Cardio Respiratory Arrest [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAGIAN ANESTESI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR



REFERAT NOVEMBER 2021



CARDIO RESPIRATORY ARREST



OLEH: Dinda Fuadila Al Humaira, S.Ked 105505406818 PEMBIMBING: dr. A. Alamsyah Irwan, M. Kes, Sp. An



DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF



FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 2021



LEMBAR PENGESAHAN



Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:



Nama



: Dinda Fuadila Al Humaira, S. Ked.



NIM



: 105505406818



Judul Referat



: Cardio Respiratory Arrest



Telah menyelesaikan Referat dalam rangka Kepanitraan Klinik di Bagian Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.



Makassar, Pembimbing,



November 2021



dr. A. Alamsyah Irwan, M. Kes., Sp. An.



KATA PENGANTAR



Assalamualaikum Wr. Wb.



Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulisan laporan kasus ini dapat diselesaikan. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Baginda Besar Nabi Muhammad SAW. Laporan kasus berjudul “Cardio Respiratory Arrest” ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya, sebagai salah satu syarat untuk dalam menyelesaikan Kepanitraan Klinik di Bagian Anestesiologi. Secara khusus penulis sampaikan rasa hormat dan terima kasih yang mendalam kepada dr. A. Alamsyah Irwan, M. Kes, Sp. An Selaku pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dengan tekun dan sabar dalam membimbing, memberikan arahan dan koreksi selama proses penyusunan tugas ini hingga selesai. Penulis menyadari bahwa penyusunan referat ini belum sempurna. Akhir kata, penulis berharap agar referat ini dapat memberi manfaat kepada semua orang.



Makassar,



Penulis



November 2021



BAB I



PENDAHULUAN



Henti jantung (cardiac arrest/CA) adalah situasi darurat yang mengancam jiwa. Di antara semua keadaan darurat yang mengancam jiwa, ini dianggap yang paling menakutkan, karena peluang korban untuk selamat berhubungan langsung dengan perawatan yang cepat, aman, dan efektif. Henti jantung adalah situasi yang memerlukan tindakan segera dan cepat oleh tenaga kesehatan, karena melibatkan risiko bagi pasien, mengingat peluang bertahan hidup setelah peristiwa berkisar antara 2% hingga 49%, tergantung pada awal denyut jantung dan inisiasi awal resusitasi. Namun, kelangsungan hidup dapat berlipat ganda atau tiga kali lipat ketika resusitasi jantung paru (RJP) dilakukan dengan kualitas tinggi.1 Di Amerika Serikat, jumlah tahunan kejadian sudden cardiac arrest (SCA) diperkirakan mencapai 184.000–400.000. Penyebab paling sering adalah penyakit arteri koroner, kardiomiopati, penyakit katup jantung, dan penyakit infiltratif juga merupakan penyebab utama SCA.2 Seperti yang didefinisikan oleh American Heart Association dan American College of Cardiology, serangan jantung (mendadak) adalah penghentian aktivitas jantung secara tiba-tiba sehingga korban menjadi tidak responsif, tanpa pernapasan normal dan tanpa tanda-tanda sirkulasi. Penyebab henti jantung bervariasi menurut populasi dan usia, paling sering terjadi pada mereka yang memiliki diagnosis penyakit jantung sebelumnya. 3



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



A. EPIDEMIOLOGI Setiap tahun, sekitar 0,1% dari populasi (di Amerika Serikat dan Eropa) mengalami serangan jantung di luar rumah sakit yang dinilai oleh layanan medis. Serangan jantung mendadak (SCA) lebih mungkin terjadi pada laki-laki dan antara usia 66 dan 67.4



B. DEFINISI Cardiac arrest (henti jantung) adalah suatu keadaan darurat medis yang ditandai dengan tidak ada atau tidak adekuatnya kontraksi ventrikel kiri jantung yang dengan seketika menyebabkan kegagalan sirkulasi. Henti jantung primer merupakan ketidaksanggupan curah jantung untuk memberi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya secara mendadak dan dapat balik normal, kalau dilakukan tindakan yang tepat atau akan menyebabkan kematian atau kerusakan otak. Henti jantung terminal akibat usia lanjut atau penyakit kronis tentu tidak termasuk henti jantung. (3) Gagal nafas adalah kegagalan sistem respirasi untuk melakukan fungsi pertukaran gas, pemasukan oksigen dan pengeluaran karbondioksida dengan manifestasi klinis, yaitu pasien terlihat seperti tidur dalam, fatigue (kelelahan), sianosis, takikardia, takipneu, diaphoresis dan perubahan status mental dikarenakan kegagalan fungsi respirasi, dimana PaO2 terlalu rendah atau PaCO2 terlalu tinggi.5



C. ETIOLOGI a. Cardiac Arrest Penyakit koroner oklusif (iskemik) adalah penyebab utama henti jantung dan kematian jantung mendadak. Penyebab utama dari cardiac arrest adalah aritmia, yang dicetuskan oleh beberapa faktor, diantaranya penyakit jantung koroner, stress fisik (perdarahan yang banyak, sengatan listrik, kekurangan oksigen akibat tersedak, tenggelam ataupun serangan asma yang berat), kelainan bawaan, perubahan struktur jantung (akibat penyakit katup atau otot jantung) dan obat- obatan (seperti salisilat, etanol, alkohol, antidepresan). Penyebab lainnya antara lain, tamponade jantung dan tension pneumothorax. (3) Cardiac arrest juga dapat disebabkan oleh fibrilasi ventrikel atau takikardi tanpa denyut (80-90%), ventrikel asistol (+ 10%) dan disosiasi elektromekanik (+ 5%). Dua jenis henti jantung yang terakhir lebih sulit ditanggulangi karena akibat gangguan alat pacu jantung. Insiden kematian jantung lebih rendah pada wanita pada usia yang lebih muda jika dibandingkan dengan pria. Setelah infark miokard, penyebab utama SCD adalah takiaritmia, infark ulang, dan ruptur miokard. Meskipun risiko lebih rendah untuk wanita, faktor risiko penyakit jantung oklusif seperti hipertensi, hiperlipidemia, diabetes, merokok, akan bertambah seiring usia dan dengan adanya riwayat keluarga dengan penyakit koroner. .(4) b. Respiratory Arrest 1. Gangguan Ventilasi a. Obstruksi akut, misalnya disebabkan fleksi leher pada pasien tidak sadar, spasme laring atau oedema laring.



b. Obstruksi kronis, misalnya pada emfisema, bronchitis kronis, asma, bronkiektasis, terutama yang disertai sepsis. c. Penurunan compliance, compliance paru atau thoraks, efusi pleura, edema paru, etelektasis, pneumonia, kiposkoliosis, patah tulang iga, pasca oeprasi thoraks/abdomen, peritonitis, distensi lambung, sakit dada dan sebagainya. d. Gangguan neuromuskular, misalnya pada polio, guillain bare syndrome, myasthenia gravis, cedera spinal, fraktur servikal, keracunan obat/zat lain. e. Gangguan/depresi pusat pernafasan, misalnya pada penggunaan obat narkotik/barbiture/trankuliser, obat anestesia, trauma/infark otak, hipoksia berat pada susunan saraf pusat dan sebagainya.



2. Gangguan Difusi Alveoli Kapiler a. Edema paru, ARDS, fibrosis paru, emfisema, emboli lemak, pneumonia, post perfusion syndrome, tumor paru, aspirasi b. Gangguan keseimbangan ventilasi perfusi (V/Q Missmatch) c. Peningkatan deadspace misalnya pada tromboemboli, emfisema, bronchiectasis d. Peninggian intra alveolar shunting, missal pada atelectasis, ARDS, pneumonia edema paru.5 D.



PATOFIOLOGI



a.



Cardiac Arrest Fibrilasi ventrikel (VF) adalah mekanisme yang mendasari di sebagian besar SCD. Penyebab paling umum dari VF adalah iskemia koroner akut sedangkan peningkatan risiko takikardia ventrikel (VT) umumnya terjadi pada pasien dengan penyakit jantung struktural serta channelopathies. Bekas luka miokard dari infark sebelumnya adalah penyebab nomor satu VT monomorfik berkelanjutan pada pasien dengan penyakit jantung struktural. Kematian mendadak pada pasien ini sering diakibatkan oleh VT yang akhirnya mengarah ke fibrilasi ventrikel. 3 Gangguan metabolisme dan stres oksidatif terutama selama iskemia miokard dapat menyebabkan SCD. Meskipun demikian, risiko SCD menurun seiring berjalannya waktu. Mekanisme pemersatu potensial lainnya untuk SCD adalah pelepasan katekolamin yang ditandai selama respons stres. Aktivasi masif sistem saraf



simpatis menyebabkan perubahan dalam penanganan kalsium intraseluler miosit, yang pada gilirannya menyebabkan aritmia ventrikel dan SCD. 3 Pulseless Electrical Activity (PEA) Merupakan keadaan dimana aktifitas listrik jantung tidak menghasilkan kontraktilitas atau menghasilkan kontraktilitas tetapi tidak adekuat sehingga tekanan darah tidak dapat diukur dan nadi tidak teraba. Pada kasus ini CPR adalah tindakan yang harus segera dilakukan. 3 b.



Respiratory arrest Gagal nafas ada dua macam, yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas kronik dimana masing-masing mempunyai pengertian yang berbeda. Gagal nafas akut merupakan keadaan yang timbul pada pasien yang parunya normal secara struktural maupun fungsional sebelum awitan penyakit muncul. Sedangkan, gagal nafas kronik adalah gagal nafas yang timbul pada pasien dengan penyakit paru kronik seperti bronkhitis kronik, emfisema dan black lung disease (penyakit penambang batubara). Pasien mengalamo toleransi terhadap hipokasia dan hiperkapnia yang memburuk secara bertahap. Setelah gagal nafas akut biasanya paru-paru kembali kekeasaan asalnya. Pada gagal nafas kronik struktur paru alami kerusakan yang ireversibel.5 Indikator gagal nafas telah frekuensi pernafasan dan kapasitas vital, frekuensi pernapasan normal ialah 16-20 x/menit. Bila lebih dari 20x/menit tindakan yang dilakukan memberi bantuan ventilator karena “kerja pernapasan” menjadi tinggi sehingga timbul kelelahan. Kapasitas vital dalah ukuran ventilasi (normal 10-20 ml/kg).5 Gagal nafas penyebab terpenting adalah ventilasi yang tidak adekuat dimana terjadi obstruksi jalan nafas atas. Pusat pernafasan yang mengendalikan pernafasan terletak di bawah batang otak (pons dan medulla). Pada kasus pasien dengan anestesia, cedera kepala, stroke, tumor otak, ensefalitis, meningitis, hipoksia dan hiperkapnia mempunyai kemampuan menekan pusat pernafasan sehingga pernafasan menjadi lambat dan dangkal. Pada periode postoperatif dengan anestesia bias terjadi pernafasan tidak adekuat karena terdapat agen menekan pernafasan dengan efek yang dikeluarkan atau dengan meningkatkan efek dari analgetik opiood. Pneumonia atau dengan penyakit paru-paru dapat mengarah ke gagal nafas akut.5



E. KLASIFIKASI RESPIRATORY ARREST Berdasarkan penyebab organ yang tergantung maka dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu: 1.



Kardiak Gangguan gagal nafas bisa terjadi akibat adanya penurunan PaO2 dan peningkatan PaCO2 akibat jauhnya jarak difusi akibat edema paru. Edema paru ini terjadi akibat kegagalan jantung untuk melakukan fungsinya sehingga terjadi peningkatan perpindahan cairan dari vaskuler ke intersitial dan alveoli paru. Terdapat beberapa penyakit kardiovaskuler yang mendorong terjadinya disfungsi miokard dan peningkatan LVEDV dan LVEDP yang menyebabkan mekanisme backward-forward sehingga terjadi peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru, cairan berpindah ke intersitial-alveolar paru dan terjadi edema paru. a.



Penyakit yang menyebabkan disfungsi miokard: infark miokard, kardiomiopati dan miokarditis



b.



Penyakit yang menyebabkan peningkatan LVEDV dan LVEDP: 1) Meningkatkan beban tekanan: aorta stenosis, hipertensi dan coartosio aorta 2) Meningkatkan volume: mitral insufisiensi, aorta insufisiensi, ASD dan VSD 3) Hambatan pengisian ventrikel: mitrak stenosis dan trikuspidal insufisiensi



2.



Non-kardiak Terutama terjadi gangguan di bagian saluran pernafasan atas dan bawah



serta proses difusi. Hal ini bisa disebabkan oleh beberapa hal seperti adanya obstruksi, emfisema, atelektasis, pneumothoraks, ARDS dan lain-lain.5



E.



DIAGNOSA a.



Cardiac arrest Serangan jantung biasanya didiagnosa secara klinis dengan tidak adanya pulsasi terutama pada arteri karotis. Dalam kebanyakan kasus pulsasi karotis adalah standar untuk mendiagnosis serangan jantung, tetapi kurangnya pulsasi (khususnya di pulsasi perifer) mungkin diakibatkan oleh kondisi lain (misal, syok) (Kumar, dkk, 2021).



b.



Respiratory arrest Pemeriksaan Fisik 1. Sirkulasi – Tanda: takikardia, irama ireguler, S3-S4/irama gallop, daerah PMI bergeser ke daerah mediastinal, Hamman’s sign (bunyi udara beriringan dengan denyut jantung menandakan udara di mediastinum), TD: hipertensi, hipotensi 2. Nyeri/kenyamanan – Tanda: melindungi bagian nyeri, perilaku distraksi, ekspresi meringis – Gejala: nyeri pada satu sisi, nyeri tajam saat nafas dalam, dapat menjalar ke leher, bahu dan abdomen, serangan tiba-tiba saat batuk. 3. Pernafasan Tanda: takipnea, peningkatan kerja pernafasan, penggunaan otot asesori, penurunan bunyi nafas, penurunan fremitus vocal, perkusi: hipersonor pada apeks yang berisi udara (pneumothorax), dullness di area berisi cairan (hemothorax); perkusi: pergerakan dada tidak seimbang, reduksi ekskursi thorax. Kulit: sianosis, pucat, krepitasi sub kutan; mental: cemas, gelisah, bingung, stupor Gejala: riwayat trauma, penyakit paru kronis, inflamasi paru, keganasan, batuk 4. Keamanan – Gejala: riwayat terjadi fraktur, keganasan paru, riwayat radiasi/kemoterapi 5. Penyuluhan/pembelajaran – Gejala: riwayat faktor risiko keluarga dengan TB, kanker5 Pemeriksaan Diagnostik 1. Hb: < 12 gr% 2. Analisa gas darah: – pH < 7,35 atau > 7,45



– PaCO2 < 80 atau > 100 mmHg – pCO2 < 35 atau > 45 mmHg – BE < -2 atau > +2 3. Saturasi O2 < 90% Radiologi: terdapat gambaran



akumulasi



udara/cairan, dapat terlihat



perpindahan letak mediastinum



F.



PENATALAKSANAAN CARDIORESPIRATORY ARREST Ketika mendekati seorang pasien yang mengalami serangan jantung, penyelamat harus memeriksa bahwa tidak ada bahaya untuk dirinya sendiri sebelum melanjutkan untuk merawat pasien. Dalam situasi tertentu, penyelamat mungkin dalam bahaya yang cukup besar dan harus memastikan bahwa bahaya apapun dapat dieliminasi sebagai risiko.2 Tindakan segera yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan keadaan darurat ini adalah dengan resusitasi (cardiopulmonary resuscitation/CPR) dan defibrilisasi jantung yang dimana tindakan ini hanya perlu memerlukan waktu yang amat minimal. Perkembangan terbaru 2010 AHA Guidelines for CPR and ECC adalah perubahan Basic Life Support (BLS) dalam urutan langkah dari ABC (airway, breathing, chest compression) menjadi CAB (chest compression, airway, breathing) untuk orang dewasa dan pasien pediatrik (anak-anak dan bayi, termasuk yang baru lahir). Meskipun para ahli setuju bahwa penting untuk mengurangi waktu untuk kompresi dada pertama, mereka sadar bahwa perubahan dalam sesuatu yang didirikan sebagai urutan ABC akan memerlukan pendidikan ulang pada setiap orang yang pernah belajar CPR.6 Prinsip utama dalam resusitasi: memperkuat rantai harapan hidup (chain of survival). Yang dimana keberhasilan dalam melakukan resusitasi membutuhkan integritas koordinasi jalur chain of survival. Jalur ini meliputi: 1)



Pengenalan segera akan henti jantung dan aktivasi sistem respon darurat (emergency response system). Seorang korban henti jantung biasanya tidak bereaksi. tidak bernapas atau bernapas tetapi tidak normal. Deteksi nadi saja biasanya tidak dapat diandalkan walaupun dilakukan oleh penolong yang terlatih dan membutuhkan waktu tambahan. karenanya penolong harus memulai RJP segera setelah mendapati bahwa korban tidak



bereaksi dan tidak bernapas atau bernapas secara tidak normal (terengah-engah). Petugas evakuasi harus membantu dalam assessment dan memulai RJP. 2)



RJP dini dengan penekanan pada kompresi dada Memulai dengan segera kompresi dada adalah aspek mendasar dalam resusitasi. RJP memperbaiki kesempatan korban untuk hidup dengan menyediakan sirkulasi bagi otak dan jantung. Penolong harus melakukan kompresi dada untuk semua korban henti jantung tanpa memandang tingkat kemampuannya, karekteristik korban dana lingkungan sekitar. Untuk satu siklus perbandingan kompresi dan ventilasi adalah 30:2. Penolong harus fokus pada memberikan RJP yang berkualitas baik.6



RJP dengan kualitas baik adalah dengan melakukan kompresi dada dalam kecepatan yang cukup (setidaknya 100-120 x/menit). ➢ Melakukan kompresi dada pada kedalaman yang cukup: • Pada orang dewasa + 2 inch/5 cm • Pada anak-anak 2 inch/5 cm • Pada bayi 1,5 inch/4 cm ➢ Menunggu dada mengembang sempurna setelah setiap kompresi ➢ Meminimalisir interupsi selam kompresi ➢ Menghindari ventilasi yang berlebihan6 3)



Defibrilasasi cepat Penggunaan sebaiknya dilakukan setelah alat tersedia datang ke tempat kejadian. Pergunakan program/panduan yang telah ada, kenali apakah ritme tersebut dapat diterapi kejut atau tidak. Jika iya, lakukan terapi kejut sebanyak 1 kali dan lanjutkan RJP selama 2 menit dan periksa kembali ritme. Terapi dengan memberikan energi listrik Dilakukan pada pasien/korban yang penyebab henti jantung adalah gangguan irama jantung. Penyebab utama adalah ventrikel takikardi atau ventrikel fibrilasi. Pada penggunaan orang awam tersedia alat Automatic External Defibrilation (AED). Lakukan langkah tersebut hingga petugas ACLS (Advance Cardiac Life Support) datang atau korban mulai bergerak.6



4)



Advance cardiac life support yang efektif Cepat mendapat pertolongan alat bantu pernapasan dan terapi medikamentosa



untuk mengontrol sirkulasi.6 5)



Post-cardiac arrest care (perawatan pasca henti jantug yang terintegritas) Perawatan atau pertolongan yang dapat dilakukan pasca henti jantung, antara lain: • Awasi jalan nafas sebaik-baiknya dan pengelolaan ventilasi • Berikan oksigen jika tersedia • Jika terjadi muntah bersihkan jalan napas • Lanjutkan memantau tanda-tanda vital • Stabilisasi fisik dan transport6



2.4.1. Terapi Obat Meskipun defibrilator tetap merupakan tindakan utama, sejumlah obat antiaritmia mungkin dapat memberikan hasil yang berguna. Obat-obat tersebut dapat digunakan untuk mengobati aritmia yang mengancam jiwa, untuk menurunkan ambang batas untuk defibrilasi sukses atau sebagai profilaksis terhadap gangguan ritme yang lebih lanjut.5 Setiap agen memiliki indikasi khusus, namun kebanyakan berupa inotropik negatifjelas tidak diinginkan dalam tindakan resusitasi. Lignocaine, bretylium, amiodarone dan magnesium adalah agen yang paling sering digunakan. Terdapat kurangnya bukti berbasis manusia mengenai efektivitas obat-obat tersebut, mencerminkan kesulitan dalam melakukan studi klinis yang berarti dalam tindakan resusitasi.5



1.



Lignocaine/Lidocain Lidocain memiliki sifat antiarrhythmic berasal dari blokade sodium channel, sehingga terjadi stabilisasi membran. Pacemaker jantung dari SA node ditekan dan konduksi dalam otot ventrikel dihambat. Ada sedikit efek pada node (AV) atrioventrikular dan depresi miokard dan efek pro-arrhythmic sangat minim.15 Lignocaine berkhasiat untuk pengobatan ventrikel takikardia. Kemampuan lignocaine untuk meningkatkan kemungkinan keberhasilan defibrilasi VF persisten masi belum diketahui, lignocaine juga digunakan untuk mengobati haemodynamically VT yang stabil. Dosis lignocaine untuk fibrilasi ventrikel adalah 100 mg iv dan untuk takikardia ventrikular hemodinamik yang stabil adalah 1 mg/kg iv-diulang sekali jika perlu-dan



diikuti oleh infus intravena 4 mg/min selama 30 menit, 2 mg/menit selama 2 jam dan kemudian 1 mg/menit.5



2.



Amiodarone Menghasilkan blokade saluran kalium dengan beberapa hambatan depolarisasi saluran natrium termediasi, terjadi perpanjangan potensial aksi miokard dan tingkat blokade ß. Ini menghasilkan antifibrillatory dan menurunkan ambang defibrilasi dengan efek minimal pada kontraktilitas miokard. Penggunaan rutin dasarnya selama henti jantung belum dibuktikan dan umumnya



dicadangkan



untuk



pengobatan



lini



kedua



dari



peri-arrest



tachyarrhythmias. Amiodarone sebaiknya dikelola secara terpusat dan perlahan-lahan. Biasanya dosis muatan 300 mg diberikan lebih dari satu jam diikuti dengan infus 900 mg dalam 1000 ml glukosa 5% selama 24 jam berikut. Dalam situasi mendesak, dosis 300 mg pertama dapat diberikan selama 5-15 menit secara perifer dan diikuti dengan 300 mg lebih dari satu jam.5



3.



Atropin Suntikan atropin digunakan dalam pengobatan bradycardia (tingkat rendah hati yang sangat), ada detak jantung dan aktivitas listrik pulseless (PEA) dalam serangan jantung. Ini bekerja karena aksi utama dari saraf vagus sistem parasimpatis pada



jantung adalah dengan menurunkan detak jantung. Namun, dalam panduan terbaru yang dirilis oleh asosiasi American Heart, atropin tidak lagi secara rutin diindikasikan sebagai modalitas pengobatan primer di ada detak jantung dan PEA. Atropin blok tindakan dan, karenanya, dapat mempercepat denyut jantung. Dosis yang biasa atropin dalam penangkapan bradisitolik adalah 0,5 hingga 1 mg IV push setiap tiga sampai lima menit, sampai dosis maksimum 0,04 mg/kg. Untuk bradikardi gejala, dosis biasa adalah 0,5-1,0 mg IV push, dapat mengulang setiap 3 sampai 5 menit sampai dosis maksimum 3,0 mg.5



4.



Epinefrin Adrenalin digunakan sebagai obat untuk mengobati serangan jantung dan disritmia jantung mengakibatkan berkurang atau tidak ada curah jantung tindakan adalah untuk meningkatkan daya tahan perifer melalui α-reseptor tergantung vasokonstriksi dan meningkatkan cardiac output melalui mengikat untuk β-reseptor.



BAB III KESIMPULAN Cardiac arrest (henti jantung) merupakan suatu keadaan darurat medis yang ditandai dengan tidak ada atau tidak adekuatnya kontraksi ventrikel kiri jantung yang dengan seketika menyebabkan kegagalan sirkulasi. Henti jantung primer merupakan ketidaksanggupan curah jantung untuk memberi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya secara mendadak dan dapat balik normal, kalau dilakukan tindakan yang tepat atau akan menyebabkan kematian atau kerusakan otak. Gagal nafas/henti nafas adalah ketidakmampuan alat pernafasan untuk mempertahankan oksigenasi di dalam darah, dengan atau tanpa penumpukan CO 2. Manifestasi klinis yang dapat dilihat pada pasien dengan henti nafas adalah seperti tidur dalam, fatigue (kelelahan), sianosis, takikardia, takipneu, diaphoresis dan perubahan status mental karena kegagalan fungsi respirasi, dimana PaO2 terlalu rendah atau PaCO2 terlalu tinggi maka pernafasan akan menjadi dangkal dan lambat. Penatalaksanaan awal cardiorespiratory arrest adalah resusitasi jantung paru yang bertujuan untuk mengembalikan denyut jantung dan fungsi sirkulasi serta memberikan bantuan dasar untuk mempertahankan hidup pasien dan mencegah kerusakan lebih lanjut. Tindakan resusitasi ini meliputi pertolongan hidup dasar menurut AHA 2010 Guidelines yang terdiri dari tiga komponen yakni chest compression, airway dan breathing. Selain RJP, pemberian defibrilasi juga dapat dilakukan. Defribilasi memberikan arus listrik melalui jantung secara simultan dan bersamaan dengan terjadinya depolarisasipda miokardium yang tengah kritis dan memulai kembali koordinasi pada masa refrakter absolut sehingga sel pacu jantung (SA node) mempunyai kesempatan untuk membangun kembali sinus ritme untuk menciptakan depolarisasi spontan. Pemberian sejumlah obat antiaritmia mungkin dapat memberikan hasil yang berguna. Obatobatan tersebut digunakan untuk mengobati aritmia, aritmia yang mengancam jiwa, menurunkan ambang batas untuk defribilasi sukses atau sebagai profilaksis terhadap gangguan ritme yang lebih lanjut. Obat-obatan yang umum dipakai adalah lignocaine, bretylium, amiodarone dan magnesium.



DAFTAR PUSTAKA 1.



Neto EM., Freitas KS., FActors Associated to the Knowledge of Cardiac Arrest by health Proffesionals



2.



Roh SY, Choi J, Kim MS, dkk. incidence and etiology of sudden cardiac arrest in Koreans: A cohort from the national health insurance service database. Division of cardiology, Korea University college of Medicine and Korea University medical Center. November 25, 2020



3.



Patel K., Hipskind JE. Cardiac Arrest. Western Michigan University. august 11, 2021)



4.



Kumar A., Shaikh JD.,dkk. Sudden cardiac death: epidemiology, pathogenesis and management. March 2021



5.



Moll V. Overview of respiratory Arrest. Emory University School of Medicine, Departement of Anesthesiology, Divison of Critical Care Medicine. April 2020



6.



American Heart Association . Guidelines for CPR and ECC. 2020.