Buku Geomorfologi Lengkap [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

i



KATA PENGANTAR Puji syukur disampaikan ke hadirat Allah s.w., karena atas ridha-Nya pula penulisan buku ini dapat kami selesaikan, meskipun dalam waktu yang relatif singkat dan kemampuan yang terbatas pula. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada rekan sekerja yang telah memberi dorongan dan motovasi kepada penulis untuk menyelesaikan tugas ini. Kepada tim pelaksana SP-4 Jurusan Ilmu Tanah yang telah memberikan kesempatan kemada penulis untuk berpartisipasi dalam program penulisan buku ajar, editor, penerbit, dan semua pihak yang telah membantu penulis untuk menyelesaikan pekerjaan ini, diucapkan terima kasih. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa menulis buku ajar yang baik bukanlah pekerjaan yang mudah, setidaknya perlu pengorbanan waktu dan pikiran, serta kesabaran yang tinggi. Meskipun kami telah bekerja keras, kekurangan yang menyangkut isi, teknik penulisan, maupun penggunaan bahasa, sangat mungkin ditemukan dalam buku ini. Penggunaan bahasa asing (Inggris) telah diusahakan sedikit mungkin, tetapi banyak istilah geomorfologi yang belum dapat diterjemahkan ke dalam istilah ke bahasa Indonesia. Oleh sebab itu, kritik dan saran dari pembaca sangat diharapkan untuk mengurangi kekurangan tersebut di masa mendatang. Akhirnya, semoga buku ini bermanfaat bagi pembaca, khususnya bagi mahasiswa Jurusan Ilmu yang sedang mengambil mata kuliah Geomorfologi dan Analisis Bentang Lahan. Mataram, Desember 2005



Suwardji & Joko Priyono



Suwardji & J. Priyono



ii



DAFTAR ISI SAMBUTAN REKTOR UNIVERSITAS MATARAM KATA PENGANTAR PENULIS DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAN GAMBAR TINJAUAN UMUM MATA KULIAH GEOMORFOLOGI DAN ANALISIS BENTANG LAHAN BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Definisi dan Ruang Lingkup 1.2. Geomorfologi dan Ilmu Tanah 1.3. Prinsip Dasar Geomorfologi 1.4. Konsep Uniformitarianisme BAB 2. STRUKTUR KERAK BUMI 2.1. Kerak Bumi 2.2. Konsep Isostasi 2.3. Proses Pembentukan Kulit Bumi 2.4. Litosfir 2.4.1. Pembentukan dan Evolusi Pegunungan 2.4.2. Pengangkatan - Pelipatan (Fold) dan Sesar (Fault) BAB 3. RELIEF BUMI 3.1. Pengertian Relief 3.2. Kharakteristik Relief Permukaan Bumi 3.3. Bentang Lahan dengan Bentuk Relief Order II BAB 4. BENTANG LAHAN 4.1. Proses Geomorfik Pembentukan Bentang Lahan 4.2. Pelapukan 4.2.1. Pelapukan Kimiawi 4.2.2. Pelapukan Fisik 4.2.3. Pelapukan Biologis 4.2.4. Faktor yang Mempengaruhi Pelapukan



Suwardji & J. Priyono



i iii v 1 3 3 4 5 9 11 11 13 14 16 17 18 25 25 25 27 43 43 45 47 49 50 51



iii 4.3. Bentang Lahan Hasil Pelapukan 4.4. Longsoran Masa Batuan dan Tanah BAB 5. BENTANG LAHAN FLUVIAL 5.1. Sistim Fluvial 5.2. Pembentukan dan Perkembangan Sungai 5.3. Pola Drainase 5.4. Dataran Banjir (Flood Plain) 5.5. Delta 5.6. Teras Sungai 5.7. Kipas Aluvial BAB 6. BENTANG LAHAN DAERAH GUNUNG API 6.1. Proses Pembentukan Gunung Api 6.2. Aspek Bentang Lahan 6.2.1. Bentuk Gunung Api 6.2.2. Kaldera 6.3. Produk Letusan Gunung Api 6.4. Manfaat dan Bahaya Gunung Api 6.5. Morfologi Gunung Api vs Kesuburan Tanah BAB 7. GEOMORFOLOGI DAERAH KARST 7.1. Arti Penting Bentang Lahan Karst 7.2. Pembentukan Karst 7.3. Ciri dan Sifat Bentang Lahan Karst 7.4. Karst di Indonesia 7.5. Aspek Hidrologi Daerah Karst BAB 8. GEOMORFOLOGI DAERAH PANTAI 8.1. Pantai 8.2. Terumbu Karang 8.3. Delta 8.3.1. Bagian Delta 8.3.2. Bentuk Delta 8.4. Daerah Pasang Surut



Suwardji & J. Priyono



53 55 63 63 64 72 73 74 76 77 79 80 82 82 86 87 89 90 93 93 93 95 96 96 103 103 106 107 107 108 108



iv BAB 9.



KLASIFIKASI DAN ANALISIS BENTANG LAHAN 9.1. Konsep Dasar 9.2. Sistim Klasifikasi Bentang Lahan 9.3. Klasifikasi Bentang Lahan LREP 9.4. Analisis Bentang Lahan BAB 10. APLIKASI GEOMORFOLOGI DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN Biografi Penulis



Suwardji & J. Priyono



111 111 112 114 115 127 129



v



DAFTAR TABEL DAN GAMBAR No.



Tabel



Halaman



5.1. Hubungan antaran kecepatan aliran air dan ukuran (diameter) 67 butir beban yang dapat diangkut oleh aliran sungai. 6.1. Tipe dan bentuk gunung api utama (Pidwirny, 2006) 83 9.1a. Kelompok Utama (order) pada sistim klasifikasi bentang lahan 116 LREP-II dan uraian penjelasan ciri dan sifatnya 9.1b. Pembagian kategori dalam kelompok utama (LREP-II) 117 9.1c. Pembagian lebih rinci dari sub kelompok berdasarkan unit 120 bentuk wilayah (relief) pada sistim klasifikasi bentang lahan LREP-II Gambar 2.1. Skema bagian lapisan kerak bumi 2.2. Struktur crust dan lapisan bagian atas mantle (dimodifikasi Pidwirny, 2006) 2.3. Adanya penambahan es glasial di permukaan bumi menyebabkan crust tertekan dan bergerak turun (A). Jika es meleleh, tekanan isostatik kembali (normal) dan crust naik kembali ke atas berubah ke bentuk semula (B dan C) (digambar ulang dari Pidwirny, 2006). 2.4. Tubrukan antar lempeng daratan dan terbentuknya deret perbukitan (digambar ulang dari USGS, 2006) 2.5. Plutonik yang umum dijumpai (digambar ulang dari



Pidwerny, 2006)



12 12 13



15 16



2.6. Plutonik yang umum dijumpai (digambar ulang dari 16



Pidwerny, 2006)



2.7. Konvergensi-konvergensi di lautan (digambar ulang dari 18



USGS, 2006).



2.8. Ilustrasi bagaimana tubrukan antara lempeng Eurasia dan 19 Indian membentuk pegunungan Himalaya. Tenaga tekanan dari tubrukan antara lempeng Eurasia dengan daratan India menyebabkan endapan dan batuan di daratan bergerak maju dan terangkat (digambar ulang dari USGS, 2006).



Suwardji & J. Priyono



vi 2.9. Setelah tahapan orogenik, pelapukan dan erosi mulai memindahkan material dari permukaan pegunungan yang baru terbentuk. Pemindahan masa batuan tersebut menyebabkan daratan dimana pegunungan berada menjadi berkurang bobotnya dan bagian ujung crust mulai mengapung lebih tinggi dalam mantel. Tekanan balik isostatik ini menyebabkan pengangkatan dan tekanan ke atas karena pergerakan dari crust menghasilkan sesar normal dan graben (digambar ulang dari Pidwerny, 2006). 2.10. Beberapa macam lipatan-angkatan (Pidwirny, 2006) 2.11. Beberapa macam sesar (digambar ulang dari Pitwerny, 2006) 3.1. Skema penampang melintang relief bumi 3.2. Bentuk dasar relief order II (PUSPICS-UGM, 1999) 3.3. Tahapan perkembangan plateau (PUSPICS-UGM, 1999) 3.4. Tahap perkembangan pegunungan kubah (PUSPICS-UGM, 1999). 3.5. Tahapan perkembangan daerah angkatan - lipatan (PUSPICSUGM, 1999) 3.6. Tahapan perkembangan pegunungan lipatan (fault mountain) (PUSPICS-UGM, 1999) 4.1. Diagram proses geomorfik pembentukan bentang lahan. 4.2. Diagram model pembentukan dan perkembangan bentang lahan (Pidwerny, 2006) 4.3. Diagram stabilitas relatif mineral silikat terhadap proses pelapukan (Goldic, 1939) 4.4. Tahap perkembangan bentang lahan pelapukan di daerah



20



4.5. Kenampakan relief order II, bentang lahan destruksional oleh berbagai gaya eksogen (PUSPICS-UGM, 1999) 4.6. Tahapan pelapukan dan pembentukan bentang lahan di daerah tropika dan sub tropika basah (PUSPICS-UGM, 1999) 4.7. Berbagai bentang lahan yang dihasilkan oleh pelapukan di daerah arid (PUSPICS-UGM, 1999) 4.8. Bekerjanya aliran air dan kecepatan aliran masa batuan (PUSPICS-UGM, 1999) 4.9. Skema berbagai tipe longsoran/gerak masa batuan (PUSPICSUGM, 1999) 5.1. Berbagai macam bentuk sungai berdasarkan genetik pembentukannya (PUSPICS-UGM, 1999).



58



beriklim kering (PUSPICS-UGM, 1999).



Suwardji & J. Priyono



22 23 26 28 31 35 38 41 43 46 51 57



59 60 61 62 66



vii 5.2. Lubang pot pada sungai Goerge, New York dan Flunge Pool di sungai Columbia sebagai tanda sungai masih dalam tahapan muda (PUSPICS-UGM, 1999). 5.3. Proses pembentukan dataran banjir dan proses lain yang terkait (Daniels dan Hammer, 1992). 5.4. Berbagai pola drainase yang umum dijumpai (Thornbury, 1969). 5.5. Tiga delta: arcate, estuarin, dan cakar burung (PUSPICSUGM, 1999). 5.6. Contoh delta tipe cakar burung (PUSPICS-UGM, 1999). 5.7. Proses pembentukan teras sungai (PUSPICS-UGM,



69



6.1. Sebaran gunung api di Indonesia (Pidwirny, 2006) 6.2. Ilustrasi bagaimana terjadinya letusan gunung api di tengah samudra. Di sebelah kiri, air dalam gelas beaker dipanaskan. Molekul air yang panas memuai (BJ berkurang) bergerak ke atas dan yang dingin ke bawah, dan seterusnya silih-berganti. Hal tersebut identik dengan yang terjadi di perut bumi. Peningkatan tekanan magma menyebabkan terjadinya terobosan magma ke permukaan litosfir (terjadi erupsi) (Pidwirny, 2006) 6.3. Kegiatan gunung api di daerah batas/pertemuan lempeng tektonik divergen dan konvergen. Pada batas lempeng tektonik divergen, lempeng tektonik dipisahkan (menjauh satu-sama lain) oleh terobosan magma di tengah samudra. Hal sebaliknya (konvergen), lempeng tektonik pecah/hancur dan satu bagian berada di atas yang lain (subduction) (Pidwirny, 2006). 6.4. Contoh tipe gunung api scorio (a) G. Mauna Kae di Hawai, sebelah kiri dan (b) G. La Poruna di Nicaragua, (c) G. Anak Krakatau, dan (d). G. Bromo (latar belakang berasap adalah G. Kawi).(Sumber: untuk gambar (a) dan (b) SDUS, 2006; (c) dan (d) www.Wikipedia.org., 2006) 6.5. Contoh tipe gunung api shield (SDUS, 2006) 6.6. Stratifikasi pada gunung api tipe stata (SDUS, 2006) 6.7. Gunung Semeru – Jawa Timur (kiri) dan Rinjani – NTB (kanan), sebagai contoh gunug api tipe strato di Indonesia (www.Wikipedia.org. , 2006) 6.8. Kawah G. Kelut di Jawa Timur (kiri) dan G. Tambora di P. Sumbawa (kanan) (Www.Wikipedia.org., 2006) 6.9. Jajaran sistim pit craters (Photo oleh Vic Camp., dimuat dalam www.PhysicalGeography.net)



79 81



1999).



Suwardji & J. Priyono



71 72 75 76 77



81



84



84 85 85 86 87



viii 6.10. Jenis produk yang dihasilkan oleh letusan gunung api (Pidwir- 88 ny, 2006) 6.11. Contoh aliran lava basaltik (A dan B) dan andesitik (C dan D) 89 (Pidwirny, 2006)



Suwardji & J. Priyono



1 TINJAUAN UMUM MATA KULIAH GEOMORFOLOGI DAN ANALISIS BENTANG LAHAN Tujuan umum mata kuliah geomorfologi dan analisis bentang lahan adalah untuk memberikan bekal pengetahuan kepada mahasiswa strata 1 di Jurusan Ilmu Tanah, tentang pinsip dasar geomorfologi dan bentang lahan, serta ketrampilan analisis bentang lahan untuk keperluan evaluasi lahan, khususnya untuk pengembangan pertanian. Setelah selesai mengikuti kuliah geomorfologi dan analisis bentang lahan, diharapkan mahasiswa mampu memahami tentang konsep dasar geomorfologi serta aplikasinya pada berbagai bidang, khususnya dalam bidang evaluasi sumberdaya lahan dalam rangka pengembangan pertanian dalam arti luas. Mempelajari geomorfologi dan analisis landscape serta aplikasinya dalam bidang pertanian, mirip dengan belajar menjadi seorang detektif atau penyidik. Berdasarkan hasil rangkaian berbagai proses atau kejadian geomorfik yang telah berlangsung lama, yaitu berupa bentang lahan yang ada sekarang, kemudian diinterpretasikan proses apa saja yang telah terjadi sehingga dihasilkan bentang lahan tersebut. Dengan mengetahui jenis proses tersebut, maka dapat diramalkan sifat dan ciri lahan yang ada. Berkaitan dengan hal tersebut, sebelum mengambil mata kuliah geomorfologi dan analisis landscape, hendaknya mahasiswa telah menguasai/lulus beberapa materi kuliah yang lain, yaitu kimia tanah, fisika tanah, konservasi tanah dan air, morfologi dan klasifikasi tanah, agroklimatologi, agrohidrologi, dan agrogeologi. Hal itu penting karena untuk dapat melakukan interpretasi atau analisis bentang lahan dengan baik, pengetahuan tentang ilmu dasar tersebut sangat diperlukan. Dalam buku ini, penjelasan yang berkaitan dengan teori dasar geomorfologi disajikan dalam Bab 1 s/d 8. Bab 1 berisi uraian tentang konsep dasar, kerangka berpikir serta asumsi yang digunakan oleh geomorfologis. Garis besar proses geoteknik, khususnya yang berkaitan dengan proses pembentukan dan perkembangan bentang lahan diuraikan secara ringkas dalam Bab 2. Dalam Bab 3 dijelaskan tentang keragaman bentuk muka



Suwardji & J. Priyono



2 bumi (relief) serta perkembangannya, dilanjutkan dengan Bab 4 yang berisi tentang bentang lahan ditinjau dari aspek genesis bentang lahan. Bab berikutnya berisi penjelasan tentang bentang lahan khusus, yaitu bentang lahan fluvial (Bab 5), daerah gunung api (Bab 6), daerah karst (Bab 7), dan daerah pantai (Bab 8). Aspek praktikal geomorfologi diuraikan dalam Bab 9, yaitu tentang sistim klasifikasi dan analisis bentang lahan, dan Bab 10 berisi uraian singkat tentang aplikasi geomorfologi dalam berbagai bidang. Sebagai bahan evaluasi hasil belajar mahasiswa, dalam buku ini disajikan soal latihan pada lampiran



Suwardji & J. Priyono



3



BAB 1 PENDAHULUAN Tujuan Instruksional Khusus



Setelah selesai mengikuti matakuliah mengenai bab ini, mahasiswa diharapkan dapat mejelaskan dengan tepat tentang (1) pengertian dan ruang lingkup geomorfologi dan analisis bentang lahan ( landscape), (2) arti penting geomorfologi dalam bidang ilmu tanah, dan (3) prinsip dasar dalam mempelajari geomorfologi dan analisis bentuk permukaan lahan (landform)



1.1.



Definisi dan Ruang Lingkup



Geomorfologi berasal dari kata “geo” yang berarti bumi dan “morphos” yang berarti rupa atau bentuk. Dalam banyak literatur, terdapat bebeberapa pengertian yang agak berbeda mengenai definisi geomorfologi, sehingga cakupannya sedikit berbeda pula, seperti di sitir di bawah ini. 1. Geomorfologi dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bentuk permukaan bumi (Thornbury, 1969). 2. Ilmu yang mempelajari proses-proses perubahan permukaan bumi (discourse on the earth) (Thornbury, 1069). 3. Ilmu yang mempelajari pembentukan permukaan bumi yang ada di daratan maupun di lautan (Cooke dan Doornkamp, 1978). 4. Cabang ilmu fisiografi dan geologi yang mempelajari batuan permukaan, yaitu mengenai (a) konfigurasi permukaan bumi, (b) perubahan yang terjadi di pada bentuk lahan (Daniels dan Hammer, 1992). 5. Interpretasi yang alamiah tentang pembentukan dan perkembangan bentuk lahan dan bumi (Thornbury, 1969). 6. Studi yang mendiskripsikan secara sistematis tentang bentuk lahan dan proses geomorfik yang mempengaruhi pembentukannya, hubungan antara bentuk lahan dengan proses geomorfik dalam dimensi ruang (Twidale, 1975).



Suwardji & J. Priyono



4 7. Ilmu yang mempelajari bentuk lahan yang ada di permukaan bumi, baik di bawah maupun di atas permukaan laut, dengan penekanan pada proses pembentukannya (genesa) dan prediksi perkembangan pada masa yang akan datang dalam hubungannya dengan lingkungan (Verstappen, 1979). Dari berbagai pengertian yang telah diungkapkan di atas dapat disarikan bahwa geomorfologi mempelajari 4 aspek kajian penting, yaitu:



1. Morfografi, membahas pemerian (describe) aspek geomorfik (bentuk) suatu daerah.



2. Morfometri, membicarakan aspek kuantitatif ukuran suatu daerah. 3. Morfostruktur, membahas proses dinamik endogen atau tektonisme, lipatan, dan sesar (morfostruktur aktif), dan litologi (morfostruktur pasif), keduanya mengenai tipe dan struktur batuan dalam kaitannya dengan pelapukan dan erosi.



4. Morfodinamik, membahas proses dinamik eksogen (gaya dari luar bumi), yaitu aktivitas angin, air, es, gerakan masa batuan dan volkanik. Dalam buku ajar ini, geomorfologi secara sederhana didefinisikan sebagai cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari bentuk atau rupa permukaan bumi, proses pembentukan, dan karakteristik dari bentuk muka bumi tersebut. Selain garis besar aspek teori, pembahasan akan lebih ditekankan pada aplikasi dari geomorfologi dalam bidang pertanian, khususnya dikaitkan dengan kegiatan evaluasi sumberdaya lahan yang didasarkan pada hubungan antara bentang lahan dengan sifat tanah dan potensi sumberdaya lahan, dalam rangka pembangunan bidang pertanian dalam arti luas.



1.2. Geomorfologi dan Ilmu Tanah Pengetahuan tentang bentuk permukaan bumi atau lahan, atau bentang alam, sangat penting kaitannya dengan ilmu tanah. Proses geomorfik merupakan faktor sangat penting yang menentukan proses pembentukan dan perkembangan tanah. Batas sebaran jenis tanah di lapang sering sejajar dengan batas bentang lahan, sehingga hasil analisis suatu bentang lahan sangat



Suwardji & J. Priyono



5 membantu dalam pekerjaan survai tanah, khususnya dalam hal pembatasan unit tanah atau lahan. Geomorfologi mempelajari bentang lahan yang ada sekarang, dan memprediksi proses geomorfik apa saja yang telah terjadi sehingga dihasilkan bentang lahan yang ada seperti sekarang. Suatu asumsi penting bahwa setiap proses geomorfik akan menghasilkan bentang lahan dengan ciri yang unik (khas). Jadi, dengan mengetahui hasil proses tersebut, yaitu bentang lahan yang ada sekarang, maka dapat diperkirakan proses geomorfik apa yang telah terjadi sehingga dihasilkan bentang lahan seperti itu. Pada awal peramalan dan penyusunan sistimatika proses yang telah terjadi di masa lampau, tentu saja diperlukan data dan pengetahuan lain, seperti ilmu tentang iklim, ilmu batuan, dan proses pelapukan, serta pengalaman di lapang yang cukup banyak. Dalam kegiatan survai dan pemetaan tanah, analisis bentang lahan sangat penting peranannya. Hal tersebut didasarkan pada kenyataan adanya korelasi yang erat antara satuan peta tanah (soil unit) dengan bentang lahan dimana satuan peta tanah tersebut berada. Melalui pengenalan atau analisis bentang lahan dengan menggunakan foto udara dan/atau citra landsat, maka pekerjaan survai dan pemetaan tanah dapat dilakukan dengan lebih mudah dan akurat. Ketepatan interpretasi memerlukan pengalaman dan pengetahuan yang cukup baik tentang proses pedogenesa (pembentukan dan perkembangan) tanah serta faktor yang mempengaruhi proses tersebut. Selanjutnya, dengan mengkombinasikan pengetahuan/hasil interpretasi bentuk lahan melalui studi (1) konfigurasi relief (2) struktur/jenis batuan, (3) proses geomorfologi, dan (4) situs topografi, maka interprestasi tentang kondisi lahan saat ini dan prediksi kondisi yang akan datang dapat dilakukan dengan baik dan teliti.



1.3. Prinsip Dasar Geomorfologi Untuk dapat memahami secara baik tentang geomorfologi dan aplikasinya dalam analisis bentang lahan, maka perlu dipahami secara baik beberapa prinsip dasar geomorfologi yang dapat digunakan Suwardji & J. Priyono



6 sebagai acuan untuk melakukan interpretasi tersebut. Thornbury (1969) menjelaskan 10 prinsip dasar sebagai berikut: 1. The same physical processes and laws that operate today operated throughout geologic time although not necessarily always with the same intensity as now (Proses fisika dan hukum yang bekerja saat ini, sama dengan yang bekerja pada masa lampau (dalam hitungan waktu geologis) meskipun intensitasnya tidak harus sama). Misalnya, proses erosi dan pegendapan yang terjadi di masa lampau dan yang terjadi saat ini mengikuti aturan yang sama. Erosi terjadi terutama pada bagian lereng atas – tengah yang curam dan berdampak pada penipisan solum tanah, sedangkan deposisi terjadi pada bagian lereng bawah yang datar dan berakibat terjadinya penebalan solum tanah. Proses lain, seperti volkanik, longsoran, dan pembenukan delta yang terjadi di masa lampau dan yang sekarang, mengikuti aturan yang sama pula. Pada kedua masa kejadian tersebut mungkin hasilnya berbeda dalam hal kuantitas yang dihasilkan per satuan waktu, karena faktor yang mempengaruhi dan energi yang terlibat pada kejadian dalam masingmasing masa tersebut dapat saja sangat berbeda intensitasnya. 2. Geologic structure is a dominant controlling factor in the evolution of landform and is reflected in them (Struktur geologi merupakan faktor pengontrol utama dalam evolusi bentang lahan, dan struktur geologi tersebut tampak (ujud) dalam bentang lahan yang terbentuk).



Misalnya, daerah yang dulunya merupakan kawasan perbukitan dengan struktur geologi lipatan atau patahan, maka pada bentang lahan yang dihasilkan (yang ada pada saat ini) akan tetap menampakan ciri bentuk struktur tersebut, meskipun telah terjadi proses evolusi/perubahan geomorfik yang cukup intensif. 3. To a large degree the earth’s surface processes relief because the geomorphic processes operate at different rates (Sampai batas tertentu, permukaan bumi mempunyai relief, yaitu perbedaan tinggi rendahnya suatu tempat



Suwardji & J. Priyono



7 relatif terhadap tempat lain, karena proses geomorfik yang bekerja pada tempat yang berbeda tersebut tidak sama intensitasnya). 3. Geomorphic processes leave their distinctive imprint upon landform and each geomorphic process develops its own characteristic assemblage of landform (Proses geomorfik meninggalkan bekasnya (imprint) pada bentang lahan, dan setiap proses geomorfik menghasilkan kharakteristik yang unik dan menjadi penciri dari bentang lahan yang dihasilkannya). Kita ambil contoh dua bentang lahan yang ekstrim, yaitu bentang lahan daerah perbukitan dan dataran banjir. Erosi yang terjadi di daerah perbukitan yang berlereng curam, menghasilkan gully erosion (alur yang tajam dan dalam, irisan melintangnya berbentuk seperti huruf V). Bentuk alur tersebut menunjukan telah terjadi penggerusan tanah oleh agen erosi (air) secara vertikal yang intensif, sebagai akibat dari gerakan air limpasan yang cepat (energi tinggi) pada lereng yang curam. Sebaliknya, erosi di daerah yang relatif datar (yaitu daerah dataran banjir) menghasilkan alur yang dangkal tetapi lebar, berkelok-kelok (pola meander). Karakteristik itu menunjukan telah terjadinya erosi ke arah lateral yang lebih dominan daripada yang ke arah vertikal. Jadi, proses erosi di kedua bentang lahan tersebut tetap membekas pada bentang lahan yang terbentuk melalui proses itu. 4. As the different erosional agents act upon the earth’s surface, there is produced an orderly sequence of landform (Agen erosi yang berbeda bekerja pada permukaan bumi menghasilkan bentang lahan yang tampak secara berurutan dan teratur). Erosi oleh air limpasan akan menghasilkan bentang lahan dimana terjadi erosi, transportasi, dan deposisi pada posisi lereng yang teratur (berurutan). Erosi oleh angin menghasilkan bentang lahan yang dicirikan oleh cekungan dan gundukan partikel debu dan pasir dengan urutan sesuai dengan arah dan kecepatan agen erosi (angin). Kedua erosi dengan agen erosi yang berbeda tersebut dapat saja terjadi di daerah yang sama, jika di daerah itu pernah terjadi perubahan iklim yang ekstrim. Bentang lahan yang terbentuk oleh hasil kerja dari kedua agen



Suwardji & J. Priyono



8 erosi itu akan tampak secara berurutan, sesuai dengan waktu kejadian dan intensitasnya. 5. Complexity of geomorphic evolution is more common than simplicity (Evolusi geomorfik umumnya bersifat kompleks dan jarang bersifat sederhana). Kondisi alami permukaan bumi sebagian besar merupakan hasil dari banyak kejadian alami yang menyebabkan terjadinya proses geomorfik yang berbeda pada suatu bentang lahan, baik terjadi dalam waktu bersamaan maupun bergantian. Misalnya, erosi, tekanan tektonik yang menghasilkan suatu patahan atau angkatan, gempa, dan pergeseran lapisan tanah, menghasilkan proses pembentukan dan perkembangan bentang lahan yang kompleks. Proses yang kompleks itu lebih banyak dijumpai daripada yang sederhana. 6. Little of the earth’s topography is older than tertiary and most of it is not older than Pleistocene (Hanya sebagian kecil topografi di permukaan bumi yang lebih tua dari masa tertier dan sebagian besar tidak lebih tua dari masa Pleistocene). Masa Tertiary adalah 1,6 – 65 juta tahun yang lalu sebelum masehi (SM), sedangkan masa Pleistocene adalah sekitar 1,6 juta tahun yang SM. Jadi, sebagian besar bentang lahan yang ada sekarang jarang yang sangat tua, berdasarkan umur geologis. 7. Proper interpretation of present-day landscapes is impossible without full appreciation of the manifold influences of the geologic and climatic changes during the pleistocence (Interpretasi secara tepat tentang landscapes yang ada saat ini tidak akan mungkin dilakukan tanpa pemahaman yang mendalam mengenai pengaruh perubahan geologi dan iklim dalam masa pleistocene). 8. An appreciation of world climates is a necessary to a proper understanding of varying importance difference of geomorphic processes (Pemahaman iklim global diperlukan untuk dapat memahami keragaman penting yang terjadi dari perbedaan proses geomorfik). 9. Geomorphology, although concern with present-day landscapes, attains its maximum usefulness by historical extension (Meskipun geomorfologi lebih



Suwardji & J. Priyono



9 memperhatikan pada bentang alam yang ada saat ini, manfaat maksimum dapat diperoleh jika melalui pemahaman historis).



1.4. Konsep Uniformitarianisme Konsep unformitarianisme dikembangkan pada tahun 1700-an. Penganut konsep ini beranggapan bahwa bentang lahan berubah dan berkembang secara lambat dan bertahap melalui berbagai proses geologis dan geomorfik. Salah satu contoh yang mudah kita fahami berdasarkan konsep ini adalah terbentuknya profil tanah yang dalam. Proses pembentukan profil tersebut memerlukan waktu yang lama (geologic time) melalui berbagai proses pedogenik maupun geomorfik. Konsep uniformitarianisme muncul dan menentang konsep lama, yaitu konsep katastrofisme yang percaya bahwa perubahan dan perkembangan bentang lahan terjadi melalui kekuatan luar biasa (supra natural), yaitu beberapa kejadian/seri katastropik. Jadi, uniformitarianisme menyarankan adanya kesamaan (uniformity), proses yang ada (dikenal) seharusnya digunakan sebagai kerangka berpikir untuk memahami sejarah geomorfik dan geologik dari bumi. Sekarang, sebagian besar teori tentang evolusi bentang lahan menggunakan konsep uniformitarianisme untuk menjelaskan bagaimana berbagai macam bentang lahan terbentuk dan berkembang. Konsep ini juga telah digunakan pada disiplin lain, misalnya teori evolusi oleh Charles Darwin bahwa keanekaragaman di atas bumi dapat dijelaskan dengan kesamaan modifikasi rangkaian genetik selama periode yang panjang.



Suwardji & J. Priyono



10



Suwardji & J. Priyono



11



BAB 2 STRUKTUR KERAK BUMI Tujuan Instruksional Khusus Setelah selesai mengikuti kuliah tentang bab ini, mahasiswa diharapkan dapat menjebutkan dan menjelaskan dengan tepat tentang bagian utama kerak bumi, beberapa teori yang digunakan dalam interpretasi proses pembentukan dan perkembangan bentang lahan. Dalam bab ini dibahas secara ringkas tentang beberapa aspek geologi fisik dengan maksud agar pemahaman tentang bentang lahan atau bentang alam lebih mudah, karena pembentukan dan perkembangan bentang lahan sangat dipengaruhi oleh proses geofisik dan struktur geologi. Beberapa contoh proses geofisik dikemukakan dalam bab ini untuk menjelaskan bagaimana suatu proses yang berkaitan dengan evolusi bumi mempengaruhi bentang lahan yang terbentuk dan berkembang.



2.1. Kerak Bumi Bumi terdiri dari beberapa lapisan, makin ke bagian dalam mempunyai berat jenis (BJ) padatan lapisan bumi makin besar. Lapisan yang sekarang kita manfaatkan (pijak) adalah kulit luar bumi (crust) yang ketebalannya ± 35 km, berupa daratan (continental crust) dan dasar lautan (oceanic crust). Bagian tersebut (crust) terletak di atas kulit bumi bagian dalam (mantle) dengan ketebalan ± 2.900 km, dan bagian inti bumi (core) yang mempunyai ketebalan atau jari-jari ± 3.500 km (lihat Gambar 2.1). Lapisan kulit bumi bagian dalam (mantle) mencakup sekitar 83 % volume bumi, mempunyai BJ 3,3 - 5,7 dan terdiri atas beberapa lapisan. Lapisan mantle bagian teratas (merupakan dasar dari crust), ketebalannya sekitar 670 km, sering disebut pula sebagai lapisan SiAl (Si dan Al); sedangkan bagian di bawahnya merupakan lapisan SiMa (Si dan Mg) yang panas dan



Suwardji & J. Priyono



12 plastis. Istilah lapisan litosfir mencakup lapisan crust + mantle bagian atas (Gambar 2.2). Kulit luar bumi (crust ) Kulit dalam bumi (mantle ) Inti bumi bagian luar (outer core ) Inti bumi bagian dalam (inner core )



Gambar 2.1. Skema bagian lapisan kerak bumi Kulit bumi daratan (continental crust )



Endapan (sedimentary deposit )



Kulit bumi dasar lautan (continental crust )



Laut 10 km Lithosfir anthenosfir yang plastis Kulit dalam bagian atas (upper mantle ) ke bawah sampai 670 km



100 km



200 km



Gambar 2.2. Struktur crust dan lapisan bagian atas mantle (dimodifikasi Pidwirny, 2006). Bahan pada inti bumi (core) terdiri dari Ni dan Fe, dapat dibagi menjadi dua lapisan, yaitu (1) lapisan bagian luar inti bumi (outer core) yang ketebalannya + 2.250 km, BJ + 11 dan bersifat cair, dan (2) lapisan bagian dalam inti bumi (inner core), radiusnya + 1.220 km, berupa padatan dengan BJ + 13. Jika dianomalikan seperti medium cair dan terdapat benda yang BJ-nya lebih kecil (yaitu daratan), maka bagian kulit (daratan) yang tipis tersebut seolah-olah terapung di atas bagian bumi yang berat (mantle). Karena



Suwardji & J. Priyono



13 tipisnya lapisan kerak bumi bagian luar yang sedang kita pijak ini, jika terjadi gerakan di bagian dalam bumi (mantle), maka bagian yang tipis tersebut akan mudah terpengaruh dan mengalami perubahan bentuk. Fenomena seperti inilah yang menyebabkan terbentuknya beraneka-ragam bentang lahan yang dapat kita saksikan sekarang.



2.2. Konsep Isostasi Salah satu hal menarik dari sifat daratan (continental crust) dan dasar samudra (oceanic crust) bahwa kedua piringan tektonik (tectonic plates) itu mempunyai kemampuan bergerak naik dan turun. Fenomena ini disebut isostasi, dan sifat itu dapat digunakan untuk menjelaskan suatu fenomena baru tentang makin meningkatnya dasar dan permukaan air laut di beberapa tempat (Kanada bagian utara dan Skandinavia) seperti diilustrasikan dalam Gambar 2.3. Es Glasial A). Crust



B). Crust



C). Crust



Gambar 2.3. Adanya penambahan es glasial di permukaan bumi menyebabkan crust tertekan dan bergerak turun (A). Jika es meleleh, tekanan isostatik kembali (normal) dan crust naik kembali ke atas berubah ke bentuk semula (B dan C) (digambar ulang dari Pidwirny, 2006).



Suwardji & J. Priyono



14 Berdasarkan konsep isostasi, suatu benua atau daratan (mempunyai BJ ringan) yang muncul ke permukaan akan lebih banyak daripada yang tenggelam. Hal itu dapat diartikan pula bahwa jika banyak terjadi erosi, maka pada bagian tererosi itu akan mempunyai tekanan ke bawah makin mengecil, sehingga terangkat oleh gerakan isostasi crust, akibatnya makin banyak tonjolan di permukaan bumi. Lebih lanjut, daerah yang tererosi akan banyak mengalami perubahan bentuk permukaannya. Sebaliknya, daerah pengendapan akan makin tenggelam dan rata.



2.3. Proses Pembentukan Kulit Bumi Lapisan kulit luar bumi (crust) terdiri atas dua tipe dasar, yaitu kulit luar daratan (continental crust) dan kulit luar di dasar laut (oceanic crust). Kulit luar bagian daratan (continental crust) terutama terdiri atas batuan granitik dengan ketebalan bervariasi 10 – 70 km dengan BJ agak ringan, yaitu 2,7 cm3/g. Di bawah lautan dijumpai crust dengan ketebalan rata-rata + 7 km, terutama terdiri atas batuan basalt dan BJ-nya + 3 cm3/g. Kulit luar bagian daratan dapat terdiri dari batuan sangat tua, yaitu 3 – 4 juta tahun yang lalu, sedangkan batuan pada dasar samudra relatif lebih muda. Adanya keragaman umur, BJ, dan komposisi kimia pada lapisan daratan maupun lautan menandakan bahwa deposit itu terbentuk melalui beberapa kali proses geologik yang berbeda-beda. Semua lapisan daratan mempunyai bahan dasar yang sama, yaitu campuran endapan batuan sangat tua granit, gneiss, schist, dan batuan volkanik. Bahan dasar itu sering disebut sebagai shield atau batuan pondasi/landasan (basement rock). Batuan yang ditemukan pada shield terbentuk selama epoh pre-kambium, dan sebagian merupakan batuan yang berumur lebih tua (sebelum pre-kambium). Lapisan shield umumnya ditutupi oleh endapan yang lebih muda. Batuan endapan itu merupakan bagian interior bentuk dataran (flatforms) benua. Lapisan batuan flatforms yang tertua berada di dasar lautan, berumur sekitar 600 juta tahun. Flatforms bersama shield membentuk apa yang disebut oleh ahli geologi sebagai ‘craton’, dan sebagian besar ‘craton’ secara tektonik telah stabil, atau hanya mengalami sedikit



Suwardji & J. Priyono



15 deformasi selama ratusan juta tahun. Craton di sekitar pinggiran benua merupakan batas benua (continental margins), terutama terdiri dari batuan endapan. Endapan itu mulanya berada di dasar samudra. Karena penghancuran secara tektonik dan penyusupan lempengan bumi, maka terjadi pembongkaran endapan tersebut pada craton di pinggiran benua. Dalam beberapa kasus, proses tersebut dimodifikasi oleh tekanan tektonik, sesar/ geseran (folding), dan lipatan (faulting), menghasilkan deretan perbukitan seperti diilustrasikan pada Gambar 2.4.



Perbukitan Dataran tinggi



Crust daratan Litosfir Astenosfir



Crust daratan Litosfir Dasar samudra



konvergensi antar daratan



Gambar 2.4. Tubrukan antar lempeng daratan dan terbentuknya deret perbukitan (digambar ulang dari USGS, 2006) Bahan crust juga dapat dihasilkan melalui aktivitas intrusif dan extrusif (plutonik) batuan beku, seperti diilustrasi pada Gambar 2.5. Berbeda dengan crust daratan yang secara aktif terbentuk dari berbagai aktivitas gunung api di tengah samudra (Gambar 2.6). Bahan letusan gunung api (magma) yang terjadi di tengah samudra menyebar merata dan menjauh dari pusat letusan. Karena proses tersebut, dapat ditemukan batuan yang berumur makin tua ke arah menjauh dari zone letusan. Jika crust samudra bertemu dengan crust daratan, maka crust samudra akan masuk ke bagian bawah crust daratan, karena BJ crust daratan lebih tinggi daripada crust samudra.



Suwardji & J. Priyono



16



Gambar 2.5. Plutonik yang umum dijumpai (digambar ulang dari Pidwerny, 2006).



Gambar 2.6. Tumbukan crust samudra dengan crust daratan (digambar



ulang dari USGS, 2006).



2.4. Litosfir Litosfir adalah bagian dari kerak bumi yang posisinya antara dasar crust dengan bagian atas mantle, di atas bagian mantle yang plastis; ketebalannya sekitar 100 m. Gerakan oleh gaya tektonik, atau perubahan geologik yang terjadi di litosfir, sangat penting kaitannya dengan proses pembentukan bentang lahan pegunungan dan munculnya bentuk lipatan/angkatan (fold) dan



Suwardji & J. Priyono



17 sesar (fault). Dalam sub bab ini akan dibahas bentang lahan pada ketiga struktur geologi tersebut.



2.4.1. Pembentukan dan Evolusi Pegunungan Pegunungan dapat didefinisikan sebagai suatu areal yang secara jelas berada pada pisisi lebih tinggi daripada daerah di sekitarnya. Suatu deret pegunungan (mountain range) merupakan suatu deretan banyak gunung/ bukit yang saling berdekatan. Beberapa deret pegunungan itu dapat berada berdekatan dan berjajar secara parallel yang disebut mountain belts. Ada beberapa pengunungan yang mulanya terbentuk secara volkanik, dimana magna menerobus ke luar ke permukaan bumi. Pegunungan volkanik umumnya menyebar secara sporadis dalam kisaran suatu deret pegunungan, atau dapat terpisah-pisah karena lokalisasi titik kegiatan volkanik (hot spots). Sebagian besar pegunungan terbentuk oleh kekuatan tektonik melalui pengangkatan kulit bumi, lipatan, dan sesar/geseran blok batuan. Pegunungan tektonik dapat terjadi dalam deret tunggal atau rangkaian beberapa deret pegunungan (mountain belt). Para ahli geologi telah mengembangkan suatu model umum untuk menjelaskan bagaimana pegunungan itu terbentuk. Model tersebut membagi proses pembentukan pegunungan menjadi tiga tahapan, yaitu (1) akumulasi endapan, (2) periode orogenik dari pengrusakan (deformation) batuan dan pengangkatan crust, dan (3) periode pengangkatan crust oleh tekanan balik isostatik (isostatic rebound) dan sesar dari suatu blok (block-faulting). Dua tahapan terakhir meliputi konvergensi (pertemuan/tubrukan) lempengan tektonik crust yang menghasilkan himpitan dan tekanan yang menyebabkan terjadinya proses pengrusakan (deformasi) batuan, lipatan, dan sesar (lihat Gambar 2.7). Mountain belts biasanya terdiri atas beberapa lapisan endapan dan batuan beku volkanik. Akumulasi tersebut dapat mencapai ketebalan beberapa kilometer. Sebagian besar dari akumulasi itu berasal dari hasil pengendapan di lautan. Hamparan (beds) dari batuan endapan terdiri atas partikel yang berasal dari longsoran daratan (terrestrial landmasses) di sekitarnya. Perti-



Suwardji & J. Priyono



18 kel tersebut terlepaskan dari masa batuan melaui proses pelapukan, kemudian dipindahkan oleh proses erosi ke tepian daratan (lihat Gambar 2.8 dan 2.9). Di ujung daratan, endapan tersebut dapat membentuk batuan berlapis (shale), batu kapur, dan batu pasir. Akumulasi batuan volkanik terbentuk di sepanjang batas konvergensi, dimana penetrasi (subdution) lempeng tektonik menyebabkan magma tertekan dan nenerobos keluar membentuk pluton (titik volkanik/sumber magma) dan gunung api. Gunung api yang terbentuk biasanya berjajar, disebut deretan pulau volkanik (island arc). Batuan volkanik juga dapat berubah menjadi endapan batu pasir (sandstone).



Gambar 2.7. Konvergensi-konvergensi di lautan (digambar ulang dari



USGS, 2006).



Dalam tahap orogenik pada pembentukan pegunungan, akumulasi endapan dihancurkan oleh tekanan akibat terjadinya tubrukan lempeng tektonik. Konvergensi (pertemuan/tubrukan) tektonik dapat dibagi menjadi tiga tipe: (1) antar deretan pulau volkanik (island arc), (2) samudra dengan daratan, dan (3) daratan dengan daratan. Pada konvergensi lautan – daratan (tubrukan antara lempeng samudra dengan lempeng daratan) menyebabkan endapan marin terbawa dan mengumpul di pinggir daratan. Konvergensi ‘arc – continental‘(deret pulau kecil dengan daratan) terjadi jika deretan pulau (island – arc) bertubrukan dengan pinggir lempeng daratan. Suwardji & J. Priyono



19 Dalam konvergensi ini, lempeng samudra yang berada di antara deretan pulau kecil (arc) dan daratan, menerobos masuk ke astenosfir, dan batuan volkanik serta endapan bergabung dengan island arc membentuk garis batas laut - daratan. Konvergensi ‘daratan – daratan’ terjadi ketika dasar samudra berdekatan dan dua lempeng daratan bertubrukan. Tipe konvergensi ini yang bertanggung jawab terhadap proses pembentukan pegunungan Himalaya (Gambar 2.8 – 2.9).



SEBELUM TUBRUKAN



Ujung lempeng India



Crust samudra kuno Lempeng Eurasia



Lempeng India umur 2,5 juta tahun Titik kontrol/ref



SESUDAH TUBRUKAN



Pengangkatan Himalaya Pengangkatan Lempeng Tibet



□ Titik kontrol/ref



Lempeng India



Gambar 2.8. Ilustrasi bagaimana tubrukan antara lempeng Eurasia dan Indian membentuk pegunungan Himalaya. Tenaga tekanan dari tubrukan antara lempeng Eurasia dengan daratan India menyebabkan endapan dan batuan di daratan bergerak maju dan terangkat (digambar ulang dari USGS, 2006). Dalam tiga tipe konvergensi tektonik di atas, lapisan batuan di dasar samudra terjepit dan luasannya berkurang. Konvergensi ini menyebabkan hamparan endapan terangkat (folded and uplifted). Ketiga tenaga tekanan menjadi lebih besar dari kemampuan batuan untuk bertahan, maka terjadi sesar (faulting). Tenaga tekanan secara khas menghasilkan sesar berbalik



Suwardji & J. Priyono



20



Deret Perbukitan (belt) Crust Daratan



A. Tahap akhir Orogenik Mantle Erosi permukaan dan sesar blok



Mantel



Pengangkatan isostatik



B. Tahap pengaktanan isostatik dan sesar blok



Gambar 2.9. Setelah tahapan orogenik, pelapukan dan erosi mulai memindahkan material dari permukaan pegunungan yang baru terbentuk. Pemindahan masa batuan tersebut menyebabkan daratan dimana pegunungan berada menjadi berkurang bobotnya dan bagian ujung crust mulai mengapung lebih tinggi dalam mantel. Tekanan balik isostatik ini menyebabkan pengangkatan dan tekanan ke atas karena pergerakan dari crust mengahsilkan sesar normal dan graben (digambar ulang dari Pidwerny, 2006). (reverse and overthrust faulting). Konsekuensi lain dari tahapan orogenik adalah metamorfisme regional dan munculnya letupan magma (magma plumes), plutons, dan gunung api dalam perkembangan deret pegunungan. Pada akhir konvergensi lempeng tektonik, pembentukan pegunungan memasuki tahapan terakhir. Tahapan ini dicirikan oleh pengangkatan kulit bumi (crust) karena terjadinya gaya isostatik balik dan sesar blok. Gaya isostatik balik mengakibatkan pergerakan daratan yang melayang di atas mantle yang plastis secara vertikal. Karena erosi memindahkan bahan dari pegunungan, bobot kulit bumi di daerah itu secara bertahap berkurang, kemudian lapisan daratan melakukan penyesuaian secara isostatik sehingga mengapung (floating) dan bergerak vertical dalam mantle. Proses itu juga menyebabkan tenaga tekanan ke luar pada arah horizontal sehingga mematahkan daratan (continental crust) menjadi sejumlah blok. Setiap blok



Suwardji & J. Priyono



21 bergerak vertical untuk mengimbangi tenaga tekanan, sehingga dihasilkan sesar normal dan graben.



2.4.2. Pengangkatan - Pelipatan (Fold) dan Sesar (Fault) Proses perombakan (deformation) kulit bumi yang diakibatkan oleh tekanan yang cukup kuat, mampu memindahkan endapan samudra ke ketinggi ribuan meter di atas permukaan laut. Perubahan tempat/posisi ini dapat disebabkan oleh gerakan lempeng tektonik melalui penyusupan/penetrasi ke dalam bumi (subduction), aktivitas volkanik, dan intrusi batuan beku. Perombakan batuan meliputi perubahan bentuk dan/atau volume. Perubahan bentuk dan ukuran tejadi jika besarnya tekanan dan tegangan dapat menyebabkan batuan pecah atau melengkung. Pengangkatan (fold) dapat didefiniskan sebagi melengkungnya batuan sebagai respon terhadap energi tekanan. Fold pada batuan akan tampak jelas jika batuan tersebut berlapislapis. Perubahan pada batuan plastis dapat terjadi dalam kondisi yang memenuhi syarat utuk proses tersebut, meliputi: 1). Bahan batuan itu harus mampu berubah oleh tertekan dan panas. 2). Makin tinggi temperaturnya, maka batuan itu makin plastis. 3). Tekanan tidak melebihi kekuatan/stabilitas internal dari batuan. Jika melebihi, maka batuan akan pecah. 4). Perombakan itu harus terjadi secara lambat/bertahap. Banyak bentuk fold telah dikenal dan diklasifikasikan oleh ahli geologi. Tipe fold yang paling sederhana adalah monoklin (monoclinic fold) (Gambar 2.10). Struktur itu meliputi lengkungan ke arah lain dari lapisan batuan yang paralel. Terdapat beberapa macam sesar (fault), dan masing-masing diberi nama sesuai dengan tekanan yang berkerja pada batuan dan gerakan alami blok batuan relatif terhadap bidang sesar (fault plane). Sesar normal terjadi bilamana energi tekanan bekerja berlawanan arah dan menyebabkan satu bagian batuan bergeser ke atas dan yang lain bergeser ke bawah (Gambar 2.11- a). Sesar berbalik (reverse fault) terbentuk karena adanya tekanan ke luar, menyebabkan satu blok bergeser ke atas dan berada di atas blok



Suwardji & J. Priyono



22 a. Lipatan-angkatan antiklin



b. Lipatan-angkatan sinklin



c. Lipatan-angkatan dua antiklin



d. Lipatan-angkatan recumbent



Gambar 2.10. Beberapa macam bentuk lipatan-angkatan (Pidwerny, 2006)



Suwardji & J. Priyono



23 a. Sesar normal



b. Sesar graben



c. Horst fault



Gambar 2.11. Beberapa macam sesar (digambar ulang dari Pitwerny, 2006) yang lain (Gambar 2.11- b). Horst fault terbentuk dari dua reverse fault yang me-nyebabkan suatu blok batuan tedorong ke atas (Gambar 2.11- c). Tipe utama dari sesar adalah sesar lurus atau sesar transform, yaitu sesar yang secara alami tampak tegak, dihasilkan oleh tekanan paralel.



Suwardji & J. Priyono



24



Suwardji & J. Priyono



25



BAB III RELIEF BUMI Tujuan Instruksional Khusus Setelah selesai mengikuti kuliah untuk bab ini, mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan dengan tepat tentang pengetian relief, kejadian dan proses perkembangannya, serta hubugnannya dengan bentang lahan



3.1.



Pengertian Relief



Relief bumi adalah bentuk ketidak-aturan secara vertikal (tinggi-rendahnya tempat atau kawasan dari permukaan litosfir), baik dalam ukuran besar maupun kecil. Pengertian relief sering tumpang-tindih dengan pengertian topografi, fisiografi, dan bentang lahan. Topografi berkaitan dengan aspek kemiringan permukaan bumi, sedangkan pengertian fisiografi lebih menekankan aspek sifat dan ciri hamparan terutama ditinjau dari segi kelerengan. Bentang lahan adalah bentuk permukaan bumi yang di dalamnya antara lain termasuk aspek relief, topografi, struktur dan formasi geologi, jenis tanah dan sebarannya. Konsep dasar pembentukan dan perkembangan relief bumi dikemukakan semula oleh Davis. Dia mengenalkan struktur, proses, dan tahapan (stages) dalam menjelaskan suatu kejadian yang ada di permukaan bumi yang menghasilkan relief bumi. Terjadinya relief bumi berkaitan dengan proses erosi oleh angin, aliran sungai, glacial, dan gelombang, menghasilkan berbagai bentuk di permukaan bumi. Tahapan yang terjadi merupakan derajat proses tersebut yang telah terjadi dalam kurun waktu tertentu di suatu daerah.



3.2. Karakteristik Relief Permukaan Bumi Relief permukaan bumi akan lebih mudah dipahami jika seluruh air, es, salju dan vegetasi yang ada di muka bumi dibuang lebih dahulu. Jika hal Suwardji & J. Priyono



26 tersebut terjadi, maka akan terdapat tiga kelompok besar atau order relief di permukaan bumi, yaitu: 1) Relief order I: benua dengan paparan dan cekungan samudra 2) Relief order II: pegunungan, dataran tinggi, dan dataran rendah. 3) Relief order III: perbukitan, lembah, ngarai. 1). Relief Order I Yang termasuk dalam relief order I adalah kelima benua (Asia, Afrika, Australia, Eropa, Amerika), samudra besar (Atlantik, Pasifik, India). Paparan merupakan bagian dari benua yang ditutupi laut, merupakan daerah dangkal (< 200 m di bawah permukaan laut). Batas antara benua/ daratan dan cekungan samudra umumnya miring tajam, disebut lereng benua (continental slope). Contohnya antara lain lereng benua di bagian Yucatan, Newfoundland, Amerika Timur, Peru, California, Jepang, Asia Tenggara. Beberapa contoh pararan antara lain adalah paparan Sunda dan Sahul. Pegunungan



lereng benua



“interior plateau plain



tepi benua



tepi “continental platform” dataran laut pantai epikontinental paparan



palung



Gambar 3.1. Skema penampang melintang relief bumi Permukaan benua umumnya tak teratur dengan kondisi ketidak-teraturannya melebihi dasar Samudra. Diastrofisme, volkanisme, dan erosi telah dan sedang mengubah bentuk permukaannya. Puncak daratan tertinggi ialah Mt. Everest (± 8880 m).



Suwardji & J. Priyono



27 Cekungan samudra merupakan bagian cekung dari muka bumi, dan yang paling dalam adalah sekitar 4000 m di bawah permukaan laut. Di banyak tempat, pada batas antara benua dan cekungan samudra, terdapat palung yang dalam sekali dan berbentuk sempit memanjang. Beberapa palung antara lain Palung Filipina (11.000 m), Guam (10.500 m), Samoa (10.000 m), Jepang (9.000 m), Alenten (8.000 m), Porto Rico (9.500 m), dan palung Jawa (7.000 m). Terjadinya relief orde I itu dapat dijelaskan dengan beberapa hipotesa dan teori: Planetesimal Hypothesis, Liquid Earth Theory, Continental Drift Hypothesis, dan Plate Tectonic Theory. Teori tersebut telah banyak dibahas secara khusus dalam referensi geoteknik, dan kurang tepat untuk dibahas dalam buku ini. 2). Relief Order II Yang tergolong dalam relief order II adalah bagian dari benua (daratan) dan cekungan samudra, beberapa deretan pegunungan besar, plateau (dataran tinggi), dan dataran rendah (plain) yang luas. Secara garis besar, bentang lahan dasar/utama relief order II meliputi: dataran dan plateau, pegunungan lipatan, pegunungan patahan/sesar, pegunungan dome, gunung api dan pegunungan campuran. Bentang lahan utama dasar relief order II tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.2, dan secara rinci dijelaskan dalam sub bab 3.3. 3). Relief Order III Relief order III terdiri dari bentang lahan yang relatif kecil, seperti bukit, lembah, pegunungan, cekungan danau, gunung api, dan kipas aluvium.



3.3. Bentang Lahan dengan Bentuk Relief Order II Berbagai aspek penting geomorfologi yang terjadi pada masing-masing bentuk dasar relief order II perlu dipahami. Di bawah ini dijelaskan mengenai aspek geomorfologi pada relief order II yang akan banyak digunakan dalam pekerjaan analisa bentang lahan.



Suwardji & J. Priyono



28



Dataran rendah dan tinggi



Kubah (dome) pegunungan sebelum tererosi



Blok pegunungan sebelum tererosi



Pegunungan lipatan sebelum tererosi



Kompleks pegunungan yang telah banyak tererosi



Volkanik dan bentuk lahan yang berkaitan dengan volkanik Gambar 3.2. Bentuk dasar relief order II (PUSPICS-UGM, 1999)



Suwardji & J. Priyono



29 A. Dataran Rendah dan Dataran Tinggi (plain dan plateau) Dataran rendah dan dataran tinggi adalah daratan dengan struktur horizontal, berada pada tempat yang rendah (untuk dataraan rendah) atau pada tempat yang tinggi (untuk dataran tinggi). Dataran tinggi mempunyai relief dengan lembah yang dalam, sedangkan dataran rendah mempunyai relief dengan lembah relatif dangkal. Banyak dataran rendah yang termasuk jenis bentuk konstruksional, misalnya dataran pantai, interior plains (dataran antar bukit dan lembah), dataran danau, dataran lava, dan dataran endapan glacial. Yang termasuk dalam bentukan destruksional antara lain adalah dataran delta, dataran banjir (flood plain), dan dataran residu-tererosi (outwash). Pada kondisi alami, banyak dataran tinggi dan dataran rendah yang terganggu dan patah karena terjadinya sesar. Studi mengenai plateau dan plain menyangkut pula sifat kikisan yang dikendalikan oleh struktur lapisan, jenis batuan, dan struktur geologi. Dataran rendah dapat digolongkan menjadi 6 jenis, yaitu: 1) Dataran pantai (coastal plain) yang terbentuk oleh pengangkatan dasar laut. 2) Interior plains, mirip dengan dataran pantai tetapi terbentuk dan terletak sangat jauh ke tengah laut. 3) Dataran danau (lake plain), terbentuk oleh munculnya dasar danau karena pengeringan danau. 4) Dataran lava (lava plain) dan pateau lava (lava plateau), terbentuk oleh aliran lava encer. 5) Dataran endapan glasial (till plains), terdiri dari endapan glasial (till) yang menutupi topografi yang tidak rata. 6) Dataran aluvial (aluvial plain), terbentuk dari endapan aluvial, dari kipas aluvial di kaki pegunungan hingga jauh ke dataran banjir dan pantai. Dataran lain, misalnya dataran delta, dataran banjir, dan outwash plains, terbentuk oleh proses destruksional, dan bersama dengan peneplane akan dibahas dalam Bab 5 (Bentang lahan Fluvial dan Sungai).



Suwardji & J. Priyono



30 Batuan yang membentuk dataran rendah pada umumnya lepas (terurai) dan terkadang keras. Kerakal, pasir, lempung, dan napal merupakan batuan yang lazim sebagai pembentuk dataran rendah. Memperhatikan proses pembentukannya, dataran aluvial umumnya mempunyai bahan yang terdiri dari pasir, kerikil, debu, serta lempung (clay) yang mempunyai posisi dan ketebalan yang berbeda-beda yang sangat dipengaruhi oleh besarnya tenaga transportasi. Bahan pada dataran danau umumnya berupa lempung yang berlapis-lapis tipis. Material penyusun interior plains lebih banyak terdiri dari sedimen lempung (clay) dan batu gamping (chalk) berlapis-lapis dan keras, sedangkan kandungan bahan pasir dan konglomerat biasanya sedikit atau jarang dijumpai. Ditinjau dari umur relatifnya, suatu dataran dapat digolongkan menjadi dua, yaitu: (1). Dataran muda Dataran ini mempunyai lapisan mendatar dan terletak jauh dari laut. Biasanya masih ditemui beberapa sungai karena permukaan aslinya masih ada. Pada dataran muda biasanya tidak dijumpai jalur topografi seperti pada dataran pantai. Batuan yang dominan umumnya terdiri dari batu gamping, serpih, dan batu pasir. Karena kondisi kemiringan lerengnya yang relatif kecil, maka sering ditemukan danau dangkal. Sungai yang ada biasanya berpola meander. (2). Dataran rendah dewasa. Dataran ini biasanya mempunyai bentuk fisiografi berbukit sampai bergelombang dan landai dengan lapisan tetap horizontal, biasanya dialiri oleh banyak sungai dengan relief dangkal. Pola drainasenya biasanya dendritik dengan dominasi batuan masif, misalnya batu pasir dan batu gamping. Dapat juga terjadi pola drainase rektangular atau menyudut oleh karena adanya sesar dan struktur topografinya kasar. Pada daerah dengan batuan lunak, misalnya lempung dan serpih, sungai mengalir ke semua arah dan bertektur halus.



Suwardji & J. Priyono



31 Plateau seharusnya merupakan dataran tinggi dengan lapisan horizontal. Tetapi dalam pengertian awam tidaklah demikian. Sebagai contoh, plateau Guiana terdiri dari batuan dan bentuk permukaan/bentang lahan yang kompleks. Plateau Piedmond dan Laurensia di AS terdiri dari batuan kristalin yang terganggu dan kompleks. Sketsa representasi perkembangan plateau dapat dilihat pada Gambar 3.3. Sangat Muda



Muda



Dewasa



Tua



Gambar 3.3. Tahapan perkembangan plateau (PUSPICS-UGM, 1999)



Suwardji & J. Priyono



32



Plateau muda merupakan daerah dengan lapisan horizontal dan di beberapa tempat sudah mulai terkikis intensif oleh aliran sungai dan erosi air lainnya. Plateau muda mempunyai relief yang besar dan hal itu yang membedakannya dengan dataran rendah. Daerah plateau biasanya berada pada tempat yang tinggi, lebih tinggi dibandingkan dengan daerah sekitarnya, dibatasi oleh gawir tebing, atau lebih mudah dikenali dari pegunungan yang ada di sebelahnya. Pada daerah ringkai (arid) atau daerah semi-ringkai (semiarid) pada lembah plateau berbentuk canyon. Biasanya bentuk ini terjadi dan terdiri dari singkapan yang didominasi oleh batuan keras. Pada tempat yang mempunyai batuan lunak, lembahnya biasanya lebih landai dan panjang. Daerah hulu pada lembah di daerah plateau beriklim gurun biasanya tidak berbentuk tajam atau runcing seperti pada daerah lembab. Perbedaan itu disbabkan oleh perbedaan proses pembentukannya. Lembah di daerah arid terbentuk oleh proses pelapukan/ desintegrasi mekanis, bukan oleh proses erosi yang menyebabkan pengkisan yang biasanya terjadi pada daerah beriklim tropis/lembab. Karena adanya banyak kekar vertikal, maka canyon yang terjadi di daerah gurun biasanya berbentuk vertikal dan berbelok menyudut. Plateau dewasa, kenampakannya secara umum seperti halnya pegunungan biasa dengan bukit, lembah, aliran sungai, dan sebagainya. Bukti bahwa daerah seperti itu merupakan dataran (tinggi) hanya dapat dikenali dari kedudukan lapisan batuannya yang horizontal. Hal lain yang bisa dijadikan pedoman adalah adanya kecenderungan bahwa puncak bukitnya sebagian besar berada pada ketinggian yang hampir sama. Hal itu merupakan bukti hasil destruksional tenaga eksogen dari plateu. Plateau dewasa di daerah lembah umumnya menunjukan adanya perbukitan dengan bentuk membulat dan puncaknya hampir datar. Tebingnya sering berundak-undak ka-



Suwardji & J. Priyono



33 rena pengikisan melingkar bukit, terpilah oleh adanya lapisan keras dan lunak. Tebing terjal sering berhutan atau ditumbuhi oleh belukar yang lebat. Pada daerah arid, puncak bukit sering tajam dengan tebing terjal. Plateau yang terdiri dari batuan keras sering bertekstur kasar, dimana jarak antar alur sungai berjauhan, puncak bukitnyanya datar dan lebar. Sebaliknya, plateau yang terdiri atas batuan lunak cenderung bertekstur halus dengan jarak antar sungai berdekatan, dan punggungnya sempit, menghasilkan suatu topografi yang disebut bedlands. Pada plateau yang terdiri dari batuan keras dan berkekar, sering dijumpai sungai/lembah berpola tegak lurus atau jajaran genjang satu-sama lain (rectanggle). Lembah tersebut dapat sempit dan dalam, punggungannya merupakan blok-blok terpisah satu sama lain oleh lembah lurus dan sempit, disebut rock city. Plateau tua umumnya merupakan daerah dataran yang luas, terbentuk oleh pengikisan dengan lapisan horizontal dan disebut peneplane. Bukit sisa erosi yang juga berstruktur horizontal disebut mesa, tingginya dapat mencapai 150 - 200 m. Dimensi yang lebih kecil dinamakan butte, dan jika berbentuk lebih sempit dan tinggi seperti pilar disebut pinnacles atau needles. Karena proses pengangkatan, sebuah plateau yang tua dapat mengalami peremajaan (rejuvenation) dengan ciri adanya meander tua dan telah mengalami beberapa kali perubahan arah aliran (incised meander), teras yang lebar di kiri dan kanan lembah sebagai hasil peremajaan yang disebut esplanade atau benches. Plateau lava, terdiri dari banyak lapisan aliran lava, umumnya lava basalt yang mulanya encer mengalir berurutan sesuai dengan waktu kejadiannya. Sering berselingan dengan abu gunung api, lava terlapuk, endapan danau dan sungai. Banyak lava berpori dengan selingan endapan kedap air, sehingga sering dijumpai air tanah atau mata air. Lembah sungai di daerah ini sering terjal atau berbentuk



Suwardji & J. Priyono



34 undak-undak, karena kerasnya lava dan adanya sesar. Mata air panas, sesar, dan kerucut gunung api, dapat pula berasosiasi dengan plateau lava. Plateau tersesarkan atau plateau terganggu (broken or wraped plateau) adalah plateau yang kebanyakan mengalami gangguan oleh sesar, lipatan, atau bahkan berubah dan terintrusi. Beberapa contoh plateau antara lain plateau Colorado dan plateau Missouri (AS), beberapa pateau dari pegunungan selatan Jawa, plateau Sukodana (Lampung). B. Pegunungan Kubah (dome) Pegunungan kubah dapat diartikan sebagai struktur dari suatu daerah yang luas dengan sifat lipatan regional dengan sudut kemiringan yang kecil. Ukurannya bervariasi, dari sekitar satu hingga ratusan kilometer. Ada beberapa sebab terjadinya kubah, antara lain oleh intrusi garam (diapir), intrusi lakolit, dan intrusi batuan beku (batolit). Istilah kubah dan cekungan selanjutnya akan beralih menurut struktur dan bentuknya sebagai antiklinal pada daerah pegunungan lipatan. Representasi perkembangan pegunungan kubah (dome) dari tahapan muda sampai tua dapat dilihat pada Gambar 3.4. Tahapan Muda. Dalam tahapan ini, pegunungan kubah ditandai dengan sungai-sungai ‘konsekuen’ dengan pola radial. Alur sungai masih dangkal dan bentuk kubah masih utuh. Selanjutnya, pengikisan dimulai di bagian puncak dengan membentuk banyak alur erosi. Beberapa sungai konsekuen mengikis ke hulu dan memusat di puncak kubah, sehingga puncak kubah menjadi teriris melalui celah (windgap). Lapisan lunak lebih mudah terkikis daripada yang keras. Gawir/tebing yang terbentuk sering berupa undak-undak (strata) yang memperlihatkan lapisan keras dan lunak. Terkadang inti kubah yang keras tampak di dasar cekungan erosi kubah.



Suwardji & J. Priyono



35 Tahapan Dewasa. Pengikisan di puncak makin meluas dan dalam. Beberapa undak-undak gawir terbentuk sesuai dengan banyaknya lapisan yang resistant. Demikian pula akan lebih banyak terbentuk windgap.



Kondisi awal



Muda



Dewasa



Tua



Gambar 3.4. Tahap perkembangan pegunungan kubah (PUSPICS-UGM, 1999).



Suwardji & J. Priyono



36 Sungai ‘subskuen’ bergabung dengan sungai ‘konsekuen’ yang memanjang, karena pengikisan ke hulu oleh sungai subsekuen memanjang mengikuti sebaran lapisan lunak, membentuk pola angular. Punggungpunggung yang dibentuk oleh lapisan miring disebut hogbacks, lereng terjalnya menghadap ke tengah kubah, kecuali kalau sudut kemiringan lapisan itu lebih dari 45o. Pada lereng itu mengalir sungai ‘obsekuen’. Sungai resekuen mengalir searah dengan lereng landai hogback. Banyak windgap yang memutuskan hogback. Tahapan Tua. Bentuk akhir dari pengikisan kubah akan membentuk peneplane. Kubah besar dan tinggi dihasilkan oleh intrusi batolit, sedangkan yang lebih kecil dihasilkan oleh instrusi lakolit, bahkan sill dapat dihasilkan oleh intrusi garam (diapir), termasuk diapir lempung. Antiklinal pendek yang menunjukkan penunjaman di kiri-kanannya cenderung berbentuk kubah. Hogback dapat terbentuk melalui beberapa kejadian, antara lain antiklin, sesar, dan intrusi kubah. Terdapat beberapa jenis hogbacks sbb: 1). Flations, merupakan hogbacks yang terletak terdekat dengan inti kubah yang keras (batuan kristalin). Hogback ini tidak terpisahkan dari inti kubah oleh adanya aliran subsekuen, tetapi terbelah oleh lembah aliran konsekuen. Ujung atas umumnya runcing dan bentuknya seperti permukaan datar pada setrika (flat iron). 2). Hogbacks dan Cuestas, berbentuk punggung lebar yang miring ke arah lapisan dan tebing terjal yang miring ke arah berlawanan dengan arah kemiringan lapisan. Jika kemiringan punggungan melandai, sesuai dengan kemiringan lapisan, disebut cuestas. Batas sudut kemiringan punggung yang membedakan hogback dan cuesta tidak tegas, tetapi umumnya 15o (Thornburry, 1969). 3). Plateau upland, lapisan sedimen di bagian atas kubah, horizontal. 4). Faulting hogbacks, terbentuk akibat adanya sesar normal pada lapisan sedimen horizontal membentuk apa yang disebut ‘drag’. Suatu



Suwardji & J. Priyono



37 drag lain yang dibentuk oleh sesar dapat naik membentuk hogbacks. 5). Igneous hogbacks, terbentuk oleh lapisan sill atau lensa batuan beku di sekitar lakoklit. Batuan tersebut yang menerobos lapisan batuan sedimen yang lunak, dan setelah pengikisan dapat membentuk hogbacks. 6). Burried hogbacks, merupakan bukit hogbacks yang terpisah satu sama lain oleh adanya endapan aluvial yang tebal dan extensif di sekitarnya. Aspek geografi kubah. Inti kubah yang terdiri dari batuan kristalin sering dimanfaatkan sebagai sumber logam. Penambangan garam sering dijumpai pada kubah garam. Jika tidak berpotensi akan mineral, inti kubah yang bertekstur kasar sering merupakan daerah hutan, sekaligus merupakan daerah tadah hujan. Bagian berlereng terjal dari hogbacks sebaiknya dihutankan untuk mencegah longsor dan untuk tujuan konservasi air. Daerah luar dari kubah, karena adanya perulangan lapisan keras dan lunak sering, merupakan perangkap air artesis atau minyak bumi. C. Pegunungan Angkatan-Lipatan (folded mountaints) Istilah pegunungan angkatan-lipatan (folded mountains) digunakan untuk suatu jenis pegunungan dengan struktur lipatan yang relatif sederhana. Daerah pegunungan dengan lipatan yang rumit, misalnya pegunungan Alpina, disebut pegunungan kompleks (mountain complex). Representasi perkembangan pegunungan lipatan dari tahapan muda sampai tua dapat dilihat pada Gambar 3.5. Tahapan Muda, bila erosi berlanjut maka pengikisan sungai lateral dapat menajam ke hulu dan juga memanjang ke puncak antikilin. Hasilnya adalah sungai subsekuen di puncak antikilin, dan puncak antikilin dapat terklikis lebih dalam lagi.



Suwardji & J. Priyono



38 Awal



Muda



Dewasa



Tua



Gambar 3.5. Tahapan perkembangan daerah angkatan-lipatan (PUSPICSUGM, 1999)



Suwardji & J. Priyono



39 Tahapan Dewasa. Pengikisan di puncak antiklin dapat berlanjut, melebar dan dalam di sepanjang antiklin, dan akhirnya terbentuk lembah antiklin. Kenampakan morfologi geologi sekitarnya menjadi terbalik (inverted relief). Hal sebaliknya dapat terjadi bahwa yang semula merupakan cekungan sinklin menjadi bukit sinklin (sinclinal ridge). Hal tersebut tidak harus demikian, dapat saja terbentuk bukit antikilin (anticlinal ridges), dan lembah sinklin (sinclinal ridges). Bukit yang terbentuk oleh lapisan yang miring searah disebut bukit monokilin (monoclinal ridges). Pola aliran sungai yang lazim adalah trelis, terdiri dari sungai subsekuen, reskuen, dan obsekuen. Pada daerah pegunungan lipatan dengan lipatan memanjang, kenampakan morfologi sering ditandai oleh pola pegunungan yang berbentuk zig-zag. Jika bentuk lipatannya sederhana, dapat dijumpai pegunungan berbentuk cerutu. Arah penunjaman ditujunjukan oleh belokan pegunungan yang meruncing. Pada daerah lipatan kuat, sesar sungkup, dan sebagainya, setelah berlangsung erosi terkadang terdapat bukit yang merupakan sisa erosi dan memperlihatkan lapisan inti dari sesar sungkup, dan bukit tersebut disebut outlier. Erosi pada punggung bukit dapat pula membentuk cekungan. Pada dasar cekungan lapisan yang lebih muda, cekungan tersebut dinamkan window atau fonster. Tahapan Tua. Daerah pegunungan lipatan oleh pengikisan menjadi peneplane dan sungai mengalir di dataran tersebut seolah tanpa mengindahkan adanya lapisan lunak ataupun keras. Lapisan tipis endapan aluvial dapat menutupi peneplane. Peremnajaan. Setelah terbentuk peneplane maka terjadi proses pengangkatan kembali. Sungai-sungai akan menyayat lebih dalam lagi, meninggalkan puncak-puncak yang lebih rata. Wingaps jauh di tinggal di atas puncak pegunungan, sementara sungainya menyayat lebih dalam lagi. Aspek geografi pegunungan lipatan. Daerah ini umumnya merupakan bukit terjal dengan lembah yang panjang, adanya pengulangan antara lembah lebar dan sempit akibat perbedaan kekerasan batuan;



Suwardji & J. Priyono



40 adanya gawir/tebing terjal dan pegunungan landai pada hogbacks atau homoclinal ridges. Bentuk tersebut sangat mempengaruhi perencanaan pembangunan jalan raya, trowongan, dan potensi pembangunan bendungan dan waduk untuk berbagai tujuan. Daerah pegunungan lipatan yang terdiri dari batuan sedimen sering pula mengandung nilai ekonomis seperti batu gamping, lempung, pasir kwarsa, gipsum dan sebagainya, yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai industri mineral, misalnya industri semen, gelas, dan kapur. Jika mengandung batubara tentunya akan berpotensi untuk sumber energi. Bahkan, tidak jarang mengandung potensi minyak dan gas bumi jika batuannnya merupakan batuan induk yang memenuhi syarat untuk menjadi perangkap minyak (oil traps). Jika mempunyai batuan trobosan, misalnya batolit, sering pula daerah pegunungan itu diperkaya dengan mineral logam. D. Pegunungan Patahan (faulted mountains) Pegunungan ini merupakan hasil deformasi dengan sesar, atau sesar sebagai struktur utama. Yang menjadi masalah adalah pengenalan sesar dari kenampakan morfologi biasanya agak sulit dilakukan. Perkembangan pegunungan patahan dari tahap muda sampai tahap tua dapat dilihat pada Gambar 3.6. Tahapan Muda. Pada tahapan ini, pegunungan patahan memperlihatkan gawir-gawir terjal yang memisahkan antara satu blok pegunungan dengan blok yang lain, atau antara blok pegunungan dan blok lembah. Bidang gawir umumnya berbentuk tajam dan relartif rata, belum tersayat/terpisahkan oleh lembah. Bentuk blok cenderung asimetri, dan punggung blok cenderung lebih landai dari permukaan gawir, atau bahkan rata seperti pada plateau. Bentuk blok dapat persegi, berundak/ strata, atau membagi/terbelah, tergantung pada pola dasar terbentuknya pegunungan patahan.



Suwardji & J. Priyono



41



Muda



Dewasa



Tua Gambar 3.6. Tahapan perkembangan pegunungan lipatan (fault mountain) (PUSPICS-UGM, 1999)



Suwardji & J. Priyono



42 Tahapan Dewasa. Proses pendewasaan menyebabkan adanya pengikisan pada bagian muka atau punggung blok. Beberapa kondisi kemungkinan dapat terjadi: 1) Bagian muka dari blok lebih terjal daripada bagian punggung, tetapi garis pemisah aliran drainase cenderung dikikis ke arah belakang (berbalik). 2) Garis dasar sesar cenderung lurus. 3) Adanya triangular facets, merupakan sisa-sisa bidang sesar setelah terkikis oleh beberapa lembah. Karena pengikisan yang intensif, makin lama triangular facets makin menipis dan akhirnya hilang. 4) Adanya dataran aluvial yang luas di permukaan bidang blok dengan kipas aluvial sebagai transisi. Kipas aluvial terletak berjajar dalam garis lurus sepanjang kaki bagian depan dan blok. 5) Teras baru pada kaki bidang bagian depan blok dapat terbentuk oleh terjadinya sesar yang baru. 6) Mata air, khususnya mata air panas, sering terdapat pada kaki bidang bagian depan (muka). 7) Danau, blok basin lakes, dapat terbentuk di depresi di antara muka blok, atau antara punggung dan blok yang lain. Tahapan Tua. Karena proses pengikisan lebih lanjut, daerah pegunungan patahan menjadi lebih datar dan kehilangan bentuk asimetrinya. Terkadang muka dan punggungnya menjadi sama landai, atau muka blok mundur jauh ke punggung, jika dibandingkan dengan bidang sesar semula. Daerah aluvial sangat luas, dan yang terletak di antara dua jajaran bukit sisa pegunungan blok disebut bolson plains. Bagian daerah yang rendah dan mendatar (kipas aluvial) biasanya dimanfaatkan atau dihuni penduduk, karena subur dan banyak air. Kota banyak tumbuh di dataran yang dekat dengan mulut lembah. Daerah tersebut dapat berpotensi mineral dapat dijumpai sedimen bermineral logam.



Suwardji & J. Priyono



43



BAB 4 BENTANG LAHAN Tujuan Instruksional Khusus Setelah selesai mengikuti matakuliah bab ini, mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan dengan tepat beberapa model pembentukan dan perkembangan bentang lahan yang mencakup pengertian proses geomorfik, pelapukan (degradasi, agradasi), proses dan faktor yang mempengaruhi pelapukan, dan bentang lahan pelapukan; proses gerakan masa tanah dan batuan.



4.1. Proses Geomorfik Pembentukan Bentang Lahan Proses geomorfik adalah semua proses perubahan, baik secara fisik maupun kimia, yang mengakibatkan terjadinya modifikasi susunan dan bentuk permukaan bumi. Proses tersebut terjadi karena adanya energi atau medium proses geomorfik, yaitu semua medium alami yang mampu merusak, merubah, mengangkut, dan mengendapkan material bumi. Hubungan antara sumber energi dengan sifat proses geomorfik dapat diilustrasikan dalam diagram berikut (Gambar 4.1). Degradasi Eksogen Agradasi PROSES GEOMORFIK



Volkanisme Endogen Diastropisma



Ektraterestrial Gambar 4.1. Diagram proses geomorfik pembentukan bentang lahan.



Suwardji & J. Priyono



44 Proses geomorfik yang melibatkan tenaga eksogen dapat menghasilkan penurunan permuka bumi (gradasi) dan pengangkatan permuka bumi (agradasi). Dalam aplikasi konsep geomorfologi, misalnya hubungan antara bentang lahan dengan kualitas lahan pertanian, gradasi dan agradasi masing-masing dapat mencakup penurunan (gradasi) dan peningkatan (agradasi) kualitas maupun kuantitas lahan tersebut. Gradasi dan agradasi merupakan suatu pasangan dari dua sifat hasil proses geomorfik yang berlawan dan tak dapat dipisahkan. Terjadinya proses gradasi di suatu lokasi, diikuti atau sebagai akibat terjadinya agradasi di tempat lain. Contoh sederhana dari hubungan itu adalah terjadinya proses erosi (gradasi) di bagian lereng atas yang curam akan menghasilkan bahan yang diendapkan (agradasi) di lereng bagian bawah yang lebih datar. Proses gradasi dapat dibagi menjadi tiga, yaitu pelapukan (weathering), longsoran masa (masswasting), dan erosi (erosion). Ketiga proses tersebut sangat penting kaitannya dengan perkembangan bentang lahan dan tanah (pedo-genesis), dan masing-masing akan di bahas dalam sub bab berikut. Berdasarkan kharakteristik proses pembentukannya, bentang lahan dapat dikelompokan menjadi 4 tipe sebagai berikut: 1). Bentang lahan struktural, yaitu bentang lahan yang terbentuk oleh gerakan bumi secara massif (besar dan hebat) akibat adanya gaya tektonik (tenaga endogen) lepeng bumi. Model ini meliputi bentang lahan dengan beberapa bentuk geomorfik khusus, misalnya pegunungan lipatan (fold mountain), lembah curam (rift valley), dan kawasan volkanik. 2). Bentang lahan pelapukan, yaitu bentang lahan yang terbentuk oleh hasil pelapukan batuan secara fisik/dan kimia. Pelapukan menyisakan dan menghasilkan bentang lahan dimana batuan dan sedimen terombak (decomposed) dan tercerai-berai (disintegrated). Bentang lahan semacam ini meliputi beberapa bentuk geomorfik, misalnya karst, lahan ber-pola tertentu, dan profil tanah. 3). Bentang lahan erosional, yaitu bentang lahan yang terbentuk oleh erosi air, angin, glasier, dan gravitasi pada material bumi. Model ini meliputi



Suwardji & J. Priyono



45 bentang lahan dengan beberapa bentuk geomorfik, misalnya lembah sungai, lembah glacial, dan jajaran pantai (coastal cliffs). 4). Bentang lahan pengendapan, yaitu bentang lahan yang terbentuk dari proses pengendapan bahan terlapuk dan tererosi. Kadang-kadang bahan endapan itu dapat terpadatkan oleh adanya proses tekanan, panas, dan kimia menjadi batuan beku (sedimentary rocks). Bentang lahan ini meliputi beberapa bentuk geomorfik pantai, delta, dataran banjir, dan endapan glacial. Banyak bentang lahan yang terbentuk melalui beberapa proses tersebut di atas dan dihasilkan bentang lahan poligenetik. Proses yang bekerja pada suatu bentang lahan dapat berubah/berganti berdasarkan waktu, dan merupakan hasil dari beberapa siklus perkembangan. Proses semacam itu disebut perkembangan bentang lahan polisiklik. Model perkembangan bentang lahan yang menjelaskan proses geomorfik dengan tipe bentang lahan yang dihasilkan diilustrasikan dalam diagram (Gambar 4.2). Proses pembentukan dan perkembangan bentang lahan struktural telah banyak dibahas dalam Bab 3, dan beberapa bentang lahan khusus akan dibahas dalam Bab 5 – 7.



4.2. Pelapukan Pelapukan adalah proses pemecahan, penghancuran, dan pengikisan batuan dan mineral di atau dekat permukaan bumi, menjadi suatu produk yang lebih seimbang/stabil di lingkungan itu. Sebagian besar batuan dan mineral terbentuk di kedalaman kulit bumi (crust) dimana tekanan dan temperaturnya sangat berbeda (lebih tinggi) dibanding di permukaan bumi. Kondisi fisik dan kimia secara alami dari bahan yang terbentuk di bagian dalam bumi itu akan bersifat labil apabila berada di permukaan bumi. Oleh karena itu, batuan tersebut mudah terlapuk melalui proses pengikisan, erosi, maupun proses kimiawi di permukaan bumi.



Suwardji & J. Priyono



46



Magma Proses tektonik Pengerasan



Bentang lahan struktural



Batuan



Pelapukan



Perombakan batuan (fisik, kimia, biologi)



Bentang lahan l k



Pecahan/debris



Bahan endapan dari erosi



Pengikisan, pengangkutan oleh agen erosi



Bentang lahan erosional



Pengendapan oleh air, angin, es



Bentang lahan pengendap-



Muatan bahan endapan Pengendapan



Gambar 4.2. Diagram model pembentukan dan perkembangan bentang lahan (Pidwerny, 2006) Pelapukan merupakan tahap awal dari berbagai proses geomorfik dan biogeokimia. Hasil dari pelapukan merupakan sumber utama dari erosi dan deposisi. Dalam kontek geomorfologi, pelapukan merupakan permulaan terjadinya proses gerakan masa batuan dan erosi, penyebab utama terjadi-



Suwardji & J. Priyono



47 nya penurunan kualitas maupun kuantitas batuan/material bumi (degradasi). Banyak tipe batuan endapan terdiri atas partikel yang telah terlapukan, kemudian tererosi dan terendapkan sementara di dasar laut. Pelapukan juga menyebabkan terbentuknya tanah yang terdiri atas partikel pasir, debu, dan clay. Unsur dan senyawa yang terlarut dari batuan dan mineral oleh proses pelapukan menjadi stok unsur hara untuk tanaman. Salinitas air laut adalah hasil dari pelepasan garam dari batuan dan mineral di daratan. Pelindihan dan aliran permukaan (run off) mengangkut ion tersebut dari daratan ke laut, dan akhirnya terakumulasi dalam air laut. Jadi, pelapukan adalah proses sangat penting dan berpengaruh terhadap banyak aspek di hidrosfir, litosfir, dan biosfir. Tiga akibat utama hasil dari proses pelapukan adalah (1) kehilangan atom atau senyawa tertentu dari permukaan terlapuk, (2) penambahan atom atau senyawa tertentu pada permukaan terlapuk, dan (3) pecahan masa batuan yang tidak berubah komposisi kimianya. Residu dari proses pelapukan itu dapat terdiri atas bahan yang terkikis secara kimiawi atau tampak masih utuh. Mineral yang tak mudah terlapuk/stabil yang paling umum ditemukan dipermukaan bumi adalah kuarsa. Banyak bahan terkikis secara kimiawi menjadi senyawa sangat sederhana atau ion. Bahan semacam itu mudah terlarut atau terangkut oleh air, terlepas ke atmosfir dalam bentuk gas, atau diserap tanaman sebagai unsur hara. Beberapa produk pelapukan mineral kurang resisten, yaitu mineral alumino-silikat, dapat berubah menjadi partikel clay. Bahan terlapuk lainnya dapat berubah menjadi batuan atau mineral lain melalui proses sedimentasi atau metamorfik.



4.2.1. Pelapukan Kimiawi Pelapukan kimiawi meliputi pengikisan (alterasi) komposisi kimia dan mineralogi batuan. Berbagai proses yang berbeda dapat terlibat dalam suatu tahapan pelapukan kimiawi. Proses pelapukan kimiawi yang paling umum adalah hidrolisis, oksidasi dan reduksi, hidrasi, karbonasi, dan pelarutan.



Suwardji & J. Priyono



48 •















Hidrasi adalah reaksi pelapukan yang terjadi ketika permukaan bahan bertemu dengan air, dan terjadi reaksi antara mineral dengan ion H+ dan OH- dari molekuk air, menghasilkan permukaan mineral/batuan yang terlapuk dengan terbentuknya senyawa baru, meningkatnya pH larutan melalui pelepasan ion OH-. Hidrolisis efektif terutama dalam proses pelapukan mineral silikat dan alumino-silikat karena muatan listrik dipermu-kaan mineral tersebut. Oksidasi adalah reaksi antara suatu bahan dengan oksigen. Hasil akhir dari reaksi ini adalah pelepasan satu atau lebih elektron dari senyawa tersebut, dan dapat menyebabkan berkurangnya stabiltias bahan/mineral tersebut. Oksida yang paling umum adalah senyawa besi dan aluminium, dan masing-masing berwarna merah dan kuning (umumnya dijumpai di daerah tropis dengan temperatur dan curah hujan tinggi). Reduksi adalah kebalikan dari oksidasi, yaitu penambahan satu atau lebih elektron pada suatu senyawa. Hidrasi adalah pengikatan ion H+ dan OH- oleh suatu senyawa/mineral. Dalam banyak hal, H+ dan OH- menyadi bagian dari struktur kristal mineral. Hidrasi juga dapat mempercepat reaksi pelapukan lainnya dengan terjadinya pengembangan struktur kristal yang menyebabkan meningkatnya luas permukaan reaktif senyawa padatan/mineral terhidrasi. Karbonasi adalah reaksi ion karbonat (CO3-2) dan bikarbonat (H2CO2-) dengan mineral. Karbonasi terutama terjadi jika lingkungan dimana terjadinya reaksi itu banyak terdapat karbon dioksida. Pembentukan asam karbonat (CO2 + H2O ⇋ H2CO3) menghasilkan agen pelapuk alami (ya-







itu larutan asam lemah) yang sangat penting. . Pelarutan, yaitu proses pelepasan berbagai senyawa atau ion pada permukaan batuan/mineral oleh air sehingga larut dalam air itu.



Faktor terpenting yang mempengaruhi kecepatan seluruh jenis pelapukan kimiawi secara alami tersebut adalah iklim, terutama kelembaban dan temperatur. Kedua anasir iklim tersebut berperan sebagai pendorong (katalisator) proses pelapukan kimia. Hasil banyak penelitian menunjukan bahwa Suwardji & J. Priyono



49 laju pelapukan kimiawi di daerah tropis (temperatur dan kelembaban tinggi) dapat mencapai 2 – 3 kali lebih tinggi daripada laju pelapukan di daerah sedang (temperate).



4.2.2. Pelapukan Fisik Pelapukan fisik meliputi proses pemecahan dan penghancuran mineral secara mekanik oleh berbagai sebab. Sebagian energi pelapuk itu berasal dari dalam mineral atau batuan, sebagian lain dari luar (ekternal). Kedua tekanan energi (stresses) itu menghasilkan tegangan dan menghancurkan batuan. Proses yang dapat dikategorikan sebagai penghancuran mekanik adalah abrasi, kristalisasi, isolasi termal, pembasahan-pengeringan, dan pelepasan tekanan (pressure release). Abrasi terjadi jika beberapa tenaga perusak menyebabkan dua permukaan batuan saling bergesekan atau melindas. Penghancuran antar permukaan batuan biasanya terjadi pada proses penghanyutan bahan tererosi oleh angin, air, atau es. Kristalisasi dapat menyebabkan timbulnya tenaga tekanan yang dapat menghancurkan batuan atau mineral itu sendiri secara mekanik. Pertumbuhan kristal menyebabkan tekanan sebagai akibat dari perubahan fisik (physical state) suatu senyawa, dibarengi dengan perubahan temperatur. Perubahan dari cair menjadi kristal/padatan (misalnya es dan garam) menghasilkan perubahan volume dan dapat menyebabkan penghancuran secara mekanik. Penghancuran fisik yang disebabkan oleh isolasi termal adalah akibat ketidak-mampuan/kelemahan secara fisik dari batuan sebagai penghantar panas. Kelemahan itu (sifat isolatif) menyebabkan tingkat pemuaian di permukaan batuan/mineral lebih tinggi daripada di bagian dalam batuan/mineral itu. Perbedaan pemuaian itu juga dapat disebabkan oleh perbedaan warna partikel penyusun batuan. Butiran mineral bewarna gelap dapat menyerap panas lebih banyak sehingga memuai lebih intensif daripada mineral berwarna terang yang lebih banyak memantulkan cahaya atau panas. Jadi,



Suwardji & J. Priyono



50 pelapukan fisik pada batuan yang tersusun atas berwarna-warni butiran dapat terjadi dengan kecepatan dan arah yang berbeda-beda pada batas batuan itu, sehingga menimbulkan ketidak-stabilan batuan tersebut. Pembasahan-pengeringan batuan dapat menyebabkan pecahnya batuan. Proses itu berkaitan dengan jumlah molekul air yang berada di ruang antara pertikel penyusun bongkah batuan/mineral. Meningkatnya ketebalan lapisan molekul air menimbulkan tekanan yang makin besar. Proses itu dapat dipercepat apabila terjadi pula pelarutan natrium sulfat dalam batuan itu. Sebagian besar batuan beku terbentuk di bawah permukaan bumi dengan tekanan dan temperatur lebih tinggi daripada di permukaan bumi. Karena terjadinya erosi di lapisan atas kulit bumi, batuan tersebut dapat muncul di permukaan bumi yang tekanan udaranya lebih rendah daripada di bagian dalam bumi. Penurunan tekanan itu dapat menyebabkan pecahnya batuan ke arah horizontal. Intensitas penghacuran tersebut makin tinggi dengan makin dekatnya batuan ke permukaan bumi.



4.2.3. Pelapukan Biologis Pelapukan biologis meliputi disintegrasi batuan/mineral karena aktivitas organisme (termasuk bakteri, tanaman, binatang), baik secara kimiawi maupun fisik. Proses pelapukan oleh organisme secara fisik misalnya penghancuran partikel batuan oleh binatang, pemindahan partikel dan pembuatan sarang binatang, serta pertumbuhan akar tanaman dalam rongga antar partikel batuan. Proses pelapukan biologis melalui proses kimiawi (biokimia) antara lain pelarutan yang dipercepat oleh produksi karbon dioksida (CO2) yang dihasilkan dari respirasi (CO2 bercampur dengan air menghasilkan asam karbonat); pengkelatan oleh eksudat yang dikeluarkan akar tanaman. Aktivitas organisme dapat mempengaruhi pH larutan melalui proses pembentukan asam karbonat. Tanaman tingkat rendah (lumut, jamur) yang tumbuh di permukaan batuan dapat mengekstrak unsur hara langsung dari batuan, menyebabkan batuan menjadi rapuh dan mudah hancur.



Suwardji & J. Priyono



51 4.2.4. Faktor yang Mempengaruhi Pelapukan Faktor penting yang mempengaruhi pelapukan batuan adalah: (1) jenis (komposisi mineral, tektur, dan struktur) batuan, (2) kondisi iklim dan cuaca, terutama yang berhubungan dengan kondisi kering dan lembab, dingin dan panas, serta variasi faktor tersebut sepanjang tahun, (3) keberadaan tumbuhan dan organisme lain, (4) posisi dan kemiringan lereng, kaitannya dengan pengaruhnya terhadap intensitas penyinaran matahari dan curah hujan yang menentukan kuantitas aliran permukaan dan infiltrasi. 1). Jenis batuan Batuan beku umumnya terdiri atas mineral-mineral yang terbentuk pada suhu tinggi, mempunyai stabilitas terhadap pelapukan yang lebih rendah dibandingkan dengan mineral yang terbentuk pada suhu rendah. Sebagai contoh, batuan yang didominasi oleh mineral olivin lebih mudah lapuk daripada batuan yang didominasi oleh mineral amfibol (lihat skema pada Gambar 4.3). Batuan beku yang berbutir lebih kasar cenderung lebih mudah meng-alami disintegrasi daripada batuan beku yang berbutir halus. Batuan yang berpori banyak (porus) dan yang retakretak, akan lebih cepat melapuk daripada batuan yang padat dan kompak. Sebagai contoh, batuan tufa andesit lebih mudah lapuk daripada batuan dari lava andesit. Batuan yang telah hancur karena sesar (ukuran partikel lebih kecil dan retak) lebih mudah lapuk daripada batuan yang segar. Contoh stabilitas mineral berdasarkan pelapukannya menurut Goldich (1939) menggambarkan urutan pelapukan mineral silikat dari yang mudah sampai yang sukar lapuk seperti disitir dalam Gambar 4.3. 2). Iklim Faktor iklim penting yang berpengaruh terhadap pelapukan adalah peubah iklim yang menyebabkan kondisi lembab-kering, panas-dingin, dan lebat-tidaknya vegetasi yang tumbuh (iklim mikro), dan sebagainya. Pada iklim gurun, udara kering dengan perbedaan suhu maksimum dan minimum (amplitudo suhu harian) yang besar, menyebabkan disintegrasi mekanik, dan merupakan proses pelapukan yangdominan pada daerah gurun. Pelapukan yang terjadi pada kondisi semacam ini



Suwardji & J. Priyono



52 Labil



Olivin Augit Hornblende Biotit



Stabil



Plagioklas-Ca Plagioklas-Ca-K Plagioklas-k, Ca Plagioklas-k



Felspat Alkali Muskovit Kwarsa



Gambar 4.3. Diagram stabilitas relatif mineral silikat terhadap proses pelapukan (Goldic, 1938) menyebabkan hancurnya batuan menjadi bongkahan yang lebih kecil sampai ukuran pasir atau debu. Pada pada kondisi yang kontras, yaitu iklim tropis yang lembab dan hangat, akan mengakibatkan proses pelapukan fisik-kimia yang intensif. Banyaknya air, vegetasi dan populasi organisme tanah, serta tingginya suhu udara, menyebabkan proses pelapukan kimiawi yang cepat. Di daerah beriklim dingin, proses pelapukan lambat karena reaksi kimia berjalan lambat pada suhu dingin. Namun, di sisi lain proses pembekuan air menjadi es dalam rongga batuan dapat memecah batuan oleh daya kristalisasi es itu. 3). Aspek lereng. Aspek lereng suatu hamparan sangat berpengaruh terhadap pelapukan. Pada hamparan yang datar, penyinaran matahari dapat tegak lurus pada permukaan batuan dan lama, sehingga dihasilkan jumlah energi panas yang lebih tinggi dibandingkan pada hamparan yang miring. Oleh sebab itu, kondisi medan yang rata biasanya menghasilkan aras pelapukan relatif lebih besar dibandingkan pada medan yang miring. Selanjutnya, gerakan aliran permukaan (runoff) dan air tanah yang lambat di dalam profil tanah menyebabkan proses reaksi kimia berlangsung



Suwardji & J. Priyono



53 pada periode yang lebih lama, sehingga menghasilkan kuantitas pelapukan yang relatif lebih tinggi. Selain itu, kondisi vegetasi yang tumbuh dengan baik di daerah datar juga memacu terjadinya pelapukan yang lebih cepat daripada di daerah miring.



4.3. Bentang Lahan Hasil Pelapukan Sampai tingkat tertentu, sebagian besar bentang lahan menunjukan adanya pengaruh pelapukan. Proses pelapukan terjadi secara bertahap dan kecepatan proses itu dipengaruhi oleh banyak faktor seperti telah dijelaskan di sub bab sebelumnya. Oleh sebab itu dijumpai macam-macam bentang lahan yang dapat dibedakan berdasarkan tingkat perkembangan atau intensitas pelapukan (weathering stages) yang telah terjadi. Bentuk lahan pada suatu bentang lahan yang dapat dikenali umumnya bersifat kompleks, atau gabungan dari beberapa bentang lahan khusus. Dalam sub bab ini dibicarakan beberapa contoh bentang lahan khusus sebagai produk dari proses pelapukan. 1). Regolit dan Tanah Di permukaan bongkah batuan pada suatu bentang lahan adalah akumulasi produk pelapukan. Di antara akumulasi produk pelapukan itu adalah bahan yang tampak mempunyai variasi tingkat pelapukan secara fisik, kimia dan biologi. Akumulasi bahan tersebut beragam dalam ukuran dari kerikil besar sampai ukuran mikron (clay), dan disebut regolit. Pelapukan lebih lanjut dari regolit dihasilkan tanah. Tanah merupakan bentang lahan pelapukan yang paling umum dijumpai. 2). Bentang Lahan Karst Bentang lahan terbentuk di atas batuan induk batu kapur umumnya disebut karst. Pada bentang lahan karst, pelapukan terkonsentrasi pada garis patahan dan lapisan batu kapur menghasilkan beragam bentuk sebagai pengaruh dari pelarutan. Pelarutan di bagian bawah permukaan dapat menghasilkan gua. Bentang lahan karst akan dibahas secara khusus dan detil dalam bab 7.



Suwardji & J. Priyono



54 3). Talus (Scree) Talus merupakan akumulasi dari debris di kaki tebing terjal. Fraksi kasarnya berada pada bagian kaki, sedangkan fraksi halus berada di puncak. Apek pada umumnya bermula pada mulut lembab pada dinding terjal. Representasi hasil pelapukan ini dapat dilihat pada Gambar 4.6. 4). Bongkah residu. Bongkah residu terdapat pada batuan masif yang memperlihatkan retakan (kekar). Pelapukan berlangsung melalui bidang-bidang kekar dan lambat laun menyisakan bongkah residu yang bundar, lonjong, atau pipih dengan sudut membulat. Bagian yang melapuk di sekitar bongkah hampir selalu membentuk lapisan konsentrik dan disebut pelapukan melilit (seperti kulit bawang) atau spheroidal weathering. Dari bongkah residu yang segar di bagian tengah, pelapukan makin in-tensif ke arah luar lapisan konsentrik. 5). Kerangka batuan (stone lattice, mushroom) Hasil pelapukan di laut dan pantai menghasilkan jenis bentang lahan kerangka batuan tersusun berlapis (stone lattice) dan berbentuk seperti jamur (mushroom) yang sangat dipengaruhi oleh perbedaan kekerasan dan komponen lapisan batuan sedimen yang membentuknya. Gelombang laut yang terus-menerus terjadi dapat membentuk bentang lahan tersebut. 6). Kubah terkelupas (expoliation domes) Bentang lahan expoliation dome berbentuk bukit dari batuan masif yang homogen dan mengelupas menghasilkan lapisan atau serpihanserpihan melengkung akibat perubahan suhu. Ada dua pendapat tentang pembentukan bentang lahan ini. Pendapat yang pertama mengungkapkan bahwa pengelupasan melengkung dikendalikan oleh struktur batuan asalnya, khususnya pada batuan intrusi, sedangkan pendapat yang kedua menyatakan bahwa expolition tersebut terjadi karena perubahan suhu udara yang cukup ekstrim. Pendapat yang umum diterima adalah: (1) expoliation disebabkan oleh perubahan suhu musiman, sehingga terjadi expansi dan kontraksi pada batuan, (2) expansi lapisan permukaan oleh



Suwardji & J. Priyono



55 terbentuknya mineral kaolin dan feldsfar selama pelapukan, dan (3) pelepasan tekanan selama terjadinya erosi. 4.4. Longsoran Masa Batuan dan Tanah Longsoran masa batuan (mass wash) adalah semua proses pengangkutan puing batuan menuruni lereng akibat pengaruh gaya gravitasi bumi. Berbeda dengan erosi, yaitu terlepas dan terangkutnya material bumi oleh tenaga erosi, baik oleh tenaga air mengalir, gleicer, angin, maupun ombak. Secara alami, proses itu sangat kompleks sehingga sangat sulit untuk membedakan apakah suatu proses pembentukan bentang lahan hanya disebabkan oleh terjadinya pergerakan masa batuan setelah terjadi pelapukan atau erosi. Biasanya, beberapa proses gerakan masa batuan dan erosi terjadi secara simultan, sehingga menyebabkan terjadinya gerakan masa batuan, terurai dan terangkutnya masa batuan dari suatu tempat ke tempat lain yang posisinya lebih rendah. Terjadinya proses longsoran/gerakan masa batuan tergantung pada perkembangan ketidak-stabilan dalam sistem perbukitan curam (hillslope system). Sumber utama tekanan yang menyebabkan ketidak-stabilan itu adalah gaya gravitasi bumi. Besarnya gaya tekanan itu (F) berkaitan dengan berat masa bahan (tanah dan batuan) W dan kemiringan lereng (∅), yang diformulasikan sebagai berikut: F = W sin ∅ Banyak faktor yang berperan sebagai penyebab awal (triggers) terjadinya gerakan massa batuan pada sistem perbukitan. Faktor yang paling umum adalah karena terjadinya hujan yang lama dan lebat. Penjenuhan tanah dan batuan menjadikan masa dari material tersebut bertambah besar sehingga menambah tekanan (gravitasi) ke bawah. Penjenuhan oleh air juga menyebabkan melemahnya ikatan kohesif antar individu pertikel tanah pada lereng. Mekanisme lain adalah adanya bidang luncur yang diperlicin oleh kelembaban air perkolasi, menyebabkan bahan di atasnya mudah tergelincir ke bagian lereng bawah. Gempa bumi merupakan kejadian umum yang



Suwardji & J. Priyono



56 menyebabkan terjadinya gerakan massa tanah. Getaran gempa bumi meningkatkan tekanan ke lereng bagian bawah, atau menurunkan kekuatan ikatan internal partikel sedimen pada sistem lereng yang curam. Gerakan/longsoran masa tanah sering terjadi pada tanah hasil pelapukan, akumulasi debris, maupun batuan dasar. Gerakan tanah dapat terjadi sangat lambat hingga sangat cepat, khususnya yang mempunyai kelembaban tinggi, dan dapat berubah menjadi aliran (flow). Menurut sifat gerakannya, gerakan tanah dapat dibagi menjadi 3 tipe besar, yaitu (1) robohan (fall), (2) gelinciran (slide), dan (3) aliran (flow). Tipe robohan merupakan gerakan masa batuan atau tanah secara vertikal, akibat adanya rongga di kaki tebing, baik oleh alam (misalnya gelombang laut, kikisan sungai) maupun buatan. Umumnya terjadi pada tebing yang sangat terjal dengan batuan/tanah yang menjorok ke luar, bergerak tanpa bidang luncur dan cepat. Untuk mempelajari gerak massa batuan dengan baik, perlu memperhatikan kondisi geologi (struktur dan jenis batuan), kondisi fisiografi, dan aspek teknik sipil.



Suwardji & J. Priyono



57



Gambar 4.4. Tahap perkembangan bentang lahan pelapukan di daerah beriklim kering (PUSPICS-UGM, 1999).



Suwardji & J. Priyono



58



ALIRAN



GLASIER



OMBAK/ARUS



ANGIN



GLASIER



Gambar 4.5. Kenampakan relief order II, bentang lahan destruksional oleh berbagai gaya eksogen (PUSPICS-UGM, 1999).



Suwardji & J. Priyono



59



TAHAPAN MUDA



TAHAPAN DEWASA



TAHAPAN TUA



TAHAPAN PEREMAJAAN



Gambar 4.6. Tahapan pelapukan dan pembentukan bentang lahan di daerah tropika dan sub tropika basah (PUSPICS-UGM, 1999).



Suwardji & J. Priyono



60



Gambar 4.7. Berbagai bentang lahan yang dihasilkan oleh pelapukan di daerah arid (PUSPICS-UGM, 1999).



Suwardji & J. Priyono



61



Gambar 4.8. Bekerjanya aliran air dan kecepatan aliran masa batuan (PUSPICS-UGM, 1999).



Suwardji & J. Priyono



62



Gambar 4.9. Skema berbagai tipe longsoran/gerak masa batuan (PUSPICSUGM, 1999).



Suwardji & J. Priyono



63



BAB V BENTANG LAHAN FLUVIAL Tujuan Instruksional Khusus Setelah selesai mengikuti kuliah untuk bab ini, mahasiswa diharapkan memahami tentang sistem fluvial yang meliputi aspek genesis (proses dan perkembangan), karakteristik , dan hubungannya dengan sifat/kesuburan tanah pada bentang lahan fluvial



5.1. Sistem Fluvial Di sebagian besar tempat di dunia, aliran air di permukaan bumi merupakan tenaga yang paling penting dalam proses pembentukan bentang lahan, kecuali untuk beberapa tempat yang didominasi salju (daerah kutub). Meskipun di daerah yang beriklim kering dan gurun dengan curah hujan yang sangat terbatas, tenaga air yang mengalir masih tetap merupakan tenaga destruksional penting dalam proses geomorfik. Sebagian besar daerah pertanian yang subur di dunia merupakan hasil proses fluvial (pergerakan air mengalir). Daerah fluvial merupakan daerah yang sangat kompleks, merupakan hasil transportasi dan deposisi bahan sedimen yang berbeda-beda sifatnya, baik secara vertikal maupun horisontal. Profil tanah yang terbentuk mungkin dapat sangat sederhana pada daerah deposisi bagian bawah, atau sangat kompleks pada tempat yang dekat dengan aliran air, misalnya pada teras sungai (river terraces). Dengan kata lain, keragaman tanah pada sistem fluvial tergantung pada posisi dimana areal fluvial tersebut berada relatif terhadap lingkungan pengendapannya. Ahli ilmu tanah lebih banyak tertarik pada daerah endapan fluvial, atau bentang lahan termodifikasi oleh proses fluvial, dibandingkan pada bentang lahan dengan proses geomorfik yang lain. Tanah pada sistem fluvial umumnya sangat subur, sehingga cocok untuk pengembangan pertanian. Bahan induk yang berasal dari hasil proses fluvial mendominasi berbagai bentang lahan pada sistem fluvial, tidak terkecuali bentang lahan residual. Banyak



Suwardji & J. Priyono



64 tanah di daerah bagian lereng atas yang terbentuk dari bahan induk batuan, bergerak turun akibat aliran air dan gaya gravitasi bumi. Fakta lapangan menunjukan bahwa sebagian besar bahan endapan (fluvial) berasal dari aliran air yang berkelok-kelok (meadering stream) atau dari kipas aluvial (alluvial fan). Material endapan itu merupakan bahan induk penting dalam pembentukan tanah, karena bahan itu terdapat di berbagai posisi sistem lahan. Walaupun bahan fluvial sangat kompleks, sampai batas tertentu dapat diprediksi sifat dan asalnya berdasarkan anasir bahan hasil sedimentasi.



5.2. Pembentukan dan Perkembangan Sungai Terjadinya sungai pada awalnya disebabkan oleh adanya air yang mengalir di permukaan bumi (run off) yang bersumber dari air hujan, mencairnya es, ataupun munculnya mata air ke permukaan tanah. Faktor penting lain yang menentukan terbentuknya sungai adalah adanya perbedaan relief. Jika turun hujan, maka sebagian air dapat mengalami penguapan melalui permukaan tanah dan batuan (evaporasi)/dan permukaan daun (transpirasi), masuk ke dalam tanah melalui proses infiltrasi, diserap oleh akar tumbuhan dan binatang, dan sisanya mengalir di permukaan bumi sebagai aliran permukaan. Aliran permukaan dapat terjadi segera setelah terjadinya hujan, atau kadangkala muncul kemudian setelah air hujan meresap ke dalam tanah dan muncul kembali sebagai mata air. Tingkat perkembangan sungai dapat dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu tahapan muda, dewasa, dan tua. Pada tahapan muda, proses erosi biasanya terjadi sangat kuat, terutama erosi ke bawah (vertikal). Sungai yang ada air terjunnya biasanya mempunyai kenampakan penampang longitudinal yang tidak teratur dan sering terjadi longsoran pada tebing sungai. Pada tahapan dewasa tercapai kondisi kesetimbangan, penampangnya tingkatan perkembangan tertentu yang stabil, dan besarnya hanya cukup untuk membawa beban aliran air (water load). Terdapat beragam bentuk yang dihasilkan oleh erosi dan sedimentasi, seperti terbentuknya dataran banjir, sungai yang berkelok-kelok, alur teranyam, tanggul alam (natural levees), dan undak-undak



Suwardji & J. Priyono



65 sungai (river terraces) yang menunjukan kondisi/tingkat perkembangannya (grad). Sungai yang telah berkembang lanjut (highly graded) memasuki tahapan sungai tua. Sungai dapat dipelajari pula menurut genetiknya, yaitu berkaitan dengan arah aliran menuruni lereng di permukaan bumi. Sungai konsekuen, yaitu sungai utama yang arah alirannya sesuai dengan arah kemiringan lereng/daratan. Sungai subsekuen, adalah anak sungai konsekwen yang arah alirannya tegak lurus dengan sungai konsekwen, sedangkan sungai resekuen adalah anak sungai subsekuen yang arah alirannya sejajar dengan sungai konsekuen. Sungai obsekuen, anak sungai subsekuen yang arah alirannya berlawanan dengan sungai konsekwen, sedangkan sungai insekuen merupakan sungai yang tidak jelas pengendaliannya, tidak mengikuti struktur batuan maupun kemiringan lapisan, dan umumnya membentuk pola drainase dendritik. Sungai super impus (superimposed river) merupakan sungai yang mulamula mengalir di atas suatu dataran aluvial atau dataran peneplain, dengan lapisan tipis yang menutupinya sehingga lapisan di bawahnya tersembunyi. Jika terdapat peremajaan (rejuvenasi), maka sungai tersebut kemudian mengikis perlahan-lahan endapan aluvial atau lapisan penutup tersebut dan menyingkapkan lapisan di bawahnya tanpa banyak mengubah pola aliran semula. Sungai anteseden ialah sungai yang mengalir tetap pada pola alirannya, meskipun selama itu telah terjadi perubahan struktur geologi, misalnya sesar atau lipatan. Ini dapat terjadi jika perubahan struktur itu terjadi perlahan-lahan. Tetapi sungai antesenden yang terjadi di daerah yang mengalami pengangkatan, kemiringannya berlawanan dengan arah aliran sungai. Pola aliran sungai gabungan (compound streams) mengairi daerah dengan umur geomorfik yang berbeda-beda, sedangkan aliran sungai campuran (composite streams) mengairi daerah yang struktur geologinya berbeda-beda. Banyak sungai besar dapat dikategorikan sebagai compound ataupun composite streams, misalnya S. Bengawan Solo dan Asahan. Contoh represetasi dari sungai berdasarkan genetiknya dapat dilihat pada Gambar 5.1.



Suwardji & J. Priyono



66



Aliran konsekuen mengalir pada beberapa lereng konstruksional



Pegunungan dome dengan aliran konsekuen (C), subsekuen (S), obsekuen (O), dan resekuen (R)



Pegunungan lipatan dengan aliran konsekuen (C), subsekuen (S), obsekuen (O), dan resekuen (R)



Dataran pantai dengan aliran konsekuen (C), subsekuen (S), obsekuen (O), dan insekuen (I)



Gambar 5.1. Berbagai macam bentuk sungai berdasarkan genetik pembentukannya (PUSPICS-UGM, 1999). Perkembangan sungai pada tahap muda biasanya dicirikan dengan kemampuan aliran air untuk mengkikis tebing sungai. Proses itu hanya dapat terjadi jika kondisi tebing sungai cukup terjal, pengikisan vertikal dalam dan tenaga aliran air besar sehingga mampu membawa banyak bahan yang terkikis. Ciri sungai yang masih muda adalah mempunyai alur sempit, pe-



Suwardji & J. Priyono



67 nampang melintang berbentuk V dengan tebing yang terjal dan dalam, serta jarak antar satu sungai dengan sungai yang lain sangat jauh. Selanjutnya, kondisi aliran biasanya sangat kuat dan mampu mengangkut bahan yang terkitis sehingga tidak memberikan peluang untuk terjadinya pelapukan terhadap bahan yang dideposisikan. Pada sungai muda, bahan yang ditransportasikan dan dideposisikan biasanya menutupi seluruh dasar lembah dengan maupun tanpa dataran banjir, kadangkala dijumpai air terjun. Variasi batuan yang ada menyebabkan gradien sungai tampak tidak teratur. Kadang-kadang ditemui danau pada daerah depresi asal (initial depression). Aliran sungai biasanya cepat dan airnya jernih. Potholes dan rock channel sering dijumpai pada dasar sungai, seperti dapat dilihat pada Gambar 5.2. Ciri bentukan seperti itu menunjukan kondisi sungai pada tahapan muda. Selanjutnya, hubungan antara kemampuan untuk memindahkan beban yang relatif besar yang dinyatakan dengan kekuatan ukuran beban yang digerakan dan kecepatan transportasi telah dijelaskan hubungan tersebut pada Gambar 4.5. Secara rinci kemampuan aliran sungai dalam hubungannya dengan kecepatan aliran sungai dan ukuran bahan yang mampu dipindahkan dapat dilihat pada Tabel 5.1. Tabel 5.1. Hubungan antaran kecepatan aliran air dan ukuran (diameter) butir beban yang dapat diangkut oleh aliran sungai. Kecepatan (m/jam) 500 1.500 4.500 (cepat) 9.000 (sangat cepat) 16.500 (banjir) 33.000 (banjir bandang)



Ukuran butiran (Ø cm) Pasir halus ( < 0,02) Kerikil (< 2) 100 km (Gambar 6.5). Bentuk ini dihasilkan oleh ekstrusi lava basalt yang sangat encer, menyebar merata dari puncak gunung api ke arah samping menuruni lereng yang gunung api yang landai.



Suwardji & J. Priyono



84



(a). G. Mauna Kea



(b). G. La Poruna



(d). G. Bromo (c). G. Anak Krakatau Gambar 6.4. Contoh tipe gunung api scorio (a) G. Mauna Kae di Hawai, sebelah kiri dan (b) G. La Poruna di Nicaragua, (c) G. Anak Krakatau, dan (d). G. Bromo (latar belakang berasap adalah G. Kawi).(Sumber: untuk gambar (a) dan (b) SDUS, 2006; (c) dan (d) Www.Wikipedia.org., 2006)



G. Mauna Loa, Hawai G. Alcedo, Pulau Isabella-Galapagos Gambar 6.5. Contoh tipe gunung api shield (SDUS, 2006) Tipe gunung api strato (stratovolcanoes), juga dikenal sebagai composite cone, merupakan tipe gunung api yang paling berbahaya, terutama terbentuk pada zona penyusupan (subduction) konvergensi lempeng tektonik. Potongan melintang stratovolcanoes menunjukan statifikasi hasil dari letusan yang berbeda: aliran lava, tepra, piroklasik, lumpur volkanik (lahar), dan aliran debris (bongkah/batuan kasar) (Gambar 6.6). Komposisi batuannya beragam dari basaltik sampai rhyolit, tetapi secara keseluruhan adalah andesitik. Banyak gunung api strato di samudra yang komposisinya lebih bersifat mafik (kaya Fe dan Mg) daripada di daratan terdekat dengan



Suwardji & J. Priyono



85 gunung itu. Banyak gunung api di Indonesia yang termasuk dalam tipe strato (misalnya G. Rinjani, Agung, Semeru, Merapi, dan G. Kawi).



Gambar 6.6. Statifikasi pada gunung api tipe stata (SDUS, 2006)



Gambar 6.7. Gunung Semeru – Jawa Timur (kiri) dan Rinjani – NTB (kanan), sebagai contoh gunug api tipe strato di Indonesia (Www.Wikipedia.org., 2006) Selain dari ketiga tipe gunung api yang umum (Tabel 6.1), ada dua tipe gunung api penting, yaitu tipe gunung api subordinat dan hidrovolkanik. Pada tipe subordinat, lava dan tepra dapat dikeluarkan dari mulut gunung api (vent), tetapi tidak ada kaitannya dengan pembentukan sistim kubah di sekitar vent. Tipe kubah di sekitar vent yang berkaitan dengan proses hidrovolkamik juga menghasilkan struktur gunung api yang khas.



Suwardji & J. Priyono



86 6.2.2. Kaldera Ketika erupsi terjadi, volume magma dalam dapur magma (magma chamber) bekurang sehingga terdapat rongga di bawah vent gunung api. Adanya rongga tersebut menyebabkan runtuhnya dinding gunung api ke dalam rongga tersebut, sehingga terbentuk cekungan yang terjal yang disebut kaldera. Ukuran kaldera sangat beragam (diameternya 1 – 100 km), dan dapat dibedakan dengan mudah terhadap lubang puncak (summit crater) yang ukurannya lebih kecil sebagai hasil letusan melalui mulut di puncak gunung api (central vent). Kaldera felsik dikelilingi oleh lapisan tebal batu apung (fumice) dari aliran bahan piroklastik. Kaldera yang terbentuk dari hasil runtuhnya dinding gunung api tipe strato menghasilkan kaldera seperti danau (lake type caldera). Kaldera terdalam adalah pada G. Mazama di Oregon USA yang terbentuk pada letusan yang terjadi sekitar 6850 tahun yang lalu (Pidwirny, 2006), kedalaman airnya mencapai 600 m dan dinding di atas air itu juga sekitar 600 m. Kaldera semacam itu tentu dihasilkan dari letusan gunung api yang kekuatannya luar biasa besarnya, sehingga mampu mengeluarkan magma dalam volume sangat besar. Danau Toba di Sumatra merupakan resurgent caldera terbesar di dunia, tetapi tidak dapat dikategorikan seperti halnya lake type caldera. Contoh menarik lainnnya tentang kaldera pada gunung api strato adalah kaldera (kawah) gunung Kelut di Jawa Timur dan Tambora di P. Sumbawa (Gambar 6.8).



Gambar 6.8. Kawah G. Kelut di Jawa Timur (kiri) dan G. Tambora di P. Sumbawa (kanan) (Www.Wikipedia.org., 2006)



Suwardji & J. Priyono



87 G. Kelut relatif lebih aktif (sering metelus) daripada G. Tambora. Untuk menghidarkan bahaya yang lebih besar dari luapan air yang berasal dari kaldera jika terjadi letusan, maka di kawah G. Kelut telah dibuat terowongan untuk mengurangi volume air kawah, sekaligus memanfaatkan air tersebut untuk irigasi. Kaldera basaltik pada gunung api tipe shield, ukurannya umumnya lebih kecil daripada kaldera pada tipe gunung api strato, tertenbuk oleh terjadinya penurunan dinding gunung api secara perlahan. Dalam banyak kejadian, ekstraksi magma terjadi di beberapa bagian lereng sehingga menghasilkan jajaran sistim pit craters (lubang mulut magma) (Gambar 6.9).



Gambar 6.9. Jajaran sistim pit craters (Photo oleh Vic Camp., dimuat dalam www.Physical Geography.net)



6.3.



Produk Letusan Gunung api



Produk dari letusan gunung api sangat beragam, tergantung dari komposisi, kekentalan, dan kadar gas magma yang dikeluarkan. Aliran lava misalnya, umumnya dari erupsi yang tidak terlalu explosif dari lava basaltik gunung api shield dan scorio; magma keluar melalui rekahan (fissures). Sebaliknya, aliran firoklastik, lahar, dan deposit tepra yang tebal dan luas, umumnya dapat dikaitkan dengan erupsi dahsat magma andesitik sampai rhyolit pada gunung api tipe strato.



Suwardji & J. Priyono



88



Gambar 6.10. Jenis produk yang dihasilkan oleh letusan gunung api (Pidwirny, 2006) Dari segi volumenya, sebagian besar aliran lava terdiri atas bahan basaltik. Lelehan basaltik mengandung sedikit gas dan lebih cair (fluiditas tinggi) daripada bahan andesitik sampai rhyolit. Fluiditas yang tinggi tersebut berkaitan dengan rendahnya kadar SiO2. Jika gas keluar dari lelehan basaltik tidak menimbulkan tekanan yang terlalu besar, sehingga erupsi yang terjadi lebih tenang dan tidak explosif. Berbeda dengan magma felsik, gerakan gas ke atas terhalang oleh magma felsik yang viscositasnya (kelekatan) tinggi. Hal tersebut menyebabkan terbentuknya tekanan gas yang tinggi sehingga erupsinya sangat explosif diikuti dengan penghamburan bahan piroklastik. Gambar 6.11 adalah contoh aliran lava basaltik dan lava andesitik. Lava basaltik umumnya dapat membentuk aliran yang tipis dan luas, permukaannya halus. Sebaliknya, lava andesitik menghasilkan aliran batuan lava yang tebal, berbongkah, sehingga permukaan yang dihasilkan tampak kasar. Terbentuknya bongkahan tersebut disebabkan oleh viskositas lava andesitik yang tinggi, sehingga ketebalnya mencapai ratio (ketebalan/luas) > 1/100; dan dalam beberapa kasus dapat membentuk kubah lava (lava domes). Lava andesitik biasanya berasal dari gunung api tipe strato.



Suwardji & J. Priyono



89 (A)



(C)



(B)



(C)



Gambar 6.11. Contoh aliran lava basaltik (A dan B) dan andesitik (C dan D) (Pidwirny, 2006) Makin tinggi kadar SiO2 dan polimernya, maka makin tinggi pula viskositas lava. Meskipun lava dasitik sampai rhyolitik dihasilkan dari tipe gunung api strato, keduanya tidak sebanyak lava andesitik. Erupsi bahan felsik dari gunung api strato umumnya explosif disertai dengan pembentukan aliran tepra dan bahan piroklastik, berkadar gas tinggi pada magma dasitik dan rhyolitik.



6.4. Manfaat dan Bahaya Letusan Gunung api Gunung api terkenal memberi kesuburan lahan pertanian, karena magma yang telah membeku menjadi batuan, debu volkanik, dan gas yang terlarut oleh air hujan, mengandung banyak unsur hara bagi tanaman. Selain itu, ketinggiannya menyebabkan naiknya angin yang membawa uap air, sehingga sering terjadi pengembunan dan hujan di daerah pegunungan tersebut. Gunung api juga mempunyai daya tarik bagi wisatawan. Sifat tufa gunung api yang sarang menyebabkan daerah itu menjadi daerah rembesan air tanah yang baik. Akibatnya, mata air sungai banyak muncul dari lereng gunung api. Lava, bongkah lahar, dan pasir lahar di



Suwardji & J. Priyono



90 banyak tempat di gali untuk bahan baku bangunan. Tufanya yang bersifat hidrantik sering digunakan sebagai tras semen (cement trass). Selain manfaat yang banyak seperti telah dijelaskan di atas, aktivitas gunung api juga banyak menimbulkan korban jiwa dan harta benda. Bencana gunung api sangat tergantung pada sifat letusan dan morfologinya (tipe gunung api). Beberapa bencana yang dapat timbul antara lain berupa aliran lava, jatuhan bahan piroklastik secara langsung, aliran lahar (dingin maupun panas), hembusan awan panas dan gas beracun (CO, CO2, H2SO4, HCL, HF, dan HBr), dan longsoran. Longsoran tanah sering terjadi pada tebing terjal di daerah lereng gunung api tua dengan tahapan erosi dewasa (Misalnya di G. Manglayang – Larantuka/Flores, G. Marapi - Sumatra Barat, G. Ciremai - Jawa Barat).



6.5. Morfologi Gunung Api vs Kesuburan Tanah Pertanyaan menarik untuk dikemukakan berkaitan dengan aspek geomorfologi daerah gunung api adalah “ adakah kaitannya morfologi gunungapi dengan tingkat kesuburan tanah relatif di sekitar kawasan gunung api tersebut?” Secara umum, wilayah atau pulau di Indonesia dimana terdapat aktivitas gunung api, misalnya P. Sumatra, Jawa, Bali, dan Lombok, relatif lebih subur daripada lahan di pulau yang tidak terdapat gunung api, misalnya Kalimantan, sebagian pulau di NTT, dan daerah tepian Irian Jaya yang jauh dari pengaruh aktivitas gunung api. Bahan yang dikeluarkan oleh gunung api tipe scorio dan strato terutama adalah magma basaltik, membeku menjadi batuan basaltik (kadar SiO2 < 40 %). Batuan basaltik mengandung relatif banyak kation basa (misalnya Ca dan Mg) dan unsur hara mikro (misalnya Fe, Mn, Zn, dan Cu), tetapi relatif sedikit kadar K. Gunung api tipe shield mengeluarkan magma yang beragam, dari basaltik (kadar SiO2 rendah) sampai rhyolitik (kadar SiO2 > 70 %), dan secara keseluruhan bersifat andesitik (kemasaman sedang atau kadar SiO2 60 – 70 %). Secara umum, kadar hara tanaman yang dikandung oleh jenis batuan andesitik termasuk sedang (Ca, Mg, K, dan unsur hara mikro sedikit lebih rendah daripada basaltik). Batuan rhyolitik dan tepra



Suwardji & J. Priyono



91 (masam, kadar SiO2 > 70 %) yang juga banyak dikeluarkan oleh gunung api tipe shield mengandung sedikit Ca, Mg, dan unsur hara mikro, tetapi kaya unsur K. Dari penjelasan umum itu dapat disimpulkan bahwa daerah di sekitar gunung api tipe scorio dan strato relatif lebih subur daripada daerah di sekitar gunung api tipe shield. Tentu saja kesimpulan ini tidak mutlak, karena bahan batuan atau lava yang dikelaurkan oleh aktivitas suatu gunung api serta pola sebarannya bahan itu sangat beragam. Hal penting lain yang menentukan kesuburan relatif daerah sekitar gunung api adalah sejarah letusan (frekuensi dan besar-kecilnya erupsi) serta pola penyebaran bahan volkanik. Salah satu contoh yang tampak jelas perbedaannya dari segi kesuburan tanah adalah antara daerah Kab. Lombok Timur dengan Kab. Lombok Barat bagian utara (Kec. Gangga sampai Bayan) NTB. Bahan volkanik yang terlempar ke Lombok Timur lebih bersifat basaltik, sedangkan yang ke Lombok Barat bagian utara adalah bahan volkanik ringan (batu apung) yang bersifat silisius (kadar silikat tinggi) dan masam. Terlepas dari kondisi iklim yang berbeda antara kedua wilayah tersebut, lahan pertanian di Kab. Lombok Timur lebih subur daripada di Kab. Lombok Barat bagian utara.



Suwardji & J. Priyono



92



Suwardji & J. Priyono



93



BAB 7 GEOMORFOLOGI DAERAH KARST Tujuan Instruksional Khusus Setelah selesai mengikuti kuliah untuk bab ini, mahasiswa diharapkan memahami pengertian dan arti penting wilayah karst, proses pembentukan, sifat dan karakteristik bentang lahan karst, dan berbagai aspek penting untuk pemanfaatan lahan pada bentang lahan karst.



7.1. Arti Penting Bentang Lahan Karst Bentang lahan karst terbentuk dan berkembang secara khusus dari batuan karbonat melalui proses karstifikasi. Lahan dengan bentang lahan karst cukup luas di Indonesia dan mempunyai arti penting, baik secara ekonomi maupun estetika, yaitu sebagai tempat untuk geowisata yang unik. Dalam forum internasional, bentang lahan karst telah diakui mempunyai nilai penting dalam banyak aspek dan ditetapkan sebagai kawasan lindung oleh IUCN (International Union for Conservation of Nature) pada tahun 1997. Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan pedoman untuk pengelolaan gua dan karst (Samodra, 2000). Sebelumnya, wilayah karst dianggap menarik hanya bagi ahli geomorfologi. Tetapi setelah berbagai kajian dilakukan, ternyata bentang lahan yang kering dan tandus ini memiliki keaneka-ragaman hayati dan non hayati yang unik, tidak ditemukan pada bentang alam yang lain. Pengelolaan kawasan karst harus mempertimbangkan aspek ilmiah, ekonomi, dan kemanusiaan di daerah yang dimiliki kawasan tersebut. Upaya itu juga menjadi penting kaitannya dengan pelestarian nilai keanekaragaman bumi (geodiversity) dan hayati (biodiversity) di kawasan itu.



7.2. Pembentukan Karst Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa kawasan karst terdiri atas bentang alam yang secara khusus berkembang pada batuan karbonat (ba-



Suwardji & J. Priyono



94 tuan gamping dan dolomit). Pembentukan bentang lahan karst secara berkelompok atau tunggal dipengaruhi oleh proses pelarutan batuan karbonat yang secara alami lebih intensif dibandingkan dengan yang terjadi di kawasan dengan jenis batuan lain (Samodra, 2001). Proses pelarutan kimiawi oleh air dipercepat oleh keberadaan CO2 dari udara maupun hasil pembusukan sisa tumbuhan. Proses terjadinya karst atau karstifikasi berlangsung secara singkat, karena CO2 bereaksi dengan air hujan membentuk H2CO3 yang sifatnya masam dan sangat reaktif terhadap batu gamping (CaCO3). Kadar CO2 di udara sekitar 0,03% dan di dalam gua meningkat mencapai 0,1 - 3.75 %, dan makin tinggi kadarnya ke arah dalam bumi (IUCN, 1997). Reaksi kimia pembentukan karst atau karstifikasi yang terjadi pada daerah batu gamping sebagai berikut: H2O + CO2 ⇋ H2CO3 H2CO3 ⇋ HCO3- + H+ CaCO3 + 2H+ ⇋ Ca+2 + H2CO3 Secara sederhana, kawasan karst adalah kawasan yang dalam proses pembentukannya didominasi oleh proses pelarutan seperti reaksi di atas. Dalam kontek yang lebih luas, proses pembentukan karst atau karstifikasi merupakan perpaduan antara proses yang melibatkan unsur morfologi, kehidupan alam, energi, air, gas, tanah, dan batuan, membentuk satu-kesatuan yang utuh (Samodra, 2001). Gangguan terhadap salah satu unsur dalam proses pembentukan seperti yang digambarkan dalam reaksi kimia di atas akan mengganggu seluruh sistem dalam pembentukan karst. Proses pelarutan itu sendiri sebenarnya dapat terjadi pada berbagai batuan, baik batuan beku, sedimen, maupun malihan (metamorf). Namun, proses karstifikasi hanya akan berlangsung intensif pada batuan yang mudah larut (misalnya batuan karbonat) dan batuan evaporit yang terbentuk akibat penguapan (misalnya gypsum).



Suwardji & J. Priyono



95 7.3. Ciri dan Sifat Bentang Lahan Karst Ciri utama yang menunjukan adanya pembentukan karst adalah kenampakan morfologi permukaan (eksokarst) maupun yang terjadi di bawah permukaan bumi/gua (endokarst). Kenampakan adanya morfologi karst adalah bentuk bukit tunggal, pematang bukit, ukiran di permukaan batuan (struktur lapis), lekuk lembah (dolina, polje, avala), mata air, serta menghilang/pindahnya aliran sungai dari permukaan tanah ke dalam tanah melalui sistem rucutan, seperti lubang penampung (sink) atau mulut gua yang ada. Dolina, dikenal sebagai lubang penampung (sink hole), adalah lekukan tertutup pada permukaan batu gamping yang mempunyai garis tengah beberapa meter hingga 1 km dengan kedalaman ratusan meter. Dasar dolina yang dilapisi tanah sering dijadikan areal pertanian lahan kering, seperti yang banyak dijumpai di beberapa wilayah Pegunungan Sewu, daerah antara Yogyakarta dan Pacitan Jawa Timur. Berdasarkan proses pembentukannya (genesis), ada dolina yang terbentuk melalui proses pelarutan dan peruntuhan. Pada kebanyakan kawasan karst, kedua proses pembentukan itu biasanya terjadi secara bersamaan. Lembah dolina juga sering dialiri oleh sungai permukaan yang kemudian menghilang masuk ke dalam tanah. Lobang masuk itu dikenal sebagai swallow hole atau stream sink (Monroe, 1970). Polje merupakan sebuah lekukan tertutup seperti dolina, tetapi ukurannya sangat besar, panjang dan lebarnya mencapai beberapa km. Dasar polje yang umumnya rata dibatasi oleh dinding batu gamping yang curam. Polje berasal dari kata Slovenia yang artinya lapangan. Gabungan beberapa dolina (compound dolines) memmbentuk suatu lekukan topografi yang besar, dikenal sebagai ubala (Lowe dan Waltham, 1995). Keunikan endokarst adalah adanya sistem gua dan sungai bawah tanah. Dari proses genesisnya, perbedaan kawasan karst dan kawasan batu gamping bukan karst adalah tingginya intensitas proses geokimia, serta keadaan lingkungan yang berkaitan dengan sistem hidrosfer dan biosfer yang ada, baik di permukaan maupun di bawah permukaan tanah.



Suwardji & J. Priyono



96 Kawasan karst biasanya dicirikan oleh tata air yang didominasi oleh aliran air di bawah permukaan tanah. Biosfer kawasan karst dicirikan oleh adanya jenis tumbuhan tertentu, baik yang hidup di permukaan maupun di kegelapan gua. Tumbuhan dapat hidup di kawasan karst karena kawasan itu kaya unsur kalsium dari batu gamping. Pada daerah tropika basah, seperti di Indonesia, pembentukan tanah di kawasan karst memerlukan waktu yang sangat lama. Sebagai contoh, untuk pembentukan tanah setebal 1 m diperlukan pelarutan batu gamping setebal 25 m selama 250 - 750 tahun (Yuan, 1983). Maka dapat diperkirakan telah seberapa lama waktu proses itu terjadi untuk menghasilkan kawasan karst yang memiliki tanah setebal 3 m dan menghasilkan bentang lahan eksokart dan endokarst.



7.4. Karst di Indonesia Setiap kawasan karst yang ada di Indonesia mempunyai sifat dan karakteristik tersendiri, tergantung pada kondisi iklim, litologi atau struktur geologi setempat, waktu, kemampuan batuan menyerap air dan menyimpan air, kerapatan vegetasi penutup tanah (land coverage), tebal-tipisnya lapisan tanah, serta campur tangan manusia dalam pengelolan lahan. Bahkan, di dalam wilayah kawasan karst yang luas seperti di Gunung Sewu, beberapa bagian dari daerah itu masing-masing mempunyai kekhasan sendiri, sehingga karakteristik biofisik kawasan karst tidak dapat disama-ratakan. Dengan melihat kenyataan bahwa adanya karakteristik karst yang sangat beragam, maka dalam melakukan usaha pemanfaatan dan perlindungan kawasan karst di Indonesia, keunikan masing-masing daerah karst senantiasa harus diperhatikan.



7.5. Aspek Hidrologi Kawasan Karst Air merupakan faktor utama dalam proses pembentukan ekso- dan endo- karst. Perilaku air di kawasan karst membentuk sistem hidrologi yang sangat kompleks dan unik untuk kawasan karst. Kondisi geologis (litologi, stratigrafi, ketebalan, derajat karstifikasi) kawasan karst yang berbeda-beda



Suwardji & J. Priyono



97 menyebabkan sistem hidrologi dan hidrodinamikanya pada masing-masing kawasan karst berbeda pula. Kedudukan ilmu speleologi menjadi penting, karena pengetahuan itu akan mengungkapkan keadaan hidrodinamika masa lalu dan masa sekarang. Tatanan hidrogeologi kawasan karst yang dinamis di masa lalu dapat dipelajari melalui kajian fenomena endokarst, seperti scallops, flutes, ceilling dents dan sebagainya. Untuk kegiatan pengelolaan kawasan karst, perlu dilakukan inventarisasi dan identifikasi kebutuhan air bersih penduduk di kawasan itu. Air tersebut umumnya diperoleh dari sumber air karst yang ada, baik di sungai bawah tanah, telaga, atau danau yang ada di permukaan. Selanjutnya, untuk mempermudah pengelolaan dan pengawasannya, kebutuhan tersebut harus diproyeksikan untuk waktu tertentu (Ko, 1997). Di Indonesia, penduduk daerah Gunung Kidul, Blitar selatan, Trenggalek selatan, Tuban, Nusa Tenggara, Timor dan Maluku menjadikan air di kawasan karst sebagai sumber air utama, di atas kebutuhan lainnya. Keberadaan air di kawasan karst dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain: (1) sifat fisik batuan karbonat itu sendiri, meliputi jenis itologi, kesarangan, kelulusan, sistem retakan atau celah, (2) keadaan bentang alam (plato, pebukitan), (3) keadaan iklim, (4) keadaan lapisan tanah, (5) keadaan vegetasi penutup lahan, dan (6) kegiatan penduduk karst (Ko, 1997) Sistem hidrologi kawasan karst berbeda dengan kawasan lain. Air di kawasan karst bergerak melalui sistem retakan – celah – gua. Gerakan air tanahnya melalui pori-pori antar butiran batuan atau mineral. Di kawasan bukan karst, air mengalir secara intergranular (melalui ruang antar butiran), sedangkan di kawasan karst sebagian besar membentuk aliran konduit (melalui suatu saluran). Begitu pula dengan media dan arah aliran. Menurut Atkinson (1977), di kawasan karst medianya bersifat heterogen. Sebaliknya, media aliran air di kawasan bukan karst bersifat homogen. Di kawasan karst, aliran air bergerak secara turbulensi (berputar), sedangkan di kawasan bukan karst gerakannya bersifat difuse atau laminer. Di kawasan bukan karst, sungai mengalir di permukaan, sedangkan di kawasan karst umumnya membentuk aliran bawah tanah.



Suwardji & J. Priyono



98 Dengan demikian air yang mengalir melalui lorong gua dapat dianggap sebagai sungai utama, dan percabangan yang ada mengalir melalui celah dan retakan batuan. Sebagian kecil air yang bergerak melalui ruang antarbutir (vadose seepages) batuan karbonat dan retakan sempit (vedose trickles) di kenal sebagai air perkolasi. Air perkolasi dapat dianalogikan dengan aliran difuse, mengalir lambat dan bertindak sebagai “cadangan” air sungai bawah tanah pada musim kemarau. Air perkolasi di kawasan karst bergerak dengan kecepatan yang beragam, terganrung dari derajat karstifikasi dan keadaan jaringan sistem celah-retakan yang ada. Di bawah permukaan tanah, di jalur epikarstik, dapat terbentuk tempat penampungan sementara yang disusun oleh saluran dan jaringan retakan atau celah yang luas. Pada musim hujan, jalur epikarstik mendapat tambahan air yang mengalir melalui saluran, sedangkan pada musim kemarau dari air perkolasi. Tampungan air yang demikian dikenal sebagai akuifer epikarstik (Bonnaci, 1997). Sistem celah-rekahan pada gua di kawasan karst dapat disamakan dengan sungai utama dan percabangannya. Air di dalam masa batuan karbonat dapat dianalogikan dengan aliran difuse, sehingga keduanya akan bertindak sebagai reservoir untuk menambah air sungai bawah tanah pada musim kemarau. Selisih jumlah air yang masuk dan yang keluar merupakan jumlah air yang tertampung di kawasan karst. Neraca air kawasan karst tergantung pada jumlah air yang masuk dan ke luar. Kemampuan batuan dalam sistem rekahan-celah-gua untuk menyimpan air tergantung pada jenis litologi, ketebalan masing-masing lapisan batugamping, kesarangan dan porositas batuan primer dan sekunder, serta kerapatan kekar. Hidrologi karst yang bersifat dinamis secara bertahap akan mengalami perubahan akibat pelebaran sistem celah-retakan. Perubahan yang sifatnya drastis biasanya disebabkan oleh kegiatan tektonik. Mengeringnya air telaga secara serempak akibat runtuhnya lorong gua di bawahnya merupakan contoh dari pengaruh kegiatan tektonik. Menurut Bonnaci (1997), keadaan di dalam akuifer epikarstik itu seolah-olah menangguhkan aliran air perkolasi, sehingga pada saat terjadi



Suwardji & J. Priyono



99 hujan lebat, jalur epikarstik mengalami banjir ke arah hilir, kecepatan air di saluran utama semakin besar, sehingga air terdesak masuk ke dalam akuifer epikarstik. Air yang terdesak itu semula terjadi di bagian yang paling deras arusnya, yaitu di bagian hilir sungai bawah tanah, di dekat pemunculannya di permukaan (mata air). Secara perlahan, air yang terdesak berpindah ke arah hulu. Jika celah atau retakan dalam akuifer epikarstik tidak mampu menampung air yang melimpah, maka akan terjadi arus balik. Fenomena ini sangat penting dalam memahami hidrodinamika karst, karena arus balik dan turbulen akan menyebabkan retakan menjadi semakin lebar. Akibatnya, kemampuan akuifer epikarstik dalam menampung dan menahan air hujan makin besar. Pada musim kemarau, yang merupakan perioda aliran lambat, akuifer epikarstik menyalurkan air perkolasi ke dalam saluran utama, dari hulu hingga hilir. Pada musim kemarau yang panjang, secara berangsur-angsur akuifer epikarstik mengering. Pengisian kembali akuifer tersebut dalam sistem hidrologi karst membutuhkan waktu berbulan-bulan. Proses pengisian kembali terjadi secara progresif, dan tidak mungkin disebabkan oleh hujan lebat yang terjadi hanya beberapa kali pada permulaan musim hujan. Selama permulaan musim hujan, air mengisi retakan akuifer epikarstik, sebelum mengalir ke dalam saluran utama. Ko (1997) berpendapat bahwa pada saat itu mungkin saja terjadi banjir di dalam gua, terutama jika air masuk melalui lubang, misalnya pada gua-tembus (though cave). Pada suatu kawasan karst, subsistem akuifer epikarstik tidak hanya terdapat di satu bagian saja, tetapi di beberapa tempat, tergantung pada jenis litologi, keadaan stratigrafi, dan derajat karstifikasi. Semua subsistem yang ada akan berhubungan dengan saluran utama, sebelum berakhir pada suatu mata air karst. Penelitian berbagai jenis akuifer karst dilakukan berdasarkan mekanisme dan dinamiska sistem masukan (input) dan luaran (output). Usaha itu dilakukan melalui analisis hidrograf pada mata air karst (Bonnaci, 1997). Hidrograf sumber air karst merupakan gambaran integral dari jaringan celah-retakan yang menampung dan menyalurkan air ke mata air yang ada.



Suwardji & J. Priyono



100 Bentuk kurva hidrograf air yang terekam untuk suatu mata air menggambarkan tanggapan akuifer terhadap masukan air. Bentuk kurva dan kecepatan air akan menginformasikan sifat penampungan dan struktur akuifer yang menyalurkan air ke mata air yang ada. Analisis hidrograf yang bersifat kuantitatif akan menjadi lebih lengkap jika disertai dengan analisis kualitatif air (kemograf). Di bagian dalam karst, baik pada jalur jenuh, freatik, maupun jalur penuh air, juga terdapat akuifer. Akuifer ini disusun oleh jaringan celah, retakan, dan gua, yang saling berhubungan dan dipenuhi air sepanjang tahun. Jalur ini juga membentuk subsistem tersendiri, memiliki aliran lambat dan cepat di dekat saluran utama. Selain itu perlu juga dipahami bahwa pada batugamping berongga, apalagi jika sudah membentuk sistem perguaan, aliran air berubah menjadi turbulensi. Pipa atau saluran yang yang dilalui arus turbulen setidaknya mempunyai garis tengah lebih dari 1 cm (Atkinson, 1977). Perubahan sifat fisik batugamping, misalnya pelebaran sistem rekahan atau atau celah, akan mengubah sistem hidrologi karst secara drastis. Pelebaran retakan atau celah pada lapisan batugamping mampu meningkatkan kelolosan air sampai 10.000 kali dari nilai kelulusan primer. Jika terjadi sistem gua, kelolosannya lebih besar lagi, yaitu hingga sekitar 107 kali kelolosan asli. Keberadaan tanah (tebal, jenis), vegetasi (jumlah, jenis) dan topografi kawasan karst cenderung mempengaruhi proses peresapan air ke dalam tanah. Hubungannya dengan topografi, air akan lebih mudah meresap di daerah lekukan seperti dolina, uvala, dan lembah. Pada lereng pebukitan yang terjal, air hujan mengalir sebagai air permukaan. Di dalam sistem kapiler batuan, peresapan air dihambat oleh gelembung udara yang ada di dalam celah dan retakan sempit oleh endapan biogenik, seperti humus dan bahan organik lainnya, atau oleh lumpur, pasir, kerikil, dan akar tumbuhan. Peresapan juga mengalami hambatan pada saat hujan lebat, yaitu ketika akuifer epikarstik sudah jenuh atau daya salur sistem sifon yang ada terlampaui, sehingga terjadi arus balik yang cukup kuat. Gejala seperti itu antara lain



Suwardji & J. Priyono



101 terjadi pada sistem aliran S. Suci, luweng Glatikan, Gelung, dan Grubug, di daerah Gunung Sewu (Samodra, 1996). Proses geologi, misalnya pengikisan dasar lembah yang dialiri oleh sungai permukaan, atau pengangkatan akibat gaya tektonik, cenderung menyebabkan terjadinya penurunan muka air tanah. Proses tersebut menyebabkan celah, retakan, dan lorong yang semula dialiri air, berangsur-angsur atau mendadak kering, membentuk lorong fosil. Air mengalir melalui sistem celah atau lorong baru yang letaknya lebih dalam. Sistem celah-retakan dan lorong baru itu sebenarnya sudah ada sebelumnya, yaitu sebagai lapisan yang terdapat porositas dan permeabilitas primer, berkembang pada jalur jenuh air dan jalur di bawah muka air bawah tanah. Di satu sisi, kegiatan tektonik akan menciptakan retakan baru yang dianggap memperlancar gerakan air di dalam lapisan batuan. Di sisi lain, kegiatan itu menjadi pemicu terjadinya proses peruntuhan lorong gua, sehingga celah menjadi lebih sempit dan lintasan airpun berubah arah. Pada musim hujan, air akan membanjiri seluruh akuifer karst yang ada. Lorong fosil atau celah yang sebelumnya kering terisi kembali. Di permukaan terbentuk mata air baru, atau mata air yang berpindah tempat. Limpahan air yang tidak tertampung menyebabkan timbuknya arus balik, sehingga air mengisi semua lorong dan celah kering yang ada. Daya tampung juga meningkat pada lorong baru yang terbentuk akibat pembajakan sungai bawah tanah (underground river pirating) (Atkinson, 1977). Keadaan ini secara khusus terjadi pada lorong berair yang berbelokbelok (meandering). Pelarutan yang memperbesar lorong sering diikuti dengan peruntuhan dinding dan atap lorong. Proses peruntuhan yang menyebabkan lorong menjadi makin lebar karena lapisan batuan mengalami pengurangan daya dukung. Pelebaran ini bahkan dapat membentuk ruangan besar di bawah tanah, sehingga daya tampung air menjadi jauh lebih besar dibanding keadaan semula. Luapan air ketika banjir juga membawa beragam jenis dan ukuran sedimen asal luar, yang selanjutnya diendapkan didasar lorong atau di dalam retakan batuan. Proses ini menimbulkan akibat sebaliknya, yaitu mengecilnya daya tampung air.



Suwardji & J. Priyono



102 Daya tampung air di kawasan karst dapat dihitung dengan melakukan analisis terhadap denyut banjir (flood-pulse), baik yang terjadi secara alami maupun buatan. Denyut banjir itu memasuki retakan sebagai sumber air karst. Perhitungan daya tampung air karst yang dihasilkan, selanjutnya dipakai untuk membuat model matematik akuifer, yang nantinya melengkapi data masukan dan keluaran air (Bonnaci, 1997).



Suwardji & J. Priyono



103



BAB VIII GEOMORFOLOGI DAERAH PANTAI Tujuan Instruksional Khusus Setelah selesai mengikuti kuliah bab ini, diharapkan mahasiswa dapat menjelaskankan dengan tepat tentang jenis pantai, terumbu karang, dan delta meliputi proses pembentukan dan perkembangannya, serta geomorfologi khusus daerah pasang surut. Pada dasarnya, sifat dan keadaan geormopologi suatu wilayah tidak mengenal batas teritorial negara. Tidak ada pemisahan antara geormorfologi darat dan laut. Namun, secara fisik dapat dilihat bahwa wilayah darat ditutupi oleh media udara, walaupun pada beberapa tempat tertutup oleh media air, seperti daerah rawa, danau dan sungai; sedangkan laut dan lautan tertutup oleh media air. Perbedaan lain adalah dalam segi proses perubahan yang terjadi pada wilayah itu, misalnya yang berkaitan dengan proses erosi, transportasi sedimen, dan pelapukan sedimentasi.



8.1. Pantai Berdasarkan proses pembentukannya (genesa), pantai dapat diklasifikasikan menjadi (1) pantai submergence, (2) pantai emergence, (3) pantai netral, dan (4) pantai campuran (compound). 1) Pantai submergence. Pantai submergence terbentuk jika muka air laut menggenangi daerah dataran. Pada awal terbentukan daerah pantai (tahapan muda) biasanya tidak teratur, banyak teluk dan lembah yang tenggelam. Dasar laut juga tak teratur dan terdapat lembah dan bukit tua yang telah ada sebelumnya. Proses selanjutnya, gelombang mulai mengkikis lebih dalam di bagian yang lemah, membentuk gua pantai (sea caves). Selanjutnya, sering terjadi longsoran karena proses pengikisan kaki tebing. Akibat pengikisan lanjut dan pengendapan terbentuk spites, dan



Suwardji & J. Priyono



104 tanjung banyak mengalami pengikisan menjadi bukit pantai terjal. Pantai submergence yang berteluk dan dalam sering dijadikan yang baik, tetapi daerah belakangnya miskin. Spite adalah bentuk endapan pantai dengan satu bagian tergabung dengan daratan dan bagian lain menjorok tipis ke laut. Berbagai endapan pantai terbentuk, yaitu headland beaches, bayside beach, bay head beach. Istilah bar digunakan untuk spite yang menghubungkan satu headland dengan headland yang lain: bay mouth bar, mid bay bar, bay head bar. Tombolo adalah genting yang menghubungkan pulau dengan daratan. Pada tahapan dewasa, keadaan detail pantai menjadi hilang. Headland menjadi mundur, bay mouth bar menjadi satu dengan headland, dan teluknya makin terisi lebih banyak sedimen. Akhirnya, seluruh headland terdorong ke belakang dan garis pantai menyatu ke daratan utama (main land). 2) Pantai emergence Pantai emergence terbentuk jika muka air laut menggenangi daerah laut atau danau yang sebagian terangkat. Pada mulanya, garis pantai cenderung lurus, dengan kontur lurus pula. Kedalaman laut bertambah secara teratur. Gelombang kecil dapat melaju dan mengikis tebing rendah membentuk nip. Gelombang besar dapat mengikis dasar pantai, endapannya membentuk submarine bar sejajar dengan garis pantai. Pada tahapan muda, submarine bar selanjutnya tumbuh membentu offshore atau barrier bar dengan lagoon di belakangnya. Sebagian besar offshore bars terputus dan tempat offshore bar terputus tadi disebut tidal inleds. Tidal deltas terbentuk di dalam lagoon, gelombang yang masuk dan keluar membawa endapan. Pada waktu air pasang (naik), gelombang air dapat melampui bar dan mengendapkan sedimen di belakangnya, disebut wash over. Pada tahapan dewasa, setelah gosong (bar) terbentuk dan gelombang mengikis dasar laut di muka gosong. Terkikisnya gosong menyebabkan pantai terdorong ke arah lagoon dan daratan. Profil pantai menjadi lebih terjal dan nip terbentuk.



Suwardji & J. Priyono



105 Pantai emergence umumnya mempunyai delta yang jarang dan miskin, karena dangkal dan berlumpur. Daerah di belakangnya mungkin sangat subur atau terdapat sumber mineral. 3) Pantai netral. Pantai netral merupakan pantai yang terbentuk tidak tergantung pada gejala naik-turunnya pantai. Jenis pantai ini merupakan hasil pengendapan bahan aluvial. Delta, dataran aluvial, dan pantai outwash plain terbentuk dari proses itu. Pantai umumnya mendalam pada ujung delta (fore set bets). Bentuk pantai umumnya sederhana atau agak melengkung. Bird’s foot delta (lobate) mempunyai bentuk tak teratur karena banyaknya cabang sungai di delta yang menyebar secara divergen. Aliran sungai yang sangat perlahan dan penutupan mulut sungai oleh endapan, menyebabkan adanya divergensi arah sungai pada delta.



4) Pantai campuran (compound beach) Pantai campuran terbentuk melalui proses pengangkatan dan penurunan. Indikasi adanya proses tersebut antara lain: dataran pantai (emergence), teluk yang banyak (submergence), dan teras. Contraposed shorelines jika daratan lama berbentuk kasar, pantainya terjal, dan dibatasi oleh dataran pantai yang sempit. Istilah contraposed sama dengan super imposed yang dipergunakan untuk sungai yang mengikis lapisan penutup hingga mencapai batuan yang tua. 5) Bentuk lain Beach bridge, merupakan pantai berbukit memanjang, rendah, akibat pertumbuhan pantai ke arah laut. Lembah di antara bukit di sebut swales, slashes, atau furrows. Beach cosps, merupakan akumulasi pantai berbentuk segitiga, terdiri dari pasir/kerikil, tersebar secara teratur di sepanjang pantai,puncak segitiga menunjak ke arah laut.



Suwardji & J. Priyono



106 8.2. Terumbu Karang Terumbu karang merupakan koloni dari rumah jasad renik karang (corral polyps) yang hidup di lingkungan pantai. Persyaratan tumbuh untuk terumbu karang antara lain sebagai berikut: 1) Suhu air dan lingkungan panas atau tropis, yaitu > 20º C. 2) Kedalaman air < 50 m (maximum 40 m). 3) Air jernih, tanpa sedimen, dasar laut cukup keras. 4) Laut harus tenang, karena arus yang besar akan merusak tubuh karang yang rapuh dan menghambat pertumbuhan terumbu karang. 5) Sirkulasi air cukup lancar untuk mendapatkan cukup oksigen. Pada kondisi yang sesuai, karang berkembang dengan cepat dan larva yang berkembang biak pada karang akan tersebar oleh arus laut ke tempat lain. Jika larva mendapatkan landasan yang kokoh, misalnya batuan keras atau cangkang yang mengumpul dan mengeras, maka terumbu karang akan cepat terbentuk dan berkembang. Kumpulan karang itu membentuk terumbu. Pertumbuhan karang dipercepat oleh tumbuhnya algae dan millipores yang juga mengambil kalsium karbonat dari air laut, dan organisme itu tumbuh efektif pada kedalaman 20 - 40 m.



Terumbu karang dapat berbentuk fringing reefs, barrier reefs, and atoll reefs. Fringing reefs tumbuh melekat pada pulau atau pantai benua. Tanpa lagoon atau genangan laut, daratan berbatu menjadi tumpuan dari terumbu tersebut. Barrier reefs merupakan terumbu yang tumbuh pada jarak beberapa ratus meter sampai beberapa kilometer dari daratan pantai. Terdapat lagoon atau genangan laut antara terumbu dengan pantai. Barrier reefs itu sendiri merupakan jalur relatif sempit, terdiri dari karang dan pasirnya yang terkadang muncul ke permukaan laut. Jalur karang sempit tadi dapat berbentuk cincin jika mengitari pulau. Atoll juga berbentuk cincin atau elips, merupakan jalur sempit karang atau pasir melingkar dengan lagoon atau genangan laut di tengahnya. Atoll mirip sebuh barrier reefs yang mengitari pulau, tetapi tanpa pulau di tengahnya.



Suwardji & J. Priyono



107 8.3. Delta Sebuah delta terdiri dari kumpulan endapan yang berasal dari daratan (fluvial sediment) pada muara sebuah sungai. Sejumlah bahan endapan yang dibawa oleh air sungai lebih besar jumlahnya dibanding dengan bahan endapan yang sudah terendapkan dan disapu lagi oleh arus atau ombak lautan. Suatu keseimbangan antara masukan bahan endapan dari sungai dengan dinamika penerimaan sedimen di sebuah lingkungan pengendapan, secara terus-menerus dibentuk oleh regime sedimen yang berhubungan langsung dengan variasi proses pembentukan pesisir pantai dengan kuantitas masukan sedimen lebih besar ke dalam lingkungan endapan pantai tersebut. 8.3.1.



Bagian Delta



Suatu delta dapat dibagi menjadi beberapa bagian yang mempunyai karakteritik yang berbeda-beda, yaitu: 1). Dataran delta (delta plain) Dataran delta adalah bagian dalam dari sebuah delta, dibentuk oleh endapan sungai (fluvial) yang menyusun dan berkembang ke atas dan menyebar dari delta ke arah tengah laut. Daratan delta terbentuk secara perlahan, kadang menutupi daerah rawa yang biasanya dibentuk oleh endapan halus. Daerah ini dikikis dan diisi oleh cabang endapan sungai dengan bentuk penyebaran dan bercabang ke arah laut, kemudian diisi pada alur sungai tersebut dengan endapan darat pasiran. 2. Bagian muka (delta front) Bagian muka delta berupa dataran dangkal di bawah muka air laut pada pinggiran pantai delta, dan menjadi tempat berkumpulnya sedimen dari cabang sungai di sekitarnya. 3. Bagian terluar Bagian terluar delta ke arah laut dari delta front, biasanya berbentuk oleh lumpur tanpa pasir. Bagian ini merupakan zone delta paling luar, dimana terjadi proses pengendapan suspensi.



Suwardji & J. Priyono



108 8.3.2.



Bentuk Delta



Morfologi delta yang dipengaruhi oleh endapan darat (fluvial dominated delta), terbentuk sebagai hasil pengendapan sedimen yang didominasi oleh endapan dataran banjir (flood plain). Daerah tersebut tenggelam/ditutupi oleh air dan pengiriman bahan sedimen relatif sangat singkat dengan energi relatif besar. Proses itu biasanya terjadi pada musim hujan dengan debit air relaif besar. Morfologi delta yang dipengaruhi oleh pasang surut (tidal dominated delta), dipengaruhi oleh pasang surut. Akibat banjir, sedimen akan tertahan di daerah muara oleh pengaruh air pasang, sedimennya diendapkan secara bersusun dan umumnya didominasi oleh massa dasar lempengan (sedimen berbutir halus). Morfologi delta yang dipengaruhi oleh gelombang laut (wave dominated delta), umumnya terbentuk dari batuan sedimen yang dibawa oleh sungai, disapu kembali diendapkan sejajar dengan garis pantai. Endapan pasirnya berkumpul secara teratur. Kalau gelombang besar menghempasnya, satuan pasir dapat berkumpul menjadi gunung kecil di sepanjang pantai.



8.4. Daerah Pasang Surut Daerah pasang surut merupakan daerah pantai yang mempunyai sifat dan ciri khusus, dipengaruhi oleh proses pasang dan surutnya air laut. Tanah di daerah pasang surut terutama adalah tanah organik dan sulfat masam. Di Indonesia, daerah pasang surut terutama terdapat di daerah Kalimantan, Sumatera, dan Irian Jaya, dan merupakan lahan potensial yang cukup luas di yang dapat dikembangkan sebagai areal pertanian, yaitu sekitar 39,4 juta ha. Baru sekitar 2 juta ha lahan pasang surut tersebut direklamsi di sepanjang pesisir timur Sumatera (Riau, Jambi, Sumatra Selatan, dan Lampung) dan di bagian pesisir barat dan selatan Kalimantan (Dep.Kimpraswil, 2006). Pengembangan pertanian daerah pasang surut cukup sulit dan mahal, karena (1) harus dibuat saluran drainase yang sekaligus difungsikan sebagai



Suwardji & J. Priyono



109 sarana transfortasi dan (2) berbagai kenala teknis dan ekologis yang harus dipertimbangkan. Dari aspek geomorfologi, daerah pasang surut terbentuk melalui proses pengendapan bahan aluvial yang dibawa oleh aliran sungai, kemudian diendapkan di sekitar muara sungai itu. Karena adanya air pasang dari laut, maka aliran air sungai itu tertahan, bahkan berbalik arah (ke hulu). Luapan air sungai mengarah ke samping, sehingga terbentuklah rawa di sepanjang alur sungai di dekat muara. Proses itu diikuti dengan pengendapan partikel halus (clay) dan terjadi terus-menerus dalam waktu geologis sehingga menghasilkan areal rawa pasang surut yang luas.



Tanah organik



tebing sungai ▼ muka air pasang non ▼muka air surut sulfidikk



Endapan bahan sulfidik



Gambar 8.1. Skema pematang melintang lahan pasang surut. Seperti tampak pada Gambar 8.1, karena kondisi reduktif daerah rawa memungkinkan terbentuknya tanah organik (gambut). Selain itu, senyawa sulfat dari air tawar (sungai) maupun air laut dapat membentuk senyawa kompleks sulfida dengan logam polivalen (Fe, Al, Mn) melalui proses biokimia dalam kondisi reduktif. Hasil akhir pembentukan senyawa sulfidik yang umum dijumpai adalah pirit (FeS2). Jika tanah organik tersebut terbentuk pada cekungan (sungai tua), maka akan terbentuk tanah organik yang dalam, bisa mencapai lebih dari 2 m, dan kurang subur. Hal itu dikarenakan bahan organik yang tertimbun berasal



Suwardji & J. Priyono



110 terutama dari tanaman air, mengambil unsur hara hanya dari air dan udara, sehingga relatif miskin hara. Sebaliknya, tanah organik yang dangkal terbentuk dari sisa tanaman yang tumbuh pada tanah mineral (endapan) yang kaya unsur hara, perakarannya dapat menjangkau unsur hara dari tanah mineral lebih dalam. Tanah organik yang umumnya direkomendasikan untuk diusahakan sebagai lahan pertanian adalah yang tebalnya < 50 cm. Tanah pasang surut yang mengandung senyawa sulfidik (pirit) pada posisi dangkal umumnya tidak direkomendasikan untuk dibuka, karena pada kondisi oksidatif (berhubungan langsung dengan atmosfir), pirit akan teroksidasi menghasilkan asam sulfat sehingga tanah menjadi sangat masam. Berkaitan dengan hal tersebut, pembuatan konstruksi saluran drainase juga harus mempertimbangkan kemungkanan terjadinya oksidasi pirit tersebut. Bahan tanah sulfidik (sulfat masam potensial) harus dipertahankan dalam kondisi reduktif (tergenang), sehingga tidak teroksidasi menjadi sulfat masam aktual.



Suwardji & J. Priyono



111



BAB 9 KLASIFIKASI DAN ANALISIS BENTANG LAHAN Tujuan Instruksional Khusus Setelah selesai mengikuti kuliah ini, diharapkan mahasiswa mengenal beberapa sistim klasifikasi dan analisis bentang lahan, serta penerapannya pada pekerjaan survai dan pemetaan tanah, khususnya untuk perencanaan pengembangan pertanian.



9.1. Konsep Dasar Pada konsep dasar geomorfologi yang telah dibahas dalam Bab I disebutkan bahwa masing-masing tipe atau grup bentang lahan membawa atau mempunyai sifat dan ciri unik yang mencerminkan proses dan evolusi geomorfik yang telah terjadi. Klasifikasi bentang lahan merupakan suatu pekerjaan atau langkah memilah suatu objek menjadi beberapa bagian yang lebih kecil (separating or breaking up of anything into its constituent elements). Berdasarkan tipe atau grup bentang lahan tersebut, selanjutnya dilakukan analisis bentang lahan, yaitu menterjemahkan makna sifat dan ciri masing-masing tipe atau grup bentang lahan tersebut kaitannya dengan potensi lahan itu untuk penggunaan tertentu, misalnya untuk pengembangan pertanian. Pada kondisi alami, bentang lahan di suatu kawasan umumnya sangat beragam, baik mengenai kenampakan morfologis maupun tingkat dan sejarah perkembangannya. Proses geomorfik yang telah dan sedang terjadi umumnya jarang yang sederhana (proses tunggal), tetapi lebih banyak yang kompleks (gabungan dari beberapa proses). Hal tersebut menyebabkan terjadinya keragaman yang tinggi tentang sifat lahan di suatu kawasan, sehingga akan sulit diinterpretasikan jika tanpa pemilahan (klasifikasi) masingmasing tipe bentang lahan yang ada di kawasan itu. Hasil analisis bentang lahan selanjutnya dapat digunakan sebagai informasi dasar dalam rangka



Suwardji & J. Priyono



112 pemanfaatan lahan untuk berbagai kepentingan pengembangan, pemantauan (monitoing), atau pengelolaan sumberdaya lahan di suatu kawasan. Tingkat kedetilan klasifikasi (hirarki) dan analisis bentang lahan tergantung pada kepentingan penggunaan data itu. Banyak sistim klasifikasi bentang lahan yang telah dibuat atau sebagai referensi. Sesuai dengan sasaran pembaca buku ini, dalam bab ini hanya dibahas sistim klasifikasi dan analisis bentang lahan khusus untuk kegiatan survai dan pemetaan tanah dalam rangka penyusunan rencana pengembangan pertanian di Indonesia.



9.2. Sistim Klasifikasi Bentang Lahan Sebagaimana sistem klasifikasi di bidang lain (misalnya klasifikasi untuk flora, fauna, dan tanah), klasifikasi bentang lahan juga didasarkan pada pertimbangan tertentu dan disusun secara sistematik berdasarkan kategori tertinggi hingga terendah (hirarkis). Mengingat bahwa bentang lahan merupakan bentukan alam yang terjadi melalui serangkain proses geomorfik, maka klasifikasi bentang lahan sebaiknya didasarkan pada proses itu. Misalnya, kategori paling tinggi di dasarkan pada proses geomorfik utama, yaitu proses geomorfik berdasarkan kesamaan sumber atau tipe energi/gaya yang bekerja pada proses itu, yaitu gaya endogen, eksogen, dan ekstra terestrial. Kemudian, untuk kategori yang lebih rendah didasarkan pada bentuk morfologi lahan/relief, litologi, tingkat erosi atau torehan. Namun demikian, wilayah atau relief dapat pula digunakan sebagai faktor pemisah pada kategori tinggi. Bentuk wilayah/relief itu merupakan sesuatu yang langsung dapat dilihat di lapang maupun melalui interpretasi foto udara atau citra landsat. Selanjutnya, proses geomorfik, morfologi lahan, litologi dan torehan, digunakan sebagai faktor pemisah pada kategori yang lebih rendah. Untuk kepentingan tertentu, diperlukan klasifikasi sangat detail, misalnya berdasarkan satuan lereng untuk menentukan satuan tanah pada kategori sub grup atau seri. Beberapa sistem klasifikasi bentang lahan yang pernah digunakan, umumnya didasarkan pada proses geomorfik, tetapi dalam banyak hal



Suwardji & J. Priyono



113 sistimatikanya belum konsisten. Contoh dari sistim klasifikasi tersebut adalah sebagai berikut: 1. Klasifikasi bentang lahan menurut Christian dan Steward (1968) yang dikembangkan di CSIRO (Australia), menggunakan pendekatan sistim lahan (land system). Sistem klasifikasi ini didasarkan pada aspek geomorfik, iklim, dan penutupan lahan. Dasar pemikiran yang digunakan dalam sistim ini bahwa jika bentukan permukaan bumi dengan proses dan evolusi yang sama, tetapi jika berada pada iklim dan penutupan yang berbeda, akan dihasilkan sistim lahan yang berbeda. Dalam sistim ini digunakan nama tempat sebagai nama sistem lahan. Penggunaan nama tempat itu dapat memudahkan pengenalan, tetapi dari segi sistematika akan terjadi kerancuan. Jika sistim tersebut digunakan di Indonesia, misalnya, maka akan terdapat banyak sekali satuan lahan dan kemungkinan terjadi kerancuan bahwa sistim lahan yang sama, tetapi berada di tempat yang berbeda, akan mempunyai nama yang berbeda pula. 2. Klasifikasi bentang lahan menurut Desaunettes (1997), menggunakan pendekatan fisiografik dan bentuk wilayah. Sistem klasifikasi ini telah sering digunakan di Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (Puslittanak) Bogor dan Departemen Transmigrasi, serta merupakan acuan utama dalam penyusunan sistem klasifikasi bentang lahan untuk proyek Land Resources Evaluation Project (LREP-I) tahun 1985-1990 di Indonesia. 3. Klasifikasi bentang lahan menurut Van Zuidam dan Zuidam Cancelado (1979), menggunakan metode analisis terain (terrain analysis). Analisis geomorfologi disertai dengan keadaan bentuk wilayah, stratigrafi, dan keadaan medan. Sistem klasifikasi terain ini dikembangkan dan digunakan oleh ITC (International Training Center) - Enschede, Belanda. 4. Klasifikasi bentang lahan menurut Buurman dan Balsem (1990), menggunakan pendekatan satuan lahan (land unit). Sistim ini diterapkan pada Proyek LREP-I untuk survai sumberdaya lahan tingkat tinjau (reconnaisance) skala 1 : 250.000 di P. Sumatera. Pada kegiatan tersebut, pembagian bentang lahan pada kategori paling tinggi didasarkan pada



Suwardji & J. Priyono



114 kesamaan faktor fisiografi yang pada dasarnya adalah proses geomorfik. Namun, pada kenyataannya masih ada ketidak-konsistenan dalam penamaannya. Misalnya, Grup Perbukitan (hill), Grup Pegunungan (mountain), dan Grup Dataran (plain) menggunakan terminologi bentuk wilayah (relief). Di samping itu, karena sistem ini digunakan khusus untuk P. Sumatra, maka muncul grup fisiografi khusus karena keunikannya, yaitu: Grup Dataran Tuf Masam (Acid Tuff Plain) dan Grup Tuf Toba Masam (Toba Acid Tuff). Kedua grup bentang lahan itu, apabila konsisten didasarkan pada proses geomorfik, tentunya dapat digabungkan dengan grup lain menjadi grup utama tertentu. 9.3. Klasifikasi Bentang Lahan LREP Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa untuk keperluaan survai sumberdaya lahan pada tingkat tinjau yang pernah dilakukan di Indonesia, yaitu pada proyek LREP (land resources evaluation project), klasifikasi bentang lahan dilakukan berdasarkan sistim yang dikemukakan oleh Buurman dan Balsem (1990), menggunakan pendekatan unit lahan. Pada sistim klasifikasi untuk LREP-I masih terdapat beberapa kelemahan yang perlu diperbaiki, antara lain seperti telah disebutkan di atas. Tiga tambahan kelemahan lain adalah: 1). Grup Kubah Gambut tidak dapat mewadahi dataran gambut (tidak membentuk kubah (dome). 2). Grup Teras Marin sebenarnya merupakan bagian/subgrup dari Grup Marin. 3). Bentang lahan yang terbentuk karena proses sedimentasi oleh angin (eolian) belum mempunyai wadah tersendiri. Pada pekerjaan LREP-II, beberapa kelemahan tersebut (LREP-I) diperbaiki dan telah disusun klasifikasi bentang lahan untuk keperluan survai dan pemetaan tanah pada tingkat semi detail. Dasar utama sistem klasifikasi bentang lahan untuk LREP-II adalah proses geomorfik (genesis dan evolusinya). Sesuai dengan format legenda peta tanah yang dibuat dalam LREPII, maka dalam analisis bentang lahan melalui potret udara, unit lahan pada



Suwardji & J. Priyono



115 suatu bentang lahan dipilah lebih rinci berdasarkan relief, kelerengan, dan litologinya. Pada sistim klasifikasi untuk LREP-II, bentang alam (landscape) di suatu kawasan dibagi menjadi 10 kelompok utama bentang lahan (landforms) Selanjutnya, kelompok utama dibagi lagi menjadi beberapa sub kelompok berdasarkan sifat masing-masing sub kelompok dan sub sub kelompok (lihat Tabel 9.1a – 9.1c). Pada Tabel 9.1a – 9.1c tampak bahwa pembagian unit bentang lahan atau unit lahan cukup detail, sesuai dengan keperluan penggunaan sistim tersebut untuk survai dan pemetaan tanah pada tingkat semi detail. Untuk survai dan pemetaan tanah pada tingkat tinjau, tentu saja tidak perlu dilakukan klasifikasi sedetail itu, mungkin sampai kategori kelompok utama sudah cukup, seperti yang dilakukan dan dilaporkan oleh Desaunettes (1997) untuk sistim lahan di Nusa Tenggara dan Maluku.



9.4. Analisis Bentang Lahan Analisis bentang merupakan kelanjutan proses pemilahan bentang lahan sampai kategori tertentu (klasifikasi) yang telah dilengkapi dengan penjelasan ciri dan sifat masing-masing unit lahan tersebut. Makna sifat dan ciri tersebut kemudian diterjemahkan kaitannya dengan kondisi alami lahan, tingkat kemampuan, kecocokan, ataupun faktor pembatas lahan untuk kepentingan tertentu. Misalnya, pada pekerjaan survai dan pemetaan tanah dalam rangka penyusunan rencana pengembangan pertanian atau pemukiman transmigrasi di suatu kawasan, analisis bentang lahan umumnya dikaitkan dengan evaluasi kesesuaian lahan untuk budidaya tanaman pangan, tanaman perkebunan, dan pemukiman. Dengan demikian, interpretasi sifat dan ciri bentang lahan dikaitkan dengan tingkat kesuburan riel maupun potensial, bahaya erosi (potensi terjadinya degradasi), ketersediaan air, dan besaran masukan (input) yang diperlukan. Dalam hal ini, kondisi kelerengan umumnya umumnya menjadi faktor pemisah utama antar unit lahan.



Suwardji & J. Priyono



116 Tabel 9.1a. Kelompok Utama (order) pada sistim klasifikasi bentang lahan LREP-II dan uraian penjelasan ciri dan sifatnya No Kelompok Utama 1 ALUVIAL (A) (Alluvial Landform) 2 MARIN (M) (Marine Landform)



3 FLUVIO-MARIN (B) (Fluvio-Marine Landform)



4 GAMBUT (O) (Peat Landform) 5 EOLIN (E) (Aeolian Landform) 6 KARST (K) (Karst Landform)



7 VOLKANIK (V) (Volcanic Landform)



8 ANGKATAN (F) (Uplifted Landform) 9 LIPATAN/PATAHAN (F) (Folded/faulded Landform) 10 ANEKA (X) (Miscelleneous Landform)



Suwardji & J. Priyono



Uraian Bentang lahan muda yang terbentuk dari proses fluvial (akktivitas sungai) maupun koluvial (gravitasi), atau gabungan dari keduanya. Bentang lahan yang terbentuk oleh atau dipengaruhi oleh proses marin baik proses yang bersifat konstruktif (pengendapan) maupun distruktif (abrasi) daerah yang terpengaruh air asin ataupun daerah pasang surut tergolong dalam landforms marin. Bentang lahan yang terbentuk oleh gabungan dari proses fluvial dan marin. Bentang lahan ini dapat terbentuk pada lingkungan laut (berupa delta) ataupun di muara sungai yang terpengaruh langsung oleh akktivitas laut. Bentang lahan yang terbentuk di daerah rawa dengan akumulasi bahan organik yang cukup tebal, termasuk bentang lahan O berupa kubah (dome) maupun bukan kubah/dataran. Bentang lahan yang terbentuk oleh proses pengendapan material (pasir, debu) yang terbawa angin. Bentang lahan yang didominasi oleh bahan batu gamping, pada umunya keadaan morfologinya tidak teratur; dicirikan oleh adanya proses pelarutan bahan batuan penyusun, terjadinya sungai dibawah tanah, gua dengan staglagtit dan stalagmit Bentang lahan yang terbentuk karena aktivitas volkanik/gunungapi; dicirikan dengan adanya bentuk kerucut volkanik, aliran lahar, lava atau dataran akumulasi bahan volkanik. Bentang lahan volkanik yang mengalami proses patahan/lipatan (sebagai proses sekunder) tidak dimasukkan dalam bentang lahan V. Bentang lahan yang terbentuk sebagai akibat berlangsungnya proses pengangkatan. Proses angkatan yang berlangsung dapat mendatar, miring, atau bentuk angkatan yang lain. Bentang lahan yang terbentuk dari proses pengangkatan lebih lanjut, sehingga terbentuk lipatan atau patahan, ditunjukan oleh lapisan geologi yang tidak menyambung. Grup yang tidak termasuk dalam grup yang telah diuraikan di atas, misalnya danau dan perkotaan (bangunan buatan manusia).



117 Tabel 9.1b. Pembagian kategori dalam kelompok utama (LREP-II) 1. KELOMPOK ALUVIAL (A) A.1. Lahan aluvial A.1.1. Dataran banjir



A.2. Lahan aluviokolovial



A.3. Aluvial basin



A.1.1.1. Sungai bercabang-cabang A.1.1.2. Sungai meander: A.1.1.2.1. Tanggul sungai A.1.1.2.2. Rawa belakang A.1.1.2.3. Tasik sungai A.1.1.2.4. Beting pasir A.1.1.2.5. Gosong pasir A.1.1.2.6. Meander scar A.1.1.2.7. Bekas sungai lama A.1.1.2.8. Jalur meander A.1.1.3. Sungai lurus A.1.1.3.1 Tanggul sungai A.1.1.3.2 Rawa belakang A.1.2. Teras sungai A.1.2.1. Teras atas A.1.2.2. Teras tengah A.1.2.3. Teras bawah Dibagi lagi berdasarkan satuan relief, lereng, dan torehan A.1.3. Dataran aluvial Dibagi lagi berdasarkan satuan relief, lereng, dan torehan A.2.1. Kipas aluvium A.2.1.1. Bagian atas/kepala A.2.1.2. Bagian tengah A.2.1.3. Bagian bawah/kaki A.2.2. Kompleks kipas aluvium A.2.3. Koluvial A.2.4. Dataran sempit antar bukit A.3.1. Basin tertutup/ danau/lakustrin A.3.2. Depresi aluvial



2. KELOMPOK MARIN (M) M.1. Pesisir M.1.1. Punggung &cekungan pesisir M.1.2. Pesisir pasir M.1.3. Pesisir lumpur M.1.4. Pasir penghalang M.1.5.Tomolo M.1.6. Spits M.1.7. Bekas laguna M.2. Tebing Batuan M.2.1. Tebing karang terjal M.2.2. Potongan arus. M.2.3. Terumbu karang menyebar M.2.4. Terumbu karang pinggir pantai M.2.5. Atol M.3. Pantai Pasang M.3.1. Pantai pasang surut pasir Surut M.3.2. Pantai pasang surut lumpur M.3.3. Rawa belakang pasang surut M.4. Teras Marin M.1.1. Teras marin baru M.1.2. Teras marin lama/tua



Suwardji & J. Priyono



118 3. KELOMPOK FLUVIO-MARIN (B) B.1. Delta Laut B.1.1. Delta estuarin B.1.2. Delta Arcuate B.1.3. Delta kaki burung B.2. Dataran esturin sepanjang sungai besar 4. KELOMPOK GAMBUT (G) G.1. Gambut topogen G.1.1. Gambut air tawar G.1.2. Gambut pengaruh salin G.2. Gambut ombrogen G.2.1. Gambut air tawar G.2.2. Gambut pengaruh salin 5. KELOMPOK EOLIN (E) E.1. Pasir penutup (ketebalan > 50 cm) E.2. Lapisan pasir (ketebalan < 50 cm) E.3. Gumuk pasir E.3.1. Gumuk pasir pantai E.3.2. Gumuk pasir sungai E.3.3. Gumuk pasir daratan E.4. Bahan lepas (losses) bahan debu 6. KELOMPOK KARST (K) K.1. Dataran tinggi (plateau) karst Dibagi berdasarkan unit relief, lereng, K.2. Punggung dan torehan K.3. Cekungan K.3.1. Sinkhole K.3.2. Doline K.3.3. Uvala K.3.4. Poljes K.4. Singkapan batu gambping K.4.1. Runcing (Pinnacle) K.4.2. Hummock K.4.3. Terumbu (Clif) 7. KELOMPOK VOLKANIK (V) V.1. Strato V.1.1. Kerucut volkanik



V.2. Gunungapi shield V.3. Aliran lahan



Suwardji & J. Priyono



V.2.1. Shield membulat V.2.2. Plateau V.3.1. Bagian atas V.3.2. Bagian tengah V.3.3. Bagian bawah



V.1.1.1. Lereng volkanik V.1.1.1.1. Lereng atas V.1.1.1.2. Lereng tengah V.1.1.1.3. Lereng bawah V.1.1.1.4. Planes V.1.1.2. Lubang kepundan V.1.1.3. Kaldera V.1.1.4. Kaki gunungapi V.1.1.5. Ngarai



119 8. KELOMPOK FORMASI ANGKATAN (U) U.1. Angkatan U.1.1. Plateu mendatas U.1.2. Mesa



U.1.1.1. Punggung plateu U.1.1.2. Gawir plateu U.1.2.1. Punggung mesa U.1.2.2. Gawir mesa U.1.3. Bute Dibagi berdasarkan bentuk, lereng, dan torehan U.2. Angkatan miring Dibagi berdasarkan relief, lereng dan torehan U.3. Angkatan lain U.3.1. Perbukitan U.3.2. Pegunungan 9. KELOMPOK FORMASI LIPATAN (F) F.1. Punggung F.1.1. Lipatan F.1.1.1. Punggung antiklin paralel F.1.1.2. Depresi sinklin Dibagi lagi berdasarkan relief, lereng, dan torehan F.1.2. Hogback F.1.2.1. Lereng curam F.1.2.2. Gawir hogback F.1.3. Cuesta F.1.3.1. Lereng curam F.1.3.2. Gawir cuesta F.1.4. Kompleks hogback F.1.4.1. Kompleks lereng curam F.1.4.2. Kompleks gawir Dibagi lagi berdasarkan relief, lereng, dan torehan F.1.5. Kompleks cuesta F.1.4.1. Kompleks lereng curam F.1.4.2. Kompleks gawir Dibagi lagi berdasarkan relief, lereng, dan torehan F.2. Kumpulan bukit kecil dan pola perbukitan F.3. Blok F.3.1. Horse F.3.2. Graben 10. KELOMPOK ANEKA BENTANG LAHAN (X) X.1. Lahan rusak; X.2. Pemukiman utama; X.3. Air (water body); X.4. Galian/pertambangan; X.5. Longsoran; X.6. Luncuran; X.7. Tanah bergerak; X.8. infrastruktur/fasilitas transfortasi



Suwardji & J. Priyono



120 Tabel 9.1c. Pembagian lebih rinci dari sub kelompok berdasarkan unit bentuk wilayah (relief) pada sistim klasifikasi bentang lahan LREP-II fnurochm-



Bentuk Wilayah Datar Agak datar Berombak Bergelombang Bergumuk Berbukit kecil Berbukit Bergunung



Selang Lereng 15 % > 15 % > 15 % > 15 %



Kemungkinan kelas kombinasi dengan proporsi kira-kira sama: fn fu ur rc rh ch hm



- Datar dan agak datar - Datar sampai berombak - Berombak dan bergelombang - Bergelombang dan berbukit kecil - bergelombang dan berbukit - berbukit kecil dan berbukit - berbukit dan bergunung



Kemungkinan kelas kombinasi sebagai inklusi yang kontras: fc fef fcc nc ncn ncc uc ucu ucc rc rcr rcc



- Datar dengan bukit-bukit kecil - Bagian yang datar - Bukit-bukit kecil - Agak datar dengan hukit-bukit kecil - Bagian yang agak datar - Bukit-bukit kecilnya - Berombak dengan bukit-bukit kecil - Bagian yang berombak - Bukit-bukit kecil - Bergelombang dengan bukit-bukit kecil - Bagian yang bergelombang - Bukit-bukit kecil



Suwardji & J. Priyono



Perbedaan Tinggi 60 % Terjal 2) Kemungkinan kelas kombinasi : AB 0 – 8 % Datar dan agak melandai BC 3 – 15 % Agak melandai dan melandai CD 8 – 25 % Melandai dan agak curam DE 15 – 40 % Agak curam dan curam EF 25 – 60 % Curam dan sangat curam FG > 40 % Sangat curam dan terjal 3. Panjang Lereng Panjangnya suatu lereng perlu diketahui, antara lain untuk keperluan pendugaan besarnya erosi yang dapat terjadi. Apabila tidak dilakukan pengukuran, perkiraan panjangnya suatu lereng perlu dilakukan. Klasifikasi panjangnya lereng adalah sebagai berikut:



Suwardji & J. Priyono



122 v s m l e



sangat pendek pendek agak panjang panjang sangat panjang



< 50 m 50 - 100 m 101-200 m 201-500 m > 500 m



Bahan Induk Bahan induk dapat berupa bahan plutonik, volkanik, sedimen, metamorfik, aluvium atau organik. 100 110 111 112 113 120 121 122 123 124 125 130 131 132 133 134 140 141 142 143



plutonik felsik/masam granit kuarsa (granit) porfir pegmatit intermedier sienit porfirit tonalit granodiorit diorit mafik/base gabro dolerit diabas norit ultramafik/ultrabasa serpentin peridotit piroksnit



plutonic felsic/acid granite quartz (granite) porphyrit pegmatite intermediate syenite porphyrite tonalite granodiorit diorite mafic/basic gabbro dolerite diabase norite ultramafic/ultrabasic serpentinite peridotite pyroxenite



200 210 211 222 223 224 225 220 221 222 223



volkanik felsik/masam riolit liparit dasit batuapung obsidian intermedier andesit tefrit leusitit



volcanic felsic/acid rhyolite liparite dacite pumice obsidian intermediate andesite tephrite leucitite



Suwardji & J. Priyono



123 230 231



mafic/basa basalt



mafic/basic basalt



300 310 311 312 313 314 315 320 321 322 323 330 331 332 333 340 341 342 343 344



sedimen felsik/halus batuliat batulumpur batulanau diatomit serpih felsik kasar/masam batu pasir konglomerat batu pasir berkapur kalkareus keras batu gamping batu gamping karang breksi batu gamping kalkareus lunak napal batu liat berkapur kapur tuf berkapur



sediment fine felsic/acid claystone mudstone silstone diatomite shale coarse felsik/acid sandstone conglomerate calcareous sandstone hard calcareous limestone coral limestone limestone breccia soft calcareous marl calcareous clay chalk calcareous tuff



400 410 420 430 440 450 460 470 480 490



metamorfik batu sabak filit gneis skis hornfels kuarsit batu pualan/marmer amfibolit zeolit



metamorfic slate philite gneiss schist hornfels quarzite marble amphibolite zeolite



500 510 520 530 540 550



aluvium kerakal/batu kerikil pasir debu liat



alluvium stone gravel sand silt clay



600 610



organik rumput-rumputan



organic grass



Suwardji & J. Priyono



124 620 630



paku-pakuan kayu-kayuan



fern wood



Tingkat Torehan Suatu aspek penting yang sangat berkait dengan bentuk wilayah/relief, kondisi bentang lahan, dan pengelolaan lahannya, adalah keadaan atau tingkat torehan (dissection) yang disebabkan oleh erosi yang telah terjadi dan saat sekarang. Tingkat torehan ini dapat diklasifikasi secara kualitatif maupun secara kuantitatif. 1. Klasifikasi tingkat torehan secara kualitatif berdasarkan Desaunettes (1977) adalah sebagai berikut : a. Sedikit tertoreh, dicirikan oleh jarak antar punggung aliran air (interfluves) lebar dengan gullies dangkal b. Agak tertoreh, dicirikan oleh jarak antar punggung aliran air agak lebar dan gullies agak dalam. c. Tertoreh, dicirikan oleh jarak antar punggung aliran air sempit dan gullies dalam. d. Sangat tertoreh, dicirikan oleh adanya punggung (ridges) sempit dan gullies sangat dalam dan sangat banyak. 2. Klasifikasi tingkat torehan secara kuantitatif mengikuti Strahrer (1964) berdasarkan panjangnya alur drainase per satuan luas, sebagai berikut: Tingkat torehan 0 1 2 3 4



Tidak tertoreh Sedikit tertoreh Agak tertoreh Sangat tertoreh Ekstrim tertoreh



Di lapang km/km2 < 0,5 0,5 – 1,0 1,1 – 2,0 2,1 – 4,0 > 4,0



Di peta 1 : 50.000 cm/cm2 < 0,25 0,25 – 0,5 0,5 – 0,1 1,0 – 2,0 > 2,0



Di peta 1 : 25.000 cm/cm2 < 0,125 0,125 – 0,25 0,25 – 0,5 0,5 – 1,0 > 1,0



Pola Drainase Jaringan anak sungai yang terbentuk secara alami sangat ditentukan oleh kondisi strata batuan yang ada. Jaringan sungai/anak sungai tersebut yang dikenal dengan nama pola drainase (drainage pattern) dengan demikian dapat memberikan informasi tentang sifat batuan/strata di bawahnya. Oleh karena itu, setiap landform mempunyai pola drainase masing-masing, karena landform sangat ditentukan oleh keadaan dan sifat strata batuannya. Beberapa pola drainase utama adalah :



Suwardji & J. Priyono



125 Dendritik (Den) :Sub denritik (Sud); Pinnate(Pin); Dikhotomik (Dik) Paralel (Par) : Sub paralel (Sup); Kolinier (Col) 3. Trelis (Tre) : Sub trelis (Sut) 4. Recectangular (Rec) : Angulit (Ang) 5. Radial/sentrifugal (Rad): Sentripetal (Cen) 6. Anular (An) : multi-basinal/karstik (Mul) 7. Kompleks (Com) 8. Sinuous (Sin) 9. Meandering (Mean) 10. Braided (Bra) Catatan: Istilah “sinuous”, “meandering”, dan “braided” lebih menggambarkan sungai secara individual daripada pola drainase secara keseluruhan. 1. 2.



Posisi bagian bentang lahan Banyak bentang lahan dapat dipisahkan lebih lanjut berdasarkan letak/posisi dari bagian-bagiannya. Untuk bentang lahan pada wilayah datar dan hampir datar, pemisahan ini dapat mencakup juga : ue Bagian hulu de Bagian hilir cp Bagian tengah Fr Julur menjari Untuk landform tidak datar pemisahan atas dasar letak/posisi mencakup juga: if Punggung antara aliran cr Bagian puncak (crest/summit) sl Bagian lereng: atas (us); tengah (ms); bawah (ls); kaki (fs) ds Lereng pemiringan sc Gawir



Suwardji & J. Priyono



126



Suwardji & J. Priyono



127



BAB X APLIKASI GEOMORFOLOGI Tujuan Instruksional Khusus Setelah selesai mengikuti kuliah bab ini, diharapkan mahasiswa mengetahui tentang garis besar penerapan konsep geomorfologi dalam berbagai bidang Prinsip geomorfologi telah diterapkan dalam berbagai bidang, setidaknya sebagai salah satu aspek penting yang perlu dipertimbangkan, terutama dalam perencanaan pengelolaan sumberdaya alam yang meliputi sumberdaya lahan, air, flora, dan fauna, serta energi. Selain itu, geomorfologi juga diterapkan dalam perencanaan konstruksi bangunan teknik sivil (misalnya jalan raya, jembatan, dan bendungan), pengembangan objek wisata, monitoring bencana alam, dan pelestarian lingkungan hidup. Sesuai dengan ruang lingkup buku ini, maka telah banyak disinggung dalam bab sebelumnya mengenai aplikasi konsep dasar geomorfologi dalam bidang survai dan pemetaan tanah, karena proses geomorfik merupakan faktor sangat penting yang mempengaruhi pembentukan dan perkembangan (genesa) tanah. Oleh sebab itu, batas unit geomorfik (bentang lahan) umumnya sejajar atau saling tindih dengan batas satuan unit lahan. Adanya korelasi yang erat antara unit bentang lahan dengan unit tanah atau lahan tersebut, maka pemahaman tentang geomorfologi sangat membantu memperlancar pekerjaan survai dan pemetaan tanah. Geomorfologi telah diterapkan pula dalam bidang hidrologi dan pengairan. Sampai batas tertentu, potensi dan keberadaan sumber air, baik sumber air permukaan maupun air tanah dalam, serta debit dan arah aliran, dapat diidentifikasi melalui interpretasi bentuk permukaan bumi (bentang lahan). Pemilihan posisi bendung, embung, dan jaringan irigasi sangat ditentukan oleh kondisi bentang lahan yang ada. Dalam perencaan pembuatan jalan, jembatan, dan berbagai macam bangunan teknik sivil, aspek lereng dan struktur geologi menjadi faktor utama



Suwardji & J. Priyono



128 yang sangat diperhatikan, karena hal tersebut berkaitan dengan faktor keselamatan bangunan itu sendiri dan utamanya bagi pengguna sarana tersebut. Banyak bentukan alam yang unik dan dihasilkan oleh proses geomorfik, misalnya kawasan pantai, pegunungan, dan karst (gua), menjadi daya tarik wisatan. Hal itu menunjukan bahwa geomorfologi telah diterapkan pula dalam pengembangan daerah wisata. Dalam dua dasa warsa terakhir, banyak perhatian dicurahkan pada aspek penanganan masalah degradasi lingkungan. Misalnya, proses erosi yang dipercepat, tanah longsor, intrusi air laut, dan deflesi keaneka-ragaman biota. Dalam hal itu, aspek bentang lahan (geomorfologi) telah menjadi salah satu faktor yang sangat penting untuk dipertimbangkan dalam perencanaan penanganan dan monitoring masalah tersebut.



Suwardji & J. Priyono



129



DAFTAR PUSTAKA Atkinson, T.C. (1977). Diffuse flow and conduit flow in limestone terrain in the Medip Hill, Great Britain. Journal Hydrology ,Vol. 35. Birkeland, P. (1984). Soil and Geomorphology. Oxford University Press. New York. Bonnaci, O. (1997). Role of speleology in karst hydrology and hydrogeology. p. 27-30, Proceeding 12 th International Conggress of Speleology. Cooke, R.U. dan Doornkamp, J.C. (1978). Geomorphology in Environmntal Management. Clarendon Press. Oxford. Daniels, R.B. dan Hammer, R.D. (1992). Soil Geomorphology. John Willey and Soons, INC.



Dep. Kimpraswil (2006). Informasi umum tentang rawa pasang surut di Indonesia (www.kimpraswil.co.id)



Dessaunettes, J.R. (1977). Cataloque of Landforms for Indonesia. Prepared for the Land Capability Appraisal Project at the Soil and Research Institute Bogor, Indonesia. Euroconsult (1994). Second Land Resource Evaluation and Planning Project. Part C, Strengthening Soil Resources Mapping. CSAR. Bogor. FAO (1984). Guidelines: Land Evaluation For Rainfed Agriculture. FAO Soil Bulletin 52. Rome, Italy. Gerrard, J. (1989). Soil Geomorphology. Champan & Hall. London. IUCN (1997). Guideline for Cave and Kars Protection. Glend, Switzerland and Cambrige UK. Ko, KRT.(1997). Introduksi Kartospeleologi. Himpunan Kegiatan Speleologi Indonesia. Land Resources Department Department of Transmigration (1988). Physical Planning Programe For Transmigration (RePPProT). Jakarta Lowes, D.D. dan Waltham, T. (1995). A dictionary of karst and caves. British Cave Research Association. Cave Studies Series Vol. 6. London. Monroe, G.H. (1970). A glossary of kars terminology. USGS Water Supply paper 1899-K. US Government Printing Office. Washington



PUSPICS-UGM (1999). Geomorfologi. Bahan Kursus Singkat Untuk Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir. Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.



Pidwirny, M. (2006). Fundamental of Physical Geography (A Review presented online in www.Physical Geography.net).



Suwardji & J. Priyono



130 Samodra, H. (1996). Aspek geologi batuan karbonat terhadap pencarian alur sungai bawah tanah di daerah Wonosari dan Sekitarnya, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta. Laporan Penelitian Riset Unggulan Terpadu Menristek Jakarta. Samodra, H. (2000). Nilai strategis kawasan kars di Indonesia. Lokakarya Geowisata Kabupaten Lebak Jawa Barat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi bekerjasama dengan Dinas Pertambangan Provinsi Jawa Barat. Samodra, H. (2001). Nilai strategis kawasan kars di Indonesia. Pengelolaan dan Perlindungannya. Publikasi Khusus. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumberdaya Mineral. Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral. Bandung. Sampurno (1990). Buku Kuliah Geomorfologi. Jurusan Geologi ITB, Bandung. Sampurno (1990). Buku Kuliah Geomorfologi. Jurusan Geologi ITB, Bandung. Thornbury, W. (1969). Principles of Geomorphology. Willey International Edition. Second Edition. Twidale, C.R. (1975). Analysis of Landforms. John Willey and Sons Australia Pty Ltd. USGS (2006). (www.education.usgs.gov). USDG (2006). Volcano landforms. (www. geology.sdsu.edu/how_vol-



canoes_work/)



Verstappen, H.Th. (1979). Applied Geomorphology. I.T.C. Belgium. Wilkipedia (2006). Encyclopedia online in (www.wilkipedia.org). Yuan, D. (1983). Problems of environmental protection of karst area. Annual Meeting of the AAAS, Detroit, Michingan.



Suwardji & J. Priyono



131 LAMPIRAN Soal Latihan Sebagai Bahan Evaluasi Diri Hasil Belajar Mahasiswa 1. Jelaskan definisi dan ruang lingkup geomorfologi dan bagaimana kaitannya geomorfologi dengan ilmu tanah. 2. Jelaskan konsep dasar berpikir seorang geomorfologis dalam menginterpretasikan suatu bentang lahan. 3. Sebutkan dan jelaskan 3 dari 10 prinsip dasar dalam mempelajari geomorfologi. 4. Jelaskan perbedaan faham uniformitarianisme vs katastrofisme 5. Gambarkan skema beserta penjelasannya masing-masing lapisan yang menyusun kerak bumi. 6. Apa yang dimaksud dengan kosep isostasi? Jelaskan bagaimana kaitannya dengan bentang lahan yang banyak terjadi erosi. 7. Jelaskan bagaimana proses tubrukan lempeng tektonik mempengaruhi proses perkembangan bentang lahan. 8. Jelaskan apa perbedaan antara proses lipatan/angkatan (fold) vs sesar (fault). 9. Jelaskan apa yang dimaksud dengan relief bumi. 10. Berdasarkan tingkat perkembangannya, relief bumi dibagi menjadi tiga tahapan (order), jelaskan. 11. Sebutkan beberapa contoh bentang lahan yang termasuk order II dan jelaskan cirri dan sifat utamanya. 12. Sebutkan bentang lahan di NTB yang perkembangannya termasuk pada tahapan muda dan tahapan tua. 13. Jelaskan gaya/energi yang terlibat dalam proses geomorfik. 14. Sebutkan dan jelaskan 4 tipe bentang lahan berdasarkan sifat dan cirri proses pembentukannya, serta berikan satu contoh untuk masingmasing bentang lahan tersebut. 15. Jelaskan apa yang dimaksud dengan pelapukan fisik, kimia, dan biologi, serta kharakteristik hasil dari pelapukan tersebut.



Suwardji & J. Priyono



132 16. Sebutkan factor apa saja yang mempengaruhi proses pelapukan batuan. 17. Jelaskan bagaimana proses terjadinya gerakan masa tanah atau batuan, dan syarat kondisi yang bagaimana kemungkinan longsoran itu dapat terjadi. 18. Apa yang dimaksud dengan bentang lahan fluvial? Jelaskan. 19. Sebutkan beberapa tipe bentang lahan fluvial dan contohnya di NTB. 20. Sebutkan ciri dari sungai pada tahap perkembangan muda dan tua. 21. Pola drainase dapat memberikan informasi tentang sifat bentang lahan. 22. Aktivitas gunung api mempunyai kaitan erat dengan pertanian/kesuburan tanah, jelaskan. 23. Jelaskan tiga tipe dan bentuk gunung api, serta cirri bahan erupsi yang dikeluarkan. 24. Adakah hubungan antara morfologi gunung api dengan kesuburan tanah disekitarnya? Jelaskan. 25. Jelaskan apa yang dimaksud dengan bentang lahan karst, dan bagaimana proses utama pembentukan bentang lahan karst. 26. Jelaskan beberapa sifat dan ciri penting bentang lahan karst. 27. Jelaskan apa arti penting daerah karst bagi aspek pertanian, hidrologi, dan wisata. 28. Berdasarkan proses pembentukannya, tedapat 4 jenis pantai. Sebutkan dan jelaskan proses pembentukannya. 29. Jelaskan persyaratan kondisi laut untuk dapat terbentuk terumbu karang. 30. Jelaskan beberapa aspek penting daerah pasang surut kaitannya dengan pengembangan pertanian di Indonesia. 31. Apa yang adan sudah ketahui dengan sistim klasifikasi bentang lahan LREP, jelaskan.



Suwardji & J. Priyono



Geomorfologi & Analisis Bentang Lahan



DAFTAR PUSTAKA Atkinson, T.C. (1977). Diffuse flow and conduit flow in limestone terrain in the Medip Hill, Great Britain. Journal Hydrology ,Vol. 35. Birkeland, P. (1984). Soil and Geomorphology. Oxford University Press. New York. Bonnaci, O. (1997). Role of speleology in karst hydrology and hydrogeology. p. 27-30, Proceeding 12 th International Conggress of Speleology. Cooke, R.U. dan Doornkamp, J.C. (1978). Geomorphology in Environmntal Management. Clarendon Press. Oxford. Daniels, R.B. dan Hammer, R.D. (1992). Soil Geomorphology. John Willey and Soons, INC. Dessaunettes, J.R. (1977). Cataloque of Landforms for Indonesia. Prepared for the Land Capability Appraisal Project at the Soil and Research Institute Bogor, Indonesia Euroconsult (1994). Second Land Resource Evaluation and Planning Project. Part C, Strengthening Soil Resources Mapping. CSAR. Bogor. FAO (1984). Guidelines: Land Evaluation For Rainfed Agriculture. FAO Soil Bulletin 52. Rome, Italy. Gerrard, J. (1989). Soil Geomorphology. Champan & Hall. London. IUCN (1997). Guideline for Cave and Kars Protection. Glend, Switzerland and Cambrige UK. Ko, KRT.(1997). Introduksi Kartospeleologi. Himpunan Kegiatan Speleologi Indonesia. Land Resources Department Department of Transmigration (1988). Physical Planning Programe For Transmigration (RePPProT). Jakarta Lowes, D.D. dan Waltham, T. (1995). A dictionary of karst and caves. British Cave Research Association. Cave Studies Series Vol. 6. London. Monroe, G.H. (1970). A glossary of kars terminology. USGS Water Supply paper 1899-K. US Government Printing Office. Washington



PUSPICS-UGM (1999). Geomorfologi. Bahan Kursus Singkat Untuk Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir. Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.



Pidwirny, M. (2006). Fundamental of Physical Geography (A Review presented online in www.Physical Geography.net).



Suwardji & J. Priyono



Geomorfologi & Analisis Bentang Lahan



Samodra, H. (1996). Aspek geologi batuan karbonat terhadap pencarian alur sungai bawah tanah di daerah Wonosari dan Sekitarnya, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta. Laporan Penelitian Riset Unggulan Terpadu Menristek Jakarta. Samodra, H. (2000). Nilai strategis kawasan kars di Indonesia. Lokakarya Geowisata Kabupaten Lebak Jawa Barat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi bekerjasama dengan Dinas Pertambangan Provinsi Jawa Barat. Samodra, H. (2001). Nilai strategis kawasan kars di Indonesia. Pengelolaan dan Perlindungannya. Publikasi Khusus. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumberdaya Mineral. Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral. Bandung. Sampurno (1990). Buku Kuliah Geomorfologi. Jurusan Geologi ITB, Bandung. Sampurno (1990). Buku Kuliah Geomorfologi. Jurusan Geologi ITB, Bandung. Thornbury, W. (1969). Principles of Geomorphology. Willey International Edition. Second Edition. Twidale, C.R. (1975). Analysis of Landforms. John Willey and Sons Australia Pty Ltd. USGS (2006). (www.education.usgs.gov). Verstappen, H.Th. (1979). Applied Geomorphology. I.T.C. Belgium. Wilkipedia (2006). Encyclopedia online in (www.wilkipedia.com). Yuan, D. (1983). Problems of environmental protection of karst area. Annual Meeting of the AAAS, Detroit, Michingan.



Suwardji & J. Priyono