Buku Pengembangan Dan Pengorganisasian Masyarakat (Terbaru) Ok [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PENGEMBANGAN DAN PENGORGANISASIAN MASYARAKAT Ruhyandi, SPd.,SKM.,M.KM



PENGANTAR : Mata ajaran "Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat" (selanjutnya akan disingkat sebagai PPM) sangat berkaitan dengan mata kuliah Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku (PKIP) karena Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat dilihat sebagai salah satu “TEHNOLOGI” dalam kegiatan Pendidikan Kesehatan untuk mengorganisasi dan mengembangkan masyarakat sehingga terjadi perubahan perilaku sasaran (dalam bentuk kemampuan untuk mandiri atau self help) yang sifatnya berkelanjutan untuk tercapainya derajat kesehatan yang lebih baik. Dengan titik tolak pada minat pokoknya mengenai hal hal yang berkaitan dengan proses perubahan perilaku, dengan menggunakan kerangka yang dikembangkan oleh Lawrence Green, PPM merupakan tehnologi yang digunakan untuk melakukan intervensi pada faktor pendukung (enabling factors) sebagai salah satu prasyarat untuk terjadinya proses perubahan perilaku. Dengan tehnologi PPM dilakukan pengorganisasian dan pengembangan sumber daya yang ada pada masyarakat sehingga mampu mandiri untuk meningkatkan derajat kesehatannya. TUJUAN PENDIDIKAN : Tujuan umum dari mata ajaran ini adalah (1) diperolehnya pemahaman tentang pentingnya peran serta masyarakat dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan (2) diperolehnya kemampuan untuk mengorganisasi dan mengembangkan masyarakat untuk menumbuhkan upaya kesehatan masyarakat yang mandiri dan berkelanjutan. RUANG LINGKUP MATERI DAN POKOK POKOK BAHASAN PPM : 1. Peristilahan PPM : Penggunaan istilah PPM diambil dari konsep Pengorganisasian Masyarakat (Community Organization) dan Pengembangan Masyarakat (Community Development). Istilah yang "berbeda" tersebut terutama lebih disebabkan oleh sumber rujukan yang berbeda. Community Organization terutama lebih banyak muncul dalam kepustakaan yang berasal dari Amerika Serikat sedangkan Community Development" lebih banyak ditemukan dalam ii



kepustakaan yang berasal atau berkiblat dari Inggris. Meskipun "nama"nya berbeda, tetapi isi dan konsepnya adalah sama. Keduanya berorientasi pada proses menuju tercapainya kemandirian melalui keterlibatan atau peran serta aktif dari keseluruhan anggota masyarakat. Mengingat kesamaan konsep tersebut, maka dalam kurikulum kesehatan masyarakat materi bahasan ini disebut sebagai mata ajaran "Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat". 2. Kedudukan kelompok sasaran sebagai subyek dan obyek : Dalam pokok bahasan ini dibicarakan tentang kedudukan masyarakat sebagai subyek sekaligus obyek kegiatan pembangunan (kesehatan). Ini dikaitkan dengan pandangan tentang hakekat manusia yang bersifat psikoanalitik, humanistik dan behavioristik. Dalam kaitan ini juga dibahas perkembangan pendekatan dalam program kesehatan masyarakat dimana terjadi pergeseran dari pendekatan yang bersifat doing things to and for people menjadi doing things with people. Dalam menempatkan kelompok sasaran sebagai subyek kegiatan, dibahas juga tentang konsep "piring terbang", dimana upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama dilihat sebagai upaya peningkatan dinamika mereka sendiri yang terwujudkan dalam efek "tinggal landas" (upward spirall movement). Intervensi luar dalam konsep ini harus menyesuaikan diri dengan kecepatan perputaran "piringan" dinamika masyarakat yang ada agar tidak timbul kegoncangan masyarakat. 3. Pengalaman belajar : Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, tujuan yang ingin dicapai oleh PPM adalah diperolehnya kemandirian masyarakat untuk meningkatkan derajat kesehatan. Untuk mencapai tujuan ini maka kegiatan kegiatan yang dilakukan dalam upaya PPM harus diarahkan pada diperolehnya pengalaman belajar dari kelompok sasaran. Akumulasi dari pengalaman belajar yang diperoleh secara bertahap ini kemudian akan menghasilkan kemampuan menolong diri sendiri dalam meningkatkan derajat kesehatannya. Dalam bahasan ini dibicarakan tentang tiga situasi belajar dalam masyarakat, yaitu required outcome situation, recommended outcome situation dan self directed outcome situation. ii



4. Keterlibatan dan partisipasi/peran serta : upaya untuk secara optimal memaparkan kelompok sasaran pada berbagai pengalaman belajar, maka keterlibatan kelompok sasaran merupakan suatu prasyarat penting (atau bahkan mutlak). Hal ini dikaitkan dengan Hukum Partisipasi seperti yang dikemukakan oleh Haggard, bahwa pengalaman belajar yang diperoleh kelompok sasaran akan meningkat dan lebih menetap jika kelompok sasaran dilibatkan dalam proses belajar. Pembahasan mengenai partisipasi dilakukan dengan merujuk pada berbagai pengertian tentang partisipasi. Berbagai pengertian partisipasi ini dapat dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu pengertian partisipasi sebagai hak dan pengertian partisipasi sebagai kewajiban. Jika sebelumnya partisipasi dikaitkan dengan proses belajar, maka konsep dasar partisipasi sebetulnya juga erat kaitannya dengan kesediaan untuk berbagi kekuasaan (sharing of power). Dalam tinjauan ini maka dicoba dibahas tentang permasalahan yang muncul sehubungan dengan upaya melibatkan kelompok sasaran dalam upaya kesehatan dari segi sharing of power. 5. Pendekatan direktif dan non direktif : Dalam aplikasinya di masyarakat, upaya untuk melibatkan kelompok sasaran dihadapkan pada kenyataan bahwa situasi dan kondisi (sikon) masyarakat yang berbeda beda. Sikon yang berbeda beda ini dapat dilihat sebagai suatu kendala dalam harus dirubah. Disini dibahas tentang penerapan dari pendekatan direktif dan non direktif (directive and non directive approach) seperti yang diuraikan oleh T.R. Batten. Secara realistis pragmatis, maka sikon masyarakat yang berbeda-beda dalam upaya melibatkan masyarakat/melibatkan sasaran secara aktif memerlukan pendekatan yang berbeda-beda pula. Masyarakat yang lebih siap dapat dibina dengan pendekatan yang non direktif sedangkan masyarakat yang belum siap dapat mulai dibina dengan pendekatan yang direktif. Meskipun demikian, aplikasi hal ini harus dengan disertai suatu kesadaran bahwa tujuan akhir adalah diperolehnya kemandirian dan oleh karena itu secara bertahap sesuai dengan kesiapan masyarakat perlu ditingkatkan pendekatan yang non direktif. ii



Pada masyarakat yang masih belum siap maka pendekatan direktif dapat dipertimbangkan untuk diterapkan sebagai awal tetapi kemudian secara bertahap dikurangi dan diikuti dengan peningkatan pendekatan yang sifatnya non-direktif. 6. Pentahapan PPM : Berdasarkan berbagai rujukan mengenai konsep PPM maka dibahas tentang tahapan yang perlu dilakukan dalam mengorganisasi dan mengembangkan masyarakat. Pentahapan dalam PPM dilandasi pada pemikiran bahwa proses belajar berlangsung secara bertahap yang disesuaikan dengan sikon kelompok sasaran. Pentahapan ini sekaligus menggambarkan proses pendelegasian wewenang dari petugas kepada kelompok sasaran. Dalam proses pendelegasian wewenang ini maka secara bertahap kelompok sasaran disiapkan agar mampu mandiri. Pentahapan juga bisa dilihat dari segi keterlibatan kelompok sasaran dalam daur pemecahan masalah. Keterlibatan yang semula lebih banyak pada kegiatan yang bersifat pelaksanaan, secara bertahap ditingkatkan untuk terlibat pada kegiatan yang lebih canggih seperti misalnya pemantauan kegiatan, perencanaan dan penilaian. Tahap



Peran Petugas +++++ +++++ +++++



(1). Persiapan Petugas a. Dinamisasi kelompok b. Pendekatan pada pejabat/ sektoral c. Penyiapan lapangan (2). Persiapan Sosial a. Pengenalan masyarakat b. Pengenalan masalah c. Penyadaran (3). Penyusunan Rencana (4). Pelaksanaan (5). Pemantauan dan penilaian (6). Perluasan



Peran Masyarakat



+++++ ++++ +++ +++ ++ ++ ++ + ii



+ ++ +++ +++ +++ +++ ++++



Dikaitkan dengan konsep Pendekatan Edukatif, maka pentahapan PPM di atas sejalan dengan konsep yang dituangkan dalam Pendekatan Edukatif. 7. Konsep gotong royong : Prinsip keterlibatan masyarakat dalam upaya kesehatan sebetulnya mempunyai akar dalam tradisi gotong-royong. Pembahasan masalah gotongroyong ini terutama merujuk pada tulisan dari Koentjaraningrat yang membahas konsep gotong-royong dikaitkan dengan kegiatan pembangunan. Bahasan ini memperlihatkan bahwa konsep gotong-royong erat kaitannya dengan konsep kelompok primer dan sekunder. Gotong-royong lebih sesuai dikembangkan dalam kelompok primer yang mempunyai kesempatan untuk berkomunikasi secara lebih intensif dibandingkan dengan kelompok sekunder. Hal ini dikaitkan dengan masalah penerapan gotong-royong di pedesaan dan perkotaan. Posisi yang diambil dalam bahasan ini adalah dikaitkan dengan sifat kelompok seperti disebutkan di atas, bahwa penerapan gotong-royong lebih dikaitkan dengan sifat kelompok. Oleh karena itu di perkotaan pun bisa diterapkan gotong-royong dengan bentuk yang berbeda dengan penerapannya di pedesaan. 8. Penerapan PPM dalam bidang kesehatan : Dalam bidang kesehatan maka pembahasan mengenai penerapan PPM dikaitkan dengan pelaksanaan program Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD)/Posyandu termasuk hal hal yang berkaitan dengan pembinaan kader kesehatan (oleh karena itu pula mata ajaran ini disebut juga sebagai mata ajaran PKMD). Juga dalam kaitan dengan penerapan PPM dalam program kesehatan ini konsep desa siaga. 9. Bahasan dari konsep difusi inovasi : Keterlibatan masyarakat melalui kader-kader kesehatan dalam upaya kesehatan dapat dipersepsi oleh masyarakat sebagai hal baru. Hal ini dikaitkan dengan pola pemikiran yang "tradisional" bahwa pelayanan kesehatan (dalam arti yang modern) merupakan "hak prerogatif" profesi kesehatan. Dari pemikiran ini dapat dimengerti jika konsep keterlibatan kader kesehatan dalam upaya kesehatan bisa dianggap sebagai sesuatu yang baru. ii



Dengan titik tolak ini, maka penyebaran ide PKMD atau Posyandu bisa dianalisis dengan menggunakan kerangka teori difusi inovasi dari Everett Rogers. Dibahas disini misalnya faktor faktor yang mempengaruhi kecepatan difusi, proses adopsi, kader sebagai tenaga quasi professional dan strategi komunikasi yang disesuaikan dengan pentahapan proses adopsi. 10. Lembaga Swadaya Masyarakat (Non governmental Organization /NGO) Dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan, maka selain aparat pemerintah (governmental organization) juga terlibat berbagai organisasi non pemerintah (non-governmental organization). Organisasi non pemerintah ini merupakan wadah dari sekumpulan orang yang ingin ikut berkontribusi dalam upaya pembangunan. Dalam beberapa kegiatan bahkan organisasi non pemerintah inilah yang menjadi pionir, seperti misalnya PKBI dalam kegiatan keluarga berencana. Dalam kontribusinya pada kegiatan pembangunan, organisasi non pemerintah mempunyai keunikan misalnya dalam kemampuannya untuk lebih menerapkan pendekatan yang partisipatif. Hal ini disebabkan antara lain karena sifat organisasi non pemerintah yang tidak terlalu birokratis, sehingga mempunyai kemampuan untuk membuat penyesuaian dengan situasi dan kondisi. Dalam pembahasan mengenai organisasi non pemerintah ini akan dibahas mengenai ruang lingkup dan peran organisasi non pemerintah, potensinya dan kegiatan kegiatannya.



ii



BAB I PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Tujuan Pembelajaran Setelah membaca bab ini mahasiswa diharapkan mampu : 1. Memahami pengertian pemberdayaan masyarakat 2. Memahami cara memberdayakan masyarakat 3. Memahami prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat 4. Memahami peran pendamping / fasilitator dalam pemberdayaan masyarakat PENDAHULUAN Kita sering mendengar istilah pemberdayaan masyarakat. Apa sebenarnya arti dari pemberdayaan masyarakat tersebut ?. Secara lugas dapat diartikan sebagai suatu proses yang membangun manusia atau masyarakat melalui pengembangan kemampuan masyarakat, perubahan perilaku masyarakat, dan pengorganisasian masyarakat. Dari definisi tersebut terlihat ada 3 tujuan utama dalam pemberdayaan masyarakat yaitu mengembangkan kemampuan masyarakat, mengubah perilaku masyarakat, dan mengorganisir diri masyarakat. Kemampuan masyarakat yang dapat dikembangkan tentunya banyak sekali seperti kemampuan untuk berusaha, kemampuan untuk mencari informasi, kemampuan untuk mengelola kegiatan, kemampuan dalam kesehatan dan masih banyak lagi sesuai dengan kebutuhan atau permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Perilaku masyarakat yang perlu diubah tentunya perilaku yang merugikan masyarakat atau yang menghambat peningkatan kesejahteraan masyarakat. Contoh yang kita temui dimasyarakat seperti, anak tidak boleh sekolah, ibu hamil ii



tidak boleh makan telor, yang membicarakan rencana pembangunan desa hanya kaum laki-laki saja, dan masih banyak lagi yang dapat kita temui dimasyarakat. Pengorganisasian masyarakat dapat dijelaskan sebagai suatu upaya masyarakat untuk saling mengatur dalam mengelola kegiatan atau program yang mereka kembangkan. Disini masyarakat dapat membentuk panitia kerja, melakukan pembagian tugas, saling mengawasi, merencanakan kegiatan, dan lain-lain. Lembaga-lembaga adat yang sudah ada sebaiknya perlu dilibatkan karena lembaga inilah yang sudah mapan, tinggal meningkatkan kemampuannya saja. MENGAPA MASYARAKAT PERLU DIBERDAYAKAN ? Pemberdayaan masyarakat muncul karena adanya suatu kondisi dimasyarakat; sebagaimana terlihat dalam diagram didi bawah ini: Sosial Ekonomi Rendah



Ketidakmampuan dan Ketidaktahuan



Produktifitas Rendah



Gambar : 1.1 Siklus Permasalahan Masyarakat



Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang rendah mengakibatkan mereka tidak mampu dan tidak tahu. Hal ini terjadi karena mereka tidak dapat menikmati pendidikan yang memadai. Ketidakmampuan dan ketidaktahuan masyarakat ii



mengakibatkan produktivitas mereka rendah. Hal ini dapat terjadi karena masyarakat tidak menguasai teknologi yang dapat membentu dan meringankan pekerjaan mereka. Terpakasa masyarakat menggunakan tehnik konvensional yang telah mereka pelajari turun-temurun dengan hasil yang minimal. Terlihat secara sepintas masyarakat sudah puas dengan hasil mereka, tetapi kenyataan sebenarnya masyarakat tidak sadar bahwa mereka masih bisa melakukan halhal yang lebih baik dari saat ini. Lingkaran masalah yang dihadapi oleh masyarakat tidak dapat diputuskan rantainya pada salah satu sisi saja. Akan tetapi seluruh masalah perlu diatasi. Untuk itu masyarakat sendirilah yang perlu dijadikan sebagai pemain utama dalam mengatasi masalah-masalah mereka. BAGAIMANA CARANYA MEMBERDAYAKAN MASYARAKAT ? Secara garis besar pemberdayaan masyarakat melalui : 1. Pengembangan masyarakat 2. Pengorganisasian masyarakat Apa yang dikembangkan dari masyarakat yaitu potensi atau kemampuannya dan sikap hidupnya. Kemampuan masyarakat dapat meliputi antara lain kemampuan untuk bertani, berternak, melakukan wirausaha, atau. ketrampilan-ketrampilan membuat home industri; dan masih banyak lagi kemampuan dan ketrampilan masyarakat yang dapat dikembangkan. Bagaimana caranya mengembangkan kemampuan dan ketrampilan masyarakat, dapat dilakukan dengan berbagai cara. Contoh dengan mengadakan pelatihan atau mengikutkan masyarakat pada pelatihan-pelatihan pengembangan kemampuan dan ketrampilan yang dibutuhkan. Dapat juga dengan mengajak masyarakat mengunjungi kegiatan ditempat lain dengan maksud supaya masyarakat dapat melihat sekaligus belajar, kegiatan ini sering disebut dengan istilah studi banding. Dapat juga dengan menyediakan buku-buku bacaan yang sekiranya sesuai dengan kebutuhan atau peminatan masyarakat. Masih banyak bentuk lainnya yang bisa diupayakan. Sikap hidup yang perlu diubah tentunya sikap hidup yang merugikan atau menghambat peningkatan kesejahteraan hidup. Merubah sikap bukan ii



pekerjaan mudah. Mengapa karena masyarakat sudah bertahun-tahun bahkan puluhan tahun sudah melakukan hal itu. Untuk itu memerlukan waktu yang cukup lama untuk melakukan perubahan sikap. Caranya adalah dengan memberikan penyadaran bahwa apa yang mereka lakukan selama ini merugikan mereka. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan banyak informasi dengan menggunakan berbagai media, seperti buku-buku bacaan, mengajak untuk melihat tempat lain, menyetel film penerangan, dan masih banya cara lain. Pada pengorganisasian masyarakat, kuncinya adalah menempatkan masyarakat sebagai pelakunya. Untuk itu masyarakat perlu diajak mulai dari perencanaan kegiatan, pelaksanaan, sampai pemeliharaan dan pelestarian. Pelibatan masyarakat sejak awal kegiatan memungkinkan masyarakat memiliki kesempatan belajar lebih banyak. Pada awal-awal kegiatan mungkin pendamping sebagai pendamping akan lebih banyak memberikan informasi atau penjelasan bahkan memberikan contoh langsung. Pada tahap ini masyarakat lebih banyak belajar namun pada tahap-tahap berikutnya pendamping harus mulai memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mencoba melakukan sendiri hingga mampu atau bisa. Jika hal ini terjadi maka dikemudian hari pada saat pendamping meninggalkan masyarakat tersebut, masyarakat sudah mampu untuk melakukannya sendiri atau mandiri. PRINSIP-PRINSIP PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Ada beberapa prinsip dasar untuk mewujudkan masyarakat yang berdaya dan mandiri 1. Penyadaran Untuk dapat maju atau melakukan sesuatu, orang harus dibangunkan dari tidurnya. Demikian juga masyarakat harus dibangunkan dari “tidur” keterbelakangannya, dari kehidupan sehari-hari yang tidak memikirkan masa depannya. Orang yang pikirannya tertidur merasa tidak mempunyai masalah, karena mereka tidak memiliki aspirasi dan tujuan-tujuan yang harus diperjuangkan. Penyadaran berarti bahwa masyarakat secara keseluruhan menjadi sadar bahwa mereka mempunyai tujuan-tujuan dan masalahii



masalah. Masyarakat yang sadar juga mulai menemukan peluang-peluang dan memanfaatkannya, menemukan sumberdaya-sumberdaya yang ada ditempat itu yang barangkali sampai saat ini tak pernah dipikirkan orang. Masyarakat yang sadar menjadi semakin tajam dalam mengetahui apa yang sedang terjadi baik di dalam maupun diluar masyarakatnya. Masyarakat menjadi mampu merumuskan kebutuhan-kebutuhan dan aspirasinya. 2. Pelatihan Pendidikan disini bukan hanya belajar membaca,menulis dan berhitung, tetapi juga meningkatkan ketrampilan-ketrampilan bertani, kerumahtanggaan, industri dan cara menggunakan pupuk. Juga belajar dari sumber-sumber yang dapat diperoleh untuk mengetahui bagaimana memakai jasa bank, bagaimana membuka rekening dan memperoleh pinjaman. Belajar tidak hanya dapat dilakukan melalui sekolah, tapi juga melalui pertemuanpertemuan informal dan diskusi-diskusi kelompok tempat mereka membicarakan masalah-masalah mereka. Melalui pendidikan, kesadaran masyarakat akan terus berkembang. Perlu ditekankan bahwa setiap orang dalam masyarakat harus mendapatkan pendidikan, termasuk orang tua dan kaum wanita. Ide besar yang terkandung dibalik pendidikan kaum miskin adalah bahwa pengetahuan menganggarkan kekuatan 3. Pengorganisasian Agar menjadi kuat dan dapat menentukan nasibnya sendiri, suatu masyarakat tidak cukup hanya disadarkan dan dilatih ketrampilan, tapi juga harus diorganisir. Organisasi berarti bahwa segala hal dikerjakan dengan cara yang teratur, ada pembagian tugas diantara individu-individu yang akan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan tugas masing-masing dan ada kepemimpinan yang tidak hanya terdiri dari beberapa gelintir orang tapi kepemimpinan diberbagai tingkatan. Masyarakat tidak mungkin diorganisir tanpa pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan secara rutin untuk mengambil keputusan-keputusan dan melihat apakah keputusan-keputusan tersebut dilaksanakan. Wakil-wakil dari ii



semua kelompok harus berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan. Selain pertemuan-pertemuan rutin, catatlah keputusan-keputusan yang telah diambil. Notulen itu akan dibacakan dalam pertemuan berikutnya untuk mengetahui apakah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap keputusan tersebut sudah melaksanakan tugasnya atau belum. Tugas-tugas harus dibagikan pada berbagai kelompok, termasuk kaum muda, kaum wanita, dan orangtua. Pembukuan yang sehat juga sangat penting. Semua orang harus mengetahui penggunaan uang dan berapa sisanya. Pembukuan harus dikontrol secara rutin misalnya setiap bulan untuk menghindari adanya penyelewengan. 4. Pengembangan kekuatan Kekuasaan berarti kemampuan untuk mempengaruhi orang lain. Bila dalam suatu masyarakat tidak ada penyadaran, latihan atau organisasi, orangorangnya akan merasa tak berdaya dan tak berkekuatan. Mereka berkata “kami tidak bisa, kami tidak punya kekuatan”. Pada saat masyarakat merasa memiliki potensi atau kekuatan, mereka tidak akan mengatakan lagi, “kami tidak bisa”, tetapi mereka akan berkata “kami mampu!”. Masyarakat menjadi percaya diri. Nasib mereka berada di tangan mereka sendiri. Pada kondisi seperti ini bantuan yang bersifat fisik, uang, teknologi dsb. Hanya sebagai sarana perubahan sikap. Bila masyarakat mempunyai kekuatan, setengah perjuangan untuk pembangunan sudah dimenangkan. Tetapi perlu ditekankan kekuatan itu benar-benar dari masyarakat bukan dari satu atau dua orang pemimpin saja. Kekuatan masyarakat harus mengontrol kekuasaan para pemimpin. 5. Membangun Dinamika Dinamika orang miskin berarti bahwa masyarakat itu sendiri yang memutuskan dan melaksanakan program-programnya sesuai dengan rencana yang sudah digariskan dan diputuskan sendiri. Dalam konteks ini keputusan-keputusan sedapat mungkin harus diambil di dalam masyarakat sendiri, bukan diluar masyarakat tersebut. Lebih jauh lagi, keputusankeputusan harus diambil dari dalam masyarakar sendiri. Semakin ii



berkurangnya kontrol dari masyarakat terhadap keputusan-keputusan itu, semakin besarlah bahaya bahwa orang-orang tidak mengetahui keputusankeputusan tersebut atau bahkan keputusan-keputusan itu keliru. Hal prinsip bahwa keputusan harus diambil sedekat mungkin dengan tempat pelaksanaan atau sasaran. PERANAN PENDAMPING Pendamping yang dimaksudkan disini, pada dasarnya siapa saja yang berperan mendampingi masyarakat dikategorikan sebagai pendamping (Fasilitator kabupaten, Fasilitator Kecamatan, Asisten Fasilitator Kecamatan, Fasilitator Desa, Camat, atau nama pendamping lainnya). Secara garis besar pendamping masyarakat memiliki 3 peran yaitu: pembimbing, enabler, dan ahli. Sebagai pembimbing, pendamping memiliki tugas utama yaitu membantu masyarakat untuk memutuskan/menetapkan tindakan. Disini pendamping perlu memberikan banyak informasi kepada masyarakat, agar masyarakat memiliki pengetahuan yang memadai untuk dapat memilih dan menetapkan tindakan yang dapat menyelesaikan masalah mereka. Sebagai enabler, dengan kemampuan fasilitasinya pendamping mendorong masyarakat untuk mengenali masalah atau kebutuhannya berikut potensinya. Mendorong masyarakat untuk mengenali kondisinya, menjadi begitu penting karena hal ini adalah langkah awal untuk memulai kegiatan yang berorientasi pada peningkatan kemampuan masyarakat. Ketrampilan fasilitasi dan komunikasi sangat dibutuhkan untuk menjalankan peran ini. Sebagai ahli, pendamping dengan ketrampilan khusus yang diperoleh dari lingkup pendidikannya atau dari pengalamannya dapat memberikan keteranganketerangan teknis yang dibutuhkan oleh masyarakat saat mereka melaksanakan kegiatannya. Keteranga-keterangan yang diberikan oleh pendamping bukan bersifat mendikte masyarakat melainkan berupa penyampaian fakta-fakta saja. Biarkan masyarakat yang memutuskan tindakan yang akan diambil. Untuk itu pendamping perlu memberikan banyak fakta atau contoh-contoh agar masyarakat lebih mudah untuk mengambil sikap atau keputusan dengan benar. ii



Pendamping dalam ruang lingkup pemberdayaan masyarakat perlu menyadari, bahwa peran utamanya melakukan pembelajaran kepada masyarakat. Pada diagram disamping terlihat porsi peranan pendamping. Pada tahap awal yaitu pengenalan masyarakat pendamping memiliki peran yang lebih besar dari pada masyarakat. Peran ini semestinya terus berkurang pada tahap-tahap berikutnya hingga akhirnya pada saat pelestarian masyarakat lah yang melakukan sendiri. Jika ini terwujud maka anda sebagai pendamping masyarakat dapat dikatakan sukses dalam pekerjaannya. Berdasarkan peran pendamping sebagaimana telah dijelaskan diatas, maka dapat diidentifikasi persyaratan pendamping pendamping masyarakat seperti pada diagram dibawah ini. Soal Latihan 1. Pemberdayaan masyarakat adalah ? 2. Mengapa masyarakat perlu di berdayakan ? 3. Jelaskan bagaimana cara mengembangkan masyarakat ? 4. Sebutkan dan jelaskan prinsip-prinsip dasar pemberdayaan masyarakat ! 5. Sebutkan peran pendamping/fasilitator dalam pemberdayaan masyarakat !



ii



BAB II PALSAPAH DASAR PENGEMBANGAN MASYARAKAT



Tujuan Pembelajaran Setelah membaca bab ini mahasiswa diharapkan mampu : 1. Memahami dasar pemikiran pengembangan masyarakat 2. Memahami pengertian pengembangan masyarakat 3. Memahami hakikat pengembangan masyarakat 4. Memahami tujuan pengembangan masyarakat 5. Memahami langkah-langkah pengembangan masyarakat 6. Memahami unsur-unsur pengembangan masyarakat



DASAR PEMIKIRAN Dalam negara yang sedang berkembang terdapat siklus keadaan yang merupakan suatu lingkaran yang tak berujung, yang menghambat perkembangan masyarakat secara keseluruhan. Masalah kesehatan masyarakat di Indonesia umumnya disebabkan karena Rendahnya Tingkat Sosial Ekonomi masyarakat yang mengakibatkan Ketidakmampuan dan Ketidaktahuan dalam berbagai hal khususnya dalam bidang kesehatan dan perawatan dalam memelihara diri mereka sendiri (Self Care). Bila keadaan ini dibiarkan akan menyebabkan masalah kesehatan terhadap individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat secara keseluruhan. Hal ini akan menimbulkan dampak terhadap menurunnya ii



status kesehatan keluarga dan masyarakat secara keseluruhan. Keadaan ini juga sangat berpengaruh terhadap Produktivitas keluarga dan masyarakat untuk menghasilkan sesuatu dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, yang selanjutnya membuat kondisi sosial ekonomi keluarga dan masyarakat semakin rendah. Demikian seterusnya berputar sebagai suatu siklus yang tak berujung. Sosial Ekonomi Rendah



Ketidak Mampuan Dan Ketidaktahuan



Produktifitas Rendah



Gambar : 2.1 siklus permasalahan masyarakat pada negara berkembang



Keadaan yang saling kait-mengkait ini menghambat perkembangan masyarakat secara keseluruhan dan suatu tindakan harus dilakukan untuk memotong lingkaran yang tak berujung ini agar dapat meningkatkan keadaan masyarakat secara menyeluruh. Adam Curle (1970) ahli pengembangan masyarakat berpendapat bahwa : Sumber-sumber keterbelakangan masyarakat bukan terletak pada kurangnya pendayagunaan sumber-sumber ekonomi, tetapi pada penggunaan yang salah dari sumber daya manusiawi ( ...... the wrong use of people.......). Dalam masyarakat itu sendiri sebenarnya terdapat suatu dinamika yang membuat masyarakat mampu bertahan dalam keadaan yang sulit dan hal itu sebenarnya merupakan potensi yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan taraf hidupnya. Sampai seberapa jauh potensi itu telah ii



berkembang, dapat dilihat dari keadaan perkembangan masyarakat itu sendiri. Pada masyarakat yang sudah berkembang maju, maka hal ini menunjukkan bahwa masyarakat telah dapat memanfaatkan potensi yang dimiliki, sedangkan masyarakat yang belum berkembang berarti masyarakat tersebut belum banyak memanfaatkan potensi yang di miliki. DEFINISI PENGEMBANGAN MASYARAKAT Beberapa definisi yang memberikan pengertian tentang Pengembangan Masyarakat antara lain : 1. Menurut ” Bhattacarya ” Pengembangan Masyarakat adalah pengembangan manusia yang bertujuan untuk mengembangkan potensi dan kemampuan manusia untuk mengontrol lingkungannya. Pengembangan masyarakat merupakan usaha membantu manusia mengubah sikapnya terhadap masyarakat, membantu menumbuhkan kemampuan untuk berorganisasi, berkomunikasi, dan menguasai lingkungan fisiknya. Manusia didorong untuk mampu membuat keputusan, mengambil inisiatif dan mampu berdiri sendiri. 2. Menurut ” T.R. Betten”. Pengembangan Masyarakat bertujuan mempengaruhi perikehidupan rakyat jelata dimana keberhasilannya tergantung sekali pada kemauan masyarakat untuk aktif bekerjasama. 3. Menurut ” Yayasan Indonesia Sejahtera ” Pengembangan Masyarakat adalah usaha-usaha yang menyadarkan dan menanamkan pengertian kepada masyarakat agar dapat menggunakan dengan lebih baik semua kemampuan yang dimiliki, baik alam maupun tenaga, serta menggali inisiatif setempat untuk lebih banyak melakukan kegiatan investasi dalam mencapai kesejahteraan yang lebih baik. 4. Pengembangan masyarakat adalah metoda yang memungkinkan orang dapat meningkatkan kualitas hidupnya serta mampu memperbesar pengaruhnya terhadap proses-proses yang mempengaruhi kehidupannya (AMA, 1993) ii



5. Pengembangan



masyarakat adalah proses membantu masyarakat menganalisa masalah mereka, untuk melaksanakan sebagai ukuran besar otonomi yang mungkin dan layak, dan untuk mempromosikan identifikasi yang lebih besar dari warga negara individu dan individu organisasi dengan masyarakat secara keseluruhan (Warren, 1978) 6. Nies dan Mc Ewan (2001) mendeskripsikan pengembangan kesehatan masyarakat (community health development) sebagai pendekatan dalam pengorganisasian masyarakat yang mengombinasikan konsep, tujuan, serta proses kesehatan masyarakat dan pembangunan masyarakat. Dalam pengembangan kesehatan masyarakat, tenaga kesehatan mengidentifikasikan kebutuhan masyarakat yang berkaitan dengan kesehatan kemudian mengembangkan, mendekatkan, dan mengevaluasi tujuan-tujuan pembangunan kesehatan melalui kemitraan dengan profesi lain yang terkait (CHNAC, 2003; Diem dan Moyer, 2004). 7. Menurut Com.Dev. Handbook, Pengembangan Masyarakat adalah evolusi terencana dari aspek ekonomi, sosial, lingkungan dan budaya yang ada dalam masyarakat. Dia adalah sebuah proses dimana anggota masyarakat melakukan aksi bersama dan menyelesaikan permasalahan yang dihadapi bersama. 8. Menurut Sudjana, Pengembangan Masyarakat mengandung arti sebagai upaya yang terencana dan sistematis yang dilakukan oleh, untuk dan dalam masyarakat guna meningkatkan kualitas hidup. Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan pengembangan masyarakat adalah sebuah proses peningkatan kualitas hidup melalui individu, keluarga, dan masyarakat untuk mendapatkan kekuasaan diri dalam pengembangan potensi dan skil, wawasan, dan sumber daya yang ada untuk membuat keputusan dan mengambil tindakan mengenai kesejahteraan mereka sendiri. HAKEKAT PENGEMBANGAN MASYARAKAT Hakekat Pengembangan Masyarakat pada dasarnya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan manusia atau kesejahteraan masyarakat. Hal ini sebenarnya ii



mempunyai kesamaan/tidak berbeda atau dalam arti lain sejalan dengan hakekat pembangunan ekonomi pada umumnya. LANGKAH-LANGKAH PENGEMBANGAN MASYARAKAT Setiap usaha yang bertujuan untuk mengembangkan masyarakat hendaknya menempuh langkah – langkah sebagai berikut : 1. Ciptakan kondisi agar potensi (kemampuan) setempat dapat dikembangkan dan dimanfaatkan. Potensi setempat sering kali tidak bisa digunakan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat karena adanya berbagai hambatan. Oleh karena itu diperlukan kemampuan menganal hambatan-hambatan ini untuk selanjutnya bersama masyarakat menciptakan suatu kondisi agar potensi yang sudah ada dapat dimanfaatkan untuk peningkatan taraf hidup. 2. Tingkatkan mutu potensi yang ada Tergalinya potensi setempat harus diikuti dengan peningkatan mutu agar dapat diperoleh manfaat yang optimal. Hal ini dapat dilakukan dengan jalan mengikutsertakan masyarakat setempat sejak awal kegiatan hingga pelaksanaan dan perluasan kegiatan dengan mengadakan kegiatan– kegiatan pendidikan yang bersifat non formal. 3. Usahakan kelangsungan kegiatan yang sudah ada. Terlaksananya kegiatan sebagai wujud pemanfaatan potensi yang ada bukanlah suatu tujuan akhir. Harus diusahakan agar kegiatan tersebut tidak berhenti begitu saja tetapi diikuti dengan kegiatan lain sebagai hasil daya cipta masyarakat. Untuk itu yang perlu diperhatikan adalah : a) Setiap kegiatan harus menimbulkan kepuasan agar timbul gairah dan daya cipta dari seluruh komponen masyarakat, b) Kegiatan-kegiatan yang dilakukan harus yang berkelanjutan, c) Harus ada latihan untuk pembentukan kader yang didikuti dengan usaha meningkatkan keterampilan. 4. Tingkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan ii



Tujuan akhir dari peningkatan pengembangan masyarakat adalah agar proses pengembangan masyarakat tersebut mampu menghasilkan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. PENJABARAN OPERASIONAL Berdasarkan pengertian Pengembangan Masyarakat yang telah diuraikan di atas, maka masyarakat merupakan Subyek dari kegiatan yang menjadi sasaran kegiatan. Peranan lembaga dari luar hanyalah sebagai perangsang agar proses yang terjadi berjalan secara optimal. Dengan demikian, maka Penjabarannya secara Operasional dilaksanakan dengan cara : 1. Berikan kesempatan agar masyarakat sendiri yang menentukan masalah kesehatannya, baik yang dihadapi secara individu, keluarga, kelompok maupun masyarakat. 2. Berikan kesempatan agar masyarakat sendiri yang membuat analisa dan kemudian menyusun perencanaan penanggulangan masalah. 3. Berikan kesempatan agar masyarakat sendiri yang mengorganisir diri untuk melaksanakan usaha perbaikan tersebut. 4. Dalam proses ini sedapat mungkin digali sumber-sumber daya yang ada dalam masyarakat sendiri dan kalau betul-betul diperlukan dimintakan bantuan dari luar. TUJUAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT Dengan menjadikan masyarakat sebagai Subyek kegiatan, maka Tujuan yang ingin dicapai dalam Pengembangan Masyarakat adalah : 1. Menumbuhkan rasa percaya pada diri sendiri. 2. Menimbulkan rasa bangga, semangat dan gairah kerja 3. Meningkatkan dinamika masyarakat untuk membangun 4. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat.



ii



PRINSIP PENGEMBANGAN MASYARAKAT Untuk dapat mencapai tujuan tersebut, maka harus diperhatikan Prinsip-prinsip dalam Pengembangan Masyarakat sebagai berikut : 1. Program ditentukan oleh atau bersama masyarakat. 2. Program harus disesuaikan dengan kemampuan masyarakat setempat, 3. Dalam melaksanakan kegiatan harus selalu diberikan bimbingan, pengarahan dan dorongan agar agar dari satu kegiatan dapat dihasilkan kegiatan lainnya, 4. selama proses ini petugas harus bersedia mendampingi masyarakat dengan mengambil fungsi sebagai katalisator untuk mempercepat proses. UNSUR-UNSUR PENGEMBANGAN MASYARAKAT Dalam Program Pengembangan Masyarakat, terkandung unsur-unsur penting sebagai berikut : 1. Program terencana dan terfokus pada kebutuhan-kebutuhan menyeluruh (Total Needs) dari masyarakat yang bersangkutan; 2. Mendorong Swadaya Masyarakat (ini adalah Unsur Utama), 3. Adanya bantuan teknis dari pemerintah maupun badan-badan swasta atau organisasi-organisasi sukarela, yang meliputi tenaga atau personil, peralatan, bahan dan dana bersifat sementara dan tidak menimbulkan ketergantungan, 4. Mempersatukan berbagai spesialisasi seperti kesehatan masyarakat, pertanian, peternakan, pendidikan, kesejahteraan keluarga, kewanitaan, kepemudaan dan lain-lain untuk membantu masyarakat. Menurut Mezirow (1963), ada 3 macam Bentuk Program dalam Usaha Pengembangan Masyarakat, yaitu : 1. Program Integratif Pengembangan Masyarakat melalui koordinasi dinas-dinas teknis terkait atau yang lebih dikenal dengan Kerjasama Lintas Sektoral 2. Program Adaptif Pengembangan Masyarakat hanya ditugaskan kepada salah satu Instansi/Departemen yang bersangkutan saja yang secara khusus ii



melaksanakan kegiatan tersebut atau yang dikenal dengan Kerjasama Lintas Program. 3. Program Proyek Pengembangan Masyarakat dalam bentuk usaha-usaha terbatas di wilayah tertentu dan program disesuaikan dengan kebutuhan wilayah tersebut. Soal Latihan 1. Jelaskan dasar pemikiran pengembangan masyarakat 2. Sebutkan 4 pengertian pengembangan masyarakat 3. Jelaskan hakikat pengembangan masyarakat 4. Jelaskan tujuan pengembangan masyarakat 5. Jelaskan langkah-langkah pengembangan masyarakat 6. Jelaskan unsur-unsur pengembangan masyarakat



ii



BAB III PENGORGANISASIAN MASYARAKAT Tujuan Pembelajaran Setelah membaca bab ini mahasiswa diharapkan mampu : 1. Memahami dasar pemikiran pengorganisasian masyarakat 2. Memahami pengertian pengorganisasian masyarakat 3. Memahami aspek-aspek pengorganisasian masyarakat 4. Memahami pendekatan dalam pengorganisasian masyarakat 5. Memahami langkah-langkah pengembangan masyarakat 6. Memahami unsur-unsur pengembangan masyarakat



DASAR PENGORGANISASIAN MASYARAKAT Pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan oleh berbagai pihak secara garis besar dapat dibagi dalam dua kelompok besar. Yaitu menggunakan konsep CO (Community Organizing) dan konsep CD (Community Development). Pengorganisasian masyarakat atau CO adalah pengembangan yang mengutamakan pembangunan kesadaran kritis dan penggalian potensi pengetahuan lokal masyarakat. Pengorganisasian masyarakat mengutamakan pengembangan masyarakat berdasarkan dialog atau musyawarah yang demokratis. Usulan komunitas/masyarakat merupakan sumber utama gagasan yang harus ditindaklanjuti secara kritis, sehingga partisipasi masyarakat dalam merencanakan, membuat keputusan dan melaksanakan program merupakan tonggak yang sangat penting. Pengorganisasian masyarakat bergerak dengan cara menggalang masyarakat kedalam suatu organisasi yang mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat. ii



Suara dan kepentingan masyarakat lebih utama daripada kepentingan kaum elit. Pengorganisasian masyarakat juga memaklumi arti penting pembangunan sarana-sarana fisik yang dapat menunjang kemajuan masyarakat, namun titik tekan pembangunan itu ialah pengembangan kesadaran masyarakat sehingga mampu mengelola potensi sumberdaya yang dimiliki masyarakat. Secara umum, metode yang dipergunakan dalam pengorganisasian masyarakat adalah penumbuhan kesadaran kritis, partisipasi aktif, pendidikan berkelanjutan, pembentukan dan penguatan pengorganisasian masyarakat. Semua itu bertujuan untuk melakukan transformasi sistem sosial yang dipandang menghisap masyarakat dan menindas (represif). Tujuan pokok pengorganisasian masyarakat adalah membentuk suatu tatanan masyarakat yang beradab dan berperikemanusiaan (civil society) yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokratis, adil, terbuka, berkesejahteraan ekonomis, politik dan budaya. Pengembangan masyarakat atau CD adalah pengembangan yang lebih mengutamakan sifat fisik masyarakat. CD mengutamakan pembangunan dan perbaikan atau pembuatan sarana-sarana sosial ekonomi masyarakat. Misalnya; pelatihan mengenai gizi, penyuluhan KB, bantuan hibah, bantuan sekolah dan sebagainya. Dengan demikian, peningkatan pengetahuan, keterampilan dan penggalian potensi-potensi sosial ekonomi yang ada lebih diutamakan untuk mensukseskan target yang telah ditetapkan oleh pihak luar. Melakukan pengorganisasian masyarakat berarti memperkuat (memberdayakan) sehingga masyarakat mampu mandiri dalam mengenali persoalan-persoalan yang ada dan dapat mengembangkan jalan keluar (upaya mengatasi masalah tersebut) berangkat dari asumsi : 1) Masyarakat punya kepentingan terhadap perubahan (komunitas harus berperan aktif dalam menciptakan kondisi yang lebih baik bagi seluruh masyarakat); 2) Perubahan tidak pernah datang sendiri melainkan membutuhkan perjuangan untuk dapat mendapatkannya; 3) Setiap usaha perubahan (sosial) pada dasarnya membutuhkan daya tekan tertentu, dimana usaha memperkuat (daya tekan) juga memerlukan perjuangan. ii



Arah Pengorganisasian adalah untuk mengembangkan peningkatan kapasitas dan daya tawar masyarakat (komunitas). Pemikiran ini bermuara pada prinsip demokrasi, yang menegaskan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, atau suatu proses dari, oleh dan untuk rakyat. Secara mendasar pengorganisasian diarahkan untuk meningkatkan kesadaran kritis masyarakat dan disisi lain mempersiapkan basis sosial bagi tatanan dan situasi yang baru dan lebih baik yang ingin diciptakan. Pengorganisasian masyarakat penting dilakukan karena : 1) Kenyataan bahwa masyarakat pada kebanyakan berposisi dan berada dalam kondisi lemah, sehingga diperlukan wadah yang sedemikian rupa dapat dijadikan wahana untuk perlindungan dan peningkatan kapasitas “bargaining; 2) Kenyataan masih adanya ketimpangan dan keterbelakangan, dimana sebagian kecil memilki akses dan asset untuk bisa memperbaiki keadaan, sementara sebagian besar yang lain tidak. Kenyataan ini menjadikan perubahan pada posisi sebagai jalan yang paling mungkin untuk memperbaiki keadaan. Tentu saja pengorganisasian tidak selalu bermakna persiapan melakukan “perlawanan” terhadap tekanan dari pihak-pihak tertentu, tetapi juga dapat bermakna sebagai upaya bersama dalam menghadapi masalah-masalah bersama seperti bagaimana meningkatkan produksi, memperbaiki tingkat kesehatan masyarakat, dan lain-lain. PENGERTIAN PENGORGANISASIAN MASYARAKAT Menurut “Ross Murray” Pengorganisasian Masyarakat adalah : Suatu proses dimana masyarakat dapat mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan dan menentukan prioritas dari kebutuhan-kebutuhan tersebut, dan mengembangkan keyakinan untuk berusaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan sesuai dengan skala prioritas berdasarkan atas sumber-sumber yang ada dalam masyarakat sendiri maupun yang berasal dari luar dengan usaha secara gotong-royong. Pengorganisasian Masyarakat adalah suatu proses ketika suatu komunitas tertentu mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhannya serta mengembangkan keyakinannya untuk berusaha memenuhi kebutuhan itu termasuk menentukan ii



prioritas dari kebutuhan tersebut yang disesuaikan dengan sumber daya yang tersedia dan dengan usaha gotong-royong (Sasongko.A, 1996) Pengorganisasian masyarakat adalah proses membangun kekuatan dengan melibatkan konstituen sebanyak mungkin melalui proses menemu-kenali ancaman yang ada secara bersama-sama menemu-kenali penyelesaianpenyelesaian yang diinginkan terhadap ancaman-ancaman yang ada; menemukenali orang dan struktur, birokrasi, perangkat yang ada agar proses penyelesaian yang dipilih menjadi mungkin dilakukan, mennyususn sasaran yang harus dicapai; dan membangun sebuah institusi yang secara demokratis diawasi oleh konstituen sehingga mampu mengembangkan kapasitas untuk menangani ancaman dan menampung semua keinginan dan kekuatan konstituen yang ada (DaveBeckwith & Cristina Lopez,1997) Jadi pengorganisasian masyarakat bukan sekedar memobilisasi massa untuk suatu kepentingan, tetapi suatu proses pergaulan/pertemanan/persahabatan dengan suatu komunitas atau masyarakat yang lebih menitikberatkan pada inisiatif massa kritis untuk mengambil tindakan-tindakan secara sadar dalam mencapai perubahan yang lebih baik. Dalam pengertian yang sederhanan pengorganisasian masyarakat adalah suatu kegiatan yang membantu masyarakat atau sekelompok orang yang hidup pada suatu daerah tertentu; misalnya, orang yang tinggal disuatu perkampungan, baik dipedesaan atau diperkotaan untuk mencapai tujuan bersama. TUJUAN PENGORGANISASIAN MASYARAKAT 1. Membangun kekuatan masyarakat 2. Memperkokoh kekuatan basis komunitas 3. Membangun jaringan 4. Tumbuhkan rasa percaya diri masyarakat bahwa mereka mempunyai kemampuan dalam penanggulangan masalah.



ii



PRINSIP-PRINSIP PENGORGANISASIAN MASYARAKAT Dalam menjalankan aktivitas pengorganisasian, prinsip yang harus dipegang dan dijadikan pedoman dalam berpikir dan berbuat bagi seorang pengor-ganisasi masyarakat adalah : • Membangun pertemanan/persahabatan dengan komunitas atau masyarakat. • Bersedia belajar dari kehidupan komunitas bersangkutan. • Membangun komunitas atau masyarakat dengan berangkat dari apa yang ada atau dimiliki oleh komunitas tersebut. • Tidak berpretensi untuk menjadi pemimpin dan “tetua” dari komunitas tersebut • Mempercayai bahwa masyarakat memiliki potensi dan kemampuan untuk membangun dirinya sendiri hingga tuntas. Prinsip tersebut dirumuskan dari satu cuplikan ajaran Lao Tse (700 sm) yang lebih kurang berbunyi sebagai berikut : “Datanglah kepada rakyat, hiduplah bersama mereka, belajarlah dari mereka, cintailah mereka, mulailah dari apa yang mereka tahu; bangunlah dari apa yang mereka tahu ; bangunlah dari apa yang mereka punya ; tetapi pendamping yang baik adalah, ketika pekerjaan selesai, dan tugas dirampungkan, rakyat/masyarakat berkata, “Kami sendirilah yang mengerjakannya” Ada juga beberapa prinsip lain yang tidak kalah pentingnya untuk dijalankan oleh pengorganisasi masyarakat, yaitu : • Mengakar dalam pemimpin masyarakat lok al, organisasi dan agenagen lokal dan masyarakat lokal. Orang luar dapat terlibat sebagai fasilitator atau nara sumber. • Merupakan tenaga atau kekuatan pengendali yang diturunkan melalui keinginan darimasyarakat lokal untuk kesejahteraan anak-anak mereka dan mereka sendiri. • Merupakan program aksi yang dibangun secara bersama denga perwakilan organisasi masyarakat. Program ini merupakan suatu kenyataan yang aktual yang merupakan sekumpulan kesepakatan umum yang mengakibatkan pengembangan dari organisasi lokal. ii



• Merupakan suatu program yang tumbuh dari masyarakat lokal, bersamaan dengan partisipasi langsung dari semua organisasi di wilayah-wilayah khusus. Hal ini meliputi derajat subtansi dari patrisipasi masyarakat dan voluntir. • Hal ini juga menuntut adanya komitmen yang tinggi pengorganisasi masyarakat. • Swadana, dan swadaya • Proses pengorganisasian harus dijalankan dengan sangat hati-hati dan sensitif pada budaya dan situasi sosial-ekonomi-politik lokal agar kehadiran pengorganisasi masyarakat tidak malah memicu konflik horisontal di dalam masyarakat. • Pengorganisasian masyarakat harus hati-hati agar tidak terjebak dalam paradigma dan prasangka yang dibawanya dan harus belajar mengosongkan diri agar dapat menangkap kondisi dan permasalahan masyarakat secara jernih. • Proses pengorganisasian masyarakat harus cukup murni dan tidak terlalu dibebani oleh proyek-proyek tertentu (misalnya pengorganisasian masyarakat ditujukan untuk melobi masyarakat untuk melakukan kegiatan wisata alam, padahal masyarakat belum tetntu butuh, mau dan punya potensi). ASPEK – ASPEK PENGORGANISASIAN MASYARAKAT Pada pengertian Pengorganisasian Masyarakat terdapat 3 aspek penting yang terkandung di dalamnya, yaitu : 1. Proses a) Merupakan proses yang terjadi secara sadar, tetapi mungkin juga tidak disadari, b) Jika proses disadari, berarti masyarakat menyadari akan adanya kebutuhan, c) Dalam prosesnya ditemukan unsur-unsur kesukarelaan. Kesukarelaan timbul karena adanya keinginan untuk memenuhi kebutuhan sehingga mengambil inisiatif atau prakarsa untuk mengatasinya, ii



d) Kesukarelaan juga terjadi karena dorongan untuk memenuhi kebutuhankebutuhan kelompok atau masyarakat, e) Kesadaran terhadap kebutuhan dan masalah yang dihadapi biasanya ditemukan pada segelintir orang saja yang kemudian melakukan upaya menyadarkan masyarakat untuk mengatasinya. f) Selanjutnya mengintruksikan kepada masyarakat untuk bersama – sama mengatasinya. 2. Masyarakat Masyarakat biasanya diartikan sebagai : a) Kelompok besar yang mempunyai Batas-batas Geografis : Desa, Kecamatan, Kabupaten dsb. b) Suatu kelompok dari mereka yang mempunyai kebutuhan bersama dari kelompok yang lebih besar, c) Kelompok kecil yang menyadari suatu masalah harus dapat menyadarkan kelompok yang lebih besar, d) Kelompok yang secara bersama-sama mencoba mengatasi masalah dan memenuhi kebutuhannya. 3. Berfungsinya masyarakat Untuk dapat memfungsikan masyarakat, maka harus dilakukan langkahlangkah sebagai berikut : a) Menarik orang-orang yang mempunyai inisiatif dan dapat bekerja, untuk membentuk kepanitiaan yang akan menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, b) Membuat rencana kerja yang dapat diterima dan dilaksanakan oleh keseluruhan masyarakat, c) Melakukan upaya penyebaran rencana (kampanye) untuk mensukseskan rencana tersebut. PERSYARATAN PETUGAS Persyaratan yang harus dimiliki oleh seorang petugas “Community Worker” atau sebagai “Promotor Kesehatan Desa (Promokesa)”, adalah sebagai berikut : ii



1. Mampu menggunakan berbagai pendekatan kepada masyarakat sehingga dapat menarik kepercayaan masyarakat, 2. Mampu mengajak masyarakat untuk bekerjasama serta membangun rasa saling percaya antara petugas dan masyarakat, 3. Mengetahui dengan baik sumber daya dan sumber alam yang ada di masyarakat, yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan dan memecahkan masalah, 4. Mampu berkomunikasi secara baik dengan masyarakat, menggunakan metode dan teknik komunikasi yang disesuaikan dengan keadaan masyarakat sehingga informasi dapat dimengerti dan dilaksanakan oleh masyarakat, 5. Mempunyai kemampuan profesional dalam berhubungan dengan masyarakat, baik formal leader maupun informal leader, 6. Mempunyai pengetahuan tentang kondisi sosial ekonomi masyarakat dan keadaan lingkungannya, 7. Mempunyai pengetahuan dan keterampilan tentang kesehatan yang dapat diajarkan kepada masyarakat, 8. Mengetahui dinas-dinas terkait dan tenaga ahli yang ada di wilayah tersebut untuk dimintakan bantuan keikutsertaannya dalam memecahkan masalah masyarakat dan memenuhi kebutuhan mereka. PENDEKATAN DALAM PENGORGANISASIAN MASYARAKAT Pengorganisasian Masyarakat pada prinsipnya mempunyai orientasi kepada kegiatan tertentu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu menurut “Ross Murray” dalam Pengorganisasian Masyarakat, terdapat 3 Pendekatan yang digunakan, yaitu : 1. Spesific Content Objective Approach Adalah : Pendekatan baik perseorangan (Promokesa), Lembaga swadaya atau Badan tertentu yang merasakan adanya masalah kesehatan dan kebutuhan dari masyarakat akan pelayanan kesehatan, mengajukan suatu proposal/program kepada instansi yang berwenang untuk mengatasi masalah ii



dan memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut. Contoh : Program penanggulangan sampah. 2. General Content Objective Approach Adalah : Pendekatan yang mengkoordinasikan berbagai upaya dalam bidang kesehatan dalam suatu wadah tertentu. Misalnya : Program Posyandu, yang melaksanakan 5 – 7 upaya kesehatan yang dijalankan sekaligus. 3. Process Objective Approach Adalah : Pendekatan yang lebih menekankan kepada proses yang dilaksanakan oleh masyarakat sebagai pengambil prakarsa, mulai dari mengiden-tifikasi masalah, analisa, menyusun perencanaan penaggulangan masalah, pelaksanaan kegiatan, sampai dengan penilaian dan pengembangan kegiatan ; dimana masyarakat sendiri yang mengembangkan kemampuannya sesuai dengan kapasitas yang mereka miliki. Hal yang penting dalam pendekatan ini adalah Partisipasi masyarakat/Peran Serta Masyarakat dalam Pengembangan Kegiatan. Soal Latihan 1. Sebutkan pengertian pengorganisasian masyarakat 2. Jelaskan prinsip pengorganisasian masyarakat 3. Sebutkan aspek-aspek pengorganisasian masyarakat 4. Sebutkan tujuan pengorganisasian masyarakat 5. Sebutkan syarat petugas dalam pengorganisasian masyarakat 6. Jelaskan pendekatan dalam pengorganisasian masyarakat



ii



BAB IV KEDUDUKAN KELOMPOK SASARAN SEBAGAI SUBJEK DAN OBJEK Tujuan Pembelajaran Setelah membaca bab ini mahasiswa diharapkan mampu : 1. Memahami hakekakt manusia 2. Memahami beberapa pandangan tentang hakekat manusia : a. Pandangan Psikoanalitik b. Pandangan Humanistik c. Pandangan Behavioristik



HAKEKAT MANUSIA Apakah manusia itu? Apakah beda antara manusia dan binatang? Hal hal apakah yang secara hakiki menggerakkan manusia sehingga memiliki keberadaan sebagaimana adanya itu? Pertanyaan pertanyaan ini perlu dijawab dalam rangka mengetahui hakekat manusia sebagai subyek dan obyek pendidikan. Beberapa pandangan tentang hakekat manusia disebutkan secara ringkas dibawah ini. Pandangan Psikoanalitik Kaum psikoanalis tradisional (dalam Hansen dan Warner, 1977) menganggap bahwa manusia pada dasarnya digerakkan oleh dorongan-dorongan dari dalam ii



dirinya yang bersifat instinktif. Tingkah laku individu ditentukan dan dikontrol oleh kekuatan psikologis yang sejak semula memang sudah ada pada diri individu itu. Dalam hal ini individu tidak memegang kendali atas "nasibnya" sendiri, tetapi tingkah-lakunya itu semata mata diarahkan untuk memuaskan kebutuhan dan instink biologisnya. Freud mengemukakan bahwa struktur kepribadian individu terdiri dari tiga komponen yang disebut : id, ego dan super ego. Id meliputi berbagai instink manusia yang mendasari perkembangan individu. Dua instink yang paling penting ialah instink seksual dan instink agresi. Instink-instink ini menggerakkan individu untuk hidup didalam dunianya dengan prinsip pemuasan diri. Demikian fungsi id, yaitu mendorong individu untuk memuaskan kebutuhan dirinya setiap saat sepanjang hidup individu. Id yang tak kunjung padam menggerakkan individu itu ternyata tidak dapat leluasa menjalankan fungsinya, sebab ia harus menghadapi lingkungan. Lingkungan ini tidak dapat diterobos begitu saja sehingga individu mempertimbangkan apa yang berada di luar dirinya itu apabila dia ingin berhasil dalam penyaluran instink instinknya itu. Dalam hal ini tumbuhlah apa yang disebut ego, yaitu fungsi kepribadian yang menjembatani id dan dunia luar individu. Ego ini berfungsi atas dasar prinsip realitas, mengatur gerak gerik id agar dalam memuaskan instinknya selalu memperhatikan lingkungan. Dengan demikian perwujudan fungsi id itu menjadi tidak tanpa arah. Dalam perkembangannya lebih lanjut, tingkah laku individu tidak hanya dijalankan oleh fungsi id dan ego saja, melainkan juga oleh fungsi yang ketiga, yaitu super ego. Super ego tumbuh berkat interaksi antara individu dengan lingkungannya, khususnya lingkungan yang bersifat aturan (yang meliputi perintah dan larangan, ganjaran dan hukuman), nilai, moral, adat, dan tradisi. Dalam individu bertingkah laku, id sebagai penggerak, ego sebagai pengatur dan pengarah, dan super ego sebagai pengawas atau pengontrol. Dalam hal ini fungsi super ego ialah mengawasi agar tingkah-laku individu sesuai dengan aturan, nilai, moral, adat dan tradisi yang telah meresap pada diri individu itu. Super ego merupakan fungsi kontrol dari dalam individu itu. ii



Demikianlah dinamika kepribadian individu berpusat pada interaksi antara id, ego dan super ego. Dalam interaksi ini ego menduduki peranan perantara, yaitu antara id dengan lingkungan, dan antara id dengan super ego. Peranan ego dalam menjembatani id dan lingkungan telah disinggung di atas. Sedangkan peranan ego dalam menjembatani id dan super ego dapat dilihat dalam kaitannya dengan kecenderungan individu untuk berada dua ekstrim : individu yang didominasi oleh id nya sehingga tingkah lakunya menjadi impulsif dan individu yang didominasi oleh super egonya sehingga tingkah lakunya menjadi terlalu moralstik. Peranan ego ialah menjaga agar individu tidak terjerumus pada salah satu ekstrim itu, tetapi selalu berada diantara keduanya. Pandangan psikoanalitik yang ditokohi oleh Freud itu tumbuh sejak lebih 80 tahun yang lalu. Dari pandangan yang tradisional seperti digambarkan diatas berkembanglah paham yang disebut paham neo analitik. Paham ini berpendapat bahwa manusia hendaknya tidak secara mudah saja dianggap sebagai binatang yang digerakkan oleh tenaga dalam (innate energy) yang ada pada dirinya; tingkah laku manusia itu banyak yang terlepas dari atau dapat disangkutkan pada dorongan dari dalam itu. Manusia mewujudkan dialam dunia dengan kemampuan untuk menanggapi (merespons) berbagai jenis perangsang, dan perwujudan diri ini hanya sebagian saja yang dapat dianggap sebagai hasil "tenaga dalam" itu. Pada masa bayi yang paling awal, manusia memang menanggapi dunia dengan instink instinknya untuk memenuhi kebutuhannya, misalnya lapar. Namun tingkah laku instinktif ini segera berkurang sejak manusia yang masih sangat muda itu mulai mengembangkan pola bertingkah laku yang didasarkan pada rangsangan dari lingkungannya. Setelah dewasa, tingkah laku individu sebagian terbesar berkaitan dengan hal-hal yang datang dari lingkungannya dan sangat sedikit yang berkaitan dengan instink. Kaum neo analis pada dasarnya masih mengakui adanya id, ego dan super ego namun menekankan pentingnya ego sebagai pusat kepribadian individu. Ego tidak dipandang hanya sebagai fungsi pengarah perwujudan id saja, melainkan sebagai fungsi pokok yang bersifat rasional dan bertanggung jawab atas tingkah laku intelektual dan soaial individu. ii



Pandangan Humanistik Pandangan humanistik tentang manusia (dalam Hansen, dkk, 1977) menolak pandangan Freud bahwa manusia pada dasarnya tidak rasional, tidak tersosialisasikan, dan tidak memiliki kontrol terhadap "nasib" dirinya sendiri. Sebaliknya Rogers yang menokohi pandangan humanistik, berpendapat bahwa manusia itu memiliki dorongan untuk mengarahkan dirinya ke tujuan yang positif, manusia itu rasional, tersosialisasikan dan untuk berbagai hal dapat menentukan "nasibnya" sendiri. Ini berarti bahwa manusia memiliki kemampuan untuk mengarahkan, mengatur dan mengontrol diri sendiri. Jika individu itu akan mengarahkan dirinya untuk menjadi pribadi yang lebih maju dan positif; dengan demikian individu itu akan terbebas dari kecemasan (anxiety) dan menjadi anggota masyarakat yang dapat bertingkah laku secara memuaskan. Selanjutnya Rogers (1961) mengemukakan gambaran pribadi manusia sebagai aliran atau arus yang terus mengalir tanpa henti, sebagai sesuatu yang tidak pernah selesai. Ini berarti bahwa pribadi individu merupakan proses yang terus berjalan, suatu kesatuan yang tidak statis dan tidak kaku; individu merupakan suatu arus perubahan yang mengalir terus, dan bukan suatu benda yang sudah tidak dapat berubah lagi, individu merupakan suatu kesatuan potensi yang terus menerus berubah, dan bukan suatu kumpulan dari sejumlah bagian yang tetap adanya. Manusia pada hakekatnya dalam proses on becoming tidak pernah selesai, tidak pernah sempurna. Pandangan Adler (1954) tentang manusia tergolong ke dalam pandangan humanistik. Manusia tidak semata mata digerakkan oleh dorongan untuk memuaskan dirinya sendiri, namun sebaliknya, manusia digerakkan dalam hidupnya sebagian oleh rasa tanggung jawab sosial dan sebagian lagi oleh kebutuhan untuk mencapai sesuatu. Lebih jauh Adler mengatakan bahwa individu melibatkan dirinya dalam usaha untuk mewujudkan diri sendiri, dalam membantu orang lain, dan dalam membuat dunia ini menjadi lebih baik untuk ditempati. ii



Pandangan Behavioristik Kaum behavioristik (dalam Hansen, dkk., 1977) pada dasarnya menganggap bahwa manusia sepenuhnya adalah mahluk reaktif yang tingkah lakunya di kontrol oleh faktor faktor yang datang dari luar. Lingkungan adalah penentu tunggal dari tingkah laku manusia. Dengan demikian kepribadian individu dapat dikembalikan semata mata kepadahubungan antara individu dan lingkungannya, hubungan itu diatur oleh hukum hukum belajar, seperti teori pembiasaan (conditioning) dan peniruan. Manusia tidak datang ke dunia ini dengan membawa ciri-ciri yang pada dasarnya baik atau jelek, tetapi netral. Hal hal yang mempengaruhi perkembangan kepribadian individu semata mata tergantung pada lingkungannya. Tingkah laku adalah hasil perkembangan individu dan sumber dari hasil ini tidak lain adalah lingkungan. Pandangan behavioristik sering dikritik sebagai pandangan yang merendahkan derajat manusia (dehumanisasi) karena pandangan ini mengingkari adanya ciriciri yang amat penting yang ada pada manusia dan tidak ada pada mesin atau binatang, seperti kemampuan memilih, menetapkan tujuan, mencipta. Dalam menanggapi kritik ini, Skinner (1976) mengatakan bahwa kemampuan kemampuan itu sebenarnya terwujud sebagai tingkah laku juga yang berkembangnya tidak berbeda dari tingkahlaku- tingkahlaku lainnya. Justru tingkah laku inilah yang dapat didekati dan dianalisis secara ilmiah dan pendekatan behavioristik adalah pendekatan ilmiah. Semua ciri yang dimiliki oleh manusia harus dapat didekati dan dianalisis secara ilmiah. Dibandingkan dengan binatang berangkai manusia adalah binatang yang unik, yaitu binatang yang bernormal, tetapi tidak dapat dikatan bahwa manusia itu memiliki moralitas. Yang disebut sebagai moral itupun mewujud dalam tingkah laku sebagai hasil belajar berkat pengaruh lingkungan. Pendekatan behavioristik tidaklah mendehumanisasikan manusia, melainkan justru mendehomunkulisasikan manusia, yaitu mengatasi kekerdilan manusia. Hanya dalam hubungannya dengan lingkungan yang didekati secara ilmiahlah kekerdilan manusia dapat diatasi dan harkat ke manusiaan dipertinggi. ii



Setelah mengikuti beberapa pandangan tentang manusia tersebut di atas dapatlah ditarik beberapa pengertian pokok berikut : a. Manusia pada dasarnya memiliki "tenaga dalam" yang menggerakan hidupnya untuk memenuhi kebutuhan kebutuhannya. b. Dalam diri manusia (individu) ada fungsi yang bersifat rasional yang bertanggung jawab atas tingkah laku intelektual dan sosial individu. c. Manusia mampu mengerahkan dirinya ke tujuan yang positif, mampu mengatur dan mengontrol dirinya, dan mampu menentukan "nasibnya" sendiri. d. Manusia pada hakekatnya dalam proses "menjadi", berkembang terus, tidak pernah selesai. e. Dalam hidupnya individu melibatkan dirinya dalam usaha untuk mewujudkan dirinya sendiri, membantu orang lain, dan membuat dunia lebih baik untuk ditempati. f. Manusia merupakan suatu keberadaan berpotensi yang perwujudannya merupakan ketakterdugaan. Namun potensi ini terbatas. g. Manusia adalah mahluk Tuhan yang sekaligus mengandung kemungkinan baik dan jelek. h. Lingkungan adalah penentu tingkah laku manusia dan tingkah laku ini merupakan kemampuan yang dipelajari. Pandangan yang menyeluruh tentang manusia seyogyanya tidak hanya menekankan salah satu beberapa aspek saja dari ciri-ciri hakiki tersebut di atas. Di Indonesia dikenal pengertian manusia seutuhnya. Menurut Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila setiap manusia mempunyai keinginan untuk mempertahankan hidup dan menjaga kehidupan yang lebih baik. Ini merupakan naluri yang paling kuat dalam diri manusia. Pancasila sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia memberikan pedoman bahwa kebahagiaan hidup manusia akan tercapai apabila kehidupan manusia akan tercapai apabila kehidupan manusia itu didasarkan dan keseimbangan, baik dalam hidup manusia sebagai pribadi, dalam hubungan manusia dengan masyarakat, dalam hubungan manusia dengan alam, dalam hubungan bangsa ii



dengan bangsa, dan dalam hubungan manusia dengan Tuhannya, maupun dalam mengajar kemajuan lahiriah dan kebahagiaan rokhaniah. Pancasila menempatkan manusia dalam keseluruhan harkat dan martabat sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa. Manusialah yang menjadi titik tolak dari usaha kita untuk memahami manusia itu sendiri, manusia dan masyarakatnya, dan manusia dengan segenap lingkungan hidupnya. Adapun manusia yang kita pahami bukanlah manusia juga manusia yang dilekati dengan kelemahankelemahan, manusia yang di sampaikan kemampuan kemampuan juga mempunyai keterbatasan ketebatasan manusia yang disamping mempunya sifat sifat yang baik mempunyai sifat sifat yang kurang baik. Manusia yang hendak kita pahami bukanlah manusia yang kita tempatkan di luar batas kemampuan dan kelayakan manusia tadi. Manusia sebagai mahluk Tuhan adalah mahluk pribadi dan sekaligus mahluk sosial. Sifat kodrati manusia sebagai individu dan sekaligus sebagai mahluk sosial yang merupakan kesatuan bulat perlu dikembangkan secara seimbang, selaras dan serasi. Perlu disadari bahwa manusia hanya mempunyai arti dalam kaitannya dengan manusia lain dalam masyarakat. Manusia hanya mempunyai arti dan dapat hidup secara layak di antara manusia lainya. Tanpa manusia lainnya atau tanpa hidup bermasyarakat, seseorang tidak akan dapat menyelenggarakan hidupnya dengan baik. Dalam mempertahankan hidup dan usaha mengajar kehidupan yang lebih baik, mustahil hal itu dikerjakan sendiri oleh seseorang tampa bantuan dan kerjasama dengan orang lain dalam masyarakat. Kekuatan manusia pada hakekatnya tidak terletak pada kemampuan fisiknya atau kemampuan jiwanya semata mata melainkan terletak pada kemampuannya untuk bekerjasama dengan manusia lainnya. Dengan manusia lainnya dalam masyarakat itulah manusia itu menciptakan kebudayaan yang pada akhirnya membedakan manusia dari segenap mahluk hidup yang lain, yang mengantarkan umat manusia pada tingkat, mutu, martabat dan harkatnya sebagaimana manusia yang hidup pada zaman sekarang dan zaman yang akan datang. ii



Soal Latihan 1. 2.



3.



Jelaskan tentang hakekat manusia Jelaskan pandangan tentang hakekat manusia menurut : a. Pandangan Psikoanalitik b. Pandangan Humanistik c. Pandangan Behavioristik Di Indonesia di kenal dengan konsep manusia seutuhnya, jelaskan apa yang dimaksud dengan manusia seutuhnya tersebut !



ii



BAB V KEGIATAN PPM SEBAGAI PENGALAMAN BELAJAR



Tujuan Pembelajaran Setelah membaca bab ini mahasiswa diharapkan mampu : 1. Pendahuluan 2. Memahami pengertian belajar 3. Memahami pembelajaran menurut PLA/PRA 4. Memahami pembelajaran menurut Komunikasi Pembangunan Participatory 5. Memahami Proses Pembelajaran 6. Memahami Situasi/Bentuk Belajar di masyarakat



PENDAHULUAN Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, tujuan yang ingin dicapai oleh PPM adalah diperolehnya kemandirian masyarakat untuk meningkatkan derajat kesehatan. Untuk mencapai tujuan ini maka kegiatan kegiatan yang dilakukan dalam upaya PPM harus diarahkan pada diperolehnya pengalaman belajar dari kelompok sasaran. Akumulasi dari pengalaman belajar yang diperoleh secara bertahap ini kemudian akan menghasilkan kemampuan menolong diri sendiri dalam meningkatkan derajat kesehatannya. Dalam bahasan ini dibicarakan tentang tiga situasi belajar dalam masyarakat, yaitu required outcome situation, recommended outcome situation dan self directed outcome situation. ii



Pembelajaran yang dilakukan sebagai proses atau bagian dari program pembangunan atau pengembangan masyarakat, biasanya diikuti oleh peserta orang dewasa sehingga pendidikan masyarakat biasa disebut Pendidikan Orang Dewasa (POD) atau adult education. Pendidikan masyarakat merupakan jenis pendidikan non-formal (di luar sekolah). MEMBELAJARKAN DAN MEMBERDAYAKAN MASYARAKAT Pembelajaran yang dilakukan sebagai proses atau bagian dari program pembangunan atau pengembangan masyarakat, biasanya diikuti oleh peserta orang dewasa sehingga pendidikan masyarakat biasa disebut Pendidikan Orang Dewasa (POD) atau adult education. Pendidikan masyarakat merupakan jenis pendidikan non-formal (di luar sekolah). Fasilitator infomobilisasi bekerja di dalam jenis pendidikan ini. Pengertian membelajarkan, belajar dan pembelajaran menurut konsep POD adalah sebagai berikut: Membelajarkan, adalah upaya „pendidik‟ untuk membantu „peserta didik„ melakukan kegiatan belajar. Membelajarkan merupakan kegiatan sistematis dan dilakukan secara sengaja oleh pendidik untuk membantu peserta didik agar melakukan kegiatan belajar. Belajar. Sebagai proses, adalah upaya sadar „peserta didik‟ untuk melakukan perubahan atau penyesuaian tingkah laku. Sebagai hasil, adalah perubahan tingkah laku yang diperoleh peserta didik dari kegiatan belajar; perubahan tingkah laku mencakup pengetahuan –sikap – keterampilan (PSK). Belajar bisa juga dilakukan sendiri (tanpa pendidik). Pembelajaran, adalah setiap upaya yang sistematis dan disengaja oleh „pendidik‟ untuk menciptakan kondisi-kondisi agar peserta didik melakukan kegiatan belajar. Pelakunya adalah 2 pihak, yaitu : peserta didik (siswa, peserta pelatihan, kader, murid, dan sebagainya.) dan pendidik (guru, tutor, pelatih, fasilitator, dan sebagainya.). PEMBELAJARAN MENURUT PLA/PRA Participatory Rural Appraisal (PRA) atau Participatory Learning and Action (PLA) adalah metodologi pendekatan pembangunan (pengembangan masyarakat) yang mengadopsi konsep pembelajaran masyarakat. Tokoh pengembang PRA/PLA adalah Robert Chambers dari Inggris, yang menyatakan bahwa salah satu sumber atau akar PRA/PLA adalah pemikiran Paulo Freire tentang pendidikan ii



kritis atau pendidikan pembebasan yang mengartikan pembelajaran masyarakat sebagai pembelajaran untuk mengatasi masalah dan meningkatkan kualitas hidupnya. Orang dewasa tidak butuh belajar teori yang tidak relevan dengan kehidupannya. Orang dewasa, belajar sesuatu untuk dapat diterapkan. Contoh petani, belajar teori wanatani, supaya bisa dikembangkan di kebunnya.



Gambar : 5.1 siklus belajar Participatory Rural Appraisal (PRA)



Itu sebabnya berkembang istilah pembelajaran aksi, PRA dan PLA : karena orang dewasa belajar agar bisa bertindak. Inilah sebabnya mengapa program infomobilisasi mengadopsi PRA/ PLA sebagai metodologi pendekatan. Dalam konsep PRA/PLA, 3 agenda harus menjadi satu kesatuan, yaitu: pengkajian, pembelajaran masyarakat, dan aksi/tindakan/kegiatan. PEMBELAJARAN MENURUT KOMUNIKASI PEMBANGUNAN PARTICIPATORY Development Communication (PDC) atau komunikasi pembangunan partisipatif (kombangpar) sebagai pendekatan dalam pembangunan, menempatkan masyarakat sebagai aktor (subyek) seperti pemangku kepentingan lainnya ii



(pemerintah desa, dinas/instasi pemerintah, LSM, dan sebagainya) dalam sebuah hubungan kemitraan (partnership). Masyarakat bukanlah hanya sasaran atau penerima manfaat program saja. Seorang praktisi pembangunan perbedaan prinsipil antara membelajarkan menurut konsep POD, PRA/PLA dengan kombangpar karena akar atau sumber perkembangannya sejalan. Tugas seorang praktisi pembangunan yang menggunakan pendekatan kombangpar, bukanlah untuk mentransfer atau menyebarluaskan informasi, melainkan menggunakan komunikasi informasi untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Ini berarti peningkatan kapasitas masyarakat untuk bisa berpartisipasi secara aktif. Juga menggunakan komunikasi berbasis masyarakat (community communication) untuk bisa mengembangkan sistem informasi-komunikasi lokal yang lebih demokratis dan memiliki struktur horisontal (tidak tersentral). PROSES PEMBELAJARAN Filosofi pendidikan Paulo Freire merupakan sumber inspirasi utama para fasilitator pembelajaran yang menggunakan idiom partisipasi, pemberdayaan, dan pembebasan. Karena itu, berikut ini akan dipaparkan konsep pembelajaran atau pendidikan yang berkembang atas pemikiran Paulo Freire dan juga menjadi konsep dasar POD, PRA/PLA, dan komunikasi pembangunan partisipatif. Proses Pendidikan Hadap Masalah (Problem Posing) Kritik Paulo Freire terhadap dunia pendidikan yang disebut „pendidikan gaya bank‟, masih sangat relevan sampai kini. Pendidikan „gaya bank‟ memperlakukan masyarakat atau siswa sekolah sebagai obyek belajar (murid yang harus diajar atau dicekoki ilmu) dengan sifat anti dialogis (searah) sehingga terjadilah proses dehumanisasi (penindasan). Hasil dari pendidikan semacam ini adalah „burung beo‟ (murid yang pintar karena menghafal atau dimuati informasi sebanyakbanyaknya) tetapi canggung menghadapi realitas sosial atau kehidupan yang nyata. Paulo Freire menyebut kegiatan pembelajaran sebagai proses Aksi-Refleksi-Aksi atau disebut juga sebagai proses Dialektika. Refleksi artinya merenungi, menganalisis, atau memaknai suatu peristiwa atau keadaan atau pengalaman, sehingga timbul kesadaran. Kesadaran itu mendorong suatu tindakan atau aksi. ii



Proses dialektika terjadi karena perenungan itu menjadi pelajaran dan mendasari aksi berikutnya terutama untuk mengatasi dan mencari jalan keluar dari masalah yang terjadi. Karena itulah, konsep pembelajaran Paulo Freire juga disebut sebagai pendidikan Hadap Masalah (problem posing). Kita belajar mengenai realitas kehidupan untuk bisa membuatnya lebih baik, itulah tujuan dari kita belajar. Proses pembelajaran aksi-refleksi-aksi terjadi berulang-ulang (bukan hanya satu kali) sehingga sebenarnya membentuk sebuah spiral pembelajaran. Setiap kali sebuah proses dialektika terjadi, akan dilanjutkan dengan dialektika berikutnya, dan begitu seterusnya. Artinya, sebuah proses pembelajaran tidak pernah menjadi rutinitas melainkan sebuah proses perkembangan dan transformasi. Belajar merupakan sesuatu yang terjadi sepanjang hidup.



Gambar : 5.2 Spiral Pembelajaran/Pendidikan Kritis



    



Obyek belajar: Realitas kehidupan yang harus diperbaharui Pendekatan: hadap masalah (problem posing) Sifat: DIALOGIS (saling memanusiakan) Proses dan tujuan: humanisasi (“memanusia”) Inti proses: penyadaran (konsientisasi) ii



Proses Pendidikan Orang Dewasa (POD) Konsep pendidikan orang dewasa (POD) atau adult education merupakan istilah yang berkembang di kalangan universitas sejak tahun 1960-an khususnya untuk bidang studi pendidikan dan pembangunandan disebut juga ilmu andragogi (kebalikan dari pedagogi atau ilmu “mengajar anak”). POD berkembang dengan adanya sumbangan pemikiran Paulo Freire. Daur pembelajaran orang dewasa– dengan mengadopsi filosofi Paulo Freire-dapat digambarkan sebagai berikut : Tugas fasilitator pembelajaran hadap masalah adalah mengembangkan proses sebagai berikut: 1. Mulai dari Pengalaman Peserta Fasilitator mendorong peserta untuk menyampaikan pengalamannya dengan cara menguraikan kembali rincian fakta, unsur-unsur, urutan kejadian, dll. dari kenyataan tersebut. Kemudian menggali tanggapan dan kesan peserta atas kenyataan tersebut. Gambar : 5.3. Daur Belajar Orang Dewasa



ii



2. Lakukan Analisis Fasilitator mendorong peserta untuk menemukan pola dengan mengkaji sebab-sebab dan kaitan-kaitan permasalahan yang ada dalam realitas tersebut yakni tatanan, aturan-aturan, sistem yang menjadi akar persoalan. 3. Tarik Kesimpulan Fasilitator mengajak peserta merumuskan makna realitas tersebut sebagai suatu pelajaran dan pemahaman atau pengertian baru yang lebih utuh, berupa prinsip-prinsip atau kesimpulan umum (generalisasi) dari hasil pengkajian atas pengalaman tersebut. 4. Terapkan Fasilitator mengajak peserta merumuskan dan merencanakan tindakantindakan baru yang lebih baik berdasarkan hasil pemahaman atau pengertian baru tersebut, sehingga sangat memungkinkan untuk menciptakan kenyataankenyataan baru yang lebih baik. Proses pengalaman belumlah lengkap, sebelum pemahaman baru penemuan baru tersebut dilaksanakan dan diuji dalam perilaku yang sesungguhnya. Tahap inilah bagian yang bersifat “eksperimental”. Orang dewasa bukanlah ”gelas kosong” yang dengan mudah dapat dituangkan sesuatu ke dalamnya. Orang dewasa kaya pengalaman, punya pendirian dan sikap nilai tertentu. Dalam memfasilitasi pembelajaran dengan orang dewasa di atas, perlu diperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut : Prinsip pertama; tidak menggurui atau mengajari orang dewasa, tetapi ajaklah mereka belajar bersama, karena: 1) Orang dewasa menganggap dirinya mampu belajar sendiri. 2) Orang dewasa mampu mengatur dirinya sendiri (mandiri) dan tidak suka diajari apalagi diperintah kecuali jika mereka diberi kesempatan untuk bertanya mengapa? Dan mengambil keputusan sendiri. Sikap yang terkesan mengguruinya akan cenderung ditolaknya, atau dihindarinya. Prinsip Kedua; jangan menyalahkan atau merendahkan pendapat masyarakat (Orang Dewasa), karena: 1) Harga diri sangat penting bagi orang dewasa. Dia menuntut untuk dihargai, terutama menyangkut diri dan kehidupannya. 2) Orang dewasa memilki kesadaran akan dirinya dalam menanggapi penilaian orang lain. ii



Prinsip Ketiga; Kembangkan proses belajar dari pengalaman masyarakat atau hubungkan antara teori dengan kehidupan sehari-harimasyarakat karena: 1) Orang dewasa lebih senang mengobrol dan diskusi pengalaman untuk membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan diri mereka dan lingkungan. 2) Orang dewasa senang menceritakan pengalamannya dan senang mendengarkan pengalaman orang lain. Prinsip Keempat; Berikan informasi yang memang dibutuhkan masyarakat, karena: 1) Setiap orang dewasa mengontrol proses belajarnya, karena ia selalu punya tujuan pribadi untuk belajar. 2) Orang dewasa tidak suka belajar sesuatau yang tidak bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari (tidak suka teori yang tidak diaplikasikan). 3) Orang dewasa cenderung ingin segera menerapkan pengetahuan dan keterampilan baru. 4) Prinsip Kelima; pertimbangan keterbatasan kemampuan belajar masyarakat (Orang Dewasa), karena kemampuan untuk menyerap informasi juga semakin kurang berdasar usia dan perubahan fisik. SITUASI / BENTUK BELAJAR MASYARAKAT Di atas telah dibahas bahwa proses pendidikan di masyarakat sering melibatkan orang dewasa, sehingga konsep pendidikan orang dewasa wajib dipahami oleh pasilitator. Dalam melaksanaan program kesehatan masyarakat terdapat 3 (tiga) bentuk/situasi belajar yang dialami masyarakat yaitu: 1. Required outcome situation (situasi belajar yang diwajibkan) : Situasi belajar yang terjadi adalah dalam bentuk "kewajiban" atau "instruktif" dimana petugas mengharuskan masyarakat untuk berperilaku tertentu dan petugas mampunyai wewenang untuk memberikan sanksi atas pelanggaran terhadap instruksinya. Situasi ini ditemukan pada keadaan yang menimbulkan ancaman terhadap orang banyak, seperti misalnya wabah. kegawatdaruratan / kedaan bencana. 2. Recomended outcome situation (situasi belajar yang disarankan) : Situasi belajar yang muncul adalah dalam bentuk pemberian saran alternatif, dimana petugas berperan sebagai nara sumber. Masyarakat dianjurkan untuk mengadopsi perilaku tertentu, tetapi tidak ada sanksi jika perilaku tersebut ii



tidak dilaksanakan. Situasi ini misalnya ditemukan pada upaya upaya perbaikan gizi. 3. Self directed outcome situation (situasi belajar yang ditetapkan sendiri) : Pada situasi ini masyarakat sudah berada dalam tahap bisa menetapkan sendiri hal hal yang dianggap baik untuk dirinya. Tingkat pendidikan serta status sosial ekonomi yang demikian sudah memungkinkan mereka memiliki dasar untuk memilih secara baik dan melakukan upaya upaya untuk mencapai tujuan yang diinginkan secara mandiri. Peranan petugas bersifat konsultatif dan pendekatan yang digunakan terutama bersifat non direktif.



Aktif diberbagai upaya kesehatan Masyaraka t Kelompok



Situasi belajar yang disarankan



Situasi belajar yang ditetapkan



sendiri



Individu Situasi belajar yang diwajibkan



Gambar 5.3 : situasi belajar masyarakat



Soal Latihan 1. Sebutkan pengertian belajar 2. Jelaskan pembelajaran menurut PLA/PRA 3. Jelaskan pembelajaran menurut Komunikasi PembangunanParticipatory 4. Jelaskan Proses Pembelajaran dalam masyarakat 5. Jelaskan Situasi/Bentuk Belajar di masyarakat ii



BAB VI KETERLIBATAN DAN PARTISIPASI



Tujuan Pembelajaran Setelah membaca bab ini mahasiswa diharapkan mampu : 1. Memahami pengertian dan prinsip partisipasi masyarakat 2. Memahami Bentuk dan Tipe Partisipasi Masyarakat 3. Memahami Faktor yang Mempengaruhi Partsipasi masyarakat 4. Memahami Faktor pendorong partisipasi masyarakat 5. Memahami Faktor penghambat partisipasi masyarakat 6. Memahami Keuntungan partisipasi masyarakat



PENGERTIAN DAN PRINSIP PARTISIPASI MASYARAKAT Menurut Ach. Wazir Ws., et al. (1999: 29) partisipasi bisa diartikan sebagai keterlibatan seseorang secara sadar ke dalam interaksi sosial dalam situasi tertentu. Dengan pengertian itu, seseorang bisa berpartisipasi bila ia menemukan dirinya dengan atau dalam kelompok, melalui berbagai proses berbagi dengan orang lain dalam hal nilai, tradisi, perasaan, kesetiaan, kepatuhan dan tanggung jawab bersama. Partisipasi masyarakat menurut Isbandi (2007: 27) adalah keikutsertaan masyarakat dalam proses pengidentifikasian masalah dan potensi yang ada di masyarakat, pemilihan dan pengambilan keputusan tentang alternatif solusi untuk menangani masalah, pelaksanaan upaya mengatasi masalah, dan keterlibatan masyarakat dalam proses mengevaluasi perubahan yang terjadi. ii



Mikkelsen (1999: 64) membagi partisipasi menjadi 6 (enam) pengertian, yaitu: 1) Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat kepada proyek tanpa ikut serta dalam pengambilan keputusan; 2) Partisipasi adalah “pemekaan” (membuat peka) pihak masyarakat untuk meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan untuk menanggapi proyek-proyek pembangunan; 3) Partisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang ditentukannya sendiri; 4) Partisipasi adalah suatu proses yang aktif, yang mengandung arti bahwa orang atau kelompok yang terkait, mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasannya untuk melakukan hal itu; 5) Partisipasi adalah pemantapan dialog antara masyarakat setempat dengan para staf yang melakukan persiapan, pelaksanaan, monitoring proyek, agar supaya memperoleh informasi mengenai konteks lokal, dan dampak-dampak sosial; 6) Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri, kehidupan, dan lingkungan mereka. Dari tiga pakar yang mengungkapkan definisi partisipasi di atas, dapat dibuat kesimpulan bahwa partisipasi adalah keterlibatan aktif dari seseorang, atau sekelompok orang (masyarakat) secara sadar untuk berkontribusi secara sukarela dalam program pembangunan dan terlibat mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring sampai pada tahap evaluasi. Pentingnya partisipasi dikemukakan oleh Conyers (1991: 154-155) sebagai berikut: pertama, partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan, dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal; kedua, bahwa masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk-beluk proyek tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap proyek tersebut; ketiga, bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat mereka sendiri. Apa yang ingin dicapai dengan adanya partisipasi adalah meningkatnya kemampuan (pemberdayaan) setiap orang yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam sebuah program pembangunan dengan cara melibatkan ii



mereka dalam pengambilan keputusan dan kegiatan-kegiatan selanjutnya dan untuk jangka yang lebih panjang. Adapun prinsip-prinsip partisipasi tersebut, sebagaimana tertuang dalam Panduan Pelaksanaan Pendekatan Partisipatif yang disusun oleh Department for International Development (DFID) (dalam Monique Sumampouw, 2004: 106-107) adalah: a) Cakupan. Semua orang atau wakil-wakil dari semua kelompok yang terkena dampak dari hasil-hasil suatu keputusan atau proses proyek pembangunan. b) Kesetaraan dan kemitraan (Equal Partnership). Pada dasarnya setiap orang mempunyai keterampilan, kemampuan dan prakarsa serta mempunyai hak untuk menggunakan prakarsa tersebut terlibat dalam setiap proses guna membangun dialog tanpa memperhitungkan jenjang dan struktur masingmasing pihak. c) Transparansi. Semua pihak harus dapat menumbuh kembangkan komunikasi dan iklim berkomunikasi terbuka dan kondusif sehingga menimbulkan dialog. d) Kesetaraan kewenangan (Sharing Power/Equal Powership). Berbagai pihak yang terlibat harus dapat menyeimbangkan distribusi kewenangan dan kekuasaan untuk menghindari terjadinya dominasi. e) Kesetaraan Tanggung Jawab (Sharing Responsibility). Berbagai pihak mempunyai tanggung jawab yang jelas dalam setiap proses karena adanya kesetaraan kewenangan (sharing power) dan keterlibatannya dalam proses pengambilan keputusan dan langkah-langkah selanjutnya. f) Pemberdayaan (Empowerment). Keterlibatan berbagai pihak tidak lepas dari segala kekuatan dan kelemahan yang dimiliki setiap pihak, sehingga melalui keterlibatan aktif dalam setiap proses kegiatan, terjadi suatu proses saling belajar dan saling memberdayakan satu sama lain. g) Kerjasama. Diperlukan adanya kerja sama berbagai pihak yang terlibat untuk saling berbagi kelebihan guna mengurangi berbagai kelemahan yang ada, khususnya yang berkaitan dengan kemampuan sumber daya manusia. BENTUK DAN TIPE PARTISIPASI Ada beberapa bentuk partisipasi yang dapat diberikan masyarakat dalam suatu program pembangunan, yaitu partisipasi uang, partisipasi harta benda, partisipasi tenaga, partisipasi keterampilan, partisipasi buah pikiran, partisipasi ii



sosial, partisipasi dalam proses pengambilan keputusan, dan partisipasi representatif. Berdasarkan bentuk partisipasi yang telah disebutkan di atas, maka bentuk partisipasi dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu : 1) bentuk partisipasi yang diberikan dalam bentuk nyata (memiliki wujud); 2) juga bentuk partisipasi yang diberikan dalam bentuk tidak nyata (abstrak). Bentuk partisipasi yang nyata misalnya uang, harta benda, tenaga dan keterampilan sedangkan bentuk partisipasi yang tidak nyata adalah partisipasi buah pikiran, partisipasi sosial, pengambilan keputusan dan partisipasi representatif. Partisipasi uang adalah bentuk partisipasi untuk memperlancar usaha-usaha bagi pencapaian kebutuhan masyarakat yang memerlukan bantuan, Partisipasi harta benda adalah partisipasi dalam bentuk menyumbang harta benda, biasanya berupa alat-alat kerja atau perkakas. Partisipasi tenaga adalah partisipasi yang diberikan dalam bentuk tenaga untuk pelaksanaan usaha-usaha yang dapat menunjang keberhasilan suatu program. Sedangkan partisipasi keterampilan, yaitu memberikan dorongan melalui keterampilan yang dimilikinya kepada anggota masyarakat lain yang membutuhkannya. Dengan maksud agar orang tersebut dapat melakukan kegiatan yang dapat meningkatkan kesejahteraan sosialnya. Partisipasi buah pikiran lebih merupakan partisipasi berupa sumbangan ide, pendapat atau buah pikiran konstruktif, baik untuk menyusun program maupun untuk memperlancar pelaksanaan program dan juga untuk mewujudkannya dengan memberikan pengalaman dan pengetahuan guna mengembangkan kegiatan yang diikutinya. Partisipasi sosial diberikan oleh partisipan sebagai tanda paguyuban. Misalnya arisan, menghadiri kematian, dan lainnya dan dapat juga sumbangan perhatian atau tanda kedekatan dalam rangka memotivasi orang lain untuk berpartisipasi. Pada partisipasi dalam proses pengambilan keputusan, masyarakat terlibat dalam setiap diskusi/forum dalam rangka untuk mengambil keputusan yang terkait dengan kepentingan bersama. Sedangkan partisipasi representatif dilakukan dengan cara memberikan kepercayaan/mandat kepada wakilnya yang duduk dalam organisasi atau panitia. Penjelasan mengenai bentuk-bentuk partisipasi dan beberapa ahli yang mengungkapkannya dapat dilihat dalam Tabel 6.1.



ii



Tabel 6.1 Pemikiran Tentang Bentuk Partisipasi Nama Pakar (Hamijoyo, 2007: 21; Chapin, 2002: 43 & Holil, 1980: 81) (Hamijoyo, 2007: 21; Holil, 1980: 81 & Pasaribu dan Simanjutak, 2005: 11) (Hamijoyo, 2007: 21 & Pasaribu dan Simanjutak, 2005: 11) (Hamijoyo, 2007: 21 & Pasaribu dan Simanjutak, 2005: 11)



(Hamijoyo, 2007: 21 & Pasaribu dan Simanjutak, 2005: 11)



(Hamijoyo, 2007: 21 & Pasaribu dan Simanjutak, 2005: 11)



(Chapin, 2002: 43 & Holil,



Pemikiran Tentang Bentuk Partisipasi Partisipasi uang adalah bentuk partisipasi untuk memperlancar usaha-usaha bagi pencapaian kebutuhan masyarakat yang memerlukan bantuan. Partisipasi harta benda adalah partisipasi dalam bentuk menyumbang harta benda, biasanya berupa alat-alat kerja atau perkakas. Partisipasi tenaga adalah partisipasi yang diberikan dalam bentuk tenaga untuk pelaksanaan usaha-usaha yang dapat menunjang keberhasilan suatu program. Partisipasi keterampilan, yaitu memberikan dorongan melalui keterampilan yang dimilikinya kepada anggota masyarakat lain yang membutuhkannya. Dengan maksud agar orang tersebut dapat melakukan kegiatan yang dapat meningkatkan kesejahteraan sosialnya. Partisipasi buah pikiran adalah partisipasi berupa sumbangan berupa ide, pendapat atau buah pikiran konstruktif, baik untuk menyusun program maupun untuk memperlancar pelak-sanaan program dan juga untuk mewujud-kannya dengan memberikan pengalaman dan pengetahuan guna mengembangkan kegiatan yang diikutinya. Partisipasi sosial, Partisipasi jenis ini diberikan oleh partisipan sebagai tanda paguyuban. Misalnya arisan, menghadiri kematian, dan lainnya dan dapat juga sumbangan perhatian atau tanda kedekatan dalam rangka memotivasi orang lain untuk berpartisipasi. Partisipasi dalam proses pengambilan kepuii



1980: 81)



(Chapin, 2002: 43 & Holil, 1980: 81)



tusan. Masyarakat terlibat dalam setiap diskus/forum dalam rangka untuk mengambil keputusan yang terkait dengan kepentingan bersama. Partisipasi representatif. Partisipasi yang dilakukan dengan cara memberikan kepercayaan/ mandat kepada wakilnya yang duduk dalam organisasi atau panitia.



Berdasarkan bentuk-bentuk partisipasi yang telah dianalisis, dapat ditarik sebuah kesimpulan mengenai tipe partisipasi yang diberikan masyarakat. Tipe partisipasi masyarakat pada dasarnya dapat kita sebut juga sebagai tingkatan partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat. Sekretariat Bina Desa (1999: 32-33) mengidentifikasikan partisipasi masyarakat menjadi 7 (tujuh) tipe berdasarkan karakteristiknya, yaitu partisipasi pasif/manipulatif, partisipasi dengan cara memberikan informasi, partisipasi melalui konsultasi, partisipasi untuk insentif materil, partisipasi fungsional, partisipasi interaktif, dan self mobilization. Untuk lebih jelasnya lihat Tabel 1.2. Tabel 6.2. Tipe Partisipasi No. Tipologi Karakteristik 1. Partisipasi (a.) Masyarakat berpartisipasi dengan cara diberitahu apa pasif/ yang sedang atau telah terjadi; manipulatif (b.) Pengumuman sepihak oleh manajemen atau pelaksana proyek tanpa memper-hatikan tanggapan masyarakat; (c.) Informasi yang dipertukarkan terbatas pada kalangan profesional di luar kelompok sasaran. 2. Partisipasi (a) Masyarakat berpartisipasi dengan cara menjawab dengan cara pertanyaan-pertanyaan peneli-tian seperti dalam memberikan kuesioner atau sejenisnya; informasi (b) Masyarakat tidak punya kesempatan untuk terlibat dan mempengaruhi proses penyelesaian; (c) Akurasi hasil penelitian tidak dibahas bersama masyarakat. ii



3.



4.



5.



6.



Partisipasi melalui konsultasi



(a) Masyarakat berpartisipasi dengan cara berkonsultasi; (b) Orang luar mendengarkan dan membangun pandangan-pandangannya sendiri untuk kemudian mendefinisikan permasalahan dan pemecahannya, dengan memodifikasi tanggapan-tanggapan masyarakat; (c) Tidak ada peluang bagi pembuat keputusan bersama; (d) Para profesional tidak berkewajiban mengajukan pandangan-pandangan masyarakat (sebagai masukan) untuk ditindaklanjuti. Partisipasi (a) Masyarakat berpartisipasi dengan cara menyediakan untuk insentif sumber daya seperti tenaga kerja, demi mendapatkan materil makanan, upah, ganti rugi, dan sebagainya; (b) Masyarakat tidak dilibatkan dalam eksperimen atau proses pembelajarannya; (c) Masyarakat tidak mempunyai andil untuk melanjutkan kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada saat insentif yang disediakan/diterima habis. Partisipasi (a) Masyarakat berpartisipasi dengan membentuk fungsional kelompok untuk mencapai tujuan yang berhubungan dengan proyek; (b) Pembentukan kelompok (biasanya) setelah ada keputusan-keputusan utama yang disepakati; (c) Pada awalnya, kelompok masyarakat ini bergantung pada pihak luar (fasilitator, dll) tetapi pada saatnya mampu mandiri. Partisipasi (a) Masyarakat berpartisipasi dalam analisis bersama interaktif yang mengarah pada perencanaan kegiatan dan pembentukan lembaga sosial baru atau penguatan kelembagaan yang telah ada; (b) Partisipasi ini cenderung melibatkan metode interdisiplin yang mencari keragaman perspektif dalam proses belajar yang terstruktur dan sistematik; (c) Kelompok-kelompok masyarakat mempunyai peran kontrol atas keputusan-keputusan mereka, sehingga ii



mereka mempunyai andil dalam seluruh penyelenggaraan kegiatan. 7. Self (a) Masyarakat berpartisipasi dengan mengambil mobilization inisiatif secara bebas (tidak dipengaruhi/ditekan pihak luar) untuk mengubah sistem-sistem atau nilai-nilai yang mereka miliki;(b) Masyarakat mengembangkan kontak dengan lembaga-lembaga lain untuk mendapatkan bantuan-bantuan teknis dan sumberdaya yang dibutuhkan; (c) Masyarakat memegang kendali atas pemanfaatan sumberdaya yang ada. Sumber: Sekretariat Bina Desa (1999: 32-33) Pada dasarnya, tidak ada jaminan bahwa suatu program akan berkelanjutan melalui partisipasi semata. Keberhasilannya tergantung sampai pada tipe macam apa partisipasi masyarakat dalam proses penerapannya. Artinya, sampai sejauh mana pemahaman masyarakat terhadap suatu program sehingga ia turut berpartisipasi. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PARTISIPASI Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam suatu program, sifat faktor-faktor tersebut dapat mendukung suatu keberhasilan program namun ada juga yang sifatnya dapat menghambat keberhasilan program. Misalnya saja faktor usia, terbatasnya harta benda, pendidikan, pekerjaan dan penghasilan. Angell (dalam Ross, 1967: 130) mengatakan partisipasi yang tumbuh dalam masyarakat dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecenderungan seseorang dalam berpartisipasi, yaitu: 1. Usia Faktor usia merupakan faktor yang mempengaruhi sikap seseorang terhadap kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang ada. Mereka dari kelompok usia menengah ke atas dengan keterikatan moral kepada nilai dan norma masyarakat yang lebih mantap, cenderung lebih banyak yang berpartisipasi daripada mereka yang dari kelompok usia lainnya. 2. Jenis kelamin ii



Nilai yang cukup lama dominan dalam kultur berbagai bangsa mengatakan bahwa pada dasarnya tempat perempuan adalah “di dapur” yang berarti bahwa dalam banyak masyarakat peranan perempuan yang terutama adalah mengurus rumah tangga, akan tetapi semakin lama nilai peran perempuan tersebut telah bergeser dengan adanya gerakan emansipasi dan pendidikan perempuan yang semakin baik. 3. Pendidikan Dikatakan sebagai salah satu syarat mutlak untuk berpartisipasi. Pendidikan dianggap dapat mempengaruhi sikap hidup seseorang terhadap lingkungannya, suatu sikap yang diperlukan bagi peningkatan kesejahteraan seluruh masyarakat. 4. Pekerjaan dan penghasilan Hal ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena pekerjaan seseorang akan menentukan berapa penghasilan yang akan diperolehnya. Pekerjaan dan penghasilan yang baik dan mencukupi kebutuhan sehari-hari dapat mendorong seseorang untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan masyarakat. Pengertiannya bahwa untuk berpartisipasi dalam suatu kegiatan, harus didukung oleh suasana yang mapan perekonomian. 5. Lamanya tinggal Lamanya seseorang tinggal dalam lingkungan tertentu dan pengalamannya berinteraksi dengan lingkungan tersebut akan berpengaruh pada partisipasi seseorang. Semakin lama ia tinggal dalam lingkungan tertentu, maka rasa memiliki terhadap lingkungan cenderung lebih terlihat dalam partisipasinya yang besar dalam setiap kegiatan lingkungan tersebut. Sedangkan menurut Holil (1980: 9-10), unsur-unsur dasar partisipasi sosial yang juga dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat adalah: 1. Kepercayaan diri masyarakat; 2. Solidaritas dan integritas sosial masyarakat; 3. Tanggungjawab sosial dan komitmen masyarakat; 4. Kemauan dan kemampuan untuk mengubah atau memperbaiki keadaan dan membangun atas kekuatan sendiri; 5. Prakarsa masyarakat atau prakarsa perseorangan yang diterima dan diakui sebagai/menjadi milik masyarakat; 6. Kepentingan umum murni, setidak-tidaknya umum dalam lingkungan masyarakat yang bersangkutan, dalam pengertian bukan kepentingan umum ii



yang semu karena penunggangan oleh kepentingan perseorangan atau sebagian kecil dari masyarakat; 7. Organisasi, keputusan rasional dan efisiensi usaha; 8. Musyawarah untuk mufakat dalam pengambilan keputusan; 9. Kepekaan dan ketanggapan masyarakat terhadap masalah, kebutuhankebutuhan dan kepentingan-kepentingan umum masyarakat. Faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam suatu program juga dapat berasal dari unsur luar/lingkungan. Menurut Holil (1980: 10) ada 4 poin yang dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat yang berasal dari luar/lingkungan, yaitu: 1. Komunikasi yang intensif antara sesama warga masyarakat, antara warga masyarakat dengan pimpinannya serta antara sistem sosial di dalam masyarakat dengan sistem di luarnya; 2. Iklim sosial, ekonomi, politik dan budaya, baik dalam kehidupan keluarga, pergaulan, permainan, sekolah maupun masyarakat dan bangsa yang menguntungkan bagi serta mendorong tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat; 3. Kesempatan untuk berpartisipasi. Keadaan lingkungan serta proses dan struktur sosial, sistem nilai dan norma-norma yang memungkinkan dan mendorong terjadinya partisipasi sosial; 4. Kebebasan untuk berprakarsa dan berkreasi. Lingkungan di dalam keluarga masyarakat atau lingkungan politik, sosial, budaya yang memungkinkan dan mendorong timbul dan berkembangnya prakarsa, gagasan, perseorangan atau kelompok. FAKTOR PENDORONG PARTISIPASI MASYARAKAT Ada beberapa faktor yang bisa membantu upaya mengembangkan dan membina partisipasi masyarakat antara lain adalah 1) Faktor pendorong di masyarakat Konsep partisipasi masyarakat sebenarnya bukan hal yang baru bagi kita di Indonesia. Dari sejak nenek moyang kita, telah dikenal adanya semangat gotong-royong dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan di masyarakat. Semangat gotong-royong ini bertolak dari nilai-nilai budaya yang menyangkut hubungan antar manusia. Semangat ini mendorong timbulnya partisipasi masyarakat ii



2) Faktor pendorong di pihak provider Faktor pendorong terpenting yang ada di pihak provider adalah adanya kesadaran di lingkungan provider, bahwa perilaku merupakan faktor penting dan besar pengaruhnya terhadap derajat kesehatan. Kesadaran ini melandasi pemikiran pentingnya partisipasi masyarakat. Selain itu keterbatasan sumber daya dipihak provider juga merupakan faktor yang sangat mendorong pihak provider untuk mengembangkan dan membina partisipasi masyarakat. FAKTOR PENGHAMBAT PARTISIPASI MASYARAKAT 1. Faktor penghambat yang terdapat di masyarakat a. Persepsi masyarakat yang sangat berbeda dengan persepsi provider tentang masalah kesehatan yang dihadapi b. Susunan masyarakat yang sangat heterogen dengan kondisi sosial budaya yang sangat berbeda-beda pula c. Pengalaman pahit masyarakat tentang program sebelumnya d. Adanya kepentingan tetap (vested interest) dari beberapa pihak dimasyarakat e. Sistim pengambilan keputusan dari atas kebawah f. Adanya berbagai macam kesenjangan sosial g. Kemiskinan 2. Faktor penghambat yang terdapat di pihak provider a. Terlalu mengejar target sehingga terjerumus dalam pendekatan yang tidak partisipatif b. Pelaporan yang tidak obyektif (ABS) hingga provider keliru mentafsirkan situasi c. Birokrasi yang sering memperlambat kecepatan dan ketepatan respons pihak provider terhadap perkembangan masyarakat d. Persepsi yang berbeda antara provider dan masyarakat KEUNTUNGAN PARTISIPASI MASYARAKAT 1. Bagi masyarakat a) Upaya kesehatan yang dilaksanakan benar-benar sesuai dengan masalah yang dihadapi masyarakat, tidak hanya bertolak dari asumsi para penyelenggara semata. ii



b) Upaya kesehatan bisa diterima dan terjangkau oleh masyarakat, baik secara fisik, sosial maupun secara ekonomis. Ini karena mesyarakat berpartisipasi dalam merumuskan masalahnya dan dalam merencanakan pemecahannya c) Masyarakat merasa puas, karena mempunyai andil pula dalam menilai pelaksanaan daripada upaya kesehatan yang sudah direncanakan dan dilaksanakan bersama. d) Dengan berpartisipasinya masyarakat dalam proses pemecahan masalah dibidang kesehatan akan mengembangkan kemampuan dan sikap positif serta motivasi mereka untuk hidup sehat atas dasar swadaya. 2. Bagi pihak penyelenggara pelayanan (Provider) a) Adanya partisipasi masyarakat, berarti adanya penemuan dan pengerahan potensi masyarakat untuk pembangunan dibidang kesehatan, dan membantu memecahkan masalah keterbatasan sumber daya yang dimiliki pemerintah, baik sumber daya tenaga, biaya, maupun fasilitas. b) Partisipasi masyarakat membantu upaya perluasan jangkauan pelayanan kesehatan c) Partisipasi masyarakat menciptakan adanya rasa ikut memiliki dan rasa ikut bertanggungjawab dipihak masyarakat terhadap masalah dan program kesehatan, hingga hal ini memperlancar munculnya aspirasiaspirasi dari bawah. d) Partisipasi masyarakat dapat pula merupakan wadah dan jalur untuk kontrol terhadap pelayanan kesehatan yang dilaksanakan pemerintah e) Partisipasi masyarakat dibidang kesehatan dapat menjadi pintu masuk (entry point) bagi partisipasi masyarakat dalam pembangunan di bidang lain f) Partisipasi masyarakat merupakan mekanisme berkembangnya dialog antara masyarakat dan pihak penyelenggaraan pelayanan (provider) dan antara masyarakat denganmasyarakat sendiri, hingga tercipta kesamaan berbagai pengertian dan pandangan tentang masalah dan cara pendekatannya.



ii



Soal Latihan 1. Sebutkan pengertian dan prinsip partisipasi masyarakat 2. Jelaskan bentuk dan tipe partisipasi masyarakat 3. Jelaskan faktor yang mempengaruhi partsipasi masyarakat 4. Sebutkan dan jelaskan faktor pendorong partisipasi masyarakat 5. Jelaskan Faktor penghambat partisipasi masyarakat 6. Sebutkan keuntungan partisipasi masyarakat



ii



BAB VII PENDEKATAN DIREKTIF DAN NON DIREKTIF



Tujuan Pembelajaran Setelah membaca bab ini mahasiswa diharapkan mampu : 1. Pendahuluan 2. Memahami pengertian pendekatan direktif dan non-direktif 3. Memahami Kondisi Untuk Tumbuhnya "Self-directed Action" 4. Memahami Peran Petugas Untuk mendorong Terjadinya Self Directed Action 5. Memahami Keuntungan Pendekatan Non-direktif 6. Memahami Keterbatasan Pendekatan Non-direktif 7. Memahami Keterbatasan Pendekatan direktif PENDAHULUAN Dalam suatu kegiatan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, seorang petugas biasanya datang ke kelompok masyarakat tertentu, membuat identifikasi masalah dan sampai kepada suatu kesimpulan bahwa masyarakat memerlukan program tertentu untuk meningkatkan taraf hidupnya. Program yang ditujukan untuk memperbaiki keadaan masyarakat ini sebetulnya didasarkan pada asumsi bahwa petugas mempunyai kemampuan untuk menetapkan "konsep baik buruk" dari masyarakat sasaran. Dalam aplikasinya di masyarakat, upaya untuk melibatkan kelompok sasaran dihadapkan pada kenyataan bahwa situasi dan kondisi (sikon) masyarakat yang berbeda beda. Sikon yang berbeda beda ini dapat dilihat sebagai suatu kendala dalam harus dirubah. Disini dibahas tentang penerapan dari pendekatan direktif ii



dan non direktif (directive and non directive approach) seperti yang diuraikan oleh T.R. Batten. Secara realistis pragmatis, maka sikon masyarakat yang berbedabeda dalam upaya melibatkan masyarakat/melibatkan sasaran secara aktif memerlukan pendekatan yang berbeda-beda pula. Masyarakat yang lebih siap dapat dibina dengan pendekatan yang non direktif sedangkan masyarakat yang belum siap dapat mulai dibina dengan pendekatan yang direktif. Meskipun demikian, aplikasi hal ini harus dengan disertai suatu kesadaran bahwa tujuan akhir adalah diperolehnya kemandirian dan oleh karena itu secara bertahap sesuai dengan kesiapan masyarakat perlu ditingkatkan pendekatan yang non direktif. Pada masyarakat yang masih belum siap maka pendekatan direktif dapat dipertimbangkan untuk diterapkan sebagai awal tetapi kemudian secara bertahap dikurangi dan diikuti dengan peningkatan pendekatan yang sifatnya non-direktif. PENGERTIAN PENDEKATAN DIREKTIF DAN NON-DIREKTIF Pendekatan direktif Adalah Pendekatan yang dilakukan melalui tekanan atau pemaksaan (langsung dan kekuatan) dimana masyrakat dilihat sebagai objek dan interaksi bersifat instruktif.



Sesuai program anda semua harus mebuat WC leher angsa



Gambar 7.1: Ilustrasi Pendekatan Direktif ii



Pada pendekatan yang direktif, petugaslah yang menetapkan apa yang baik atau buruk bagi masyarakat, cara-cara apa yang perlu dilakukan untuk memperbaikinya dan selanjutnya menyediakan sarana yang diperlukan untuk perbaikan tersebut. Dengan pendekatan seperti ini memang prakarsa dan pengambilan keputusan berada ditangan petugas. Dalam prakteknya petugas memang mungkin menanyakan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat atau cara apa yang perlu dilakukan untuk mengatasi suatu masalah, tetapi jawaban yang muncul dari masyarakat selalu diukur dari segi baik dan buruk menurut petugas. Dengan pendekatan ini memang banyak hasil yang telah diperoleh, tetapi terutama untuk hal hal yang bersifat tujuan jangka pendek, atau yang bersifat pencapaian secara fisik. Pendekatan seperti ini menjadi kurang efektif untuk mencapai hal hal yang sifatnya jangka panjang atau untuk memperoleh perubahan perubahan mendasar yang berkaitan dengan perilaku. Penggunaan pendekatan direktif sebetulnya juga mengakibatkan hilangnya kesempatan untuk memperoleh pengalaman belajar dan menimbulkan kecenderungan untuk tergantung kepada petugas. Pendekatan non-direktif Adalah pendekatan yang dilakukan secara humanistik atau tanpa tekanan, masyarakat dilihat sebagai subjek, interaksi bersifat partisipatif dan pemrakarsa kegiatan adalah masyarakat. Pada pendekatan non-direktif, petugas tidak menempatkan diri sebagai orang yang menetapkan apa yang baik dan apa yang buruk bagi masyarakat, untuk membuat analisa dan mengambil keputusan untuk masyarakat atau menetapkan cara cara yang bisa dilakukan oleh masyarakat. Dengan menggunakan pendekatan ini petugas berusaha untuk merangsang tumbuhnya suatu proses penetapan sendiri (self determination) dan kemandirian (self help). Tujuannya adalah agar masyarakat memeperoleh pengalaman belajar untuk pengembangan diri dengan melalui pemikiran dan tindakan oleh masyarakat sendiri. Kondisi Untuk Tumbuhnya "Self-directed Action" Dari berbagai pengalaman pelaksanaan kegiatan masyarakat, sebagian masyarakat memang berhasil berkembang dengan pendekatan non direktif tetapi ii



ada juga mengalami kegagalan. Untuk tumbuhnya suatu self directed action sebagai hasil dari pendekatan dibutuhkan beberapa kondisi, yaitu : a) Adanya sejumlah orang yang tidak puas terhadap keadaan mereka dan sepakat tentang apa sebenarnya yang menjadi kebutuhan khusus mereka. b) Orang orang ini menyadari bahwa kebutuhan tersebut, hanya akan terpenuhi jika mereka sendiri berusaha untuk memenuhi kebutuhan tersebut. c) Mereka memiliki, atau dapat dihubungkan dengan sumber sumber yang memadai untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Yang dimaksud dengan sumber sumber disini meliputi : pengetahuan, ketrampilan atau sarana dan kemauan yang kuat untuk melaksanakan keputusan yang telah ditetapkan bersama sama. Peran Petugas Untuk mendorong Terjadinya Self Directed Action Untuk terciptanya kondisi kondisi seperti tersebut diatas, maka petugas dapat mengambil peran untuk : a) Menumbuhkan keinginan untuk bertindak dengan merangsang munculnya diskusi tentang apa yang menjadi masalah dalam masyarakat. b) Memberikan informasi, jika dibutuhkan tentang pengalaman kelompok lain dalam mengorganisasi diri untuk menghadapi hal yang serupa. c) Membantu diperolehnya kemampuan masyarakat untuk membuat analisa situasi secara sistimatik tentang hakekat dan penyebab dari masalah yang dihadapi masyarakat. d) Menghubungkan masyarakat dengan sumber sumber yang dapat dimanfaatkan untuk membantu mengatasi masalah yang sedang dihadapi mereka, sebagai tambahan dari sumber -sumber yang memang sudah dimiliki masyarakat. Dalam menjalankan pendekatan non direktif, petugas dapat dihadapkan kepada munculnya konflik konflik diantara sesama anggota masyarakat. Konflik yang tidak dapat dikendalikan dan diatasi dapat mengakibatkan perpecahan, oleh karena itu petugas harus mampu mengenal adanya konflik ini dan mengambil tindakan tindakan untuk mengatasinya. Keuntungan Pendekatan Non-direktif a) Memungkinkan diperolehnya hasil yang lebih baik dalam keterbatasan sumber yang ada. Pada dasarnya memang selalu ada keterbatasan dana, ii



tenaga maupun teknologi yang dimiliki oleh pemerintah atau lembaga swasta. Dibukanya kesempatan keada masyarakat untuk mengorganisasi kegiatan dengan menggunakan sumber sumber yang ada akan memberikan kesempatan kepada pemerintah/lembaga untuk membantu lebih banyak kegiatan di tempat tempat lainnya. Selain itu kesempatan untuk megorganisasi diri juga memungkinkan digalinya potensi setempat yang semula tidak terlihat. b) Membantu perkembangan masyarakat. Dengan diperolehnya pengalaman belajar maka kemampuan masyarakat akan berkembang diikuti dengan tumbuhnya rasa percaya diri akan kemampuan mereka untuk mengatasi masalah. c) Menumbuhkan rasa kebersamaan (we feeling). Pengalaman bekerjasama diantara sesama anggota masyarakat untuk mengatasi masalah masalah bersama akan meningkatkan pengenalan diri diantara mereka sehingga dapat dirasakan tumbuhnya rasa kebersamaan. Keterbatasan Pendekatan Non-direktif a) Petugas tidak dapat sepenuhnya menetapkan isi dan proses kegiatan serta tidak dapat menjamin bahwa hasil akhir akan sesuai dengan keinginannya. b) Masyarakat yang sudah terbiasa dengan pendekatan direktif cenderung tidak menyukai pendekatan yang non direktif karena dengan pendekatan ini masyarakat "dipaksa" untuk terlibat secara aktif dan ikut bertanggung jawab sepenuhnya atas keputusan yang ditetapkan. Keterbatasan Pendekatan Direktif a) Berkurangnya kesempatan untuk memperoleh pengalaman belajar dari masyarakat b) Masyarakat tergantung kepada kehadiran petugas sebagai agen perubahan Secara realistis-pragmatis, maka situasi dan kondisi masyarakat yang berbedabeda dalam upaya melibatkan masyarakat secara aktif, memang memerlukan pendekatan yang berbeda-beda pula. Masyarakat yang lebih siap dapat dibina dengan pendekatan yang non-direktif, sedangkan masyarakat yang belum siap dapat mulau dibina dengan pendekatan direktif. Meskipun demikian, aplikasi ini harus disertai dengan suatu kesadaran bahwa tujuan akhir adalah diperolehnya kemandirian dan oleh karena itu secara bertahap, sesuai dengan kesiapan ii



masyarakat, perlu ditingkatkan kepada pendekatan non-direktif. Secara sederhana pendekatan itu dapat digambarkan secara sekematis sebagai berikut :



Non Direktif Non direktif



Direktif



Komunitas yang relatif terbelakang



Komunitas yang relatif lebih maju



Gambar : 7.2 Hubungan antara Pendekatan Direktif dan Non Direktif dalam pengembangan Masyarakat



Kesimpulan 1. Pendekatan Direktif dan non-direktif tidak Dikotomi. 2. Pendekatan Direktif dan Non- Direktif bersifat fleksibel. 3. Model pendekatannya mempunyai nilai plus dan minus. Kelebihan non-direktif : Perubahan perilaku bersifat permanen dan terjadi secara sukarela serta alternatif tindakan beragam Kelemahan non direktif : tidak efisien dan sulit, lambat terjadi perubahan perilaku. Kelebihan pendekatan direktif adalah perubahan perilaku cepat, efisien, efektif, dan mudah. Kelemahan pendekatan direktif Perubahan perilaku bersifat semu karena keterpaksaan, temporer, dan tidak permanen ii



Soal Latihan 1. Sebutkan pengertian pendekatan direktif dan non-direktif 2. Jelaskan Kondisi Untuk Tumbuhnya "Self-directed Action" 3. Jelaskan peran petugas untuk mendorong Terjadinya Self Directed Action 4. Sebutkan keuntungan pendekatan non-direktif 5. Sebutkan keterbatasan pendekatan Non-direktif 6. Sebutkan keterbatasan pendekatan direktif



ii



BAB VIII PENTAHAPAN PENGORGANISASIAN DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT



Tujuan Pembelajaran Setelah membaca bab ini mahasiswa diharapkan mampu : Memahami Langkah-Langkah Dalam Pengorganisasian Masyarakat a. Persiapan Petugas b. Persiapan Sosial c. Penyusunan Rencana d. Pelaksanaan e. Pemantauan dan penilaian f. Perluasan



LANGKAH-LANGKAH PENGORGANISASIAN MASYARAKAT Menurut “Adi Sasongko (1978)”, langkah-langkah yang harus ditempuh dalam Pengorganisasian Masyarakat adalah :



1.



Tahap Persiapan Petugas a) Dinamisasi kelompok



Peran Petugas +++++ +++++ ii



Peran Masyarakat



Tahap b) Pendekatan pada pejabat/ sektoral c) Penyiapan lapangan 2. Persiapan Sosial a) Pengenalan masyarakat b) Pengenalan masalah c) Penyadaran (3). Penyusunan Rencana (4). Pelaksanaan (5). Pemantauan dan penilaian (6). Perluasan



Peran Petugas +++++



Peran Masyarakat



+++++ ++++ +++ +++ ++ ++ ++ +



+ ++ +++ +++ +++ +++ ++++



PERSIAPAN PERTUGAS Tujuan persiapan petugas a. Kesepakatan dan kekompakan petugas-> pendekatan & pelaks. b. Ketrampilan petugas & ks dlm tim c. Ketrampilan dlm aspek teknis prog. d. Ketrampilan pdkt non direktiv e. Dukungan pejabat formal Diperolehnya lokasi yang sesuai tujuan PERSIAPAN SOSIAL : Tujuan persiapan sosial adalah mengajak pasrtisipasi atau peran serta masyarakat sejak awal kegiatan, selanjutnya sampai dengan perencanaan program, pelaksanaan hingga pengembangan program kesehatan masyarakat. Kegiatan-kegiatan dalam persiapan sosial ini lebih ditekankan kepada persiapanpersiapan yang harus dilakukan baik aspek teknis, administratif, dan programprogram kesehatan yang akan dilakukan. Tahapan persiapan sosial terdiri dari : 1) Tahap Pengenalan Masyarakat Petugas pada tahap awal ini harus datang ke tengah-tengah masyarakat dengan hati yang terbuka dan kemauan untuk mengenal masyarakat ii



sebagaimana adanya, tanpa disertai prasangka sambil menyampaikan maksud dan tujuan kegiatan yang akan dilaksanakan. Tahap ini dapat dilakukan baik melalui Jalur Formal yaitu dengan melalui sistem pemerintahan setempat seperti Pamong Desa atau Camat, dan dapat juga dilakukan melalui Jalur Informal misalnya wawancara dengan To-Ma, seperti Guru, Pemuka Agama, tokoh Pemuda,dll. 2) Tahap Pengenalan Masalah Petugas pada tahap ini dituntut memiliki kemampuan untuk dapat mengenal masalah-masalah yang benar-benar menjadi kebutuhan masyarakat. Untuk dapat mengenal masalah kesehatan masyarakat secara menyeluruh tersebut, diperlukan interaksi dan interelasi dengan masyarakat setempat secara mendalam. Pada tahap ini mungkin akan banyak ditemukan masalahmasalah kesehatan masyarakat, oleh karena itu harus disusun skala prioritas penanggulangan masalah. Beberapa pertimbangan yang dapat digunakan untuk menyusun prioritas masalah adalah : (1) Beratnya Masalah : Hal perlu dipertimbangkan di sini adalah Seberapa jauh masalah tersebut menimbulkan gangguan terhadap masyarakat. (2) Mudahnya Mengatasi Hal yang harus diperhatikan adalah kemudahan dalam menanggulangi masalah tersebut. (3) Pentingnya Masalah Bagi Masyarakat Hal yang paling berperan di sini adalah Subyektifitas masyarakat sendiri dan sangat dipengaruhi oleh kultur-budaya setempa (4) Banyaknya Masyarakat yang Merasakan Masalah Misalnya perbaikan Gizi, akan lebih mudah dilaksanakan di wilayah yang banyak balitanya. 3) Tahap Penyadaran Masyarakat Tujuan tahap ini adalah menyadarkan masyarakat agar masyarakat : ii



a) Menyadari masalah-masalah kesehatan yang mereka hadapi b) Secara sadar berpartisipasi dalam kegiatan penanggulangan masalah kesehatanyang dihadapi c) Tahu cara memenuhi kebutuhan akan upaya pelayanan kesehatan sesuai dengan potensi dan sumber daya yang ada. Agar masyarakat dapat menyadari masalah dan kebutuhan mereka akan pelayanan kesehatan, diperlukan suatu mekanisme yang terencana dan terorganisasi dengan baik, untuk itu beberapa kegiatan yang dapat dilakukan dalam rangka Menyadarkan Masyarakat adalah : 1) Lokakarya Mini Kesehatan, 2) Musyawarah Masyarakat Desa ( MMD ) 3) Rembuk Desa PELAKSANAAN Setelah rencana penanggulangan masalah disusun dalam Lokakarya Mini atau MMD, maka langkah selanjutnya adalah Melaksanakan kegiatan tersebut sesuai dengan perencanaan yang telah disusun. Beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam pelaksanaan kegiatan penanggulangan masalah kesehatan masyarakat adalah : (1) Pilihlah kegiatan yang dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, (2) Libatkan peran serta masyarakat secara aktif dalam upaya penaggulangan masalah, (3) Kegiatan disesuaikan dengan kemampuan, waktu, dan sumber daya yang tersedia di masyarakat, (4) Tumbuhkan rasa percaya diri masyarakat bahwa mereka mempunyai kemampuan dalam penanggulangan masalah. EVALUASI Penilaian dapat dilakukan setelah pelaksanaan dijalankan dalam jangka waktu tertentu. Dalam melakukan penilaian ada 2 cara, yaitu : (1) Penilaian Selama Kegiatan Berlangsung ii



Disebut juga Penilaian Formatif = Monitoring dilakukan untuk melihat apakah pelaksanaan kegiatan yang dijalankan sesuai dengan perencanaan penanggulangan masalah yang telah disusun. Sehingga dapat diketahui perkembangan hasil yang akan dicapai. (2) Penilaian Setelah Program Selesai Dilaksanakan Disebut juga Penilaian Sumatif = Penilaian Akhir Program Dilakukan setelah melalui jangka waktu tertentu dari kegiatan yang dilakukan. Dapat diketahui apakah tujuan/target dalam pelayanan kesehatan telah tercapai atau belum. PERLUASAN Perluasan merupakan pengembangan dari kegiatan yang dilakukan, dan dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu : (1) Perluasan Kuantitatif Yaitu : perluasan dengan menambah jumlah kegiatan yang dilakukan, baik pada wilayah setempat maupun wilayah lainnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. (2) Perluasan Kualitatif Yaitu : perluasan dengan dengan meningkatkan mutu atau kualitas kegiatan yang telah dilaksanakan sehingga dapat meningkatkan kepuasan dari masyarakat yang dilayani. Tahap



Peran Petugas



(1) Persiapan Petugas a) Dinamisasi kelompok b) Pendekatan pada pejabat/ sektoral c) Penyiapan lapangan (2) Persiapan Sosial a) Pengenalan masyarakat b) Pengenalan masalah c) Penyadaran



+++++ +++++ +++++



Peran Masyarakat



+++++ ++++ +++ +++ ii



+ ++ +++



Tahap



(3) (4) (5) (6)



Peran Petugas



Penyusunan Rencana Pelaksanaan Pemantauan dan penilaian Perluasan



++ ++ ++ +



Peran Masyarakat



+++ +++ +++ ++++



Latihan Soal : Jelaskan langkah-langkah pengorganisasian masyarakat meliputi : a. Persiapan Petugas b. Persiapan Sosial c. Penyusunan Rencana d. Pelaksanaan e. Pemantauan dan penilaian f. Perluasan



ii



BAB IX MODEL PENGORGANISASIAN MASYARAKAT



Tujuan Pembelajaran Setelah membaca bab ini mahasiswa diharapkan mampu memahami Model Pengorganisasian masyarakat : 1. Model A (Locality Development / Pengembangan Lokal) 2. Model B (Social Planning / Perencanaan Sosial) 3. Model C (Social Action / Aksi Sosial)



Jack Rothman mengartikan pengorganisasian masyarakat sebagai bentuk intervesi pada tingkat masyarakat yang diarahkan pada peningkatan atau perubahan lembaga masyarakat dan pemecahan masalah-masalah. Berdasarkan pengertian tersebut, Rothman membedakan tiga model pengorganisasian masyarakat, yaitu : 1. Model A (Locality Development / Pengembangan Lokal) Adalah kegiatan yang berorientasi pada proses, tujuannya adalah memberikan pengalaman belajar pada masyarakat, menekankan pentingnya konsesus/ kesepakatan, kerjasama, membangun identitas, kepedulian dan kebanggaan sebagai anggota masyarakat. Proses pengorganisasian masyarakat dapat optimal jika adanya partisipasi masyarakat dalam menetapkan tujuan dan pelaksanaan tindakan. ii



Proses yang ditujukan untuk menciptakan kemajuan sosial dan ekonomi bagi masyarakat melalui pertisipasi aktif serta inisiatif dari masyarakat itu sendiri. Anggota masyarakat bukan sebagai klien yang bermasalah melainkan sebagai masyarakat yang unik dan memiliki potensi yang belum sepenuhnya dikembangkan. Inti dari proses pengembangan masyarakat adalah pengembangan kepemimpinan lokal, peningkatan strategi kemandirian, informasi, komunikasi, relasi dan keterlibatan anggota masyarakat. Orientasinya pada proses.



Ciri Locality Development Asumsi : Perubahan masyarakat berlangsung secara optimal jika ada partisipasi dari berbagai anggota masyarakat dalam penetapan tujuan dan pelaksanaan tindakan. Contoh : Program-program pengembangan masyarakat ( PKK, Posyandu, dll. Tujuan : Berorientasi pada proses,menekankan pembinaan kerjasama, partisipasi, dan kepemimpinan setempat. Strategi dasar : Menempatkan partisipasi masyarakat sebagai hal yang penting, maka strategi yang digunakan adalah pencapaian konsensus yang menghindari konflik. Peran Petugas : Lebih berperan sebagai seorang “enabler” yang memberi kesempatan kepada masyarakat untuk mengalami proses belajar melalui kegiatan pemecahan masalah Orientasi terhadap struktur kekuasaan : Struktur kekuasaan diikutsertakan sebagai “partner” dalam usaha-usahanya mencapai tujuan. 2. Model B (Social Planning / Perencanaan Sosial) Adalah kegiatan yang mementingkan tercapainya tujuan, metoda pemecahan masalah yang bersifat rasional, emphiris. Proses menekankan pada aspek teknis dalam penyelesaian masalah dengan melalui perencanaan yang baik dan rasional, sedangkan partisipasi masyarakat sifatnya bervariasi tergantung dari permasalahan yang dihadapi. Perencanaan sosial berorientasi pada tugas. Keterlibatan masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan, penentuan tujuan dan pemecahan maslahan ii



bukan merupakan prioritas, karena pengambilan keputusan dilakukan oleh pekerja sosial di lembaga formal seperti lembaga pemerintahan atau swasta (LSM). Pekerja komunitas bertugas melakukan penelitian, analisa masalah dan kebutuhan masyarakat, identifikasi, melaksanakan dan mengevaluassi program pelayanan kemanusiaan. Ciri Social Planning: Asumsi : Penekanan pada aspek tehnis dalam penyelesaian masalah dengan melalui perencanaan yang baik dan rasional, sedangkan partisipasi masyarakat sifatnya bervariasi tergantung dari permasalahan yang dihadapi. Contoh : Kegiatan pembangunan yang direncanakan oleh Badan Perencanaan Pembangunan (Daerah maupun Nasional). Tujuan : Lebih berorientasi pada penugasan Strategi dasar : Didasarkan pada pemecahan masalah secara rasional dan logis. Peran Petugas : Lebih berperan sebagai seorang ahli (expert) dengan kemampuan teknis untuk menyelesaikan masalah yang dihadap masyarakat. Orientasi terhadap struktur kekuasaan : Struktur kekuasaan diikutsertakan sebagai “sponsor” . 3. Model C (Social Action / Aksi Sosial) Adalah kegiatan yang mempunyai tujuan mengadakan perubahan mendasar pada lembaga kemasyarakatan. Sasaran utamanya adalah penataan kembali sturktur kekuasan, sumber-sumber dan proses pengabilan keputusan. Pendekatan aksi sosial didasari suatu pandangan bahwa masyarakat adalah sistem klien yang seringkali menjadi korban ketidakadilan struktur. Masyarakat diorganisir melalui proses penyadaran, pemberdayaan dan tindakan-tindakan aktual untuk mengubah struktur kekuasaan agar memenuhi prinsip demokrasi, kemerataan (equality) dan keadailan (equity). Aksi sosial berorientasi pada proses dan hasil. Ciri Social Action: Asumsi : ii



Perubahan masyarakat berlangsung secara optimal jika terjadi perubahanperubahan yang sangat mendsar pada lembaga-lembaga kemasyarakatan. Contoh : Angkatan 66, reformasi, dll (tampak pada kelompok-kelompok masyarakat yang tertindas) Tujuan : Berorientasi pada proses, dan pada penugasan Strategi dasar : Menekankan pada kejelasan sasaran yang ingin dicapai dengan melontarkan issue ketengah-tengah masyarakat, ssarn yang dimaksud bisa individu atau lembaga. Peran Petugas : Lebih berperan sebagai seorang aktivis yang mampu memanfaatkan media massa dan mencari dukungan politis. Orientasi terhadap struktur kekuasaan : Struktur kekuasaan dijadikan sebagai sasaran perubahan. Ketiga model pengembangan masyarakat tersebut di atas, pada prakteknya saling berhubungan satu sama lain. Setiap komponen dapat dikombinasikan sesuai dengan kebutuhan dan situasi yang ada. Ketiga model tersebut dapat dijelaskan secara singkat pada tabel 9. 1 Tabel 9.1 : Tiga Model Praktek Intervensi Komunitas Rothman dan Tropman



1. Katagori tujuan



tindakan terhadap masyarakat



Model A (Pengembangan Masyarakat Lokal



Model B (Perencanaan Sosial)



Model C (Aksi Sosial)



Kemandirian : Pengembangan kapasitas dan pengintegrasian masyarakat (tujuan yang dititikberatkan pada proses = process goals)



Pemecahan masalah dengan memperhatikan masalah yang penting yang ada pada masyarakat (tujuan dititikberatkan



Pergeseran (pengalihan) sumber daya dan relasi kekuasaan; perubahan institusi dasar (task ataupun process goals)



ii



pada tugas = task goals) 2. Asumsi



Adanya anomie dan „kemurungan‟ dalam masyarakat; kesenjangan relasi dan kapasitas dalam memecahkan masalah secara demokratis; komunitas berbentuk tradisional statis



Masalah sosial yang sesungguhnya; kesehatan fisik dan mental, perumahan dan rekreasional



Populasi yang dirugikan; kesenjangan sosial, perampasan hak, dan ketidakadilan.



3. Strategi



Pelibatan berbagai kelompok warga dalam menentukan dan memecahkan masalah mereka sendiri. “marilah kita bersama-sama membahas masalah ini‟



Pengumpulan data yang terkait dengan masalah, dan memilih serta menentukan bentuk tindakan yang paling rasional.



Kristalisasi dari isu isu yang dhadapi masyarakat dan pengorganisasian massa untuk menghadapi sasaran yang menjadi „musuh‟ mereka. „mari kita mengorganisiir diri dan membentuk aksi masa untuk ganti memberikan tekanan terhadap kelompok sasaran mereka‟



4. Karakteristik



Konsensus; Komunikasi antar kelompok dan melalui kelompok



Teknik pengumpulan data dan keterampilan untuk



Konflik; konfrontasi; aksi yang bersifat langsung.



mengenai struktur komunitas dan kondisi permasalahan nya



perubahan dasar



taktik dan teknik perubahan



ii



kepentingan dalam masyarakat ; diskusi kelompok



menganalisis. Konsensus atau konflik tergantung hasil analisis perencana



(memobilisir masa, demonstrasi, pemboikotan)



5. Peran praktisi



Sebagai Enablerkatalis, koordinator, orang yang mengajarkan keterampilan memecahkan masalah dan nilainilai etis.



Expert (pakar). Peran lebih menekankan pada penemuan fakta, implementasi program, relasi dg berbagai macam birokrasi, dan expert lain



Aktifis, advokat, negosiator, partisan. Menciptakan pergerakan masa



6. Media



Manipulasi kelompok kecil yang berorientasi pada terselesaikannya suatu tugas (small task oriented groups)



Manipulasi organisasi formal dan data yang tersedia.



Manipulasi organisasi massa dan prosesproses politik



7. Orientasi



Struktur kekuasaan sudah tercakup dalam komunitas, Anggota dari struktur kekuasaan bertindak sebagai kolaborator



Struktur kekuasaan sebagai „pemilik‟ dan „sponsor‟ (pendukung)



Struktur kekuasaan sebagai sasaran eksternal dari tindakan yang dilakukan ; mereka yang memberikan „tekanan‟ harus dilawan dengan memberikan „tekanan‟ balik.



yang menonjol



perubahan



terhadap struktur kekuasaan



ii



8. Batasan definisi



Keseluruhan komunitas geografis



9. Asumsi



Berbagai kepentingan kelompok dalam masyarakat, menghasilkan pemufakatan



10. Konsepsi mengenai populasi klien (konstituensi) 11. Konsepsi mengenai peran klien



sistem klien dalam komunitas (konstituensi)



mengenai kepentingan dari kelompokkelompok di dalam suatu komunitas



Keseluruhan komunitas atau dapat suatu segmen dalam komunitas (termasuk komunitas fungsional) Permufakatan atau konflik bisa ditolerir, selama tidak menghalangi proses pencapaian tujuan



Segmen dalam komunitas yang membutuhkan bantuan,membutu hkan layanan tapi tidak terjangkau oleh layanan tsb, atau ditolak. Kepentingan sari masing-masing bagian dlm masyarakat sangat bervariasi/ Konflik kepentingan yang sulit dicapai kata mufakat;



Warga masyarakat, sebagai sumber daya/asset yang berharga.



Konsumen (pengguna jasa, memanfaatkan program dan layanan).



„Korban‟



Sebagai partisipan aktif pada proses interaksional pemecahan masalah.



Konsumen atau resipien (penerima pelayanan).



Employere konstituen, anggota. „teman-teman partisipan‟



Kelemahannya : 1. Locality Development, sulitnya mendapatkan dukungan/partisipasi apabila bukan berasal dari wilayah geografis yang sama. 2. Social Planning, menbutuhkan tenaga ahli teknis dari luar, membuat masyarakat tidak mempunyai kemampuan untuk memecakan masalah. ii



Peran dan Keterampilan yang dibutuhkan Petugas (Community Worker) dalam Pengembangan dan Pengorganisasian Masyarakat 1. Mempercepat perubahan (Enabler) Filosofi : Help people to help themselves memmabtu masyarakat : a. Menngartikulasi kebutuhan b. Mengidentifikasi masalah c. Mengembangkan kapasitas agar dapat menangani masalah secara lebih efektif 2. Perantara (Broker) Menghubungkan individu atau kelompok dalam masyarakat yang membutuhkan layanan masyarakat dengan lembaga yang menyediakan layanan. 3. Pendidik (Educator) a. Mempunyai kemampuan menyampaikan informasi yang baik, jelas dan mudah ditangkap. b. Memiliki pengetahuan yang cukup memadai tentang topik yang dibicarakan. c. Selalu belajar. 4. Tenaga ahli (Expert) a. Dapat memberikan masukan, saran dan dukungan informasi. b. Memberikan gagasan-gagasan. 5. Perencana Sosial (Sosial Planer) a. Mengumpulkan dan menganalisa data b. Menyajikan alternatif tindakan (sumber dana dan konsesus) c. Mengembangkan program 6. Advocat (Advocate) Dicangkok dari profesi hukum a. Disatu sisi berpihak pada tradisi pembaharuan, disisi lain berpihak pada tradisi pelayanan sosial. b. Merupakan peran yang aktif dan terarah (directive) c. Comuniti worker menjalankan fungsi membela, mewakili kelompok masyarakat yang ditolak institusi. 7. Aktivis (Activit) Mencoba melakukan perubahan institusional yang lebih mendasar, tujuannya : ii



a. Mengalihkan sumber daya atau kekuatan pada kelompok yang kurang beruntung. b. Mengorganisir kelompok yang kurang beruntung melakukan tindakan melawan struktur yang menekannya. c. Aktivis juga sebagai partisipan. Keterkaitan peran dengan model PPM No. 1-2 dan 3 terkait dengan Community Development No. 4 dan 5 terkait dengan Community Services Approach No. 6 dan 7 terkait dengan Community Action Model Pengembangan masyarakat pada dasarnya ada tiga macam:



PRAKTIK PENGGUNAAN MODEL DALAM PROMOSI KESEHATAN 1. The Locality Development Model. The Tenderloin Senior Organizing Project (TSOP) di San Fransisco adalah salah satu model promosi kesehatan dalam kategori ini (1990). Beberapa ahli penyuluhan dan mahasiswa memasuki wilayah penduduk lanjut usia (lansia) berpenghasilan rendah yang menempati satu kamar “hotel” saja. Dengan memulai di satu hotel, petugas berkunjung dan bicara dengan mereka dan akhirnya mengumpulkan mereka untuk bertemu setiap minggu. Sesudah dirasakan adanya kepercayaan terhadap para penyuluh kesehatan, kemudian mereka diajak untuk membicarakan masalah yang menjadi perhatian mereka misalnya kejahatan, rasa kesepian, uang sewa yang terus meningkat dan ketidak-berdayaan. Para petugas mencoba membangkitkan ketidak - puasan terhadap status-quo mereka dan membicarakan kegiatan - kegiatan cara pemecahan yang dapat mereka lakukan. Dengan menggunakan teknik serupa akhirnya terbentuklah 7 kelompok lainnya. Mereka ingin menyatukan perjuangan dan dibentuklah suatu “koalisi” yang membuat “Safehouse Project”, yang ternyata mendapat respon dari 48 pengusaha sekitar itu untuk membantu mereka. Koalisi melakukan pendekatan terhadap Walikota diantaranya dalam kerangka pengamanan lingkungan, membuat mini market sekitar itu, program makan pagi bersama, rehabilitasi ruang bawah hotel untuk ruang makan dan tempat pelatihan kepemimpinan bagi anggota. Akhirnya mereka bisa berdiri sendiri dan tidak tergantung kepada para petugas penyuluhan kesehatan yang telah membantu dan menjadi konsultan ii



proyek. Jadi model ini memulai dari dimana / tingkat mana orang itu berada – “start where the people are”. Model ini menggabungkan teknik - teknik dengan pengakuan terhadap adanya realitas kekuatan dan politis. Proyek Advice for Big and Small (ABS) digagas oleh sekelompok ibu-ibu dari proyek prumahan bersubsidi di Toronto, yang dalam suatu diskusi diantara mereka berpendapat bahwa mereka dapat mengurangi resiko “child abuse” dengan mengurangi isolasi mereka sendiri. Mereka tidak percaya terhadap tenaga pembantu yang professional seperti social workers dan petugas pemerintah lainnya. Mereka percaya bahwa mereka akan dapat mengurangi isolasi tanpa bantuan tenaga-tenaga tadi. Mereka minta bantuan pada salah satu lembaga penegembangan masyarakat untuk menemukan sumber dana. Dengan dana bantuan pemerintah yang kecil jumlahnya mereka membentuk suatu program “orang tua bantu orang tua” dengan menggaji 3 orang ibu-ibu setempat untuk melakukan kunjungan rumah. Dengan bantuan kantor kesehatan setempat, para ibu petugas kunjungan rumah mendapat pelatihan sekitar masalah perkembangan anak, bagaimana menjadi orang tua yang baik, serta bimbingan berkelanjutan dari kantor pemerintah lain. Petugas pemerintah tidak melakukan kunjungan lapangan sama sekali. Pengunjung rumah juga membimbing ibu-ibu bagaimana memanfaatkan fasilitas sosial lainnya, termasuk juga mengikuti kursus bahasa Inggris bagi masyarakat imigran, dan bagaimana menggunakan transportasi umum, dan juga membantu ibu-ibu bertemu satu sama lain termasuk menfasilitasi pertemuan kelompok yang se - etnis yang berasal dan datang dari suatu negara. Meskipun masalah keuangan diawasi oleh petugas kantor pemberi dana/panitia pengawas, keputusan penggunaan dana seluruhnya ada pada para anggota setempat. Bantuan biaya biasanya diberikan dalam jangka waktu pendek, namun bisa diperpanjang, bahkan diperluas. Dengan demikian bisa juga akhirnya berubah menjadi semacam “social planning project” untuk mengatasi masalah yang lebih besar dan mendasar dilihat dari pandangan pemerintah. Model ini merupakan pola yang ideal, “model untuk masyarakat menolong dirinya sendiri – self-help and mutual aid”, menciptakan masyarakat ideal yang saling membantu, teman membantu teman, pengusaha setempat membantu proyek masyarakat. Para petugas/para ahli mengupayakan keterlibatan berbagai pihak masyarakat dalam memilih dan menentukan masalah yang diatasi bersama. Dengan pendekatan consensus dalam mengambil keputusan mencari kerjasama dengan berbagai Lembaga, membantu, mendorong, memfasilitasi ii



masyarakat menemukan dan mencari pemecahan masalah mereka sendiri. Model ini menekankan hubungan yang sifatnya horizontal. Pimpinan yang melakukan penggerakkan hendaknya bertempat tinggal dilingkungan itu juga, yang setiap saat berkesempatan melakukan berbagai upaya untuk memperkuat sistim sosial kemasyarakatan dan hubungan antar pribadi. Dengan demikian pemberdayaan masyarakat menjadi tumpuan utama, dimana masyarakat bertanggung jawab atas masalah yang dihadapinya, tumbuh kekuatan, mandiri dalam peningkatan kesejahteraan melalui suatu proses. Para praktisi biasanya mencari Lembaga pemerintah atau swasta yang akan menjadi target diluar masyarakat dan sebuah kelompok masyarakat setempat yang memperjuangkan atau melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan dan semacamnya. Pemerintah biasanya kemudian melakukan perundingan dalam menyelesaikan masalah dengan melakukan pendekatan yang lebih integral dan menyusun agenda bersama. 2. Social Planning Model. Proyek di North Karelia, Finlandia merupakan contoh jenis model ini. Proyek ini berkaitan dengan tingginya angka kesakitan dan kematian disebabkan penyakit jantung (cardio-vascular disease – VCD). Tujuan proyek ini meliputi pengobatan serta pencegahan penyakit jantung dengan mengurangi factor resiko seperti kebiasaan merokok, makan makanan tinggi kolesterol serta tekanan darah tinggi. Kegiatan yang dilakukan langsung berupa pelatihan para pemuka masyarakat agar bisa berperan sebagai model/contoh bagi anggota masyarakat lain, kursus memasak makanan sehat bagi ibu-ibu, serta kegiatan-kegiatan komunikasi dalam menyebarluaskan informasi yang mengarah pada perubahan perilaku. Ternyata dalam waktu 10 tahun hasil evaluasi menunjukkan adanya bukti pengurangan faktor resiko biologis pada laki-laki maupun wanita. Hasil penelitian –penelitian membukakan kenyataan bahwa perubahan tingkat kesehatan berkaitan dengan hasil pengembangan masyarakat, dan tidak dengan perubahan pengetahuan, sikap dan perilaku. Sedangkan perubahan pengetahuan sangat dipengaruhi sumber informasinya, yaitu para pemuka masyarakat daripada isi pesannya. Hambatan budaya setempat hendaknya diperhatikan dan diperhitungkan dengan sebaik-baiknya.



ii



Dalam model ini masalah yang akan dipecahkan ditentukan oleh pemerintah atas dasar pengumpulan data yang intensif, masyarakat tidak diikutsertakan dalam pengumpulan data dan menentukan masalah kesehatan yang perlu diatasi. Dengan kata lain kekuasaan ada dipihak petugas kesehatan/Lembaga pemerintah atau Lembaga lainnya. Pemerintah sebagai provider dan masyarakat sebagai consumer. Petugas mengupayakan agar masyarakat “membeli” program dan akhirnya “memiliki” perilaku baru yang oleh pemerintah diharapkan dimiliki masyarakat. Jadi dalam social planning model ini para pengembang masyarakat adalah ahli analisa pasar (market analysts), ahli pemasaran sosial (social marketers), petugas hubungan public (public relation officers) atau para ahli teknis lainnya yang pekerjaannya menjamin preferensi masyarakat (consumers) dan investasi yang telah dikeluarkan pemerintah. Secara keseluruhan proses cenderung professional dan birokratik, yang dengan kecakapannya membantu masyarakat mengatasi masalah memobilisasi sumber-sumber dari dalam maupun dari luar. Kecakapan-kecakapan itu misalnya dalam penulisan usulan grant, perencanaan program, managemen pembiayaan dan accounting, evaluasi program, dimana dan kemana mencari sumber dana, dll. 3. Social Action Model. Proyek “The Meeting Place” di Toronto Kanada pada awalnya sebuah proyek promosi kesehatan model social planning, yang bertujuan untuk mengubah perilaku masyarakat jalanan yang tidak memiliki rumah. Namun diubah menjadi pola social action, yang diarahkan pada lima masalah yaitu pelayanan kesehatan gigi, pengguna narkoba, perumahan, nutrisi dan keadilan sosial (Equity in Action Report, 1994). Proyek ini berupaya dalam penyediaan tempat bagi yang tidak punya rumah dan tempat kumpul-kumpul yang digunakan untuk pengembangan ketrampilan hidup (life skills) dan kegiatan-kegiatan lain bagi masyarakat. Aksi kegiatan mereka ditujukan kepada pemerintah khususnya kantor perumahan setempat untuk masalah perumahan, rumah sakit untuk sikap diskriminatif di ruangan gawat darurat, dan upaya memperoleh bantuan modal pengembangan penghasilan melalui “community economic development initiatives”. Juga aksiaksi untuk memperolah pelayanan langsung seperti pembagian makanan, tempat mandi, masak dan mandi, perawatan gigi gratis, pelayanan konseling narkoba, dll. ii



Proyek “Street Health” (1986) yang juga di Toronto, Ontario, Kanada, suatu proyek yang dilaksanakan masyarakat menyediakan pelayanan kesehatan bagi orang yang tidak punya rumah atau penghuni “kolong jembatan” dengan membuka beberapa tempat pelayanan di tempat “drop in centers – tempat menumpang sementara orang jalanan” atau “shelters – tempat perlindungan untuk orang – orang miskin yang hidup berkeliaran di jalan” yang sudah disediakan pemerintah yang diperuntukkan bagi orang-orang yang tidak punya rumah dan berpindah-pindah tempat selama itu. Mandat “Street Health” ada tiga yaitu: (a) menyediakan kemudahan perawatan kesehatan kepada masyarakat di lingkungan yang cocok bagi mereka, (b) membantu masyarakat untuk memperoleh kemudahan pelayanan kesehatan dalam sistim pelayanan, dan (c) melakukan pendekatan terhadap sistim pelayanan yang ada agar menjadi lebih reponsif terhadap kebutuhan kesehatan orang-orang yang tidak memiliki tempat perlindungan/perumahan. Proyek ini juga melakukan research (Ambrosia et al 1992) dalam rangka menutupi kekurangan data yang selama ini dikumpulan dengan interview lewat telepon, yang dengan sendirinya orang tak punya rumah tidak terjangkau dalam research tersebut, tentang kebutuhan kesehatan orang-orang yang tidak memiliki tempat perlindungan/perumahan. Hasil penelitian ini menjadi bahan rekomendasi bagi 10 kotamadya lainnya dan Propinsi Ontario. Dalam model ini, pada awal kegiatan, para penggerak lebih menonjol peranannya daripada masyarakat. Masalah yang dirasakan oleh para penggerak atau petugas kesehatan dibangkitkan dan masyarakat disadarkan akan masalah, itu dengan berbagai upaya agar menerima pandangan para penggerak masyarakat itu. Para praktisi biasanya mencari Lembaga atau kelompok yang relatif kuat sebagai target kegiatan luar dan kelompok kecil di masyarakat target. Dengan mengupayakan masyarakat terorganisir tersebut memperjuangkan secara bersama untuk mengatasi keadaan sosial-politis yang dirasakan tidak adil dalam masyarakat setempat secara spesifik. Jadi para praktisi menggugah kesadaran akan sesuatu visi politis dalam pengembangan masyarakat dan mengajak masyarakat membuat suatu program perubahan. Juga dalam model ini sering diwarnai dengan rasa “kemarahan”. Bahkan kemarahan ini merupakan bumbu yang penting dalam penggerakan masyarakat. Misalnya, masyarakat melakukan demonstrasi dengan berjalan panjang/long march, duduk-duduk didepan kantor ii



pemerintah atau DPRD. Namun, sebenarnya masyarakat sendiri menghendaki kedamaian dalam upaya pengembangan dilingkungannya. Tidak jarang upaya yang sifatnya local kemudian bisa berkembang menjadi upaya lebih besar, bahkan membentuk semacam “koalisi” dalam rangka pelebaran upaya-upaya selanjutnya ini. Soal Latihan Jelaskan model dalam pengembangan masyarakat 1. Model A (Locality Depelopment/Pengembangan Lokal) 2. Model B (Sosial Planing/Perencanaan Sosial) 3. Model C (Sosial Action/Aksi Sosial)



ii



BAB X PENERAPAN PPM DALAM BIDANG KESEHATAN Tujuan Pembelajaran Setelah membaca bab ini mahasiswa diharapkan mampu : memahami penerapan PPM dalam bidang kesehatan 1. Memahami konsep PHC dan penerapannya di Indonesia 2. Memahami konsep Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD) 3. Memahami Konsep Desa Siaga



1. KONSEP PRIMARY HEALTH CARE INDONESIA



DAN PENERAPANNYA DI



Latar Belakang Primary Health Care Berakhirnya Perang Dunia ke II diikuti dengan tumbuhnya suatu semangat untuk membangun dan memperbaiki kembali keadaan yang telah dihancurkan oleh situasi peperangan. PBB memproklamasikan periode ini sebagai suatu "dekade pembangunan" dan membantu pengerahan berbagai sumber dana dan sumber daya untuk menilainya. Upaya ini telah memberikan perbaikan secara sosial ekonomi di berbagai negara, tetapi juga mengandung beberapa kelemahan (Hadad, 1980). Pada periode tahun 1970 an, semakin dirasakan adanya kesenjangan antara negara-negara maju dan negara sedang berkembang, karena negara maju telah mengalami kemajuan sosial ekonomi yang jauh lebih pesat dibandingkan dengan keadaan di negara-negara sedang berkembang. Keadaan di negara sedang berkembang sendiri juga memperlihatkan adanya ketimpangan yang besar dalam tingkat kesejahteraan dari berbagai kelompok sosial ekonomi yang ada. Bagian terbesar dari penduduk di negara sedang berkembang ternyata belum ikut merasakan manfaat pembangunan. Hasil pembangunan yang semula diharapkan akan menetes ke bawah ("trickle ii



down effect") ternyata hanya dinikmati oleh sekelompok lapisan atas masyarakat. Indikator kemajuan pembangunan yang ditekankan kepada hal hal yang bersifat fisik dan ekonomi ternyata tidak sesuai dengan kenyataan yang dirasakan oleh bagian terbesar masyarakat. Kenyataan ini akhirnya menumbuhkan kesadaran baru untuk mencari pilihan strategi pembangunan yang lebih memungkinkan peningkatan kwalitas hidup masyarakat secara keseluruhan (Hadad, 1980). Sebagaimana dengan keadaan pembangunan pada umumnya, hasil pembangunan di sektor kesehatan juga menunjukkan masih banyaknya hal hal yang memprihatinkan. Dari catatan WHO pada tahun 1972, terlihat bahwa ratarata pendapatan perkapita di negara-negara Asia dan Afrika berkisar antara US $ 20-25 dibandingkan dengan US $ 4.980 di USA dan US $ 3.400 di Perancis. Perbedaan yang menyolok ini mempengaruhi tingkat kesehatan masyarakat, dimana tingkat kematian balita di negara-negara sedang berkembang mencapai 30-50 kali lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara maju. Hal ini masih ditambah lagi dengan angka kelahiran yang tinggi, alokasi anggaran pembangunan kesehatan yang rendah dibandingkan dengan sektor lainnya, pelayanan kesehatan yang terkotak kotak dan spesialistis, penggunakan tehnologi yang semakin tinggi dan mahal, orientasi yang lebih banyak pada pada kuratif daripada pencegahan dan kecenderungan untuk lebih mengutamakan kepentingan kesehatan sebagian kecil masyarakat yang mampu daripada kepentingan masyarakat banyak. Dilihat dari segi cakupan, upaya kesehatan yang ada ternyata hanya dimanfaatkan oleh sebagian kecil masyarakat dan terutama yang tinggal di perkotaan. Meskipun terdapat keterbatasan dalam sumber dana maupun sumber daya, tetapi yang terjadi adalah suatu pembatasan yang ketat bahwa upaya pengobatan/kesehatan merupakan hak "eksklusif" dari profesi kesehatan, sehingga yang terjadi adalah ketergantungan yang semakin besar terhadap tenaga kesehatan profesional yang jumlahnya terbatas (Djukanovic & Mach, 1975). Melihat kenyataan ini, pada tahun 1973 WHO mengadakan studi perbandingan di berbagai negara untuk mempelajari cara cara penyelenggaraan kegiatan pembangunan kesehatan yang lebih efektif dan mampu mencapai bagian terbesar masyarakat, khususnya yang berada di daerah pedesaan (Newell, 1975). ii



Hasil studi ini kemudian disusul dengan rekomendasi yang selanjutnya menjadi dasar bagi konsep "Kesehatan Untuk Semua pada tahun 2000 melalui Primary Health Care", yang dicanangkan pada tahun 1978 di Alma Ata. Sejak saat ini berbagai negara secara resmi menggunakan konsep PHC untuk kebijaksanaan pembangunan di negaranya, termasuk Indonesia. Perkembangan PHC Di Indonesia Di Indonesia sendiri, masalah ketimpangan dalam upaya kesehatan juga dirasakan. Upaya kuratif lebih diutamakan daripada upaya pencegahan, sarana pelayanan kesehatan diwujudkan dalam bentuk pembangunan rumah sakit yang umumnya berada di perkotaan dan kecenderungan penggunaan tehnologi kesehatan yang canggih dan mahal dengan penanganan penderita yang terkotak kotak oleh spesialisasi. Meskipun bagian terbesar dari masyarakat tinggal di daerah pedesaan, tetapi sarana dan petugas kesehatan bertumpuk di daerah perkotaan. Dilain pihak sarana yang ada masih kurang dimanfaatkan secara optimal akibat adanya kesenjangan antara "provider" dan "consumer". Hal ini mengakibatkan cakupan pelayanan yang terbatas sehingga tidak banyak berpengaruh untuk meningkatkan derajat kesehatan secara keseluruhan (Wardoyo, 1975). Situasi ini merangsang tumbuhnya prakarsa dari berbagai pihak untuk mencari suatu strategi pelayanan kesehatan masyarakat yang sesuai dengan kondisi setempat. Pada tahun 1967 di Kampung Kerten, Solo dikembangkan suatu model pelayanan kesehatan dengan cara asuransi sederhana yang disebut sebagai Dana Sehat Pada tahun 1972 di Klampok hal yang serupa juga muncul dan diperoleh suatu pengalaman bahwa karena masyarakat memberi prioritas yang rendah untuk kesehatan, diperlukan suatu pendekatan tidak langsung dengan mencoba ikut membantu menangani masalah yang sifatnya health related atau bahkan yang non health (Wardoyo, 1975; Johnston, 1983). Melihat munculnya berbagai pendekatan yang tampaknya cukup efektif ini, maka pada tahun 1975 Departemen Kesehatan membentuk sebuah tim kerja untuk mengembangkan suatu pendekatan yang dapat meningkatkan cakupan dan derajat kesehatan masyarakat secara efektif. Pada Rapat Kerja Kesehatan Nasional tahun 1976, konsep Pembinaan Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD) diperkenalkan secara resmi kepada para Kepala Kanwil/Dinas Kesehatan seluruh ii



Indonesia dan stafnya. Pada tahun 1977 sebuah tim khusus kemudian melakukan sebuah quick survey yang meliputi 30 desa di 6 propinsi dalam periode waktu sekitar 3 bulan, untuk mempelajari berbagai pola tersebut. Ciri yang menonjol dalam berbagai pendekatan yang ditemukan di lapangan tersebut adalah keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan upaya kesehatan melalui penggunaan kader kesehatan, dan upaya penggalian dana setempat yang dikenal sebagai Dana Sehat. Kegiatan-kegiatan inilah yang kemudian disebut sebagai Pembinaan Kesehatan Masyarakat Desa yang disingkat PKMD (Depkes, 1980). Pada Rakerkesnas tahun 1977 PKMD secara resmi diterima sebagai salah satu kebijaksanaan nasional dan sejak tahun ini istilah Pembinaan diganti dengan Pembangunan dengan alasan bahwa kegiatan PKMD merupakan bagian integral dari pembangunan desa (Soebekti, 1978). Pada tahun 1978, delegasi Indonesia yang dipimpin oleh Menteri Kesehatan dalam Persidangan WHO/Unicef di Alma Ata membawakan kebijaksanaan PKMD ini sebagai suatu kebijaksanaan nasional pembangunan kesehatan di Indonesia (Ministry of Health of Indonesia, 1978). Dalam perkembangan selanjutnya, sejak tahun 1984 mulai dikembangkan suatu upaya untuk lebih meningkatkan keterpaduan kegiatan kesehatan dan keluarga berencana, khususnya dalam kaitannya untuk menurunkan angka kematian bayi dan anak serta pelembagaan norma keluarga kecil, bahagia dan sejahtera. Di tingkat operasional, upaya ini dilaksanakan melalui Pos Pelayanan Terpadu atau Posyandu. Dalam kegiatannya maka Posyandu terutama diarahkan pada lima program pokok, yaitu imunisasi, pemberantasan diare dengan pemberian oralit, kesehatan ibu dan anak, perbaikan gizi dan keluarga berencana. Meskipun demikian, tetap terbuka kemungkinan untuk menambah dengan kegiatan kesehatan lain, sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Dikaitkan dengan PKMD maka Posyandu adalah merupakan salah satu bentuk kegiatan PKMD, dimana lingkup kegiatannya lebih diarahkan kepada ke lima program prioritas tersebut. Pengertian PHC : Menurut batasan pengertian yang dirumuskan dalam Deklarasi Alma Ata, maka PHC diartikan sebagai : upaya kesehatan primer yang didasarkan kepada metoda dan teknologi yang praktis, ilmiah dan dapat diterima secara sosial, yang ii



terjangkau oleh semua individu dan keluarga dalam masyarakat melalui partisipasinya yang penuh, serta dalam batas kemampuan penyelenggaraan yang dapat disediakan oleh masyarakat dan pemerintah di setiap tahap pembangunannya, dalam suatu semangat kemandirian (WHO & Unicef, 1978). Oleh Departemen Kesehatan, PHC dijabarkan secara operasional dalam bentuk PKMD, dengan batasan pengertian : rangkaian kegiatan masyarakat yang dilakukan berdasarkan gotong-royong dan swadaya dalam rangka menolong mereka sendiri, untuk mengenal dan memecahkan masalah/kebutuhan yang dirasakan oleh masyarakat, baik dalam bidang kesehatan maupun dalam bidang yang berkaitan dengan kesehatan, agar mampu memelihara dan meningkatkan kehidupannya yang sehat dan sejahtera (Departemen Kesehatan, 1984). Dari batasan pengertian PHC oleh WHO & Unicef, terlihat bahwa PHC merupakan upaya kesehatan yang didasarkan kepada tehnologi tepat guna, dapat diterima secara sosial (socially acceptable), terjangkau oleh masyarakat (accessible) dan tidak mahal (affordable). Upaya kesehatan ini melibatkan masyarakat secara aktif (partisipasi) dan didasarkan pada kemandirian. Dari pengertian PKMD menurut Departemen Kesehatan terlihat bahwa PKMD merupakan kegiatan masyarakat untuk meningkatkan derajat kesehatan dan kesejahteraannya, melalui kegiatan kegiatan mandiri yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan kesehatan. WHO dan Unicef menambahkan juga bahwa kegiatan PHC dapat meliputi salah satu atau beberapa dari kegiatan kegiatan berikut : (1) Pendidikan kesehatan. (2) Perbaikan gizi dan makanan. (3) Penyediaan air dan perbaikan sanitasi. (4) Pemeliharaan kesehatan ibu dan anak. (5) Imunisasi. (6) Pencegahan dan pengawasan penyakit penyakit endemik. (7) Pengobatan. (8) Penyediaan obat obatan pokok. Dari pengertian PHC dan elemen elemennya tersebut di atas, tampak bahwa "cakupan" masalah dalam PHC tampak lebih "spesifik" dan "dibatasi" dalam masalah kesehatan. Dari pengertian PKMD oleh Departemen Kesehatan, cakupan "masalah" yang digarap lebih bersifat broad spektrum yaitu meliputi masalah kesehatan dan yang berkaitan dengan kesehatan. Hal ini dapat ii



dimengerti karena beberapa kegiatan yang merupakan rintisan PKMD, seperti misalnya di Banjarnegara, dimulai dari upaya pemecahan masalah non kesehatan (misalnya perbaikan irigasi, tungku sekam padi) (Wardoyo, 1975; Johnston, 1984). Oleh karena itu pulalah dalam kegiatan PKMD sangat ditekankan pentingnya kerjasama lintas sektoral, untuk pemecahan masalah yang sifatnya "non kesehatan". Dengan diresmikannya PKMD sebagai suatu kebijaksanaan nasional, maka suatu prakarsa yang bersifat lokal sekarang diadopsi secara nasional. Di satu pihak ini memberikan keuntungan karena upaya lokal yang sporadis sekarang digerakkan dalam skala nasional, disertai dengan adanya dukungan sumber yang lebih besar. Dengan cara ini diharapkan dampak dari PKMD untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat akan lebih terasa secara nasional. Di pihak lain, upaya yang semula lokal dan ditangani secara individual, sekarang berubah menjadi suatu target yang harus dicapai dengan pembatasan waktu. Akibat sampingan yang segera terasa adalah kegiatan kegiatan yang sifatnya persiapan sosial tidak dilakukan dengan memadai, sehingga di beberapa tempat kegiatan PKMD dilaksanakan secara "karbitan". Hal ini berakibat beberapa kegiatan PKMD tidak terlaksana dengan baik (Sasongko, 1984). Peran Serta Masyarakat Dalam PHC Salah satu prinsip penting dalam PHC adalah partisipasi masyarakat. Hal ini merupakan suatu hal yang sangat mendasar sifatnya, karena salah satu konsekwensinya adalah tindakan pengobatan/kesehatan yang semula merupakan hak "eksklusif" profesi kesehatan sekarang di alih tehnologi kan kepada orang "awam", dalam hal ini kepada seorang kader kesehatan. Akibatnya timbul tantangan yang cukup keras, terutama yang berasal dari "oknum" profesi kesehatan (Mahler, 1981). Tetapi karena jumlah petugas profesional memang terbatas dibanding-kan dengan besarnya permasalahan kesehatan, maka akhirnya kehadiran kader kesehatan sebagai partner dalam upaya pelayanan kesehatan primer "bisa" diterima. Adanya "keengganan" untuk mendudukkan kader kesehatan sebagai partner dalam upaya pelayanan kesehatan primer tampaknya merupakan salah satu gejala dari ketidaksamaan penafsiran tentang arti partisipasi masyarakat. Meskipun perkataan "partisipasi" menjadi salah satu "jargon" politik yang populer, tetapi istilah ini tampaknya ditafsirkan secara bervariasi (Sasongko, 1984). ii



Penafsiran yang berbeda beda mengenai arti partisipasi ini berkisar dari penasiran partisipasi hanya sebagai keikutseraan dalam suatu pelaksanaan kegiatan yang telah diputuskan (oleh pihak lain) sebelumnya sampai dengan penafsiran yang lebih utuh dimana partisipasi digambarkan sebagai suatu keterlibatan dalam suatu proses pengambilan keputusan dengan berbagai konsekwensinya. Soetrisno Kh (1985) menggambarkan berbagai derajat partisipasi masyarakat, mulai dari sekedar menikmati hasil (kegiatan pembangunan) sampai dengan keterlibatan dalam perencanaan. Hal ini erat kaitannya dengan kwalitas partisipasi, mulai dari kwalias yang paling rendah, yaitu partisipasi karena mendapat perintah, sampai dengan kwalitas yang paling tinggi, yaitu partisipasi yang disertai dengan kreasi atau daya cipta. Jadi apakah sebetulnya yang dimaksud dengan partisipasi?. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, memang tidak dapat ditemukan perkataan partisipasi, karena istilah ini memang merupakan suatu istilah yang "kontemporer" sebagai pengindonesiaan dari istilah asing participation (Sasongko, 1984). Dalam waktu belakangan ini istilah ini digantikan dengan istilah yang lebih "pribumi", yaitu peranserta. Kamus Webster (1971) mengartikan participation sebagai kegiatan untuk mengambil bagian atau ikut menanggung bersama orang lain. French dkk (1960) mengartikan partisipasi sebagai suatu proses dimana dua atau lebih pihak-pihak yang terlibat, saling pengaruh-mempengaruhi satu sama lain dalam membuat keputusan yang mempunyai akibat di masa depan bagi semua pihak. Dengan dasar pengertian ini, Mulyono Gandadiputra (1978) menyimpulkan bahwa partisipasi mengandung tiga elemen, yaitu : pengambilan keputusan atau pemecahan masalah, interaksi dan kesederajatan kekuasaan. Pengambilan keputusan atau pemecahan masalah berkaitan dengan suatu proses untuk mengatasi adanya kesenjangan antara keadaan yang ada dan keadaan yang diinginkan. Untuk berlangsungnya proses ini, maka semua pihak yang (seharusnya) terlibat dalam pengambilan keputusan harus menyadari akan adanya masalah, termotivasi untuk mengatasinya dan memiliki kemampuan serta sumber untuk mengatasi masalah. Dalam partisipasi terkandung pengertian adanya beberapa pihak yang terlibat melalui suatu proses interaksi. Interaksi yang berlangsung harus didasari atas azas kesamaan atau kesederajatan kekuasaan dan bukan didasari atas hubungan "atasan bawahan". Ini tidak berarti bahwa tidak ada perbedaan antara pihak-pihak yang terlibat ii



dalam pengambilan keputusan, karena masing-masing pihak bisa mempunyai status formal atau keahlian yang berbeda. Tetapi yang penting adalah adanya interaksi yang dilandasi atas kesederajatan kekuasaan dimana keahlian dan sumber-sumber yang dimiliki masing-masing fihak lalu dipadukan untuk pemecahan masalah. Dalam konteks PHC, maka partisipasi masyarakat merupakan hal yang penting, karena upaya kesehatan primer merupakan suatu kegiatan kontak pertama dari suatu proses pemecahan masalah kesehatan. Melalui partisipasi masyarakat maka kesenjangan yang ada antara provider dan consumer dicoba untuk dijembatani, melalui partisipasi masyarakat potensi setempat dicoba untuk didayagunakan dan melalui partisipasi ini proses belajar akan berlangsung lebih efektif (Haggard, 1944), sehingga mempercepat peningkatan kemampuan masyarakat untuk menolong dirinya sendiri dalam hal kesehatan, seperti yang menjadi tujuan dari pembangunan kesehatan (Dep. Kesehatan, 1982). Peranan Dan Kedudukan Kader Kesehatan Dalam PHC Salah satu bentuk partisipasi masyarakat dalam PHC adalah menjadi kader kesehatan. Seorang kader kesehatan merupakan warga masyarakat yang terpilih dan diberi bekal ketrampilan kesehatan melalui pelatihan oleh sarana pelayanan kesehatan/Puskesmas setempat. Kader kesehatan inilah yang selanjutnya akan menjadi motor penggerak atau pengelola dari upaya kesehatan primer. Melalui kegiatannya sebagai kader diharapkan mampu menggerakkan masyarakat untuk melakukan kegiatan yang bersifat swadaya dalam rangka peningkatan status kesehatan. Kegiatan kegiatan yang dilakukan meliputi kegiatan yang sifatnya promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif. Meskipun pengobatan tradisional atau self treatment merupakan hal yang sudah dikenal oleh masyarakat banyak, tetapi upaya kesehatan primer yang dikelola oleh kader merupakan hal yang masih baru bagi masyarakat. Pada pengobatan tradisional, misalnya oleh dukun bayi atau dukun patah tulang, maka pelaku aktif kegiatan pengobatan tradisional merupakan figur yang sudah dikenal oleh masyarakat karena disini biasanya terjadi proses "alih generasi" melalui faktor keturunan. Hal ini memberikan suatu kredibilitas tersendiri bagi dukun yang bersangkutan, khususnya kredibilitas dalam segi kemampuan (competent credibility) maupun kredibilitas dalam segi kepercayaan (safety credibility) (Rogers, 1973). ii



Pengelolaan kegiatan upaya kesehatan primer dilain pihak dilaksanakan oleh kader Kesehatan yang sebelumnya seringkali tidak dikenal mempunyai ketrampilan kesehatan/pengobatan. Meskipun figur kader itu sendiri bukan orang yang asing bagi masyarakat sekitarnya, tetapi peranannya sebagai seorang yang yang mempunyai ketrampilan dibidang kesehatan/pengobatan adalah merupakan hal baru bagi masyarakat lingkungannya. Oleh karena itulah seorang kader seringkali memulai kegiatannya tanpa bekal dari segi competent credibility. Dalam hal kader tersebut sebelumnya memang sudah merupakan seorang tokoh masyarakat yang disegani, maka disini kader tersebut setidaknya sudah memiliki safety credibility. Faktor kredibilitas ini merupakan hal yang penting dimiliki oleh seorang kader kesehatan, karena tanpa kredibilitas maka kader tersebut tidak akan dapat mengembangkan peranannya untuk mengelola suatu upaya kesehatan primer. Disinilah peranan petugas kesehatan atau lembaga pelayanan kesehatan profesional setempat menjadi penting untuk membantu kader kesehatan memperoleh kredibilitas dimata masyarakat lingkungannya (Sasongko, 1986b). Competent credibility bisa diperoleh melalui pelatihan ketrampilan di bidang tehnik-tehnik kesehatan sederhana, sehingga seorang kader kesehatan mampu memberikan nasehat-nasehat tehnis kepada masyarakat yang memerlukannya. Melalui ketrampilan ini secara bertahap kader akan mengembangkan citra dirinya sebagai seorang yang dapat dipercaya (safety credibility). Bekal kredibilitas ini akan membantunya untuk secara efektif menjalankan peran sebagai pengelola upaya kesehatan primer. Petugas kesehatan setempat bisa membantu kader untuk memperoleh kredibilitas ini jika antara petugas dan kader bisa dikembangkan suatu interaksi yang bersifat partnership, jika pembimbingan (supervisi) dilaksanakan secara edukatif. Memperlakukan kader kesehatan hanya sekedar sebagai perpanjangan tangan (extension) dari petugas atau bahkan sebagai "pembantu" petugas akan menyebabkan kader kehilangan kredibilitasnya di mata masyarakat. Bagi kader sendiri perlakuan seperti itu terhadap dirinya jelas bukan merupakan sesuatu yang rewarding. Dampaknya akan terlihat dalam bentuk tidak berjalannya upaya kesehatan primer yang dikelola kader atau dalam bentuk tingginya drop out kader. Dalam pengembangan kader kesehatan terdapat unsur kesukarelaan (volunteerism) yang merupakan hal penting, karena fungsi sebagai kader ii



memang merupakan suatu tugas sosial. Tetapi ini tidak berarti seorang kader tidak memerlukan penghargaan (reward), baik yang sifatnya non material ataupun yang bersifat material. Tidak adanya mekanisme pemberian penghargaan untuk kader dapat mempengaruhi kelestarian kegiatan kader. Oleh karena itu perlu dikembangkan suatu mekanisme, dimana secara built in fungsi sebagai kader merupakan sesuatu yang menimbulkan kepuasan (rewarding). Kepuasan ini timbul jika kader merasakan bahwa kredibilitasnya menjadi meningkat dengan aktivitasnya sebagai kader. 2. PEMBANGUNAN KESEHATAN MASYARAKAT DESA Latar Belakang Lahirnya PKMD Pada evaluasi menjelang Pelita I terungkapkan adanya permasalahan kesehatan yang perlu memperoleh pemecahan segera melalui suatu pendekatan baru, yaitu PKMD. Suatu pendekatan yang diharpkan dapat mengatasi latar belakang permasalahan terhadap : 1) Meraja lelanya penyakit-penyakit menular yang banyak menimpa rakyat kecil di pedusunan 2) Keadaan under-nurishment yang menyangkut terutama bayi dan balita maupun ibu-ibu dalam masa reproduktif 3) Keadaan sanitasi lingkungan jelek ditambah ekses dari perumbuhan industrialisasi 4) Pertambahan penduduk secara alamiah yang masih tinggi 5) Tingkat pendapat perkapita yang rendah Tegasnya selama pelita I itu diletakkan rintisan yang mendasar melalui perbaikan tingkat kesehatan rakyat dengan skala prioritas program kesehatan antara lain : 1) pemulihan kesehatan 2) pembinaan hidup sehat 3) pemberantasan penyakit menular 4) farmasi 5) pengembangan infrastruktur 6) penelitian kesehatan 7) training Kebijaksanaan-kebijaksanaan pelayanan selama pelita I karenanya ditik beratkan kepada : ii



1) perencanaan kesehatan yang lebih baik, kerena sebelumnya masih berupa meraba-raba sebab belum ada data-data yang akurat. 2) Melihat kenyataan keterbatasan-keterbatasan dana dan fasiitas maupun atas dasar efektifitas dan efisiensi 3) Daerah sasaran diprioritaskan pada daerah-daerah pedusunan (yang kemudian lahir konsep PKMD), daerah transmigrasi dan daerah pengembangan/ pembanguanan lainnya 4) Kebijaksanaan pelayanan ditetapkan atas dasar skala prioritas program dengan pertimbangan adanya keterbatasan-keterbatasan diatas 5) Usaha-usaha preventif maupun promotif lebih ditingkatkan dengan memperhatikan pola keseimbangannya berdasarkan situasionalny dan kondisioningnya. A. Pengertian PKMD Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD) adalah rangkaian kegiatan masyarakat yang dilakukan berdasarkan gotong-royong, swadaya masyarakat dalam rangka menolong mereka sendiri untuk mengenal dan memecahkan masalah atau kebutuhan yang dirasakan masyarakat, baik dalam bidang kesehatan maupun bidang dalam bidang yang berkaitan dengan kesehatan, agar mampu memelihara kehidupannya yang sehat dalam rangka meningkatkan mutu hidup dan kesejahteraan masyarakat. PKMD adalah kegiatan pelayanan kesehatan yang pelaksanaannya didasarkan melalui sistem pelayanan puskesmas, dimana dalam mengembangkan kegiatan-kegiatan kesehatan oleh lembaga ini diikutsertakan anggota-anggota masyarakat di Pedusunan melalui segala pengarahan untuk menimbulkan kesadaran secara aktif didalam ikut membantu memecahkan dan mengembangkan usaha-usaha kesehatan di Desanya (Dirjen Binkesmas Depkes RI, 1976) PKMD adalah kegiatan atau pelayanan kesehatan berdasarkan sistem pendekatan edukatif masalah kesehatan melalui Puskesmas dimana setiap individu atau kelompok masyarakat dibantu agar dapat melakukan tindakantindakan yang tepat dalam mengatasi kesehatan mereka sendiri. Disamping itu kegiatan pelayanan kesehatan yang diberikan juga dapat mendorong timbulnya kreativitas dan inisiatif setiap individu atau kelompok masyarakat untuk ikut secara aktif dalam program-program kesehatan di daerahnya dan ii



menentukan prioritas program sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat yang bersangkutan. (Kanwil Depkes Jawa Timur) Pokok-pokok pemikiran yang fundamental yang melandasi definisi PKMD tersebut di atas ditekankan melalui pendekatan-pendekatan sebagai berikut : Untuk keberhasilan PKMD di suatu daerah harus memanfaatkan pendekatan operasional terpadu (comprehensive operational approach) yang meliputi pendekatan secara sistem (system approach), pendekatan lintas sektoral dan antar program (inter program and inter sektoral approach), pendekatan multi displiner (multi displionary approach), pendekatan edukatif (educational approach), dsb. Dalam pembinaan terhadap peran serta masyarakat melalui pendekatan edukatif, hendaknya faktor ikut sertanya masyarakat ditempatkan baik sebagai komplemen maupun suplemen terdepan dalam penunjang sistem kesehatan nasional ini.Sebagai kegiatan yang dikelola sendiri oleh masyarakat, PKMD secara bertahap dan terus-menerus harus mampu didorong untuk membuka kemungkinan-kemungkinan menumbuhkan potensi swadayanya melalui pemerataan akan peran-serta setiap individu di desa secara lebih luas dan lebih nyata. Puskesmas sebagai pengarah (provider) setempat perlu meningkatkan kegiatan di luar gedung (out door activities) untuk mengarahkan “intervensinya “ di dalam memacu secara edukatif terhadap kelestarian kegiatan PKMD oleh masyarakat dibawah bimbingan LSD. Kegiatan masyarakat tersebut diharapkan muncul atas kesadaran dan prakarsa masyarakat sendiri dengan bimbingan dan pembinaan dari pemerintah secara lintas program dan lintas sektoral. Kegiatan tersebut tak lain merupakan bagian integral dari pembangunan nasional umumnya dan pembangunan desa khususnya. Puskesmas sebagai pusat pengembangan kesehatan di tingkat kecamatan mengambil prakarsa untuk bersama-sama dengan sektor-sektor yang bersangkutan menggerakkan peran serta masyarakat (PSM) dalam bentuk kegiatan PKMD. B. Tujuan PKMD Tujuan umum Untuk meningkatkan kemampuan masyarakat menolong diri sendiri dibidang kesehatan dalam rangka meningkatkan mutu hidup. ii



Tujuan khusus a. Menumbuhkan kesadaran masyarakat akan potensi yang dimilikinya untuk menolong dirinya sendiri dalam meningkatkan mutu hidupnya. b. Mengembangkan kemampuan dan prakarsa masyarakat untuk berperan secara aktif dan berswadaya dalam meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri c. Menghasilkan lebih banyak tenaga-tenaga masyarakat setempat yang mampu, terampil serta mau berperan aktif dalam pembangunan desa d. Meningkatnya kesehatan masyarakat dalam arti memenuhi beberapa indikator : angka kesakitan menurun, angka kematian menurun, terutama angka kematian bayi dan anak, angka kelahiran menurun, menurunnya angka kekurangan gizi pada anak balita C. Ciri-Ciri Utama PKMD 1. Kegiatan-kegiatan PKMD didasarkan atas kesadaran masyarakat dan dilaksanakan melalui usaha-usaha swadaya masyarakat berdasarkan gotong-royong yang menggali dan menggunkan sumber dan potensi masyarakat setempat 2. Setiap keputusan dalam rangka pelaksanaan kegiatan ditetapkan oleh masyarakat sendiri melalui musyawarah mufakat 3. Pelaksanaan pekerjaan dilaksanakan oleh tenaga yang berasal dari masyarakat setempat dan dipilih oleh masyarakat sendiri. Tenaga tersebut dipersiapkan terlebih dahulu sehingga pengetahuan sikap dan ketrampilannya sesuai dengan kegiatan yang akan dilakukan 4. Bantuan dan dukungan pemerintah yang bersifat lintas program dan lintas sektoral baik dalam bentuk latihan maupun bahan-bahan atau peralatan selalu disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan tidak sampai menimbulkan ketergantungan 5. Dari berbagai kegiatan masyarakat tersebut minimal ada satu kegiatan yang merupakan salah satu unsur dari unsur “Primary Health Care” D. Ruang Lingkup PKMD Tujuan PKMD adalah meningkatkan status kesehatan dalam rangka meningkatkan mutu hidup dan kesejahteraan masyarakat. Namun demikian status kesehatan dipengaruhi oleh berbagai faktor terutama lingkungan dan ii



faktor perilaku masyarakat oleh karenanya kegiatan PKMD tidak terbatas dalam bidang pelayanan kesehatan saja, akan tetapi menyangkut juga kegiatan di luar kesehatan yang berkaitan dengan peningkatan status kesehatan dan perbaikan mutu hidup masyarakat. Misalnya : Kegiatan usaha bersama dalam bentuk koperasi simpan pinjam untuk meningkatkan pendapatan, atau usaha bersama untuk meningkatkan taraf pendidikan masyarakat dengan bekerja sambil belajar, dan sebagainya. Penegmbangan PKMD tidak terbatas pada daerah pedesaan saja, akan tetapi juga meliputi masyarakat daerah perkotaan yanga berpenghasilan rendah. Kegiatan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pos pelayanan terpadu (posyandu) 5 program, yaitu : KIA, KB, Gizi, Imunisasi dan Penanggulangan Diare juga merupakan salah satu bentuk dari kegiatan PKMD. E. Wadah Kegiatan PKMD Karena PKMD merupakan bagian integral dari pembangunan desa, sedang wadah partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa adalah LKMD, maka dengan sendirinya wadah kegiatan PKMD adalah LKMD juga. Pembinaan PKMD yang bersifat lintas sektoral dengan sendirinya merupakan bagian dari Tim Pembina LKMD. F. Prinsip-Prinsip PKMD 1. Kegiatan masyarakat sebaiknya dimulai dengan kegiatan yang memenuhi kebutuhan masyarakat setempat walaupun kegiatan tersebut bukan merupakan kegiatan kesehatan secara langsung. Ini berarti bahwa kegiatan tidak hanya terbatas pada aspek kesehatan saja, melainkan juga mencakup aspek-aspek kehidupan lainnya yang secara tidak langsung menunjang peningkatan taraf kesehatan 2. Dalam membina kegiatan masyarakat diperlukan kerjasama yang baik : (a) antar dinas-dinas/instansi-instansi/lembaga-lembaga lain yang bersang-kutan; (b) antar dinas-dinas/instansi-instansi/lembaga-lembaga tersebut dengan masyara-kat



ii



3. Dalam hal masyarakat tidak dapat memecahkan masalah atau kebutuhannya sendiri, maka pelayanan langsung diberikan oleh sektorsektor yang bersangkutan 4. PKMD merupakan upaya swadaya masyarakat yang pembinaannya oleh Puskesmas 5. Operasionalisasinya oleh pos-pos kesehatan yang didirikan dan dilaksanakan oleh tenaga masyarakat sendiri (kader kesehatan yang dilatih dan dibina oleh puskesmas 6. Tugas-tugas Puskesmas dapat didelegasikan kepada pos-pos kesehatan antara lain : penyuluhan kesehatan, mengawasi adanya penyakit menular dan segera melaporkan ke Puskesmas, upaya dalam perbaikan sanitasi lingkungan umpamanya jamban, kebersihan halaman, pembuangan limbah, dll., Pengobatan ringan dalam rangka P3K sebelum dirujuk ke Puskesmas, Upaya perbaikan gizi keluarga umpamanya penimbangan balita, kurang gizi, dll., Diskusi-diskusi dengan ibu hamil melalui arisan / PKK 7. Pembinaan peran serta masyrakat dalam kesehatan, baik secara individu, kelompok atau masyarakat luas 8. Dalam pembinaan PKMD menggunakan pendekatan lintas sektor dan lintas program 9. Pelayanan langsung dapat diberi oleh petugas kesehatan apabila masyarakat tidak mampu melaksanakannya 10. Type penyelenggaraan disesuaikan dengan budaya dan kemampuan masyarakat G. Keterpaduan PKMD dalam 5 program puskesmas Dalam rangka menurunkan angka kematian bayi, anak balita dan angka kelahiran, dalam Pelita IV dulu dikembangkan pendekatan partisipasi masyarakat untuk meningkatkan keberhasilan dalam mencapai sasaran yang telah ditetapkan dalam Pelita IV, dengan cara membina masyarakat untuk berusaha menolong mereka sendiri dalam melaksanakan 5 program prioritas, yaitu : KIA, KB, Gizi, Imunisasi dan Penanggulangan Diare.



ii



H. Hal-hal yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan PKMD 1. Masyarakat perlu dikembangkan pengertiannya yang benar tentang kesehatan dan tentang program-program yang dilaksanakan pemerintah 2. Masyarakat perlu dikembangkan kesadarannya akan potensi dan sumber daya yang dimiliki serta harus dikembangkan dan dibina kemampuan dan keberaniannya untuk berperan secara aktif dan berswadaya dalam meningkat-kan mutu hidup dan kesejahteraan mereka 3. Sikap mental pihak penyelenggara pelayanan perlu dipersiapkan terlebih dahulu agar dapat menyadari bahwa masyarakat mempunyai hak dan potensi untuk menolong diri mereka sendiri dalam meningkatkan mutu hidup dan kesejah-teraan mereka 4. Harus ada kepekaan dari para pembina untuk memahami aspirasi yang tumbuh dimasyarakat dan dapat berperan secara wajar dan tepat 5. Harus ada keterbukaan dan interaksi yang dinamis dan berkesinambungan baik antara para pembina maupun antara pembina dengan masyarakat, sehingga muncul arus pemikiran yang mendukung kegiatan PKMD. I.



Persiapan bagi pelaksana Persiapan bagi pelaksana dari masyarakat sangat penting artinya persiapan yang dimaksud dapat dilakukan melalui : 1) pelatihan kader 2) kunjungan kerja 3) studi perbandingan



J. Pengadaan Fasilitas Kelestarian PKMD akan lebih terjamin bila fasilitas yang disediakan dari swadaya masyarakat melalui potensi dan sumberdaya yang ada dimasyarakat yang dapat digali dan dimanfaatkan. Bila masyarakat tidak memilikinya barulah para penyelenggara pembinaan PKMD berusaha untuk memberikan bantuan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dengan ketentuan tidak menimbulkan ketergantungan bagi masyarakat.



ii



K. Model / Proto Type PKMD Antara lain Slamet Riyadi, menulis dalam buku ilmu kesehatan masyarakat ada beberapa Proto type PKMD di Indonesia antara lain : 1. Proto Type Srikandi Disini petugas puskesmas merintis PKMD dengan menyusupkan strateginya lewat non kesehtan. Mereka berkeyakinan bahwa dengan keberhasilan sektor ekonomi di desa, maka kemudian mudah menyelenggarakan usaha-usaha PKMD. Keberhasilan PKMD dirintis lewat keberhasilan ekonomi desa terlebih dahulu. Kebutuhan masyarakat desa tidak dipaksakan oleh dokter Puskesmas berdasarkan keinginannya (Needs) melainkan benar-benar berdasarkan kebutuhan (Demands) masyarakat. Segala usaha yang dipelopiri pUskesmas tetap mempergunakan lembaga pedesaan yang ada secara terpadu 2. Proto Type Kelompok Disini pembinaan masyarakat desa tidak diintegrasikan dengan pembangunan masyarakat desa secara keseluruhan sebagaimana prototype Srikandi, melainkan dikhususkan secara tersendiri dengan wadah tersendiri pula, yaitu melalui suatu Dana Sehat yang berdiri sendiri. mereka mengorganisir kader kesehatan desa yang sangat menonjol. Sekalipun tidak diintegrasikan didalam LSD, namun pembinaan organisasi dan adminstrasi saderhana oleh Pak Lurahnya. Yang sangat patut dicatat adalah peranan para kader kesehatan desanya yang sangat menonjol dan berdedikasi. 3. Proto Type Karangsalam PKMD disini sudah merupakan bagian dari pembangunan masyarakat desa yang intervensinya secara lebih teratur dilakukan dari puskesmas setempat. Kegiatan-kegiatan yang menonjol masih berupa dana sehat, pengembangan promotor kesehatan desa, penyuluhan kesehatan maupun pendidikan gizi melalui arisan-arisan ibi-ibu. Pengetrapan teknologi pedesaan setempat dikerjakan melalui sistem dapur sekam maupun pembuatan gas metan dari kotoran (Digeseter). Sehingga melalaui cara-cara ini orang-orang kesehatan berhasil merubah caracara tradisional kearah yang lebih maju yang dijalankan serentak dengan usaha-usaha kesehatan. ii



4. Proto Type Kerten Merupakan prototype untuk suatu daerah perkotaan yang memiliki keistimewaan juga. Tekanannya juga pada dana sehat dengan sistem uang pangkal sebagai modal pertama yang selanjutnya dioperasionalkan dengan sistem simpan pinjam. Setelah dananya kuat dipergunakan untuk dana sehat yang meliputi : dana pengobatan orang sakit, perbaikan kampung, kegiatan pinjaman jangka panjang, yaitu : 8 minggu untuk keperluan ; modal dagang, perbaikan rumah, pemeliha-raan ternak Unit sasaran hanya satu RT dengan sistem administrasi sederhana tapi tetap rapi. Satu-satunya hambatan adalah bahwa kader kesehatan yang pernah dicoba permulaan dengan 12 orang, ternyata hanya 2 orang yang tertarik dengan tugas-tugas sosial ini. 5. Proto Type Karanganyar Dalam penyelenggaraan PKMD ini puskesmas pemerintah bertindak sebagai pendorong dan pembimbing. Suatu dana sehat diadakan dengan disertai pembentukan promotor kesehatan desa, akan tetapi sayang tidak diintegrasikan dengan pembangunan masyarakat desa. Tidak ada pungutan uang pangakal atau tidak ada usaha bagi suatu koperasi simpan pinjam. Pelaksanaannya agak kaku karena mungkin terikat kepada suatu protokol “Reseach Proyect”. Ini disiapkan melalui suatu perencanaan dari suatu badan konsultant yang terlalu teoritis. Ditetapkan bahwa iuran perkapita atas saran konsultant ditentukan Rp. 40 untuk dapat mencukupi suatu permulaan kegiatan. Dalam keadaan ini masyarakat banyak yang tidak bersedia. Terlalu banyak intervensi oleh unsur-unsur pemerintah antara lain seperti kader Promokesa ditunjuk oleh Lurah atau camat bukan dipilih oleh masyarakat setempat, semuanya merupakan hal-hal yang kurang bisa memperoleh dukungan masyarakat setempat. 6. Proto Type Subah Hampir sama dengan bentuk Kranganyar, dimana unsur-insur menonjol yaitu tidak diintegrasikannya PKMD itu dengan Pembangunan Masyarakat Desa, maupun terlalu dibimbing secara ketat oleh Puskesmas Pemerintah setempat dalam menjalankan programnya sendiri. Kasarnya, akhirnya terdapat suatu dana sehat tanpa Promokesa ii



7. Proto Type Dampit Malang Masyarakat melakukan kegiatan sesuai dengan program yang diprioritaskan, sebagi hasil dari pada perencanaan staf Puskesmas dan tokoh-tokoh masyarakat setempat. Tokoh-tokoh masyarakat memang sebelumnya dibina dahulu oleh puskesmas dan kemudian dijadikan “ PION” untuk memungkinkan sistem yang dilemparkan oleh atas dapat berhasil persis dengan skenario. 8. Proto Type Mojokerto (Desa Balongmasin – Kecamatan Pengging) Kegiatan kesehatan disini telah diintegrasikan dalam wilayah kegiatan pembangunan yaitu LSD. Mirip dengan bentuk Srikandi. Disini unsurunsur Pamong Praja dan LSD-nya digerakkan untuk menangani. Suatu kemajuan yang menonjol bahwa Desa memiliki suatu anggaran untuk bidang kesehatan yang dimasukkan kedalam semacam APBD Desa, setelah mampu menyalurkan/menjual hasil produksi tanaman dari Desa. Keberhasilan Proto Type yang demikian majunya sampai mampu berfikir menyelenggarakan semacam APBD Desa, disebabkan karena Puskesmas Mojosari sebagai pembina, telah ikut berpengalaman lama dibawah berbagai dokter. Memang daerah ini merupakan daerah “Fielf Practice and Demonstration Area” (FPDA) yang berada langsung dibawah Dinas Kesehatan Propinsi dan banyak memperoleh perhatian Depkes untuk menunjukkan Keberhasilan Depkes. Karena juga berlakunya semacam Reward System bagi dokter-dokter pimpinan puskesmas Mojosari untuk berhasil dapat menduduki jabatan-jabatan penting, seperti Prof. Sulianti, dr. Lolong, dr. Soekamto, dll. 3. KONSEP POSYANDU Pengertian Posyandu Posyandu adalah pusat kegiatan masyarakat dimana masyarakat dapat sekaligus memperoleh pelayanan Keluarga Berencana (KB) dan kesehatan antara lain : gizi, imunisasi, Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dan penanggulangan diare. Definisi lain Posyandu adalah salah satu bentuk Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) yang dikelola dan diselenggarakan dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, guna memberdayakan masyarakat dan memberikan kemudahan ii



kepada masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan dasar untuk mempercepat penurunan Angka Kematian Ibu dan Bayi. Tujuan Posyandu Tujuan penyelenggaraan posyandu adalah untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan bayi, balita, ibu dan pasangan usia subur.Posyandu direncanakan dan dikembangkan oleh kader bersama Kepala Desa dan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) serta penyelenggaraannya dilakukan oleh kader yang terlatih dibidang KB-Kes, berasal dari PKK, tokoh masyarakat, pemuda dengan bimbingan tim pembina LKMD tingkat kecamatan. Kader adalah anggota masyarakat yang dipilih dari dan oleh masyarakat setempat yang disetujui oleh LKMD dengan syarat; mau dan mampu bekerja secara sukarela, dapat membaca dan menulis huruf latin dan mempunyai cukup waktu untuk bekerja bagi masyarakat. Posyandu dapat melayani semua anggota masyarakat, terutama ibu hamil, ibu menyusui, bayi dan anak balita serta Pasangan Usia Subur (PUS). Biasanya dilaksanakan satu kali sebulan ditempat yang mudah didatangi oleh masyarakat danditentukan masyarakat sendiri. Kedudukan Posyandu Menurut lokasinya Posyandu dapat berlokasi di setiap desa atau kelurahan atau nagari. Bila diperlukan dan memiliki kemampuan, dapat berlokasi di tiap RW, dusun, atau sebutan lain yang sesuai. Kedudukan Posyanduadalah : a. Terhadap pemerintah desa atau kelurahan, adalah sebagai wadah pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan yang secara kelembagaan dibina oleh pemerintah desa atau kelurahan. b. Terhadap Pokja Posyandu, sebagai satuan organisasi yang mendapat binaan aspek administrasi, keuangan dan program Pokja. c. Terhadap berbagai UKBM, adalah sebagai mitra. d. Terhadap Konsil Kesehatan Kecamatan, adalah sebagai satuan organisasi yang mendapat arahan dan dukungan sumberdaya dari Konsil Kesehatan Kecamatan. ii



e. Terhadap Puskesmas, adalah sebagai wadah pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan yang secara teknis medis dibina oleh Puskesmas. Tugas dan Tangung Jawab Pihak-Pihak yang Terkait Beberapa pihak yang terkait dengan kegiatan Posyandu memiliki tugas dan tangung jawab sebagai berikut : a. Kader Kesehatan 1) Menyiapkan tempat pelaksanaan, peralatan, sarana dan prasarana Posyandu. 2) Melaksanakan pendaftaran. 3) Melaksanakan penimbangan balita dan ibu hamil yang berkunjung ke Posyandu. 4) Mencatat hasil penimbangan di KMS atau buku KIA dan mengisi buku register Posyandu. 5) Melaksanakan penyuluhan kesehatan dan gizi sesuai dengan hasil penimbangan serta memberikan PMT. 6) Memberikan pelayanan kesehatan dan KB sesuai dengan kewenangannya, misalnya memberikan vitamin A, tablet besi, oralit, pil KB, kondom. Bila ada petugas kesehatan maka kegiatan kesehatan dilakukan bersama dengan petugas kesehatan. 7) Setelah selesai penimbangan bersama petugas kesehatan melengkapi pencatatan dan membahas hasil kegiatan serta tindak lanjut. b. Petugas Kesehatan 1) Membimbing kader dalam penyelenggaraan Posyandu. 2) Menyelenggarakan pelayanan kesehatan dan keluarga berencana di meja 5 (lima). 3) Menyelenggarakan penyuluhan kesehatan, gizi dan KB kepada pengunjung Posyandu dan masyarakat luas. 4) Menganalisa hasil kegiatan Posyandu dan melaporkannya kepada Kepala Puskesmas serta menyusun rencana kerja dan melaksanakan upaya perbaikan sesuai kebutuhan. c. Camat 1) Mengkordinasikan hasil kegiatan dan tindak lanjut kegiatan Posyandu. 2) Memberi dukungan dalam upaya meningkatkan kinerja Posyandu. ii



3) Melakukan pembinaan untuk terselenggaranya kegiatan Posyandu secara teratur. d. Lurah atau Kepala Desa 1) Memberkan dukungan kebijakan, sarana dan dana untuk penyelenggaraan Posyandu. 2) Mengkordinasikan penggerakan masyarakat untuk dapat hadir pada hari buka Posyandu. 3) Mengkordinasikan peran kader Posyandu, pengurus Posyandu dan tokoh masyarakat untuk berperan aktif dalam penyelenggaraan Posyandu. 4) Menindaklanjuti hasil kegiatan Posyandu bersama LKMD atau LPM atau LKD atau sebutan lainnya. 5) Melakukan pembinaan untuk terselenggaranya kegiatan Posyandu secara teratur. e. Pokja Posyandu 1) Mengkordinasikan hasil kegiatan dan tindak lanjut kegiatan Posyandu. 2) Melakukan bimbingan dan pembinaan kepada Posyandu. 3) Menggali sumber daya untuk kelangsungan penyelenggaraan Posyandu. 4) Menggerakkan masyarakat untuk dapat hadir dan berperan aktif dalam kegiatan Posyandu. f. Tim Penggerak PKK (TP PKK) 1) Berperan aktif dalam penyelenggaraan Posyandu. 2) Penggerakan peran serta masyarakat dalam kegiatan Posyandu. 3) Penyuluhan baik di Posyandu atau di luar Posyandu KegiatanPosyandu Kegiatan Posyandu terdiri dari kegiatan utama dan kegiatan pengembangan atau pilihan, yaitu : a. Kegiatan Utama 1. Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) a) Ibu hamil Pelayanan meliputi : 1) Penimbangan berat badan dan pemberian tablet besi yang dilakukan oleh kader kesehatan. ii



2) Bila ada petugas Puskesmas ditambah dengan pengukuran tekanan darah, pemeriksaan hamil bila ada tempat atau ruang periksa dan pemberian imunisasi Tetanus Toxoid. Bila ditemukan kelainan maka segera dirujuk ke Puskesmas. 3) Bila dimungkinkan diselenggarakan kelompok ibu hamil pada hari buka Posyandu yang kegiatannya antara lain : penyuluhan tentang tanda bahaya kehamilan, persalinan, persiapan menyusui, KB dan gizi ibu hamil, perawatan payudara dan pemberian ASI, peragaan perawatan bayi baru lahir dan senam ibu hamil. b) Ibu nifas dan menyusui Pelayanannya meliputi : 1) Penyuluhan kesehatan, KB, ASI, dan gizi, perawatan jalan lahir. 2) Pemberian vitamin A dan tablet besi 3) Perawatan payudara 4) Senam ibu nifas 5) Bila ada petugas kesehatan dan tersedia ruangan maka dapat dilakukan pemeriksaan payudara, tinggi fundus uteri, dan pmeriksaan lochea. c) Bayi dan anak balita Jenis pelayanan untuk bayi dan balita mencakup : 1) Penimbangan 2) Penentuan status gizi 3) Penyuluhan tentang kesehatan bayi dan balita 4) Jika ada petugas kesehatan dapat ditambahkan pemeriksaan kesehatan, imunisasi, dan deteksi dini tumbuh kembang. Bila ditemukan adanya kelainanakan dirujuk ke Puskesmas. 2. Keluarga Berencana Pelayanan KB di Posyandu yang diselenggarakan oleh kader adalah pemberian pil dan kondom. Bila ada petugas keehatan maka dapat dilayani KB suntik dan konseling KB. 3. Imunisasi Pelayanan imunisasi di Posyandu hanya dilaksanakan bila ada petugas kesehatan Puskesmas. Jenis pelayanan imunisasi yang diberikan yang sesuai program, baik untuk bayi, balita maupun untuk ibu hamil, yaitu : BCG, DPT, hepatitis B, campak, polio, dan tetanus toxoid. ii



4. Gizi Pelayanan gizi di Posyandu dilakukan oleh kader. Bentuk pelayanannya meliputi penimbangan berat badan, deteksi dini gangguan pertumbuhan, penyuluhan gizi, pemberian PMT, pemberian vitamin A dan pemberian sirup besi (Fe). Untuk ibu hamil dan ibu nifas diberikan tablet besi dan yodium untuk daerah endemis gondok. 5. Pencegahan dan Penanggulangan Diare Pelayanan diare di Posyandu dilakukan antara lain dengan penyuluhan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Penanggulangan diare antara lain dengan cara penyuluhan tentang diare dan pemberian oralit atau larutan gula garam. b. Kegiatan Pengembangan Dalam keadaan tertentu Posyandu dapat menambah kegiatan baru, misalnya: perbaikan kesehatan lingkungan, pemberantasan penyakit menular dan berbagai program pembangunan masyarakat desa lainnya. Posyandu demikian disebut dengan Posyandu Plus. Penambahan kegiatan baru tersebut dapat dilakukan bila cakupan kegiatan utamanya di atas 50%, serta tersedianya sumberdaya yang mendukung.Kegiatan bulanan di Posyandu mengikuti pola keterpaduan KB-Kesehatan dengan sistem lima meja : Meja I : Pendaftaran. Meja II : Penimbangan bayi dan anak balita. Meja III : Pengisian KMS. Meja IV: Penyuluhan perorangan Meja V: Pelayanan oleh tenaga profesional meliputi pelayanan KIA, KB, Imunisasi dan pengobatan, serta pelayanan lain sesuai dengan kebutuhan. Stratifikasi Posyandu Semua Posyandu didata tingkat pencapaiannya, baik dari segi pengorganisasian maupun pencapaian programnya. Tujuannya adalah melakukan kategorisasi atau stratifikasi posyandu, yang bisa dikelompokkan menjadi 4 tingkat, yaitu berturutturut dari terendah sampai tertinggi sebagai berikut : a. Posyandu Pratama, dengan warna merah b. Posyandu Madya, dengan warna kuning c. Posyandu Purnama, dengan warna hijau ii



d. Posyandu Mandiri, dengan warna biru Penggolongan diatas dilakukan atas dasar pengorganisasian dan tingkat pencapaian programnya, dalam hal ini digunakan 8 indikator yaitu : a. Frekuensi penimbangan pertahun Seharusnya posyandu menyelenggarakan kegiatan setiap bulan, jadi bila teratur akan ada 12 kali penimbangan setiap tahun. Dalam kenyataannya tidak semua posyandu dapat berfungsi setiap bulan. Untuk itu diambil batasannya 8 kali. Posyandu yang mapan bila kegiatannya > 8 kali.Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Yonferizal (2007), yang menyimpulkan bahwa terdapat hubungan keaktifan kader dengan intensitas pelayanan posyandu. b. Rata-rata jumlah kader pada hari H posyandu Jumlah kader yang bertugas pada hari H dapat dijadikan indikasi lancar tidaknya posyandu. Bila jumlah kader 5 orang atau lebih tanda kegiatannya tertangani dengan baik. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian M. Munir Salham, dkk. (2006) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang positif dan signifikan antara motiasi kader dan pengguna pada hari buka Posyandu dengan revitalisasi Posyandu, karena semakin tinggi tingkat motivasi kader dan pengguna semakintercapai pula upaya revitalisasi atau sebaliknya. c. Cakupan D/S Cakupan D/S dapat dijadikan tolak ukur peran serta masyarakat dan aktivitas kader atau tokoh masyarakat dalam menggerakkan masyarakat setempat untuk memanfaatkan posyandu. Peran serta masyarakat dianggap baik bila D/S dapat mencapai 50 %. d. Cakupan Imunisasi Cakupan imunisasi dihitung secara kumulatif selama 1 (satu) tahun. Cakupan kumulatif dianggap baik bila mencapai 50 % keatas. e. Cakupan ibu hamil Cakupan pemeriksaan ibu hamil dihitung secara kumulatif selama 1 (satu) tahun. Batas mapan tidaknya posyandu digunakan angka 50 %. f. Cakupan KB Cakupan peserta KB juga dihitung secara kumulatif selama 1 (satu) tahun. Pencapaian 50 % keatas. g. Program Tambahan Posyandu pada mulanya melaksanakan 5 program yaitu : KIA, KB, Perbaikan Gizi, Imunisasi dan Penaggulangan Diare. Bila telah mantap, maka ii



programnya dapat ditambahan. Program tambahan disini adalah bentuk upaya kesehatan bersumber daya masyarakat seperti : Bina Keluarga Balita, Pos Obat Desa, Pondok Bersalin Desa, dan sebagainya. h. Dana Sehat Dana sehat merupakan wahana untuk memandirikan posyandu. Diharapkan bila dana sehat telah mampu membiayai posyandu, maka tingkat kemandirian masyarakat sudah baik. Sebagai ukuran digunakan persentasekepala keluarga (KK) yang ikut dana sehat, dikatakan baik bila cakupan > 50 %. Secara ringkas kriteria katagorisasi posyandu sebagai berikut : Tabel 9.1. Kriteria Katagori Posyandu No 1 2 3 4 5 6 7 8



Indikator Frek. Penimbangan Rerata Kader tugas Rerata Cakupan D/S Cakupan Kumulatif KB Cakupan Kumulatif KIA Cakupan Kumulatif Imunisas Program Tambahan Cakupan Dana Sehat



Pratama Madya 50%



(-)



(+) 50%



>50%



Sumber : Depkes RI, 2004 4. KONSEP DESA SIAGA Pendahuluan Desa siaga merupakan strategi baru pembangunan kesehatan. Desa siaga lahir sebagai respon pemerintah terhadap masalah kesehatan di Indonesia yang tak kunjung selesai. Tingginya angka kematian ibu dan bayi, munculnya kembali berbagai penyakit lama seperti tuberkulosis paru, merebaknya berbagai penyakit baru yang bersifat pandemik seperti SARS, HIV/AIDS dan flu burung serta belum hilangnya penyakit endemis seperti diare dan demam berdarah merupakan masalah utama kesehatan di Indonesia. Bencana alam yang sering menimpa bangsa Indonesia seperti gunung meletus, tsunami, gempa bumi, banjir, tanah ii



longsor, dan kecelakaan massal menambah kompleksitas masalah kesehatan di Indonesia. Desa siaga merupakan salah satu bentuk reorientasi pelayanan kesehatan dari sebelumnya bersifat sentralistik dan top down menjadi lebih partisipatif dan bottom up. Pengertian Desa Siaga Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 564/MENKES/SK/VI II/2006, tentang Pedoman Pelaksanaan Pengembangan Desa siaga, desa siaga merupakan desa yang penduduknya memiliki kesiapan sumber daya dan kemampuan serta kemauan untuk mencegah dan mengatasi masalah-masalah kesehatan, bencana dan kegawatdaruratan kesehatan secara mandiri. Desa siaga adalah suatu konsep peran serta dan pemberdayaan masyarakat di tingkat desa, disertai dengan pengembangan kesiagaan dan kesiapan masyarakat untuk memelihara kesehatannya secara mandiri. Desa yang dimaksud di sini dapat berarti kelurahan atau nagari atau istilah-istilah lain bagi kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah, yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asalusul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Depkes, 2007). Konsep desa siaga adalah membangun suatu sistem di suatu desa yang bertanggung jawab memelihara kesehatan masyarakat itu sendiri, di bawah bimbingan dan interaksi dengan seorang bidan dan 2 orang kader desa. Di samping itu, juga dilibatkan berbagai pengurus desa untuk mendorong peran serta masyarakat dalam program kesehatan seperti imunisasi dan posyandu (Depkes 2009). Tujuan Desa Siaga Secara umum, tujuan pengembangan desa siaga adalah terwujudnya masyarakat desa yang sehat, peduli dan tanggap terhadap permasalahan kesehatan di wilayahnya. Selanjutnya, secara khusus, tujuan pengembangan desa siaga (Depkes, 2006), adalah : 1. Meningkatnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat desa tentang pentingnya kesehatan. 2. Meningkatnya kewaspadaan dan kesiapsiagaan masyarakat desa. ii



3. Meningkatnya keluarga yang sadar gizi dan melaksanakan perilaku hidup bersih dan sehat. 4. Meningkatnya kesehatan lingkungan di desa. Kriteria Desa Siaga Suatu desa dikatakan menjadi desa siaga apabila memenuhi kriteria berikut (Depkes, 2006) : 1. Memiliki 1 orang tenaga bidan yang menetap di desa tersebut dan sekurangkurangnya 2 orang kader desa. 2. Memiliki minimal 1 bangunan pos kesehatan desa (poskesdes) beserta peralatan dan perlengkapannya. Poskesdes tersebut dikembangkan oleh masyarakat yang dikenal dengan istilah upaya kesehatan bersumber daya masyarakat (UKBM) yang melaksanakan kegiatan-kegiatan minimal :  Pengamatan epidemiologis penyakit menular dan yang berpotensi menjadi kejadian luar biasa serta faktor-faktor risikonya.  Penanggulangan penyakit menular dan yang berpotensi menjadi KLB serta kekurangan gizi.  Kesiapsiagaan penanggulangan bencana dan kegawatdaruratan kesehatan.  Pelayanan kesehatan dasar, sesuai dengan kompetensinya.  Kegiatan pengembangan seperti promosi kesehatan, kadarzi, PHBS, penyehatan lingkungan dan lain-lain. Prinsip Pengembangan Desa Siaga (Depkes, 2008), Yaitu : 1. Desa siaga adalah titik temu antara pelayanan kesehatan dan program kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah dengan upaya masyarakat yang terorganisir. 2. Desa siaga mengandung makna “kesiapan” dan “kesiagaan” Kesiagaan masyarakat dapat didorong dengan memberi informasi yang akurat dan cepat tentang situasi dan masalah-masalah yang mereka hadapi. 3. Prinsip respons segera. Begitu masyarakat mengetahui adanya suatu masalah, mereka melalui desa siaga, akan melakukan langkah-langkah yang perlu dan apabila langkah tersebut tidak cukup, sistem kesehatan akan memberikan bantuan (termasuk pustu, puskesmas, Dinkes, dan RSUD). 4. Desa siaga adalah “wadah” bagi masyarakat dan sistem pelayanan kesehatan untuk menyelenggarakan berbagai program kesehatan. ii



Secara organisasi, koordinasi dan kontrol proses pengembangan desa siaga dilakukan oleh sebuah organisasi desa siaga. Organisasi desa siaga ini berada di tingkat desa/kelurahan dengan penanggung jawab umum kepala desa atau lurah. Sedangkan pengelola kegiatan harian desa siaga, bertugas melaksanakan kegiatan lapangan seperti pemetaan balita untuk penimbangan dan imunisasi, pemetaan ibu hamil, membantu tugas administrasi di poskesdes dan lain-lain. Kegiatan Pokok Desa Siaga 1. Surveilans dan pemetaan : Setiap ada masalah kesehatan di rumah tangga akan dicatat dalam kartu sehat keluarga. Selanjutnya, semua informasi tersebut akan direkapitulasi dalam sebuah peta desa (spasial) dan peta tersebut dipaparkan di poskesdes. 2. Perencanaan partisipatif: Perencanaan partisipatif di laksanakan melal ui survei mawas diri (SMD) dan musyawarah masyarakat desa (MMD). Melalui SMD, desa siaga menentukan prioritas masalah. Selanjutnya, melalui MMD, desa siaga menentukan target dan kegiatan yang akan dilaksanakan untuk mencapai target tersebut. Selanjutnya melakukan penyusunan anggaran. 3. Mobilisasi sumber daya masyarakat : Melalui forum desa siaga, masyarakat dihimbau memberikan kontribusi dana sesuai dengan kemampuannya. Dana yang terkumpul bisa dipergunakan sebagai tambahan biaya operasional poskesdes. Desa siaga juga bisa mengembangkan kegiatan peningkatan pendapatan, misalnya dengan koperasi desa. Mobilisasi sumber daya masyarakat sangat penting agar desa siaga berkelanjutan (sustainable). 4. Kegiatan khusus: Desa siaga dapat mengembangkan kegiatan khusus yang efektif mengatasi masalah kesehatan yang diprioritaskan. Dasar penentuan kegiatan tersebut adalah pedoman standar yang sudah ada untuk program tertentu, seperti malaria, TBC dan lain-lain. Dalam mengembangkan kegiatan khusus ini, pengurus desa siaga dibantu oleh fasilitator dan pihak puskesmas. 5. Monitoring kinerja : Monitoring menggunakan peta rumah tangga sebagai bagian dari surveilans rutin. Setiap rumah tangga akan diberi Kartu Kesehatan Keluarga untuk diisi sesuai dengan keadaan dalam keluarga tersebut. Kemudian pengurus desa siaga atau kader secara berkala mengumpulkan data dari Kartu Kesehatan Keluarga untuk dimasukkan dalam peta desa. 6. Manajemen keuangan: Desa siaga akan mendapat dana hibah (block grant) setiap tahun dari DHS-2 guna mendukung kegiatannya. Besarnya sesuai dengan proposal yang diajukan dan proposal tersebut sebelumnya sudah ii



direview oleh Dewan Kesehatan Desa, kepala desa, fasilitator dan Puskesmas. Untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas, penggunaan dana tersebut harus dicatat dan dilaporkan sesuai dengan pedoman yang ada. Tahapan Pengembangan Desa Siaga Pengembangan desa siaga merupakan aktivitas yang berkelanjutan dan bersifat siklus. Setiap tahapan meliputi banyak aktivitas. 1. Pada tahap 1 dilakukan sosialisasi dan survei mawas diri (SMD), dengan kegiatan antara lain : Sosialisasi, Pengenalan kondisi desa, Membentuk kelompok masyarakat yang melaksanakan SMD, pertemuan pengurus, kader dan warga desa untuk merumuskan masalah kesehatan yang dihadapi dan menentukan masalah prioritas yang akan diatasi. 2. Pada tahap 2 dilakukan pembuatan rencana kegiatan. Aktivitasnya, terdiri dari penentuan prioritas masalah dan perumusan alternatif pemecahan masalah. Aktivitas tersebut, dilakukan pada saat musyawarah masyarakat 2 (MMD-2). Selanjutnya, penyusunan rencana kegiatan, dilakukan pada saat musyawarah masyarakat 3 (MMD-3). Sedangkan kegiatan antara lain memutuskan prioritas masalah, menentukan tujuan, menyusun rencana kegiatan dan rencana biaya, pemilihan pengurus desa siaga, presentasi rencana kegiatan kepada masyarakat, serta koreksi dan persetujuan masyarakat. 3. Tahap 3, merupakan tahap pelaksanaan dan monitoring, dengan kegiatan berupa pelaksanaan dan monitoring rencana kegiatan. 4. Tahap 4, yaitu : kegiatan evaluasi atau penilaian, dengan kegiatan berupa pertanggung jawaban. Pada pelaksanaannya, tahapan diatas tidak harus berurutan, namun disesuaikan dengan kondisi masing-masing desa/kelurahan. Indikator Keberhasilan Desa Siaga Indikator keberhasilan pengembangan desa siaga dapat diukur dari 4 kelompok indikator, yaitu : indikator input, proses, output dan outcome (Depkes, 2009). 1. Indikator Input a. Jumlah kader desa siaga. b. Jumlah tenaga kesehatan di poskesdes. c. Tersedianya sarana (obat dan alat) sederhana. d. Tersedianya tempat pelayanan seperti posyandu. e. Tersedianya dana operasional desa siaga. ii



f. Tersedianya data/catatan jumlah KK dan keluarganya. g. Tersedianya pemetaan keluarga lengkap dengan masalah kesehatan yang dijumpai dalam warna yang sesuai. h. Tersedianya data/catatan (jumlah bayi diimunisasi, jumlah penderita gizi kurang, jumlah penderita TB, malaria dan lain-lain). 2. Indikator proses a. Frekuensi pertemuan forum masyarakat desa (bulanan, 2 bulanan dan sebagainya). b. Berfungsi/tidaknya kader desa siaga. c. Berfungsi/tidaknya poskesdes. d. Berfungsi/tidaknya UKBM/posyandu yang ada. e. Berfungsi/tidaknya sistem penanggulangan penyakit/masalah kesehatan berbasis masyarakat. f. Ada/tidaknya kegiatan kunjungan rumah untuk kadarzi dan PHBS. g. Ada/tidaknya kegiatan rujukan penderita ke poskesdes dari masyarakat. 3. Indikator Output a. Jumlah persalinan dalam keluarga yang dilayani. b. Jumlah kunjungan neonates (KN2). b. Jumlah BBLR yang dirujuk. c. Jumlah bayi dan anak balita BB tidak naik ditangani. d. Jumlah balita gakin umur 6-24 bulan yang mendapat M P-AS I. e. Jumlah balita yang mendapat imunisasi. f. Jumlah pelayanan gawat darurat dan KLB dalam tempo 24 jam. g. Jumlah keluarga yang punya jamban. h. Jumlah keluarga yang dibina sadar gizi. i. Jumlah keluarga menggunakan garam beryodium. j. Adanya data kesehatan lingkungan. k. Jumlah kasus kesakitan dan kematian akibat penyakit menular tertentu yang menjadi masalah setempat. l. Adanya peningkatan kualitas UKBM yang dibina. 4. Indikator outcome a. Meningkatnya jumlah penduduk yang sembuh/membaik dari sakitnya. b. Bertambahnya jumlah penduduk yang melaksanakan PHBS. c. Berkurangnya jumlah ibu melahirkan yang meninggal dunia. d. Berkurangnya jumlah balita dengan gizi buruk. ii



Soal Latihan 1. Jelaskan konsep PHC dan penerapannya di Indonesia 2. Jelaskan konsep Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD) 3. Jelaskan Konsep Posyandu 4. Jelaskan Konsep Desa Siaga



ii



BAB XI DIFUSI DAN INOVASI



Tujuan Pembelajaran Setelah membaca bab ini mahsiswa diharapkan mampu : 1. Memahami pengertian difusi dan inovasi 2. Memahami Elemen difusi inovasi 3. Memahami Proses Adopsi Inovasi 4. Memahami Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Adopsi Inovasi 5. Memahami Tipe Keputusan Inovasi 6. Memahami Adovsi Inovasi teknologi Kesehatan



PENGERTIAN DIFUSI DAN INOVASI Difusi Inovasi terdiri dari dua padanan kata yaitu difusi dan inovasi. Rogers 1995 dalam Sciffman dan Kanuk (2010) mendefinisikan difusi sebagai (the process by which an innovation is communicated through certain channels overtime among the members of a social system), proses dimana suatu inovasi dikomunikasikan melalui saluran tertentu dalam jangka waktu tertentu di antara para anggota suatu sistem sosial, disamping itu difusi dapat dianggap sebagai suatu jenis perubahan sosial yaitu suatu proses perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi sistem sosial. ii



Inovasi adalah suatu gagasan, praktek, atau benda yang dianggap /dirasa baru oleh individu atau kelompok masyarakat. Ungkapan dianggap/dirasa baru terhadap suatu ide, praktek atau benda oleh sebagian orang, belum tentu juga pada sebagian yang lain. Kesemuanya tergantung apa yang dirasakan oleh individu atau kelompok terhadap ide, praktek atau benda tersebut. Berdasarkan kedua padanan kata di atas, maka difusi inovasi adalah suatu proses penyebar serapan ide-ide atau hal-hal yang baru dalam upaya untuk merubah suatu masyarakat yang terjadi secara terus-menerus dari suatu tempat ke tempat yang lain, dari suatu kurun waktu ke kurun waktu yang berikut, dari suatu bidang tertentu ke bidang yang lainnya kepada sekelompok anggota dari sistem sosial. ELEMEN DIFUSI INOVASI Menurut Rogers 1995 dalam Sciffman dan Kanuk (2010), bahwa proses difusi inovasi terdapat empat elemen pokok, yaitu: suatu inovasi, dikomunikasikan melalui saluran komunikasi tertentu, dalam jangka waktu dan terjadi diantara anggota-anggota suatu sistem sosial. Inovasi Inovasi adalah sesuatu ide, perilaku, produk, informasi, dan praktek-praktek baru yang belum banyak diketahui, diterima dan digunakan/diterapkan, dilaksanakan oleh sebagian besar warga masyarakat dalam suatu lokalitas tertentu, yang dapat digunakan atau mendorong terjadinya perubahan-perubahan disegala aspek kehidupan masyarakat demi selalu terwujudnya perbaikanperbaikan mutu hidup setiap individu dan seluruh warga masyarakat yang bersangkutan (Mardikanto, 1993). Inovasi adalah suatu gagasan, metode, atau objek yang dapat dianggap sebagai sesuatu yang baru, tetapi tidak selalu merupakan hasil dari penelitian mutakhir. Inovasi sering berkembang dari penelitian dan juga dari petani (Van den Ban dan H.S. Hawkins, 1999). Mosher (1978) menyebutkan inovasi adalah cara baru dalam mengerjakan sesuatu. Sejauh dalam penyuluhan kesehatan, inovasi merupakan sesuatu yang dapat mengubah kebiasaan. Segala sesuatu ide, cara-cara baru, ataupun obyek yang dioperasikan oleh seseorang sebagai sesuatu yang baru adalah inovasi. Baru di sini tidaklah semata-mata dalam ukuran waktu sejak ditemukannya atau pertama kali digunakannya inovasi tersebut. Hal yang penting adalah kebaruan ii



dalam persepsi, atau kebaruan subyektif hal yang dimaksud bagi seseorang, yang menetukan reaksinya terhadap inovasi tersebut. Dengan kata lain, jika sesuatu dipandang baru bagi seseorang, maka hal itu merupakan inovasi (Nasution, 2004). Karakteristik Inovasi Semua produk tidak mempunyai kemungkinan yang sama untuk diterima oleh konsumen, beberapa produk bisa menjadi populer hanya dalam waktu satu malam sedangkan yang lainnya memerlukan waktu yang sangat panjang untuk di terima atau bahkan tidak pernah diterima secara luas oleh konsumen. Karakteristik Produk menentukan kecepatan terjadinya proses adopsi inovasi. Kecepatan proses adopsi inovasi ditentukan oleh beberapa faktor seperti : saluran komunikasi, ciri-ciri sistem sosial, kegiatan promosi, dan peran komunikator. Menurut Schiffman dan Kanuk (2010), ada lima karakteristik produk tersebut yang dapat digunakan sebagai indikator dalam persepsi antara lain: 1. Keuntungan relatif (relative advantages), adalah merupakan tingkatan dimana suatu ide dianggap suatu yang lebih baik dari pada ide-ide yang ada sebelumnya, dan secara ekonomis menguntungkan. 2. Kesesuaian (compability), adalah sejauh mana masa lalu suatu inovasi dianggap konsisten dengan nilai-nilai yang ada, pengalaman masa lalu, dan kebutuhan adopter (penerima). Oleh karena itu inovasi yang tidak kompatibel dengan ciri-ciri sistem sosial yang menonjol akan tidak diadopsi secepat ide yang kompatibel. 3. Kerumitan (complexity), adalah suatu tingkatan dimana suatu inovasi dianggap relatif sulit dimengerti dan digunakan. Kesulitan untuk dimengerti dan digunakan, akan merupakan hambatan bagi proses kecepatan adopsi inovasi. 4. Kemungkinan untuk dicoba (trialibility), adalah suatu tingkat dimana suatu inovasi dalam skala kecil. Ide baru yang dapat dicoba dalam skala kecil biasanya diadopsi lebih cepat daripada inovasi yang tidak dapat dicoba lebih dahulu. 5. Mudah diamati (observability), adalah suatu tingkat hasil-hasil suatu inovasi dapat dengan mudah dilihat sebagai keuntungan teknis ekonomis, sehingga ii



mempercepat proses adopsi. Calon-calon pengadopsi lainnya tidak perlu lagi menjalani tahap percobaan, dapat terus ke tahap adopsi. Saluran Komunikasi Kecepatan penyebaran inovasi keseluruh pasar tergantung pada banyaknya komunikasi antara pemasar dan konsumen, maupun komunikasi antara konsumen (Schiffman dan Kanuk, 2010). Rogers dalam Mardikanto (1988) menyatakan bahwa saluran komunikasi sebagai sesuatu melalui mana pesan dapat disampaikan dari sumber kepada penerimanya. Saluran komunikasi dapat dibedakan menjadi saluran interpersonal dan media massa. Cangara (2009) menyebutkan, saluran komunikasi antar pribadi ialah saluran yang melibatkan dua orang atau lebih secara tatap muka. Mardikanto (1988) menyebutkan bahwa saluran antar pribadi merupakan segala bentuk hubungan atau perukaran pesan antar dua orang atau lebih secara langsung tatap muka, dengan atau tanpa alat bantu yang memungkinkan semua pihak yang berkomunikasi dapat memberikan respons atau umpan balik secara langsung. Rogers (1983) mendefinisikan, saluran media massa adalah alat-alat penyampai pesan yang memungkinkan sumber mencapai suatu audiens dalam jumlah besar yang dapat menembus batasan waktu dan ruang. Misalnya radio, televisi, film, surat kabar, buku, dan sebagainya. Sumber dan saluran komunikasi memberi rangsangan informasi kepada seseorang selama proses keputusan inovasi berlangsung. Seseorang pertama kali mengenal dan mengetahui inovasi terutama dari saluran media massa. Pada tahap persuasi, seseorang membentuk persepsinya terhadap inovasi dari saluran yang lebih dekat dan antar pribadi. Seseorang yang telah memutuskan untuk menerima inovasi pada tahap keputusan ada kemungkinan untuk meneruskan atau menghentikan penggunaannya (Hanafi, 1987). Komunikasi merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia sejak lahir dan selama proses kehidupannya. Tindakan komunikasi dapat terjadi dalam berbagai konteks kehidupan manusia, mulai dari kegiatan yang bersifat individu, diantara dua orang atau lebih, kelompok, keluarga, dan organisasi. Menurut Rogers dan Kincaid (1981) bahwa komunikasi merupakan suatu proses dimana partisipan membuat dan berbagi informasi satu sama lain dalam upaya mencapai saling pengertian. Djuarsa (2005) menjelaskan bahwa komunikasi memiliki beberapa ii



karakteristik yaitu komunikasi sebagai suatu proses, komunikasi sebagai upaya yang disengaja serta mempunyai tujuan, komunikasi menuntut adanya partisipasi dan kejasama dari pelaku yang terlibat, komunikasi bersifat simbolis, komunikasi bersifat transaksional dan komunikasi menembus faktor ruang dan waktu. Dalam perkembangan pemanfaatan ilmu komunikasi, telah banyak digunakan dalam bidang kesehatan. Komunikasi kesehatan adalah suatu pernyataan antar manusia yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kesehatan, baik perorangan maupun secara berkelompok yang sifatnya umum dengan menggunakan lambang-lambang tertentu seperti yang sering dijumpai pada metode penyuluhan. Kemajuan teknologi dalam masyarakat modern sangat dipengaruhi oleh lingkungan, interaksi antar perorangan maupun antar kelompok menjadi faktor penting untuk menentukan keberhasilan penyampaian informasi dalam komunikasi. Sistem Sosial Sistem sosial merupakan kumpulan unit yang berbeda secara fungsional dan terikat dalam kerjasama untuk memecahkan masalah dalam rangka mencapai tujuan bersama (Rogers, 1983). Sistem sosial adalah sejumlah kegiatan atau sejumlah orang yang mempunyai hubungan timbal balik relatif konstan. Hubungan sejumlah orang dan kegiatannya itu berlangsung terusmenerus. Sistem sosial memengaruhi perilaku manusia, karena di dalam suatu sistem sosial tercakup pula nilai-nilai dan norma-norma yang merupakan aturan perilaku anggota-anggota masyarakat. Dalam setiap sistem sosial pada tingkattingkat tertentu selalu mempertahankan batas-batas yang memisahkan dan membedakan dari lingkungannya (sistem sosial lainnya). Selain itu, di dalam sistem sosial ditemukan juga mekanisme-mekanisme yang dipergunakan atau berfungsi mempertahankan sistem sosial tersebut (Widjajati, 2010). Anggota sistem sosial dapat dibagi ke dalam kelompok-kelompok adopter (penerima inovasi) sesuai dengan tingkat keinovatifannya (kecepatan dalam menerima inovasi). Salah satu pengelompokan yang bisa dijadikan rujukan adalah pengelompokan berdasarkan kurva adopsi, (Rogers, 1983). Dalam suatu sistem sosial terdapat struktur sosial, individu atau kelompok individu, dan norma-norma tertentu. Berkaitan dengan hal ini, Rogers (1983) menyebutkan adanya empat faktor yang memengaruhi proses keputusan inovasi dalam kaitannya dengan sistem ii



sosial. Keempat faktor tersebut adalah: 1) struktur sosial, 2) norma sistem, 3) peran pemimpin; dan 4) agen perubahan. Struktur sosial (social structure) adalah susunan suatu unit sistem yang memiliki pola tertentu. Adanya sebuah struktur dalam suatu sistem sosial memberikan suatu keteraturan dan stabilitas perilaku setiap individu dalam suatu sistem sosial tertentu. Struktur sosial juga menunjukan hubungan antar anggota dari sistem sosial. Hal ini dapat dicontohkan seperti terlihat pada struktur organisasi suatu perusahaan atau struktur sosial masyarakat suku tertentu. Struktur sosial dapat memfasilitasi atau menghambat difusi inovasi dalam suatu sistem. Katz (1961) seperti dikutip oleh Rogers menyatakan bahwa sangatlah bodoh mendifusikan suatu inovasi tanpa mengetahui struktur sosial dari adopter potensialnya, sama halnya dengan meneliti sirkulasi darah tanpa mempunyai pengetahuan yang cukup tentang struktur pembuluh nadi dan arteri. Penelitian yang dilakukan oleh Rogers dan Kincaid (1981) di Korea menunjukan bahwa adopsi suatu inovasi dipengaruhi oleh karakteristik individu itu sendiri dan juga sistem sosial dimana individu tersebut berada. Norma sistem (system norms) adalah suatu pola perilaku yang dapat diterima oleh semua anggota sistem sosial yang berfungsi sebagai panduan atau standar bagi semua anggota sistem sosial. Sistem norma juga dapat menjadi faktor penghambat untuk menerima suatu ide baru. Hal ini sangat berhubungan dengan derajat kesesuaian (compatibility) inovasi dengan nilai atau kepercayaan masyarakat dalam suatu sistem sosial. Jadi, derajat ketidaksesuaian suatu inovasi dengan kepercayaan atau nilai-nilai yang dianut oleh individu atau sekelompok masyarakat dalam suatu sistem sosial berpengaruh terhadap penerimaan suatu inovasi tersebut. Peran pemimpin (opinion leaders) dapat dikatakan sebagai orang-orang berpengaruh, yakni orang-orang tertentu yang mampu memengaruhi sikap orang lain secara informal dalam suatu sistem sosial. Dalam kenyataannya, orang berpengaruh ini dapat menjadi pendukung inovasi atau sebaliknya, menjadi penentang yang berperan sebagai model dimana perilakunya baik mendukung atau menentang diikuti oleh para pengikutnya. Jadi, jelas disini bahwa orang berpengaruh memainkan peran dalam proses keputusan inovasi. Agen perubahan (change agent) adalah suatu bagian dari sistem sosial yang berpengaruh terhadap sistem sosialnya. Mereka adalah orang-orang yang mampu memengaruhi sikap orang lain untuk menerima sebuah inovasi. Tetapi ii



change agent bersifat resmi atau formal, change agent mendapat tugas dari kliennya untuk memengaruhi masyarakat yang berada dalam sistem sosialnya. Change agent atau dalam bahasa Indonesia yang biasa disebut agen perubah, biasanya merupakan orang-orang profesional yang telah mendapatkan pendidikan atau pelatihan tertentu untuk dapat memengaruhi sistem sosialnya. Fungsi utama dari change agent adalah menjadi mata rantai yang menghubungkan dua sistem sosial atau lebih. Dengan demikian, kemampuan dan keterampilan change agent berperan besar terhadap diterima atau ditolaknya inovasi tertentu. Sebagai contoh, lemahnya pengetahuan tentang karakteristik struktur sosial serta norma dalam suatu sistem sosial memungkinkan ditolaknya suatu inovasi walaupun secara ilmiah inovasi tersebut terbukti lebih unggul dibandingkan dengan apa yang sedang berjalan saat itu (Rogers dan Shoemaker, 1971). PROSES ADOPSI INOVASI Proses adopsi inovasi adalah suatu proses yang menyangkut proses pengambilan keputusan yang dipengaruhi oleh banyak faktor. Rogers dan Shoemaker (1971) memberi definisi tentang proses pengambilan keputusan untuk melakukan adopsi inovasi : the mental procees of an innovation to a decision to adopt or to reject and to comfirmation of this decition (keputusan menerima atau menolak sebuah inovasi dan konfirmasi tentang keputusan tersebut merupakan sutu proses mental). Proses adopsi inovasi memerlukan sikap mental dan konfirmasi dari setiap keputusan yang diambil oleh seseorang sebagai adopter. Menurut Soekartawi (2005), adopsi inovasi adalah merupakan sebuah proses pengubahan sosial dengan adanya penemuan baru yang dikomunikasikan kepada pihak lain, kemudian diadopsi oleh masyarakat atau sistem sosial. Inovasi adalah suatu ide yang dianggap baru oleh seseorang, dapat berupa teknologi baru, cara organisasi baru, cara pemasaran hasil pertanian baru dan sebagainya. Proses adopsi merupakan proses yang terjadi sejak pertama kali seseorang mendengar hal yang baru sampai orang tersebut mengadopsi (menerima, menerapkan, menggunakan) hal yang baru tersebut. Penerimaan atau penolakan suatu inovasi adalah keputusan yang dibuat seseorang/individu dalam menerima suatu inovasi. Menurut Rogers (1983), proses pengambilan keputusan inovasi ii



adalah proses mental dimana seseorang/individu berlalu dari pengetahuan pertama mengenai suatu inovasi dengan membentuk suatu sikap terhadap inovasi, sampai memutuskan untuk menolak atau menerima, melaksanakan ideide baru dan mengukuhkan terhadap keputusan inovasi. Pada awalnya Rogers menerangkan bahwa dalam upaya perubahan seseorang untuk mengadopsi suatu perilaku yang baru, terjadi berbagai tahapan pada seseorang tersebut, yaitu: 1. Tahap Awareness (Kesadaran), yaitu tahap seseorang tahu dan sadar ada terdapat suatu inovasi sehingga muncul adanya suatu kesadaran terhadap hal tersebut. 2. Tahap Interest (Keinginan), yaitu tahap seseorang mempertimbangkan atau sedang membentuk sikap terhadap inovasi yang telah diketahuinya tersebut sehingga ia mulai tertarik pada hal tersebut. 3. Tahap Evaluation (Evaluasi), yaitu tahap seseorang membuat putusan apakah ia menolak atau menerima inovasi yang ditawarkan sehingga saat itu ia mulai mengevaluasi. 4. Tahap Trial (Mencoba), yaitu tahap seseorang melaksanakan keputusan yang telah dibuatnya sehingga ia mulai mencoba suatu perilaku yang baru. 5. Tahap Adoption (Adopsi), yaitu tahap seseorang memastikan atau mengkonfirmasikan putusan yang diambilnya sehingga ia mulai mengadopsi perilaku baru tersebut. Dari pengalaman di lapangan ternyata proses adopsi tidak berhenti segera setelah suatu inovasi diterima atau ditolak. Kondisi ini akan berubah lagi sebagai akibat dari pengaruh lingkungan penerima adopsi. Oleh sebab itu, Rogers (1983) merevisi kembali teorinya tentang keputusan tentang inovasi yaitu : Knowledge (pengetahuan), Persuasion (persuasi), Decision (keputusan), Implementation (pelaksanaan), dan Confirmation (konfirmasi). 1. Tahap pengetahuan. Dalam tahap ini, seseorang belum memiliki informasi mengenai inovasi baru. Untuk itu informasi mengenai inovasi tersebut harus disampaikan melalui berbagai saluran komunikasi yang ada, bisa melalui media elekt ronik, media cetak, maupun komunikasi interpersonal diantara masyarakat. Tahapan ini juga dipengaruhi oleh beberapa karakteristik dalam pengambilan keputusan, yaitu karakteristik sosial-ekonomi, nilai-nilai pribadi dan pola komunikasi. ii



2. Tahap persuasi. Pada tahap ini individu tertarik pada inovasi dan aktif mencari informasi/detail mengenai inovasi. Tahap kedua ini terjadi lebih banyak dalam tingkat pemikiran calon pengguna. Inovasi yang dimaksud berkaitan dengan karakteristik inovasi itu sendiri, seperti: Kelebihan, inovasi, tingkat keserasian, kompleksitas, dapat dicoba dan dapat dilihat. 3. Tahap pengambilan keputusan. Pada tahap ini individu mengambil konsep inovasi dan menimbang keuntungan/kerugian dari menggunakan inovasi dan memutuskan apakah akan mengadopsi atau menolak inovasi. 4. Tahap implementasi. Pada tahap ini mempekerjakan individu untuk inovasi yang berbedabedatergantung pada situasi. Selama tahap ini individu menentukan kegunaan dari inovasi dan dapat mencari informasi lebih lanjut tentang hal itu. 5. Tahap konfirmasi. Setelah sebuah keputusan dibuat, seseorang kemudian akan mencari pembenaran atas keputusan mereka. Tidak menutup kemungkinan seseorang kemudian mengubah keputusan yang tadinya menolak jadi menerima inovasi setelah melakukan evaluasi. Proses pengambilan keputusan inovasi dapat dilihat pada gambar berikut : Rogers dan Shoemaker (1971) mengatakan bahwa komunikasi sangat esensial dalam perubahan sosial dan meliputi tiga tahap yang berurutan yaitu: invensi, adalah suatu proses dimana ide baru diciptakan dan dikembangkan, difusi, yaitu proses dimana ide baru tersebut dikomunikasikan ke dalam sistem sosial, dan konsekuensi, yaitu berbagai pengubahan yang terjadi dalam suatu sistem sosial sebagai akibat pengadopsian atau penolakan inovasi. Perubahan sosial merupakan proses dimana terjadi pergantian struktur dan fungsi dalam sistem sosial, perubahan tersebut dapat bersifat immanen (dari dalam) dan dapat bersifat contact (dari luar). Dalam proses difusi inovasi adalah sebagai kegiatan mengkomunikasikan inovasi melalui saluran-saluran tertentu pada saat tertentu di antara anggota-anggota suatu sistem sosial yang mencakup teknologi, produk baru dan ide-ide baru.



ii



Gambar 11.1 Model Proses Pengambilan Keputusan Inovasi (Rogers, 1983)



FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ADOPSI INOVASI TEKNOLOGI Secara umum, tingkat adopsi dipengaruhi oleh lima faktor yakni persepsi terhadap keunggulan relatif produk baru dibandingkan produk atau metode metode yang sudah ada; kompatibilitas, artinya kesesuaian dengan nilai-nilai yang ada dan pengalaman konsumen di masa lalu; kompleksitas, yakni sejauh mana inovasi atau produk baru mudah dipahami dan digunakan; divisibility, menyangkut kemampuan produk untuk diuji dan digunakan secara terbatas tanpa biaya besar (berkaitan dengan kuantitas pembelian, ukuran penyajian dan porsi produk); communicability, yaitu sejauh mana manfaat inovasi atau nilai produk bisa dikomunikasikan kepada pasar potensial (Tjiptono dan Chandra, 2012). Mardikanto (1993) menyatakan bahwa kecepatan adopsi dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu : sifat inovasinya sendiri, baik sifat intrinsik yang melekat pada inovasinya sendiri maupun sifat ekstrinsik yang dipengaruhi oleh keadaan lingkungan, sifat sasarannya, cara pengambilan keputusan, saluran komunikasi ii



yang digunakan, keadaan penyuluh. Berkaitan dengan kemampuan penyuluh untuk berkomunikasi, perlu juga diperhatikan kemampuan berempaati atau kemampuan untuk merasakan keadaan yang sedang dialami atau perasaan orang lain, dan ragam sumber informasi. Cees (2004) menyebutkan, terdapat beberapa variabel/faktor penjelas yang mempengaruhi kecepatan adopsi suatu inovasi. Variabel-variabel tersebut antara lain adalah : 1. Keuntungan relatif (relative advantage) Keuntungan-keuntungan relatif yaitu apakah cara-cara atau gagasan baru ini memberikan suatu keuntungan relatif daripada inovasi sebelumnya. Sejalan dengan hal tersebut, Mardikanto (1993) menyebutkan bahwa sebenarnya keuntungan tersebut tidak hanya terbatas pada keuntungan dalam arti ekonomi, tetapi mencakup: a. Keuntungan teknis, yang berupa : produktivitas tinggi, ketahanan terhadap risiko kegagalan dan berbagai gangguan yang menyebabkan ketidak-berhasilannya. b. Keuntungan ekonomis, yang berupa: biaya lebih rendah, dan atau keuntungan yang lebih tinggi. c. Kemanfaatan sosial-psikologis, seperti: pemenuhan kebutuhan fisiologis (pangan), kebutuhan psikologis (pengakuan/ penghargaan dari lingkungannya, kepuasan, dan rasa percaya diri), maupun kebutuhankebutuhan sosiologis (pakaian, papan, status sosial dan lain-lain). 2. Keserasian (compatibility); yaitu apakah inovasi mempunyai sifat lebih sesuai dengan nilai yang ada, pengalaman sebelumnya, dan kebutuhan yang diperlukan penerima. 3. Kerumitan (complexity) ; yakni apakah inovasi tersebut dirasakan rumit, mudah untuk dimengerti dan disampaikan manakala cukup sederhana, baik dalam arti mudahnya bagi komunikator maupun mudah untuk dipahami dan dipergunakan oleh komunikasinya. 4. Dapat dicobakan (triability); yaitu suatu inovasi akan mudah diterima apabila dapat dicoba dalam ukuran kecil. 5. Dapat diamati (observability) ; jika suatu inovasi dapat disaksikan dengan mata.



ii



TIPE KEPUTUSAN INOVASI Wayne Lamble dalam Ibrahim et al (2003) menyatakan bahwa tingkat adopsi suatu inovasi sangat dipengaruhi oleh oleh keputusan untuk mengadopsi atau menolak suatu inovasi. Tipe keputusan ini diklasifikasikan menjadi : 1. Keputusan opsional, yaitu keputusan yang dibuat seseorang dengan mengabaikan keputusan yang dilakukan orang-orang lainnya dalam suatu sistem sosial. Dalam kaitannya dengan hubungan individual antara penyuluh dengan adopter. Penyuluh berperan sebagai akseleran pengambilan keputusan secara opsional. 2. Keputusan kolektif, yaitu keputusan yang dilakukan individu-individu dalam suatu sistem sosial yang telah dimufakati atau disetujui bersama. 3. Keputusan otoritas, yaitu keputusan yang dipaksakan oleh seseorang yang memiliki kekuasaan lebih besar kepada individu lainnya. Hanafi (1987) menyatakan bahwa tipe keputusan inovasi mempengaruhi kecepatan adopsi. Secara umum kita dapat mengharapkan bahwa inovasi yang diputuskan secara otoritas akan diadopsi lebih cepat karena orang yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan inovasi lebih sedikit. Akan tetapi, jika bentuk keputusan itu tradisional mungkin tempo adopsinya juga lebih lambat. Keputusan opsional biasanya lebih cepat daripada keputusan kolektif, tetapi lebih lambat daripada keputusan otoritas. Barangkali yang paling lambat adalah tipe keputusan kontingen karena harus melibatkan keputusan inovasi atau lebih. ADOPSI INOVASI TEKNOLOGI KESEHATAN Adopsi inovasi di bidang kesehatan adalah merupakan hasil dari kegiatan suatu komunikasi kesehatan dan karena komunikasi itu melibatkan interaksi sosial di antara masyarakat, maka proses adopsi inovasi terkait dengan pengaruh interaksi antar individu, antar kelompok, angota masyarakat atau kelompok masyarakat, juga dipengaruhi oleh interaksi antar kelompok dalam masyarakat. Proses adopsi inovasi Kesehatan yang terjadi pada kelompok/ masyarakat pada prinsipnya adalah kumlatif dari adopsi individual, sehingga tahapan-tahapan adopsi inovasi individual juga berlaku bagi tahapan adopsi inovasi kelompok (Soekartawi, 2005). Menurut Rogers dalam (Sciffman dan Kanuk 2010) cepat tidaknya proses adopsi inovasi teknologi baru dapat dikategorikan berdasarkan suatu kurva yang mendistribusi normal. ii



Klasifikasi tingkat kecepatan adopsi inovasi dibagi dalam 5 kelompok yakni: 1) perintis (innovators), 2) pelopor (early adopters), 3) penganut dini atau mayoritas awal (early mayority), 4) penganut akhir atau mayoritas akhir (late mayority) dan 5) kolot (laggard). Berdasarkan distribusi frekuensi normal dengan menggunakan standar deviasi sebagai pembagi, menghasilkan daerah yang terletak sebelah kiri mean meliputi 2,5 persen individu yang pertama kali mengadopsi suatu inovasi disebut perintis, 13,5 persen berikutnya disebut pelopor, 34 persen berikutnya disebut pengikut dini, 34 persen berikutnya disebut pengikut akhir dan 16 persen berikutnya disebut pengikut kolot.



Gambar : 11.2 Klasifikasi Tingkat Kecepatan Adopsi Inovasi (Rogers, 1983)



Lebih lanjut Rogers dalam Sciffman dan Kanuk (2010), mengemukakan bahwa sebelum inovasi diterima oleh masyarakat, selalu ditemui pemuka pendapat yang sering bertindak sebagai pemegang kunci pintu atau penyaring terhadap inovasi-inovasi yang akan tersebar ke dalam sistem sosial. Tiap kelompok adopter digambarkan oleh ciri-ciri pokok sebagai pembandingan antara anggota sistem yang lebih inovatif dengan yang kurang inovatif dan antara inovator dengan yang kolot dan sebagainya. ii



CIRI CIRI ADOPTER : Tidak semua orang mempunyai kemampuan adopsi yang sama terhadap suatu inovasi. Ini dipengaruhi juga oleh ciri ciri individu tersebut sehingga terdapat perbedaan dalam keterbukaan dan kecepatannya untuk mengadopsi hal hal baru. Dari penelitian penelitian yang dilakukan diberbagai negara terhadap penerimaan suatu inovasi baru (terutama dalam bidang pertanian), Gwyn Jones (1972) membedakan ciri-ciri dari tiap kategori adopter berdasarkan ciri-ciri individu, sifat hubungan sosial dan perilaku komunikasi. Innovators



Sekitar 2,5% Individu yang pertama kali mengadopsi inovasi. Cirinya: petualang, berani mengambil resiko, mobile, cerdas, kemampuan ekonomi tinggi



Early Adopters (Perintis/Pelopor):



Sekitar 13,5% yang menjadi para perintis dalam penerimaan inovasi. Cirinya: para teladan (pemuka pendapat), orang yang dihormati, akses di dalam tinggi



Early Majority (Pengikut Dini)



34% yang menjadi para pengikut awal. Cirinya: penuh pertimbangan, interaksi internal tinggi.



Late Majority (Pengikut Akhir)



34% yang menjadi pengikut akhir dalam penerimaan inovasi. Cirinya: skeptis, menerima karena pertimbangan ekonomi atau tekanan sosial, terlalu hati-hati.



Laggards (Kelompok Kolot/Tradisional)



16% terakhir adalah kaum kolot/tradisional. Cirinya: tradisional, terisolasi, wawasan terbatas, bukan opinion leaders,sumberdaya terbatas.



ii



Soal Latihan 1. Sebutkan pengertian difusi dan inovasi 2. Jelaskan elemen difusi inovasi 3. Jelaskan proses adopsi inovasi 4. Sebutkan dan jelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi inovasi 5. Jelaskan tipe keputusan inovasi 6. Jelaskan adovsi inovasi teknologi kesehatan



ii



BAB XII LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT



Tujuan Pembelajaran Setelah membaca bab ini mahsiswa diharapkan mampu : 1. Memahami pengertian LSM 2. Memahami Jenis dan Kategori LSM 3. Memahami Tujuan LSM 4. Memahami Tugas Pokok LSM 5. Memahami Fungsi LSM 6. Memahami Prinsip-Prinsip Keberadaan dan Operasional LSM 7. Memahami Model Hubungan Antara LSM dengan Pemerintah 8. Memahami Peran LSM Dalam Pemberdayaan Masyarakat PENDAHULUAN Indonesia adalah Negara berkembang yang sedang melaksanakan program pembangunan di segala bidang. Kelesuan ekonomi yang melanda dunia ditambah lagi dengan krisis moneter tahun 1997, membuat Indonesia semakin terpuruk khusunya pembangunan ekonomi. Pemerintah mengalami penurunan kemampuan dalam membiayai proyek pembangunan, sehingga banyak kegiatan pembangunan harus dikaji ulang atau bahkan terhenti sama sekali. Di masa lalu sumber-sumber dana melimpah telah memungkinkan pemerintah untuk memainkan peranan sebagai pemrakarsa pembangunan. Melalui strategi pembangunan yang tersentralisasi, cenderung padat modal dan berorientasi



ii



pertumbuhan, pemerintah hendak merealisasi gagasan yang mendasari teori “penetesan ke bawah” (Trickle Down Effect). Pada era 70-an, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) muncul dan memberi warna terhadap strategi pembangunan Indonesia. LSM tampil sebagai penganjur pembangunan alternatif yang didasari keyakinan „bahwa masyarakat memiliki potensi”, terutama pada masyarakat miskin (baik di kota maupun di desa). LSM berusaha menggali potensi laten masyarakat ini, dengan strategi “grass roots” (akar rumput), yang pada masa lalu tidak tersentuh oleh strategi penetesan ke bawah. Perkembangan selanjutnya menunjukkan tumbuh subur berdiri LSM dimanamana, dimana hal ini mendapat pujian sekaligus kritikan. Di era reformasi, LSM turut berperan sebagai pengontrol kebijakan pemerintah, sebut saja seperti ICW (Indonesian Corruption Watch), GOWA (Government Watch), dan YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia). LSM ini dengan jeli selalu mengkritisi segala kebijakan yang merugikan rakyat. Untuk melihat apa dan bagaimana sosok LSM sebenarnya, perkembangan dan kondisinya saat ini, akan dijelaskan melalui uraian berikut. PENGERTIAN LSM Lembaga swadaya masyarakat (disingkat LSM) adalah sebuah organisasi yang didirikan oleh perorangan ataupun sekelompok orang yang secara sukarela yang memberikan pelayanan kepada masyarakat umum tanpa bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari kegiatannya. Lembaga Swadaya Masyarakat adalah organisasi non-pemerintah yang independen dan mandiri, dan karena itu bukan merupakan bagian atau berafiliasi dengan lembaga-lembaga negara dan pemerintahan. Lembaga Swadaya Masyarakat adalah organisasi non-partisan dan karena itu tidak merupakan bagian atau berafiliasi dengan partai-partai politik dan tidak akan menjalankan politik praktis dalam arti mengejar kekuasaan. Organisasi ini dalam terjemahan harfiahnya dari Bahasa Inggris dikenal juga sebagai Organisasi non pemerintah (disingkat ornop atau ONP (Bahasa Inggris: non-governmental organization; NGO). Organisasi tersebut bukan menjadi bagian dari pemerintah, birokrasi ataupun negara. Maka secara garis besar organisasi non pemerintah dapat di lihat dengan ciri sebagai berikut : ii



Organisasi ini bukan bagian dari pemerintah, birokrasi ataupun negara Dalam melakukan kegiatan tidak bertujuan untuk memperoleh keuntungan (nirlaba) 3) Kegiatan dilakukan untuk kepentingan masyarakat umum, tidak hanya untuk kepentingan para anggota seperti yang di lakukan koperasi ataupun organisasi profesi Berdasarkan Undang-undang No.16 tahun 2001 tentang Yayasan, maka secara umum organisasi non pemerintah di Indonesia berbentuk yayasan. 1) 2)



JENIS DAN KATEGORI LSM Secara garis besar dari sekian banyak organisasi non pemerintah yang ada dapat di kategorikan sebagai berikut : 1) Organisasi donor : Adalah organisasi non pemerintah (ornop) yang memberikan dukungan biaya bagi kegiatan ornop lain. Lembaga yang mengumpulkan dana untuk dapat disalurkan kepada lembaga dan masyarakat yang membutuhkan. Dalam fungsinya sebagai lembaga donor, LSM dimungkinkan untuk diberi kepercayaan oleh masyarakat mengemban tugas tertentu. Seperti tempat penggalangan dana untuk korban bencana alam, penggalangan dana dan sembako ketika hari raya keagamaan dan lain-lain. Dalam fungsi ini mungkin saja LSM melakukan kesalahan-kesalahan ataupun penyelewengan. Disinilah dituntut tanggung jawab dan juga transparansi LSM dalam melakukan tugasnya. Contoh LSM yang berbentuk seperti ini di Indonesia seperti, Lembaga Pundi Amal, Tali Kasih Indonesia, dan lain-lain. 2) Organisasi mitra pemerintah: Adalah organisasi non pemerintah yang melakukan kegiatan dengan bermitra dengan pemerintah dalam menjalankan kegiatanya. Lembaga ini bekerja sama dengan pemerintah dalam menjalankan program-program pemerintah. Dana yang digunakan bisa berasal dari pemerintah atau dari lembaga donor lainnya. Ibarat simbiosis mutualisme, peran Pemerintah dan LSM disini saling bantu membantu dan melengkapi satu sama lain. LSM melakukan identifikasi di lapangan yang riil terhadap kebijakan yang akan dilakukan Pemerintah. Sedangkan Pemerintah atau lembaga donor lainnya memberikan kucuran dana dan teknis pelaksanaan kepada LSM tersebut. Sehingga ada balancing policy antara LSM dan Pemerintah. Contoh LSM seperti ini adalah Lembaga ii



Pangan Independent (LPI) yang biasa menyalurkan pupuk dan benih kepada petani dan Indonesia. 3)



Organisasi profesional : Adalah organisasi non pemerintah yang melakukan kegiatan berdasarkan kemampuan profesional tertentu seperti ornop pendidikan, ornop bantuan hukum, ornop jurnalisme, ornop kesehatan, ornop pengembangan ekonomi dll atau lembaga yang bekerja berdasarkan satu isu berkaitan dengan profesi tertentu, misalnya kesehatan, ekonomi, HAM, kriminalitas, dan lainnya. Lembaga ini punya andil yang besar dalam mengusut dan juga menginvestigasi kasus-kasus yang berkaitan tentang suatu permasalahan. Contohnya, ketika kasus pembunuhan aktivis HAM Munir, dibentuk sebuah LSM yang bertugas mencari fakta tentang kasus tersebut. Beberapa waktu kemudian LSM ini diubah fungsinya oleh Pemerintah sehingga menjadi sebuah organisasi independent yang biayanya ditanggung Pemerintah. Contoh lainnya adalah LSM Peduli Rakyat Lapindo (PRL) yang dengan sukarela membantu korban bencana Lumpur Lapindo di Sidoarjo, dengan menggalang dana dan menyalurkan dana tersebut kepada masyarakat Korban bencana.



4)



Organisasi oposisi: Adalah organisasi non pemerintah yang melakukan kegiatan dengan memilih untuk menjadi penyeimbang dari kebijakan pemerintah. Ornop ini bertindak melakukan kritik dan pengawasan terhadap keberlangsungan kegiatan pemerintah. Lembaga yang menjadi oposisi pemerintahan dan mengkritik kebijakan pemerintah dan menjalankan program berdasarkan kritik tersebut atau alternatif lainnya. LSM semacam bisa kita ambil contoh seperti ICW (Indonesian Corruption Watch) yang biasa menginvestigasi dan mengkritik kasus-kasus korupsi yang dilakukan baik oleh birokrat maupun anggota legislatif (DPR).



TUJUAN LSM LSM bertujuan memberdayakan seluruh potensi yang ada dalam masyarakat dengan menumbuhkan prakarsa serta mengerakkan swadaya gotong-royong masyarakat dalam pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. ii



TUGAS POKOK LSM 1) Sebagai wadah yang menampung, memproses, mengelola dan atau 2) Melaksanakan semua bentuk aspirasi masyarakat dalam bidang pembangunan 3) Menumbuh kembangkan jiwa dan semangat serta memberdayakan masyarakat dalam pembangunan 4) Melaksanakan, mengendalikan, dan mengawasi serta memotivasi masyarakat secara dalam memelihara hasil pembangunan secara berkesinambungan 5) Turut serta menciptakan suasana yang kondusif; FUNGSI LSM 1) Wadah penyalur kegiatan sesuai dengan kepentingan anggotanya; 2) Wadah pembinaan dan pengembangan anggotanya dalam usaha mewujudkan tujuan organisasi; 3) Wadah peran serta dalam usaha mensukseskan pembangunan Nasional; 4) Sarana penyalur aspirasi anggota dan atau masyarakat dan sebagai sarana komunikasi sosial timbal balik antara anggota dan atau antara organisasi kemasyarakatan dengan organisasi kekuatan sosial politik, badan permusyawaratan perwakilan rakyat, dan pemerintah; PRINSIP-PRINSIP KEBERADAAN DAN OPERASIONAL LSM 1) Integritas 2) Transparansi 3) Independensi 4) Anti Kekerasan 5) Kesetaraan Gender 6) Keuangan MODEL HUBUNGAN ANTARA LSM DENGAN PEMERINTAH LSM dan pemerintah mengalami pasang surut, dari hubungan yanng bersifat cooperative dan partnership hingga hubungan yang bersifat conflictual. James V. Ryker menyebutkan ada model hubungan atau pola re;asi antara LSM dengan pemerintah yaitu : 1. Autonomous/Benign Neglect. ii



2.



3.



4.



5.



Dalam pola relasi ini pemerintah tidak menganggap LSM sebagai ancaman, karena itu membiarkan LSM bekerja independen dan mandiri. Fasilitation/Promomotion Pemerintah menganggap kegiatan LSM sebagai sesuatu yang bersifat komplementer. Pemerintah yang menyiapkan suasana yang mendukung bagi LSM untuk beroperasi. Tidak jarang pula pemerintah mendukung dengan menyediakan fasilitas dana, peraturan dan pengakuan hukum serta hal-hal yang bersifat administratif lainnya. Collaboration/Cooperation Pemerintah menganggap, bahwa kerjasama dengan kalangan LSM merupakan sesuatu yang menguntungkan. Karena dengan kerjasama semua potensi dapat disatukan guna mencapai suatu tujuan bersama. Cooptation/Absorption Pemerintah mencoba menjaring dan mengarahkan kegiatan LSM dengan menatur segala aktifitas mereka. Untuk itu kalangan LSM harus memenuhi ketentuan yang dikeluarkan pemerintah. Tidak jarang pemerintah melakukan kontrol secara aktif. Containment/Sabotage/Dissolution Pemerintah melihat LSM sebagai tantangan bahkan ancaman sehingga pemerintah mengambil langkah tertentu untuk membatasi ruang gerak LSM atau bahkan membubarkan LSM yang dianggap melanggar



PERAN LSM DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Pemberdayaan Masyarakat Payne (1997) menjelaskan, bahwa pemberdayaan pada hakekatnya bertujuan untuk membantu klien mendapatkan daya, kekuatan, dan kemampuan untuk mengambil keputusan dan tindakan yang akan dilakukan dan berhubungan dengan diri klien tersebut, termasuk mengurangi kendala pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Orang-orang yang telah mencapai tujuan kolektif diberdayakan melalui kemandiriannya, bahkan merupakan “keharusan” untuk lebih diberdayakan melalui usaha mereka sendiri dan akumulasi pengetahuan, ketrampilan, serta sumber lainnya dalam rangka mencapai tujuan tanpa tergantung pada pertolongan dari hubungan eksternal. Empowerment atau pemberdayaan secara singkat dapat diartikan, sebagai upaya untuk memberikan kesempatan dan kemampuan kepada kelompok masyarakat untuk berpartisipasi, bernegoisasi, mempengaruhi, dan mengendalikan kelembagaan masyarakat ii



secara bertanggung jawab demi perbaikan kehidupannya. Pemberdayaan juga diartikan sebagai upaya untuk memberikan daya (empowerment) atau kekuatan (strength) kepada masyarakat. Sulistiyani (2004) menjelaskan, bahwa tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan masyarakat adalah untuk membentuk individu dan masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian tersebut meliputi kemandirian berpikir, bertindak, dan mengendalikan apa yang mereka lakukan. Kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi yang dialami oleh masyarakat yang ditandai dengan kemampuan memikirkan, memutuskan, serta melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan masalah yang dihadapi dengan mempergunakan daya atau kemampuan yang dimiliki. Ditinjau dari lingkup dan objek, pemberdayaan mencakup beberapa aspek, yaitu: 1) Peningkatan kepemilikan aset (Sumber daya fisik dan finansial) serta kemampuan secara individual maupun kelompok untuk memanfaatkan aset tersebut demi perbaikan kehidupan mereka. 2) Hubungan antar individu dan kelompok, kaitannya dengan pemilikan aset dan kemampuan memanfaatkannya. 3) Pemberdayaan dan reformasi kelembagaan. 4) Pengembangan jejaring dan kemitraan-kerja, baik di tingkat lokal, regional, maupun global. Peran LSM dalam Pemberdayaan Masyarakat Keadaan sosial di Indonesia masih menjadi masalah utama dalam pemerintahan Indonesia, seperti kemiskinan ataupun kelaparan. Tak hanya itu, masalah yang terjadi secara alami pun menjadi penyebab keadaan sosial yang buruk, sebut saja bencana alam yang sering terjadi seperti halnya banjir, tanah longsor, atau pun tsunami. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh ulah tangan manusia yang tidak dapat melestarikan alam. Pemberdayaan masyarakat miskin atau kurang mampu tidak dapat dilakukan dengan hanya melalui program peningkatan produksi, tetapi juga pada upaya peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat miskin. Terkait dengan upaya tersebut, maka keberadaan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) menjadi sangat penting untuk melakukan sinergi dengan lembaga pemerintah. Dalam proses pendampingan pemberdayaan masyarakat miskin, LSM masih menghadapi kendala baik eksternal maupun internal. Peran LSM di Indonesia mengalami perkembangan dan transformasi fungsi, sesuai dengan paradigma ii



pembangunan. Kondisi dan paradigma yang ada saat ini, adalah terbukanya era globalisasi ekonomi yang diwujudkan dengan adanya proses internasional produksi, perdagangan, dan pasar uang. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) merupakan organisasi jasa sukarelawan untuk membantu sesama dalam mengurangi masalah sosial seperti kemiskinan. Organisasi jasa sukarelawan ini termasuk ke dalam organisasi nirlaba atau organisasi non profit. Organisasi nirlaba atau organisasi non profit, adalah suatu organisasi yang bersasaran pokok untuk mendukung suatu isu atau perihal di dalam menarik perhatian publik untuk suatu tujuan yang tidak komersil, tanpa ada perhatian terhadap hal-hal yang bersifat mencari laba (moneter). Dalam hal peranannya sebagai organisasi yang mempunyai peran non-politik, LSM dinilai mampu melakukan pemberdayaan kepada masyarakat dalam hal penanggulangan kemiskinan. Beberapa LSM tahun 70-an yang terus senantiasa aktif melakukan pendampingan dan pemberdayaan terhadap masyarakat lemah atau miskin, adalah YLBHI, INFID, LP3ES, WALHI, JPPR, YTBI, dan lain-lain. Permasalahan utama yang sangat mendasar dalam hal pemberdayaan masyarakat oleh LSM adalah stigma LSM yang tumbuh disebagian benak masyarakat yang masih menaruh curiga terhadap kehadiran dan aktivitas dari LSM. Pada satu sisi LSM dipersepsikan alat bagi neo liberalisme atau agen Negara Asing, hal ini dikarenakan sebagian besar dana kegiatan-kegiatan yang dilakukan LSM di Indonesia didanai oleh negara asing dan tentunya ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh NGO untuk memperoleh dana tersebut. Disisi lain, sampai saat ini tidak ada mekanisme pertanggungjawaban LSM terhadap masyarakat. Sampai saat ini, peran pemerintah dalam pemberdayaan masyarakat masih terbatas dan belum mampu sepenuhnya dalam penanggulangan kemiskinan. Disinilah perlunya peran dan keterlibatan LSM dalam melaksanakan program dan pemberdayaan masyarakat. Untuk itu, diperlukan pula reposisi LSM di tengah masyarakat dalam pemberdayaan masyarakat dalam bentuk: 1) LSM perlu memfasislitasi tumbuh kembangnya kelembagaan rakyat yang kuat, yang bersifat sektoral, seperti pada organisasi buruh, petani, masyarakat adat, dan lain-lain. 2) LSM perlu tampil ke publik luas, dalam arti semakin “go public” ke masyarakat, sehingga posisi dan perannya mampu lebih dirasakan oleh masyarakat. Ini bisa dilakukan melalui penyebaran brosur, pertemuan ii



dengan masyarakat, kerja sama dengan media cetak elektronik seluasluasnya. 3) LSM perlu semakin aktif dalam membangun hubungan dengan berbagai elemen masyarakat sipil lainnya. Seperti media massa, mahasiswa, serikat buruh, petani, dan partai politik dengan tetap mengedepankan nilai dan sikap non-partisan. 4) Perlunya penguatan LSM sebagai sebuah entitas dan komunitas yang spesifik didalam masyarakat sipil, dan penguatan institusionalisasi LSM dalam hal eksistensi, sumber daya manusia, sarana, dana, dan manajemen. LSM juga perlu lebih membuka diri untuk menjadi organisasi yang lebih berakar di masyarakat. 5) LSM juga dituntut untuk senantiasa membenahi kondisi internal dalam tubuh. Organisasinya, mengingat ini seringkali tidak diperlihatkan dalam forum evaluasi oleh LSM yang bersangkutan. Indikator paling kuat untuk menilai efektivitas dan kesuksesan suatu LSM, adalah kualitas layanan mereka, yaitu layanan yang sesuai diberikan dalam suatu pembiayaan yang selalu efisien. Dalam membangun hubungan kerjasama yang positif dalam konteks yang lebih besar, LSM harus dikenal oleh pihak-pihak yang tepat di dalam suatu masyarakat, menjaga kinerjanya, serta memperluas pengaruhnya melalui kerjasama dengan pemerintah, jaringan donor, dan LSM lain yang bekerja dalam sektor dan wilayah yang sama. LSM mempunyai peran yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia, karena lembaga tersebut mempunyai kedekatan yang lebih terhadap masyarakat sekitarnya. Peran LSM tersebut antara lain : 1) Memberikan informasi satu arah misalnya lewat media masa, poster, pembagian dokumen lewat pemda, dsb. 2) Memberikan pertukaran informasi dua arah yang melibatkan masyarakat: kunjungan kedesa atau rumah dan Tanya jawab, pertemuan khusus dengan peserta-peserta yang diundang, pengumpulan pendapat, dan pengetahuan dengan metode belajar bersama, bertindak bersama. 3) Masyarakat mendapatkan media sebagai penyalur inspirasinya yang dapat diperjuangkan sekuat tenaga dengan dukungan LSM dan pihak-pihak terkait. 4) Masyarakat lebih mengenal lebih dekat LSM, bahwa pada saat ini ada ratusan, bahkan ribuan LSM dengan full-timer. Bahkan ada yang lebih besar organisasinya dengan ratusan tenaga full-timer. Ada yang bekerja langsung ii



melayani masyarakat kecil dengan memperkuat kemampuan mereka. Ada yang mengkhususkan kegiatan memperjuangkan kebijakan yang menguntungkan masyarakat bawah. Ada pula yang berusaha menjembatani berbagai sektor : yang kuat dengan yang lemah, yang formal dengan non formal, inti dan plasma, tradisional dan modern dan lain-lain. Dan ada pula yang melaksanakan hal-hal tersebut secara serempak. Sedang bidang kegiatan LSM saat ini meliputi kegiatan yang cukup luas, meliputi bidangbidang lingkungan hidup, konsumen, bantuan hukum, pendidikan dan latihan, perhutanan sosial, pengairan, koperasi, penerbitan, kesehatan, dan keluarga berencana, dan pengembangan pedesaan dan pertanian dan lain-lain. Kemudian dapat disusun program-program pengembangan yang merupakan peran LSM untuk mendorong keberhasilan penyelenggaraan kelompok swadaya. Berdasarkan pengalaman, ada 5 program pengembangan yang dapat disusun untuk mendorong keberhasilan kelompok swadaya yang disalurkan melalui tenaga-tenaga pendamping kelompok, yaitu: 1. Program Pengembangan Sumber Daya Manusia, meliputi berbagai kegiatan pendidikan dan latihan baik pendidikan dan latihan untuk anggota maupun untuk pengurus yang mencakup pendidikan dan letihan tentang ketrampilan mengelola kelembagaan kelompok, ketrampilan teknik produksi, maupun ketrampilan mengelola usaha. 2. Program Pengembangan Kelembagaan Kelompok, dengan membantu menyusun peraturan rumah tangga, mekanisme organisasi, kepengurusan, administrasi dan lain sebagainya. 3. Program Pemupukan Modal Swadaya, dengan membangun sistem tabungan dan kredit anggota serta menghubungkan kelompok swadaya tersebut dengan lembaga-lembaga keuangan setempat untuk mendapatkan manfaat bagi pemupukan modal lebih lanjut. 4. Program Pengembangan Usaha, baik produksi maupun pemasaran, dengan berbagai kegiatan studi kelayakan, informasi pasar, organisasi produksi dan pemasaran dan lain-lain. 5. Program Penyediaan Informasi Tepat Guna, sesuai dengan kebutuhan kelompok swadaya dengan berbagai tingkat perkembangannya. Informasi ini dapat berupa eksposure program, penerbitan buku-buku maupun majalahmajalah yang dapat memberikan masukan-masukan yang mendorong inspirasi ke arah inovasi usaha lebih lanjut. ii



Membawakan peran nyata dalam masyarakat untuk menumbuhkan kesadaran pembangunan, baik dalam pertanian dan pedesaan, dengan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan tersebut diatas, keberadaan LSM yang banyak itu akan berdampak positif seperti antara lain : Dampak dalam Aspek Sosial Melalui proses pendidikan yang diberikan kepada kelompok swadaya diharapkan wawasan pemikiran mereka pun semakin meningkat; sehingga mempunyai kemampuan untuk memikirkan banyak alternatif dalam usaha mencukupi kebutuhan hidup. Peningkatan pendidikan yang terjadi pada kelompok swadaya dapat melalui dua jalur, yaitu secara langsung dan tidak langsung. Peningkatan pendidikan secara langsung terjadi apabila kelompok swadaya mendapatkan penyuluhan, pelatihan, konsultasi, dan sebagainya. Sedangkan, peningkatan pendidikan secara tidak langsung terjadi sejalan dengan terintegrasinya orangorang desa dalam suatu kelompok swadaya. Melalui kelompok tersebut setiap anggota berinteraksi menumbuhkan kesadaran akan posisi mereka. Penyadaran diri merupakan langkah awal untuk memulai memikirkan alternatif-alternatif baru yang mungkin dapat ditempuh dalam usaha memperbaiki tingkat kehidupan. Di samping itu, dengan adanya kesadaran akan posisi yang dimilikinya menyebabkan kelompok swadaya berani memperjuangkan hak-hak mereka dengan mengaktualkan potensi yang ada pada mereka serta mengikis kelemahan-kelemahan yang ada. Melalui aktifitas yang dilakukan, intervensi pembinaan membantu pemecahan permasalahan-permasalahan sosial yang terdapat dalam kelompok masyarakat. Melalui sistem pendekatan terlibat langsung dengan kelompok, pola pembinaan bersama kelompok yang bersangkutan mampu mengidentifikasikan permasalahan yang dihadapi secara mendalam. Akibatnya penanganan terhadap masalah yang dihadapi kelompok dapat dilakukan secara tepat sasaran dan lebih tuntas. Di samping itu, berkat interaksi yang intens antara para pembina dengan kelompok, sementara para pembina telah dilatih secara khusus dan selalu diberikan masukan untuk meningkatkan kemampuannya dalam membina kelompok dan menghubungkannya dengan berbagai pelayanan setempat, maka terjadilah proses transformasi sosial.



ii



Dampak dalam Aspek Ekonomi Dalam bidang ekonomi, intervensi pembinaan akan mampu mendorong masyarakat kecil untuk melakukan pemupukan modal. Selama ini faktor yang selalu dikemukakan tentang penyebab tidak berhasilnya masyarakat miskin dalam memperbaiki kehidupan adalah karena mereka tidak mampu untuk melakukan pemupukan modal yang dapat dipergunakan sebagai pengembangan usaha. Dengan sistem kelompok, maka modal yang kecil dari setiap warga dapat berkembang menjadi besar, sehingga dapat dipergunakan sebagai modal usaha. Di samping itu, dengan adanya modal yang terkumpul dapat mengundang partisipasi dana lebih besar dari pihak ketiga. Saat ini terbuka kemungkinan Bank melayani kelompok-kelompok swadaya yang berstatus nonformal. Kemampuan permodalan kelompok yang semakin bertambah memberikan peluang semakin besar untuk mengembangkan usaha produktif. Usaha produktif yang dilakukan kelompok menyebabkan terbukanya kesempatan kerja atau usaha bagi kelompok itu sendiri maupun masyarakat luas. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa satu usaha produktif yang dilakukan, misalnya peternakan atau industri kecil, tentu memerlukan usaha lain untuk menunjang keberhasilan usaha produktif pokok. Usaha-usaha lain dari usaha pokok inilah yang membuka kesempatan kerja baru (diversifikasi) dan peningkatan pendapatan warga masyarakat. ·



Dampak dalam Aspek Kemasyarakatan Proses interaksi di dalam kelompok dengan sesama anggota maupun dengan berbagai sumber pelayanan dan pembinaan semakin meningkatkan wawasan berbangsa dan bernegara. Adanya kelompok sebagai wadah mengaktualisasikan diri warga masyarakat pedesaan menyebabkan mereka merasa terlibat dalam proses pembangunan. Keterlibatan mereka dalam pembangunan tidak lagi pasif, tetapi menjadi aktif karena telah turut berusaha dalam berbagai kegiatan produktif yang memberikan andil dalam sistem perekonomian yang lebih luas. Kesadaran untuk turut berperan serta dalam kegiatan kelompok tersebut mempunyai dampak lebih lanjut, yaitu adanya kesediaan mereka untuk berpartisipasi dalam program-program pembangunan yang ditawarkan pemerintah. Proses pengembangan kemandirian dan kesadaran berpartisipasi telah menjembatani kesenjangan sosial di tingkat lokal. Dengan menyempitnya kesenjangan sosial berarti stabilitas sosial politik pun dapat terus berlanjut. ii



Sementara itu, pengalaman lapangan LSM yang merupakan hasil kaji tindak (participatory action research) dapat merupakan rekomendasi bagi perbaikan dan peningkatan dari pendekatan pembangunan.



Soal Latihan 1. Sebutkan pengertian LSM 2. Sebutkan jenis dan kategori LSM 3. Sebutkan tujuan LSM 4. Jelaskan tugas pokok LSM 5. Jelaskan fungsi LSM 6. Jelaskan prinsip-prinsip keberadaan dan operasional LSM 7. Jelaskan model hubungan antara LSM dengan pemerintah 8. Jelaskan peran LSM dalam pemberdayaan masyarakat



ii



BAB XIII KONSEP GOTONG ROYONG



Tujuan Pembelajaran Setelah membaca bab ini mahsiswa diharapkan mampu : memahami konsep gotong royong. b) Menyebutkan pengertian gotong royong c) Menjelaskan perbedaan gotong-royong dan tolong-menolong d) Menjelaskan gotong royong di kota dan di pedesaan e) Memberikan contoh gotong-royong di bidang kesehatan



Pendahuluan Manusia sebagai mahluk sosial tidak dapat hidup sendiri, melainkan memerlukan orang lain dalam berbagai hal, seperti bergaul, bekerja, tolong menolong, kerja bakti, keamanan, dan lain-lain. Seperti halnya yang dikemukakan oleh Kayamsebagai berikut, “Sejak manusia bergabung dalam suatu masyarakat, agaknya, keselarasan menjadi suatu kebutuhan. Betapa tidak ! Pada waktu pengalaman mengajari manusia hidup bermasyarakat jauh lebih menguntungkan, efisien dan efektif daripada hidup soliter, sendirian, pada waktu itu pula manusia belajar untuk menenggang dan bersikap toleran terhadap yang lain. Pada waktu dia tahu bahwa untuk menjaga kelangsungan hidupnya dia membutuhkan bekerja bersama orang yang kemudian mengikat diri dalam suatu ii



masyarakat, manusia juga belajar memahami suatu pola kerjasama yang terdapat dalam hubungan antara anggota masyarakat tersebut. “ Kerjasama yang dilakukan secara bersama-sama disebut sebagai gotongroyong, akhirnya menjadi strategi dalam pola hidup bersama yang saling meringankan beban masing-masing pekerjaan. Adanya kerjasama semacam ini merupakan suatu bukti adanya keselarasan hidup antar sesama bagi komunitas, terutama yang masih menghormati dan menjalankan nilai-nilai kehidupan, yang biasanya dilakukan oleh komunitas perdesaan atau komunitas tradisional. Tetapi tidak menuntup kemungkinan bahwa komunitas masyarakat yang berada di perkotaan juga dalam beberapa hal tertentu memerlukan semangat gotong-royong. Gotong-royong sebagai bentuk solidaritas sosial, terbentuk karena adanya bantuan dari pihak lain, untuk kepentingan pribadi ataupun kepentingan kelompok, sehingga di dalamnya terdapat sikap loyal dari setiap warga sebagai satu kesatuan. Dalam hal ini, Parson (1951 : 97 –98) mengemukakan, “Loyalty is, as it were, the uninstitutonalized precusor of solida rity, it is the “spilling over” of motivation to conform with the interests or expectations of alter beyond the boundaries of any institutionalized or agreed obligation. Collectivity-orientation on the other hand converts this “propensity” into an institutionalized obligation of the role-expectation. Then whether the actor “feel like it” or not, he is obligated to act in c ertain ways and risks the application of negative sanctions if he does not.” Kehidupan warga suatu komunitas yang terintegrasi dapat dilihat dari adanya solidaritas di antara mereka melalui tolong-menolong tanpa keharusan untuk membalasnya, seperti adanya musibah atau membantu warga lain yang dalam kesusahan. Tetapi tolong menolong seperti ini menjadi suatu kewajiban, untuk saling membalas terutama dalam hal pekerjaan yang berhubungan dengan pertanian atau di saat salah satu warga melakukan perayaan. Begitu pula, apabila terdapat pekerjaan yang hasilnya untuk kepentingan bersama, maka diperlukan pengerahan tenaga dari setiap warga melalui kerjabakti. Kegiatan gotong-royong dilakukan warga komunitas, baik yang berada di perdesaan maupun di perkotaan, yang penting mereka dalam kehidupannya senantiasa memerlukan orang lain. Di perkotaan nilai gotong-royong ini sangat berbeda dengan gotong-royong di pedesaan, karena di perkotaan segala sesuatu sudah ii



banyak dipengaruhi oleh materi dan sistem upah, sehingga akan diperhitungkan untung-ruginya dalam melakukan gotong-royong, sedangkan di perdesaan gotong-royong belum banyak dipengaruhi oleh materi dan sistem upah sehingga kegiatan gotong-royong diperlukan sebagai suatu solidaritas antar sesama dalam satu kesatuan wilayah atau kekerabatan. Dalam hal ini Koentjaraningrat (1984 : 7) mengemukakan kegiatan gotong-royong di pedesaan sebagai berikut : 1) Dalam hal kematian, sakit, atau kecelakaan, dimana keluarga yang sedang menderita itu mendapat pertolongan berupa tenaga dan benda dari tetanggatetangganya dan orang lain sedesa; 2) Dalam hal pekerjaan sekitar rumah tangga, misalnya memperbaiki atap rumah, mengganti dinding rumah, membersihkan rumah dari hama tikus, menggali sumur, dsb., untuk mana pemilik rumah dapat minta bantuan tetangga-tetangganya yang dekat dengan memberi bantuan makanan; 3) Dalam hal pesta-pesta, misalnya pada waktu mengawinkan anaknya, bantuan tidak hanya dapat diminta dari kaum kerabatnya, tetapi juga dari tetangga-tetangganya, untuk mempersiapkan dan penyelenggaraan pestanya; 4) Dalam mengerjakan pekerjaan yang berguna untuk kepentingan umum dalam masyarakat desa, seperti memperbaiki jalan, jembatan, bendungan irigasi, bangunan umum dsb., untuk mana penduduk desa dapat tergerak untuk bekerja bakti atas perintah dari kepala desa. Gotong-royong semacam itu sulit dibedakan antara gotong-royong sebagai bentuk tolong menolong dan gotong royong sebagai kerjabakti. Walaupun demikian, yang penting dalam hal ini bahwa pekerjaan atau kesulitan yang dialami oleh seseorang tidak dapat dilakukan sendiri melainkan perlu adanya bantuan tenaga dari orang lain. Gotong-royong dapat dikatakan sebagai ciri dari bangsa Indonesia terutama mereka yang tinggal di pedesaan yang berlaku secara turun temurun, sehingga membentuk perilaku sosial yang nyata kemudian membentuk tata nilai kehidupan sosial. Adanya nilai tersebut menyebabkan gotong-royong selalu terbina dalam kehidupan komunitas sebagai suatu warisan budaya yang patut dilestarikan. Hubungannya gotong-royong sebagai nilai budaya, maka Bintarto (1980 : 24) mengemukakan, Nilai itu dalam sistem budaya orang Indonesia mengandung empat konsep, ialah : (1) Manusia itu tidak sendiri di dunia ini tetapi ii



dilingkungi oleh komunitinya, masyarakatnya dan alam semesta sekitarnya. Di dalam sistem makrokosmos tersebut ia merasakan dirinya hanya sebagai unsur kecil saja, yang ikut terbawa oleh proses peredaran alam semesta yang maha besar itu. (2) Dengan demikian, manusia pada hakekatnya tergantung dalam segala aspek kehidupannya kepada sesamanya. (3) Karena itu, ia harus selalu berusaha untuk sedapat mungkin mem elihara hubungan baik dengan sesamanya terdorong oleh jiwa sama rata sama rasa, dan (4) selalu berusaha untuk sedapat mungkin bersifat konform, berbuat sama dengan sesamanya dalam komuniti, terdorong oleh jiwa sama tinggi sama rendah. Adanya sistem nilai tersebut membuat gotong-royong senantiasa dipertahankan dan diperlukan dalam berbagai aspek kehidupan, sehingga gotong-royong akan selalu ada dalam berbagai bentuk yang disesuaikan dengan kondisi budaya komunitas yang bersangkutan berada. Gotong-royong sebagai bentuk integrasi, banyak dipengaruhi oleh rasa kebersamaan antar warga komunitas yang dilakukan secara sukarela tanpa adanya jaminan berupa upah atau pembayaran dalam bentuk lainnya, sehingga gotong-royong ini tidak selamanya perlu dibentuk kepanitiaan secara resmi melainkan cukup adanya pemberitahuan pada warga komunitas mengenai kegiatan dan waktu pelaksanaannya, kemudian pekerjaan dilaksanakan setelah selesai bubar dengan sendirinya. Adapun keuntungan adanya gotong-royong ini yaitu pekerjaan menjadi mudah dan ringan dibandingkan apabila dilakukan secara perorangan; memperkuat dan mempererat hubungan antar warga komunitas di mana mereka berada bahkan dengan kerabatnya yang telah bertempat tinggal di tempat lain, dan; menyatukan seluruh warga komunitas yang terlibat di dalamnya. Dengan demikian, gotong-royong dapat dilakukan untuk meringankan pekerjaan di lahan pertanian, meringankan pekerjaan di dalam acara yang berhubungan dengan pesta yang dilakukan salah satu warga komunitas, ataupun bahu membahu dalam membuat dan menyediakan kebutuhan bersama. Tolong Menolong dan Kerjabakti Gotong-royong dalam bentuk tolong-menolong dan dalam bentuk kerjabakti keduanya berbeda dalam hal kepentingan, bahwa tolong-menolong ii



dilakukan untuk kepentingan perseorangan dalam hal kesusahan ataupun memerlukan curahan tenaga dalam menyelesaikan pekerjaannya, sehingga yang bersangkutan mendapat keuntungan dengan adanya bantuan sukarela. Sedangkan kerja-bakti dilakukan untuk kepentingan bersama, sehingga keuntungan untuk merasakannya didapat secara bersama-sama, baik bagi warga bersangkutan maupun orang lain walaupun tidak turut serta dalam kerjabakti. Gotong-royong dalam bentuk tolong menolong dilakukan secara sukarela untuk membantu orang lain, tetapi ada suatu kewajiban sosial yang memaksa secara moral bagi seseorang yang telah mendapat pertolongan tersebut untuk kembali menolong orang yang pernah menolongnya, sehingga saling tolong menolong ini menjadi meluas tanpa melihat orang yang pernah menolongnya atau tidak. Dengan demikian, bahwa tolong menolong ini merupakan suatu usaha untuk menanam budi baik terhadap orang lain tanpa adanya imbalan jasa atau kompensasi secara langsung atas pekerjaan itu yang bersifat kebendaan, begitupula yang ditolong akan merasa berhutang budi terhadap orang yang pernah menolongnya, sehingga terjadilah keseimbangan berupa bantuan tenaga yang diperoleh bila suatu saat akan melakukan pekerjaan yang sama. Dalam hal ini Tashadi dkk. (1982 : 78) mengemukakan, Konpensasi atau balas jasa dalam hal tolong menolong itu tidak diwujudkan dengan sejumlah nilai uang, tetapi jasa yang telah diberikan itu akan lebih menjamin hubungan kekeluargaan yang baik di antara mereka yang bersangkutan atau berhubungan karena adanya suatu peristiwa. Apabila kompensasi atau jasa itu diwujudkan dengan sejumlah nilai uang, maka jarak sosial akan terjadi yang mengakibatkan nilai-nilai batin menjadi renggang yang akhirnya mendesak nilai itu sendiri. Demikian peristiwa ini banyak kita lihat dewasa ini di berbagai tempat di daerah pedesaan. Dengan demikian, bahwa tolong-menolong merupakan gotong-royong yang memiliki azas timbal balik secara moral antar warga komunitas yang berpedoman pada kesamaan wilayah dan kekeluargaan yang erat. Bersamaan dengan tumbuhnya penduduk, maka kegiatan tolong menolong mulai memunculkan adanya pamrih, walaupun tidak secara langsung dalam ii



bentuk imbalan nyata, tetapi imbalan yang sama seperti telah diberikan, sebagaimana Kayam kemukakan: ... bahwa kebersamaan atau kolektivitas dari masyarakat pertanian sederhana akan segera berubah begitu manusia pertanian menyadari hal milik pribadi. Begitu dia membuat klaim terhadap sebidang lahan, ... agaknya, dia menjadi sadar bahwa permintaan tolong kepada tetangganya untuk menggarap lahan akan harus memperhatikan tolong-menolong yang lain. Apabila sebelumnya dia kerja bersama-sama, beramai-ramai dengan tetangganya, "tanpa suatu pamrih", sekarang dia masih bekerja bersama-sama tetapi dengan "pamrih". Pamrih adalah harapan terhadap suatu imbalan. ... apakah itu imbalan berupa ganti pertolongan pada waktu dia nanti memerlukannya. ... Tolong-menolong dengan pamrih atau ganti pertolongan di masa datang sebagai tanggung jawab moral untuk ganti menolong. Kegiatan kerjabakti sebagai gotong-royong dilakukan secara serentak untuk menyelesaikan suatu pekerjaan yang hasilnya dimanfaatkan bersama. Kadangkala kerjabakti semacam ini menjadi pengertiannya menjadi tidak jelas dengan adanya kerjabakti secara sukarela dan secara paksaan, seperti yang di kemukakan Koentjaraningrat (dalam Sajogyo dan Sajogyo, 1992 : 38), Mengenai gotong-royong kerjabakti kita juga harus membedakan antara (1) kerjasama untuk proyek-proyek yang timbul dari inisiatif atau swadaya warga para warga desa sendiri dan (2) kerjasama untuk proyek-proyek yang dipaksakan dari atas. Pengerahan tenaga yang dilakukan dalam kerjasama pertama merupakan kebutuhan komunitas itu sendiri, umumnya didasarkan atas rapat antar warga dalam menentukan jenis dan bentuk kebutuhan, kemudian hasil rapat diputuskan bahwa pekerjaan dilakukan oleh warga komunitas secara bersamasama dalam bentuk gotong-royong, sedangkan pengerahan tenaga pada bagian kedua berhubungan dengan penyelesaian suatu proyek, yang diperlukan tenaga kerja untuk melakukan gotong-royong. Adapun rencana dan pelaksanaan proyek biasanya berdasarkan kebijakan pemerintah daerah setempat dalam membangun suatu fasilitas umum dengan bantuan tenaga warga komunitas. Proyek semacam ini misalnya pembuatan jalan, maka pembukaan jalan akan dilakukan warga komunitas yang dilalui oleh jalan tersebut, atau pembuatan ii



bendungan di mana tanah urugan dikerjakan oleh warga yang diminta bantuan tenaganya, dan pekerjaan semacam ini banyak juga dilakukan dengan tujuan untuk hal-hal tertentu, sehingga biaya pembangunan proyek dapat ditekan, namun akibatnya terjadi pemaksaan secara halus demi pembangunan. Dengan demikian, bahwa gotong-royong yang terdapat dalam kehidupan terdiri dari tolong-menolong antar warga dengan tanggung jawab moral atas dasar azas timbal balik; gotong-royong dengan jalan pengerahan tenaga untuk membangun fasilitas kehidupan atas dasar inisiatif warga setempat dengan jalan swadaya; dan gotong-royong dalam membangun fasilitas kehidupan atas dasar inisiatif dari yang berwenang, dalam hal ini pemerintah setempat yang memerlukan pengerahan tenaga dari warga setempat. Dari ketiga macam gotong-royong tersebut merupakan bentuk pekerjaan yang dilakukan bersama tanpa adanya imbalan dalam bentuk uang atau materi secara jelas. Gotong-royong di Lingkungan Tempat Tinggal Warga Komunitas suatu saat akan memiliki kegiatan yang memerlukan bantuan dari warga lainnya, yaitu penyelenggaraan khitanan, perkawinan atau dalam pembuatan rumah mereka. seperti yang dikemukakan Kayamsebagai berikut, ... Seorang petani ... yang mengajak tetangga-tetangganya beramai-ramai membantunya mendirikan rumah sudah harus tahu bahwa dia harus menyediakan makanan dan minum bagi yang membantunya, dan pada gilirannya pada satu waktu nanti harus bersedia ikut bergotongroyong mendirikan rumah atau pekerjaan beramai-ramai. Bantuan yang dilakukan terhadap warga yang melakukan kegiatan ini dapat berupa bahan makanan, uang, ataupun tenaga. Mereka yang datang membantu terlebih dahulu diberitahu waktu perayaan atau pembuatan rumah dilaksanakan, sehingga akan mempersiapkan segala sesuatunya. Bagi yang pernah dibantu minimal akan membantu sesuai dengan bantuan yang telah diterimanya, tetapi yang bagi yang belum mendapat bantuan maka akan membantu sesuai dengan kemampuan atau kebutuhan yang kelak harus diterima dari warga yang menyelenggarakan perayaan tersebut. Tolong-menolong semacam ini dapat dianggap sebagai tabungan di masa datang, kalaupun balasannya suatu saat tidak diterima langsung karena sesuatu ii



hal seperti tidak akan melaksanakan pembuatan rumah atau perayaan lagi di mana anak-anaknya telah menikah semua atau telah dikhitan, maka balasan bantuan melainkan diberikan keturunannya yaitu cucu atau kerabatnya ataupun pada orang lain asalkan balasan tersebut atas nama yang pernah membantunya. Adapun bantuan tenaga diberikan apabila yang bersangkutan tidak mampu untuk memberikan barang kebutuhan ataupun uang, maka bantuan tenaga dipersiapkan sesuai dengan kebutuhan, karena setiap perayaan atau pembuatan rumah yang diselenggarakan akan memerlukan banyak tenaga kerja. Saling tolong menolong seperti demikian tidak terbatas pada warga sekitarnya, melainkan dapat juga dari warga lain sebagai kenalan dekat yang berada jauh dari tempat tinggal yang akan menyelenggarakan perayaan atau membuat rumah. Bantuan ini dapat juga datang dari kerabat yang memang sengaja datang setelah adanya pemberitahuan walaupun berada di tempat atau daerah lain yang berjauhan. Adanya ikatan tolong-menolong seperti ini akan meringankan beban yang harus dipikul saat pelaksanaan perayaan atau pembuatan rumah. Gotong-royong berupa saling tolong semacam ini tidak perlu di saat senang saja melainkan di saat mendapat kesusahan seperti adanya kematian ataupun adanya musibah yang menimpa seperti adanya kebakaran, tanah longsor, banjir dan musibah lainnya yang disebabkan oleh alam. Bantuan akan berdatangan dari warga lain yang tidak terkena bencana, bahkan dari orang lain yang jauh sekalipun dan tidak dikenal ada yang turut menolong. Hanya saja pertolongan yang diberikan tidak perlu adanya rasa menyimpan jasa atau budi yang harus dibalas, melainkan suatu solidaritas antar sesama sebagai rasa kemanusian, begitu pula bagi yang ditolong tidak perlu memiliki rasa hutang budi dan memiliki kewajiban moral untuk membalasnya. Pertolongan yang diberikan pada warga atau orang yang mengalami musibah merupakan kewajiban yang harus dipikul bersama dan harus dipelihara sepanjang masa dan tanpa adanya permintaan dari warga yang mengalami musibah tersebut. Dengan demikian, bahwa tolong-menolong dalam menghadapi bencana dianggap kewajiban sebagai umat manusia untuk menolong antar tanpa adanya rasa pamrih dari orang yang pernah ditolongnya. ii



BPJS Kesehatan Sebagai Wujud Nilai Gotong–Royong Di Bidang Kesehatan Beranjak dari Pasal 28 H ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak atas Jaminan Sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermanfaat.” Kemudian Pasal 34 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 juga berkata bahwa: “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat manusia.” Dua Pasal di atas bertujuan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur. Tahun 1992, Jaminan Kesehatan atas naungan PT Askes hanya ditujukan untuk PNS, Pensiunan (PNS, TNI, POLRI), Veteran dengan sistem managed care. Semenjak tahun 2014, Jaminan Kesehatan diperuntukan untuk semua penduduk dengan sistem managed care di bawah payung BPJS Kesehatan. Di dalam 9 (Sembilan) prinsip sistem Jaminan Sosial yaitu Jaminan Kesehatan yang diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945, terdapat prinsip kegotong royongan. Alhasil, beranjak dari prinsip ini, BPJS memformulasikan cara yang tepat agar nilai-nilai gotong royong dapat dibangkitkan melalui Jaminan Kesehatan. Berikut aplikasi gotong royong yang melibatkan semua pihak untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang lebih sehat: 1. Subsidi silang untuk pembiayaan. Di mana iuran peserta yang sehat untuk membiayai yang sakit. Seperti; 1 pasien DBD dibiayai oleh 80 peserta sehat. 1 pasien Sectio Caesaria dibiayai oleh 135 peserta sehat. 1 pasien Kanker dibiayai oleh 1.253 peserta sehat. Dalam hal ini, terlihat jelas adanya gotong royong, saling bahu membahu untuk menyelamatkan pasien yang sedang sakit oleh seluruh peserta yang sehat. Dengan harapan semakin banyak peserta yang sehat dan membayar iuran secara teratur. 2. Peran dan partisipasi seluruh pihak termasuk multi stake Holders (masyarakat, Rumah Sakit, Tenaga Medis, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, LSM, Badan Usaha, Pengelola Klinik Swasta, dll) ii



Hadirnya program BPJS Kesehatan dengan prinsip gotong royong tidak hanya membuat Indonesia semakin sehat juga memberikan kontribusi bagi perekonomian Indonesia selama tahun 2014 seperti: 1) Industri Kesehatan 4,4 Triliun; 2) Obat-obatan 1,7 Triliun; 3) Lapangan kerja bidang kesehatan 4,2 Triliun; 4) Konstruksi Rumah Sakit 8, 36 Triliun. 5) Dengan total kontribusi JKN senilai 18,66 Triliun. Per September 2016 jumlah peserta JKN-KIS adalah 168.512.237 jiwa. Jumlah penduduk Indonesia saat ini adalah kurang lebih 250 Juta Jiwa, sehingga masih ada sekitar 80 Juta jiwa lagi yang belum berpartisipasi dalam gotong royong JKNKIS ini. Harapannya di tahun 2019 nanti seluruh masyarakat Indonesia dapat bergabung dan tolong menolong dalam mewujudkan Indonesia sehat. Soal Latihan : 1. Sebutkan pengertian gotong royong 2. Jelaskan perbedaan gotong-royong dan tolong-menolong 3. Jelaskan gotong royong di kota dan di pedesaan 4. Berikan contoh gotong-royong di bidang kesehatan



ii



BAB XIV PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI BIDANG KESEHATAN



Tujuan Pembelajaran Setelah membaca bab ini mahsiswa diharapkan mampu :  Memahami pengertian konsep pemberdayaan masyarakat  Mengetahui ciri-ciri pemberdayaan masyarakat  Mengetahui jenis-jenis pemberdayaan masyarakat



Pendahuluan Perhatian terhadap permasalahan kesehatan terus dilakukan terutama dalam perubahan paradigma sakit yang selama ini dianut masyarakat ke paradigma sehat. Paradigma sakit merupakan upaya untuk membuat orang sakit menjadi sehat, menekankan pada kuratif dan rehabilitatif, sedangkan paradigma sehat merupakan upaya membuat orang sehat tetap sehat, menekan pada pelayanan promotif dan preventif. Berubahnya paradigma masyarakat akan kesehatan, juga akan merubah pemeran dalam pencapaian kesehatan masyarakat, dengan tidak mengesampingkan peran pemerintah dan petugas kesehatan. Perubahan paradigma dapat menjadikan masyarakat sebagai pemeran utama dalam pencapaian derajat kesehatan. Dengan peruahan paradigma sakit menjadi paradigma sehat ini dapat membuat masyarakat menjadi mandiri dalam mengusahakan dan menjalankan upaya kesehatannya, hal ini sesuai dengan visi Indonesia sehat, yaitu “Masyarakat Sehat yang Mandiri dan Berkeadilan”. Pemberdayaan masyarakat terhadap usaha kesehatan agar menadi sehat sudah sesuai dengan Undang–Undang RI, Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan, ii



bahwa pembangunan kesehatan harus ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya masyarakat. Setiap orang berkewajiban ikut mewujudkan, mempertahankan dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat setinggi–tingginya. Pemerintah bertanggungjawab memberdayakan dan mendorong peran serta aktif masyarakat dalam segala bentuk upaya kesehatan. Dalam rangka pencapaian kemandirian kesehatan, pemberdayaan masayrakat merupakan unsur penting yang tidak bisa diabaikan. Pemberdayaan kesehatan di bidang kesehatan merupakan sasaran utama dari promosi kesehatan. Masyarakat merupakan salah satu dari strategi global promosi kesehatan pemberdayaan (empowerment) sehingga pemberdayaan masyarakat sangat penting untuk dilakukan agar masyarakat sebagai primary target memiliki kemauan dan kemampuan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan. Pengertian Pemberdayaan masyarakat adalah suatu upaya atau proses untuk menumbuhkan kesadaran, kemauan dan kemampuan masyarakat dalam mengenali, mengatasi, memelihara, melindungi dan meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri. Pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan adalah upaya atau proses untuk menumbuhkan kesadaran kemauan dan kemampuan dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan. Memampukan masyarakat, “dari, oleh, dan untuk” masyarakat itu sendiri. PENGERTIAN DAN KONSEP PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Pemberdayaan masyarakat adalah suatu upaya atau proses untuk menumbuhkan kesadaran, kemauan dan kemampuan masyarakat dalam mengenali, mengatasi, memelihara, melindungi dan meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri. Pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan adalah upaya atau proses untuk menumbuhkan kesadaran kemauan dan kemampuan dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan (Supardan, 2013). Berdasarkan tinjauan istilah, konsep pemberdayaan masyarakat mencakup pengertian community development (pembangunan masyarakat) dan community based development (pembangunan yang bertumpu pada masyarakat) dan tahap selanjutnya muncul istilah pembangunan yang digerakkan masyarakat (Sukandarrumidi, 2007). Menurut Cornell Empowerment Group Pemberdayaan didefinisikan sebagai suatu proses sengaja yang berkelanjutan, berpusat pada ii



masyarakat lokal, dan melibatkan prinsip saling menghormati, refleksi kritis, kepedulian, dan partisipasi kelompok dan melalui proses tersebut orang-orang yang kurang memiliki bagian yang setara akan sumber daya berharga memperoleh akses yang lebih besar dan memiliki kendali akan sumber daya tersebut (Perkin dan Zimmerman, 1995). Shardlow dalam Jackie Ambadar (2008) menyebutkan pemberdayaan masyarakat atau community development (CD) intinya adalah bagaimana individu, kelompok atau komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai keinginan mereka. Pemberdayaan masyarakat juga diartikan sebagai upaya yang disengaja untuk memfasilitasi masyarakat lokal dalam merencanakan, memutuskan, dan mengelola sumberdaya lokal yang dimiliki melalui collective action dan networking sehingga pada akhirnya mereka memiliki kemampuan dan kemandirian secara ekonomi, ekologi, dan sosial. Gerakan pemberdayaan masyarakat merupakan suatu upaya dalam peningkatan kemampuan masyarakat guna mengangkat harkat hidup, martabat dan derajat kesehatannya. Peningkatan keberdayaan berarti peningkatan kemampuan dan kemandirian masyarakat agar dapat mengembangkan diri dan memperkuat sumber daya yang dimiliki untuk mencapai kemajuan (Wahyudin, 2012). Gerakan pemberdayaan masyarakat juga merupakan cara untuk menumbuhkan dan mengembangkan norma yang membuat masyarakat mampu untuk berperilaku hidup bersih dan sehat. Strategi ini tepatnya ditujukan pada sasaran primer agar berperan serta secara aktif. Bidang pembangunan biasanya meliputi 3 (tiga) sektor utama, yaitu ekonomi, sosial (termasuk di dalamnya bidang pendidikan, kesehatan dan sosial-budaya), dan bidang lingkungan. Sedangkan masyarakat dapat diartikan dalam dua konsep yaitu masyarakat sebagai sebuah tempat bersama, yakni sebuah wilayah geografi yang sama. Sebagai contoh, sebuah rukun tetangga, perumahan di daerah perkotaan atau sebuah kampung di wilayah pedesaan. Harry Hikmat (2001) menyebutkan pemberdayaan dalam wacana pembangunan selalu dihubungkan dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja, dan keadilan. Pada dasarnya, pemberdayaan diletakkan pada kekuatan tingkat individu dan sosial. Isbandi Rukminto Adi (2008) menyatakan pembangunan masyarakat digunakan untuk menggambarkan pembangunan bangsa secara keseluruhan. ii



Dalam arti sempit istilah pengembangan masyarakat di Indonesia sering dipadankan dengan pembangunan masyarakat desa dengan mempertimbangkan desa dan kelurahan berada pada tingkatan yang setara sehingga pengembangan masyarakat (desa) kemudian menjadi dengan konsep pengembangan masyarakat lokal (locality development). UKBM (upaya kesehatan bersumberdaya manusia) adalah salah satu wujud nyata peran serta masyarakat dalam pembangunan kesehatan. Kondisi ini ternyata mampu memacu munculnya berbagai bentuk UKBM lainnya seperti Polindes, POD (pos obat desa), pos UKK (pos upaya kesehatan kerja), TOGA (taman obat keluarga), dana sehat dan lain-lain. CIRI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Suatu kegiatan atau program dapat dikategorikan ke dalam pemberdayaan masyarakat apabila kegiatan tersebut tumbuh dari bawah dan non-instruktif serta dapat memperkuat, meningkatkan atau mengembangkan potensi masyarakat setempat guna mencapai tujuan yang diharapkan. Bentuk-bentuk pengembangan potensi masyarakat tersebut bermacam-macam, antara lain sebagai berikut : 1. Tokoh atau pimpinan masyarakat (Community leader) Di sebuah mayarakat apapun baik pendesaan, perkotaan maupun pemukiman elite atau pemukiman kumuh, secara alamiah aka terjadi kristalisasi adanya pimpinan atau tokoh masyarakat. Pemimpin atau tokoh masyarakat dapat bersifat format (camat, lurah, ketua RT/RW) maupun bersifat informal (ustadz, pendeta, kepala adat). Pada tahap awal pemberdayaan masyarakat, maka petugas atau provider kesehatan terlebih dahulu melakukan pendekatan-pendekatan kepada para tokoh masyarakat. 2. Organisasi masyarakat (community organization) Dalam suatu masyarakat selalu ada organisasi-organisasi kemasyarakatan baik formal maupun informal, misalnya PKK, karang taruna, majelis taklim, koperasi-koperasi dan sebagainya. 3. Pendanaan masyarakat (Community Fund) Sebagaimana uraian pada pokok bahasan dana sehat, maka secara ringkas dapat digaris bawahi beberapa hal sebagai berikut: “Bahwa dana sehat telah berkembang di Indonesia sejak lama (tahun 1980-an) Pada masa sesudahnya (1990-an) dana sehat ini semakin meluas perkembangannya dan oleh Depkes diperluas dengan nama program JPKM (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan ii



Masyarakat) dan saat ini diperluas lagi denan nama program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) yang di kelola oleh BPJS (Badan Penjaminan Jasa Sosial) 4. Material masyarakat (community material) Seperti telah diuraikan disebelumnya sumber daya alam adalah merupakan salah satu potensi msyarakat. Masing-masing daerah mempunyai sumber daya alam yang berbeda yang dapat dimanfaatkan untuk pembangunan. 5. Pengetahuan masyarakat (community knowledge) Semua bentuk penyuluhan kepada masyarakat adalah contoh pemberdayaan masyarakat yang meningkatkan komponen pengetahuan masyarakat. 6. Teknologi masyarakat (community technology) Dibeberapa komunitas telah tersedia teknologi sederhana yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan program kesehatan. Misalnya penyaring air bersih menggunakan pasir atau arang, untuk pencahayaan rumah sehat menggunakan genteng dari tanah yang ditengahnya ditaruh kaca. Untuk pengawetan makanan dengan pengasapan dan sebagainya. TUJUAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Pemberdayaan masyarakat adalah upaya atau proses untuk menumbuhkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan masyarakat dalam mengenali, mengatasi, memelihara, melindungi, dan meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri (Notoadmojdo, 2007). Batasan pemberdayaan dalam bidang kesehatan meliputi upaya untuk menumbuhkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan sehingga secara bertahap tujuan pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk : 1. Tumbuhnya kesadaran, pengetahuan dan pemahaman akan kesehatan bagi individu, kelompok atau masyarakat. Pengetahuan dan kesadaran tentang cara – cara memelihra dan meningkatkan kesehatan adalah awal dari keberdayaan kesehatan. Kesadaran dan pengetahuan merupakan tahap awal timbulnya kemampuan, karena kemampuan merupakan hasil proses belajar. Belajar itu sendiri merupakan suatu proses yang dimulai dengan adanya alih pengetahuan dari sumber belajar kepada subyek belajar. Oleh sebab itu masyarakat yang mampu memelihara dan meningkatkan kesehatan juga melalui proses belajar kesehatan yang dimulai dengan diperolehnya informasi kesehatan. Dengan informasi kesehatan ii



menimbulkan kesadaran akan kesehatan dan hasilnya adalah pengetahuan kesehatan. 2. Timbulnya kemauan atau kehendak ialah sebagai bentuk lanjutan dari kesadaran dan pemahaman terhadap obyek, dalam hal ini kesehatan. Kemauan atau kehendak merupakan kecenderungan untuk melakukan suatu tindakan. Oleh sebab itu, teori lain kondisi semacam ini disebut sikap atau niat sebagai indikasi akan timbulnya suatu tindakan. Kemauan ini kemungkinan dapat dilanjutkan ke tindakan tetapi mungkin juga tidak atau berhenti pada kemauan saja. Berlanjut atau tidaknya kemauan menjadi tindakan sangat tergantung dari berbagai faktor. Faktor yang paling utama yang mendukung berlanjutnya kemauan adalah sarana atau prasarana untuk mendukung tindakan tersebut. 3. Timbulnya kemampuan masyarakat di bidang kesehatan berarti masyarakat, baik seara individu maupun kelompok, telah mampu mewujudkan kemauan atau niat kesehatan mereka dalam bentuk tindakan atau perilaku sehat. Suatu masyarakat dikatakan mandiri dalam bidang kesehatan apabila : 1) Mereka mampu mengenali masalah kesehatan dan faktor-faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan terutama di lingkungan tempat tinggal mereka sendiri. Pengetahuan tersebut meliputi pengetahuan tentang penyakit, gizi dan makanan, perumahan dan sanitasi, serta bahaya merokok dan zat-zat yang menimbulkan gangguan kesehatan. 2) Mereka mampu mengatasi masalah kesehatan secara mandiri dengan mengenali potensi-potensi masyarakat setempat. 3) Mampu memelihara dan melindungi diri mereka dari berbagai ancaman kesehatan dengan melakukan tindakan pencegahan. 4) Mampu meningkatkan kesehatan secara dinamis dan terus-menerus melalui berbagai macam kegiatan seperti kelompok kebugaran, olahraga, konsultasi dan sebagainya. PRINSIP PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Prinsipnya pemberdayaan masyarakat adalah menumbuhkan kemampuan masyarakat dari dalam masyarakat itu sendiri. Pemberdayaan masyarakat bukan sesuatu yang ditanamkan dari luar. Pemberdayaan masyarakat adalah proses memanpukan masyarakat dari oleh dan untuk masyarakat itu sendiri, ii



berdasarkan kemampuan sendiri. Prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat dibidang kesehatan : 1. Menumbuh kembangkan potensi masyarakat. Di dalam masyarakat terdapat berbagai potensi yang dapat mendukung keberhasilan program–program kesehatan. Potensi dalam masyarakat dapat dikelompokkan menjadi potensi sumber daya manusia dan potensi dalam bentuk sumber daya alam / kondisi geografis. Tinggi rendahnya potensi sumber daya manusia disuatu komunitas lebih ditentukan oleh kualitas, bukan kuatitas sumber daya manusia. Sedangkan potensi sumber daya alam yang ada di suatu masyarakat adalah given. Bagaimanapun melimpahnya potensi sumber daya alam, apabila tidak didukung dengan potensi sumber daya manusia yang memadai, maka komunitas tersebut tetap akan tertinggal, karena tidak mampu mengelola sumber alam yang melimpah tersebut. 2. Mengembangkan gotong royong masyarakat. Potensi masyarakat yang ada tidak akan tumbuh dan berkembang dengan baik tanpa adanya gotong royong dari masyarakat itu sendiri. Peran petugas kesehatan atau provider dalam gotong royong masyarakat adalah memotivasi dan memfasilitasinya, melalui pendekatan pada para tokoh masyarakat sebagai penggerak kesehatan dalam masyarakatnya. 3. Menggali kontribusi masyarakat. Menggali dan mengembangkan potensi masing – masing anggota masyarakat agar dapat berkontribusi sesuai dengan kemampuan terhadap program atau kegiatan yang direncanakan bersama. Kontribusi masyarakat merupakan bentuk partisipasi masyarakat dalam bentuk tenaga, pemikiran atau ide, dana, bahan bangunan, dan fasilitas – fasilitas lain untuk menunjang usaha kesehatan. 4. Menjalin kemitraan Jalinan kerja antara berbagai sektor pembangunan, baik pemerintah, swasta dan lembaga swadaya masyarakat, serta individu dalam rangka untuk mencapai tujuan bersama yang disepakati. Membangun kemandirian atau pemberdayaan masyarakat, kemitraan adalah sangat penting peranannya. 5. Desentralisasi Upaya dalam pemberdayaan masyarakatpada hakikatnya memberikan kesempatan kepada masyarakat lokal untuk mengembangkan potensi daerah ii



atau wilayahnya. Oleh sebab itu, segala bentuk pengambilan keputusan harus diserahkan ketingkat operasional yakni masyarakat setempat sesuai dengan kultur masing-masing komunitas dalam pemberdayaan masyarakat, peran sistem yang ada diatasnya adalah : 1) Memfasilitasi masyarakat dalam kegiatan-kegiatan atau program-program pemberdayaan. Misalnya masyarakat ingin membangun atau pengadaan air bersih, maka peran petugas adalah memfasilitasi pertemuanpertemuan anggota masyarakat, pengorganisasian masyarakat, atau memfasilitasi pertemuan dengan pemerintah daerah setempat, dan pihak lain yang dapat membantu dalam mewujudkan pengadaan air bersih tersebut. 2) Memotivasi masyarakat untuk bekerjasama atau bergotong-royong dalam melaksanakan kegiatan atau program bersama untuk kepentingan bersama dalam masyarakat tersebut. Misalnya, masyarakat ingin mengadakan fasilitas pelayanan kesehatan diwilayahnya. Agar rencana tersebut dapat terwujud dalam bentuk kemandirian masyarakat, maka petugas provider kesehatan berkewajiban untuk memotivasi seluruh anggota masyarakat yang bersangkutan agar berpartisipasi dan berkontribusi terhadap program atau upaya tersebut. PERAN PETUGAS KESEHATAN Peran petugas kesehatan dalam pemberdayaan masyarakat adalah : 1) Memfasilitasi masyarakat melalui kegiatan-kegiatan maupun programprogram pemberdayaan masyarakat meliputi pertemuan dan pengorganisasian masyarakat. 2) Memberikan motivasi kepada masyarakat untuk bekerja sama dalam melaksanakan kegiatan pemberdayaan agar masyarakat mau berkontribusi terhadap program tersebut 3) Mengalihkan pengetahuan, keterampilan, dan teknologi kepada masyarakat dengan melakukan pelatihan-pelatihan yang bersifat vokasional. INDIKATOR HASIL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT 1. Input Input meliputi SDM, dana, bahan-bahan, dan alat-alat yang mendukung kegiatan pemberdayaan masyarakat. ii



2. Proses Proses, meliputi jumlah penyuluhan yang dilaksanakan, frekuensi pelatihan yang dilaksanakan, jumlah tokoh masyarakat yang terlibat, dna pertemuanpertemuan yang dilaksanakan. 3. Output Output, meliputi jumlah dan jenis usaha kesehatan yang bersumber daya masyarakat, jumlah masyarakat yang telah meningkatkan pengetahuan dari perilakunya tentang kesehatan, jumlah anggota keluarga yang memiliki usaha meningkatkan pendapatan keluarga, dan meningkatnya fasilitas umum di masyarakat. 4. Outcome Outcome dari pemberdayaan masyarakat mempunyai kontribusi dalam menurunkan angka kesakitan, angka kematian, dan angka kelahiran serta meningkatkan status gizi kesehatan. SASARAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT 1. Individu berpengaruh 2. Keluarga dan perpuluhan keluarga 3. Kelompok masyarakat : generasi muda, kelompok wanita, angkatan kerja 4. Organisasi masyarakat: organisasi profesi, LSM, dll 5. Masyarakat umum: desa, kota, dan pemukiman khusus. JENIS PEMBERDAYAAN MASYARAKAT 1. Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) Posyandu merupakan jenis UKBM yang paling memasyarakatkan saat ini. Gerakan posyandu ini telah berkembang dengan pesat secara nasional sejak tahun 1982. Saat ini telah populer di lingkungan desa dan RW diseluruh Indonesia. Posyandu meliputi lima program prioritas yaitu: KB, KIA, imunisasi, dan pennaggulangan diare yang terbukti mempunyai daya ungkit besar terhadap penurunan angka kematian bayi. Sebagai salah satu tempat pelayanan kesehatan masyarakat yang langsung bersentuhan dengan masyarakat level bawah, sebaiknya posyandu digiatkan kembali seperti pada masa orde baru karena terbukti ampuh mendeteksi permasalahan gizi dan kesehatan di berbagai daerah. Permasalahn gizi buruk anak balita, kekurangan gizi, busung lapar dan masalah kesehatan lainnya menyangkut ii



kesehatan ibu dan anak akan mudah dihindarkan jika posyandu kembali diprogramkan secara menyeluruh. Kegiatan posyandu lebih dikenal dengan sistem lima meja yang meliputi: 1. Meja 1 : pendaftaran 2. Meja 2 : penimbangan 3. Meja 3 : pengisian kartu menuju sehat 4. Meja 4 : penyuluhan kesehatan, pemberian oralit, vitamin A dan tablet besi 5. Meja 5 : pelayanan kesehatan yang meliputi imunisasi, pemeriksaan kesehatan dan pengobatan serta pelayanan keluarga berencana. Salah satu penyebab menurunnya jumlah posyandu adalah tidak sedikit jumlah posyandu diberbagai daerah yang semula ada sudah tidak aktif lagi. 2. Pondok Bersalin Desa (Polindes) Pondok bersalin desa (Polindes) merupakan salah satu peran serta masyarakat dalam menyediakan tempat pertolongan persalinan pelayanan dan kesehatan ibu serta kesehatan anak lainnya. Kegiatan pondok bersalin desa antara lain melakukan pemeriksaan (ibu hamil, ibu nifas, ibu menyusui, bayi dan balita), memberi-kan imunisasi, penyuluhan kesehatan masyarakat terutama kesehatan ibu dan anak, serta pelatihan dan pembinaan kepada kader dan mayarakat. Polindes ini dimaksudkan untuk menutupi empat kesenjangan dalam KIA, yaitu kesenjangan geografis, kesenjangan informasi, kesenjangan ekonomi, dan kesenjangan sosial budaya. Keberadaan bidan di tiap desa diharapkan mampu mengatasi kesenjangan geografis, sementara kontak setiap saat dengan penduduk setempat diharapkan mampu mengurangi kesenjangan informasi. Polindes dioperasionalkan melalui kerja sama antara bidan dengan dukun bayi, sehingga tidak menimbulkan kesenjangan sosial budaya, sementara tarif pemeriksaan ibu, anak, dan melahirkan yang ditentukan dalam musyawarah LKMD diharapkan mamou mengurangi kesenjangan ekonomi. 3. Pos Obat Desa (POD) atau Warung Obat Desa (WOD) Pos obat desa (POD) merupakan perwujudan peran serta masyarakat dalam pengobatan sederhana terutama penyakit yang sering terjadi pada masyarakat setempat (penyakit rakyat/penyakit endemik) ii



Di lapangan POD dapat berdiri sendiri atau menjadi salah satu kegiatan dari UKBM yang ada. Gambaran situasi POD mirip dengan posyandu dimana bentuk pelayanan menyediakan obat bebas dan obat khusus untuk keperluan berbagai program kesehatan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat. Beberapa pengembangan POD antara lain : 1) POD murni, tidak terkait dengan UKBM lainnya 2) POD yang diintegrasikan dengan dana sehat 3) POD yang merupakan bentuk peningkatan posyandu 4) POD yang dikaitkan dengan pokdes/polindes 5) Pos Obat Pondok Pesantren (POP) yang dikembangkan di beberapa pondok pesantren. 4. Dana Sehat Dana telah dikembangkan pada 32 provinsi meliputi 209 kabupaten/kota. Dalam implementasinya juga berkembang beberapa pola dana sehat, antara lain sebagai berikut : 1) Dana sehat pola usaha kesehatan sekolah (UKS), dilaksanakan pada 34 kabupaten dan telah mencakup 12.366 sekolah. 2) Dana sehat pola pembangunan kesehatan masyarakat desa (PKMD) dilaksanakan pada 96 kabupaten. 3) Dana sehat pola pondok pesantren, dilaksanakan pada 39 kabupaten/kota 4) Dana sehat pola koperasi unit desa (KUD), dilaksanakan pada lebih dari 23 kabupaten, terutama pada KUD yang sudah tergolong mandiri. 5) Dana sehat yang dikembangkan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dilaksanakan pada 11 kabupaten/kota. 6) Dana sehat organisasi/kelompok lainnya (seperti tukang becak, sopir angkutan kota dan lain-lain), telah dilaksanakan pada 10 kabupaten/kota. Seharusnya dana kesehatan merupakan bentuk jaminan pemeliharaan kesehatan bagi anggota masyarakat yang belum dijangkau oleh asuransi kesehatan seperti askes, jamsostek, dan asuransi kesehatan swasta lainnya. Dana sehat berpotensi sebagai wahana memandirikan masyarakat, yang pada gilirannya mampu melestarikan kegiatan UKBM setempat. Oleh karena itu, dana sehat harus dikembangkan keseluruh wilayah, kelompok sehingga semua penduduk terliput oleh dana sehat atau bentuk JPKM lainnya. 5. Lembaga Swadaya Masyarakat ii



Di tanah air kita ini terdapat 2.950 lembaga swadaya masyarakat (LSM), namun sampai sekarang yang tercatat mempunyai kegiatan di bidang kesehatan hanya 105 organisasi LSM. Ditinjau dari segi kesehatan, LSM ini dapat digolongkan menjadi LSM yang aktivitasnya seluruhnya kesehatan dan LSM khusus antara kain organisasi profesi kesehatan, organisasi swadaya internasional. Dalam hal ini kebijaksanaan yang ditempuh adalah sebagai berikut 1) Meningkatkan peran serta masyarakat termasuk swasta pada semua tingkatan. 2) Membina kepemimpinan yang berorientasi kesehatan dalam setiap organisasi kemasyarakatan. 3) Memberi kemampuan, kekuatan dan kesempatan yang lebih besar kepada organisasi kemasyarakatan untuk berkiprah dalam pembangunan kesehatan dengan kemampuan sendiri. 4) Meningkatkan kepedulian LSM terhadap upaya pemerataan pelayanan kesehatan. 5) Masih merupakan tugas berat untuk melibatkan semua LSM untuk berkiprah dalam bidang kesehatan. 6. Upaya Kesehatan Tradisional Tanaman obat keluarga (TOGA) adalah sebidang tanah di halaman atau ladang yang dimanfaatkan untuk menanam yang berkhasiat sebagai obat. Dikaitkan dengan peran serta masyarakat, TOGA merupakan wujud partisipasi mereka dalam bidnag peningkatan kesehatan dan pengobatan sederhana dengan memanfaatkan obat tradisional. Fungsi utama dari TOGA adalah menghasilkan tanaman yang dapat dipergunakan antara lain untuk menjaga meningkatkan kesehatan dan mengobati gejala (keluhan) dari beberapa penyakit yang ringan. Selain itu, TOGA juga berfungsi ganda mengingat dapat dipergunakan untuk memperbaiki gizi masyarakat, upaya pelestarian alam dan memperindah tanam dan pemandangan. 7. Pos Gizi (Pos Timbangan) Salah satu akibat krisis ekonomi adalah penurunan daya beli masyarakat termasuk kebutuhan pangan. Hal ini menyebabkan penurunan kecukupan gizi masyarakat yang selanjutnya dapat menurunkan status gizi. Dengan sasaran kegiatan yakni bayi berumur 6-11 bulan terutama mereka dari keluarga miskin, anak umur 12-23 bulan terutama mereka dari keluarga miskin, anak ii



umur 24-59 bulan terutama mereka dari keluarga miskin, dan seluruh ibu hamil dan ibu nifas terutama yang menderita kurang gizi. Perlu ditekankan bahwa untuk kegiatan pada pos gizi ini apabila setelah diberikan PMT anak masih menderita kekurangan energi protein (KEP) maka, makanan tambahan terus dilanjutkan sampai anak pulih dan segera diperiksakan ke puskesmas (dirujuk) 8. Pos KB Desa (RW) Sejak periode sebelum reformasi upaya keluarga berencana telah berkembang secara rasional hingga ketingkat pedesaan. Sejak itu untuk menjamin kelancaran program berupa peningkatan jumlah akseptor baru dan akseptor aktif, ditingkat desa telah dikembangkan Pos KB Desa (PKBD) yang biasanya dijalankan oleh kader KB atau petugas KB ditingkat kecamatan. 9. Pos Kesehatan Pesantren (Poskestren) Lingkup kegiatan oleh poskestren adalah tak jauh berbeda dengan Pos Obat Desa namun pos ini khusus ditujukan bagi para santri dan atau masyarakat disekitar pesantren yang seperti diketahui cukup menjamur di lingkungan perkotaan maupun pedesaan. 10. Saka Bhakti Husada (SBH) SBH adalah wadah pengembangan minat, pengetahuan dna keterampilan dibidnag kesehatan bagi generasi muda khususnya anggota Gerakan Pramuka untuk membaktikan dirinya kepada masyarakat di lingkungan sekitarnya. Sasarannya adalah peserta didik antara lain : Pramuka penegak, penggalang berusia 14-15 tahun dengan syarat khusus memiliki minat terhadap kesehatan. Dan anggota dewasa, yakni Pamong Saka, Instruktur Saka serta Pemimpin Saka. 11. Pos Upaya Kesehatan Kerja (pos UKK) Pos UKK adalah wadah dari serangkaian upaya pemeliharaan kesehatan pekerja yang diselenggarakan oleh masyarakat pekerja yang memiliki jenis kegiatan usaha yang sama dalam meningkatkan produktivitas kerja. Kegiatannya antara lain memberikan pelayanan kesehatan dasar, serta menjalin kemitraan. 12. Kelompok Masyarakat Pemakai Air (Pokmair) Pokmair adalah sekelompok masyarakat yang peduli terhadap kesehatan lingkungan terutama dalam penggunaan air bersih serta pengelolaan sampah ii



dan limbah rumah tangga melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat dengan melibatkan seluruh warga. 13. Karang Taruna Husada Karang tarurna husada dalam wadah kegiatan remaja dan pemuda di tingkat RW yang besar perannya pada pembinaan remaja dan pemuda dalam menyalurkan aspirasi dan kreasinya. Dimasyarakat karang taruna banyak perannya pada kegiatan-kegiatan sosial yang mampu mendorong dinamika masyarakat dalam pembangunan lingkungan dan masyarakatnya termasuk pula dalam pembangunan kesehatan. Pada pelaksanaan kegiatan posyandu, gerakan kebersihan lingkungan, gotong-royong pembasmian sarang nyamuk dan lain-lainnya potensi karang taruna ini snagat besar. 14. Pelayanan Puskesmas dan Puskesmas Pembantu Puskesmas merupakan fasilitas kesehatan pemerintah terdepan yang memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat. Sejalan dengan upaya pemerataan pelayanan kesehatan di wilayah terpencil dan sukar dijangkau telah dikembangkan pelayanan puskesmas dna puskesmas pembantu dalam kaitan ini dipandang selaku tempat rujukan bagi jenis pelayanan dibawahnya yakni berbagai jenis UKBM sebagaimana tertera di atas. PERAN SERTA MASYARAKAT TENTANG UPAYA UKBM Wujud Peran Serta Masyarakat Dari pengamatan pada masyarakat selama ini beberapa wujud peran serta masyarakat dalam pembangunan kesehatan pada khususnya dan pembangunan nasional pada umumnya. Bentuk-bentuk tersebut adalah sebagai berikut : 1. Sumber daya manusia Setiap insan dapat berpartisipasi aktif dalam pembangunan masyarakat. Wujud insan yang menunjukkan peran serta masyarakat dibidang kesehatan antara lain sebagai berikut : 1) Pemimpin masyarakat yang berwawasan kesehatan 2) Tokoh masyarakat yang berwawasan kesehatan, baik tokoh agama, politisi, cendikiawan, artis/seniman, budayaan, pelawak, dan lain-lain 3) Kader kesehatan, yang sekarang banyak sekali ragamnya misalnya: kader posyandu, kader lansia, kader kesehatan lingkungan, kader kesehatan gigi, kader KB, dokter kecil, saka bakti husada, santri husada, taruna husada, dan lain-lain. ii



4) Institusi/lembaga/organisasi masyarakat Bentuk lain peran serta masyarakat adalah semua jenis institusi, lembaga atau kelompok kegiatan masyarakat yang mempunyai aktivitas dibidang kesehatan. Beberapa contohnya adalah sebagai berikut : 1. Upaya kesehatan bersumber daya masyarakat (UKBM) yaitu segala bentuk kegiatan kesehatan yang bersifat dari, oleh dan untuk masyarakat, yaitu : 1) Pos pelayanan terpadu (posyandu) 2) Pos obat desa (POD) 3) Pos upaya kesehatan kerja (Pos UKK) 4) Pos kesehatan di Pondok Pesantren (poskestren) 5) Pemberantasan penyakit menular dengan pendekatan PKMD (P2MPKMD) 6) Penyehatan lingkungan pemungkitan dengan pendekatan PKMD (PLp-PKMD) sering disebut dengan desa percontohan kesehatan lingkungan (DPKL) 7) Suka Bakti Husada (SBH) 8) Tanaman obat keluarga (TOGA) 9) Bina keluarga balita (BKB) 10) Pondok bersalin desa (Polindes) 11) Pos pembinaan terpadu lanjut usia (Posbindu Lansia/Posyandu Lansia) 12) Pemantau dan stimulasi perkembangan balita (PSPB) 13) Keluarga mandiri 14) Upaya kesehatan masjid 2. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang mempunyai kegiatan dibidang kesehatan. Banyak sekali LSM yang berkiprah dibidang kesehatan, aktifitas mereka beragam sesuai dengan peminatnya 3. Organisasi swadaya yang bergerak dibidang palayanan kesehatan seperti rumah sakit, rumah bersalin, balai kesehatan ibu dan anak, balai pengobatan, dokter praktik, klinik 24 jam, dan sebagainya Kesimpulan Dalam rangka pencapaian kemandirian kesehatan, pemberdayaan masayrakat merupakan unsur penting yang tidak bisa diabaikan. Pemberdayaan kesehatan ii



di bidang kesehatan merupakan sasaran utama dari promosi kesehatan. Masyarakat merupakan salah satu dari strategi global promosi kesehatan pemberdayaan (empowerment) sehingga pemberdayaan masyarakat sangat penting untuk dilakukan agar masyarakat sebagai primary target memiliki kemauan dan kemampuan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan. Pengertian Pemberdayaan masyarakat adalah suatu upaya atau proses untuk menumbuhkan kesadaran, kemauan dan kemampuan masyarakat dalam mengenali, mengatasi, memelihara, melindungi dan meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri. Pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan adalah upaya atau proses untuk menumbuhkan kesadaran kemauan dan kemampuan dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan. Memampukan masyarakat, “dari, oleh, dan untuk” masyarakat itu sendiri. Soal Latihan Jelaskan pengertian konsep pemberdayaan masyarakat ! Jelaskan ciri-ciri pemberdayaan masyarakat ! Jelaskan jenis-jenis pemberdayaan masyarakat !



1. 2. 3.



ii



DAFTAR PUSTAKA Blake D. Poland, Lawrence W. Green, Irving Rootman (Editors); “SETTINGS FOR HEALTH PROMOTION” Linking Theory and Practice; Sage Publication, Inc; Thousand Oaks, London, New Deelhi; 2000. Ach. Wazir Ws., et al., ed. (1999). Panduan Penguatan Menejemen Lembaga Swadaya Masyarakat. Jakarta: Sekretariat Bina Desa dengan dukungan AusAID melalui Indonesia HIV/AIDS and STD Prevention and Care Project. Conyers, Diana. (1991). Perencanaan Sosial di Dunia ketiga. Yogyakarta: UGM Press. Holil Soelaiman. (1980). Partisipasi Sosial dalam Usaha Kesejahteraan Sosial. Bandung. Isbandi Rukminto Adi. (2007). Perencanaan Partisipatoris Berbasis Aset Komunitas: dari Pemikiran Menuju Penerapan. Depok: FISIP UI Press. AMA. 1993. Local Authorities and Community Development: A Strategic Opportunity for the 1990s. London: Association of Metropolitan Authorities. Bracht, N. 1990. Health Promotion at the Community Level. Newbury Park, CA: Sage. Christenson, J.A. and Robinson, J.W. 1989. Community Development in Perspective. Iowa State University Press, Ames Iowa. Efendi, Ferry dan Makhfudli. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori dan Praktik dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Effendy, Nasrul. 1998. Dasar-dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat. Edisi 2. Jakarta:EGC. ii



Flora, C.B. and J.L. Flora. 1993. “ Entrepreneurial Social Infrastructure: A Necessary Ingredient.” Annals of the American Academy of Political and Social Sciences 539: 48-58. Kreuter, et al. 2000. Are Tailored Health Education Materials Always More Effective than non-Tailored Materials? Health Education Research 15(3), 305315. Mapanga, Kudakwashe G dan Mapanga, Margo B. 2004. A Community Health Nursing Perspective of Home Health Care Management and Practice. Home Health Care Management & Practice. vol.16 no.4. halaman 271-279. Mayo, M. 1994. “Community Work”, dalam Hanvey and Philpot (eds), Practising Social Work. London: Routhledge. Mezirow. 1997. Transformatif Dimension of Adult Learning. New York: Suny Press. Nasdian FT. 2006. Pengembangan masyarakat. Bagian Sosiologi Pedesaan dan Pengembangan Masyarakat. Departemen Komunikasi dan Pengembangn Masyarakat. Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor (Tidak diterbitkan). Nies, MA., and McEwen, M. 2001. Community Health Nursing: PromotingThe Health of Populations. 3rd Ed. Philadelphia: W.B. Saunders Company. Sanders, I.T. 1958. Theories of Community Development. Rural Sociology 23 (1): 1-12. Sienkiewicz, Josephine. 2004. The Quality Network Adverse-Event Benchmarking Project: A New Jersey Perspective. Home Care Management and Practice. Vol. 16 no. 4. Page: 280-285. Snijders, Adelbert. 2006. Manusia dan Kebenaran, Sebuah Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius. ii



Warren. R. 1978. The Community in America. Third Edition. Chicago: RandMcNally. Mikkelsen, Britha. (1999). Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-upaya Pemberdayaan: sebuah buku pegangan bagi para praktisi lapangan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Ross, Murray G., and B.W. Lappin. (1967). Community Organization: theory, principles and practice. Second Edition. NewYork: Harper & Row Publishers. Sumampouw, Monique. (2004). “Perencanaan Darat-Laut yang Terintegrasi dengan Menggunakan Informasi Spasial yang Partisipatif.” Jacub Rais, et al. Menata Ruang Laut Terpadu. Jakarta: Pradnya Paramita. 91-117. Hurairah, Abu.2008.Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat;Model dan Strategi Pembangunan Berbasis Kerakyatan.Bandung: Humaniora Suharto, Edi.1996. Pengembangan dan Pengorganisasian Masyarakat.Makalah ini disampaikan pada Pemebekalan Mahasiswa Peserta KKN-Subang,STKS Bandung, 30 oktober 1996. Arif Budimanta dan Bambang Rudito, Metode dan Teknik Pengelolaan Community Development, cet. Ke II (Jakarta: CSD, 2008), hal. 33. Abu Suhu, dkk., Islam Dakwah dan Kesejahteraan Sosial, (Fakultas Dakwah UIN Sunan kalijaga, Yogyakarta: 2005), hal. 27. Pusdiklat Kes BPP SDM KES. DEPKES RI; 2002. Kumpulan Instrumen (Pegangan Fasilitator), Jakarta



Diklat



Depkes RI, Pedoman Pengembangan Desa Siaga, Jakarta, 2006 Pusdiklat SDM Kes bekerjasama dengan Bina Pelayanan Keperawatan, 2002. ii



Pelantikan Pengembangan Manajemen Kinerja (PMK) Perawat Bidan – Building Learning Commitment / (BLC), Jakarta. Pusdiklat BBP SDM. Kes, Depkes RI, 2002, Pembelajar Teknik Melatih (Modul 5 Penciptaan Iklim Belajar, Hal. 8), Jakarta, Bintarto, R. 1980. Gotong-Royong : Suatu Karakteristik Bangsa Indonesia. Surabaya : PT. Bina Ilmu. Kayam, Umar. Prisma No.3 Th XVI 1987. Keselarasan dan Kebersamaan : Suatu Penjelajahan Awal. Jakarta : LP3ES. Koentjaraningrat. 1983. Ciri-Ciri Kehidupan Masyarakat Pedesaan di Indonesia. dalam Sajogyo dan Sajogyo, Pudjiwati. Sosiologi Pedesaan. Jilid 1. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Sajogyo dan Sajogyo, Pudjiwati. 1992. Sosiologi Pedesaan. Jilid 1 dan 2. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Tashadi; Muniatmo, Gatot; Supanto; dan Sukirman. 1982. Sistem Gotong Royong dalam Masyarakat Pedesaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dinkes Propinsi Jawa Timur. Buku Pegangan Kader Posyandu. Subdin PSD, Surabaya, 2005. Dinkes Propinsi Jawa Timur. Panduan Pelatihan Kader Posyandu. DIPA Program Perbaikan Gizi Masyarakat, 2006. Depkes RI. Pedoman Umum Pengelolaan Posyandu. Jakarta, 2006. Depkes RI. Modul Surveilans KIA : Peningkatan Kapasitas Agen Perubahan dan Pelaksanaan Program Kesehatan Ibu dan Anak. Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat, Jakarta, 2007. ii



Lampiran



CARA PENILAIAN STRATA UKBM 35 INDIKATOR STRATA POSYANDU. Tabel 1, Indikator Strata Posyandu



No A 1



2 3 B 4



5



6



Indikator Kepengurusan Landasan hukum kepengurusan a. sudah dalam bentuk SK (surat keputusan) dari kepala desa/lurah atau pokja posyandu atau Pokjanal kecamatan. b. belum dalam bentuk SK Jumlah pengurus a. minimal sudah ada ketua, sekretaris, dan anggota pengurus b. Belum ada pengurus ( ketua,sekretaris,dan anggota pengurus) Pembagian tugas diantara pengurus a. Sudah jelas dalam bentuk rumusan tupoksi b. belum jelas Kader Jumlah kader a. 5 orang atau lebih b. kurang dari 5 orang Jenis kader yang ada di posyandu a. Beragam,tidak hanya kader gisi/kesehatan,tetapi juga kader lain(kader PAUD atau ,kader pertanian dll) b. Hanya satu jenis kader,kader gizi /kesehatan) Keterampilan kader d. jumlah kader telah terlatih atau mengikuti pelatihan kader lebih dari 50% e. jumlah kader belum terlatih atau belum mengikuti pelatihan kader kurang dari 50% ii



Skor 1 0 1 0 1 0



1 0 1 0 1 0



C 7



8



9 D 10 11 12



E 13



14 15



Sarana Jenis sarana posyandu d. sudah lengkap (semua alat ini ada :timbangan dacin/injak, KMS, Buku KIA,KMS ) Bumil, Pita lila, alat ukur TB, meja kursi, tes iodisasi). e. belum lengkap Jumlah sarana a. jumlahnya memadai sesuai kebutuhan( terutama:jumlah KMS/buku KIA.tablet Fe,vitamin A,meja kursi) b. Belum memenuhi kebutuhan Kondisi semua alat/sarana a. berfungsi baik atau tidak rusak b. tidak semua berfungsi baik atau rusak Prasarana Status peruntukan prasarana(tempat posyandu) adalah a. Diperuntukan khusus untuk kegiatan posyandu b. Tidak diperuntukan khusus untuk posyandu Tempat lokasi posyandu a. permanen atau menetap disuatau tempat b. tidak permanen atau berpindah-pindah Lingkungan Posyandu a. Bersih,tidak dekat sumber pencemaran b. Kurang bersih atau dekat dengan sumber pencemaran Dana Jumlah dana a. cukup untuk membiayai kegiatan operasional posyandu b. kekurangan atau tidak cukup untuk membiayai kegiatan operaisional posyandu Sumber dana untuk kegiatan posyandu a. berasal dari swadaya masyarakat setempat b. tidak ada sumber dana dari masyarakat setempat Kesinambungan sumber penandanaan kegiatan posyandu a. rutin /continue b. Tidak tetap ii



1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0



1 0



1 0 1 0



F 16



17



18



G 19



20



21



H 22



Pelaksanaan program pokok Program pokok sudah diselenggarakan di posyandu,yaitu: a. Semua program pokok meliputi: KIA,KB,imunisasi,Gizi,penanggulangan diare dan ISPA b. belum semua program pokok Jenis kegiatan a. Kegiatan 5 meja (pendaftaran,penimbangan,pencatatan,penyuluhan dan pelayanan)berkesinambungan pada setiap kegiatan posyandu b. kegiatan 5 meja belum secara berkeninambungan pada setiap kegiatan posyandu Sasaran kegiatan pokok posyandu a. sasaran lengkap (meliputi bayi,anak/balita.ibu hamil.ibu nifas.ibu menyusui,WUS,PUS) b. belum ada satupun dilakukan program pengembangan Pelaksanaan Program pengembangan Program pengembangan a. Telah melakukan minimal satau program pengembangan(program pencegahan dan pemberantasan penyakit,endemik,deteksi dini peyakit ringan,penyediaan obat,kegiatan PSN,JPKM/dan sehat,Polindes/PKD b. belum ada satupun dilakukan program pengembangan Kesinambungan kegiatan program pengembangan telah dilakukan: a. Telah dilakukan secara rutin atau berkeninambungan b. insidental,atau kadang-kadang,atau belum pernah Pencapaian sasaran program pengembangan yang dilakukan a. tepat sasaran dan sesuai tujuan (efektif) b. tidak tepat sasaran atau belum efektif Pelaksanaaan Administrasi Kelengkapan administrasi posyandu a. telah lengkap terdiri dari: terdapat 9 buku administrasi (susunan pengurus,daftar hadir,kegiatan posyandu,notulen,inventarisir,daftar bantuan,buku tamu,kunjungan rumah,kas dan SIP) ii



1 2 1



0



1 0



1



0 1 0 1 0



1



23



24



I 25 26 27 28 29 30 31 32 33



b. belum lengkap Pengisian buku wajib SIP(sistem informasi posyandu) a. Dilakukan secara tertib b. belum tertib Pelaporan kegiatan posyandu a. telah dilakukan secara rutin dan tepat waktu,antara lain dalam bentuk data dinding(blok SKDN dan atau yang lain) b. Belum dilakukan data dinding secara rutin dan tepat waktu Kinerja D/S a. lebih atau sama dengan 50% b. kurang dari 50% N/D a. lebih atau sama dengan 50% b. kurang dari 50% K/S a. lebih atau sama dengan 50% b. kurang dari 50% Cakupan K4 a. lebih atau sama dengan 50% b. kurang dari 50% Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan a. lebih atau sama dengan 50% b. kurang dari 50% Cakupan peserta KB a. lebih atau sama dengan 50% b. kurang dari 50% Cakupan imunisasi a. lebih atau sama dengan 50% b. kurang dari 50% Cakupan dana sehat a. lebih atau sama dengan 50% b. kurang dari 50% Cakupan Fe ii



0 1 0 1 0



1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0



34 35



a. lebih atau sama dengan 50% b. kurang dari 50% Cakupan kapsul vitamin A balita dan ibu nifas,masing-masing a. lebih atau sama dengan 50% b. kurang dari 50% Frekuensi penimbangan pertahun a. lebih dari 8 kali b. Kurang dari 8 kali



1 0 1 0 1 0



Jumlah total skor jika jawaban benar semua adalah 35. Setelah skor terkumpul, selanjutnya jumlah skor jawaban benar di bagi dengan jumlah total skor, kemudian dikalikan 100%. cara perhitungannya adalah sebagai berikut;



x 100%



Strata Posyandu



Beerdasarkan hasil presentase skor jawaban ,tingkat pengetahuan di kategorikan sebagai berikut: a. Posyandu Mandiri,apabila total skor > 80% b. Posyandu Purnama,apabila total skor 70-80% c. Posyandu Madya,apabila total skor 60-70% d. Posyandu pratama,apabila total skor 50%



POD Pratama : jenis intervensinya adalah pelatihan tambahan jenis penyakit setempat yang perlu ditanggulangi, sehingga jenis obatpun bertambah jumlahnya POD Madya : jenis intervensinya adalah pelatihan tokoh masyarakat dan pelatihan tambahan penyakit dan obat yang digunakan untuk mengatasinya POD Paripurna : Jenis intervensinya adalah pelatihan dana sehat agar POD tersebut mulai meniti kearah kemandirian, sehingga kelestarian program dapat lebh terjamin POD Mandiri : jenis intervensinya adalah pelatihan dana sehat prinsip JPKM, agar dana sehat setempat ditingkatkan stratanya, mengarah ke JPKM Tabel 3 : Indikator Strata Dana Sehat Indikator kepesertaan Pendanaan/iuran /premi Pemeliharaan oragnisasi



Perkiraan tingkat wilayah



Pratama



Madya



Purnama



Rp 800/bulan/kap



Rawat jalan Sub. puskesmas dan puskesmas Institusi lokal 1-2 orang tenaga purna waktu Tingkat desa



Tingkat kecamatan



ii



Paket lengkap seperti tertulis dalam permenkes Organisasi Berbadan hukum >8 orang tenaga purna waktu Lintas kecamatan



Tabel 3a : Pembagian Tingkat Perkembangan Dana Sehat Pratama Indikator



Pratama I



Pratama II



Pratama III



Kepesertaan Pendanaan/iuran /premi Pemeliharaan



50%



Jennis obat P3K kit Ergonomi Penggunaan Pelindung Sismaker Dana sehat



Tabel 5. Indikator Strata TOGA (Toko Obat Keluarga) Indikator Jmlh KK ada TOGA Jenis tanaman per desa Jmlh KK Memanfaatkan TOGA



Pratama 50%



Toga tingkat pratama, intervensinya adalah peningkatan KIE tentang perluasan dan pemanfaatan TOGA untuk petugas kesehatan, lintas sektor terkait, dan kader kesehatan ii



Toga tingkat madya,intervensiya adalah peninggkatan KIE tentang perluasan, pengembangan dan pemanfaatan,TOGA, kepada masyarakat.Toga tingkat purnama intervensinya adalah peningkatan KIE tentang budi daya TOGA kepada masyarkat Tabel 6. Indikator Strata SBH (Saka Bhakti Husada) Indikator Jumlah anggota Pelaks.krida dlm 1 th Jangkauan kegiatan Jangjauan pelayanan Promosi s/d rehabilitasi Penggalian sumber dana Cakupan DS



Pratama



Madya



Purnama



Mandiri



2



>15 >3kali masyaraakat



(-)



(+) 50%



Tabel 7 : Indikator Strata POSKESTREN (Pos Kesehatan Pesantren) Indikator Jumlh anggota Frequensi kegiatan Jangkauan kegiatan Jangjauan pelayanan : Promosi s/d rehabilitasi Penggalian sumber dana Cakupan DS



Pratama Madya 15 >3kali masyarakat >2



(+) 50%



Tabel 8 : Indikator Strata Polindes No 1



Indikator Fisik



Pratama Belum ada bangunan tetap belum memenuhi



Madya Belum ada banguna tetap, memenuhi ii



Purnama Ada bangunan tetap, belum memenuhi



Mandiri Ada bangunan tetap memenuhi



No 2 3 4 5



6



7



8



Indikator Tempat tinggal bidan Pengelolaan polindes Cakupan persalinan di polindes Sarana air bersih



Cakupann kemitraan bidan & dukun bayi Kegiatan KIE (komunikas, informasi, edukasi) untuk kelompok sasaraan Dana sehat /JPKM



Pratama syarat Tidak tinggal di desa Tidak ada kesepakatan 3km



Purnama syarat 1-3 Km



Mandiri syarat 30%



Tersedia air bersih, tapi belum dilengkapi sumber air Dan MCK 75%



12kali