Buku Modul PKD [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MODUL PELATIHAN KADER DASAR (PKD) PMII RAYON AL-FARABI



Penyusun : Fahrizal Irvan Evendi Rahmat Rizki Mubarak Abdullah Aslim Gus Salim Maula Eka Helmi Febrianti Penyunting : Rofiqi Budi Purnomo



Di bentuk oleh pengurus Rayon Al-farabi masa khidmat 2020/2021 Jl. Joyo Suko No. 202b, Merjosari, Kec, Lowokwaru, Kota Malang, Jawa Timur 65144 [email protected]



KATA PENGANTAR Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat Rahmat dan kasih sayangnyalah kita mampu menyelesaikan strategi dalam merawat serta mengembangkan kapasitas intelektual sahabat PMII Rayon Al- Farabi dengan hadirnya modul PKD ke IV kali ini. Shalawat dan salam kita lantunkan Kepada sang tokoh paling berpengaruh di dunia baginda nabi Muhammad SAW. Karena berkat kesabaran dan pengorbanan dalam perjuangan beliau dalam membela kaum mustad affin, membela kebenaran, dan menegakkan keadilan sehingga pada hari ini kita sebagai generasi milenial dapat menikmati keharmonisan dalam beragama yang rahmatan lil alamin. Semoga kita senantiasa meneruskan perjuangannya, dan diakui sebagai ummat nya kelak di hari kiamat, Amin. Secara garis besar PKD ini bertujuan untuk membekali kader dengan kemampuan praksis dengan pijakan teori dan pengetahuan. Untuk itu, dengan rahmad dan magfirahnya serta keberanian dari kami hadirkan modul ini yang merupakan suatu upaya sebagai media tranformasi pengetahuan maupun teori, Mengingat saat ini kemunduran tradisi intelektual menjadi suatu problem dasar. Selain dari pada itu hadirnya modul ini semoga menjadi bahan acuan untuk jawaban atas degradasi kaderisasi, serta menjadi salah satu kekuatan dalam menjaga tradisi intelektual didalam PMII.



Modul ini yang disusun bersama dengan di bentuk nya tim penyusun oleh pengurus PMII rayon Al-Farabi periode 2020-2021 memiliki ekspektasi besar yang mana alumnus PKD diharapkan sudah terbentuk aspek-aspek kematangan kader baik dari militansi, intelektual yang mempuni, loyalitas yang tak pernah mati, spiritual maupun sosial, serta semangat dalam mengembangkan PMII. Sahabat/i ku sekalian. Tantangan hari ini tanpa disadari kita telah kalah dengan diri kita sendiri. Dimana hedonisme yang mengukung di dalam benak kita di biarkan bergerilya tanpa kita pasang perisainya. sampai saat ini tidak ada metode yang bisa menggantikan literasi sebagai perisai untuk tetap menjaga dan mengembangkan baik kualitas berfikir maupun kualitas dari gerakan kita. Hal ini merupakan problem Sulit bagi kita, sehingga kegigihan, Istiqomah dan juga kesabaran untuk tetap berada di garis perjuangan PMII merupakan salah satu penentu kita bisa dan tidaknya. Untuk itu bukan keadaan sebagai alasan untuk bermalas-malasan akan tetapi keadaan adalah sebagai dari kesempatan untuk meng upgrade diri, bermanfaat bagi lingkungan dan tetap mempertahankan nilai idealisme sebagai mahasiswa. Marilah tetap terus membunuh waktu dengan semangat kita yang tetap menjaga tanggung jawab sosial Moral force dan tangggung jawab yang melekat pada manusia sebagai Abdullah dan Khalifatul fil Ard, sehingga kita menjadi insan yang ulul Albab sebagai mana cita-cita ideal di dalam PMII.



Selamat mengisi ruang dialektika dalam organisasi, dan menjadilah berani mengambil garda terdepan dalam menawarkan solusi yang kreatif dan masif di dalam organisasi maupun republik ini.



Kota Malang, 8 Juni 2021 Rofiqi



BAB I Paradigma



A. Apa Itu Paradigma? Secara Etimologi berasal dari bahasa yunani paradeigma yang berarti “membandingkan”. ”bersebalahan” atau “memperlihatkan”. Secara Epistemologi adalah pandangan dasar mengetahui pokok persoalan atau metodelogi dalam pendekatan pokok permasalahan (objek kajian) ilmu pengetahuan, asumsi dasar ini terbentuk oleh apa yang realitas perlihatkan. Paradigma pertama kali di perkenalkan oleh thomas khun, seorang ahli fisika teoritik, paradigma di jelaskan dalam buku-bukunya yaitu “the Structure of Sociology,1970” dalam 21 konteks yang berbeda. Namun, dari 21 konteks berbeda tersebut di klarisifikasi menjadi tiga pengertian paradigma. 1. 2. 3.



Paradigma metafisik yang mengacu pada sesuatu yang menjadi pusat kajian keilmuan Paradigma Sosiologi yang mengacu pada sesuatu kebiasaan sosial masyarakat Paradigma konstruk sebagai semuatu yang mendasari bangunan konsep dalam lingkup tertentu, misal paradigma pembangunan, paradigma pergerakan dan lain-lain.



Namun paradigma menurut kaum pergerakan merupakan pisau anlisis dalam membedah persoalan atau bisa juga di sebut kerangka berpikir dan bertindak dalam menganalisa persoalan, hal ini tentu sangat penting bagi kader PMII karena melihat kondisi dan situasi kehidupan yang terus berkembang seperti revolusi industri 4.0 dan revolusi tatan negara feodalistik menjadi demokrasi. Arus perubahan ini juga menentukan pola pikir masyakrakat luas, sehingga muncul minset baru ataupun perkembangan ideologi baru di dalamnya. Dalam sintesis perkembangan paradigma sosial : Wiliam Perdue memetakan paradigma menjadi tiga jenis, yaitu: 1.



Order Paradigm (Paradigma Keteraturan) Paradigma ini menjelaskan bahwa masyarakat di pandang sebagai sistem sosial yang terdri dari bagianbagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan. Asumsi dasarnya dari paradigma ini adalah : Setiap struktur sosial merupakan fungsional terhadap struktur lainya. Kemiskinan, peperangan, ketimpangan sosial misalnya merupakan sesuatu yang wajar. Dan hal ini melahirkan teori strukturalisme fungsional. Secara luas teori ini di tuduh konservatif pro-satus quo dan a historis dan karenanya anti perubahan 2. Conflic Paradigm (Paradigma Konflik) Secara konsep paradigma konflik bertentangan dengan paradigma keteraturan, dalam paradigma ini menjelaskan bahwa dalam setiap unsur-unsur sosial dalam dirinya mengandung kontradiksi-kontradiksi yang menjadi penggerak perubahan,`dalam jangka panjang sistem sosial harus mengalami konflik sosial dalam



lingkar setan (vicios circle) tak berujung pangkal kritik. Konflik di pandang sebagai inheren dalam setiap komunitas dan tak bisa dihilangkan karena konflik merupakan instrumen perububahan yang tidak hanya selalu gradual namun juga revolusioner 3. Plural Paradigm (Paradigma Plural) Dari kontradiksi atau perbedaan antara paradigma keteraturan dan paradigma konflik tersebut melahirkan upaya membangun sintesis keduanya yang melahirkan paradigma plural. Paradigma plural meamndang bahwa manusia merupakan individu yang independen, bebas dan memliliki otoritas (kekuatan) untuk melakukan pemaknaan dan penafsiran realitas sosial yang ada di sekitarnya. Ketiga paradigma di atas merupakan pijakan untuk membangun paradigma baru. Dari optic pertumbuhan teori sosiologi telah lahir Paradigma kritis setelah dilakukan elaborasi antara paradigma pluralis dan paradigma konflik. Paradigma pluralis memberikan dasar pada paradigma kritis terkait dengan asumsinya bahwa manusia merupakan sosok yang independent, bebas dan memiliki otoritas untuk menafsirkan realitas. Sedangkan paradigma konflik mempertajam paradigma kritis dengan asumsinya tentang adanya perunbahan atas dominasi satu kelompok pada kelompok yang lain. B. Pengertian Kritis Kritis secara etimologi adalah Tajam/ tegas dan teliti dalam menanggapi atau memberikan penilaian secara mendalam.



Kritis secara epistemologi adalah teori yang berusaha melakukan analisa secara tajam dan teliti terhadap realitas. Secara historis, berbicara tentang teori kritis tidak bisa lepas dari Madzhab Frankfurt. Dengan kata lain, teori kritis merupakan produk dari institute penelitian sosial, Universitas Frankfurt Jerman yang digawangi oleh kalangan neo-marxis Jerman Teori kritis merupakan anak cabang pemikiran marxis dan sekaligus cabang marxisme yang paling jauh meninggalkan Karl Marx (Frankfurter Schule). Cara dan ciri pemikiran aliran Frankfurt disebut ciri teori kritik masyarakat “eine Kritische Theorie der Gesselschaft”. Teori ini mau mencoba memperbaharui dan merekonstruksi teori yang membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern. Beberapa tokoh Teori Kritis angkatan pertama Madzab Fankfrut adalah Max Horkheimer, Theodor Wiesengrund Adorno (musikus, ahli sastra, psikolog dan filsuf), Friedrich Pollock (ekonom), Erich Fromm (ahli psikoanalisa Freud), Karl Wittfogel (sinolog), Leo Lowenthal (sosiolog), Walter Benjamin (kritikus sastra), Herbert Marcuse (murid Heidegger yang mencoba menggabungkan fenomenologi dan marxisme, yang juga selanjutnya Marcuse menjadi “nabi” gerakan New Left di Amerika). Pada intinya madzhab Frankfurt tidak puas atas teori Negara Marxian yang terlalu bertendensi determinisme ekonomi. Determinisme ekonomi berasumsi bahwa perubahan akan terjadi apabila masalah ekonomi sudah stabil. Jadi basic strurtur (ekonomi) sangat menentukan supras truktur (politik, sosial, budaya, pendidikan dan seluruh dimensi kehidupan manusia).



Kemudian mereka (madzhab fankfurt) mengembangkan tori ini terhadap alalisis sosial dan berbagai sistem pengetahuan, Teori kritis dapat kita temudan dan pelajari dalam manifesto yang di tulis di dalam Zeischrift tahun 1957 oleh Horkheimer, Dalam artikel tentang “Teori Tradisional dan teori Kritik” (Traditionelle und KritischeTheorie) ini, konsep “Teori kritis” pertama kalinya muncul. Tokoh utama teori kritis ini adalah Max Horkheimer (1895-1973), Theodor Wiesengrund Adorno (1903-1969) dan Herbert Marcuse (1898-1979) yang kemudian dilanjutkan oleh Generasi kedua mazhab Frankfurt yaitu Jurgen Habermas yang terkenal dengan teori komunikasinya. Secara ringkas teori kritis berfungsi untuk mengkritisi : 1. Teori Marxian yang di distorsi oleh stalin dan beberapa tokoh marxisme; Menjadikan ideologi dan regulasi politik Uni Soviet. 2. Positivisme dalam Sosiologi yang mencangkok metode sains eksak dalam wilayah sosialhumaniora; katakanlah kritik epistimolog dan pengahapusan emansipatoris. 3. Kritik terhadap masyarakat modern yang terjebak pada irasionalitas perkembangan nalar teknologis; nalar instrumental yang gagal membebaskan manusia dari dominasi Pengertian “kritik” Dalam Diskursus Teori Kritis Madzhab farankfrut mengembangkan apa yang di sebut dengan kritik ideologi atau kritik dominsi. Sasaran kritik ini terobjek pada stuktur sosial dalam pengaruh Ideologi dan dominasi. Terori kritis ini berangkat dari



empat kritik yang di konseptualikan oleh Emanuael Kant, Hegel, Karl Marx dan Sigmun Freud. 1. Kritik Dalam Pengertian Kantian: Dalam pengertian Emanuel Kant teori kritis menggunakan pendekatan yang subjektif. Kant menumpukkan analisnya pada aras epistemologis; metodelogi untuk menemukan isi pengetahuan/kebenaran pengetahuan, kant mempertanyakan Condition of Possibility (kondisi kemungkinan pengetahuan), sederhananya kritik kant terhadap penggalian kebenaran tentang (kapasitas rasio dalam persoalan pengetahuan) bahwa rasio dapat menjadi kritis terhadap kempuannya sendiri atau akal memiliki kemapuan sendiri tanpa perlu di bentuk oleh realitasnya dan dapat menjadi pengadilan tertinggi. kritik ini bersifat transdentral dan digunakan untuk menguji keabsahan pengetahuan. 2. Kritik Dalam Arti Hegelian: Makna krirtik Dalam Hegelian merupakan kritik terhadap pemikiran kritis Kantian. Menurut Hegel, Kant berambisi membangun suatu “meta-teori” untuk menguji validitas suatu teori. Menurut Hegel pengertian kritis merupakan refleksi-diri dalam upaya menempuh pergulatan panjang menuju ruh absolute. Hegel merupakan peletak dasar metode berpikir dialektis yang diadopsi dari prinsip tri-angle-nya Spinoza Diktumnya yang terkenal adalah therational is real, the real is rational. Sehingga, berbeda dengan Kant, Hegel memandang teori kritis sebagai proses totalitas berfikir. Dengan kata lain, kebenaran muncul atau kritisisme bisa tumbuh apabila terjadi benturan dan pengingkaran atas sesuatu yang sudah ada. Kritik dalam pengertian Hegel didefinisikan sebagai refleksi diri atas tekanan dan kontradiksi yang



menghambat proses pembentukan diri-rasio dalam sejarah manusia. 3. Kritik Dalam Arti Marxian: Menurut Karl Marx Konsep Hegel dipandang terlalu idealis, yang memandang bahwa, yang berdialektika adalah pikiran. Ini kesalahan serius sebab yang berdialektika adalah kekuatan-kekuatan material dalam masyarakat. Pikiran hanya refleksi dari kekuatan material (modal produksi masyarakat). Sehingga teori kritisbagi Marx sebagai usaha mengemansipasi diri dari penindasan dan elienasi yang dihasilkan oleh penguasa di dalam masyarakat. Kritik dalam pengertian Marxian berarti usaha untuk mengemansipasi diri dari alienasi atau keterasingan yang dihasilkan oeh hubungan kekuasaan dalam masyarakat. 4. Kritik Dalam Arti Freudian: Kritik dalam pengertian Freudian adalah refleksi atas konflik psikis yang menghasilkan represi dan memanipulasi kesadaran. Adopsi Teori Kritis atas pemikiran Freudian yang sangat psikologistik dianggap sebagai pengkhianatan terhadap ortodoksi marxisme klasik.Sigmund Freud mampu memberikan basis psikologis masyarakat dan mampu membongkar konstruk kesadaran dan pemberdayaan masyarakat. Freud memandang teori kritis dengan refleksi dan analisis psikoanalisanya. Artinya, bahwa orang bisa melakukan sesuatu karena didorong oleh keinginan untuk hidupnya sehingga manusia melakukan perubahan dalam dirinya. Berdasarkan empat pengertian kritis di atas, teori kritis adalah teori yang bukan hanya sekedar kontemplasi pasif prinsip-prinsip obyektif realitas, melainkan bersifat emansipatoris. Sedang teori yang emansipatoris harus



memenuhi tiga syarat : Pertama, bersifat kritis dan curiga terhadap segala sesuatu yang terjadi pada zamannya. Kedua, berfikir secara historis, artinya selalu melihat proses perkembangan masyarakat. Ketiga, tidak memisahkan teori dan praksis. Tidak melepaskan fakta dari nilai semata-mata untuk mendapatkan hasil yang obyektif. C. Teori Transformatif Paradigma kritis di atas mampu menjawab persoalan stuktur formasi sosial yang sedang bekerja, dan juga hanya bertumpu pada logika teoritik dan idealis. Namun belum mampu mentransformasikannya, disinilah “Term Transformatif” melengkapi teori kritis. Dalam perspektif Transformatif terdapat epistimologi perubahan. Perubahan yang tidak hanya menumpukan pada revolusi politik atau perubahan yang bertumpu pada agen tunggal sejarah; entah kaum miskin kota (KMK), buruh atau petani, tapi perubahan yang serentak yang dilakukan secara bersama-sama. Disisi lain makna tranformatif mampu mentranformasikan gagasan dan gerakan sampai pada wilayah tindakan praksis ke masyarakat. Model-model transformasi yang bisa dimanifestasikan pada dataran praksis antara lain: 1. Tranformasi Elitis ke Populi Dalam model tranformasi ini digunakan model pendekatan, bahwa mahasiswa dalam melakukan gerakan sosial harus setia dan konsisten mengangkat isu-isu kerakyatan, semisal isu advokasi buruh, advokasi petani, pendampingan terhadap masyarakat yang terdampak



perampasan ruang hidup oleh korporasi dan kaum elitis, yang semuanya itu menyentuh akan kebutuhan masyarakat secara rill. Fenomena yang terjadi masih banyak mahasiswa yang lebih memprioritaskan isu elit, melangit dan jauh dari apa yang dikehendaki oleh rakyat, bahkan kadang sifatnya sangat utopis. Oleh karena itu, kita sebagai kaum intelektual terdidik, jangan sampai tercerabut dari akar sejarah kita sendiri. Karakter gerakan mahasiswa saat ini haruslah lebih condong pada gerakan yang bersifat horizontal bukan vertikal pada arah tatanan politik praktis. 2. Transformasi Negara ke Masyarkat Model tranformasi kedua adalah transformasi dari Negara ke masyarakat. Kalau kemudian kita lacak basis teoritiknya adalah kritik yang dilakukan oleh Karl Marx terhadap G.W.F. Hegel. Hegel memaknai Negara sebagai penjelmaan roh absolute yang harus ditaati kebenarannya dalam memberikan kebijakan terhadap rakyatnya. Disamping itu, Hegel mengatakan bahwa Negara adalah satu-satunya wadah yang paling efektif untuk meredam terjadinya konflik internal secara nasional dalam satu bangsa. Hal ini dibantah Marx. Marx mengatakan bahwa justru masyarakatlah yang mempunyai otoritas penuh dalam menentukan kebijakan tertinggi. Makna transformasi ini akan sesuai jika gerakan mahasiswa bersama-sama rakyat bahu-membahu untuk terlibat secara langsung atas perubahan yang terjadi disetiap bangsa atau Negara. 3. Tranformasi Srtuktur ke Kultur Bentuk transformasi ketiga adalah transformasi dari struktur ke kultur, yang mana hal ini akan bisa terwujud jika dalam setiap mengambil keputusan berupa kebijakan-



kebijakan ini tidak sepenuhnya bersifat sentralistik seperti yang dilakukan pada masa orde baru, akan tetapi seharusnya kebijakan ini bersifat desentralistik. Jadi, aspirasi dari bawah harus dijadikan bahan pertimbangan pemerintah dalam mengambil keputusan, hal ini karena rakyatlah yang paling mengerti akan kebutuhan, dan yang paling bersinggungan langsung dengan kerasnya benturan sosial di lapangan. 4. Transformasi Individu ke Massa Model transformasi selanjutnya adalah transformasi dari individu ke massa. Dalam disiplin ilmu sosiologi disebutkan bahwa manusia adalah mahluk sosial, yang sangat membutukan kehadiran mahluk yang lain. Bentukbentuk komunalitas ini sebenarnya sudah dicita-citakan oleh para foundhing fathers kita tentang adanya hidup bergotong royong. Rasa egoisme dan individualisme haruslah dibuang jaung-jauh dari sifat manusia. Salah satu jargon yang pernah dikatakan oleh Tan Malaka (Sang Nasionalis Kiri), adalah adanya aksi massa. Hal ini tentunya setiap perubahan meniscayakan adanya power atau kekuatan rakyat dalam menyatukan program perjuangan menuju perubahan sosial dalam bidang apapun (ipoleksosbudhankam). D. Paradigma Kritis Transformatif PMII Paradigma merupakan suatu yang vital dalam PMII seperti halnya Organtubuh (otak) dalam manusia, karena paradigma merupakan titik pijak dalam rekonstuksi pemikiran dan cara memandang persoalan. Disamping itu, dengan paradigma organisasi dapat berjalan terarah. berkarakter dan memiliki gaya berfikir



Selama ini PMII belum memiliki paradigma yang terintegral dalam menentukan acuan gerakananya. Cara pandang dan bersikap kader selama ini mengacu pada Nilai Dasar Pergerakan (NDP). Sehingga dalam perjalanannya sering dihadapkan pada berbagai penafsiran atas nilai-nilai yang menjadi acuan yang akhirnya berujuang pada keberagamaan cara pandang bahkan sampai bias penafsiran. Perlu juga kita cermati dialektika sejarah terkait perkembangan paradigma PMII. Sebelum Paradigma Kritis Transformatif hadir, sudah ada benih paradigma lain yang pernah dilahirkan PMII, yaitu Paradigma Arus Balik Masyarakat Pinggiran (Paradigma Pergerakan) yang dirumuskan pada saat Sahabat Muhaimin Iskandar menjadi Ketua Umum PB PMII pada tahun 1994-1997. Paradigma ini dibuat untuk melawan kesewenang-wenangan orde baru yang menindas rakyat. Landasan teori kritis dan konsep perlawanannya dapat membawa perubahan bagi kader PMII. Sifat frontal paradigma ini diperkuat oleh gerakan intelektual organik melalui advokasi, proses rekayasa sosial dan free market of ideas yang dilakukan PMII untuk melawan hegemoni kekuasaan dan kemapanan. Totalitas pemikiran, sikap dan tindakan kader PMII dicurahkan sepenuhnya untuk melawan. Sehingga pada masa orde baru mulai populer jargon-jargon perlawanan seperti "hanya ada satu kata, lawan!", "diam tertindas atau bangkit melawan" dan sebagainya. Seiring berlanjutnya kepemimpinan PMII, Sahabat Syaiful Bahri Ansori mentransformasi Paradigma Pergerakan menjadi Paradigma Kritis Transformatif , pada saat periode kepemimpinannya pada tahun 1997-2000.



Paradigma ini memperkaya perlawanannya secara teoretik dengan konsep pemikiran kritis ala Mazhab Frankfurt yang bersifat totality against, juga wacana intelektual kiri Islam ala Hassan Hanafi, Ali Syariati, Asghar Ali Engineer dan lain sebagainya, yang bicara soal hermeneutika pembebasan dan tafsir revolusioner tentang pembaharuan menyeluruh dan transformasi radikal. Bedanya, perlawanan dalam Paradigma ini tidak lagi frontal, tapi substansial karena meniscayakan adanya transformasi. Hal ini dibuat untuk sedikit menyesuaikan realitas sosial politik ketika Gus Dur yang tadinya sebagai inspirasi perlawan, tiba-tiba muncul ke permukaan sebagai penguasa. Lewat paradigma Kritis Transformatif ini PMII berupaya menegakkan sikap dalam berkehidupan dengan menjadikan inspirasi yang dapat mengembalikan dan menfungsikan ajaran agama sesungguhnya yang bersifat dinamis, dan paradigma ini memiliki peran menegakkan harkat dan martabat manusia dari belenggu yang diakibatkan oleh proses sosial yang bersifat profan dan juga melawan segala bentuk dominasi dan penindasan. Sehingga dapat membuka tabir dan selubung pengetahuan yang munafik dan hegemonik. Semua ini adalah semangat yang dikandung oleh Islam. Oleh karenanya, pokok-pokok pikiran inilah yang dapat diterima sebagai titik pijak paradigma kritis di kalangan warga PMII. Contoh yang paling konkrit dalam hal ini bisa ditunjuk pola pemikiran yang menggunakan paradigma kritis dari berbagai intelektual Islam diantaranya :



Hasan Hanafi : Penerapan paradigma kritis oleh Hasan Hanafi ini terlihat jelas dalam konstruksi pemikiranya terhadap agama. Dia menyatakan untuk memperbaharui masyarakat Islam yang mengalami ketertingalan dalam segala hal, pertama-tama diperlukan analisis sosial. Menurutnya selama ini Islam mengandalkan otoritas teks kedalam kenyataan, atau dogmatis terkstual yang ada pada kitab-kitab dan tokoh agama. Hasan Hanafi mengembalikan peran agama dalam menjawab problem sosial yang dihadapi masyarakat dengan metode “kritik Islam” yaitu metode pendefinisian realitas secara kongkret untuk mengetahui siapa memiliki apa,. Penjabaran dari metode ini, dia menjelaskan “desentralisasi Ideologi” dengan cara menjalankan teologi sebagai antropologi. Pikiran ini dimaksudkan untuk menyelamatkan Islam agar tidak semata-mata menjadi sistem kepercayaan (sebagai teologi parexellence), melainkan juga sebagai sistem pemikiran. Usaha Hasan Hanafi dalam gagasannya ditempuh dengan mengadakan rekontruksi terhadap teologi tradisional yang telah mengalami pembekuan dengan memasukkan hermeneutika dan ilmu sosial sebagai bagian integral dari teologi. Dalam pemikiran Hassan Hanafi, ungkapan “teologi menjadi antropologi” merupakan cara ilmiah untuk mengatasi ketersinggungan teologi itu sendiri. Cara ini dilakukan melalui pembalikan sebagaimana pernah dilakukan oleh Karl Marx terhadap filasafat Hegel. Upaya ini tampak secara provokatif dalam artikelnya “ideologi dan pembangunan “ lewat sub-judul; dari tuhan ke bumi, dari



keabadian ke waktu, dari takdir ke hendak bebas, dan dari otoritas ke akal, dari teologi ke tindakan, dari jiwa ke tubuh, dari eskatologi ke futurology. Ali Syariati Ali Syariati adalah seorang sarjana muslim yang disebut-sebut sebagai seorang ideolog revolusi Islam di Iran. Dia mendalami ilmu filsafat dan ilmu-ilmu sosial modern, dan secara cerdik menggunakan khazanah tersebut secara kritis untuk menganalisis kondisi sosial politik umat Islam. Usaha besar Syariati terletak pada yang dengan demikian menunjukkan terdapat beberapa asas pokok pembebasan dalam agama Islam. Ali Syariati menganalisis bahwa sesungguhnya dalam diri manusia terdapat nilai-nilai humanisme sejati sebagai warisan budaya moral dan keagamaan. Manusia adalah makhluk yang merdeka, dapat membuat pilihan-pilihan dan bebas berpendapat dan berkreatifitas, sehingga di sepanjang sejarah umat manusia berusaha merealisasikan nilai-nilai humanisme tersebut meski di benturkan dengan kegetiran dan petaka saat melawan kekuasaan otoriter dan penindasan. Mengenai hal ini Syariati menganalogikan tokoh-tokoh simbolik Kain dan Habel untuk menjelaskan dan menganalisis sejarah kekuasaan. Menurut Qur’an, Kain dan Habel mempersembahkan kurban kepada Allah. Hanya kurban Habel yang diterima, sementara Kain, karena iri hati, membunuh Habel. Kain adalah petani dan Habel adalah gembala. Syariati melihat hal ini sebagai munculnya monopoli produksi pertanian dan hak milik pribadi yang menyebabkan munculnya ketidaksamaan ekonomis dan adanya dominasi kekuasaan.



Dalam pandangan Syariati figur simbolis Kain dan Habel ini hadir di tengah sejarah kita dalam tiga bidang: uang, kekuasaan dan agama. Fir’aun adalah tokoh simbolis yang melambangkan kekuasaan, Croesus melambangkan kekayaan, dan Bala’am memerankan kaum rohaniawan dan agamawan yang memonopoli agama sebagai sistem upacara ritual. Ketiganya tak hentihentinya berkolaborasi satu sama lain dalam membangun dan melestarikan kecenderungan sejarah. Di abad Pertengahan, manusia dikurung oleh Gereja Abad Pertengahan dan sistem teokrasi yang menindas, lalu di abad Modern yang menjunjung tinggi asas liberalisme manusia dijanjikan demokrasi sebagai kunci pembebasan namun yang didapatinya adalah teokrasi baru di tangan kapitalisme. Demikian juga komunisme yang menjanjikan persamaan dan kesetaraan ternyata menghasilkan fanatisme Di sisi lain kapitalisme telah menjadi imperialisme dan terus berkembang menjadi sebuah sistem yang mendominasi ekonomi dan kebudayaan negara-negara dunia ketiga. Kapitalisme telah menciptakan kebudayaan materialis dan konsumerisme yang proses melucuti akar-akar kebudayaan dan intergiditas bangsa, melucuti kemanusiaan mereka sehingga menjadi objek-objek yang mudah dieksploitasi. Ali Syariati membubuhkan spirit pembebasan Islam dalam sebuah bait doa dalam Martyrdom berikut ini: Ya Allah, Tuhan orang-orang yang terampas! Engkau hendak merahmati, Orang-orang yang terampas di dunia ini, Orang kebanyak yang bernasib tak berdaya, Dan kehilangan hidup, Orang yang diperbudak sejarah,Korban-korban penindasan, Dan penjarahan



waktu, Orang-orang celaka di atas bumi ini, Menjadi pemimpin-pemimpin umat manusia, Dan pewarispewaris bumi, Sekarang sudah tiba waktunya, Dan orangorang terampas di atas bumi ini, Merupakan pengharapan akan janji-Mu. Ali Asghar Engineer Ali Asghar adalah seorang guru ahli teologi, pejuang HAM dan aktivis islam yang membebaskan rakyat dari kebodohan dan penindasan rakyat Mekkah dari ketidakadilan sosial dan ekonomi, dia cenderung menggunakan pendekatan tekstual untuk menggali elemen-elemen dan prinsip-prinsip pembebasan dalam Islam yang terangkum dalam penegasannya mengenai persamaan dan keadilan Secara doktrin, menurut Asghar Ali, ajaran tawhid yang disampaikan Nabi tidak hanya mengandung makna teologis tentang konsep monoteisme Tuhan (keesaan Tuhan), tetapi juga memuat makna sosiologis sebagai kesatuan sosial. Argumentasi ini didasarkan pada firman Allah berbunyi: Hai manusia, Kami telah menciptakan kamu semua dari seorang laki-laki dan perempuan, dan telah membuat kamu menjadi bangsa-bangsa dan sukusuku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang-orang yang termulia dari antara kamu semua di mata Allah adalah orang yang paling jujur (dan adil). Lebih lanjut kesatuan sosial yang tercantum dalam Qur’an ini menjelaskan penghapusan ketidakadilan akibat dari perbedaan ekonomis. Argumentasi ini didasarkan pada dua kata yang digunakan dalam Qur’an yang menyatakan keadilan, yakni adl dan qist. Adl bermakna ganda, bisa berarti keadilan juga bisa berarti menyamakan atau



meratakan. Lawannya adalah zulm yang berarti penindasan. Selain berbagai seruan untuk berbuat adil di atas, Islam juga mencontohkan bagaimana mempraktekkan tindakan yang adil itu dalam kehidupan. Melalui konsep zakat yang merupakan salah satu dari rukun Islam, setiap individu umat Islam diwajibkan untuk mendistribusikan kekayaannya kepada kaum miskin yang tidak bisa terlibat dalam proses-proses produksi. Allah berfirman:Dan dalam kekayaan mereka orang-orang yang berkekurangan dan melarat (fakir miskin) mempunyai bagian semestinya (Qur’an, 51: 19) Demikianlah prinsipprinsip dan semangat pembebasan dalam Islam yang dipantulkan melalui berbagai ayat dalam Kitab Suci Qur’an. Kenyataan itu semakin meneguhkan bahwa dalam tradisi Islam sendiri sesungguhnya memuat spirit pembebasan yang potensial menjadi suatu gerakan masif. Yakni suatu gerakan untuk melawan segala bentuk penindasan dan penjajahan yang membuat rakyat miskin dan terpinggirkan. Bahkan di bawah panji-panji keadilan dan kesamaan, teologi pembebasan dalam Islam melampaui berbagai ranah, mulai dari bersikap adil terhadap kaum perempuan sampai penghormatan dan sikap terbuka serta toleran terhadap agama-agama dan keyakinan lain yang dianut oleh umat manusia.



Mohammad Arkoun: Arkoun menilai bahwa pemikiran Islam selama ini belum membuka diri pada kemodernan pemikiran dan tidak dapat menjawab tantangan yang dihadapi umat muslim kontemporer. Dia ingin dimasukkan pengetahuan



modern ke dalam pemikiran Islam. Karena krituknya terlalu krirtis ini, Arkoun sering memberikan jawaban diluar kelazimanumat Islam (Uncommon Answer) ketika menjawab problem-prolem kehidupan yang dialami umat Islam. Jawaban seperti inu terlihat jelas dalam penerapan teori pengetahuan (theory of knowledge). Teori pengetahuan yang diasumsukan oleh Arkoun ini meliputi landasan epistimpologi kajian tentang studi–studi agama Islam. Dalam hal ini dia membedakan wacana ideologis, wacana rasional, dan wacana profetis. Upaya ini dilakukan untuk membuka dialog terus-menerus antara agama dengan realitas untuk menentukan wilayahwilayah mana dari agama yang bisa didialogkan dan diinterpretasikan sesuai dengan konteksnya. Disamping kedua pemikir Islam diatas sebenarnya masih banyalk pemikir lain yang menerapkan pemikiran kritis dalam mendekati agama, misalnya Abdullah Ahmed An-naim, Asghar Ali Enggineer, Thoha Husein, dan sebagainya. Dari kedua contoh diatas terlihat bahwa paradigma kritis sebenarnya berupaya membebaskan manusia dengan semangat dan ajaran agama yang lebih fungsional. Dengan kata lain, kalau paradigma kritis Barat berdasarkan pada semangat revolusioner sekuler dan dorongan kepentingan sebagai dasar pijakan, maka paradigma kritis PMII justru menjadikan nilai-nilai agama yang terjebak dalam dogmatisme itu sebagai pijakan untuk membangkitkan sikap kritis melawan belenggu yang kadang disebabkan oleh pemahaman yang distortif.Jelas ini terlihat ada perbedaan yang mendasar penerapan paradigma kritis antara barat dengan Islam (yang diterapkan PMII).



Ada beberapa alasan yang menyebabkan PMII harus memiliki Paradigma Kritis Transformatif sebagai dasar untuk bertindak dan mengaplikasikan pemikiran serta menyusun cara pandang dalam melakukan analisa terhadap realitas sosial. Alasan-alasan tersebut adalah: 1. Masyarakat Indonesia saat ini sedang terbelenggu oleh nilai-nilai kapitalisme modern, dimana kesadaran masyarakat dikekang dan diarahkan pada satu titik yaitu budaya massa kapitalisme dan pola berpikir positivistik modernisme. 2. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk/plural, beragam, baik secara etnis, tradisi, kultur maupun kepercayaan (adanya pluralitas society). 3. Pemerintahan yang menggunakan sistem yang represif dan otoriter dengan pola yang hegemonik (sistem pemerintahan menggunakan paradigma keteraturan yang anti perubahan dan pro status quo). 4. Kuatnya belenggu dogmatisme agama, akibatnya agama menjadi kering dan beku, bahkan tidak jarang agama justru menjadi penghalang bagi kemajuan dan upaya penegakan nilai kemanusiaan. Beberapa alasan mengenai mengapa PMII memilih Paradigma Kritis Tansformatif untuk dijadikan pisau analisis dalam menafsirkan realitas sosial. Karena pada hakekatnya dengan analisis PKT mengidealkan sebuah bentuk perubahan dari semua level dimensi kehidupan masyarakat (ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan pendidikan dll) secara bersama-sama. Hal ini juga tercermin dalam imagened community (komunitas imajiner) PMII yang mengidealkan orientasi out-put kader PMII yang diantaranya adalah : Intelektual



Organik, Agamawan Kritis, Profesional Lobbiyer, Ekonom Cerdas, Budayawan Kritis, Politisi Tangguh, dan Praktisi Pendidikan yang Transformatif.



BAB II Format Politik dan Ekonomi



A. Pengertian Sistem Politik Sistem berasal dari kata yunani, yaitu “systema” berarti sehimpunan bagian atau komponen yang saling berhubungan secara teratur, integral, dan merupakan satu keseluruhan (a whole). Dalam perkembangannya, istilah itu mengalami pembiasan sehingga memiliki banyak arti, bergantung pada objek dan cakupan pembicaraannya. Akan tetapi, setiap definisi mewujudkan gagasan dari sekelompok objek atau unsur yang berada dalam hubungan struktural dan karakteristiknya masing-masing yang satu dan lainnya berinteraksi pada dasar karakteristik tertentu. Sistem dapat pula diartikan lebih tinggi daripada cara, tata, rencana, skema, prosedur, atau metode. Sistem adalah cara yang mekanismenya berpatron (berpola) dan konsisten, serta sering bersifat otomatis (servomechanism). Beberapa ahli yang mengemukakan definisi sistem, antara lain sebagai berikut. 1.



Menurut Campbell (1979: 3), sistem adalah himpunan komponen atau bagian yang saling berkaitan yang bersama-sama berfungsi untuk mencapai tujuan.



2.



3.



Awad (1979: 4), sistem adalah sehimpunan komponen atau subsistem yang terorganisasikan dan berkaitan sesuai dengan rencana untuk mencapai tujuan tertentu. Konontz dan O. Donnell (1976: 14), sistem bukan wujud fisik, melainkan ilmu pengetahuan yang disebut sebagai sistem yang terdiri atas fakta, prinsip, doktrin, dan lainnya.



Dengan demikian, sistem harus memenuhi unsurunsur yang meliputi komponen, seperti relevansi, fakta, prinsip, doktrin, fungsi, dan tujuan bersama. Unsur-unsur tersebut merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan dan saling mendukung untuk mencapai tujuan organisasi atau negara. Adapun politik dalam bahasa yunani yaitu “polis” yang berarti Negara-kota. Menurut Aristoteles, di dalam negara kota, orang saling berinteraksi satu sama lain untuk mencapai kesejahteraan dalam hidupnya. Ketika manusia mencoba untuk menentukan posisinya dalam masyarakat, berusaha meraih kesejahteraan pribadi melalui sumber daya yang ada, atau berupaya memengaruhi orang lain agar menerima pandangannya, mereka sibuk dengan kegiatan yang dinamakan politik. Menurut Deliar Noer (1983: 6) “politik adalah segala aktivitas atau sikap yang berhubungan dengan kekuasaan dan yang bermaksud untuk mempengaruhi dengan jalan mengubah atau mempertahankan suatu macam bentuk susunan masyarakat”.



Melihat definisi ini, maka hakekat politik menunjukkan perilaku atau tingkah laku manusia baik berupa kegiatan, aktivitas, ataupun sikap, yang tentunya bertujuan akan mempengaruhi atau mempertahankan tatanan kelompok masyarakat dengan menggunakan kekuasaan. Artinya kekuasaan bukanlah hakekat politik, meskipun harus diakui tidak dapat dipisahkan dari politik, justru politik memerlukannya agar suatu kebijaksanaan dapat berjalan dalam kehidupan masyarakat. Bermacam-macam definisi mengenai politik yang telah ada jelas memperlihatkan adanya unsur persamaan dan perbedaan. Adanya perbedaan tentu disebabkan dilihat pandangannya sendiri dan beberapa unsur dipakai sebagai tema sentral untuk menyoroti aspek-aspek politik lainnya. Tentu dari macam-macam definisi mengenai politik itu mengandung konotasi kebijakan, kekuasaan, negara, konflik, pembagian dan keadilan. Sedang pendefinisian dilihat dari aspek ciri hakikinya: metode pembahasanya, aspek kemungkinan yang ada dan secara ilmiah dapat dipertanggugjawabkan. Sehubungan dengan hal di atas, Dr. Kartini Kartono (1989: 5) melihat definisi politik dari dua aspek yaitu: dari struktur dan kelembagaan, politik dapat diartikan sebagai berikut: (1) segala sesuatu yang ada relasinya dengan pemerintahan (peraturan, tindakan pemerintah, undang-undang, hukum, kebijakan (policy), beleid dan lain-lain; (2) pengaturan dan penguasaan oleh negara; (3) cara memerintah suatu teritorium tertentu; (4) organisasi, pengaturan, dan tindakan negara atau



pemerintah untuk mengendalikan konstitusional dan yuridis formal.



negara



secara



Kemudian aspek kedua pengertian yang lebih dinamis dan fungsional operasional mengenai politik adalah sebagai berikut: 1.



2. 3.



4.



5.



Semua keputusan dan penetapan mengenai susunan masyarakat bagi masa mendatang (Bram Peper dan Willem Walters); The common decision of men and women about their own state (Deutsch); Aktivitas dan proses dinamis dari tingkah laku manusia dengan menekankan aspek-aspek politik dari masalah sosial; Aktivitas untuk menegakkan atau mengubah kondisi sosial yang sudah ada dengan menggunakan kekuasaan; Semua usaha dan perjuangan individu serta kelompok dengan menggunakan macam-macam alat, cara dan alternatif tingkah laku untuk mencapai satu tujuan terbatas sesuai dengan ide individu atau ide kelompok dalam satu sistem kewibawaan yang integral (Kartini Kartono, 1989: 5).



Dalam pengertian terakhir ini, politik bukan lagi merupakan hal-hal yang berkaitan dengan negara saja, sebab konflik-konflik, ketentuan, ketetapan, gejala dan masalah-masalah sosial tertentu bisa juga bersifat politis atau dapat dijadikan masa politik. Dalam hal ini Deutsch (dalam Kartini Kartono, 1989: 6) mengatakan bahwa: “Politization is making things



political (politisasi adalah membuat segala sesuatu menjadi politik)”. Tidak dapat dihindari di kehidupan masyarakat suatu masalah akan berubah menjadi masalah politik pada saat pemerintah dilibatkan untuk memecahkannya atau melibatkan diri guna memecahkannya, dan hal ini untuk memecahkan persoalan sosial disebut sebagai aktivitas politik dan pula sebaliknya mengagalkan usaha pemerintah ikut campur dalam memecahkan satu masalah sosial disebut juga aktivitas politik. B. Sejarah Sistem Politik Indonesia Secara riel politik, perkembangan sistem politik di Indonesia mengalami 3 (tiga) periode masa, yaitu masa orde lama, orde baru dan orde reformasi. Ketiga sebenamya penyumbang dan saling melengkapi perkembangan sistem politik di Indonesia dari masa ke masa. Di mana kelebihan dan kekurangan yang terdapat dalam sistem politik orde lama di perbaiki dan disempurnakan dalam sistem politik orde baru. Kemudian kelebihan dan kekurangan yang terdapat dalam sistem politik orde baru diperbaiki dan disempurnakan dalam sistem politik orde reformasi. Adapun perkembangan antar sistem politik Indonesia dari masa ke masa, sebagai berikut, yaitu: •



Masa Orde Lama



Awalnya sistem politik dibangun dalam rangka mengisi kekosongan kekuasaan dalam kehidupan politik negara dan kehidupan masyarakat sebagai konsekuensi



dari Negara yang merdeka dari penguasa penjajahan. Proses pembangunan bangsa Indonesia ini pada masa sistem politik orde lama menimbulkan berbagai gejolakgejolak dalam tubuh penyelenggaraan negara sehingga terjadi 2 kali perubahan tatanan sistem politik dengan istilah sebutan sistem politik demokrasi liberal atau parlementer dan sistem politik demokrasi terpimpin. Namun kecenderungan persamaannya dalam kedua sistem politik demokrasi liberal atau parlementer dan sistem politik demokrasi terpimpin pada masa orde lama ini menunjukkan kekuasaan dominan pada presiden selaku kepala negara dan penguasa lembaga eksekutif. Sistem politik masa orde lama sama sekali tidak sesuai dengan amanat konstitusi yang terdapat dalam UUD 1945, hal ini terjadi dikarenakan kondisi saat itu Negara Indonesia yang baru merdeka dan kondisi dalam tahapan sedang akan membangun politik kelembagaan negara dan pembangunan bangsa (nation building). Sekitar tahun 1945 sampai 1949 sistem politik berjalan dengan kelembagaan Negara yang tidak lengkap dan tidak berfungsi, yang secara otomatis berimbas pada lebih banyak peran lembaga eksekutif melalui adanya otoritas dominan presiden dan koalisi partai-partai politik dalam komite nasional Indonesia pusat (KNIP). Secara detilnya, pada waktu itu kekuasaan eksekutif dipegang oleh presiden, kekuasaan legislatif dipegang oleh KNIP (komite nasional Indonesia pusat) dan kekuasaan yudikatif dipegang oleh MA. Apabila dilihat dari format kelembagaan negara yang ada maka secara formal memang terlihat pemisahan kekuasaan (separation



power) antar kelembagaan Negara yang ada, tetapi secara substansi pemisahan kekuasaan (separation of power) ini tidak optimal berjalan dan cenderung pada pembagian kekuasaan (distribution of power). Hal ini dikarenakan belum adanya mekanisme tata aturan kerja yang signifikan dan belum adanya perangkat-perangkat pendukung antar ketiga lembaga ini, seperti tiadanya kekuasaan legislatif. Pada segi politik, menunjukkan fenomena politik banyak diwarnai koalisi partai-partai politik terjadi dalam tubuh kabinet, yang terdiri dari partai politik hasil kolaborasi kelompok-kelompok di masyarakat yang berbeda spektrum ideologi, seperti PNI, Masyumi, PSI, PSII, PRN, PIR, Parindra, PKI, Partai Buruh, BTI, PBI, Parkindo, dan PKRI. Ternyata koalisi partai politik dan perbedaan jarak ideologi yang tajam antar partai politik maka menyebabkan kegoncangan dalam kabinet-kabinet, sehingga kabinet ini berjalan tidak stabil, di mana tercatat pada kurun masa itu terjadi 9 (sembilan) kali penggantian kabinet, yang mana umur masing-masing kabinet antara minggu-an dan bulan-an. Kemudian baru sekitar tahun 1950-an, dengan diberlakukan UUDS 1950, terjadi perubahan tatanan sistem politik melalui penetapan kelembagaan negara yang baru, yaitu kekuasaan legislatif dipegang oleh parlemen (DPR), Kekuasaan eksekutif dipegang oleh perdana menteri beserta kabinet, kekuasaan yudikatif oleh Mahkamah Agung. Tambahan lembaga negara lainnya, yaitu Dewan Pengawas Keuangan dan Badan Konstituante.



Sebagai mekanisme pelengkap dalam sistem politik demokrasi parlementer diselengsarakanlah pemilihan umum dengan menggunakan sistem proporsional dengan stelsel daftar pada tahun 1955 yang diikuti sekitar 52 partai politik. Pemilihan umum tahun 1955 ini dilakukan sebagai sarana legitimasi penguasa negara dan pengisian jabatan-jabatan politik pada lembaga legislatif. Alhasil ternyata pemilihan umum 1955 tidak menghasilkan partai politik yang mayoritas diparlemen dan apalagi terjadinya perbedaan ideologi yang tajam antar partai politik yang berimbas pada kestabilan jalannya pemeritahan. Kabinet dan pemerintahan juga mengalami kegoncangan konflik kepentingan antar partai politik, seperti masa tahun 19151949. Pada tahun 1959 sistem demokrasi parlementer diganti dengan sistem politik demokrasi terpimpin, maka sejak saat itu dimulailah babak baru sistem politik demokrasi terpimpin sebagai realisasi pengganti sistem politik demokrasi parlementer. Secara teoritis sistem politik demokrasi terpimpin berdasarkan pada mekanisme aturan yang terdapat pada konstitusi UUD 1945, yaitu diberlakukannya lembagalembaga negara, seperti MPRS, DPR, MA dll. Tetapi secara praktek perjalanan sistem politik demokrasi terpimpin tidak konstitusional dikarenakan kekuasaan presiden yang sangat kuat dan absolut di seluruh lembagalembaga negara ini. Presiden pada waktu itu memegang seluruh kekuaaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif. Pemusatan seluruh kekuasaan lembaga negara di tangan presiden akhimya tidak melahirkan pembagian kekuasaan



antar lembaga-lembaga negara, hal ini ditambah lagi tidak adanya mekanisme proses penyelenggaraan pemilihan umum. Sehingga fenomena-fenomena politik di atas menyebabkan sistem politik demokrasi terpimpin menimbulkan respon yang tidak kondusif di kelompokkelompok masyarakat, melalui munculnya beberapa demonstrasi dan kekacauan yang menginginkan penggantian presiden, sehingga sampai akhirnya sistem politik demokrasi terpimpin juga mengalami keambrukan dan kehancuran. Kehancuran dan keambrukan sistem politik demokrasi terpimpin diwarnai proses penggantian presiden dan peristiwa G 30 S PKI. Sejak saat itu dimulailah babak masa baru sistem politik yang dikenal dengan masa orde baru. •



Masa Orde Baru



Memasuki masa orde baru, oleh para ahli politik dan penguasa waktu itu istilah sistem politik demokrasi terpimpin diubah menjadi sebutan sistem politik demokrasi Pancasila. Istilah Pancasila digunakan sebagai sumber segala sumber hukum dan menjadi landasan idea kehidupan politik negara sedangkan landasan formilnya adalah UUD 1945. Sistem demokrasi pancasila membagi secara sederhana lapangan politik kenegaraan ke dalam istilah infrastruktur politik dan suprastruktur politik negara. Infrastruktur politik negara terdiri dari partaipartai politik dan organisasi masyarakat sedangkan suprastruktur politik negara terdiri dari lembaga tertinggi negara, yaitu MPR dan lembaga tinggi negara, yaitu DPR, Presiden, DPA, BPK dan MA.



Pada sistem demokrasi pancasila dalam pengisian jabatan politik di lembaga legislative menggunakan mekanisme pemilihan umum, di mana proses pemilihan umum diadakan untuk memilih wakil rakyat yang akan duduk di lembaga legislatif, yang selanjutnya para anggota legislatif memilih presiden. Pemilihan umum sepanjang masa orde baru menggunakan mekanisme sistem proporsional yang dikaitkan dengan stelsel daftar. Sistem politik demokrasi pancasila ini juga mampu menstabilkan pemerintahan melalui berbagai strategi kebijakan, seperti strategi fusi partai politik, penerapan asas tunggal Pancasila dan rekayasa politik di dalam komposisi lembaga legislatif sehingga banyak programprogram pembangunan dari pemerintahan dapat terwujud dan terlaksana. Strategi fusi partai politik dilakukan sekitar tahun 1973, melalui kebijakan yang dibuat presiden dengan menyederhanakan 10 (sepuluh) partai politik menjadi 3 (tiga) partai politik. Penerapan asas tunggal Pancasila dimaksudkan dengan keharusan partai politik yang ada untuk menggunakan 1 asas tunggal, yaitu Pancasila, sedangkan rekayasa politik di lembaga legislatif dilakukan melalui politik standar ganda, dimana sebagian anggota lembaga legislatif dipilih melalui mekanisme pemilihan umum dan sebagian lagi melalui mekanisme pengangkatan oleh presiden. Strategi-strategi kebijakan politik di atas, ternyata lama kelamaan, tepatnya terakhir di usia ke 30 tahun menyebabkan sistem politik demokrasi Pancasila mengalami kemunduran dan keruntuhan, yang backgroundnya terjadi perkembangan kondisi masyarakat domestik dan masyarakat internasional, yang



menunjukkan ketidakpuasan dan cenderung mendesak perubahan aspek kehidupan dengan slogan istilah reformasi. Ternyata akumulasi problem pembusukan politik sangat fatal terjadi melalui pengaturan fusi partai politik dan penerapan asas tunggal Pancasila serta rekayasa politik dalam kelembagaan legislatif dengan mekanisme pengangkatan dan pemilihan anggotanya, ditambah lagi dengan rekayasa hasil pemilu melalui birokrasi menjadi mesin politik bagi pemenangan partai politik tertentu. Alhasil kesemuan rekayasa politik ini memunculkan dominasi kekuasaan presiden yang mutlak (absolute) dan tanpa batas, yang berimbas pada terjadinya ketidak seimbangan mekanisme kekuasaan yang berjalan. Kekuasaan eksekutif (presiden) menjadi besar/kuat, yang otomatis menjadikan presiden sebagai aktor utama segala keputusan politik kenegaraan. Kevokalan politisi dan tuntutan demontrasi dibungkam melalui istilah recolling partai politik dan adanya keterlibatan militer yang sangat kuat dengan pendekatan keamanan semakin menggelembungkan tuntutan aspirasi masyarakat tersebut. Sekitar tahun 1998, gelembung aspirasi masyarakat tersebut meledak dengan ramainya bermunculan gerakan demontrasi oleh mahasiswa di berbagai daerah yang menuntut untuk penggantian presiden dan tatanan politik orde baru" Tahun 1999 sampai seterusnya merupakan simbol diubahnya sistem demokrasi Pancasila masa orde baru dengan istilah sistem politik reformasi.







Masa Reformasi



Secara leterlec reformasi adalah perubahan secara bertahap atau gradual yang ditekankan pada empat pondasi sistem politik (Andrian, 1992). Reformasi sering dimaknai sebagai perubahan-perubahan yang terbatas pada arena sistem politik sehingga konsekuensinya reformasi merupakan perubahan yang bertahap. Namun argumen lain dari para pemikir sering menggambarkan dengan istilah-istilah reformasi yang ditujukan pada dua wilayah kekuasaan, yaitu wilayah kekuasaan negara dan wilayah kekuasaan masyarakat, atau dengan ungkapan lain reformasi di tingkat negara dan reformasi di tingkat masyarakat. Kerangka reformasi mendiskripsikan salah safu tekanan perubahan secara bertahap yaitu pada tatanan atau struktur politik. Artinya struktur politik yang diciptakan cenderung ke arah demokrasi (Oksenberg & Dickson, 1998). Masa reformasi ditandai dengan kejatuhan presiden orde baru dan gejolak demontrasi di masyarakat yang dimotori mahasiswa. Gejolak demontrasi ini sebagai bentuk respon dari ketidak percayaan (delegitimet) pada sistem politik pada masa orde baru. Segera setelah presiden mengundurkan diri, Mahkamah Agung mengambil sumpah kepresidenan Bacharuddin Yusuf Habibie, yang sudah dipilih Soeharto sendiri menjadi wakil presiden sejak bulan Maret dan sudah menjadi menteri dalam kabinet orde baru secara terus menerus selama dua dekade sebelumnya (Emmerson, 2001). Solusi satu-satunya dari gejolak demontrasi ini adalah perlunya dilakukan perubahan melalui rekayasa ulang terhadap



sistem politik yang ada, yang diwujudkan melalui gagasan penciptakan format politik kelembagaan Negara yang baru dan format politik kemasyarakatan yang baru melalui produk UU dibidang politik yang baru. Pemerintahan Presiden Habibie, dalam rnenghadapi tuntutan kearah perubahan ini, tampaknya tak punya pilihan lain kecuali menempatkan reformasi dalam segala bidang, terutama bidang politik sebagai agenda. Agenda perubahan bidang politik ini mulai dilakukan dengan meninjau kembali semua pengaturan bidang perpolitikkan yang dibuat oleh pemerintahan orde baru. Dan yang paling mendesak untuk dilakukan adalah mengganti sejumlah UU Politik, seperti UU tentang sistem pemilihan umum, UU sistem kepartaian dan UU tentang susunan dan kedudukan MPR/DPR. Sebagai langkah awal, tahun 1999-2002 merupakan tahun-tahun momentum bagi UUD 1945 sebagai dasar konstitusi negara, yang mengalami perubahan-perubahan dengan istilah Amandemen sebanyak 4 kali. Amandemen terhadap UUD 1945 dilakukan sebagai syarat dasar perubahan kerangka bangunan sistem politik Indonesia, yang akan mendorong perubahan lainnya. Amandemen ke IV UUD 1945 menunjukkan format sistem politik sangat berbeda dan prospek cerah bagi pengembangan kehidupan politik demokratis. kelembagaan negara diformat hanya ke dalam 7 (tujuh) lembaga tinggi negara, yang terdiri dari MPR (DPR + DPD), Presiden, MA, MK, KY dan BPK. Artinya dengan format seperti di atas muncul pemisahan kekuasaan (separation oJ. power) yang jelas



dan tidak ada lembaga yang merasa tertinggi dari lembaga lain, sehingga diharapkan muncul check and balance antar lembaga tinggi yang ada dalam penyelenggaraan fungsifungsi kekuasaan negara. Selain itu pada sistem politik di masa reformasi, menunjukkan kemunculan lembaga-lembaga baru seperi DPD, MK dan KY. yang ketiga lembaga ini pada sistem politik masa sebelumnya (orde lama, orde baru) tidak pernah ada. Kekuasaan-kekuasaan lembaga negara tidak difokuskan pada satu lembaga tertentu tetapi dipisah dan dibagi habis dalam lembaga- lembaga negara yang ada. Seiring dengan itu dilakukan perubahan pada sektor politik masyarakat dengan gagasan reproduksi ulang eksistensi partai-partai politik yang ada di masyarakat. Partai-partai politik di daftar ulang dan dibuka arus kebebasan mendirikan partai-politik. Selain itu dibentuk mekanisme aturan main bagi partai politik dalam mendudukkan calonnya di lembaga legislatif, dengan istilah pemilihan umum yang bebas dan jurdil serta lembaga penyelenggara pemilu yang independen. Pada masa reformasi kemunculan partai politik juga lebih banyak disponsori oleh kebijakan-kebijakan negara,yang sebagai respon atas suara masyarakat,yang menghendaki penegakan nilai-nilai demokratisasi. Sehingga kebebasan politik ini di manfaatkan masyarakat dengan beramai-ramai mendirikan partai politik, alhasilnya kemunculan partai politik ibarat cendawan di musim hujan merebak ke sana ke mari tak tentu arah. Pada tahun 1999 terdata di Defkeh jumlah partai politik yang



mendaftar dan sah untuk ikut pemilu 1999 sebanyak 141 (seratus empat puluh satu) partai politik. Banyaknya jumlah partai politik ini sebenarnya bukti bahwa kebebasan berpolitik itu sangat dimanfaatkan masyarakat. Namun dikarenakan seleksi administrasi secara factual oleh tim 11 yang dibentuk pemerintah menyebabkan jumlah partai politik yang resmi ikut pemilu 1999 merosot tajam jumlahnya dari 141 (seratus empat puluh satu) partai politik menjadi hanya 48 (empat puluh delapan) partai politik. Seleksi faktual ini seperti eliminasi bagi partai politik yang tidak memenuhi syaratsyarat ketentuan pemilihan umum tahun 1999. misalnya ada saja partai politik yang tidak memiliki kantor di cabang kabupaten atau double-nya KTP penduduk sebagai pengurus di dunia partai politik, partai politik yang tidak memiliki kepengurusan di tingkat kabupaten, dll. Pemilu tahun 1999 merupakan kemunculan partai politik baru dengan muka lama pada masa reformasi, artinya sekitar 32 tahun baru pada saat ini negara Indonesia kembali ke era multi partai politik, yang start awal jumlahnya sekitar 48 (empat puluh delapan) partai politik. Kemudian pada pemilu 2004 terjadi perubahan kembali pada tatanan kehidupan politik, yang berupa keluarnya produk baru UU politik dan otomatis menggantikan UU politik sebelumnya. Undang-Undang politik baru ini memuat aturan lebih ketat mengenai syarat bagi partai politik untuk ikut pada pemilihan umum tahun 2004. Syarat atau seleksi ini tercantum pada pasal-pasal yang terdapat pada UU No. 31



tahun 2002 tentang partai politik dan UU No. 12 tahun 2003 tentang pemilihan umum. Pasal-pasal dalam UU ini mengatur partai politik dengan istilah electoral threshold (ambang batas) dan syarat-syarat perolehan jumlah kursi DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Bagi partai politik yang tidak memenuhi syarat ini akan di eliminasi untuk tidak ikut pemilu tahun 2004. Alhasil dari jumlah partai politik semula hasil pemilu 2004 sebagai 48 (empat puluh delapan) partai politik mengalami pengerucutan kembali menjadi hanya 24 (dua puluh empat) partai politik yang secara resmi dan sah untuk ikut pemilu pada tahun 2004. Pemilu 2004 dengan jumlah peserta pemilunya sebanyak 24 (dua puluh empat) partai politik merupakan reformasi partai politik babak ke2 pasca reformasi di negara Indonesia. Pengurangan jumlah partai politik ini diakibatkan karena adanya suarasuara sumbang di masyarakat mengenai partai politik. Partai politik yang multi dianggap sebagai salah satu sebab ketidak fokusan jalannya proses reformasi. Partai politik yang multi lebih banyak memperlihatkan bentuk perilaku yang arogan. Partai-partai politik lebih banyak bekerja dan mempertentangkan kepentingannya sehingga banyak mengabaikan kepentingan-kepentingan masyarakat. Dalam kurun waktu kurang lebih 4 tahun sistem politik refomasi berjalan, dengan 4 (empat) kali penggantian presiden memperlihatkan kondisi check and balance yang begitu kuat dari kelembagaan legislatif terhadap kekuasaan eksekutif. Apabila check and balance yang begitu kuat ini berlangsung lama tanpa adanya



keseimbangan peran lembaga negara lainnya, maka ada beberapa catatan kemungkinan problem-problem besar yang dihadapi dan dapat meruntuhkan sistem politik reformasi, sebagai berikut: 1.



2.



3.



Problem jumlah partai yang banyak selama 2 kali pemilu cukup mengganggu jalan program dan roda pemerintahan. Apalagi saat ini tidak ada partai yang mayoritas di parlemen sehingga kecenderungan perilaku politik anggota DPR hanya melakukan koalisi dan bargaining-bargaining vest interest yang kurang menunjukkan aspirasi rakyat Indonesia. Koalisi dan bargaining yang terjadi mengarah pada pembentukan kabinet wakil-wakil partai politik dengan istilah cabinet bersatu dll. Persoalannya kabinet persatuan partai politik ini sangat rentan konflik yang mengganggu jalannya penyelenggaraan pmerintahan. Sebagai contoh ketika ada tuntutan atau persinggungan antar partai politik yang tidak terakomodasi maka berdampak pada gangguan dalam program-program kabinet. Problem sistem pemilu yang kecenderungan pengaturannya kearah penguatan partai politik bukan calon wakil sehingga mendorong peran partai politik yang masih dominan dibandingkan calon-calon anggota legisiatifnya. Hal ini kurang kondusif bagi para wakil rakyat yang ada di lembaga legislatif untuk lebih interest pada aspirasi masyarakat umum. Problem presiden bukan dari partai politik mayoritas di lembaga legislatif. Di lembaga legislatif selama masa reformasi berkembang semangat politik dagang sapi, melalui koalisi (deal-deal politik) yang



4.



5.



berdampak pada presiden yang terpilih bukan karena memiliki partai politik mayoritas di lembaga legislatif tetapi memiliki mayoritas koalisi partai politik. Sehingga yang tercipta model presiden yang dimiliki banyak partai politik, yang otomatis selama menjabat presiden lebih sibuk melayani kepentingan partai politik ini dibandingkan kepentingan rakyat. Problem masih banyaknya partai politik yang dikelola secara tradisional dibandingkan secara modern. Partai-partai politik setelah pemilihan umum tidak menciptakan hubungan erat dengan pemilihnya. Partai-partai politik tidak menciptakan system administrasi dan pelayanan aspirasi masyarakat yang baik dan efektif. Partai-partai politik lebih menyukai menikmati kekuasaan yang diperolehnya. Kondisi ini akan memperlemah peran partai politik sebagai jembatani aspirasi masyarakat" Dalam hal ini Olle Torquis dalam wawancara di media Banjarmasin Pos tahun 2007, menyebutnya dengan istilah partai politik di Indonesia sangat jauh dari konstituannya. Problem fungsi DPD yang semu atau lemah dalam lembaga legislatif sehingga kurang mendorong pertumbuhan demokrasi di lembaga legislatif itu sendiri dan tidak terperhatikannya masalah pada aras lokal. Walaupun DPD seringkali melakukan lintas pertemuan di daerah-daerah namun termentahkan ketika di lembaga legislatif" Pengaturan DPD yang seperti ini atau tidak ada penguatan kelembagaan DPD dalam lembaga legislatif cenderung menjadikan anggota legislatif yang berasal dari partai politik tanpa pesaing kompetisi sehingga gerak legislatif



6.



lebih pada perwujudan kepentingan individu dan kelompok legislatif itu sendiri. Problem pendidikan politik rakyat yang masih belum tersebar luas. Pendidikan politik lebih banyak terjadi di wilayah-wilayah perkotaan dibandingkan diwilayah pedesaan. Sehingga hal ini berdampak pada kecenderungan yang lambannya kemunculan kontrol kuat dari masyarakat terhadap jalannya kekuasaan lembaga-lembaga Negara.



C. Sejarah Sistem Ekonomi a.



Sejarah Sistem Ekonomi Kapitalis



Secara historis perkembangan kapitalisme merupakan bagian dari gerakan individualisme. Gerakan ini juga menimbulkan dampak dalam bidang yang lain. Dalam bidang keagamaan gerakan ini menimbulkan reformasi. Dalam hal penalaran melahirkan ilmu pengetahuan alam. Dalam hubungan masyarakat memunculkan ilmu-ilmu sosial. Dalam bidang ekonomi melahirkan sistem kapitalisme. Oleh karena itu peradaban kapitalis sah (legitimate) adanya. Di dalamnya terkandung pengertian bahwa kapitalisme adalah sebuah sistem sosial yang menyeluruh, lebih dari sekedar tipe tertentu dalam perekonomian. Sistem ini berkembang di Inggris pada abad 18 masehi dan kemudian menyebar luas ke kawasan Eropa Barat Laut dan Amerika Utara (Ebenstein & Fogelman,1994:148). Perjalan sejarah kapitalisme tidak dapat dilepaskan dari bumi Eropa, tempat lahir dan berkembangnya



kapitalisme. Tahun 1648 (tahun tercapainya perjanjian Westphalia) dipandang sebagai tahun lahirnya sistem negara modern. Perjanjian itu mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun (antara Katholik dan Protestan di Eropa) dan menetapkan sistem negara merdeka yang didasarkan pada konsep kedaulatan dan menolak ketundukan pada otoritas politik Paus dan Gereja Katholik Roma (Papp, 1988:17). Inilah awal munculnya sekularisme. Sejak itu aturan main kehidupan dilepaskan dari gereja (yang merupakan wakil Tuhan), dengan anggapan bahwa negara itu sendiri yang paling tahu kebutuhan dan kepentingan warganya sehingga negaralah yang layak membuat aturan untuk kehidupannya, sementara Tuhan (agama) diakui keberadaannya tetapi dibatasi hanya di gereja (hubungan manusia dengan Tuhannya). Prinsip dasar sekular tersebut adalah menempatkan manusia (negara/kerajaan) sebagai pembuat peraturan atau hukum. Permasalahan berikutnya adalah siapa atau apa yang berwenang membuat aturan yang menjamin terciptanya kehidupan yang damai, tentram dan stabil. Kenyataannya, Eropa sampai abad ke-19 merupakan kerajaan-kerajaan yang diperintah oleh kaisar, raja dan para bangsawan (aristokrat). Sampai masa itu, peran politik rakyat sangatlah minim bahkan tidak ada. Rakyat secara pasif patuh pada raja dan undang-undang yang dibuat oleh raja, tanpa melibatkan diri dalam proses politik (pembuatan keputusan). Dan ternyata raja selalu tidak bisa memenuhi kepentingan dan kebutuhan warganya secara adil dan menyeluruh.



Selanjutnya terdapat tiga perkembangan penting yang mempengaruhi perubahan situasi di Eropa, yaitu: revolusi industri (1760 –1860), revolusi Perancis (1775– 1799) dan tingkat melek huruf (literasi) (abad ke-19). Ketiga Peristiwa tersebut telah mendorong munculnya keterlibatan rakyat (di luar raja dan kaum bangsawan) di dalam politik (pengaturan urusan rakyat) (Robert & Lovecy, 1984:7). Revolusi industri telah memunculkan kelas menengah yang mempunyai kekuatan ekonomi, sehingga dengan kekuatannya tersebut mereka menuntut derajat kekuatan politik yang berimbang. Revolusi Perancis telah mendorong tuntutan akan nasionalisme (ide bahwa rakyat bisa memerintah dirinya sendiri, bukan diperintah oleh yang lain), libelarisme (ide bahwa otoritas politik harus disahkan lebih dahulu secara konsensus dan tidak secara turun temurun, serta dibatasi oleh konstitusi) dan equalitas (ide bahwa partisipasi politik tidak hanya di tingkat elit aristokrat saja, tetapi terbuka untuk semua penduduk). Sedangkan meningkatnya derajat melek huruf di kalangan rakyat telah menyebabkan mereka dapat membaca peristiwa-peristiwa dan pemikiran-pemikiran yang berkembang di Eropa dan sekaligus mempengaruhi mereka. Kemajuan sosial (social progress), yang berupa sejumlah perbaikan kondisi ekonomi, intelektualitas, sosial budaya dan politik yang terjadi di Eropa Barat antara abad ke-18 sampai abad ke-19, dapat dilihat sebagai penyebab berkembangnya demokrasi, di mana demokrasi membatasi kesewenangan dan mendorong manusia menjadi lebih sempurna dan adil dalam mengatur kehidupannya (Palma, 1990: 17). Dari sini kita bisa



menyebut bahwa pada abad ke-19 telah terjadi transisi politik di Eropa Barat dari bentuk otokrasi dinasti tradisional menjadi demokrasi liberal modern. Meskipun demikian ada kesamaan dalam dua kondisi tersebut, yaitu sekularime Konsekuensi dari Tuhan (agama) tidak boleh campur tangan dalam pengaturan urusan kehidupan manusia adalah pembuatan aturan main (keputusan/hukum) oleh manusia. Ketika keputusan/hukum dibuat oleh seseorang secara otoriter, dan terbukti tidak mampu menangkap kepentingan dan kebutuhan rakyatnya, maka dituntutlah keikutsertaan rakyat seluruh rakyat dalam membuat keputusan. Dengan demikian diharapkan mampu menciptakan aturan main yang lebih bisa memenuhi keinginan dan kepentingan rakyat banyak. Sedangkan mengenai penamaan ideologi ini dengan nama Kapitalisme, An-Nabhani dalam kitabnya Nidzom Al-Islam (1953) memberikan pendapat dan uraian sebagai berikut: bahwa munculnya kapitalisme berawal pada kaisar dan raja-raja di Eropa dan Rusia yang menjadikan agama sebagai alat pemeras penganiaya dan penghisap darah rakyat. Para pemuka agama pada waktu itu dijadikan sebagai perisai untuk memenuhi keinginan mereka. Dari kondisi seperti itu, maka berikutnya menimbulkan pergolakan yang sengit, yang kemudian membawa kebangkitan bagi para filosof dan cendikiawan. Sebagian dari mereka mengingkari adanya agama secara mutlak, sedangkan sebagian yang lain mengakui adanya agama tetapi menyerukan agar dipisahkan dari kehidupan dunia. Sampai akhirnya pendapat mayoritas dari kalangan



filosof dan cendekiawan itu lebih cenderung memilih ide yang memisahkan agama dari kehidupan, yang kemudian menghasilkan usaha pemisahan antara agama dengan negara. Disepakati pula pendapat untuk tidak mempermasalahkan agama, dilihat dari segi apakah diakuai atau ditolak, sebab yang menjadi masalah adalah agama itu harus dipisahkan dari kehidupan (AnNabhani,1953: 25).Ide pemisahan agama dari negara tersebut dianggap sebagai jalan kompromi antara pemuka agama yang menghendaki segala sesuatunya harus tunduk kepada mereka (yang mengatasnamakan agama) dengan para filosof dan cendekiawan yang mengingkari adanya agama dan dominasi para pemuka agama. Dengan demikian ide sekularisme ini sama sekali tidak mengingkari adanya agama, akan tetapi juga tidak menjadikannya berperan dalam kehidupan. Yang mereka lakukan tidak lain adalah memisahkannya dari kehidupan (An-Nabhani, 1953: 25). Demokrasi sebagaimana telah diuraikan di atas, sebenarnya juga berasal dari ideologi ini, akan tetapi masih dianggap kurang menonjol dibanding dengan sistem ekonominya. Hal itu dapat dibuktikan bahwa corak ekonomi kapitalis di Barat ternyata sangat mempengaruhi elite kekuasaan sehingga mereka tunduk kepada para kapitalis (pemilik modal, konglomerat). Bahkan hampirhampir dapat dikatakan bahwa para Kapitalislah yang menjadi penguasa sebenarnya di negara-negara yang menganut ideologi ini. Di samping itu demokrasi bukanlah menjadi ciri khas dari ideologi ini, sebab sosialis pun ternyata juga menyuarakan dan menyatakan bahwa



kekuasan berada di tangan rakyat. (An-Nabhani, 1953: 24-25). Adapun mengenai kelahiran ekonomi kapitalis itu sendiri, hal ini tidak bisa dipisahkan dengan Adam Smith, seorang pemikir terkemuka di abad 18 yang telah membidani kelahiran ilmu ekonomi lewat karyanya yang monumental “Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of the Nations” pada tahun 1776 (Saefuddin, 1992: xvi). Smith, dengan sistem pasarnya memunculkan pengetahuan tingkah laku ekonomi yang belum pernah ditemui sebelumnya yang kemudian menjadi bahan analisa bagi terbentuknya sebuah tubuh ilmu yang makin utuh. Pandangan, pemikiran, analisa dan teori-teorinya yang tertuang secara detail dalam bukunya tersebut mendasari lahirnya sebuah corak ekonomi yang sampai sekarang berlaku, yakni corak ekonomi kapitalis. Buku Smith sesungguhnya merupakan gambaran, kupasan dan sekaligus ramalan tentang kehidupan ekonomi pada zamannya. Dengan ketajaman dan kekuatan nalar, kekayaan gagasan serta keyakinan seorang filsuf pada jamannya, Smith melihat di balik gejala yang menjadi pusat perhatiannya, sesuatu yang kemudian disebutnya sebagai hukum-hukum sistem pasar. Dasar analisanya semata-mata obyektif yang mendasari tindakan ekonomi seseorang sebagaimana yang ia tulis dalam bukunya “It is not from the benevolence of the butcher, the brewer, or the baker that we expect our dinner, but from their regard to their own interest”.



b. Sejarah Sistem Ekonomi Sosialis Sosialisme adalah suatu sistem perekonomian yang memberikan kebebasan yang cukup besar kepada setiap orang untuk melaksanakan kegiatan ekonomi tetapi dengan campur tangan pemerintah. Pemerintah masuk ke dalam perekonomian untuk mengatur tata kehidupan perekonomian Negara serta jenis-jenis perekonomian yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara seperti air, listrik, telekomunikasi dan lain sebagainya. Dalam sistem ekonomi sosialisme atau sosialis, mekanisme pasar dalam hal permintaan dan penawaran terhadap harga dan kuantitas masih berlaku. Pemerintah mengatur berbagai hal dalam ekonomi untuk menjamin kesejahteraan seluruh masyarakat. Ilmu Ekonomi Sosialis adalah bagian dari Ilmu Ekonomi Politik. Ilmu Ekonomi Politik termasuk dalam ilmu-ilmu pengetahuan masyarakat. Masalah yang dijadikan persoalan dalam suatu ilmu pengetahuan penting sekali artinya untuk pekerjaan, penyelidikan, mengajar dan belajar secara ilmiah. Penentuan yang benar dari masalah suatu ilmu pengetahuan mempunyai arti menentukan untuk pelaksanaannya yang berdasar atas ilmu pengetahuan itu. Sosialis muncul di akhir abad ke18 dan awal abad ke-19 sebagai reaksi dari perubahan ekonomi dan social yang diakibatkan oleh revolusi industri. Revolusi industry ini memang memberikan keberkahan buat para pemilik pabrik pada saat itu, tetapi dilain pihak para pekerja justru malah semakin miskin. Semakin menyebar ide corak industry kapitalis, maka



reaksi dalam bentuk pemikiran-pemikiran sosialis pun semakin meningkat. Meskipun banyak pemikir sebelumnya yang juga menyampaikan ide-ide yang serupa dengan sosialisme, pemikir pertama yang mungkin dapat dijuluki sosialis adalah François Noël Babeuf yang pemikiranpemikirannya muncul selama revolusi Prancis. Dia sangat memperjuangkan doktrin pertarungan kelas antara kaum modal dan buruh yang dikemudian hari diperjuangkan dengan lebih keras oleh Marxisme. Para pemikir sosialis setelah Babeuf ini kemudian ternyata lebih moderat dan mereka biasanya dijuluki kaum topian socialists, seperti deSaint Simon, Charles Fourier dan Robert Owen. Mereka lebih moderat dalam artian tidak terlalu mengedepan pertentangan kelas dan perjuangan kekerasan tetapi mengedepankan kerjasama dari pada kompetisi. Saint-Simon berpendapat bahwa Negara yang harus mengatur produksi dan distribusi, sedangkan Fourier dan Owen lebih mempercayai bahwa yang harus berperan besar adalah komunitas kolektif kecil. Karena itu kemudian muncul perkampungan komunitas (communistic settlements) yang didirikan berdasarkan konsep yang terakhir ini dibeberapa tempat di Eropa dan Amerika Serikat, seperti New Harmony (Indiana) dan Brook Farm (Massachussets). Setelah kaum utopian ini, kemudian muncul para pemikir yang ideidenya lebih kearah politik, misalnya Louis Blanc. Blanc sendiri kemudian menjadi anggota pemerintahan provisional Prancis ditahun 1848. Sebaliknya juga muncul para anarkis seperti Pierre Joseph Proudhon dan



radikalis (insurrectionist) Auhuste Blanqui yang juga sangat berpengaruh diantara kaum sosialis diawal dan pertengahan abad ke-19. Pada tahun 1840-an, istilah komunisme mulai muncul untuk menyebut sayap kiri yang militant dari Paham sosialisme.Istilah ini biasanya dirujukkan kepada tulisan Etiene Cabet dengan teoriteorinya tentang kepemilikan umum. Istilah ini kemudian digunakan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels untuk menggambarkan pergerakan yang membela perjuangan kelas dan mengaruskan revolusi untuk menciptakan sebuah masyarakat kerjasama (society of cooperation). Karl Marx adalah anak dari pasangan Hirschel and Henrietta Marx.Ia lahir di Trier, Germany, tahun 1818. Penggunaan kata sosialisme sering digunakan dalam berbagai konteks yang berbeda oleh berbagai kelompok, namun hampir semua sepakat bahwa istilah ini berawal dari pergolakan kaum buruh industry dan buruh tani pada abad ke-19 dan ke-20, yang berdasarkan prinsip solidaritas dan memperjuangkan masyarakat egalitarian, dengan sistem ekonomi sosialis, menurut mereka dapat melayani masyarakat banyak ketimbang hanya segelintir elite. Menurut penganut Marxisme model dan gagasan sosialis dapat dirunut hingga keawal sejarah manusia, sebagai sifat dasar manusia sebagai makhluk sosial. Sosialisme merupakan sebagai sebuah ideologi. Karena ia memiliki ide dasar sekaligus metode pemecahan terhadap berbagai masalah kehidupan. Secara historis, gagasan sosialisme-include komunisme-merupakan anti tesis dari kekuatan hegemonic di Eropa era Aufklarung. Dalam Manifesto Communist, Marx mencita-citakan masyarakat tanpa kelas. Teori Dialectika materialism menjadi metode



baku yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Dialektika materialisme merupakan cara pandang peristiwa alam yang bersifat dialogue, yaitu metode pembahasan dan penelitian yang membongkar kontradiksi pemikiran dan benturan antar berbagai pandangan melalui diskusi atau dialog. Disamping karena argumentasi dan pandangannya terhadap berbagai peristiwa alam ini bersifat materi. Cara pandang seperti ini juga diimplementasikan dalam pembahasan tentang kehidupan masyarakat berikut berbagai kasus yang terjadi didalamnya. Teori Marx telah memberikan inspirasi besar bagi orang-orang kritis waktu itu. Puncaknya, Vladimir Illich Ulyanov (Lenin) mendirikan Negara Komunis pertamaUniSoviet-dengan sebuah revolusi berdarah menggulingkan kekuasaan Tsar. Sebagai ideology komunis terkemuka, Lenin telah meletakkan dasar-dasar pemerintahan komunis dengan tangan besinya. Semangat perlawanan ala Lenin juga diikuti oleh rezim-rezim komunis lainnya. Jutaan nyawa harus meregang akibat pemerintahan otoriter yang dipraktekkan oleh mereka. Amartya Sen dalam The Black Book of Communism memperkirakan jumlah orang yang tewas akibat sosialisme-komunisme mencapai angka 100 juta (Chomsky,2003). Cita-cita sosialisme- menghapus penindasan kapitalisme- ternyata diganti dengan penindasan ala komunis yang tidak kalah mengerikan. Sentralisasi kekuasaan yang absolute melahirkan slogan Negara adalah saya. Dalam perkembangannya, bermunculanlah berbagai varian pemikiran dari ideology sosialisme ini.



c.



Sejarah Sistem Ekonomi Campuran



Sistem ekonomi campuran (“Mixed economy”) merupakan panduan dari dua bentuk sistem ekonomi sosialisme dan kapitalisme. Usaha penyatuan ini dilakukan untuk menyerap elemen-elemen yang positif dan dinamis dari keduanya. Sistem ini hendak dibangun dengan usaha untuk meninggalkan unsur-unsur lemah dari dua bentuk sistem ekonomi politik tersebut. Sejarah pertentangan yang keras dan bahkan tidak harmonis dari kapitalisme dan sosialisme telah menstimulasi pemikirpemikir untuk mencari bangun ekonomi dengan ciri dasar, yang merupakan gabungan unsur-unsur terbaik dari keduanya. Sebenarnya sistem ekonomi ini dapat saja menghilangkan konotasi perpaduan antara dua sistem ekonomi di atas karena sistem ekonomi campuran dapat signifikan dalam khasnya tersendiri. Sistem menggerakkan elemen-elemen dinamis,yang sebelumnya memang dimiliki oleh masing-masing sistem ekonomi. Kedua bentuk ekstrim dari sistem ekonomi sebenarnya telah menuju ke arah sistem campuran karena masing-masing berusaha membuang kelemahankelemahannya sehingga tersisa unsur-unsurnya, yang dinamis dan positif. Seperti dalam teori dialektika Hegel bahwa perbaikan dan perkembangan pemikiran akan mencapai suatu bentuk terbaik melalui proses dialektik menuju suatu sintesa. Proses ini merupakan perpanduan dari thesa dengan anti thesa dalam keharmonisan dan menuju ke arah kedinamisan. Negara sedang berkembang beranggapan akan mampu mengejar ketertinggalannya dengan banyak tidak mencontoh bentuk ektrim sistem



ekonomi tersebut, melainkan menyerap unsur-unsur dinamis dari keduanya. Salah satu pemikiran Hegel ini menarik untuk disimak sebagai dasar pemikiran mengapa muncul sistem ekonomi campuran sebagai alternatif dari sistem yang bertentangan. Jika hal itu terjadi, maka keduanya memiliki kelemahan mendasar sehingga cara terbaik adalah menggabungkannya untuk mengejar ketertinggalan negara-negara sedang berkembang. Adalah Hegel yang menemukan fenomena dialektik sebagai suatu teori ini ditemukan oleh kelompok idealisme dalam pasca Kantian dan mengalami masa puncaknya dalam pemikiran filosofi Hegel. Dialektik itu sendiri pernah diajukan oleh Immanuel Kant sebagai suatu logika dari penalaran terhadap alam dan fenomena dunia untuk memberikan pengesahan yang transenden. Hegel kemudian menginterpretasikan dialektik sebagai operasionalisasi dari penalaran tanpa kaitan dengan hal yang transeden. Sebab alam dan isinya bersifat realistis, bukan sesuatu yang abstrak. Ini memberikan kenyataan lebih benar dan lebih mendalam dibandingkan dengan pemikiran analitis kontradiksi sebagai hasil dari perpaduan ide-ide, yang dapat dicapai melalui cara sintesa untuk menghasilkan pengetahuan lebih benar. Proses sintesa meningkat, kemudian menjadi alasan utama terwujudnya sistem ekonomi campuran, yang merupakan perpaduan dari sistem kapitalisme dan Marxisme. Hal ini tidak seperti Karl Marx yang mengadopsi dialektik sebagai pembenturan kelas di dalam sejarah, yang selalu saling berhadapan satu sama lain. Motif mencari keuntungan adalah unsur penting di dalam kegiatan ekonomi dan produksi, tetapi bukan segalanya



sebagaimana ditekankan di dalam sistem ekonomi kapitalisme. Tanpa motif keuntungan tidak akan ada usaha dan pertumbuhan ekonomi akan menjadi lamban bila motif ditekan dan dimatikan seperti di negara komunis. Sistem ekonomi campuran tetap berbasis pada prinsip pasar, yang terkendali oleh aturan pemerintah. d. Sejarah Sistem Ekonomi Islam Dalam literatur Islam, sangat jarang ditemukan tulisan tentang sejarah pemikiran ekonomi Islam atau sejarah ekonomi Islam. Buku-buku sejarah Islam atau sejarah peradaban Islam sekalipun tidak menyentuh sejarah pemikiran ekonomi Islam klasik. Buku-buku sejarah Islam lebih dominan bermuatan sejarah politik. Kajian yang khusus tentang sejarah pemikiran ekonomi Islam adalah tulisan Muhammad Nejatullah Ash-Shiddiqi yang berjudul, Muslim Economic Thinking, A Survey of Contemporary Literature, dan Artikelnya berjudul History of Islamic Economics Thought. Buku dan artikel tersebut ditulis pada tahun 1976. Paparannya tentang studi historis ini lebih banyak bersifat diskriptif. Ia belum melakukan analisa kritik, khususnya terhadap “kejahatan” intelektual yang dilakukan ilmuwan Barat yang menyembunyikan peranan ilmuwan Islam dalam mengembangkan pemikiran ekonomi, sehingga kontribusi pemikiran ekonomi Islam tidak begitu terlihat pengaruhnya terhadap ekonomi modern. Tulisan ini selain akan memaparkan sejarah pemikiran ekonomi Islam juga akan menyingkap bagaimana transmisi ilmu ekonomi Islam klasik ke dunia Barat (pemikir ekonomi barat) serta



bagaimana kontribusi ekonomi Islam terhadap ekonomi modern. Menurut Muhammad Nejatullah Ash-Shiddiqy, pemikiran ekonomi Islam adalah respons para pemikir muslim terhadap tantangan-tantangan ekonomi pada masa mereka. Pemikiran ekonomi Islam tersebut diilhami dan dipandu oleh ajaran Al-Quran dan Sunnah juga oleh ijtihad (pemikiran) dan pengalaman empiris mereka. Pemikiran adalah sebuah proses kemanusiaan, namun ajaran Al-quran dan sunnah bukanlah pemikiran manusia. Yang menjadi objek kajian dalam pemikiran ekonomi Islam bukanlah ajaran Al-quran dan sunnah tentang ekonomi, tetapi pemikiran para ilmuwan Islam tentang ekonomi dalam sejarah atau bagaimana mereka memahami ajaran Al-Quran dan Sunnah tentang ekonomi. Obyek pemikiran ekonomi Islam juga mencakup bagaimana sejarah ekonomi Islam yang terjadi dalam praktek historis. Dengan demikian, tulisan ini hanya fokus kepada kajian historis, yakni bagaimana usaha manusia dalam menginterpretasi dan mengaplikasikan ajaran Alquran pada waktu dan tempat tertentu dan bagaimana orang-orang dahulu mencoba memahami dan mengamati kegiatan ekonomi juga menganalisa kebijakan-kebijakan ekonomi yang terjadi pada masanya. Jadi, cakupan sejarah pemikiran ekonomi Islam dalam tulisan ini ialah, pertama, mengkaji bagaimana pemikiran para ilmuwan Islam sepanjang sejarah. kedua, membahas sejarah ekonomi Islam yang terjadi secara aktual. Apresiasi para sejarawan dan ahli ekonomi



terhadap kemajuan kajian ekonomi Islam sangat kurang dan bahkan terkesan mengabaikan jasa-jasa ilmuwan muslim. Hal itu terlihat pada buku-buku sejarah pemikiran ekonomi yang ditulis baik oleh penulis Barat maupun penulis Indonesia. Buku Perkembangan Pemikiran Ekonomi tulisan Deliarnov misalnya, sama sekali tidak memasukkan pemikiran para ekonom muslim di abad pertengahan, padahal sangat banyak ilmuwan muslim klasik yang memiliki pemikiran ekonomi yang amat maju melampaui ilmuwan-ilmuwan Barat, sebagaimana yang akan terlihat nanti pada uraian mendatang. Demikian pula buku sejarah Ekonomi tulisan Schumpeter History of Economics Analysis, dan Sejarah Pemikiran Ekonomi (terjemahan), tulisan penulis Belanda Zimmerman, sama sekali tidak memasukkan pemikiran ekonomi para pemikir ekonomi Islam. Dengan demikian sangat tepat jika dikatakan bahwa buku-buku sejarah pemikiran ekonomi (konvensional) yang banyak ditulis itu sesungguhnya adalah sejarah ekonomi Eropa, karena hanya menjelaskan tentang pemikiran ekonomi para ilmuwan Eropa. Sejarah membuktikan bahwa Ilmuwan muslim pada era klasik telah banyak menulis dan mengkaji ekonomi Islam tidak saja secara normatif, tetapi juga secara empiris dan ilmiah dengan metodologi yang sistimatis, seperti buku Ibnu Khaldun (1332-1406) dan Ibnu Taymiyah, bahkan Al-Ghazali (w.1111) Al-Maqrizi. Selain itu masih banyak ditemukan buku-buku yang khusus membahas bagian tertentu dari ekonomi Islam, seperti, Kitab AlKharaj karangan Abu Yusuf (w.182 H/798 M), Kitab Al-



Kharaj karangan Yahya bin Adam (.w.203 H), Kitab AlKharaj karangan Ahmad bin Hanbal (w.221 M), Kitab Al-Amwal karangan Abu ’Ubaid ( w.224 H), Al-Iktisab fi al Rizqi, oleh Muhammad Hasan Asy-Syabany (w.234 H). Masih banyak lagi buku-buku lainnya, baik yang secara khusus berbicara tentang ekonomi ataupun bukubuku fikih yang hanya membahas masalah-masalah hukum ekonomi. Buku-buku tersebut sarat dengan kajian ekonomi, seperti kebijakan moneter, fiskal (zakat dan pakak), division of labour, fungsi uang, mekanisme pasar, monopoli, perburuhan, pengaturan usaha individu dan perserikatan, lembaga keuangan (baitul mal), syairafah (semacam Bank Devisa Islam). Mereka juga ada yang membahas kajian ekonomi murni, ekonomi sosial, ekonomi politik. Spengler mengungkapkan kajian-kajian mereka sebagaimana yang ditulis Abbas Mirakhor :”The last three are spanish Muslim with whose works the scholastics were familiar, All these authors date between the ninth through fourteenth centuries. The economic ideas discussed by Spengler as having been dealt with by the Muslim scholars named are ideas on : taxation, market regulation, usury, permissible economic behaviour, wages, price, division of labour, money as medium of axchange and as unit of account, admonition againts debasement of money, coinage, price fluctuations, and finally ethicalprescriptions regarding observance of the “mean” in economic behaviour.” Dari kutipan di atas terlihat bahwa pemikiran ekonomi Islam di zaman klasik sangat maju dan



berkembang sebelum para ilmuwan barat membahasnya di abad 18-19. Fakta ini harus diperhatikan para ahli ekonomi kontemporer tidak saja ekonom muslim tetapi juga yang non muslim di seluruh dunia. e.



Amanat UUD Indonesia



1945 dan



Realita Ekonomi



Pada tanggal 17 Agustus 1945 diproklamirkan lah kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno dan Muhammad Hatta. Pernyataan kemerdekaan ini merupakan pernyataan akan bebasnya Indonesia dari penjajahan, pernyataan akan kemandirian dan kedaulatan setelah dijajah oleh Belanda selama 350 Tahun dan Jepang 3,5 tahun. Namun setelah 73 tahun kemerdekaan itu semakin semu. Jika dulu Belanda melalui VOC menjajah Indonesia melalui pendudukan fisik dan militer yang menyebabkan Indonesia kehilangan kedaulatan politik, ekonomi, sosial, hukum, dan pertanahan. Sedangkan sekarang pendudukan secara fisik dan militer secara resmi sudah tidak kelihatan. Tetap sebagai bangsa kita telah kehilangan kemandirian, dan sampai batas cukup jauh, kita juga kehilangan kedaulatan ekonomi. Dalam banyak hal kita tergantung dan menggantungkan diri keadan asing. Kedaulatan ekonomi digadaikan pada kekuatan asing sehingga menyebabkan melemahnya kedaulatan politik, diplomatik, pertahanan dan militer. Ini terlihat jelas dalam hampir setiap kebijakan demoestik dan kebijakan luar negeri indonesia selalu kelihatan pengaruh besar kepetingan asing yang melemahkan kepentingan nasional bangsa Indonesia dalam era globalisasi yang mengalir



deras, Indonesia telah terseret menjadi sekerat subordinat atau agen setia bagi kepentingan asing. Kekuatankekuatan korporasi telah mendikte bukan saja perekonomian nasional seperti kebijakan perdagangan, keuangan, perbankan, penanaman modal, kepelayaran dan kepelabuhan, kehutanan, perkebunan, pertambangan migas dan non-migas, hingga kebijakan politik dan pertahanan. Indonesia sebuah negara yang besar, yang mempunyai anugerah sumber daya alam yang melimpah. Namun sumber daya alam yang begitu banyak itu tidak menjadi berkah bagi bangsa ini, bahkan rakyatnya jauh dari sejahtera. Yang menjadi pertanyaan, apa yang menyebabkan itu semua? Lalu bagaimana amanah konstitusi negara ini untuk mengelola dan mensejahterakan rakyatnya? Dalam tulisan singkat ini, penulis mencoba untuk menjawab pertanyaan tersebut. a) Ekonomi Indonesia Dalam Amanah UUD 1945 Ekonomi Indonesia sejak awal kemerdekaan disusun melalui “perencanaan pembangunan ekonomi.” Pada tahun 1947 didirikan perencanan dengan nama Panitia Pemikir Siasat Ekonomi sebagai cikal bakal badan perencanaan, yang kemudian menjadi DEPERNAS dan kemudian secara permanen berubah menjadi BAPPENAS. Perencanaan pembangunan ekonomi berisi cita-cita masa depan perekonomian nasional untuk memajukan kesejahteraan umum, mewujudkan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, memperkukuh kesatuan ekonomi nasional demi meningkatkan ketahanan nasional Indonesia. Untuk itulah konstitusi



menetapkan secara imperatif: “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”. Perkataan “perekonomian disusun” artinya perekonomian tidak dibiarkan tersusun sendiri sesuai selera dan kehendak pasar. Disinilah peran “perancanaan pembangunan ekonomi”. Para pendiri bangsa Indonesia mempersiapakan perekonomian yang bertumpu pada kesejahteraan sosial. Hal ini tampak pada undangundang dasar Republik Indonesia. Sistem ekonomi Indonesia menganut demokrasi ekonomi atau ekonomi kerakyatan yang kemudian disebut dengan Ekonomi Pancasila, karena sistem ini lahir dari nilai luhur Bangsa Indonesia. Pada pembukaan undang-undang dinyatakan “kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa”. Pernyataan ini adalah pernyataan kedaulatan dan kemandirian bangsa Indonesia untuk mengelola bangsanya termasuk untuk mengelola potensi ekonominya. Pernyataan “penjajahan di atas dunia harus dihapuskan” merupakan pernyataan terbebasnya Indonesia dari intervensi apapun dari bangsa lain, termasuk di dalamnya kedaulatan ekonomi. Tujuannya agar Indonesia menuju kemerdekaan dan kedaulatan serta rakyatnya mendapatkan keadilan dan kemakmuran di negaranya dan melindungi bangsanya dan memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Adapun ciri dari ekonomi Pancasila menurut Mubyarto, yaitu, Pertama, Roda perekonomian digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial dan moral; Kedua, Kehendak kuat dari seluruh masyarakat ke arah kemerataan; Ketiga, Prioritas kebijakan ekonomi adalah



penciptaan nasional yang tangguh, yang berarti nasionalisme menjiawai tiap-tiap kebijakan ekonomi; Keempat, Koperasi merupakan soko guru perekonomian dan merupakan bentuk yang paling kongkret dari usaha bersama; Kelima, adanya imbangan yang jelas dan tegas antar perencanaan di tingkat nasional dengan desentralisasi dalam pelaksanaan kegiatan ekonomi untuk menjamin keadilan ekonomi dan sosial. Sedangkan Sri-Edi Swasono mengungkap moralitas agama dan mengambarkan sistem ekonomi pancasila sebagai sistem ekonomi yang berorientasi pada sila-sila pancasila. Berorientas pada (1) Ketuhunan Yang Maha Esa, yaitu adanya atau berlakunya etik dan moral agama, bukan materialisme; (2) Kamanusiaan Yang Adil dan Beradab, yaitu tidak mengenal pemerasan antar sesama, pengisapan dan subordinasi ekonomi; (3) Persatuan, yaitu kebersamaan, kekeluargaan, gotong royong, saling memajukan tidak saling mematikan – nasionalisme; (4) kerakyatan, yaitu demokrasi ekonomi, kedaulatan ekonomi, dan mengutamakan hidup orang banyak; (5) Keadilan Sosial, yaitu persamaan, pemerataan, kemakmuran rakyat yang utama bukan kemakmuran orang-seorang. Dalam pasal-pasal Undang-Undang 1945 kemudian dirinci bagaimana hak-hak bangsa Indonesia, sistem ekonomi Indonesia dan pengelolaan sumber daya alam. Pasal 27 ayat 2, Pasal 28D ayat 2, Pasal 28H ayat 2 dan 3, Pasal 33 dan Pasal 34. Dari amanah undang-undang 1945 bisa dilihat bahwa Rakyat Indonesia dijamin kesejahteraanya, sumber daya alam dikelola untuk kemakmuran rakyat sebesar-sebesarnya, dan fakir miskin



dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Namun realitasnya berbeda, masih banyak orang-orang miskin, rakyat digaji dibawah standar kelayakan, jaminan sosial yang tidak menjamin, sumber daya alam dikelola asing. Hal ini semua akibat pengelola bangsa ini menghianati amanah yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945. b) Realitas Ekonomi: Globalisasi



Dalam



Cengkraman



Globalisasi merupakan proses interkoneksi yang terus meningkat di antara berbagai masyarkat sehingga kejadian-kejadian yang berlangsung di sebuah negara mempengaruhi negara dan masyarakat lainnya. Dunia yang terglobalisasi adalah dunia dimana politik, ekonomi, budaya dan sosial semakin terjalin erat dan merupakan dunia dimana kejadian-kejadian tersebut berdampak semakin besar. Globalisasi sebagai liberallisasi, yakni merujuk pada proses pemusnahan berbagai restriksi politik sehingga ekonomi dunia menjadi terbuka dan tanpa batas dan juga globalisasi sebaga westernisasi, yakni merebaknya ke sesluruh dunia struktur modernitas Barat yang menyangkut kapitalisme, rasionalisme, industrialisme, birokrastisme dan lain sebagainya yang cenderung merusak budaya lokal yang sudah ada lebih dulu. Tiga pilar institusi yang menopang globalisasi sejak 1980-an adalah IMF, World Bank dan WTO (World Trade Organization) yang kemudian melahirkan Washington Consensus. Sekalipun banyak yang mengatakan bahwa Washington Consensus sudah melemah dan kehilangan relevansinya, namun



rekomendasi-rekomendasi ekonominya masih diterima oleh negara-negara pengagumnya. Terdapat sepuluh rekomendasi ekonomi yang dikenal dengan Konsensus Washington: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 10)



Perdagangan bebas Liberealisasi pasar modal Nilai tukar mengambang Angka bunga ditentukan pasar Deregulasi pasar Transfer aset dari sektor publik pada berbagai target pembangunan social Fokus ketat dalam pengeluaran publik pada berbagai target pengembangan social Anggaran berimbang Reformasi pajak Perlindungan hak milik dan hak cipta



Pada dasarwarsa 1980-an dan 1990-an IMF, World Bank dan WTO dengan kebijakan-kebijakannya yang mengatur ekonomi dunia dengan mengacu pada Konsensus Washington itu terasa sungguh sakti. Seolah tidak ada satupun negara yang dapat menghindar dari magnet globalisasi. Globalisasi dengan globalisme-nya terlanjur dikagumi oleh dunia ketiga termasuk oleh para elit di Indonesia, hal ini diperkuat dengan runtuhnya sosialis dan menguatnya kapitalis Barat dengan sistem pasar bebasnya. Sikap kaum elit ini kemudian menjadi ambivalen terhadap sistem ekonomi Indonesia dan ideologi kebangsaan dan kerakyatan yang melandasinya. Sistem ekonomi Indonesia semakin terdistorsi bahkan



mengalami suatu pendangkalan. Pada akhirnya Globalisme ini melahirkan Imperealisme model baru dan Neo Kolonilialisme. Mahathir Muhammad Perdana Menteri Malaysia pada 3 Mei 2006 di Jakarta dalam pidatonya di depan the Asia HRD Congress mengingatkan perkataan Presiden Sukarno disaat para elit bangsa ini lupa dengan peringatan pendiri bangsanya. Mahathir mengatakan: “Neokolonialiseme bukanlah istilah khayalan yang diciptkan oleh Presiden Soekarno. Ia (neokolonialisme) itu nyata. Kita merasakannya tatkala kita hidup berada dibahwa kontrol agen-agen yang dikendalikan oleh mantan penjajah kita.” Bung Karno juga memperingatkan, ekonomi Indonesia yang berawatak kolonial setidak-tidaknya memiliki tiga ciri sebagai berikut. Pertama, perekonomian Indonesia hanya diposisikan sebagai pemasok bahan mentah bagi negara-negara industri maju. Kedua, perekenomian Indonesia cenderung dimanfaatkan sebagai pasar barang-barang jadi yang dibuat oleh negaranegara industri maju itu. Dan ketiga, perekonomian Indonesa dijadikan sebagai tempat untuk memutar kelebihan kaputal yang terdapat di negara-dinegara industri maju tersebut. Namun peringatan Sukarno ini diabaikan oleh elit bangsa ini. Mengapa globalisasi ini dikatakan dengan imperialisme ekonomi atau neokolonialisme? Sebagaimana diketahui imperealisme dan kolonialisme tempo doeloe bercirikan tiga hal. Pertama, ada kesenjangan kemakmuran antara negara penjajah dan



negara terjajah. Kedua, hubungan kaum penjajah dan terjajah adalah hubungan eksploratif atau bersifat menindas. Dan ketiga, negara terjajah sebagai pihak yang lemah, kehilangan kedaulatan dalam arti yang luas. Bila dicermati kesenjangan negara kaya dan negara miskin, juga antara kelas kaya dan kelas miskin dalam sebuah negara, cenderung makin menganga lebar. Di akhir dasawarsan 1990-an memasuki abad dua puluh satu, 20 persen penduduk dunia yang kebetulan hidup di negara-negara maju menikmati 86 % penghasilan dunia, sedangkan 20% paling bawah hanya mendapatkan 1 persen penghasilan dunia. 1,3 milyar atau 1/6 penduduk dunia berpenghasilan kurang dari satu dolar sehari. Hubungan ekonomi yang eksploratif dalam globalisasi tampak jelas di Indonesia. Seperti upah buruh yang rendah untuk menekan laju inflasi, privatisasi BUMN, menghapus tarif dan kuota agar barang bisa bergerak bebas menerobos batas-batas negara, memprioritaskan barang-barang ekspor, membuka seluruh bidang ekonomi bagi kepemilikan asing, hingga serbuan tenaga kerja asing ketika tingkat pengangguran masih tinggi, kran pasar bebas dibuka sementara bangsa ini belum siap. Negara-negara berkembang cenderung kalah dalam menghadapi globalisasi dan pasar bebas. Disaat negaranegara maju memproteksi petani mereka dengan dana besar sehingga produk-produk Negara berkembang susah masuk. Sementara negara-negara berkembang sendiri terus ditekan agar membuka pasar mereka tanpa batas. Negara-negara maju itu seolah menyatakan “pasar dan



perdagangan bebas untuk anda, bukan untuk saya”. Indonesia pernah tunduk pada WTO untuk menerima impor paha ayam dari AS sehingga peternak ayam dalam negeri banyak yang gulung tikar. Demikian juga Indonesia membuka impor gula, garam, tekstil, hingga beras disaat petani menghadapi panen raya, sehingga merugikan rakyat Indonesia sendiri. Contoh lainnya, dalam kasus Blok Cepu, para Sarjanawan Geologi Indonesia mengatakan mampu mengelolanya, bahkan Pertamina menyatakan sanggup mengelolanya. Namun penguasa ketika itu, SBY, menyerahkan kepada Exxon Mobile untuk mengelolanya, hal ini melihatkan ketidakberdayaan pemerintah terhadap tekanan Amerika Serikat.13 Dalam kesempatan lain, penulis menghadiri seminar yang digagas oleh Pertamina, dengan tema “Pertamina Untuk Negeri” di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta pada tahun 2012, pembicara dari Pertamina mengatakan bahwa Pertamina sanggup untuk mengelola blok Cepu termasuk blok Natuna, namun pemerintah menyerahkannya kepada Exon Mobile, padahal disaat yang sama pemerintah Aljazair melakukan kontrak dengan Pertamina untuk melakukan eksplorasi minyak di negaranya. Sesuatu yang sangat ironi, dipercaya oleh Negara lain namun tersingkir di negeri sendiri. Hal ini lah yang dikatakan oleh Amin Rais “Sikap konyol Indonesia itu jarang tertandingi oleh Negara lain”. Kemudian para elit begitu ramah (market friendly) terhadap pasar bebas. Siapakah pasar tersebut? Sri-Edi Swasono mengatakan ada empat kelompok dalam pasar, yaitu: (1) kelompok penyandang dana, para penerima titipan dana dari luar negeri (komprador), termasuk para



penyamun dana publik, singkatnya para financial tycoons atau para taoke dana; (2) para penguasa stok barang (termasuk para penimbun dan pengijon); (3) para spekulan (baik di pasar umum dan pasar modal) dst; dan yang terakhir adalah (4) rakyat awam yang tenaga belinya lemah bukan penguasa pasar. Ramah kepada pasar pada dasarnya adalah ramah kepada ketiga kelompok pertama sebagai pelaku utama pasar, yang merupakan kelompok penguasa pasar, penentu pasar dan penyandang dana. Celakanya, negara-negara yang begitu ramah terhadap pasar bebas justru mengalami kemunduran sosial dan ekonomi. Hal yang menjadi pertanyaan, mengapa Indonesia yang kaya dengan sumber daya alamnya justru gagal membangung kemakmuran, seolah kekayaan tersebut menjadi sebuah kutukan? Mengapa para elit begitu kerasan, begitu merasa “at home” dengan penjajahan ekonomi ini? Jawabannya adalah, pertama, para elit nasional yang bermental Inlander. Negara berkembang yang mudah dijadikan sebagai Negara komprador, negara subordinat, atau negara pelayan kepentingan kapitalisme internasional adalah negara yang para pemimpinnya masih menderita penjajahan mental atau bermental inlander. Selama kolonialisasi mental itu tetap kuat bercokol di benak suatu bangsa dan para pemimpinnya, selama itu pula sulit diharapkan bangsa tersebut betulbetul dapat memelihara kemerdekaan dan kedaulatannya. Dengan kata lain, suatu negara berkembang bisa terlepas dari cengkraman kapitalisme internasional ketika ia mampu membuang penyakit dari dalam dirinya serperti mentalitas terjajah, merasa inferior, perasaan rendah diri



serta penyakit selalu kalah yang pada akhirnya membuahkan kehilangan kepercayaan diri. Di bawah ini bisa dilihat pemimpin Dunia Ketiga yang sudah melepaskan diri dari mentalitas terjajah. Dr. Mahathir Muhammad, ketika Malaysia dihantam krisis moneneter 1997 bersama Korea Selatan, Thailand, Indonesia, dan Filipina, semua negara terjun bebas secara moneter. Semua negara menerima bantuan IMF dengan kadar berlainan, kecuali Malaysia. Mahathir tidak berminat sama sekali menggandeng IMF. Ia tantang habis ortodoksi IMF dan seluruh resepnya ia lawan. Tidak ada modal model SAP (Structural Adjustmen Program),17 ringgit Malaysa tidak diambangkan visa-visa dolar, tidak ada pencabutan subsidi untuk rakyat sendiri. Dan proses pembangunan tidak ada yang berhenti. Karena menolak IMF, Mahathir dicibir dan ditakut-takuti oleh Asing. George Soros menyebutkan Mahathir sebagai bahaya masyarkat dan ancaman buat negerinya sendiri. Semua pengamat ekonomi memprediksi Malaysia bakal hancur. Ternyata Mahathir benar, IMF keliru. Dengan melawan resep dukun ekonomi, IMF, Malaysia justru makin mantap dan kuat. Penghasilan Malaysia melonjak tiga kali lipat dan kemiskinan menurun menjadi 5% dari jumlah penduduk yang sebelumnya mencapai 25%.18 Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa ternyata negara yang mengalami kemajuan pesat adalah negara yang mempunyai pemimpin bermental bebas, merdeka, berdaulat dan mandiri serta percaya diri. Penyebab kedua adalah para elit bangsa terkena perangkap para kapitalis internasional. Jhon Perkins,



melalui bukunya Confessions of an Economic Hit Man mengatakan: Pada akhirnya, para pemimpin itu akan terjerebak didalam belitan utang akan memastikan loyalitas mereka. Kita dapat memanfaatkan mereka kapan pun kita mau – untuk memenuhi kebutuhan politik, ekonomi, atau militer kita. Sebaliknya, mereka memperkuat posisi politis mereka dengan membawa kawasan industri, pembangkit tenga listrik, dan bandar udara kepada rakyat mereka. Para pemilik perusahaan rekayasa/konstruksi Amerika Serikat akan menjadi luar biasa kaya. Kemudian Perkins menyebutkan salah satu targetnya adalah Indonesia. Pada tahun 1971 Perkins datang ke Indonesia dan dia harus bisa meyakinkan bahwa dengan paket-paket kebijakan yang ditawarkan oleh EHM (Economic Hit Man) akan membuat ekonomi di negeri ini akan melesat jauh. Tujuannya, agar Indonesia bisa melayani Washington sebagaimana Shah Iran. Perkins menyadari bahwa elitelit Indonesia pada dasarnya tidak suka akan kehadirnya, bahkan terlihat marah ketika bertemu dengannya, seolah dia datang sebagai seorang pengganggu. Lebih lanjut Perkins mengatakan: Namun, makin banyak waktu kuhaiskan besama orang-orang ini, makin yakin aku jadinya bahwa aku seorang pengganggu, bahwa suatu perintah untuk bekerja sama telah diturunkan dari seorang, dan bahwa mereka tidak mempunyai pilihan selain mematuhinya. Aku sama sekali tidak tahu apakah seorang pejabat pemerintah, seorang bankir, seorang jenderal, atau kedutaan Amerika Serikatlah yang telah mengirimkan perintah itu. Yang



kutahu adalah bahwa walaupun mereka mengundang aku ke dalam kantor mereka, menawari aku teh, dengan sopan menjawab pertanyaanku, dan dengan cara yang jelas tampak menyambut kehadiranku, di bawah permukaan itu ada bayang-bayang kepasrahan dan kebencian. Jika kita cermati kebijakan pemerintah, dari Presiden Suharto hingga Presiden Jokowi, maka bisa dipastikan pengakuan Perkins ini benar. Kita bisa lihat kebijakankebijakan yang dilakukan oleh para presiden tersebut. Misal, Suharto lah yang pertama kali mengesahkan UU Penanaman Modal Asing pada tahun 1967, yang kemudian berdirilah PT. Freeport Sulphur di Papua. Megawati melakukan privatisasi beberapa BUMN, kemudian dilanjutkan oleh SBY dengan menyerahkan SDA asing, yang kebanyakan kepada Amerika, dan Jokowi yang banyak melakukan utang dan pejualan aset negara seperti Gelora Bung Karno, beberapa jalan tol, dll. c)



Kedaulatan Ekonomi Indonesia



Ada pesan yang sangat indah dari proklamator bangsa ini, yaitu Bung Karno dan Bung Hatta. Sikap Bung Karno sangat membatasi eksploitasi sumberdaya alam oleh asing. Beliau mengatakan, “Kita simpan di tanah sampai para insinyur kita mampu menggarap sendiri,” sementara Bung Hatta mengatakan, “ Saya lebih suka melihat Nusantara tenggelam di laut daripada dijajah tuan-tuan” 22 Pesan prokalmator tersebut terwujud dalam Pasal 33 UUD 1945. Walaupun jiwa dari pasal “asas kekeluargaan” sempat ingin dihilangkan oleh Sjahrir, Sri Mulyani, Bambang Soedibyo dan Didie J. Rachbini ketika amandemen tahun 2002 namun berhasil ditentang oleh



Mubyarto. Bahkan menurut Sri-Edi Swasono ketika penulis mengikuti perkuliahannya di Pusat Ekonomi Kerakyatan UGM pada tahun 2012, mereka ingin menafsirkan “dikuasiai oleh negara” berarti Negara mempunyai hak sebesar-besarnya untuk mengatur SDA, termasuk menyerahkannya kepada asing. Namun tafsiran mereka ini dimentahkan oleh Mahkamah Konstitusi, karena tafsiran konstitusi itu otoritasnya MK. Mahkamah Konstitusi menjelaskan: Dalam Pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyaratlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab itu prekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi. Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hidup orang banyak harus dikuasi oleh Negara. Kala tidak tampuk produksi jatuh ke tangan orang-seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasnya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh ada ditangan orangseorang. Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pertanyaannya, tindakan apa yang harus dilakukan untuk memastikan keberlangsungan ekonomi kerakyatan atau ekonomi pancasila? Revrisond Baswir merumuskan



ada sepuluh agenda politik ekonomi kerakyatan yang harus dijalankan, yaitu: 1.



2.



3.



Menyusun arsitektur tata kelola keuangan negara yang baik, meningkatkan kapasitas keuangan daerah, dan untuk memastikan pemanfaatan belanja negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Melakukan renegosiasi pembayaran dan memperjuangkan penghapusan sebagian utang luar negeri Indonesia sebagai upaya untuk mengurangi tekanan terhadap belanja negara dan neraca pembayaran. Penghapusan utang luar negeri terutama perlu dilakukan terhadap utang luar negeri yang tergolong sebagai “utang najis”, yaitu utang luar negeri yang proses pembuatannya sarat dengan manipulasi para kreditur, sedangkan pemanfaatannya cenderung diselewengkan oleh para pejabat yang berkuasa untuk memperkaya diri mereka sendiri. Selanjutnya, pembuatan utang luar negeri baru harus dihentikan, sebab selama ini utang luar negeri lebih banyak ditujukan untuk menjaga keseimbangan neraca pembayaran dan untuk berbagai proyek yang bersifat memfasilitasi penanaman modal asing. Selain tidak bermanfaat terahadap peningkatan kesejahteraan rakyat, jebakan utang membuat pereekonomian semakin terperosok. Merenegosiasikan kontrak-kontrak pertambangan yang merugikan Indonesia denga para kontraktor asing, karena kontrak pertambangan semenjak era Suharto hingga sekarang tidak hanya merugikan Indonesia, tetapi karena didikte oleh para kontraktor asing, maka hal itu mengabaikan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat.



4.



Mengkaji ulang penerapan rezim kurs mengambang dan rezim devisa bebas, serta menyusun ulang arsitektur perbankan nasional. 5. Mengotonomkan dan mendemokratisasikan penyelenggaraan BUMN. Karena pengelolaan BUMN selama ini cenderung didominasi oleh para pejabat pemerintah pusat. Dominasi para pejabat pemerintah ini tidak hanya berakit pada buruknya kualitas pelayanan BUMN, tetapi berdampak berubahnya BUMN menjadi objek sapi perah para penguasa. Belajar dari Malaysia dan Singapura, BUMN dibentuk Holding Company. 6. Melindungi dan memajukan hak-hak dasar para pekerja seperti yang diamanatkan Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 dan 28D ayat 2, yaitu setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. 7. Melakukan roforma agraria, yaitu menegakkan kedaulatan rakyat dalam tata kelola agraria demi terwujudnya keadilan agraria dalam arti yang sesungguhnya. Sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD 1945 dan Pasal 2 Undang-undang Pembaharuan Agraria (UUPA) 1960, negara berhak mengatur peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan lahan pertanian bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 8. Memperkuat perekonomian rakyat melalui pengembangan koperasi. 9. Mengembangkan dan memperkuat pasa domestik. 10. Mengembangkan panti-panti sosial bagi fakir miskin dan anak-anak terlantar yang tersebar secara merata



di seluruh wilayah Indonesia sebagaimana yang diamanatkan Pasal 34 UUD 1945. agenda tersebut tentu harus dijalan agar bangsa ini bisa mencapai kemakmuran dan kesejahteraan sebesarbesarnya, bukan hanya sebagai wacana apalagi sebagai pemanis saat kampanye politik, namun dengan sangat mendesak untuk dilaksanakan.



BAB III Analisis Sosial dan Rekayasa Sosial



A. Paradigma Sosial dan Paradigma Sosiologi a. Paradigma ilmu sosial Paradigma secara sedarhana dapat diartikan sebagai kacamata atau alat pandang, yang dimaksud paradigma sendiri adalah konstelasi teori,pertanyaan, pendekatan, selain dipergunakan oleh suatu nilai dan tema pemikiran. Konstelasi ini dikembangkan dalam rangka memahami kondisi sejarah dan keadaan sosial,untuk memberikan kerangka konsepsi dalam memberi makna realitas sosial. Paradigma sosial yang diuraikan oleh Jurgen Habermas, menurutnya ilmu sosial dapat dibedakan menjadi tiga paradigma sebagai berikut; Pertama, yang disebutnya sebagai instrumental knowledge. Dalam perspektif paradigma ini, pengetahuan lebih dimaksudkan untuk menaklukkan dan mendominasi objeknya yang dimaksud Habermas dengan pengetahuan instrumental ini sesungguhnya adalah paradigma positivisme. Positivisme pada dasarnya adalah ilmu sosial yang dipinjam dari pandangan, metode, dan teknik ilmu alam dalam memahami realitas. Positivisme adalah aliran filsafat yang berakar pada tradisi ilmu sosial yang dikembangkan dengan mengambil cara ilmu alam menguasai benda, yakni dengan kepercayaan adanya universalisme dan generalisasi, melalui metode determinasi, fixed law atau kumpulan hukum teori



(Schoyer, 1973). Positivisme berasumsi bahwa penjelasan sifat universal, artinya cocok atau appropriate untuk semua, kapan saja, di mana saja suatu fenomena sosial. Dengan kata lain, positivisme mensyaratkan pemisahan fakta dan nilai (values) dalam rangka menuju pemahaman objektif atas realitas sosial. Dengan pendekatan seperti itu, ilmu sosial dengan paradigma positivisme lebih mensyaratkan sikap-sikap tertentu yang tercermin dalam metodologi dan teknik kajian mereka. Di antara banyak sikap yang kemudian disebutkan sebagai sikap “ilmiah” tersebut adalah bahwa ilmu sosial dan penelitian sosial haruslah bersikap netral dan tidak memihak. Selain itu, ilmu sosial bagi paradigma positivisme juga tidak boleh bersifat subjektif, melainkan harus objektif, rasional, tidak boleh emosional, komitmen dan empati. Ilmu sosial juga harus mampu menjaga jarak (detachment) terhadap objek studi dan hasil kajian, bersikap universal, dapat diterapkan di mana saja dan kapan saja. Kedua, paradigma interpretative. Latar belakang perkembangan paradigma interpretatif ini dapat ditelusuri dari pergumulan dalam teori ilmu sosial sebelum tahun 1970 ketika telah mulai berkembang suatu tradisi besar terutama di bidang filsafat sosial dengan munculnya fenomenologi, etnometodologi dan teori-teori aksi. Aliran-aliran filsafat ini dapat dipahami dengan baik dengan mengenali perbedaan perbedaan anggapan dasarnya masing-masing. Aliran hermeneutic knowledge atau juga dikenal dengan paradigma interpretative, secara sederhana dapat dijelaskan bahwa pengetahuan dan khususnya ilmu-ilmu sosial dan penelitian sosial dalam



paradigma ini ‘hanya’ dimaksud untuk memahami secara sungguh-- sungguh. Dasar filsafat paradigma interpretative adalah phenomenology dan hermeneutics, yaitu tradisi filsafat yang lebih menekankan minat yang besar untuk memahami. Ketiga, paradigma “paradigma kritik” atau critical/ emancipatory knowledge. Ilmu sosial dalam paradigma ini lebih dipahami sebagai proses katalisasi untuk membebaskan manusia dari segenap ketidakadilan. Melalui kritik yang mendasar terhadap ilmu sosial yang mendominasi (instrumental knowledge), paradigma kritis ini menganjurkan bahwa ilmu pengetahuan terutama ilmu-ilmu sosial tidak boleh dan tidak mungkin bersifat netral. b. Paradigma sosiologi Paradigma sosiologi yang dikembangkan oleh Burnell dan Morgan (1979). Burnell dan Morgan membuat suatu pemetaan paradigma sosiologi yang dapat membantu kita untuk memahami ‘cara pandang’ berbagai aliran dan teori ilmu-ilmu sosial. Secara sederhana mereka mengelompokkan teori sosial ke dalam empat kunci paradigma. Empat paradigma itu dibangun atas pandangan yang berbeda mengenai dunia sosial. Masingmasing pendirian dalam kebenarannya dan melahirkan analisis tentang kehidupan sosial. Sejak tahun 1960-an sesungguhnya telah muncul berbagai aliran pemikiran sosiologi yang dalam perkembangannya justru tidak membantu untuk memperjelas peta paradigma sosiologi. Namun pada awal tahun 1970-an terjadi kebutuhan dalam perdebatan sosiologi mengenai sifat ilmu sosial dan sifat



masyarakat seperti halnya terjadi pada tahun 1960-an. Untuk memecahkan kebuntuan itu mereka usulkan untuk menggunakan kembali unsur penting dari perdebatan 1960-an, yakni cara baru dalam menganalisis empat paradigma sosiologi yang berbeda. Empat paradigma itu ialah: Humanis Radikal, srukturalis radikal, interpretatif dan Fungsionalis. Yang pertama paradigma Humanis Radikal, pada dasamya berminat mengembangkan sosiologi perubahan radikal dari pandangan subjektivis yakni berpijak pada kesadaran manusia. Pendekatan terhadap ilmu sosial sama dengan kaum interpretatif yaitu nominalis, antipositivis, volunteris dan ideografis. humanis radikal cenderung menekankan perlunya menghilangkan atau mengatasi berbagai pembatasan tatanan sosial yang ada. Namun demikian, pandangan dasar yang penting bagi humanis radikal adalah bahwa kesadaran manusia telah dikuasai atau dibelenggu oleh supra struktur idiologis di luar dirinya yang menciptakan pemisah antara dirinya dengan kesadarannya yang murni (alienasi), atau membuatnya dalam kesadaran palsu (false consciousness) yang menghalanginya mencapai pemenuhan dirinya sebagai manusia sejati.oleh karena itu , agenda utamanya adalah memahami kesulitan manusia dalam membebaskan dirinya dari semua bentuk tatanan sosial yang menghambat perkembangan dirinya sebagai manusia. Penganutnya mengecam kemapanan habis-habisan. Proses-proses sosial dilibat sebagai tidak manusiawi. Untuk itu mereka ingin memecahkan masalah bagaimana manusia bisa memutuskan belenggu-belenggu yang mengikat mereka dalam pola-pola sosial yang mapan untuk mencapai harkat kemanusiaannya. Meskipun



demikian, masalah-masalah pertentangan struktural belum menjadi perhatian mereka Paulo Freire misalnya dengan analisisnya mengenai tingkatan kesadaran manusia dan usaha untuk melakukan “konsientisasi”, yang pada dasarnya membangkitkan kesadaran manusia akan sistem dan struktur penindasan, dapat dikategorikan dalam paradigma humanis radikal. Yang kedua paradigma strukturalis Radikal, strukturalis radikal seperti humanis radikal yakni memperjuangkan perubahan sosial secara radikal tetapi dari sudut pandang objektivisme. Pendekatan ilmiah yang mereka anut memiliki beberapa persamaan dengan kaum fungsionalis, tetapi mempunyai tujuan akhir yang saling berlawanan. Analisisnya lebih menekankan pada konflik struktural, bentuk-bentuk penguasaan dan pemerosotan harkat kemanusiaan. Karenanya, pendekatannya cenderung realis, positivis, determinis, dan nomotetis. Kesadaran manusia yang bagi kaum humanis radikal penting, justru oleh mereka dianggap tidak penting. Bagi kaum strukturalis radikal yang lebih penting justru hubungan-hubungan struktural yang terdapat dalam kenyataan sosial yang nyata. Mereka menekuni dasardasar hubungan sosial dalam rangka menciptakan tatanan sosial baru secara menyeluruh. Penganut paradigma strukturalis radikal terpecah dalam dua perhatian, pertama lebih tertarik pada menjelaskan bahwa kekuatan sosial merupakan kunci untuk menjelaskan perubahan sosial. Sebagian mereka lebih tertarik pada keadaan penuh pertentangan dalam suatu masyarakat.



Yang ketiga paradigma interpretative (fenomenologi), Paradigma interpretative sesungguhnya menganut pendirian sosiologi keteraturan, paradigma interpretative menggunakan pendekatan objektivisme dalam analisis sosialnya sehingga hubungannya dengan sosiologi keteraturan bersifat tersirat. Pendekatannya cenderung nominalis, antipositivis dan ideografis. Kenyataan paradigma muncul karena dibentuk oleh kesadaran dan tindakan seseorang. Interpretative sendiri berusaha menyelami jauh ke dalam kesadaran dan subjektivitas pribadi manusia untuk menemukan pengertian apa yang ada di balik kehidupan paradigma. Sungguhpun demikian, anggapan-anggapan dasar mereka masih tetap didasarkan pada pandangan bahwa manusia hidup serba tertib, terpadu dan rapat, kemapanan, kesepakatan, kesetiakawan. Yang keempat paradigma fungsionalis, Paradigma fungsionalisme sesungguhnya merupakan aliran pemikiran yang paling banyak dianut di dunia. Pandangan fungsionalisme berakar kuat pada tradisi sosiologi keteraturan. Pendekatannya terhadap permasalahan berakar pada pemikiran kaum obyektivis. Pemikiran fungsionalisme sebenarnya merupakan sosiologi kemapanan, ketertiban paradigma, stabilitas paradigma, kesepakatan, keterpaduan paradigma, kesetiakawanan, pemuasan kebutuhan, dan hal-hal yang nyata (paradigma). Oleh karenanya, kaum fungsionalis cenderung realis dalam pendekatannya, positivis, deterministis dan nomotetis. Rasionalitas lebih diutamakan dalam menjelaskan peristiwa atau realitas paradigma. Paradigma ini juga lebih berorientasi pragmatis, artinya berusaha melahirkan pengetahuan yang



dapat diterapkan, berorientasi pada pemecahan masalah yang berupa langkah-langkah praktis untuk pemecahan masalah praktis juga. Paradigma ini pada dasamya berusaha menerapkan metode pendekatan pengkajian masalah paradigma dan kemanusiaan dengan cara yang digunakan ilmu alam dalam memperlakukan objeknya. Pada tahun 1940-an pemikiran sosiologi “perubahan radikal” mulai menyusupi kubu kaum fungsionalis untuk meradikalisasi teori-teori fungsionalis. Sungguh telah terjadi persentuhan dengan paradigma lain, paradigma fungsonalis tetap saja secara mendasar menekankan pemikiran objektivisme dan realitas paradigma untuk menjelaskan keteraturan paradigma. Karena persentuhan dengan paradigma lain itu sebenarnya telah lahir beragam pemikiran yang berbeda atau campuran dalam paham fungsionalis. B. ANALISA SOSIAL (ANSOS) a. Apakah Analisa Sosial itu? Suatu proses analisa sosial adalah usaha untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap tentang situasi sosial, hubungan-hubungan argument, kultural dan historis. Sehingga memungkinkan menangkap dan memahami realitas yang sedang dihadapi. Suatu analisis pada dasarnya “mirip” dengan sebuah “penelitian akademis” yang berusaha menyingkap suatu hal atau aspek tertentu. Dalam proses ini yang dilakukan bukan sekedar mengumpulkan data, berita atau angka, melainkan berusaha membongkar apa yang terjadi sesungguhnya, bahkan menjawab mengapa demikian, dan menemukan pula faktor-faktor apa yang memberikan



pengaruh kepada kejadian tersebut. Lebih dari itu, analisis sosial, seyogiyanya/sepatututnya mampu memberikan prediksi ke depan: kemungkinan apa yang tetjadi. Analisa sosial merupakan upaya untuk mengurai logika, nalar, struktur, atau kepentingan dibalik sebuah fenomena sosial. Analisa sosial bukan semata deskripsi sosiologis dari sebuah fenomena sosial. Analisa sosial hendak menangkap logika argument atau nalar dibalik sebuah gejala sosial. Analisa sosial dengan demikian material, empiris, dan bukan sebaliknya, mistis, atau spiritualistic/keyakinan. Analisa sosial menafsirkan gejala sosial sebagai gejala material. Kekuatan dan gagasan ideologis dibalik gejala sosial harus dianalisa. • 1. 2.



3. • 1.



2.



Wilayah Analisa Sosial Sistem-sistem yang beroperasi dalam suatu masyarakat. Dimensi-dimensi obyektif masyarakat (organisasi sosial, lembaga-lembaga sosial, pola perilaku, kekuatan-kekuatan sosial masyarakat). Dimensi-dimensi subyektif masyarakat (argument, nalar, kesadaran, logika berpikir, nilai, norma, yang hidup di masyarakat). Pendekatan Dalam Analisa Sosial Historis: dengan mempertimbangkan konteks struktur yang saling berlainan dari periode-periode berbeda, dan tugas strategis yang berbeda dalam tiap periode. Struktural: dengan menekankan pentingnya pengertian tentang bagaimana masyarakat dihasilkan dan dioperasikan, serta bagaimana pola lembaga-



lembaga sosial saling berkaitan dalam ruang sosial yang ada. b. Bagaimana Hasil Analisa Sosial? Hasil dari analisa tersebut dapat dikatakan hanya merupakan kebenaran argument, yang 84 rgu berubah sesuatu dengan fakta atau data dan temuan-temuan yang baru. Dengan demikian, analisa ini bersifat dinamis, terus bergerak, memperbarui diri, dikaji ulang dan terus harus diperkuat dengan fakta-fakta pendukung. Hasil analisa bukan suatu dogma, atau sejenis kebenaran tunggal. ➢ Batas Analisa Sosial 1. Analisa sosial bukanlah kegiatan monopoli intelektual, akademisi, atau peneliti. Siapapun dapat melakukan analisa sosial. 2. Analisa sosial tidaklah bebas nilai. 3. Analisa sosial memungkinkan kita bergulat dengan asumsi-asumsi kita, mengkritik, dan menghasilkan pandangan-pandangan baru. ➢ Signifikansi Analisa Sosial 1. Untuk mengidentifikasikan dan memahami persoalan-persoalan yang berkembang (ada) secara lebih mendalam dan seksama (teliti); berguna untuk membedakan mana akar masalah (persoalan mendasar) dan mana yang bukan, atau mana yang merupakan masalah turunan. 2. Akan dapat dipakai untuk mengetahui potensi yang ada (kekuatan dan kelemahan) yang hidup dalam masyarakat.



➢ Orientasi Analisa Sosial 1. Analisa sosial jelas didedikasikan dan diorientasikan untuk keperluan perubahan. 2. Analisa sosial adalah watak mengubah yang dihidupkan dalam proses identifikasi. Justru karena itu pula, maka menjadi jelas bahwa analisa sosial merupakan salah satu titik simpul dari proses mendorong perubahan. 3. Analisa sosial akan menghasilkan semacam peta yang memberikan arahan dan dasar bagi usaha-usaha perubahan. ➢ Prinsip-Prinsip Analisa Sosial 1. Analisa sosial bukan suatu bentuk pemecahan masalah, melainkan hanya diagnosis (pencarian akar masalah), yang sangat mungkin digunakan dalam menyelesaikan suatu masalah, karena analisa sosial memberikan pengetahuan yang lengkap, sehingga diharapkan keputusan atau tindakan yang diambil dapat merupakan pemecahan yang tepat. 2. Analisa sosial tidak bersifat netral, selalu berasal dari keberpihakan terhadap suatu keyakinan. Soal ini berkait dengan perspektif, asumsi-asumsi dasar dan sikap yang diambil dalam proses melakukan analisa. Karena pernyataan di atas, maka analisa sosial dapat digunakan oleh siapapun. 3. Analisa sosial lebih memiliki kecenderungan mengubah; tendensi untuk menggunakan gambaran yang diperoleh dari analisa sosial bagi keperluan tindakan-tindakan mengubah, maka menjadi sangat jelas bahwa analisa sosial berposisi sebagai salah satu simpul dan siklus kerja transformasi.



4.



Analisa sosial selalu menggunakan ‘tindakan manusia’ sebagai sentral atau pusat dalam melihat suatu fenomena nyata.



➢ Tahap-Tahap Analisa Sosial 1. Tahap menetapkan posisi, orientasi: pada intinya dalam tahap ini, pelaku analisa perIu mempertegas dan menyingkap motif serta argument (ideologis) dari tindakan analisa sosial. 2. Tahap pengumpulan dan penyusunan data: tujuan dan maksud dari tahap ini, agar analisa memiliki dasar rasionalitas yang dapat diterima akal sehat. Ujung dari pengumpulan data ini adalah suatu upaya untuk merangkai data, dan menyusunnya menjadi diskripsi tentang suatu persoalan. 3. Tahap analisa: pada tahap ini, data yang telah terkumpul diupayakan untuk dicari atau ditemukan hubungan diantaranya. ➢ 1. 2. 3. 4.



Telaah dalam melakukan analisa sosial Kaitan Historitas (Sejarah Masyarakat). Kaitan Struktur. Nilai. Reaksi yang berkembang dan arah masa depan.



➢ Model Telaah dalam Analisa Sosial 1. Telaah Historis, dimaksudkan untuk melihat ke belakang. Asumsi dasar dari telaah ini bahwa suatu peristiwa tidak dengan begitu saja hadir, melainkan melalui sebuah proses sejarah. Dengan ini, maka kejadian, atau peristiwa dapat diletakkan dalam kerangka masa lalu, masa kini dan masa depan.



2.



3.



4.



5.



Telaah Struktur.Analisa ini sangat tajam dalam melihat apa yang ada, dan mempersoalkan apa yang mungkin tidak berarti digugat. Struktur yang akan dilihat adalah: ekonomi (distribusi sumberdaya); politik (bagaimana kekuasaan dijalankan); sosial (bagaimana masyarakat mengatur hubungan di luar politik dan ekonomi); dan budaya (bagaimana masyarakat mengatur nilai). Telaah Nilai. Penting pula untuk diketahui tentang apa nilai-nilai yang dominan dalam masyarakat. Mengapa demikian. Dan siapa yang berkepetingan dengan pengembangan nilai-nilai tersebut. Telaah Reaksi. Melihat reaksi yang berkembang berarti mempersoalkan mengenai siapa yang lebih merupakan atau pihak mana yang sudah bereaksi, mengapa reaksi muncul dan bagaimana bentuknya. Telaah ini penting untuk menuntun kepada pemahaman mengenai “peta” kekuatan yang bekerja. Telaah Masa Depan. Tahap ini lebih merupakan usaha untuk memperkirakan atau meramalkan, apa yang terjadi selanjutnya. Kemampuan untuk memberikan prediksi (ramalan) akan dapat menjadi indikasi mengenai kualitas tahap-tahap sebelumnya.



➢ Tahap Penarikan Kesimpulan Analisa Sosial Pada tahap ini, setelah berbagai aspek tersebut ditemukan, maka pada akhirnya suatu kesimpulan akan diambil; kesimpulan merupakan gambaran utuh dari suatu situasi, yang didasarkan kepada hasil analisa. Dengan demikian kualitas kesimpulan sangat bergantung dari proses tahaptahap analisa, juga tergantung pada kompleksitas isu, kekayaan data dan akurasi data yang



tersedia, ketepatan pertanyaan atau rumusan terhadap masalah, dan kriteria yang mempengaruhi penilaianpenilaian alas unsur-unsur akar masalah. ➢ Dasar Penarikan Kesimpulan Analisa Sosial Yang tidak kalah penting adalah menemukan apa yang menjadi akar masalah. Untuk menemukan akar masalah dapat dituntun dengan pertanyaan: mengapa? Untuk sampai kepada akar masalah, maka penting dilakukan kualifikasi secara ketat, guna menentukan faktor mana yang paling penting. Kesimpulan tidak lain berbicara mengenai faktor apa yang memberikan pengaruh paling dominan (paling kuat) dan demi kepentingan siapa unsur akar tersebut bekerja. Sebagaimana diungkapkan di depan, kesimpulan tidak menjadi sesuatu yang final, melainkan akan mungkin diperbaiki menurut temuan-temuan atau data baru. C. REKAYASA SOSIAL (REKSOS) Rekayasa sosial merupakan suatu gerakan untuk mencapai perubahan sosial yang terencana. Perubahan sosial yang dimaksud adalah perubahan yang mengarah ke yang lebih baik sehingga perubahan tersebut harus dilakukan terencana. Rekayasa sosial timbul karena adanya sentimen atas kondisi manusia. Sehingga perlu perubahan cara pandang/paradigma manusia. a.



Rekayasa sosial sebagai alat kontrol Manusia Dalam kehidupan bermasyarakat terdapat beberapa cara penyelesaian konflik yang berujung terciptanya konflik baru. Sehingga rekayasa sosial dimaksudkan untuk mengubah cara pandang manusia kearah yang



benar demi tercapainya suatu tujuan tertentu. Pada dasarnya pola-pola kontrol sosial tidak dimaksudkan untuk mengendalikan masyarakat tetapi lebih kepada cara untuk membuka ruang bagi masyarakat untuk beraktualisasi sehingga dapat terlihat jelas peran dari masyarakat tersebut dalam proses perubahan sosial. b. Rekayasa sosial sebagai alat politik Politik dan rekayasa sosial tidak bias dipisahkan karena keduanya bertujuan mengorganisir masyarakat untuk mencapai tujuan tertentu. Tetapi rekayasa sosial memiliki ruang lingkup yang lebih luas dan tidak terbatas pada permasalahan kekuasaan semata. Dalam dinamika politik, rekayasa sosial kerap digunakan untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat. Politik mampu memicu adanya perubahan sosial apabila masyarakat ikut berpartisipasi sebagai eksekutor dari perubahan itu tetapi tidak hanya pemerintah, masyarakat pada pada umumnya mempunyai pola yang berbeda satu dengan yang lainnya dalam menginterpresentasikan jalan kepada perubahan sosial ini. Sehingga keseragaman pemikiran akan hal ini perlu dilakukan agar perubahan sosial ini dapat lebih mudah direalisasikan. c. Rekayasa sosial sebagai pemersatu Bangsa Rekayasa sosial merupakan alat yang mampu mengintegrasikan masyarakat, hal ini dikarenakan adanya tujuan yaitu perubahan ataupun mengendalikan stagnasi akibat keadaan yang telah memenui syarat sebagai masyarakat yang sejahtera. Seperti dalam sejarah Indonesia bahwa kemerdekaan diraih atas keinginan



melepaskan diri dari penjajahan, keinginan yang timbul disebabkan oleh keadaan yangsama dan perasaan sepenanggunan pun timbul karena hal tersebut. D. ANALISIS WACANA MEDIA Wacana merupakan komunikasi pikiran dengan katakata; ekspresi ide-ide atau gagasan-gagasan; konversasi atau percakapan. Komunikasi secara umum sebagai suatu subjek studi atau pokok telaah. Berikut ini wacana menurut beberapa tokoh : -



Sudjiman Wacana ialah rekaman kebahasaan yang utuh tentang peristiwa komunikasi, biasanya terdiri atas seperangkat kalimat yang mempunyai hubungan pengertian yang satu dengan yang lain. Komunikasi itu dapat menggunakan bahasa lisan, dan dapat pula menggunakan bahasa tulisan. - Firth, Samsuddin Pembahasan wacana pada dasarnya merupakan pembahasan terhadap hubungan antara konteks-konteks yang terdapat di dalam teks. Pembahasan itu bertujuan menjelaskan hubungan antara kalimat atau antara ujaran (utterances) yang membentuk wacana. - Foucault, Mills Kontekstual Teoretis: Wacana berarti domain umum dari semua pernyataan, yaitu semua ujaran/ teks yang mempunyai makna & efek dalam dunia nyata. Konteks Penggunaan: Wacana berarti sekumpulan pernyataan yang dapat dikelompokan kedalam kategori konseptual tertentu (Misalnya: imperealisme/ feminisme) Metode Penjelasan: Wacana berarti suatu praktik yang diatur untuk menjelaskan sejumlah pernyataan.



• -



• • -



-



a.



Kebutuhan Dasar Wacana Keinginan untuk memberi informasi kepada orang lain mengenai suatu hal. Keinginan untuk meyakinkan seseorang mengenai kebenaran suatu hal dan mempengaruhi sikap/pendapat orang lain. Keinginan untuk mendeskripsikan cita-rasa suatu bentuk, wujud, objek. Keinginan untuk menceritakan kejadian atau peristiwa yang terjadi. Bentuk Retorika Wacana Wacana Transaksional: yang dipentingkan ialah ‘isi’ komunikasi. Wacana Interaksional: yang dipentingkan hubungan timbal balik antara penyapa (addresses) dan pesapa (addressee). Otoritas Analisis Wacana Dalam Linguistik: Analisis wacana digunakan untuk menggambarkan sebuah struktur yang luas melebihi batasan-batasan kalimat. Dalam Teks Tertulis: Analisis wacana bertujuan untuk mengeksplisitkan norma-norma & aturanaturan bahasa yang implisit. Analisis wacana bertujuan untuk menemukan unit-unit hierarkis yang membentuk suatu struktur diskursif. Bahasa



Manusia adalah mahluk berfikir. Demikian tesis klasik yang kita temukan dalam dunia filsafat. Konsekuensi logis dari tesis ini, bahwa manusia adalah



mahluk berbahasa. Hubungan pikiran dan bahasa sangat erat. Bahasa menunjukkan jalan pikiran seseorang. Dalam bahasa terdapat sesuatu kekuatan yang tidak tampak yang diberi nama komunikasi. Dalam filsafat bahasa dikatakan, bahwa orang yang mencipta realitas dan menatanya lewat bahasa. Bahasa mengangkat kepermukaan hal yang tersembunyi sehingga menjadi kenyataan. Bahasa dapat dipakai untuk menghancurkan realitas orang lain. Bahasa dapat menjadi tiran. 3 fungsi bahasa, yaitu : 1.



2. 3.



Fungsi Ideasional: untuk membentuk, mempertahankan dan memperjelas hubungan diantara anggota masyarakat. Fungsi Interpersonal: untuk menyampaikan informasi diatara anggota masyarakat. Fungsi Tekstual: untuk menyediakan kerangka, pengorganisasian diskursus (wacana) yang relevan dengan situasi (features of the situation).



b. Makna Makna merupakan kata yang subjektif. Para ahli filsafat dan linguis, membedakan antara struktur logis dan struktur bahasa, sehingga memudahkan kita untuk membedakan antara ungkapan yang tidak mengandung makna (meaningless) dan yang mengandung arti (meaningfull). Dalam konteks wacana, makna dapat dibatasi sebagai “hubungan antara bentuk dengan hal/ barang yang diwakilinya (referen-nya)”. Kata rumah: adalah bentuk/ ekspresi. Barang yang diwakili oleh kata rumah: sebuah



bangunan yang beratap, berpintu, berjendela yang menjadi tempat tinggal manusia. Barang itu disebut referen. Hubungan bentuk dan referen menimbulkan makna/ referensi. Makna atau referensi kata rumah timbul akibat hubungan antara bentuk itu dengan pengalaman-pengalaman non linguistik atau barang yang ada di alam. Makna yang dikode oleh pemirsa terjadi dalam ruang yang berbeda dan individu yang berbeda berdasarkan pada kemampuan kognitif dan kemampuan afektif pemirsa. Makna yang dikode oleh pemirsa tergatung pada bagaimana individu melakukan dekonstruksi terhadap iklan televisi/ tulisan di media cetak. Setiap individu memiliki kebebasan menentukan metode interpretasi, termasuk kepentingan dalam melakukan dekonstruksi. c.



Bias Media



Bias media terjadi karena media tidak berada dalam ruang vakum. Media sesungguhnya berada ditengah realitas sosial yang sarat dengan berbagai kepentingan, konflik dan fakta yang kompleks dan beragam. Althusser dan Gramsci sepakat bahwa media massa bukan sesuatu yang bebas, independen, tetapi memiliki keterkaitan dengan realitas sosial. Ada berbagai kepentigan yang bermain dalam media massa. Kepentingan ideologis antara masyarakat dan negara, juga kepentingan lain, misalnya; kepentingan kapitalisme pemilik modal, kepentingan keberlangsungan (suistainabilitas) lapangan kerja bagi para karyawan. Dalam kondisi ini media harus bergerak dinamis diantara pusaran yang bermain. Hal



inilah yang menyebabkan bias berita di media yang sulit dihindari. Faktor penyebab bias media sendiri adalah kapasitas dan kualitas pengelola media, kuatnya kepentingan yang sedang bermain dalam realitas sosial, taraf kekritisan dari masyarakat. Dari ketiga faktor tersebut menimbulkan derajat bias media yang berbeda-beda. Makna bahasa dapat menimbulkan bias, dalam sebuah penelitian terhadap fenomena perkosaan dalam pemberitaan surat kabar Kedaulatan Rakyat dan Suara Merdeka, ditemukan 22 kata yang digunakan untuk menggantikan kata “perkosaan”, yaitu: 1) merenggut kegadisan, 2) mencabuli, 3) menggauli, 4) menggagahi, 5) menakali, 6) dianui, 7) dikumpuli, 8) menipu luar dalam, 9) digilir, 10) dinodai, 11) digarap, 12) dihamili, 13) korban cinta paksa, 14) dipaksa berhubungan intim, 15) berbuat tidak senonoh, 16) memaksa bersetubuh, 17) korban kuda-kudaan, 18) memaksa memenuhi nafsu birahi, 19) dipaksa melayani, 20) melakukan perbuatan asusila, 21) digelandang, 22) dipaksa melakukan permainan ibu-ibuan. Pilihan atau pemakaian istilah tersebut jelas menimbulkan bias. Politik pemberitaan media berhubungan dengan strategi media dalam meliput peristiwa, memilih dan menampilkan fakta serta dengan cara apa fakta itu disajikan yang secara langsung atau tidak berpengaruh dalam merekonstruksi media. Makna media tidak bergantung pada struktur makna itu sendiri, tetapi lebih kepada praktik pemaknaan. Makna adalah suatu produksi sosial, suatu praktik konstruksi. Media massa pada



dasarnya tidak mereproduksi, melainkan menentukan (to define) realitas melalui pemakaian kata-kata yang dipilih. Makna tidak secara sederhana bisa dianggap sebagai produksi dalam bahasa, tetapi sebuah pertentangan sosial (social struggle) sebuah perjuangan dalam memenangkan wacana. Pemaknaan yang berbeda merupakan arena pertarungan tempat memasukkan bahasa didalamnya. Bahasa Sebagai Sistem Simbol Proses komunikasi sebenarnya mencakup pengiriman pesan dari sistem saraf seseorang kepada sistem saraf orang lain, dengan maksud untuk menghasilkan sebuah makna yang sama dengan yang ada dalam benak si pengirim. Pesan verbal melakukan hal tersebut melalui kata-kata, yang merupakan unsur dasar bahasa, dan kata-kata sudah jelas merupakan simbol verbal. Bahasa adalah kombinasi kata yang diatur secara sistematis sehingga bisa digunakan sebagai alat komunikasi. Kata itu sendiri merupakan bagian integral dari simbol yang dipakai oleh kelompok masyarakat. Oleh karena itu kata bersifat simbolis. Teori Wacana dalam Tradisi Filsafat Aliran strukturalisme berpendapat bahwa arti bahasa tidak tergantung dari maksud pembicara atau pendengar ataupun dari referensinya pada kenyataan tertentu; arti bergantung pada struktur makna itu sendiri. Yang dimaksud struktur disini ialah jaringan hubungan intern elemen-elemen terkecil bahasa yang membentuk suatu kesatuan otonom yang tertutup. Pendekatan Analisis Wacana



Pertama, analisis wacana seluruhnya mengenai caracara wacana disusun, prinsip yang digunakan oleh komunikator untuk menghasilkan dan memahami percakapan atau tipe-tipe pesan lainnya. Kedua, Analisis wacana dipandang sebagai aksi, cara melakukan segala hal dengan kata-kata. Ketiga, Analisis wacana adalah suatu pencarian prinsip-prinsip yang digubakan oleh komunikator aktual dari perspektif mereka. Wacana Tulis, Teks & Konteks Tulisan bukan cuma sekedar “literal pictographic” atau sekedar inskripsi yang bersifat ideografik, tetapi tulisan dapat merupakan suatu totalitas, termasuk kemampuannya untuk melampaui apa yang hanya bisa ditunjuk secara fisik). Teks adalah fiksasi atau pelembagaan sebuah peristiwa wacana lisan dalam bentuk tulisan. Konteks memasukkan semua situasi dan hal yang berada diluar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam bahasa, situasi dimana teks tersebut diproduksi, fungsi yang dimaksudkan, dsb. Berikut ini beberapa konteks, yaitu konteks fisik (physical context), yang meliputi tempat terjadinya pemakaian bahasa dalam suatu komunikasi, objek yang disajikan dalam suatu peristiwa komunikasi itu, dan tindakan atau peilaku dari para peran dalam peristiwa komunikasi itu. konteks epistemis (epistemic context), yaitu latar belakang pengetahuan yang sama-sama diketahui oleh pembicara maupun pendengar. konteks linguistik (linguistic context), yaitu terdiri atas kalimat-kalimat atau tuturantuturan yang mendahului satu kalimat atau tuturan



tertentu dalam peristiwa komunikasi. konteks sosial (social context), yaitu relasi sosial dan latar setting yang melengkapi hubungan antara pembicara (penutur) dengan pendengar. Wacana dan Ideologi Implikasi ideologi terhadap wacana; 1) ideologi secara inheren bersifat sosial, tidak personal atau individual, ia membutuhkan share diantara anggota kelompok, organisasi atau kolektifitas, 2) ideologi meskipun bersifat sosial, ia digunakan secara internal diatara anggota kelompok atau komunitas. Wacana tidak bisa menempatkan bahasa secara tertutup, tetapi harus melihat konteks, terutama bagaimana ideologi dari kelompok-kelompok yang ada tersebut berperan dalam membentuk wacana. Dalam teks berita misalnya, dapat dianalisis apakah teks yang muncul tersebut pencerminan dari ideologi seseorang, apakah feminis, kapitalis, sosialis, dsb. Karakteristik Analisis Wacana Pertama, dalam analisisnya analisis wacana lebih bersifat kualitatif dibandingkan analisis isi yang umumnya kuantitatif. Kedua, analisis isi kuantitatif pada umumnya hanya digunakan untuk membedah muatan teks komunikasi yang bersifat manifest (nyata), analisis wacana berpretensi memfokuskan pada pesan latent (tersembunyi). Ketiga, analisis isi kuantitatif hanya dapat mempertimbangkan “apa yang dikatakan” (what) tetapi tidak dapat menyelidiki “bagaimana ia dikatakan” (how). Keempat, analisis wacana tidak berpretensi melakukan



generalisasi. Karena peristiwa selalu bersifat unik, karena itu tidak dapat diperlakukan prosedur yang sama untuk isu dan kasus yang berbeda. Kerangka Analisis Wacana (Elemen Wacana Van Dijk)



Struktur wacana



Hal yang diamati



Elemen



TEMATIK Super struktur



Topic (apa yang dikatakan) SKEMATIK



Struktur mikro



Struktur mikro



(bagaimana pendapat disusun dan dirangkai?)



Skema



SEMANTIK



Latar, detail, maksud, praanggapan, nominalisasi



(makna yang ingin ditekankan dalam teks berita) SINTAKSIS



Struktur mikro



(bagaimana pendapat disampaikan)



bentuk kalimat, koherensi, kata ganti



STILISTIK Struktur mikro



(pilihan kata apa yang dipakai)



leksikon



RETORIS Struktur mikro



(bagaimana dan dengan cara apa penekanan dilakukan)



Grafis, metafora, ekspresi



Tematik: Informasi yang paling penting atau inti pesan yang ingin disampaikan oleh komunikator. Skematik: dalam konteks penyajian berita ada dua kategori skema besar, 1) Summary; yang ditandai judul (head line) & teras berita (lead), 2) Story; isi berita secara keseluruhan. Semantik: makna tertentu dalam suatu bangunan teks, dimensi teks, presupposition, makna yang implisit atau eksplisit, makna yang sengaja disembunyikan. Struktur wacana juga bisa menggiring kearah tertentu dari suatu peristiwa. Sintaksis: seluk beluk wacana, kalimat, klausa dan frase. Dianalisis dari koherensi, bentuk kalimat, kata ganti. Stilistik: gaya bahasa yang digunakan penulis untuk menyampaikan maksudnya. Peristiwa yang sama dapat digambarkan dengan pilihan kata yang berbeda-beda. Pilihan leksikal atau diksi pada dasarnya menandakan bagaimana seseorang melakukan pemilihan kata atai frase atas berbagai kemungkinan kata yang tersedia. Retoris: gaya yang diungkapkan ketika seseorang berbicara atau menulis. Misalnya hiperbolik (pemakaian kata yang berlebihan), repetisi (pengulangan), aliterasi (pemakaian kata seperti sajak), interaksi (bagaimana penulis menempatkan diri diatara khalayak), metafora (makna kiasan) visual image (membuat anggapan)



BAB IV Advokasi dan Manajemen Aksi A. STUDI ADVOKASI DASAR a. Definisi Advokasi Advocate dalam bahasa Inggris dapat berarti menganjurkan, memajukan (to promote), menyokong atau memelopori. Dengan kata lain, advokasi juga bisa diartikan melakukan ‘perubahan’ secara terorganisir dan sistematis. Menurut Mansour Faqih, Alm., dkk, advokasi adalah usaha sistematis dan terorganisir untuk mempengaruhi dan mendesakkan terjadinya perubahan dalam kebijakan publik secara bertahapmaju (incremental). Julie Stirling mendefinisikan advokasi sebagai serangkaian tindakan yang berproses atau kampanye yang terencana/terarah untuk mempengaruhi orang lain yang hasil akhirnya adalah untuk merubah kebijakan publik. Sedangkan menurut Sheila Espine-Villaluz, advokasi diartikan sebagai aksi strategis dan terpadu yang dilakukan perorangan dan kelompok untuk memasukkan suatu masalah (isu) kedalam agenda kebijakan, mendorong para pembuat kebijakan untuk menyelesaikan masalah tersebut, dan membangun basis dukungan atas kebijakan publik yang diambil untuk menyelesaikan masalah tersebut.



b. Pijakan Advokasi Dalam literature sosial, advokasi secara umum dapat didefinisikan sebagai serangkaian gerakan sistemik, terorganisir, yang dilakukan dengan sadar, untuk mendorong perubahan sosial dalam kerangka system yang ada. Yang menjadi pusat pijakan advokasi adalah nilainilai keadilan, kebenaran, accountability, transparansi, dan nilai-nilai luhur lainnya. c.



Jenis Advokasi Advokasi secara umum dibagi menjadi dua, pertama advokasi litigasi. Kedua, advokasi nonlitigasi. 1.



2.



Advokasi litigasi adalah advokasi yang dilakukan sampai ke pengadilan untuk memperoleh keputusan hukum yang pasti atau resmi. Advokasi litigasi memiliki beberapa bentuk seperticlass-action, judicial review, dan legal standing. Sedangkan advokasi nonlitigasi dapat berupa pengorganisasian masyarakat, negosiasi, desakan massa (demosntrasi, mogok makan, pendudukan, dan lainnya) untuk memperjuangkan haknya.



d. Sistem Hukum Dalam Advokasi Pertama, isi hukum (content of law) yakni uraian atau penjabaran tertulis dari suatu kebijakan yang tertuang dalam bentuk UU, PP, Keppres dan lain sebagainya atau karena adanya ‘kesepakatan umum’ (konvensi) tidak tertulis yang dititikberatkan pada naskah (teks) hukum tertulis atau aspek tekstual dari sistem hukum yang berlaku.



Kedua, tata laksana hukum (structure of law) yang merupakan seperangkat kelembagaan dan pelaksana dari isi hukum yang berlaku. Dalam pengertian ini tercakup lembaga-lembaga hukum (pengadilan, penjara, birokrasi, partai politik dll) dan para aparat pelaksananya (hakim, jaksa, pengacara, polisi, tentara, pejabat pemerintah, anggota parlemen). Ketiga, adalah budaya hukum (culture of law) yakni persepsi, pemahaman, sikap penerimaan, praktek-praktek pelaksanaan, penafsiran, penafsiran terhadap dua aspek hukum diatas, isi dan tatalaksana hukum. Oleh karena itu idealnya suatu kegiatan atau program advokasi harus mencakup sasaran perubahan ketiga-tiganya. Dengan demikian, suatu kegiatan advokasi yang baik adalah yang secara sengaja dan sistematis didesain untuk mendesakkan terjadinya perubahan, baik dalam isi, tatalaksana maupun budaya hukum yang berlaku. Perubahan itu tidak harus selalu terjadi dalam waktu yang bersamaan, namun bisa saja bertahap atau berjenjang dari satu aspek hukum tersebut yang dianggap merupakan titik-tolak paling menentukan. e.



Kerangka Kerja Advokasi Proses-proses legislasi dan juridiksi, yakni kegiatan pengajuan usul, konsep, penyusunan academic draft hingga praktek litigasi untuk melakukan judicial review, class action, legal standing untuk meninjau ulang isi hukum sekaligus membentuk preseden yang dapat mempengaruhi keputusan-keputusan hukum selanjutnya. Proses-proses politik dan birokrasi, yakni suatu upaya atau kegiatan untuk mempengaruhi pembuat dan



pelaksana peraturan melalui berbagai strategi, mulai dari lobi, negoisasi, mediasi, tawar menawar, kolaborasi dan sebagainya. Proses-proses sosialisasi dan mobilisasi, yakni suatu kegiatan untuk membentuk pendapat umum dan pengertian yang lebih luas melalui kampanye, siaran pers, unjuk rasa, boikot, pengorganisasian basis, pendidikan politik, diskusi publik, seminar, pelatihan dan sebagainya. Untuk membentuk opini publik yang baik, dalam pengertian mampu menggerakkan sekaligus menyentuh perasaan terdalam khalayak ramai, keahlian dan ketrampilan untuk mengolah, mengemas isu melalui berbagai teknik, sentuhan artistik sangat dibutuhkan. f. 1.



2.



3.



4.



Aspek-Aspek Strategi Advokasi dalam advokasi kita harus menentukan target yang jelas. Maksudnya kita harus menentukan kebijakan publik macam apa yang akan kita ubah. Apakah itu UU, Perda atau produk hukum lainnya. kita juga harus menentukan prioritas mengingat tidak semua kebijakan bisa diubah dalam waktu yang cepat. Karena itu, kita harus menentukan prioritas mana dari masalah dan kebijakan yang akan diubah. realistis. Artinya bahwa kita tidak mungkin dapat mengubah seluruh kebijakan public. Oleh karena itu kita harus menentukan pada sisi-sisi yang mana kebijakan itu harus dirubah. Misalnya pada bagian pelaksanaan kebijakan, pengawasan kebijakan atau yang lainnya. batas waktu yang jelas. Alokasi waktu yang jelas akan menuntun kita dalam melakukan tahaptahap



5.



6.



kegiatan advokasi, kapan dimulai dan kapan akan selesai. dukungan logistik. Dukungan sumber daya manusia dan dana sangat dibutuhkan dalam melakukan kegiatan advokasi. analisa ancaman dan peluang.



g. 1. 2. 3.



Kebutuhan Sebelum Melakukan Advokasi Memiliki jumlah anggota aktif yang memadai Mampu menjangkau ke banyak kelompok massa Mampu membangun aliansi dengan kelompok lain yang kuat 4. Memiliki kelompok inti yang terdiri dari orang-orang yang berpengaruh dan dikenal luas 5. Memiliki kredibilitas 6. Mempunyai legitimasi 7. Memiliki informasi yang cukup dan memadai 8. Mampu merumuskan issu 9. Memiliki kemampuan dan kewenangan yang diakui dan dihormati 10. Memiliki keteguhan moral h. Riset advokasi dan Riset Akademis Keterangan Riset Akademis Tujuan



Manfaat



◆ Pembuktian Teori / Hipotesis ◆ Kebenaran Ilmiah ◆ Pengakuan Akademis ◆ Pengembangan Teori



Riset A



◆ Pembuktian Ka ◆ Kebenaran issu



◆ Pengakuan hak publik yang le masyarakat ◆ Umpan balik p



Isi dan Objek



Metodologi



Pelaksan Penyajian Hasil



◆ Teori / hipotesa ilmiah ◆ Fakta/data berkaitan dengan teori atau hipotesis tersebut ◆ Nomotetik (harus objektif, netral, sistematika baku, umumnya kuantitatif) ◆ Pakar, Profesional



◆ ◆



◆ Sangat rinci, dingin, penuh data, pakai istilah teknis ◆ Sistematika baku, hippotesa, data, pembuktian, baru kesimpulan ◆ Bentuk resmi/formal ◆ Harus disajikan oleh peneliti



◆ ◆ ◆ ◆ ◆



◆ ◆



◆ i.



Tahapan Advokasi Membentuk lingkar inti: Langkah pertama dari proses advokasi adalah memebentuk lingkar inti, yaitu kumpulan orang atau organisasi yang menjadi penggagas serta pengendali utama seluruh kegiatan advokasi. Sedemikian pentingnya posisi ini, sehingga orang atau organisasi yang berada didalamnya haruslah memiliki kesamaan visi dan analisis (bahkan ideologi) yang jelas terhadap issu yang diadvokasi. Memilih issu strategis: Tugas pertama dari lingkar inti adalah merumuskan issu tertentu yang diadvokasi. Issu yang dirumuskan tersebut dapat dikatakan menjadi suatu issu strategis jika: Aktual,Penting dan mendesak,



kebijakan publ Kebijakan publ Fakta/data tent dan dampak ke Ideografis (sub tidak ada kaida kualitatif) Campuran deng rakyat Singkat, padat, Gaya bahasa po Statistik seperl Sedikit istilah t Sistematika ter pernyataan sika data dan ilustra Bisa disajikan o



Sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat, Berdampak positif pada perubahan sosial yang lebih baik, Sesuai dengan visi dan agenda perubahan sosial yang lebih besar. Merancang sasaran dan strategi: Dalam merancang sasaran dan strategi dapat digunakan metode SMART, yaitu: Spesifik; dalam arti rumusan sasaran memang spesifik, kongkrit, dan jelas. Measurable; dalam arti hasilnya punya indikator yang jelas sehingga dapat dipantau dan diketahui. Realistis; dalam arti apakah sasaran mungkin dapat dicapai. Time Bound; dalam arti punya batas waktu yang jelas. Mengolah data dan mengemas informasi: Salah satu cara yang dikenal dalam mengolah data dalam proses advokasi adalah dengan melakukan riset advokasi. Riset advokasi sebenarnya lebih merupakan riset terapan, terutama dalam bentuk kajian kebijakan dengan tujuan mengumpulkan sebanyak mungkin data dan mengolahnya sebagai informasi yang diperlukan untuk mendukung semua kegiatan lain dalam proses advokasi; dalam rangka memilih dan merumuskan issu strategis, sebagai bahan proses legislasi,untuk keperluan lobby dan kampanye, dan sebagainya. j. 1. 2. 3.



Ciri Dan Unsur Aliansi Yang Efektif Fokus pada tujuan dan sasaran advokasi yang disepakati bersama. Tegas dalam menetapkan dan menggarap satu atau beberapa issu yang disepakati bersama Ada pembagian peran dan tugas yang jelas antara para pihak yang terlibat.



4. 5.



6.



7. 8.



Terbentuk sebagai hasil atau dampak dari adanya pertentangan dalam masyarakat. Memanfaatkan konflik yang muncul sebagai upaya konstruktif dalam menjaga dinamika dan perimbangan (perlu fleksibilitas). Ada kemungkinan lahir bentuk-bentuk kerjasamabaru yang lebih berkembang di masa mendatang. Ada mekanisme komunikasi yang baik dan lancar. Dibentuk dengan jangka waktu yang jelas.



k. Langkah Taktis Advokasi 1. Mengupayakan adanya kepemimpinan organisasi yang kuat dan kredibel 2. Melakukan Investigasi isu yang mendesak. 3. Pembacaan, Analisis data atau isu/pencarian dan penelitian fakta. 4. Merumuskan strategi dinamis : Statement missi (Mission statement), Tujuan dan sasaran advokasi, Rancangan stragi dan tindakan, Rencana aksi (plan of actions) 5. Mencari dukungan yang besar dari konstituen atau kelompok pendukung 6. Mobilisasi dan aksi yang terlibat: Pertemuan para pembuat keputusan, Pertemuan para pelanggar HAM, Interview media massa, Public Hearing, Public Meeting, Parlementary Hearing, Kesaksian Pengadilan, Pengajuan Petisi, Boikot, Pawai Protes, Aksi Massa.



l.



Bagaimana Advokasi? Keterangan



mengemas



informasi



untuk



Jenis data/infromasi yang dibutuhkan\



◆ Laporan ter ◆ Kompilasi ◆ Rekaman s foto/video ◆ Barang buk atau peraga Legal drafting/cou nter ◆ Naskah RUU/Raperda ◆ Laporan ter ◆ Contoh RUU/Perda sejenis ◆ Kompilasi draft dari daerah/negara lain RUU/UU/P ◆ Naskah UU/Perda yang ◆ Kompilasi ada kaitannya; hasil kebijakan riset/kajian kebijakan yang berkaitan ◆ Data statistik/informasi lain yang mendukung Lobby pejabat dan ◆ Kronologi kasus ◆ Laporan ter ◆ Laporan investigasi ◆ Ringkasan politisi lapangan summary) ◆ Laporan kajian kebijakan investigasi/ ◆ Guntingan pemberitaan ◆ Surat-surat media massa yang ◆ Kompilasi berkaitan ◆ Kompilasi ◆ Pernyataan pendapat/sikap (guntingan berbagai pihak dan pendapat, d kalangan ◆ Rekaman f ◆ Hasil jajak pendapat ◆ Brosur, lea ◆ Data statistik dan ◆ Surat-surat Litigasi



◆ Kronologis kasus ◆ Rekaman pernyataan (wawancara) narasumber ◆ Data statistik/informasi yang mendukung



Bentuk, c pe



informasi lain yang mendukung ◆ Profil organisasi/jaringan Kampanye / pendapat ◆ (sama dengan diatas) umum



Galang sekutu pendukung



dan ◆ (sama dengan diatas)



Pelatihan kader dan ◆ (sama dengan diatas) pendidikan berbasis massa



B. PENGORGANISIRAN MASYARAKAT Prawacana Proses membangun organisasi masyarakat disebut pngorganisasian masyarakat. Pengorganisasian dalam masyarakat mungkin bagi sebagian warga merupakan istilah yang baru, tetapi konsep ini sudah dikenal luas di kalangan organisasi umum yang lain. Pengorganisasian bisa menjadi kebutuhan ketika realitas kehidupan sosial masyarakat sudah berkembang sedemikian kompleksnya, sehingga



◆ Rekaman f ◆ Brosur, lea factsheet ◆ Pernyataan ◆ Poster, spa kaos, komi kalender ◆ Pertunjukk pameran lu Instalasi ◆ Surat-surat ◆ (sama deng



◆ (sama deng ◆ Panduan pe



sebuah usaha tidak bisa dilakukan secara individual lagi (warga-perwargaan) melainkan harus menjadi usaha bersama dalam bentuk kelompok. Dengan demikian, pada pengertian yang paling sederhana, Konsep serba bersama ini merupakan batas pembeda antara upaya pengorganisasian masyarakat dengan upaya perwargaan maupun strategi menyerahkan segala sesuatunya pada pemimpin yang sudah pasti dilakukan secara individual. Dalam membangun organisasi masyarakat ada beberapa penekanan dan pemisahan secara manajemen pengorganisasiannya. Pemisahan manajemen pengorganisasian ditujukan untuk mengahadapi permasalahan-permasalahan yang muncul di tingkatan masyarakat . Permasalahan yang muncul bisa dibedakan dalam dua hal, secara internal dan eksternal. Begitu pula cara membangun organisasi masyarakat dengan internal dan eksternal dengan harapan organisasi mampu mengatasi dua persoalan ini secara baik. Landasan & Tujuan pengorganisasian a. Landasan Pengorganisasian Landasan filosofis dari kebutuhan untuk membangun organisasi adalah membangun kepentigan secara bersama–sama pada seluruh masyarakat, karena masyarakat sendiri yang seharusnya berdaya dan menjadi penentu dalam melakukan perubahan sosial. Perubahan sosial yang dimaksud adalah perubahan yang mendasar dari kondisi ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan. Dalam konteks masyarakat, perubahan sosial juga menyangkut multidemensional. Dalam demensi ekonomi seringkali ‘dimimpikan’ terbentuknya kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh warga masyarakat . Dalam segi politik selalu diinginkan keleluasaan dan kebebasan



bagi masyarakat untuk berpartisipasi, berkompetisi serta diakui hak-hak sipil dan politiknya. Sedangkan dalam sisi budaya, dirasakan ada keinginan untuk mengekspresikan kearifan kebudayaan lokal. Landasan filosofis pengorganisasian lainnya adalah melakukan adalah pemberdayaan. Karena pada dasarnya masyarakat sendiri yang seharusnya berdaya dan menjadi penentu dalam melakukan perubahan sosial. Pengorganisasian masyarakat bertujuan agar masyarakat menjadi penggagas, pemrakarsa, pendiri, penggerak utama sekaligus penentu dan pengendali kegiatan-kegiatan perubahan sosial yang ada dalam organisasi masyarakat . b. Tujuan Pengorganisasian Pengorganisasian dalam sebuah organisasi masyarakat ditujukan untuk membangun dan mengembangkan organisasi. Pengorganisasian mempunyai peranan yang luar biasa bagi organisasi secara internal dan eksternal. Secara internal tujuan pengorganisasian adalah membangun organisasi masyarakat. Secara eksternal tujuan pengorganisasian adalah membangun jaringan antar organisasi masyarakat untuk menghadapi masalah–masalah bersama atau lebih ditujukan untuk membangun kekuatan bersama yang lebih besar lagi. Selain itu, tujuan pengorganisasian adalah mnyelesaikan konflik–konflik atau masalahmasalah yang terjadi di tengah warga masyarakat yang setiap saat muncul dan harus segera diselesaikan untuk menuju perubahan sosial yang lebih baik. c.



Manfaat Melakukan Pengorganisasian Mengorganisir diri punya manfaat dalam jangka pendek, mengorganisir diri adalah suatu alat effektif untuk



membuat sesuatu terlaksana; memperbaiki pelayanan pada masyarakat, termasuk pelayanan dalam bidang ekonomi (modal-teknologi), menurunkan beban pajak, memastika jaminan lapangan kerja, perubahan kebijakan di tingkat masyarakat atau di luar, memperbaiki pelayanan angkutan umum dan kesehatan, melindungi lingkungan hidup dan alam sekitarnya, serta sebagainya. Intinya, banyak diantara masalah keseharian yang kita hadapi saat ini dapat dipecahkan dan dirubah dengan cara mengorganisir diri. Mengorgansir diri juga punya manfaat jangka panjang yang mungkin jauh lebih penting. Melalui proses-proses pengorganisasian, masyarakat bisa belajar sesuatu yang baru tentang diri sendiri. Masyarakat akan menemukan bahwa harga diri dan martabat mereka selama ini selalu diabaikan dan diperdayakan. Dengan pengorganisasian, masyarakat, warga dapat menemukan bahwa kehormatan dan kedaulatan mereka selama ini justru tidak dihargai karena ketiadaan kepercayaan diri di antara warga masyarakat sendiri. Warga masyarakat dengan demikian akan mulai belajar bagaimana caranya mendayagunakan semua potensi, kemampuan dan ketrampilan yang mereka miliki dalam proses-proses pengorganisasian; bagiamana bekerja bersama dengan warga lain, menyatakan pendapat dan sikap mereka secara terbuka, mempengaruhi kebijakan resmi, menghadapi lawan atau musuh bersama. Akhirnya, melalui pengorganisasian, masyarakat mulai mengenal dan menemukan diri mereka sendiri. Warga masyarakat akan bisa menemukan siapa mereka sebenarnya selama ini, berasal dari mana, seperti apa latar belakang mereka, sejarah mereka, cikal-bakal mereka, akar budaya mereka serta kepentingan bersama mereka.



Warga masyarakat akan menemukan kembali sesuatu yang bermakna dalam lingkungan keluarga mereka, kelompok suku atau bahasa asal mereka yang memberi mereka kembali martabat dan kekuatan baru. d. Kerja Pengorganisasian (Pengorganisiran) Salah satu kerja penting dari pengorganisasian adalah pengorganisiran. Hal menakjubkan dalam keseluruhan proses mengorganisir adalah tenyata hal itu dapat dilakukan oleh siapa saja. Pengorganisiran seringkali dikesankan sulit atau bahkan musykil. Tetapi dalam kenyataannnya, mengorganisir adalah suatu proses yang sebenarnya tidak ruwet. Itu tergantungan pada ketrampilan dasar yang sebagian besarnya sebenarnya sudah dimiliki oleh masyarakat dalam kadar yang sama dan memadai. Salah stau contoh yang cukup relevan dengan hal ini adalah ketrampilan sehari-hari untuk hidup bersama yang sudah dimiliki oleh masyarakat . Pelembagaan kerja bersama sudah terwujudkan ke dalam berbagai macam kerja organisasi asli seperti “upacara “, “gotong–royong”, dan sebagian. Memang tidak ada resep serba jadi dalam proses pengorganisiran, ada beberapa langkah tertentu yang perlu dilakukan dalam keadaan tertentu pula. Tetapi semua langkah itu sebenarnya sederhana dan mudah dipelajari oleh warga sekalipun. Dengan demikian, semua warga dapat mengorganisir. Semua warga dapat belajar tentang asas-asas pengorganisasian. Tidak ada yang lebih hebat dibandingkan dengan yang lain.



➢ Mengapa Warga Mengorganisir Diri atau Menolak untuk itu? Warga-warga masyarakat mengorganisir diri karena beberapa alasan yang mungkin berbeda. Adakalanya diperlukan pendekatan agar alasan yang beragam itu bisa dijadikan satu landasan untuk menghimpun diri bersamasama. Dengan demikian salah satu landasan awal dari upaya mengorganisir diri adalah tersedianya landasan bersama (common platform), baik berupa nilai, institusi dan mekanisme bersama. Misalnya, pengorganisasian harus jelas visi dan misi yang ingin dicapai dari upaya pengorganisasian itu. Visi dan Misi itulah kemudian diturunkan ke dalam strategi dan program yang bisa menjawab kebutuhan anggota secara lebih jelas. Mengapa sebagian warga tidak mengorganisir diri? Tidak semua warga yang mempunyai masalah lantas mengorganisir diri. Beberapa warga akan tetap berkutat mencoba menyelesaikannya sendirian, meskipun sudah terbukti berkali-kali gagal atau kurang berhasil. Ada banyak alasan mengapa warga menolak berhimpun dengan warga lain: ada sebagin warga pengorganisasian merupakan hal baru, merasa cemas karena akan dimintai sesuatu atau melakukan sesuatu yang mereka yakini belum pasti, takut dimintai pertanggungjawaban atau menyatakan pendapatnya di depan umum. Alasan lain adalah takut pada apa yang bakal terjadi jika pengorganisasi itu nanti sudah berjalan, mereka akan mendapatkan tantangan, rintangan ataupun akibat-akibat lain yang dirasakan memberatkan. Karena alasan-alasan tersebut di atas menyebabkan banyak warga lebih memilih untuk menggunakan cara-cara pemecahan persoalan secara



perwargaan, terhadap banyak persoalan yang sebnarnya dirasakan oleh banyak warga. ➢ Dimana melakukan Kerja–Kerja Pengorganisasian Tempat terbaik untuk untuk memulai suatu pengorganisasian adalah suatu pengorganisasian adalah berada, dengan warga-warga yang ada di sekitar anda, tentang masalah yang memang oleh warga diprihatinkan bersama, tentang sesuatu yang oleh warga masyarakat menginginkan terjadi perubahan atasnya. Mulailah dengan bekerja dan hidup bersama warga, warga masyarakat seperti anda juga, mereka yang membagi minat dan perhatian yang sama dengan anda dan yang lainnya. Pengorganisasian tidak perlu merupakan sesuatu yang serba besar pada awal mulanya, jika ingin berhasil. Pengorganisasian bisa dimulai dari sebuah kelompok yang kecil. ➢ Apa yang harus Kita Kerjakan dalam Pengorganisasian? Pertama, salah satu yang bisa dilakukan adalah mempelajari situasi sosial kemasyarakatan di masingmasing. sebagai entitas politik, ekonomi bisa dipilah berdasarkan kategori; region (dusun), profesi (petanipengrajin-pengusaha), ataupun kekerabatan (trah). Di sebuah masyarakat yang meletakkan konteks kewilayahan sebagai sesuatu yang penting, maka pengorganisasian bisa menggunakan pemilihan regional yang berbasisikan dusun. Demikian pula apabila, basis pengorganisasian lebih tepat menggunakan kreteri profesi maka strategi yang dipilih bisa menyesuaikan dengan keadaan sosial tersebut.



Kedua, pengorganisasian juga seharusnya memperhatikan titik masuk institusional (kelembagaan). Pertanyaan yang relevan adalah apakah upaya pengorganisasian dilakukan dengan menggunakan lembaga-lembaga yang sudah ada, seperti kelompok masyarakat, assosiasi lembaga ekonomi atau lembaga lain resmi yang seringkali dalam pembentukannya ‘dibidani’ oleh pemerintah. Atau upaya pengorganisasian dilakukan dengan membentuk wadah baru sama sekali. Tentu saja kedua jalan itu mempunyai sejumlah kelebihan dan kelemahan. Kelebihan penggunaan lembaga yang sudah ada adalah relatif tersedianya prasarana dan sarana bagi kerja-kerja pengorganisasian. Kelamahan jalan ini adalah bentuknya yang sangat kaku karena diin dari atas. Sedangkan jalan pembentukan wadah baru mempunyai kelebihan karena relatif lebih mandiri dan partispatif namun mempunyai kelemahan yang bersumber dari belum terlembaganya mekanisme organisasi sehingga bersifat trial and error. Langkah Ketiga, melakukan dan memperkuat kerja-kerja basis. Yang dimaksud dengan kerja-kerja basis adalah kerja-kerja yang dilakukan oleh kelompok inti (yang mengorganisir diri terus menerus) secara internal berupa; 1.



2. 3.



Upaya membangun basis warga masyarakat (melakukan rekruitmen dan pendekatan pada komunitas yang senasib agar mau bergabung dalam pengorganisasian); Pendidikan pada anggota mengenai visi, misi, dan kepentingan bersama dari organisasi masyarakat; Merumuskan strategi untuk memperjuangkan kepentingan bersama organisasi masyarakat.



➢ Membangun Jaringan Untuk mencapai tujuan bersama, sebuah pengorganisasian memerlukan keterlibatan banyak pihak dengan berbagai spesifikasi yang berbeda dalam suatu koordinasi yang terpadu dan sistematis. Tidak ada satupun organisasi yang mampu mencapi tujuannya tanpa bantuan dari pihak-pihak lain yang juga mempunyai perhatian dan kepentingan yang sama. Semakin banyak warga masyarakat /organisasi menyuarakan hal yang sama maka, semakin kuat kepercayaan bagi timbulnya perubahan yang diinginkan. Hal ini secara sederhana disebut sebagai kebutuhan untuk membangun jaringan. Secara garis besarnya kerja-kerja jaringan dapat dipilah menjadi tiga bentuk: 1.



2.



3.



Kerja Basis. Kerja basis merupakan kerja yang dilakukan oleh kelompok inti (pengorganisir) dengan melakukan langkah-langkah; membangun basis masa, pendidikan dan perumusan strategi. Kerja Pendukung. Kerja pendukung ini dilakukan oleh kelompok-kelompok sekutu yang menyediakan jaringan dana, logistik, informasi data dan akses. Kelompok sekutu bisa berasal dari kalangan LSM, kelompok intelektual/ akademisi, Lembaga pendana (donor) dan kelompok-kelompok masyarakat yang mempunyai komitmen terhadap persoalan yang diperjuangkan. Kerja Garis Depan. Kerja garis depan dilakukan terutama berkaitan dengan advokasi kebijakan, mobilisasi massa, mempeluas jaringan sekutu, lobbi dan melaksanakan fungsi juru runding. Kerja-kerja garis depan bisa dilakukan oleh kelompok organisasi/invidual yang memiliki keahlian &



ketrampilan tentang hal ini. Dengan pembagian tugas maka akan terbentuk jaringan yang terdiri dari individu dan kelompok yang bersedia membantu warga dalam melakukan perubahan sosial, baik melalui strategi advokasi, maupun penguatan komunitas basis. Akhirnya, pembangunan jaringan merupakan salah satu cara untuk menambah “kawan”, sekaligus mengurangi “lawan” dalam memperjuangkan perubahan yang diinginkan. C. Manajenem Aksi, Agitasi dan Propaganda A) MANAJEMEN AKSI Manajemen Aksi adalah suatu cara yang digunakan untuk mengatur suatu aksi ,massa agar tetap terkordinir dan sesuai dengan rencana dan target awal. Aksi umumnya dilatarbelakangi oleh matinya jalur penyampaian aspirasi atau buntunya metode dialog.. Dalam trias politika, aspirasi rakyat diwakili oleh anggota legislatif. Namun dalam kondisi pemerintahan yang korup, para legislator tak dapat memainkan perannya, sehingga rakyat langsung mengambil ‘jalan pintas’ dalam bentuk aksi. Aksi juga dilakukan dalam rangka pembentukan opini atau mencari dukungan publik. Dengan demikian isu yang digulirkan harapannya dapat menjadi snowball. Salah satu bentuk penyampaian aspirasi kepada pemerintah serta penyampaian pesan kepada masyarakat adalah dengan melakukan aksi massa. Dalam negara yang berdemokrasi, aksi menjadi cara yang dilegalkan, oleh karena itu lembaga pendidikan seperti universitas juga harus berperan sebagai guardian of value dari pemerintah



serta masyarakat. Mengapa cara yang dipilih adalah aksi ? karena aksi berdampak pada dua sisi, yakni sisi ketersampaian pesan kepada pihak yang diinginkan serta penyadaran masyarakat atas sebuah isu. Sehingga aksi masih menjadi cara yang relevan untuk dilakukan. B) PENGERTIAN AKSI MASSA Aksi massa adalah suatu metode perjuangan yang mengandalkan kekuatan massa dalam menekan pemerintah/pengusaha untuk mencabut atau memberlakukan kebijakan yang tidak dikehendaki massa. Aksi massa merupakan bentuk perjuangan aktif dalam rangka merubah kebijakan yang tidak sesuai dengan kehendak massa, oleh karena aksi massa mengambil bentuk yang paling dekat dengan dinamika sosial yang berjalan dalam masyarakat. C) TAHAPAN-TAHAPAN AKSI MASSA 1. Persiapan Gagasan untuk melakukan aksi massa biasanya lahir dari adanya syarat objektif bahwa isntitusi/lembaga berwenang tidak tanggap terhadap persoalan yang dihadapi rakyat. Oleh karena itu diperlukan adanya tekanan (pressure) massa untuk mendorong persoalan rakyat menjadi perdebatan luas dan terbuka di intra parlemen maupun dimuka pendapat umum (public opinion) di luar parlemen. Semua hal yang berkaitan dengan tekanan mengandalkan kekuatan massa harus dipersiapkan sehingga dapat berjalan optimal. Persiapan aksi massa berjalan dalam lingkaran-lingkaran diskusi yang diorientasikan mampu memunculkan: 2.



Isu/ Tuntutan



Isu atau tuntutan yang akan diangkat dalam aksi massa harus dibicarakan dan diperdebatkan. Penentuan isu sangat penting karena akan memberi batasan gerak secara keseluruhan dari proses aksi massa di lapangan. 3.



Prakondisi aksi Prakondisi aksi adalah aktivitas yang dilakukan sebelum aksi massa berlangsung. Pra kondisi tersebut biasanya dalam bentuk aksi penyebaran selebaran, penempelan poster, grafiti action, dst. Tujuan pra kondisi aksi adalah untuk mensosialisasikan rencana aksi massa beserta isu/tuntutannya, serta memanaskan situasi pada sasaran kampanye atau sasaran aksi. 4.



Perangkat aksi massa Perangkat aksi adalah mbagian kerja partisipan aksi massa. Perangkat aksi massa disesuaikan dengan kebutuhan, biasanya diperlukan perangkat sebagai berikut: 5.



Koordinator Umum Pemimpin umum dan penanggungjawab umum massa aksi. Kordum berfungsi sebagai pengendali utama jalannya aksi. Semua panitia aksi harus tunduk pada keputusan kordum saat aksi berjalan. 6.



Koordinator lapangan Korlap bertugas memimpin aksi di lapangan, berhak memberikan instruksi kepada peserta aksi/ massa. Keputusan untuk memulai ataupun membubarkan/mengakhiri aksi massa ditentukan oleh korlap. Korlap hendaknya orang yang mempunyai kemampuan agitasi, propaganda, orasi dan komunikatif.



7.



Wakil koordinator lapangan Wakorlap adalah pembantu korlap di lapangan dan berfungsi sama dengan korlap. 8.



Divisi Acara Divisi acara bertugas menyusun acara yang berlangsung pada saat aksi massa dan bertugas mengatur dan mengemas jalannya acara agar massa tidak jenuh. Termasuk mencatat kronologi aksi. 9.



Orator Orator adalah orang yang bertugas menyampaikan tuntutan-tuntutan aksi massa dalam bahasa orasi, serta menjadi agitator yang membakar semangat massa. 10. Humas dan Jaringan Aksi Perangkat aksi yang bertugas menyebarkan seluasluasnya perihal aksi massa kepada pihak-pihak berkepentingan, terutama pers. 11. Negosiator berfungsi sesuai dengan target dan sasaran aksi. Misalnya pendudukan gedung DPR/DPRD sementara target tersebut tidak dapat tercapai karena dihalangi aparat keamanan, maka negosiator dapat mendatangi komandannya dan melakukan negosiasi agar target aksi dapat tercapai. Karenanya seorang negosiator hendaknya memiliki kemampuan diplomasi. 12. Mobilisator Bertugas memobilisasi massa, menyerukan kepada massa untuk bergabung pada aksi massa yang akan digelar. Kerja mobilisasi massa berlangsung sebelum aksi dilaksanakan.



13. Kurir Berfungsi sebaga penghubung ketika sebuah aksi massa tidak bisa dipastikan hanya dimanfaatkan oleh satu komite aksi atau kelompok saja. Bisa jadi pada saat bersamaan komite aksi lainnya sedang menggelar aksi massa, menuju sasaran yang sama. Oleh karena karena itu untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman diperlukan fungsi kurir untuk menghubungkan kedua atau lebih komite aksi yang menggelar acara yang sama. Selain itu kurir juga berfungsi menjembatani komite aksi agar terjadi penyatuan massa atau aliansi taktis di lapangan. Dalam hal ini kurir bertugas memberikan laporan pada korlap perihal aksi massa yang dilakukan komite aksi lain. 14. Advokasi Perbenturan antara kedua massa dengan aparat keamanan perlu dihindari, akan tetapi jika hal itu terjadi dan berakhir dengan penangkapan terhadap aktivis massa diperlukan peran tim advokasi yang bertugas membela dan memberikan perlindungan hukum terhadap korban. 15. Asisten teritorial/ keamanan/ sweaper/ dinamisator lapangan Sering terjadi aksi masa radikal menjadi aksi massa anarkis karena emosi terpancing untuk melakukan tindakan destruktif. Antisipasi, terhadap kecenderungan semacam ini dilakukan dengan melengkapi aksi massa dengan perangkat asisten teritorial (aster). Aster atau disebut juga keamanan atau sweaper bertugas mencegah terjadinya penyusupan oleh pihak luar yang bertujuan memperkeruh suasana. Tugasnya mengamati kondisi massa. Selain itu juga aster berfungsi mengagitasi massa



dengan yel-yel dan lagu-lagu perjuangan agar aksi massa tetap tampil semangat. 16. Logistic dan medical rescue Perangkat logistic bertugas menyediakan perlengkapan-perlengkapan fisik yang diperlukan dalam aksi massa seperti spanduk, poster, selebaran, pengeras suara, dan pernyataan sikap. Sedangkan medical rescue bertugas menyediakan obat-obatan dan memberikan bantan p3k terhadap masa yang kesehatan fisiknya terganggu ketika aksi massa berlangsung. 17. Dokumentasi Divisi ini bertugas mengabadikan penyelenggaraan aksi massa dalam bentuk gambar atau dalam bentuk tulisan kronologi. 18. Sentral informasi Sentral informasi adalah nomor telepon yang dijaga oleh seseorang yang bertugas mendapatkan dan memberikan informasi tentang kondisi masa, situasi lapangan, sampai dengan informasi-informasi lainya. 19. Pelaksanaan aksi massa/demontrasi Pada saat aksi massa dilakukan, segala tindakan massa di setting sesuai dengan persiapan yang telah dilakukan para perangkat yang telah diberi tugas. Semua bekerja sesuai dengan tugas yang telah disepakati bersama dalam persiapan sebelum aksi massa digelar penyimpangan terhadap kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat bersama akan dikoreksi pada saat forum evaluasi diadakan.



20. evaluasi Evaluasi adalah tahap akhir dari rangkaian aksi massa. Merupakan forum atau wadah tempat mengoreksi kesalahan-kesalahan atau penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dilapangan yang sebenarnya tidak sesuai dengan setting aksi massa yang telah disepakati bersama. Evaluasi ini berfungsi melahirkan ide-ide baru yang dapat membangun struktur pemikiran alternatif terhadap pola aksi yang telah dilaksanakan oleh komite aksi.dialektika pola aksi massa justru dapat terungkap ketika evaluasi terhadap pelaksanaan aksi masa digelar. Aksi massa atau sering disebut demontsrasi telah marak di indonesia sejak periode akhir kejayaan rejim soeharto. Fenomena aksi massa ini tidaklah lahir secara spontanitas belaka, kemunculanya lebi dilatar belakangi oleh latar belakang sosiologis dan psikologis massa yang tidak puas terhadap keadaan sosial yang meligkupinya. Keadaan sosial tersebut disebabkan oleh sistem sosial, ekonomi, politik dan kompleksitas siste yang lain. 21. Agitasi Dalam makna denotatifnya, agitasi berarti hasutan kepada orang banyak untuk mengadakan huruhara, pemberontakan dan lain sebagainya. Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh tokoh/aktivis partai politik, ormas dan lain sebagainya dalam sesi pidato maupun tulisan. Dalam praktek, dikarenakan kegiatan agitasi yang cenderung “menghasut” maka seringkali disebut sebagai kegiatan “provokasi” atau sebagai perbuatan untuk membangkitkan kemarahan. Bentuk agitasi sebetulnya bisa dilakukan secara individual maupun dalam basis kelompok (massa).



Beberapa perilaku kolektif yang dapat dijadikan sebagai pemicu dalam proses agitasi adalah: a.



Perbedaan kepentingan, seperti misalnya isu SARA (Suku, Agama, Ras). Perbedaan kepentingan ini bisa menjadi titik awal keresahan masyarakat yang dapat dipicu dalam proses agitasi. b. Ketegangan sosial, ketegangan sosial biasanya timbul sebagai pertentangan antar kelompok baik wilayah, antar suku, agama, maupun pertentangan antara pemerintah dengan rakyat. c. Tumbuh dan menyebarnya keyakinan untuk melakukan aksi, ketika kelompok merasa dirugikan oleh kelompok lainya, memungkinkan timbul dendam kesumat dalam dirinya. Hal ini bisa menimbulkan keyakinan untuk dapat melakukan suatu aksi bersama; Dalam politik, ketiga perilaku kolektif diatas akan menjadi ledakan sosial apabila ada faktor penggerak (provokator)nya. Misalnya ketidakpuasan rakyat kecil terhadap kebijakan pemerintah yang tidak memihak kepada mereka juga bisa menjadi sebuah alat pemicu yang efektif untuk mendongkel sebuah rezim. Dalam tahap selanjutnya, mobilisasi massa akan terbentuk apabila ledakan sosial yang muncul dapat memancing solidaritas massa. Hingga pada eskalasi tertentu mebisa munculkan kondisi collaps. Dalam proses agitasi pemahaman perilaku massa menjadi penting. Agar agitasi dapat dilakukan secara efektif maka perlu diperhatikan sifat orang-orang dalam kelompok (massa) seperti; massa yang cenderung tidak rasional, mudah tersugesti, emosional, lebih berani mengambil resiko, tidak bermoral. Kemampuan seorang agitator untuk mengontrol emosi



massa menjadi kunci dari keberhasilan proses agitasi massa. Sedangkan pendekatan hubungan interpersonal merupakan kunci sukses dalam agitasi individu. 22. Propaganda Propaganda sendiri berarti penerangan ( paham, pendapat, dsb) yang benar atau salah yang dikembangkan dengan tujuan meyakinkan orang lain agar menganut suatu aliran, sikap, atau arah tindakan tertentu. Kegiatan propaganda ini banyak dipakai oleh berbagai macam organisasi baik itu orgnisasi massa, parpol, hingga perusahaan yang berorientasi profit sekalipun baik kepada kawan, lawan maupun pihak netral. Propaganda juga merupakan inti dari kegiatan perang urat syaraf (nerve warfare) baik itu berupa perang ideologi, politik, ide, kata-kata, kecerdasan, dll. Kegiatan propaganda menurut bentuknya seringkali digolongkan dalam dua jenis, yaitu propaganda terbuka dan tertutup. Propaganda terbuka ini dilakukan dengan mengungkapkan sumber, kegiatan dan tujuannya secara terbuka. Sebaliknya, propaganda tertutup dilakukan dengan menyembunyikan sumber kegiatan dan tujuannya. Para pakar organisasi menggolongkan 3 (tiga) jenis model propaganda. Menurut William E Daugherty, ada 3 (tiga) jenis propaganda : 1.



Propaganda putih (white propaganda ), yaitu propaganda yang diketahui sumbernya secara jelas, atau sering disebut sebagai propaganda terbuka. Misalnya propaganda secara terang-terangan melalui media massa. Biasanya propaganda terbuka ini juga dibalas dengan propaganda dari pihak lainya (counter propaganda).



2.



3.



Propaganda Hitam (black propaganda), yaitu propaganda yang menyebutkan sumbernya tapi bukan sumber yang sebenarnya. Sifatnya terselubung sehingga alamat yang dituju sebagai sumbernya tidak jelas. Propaganda abu-abu (gray propaganda), yaitu propaganda yang mengaburkan proses indentifikasi sumbernya.



Penerbit Harcourt, Brace and Company menyebarkan publikasi berjudul The Fine Art of Propaganda atau yang sering disebut sebagai the Device of Propaganda (muslihat propaganda) yang terdiri dari 7 (tujuh) jenis propaganda sebagai berikut: 1.



2.



3.



4.



Penggunaan nama ejekan, yaitu memberi nama-nama ejekan kepada suatu ide, kepercayaan, jabatan, kelompok bangsa, ras dll agar khalayak menolak atau mencercanya tanpa mengkaji kebenaranya. Penggunaan kata-kata muluk, yaitu memberikan istilah muluk dengan tujuan agar khalayak menerima dan menyetujuinya tanpa upaya memeriksa kebenaranya. Pengalihan, yaitu dengan menggunakan otoritas atau prestise yang mengandung nilai kehormatan yang dialihkan kepada sesuatu agar khalayak menerimanya. Pengutipan, yaitu dilakukan dengan cara mengutip kata-kata orang terkenal mengenai baik tidaknya suatu ide atau produk, dengan tujuan agar publik mengikutinya.



5.



6.



7.



Perendahan diri, yaitu teknik propaganda untuk memikat simpati khalayak dengan meyakinkan bahwa seseorang dan gagasannya itu baik. Pemalsuan, yaitu dilakukan dengan cara menutupnutupi hal-hal yang faktual atau sesungguhnya dengan mengemukakan bukti-bukti palsu sehingga khalayak terkecoh. Hura-hura, yaitu propaganda dengan melakukan ajakan khalayak secara beramai-ramai menyetujui suatu gagasan atau program dengan terlebih dahulu meyakinkan bahwa yang lainya telah menyetujui. Seperti halnya komunikasi lainya maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam Melakukan propaganda:



1. 2.



3. 4.



Siapa yang dijadikan sasaran propaganda, kawan, lawan, atau pihak netral Media apa yang akan dipergunakan, surat kabar, radio, majalah, televisi, sms, buku, film, pamlet, poster dll. Untuk musuh misalnya melalui desasdesus dan pihak netral dengan negosiasi atau diplomasi. Pesan apa yang akan disebarkan. Apa yang menjadi tujuan dari propaganda, misalnya ketakutan , kekacauan, ketidakpercayaan dsb.



BAB V Aswaja A. Historis Aswaja Ahlussunnah wal jama’ah (ASWAJA) lahir dari pergulatan intens antara doktrin dengan sejarah. Di wilayah doktrin, debat meliputi soal kalam mengenai status Al-qur’an apakah ia makhluk atau bukan, kemudian debat anatara sifat Allah antara ulama salafiyyun dengan golongan mu’tazilah dan seterusnya. Di wilayah sejarah, proses pembentukan ASWAJA terentang hingga zaman al-khulafa’ ar- rasyidin, yakni dimulai sejak terjadinya perang shiffin yang melibatkan kholifah ali bin abi thalib RA dengan muawiyah. Bersama kekalahan kholifah tersebut, setelah dikelabui melalui taktik arbitrase(tahkim) oleh kubu muawiyyah, umat islam makin terpecah kedalam berbagai golongan. Aswaja sendiri dinisbatkan pada generasi abu hasan al- asy’ari (324 h) dan abu mansur al-maturidi (333 H); meskipun bila di telusuri secara teliti benih-benihnya telah tumbuh sejak dua abad sebelunya. Hingga ke indonesia yang mayoritas penduduknya menganut paham ASWAJA dan terbesar di dunia dan sebagian dalam terbesarnya tergabung (baik tergabung secara sadar atau tidak) jam’iyyah Nahdlatul ulama, yang sejak awal berdiri menegaskan sebagai pengamal islam ala ahlussunnah wal jama’ah. Dalam Qanun Asasi (konstitusi dasar) yang di rumuskan oleh Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari dalam tulisannya mengatakan bahwa ASWAJA merupakan sebuah paham keagamaan dimana dalam bidang aqidah menganut pendapat abu hasan al-asy’ari dan al-maturidi, dalam pandangan fiqh



menganut pendapat dari salah satu madzhab empat (imam hanafi, imam malik, imam syafi’i dan imam hambali), dan dalam bidang tasyawuf / akhlak menganut imam junaid al-baghdadi dan abu hamit al-ghazali. “Namun mengapa yang diakui serta diamalkan oleh ulama golonganAhl al Sunnah wa al Jama’ah hanya empat madzhab saja?” Sebenarnya, yang menjadi salah satu faktor adalah tidak lepas dari murid-murid mereka yang kreatif, yang membukukan pendapat-pendapat imam mereka sehingga pendapat imam tersebut dapat terkodifikasikan dengan baik. Akhirnya, validitas (kebenaran sumber dan salurannya) dari pendapatpendapat tersebut tidak diragukan lagi. Di samping itu, madzhab mereka telah teruji keshahihan-nya, sebab memiliki metode istinbath (penggalian hukum) yang jelas dan telah tersistematisasi dengan baik, sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, sebagaimana yang diuraikan oleh Sayyid Alwi bin Ahmad al-Seggaf, Sesungguhnya ulama dari kalangan madzhab Syafi’i RA menjelaskan bahwa tidak boleh bertaqlid kepada selain madzhab yang empat, karena selain yang empat itu jalur periwayatannya tidak valid, sebab tidak ada sanad yang bisa mencegah dari kemungkinan adanya penyisipan dan perubahan. Berbeda dengan madzhab yang empat. Para tokohnya telah mencurahkan kemampuannya untuk meneliti setiap pendapat serta menjelaskan setiap sesuatu yang memang pernah diucapkan oleh mujtahidnya atau yang tidak pernah dikatakan, sehingga para pengikutnya merasa aman (tidak merasa ragu atau khawatir) akan terjadinya perubahan, distorsi pemahaman, serta mereka juga mengetahui pendapat yang shahih dan yang dha’if. Pada



perkembangan selanjutnya para ulama pesantren terusmenerus berusaha untuk membangkitkan sistem bermadzhab ini. Karena zaman bergulir begitu cepatnya, waktu melesat tak dapat dicegat, dan perubahan tidak dapat dielakkan, sementara fiqh Islam harus hadir memberikan solusi untuk menjawab berbagai persoalan kemasyarakatan, maka umat Islam di tuntut untuk dapat berkreasi dalam memecah berbagai persoalan tersebut. Sehingga diperlukan pendekatan ’baru’ guna membuktikan slogan shaliha likulli makaa na wazamaani. Salah satu bentuknya adalah dengan mengembangkan pola bermadzhab secara tekstual (madzhab qawli) menuju pola bermadzhab metodologis (madhzhab manhaji) dalam fiqh Islam, sebagaimana yang digagas oleh DR. KH. Sahal Mahfudh. Selama kurun waktu berdirinya NU (1926) mengambil pengertian aswaja yang ialah ahl merupakan pengikut aliran atau pengikut madzhab, sedangkan Alsunnah merupakan pengikut jalan nabi, dan bila di maknai secara kebahasaan aswaja bermakna segolongan orang yang mengikuti jalan nabi, para sahabat dan tabi’in. Hingga sekitar tahun 1994 pengertian tersebut bertahan didalan tubuh NU. Karena pada dekade tahun 90an muncul gugatan yang mempertanyakan, tepatkah aswaja sebagai madzhab atau lebih tepat di pergunakan dengan cara lain ? Lantas, sekarang mari kita duduk kan aswaja dalam sebuah tempat yang nyaman. Lalu mari kita pandang ia dari berbagai sudut. Dan di antara sekian sudut pandang, satu di antaranya, yakni aswaja sebagai mazhab (doktrin-ideologi), diakui dan dianggap benar oleh publik. Sementara, ada satu pandangan yang kiranya bisa digunakan untuk memandang aswaja secara



lebih jernih, yakni memahami aswaja sebagai manhaj. Mari kita diskusikan B. ASWAJA sebagai MADZHAB Aswaja, selama ini sering dipandang hanya sebagai mazhab (aliran, sekte, ideologi, atau sejenisnya). Hal ini menyebabkan aswaja dianut sebagai sebuah doktrin yang diyakini kebenarannya, secara apriori (begitu saja). Kondisi ini menabukan kritik, apalagi mempertanyakan keabsahannya. Jadi, tatkala menganut aswaja sebagai mazhab, seseorang hanya mengamalkan apa yang menjadi doktrin aswaja. Doktrin-doktrin sedemikian banyak yang menyatu dalam kumpulan kitab yang pernah di karang para ulama terdahulu. Di kalangan pesantren Nusantara, kiranya ada beberapa tulisan yang secara eksplisit menyangkut dan membahas doktrin Aswaja. Hadrotus-Syeikh Hasyim Asy'ari menjelaskan Aswaja dalam kitab Qanun NU dengan melakukan pembakuan atas ajaran aswaja, bahwa dalam hal tawhid aswaja (harus) mengikuti Al-Maturidi, ulama Afganistan atau Abu Hasan Al Asy’ari, ulama Irak. Bahwa mengenai fiqh, mengikuti salah satu di antara 4 mazhab. Dan dalam hal tasawuf mengikuti Imam alGhazali atau Al-Junaidi. Selain itu, KH Ali Maksum Krapyak, Jogjakarta juga menuliskan doktrin aswaja dengan judul Hujjah Ahlus Sunnah wal Jamaah, kitab yang cukup populer di pesantren dan madrasah NU. Kitab ini membuka pembahasan dengan mengajukan landasan normatif Aswaja. Beberapa hadits (meski dho'if) dan atsar sahabat disertakan. Kemudian, berbeda dengan Kyai Hasyim yang masih secara global, Mbah Maksum menjelaskan secara lebih detail. Beliau menjelaskan



persoalan talqin mayit, shalat tarawih, adzan Jumat, shalat qabliyah Jumat, penentuan awal ramadhan dengan rukyat, dan sebagainya. Itu hanya salah zat di antara sekian pembakuan yang telah terjadi ratusan tahun sebelumnya. Akhirnya, kejumudan (stagnasi) melanda doktrin Aswaja. Dipastikan, tidak banyak pemahaman baru atas teks-teks keagamaan yang muncul dari para penganut Aswaja. Yang terjadi hanyalah daur ulang atas pemahaman ulama-ulama klasik, tanpa menambahkan metodologi baru dalam memahami agama. Lebih lanjut, adanya klaim keselamatan (salvation claim) yang begitu kuat (karena didukung oleh tiga hadits) membuat orang takut untuk memunculkan hal baru dalam beragama meski itu amat dibutuhkan demi menjawab perkembangan jaman. Akhirnya, lama-kelamaan, aswaja menjadi lapuk termakan usia dan banyak ditinggal jaman. Benarkah aswaja bakal ditinggalkan oleh jaman? Nyatanya, hingga kini, Aswaja justru dianut oleh mayoritas umat Islam di dunia. Mengapa hal ini terjadi, bila memang aswaja telah mengalami stagnasi? Jawabannya satu: aswaja adalah doktrin. Seperti yang dicantumkan di muka, ini menyebabkan orang hanya menerimanya secara apriori (begitu saja dan apa adanya). Inilah yang dinamakan taqlid. Karena itu, stagnasi tetap saja terjadi. Akan tetapi, karena sudah dianggap (paling) benar, maka, bila doktrin itu berbenturan dengan “kenyataan” (al-Waqâ’i’) —yang terus berkembang dan kadang tidak klop dengan ajaran—, maka yang keliru adalah kenyataannya. Realitalah yang harus menyesuaikan diri dengan teks. Pemahaman



semacam



itu



pada



akhirnya,



menyebabkan pemaksaan ajaran aswaja dalam realita untuk menyelesaikan berbagai persoalan masyarakat. Hal ini menyebabkan peran aswaja tidak efektif dalam problem solving. Aswaja hanya akan menjadi duri dalam daging masyarakat yang amat membahayakan. Akibat lain yang biasa muncul, lebih banyak masalah yang timbul dari pada persoalan yang terpecahkan. Karenanya, taqlid buta seyogyanya diindari. Akan tetapi, bagi masyarakat umum yang tingkat pemahamannya beragam, taqlid semacam ini menjadi jalan keluar alternatif dalam menghadapi persoalan dengan tetap berpegang pada Islam aswaja. Tetapi, pantaskah taqlid dilakukan oleh kalangan intelektual? Kiranya, kita bisa menjawabnya. Tentu kita tidak mau Islam dengan aswajanya tidak bisa menyelesaikan problematika umat. Karenanya, harus ada keberanian untuk mengadakan gerakan baru, memberantas kejumudan. Ini adalah tugas mulia yang harus kita — utamanya kader PMII— tunaikan, demi menyelamatkan ajaran aswaja dari kejumudan, serta menyelamatkan masyarakat dari berbagai persoalan yang terus mengemuka.



C. ASWAJA sebagai MANHAJ Nah, berbagai problem yang dihadapi ideologi aswaja, kiranya metode yang satu ini menawarkan sedikit jalan keluar. Meski masih tetap mengikuti aswaja, aswaja tidak diposisikan sebagai teks (baca: korpus) yang haram disentuh. Karenanya, harus ada cara pandang baru dalam memahami aswaja. Bahwa dalam setiap ajaran (doktrin) punya nilai substansi yang sifatnya lintas batas karena universalitasnya. Hal ini bisa dilihat dari tiga nilai dasar aswaja; yakni tawazun, tawasuth, dan i’tidal. Diketahui, nilai-nilai itu nyatanya amat fleksibel dan bisa diterapkan dalam situasi dan kondisi, bahkan tempat apapun. Selain itu, dalam aplikasinya, tiga nilai itu menuntut kerja intelektual agar bisa diterapkan dengan baik. Operasi jenis ini biasa disebut dengan ittiba’, yang tentunya lebih manusiawi dan memanusiakan. Nilai-nilai ini bila dikembangkan akan menyebabkan aswaja semakin shalih likulli zamân wa makân, aplikabel di setiap masa dan ruang. Pun, aswaja bisa tampil dengan gaya yang enak dan diterima umum sebagai sebuah jalan keluar. Selain itu, Sunni yang mayoritas, bisa melakukan tugasnya menjaga stabilitas sosial keagamaan. Nah, untuk sampai pada sisi ini, perlu ada keberanian dalam menempuh jalan yang berliku. Harus ada kerja keras untuk mencari lebih jauh tentang ajaran, tata norma, dan metode ijtihad aswaja yang humanis, egaliter, dan pluralis. Hal ini juga bisa menampik beberapa organ Islam ekstrem yang secara eksplisit mengaku sebagai kaum Ahlussunnah wal Jamaah, meski suka mengkafirkan yang lain, menebar ketidaktenteraman di kalangan umat lain, serta tidak rukun dengan jamaah yang lain. Namun, satu tantangan yang juga harus diperhatikan adalah kita sebagai mahasiswa —kader ASWAJA— yang punya kesempatan mendapatkan ilmu pengetahuan yang lebih baik, harus berani mengambil satu tindakan: ijtihad. Dan bila tidak berani sendiri, tak ada salahnya ijtihad berjamaah. a.



Aswaja sebagai Manhaj Al-Fikr Dalam wacana metode pemikiran, para teolog klasik dapat dikategorikan menjadi empat kelompok. Pertama, kelompok rasioalis yang diwakili oleh aliran Mu’tazilah yang pelapori oleh Washil bin Atho’, kedua, kelompok tekstualis dihidupkan dan dipertahankan oleh aliran salaf yang munculkan oleh Ibnu Taimiyah serta generasi berikutnya. Ketiga, kelompok yang pemikirannya terfokuskan pada politik dan sejarah kaum muslimin yang diwakili oleh syi’ah dan Khawarij, dan keempat, pemikiran sintetis yang dikembangkan oleh Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi. Didalam PMII Aswaja dijadikan Manhajul Fikri artinya Aswaja bukan dijadikan tujuan dalam beragama melainkan dijadikan metode dalam berfikir untuk mencapai kebenaran agama. Walaupun banyak tokoh yang telah mencoba mendekontruksi isi atau konsep yang ada dalam aswaja tapi sampai sekarang Aswaja dalam sebuah metode berfikir ada banyak relevasinya dalam kehidupan beragama, sehingga PMII lebih terbuka dalam mebuka ruang dialektika dengan siapapun dan kelompok apapun. Rumusan aswaja sebagai manhajul fikri pertama kali diintrodusir oleh Kang Said (panggilan akrab Said Aqil Siradj) dalam sebuah forum di Jakarta pada tahun 1991. Upaya dekonstruktif ini selayaknya dihargai sebagai produk intelektual walaupun juga tidak bijaksana jika diterima begitu saja tanpa ada discourse panjang dan mendalam dari pada dipandang sebagai upaya ‘merusak’ norma atau tatanan teologis yang telah ada. Dalam perkembangannya, akhirnya rumusan baru Kang Said diratifikasi menjadi konsep dasar aswaja di PMII. Prinsip dasar dari aswaja sebagai manhajul fikri meliputi ; tawasuth (mederat), tasamuh (toleran) dan tawazzun (seimbang).



Aktualisasi dari prinsip yang pertama adalah bahwa selain wahyu, kita juga memposisikan akal pada posisi yang terhormat (namun tidak terjebak pada mengagungagungkan akal) karena martabat kemanusiaan manusia terletak pada apakah dan bagaimana dia menggunakan akal yang dimilikinya. Artinya ada sebuah keterkaitan dan keseimbangan yang mendalam antara wahyu dan akal sehingga kita tidak terjebak pada paham skripturalisme (tekstual) dan rasionalisme. Selanjutnya, dalam konteks hubungan sosial, seorang kader PMII harus bisa menghargai dan mentoleransi perbedaan yang ada bahkan sampai pada keyakinan sekalipun. Tidak dibenarkan kita memaksakan keyakinan apalagi hanya sekedar pendapat kita pada orang lain, yang diperbolehkan hanyalah sebatas menyampaikan dan mendialiektikakakan keyakinan atau pendapat tersebut, dan ending-nya diserahkan pada otoritas individu dan hidayah dari Tuhan. Ini adalah menifestasi dari prinsip tasamuh dari aswaja sebagai manhajul fikri. Dan yang terakhir adalah tawazzun (seimbang). Penjabaran dari prinsip tawazzun meliputi berbagai aspek kehidupan, baik itu perilaku individu yang bersifat sosial maupun dalam konteks politik sekalipun. Ini penting karena seringkali tindakan atau sikap yang diambil dalam berinteraksi di dunia ini disusupi oleh kepentingan sesaat dan keberpihakan yang tidak seharusnya. walaupun dalam kenyataannya sangatlah sulit atau bahkan mungkin tidak ada orang yang tidak memiliki keberpihakan sama sekali, minimal keberpihakan terhadap netralitas. Artinya, dengan bahasa yang lebih sederhana dapat dikatakan bahwa memandang dan menposisikan segala sesuatu pada proporsinya masing-masing adalah sikap yang paling bijak, dan bukan tidak mengambil sikap karena itu adalah manifestasi dari sikap pengecut dan oportunis. Aswaja bukan sebuah madzhab melainkan sebuah metode dan prinsip berfikir dalam menghadapi persoalan-persoalan agama sekaligus urusan sosial kemasyarakatan, inilah makna aswaja sebagai manhaj al-fikr. Dalam upaya memahami, menghayati, dan mengamalkan Islam, PMII menjadikan ahlussunnah wal jama’ah sebagai Manhaj al-fikr sekaligus Manhaj al-taghayyur al-ijtima’i (perubahan sosial) untuk mendekonstruksikan sekaligus merekonstruksi bentuk-bentuk pemahaman dan aktualisasi ajaran-ajaran agama yang toleran, humanis, anti-kekerasan, dan kritis-transformatif (dalam NDP dan PKT PMII).Bagi PMII, Aswaja merupakan basis dasar nilai organisasi. Hal ini berarti kehidupan dan gerakan PMII senantiasa dilandasi oleh nilainilai tersebut sehingga secara langsung membentuk identitas komunitas. Lebih dari itu, Aswaja merupakan inspirasi gerakan dan sekaligus alat bergerak yang membimbing para aktivisnya dalam memperjuangkan cita-cita kebangsaan dan kemanusiaan. Ini sudah dibuktikan misalnya komitmen gerakan yang tidak melenceng dari cita-cita kebangsaan itu, sementara di sisi lain tetap berkomitmen dengan cita-cita Islam yang humanis, pluralis, demokratis, egaliter, dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan. Di atas landasan ini pula organisasi PMII bergerak membangun jati diri komunitasnya dan arah gerakannya. Berikut ini beberapa nilai-nilai yang terkandung dan menjadi dasar disetiap langkah gerakan Aswaja PMII: Kontekstualisasi nilai-nilai yang terkandung dalam Maqosidu Al-Syar`iy:- Hifzunnafs Menjaga hak hidup (hak azazi manusia)- Hifdzuddin pluralisme (kebebasan berkeyakinan)- Hifdzul `aqli (kebebasan berfikir)- Hifdzulmaal (kebebasan mencari penghidupan)- Hifdzul nasab (kearifan local) Karakteristik Ulama Ahlussunnah Waljama`ah dalam berfikir dan bertindak: Tasamuh (toleran), Tawazun (menimbangnimbang), Ta’adul (berkeadilan untuk semua), `Adamu ijabi birra`yi. (tidak merasa paling



benar), `Adamuttasyau` (tidak terpecah belah), `Adamulkhuruj. (tidak keluar dari golongan), Alwasatu.(selalu berada ditengah-tengah), Luzumuljamaah. (selalu berjamaah), `Adamuitbailhawa (tidak mengikuti hawa nafsu) Puncak dari semuanya adalah Ta’awun (saling tolong menolong). b. Aswaja sebagai Manhaj Al-harokah kata harokah merupakan istilah baru yang muncul pada waktu-waktu belakangan ini (era abad 20-an), yang secara bahasa memiliki arti bergerak, aktif, beramal, dan melaksanakan (Mahmud Yunus, tt :101).Dalam kamus kontemporer Arab-Indonesia yaitu gerakan atau organisasi (Atabik Ali & Ahmad Zuhdi Muhdlor, 1999 : 757). Hasan al Banna mengartikan harokah dengan “revolusi” atau mengubah suatu kondisi pada kondisi lain, perubahan yang berkesinambungan, yang meliputi kapasitas, cara, tempat, atau tema (Hasan al Banna, I, 2006 : 27). Jadi bisa di simpulkan manhajul wal harokah adalan metode dalam mengimplementasikan suatu hasil pemikiran. Memahami dan mengimplementasikan metode berfikir Ahlussunnah wal Jama'ah dalam berdakwah dan menyikapi persoalan Geo-Ekosospol ➢ Aswaja Perspektif Sosial Ekonomi Menyangkut bagaimana Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah dikerangkakan sebagai alat baca, perlu kiranya kita mulai pembacaan dan identifikasi persoalan yang dilanjutkan dengan perumusan kerangka teoritis dengan dilengkapi kerangka tawaran langkah-langkah yang akan kita ambil baik strategis maupun taktis. Pertama, perlunya pembacaan yang cukup cermat atas realitas sosial ekonomi Indonesia. Ini diperlukan terutama untuk mengurai lapis-lapis persoalan yang ada dan melingkupi kehidupan sosial-ekonomi kita. Di antara beberapa persoalan yang harus kita dekati dalam konteks ini adalah;Fenomena kapitalisme global yang termanifestasikan melalui keberadaan WTO, world bank dan juga IMF, serta institusi-institusi pendukungnya. Semakin menguatnya institusi-institusi ekonomi kepanjangan tangan kekuatan global tersebut di dalam negeri. Kekuatan-kekuatan tersebut memanifest melalui kekuatan bisnis modal dalam negeri yang berkolaborasi dengan kekutaan ekonomi global, ataupun melalui TNC atau MNC. Liberalisasi barang dan jasa yang sangat berdampak pada regulasi barang dan jasa ekspor -impor.Fenomena pertama berjalan dengan kebutuhan pasar dalam negeri yang sedang mengalami kelesuan investasi dan kemudian mendorong pemerintah untuk mengajukan proposal kredit kepada IMF dan WB. Pengajuan kredit tersebut membawa konsekuensi yang cukup signifikan karena Indonesia semakin terintegrasi dengan ekonomi global. Hal ini secara praktis menjadikan Indonesia harus tunduk pada berbagai kausul dan aturan yang digariskan baik oleh WB maupun IMF sebagai persyaratan pencairan kredit. Dan aturanaturan itulah yang kemudian kita kenal dengan structural adjustment program (SAP), yang antara lain berwujud pada; Pengurangan belanja untuk pembiayaan dalam negeri yang akan berakibat pada pemotongan subsidi masyarakat. Dinaikkannya pajak untuk menutupi kekurangan pembiayaan akibat diketatkan APBN. Peningkatan suku bunga perbankan untuk menekan laju inflasi. Liberalisasi pasar yang berakibat pada terjadinya konsentrasi penguasaan modal pada segelintir orang dan liberalisasi perdagangan yang mengakibatakan munculnya penguasaan sektor industri oleh kelompok yang terbatas. Privatisasi BUMN yang berakibat pada



penguasaan asst-aset BUMN oleh para pemilik asing. Restrukturisasi kelayakan usaha yang mengakibatkan munculnya standar usaha yang akan mempersulit para pelaku usaha menengah dan kecil. Karakter umum liberalisasi yang lebih memberikan kemudahan bagi arus masuk barang dan jasa (termasuk invesasi asing) dari luar negeri pada gilirannya akan mengakibatkan lemahnya produksi domestic karena harus bersaing dengan produk barang dan jasa luar negeri. Sementara di level kebijakan pemerintah semakin tidak diberi kewenangan untuk mempengaruhi regulasi ekonomi yang telah diambil alih sepenuhnya oleh pasar. Sebuah ciri dasar dari formasi sosial neo-liberal yang menempatkan pasar sebagai aktor utama. Sehingga pengelolaan ekonomi selanjutnya tunduk pada mekanisme pasar yang float dan fruktuatif Implikasi yang muncul dari pelaksanaan SAP. ini pada sektor ekonomi basis (petani, peternak, buruh, dan lain sebagainya) adalah terjadinya pemiskinan sebagai akibat kesulitan-kesulitan stuktural yang mereka hadapi akibatnya menguntungkan investor asing. Terlebih ketika sektor ekonomi memperkenalkan istilah foreign direct investment (FDI) yang membawa arus deras investor asing masuk ke Indonesia secara langsung. Derasnya arus investasi yang difasilitasi oleh berbagai kebijakan tersebut pada gilirannya akan melemahkan para pelaku usaha kecil dan menengah. Dari akumulasi berbagai persoalan tersebut, ada beberapa garis besar catatan kita atas realitas sosial-ekonomi; Tidak adanya keberpihakan Negara kepada rakyat. Ini bisa kita tengarai dengan keberpihakan yang begitu besar terhadap kekeutan-kekuatan modal internasional yang pada satu segi berimbas pada marjinalisasi besar-besaran terhadap kepentingan umat. Terhadap persoalan tersebut kita perlu mengerangkan sebuah model pengukuran pemihakan kebijakan. Dalam khazanah klasik kita mengenal satu kaidah yang menyatakan bahwa kebijakan seorang imam harus senantiasa mengarah kepada tercapainya kemaslahatan umat (Tasarruf al-Imam ‘ala al-Raiyati manuntun bi al-Maslahah). Tidak terwujudnya keadilan ekonomi secara luas.Arus investasi yang mendorong laju industrialisasi pada satu segi memang positif dalam hal mampu menyerap tenaga kerja dalam negeri. Namun, pada segi yang lain menempatkan pekrja pada sebagi pihak yang sangat dirugikan. Dalam point ini kita menemukan tidak adanya keseimbngan distribusi hasil antara pihak investor dengan tenaga kerja. Investor selalu berada dalam posisi yang diuntungkan, sementara pekerja selalu dalam posisi yang dirugiakn. Sebuah kondisi yang akan mendorong terjadinya konglomerasi secara besar-besaran. Sehingga diperlukan pemikiran untuk menawarkan jalan penyelesaian melalui apa yang kita kenal dengan profit sharing. Yang dalam khazanah klasik kita kenal dengan mudharabah ataupun mukhabarah. Sehingga secara opertif pemodal dan pekerja terikat satu hubungan yang saling menguntungkan. Dan selanjutnya berakibat pada produktifitaas kerja. Pemberian reward kepada pekerja tidak bisa menjawab kebutuhan yang ditanggung oleh pekerja. Standarisasi UMR sangat mungkin dimanipulasi oleh perusahaan dan segi tertentu mengkebiri hak-hak pekerja.Ini terjadi karena hanya didasarkan pada nilai nominal dan bukan kontribusi dalam proses produksi. Dalam persoalan ini kita ingin menawarkan modal manajemen upah yang didasarkan pada prosentasi kontribusi yang diberikan oleh pekerja kepada perusahaan ataupun proses produksi secara umum. Standarisasi yang kita sebut dengan UPH (upah prosentasi hasil) pada seluruh sektor ekonomi. Salah satu pertimbangan usulan ini adalah kaidah atau sebuah ayat bahwa harus ada distribusi kekayaan dalam tubuh umat itu secara adil dan merata untuk mencegah adanya konglomerasi ekonomi.Tidak adanya perlindungan hukum terhadap pekerja. Hal ini bisa kita lihat dari maraknya kasus PHK sepihak yang dilakukan oleh perusahaan.



Ataupun contoh lain yang mengindikasikan satu kecenderungan bahwa kebijakan-kebijakan Negara lebih banyak diorientasikan semata untuk menarik investasi sebesar-besarnya tanpa pernah memikirkan implikasi yang akan muncul dilapangan. Termasuk potensi dirugikannya masyarakat baik secara ekologis (lingkungan dalam kaitannya dengan limbah industri), ekonomis (tidak berimbangnya penghasilan dengan daya beli), ataupun secara geografis (dalam hal semakin berkurangnya lahan pertanian ataupun perkebunan). Hampir tidak ada kausul level ini kita menuntut pemberlakuan undang-undang pasal 28b UUD 1945 serta perlakuan perlindungan hak pekerja yang dicetuskan kepada konferensi ILO. Perlunya masyaraakat dilibatkan dalam pembicaraan mengenai hal-hal penting berkaitan dengan pembuatan rencana kebijakn investasi dan kebijakan-kebijakan lain yang berhubungan secara langsung dengan hajat hidup orang banyak. Ini diperlukan untuk mengantisipasi potensi resistan yang ada dalam masyarakat termasuk scenario plan dari setiap kebijakan. Berkaitan dengan ini sampai di level kabupaten/kotamadya bahkan tingkat desa masih terdapat ketidak adilan informasi kepada masyarakat. Sehingga masyarakat hampir-hampir tidak mengetahui apa yang telah, sedang dan akan dilakukan pemerintah di wilayah mereka. Kondisi demikian pada banyak level akan merugikan masyarakat yang seharusnya mengetahui informasi-informasi tersebut secara merata.Hal lain yang juga menyangkut persoalan ekonomi adalah perlunya elaborasi atas rujukan-rujukan fiqhiyah (termasuk ushul fiqh) bagi kerangka-kerangka operasional Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah sebagai manhaj al-fikr. Kebutuhan akan elaborasi ini dirasa sangat mendadak, terutama mengingat adanya kebingungan di beberapa tempat menyangkut ideologi dasar PMII dan kerangka paradigmanya terlebih jika dikaitkan dengan kemapuan Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah untuk menyediakan kerangka operatif yang akan memandu kader-kader PMII dilapangan masing-masing. Pembicaraan mengenai berbagai persoalan tersebut mengantar kita untuk menawarkan langkah praktis berupa kerangka pengembangan ekonomi yang kemudian kita sebut sebagai konsep ekonomi bedikari. Konsep ini secara umum bisa kita definisikan sebagai konepsi pengelolaan ekonomi yang dibangun di atas kemampuan kita sebagai sebuah Negara untuk mendukung tawaran tersebut, lima langkah stategis kita usulkan; - Adanya penyadaran terhadap masyarakat tentang struktur penindasan yang terjadi, - Penghentian hutang luar negeri, - Adanya internalisasi ekonomi Negara, - Pemberlakuan ekonomi political dumping, - Maksimalisasi pemanfaatan sumber daya alam dengan pemanfaatan tekhnologi berbasis masyarakat lokal (society-based technology). ➢ Aswaja Perspektif Sosial Politik, Hukum dan HAM Akar permasalahan sosial, politik, hukum dan HAM terletak pada masalah kebijakan (policy). Satu kebijakan seyogyanya berdiri seimbang di tengah relasi “saling sadar” antara pemerintah, masyarakat dan pasar. Tidak mungkin membayangkan satu kebijakan hanya menekan aspek kepentingan pemerintah tanpa melibatkan masyarakat. Dalam satu kebijakan harus senantiasa melihat dinamika yang bergerak di orbit pasar. Dalam kasus yang lain tidak bias jika kemudian pemerintah hanya mempertimbangkan selera pasar tanpa melibatkan masyarakat didalamnya. Persoalan muncul ketika:



1) kebijakan dalam tahap perencanaan, penetapan, dan pelaksanaannya seringkali monopoli oleh pemerintah. Dan selama ini kita melihat sedikit sekali preseden yang menunjukan keseriusan pemerintah untuk melibatkan masyarakat. 2) kecendrungan pemerintah untuk selalu tunduk kepada kepentingan pasar, sehingga pada beberapa segi seringkali mengabaikan kepentingan masyarakat. kondisi tersebut jika dibiarkan akan menggiring masyarakat pada posisi yang selalu dikorbankan atas nama kepentingan pemerintah dan selera pasar. Dan akan menciptakan kondisi yang memfasilitasi tumbuhnya dominasi dan bahkan otoritarianisme baru Kemudian kaitannya dengan Ahlussunnah wal Jama’ah yang juga menjadi nilai dasar pergerakan (NDP) PMII, dimana substansinya adalah jalan tengah, maka sudah sepatutnya bahwa PMII memposisikan diri di tengah untuk mencari titik temu sebagai solusi. Dengan sikap seperti itu, PMII mengikuti nilai Ahlussunnah wal Jama’ah. Nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama’ah seperti tawazun, akan dapat melahirkan nilai Ahlussunnah wal Jama’ah yang ta’adul. Dalam hal ini, yang menjadi titik tekan adalah dengan strategi dapat meruntuhkan kekuasaan dominan dan otoriter yang pada akhirnya bermuara menjadi gerakan revolusiner. Sekali lagi, cara revolusioner merupakan langkah akhir . ketika ada alternatif lain win win solution atau ishlah bisa ditawarkan, maka cara revolusioner meski dihindarkan. Saat ini kondisi sosial politik Indonesia mengalami degradasi luar biasa. Ada tiga variabel yang dapat membantu mencari akar persoalan. Pertama, Negara dan pemerintahan. Dalam hal ini belum mampu menjawab tuntutan masyarakat kelas bawah. Dengan adanya kebijakan-kebijakan yang sebtulnya tidak berpihak pada rakyat, seperti adanya kenaikan harga-harga, merupakan salah satu pemicu munculnya ketidak percayaan masyarakat terhadap pemerintah sebagai penyelenggara Negara. Kedua, militer. Pada dasarnya adanya militer adalah karena untuk mengamankan Negara dari ancaman, bukan malah mengancam. Selama 32 tahun masyarakat Indonesia mempunyai pengalaman pahit dengan perlakuan-perlakuan militer. Meski, dalam hal tersebut harus ada pemilihan, secara institusional, institusi dan secara personal. Keinginan menjadikan militer professional merupakan cerminan adanya keinginan militer untuk berubah lebih baik. Namun, penegasan dan upaya ke arah professionalitas militer masih belum cukup signifikan dan menampakkan hasil. Peran militer terutama pada wilayah sosial politik menjadi cataan tersendiri yang harus dikontrol. Bukan berarti mengeliminir hak-hak militer sebagai salah satu komponen Negara yang juga berhak mengapresiasikan kehendaknya. Tetapi karena menyadari betul, militer sangat dibutuhkan pada wilayah dan pertahanan Negara, maka tidak seharusnya menarik-narik militer ke medan politik yang jelas-jelas bukanlah arena militer. Ketiga, kalangan sipil. Ironisnya, ketika ada keinginan membangun tatanan civil society, yang arahnya ingin membangun supermasi sipil, namun kenyataannya kalangan sipil terutama politisi sipil acapkali mengusung urusan Negara (pemerintahan) serta militer ke wilayah politik yang lebih luas. Sehingga yang terjadi adalah ketidakjelasan peran dan fungsi masing-masing. Fungsi dan peran (pemerintahan) adalah sebagai penyelenggara bukanlah sebagai penguasa tunggal. Oleh karena itu Negara selalu dikontrol. Namun contoh yang semestinya berasal dari masyarakat ataupun kalangan poitisi yang mewakili di parleman kecendrungannya seperti dijelaskan sebelumnya, menyeret-nyeret dan seringkali mencampuradukkan urusan pemerintah dan militer ke dalam wilayaah politik. Oleh karena itu dari ketiga variabel tersebut pada kondisi kekinian yang ada, perlu penegasan dan penjelasan terhadap peran dan fungsi serta posisinya masing-masing. Terutama bagi kalangan sipil yang tereduksi menjadi kalangan



politisi untuk tidak membawa kepentingan-kepentingan politiknya memasuki arena lain. Jika itu tetap berlangsung (ketidakjelasan peran dan fungsi Negara, militer dan parlemen atau parpol bahkan lembaga peradilan) maka niscaya ketidakpercayaan rakyat semakin mengkristal terhadap semua institusi tersebut. ➢ Aswaja Perspektif Sosial Budaya Persoalan social-budaya di Indonesia dapat dilihat dengan menggunakan; Pertama, analisa terhadap kondisi social budaya masyarakat, baik pada tingkatan lokal atau pada tingkat global. Kedua, analisa nilai-nilai budaya yang kemudian didalamnya terdapat nilai-nilai keAhlussunnah wal Jama’ah-an sebagai nilai yang terpatri untuk melakukan perubahan ketika kondisi sosial budaya menjadi dasar pijakan. Dari itu semua, pembentukan karakter budaya menjadi tujuan akhirnya. Ahlussunnah wal Jama’ah dalam konteks sosial budaya dijadikan nilai-nilai yang kemudian menjadi alat untuk melakukan perubahan sosial budaya. Ekplorasi terhadap permasalahan lokal maupun global merupakan cara untuk mengetahui akar persoalan sosial budaya yang terjadi. Bahwa pada kenyataannya globalisasi ternyata mengikis budaya lokal didalam seluruh aspek kehidupan. Globalisasi tanpa kita sadari telah merusak begitu dalam sehingga mengaburkan tata sosial budaya Indonesia. Ironsnya, masyarkat menikmati produkproduk globalisasi sementara produk lokal menjadi teralienasi. Berangkat dari kondisi tersebut, perlu adanya strategi budaya untuk melakukan perlawanaan ketika hegemoni kapitalisme global semakin “menggila”. Salah satu straegi itu menjadikan nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai dasar strategi gerakan. Strategi yang dimaksud bisa dalam bentuk penguatan budaya-budaya lokal. Dalam konteks sosial budaya, posisi Negara dengan masyarakat bukanlah vis a vis tetapi sebagaimana Negara, pasar dan globalisasi secara umum dapat sejajar. Terkait dengan itu, PMII harus dapat menjembatani keinginan-keinginan masyarakat terhadap Negara agar kebijakan-kebijakan Negara tidak lagi merugikan masyarakat dan tidak lagi menguntungkan kapitalis global. PMII harus secara tegas mengambil posisi ini untuk membantu mengantisipasi dampak ekonomi pasar dan globalisasi terhadap masyarakat. Terutama untuk penerjemahan kebijakan Negara, kebijakan ekonomi pasar kemudian globalisasi secara umum yang berdampak pada pihak local yang sebetulnya menjadi sasaran distribusi barang, juga mempengaruhi budaya. Disinilah peran PMII dengan seperangkat nilai-nilai idealnya seperti tawazun, tasamuh dan ta’adul menjadi dasar guna menjembatani kesenjangan antara wilayah internal masyarakat Indonesia. ➢ Aswaja perspektif teknologi dan media Akhir-akhir ini muncul persoalan baru yang ternyata juga butuh perhatian khusus, yaitu teknologi dan media. Dalam hal ini PMII dengan seperangkat nilai yang ada hendaknya mampu untuk mengambil peran terutama dalam menghadapi gerusan arus teknologi dan media sebagai dampak globalisasi. Sebagai contoh salah satu gerakan yang sudah dibuktikan oleh kader terbaik dari PMII Cabang Malang Anjas Pramono (Ketua PMII Komisariat Universitas Brawijaya) yang telah menciptakan 5 aplikasi untuk kaum disabilitas dan mendapatkan penghargaan Internasional.



Tentu, bukan hanya itu yang harus kita lakukan. Ditengah golongan ekstrimis gerakan Islam yang memaksimalkan media sebagai ruang dakwah hendaknya PMII mempunyai Da'i Cyber sebagai wadah perjuangan nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama'ah An-Nahdliyah. Apalagi di kampus-kampus umum sebagai sasaran organisasi sayap kanan atau wahabi, salafi dan ikhwanul muslimin yang berkamuflase dengan balutan fashion Islami. Kita harus mulai merubah tampilan dan gaya ber-PMII terutama dalam hal pakaian. Karena, mayoritas mahasiswa umum akan lebih simpati dengan cara berpakaian yang rapi, bersih dan wangi. Dari situlah mereka perlahan masuk dan menyebarkan doktrin paham keagamaan mereka yang tentu mengancam eksistensi dan keutuhan Pancasila dan NKRI. Terlebih hari ini anak-anak, pemuda dan Mahasiswa mulai digempur oleh perkembangan teknologi agar bermental konsumtif dengan berbagai glamour teknologi dan suguhan game, menjadi tantangan yang tidak bisa disepelekan. Pasalnya, bagaimanapun akan berdampak pada nalar kritis dan kepedulian terhadap persoalan bangsa. Berdasarkan hal itu maka pilihan agregasi PMII harus senantiasa diorientasikan untuk menggerakan formulasi rekayasa sosial yang diabdikan sebesar-besarnya bagi pemberdayaan masyarakat dihadapan Negara maupun pasar. Sehingga dapat tercipta perimbangan kekuatan yang akan memungkinkan terbentuknya satu tatanan masyarakat yang relasional-partisipatif antara Negara, pasar, PMII dan masyarakat, dimana PMII dengan masyarakat merupakan kesatuan antara system dengan subsisitem yang mencoba menjembatani masyarakat, Negara dan pasar. PMII dengan demikian berdiri dalam gerak transformasi harapan dan kebuthan masyarakat dihadapan Negara dan pasar



BAB VI Nahdlatunnisa’ A. Kondisi Perempuan Sejalan dengan perkembangan tata kehidupan berbangsa dan bernegara di lingkungan dunia internasional, maka suatu negara dalam mempertahankan eksistensi atau kelangsungan hidupnya memerlukan perjuangan seluruh bangsa untuk mencapai atau mempertahankan kelestarian teritorialitas atau kedaulatan teritorialnya. Menyadari adanya kompleksitas permasalahan, baik isu mengenai tapal batas (border), keamanan nasional (national security) atau keamanan manusia (human security) perlu adanya satu pemahaman wawasan nusantara didalam menentukan kebijakan. Guna mengatasi berbagai permasalahan-permasalahan tersebut di atas dan menghadapi pengaruh perkembangan lingkungan strategis yang diwarnai arus globalisasi dan gelombang reformasi, maka diperlukan suatu rumusan kebijakan/strategi geopolitik Indonesia yang handal. Kondisi ini juga membawa dampak yang sangat besar bagi perempuan sesuai dengan perkembangan zaman dan peradaban. Kondisi perempuan masih sangat diperhitungkan dalam segala aspek, sosial, budaya, dan politik. Pembatasan ruang dan waktu perempuan menjadi aset yang sangat berharga, dimana posisi perempuan masih didomestifikasikan baik dalam ruang publik maupun ruang privat. Manusia berjenis kelamin perempuan tidak mampu menentukan hidupnya sendiri, anggapan-anggapan umum tentang perermpuan yang lemah, lembut, patuh, penurut, penyabar, penyayang, dan justifikasi lainnya. Yang membuat perempuan terlemahkan secara sistematis ditambah prasangka ini telah mendapat penguatan secara struktur masyarakat terwujud dalam bentuk kebiasaan dan menjadi norma-norma yang berlaku saat ini. Kondisi perempuan dalam beberapa situasi mulai global dan nasional. Potret perempuan saat ini juga tidak lepas dari geo eko-pol internasional yang membuat posisi perempuan menjadi terpinggirkan bahkan menjadi komoditas. 1.



Situasi global Globalisasi dan kemajuan teknologi informasi telah menjadikan wilayah kedaulatan negara menjadi lebih abstrak sehingga mudah terjadi kerawanan terhadap wilayah yurisdiksi nasional yang melampaui batas kedaulatan negara, hampir dipastikan mengandung resiko ancaman keamanan yang bersifat transnasional, antara lain kejahatan lintas negara, imigrasi gelap, penangkapan ikan ilegal, terorisme internasional, penyelundupan senjata maupun perdagangan anak-anak dan perempuan. Dalam konteks ekonomi politik, perempuan masih menjadi barang laku pemapanan kapitalisme. Hegemoni kapital yang dilancarkan melalui iklan-iklan komersil membuat penindasan secara terselubung terhadap perempuan semakin sukses. Dalam tatanan geo-politik ruang-ruang regional-nasional kembali direbut oleh kapitalisme. Disadari atau tidak, ruang sebagai bagian dari wilayah kekuasaan turut mempengaruhi ruang gerak bangsa dan negara. Semakin besar wilayah, semakin besar ruang gerak. Akan tetapi, hal tersebut terbantahkan oleh suatu jalur media informasi dan komunikasi. Semakin banyak gaya hidup yang ditawarkan oleh globalisasi ekonomi, infromasi dan kebudayaan disatu pihak telah membuka cakrawala yang tak terbatas dan kreatif bagi setiap individu untuk menentukan pilihan dan seleranya, namun dipihak lain telah menggiring masyarakat kontemporer ke arah krisis identitas, krisis kebudayaan bahkan krisis kepercayaan.



2.



Situasi Nasional Untuk bidang pendidikan, biaya pendidikan utamanya pendidikan tinggi semakin mahal. Mahalnya biaya pendidikan, tidak tersedianya lembaga pendidikan yang merata dan absennya negara untuk memberikan hak pendidikan kepada warga negaranya telah mengakibatkan akses perempuan terhadap pendidikan semakin dihilangkan. Ditambah pula dengan pandangan bahwa perempuan bertanggung jawab utamanya untuk mengurus rumah tangga, maka perempuan tidak menjadi prioritas untuk mendapatkan pendidikan. Menurut data kementrian pemberdayaan perempuan dan anak, akses perempuan jauh lebih rendah dibandingkan lakilaki. Jumlah buta huruf pada usia 15-45 tahun lebih tinggi perempuan 2-3 kali dibandingkan laki-laki. Sementara, dari 10 tingkat tertinggi di setiap jenjang pendidikan, ternyata 60-70% nya adalah perempuan. Dibidang kesehatan, pelayanan kesehatan yang mahal tidak tersedia dalam jumlah yang cukupdan sulit untuk diakses karena mensyaratkan berbagai dokumen, telah meminggirkan akses perempuan terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas dan murah. Penyuluhanpenyuluhan atau pembagian informasi tentang hidup sehat pun sangat minim di dapatkan oleh perempuan. Secara khusus untuk kesehatan organ reproduksi, pemerintah belum memberikan perhatian yang sungguh-sungguh. Hal ini mengakibatkan perempuan terpaksa menahan sakit yang dideritanya tanpa punya kesempatan untuk melakukan pemeriksaan komprehensif dan kemudian mendapatkan pengobatan yang baik. Kenaikan harga BBM dan tren kenaikan harga-harga saat ini (beras, gas, listrik, tiket kereta, dll) memukul perempuan dengan kerasnya. Pengetatan pengeluaran rumah tangga mesti dilakukan, yang artinya adalah turunnya kualitas hidup keluarga. Bagi perempuan yang masih lajang, harus melakukan hal yang sama dan apabila bekerja mungkin harus mengurangi bantuan ekonomi terhadap orang tua. Krisis ekonomi, kehidupan keluarga miskin telah terbukti menjadi salah satu penyebab maraknya kasus kekerasan terhadap perermpuan dan anak. Telah banyak diberitakan ibu tega membunuh diri dan anak-anaknya karena tidak sanggup hidup dalam kemiskinan, perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Suatu kebijakan untuk mendukung kepentingan AS yang dilaksanakan di dalam negeri terbukti telah mengantarkan perermpuan dan rakyat Indonesia ke jurang kemerosotan, perempuan berada didalam jurang kemerosotan terdalam akibat adanya diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan, baik didalam sektornya maupun perempuan sebagai gendernya. Kaum miskin kota semakin sulit kehidupannya dengan meroketnya harga kebutuhan pokok dan sektor layanan publik yang diselenggarakan oleh negara. Hampir tidak ada jaminan akan kehidupan dan penghidupan yang layak bagi perempuan dan anak-anak. Krisis, kemerosotan ekonomi yang dialami oleh rakyat Indonesia, perempuan Indonesia merupakan hasil dari pelaksanaan kebijakan yang dipaksakan oleh pimpinan AS untuk mempertahankan dominasi dan keberadaannya. Sehingga, perempuan Indonesia harus bangkit dan berjuang melawan imperialisme. B. GERAKAN PEREMPUAN DALAM SEJARAH ISLAM Ketika perempuan di dunia Islam menggeliat menyuarakan haknya, banyak orang merasa tersentak, terutama mereka yang selama ini hidup nyaman dengan sistem patriaki. Yang muncul kemudian adalah resistensi terhadap segala gerakan yang ditengarai menyuarakan hakhak perempuan. Dari yang menganggap gerakan itu sebagai adopsi barat, sampai yang menganggap tidak ada dasarnya dalam Islam.



Memang, jika kita menurut sejarah Islam sejak zaman klasik sampai sekarang, gerakan perempuan selalu berhadapan dengan arus besar yang tidak menghendaki perubahan akibat gerakan itu. Namun, tidak berarti bahwa gerakan perempuan dalam Islam tidak ada dan tidak diakui agama. Teks-teks suci keagasmaan menunjukkan bahwa gerakan perempuan, terutama di awal Islam, memiliki bobot dan pengaruh terhadap rumusan ajaran-ajaran formal keagamaan pada masa Nabi Muhammad saw. Selain itu, generasi sahabat yang hidup semasa Rasulullah diakui secara aklamasi sebagai generasi Islam terbaik. Kedua, dinamika gerakan perempuan yang terjadi pada masa sahabat tidak terjadi pada masa-masa sesudahnya, bahkan ketika peradaban Islam sedang berada di puncak peradaban dunia, di masa Abbasiyah. Barulah pada akhir abad kesembilan belas, ketika Islam menyadari ketertinggalannya, gerakan perempuan Islam akhirnya muncul. Menyusul kesadaran perlunya kebangkitan Islam pasca kolonialisme. ➢ Alquran dan Perjuangan Perempuan Sebagaimana disinggung sebelumnya, gerakan perempuan memiliki pengaruh langsung terhadap turunnya ajaran-ajaran agama, khususnya yang menyangkut hak-hak perempuan. Alquran menyatakan dengan sangat jelas pengaruh tersebut. Dalam Alquran terdapat beberapa ayat yang mengakomodir aspirasi perempuan yang turun segera setelah ada suara dari perempuan. Sebagai contoh, ayat 35 Surat Al-Ahzab yang secara eksplisit mengakui kesetaraan lakilaki dan perempuan di mata Tuhan, turun setelah Ummu Salamah ra mempertanyakan pada Nabi mengapa kaum perempuan dalam Alquran tidak diungkap sebagaimana kaum laki-laki. Ummu Salamah memperjuangkan hak istri, sementara Mu’adzah memperjuangkan hak reproduksinya dari tangan-tangan tidak bertanggung jawab. Sekalipun mereka dalam tiga kasus ini mereka kebetulan berbicara sendirian, sesungguhnya mereka menyuarakan suara perempuan secara umum. Yang perlu kita garis bawahi di sini, keberanian itu muncul kerena ikim perempuan, termasuk paling pribadi sekalipun. Kurang lengkap rasanya mengurai perjuangan perempuan Islam masa awal tanpa menyinggung dua peristiwa besar yang menunjukkan keteguhan dan kemandirian kaum perempuan dalam menentukan sikap hidupnya. Peristiwa itu adalah Bai’at an-Nisa’ (Bai’at keislaman kaum perempuan) dan Hijrah ke Madinah. Dalam Bai’at an-Nisa, Allah memerintahkan Nabi untuk membai’at dan memintakan ampunan kepada perempuan yang secara sadar datang bersama-sama untuk berbai’at. Untuk menguji kesungguhan kaum perempuan ini, Rasulullah sebagaimana diriwayatkan dalam banyak hadis sahih berdasarkan kesaksian Umaimah binti Ruqaiqah, salah seorang perempuan Anshar peserta bai’at mengajukan banyak pertanyaan kepada sekelompok yang hendak berbai’at ini. Peristiwa bai’at ini terekam dengan gamblang dalam surat al-Mumtahanan ayat 12. Peristiwa lebih dramatis terjadi juga pada beberapa perempuan yang secara sadar meninggalkan segala kemewahan hidup dan keluarganya yang masih memusuhi Islam untuk ikut hijrah ke Madinah bersama Nabi. Menghadapi perempuan teguh seperti ini, lagi-lagi Allah memerintahkan orang-orang mukmin untuk menguji keteguhan imannya. ➢ Al-Hadis dan Perjuangan Perempuan Meneropong apa yang terjadi dalam gerakan perempuan islam dalam sejarah, sangat mustahil jika tidak membuka hadis Nabi. Hadis Nabi merupakan bukti otentik atas dinamika yang terjadi di masa itu, termasuk dinamika gerakan perempuan Islam.



Kalau kita melihat hadis Nabi yang berbicara mengenai perempuan, kita temukan bahwa sebagian besar hadis muncul karena ada pertanyaan atau kasus yang dialami perempuan. Seperti masalah relasi suami istri. Baik relasi seksual maupun relasi keseharian, dan bagaimana peran publik dan sosial perempuan, merupakan beberapa bukti betapa inisiatif dan aspirasi perempuan menjadi sebab utama munculnya hadis-hadis tersebut. Sepintas lalu, proses munculnya ajaran tentang perempuan yang demikian tampaknya meneguhkan anggapan bahwa agama kurang menaruh perhatian pada perempuan. Namun, jika dilihat dari perspektif yang lain, hal justru itu merupakan fakta betapa agama tidak semenamena dalam memberikan peraturan menyangkut perempuan. Nabi sebagai pembawa risalah sangat menyadari bahwa beliau adalah seorang laki-laki yang tidak serta merta memahami seluk beluk perempuan. Karenanya, beliau perlu mendengar suara perempuan sebelum memberikan satu keputusan agama. Sikap ini sangat kontras jika dibandingkan dengan kecenderungan sebagian ahli agama yang merasa paling tahu dan karenanya merasa paling berhak membuat aturan tentang perempuan. Menyampaikan aspirasi, baik yang bersifat memperjuangkan hak perempuan atau mencari tahu ajaran agama menjadi tradisi yang tumbuh subur di kalangan sahabiyat, terutama di kalangan Anshar. Tidak heran jika Ummul Mukminin Aisyiah ra memuji sikap perempuan Anshar yang tidak dihalangi rasa malu dalam tafaqquh fiddin. Imam Bukhari mengabadikan pujian Aisyiahini menjadi judul bab dalam salah satu bahasan tentang ilmu dalam kitab Sahih Bukhari-nya. Sementara Imam Muslim menyitir pernyataan itu dalam suatu hadis mauquf dalam Sahih Muslim-nya. C. GERAKAN PEREMPUAN DI INDONESIA Gerakan perempuan di Indonesia tumbuh pada awal abad 20 ketika sekolah modern didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda, dan organisasi modern didirikan oleh “kaoem bumiputera”. Hingga saat ini, hampir satu abad lamanya, perjuangan itu mengalami pasang surut. Bahkan apa yang disebut capaian tentang “Hak Perempuan” saat ini, pada prinsipnya belum dapat menjawab problem penindasan yang dialami kaum perempuan itu sendiri. Gerakan perempuan di Indonesia dalam memperjuangkan hak perempuan dan hubungannya dengan pembentukan negara Indonesia. 1.



Periode Melek Pengetahuan – Melawan Adat



Titik awal mengambil tahun 1900-an, sebagai tahun yang ditandai dengan babak baru yang umum disebut kebijakan “etis” kolonial Belanda serta kehadiran gerakan nasionalis terorganisir di Indonesia, yang tidak dapat dipisahkan dari gerakan perempuan. Abad baru tersebut menandai awal nasionalisme Asia (de-Stuers: 1960). Kebijakan “etis” Belanda yang terkemuka ialah pembukaan sekolah modern bagi perempuan. Jika kita telisik, pembukaan sekolah perempuan ini berada di kota yang merupakan pusat industrialisasi perkebunan kolonial. Pendiri sekolah perempuan adalah aktivis perempuan dari kalangan priyayi maupun pegawai birokrasi kolonial, namun kemudian mendapat izin dari pemerintahan Belanda untuk menyelenggarakan pendidikan tersebut. Contoh di Minahasa, sekolah perempuan itu dibangun di kota Tomohon pusat pendidikan dan agama masa kolonial yang dikelilingi oleh perkebunan cengkeh yang sangat subur. Di Sumatra, sekolah perempuan itu dibangun di Bukittinggi, yang dikelilingi pula oleh perkebunan kolonial. Di Medan, sebuah gereja protestan juga diketahui membangun sekolah bagi perempuan, di mana kita mengenal perkebunan Deli yang sangat terkenal. Di Jawa, sekolah



perempuan di Bandung, Yogyakarta, Salatiga, Surabaya, Malang, adalah kota yang dijadikan pengepul hasil perkebunan kolonial. Mengapa sekolah perempuan dan industrialisasi perkebunan berseiring? Ini ada hubungannya dengan kebutuhan pemerintah kolonial terhadap pekerja kerani (juru catat) di perkebunan atau perkantoran usaha perkebunan. Di samping itu berhubugan pula dengan kebutuhan menyetak “nyonya-nyonya” Boemipoetera seperti “mevrouw-mevrouw” Belanda, yang pandai merajut, menyelenggarakan upacara makan, berdandan modern, bisa baca tulis dan sedikit bahasa Belanda untuk membangun keluarga “boemipoetra kolonial” (holy family). Tetapi, pada perkembangannya, setelah melek huruf dan bahasa, para perempuan ini jauh melebihi harapan pemerintah kolonial. Mereka menjadi kritis dan melakukan perlawanan pertama terhadap adat kawin-cerai yang merendahkan kedudukan perempuan dalam keluarga. Para perempuan ini pun mempunyai pergaulan yang melampaui rumah atau desanya, sehingga berkenalan dengan aktivis laki-laki yang terpelajar, yang juga sedang bergairah melawan penjajah. Diskusi yang mengarah pada kesadaran identitas sosial “perempuan” telah berkembang mencapai kesadaran untuk menjadi “perempuan” bangsa yang merdeka (identitas nasional) 2.



Periode Melek Nasionalisme – Melawan Kolonialisme/Imperialisme



Meski tidak bermaksud membangun pembatasan secara berangka tahun, periodisasi yang saya sebut “Melek Nasionalisme” ini mengkristal di kalangan aktivis organisasi perempuan setelah Soempah Pemoeda, 28 Oktober 1928. Pada saat itu, seorang aktivis perempuan, yakni Siti Soendari (seorang wartawan dan pendiri buletin perempuan Swara Pacitan), mendapat kesempatan untuk berpidato di Kongres Soempah Pemoeda tersebut. Dua bulan sesudah peristiwa penting ini, organisasi-organisasi perempuan di Hindia Belanda (“Indonesia”) menyelenggarakan Kongres Perempuan I, pada 22 Desember 1928 di Yogyakarta. Tema sentral pembahasan pada saat itu ialah mengonsolidasi perjuangan khusus perempuan pada perjuangan yang lebih besar, yaitu memerdekakan Indonesia. Meski tidak meninggalkan agenda khusus memperjuangkan “hak perempuan” dalam perkawinan (melawan perkawinan dini, hak bercerai dan poligami) untuk menjadi kebijakan pemerintah kolonial. Isu tentang Hak Dipilih (women’s suffrage) perempuan pribumi sebagai anggota Dewan Kota, menjadi agenda pembahasan dalam Kongres Perempuan ketiga di Bandung pada Juli 1938. Keputusan Kongres menghasilkan amanat untuk memperjuangkan Hak Dipilih bagi perempuan pribumi sebagai langkah perjuangan pergerakan perempuan pada masa itu. Tetapi kebijakan Hak Dipilih bagi perempuan pribumi baru diberikan pemerintah kolonial pada suatu malam ketika Perang Pasifik terjadi, yakni pada 1942. Kecenderungan perjuangan pada periodisasi ini ialah gerakan perempuan memasukkan agenda “hak perempuan” untuk menjadi kebijakan negara kolonial. Urusan perempuan yang dipandang domestik (contoh perkawinan dan perceraian) ditransformasikan oleh gerakan perempuan menjadi agenda publik –negara, yang hal ini tetap berlangsung hingga Indonesia Merdeka. Ketika Indonesia telah merdeka, perjuangan “hak perempuan” berlangsung di arena “negara”, untuk meneguhkan identitas kewarganegaraannya secara otonom. Meski, serta merta perempuan adalah warganegara Indonesia, namun demikian masih harus berjuang keras untuk memperjuangkan hak perempuannya sebagai warga negara yang sejajar dengan warga negara yang laki-laki. Dukungan partai politik turut serta mendekatkan isu perempuan ini dengan kebijakan negara, meski tetap ada soal perempuan yang secara umum tidak pernah didukung oleh partai politik beraliran Islam, yakni tentang poligami (poligini).



Sebagai catatan: tidak semua organisasi perempuan pasca-kemerdekaan melawan imperialisme (sebagai saudara kembar kolonialisme) sebagai akar penindasan perempuan. Secara umum, ideologi politik yang dipeluk organisasi-organisasi perempuan sepanjang dekade 1950-1960an adalah Nasakom (nasionalisme-agamaisme-komunisme), meskipun ada yang tidak mengikuti pendirian ideologi-politik tersebut. 3.



Periode Koncowingking – Mengikuti Suami



Periode ini harus saya kemukakan sebagai periode penghancuran gerakan perempuan Indonesia, yang titik awalnya dilakukan melalui penghancuran terhadap Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) melalui kampanye media massa antara 10 Oktober 1965 – 12 Oktober 1965. Melalui surat kabar militer Angkatan Bersenjata, Berita Yudha, dikampanyekan bahwa pembunuh tujuh orang jenderal di Lubang Buaya adalah Gerwani. Aktivis organisasi perempuan ini dituduh membunuh para jenderal itu secara keji, dengan cara mencungkil mata dan menyilet-nyilet alat kelaminnya. Kampanye itu telah dibongkar oleh seorang peneliti Belanda, Saskia Wieringa (1995) sebagai kebohongan belaka. Ia menemukan visum et repertum kondisi tujuh jenderal tersebut mati dalam keadaan ditembak tanpa luka siletan ataupun pencungkilan mata. Tetapi, Gerwani sebagai organisasi massa perempuan telah diberangus oleh rezim Orde Baru dan aktivisnya kemudian ditangkap, dibuang ataupun dibunuh sejak itu hingga 1968. Sejak militer Orde Baru berkuasa melalui penghancuran citra gerakan perempuan kerakyatan yang melawan adat dan imperialisme, maka tak dibenarkan kaum perempuan memperjuangkan hak perempuan dan ideologi-politiknya. Yang diperbolehkan adalah menjalankan program nasional, yakni Keluarga Berencana dan menjadi anggota organisasi isteri yang disebut Dharma Wanita (untuk isteri PNS) dan Dharma Pertiwi untuk isteri ABRI). Sedangkan untuk perempuan kampung yang bukan isteri PNS maupun ABRI diarahkan untuk aktif di PKK, Posyandu atau pun menjadi penyuluh KB. Agar kaum perempuan tidak melanggar aturan ini, maka dikemaslah sebuah ideologi peran yang disebut Panca Dharma Wanita, dan kaum perempuan dikontrol oleh suami atau penjabat negara dari lokal hingga pusat. Periode ini membuat gerakan perempuan Indonesia hanya menjadi alat mobilisasi politik rezim militer yang pro-kapitalisme. Adat dan paham tua dikembangkan kembali untuk proses penundukan daya kritis organisasi perempuan. Sejalan dengan itu, industri majalah perempuan bertumbuhan dan mengusung “citra perempuan ideal modern” yang menerima beban ganda dengan tetap fashionable. Perempuan yang ideal ialah yang berkarier tetapi tidak melupakan peran domestiknya. Maka, tak ada yang menyadari bahwa tubuh perempuan sejak periode ini telah dijadikan pasar bagi industri kosmetik dan busana; dan juga seksualitas perempuan dijadikan pasar bagi industri alat kontrasepsi. Di antara tubuh dan seksualitasnya, tenaga kerja perempuan dieksploitasi sebagai buruh di industri manufaktur, garmen, dan sebagainya. Di sini “negara” hilang sebagai arena pertarungan merebut “hak perempuan”, tetapi sebaliknya “negara” berhasil memanipulasi “hak perempuan” seakan-akan telah meretas batas domestik-publik, namun realitasnya tetaplah koncowingking. 4.



Periode Melek Demokrasi Melawan Otoritarianisme Militer



Periodisasi ini kira-kira pada awal dekade 1980-an. Dipengaruhi oleh Dekade Perempuan Internasional 1975-1985 dan situasi nasional yang represif, tumbuhlah organisasi perempuan “baru” yang berjuang untuk merebut kembali hak perempuannya yang dihancurkan. Organisasi perempuan ini populer disebut LSM Perempuan yang beragam kegiatannya, mulai dari



pengembangan ekonomi, advokasi kekerasan terhadap perempuan, hingga mengangkat kembali hak dipilih bagi perempuan untuk keterwakilan di parlemen. Di kalangan kelompokkelompok studi mahasiswa, juga bertumbuhan gairah untuk mengkaji realitas persoalan perempuan, namun masih gagap di dalam praktik perjuangannya. LSM Perempuan yang tumbuh sekitar dekade 1980-an, contohnya Yayasan Annisa Swasti di Yogya dan Kalyanamitra di Jakarta, mulanya memusatkan perhatian pada masalah eksploitasi tenaga kerja perempuan (buruh perempuan). Buruh perempuan adalah realitas kelas tertindas yang digempur oleh patriarki di dalam rumah tangga, militerisme dan kapitalisme. Setelah dekade 1990-an, perjuangan merebut hak perempuan bergerak ke isu kekerasan terhadap perempuan yang memusatkan aspek seksualitas dan gender sebagai basis penindasan militerisme negara. Di sini feminisme dan hak asasi manusia komplementer membangun gerakan yang membongkar kekerasan negara terhadap perempuan, yang contohnya terjadi sejak Tragedi 1965 di seluruh Indonesia, DOM di Aceh, Kerusuhan 13-14 Mei di Jakarta, DOM di Papua, invansi militer di Timor Leste, dan sebagainya. Adapun LSM Perempuan yang memusatkan perhatian pada masalah kemiskinan dengan kegiatan peningkatan ekonomi sebagai ibu rumah tangga juga cukup berkembang –terutama di pedesaan. Selama periodisasi ini, perjuangan untuk merebut hak perempuan termanifestasi ke dalam isu-isu perempuan guna memobilisasi perlawanan terhadap otoritarianisme Orde Baru. Maka negara menjadi arena pertarungan –antara perempuan dan penguasa militer Orde Baru. 5.



Periode 30 Persen Keterwakilan Perempuan



Setelah penguasa Orde Baru mundur sebagai presiden pada 21 Mei 1998, Kongres Perempuan Indonesia digelar oleh LSM perempuan sejak 14 Desember hingga 22 Desember 1998 di Yogyakarta. Salah satu mandat Kongres yang utama ialah memperjuangkan isu Hak Dipilih perempuan dalam parlemen. Sebab realitasnya sejak Indonesia merdeka hingga saat ini, keterwakilan perempuan di parlemen tidak pernah beranjak dari 10 persen. Selanjutnya, dari pemilu ke pemilu, perjuangan untuk merebut hak dipilih perempuan ini mengemuka. Gerakan perempuan mendeklarasikan affirmative action (tindakan khusus sementara) kuota 30 persen untuk memastikan kemajuan perjuangan hak dipilih bagi perempuan. Affirmatif action untuk kuota 30 persen keterwakilan perempuan ini pada akhirnya diterima dan dicantumkan ke dalam UU Pemilu sekalipun masih penuh dengan catatan kelemahan. Begitu pun, di bidang isu hak asasi perempuan juga mengalami pengakuan negara, yakni ketika Komisi Nasional Anti-kekerasan terhadap Perempuan dibentuk atas keputusan Presiden Habibie dan perjuangan perempuan untuk membongkar kekerasan negara mendapatkan aksesnya. Pada periodisasi ini, hampir seluruh organisasi perempuan memuarakan persoalan isu hak perempuan ke ranah kebijakan yang berujung pada produksi legislasi dan anggaran untuk kepentingan perempuan. Agenda perempuan itu tidak ditolak oleh penyelenggara negara, bahkan diberi akses, namun demikian tetap terjadi pertarungan perspektif antara organisasi perempuan dengan penyelenggara negara, terutama partai-partai politik. 6.



Periode Melawan Neoliberalisme



Krisis ekonomi dunia yang berlangsung terus menerus mengakibatkan posisi Indonesia – sebagai negara mantan jajahan dijadikan objek untuk pemulihan krisis tersebut. Apa yang dijadikan objek yaitu sumberdaya alam dan tenaga kerja manusianya yang murah. Pada awal 1970an, Indonesia menjadi objek industri manufaktur dan pertanian pangan (beras), dan kemudian sejak 2000-an Indonesia menjadi objek bagi industri ekstraktif (pertambangan dan perkebunan sawit).



Masalah yang dihadapi petani dan nelayan perempuan saat ini berhubungan dengan terjadinya pemisahan ruang produksi dan reproduksi dalam ruang hidup mereka. Pemisahan itu terjadi setelah perusahaan-perusahaan TNC/MNC memperoleh konsesi dari pemerintah untuk mengeksploitasi sumberdaya alam stempat. Akibat pemisahan itu maka perempuan petani kehilangan sumberdaya alam untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari bagi anggota keluarga. Sementara bagi perempuan yang menjadi buruh (pabrik, perkebunan, rumah tangga, migran) mengalami eksploitasi waktu dan tenaganya. Akibat masalah-masalah itu, mulai muncul perlawanan perempuan buruh, petani, nelayan, miskin kota (yang kerjanya serabutan) terhadap perusahaan-perusahaan yang mengeksploitasi dirinya, atau yang merampas alat-alat produksinya. Di seluruh Indonesia saat ini telah muncul perempuan-perempuan rakyat pekerja yang melawan korporasi-korporasi ekstraksi, melakukan protes dan pemogokan di perusahaannya, sekali pun masih dalam cakupan lokal dan sektoral. Gerakan perempuan rakyat pekerja ini sebenarnya telah muncul sejak masa perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda pada 1920-an, tetapi gerakan ini kemudian ditumpas pada saat melawan pemerintah kolonial pada 1926. D. GERAKAN PEREMPUAN DI PMII Perempuan Indonesia tidak bisa disisihkan dalam sejarah gerakan di Indonesia. Kaum Hawa telah muncul dalam gerakan sosial, politik, pendidikan, dan kebudayaan sejak era kerajaan hingga pasca kemerdekaan Indonesia. Siapa yang tak kenal Ratu Kalinyamat? Dia ikut berperan dalam pasang surut politik di Kerajaan Pajang. Demikian halnya dengan RA Kartini, perempuan yang bergerak membela kaumnya, sekaligus menggelorakan semangat Pendidikan bagi perempuan. Gerakan perempuan tentu tidak lahir dari ruang hampa. Dia muncul dalam pergulatannya dengan konteks zaman dan sejarahnya. Dalam tiap-tiap konteks itulah, gerakan perempuan menemukan lokus gerakan, menyemai momentum, dan membangun strategi di tengah kuatnya dominasi laki-laki serta belenggu budaya patriarki. Dengan cara yang seperti itulah Korps PMII Putri (KOPRI), sebuah organisasi perempuan otonom muncul. Organisasi yang merupakan bagian dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) ini, muncul untuk mendorong kiprah perempuan dalam tubuh PMII. KOPRI PMII menjadi organisasi tempat para kader perempuan PMII menemukan lokus perjuangan dan area untuk membangun strategi gerakan. Tentu saja kehadirannya tetap menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan nafas Manhaj Al Fikr yang serupa dengan lembaga dan badan otonom perempuan NU lainnya, seperti Muslimat, Fatayat dan IPPNU. KOPRI PMII Berdiri pada tahun 1967 dan kini telah melampaui usia emasnya, yakni 54 tahun. Dalam usia yang sudah dewasa tersebut, KOPRI dengan segala dinamika dan warna gerakan perempuan yang mengiringinya, sudah harus melihat kembali posisi dan garis perjuangannya sebagai kawah candradimuka perempuan NU di tingkatan mahasiswa. Apalagi kini, zaman tengah menyongsong dan bahkan sudah berada dalam revolusi industri 4.0. Para aktivis KOPRI-lah, salah satu bagian kaum milenial yang akan banyak mewarnai era tersebut. Sebagai bagian integral dari PMII, maka pusat gerakan KOPRI tidak akan bergeser dari wacana pembebasan, keadilan, dan humanisme. Sebagai gerakan perempuan, tentu saja diskursus tersebut akan bergerak pada perjuangan pembebasan atas ketidakadilan dan



ketidaksetaraan martabat kemanusiaan karena pola relasi yang timpang antara laki-laki dan perempuan. Dengan demikian, isu-isu yang masih menjadi agenda perjuangannya antara lain; isu kekerasan pada perempuan dan anak, perdagangan manusia, dan ketidakadilan akses ekonomi pada perempuan. Sebagai organisasi kaderisasi dengan sasaran generasi milenial ditingkat mahasiswa, fase ini tentu akan menjadi bagian dari penyadaran struktur kognitif, pengisian kerangka pikir, dan penataan muatan epistimologi bagi perempuan PMII. Sebagai organisasi Islam, argumentasi yang berbasis pada teks-teks keagamaan mengenai pola relasi antara laki-laki dan perempuan tentunya harus tetap dipertimbangkan. Melalui dan dalam teks-teks keagamaan, ruang negosiasi dan interaksi yang seimbang atas laki dan perempuan dibangun. Tentu dengan terlebih dahulu meletakkan teks-teks agama secara netral dari bias misoginistis (Rasa tidak suka terhadap wanita, termasuk diskriminasi seksual, fitnah perempuan, kekerasan terhadap perempuan, dan objektifikasi seksual perempuan.). Gerakan perempuan yang berbasis teks keagamaan ini bisa membangun kerangka teologis kesetaraan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Gerakan perempuan KOPRI PMII yang berbasi pada tradisi, baik tradisi keagamaan maupun tradisi lokal Nusantara inilah nantinya yang menjadi modal dalam mengarungi era Revolusi Industri 4.0. Seperti telah dijelaskan oleh berbagai pakar, era 4.0 ini diwarnai oleh kecerdasan buatan (artifisial intelegence), era super komputer, rekayasa genetik, inovasi dan perubahan cepat yang berdampak pada ekonomi, industri, pemerintahan dan politik. Dalam era yang demikian, kecerdasan dan keterampilan bukanlah jaminan satu-satunya untuk ikut berkompetisi. Jika tidak memiliki karakter yang khas, kata salah seorang budayawan Makassar, Razak Thaha, anda akan terlempar dalam putaran roda 4.0 ini. Karakter yang khas itu salah satunya adalah kemampuan kita mengolah yang lokalitas menjadi bagian dari globalisme atau universalisme. Itulah yang kita sebut dengan glokalisasi. Namun tanpa penguasaan yang baik terhadap teknologi informatika, tentu juga kekhasan karakter itu tidak akan bisa diamplifikasi. Dengan demikian kaderisasi di tubuh PMII KOPRI perlu mempertimbangkan penguasaan pada industri dan teknologi informasi. Membanjirnya informasi melalui kanal media sosial seperti youtube, instagram, Facebook dan lain-lain harus mampu dimanfaatkan oleh kader perempuan PMII untuk melakukan personal branding. Tak mudah mengafirmasi diri sebagai bagian dari generasi Industri 4.0 sekaligus sebagai kader dari Organisasi gerakan yang berpijak pada Aswaja dan kearifan lokal. Tetapi jika aktivis PMII KOPRI mampu memadukan itu, maka KOPRI PMII akan muncul dengan identitas yang berbeda dari organisasi perempuan lainnya. Peran perempuan di PMII sangat berpengaruih terhadap penaikan HAM khususnya untuk perempuan itu sendiri, dari mulai munculnya gagasan gagasan baru dari perempuan itu sendiri sampai dibentuk Kopri untuk mewadahi aspirasi perempuan perempuan penggerak, saat ini perempuan memiliki porsi yang sama seperti laki-laki. Belum bisa dikatakan berhasil perjuangan kopri jika perempuan masih belum bisa menyuarakan diri dan hanya menjadi pengikut atau ekor bagi laki-laki atau jika perempuan masih belum mempunyai kesadaran diri



akan berharganya dia dan mulianya dia sebagai seorang perempuan, namun hal tersebut dikembalikan pada masing masing individu dimana para perempuan indonesia khususnya harus memiliki kesadaran diri dengan menanamkan nilai nilai pergerakan Kedalam dirinya. Seiring berjalannya waktu, Perempuan diharapkan memiliki porsi sendiri yang lebih banyak menimbulkan perubahan perubahan di masa mendatang demi generasi yeng lebih baik kedepannya. Sebagai perempuan penggerak bukan hanya bisa memberi arahan dan contoh bagi orang lain, tapi harus bisa memberi pelajaran bagi diri sendiri. E. Feminis Aswaja Agama dan feminisme merupakan dua hal yang sangat signifikan bagi kehidupan perempuan. KOPRI bertugas mengidentifikasi persesuaian-persesuaian antara pandangan feminis dan pandangan keagamaan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah tentang hak-hak dan kewajiban perempuan. Sebagai kopri yang memiliki pola pikir bersikap dan bertindak sesuai ASWAJA, harus bisa memilih bagaimana konsep memperjuangkan kesetaraan perempuan yang bersikap moderat. Sehubungan dengan masalah-masalah perempuan dalam Alquran, kader KOPRI harus memiliki pemahaman serta pedoman di mana batas kesetaraan dan pembebasan perempuan bisa dilakukan dengan pemahaman yang matang terkait konteks. pembebasan perempuan perspektif Islam. Dalam sejarah, Feminisme dalam Islam telah muncul sejak Islam itu ada. Terbukti, banyak gerakan-gerakan pembebasan Islam yang dilakukan dan diabadikan di dalam Alquran. Namun, hingga saat ini banyak yang menganggap peraturan-peraturan Islam terkait perempuan cenderung menunjukkan diskriminasi. Padahal, sejatinya tidak. Dalam sejarah Islam, ayat-ayat Alquran yang membahas tentang perempuan secara konteks adalah bukti pembebasan Islam terhadap perempuan itu sendiri. Pembebasan dilakukan dengan tiga cara, yakni Pembebasan Total, Bertahap dan Terus Menerus. Metode pembebasan dan dasarnya perlu diketahui agar kader KOPRI memiliki pemahaman mendasar terkait pembebasan perempuan sebagai bagian dari pamahaman tauhid dan risalah keadilan gender yang berisi dasar Alquran terkait diskursus gender perspektif Islam baik masalah poligami, waris serta lainnya. 1.



Pembebasan Secara Total



Perlu diketahui, dalam prinsip menegakkan Tauhid, tawar-menawar tidak berlaku sama sekali. Karena itu, pembebasan manusia dari kezaliman syirik serta menyelamatkan dan menghormati nyawa manusia termasuk dalam pembebasan total. Dalam hal pembebasan perempuan, Islam dengan tegas melarang praktik pembunuhan anak perempuan yang pernah dilakukan oleh masyarakat Arab Jahiliyyah karena menurut Islam perempuan sebagai manusia mempunyai nilai sama dengan laki-laki di hadapan Allah. 2.



Pembebasan Secara Bertahap



Pembebasan manusia secara bertahap dari sistem sosial yang tidak adil merupakan anugrah yang besar bagi kelompok yang lemah, seperti budak perempuan dan anak-anak. Dalam sejarahnya, Islam melakukan pembebasan budak yang tidak sesuai dengan prinsip kesetaraan manusia dengan bertahap. Sebab, perubahan total tidak mungkin dilakukan, karena perbudakan merupakan sistem yang dianggap sah dan berlaku di belahan bumi manapun pada waktu itu. Sehingga Islam melakukan pembebasan secara bertahap, salah satunya anjuran memerdekan budak sebagai kafarat. Setelah Islam tradisi ini dirubah, secara gradual Islam melakukan



pembebasan budak sebagai kafarat, kemudian juga melalui pernikahan (Alquran memandang bahwa menikahi perempuan budak lebih baik daripada menikahi perempuan merdeka yang musryik), selain itu pemberian status merdeka bagi anak yang lahir dari hubungan budak perempuan dengan tuannya dan status Ummul al-Walad bagi perempuan yang melahirkan anak tuannya. Pembebasan secara bertahap juga berlaku dalam hal waris. Pada masa pra-Islam perempuan sebagai benda warisan, kemudian dalam Islam diberlakukan sebagai subyek yang menerima warisan. Ini menjadi pembebasan dari objek menjadi subyek. Namun, untuk meredam gejolak yang mempertibangkan struktur sosial yang membebankan keluarga pada laki-laki maka ditetapkan bagian perempuan setengah dari laki-laki. Dengan pertimbangan ini akan sangat keliru jika porporsi 2:1 dalam pembagian warisan dimaknsai sebagai diskriminasi perempuan. Padahal, sejatinya esensi keadilan yang menjadi pesan utama dibalik angka pembagian ini. Karena sejatinya, jatah untuk perempuan adalah jatah bersih sedangkan untuk laki laki adalah jatah kotor karena harus berbagi dengan keluarganya. Dari konteks ini, perlu dipahami proporsi 2:1 jelas bukan tujuan hukum waris namun hanyalah instrumen keadilan bagi perempuan. 3.



Pembebasan Secara Terus-menerus



Tugas umat Islam khususnya kader KOPRI saat ini yang terpenting adalah bagaimana merefleksikan masalah-masalah yang terjadi pra-Islam ke era modern dengan tetap berpedoman kepada pedoman-pedoman Islam dan sesuai dengan ASWAJA. Jika pra-Islam, illah yang disembah adalah berhala, pada zama Pra-Hindu dan Budha illah lebih dipersonifikasikan dengan aliran dinamisme dan animisme. Kini, di era modern yang serba cangggih illah tidak lagi berhala dan pohon besar namun terpusat pada bahaya konsumerisme, materialisme dan hedonisme yang membuat manusia tercerabut dari fitrahnya telah menjelma menjadi "tuhan-tuhan" baru. Dengan sejarah-sejarah serta pedoman pembebasan dalam Islam, bisa dipahami bahwa teologi Islam merupakan teologi yang tidak hanya terpaku pada hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan tapi juga hubungan horizontal berkaitan manusia dengan manusia serta alam. Dasar inilah yang menjadi ideologi gerakan, sehingga gerakan yang dilakukan sesuai dengan tujuan tauhid yang menjamin keadilan bagi orang-orang tertindas, perempuan serta memperjuangkan kesetaraan manusia sesuai dengan aturan-aturan yang ada. Tentunya semua harus didasari dengan pola pikir tawasuth, tasamuh, tawazun dan ta'adzhul serta Amar Ma'ruf Nahi Munkar sebagai esensi dari ASWAJA.



➢ Pandangan Agama yang membebaskan Pada dasarnya inti ajaran setiap Agama, khususnya dalam hal ini Islam, adalah menegakkan prinsip keadilan. Agama sering dianggap biang masalah bahkan dijadikan kambing hitam atas terjadi nya pelanggengan ketidakadilan gender. Pelanggengan ketidakadilan gender dapat bersumber dari cara pemahaman, penafsiran, dan pemikiran keagamaan yang tidak mustahil dipengaruhi oleh tradisi dan kultur patriarki, ideologi, maupun pandangan-pandangan lainnya. Cara melakukan telaah kasus dalam Islam ber kenaan dengan prinsip ideal Islam dalam memposisikan perempuan. Yang harus dipahami terlebih dahulu adalah spirit yang dibawa Islam pada awal kedatangannya, yakni melakukan perbandingan atas posisi dan kondisi perempuan pada zaman sebelum dan sesudah Islam. Pada zaman Jahiliyah, kedudukan perempuan dalam masyarakat sangatlah rendah posisinya dan amat buruh kondisinya, serta dianggap tidak berharga. Pada zaman pra-Islam kebiasaan mengubur bayi perempuan hidup-hidup adalah praktik merendahkan kaum perempuan yang membentang luas di dunia Arab. Al-Qur'an sebagai rujukan prinsip masyarakat Islam, pada dasarnya mengakui bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan adalah sama. Keduanya diciptakan dari satu nafs (living entity), di mana yang satu tidak memiliki keunggulan terhadap yang lain. Bahkan Al-Qur’an tidak menjelaskan secara tegas bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam sehingga kedudukan dan statusnya lebih rendah. Atas dasar itu, prinsip Al-Qur’an terhadap kaum lakilaki dan perempuan adalah sama, dimana hak istri diakui sederajat dengan hak suami. Dengan kata lain, laki laki memiliki hak dan kewajiban terhadap perempuan dan sebaliknya perempuan juga memiliki hak dan kewajiban terhadap laki-laki. Tafsir keagamaan memegang peran penting dalam melegitimasi dominasi atas kaum perempuan. Ali Engi neer (1992) mengusulkan dalam memahami ayat yang berbunyi "lakilaki adalah pengelola atas perempuan” hendaknya dipahami sebagai deskripsi keadaan struktur dan norma sosial masyarakat pada masa itu, dan bukan suatu norma ajaran. Ayat tersebut menjelaskan bahwa saat itu laki-laki adalah manager rumah tangga, dan bukan pernyataan kaum laki-laki harus menguasai atau memimpin. Dalam sejarah Islam keadaan kaum perempuan berubah, seiring makin berkembangnya kesadaran hak kaum perempuan, dan konsep hak juga makin meningkat. Pada saat ayat tersebut diwahyu kan memang belum ada kesadaran akan hal itu. Kata Qowwam dari masa ke masa dipahami selalu berbeda. Dulu atas dasar ayat tersebut perempuan dianggap lebih rendah dari laki laki, dan implikasinya adalah seperti zaman feodal bahwa perempuan harus mengabdi ke pada laki-laki sebagai bagian dari tugasnya. Namun Qur'an menegaskan bahwa kedudukan suami dan istri adalah sejajar. Bisakah seorang perempuan menjadi kepala negara, pemimpin lembaga atau kepala rumah tangga? Kalau kita telaah melalui al Qur'an, tidak ada alasan yang tegas untuk melarang perempuan memiliki posisi seperti itu, kecuali sebuah hadis ahad riwayat Abu Bakar yang menjadi dasar pendukung pandangan ini. Hadis tersebut sangat berlawanan dengan peristiwa Perang Unta di mana Aisyah istri Nabi memimpin Komando Perang, peristiwa yang justru terjadi setelah hadis itu di riwayatkan. Mengapa Abu Bakar sebagai periwayat hadis tersebut tidak memberontak atau desersi atas kepemimpinan Aisyah? Kalau beliau memang percaya bahwa perempuan menurut Nabi tidak sah memimpin? Ataukah bahkan Nabi sendiri justru tidak membedakan peran laki-laki atau perempuan? Dari petikan kejadian itu, menandaskan bahwa tafsir, interpretasi terhadap ajaran agama sangat dipengaruhi oleh kacamata pandang yang digunakan oleh penafsirnya.