telah saya jelaskan dalam karya saya yang lain Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik, terjadi pada berbagai bidang, khususnya integrasi di bidang sumber ilmu dan klasifikasi ilmu. Filsafat Islam mengakui, sebagai sumber ilmu, bukan hanya pencerapan indrawi, tetapi juga persepsi rasional dan pengalaman mistik. Dengan kata lain menjadikan indera, akal dan hati sebagai sumber-sumber ilmu yang sah. Akibatnya terjadilah integrasi di bidang klasifikasi ilmu antara metafisika, fisika dan matematika, dengan berbagai macam divisinya. Demikian juga integrasi terjadi di bidang metodoogi dan penjelasan ilmiah. Karena itu filsafat Islam tidak hanya mengakui metode observasi, sebagai metode ilmiah, sebagaimana yang dipahami secara eksklusif dalam sains modern, tetapi juga metode burhani, untuk meneliti entitasentitas yang bersifat abstrak, „irfani, untuk melakukan persepsi spiritual dengan menyaksikan



68



(musyahadah) secara langsung entitas-entitas rohani, yang hanya bisa dianalisa lewat akal, dan terakhir bayani, yaitu sebuah metode untuk memahami teksteks suci, seperti al-Qur‟an dan Hadis. Oleh karena itu, filsafat Islam mengakui kebasahan observasi indrawi, nalar rasional, pengalaman intuitif, dan juga wahyu sebagai sumbersumber yang sah dan penting bagi ilmu. Hal ini penting dikemukakan, mengingat selama ini banyak orang yang setelah menjadi ilmuwan, lalu menolak filsafat dan tasawuf sebagai tidak bermakna. Atau ada juga yang telah merasa menjadi filosof, lalu menyangkal keabsahan tasawuf, dengan alasan bahwa tasawuf bersifat irrasional. Atau ada juga yang telah merasa menjadi Sufi lalu menganggap tak penting filsafat dan sains. Dalam pandangan filsafat Islam yang holistik, ketiga bidang tersebut diakui sebagai bidang yang sah, yang tidak perlu dipertentangkan apa lagi ditolak, karena ketiganya merupakan tiga aspek dari sebuah kebenaran yang sama. Sangat mungkin bahwa ada seorang yang sekaligus saintis, filosof dan Sufi, karena sekalipun indera, akal dan hati bisa dibedakan, tetapi ketiganya terintegrasi dalam sebuah pribadi. Namun, seandainya kita tidak bisa menjadi sekaligus ketiganya, seyogyanya kita tidak perlu menolak keabsahan dari masing-masing bidang tersebut, karena dalam filsafat Islam ketiga unsur tersebut dipandang sama realnya. Memang pada filsafat-filsafat yang lahir di dunia timur, kebanyakan lebih mengutamakan sisi spiritual, dalam arti nilai-nilai keagamaan memang



69



kerap mewarnai prinsip-prinsip dalam filsafat timur. Dalam prinsip filsafat timur ini pada perilaku manusia adalah digerakkan oleh nilai dan norma sehingga manusia memiliki tujuan dalam bertingkah laku. Begitu juga filsafat yang lahir dari pemikir-pemikir Islam yang lebih menekankan pandangannya mengenai dunia dengan berlandaskan pada nilai-nilai dan norma-norma yang harus ditaati oleh manusia. Filsafat Islam adalah berfikir secara sistematis, radikal dan universal tentang hekekat segala sesuatu berdasarkan ajaran Islam. Singkatnya filsafat Islam itu adalah Filsafat yang berorientasi kepada al-Qur‟an, mencari jawaban mengenai masalah-masalah asasi berdasarkan wahyu Allah. Pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid naik tahta tahun 786 M, buku-buku pengetahuan Yunani banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Orang-orang dikirim ke Romawi di Eropa untuk membeli manuskrip. Pada mulanya penerjemah diutamakan dalam bidang ilmu kedokteran, tetapi kemudian ilmu pengetahuan lain dan filsafat pun diterjemahkan ke dalam bahasa Siriac, bahasa ilmu pengetahuan Mesopotamia waktu itu, kemudian baru dalam bahasa Arab. Tapi akhirnya diadakan penerjemahan langsung dalam bahasa Arab. Melalui kegiatan penerjemahan inilah sebagian besar karya Aristoteles, beberapa karangan Plato serta karangan-karangan mengenai neoplatoisme, Galen dan karangan di bidang kedokteran serta ilmu pengetahuan Yunani lainnya dapat dibaca oleh alim ulama Islam. Karangan di bidang



70



filsafat banyak menarik perhatian Mu‟tazilah sehingga mereka banyak dipengaruhi oleh pemujaan daya akal yang terdapat dalam filsafat Yunani. Kemajuan Islam era pertengahan tidak saja mewarisi pengetahuan Yunani-Romawi, akan tetapi telah memodifikasi dan menyempurnakan pengetahuan sebelumnya. Hal ini dibuktikan dengan hasil usaha kreatif cendikiawan muslim seperti al-Kindi, Ibn Sina, al-Farabi, al-Razi dan setelahnya, selain mengadopsi kekayaan pengetahuan mereka, juga melahirkan teori dan pengetahuan orisinil yang sama sekali baru. Peradaban Yunani, Persia dan Romawi jelas menyumbangkan peradaban yang sangat berharga bagi Islam. Peradaban Zoroastrian (Sassanian) telah mencapai puncak renaisan kebudayaannya pada abad ke enam, sebelum Islam datang di tanah Arab. Hal ini yang kemudian menjadi pembawa obor bagi peradaban Barat, bersama-sama membawa sebuah sinkronisme kreatif baru pemikiran ilmiah dan filosofis Yunani, Hebrew, India (Hindu), Syirian, dan Zoroaster. Mengenai kebangkitan bangsa Arab tersebut dengan agama Islamnya, Huston Smith mengutip juga dari Philip Hitti yang menyatakan sekitar nama orang Arab bersinarlah lingkaran cahaya dari kegemilangan yang dimiliki oleh para penakluk dunia. Dalam waktu satu abad setelah bangsa ini muncul, mereka telah menjadi tuan dari suatu daerah kekuasaan yang terbentang dari pantai Samudra Atlantik sampai ke perbatasan Cina, yang merupakan suatu daerah kekuasaan yang lebih besar dari kekaisaran Romawi pada zaman puncak



71



kejayaannya. Dalam masa perluasan wilayah yang luar biasa ini mereka “merangkul berbagai unsure asing ke dalam kepercayaan, bahasa dan bahkan bentuk fisik mereka, lebih daripada yang pernah atau sesudahnya, tidak terkecuali orang Yunani, Romawi, Anglo-Sakson, atau Rusia”. Tentu saja periode yang dimaksud dalam kutipan tersebut adalah saat pemerintahan Harun al-Rasyid. Filsafat Islam memiliki karakteristik sekaligus sebagai keunikan tersendiri. Setidaknya, terdapat tiga karakteristik yang dapat kita diketemukan dalam khazanah ini, yaitu peripatetisme (Masysya’iyyah), iluminasi (Israqiyyah) dan teosofi transenden (al-hikmah al-muta’aliyah). Ketiga karakteristik tersebut sudah sering dikaji oleh para sarjana muslim. Filsafat peripatetisme adalah paham kelanjutan dari pengaruh ide-ide Aristotelian yang bersifat diskursif-demontrasional. Corak dari Aristotelian yaitu hylomorfisme, suatu paham yang cenderung bersifat material. Peripatetisme dimulai sejak al-Kindi, yang melewati antara lain, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Thufail dan Ibn Bajjah hingga Ibn Rusyd. Mungkin, hanya Ibn Rusyd saja yang agak berani membersihkan Aristotelianisme dari NeoPlatonisme. Filsafat iluminasi (Israqiyyah) berbicara mengenai suatu kilatan-mendadak dalam bentuk pemahaman atau ilham sebagai suatu arus cahaya. Asal mulanya, teori ini berakar dari pola-pola Platonik, yang selama periode Hellenistik dan Romawi aliran ini diserap dan tergabungkan dalam pikiran Kristiani dan Yahudi. Tokoh yang ternama



72



dalam corak filsafat iluminasi yaitu Surawardi. Sebagai pencetus paham iluminasi, dia telah membuka jalan suatu dialog dengan wacanawacana dan upaya-upaya religius atau mistis dalam dunia ilmiah. Dia juga termasuk filosof yang meyakini adanya perennial wisdom. Sebuah jalan kebenaran yang dijadikan ukuran adalah pengalaman “intuitif” yang kemudian mengelaborasi dan memverifikasinya secara logis-rasional. Sementara filsafat hikmah di perkenalkan oleh Mulla Shadra. Dia membangun aliran baru filsafat dengan semangat untuk mempertemukan berbagai aliran pemikiran yang berkembang di kalangan kaum muslim. Yakni tradisi Aristotelian cum Neo platonis yang diwakili figur-figur al-Farabi dan Ibn Sina, filsafat Israqiyyah, pemikiran Irfani Ibn „Arabi, serta tradisi kalam (teologi dialektis). Filsafat hikmah cenderung berbicara masalah esensi (wujud), sehingga sering disebut-sebut sebagai eksistensialisme Islam. Aliran ini mempercayai bahwa pengetahuan diperoleh tidak melalui penalaran rasional, tetapi hanya melalui sejenis intuisi, yakni penyaksian bathin (syuhud, inner witnessing), cita rasa (dzauq, tasting), pencerahan (hudhur, presence). Begitulah perkembangan filsafat Islam yang telah mendapat pengaruh dari beberapa filosof Romawi dan Yunani yang kemudian diserap menjadi beberapa pandangan baru dari kacamata Islam. Hanya saja sedikit pengaruh-pengaruh baik dari Aristoteles, Plato maupun Sokrates terakulturasi dalam filsafat ini.



73



Dalam pembahasan ini diulas mengenai pemikiran dua tokoh filosofi Islam yakni Al-Kindi dan Al-Ghazali sebagai contoh gambaran konkrit dari filsafat Islam. 1. Al-Kindi (196-873 M) Nama lengkap filsuf ini adalah Ya‟kub bin Ishaq bin al-Kindi yang lahir di Kufah dan bertempat tinggal di Kindah, Yaman. Orangtuanya adalah Gubernur Basrah. Menurut keterangan Ibnu al-Nadim buku-buku yang ditulisnya itu berkisar 241 buah dalam bidang filsafat, logika, ilmu hitung, astronomi, kedokteran, ilmu jiwa, politik, optik, musik, matematika, dan sebagainya. Dalam The Legacy of Islam dapat kita jumpai informasi yang menjelaskan bahwa buku Al-Kindi tentang optika diterjemahkan ke dalam bahasa latin dan banyak mempengaruhi Roger Bacon. Pengetahuan menurut al-Kindi terbagi menjadi dua, yakni Pertama pengetahuan Illahi atau ilm ila’hiy (devine science) seperti yang tercantum dalam al-Quran, yaitu pengetahuan langsung yang diperoleh Nabi dari Tuhan. Dasar pengetahuan itu adalah keyakinan. Kedua, pengetahuan manusiawi atau ilm insaniyy (human science) atau filsafat yang didasarkan atas pemikiran (ration reason). Filsafat baginya adalah pengetahuan tentang yang benar atau baths an alhaqq (knowledge of the truth). Dari sinilah kita bisa melihat persamaan antara filsafat dan agama. Tujuan agama dan tujuan filsafat adalah sama, yaitu menerangkan apa yang benar dan apa yang baik. Agama, disamping wahyu, juga mengguna-



74



kan akal. Adapun kebenaran pertama, menurut al-Kindi, ialah Tuhan (Allah). Dialah al-haqq alawwal, the first Truth. Dengan demikian filsafat membahas soal Tuhan, agama pun yang menjadi dasarnya Tuhan. Oleh karena itu, bagi al-Kindi, filsafat yang paling tinggi adalah filsafat tentang Tuhan. Al-Kindi memandang jiwa sebagai intisari dari manusia. Para filsuf Islam banyak memperbincangkan hal ini, karena al-Quran atau Hadis Nabi tidak menjelaskan hakikat jiwa atau ruh. Jiwa menurut al-Kindi, seperti halnya menurut alGhazali dan Ibn Taimiyyah, mempunyai tiga macam daya, yaitu daya bernafsu, daya pemarah, dan daya berpikir/berakal. Namun demikian, pendapat al-Kindi berbeda dengan keduanya ketika ia mengatakan ada tiga macam akal, yaitu: (a) Akal yang bersifat potensial, (b) Akal yang telah keluar dari sifat potensial menjadi actual, dan (c) Akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas (Juhaya, 2. Al-Ghazali (1059-1111 M) Abu Hamid Muhammad al-Ghazali lahir di tahun 1059 M, di Ghazaleh, suatu kota kecil yang terletak di dekat Tus, Khurasan, kawasan Iran dewasa ini. Al-Ghazali dalam sejarah filsafat Islam dikenal pada mulanya sebagai syak (skeptis) terhadap gejala-gejalanya. Perasaan syak ini kelihatannya timbul dalam dirinya dari pelajaran ilmu kalam atau teologi yang diperoleh dari alJuwaini. Pada mulanya pengetahuan seperti dalam ilmu pasti itu dijumpai al-Ghazali dalam



75



hal yang ditangkap dengan panca indera, tetapi baginya kemudian ternyata bahwa panca indera juga berdusta. Sebagai upama, ia sebut bayangan (rumah) kelihatannya tak bergerak, tetapi akhirnya ternyata berpindah tempat. Bintangbintang di langit kelihatannya kecil, tetapi perhitungan enyatakan bahwa bintang-bintang iu lebih besar dari bumi. Karena al-Ghazali tidak percaya pada apanca indera lagi,ia kemudian meletakkan kepercayaannya pada akal. Tetapi akal juga ternyata tak dapat dipercayai. “Sewaktu bermimpi”, demikian kata al-Ghazali, ”orang melihat hal-hal yang kebenarannya diyakni betulbetul, tetapi setelah bangun, ia sadar bahwa apa yang ia lihat benar itu sebetulnya tidaklah benar.” Tidaklah mungkin apa yang sekarang dirasa benar menurut pendapat akal, nanti kalau kesadaran yang lebih dalam timbul akan ternyata tidak benar pula, sebagaimana halnya dengan orang yang telah bangun dan sadar dari tidurnya. Al-Ghazali mempelajari filsafat, kelihatannya untuk menyelidiki apakaha pendapat yang diajukan filsuf-filsuf itulah yang merupakan kebenaran. Baginya ternyata bahwa argumen yang mereka ajukan tidak kuat dan menurut keyakinannnya ada yang ada yang bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Tasawuflah yang dapat menghilangan rasa syak (keragu-raguan) yang lama mengganggu dirinya. Dalam tasawuflah ia memperoleh keyakinan yang dicari-crinya. Pengetahuan mistiklah, cahaya yang diturunkan Tuhan ke



76



dalam dirinya, itulah yang membuat al-Ghazali memperoleh keyakinannya kembali. Dengan demikian satu-satunya pengetahuan yang dapat menimbulkan keyakianan akan kebenarannya bagi al-Ghazali adalah pengetahuan yang diperoleh secara langsung dari Tuhan dengan tasawuf. D. Filsafat Barat Filsafat, terutama filsafat Barat muncul di Yunani semenjak kira-kira abad ke-7 SM. Filsafat muncul ketika orang-orang mulai berpikir-pikir dan berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan lingkungan di sekitar mereka dan tidak menggantungkan diri kepada agama lagi untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini. Banyak yang bertanya-tanya mengapa filsafat muncul di Yunani dan tidak di daerah yang beradab lain kala itu seperti Babilonia, Yudea (Israel) atau Mesir. Jawabannya sederhana: Di Yunani, tidak seperti di daerah lain-lainnya tidak ada kasta pendeta sehingga secara intelektual orang lebih bebas. Orang Yunani pertama yang bisa diberi gelar filosof ialah Thales dari Mileta, sekarang di pesisir barat Turki. Tetapi filosof-filosof Yunani yang terbesar tentu saja ialah: Socrates, Plato, dan Aristoteles. Socrates adalah guru Plato sedangkan Aristoteles adalah murid Plato. Bahkan ada yang berpendapat bahwa sejarah filsafat tidak lain hanyalah “komentarkomentar karya Plato dan Aristoteles belaka”. Hal ini menunjukkan pengaruh keduanya yang sangat besar pada sejarah filsafat. Orang-orang Yunani yang hidup pada abad



77



ke 6 SM mempunyai sistem kepercayaan, bahwa segala sesuatu yang bersumber dari dongengdongeng atau mitos-mitos yang berlaku dalam masayarakat harus diterima sebagai suatu kebenaran yang mutlak dan tidak perlu dipertanyakan ataupun didekonstruksi. Dengan sistem kepercayaan yang seperti itu, tentunya suatu kebenaran yang dihasilkan lewat akal pikir (logos) kalau tidak sesuai mitos atau dongeng yang berlaku maka tidak bisa dikatakan sebagai suatu kebenaran. Akal tidak begitu mendapat tempat pada mada masa itu. Bisa dikata bahwa masyarakat yang hidup pada masa sekitar abad ke 6 SM atau sebelumnya, adalah masyarakat orality yang menjadikan tradisi lisan sebagai pegangan. Pasca Abad ke 6 SM, mulai bermunculan para pemikir Yunani yang menentang adanya sistem kepercayaan yang berdasar pada mitos. Mereka mulai mempertanyakan wujud sesuatu dan sebab dari sesuatu itu, dalam arti mereka telah mendudukkan akal pada posisinya. Obyek besar kajian pada masa itu adalah alam semesta (kosmos). Upaya para pemikir yang menggunakan akal sebagai tolak ukur kebenaran ini menimbulkan banyak orang yang mencoba membuat suatu konsep yang dilandasi kekuatan akal pikir secara murni. Secara garis besar, munculnya Filsafat Yunani disebabkan oleh tiga faktor: 1. Bangsa Yunani yang kaya akan mitos (dongeng), dimana mitos dianggap sebagai awal dari upaya orang untuk mengetahui atau mengerti. Mitos-



78



mitos tersebut kemudian disusun secara sistematis yang untuk sementara kelihatan rasional sehingga muncul mitos selektif dan rasional, seperti syair karya Homerus, Orpheus dan lainlain. 2. Banyaknya karya sastra Yunani yang dapat dianggap sebagai pendorong kemuculan filsafat Yunani, seperti karya Homerus yang mempunyai kedudukan penting untuk pedoman hidup orangorang Yunani yang didalamnya terdapat nilainilai edukatif. 3. Adanya pengaruh ilmu-ilmu pengetahuan yang berasal dari Babylonia (Mesir) di lembah sungai Nil, yang kemudian mereka pelajari dan kembangkan sehingga menjadi ilmu pengetahuan yang teoritis dan kreatif. Dalam buku-buku filsafat yang kami jadikan sebagai referensi, sejarah Filsafat Yunani terbagi menjadi dua fase atau dua periode, periode Yunani kuno dan periode Yunani klasik. Periode Yunani kuno diisi oleh ahli pikir alam seperti Thales, Anaximandros, Pythagoras, Heraclitos, Parmanides, Democritos dsb. Sedangkan pada periode Yunani klasik diisi oleh ahli pikir seperti Socrates, Plato, Aristoteles dan masih banyak lagi. Setelah filsafat Yunani mengalami kemegahan dan kejayaanya dengan hasil yang sangat gemilang, yaitu melahirkan peradaban Yunani merupakan titik tolak peradaban manusia di dunia. Maka giliran selanjutnya adalah warisan peradaban Yunani jatuh ke tangan kekuasaan Romawi. Kekuasaan Romawi memperlihatkan kebesaran dan



79



kekuasaanya hingga daratan Eropa (Britania), tidak ketinggalan pula pemikiran filsafat Yunani juga ikut terbawa. Di dalam masa pertumbuhan dan perkembangan filsafat Eropa (kira-kira selama 5 abad) belum memunculkan ahli fikir (filosof), akan tetapi setelah abad ke-6 masehi, barulah muncul para ahli fikir yang mengadakan penyeledikan filsafat. Jadi, ilsafat Eropa yang mengawali lahirnya Filsafat Barat Aban Pertengahan. Kekuasaan pengaruh antara filsafat Yunani dengan agama Kristen dikatakan seimbang, karena apabila tidak seimbang pengaruhnya, maka tidak mungkin berintegrasi membentuk suatu formula baru. Walaupun agama Kristen relatif masih baru keberadaanya, tetapi pada saat itu muncul anggapan yang sama terhadap filsafat Yunani ataupun agama Kristen. Anggapan manusia bahwa Tuhan turun ke bumi (dunia) dengan membawa kabar baik bagi umat manusia. Kabar baik tersebut berupa firman Tuhan yang dianggap sebagai sumber kebijaksanaan yang sempurna dan sejati. Filsafat Barat adalah ilmu yang biasa dipelajari secara akademis di universitas-universitas di Eropa dan daerah-daerah jajahan mereka. Filsafat ini berkembang dari tradisi falsafi orang Yunani kuno. Namun pada hakikatnya, tradisi falsafi Yunani sebenarnya sempat mengalami pemutusan rantai ketika salinan buku filsafat Aristoteles seperti Isagoge, Categories dan Porphyry telah dimusnahkan oleh pemerintah Romawi bersamaan dengan eksekusi mati terhadap Boethius, yang dianggap



80



telah menyebarkan ajaran yang dilarang oleh negara. Selanjutnya dikatakan bahwa seandainya kitab-kitab terjemahan Boethius menjadi sumber perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan di Eropa, maka John Salisbury, seorang guru besar filsafat di Universitas Paris, tidak akan menyalin kembali buku Organon karangan Aristoteles dari terjemahan-terjemahan berbahasa Arab, yang telah dikerjakan oleh filosof Islam pada dinasti Abbasyah. Tokoh utama filsafat Barat, diantaranya: Wittgenstein mempunyai aliran analitik (filsafat analitik) yang dikembangkan di negaranegara yang berbahasa Inggris, tetapi juga diteruskan di Polandia. Filsafat analitik menolak setiap bentuk filsafat yang berbau ″metafisik”. Filsafat analitik menyerupai ilmu-ilmu alam yang empiris, sehingga kriteria yang berlaku dalam ilmu eksata juga harus dapat diterapkan pada filsafat. Yang menjadi obyek penelitian filsafat analitik sebetulnya bukan barang-barang, peristiwaperistiwa, melainkan pernyataan, aksioma, prinsip. Filsafat analitik menggali dasar-dasar teori ilmu yang berlaku bagi setiap ilmu tersendiri. Yang menjadi pokok perhatian filsafat analitik ialah analisa logika bahasa sehari-hari, maupun dalam mengembangkan sistem bahasa buatan. Imanuel Kant mempunyai aliran atau filsafat ″kritik” yang tidak mau melewati batas kemungkinan pemikiran manusiawi. Rasionalisme dan empirisme ingin disintesakannya. Untuk itu ia membedakan akal, budi, rasio, dan pengalaman



81



inderawi. Pengetahuan merupakan hasil kerja sama antara pengalaman indrawi yang aposteriori dan keaktifan akal, faktor priori. Struktur pengetahuan harus kita teliti. Kant terkenal karena tiga: a. Kritik atas rasio murni, apa yang saya dapat ketahui. Ding an sich, hakikat kenyataan yang dapat diketahui. Manusia hanya dapat mengetahui gejala-gejala yang kemudian oleh akal terus ditampung oleh dua wadah pokok, yakni ruang dan waktu. Kemudian diperinci lagi misalnya menurut kategori sebab dan akibat dst. Seluruh pengetahuan kita berkiblat pada Tuhan, jiwa, dan dunia. b. Kritik atas rasio praktis, apa yang harus saya buat. Kelakuan manusia ditentukan oleh kategori imperatif, keharusan mutlak: kau harus begini dan begitu. Ini mengandaikan tiga postulat: kebebasan, jiwa yang tak dapat mati, adanya Tuhan. c. Kritik atas daya pertimbangan. Di sini Kant membicarakan peranan perasaan dan fantasi, jembatan antara yang umum dan yang khusus. Rene Descartes, berpendapat bahwa kebenaran terletak pada diri subyek. Mencari titik pangkal pasti dalam pikiran dan pengetahuan manusia, khusus dalam ilmu alam. Metode untuk memperoleh kepastian ialah menyangsikan segala sesuatu. Hanya satu kenyataan tak dapat disangsikan, yakni aku berpikir, jadi aku ada. Dalam mencari proses kebenaran hendaknya kita pergunakan ide-ide yang jelas dan tajam.



82



Setiap orang, sejak ia dilahirkan, dilengkapi dengan ide-ide tertentu, khusus mengenai adanya Tuhan dan dalil-dalil matematika. Pandangannya tentang alam bersifat mekanistik dan kuantitatif. Kenyataan dibaginya menjadi dua yaitu: “res extensa dan res copgitans”. Filsafat Barat adalah ilmu yang biasa dipelajari secara akademis di universitas-universitas di Eropa dan daerah-daerah jajahan mereka. Filsafat ini berkembang dari tradisi falsafi orang Yunani kuno. Menurut Takwin (2001) dalam pemikiran barat konvensional pemikiran yang sistematis, radikal, dan kritis seringkali merujuk 6 pengertian yang ketat dan harus mengandung kebenaran logis. Misalnya aliran empirisme, positivisme, dan filsafat analitik memberikan criteria bahwa pemikiran dianggap filosofis jika mengadung kebenaran korespondensi dan koherensi. Korespondensi yakni sebuah pengetahuan dinilai benar jika pernyataan itu sesuai dengan kenyataan empiris. Contoh jika pernyataan ”Saat ini hujan turun”, adalah benar jika indra kita menangkap hujan turun, jika kenyataannya tidak maka pernyataannya dianggap salah. Koherensi berarti sebuah pernyataan dinilai benar jika pernyataan itu mengandung koherensi logis (dapat diuji dengan logika barat). Dalam filsafat barat secara sistematis terbagi menjadi tiga bagian besar yakni: 1. Bagian filsafat yang mengkaji tentang ada (being). 2. Bidang filsafat yang mengkaji pengetahuan (epistimologi dalam arti luas)



83



3. Bidang filsafat yang mengkaji nilai-nilai menentukan apa yang seharusnya dilakukan manusia (aksiologi). Pada umumnya, filsuf-filsuf Barat dibagi ke dalam beberapa cabang pokok. Pembagian itu di dasarkan pada jenis pertanyaan yang diajukan oleh orang-orang yang bekerja di lapangan. Cabang yang paling banyak berpengaruh pada masa dunia kuno adalah Stoic, yaitu menahan hawa nafsu. Stoic dibagi ke dalam beberapa bagian filsafat, seperti Logika, Etika, Ilmu pengetahuan, dan Fisika. Fisika merupakan konsep studi tentang gejala-gejela alam di dalam dunia ini, dan termasuk ilmu pengetahuan alam dan metafisika. Filsafat kontemporal secara umum dapat dibagi ke dalam metafisika, epistimologi, etika, axiology, dan estetis. Logika terkadang juga dijadikan sebagai bagian di dalam filsafat, terkadang juga hanya sebagai metode yang digunakan untuk seluruh cabang-canbang filsafat. Sub disiplin filsafat terdapat di dalam cabang-cabang yang luas tersebut. Pada level yang terluas, terdapat filsafat Analitik dan filsafat Kontinental. Filsafat Analitik lebih sederhana dibandingkan denga filsafat Kontinental. Sub disiplin ini terkadang menjadi topik yang hangat dan dapat menempati tempat yang banyak dalam tulisan-tulisan. Hal ini disebabkan oleh orang-orang yang beranggapan bahwa sub disiplin ini sebagai cabang-cabang utama.



84



BAB IV SISTEMATIKA FILSAFAT A. Epistemologi Istilah “Epistemologi” berasal dari bahasa Yunani yaitu “episteme” yang berarti pengetahuan dan „logos” berarti perkataan, pikiran, atau ilmu. Kata “episteme” dalam bahasa Yunani berasal dari kata kerja epistamai, artinya menundukkan, menempatkan, atau meletakkan. Maka, secara harafiah episteme berarti pengetahuan sebagai upaya intelektual untuk menempatkan sesuatu dalam kedudukan setepatnya. Istilah Epistemologi banyak dipakai di negerinegeri Anglo Saxon (Amerika) dan jarang dipakai di negeri-negeri continental (Eropa). Ahli-ahli filsafat Jerman menyebutnya Wessenchaftslehre. Sekalipun lingkungan ilmu yang membicarakan masalahmasalah pengetahuan itu meliputi teori pengetahuan, teori kebenaran dan logika, tetapi pada umumnya epistemologi itu hanya membicarakan tentang teori pengetahuan dan kebenaran saja.1 Epistemologi merupakan salah satu cabang filsafat yang mempersoalkan masalah hakikat pengetahuan.2 Lebih lanjut, epistemologi adalah suatu teori pengetahuan yang membahas berbagai 1



Salam Burhanuddin, Logika Materil: Filsapat Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Reneka Cipta, 1997), cet. Ke-1, 4. 2 yang dimaksud dalam hal ini adalah ilmu pengetahuan kefilsafatan yang secara khusus hendak memperoleh pengetahuan tentang hakikat pengetahuan. Jujun S.Sumatriasumatri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Sinar Harapan, 1988) 234.



85



segi pengetahuan seperti: kemungkinan, asal mula, sifat alami, batas-batas, asumsi dan landasan, validitas, dan reliabilitas, sampai pada soal kebenaran. Bagi suatu ilmu pertanyaan yang mengenai definisi ilmu itu, jenis pengetahuannya, pembagian ruang lingkupnya, dan kebenaran ilmiahnya, merupakan bahan-bahan pembahasan dari epistemologinya.3 Epistemologi juga disebut logika, yaitu ilmu tentang pikiran.4 Akan tetapi, logika dibedakan menjadi dua, yaitu logika minor dan logika mayor. Logika minor mempelajari struktur berpikir dan dalil-dalilnya, seperti silogisme. Logika mayor mempelajari hal pengetahuan, kebenaran, dan kepastian yang sama dengan lingkup epistemologi. Gerakan epistemologi di Yunani dahulu dipimpin antara lain oleh kelompok yang disebut Sophis, yaitu orang yang secara sadar mempermasalahkan segala sesuatu. Dan kelompok Shopis adalah kelompok yang paling bertanggung jawab atas keraguan itu. Oleh karena itu, epistemologi juga dikaitkan bahkan disamakan dengan suatu disiplin yang disebut Critica, yaitu pengetahuan sistematik mengenai kriteria dan patokan untuk menentukan pengetahuan yang benar dan yang tidak benar. Critica berasal dari kata Yunani, krimoni, yang artinya mengadili, memutuskan, dan menetapkan. Mengadili pengetahuan yang benar dan yang tidak benar memang agak dekat dengan 3 4



86



Ahmad Tafsir, filsafat ilmu, (Bandung:Rosdakarya, 2006). 37-41. J. Archie Bahm, What Is Science: Reprinted from my Axiology; The Science Of Values (Albuquerqe, New Mexico: World Books, 1984), 51.



episteme sebagai suatu tindakan kognitif intelektual untuk mendudukkan sesuatu pada tempatnya.5 Jika diperhatikan, batasan-batasan di atas nampak jelas bahwa hal yang hendak diselesaikan epistemologi ialah tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, validitas pengetahuan, dan kebenaran pengetahuan. Ada beberapa pengertian epistemologi yang diungkapkan para ahli yang dapat dijadikan pijakan untuk memahami apa sebenarnya epistemologi itu. epistemologi juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge). Secara etimologi, istilah epistemologi berasal dari kata yunani episteme berarti pengetahuan, dan logos berarti teori. epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan sahnya (validitasnya) pengetahuan.6 Pengertian lain, menyatakan epistemologi merupakan pembahasan mengenai bagaimana kita mendapatkan pengetahuan: apakah sumber-sumber pengetahuan? apakah hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan? sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap manusia. Beberapa pakar lainnya juga mendefinisikan espitemologi, seperti J.A Niels Mulder menuturkan, epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang watak, batas-batas dan berlakunya dari ilmu pengetahuan. Jacques Veuger meng5



6



C. Semiawan, dkk. Panorama Filsafat Ilmu Landasan Perkembangan Ilmu Sepanjang Zaman. (Jakarta : Mizan Publika. 2005). W.S Sahakian dan Mabel Lewis Sahakian. Realms of Philosophy (tp:Schenkman Pub Co. 1965). 221.



87



emukakan, epistemologi adalah pengetahuan tentang pengetahuan dan pengetahuan yang kita miliki tentang pengetahuan kita sendiri bukannya pengetahuan orang lain tentang pengetahuan kita, atau pengetahuan yang kita miliki tentang pengetahuan orang lain. Pendek kata Epistemologi adalah pengetahuan kita yang mengetahui pengetahuan kita. Abbas Hammami Mintarejo memberikan pendapat bahwa epistemology adalah bagian filsafat atau cabang filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan dan mengadakan penilaian atau pembenaran dari pengetahuan yang telah terjadi itu.7 Pada awalnya, manusia percaya bahwa dengan kekuatan pengenalannya ia dapat mencapai realitas sebagaimana adanya. Para filosof tidak memberikan perhatian pada cabang filsafat ini (epistemologi), sebab mereka memusatkan perhatian, terutama pada alam dan kemungkinan perubahannya, sehingga mereka sering disebut filosof alam. Mereka mengandaikan begitu saja bahwa pengetahuan mengenai kodrat itu mungkin, meskipun beberapa diantara mereka menyarankan bahwa pengetahuan mengenai struktur kenyataan dapat lebih dimunculkan dari sumber-sumber tertentu, daripada sumber-sumber yang lainnya, misalnya penekananan penggunaan indera, penekanan penggunaan akal, meskipun tidak satupun dari mereka yang meragukan kemungki7



88



Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada. 2006). 25.



nan adanya pengetahuan mengenai kenyataan (realitas).8 Kemudian muncul keraguan terhadap adanya kemungkinan itu, mereka yang meragukan akan kemampuan manusia mengetahui realitas (kaum sophis), mereka menanyakan seberapa jauh pengetahuan kita mengenai kodrat benar-benar merupakan sumbangan subjektifitas manusia? Apakah kita mempunyai pengetahuan mengenai kodrat sebagaimana adanya? Sikap skeptis inilah yang mengawali munculnya epistemologi. Epistemologi sering juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge). Epistemologi lebih memfokuskan kepada makna pengetahuan yang berhubungan dengan konsep, sumber, dan kriteria pengetahuan, jenis pengetahuan, dan lain sebagainya. Harold Titus, secara sistematis menjelaskan tiga persoalan dalam bidang epistemologi, yaitu:9 a. Apakah sumber pengetahuan itu, dan dari manakah datangnya pengetahuan yang benar, serta bagaimana cara mengetahuinya? b. Apakah sifat dasarnya, adakah dunia yang benarbenar di luar pikiran kita, serta kalau ada, apakah kita dapat mengetahui ? c. Apakah pengetahuan itu valid, dan bagaimana membedakan yang benar dan salah?



8



Muhammad Al-Fayyadl, Teologi Negatif Ibnu Arabi: Kritik Metafisika Ketuhanan (Yogyakarta: LKiS, 2012). 32-33. 9 P. Hardono Hadi, Epistemologi: Filsafat Pengetahuan (Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 1994). 18-21.



89



Lain halnya pendapat Kattsoff, yang menyatakan bahwa pertanyaan epistemologi hanya ada dua macam:10 a. Bahwa epistemologi itu kefilsafatan yang berhubungan dengan psikologi, dan pertanyaannya semantik yang menyangkut hubungan antara pengetahuan dan objeknya. b. Bahwa epitemologi adalah sumber, sarana, dan tata cara, menggunakan itu untuk mencapai pengetahuan. Sementara Quassim Cassam menyatakan bahwa pertanyaan mendasar dalam epistemologi setidaknya ada dua yaitu: 1. To answer “what is knowledge”. It is to analyse the concept of knowledge. 2. To analyse the concept of knowledge is to come up with noncircular necessary and sufficient conditions for someone to know that something is the case.11 Pengetahuan yang diperoleh manusia melalui akal, indera dan lain-lain mempunyai metode tersendiri dalam teori pengetahuan, 12 yaitu antara lain: 1. Metode Induktif Metode ini mengemukakan adanya keterbatasan indera dan akal manusia untuk memperoleh pengetahuan, sehingga objek yang dihasilkan pun akan berbeda-beda. Oleh sebab itu, harus dikembangkan suatu kemampuan akal yang disebut dengan intuisi. Metode induksi ini 10



Rakhmat Cece. Membidik Filsafat Ilmu (Bandung: Mizan, 2010). 126. Quassim Cassam, “What is Knowledge”, dalam Anthony O’hear (ed.), Epistemology (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 101. 12 Amsal Bakhtiar , Filsafat Ilmu (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada. 2006).152. 11



90



2.



3.



4.



5.



13



yang menyimpulkan pernyataan hasil observasi disimpulkan dalam suatu peryataan yang lebih umum13. Metode deduktif Deduksi adalah metode yang menyimpulkan bahwa data-data empiris diolah lebih lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang runtut. Halhal yang harus ada dalam metode deduktif adalah adanya perbandingan logis antara kesimpulankesimpulan itu sendiri. Metode postivisme Metode ini berawal dari apa yang telah diketahui, yang faktual, yang positif. Mengenyampingkan segala uraian diluar yang ada sebagai fakta. Apa yang diketahui secara positif, adalah segala yang tampak dan segala gekala. Dengan demikian , metode ini dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan dibatasi pada bidang gejal-gejala saja. Metode Kontemplatif Metode ini mengatakan bahwa adanya keterbatasan indera dan akal manusia untuk memperoleh pengetahuan, sehingga objek yang dihasilkan pun juga berbeda-beda, dan harusnya dikembangkan suatu kemampuan akal yang disebut : intuisi. Metode Dialektis Metode ini berasal dari bahasa Yunani yaitu: Dialektike, yang artinya cara atau metode berdebat dan berwawancara yang diangkat



Ibid, 152-155.



91



menjadi sarana dalam memperoleh pengertian yang dilakukan secara bersama-sama mencari kebenaran. Dialektika dalam hal ini berarti mengkompromikan tesis, anti tesis dan sintesis. Sebagai ciri yang perlu diperhatikan dalam epistemologi perkembangan ilmu pada masa modern adalah munculnya pandangan baru mengenai pengetahuan. Pandangan baru ini mengenai kritik terhadap pemikiran Aristoteles yang menyatakan bahwa ilmu pengetahuan sempurna tidak boleh mencari untung, namun harus bersikap kontemplatif, diganti dengan pandangan bahwa ilmu pengetahuan harus mencari untung, artinya dipakai untuk memperkuat kemampuan manusia di muka bumi ini. M. Arifin merinci ruang lingkup epistemologi, meliputi hakekat, sumber dan validitas pengetahuan. Mudlor Achmad merinci menjadi enam aspek, yaitu hakikat, unsur, macam, tumpuan, batas, dan sasaran pengetahuan. Bahkan, A.M Saefuddin menyebutkan, bahwa epistemologi mencakup pertanyaan yang harus dijawab, apakah ilmu itu, dari mana asalnya, apa sumbernya, apa hakikatnya, bagaimana membangun ilmu yang tepat dan benar, apa kebenaran itu, mungkinkah kita mencapai ilmu yang benar, apa yang dapat kita ketahui, dan sampai dimanakah batasannya. Semua pertanyaan itu dapat diringkat menjadi dua



92



masalah pokok; masalah sumber ilmu dan masalah benarnya ilmu.14 M. Amin Abdullah menilai, bahwa seringkali kajian epistemologi lebih banyak terbatas pada dataran konsepsi asal-usul atau sumber ilmu pengetahuan secara konseptual-filosofis.15 Sedangkan Paul Suparno menilai epistemologi banyak membicarakan mengenai apa yang membentuk pengetahuan ilmiah. Sementara itu, aspek-aspek lainnya justru diabaikan dalam pembahasan epistemologi, atau setidak-tidaknya kurang mendapat perhatian yang layak.16 Kecenderungan sepihak ini menimbulkan kesan seolah-olah cakupan pembahasan epistemologi itu hanya terbatas pada sumber dan metode pengetahuan, bahkan epistemologi sering hanya diidentikkan dengan metode pengetahuan. Terlebih lagi ketika dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi secara sistemik, seserorang cenderung menyederhanakan pemahaman, sehingga memaknai epistemologi sebagai metode pemikiran, ontologi sebagai objek pemikiran, sedangkan aksiologi sebagai hasil pemikiran, sehingga senantiasa berkaitan dengan nilai, baik yang bercorak positif maupun negatif. Padahal sebenarnya metode



14



Lorens Bagus. Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2005). 63-64. 15 Amin Abdullah. Pendekatan Integratif- Interkonektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2006). 13-15 16 . The Liang Gie. Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta : Liberty. 2004). 30.



93



pengetahuan itu hanya salah satu bagian dari cakupan wilayah epistemologi. Berdasarkan cara kerja atau metode pendekatan yang diambil terhadap gejala pengetahuan,17 epistemologi dibedakan menjadi tiga yaitu: Pertama, epistemologi metafisis. Yaitu epistemologi yang mendekati gejala pengetahuan dengan bertitik tolak dari pengandaian metafisika tertentu. Epistemologi macam ini berangkat dari suatu paham tertentu tentang kenyataan, lalu membahas tentang bagaimana manusia mengetahui kenyataan tersebut. Kedua, epistemologi skeptis. Dalam epistemologi ini, kita perlu membuktikan dulu apa yang dapat kita ketahui sebagai sungguh nyata atau benar-benar tak dapat diragukan lagi dengan menganggap sebagai tidak nyata atau keliru segala sesuatu yang kebenarannya masih dapat diragukan. Kesulitan dengan metode pendekatan ini adalah apabila orang sudah masuk sarang skeptisme dan konsisten dengan sikapnya, tak gampang menemukan jalan keluar. Ketiga, epistemologi kritis. Epistemologi ini tidak memprioritaskan metafisika atau epistemologi tertentu, melainkan berangkat dari asumsi, prosedur dan kesimpulan pemikiran akal sehat ataupun asumsi, prosedur, dan kesimpulan pemikiran ilmiah sebagaimana kita temukan dalam



17



94



Anton Bakker, Ontologi Metafisika Umum (Yogyakarta: Pustaka Kanisius 1992). 72-73.



kehidupan, lalu kita coba tanggapi secara kritis asumsi, prosedur, dan kesimpulan tersebut. Selain tiga macam epistemologi berdasarkan titik tolak pendekatannya, secara umum berdasarkan objek yang dikaji,18 epistemologi juga dapat dibagi menjadi dua bagian, yakni: Pertama, epistemologi individual. Dalam epistemologi individual, kajian tentang bagaimana struktur pikiran manusia sebagai individu bekerja dalam proses mengetahui, misalnya dianggap cukup mewakili untuk menjelaskan bagaimana semua pengetahuan manusia pada umumnya diperoleh. Kajian tentang pengetahuan, baik tentang status kognitifnya maupun proses pemerolehannya, dianggap sebagai dapat didasarkan atas kegiatan manusia individual sebagai subjek penahu terlepas dari konteks sosialnya. Kedua, epistemologi sosial. Adalah kajian filosofis terhadap pengetahuan sebagai data sosiologis. Bagi epistemologi sosial, hubungan sosial, kepentingan sosial, dan lembaga sosial dipandang sebagai faktor-faktor yang amat menentukan dalam proses, cara, maupun pemerolehan pengetahuan. Epistemologi berusaha memberi definisi ilmu pengetahuan, membedakan cabang-cabangnya yang pokok, mengidentifikasikan sumber-sumbernya dan menetapkan batas-batasnya. “Apa yang bisa kita ketahui dan bagaimana kita mengetahui” adalah 18



Jacques Maritain, The Degrees of Knowledge (New York: Scribner, 1959). 68-71.



95



masalah sentral epistemologi, tetapi masalah ini bukanlah semata-mata masalah filsafat. Pandangan yang lebih ekstrim lagi menurut Kelompok Wina, bidang epistemologi bukanlah lapangan filsafat, melainkan termasuk dalam kajian psikologi. Sebab epistemologi itu berkenaan dengan pekerjaan pikiran manusia, the workings of human mind. Tampaknya Kelompok Wina melihat sepintas terhadap cara kerja ilmiah dalam epistemologi yang memang berkaitan dengan pekerjaan pikiran manusia.19 Cara pandang demikian akan berimplikasi secara luas dalam menghilangkan spesifikasispesifikasi keilmuan. Tidak ada satu pun aspek filsafat yang tidak berhubungan dengan pekerjaan pikiran manusia, karena filsafat mengedepankan upaya pendayagunaan pikiran. Kemudian jika diingat, bahwa filsafat adalah landasan dalam menumbuhkan disiplin ilmu, maka seluruh disiplin ilmu selalu berhubungan dengan pekerjaan pikiran manusia, terutama pada saat proses aplikasi metode deduktif yang penuh penjelasan dari hasil pemikiran yang dapat diterima akal sehat. Ini berarti tidak ada disiplin ilmu lain, kecuali psikologi, padahal realitasnya banyak sekali.20 Oleh karena itu, epistemologi lebih berkaitan dengan filsafat, walaupun objeknya tidak merupakan ilmu yang empirik, justru karena epistemologi 19



Peter R. Senn, Social Science and its Methods (tp: Holbrook, 1971), 935. 20 Dagobert D. Runes, Dictionary of Philosophy (New Jersey: Adams and Co, 1971). 120-122.



96



menjadi ilmu dan filsafat sebagai objek penyelidikannya. Dalam epistemologi terdapat upaya untuk mendapatkan pengetahuan dan mengembangkannya. Aktivitas ini ditempuh melalui perenungan secara filosofis dan analitis. Perbedaaan padangan tentang eksistensi epistemologi ini agaknya bisa dijadikan pertimbangan untuk membenarkan Stanley M. Honer dan Thomas C. Hunt yang menilai, epistemologi keilmuan adalah rumit dan penuh kontroversi. Sejak semula, epistemologi merupakan salah satu bagian dari filsafat sistematik yang paling sulit, sebab epistemologi menjangkau permasalahanpermasalahan yang membentang seluas jangkauan metafisika sendiri, sehingga tidak ada sesuatu pun yang boleh disingkirkan darinya. Selain itu, pengetahaun merupakan hal yang sangat abstrak dan jarang dijadikan permasalahan ilmiah di dalam kehidupan sehari-hari. Pengetahuan biasanya diandaikan begitu saja, maka minat untuk membicarakan dasar-dasar pertanggungjawaban terhadap pengetahuan dirasakan sebagai upaya untuk melebihi takaran minat kita.21 Epistemologi atau teori mengenai ilmu pengetahuan itu adalah inti sentral setiap pandangan dunia. Ia merupakan parameter yang bisa memetakan, apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin menurut bidang-bidangnya; apa yang mungkin diketahui dan harus diketahui; apa 21



Stanley M. Honer dan Thomas C. Hunt, Metode dalam MencariIlmu dalam Perspektif (Jakarta: Gramedia, 1987). 50.



97



yang mungkin diketahui tetapi lebih baik tidak usah diketahui; dan apa yang sama sekali tidak mungkin diketahui. Epistemologi dengan demikian bisa dijadikan sebagai penyaring atau filter terhadap objek-objek pengetahuan. Tidak semua objek mesti dijelajahi oleh pengetahuan manusia. Ada objekobjek tertentu yang manfaatnya kecil dan madaratnya lebih besar, sehingga tidak perlu diketahui, meskipun memungkinkan untuk diketahui. Ada juga objek yang benar-benar merupakan misteri, sehingga tidak mungkin bisa diketahui.22 Epistemologi ini juga bisa menentukan cara dan arah berpikir manusia. Seseorang yang senantiasa condong menjelaskan sesuatu dengan bertolak dari teori yang bersifat umum menuju detail-detailnya, berarti dia menggunakan pendekatan deduktif. Sebaliknya, ada yang cenderung bertolak dari gejala-gejala yang sama, baruk ditarik kesimpulan secara umum, berarti dia menggunakan pendekatan induktif. Adakalanya seseorang selalu mengarahkan pemikirannya ke masa depan yang masih jauh, ada yang hanya berpikir berdasarkan pertimbangan jangka pendek sekarang dan ada pula seseorang yang berpikir dengan kencenderungan melihat ke belakang, yaitu masa lampau yang telah dilalui. 23 Pola-pola berpikir ini akan berimplikasi terhadap corak sikap seseorang. Kita terkadang menemukan seseorang beraktivitas dengan serba 22



A. Susano, Filsafat Ilmu Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis Epistemologis, dan Aksiologis (Jakarta : PT. Bumiaksara. 2011). 80-83. 23 Stanley, Metode, 52.



98



strategis, sebab jangkauan berpikirnya adalah masa depan. Tetapi terkadang kita jumpai seseorang dalam melakukan sesuatu sesungguhnya sia-sia, karena jangkauan berpikirnya yang amat pendek, jika dilihat dari kepentingan jangka panjang, maka tindakannya itu justru merugikan.24 Pada bagian lain dikatakan, bahwa epistemologi keilmuan pada hakikatnya merupakan gabungan antara berpikir secara rasional dan berpikir secara empiris. Kedua cara berpikir tersebut digabungan dalam mempelajari gejala alam untuk menemukan kebenaran, sebab secara epistemologi ilmu memanfaatkan dua kemampuan manusia dalam mempelajari alam, yakni pikiran dan indera. Oleh sebab itu, epistemologi adalah usaha untuk menafsir dan membuktikan keyakinan bahwa kita mengetahuan kenyataan yang lain dari diri sendiri. Usaha menafsirkan adalah aplikasi berpikir rasional, sedangkan usaha untuk membuktikan adalah aplikasi berpikir empiris. Hal ini juga bisa dikatakan, bahwa usaha menafsirkan berkaitan dengan deduksi, sedangkan usaha membuktikan berkaitan dengan induksi. Gabungan kedua macaram cara berpikir tersebut disebut metode ilmiah.25 Jika metode ilmiah sebagai hakikat epistemologi, maka menimbulkan pemahaman, bahwa di satu sisi terjadi kerancuan antara hakikat dan landasan dari epistemologi yang sama-sama berupa 24 25



Susano, Filsafat Ilmu Suatu Kajian, 83. D. Runes, Dictionary of. 121.



99



metode ilmiah (gabungan rasionalisme dengan empirisme, atau deduktif dengan induktif), dan di sisi lain berarti hakikat epistemologi itu bertumpu pada landasannya, karena lebih mencerminkan esensi dari epistemologi. Dua macam pemahaman ini merupakan sinyalemen bahwa epistemologi itu memang rumit sekali, sehingga selalu membutuhkan kajian yang dilakukan secara berkesinambungan dan serius.26 Secara global epistemologi berpengaruh terhadap peradaban manusia. Suatu peradaban, sudah tentu dibentuk oleh teori pengetahuannya. Epistemologi mengatur semua aspek studi manusia, dari filsafat dan ilmu murni sampai ilmu sosial. Epistemologi dari masyarakatlah yang memberikan kesatuan dan koherensi pada tubuh, ilmu-ilmu mereka itu (suatu kesatuan yang merupakan hasil pengamatan kritis dari ilmu-ilmu) dipandang dari keyakinan, kepercayaan dan sistem nilai mereka. Epistemologilah yang menentukan kemajuan sains dan teknologi. Wujud sains dan teknologi yang maju disuatu negara, karena didukung oleh penguasaan dan bahkan pengembangan epistemologi. Tidak ada bangsa yang pandai merekayasa fenomena alam, sehingga kemajuan sains dan teknologi tanpa didukung oleh kemajuan epistemologi. Epistemologi menjadi modal dasar dan alat yang strategis dalam merekayasa pengembanganpengembangan alam menjadi sebuah produk sains 26



100



Hector Hawton,. Filsafat Yang Menghibur, terj. Supriyanto Abdullah (Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2003). 220.



yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Demikian halnya yang terjadi pada teknologi. Meskipun teknologi sebagai penerapan sains, tetapi jika dilacak lebih jauh lagi ternyata teknologi sebagai akibat dari pemanfaatan dan pengembangan epistemologi.27 Epistemologi senantiasa mendorong manusia untuk selalu berfikir dan berkreasi menemukan dan menciptakan sesuatu yang baru. Semua bentuk teknologi yang canggih adalah hasil pemikiranpemikiran secara epistemologis, yaitu pemikiran dan perenungan yang berkisar tentang bagaimana cara mewujudkan sesuatu, perangkat-perangkat apa yang harus disediakan untuk mewujudkan sesuatu itu, dan sebagainya. B. Ontologi Ontologi merupakan salah satu kajian filsafat. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Ontologi membahas makna realitas atau suatu entitas bukan menerima apa adanya. Walaupun terkesan sederhana, tak sedikit pembahasan ontologi disalah-artikan. “What is existing” merupakan pertanyaan mendasar dalam kajian ontologis. “The concept of being is so fundamental to philosophy that we usually take the idea of existence for granted rather than try to analyse its meaning….., it appears that the definition of existence is transparently simple, although its implications are easily misinterpreted…., What exists? This is what we really 27



J. Donald Walters,, Crises In Modern Thought (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003). 20-22.



101



want to know: whether and in what sense spatiotemporal physical entities, numbers and sets, propositions and universals, persons and minds and God, among other things, are real.28



Pembahasan mengenai ontologi berarti membahas kebenaran suatu fakta. Untuk mendapatkan kebenaran itu, ontologi memerlukan proses bagaimana realitas tersebut dapat diakui kebenarannya. Untuk itu proses tersebut memerlukan dasar pola berfikir, dan pola berfikir didasarkan pada bagaimana ilmu pengetahuan digunakan sebagai dasar pembahasan realitas. Ilmu merupakan kegiatan untuk mencari suatu pengetahuan dengan jalan melakukan pengamatan atau pun penelitian, kemudian peneliti atau pengamat tersebut berusaha membuat penjelasan mengenai hasil pengamatan atau penelitiannya tersebut. Dengan demikian, ilmu merupakan suatu kegiatan yang sifatnya operasional. Jadi terdapat runtut yang jelas dari mana suatu ilmu pengetahuan berasal. Karena sifat yang operasional tersebut, ilmu pengetahuan tidak dapat menempatkan diri dengan mengambil bagian dalam pengkajiannya. Menurut bahasa, Ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu : On/Ontos = ada, dan Logos = ilmu. Jadi, ontologi adalah ilmu tentang yang ada. Sedangkan menurut istilah Ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality baik yang berbentuk 28



102



Dale Jacquette, Ontology: Central Problem of Philosophy (Chesham: Acumen, 2002), 1.



jasmani/konkret maupun rohani/abstrak. Ada beberapa pengertian ontology menurut para tokohtokoh filsafat diantaranya: Menurut Suriasumantri ontologi membahas tentang apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau, dengan kata lain suatu pengkajian mengenai teori tentang “ada”. Telaah ontologis akan menjawab pertanyaan-pertanyaan: apakah obyek ilmu yang akan ditelaah, bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut dan bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan. Menurut Soetriono & Hanafie, ontologi yaitu merupakan azas dalam menerapkan batas atau ruang lingkup wujud yang menjadi obyek penelaahan (obyek ontologis atau obyek formal dari pengetahuan) serta penafsiran tentang hakikat realita (metafisika) dari obyek ontologi atau obyek formal tersebut dan dapat merupakan landasan ilmu yang menanyakan apa yang dikaji oleh pengetahuan dan biasanya berkaitan dengan alam kenyataan dan keberadaan. Pandangan The Liang Gie, ontologi adalah bagian dari filsafat dasar yang mengungkap makna dari sebuah eksistensi yang pembahasannya meliputi persoalan-persoalan: Apakah artinya ada, hal ada? Apakah golongangolongan dari hal yang ada? Apakah sifat dasar kenyataan dan hal ada? Apakah cara-cara yang berbeda dalam mana entitas dari kategori-kategori logis yang berlainan (misalnya objek-objek fisis,



103



pengertian universal, abstraksi dan bilangan) dapat dikatakan ada?. Pengertian paling umum pada ontologi adalah bagian dari bidang filsafat yang mencoba mencari hakikat dari sesuatu. Pengertian ini menjadi melebar dan dikaji secara tersendiri menurut lingkup cabang-cabang keilmuan tersendiri. Pengertian ontologi ini menjadi sangat beragam dan berubah sesuai dengan berjalannya waktu. Sebuah ontologi memberikan pengertian untuk penjelasan secara eksplisit dari konsep terhadap representasi pengetahuan pada sebuah knowledge base. Sebuah ontologi juga dapat diartikan sebuah struktur hirarki dari istilah untuk menjelaskan sebuah domain yang dapat digunakan sebagai landasan untuk sebuah knowledge base”. Dengan demikian, ontologi merupakan suatu teori tentang makna dari suatu objek, property dari suatu objek, serta relasi objek tersebut yang mungkin terjadi pada suatu domain pengetahuan. Ringkasnya, pada tinjauan filsafat, ontologi adalah studi tentang sesuatu yang ada. Ontologi merupakan salah satu di antara lapangan-lapangan penyelidaikan kefalsafatan yang paling kuno. Awal mula pikiran Barat yang tertua di antara segenap filsuf Barat yang kita kelan ialah orang Yunani yang bijak dan arif yang bernama Thales. Atas perenungannya terhadap air yang terdapat dimana-mana, ia sempai pada kesimpulan bahwa air merupakan subtansi terdalam yang merupakan asal mula dari segala sesuatu. Yang penting bagi kita sesungguhnya bukanlah ajaran-



104



ajarannya yang mengatakan bahwa air itulah asal mula segala sesuatu, melainkan pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu berasal dari satu subtansi belaka Thalas merupakan orang pertama yang berpendirian sangat berbeda di tengah-tengah pandangan umum yang berlaku saat itu. Disinilah letak pentingnya tokoh tersebut. Kecuali dirinya, semua orang waktu itu memandang segala sesuatu sebagaimana keadaan yang wajar. Apabila mereka menjumpai kayu, besi, air, danging, dan sebagainya, hal-hal tersebut dipandang sebagai subtansisubtansi (yang terdiri sendiri-sendiri). Dengan kata lain, bagi kebanyakan orang tidaklah ada pemeliharaan antara kenampakan (appearance) dangan kenyataan (reality). Jarang terjadi sekali, si polon (orang kebanyakan) umpamanya, menjadi sadar apa yang secara selayang pandang tampak sabagai makanan yang sedap, namun setelah dicicipinya ternyata sebatang lilin dan sama sekali bukan makanan. Jika kita menginginkan suatu istilah yang dapat diterapkan kepada orang kebanyakan semacam itu, kiranya mereka dapat dinamakan para penganut paham pluralisme yang bersahaja di bidang ontologi. Dikatakan bersahaja kerena segala sesuatu di pandang dalam keadaan yang wajar. Dikatakan penganut paham pluralisme kerena perpendirian ada banyak subtansi yang terdalam. Kebanyakan orang setidak-tidaknya mengadakan pembedaan antara barang-barang yang dapat dilihat, diraba, yang tidak bersifat



105



kejasmanian atau yang dipahamkan “jiwa”. Kadang-kadang orang banyak menjumpai mereka yang berpendirian bahwa sesungguhnya jiwa itu tidak ada, yang ada dalam kenyataan ialah barangbarang kejasmanian. Pertimbangan keselamatan diri mereka. Tetapi kadang-kadang mereka sangat resah akan ajaran-ajaran semacam itu. Mungkin sekali mereka memaki-maki dengan keres para penganut paham meterialisme tersebut, atau mungkin mereka juga setelah mendengar pendirian tersebut beristirahat sejenak menjauhi keramaian dunia dan memikirkan masalah tersebut sambil bertanyatanya: siapakah sesungguhnya yang benar dalam hal ini? Dan sesungguhnya apakah hakekatnya itu? Yang demikian ini merupakan pertanyaan di bidang ontologi. Selanjutnya dapat menyababkan pertanyaan-pertanyaan lain seperti: hubungan apakah yang terdapat di antara berbagai bagian dari keyataan dan bagaimanakah caranya kenyataan itu berubah? Pernyataan semacam ini di acap kali dinamakan pertanyaan-pertanyaan „di bidang kosmologi‟, sebab menyangkut ketertiban serta tatanan kenyataan, dan bukan hakekatnya yang terdalam. Ontologi dapat mendekati masalah hakekat kenyataan dari dua macam sudut pandang. Orang mempertanyakan, “kenyataan itu tunggal atau jamak?” yang demikian ini merupakan pendekatan secara kauntitatif. Atau orang dapat juga mengajukan pertayaan, “dalam bab terahir, apakah yang merupakan kenyataan itu?” yang demikian ini



106



merupakan pendekatan secara kualitatif. Dalam hubungan tertentu, segenap masalah dibidang ontologi dapat dikembalikan kepada sejumlah pertanyaan yang bersifat umum, seperti “bagaimanakah cara kita hendak membicarakan kenyataan?” Kiranya jelas, penyifati-penyifati yang satu dan sama dapat diberikan kepada segenap segi kenyataan, maka kenyataan itu tunggal. Kesimpulan diatas dapt ditarik, karena juga terdapat dua bagian kenyataan yang berbeda-beda, maka keadaannya yang berbeda-beda itu, pastilah ada salah satu penyifatan yang tidak dapat diberikan kepada seluruh yang ada. Sebagaimana telah dikatakan filsafat dapat dipandang sebagai sejenis bahasa yang bertugas sebagai alat yang membahas segala sesuatu. Sesuai dengan pendapat ini, maka usaha pertama untuk memahami ontologi ialah menyusun daftar dan memberikan keterangan mengenai sejumlah istilah dasar yang digunakan di dalamnya. Di antara istilah-istilah terpenting yang terdapat dalam bidang antologi ialah: yang-ada (being), kenyataan (reality), eksistensi (existence), perubahan (change), tunggal (one), jamak (many). Pertama-tama akan dibahas adalah isi atau makna yang terkandung oleh istilah-istilah tersebut, termasuk di dalamnya, sejumlah pernyatan yang menggunakan istilah-istilah tadi. Ontologi, dalam bahasa Inggris „ontology‟, berakar dari bahasa yunani „on‟ berarti ada, dan „ontos‟ berarti keberadaan. Sedangkan „logos‟



107



berarti pemikiran. Jadi, antologi adalah pemikiran mengenai yang ada dan keberadaan. Selanjutnya menurut A.R. Lacey, antologi diartikan sebagai “a central part of metaphisics” (bagian sentral dari metafisika). Sedangkan metafisika diartikan sebagai “that which comes after „physics‟,………the study of nature in generla”. (hal yang hadir setelah fisika,………..studi umum mengenai alam). Dalam metafisika, pada dasarnya dipersoalkan mengenai substansi atau hakikat alam semesta. Apakah alam semesta iniberhakikat monistik atau pluralistic, bersifat tetap atau berubah-ubah, dan apakah alam semesta ini merupakan kesungguhan (actual) atau kemungkinan (potency). Beberapa karekteristik ontology seperti diungkapkan oleh Bagus, antara lain dapat disederhanakan sebagai berikut: 1. Ontologi adalah study tentang arti “ada” dan “berada”, tentang cirri-ciri esensial dari yang ada dalam dirinya sendirinya, menurut bentuknya yang paling abstrak. 2. Ontologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tata dan struktur realitas dalam arti seluas mungkin, dengan menggunakan katagorikatagori seperti: ada atau menjadi, aktualitas atau potensialitas, nyata atau penampakan, esensi atau eksistensi, kesempurnaan, ruang dan waktu, perubahan, dan sebagainya 3. Ontologi adalah cabang filsafat yang mencoba melukiskan hakikat terakhir yang ada, yaitu yang satu, yang absolute, bentuk abadi,



108



sempurna, dan keberadaan segala sesuatu yang mutlak bergantung kepada-nya. 4. Cabang filsafat yang mempelajari tentang status realitas apakah nyata atau semu, apakah pikiran itu nyata, dan sebagainya. Seperti telah diungkap diatas, hakikat abstrak atau jenis menentukan kesatuan (kesamaan) dari berbagai macam jenis, bentuk dan sifat hal-hal atau barang-barang yang berbeda-beda dan terpisahpisah,. Perbedaan dan keterpisahan dari orangorang bernama Socrates, Plato, Aristoteles dan sebagainya, terikat dalam satu kesamaan sebagai manusia. Manusia, binatang, tumbuhan, dan bendabenda lain yang berbeda-beda dan terpisah-pisah, tyersatukan dengan kesamaan jenis sebagai makhluk. Jadi, hakikat jenis dapat dipahami sebagai titik sifat abstrak tertinggi daripada sesuatu hal (an ultimate nature of a thing). Pada titik abstrak tertinggi inilah segala macam perbedaan dan keterpisahan menyatu dalam subtansi dalam filsafat, study mengenai hakikat jenis atau hakikat abstrak ini masuk kedalam bidang metafisika umum (general metaphisics) atau ontology. Oleh sebab itu, pembahasan tentang hakikat jenis ilmu pengetahuan berarti membahas ilmu pengetahuan secara ontologis. Persoalannya adalah sejauh mana fakta perbedaan dan keterpisahan ilmu pengetahuan ini merupakan kesungguhan (actus) atau kemungkinan (potency), dalam arti seharusnya ilmu pengetahuan itu tentang pluralistic atau monolistik?. Secara ontologis, artinya secara metafisika umum, objek materi yang dipelajari didalam



109



pluralitas ilmu pengetahuan, bersifat monistik pada tingkat yang paling abstrak. Seluruh objek materi pluralitas ilmu pengetahuan, seperti manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan zat kebendaan berada pada tingkat abstrak tertinggi yaitu dalam kesatuan dan kesamaan sebagai makhluk. Kenyataan itu mendasari dan menentukan kesatuan pluralitas ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, pluralitas ilmu pengetahuan berhakikat satu, yaitu dalam kesatuan objek materinya. Disamping objek materi, keradaan ilmu pengetahuan juga lebih ditentukan oleh objek forma. Objek forma ini sering dipahami sebagai sudut atau titik pandang (point of view), selanjutnya menentukan ruang lingkup studi (scope of the study). Berdasarkan ruang lingkup studi inilah selanjutnya ilmu pengetahuan berkembang menjadi plural, berbeda-beda dan cenderung saling terpisah antara satu dengan yang lain. Berdasarkan pada objek forma, selanjutnya ilmu pengetahuan cenderung dikembangkan menjadi plural sesuai dengan jumlah dan jenis bagian yang ada didalam objek meteri. Dari objek materi yang sama dapat menimbulkan cabang-cabang ilmu pengetahuan yang plural dan berbeda-beda. Dari objek materi manusia, misalnya: melahirkan ilmu sejarah, antropologi, sosiologi, psikologi, dan ilmu pendidikan dengan rantingrantingnya. Dari objek materi alam, melahirkan ilmu fisika, ilmu kimia, ilmu biologi, dan matematika dengan ranting-rantingnya. Jadi secara ontologis, hakikat pluralitas ilmu pengetahuan menurut perbedaan objek forma itu



110



tetap dalam kesatuan sistem, baik “interdisipliner” maupun “multidisipliner”. Interdisipliner artinya keterkaitan antar pluralitas ilmu pengetahuan dalam objek materi yang sama, dan multidisipliner artinya keterkaitan antar pluralitas ilmu pengetahuan dalam objek materi yang berbeda. Berdasarkan kedua system tersebut, perbedaan antar ilmu pengetahuan justru mendapatkan validitasnya, tetapi secara ontologios pemisahan atas perbedaan ilmu pengetahuan yang berbeda-beda berkonsekuensi negative berupa perilaku disorder (pengerusakan) terhadap realitas kehidupan. disamping, pendekatan kuantitatif menurut objek materi dan objek forma terhadap pemecahan masalah hakikat ilmu pengetahuan, secara ontologis masih ada pendekatan kualitatif. Melalui pendekatan kualitatif, persoalan yang sama, yaitu aspek ontology ilmu pengetahuan dengan persoalan hakikat keberadaan pluralitas ilmu pengetahuan, dapat digolongkan kedalam tingkat-tingkat abstrak universal, teoretis potensial dan konkret fungsional. Pada tingkat abstrak universal, pluralitas ilmu pengetahuan tidak tampak. Pada tingka ini yang menampak adalah ilmu pengetahuan itu satu dalam jenis, sifat dan bentuknya didalam ilmu pengetahuan „filsafat‟. Karena filsafat memandang suatu objek materi menurut seluruh segi atau sudut yang ada didalamnya.dari keseluruhan segi itulah filsafat mempersoalakan nilai kebenaran hakiki objek materinay, yaitu kebenaran universal yang berlaku bagi semua ilmu pengetahuan yang berbeda dalam jenis, sifat dan dalam bentuk yang



111



bagaimanapun. Lebih dari itu, bagi filsafat, perbedaan objek materi itu hanyalah bersifat aksidental, bukan substansial. Bagaimanapun perbedaan objek materi, tetap dalam satu system yang tak terpisahkan, yaitu tak terpisahkan dalam substansi mutlak (causa prima). Didalam causa prima inilah kebenaran universal tertinggi yang bersifat demikian, maka meliputi pluralitas kebenaran, dan berfungsi sebagai sumber dari segala sumber kebenaran. Selanjutnya, pada tingkat teoreti potencial, pluralitas ilmu pengetahuan mulai tampak. Pada tingkat teoretis, boleh jadi pluralitas ilmu pengetahuan masih berada dalam satu kesatuan system. Suatu teori berlaku bagi banyak jenis ilmu pengetahuan serumpun, tetapi tidak berlaku bagi banyak jenis ilmu pengetahuan yang berlainan rumpun. Teori ilmu pengetahuan social, cenderung tidak dapat digunakan dalam rumpun ilmu pengetahuan alam, karena perbedaan watak objek materi. Manusia dan masyarakat, sebagai objek materi ilmu pengetahuan social, berpotensi labil dan cenderung berubah-ubah, sedangkan badan-badan benda sebagai objek materi ilmu pengetahuan alam berpotensi stabil dan cenderung tetap. Karena itu, teori ilmu pengetahuan social cenderung berubahubah menurut dinamika eksistensi kehidupan manusia dan masyarakat, dan teori ilmu pengetahuan alam cenderung bersifat tetap. Kemudian, pada tingkat praktis fungsional, pluralitas ilmu pengetahuan justru mendapatkan legalitas akademik. Karena pada tingkat ini, ilmu



112



pengetahuan dituntut untuk memberikan kontribusi praktis secara langsung terhadap upaya reproduksi demi kelangsungan eksistensi kehidupan manusia. Pada tingkat ini, kebenaran teoretis potensial disusun dalam suatu system tekhnologis, sehingga membentuk tekhnologi yang siap memproduksi barang dan jasa sesuai dengan kebutuhan manusia dan masyarakat. Pada tingkat praktis fungsional ini, pluralitas dalam hal perbedaan dan keterpisahan ilmu pengetahuan, tersatukan dalam suatu system tekhnologi, yang semata-mata bertujuan untuk memenuhi kebutuhan demi kelangsungan eksistensi kehidupan. Adapun aliran-aliran dalam Ontologi sebagai berikut: 1. Ontologi Yang Bersahaja Kebanyakan orang tidaknya mengadakan pembedaan antara barang-barang yang dapat dilihat, diraba, yang tidak bersifat kejasmanian atau yang dipahamkan „jiwa‟. Kadang kadang orang kebanyakan menjumpai mereka yang berpendirian bahwa sesungguhnya jiwa itu tidak ada, yang ada dalam kenyataannya ialah barang kejasmanian, pendirian yang demikian ini tidak begitu diperhatikan, demi pertimbangan keselamatan diri mereka. Tapi kadang mereka sangat resah akan ajaran-ajaran semacam itu. Mungkin mereka sesekali memaki-maki dengan keras para penganut paham materialisme tersebut. 2. Ontologi Kuantitatif dan Kualitatif Ontologi dapat mendekati masalah hakekat kenyataan dari dua macam sudut pandang.



113



Orang dapat mempertanyakan, “kenyataan itu tunggal atau jamak?” yang demikian ini merupakan pendekatan kuantitatif. Atau orang dapat juga mengajukan pertanyaan, “dalam babak terakhir, apakah yang merupakan kenyataan itu?‟ yang demikian ini merupakan pendekatan secara kualitatif. Dalam hubungan tertentu, segenap masalah dibidang ontology dapat dikembalikan kepada sejumlah pertanyaan yang bersifat umum, seperti “bagaimanakah cara kita hendak membicarakan kenyataan”. 3. Ontologi Monistik Parmenides mengatakan, kenyataan itu tunggal adanya, dan segenap keanekaragaman, perbedaan serta perubahan, bersifat semu belaka. Dewasa ini system monistik seperti itu tidak umum dianut orang. Karena, justru perbedaanlah yang merupakan katagori dasar segenap kenyataan yang ada yang tidak dapat disangkal lagi kebenarannya. Tetapi, ada juga orang-orang yang berpendirian bahwa pada dasarnya segala sesuatu sama hakekatnya. Pendirian yang demikian ini dianut oleh para pendukung paham monisme dewasa ini.yaitu kaum idealism dan kaum materialisme. Sesungguhnya, yang tersngkut dalam hal ini ilah masalah terdapat atau tidaknya macam-macam kenyataan yang berbedah-bedah. Sudah tentu jika kita mengatakan segala sesuatu merupakan kenyataan, maka sampai sejauh itu memang segala sesuatu sama. Perbedaan yang pokok diantara par penganut monisme dengan para



114



pengenut non monisme ialah dalam sikap mereka masing-masing yang menerima atau menolak pernyataan. Ontologi berdasarkan cara menyelesaikan permasalahan yang dihadapi dapat dibedakan sebagai berikut: 1. Naturalisme Kejadian sebagai katagori pokok.William R. Dennis seorang pengenut paham naturalisme dewasa ini mengatakan, naturelisme modernketika berpendirian bahwa apa yang di namakan kenyataan pasti bersifat kealaman-beranggapan bahwa katagori pokok untuk memberikan keterangan mengenai kenyataan ialah kejadian. Kejadian-kejadian dalam ruang dan waktu merupakan satuan-satuan penyusun kenyataan yang ada, dan senantiasa dapat dialami oleh manusia biasa. Hanya satuan-satuan semacam itulah yang merupakan satu-satunya penyusun dasar bagi segenap hal yang ada. Yang nyata pasti bereksistensi. Ada dua macam kesimpulan yang segera dapat ditarik dari pendirian di atas. Pertama, sesuatu yang dianggap terdapat diluar ruang dan waktu tidak mungkin merupakan kenyataan. Kedua apa pun yang di anggap tidak mungkin untuk ditangani dengan menggunakan metode yang digunakan dalam ilmu-ilmu alam, tidak mungkin merupakan kenyataan. Ini bukan hanya berarti bahwa yang bereksistensi bukan merupakan himpunan bawahan dari kenyataan melainkan bahwa kedua himpunna tersebut persis sama artinya.



115



2. Materialisme Yang terdalam ialah materi. Materialisme mendasarkan ajarannya pada pengertian “alam”, berusaha melampaui pengertian “alam” dan mendasar diri pada macam substansi atau kenyataan terdalam yang dinamakan “materi”. Sebelum berkembangnya fisika modern dengan hasil panyelidikannnya yang menunjukkan bahwa substansi reniks yang keras, bulat serta tidak tertimbus yaitu atom ternyata masih dapat dipecahkan lebih lanjut, maka substansi semacam itulah yang dipandang sebagai materi. Kaum materalisme pada masa lampau memandang alam semesta tersusun dari zat-zat renik yang terdalam tersebut dan memandang alam semesta dapat diterangkan berdasarkan hukumhukum dinamika. Berangakta dari pemahaman itu kaum materialis dewasa ini mengenal rumus yang paling mengejutkan di dalam fisika yaitu E=MC2, yang menggambarkan bahwa tenaga E kedudukannya dapat saling dipertukarkan dengan massa M. 3. Idealisme Para penganut faham naturialisme dan materiallisme mengatakan bahwa istilah-istilah yang mereka sarankan (meteri, alam, dsb). Sudah cukup untuk memberikan keterangan mengenai segenap kenyataan. Namun kiranya ada banyak orang benar-benar dapat merasakan bahwa ada hal-hal serat gejala-gejala yang tidak dapat semata-mata diterangkan berdasarkan penegertian alam lebih-lebih sekedar berdasar-



116



kan pengertian materi. Kiranya ada hal-hal seperti pengelaman nilai, makna dan sebagainya yang tidak akan mengandung makna, kecuali jika ada usaha untuk memperkenalkan istilahistilah yang lain, atau merupakan tambahan terhadap istilaih-istilah yang bersifat naturalistik. Alam sebagai sesuatu bersifat rohani. Secara umum dapat dikatakan ada dua macam kaum idealis; kaum spiritualis dan kaum dualis. Para pengatut paham spiritualisme (jangan di campur adukkan dengan ilmu pengetahuan semu yang disebut spiritisme) berpendirian bahwa segenap tatanan alam dapat di kembalikan kepada atau berasal dari sekumpulan roh yang beraneka ragam dan berbeda derajatnya. Memang mereka memandang alam sebagai keseluruhan yang bertingkat-tingkat dan diri kita masing-masing sebagai pusat-pusat rohani yang berkesinambungan dengan tingkat-tingkat yang lain. Sebab, kita sendiri merupakan pusatpusat dan berkesinambungan dengan tingkattingkat yang lain dan dapat disimpulkan bahwa bahwa tingkat-tingkat yang lain pun tentu merupakan pusat rohani pula. Apa yang kita namakan dunia material juga merupakan dunia dengan pusat-pusat rohani yang mempengaruhi alat-alat indrawi kita. 4. Dualisme Dualisme adalah konsep filsafat yang menyatakan ada dua substansi. Pandangan tentang hubungan antara jiwa dan raga,



117



dualisme mengklaim bahwa fenomena mental adalah entitas non-fisik. Gagasan tentang dualisme jiwa dan raga berasal setidaknya sejak zaman Plato dan Aristoteles dan berhubungan dengan spekulasi tantang eksistensi jiwa yang terkait dengan kecerdasan dan kebijakan. Plato dan Aristoteles berpendapat, dengan alasan berbeda, bahwa “kecerdasan” seseorang (bagian dari pikiran atau jiwa) tidak bisa diidentifikasi atau dijelaskan dengan fisik. Versi dari dualisme yang dikenal secara umum diterapkan oleh René Descartes (1641), yang berpendapat bahwa pikiran adalah substansi nonfisik. Descartes adalah yang pertama kali mengidentifikasi dengan jelas pikiran dengan kesadaran dan membedakannya dengan otak, sebagai tempat kecerdasan. Sehingga, dia adalah yang pertama merumuskan permasalahan jiwa-raga dalam bentuknya yang ada sekarang. Dualisme bertentangan dengan berbagai jenis monisme, termasuk fisikalisme dan fenomenalisme. Substansi dualisme bertentangan dengan semua jenis materialisme, tetapi dualisme properti dapat dianggap sejenis materilasme emergent sehingga akan hanya bertentangan dengan materialisme nonemergent. 5. Agnostisisme Agnotisisme adalah suatu pandangan filosofis bahwa suatu nilai kebenaran dari suatu klaim tertentu yang umumnya berkaitan dengan



118



teologi, metafisika, keberadaan Tuhan, dewa, dan lainnya yang tidak dapat diketahui dengan akal pikiran manusia yang terbatas. Seorang agnostik mengatakan bahwa adalah tidak mungkin untuk dapat mengetahui secara definitif pengetahuan tentang “Yang-Mutlak”; atau, dapat dikatakan juga, bahwa walaupun perasaan secara subyektif dimungkinkan, namun secara obyektif pada dasarnya mereka tidak memiliki informasi yang dapat diverifikasi. Dalam kedua hal ini maka agnostikisme mengandung unsur skeptisisme. Agnostisisme berasal dari perkataan Yunani gnostein (tahu) dan a (tidak). Arti harfiahnya “seseorang yang tidak mengetahui”.Agnostisisme tidak sinonim dengan ateisme. Dari pembahasan di atas tentang Ontologi maka dapat di simpulkan ontologi adalah bagian dari bidang filsafat yang mencoba mencari hakikat dari sesuatu. Sebuah ontologi memberikan pengertian untuk penjelasan secara eksplisit dari konsep terhadap representasi pengetahuan pada sebuah knowledge base. Sebuah ontologi juga dapat diartikan sebuah struktur hirarki dari istilah untuk menjelaskan sebuah domain yang dapat digunakan sebagai landasan untuk sebuah knowledge base”. Dengan demikian, ontologi merupakan suatu teori tentang makna dari suatu objek, property dari suatu objek, serta relasi objek tersebut yang mungkin terjadi pada suatu domain pengetahuan. Ringkasnya, pada tinjauan filsafat, ontologi adalah studi tentang sesuatu yang ada. Di samping



119



itu ada juga aspek-aspek permasalahan ontologi yang sangat nyata pada kejadian sebagai katagori pokok, menurut William R. Dennis seorang pengenut paham naturalisme dewasa bahwa katagori pokok untuk memberikan keterangan mengenai kenyataan ialah kejadian. C. Aksiologi Menurut bahasa Yunani, aksiologi berasal dari kata axios artinya nilai dan logos artinya teori atau ilmu. Menurut Kamus Bahasa Indonesia aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika. Dalam Encyclopedia of Philosophy (dalam Amsal:164) dijelaskan aksiologi disamakan dengan value and valuation. Nilai digunakan sebagai kata benda abstrak, Dalam pengertian yang lebih sempit seperti baik, menarik dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakup sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran dan kesucian. Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai-nilai. Ia sering dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya atau nilai dia. Nilai juga dipakai sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai atau dinilai. Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya. Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu; axios yang berarti sesuai atau wajar. Sedangkan logos yang berarti ilmu. Menurut



120



John Sinclair, dalam lingkup kajian filsafat nilai merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti politik, sosial dan agama. sedangkan nilai itu sendiri adalah sesuatu yang berharga, yang diidamkan oleh setiap insan. Dari definisi aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada masalah etika dan estetika. Aksiologi ilmu terdiri dari nilai-nilai yang bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan sebagaimana dijumpai dalam kehidupan, yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan simbolik atau pun fisik material. Jadi, aksiologi adalah teori tentang nilai. Menurut Bramel dalam Amsal Aksiologi terbagi tiga bagian: 1. Moral Conduct, yaitu tindakan moral, Bidang ini melahirkan disiplin khusus yaitu etika. 2. Estetic expression, yaitu ekspresi keindahan, bidang ini melahirkan keindahan. 3. Socio-political life, yaitu kehidupan social politik, yang akan melahirkan filsafat social politik. Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika dimana makna etika memiliki dua arti yaitu merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan manusia dan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan perbuatan,



121



tingkah laku, atau yang lainnya. Nilai itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan objektif jika nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek yang melakukan penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat individu melainkan pada objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif, apabila subjek berperan dalam memberi penilaian; kesadaran manusia menjadi tolak ukur penilaian. Dengan demikian nilai subjektif selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang akan mengasah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang. Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang kepada ilmu dan teknologi, sains dan teknologi dikembangkan untuk memudahkan hidup manusia agar lebih mudah dan nyaman. Peradaban manusia berkembang sejalan dengan perkembangan sains dan teknologi karena itu kita tidak bisa dipungkiri peradaban manusia berhutang budi pada sains dan teknologi. Berkat sain dan teknologi pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan dengan lebih cepat dan mudah. Perkembangan ini baik dibidang kesehatan, pengangkutan, pemukiman, pendidikan dan komunikasi telah mempermudah kehidupan manusia. Sejak dalam tahap-tahap pertama ilmu sudah dikaitkan dengan tujuan perang, disamping lain



122



ilmu sering dikaitkan dengan faktor kemanusiaan, dimana bukan lagi teknologi yang berkembang seiring dengan perkembangan dan kebutuhan manusia, namun sebaliknya manusialah yang akhirnya yang harus menyesuaikan diri dengan teknologi. Menghadapi kenyataan ini ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam sebagai mana adanya mulai mempertanyakan hal yang bersifat seharusnya, untuk apa sebenarnya ilmu itu harus digunakan? Dimana batasnya? Kearah mana ilmu akan berkembang? Kemudian bagaimana dengan nilai dalam ilmu pengetahuan. Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan telah menciptakan berbagai bentuk kemudahan bagi manusia. Namun apakah hal itu selalu demikian? Bahwa ilmu pengetahuan dan teknologinya merupakan berkah dan penyelamat bagi manusia, terbebas dari kutuk yang membawa malapetaka dan kesengsaraan? Memang mempelajari teknologi seperti bom atom, manusia bisa memanfaatkan wujudnya sebagai sumber energi bagi keselamatan umat manusia, tetapi dipihak lain hal ini bisa juga berakibat sebaliknya, yakni membawa mausia pada penciptaan bom atom yang menimbulkan malapetaka. Menghadapi hal yang demikian, ilmu pengetahuan yang pada esensinya mempelajari alam sebagaimana adanya, mulai dipertanyakan untuk apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan? Dihadapkan dengan masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan teknologi yang bersifat



123



merusak ini para ilmuan terbagi kedalam golongan pendapat yaitu golongan pertama yang menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilainilai baik itu secara ontologis maupun aksiologi. Sebaliknya golongan kedua bahwa netralisasi terhadap nilai- nilai hanyalah terbatas pada metafisis keilmuan sedangkan dalam penggunaanya ilmu berlandaskan pada moral golongan kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal yakni: Ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang telah dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang mempergunakan teknologi- teknologi keilmuan. Ilmu telah berkembang pesat dan makin eksetoris sehingga ilmuan telah mengetahui apa yang mungkin terjadi apabila adanya penyalahgunaan. Ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan tehnik perubahan sosial. Berkenaan dengan nilai guna ilmu, tak dapat dibantah lagi bahwa ilmu itu sangat bermanfaat bagi seluruh umat manusia, dengan ilmu sesorang dapat mengubah wajah dunia. Berkaitan dengan hal ini, menurut Francis Bacon seperti yang dikutip oleh Jujun S. Suriasumatri yaitu bahwa “pengetahuan adalah kekuasaan” apakah kekuasaan itu merupakan berkat atau justru malapetaka bagi umat manusia. Memang kalaupun terjadi malapetaka yang disebabkan oleh ilmu, bahwa kita tidak bisa mengatakan bahwa itu merupakan kesalahan ilmu, karena ilmu itu sendiri merupakan alat bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan hidupnya,



124



lagi pula ilmu memiliki sifat netral, ilmu tidak mengenal baik ataupun buruk melainkan tergantung pada pemilik dalam menggunakannya. Berkenaan dengan nilai guna ilmu, baik itu ilmu umum maupun ilmu agama, tak dapat dibantah lagi bahwa kedua ilmu itu sangat bermanfaat bagi seluruh umat manusia, dengan ilmu sesorang dapat mengubah wajah dunia. Berkaitan dengan hal ini, menurut Francis Bacon seperti yang dikutip oleh Jujun. S. Suriasumatri yaitu bahwa “pengetahuan adalah kekuasaan” apakah kekuasaan itu merupakan berkat atau justru malapetaka bagi umat manusia.29 Nilai kegunaan ilmu, untuk mengetahui kegunaan filsafat ilmu atau untuk apa filsafat ilmu itu digunakan, kita dapat memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga hal, yaitu: 1. Filsafat sebagai kumpulan teori digunakan memahami dan mereaksi dunia pemikiran. Jika seseorang hendak ikut membentuk dunia atau ikut mendukung suatu ide yang membentuk suatu dunia, atau hendak menentang suatu sistem kebudayaan atau sistem ekonomi, atau sistem politik, maka sebaiknya mempelajari teori-teori filsafatnya. Inilah kegunaan mempelajari teori-teori filsafat ilmu. 29



Memang kalaupun terjadi malapetaka yang disebabkan oleh ilmu, bahwa kita tidak bisa mengatakan bahwa itu merupakan kesalahan ilmu, karena ilmu itu sendiri merupakan alat bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan hidupnya, lagi pula ilmu memiliki sifat netral, ilmu tidak mengenal baik ataupun buruk melainkan tergantung pada pemilik dalam meng-gunakannya.



125



2. Filsafat sebagai pandangan hidup. Filsafat dalam posisi yang kedua ini semua teori ajarannya diterima kebenaranya dan dilaksanakan dalam kehidupan. Filsafat ilmu sebagai pandangan hidup gunanya ialah untuk petunjuk dalam menjalani kehidupan. 3. Filsafat sebagai metodologi dalam memecahkan masalah. Dalam hidup ini kita menghadapi banyak masalah. Bila ada batui didepan pintu, setiap keluar dari pintu itu kaki kita tersandung, maka batu itu masalah. Kehidupan akan dijalani lebih enak bila masalah masalah itu dapat diselesaikan. Ada banyak cara menyelesaikan masalah, mulai dari cara yang sederhana sampai yang paling rumit. Bila cara yang digunakan amat sederhana maka biasanya masalah tidak terselesaikan secara tuntas.penyelesaian yang detail itu biasanya dapat mengungkap semua masalah yang berkembang dalam kehidupan manusia. Nilai itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan objektif jika nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek yang melakukan penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat individu melainkan pada objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif, apabila subjek berperan dalam memberi penilaian; kesadaran manusia menjadi tolak ukur penilaian. Dengan demikian nilai subjektif selalu memperhatikan



126



berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang akan mengasah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang. Bagaimana dengan objektivitas ilmu? Sudah menjadi ketentuan umum dan diterima oleh berbagai kalangan bahwa ilmu harus bersifat objektif. Salah satu faktor yang membedakan antara peryataan ilmiah dengan anggapan umum ialah terletak pada objektifitasnya. Seorang ilmuan harus melihat realitas empiris dengan mengesampingkan kesadaran yang bersifat idiologis, agama dan budaya.30 Dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan yaitu sebagai berikut: Menurut bahasa Yunani, aksiologi berasal dari kata axios artinya nilai dan logos artinya teori atau ilmu. Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya. Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika dimana makna etika memiliki dua arti yaitu merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan manusia dan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan perbuatan, tingkah laku, atau yang lainnya.



30



Seorang ilmuan haruslah bebas dalam menentukan topik penelitiannya, bebas melakukan eksperimen. Ketika seorang ilmuan bekerja dia hanya tertuju kepada proses kerja ilmiah dan tujuannya agar penelitiannya be rhasil dengan baik. Nilai objektif hanya menjadi tujuan utamanya, dia tidak mau terikat pada nilai subjektif.



127



BAB V FILSAFAT YUNANI A. Filsafat Yunani pada Masa Pra-Socrates. Kegemaran bangsa Yunani merantau secara tidak langsung menjadi sebab meluasnya tradisi berpikir bebas yang dimiliki bangsa Yunani. Menurut Barthelemy, kebebasan berpikir bangsa Yunani disebabkan di Yunani sebelumnya tidak pernah ada agama yang didasarkan pada kitab suci. Keadaan tersebut jelas berbeda dengan Mesir, Persia, dan India. Sedangkan Livingstone berpendapat bahwa adanya kebebasan berpikir bangsa Yunani dikarenakan kebebasan mereka dari agama dan politik secara bersamaan. Lahirnya filsafat pra socrates juga disebabkan karena kemenangan akal atas dongeng atau mitos yang diterima dari agama yang memberitahukan tentang asal muasal segala sesuatu. Para pemikir atau ahli filsafat ini mencoba untuk mencari-cari jawaban tentang akibat terjadinya alam semesta beserta isinya. Filsafat Pra Socrates juga dapat dikatakan sebagai filsafat alam, karena para ahli filsafat dimasa tersebut menjadikan alam semesta sebagai objek pemikirannya. Tujuan filosofi mereka dalam memikirkan soal alam semesta yaitu untuk mengetahui darimana terjadinya alam atau darimana alam ini berasal, hal inilah yang menjadi sentral persoalan bagi mereka. Pemikiran yang demikian itu merupakan pemikiran yang sangat maju, rasional dan radikal. Sebab pada waktu itu kebanya-



128



kan orang menerima begitu saja keadaan alam seperti apa yang dapat ditangkap dengan indranya, tanpa mempersoalkannya lebih jauh. Sedang di lain pihak orang cukup puas menerima keterangan tentang kejadian alam dari cerita nenek moyang. “What all the pre-Socratic philosophers have in common is their attempt to create general theories of the cosmos (kosmosis the Greek term for “world”) not simply by repeating the tales of how the gods had created everything, but by using observation and reason to construct general theories that would explain to the unprejudiced and curious mind the secrets behind the appearances in the world.”1 Filosuf yang hidup pada masa pra Socrates disebut para filosuf alam karena objek yang mereka jadikan pokok persoalan adalah alam. Yang dimaksud dengan alam (fusis) adalah kenyataan hidup dan kenyataan badaniah. Jadi, perhatian mereka mengarah kepada apa yang dapat diamati. Ada beberapa filosof pada masa pra socrates, yaitu: 1. Thales Thales adalah ahli filsafat pertama yang hidup pada abad ke-6 sebelum masehi. Thales adalah seorang saudagar yang sering berlayar ke Mesir. Ia menemukan ilmu ukur dari Mesir dan membawanya ke Yunani. Ia juga dikenal sebagai seorang yang ahli dalam bidang astronomi dan metafisika.



1



Donald Palmer, Looking at Philosophy: The Unbearable Heaviness of Philososphy Made Lighter (New York: McGraw-Hill, 2006), 11.



129



Thales memberikan jawaban bahwa segala sesuatu berasal dari air, ia juga menyatakan bahwa bumi ini berasal dari air. Air adalah pusat dan sumber segala yang ada atau pokok dari segala sesuatu. Segala sesuatu berasal dari air dan kembali ke air. Dari air itu terjadilah tumbuh-tumbuhan dan binatang, bahkan tanah pun mengandung air. Argumen Thales merupakan argument yang bukan hanya rasional, tetapi juga observatif. Pandangan Thales merupakan cara berpikir yang sangat tinggi, karena sebelumnya, orang-orang Yunani lebih banyak mengambil jawaban tentang alam dengan kepercayaan dan mitos-mitos yang dipenuhi dengan ketakhayulan. Thales telah membuka alam pikiran dan keyakinan tentang alam dan asal muasalnya tanpa menunggu dalil-dalil yang agamis. Selain itu, juga mengemukakan pandangan bahwa bumi terletak di atas air. Bumi dipandang sebagai bahan yang satu kali keluar dari laut dan kemudian terapung-apung di atasnya. Thales berpendapat bahwa segala sesuatu di jagat raya memiliki jiwa. Jiwa tidak hanya terdapat di dalam benda hidup tetapi juga benda mati. Teori tentang materi yang berjiwa ini disebut hylezoisme. Argumentasi Thales didasarkan pada magnet yang dikatakan memiliki jiwa karena mampu menggerakkan besi.



130



2. Anaximandros Anaximandros adalah salah satu murid Thales. Anaximandros adalah seorang ahli astronomi dan ilmu bumi. Meskipun dia murid Thales namun ia mempunyai prinsip dasar alam satu akan tetapi bukanlah dari jenis benda alam seperti air sebagai mana yang dikatakan oleh gurunya. Prinsip dasar alam haruslah dari jenis yang tak terhitung dan tak terbatas yang oleh dia disebut Apeiron yaitu zat yang tak terhingga dan tak terbatas serta tidak dapat dirupakan dan tidak ada persamaannnya dengan apapun. Meskipun tentang teori asal kejadian alam tidak begitu jelas namun dia adalah seorang yang cakap dan cerdas. Pendapatnya yang lain yaitu, bumi seperti silinder, lebarnya tiga kali lebih besar dari tingginya. Sedangkan bumi tidak terletak atau bersandar pada sesuatupun. 3. Anaximenes Anaximenes berpendapat bahwa udara merupakan asal usul segala sesuatu. Udara melahirkan semua benda dalam alam semesta ini karena suatu proses pemadatan dan pengeceran, kalau udara semakin bertambah maka muncullah berturut-turut angin, air, tanah dan akhirnya batu. Sebaliknya kalau udara itu menjadi encer yang timbul adalah api. Pandangan Anaximenes tentang susunan jagat raya berbeda dengan Anaximandros. Menurutnya bumi ini seperti meja bundar dan melayang di atas udara. Demikian pula mata-



131



hari, bulan dan bintang. Benda-benda yang ada dijagad raya itu tidak terbenam di bawah bumi sebagaimana yang dipikirkan Anaximandros tetapi mengelilingi bumi yang datar itu, matahari lenyap pada waktu malam tertutup di belakang bagian-bagian tinggi. 4. Pythagoras Pythagoras lahir dipulau Samos yang termasuk daerah Ionia. Di kota ini Pythagoras mendirikan suatu tarekat beragama yang bersifat religious, mereka menghomati dewa Apollo. Menurut kepercayaan Pythagoras, jiwa manusia asalnya dari Tuhan, jiwa itu adalah penjelmaan dari tuhan yang jatuh kedunia karena berdosa dan dia akan kembali kelangit kedalam lingkungan tuhan semula apabila dosanya itu sudah habis dicuci, hidup didunia ini adalah persediaan buat akhirat. Sebab itu dari sekarang dikerjakan hidup untuk hari kemudian. Pythagoras tersebut juga sebagai ahli pikir. Terutama dalam ilmu matematik dan ilmu berhitung. Falsafah pemikirannya banyak diilhami oleh rahasia angka-angka. Dunia angka adalah dunia kepastian dan dunia ini erat hubungannya dengan dunia bentuk. Dari sini dapat dilihat kecakapannya dia dalam matematik mempengaruhi terhadap pemikiran filsafatnya sehingga pada segala keadaan ia melihat dari angka-angka dan merupakan paduan dari unsur angka.



132



5. Heraclitos Ia lahir dikota Ephesos diasi minor, ia mempunyai pendangan yang berbeda dengan filosof-filosof sebelumnya. Ia menyatakan bahwa asal segala suatu hanyalah satu yakni api. Ia memandang bahwa api sebagai unsur yang asal pandangannya semata-mata tidak terikat pada alam luaran, alam besar, seperti pandangan filosof-filosof Miletos. Segala kejadian didunia ini serupa dengan api yang tidak putusnya dengan berganti-ganti memakan dan menghidupi dirinya sendiri segala permulaan adalah mula dari akhirnya. Segala hidup mula dari pada matinya. Didunia ini tidak ada yang tetap semuanya mengalir. Tidak sulit untuk mengerti apa sebab Heraklitos memilih api. Nyala api senantiasa memakan bahan bakar yang baru dan bahan bakar itu dan berubah menjadi abu dan asap. Oleh karena itu api cocok sekali untuk melambangkan suatu kesatuan dalam perubahan. Api mempunyai sifat memusnahkan segala yang ada, dan mengubah segala sesuatu itu menjadi abu dan asap. Walaupun sesuatu itu apabila dibakar menjadi abu dan asap, toh adanya api tetap ada. Segala sesuatunya berasal dari api, dan akan kembali menjadi api. Pernyataan itu mengandung pengertian bahwa kebenaran selalu berubah, tidak tetap. Pengertian adil pada hari ini belum tentu masih benar besok. Hari ini 2 x 2 = 4 besok dapat saja bukan empat. Pandangan ini merupakan warna dasar filsafat sofisme.



133



B. Sophis Nama “Sofis” (sophistes) tidak dipergunakan sebelum abad ke-5.Arti tertua dari kata “Sofis” adalah “seseorang bijaksana” atau “seseorang yang mempunyai keahlian dalam bidang tertentu”. Agak cepat kata ini dipakai dalam arti “sarjana” atau “cendekiawan”. Herodotos memakai nama sophiestes untuk Phytagoras. Pengarang Yunani yang bernama Androtion (4 SM) menggunakan nama ini untuk menunjukkan “ketujuh orang bijaksana” dari abad 6 dan Sokrates. Lysias, ahli pidato Yunani yang hidup sekitar permulaan abad ke-4 memakai nama ini untuk Plato. Tetapi pada abad ke-4 nama philosophos menjadi nama yang biasanya dipakai dalam arti “sarjana” atau “cendekiawan”, sedangkan nama sophistes khusus dipakai untuk guru-guru yang berkeliling dari kota ke kota dan memainkan peranan penting dalam masyarakat Yunani sekitar paruh abad ke-5. Pada kemudian hari nama “Sofis” menjadi tidak seharum sebelumnya. Dalam bahasa Inggris, kata “sophist” menunjukkan seseorang yang menipu orang lain dengan menggunakan argumentasiargumentasi yang tidak sah. Sokrates, Plato, dan Aristoteles dengan kritiknya pada kaum Sofis menyebabkan nama “Sofis” makin mencerminkan citra buruk. Salah satu tuduhannya adalah ahwa para Sofis meminta uang untuk pengajaran yang mereka berikan. Dalam dialog Protagoras, Plato mengatakan bahwa para Sofis merupakan “pemilik warung yang menjual barang rohani”.



134



Dan Aristoteles mengarang buku Sophistikoi elenchoi (Cara-cara berargumentasi kaum Sofis); maksudnya cara berargumentasi yang tidak sah. Dari hal-hal tersebutlah sehingga nama kaum Sofis pada saat ini memiliki kesan buruk. Munculnya kaum sophis dilator belakangi oleh beberapa factor yang pertama sesudah perang Parsi selesai (449 SM), Athena berkembang pesat dalam bidang politik dan ekonomi. Dibawah pimpinan Perikles, polis inilah yang menjadi pusat seluruh dunia Yunani. Sampai saat itu Athena belum mengambil bagian dari filsafat dan ilmu pengetahuan yangs edang berkembang sejak abad ke-6. Tapi seringkali dapat disaksikan dalam sejarah bahwa negara atau kota yang mengalami zaman keemasan dalam bidang politik dan ekonomi menjadi pusat perhatian pula dalam bidang intelektual dan kultural. Demikian halnya juga dengan kota Athena. Anaxagoras, adalah figur pertama yang memilih Athena sebagai tempat tiinggalnya, sehingga ia mendapatkan gelar fisuf pertama di Yunani serta meletakkan dasar-dasar filsafat Yunani. Para Sofis juga tidak membatasi aktivitas mereka pada polisi Athena saja, mereka adalah guru-guru yang berkeliling dari satu kota ke kota yang lain. Protagoras misalnya, yang dari sudut pandang filsafat boleh dianggap sebagai tokoh utama antara para Sofis, yang seringkali mengunjungi Athena. Factor yang kedua, kebutuhan akan pendidikan yang dirasakan seluruh Hellas pada waktu itu. Sebagaimana penjelasan sebelumnya



135



bahwa bahasa merupakan alat politik terpenting dalam masyarakat Yunani. Sukses tidaknya dalam bidang politik sebagian besar tergantung pada kemahiran berbahasa yang diperlihatkan dalam sidang umum, dewan harian atau sidang pengadilan. Itulah sebabnya tidak mengherankan bahwa orang muda merasakan kebutuhan akan pendidikan serta pembinaan, supaya nantinya mereka dapat memainkan peranannya di bidang politik. Sampai saat itu pendidikan di Athena tidak melebihi pendidikan elementer-elementer saja. Kaum Sofis memenuhi kebutuhan akan pendidikan lebih lanjut. Mereka mengajarkan ilimuilmu seperti matematika, astronomi, dan terutama tata bahasa. Mengenai ilmu bahasa mereka boleh dipandang sebagai perintis. Tentu saja, mereka memiliki jasa yang sangat besar dalam pengembangan bidang ilmu retorika dan berpidato. Selain dari pelajaran dan latihan untuk orang muda, mereka juga memberi ceramah-ceramah dengan cara populer untuk kalangan umum yang lebih luas. Kaum Sofis juga tidak bisa berbicara untuk diri mereka sendiri, mereka adalah pengarang yang produktif. Tetapi hanya sedikit dari karya mereka yang bisa bertahan selain dalam bentuk-bentuk yang singkat dan terpecah-pecah. Tidak hanya itu saja, sumber informasi utama kita tentang segala aspek kelompok Sofis, Plato seringkali bermusushan dan sulit memahami penjelasannya tentang kaum Sofis. Plato menggambarkan bahwa, Sofis sebagai individu-individu yang suka bermusuhan dan suka



136



berpindah tempat, terutama di polis di luar Athena, dimana mereka menghasilkan dampaknya yang paling kuat. Bagi Plato, Sofis lebih dekat dengan sejarah publisitas daripada dengan ide, sebuah penilaian yang diartikulasikan oleh antitesis antara Sokrates dan Sofis yang meliputi tulisan-tulisan Plato. Akan tetapi, dari penjelasan tersebut juga dapat disimpulkan bahwa, Kaum Sofislah kelompok yang pertama kali dalam sejarah mempelopori pendidikan untuk orang muda. Oleh karena itu paideia (kata Yunani untuk “pendidikan”) dapat dianggap sebagai penemuan Yunani. Faktor yang terakhir adalah karena pergaulan dengan banyak negara asing, orang Yunani mulai menyadari bahwa kebudayaan mereka berbeda dari kebudayaan-kebudayaan lain. Kebudayaan Yunani terletak di tengah kebudayaan-kebudayaan yang coraknya sangat berlainan. Bisa jadi bahwa apa yang dengan tegas ditolak dalam kebudayaan yang satu, sangat dihargai dalam kebudayaan lain. Sejarawan Yunani Herodotos yang hidup dalam zaman ini dan banyak berpergian ke negeri-negeri lain, telah menuliskan pengalaman itu dengan cukup jelas, dan ia menyetujui pendirian penyair Pindaros bahwa adat kebiasaan raja segala-galanya. Pengalaman itu menampilkan banyak pertanyaan. Apakah peraturan-peraturan etis, lembagalembaga sosial dan tradisi-tradisi religius hanya merupakan satu kebiasaan atau konvensi saja? Apakah semuanya hanya kebetulan tersusun seperti itu? Apakah mungkin suatu susunan yang sama



137



sekali berlainan? Para Sofis akan merumuskan persoalan ini dengan bertanya: apakah peraturanperaturan etis beralaskan adat kebiasaan (nomos) atau beraaskan kodrat (physis)? Pada umumnya para Sofis akan menjawab bahwa hidup sosial tidak mempunyai dasar kodrati. Sampai-sampai Protagoras tidak ragu-ragu mengatakan bahwa manusia adalah ukuran untuk segala sesuatu. Dengan demikian kaum Sofis jatuh dalam relativisme di bidang tingkag laku etis dan di bidang pengenalan. Dengan relativisme dimaksudkan bahwa pendirianbaik buruk dan benar salah itu bersifat relatif saja. Atau dengan kata lain, baik buruk dan salah benar tergantung pada manusia bersangkutan. Sokrates dan Plato dengan tajam mengkritik pendirian tersebut, tetapi dapat dibayangkan bahwa kaum Sofis mengalami sukses besar dengan anggapannya yang menentang tradisi-tradisi tua, terutama dalam kalangan kaum muda. Berikut ini tokoh-tokoh kaum sophis yang membesarkan namanya: 1. Protagoras Protagoras lahir kira-kira pada tahun 485 di kota Abdera di daerah Thrake. Demokritos adalah warga sekotanya yang lebih muda. Seringkali ia datang ke Athena dan ia disana terhitung pada kalangan sekitar Perikles. Atas permintaan Perikles ia mengambil bagian dalam mendirikan kota perantauan Thurioi di Italia Selatan pada tahun 444. Pendirian kota itu dimaksudkan Perikles sebagai usaha pra-Hellen,



138



berarti seluruh Hellas diharapkan mengambil bagian di dalamnya. Ada tokoh terkemuka yang ikut dalam usaha itu, seperti misal Herodotos, Hippodamos, dan Lysias. Protagoras diminta untuk mengarang undang-undang dasar bagi polis baru itu. Menurut Diogenes Laërtios, pada akhir hidupnya Protagoras dituduh di Athena karena kedurhakaannya (asebeia) dan bukunya tentang agama dibakar di hadapan umum. Diceritakan pula bahwa Protagoras melarikan diri ke Sisilia, tetapi dalam perjalanan ini ia tewas, akibat perahu layar tenggelam. Tetapi karena kesaksian Diogenes Laërtios ini tiidak dapat dicocokkan dengan data-data lain, kebanyakan sejarawan modern menyangsikan kebenarannya. Protagoras mengarang sejumlah buku. Hanya beberapa fragmen pendek masih disimpan. Tetapi isi ajarannya dapat diterapkan, karena gagasan-gagasan Protagoras masih ramai dipersoalkan di kemudian hari. Plato merupakan sumber yang utama, khususnya kedua dialognya yang berjudul Theaitêtos dan Protagoras. Dalam buku yang berjudul Alêtheia (“Kebenaran”) terdapat tuturan Protagoras yang terkenal, yang disimpan dalam kumpulan H.Diels sebagai fragmen 1: “Manusia adalah ukuran untuk segala-galanya: untuk hal-hal yang ada sehingga mereka ada dan untuk halhal yang tidak ada sehingga mereka tidak ada”. Pendirian ini boleh disebut relativisme, artinya kebenaran dianggap tergantung pada manusia.



139



Manusialah yang menentukan benar tidaknya, bahkan ada tidaknya. Disini dapat dipersoalkan bagaimana kita mesti mengerti kata ”manusia” itu. Yang dimaksudkan Protagoras, manusia perorangan ataukah manusia sebagai umat manusia? Apakah kebenaran tergantung pada Anda atau pada saya, sehingga kita mempunyai kebenaran sendiri-sendiri? Atau kebenaran tergantung pada kita bersama-sama, sehingga kebenaran itu sama untuk semua manusia, biarpun tidak mempunyai arti terlepas dari manusia? Tidak dapat disangsikan bahwa Plato mengartikan perkataan Protagoras itu mengenai manusia perorangan. Itu jelas karena contoh yang diberikannya untuk menerangkan pendapat Protagoras. Contohnya sebagai berikut; Angin yang sama dirasai panas oleh satu orang (yaitu orang sehat) dan dirasai dingin oleh orang lain (orang sakit demam). Mereka kedua-duanya benar! Dan tidak ada alasan yang menuntut bahwa kita membatasi pendapat Protagoras ini atas pengenalan indrawi saja. Oleh karenanya, kebenaran seluruhnya harus dianggap relatif terhadap manusia bersangkutan. Semua pendapat sama benar, biarpun sekali bertentangan satu sama lain. Tetapi, kalau demikian, pendapat Protagoras sendiri tidak merupakan kekecualian. Karena, sebagaimana disimpulkan oleh Plato, secara konsekuen pendapat Protagoras hanya benar



140



untuk dirinya sendiri saja dan mungkin sekali bagi orang lain kebalikannya yang benar. Karangan lain adalah berjudul Antilogiai (“Pendirian-pendirian yang bertentangan”). Dalam karya ini Protagoras mengemukakan anggapan yang tentu ada hubungan relativisme yang diuraikan diatas. Dan anggapan ini sesuai dengan keaktifan khusus kaum Sofis, sebab kita sudah melihat bahwa mereka terutama giat dalam bidang kemahiran berbahasa. Suatu fragmen disimpan yang barangkali merupakan kalimat pertama dari karya tersebut: “tentang semua hal terdapat dua pendirian yang bertentangan”. Dalam karya ini Protagoras mengemukakan anggapan yang tentu ada hubungannya dengan relativisme yang diuraikan di atas. Dan anggapan ini sesuai dengan keaktifan khusus kaum Sofis yang memiliki kemahiran dalam berbahasa. Ada sebuah petikan atau fragmen dari karya Protagoras yang berbunyi “Tentang semua hal terdapat dua pendirian yang bertentangan”. Boleh diandaikan bahwa perkataan ini menyatakan gagasan pokok yang terkandung dalam karya tersebut. Kalau benar tidaknya sesuatu tergantung pada manusia, harus disimpulkan bahwa satu pendirian tidak lebih benar daripada kebalikannya. Ini mempunyai konsekuesi besar untuk seorang ahli berpidato. Tergantung pada kepandaiannya apakah ia akan berhasil meyakinkan para pendengarnya mengenai kebenaran suatu pendirian yang sepintas lalu rupanya



141



tidak begitu sah. Dari sebab itu perlu suatu latihan yang memungkinkan orang membuat orang “membuat argumen yang paling lemah menjadi yang paling kuat” Para musuh kaum Sofis telah menafsirkan gagasan ini dalam arti moral. Mereka memberi kesan seakan-akan menurut Protagoras perbuatan yang sama serentak dapat dicela dapat juga dipuji, sehingga sesuatu yang baik menjadi buruk begitu pula sebaliknya. Dalam karya yang bernama Tentang keadaan yang asali, Protagoras memberi suatu teori tentang asal-usul negara. Teori ini dipengaruhi di satu pihak oleh pengalaman yang telah disebutka diatas, yakni tiap-tiap negara mempunyai adat kebiasaan sendiri dan di lain pihak kenyataan di lapangan banyak kota perantauan masing-masing mendapat undangundang baru. Protagras juga berpendapat bahwa negara tidak berdasarkan kodrat, tetapi ia diadakan oleh manusia itu sendiri. Ia melukiskkan timbulnya negara dengan memulainya bahwa manusia pada awalnya hidup sendirisendiri. Kemudian karena terdapat lemah dan banyak mendapatkan ancaman binatang buas, mereka mulai mencari teman manusia lainnya. Ternyata setelah berkumpul mereka mendapatkan kendala lagi, bahwa hidup bersama itu tidak semudah yang difikirkan, karena terdapat banyak keragaman di dalamnya.



142



Akhirnya seorang dewa turun dan memberikan mereka anugrah berupa keinsyafan akan keadilan (dike) dan hormat kepada orang lain. (aidos). Berkat kedua berkah ini manusia akan dapat hidup bersama. Ia sendiri dapat mengadakan undang-undang. Jadi, undangundang tertentu tidak “lebih benar” dari pada undang-undang yang lain. Permasalahannya adalah antara cocok atau tidaknya undangundang tersebut diterapkan di negara tersebut. Salah satu karya Protagoras yang berjudul Peri theôn (“perihal dewa-dewa) diambil sebuah kutipan yang menyatakan “saya tidak merasa sangggup menetapkan mereka (dewa-dewa) itu ada atau tidak; dan saya juga tidak dapat menentukan hakikat mereka. Banyak hal yang merupakan halangan, baik kaburnya pokok bersangkutan maupun pendeknya hidup manusia”. Pendapat Protagoras tentang dewa-dewa boleh disebut suatu skeptisisme, artinya disini tidak mungkin mencapai kebenaran. Sangat cocok denga anggapan relativistis yang dianut oleh Protagoras dalam bidang pengenalan. 2. Georgias Georgias lahir di Leontinio di Sisilia sekitar tahun 483. Rupanya ia merupakan murid Empedokles, kemudian dipengaruhi oleh dialektika Zeno. Pada tahun 427 ia datang ke Athena sebagai dua kota asalnya untuk meminta pertolongan melawan kota Syrakusa. Sebagai Sofis ia mengelilingi kota-kota Yunani, terutama Athena, dimana ia mengalami sukses besar,



143



karena luar biasa fasih lidahnya. Ia meninggal pada usia 108 tahun, kira-kira pada tahun 375. Dalam bukunya yang berjudul Tentang yang tidak ada atau alam, Gorgias menuliskan tiga pendiriannya: 1) tidak ada sesuatu pun. 2) seandainya sesuatu ada, maka itu itu tidak dapat dikenal. 3) seandainya sesuatu dapat dikenal, maka pengetahuan itu tidak bisa disampaikan kepada orang lain. Ketiga pendirian ini disokong oleh banyak argumen. Jika yang dimaksudkan oleh Gorgias itu seperti apa adanya, maka Gorgias bukan saja menganut suatu paham skeptisisme, melainkan juga memihak kepada nihilisme (anggapan bahwa tidak ada sesuatu pun atau tidak ada sesuatu yang bernilai). Tetapi sulit sekali untuk membayangkan bahwa pendirian-pendirian itu mengandung maksud Gorgias sendiri. Agaknya is ingin menyindir metode berargumentasi yang dipakai madzhab Elea dengan memperlihatkan bahwa cara berargumentasi mereka dapat diteruskan hingga menjadi mustahil. 3. Hippias Hippias adalah kawan sebaya dengan Sokrates dan berasal dari kota Elis. Ia dibicarakan dalam kedua dialog Plato yang berjudul Hiipias Major dan Hippias Minor. Rupanya ia menguasai banyak lapangan keahlian. Terutama ia mempunyai jasa-jasa besar dalam bidang ilmu ukur. Seperti Sofis lainnya, Hippias juga mencurahkan perhatiannya pada pertanyaan, apakah



144



tingkah laku manusia dan susunan masyarakat harus berdasarkan nomos (adat kebiasaan, undang-undang) atau harus berdasarkan physis (kodrat). Tapi ia memberi jawaban yang bertolak belakang dengan kebanyakan rekan Sofis. Ia beranggapan bahwa kodrat manusiawi merupakan dasar bagi tingkah laku manusia dan susunan masyarakat. Ia berfikir begitu, karena undang-undang berkali-kali harus dikoreksi atau diubah. Oleh karenanya bukan undang-undang yang merupakan norma terakhir yang menentukan yang baik dan yang jahat. Palagi, undangundang menggolongkan manusia sebagai penguasa atau bawahan, sebagai orang bebas atau budak. Padahal, menurut kodratnya, semua manusia sama derajatnya. Dengan demikian pada Hippias tampaklah suatu kosmopolitisme dan universalisme yang menandai banyak Sofis. 4. Prodikos Kritias hidup di abad ke-5 SM. Ia berasal dari Athena dan memainkan peranan pentik dalam politik kota itu. Pokok ajaran Kristias yang harus disebut disini adalah pendapatnya tentang agama. Ia beranggapan bahwa agama ditemukan oleh penguasa-penguasa negara yang licik. Kebanyakan pelanggaran dapat diadili menurut hukum. Tetapi selalu ada pelanggaranpelanggaran yang dilakukan tersembunyi dan tidak diketahui umum. Oleh sebab itulah penguasa-penguasa menemukan dewa-dewa supaya orang percaya



145



bahwa mereka akan membalas juga pelanggaran tersembunyi. Dalam uraian-uraian sejarah filsafat, kaum Sofis tidak selalu dipandang dengan cara yang sama. Kadang mereka dikemukakan dalam timbangan yang negatif, tetapi dalam uraian lainnya kaum Sofis mendapatkan citra positif. Di satu pihak gerakan para Sofis menyatakan krisis yang tampak dalam pemikiran Yunani. Rupanya pada waktu itu orang merasa jemu dengan sekian banyak pemikiran dan pendirian yang telah dikemukakan dalam filsafat prasokratik. Reaksinya adalah skeptisisme yang dianut oleh para Sofis. Kebenaran diragukan dan dasar ilmu pengetahuan sendiri digoncangkan (Protagoras, Gorgias). Dengan itu, Sofistik pasti mempunyai pengaruh negatif atas kebudayaan Yunani waktu itu. Banyak nilai tradisional dalam bidang agama dan moralitas mulai roboh. Peranan polis sebagai kesatuan sosial-politik mulai merosot, karena kaum Sofis memajukan suatu orientasi pan-Hellen. Tekanan pada ilmu berpidato dan kemahiran berbahasa menampilkan bahaya bahwa teknik berpidato akan dipergunakan untuk maksud-maksud jahat. Kalau prinsip Protagoras, yakni”membuat argumen paling lemah menjadi paling kuat”, dikaitkan dengan relativisme dalam bidang moral, maka dengan sendirinya jalan terbuka untuk penyalahgunaan itu. Sofis-Sofis yang besar seperti Protagoras dan Gorgias tidak menyalahgunakan ilmu berpidato untuk maksudmaksud jahat. Mereka orang yang dihormati oleh



146



umum karena moralitas yang bermutu tinggi. Hal yang sama tidak bisa dikatakan mengenai Sofis lain. Akan tetapi di lain pihak aliran Sofistik pasti juga mempunyai pengaruh positif atas kebudayaan Yunani. Bahkan boleh dikatakan bahwa para Sofis mengakibatkan suatu revolusi intelektual di Yunani. Gorgias dan Sofis lain menciptakan gaya bahasa yang baru untuk prosa Yunani. Sejarawansejarawan Yunani yang besar, seperti Herotodos dan Thukydides, dipengaruhi secara mendalam oleh pemikiran Sofistik. Pandangan hidup kaum Sofis bergema juga pada dramawan-dramawan terkenal seperti Sophokles dan terutama Euripides. Jasa terbesar mereka adalah mempersiapkan kelahiran filsafat baru. Sokrates, Plato, dan Aristoteles merealisasikan semua itu. C. Socrates Socrates (470 SM – 399 SM) adalah filsuf dari Athena, Yunani dan merupakan salah satu figur paling penting dalam tradisi filosofis Barat. Socrates lahir di Athena, tanggal 4 Juni 470 SM, dan merupakan generasi pertama dari tiga ahli filsafat besar di Yunani, yaitu Socrates, Plato dan Aristoteles. Plato dan Aristoteles merupakan murid Socrates. Ayah Socrates berprofesi sebagai pemahat patung dari batu (stone mason) bernama Sophroniscos. Ibunya adalah seorang bidan yang bernama Phainarete, dari sinilah Socrates menamakan metodenya berfilsafat dengan metode kebidanan. Socrates beristri seorang perempuan bernama



147



Xantippe dan dikaruniai tiga orang anak yaitu Ramprocles, Sophroniscos dan Menexene. Socrates adalah sosok tokoh filosuf yang penuh teka-teki dalam sejarah perkembangan filsafat. Ia tidak pernah menulis sebaris kalimatpun dalam sebuah tulisan. Masa hidup Socrates sezaman dengan kaum sofis. Ia terkenal sebagai orang yang berbudi baik, jujur, dan adil. Cara menyampaikan pemikirannya kepada para pemuda ia menggunakan metode tanya jawab. Sebab itu ia memperoleh banyak simpati dari para pemuda di negerinya. Namun ia juga kurang disenangi oleh orang banyak dengan menuduhnya sebagai orang yang merusak moral para pemuda negerinya. Selain itu ia juga dituduh menolak dewa-dewa atau tuhan-tuhan yang telah diakui negara. Kelanjutan dari tuduhan terhadap dirinya menjadikan ia diadili oleh pengadilan Athena. Dalam proses pengadilan ia mengatakan pembelaanya yang kemudian ditulis oleh Plato dalam naskahnya yang berjudul Apologi. Plato mngisahkan adanya tuduhan itu. Tuduhan mengatakan bahwa Sokrates tidak hanya menentang agama yang diakui oleh Negara, akan tetapi juga mengajarkan agama baru buatannya sendiri. Salah seorang yang mendakwanya yaitu Melithus, mengatakan bahwa dia adalah seorang tak-berTuhan dan menambahkan: Socrates berkata matahari adalah batu dan bulan adalah tanah. Socrates tentu saja mengatakan bahwa tuduhan baru yang mengatakan dia atheis ini bertentangan dengan dakwaan



148



sebelumnya, dan selanjutnya ia memaparkan berbagai pendangan yang lebih luas. Buku Apologi memberi gambaran jelas tentang sosok manusia tertentu: seorang manusia yang sangat percaya diri, berjiwa besar, tak peduli pada kesukaan duniawi, yakni bahwa ia dibimbing oleh suara illahi, dan yakin bahwa penalaran yang jernih adalah syarat terpenting untuk hidup secara benar. Dalam Apologi, Socrates membela dirinya bukanlah demi kepentingannya sendiri, melainkan demi kepentingan para hakim. Menurutnya, para hakim adalah nyamuk masyarakat, dikirim dewa ke negeri itu, dan tak mudah menemukan orang lain semacam dia (Socrates). Sokrates menjawab (menyangkal) tuduhan itu, dan menanyakan kepadanya, siapakah orang yang memperbaiki pemuda. Melithus menjawab mula-mula para hakim, kemudian terdesak sedikit mengatakan bahwa semua orang Athena kecuali Sokrates memperbaiki pemuda. Sokrates mengucapkan selamat bahwa Athena memiliki nasib baik untuk memiliki begitu banyak orang yang berusaha memperbaiki pemuda, dan orang-orang baik tentu lebih pantas untuk dipergauli dari pada orang jelek, maka dari itu ia tidak akan dapat menjadi begitu bodoh untuk dapat merusak mereka dengan sengaja. Setelah keputusan dibacakan, ia ditolak hukuman alternatif sebesar tiga puluh minae (yang untuk ini Socrates menyebut nama Plato sebagai salah seorang yang sanggup membayarnya, dan hadir dalam sidang itu), dan Sokrates menyampaikan pidato terakhiranya



149



tentang kematian. Ia mengatakan bahwa kematian bukanlah akhir dari segalanya, kematian merupakan terpisahnya jasad dari ruh untuk melanjutkan ke dunia selanjutnya. Dalam proses pengadilan Socrates dinyatakan bersalah dengan suara 280 melawan 220. Ia dituntut hukuman mati. Sokrates dihukum mati dengan meminum racun, ada yang menyebutkan racun dari tumbuhan cemara, yang jelas racun itu yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Cara matinya juga memberikan contoh, betapa seorang filosof setia kepada ajarannya dan tetap menggenggam teguh keyakinanya meskipun nyawa menjadi taruhannya. Sokrates telah meninggal dunia, tetapi nama dan pemikirannya tetap hidup untuk selama-lamanya. Socrates merupakan orang yang biasa-biasa saja, semua orang sepakat bahwa raut muka Socrates amat buruk, hidungnya papak dan perutnya begitu gendut; ia “lebih jelek ketimbang para Silenus dalam drama Satiris” (Xenopon, Symposium). Ia selalu mengenakan pakaian kumal dan tua, kemanapun ia pergi selalu bertelanjang kaki. Sikapnya yang tak peduli pada panas dan dingin, lapar dan haus mengherankan semua orang. Dalam Symposium, Alkibiades yang mengisahkan Socrates ketika menjalani tugas militer bahwa dia lebih tanggung dibandingkan temanteman lainnya. Ketika dalam keadaan terputus dalam perbekalan dan terpaksa berangkat tanpa makanan, dia tetap perkasa dibandingkan yang lain. Pada saat itu cuaca sedang beku, tanpa menghirau-



150



kan rasa dingin dia tetap melangkah dengan pasti diatas tumpukan es yang membatu dengan berpakaian seperti biasanya, kumal dan bertelanjang kaki. Kemampuan mengendalikan semua nafsu jasmani terus-menerus ditonjolkan. Dia jarang minum anggur, namun selagi dia mau, dia lebih kuat minum dibanding semua orang. Kaum sofis hidup sejaman dengan Socrates, dan memang ada kesamaan pendapat diantara keduanya itu. Menurut Cicero, Socrates memindahkan filsafat dari langit ke bumi, artinya sasaran yang diselidiki bukan lagi jagat raya, melainkan manusia. Akan tetapi bukan hanya Socrates yang membuat demikian, kaum sofis juga. Mereka juga menjadikan manusia sasaran pemikiran mereka. Itulah sebabnya Aristophanes menyebut Socrates seorang sofis. Sekalipun demikian ada perbedaan yang besar antara Socrates dan kaum sofis. Filsafat Socrates adalah suatu reaksi dan suatu kritik terhadap kaum sofis. Sebutan “sofis” mengalami perkembangan sendiri. Sebelum abad ke-5 istilah itu berarti: sarjana, cendekiawan. Pada abad ke-4 para sarjana atau cendekiawan bukan lagi disebut “sofis”, tetapi “filosofis”, filsuf, sedang sebutan “sofis” dikenakan untuk para guru yang berkeliling dari kota ke kota untuk mengajar. Akhirnya sebutan “sofis” tidak harum lagi, karena seorang sofis adalah orang yang menipu orang lain dengan memakai alasan-alasan yang tidak sah. Para guru berkeliling itu dituduh sebagai orang-orang yang minta uang bagi ajaran mereka.



151



Ajaran bahwa semua kebenaran itu relatif telah menggoyangkan teori-teori sains yang telah mapan, mengguncangkan keyakinan agama. Ini menyebabkan kebingungan dan kekacauan dalam kehidupan. Inilah sebabnya Socrates bangkit. Ia harus meyakinkan orang Athena bahwa tidak semua kebenaran itu relatif, ada kebenaran umum yang dapat dipegang oleh semua orang. Sebagian kebenaran memang relatif, tetapi tidak semuanya. Sayangnya, Socrates tidak meninggalkan tulisan. Kaum sofis beranggapan bahwa semua pengetahuan adalah relatif kebenarannya, tidak ada pengetahuan yang bersifat umum. Dengan definisi itu Socrates dapat membuktikan kepada kaum sofis bahwa pengetahuan yang umum itu ada, yaitu definisi itu sendiri. Jadi, kaum sofis tidak seluruhnya benar, yang benar ialah sebagian pengetahuan bersifat umum dan sebagian bersifat khusus, yang khusus itulah pengetahuan yang kebenarannya relatif. Seperti contoh berikut: apakah kursi itu? Orang bisa periksa seluruh kursi, kalau bisa seluruh kursi yang ada dunia ini. Misalnya kursi hakim terdiri dari tempat duduk dan sandaran, berkaki empat, dari bahan kayu jati. Kedua, kursi malas, terdiri dari tempat duduk, sandara dan berkaki empat, terbuat dari besi anti karat begitulah seterusnya. Jadi dapat diambil kesimpulah bahwa setiap kursi itu selalu ada tempat duduk dan sandaran. Kedua ciri ini terdapat pada semua kursi. Sedangkan ciri yang lain tidak dimiliki semua kursi. Maka, semua orang akan sepakat bahwa kursi adalah tempat duduk yang bersandaran. Contoh



152



tersebut merupakan kebenaran obyektif – umum, tidak subyektif–relatif. Tentang jumlah kaki, bahan, ukuran, dsb. Merupakan kebenaran yang relatif. Jadi, memang ada pengetahuan umum, itulah definisi. Ajarannya dapat diperolah dari tulisan murid-muridnya, terutama Plato. Bartens menjelaskan ajaran Socrates itu ditujukan untuk menentang ajaran relativisme sofis. Ia ingin menegakkan sains dan agama. Cara sokrates memberikan ajarannya adalah ia mendatangi orang dengan bermacammacam latar belakang mereka, seperti: ahli politik, pejabat, tukang dan lain-lain. Metode itu bersifat praktis dan dijalankan melalui percakapan-percakapan. Ia menganalisis pendapat-pendapat. Setiap orang mempunyai pendapat mengenai salah dan tidak salah, adil dan tidak adil, berani dan pengecut, dsb. Socrates selalu menanggapi jawaban pertama sebagai hipotesis dan dengan jawaban-jawaban lebih lanjut dan menarik konsekuensi-konsekuensi yang dapat disimpulkan dari jawaban-jawaban tersebut. Jika ternyata hipotesis pertama tidak dapat dipertahankan, karena menghasilkan konsekuensi yang mustahil, maka hipotesis itu diganti dengan hipotesis lain, lalu hipotesis kedua ini diselidiki dengan jawabanjawaban lain, dan begitu seterusnya. Sering terjadi percakapan itu berakhir dengan aporia (kebingunan). Akan tetapi, tidak jarang dialog itu menghasilkan suatu definisi yang dianggap berguna. Metode yang biasa digunakan Socrates biasanya disebut dialektika. Menurut Plato,



153



dialektika dalam pengertian sebagai metode untuk menggali pengetahuan dengan cara tanya jawab, bukan ditemukan oleh Socrates. Agaknya metode ini pertama kali dipraktikkan secara sistematis oleh Zeno, murid Parmenindes; dalam dialog Plato berjudul Parmenindes, Zeno mengungguli Socrates lewat cara yang sama dengan yang terjadi dalam dialog-dialog Plato lainnya di mana Socrates mengungguli orang-orang lain. Namun ada cukup alasan untuk menduga bahwa Socrates mempraktikkan sekaligus mengembangkan merode ini. Metode Socrates dinamakan dialektika karena dialog mempunyai peranan penting didalamnya. Sebutan yang lain ialah maieutika, seni kebidanan, karena cara ini Socrates bertindak seperti seorang bidan yang menolong kelahiran bayi “pengertian yang benar”. Dengan cara bekerja yang demikian itu Socrates menemukan suatu cara berfikir yang disebut induksi, yaitu: menyimpulkan pengetahuan yang sifatnya umum dengan berpangkal dari banyak pengetahuan tentang hal khusus. Misalnya: banyak orang yang menganggap keahliannya (tukang besi, tukang sepatu, pemahat, dan lain-lain) sebagai keutamaannya. Seorang tukang besi berpendapat, bahwa keutamaannya adalah jikalau ia membuat alat-alat dari besi yang baik. Seorang tukang sepatu menganggap sebagai keutamaanya, jikalau ia membuat sepatu yang baik. Demikian seterusnya. Untuk mengetahui apakah “keutamaan” pada umumnya, semua sifat khusus keutamaan-



154



keutamaan yang bermacam-macam itu harus disingkirkan. Tinggallah keutamaan yang sifatnya umum. Demikianlah dengan induksi itu sekaligus ditemukan apa yang disebut definisi umum. Definisi umum ini pada waktu itu belum dikenal. Socrateslah yang menemukannya, yang ternyata penting sekali bagi ilmu pengetahuan. Bagi Socrates definisi umum bukan pertama-tama diperlukan bagi keperluan ilmu pengetahuan, melainkan bagi etika. Yang diperlukan adalah pengertianpengertian etis, seperti umpamanya: keadilan, kebenaran, persahabatan dan lain-lainya. Socrates juga mengatakan bahwa jiwa manusia bukanlah nafasnya semata-mata, tetapi asas hidup manusia dalam arti yang lebih mendalam. Jiwa itu adalah intisari manusia, hakekat manusia sebagai pribadi yang bertanggung jawab. Oleh karena jiwa adalah intisari manusia, maka manusia wajib mengutamakan lebahagiaan jiwanya (eudaimonia = memiliki daimon atau jiwa yang baik), lebih dari pada kebahagiaan tubuhnya atau kebahagiaan yang lahiriah, seperti umpamanya: kesehatan dan kekayaan. Manusia harus membuat jiwanya menjadi jiwa yang sebaik mungkin. Jikalau hanya hidup saja, hal tersebut belum ada artinya. Pendirian Socrates yang terkenal adalah “Keutamaan adalah Pengetahuan”. Keutamaan di bidang hidup baik tentu menjadikan orang dapat hidup baik. Hidup baik berarti mempraktekkan pengetahuannya tentang hidup baik itu. Jadi baik dan jahat dikaitkan dengan soal pengetahuan, bukan dengan kemauan manusia.



155



Pada bagian kisah terakhir dalam hidup Socrates, dimana ia menyampaikan pandangan tentang apa yang terjadi sesudah mati, ia benarbenar yakin pada imortalitas. Seperti dalam cuplikan pidato penutup Socrates setelah dia dijatuhi hukuman mati: “In the next place, I desire to predict to you who have condemned me, what will be your fate: for I am now in that condition in which men most frequently prophesy, namely, when they are about to die. I say then to you, O Athenians, who have condemned me to death, that immediately after my death a punishment will overtake you, far more severe, by Jupiter, than that which you have inflicted on me. For, if you think that by putting men to death you will restrain any one from upbraiding you because you do not live well, you are much mistaken; for this method of escape is neither possible nor honorable, but that other is most honorable and most easy, not to put a check upon others, but for a man to take heed to himself.”2 “Dan sekarang wahai orang-orang yang telah menghukumku, ingin kuramalkan nasib kalian; sebab sebentar lagi aku mati, dan saat-saat menjelang kematian manusia dianugerahi kemampuan meramalkan. Dan kuramalkan kalian, para pembunuhku, bahwa tak lama sesudah kepergianku maka hukuman yang jauh lebih berat daripada yang kalian timpakan kepadaku pasti akan menantimu… jika kalian menyangka bahwa 2



Socrates, “On Being Condemned to Death”, dalam William Jennings Bryan (ed.), The World’s Famous Orations (New York: Funk and Wagnalls, 1906), 153.



156



dengan membunuh seseorang kalian dapat menjegal orang itu sehingga tak mengecam hidup kalian yang tercela, kalian salah duga; itu bukan jalan keluar terhormat dan membebaskan; jalan paling mudah dan bermartabat bukanlah dengan memberangus orang lain, namun dengan memperbaiki diri kalian sendiri.” Kematian mungkin sama dengan tidur tanpa mimpi (yang jelas baik) atau mungkin pula berpindahnya jiwa ke dunia lain. Dan adakah yang memberatkan manusia jika ia diberi kesempatan untuk berbincang dengan Orpheus, Musaeus, Hesiodus, dab Homerus? Maka, sekiranya hal ini benar, biarlah aku mati berulang kali. Di dunia lain itu mereka tak akan menghukum mati seseorang hanya karena suka bertanya: tentu tidak. Sebab kecuali sudah lebih berbahagia daripada kita saat ini, mereka yang di dunia lain itu abadi, sekiranya apa yang sering dikisahkan itu benar… “ Dari uraian pidato penutup diatas, Socrates telah percaya bahwa ada kehidupan setelah mati, dan mati merupakan perpindahan jiwa manusia ke dunia selanjutnya. Orang mati hanya meninggalkan jasad. Socrates berpendapat bahwa ruh itu telah ada sebelum manusia, dalam keadaan yang tidak kita ketahui. Kendatipun ruh itu telah bertali dengan tubuh manussia, tetapi diwaktu manusia itu mati, ruh itu kembali kepada asalnya semua. Diwaktu orang berkata kepada Socrates, bahwa raja bermaksud akan membunuhnya. Dia menjawab: “Socrates adalah di dalam kendi, raja hanya bisa



157



memecahkan kendi. Kendi pecah, tetapi air akan kembali ke dalam laut”. Maksudnya, yang hancur luluh adalah tubuh, sedangkan jiwa adalah kekal (abadi).



158



BAB VI FILSAFAT PATHRISTIK DAN SCHOLASTIK A. Filsafat Kristen Lahirnya agama Kristen pada awal abad Masehi secara tidak langsung mempengaruhi kedudukan filsafat di Barat. Pemikiran-pemikiran para filsuf mulai dipengaruhi atau bahkan dicampuri oleh pembahasan tentang pandangan hidup kristiani. Agama Kristen yang ketika itu sedang berkembang, membawa suatu dimensi baru dalam perjalanan filsafat selanjutnya. Dimensi itu tak lain ialah sebuah masa dimana pembahasanpembahasan filosofis diarahkan pada pembicaraan tentang “iman” kristiani. Dengan kata lain inilah masa yang dikenal sebagai periode “pengkristenan” filsafat. Inilah yang dikenal dengan masa Patristik. Istilah Patristik berasal dari kata latin patres (bentuk plural dari pater) yang berarti bapak-bapak dalam lingkungan gereja, yang dimaksudkan adalah para pujangga Kristen (Gereja) dan tokohtokoh Gereja yang sangat berperan sebagai peletak dasar intelektual kekristenan. Di dunia Barat agama Katolik mulai tersebar dengan ajarannya tentang Tuhan, manusia, dunia, dan etikanya. Untuk mempertahankan dan menyebarkanya maka mereka menggunakan filsafat Yunani dan menderivasi lebih lanjut, khususnya mengenai soal-soal yang berhubungan dengan manusia, kepribadian, kesusilaan, juga sifat Tuhan. Para pemikir Kristen pada zaman Patristik mempunyai sikap yang berbeda-beda terhadap



159



filsafat Yunani. Ada yang menolak sama sekali filsafat Yunani, karena dipandang sebagai hasil pemikiran manusia semata, sehingga setelah ada wahyu Tuhan dianggap tidak diperlukan lagi dan berbahaya bagi “keimanan” umat Kristen. Akan tetapi ada juga yang menerima filsafat Yunani, karena perkembangan pemikiran Yunani itu dipandang sebagai persiapan bagi Injil. Kedua macam sikap ini yang mewarnai di zaman pertengahan itu. Periode ini ditandai dengan adanya Bapakbapak Gereja (patristik) yang dimulai dengan tampilnya apologet dan para pengarang Gereja. Apologet adalah orang yang secara resmi menentang ajaran-ajaran sesat dengan mengemukakan ajaran-ajaran “iman” yang benar. Mereka dikenal juga sebagai pembela-pembela ajaran yang benar. Para Apologet memiliki tugas utama menjawab berbagai persoalan dan keberatan mengenai ajaran-ajaran Gereja, terhadap berbagai ajaran atau paham-paham filosofis yang mengancam ajaran “yang benar”. “Apologetic is a defense of the truth of a position or religion. For Christians, apologetics names the practice of setting forth reasons for accepting the Christian faith.”1 Para pengarang Gereja adalah orang-orang yang menulis buku dan karangan-karangan tentang berbagai ajaran Gereja secara menyeluruh dan mendalam dibandingkan dengan tulisan-tulisan 1



Charles Thaliaferro dan Elsa J. Marty (ed.), A Dictionary of Philosophy of Religion (New York: Continuum, 2010), 19.



160



sebelumnya. Mereka-mereka itu adalah Clemens dari Alexandria (150-219 M) dan Origenes (185-254 M). Kemudian tampil juga para pujangga Gereja (325-500 M) yang membaktikan jasa mereka bagi Gereja dan ajaran Kristen, diantaranya: Athanasius (296-373 M), Gregorius dari Naziaza (329-389 M), Basilius (330-379 M), Gregorius dari Nyssa (330-395 M), Sirilus dari Alexandria dan Dyonisius Areopagita (± 500 M), mereka adalah para pujangga Gereja tradisi Yunani dan menggunakan Bahasa Yunani (Patristik Yunani). Sedangkan Hilarius (315367 M), Ambrosius (339-397 M), Hieronymus (374420 M) dan Agustinus (354-430 M) termasuk dalam tradisi Latin yang menggunakan bahasa Latin (Patristik Latin). Ajaran-ajaran mereka, terutama ajaran Agustinus, berkembang luas dan sangat berpengaruh dalam diri para filosuf abad pertengahan. Masa Agustinus (354-430 M) sampai 1000 M dikenal dalam sejarah filsafat sebagai periode transisi, dan para filsuf yang terkelompok dalam periode ini adalah Agustinus sendiri, Boethius (480525 M) dan John Scotus Eriugena (lahir 800 M). Pada abad-abad pertama, Gereja Kristen mengalami penganiayaan terus-menerus dari pihak penguasa-penguasa Romawi. Kedaan ini berubah secara radikal, ketika pada tahun 313 Kaisar Constantinus Agung mengeluarkan pernyataan yang biasa disebut “edik Milano” dimana kebebasan beragama untuk semua orang Kristen terjamin. Sesudah kejadian itu Agama Kristen berkembang pesat dalam semua propinsi kekaisaran Romawi.



161



Sejak saat itu mulailah zaman keemasan Patristik, baik dalam wilayah yang berbahasa Yunani maupun dalam wilayah yang berbahasa Latin. Menurut para sejarawan, filsafat Patristik mengalami kemunduran sejak abad V hingga abad VIII. Selanjutnya di barat dan timur muncul tokohtokoh dan pemikir-pemikir baru dengan corak pemikiran yang mulai berbeda dengan masa Patristik. Dalam sejarah, pada awal abad masehi agama Kristen telah tumbuh dan berkembang dalam berbagai bentuk yang mengagumkan yang ditandai dengan kecanggihan intelektual Thomas Aquinas tentang eksistensi Allah, manusia dan lainlain. Sebelumnya, tampil orang-orang seperti Rasul Paulus, dan Rasul Yohanes yang menghadapkan kepercayaan Kristen dengan kepercayaan yang bukan Kristen pada waktu itu. Sejarah menunjukkan suatu pergumulan yang menentukan hidup, dan mati agama baru ini, dimana-mana agama Kristen ditentang, baik oleh penguasa maupun oleh pemikir pada saat itu, akan tetapi kemudian orangorang atas (para pemikir) tersebut menjadi pengikut agama Kristen. Timbulnya agama Kristen pada abad masehi menyebabkan filsafat menduduki tempat baru yakni : 1) Hikmah hidup yang dikemukakan oleh filsafat. 2) Hikmah hidup yang dikemukakan oleh agama Kristen. Saling konfrontasi, konfrontasi sebenarnya telah tampak pada kitab suci Kristen sendiri dengan tampilya Rosul Paulus dan Yuhanes. Kristen ditentang oleh pengusa dan ahli pikir.



162



Golongan pemeluk Kristen dibagi menjadi dua yaitu : Rakyat Jelata (Orang sederhana) masa ini tidak ada perbedaan secara falsafi dan ahli pikir (Golongan atas) mulai menentukan sikap teerhadap filsafat Yunani. Bangkitnya ahli pikir yang mempertahankan kepercayaan Kristen disebut Patristik. Istilah patristik berasal dari bahasa latin yaitu Pater yang berarti Bapak (para bapak gereja) zaman ini dimulai sampai dengan abad ke-8. Pemikir dalam menanggapi filsafat terpecah menjadi beberapa golongan: 1) Menerima karena filsafat Yunani dipandang sebagai persiapan menuju Injil. 2) Menolak filsafat Yunani, karena hasil pikiran manusia setelah ada wahyu tidak dipergunakan lagi. 3) Melebur kepercayaan Kristen dengan filsafat Yunani. Filsafat patristik dibagai menjadi dua yaitu Patristik Timur dan Patristik Barat. 1. Patristik Timur Pemikiran filsafat agama Kristen dimulai dari Apologit para pembela agama Kristen diantaranya Aristdes, Yustinus dan Tatianus. Para apologit dalam pembelaanya dari tuduhantuduhan non Kristen seperti Keristen munafik, pecundang, melakukan persetubuhan bebas, membenci sesama, tidak mau menyembah dewa dan sebagainya, Jawaban apologi adalah fitnah, sebab dalam kenyataannya orang Kristen menurut hukum Allah sehingga mereka tidak jatuh pada kesalahan-kesalahan seperti yang



163



dilakukan oleh orang-orang besar Keristen, mereka tidak membuang bayi, mereka tidak melakukan persetubuhan berlebihan, bahkan mengasihi sesama. Agama Kristen tidak mau menyembah dewa tetapi Kristen percaya kepada Allah Yang Esa dan menyembahnya Kristen hanya ada satu Allah saja yang transenden yang secara hakiki berbeda dengan manusia. Para apologit memanfaatkan filsafat Yunani dalam pembelaannya seperti: a. Yustianus Agama Kristen bukan agama baru, Agama Kristen lebih tua dari filsafat Yunani, Nabi Musa telah menumbuhkan kedatangan Kristus, Musa hidup sebelum Plato, Plato menurunkan hikmahnya dari hikmah Musa, filsafat Yunani dipandang mengganggu hikmah dari kitab suci orang Yahudi. Keyakinan Kristus adalah Logos, Kristus telah membagi-bagikan logos kepada seluruh umat manusia, sehingga kepada yang bukan Kristen juga tertanam rasa kebenaran. Logos berkerja kepada semua orang baik intelektual maupun moral. Setiap orang yang mendapatkan bagian logos adalah orang Kristen, sekalipun tidak dibaktis seperti Socrates Orang Yunani kurang mengerti akan pencerahan yang telah diberikan logos, sehingga menyimpang dari ajaran yang murni hal ini karena pengaruh Demon yang dikepalai Iblis



164



sehingga bangsa Romawi banyak yang menghambat Kristen. b. Klemes Pangkal pemikirannya adalah iman, di samping iman ada hal yang lebih tinggi yaitu Gnosis. Iman berlaku bagi tiap-tiap orang Kristen. Genosis diperlukan bagi orang-orang kristen yang dapat berfikir mendalam untuk menerangi Iman. Seseorang yang telah memiliki Gnosis harus mematikan hawa nafsunya dan kembali kepada Allah dalam satu kasih yang telah dibersihkan dari hawa nafsu. Klemes mengandalkan Iman, tanpa Iman tiada Gnosis, Iman awal pengetahuan yang harus berkembang menjadi pengetahuan tetapi pengetahuan tidak mengadakan Iman. Gnosis bagi Klemes Ilmu Sejati, suatu pengetahuan yang pasti berdasarkan penguraian yang benar dan pasti. Orang yang dianggap punya Ilmu Pengetahuan (berhikmah) jika akalnya meneguhkan pengetahuan dengan uraian-uraian yang mempunyai bukti. c. Origenes Iman kurang berguna bagi orang yang sudah berpengetahuan, sebab iman diperlukan bagi orang yang sederhana yang tidak mengerti Kitab suci secara Rohani. Menurut Origenes Kitab suci mempunyai 3 macam arti: 1) Harfiah/Somatis berlaku bagi orang yang sederhana. 2) Etis/Psikis diuraikan di dalam khutbah, diperuntukan bagi orang psikis



165



3) Pneomatis/rohani diperuntukan bagi para teolog dan filosuf. Allah adalah transenden, tidak bertubuh, esa tidak berubah, Allah pencipta segala sesuatu, baik bersifat rohani maupun badani, penciptaan Allah kekal abadi, sebelum dunia diciptakan Allah telah menciptakan dunia lain yang mendahului dunia tampak, setelah zaman dunia ini akan ada dunia yang baru. Allah menciptakan dengan perantaraan anak, sejak kekal anak diperankan bapak, sedangkan roh kudus keluar dari anak, anak Allah adalah logos, ide segala ide. Hubungan Allah bapak, anak roh kudus sebagai subordinasi artinya yang satu dibawah yang lain, yang satu lebih rendah dari pada yang lain. Roh diciptakan oleh Allah, tetapi roh tidak setia pada Allah sehingga dibelenggu didalam tubuh. Jagat raya yang tampak disebabkan oleh Dosa, semua bersifat bendawi akibat dosa, sekalipun demikian akibat tidak kesetiaan tadi, tidak semuanya sama melaikan bertingkat. Ada roh yang memiliki tubuh halus, ada roh yang memiliki tubuh kasar ada malaikat, ada manusia. Jiwa manusia dapat juga naik tingkat menjadi malaikat. Seluruh roh pada akhirnya akan kembali kepada Allah setelah mengalami banyak kelahiran dan akhirnya semua mahluk baik yang jahat dan yang baik akan selamat.



166



d. Gregorius Nazianze. Akal manusia dengan sendirinya dapat mengenal Allah dengan mempelajari hasil penciptaan Allah, manusia dengan akalnya dapat mengetahui bahwa Allah ada sekalipun zat dan hakekatnya tersembunyi bagi manusia. Mengetahui zat Allah manusia hanya dapat mengungkapkan secara negatif seperti bahwa Allah tidak berubah, Tidak dilahirkan, tanpa awal, tidak berubah, tidak binasa. e. Basilius Hanya Allah yang tampak awal, sedangkan dunia berawal awal dunia juga awal waktu, dunia dan waktu berhubungan secara timbal balik. Ketika Allah menciptakan dimulai juga waktu, akan tetapi perbuatan Allah dalam menciptakan tidak dikuasai oleh waktu, perbuatan menciptakan itu sendiri terjadi diluar waktu. f. Gregorius Iman dan pengetahuan mempunyai perbedaan, sumber dan isi Iman berbeda dengan sumber dan isi ilmu pengetahuan, kepastian tidak dapat dijelaskan dengan akal karena lebih tinggi dari kepastian akal. Pengetahuan dengan akal dapat dipakai untuk membaca Iman, untuk menjabarakan Iman. Akal dapat mengenal Allah dengan mempelajari hasil penciptaan tetapi pengetahuan tidak menyelamatkan. Orang diselamatkan hanya dengan Iman.



167



2. Patristik Barat Bagi Patristik Barat, ada dua macam sikap terhadap filsafat yaitu : (1) Aliran yang menolak filsafat. (2) Aliran yang menerima filsafat. Dalam uraian selanjutnya akan dibicarakan hal-hal yang penting saja. a. Tertullianus Ajarannya materialism. Akal manusia dapat menemukan adanya Allah dan menemukan sifat jiwa yang tidak dapat mati. Baik Allah maupun jiwa bertubuh, sekalipun berbeda dengan tubuh jasmani. Allah adalah suatu zat yang halus, jiwa terdiri dari zat yang halus yang bertubuh yang tembus sinar sama seperti uap. Jiwa tidak setiap kali diciptakan Allah, tetapi pembentukan diteruskan oleh para orang tua kepada anak-anak mereka. Jiwa berasal dari seperma sang Ayah, sehingga setiap jiwa adalah suatu ranting dari Adam, jiwa selalu mendapat dosa warisan dari Adam. b. Aurelius Agustinus Ia menentang sikap aliran spektis, sikap spektis disebabkan karena adanya pertentangan batiniah. Barang siapa ragu-ragu sebenaranya ia berfikir dan barangsiapa berfikir ia ada, aku ragu-ragu maka aku berfikir dan aku berfikir maka akan berada. Pikiran dapat mencapai kebenaran dan kepastian berfikir ada batasnya, namun dengan berfikir orang



168



dapat mencapai kebenaran yang tiada batasnya yang kekal abadi. Kita lebih dapat mengataka Allah itu bukan apa dari pada Allah itu apa, sebab Allah tidak dapat dimasukan kedalam kategoris yang dimiliki manusia, Allah adalah roh yang esa tidak bertubuh, tidak berubah, tidak berada dimana mana serta meliputi egala sesuatu. Manusia tidak dapat mengenal Allah secara sempurna. c. Dionision Allah adalah segala asala yang ada, yang keadaanya transenden secara mutlak sehingga tidak mungkin memikirkan tentang dia dengan cara yang benar dan memberikan kepadanya makna yang tepat, hal ini karena ia mengatasi segala yang ada, segala yang dapat dipikirkan orang. Segala sesuatu yang keluar dari Allah berusaha kembali kepada Allah, Didalam usaha kembali ini manusia mencoba sedikit memikirkan tentang Allah dan menyebutnya. Percobaan ini dapat dilakukan dengan tiga cara: 1) Orang dapat secara positif menyebut segala hal yang baik, yang terdapat dalam jagat raya ini untuk Allah. 2) Orang dapat menyangkal, bahwa segala yang baik, yang ada pada Allah berada dengan cara yang sama seperti adanya segala sesuatu didalam jagat raya ini. 3) Orang dapat meneguhkan, bahwa segala kesempurnaan ada pada Allah, dengan



169



cara yang tidak terhingga melebihi segala kesempurnaan makhluk. Usaha kembali kepada Allah melalui jalan pikiran ini menjadikan hidup penuh arti. Allah adalah terang, terangnya begitu gemilang, sehingga mata manusia menjadi terlalu lemah untuk mengamatinya, akibatnya terang itu menjadi kegelapan, sekalipun demikian manusia dapat menjadikan matanya bias menerima terang itu, sehingga manusia dapat mengenal Allah yaitu dengan jalan yang disebut di atas. Dionisios menekankan kehendak bebas manusia, ia menolak ajaran tentang kepindahan jiwa, dan penyamaan antar tubuh dan dosa. Tubuh pada dirinya bukanlah dosa, kejahatan ada dimana tiada kebaikan. Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa filsafat pada masa patristik menandai bahwa pemikiran-pemikiran para filsuf mulai dipengaruhi atau bahkan dicampuri oleh pembahasan tentang pandangan hidup kristiani. Sehingga melahirkan sebuah dimensi di mana pembahasan-pembahasan filosofis diarahkan pada pembicaraan tentang “iman” kristiani. Secara lebih lugas, masa ini merupakan masa di mana terjadi proses “kristenisasi” filsafat. Sebagaiman sudah dijelaskan, para pemikir Kristen pada zaman Patristik mempunyai sikap yang berbeda-beda terhadap filsafat Yunani. Ada yang menolak sama sekali filsafat Yunani, karena dipandang sebagai hasil pemikiran manusia semata,



170



sehingga setelah ada wahyu Tuhan dianggap tidak diperlukan lagi dan berbahaya bagi “keimanan” umat Kristen. Akan tetapi ada juga yang menerima filsafat Yunani, karena perkembangan pemikiran Yunani itu dipandang sebagai persiapan bagi Injil. Kondisi para pemikir Kristen semacam ini mirip dengan sikap yang ditunjukkan oleh pemikir Muslim ketika harus berhadapan dengan pemikiran filsafat yang masuk ke dunia Islam pada masa yang lain. Bedanya, jika beragamnya respon para pemikir Kristen lebih didasarkan pada kekhawatiran akan terkontaminasinya ajaran kristiani, maka beragamnya respon di dunia Islam lebih dikarenakan oleh problem substansial filsafat jika dihadapkan dengan al-Qur‟an. Dalam ajaran Kristen, ajaran kristiani sendiri tidak sepi dari koreksi manusia. Artinya body of knowledge ajaran kristiani tidak terdeskripsi dengan bentuk yang jelas. Sehingga, upaya untuk melakukan kompromi antara filsafat dengan ajaran Kristen dipandang sebagai pilihan rasional. Hal itu sebagaimana dilakukan Klemens dari Aleksandria. Salah satu pemikiran Klemens yang penting adalah usahanya untuk membangun hubungan yang baik antara “iman” Kristen dengan filsafat. Pada waktu itu, kebanyakan orang takut untuk menghubungkan keduanya karena akan dianggap sesat. Klemens mengklaim bahwa dengan mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan filsafat tidak lantas membuat orang menjadi sesat. Upaya Klemens didasarkan kepada pertimbangan bahwa kalau gereja menutup diri terhadap kebudayaan dan filsafat yunani, maka gereja akan tertutup bagi



171



orang-orang yang berpendidikan. Itulah mengapa kami katakan bahwa “kristenisasi filsafat” atau bahkan “filsafatisasi Kristen” menjadi pilihan bahkan menjadi keniscayaan sejarah. Karena pada kenyataannya, terminologi dan batasan dari istilah “sesat” sendiri menjadi delicated dalam ajaran kristiani. Hal ini berbeda dengan yang dialami umat Islam pada masa jauh setelah masa ini. Studi filsafat di dunia Islam lebih kental dengan metodologi alQuran yang vis a vis dengan metodologi filsafat dalam membangun keimanan dan pandangan hidup. Walhasil, perkembangan filsafat barat pada masa patristik lebih didasarkan pada tradisi intelektual dalam koridor keyakinan yang berakhir dengan tidak tersisanya apa yang disebut dengan ajaran “orisinil” keduanya, kecuali menghasilkan kompromi, hal itilah yang kita bias lihat dari pemikir paling terkemuka Agustinus. Agustinus dalam argumen filsafat dan teologinya, banyak dipengaruhi oleh Platonisme dan Neoplatonisme, terutama oleh karya plotinus, penulis Enneds, kemungkinan melalui perantaraan Profiri dan Victorius (seperti dalam argumen Pierre Hadot). Pandangannya yang umumnya positif terhadap pemikiran Neoplatonik ikut menolong “dibaptiskannya” pemikiran Yunani dan masuknya ke dalam tradisi Kristen dan kemudian tradisi intelektual Eropa. Tulisan awalnya yang berpengaruh tentang kehendak manusia, sebuah topik sentral dalam etika, kelak menjadi fokus bagi para filsuf berikutnya seperti Arthur Scopenhaur dan Nietzsche.



172



Adapun jika kita analogikan dengan masuknya filsafat ke dunia Islam, memang merupakan tradisi intelektual dalam koridor keimanan, yang berakhir dengan skema yang masih mapan, keduanya masih merupakan entitas pemikiran keyakinan yang berdiri sendiri. Meskipun usaha untuk mengkompromikannya sudah dilakukan sejak watu yang lama, namun belum bisa dipandang berhasil dan hanya diadopsi oleh sebagian kecil umat Islam. Tetap saja masih dalam arena perdebatan intelektual. Secara teoretis, filsafat menawarkan tentang apa itu kebenaran (al-haq). Secara praktis, filsafat menawarkan tentang apa itu kebaikan (alkhayr). Dari dua spektrum inilah kemudian filsafat merambah ke berbagai wilayah kehidupan manusia, sekaligus memberikan tawaran-tawaran solutifnya. Karena itu, dalam konteks inilah, Ibn Qayyim alJauziyah (w. 751 H/1350 M) berkesimpulan, bahwa filsafat adalah paham (isme) di luar agama para Nabi. Di sinilah problematikanya, sebab Islam telah mengajarkan tentang al-haq (kebenaran) dan al-khayr (kebaikan), termasuk cara pandang yang khas tentang keduanya. Bukan hanya itu, Islam juga telah menjelaskan hakikat dan batasan akal, metode berpikir dan pemikiran yang dihasilkannya. B. Filsafat Hindu Agama Hindu tidak didirikan oleh orang tertentu, pemikiran, atau inkarnasi tertentu. Dengan demikian, tradisi Agama Hindu bukanlah bersifat tunggal dan merupakan sistem teori, prinsip, atau praktek yang sederhana. Hal ini terdiri dari ber-



173



bagai pemikiran da pengalaman yang berbeda yang telah terkumpulkan selama lebih dari ribuan tahun oleh para Resi dan orang-orang suci. “Hinduism is so to speak a tradition (or collection of them) by induction. It does not, like Islam, emanate from a single source, the Qur'an.”2 Filsafat, agama, dan ilmu saling berkaitan. Walaupun agama berlandaskan kepercayaan, dan filsafat berdasarkan pertimbangan (rasio), akan tetapi tidak bertentangan, sebab ditinjau dari sudut tujuannya, sama-sama mencari kebenaran. Agama Hindu pun tak terlepas dari Filsafat yang dikenal dengan nama Darsana (Filsafat Hindu). Dalam agama Hindu, seorang umat berkontemplasi tentang misteri Brahman dan mengungkapkannya melalui mitos yang jumlahnya tidak habis-habisnya dan melalui penyelidikan filosofis. Mereka mencari kemerdekaan dari penderitaan manusia melalui praktik askese atau meditasi yang mendalam, atau dengan mendekatkan diri kepada Tuhan melalui cinta kasih, bakti dan percaya (Sradha). Umat Hindu juga menyebut agamanya sebagai Sanatana Dharma yang artinya Dharma yang kekal abadi. Menurut kepercayaan para penganutnya, ajaran Hindu langsung diajarkan oleh Tuhan sendiri, yang turun atau menjelma ke dunia yang disebut Awatara. Misalnya Kresna, adalah penjelmaan Tuhan ke dunia pada zaman Dwaparayuga, sekitar puluhan ribu tahun yang lalu. Ajaran Kresna atau Tuhan 2



Ninian Smart, “Hinduism”, dalam Philip L. Quinn, A Companion to the Philosophy of Religion (London: Blackwell, 1999), 7.



174



sendiri yang termuat dalam kitab Bhagawadgita, adalah kitab suci Hindu yang utama. Bagi Hindu, siapapun berhak dan memiliki kemampuan untuk menerima ajaran suci atau wahyu dari Tuhan asalkan dia telah mencapai kesadaran atau pencerahan. Oleh sebab itu dalam agama Hindu wahyu Tuhan bukan hanya terbatas pada suatu zaman atau untuk seseorang saja. Bahwa wahyu Tuhan yang diturunkan dari waktu ke waktu pada hakekatnya adalah sama, yaitu tentang kebenaran, kasih sayang, kedamaian, tentang kebahagiaan yang kekal abadi, tentang hakekat akan diri manusia yang sebenarnya dan tentang dari mana manusia lahir dan mau ke mana manusia akan pergi, atau apa tujuan yang sebenarnya manusia hidup ke dunia. Pengertian filsafat seperti yang dijelaskan pada bab sebelumnya berbeda dengan ilmu pengetahuan dan berbeda pula dengan pengertian agama. Menurut S.P. Siagian dalam bukunya Filsafat Administrasi mengatakan “kata filsafat‟ berasal dari bahasa Yunani, dari kata “Philllos” berarti gemar, senang atau cinta, dan kata “Sophia” artinya kebijaksanaan. Karena itu filsafat berarti cinta kepada kebijaksanan. Seseorang menjadi bijaksana karena berusaha mendalami hakikat sesuatu. Dengan demikian filsafat berarti berusaha mengetahui tentang sesuatu dengan sedalam-dalamnya, baik mengenai hakekat adanya sesuatu fungsi, ciricirinya,kegunaannya, masalahnya serta pemecahan terhadap masalah-masalah itu. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh W.J.S. Poerwadarminta, Falsafat



175



berati pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai sebab-sebab, asas-asas hkum, dsb. daripada segala yang ada dalam alam semesta ataupun mengenai kebenaran dan arti “adanya” sesuatu. Selain itu Prof. Ir. R. Pudjawijatna, dalam bukunya Pembimbing ke arah Filsafat, juga menegaskan arti filsafat adalah ilmu yang berusaha mencari sebab-sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan pikiran belaka. Secara garis besar perkembangan filsafat di dunia dibagi menjadi 2 kubu, yakni filsafat yang mengacu ke Timur (Asia) dan filsafat yang mengacu pada Barat (Eropa). Dari kedua kubu filsafat tersebut, yang pertama berkembang adalah filsafat yang berasal dari Timur. Filsafat Timur sendiri sebenarnya terdiri dari tiga cabang yang didasarkan pada periodeisasi dan wilayahnya, yaitu filsafat India, filsafat Cina, dan filsafat Arab. Filsafat India mengarah pada Hinduisme dan Budhaisme, filsafat Cina mengarah kepada Taoisme dan Konfusianisme, sedangkan filsafat Arab, tentu saja mengarah kepada Islam. Mengacu pada periodesasi filsafat Timur, filsafat yang berkembang pertama kalinya adalah aliran filsafat India yang mengarah kepada Hinduisme dan Budhaisme. Terdapat dua kelompok filsafat India, yaitu Astika dan Nastika. Nastika merupakan kelompok aliran yang tidak mengakui kitab Weda, sedangkan kelompok Astika sebaliknya. Dalam Astika, terdapat enam aliran filsafat yaitu: Nyaya, Waisasika, Samkhya, Yoga, Mimamsa



176



dan Wedanta. Ajaran filsafat keenam aliran tersebut dikenal sebagai Filsafat Hindu. Nyaya darsana merupakan merupakan dasar dan pengantar dari seluruh pengajaran filsafat Hindu. Nyaya Sutra yang digunakan sebagai sumber dari filsafat Nyaya ditulis oleh Rsi Gautama atau sering pula dikenal dengan nama Aksapada atau Dirghatapas kurang lebih pada abad ke-4 SM. Nyaya berarti „argumentasi‟, sehingga sering pula disebut sebagai Tarka vada atau diskusi tentang suatu darsana atau pandangan filsafat. Didalam Nyaya darsana sendiri terkandung ilmu perdebatan (Tarka vidya) dan ilmu diskusi (vada vidya) yang berarti bersifat analitik dan logis. Didalamnya juga termaktub 4 sumber pengetahuan yakni persepsi (indera), inferensi, analogi dan firman. Dari konsep ini maka dapat diketahui bahwasannya Nyaya menekankan pada aspek logika dan nalar dengan pendekatan silogisme ala Aristoteles. “The Nyaya deals mainly with logical methods…., There are four sources of knowledge, according to the Nyaya perception (pratyaksha), inference (anumana), analogy (upamana), and credible testimony (sabda)…., The process of reasoning is discussed in detail and the analysis of the process remarkably resembles the syllogistic analysis of Aristotle.3 Nyaya merupakan alat utama untuk meyakini sesuatu dengan penyimpulan yang tak terbantahkan, yang dilalui dengan pengujian dengan berbagai argumentasi dan melewati ber3



Oliver Leaman, Eastern Philosophy: Key Readings (New York: Routledge, 2000), 234.



177



bagai perbantahan sehingga membentuk suatu keyakinan yang penuh. Menurut konsep Nyaya, pengetahuan menyatakan 4 kadaan, yaitu: 1. Subyek atau si pengamat (pramata) 2. Obyek (Prameya) 3. Keadaan hasil dari pengamatan (Pramiti) 4. Cara mengetahui (Pramana) Obyek yang diamati (Prameya) berjumlah 12, yaitu: 1. Roh (Atman) 2. Badan (Sarira) 3. Indriya 4. Obyek Indriya (Artha) 5. Kecerdasan (Buddhi) 6. Pikiran (Manas) 7. Kegiatan (Pravrrthi) 8. Kesalahan (dosa) 9. Perpindahan (Pretyabhava) 10. Buah atau hasil (Phala) 11. Penderitaan (Duhkha) 12. Pembebasan (Apawarga) Nyaya darsana yang bertindak pada garis ilmu pengetahuan, menghubungkan Vaisesika pada tahapan dimana materi-materi spiritual (adhyatmika) seperti : jiwa (roh pribadi), jagat (alam semesta), Isvara (Tuhan), dan Moksa (pembebasan), yang disbut Apawarga oleh Vaisesika. Nyaya dan Vaisesika mempercayai Tuhan yang berpribadi, kejamakan dari roh dan alam semesta yang berupa atom-atom. Vaishesika dan Nyaya Darsana bersesuaian dalam prinsip pokok mereka, seperti sifat dan



178



hakekat sang Diri dan teori atom alam semesta, dan dikatakan pula bahwa Vaishesika merupakan tambahan dari filsafat Nyaya, yang memiliki analisa pengalaman sebagai obyektif utamanya. Jika ke empat sistem pemikiran India lainnya (samkhya, yoga, purva-mimamsa, dan vedanta) adalah bersifat spekulatif, dalam arti bahwa mereka menjelaskan alam semesta sebagai satu kesatuan menyeluruh, maka sistem Nyaya-vaishesika mewakili tipe filsafat analitis serta menjunjung tinggi akal sehat dan sains. Ciri khas sistem nyaya adalah penggunaan metode sebagai sains, yakni pemeriksaan logis dan kritis. Sistem Nyaya dan Vaishesika mengambil pengertian dasar filsafat tradisional tentang ruang, waktu, sebab, materi, pikiran, jiwa dan pengetahuan, mengeksplorasi arti bagi pengalaman dan menyusun hasilnya menjadi sebuah teori tentang alam semesta. Bagian yang logis dan fisik menjadi ciri utama dalam tradisi Nyaya-Vaishesika. Sistem Nyaya menjelaskan mekanisme pengetahuan secara mendetail serta berargumen melawan skeptisisme yang menyatakan bahwa tidak ada yang pasti. Sedangkan sistem Vaishesika memiliki tujuan untuk menganalisis pengalaman. Adapun Wedanta berasal dari kata “weda” dan “anta”, yang artinya bagian terakhir dari Weda (Uttara Mimamsa) atau selesainya Weda. Nama ini adalah nama yang diberikan pada ajaran Upanisad. Upanisad sendiri tidak terorganisasi dan filsafat yang sistematis agar dapat dianalisis dengan lebih mudah. Wedanta merupakan kesimpulan dan per-



179



luasan tafsir Upanisad. Didirikan oleh Badarayana pada 500 M. Didalamnya dibicarakan apa yang disebut “Jnana Marga”, yang artinya “Jalan Ilmu”. Hal itu menunjukkan bahwa Wedanta itu adalah suatu jalan kelepasan dengan mempergunakan ilmu (pengetahuan). Kitab Upanisad ini juga disebut Wedanta, karena kitab-kitab ini mewujud-kan bagian akhir dari Weda yang bersifat menyimpulkan. Upanishad juga yang sudah dikenal sebagai Wedanta, sudah ribuan tahun menjadi sumber inspirasi filsafat religius umat Hindiu. Kata Upanishad memiliki arti duduk dekat guru atau mendekatkan diri kepada Tuhan. Upanishad merupakan ajaran rahasia dari Weda yang oleh para guru dinamakan dengan istilah Wedopanisad. Jumlah kitab Upanishad adalah 108 buah. Walaupun hanya diterima sebagai “sruti”, yaitu sebagai bagian dari pewahyuan Weda, status Upanishad bukan menyampaikan kearifan manusia, namun menyediakan kebenaran yang membebaskan. Ada tiga faktor yang meyebabkan Upanishad disebut dengan Wedanta, yaitu: 1. Upanishad adalah hasil karya terakhir dari zaman Weda. 2. Pada zaman Weda program pelajaran yang disampaikan oleh para Resi kepada sisyanya, Upanishad juga merupakan pelajaran terakhir. Para Brahmacari pada mulanya diberikan pelajaran Shamhita yakni koleksi syair-syair dari zaman Weda. Kemudian dilanjutkan dengan



180



pelajaran Brahmana yaitu tata cara untuk melaksanakan upacara keagamaan. 3. Upanishad merupakan kumpulan syair-syair yang terakhir daripada zaman Weda. Oleh karena itu Upanishad adalah inti dari Weda atau Wedanta. Ada yang menyebutkan bahwa sebutan Wedanta itu diartikan sebagai suatu sistem filsafat yang ajarannya didasarkan pada kitab Upanishad. Karena banyaknya kitab Upanishad dan untuk memudahkan sistem pengajarannya, maka Badarayana mencoba menyusun secara sistematis pengajaran Upanishad dalam sebuah Sutra yang dinamakan Wedanta Sutra. Kitab ini terbagi atas empat bab yang setiap babnya memuat hal–hal sebagai berikut : 1. Menyatakan bahwa Brahman adalah realitas yang tertinggi dan semua ayat Weda mengandung Brahman di dalamya. 2. Menyatakan bahwa semua ajaran yang tidak sesuai dengan Weda tidak akan dapat dipertahankan. 3. Membicarakan syarat–syarat untuk menyatukan diri dengan Brahman. 4. Membicarakan pahala dari seseorang yang telah mendapatkan pengetahuan tentang Brahman atau Brahma Widhya. Kitab Brahma Sutra (Wedanta Sutra), Upanisad dan Bhagawadgita, ketiga kitab tersebut menjadi dasar filsafat Wedanta. Ajaran Vedanta, sering juga disebut dengan Uttara Mimamsa yaitu penyelidikan yang kedua, karena ajaran ini meng-



181



kaji bagian Weda, yaitu Upanishad. Kata Vedanta berakar kata dari Vedasya dan Antah yang berarti akhir dari Weda. Sumber ajaran ini adalah kitab Vedantasutra atau dikenal juga dengan nama Brahmasutra (Aphorisme yang berhubungan degan Brahman). Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pelopor ajaran ini adalah Maharsi Vyasa, atau dikenal juga dengan nama Badarayana atau Krishna Dwipayana. Brahma Sutra terdiri dari 550 aphorisme dan ringkasan dari filsafat dasar dari Upanishad dalam empat treatise (Adhyaya). Dengan adanya pandangan dari para cendikiawan, dalam Brahma Sutra merefleksikan filsafat Chandogya Upanisad lebih dari Upanisad yang lain. Aphorisme dalam Brahma Sutra sangatlah pendek dan beberapa diantaranya hanya terdiri dari satu atau dua kata. Aphorisme ini tidak dapat diketahui artinya tanpa pembahasan. Komentar tradisional yang mengandung dasar dari berbagai sistem filsafat, yang beberapa diantaranya memberikan interpretasi diametris yang berlawanan dari sutra kecil yang sama. Ada tiga sekolah utama filsafat Wedanta yang berbeda satu sama lain dalam cara memandang hubungan antar pribadi, hal-hal dan realitas tertinggi (Brahman). Untuk memenuhi sebagai pendiri aliran Vedanta dengan julukan “master” (acarya), seorang pemimpin religius harus menulis komentar terhadap teks-teks utama Upanisad, Bhagavad-ghita, dan Vedanta Sutra. Seperti yang telah disebutkan diatas, ada 3 sekolah utama filsafat Wedanta yang masing-masingnya memiliki tokoh dan pendapat



182



yang berbeda. Perbedaan dasar dari sistem ini adalah kepercayaan mereka untuk pertain dengan hubungan inter antara Brahman, dunia, dan atman. a. Adwaita Wedanta Pemikiran Adwaita didasarkan pada interpretasi Wedanta yang dibuat oleh Adi Sankaracarya seorang Rsi dan juga seorang cendekiawan terkemuka, yang sering disebut dengan seorang ahli metafisika Hindu yang jenius. Beliau hidup kira-kira 788-820 SM yang terlahir dalam keluarga Brahmana di kota Coshin, India Selatan. Saat ia berumur delaan tahun, ia sudah menguasai semua kitab Hindu. Ia menjadi seorang yang religius, guru spiritual juga pereformasi dan pendiri dari empat Monasteri di India, diantaranya di Badrinatha di Himalaya, di Dwarika di Pantai Barat,di Puri di Pantai Timur, dan yang terakhir di Sringeri di daerah Mysore. Biara ini sangat terkenal dan merupakan pusat pembelajaran dan tempat suci di India. Adwaita adalah sistem nondualistis. Menurut Sankara, Atman sama dengan Brahman, yakni esensi subjektivitas yang bersatu dengan esensi dunia. Dunia seluruhnya tergantung pada Brahman, tetapi Brahman tidak tergantung pada dunia. Brahman adalah dasar seluruh pengalaman, ia tidak sama dengan dunia, tidak berbeda dengan dunia, tidak empiris, tidak objektif, bukan tidak ada, sangat berbeda dari yang lain. Moksa atau pembebasan diri dicapai dengan praktek devosi dan me-



183



wudjudkan nilai-nilai etis. Ini dicapai selama orang hidup. Menurut Adwaita Wedanta, semua makhluk baik yang hidup maupun yang tidak hidup tiada lain adalah Brahman. Brahman adalah kenyataan mutlak dan tidak ada kenyataan yan lain selain Brahman. Dalam katakatanya Sankaracarya mengatakan: “Brahman satyam jagan mithya, jivo Brahmaiva naparah” “Brahman sendiri adalah kebenaran, dalam dunia yang tidak nyata ini. Atman (Jiwa individu) adalah hanya Brahman dan bukan yang lain”. b. Wishistadwaita Ramanujacarya (1055-1137) adalah tokoh utama yang menguraikan pemikiran filsafat Wedanta. Ia terlahir dari keluarga Brahmana di Bhutapuri di India Selatan. Ia adalah orang suci dan seorang cendekiawan dan mengajarkan pencerahan suci di Srirangam dekat dengan Tiruchirappali saat ini. Wishistadwaita menekankan perbedaan dalam non dualisme Sankara. Dunia Diri, Brahman itu riil, tapi dunia dan diri tergantung pada Brahman. Diri memiliki eksistensi abadi, dunia atau materi diri dan Brahman membentuk satu kesatuan, tetapi diri dan dunia hanya sebagai tubuh Brahman. Diluar Brahman tidak ada apa-apa. Itu sebabnya Ramanuja disebut nondualisme dengan perbedaan yakni Brahman memiliki dua bentuk, diri dan materi.setinggi apapun manusia merealisasikan diri, Brahman



184



masih lebih tinggi. Manusia harus selalu menghormati Brahman, itulah sebabnya Ramanuja menekankan aspek kebaktian pada Brahman. Jadi, pandangan Ramanuja ialah bahwa Brahman adalah kesatuan organis yang dibentuk oleh identitas (jati diri) yang terdiri dari bagianbagian. Ia bukan sesuatu yang abstrak tetapi konkrit dengan dibentuk oleh objek-objek yang bermacam-macam dari kesadaran dan serempak juga kesadaran itu sendiri. Kesatuan organis inilah yang disebut Ramanuja Brahman, atau Dewa (Ishvara). c. Dwaita Pemikiran dari filsafat ini dikembangkan oleh Madhvacarya (1199-1278) SM, yang lahir di Udipi dekat dengan Managlore di pantai Barat India. Ia adalah vaisnava (pemuja Dewa Wisnu) seorang yang suci dan pereformasi keagamaan. Ia mengembangkan sistem filsafat yang mengkombinasikan dualisme dengan theisme da dikenal dengan nama Dwaita, “filsafat dari keduanya”. Menurut Madhva, pokok-pokok ajaran filsafatnya adalah perbedaan (beda). Sistem ini disebut juga realistis karena mengakui bahwa dunia ini adalah nyata bukan maya. Akhirnya sistem ini juga bersifat theistis, karena menerima adanya Tuhan yang pribadi sebagai satu-satunya kenyataan yang berdiri sendiri (swatantra) dengan kata lain Madhva mengakui/percaya dengan adanya manifestasi dari Tuhan yang beraneka ragam. Dasar ajaran Madhva adalah



185



mengakui adanya kenyataan yang beraneka ragam di dunia ini, semuanya mempunyai ciri dan sifat tersendiri, sehingga menimbulkan perbedaan-perbedaan. Menurutnya, di dunia ini ada lima macam perbedaan-perbedaan, yaitu: 1) Perbedaan antara Tuhan dengan jiwa. 2) Perbedaan antara jiwa dengan jiwa yang lainnya. 3) Perbedaan antara Tuhan dengan benda. 4) Perbedaan antara jiwa dengan benda. 5) Perbedaan antara benda yang satu dengan benda yang lainnya. Semua itu berbeda secara mutlak, sekalipun perbedaan itu tidak berarti bahwa semuanya tidak saling bergantungan. Penemuan besar pada masa Upanishad adalah apa yang biasa disebut sebagai sintesis sebagai AtmanBrahman, yakni identifikasi jiwa individual (Atman) dengan dasar semesta alam (Brahman).



186



BAB VII FILSAFAT ISLAM A. Filsafat Islam di Dunia Timur Definisi kata filsafat bisa dikatakan sebagai sebuah problem falsafi pula. Tetapi, paling tidak bisa dikatakan bahwa “filsafat” adalah studi yang mempelajari seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan mendasar (radikal). Kerapkali ilmu filsafat dipandang sebagai ilmu yang abstrak dan berada di awang-awang (tidak mendarat) saja, padahal ilmu filsafat itu dekat dan berada dalam kehidupan kita sehari-hari. Benar, filsafat bersifat tidak konkrit (atau lebih bisa dikatakan tidak tunggal), karena menggunakan metode berpikir sebagai cara pergulatannya dengan realitas hidup kita. Ini didalami tidak dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan problem secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu, serta akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektik. Dialektik ini secara singkat bisa dikatakan merupakan sebuah bentuk dialog. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa. Terdapat 2 pendapat mengenai sumbangan peradaban Islam terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan, yang terus berkembang hingga saat



187



ini. Pendapat pertama mengatakan bahwa orang Eropa belajar filsafat dari filosof Yunani seperti Aristoteles, melalui kitab-kitab yang disalin oleh St. Agustine (354 – 430 M), yang kemudian diteruskan oleh Anicius Manlius Boethius (480 – 524 M) dan John Scotus. Pendapat kedua menyatakan bahwa orang Eropah belajar filsafat orang-orang Yunani dari buku-buku filasafat Yunani yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh filosof Islam seperti Al-Kindi dan Al-Farabi. Terhadap pendapat pertama Hoesin (1961) dengan tegas menolaknya, karena menurutnya salinan buku filsafat Aristoteles seperti Isagoge, Categories dan Porphyry telah dimusnahkan oleh pemerintah Romawi bersamaan dengan eksekusi mati terhadap Boethius, yang dianggap telah menyebarkan ajaran yang dilarang oleh negara. Selanjutnya dikatakan bahwa seandainya kitab-kitab terjemahan Boethius menjadi sumber perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan di Eropa, maka John Salisbury, seorang guru besar filsafat di Universitas Paris, tidak akan menyalin kembali buku Organon karangan Aristoteles dari terjemahan-terjemahan berbahasa Arab, yang telah dikerjakan oleh filosof Islam. Akan tetapi perlu ditegaskan disini bahwa filosof muslim tak hanya menyalin dan menerjemahkan karya-karya filsafat Yunani tetapi juga melengkapinya. Di dalam karya-karya para filosof muslim sangat kentara sekali unsur-unsur intristik Islami. Maka kiranya sangat relevan jika menyebut



188



Islam memiliki tradisi falsafah sendiri yang kemudian disebut sebagai filsafat Islam. “the pivotal of Islamic philosophers played in preserving and transmitting the legacy of classical Greek thought to Europe. True as this picture is, it is incomplete, because it overlooks the intrinsic value of Islamic philosophy. This is a vital, flourishing tradition in its own right, one that needs to be approached not just from the perspective of its European beneficiaries, but on its own terms as well.”1 Sebagaimana telah diketahui, orang yang pertama kali belajar dan mengajarkan filsafat dari orang-orang sophia atau sophists (500 – 400 SM) adalah Socrates (469 – 399 SM), kemudian diteruskan oleh Plato (427 – 457 SM). Setelah itu diteruskan oleh muridnya yang bernama Aristoteles (384 – 322 SM). Setelah zaman Aristoteles, sejarah tidak mencatat lagi generasi penerus hingga munculnya Al-Kindi pada tahun 801 M. Al-Kindi banyak belajar dari kitab-kitab filsafat karangan Plato dan Aristoteles. Oleh Raja Al-Makmun dan Raja Harun Al-Rasyid pada Zaman Abbasiyah, AlKindi diperintahkan untuk menyalin karya Plato dan Aristoteles tersebut ke dalam Bahasa Arab. Sepeninggal Al-Kindi, muncul filosof-filosof Islam kenamaan yang terus mengembangkan filsafat. Filosof-filosof itu diantaranya adalah: AlFarabi, Ibnu Sina, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhamad Iqbal, dan Ibnu Rushd. Berbeda dengan filosof-filosof Islam 1



Peter S. Groff, Islamic Philosophy (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2007), ix.



189



pendahulunya yang lahir dan besar di Timur, Ibnu Rushd dilahirkan di Barat (Spanyol). Filosof Islam lainnya yang lahir di barat adalah Ibnu Baja (Avempace) dan Ibnu Tufail (Abubacer). Ibnu baja dan Ibnu Tufail merupakan pendukung rasionalisme Aris-toteles. Akhirnya kedua orang ini bisa menjadi sahabat. Sedangkan Ibnu Rushd yang lahir dan dibesarkan di Cordova, Spanyol meskipun seorang dokter dan telah mengarang Buku Ilmu Kedokteran berjudul Colliget, yang dianggap setara dengan kitab Canon karangan Ibnu Sina, lebih dikenal sebagai seorang filosof. Pandangan Ibnu Rushd yang menyatakan bahwa jalan filsafat merupakan jalan terbaik untuk mencapai kebenaran sejati dibanding jalan yang ditempuh oleh ahli agama, telah memancing kemarahan pemuka-pemuka agama, sehingga mereka meminta kepada khalifah yang memerintah di Spanyol untuk menyatakan Ibnu Rushd sebagai atheis. Sebenarnya apa yang dikemukakan oleh Ibnu Rushd sudah dikemukakan pula oleh Al-Kindi dalam bukunya Falsafah El-Ula (First Philosophy). Al-Kindi menyatakan bahwa kaum fakih tidak dapat menjelaskan kebenaran dengan sempurna, oleh karena pengetahuan mereka yang tipis dan kurang bernilai. Pertentangan antara filosof yang diwakili oleh Ibnu Rushd dan kaum ulama yang diwakili oleh Al-Ghazali semakin memanas dengan terbitnya karangan Al-Ghazali yang berjudul Tahafut-ElFalasifah, yang kemudian digunakan pula oleh



190



pihak gereja untuk menghambat berkembangnya pikiran bebas di Eropah pada Zaman Renaisance. Al-Ghazali berpendapat bahwa mempelajari filsafat dapat menyebabkan seseorang menjadi atheis. Untuk mencapai kebenaran sejati menurut AlGhazali hanya ada satu cara yaitu melalui tasawuf (mistisisme). Buku karangan Al-Ghazali ini kemudian ditanggapi oleh Ibnu Rushd dalam karyanya Tahafut-et-Tahafut (The Incohenrence of the Incoherence). Kemenangan pandangan Al-Ghazali atas pandangan Ibnu Rushd telah menyebabkan dilarangnya pengajaran ilmu filsafat di berbagai perguruan-perguruan Islam. Hoesin (1961) menyatakan bahwa pelarangan penyebaran filsafat Ibnu Rushd merupakan titik awal keruntuhan peradaban Islam yang didukung oleh maraknya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini sejalan dengan pendapat Suriasumantri (2002) yang menyatakan bahwa perkembangan ilmu dalam peradaban Islam bermula dengan berkembangnya filsafat dan mengalami kemunduran dengan kematian filsafat. Pada pertengahan abad 12 kalangan gereja melakukan sensor terhadap karangan Ibnu Rushd, sehingga saat itu berkembang 2 paham yaitu paham pembela Ibnu Rushd (Averroisme) dan paham yang menentangnya. Kalangan yang menentang ajaran filsafat Ibnu Rushd ini antara lain pendeta Thomas Aquinas, Ernest Renan dan Roger Bacon. Mereka yang menentang Averroisme umumnya banyak menggunakan argumentasi yang dikemukakan oleh



191



Al-Ghazali dalam kitabnya Tahafut-el-Falasifah. Dari hal ini dapat dikatakan bahwa apa yang di perdebatkan oleh kalangan filosof di Eropah Barat pada abad 12 dan 13, tidak lain adalah masalah yang diperdebatkan oleh filosof Islam. 1. Al-Kindi Nama Al-Kindi adalah nisbat pada suku yang menjadi asal cikal-bakalnya, yaitu Banu Kindah. Banu Kindah adalah suku keturunan Kindah yang sejak dahulu menempati daerah selatan Jazirah Arab yang tergolong memiliki apresiasi kebudayaan yang cukup tinggi dan banyak dikagumi orang. Nama lengkap Al-Kindi adalah Abu Yusuf Ya‟qup bin Ishaq Ash-Shabbah bin „Imran bin Isma‟il bin Al Asy‟ats bin Qays Al-Kindi. Ia dilahirkan di Kuffah tahun 185 H (801 M). Ayahnya, Ishaq Ash-Shabbah adalah Gubernur Kuffah pada masa pemerintahan Al-Mahdi dan Harun Al-Rasyid dari Bani „Abbas. Ayahnya meninggal beberapa tahun setelah Al-Kindi lahir. Dengan demikian Al-Kindi dibesarkan dalam keadaan yatim. Karangan-karangan Al-Kindi mengenai filsafat menunjukkan ketelitian dan kecermatannya dalam memberikan batasan-batasan makna istilah-istilah yang dipergunakan dalam terminologi ilmu filsafat. Masalah-masalah filsafat yang ia bahas mencakup epistimologi, metafisika, etika, dan sebagainya. Sebagaimana halnya para penganut aliran Phythagoras, Al-Kindi juga me-



192



ngatakan bahwa dengan matematika orang tidak bisa berfilsafat dengan baik. Dari karangan-karangannya dapat diketahui bahwa Al-Kindi adalah penganut aliran eklektisisme dalam metafisika dan psikologi ia mengambil pendapat Plato; dalam bidang etika ia mengambil pendapat-pendapat Socrates dan Plato. Meskipun demikian, kepribadian AlKandi sebagai filsafat Muslim tetap bertahan. Di sini al-Kindi (seperti halnya dalam problematika-problematika lain) meletakkan batu pertama dalam rangka menjelaskan kebebasan kehendak secara filosofisnya. Untuk itu ia menganalisa bahwa aksi hakiki adalah sesuatu (perbuatan) yang merupakan buah dari niat dan kehendak dan bahwa kehendak manusia merupakan potensi psikologis yang digerakkan oleh getaran-getaran hati. Ia berani menngatakan teori tawallud yang dikemukakan oleh Mu‟tazilah. Menurutnya, sebab ada dua: dekat yang merupakan sebab langsung dan jauh yang merupakan sebab tidak langsung. Ia mendukung teori perhatian Tuhan yang konsekuensinya menundukkan alam kepada hukum-hukum yang tetap. Sumber-sumbernya yang sampai kepada kita hanya sampai di sini, yang karenanya tidak membicarakan manusia dengan sistem alam atau kehendak Allah. Ini adalah apa yang akan dikaji oleh para penggantinya yang datang sesudahnya. Sebagai seorang pelopor yang dengan sadar berusaha mempertemukan agama dengan



193



filsafat Yunani, Al-Kindi mengatakan bahwa filsafat adalah semulia-mulia ilmu dan yang tertinggi martabatnya, dan filsafat menjadi kewajiban setiap ahli pikir (ulul albab) untuk memiliki filsafat itu. Pernyataan ini terutama tertuju kepada ahli-ahli agama yang mengingkari filsafat dengan dalih sebagai ilmu syirik, jalan menuju kekafiran dan keluar dari agama. Al-Kindi sendiri sebagai filosof Muslim tidak kehilangan kepribadiannya berhadapan dengan pendapat filosof yang dianutnya. Misalnya dalam menyeberangkan pendapat dengan Aristoteles bahwa alam itu abadi. Ia tetap berpegang kepada keyakinannya bahwa alam adalah ciptaan Allah, diciptakan dari tiada dan akan berakhir menjadi tiada pula. Dengan demikian, bagi Al-Kindi, berfilsafat tidaklah berakibat mengaburkan dan mengorbankan keyakinan agama, seperti yang sering dituduhkan orang kepadanya. Filsafat sejalan dan dapat mengabdi kepada agama, walaupun beliau mendefinisikan filsafat itu sendiri masih terikat dengan filsafat terdahulu. Dan dari beragam definisi, tampaknya Al-Kindi menjatuhkan pilihannya pada definisi terakhir yaitu; filsafat adalah pengetahuan tentang segala sesuatu yang abadi dan bersifat menyeluruh (umum), baik esensinya maupun kausa-kausanya. Definisi ini menitikberatkan dari sudut pandang materinya. Menurut Al-Kindi, filosof adalah seorang yang berupaya memperoleh kebenaran dan hidup mengalkan kebenaran yang diperolehnya yaitu



194



orang yang hidup menjunjung tinggi nilai keadilan atau hidup adil. Dengan demikian, filsafat yang sebenarnya bukan hanya pengetahuan tentang kebenaran, tetapi disamping itu juga merupakan aktualisasi atau pengamalan dari kebenaran itu. Hal yang disebut terakhir menunjukkan bahwa konsep Al-Kindi tentang filsafat merupakan perpaduan antara konsep Socrates dan aliran Stoa. Tujuan terakhir adalah dalam hubungannya dengan moralitas. 2. Al-Farabi Al-Farabi mempunyai nama lain Abu Nashr Ibnu Audagh Ibn Thorhan Al-Farabi. Sebenarnya nama Al-Farabi diambil dari nama kota Farab, tempat ia dilahirkan di desa Wasij dalam kota Farab pada tahun 257 H (870 M). Kadang-kadang ia mendapat sebutan orang Turki, sebab ayah Al-Farabi sebagai seorang Iran menikah dengan wanita Turki. Sepertinya nama sebutan orang Turki kepadanya karena ibunya berasal dari negara Turki. Kepribadian AlFarabi, sejak kecil ia tekun dan rajin belajar. Dalam berolah kata, tutur bahasa, ia mempunyai kecakapan yang luar biasa. Penguasaan terhadap bahasa Iran, Turkistan dan Kurdistan sangat ia pahami. Justru bahasa Yunani dan Suryani sebagai bahasa ilmu pengetahuan pada waktu itu, Al-Farabi belum bisa menguasai. Untuk memulai karir dalam pengetahuannya, ia hijrah ke kota Baghdad, yang pada waktu itu disebut sebagai kota ilmu pengetahuan. Dia



195



belajar di sana kurang lebih dua puluh tahun. Ia betul-betul memanfaatkan untuk menimba ilmu pengetahuan kepada Ibnu Suraj untuk belajar tata bahasa Arab, Abu Bisyr Matta ibn Yunus untuk belajar ilmu mantiq (logika). Dari Baghdad Al-Farabi mencoba pergi ke Harran sebagai salah satu pusat kebudayaan Yunani di Asia Kecil. Di sana ia berguru dengan Yohana Ibn Hailan, namun tidak lama kemudian, ia meninggalkan kota ini untuk kembali ke kota Baghdad. Di sini kembali mendalami filsafat. Ia juga mampu mencapai ahli ilmu mantiq, ia kemudian mendapat prediket guru kedua, maksudnya, ia adalah orang yang pertama kali memasukkan ilmu logika ke dalam kebudayaan Arab. Keahlian ini rupanya sama yang dialami oleh Aristoteles sebagai guru pertama, ia (Aristoteles) orang yang pertama menemukan ilmu logika. Pada tahun 350 H (941 M) Al-Farabi pindah ke Damsyik. Ia menetap di kota ini, kedudukan Al-Farabi sangat diperhatikan secara layak oleh Saif Al-Dullah, khalifah dinasti AlHamdan di Allepo (Halab). Sampai wafat AlFarabi dengan usia 80 tahun. Pengalaman selama di istana Saif Al-Dullah, Al-Farabi dapat mengembangkan ilmunya dengan para sastrawan, ahli bahasa, para penyair dan ilmuan lainnya. Sehingga ia menjadi filosof yang masyhur pada masanya di istana tersebut. Dalam kepandaian Al-Farabi dibidang filsafat membawa pengaruh terhadap kemajuan peme-



196



rintahan Saif Al-Dullah, sebagaimana Al-Kindi yang dapat mencemerlangkan pemerintahan AlMu‟tasyim. Karya Al-Farabi bila dibandingkan dengan karya muridnya seperti Ibnu Sina masih kalah dalam jumlahnya. Dengan modal karangannya yang pendek berbentuk risalah dan sedikit sekali jenis karangannya yang berupa buku besar dan mendalam dalam pembicaraannya. Sebagian karangan Al-Farabi masih diketemukan di beberapa perpustakaan, sehingga di dunia Islam dapat mengenang dan mengabdikan namanya. Ciri khas tertentu yang ada pada karangannya adalah bukan saja mengarang kitab besar atau makalah-makalah, namun juga memberi ulasan-ulasan dan penjelasan terhadap karya Aristoteles, Iskandar Al Fraundismy dan Plotinus. Sebagai contoh ulasan Al-Farabi; terhadap karya Aristoteles adalah masalah Burhan (dalil), Ibarat (keterangan), Khotibah (cara berpidato), al Jadal (argumen/berdebat), Qiyas (analogi), Mantiq (logika), adapun ulasan ia terhadap karya Plotenus adalah kitab Al Majesti fi-Ihnil Falaq, juga terhadap karya Iskandar Al Fraudismy tentang Makalah fin-nafsi. Karya-karya nyata dari Al-Farabi adalah: a) Al Jami‟u Baina Ra‟yai Al Hakimain Afalatoni Al Hahiy wa Aristho-thails (pertemuan/penggabungan pendapat antara Plato dan Aristoteles); b) Tahsilu as Sa‟adah (mencari kebahagiaan);



197



c) As Suyasatu Al Madinah (politik pemerintahan); d) Fususu Al Taram (hakikat kebenaran); e) Arroo‟u Ahli Al Madinati Al Fadilah (pemikiran-pemikiran utama pemerintahan); f) As Syiyasyah (ilmu politik) g) Fi Ma‟ani Al Aqli; h) Ihsho‟u Al Ulum (kumpulan berbagai ilmu); i) At Tangibu „ala As Sa‟adah; j) Isbatu Al Mufaraqat; k) Al Ta‟liqat. Upaya untuk menyebarluaskan pemikiran Al-Farabi, sehingga kitab-kitabnya banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, Inggris, Almania, bahasa Arab dan Prancis, adapun karya yang pertama dari Al-Farabi yaitu Isho‟u Al Ulum membahas berbagai ilmu dan cabangcabangnya, seperti memuat ilmu-ilmu bahasa, matematika, logika, ketuhanan, musik, astronomi, perkotaan, fiqih, fisika, mekanika dan ilmu kalam. Ilmu tersebut mendapat perhatian besar oleh Al-Farabi adalah ilmu fiqh dan ilmu kalam. Al-Farabi mendefinisikan filsafat adalah: Al Ilmu bilmaujudaat bima Hiya Al Maujudaat, yang berarti sesuatu ilmu yang menyelidiki hakikat sebenarnya dari segala yang ada ini. AlFarabi berhasil meletakkan dasar-dasar filsafat ke dalam ajaran Islam. Dia juga berpendapat bahwa tidak ada pertentangan antara filsafat



198



Plato dan Aristoteles, sebab kelihatan berlainan pemikirannya tetapi hakikatnya mereka bersatu dalam tujuannya. Memahami atas pemikiran Al-Farabi di atas, seolah-olah filsafatnya adalah perpaduan/ campuran dari filsafat Aristoteles dan Plato. Dalam masalah alam, Al-Farabi sependapat dengan pemikiran Plato bahwa alam ini baru, yang terjadi dari tidak ada (sama dengan pendapat Al-kindi). Ide Plato tentang alam mirip suatu pengertian alam akhirat pada dunia Islam. Persoalan tentang terjadinya alam serta bagaimana hubungan pencipta (khaliq) dengan makhluknya, Al-Farabi setuju atas teori emanasi Neo Platonisme (mengutip pendapat Al-Kindi), lebih jauh Al-Farabi merinci lagi teori emanasi dengan istilah nama Nadhariyatul Faidl, dengan pemikiran dan uraiannya sendiri. Pola pikir pada bidang mantiq dan fisika, Al-Farabi sependapat dengan alur pikir Aristoteles, dalam bidang etika dan politik, ia sependapat dengan Plato, dan persoalan metafisika ia sependapat dengan Plotinus. Ia juga lebih banyak menggeluti masalah moral, politik dan psikologi dibandingkan AlKindi. Ia menghadapi secara tegas problematika qada dan qadar. Ia menggeluti tingkah laku individu di samping serius mengatur urusanurusan kemasyarakatan. Nampaknya ia merupakan kaum Paripatetik Arab paling serius mendalami sosiologi. Ia memfokuskan diri pada kebahagiaan, yang menurutnya merupakan



199



tujuan tertinggi yang didambakan manusia yang bisa diraih hanya dengan melakukan perbuatanperbuatan terpuji melalui kehendak dan pemahaman yang diniati. Setiap orang akan bisa melakukan kebaikan dan meraih kebahagiaan jika hal itu dikehendakinya. Sebab menurutnya kehendak merupakan sendi moral sekaligus sebagai sendi politik_begitu menurut istilah dia_juga ilmu madani. Yaitu ilmu yang meneliti tentang jenis-jenis perbuatan dan hukum-hukum volisional, bakat, moral, tabiat nilai tempat lahirnya perbuatan-perbuatan dan hukumhukum ini. Sebab, moral dan politik menurut AlFarabi berhubungan erat, karena Madinah fadilah (kota ideal) mirip sekali dengan kota-kota yang sempurna dan sehat yang masing-masing anggotanya saling membantu. Ketika Al-Farabi menyusun konsep tentang akal itu esa adanya, bahwa akal hanya berisi satu pikiran yang memikirkan akan dirinya sendiri. Jadi akal Tuhan adalah „aqil (berpikir) dan ma‟qul (dipikirkan), melalui Ta‟aqul, Tuhan dapat mulai ciptaan-Nya. Ketika Tuhan mulai memikirkan, timbullah suatu wujud baru atau akal baru yang disebut oleh AlFarabi dengan sebutan Al Aqlul Awwal (akal yang pertama). Berkelanjutan dari akal pertama yang Ta‟aqqul tentang pemikiran Tuhan dan dirinya sendiri. Dengan Ta‟aqqul Tuhan melimpah ke Al Aqlis Tsani (akal kedua), yang dapat menimbulkan al falakul Aqsha (langit yang paling luar), maka timbul sifat pluralitas dari alam



200



makhluk. Al Aqlits Tsani, menimbulkan Al Aqluts Tsalis (akal ketiga) bersama timbulnya Karatul Kawakibits tsabitah, langit bintang-bintang tetap, kemudian akal ketiga melimpah ke Al Aqlur Rabi‟ (akal keempat) yang menimbulkan langit bintang zuhal (Saturnus), kemudian melimpah ke Al Aqlul Khamis (akal kelima) dengan munculnya langit bintang Musytari (Yupiter), lalu ke Al Aqlu Sadis (akal keenam) bersama bintang Mirris (Mars), selanjutnya Al Aqlust Tsabi‟ (akal ketujuh) dengan munculnya langit matahari, Al Aqlusts Tsamin (akal kedelapan) bersama langit bintang zuhrah (Venus), Al Aqlut Tasi‟ (akal kesembilan) dengan langit bintang „Utharid (Markurius), akhirnya, Al Aqlul Asyir bersama dengan langit bulan. Adapun Al Aqlul Asyir (akal kesepuluh) ini dinamakan Al Aqlul Fa‟al (akal yang aktif bekerja), orang barat menyebut Active Intellect. Persoalan yang muncul adalah bagaimana hubungan Al Aqlul Fa‟al dengan isi bumi baik manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan?. AlFarabi menjawab dengan kembali kepada teori Aristoteles. Al-Farabi membedakan zat (materi) dan bentuk (surah), bahwa materi merupakan kemungkinan belaka, namun bentuk dapat menentukan kemungkinan tersebut. Sebagai contoh, kayu sebagai materi banyak mengandung kemungkinan, bisa menjadi kursi, lemari, meja dan sebagainya. Kemungkinan baru tersebut dapat terlaksana menjadi realitas



201



apabila diberi bentuk, semisal bentuk lemari, kursi, meja, kotak, dan lain sebagainya. Demikian pula dengan bumi beserta isinya, susunan bumi dan segala isinya. AlFarabi berpendapat, pembahasannya dimulai terbalik dari bawah ke atas. Maka wujud yang terbawah/rendah adalah materi yang abstrak, belum mempunyai bentuk, kemudian disebut Al Maddatul Ula la Musytarakah yaitu materi pertama pada kondisi pada tingkat yang lebih tinggi berupa unsur-unsur yaitu air, tanah, api, dan udara. Tingkatan yang lebih tinggi lagi dari bentuk unsur-unsur tersebut berbentuk wujud, misalnya emas, perak, besi, tembaga, dan lain sebagainya. Kemudian ada tingkatan yang lebih tinggi lagi adalah tumbuh-tumbuhan, dengan diwujudkan karena ada Jiwa. Sebagai jiwa yang wujudnya paling rendah yaitu Jiwa Vegetatif yaitu jiwa yang berdaya jadera. Akhirnya sampai Al Aqlul Fa‟al yang berbentuk wujud manusia, oleh jiwa yang memiliki daya berpikir aktual (Al Aqlu Bil Fi‟li). Di samping itu juga mempunyai daya menanggap (Al Quwwatul Mutaehajjilah). Al Aqlu Bil Fi‟li adalah kenyataan yang mana manusia menumpuhnya melalui dahulu dalam masa akal kemungkinan Al Aqlu Bil Quwwah yaitu pada usia bayi. Akal kemungkinan iri akan menjadi akal kenyataan apabila telah menerima pengetahuan dari Al Aqlu Fa‟al (akal aktif). Bahwa kebenaran jiwa dari kotorankotoran merupakan syarat pertama bagi pandangan filsafat dan buahnya, ini yang



202



mendasarkan pemahaman Al-Farabi dalam menata kehidupannya atas kemurnian jiwa. Ilmu kalam dan ilmu akal diharapkan dapat membawa manusia berpandangan benar. Hal itu dapat dicapai dengan cara setingkat demi setingkat dengan ilmu pasti dan ilmu mantiq. AlFarabi mempunyai dasar berfilsafat adalah memperdalam ilmu dengan segala yang maujud hingga membawa pengenalan Allah sebagai penciptanya. Dengan arah ke situ maka filsafat adalah ilmu satu-satunya yang dapat menghamparkan di depan kita dengan gambaran yang lengkap mengenai cakrawala dengan segala cosmosnya (kaum). Sebagaimana hal tersebut diungkapkan Prof. Dr. Abubakar Aceh. 3. Ibnu Maskawaih Maskawaih adalah seorang filosuf Muslim yang memusatkan perhatiannya pada etika Islam. Meskipun disiplin ilmu yang dimilikinya termasuk seorang sejarahwan, tabib, ilmuan dan sastrawan. Pengetahuannya tentang kebudayaan Romawi, Persia, dan India, termasuk filsafat Yunani, sangat luas. Nama lengkapnya adalah Abu Ali AlKhasim Ahmad bin Ya‟qub bin Maskawaih. Sebutan nama yang lebih masyhur adalah Maskawaih atau Ibnu Maskawaih. Nama ini diambil dari nama kakeknya yang semula beragama Majusi (Persia) kemudian masuk Islam. Gelarnya adalah Abu Ali, yang diperoleh dari nama sahabat Ali, yang bagi kaum Syi‟ah dipandang sebagai yang berhak menggantikan



203



nabi dalam kedudukannya sebagai pemimpin umat Islam sepeninggalannya. Dari gelar ini tidak salah jika orang mengatakan bahwa Maskawaih tergolong penganut aliran Syi‟ah. Gelar lain juga sering disebutkan, yaitu AlKhazim, yang berarti bendaharawan, disebabkan pada masa kekuasaan Adhud Al-Daulah dari Bani Buaih ia memperoleh kepercayaan sebagai bendaharawannya. Maskawaih dilahirkan di Ray (Taheran sekarang). Mengenai tahun kelahirannya, para penulis menyebutkannya berbeda-beda. M.M Syarif menyebutkan tahun 330 H/932 M. Abdul Aziz Izzat menyebutkan tahun 325 H. Sedang wafatnya (semua sepakat) pada Shafar 421 H/16 Pebruari 1030 M. Ditinjau dari tahun lahirnya dan wafatnya, Maskawaih hidup pada masa pemerintahan Bani Abbas yang berada di bawah pengaruh Bani Buwaih yang beraliran Syi‟ah dan berasal dari keturunan Parsi Bani Buwaih yang mulai berpengaruh sejak Khalifah Al-Mustakfi dari Bani Abbas mengangkat Ahmad bin Buwaih sebagai Perdana Menteri (Amir Al-Umara‟) dengan gelar Mu‟izz Al-Daulah pada 945 M. „Adhud Al-Daulah amat besar perhatiannya kepada perkembangan ilmu pengetahuan dan kesusasteraan. Pada masa inilah Maskwaih memperoleh kepercayaan, dan pada masa itu jugalah Maskawaih muncul sebagai seorang filosuf, tabib, ilmuan dan pujangga. Tetapi, disamping itu, ada hal yang tidak menyenang-



204



kan hati Maskawaih, yaitu kemerosotan moral yang melanda masyarakat. Oleh karena itulah agaknya Maskawaih lalu tertarik untuk menitikberatkan perhatiannya pada bidang etika Islam. Riwayat pendidikan Maskawaih tidak diketahui dengan jelas. Maskawaih tidak menulis autobiografinya, dan para penulis riwayatnya pun tidak memberikan informasi yang jelas mengenai latar belakang pendidikannya. Namun demikian dapat diduga bahwa Maskawaih tidak berbeda dari kebiasaan anak menuntut ilmu pada masanya. Ahmad Amin memberikan gambaran pendidikan anak pada zaman „Abbasiyah bahwa pada umumnya anakanak bermula dengan belajar membaca, menulis, mempelajari Al-Qur‟an dasar-dasar bahasa Arab, tata bahasa Arab (nahwu) dan „arudh (ilmu membaca dan membuat sya‟ir). Mata pelajaranmata pelajaran dasar tersebut diajarkan di surausurau; di kalangan keluarga yang berada yang mana guru didatangkan ke rumah untuk memberikan les privat kepada anak-anaknya. Setelah ilmu-ilmu dasar itu diselesaikan, kemudian anak-anak diberikan pelajaran ilmu fiqih, hadits, sejarah (khususnya sejarah Arab, Parsi, dan India) dan matematika. Kecuali itu diberikan pula macam-macam ilmu praktis, seperti: musik, bermain catur dan furusiah (semacam ilmu kemiliteran). Diduga Maskawaih pun mengalami pendidikan semacam itu pada masa mudanya,



205



meskipun menurut dugaan juga Maskawaih tidak mengikuti pelajaran privat, karena ekonomi keluarganya yang kurang mampu untuk mendatangkan guru, terutama untuk pelajaran-pelajaran lanjutan yang biayanya mahal. Kemungkinan besar perkembangan ilmu Maskawaih diperoleh dengan banyak dan tekunnya ia membaca buku, terutama disaat memperoleh kepercayaan menguasai perpustakaan Ibnu Al-„Amid, Menteri Rukn Al-Daulah, juga akhirnya memperoleh kepercayaan sebagai bendaharawan „Adhud Al-Daulah. Adapun karya-karya Maskawaih yang dapat terekam oleh para penulis (sejarahwan) di antaranya adalah sebagai berikut: a) Kitab Al-Fauz Al-Ashgar, tentang Ketuhanan, jiwa dan kenabian (metafisika); b) Kitab Al-Fauz Al-Akabr, tentang etika; c) Kitab Thabarat Al-Nafs, tentang etika; d) Kitab Tahdzib Al-Akhlaq wa Tathhir Al-„Araq, tentang etika; e) Kitab Tartib As-Sa‟adat, tentang etika dan politik terutama mengenai pemerintahan Bani „Abbas dan Banu Buwaih; f) Kitab Tajarib Al-Umam, tentang sejarah yang berisi peristiwa-peristiwa sejarah sejak setelah air bah Nabi Nuh hingga tahun 369 H; g) Kitab Al-Jami‟, tentang ketabiban; h) Kitab Al-Adwiyah, tentang obat-obatan; i) Kitab Al-Asyribah, tentang minuman;



206



j)



Kitab Al-Mustaudi, berisi kumpulan syairsyair pilihan; k) Kitab Maqalat fi Al-Nafsi wa Al-„Aql, tentang jiwa dan akal; l) Kitab Jawizan Khard (Akal Abadi), yang membicarakan panjang lebar tentang pemerintahan dan hukum yang berlaku di Arab, Persia, India, dan Romawi. Pemikiran filsafat Maskawaih, ia membedakan antara pengertian hikmah (kebijaksanaan, wisdom) dan falsafah (filsafat). Menurutnya, hikmah adalah keutamaan jiwa yang cerdas (aqilah) yang mampu membeda-bedakan (mumayyiz). Hikmah adalah: bahwa engkau mengetahui segala yang ada (Al-Maujudat) sebagai adanya. Atau jika engkau mau dapat kau katakan bahwa hikmah adalah “bahwa engkau mengetahui perkara-perkara Ilahiah (Ketuhanan) dan perkaraperkara insaniah (kemanusiaan), dan hasil dari pengetahuan engkau mengetahui kebenarankebenaran spiritual (ma‟qulat) dapat membedakan mana yang wajib dilakukan dan mana yang wajib ditinggalkan”. Sedangkan mengenai filsafat, Maskawaih tidak memberikan pengertian secara tegas. Ia hanya membagi filsafat menjadi dua bagian; bagian teori dan bagian praktis. Bagian teori merupakan kesempurnaan manusia yang mengisi potensinya untuk dapat mengetahui segala sesuatu, hingga dengan kesempurnaan ilmunya itu pikirannya benar, keyakinannya benar dan tidak ragu-ragu terhadap kebenaran. Sedangkan



207



bagian praktis merupakan kesempurnaan manusia yang mengisi potensinya untuk dapat melakukan perbuatan-perbuatan moral. Kesempurnaan moral ini dimulai dengan kemampuan mengatur potensi-potensi dan perbuatanperbuatan itu dapat sejalan benar dengan potensi rasionalnya yang dapat membedabedakan hal yang benar dan salah, yang baik dan buruk, hingga perbuatan-perbuatan itu benar-benar teratur sebagaimana mestinya. Akhir dari kesempurnaan moral adalah sampai dapat mengatur hubungan antar sesama manusia hingga tercipta kebahagiaan hidup bersama. Jika manusia berhasil memiliki dua bagian filsafat, yang teoritis dan yang praktis tersebut, maka berarti ia telah memperoleh kebahagiaan yang sempurna. 4. Ibnu Sina Nama lain Ibnu Sina adalah Abu Ali Hosain Ibn Abdullah Ibn Sina. Di Eropa dia lebih dikenal dengan nama Avicenna. Beliau lahir di sebuah desa Afsyana, di daerah Bukhara pada tahun 340 H / 980 M. Kelahiran beliau ditengah masa yang sedang kacau, di masa kekuasaan „Abassiyah mulai mundur dan negeri-negeri semulanya dibawah kekuasaan „Abbasiyah sehingga melepaskan diri dan berdiri sendiri. Termasuk kota Baghdad sebagai pusat pemerintahannya dikuasai oleh goongan Banu Buwaih pada tahun 334 H hingga tahun 447 H.



208



Ibnu Sina dibesarkan di daerah kelahirannya. Ia belajar Al-Qur‟an dengan menghafalnya dan belajar ilmu-ilmu agama serta ilmu-ilmu pengetahuan umum, seperti: astronomi, matematika, fisika, logika, kedokteran, dan ilmu metafisika. Ketika umur beliau belum mencapai 16 tahun sudah menguasai ilmu kedokteran, sehingga banyak orang yang datang kepadanya untuk berguru. Kepandaiannya tidak hanya dalam teori saja, melainkan segi praktikpun ia menguasai. Pada waktu Nuh bin Mansur, penguasa Bukhara menderita sakit, dan kebanyakan dokter tidak mampu mengobati, maka setelah diperiksa dan diobati Ibnu Sina, Khalifah itu menjadi sembuh. Sejak itulah ia mendapat sambutan yang baik sekali dari masyarakat. Pada waktu usianya mencapai 22 tahun, ayahnya meninggal dunia, kemudian ia meninggalkan negeri Bukhara untuk menuju ke Jurjan, dan dari sini ia pergi ke Chawarazm. Di Jurjan ia mengajar dan mengarang, tetapi karena kekacauan politik, ia tidak lama tinggal di situ. Hidupnya berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain, hingga sampai di Hamadan. Di tempat ini beliau dijadikan menteri oleh Syamsuddaulah untuk beberapa kali, meskipun di sini ia pernah dipenjarakan beberapa bulan. Kemudian ia pergi ke Isfahan, di bawah penguasa Ala Addaulah, ia kembali ke Hamadan, ketika Ala Addaulah merebut negeri



209



Hamadan. Ia meninggal pada tahun 428 H/1037 M pada usia 57 tahun. Ibnu Sina meskipun disibukkan oleh kegiatan politik namun karena kecerdasan yang dimilikinya, menyebabkan ia mampu menulis beberapa buku. Karena ia pandai mengatur waktu dalam aktivitas politik, mengajar, dan mengarang. Dalam tulis menulis tidak kurang dari 50 lembar karya yang dapat disajikan. Ia sangat berjasa bagi pera ilmuwan, dengan karyakarya yang berguna. Adapun karangan-karangan Ibnu Sina yang terkenal adalah: a) As-Syifa‟, buku ini adalah buku filsafat yang terpenting dan terbesar, dan terdiri dari 4 bagian, yaitu logika, fisika, matematika dan metafisika (ketuhanan). Buku tersebut mempunyai beberapa naskah yang terbesar di berbagai perpustakaan barat dan timur. Bagian ketuhanan dan fisika pernah dicetak dengan cetakan batu di Taheran. Pada tahun 1956 Lembaga Keilmuan Cekoslowakia di Praha menerbitkan pasal keenam dari bagian fisika yang khusus mengenai ilmu jiwa, dengan terjemahannya ke dalam bahasa Prancis, di bawah asuhan Jean Pacuch. Bagian logika diterbitkan di Kairo pada tahun 1954, dengan nama Al-Burhan, di bawah asuhan Dr. Abdurrahman Badawi. b) An-Najat, buku ini merupakan ringkasan buku As-Shafa‟, dan pernah diterbitkan bersama-sama dengan buku Al-Qanun dalam



210



ilmu kedokteran pada tahun 1593 M di Roma dan pada tahun 1331 H di Mesir. c) Al-Syarat Wat-Tanbihat, buku ini adalah buku terakhir dan yang paling baik, dan pernah diterbitkan di Leiden pada tahun 1892, dan sebagiannya diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis. Kemudian diterbitkan lagi di Kairo pada tahun 1974 di bawah asuhan Dr. Sulaiman Dunia. d) Al-Hikmat Al-Masyiriqiyyah, buku ini banyak dibicarakan orang, karena tidak jelasnya maksud judul buku, dan naskah-naskahnya yang masih ada memuat bagian logika. Ada yang mengatakan bahwa isi buku tersebut mengenai tasawuf. Tetapi menurut Carlos Nallino, berisi filsafat timur sebagai imbangan dari filsafat barat. e) Al-Qanun, atau Canon of Medicine, menurut penyebutan orang-orang barat. Buku ini pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan pernah menjadi buku standard untuk universitas-universitas Eropa, sampai akhir abad ke 17 M. Buku tersebut pernah diterbitkan di Roma tahun 1593 M dan di India tahun 1323 H. Adapun filsafat ajaran Ibnu Sina tentang wujud, sebagaimana para filosuf muslim terdahulu. Dari Tuhanlah kemaujudan yang mesti, mengalir inteligensi pertama, sendirian karena hanya dari yang tunggal. Yang mutlak, sesuatu dapat mewujud. Tetapi sifat inteligensi pertama itu tidak selamanya mutlak satu, karena



211



ia bukan ada dengan sendirinya, ia hanya mungkin dan kemungkinannya itu diwujudkan oleh Tuhan. Berkat kedua sifat itu, yang sejak saat itu melingkupi seluruh ciptaan di dunia, inteligensi pertama memunculkan dua kemaujudan yaitu: (1) inteligensi kedua melalui kebaikan ego tertinggi dari adanya aktualitas, dan (2) lingkungan pertama dan tertinggi berdasarkan segi terendah dari adanya, kemungkinan alamiyahnya. Dua proses pemancaran ini berjalan terus sampai kita mencapai inteligensi kesepuluh yang mengatur dunia ini, yang oleh kebanyakan filosuf muslim disebut malaikat Jibril. Nama ini diberikan, karena ia memberikan bentuk atau memberitahukan materi dunia ini, yaitu materi fisik dan akal manusia. Karena itu ia juga disebut pemberi bentuk (dator formarum menurut sarjana-sarjana barat abad pertengahan). Ibnu Sina berpendapat bahwa Tuhan, dan hanya Tuhan saja yang memiliki wujud tunggal, secara mutlak, sedang segala sesuatu yang lain memiliki kodrat yang mendua. Karena ketunggalannya, maka apakah Tuhan itu dan kenyataan bahwa ia ada, bukanlah dua unsur dalam satu wujud tetapi satu unsur atomik dalam wujud yang tunggal. Tentang apakah Tuhan itu, hakikat Dia, adalah identik dengan eksistensi-Nya. Hal ini buka merupakan kejadian bagi wujud lainnya, karena tidak ada kejadian lain yang eksistensinya identik dengan esensinya, dengan kata lain, misalnya seorang Eksimo



212



yang tidak pernah melihat gajah, ia tergolong salah seorang yang berdasarkan kenyataan bahwa gajah itu ada. Demikian halnya, adanya Tuhan adalah satu keniscayaan, sedang adanya sesuatu yang lain hanya mungkin dan diturunkan dari adanya Tuhan, dan dugaan bahwa Tuhan itu tidak ada mengandung kontradiksi, karena dengan demikian yang lainpun juga tidak akan ada. Argumentasi kosmologi yang didasarkan pada doktrin Aristoteles tentang sebab pertama, akan sia-sia dalam membuktikan adanya Tuhan. Meskipun demikian, Ibnu Sina tidak memilih untuk membangun argumen ontologis. Argumentasi Ibnu Sina, sebagaimana akan kita lihat kemudian, yang menjadi doktrin penting bagi dogma teologi Katolik Roma sesudah Aquinas, lebih mendekati pembuktian Leibniz tentang Tuhan sebagai dasar akan adanya dunia, yaitu pemberian Tuhanlah apa yang kita dapat mengerti tentang adanya dunia. Di sini, sebabakibat mempunyai premis dan kesimpulankesimpulan yang serupa. Di samping ke belakang, yaitu juga ke depan yaitu memulai dari premis yang tidak diragukan lagi kepada suatu kesimpulan. Sesungguhnya menurut Ibnu Sina, Tuhan menciptakan sesuatu karena adanya keperluan yang rasional ini, Ibnu Sina menjelaskan prapengetahuan Tuhan tentang semua kejadian, seperti apa yang kita lihat dalam pembahasannya tentang Tuhan. Dunia, secara keseluruhan,



213



ada bukan karena kebetulan, tetapi diberikan oleh Tuhan, ia diperlukan, dan keperluan ini diturunkan dari Tuhan. Inilah prinsip Ibnu Sina tentang eksistensi secara singkat. 5. Al-Ghazali Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Abu Hamid Al Ghazali. Beliau dilahirkan di Thus, suatu kota di Khurasan pada tahun 450 M. Ayahnya seorang pekerja pembuat pakaian dari bulu (wol) dan menjualnya di pasar. Setelah ayahnya meninggal, Al Ghazali diasuh oleh seorang ahli tasawuf. Pada masa kecilnya ia mempelajari ilmu fiqh di negerinya sendiri pada Syekh Ahmad bin Muhammad Ar Rasikani, kemudian belajar pada Imam Abi Nasar Al Ismaili di negeri Jurjan. Setelah mempelajari beberapa ilmu di negerinya, maka ia berangkat ke Nishabur dan belajar pada ImamAl Haromain. Di sinilah ia mulai kelihatan tanda-tanda ketajaman otaknya yang luar biasa dan dapat menguasai beberapa ilmu pengetahuan pokok pada masa itu seperti ilmu mantiq (logika), falsafah dan fiqh madzhab Syafi‟i. Karena kecerdasannya itulah Imam Al Haromain mengatakan bahwa Al Ghazali itu adalah “lautan tak bertepi....”. Setelah Imam Al Haromain wafat, Al Ghazali pergi ke Al Ashar untuk berkunjung kepada Menteri Nizam al Muluk dari pemerintahan dinasti Saljuk. Ia disambut dengan penuh kehormatan sebagai seorang ulama besar.



214



Kemudian dipertemukan dengan para alim ulama dan para ilmuwan. Semuanya mengakui akan ketinggian ilmu yang dimiliki Al Ghazali. Menteri Nizam al Muluk akhirnya melantik Al Ghazali pada tahun 484 H/1091 M sebagai guru besar (profesor) pada perguruan tinggi Nizamiyah yang berada di kota Baghdad. Al Ghazali kemudian mengajar di perguruan tinggi selama 4 tahun. Ia mendapat perhatian yang serius dari para mahasiswa, baik yang datang dari dekat atau dari tempat yang jauh, sampai ia menjauhkan diri dari keramaian. Pada tahun 488 H Al Ghazali pergi ke Makkah untuk menunaikan kewajiban rukun Islam yang kelima. Setelah selesai mengerjakan haji, ia terus pergi ke Syria (Syam) untuk mengunjungi Baitul Maqdis, kemudian melanjutkan perjalanannya ke Damaskus dan menetap untuk beberapa lama. Di sini ia beribadat di masjid Al Umawi pada suatu sudut hingga terkenal sampai sekarang dengan nama Al-Ghazaliyah. Pada saat itulah ia sampai mengarang sebuah kitab yang sampai kini kitab tersebut sangat terkenal yaitu Ihya Ulumuddin. Al Ghazali tinggal di Damaskus itu kurang lebih selama 10 tahun, dimana ia hidup dengan amat sederhana, berpakaian seadanya, menyedikitkan makan minum, mengunjungi masjid-masjid, memperbanyak ibadah dan berbuat yang dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT dan berkhalawat.



215



Setelah penulisan Ihya Ulumud Din selesai, ia kembali ke Baghdad, kemudian mengadakan majlis pengajaran dan menerangkan isi dan maksud dari kitabnya itu. Tetapi karena ada desakan dari penguasa yaitu Muhammad penguasa waktu itu, Al-Ghazali diminta kembali ke Naisabur dan mengajar di perguruan tinggi Nizamiyah. Pekeerjaan ini hanya berlangsung dua tahun, untuk akhirnya kembali ke kampung asalnya, Thus. Di kampungnya Al-Ghazali mendirikan sebuah sekolah para mutashawwifin (ahli tasawuf). Ia membagi waktunya guna membaca Al-Qur‟an, mengadakan pertemuan dengan para fuqaha dan ahli tasawuf, memberikan pelajaran bagi orang yang ingin mengambilnya dan memperbanyak ibadah (shalat). Di kota Thus inilah beliau akhirnya meninggal pada hari Senin tanggal 14 Jumadil akhir 505 H / 1111 M. Al-Ghazali memang hujjah al-Islam. Ia membela Islam dalam menolak orang-orang Nasrani, juga dalam serangannya terhadap kaum Batiniah dan kaum filosof. al-Ghazali menganut dan membentengi mazhab alAsy‟ariyah, walaupun ia mengeritik kajian teoritik yang dilakukan oleh kaum Mutakallimin (teolog Islam) dan sikap mereka berlebih-lebihan dalam berdebat dan bermusuhan. Jika perdebatan ini di abad-abad pertama nampak mendesak, maka di abad-abad berikutnya tidak begitu dibutuhkan. Masyarakat awam puas dengan taklid dan tidak mampu mengadakan perdebatan teologis (kalamiah). Untuk itu



216



Al-Ghazali menyerukan untuk Mengekang Masyarakat Awam dari Ilmu Kalam, walaupun AlAsy‟ari telah mendahuluinya dengan mengarang risalah Fi Istihsan fi „ilm al-Kalam. Nampak sekali bahwa kondisinya berbeda. Dengan menilai kondisi-kondisi yang terakhir, Ibnu Kaldun (808 H = 1406 M) mendukung pendapat yang dikemukakan oleh Al-Ghazali, dan berpendapat bahwa studi-studi teologis harus dibatasi untuk kalangan khusus. Di akhir kehidupannya, (ketika ia didominasi oleh kecenderungan sufis dan mulai mengeritik studi-studi rasional yang sebelumnya sudah ia lakukan) Al-Ghazali bertindak begitu keras terhadap ilmu kalam (teologi Islam) mengalahkan sikap kerasnya terhadap studi-studi lain. Ia menetapkan bahwa tujuannya adalah membentengi aqidah AhlusSunnah Wal Jama‟ah dan menjaganya dari gangguan ahli bid‟ah. Itu adalah ilmu yang memadai dengan tujuannya walaupun tidak memadai dengan maksud Al-Ghazali sendiri. Al-Ghazali, sebagaimana halnya para penganut aliran Asy‟ariyah, menjelaskan akal dengan naqli. Ia berpendapat bahwa akal harus dipergunakan sebagai penopang, karena ia harus mengetahui dirinya sendiri dan bisa mempersepsi benda lain, yang jika lepas dari sumbat angan-angan dan khayalan maka ia harus mempersepsi benda-benda secara hakiki. Namun Al-Ghazali menghentikan akal pada batas-batas tertentu, dan hanya naqlilah yang bisa melewati batas-batas ini. Mengenai



217



problematka sifat-sifat (Allah), Al-Ghazali memegang pendapat yang dinut oleh Asy‟ari, sehingga ia tidak menerima pendapat yang dikemukakan oleh kaum Hasywiyah maupun Mu‟tazilah, karena kedua aliran ini ekstrim. Aliran Hasywiyah berpegang teguh pada arti dari suatu teks (ayat Al-Qur‟an dan Al-Sunnah) agar mereka tidak mengosongkan Allah dari sifat-sifat, sehingga mereka antropomorfis. Sebaliknya Mu‟tazilah berlebih-lebihan dalam mensucikan Allah, sehingga mereka harus menafikan sifat-sifat dari Allah. Yang paling baik adalah tengah-tengah. Menurut Al-Ghazali, Allah adalah satu-satunya sebab bagi alam. Alam diciptakan dengan kehendak dan kekuasaan-Nya, karena kehendak Allah adalah sebab bagi segala yang ada (al-Maujudat), sedangkan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Sebab-sebab alami hanyalah korelasi waktu antara benda-benda. Nampak jelas bahwa Al-Ghazali mengagumi pemecahan masalah melihat Allah yang dikemukakan oleh Asy‟ari. Pemecahan ini ia tingkatkan dengan cara menafsirkan melihat Allah itu sebagai suatu corak pengetahuan. Tentang karangan Al-Ghazali berjumlah kurang lebih 100 buah meliputi berbagai macam ilmu pengetahuan, seperti ilmu kalam (teologi Islam) fiqh (hukum Islam), tasawuf, akhlak, dan autobiografi. Sebagian besar dari karangannya adalah berbahasa Arab, dan sebagian lagi berbahasa Parsi.



218



Ada beberapa kitab yang kurang mendapat perhatian di kalangan ulama Indonesia. Namun sangat dikenal oleh negeri barat, yaitu buku yang menyebabkan polimik di antara ahli filsafat, buku tersebut adalah Maqashidul Falasifah (Tujuan para Ahli Filsafat) dan kitab Tahafut Al Falasifah (Keberantakan para Filosuf). Bukunya selain Ihya Ulumud Din yang paling terkenal itu, juga ada yang bernama Al Munqidz min A Dhalal (Penyelamat dari kesesatan) berisi sejarah perkembangan alam pikiran dan mencerminkan sikapnya yang terakhir terhadap beberapa macam ilmu, serta jalan untuk mencapai Tuhan. Di antara penulispenulis modern banyak yang mengikuti jejak AlGhazali dalam menuliskan autobiorafinya. Karangan Al-Ghazali, di samping ada teman-teman yang sepaham dengan pemikiranpemikirannya, ada pula yang menantang akan pendiriannya. Adapun yang sepaham adalah Renan Cassanova, Carro De Vaux, dan lain-lain. Sedang yang menantang adalah Ibnu Rusyd, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, dan lain-lain dari kalangan fuqaha. Adapun penyerangan dari kalangan fuqaha dan tasawuf (Ibnu Rusyd) adalah disebabkan sikap Al-Ghazali yang menantang para filosuf Islam, bahkan ia sampai mengafirkan dalam tiga hal yaitu: a) Pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani. b) Membatasi pengetahuan Tuhan kepada halhal yang besar saja, dan



219



c) Ada kepercayaan tentang qadimnya alam dan keasliannya. Penyerangan termuat dalam kitabnya yang terkenal yaitu Tahafut Al Falasifah dan Al Munqidz min Ad Dhalal, akan tetapi dalam bukunya yang lain, yaitu Mizan Al Amal dikatakan bahwa ketiga-tiganya persoalan tersebut menjadi kepercayaan orang-orang tasawuf juga. Juga dalam bukunya Al Madhnun „ala Ghairi Alhlihi, ia mengakui qadimnya alam. Kemudian dalam Al Munqidz min Ad Dhalal ia menyatakan bahwa kepercayaan yang dipeluknya ialah kepercayaan orang tasawuf. Kemudian dalam bukunya yang lain lagi, Mi‟raj As Salikin ia menaentang orang-orang tasawuf yang mengatakan adanya kebangkitan rohani saja. Jadi Al-Ghazali menentang kepercayaan dalam 3 soal tersebut dalam beberapa bukunya, tetapi mempercayai juga dalam bukubukunya yang lain. Manakah yang benar? Dan bagaimana pendirian yang sebenarnya?. Tafsiran para pembahas disini berbedabeda. Menurut Ibnu Tufail, perlawanan terseubut memang suatu kontradiksi benar-benar dari pemikiran Al Ghazali. Menurut Ibnu Salah, karena Al-Ghazali dari aliran ahlussunnah, maka pikiran-pikiran daribukunya yang berlawanan dengan aliran ini dianggap bukan dari AlGhazali, seperti buku Al Madhnun „ala Ghairi Ahlihi. Menurut Dr. Zaki Mubarrak dalam bukunya Al Akhlaqin Al-Ghazali, perbedaan



220



pendapat tersebut disebabkan karena perkembangan pikiran Al-Ghazali, mulai dari seorang murid biasa, kemudian menjadi murid yang cemerlang namanya, meningkat menjadi guru yang tenar. Akhirnya menjadi kritikus yang kuat dan menguasai dan menyingkap macammacam pendapat, kemudian menjadi pengarang besar yang membanjiri dunia dengan pembahasan dan buku-bukunya. Namun demikian Dr. Sulaiman Dunia, mempunyai penafsiran lain. Ia mengatakan bahwa semuabuku-buku Al-Ghazali masih dipeganginya terus sampai akhir hayatnya. Tetapi harus diingat, ada buku-buku yang ditujukan kepada orang biasa (awam) dan ada pula yang khusus ditujukan kepada orang-orang tertentu sekali, dan oleh karena itu sudah barang tentu isinya tidak akan sama. Buku Incoherence of the Philosophers merupakan karyanya yang fenomenal dan berimbas sangat besar dalam perkembangan filsafat Islam. Buku ini berisi sangahan AlGhazali terhadap teori keabadian alam yang dikemukakan oleh filsuf sebelumnya. Al- Ghazali menyanggah 4 poin terhadap filsuf-filsuf. 1) Mengenai pernyataan bahwa dunia ini ada begitu saja. Melalui pemahaman Aristotelian, setiap perubahan yang terjadi harus ditentukan oleh suatu sebab yang berada di luar dirinya. Hal ini tidak hanya berlaku untuk objek-objek fisik, tetapi juga berlaku untuk



221



keadaan pikiran. Maka, jika Tuhan menginginkan suatu perubahan terjadi, maka beberapa sebab yang datang dari luar dirinya harus ikut mengatur atau menuntunnya kearah terwujudnya keputusan itu. Konsekuensinya, dunia harus kekal karena jika dunia tercipta dari ketiadaan (ex nihilo), muncul pertanyaan mengapa Tuhan mengizinkan adanya ketiadaan pra-adanya dunia dan mengapa Tuhan harus menunggu untuk membuat alam semesta. Menurut petunjuk Al-Qur‟an, Tuhan menciptakan segala sesuatu hanya dengan berkata “Jadilah, maka jadilah ia” (QS Ali Imran ayat 42). Jika Ia menginginkan adanya sesuatu, mengapa ia harus menunggu padahal Ia memiliki kemahakuasaan untuk memenuhi apapun yang ia mau. Menurut Al-Farabi: Jika yang menunda tindak pelaksanaan suatu perbuatan adalah suatu halangan bagi Tuhan, maka hal tersebut mengurangi ke-maha kuasaan Tuhan. Hal itu jelas tidak mungkin. Dengan begitu, Tuhan tidak menunggu untuk membuat alam semesta, yang berarti alam semesta bersifat kekal. Para filsuf yang disanggah oleh AlGhazali menganut emanasi Plotinos dimana model penciptaan melalui emanasi. Dunia ini terus-menerus terpancar dari Yang Satu. Maka hal itu akan berarti bahwa keberadaan sesuatu adalah tidak lebih lambat atau lebih



222



akhir waktunya dari keberadaan Sang Pelaku (Sang Satu). Sanggahan Al-Ghazali: Menurut AlGhazali, teori semacam ini tidak koheren. AlGhazali mengikuti teori kausalitas dimana Tuhan sudah merancang sebab-akibat dari segala sesuatu dan ciptaannya. Tuhan menggunakan tata aturannya sendiri dan mempunyai tujuan dari segala rancangannya karena kemauannya (iradat) mutlak. Iradat Tuhan bersifat mutlak dan terlepas dari ruang dan waktu, namun ciptaan Tuhan (dalam hal ini dunia) dapat ditangkap oleh akal manusia karena dunia terbatas dalam ruang dan waktu. Tuhan bersifat transeden, namun kemauan (iradat) Tuhan adalah immanent dan merupakan sebab hakiki dari segala kejadian. 2) Hakikat waktu adalah kekal. Berangkat dari premis Aristoteles, waktu mengandaikan atau sebagai ukuran keberadaan gerakan atau adanya pergerakan. Dalam pengertiannya, “sekarang” merupakan perkelanjutan dari masa lalu yang masih terus bergerak. “Sekarang” merupakan akhir dari masa lalu namun merupakan awal dari masa depan. Maka, tidak mungkin ada “sekarang” yang pertama tanpa adanya waktu sebelum “sekarang” itu. Juga tidak ada “sekarang” yang terakhir dengan tidak ada waktu setelah “sekarang” itu. Dengan demikian, tidak ada awal



223



maupun akhir dari waktu. Karena waktu itu kekal dan waktu merupakan pengandaian dan ukuran adanya pergerakan. Sedangkan dunia terus bergerak, maka kesimpulannya adalah dunia itu kekal. Sanggahan Al-Ghazali: Waktu juga diciptakan dan sebelum itu tidak ada waktu sama sekali. Tuhan ada lebih dulu sebelum adanya dunia dan waktu dan tanpa keberadaan dunia dan waktu. Kemudian, Ia ada dan bersamanya ada dunia dan ada waktu tapi Tuhan terlepas dari dunia dan waktu itu sendiri. 3) Tentang Potensialitas. Alam semesta tidak diciptakan. Pada saat sebelum adanya alam semesta, yang ada hanyalah kemungkinan bahwa alam semesta itu ada. Dan harus selalu dalam keadaan mungkin karena sekarang alam semesta itu nyata. Dengan demikian, dunia ini kekal dan bukannya terbatas. Sanggahan Al Ghazali: Argumen ini adalah argumen yang ganjil. Segala sesuatu yang tidak rusak bersifat abadi karena yang jelas hal-hal seperti itu tidak akan pernah keluar atau masuk ke dalam wilayah keberadaan. Sesuatu yang ada itu pasti rusak. Dunia itu mungkin dan dia ada pada satu waktu. Jika dia ada pada satu waktu, dia harus ada pada setiap waktu sehingga dia tidak akan punah atau rusak. Ada dugaan tersembunyi (suatu prinsip tersembunyi)



224



yang dalam argumen seperti itu dapat diterima 4) Prinsip kelimpahan. Alam semesta sebagai totalitas yang tidak akan punah karena bagian-bagiannya terus berganti. Materi membutuhkan materi lain untuk menjadi ada. Perubahan hanya bisa mungkin jika materi membutuhkan bentuk-bentuk yang berbeda dan dengan demikian sesuatu yang baru pun timbul. Sanggahan Al-Ghazali: Jika kemungkinan mengandaikan keberadaan suatu materi, maka akan menjadi mustahillah untuk dapat memahami sifat-sifat tertentu, katakanlah sebagai contoh, warna sebagai suatu hal yang munkin ketika mereka tidak dikaitkan dengan benda. B. Filsafat Islam di Dunia Barat Ketika datang ke Timur Tengah pada abad IV SM. Aleksander Yang Agung membawa bukan hanya kaum militer tetapi juga kaum sipil. Tujuannya bukanlah hanya meluaskan daerah kekuasaannya ke luar Masedonia, tapi juga menanamkan kebudayaan Yunani di daerah-daerah yang dimasukinya. Untuk itu ia adakan pembauran antara orang-orang Yunani yang dibawanya, dengan penduduk setempat. Dengan jalan demikian berkembanglah falsafat dan ilmu pengetahuan Yunani di Timur Tengah, dan timbullah pusat-pusat peradaban Yunani seperti lskandariah (dari nama Aleksander) di Mesir, Antakia di Suria, Selopsia



225



serta Jundisyapur di Irak dan Baktra (sekarang Balkh) di lran. Ketika para Sahabat Nabi Muhammad menyampaikan dakwah Islam ke daerah-daerah tersebut terjadi peperangan antara kekuatan Islam dan kekuatan Kerajaan Bizantium di Mesir , Suria serta Irak, dan kekuatan Kerajaan Persia di Iran. Daerah-daerah ini, dengan menangnya kekuatan Islam dalam peperangan tersebut, jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Tetapi penduduknya, sesuai dengan ajaran al-Qur‟an, bahwa tidak ada paksaan dalam agama dan bahwa kewajiban orang Islam han‟ya menyampaikan ajaran-ajaran yang dibawa Nabi, tidak dipaksa para sahabat untuk masuk Islam. Mereka tetap memeluk agama mereka semula terutama yang menganut agama Nasrani dan Yahudi. Dari warga negara non Islam ini timbul satu golongan yang tidak senang dengan kekuasaan Islam dan oleh karena itu ingin menjatuhkan Islam. Mereka pun menyerang agama Islam dengan memajukan argumen-argumen berdasarkan falsafat yang mereka peroleh dari Yunani. Dari pihak umat Islam timbul satu golongan yang melihat bahwa serangan itu tidak dapat ditangkis kecuali dengan memakai argumen-argumen filosofis pula. Untuk itu mereka pelajari falsafat dan ilmu pengetahuan Yunani. Kedudukan akal yang tinggi dalam pemikiran Yunani mereka jumpai sejalan dengan kedudukan akal yang tinggi dalam al-Qur‟an dan Sunnah Nabi. Dengan demikian timbullah di panggung sejarah pemikiran Islam teologi rasional yang di-



226



pelopori kaum Mu‟tazilah. Ciri-ciri dari teologi rasional ini ialah : Kedudukan akal tinggi di dalamnya, sehingga mereka tidak mau tu nduk kepada arti harfiah dari teks wahyu yang tidak sejalan dengan pemikiran filosofis dan ilmiah. Mereka tinggalkan arti harfiah teks dan ambil arti majazinya, dengan lain kata mereka tinggalkan arti tersurat dari nash wahyu dan mengambil arti tersiratnya. Mereka dikenal banyak memakai ta‟wil dalam memahami wahyu. Akal menunjukkan kekuatan manusia, maka akal yang kuat menggambarkan manusia yang kuat, yaitu manusia dewasa. Manusia dewasa, berlainan dengan anak kecil, mampu berdiri sendiri, mempunyai kebebasan dalam kemauan serta perbuatan, dan mampu berfikir secara mendalam. Karena itu aliran ini menganut faham qadariah, yang di Barat dikenal dengan istilah freewill and free-act, yang membawa kepada konsep manusia yang penuh dinamika, baik dalam perbuatan maupun pemikiran. Pemikiran filosofis mereka membawa kepada penekanan konsep Tuhan Yang Maha Adil. Maka keadilan Tuhanlah yang menjadi titik tolak pemikiran teologi mereka. Keadilan Tuhan membawa mereka selanjutnya kepada keyakinan adanya hukum alam ciptaan Tuhan, dalam al-Qur‟an disebut Sunnatullah, yang mengatur perjalanan apa yang ada di alam ini. Alam ini berjalan menurut peraturan tertentu, dan peraturan itu perlu dicari untuk kepentingan hidup manusia di dunia ini.



227



Teologi rasional Mu‟tazilah inilah, dengan keyakinan akan kedudukan akal yang tinggi, kebebasan manusia dalam berfikir serta berbuat dan adanya hukum alam ciptaan Tuhan, yang membawa pada perkembangan Islam, bukan hanya falsafat, tetapi juga sains, pada masa antara abad ke VIII dan ke XIII M. Filosof besar pertama yang dikenal adalah al-Kindi, (796- 873 M) satu-satunya filosof Arab dalam Islam. la dengan tegas mengatakan bahwa antara falsafat dan agama tak ada pertentangan. Falsafat ia artikan sebagai pembahasan tentang yang benar (al-bahts ‟an alhaqq). Agama dalam pada itu juga menjelaskan yang benar. Maka kedua-duanya membahas yang benar. Selajutnya falsafat dalam pembahasannya memakai akal dan agama, dan dalam penjelasan tentang yang benar juga memakai argumen-argumen rasional. Menurut pemikiran falsafat kalau ada yang benar maka mesti ada”Yang Benar Pertama” (al-Haqq alAwwal). Yang Benar Pertama itu dalam penjelasan Al-Kindi adalah Tuhan. Falsafat dengan demikian membahas soal Tuhan dan agama. Falsafat yang termulia dalam pendapat Al-Kindi adalah falsafat ketuhanan atau teologi. Mempelajari teologi adalah wajib dalam Islam. Karena itu mempelajari falsafat, dan berfalsafat tidaklah haram dan tidak dilarang, tetapi wajib. Dengan falsafat “al-Haqq al-Awwal”nya, al-Kindi, berusaha memurnikan keesaan Tuhan dari arti banyak. Al-haqiqah atau kebenaran, menurut pendapatnya, adalah sesuainya apa yang ada di dalam akal dengan apa yang ada diluarnya, yaitu



228



sesuainya konsep dalam akal dengan benda bersangkutan yang berada di luar akal. Benda-benda yang ada di luar akal merupakan juz‟iat (kekhususan, particulars). Yang penting bagi falsafat bukanlah benda-benda atau juz‟iat itu sendiri, tetapi yang penting adalah hakikat dari juz‟iat itu sendiri. Hakikat yang ada dalarn bendabenda itu disebut kulliat (keumuman, universals ). Tiap-tiap benda mempunyai hakikat sebagai juz‟i (haqiqah juz‟iah) yang disebut aniah dan hakikat sebagai kulli, (haqiqah kulliah) yang disebut mahiah, yaitu hakikat yang bersifat universal dalam bentuk jenis. Memurnikan tauhid memang masalah penting dalam teologi dan falsafat Islam. Dalam hal ini Al-Farabi (870-950 M) memberi konsep yang lebih murni lagi. Dalam pemikirannya, kalau Tuhan, Pencipta alam semesta, berhubungan langsung dengan ciptaan nya yang tak dapat dihitung banyaknya itu, di dalam diri Tuhan terdapat arti banyak. Zat, yang di dalam diriNya terdapat arti banyak, tidaklah sebenarnya esa. Yang Maha Esa, agar menjadi esa, hanya berhubungan dengan yang esa. Selain kemahaesaan Tuhan, yang dibahas filosof-filosof Islam ada pula soal jiwa manusia yang dalam falsafat Islam disebut al-nafs. Falsafat yang terbaik mengenai ini adalah pemikiran yang diberikan Ibn Sina (980 -1037 M). Sama dengan AIFarabi ia membagi jiwa kepada tiga bagian: Jiwa tumbuh-tumbuhan yang mempunyai daya makan, tumbuh dan berkembang biak. Jiwa binatang yang mempunyai daya gerak, pindah dari satu tempat ke



229



tempat, dan daya menangkap dengan pancaindra, yang terbagi dua: (a) Indra luar, yaitu pendengaran, penglihatan, rasa dan raba. Dan (b) Indra da1am yang berada di otak dan terdiri dari: a. Indra bersama yang menerima kesan-kesan yang diperoleh pancaindra. b. Indra penggambar yang melepaskan gambar-gambar dari materi. c. Indra pereka yang mengatur gambar-gambar ini. d. Indra penganggap yang menangkap arti-arti yang terlindung dalam gambar-gambar tersebut. e. Indra pengingat yangmenyimpan arti-arti itu. Jiwa manusia, yang mempunyai hanya satu daya, yaitu berfikir yang disebut akal. Akal terbagi dua: a. Akal praktis, yang menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui indra pengingat yang ada dalam jiwa binatang. b. Akal teoritis, yang menangkap arti-arti murni, yang tak pernah ada dalam materi seperti Tuhan, roh dan malaikat. Akal praktis memusatkan perhatian kepada alam materi, sedang akal teoritis kepada alam metafisik. Dalam diri manusia terdapat tiga macam jiwa ini, dan jelas bahwa yang terpenting diantaranya adalah jiwa berfikir manusia yang disebut akal itu. Akal praktis, kalau terpengaruh oleh materi, tidak meneruskan arti-arti, yang diterimanya dari indra pengingat dalam jiwa binatang, ke akal teoritis. Tetapi kalau ia teruskan akal teoritis akan berkembang dengan baik. Sifat seseorang banyak bergantung pada jiwa mana dari tiga yang tersebut di atas berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang yang berpengaruh, orang itu dekat menyerupai binatang. Tetapi jika jiwa manusia yang



230



berpengaruh terhadap dirinya maka ia dekat menyerupai malaikat. Dan dalam hal ini akal praktis mempunyai malaikat. Akal inilah yang mengontrol badan manusia, sehingga hawa nafsu yang terdapat di dalamnya tidak menjadi halangan bagi akal praktis untuk membawa manusia kepada kesempurnaan. Setelah tubuh manusia mati, yang akan tinggal menghadapi perhitungan di depan Tuhan adalah jiwa manusia. Jiwa tumbuh-tumbuhan dan jiwa binatang akan lenyap dengan hancurnya tubuh kembali menjadi tanah. Jiwa manusia mempunyai wujud tersendiri, yang diciptakan Tuhan setiap ada janin yang siap untuk menerima jiwa. Jiwa berhajat kepada badan manusia, karena otaklah, sebagaimana dilihat di atas, yang pada mulanya menolong akal untuk menangkap arti-arti. Makin banyak arti yang diteruskan otak kepadanya makin kuat daya akal untuk menangkap arti-arti murni. Kalau akal sudah sampai kepada kesempurnaan, jiwa tak berhajat lagi pada badan, bahkan badan bisa menjadi penghalang baginya dalam menangkap arti-arti murni. Jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang lenyap dengan matinya tubuh karena keduanya hanya mempunyai fungsi-fungsi fisik seperti dijelaskan sebelumnya, Kedua jiwa ini, karena telah rnemperoleh balasan di dunia ini tidak akan dihidupkan kembali di akhirat. Jiwa manusia, berlainan dengan kedua jiwa di atas, fungsinya tidak berkaitan dengan yang bersifat fisik tetapi yang bersifat abstrak dan rohani. Karena itu balasan yang akan diterimanya bukan di dunia, tetapi di akhirat. Kalau



231



jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang tidak kekal, jiwa manusia adalah kekal. Jika ia telah mencapai kesempurnaan sebelum berpisah dengan badan ia akan mengalami kebahagiaan di akhirat. Tetapi kalau ia berpisah dari badan dalam keadaan belum sempurna ia akan mengalami kesengsaraan kelak. Dari faham bahwa jiwa manusialah yang akan menghadapi perhitungan kelak timbul faham tidak adanya pembangkitan jasmani yang juga dikritik alGhazali. Demikianlah beberapa aspek penting dari falsafat Islam. Pemurnian konsep tauhid membawa al-Kindi kepada pemikiran Tuhan tidak mempunyai hakikat dan tak dapat diberi sifat jenis (al-jins) serta diferensia (al-fasl). Sebagai seorang Mu‟tazilah, alKindi juga tidak percaya pada adanya sifat-sifat Tuhan; yang ada hanyalah semata-mata zat. Inilah sepuluh dari duapuluh kritikan yang dimajukan alGhazali (1058-1111 M) terhadap pemikiran para filosof lslam. figa, diantara sepuluh itu, menurut alGhazali membawa mereka kepada kekufuran, yaitu: 1. Alam qadim dalam arti tak bermula dalam zaman 2. Pembangkitan jasmani tak ada 3. Tuhan tidak rnengetahui perincian yang terjadi di alam. Konsep alam qadim membawa kepada kekufuran, dalam pendapat al-Ghazali, karena qadim dalam falsafat berarti sesuatu yang wujudnya tidak mempunyai permulaan dalam zaman, yaitu tidak pernah tidak ada di zaman lampau. Dan ini berarti tidak diciptakan. Yang tidak diciptakan adalah Tuhan. Maka syahadat dalam teologi Islam adalah: la qadima illallah,



232



tidak ada yang qadim selain Allah. Kalau alam qadim, maka alam adalah pula Tuhan dan terdapatlah dua Tuhan. Ini membawa kepada faham syirk atau politeisme, dosa besar yang dalam al-Qur‟an disebut tak dapat diampuni Tuhan. Tidak diciptakan bisa pula berarti tidak perlu adanya Pencipta yaitu Tuhan. Ini membawa pula kepada ateisme. Politeisme dan ateisme jelas bertentangan sekali dengan ajaran dasar Islam tauhid, yang sebagaimana dilihat di atas para filosof mengusahakan Islam memberikan arti semurni-murninya. Inilah yang mendorong al-Ghazali untuk mencap kafir filosof yang percaya bahwa alam ini qadim. Mengenai masalah kedua, pembangkitan jasmani tak ada, sedangkan teks ayat-ayat dalam al-Qur‟an menggambarkan adanya pembangkitan jasmani itu. Umpamanya ayat 78/9 dari surat Yasin”Siapa yang menghidupkan tulang-tulang yang telah rapuh ini? Katakanlah: Yang menghidupkan adalah Yang Menciptakannya pertama kali”. Maka pengkafiran di sini berdasar atas berlawanannya falsafat tidak adanya pembangkitan jasmani dengan teks al-Qur‟an, yang adalah wahyu dari Tuhan. Pengkafiran tentang masalah ketiga, Tuhan tidak mengetahui perincian yang ada di alam, juga didasarkan atas keadaan falsafat itu, berlawanan dengan teks ayat dalam alQur‟an. Sebagai umpama dapat disebut ayat 59 dari surat Al-An‟am: Tiada daun yang jatuh yang tidak diketahui-Nya.



233



Pengkafiran Al-Ghazali ini membuat orang di dunia lslam bagian timur dengan Baghdad sebagai pusat pemikiran, menjauhi falsafat. Apalagi di samping pengkafiran itu al-Ghazali mengeluarkan pendapat bahwa jalan sebenarnya untuk mencapai hakikat bukanlah falsafat tetapi tasawuf. Dalam pada itu sebelum zaman Al-Ghazali telah muncul teologi baru yang menentang teologi rasional Mu‟tazilah. Teologi baru itu dibawa oleh alAsy‟ari (873-935), yang pada mulanya adalah salah satu tokoh teologi rasional. Oleh sebab-sebab yang belum begitu jelas ia meninggalkan faham Mu‟tazilahnya dan menimbulkan, sebagai lawan dari teologi Mu‟tazilah, teologi baru yang kemudian dikenal dengan nama teologi al-Asy‟ari. Sebagai lawan dari teologi rasional Mu‟tazilah, teologi Asy‟ari bercorak tradisional. Corak tradisionalnya dilihat dari hal-hal berikut : 1. Dalam teologi ini akal mempunyai kedudukan rendah, sehingga kaum Asy‟ari banyak terikat kepada arti lafzi dari teks wahyu. Mereka tidak mengambil arti tersurat dari wahyu untuk menyesuaikannya dengan pemikiran ilmiah dan falsafi. 2. Karena akal lemah, manusia dalam teologi ini merupakan manusia lemah dekat menyerupai anak yang belum dewasa, yang belum bisa berdiri sendiri, tetapi masih banyak bergantung pada orang lain untuk membantunya dalam hidupnya. Teologi ini mengajarkan faham jabariah atau fatalisme, yaitu percaya kepada kada dan kadar Tuhan. Manusia di sini bersikap statis. 3. Pemikiran teologi al-Asy‟ari bertitik tolak dari faham kehendak mutlak Tuhan.



234



Manusia dan alam ini diatur Tuhan menurut kehendak mutlak-Nya dan bukan menurut peraturan yang dibuatnya. Karena itu hukum alam dalam teologi ini tak terdapat; yang ada ialah kebiasaan alam. Dengan demikian bagi mereka api tidak sesuai dengan hukum alam, selamanya membakar, tetapi biasanya membakar sesuai dengan kehendak mutlak Tuhan. Jelas teologi tradisional al-Asy‟ari ini tidak mendorong pada berkembangnya pemikiran ilmiah dan filosofis, sebagaimana halnya dengan teologi rasional Mu‟taziiah. Sesudah al-Ghazali, teologi tradisional inilah yang berkembang di dunia Islam bagian Timur. Tidak mengherankan kalau sesudah zaman al-Ghazali ilmu dan falsafat tak berkembang lagi di Baghdad sebagaimana sebelumnya di zaman Mu‟tazilah dan filosof-filosof Islam. Di dunia Islam bagian Barat, yaitu di Andalus atau Spanyol Islam, sebaliknya, pemikiran filosofis masih berkembang sesudah serangan a1Ghazali tersebut, Ibn Bajjah (1082-1138) dalam bukunya Risalah al- Wida‟ kelihatannya mencela alGhazali yang berpendapat bahwa bukanlah akal tetapi al-dzauq dan ma‟rifat sufilah yang membawa orang kepada kebenaran yang meyakinkan. Ibn Tufail (w. 1185 M) dalam bukunya Hayy Ibn Yaqzan malahan menghidupkan pendapat Mu‟tazilah, bahwa akal manusia begitu kuatnya sehingga ia dapat mengetahui masalah-masalah keagamaan seperti adanya Tuhan, wajibnya manusia berterimakasih kepada Tuhan, kebaikan serta



235



kejahatan dan kewajiban manusia berbuat baik dan mejauhi perbuatan jahat. Dalam hal-hal ini wahyu datang untuk memperkuat akal. Dan akal orang yang terpencil di suatu pulau, jauh dari masyarakat manusia, dapat mencapai kesempurnaan sehingga ia sanggup menerima pancaran ilmu dari Tuhan, seperti yang terdapat dalam falsafat emanasi Al-Farabi dan Ibn Sina. Tapi Ibn Rusydlah (1126-1198 M) yang mengarang buku Tahufut al-Tahafut sebagai jawaban terhadap kritik-kritik Al-Ghazali yang ia uraikan dalam Tahafut al-Falasijah. Mengenai masalah pertama qidam al-alam, alam tidak mempunyai permulaan dalam zaman, konsep AIGhazali bahwa alam hadis, alam mempunyai permulaan dalam zaman, menurut Ibn Rusyd mengandung arti bahwa ketika Tuhan menciptakan alam, tidak ada sesuatu di samping Tuhan. Tuhan, dengan kata lain, di ketika itu berada dalam kesendirianNya. Tuhan menciptakan alam dari tiada atau nihil. Konsep serupa ini, kata Ibn Rusyd, tidak sesuai dengan kandungan al-Qur‟an. Didalam al-Qur‟an digambarkan bahwa sebelum alam diciptakan Tuhan, telah ada sesuatu di samping-Nya. Ayat 7 dari surat Hud umpamanya mengatakan, Dan Ialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari dan takhtaNya (pada waktu itu) berada di atas air. Jelas disebut dalam ayat ini, bahwa ketika Tuhan menciptakan langit dan bumi telah ada di samping Tuhan, air. Ayat 11 dari Ha Mim menyebut pula, Kemudian la pun naik ke langit sewaktu ia masih merupakan uap. Di sini



236



yang ada di samping Tuhan adalah uap, dan air serta uap adalah satu. Selanjutnya ayat 30 dari surat al-Anbia‟ mengatakan pula, Apakah orang-orang yang tak percaya tidak melihat „ bahwa langit dan bumi (pada mulanya) adalah satu dan kemudian Kami pisahkan. Kami jadikan segala yang hidup dari air. Ayat ini mengandung arti bahwa langit dan bumi pada mulanya berasal dari unsur yang satu dan kemudian menjadi dua benda yang berlainan. Dengan ayat-ayat serupa inilah Ibn Rusyd menentang pendapat al-Ghazali bahwa alam diciptakan Tuhan dari tiada dan bersifat hadis dan menegaskan bahwa pendapat itu tidak sesuai dengan kandungan al-Qur‟an. Yang sesuai dengan kandungan al-Qur‟an sebenarnya adalah konsep alFarabi, Ibn Sina dan filosof-filosof lain. Di samping itu, kata khalaqa di dalam al-Qur‟an, kata Ibn Rusyd, menggambarkan penciptaan bukan dari”tiada”, seperti yang dikatakan al-Ghazali, tetapi dari”ada”, seperti yang dikatakan filosoffilosof. Ayat 12 dari surat al-Mu‟minun, menjelaskan, Kami ciptakan manusia dari inti sari, tanah. Manusia di dalam al-Qur‟an diciptakan bukan dari”tiada” tetapi dari sesuatu yang”ada”, yaitu intisari tanah seperti disebut, oleh ayat di atas. Falsafat memang tidak menerima konsep. Antara falsafat dan agama Ibn Rusyd mengadakan harmoni. Dan dalam harmoni ini aka1 mempunyai kedudukan tinggi. Pengharmonian aka1 dan wahyu ini sampai ke Eropa dan di sana dikenal dengan averroisme. Sa1ah satu ajaran averroisme ia1ah kebenaran ganda, yang mengatakan bahwa



237



pendapat falsafat benar sungguhpun menurut agama sa1ah. Agama mempunyai kebenarannya sendiri. Dan averroisme inilah yang menimbulkan pemikiran rasiona1 dan ilmiah di Eropa. Tak lama sesudah zaman Ibn Rusyd umat Islam di Spanyol mengalami kemunduran besar dan kekuasaan luas Islam sebelumnya hanya tingga1 di sekitar Granada di tangan Banu Nasr. Pada tahun 1492 dinasti ini terpaksa menyerah kepada Raja Ferdinand dari Castilia. Dengan hilangnya Islam dari Andalus atau di Spanyol, hilang pulaah pemikiran rasional dan ilmiah dari dunia Islam bagian barat. Di dunia Islam bagian timur, kecuali di ka1angan Syi‟ah, teologi tradisional al-Asy‟ari dan pendapat al-Ghazali bahwa jalan tasawuf untuk mencapai kebenaran adalah lebih meyakinkan dari pada ja1an falsafat, terus berkembang. Hilanglah pemikiran rasional, filosofis dan ilmiah dari dunia Islam sunni sehingga datang abad XIX dan umat Islam dikejutkan oleh kemajuan Eropa dalam bidang pemikiran, falsafat dan sains, sebagaimana disebut di atas, berkembang di Barat atas pengaruh metode berfikir Ibn Rusyd yang disebut averroisme. Semenjak itu pemikiran rasional mulai ditimbulkan oleh pemikir-pemikir pembaruan seperti alAfghani, Muhammad Abduh, Sayyid Ahmad Khan,dan lain-lain. Filosuf-filosuf Islam di dunia Barat yaitu: 1. Ibnu Rusyd Nama lengkapnya adalah Abu Al-Walid Muhamad Ibn Ahmad Ibn Muhamad Ibn Rusyd, di Barat di dalam Literatur Latin Abad Tengah



238



Akhir ia dikenal dengan nama Averroes. Ia dilahirkan di Cordova pada 520 H (1126 M) dari keluarga yang terkenal alim dalam ilmu fiqih di Spanyol-Islam. Kakeknya dari pihak ayah pernah menjadi kepala pengadilan di Andalusia, disamping kedudukannya sebagai seorang ahli hukum terkemuka dalam mazhab Maliki, salah satu Mazhab yang sangat dominan dalam wilayah Maghribi dan Andalusia. Selain itu, kakeknya juga aktif dalam kegiatan politik dan sosial. Ibn Rusyd mempelajari Ilmu fiqih dari ayahnya, sehingga dalam usianya yang masih muda Ibn Rusyd telah hafal Kitab Muwaththa‟ karangan Imam Malik. Disamping itu ia belajar ilmu kedokteran kepada Abu Ja‟far Harun dan Abu Marwan Ibn Jarbun Al-Balansi, sedangkan logika, filsafat, dan teologi ia peroleh dari Ibn Thufail. Menurut Sarton, ia adalah orang pertama yang menerangkan fungsi retina dan orang pertama yang menjelaskan bahwa serangan cacar pertama akan membuat kekebalan berikutnya pada orang yang bersangkutan. Ia juga mempelajari sastra arab, matematika, fisika, dan ilmu ekonomi. Ia dipandang sebagai filsuf yang paling menonjol pada periode perkembangan filsafat Islam mencapai puncaknya (700-1200 M). Keunggulannya terletak pada kekuatan dan ketajaman filsafatnya yang luas serta pengaruhnya yang besar pada fase-fase tertentu pemikiran latin dari tahun 1200-1650 M. Sebutan Averroes untuk Ibn Rusyd, menurut Sirajuddin Zar, sebenarnya lebih pantas



239



untuk kakeknya. Karena sebutan ini adalah akibat terjadinya metamorfose Yahudi-SpanyolLatin. Kata Arab Ibnu oleh orang Yahudi diucapkan seperti kata Ibrani Aben, sedangkan dalam standar Latin Rusyd menjadi Rochd. Dengan demikian, nama Ibnu Rusyd menjadi Aben Rochd, maka melalui asimilasi huruf-huruf konsonan dan penambahan sisipan sehingga akhirnya menjadi Averroes. Dari Averroes ini muncul sebuah kelompok pengikut Ibnu Rusyd dalam bidang filsafat yang menamakan diri Averroisme. Dalam bidang ini, Ibnu Rusyd memang membuktikan diri sangat ahli dan terhormat, penjelasan-penjelasannya tentang filsafat dan komentarnya terhadap filsafat Aristoteles dinilai yang paling tepat dan tidak ada tandingannya. Sebab itu ada yang menamakannya sebagai guru kedua (bukan alFarabi), setelah guru pertama Sang Filsuf atau Aristoteles. Itu tidak berarti Ibnu Rusyd tidak memiliki pemikiran filsafat sendiri, dalam penjelasan al-Ahwani, pandangan-pandangan pribadi Ibnu Rusyd yang mencerminkan pandangan dan pahamnya sendiri terdapat dalam rumusan kesimpulan setelah memberikan uraian dan komentas terhadap filsafat Aristoteles. Ulasan dan Kesimpulan tersebut terkadang lebih panjang dari terjemahannya terhadap pemikiran Aristoteles sendiri. Pada tahun 1153 M Ibn Rusyd pindah ke Maroko memenuhi permuntaan khalifah Abd



240



Al-Mukmin, khalifah pertama dari Dinasti Muwahhidin, khalifah ini banyak membangun sekolah dan lembaga ilmu pengetahuan,ia meminta Ibn Rusyd untuk membantunya mengelola lembaga-lembaga tersebut. Pada tahun 1169 M risalah pokok tentang medis, al-risalah, telah diselesaikannya, dan pada tahun yang sama pula ia dipernalkan oleh Ibn Thufail kepda Khalifah Abu Ya‟qub. Hasil dari pertemuan ini Ibn Rusyd diangkat sebagai qadhi di Saville. Ia memanfaatkan kesempatan tersebut dengan sebaik-baiknya. Diriwayatkan bahwa Ibn Rusyd hanya dua malam melewatkan begitu saja tanpa membaca dan menulis, yaitu malam meninggal ayahnya dan malam perkawinannya. Berbeda dengan Ibn Sina, Ibn Rusyd tidak gemar menghadiri tempat-tempat hiburan dan menyaksikan tari-tarian, sehingga ia lebih disegani dan dihormati. Semenjak itu pula, ia mulai menafsirkan karya-karya Aristoteles atas permintaan khalifah tersebut. keberhasilannya menafsirkan karya-karya Aristoteles ini menjadikan ia terkenal dengan gelar “Komentator Aristoteles”. Dua tahun setelah menjadi qadhi di Saville, ia kembali ke Cordova menduduki jabatan Hakim Agung (qadhi al-qudhat). Selanjutnya pada tahun 1182 M ia bertugas sebagai dokter khalifah di Istana A-Muwahhidin, Maroko menggantikan Ibn Thufail. Pada tahun 1195 M, keadaan berubah akibat pengaruh politik. Sultan Abu Yusuf



241



memerlukan dukungan ulama dan Fuqaha untuk menghadapi peperangan menghadapi kaum kristen. Karena itu, Sultan menangkap dan mengasingkan Ibn Rusyd ke tempat bernama Lucena yang terletak sekitar 50 km di arah tenggara Cordova, guna mendapatkan simpati dan bantuan dari para ulama dan fuqaha dalam peperangan tersebut. pengasingan itu sendiri dilakukan berdasarkan tuduhan sebagian ulama dan fuqaha bahwa Ibn Rusyd adalah seorang zindik dan kafir. Semua bukunya dibakar terutama buku-buku filsafat kecuali buku-buku kedokteran, astronomi, dan matematika. Atas jasa baik pemuka Kota Saville yang menghadap khalifah untuk membujuknya membebaskan Ibn Rusyd, akhirnya ia dibebaskan. Kemudian ia kembalu ke Maraques, Maroko, tetapi tidak lama setelah itu ia wafat di kota ini pada 9 Safar 595 H (10 Desember 1198 M) dalam usia 72 tahun menurut perhitungan Masehi dan 75 tahun menurut perhitungan Hijrah. Setelah tiga bulan berlalu, jenazahnya dipindahkan ke Cordova untuk dikuburkan di pekuburan keluarganya. Ahli tasawuf terkenal, Muhyi Al-Din Ibn Arabi (1165-1240 M) mengahdiri pemakamannya kembali. Konon waktu pemindahan jenazahnya diangkut 2 ekor keledai, seekor keledai membaawa jenazah, dan seekor lagi membawa tumpukan kitab-kitab dan sejumlah karyanya. Sebagai seorang pemikir besar muslim, ia mempunyai gagasan-gagasan filosofis mengenai



242



problem ketuhanan dan alam semesta. Pemikiran Ibnu Rusyd ini, nantinya akan memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan filsafat, terutama di dunia barat, yang kemudian direinterpretasi oleh filsuf barat hingga melahirkan renaisans dan zaman modern. Berikut akan saya coba uraikan pemikiran Ibnu Rusyd mengenai problem ketuhanan dan alam semesta. Pengalaman pahit dan tragis yang dialami Ibnu Rusyd adalah seperti pengalaman hidup yang dialami para pemikir kreatif dan inovatif terdahulu. Namun kecintaannya kepada ilmu pengetahuan, membaca, menulis dan bermuzakarah tidak pernah surut. Kecintaan pada ilmu pengetahuan membentuk kepribadiannya sebagai seorang inklusif, toleran dan suka memberi maaf. Sifat kepribadian ini menurut alAqqad menyebabkan ia (saat menjadi hakim) selalu sulit dalam menjatuhkan eksekusi, dan jika eksekusi harus dilakukan ia serahkan kepada para wakilnya. Tidak hanya seorang ilmuan terpandang, ia juga ikut ke medan perang melawan Alphonse, raja Argon. Khalifah begitu menghormati Ibnu Rusyd melebihi penghormatannya pada para pejabat daulah al-Muwahhidun dan ulama-ulama yang ada masa itu. Walau pun demikian Ibnu Rusyd tetap menjadi orang yang rendah hati, ia menampilkan diri secara arif selayaknya seorang guru dalam memberi petunjuk dan pengajaran pada umat. Hubungan



243



dekat dengan Khalifah segera berakhir, setelah Khalifah menyingkirkannya dari bahagian kekuasaan di Cordova dan buku-buku karyanya pernah diperintahkan Khalifah untuk dimusnahkan kecuali yang berkaitan dengan ilmu-ilmu murni saja. Ibnu Rusyd mengalami hidup pengasingan di Yasyanah. Tindakan Khalifah ini menurut Nurcholish Madjid, hanya berdasarkan perhitungan politis, dimana suasana tidak kondusif dimanfaatkan oleh para ulama konservatif dengan kebencian dan kecemburuan yang terpendam terhadap kedudukan Ibnu Rusyd yang tinggi. a. Karya-karya Ibn Rusyd Ibn Rusyd menulis dalam banyak bidang, antara lain ilmu fikih, kedokteran, ilmu falak, filsafat, dan lain-lain. Sebenarnya karyanya yang paling besar berpengaruh di Barat, yang dikenal dengan Averroesm adalah komentarnya atas karya-karya Aristoteles, bukan saja dalam bidang filsafat, juga dalam bidang ilmu jiwa, fisika, logika, dan akhlak. Manuskrip-manuskrip Arabnya sudah tidak ada, namun masih terdapat terjemahanterjemahannya dalam bahasa Latin dan Ibrani. Karya-karyanya yang lain adalah: 1) Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Mustashid fi al-Fiqh. 2) Kitab al-Kulliyat fi al-Thib, Telah diterjemahkan dalam bahasa Latin, Coliget. 3) Tahafut al-Tahafut,



244



yang merupakan sanggahan terhadap Kitab Al-Gazali, Tahafut al-Falasifah, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan banyak mempengaruhi Thomas van Aquinas. 4) Al-Kasyf „an Manahij al-Adillah fi „Aqaid alMillah. 5) Fashl al-Maqal fima bain al-Hikmah wa alSyari‟ah min al-Ittishal, Mencoba mempertemukan agama dengan filsafat. 6) Dhamimah li Masalah al-Qadim. b. Filsafat Ibnu Rusyd dan Pemikiran AlGhazali Filsafat Ibn Rusyd sangat dipengaruhi oleh pemikiran Aristoteles. Hal itu wajar, karena ia banyak menghabiskan waktunya meneliti dan membuat komentar-komentar terhadap karya Aristoteles dalam berbagai bidang, sehingga ia digelar Syarih (Komentator). Aristoteles menurut pendapatnya adalah manusia istimewa dan pemikir terbesar yang telah mencapai kebenaran yang tidak mungkin bercampur kesalahan. Kadangkadang manusia salah memahami buku-buku Aristotelas, sebagaimana yang dikutip Ibn Rusyd dari kitab-kitab Al-Farabi dan Ibn Sina. Ibn Rusyd dalam beberapa hal tidak setuju dan berbeda pendapat dengan kedua filsuf ini dalam memahami filsafat Aristoteles. Ibn Rusyd berkeyakinan jika filsafat Aristoteles



245



dapat dipahami dengan sebaik-baiknya, pasti tidak akan berlawanan dengan pengetahuan tertinggi yang mampu dicapai oleh manusia. Bahkan perkembangan manusia telah mencapai tingkat yang paling tinggi pada diri Aristoteles. Kekaguman Ibn Rusyd terhadap Aristoteles lebih dari itu, sehingga ia menilai seolah-olah ilham tuhan menghendaki agar Aristoteles menjadi teladan bagi otak manusia yang tertinggi dan adanya kesangggupan untuk mendekati akal universal. Kekaguman ini dapat dilihat dalam bukunya Al-Thabi‟ah (fisika) dan pada beberapa tempat dari kitabnya Tahafut al-Tahafut. Ibn Rusyd sebagai filsuf besar juga memikir, membahas, dan memecahkan masalah-masalah yang pernah dipikirkan oleh filsuf-filsuf sebelumnya. Ia tidak menerima begitu saja pikiran-pikiran mereka tetapi menerima yang setuju dan menolak yang sebaliknya. Ia mengkritik Al- Farabi, Ibn Sina, Al-Gazali, Ibn Bajjah, dsb. Hal ini tergantung pada materi masalah yang dibahas. Dalam masalah ketuhanan, Ibn Rusyd berpendapat bahwa Allah adalah Penggerak Pertama (muharrik al-awwal). Sifat positif yang dapat diberikan kepada Allah ialah “Akal” , dan “Maqqul” . wujud Allah ialah Esa- Nya. Wujud dan ke-Esa-an tidak berbeda dari zatNya. Konsepsi Ibn Rusyd tentang ketuhanan jelas sekali merupakan pengaruh Aristoteles,



246



Plotinus, Al-Farabi, dan Ibn Sina, disamping keyakinan agama Islam yang dipeluknya. Mensifati tuhan dengan “Esa” merupakan ajaran Islam, tetapi menamakan tuhan sebagai Penggerak Pertama tidak pernah dijumpai dalam pemahaman Islam sebelumnya, hanya dijumpai dalam filsafat Aristoteles, Plonitus, AL-Farabi, dan Ibn Sina. Dalam pembuktian adanya Tuhan, golongan Hasywiyah, Shufiah, Mu‟tazilah, Asy‟ariah, dan Falasifah, masing-masing golongan tersebut mempunyai keyakinan yang berbeda satu sama lain, dan menggunakan ta‟wil dalam mengartikan kata-kata syar‟i sesuai dengan kepercayaan mereka. Golongan Hasywiyah berpendapat bahwa cara mengenal Tuhan adalah melalui sama‟ (pendengaran) saja, bukan melalui akal. Mereka berpegang pada lahir kata-kata alQuran tanpa menggunakan ta‟wil. Ibn Rusyd menolak jalan pikiran yang demikian. Katanya: Islam mengajak kita untuk memperhatikan alam maujud ini dengan akal pikiran, seperti yang terdapat pada surat AlHasyr ayat 2 yang menunjukkan atas wajib menggunaka qiyas syar‟i dan qiyas aqli (syllogisme) dan sebagainya. Cara menegal Tuhan menurut golongan Tasawuf bukan bersifat pemikiran yang tersusun dari premis-premis yang menghasilkan kesimpulan. Karean menurut mereka mengenal Tuhan dan Maujud-maujud lainnya



247



adalah melalui jiwa ketika sudah terlepas dari hambatan-hambatan kebendaaan dan menghadapkan pikiran kepada apa yang dituju. Ibn Rusyd mengatakan bahwa apabila kita terima keterangan tersebut, maka tidak bisa juga diperlakukan untuk umum, sebagaimana halayaknya manusia yang mempunyai pikiran, bahkan jalan tersebut berlawanan dengan syariat yang menyuruh mempergunakan pikiran. Setelah mengemukakan kelemahankelemahan bukti golongan-golongan tersebut di atas, Ibn Rusyd menerangkan dalil-dalil yang meyakinkan: 1) Dalil inayah al-Ilahiyah (pemeliharan Tuhan). Dikemukakan bahwa alam ini seluruhnya sangat sesuai dengan kehibupan manusia. Persesuaian ini tidak mungkin terjadi secara kebetulan, tetapi menunjukkan adanya pencipta yang sangat bijaksana. Semua kejadian dalam alam sangat cocok dengan fitrah manusia, seperti siang, malam, matahari, bulan, tumbuhan, hewan, dan anggota tubuh manusia. Tidak mungkin terjadi dan terpelihara semuanya itu tanpa pencipta yang bijaksana. Ayat suci yang mendukung dalil tersebut, diantaranya QS. An-Naba‟;78:6-7: “Bukankah kami telah menjadikan bumi itu sebagia hamparan, dan gunung-gunung sebagai pasak?”



248



2) Dalil ikhtira‟(dalil ciptaan) .termasuk dalam dalil ini ialah wujud segala macam hewan, tumbuh-tumbuhan, langit,dan bumi.segala yang maujud di alam ini adalah diciptakan .ayat suci yang mendukung dalil tersebut, antara lain QS. Hajj;22:73: “hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. sesungguhnya segala yang kamu sembah selain allah sama sekali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, kendatipun mereka bersatu untuk menciptakan-nya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka dapat merembutnya kembali dari lalat itu. amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah.” 3) Dalil harkah (gerak). alam semesta ini bergerak dengan suatu gerakan yag abadi. Erakan tersebut menunjukan adanya penggerak pertama yang tidak bergerak dan bukan benda, yaitu tuhan. Dalil pertama dan dalil kedua di sepakati oleh seua pihaksesuai dengan semua syari‟at, karena adanya ayat-ayat al-Qur‟an yang mengisyaratkan kepada dalil tersebut. seperti surah an-Naba‟ ayat 6-16 yang menunjukan tentang persesuaian bagian-bagian alam dengan manusia. Demikian juga surat alA‟raf ayat 185 yang menunjukan ahwa alam ini diciptakan. Dalil-dalil tersebut sesuai pula dengan teori filsafat. Adapun dalil ketiga ialah dalil yang pertama kali dicetuskan oleh



249



Aristoteles yang kemudian dipergunakan oleh Al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd sendiri. Adapun mengenai sifat-sifat Allah, Ibn Rusyd lebih dekat kepda paham Mu‟tazilah. Dalam hal ini ia menggunakan prinsip tasybih dan tanzih (penyamaan dan penyucian). Cara pertama digunakan dalam menetapkan beberapa sifat positif (ijabiyyah) kepada Allah, yakni sifat-sifat yang dipandang sebagai kesempurnaan bagi makhluk-makhluk Tuhan. Sedangkan cara kedua ialah dengan mengakui adanya perbedaan Allah dengan makhlukNya dari sisi kekurangan yang terdapat dalam diri makhluk. Seperti sifat „ilm, sebagai salah satu sifat positif, diakui sebagai sifat Allah, tetapi bukan sebagaiman sifat ilmu yang ada pada manusia, sifat ini sebagai suatu kesempurnaan, maka pada Allah yang wujudNya Maha Sempurna, sifat itu merupakan suatu keharusan bagi-Nya. Namun, sifat ilmu yang ditetapkan pada Allah mestilah dalam wujud yang lebih tinggi, lebih sempurna secara mutlak dari sifat ilmu manusia yang relatif. Ilmu Allah menyangkal segala sesuatu, dan tidak suatupun terjadi tanpa diketahuiNya. Mengenai hubungan zat dengan sifat Allah, Ibn Rusyd memahami sifat-sifat Allah sebagai „itibarat dzihniyyah (pandangan akal) terhadap zat Allah sebagi yang digariskan dalam syara‟. Tidak perlu dijelaskan secara filosofis seperti dipahami Mu‟tazillah atau



250



seperti yang dipahami oleh Asy‟ariyah bahwa sifat berbeda dengan zat karena penafsiran semacam Asy‟ariyah ini hanya dapat dibenarkan pada alam manusia atau benda. c. Tanggapan Ibn Rusyd terhadap Al-Ghazali Melalui buku Tahafut al-Falasifah (kekacauan pemikiran para filsuf) al-Ghazali melancarkan kritik keras terhadap para filsuf dalam 20 masalah. Tiga dari masalah tersebut menurut Al-Ghazali dapat menyebabkan kekafiran. Permasalahan yang dimaksud adalah: Pertama, qadimnya alam. Kedua, Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam. Ketiga, adanya pembangkitan jasmani. Pendapat Filsuf tentang Qadimnya Alam Pendapat para filsuf bahwa alam kekal dalam arti tidak bermula tidak dapat diterima kalangan teologi Islam. Menurut konsep teologi Islam, Tuhan adalah pencipta. Yang dimaksud pencipta ialah mengadakan sesuatu dari tiada (creatio ex nihilio). Kalau alam dikatakan tidak bermula berarti alam bukanlah diciptakan, dengan demikian Tuhan bukanlah pencipta. Pendapat seperti ini membawa kekufuran. Demikian gugatan alGhazali dalam kitabnya Tahafut al-Falasifah. Ibn Rusyd, begitu pula para filsuf lainnya berpendapat bahwa creatio ex nihilio tidak mungkin terjadi dari yang tidak ada (al„Adam) atau kekosongan tidak mungkin berubah menjadi ada (al-Wujud). Yang



251



mungkin terjadi ialah “ada” berubah menjadi “ada” dalam bentuk lain. Pernyataan bahwa creatio ex nihilio tidak didukung oleh dasar syariat yang kuat, disanggah oleh Ibn Rusyd. Tidak ada yang menyatakan bahwa Tuhan pada mulanya berwujud sendiri, yaitu tidak ada wujud selain dari diri-Nya dan kemudian barulah dijadikan alam. Ini kata Ibn Rusyd hanyalah merupakan pendapat dan interpretasi kaum teolog. Pendapat Ibn Rusyd ini didukung oleh beberapa ayat Al-Qur‟an yang mengandung pengertian bahwa Tuhan menciptakan sesuatu dari sesuatu yang sudah ada bukan dari tiada, seperti dalam QS.Hud;11:7, yang berarti: “Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah „Arsy-Nya diatas air agar dia menguji siapakah diantara kamu yang lebih baik amalnya.” Ayat ini menurut Ibn Rusyd mengandung arti bahwa sebelum adanya wujud langit-langit dan bumi telah ada wujud yang lain, yaitu wujud air yang diatasnya terdapat tahta kekuasaan Tuhan, dan adanya masa sebelum masa diciptakannya langit dan bumi. Tegasnya sebelum langit dan bumi telah diciptakan telah ada air. Selanjutnya, Ibn Rusyd berpendapat bahwa benar ada penciptaan dan alam ini memerlukan motive power (tenaga penggerak),



252



namun penafsirannya berbeda dengan penafsiran kaum teolog, menurut Ibn Rusyd penciptaan itu terus menerus setiap saat dalam bentuk perubahan alam yang berkelanjutan. Semua bagian alam berubah dalam bentuk baru menggantikan bentuk lama. Lebih jauh mengenai keabadian alam, Ibn Rusyd membedakan dua macam keabadian, keabadian dengan sebab dan keabadian tanpa sebab. Penggerak atau perantara itulah yang menjadi sebab terjadinya alam, seperti abadinya penggerak itu sendiri. Hanya Tuhan yang abadi tanpa sebab, sedangkan alam menjadi abadi dengan adanya sebab atau perantara. Apabila dicermati, seorang filsuf yang berpegang pada aliran rasional pasti berpendapat bahwa segala sesuatu tidak mungkin lepas dari sebab-musabab. Bahkan, sebab-musabab adalah asas ilmu alam dan asal filsafat rasional. Karean itu mengingkari sebab-sebab yang terbukti dalam segala realitas adalah kebohongan. Jadi orang yang membenarkan sanggahan Al-Ghazali bahwa sebab-akibat bukanlah sebagai kepastian, tetapi sebagai kebiasaan (adat), menurut Ibn Rusyd orang tersebut telah mengingkari hatinya atau mengakui omong-kosong untuk meragukan apa yang ada dihadapannya. Untuk itu, Ibn Rusyd mengembalikan persoalan sebab-musabab kepada 4 sebab



253



pokok („illah) sebagaimana yang dikatakan oleh Aristoteles, yaitu: 1) „illah maddiyah (material cause, sebabmusabab yang berkaitan dengan benda) 2) „illah shuwariyyah (formal cause, sebabmusabab yang berkaitan bentuk atau form); 3) „illah fa‟illah (efficient cause, sebab-musabab yang berkaitan dengan daya guna); 4) „illah gha‟iyyah (final cause, sebab-musabab yang berkaitan dengan kejadian). Pendapat Filsuf tentang Pengetahuan Tuhan Ibn Rusyd menjelaskan bahwa pengetahuan Tuhan merupakan sebab (bagi wujudnya perincian) yang tidak berubah oleh perubahan yang di alami juziyah. Tuhan juga mengetahui apa-apa yang akan terjadi dan sesuatu yang telah terjadi. Pengetahuan Tuhan tidak dibatasi oleh waktu yang telah lampau, sekarang, dan akan datang. Pengetahuan-Nya bersifat Qadim yaitu semenjak azali Tuhan mengetahui segala halhal yang terjadi di alam, betapa pun kecilnya. Meskipun demikian, pengetahuan Tuhan tidak dapat diberi sifat qulliyah atau juziyah. Sebab kedua sifat itu merupakan kategori Ilahi. Sebenarnya bentuk pengetahuan Tuhan tidak dapat diketahui kecuali oleh Tuhan sendiri. Pendapat Filsuf tentang Kebangkitan Jasmani Meskipun Ibn Rusyd berpendapat bahwa kebangkitan di akhirat nanti dalam wujud ruhani saja, ia tidak menafikan



254



kemungkinan jasmani bersama-sama ruhani. Kalaupun kebangkitan ukhrawi tersebut dalam bentuk fisik dimana ruh-ruh akan menyatu kembali dengan jasad sebagaimana keadaanya semula di dunia, tetapi jasad tersebut bukanlah jasad yang ada di dunia itu sendiri, sebab jasad yang ada di dunia telah hancur dan lenyap disebabkan kematian. Sedangkan yang telah hancur mustahil dapat kembali seperti semula. d. Averroisme Averroisme adalah ajaran yang dikemukakan oleh Ibn Rushd dan para pengikutnya, sudah trend di abad Pertengahan. Ibn Rusyd adalah tokoh Islam yang sangat diakui baik di negara Barat maupun Timur. Sumbangan yang nyata adalah kritik terhadap dominasi Katolik Roma dalam peradaban Eropa.Bagi dia negara berada di bawah dominasi gereja, sehingga cenderung tidak merdeka.Para pendukung ajaran ini mempertahankan bahwa dunia adalah kekal dan jiwa mati, dan menegakkan teori kebenaran ganda. Pengaruh Averroisme dirasakan baik oleh filsafat Yahudi maupun Skolastisime. Diterjemahkan ke dalam Bahasa Ibrani, komentar-komentarnya menghasilkan pengikut-pengikut Averroes hingga abad ke 15. Pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Latin antara 1130 dan 1150, terjemahanterjemahan tetap muncul pada 1256.



255



Averroisme ditentang keras oleh gereja dan para pemimpinnya, tampak dalam konsili-konsili Kristen dengan sangat hebat dikecam.Yang ditentang keras oleh gereja adalah ajaran tentang kekekalan materi, tidak adanya kekekalan pribadi, doktrin tentang kebenaran ganda. Tokoh yang mendukung pandangan ini adalah Albertus Magnus, yang tetap mempertahankan komentar-komentar Averroes mengenai Aristoteles, sambil memperlihatkan kesulitan tertentu. Pengaruhnya sangat besar di Prancis pada abd ke 13 dan menjadi aliran filosofis progresif yang bertentangan denan dgma gereja yang berkuasa. Tokoh lain yang paling masyur adalah Siger dari Brabant. Selanjutnya dirasakan di Itali Utara, bahkan hingga abad 16. 2. Ibnu Bajjah Nama aslinya adalah Abu Bakar Muhammad Ibn Yahya al-Sha‟igh. Di dunia Barat, ia terkenal dengan sebutan Avempace. Julukannya adalah Ibnul-Sha‟igh (anak tukang emas). ia dilahirkan di Saragosa (Spanyol) pada akhir abad ke-5 H/abad ke-11 M. Tahun kelahirannya tidak diketahui, akan tetapi diketahui wafatnya, yakni pada tahun 533 H/1138 M. Sebutan namanya adalah Al-Bajah, sedangkan Bajjah berasal dari keluarga At-Tujib, karena itu ia juga dikenal sebagai At-Tujibi. Menurut literatur sejarah, Ibnu Majah adalah seorang filosof ansich, bahkan ia bukan



256



hanya seorang filosof, ia juga menguasai disiplin ilmu pengetahuan, seperti ilmu kedokteran, astronomi, fisika, matematika, dan juga musik. Ini benar apa adanya karena dimasa filsafat Yunani belum terjadi pemisahan antara sains dan filsafat sehingga seorang yang mempelajari salah satunya terpaksa bersentuhan dengan yang lain. Ia juga aktif dalam dunia politik, sehingga Gubernur Saragosa Daulat Al-Mutrabith, Abu Bakar Ibnu Ibrahim Al-Sahwari mengangkatnya menjadi wazir. Tetapi di saat Saragosa jatuh ketangan Raja Al-Fonso I di Arogan Pada tahun 512 H/1118 M. Ibnu Bajah terpaksa pindah ke kota Sevillevia Valencia. Nah, di kota ini ia bekerja sebagai seorang dokter. Kemudian setelah dari sini ia pindah ke Granada dan selanjutnya berangkat ke Afrika Utara, sebuah pusat kerajaan Dinasti Murabith Barbar. Dalam hal ini, seperti penjelasan di atas; ada sebuah kisah tentang Ibnu Bajjah sehingga bisa demikian, diungkapkan oleh As-Syuyuti ” suatu hari Ibnu Bajjah memasuki masjid (jami‟ah) Granada. Dia melihat seorang ahli tata bahasa sedang memberikan pelajaran tata bahasa kepada para murid yang duduk mengelilinginya. Melihat seorang asing begitu dekat dengan mereka, para murid muda itu menyapa Ibnu Bajjah dengan sedikit mengejek apa yang diajarkan oleh ahli hukum itu? Ilmu apa yang dia kuasai dan bagaimana pandangannya?”coba lihat” sahut Ibu Bajjah, ”aku membawa uang dua belas ribu dinar di bawah



257



ketiakku”. Sambil berkata begitu di memperlihatkan dua belas butir mutiara yang sangat indah yang masing masing berharga seribu dinar. Di lanjut oleh Ibnu Bajjah, katanya; ”aku telah mengumpulkan pengalaman dalam dua belas ilmu pengetahuan, terutama dalam ilmu ‟Arabiyyah yang sedang kalian bahas ini. Aku rasa kalian termasuk dalam kelompok ini‟. Dia kemudian menyebutkan aliran mereka. Para murid muda itu mengutarakan kebenaran mereka dan memohon maaf kepadanya”. Saat ia melakukan perjalanannya ke Jative di Afrika Utara, ia ditahan oleh penguasa AlMurabithun yang bernama Ibrahim Ibnu Yusuf Ibn Tasyfin, karena dugaan bid‟ah. Ia dibebaskan berkat campur tangan qadhi setempat, ayah atau kakek filsuf Ibnu Rusyd (Averroes), yang tahu betul tentang apa yang dimaksud Ibnu Bajjah dengan upayanya menarik garis demarkasi yang jelas dan tegas antara klaim-klaim keimanan dan tujuan-tujuan filsuf. Apalagi disaat ada masa kesulitan dan kekacauan dalam sejarah Spanyol dan Afrika Barat-Laut. Para Gubernur kota dan daerah menyatakan kemerdekaan mereka. Pelanggaran hukum dan kekacauan melanda seluruh negeri. Mereka yang bermusuhan saling menuduh sebagai berbuat bid‟ah demi meraih keunggulan dan simpati rakyat. Musuh-musuh Ibnu Bajjah sudah mencapnya sebagai ahli bid‟ah dan beberapa kali berusaha membunuhnya. Tapi semua usaha mereka ternyata gagal. Akhirnya



258



Ibnu Zhur, seorang dokter termasyur di masa itu berhasil membunuhnya dengan racun pada bulan Ramadhan tahun 533 H/1138 M di Fez, tempat ia di kubur di samping Ibnu al-Arabi muda. Ibnu Bajjah adalah seorang yang pintar dan mempunyai analisa paling cemerlang, senada yang di ucapkan oleh Ibnu Thufail bahwa; Ibnu Bajjah adalah seorang filosof Muslim yang paling cemerlang otaknya, paling tepat analisisnya, dan paling benar pemikirannya. Namun, amat disayangkan pembahasan filsafatnya dalam beberapa bukunya tidaklah matang dan sempurna. Ini disebabkan karena ambisi keduniaanya yang begitu besar dan kematiannya yang begitu cepat. Di antara karya-karya Ibnu Bajjah yang terkenal dalam filsafatnya adalah sebagai berikut: pertama, kitab Tadbir al-Mutawahhid, ini adalah kitab yang paling populer dan penting dari seluruh karya tulisnya. Kitab ini berisikan akhlak dan politik serta usaha-usaha individu menjauhkan diri dari segala macam keburukankeburukan dalam masyarakat dan negara, yang disebutnya sebagai Insan Muwahhid (manusia penyendiri), menurutnya, dengan cara begitu ia dapat berhubungan dengan Al-‟Aglul-Fa‟al (Full Force Mind). Memang benar bahwa hidup memencilkan diri pada hakikatnya lebih baik. Sebagaimana yang dikatankan olehnya, ”untuk itu, orang yang hidup menyendiri, dalam beberapa segi kehidupannya, sedapat mungkin



259



harus menjauhkan diri dari orang lain, tidak mengadakan hubungan dengan orang lain kecuali dalam keadaan mendesak atau terdapat ilmu pengetahuan, kalau ada. Sikap demikian tidak bertentangan dengan apa yang disebut dengan ilmu peradaban, dan tidak bertentangan pula dengan apa yang tampak jelas di dalam ilmu alam. Telah jelas bahwa manusia adalah berada menurut kodratnya. Kedua, Risalat al-Wada‟, risalah ini membahas Penggerak Pertama (Tuhan), manusia, alam, dan kedokteran. Ketiga, Risalat al-Ittisal, risalah ini menguraikan tentang hubungan manusia dengan Akal Fa‟al. Keempat, Kitab alNafs, kitab ini menjelaskan tentang jiwa. Karya lainnya yang dibuat oleh Ibnu Bajjah, baik dalam bentuk bahasa Arab atau Bahasa Inggris, sekaligus menjadi bukti sebuah pengakuan daru dunia luar atas karyanya, antara lain: a. Tardiyyah sebuah puisi yang ada di The Berlin Library. b. Karya-karya yang di sunting oleh Asin Palacacios dengan terjemahan bahasa Spanyol dan catatan-catatan yang diperlukan: (i) Kitab An-Nabat, Al Andalus, jilid V, 1940; (ii) Risalah Ittisal Al-‟Aql bi Al-Insan, Al Andalus, jilid. VII, 1942; (iii) Risalah Al-Wada‟ Al-Andalus, jilid VIII, 1943; (iv) Tadbir Al-Mutawahhid berjudul El Regimen Del Solitario, 1946. c. Karya-karya yang disunting oleh Dr. M. Shaghir Hasan Al-Ma‟sumi; (i) Kitab An-Nafs



260



dengan catatan dan pendahuluan dalam bahasa Arab, Majallah Al-Majma‟Al-‟Ilm Al‟Arabi, Damaskus, 1958; (ii) Risalah Al-Ghayah Al-Insaniyyah berjudul Ibnu Bajjah on Human End, dengan terjemahan bahasa Inggris, Journal of Asiatic Society of Pakistan, jilid II, 1957. Ibnu bajjah adalah seorang filosof yang ahli menyandarkan ilmunya pada teori dan praktek ilmu-ilmu matematika, astronomi, musik, mahir ilmu pengobatan dan studi-studi spekulatif seperti logika, filsafat alam dan metafisika, ibnu bajjah menyandarkan filsafat dan logikanya pada karya-karya al-farabi.[8] yakni mendasarkan pada realitas adalah wajar. Ia menolak teori ilham al-Ghazali serta menetapkan bahwasannya seseorang dapat mencapai puncak makrifat dan meleburkan diri pada Akal Fa‟al. jika ia telah terlepas dari keburukan-keburukan masyarakat, dan menyendiri serta dapat memakai kekuatan pikirannya untuk memperoleh pengetahuan dan ilmu sebesar mungkin, juga dapat memenangkan segi pikiran pada dirinya atas pikiran hewaninya. Ia juga menyatakan masyarakat perseorangan itulah yang mengalahkan perseorangan dan melumpuhkan kemampuan-kemampuan berpikirnya, serta menghalangi dari kesempurnaan, melalui keburukannya yang membanjir dan keinginannya yang deras. Jadi, seseorang dapat mencapai tingkat kemulian setinggi-tingginya melalui pemikiran dan menghasilkan makrifat yang tidak akan terlambat, apabila akal pikiran



261



dapat menguasai perbuatan-perbuatan seseorang dan mengabdikan diri untuk memperolehnya. Keterangan Ibu Bajjah di atas berlawanan sekali dengan pikiran al-Ghazali yang menetapkan bahwa akal pikiran itu lemah dan tidak dapat dipercaya, serta semua pengetahuan manusia sia-sia belaka karena tidak bisa menyampaikan pada suatu kebenaran, maka cara yang paling baik untuk mencapai makrifat yang benar adalah mendekatkan pikiran kepada tasawuf (beribadah untuk selalu menjauhkan dunia dan mendekatkan diri pada Allah). Dia telah menggunakan metode penelitian filsafat yang benar-benar lain, tidak seperti alfarabi dia berurusan dengan masalah hanya berdasarkan nalar semata. Dia mengagumi filsafat aristoteles, yang di atasnya dia membangun sistemnya sendiri. Tapi, dia berkata untuk memahami lebih dulu filsafatnya secara benar. Itulah sebabnya ibnu bajjah menulis uraian-uraian sendiri atas karya-karyanya aristoteles. Uraian-uraian ini merupakan bukti yang jelas bahwa dia mempelajari teks-teks karya aristoteles dengan sangat teliti. Akan tetapi, dengan kecerdasan Ibnu Bajjah, walaupun ia sejalur dengan filsafat aristoteles, ia tidak pernah lari dari ajaran Islam. Ia berupaya mengIslamkan argumen metafisika Aristoteles tersebut. Menurutnya Allah tidak hanya penggerak, tetapi ia adalah Pencipta dan Pengatur alam. Argumen adanya Allah bahwa



262



dengan adanya gerakan di alam raya ini. Jadi, Allah adalah azali dan gerakannya bersifat tidak terbatas. Agar pembahasan filsafat menurut Ibnu Bajjah lebih jelas, lihat filsafatnya dalam uraian di bawah ini: a. Filsafat Metafisika Menurut Ibnu bajjah, segala yang ada (al-maujudat) terbagi dua: yang bergerak dan yang tidak bergerak. Yang bergerak adalah jisim (materi) yang sifatnya finite (terbatas). Gerak terjadi dari perbuatan yang menggerakkan terhadap yang di gerakkan. Gerakan ini di gerakkan pula oleh gerakan yang lain, yang akhir rentetan gerakan ini di gerakkan oleh penggerak yang tidak bergerak; dalam arti penggerak yang tidak berubah yang berbeda dengan jisim (materi). Penggerak ini bersifat azali. Gerak jisim mustahil timbul dari subtansinya sendiri sebab ia terbatas. Oleh karena itu, gerakan ini mesti berasal dari gerakan yang infinite (tidak terbatas) yang oleh ibnu bajjah disebut dengan „aql. Perlu di ketahui bahwa para filosof muslim pada umumnya menyebut Allah itu adalah „aql. Argumen yang mereka majukan adalah Allah pencipta dan pengatur alam yang beredar menurut natur rancangan-Nya, mestilah ia memiliki daya berpikir. Kemudian dalam mentauhidkan Allah semutlak-mutlaknya, para filosof muslim menyebut Allah adalah zat yang mempunyai daya berpikir („aql), juga berpikir („aqil) dan objek



263



pemikiranya sendiri (ma‟qul). Keseluruhanya adalah zat-Nya yang Esa. Ibnu Bajjah percaya pada kemajemukan akal, iapun mengacu pada akal pertama dan akal kedua. Ia berpendapat, akal manusia paling jauh adalah akal pertama. Kemudian ia menjelaskan tingkat-tingkat akal dengan mengatakan bahwa sebagian akal secara langsung berasal dari akal pertama; sebagian lain berasal dari akal-akal lain, hubungan antara yang diperoleh dan tempat asal akal yang diperoleh itu sama dengan hubungan cahaya matahari yang ada di dalam rumah dan cahaya matahari yang ada di halaman rumah. Menurutnya; akal manusia, berlahanlahan mendekati akal pertama dengan: pertama, meraih pengetahuan yang didasarkan pada bukti, yang dalam hal itu, akal paling tinggi direalisasikan sebagai bentuk. Kedua, memperoleh pengetahuan tanpa mempelajarinya atau berusaha meraihnya. Metode kedua ini adalah metode orang-orang Sufi, khususnya metode al-Ghazali. Metode ini memampukan orang memperoleh pengetahuan tentang Tuhan. Salah satu bentuk filsafat metafisika Ibnu Bajjah, sebagaimana dalam tulisan Abdul Hadi yang diuraikan seperti di bawah ini; “…Perbuatan manusia memiliki sejumlah tujuan yang berbeda tingkatanya. Ada perbuatan untuk tujuan jasmani, seperti makan



264



dan minum, memakai pakaian, atau membuat rumah sebagai tempat tinggal. Ada pula perbuatan dengan tujuan rohani, yang meliputi sejumlah tingkatan yang juga berbeda seperti; (1) perbuatan memakai pakaian yang indah dan serasi, yang menimbulkan kenikmatan pada indera batin, (2) perbuatan yang menimbulkan kenikmatan pada daya khayl, seperti perbuatan memperlengkapi diri dengan persenjataan, tetapi bukan pada waktu perang, (3) perbuatan berhimpun sesama orang-orang yang saling bersimpati atau sesama pemain yang menghasilkan kegembiraan rohani tertentu, (4) perbuatan dengan tujuan untuk mengaktualkan dengan sempurna daya akal pikiran seperti upaya mempelajari suatu pengetahuan demi pengetahuan itu, bukan demi mendapatkan uang atau harta lainnya.” b. Filsafat Jiwa Menurut pendapat ibnu bajjah, setiap manusia mempunyai jiwa. Jiwa ini tidak mengalami perubahan sebagaimana jasmani. Jiwa adalah penggerak bagi manusia. Jiwa di gerakkan dengan dua jenis alat: alat-alat jasmaniah dan alat-alat rohaniah. Alat-alat jasmaniah antaranya ada berupa buatan dan ada pula berupa alamiah, seperti kaki dan tangan. Alat-alat alamiah ini lebih dahulu dari alat buatan‟ yang di sebut juga oleh ibnu bajjah dengan pendorong naluri (al-harr algharizi) atau roh insting. Ia terdapat pada setiap makhluk yang berdarah. Panca indera merupakan lima unsur dari suatu indera tunggal yaitu akal sehat, dan



265



akal sebagai realisasi penuh tubuh secara keseluruhan, oleh karena itu disebut sebagai jiwa (roh). Unsur ini juga mensupalai materi untuk unsur imajinasi yang terorganisasi, sebab itu unsur ini didahului oleh sensai yang mensupalai materi kepadanya. Oleh karenanya lagi sensasi dan imajinasi telah dianggap sebagai dua jenis persepsi jiwa. Tetapi perbedaan keduanya sangat jeals sepanjang sensai bersifat khusus dan imajinasi bersifat umum. Unsur imajinatif berpuncak pada unsur penalaran yang melawatinya orangorang bisa mengungkapkan dirinya kepada orang lain dan sekaligus mencapai srta membagi pengetahuan. Ibnu Bajjah membagi bentuk kejiwaan menjadi tiga bahagian, antara lain: pertama, bentuk-bentuk tubuh sirkular hanya memiliki hubungan sirkular dengan materi sehingga bentuk-bentuk itu dapat membuat kejelasan materi dan menjadi sempurna. Kedua, kejelasan materi yang bereksistensi dalam materi. Ketiga, bentuk-bentuk yang bereksistensi dalam indera-indera jiwa akal sehat, indera khayali, ingatan, dan sebagainya, dan yang berada di antara bentuk-bentuk kejiwaan dan kejelasan materi. Bentuk-bentuk yang berkaitan dengan aktif oleh Ibnu Bajjah dinamakan bentukbentuk kejiwaan umum, sedangkan bentukbentuk yang berkaitan dengan akal sehat dinamakan bentuk-bentuk kejiwaan khusus.



266



Pembedaan ini dilakukan karena bentukbentuk kejiwaan umum hanya memiliki satu hubunganyang menerima. Sedangkan bentuk kejiwaan khusus memiliki dua hubunganhubungan khusus dengan yang berakal sehat dan hubungan umum dengan yang terasa. Misalnya; seorang manusia ingat akan bentuk Taj Mahal; bentuk ini tidak berbeda dari bentuk nyata Taj Mahal kalau benda itu berada di depan mata bentuk ini, selain memiliki hubungan khusus seperti yang tersebut di atas, juga hubungan dengan wujud umum yang terasa sebab banyak orang melihat Taj Mahal. c. Filsafat Etika Ibnu Bajjah membagi perbuatan manusia kepada dua bagian. Bagian pertama, ialah perbuatan yang timbul dari motif naluri dan hal-hal lain yang berhubungan denganya, baik dekat atau jauh. Bagian kedua ialah perbuatan yang timbul dari pemikiran yang lurus, kemauan yang bersih, tinggi dan bagian ini disebutnya, perbuatan manusia. Pangkal perbedaan antara kedua bagian tersebut bagi ibnu bajjah bukan perbuatan itu sendiri melainkan motifnya. Untuk menjelaskan kedua macam perbuatan tersebut, ia mengemukakan seorang yang terantuk dengan batu, kemudian ia luka-luka, lalu ia melemparkan batu itu. Kalau ia melemparnya karena telah melukainya maka ia adalah perbuatan hewani yang didorong



267



oleh naluri kehewananya yang telah mendiktekan kepadanya untuk memusnahkan setiap perkara yang menganggunya. Kalau melemparkanya agar batu itu tidak mengganggu orang lain, bukan karena kepentingan dirinya, atau marahnya tidak bersangkut paut dengan pelemparan tersebut, maka perbuatan itu adalah pekerjaan kemanusiaan. Pekerjaan yang terakhir ini saja yang bisa dinilai dalam lapangan akhlak, karena menurut ibnu bajjah hanya orang yang bekerja dibawah pengaruh pikiran dan keadilan semata-mata, dan tidak ada hubunganya dengan segi hewani padanya, itu saja yang bisa dihargai perbuatanya dan bisa di sebut orang langit. Setiap orang yang hendak menundukkan segi hewani pada dirinya, maka ia tidak lain hanya harus memulai dengan melaksanakan segi kemanusiaanya. Dalam keadaan demikianlah, maka segi hewani pada dirinya tunduk kepada ketinggian segi kemanusiaan, dan seseorang menjadi manusia dengan tidak ada kekuranganya, karena kekurangan ini timbul disebabkan ketundukanya kepada naluri. 3. Ibnu Tufail Nama lengkap Ibnu Thufail ialah Abu Bakar ibnu Abd Al-Malik ibn Muhammad ibnu Thufail. Ia dilahirkan di Guadix (Arab: Wadi Asy), provinsi Granada, Spanyol pada tahun 506



268



H/1110 M. dalam bahasa latin Ibnu Thufail populer dengan sebutan Abubacer. Pada masa khalifah Abu Yaquf Yusuf, Ibnu Thufail mempunyai pengaruh yang besar dalam pemerintahan. Pada pihak lain, khalifah sendiri mencintai ilmu pengetahuan dan secara khusus adalah peminat filsafat serta memberi kebebasan berfilsafat. Sikapnya itu menjadikan pemerintahannya sebagai pemuka pemikiran filosofis dan membuat Spanyol, seperti dikatakan R. Briffault sebagai “tempat kelahiran kembali negeri Eropa”. Kemudian ia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai dokter pemerintah pada tahun 578 H / 1182 M, dikarenakan usianya yang sudah uzur. Kedudukannya itu digantikan oleh Ibnu Rusd atas permintaan dari Ibnu Thufail. Tapi dia tetap mendapatkan penghargaan dari Abu Yaqub dan setelah dia meninggal pada tahun 581 H / 1185 M) di Marakesh (Maroko) dan dimakamkan disana, Al-Mansur sendiri hadir dalam upacara pemakamannya. Namun bukan semua itu yang menjadikan nama Ibnu Tufail dikenang dalam sejarah Islam bahkan sejarah dunia. Sebuah master-piece Ibn Tofail berjudul Hayy ibnu Yagzan (“kehidupan anak kesadaran”, di Barat dikenal sebagai: Philosophus Autodidactus) telah menorehkan tinta emas di atas lembaran sejarah sebagai salah satu karya paling berharga yang pernah ada di bidang filsafat.



269



Dalam mengarang buku ini Ibnu Tufail banyak terpengaruh filsafat Plato. Pemikhranpemikiran filosofis Ibn Tofail ketika menulis buku ini telah mencapai taraf yang paling matang. Ditulisnya pemikiran-pemikirannya dalam bentuk novel alegori sembari menawarkan sebuah korelasi filsafat antara akal dan agama dalam pencarian kebenaran hakiki. Sejarah mencatat bahwa Ibnu Tufail dan Ibnu Rusyd sering berbincang, berdebat dan saling evaluasi seputar masalah-masalah kedokteran dan filsafat. Evaluasi dan perdebatan mereka yang khusus membicarakan tentang kedokteran kemudian dicatat oleh Ibnu Tufail dalam karyanya "‫( "مراجعات ومباحث‬Muraja'at wa Mabahits; Revisi-revisi dan pembahasan -red). Lalu catatan tulisan ini oleh Ibnu Rusyd dimasukkan menjadi bagian dari salah satu karangannya: "‫( "الكليات‬al-Kulliyyat). Karya kedokteran lain dari Ibnu Tufail yang masih bisa dinikmati adalah "‫( "األرجوزة في الطب‬Arjuzah fi atThib) sepanjang 7700 bait, sekarang masih tersimpan di perpustakaan Jami' al-Qarawiyyin. Selain mumpuni di bidang kedokteran, Ibnu Tufail juga merupakan master bidang astronomi. Teori-teori briliannya di bidang ilmu perbintangan secara ringkas dilukiskan oleh Lyon Goteh (?) seorang orientalis Perancis: "Walaupun tidak ditemukan tulisan-tulisan Ibnu Tufail di bidang astronomi, namun kita tahu bahwa dia tidak setuju dengan teori system jagat raya yang diletakkan Batlimus, bahkan Ibnu



270



Tufail telah memiliki teori baru". Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Ibn Rusyd bahwa Ibnu Tufail memiliki teori-teori sensasional sekitar system jagat raya dan dasar-dasar perputarannya. Miquel Casiri (1112 H/1710 M -1205 H/1790 M ) menyebutkan dua karya yang masih ada: risalah hay ibn yaqzan dan asrar Al-hikmah Al-mashariqiyah, yang disebut terakhir ini berbentuk naskah. Kata pengantar dari asrar menyebutkan bahwa risalah itu hanya merupakan satu bagian dari risalah Hay Ibn Yaqzan, yang judul lengkapnya ialah Risalah Hayy Ibn Yaqzan fi Asrar Al-hikamat Al-mashariqiyah. Beberapa karya Ibnu Tufail yang terkenal adalah sebuah buku filsafat yang berjudul Hayy ibnu Yagzan (kehidupan anak kesadaran) karya ini memang sama dengan buah karya Ibnu Sina yang diakunya sendiri berisikan kebijaksanaan timur (Orental Wisdom). Kebijaksanaan timur pulalah yang menjadi pokok pikiran Ibnu Tufail dalam buku ini. Seperti diakui Ibnu Tufail, pokok pikiran ini bisa diidentifikasi sebagai tasawwuf yang kala itu ditolak oleh kebanyakan filosof muslim termasuk Ibnu Bajjah. Diskursus rasional, menurut para filosof anti tasawuf bertolak belakang dengan pengalaman mistis yang oleh para ahli diyakini bersifat ektra rasional dan tak terperikan. Ajaran-ajaran Ibnu Tufail diantaranya:



271



a. Tentang Dunia Salah satu masalah filsafat adalah apakah dunia itu kekal, atau diciptakan oleh tuhan dari ketiadaan atas kehendak-Nya? Dalam filsafat Islam, Ibnu Tufail, sejalan dengan kemahiran dialektisnya, menghadapi masalah itu dengan tepat. Tidak seperti pendahulunya, dia tidak menganut salah satu doktrin saingannya, dan tidak berusaha mendamaikan mereka. Di lain pihak, dia mengecam dengan pedas para pengikut Aristoteles dan sikapsikap teologis. Kekekalan dunia melibatkan konsep eksistensi tak terbatas yang tak kurang mustahilnya dibandingkan gagasan tentang rentangan tak terbatas. Eksistensi seperti itu tidak lepas dari kejadian-kejadian yang diciptakan dan karena itu tidak dapat mendahului mereka dalam hal waktu, dan yang tidak dapat sebelum kejadian-kejadian yang tercipta itu pasti tercipta secara lambat laun. Begitu pula konsep Creatio Ex Nihilo tidak dapat mempertahankan penelitiannya yang seksama. Sebagaimana Al-Ghazali, dia mengemukakan bahwa gagasan mengenai kemaujudan sebelum ketidakmaujudan tidak dapat dipahami tanpa anggapan bahwa waktu itu telah ada sebelum dunia ada, tapi waktu itu sendiri merupakan suatu kejadian tak terpisahkan dari dunia, dan karena itu kemaujudan dunia di kesampingkan lagi, segala



272



yang tercipta pasti membutuhkan pencipta. Kalau begitu mengapa sang pencipta menciptakan dunia saat itu bukan sebelumnya? Apakah hal itu dikarenakan oleh suatu yang terjadi atas-Nya? Tentu saja tidak, sebab tiada sesuatupun sebelum dia untuk membuat sesuatu terjadi atas-Nya. Apakah hal itu mesti bersumber dari suatu perubahan yang terjadi atas sifat-Nya? Tapi adakah yang menyebabkan terjadinya perubahan tersebut? Karena itu Ibnu Tufail tidak menerima baik pandangan mengenai kekekalan maupun penciptaan sementara dunia ini. b. Tentang Tuhan Penciptaan dunia yang berlangsung lambat laun itu mensyaratkan adanya satu pencipta, sebab dunia tak bisa maujud dengan sendirinya. Juga, sang Pencipta bersifat immaterial, sebab materi yang merupakan suatu kejadian dunia diciptakan oleh satu pencipta. Dipihak lain anggapan bahwa Tuhan bersifat material akan membawa suatu kemunduran yang tiada akhir yang adalah musykil. Oleh karena itu dunia ini pasti mempunyai penciptanya yang tidak berwujud benda. Dan karena Dia bersifat immaterial, maka kita tidak dapat mengenalNya lewat indera kita ataupun lewat imajinasi, sebab imajinasi hanya menggambarkan hal-hal yang dapat ditangkap oleh indera. Tuhan dan dunia yang keduanya kekal, bagaimana bisa yang pertama dianggap



273



sebagai penyebab adanya yang kedua? Dengan mengikuti pandangan Ibnu Sina, Ibnu Thufail membuat perbedaan antara kekekalan dalam esensi dan kekekalan dalam waktu, Dan percaya Tuhan ada sebelum adanya dunia dalam hal esensi tapi tidak dalam hal waktu. Ambillah satu contoh, jika kau pegang sebuah benda dengan tanganmu dan kau gerakkan tanganmu, maka benda itu tak gerak lagi, akan bergerak dikarenakan gerak tangan itu, jadi gerak itu bergantung kepada gerak tangan. Gerak tangan mendahului gerak benda dalam esensinya, dan gerak benda diambil dari gerak tangan tersebut, meskipun dalam soal waktu keduanya tak saling mendahului. Mengenai pandangan bahwa dunia dan Tuhan sama-sama kekal, Ibnu Tufail mempertahankan pendapat mistisnya bahwa dunia ini bukanlah suatu yang lain dari Tuhan. Dan mengenai esensi Tuhan yang ditafsirkan sebagai cahaya yang sifat esensialnya merupakan penerangan dan pengejawantahan, sebagaimana dipercaya oleh AlGhazali, Ibnu Tufail memandang dunia ini sebagai pengejawantahan dari esensi Tuhan sendiri dan bayangan cahaya-Nya sendiri yang tidak berawal atau berakhir. Dunia tidak akan hancur sebagaimana yang ada pada kepercayaan akan Hari penentuan. Kehancurannya berupa keberalihannya menjadi bentuk lain dan bukannya merupa-



274



kan suatu kehancuran sepenuhnya. Dunia mesti terus berlangsung dalam satu atau bentuk lain sebab kehancurannya tidak sesuai dengan kebenaran mistis yang tinggi, yaitu bahwa sifat esensi Tuhan merupakan penerangan dan pengejawantahan kekal. Di dalam roman filsafatnya yang menarik itu Ibnu Thufail menggambarkan kepada manusia bahwa kepercayaan kepada Allah adalah satu bagian dari fitrah manusia yang tidak dapat disangkal dan bahwa akal yang sehat dengan memperhatikan dan merenungkan alam sekitarnya tentu akan sampai kepada Tuhan. c. Tentang Kosmologi Cahaya Ibnu Tufail menerima prinsip bahwa dari satu tidak ada lagi apa-apa kecuali satu itu. Manivestasi kemajemukan, kemaujudan dari yang satu dijelaskannya dalam gaya new platonik yang monoton, sebagai tahap-tahap berurutan pemancaran yang berasal dari cahaya Tuhan. Proses situ pada prinsipnya, sama dengan refleksi terus menerus cahaya matahari kepada cermin. Cahaya matahari yang jatuh pada cermin yang dari sana menuju ke yang lain dan seterusnya, menunjukkkan kemajemukan. semua itu merupakan pantulan matahari dan bukan matahari itu sendiri, juga bukan cermin itu sendiri, bukan pula suatu yang lain dari matahari dan cermin itu. Kemajemukan cahaya yang dipantulkan itu hilang menyatu



275



dengan matahari kalau kita pandang sumber cahaya itu, tapi timbul lagi bila kita lihat dicermin, yang disitu cahaya tersebut dipantulkan. Hal yang sama juga berlaku pada cahaya pertama serta perwujudannya di dalam kosmos. d. Epistemologi Pengetahuan Tahap pertama jiwa bukanlah suatu tabularasa atau papan tulis kosong, imaji Tuhan telah tersirat di dalamnya sejak awal, tapi untuk menjadikannya tampak nyata, kita perlu memulai dengan pikiran yang jernih tanpa prasangka keterlepasan dari prasangka dan kecenderungan sosial sebagai kondisi awal semua pengetahuan, merupakan gagasan sesungguhnya di balik kelahiran tibatiba Hay di pulau kosong. Setelah hal ini tercapai pengalaman, inteleksi dan exstasi memainkan dengan bebas peranan mereka secara berurutan dalam memberikan visi yang jernih tentang kebenaran yang melekat pada jiwa. Bukan hanya disiplin jiwa, tapi pendidikan indra dan akal yang diperlukan untuk mendapatkan visi semacam itu. Kesesuaian antara pengalaman dan nalar, disatu pihak, dan kesesuaian antara nalar dan intuisi, dipihak lain membentuk esensi epistimologi Ibnu Tufail. Pengalaman akan menjadi suatu proses mengenal lingkungan lewat indera. Organorgan indera ini berfungsi berkat jiwa hewan yang ada di dalam hati, dari sana berbagai



276



data indera yang kacau mencapai otak menyebarkanya ke seluruh tubuh lewat jalur syaraf. Kemudian dikirimkan ke otak lewat jalur yang sama, di situ diproses menjadi satu kesatuan perspektif. Pengamatan memberi kita pengetahuan mengenai benda-benda yang oleh akal induktif, dengan akat-alat pembanding dan pembedaannya, dikelompokkan menjadi mineral, tanaman dan hewan. Setiap kelompok benda ini memperlihatkan fungsi-fungsi tertentu, yang membuat kita menerima bentuk atau jiwa-jiwa (seperti Aristoteles) sebagai penyebab fungsi-fungsi tertentu berbagai benda. Tapi hipotesis semacam iti tidaklah dapat dipertahankan atas dasar induktif, sebab bentuk atau jiwa yang dimaksud itu tidak dapat diamati secara langsung. Tak pelak lagi tindakan-tindakan tampak muncul dari suatu tubuh tertentu; tapi kenyataannya, mereka tidak ditimbulkan bukan oleh tubuh itu atau ruh tubuh itu, melainkan oleh sebab tertentu yang ada di luarnya dan sebab itu ialah Tuhan. Mengikuti pendapat Al-Ghazali dan mendahului pendapat Hume, Ibnu Thufail tidak melihat adanya kekuatan pada sebab yang bisa mendatangkan pengaruh sebagaimana biasanya. Empirisme Hume berakhir dalam skeptisisme, tapi ketasawufan Ibnu Thufail membuatnya melihat bahwa ikatan sebab akibat merupakan suatu tindak per-



277



paduan yang berasal dari Tuhan, tapi oleh Kant hal itu dianggap berasal dari bentuk apriori pemahaman. Ibnu Thufail sekaligus berada di depan Bacon, Hume dan Kant. Dia telah mengemukakan terlebih dahulu metoda induktif ilmu modern; melihat ketidakmampuan nalar teoritis untuk menjawab tekateki mengenai kekekalan dan penciptaan sementara dunia ini, juga ketidak mampuan akal induktif untuk menetapkan suatu hubungan yang tegas antara sebab dan akibat, dan akhirnya menjernihkan awan skeptisisme dengan membuat pernyataan bersama AlGhazali bahwa rangkaian sebab akibat itu merupakan tindakan terpadu Tuhan. Setelah mendidik akal dan indra serta memperhatikan keterbatasan keduanya, Ibnu Tufail akhirnya berpaling kepada disiplin jiwa yang membawa kepada ekstasi, sumber tertinggi pengetahuan. Dalam taraf ini, kebenaran tidak lagi dicapai lewat proses deduksi atau induksi, tapi dapat dilihat secara langsung dan intiutif lewat cahaya yang ada didalamnya. Jiwa menjadi sadar diri dan mengalami apa yang tak pernah dilihat mata atau didengar telinga atau dirasa hati orang manapun. Tarap ekstasi tak terkatakan atau terlukiskan sebab lingkup kata-kata terbatas pada apa yang dapat dilihat, didengar atau dirasa. Esensi tuhan yang merupakan cahaya suci hanya bisa dilihat lewat cahaya didalam esensi itu sendiri yang masuk dalam esensi itu



278



lewat pendidikan yang tepat atas indra, akal serta jiwa. Karena itu pengetahuan esensi merupakan esensi itu sendiri. Esensi dan visinya adalah sama. e. Etika/Akhlak Manusia merupakan suatu perpaduan tubuh, jiwa hewani dan esensi non-bendawi, dan demikian menggambarkan binatang, benda angkasa dan Tuhan. Karena itu pendakian jiwanya terletak pada pemuasan ketiga aspek sifatnya,Dengan cara meniru tindakan-tindakan hewan, benda-benda angkasa dan Tuhan. Mengenai peniruannya pertama, ia terikat untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya dan kebutuhan pokok, serta menjaganya dari cuaca buruk dan binatang buas, dengan satu tujuan yaitu mempertahankan jiwa hewani. Peniruan yang kedua menuntut darinya kebersihan pakaian dan tubuh, kebaikan terhadap obyek-obyek hidup dan tak hidup, perenungan atas esensi Tuhan dan perputaran esensi orang dalam ekstase. Ibnu Tufail tampaknya percaya bahwa benda-benda angkasa memiliki jiwa hewani dan tenggelam dalam perenungan yang tak habis-habisnya tentang Tuhan. Terakhir, dia harus melengkapi dirinya dengan sifat-sifat Tuhan baik yang positif maupun yang negative, yaitu pengetahuan, kekuasaan, kebijaksanaan, kebebasan dari keinginan jasmaniah, dan sebagainya. Melaksanakan



279



kewajiban diri sendiri, demi yang lain-lainnya dan demi Tuhan, secara ringkas merupakan salah satu disiplin jiwa yang esensial. Kewajiban yang terakhir adalah suatu akhir diri, dua yang disebut sebelumnya membawa kepada perwujudannya dalam visi akan rahmat Tuhan, dan visi sekaligus menjadi identik dengan esensi Tuhan.



280



BAB VIII LATAR BELAKANG FILSAFAT MODERN A. Renaissance Masa renaissance berlangsung mulai abad ke XV hingga sekitar tahun 1650. kemudian disusul zaman rasionalisme dan zaman modern. Sebelum renaissance, bangsa Eropa mengalami jaman kegelapan (the dark age). Dalam jaman itu, gereja berkuasa mutlak; ajaran gereja menjadi sesuatu yang tidak boleh dibantah. Dalam perkembangannya mulai muncul gerakan yang mencoba melepaskan dari ikatan itu yang disebut gerakan renaissance. dalam jaman itu pula, pemikiranpemikiran ilmiah tenggelam oleh dogma-dogma gereja. Renaissance berasal dari kata re (kembali) dan naitre (lahir) dalam bahasa perancis yang berarti "lahir kembali" jadi, dengan kata lain renaissance sebenarnya adalah lahirnya kembali orang Eropa untuk mempelajari ilmu pengetahuan yunani dan romawi kuno yang ilmiah dan rasional. Renaisance berasal dari bahasa Perancis renaissance yang secara etimologi bermakna “Lahir Kembali”. Akan tetapi renaisans yang dimaksud disini mempunyai arti yang lebih luas. Karenanya, secara terminologi renaisans adalah timbulnya revolusi pandangan hidup orang-orang Eropa dari jaman pertengahan ke jaman barunya, melalui proses jaman peralihan yang sangat cepat.



281



The historical period that marks the transition between the Middle Ages and the modern world took place approximately between 1450 and 1600. It is called the Renaissance, meaning the “rebirth,” which refers not only to the recovery of classical Greek and Roman art, ideas, styles, and forms but also to a renewed enthusiasm for the more sensual aspects of life as the ancient Greeks and Romans were imagined to have lived it.1 Middle Age merupakan zaman di mana Eropa sedang mengalami masa suram. Berbagai kreativitas sangat diatur oleh gereja. Dominasai gereja sangat kuat dalam berbagai aspek kehidupan. Agama Kristen sangat mempengaruhi berbagai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Seolah raja tidak mempunyai kekuasaan, justru malah gereja lah yang mengatur pemerintahan. Berbagai hal diberlakukan demi kepentingan gereja, tetapi hal-hal yang merugikan gereka akan mendapat balasan yang sangat kejam. Contohnya, pembunuhan Copernicus mengenai teori tata surya yang menyebutkan bahwa matahari pusat dari tata surya, tetapi hal ini bertolak belakang dari gereja sehingga Copernicus dibunuhnya. Pemikiran manusia pada Abad Pertengahan ini mendapat doktrinasi dari gereja. Hidup seseorang selalu dikaitkan dengan tujuan akhir (ekstologi). Kehidupan manusia pada hakekatnya sudah ditentukan oleh Tuhan. Maka tujuan hidup manusia adalah mencari keselamatan. Pemikiran Donald Palmer, Looking at Philosophy: The Unbearable Heaviness Made Lighter (New York: McGraw-Hill, 2006), 146. 1



282



tentang ilmu pengetahuan banyak diarahkan kepada theology. Pemikiran filsafat berkembang sehingga lahir filsafat scholastik yaitu suatu pemikiran filsafat yang dilandasi pada agama dan untuk alat pembenaran agama. Oleh karena itu disebut Dark Age atau Zaman Kegelapan. Dengan adanya berbagai pembatasan yang dilakukan pihak pemerintah atas saran dari gereja maka timbulah sebuah gerakan kultural, pada awalnya merupakan pembaharuan di bidang kejiwaan, kemasyarakatan, dan kegerejaan di Italia pada pertengahan abad XIV. Sebelum gereja mempunyai peran penting dalam pemerintahan, golongan ksatria hidup dalam kemewahan, kemegahan, keperkasaan dan kemasyuran. Namun, ketika dominasi gereja mulai berpengaruh maka hal seperti itu tidak mereka peroleh sehingga timbullah semangat renaissance. Menurut Ernst Gombrich munculnya renaissance sebagai suatu gerak kembali di dalam seni, artinya bahwa renaissance tidak dipengaruhi oleh ide-ide baru. Misalnya, gerakan Pra-Raphaelite atau Fauvist merupakan gerakan kesederhanaan primitif setelah kekayaan gaya Gotik Internasional yang penuh hiasan. Menurut Prancis Michel De Certeau renaissance muncul karena bubarnya jaringanjaringan sosial lama dan pertumbuhan elite baru yang terspesialisasi sehingga gereja berusaha untuk kembali mendesak kendali dan manyatukan kembali masyarakat lewat pemakaian berbagai teknik visual-dengan cara-cara mengadakan pameran untuk mengilhami kepercayaan, khotbah-



283



khotbah bertarget dengan menggunakan citra-citra dan teladan-teladan dan sebagainya yang diambil dari pemikiran budaya klasik sehingga dapat mempersatukan kembali gereja yang terpecah-belah akibat skisma (perang agama). Renaissance muncul dari timbulnya kotakota dagang yang makmur akibat perdagangan mengubah perasaan pesimistis (zaman Abad Pertengahan) menjadi optimistis. Hal ini juga menyebabkan dihapuskannya system stratifikasi sosial masyarakat agraris yang feodalistik. Maka kebebasan untuk melepaskan diri dari ikatan feodal menjadi masyarakat yang bebas. Termasuk kebebasan untuk melepaskan diri dari ikatan agama sehingga menemukan dirinya sendiri dan menjadi fokus kemajuan. Antroposentrisme menjadi pandangan hidup dengan humanisme menjadi pegangan sehari-hari. Selain itu adanya dukungan dari keluarga saudagar kaya semakin menggelorakan semangat Renaissance sehingga menyebar ke seluruh Italia dan Eropa. Renaissance lahir sekitar abad ke 15-16 M, tatkala kaum intelektual, politik, dan seniman di daratan Eropa serentak bertekad untuk mengadakan suatu gerakan pembaharuan yang menginginkan kebebasan berpikir dan akan merubah doktrin agama mereka yang dirasakan sangat mengekang kemerdekaan batin. Perkembangan pertama renaisans terjadi di kota Firenze. Keluarga Medici yang memiliki masalah dengan sistem pemerintahan kepausan menjadi penyokong keuangan dengan usaha



284



perdagangan di wilayah Mediterania. Hal ini membuat para intelektual dan seniman memiliki kebebasan dan mendapatkan perlindungan dari kutukan pihak gereja. Keleluasaan ini didukung oleh tidak adanya kekuasaan dominan di Firenze. Kota ini dipengaruhi oleh bangsawan dan pedagang. Dari sini, kemudian renaisans menjalar ke daratan Eropa lainnya. Latar belakang munculnya Renaissance adalah sebagai usaha pembaharuan kebudayaan Romawi dan Yunani yang pada masa abad tengah/masa kegelapan sempat dilupakan, yaitu tipe manusia yang otonom dan mandiri. Pada abad 12 ada suatu penemuan kembali literatur Yunani dan Romawi yang terjadi di seluruh Eropa. Peristiwa tersebut akhirnya menyebabkan perkembangan gerakan humanis di abad ke-14. Orang-orang Humanist meyakini bahwa setiap individu memiliki arti penting dalam masyarakat. Pertumbuhan minat dalam humanisme menyebabkan perubahan dalam seni dan ilmu yang membentuk konsepsi umum dari Renaissance. Abad 14 hingga abad 16 merupakan periode goncangan ekonomi atau perubahan ekonomi di Eropa, dimana perubahan yang paling luas terjadi di Italia. Setelah kematian Frederick II di 1250, kaisar kehilangan kekuasaan di Italia dan di seluruh Eropa, tidak satupun dari penerus Frederick yang seperti dia. Kejatuhannya adalah saat Paus III memegang kekuasaan secara bersamaan, memegang Negara sekaligus Gereja. Selama Renaissance, Italia berkembang menjadi despotisme yaitu bahwa



285



penguasa Negara memerintah berdasarkan keinginannya sendiri. Eropa sendiri perlahan-lahan berkembang menjadi kelompok mandiri yang kompartemen (terpisah). Pertumbuhan ekonomi Italia yang terbaik dicontohkan dalam pengembangan bank yang kuat, terutama bank Medici dari Florence. Inggris, Perancis, dan Spanyol juga mulai mengembangkan sistem ekonomi berkelas. Adapun sebab utama lahirnya renaisans itu karena keterkejutan orang-orang Eropa menyaksikan ambruknya imperium Romawi Timur oleh kaum Muslimin, terutama dengan peristiwa jatuhnya Konstantinopel yang menyebabkan penaklukan Kerajaan Turki atas Romawi Timur (Byzantium) pada tahun 1453 M. Romawi Timur (Byzantium) adalah Kerajaan Eropa yang besar, perkasa dan termaju. Lambang supremasi Kaum Nasrani Eropa. Kemegahan gereja Eropa untuk sebagian besar diandalkan kepada Byzantium. Jatuhnya kekaisaran Byzantium atau Romawi Timur di Konstantinopel membangkitkan Eropa. Tadinya mereka hampir putus asa setelah mengalami serangan bangsa Mongol atas Konstantinopel, menelan pahitnya kekalahan mereka dengan dikuasainya Spanyol dan Portugal oleh Ummat Islam, lalu menyusul penaklukan kaum Muslimin atas negeri-negeri Bulgaria, Yugoslavia, Rumania dan seluruh Balkan oleh Ummat Islam yang bersatu. Renaissance merupakan titik awal dari sebuah peradaban modern di Eropa. Essensi dari semangat Renaissance salah satunya adalah pandangan manusia bukan hanya memikirkan



286



nasib di akhirat seperti semangat Abad Tengah, tetapi mereka harus memikirkan hidupnya di dunia ini. Renaissance menjadikan manusia lahir ke dunia untuk mengolah, menyempurnakan dan menikmati dunia ini baru setelah itu menengadah ke surga. Nasib manusia di tangan manusia, penderitaan, kesengsaraan dan kenistaan di dunia bukanlah takdir Allah melainkan suatu keadaan yang dapat diperbaiki dan diatasi oleh kekuatan manusia dengan akal budi, otonomi dan bakat-baktnya. Manusia bukan budak melainkan majikan atas dirinya. Inilah semangat humanis, semangat manusia baru yang oleh Cicero dikatakan dapat dipelajari melalui bidang sastra, filsafat, retorika, sejarah dan hukum. Florencia menjadi pelopor renaissance di Italia, bukan justru kota Roma, Milano atau Venesia. Menurut John Hele dan Plum Florensia menjadi kota pelopor Renaissance di Italia karena berbagai faktor antara lain adalah: 1. Kota Florencia pada zaman Romawi bernama Florentia itu secara geografis merupakan kota pedalaman Italia Utara yang sangar strategis, subur karena dibelah oleh Sungai Arno dan menjadi kota pertemuan dari berbagai kota di Italia Utara antara lain Genoa, Lucca dan Pisa di sebelah barat, Siena dan Arezzo di sebelah selatan, Urbino, San Marino dan Romagna di sebelah timur serta Bologna, Modena di bagian Utara. Maka tidak mengherankan jika Florencia menjadi kota pertemuan dagang yang kaya raya dan besar pada abad ke-XIII.



287



2. Florencia sebagai kota industry khususnya wol (terbaik di Italia) dan tekstil pada umumnya. Menurut John Hele pada abad keXIV sudah ada 21 Gilda utama yang dimiliki oleh para hakim, notaries, importir dan pengusaha dan 44 gilda kecil sebagai pendukungnya yang dimiliki oleh pengrajin, pedagang. 3. Florencia sebagai pusat keuangan Italia masa itu. Kota ini mempunyai penduduk yang bersemboyan per non dormire (agar jangan tidur, maksudnya tidur tidak mendatangkan rezeki) dan Florentinis ingentis nihil arduit est (tidak ada yang dapat dikerjakan oleh orang Florencia). 4. Florencia merupakan ibukota Republik Florentia yang pada prinsipnya menganut sistem pemerintahan demokrasi dan memperhatikan kepentingan rakyat. Maka kreativitas seni dan inteletual dapat bebas berkembang. Didirikannya pendidikan formal di Accademia Plato yang didirikan oleh keluarga Medici sehingga melahirkan seniman-seniman besar, para ilmuan terkenal, sastrawan jenius dan arsitek besar. Maka tidak mengherankan apabila dapat mempertahankan kemasyuran dan berperan penting dalam modernisasi Italia selama dua abad. Florencia telah menjadi awal pembaharuan berbagai bidang kehidupan manusia dari sumber-sumber daya manusia, keuangan, perdangangan, sosial dan budaya, Benih-benih humanism yang melahirkan liberalism, individualism serta rasionalisme



288



mendapat tempat subur untuk berkembang ke seluruh penjuru Eropa. Keluarga Medici merupakan salah satu keluarga yang terkenal di Italia pada zaman renaissance. Keluarga ini mulai mempunyai nama terhormat dalam masyarat pada abad keXIV ketika Averardo de Medici yang terkenal dengan nama Bicci berhasil dalam usahawan swasta ulat sutera, kain lenen dan akhirnya menjadi bankir. Usaha ini dilanjutkan anaknya yang bernama Giovanni di Bicci meluas ke luar Italia. Keluaga Medici mulai terlibat dalam berbagai bidang terutama politik, ketika Giovani terpilih menjadi hakim agung di Florancia pada 1421. Giovani mempunyai dua anak yang bernama Casimo dan Lorenzo. Casimo berhasil menjadikan keluarga Medici mencapai puncak kejayaan pada bidang politik, ekonomi bahkan agama. Ia juga tokoh utama yang menjadi pelopor dan pelindung bidang budaya, kesenian dan ilmu pengetahuan. Casimo adalah pewaris etos kerja orang Florencia yaitu per non dormire sehingga ia memadukan usaha bidang politik, ekonomi, kebudayaan dan ilmu pengetahuan dengan semboyan tersebut. Jasanya antara lain menjadi pendukung utama untuk mendirikan Accademia Plato di Florencia pada tahun 1642 sehingga ia ikut serta dalam menentukan arah perkembangan dunia akedemisi. Kemudian mendorong mendirikan Akademia Seni pada 1460 yang dipimpin oleh Michelangelo. Ia juga mendorong seniman untuk bersemboyan I’art pour I’art bukan I’art pour d’argent (seni untuk uang).



289



Lorenzo merupakan penerus Casimo, ia tampil sebagai diplomat ulung, seniman dan akhirnya menjadi penguasa di Florencea. Keturuan lain keluarga Medici ada yang menjadi pemimpin gereja yang tertinggi seperti Paus Leo X (1513-1521), Paus Clemens VII (1523-1534), Paus Pius IV (15591565), Paus Leo IX tahun 1605. Sejak Paus Leo X tampil banyak pula paus yang menjadi peminat dan pelindung karya seni serta mengangkat keturunan Keluarga Medici menjadi Duke of Urban. Sementara itu pada masa Paus Clemens VII, keturunan Medici yang bernama Alessandro diangkat menjadi pendiri dinasti Tuscani yang berkuasa hingga abad XVIII. Dengan semakin kuatnya Renaissance sekularisasi berjalan makin kuat. Hal ini menyebabkan agama semakin diremehkan bahkan kadang digunakan untuk kepentingan sekulerisasi itu sendiri. Semboyan mereka “religion was not highest expression of human values”. Bahkan salah seorang yang dilukiskan sebagai manusia ideal renaissance Leon Batista Alberti (1404-1472), secara tegas berani mengatakan “Man can do all things if they will”. Renaissance mengajarkan kepada manusia untuk memanfaatkan kemampuan dan pengetahuannya bagi pelayanan kepada sesama. Manusia hendaknya menjalani kehidupan secara aktif memikirkan kepentingan umum bukan hidup bersenang-senang dalam belenggu moral dan ilmu pengetahuan di menara gading. Manusia harus berperan aktif dalam kehidupan, bukan sifat pasif seraya pasrah pada takdir. Namun, manusia menjadi pusat segala hal dalam kehidupan atau Antoposentrisme.



290



Manusia renaissance harus berani memuji dirinya sendiri, mengutamakan kemampuannya dalam berfikir dan bertindak secara bertanggung jawab, menghasilkan karya seni dan mengarahkan nasibnya kepada sesama. Keinginan manusia untuk menonjolkan diri baik dari keindahan jasmani maupun kemampuan intelektual-intelektualnya. Keinginannya itu dituangkan dalam berbagai karya seni sastra, seni lukis, seni pahat, seni music dan lain-lain. Ekspresi daya kemampuan manusia terus berkembang sampai saat ini sehingga di zaman modern ini pun tidak ada lagi segi kehidupan manusia yang tidak ditonjolkan. Berikut daftar tokoh besar pada masa renaissance: 1. Bidang seni dan budaya a. Albrecht Dührer (1471-1528) b. Desiserius Eramus (1466-1536) c. Donatello d. Ghirlandaio e. Hans Holbein (1465-1506) f. Hans Memling (1430-1495) g. Hieronymus Bosch (1450-1516) h. Josquin de Pres (1445-1521) i. Leonardo da Vinci (1452-1519) j. Lucas Cranach (1472-1553) k. Michaelangelo (1475-1564) l. Perugino (1446-1526) m. Raphael (1483-1520) n. Sandro Botticelli (1444-1510) o. Tiziano Vecelli (1477-1526) 2. Penjelajahan a. Christopher Columbus (1451-1506)



291



3.



1)



2)



3)



292



b. Ferdinand Magellan (1480?-1521) Ilmu pengetahuan a. Johann Gutenberg (1400-1468) b. Nicolaus Copernicus (1478-1543) c. Andreas Vesalius (1514-1564) d. William Gilbert (1540-1603) e. Galileo Galilei (1546-1642) f. Johannes Kepler (1571-1642) Sumbangan Renaissance Kepada Eropa: Kemunculan aliran pemikiran yang mementingkan kebebasan akal seperti alirn baru Eropa hingga abad ke 18 seperti Humanisme, rasionalisme, nasionalisme dan absolutisme berani mempersoalkan kepercayaan dan cara pemikiran lama yang diamalkan selama ini secara langsung melemhkan kekuasaan golongan feudal. Itali telah menjadi pusat ilmu yang terkenal di Eropah pada abad ke 15. Hal ini terjadi apabila Kota constntinople dikuasai oleh Islam telah jatuh ke tangan orang Barat pada tahun 1453. Keadaan ini telah menyebabkan ramai para ilmuan Islam berhijrah ke pusat-pusat perdagangan di Itali. Ini menyebabkan Itali menjadi pusat intelektual terkenal di Eropah pada masa itu. Renaissance telah membentuk masyarakat perdagangan yang berdaya maju.Keadaan ini telah melemahkan kedudukan dn kekuasaan golongan feudal yang sentiasa berusaha menyekat perkembangan ilmu dan masyarakat di Eropah.



4) Melahirkan tokoh-tokoh pemikir seperti Leonardo de Vinci yang terkenal sebagi pelukis, pemuzik dan ahli falsafah serta jurutera. Michelangelo merupakan tokoh seni, arkitek, jurutera, penyair dan ahli anotomi. 5) Melahirkan ahli-ahli sains terkenal seperti Copernicus dan Galileo. 6) Melahirkan ahli matematik seperti Tartaglia dan Cardan yang berusaha menguraikan persamaan ganda tiga. Tartaglia orang pertama yang menggunakan konsep matematik dalam ketenteraan iaitu mengukur tembakan peluru mariam. Cardan terlibat dalam penghasilan ilmu algebra. 7) Selain itu, Renaissance telah melahirkan tokohtokoh perubatan di Eropah.Antara tokoh perubatan terkenal iaitu William Harvey yang telah memberi sumbangan dalam kajian peredaran darah. 8) Renaissance telah melahirkan masyarakat yang lebih progresif sehingga membawa kepada aktiviti penjelajahan Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa Renaissance lahir sebagai pembaharu untuk membentuk manusia yang mandiri, utuh, otonom, dan bertanggungjawab. Pola pikir abad tengah ( terbelenggu ajaran Gereja ; disalahgunakan ) diganti dengan pola pikir rasional baik SDA maupun SDM nya sehingga manusia bisa berkembang. Setelah Renaissance, pemikiran orang-orang Eropa mengalami perubahan di bidang: 1. Perubahan pada SDM



293



a) Perubahan pola pikir emosional menjadi rasional. Pemikiran yang rasional menjadi dasar utama/satu-satunya jalan untuk mengungkap rahasia alam, bukan melalui agama. Agama gereja mulai ditinggalkan. b) Pada jaman abad tengah, kehidupan di Eropa diatur oleh ”Theosentris’’ yaitu segala sesuatu berpusat pada kepercayaan. Namun setelah muncul Renaissance, kehidupan mereka diatur oleh ’’Anthroposentris’’ yaitu segala sesuatu yang dilakukan berpusat pada manusia. Pada abad tengah mereka percaya pada takdir, tapi pada renaissance mereka percaya pada nasib. c) Pada jaman abad tengah segala sesuatu dilakukan secara kolektif. Sebaliknya pada jaman renaissance, segala sesuatu dilakukan secara individual. d) Pada jaman abad tengah segala sesuatu dilakukan berdasarkan spiritual. Dan di jaman renaissance, segala sesuatu dilakukan berdasarkan materi. 2. Perubahan pada Kebudayaannya Pada perubahan kebudayaan ini yang ditekankan adalah membentuk manusia yang humanis. Humanisme adalah proses pembentukan manusia yang otonom, rasional, bebas, bertanggungjawab, sehat fisik dan spiritual. Perubahan kebudayaan ini adalah pada bidang seni. Yaitu seni bangunan/arsitektur dan seni lukis. Seniman lukis yang sangat terkenal pada saat itu adalah Leonardo da Vinci , lewat karya



294



"Monalisa". Dan seniman patung Michelangelo, yang terkenal dengan patung PIETA, yaitu patung Yesus dipangkuan Bunda Maria. B. Aufklarung Lazimnya suatu dialog intelektual, disatu sisi terdapat bagian yang dilestarikan dan sisi lain ada bagian dikritisi atau diserang bahkan mungkin ada bagian yang ditolak. Di dunia Islampun muncul pelestari warisan Yunani,Persia dan Romawi, namun juga banyak yang melakukan kritik terhadapnya. Disinilah tampak dinamika intelektual. Konsep Ide Plato trus dipelajari dan dikembangkan, begitu juga konsep Akal dan Logika Aristoteles serta konsep Emanasi Plotinus. Semunya tetap dijadikan pijakan. Ini membuktikan bahwa ketiga filsuf tersebut yang nota bene merupakan para pionir memiliki pengaruh yang sangat besar dalam membentuk pola pikir para filusuf generasi berikutnya tidak terkecuali Immauel Kant, Filsuf kelahiran Jerman yang abad ke-18. Menurut Kant, Fiksafat adalah ilmu (Pengetahuan) yang menjadi pangkal dari semua pengetahuan yang di dalamnya tercakup masalah epistemologi yang menjawab persoalan apa yang dapat kita ketahui. Tampak adanya perbedaan yang menyolok antara abad ke-17 dan abad ke-18. Abad ke-17 membatasi diri pada usaha memberikan tafsiran baru terhadap kenyataan bendawi dan rohani, yaitu kenyataan yang mengenai manusia, dunia dan Allah.dan tokoh-tokoh filsafat di era ini



295



adalah juga tokoh-tokoh gereja sehingga mereka tidak lepas dari isu-isu ketuhanan,Yesus dan sebagainya.1 Akan tetapi abad ke-18 menganggap dirinya mendapat tugas untuk meneliti secara kritik (sesuai dengan kaidah-kaidah yang diberikan akal)segala yang ada,baik didalam negara maupun didalam masyarakat. John Locke yang mendominasi filsafat pada abad ke-18, seperti sahabatnya, Newton yang mendominasi ilmu pada periode yang sama.Awal abad ke-18 adalah masa yang gemilang. Eropa sembuh dari kekalutan selamah dua abad sebelumnya. Ini tentu sangat berbeda kondisinya dengan tradisi keilmuan dalam Islam pada abad yang sama. Menurut Harun Hadiwijono, dahulu filsafat mewujudkan suatu pemikiran yang hanya menjadi hal istimewa beberapa ahli saja,tetapi sekarang orang berpendapat,bahwa seluruh umat manusia berhak turut menikmati hasil-hasil pemikiran filsafat dan juga menjadi tugas filsafat. Filsafat abad ke-18 di Jerman disebut Zaman Aufklarung atau zaman pencerahan yang di Inggris dikenal dengan Enlightenment,yaitu suatu zaman baru dimana seorang ahli pikir yang cerdas mencoba menyelesaikan pertentangan antara rasionalisme dengan empirisme. Zaman ini muncul dimana manusia lahir dalam keadaan belum dewasa dalam pemikiran filsafatnya. Namun setelah Immanuel Kant mengadakan penyelidikan dan kritik terhadap peran pengetahuan akal barula manusia terasa bebas dari otoritas yang datang dari luar manusia demi kemajuan peradaban manusia.



296



Pemberian nama ini juga dikarenakan pada zaman itu manusia mencari cahaya baru dalam rasionya. Immanuel Kant mendefenisikan zaman itu dengan mengatakan, “Dengan Aufklarung dimaksudkan bahwa manusia keluar dari keadaan tidak balig yang dengannya ia sendiri bersalah.” Apa sebabnya manusia itu sendiri yang bersalah? Karena manusia itu sendiri tidak menggunakan kemungkinan yang ada padanya,yaitu rasio.3 Sebagai latar belakangnya,manusia melihat adanya kemajuan ilmu pengetahuan (ilmu pasti, biologi, filsafat dan sejarah) telah mencapai hasil yang menggembirakan. Disisi lain jalannya filsafat tersendat-sendat. Untuk itu diperlukan upaya agar filsafat dapat berkembang sejajar dengan ilmu pengetahuan alam. Isaac Newton (1642-1727) memberikan dasar-dasar berpikir dengan induksi, yaitu pemikiran yang bertitik tolak pada gejala-gejala dan mengembalikan kepada dasar-dasar yang sifatnya umum. Untuk itu dibutuhkan analisis. Dengan demikian zaman pencerahan merupakan tahap baru dalam proses emansipasi manusia Barat yang sudah dimulai sejak Renaissance dan Reformasi. Para tokoh era Aufklarung ini juga merancang programprogram khusus diantaranya adalah berjuang menentang dogma gereja dan takhayul populer. Senjatanya adalah fakta-fakta ilmu dan metodemetode rasional. Masa Pencerahan terjadi di tiga negara Eropa, diantaranya sebagai berikut: a. Pencerahan di Jerman Pada umumnya Pencerahan di Jerman tidak begitu bermusuhan sikapnya terhadap agama



297



Kristen seperti yang terjadi di Perancis. Memang orang juga berusaha menyerang dasar-dasar iman kepercayaan yang berdasarkan wahyu, serta menggantinya dengan agama yang berdasarkan perasaan yang bersifat pantheistic, akan tetapi semuanya itu berjalan tanpa “perang” terbuka. Yang menjadi pusat perhatian di Jerman adalah etika. Orang bercita-cita untuk mengubah ajaran kesusilaan yang berdasarkan wahyu menjadi suatu kesusilaan yang berdasarkan kebaikan umum, yang dengan jelas menampakkan perhatian kepada perasaan. Sejak semula pemikiran filsafat dipengaruhi oleh gerakan rohani di Inggris dan di Perancis. Hal itu mengakibatkan bahwa filsafat Jerman tidak berdiri sendiri. Para perintisnya di antaranya adalah Samuel Pufendorff (1632-1694), Christian Thomasius (1655-1728). Akan tetapi pemimpin yang sebenarnya di bidang filsafat adalah Christian Wolff (1679- 1754). la mengusahakan agar filsafat menjadi suatu ilmu pengetahuan yang pasti dan berguna, dengan mengusahakan adanya pengertian yang jelas dengan bukti-bukti yang kuat. Penting sekali baginya adalah susunan sistim filsafat yang bersifat didaktis, gagasangagasan yang jelas dan penguraian yang tegas. Dialah yang menciptakan pengistilahan-pengistilahan filsafat dalam bahasa Jerman dan menjadikan bahasa itu menjadi serasi bagi pe-



298



mikiran ilmiah. Karena pekerjaannya itu filsafat menarik perhatian umum. Pada dasarnya filsafatnya adalah suatu usaha mensistimatisir pemikiran Leibniz dan menerapkan pemikiran itu pada segala bidang ilmu pengetahuan. Dalam bagian-bagian yang kecil memang terdapat dari Leibniz. Hingga munculnya Kant yang filsafatnya merajai universitas di Jerman. Orang yang seolah-olah dengan tiba-tiba menyempurnakan Pencerahan adalah Immanuel Kant (1724-1804). Yang merupakan Filsuf yang pengaruhnya terhadap filsafat pada dua ratus tahun terakhir ini,baik di Barat maupun di Timur, hampir secara universal diakui sebagai filsuf terbesar sejak masa Aristoteles. Ada yang berpendapat bahwa filsafat pada dua ratus tahun terakhir ini bagaikan catatan kaki terhadap tulisannya. Ada juga yang berpendapat sistem filsafatnya bagi dunia modern ini laksana Aristoteles bagi dunia skolastik. Kant lahir di Konigserg, Prusia Timur, Jerman. Pikiran-pikiran dan tulisan-tulisannya membawa revolusi yang jauh jangkauannya dalam filsafat modern.ia hidup dizaman Scepticism Sebagian besar hidupnya telah ia pergunakan untuk mempelajari logical process of thought (proses penalaran logis), the external world (dunia eksternal) dan reality of things (realitas segala yang wujud). Kehidupannya dalam dunia filsuf dibagi dalam dua periode: zaman pra-kritis dan zaman



299



kritis. Pada zaman pra-kritis ia menganut pendirian rasionalis yang dilancarkan oleh Wolff dan kawan-kawan. Tetapi karena terpengaruh oleh David Hume (1711-1776), berangsur-angsur Kant meninggalkan rasionalisme. Ia sendiri mengatakan bahwa Hume itulah yang membangunkannya dari tidur dogmatisnya. Pada zaman kriitsnya, Kant merubah wajah filsafatnya secara radikal. Dilingkungan masyarakatnya, Kant sering menjadi subjek karikatur secara tidak wajar, semisal bahwa rutinitas hariannya amat kaku sampai-sampai para tetangganya menyetel arloji mereka menurut kedatangan dan kepergiannya setiap hari, namun cerita semacam ini mungkin justru mencerminkan integritas kehidupannya yang bersesuaian dengan ide-idenya sendiri jika kita ingin menilainya secara positif. Ketika meninggal, epitaf di batu nisannya hanya bertuliskan “Sang Filsuf” sebuah sebutan yang dianggap tepat, dengan mempertimbangkan bahwa periode filsafat yang bermula dengan tampilnya Sokrates menjadi lengkap dalam banyak hal dengan hadirnya Kant. Dengan munculnya Kant dimulailah zaman baru, sebab filsafatnya mengantarkan suatu gagasan baru yang memberi arah kepada segala pemikiran filsafat la sendiri memang merasa, bahwa is meneruskan Pencerahan. Karyanya yang terkenal dengan menampakkan kritisismenya adalah Critique of Pure Reason. (kritik atas rasio murni) yang membicarakan tentang



300



reason dan knowing process yang ditulisnya selama lima belas tahun. Bukunya yang kedua adalah Critique of Practical Reason atau kritik atas rasio praktis yang menjelaskan filsafat moralnya dan bukunya yang ketiga adalah Critique of Judgment atau kritik atas daya pertimbangan. Kant yang juga dikenal sebagai raksasa pemikir Barat mengatakan bahwa, Filsafat merupakan ilmu pokok dari segala pengetahuan yang meliputi empat persolan yaitu: Apa yang dapat kita ketahui ?, Apa yang boleh kita lakukan?, Sampai dimanakah pengharapan kita? Dan Apakah manusia itu? b. Pencerahan di Inggris Di Inggris filsafat Pencerahan dikemukakan oleh ahli-ahli pikir yang bermacam-macam keyakinannya. Kebanyakan ahli pikir yang seorang lepas daripada yang lain, kecuali tentunya beberapa aliran pokok. Salah satu gejala Pencerahan di Inggris ialah yang disebut Deisme, suatu aliran dalam filsafat Inggris pada abad ke-18, yang menggabungkan diri dengan gagasan Eduard Herbert yang dapat disebut pemberi alas ajaran agama alamiah. Menurut Herbert, akal mempunyai otonomi mutlak di bidang agama. Juga agama Kristen ditaklukkan kepada akal. Atas dasar pendapat ini ia menentang segala kepercayaan yang berdasarkan wahyu. Terhadap segala skeptisisme di bidang agama ia bermaksud sekuat mungkin meneguhkan kebenaran-kebenaran dasar alamiah dari agama.



301



Dasar pengetahuan di bidang agama adalah beberapa pengertian umum yang pasti bagi semua orang dan secara langsung tampak jelas karena naluri alamiah, yang mendahului segala pengalaman dalam pemikiran akal. Ukuran kebenaran dan kepastiannya adalah persetujuan umum segala manusia, karena kesamaan akalnya. Isi pengetahuan itu mengenai soal agama dan kesusilaan. Inilah asas-asas pertama yang harus dijabarkan oleh akal manusia sehingga tersusunlah agama alamiah, yang berisi: a) bahwa ada Tokoh yang Tertinggi; b) bahwa manusia harus berbakti kepada Tokoh yang Tertinggi itu; c) bahwa bagian pokok kebaktian ini adalah kebajikan dan kesalehan; d) bahwa manusia karena tabiatnya benci terhadap dosa dan yakin bahwa tiap pelanggaran kesusilaan harus disesali; e) bahwa kebaikan dan keadilan Allah memberikan pahala dan hukuman kepada manusia di dalam hidup ini dan di akhirat. Menurut Herbert, di dalam segala agama yang positif terdapat kebenarankebenaran pokok dari agama alamiah. Pada akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18 pandangan Herbert ini dikembangkan lebih lanjut, baik yang mengenai unsur-unsurnya yang negatif maupun unsur-unsurnya yang positif. c. Pencerahan di Perancis Pada abad ke-18 filsafat di Perancis menimba gagasannya dari Inggris. Para pelopor filsafat di Perancis sendiri (Descartes, dan lain-lain) telah dilupakan dan tidak dihargai lagi. Sekarang



302



yang menjadi guru mereka adalah Locke dan Newton. Perbedaan antara filsafat Perancis dan Inggris pada masa tersebut adalah: Di Inggris para filsuf kurang berusaha untuk menjadikan hasil pemikiran mereka dikenal oleh umum, akan tetapi di Perancis keyakinan baru ini sejak semula diberikan dalam bentuk populer. Akibatnya filsafat di Perancis dapat ditangkap oleh golongan yang lebih luas , yang tidak begitu terpelajar seperti para filsuf. Hal ini menjadikan keyakinan baru itu memasuki pandaangan umum. Demikianlah di Perancis filsafat lebih eras dihubungkan dengan hidup politik, sosial dan kebudayaan pada waktu itu. Karena sifatnya yang populer itu maka filsafat di Perancis pada waktu itu tidak begitu mendalam. Agama Kristen diserang secara keras sekali dengan memakai senjata yang diberikan oleh Deisme. Sama halnya dengan di Inggris demikian juga di Perancis terdapat bermacam-macam aliran: ada golongan Ensiklopedi, yang menyusun ilmu pengetahuan dalam bentuk Ensiklopedi, dan ada golongan materialis, yang meneruskan asas mekanisme menjadi materialisme semata-mata. Diantara tokoh yang menjadi sentral pembicaraan disini adalah Voltaire (1694-1778), Pada tahun 1726 ia mengungsi ke Inggris. Di situ ia berkenalan dengan teori-teori Locke dan Newton. Apa yang telah diterimanya dari kedua tokoh ini ialah: a) sampai di mana jangkauan



303



akal manusia, dan b) di mana letak batas-batas akal manusia. Berdasarkan kedua hal itu ia membicarakan soal-soal agama alamiah dan etika. Maksud tujuannya tidak lain ialah mengusahakan agar hidup kemasyarakatan zamannya itu sesuai dengan tuntutan akal. Mengenai jiwa dikatakan, bahwa kita tidak mempunyai gagasan tentang jiwa (pengaruh Locke).Yang kita amati hanyalah gejala-gejala psikis. Pengetahuan kita tidak sampai kepada adanya suatu substansi jiwa yang berdiri sendiri. Oleh karena agama dipandang sebagai terbatas kepada beberapa perintah kesusilaan, maka ia menentang segala dogma, dan menentang agama. Di Perancis pada era pencerahan ini juga ada Jean Jacques Rousseau(1712-1778), yang telah memberikan penutupan yang sistematis bagi cita-cita pencerahan di Perancis. Sebenarnya ia menentang Pencerahan, yang menurut dia, menyebarkan kesenian dan ilmu pengetahuan yang umum, tanpa disertai penilaian yang baik, dengan terlalu percaya kepada pembaharuan umat manusia melalui pengetahuan dan keadaban. Sebenarnya Rousseau adalah seorang filsuf yang bukan menekankan kepada akal, melainkan kepada perasaan dan subjektivitas. Akan tetapi di dalam menghambakan diri ke-pada perasaan itu akalnya yang tajam dipergunakan. Terkait kebudayaan menurut Rousseau, kebudayaan bertentangan dengan alam, sebab kebudayaan merusak manusia. (Yang dimaksud



304



ialah kebudayaan yang berlebih-lebihan tanpa terkendalikan dan yang serba semu, seperti yang tampak di Perancis pada abad ke-18 itu. Mengenai agama Rousseau berpendapat, bahwa agama adalah urusan pribad.. Agama tidak boleh mengasingkan orang dari hidup bermasyarakat. Kesalahan agama Kristen ialah bahwa agama ini mematahkan kesatuan masyarakat. Akan tetapi agama memang diperlukan oleh masyarakat. Akibat keadaan ini ialah, bahwa masyarakat membebankan kebenaran-kebenaran keagamaan, yang pengakuannva secara lahir perlu bagi hidup kemasyarakatan, kepada para anggotanya sebagai suatu undang-undang, yaitu tentang adanya Allah serta penyelenggaraannya terhadap dunia, tentang penghukuman di akhirat, dan sebagainya. Pengakuan secara lahiriah terhadap agama memang perlu bagi masyarakat, tetapi pengakuan batiniah tidak boleh dituntut oleh negara. Pandangan Rousseau mengenai pendidikan berhubungan erat dengan ajarannya tentang negara dan masyarakat. Menurut dia, pendidikan bertugas untuk membebaskan anak dari pengaruh kebudayaan dan untuk memberi kesempatan kepada anak mengembangkan kebaikannya sendiri yang alamiah. Segala se-suatu yang dapat merugikan perkembangan anak yang alamiah harus dijauhkan dari anak. Di dalam pendidikan tidak boleh ada pengertian “kekuasaan” yang memberi perintah dan yang harus ditaati. Anak harus diserahkan kepada



305



dirinya sendiri. Hanya dengan cara demikian ada jaminan bagi pembentukan yang diinginkan. Juga pendidikan agama yang secara positif tidak boleh diadakan. Anak harus memilih Sendiri keyakinan apa yang akan diikutinya. Bagi seorang muslim,paham seperti ini tentu sangat menyesatkan. Harun Hadiwijono berkesimpulan bahwa Pencerahan di Perancis memberikan senjata rohani kepada revolusi Perancis.



306



BAB IX RASIONALISME, EMPIRISME DAN KRITISISME A. Rasionalisme Aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal. Manusia memperoleh pengetahuan melalui kegiatan menangkap objek.1 Bagi aliran ini kekeliruan pada aliran empirisme yang disebabkan kelemahan alat indera dapat dikoreksi, seandainya akal digunakan. Rasionalisme tidak mengingkari kegunaan indera dalam memperoleh pengetahuan. Pengalaman indera diperlukan untuk merangsang akal dan memberikan bahanbahan yang menyebabkan akal dapat bekerja, tetapi sampainya manusia kepada kebenaran adalah semata-mata akal. Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak dalam ide dan bukunya di dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna mempunyai ide yang sesuai dengan atau yang menunjuk kepada kenyataan, kebenaran hanya ada dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja. Akal, selain berkerja karena ada bahan dari indera, juga akal 1



Secara bahasa manusia berasal dari kata “manu” (Sansekerta), “mens” (Latin), yang berarti berpikir, berakal budi atau makhluk yang berakal budi (mampu menguasai makhluk lain). Secara istilah manusia dapat diartikan sebuah konsep atau sebuah fakta, sebuah gagasan atau realitas, sebuah kelompok (genus) atau seorang individu. Mohammad Adib, Filsafat Ilmu. (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2011), 48.



307



dapat menghasilkan pengetahuan yang tidak berdasarkan bahan inderawi sama sekali, jadi akal dapat juga mengahasilkan pengetahuan tentang objek yang betul-betul abstraks dan tetap (tidak berubah).2 “Rationalisms identify the intellect, the mind, or the rational part of the soul (or even the State) as of primary importance in receiving and holding knowledge. The corresponding objects of knowledge are then no sensory, general, and unchanging or eternal.”3 Descartes, seorang pelopor rasionalisme berusaha menemukan suatu kebenaran yang tidak dapat diragukan lagi. Ia yakin kebenaran-kebenaran semacam itu ada dan kebenaran tersebut dikenal dengan cahaya yang terang dari akal budi sebagai hal-hal yang tidak dapat diragukan.4 Dengan demikian, akal budi dipahamkan sebagai sejenis perantara suatu teknik deduktif yang dengan memakai teknik tersebut dapat ditemukan kebenaran, artinya dengan melakukan penalaran yang akhirnya tersusunlah pengetahuan. Tetapi rasionalisme juga mempunyai kelemahan, seperti mengenai kriteria untuk menge2



Asmoro Achmadi, Filsafat Umum. (Jakarta: Rajawali Pers, 2005), 22. Alan Nelson, “The Rationalist Impulse”, dalam Alan Nelson, A Companion to Rationalism (Oxford: Blackwell, 2005), 4. 4 Di desa La Haye-lah tahun 1596 lahir Rene Descartes (1596-1650), filosof, ilmuwan, matematikus Perancis yang tersohor. Waktu mudanya dia sekolah Yesuit, College La Fleche. Begitu umur dua puluh dia dapat gelar ahli hukum dari Universitas Poitiers walau tidak pernah mempraktekkan ilmunya samasekali. Meskipun Descartes peroleh pendidikan baik, tetapi dia yakin betul tak ada ilmu apa pun yang bisa dipercaya tanpa matematik. Mohammad Adib, Filsafat Ilmu. (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2011), 50. 3



308



tahui akan kebenaran dari suatu ide yang menurut seseorang adalah jelas dan dapat dipercaya tetapi meniru orang lain tidak. Dari penjabaran diatas yaitu Aliran Rasionalisme berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang mencukupi dan yang dapat dipercaya adalah rasio (akal). Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akal lah yang mememnuhi syarat yang dituntut oleh sifat umum dan yang perlu mutlak.5 Teladan yang dikemukakan adalah ilmu pasti,6 tokoh filsafat rasionalisme diantaranya: 1. Rene Descartes (1596-1650) Yang memberi alas kepada aliran ini ada RENE DESCARTES atau CARTESIUS (15961650) yang juga disebut ”Bapa Filsafat Modern”. Semula ia belajar pada sekolah Yesuit dan kemudian ia belajar ilmu hukum, ilmu kedokteran dan ilmu alam.7 Baru pada tahun 1619 ia memperoleh jurusan yang pasti dalam studinya. Menurut pendapatnya pada waktu itu ia mendapat wahyu Ilahi, yang isinya memberitakan kepadanya bahwa ilmu pengetahuan haruslah satu, tanpa bandingnya, serta harus disusun oleh satu orang sebagai satu bangunan yang berdiri sendiri menurut satu metode yang umum. Adapun yang harus dipandang sebagai yang benar adalah apa yang jels dan terpilah (clear and distinctly), artinya, bahwa gagasan-gagasan/ide5



A. Susanto, Filsafat Ilmu. Jakarta: Bumi Aksara, 2011), 32. Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung; PT. Remaja Rosda Karya, 2009), 45. 7 Ibid., 48. 6



309



ide seharusnya dapat dibedakan dengen presis dari gagasan-gagasan atau ide-ide yang lain. Bukanlah maksud Descartes untuk mendirikan filsafatnya diatas asas yang logis abstrak, sebab ia memperhatikan sekali kepada realitas yang ada. Sedang asas yang pertama adalah suatu dalil yang eksistensial.8 Ilmu pasti menjadi suatu contoh bagi cara mengenal atau mengetahui yang maju. Sekalipun demikian ilmu pasti bukanlah metode yang sebenarnya bagi ilmu pengetahuan. Ilmu pasti hanya boleh dipandang sebagai penerapan yang paling jelas dari metode ilmiah. Metode ilmiah itu sndiri adalah lebih umum. Segala gagasan yang kita kenal dari kebiasaan dan perwarisan atau dari kecenderungan, baru bernilai. Jikalau secara metodis diperkembangkan dari instuisi yang murni. Kebenaran memang ada, dan kebenaran dapat dikenal, asal jiwa kita berusaha untuk membebaskan diri dari isinya yang semula. Meniadakan jalan dari luar ke dalam dan mulai lagi dengan jalan dari dalam ke luar. Seperti yang dikemukakan diatas yang harus dipandang sebagai yang benar adalah apa yang jelas dan terpilah-pilah.9 Sebagai contoh: kalau kita melihat orang berjalan-jalan, yang kita lihat pakaiannya, dan lain-lain. Apa yang kita duga, kita lihat dengan 8



Seperti ungkapannya yaitu cogito ergo sum. Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu. (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003), 34. 9 Ibid., 40.



310



mata kita itu hanya dapat kita ketahui sematamata dengan kuasa penilaian kita yang terdapat di dalam rasio atau akal. Descartes diharuskan oleh ketidakpastian yang terdapat pada zaman itu.10 Pemikiran skolastik,11 seperti yang telah ia terima, ternyata tidak tahu bagaimana harus menangani hasil-hasil ilmu pengetahuan Positif yang dihadapinya. Ternyata bahwa wibawa Aristoteles yang terdapat di dalam skolastik itu menghambat ilmu pengetahuan. Juga bentuk yang bermacam-macam dari filsafat Renaissance, yang sering saling bertentangan, tidak berhasil memberi tempat kepada hasil-hasil ilmu pengetahuan tadi. Pada waktu itu pemikiran orang masih terlalui dipengaruhi oleh khayalankhayalan.12 Seolah-olah Descartes merasa terdorong untuk membebaskan diri dari segala pemikiran tradisional dan segala gagasan filsafati yang ada pada zamannya. Untuk dapat mulai hal-hal yang baru itu ia harus memiliki suatu pangkal pemikiran yang pasti. Pangkal



10



Ahmad Tafsir, Filsafat Umum., 53. Istilah skolastik adalah kata sifat yang berasal dari kata school, yang berarti sekolah. Atau dari kata schuler yang mempunyai arti kurang lebih sama yaitu ajaran atau sekolahan. Yang demikian karena sekolah yang diadakan oleh Karel Agung yang mengajarkan apa yang diistilahkan sebagai artes liberales (seni bebas) meliputi mata pelajaran gramatika, geometria, arithmatika, astronomi, musika, dandialekt ika. Dialektika ini sekarang disebut logika dan kemudian meliputi seluruh filsafat. Jadi, skolastik berarti aliran atau yang berkaitan dengan sekolah. Ahmad Syadali dan Mudzakir, “Filsafat Umum”, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), 17. 12 Ahmad Tafsir, Filsafat Umum., 19. 11



311



pemikiran yang pasti itu menurut dia adalah melalui keragu-raguan.13 Hanya ada satu hal yang tidak dapat diragukan, yaitu bahwa aku ragu-ragu (aku meragukan segala sesuatu). Ini bukan khayalan melainkan kenyataan. Aku ragu-ragu, atau aku berpikir dan oleh karena aku berpikir, maka aku ada (cogito ergo sum).14 Inilah suatu pengetahuan langsung yang disebut kebenaran filsafat yang pertama (primum philosophicum). Aku berada karena aku berpikir. Jadi aku adalah suatu yang berpikir cogito (aku berpikir) adalah pasti, sebab cogito “jelas dan terpilah-pilah”. Bagi manusia pertama-tama yang jelas dan terpilah-pilah adalah pengertian “Allah” sebagai tokoh yang secara sempurna tidak terbatas atau berada dimana-mana/di dalam roh kita ada suatu pengertian tentang sesuatu yang tiada batasnya. Oleh karena kita sendiri adalah makhluk yang terbatas. Maka tidak mungkin bahwa pengertian tentang sesuatu yang tiada batasnya itu adalah hasil pemikiran kita sendiri. Jiwa adalah substansi yang tunggal, yang tidak bersifat bendawi dan yang tidak dapat mati. Jika memiliki pemikiran sebagai sifat



13 14



Ibid., 54. Semboyan yang langsung akrab muncul (exist) ketika membahas filsafat.



312



asasinya. Tubuh memiliki sifat asasiya: keluasan.15 Yang disebut substansi adalah apa yang berada sedemikian rupan, sehingga tidak memerlukan sesuatu yang lain untuk berada. Substansi yang dipikirkan seperti itu sebenarnya hanya ada satu saja, yaitu Allah. Yang disebut Modus (Jamak Modi) adalah segala sifat substansi yang tidak mutlak perlu dan yang dapat berubah.16 Yang disebut atribut adalah sifat asasi. Jelas juga bahwa roh atau jiwa memiliki sebagai sifat asasinya: pemikiran (cogitation), dan memiliki sebagai modinya: pikiran-pikiran individual, gagasan-gagasan dan gejala-gejala kesadaran yang lain. Roh atau jiwa pada hakekatnya berbeda dengan benda. Sifat asasi roh adalah pemikiran, sedang sifat asasi benda adalah keluasan. Manusia bukanlah tujuan penciptaan dan juga bukan menjadi pusatnya. Umat manusia mewujudkan suatu organisme yang besar, sedang perorangan adalah bagian dari keseluruhan.17 Oleh karena itu jika perlu, perorangan harus mau berkorban demi kebaikan keseluruhan umat manusia. Arti Descartes terletak di sini, bahwa ia telah memberi suatu arah yang pasti kepada pemikir15



Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu. (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003), 38. 16 Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani. Filsafat Umum; dari Metodologi sampai Teofilosofi. . (Bandung: Pustaka Setia, 2008), 35. 17 Ibid., 37.



313



an modern, yang menjadikan orang dapat mengerti aliran filsafat yang timbul kemudian daripada dia, yaitu idealisme18 dan positivisme.19 2. Gootfried Eihelm von Leibniz Gootfried Eihelm von Leibniz lahir pada tahun 1646 M dan meninggal pada tahun 1716 M. Ia filosof Jerman, matematikawan, fisikawan, dan sejarawan. Metafisikanya adalah idea tentang substansi yang dikembangkan dalam konsep monad.20 Metafisika Leibniz sama memusatkan perhatian pada substansi. Bagi Spinoza, alam sesta ini mekanistis dan keseluruhannya bergantung kepada sebab, sementara substansi pada Leibniz ialah prinsip akal yang mencukupi, yang secara sederahana dapat dirumuskan ”sesuatu harus mempunyai alasan”. Bahkan Tuhan juga harus mempunyai alasan untuk setiap yang dicintaiNya. Leibniz berpendapat bahwa substansi itu banyak. Ia menyebut substansi-substansi itu monad.21 Setiap monad berbeda dengan yang lain, dan Tuhan (sesuatu yang supermonad dan satu18



idealisme yang diyakini sebagai the way of our life till the end of our life. 19 K. Bertebs , Ringkasan Sejarah Filsafat, 1975. Yogyakarta: Kanisius, 1975), 74. 20 Surajiyo. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya Di Indonesia: Suatu Pengantar (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), 32. 21 setiap monad mencerminkan semua monad lainnya. Misalnya, saat aku menyadari selembar daun jatuh di depanku, kesadaranku itu merupakan sebuah keadaan dari monad yang mencerminkan keadaan monad-monad lain yang bersama-sama mengidentifikasikan “daun”, sedemikian rupa sehingga dari sudut pandang kesadaranku yang kacau, daun itu kusadari dalam keadaan “jatuh”. Ahmad Tafsir, Filsafat Umum., 57.



314



satunya monad yang tidak dicipta) adalah Pencipta monad-monad itu. 3. Blaise Pascal (1623-1662 M) Orang ketiga yang kita bicarakan adalah Blaise Pascal (1623-1662). Yang adalah seorang ahli ilmu pasti, ahli ilmu alam dan seorang filsuf. Ia berusaha untuk membela agama kristen, yang mendapat serangan-serangan hebat karena pemikiran modern ini. Di satu pihak ia sama halnya dengan Descartes, mencintai ilmu pasti dan ilmu alam, akan tetapi di lain pihak ia menampakan perbedaan dengan Descartes. Perbedaannya terletak pada pengertian tentang sifat ilmu alam jauh melebihi Descartes. Ia menerima serta menerapkan metode induktif seperti yang dipakai di dalam ilmu alah. Ilmu pasti bukan suatu ilmu yang metodenya harus ditiru oleh seorang filsuf. Sebab seorang filsuf pertama-tama harus menyelami keadaan manusia yang konkrit dihadapi, orang demi orang, bahwa realitas itu pada hakekatnya adalah suatu rahasia.22 Filsafat pascal mewujudkan suatu dialog diantara manusia yang konkrit dengan Allah. Di dalam relitas hidup manusia terdapat tiga macam tertib, yaitu: tertib bendawi, tertib rohani, dan tertib kasih. Pengetahuan didapatkan dari pengamatan di dalam pengamatan inderawi tidak dapat ditetapkan apa yang subyektif dan



22



Ibid., 58.



315



apa yang obyektif. Segala pengetahuan dimulai dengan gambaran-gamabaran inderawi. Kemudian ditingkatkan hingga sampai kepada tingkatan-tingkatan yang lebih tinggi, yaitu pengetahuan rasional dan pengetahuan intuitif.23 4. Spinoza (1632-1677 M) Didalam etikanya Spinoza mulai dengan menguraikn hal afek-afek atau perasaanperasaan. Segala perasaan atau afek lainnya diturunkan dari ketiga perasaan. Pertama-tama yang diturunkan dari rasa gilang adalah kasih (amor), sedang yang dirutunkan dari rasa sedih adalah kebencian (odium). Lebih kemudian diturunkan lagi rasa kagum (admiratio) dari pada kasih dan penghinaan (conteniptus) dari pada kebencian.24 Latar belakang pemikran Spinoza ini adalah pengertian aktivitas. Aktivitaslah yang dapat membawanya kepada kesempurnaan. Tujuan pengenalan segala perasaan tadi adalah untuk menguasainya. Barang siapa mengenal akan segala perasannya, ia akan melihat gejala-gejala, perasaan-perasaan itu dalam hubungannya sehingga ia juga akan menguasainya. Di dalam perealisasian diri dalam kasih yang akali inilah



23



Ahmad Syadali dan Mudzakir, Filsafat Umum, Bandung : Pustaka Setia, 1997, 25 24 Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta : Kanisius, 1980. 28



316



manusia berusaha menuju kepada Allah (amor Dei intellectualis).25 Ajaran Spinoza di bidang metafisika menunjukkan kepada suatu ajaran Monistis yang logis, yang mengajarkan bahwa dunia sebagai keseluruhan, mewujudkan suatu substansi tunggal. Ajaran ini didasarkan atas keyakinan, bahwa tiap hal memiliki suatu subyek tunggal dan suatu predikat tunggal, sehingga harus disimpulkan, bahwa segala hubungan dan kejamakan adalah semu. B. Empirisme Kata ini berasal dari kata Yunani empeirisko, artinya pengalaman. Menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya. Dan bila dikembalikan kepada kata Yunaninya, pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman inderawi. Pengetahuan inderawi bersifat parsial. Itu disebabkan oleh adanya perbedaan antara indera yang satu dengan yang lainnya, berhubungan dengan sifat khas fisiologis indera dan dengan objek yang dapat ditangkap sesuai dengannya. Masingmasing indera menangkap aspek yang berbeda mengenai barang atau makhluk yang menjadi objeknya. Jadi pengetahuan inderawi berada menurut perbedaan indera dan terbatas pada sensibilitas organ-organ tertentu.26 25 26



Ibid., 29 Ahmad Syadali dan Mudzakir, Filsafat Umum, Bandung : Pustaka Setia, 1997, hal 116



317



John Locke (1632-1704), bapak empiris Britania mengemukakan teori tabula rasa (sejenis buku catatan kosong). Maksudnya ialah bahwa manusia itu pada mulanya kosong dari pengetahuan, lantas pengalamannya mengisi jiwa yang kosong itu, lantas ia memiliki pengetahuan. Mulamula tangkapan indera yang masuk itu sederhana, lama-kelamaan menjadi kompleks, lalu tersusunlah pengetahuan berarti. Jadi, bagaimanapun kompleks pengetahuan manusia, ia selalu dapat dicari ujungnya pada pengalaman indera. Sesuatu yang tidak dapat diamati dengan indera bukanlah pengetahuan yang benar. Jadi, pengalaman indera itulah sumber pengetahuan yang benar.27 “Empiricism is a theory that all knowledge is derived from experience. The general principles of empiricism are opposed primarily to those of rationalism. Empiricists argue that allegedly a priori concepts can be broken down into a combination of simpler concepts derived from experience, or sometimes, and



27



John Locke lahir 29 Agustus 1632 meninggal 28 Oktober 1704. Ia seorang filsuf abad ke-17 ternama dalam bidang kemasyarakatan dan epistemologi. Gagasan terkenal John Locke adalah mengenai bentuk pemerintahan. Ia menjelaskan "Pemerintah adalah manifestasi dari yang diperintah". Idenya Menjadi pondasi bagi konsep hukum dan pemerintahan Amerika. Dalam bidang epistemologi dan filsafat, pemikiran John Locke juga memiliki banyak pengaruh signifikan di Amerika. Locke diposisikan dalam kelompok yang disebut empiris nggris,bersama David Hume dan George Berkeley. Karya-karya besar John Locke antara lain (1) Essay Tentang Memahami Manusia (1689) , (2) A Letter Concerning Toleration (1690), (3) Essay tentang Pemerintahan Sipil (1690). Ibid., 120.



318



more radically, that they are not genuine concepts at all.”28 David Hume, salah satu tokoh empirisme mengatakan bahwa manusia tidak membawa pengetahuan bawaan dalam hidupnya. Sumber pengetahuan adalah pengamatan. Pengamatan memberikan dua hal, yaitu:29 1. Kesan-kesan (impression) adalah pengamatan langsung yang diterima dari pengalaman, seperti merasakan tangan terbakar. 2. Ide-ide (ideas) adalah gambaran tentang pengamatan yang samar-samar yang dihasilkan dengan merenungkan kembali atau terefleksikan dalam kesankesan yang diterima dari pengalaman. Jadi, gejala-gejala alamiah menurut anggapan kaum empiris adalah bersifat konkret dan dapat dinyatakan lewat pancaindera. Berdasarkan teori ini, akal hanya mengelola konsep gagasan inderawi. Kaum empiris juga menganggap akal sebagai sejenis tempat penam28



Errol Bedford, “Empiricism”, dalam Jonathan Rée dan J. O. Urmson, The Concise Encyclopedia of Western Philosophy (London: Routledge, 2004), 107. 29 Hume lahir di Edinburgh Skotlandia pada April 26, 1711 anak bungsu dalam keluarga yang baik tetapi tidak kaya. Ayahnya meninggal ketika Hume masih kecil, dan ia dibesarkan oleh ibunya di perkebunan keluarga Ninewells, dekat Berwick. Hume adalah seorang murid yang sukses, dan sebagai anak muda, ia memiliki perhatian yang tinggi terhadap sastran dan filsafat. Solomon (2002: 390) menyebut bahwa filsafat Hume adalah skeptisisme yang menyeluruh. Tahun 1723 ia masuk Universitas Edinburgh, studi pada hukum sesuai keinginan ibunya (Lavine, 1984: 137). Selama tiga tahun studi hukum dia membangun pandangan filsafatnya. Ibid., 121.



319



pungan yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Akal berfungsi untuk memastikan hubungan urutan-urutan peristiwa tersebut, padahal hubungan yang demikian itu bersifat kemungkinan belaka dan pengetahuan kita tentang hubungan peristiwa tersebut sesungguhnya berasal dari pengalaman. Diantara tokoh dan pengikut aliran Empirisme adalah Francis Bacon, Thomas Hobbes, John Lock dan lainnya.30 1. Francis Bacon (1210-1292 M) Menurut Francis Bacon31 bahwa pengetahuan yang sebenarnya adalah pengetahuan yang diterima orang melalui persentuah inderawi dengan dunia fakta. Pengalaman merupakan sumber pengetahuan yang sejati. Pengetahuan haruslah dicapai dengan induksi. Kata Bacon selanjutnya: Kita sudah terlalu lama dipengaruhi oleh metode deduktif. Dari dogma-dogma diambil kesimpulan. Itu tidak benar, haruslah kita sekarang memperhatikan yang konkrit mengelompokkan, itulah tugas ilmu pengetahuan.



30 31



Ahmad Tafsir, Filsafat Umum., 62. Francis Bacon, lahir di London, Inggris dan belajar di Cambridge. Dia terkenal sebagai penemu praktek metode ilmiah. Dia bermaksud meninggalkan ilmu pengetahuan yang lama dan mengusahakannya yang baru. Francis Bacon adalah peletak dasar bagi metode induksi modern dan menjadi pelopor yang mensistimatisasi secara logis produser ilmiah. Seluruh filsafatnya bersifat praktis, yaitu untuk menjadikan manusia menguasai kekuatan – kekuatan alam dengan perantaraan penemuan – penemuan ilmiah.



320



2. Thomas Hobbes (1588-1679 M) Menurut Thomas Hobbes32 berpendapat bahwa pengalaman inderawi sebagai permulaan segala pengenalan. Hanya sesuatu yang dapat disentuh dengan inderalah yang merupakan kebenaran. Pengetahuan interlektual (rasio) tidak lain hanyalah merupakan penggabungan datadata inderawi belaka. 3. John Locke (1632-1704 M) Ia adalah filosuf Inggris yang banyak mempelajarai agama Kristen. Filsafat Locke dapat dikatakan anti metafisika. Ia menerima keraguan sementara yang diajarkan oleh Descartes, tetapi ia menolak intuisi yang digunakan oleh Descaretes. Ia juga menolak metoda deduktif Descartes dan menggantinya dengan generalisasi berdasarkan pengalaman; jadi, induksi. Bahkan Locke menolak juga akal (reason). Ia hanya menerima pemikiran matematis yang pasti dan cara penarikan dengan metode induksi.



32



dilahirkan pada 5 April 1588 di Malmesbury, Wiltshire, Inggris. Hobbes merupakan tokoh penting dalam perkembangan filsafat, ilmu pengetahuan, dan ilmu politik modern. Salah satu karya Hobbes adalah Leviathan (1651). Karya ini mengungkap tentang hubungan kekuasaan antara indvidu dengan negara. Dalam karyanya itu, Hobbes mengatakan manusia pada dasarnya hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, segala tindakan manusia mengarah pada pemupukan kekuasaan dan hak milik sehingga akan menjurus pada perang antara semua lawan semua (Bahasa Latinnya homo homini lupus yang berarti manusia adalah serigala bagi sesamanya).



321



Buku Locke, Essay Concerming Human Understanding (1689 M), ditulis berdasarkan satu premis, yaitu semua pengetahuan datang dari pengalaman. Ini berarti tidak ada yang dapat dijadikan idea untuk konsep tentang sesuatu yang berada di belakang pengalaman, tidak ada idea yang diturunkan seperti yang diajarkan oleh Plato. Dengan kata lain, Locke menolak adanya innate ide; termasuk apa yang diajarkan oleh Descartes, Clear and Distinict Idea. Adequate idea dari Spinoza, truth of reason dari Leibniz, semuanya ditolaknya. Yang innate (bawaan) itu tidak ada. Inilah argumennya.33 a. Dari jalan masuknya pengetahuan kita mengetahui bahwa innate itu tidak ada. Memang agak umum orang beranggapan bahwa innate itu ada. Ia itu seperti ditempelkan pada jiwa manusia, dan jiwa membawanya ke dunia ini. Sebenarnya kenyataan telah cukup menjelaskan kepada kita bagaimana pengetahuan itu datang, yakni melalui daya-daya yang alamiah tanpa bantuan kesan-kesan bawaan, dan kita sampai pada keyakinan tanpa suatu pengertian asli b. Persetujuan uum adalah argumen yang terkuat. Tidak ada sesuatu yang dapat disetujui oleh umum tentang adanya innate idea justru saya jaidkan alasan untuk mengatakan ia tidak ada 33



Ibid., 65.



322



c. Persetujuan umum membuktinkan adanya innate idea d. Apa innate idea itu sebenarnya tidaklah meungkin diakui dan sekaligus juga tidak diakui adanya. Bukti-bukti yang mengatakan ada innate idea justru saya jadikan alasan untuk mengatakan ia tidak ada e. Tidak juga dicetakkan (distempelkan) pada jiwa sebab pada anak idiot, ide yang innate itu tidak ada padahal anak normal dan anak idiot sama-sama berpikir. Ia mengatakan bahwa apa yang dianggapnya substansi ialah pengertian tentang obyek sebagai idea tentang obyek itu yang dibentuk oleh jiwa berdasarkan masukan dari indera. Akan tetapi, Locke tidak berani menegaskan bahwa idea itu adalah substansi obyek, substansi kita tidak tahu. Persoalan substansi agaknya adalah persoalan metafisika sepanjang masa; Berkeley dan Hume masih juga membicarakannya. 4. David Hume (1711-1776 M) Solomon menyebut Hume sebagai ultimate skeptic, skeptic tingkat tertinggi. Ia dibicarakan di sini sebagai seorang skeptis, dan terutama sebagai seorang empiris. Menurut Bertrans Russel, yang tidak dapat diragukan lagi pada Hume ialah seorang skeptis. Buku Hume, Treatise of Human Nature (1739 M), ditulisnya tatkala ia masih muda, yaitu tatakala ia berumur dua puluh tahunan bagian awal. Buku itu tidak banyak menarik perhatian



323



orang, karenanya. Hume pindah ke subyek lain, lalu ia menjadi seorang yang terkenal sebagai sejarawan. Kemudian pada tahun 1748 M ia menulis buku yang memang terkenal. An Enquiry Concerning Human Understanding. Baik buku Treatise maupun buku Enquiry keduaduanya menggunakan metoda Empirisme, sama dengan John Locke. Sementara Locke hanya sampai pada idea yang kabur yang tidak jelas berbasi pada sensasi (khususnya tentang substansi dan Tuhan), Hume lebih kejam.34 5. Herbert Spencer (1820-1903 M) Filsafat Herbet Spencer berpusat pada teori evolusi.sembilan tahun sebelum terbitnya karya Darwin yang terkenal, The Origen of Species (1859 M), Spencer sudah menerbitkan bukunya tentang teori evolusi. Empirismenya terlihat jelas dalam filsafatnya tentang the great unknowable. Menurut Spencer, kita hanya dapat mengenali fenomena-fenomena atau gejala-gejala. Secara prinsip pengenalan kita hanya menyangkit relasi-relasi antara gejala-gejala. Di belakang gejala-gejala ada sesuatu yang oleh Spencer disebut yang tidak diketahui (the great unknowable).35 Akhirnya Spencer mengatakan : idea-idea keilmuan pada akhirnya adalah penyajian realistis yang tidak dapat dipahami”. Inilah yang dimaksud dengan the great unknowable, teka-teki besar.36 34



Ahmad Syadali dan Mudzakir, Filsafat Umum, 122. Harun Hadiwijino. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. (Yogyakarta: Kanisius, 2011), 36 36 Ibid. 35



324



Jadi, dalam empirisme, sumber utama untuk memperoleh pengetahuan adalah data empiris yang diperoleh dari pancaindera.Akal tidak berfungsi banyak, kalaupun ada, itu sebatas ide yang kabur. Namun aliran ini mempunyai banyak kelemahan, antara lain:37 1. Indera terbatas, benda yang jauh kelihatan kecil, apakah ia benar-benar kecil? Ternyata tidak. Keterbatasan inderalah yang menggambarkan seperti itu. Dari sini akan terbentuk pengetahuan yang salah. 2. Indera menipu, pada orang yang sakit malaria ,gula rasanya pahit, udara akan terasa dingin. Ini akan menimbulkan pengetahuan empiris yang salah juga. 3. Objek yang menipu, contohnya fatamorgana dan ilusi. Jadi objek itu sebenarnya tidak sebagaimana ia ditangkap oleh indera, ia membohongi indera. 4. Berasal dari indera dan objek sekaligus. Dalam hal ini, indera(mata) tidak mampu melihat seekor kerbau secara keseluruhan, dan kerbau itu juga tidak dapat memperlihatkan badannya secara keseluruhan. Kesimpulannya ialah empirisme lemah karena keterbatasan indera manusia.



37



Ahmad Syadali dan Mudzakir, Filsafat Umum, 128.



325



C. Kritisisme Aliran ini dimulai di Inggris, kemudian Prancis dan selanjutnya menyebar keseluruh Eropa, terutama di Jerman. Di Jerman pertentangan antara rasionalisme dan empirisme terus berlanjut. Masing-masing berebut otonomi. Kemudian timbul masalah, siapah sebenarnya dikatakan sumber pengetahuan? Apakah pengetahuan yang benar itu lewat rasio atau empiri? Kant mencoba menyelesaikan persoalan diatas. Pada awalnya Kant mengikuti rasionalisme, tetapi kemudian terpengaruh oleh empirisme (Hume). Walaupun demikian, Kant tidak begitu mudah menerimanya, karena ia mengetahui bahwa dalam empirisme terkandung skeptisme. Untuk itu tetap mengakui kebenaran ilmu dan dengan akal manusia akan dapat mencapai kebenaran.empirsme. 12 Aliran Filsafat yang dikenal dengan kritisisme adalah filsafat yang diperkenalkan oleh Immanuel Kant. Kant sebagai tokoh terpenting masa Aufklarung menghendaki adanya emansipasi pemikiran dan politik. Masa Aufklarung adalah seperti yang dirumuskan dalam sebuah esai untuk mendefinisikan keadaan “kemunculan manusia dari ketidakdewasaan yang dibuatnya sendiri”. Semboyan utamanya adalah „Sapere Aude‟ (Beranilah Berpikir Sendiri!). Seperti dikutip oleh Gardner, Kant menulis: “our age is, in special degree, the age of criticism, and to criticism everything must submit. Religion through its sanctity, and law-giving through its majesty, may seek to exempt themselves from it. But they then



326



awaken just suspicion, and cannot claim the sincere respect which reason accords only to that which has been able to sustain the test of free and open examination.”38 Filsafat ini memulai pelajarannya dengan menyelidiki batas-batas kemampuan rasio sebagai sumber pengetahuan manusia. Pertentangan antara rasionalisme dan empirisme dicoba untuk diselesaikan oleh Kant dengan kritisismenya. Adapun ciriciri kritisisme diantarnya adalah sebagai berikut: 1) Menganggap bahwa objek pengenalan itu berpusat pada subjek dan bukan pada objek. 2) Menegaskan keterbatasan kemampuan rasio manusia untuk mengetahui realitas atau hakikat sesuatu; rasio hanyalah mampu menjangkau gejalanya atau fenomenya saja. Pendirian aliran rasionalisme dan Empirisme sangat bertolak belakang. Rasionalisme berpendirian bahwa rasiolah sumber pengalan/pengetahuan, sedang Empirisme sebaliknya berpendirian bahwa pengalamanlah yang menjadi sumber tersebut.39 Immanuel Kant (1724-1804 M)40 berusaha meng38



Sebastian Gardner, Kant and the Critique of Pure Reason (New York: Routlegde.1999), 2. 39 Ahmad Tafsir, Filsafat Umum., 84. 40 Immanuel Kant (Königsberg, 22 April 1724 – Königsberg, 12 Februari 1804) adalah seorang filsuf Jerman. Karya Kant yang terpenting adalah Kritik der Reinen Vernunft, 1781. Dalam bukunya ini ia “membatasi pengetahuan manusia”. Atau dengan kata lain “apa yang bisa diketahui manusia.” Ia menyatakan ini dengan memberikan tiga pertanyaan: Apaapa yang bisa diketahui manusia hanyalah yang dipersepsi dengan panca indra. Lain daripada itu merupakan “ilusi” saja, hanyalah ide. Semua yang harus dilakukan manusia harus bisa diangkat menjadi sebuah peraturan umum. Hal ini disebut dengan istilah “imperatif



327



adakan penyelesaian atas pertikaian itu dengan filsafatnya yang dinamakan Kritisisme (aliran yang krisis). Untuk itulah ia menulis 3 buku yang berjudul :41 1) Kritik der Rainen Vernuft (kritik atas rasio murni) 2) Kritik der Urteilskraft (kritik atas dasar pertimbangan) 3) Kritik rasio praktis Menurut Kant dalam pengenalan inderawi selalu sudah ada 2 bentuk apriori, yaitu ruang dan waktu. Kedua-duanya berakar dalam struktur subyek sendiri. Memang ada suatu realitas terlepas dari subyek yang mengindera, tetapi realitas (das ding an sich = benda dalam dirinya) tidak pernah dikenalinya. Kita hanya mengenal gejala-gejala yang merupakan sintesa antara hal-hal yang datang dari luas (aposteriori) dengan bentuk ruang dan waktu (apriori).42 Melalui filsafatnya, Kant bermaksud memugar sifat objektivitas dunia ilmu pengetahuan. Agar maksud itu terlaksana, orang harus menghindarkan diri dari sifat sepihak rasionalisme dan sifat sepihak empirisme. Rasionalisme mengira telah menemukan kunci bagi pembukaan realitas pada diri subjeknya, lepas dari pengalaman. kategoris”. Contoh: orang sebaiknya jangan mencuri, sebab apabila hal ini diangkat menjadi peraturan umum, maka apabila semua orang mencuri, masyarakat tidak akan jalan. Yang bisa diharapkan manusia ditentukan oleh akal budinya. Inilah yang memutuskan pengharapan manusia. 41 Ibid., 85. 42 Harun Hadiwijino. Sari Sejarah Filsafat., 41.



328



Adapun empirisme mengira telah memperoleh pengetahuan dari pengalaman saja. Ternyata empirisme, sekalipun dimulai dengan ajaran yang murni tentang pengalaman, tetap melalui idealisme subjektif bermuara pada suatu skeptisme yang radikal. Dalam hal ini Kant bermaksud mengadakan penelitian yang kritis terhadap rasio murni. Menurutnya, syarat dasar bagi segala ilmu pengetahuan adalah: bersifat umum dan mutlak dan yang kedua adalah memberi pengetahuan baru. Sedangkan menurut Hume, ada jurang yang lebar antara kebenaran–kebenaran rasio murni dengan realitas dalam dirinya sendiri. Salah satu tujuan filsafat Kant yang disebut sebagai filsafat kritis, dengan metodenya yang dikenal dengan sebutan metode transendental, dimana pengetahuan mencerminkan struktur kategoris pikiran, ialah memberikan sebuah alternatif pembenaran filosofis terhadap hasil-hasil Newton. Sistem konsep-konsep yang dipakai dalam geometri Euklidean dan fisika Newtonian secara unik relevan bagi pengalaman aktual manusia. Dan berikut kami paparkan kritik terhadap rasionalisme, empirisme dan kombinasi antara keduanya: 1. Kritik terhadap Rasionalisme Dalam hal ini ada tiga macam kritik yang dilontarkan Kant yaitu: 1) Critique of Pure Reason (kritik atas rasio murni) Kritisisme Kant dapat dianggap sebagai suatu usaha besar untuk mendamaikan rasionalisme dengan empirisme. Rasionalisme mementingkan unsur apriori dalam pengenal-



329



an, berarti unsur –uunsur yang terlepas dari segalah pengalaman.Sedangkan Empirisme menekankan unsur-unsur aposteriori, berarti unsur-unsur yang berasal dari pengalaman( seperti Locke yang menganggap rasio sebagai Lembaran putih (as a white paper). Menuru Kant ,baik rasionalisme maupun empirisme kedua-duanya berat sebelah. Ia berusaha menjelaskan bahwa pengalaman manusia merupakan perpadun antara sintesa unsurunsur apriori dengan unsur-unsur aposteriori. Walaupun Kant sangat mengagumi empirisme Hume, empirisme yang bersifat radikal dan konsekuen, ia tidak dapat menyetujui skeptisime yang dianut Hume dengan kesimpulannya bahwa dalam ilmu pengetahuan kita tidak mampu mencapai kepastian. Pada waktu Kant hidup, sudah menjadi jelas bahwa ilmu pengetahuan alam yang dirumuskan Newton memperoleh sukses besar. Kant mengadakan suatu revolusi filsafat.Ia berkata bahwa ia ingin mengusahakan suatu “revolusi kopernikan” yang berarti suatu revolusi yang dapat dibandingkan dengan perubahan revolusioner yang dijadikan Copernicus dalam bidang astronomi. Dahulu para filsuf telah mencoba memahami pengenalan dengan mengandaikan bahwa si subjek mengarahkan diri kepada objek. Kant mengerti pengenalan dengan berpangkal dari anggapan bahwa objek meng-



330



arahkan diri pada subjeek. Sbagaimna Copernicus menetapkan bahwa bumi berputar sekitar matahari dan bukan sebaliknya, demikkian juga Kant memperlihatkan bahwa pengenalan berpusat pada subjek bukan pada objek. 2) Critique of Practical Reason (kritik atas rasio praktis) Rasio dapat menjalankan ilmu pengetahuan, sehingga rasio disebut rasio teoritis atau menurut istilah Kant sendiri adalah rasio murni. Akan tetapi,di samping rasio murni terdapat apa yang disebut rasio praktis yaitu rasio yang mengatakan apa yang harus kita lakukan,atau dengan kata lain,rasio yang memberi perintah kepada kehendak kita. Kant memperlihatkan bahwa rasio praktis memberikan perintah yang mutlak yang disebutnya sebagai imperatif kategori.16 Kant kemudian bertanya, Bagaimana keharusan itu mungkin? Apakah yang memungkinkan keharusan itu? Prinsip pokok untuk menjawab pertanyaan ini adalah, kalau kita harus,maka kita bisa juga. Seluruh tingkah laku manusia menjadi mustahil, jika kita wajib membuat apa yang tidak bisa dilakukan.Kant beranggapan bahwa ada tiga hal yang harus disadari sebaik-baiknya bahwa ketiga hal itu dibuktikan, hanya dituntut. Itulah sebabnya Kant menyebutnya ketiga postulat dari rasio praktis. Ketiganya yang dimaksud adalah: Kebebasan kehendak,



331



immoralitas jiwa dan yang ketiga adalah adanya Allah. 3) Critique of judgment atau kritik atas daya pertimbangan Critique of judgment atau kritik atas daya pertimbangan sebagai konsekuensi dari”kritik atas rasio murni daan “kritik atas rasio praktis adalah munculnya dua lapangan tersendiri yaitu lapangan keperluan mutlak di bidang alam dan lapangan kebebasan di bidang tingkah laku manusia. Maksud dari kritik of judgment ialah mengerti kedua persesuaian kedua lapangan ini. Hal ini terjadi dengan menggunakan konsep finalitas (tujuan). Filsafat bisa bersifat subjektif dan objektif. Kalau filsafat bisa bersifat subjektif,manusia mengarahkan objek pada diri manusia itu sendiri. Inilah yang terjadi didalam pengalaman estetis (seni). Pengaalaman estetis itu diseleidiki dalam bagian pertama bukunya, berjudul Kritik der Astheischen Urteiilskraft. Dengan finalitas yang bersifat objektif dimaksudkan keselarasan satu sama lain dari benda-benda alam. Finalitas dalam alam itu diselidiki dalam bagian ke dua, yaitu Kritik der Theoligischen Unteilskraft.17 Kant terdorong untuk menggagas metode filosofisnya karena alasan yang sama dengan alasan Descrates. Ia bertanya dalam hati mengapa ilmu-ilmu lain maju pesat tetapi metafisika tidak demikian. Bentuk lain dari kritik terhadap rasionalisme adalah sebagai berikut :



332



1) Pengetahuan rasional dibentuk oleh idea yang tidak dapat dilihat maupun diraba. Eksistensi tentang idea yang sudah pasti maupun yang bersifat bawaan itu sendiri belum dapat dilakukan oleh semua manusia dengan kekuatan dan keyakinan yang sama. Lebih jauh terdapat perbedaan pendapat yang nyata di antara kaum rasionalis itu sendir mengenai kebenaran dasar yang menjadi landasan dalam menalar. Plato,St. Augustine dan Descratws masing-masing mengembangkan teori-teori rasional sendiri yang masing-masing berbeda. 2) Banyak diantara manusia yang berpikiran jauh,merasa bahwa mereka menemukan kesukaran yang besar dalam menerapkan konsep rasional kepada masalah kehidupan yang praktis. Kecendrungan terhadap abstraksi dan kecendrungan dalam meragukan serta menyangkal syahnya pengalaman keinderaan telah dikritik habishabisan. Kritikus yang terdidik biasanya mengeluh bahwa kaum rasionalis memperlakukan idea atau konsep seakan-akan mereka adalah benda yang obyektif. Menghilangkan nilai dari pengalaman keinderaan, menghilangkan pentingnya benda-benda fisik sebagai tumpuan ,lalu menggantinya dengan serangkaian abstraksi yang samarsamar,dinilai mereka sebagai suatu metode



333



yang sangat meragukan dalam memperoleh pengetahuan yang dapat diandalkan. 3) Teori rasional gagal dalam menjelaskan perubahan dan pertambahan pengetahuan manusia selama ini. Banyak dari idea yang sudah pasti pada suatu waktu kemudian berubah pada waktu yang lain. Pada suatu saat dalam sejarah, idea bahwa bumi adalah pusat dari sistem matahari hampir diterima secara umum sebagai suatu pernyataan yang pasti. 2. Kritik terhadap Empirisme Empirisme didasarkan pada pengalaman. Tetapi apakah yang disebut pengalaman? a. Sekali waktu dia hanya berarti rangsangan panca indera. Lain kali dia muncul sebagai sebuah sensasi ditambah dengan penilaian.Sebagai sebuah konsep,ternyata pengalaman tidak berhubungan langsung dengan kenyataan obyektif yang sangat ditinggikan oleh kaum empiris. Kritukus kaum empiris menunjukkan bahwa fakta tidak mempunyai apa pun yang bersifat pasti. Fakta itu sendiri tak menunjukkan hubungan di antara mereka terhadap pengamat yang netral. Jika dianalisis secara kritis maka ”pengalaman” merupakan pengertian yang terlalu samar untuk dijadikan dasar bagi sebuah teori pengetahuan yang sistematis. b. Sebuah teori yang sangat menitiberatkan pada persepsi pancaidera kiranya melupakan



334



kenyataan bahwa pancaindera manusia adalah terbatas dan tidak sempurna. Pancaindera kita sering menyesatkan di mana hal ini disadari oleh kaum empiris itu sendiri. Empirisme tidak mempunyai perlengakapan untuk membedakan antara khayalan dan fakta. c. Empirisme tidak memberikan kita kepastian. Apa yang disebut pengetahuan yang mungkin, sebenarnya merupakan pengetahuan yang seluruhnya diragukan. Tanpa terus berjaga-jaga dan mempunyai urutan pengalaman indera yang tak terputus-putus.20 3. Kombinasi antara rasionalisme dan empirisme Terdapat suatu anggapan yang luas bahwa ilmu pada dasarnya adalah metode induktifempiris dalam memperoleh pengetahuan. Memang terdapat beberapa alasan untuk mendukung penilaian ini karena ilmuwan mengumpulkan fakta-fakta yang tertentu, melakukan pengamatan dan mempergunakan data inderawi, Walau demikian, analisis yang mendalam terhadap metode keilmuan akan menyingkapkan kenyataan, bahwa apa yang dilakukan oleh ilmuwan dalam usahanya mencari pengetahuan lebih tepat digambarkan sebagai suatu kombinasi antara prosedur empiris dan rasional.



335



BAB X POSITIVISME, IDEALISME A. Positivisme Positivisme berasal dari kata positif.1 Kata positif disini sama artinya dengan faktual, yaitu apa yang berdasarkan fakta-fakta. Secara istilah, positivisme adalah aliran filsafat yang berpangkal dari fakta yang positif positif yang diluar fakta atau kenyataan dikesampingkan dalam pembicaraan filsafat dan ilmu pengetahuan. Abad ke-19 dapat dikatakan sebagai abad positivisme dengan tokohnya Auguste Comte (1798-1857),2 karena pengaruh aliran ini demikian kuatnya dalam dunia modern. Filsafat menjadi praktis bagi tingkah laku manusia sehingga tidak lagi memandang penting berfikir yang bersifat abstrak.3 1



Positivisme adalah suatu aliran filasafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisika, tidak mengenal adanya spekulasi, semua di dasarkan pada data empiris dalam kajian filsafat, sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai sarana untuk memperoleh pengetahuan. Positivisme merupakan empirisme yang dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi yang dapat menjadi pengaruh. 2 Nama panjang: Isidore Marie Auguste François Xavier Comte; lahir di Montpellier, Perancis, 17 Januari1798 – meninggal di Paris, Perancis, 5 September1857 pada umur 59 tahun adalah seorang filsufPerancis yang dikenal karena memperkenalkan bidang ilmu sosiologi serta aliran positivisme. Melalui prinsip positivisme, Comte membangun dasar yang digunakan oleh akademisi saat ini yaitu pengaplikasian metode ilmiah dalam ilmu sosial sebagai sarana dalam memperoleh kebenaran. 3 Ahmad Tafsir, Filsafat Umum., 87.



336



Kata kunci Positivisme terletak pada kata positif itu sendiri yaitu lawan dari khayal, merupakan sesuatu yang riil dan objek penyelidikannya didasarkan pada kemampuan.Kata positif juga lawan dari sesuatu yang tidak bermanfaat dan disinilah terjadi progress (kemajuan).Positif juga berarti jelas dan tepat.4Disinilah diperlukan filsafat yang mampu memberi atau mebeberkan fenomena dengan tepat dan jelas.Positif juga lawan dari kata negatif dan ada keterkaitan selalu dengan masalah yang menuju kepada penataan atau penertiban. “Positivism is an empiricist movement according to which a proposition is meaningful if and only if it concerns the relation of ideas (definitions) or if the truth or falsehood of the proposition is evident (in principle) empirically.”5 Penggolongan ilmu pengetahuan oleh Comte didasarkan kepada sejarah ilmu itu sendiri yang menunjuk adanya gejala yang umum yang mempunyai sifat sederhana menuju kepada gejala yang kompleks dan semakin konkret. Ilmu-ilmu yang dimaksud adalah ilmu pasti (matematika) dan secara berturut-turut astronomi, fisika, kimia, biologi, dan akhirnya fisika sosial atau sosiologi.6 4



Positivism. Doctrin associated with COMTE who adopted the term „positive‟ to convey six features of things; being real, useful, certain, precise organic, relative. He used it of his , which insisted on applying the scientific attitude not only to the sciences but also to human affairs. (A ditionary of philosophy: 261, A.R Lacey. 1996. New York penerbit: Routledge) 5 Charles Taliaferro dan Elsa J. Marty (ed.), A Dictionary of Philosophy of Religion (New York: Continuum, 2010), 140. 6 Adelbert Snijders, Manusia dan Kebenaran: Sebuah Filsafat Pengetahuan (Yogyakarta: Kanisius, 2006), 56.



337



Penggolongan tersebut mensyaratkan adanya perkembangan ilmu yang lambat dan cepat. Yang paling cepat perkembangannya adalah yang sederhana dan umum objeknya. Selain itu ada juga yang paling lambat perkembangannya adalah yang paling kompleks objek permasalahannya, misalnya fisika sosial. Sejarah manusia berkembang menurut tiga tahap yaitu tahap teologi atau fiktif, tahap metafisik atau abstrak, dan tahap positif atau riil. Tahap teologi atau fiktif merupakan tahap dimana manusia menggambarkan fenomena alam sebagai produk dari tindakan langsung, hal yang berifat supranatural.Pada tahap ini manusia mencari dan menemukan sebab yang pertama dan tujuan akhir segala sesuatu yang ada dengan selalu mengkontekstualisasikan dengan hal yang sifatnya mutlak.7 Tahap metafisik merupakan tahap dimana kekuatan-kekuatan supranatural digantikan oleh kekuatan yang bersifat abstrak, yang dipercaya mampu mengungkapkan rahasia fenomena yang dapat diamati. Dogma-dogma telah ditinggalkan dan kemampuan akal budi manusia dikembangkan secara maksimal sehingga kekuatan yang bersifat magis digantikan dengan analisis berfikir untuk membedakan yang natural dan supranatural, yang fisik dan metafisik sehingga manusia berperan sebagai subjek yang berjarak dengan objek.Comte 7



Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu. (Yogyakarta : Penerbit Rake Sarasin, 2001), 44.



338



menggambarkan sebagai tahap perkembangan manusia dari sifat ketergantungan menuju sifat mandiri atau dewasa. Tahap ini merupakan masa peralihan yang penuh konflik dan merupakan tahap yang menentukan menuju tahap positivisme. Tahap ketiga adalah postivisme yaitu orang mulai menoleh, mencari sebab-sebab terakhir dari kejadian alam, kemudian berubah kepada penemuan hukum-hukum yang menyelimuti dengan menggunakan pengamatan dan pemikiran. Tahap ini merupakan tahap science dengan tugas pokok memprediksi fenomena alam dalam rangka memanfaatkannya.Manusia telah sampai pada pengetahuan yang positif yang dapat dicapai melalui observasi, eksperimen, komparasi dan hukumhukum umum. Pengetahuan yang demikian menunjuk pada pengetahuan yang pasti, riil, jelas dan bermanfaat. Comte dengan ilmu pengetahuan positifnya, yang pada tahap akhir perkembangan akal budi manusia menjadi pedoman hidup dan landasan kultural, institusional dan kenegaraan untuk menuju masyarakat yang maju dan tertib, merdeka dan sejahtera.Bangunan ilmu pengetahuan positif itu adalah sebagai berikut:8 Asumsi pertama, ilmu pengetahuan harus bersifat objektif (bebas nilai dan netral).Objektivitas pengetahuan berlangsung dari dua pihak, pihak subjek dan objek. Pada pihak subjek seorang ilmuwan tidak boleh membiarkan dirinya di8



Ibid., 50.



339



pengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari dalam dirinya sendiri misalnya sentimen, penilaian etnis, kepentingan pribadi atau kelompok, kepercayaan agama, filsafat dan lain sebagainya yang bisa mempengaruhi objektivitas dari objek yang sedang diamati. Pada pihak objek, aspek-aspek dan dimensi-dimensi lain yang tidak bisa diukur dalam observasi misalnya roh atau jiwa, tidak dapat ditolerir keberadannya. Laporan atau teori-teori ilmiah hanya menjelaskan fakta-fakta dan kejadiankejadian yang dapat diobservasi saja. Asumsi kedua, ilmu pengetahuan hanya berurusan dengan hal-hal yang berulangkali terjadi. Andaikata ilmu pengetahuan hanya diarahkan kepada hal-hal unik, yang hanya sekali saja terjadi, maka pengetahuan itu tidak dapat membantu kita untuk meramalkan atau memastikan hal-hal yang akan terjadi. Padahal ramalan atau prediksi merupakan suatu tujuan terpenting ilmu pengetahuan. Asumsi ketiga, ilmu pengetahuan menyoroti setiap fenomena atau kejadian alam dari saling ketergantungan antar hubungannya dengan fenomena lain. Mereka diandaikan saling berhubungan satu sama lain dan membentuk suatu sistem yang bersifat mekanis. Perhatian ilmuwan bukan diarahkan kepada hakekat dari gejala-gejala melainkan pada relasi-relasi luar khususnya relasi sebab akibat, antara benda-benda, gejala atau kejadian-kejadian. Usaha Comte untuk merumuskan suatu ilmu pengetahuan yang bersifat positif, objektif, ilmiah, dan universal pada akhirnya membawa dirinya



340



pada ilmu pasti, dan studinya yang mendalam tentang hal ini mendorong dia pada kesimpulan bahwa ilmu pasti mempunyai tingkat kebenaran yang tertinggi, bebas dari penilaian-penilaian subjektif dan berlaku universal.9 Oleh sebab itu suatu penjelasan tentang fenomena tanpa disertai dengan pertimbangan ilmu pasti (matematika dan statistika) adalah non-sense belaka. Tanpa ilmu pasti ilmu pengetahuan akan kembali menjadi metafisika. Dalam paradigma ilmu, ilmuwan telah mengembangkan sejumlah perangkat keyakinan dasar yang mereka gunakan dalam mengungkapkan hakikat ilmu yang sebenarnya dan bagaimana cara untuk mendapatkannya. Tradisi pengungkapan ilmu ini telah ada sejak adanya manusia, namun secara sistematis dimulai sejak abad ke-17, ketika Descartes (1596-1650) dan para penerusnya mengembangkan cara pandang positiveisme, yang memperoleh sukses besar sebagiamana terlihat pengaruhnya dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini. Paradigma ilmu pada dasarnya berisi jawaban atas pertanyaan fundamental proses keilmuan manusia, yakni bagaimana, apa, dan untuk apa. Tiga pertanyaan dasar itu kemudian dirumuskan menjadi beberapa dimensi. 1. Dimensi ontologis, pertanyaan yang harus dijawab oleh seorang ilmuwan adalah: Apa sebenarnya hakikat dari sesuatu yang dapat 9



Ahmad Tafsir, Filsafat Umum., 90.



341



diketahui (knowable), atau apa sebenarnya hakikat dari suatu realitas (reality). Dengan demikian dimensi yang dipertanyakan adalah hal yang nyata (what is nature of reality?). 2. Dimensi epistemologis, pertanyaan yang harus dijawab oleh seorang ilmuwan adalah: Apa sebenarnya hakikat hubungan antara pencari ilmu (inquirer) dan objek yang ditemukan (know atau knowable)? 3. Dimensi axiologis, yang dipermasalahkan adalah peran nilai-nilai dalam suatu kegiatan penelitian. 4. Dimensi retorik yang dipermasalahkan adalah bahasa yang digunakan dalam penelitian. 5. Dimensi metodologis, seorang ilmuwan harus menjawab pertanyaan: bagaimana cara atau metodologi yang dipakai seseorang dalam menemukan kebenaran suatu ilmu pengetahuan? Jawaban terhadap kelima dimensi pertanyaan ini, akan menemukan posisi paradigma ilmu untuk menentukan paradigma apa yang akan dikembangkan seseorang dalam kegiatan keilmuan. Positivisme merupakan paradigma ilmu pengetahuan yang paling awal muncul dalam dunia ilmu pengetahuan.Keyakinan dasar aliran ini berakar dari paham ontologi realisme yang menyatakan bahwa realitas ada (exist) dalam kenyataan yang berjalan sesuai dengan hukum alam (natural laws). Upaya penelitian, dalam hal ini adalah untuk mengungkapkan kebenaran realitas yang ada, dan bagaimana realitas tersebut senyatanya berjalan.



342



Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan. Terdapat tiga tahap dalam perkembangan positivisme, yaitu: 1. Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi, walaupun perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer. 2. Munculnya tahap kedua dalam positivisme (empirio-positivisme) berawal pada tahun 18701890-an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius. Keduanya meninggalkan pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata obyektif, yang merupakan suatu ciri positivisme awal. Dalam Machisme, masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme ekstrim, yang bergabung dengan subjektivisme. 3. Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran Wina dengan tokohtokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan lain-lain. Serta kelompok yang turut berpengaruh pada perkembangan tahap ketiga ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti atomisme logis, positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme



343



tahap ketiga ini diantaranya tentang bahasa, logika simbolis, struktur penyelidikan ilmiah dan lain-lain. Menurut Emile Durkheim (1982:59) objek studi sosiologi adalah fakta sosial (social-fact): Fakta sosial yang dimaksud meliputi: bahasa, sistem hukum, sistem politik, pendidikan, dan lain-lain. Sekalipun fakta sosial berasal dari luar kesadaran individu, tetapi dalam penelitian positivisme, informasi kebenaran itu ditanyakan oleh penelitian kepada individu yang dijadikan responden penelitian. Untuk mencapai kebenaran ini, maka seorang pencari kebenaran (penelitian) harus me-nanyakan langsung kepada objek yang diteliti, dan objek dapat memberikan jawaban langsung kepada penelitian yang bersangkutan. Hubungan epistemologi ini, harus menempatkan si peneliti di belakang layar untuk mengobservasi hakekat realitas apa adanya untuk menjaga objektifitas temuan. Karena itu secara metodologis, seorang penelitian menggunakan metodologi eksperimen-empirik untuk menjamin agar temuan yang diperoleh betul-betul objektif dalam menggambarkan keadaan yang sebenarnya.Mereka mencari ketepatan yang tinggi, pengukuran yang akurat dan penelitian objektif, juga mereka menguji hipotesis dengan jalan melakukan analisis terhadap bilangan-bilangan yang berasal dari pengukuran. Di bawah naungan payung positivisme, ditetapkan bahwa objek ilmu pengetahuan maupun pernyataan-pernyataan ilmu pengetahuan (Scientific Proporsition) haruslah memenuhi syarat sebagai



344



berikut: dapat di/ter-amati (observable), dapat di/ter-ulang (repeatable), dapat di/ter-ukur (measurable), dapat di/ter-uji (testable), dan dapat di/ter-ramalkan (predictable). Paradigma positivisme telah menjadi pegangan para ilmuwan untuk mengungkapkan kebenaran realitas.Kebenaran yang dianut positiveisme dalam mencari kebenaran adalah teori korespondensi. Teori korespondensi menyebutkan bahwa suatu pernyataan adalah benar jika terdapat faktafakta empiris yang mendukung pernyataan tersebut. Atau dengan kata lain, suatu pernyataan dianggap benar apabila materi yang terkandung dalam pernyataan tersebut bersesuaian (korespodensi) dengan obyek faktual yang ditunjuk oleh pernyataan tersebut. Setelah positivisme ini berjasa dalam waktu yang cukup lama (± 400 tahun), kemudian berkembang sejumlah „aliran‟ paradigma baru yang menjadi landasan pengembangan ilmu dalam berbagai bidang kehidupan. Dalam perkembangannya, positivisme mengalami perombakan dibeberapa sisi, hingga munculah aliran pemikiran yang bernama Positivisme Logis yang tentunya di pelopori oleh tokoh-tokoh yang berasal dari Lingkaran Wina. Positivisme logis adalah aliran pemikiran dalam filsafat yang membatasi pikirannya pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis definisi dan relasi antara istilahistilah.Fungsi analisis ini mengurangi metafisika dan meneliti struktur logis pengetahuan ilmiah. Tujuan dari pembahasan ini adalah menentukan isi



345



konsep-konsep dan pernyataan-pernyataan ilmiah yang dapat diverifikasi secara empiris. Tujuan akhir dari penelitian yang dilakukan pada positivisme logis ini adalah untuk mengorganisasikan kembali pengetahuan ilmiah di dalam suatu sistem yang dikenal dengan ”kesatuan ilmu” yang juga akan menghilangkan perbedaanperbedaan antara ilmu-ilmu yang terpisah. Logika dan matematika dianggap sebagai ilmu formal. Positivisme berusaha menjelaskan pengetahuan ilmiah berkenaan dengan tiga komponen yaitu bahasa teoritis, bahasa observasional dan kaidah-kaidah korespondensi yang mengakaitkan keduanya.Tekanan positivistik menggaris bawahi penegasannya bahwa hanya bahasa observasional yang menyatakan informasi faktual, sementara pernyataan-pernyataan dalam bahasa teoritis tidak mempunyai arti faktual sampai pernyataanpernyataan itu diterjemahkan ke dalam bahasa observasional dengan kaidah korespondensi. B. Idealisme Ide adalah rancangan yang tersusun dalam pikiran; gagasan; cita. Idealisme adalah aliran filsafat yang memandang bahwa mind (akal) dan nilai spiritual adalah hal yang fundamental yang ada di dunia ini. Ia adalah suatu keseluruhan dari dunia itu sendiri. Idealisme memandang ide itu primer kedudukannya, sedangkan materi sekunder. Ide itu timbul atau ada lebih dahulu, baru kemudian materi. Segala sesuatu yang ada ini timbul sebagai hasil yang diciptakan oleh ide atau



346



pikiran, karena ide atau pikiran itu timbul lebih dahulu, baru kemudian sesuatu itu ada. Ada juga yang mengatakan bahwa idealisme adalah pemahaman yang berpendapat bahwa pengetahuan itu tidak lain daripada kejadian dalam jiwa manusia, sedangkan kenyataan yang diketahui manusia itu terletak di luarnya. Idealisme merupakan kebalikan dari materialisme yang berpendapat bahwa materilah yang lebih utama dan lebih dulu ada dibandingkan dengan ide. Sebelum lebih jauh membahas mengenai idealisme dan materialisme, terlebih dahulu kita harus mengetahuai dan memahami bahwa idealisme dan materialisme dalam filsafat memiliki perbedaan makna dengan idealisme dan materialisme dalam kehidupan sehari-hari. Ketika kita merujuk seseorang sebagai "idealis", kita biasanya berpikir tentang seseorang yang memiliki idealideal yang tinggi dan moralitas yang tak bercacat. Seorang materialis, sebaliknya, dipandang sebagai seorang yang tidak punya prinsip, seorang pengeruk uang, seorang individualis yang hanya memikirkan diri sendiri, dengan nafsu serakah untuk makanan dan benda-benda duniawi lain, pendeknya, seorang yang sama sekali tidak menyenangkan dan mengutamakan materi di atas segalanya. Dalam filsafat, idealisme memiliki akar dari pandangan bahwa dunia ini hanyalah cerminan dari ide, pikiran, roh atau lebih tepatnya ide, yang hadir sebelum segala dunia ini hadir. Benda-benda material kasar yang kita kenal melalui indera kita



347



menurut aliran ini hanyalah salinan yang kurang sempurna dari ide yang sempurna itu. Aliran idealisme merupakan aliran yang sangat penting dalam perkembangan sejarah pikiran manusia. Mula-mula dalam filsafat Barat kita temui dalam bentuk ajaran yang murni dari Plato. Yang menyatakan bahwa alam cita itu adalah yang merupakan kenyataan sebenarnya. Adapun alam nyata yang menempati ruang ini hanyalah berupa bayangan saja dari alam idea itu. Aristoteles memberikan sifat kerohanian dengan ajarannya yang menggambarkan alam ide sebagai sesuatu tenaga (entelechie) yang berada dalam benda-benda dan menjalankan pengaruhnya dari benda itu. Sebenarnya dapat dikatakan sepanjang masa tidak pernah faham idealisme hilang sama sekali. Di masa abad pertengahan malahan satusatunya pendapat yang disepakati oleh semua ahli pikir adalah dasar idealisme ini. Selain itu, segenap kaum agama sekaligus dapat digolongkan kepada penganut Idealisme yang paling setia sepanjang masa, walaupun mereka tidak memiliki dalil-dalil filsafat yang mendalam. Puncak zaman Idealiasme pada masa abad ke-18 dan 19 ketika periode Idealisme Jerman sedang besar sekali pengaruhnya di Eropa. Realitas muncul dari apa yang ada dalam cara berfikir, yang berkaitan dengan isi dan struktur pikiran. Istilah ini berasal dari ide daripada yang ideal dan lebih terkait dengan metafisika dari etika, kontras dengan realisme dan juga dengan materialisme.



348



Aliran idealisme merupakan suatu aliran ilmu filsafat yang mengagungkan jiwa. Menurut Plato, cita adalah gambaran asli yang semata-mata bersifat rohani dan jiwa terletak di antara gambaran asli (cita) dengan bayangan dunia yang ditangkap oleh panca indera. Pertemuan antara jiwa dan cita melahirkan suatu angan-angan yaitu dunia ide. Aliran ini memandang serta menganggap bahwa yang nyata hanyalah ide. Ide sendiri selalu tetap atau tidak mengalami perubahan serta penggeseran, yang mengalami gerak tidak dikategorikan ide. “Idealism is the philosophical doctrine that reality is somehow mind-correlative or mind-coordinated; that the real objects constituting the “external world” are not independent of cognizing minds, but exist only as in some way correlative to mental operations.”10



Keberadaan ide tidak tampak dalam wujud lahiriah, tetapi gambaran yang asli hanya dapat dipotret oleh jiwa murni. Alam dalam pandangan idealisme adalah gambaran dari dunia ide, sebab posisinya tidak menetap. Sedangkan yang dimaksud dengan ide adalah hakikat murni dan asli. Keberadaannya sangat absolut dan kesempurnaannya sangat mutlak, tidak bisa dijangkau oleh material. Pada kenyataannya, ide digambarkan dengan dunia yang tidak berbentuk demikian jiwa bertempat di dalam dunia yang tidak bertubuh yang dikatakan dunia idea.



10



Nicholas Rescher , “Idealism”, dalam Robert Audi, The Cambridge Dictionary of Philosophy (New York: Cambridge University Press, 1999), 412.



349



Plato yang memiliki filsafat beraliran idealisme yang realistis mengemukakan bahwa jalan untuk membentuk masyarakat menjadi stabil adalah menentukan kedudukan yang pasti bagi setiap orang dan setiap kelas menurut kapasitas masing-masing dalam masyarakat secara keseluruhan. Mereka yang memiliki kebajikan dan kebijaksanaan yang cukup dapat menduduki posisi yang tinggi, selanjutnya berurutan ke bawah. Misalnya, dari atas ke bawah, dimulai dari raja, filosof, perwira, prajurit sampai kepada pekerja dan budak. Yang menduduki urutan paling atas adalah mereka yang telah bertahun-tahun mengalami pendidikan dan latihan serta telah memperlihatkan sifat superioritasnya dalam melawan berbagai godaan, serta dapat menunjukkan cara hidup menurut kebenaran tertinggi. Mengenai kebenaran tertinggi, dengan doktrin yang terkenal dengan istilah ide, Plato mengemukakan bahwa dunia ini tetap dan jenisnya satu, sedangkan ide tertinggi adalah kebaikan. Tugas ide adalah memimpin budi manusia dalam menjadi contoh bagi pengalaman. Siapa saja yang telah menguasai ide, ia akan mengetahui jalan yang pasti, sehingga dapat menggunakan sebagai alat untuk mengukur, mengklasifikasikan dan menilai segala sesuatu yang dialami sehari-hari. Kadangkala dunia ide adalah pekerjaan rohani yang berupa angan-angan untuk mewujudkan cita-cita yang arealnya merupakan lapangan metafisis di luar alam yang nyata. Menurut Berguseon, rohani merupakan sasaran untuk me-



350



wujudkan suatu visi yang lebih jauh jangkauannya, yaitu intuisi dengan melihat kenyataan bukan sebagai materi yang beku maupun dunia luar yang tak dapat dikenal, melainkan dunia daya hidup yang kreatif. Aliran idealisme kenyataannya sangat identik dengan alam dan lingkungan sehingga melahirkan dua macam realita. Pertama, yang tampak yaitu apa yang dialami oleh kita selaku makhluk hidup dalam lingkungan ini seperti ada yang datang dan pergi, ada yang hidup dan ada yang mati demikian seterusnya. Kedua, adalah realitas sejati, yang merupakan sifat yang kekal dan sempurna (idea), gagasan dan pikiran yang utuh di dalamnya terdapat nilainilai yang murni dan asli, kemudian kemutlakan dan kesejatian kedudukannya lebih tinggi dari yang tampak, karena idea merupakan wujud yang hakiki. Prinsipnya, aliran idealisme mendasari semua yang ada. Yang nyata di alam ini hanya idea, dunia idea merupakan lapangan rohani dan bentuknya tidak sama dengan alam nyata seperti yang tampak dan tergambar. Sedangkan ruangannya tidak mempunyai batas dan tumpuan yang paling akhir dari idea adalah arche yang merupakan tempat kembali kesempurnaan yang disebut dunia idea dengan Tuhan, arche, sifatnya kekal dan sedikit pun tidak mengalami perubahan. Inti yang terpenting dari ajaran ini adalah manusia menganggap roh atau sukma lebih berharga dan lebih tinggi dibandingkan dengan materi bagi kehidupan manusia. Roh itu pada dasarnya dianggap suatu hakikat yang sebenarnya, sehingga



351



benda atau materi disebut sebagai penjelmaan dari roh atau sukma. Aliran idealisme berusaha menerangkan secara alami pikiran yang keadaannya secara metafisis yang baru berupa gerakangerakan rohaniah dan dimensi gerakan tersebut untuk menemukan hakikat yang mutlak dan murni pada kehidupan manusia. Demikian juga hasil adaptasi individu dengan individu lainnya. Oleh karena itu, adanya hubungan rohani yang akhirnya membentuk kebudayaan dan peradaban baru. Maka apabila kita menganalisa berbagai macam pendapat tentang isi aliran idealisme, yang pada dasarnya membicarakan tentang alam pikiran rohani yang berupa angan-angan untuk mewujudkan cita-cita, di mana manusia berpikir bahwa sumber pengetahuan terletak pada kenyataan rohani sehingga kepuasan hanya bisa dicapai dan dirasakan dengan memiliki nilai-nilai kerohanian yang dalam idealisme disebut dengan idea. Memang para filosof ideal memulai sistematika berpikir mereka dengan pandangan yang fundamental bahwa realitas yang tertinggi adalah alam pikiran. Sehingga, rohani dan sukma merupakan tumpuan bagi pelaksanaan dari paham ini. Karena itu alam nyata tidak mutlak bagi aliran idealisme. Namun pada porsinya, para filosof idealisme mengetengahkan berbagai macam pandangan tentang hakikat alam yang sebenarnya adalah idea. Idea ini digali dari bentuk-bentuk di luar benda yang nyata sehingga yang kelihatan apa di balik nyata dan usaha-usaha yang dilakukan pada dasarnya adalah untuk mengenal alam raya. Walaupun



352



katakanlah idealisme dipandang lebih luas dari aliran yang lain karena pada prinsipnya aliran ini dapat menjangkau hal-ihwal yang sangat pelik yang kadang-kadang tidak mungkin dapat atau diubah oleh materi, Sebagaimana Phidom mengetengahkan, dua prinsip pengenalan dengan memungkinkan alat-alat inderawi yang difungsikan di sini adalah jiwa atau sukma. Dengan demikian, dunia pun terbagi dua yaitu dunia nyata dengan dunia tidak nyata, dunia kelihatan (boraton genos) dan dunia yang tidak kelihatan (cosmos neotos). Plato dalam mencari jalan melalui teori aplikasi di mana pengenalan terhadap idea bisa diterapkan pada alam nyata seperti yang ada di hadapan manusia. Sedangkan pengenalan alam nyata belum tentu bisa mengetahui apa di balik alam nyata. Memang kenyataannya sukar membatasi unsur-unsur yang ada dalam ajaran idealisme khususnya dengan Plato. Ini disebabkan aliran Platonisme ini bersifat lebih banyak membahas tentang hakikat sesuatu daripada menampilkannya dan mencari dalil dan keterangan hakikat itu sendiri. Oleh karena itu dapat kita katakan bahwa pikiran Plato itu bersifat dinamis dan tetap berlanjut tanpa akhir. Tetapi betapa pun adanya buah pikiran Plato itu maka ahli sejarah filsafat tetap memberikan tempat terhormat bagi sebagian pendapat dan buah pikirannya yang pokok dan utama.



353



Konsep filsafat menurut aliran idealisme adalah sebagai berikut: 1. Metafisika-idealisme. Secara absolut kenyataan yang sebenarnya adalah spiritual dan rohaniah, sedangkan secara kritis yaitu adanya kenyataan yang bersifat fisik dan rohaniah, tetapi kenyata-an rohaniah yang lebih dapat berperan. 2. Humanologi-idealisme. Jiwa dikarunai kemam-puan berpikir yang dapat menyebabkan adanya kemampuan memilih. 3. Epistemologi-idealisme. Pengetahuan yang benar diperoleh melalui intuisi dan pengingatan kembali melalui berpikir. Kebenaran hanya mungkin dapat dicapai oleh beberapa orang yang mempunyai akal pikiran yang cemerlang; sebagian besar manusia hanya sampai pada tingkat berpendapat. 4. Aksiologi-idealisme. Kehidupan manusia diatur oleh kewajiban moral yang diturunkan dari pendapat tentang kenyataan atau metafisika. a. Jenis Aliran Idealisme Idealisme mempunyai dua aliran, yaitu idealisme subjektif dan idealism objektif. 1. Idealisme Subjektif Idealisme subjektif adalah filsafat yang berpandangan idealis dan bertitik tolak pada ide manusia atau ide sendiri. Alam dan masyarakat ini tercipta dari ide manusia. Segala sesuatu yang timbul dan terjadi di alam atau di masyarakat adalah hasil atau



354



karena ciptaan ide manusia atau idenya sendiri, atau dengan kata lain alam dan masyarakat hanyalah sebuah ide/fikiran dari dirinya sendiri atau ide manusia. Seorang idealis subjektif akan mengatakan bahwa akal, jiwa, dan persepsi-persepsinya atau ideidenya merupakan segala yang ada. Objek pengalaman bukanlah benda material; objek pengalaman adalah persepsi. Oleh karena itu benda seperti bangunan dan pepohonan itu ada, tetapi hanya ada dalam akal yang mempersepsikannya. Salah satu tokoh terkenal dari aliran ini adalah seorang uskup inggris yang bernama George Berkeley (1684-1753 M), menurut Berkeley segala sesuatu yang tertangkap oleh sensasi/perasaan kita itu bukanlah materiil yang riil dan ada secara obyektif. Sesuatu yang materiil misalkan jeruk, dianggapnya hanya sebagai sensasi-sensasi atau kumpulan perasaan/konsepsi tertentu yaitu perasaan/ konsepsi dari rasa jeruk, berat, bau, bentuk dan sebagainya. Dengan demikian Berkeley dan Hume menyangkal adanya materi yang ada secara obyektif, dan hanya mengakui adanya materi atau dunia yang riil didalam fikirannya atau idenya sendiri saja. Kesimpulan yang dapat ditarik dari filsafat ini adalah, kecenderungan untuk bersifat egoistis “Aku-isme” yang hanya mengakui yang riil adalah dirinya sendiri yang ada hanya “Aku”, segala sesuatu yang



355



ada diluar selain “Aku” itu hanya sensasi atau konsepsi-konsepsi dari “Aku”. Untuk berkelit dari tuduhan egoistis dan mengedepankan “Aku-isme/solipisme” Berkeley menyatakan hanya Tuhan yang berada tanpa tergantung pada sensasi. Filsafat Berkeley dan Hume ini adalah filsafat besar Inggris pada abad ke-18, yang merupakan kekuatan reaksioner menentang materialisme klasik Perancis, sebagai manifestasi dari kekuatiran atas revolusi di Inggris pada waktu itu. Pada abad ke-19, Idealisme subyektif mengambil bentuknya yang baru yang terkenal dengan nama “Positivisme”, yang di kemukakan pertama kali oleh Aguste Comte (1798-1857 M), menurutnya hanya “pengalaman”-lah yang merupakan kenyataan yang sesungguhnya , selain dari pada itu tidak ada lagi kenyataan, dunia adalah hasil ciptaan dari pengalaman, dan ilmu hanya bertugas untuk menguraikan pengalaman itu. Dan masih banyak lagi pemikir-pemikir yang lainnya dalam filsafat ini, misalnya saja William Jones (1842-1910 M) dan John Dewey (1859-1952), keduanya berasal dari Amerika Serikat dan pencetus ide “pragmatisme”, menurut mereka Pragmatisme adalah suatu filsafat yang menggunakan akibat-akibat praktis dari ide-ide atau keyakinan-keyakinan sebagai suatu ukuran untuk menetapkan nilai dan kebenarannya. Filsafat seperti ini sangat menekankan pada pandangan individualistic,



356



yang mengedepankan sesuatu yang mempunyai keuntungan atau “cash-value” (nilai kontan)-lah yang dapat diterima oleh akal si “Aku” ttersebut. Pragmatisme berkembang di Amerika dan adalah filsafat yang mewakili kaum borjuasi besar di negeri yang katanya “the biggest of all”. Sebab dari pandangan filsafat seperti ini Imperialisme, tindakan eksploitasi dan penindasan dapat dibenarkan selama dapat mendapatkan keuntungan untuk si “Aku”. Pandangan idealisme subyektif dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, misalnya tidak jarang kita temui perkataan-perkataan seperti ini: 1) Baik buruknya keadaan masyarakat sekarang tergantung pada orang yang menerimanya, ialah baik bagi mereka yang menganggapnya baik dan buruk bagi mereka yang menganggapnya buruk. 2) Kekacauan sekarang timbul karena orang yang duduk dipemerintahan tidak jujur, kalau mereka diganti dengan orang-orang yang jujur maka keadaan akan menjadi baik. 3) aku bisa, kau harus bisa juga. 2. Idealisme Objektif Idealisme objektif adalah idealisme yang bertitik tolak pada ide di luar ide manusia. Idealisme objektif ini dikatakan bahwa akal menemukan apa yang sudah terdapat dalam susunan alam.



357



Menurut idealisme objektif segala sesuatu baik dalam alam atau masyarakat adalah hasil dari ciptaan ide universil. Pandangan filsafat seperti ini pada dasarnya mengakui sesuatu yang bukan materi, yang ada secara abadi di luar manusia, sesuatu yang bukan materi itu ada sebelum dunia alam semesta ini ada, termasuk manusia dan segala pikiran dan perasaannya. Filsuf idealis yang pertama kali dikenal adalah Plato. Ia membagi dunia dalam dua bagian. Pertama, dunia persepsi, dunia yang konkret ini adalah temporal dan rusak; bukan dunia yang sesungguhnya, melainkan bayangan alias penampakan saja. Kedua, terdapat alam di atas alam benda, yakni alam konsep, idea, universal atau esensi yang abadi. Pandangan dunia Plato ini mewakili kepentingan kelas yang berkuasa pada waktu itu di Eropa yaitu kelas pemilik budak. Dan ini jelas nampak dalam ajarannya tentang masyarakat “ideal”. Pada jaman feodal, filsafat idealisme obyektif ini mengambil bentuk yang dikenal dengan nama Skolastisisme, system filsafat ini memadukan unsur idealisme Aristoteles (384-322 S.M), yaitu bahwa dunia kita merupakan suatu tingkatan hirarki dari seluruh system hirarki dunia semesta, begitupun yang hirarki yang berada dalam masyarakat feodal merupakan kelanjutan dari dunia ke-Tuhanan. Segala sesuatu yang ada dan terjadi di dunia ini



358



maupun dalam alam semesta merupakan “penjelmaan” dari titah Tuhan atau perwujudan dari ide Tuhan. Filsafat ini membela para bangsawan atau kaum feodal yang pada waktu itu merupakan tuan tanah besar di Eropa dan kekuasaan gereja sebagai “wakil” Tuhan didunia ini. Tokoh-tokoh yang terkenal dari aliran filsafat ini adalah: Johannes Eriugena (833 M), Thomas Aquinas (1225-1274 M), Duns Scotus (1270-1308 M), dan sebagainya. Kemudian pada jaman modern sekitar abad ke-18 muncullah sebuah system filsafat idealisme obyektif yang baru, yaitu system yang dikemukakan oleh George.W.F Hegel (1770-1831 M). Menurut Hegel hakekat dari dunia ini adalah “ide absolut”, yang berada secara absolut dan “obyektif” didalam segala sesuatu, dan tak terbatas pada ruang dan waktu. “Ide absolut” ini, dalam prosesnya menampakkan dirinya dalam wujud gejala alam, gejala masyarakat, dan gejala fikiran. Filsafat Hegel ini mewakili kelas borjuis Jerman yang pada waktu itu baru tumbuh dan masih lemah, kepentingan kelasnya menghendaki suatu perubahan social, menghendaki dihapusnya hak-hak istimewa kaum bangsawan Junker. Hal ini tercermin dalam pandangan dialektisnya yang beranggapan bahwa sesuatu itu senantiasa berkembang dan berubah, tidak ada yang abadi atau mutlak, termasuk juga kekuasaan kaum feodal. Akan



359



tetapi karena kedudukan dan kekuatannya masih lemah itu membuat mereka tidak berani terang-terangan melawan filsafat Skolatisisme dan ajaran agama yang berkuasa ketika itu. Pikiran filsafat idealisme obyektif ini dapat kita jumpai dalam kehidupan seharihari dengan berbagai macam bentuk. Perwujudan paling umum antara lain adalah formalisme dan doktriner-isme. Kaum doktriner dan formalis secara membuta mempercayai dalil-dalil atau teori sebagai kekuatan yang maha kuasa, sebagai obat manjur buat segala macam penyakit, sehingga dalam melakukan tugas-tugas atau menyelesaikan persoalan-persoalan praktis mereka tidak bisa berfikir atau bertindak secara hidup berdasarkan situasi dan syarat yang kongkrit. b. Tokoh-tokoh Aliran Idealisme 1. J.G. Fichte (1762-1814 M) Johan Gottlieb Fichte adalah filosof Jerman. Ia belajar teologi di Jena pada tahun 1780-1788. Filsafat menurut Fichte haruslah dideduksi dari satu prinsip. Ini sudah mencukupi untuk memenuhi tuntutan pemikiran, moral, bahkan seluruh kebutuhan manusia. Prinsip yang dimaksud ada di dalam etika. Bukan teori, melainkan prakteklah yang menjadi pusat yang disekitarnya kehidupan diatur. Unsur esensial dalam pengalaman adalah tindakan, bukan fakta.



360



Johann Gottlieb Fichte lahir pada tanggal 19 Mei 1762 di Rammenau. Ayahnya adalah seorang penyamak kulit di sebuah desa kecil dan ibunya adalah seorang penenun pita. Fichte mewarisi sifat ibunya, yaitu mempunyai sifat yang tidak sabar yang ditampilkan sepanjang hidupnya. Fichte muda menerima dasar-dasar pendidikan dari ayahnya dan mampu menunjukkan kemampuan luar biasa. Hal itu membuat Fichte mendapatkan kesempatan untuk bersekolah dan mengenyam pendidikan yang lebih baik dari anak di sekitarnya. Pada tahun 1780, Fichte belajar teologi di Universitas Jena dan Leipzig. Freiherr von Militz (seorang pemilik tanah negara) terus mendukungnya, tetapi ketika beliau meninggal pada tahun 1784, Fichte harus mengakhiri studinya tanpa menyelesaikan gelar itu. Karena tidak memiliki uang, Fichte berhenti dari studinya dan berusaha bekerja sebagai guru pada beberapa keluarga kaya. Selama tahun 1784-1788, ia bekerja sebagai seorang tutor di berbagai keluarga Saxon. Selanjutnya Fichte bekerja sebagai tutor pribadi di Zürich selama dua tahun, yang merupakan waktu kepuasan terbesar bagi baginya. Di sini dia bertemu Johanna Rahn. Pada 1790, beliau bertunangan dengan Johanna Rahn, yang kebetulan menjadi keponakan dari FG penyair terkenal Klopstock.



361



Ketika menjadi seorang guru, Fichte bertemu dan berkenalan dengan filsafat Kant yang amat mempengaruhinya. Karena beliau menakjubi Kant pindahlah beliau ke Koningsbergen. Dalam waktu empat minggu beliau telah berhasil menulis bukunya: Versuch einer Kritik aller Offenbarung, atau “usaha suatu kritik atas segala wahyu”(1792). Buku ini bernafaskan Kant, sehingga orang mengira bahwa Kantlah penulisnya. Ketika diketahui bahwa Kant, melainkan Fichtelah penulisnya, mendadak namanya menjadi terkenal. Pada tahun 1794, Fichte diangkat sebagai filsuf di Universitas Jena, dan di sanalah ia mulai mengungkapkan ide-ide transendentalnya. Pada tahun 1798, Fichte menerbitkan artikel berjudul “The Basis of Our Belief in a Divine Government of the World”, yang kemudian membuatnya dituduh sebagai atheis karena telah mengkarakterisasikan Tuhan sebagai aturan moral di dunia. Pada tahun 1799, karena terlibat dalam perang ateisme beliau mengundurkan diri dari Universitas Jena dan pindah ke Berlin. Pada tahun 1810, Fichte diangkat sebagai profesor di University of Berlin yang waktu itu baru didirikan, dan empat tahun kemudian, yaitu pada tanggal 27 Januari 1814 beliau meninggal dunia karena serangan penyakit tipus yang di deritanya. Beliau meninggal pada usia 51 tahun.



362



Keahlian Fichte dalam bidang filsafat dapat dilihat dari tiga jenis hasil karyanya, yaitu: 1) Ucber die Bestimmung des Menschen (Tentang Tujuan Hidup), terbit tahun 1780 2) Grunlage der Gaseniten Winssenchafslehre (Dasar Seluruh Epistemologi), terbit tahun 1796. 3) Das System der Sitterile, hre nach den Prinzipien der Wissenschaftslehre (Sistem Etika menurut Prinsip-prinsip Epistemologi), yang terbit pada tahun 1798. Aliran/tradisi yang dianut oleh Fichte adalah Idealisme Jerman, Neo-Kantianism, dan Post-Kantianism. Minat utama beliau adalah self-conciousness, self-awareness, filosofi moral dan filosofi politik. Fichte juga berpengaruh besar terhadap tokoh filsafat sesudahnya seperti: Hegel, Schelling, Novalis, Dieter Henrich, Rudolf Steiner, Thomas Carlyle. Johann Gottlieb Fichte merupakan filosof yang mengembangkan beberapa pemikiran dari Immanuel Kant. Menurut Fichte, fakta dasar dari alam semesta adalah ego yang bebas atau roh yang bebas. Dengan demikian dunia merupakan ciptaan roh yang bebas. Filsafatnya disebut Wissenschaftslehre atau “ajaran Ilmu Pengetahuan”. Dengan melalui metode deduktif Fichte mencoba menerangkan hubungan Aku (Ego) dengan adanya benda-benda (non-Ego). Karena Ego berpikir,



363



mengiakan diri maka terlahirlah non-Ego (benda-benda). Dengan secara dialektif (berpikir dengan metoda: tese, anti tese, sintese) Fichte mencoba menjelaskan adanya benda-benda. Secara sederhana dialektika Fichte itu dapat diterangkan sebagai berikut: manusia memandang obyek benda-benda dengan inderanya. Dalam mengindera obyek tersebut, manusia berusaha mengetahui apa yang dihadapinya. Maka berjalanlah proses intelektualnya untuk membentuk dan mengabstraksikan obyek itu menjadi pengertian seperti yang dipikirannya. Fichte menganjurkan supaya kita memenuhi tugas, dan hanya demi tugas maka tugaslah yang menjadi pendorong moral. Isi hukum moral ialah berbuatlah menurut kata hatimu. Bagi seorang idealis, hukum moral ialah setiap tindakan harus berupa langkah menuju kesempurnaan spiritual. Filsafat sebagai ajaran tentang ilmu pengetahuan dibedakan menjadi 2, yaitu: 1) Ajaran tentang ilmu pengetahuan yang teoritis Ajaran ini membicarakan tentang hal metafisika dan ajaran tentang pengenalan. Disini, Fichte menentang pendapat Kant yang mengatakan bahwa hanya berpikir secara ilmu pasti alamlah yang memberi kepastian di bidang pengenalan. Fichte tidak mau memisahkan rasio teoritis



364



dengan rasio praktis. Menurut Fichte, sumber yang satu itu terdapat pada aktivitas Ego atau “Aku”. Apa sebab Ego menciptakan dunia, dijelaskan demikian: Menurut Fichte, keadaan Ego tidaklah terbatas. Agaknya yang dimaksud dengan Ego ini adalah Ego mutlak (Ego Absolut) yang dibedakan dengan “Aku” perorangan. (ada orang yang berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan Ego adalah Tuhan, akan tetapi ada juga yang mengata-kan, bahwa yang dimaksud dengan Ego bukan Tuhan, melainkan “tertib moral dari alam semesta”, suatu kuasa yang bekerja di dalam dan melalui pribadi perorangan yang kita kenal). 2) Ajaran tentang ilmu pengetahuan yang praktis. Ajaran ini membicarakan tentang hal etika. Di dalam ajarannya tentang ilmu pengetahuan yang praktis Fichte menentang Kant, yang mengajarkan bahwa setiap orang harus mentaati kewajiban. Menurut Fichte, yang penting bukan Ego atau “Aku” manusia dalam arti yang seideal mungkin. Sebab “Aku” itulah yang mengajarkan tata tertib serta keselarasan di tengah-tengah benda yang banyak sekali itu. Makin mendalam orang yang menyelami alam semesta, makin luas cakrawala tata tertib itu. Jadi manusia pada dasarnya adalah makhluk yang bersifat



365



moral. Hidup yang memegang moral mengandung suatu usaha di dalamnya. Tugas manusia bukan hanya untuk mengetahui, tetapi juga untuk berbuat sesuai dengan pengetahuannya. Moralitas terdiri dari aktivitas diri yang mutlak, yang bebas sama sekali, yang tidak dibatasi oleh sesuatu apapun diluarnya. Inilah asas otonomi. Di dalam hal ini ada kesamaan antara Kant dan Fichte. Isi tugas moral manusia diturunkan dari dua dasar pikiran, yaitu: bahwa manusia berkewajiban menghargai dirinya sendiri sebagai makhluk yang bebas, dan bahwa ia senantiasa berkewajiban berbuat dengan tidak mengambil kebebasan orang lain. Menurut Fichte, dasar kepribadian adalah kemauan; bukan kemauan irasional seperti pada Schopenhauer, melainkan kemauan yang dikontrol oleh kesadaran bahwa kebebasan diperoleh hanya dengan melalui kepatuhan pada peraturan. Kehidupan moral adalah kehidupan usaha. Manusia dihadapkan kepada rintangan, dan manusia digerakkan oleh rasa wajib bahwa ia berutang pada aturan moral umum yang memungkinkannya mampu memilih yang baik. Idealisme etis Fichte diringkaskan dalam pernyataan bahwa dunia aktual hanya dapat dipahami sebagai bahan dari tugas-tugas kita. Oleh karena itu, filsafat bagi Fichte adalah filsafat hidup



366



yang terletak pada pemilihan antara moral idealisme dan moral materialisme. Substansi materialisme bagi Fichte ialah naluri, kenikmatan tak ber-tanggung jawab, bergantung pada keadaan, sedangkan idealisme ialah kehidupan yang bergantung pada diri sendiri. Menurut pendapatnya subjek “menciptakan” objek. Kenyataan pertama ialah “saya yang sedang berpikir”, subjek menempatkan diri sebagai tesis. Tetapi subjek memerlukan objek, seperti tangan kanan mengandaikan tangan kiri, dan ini merupakan antitesis. Subjek dan objek yang dilihat dalam kesatuan disebut sintesis. Segala sesuatu yang ada berasal dari tindak perbuatan sang Aku. 2. F.W.J. Shelling (1775-1854 M) Schelling adalah orang yang terlalu cepat dewasa. Ia dilahirkan di kota Leonberg, Wurtemberg pada tanggal 27 Januari 1775, tepatnya lima tahun setelah kelahiran Hegel. Dia lahir dan hidup di lingkungan yang saleh. Dalam usianya yang masih relatif belia, lima belas tahun, dia sudah mengambil kuliah di Universitas Tubingen. Di sini dia bertemu dengan Hegel dan Holderin (seorang penyair). Pertemuan itu terjadi bertpatan pada saat gerakan romantisisme mengalami perkembangannya yang pesat. Schelling dan Hoelderin adalah dua orang yang menaruh simpati besar pada Revolusi Prancis. Saat



367



muda, ia menjadi murid didik Fichte, pengawal Idealisme setelah Kritisisme Kant. Meski kemudian ia menempuh jalan filsafatnya sendiri, ia masih membawa pengaruh Fichte dalam pemikirannya. Pada umur 23 tahun, dia sudah menjadi guru besar di Universitas Jena sekaligus menjadi murid dan pembantu Fichte. Saat itu, dia banyak menjalin kontak dengan kalangan Romantisisme. Selanjutnya ia menikah dan berpindah mengajar ke kota Wurzburg. Pada saat inilah Schelling bergumul dengan pemikiran sang mistikus Jacob Boehme. Dalam idealisme, kita bisa melihat bagaimana mistik, teologi dan filsafat berpadu menjadi satu. Hal tersebut tidak lepas dari pengaruh Boehme dan Isak Luria, seorang mistikus Yahudi di Jerman.. Selanjutnya Schelling bermigrasi ke Muenchen pada tahun 1806. Pada saat ini, dia banyak menjalin kontak dengan Hegel dalam mengurus penyuntingan sebuah jurnal filsafat. Hegel adalah saingan berat dari Schelling yang lebih muda dari dia. Namun setelah Hegel meninggal, Schelling adalah kritikus ulung atas Hegelianisme di Berlin. Pada tahun 1854, Schelling meninggal di Bad Ragaz dalam kesepian dan dilupakan. Seperti Fichte, Scelling mula-mula berusaha menggambarkan jalan dilalui intelek dalam proses mengetahui, semacam epistemology. Fichte memandang alam semesta sebagai



368



lapangan tugas manusia dan sebagai basis kebebasan moral. Schelling membahas realitas lebih objektif dan menyiapkan jalan bagi idealisme absolute Hegel. Dalam pandangan Schelling, realitas adalah proses rasional evolusi dunia menuju realisasinya berupa suatu ekspresi kebenaran terakhir. Kita dapat mengetahui dunia secara sempurna dengan cara melacak proses logis perubahan sifat dan sejarah masa lalu. Tujuan proses itu adalah suatu keadaan kesadaran diri yang sempurna. Schelling menyebut proses ini identitas absolute, Hegel menyebutnya ideal. Idealisme Schelling agak lebih objektif, karena menurut dia bukan-aku (objek) ini sungguh-sungguh ada. Objek ini bukan hanya pertentangan belaka, melainkan mempunyai nilai yang positif. Bagi Schelling, yang menjadi dasar kesungguhan dan berpikir itu ialah aku. Dunia ini muncul daripada aku: dunia yang tak terbatas itu sebenarnya tidak lain daripada produksi dan reproduksi dari ciptaan aku. Kemudian diakuinya kesungguhan alam, malahan dinyatakan bahwa subjek yang berpikir (aku) itu muncul daripada alam. Tetapi ini jangan dianggap sama sekali bertentangan dengan pendapatnya semula, sebab aku yang muncul dari alam itu ialah aku yang telah sadar. Alam itu merupakan proses evolusi, yang mengeluarkan budi yang sadar



369



serta lambat laun sadar akan dirinya (aku) dalam alam yang tak sadar. Begitulah ia meningkat lagi dalam pandangannya terhadap alam: budi dan dunia sama derajatnya hanya berhadapan sebagai subjek dan objek. Sebetulnya samalah keduanya, bertemu pada asal semula ialah Tuhan, identitas yang mutlak, juga disebutnya indiferensi yang mutlak. Ia tidak cenderung ke sana, maupun ke sini. Dari situ muncullah alam dalam bentuknya yang makin tinggi derajatnya: bahan, gerak, hidup, susunandunia, manusia. Dalam pada itu budipun sadar akan dirinya menjelmakan ilmu,moral, seni, sejarah, dan Negara. Ketidakpuasaan terhadap ajaran Kant yang mengatakan bahwa akal manusia tidak akan sampai pada pengetahuan tentang fenomena/gejala-gejala saja muncul dilakukan oleh murid-muridnya, bahkan berbalik menyerang Kant dan mereka bermetafisika untuk mencari suatu dasar bagi renungan mereka. Dasar itu di bagi menjadi system metafisika. Mereka sangat memperhatikan kesadaran dan pengalaman yang di cari dan di dapat dari dasar tindakan. Dasar tindakan itu adalah “Aku” yang merupakan subjek yang sekonkret-konkretnya, sehingga lahirlah kesimpulan dan member keterangan tentang keseluruhan yang ada, yang ada itulah di sebut idealism.



370



Pemikiran Schelling terbagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap filsafat alam, filsafat identitas dan kemudian filsafat wahyu atau filsafat positif. Sebelum melangkah pada pemikiran Schelling lebih dalam, ada baiknya kita merunut dari pemikiran gurunya, Fichte. Sang Guru menjelaskan bahwa pengetahuan harus bertolak dari pengalaman (erfahrung). Hanya saja pengalaman yang dimaksudkan oleh Fichte itu berbeda dengan yang dimaksudkan oleh Kant. Fichte menyatakan bahwa pengalaman tersebut adalah presentasi. Ada dua macam presentasi: 1) Presentasi dengan Rasa Bebas. Misalnya saat kita membayangkan dalam imajinasi kita bahwa kita sedang jalan-jalan di kota Makassar dengan segala gemerlap kotanya di malam hari. 2) Presentasi dengan Keniscayaan.Misalnya ketika kita sedang ada di kelas Falsafah dan Agama Universitas Paramadina mendengarkan keterangan Abdul Hadi dalam keadaan duduk bersama teman-teman sekelas. Perbedaan antara dua presentasi tersebut dalam segi kemandiriannya adalah bahwa presentasi pertama tidak membutuhkan obyek dan karena itulah ia disebut bebas, sedangkan presentasi kedua tergantung pada obyek. Dalam pengalaman (erfahrung) terdapat dua unsur yang saling terjalin dan terkait,



371



yaitu subjek dan objek. Lantas kemudian muncullah pertanyaan: Di antara keduanya, manakah yang menghasilkan pengalaman aktual? Maka jawabannya adalah Subjek. Fichte mengunggulkan subjek atas objek karena Subjek menghasilkan pengalaman aktual. Dari titik inilah kita akan melangkah pada pemikiran Schelling. Filsafat alam Schelling bertolak dari ketidak-sepakatannya pada konsep pembedaan atau bahkan pengunggulan subjek atas objek sebagaimana diungkapkan oleh Fichte. Kata Schelling, pembedaan macam itu muncul dari refleksi yang bermula dari perasaan dan bukannya filsafat. Perbedaan antara subjek dan objek berawal dari refleksi. Refleksi menjadikan jarak antara sesuatu yang ada di luar kita (alam) dan konsep yang kita tangkap yang terdapat dalam Idea kita (Roh). Kemudian refleksi memperlakukan konsep atau gambaran alam tersebut sebagai objek. Refleksi membangun pangkal pembedaan antara yang Riil dan yang Ideal. Jika pangkal ini dihapus, maka yang terjadi adalah kesatuan. Lebih tepatnya kesatuan antara Subjek dan Objek, antara yang Riil dan yang Ideal, antara yang Roh dan Alam. Jika kita memberikan jarak antara subjek dan objek, maka kita akan tertipu karena hal tersebut berdasarkan perasaan belaka. Yang harus kita lakukan adalah pendasaran pada filsafat hingga kemudian kita



372



memahami bahwa yang dipikirkan dan yang memikirkan sebenarnya adalah satu. Manusia mempunyai kemampuan untuk berpikir tentang segala yang ada di Alam. Dia, dengan Roh-nya, akan bertanya sesuatu hal dan memaksa Alam untuk menjawabnya. Proses ini disebut sebagai proses dialog. Alam kemudian menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dijawab oleh Roh tersebut. Hal ini sebenarnya berimplikasi pada kenyataan bahwa Alam sesuai dengan tuntutan Akal (Roh). Keduanya sebenarnya satu, atau bisa dikatakan bahwa Alam adalah Roh yang tampak dan Roh adalah Alam yang Tidak Tampak dan bahwa Materi adalah kecerdasan yang tidur. Dari situ kemudian dapat dipahami bahwa Alam bukanlah sesuatu yang sersifat mekanis yang berjalan secara otomatis begitu saja melainkan sebuah proses yang dinamis dan terpadu mengarah pada suatu tujuan tertentu atau biasa disebut sistem teleologis. Sistem ini bisa digambarkan dengan penjelasan bahwa Alam merupakan sebuah sistem dinamis atau organisme yang hidup yang bergerak dan menuju finalitas tertentu. Kemudian dia akan kembali kepada dirinya sendiri dalam Roh Manusia dan melalui Roh manusia itu. Filsafat Identitas bermula dari penolakan atas teori „refleksi‟ Fichte, Alam mengenal cerminannya. Melalui Refleksi ala Schelling



373



(yang berdasarkan pendasaran filsafati dan bukannya perasaan), kini Alam telah mengenali dirinya kembali melalui Refleksi itu. Inilah yang disebut dengan identitas dan itulah „identitas absolut‟. Kemudian lengkaplah sudah sistem ilmu pengetahuan. Kemudian Schelling beranjak pada eksplanasi mengenai Aku-Absolut. Aku-Absolut, baginya, adalah sesuatu yang netral; bukan materi dan juga bukan spirit, bukan subjektif juga bukan objektif. Dalam filsafat transcendental, Schelling menjelaskan tentang bagaimana Aku atau sang Ideal merealisasikan dirinya sebagai kehendak. Aku atau Ideal menyadari akan dirinya sebagai kehendak karena suatu keharusan (sollen) yang mendahului kehendak. Oleh karena kehendak itu diarahkan pada objek yang ada di luar, maka hasil kehendak tersebutlah yang menimbulkan kemunculan dunia luar. Jika ada sesuatu yang berubah di dunia luar tersebut, karena kesatuan, maka ada perubahan juga yang terjadi dalam sang Aku. Hukum Alam dan Hukum Moral adalah identik di dalam tertib kosmik. Selanjutnya, pernyataan inilah yang mendasari pemikiran Schelling dalam negara, hukum dan sejarah. Baginya, sejarah merupakan pernyataan berkesinambungan dari Yang Absolut yang selalu memanifestasikan diri-Nya.



374



Dalam pengembangan filsafat transendental ini, selanjutnya ia merambah ke dalam ranah filsafat seni yang dianggap sebagai wahyu (art as a revelation). Seni merupakan sebuah hasil pengungkapan dari upaya yang dilakukan berdasarkan identitas antara yang nyata dan yang ideal dalam sebuah wujud kongkrit yang bertempat dalam intuisi yang estetis. Pengungkapan tersebut berangkat dari kesadaran diri sebagaimana yang telah diuraikan dalam penjelasan mengenai filsafat transendental di atas. Bedanya, jika di dalam filsafat transendental Sang Absolut dianggap sebagai “mengalami dunia”, maka di dalam filsafat seni Ia dianggap sebagai “menciptakan dunia”. Seni merupakan sintesa antara Alam dan kesadaran; sebuah kesadaran dalam diri seniman yang menyatakan diri sebagai intelegensi yang mencipta dunia. Karena itu, Schelling menolak sebagian kalangan yang menyatakan bahwa metodologi Ilmu Pengetahuan dan Matematika merupakan satu-satunya cara yang dapat digunakan untuk mencapai pengetahuan yang sebenarnya. Schelling menyatakan bahwa Sang Absolut dan Alam merupakan kesatuan yang tidak lain adalah sumber dari pengetahuan yang benar. Dengan kata lain, sumber ilmu pengetahuan adalah seni dan bukan penelitian ilmiah. Pemikiran Schelling mengenai filsafat alam, pada gilirannya mengarah pada filsafat



375



agama. Dia menulis sebuah buku berjudul Philosophie und Religion pada tahun 1804. Dalam buku tersebut ia menjelaskan bahwa agar ada hal yang obyektif, Sang Absolut harus memberi kuasa pada yang nyata agar yang nyata itu dapat memanifestasikan dirinya dalam bentuk-bentuk yang lebih khusus atau agar yang nyata itu menjadi Absolut dengan caranya sendiri. Karena itulah manusia memiliki kehendak bebas yang tidak lain adalah sifat dasarnya. Dengan kehendak bebas itu dia bisa menjadi dan naik Absolut dan juga sebaliknya; menjadi dan turun daripada yang Absolut. Yang kedua itulah penyebab kejahatan (problem of evil). Jatuhnya manusia pada yang relatif tersebut merupakan pilihan manusia dan kekhasannya; lebih tepatnya saat ia lebih menyukai yang relatif daripada yang Absolut. 3. G.W.F Hegel (1798-1857 M) Hegel lahir di Stuttgart, Jerman pada tanggal 17 Agustus 1770. Ayahnya adalah seorang pegawai rendah bernama George Ludwig Hegel dan ibunya yang tidak terkenal itu bernama Maria Magdalena. Pada usia 7 tahun ia memasuki sekolah latin, kemudian gymnasium. Hegel muda ini tergolong anak telmi alias telat mikir! Pada usia 18 tahun ia memasuki Universitas Tubingen. Setelah menyelesaikan kuliah, ia menjadi seorang tutor, selain mengajar di Yena. Pada usia 41 tahun ia menikah dengan Marie Von Tucher. Karirnya



376



selain menjadi direktur sekolah menengah, juga pernah menjadi redaktur surat kabar. Ia diangkat menjadi guru besar di Heidelberg dan kemudian pindah ke Berlin hingga ia menjadi Rektor Universitas Berlin (1830). Hegel memang bukan seorang politikus namun dialektikanya mampu menjadi inspirasi para politikus dalam melakukan kajian politik dan sosial. Sehingga terkadang menjadi pisau analisis yang cukup akurat dalam memandang realitas. Dia mengakui dirinya cenderung befikir bebas selayaknya filsuf dalam memaknai kehidupan dan pemikiran/rasio. Namun dia memandang justru kebebasan merupakan wujud pengakuan dan penerimaan sadar manusia atas suatu sistem nilai dalam hidup,seperti nilai yang terkandung dalam ajaran agama (Kristen). Pemikiran Hegel yang senantiasa berdialektika terhadap realitas dan memandang adanya ‟realitas mutlak‟ atau ruh mutlak atau idealisme mutlak dalam kehidupan sangat mempengaruhi dalam memandang sejarah secara global. Ini terbukti saat dialektikanya mampu memasukkan pertentangan didalam sejarah sehingga dapat mengalahkan dalil-dalil yang bersifat statis. Hingga muncul pembuktian–pembuktian ilmiah yang dihasilkan, dari sanalah filsafat sejarah layak ditempatkan, sebagai bagian yang utuh dari dunia kefilsafatan. Dia juga



377



memandang bahwa sejarah merupakan suatu kondisi perubahan atas realitas yang terjadi, dia pula yang menyatakan sejarah menjadi sebuah hasil dari dialektika, menuju suatu kondisi yang sepenuhnya rasional. Menurutnya dialektika merupakan proses restorasi yang perkembangannya berasal dari kesadaran diri yang akhirnya akan mencapai kesatuan dan kebebasan yang berasal dari pengetahuan diri yang sempurna,dia pula merupakan suatu aktvitas peningkatan kesadaran diri atas pikiran yang menempatkan objek-objek yang nampak independen kearah rasional. Dialektika Hegel menjadikan akhir sesuatu menjadi awal kembali. Seperti sebuah siklus, 3 prinsip utamanya; thesis-antithesis (terjadi 2 tahap perubahan yakni kualitatif dan kuantitatif)-sinthesis. Thesis merupakan perwujudan atas pandangan tertentu, antithesis menempatkan dirinya sebagai opisisi, serta sinthesis merupakan hasil rekonsiliasi atas pertentangan sebelumnya yang kemudian akan menjadi sebuah thesis baru. Dan begitu seterusnya, sehingga ketiganya merupakan pertentangan yang kelak menjadi kesatuan utuh dalam realitas. Akan tetapi, perlu diterangkan disini pula jika ketiga terma tersebut tidak pernah digunakan oleh Hegel dalam karya-karyanya melainkan oleh para pembacanya, Moritz Chalybäus.



378



Hegelian dialectic, usually presented in a threefold manner, was stated by Heinrich Moritz Chalybäus as comprising three dialectical stages of development: a thesis, giving rise to its reaction, an antithesis, which contradicts or negates the thesis, and the tension between the two being resolved by means of a synthesis. Although this model is often named after Hegel, he himself never used that specific formulation….. Hegel did use a three-valued logical model that is very similar to the antithesis model, but Hegel's most usual terms were: Abstract-NegativeConcrete.11 Sebagai sebuah analogi sederhana ada ‟telur‟ sebagai thesis, yang kemudian muncul ‟ayam‟ sebagai sebuah sinthesis, yang antithesisnya ‟bukan-telur‟. Dalam dilektika ini, bukan berarti ‟ayam‟ telah menghancurkan ‟telur‟ namun, dalam hal ini sebenarnya ‟telur‟ telah melampaui dirinya sehingga menjadi ‟ayam‟, dengan sebuah proses. Yang kemudian itu akan kembali menjadi telur, dan terus seperti itu. Sehingga dialektika merupakan proses pergerakan yang dinamis menuju perubahan. Pemikirannya tentang Roh Mutlak atau absolut dapat dilalui dengan pendekatan filsafat agama dan seni, sehingga dia senantiasa mengkaji dan menguasai ketiga komponen yang juga mempengaruhi pemikiran Hegel selama ini. Pengkajiannya yang 11



Michael Inwood, A Hegel Doctionary (Oxford: Blackwell, 1999), 81.



379



begitu ketat, yang kemudian memutuskan bahwa filsafat-lah yang memiliki tingkat pemahaman yang lebih yang mampu menuju kepemahaman mengenai hakekat Roh Mutlak, dikarenakan sifatnya yang konseptual dan rasional. Di samping pemikirannya yang menjunjung kebebasan sebagai unsur pada keberadaan Roh Mutlak. Dia meyakini adanya essensi Roh Mutlak adalah ketidakterikatan atau kebebasan. Komponen yang kemudian melahirkan konsepsi sosial-politik dalam negara. Roh Mutlak merupakan sesuatu yang bersifat ‟Idea‟ yang melekat pada dirinya sebagai sesuatu yang riil. Sehingga menurutnya kondisi realitas merupakan riil ada,dan sesuatu yang riil merupakan realitas tersebut. Bukan berarti sesuatu yang tidak riil itu bukan realitas, namun disanalah ruang telaah yang mendalam perlu mendapat tempat. Masih menurutnya, yang menganggap bahwa negara sebagai sebuah institusi kemasyarakatan,merupakan sebuah bentuk kemajuan pikiran/idea kearah kesatuan bentuk dengan nalar. Cukup banyak para pemikir atau filsuf yang menganggap Hegel merupakan filsuf abstraksi, padahal secara kasat mata sesungguhnya dia sedang menampilkan suatu bentuk konkretisasi dalam mengolah pikirannya sendiri. Bahkan dirinya sempat meng-



380



kritik gaya abstraksi dari rasionalisme abad18. Gaya bahasa yang terlalu luas dan mendalam kadang malah mempersulit dalam mencari sebuah hakekat pikiran itu sendiri. Sehingga konkretisasi pikiran Hegel nampak dalam beberapa artikel dan buku karyanya yang mencoba menampilkan aktualisasi pikirannya yang mampu menjawab realitas. Tema fisafat Hegel adalah Ide Mutlak. Oleh karena itu, semua pemikirannya tidak terlepas dari ide mutlak, baik berkenaan dari sistemnya, proses dialektiknya, maupun titik awal dan titik akhir kefilsafatannya. Oleh karena itu pulalah filsafatnya disebut filsafat idealis, suatu filsafat yang menetapkan wujud yang pertama adalah ide (jiwa). Hegel sangat mementingkan rasio, tentu saja karena ia seorang idealis. Yang dimaksud olehnya bukan saja rasio pada manusia perseorangan, tetapi rasio pada subjek absolut karena Hegel juga menerima prinsip idealistik bahwa realitas seluruhnya harus disetarafkan dengan suatu subjek. Dalil Hegel yang kemudian terkenal berbunyi: “Semua yang real bersifat rasional dan semua yang rasional bersifat real.” Maksudnya, luasnya rasio sama dengan luasnya realitas. Realitas seluruhnya adalah proses pemikiran (idea, menurut istilah Hegel) yang memikirkan dirinya sendiri. Atau dengan perkataan lain, realitas seluruhnya adalah Roh yang lambat laun menjadi sadar akan dirinya.



381



Dengan mementingkan rasio, Hegel sengaja beraksi terhadap kecenderungan intelektual ketika itu yang mencurigai rasio sambil mengutamakan perasaan. Pusat fisafat Hegel ialah konsep Geist (roh,spirit), suatu istilah yang diilhami oleh agamanya. Istilah ini agak sulit dipahami. Roh dalam pandangan Hegel adalah sesuatu yang real, kongkret, kekuatan yang objektif, menjelma dalam berbagai bentuk sebagai world of spirit (dunia roh), yang menempatkan ke dalam objek-objek khusus. Di dalam kesadaran diri, roh itu merupakan esensi manusia dan juga esensi sejarah manusia. Demi alam kembalilah idea atau roh kepada diri sendiri. Dalam fase ini, mula-mula roh itu merupakan roh subjektif, kemudian roh objektif, dan akhirnya roh mutlak. Sebagai roh subjektif, roh itu mengenal dirinya dan merupakan tiga tingkatan: antropologi, fenomologi, dan psikologi. Dalam antropologi, kenallah roh itu akan dirinya dalam penjelmaan pada alam. Dalam fenomenologi, kenallah ia akan dirinya dalam perbedaannya dengan alam. Adapun pada psikologi, roh mengenal dirinya dalam kemerdekaan terhadap alam, mula-mula teoritis, kemudian praktis dan akhirnya merdekalah roh itu. Maka meningkatlah kepada roh objektif. Roh objektif ini roh mutlak yang menjelma pada bentuk kemasyarakatan manusia, hak



382



dan hukum kesusilaan dan kebajikan. Dalam hak dan hukum terdapat penjelmaan roh merdeka itu pada hukum-hukum umum. Di samping itu adalah kesusilaan yang merupakan kebatinan. Pada sintesis keduanya itu terlahirlah kebajikan. Sampailah sekarang kepada roh mutlak. Roh mutlak itu ialah idea yang mengenal dirinya dengan sempurna itu merupakan sintesis dari roh subjektif dan objektif. Tak ada lagi, pertentangan antara subjek dan objek antara berpikir dan ada. Oleh karena roh mutlak ini sebenarnya gerak juga, maka ia menunjukkan perkembangan juga: seni (tesis), agama (antitesis) dan kemudian filsafat (sintesis). Seni itu memperlihatkan idea dalam pandangan indera terhadap dunia, objeknya masih di luar subjek. Adapun agama tidak lagi mempunyai subjek di luar objek, melainkan di dalamnya. Tetapi segala pengertian dan gambaran agama itu dianggap ada. Filsafat akhirnya merupakan sintesis dari seni dan agama,merupakan paduan yang lebih tinggi. Di sinilah idea mengenal dirinya dengan sempurna. Dalam sejarah filsafat ternyata benar gerak idea itu, yaitu tesis, antitesis, dan akhirnya sintesis. Misalnya: Parmenides (tesis), Heraklitos (antitesis), dan Plato (sintesis). Untuk menjelaskan filsafatnya, Hegel menggunakan dialektika sebagai metode. Yang dimaksud oleh Hegel dengan dialektika



383



adalah mendamaikan, mengompromikan halhal yang berlawanan. Proses dialektika selalu terdiri atas tiga fase. Fase pertama (tesis) dihadapi antitesis (fase kedua), dan akhirnya timbul fase ketiga (sintesis). Dalam sintesis itu, tesis dan antitesis menghilang. Dapat juga tidak menghilang, ia masih ada, tetapi sudah diangkat pada tingkat yang lebih tinggi. Proses ini berlangsung terus. Sintesis segera menjadi tesis baru, dihadapi oleh antitesis baru, dan menghasilkan sintesis baru lagi, dan seterusnya. Tesis adalah pernyataan atau teori yang didukung oleh argumen yang dikemukakan, lalu antitesis adalah pengungkapan gagasan yang bertentangan. Sedangkan sintetis adalah paduan (campuran) berbagai pengertian atau hal sehingga merupakan kesatuan yang selaras. Berikut ini contoh tesis, antitesis, dan sintesis. 1) Yang “ada” (being) merupakan tesis kemudian berkontraksi dengan “tak ada” (not being) sebagai antitesis, kemudian menghasilkan menjadi (becoming) sebagai sintesis. 2) Dalam keluarga,suami-istri adalah dua makhluk berlainan yang dapat berupa tesis dan antitesis. Anak dapat merupakan sintesis yang mendamaikan tesis dan antitesis. 3) Mengenai bentuk Negara. Tesis: Negara diktator. Di Negara ini hidup kemasyaraka-



384



tan diatur dengan baik, tetapi para warganya tidak mempunyai kebebasan apapun juga. Antitesis: Negara anarki. Dalam Negara anarki para warganya mempunyai kebebasan tanpa batas, tetapi hidup ke-masyarakatan menjadi kacau. Sintesis: Negara konstitusional. Sintesis ini mendamaikan antara pemerintahan diktator dengan anarki menjadi demokrasi.



385



BAB XI FENOMENOLOGI A. Fenomenologi Merupakan studi tentang Phenomenon. Kata ini berasal dari bahasa Yunani Phainein berarti menunjukkan. Dari kata ini timbul kata Pheinomenon berarti yang muncul dalam kesadaran manusia. Dalam fenomenologi, ditetapkan bahwa setiap gambaran pikir dalam pikiran sadar manusia, menunjukkan pada suatu hal keadaan yang disebut intentional (berdasarkan niat atau keinginan). Secara harfiah, fenomenologi atau fenomenalisme adalah aliran atau faham yang menganggap bahwa fenomenalisme adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Fenomenalisme juga adalah suatu metode pemikiran. Fenomenologi merupakan sebuah aliran. Yang berpendapat bahwa, hasrat yang kuat untuk mengerti yang sebenarnya dapat dicapai melalui pengamatan terhadap fenomena atau pertemuan kita dengan realita. Karenanya, sesuatu yang terdapat dalam diri kita akan merangsang alat inderawi yang kemudian diterima oleh akal dalam bentuk pengalaman dan disusun secara sistematis dengan jalan penalaran. Penalaran inilah yang dapat membuat manusia mampu berpikir secara kritis. Fenomenologi merupakan kajian tentang bagaimana manusia sebagai subyek memaknai obyek-obyek di sekitarnya. Ketika berbicara tentang makna dan pemaknaan yang dilakukan, maka hermeneutik terlibat di dalamnya. Pada intinya, bahwa aliran fenomenologi mempunyai pandangan



386



bahwa pengetahuan yang kita ketahui sekarang ini merupakan pengetahuan yang kita ketahui sebelumnya melalui hal-hal yang pernah kita lihat, rasa, dengar oleh alat indera kita. Fenomenologi merupakan suatu pengetahuan tentang kesadaran murni yang dialami manusia. Phenomonology take primary task to construct the description of the structures of experience as they present themselves to consciousness. This description wasmeant to be carried out on the basis of what the “things themselves” demanded, without assuming or adopting the theoretical frameworks, assumptions, or vocabulariesdeveloped in the study of other domains (such as nature).1 Fenomenologi dikenalkan oleh Edmund Husserl. Edmund Gustav Albrecht Husserl lahir di Prostějov (Prossnitz), Moravia, Ceko, 8 April 1859 meninggal di Freiburg, Jerman, 26 April 1938. Husserl dilahirkan dalam sebuah keluarga Yahudi di Prostějov (Proßnitz) Moravia, Ceko (pada saat itu merupakan bagian dari Kekaisaran Austria). Husserl adalah murid Franz Brentano dan Carl Stumpf; karya filsafatnya memengaruhi, antara lain, Edith Stein (St. Teresa Benedicta dari Salib), Eugen Fink, Max Scheler, Martin Heidegger, Jean-Paul Sartre, Emmanuel Lévinas, Rudolf Carnap, Hermann Weyl, Maurice Merleau-Ponty, dan Roman Ingarden. Teori fenomenologi yang Husserl gunakan biasa disebut fenomenologi transendental, yaitu 1



Mark A. Wrathall dan Hubert L. Dreyfus, “A Brief Introduction to Phenomenologyand Existentialism”, dalam Mark A. Wrathall dan Hubert L. Dreyfus (ed.), A Companion to Phenomenology and Existentialism (Oxford: Blackwell, 2006), 2.



387



yang menggunakan prinsip dasar bahwa subjek harus melepaskan pengetahuan subjek (menurut Husserl menaruh tanda kurung kepada pengetahuan yang dimiliki subjek) untuk menaruh simpati kepada objek untuk mengungkapkan dirinya sendiri. Langkah ini disebut ephoce, lewat proses ini objek pengetahuan dilepaskan dari unsur-unsur sementaranya yang tidak hakiki. Sehingga tinggal eidos (hakikat objek) yang menampakkan diri atau mengkontitusikan diri dalam kesadaran.2 Fenomenologi yang dipahami di sini merupakan sebuah pendekatan filosofis yang mendasarkan diri pada penyelidikan asumsi-asumsi untuk sampai kepada esensi dari suatu fenomena yang tampak, sebagai manifestasinya dari sudut pandang orang pertama (ego). Penyelidikan tersebut bertujuan untuk mengungkapkan inti yang paling dasar dari suatu fenomena (idea atau pengalaman), agar fenomena tampak benar-benar dalam realitasnya yang riil tanpa prasangka objetif maupun subjektif (legitimasi suatu komunitas). Untuk memahami filsafat Husserl ada beberapa kata kunci yang perlu diketahui. Diantaranya: 1. Fenomena adalah realitas esensi atau dalam fenomena terkandung pula nomena (sesuatu yang berada di balik fenomena) 2. Pengamatan adalah aktivitas spiritual atau rohani.



2



Rahmad K. Dwi Susilo, Integrasi Ilmu Sosial: Upaya Integrasi Ilmu Sosial Tiga Peradaban (Yogyakarta; Arruz Media, 2005), 124; David Kaplan dan Albert A. Manners, Teori Budaya, Terj. Landung Simatupang (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2002), 256.



388



3. Kesadaran adalah sesuatu yang intensional (terbuka da terarah pada subjek 4. Substansi adalah kongkret yang menggambarkan isi dan stuktur kenyataan dan sekaligus bisa terjangkau. Usaha untuk mencapai segala sesuatu itu harus melalui reduksi atau penyaringan yang terdiri dari : 1. Reduksi fenomenologi, yaitu harus menyaring pengalaman-pengalaman dengan maksud mendapat fenomena dalam wujud semurni-murninya. Dalam artian bahwa, kita harus melepaskan benda-benda itu dari pandangan agama, adat istiadat, ilmu pengetahuan dan ideologi. 2. Reduksi eidetis, yaitu dengan menyaring atau penempatan dalam tanda kurung sebagai hal yang bukan eidos atau intisari atau hakikat gejala atau fenomena. 3. Reduksi transcendental, yaitu dalam penerapannya berdasarkan subjeknya sendiri perbuatannya dan kesadaran yang murni. Namun, menurut para pengikut fenomenologi suatu fenomena tidak selalu harus dapat diamati dengan indera.Sebab, fenomena dapat juga dilihat atau ditilik secara ruhani tanpa melewati indera, fenomena tidak perlu suatu peristiwa. Tujuan dari feneomenologi adalah tercapainya kesadaran murni tentang suatu hal kepada subjek yang mengamati dan mendekatinya atau



389



Husserl menyebutnya (being in it self).3 Dengan kata lain yang dicari peneliti adalah “kesengajaan” yang dimiliki oleh objek yang merupakan inti dari pencarian fenomenologi. Maka semakin subjektif objek dalam mengungkapkan tentang dirinya (dalam kajian fenomenologi) akan semakin objektif data yang didapatkan (tetapi hanya pengalamanpengalaman yang memiliki konsistensi yang dapat dijadikan acuan). Beragam dimensi fenomenologi dapat dipaparkan secara deduksi. Tetapi ada beberapa prinsip penting yang menjadi karakteristik dari pendekatan fenomenologi ini, sebagaimana yang terdapat dalam buku Muhammad Al-Fayyadl yang berjudul Teologi Negative Ibnu Arabi, sebagai berikut4: Pertama, fenomenologi merupakan sebuah refleksi transendental atas suatu fenomena, yaitu refleksi filosofis yang mendasarkan diri kepada asumsi-asumsi konseptual tentang suatu fenomena, dan untuk melepaskannya serta masuk ke dalam inti fenomena itu sendiri. Gerak transendental ini akan terlihat ketika peneliti menganalisis logika transendental yang ada pada di balik fenomenafenomena yang ada dalam gerak sejarah integrasi agama, filsafat dan seni sebelumnya. Kedua, fenomenologi menekankan intensionalitas dalam pembahasan kajian subjek terhadap objek yang diteliti. Intensionalitas secara esensial 3



Muhammad Al-Fayyadl, Teologi Negative Ibnu Arabi; Kritik Metafisika Ketuhanan (Yogyakarta; LKiS, 2012), 14-15. 4 Peter Connolly, Aneka Pendekatan Studi Agama (Yogyakarta; LKiS, 2002), 119-130.



390



adalah keterarahan subjek kepada fenomena, karena fenomena tersebut menuntut penghayatan yang sungguh-sungguh dari subjek untuk dapat dikenali secara menyeluruh eksistensi, realitas dan naturenya. Karena itu menuntut keterlibatan subjek dalam fenomena yang dikajinya. Dengan demikian ia dapat mengatasi pemisahan subjek-objek dalam tindak mengetahui. Intensionalitas membentuk sikap subjektif “ego” terhadap fenomena yang sedang dihadapinya. Sehingga dengan intensionalitas tersebut akan memunculkan rasa atau keinginan ego (subjek) untuk menyelami fenomena lebih dalam lagi, dari keinginan tersebut subjek (ego) dapat mengatasi hambatan-hambatan yang tampak dipermukaan untuk sampai kepada pengalaman yang paling murni dari relasi ego (subjek) dengan objek yang dikaji. Ketiga, fenomenologi menekankan kejernihan sebagai keutamaan filosofis, kejernihan ini sangat penting, karena fenomena tidak mungkin menampakkan dirinya “apa adanya” selama diselubungi asumsi-asumsi yang telah ada sebelumnya. Dengan begitu, fenomenologi menginginkan penampakan fenomena sebagai fenomena itu sendiri. Penampakan tersebut adalah saat yang akan mendekatkan subjek kepada kebenaran. Kajian fenomenologi ini bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang murni sebagaimana disebutkan di atas, yaitu suatu pemahaman yang didukung oleh fakta-fakta yang menyebutkan bahwa begitu banyak asumsi-asumsi yang hadir sebelum memahami suatu hal yang ingin dikaji, bahkan



391



asumsi-asumsi tersebut muncul bukan dari pemahaman yang mendalam ataupun sungguhsungguh tetapi hanya merupakan pengulangan atas pemahaman yang telah ada sebelumnya. Dengan kata lain, artian asumsi yang telah ada merupakan asumsi yang muncul dari yang dikatakan oleh orang lain dan bukan yang dikatakan oleh sesuatu itu sendiri. Dan dari hal semacam inilah yang ingin dicari kemurniannya oleh peneliti, dengan memahami cara objek menafsirkan pengalaman objek untuk memahami pemahamannya sendiri. Kajian fenomenologi memiliki tujuan memberi panduan yang runtut untuk memahami sesuatu secara radikal untuk sampai kepada esensi dari fenomena yang muncul. Maka untuk itu dibutuhkan mengajukan pertanyaan tentang perihal yang ingin disadarinya. Untuk menentukan kualitas pertanyaan yang diajukan untuk menyingkap hakikat sesuatu, maka dari segi ini ada dua jenis pertanyaan menurut Martin Heidegger yang menandai kesadaran seseorang atas sesuatu, yaitu pertanyaan ontis, dan pertanyaan ontologis.5 Pertanyaan ontis adalah pertanyaan yang didasari oleh keinginan untuk mengetahui sesuatu apa adanya. Dalam mendekati suatu objek, subjek hanya ingin sekedar mengetahui kondisi faktual sesuatu tanpa ada keinginan lebih lanjut untuk merefleksikannya secara mendalam, dan tidak membutuhkan jawaban yang kompleks untuk menjawab5



Heidegger, Dilektika Kesadaran Perspektif Hegel , Terj. Rudy Harisyah Alam (Yogyakarta; Ikon Teralitera, 2002). 23.



392



nya. Pertanyaan semacam ini biasanya ada pada kegiatan seseorang pada kehidupan sehari-harinya.6 Sedangkan pertanyaan ontologis adalah bukan pertanyaan yang sifatnya sederhana, tetapi pertanyaan yang diajukan atas dasar keinginan untuk mengetahui hakikat sesuatu dengan jernih dan radikal. Tetapi pertanyaan semacam ini bukan hanya sekedar mengajukan pertanyaan tetapi lebih kepada memperkaya pertanyaan, Sehingga untuk memahami hakikat integrasi agama, filsafat dan seni dalam suatu bentuk tari tradisional penting diajukan pertanyaan-pertanyaan yang mendasar dan radikal (hal ini yang mendasari peneliti memilih kajian fenomenologis).7 Untuk tipe pendekatan fenomenologis adalah “hermeneutic phenomenology” yang dikenalkan oleh Martin Heidegger, yang memiliki kecenderungan memahami objek dalam menafsirkan pengalamanpengalamannya yang membentuk sebuah pemahaman objek terhadap sesuatu (di dalam pandangan Martin Heidegger disebut Das Sein). Hal ini dampak dari pandangan Heidegger yang menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang selalu berproses (becoming), bukanlah sesuatu yang telah pasti wujudnya (Das Sein ).8 Menurut Heidegger, manusia itu terbuka bagi dunianya dan sesamanya. Kemampuan seseorang untuk bereksistensi dengan hal-hal yang ada di luar dirinya karena memiliki kemampuan seperti 6



Al-Fayyadl, Teologi Negative, 63 Ibid, 64. 8 Kaelan, Filsafat Bahasa ( Yogyakarta; Paradigma, 2009), 186. 7



393



kepekaan, pengertian, pemahaman, perkataan atau pembicaraan. Bagi heidegger untuk mencapai manusia utuh maka manusia harus merealisasikan segala potensinya meski dalam kenyataannya seseorang itu tidak mampu merealisasikannya. Ia tetap sekuat tenaga tidak pantang menyerah dan selalu bertanggungjawab atas potensi yang belum teraktualisasikan. Dalam persfektif yang lain mengenai sesosok Heidegger menjadi salah satu filsafat yang fenomenal yaitu bahwa ia mengemukakan tentang konsep suasana hati (mood). Seperti yang kita ketahui bahwa dengan suasana hatilah kita diatur oleh dunia kita, bukan dalam pendirian pengetahuan observasional yang berjarak. Biasanya, dengan posisi kita yang sedang bersahabat dengan suasana hati, maka kita akan bisa mengenali diri kita yang sesungguhnya. Karena suasana hati bisa menjadi tolak ukur untuk mengetahui hakikat diri dengan banyaknya pertanyaan yang muncul seperti pencarian jati diri siapa kita sesungguhnya, apa kemampuan kita, dan apa kekurangan atau kelebihan yang kita miliki, bagaimanakah kehidupan kita yang selanjutnya dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Konsep inilah yang menguatkan pendapat banyak orang mengenai sesosok orang yang mampu melihat noumena dan phenoumena. Heidegger memiliki pandangan tentang ontologis-teologis-logis (onto-teo-logis). Dalam pandangan Heidegger ontologis merupakan titik tekan yang utama, yaitu tentang permasalahan “ada”. Ada



394



bagi Heidegger bukanlah sesuatu yang dapat didefinisikan dengan mudah, karena ia adalah sesuatu yang selalu berproses (Das Sein ), namun “ada” sendiri berada melampaui pemisahan subyekobyek, aku-dunia, rasio teoritis-rasio praktis, pemahaman konsep fisik-konsep etik, maka “ada” juga tidak terhampiri lewat berpikir dengan dikotomi subyek-obyek (karena “ada” melampaui itu).9 Pandangan ontologis Heidegger tersebut sangat berkaitan dengan pandangan antropologisnya, yang menyatakan manusia adalah tempat “ada” berada. Pandangan ontologisnya tersebut berdampak pada pemikiran logisnya yang menyatakan bahwa “ada” hanya bisa ditemukan dengan logika fenomenologi. Bukan manusia yang memberikan makna “ada”, tetapi “ada” menunjukkan maknanya sendiri kepada manusia, dan manusia hanyalah ruang/tempat “ada” mengambil tempat untuk berada. Dengan kata lain manusia adalah partisipan bukan penonton “ada”, oleh karena itu, hakikat ”ada” sangat berkaitan dengan erat dengan hakikat manusia. Hal ini karena “ada” tidak dapat dengan sendirinya menampakkan dirinya (karena ia sesuatu yang belum terkatakan), tetapi ia membutuhkan manusia untuk memberitakannnya.10 Dari pemikiran Heidegger di atas, dapat ditemukan sebuah konsekuensi bahwa pemahaman 9



Poespoprodjo, Hermeneutika (Bandung; Pustaka Setia, 2004), 73. Ricard E. Palmer, Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, Terj. Musnur Hery & Damanhuri Muhammed (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2003), 146.



10



395



adalah unsur terpenting dalam “ada” memanifestasikan dirinya. Hal ini karena pemahaman adalah modus berada di dunia bagi manusia dalam melakukan penafsiran tentang “ada”. Dan pemahaman sebagai modus berada di dunia dimungkinkan terjadinya pemahaman di tingkat pengalaman (empirik). Oleh karena itu pemahaman merupakan dasar bagi penafsiran, dan senantiasa hadir dalam kegiatan penafsiran.11 Dengan kata lain pemahaman bukan sekedar peristiwa kejiwaan, tetapi merupakan proses ontologis, medium penyingkapan ontologis, yakni sebagai penguakan segalanya yang riil bagi manusia. Dengan demikian, dasar pemahaman terletak dalam kenyataan yang lebih dahulu dari suatu ungkapan tematis.12 Scheller berpendapat bahwa metode fenomenologi sama dengan cara tertentu untuk memandang realitas. Dalam hubungan ini kita mengadakan hubungan langsung dengan realitas berdasarkan intuisi (pengalaman fenomenologi). Menurutnya ada 3 fakta yang memegang peranan penting dalam pengalaman filsafat. Diantaranya: 1. Fakta natural, yaitu berdasarkan pengalaman inderawi yang menyangkut benda-benda yang nampak dalam pengalaman biasa. 2. Fakta ilmiah, yaitu yang mulai melepas diri dari penerapan inderawi yang langsung dan semakin abstrak.



11 12



396



Poespoprodjo, Hermeneutika, 76. Palmer, Hermeneutika, 148.



3. Fakta fenomenologis, merupakan isi intuitif yang merupakan hakikat dari pengalaman langsung. Sebagaimana halnya Husserl, MarleauPontyyakin seorang filosof benar-benar harus memulai kegiatannya dengan meneliti pengalaman. Pengalamannya sendiri tentang realitas, dengan begitu ia menjauhkan diri dari dua ekstrim yaitu: Pertama hanya meneliti atau mengulangi penelitian tentang apa yang telah dikatakan orang tentang realita, dan Kedua hanya memperhatikan segi-segi luar dari pengalaman tanpa menyebut-nyebut realitas sama sekali. Walaupun Marlean-Ponty setuju dengan Husserl bahwa kitalah yang dapat mengetahui dengan sesuatu dan kita hanya dapat mengetahui benda-benda yang dapat dicapai oleh kesadaran manusia, namun ia mengatakan lebih jauh lagi, yakni bahwa semua pengalaman perseptual membawa syarat yang essensial tentang sesuatu alam di atas kesadaran. Oleh karena itu deskripsi fenomenologi yang dilakukan Marlean-Ponty tidak hanya berurusan dengan data rasa atau essensi saja, akan tetapi menurutnya, kita melakukan perjumpaan perseptual dengan alam. Marlean-Porty menegaskan sangat perlunya persepsi untuk mencapai yang real. Fenomenologi berkembang sebagai metode untuk mendekati fenomena dalam kemurniannya. Fenomena di sini dipahami sebagai segala sesuatu yang dengan suatu cara tertentu tampil dalam kesadaran kita. Baik berupa sesuatu sebagai hasil rekaan maupun berupa sesuatu yang nyata, yang



397



berupa gagasan maupun kenyataan. Yang penting ialah pengembangan suatu metode yang tidak memalsukan fenomena, melainkan dapat mendeskripsikannya seperti penampilannya tanpa prasangka sama sekali. Seorang fenomenolog hendak menanggalkan segenap teori, praanggapan serta prasangka, agar dapat memahami fenomena sebagaimana adanya: “Zu den Sachen Selbst” (kembali kepada bendanya sendiri). Tugas utama fenomenologi menurut Husserl adalah menjalin keterkaitan manusia dengan realitas.Bagi Husserl, realitas bukan suatu yang berbeda pada dirinya lepas dari manusia yang mengamati. Realitas itu mewujudkan diri, atau menurut ungkapan Martin Heideger, yang juga seorang fenomenolog: “Sifat realitas itu membutuhkan keberadaan manusia”. Filsafat fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya dengan cara menerobos semua fenomena yang menampakkan diri menuju kepada bendanya yang sebenarnya. Usaha inilah yang dinamakan untuk mencapai “Hakikat segala sesuatu”.Untuk itu, Husserl mengajukan dua langkah yang harus ditempuh untuk mencapai esensi fenomena, yaitu metode epoche dan eidetichvision. Kata epoche berasal dari bahasa Yunani, yang berarti: “menunda keputusan” atau “mengosongkan diri dari keyakinan tertentu”. Epoche bisa juga berarti tanda kurung (bracketing) terhadap setiap keterangan yang diperoleh dari suatu fenomena yang nampak, tanpa memberikan putusan benar salahnya terlebih



398



dahulu.Fenomena yang tampil dalam kesadaran adalah benar-benar natural tanpa dicampuri oleh presupposisi pengamat. Memperbincangkan fenomenologi tidak bisa ditinggalkan pembicaraan mengenai konsep Lebenswelt (“dunia kehidupan”). Konsep ini penting artinya, sebagai usaha memperluas konteks ilmu pengetahuan atau membuka jalur metodologi baru bagi ilmu-ilmu sosial serta untuk menyelamatkan subjek pengetahuan. Edmund Husserl, dalam karyanya, The Crisis of European Science and Transcendental Phenomenology, menyatakan bahwa konsep “dunia kehidupan” (lebenswelt ) merupakan konsep yang dapat menjadi dasar bagi (mengatasi) ilmu pengetahuan yang tengah mengalami krisis akibat pola pikir positivistik dan saintistik, yang pada prinsipnya memandang semesta sebagai sesuatu yang teratur–mekanis seperti halnya kerja mekanis jam. Akibatnya adalah terjadinya „matematisasi alam‟, alam dipahami sebagai keteraturan (angka-angka). Pendekatan ini telah mendehumanisasi pengalaman manusia karena para saintis telah menerjemahkan pengalaman manusia ke formula-formula impersonal. Dunia kehidupan dalam pengertian Husserl bisa dipahami kurang lebih dunia sebagaimana manusia menghayati dalam spontanitasnya, sebagai basis tindakan komunikasi antar subjek. Dunia kehidupan ini adalah unsur-unsur sehari-hari yang membentuk kenyataan seseorang, yakni unsur dunia sehari-hari yang ia alami dan jalani, sebelum ia menteorikannya atau merefleksikannya secara filosofis.



399



Konsep dunia kehidupan ini dapat memberikan inspirasi yang sangat kaya kepada ilmu-ilmu sosial, karena ilmu-ilmu ini menafsirkan suatu dunia, yaitu dunia sosial. Dunia kehidupan sosial ini tak dapat diketahui begitu saja lewat observasi seperti dalam eksperimen ilmu-ilmu alam, melainkan terutama melalui pemahaman (verstehen ). Apa yang ingin ditemukan dalam dunia sosial adalah makna, bukan kausalitas yang niscaya. Tujuan ilmuwan sosial mendekati wilayah observasinya adalah memahami makna. Seorang ilmuwan sosial, dalam hal ini, tidak lebih tahu dari pada para pelaku dalam dunia sosial itu. Oleh karena itu, dengan cara tertentu ia harus masuk ke dalam dunia kehidupan yang unsur-unsurnya ingin ia jelaskan itu. Untuk dapat menjelaskan, ia harus memahaminya. Untuk memahaminya, ia harus dapat berpartisipasi ke dalam proses yang menghasilkan dunia kehidupan itu. Kontribusi dan tugas fenomenologi dalam hal ini adalah deskripsi atas sejarah lebenswelt (dunia kehidupan) tersebut untuk menemukan „endapan makna‟ yang merekonstruksi kenyataan sehari-hari.Maka meskipun pemahanan terhadap makna dilihat dari sudut intensionalitas (kesadaran) individu, namun „akurasi‟ kebenarannya sangat ditentukan oleh aspek intersubjektif. Dalam arti, sejauh mana „endapan makna‟ yang detemukan itu benar-benar di rekonstruksi dari dunia kehidupan sosial, dimana banyak subjek sama-sama terlibat dan menghayati.



400



Demikianlah, dalam dunia kehidupan sosial merupakan sumbangan dari fenomenologi, yang menempatkan fenomena sosial sebagai sistem simbol yang harus dipahami dalam kerangka konteks sosiokultur yang membangunnya. Ini artinya unsur subjek dilihat sebagai bagian tak terpisahkan dari proses terciptanya suatu ilmu pengetahuan sekaligus mendapatkan dukungan metodologisnya.



401



BAB XII MATERIALISME A. Pengertian materialisme Materialisme adalah adalah paham dalam filsafat yang menyatakan bahwa hal yang dapat dikatakan benar-benar ada adalah materi. Pada dasarnya semua hal terdiri atas materi dan semua fenomena adalah hasil interaksi material. Materi adalah satu-satunya substansi. Sebagai teori, materialisme termasuk paham ontologi monistik. Akan tetapi, materialisme berbeda dengan teori ontologis yang didasarkan pada dualisme atau pluralitas. Dalam memberikan penjelasan tunggal tentang realitas, materialisme berseberangan dengan idealisme. Kata materialisme terdiri dari kata "materi" dan "isme". “materi” dapat dipahami sebagai "bahan; benda; segala sesuatu yang tampak". Materialisme adalah pandangan hidup yang mencari dasar segala sesuatu yang termasuk kehidupan manusia di dalam alam kebendaan sematamata, dengan mengesampingkan segala sesuatu yang mengatasi alam indra. Sementara itu, orangorang yang hidupnya berorientasi kepada materi disebut sebagai "materialis". Orang-orang ini adalah para pengusung paham (ajaran) materialisme atau juga orang yang mementingkan kebendaan semata (harta,uang,dsb). Materialisme adalah paham yang hanya bersandar pada materi (Mad’ah) yang tidak meyakini apa yang ada di balik alam ghaib. Tidak



402



meyakini alam ghaib berarti tidak meyakini adanya kekuatan yang menguasai alam semesta ini dan hal itu secara otomatis menafikan adanya Tuhan sebagai pencipta alam semesta, karena menurut paham ini alam beserta isinya berasal dari satu sumber yaitu materi. Pemikiran ini sama halnya dengan Atheisme dalam bentuk dan subtansinya yang tidak mengakui adanya Tuhan secara mutlak. Para penganut paham ini menolak agama sebagai hukum kehidupan manusia, mereka lebih mengedepankan akal sebagai sumber segala hukum. Pada akhirnya prinsip ini melahirkan suatu ideologi bahwa hokum hanyalah apa yang bisa diterima oleh akal, padahal kita tahu bahwa hasil pemikiran manusia bersifat relatif, dalam artian bisa salah dan juga bisa benar. Materialisme dan Atheisme memiliki ikatan yag sangat erat yang tidak bisa dipisahkan antara keduanya, yaitu tidak mengakui adanya Tuhan karena mereka mengingkari alam ghaib. “Philosophical materialism is the view that all that exists is material or is wholly dependent upon matter for its existence. This view comprises: (a) the general metaphysical thesis that there is only one fundamental kind of reality and that this is material, and (b) the more specific thesis that human beings and mode other living creatures are not dual beings composed of a material body and an immaterial soul, but are fundamentally bodily in nature.”1 1



H. B. Acton, “Materialism”, dalam dalam Jonathan Rée dan J. O. Urmson, The Concise Encyclopedia of Western Philosophy (London: Routledge, 2004), 232.



403



Ciri-ciri Faham Materialisme. Setidaknya ada 5 dasar idiologi yang dijadikan dasar keyakinan paham ini: 1) Segala yang ada (wujud) berasal dari satu sumber yaitu materi (ma’dah). 2) Tidak meyakini adanya alam ghaib. 3) Menjadikan panca indra sebagai satu-satunya alat mencapai ilmu. 4) Memposisikan ilmu sebagai pengganti agama dalam peletakan hukum. 5) Menjadikan kecondongan dan tabiat manusia sebagai akhlak. Adalah sebuah paham garis pemikiran, dimana manusia sebagai nara sumber dan juga sebagai resolusi dari tindakan yang sudah ada dengan jalan dialetis. B. Pendapat-pendapat yang Ada Pada Paham Materialisme Materialisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang pandangannya bertitik tolak pada materi (benda). Materialisme memandang bahwa benda itu primer sedangkan ide itu ditempatkan di sekundernya, sebab materi itu ada terlebih dahulu baru kemudian ada ide. Pandangan ini berdasarkan atas kenytaan menurut proses waktu dan zat. Misalnya menurut proses waktu, lama sebelum manusia yang mempunyai ide itu ada di dunia, alam raya ini sudah ada. Dan menurut zat, manusia tidak bisa berfikir atau mempunyai ide apabila tidak mempunyai otak sedangkan otak adalah



404



sebuah benda yang bisa dirasakan oleh panca indera kita. Otak atau materi ini yang lebih dulu ada lalu baru muncul ide dari padanya. Para filsuf materialisme menganggap bahwa materi berada di atas segala-galanya. Beberapa pendapat mereka yang lain adalah: 1. Tidak ada Sesuatu yang bersifat non material seperti roh, hantu, syetan, malaikat. Pelakupelaku immaterial tidak ada. 2. Tidak ada Tuhan atau dunia adikodrati (supranatural). Realitas satu-satunya adalah materi dan segala sesuatu merupakan manifestasi aktifitas materi. 3. Setiap peristiwa mempunyai sebab material dan penjelasan material tentang semua itu merupakan satu-satunya penjelasan yang paling tepat. 4. Materi dan aktifitasnya bersifat abadi. Tidak ada sebab pertama dan penggerak pertama. 5. Bentuk material dari barang-barang dapat diubah tapi materi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan. 6. Tidak ada kehidupan yang kekal, semua gejala berubah akhirnya melampaui eksistensi yang kembali lagi ke dasar material primordial, abadi dalam sutu peralihan wujud kembali yang abadi dari materi. C. Aliran-aliran dalam Materialisme 1. Aliran Materialisme Mekanik Materialisme mekanik adalah aliran filsafat yang pandangannya materialis sedangkan metodenya mekanis. Aliran ini mengajarkan



405



bahwa materi itu selalu dalam keadaan gerak dan berubah, geraknya itu adalah gerakan yang mekanis artinya, gerak yang tetap selamanya atau gerak yang berulang-ulang (endless loop) seperti mesin yang tanpa perkembangan atau peningkatan secara kualitatif. Materialisme mekanik tersistematis ketika ilmu tentang meknika mulai berkembang dengan pesat, tokoh-tokoh yang terkenal sebagai pengusung materialisme pada waktu itu ialah Demokritus (± 460-370 SM), Heraklitus (± 500 SM) kedua pemikir Yunanai ini berpendapat bahwa aktivitas psikik hanya merupakan gerakan atom-atom yang sangat lembut dan mudah bergerak. Mulai abad ke-4 sebelum masehi pandangan materialisme primitif ini mulai menurun pengaruhnya digantikan dengan pandangan idealisme yang diusung oleh Plato dan Aristoteles. Sejak itu, ± 1700 tahun lamanya dunia filsafat dikuasai oleh filsafat idealisme. Baru pada akhir jaman feodal, sekitar abad ke-17 ketika kaum borjuis sebagai klas baru dengan cara produksinya yang baru, materialisme mekanik muncul dalam bentuk yang lebih modern karena ilmu pengetahuan telah maju sedemikian pesatnya. Pada waktu itu ilmu materialisme ini menjadi senjata moril/idiologis bagi perjuangan klas borjuis melawan klas feodal yang masih berkuasa ketika itu. Perkembangan materialisme ini meluas dengan adanya revolusi industri, di negeri-negeri Eropa. Wakil-wakil



406



dari filsafat materialis pada abad ke-17 adalah Thomas Hobbes(1588-1679 M), Benedictus Spinoza (1632-1677 M) dsb. Aliran filsafat materialisme mekanik mencapai titik puncaknya ketika terjadi Revolusi Perancis pada abad ke-18 yang diwakili oleh Paul de Holbach (1723-1789 M), Lamettrie (1709-1751 M) yang disebut juga materialisme Perancis. Materialisme Perancis dengan tegas mengatakan materi adalah primer dan ide adalah sekunder, Holbach mengatakan: “materi adalah sesuatu yang selalu dengan cara-cara tertentu menyentuh panca indera kita, sedang sifat-sifat yang kita kenal dari bermacam hal-ichwal itu adalah hasil dari bermacam impresi atau berbagai macam perubahan yang terjadi di alam pikiran kita terhadap hal-ichwal itu”. Materialisme Perancis menyangkal pandangan religus tentang penciptann dunia (Demiurge), yang sebelum itu menguasai alam pikiran manusia. Bahkan secara terang-terangan Holbach mengatakan “nampaknya agama itu diadakanhanya untuk memperbudak rakyat dan supaya mereka tunduk dibawah kekuasaan raja lalim. Asal manusia merasa dirinya didalam dunia ini sangat celaka, maka ada orang yang datang mengancam mereka dengan kemarahan Tuhan, memakasa mereka diam dan mengarahkan pandangan mereka kelangit, dengan demikian mereka tidak lagi dapat melihat sebab sesungguhnya daripada kemalangannnya itu”.



407



Materialisme Perancis adalah pandangan yang menganggap segala macam gerak atau gejala-gejala yang terjadi dialam itu dikuasai oleh gerakan mekanika, yaitu pergeseran tempat dan perubahan jumlah saja. Bahkan manusia dan segala aktivitetnya pun dipandang seperti mesin yang bergerak secara mekanik, ini tampak jelas sekali dalam karya Lamettrie yang berjudul “Manusia adalah mesin”. Mereka tidak melihat adanya peranan aktif dari ide atau pikiran terhadap materi. Pandangan ini adalah ciri dan sekaligus kelemahan materialisme Perancis. 2. Aliran Materialisme Metafisik Materialisme metafisik mengajarkan bahwa materi itu selalu dalam keadaan diam, tetap atau statis selamanya seandainya materi itu berubah maka perubahan tersebut terjadi karena faktor luar atau kekuatan dari luar. Gerak materi itu disebut gerak ekstern atau gerak luar. selanjutnya materi itu dalam keadaan terpisahpisah atau tidak mempunyai hubungan antara satu dengan yang lainnya. Materialisme metafisik diwakili oleh Ludwig Feurbach, pandangan materialisme ini mengakui bahwa adanya “ide absolut” pradunia dari Hegel, adanya terlebih dahulu “kategori-kategori logis” sebelum dunia ada, adalah tidak lain sisa-sisa khayalan dari kepercayaan tentang adanya pencipta diluar dunia; bahwa dunia materiil yang dapat dirasakan oleh panca indera kita adalah satusatunya realitet. Tetapi materialisme metafisik



408



melihat segala sesuatu tidak secara keseluruhannya, tidak dari saling hubungannya, atau segala sesuatu itu berdiri sendiri. Dan segala sesuatu yang real itu tidak bergerak, diam. Pandangan ini mengidamkan seorang manusia suci atau seorang resi suci yang penuh cinta kasih. Feurbach berusaha memindahkan agama lama yang menekankan hubungan manusia dengan Tuhan menjadi sebuah agama baru yaitu hubungan cinta kelamin antara manusia dengan manusia. Seperti kata Feurbach: “Tuhan adalah bayangan manusia dalam cermin”, Feurbach menentang teologi, dalam filsafatnya atau “agama baru”-nya Feurbach mengganti kedudukan Tuhan dengan manusia, pendeknya manusia itu Tuhan. Feurbach tidak melihat peran aktif dari ide dalam perkembangan materi, yang materi bagi Feurbach adalah misalnya, manusia (baca: materi, pen) sedangkan dunia dimana manusia itu tinggal tidak ada baginya, atau menganggap sepi ativitet yang dilakukan manusia/materi tersebut. Materialisme metafisik menganggap kontradiksi sebagai hal yang irasionil bukan sebagai hal yang nyata, disinilah letak dari idealisme Feurbach. Pandangannya bertolak daripada materialisme tetapi metode penyelidi-kan yang dipakai ialah metafisis. Metode metafisis inilah yang menjadi kelemahan ter-besar bagi materialisme Feurbach.



409



3. Aliran Materialisme Dialektis Materialisme dialektis adalah aliran filsafat yang bersandar pada materi (benda) dan metodenya dialektis. Aliran ini mengajarkan bahwa materi itu mempunyai keterhubungan satu dengan lainnya, saling mempengaruhi, dan saling bergantung satu dengan lainnya. Gerak materi itu adalah gerakan yang dialektis yaitu pergerakan atau perubahan menuju bentuk yang lebih tinggi atau lebih maju seperti spiral. Tokohtokoh pencetus filsafat ini adalah Karl Marx (1818-1883 M), Friedrich Engels (1820-1895 M). Gerakan materi itu adalah gerak intern, yaitu bergerak atau berubah karena dorongan dari faktor dalamnya (motive force-nya). Yang disebut “diam” itu hanya tampaknya atau bentuknya, sebab hakikat dari gejala yang tampaknya atau bentuknya “diam” itu isinya tetap gerak, jadi “diam” itu juga suatu bentuk gerak. Metode yang dipakai adalah dialektika Hegel, Marx mengakui bahwa orang Yunani-lah yang pertama kali menemukan metode dialektika, tetapi Hegel-lah yang mensistematiskan metode tersebut. Tetapi oleh Marx dijungkir balikkan dengan bersandarkan materialisme. Marx dan temannya Engels mengambil materialisme Feurbach dan membuang metodenya yang metafisis sebagai dasar dari filsafatnya. Dan memakai dialektika sebagai metode dan membuang pandangan idealis Hegel.



410



Dialektika Hegel menentang dan menggulingkan metode metafisis yang selama beabadabad menguasai lapangan filsafat. Hegel mengatakan yang penting dalam filsafat adalah metode bukan kesimpulan-kesimpulan mengenai ini dan itu. Ia menunjukkan kelemahankelemahan metafisika: a. Kaum metafisis memandang sesuatu bukan dari keseluruhannya, tidak dari saling hubungannya, tetapi dipandangnya sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, sedangkan Hegel memandang dunia sebagai badan kesatuan, segala sesuatu didalamnya terdapat saling hubungan organic. b. Kaum metafisis melihat segala sesuatu tidak dari geraknya, melainkan sebagai yang diam, mati dan tidak berubah-ubah, sedang Hegel melihat segala sesuatu dari perkembangannya, dan perkembangannya itu disebabkan kontradiksi internal, kaum metafisik berpendapat bahwa: segala yang bertentangan adalah irasionil. Mereka tidak tahu bahwa akal (reason) itu sendiri adalah pertentangan. D. Tokoh-tokoh Aliran Materialisme 1. Ludwig Feuerbach Ludwig Feuerbach (1804-1872) adalah filosuf materialisme yang cukup berpengaruh padan abad pertengahan. Feuerbach adalah seorang yang dilahirkan ditengah keluarga yang terpelajar di jerman. Ibunya seorang Protestan yang shaleh dan ayahnya adalah seorang ahli hukum yang



411



disegani. Namun begitu Feuerbach lebih tertarik kedalam bidang keagamaan di banding persoalan yang lain. Hal ini dibuktikannya keinginan Feuerbach masuk di Universitas Haeidelberg pada tahun 1823 untuk mendalami teologi protestan.2 Pada tahun 1824 Feuerbach pergi ke berlin untuk berguru pada Hegel seorang filosuf idealism yang terkemuka. Feuerbach sangat mengangguminya sampai ia menjuluki Hegel sebagai “ayah kedua”.3 Dari belajar filsafat bersama Hegel ini, Feuerbach berubah pikiran untuk mendalami filsafat lebih serius hingga pada akhirnya pada tahun 1828 ia mendapatkan gelar dokternya dan pada tahun 1829-1832, ia menjadi dosen filsafat. pada tahun 1830 ia menulis sebuah karya yang dianggap membahayakan iman Kristen dengan judul “Gedanken Uber Tod Unterblichkeit” (beberapa pemikiran tentang kematian dan keabadian) hingga akhirnya ia sulit untuk mendapat gelar profesornya. Bahkan bukan hanya itu Feuerbach melepaskan kedudukannya sebagai seorang dosen demi keyakinannya dan menjadi seorang penentang agama yang tajam.4 Pada tahun 1841 Feuerbach menulis sebuah buku perlawanannya terhadap agama Kristen yang berjudul Das Wesen Des Christentums (hakekat agama Kristen). Dari sini Feuerbach 2



Simon Petrus L. Tjahjadi,” Tuhan Para Filsuf Dan Ilmuwan Dari Descrates Sampai Whitehead” (Yogyakarta; Kanisius, 2007), 92. 3 Harun Hadi Wijono, ibid, 117. 4 Simon Petrus L. Tjahjadi, ibid, 92.



412



terlihat sangat berbeda dari cita-citanya ingin menjadi teolog berbalik menjadi anti-teolog.5 Pada tahun 1868 Feuerbach menggabungkan diri dengan partai social-demokrat jerman setelah membaca pemikiran-pemikiran Karl Marx lewat bukunya “Das Capital” hingga pada tahun 1872 Feuerbach meninggal dunia karena serangan jantung.6 Filsafat Feuerbach sebenarnya adalah pertentangan dengan filsafat Hegel yang di idolakannya. Hegel berpendapat bahwa dalam kesadaran manusia, Allah mengungkapkan diri jadi menurut Hegel bahwa “Roh Semesta” adalah pelaku utama dalam sejarah kehidupan ini walau-pun “Roh Semesta” tersebut seolah-olah tampak dibelakang layar.7 Pernyataan Hegel tersebut yang menjadi Feuerbach berpikir ulang dan mem-bantahnya dengan kritikan yang tajam. Menurut Feuerbach Hegel hanyalah memutar balikan fakta. Hegel memberi kesan seakan-akan yang nyata adalah Allah (yang tidak kelihatan), sedangkan manusia (yang terlihat) hanyalah bayangan yang digerakan oleh Allah. Jadi menurut Feuerbach yang nyata adalah Allah ada dalam pikiran manusia bukan manusia dalam pikiran Allah. Jadi Feuerbach membantah Hegel yang menyatakan bahwa dirinya merasionalkan agama melalui filsafat, yang ada sebenarnya kepercayaan agama yang Hegel bungkus dengan 5



Harun Hadiwijono, ibid, 117-118. Simon Petrus L. Tjahyadi, ibid, 93. 7 Ibid, 94. 6



413



filsafat.8 menurut Feuerbach hal ini berarti bahwa sebenarnya rasionalitas masih dibawah ketiak agama dan tidak pernah ada pengangkatan agama ke dalam rasionalitas filsafat. Dari kritik Feuerbach terhadap filsafat Hegel tersebut maka terciptalah gagasan tentang homo homini dues (manusia adalah Allah bagi dirinya sendiri), yang artinya bahwa Allah adalah ciptaan angan-angan manusia, bukanlah yang menciptakan manusia dan alam semesta ini.9 Pandangan Feuerbach ini sendiri sebenarnya berdasarkan dari ide Hegel tentang bagimana manusia bisa menjadi dirinya sendri. Untuk itu maka manusia harus menjadi objek dirinya sendiri, jadi ia harus keluar untuk memproyeksikan dirinya sendiri agar ia mengetahui hakekat dirinya sendiri lewat proyeksi yang telah ia ciptakan, dan proyeksi tersebut adalah Tuhan dan agama.10 Contohnya seorang pelukis, ia akan mengetahui bahwa dirinya seorang pelukis setelah ia melukiskan sesuatu yang ingin dia lukiskan. Proyeksi seperti ini manusia akan dapat mengenal dirinya sendiri dan mengetahui identitasnya. Lebih lanjut Feuerbach berpendapat bahwa manusia adalah bukan hanya makhluk individual saja, namun ia juga merupakan makhluk generic. Maksudnya, manusia didalam dirinya terdapat gambaran bahwa ia juga merupakan proyeksi dari 8



Franz Magnis Suseno,” Menalar Tuhan” (Yogyakarta; Kanisius, 2006), 65. 9 Amsal Bahtiar, ibid, 122. 10 Franz Magnis Suseno, Ibid, 66.



414



manusia di seluruh dunia11. Namun dalam hal ini manusia merupakan hanya kemanusiaan secara virtual karena ia mengasingkan dirinya atas nama Tuhan yang imajiner, maka hakekat kemanusiannya yang sesungguhnya menjadi buram dan kabur. Agama atau Tuhan faktor utama dalam mengaburkan hakikat manusia yang sesungguhnya maka sudah menjadi tugas filsafat untuk mengembalikan bagian terbesar dari diri manusia yang telah diasingkan oleh agama dan Tuhan yang imjiner, serta membuktikan bahwa perbedaan hal-hal yang manusiawi dan yang kudus adalah khayalan.12 Walaupun agama dan Tuhan mengaburkan hakikat diri manusia namun agama masing memiliki nilai positif bagi Feuerbach, yaitu agama dan Tuhan telah menjadi proyeksi hakikat manusia. Dari agama manusia menjadi mengetahui bahwa dirinya kuasa, dirinya kreatif, baik hati, memiliki belas kasihan dan lain sebagainya. Namun celakanya menurut Feuerbach manusia lupa bahwa proyeksinya yang ia agung-agungkan tersebut sebenarnya adalah dirinya sendiri bukanlah entitas yang lain.13 Maka untuk menjadi manusia sempurna yang tahu akan hakikatnya, Feuerbach berpendapat manusia harus mengakhiri keterasingannya dari agama dan menjadi diri sendiri serta melepaskan keterikatannya dengan agama dan 11



Harun Wijono, Ibid.,118. Simon Petrus L. Tjahjadi, Ibid, 94-95. 13 Amsal Bahtiar, Ibid, 122. 12



415



Tuhan yang merupakan proyeksi dirinya. Manusia harus” menarik agama dan Tuhan kedalam dirinya sendiri”, yang artinya manusia harus menolak kepercayaannya kepada Tuhan yang maha tinggi, mahasuci, mahakuat, mahaadil, maha bijaksana, mahatahu agar ia sendiri menjadi tinggi. Suci, kuat, adil, bijaksana, tahu seperti yang mereka inginkan. Manusia harus membongkar agama yang ada dalam dirinya agar ia dapat merealisasikan potensi-potensi yang dimilikinya secara terang.14 Serta mengubah teologi menjadi antropologi untuk mengetahui dan menemukan bahwa kekuasaan Tuhan itu sebenarnya milik manusia itu sendiri.15 2. Karl Marx Karl Marx (1818-1883) adalah seorang filosuf yang sangat populer dan paling controversial sepanjang sejarah pemikiran manusia. Marx adalah penggagas sosialisme ilmiah yang cukup mumpuni sepanjang pergolakan politik dan ekonomi Eropa pada abad pencerahan. Bukan karena gerakan-gerakan yang Marx dirikan faktor utama yang menjadikannya besar, akan tetapi karena pemikirannya yang mempengaruhi filosuffilosuf besar yang lain di masanya maupun setelahnya.16 Marx dilahirkan dari keluarga Yahudi miskin yang kurang loyal terhadap keyakinan 14



Franz Magniz Suseno, Ibid,68. Simon Petrus L. Tjahyadi, Ibid,102. 16 Betrand Russel, Ibid, 1018. 15



416



mereka yang disebabkan gerakan anti-semit dan kemiskinan yang mereka alami di Jerman pada abad pertengahan Eropa. Moyang Marx adalah seorang Rabi Yahudi, namun orang tuanya mengganti keyakinan mereka menjadi Kristen demi kehidupan yang layak dan sejahtera.17 Dan pergolakan kehidupan keluarganya inilah yang mempengaruhi pemikiran tentang agama Marx di kemudian hari. Pemikiran Marx selain di pengaruhi filsafat Hegelianisme, dia juga sangat di pengaruhi oleh sosialisme Perancis. Hal ini dibuktikan dengan Marx banyak berkunjung kekota-kota di Perancis pada tahun 1848 untuk mendalami sosialisme Perancis. Di Perancis Marx bertemu dengan Engels, yang menjadi manager di sebuah pabrik sepatu di Manchester. Melalui Engels inilah Marx menadapatkan pengetahuan tentang kondisi tenaga kerja dan perekonomian Inggris.18 Marx turut andil dalam revolusi Perancis dan juga revolusi Jerman pada tahun 1848, karena keterlibatannya tersebut maka hal ini memaksanya untuk mencari suaka perlindungan ke Inggris pada tahun 1849. Di Inggris Marx menjalani kehidupan yang penuh derita karena kemiskinan, yang menyebabkan kematian anak-anaknya. Tetapi Marx tidak pernah putus asa dalam membangun keilmuannya dengan penuh semangat dan kerja keras, dengan menghabiskan sisa 17 18



George Ritzer, dkk., Ibid, 32. Harun Hadiwijono, Ibid, 118.



417



hidupnya di perpustakaan London dan menghasilkan sebuah karya agungnya “Das Capital”.19 Marx menyebut dirinya adalah materialis, tetapi bukan jenis materialis pada abad 18. Tipe materialis Marx masih dibawah pengaruh dialektika Hegel, maka sering disebut materialisme–dialektika, berbeda dengan materialisme tradisional dalam beberapa sudut pandang Marx, materialism Marx lebih dekat kepada instrumentalisme John Dewey pada abad 20.20 Materialisme tradisional menurut Marx adalah keliru karena menganggap penginderaan bersifat pasif terhadap aktvitas objek. Menurut Marx semua penginderaan dan pencerapan merupakan interaksi antara subjek dan objek, apabila objek lepas dari aktivitas penginderaan atau pencerapan hal itu absurd, karena masih mentah untuk di jadikan bahan mentah proses pengetahuan. Marx berpendapat bahwa kebenaran pikiran adalah realitas dan kekuasaan yang harus di peragakan atau di praktekan dalam suatu tindakan. Pertentangan antara realitas pikiran dan non-realitas pikiran yang terpisah dari praktek merupakan pertanyaan skolastik murni dan tak perlu dijawab, karena bukan tugas filosuf untuk menafsirkan dunia dengan berbagai cara yang dimilikinya, namun tugas mereka sebenarnya adalah mengubah dunia dengan segenap kekuatan yang dimilikinya.21 19



George Ritzer, Ibid, 33. Betrand Russel, Ibid, 1020-1025. 21 Ibid. 20



418



Filsafat Marx sendiri tentang agama bisa dikatakan sangat dikenal dikalangan sosiolog dan filosuf di kemudian hari. Menurut Marx “agama adalah candu bagi masyarakat”, maksud Marx adalah agama sebagai keluhan masyarakat yang tertindas dan terdesak, agama hanya realisasi hakekat manusia dalam angan-angan karena hakekat manusia tidak mempunyai realitas yang sungguh-sungguh oleh sebab itu penderitaan relegius hanyalah sebagi tameng untuk mengekspresikan penderitaan yang nyata sekaligus sebagai protes terhadap penderitaan nyata tersebut.22 hasil pemikiran Marx ini sendiri meneruskan pemikiran Feuerbach yang dianggapnya masih belum selesai pada tahap ateisme yang radikal. Marx berpendapat, Feuerbach masih belum berpikir secara konkrit sebab Feuerbach menganggap remeh manusia dengan menyamakan manusia sama derajat berpikirnya dengan makhluk atau benda-benda lain. Menurut Marx, manusia haruslah di bedakan dengan binatang, karena manusia makhluk yang bermasyarakat, makhluk yang terlibat dalam proses produksi, hubungan kerja dan kepemilikan pada sesuatu. Jika berbicara tentang manusia maka tidak bisa lewat pendekatan abstraksi namun harus melakukan pendekatan konkrit, hal inilah yang disebut dengan Negara dan masyarakat yang bersatu padu dalam proses menghasilkan suatu agama.23 22 23



Franz Magnis Suseno, Ibid, 72. Amsal Bahtiar, Ibid, 123.



419



Marx sependapat dengan Feuerbach yang menyatakan bahwa agama adalah proyeksi pikiran dan keinginan manusia.24 Namun bedanya bila Feuerbach keinginan tersebut muncul karena manusia ingin mengetahui hakekat dirinya sebagai manusia, namun Marx berpendapat bahwa keinginan manusia tersebut ada ketika manusia berinteraksi dengan manusia lain di dalam masyarakat yang bersama-sama menggagas untuk menciptakan suatu agama tertentu di kalangan mereka. Feuerbach menurut Marx belum sampai pada kesimpulan bahwa pengasingan relegius adalah sebagai suatu kenyataan sosiologis, hanya sebatas kenyataan individual.25 Marx berpendapat bahwa agama memiliki fungsi yang berbeda berdasarkan pada setiap struktur masyarakat yang berbeda. Agama bagi kaum elit sebagai alat legitimasi atas tindakan yang mereka lakukan,baik ketidak adilan maupun moralitas yang disesuaikan oleh kepentingankepentingan yang menguntungkan mereka. Bagi kaum proleta agama sebagai pelarian dari penindasan yang mereka alami, hal ini karena mereka tidak mampu melawan struktur kelas yang amat kuat, sehingga mereka lari kepada kekuatan-kekuatan spiritual yang sebenarnya itu semua adalah khayalan mereka sendiri.26 Dari keadaan yang begitu terdesak maka kaum proleta menciptakan Tuhannya sendiri sesuai dengan 24



Ibid 122. Franz Magnis Suseno, Ibid, 72. 26 Amsal Bahtiar, Ibid, 123-124. 25



420



kebutuhan mereka. Orang miskin menuhankan yang kaya, orang lemah menuhankan yang kuat, yang berkonflik menuhankan yang damai. Marx sendiri menolak segala bentuk ketuhanan yang ada, yang ia percayai sebagai satu-satunya Tuhan adalah pikiran.27 Maka dari itu dibutuhkan kehadiran sosialisme yang penuh dengan rasionalitas ditengahtengah mereka demi kesejahteraan yang di dambakan, dengan demikian agama akan mati secara perlahan-lahan di kemudian hari layaknya kematian Negara.28 Kritikan Marx sebenarnya ingin melepaskan agama yang dianggapnya hanya sebuah ilusi belaka dari pikiran-pikiran kaum proleta agar tidak mau untuk diperalat oleh kaum-kaum elit.29 Kritik agama Marx menurut harus dilanjutkan kepada kritik sosio-politik yang membuat manusia terjerumus kedalam lembah hitam yang memabukkan yang bernama agama. Marx menyimpulkan bahwa kritik surga menjadi kritik dunia, kritik agama menjadi kritik hukum, kritik teologi menjadi kritik politik, sehingga manusia akan dapat menemukan dan mengembangkan hakikatnya yang nyata dan positif.30 Menurut Marx sejarah umat manusia sejak zaman primitif dibentuk oleh faktor-faktor kebendaan. Awal sejarah manusia dimulai dengan 27



Ibid, 124. Franz Magnis Suseno, Ibid, 73. 29 Amsal Bahtiar, Ibid, 124-125. 30 Franz Magnis Suseno, Ibid, 73. 28



421



adanya pemilikan pribadi yang kemudian menimbulkan pertarungan memperebutkan materi atau kekayaan ekonomi. Materi atau bendalah yang menjadi faktor konstitutif proses sosial politik historis kemanusiaan. Marx menyangkal argumen Hegel maupun Weber yang melihat faktor non-bendawi, roh, dan gagasan berpengaruh dan menentukan sejarah. Inilah paham materialisme sejarah Marx. Untuk memahami materialisme sejarah, kita juga perlu memahami bagaimana paham materialisme Marx. Materialisme adalah faham serba benda. Bertitik tolak dari asumsi itu, Marx meyakini bahwa tahap-tahap perkembangan sejarah ditentukan oleh keberadaan material. Bentuk dan kekuatan produksi meterial tidak saja menentukan proses perkembangan dan hubungan -hubungan sosial manusia, serta formasi politik, tetapi juga pembagian kelas-kelas sosial. Marx berpendapat bahwa hubungan-hubungan sosial sangat erat kaitannya dengan kekuatan-kekuatan produksi baru manusia akan mengubah bentukbentuk atau cara produksi mereka. Jadi, materi baik dalam bentuk modal kekuatan-kekuatan maupun alat-alat produksi merupakan basis sedangkan kehidupan sosial, politik, filsafat, agama, seni, dan negara merupakan suprastruktur. Kata materialisme yang digunakan Marx bukanlah dalam arti filosofis sebagai kepercayaan bahwa hakekat seluruh realitas adalah materi, melainkan ia ingin menunjukan pada faktor-fakor yang menentukan sejarah yang



422



terdapat dalam produksi kebutuhan manusia. Seperti dalam penjelasan sebelumnnya faktorfaktor ini mengacu pada keadaan manusia. Istilah sejarah mengacu pada Hegel sebagai proses dialektis diterima Marx. Akan tetapi terdapat perbedaan pengertian. Sejarah dalam pengertian Marx adalah perjuangan kelas-kelas untuk mewujudkan kebebasan, bukan perihal perwujudan diri Roh, bukan pula tesis (anti tesis Roh Subjektif) Roh Objektif melainkan menyangkut kontradiksi-kontradiksi hidup dalam masyarakat terutama dalam kegiatan ekonomi dan produksi. Jadi untuk memahami manusia dan perubahannya tidak perlu memperhatikan apa yang dipikirkan oleh manusia melainkan melihat segala hal yang berkaitan dengan produksi. Begitu pula dengan kesadaran dan cita-cita manusia ditentukan oleh keadaannya dalam masyarakat dalam hal ini kedudukannya dalam kelas sosial. Sebagai contoh kaum buruh (kelas proletar). Ketiadaan atas kepemilikan alat-alat produksi membuat buruh secara historis terpaksa tidak punya banyak pilihan bertindak. Tujuan dan kegiatan historisnya telah digariskan dalam keadaan hidupnya yang “bergantung” dari kemauan kelas pemilik alat-alat-produksi. Karena keadaan ini, cara produksi menentukan cara manusia berpikir. Dalam hal ini, cara berpikir buruh karena bergantung pada kelas atas adalah bagaimana untuk dapat bertahan hidup (survive). Sedangkan pada kelas atasnya adalah untuk menguasai sebanyak-banyak alat produksi. Dari



423



hal tersebut dapat ditarik beberapa hal. Pertama, cara berproduksi menentukan adanya kelas-kelas sosial. Kedua, keanggotaan dalam kelas sosial menentukan kepentingan orang. Ketiga, kepentingan menentukan apa yang dicita-citakan, apa yang dianggap baik-buruk. Jika keadaan menentukan cita-cita dan kesadaran, maka bagi Marx, hidup rohani, agama, moralitas, nilai-nilai budaya, dan lain-lain. bersifat sekunder . Hal-hal tersebut bersifat primer karena hanya mengungkapkan keadaan primer, struktur kelas masyrakat dan pola produksi. Jika kita mengharapkan perubahan dalam masyarakat maka yang diperlukan adalah perubahan dalam cara produksi. Perihal hubungan lingkup kehidupan manusia ini dapat dibayangkan sebuah bangunan yang terdiri dari basis dan bangunan atas. Materialisme historis dipahami sebagai perluasan prinsip-prinsip materialisme dialektik pada anahsis mengenai kehidupan masyarakat, atau pengeterapan prinsip-prinsip materialisme dialektik pada gejala kehidupan masyarakat. Bertolak dari proposisi bahwa yang terpenting dari filsafat adalah bukan hanya bongkar pasang makna tentang dunia namun bagaimana merubah kenyataan dunia, Karl Marx meneruskan konsistensi pemikirannya pada kasus hukum dialektika sejarah dalam masyarakat manusia. Dalam materialisme historis, Marx menjabarkan secara ilmiah mata rantai kelahiran, perkembang-an dan kehancuran sistem mas-



424



yarakat beserta kelas-kelas sosial dalam suatu kurun sejarah.



425



BAB XIII PRAGMATISME A. Kemunculan dan Perkembangan Pragmatisme Wacana filsafat yang menjadi topik utama pada zaman modern, khususnya abad ke-17, adalah persoalan epistemologi. Pertanyaan pokok dalam bidang epistemologi adalah bagaimana manusia memperoleh pengetahuan dan apakah sarana yang paling memadai untuk mencapai pengetahuan yang benar, serta apa yang dimaksud dengan kebenaran itu sendiri. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang bercorak epistemologis ini, maka dalam filsafat abad ke-17 munculah dua aliran filsafat yang memberikan jawaban yang berbeda, bahkan saling bertentangan. Aliran filsafat tersebut adalah rasionalisme dan empirisme. Empirisme itu sendiri pada abad ke-19 dan 20 berkembang lebih jauh menjadi beberapa aliran yang berbeda, yaitu Positivisme, Materialisme, dan Pragmatisme. Pragmatisme berasal dari kata pragma (bahasa Yunani) yang berarti tindakan, perbuatan. Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Aliran ini bersedia menerima segala sesutau, asal saja hanya membawa akibat praktis. Pengalaman-pengalaman pribadi, kebenaran mistis semua bisa diterima sebagai kebenaran dan dasar tindakan asalkan membawa akibat yang praktis yang bermanfaat. Dengan



426



demikian, patokan pragmatisme adalah “manfaat bagi hidup praktis”. Kata pragmatisme sering sekali diucapkan orang. Orang-orang menyebut kata ini biasanya dalam pengertian praktis. Jika orang berkata, Rencana ini kurang pragmatis, maka maksudnya ialah rancangan itu kurang praktis. Pengertian seperti itu tidak begitu jauh dari pengertian pragmatisme yang sebenarnya, tetapi belum menggambarkan keseluruhan pengertian pragmatisme. Pragmatisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa kriteria kebenaran sesuatu ialah, apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata. Oleh sebab itu kebenaran sifatnya menjadi relatif tidak mutlak. Mungkin sesuatu konsep atau peraturan sama sekali tidak memberikan kegunaan bagi masyarakat tertentu, tetapi terbukti berguna bagi masyarakat yang lain. Maka konsep itu dinyatakan benar oleh masyarakat yang kedua. Pragmatisme dalam perkembangannya mengalami perbedaan kesimpulan walaupun berangkat dari gagasan asal yang sama. Kendati demikian, ada tiga patokan yang disetujui aliran pragmatisme yaitu, (1) menolak segala intelektualisme, dan (2) absolutisme, serta (3) meremehkan logika formal.1 Pragmatisme adalah aliran yang tersebar luas dalam filsafat modern. Pragmatisme merupakan inti filsafat pragmatik dan menentukan nilai penge1



Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Yogyakarta: Kanisius, 1980), 131.



427



tahuan berdasarkan kegunaan praktisnya. Kegunaan praktis bukan pengakuan kebenaran objektif dengan kriterium praktik, tetapi apa yang memenuhi kepentingan subjektif individu. Aliran pragmatisme pertama kali dimunculkan oleh William james di amerika saat ia menulis bukunya yang berjudul pragmatisme (1907) dan the meaning of truth (1909). James sangat berjasa besar dalam membesarkan aliran ini walaupun ia sendiri yang mendaulat bahwa peirce. James dengan meliorisme nya mencoba menengahi antara tough minded dan tender minded. Dimana dua corak filsafat tersebut sangat mempengaruhi eropa dan seluruh dunia pada waktu itu. Bila Peirce mengembangkan pragmatisme dengan metode logis empiris maka James mengembangkan pragmatismenya dengan keilmuan psikologi dan kebutuhan vital manusia sendiri, dan karena hal ini sangatlah mempengaruhi pemikiran james maka pragmatisme james lebih bertendensi kepada hal-hal yang praktis dari pada murni teoritis. Jika tujuan filsafat pragmatisme pierce dipahami secara logis dan ilmiah, serta filsafat dibatasi dengan pengayaan intelektual. maka james tujuan pragmatisme dan hasil praktisnya dipahami secara moral, spiritual dan secara individual dalam arti pengembangan kemanusiaan. Kendati pragmatisme merupakan filsafat Amerika, metodenya bukanlah sesuatu yang sama sekali baru, socrates sebenarnya ahli dalam hal ini, dan Aristoteles telah menggunakannya, secara metodis John Locke (1632-1704), George Berkeley



428



(1685-1753), dan David Hume (1711-1776) mempunyai sumbangan yang sangat berarti dalam pemikitan pragmatis ini. Dari segi historis, abad ke-19 di tandai dengan skeptisme yang di tiupkan oleh teori evolusi Darwin. Nilai relijius dan spiritual menjadi dipertanyakan. Filsafat Unitarinia, suatu aliran pemikiran yang hanya menerima ke Esaan Tuhan yang bergantung pada argumen-argumen tentang teologi kodrati dan oerwahyuan, lemah dalam membela diri terhadap evolusi onisme. Karena kaum ilmuan menerima teori evolusi Darwin, filosof-filosof Unitarian menjadi tenggelam. Terlebih lagi karena keyakinan bahwa pemikiran mengenai proses seleksi dan evolusi alamiah berakhir dengan atheisme dan bahwa manusia hanya bisa membenarkan eksistensinya dengan agama, mereka tidak dapat mengintegrasikan hipotesis ke dalam keyakinan mereka. Pada saat yang sama, suatu kelompok pemikir dari Harvard menemukan suatu jalan untuk menghadapi krisis teologi ini tanpa mengorbankan agama yang essensial. Kelompok ini melihat bahwa suatu interpretasi yang mekanistis tentang teori Darwin dapat menghancurkan agama dan dapat mengarah ke aliran ateisme yang fatalistis. Mereka khawatir bahwa inpretasi ini dapat berakhir dengan sikap yang pasif, apatis, bunuh diri dan semacamnya. Karena itu mereka menganjurkan agar teori evolusi Darwin dipahami secara lain. Dan karena filsafat Unitarian sendiri hampir mati, kelompok ini yang dikenal dengan



429



“Perkumpulan Metafisika”, menyusun prinsipprinsip pragmatisme baik secara bersama maupun secara individual dalam menghadapi evolusi Darwin. Istilah Pragmatisme sebenarnya diambil oleh C. S Peirce dari Immanuel Kant. Kant sendiri memberi nama “keyakinan hipotesa tertentu yang mencakup penggunaan suatu sarana yang merupakan suatu kemungkinan real untuk mencapai tujuan tertentu”. Manusia memiliki keyakinan-keyakinan yang berguna tetapi hanya bersifat kemungkinan belaka, sebagaimana dimiliki oleh seorang dokter yang memberi resep untuk menyembuhkan penyakit tertentu. Tetapi Kant baru melihat bahwa keyakinan-keyakinan pragmatis akan dapat diterapkan misalnya dalam penggunaan obat dan semacamnya. Ia belum menyadari bahwa keyakinan seperti itu cocok untuk filsafat. Karena Peirce sangat tertarik untuk membuat filsafat dapat diuji secara ilmiah atau eksperimen, ia mengambil alih istilah pragmatisme untuk merancang suatu filsafat yang mau berpaling kepada konsekwensi praktis atau hasil eksperimental sebagai ujian bagi arti dan validitas idenya. Filsafat tradisional, meurut Peierce, sangat lemah dalam metode yang akan memberi arti kepada ide-ide filosofis dalam rangka eksperimental serta metode yang akan menyusun dan memperluas ide-ide dan kesimpulan-kesimpulan sampai mencakup faktafakta baru. Metafisika dan logika tradisional hanya mengajukan teori-teori yang tertutup dan murni tentang arti, kebenaran, dan alam semesta.



430



Pendeknya, filsafat tradisional tidak menambah sesuatu yang baru. Dengan sistemnya yang tertutup tentang kebenaran yang absolut, filsafat tradisional lebih menutup jalan untuk diadakannya penyelidikan dan bukan membawa kemajuan bagi filsafat dan ilmu pengetahuan. Dalam rangka itulah Peirce mencoba merintis suatu pemikiran filosofis yang baru yang agak lain dari pemikiran filosofis tradisional. Pemikiran baru inilah yang diberi nama Pragmatisme. Pragmatis lalu dikenal pada permulaannya sebagai usaha Piece untuk merintis suatu metode bagi pemikiran filosofis sebagaimana yang dikehendaki diatas dan wujud perkembangan filsafat asli Amerika. “Pragmatism obviously begins with Peirce’s genuinely innovative voice, just at the time the end of the Civil War transforms the United States into a notably vigorous sui generisforce (politically, economically, intellectually) within the Eurocentric world. Peirce’s inventive spark was caught up by a pop figure like James, keeping pragmatism vibrant and influential in a way Peirce couldn’t possibly have sustained, in America and abroad. Dewey then made his appearance, approaching pragmatic philosophy from the wellregarded vantage of “neo-Kantian idealism,” as he himself freely admits in his 1925 account of “The Development of American Pragmatism”2 Pragmatisme merupakan bagian sentral dari usaha filsafat tradisional menjadi ilmiah. Tetapi 2



Joseph Margolis, “Introduction: Pragmatism, Retrospective, and Prospective”, dalam John R. Shook and Joseph Margolis, A Companion to Pragmatism (Oxford: Blackwell, 2006), 1.



431



untuk merevisi seluruh pemikiran filosofis tradisional bukan suatu hal yang mudah. Untuk merubahnya diperluukan revisi logika dan metafisika yang merupakan dasar filsafat. Dengan demikian, pragmatism muncul sebagai usaha refleksi analitis dan filosofis mengenai kehidupan Amerika sendiri yang dibuat oleh orang Amerika di amerika sebagai suatu bentuk pengalaman mendasar, dan meninggalkan jejaknya pada setiap kehidupan Amerika. Oleh karena itu, ada satu alasan yang kuat untuk meyakini bahwa pragmatisme mewakili suatu pandangan asli Amerika tentang hidup dan dunia. Atau barangkali lebih tepat kalu dikatakan bahwa pragmatism mengkristalisasikan keyakinan dan sikap-sikap yang telah menentukan perkembangan Amerika sebagaimana menggejala dalam berbagai asfek kehidupannya, misalnya dalam penerapan tekhnologi, kebijakan-kebijakanpolitim pemerintah dan sebagainya. Beberapa pandangan pragmatisme tentang filsafatnya. 1. Pengetahuan berasal dari pengalaman, metodemetode eksperimental dan usaha-usaha praktis. Pragmatisme kritis terhadap spekulasi metafisik dalam meraih kebenaran. 2. Pengetahuan harus digunakan untuk memecahkan masalah-masalah setiap hari, masalah praktis membantu untuk beradaptasi dengan lingkungan. Pemikiran harus berhubungan dengan praktek dan aksi. 3. Kebenaran dan arti gagasan-gagasan harus dikaitkan dengan konsekuensi-konsekuensinya (hasil, penggunaan). Gagasan-gagasan merupa-



432



4.



5. 6.



7.



kan pedoman bagi aksi positif dan bagi rekonstruksikreatif atas pengalaman dalam berhadapan dan penyesuaian dengan pengalamanpengalaman baru. Kebenaran adalah apa yang bernilai praktis dalam pengalaman hidup kita. Ia bertindak sebagai instrumen, sasaran dalam pencapaian tujuan-tujuan kita dan dalam kemampan kita untuk meramalkan dan menyusun masa depan bagi penggunaan kita. Kebenaran itu berubah, bersifat tentatif dan asimtotis. Arti gagasan (teori, konsep,keyakinan) sama dengan kegunaan praktis yang dapat diberikan oleh gagasan itu dan konsekuensi yang berasal dari gagasan itu. Dalam menjelaskan realitas, pragmatisme mengambil pendirian “ empirisme radikal” yang berkaitan erat dengan emperio kritisisme. Emperisme radikal yang dimaksud james adalah yang berisi postulat, pernyataan tentang fakta dan konklusi umum. Dalam pragmatisme, realitas objektif diidentikkan dengan” pengalaman”. Dan pembagian pengetahuan ke dalam subjek dan objek hanya dilakukan di dalam pengalaman. Dalam logika, pragmatisme sama pada irrasionalisme, hal ini nampak jelas dalam karya james, dan secara tersirat dalam karyakarya Dewey. Pragmatisme menganggap Hukum-hukum dan bentuk logika sebagi fiksifiksi yang berguna. Dalam etika, pragmatisme menganut meliorisme. Yaitu, pandangan tentang



433



peningkatan secara bertingkat dari tatanan yang ada. Sementara dalam sosiologi, ia melebar dari kultus individu (james) dan pembelaan terhadap demokrasi (dewey) sampai kegiatan meningkatkan pertahanan terhadap rasisme dan fasisme. Pragmatisme yang James ajarkan kepada Dewey telah memunculkan Amerika pada saat ini, dan pengaruhnya sampai terasa saat ini, jadi generasi Amerika pada zaman sekarang dan seterusnya adalah tanggung jawab dari James dan Dewey yang telah membesarkannya. Seperti diketahui saat ini bahwa filsafat pragmatisme sangatlah berbahaya bagi kemanusiaan dan manusia itu sendiri karena kepraktisan dan landasan berpikir dari aliran pragmatisme. Pertanyaannya adalah apa yang paling merusak dari filsafat itu? Jawabannya adalah di pragmatisme tidak ada hukum moral umum, tidak ada kebenaran umum, semua kebenaran belum final. Ini berakibat subjektivisme dan individualism, hal ini juga menyebabkan krisis pemikiran dan kepercayaan hidup manusia itu sendri. Karena pemikiran pragmatisme memunculkan perang ideologi yang makin kencang dan terus menerus, serta tidak adanya kepastian kebenaran. Seperti yang kita lihat dalam uraian sebelumnya, secara umum orang memakai istilah pragmatisme sebagai ajaran yang mengatakan bahwa suatu teori itu benar sejauh sesuatu mampu dihasilkan oleh teori tersebut. Misalnya sesuatu itu dikatakan berarti atau benar bila berguna bagi masyarakat. Sutrisno lebih lanjut menyatakan



434



bahwa pragmatisme lebih merupakan suatu teori mengenai arti daripada teori tentang kebenaran. Menurut Peirce kebenaran itu ada bermacammacam. Ia sendiri membedakan kenajemukan kebenaran itu sebagai berikut : Pertama, trancendental truth yang diartikan sebagai letak kebenaran suatu hal itu bermukim pada kedudukan benda itu sebagai benda itu sendiri. Singkatnya letak kebenaran suatu hal adalah pada “things as things”. Kedua, complex truth yang berarti kebanaran dari pernyataan-pernyataan. Kebenaran kompleks ini dibagi dalam dua hal, yaitu kebenaran etis disatu pihak dan kebanaran logis dipihak lain. Kebenaran etis adalah seluruh pernaytaan dengan siapa yang diimami oleh si pembicara, sedangkan kebenaran logis adalah selarasnya suatu pernyataan dengan realitas yang didefinisikan. Patokan kebenaran proporsi atau pernyataan itu dilandaskan pada pengalaman. Menurut Peirc, ada beberapa proporsi yang tidak dapat dikatakan salah, yaitu proporsi dari matematika murni. Di sini, kriteria kebenaran matematika murni letknya dalm hal “ketidak mungkinannya lagi” untuk menemukan kasus yang lemah. Dalam matematika murni, semua kasus dan proporsi serba kuat. proporsinya sama sekali juga tidak mengatakan sesuatu tentang hal-hal yang faktual ada atau fakta aktual karena matematika murni tidak pernah menghiraukan apakah ada real atau fakta yang cocok dengan pernyataan itu atau tidak. Karena itulah Peirnc mengatakan bahwa proporsi



435



matematika murni tidak dapat diklasifikasikan secara pasti kebenarannya. Masalah penentuan hal “benar” memang bisa dilihat dari bermacam-macam segi yaitu disatu pihak bisa diartikan sebagai “the universe of all truth”, dipihak lain, dari sudut epistemologi, kebenaran di definisikan sebagai kesesuaian antara pernyataan dengan penyelidikan empiris. Karena itu, teori pragmatisme Peirce lebih menekankan teori tetntang arti daripada teori tentang kebenara. Pandangan Peirce tentang kebenaran dalam uraian diatas, lebih merupakan pandangan seorang idealis daripada pandangan seorang pragmatis. Menurut Peirce, pragmatis adalah suatu metode untuk membuat sesuatu ide manjadi jelas atau terang menjadi berarti. Kelihatan sekali teori arti Peirce pada pragmatisismennya, baginya pragmatisme adalah metode untuk menditerminasi makna dari ide-ide. Ide itulah yang hendak di diterminasikan atau artinya melalui pragmatime. Ketiga, yaitu ide tentang kaitan salah satu bentuk pasti dari obyek yang diamati oleh penilik, ciri khas pragmatisme merupakan metode untuk memastikam arti ide-ide di atas. B. Tokoh Pragmatisme Filosuf yang terkenal sebagai tokoh filsafat pragmatisme adalah William James dan John Dewey. Penjelasannya sebagai berikut:



436



1. Charles Sandre Peirce ( 1839 M )



Dalam konsepnya ia menyatakan bahwa, sesuatu dikatakan berpengaruh bila memang memuat hasil yang praktis. Pada kesempatan yang lain ia juga menyatakan bahwa, pragmatisme sebenarnya bukan suatu filsafat, bukan metafisika, dan bukan teori kebenaran, melainkan suatu teknik untuk membantu manusia dalam memecahkan masalah. Dari kedua pernyataan itu tampaknya Pierce ingin menegaskan bahwa, pragmatisme tidak hanya sekedar ilmu yang bersifat teori dan dipelajari hanya untuk berfilsafat serta mencari kebenaran belaka, juga bukan metafisika karena tidak pernah memikirkan hakekat dibalik realitas, tetapi konsep pragmatisme lebih cenderung pada tataran ilmu praktis untuk membantu menyelesaikan persoalan yang dihadapi manusia. 2. William James (1842-1910 M) William James lahir di New York pada tahun 1842 M, anak Henry James, Sr. ayahnya adalah orang yang terkenal, berkebudayaan tinggi, pemikir yang kreatif. Selain kaya, keluarganya memang dibekali dengan kemampuan intelektual yang tinggi. Keluarganya juga menerapkan humanisme dalam kehidupan serta mengembangkannya. Ayah James rajin mempelajari manusia dan agama. Pokoknya, kehidupan James penuh dengan masa belajar yang dibarengi dengan usaha kreatif untuk menjawab berbagai masalah yang berkenaan dengan kehidupan.



437



Karya-karyanya antara lain, Tha Principles of Psychology (1890), Thee Will to Believe (1897), The Varietes of Religious Experience (1902) dan Pragmatism (1907). Di dalam bukunya The Meaning of Truth, Arti Kebenaran, James mengemukakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri dan terlepas dari segala akal yang mengenal. Sebab pengalaman kita berjalan terus dan segala yang kita anggap benar dalam pengembangan itu senantiasa berubah, karena di dalam prakteknya apa yang kita anggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Oleh karena itu, tidak ada kebenaran mutlak, yang ada adalah kebenaran-kebenaran (artinya, dalam bentuk jamak) yaitu apa yang benar dalam pengalaman-pengalaman khusus yang setiap kali dapat diubah oleh poengalaman berikutnya. Nilai pengalaman dalam pragmatisme tergantung pada akibatnya, kepada kerjanya artinya tergantung keberhasilan dari perbuatan yang disiapkan oleh pertimbangan itu. Pertimbangan itu benar jikalau bermanfaat bagi pelakunya, jika memperkaya hidup serta kemungkinan hidup. Di dalam bukunya, The Varietes of Religious Experience atau keanekaragaman pengalaman keagamaan, James mengemukakan bahwa gejala keagamaan itu berasal dari kebutuhankebutuhan perorangan yang tidak disadari, yang mengungkapkan diri dalam kesadaran dengan



438



cara yang berlainan. Barangkali di dalam bawah sadar kita, kita menjumpai suatu relitas cosmis yang lebih tinggi tetapi hanya sebuah kemungkinan saja. Sebab tiada sesuatu yang dapat meneguhkan hal itu secara mutlak. Bagi orang perorangan, kepercayaan terhadap suatu realitas cosmis yang lebih tinggi merupakan nilai subjektif yang relatif, sepanjang kepercayaan itu memberikan kepercayaan penghiburan rohani, penguatan keberanian hidup, perasaan damai, keamanan dan kasih kepada sesama dan lainlain. Mereka yang merasakan kebahagiaan karena pengalaman keagamaannya, disebut James sebagai the healthy minded. Disisi lain, ada “the sick-soul” yaitu mereka yang tidak mengalami kebahagiaan yang diperoleh dari agama. “We must admit that any persistent enjoyment may produce the sort of religion which consists in a grateful admiration of the gift of so happy an existence; and we must also acknowledge that the more complex ways of experiencing religion are new manners of producing happiness, wonderful inner paths to a supernatural kind of happiness.”3 James membawakan pragmatisme. Isme ini diturunkan kepada Dewey yang mempraktekkannya dalam pendidikan. Pendidikan menghasilkan orang Amerika sekarang.



3



William James, Varieties of Religious Experience: A Study in Human Nature (London: Routledge, 2002), 66.



439



3. John Dewey (1859-1952 M)



John Dewey adalah seorang filsuf dari Amerika, teoretikus, reformator pendidikan dan kritikus sosial yang lahir di Burlington, Vermont dalam tahun 1859, tepatnya pada tanggal 20 Oktober. Dewey kecil adalah seorang yang gemar membaca namun tidak menjadi seorang siswa yang brilian di antara teman-temannya ketika itu. Ia masuk ke Universitas Vermont dalam tahun 1875 dan mendapatkan gelar B.A. Ia kemudian melanjutkan kuliahnya di Universitas Jons Hopkins, di mana dalam tahun 1884 ia meraih gelar doktornya dalam bidang filsafat di universitas tersebut. Di universitas terakhir ini, Dewey pernah mengikuti kuliah logika dari Pierce, orang yang menggagas munculnya pragmatisme. Di sinilah dia bersentuhan dengan filsafat pragmatism. Walaupun demikian, pengaruh terbesar datang dari guru dan sahabatnya George Sylvester Morris, seorang idealis yang sangat bersemangat mengajarkan filsafat Hegel sehingga Dewey pun menjadi pengikut filsafat idealisme tersebut. Setelah menyelesaikan doktornya, pada tahun 1884 hingga 1886, dia mengajar filsafat dan psikologi di Universitas Michigan atas undangan Morris. Dari tahun 1884 samai 1888, Dewey mengajar pada Universitas Michigan dalam bidang filsafat. Tahun 1889 ia pindah ke Universitas Minnesota. Akan tetapi pada akhir tahun yang sama, ia pindah ke Universitas Michigan dan menjadi kepala bidang



440



filsafat. Tugas ini dijalankan sampai tahun 1894, dimana ia pindah ke Universitas Chicago yang membawa banyak pengaruh pada pandanganpandangannya tentang pendidikan sekolah di kemudian hari. Salah satu keberatan Dewey terhadap program dan metode pendidikan saat itu adalah bahwa mereka gagal memperhitungkan penemuan psikologi tentang aktivitas belajar. Di Universitas Chicago dia menjabat sebagai kepala departemen filsafat, psikologi dan pedagogi. Ia berpaling dari filsafat Hegel ke teori yang meyakini bahwa pengalaman sehari-hari dan pengalaman ilmiah menyiapkan landasan penting bagi realitas maupun pemikiran. William James kemudian memproklamirkan Chicago University yang berada di bawah pengaruh Dewey, sebagai mazhab filsafat yang baru. Masa di Chicago mungkin adalah masa keemasannya. Di sinilah Dewey menjadi terkenal dalam bidang pendidikan. Sedemikian kuat ketertarikannya pada bidang ini sampaisampai ia menegaskan bahwa semua filsafat adalah filsafat pendidikan. Ia kemudian mendirikan Laboratory School yang kelak dikenal dengan nama The Dewey School. Di pusat penelitian ini ia pun memulai penelitiannya mengenai pendidikan di sekolah-sekolah dan mencoba menerapkan teori pendidikannya dalam praksis sekolah-sekolah. Hasilnya, ia meninggalkan pola dan proses pendidikan tradi-



441



sional yang mengandalkan kemampuan mendengar dan menghafal. Sebagai ganti, ia menekankan pentingnya kreativitas dan keterlibatan murid dalam diskusi dan pemecahan masalah. Selama periode ini pula ia perlahanlahan meninggalkan gaya pemikiran idealisme yang telah mempengaruhi sejak pertemuan dengan Morris. Jadi selain menekuni pendidikan, ia juga menukuni bidang logika, psikologi dan etika. Pengalaman Dewey tidak hanya berhenti sampai di Universitas Chicago. Karena bertentangan dengan rektor mengenai manajemen pembiayaan departemen pendidikan, Dewey meninggalkan Chicago dan hijrah ke Universitas Columbia di New York. Terakhir ia berkarya sebagai dosen di Universitas Colombia dalam tahun 1904. Di universitas ini, Dewey berkarya sebagai seorang profesor filsafat sampai ia pensiun pada tahun 1929. Setelah pindah ke New York, Dewey kerapkali menulis di berbagai media massa antara lain the New Republic. Dia juga terlibat dalam berbagai organisasi seperti the American Civil Liberties Union di mana dia adalah pendiri dan ketuanya; dan Asosiasi Professor Universitas Amerika sebagai pendiri dan presiden pertamanya. Dalam periode ini, Dewey banyak mengadakan perjalanan antara lain ke negaranegara Eropa serta Jepang, Cina, Meksiko, dan Rusia. Di Jepang, misalnya, ia memberikan kuliah-kuliah dalam bentuk ceramah yang



442



kemudian akan menjadi dasar pengembangan filsafat rekunstruksinya. Dalam tahun 1924, ia juga berkunjug ke Turky untuk mengadakan rekunstruksi terhadap sistem pendidikan yang dijalankan di sana. Hal yang sama juga dilakukan dalam kunjugannya ke Meksiko dan Rusia dalam tahun 1928. Sejak ia berhenti dari Universitas Colombia, ia aktif dalam pengembangan filsafat dan melanjutkan karya dokrinnya. Dengan pelbagai usaha dan kerja yang dilakukannya selama masih bekerja di universitas maupun setelah itu, ia kemudi-an dikenal sebagai seorang yang mengem-bangkan filsafat secara baru di Amerika. Pemikirannya banyak mempengaruhi perkembangan filsafat, politik, pendidikan, religiusitas dan kesenian di Amerika. Pada November 1951 tulang pinggulnya patah dan gagal disambung kembali dengan baik. Pada 1 Juni 1952 Dewey wafat akibat pneumonia meninggalkan 6 orang anak kandung dan 2 orang anak angkat. Dia adalah tokoh yang sangat dihormati semasa hidupnya dilihat dari banyaknya undangan ceramah yang datang dari bebagai negara dan bangsa. Sudah sedikit disinggung di atas bahwa karya-karya Dewey banyak mempengaruhi corak berpikir Amerika. Pengaruh ini juga banyak berasal dari buku-buku atau karya-karya yang dihasilkannya. Bukunya yang pertama yakni Psychology yang diterbitkan dalam tahun 1891. Dalam tahun 1891, bukunya Outlines of a



443



Critica Theory of Etics diterbitkan. Tiga tahun kemudian, 1894, terbit lagi The Study Of Etics: A Syllabus. Ketika ia berkarya di Universitas Chicago, berturut-turut ia menerbitkan My Pedagogic Creed (1897), The School and Society (1903), dan Logical Conditions of a Scientific Treatment of Morality (1903). Ia juga banyak menghasilkan uku-buku ketika berada di Universitas Colombia seperti Ethics (1908), How We Think (1910), The Influence of Darwin and Other Essays in Contemporary Thought (1910), School of Tomorrow (1915), Democraty and Education (1916), Essays in Experimental Logic (1916), Recunstruction in Philosophy (1920), Human Nature and Conduct (1922), Experience and Nature (1925), The Quest for Certainty (1929), Art as Experience (1934), A Common Faith (1934), Experience and Education (1938), Logic: The Theory of Inquiry (1938), Theory of Valuation (1939), Education Today (1940), Problem of Men (1946), dan Knowing and The Known (1949). Nampak jelas dari tulisan-tulisan Dewey bahwa ia menaruh minat besar pada bidang logika, metafisika dan teori pengatahuan. Tetapi perhatian Dewey di bidang pragmatisme terutama dicurahkan pada realitas sosial daripada kehidupan individual. Hal ini nampak dalam tema-tema bukunya: pendidikan, demokrasi, etika, agama, dan seni. Konsep kunci dalam filsafat Dewey adalah pengalaman. Pengalaman (Experience) adalah salah satu kata kunci dalam filsafat



444



instrumentalisme. Filsafat Dewey adalah “mengenai” (about) dan “untuk” (For) pengalaman sehari-hari. Pengalaman adalah keseluruhan drama manusia dan mencakup segala proses “ saling memengaruhi” (take and give) antara organisme yang hidup dalam lingkungan sosial dan fisik. Dewey menolak orang yang mencoba menganggap rendah pengalaman manusia atau menolak untuk percaya bahwa seseorang telah berbuat demikian. Dewey mengatakan bahwa pengalaman bukannya suatu tabir yang menutupi menusia sehingga tidak melihat alam. Pengalaman adalah satu-satunya jalan bagi manusia untuk memasuki rahasia-rahasia alam. Bagi Dewey, pengalaman sebagai suatu yang bersifat personal dan dinamis adalah satu kesatuan yang mengultimatumkan suatu interelasi. Tidak ada pengalaman yang bergerak secara terpisah dan semua pengalaman itu memainkan suatu kompleksitas sistem yang organik. Menurutnya, pemikiran kita berpangkal dari pengalaman dan menuju pengalaman. Gerak itu dibangkitkan segera dan kita dihadapkan dengan suatu keadaan yang menimbulkan persoalan pada dunia sekitarnya, dan gerak itu berakhir dalam beberapa perubahan dalam dunia sekitar atau dalam dunia kita. Pengalaman yang langsung bukanlah soal pengetahuan, yang terkandung di dalamnya pemisahan subyek dan obyek, pemisahan antara pelaku dan sarananya. Di dalam pengalaman itu keduanya bukan dipisahkan, tetapi dipersatukan.



445



Apa yang dialami tidak dipisahkan dari yang mengalaminya sebagai satu hal yang penting atau yang berarti. Jikalau terdapat pemisahan di antara subyek dan obyek hal itu bukan pengalaman, melainkan pemikiran kembali atas pengalaman tadi. Pemikiran, itulah yang menyusun sasaran pengetahuan. Atas dasar ini pula, Dewey merumuskan tujuan filsafat sebagai memberikan garis-garis pengarahan bagi perbuatan dalam kenyataan hidup. Oleh karena itu, filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang tidak bermanfaat. Dalam konteks ini, filsafat digunakan sebagai dasar dan fungsi sosial. Pokok pandangan ini muncul sebagai kritiknya atas pokok dari filsafat jaman sebelumnya yang mengemukakan pandangan tentang realitas dan fungsi pengetahuan yang membingungkannya. Menurutnya, kaum empiris telah beranggapan bahwa pikiran selalu menunjuk pada obyek-obyek dari alam, dan bahwa setiap ide selalu berhubungan dengan suatu realitas. Dengan kata lain, pengetahuan seakanakan dibentuk setelah subyek berhadapan dengan atau memandang sesuatu di luar dirinya. Inilah yang disebut “a spectator theory of knowledge”. Menurut teori ini, subyek pengetahuan bertindak bagaikan seorang penonton yang hanya dengan memandang sudah mendapatkan ide tentang obyeknya. Inilah pandangan kaum rasionalis. Menurut pandangan ini,



446



rasio merupakan suatu instrumen untuk memperhatikan apa yang tetap dan pasti pada alam. Alam dan rasio adalah dua hal yang terpisah dan berbeda. Dewey beranggapan bahwa baik apa yang dikembangkan oleh kaum empiris maupun kaum rasionalis terlalu statis di satu pihak dan terlampau mekanistik di lain pihak. Atas pengaruh Hegelian, Dewey mengakui bahwa antara manusia dan lingkungan alamiahnya terdapat dialektika yang konfliknya “terselesaikan” dalam pengalaman. Hal ini disebabkan karena setiap pengalaman adalah kekuatan yang berdaya guna. Maksudnya, pengalaman merupakan pertemuan antara manusia dengan lingkungan alam yang mengitarinya dan itu membawa manusia pada pemahaman yang baru. Pengalaman juga bersifat dinamis karena lingkungan juga bercorak dinamis. Inteligensi pada hakikatnya merupakan kekuatan yang dimiliki manusia untuk menghadapi lingkungan hidup yang terserap dalam pengalamannya. Dalam konteks ini, berpikir adalah suatu aktivitas inteligensi yang lahir karena adanya pengalaman manusia dan bukan suatu akivitas yang terisolasi dalam pikiran semata. Berdasarkan pendangannya tentang hubungan pengalaman dan corak berpikir di atas, Dewey membagi aspek pemikiran dalam dua aspek. Pada mulanya aspek pimikiran selalu berada dalam a) situasi yang membingkungkan



447



dan tidak jelas, b) situsi yang jelas di mana masalah-masalah terpecahkan. Menurutnya, aktivitas berpikir selalu merupakan sarana untuk memecahkan masalahmasalah. Hal ini mengandaikan bahwa aktivitas inteligensi lebih luas dari sekedar aktivitas kognitif, yaitu meliputi keinginan–keinginan yang muncul dalam diri subyek ketika berhadapan dengan kesekitarannya. Inilah yang disebut Dewey teori instrumentalia tentang pengetahuan. Yang dimaksudkan dengan teori instrumentalisme adalah suatu usaha untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari konsep, pertimbangan, penyimpulan dalam bentuknya yang bermacam-macam, dengan cara pertama-tama menyelidiki bagaimana pikiran berfungsi dalam penentuan-penentuan yang berdasarkan pengalaman, yang mengenai konsekuensi di masa depan. Teori ini juga yang mendorongnya untuk menyebut sistemnya dengan istilah instrumentalisme daripada disebut sebagai pragmatisme. Dunia yang ada sekarang ini, yakni dunia pria dan wanita, dunia sawah dan pabrik, dunia tumbuhan dan binatang, dunia yang kita hiruk pikuk dan bangsa-bangsa yang berjuang, adalah dunia pengalaman kita. Kita harus berusaha memakainya dan kemudian berusaha membentuk suatu masyarakat diamana setiap orang dapat hidup dalam kemerdekaan dan kecerdasan. Dalam perjalanan pengalaman seseorang, pikiran selalu muncul untuk memberikan arti



448



dari sejumlah situasi-situasi yang terganggu oleh pekerjaan diluar hipotesis atau membimbing kepada perbuatan yang akan dilakukan. Kata Dewey, kegunaan kerja pikiran tidak lain hanya merupakan cara jalan untuk melayani kehidupan. Makanya, ia dengan kerasnya menuntut untuk menggunakan metode ilmu alam (Scientific Method) bagi semua lapangan pikiran, terutama dalam menilai persoalan akhlak (etika), estetika, politik dan lain-lain. Dengan demikian, cara penilaian bisa berubah dan bisa disesuaikan dengan lingkungan dan ebutuhan hidup. Menurut Dewey yang dimaksud dengan Scientific Method ialah cara yang dipakai oleh seseorang sehingga bisa melampaui segi pemikiran semata-mata pada segi amalan. Dengan demikian, suatu pikiran bisa diajukan sebagai pemecahan suatu kesulitan (to solve problematic situation), dan kalau berhasil maka pikiran itu benar. Dengan demikian, pengalaman merupakan salah satu kata kunci dalam filsafat instrumentalisme. Pengalaman tidak akan bisa terlepas, karena pengalaman berintegrasi dengan alam dan kehidupan manusia. Pengalaman tidak bisa kita lupakan karena, pengalaman bisa menjadi tolak ukur kita untuk melangkah ke depan dengan lebih baik. Pandangan John Dewey dalam pemikiran dan pengalaman ada istilah yang disebut instrumental. Dewey merumuskan esensi instrumentalisme pragmatis sebagai “to conceive of both



449



knowledge and practice as means of making good excellencies of all kind secure in experienced existence”. Demikianlah, Dewey memberikan istilah pragmatisme dengan instrumentalism, operationalism, functionalism, dan experimentalism. Yang dimaksudkan dengan teori instrumentalisme adalah suatu usaha untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari konsep, pertimbangan, penyimpulan dalam bentuknya yang bermacam-macam, dengan cara pertama menyelidiki bagaimana pikiran berfungsi dalam penentuan-penentuan yang berdasarkan pengalaman, yang mengenai konsekuensi-konsekuensi di masa depan. Teori ini juga yang mendorongnya untuk menyebut sistemnya dengan istilah instrumentalisme daripada disebut sebagai pragmatisme. Pandangan Dewey tentang manusia bertolak dari konsepnya tentang situasi kehidupan manusia itu sendiri. Manusia adalah makhluk sosial, sehingga segala perbuatannya, entah baik atau buruk, akan diberi penilaian oleh masyarakat. Akan tetapi di lain pihak, manusia menurutnya adalah yang menciptakan nilai bagi dirinya sendiri secara alamiah. Masyarakat di sekitar manusia dengan segala lembaganya, harus diorganisir dan dibentuk sedemikian rupa sehingga dapat memberikan perkembangan semaksimal mungkin. Itu berarti, seorang pribadi yang hendak berkembang selain berkembang atas kemungkinan alamiahnya, per-



450



kembangannya juga turut didukung oleh masyarakat yang ada di sekitarnya. Dewey juga berpandangan bahwa setiap pribadi manusia memiliki struktur-struktur kodrati tertentu. Misalnya insting dasar yang dibawa oleh setiap manusia. Insting-insting dasar itu tidak bersifat statis atau sudah memiliki bentuk baku, melainkan sangat fleksibel. Fleksibilitasnya tampak ketika insting bereaksi terhadap kesekitaran. Pokok pandangan Dewey di sini sebenarnya ialah bahwa secara kodrati struktur psikologis manusia atau kodrat manusia mengandung kemampuan-kemampuan tertentu. Kemampuan-kemampuan itu diaktualisasikan sesuai dengan kondisi sosial kesekitaran manusia. Bila seseorang berlaku yang sama terhadap kondisi kesekitaran, itu disebabkan karena “kebiasaan”, cara seseorang bersikap terhadap stimulus-stimulus tertentu. Kebiasaan ini dapat berubah sesuai dengan tuntutan kesekitarannya. Dewey juga berbicara tentang kejahatan (evil) manusia. Kejahatan bukanlah sesuatu yang tidak dapat dirubah. Sebaliknya, kejahatan merupakan hasil dari cara tertentu manusia yang dibentuk dan dikondisikan oleh budaya. Oleh karena itu, syarat mutlak untuk mengatasi kejahatan adalah mengubah kebiasaan-kebiasaan masyarakat, yaitu kebiasaannya dalam berpikir dan bereaksi terhadap kesekitaran. Dewey memandang bahwa tipe dari pragmatismenya diasumsikan sebagai sesuatu yang



451



mempunyai jangkauan aplikasi dalam masyarakat. Pendidikan dipandang sebagai wahana yang strategis dan sentral dalam upaya kelangsungan hidup dimasa depan. Pendidikan nasional Amerika, Menurut Dewey, hanya mengajarkan muatan-muatan yang sudah usang (out of date) dan hanya mengulang-ngulang sesuatu yang sudah lampau, yang sebenarnya tidak layak lagi diajarkan kepada anak didik. Pendidikan yang demikian hanya mengebiri intelektualitas anak didik. Dalam bukunya Democracy and Education (1961), Dewey menawarkan suatu konsep pendidikan yang adaptif and progresif bagi perkembangan masa depan. “Dewey elaborated upon his teory that school reflect the community and be patterned after it so that when children graduate from school they will be properly adjusted to asumse their place in sociaty.” Kutipan di atas dapat dipahami secara bebas bahwa pendidikan harus mampu membekali anak didik sesuai dengan kebutuhan yang ada pada lingkungan sosialnya. Sehingga, apabila anak didik telah lulus dari lembaga sekolah, ia bisa beradaptasi dengan masyarakat. Untuk merealisasikan konsep tersebut, Dewey menawarkan dua metode pendekatan dalam pengajaran. Pertama, problem solving method. Dengan metode ini anak dihadapkan pada berbagai situasi dan masalah-masalah yang menantang, dan anak didik diberi kebebasam



452



sepenuhnya. untuk memecahkan suatu maslahmasalah tersebut sesuai dengan perkembangan kemampuannya. Dalam proses belajar mengajar model ini guru bukan hanya satu-satunya sumber, bahka kedudukan seorang guru hanya membantu siswa dalam memecahkan kesulitan yang dihadainya. Dengan metode semacam ini, dengan sendirinya pola lama yang hanya mengandalkan guru sebagai satu-satunya pusat informasi (metode pedagogy) diambil alih kedudukan oleh metode andragogy yang lebih menghargai perbedaan individu anak didik. Kedua, learning by doing, konsep ini diperlukan untuk menjembatani kesenjangan antara dunia pendidikan dengan kebutuhan dalam masya-rakat. Supaya anak didik bisa eksis dalam masyarakat bila telah selesai menyelesaikan pendidikannya. Maka, mereka dibekali keterampilan-keterampilan praktis sesuai dengan kebutuhan masyarakat sosialnya. Dari uraian diatas dapat di simpulkan bahwa pendidikan progresif menurut John Dewey dalah pendidikan yang mampu membekali peserta didik agar bisa menyesuaikan, berpartisipasi maupun eksis dalam masyarakat. John Dewey menawarkan 2 metode pendekatan dalam pengajaran dengan cara problem solving method dan learning by doing. Metode problem solving method lebih menekankan tantangan dan kebebasan kepada peserta didik, dan guru bukan satu-stunya yang menjadi sumber. Metode learning by doing peserta didik dituntut agar



453



dapat berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat. Selain dituntut, peserta didik juga dibekali beberapa materi atau keterampilan agar mereka ketika keluar atau lulus dari sekolahnya dapat menyesuaikan dengan lingkungannya maupun masyarakatnya. Dewey sangat menganggap penting pendidikan dalam rangka mengubah dan membaharui suatu masyarakat. Ia begitu percaya bahwa pendidikan dapat berfungsi sebagai sarana untuk peningkatan keberanian dan disposisi inteligensi yang terkonstitusi. Dengan itu, dapat pula diusahakan kesadaran akan pentingnya pengormatan pada hak dan kewajiban yang paling fundamental dari setiap orang. Gagasan ini juga bertolak dari gagasannya tentang perkembangan seperti yang sudah di bahas sebelumnya. Baginya ilmu mendidik tidak dapat dipisahkan dari filsafat. Maksud dan tujuan sekolah adalah untuk membangkitkan sikap hidup yang demokratis dan untuk mengembangkannya. Pendidikan merupakan kekuatan yang dapat diandalkan untuk menghancurkan kebiasaan yang lama, dan membangun kembali yang baru. Bagi Dewey, lebih penting melatih pikiran manusia untuk memecahkan masalah yang dihadapi, daripada mengisisnya secara sarat dengan formulasi-formulasi secara sarat teoretis yang tertib. Pendidikan harus pula mengenal hubungan yang erat antara tindakan dan pemikiran, antara eksperimen dan refleksi.



454



Pendidikan yang bertolak dan merupakan kontuinitas dari refleksi atas pengalaman juga akan mengembangkan moralitas dari anak didik. Dengan demikian, belajar dalam arti mencari pengetahuan, merupakan suatu proses yang berkesinambungan. Dalam proses ini, ada perjuangan terus-menerus untuk membentuk teori dalam konteks eksperimen dan pemikiran. Bagi Dewey, kehidupan masyarakat yang berdemokrtatis adalah dapat terwujud bila dalam dunia pendidikan hal itu sudah terlatih menjadi suatu kebiasaan yang baik. Ia menyatakan bahwa ide pokok demokrasi adalah pandangan hidup yang dicerminkan dengan perlunya partisipasi dari setiap warga yang sudah dewasa dalam membentuk nilai-nilai yang mengatur kehidupan bersama. Ia menekankan bahwa demokrasi merupakan suatu keyakinan, suatu prinsip utama yang harus dijabarkan dan dilaksanakan secara sistematis dalam bentuk aturan sosial politik. Dari pernyataan ini, bagi Dewey demokrasi bukan sekedar menyangkut suatu bentuk kehidupan bersama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Demokrasi berarti setiap orang mengalami kebebasannya untuk berkreasi dan mengungkapkan pengalaman humanitasnya dalam partisipasi bersama. Untuk tujuan ini, maka sekolah menjadi medium yang mengungkapkan bagaimana hidup dalam suatu komunitas yang demokratis. Dewey selalu mengatakan bahwa sekolah



455



merupakan suatu kelompok sosial yang kecil (minoritas); yang menggambarkan atau menjadi cerminan dari kelompok sosial yang lebih besar (mayoritas). Ia menegaskan bahwa sosialisasi nilai-nilai demokratis harus dilaksanakan oleh sekolah yang demokratis. Dan ini diusahakan antara lain dengan menekankan pentingnya kebebasan akademik dalam lingkungan pendidikan. Ia dengan secara tidak langsung menyatakan bahwa kebebsan akademik diperlukan guna mengembangkan prinsip demokrasi di sekolah yang bertumpu pada interaksi dan kerja-sama, berdasarkan pada sikap saling meng-hormati dan memperhatikan satu sama lain; berpikir kreatif menemukan solusi atas problem yang dihadapi bersama, dan bekerjasama untuk merencanakan dan melaksanakan solusi. Secara implisit hal ini berarti sekolah yang demokratis harus mendorong dan memberikan kesempatan kepada semua siswa untuk aktif berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, merencanakan kegiatan dan melaksanakan rencana tersebut. Pendekatan Dewey pada seni berbeda dengan para Idealis. Dia tidak prihatin dengan segala usaha untuk menemukan suatu yang lebih dahulu sebagai standar yang indah dalam analisa para genius. Maksud utama dari seni ini adalah memberikan suatu ilmu sosiologi dan penjelasan empiris dari setiap subyek. Seni tidak berakhir dalam pencarian lewat diri sendiri. Itu dibuat dengan fungsi untuk menjadikan suatu kehidupan indah. Kekeliruan teori dari estetika



456



yang klasik adalah pembagian antara seni dan ilmu, antara seni dan moral. Dalam pendidikan seni, pengaruh Dewey telah masuk didalamnya. Dia membiarkan partisipasi ilmu lain pada seni untuk dipelajari oleh para pelajar. Pada zaman Dewey, terdapat reaksi yang bertentangan dengan semangat yang ada dalam seni. Banyak kritik yang diberikan terhadap konsep seni pada abad pertengahan dan zaman renessance. Paham industrialis memunculkan kembali apa yang terjadi pada zaman klasik dimana moral dan seni disatukan. Dewey lebih percaya para ahli seni tidak hanya berada dalam sekolah-sekolah dan museum tetapi berada juga di pabrik dan di rumah-rumah. Dengan cara ini hal pokok dari seni adalah berkehendak menemukan apa yang menjadi bagian dari harian hidup manusia. C. Kritik atas Praggmatisme Di dalam aliran pragmatisme terdapat kekuatan maupun kelemahannya. Kekuatan dan kelemahannya sebagai berikut: 1. Kekuatan Pragmatisme. Kemunculan pragmatisme sebagai aliran filsafat dalam kehidupan kontemporer, khususnya di Amerika Serikat, telah membawa kemajuan-kemajuanyan yang pesat baik dalam pengetahuan maupun teknologi. Pragmatisme telah berhasil “membumikan” dari corak yang bersifat Tender Minded yang cenderung berfikir metafisi, idealis, abstrak, intelektualis, dan cen-



457



derung berfikir hal-hal yang memikirkan atas kenyataan, matrealis, dan didasrkan atas kebutuhan-kebutuhan disini (dunia), bukan nanti diakhirat. Dengan demikian, filsfat pragmatisme mengarahkan aktivitas manusia untuk hanya sekadar mempercayai(belief) pada hal-hal yang sifatnya rill, indrawi, dan yang manfaatnya bisa dinikmati secara praktis-pragmatis dalam kehidupan sehari-hari. Pragmatisme telah berhasil mendorong berfikir yang liberal, bebas dan selalu menyangsikan segala yang ada. Berangkat dari sifat skeptis tersebut, pragmatisme telah mampu mendorong dan memberi semangat pada seseorang untuk berlomba-lomba membuktikan suatu konsep melalui penelitian-penelitian, pembuktian-pembuktian, dan eksperimen-eksperimen sejingga muncullah temuan baru dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi yang mampu mendorong secara dahsyat terhadap kemajuan dibidang sosial dan ekonomi. Sesuai dengan coraknya yang “sekuler”, pragmatisme tidak mudah percaya pada “kepercayaan yang mapan”. Suatu kepercayaan dapat diterima apabila terbukti kebenaranya lewat pembuktian yang praktis sehingga pragmatisme tidak mengakui adanya sesuatu yang sakral dan mitos. Dengan coraknya yang terbuka, kebanyakan kelompok pragmatism merupakan pendukung terciptanya demokratisasi, kebebasan manusia, dan gerak-gerakan progresif dalam masyarakat modern.



458



2. Kelemahan Pragmatisme Karena pragmatisme tidak mau mengakui sesuatu yang bersifat metafisika dan kebenaran absolut (kebenaran tunggal), hanya mengakui kebenaran apabila terbukti secara ilmiah, dan percaya bahwa dunia ini mampu “dibikin” manusia sendiri, secra tidak langsung pragmatisme sudah mengingkari sesuatu yang trensendental. Kemudian pada perkembangan lanjut, pragmatisme sangat mendewakan kemampuan akal dalam upaya mencapai kebutuhan kehidupan, maka sikap-sikap se-macam ini menjurus kepada sikap Ateisme. Karena yang menjadi kebutuhan utama dalam filsafat pragmatisme adalah sesuatu yang nyata, dan langsung dapat dinikmati hasilnya oleh manusia, maka pragmatisme menciptakan pola pikir masyarakat yang materealis. Manusia berusaha secra keras untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang bersifat ruhanyah, maka dalam otak masyarakat pragmatisme telah dihinggapi oleh penyakit materealisme. Untuk mencapai tujuan materealisme, manusia mengejarnya dengan berbagai cara, tanpa memperdulikan lagi bahwa dirinya merupakan anggota dari masyarakat sosialnya. Ia bekerja tanpa mengenal waktu hanya sekadar memenuhi kebutuhan materinya, maka dalam struktur masyarakatnya manusia hidup semakin egois individualis. Dari sini, masyarakat pragmatisme menderita penyakit humanisme.



459



Dengan demikian, bahwa di Negara Amerika serikat atau seluruh dunia yang menganut paham filsafat John Dewey dan William James kebanyakan mengarah kearah materealis, ateis, dan dehumanis. Paham pragmatisme mendewakan akal. Padahal akal itu terbatas, maka hal inilah yang tidak disadari oleh pakar ilmuan barat, pada hakikatnya yang dilakuakn manusia pasti ada campur tangan tuhan. Kekeliruan Pragmatisme dapat dibuktikan dalam tiga tataran pemikiran: Pertama kritik dari segi landasan ideologi Pragmatisme. Pragmatisme dilandaskan pada pe-mikiran dasar (Aqidah) pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme). Hal ini nampak dari perkembangan historis kemunculan pragmatisme, yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari empirisme. Dengan demikian, dalam konteks ideologis, Pragmatisme berarti menolak agama sebagai sumber ilmu pengetahuan. Jadi, pemikiran pemisahan agama dari kehidupan merupakan jalan tengah di antara dua sisi pemikiran tadi. Penyelesaian jalan tengah, sebenarnya mungkin saja terwujud di antara dua pemikiran yang berbeda (tapi masih mempunyai asas yang sama). Namun penyelesaian seperti itu tak mungkin terwujud di antara dua pemikiran yang kontradiktif. Sebab dalam hal ini hanya ada dua kemungkinan. Yang pertama, ialah mengakui keberadaan Al-Khaliq yang menciptakan manusia, alam semesta, dan kehidupan.



460



Dan dari sinilah dibahas, apakah Al Khaliq telah menentukan suatu peraturan tertentu lalu manusia diwajibkan untuk melaksanakannya dalam kehidupan, dan apakah AlKhaliq akan menghisab manusia setelah mati mengenai keterikatannya terhadap peraturan AlKhaliq ini. Sedang yang kedua, ialah mengingkari keberadaan Al-Khaliq. Dan dari sinilah dapat dicapai suatu kesimpulan, bahwa agama tidak perlu lagi dipisahkan dari kehidupan, tapi bahkan harus dibuang dari kehidupan. Selanjutnya, Kritik dari segi metode pemikiran. Pragmatisme yang tercabang dari Empirisme nampak jelas menggunakan Metode Ilmiyah, yang dijadikan sebagai asas berpikir untuk segala bidang pemikiran, baik yang berkenaan dengan sains dan teknologi maupun ilmu-ilmu sosial kemasyarakatan. Ini adalah suatu kekeliruan. Yang ketiga Kritik terhadap Pragmatisme itu sendiri. Pragmatisme adalah aliran yang mengukur kebenaran suatu ide dengan kegunaan praktis yang dihasilkannya untuk memenuhi kebutuhan manusia. Ide ini keliru dari tiga sisi. Pertama, Pragmatisme mencampur adukkan kriteria kebenaran ide dengan kegunaan praktisnya. Kebenaran suatu ide adalah satu hal, sedang kegunaan praktis ide itu adalah hal lain. Kebenaran sebuah ide diukur dengan kesesuaian ide itu dengan realitas, atau dengan standarstandar yang dibangun di atas ide dasar yang sudah diketahui kesesuaiannya dengan realitas.



461



Sedang kegunaan praktis suatu ide untuk memenuhi hajat manusia, tidak diukur dari keberhasilan penerapan ide itu sendiri, tetapi dari kebenaran ide yang diterapkan. Maka, kegunaan praktis ide tidak mengandung implikasi kebenaran ide, tetapi hanya menunjukkan fakta terpuaskannya kebutuhan manusia . Kedua, pragmatisme menafikan peran akal manusia. Menetapkan kebenaran sebuah ide adalah aktivitas intelektual dengan menggunakan standar-standar tertentu. Sedang penetapan kepuasan manusia dalam pemenuhan kebutuhannya adalah sebuah identifikasi instinktif. Memang identifikasi instinktif dapat menjadi ukuran kepuasan manusia dalam pemuasan hajatnya, tapi tak dapat menjadi ukuran kebenaran sebuah ide. Maka, pragmatisme berarti telah menafikan aktivitas intelektual dan menggantinya dengan identifikasi instinktif. Atau dengan kata lain, pragmatisme telah menundukkan keputusan akal kepada kesimpulan yang dihasilkan dari identifikasi instinktif . Ketiga, pragmatisme menimbulkan relativitas dan kenisbian kebenaran sesuai dengan perubahan subjek penilai ide (baik individu, kelompok, dan masyarakat) dan perubahan konteks waktu dan tempat. Dengan kata lain, kebenaran hakiki Pragmatisme baru dapat dibuktikan (menurut Pragmatisme itu sendiri) setelah melalui pengujian kepada seluruh manusia dalam seluruh waktu dan tempat. Dan ini mustahil dan tak akan pernah terjadi. Maka,



462



pragmatisme berarti telah menjelaskan inkonsistensi internal yang dikandungnya dan menafikan dirinya sendiri.



463



DAFTAR PUSTAKA Abbas, M. Kebenaran Ilmiah” dalam: Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Intan Pariwara, 1997. Abdullah,



Amin. Pendekatan Integratif-Interkonektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2006.



Abidin Bagir, Zainal dkk,. Integrasi Ilmu dan Agama,



Interpretasi Ilmu dan aksi. Bandung: Mizan, 2005. Agus, Busnanuddin. Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial Studi Banding Antara Pandangan Ilmiah dan Ajaran Islam. Jakarta: GIP, 1999. Ahmad, Saiyad Fareed,dkk., 5 Tantangan Abadi Terhadap



Agama dan Jawaban Islam Terhadapnya. Bandung: Mizan, 2008. Alfan,



Muhammad. Filsafat Etika Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2011.



Al-Fayyadl, Muhammad. Teologi Negatif Ibnu Arabi: Kritik Metafisika Ketuhanan. Yogyakarta: LKIS, 2012. Alwasilah, A. Chaedar. Linguistik: Suatu Pengantar.



Bandung: Angkasa, 1993.



463



Archie Bahm, J. What Is Science: Reprinted from my



Axiology; The Science Of Values Albuquerqe. New Mexico: World Books, 1984. Arif, Syamsuddin. Orientalis dan Diabolisme Pemikiran.



Jakarta: GIP, 2008. Arikunto, Suharsini.



Prosedur Penelitian Pendekatan Praktek. Jakarta: Rienika Cipta, 1988.



Asy’arie, Musa. Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berpikir.



Yogyakarta: LESFI 2010. Ayer, A.J. Logical Positivisme. Newyork: tp, 1959. Azra, Azyumardi. Tradisionalisme Nasr: Eksposisi dan



Refleksi. Ulumul Qur”an, 1993 no. 4, vol. IV. Azwar,



Saifuddin. Metode Pustaka Pelajar, 2004.



Penelitian.



Yogyakarta:



Bachri,Ghozali dkk. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pokja



Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005. Bagus,



Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2005.



---------. Metafisika. Jakarta: Gramedia, 1991. Bahtiar, Amsal. Filsafat Agama. Jakarta: Logos Wacana



Ilmu, 1999.



464



---------. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajagrafindo, 2010. Bakker, Anton. Metode-metode Filsafat. Jakarta: Ghalia



Indonesia, 1984. ---------. Ontologi Metafisika Umum. Yogyakarta: Pustaka



Kanisius, 1992. Baqir Sadr, M. Filsafatuna. Bandung: Mizan, 1993. Baradat, L.P. Political Ideologies: Their Origins and Impact.



New Jersey: Prentice-Hall, Inc. 2006. Barbour, Ian. Religion And Science: Historical



Contemporary Collins, 1989.



And Issues. San Fransisco: Harper



Barret, William. Mencari Jiwa dari Descrates Sampai



Komputer, terj. Tim Dinamika Yogyakarta: Putra Langit, 2001.



Interlingua.



Basman. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar. Yogyakarta:



Gusepa, 2009. Bedford, Errol. “Empiricism”, dalam Jonathan Rée dan J.



O. Urmson, The Concise Encyclopedia of Western Philosophy. London: Routledge, 2004. Beerling, Kwee, Mooij, Van Peursen. PengantarFilsafat



Ilmu, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990.



465



Berlin,



Isaiah. Karl Marx: Riwayat Sang Pemikir Revolusioner. Yogyakarta, Panji Pustaka, 2000.



Bertens, K. Pengantar Bisnis Etika. Yogyakarta: Kanisius,



2000. Burhanuddin,



Salam. Logika Materil: Filsapat Pengetahuan. Jakarta: Reneka Cipta, 1997.



Ilmu



Caporaso, James. A, dan Lavine, David P. Teori-teori



Ekonomi Politik, .Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008. Cassam,



Quassim. “What is Knowledge”, dalam Anthony O’hear (ed.), Epistemology. Cambridge: Cambridge University Press, 2009.



Cece, Rakhmat. Membidik Filsafat Ilmu. Bandung: Mizan, 2010. Cecep, Achmad. Filsafat Administrasi dan Manajemen.



Bandung: Yayasan Bina Administra, 1989. Chaedar Alwasilah,



A. Linguistik: Suatu Pengantar. Bandung: Angkasa, 1993.



Charleshworth,



Philoshophy and Linguistic Analysis. Pittsburgh: Duquesne University, 1959.



Cowie, A.P. ed. Oxford Advanced Learner’s Dictonary.



Oxford: Oxford University Press, 1994.



466



D. Held, et al,. Global Transformations Politics, Ekonomi and Cultural. Standford California: Stanford University Press, 1999. D. Runes, Dagobert. Dictionary of Philosophy. New Jersey: Adams and Co, 1971. Danya Munsyi, Alif. Bahasa Menunjukkan Bangsa. Jakarta:



Kepustakaan Gramedia Populer, 2005. Deliarnov. Mencakup Berbagai Teori dan Konsep yang



Komprehensif. Jakarta: Erlangga, 2006. Depdiknas. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa.



Edisi III. Jakarta: Balai Pustaka, 2007. Donald Walters, J. Crises In Modern Thought. Jakarta:



Gramedia Pustaka Utama, 2003. Douglas. Dowd. Capitalism and Its Economics: A Critical



History. London: Pluto Press, 2000. Elster,



John. Karl Marx, Marxisme-Analisis Jakarta: PT Prestasi Pustakaraya. 2000.



Kritis.



Epistemologi Bagian I



Teori Pengetahuan. Diktat. Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM. 1980.



F. Kneller, George. Introduction to the Philosophy of Education. New York: John Wiley, 1964.



467



Fakih, Mansour. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2001. Fuad Ihsan, HA. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rineka Cipta, 2010. Gahral Adian, Donny. Percik Pemikiran Kontemporer.



Bandung: Jalasutra, 2005. Gie, Liang. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty. 2004. Groff, Peter S. Islamic Philosophy. Edinburgh: Edinburgh



University Press, 2007. H. Titus, Harold. Persoalan-persoalan Filsafat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1984. H. Smith. Democracy and International Relations: Critical Theories/Problematic Practice. Great Britain: Macmillan Press, ltd. 2000. Habermas,



Jurgen. Knowledge and Human Interest. Boston: Beacon Press, 1972.



Hadi,



Aslam. Pengantar Rajawali, 1986.



Hadi,



Hadono. Epistemologi: Filsafat Yogyakarta: Kanisius, 1994.



468



Filsafat



Agama.



Jakarta:



Pengetahuan.



Hadi, Sutrisno. Metodologi Research. Yogyakarta: Andi Offset, 1997. Hadiwijono,



Harun. Sari Sejarah Yogyakarta: Kanisius, 1995.



Filsafat



Barat.



Halliday, M.A.K. dan Ruqaya Hasan, Bahasa Konteks dan



Teks, terjemahan oleh Asruddin Barori Tou. Yogyakarta: Gadjah Mada Press, 1994. Halwani, Hendra. Ekonomi Internasional dan Globalisasi



Ekonomi. Bogor: Ghalia Indonesia, 2005. Hamami M.,



Abbas. Filsafat. Suatu Pengantar Logika Formal-Filsafat Pengatahuan. Yogyakarta: Yayasan Pembinaan Fakultas Filsafat UGM, 1976.



Hamlyn.



D.W. History of Epistemology. in Pauld Edwards, .ed. in chief, The Encyclopedia of Philosophy. New York and London: Macmillan Publishing Co., 1972. vol. 3.



Hanafi, Hasan. Oksidentalisme: Sikap Kita Terhadap Tradisi



Barat, terj. M. Paramadina, 2000.



Najib



Buchori.



Jakarta:



Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern; Dari Machiavelli



Sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia, 2004. Hardono Hadi, P. Epistemologi; Filsafat Pengetahuan.



Yogyakarta: Kanisius, 1994.



469



Hawton,



Hector. Filsafat Yang Menghibur, terj. Supriyanto Abdullah. Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2003.



Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama: Sebuah



Kajian Hermeneutik. Jakarta: Paramadina, 1996. Hospers, John. An Introduction to Philosophical Analisys.



UK: Routledge. Husaini, Adian. Wajah Peradaban Barat dari Hegemoni



Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal. Jakarta: GIP 2005 : 28 Ihsan, Fuad. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rineka Cipta, 2010.



Iman Santoso, Slamet. “Fungsi Bahasa, Matematika dan Logika untuk Ketahanan Indonesia dalam Abad 20 di Jalan Raya Bangsa-bangsa” dalam Jujun S. Suriasumantri. ed., IlmuDalamPerspektif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999. Jacquette, Dale. Ontology: Central Problem of Philosophy.



Chesham: Acumen, 2002. William James, Varieties of Religious Experience: A Study



in Human Nature. London: Routledge, 2002. James, Caporaso dan Lavine, David P., Teori-Teori Ekonomi Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.



470



John



Mill, Stuart. On Liberty/Perihal Kebebasan. Penerjemah Alex Lanur. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005.



Jujun S., Suriasumantri. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003. ---------. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Pustaka Sinar Harapan,



2005. Kaelan,



Filsafat Bahasa dan Semiotika. Yogyakarta: Paradigma, 2009.



Kartanegara, Mulyadhi. Mengislamkan Nalar. Jakarta;



Erlangga, 2007. Kasiram, Mohammad. Metodologi Penelitian. Malang:



UIN-Malang Press. 2008. Kenny, Anthony. An Ilutrated Brief History of Western



Philosophy. Oxford: Blackwell-Wiley, 2006. Keraf, A.S dan M. Dua.



Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Kanisius, 2001.



Keraf, Sonny dan Mikhael Dua. Ilmu Pengetahuan:



Sebuah Tinjauan Epistemologis. Jakarta: Kanisius, 2002. Koento, Wibisono. Arti Perkembangan Menurut Filsafat



Positivisme Auguste Comte. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1983.



471



Kusumandaru, Ken Budha.



Karl Marx: Revolusi dan Sosialisme: Sanggahan Terhadap Franz Magnis – Suseno. Yogyakarta: Resist Book, 2003.



Kutha Ratna, Nyoman. Metodologi Penelitian: Kajian



Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora Pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010. L. Wallace, Walter. Metode Logika Sosial. Jakarta: Bumi Aksara, 1990. Laird, Charlton. The Miracle of Language. New York: Fawcett, 1953. Latif, Yudidan Idi Subandy Ibrahim ed. Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru. Bandung: Mizan, 1996. Leaman, Oliver. Eastern Philosophy: Key Readings. New



York: Routledge, 2000. Lohr, Charles H. “The Ancient Philosophical Legacy and its Transmission to the Middle Ages”, dalam Jorge J. E. Gracia dan Timothy B. Noone, A Companion to Philosophy in The Middle Ages. Oxford: Blackwell, 2002. Losco, Joseph dan Leonard Williams, Political Theory kajian Klasik dan Kontemporary. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003.



472



M. Honer, Stanley dan Thomas C. Hunt, Metode dalam Mencari Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Gramedia, 1987. Made Wiratha, I. Pedoman Penulisan: Usulan Penelitian,



Skripsi dan Tesis. Cetakan Pertama. Yogyakarta: CV. Andi Offset, 2005. Suseno, Franz. Cakrawala, 2001.



Magnes



Etika Jawa. Yogyakarta:



---------. Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius, 2006. Maritain, Jacques. The Degrees of Knowledge. New York:



Scribner, 1959. Medya, Ratri dan Wisnu Chandra Kristiaji Ed. Ekonomi



politik Deliarnov. Jakarta: Erlangga, 2006. Mendelson,



Kurt. Science and Western Domination. London: Readers Union, 1977.



Moreland, J.P & William Lane Craig, Philosophical



Foundations For A Christian Worldview. Illinois: Intervarsity Press, 2003. Muawiyyah Ramly, Andi. Peta Pemikiran Karl Marx



Materialisme Dialektis dan Materialisme Historis. Yogyakarta: LKIS, 2000. Mudhofir, Ali. Kamus Filsafat Barat Pustaka Pelajar.



Yogyakarta: tp, 2001.



473



Mufid, Muhamad. Etika Filsafat Komunikasi. Jakarta: Kencana, 2009. Muhajir, Noeng. Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi,



Axiologi First Order, Second Order & Third Order of Logics dan Mixing Paradigms Implementasi Methodologik. Edisi IV. Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin, 2011.



---------. Ilmu Pendidikan Islam. Filsafat dan Paradigma,



dalam Epistemologi untuk Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Gunung Jati Bandung, 1995.



Muhammad Naquib Al Attas, Syed. Islam dan Filsafat



Sains. Bandung: Mizan, 1995. Muladi.



“Etika Keilmuwan, HAM, dan Demokrasi.” Makalah kuliah perdana Pascasarjana Universitas Diponegoro. Tanggal 22 Juni 2012.



Mulyana, Rohmat. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai.



Bandung: Alfabeta, 2004. Muslih, Mohamad. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Belukar,



2010. Mustansyir, Rizal dan Misnal Munir. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.



474



---------. “Refleksi Filosofis Atas Perkembangan Ilmu–



Ilmu Humaniora”, Jurnal Filsafat, Desember 2003, Jilid 35, Nomor 3, di unduh 30 Desember 2012. ---------. Filsafat Analitik: Sejarah, Perkembangan, dan



Peranan Para Tokohnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001. Mustofa, A. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2009. Muthahari, Murthadha. Pengantar Epistimologi. Jakarta:



Sadra Press, 2010. Nanga, Makroekonomi: Teori, Masalah dan Kebijakan.



Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001. Nasution, Harun. Filsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang,



1987. Nelson, Alan. “The Rationalist Impulse”, dalam Alan



Nelson (ed.), A Companion to Rationalism. Oxford: Blackwell, 2005. O. Kattsoff, Louis. Pengantar Filsafat.Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004. Ohmae, Kenichi. Hancurnya Negara-Bangsa. Terj. Ruslani.



Jogjakarta: Qalam, 2002.



475



Palmer, Donald. Looking at Philosophy: The Unbearable



Heaviness of Philososphy Made Lighter. New York: McGraw-Hill, 2006. Petrus,



Simon. Petualangan Intelektual. Yogyakarta: Kanisius, 2004.



Pitcher, George. The Philoshopy of Witgenstein. New



Jersey: Engleswood Cliffs, 1964. Purwadi, Filsafat Jawa Dan Kearifan Lokal. Yogyakarta:



Panji Pustaka, 2007. Purwadi dan Djoko Dwinyanto. Filsafat Jawa; Ajaran



Hidup Yang Berdasarkan Nilai Yogyakarta: Panji Pustaka, 2009.



Tradisiomal.



Q-Anees, Bambang, dkk. Filsafat untuk Umum. Jakarta: Prenada Media, 2003. Qardawi, Yusuf.



Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Gema Insani, 1998.



Qomar, Mujamil. Epistemologi Pendidikan Islam. Jakarta:



Erlangga, 2005. R. Senn, Peter. Social Science and its Methods. tp: Holbrook, 1971. Rakhmat, Jalaluddin. Rekayasa Sosial. Bandung: Remaja



Rosda Karya, 1999.



476



Rescher, Nicholas.“Idealism”, dalam Robert Audi, The



Cambridge Dictionary of Philosophy. New York: Cambridge University Press, 1999. Rickman, Wilhelm Dilthey, Pioneer of The Human Studies.



London: Paul Elek, 1979. Rusidi.



Dasar-dasar Penelitian dalam Rangka Pengembangan Ilmu. Bandung: PPS Unpad, 1992.



Russel,



Bertarnd. Sejarah Filsafat Barat.Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.



---------.



The Problems of Philoshopy, terj. Ahmad Asnawi.Yogyakarta: Ikon teralitera, 2002.



S. Praja, Juhaya. Aliran-Aliran Filsfat Dan Etika. Jakarta: Prenada Media, 2008. Sahakian, W.S dan Mabel Lewis Sahakian. Realms of



Philosophy. tp: Schenkman Pub Co. 1965. Saleh, Fauzan. Kajian Filsafat Tentang Keberadaan Tuhan



dan Pluralisme Agama. Kediri: STAIN Press, 2011. Santoso, Listiyono. et. al. EpistemologiKiri. Yogyakarta:



Ar-Ruz Media, 2010. Sastraprateja, Filsafat Sebagai Paradigma Ilmu-Ilmu Humaniora, Makalah disajikan dalam Internship Dosen-dosen Filsafat Ilmu Pengetahuan seIndonesia, 26 Juli sampai dengan 7 Agustus 1998, Kerjasama Ditjen Dikti Depdikbud dengan



477



Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 1998. Semiawan, C. dkk. Panorama Filsafat Ilmu Landasan



Perkembangan Ilmu Sepanjang Zaman. Jakarta: Mizan Publika. 2005. Setiawan Djuharie, O. Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis,



Disertasi. Bandung: Yrama Widya, 2001. Sinclair, John. et. al. .ed.. Collins Cobuild: English Learner’s



Dictonary. Fulham: Harper Collins Publisers, 1994. Smart, Ninian.“Hinduism”, dalam Philip L. Quinn,



ACompanion to the Philosophy of Religion. London: Blackwell, 1999. Socrates, “On Being Condemned to Death”, dalam



William Jennings Bryan (ed.), The World’s Famous Orations. New York: Funk and Wagnalls, 1906. Sonny Keraf, A. & Mikhael Dua. Ilmu Pengetahuan



Sebuah Tinjauan Wacana 2001. Sudarminta,



Filosofis.



Yogyakarta: Tiara



Epistemologi Pengantar Dasar Pengetahuan.Yogyakarta: Kanisius, 2002.



Filsafat



Sudarsono, Ilmu Filsafat. Jakarta: Rineka Cipta, 2008.



478



Sudarto. Metodologi Penelitian Filsafat. Jakarta: Raja



Grafindo, 2002. Suharto, Suparlan. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jogjakarta:



Ar-Ruzz, 2005. Suhartono,



Suparlan. Filsafat Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2005.



Ilmu



Pengetahuan.



Sumarna, Cecep. Filsafat Ilmu dari Hakikat Menuju Nilai.



Bandung: Divisi Buku Umum, 2006. Sumaryono,



Hermeneutik: Sebuah Yogyakarta: Kanisius. 1997.



Metode



Filsafat.



Sunato, Dkk., Pemikiran Tentang Kefilsafatan Indonesia.



Yogyakarta: Andi Offset, 1983. Supriyadi, Dedi.



Pengantar Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia. 2009.



Surajiwo. Filsafat Ilmu dan Perkembanganya di Indonesia.



Jakarta, PT. Bumi Aksara. 2007. Surajiyo. Filsafat Ilmu dan Perkembangan di Indonesia.



Jakarta: PT. Bumi Askara, 2009. ---------.



Suatu pengantar Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara, 2007.



479



Suryabrata,



S. Metodologi Penelitian. Grafindo Persada, 2004.



Jakarta:



Raja



Susano, A. FilsafatIlmu Suatu Kajian dalam Dimensi



Ontologis Epistemologis, dan Aksiologis. Jakarta: PT. Bumiaksara. 2011. Sutrisno dan SRDM Rita Hanafie. Filsafat Ilmu dan



Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Andi, 2007. Syarif, M.M. Para Filosuf Muslim. Bandung: Mizan. 1991. Tafsir,



Ahmad. Filsafat Ilmu, Mengurai ontology, epistemology, dan Aksiologi Pengetahuan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006.



---------. Filsafat Umum. Bandung: PT. Remaja Rosda



Karya, 2009. Takwin, Bagus. Filsafat Timur: Sebuah Pengantar Ke



Pemikiran-Pemikiran Timur. Yogyakarta: Jalasutra, 2003. Thaha,



Muhammad. Kedudukan Ilmu dalam Islam. Surabaya: Al-Iklhas, 1984.



Thaliaferro, Charles dan Elsa J. Marty (ed.). A Dictionary



of Philosophy of Religion. New York: Continuum, 2010. Tim



480



Dosen Filsafat Ilmu UGM, Filsafat Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1996.



Ilmu.



Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1989. Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia [KBBI] Edisi Kedua. Jakarta: Balai Pustaka, 1991. Tritarahardja,



Umar dan S.L. La Sulo. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta, 2005.



Ulum, Miftahul. dkk. Pengantar Filsafat Pendidikan. Ponorogo: STAIN Po Press, 2010. Usmaran Husaini, Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta:



Bumi Aksa, 2009. Van



Peursen, Mooij. Pengantar Filsafat Yogyakarta: Tiara Wacana. 1986.



Ilmu.



Verhaak, C. dan R Haryono Imam, Filsafat Ilmu



Pengetahuan. Jakarta: Gramedia, 1989. ---------. Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah atas Cara Kerja



Ilmu-Ilmu. Jakarta: Gramedia, 1991. Wahyudi, Imam. Refleksi Tentang Kebenaran Ilmu dalam



Jurnal Filsafat, Desember, 2004. Watholy,



Aholiab. Tanggung Jawab Yogyakarta: Kanisius, 2001.



Pengetahuan.



481



Wrathall, Mark A. dan Hubert L. Dreyfus. “A Brief



Introduction to Phenomenology and Existentialism”, dalam Mark A. Wrathall dan Hubert L. Dreyfus (ed.), A Companion to Phenomenology and Existentialism. Oxford: Blackwell, 2006. Yusuf Lubis, Akhyar. Epistimologi Fundasionalis. Bogor:



tp, 2009. Zubaedi, dkk., Filsafat Barat. Yogyakarta: Arruz Media,



2007.



482