Mep Book Cardio [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



MEP Books Cardiovascular page 1



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



MEP BOOKS CARDIOVASCULAR



Editor : MEP ISMKI WILAYAH 2



Institusi kedokteran yang berkontribusi : Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta Universitas Katholik Atmajaya Universitas Tarumanegara Universitas Muhammadiyah Jakarta Universitas Yarsi Universitas Tanjung Pura



MEP Books Cardiovascular page 2



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



KATA PENGANTAR Assalamualaikum, wr wb. Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan penyusunan MEP Books 2016 dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami berterima kasih kepada institusi kedokteran yang turut serta berkontribusi dalam penyusunan. Untuk masa kepengurusan ini, kami memilih untuk menyusun MEP Books yang bertemakan Cardiovascular dan Tropical Infection. Penyusunan MEP Books yang dirancang dan disusun oleh Medical Education and Profession (MEP) ISMKI wilayah 2 dengan kontribusi institusi kedokteran di wilayah 2 ini dalam pembuatan materi. Kami sangat berharap MEP Books ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai penyakit. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam MEP Books ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan MEP Books yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.



Ciputat, 10 Oktober 2016



MEDICAL EDUCATION AND PROFESSION



MEP Books Cardiovascular page 3



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



CONTENTS ANATOMI SISTEM KARDIOVASKULER ..................................................................... 5 HISTOLOGI SISTEM KARDIOVASKULER ................................................................ 10 FISIOLOGI SISTEM KARDIOVASKULER .................................................................. 17 BIOKIMIA SISTEM KARDIOVASKULER ................................................................... 26 MIKROBIOLOGI PADA SISTEM KARDIOVASKULER ............................................ 37 PATOLOGI KLINIK SISTEM KARDIOVASKULER ................................................... 40 PATOLOGI ANATOMI KARDIOVASKULAR............................................................. 48 DEEP VEIN THROMBOSIS ........................................................................................... 54 TROMBOEMBOLI VENA .............................................................................................. 57 THROMBOANGITIS OBLITERANS ............................................................................. 61 VARICOSE VEINS (VARISES)...................................................................................... 66 AORTIC DISSECTION ................................................................................................... 71 AORTIC DISSECTION ................................................................................................... 79 TAKIKARDI SUPRAVENTRIKULAR .......................................................................... 87 ATRIAL FIBRILASI ........................................................................................................ 95 FLUTTER ATRIUM ...................................................................................................... 104 SUPRA VENTRICULAR EXTRA SYSTOLE .............................................................. 106 EKSTRASISTOL VENTRIKEL .................................................................................... 108 FIBRILASI VENTRIKEL .............................................................................................. 110 HENTI JANTUNG ( CARDIACT ARREST ) ............................................................... 112 GAGAL JANTUNG ....................................................................................................... 116 ANGINA PECTORIS ..................................................................................................... 123 HIPERTENSI.................................................................................................................. 129 COR PULMONALE ....................................................................................................... 134 DEMAM REMATIK DAN PENYAKIT JANTUNG REMATIK ................................. 137 ENDOKARDITIS, MIOKARDITIS, DAN PERIKARDITIS ........................................ 168 KELAINAN JANTUNG KONGENITAL ...................................................................... 179 PENYAKIT KATUP JANTUNG ................................................................................... 189 INSUFISIENSI VENA ................................................................................................... 211 RADIOLOGI .................................................................................................................. 238 REHABILITASI KARDIOVASKULAR DI INDONESIA ........................................... 246 MEP Books Cardiovascular page 4



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



ANATOMI SISTEM KARDIOVASKULER



MEP Books Cardiovascular page 5



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



MEP Books Cardiovascular page 6



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



MEP Books Cardiovascular page 7



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



MEP Books Cardiovascular page 8



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



MEP Books Cardiovascular page 9



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



HISTOLOGI SISTEM KARDIOVASKULER sistem kardiovaskular membawa darah dari jaringan ke jantung maupun me mbawa darah dari jantung ke jaringan sistem kardiovaskular System vascular darah terdiri atas struktur berikut ini: i.



Jantung, yakni suaatu organ yang berfungsi untuk memompa darah



ii.



Arteri, serangkaian pembuluh eferen yang makin mengecil sewaktu bercabang, dan berfungsi untuk mengangkut darah dengan nutrient dan oksigen ke jaringan



iii.



Kapiler, yaitu pembuluh darah terkecil, berupa jalinan saluran halus dan rumit yang saling beranastomosis dan dindingnya merupakan tempat berlangsungnya pertukaran zat antara darah dan jaringan



iv.



Vena, yang terbentuk dari penggabungan kapiler menjadi system saluran.



JANTUNG Jantung adalah organ berotot yang berkontraksi secara ritmis, memompa darah melalui system sirkulasi Ventrikel kanan dan kiri memompa darah masing masing ke paru paru, atrium kanan dan kiri menerima darah dari tubuh dan vena pulmonalis. Dinding keempat bilik jantung terdiri atas 3 lapisan utama yaitu:



MEP Books Cardiovascular page 10



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



-endokardium ; terdiri atas selapis sel endotel gepeng yang berada di atas selapis tipis subendotel jaringan ikat longgar yang mengandung serat elastin dan kolagen selain sel otot polos - miokardium adalah tunika yang paling tebal di jantung dan terdiri atas sel sel otot jantung yang tersususn berlapis lapis yang mengelilingi bilik-bilik jantung dalam bentuk pilinan yang rumit. Miokardium jauh lebih tebal di ventrikel ketimbang di atrium. - epikardium adalah bagian luar jantung yang dilapisi oleh epitel selapis gepeng yang ditopang oleh selapis tipis jaringan ikat. Epikardium dapat disetarakan dengan lapisan visceral pericardium, yaitu membrane serosa tempat jantung berada



Pembuluh darah



pembuluh darah terbagi menjadi tiga bagian yaitu : 1. pembuluh darah arteri: pembuluh arteri membawa darah dari jantung 2. pembuluh darah vena dan : pembuluh darah vena membawa darah k embali ke jantung 3. kapiler: kapiler merupakan tempat terjadinya pertukaran zat antara da rah dan jaringan -



struktur pembuluh darah MEP Books Cardiovascular page 11



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



arteri memiliki dinding pembuluh darah yang tebal , cenderung bulat ataupu n lonjong, apabila di percabangkan maka pembuluh arteri akan semakin me ngecil pembuluh vena memiliki dinding yang tipis , dan cenderung koleps. percaba ngan vena semakin mendekati jantung maka pembuluh vena tersebut akan membesar -



dinding pembuluh darah ada tiga macam yaitu







tunika intima : tunika intima merupakan lapisan paling dalam, mempunyai epitel selapis gepeng atau di sebut juga sel endotel (epitel selapis gepeng yang membungkus pembuluh darah), dan mempunyai jaringan ikat.







tunika media: merupakan lapisan paling tebal,berisi otot polos, lapisan paling tebal







tunika adventisia: terdiri atas serat kolagen tipe I dan serat elastin.



pada pembuluh besar biasanya terdapat vasa vasorum(pembuluh dari pe mbuluh),yang berupa arteriol, venula, dan tunica media dibagian luar. Pembuluh darah besar disuplai oleh jejaring serabut saraf simpatis tak b ermielin dengan neurotransmitter berupa norepinefrin.



ARTERI arteri diklasifikasi menjadi tiga,yaitu: 



arteri elastik : -mencakup aorta beserta cabang-cabang besarnya. -bila dipotong dalam keadaan segar maka tampak berwarna kekuningan karena banyak serat elastin didalamnya. -tunika media terdiri atas serat2 elastin dan sederetan lamina elastica yang berlubang-lubang dan tersusun konsentris.







arteri muskular : -dapat mengendalikan banyaknya darah yang menuju organ dengan m engontraksikan sel-sel otot polos. -tunika intima memiliki lapisan subendotel yang sangat tipis -tunika media dapat memiliki hingga 40 lapisan sel otot polos yang lebih mencolok. MEP Books Cardiovascular page 12



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



-tunika adventitia terdiri dari jaringan ikat. 



arteriol: -bediameter < 0,5 mm -lapisan subendotel sangat tipis, tidak ada lamina elastica interna -pada arteriol besar masih terdapat lamina elastica eksterna -metarteriol:otot polos tidak lengkap



Gambar : dinding arteri



Struktur sensoris arteri ada tiga yaitu: 



sinus karotid: -baroreseptor: mengetahui perubahan tekanan darah -didaeraharteri karotis interna dibagian distal percabangan arteri karotis komunis -tunika adventitia rlatif tebal dan ujung saraf sensoris dari saraf glosofaringeal







badan karotid: -percabangan arteri carotis comunis -mengandung kemoreseptor yang sensitif terhadap CO2 dan O2 dalam drah -saraf sensorik diaktifkan oleh pelepasan nerotransmitter dari sel glomus MEP Books Cardiovascular page 13



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



sebagai respon terhadap perubahan didaerah sinusoid. 



badan aortik: -pada arcus aorta antara arteri subklavia kanan&arteri karotis komunis kanan dan antara arteri karotis komunis kiri&arteri subklavia kiri



KAPILER Kapiler memungkinkan berbagai tingkat pertukaran metabolic antara dara h dan jaringan sekitar. Kapiler terdiri atas selapis sel endotel yang tergulun g membentuk suatu saluran.diameter rerata kapiler bervariasi dari 5 hingga 10 mikrometer dan panjang umumnya tidak melebihi 50 mikrometer. Klasifikasi Kapiler : 



kapiler kontinu(somatik): -dapat ditemukan pada jar.otot, jar.ikat, kel.eksokrin, jar.saraf. -taut endotel :fascia okludentes(mencegah transport molekul)







kapiler berfenestrata: -mempunyai pori yang tertutup diafragma, kecuali pada glomerulus -dijumpai dijaringan tempat berlangsungnya pertukaran zat secara cepat antara jaringan dan darah, seperti :ginjal, usus, kelenjar endokrin.







kelenjar sinusoid: - memiliki fenestra besar tanpa diafragma -lamina basal juga bersifat diskontinu -berdiameter 30-40 mikrometer -ditemukan dihati, limpa, organ endokrin dan sumsum tulang.



MEP Books Cardiovascular page 14



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



VENA:



Gambar: dinding vena 



mengembalikan darah ke jantung







tunika intima memiliki subendotel tipis







tunika media terdiri atas







tuika adventitia dengan kolagennya berkembang dengan baik







sebagian besar vena memiliki katup. katup tersebut kaya akan serat elastin



berkas-berkas kecil sel otot polos.



dan dilapisi dikedua sisi oleh sunendotel. 



klasifikasi vena : -venula dan vena kecil : bediameter >1mm, perisit berganti otot polos -vena sedang : diameter < 1cm , tidak ada lapisan elastika interna -vena besar: umumnya berisi jaringan ikat.



MEP Books Cardiovascular page 15



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



Gambar: perbedaan arteri dan vena



MEP Books Cardiovascular page 16



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



FISIOLOGI SISTEM KARDIOVASKULER a. Siklus Jantung Siklus jantung terdiri dari periode sistol (kontraksi dan pengosongan isi) dan diastol (relaksasi dan pengisian jantung). Atrium dan ventrikel mengalami siklus sistol dan diastol yang terpisah. Kontraksi terjadi akibat penyebaran eksitasi ke seluruh jantung, sedangkan relaksasi timbul setelah repolarisasi jantung. Selama diastol ventrikel dini, atrium juga masih berada dalam keadaan diastol. Karena aliran masuk darah yang kontinu dari sistem vena ke dalam atrium, tekanan atrium sedikit melebihi tekanan ventrikel walaupun kedua bilik tersebut melemas. Karena perbedaan tekanan ini, katup AV terbuka, dan darah mengalir langsung dari atrium ke dalam ventrikel selama diastol ventrikel. Akhirnya, volume ventrikel perlahan – lahan meningkat bahkan sebelum atrium berkontraksi. Pada akhir diastol ventrikel, nodus sinoatrium (SA) mencapai ambang dan membentuk potensial aksi. Impuls menyebar ke seluruh atrium dan menimbulkan kontraksi atrium. Setelah eksitasi atrium, impuls berjalan melalui nodus AV dan sistem penghantar khusus untuk merangsang ventrikel. Ketika kontraksi ventrikel dimulai, tekanan ventrikel segera melebihi tekanan atrium. Perbedaan tekanan yang terbalik inilah yang mendorong katup AV tertutup. Setelah tekanan ventrikel melebihi tekanan atrium dan katup AV sudah menutup, tekanan ventrikel harus terus meningkat (Sherwood, 2001) sampai tekanan tersebut cukup untuk membuka katup semilunar (aorta dan pulmonal) (Guyton, 2006). Dengan demikian, terdapat periode waktu singkat antara penutupan katup AV dan pembukaan katup aorta. Karena semua katup tertutup, tidak ada darah yang masuk atau keluar dari ventrikel selama waktu ini. Interval ini disebut sebagai periode kontraksi ventrikel isometrik (Sherwood, 2001). Pada saat tekanan ventrikel kiri melebihi 80 mmHg dan tekanan ventrikel kanan melebihi 8 mmHg, katup semilunar akan terdorong dan membuka. Darah segera terpompa keluar dan terjadilah fase ejeksi ventrikel. Pada akhir sistolik, terjadi relaksasi ventrikel dan penurunan tekanan intraventrikular secara cepat. Peningkatan tekanan di arteri besar menyebabkan pendorongan darah kembali ke MEP Books Cardiovascular page 17



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



ventrikel sehingga terjadi penutupan katup semilunar (Guyton, 2006). Tidak ada lagi darah yang keluar dari ventrikel selama siklus ini, namun katup AV belum terbuka karena tekanan ventrikel masih lebih tinggi dari tekanan atrium. Dengan demikian, semua katup sekali lagi tertutup dalam waktu singkat yang dikenal sebagai relaksasi ventrikel isovolumetrik.



b. Curah Jantung dan Kontrolnya Curah jantung (cardiac output) adalah volume darah yang dipompa oleh tiap – tiap ventrikel per menit (bukan jumlah total darah yang dipompa oleh jantung). Selama satu periode waktu tertentu, volume darah yang mengalir MEP Books Cardiovascular page 18



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



melalui sirkulasi paru ekivalen dengan volume darah yang mengalir melalui sirkulasi sistemik. Dengan demikian, curah jantung dari kedua ventrikel dalam keadaan normal identik, walaupun apabila diperbandingkan denyut demi denyut, dapat terjadi variasi minor. Dua faktor penentu curah jantung adalah kecepatan denyut jantung (denyut per menit) dan volume sekuncup (volume darah yang dipompa per denyut). Kecepatan denyut jantung rata – rata adalah 70 kali per menit, yang ditentukam oleh irama sinus SA, sedangkan volume sekuncup rata – rata adalah 70 ml per denyut, sehingga curah jantung rata – rata adalah 4.900 ml/menit atau mendekati 5 liter/menit. Kecepatan denyut jantung terutama ditentukan oleh pengaruh otonom pada nodus SA. Nodus SA dalam keadaan normal adalah pemacu jantung karena memiliki kecepatan depolarisasi spontan tertinggi. Ketika nodus SA mencapai ambang, terbentuk potensial aksi yang menyebar ke seluruh jantung dan menginduksi jantung berkontraksi. Hal ini berlangsung sekitar 70 kali per menit, sehingga kecepatan denyut rata – rata adalah 70 kali per menit. Jantung dipersarafi oleh kedua divisi sistem saraf otonom, yang dapat memodifikasi kecepatan serta kekuatan kontraksi. Saraf parasimpatis ke jantung yaitu saraf vagus mempersarafi atrium, terutama nodus SA dan nodus atrioventrikel (AV). Pengaruh sistem saraf parasimpatis pada nodus SA adalah menurunkan kecepatan denyut jantung, sedangkan pengaruhnya ke nodus AV adalah menurunkan eksitabilitas nodus tersebut dan memperpanjang transmisi impuls ke ventrikel. Dengan demikian, di bawah pengaruh parasimpatis jantung akan berdenyut lebih lambat, waktu antara kontraksi atrium dan ventrikel memanjang, dan kontraksi atrium melemah. Sebaliknya, sistem saraf simpatis, yamg mengontrol kerja jantung pada situasi – situasi darurat atau sewaktu berolahraga, mempercepat denyut jantung melalui efeknya pada jaringan pemacu. Efek utama stimulasi simpatis pada nodus SA adalah meningkatkan keceptan depolarisasi, sehingga ambang lebih cepat dicapai. Stimulasi simpatis pada nodus AV mengurangi perlambatan nodus AV dengan meningkatkan kecepatan penghantaran. Selain itu, stimulasi simpatis mempercepat penyebaran potensial aksi di seluruh jalur penghantar khusus.



MEP Books Cardiovascular page 19



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



Komponen lain yang menentukan curah jantung adalah volume sekuncup. Terdapat dua jenis kontrol yang mempengaruhi volume sekuncup, yaitu kontrol intrinsik yang berkaitan dengan seberapa banyak aliran balik vena dan kontrol ekstrinsik yang berkaitan dengan tingkat stimulasi simpatis pada jantung. Kedua faktor ini meningkatkan volume sekuncup dengan meningkatkan kontraksi otot jantung. Hubungan langsung antara volume diastolik akhir dan volume sekuncup membentuk kontrol intrinsik atas volume sekuncup, yang mengacu pada kemampuan inheren jantung untuk mengubah volume sekuncup. Semakin besar pengisian saat diastol, semakin besar volume diastolik akhir dan jantung semakin teregang. Semakin teregang jantung, semakin meningkat panjang serat otot awal sebelum kontraksi. Peningkatan panjang menghasilkan gaya yang lebih kuat, sehingga volume sekuncup menjadi lebih besar. Hubungan antara volume diastolik akhir dan volume sekuncup ini dikenal sebagai hukum Frank-Starling pada jantung. Secara sederhana, hukum Frank-Starling menyatakan bahwa jantung dalam keadaan normal memompa semua darah yang dikembalikan kepadanya, peningkatan aliran balik vena menyebabkan peningkatan volume sekuncup. Tingkat pengisian diastolik disebut sebagai preload, karena merupakan beban kerja yang diberikan ke jantung sebelum kontraksi mulai. Sedangkan tekanan darah di arteri yang harus diatasi ventrikel saat berkontraksi disebut sebagai afterload karena merupakan beban kerja yang ditimpakan ke jantung setelah kontraksi di mulai. Selain kontrol intrinsik, volume sekuncup juga menjadi subjek bagi kontrol ekstrinsik oleh faktor – faktor yang berasal dari luar jantung, diantaranya adalah efek saraf simpatis jantung dan epinefrin (Sherwood, 2001).



MEP Books Cardiovascular page 20



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



MEP Books Cardiovascular page 21



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



c. Tekanan Darah Tekanan darah adalah tekanan hidrostatik yang diakibatkan karena penekanan darah pada dinding pembuluh darah. Tekanan darah sistolik adalah tekanan darah tertinggi yang dicapai arteri selama sistol, sedangkan tekanan darah diastolik adalah tekanan darah terendah yang dicapai arteri selama diastol (Tortora, 2012). Tekanan arteri rata – rata (mean arterial pressure) adalah tekanan rata – rata yang bertanggung jawab mendorong darah maju ke jaringan selama seluruh siklus jantung. Perkiraan tekanan arteri rata – rata dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut: Tekanan arteri rata – rata = tekanan darah diastolik + 1/3 (tekanan darah sistolik – tekanan darah diastolik) Pengaturan tekanan arteri rata – rata bergantung pada dua kontrol utamanya, yaitu curah jantung dan resistensi perifer total. Kontrol curah jantung bergantung pada pengaturan kecepatan denyut jantung dan volume sekuncup, sementara resistensi perifer total terutama ditentukan oleh derajat vasokonstriksi arteriol. Pengaturan jangka pendek tekanan darah terutama dilakukan oleh reflex baroreseptor. Baroreseptor sinus karotikus dan lengkung aorta secara terus – menerus memantau tekanan arteri rata – rata. Kontrol jangka panjang tekanan darah melibatkan pemeliharaan volume plasma yang sesuai melalui kontrol keseimbangan garam dan air oleh ginjal ( Sherwood, 2001). Pusat pengawasan dan pengaturan perubahan tekanan darah yaitu: 1. Sistem saraf a. Presoreseptor dan kemoreseptor: serabut saraf aferen yang menuju pusat vasomotor berasal dari baroreseptor arteri dan kemoreseptor aortadan karotis dari korteks serebri. b. Hipotalamus: Berperan dalam mengatur emosi dan tingkah laku yang berhubungan dengan pengaturan kardiovaskuler c. Serebrum: Mempengaruhi tekanan dari karena penurunan respons tekanan, vasodilatasi, dan respons depressor meningkat. MEP Books Cardiovascular page 22



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



d. Reseptor nyeri: bergantung pada intensitas dan lokasi stimulus e. Reflex pulmonal: inflasi paru menimbulkan vasodilatasi sistemik dan penurunan tekanan darah arteri dan sebaliknya kolaps paru menimbulkan vasokonstriksi sistemik 2. Sistem humoral atau kimia: berlangsung local atau sistemik, misalnya rennin-angiotensin, vasopressin, epineprin, asetikolin, serotonin, adenosine, kalsium, magnesium, hydrogen dan kalium. 3. Sistem hemodinamik: lebih banyak dipengaruhi oleh volume darah, susunan kapiler, perubahan tekanan osmotic, dan hidrostatik bagian luar, dan dalam sistem vaskuler. 4. Sistem limfatik: komposisi sistem limfatik hampir sama dengan komposisi kimia plasma darah dan mengandung sejumlah besar limfosit yang mengalir sepanjang pembuluh limfe untuk masuk ke dalam aliran darah.



Fisiologi Vaskuler Sistem vaskuler memiliki peranan penting pada fisiologi kardiovaskuler karena berhubungan dengan mekanisme pemeliharaan lingkungan internal. Bagian- bagian yang berperan dalam sirkulasi: 1.



Arteri mentranspor darah di bawah tekanan tinggi ke jaringan.



2.



Arteriola, cabang kecil dari sistem arteri yang berfungsi sebagai kendali ketika



darah yang dikeluarkan ke dalam kapiler. 3.



Kapiler , tempat pertukaran cairan, zat makanan dan elektrolit, hormone dan



bahan lainnya antara darah dan cairan interstitial. 4.



Venula yaitu mengumpulkan darah dari kapiler secara bertahap



5.



Vena yaitu saluran penampung pengangkut darah dari jaringan kembali ke



jantung. Aliran Darah Kecepatan aliran darah ditentukan oleh perbedaan tekanan antara kedua ujung pembuluh darah. Pembuluh darah dan aliran arteri adalah: 1.



Aliran darah dalam pembuluh darah



2.



Tekanan darah arteri : Sistolik, diastolic, nadi, dan darah rata-rata.



3.



Gelombang nadi. MEP Books Cardiovascular page 23



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



4.



Analisis gelombang nadi: dapat di nilai dari: frekuensi gelombang nadi, irama



denyut nadi, amplitude dan ketajaman gelombang. 5.



Factor yang mempengaruhi tekanan darah arteri.



Sedangkan Pembuluh dan Aliran Vena Yaitu: 1.



Tekanan Vena: biasanya sangat rendah



2.



Gelombang denyut vena: perubahan tekanan dan volume



3.



Kurva denyut nadi: vena jugularis eksterna dengan cara non invasive



4.



Kecepatan aliran darah vena



5.



Factor yang mempengaruhi kecepatan aliran darah vena



6.



Pengaruh gravitasi pada tekanan darah vena



MEP Books Cardiovascular page 24



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



MEP Books Cardiovascular page 25



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



BIOKIMIA SISTEM KARDIOVASKULER 1.



METABOLISME NORMAL OTOT JANTUNG



Kita mulai aja ya guys, ini aku buat dengan sepenuh hati, mudah2an kalian bisa cepet ngerti.



OTOT JANTUNG Jadi otot jantung itu dia rakus, sifat-sifat yang ada di otot2 lain diembat tuh sama dia 1. Sifat luriknya mirip otot skelet 2. Sifat involunternya mirip otot polos. Desain otot jantung mendukung sifatnya yang konsisten dan memiliki daya tahan yang tinggi.



METABOLISME OTOT CARDIAC HAMPIR SAMA DENGAN OTOT SKELET



Bedanya? Perbedaan paling mendasar : Otot jantung itu sangat bergantung dengan kadar Ca di luar sel (ekstraseluler). Kenapa otot jatung butuh banget Ca terutama Ca yang ekstrasel sedangkan otot skelet ga?Mau tahu jawabannya? Baca dulu nih yang satu ini...



Kalau otot skelet, terbukanya kanal dhp (dihidro phiridine) yang ada di tubulus T disebabkan adanya potensial aksi yang menelusuri tubulus T, menyebabkan kanal ryanodhine yang ada di reticulum sarkoplasma kebuka, sehingga kalsiumnya keluar dan terjadilah kontraksi.



Tapi kalo otot cardiac itu terbukanya gara-gara adanya Ca alias kalsium yang berasal dari ekstraseluler (di luar sel otot jantung), *kita singkat aje ye jadi Ca CES*



MEP Books Cardiovascular page 26



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



So, Potensial aksi jantung itu ngebuat Ca CES ini berdifusi ato menembus membran tubulus T, langsung deh, dengan masuknya Ca CES ke tubulus T, si sarkoplasma langsung kebuka mengeluarkan kalsiumnya, trus kontraksi deh.



Nah, uda tahu belom jawabannya? So, jawabannya, tanpa Ca CES, lo kaga bakalan bisa buat jantung lo berkontraksi, karena Ca CES itu yg memicu jantung lo kontraksi... kalo ntu jantung kaga kontraksi?*jawab ndiri dah* Kalo otot skelet maah, tetep bisa kontraksi walaupun kaga ade Ca CES, karena kontraksinya ntu dipicu ame potensial aksinya..  METABOLISME AEROB Jantung itu dikasi energi sama Allah melalui adanya metabolisme aerobic alias metabolisme yang butuh oksigen, diolah di mitokondria  BANYAK MITOKONDRIA Karena beliau itu perlu banget metabolisme aerobic sedangkan cadangan glukosa alias si glikogennya sangat sedikit padahal regulasinya kan harus berjalan dengan cepat (kalo ga cepat bisa-bisa mati kita), so beliau harus punya mitokondria yang super buanyak, untuk manfaatin glukosa yang datang dengan baik dan benar.  SUMBER ENERGI : ASAM LEMAK (60-80%), ASAM LAKTAT DAN GLUKOSA (20-40%)  MONOCARBOXYLATE DI MEMBRAN SEL, KENDARAAN BUAT ASAM LAKTAT Laktat di jantung  CO2 dan H20  TRANSPORTER GLUKOSA MENGGUNAKAN GLUT 1 (10%) DAN GLUT 4 (90%)  OKSIDASI ASAM LEMAK MELIBATKAN AKTIVITAS ACC-2 DAN MALONIL COA DEKARBOKSILASE



Sebenarnya kaya begini nih bentuk metabolisme aerobic yang ada di jantung, yang menghasilkan ATP dan digunakan buat energi kontraksinya si otot cardiac (kotak ungu)



MEP Books Cardiovascular page 27



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



Bayangkan ATP itu seperti besin pada kendaraan lo, sedangkan kalsium itu anggap aja kaya kunci mobil yang lo pegang.Tanpa keduanya, mobil lo kaga ada gunanya.



Untuk mendukung lajunya metabolisme jantung maka diperlukan bahan-bahan ini : # rantai transport elektron, #ATP sintetase #ATP-ADP translokasi #enzim-enzim TCA #komponen metabolisme energi



2.



METABOLISME JATUNG ISKEMI Iskemi itu penyumbatan darah manteman.. Ketika jantung mengalami iskemi terjadilah: MEP Books Cardiovascular page 28



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



1. Metabolisme ANAEROB 2.



Bahan bakarnya terutama dari glikogen,



3. Disaat yang kaya gini, asam lemak tu dibutuhkan (tapi kalo oksigennya uda terpenuhi lagi, kehadiran asam lemak bakalan merugikan karena bakalan menghambat penyembuhan sel otot jantung yang rusak) 4. Asam laktat meningkat  pH jaringan menurun 5. Keadaan ini banyak menguras ATP yang ada, padahal dalam keadaan iskemi produksi ATP semakin sedikit.



3. PERAN CAMP Sebelumnya, uda pada tau gak apa kepanjangan dari cAMP, yaitu cyclic Adenosin Monofosfat, biasanya dia berhubungan dengan yang namanya transport membran atau juga bisa dengan berhubungan dengan second messanger. Nah, fungsi dari sic AMP ini sendiri dalam otot terutamanya otot jantung adalah : Pengatur troponin dan tropomiosin Mengatur kadar Ca2+ intrasel



Terus gimana dong mekanisme cAMP untuk menjalankan fungsinya tersebut : 1. Diawali dengan suatu hormon atau zat tertentu yang klop dengan reseptor di membrane sel 2. Diikuti dengan pengaktifan G protein yang menyebabkan dilepaskannya GDP dan produksi GTP 3. GDP yang berikatan dengan GTP menghasilkan produk Adenilat Siklase 4. Adenilat Siklase berubah menjadi cAMP dan mengaktifkan protein kinase A 5. Pengaktifan protein kinase A menghasilkan respon tertentun pada sel *Mungkin kalian pada ga ngerti nih, benda2 apa sih yang tak sebutin barusan di atas dan apa sih fungsinya? Sebenarnya intinya ini adalah mekanisme bagaimana pengendalian sel sehingga menimbulkan respon MEP Books Cardiovascular page 29



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



tertentu yang bervariasi.Biasanya zat yang mempengaruhinya itu seperti hormone atau obat tertentu. (GAMBAR cAMP second messanger)



4. PROTEIN TRANSMEMBRAN Fungsi adanya protein membrane ini adalah sebagai sawar atau kaya satpamnya sebuah sel gitu, dia menyeleksi benda-benda yang akan masuk ke dalam rumah (intrasel). Mengandung bahan hidrofobik



Diantara bentuk protein transmembran yang berhubungan dengan topic kita kali ini adalah kanal saluran Ca2+. Protein transmembran juga memfasilitasi pertukaran Ca Na yang berperan saat jantung berkontraksi.



5. KANAL SALURAN CA Kanal ini sangat penting terutama kalau disangkut pautkan dengan jantung. Sebagaimana yang uda tak jelaskan di sub bab sebelumnya, bahwa regulasi Ca itu menentukan kontraksi jantung.



KANAL SALURAN CA Pada jantung, kanal Ca terletak pada tubulus T, Ca ekstrasel masuk ke tubulus T melalui saluran Ca tipe L (pintu lambat) Dengan menurunnya potensial aksi jantung, maka kadar Ca yang masuk ke intrasel juga mengalami penurunan, sehingga kontraksi relax Yang menjadi pemicu cepatnya pemasukan Ca ke intrasel adalah adanya protein kinase cAMP, sedangkan Verapamil dan protein kinase cGMP adalah inhibitor saluran Ca



PERTUKARAN Ca Na Pertukaran antara ion Ca Na yang terjadi di serabut saraf jantung berfungsi sebagai pengendalian impuls sehingga terjadi kontrkasi jantung yang ritmik. Dengan pengaktifan kanal Na  maka Na cepat masuk ke dalam sel MEP Books Cardiovascular page 30



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



(menambah kepositifan intrasel)hiperpolarisasi menyebabkan 1. Saluran Ca tipe L terbuka  Ca masuk dengan lambat 2. K keluar pelan-pelan sehingga terbentuklah grafik sebagai berikut (Gambar Grafik Potensial Aksi Jantung Sherwood) #Keluarnya K adalah kejadian yang lebih dominan dari masuknya Ca ke intrasel #Ketika 1 ion Ca masuk ke dalam sel maka ada 3 ion Na yang keluar dari sel kedua hal inilah yang menyebabkan penurunan secara lambat potensial aksi.



6. GUDANG ENERGI FOSFAT Yang termasuk dalam gudang energi fosfat adalah KREATIN FOSFAT yang merupakan tempat menyimpan cadangan energi bagi otot dan otak. Dengan bantuan KREATIN FOSFOKINASE Fosfokreatin dapat diuraikan menjadi kreatin dan ATP (hal ini terjadi ketika otot membutuhkan dengan segera ATP) Dengan bantuan KREATIN KINASE Kreatin (yang dibentuk di hati) ditambah dengan ATP disimpan dalam bentuk kreatin fosfat.



Dalam keadaan olahraga : Terjadi penurunan ATP dan kreatin fosfat tubuh, peningkatan pada ADP, AMP dan Fosfat dan semakin meningkatkan konsumsi glikogen. Keadaan sebelum olahraga, kandungan kreatin fosfat tubuh tinggi.



7. KOLESTROL Biasanya kalo dengar tentang kolestrol..kite pade mesti suudzon ame die. Sebenarnya kolestrol ntu kaga sepenuhnya jahat lhoo. Kolestrol ntu berfungsi sebagai : Stabilizer bagi membran sel, precursor garam empedu (apa tuh garam empedu? Sabar guys, ntar kita singgung ttg itu), dan precursor steroid. MEP Books Cardiovascular page 31



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



#Tapi kalau kite pade overdosis kolestro, bisa terjadi yang namanya atherosclerosis (apa lagi tuh? Sabar dulu nape) #Kolestrol banyak terkandung di kuning telur, daging merah dan hati. #Tubuh kita bisa membuat kolestrol lhoo. Sintesis kolestrol biasanya terjadi di usus halus dan hati #Asetil KoA yang (dibentuk dari Asam amino atau bisa juga glukosa bisa juga dibentuk dari asam lemak) merupakan precursor pembentukan kolestrol #Pengen tau gimana caranya kolestrol dibentuk tubuh? Gini nih caranya (Gambar Pembentukan Kolestrol) #Kolestrol sendiri merupakan komponen dari lipoprotein #HDL biasa dikatakan sebagai kolestrol baik, karena ia yang bertugas membawa para lemak nakal yang beredar di darah dan mengembalikannya kembali ke kandang (hati) #Kolestrol jahat biasa diperankan oleh LDL, ini nih yang biasa ditemukan ketika seseorang mengalami atherosclerosis. #Kolestrol yang tersisa dirombak kembali di dalam hati untuk dikemas kembali ke dalam VLDL



8. GARAM EMPEDU Masi inget gak dulu, pelajaran SMA ttg pencernaan,di bab itu ada disebutkan materi kita kali ini. Inget gak fungsinya? Yaudah, daripada penasaran gak jelas, mending langsung aja yak,,, jadi fungsi dari garam empedu adalah SEBAGAI “DETERGEN” LEMAK, yang membantu mencerna lemak Garam



empedu



primer,



dibentuk



oleh



asam



kolat



dan



asam



kenokolat.Sedangkan garam empedu sekunder dibentuk oleh asam deoksilat dan asam litokolat. Garam empedu dihasilkan di hati dengan bahan utama adalah kolestrol Garam empedu dari hati di bawa ke empedu dan disimpan atau di sekresikan ke usus 95% dari garam empedu diserap ileum dan dibawa kembali ke hati (siklus MEP Books Cardiovascular page 32



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



enterohepatik) 5% melewati usus dan keluar bersama feses



9. ATHEROSKLEROSIS (PEMBENTUKAN, PENYEBAB) Atherosklerosis adalah penurunan elastisitas dan penyempitan lumen pembuluh darah akibat adanya penumpukan lemak dalam pembuluh darah. 1. Diawali dengan cederanya pembuluh darah akibat mekanis atau sitotoksik (termasuk LDL yang teroksidasi). 2. Daerah yang cedera membuat monosti yang nantinya berubah menjadi makrofag terpanggil 3. Sel lemak termakan oleh makrofag, membuat makrofag menjadi sel busa 4. #Sel endotel yang tidak menghasilkan prostaglandin, membuat agregat trombosit semakin banyak #Makrofag juga menghasilkan faktor pertumbuhan, yang membuat sel otot polos bermigrasi ke dalam lapisan intima arteri #Sel lapisan intima juga melepaskan lemak yang kemudian menumpuk ke dalam plak yang sedang tumbuh #LDL terus masuk ke dalam lesi sehingga semakin memperparah penimbunan lemak di dalamnya. 5. Sel



pada



lesi



tersebut



menghasilkan



kolagen,



elastin,



dan



glikosaminoglikan sehingga terbentuk tudung fibrosa dan mucullah Kristal kolestrol di tengah plak yang menyebabkan sel terperangkap di dalam plak dan mati di dalamnya. Ruptur dan pendarahan plak di pembuluh koroner menyebabkan pembekuan akut di pembuluh darah yang akan semakin menyumbat pembuluh darah dan terbentuklah infark miokardium. #Oksidasi LDL yang dapat menyebabkan terlukanya pembuluh darah dan merubah makrofag menjadi sel busa dapat dicegah dengan memperbanyak konsumsi antioksidan.



10.



INFARK MIOKARDIUM MEP Books Cardiovascular page 33



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



Serangan jantung (Infark Miokardium) itu biasanya gara ada sumbatan pada arteri koronaria jantung, nah kalo udah begitu terjadi deh siklus ini Arteri koronaria tersumbat  suplai O2 jaringan berkurang  metabolisme tidak berjalan  Efek yang ditimbulkan : 1. Ca tidak terpakai  penumpukan Ca 2. Pembengkakan dan kerusakan mitokondria 3. Tingginya kadar enzim kreatin kinase



11.



DISFUNGSI MITOKONDRIA Disebabkan oleh : a. Defisiensi genetik b. Gangguan metabolisme oksidatif yang merusak mitokondria (contohnya : iskemia jantung) Efek yang ditimbulkan adalah penimbunan asam laktat dan penggabungan asam lemak menjadi trigliserida (sehingga semakin sedikit lemak yang dapat dimanfaatkan oleh tubuh, karena trigliserida masih berbentuk makromolekul)



Efek paling besar akibat kejadian ini dirasakan oleh organ yang banyak mengandung mitokondria (jaringan saraf, jantung, otot rangka dan ginjal) Inilah diantara penyebab dan efek yang ditimbulkan akibat penurunan fungsi mitokondria (na’udzubillahi min dzaalik)



MEP Books Cardiovascular page 34



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



12.



KARDIOMIOPATI HIPERTROFIK Kardiomiopati terbagi menjadi 3 jenis : (a) Kardiomiopati Hipertrofik (b) Kardiomiopati Dilatasi (c) Arrhythmogenic Kardiomiopati Ventrikel Kanan Kardiomiopati Hipertrofik : 1. Kelainan herediter atau mutasi gen pada protein kontraktil (troponin, tropomiosin) sehingga mempengaruhi fungsi MIOKARDIUM, 2. Miokardium



yang



terganggu



menyebabkan



jantung



kehilangan



kemampuan kontraksinya Sebagai upaya perlawanan jantung dalam kondisi darurat seperti ini, jantung berbuat sesuatu agar dengan kontraksi yang kecil, darah dapat mengalir ke seluruh tubuh yaitu dengan PEMBESARAN OTOT KEDUA VENTRIKEL yang menyebabkan HIPERTROFI jantung.



PENYEBAB KARDIOMIOPATI HIPERTROFIK ini adalah MEP Books Cardiovascular page 35



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



1. Kecacatan pada oksidasi asam lemak 2. Kelainan fosforilasi oksidatif mitokondria 3. Kelainan kontraktil miokardial dan protein struktural



13.



MUTASI GEN PADA KARDIOMIOPATI HIPERTROFIK



Otot jantung terbentuk atas rantai berat α dan β  Rantai β adalah pembentuk utama ventrikel jantung



PROSES TERJADINYA KARDIOMIOPATI Terjadi missense mutation



pada rantai β rod head region mutan poison



plypeptide



MEP Books Cardiovascular page 36



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



MIKROBIOLOGI PADA SISTEM KARDIOVASKULER



Endocarditis pada katup jantung



KEY POINTS 



2 penyakit kardiovaskuler yang paling sering terjadi akibat infeksi mikroorganisme adalah endokarditis dan miokarditis







Endokarditis adalah inflamasi jaringan bagian dalam jantung seperti katup jantung yang disebabkan oleh agen infeksius







Miokarditis adalah inflamasi otot jantung dan paling sering diakibatkan oleh infeksi virus







Bakteremia adalah keadaan di mana terdapat bakteri dalam aliran darah







Vaskulitis adalah inflamasi dinding pembuluh darah yang diakibatkan oleh infeksi atau penyakit autoimun







Limfadenopati adalah penyakit yang mengakibatkan pembesaran nodus limfe yang disebabkan oleh infeksi, penyakit autoimun, atau keganasan



MEP Books Cardiovascular page 37



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



Sistem kardiovaskuler dan sistem limfatik rentan terhadap penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme. Pada sistem kardiovaskuler, jantung, pembuluh darah, dan darah sendiri adalah target dari patogen. 2 penyakit kardiovaskuler yang paling umum disebabkan oleh infeksi mikroorganisme adalah endokarditis dan miokarditis. Endokarditis adalah inflamasi jaringan bagian dalam jantung seperti katup jantung yang disebabkan oleh agen infeksius seperti bakteri. Karena katup jantung tidak mendapatkan aliran darah secara langsung, mekanisme pertahanan imun seperti sel darah putih tidak dapat langsung mencapai katup lewat aliran darah. Sedikitnya aliran darah ke katup jantung juga mempengaruhi tata laksana karena obat-obatan juga menjadi sulit mencapai katup yang terinfeksi. Miokarditis atau kardiomiopati inflamasi adalah inflamasi dari otot jantung yang paling sering disebabkan oleh infeksi virus parvovirus. Selain infeksi, miokarditis juga bisa disebabkan oleh penyakit autoimun. Protein dari streptokokus M dan coxsackievirus B memiliki daerah (epitop) yang mirip dengan miosin jantung. Saat dan setelah infeksi, sistem imun bisa saja akan menyerang miosin jantung. Karena diagnosis definitif dari miokarditis adalah biopsi jantung dan sangat invasif sehingga jarang dilakukan, kejadian miokarditis sangat luas dan beragam. Miokarditis dapat muncul sebagai penyakit ringan tanpa gejala yang dapat sembuh sendiri, tapi bisa juga menyebabkan nyeri dada, gagal jantung, atau kematian tiba-tiba. Karena infeksi virus sulit ditata laksana dengan obat maka pengobatan untuk miokarditis kebanyakan dilakukan dengan pengobatan simtomatik dan terapi suportif.



Bakteremia adalah keadaan di mana terdapat bakteri dalam darah. Bakteri dapat memasuki aliran darah sebagai komplikasi yang parah dari suatu infeksi seperti pneumonia atau meningitis, komplikasi pascaoperasi, penggunaan kateter atau hal lain yang memasukkan benda asing ke aluran darah seperti suntik IV. Bakteremia memiliki konsekuensi yang berat. Sistem imun berespons terhadap bakteremia dapat mengakibatkan sepsis dan syok septik yang memiliki angka mortalitas tinggi. Bakteri juga dapat menggunakan darah untuk menyebar ke bagian lain dari tubuh yang disebut penyebaran hematogen dan dapat mengakibatkan infeksi pada organ MEP Books Cardiovascular page 38



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



yang jauh dari tempat awal terjadinya infeksi seperti endokarditis atau osteomielitis. Pengobatan secara umum dilakukan dengan menggunakan antibiotik. Oleh karena itu penggunakan antibiotik sebagai profilaksis dapat digunakan di saat di mana dapat diduga akan terjadi risiko bakteremia.



Vaskulitis adalah inflamasi dinding pembuluh darah yang diakibatkan oleh infeksi atau penyakit autoimun. Permeabilitias dinding pembuluh darah akan meningkat saat terjadi inflamasi yang dapat mengakibatkan perdarahan.



Penyakit limfatik adalah penyakit yang secara langsung menyerang komponen sistem limfatik. Limfadenopati adalah istilah di mana nodus limfe mengalami pembesaran yang disebabkan oleh infeksi, penyakit autoimun, atau keganasan. Limfadenopati adalah gejala yang umum pada beberapa penyakit infeksi seperti: 1. Infeksi akut (bakteri atau virus) atau infeksi kronik (TB, dll) 2. Bubonic plague, pembengkakan satu atau lebih nodus limfe yang parah hingga dapat mengakibatkan ruptur nodus limfe 3. Infeksi mononukleosis adalah infeksi virus akut yang sering muncul dengan pembesaran nodus limfe pada leher 4. Cutaneous anthrax, measles, dan trypanosomiasis juga dapat menyebabkan limfadenopati pada leher 5. Toxoplasmosis, infeksi parasit, menyebabkan limfadenopati di seluruh tubuh



MEP Books Cardiovascular page 39



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



PATOLOGI KLINIK SISTEM KARDIOVASKULER •



Petanda tidak spesifik:  Aspartat transaminase (AST),  Lactat Dehidrogenase (LDH),  Hydroxybutyrate Dehydrogenase (HBDH)







Kecepatan pelepasan tergantung: - ukuran molekul - lokasi (intraseluler, protein struktural)  Petanda awal (mioglobin, Heart-Fatty acid Binding Protein)  Petanda yang menetap lebih lama (CK-MB, Troponin)



Mekanisme pelepasan dini penanda biokimia jantung pasca IMA



MEP Books Cardiovascular page 40



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



Kinetika marker jantung



MEP Books Cardiovascular page 41



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



CK dan CKMB



CK



• Enzim dimerik (82 kDa)yang mengkatalisis fosforilasi reversibel creatine oleh ATP • Terdapat 3 isoenzim: MM, MB, dan BB



CK



• Meningkat jika sel otot atau saraf mengalami kerusakan



Isoenzim CK



• CK-MM: otot skelet • CK-BB: otak, lambung, usus, kandung kemih, paru • CK-MB: jaringan miokard



CK dibuat pada otot lurik, nilai normalnya bervariasi tergantung massa otot MEP Books Cardiovascular page 42



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



seseorang. Pada orang dengan massa otot banyak, normal CK meningkat. Pada orang dengan massa otot kurang, normal CK menurun.



Faktor yang mempengaruhi nilai CK : 



Injeksi intramuskular: meningkatkan CK







Latihan berat: meningkatkan CK







Pembedahan baru: meningkatkan CK







Massa otot







Obat: amphotericin B, ampicillin, anestetik, antikoagulan, aspirin, clofibrate, dexamethason, furosemide (lasix), captoril, colchisine, alkohol, lovastatin, lithium, lidokain, propranolol, suksinilkolin, dan morfin



• Penyakit CNS (brain injury, brain cancer, stroke, SAH, seizures, shock, reye syndrome) • Terapi elektrokonvulsif • Adenokarsinoma (khusus payudara dan paru) • Infark pulmo



CK-BB



• AMI • Cardiac anuerysm surgery • Cardiac defibrillation • Myocarditis • Arhytmia ventricular • Cardiac ischemic



• • • • • • • • • • • • • •



Rhabdomyolisis Distrofi muscular Miositis Pembedahan baru Elektromiografi Injeksi IM Trauma Delirium Hipertermi maligna Kejang Elektrokonvulsif Syok Hipokalemia Hipotiroidism



CK-MB



CK-MM



Perbedaan CK-BB, CK-MB, dan CK-MM :



RASIO CK-MB: CK > 6%



MEP Books Cardiovascular page 43



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



Troponin



MEP Books Cardiovascular page 44



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



94-97% troponin terikat pada miofibril, 3% cTnI dan 6% cTnT di sitoplasma



Bila terjadi cedera miokard, troponin di sitoplasma dengan cepat keluar dalam darah (puncak yang cepat dalam beberapa jam), dilanjutkan release troponin yang terikat (puncak kedua, bertahan beberapa hari).



Pada pasien IMA non reperfusi, hanya tampak satu puncak yang kontinu



Peningkatan Troponin terjadi jika Myocardial injury dan Myocardial Infark.



MEP Books Cardiovascular page 45



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



Troponin T VS Troponin I 



Keduanya marker yang baik, masing2 memiliki nilai positif dan negatif







Secara umum (berdasar spesifisitas diagnostik dan efisiensi) cTnI lebih baik dibanding cTnT







Pemeriksaan cTnT generasi ke-3 tidak terpengaruh oleh troponin otot skelet.



 sama diperiksa dgn reagen dari pabrik yang berbeda menunjukkan hasil yang sangat berbeda 



cTnT hanya diproduksi oleh satu pabrik







Waktu paruh cTnT 5-14 hari, cTnI 4-10 hari



MEP Books Cardiovascular page 46



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



Perbandingan HFABP dan Troponin T



MEP Books Cardiovascular page 47



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



PATOLOGI ANATOMI KARDIOVASKULAR 1. Hipertrofi jantung (1)(2) 1.1.Definisi Suatu perubahan reversibel terhadap massa otot namun tidak terhadap jumlah otot. 1.2.Proses 1.2.1. ↑ besar serat otot jantung 1.2.2. ↑ jumlah myofibril 1.2.3. Pembesaran mitokondria, namun jumlahya tidak bertambah. 1.2.4. ↑ jumlah ribosom 1.2.5. Sintesa protein yang abnormal 1.2.6. ↑ jumlah kolagen 1.2.7. ↑ volume sel, jika dibandingkan dengan suppy dari vascular 1.2.8. ↑ kebutuhan metabolisme dan penggunaan oksigen 1.3.Syarat untuk terjadinya hipertrofi jantung 1.3.1. Waktu 1.3.2. Nutrisi yang adekuat 1.3.3. Myocard yang sehat 1.3.4. Jika poin 1-3 tidak terpenuhi, maka yang terjadi adalah dilatasi



MEP Books Cardiovascular page 48



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



otot jantung, bukan hipertrofi.



Perhatikan perbedaan besar serabut otot jantung 2. Infectious Endocarditis(3)(4) 2.1.Definisi Penyakit infeksius yang menyerang kebanyakan pada katup jantung, seringnya oleh bakteria (Staphylococcus aureus, MRSA) 2.2.Gambaran



Gambaran infeksi endocarditis pada katup, panah menunjukan daerah inflamasi dan destruksi katup. MEP Books Cardiovascular page 49



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



Gambaran deposit fibrin dan macrofag pada permukaan katup jantung. 3. AMI (Acute Myocardial Infark) (5) Tahapan pertama



Necrosis



pada



Myocardial Infark



(MI),



terjadi



proses



hipereosinofilia pada jantung



otot yang



terjadi necrosis(atas), bdgkan dengan otot



jantung



sehat (bawah) MEP Books Cardiovascular page 50



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



Terjadi infiltrasi neutrofil



Necrosis Neutrofil



pada



daerah



otot



jantung



yang



mengalam infark,



proses



ini



terjadi



setelah 24 jam (lingkaran adalah gambaran infiltrasi neutrofil)



Fibrosis



Gambaran sel myocard yang telah mengalami proses penyembuhan dan menjadi jaringan fibrosis



MEP Books Cardiovascular page 51



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



4. Atherosclerosis(6)



MEP Books Cardiovascular page 52



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



DAFTAR PUSTAKA 1. Gradman AH, Alfayoumi F. From left ventricular hypertrophy to congestive heart failure: management of hypertensive heart disease. Prog Cardiovasc Dis. 2006 Apr;48(5):326–41. 2. Lorell BH, Carabello BA. Left ventricular hypertrophy: pathogenesis, detection, and prognosis. Circulation. 2000 Jul 25;102(4):470–9. 3. Infective endocarditis: diagnosis, antimicrobial therapy, and management of complications: a statement for healthcare professionals from the Commit... PubMed - NCBI [Internet]. [cited 2016 Jun 29]. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15956145 4. Infective Endocarditis: Practice Essentials, Background, Pathophysiology. 2016



Jun



1



[cited



2016



Jun



29];



Available



from:



http://emedicine.medscape.com/article/216650-overview 5. Burke AP, Virmani R. Pathophysiology of acute myocardial infarction. Med Clin North Am. 2007 Jul;91(4):553–72; ix. 6. Atherosclerosis. - PubMed - NCBI [Internet]. [cited 2016 Jun 29]. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11001066



MEP Books Cardiovascular page 53



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



DEEP VEIN THROMBOSIS A. Definisi dan Epidemiologi Trombosis adalah terbentuknya bekuan darah dalam pembuluh darah. Trombus atau bekuan darah ini dapat terbentuk pada vena, arteri, jantung atau mikrosirkulasi dan menyebabkan komplikasi akibat obstruksi atau emboli. Angka kejadian trombosis vena dalam / DVT berkisar 50 per 100.000 penduduk, sedangkan pada usia lebih dari 70 tahun diperkirakan 200 per 100.000 penduduk. Pada pasien yang menjalani operasi, kejadian DVT berkisar 30% di Eropa dan 16% di Amerika. Pada pasien yang menjalani operasi panggul atau lutut, kejadian DVT berkisar 45-70%.1



B. Patogenesis Dalam keadaan normal, darah yang bersirkulasi berada dalam keadaan cair, tetapi akan membentuk bekuan jika teraktivasi attau terpapar dengan suatu permukaan. Virchow mengungkapkan suatu triad yang merupakan dasar terbentuknya trombus, yang dikenal sebagai Triad Virchow. Triad ini terdiri dari: 1) gangguan pada aliran darah yang mengakibatkan stasis, 2) gangguan pada keseimbangan antara prokoagulan dan antikoagulan dan 3) gangguan pada dinding pembuluh darah (endotel).1



C. Klasifikasi 1. DVT ekstremitas bawah, biasanya dimulai dari betis dan menyebar ke vena poplitea, vena femoralis dan vena iliaca. DVT kaki 10 kali lebih sering dibandingkan DVT ekstremitas atas 2. DVT ekstremitas atas, biasanya ditimbulkan oleh pemasangan pacemaker, defibrilator jantung internal atau kateter vena sentral. 3. Trombosis vena superfisial biasanya menimbulkan eritema.2



D. Manifestasi Klinis Gejala utama pada DVT adalah kram pada betis yang bertahan hingga beberapa hari. Pasien juga mengeluhkan kaki yang bengkak dan nyeri.2 MEP Books Cardiovascular page 54



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



E. Diagnosis 1. Anamnesis Keluhan utama pada pasien adalah kaki yang bengkak dan nyeri. Riwayat



penyakit



sebelumnya



merupakan



hal



penting karena



dapatdiketahui faktor resiko dan riwayat trombosis sebelumnya. Adanya riwayat trombosis dalam keluarga juga merupakan hal yang penting. 2. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik, tanda-tanda klinis yang klasik tidak selalu ditemukan. Gambaran klasik DVT adalah edema tungkai unilateral, eritema, hangat, nyeri, dapat diraba pembuluh darah superfisial dan tanda Homan positif. 3. Pemeriksaan Penunjang Pada



pemeriksaan



laboratorium



hemostasis



didapatkan



peningkatan D-dimer dan penurunan antitrombin. Peningkatan D-dimer merupakan indikator trombosis yang aktif. Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penting utnuk mendiagnosis trombosis. Pada DVT, pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah venografi/flebografi, USG doppler, USG kompresi, Venous Impedance Plethysmography (IPG) dan MRI.1



F. Diagnosis Banding 1. Ruptur kista Baker 2. Selulitis 3. Insufisiensi vena2



G. Tatalaksana Unfractionated heparin (UFH) merupakan antikoagulan yang digunakan untuk penatalaksanaan DVT pada saat awal. Sebelum memulai terapi heparin, APTT, masa protrombin dan jumlah trombosit harus diperiksa, terutama pada pasien dengan risiko perdarahan tinggi atau gangguan hati dan MEP Books Cardiovascular page 55



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



ginjal.Heparin berat molekul rendah / LMWH dapat diberikan satu atau dua kali sehari secara subkutan dan mempunyai efikasi yang baik. Keuntungan LMWH adalah risiko perdarahan mayor yang kecil dan tidak memerlukan pemantauan laboratorium. Trombektomi, terutama dengan fistula arteriovena sementara, harus dipertimbangkan pada trombosis vena iliofemoral akut yang kurang dari 7 hari dengan harapan hidup lebih dari 10 tahun.1



Daftar Pustaka 1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6th ed. Jakarta: Internal Publishing; 2014. 2. Kasper DL, editor. Harrison’s principles of internal medicine. 19th edition. New York: McGraw Hill Education; 2015.



MEP Books Cardiovascular page 56



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



TROMBOEMBOLI VENA A. Definisi dan Epidemiologi Tromboemboli veina / venous thromboembolism (VTE) merupakan suatu kondisi dimana terjadi pembekuan darah (trombus) di vena. Bila bekuan terbentuk di vena dalam, disebut trombosis vena dalam / deep vein thrombosis (DVT), dan bila bekuan pecah dan sampai ke paru-paru, disebut emboli paru / pulmonary embolism (PE). VTE yang meliputi DVT dan PE menyebabkan kematian dan disabilitas kardiovaskular. Di Amerika Serikat, diperkirakan bahwa terdapat 100.000 hingga 180.000 kematian pertahun akibat PE.1



B. Faktor Resiko Pada tahun 1856, Virchow mengajukan beberapa faktor yang dapat menyebbkan koagulasi intravaskular, yaitu stasis, kerusakan dinding pembuluh darah, dan hiperkoagulabilitas. Faktor-faktor resiko VTE terdiri dari faktor resiko didapat dan faktor resiko yang diturunkan (tabel 1).2



Tabel 1. Faktor Resiko Venous Thromboembolism (VTE) Faktor resiko didapat Pernah menjalani operasi



Umur lebih dari 40 tahun



Riwayat VTE sebelumnya



Trauma



Fraktur pelvis



Imobilisasi atau paralisis



Stasis vena



Vena varicose



Gagal jantung kongestif



Infark Miokard



Obesitas



Hamil atau masa postpartum



Terapi kontrasepsi oral



Keganasan



Trombositemia berat



Paroxysmal



nocturnl Antiphospolipid



hemoglobinuria



mayor sebelumnya



antibody



syndrome



Faktor resiko diturunkan Defek



Defisiensi antitrombin III



Factor V Leiden



Defisiensi protein C



Defisiensi protein S



Kelainan plasminogen



Hyperhomocysteinemia



gen



protrombin



(G20210A) Dysfibrinogenemia



MEP Books Cardiovascular page 57



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



C. Patofisiologi Inflamasi, hiperkoagulabilitas dan kerusakan endotel mengaktifkan proses patofisiologi yang menyebabkan VTE. Trombus vena mengandung fibrin, sel darah merah, platelet dan neutrofil. Trombus ini terbentuk pada lingkungan yang stasis, tekanan oksigen rendah, stres oksidatif, peningkatan ekspresi produk gen proinflamasi, dan kemampuan regulasi sel endotel yang terganggu. Inflamasi yang disebabkan oleh infeksi, transfusi atau faktor yang menstimulasi eritropoiesis mengaktifkan reaksi biokimia pada endotel vena yang menstimulasi trombosis.3



D. Klasifikasi Emboli paru dibagi menjadi tiga jenis, yaitu : 1. Massive PE Massive PE terjadi pada 5-10% kasus, dan memiliki ciri-ciri berupa trombosis luas paling sedikit setengah dari pembuluh darah paru. Massive PE memiliki gejala berupa dispneu, hipotensi, dan sianosis. Pasien dengan massive PE dapat mengalami syok kardiogenik dan meninggal akibat kegagalan multi organ. 2. Submassive PE Submassive PE terjadi pada 20-25% kasus, memiliki karakteristik berupa disfungsi ventrikel kanan dengan tekanan arterial sistemik yang normal. Kombinasi gagal jantung kanan dan pelepasan biomarker jantung menunjukkan kemungkinan perburukan kondisi klinis. 3. Low-risk PE Low-risk PE terjadi pada 70-75% kasus. Pasien dengan low-risk PE memiliki tekanan arterial sistemik yang normal, tidak terjadi pelepasan biomarker jantung, fungsi ventrikel kanan normal.1,3



E. Manifestasi Klinis Pasien dengan PE memiliki gejala utama berupa sesak. Nyeri dada, batuk dan hemoptisis mengindikasikan pulmonary infarction dengan iritasi pleura. Syncope dapat terjadi pada massive PE.1 MEP Books Cardiovascular page 58



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



F. Diagnosis 1. Pemeriksaan Fisik Takipneu dan takikardi terjadi pada pasien dengan PE. Demam ringan, distensi vena leher dan bunyi P2 yang keras pada pemeriksaan jantung dapat terlihat. Hipotensi dan sianosis menunjukkan massive PE.1 2. Pemeriksaan Penunjang Pada PE, pemeriksaan foto dada tidak spesifik tetapi dapat membantu diagnosis emboli paru, meskipun dapat dijumpai gambaran normal hingga 40% kasus. EKG dapat menunjukkan gambaran normal atau sinus takikardia. Gambaran yang klasik seperti gelombang S1-T3, gelombang Tyang terbalik di sadapan prekordial kanan, deviasi aksis ke kanan dan RBBB lengkap atau tidak lengkap dapat dijumpai tetapi tidak memastikan diagnosis. Pemeriksaan



Ventilation-Perfusion



(V/Q)



Lung



Scanning



merupakan prosedur baku untuk men diagnosis emboli paru. Interpretasi hasil pemeriksaan ini berdasarkan daerah V/Q yang “mismatch”, yaitu tidak terdapatnya gambaran perfusi sedangkan gambaran ventilasi tampak ormal atau tersebar merata.4



G. Differential Diagnosis Emboli paru 1. Pneumonia, asma, PPOK 2. Gagal jantung kongestif 3. Perikarditis 4. Pneumotoraks 5. Sindrom koroner akut1



H. Tatalaksana Pasien yang kesakitan harus diberikan analgetik tetapi harus hati-hati jika akan membberikan opiat pada pasien yang hipotensi. UFH merupakan terapi standar dan dapat diberikan secara intravena atau subkutan. Selain UFH, LMWH dapat diberikan dengan efkasi yang sama, meskipun masih belum MEP Books Cardiovascular page 59



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



direkomendasikan pada emboli paru masif. Penghambat langsung trombin seperti hirudin dan lepirudin dapat diberikan pada pasien dengan HIT (Heparin-induced Thrombocytopenia).4



Daftar Pustaka 1. Kasper DL, editor. Harrison’s principles of internal medicine. 19th edition. New York: McGraw Hill Education; 2015. 2. Hurst JW, Fuster V, Walsh RA, Harrington RA, editors. Hurst’s the heart. 13th ed. New York: McGraw-Hill Medical; 2011. 3. Mann DL, Zipes DP, Libby P, Bonow RO, Braunwald E, editors. Braunwald’s heart disease: a textbook of cardiovascular medicine. Tenth edition. Philadelphia, PA: Elsevier/Saunders; 2015. 4. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6th ed. Jakarta: Internal Publishing; 2014.



MEP Books Cardiovascular page 60



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



THROMBOANGITIS OBLITERANS Definisi Penyakit Buerger merupakan penyakit pembuluh darah nonaterosklerotik yang ditandai oleh fenomena oklusi pembuluh darah, infl amasi segmental pembuluh darah arteri dan vena berukuran kecil dan sedang yang dapat melibatkan ekstremitas atas maupun ekstremitas bawah.1,2,3 Diagnosis a. Kriteria Shionoya Yang termasuk kriteria ini yaitu riwayat merokok, usia belum 50 tahun, memiliki penyakit oklusi arteri infrapopliteal, fl ebitis migrans pada salah satu ekstremitas atas dan tidak ada faktor risiko aterosklerosis selain merokok. Seluruh kriteria ini harus terpenuhi untuk menegakkan diagnosis.3,4,5,6 b. Kriteria Ollin Yang termasuk kriteria ini sebagai berikut:1 1. Berumur antara 20-40 tahun 2. Merokok atau memiliki riwayat merokok 3. Ditemukan iskemi ekstremitas distal yang ditandai oleh klaudikasio, nyeri saat istirahat, ulkus iskemik atau gangren dan didokumentasikan oleh tes pembuluh darah non-invasif 4. Telah menyingkirkan penyakit autoimun lain, kondisi hiperkoagulasi, dan diabetes mellitus dengan pemeriksaan laboratorium 5. Telah menyingkirkan emboli berasal dari bagian proksimal yang diketahui dari echokardiografi atau arteriografi 6. Penemuan arteriografi



yang konsisten dengan kondisi klinik pada



ekstremitas yang terlibat dan yang tidak terlibat c. Kriteria Mills dan Poter5 Kriteria eksklusi: 1. Sumber emboli proksimal 2. Trauma dan lesi lokal 3. Penyakit autoimun 4. Keadaan hiperkoagubilitas MEP Books Cardiovascular page 61



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



5. Aterosklerosis: Diabetes, Hiperlipidemia, Hipertensi, Gagal Ginjal. Kriteria mayor: a. Onset gejala iskemi ekstremitas distal sebelum usia 45 tahun b. Pecandu rokok c. Tidak ada penyakit arteri proksimal pada poplitea atau tingkat distal brakial d. Dokumentasi objektif penyakit oklusi distal seperti: Doppler arteri segmental dan pletismografi 4 tungkai, arteriografi , histopatologi. 2. Kriteria minor: a. Phlebitis superfi sial migrant Episode berulang trombosis lokal vena superfi sial pada ekstremitas dan badan b. Sindrom Raynaud atau Fenomena Raynaud Sindrom Raynaud adalah penurunan aliran darah sebagai akibat spasme arteriola perifer sebagai respons terhadap kondisi stres atau dingin. Sindrom ini paling sering dilihat di tangan atau juga dapat di hidung, telinga dan lidah dalam bentuk respons trifasik yaitu: 1. Pucat karena vasokonstriksi arteriol prekapiler 2. Sianosis



karena



vena



terisi



penuh



oleh



darah



yang



terdeoksigenasi 3. Eritema karena reaksi hiperemi i. Melibatkan ekstremitas atas ii. Klaudikasio saat berjalan d. Kriteria scoring Papa dkk.4,5 Papa dkk. mengembangkan sistem scoring untuk memudahkan diagnosis (tabel 1).



MEP Books Cardiovascular page 62



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



Tatalaksana Tujuan utama penanganan adalah memperbaiki kualitas hidup. Cara yang dapat dilakukan adalah menghindari dan menghentikan faktor yang memperburuk penyakit, memperbaiki aliran darah menuju tungkai atau ekstremitas, mengurangi rasa sakit akibat iskemi, mengobati trombofl ebitis, memperbaiki penyembuhan luka atau ulkus. a. Terapi non bedah 1. Berhenti



merokok



merupakan



salah



satu



cara



mengatasi



progresivitas penyakit. 2. Analog prostasiklin seperti iloprost; merupakan vasodilator dan mampu menghambat agregasi platelet. 3. Calcium channel blocker untuk mengurangi efek vasokonstriksi penyakit ini. 4. Bosentan. Obat ini merupakan antagonis kompetitif dari endotelin-1 sehingga memiliki kemampuan vasodilatasi. Pada peneltian de Haro dkk. (2012) menghasilkan perbaikan kondisi klinis penyembuhan ulkus dan gambaran angiografi Bosentan selama 28 hari lebih efektif dibandingkan aspirin untuk mengatasi nyeri saat istirahat dan penyembuhan ulkus. 5. Siklofosfamid dilaporkan bermanfaat pada beberapa pasien berdasarkan etiopatologi penyakit ini yang dipengaruhi oleh faktor autoimun. Saha dkk. (2001) menunju kan bahwa obat ini dapat



MEP Books Cardiovascular page 63



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



meningkatkan 20 kali lipat jarak klaudikasio dan menghilangkan nyeri pada saat istirahat. 6. Obat analgesik seperti analgetik narkotik atau obat anti infl amasi non steroid mungkin membantu mengatasi nyeri pada beberapa pasien. 7. Terapi gen dengan vascular endothelial growth factor ( VEGF). Isner dkk. (1998) menyuntikkan total 4000 µg VEGF plasmid DNA dengan dua kali penyuntikan intramuscular (2000 µg VEGF plasmid DNA pada awal dan 2000 µg VEGF plasmid DNA pada akhir minggu keempat) memberikan hasil menjanjikan dalam penyembuhan ulkus akibat iskemi dan menghilangkan nyeri saat istirahat. 8. Terapi stem cell yaitu terapi autolog whole bone marrow stem cell ( WBMSC) menunjukkan perbaikan seperti penyembuhan ulkus, menghilangkan nyeri iskemik, rekanalisasi arteri dan menurunkan risiko amputasi tungkai. 9. Spinal Cord Stimulation hasilnya baik untuk menghilangkan nyeri dan penyembuhan ulkus. Stimulasi ini dapat menghambat transmisi sinyal penghantar nyeri pada serabut saraf simpatis. Selain itu juga pada saat bersamaan terjadi peningkatan perfusi mikrosirkulasi akibat inhibisi serabut saraf simpatis. b. Terapi Bedah 1. Simpatektomi; bertujuan untuk mengurangi efek vasokonstriksi akibat saraf simpatis. 2. Penyisipan kawat Kirschner intramedulla. Pada beberapa pasien, dapat merangsang angiogenesis, penyembuhan ulkus tungkai dan meredakan nyeri saat istirahat. 3. Operasi bypass arteri menunjukkan hasil baik



MEP Books Cardiovascular page 64



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



DAFTAR PUSTAKA 1. Olin JW. Thromboangiitis obliterans (Buerger’s disease). N Engl J Med 2000;343(12):864-9. 2. De Haro J, Acin F, Bleda S, Varela C, Esparza L.Treatment of thromboangiitis obliterans (Buerger’s disease) with bosentan. BMC Cardiovasc Disord 2012;14(12):1-7. 3. Vijayakumar A, Tiwari R, Prabhuswamy VK. Thromboangiitis obliterans (Buerger’s disease)-current practices. Int J Infl am 2013;2013:1-9. 4. Lazarides MK, Georgiadis GS, Papas TT, Nikolopoulos ES. Diagnostic Criteria and Treatment of Buerger’s Disease: A Review. Int J Low Extrem Wounds 2006;5(2):89-95. 5. Mills JL Sr.Buerger’s Disease in the 21st Century: Diagnosis, Clinical Features, and Therapy. Semin Vasc Surg 2003;16(3):179-89. 6. Arkkila PET. Thromboangiitis obliterans (Buerger’s disease). Orphanet J Rare Dis 2006;14:1-5



MEP Books Cardiovascular page 65



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



VARICOSE VEINS (VARISES) Varises pada umumnya berkembang pada ekstremitas bagian bawah. Kecenderungan tingginya tekanan vena berkaitan pada lamanya berdiri atau mengangkat sesuatu yang berat juga merupakan faktor yang berkontribusi, tetapi insiden tertinggi terjadi muncul pada wanita setelah hamil. Varikositis berkembang pada 15% orang dewasa. Vena superfisial adalah vena yang sering terlibat, secara khas vena saphenous yang besar dan percabangannya, tetapi vena saphenous yang pendek juga bisa terkena (bagian bawah belakang kaki). Distensi dari vena mencegah katup peredaran balik dan menyebabkan inkompetensi. Selanjutnya terjadi dilatasi pada beberapa titik di sepanjang vena yang mengakibatkan peningkatan tekanan dan distensi dari bagian vena yang berada di bawah katup, yang kemudian pada gilirannya akan menyebabkan kegagalan progresif dari katup bagian bawah lainnya dan menimbulkan progresif refluks vena. Perforasi vena berhubungan dengan sistem vena dalam dan superfisial yang juga akan menjadi inkompeten, sehingga darah akan refluks menuju vena superfisial dari sistem vena dalam melalui vena inkompeten yang perforasi tadi dan meningkatkan tekanan vena dan distensi. Varikositis sekunder dapat berkembang sebagai hasil dari terjadinya perubahan obstruktif dan kerusakan sistem katup bagian dalam yang diikuti dengan tromboplebitis, atau dapat juga terjadi oklusi vena proksimal yang berkaitan dengan neoplasma atau fibrosis namun jarang. Fistul arterivenosus kongenital atau yang didapat atau malformasi vena juga dapat berkaitan dengan varikositis dan menjadi pertimbangan bagi pasien muda dengan varikositis.



Manifestasi klinis Gejala yang berat tidak berhubungan dengan jumlah dan ukuran dari varikositis; varises yang luas juga mungkin tidak menimbulkan gejala, sedangkan varises yang sedikit mungkin dapat menimbulkan beberapa gejala. Beratnya MEP Books Cardiovascular page 66



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



penyakit atau perasaan lelah pada kaki pada saat berdiri merupakan keluhan yang paling banyak. Dokter harus teliti dalam mengidentifikasi tanda dan gejala dari oklusi PAD, seperti claudication yang intermiten atau pengurangan denyut kaki, sejak terjadinya insufisiensi arteri; hal ini kontraindikasi untuk dilakukannya tatalaksana pada varikositis distal sampai lutut. Rasa gatal dari vena eksema yang statis dapat terjadi pada salah satu pergelangan kaki atau langsung dapat ditemukan pada varikositis yang luas. Ketika pasien berdiri, dapat terlihat dan teraba vena yang melengkung pada betis paha yang berdilatasi. Berdiri yang lama pada pasien varises dapat menyebabkan perjalanan penyakit ke arah insufisiensi vena kronik yang berkaitan dengan edema pada pergelangan kakki, hiperpigmentasi pada kulit (berwarna kecoklatan), dan indurasi yang kronik pada kulit atau fibrosis. Bunyi bruit tidak pernah ditemukan pada varises primer. Tetapi jika ditemukan, ini merupakan tanda bagi dokter akan adanya fistula arterivenosus atau malformasi.



Pencitraan Identifikasi sumber vena yang refluks pada vena yang simptomatik diperlukan untuk tatalaksana pembedahan yang efektif. Ultrasonografi duplex yang dilakukan oleh teknisi yang berpengalaman dalam mendiagnosis dan menentukan letak vena yang refluks adalah pilihan yang dapat dilakukan untuk perencanaan awal terapi. Pada banyak kasus, refluks akan terjadi pada vena saphenous yang besar.



Diagnosis Banding Varises primer yang berkaitan dengan refluks harus dibedakan dengan penyebab sekunder yaitu insufisiensi vena kronik atau obstruksi vena dalam yang disertai dengan pembengkakan yang luas, fibrosis dan pigmentasi dari bagian MEP Books Cardiovascular page 67



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



bawah distal kaki (post trhombotic syndrome). Rasa sakit atau tidak nyaman sekunder berkaitan dengan neuropati atau insufisiensi arteri harus dibedakan dari gejala yang timbul pada varises. Pada pasien remaja yang menderita varises wajib dieksklusikan jika gambaran sistem vena dalamnya mengalami atresia atau mengalami kongenital malformasi. Hal ini disebabkan tatalaksana pembedahan pada pasien varises dikontraindikasikan pada pasien ini karena varikositis mungkin berperan dalam drainase vena yang signifikan pada tungkai.



Komplikasi Tromboplebitis superfisial akibat varises jarang terjadi. Gejala khasnya adalah nyeri akut terlokalisasi. Biasanya dapat sembuh sendiri, pulih dalam waktu beberapa minggu. Resiko terjadinya trombosis vena dalam (DVT) atau embolisasi sangat rendah kecuali terdapat tromboplebitis pada vena saphenous besar pada bagian medial atas paha. Kondisi yang menjadi predisposisi adalah hamil, trauma lokal, atau lamanya duduk. Pada pasien tua, varikositis superfisial mungkin dapat berdarah jika ada trauma kecil. Banyaknya darah dapat menjadi tanda tingginya tekanan pada varikositas.



Tatalaksana 1. Terapi nonbedah Terapi nonbedah merupakan terapi yang efektif. Kompresi dari penggunaan stocking yang elastic (20-30 mmHg) dapat mengurangi tekanan vena pada kaki dan mencegah progresifitas dari penyakit. Kontrol yang baik pada gejala dapat dicapai ketika stocking digunakan setiap hari selama berjalan berjam-jam dan pengangkatan kaki dilakukan terutama di malam hari. Kompresi dari stocking cocok untuk pasien yang tua atau pasien yang tidak ingin melakukan pembedahan. 2. Skleroterapi MEP Books Cardiovascular page 68



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



Injeksi agen sclerosing secara langsung menyebabkan fibrosis permanen dan obliterasi dari vena target. Bahan kimia iritan (contohnya, gliserin) atau saline yang hipertonik sering digunakan untuk pengecilan, < 4 mm vena reticular atau telangiektasis. Foam sclerotherapy digunakan untuk mengobati vena saphenous besar, varises yang lebih dari 4 mm, dan vena yang sering perforasi tanpa anestasi lokal. Foam sclerotherapy mempunyai hasil yang hampir sama dengan vena saphenous yang diberikan ablasi thermal atau stripping. Komplikasi seperti phlebitis, nekrosis jaringan, atau infeksi mungkin terjadi pada penggunaan beberapa agen sclerosing. 3. Pembedahan Tatalaksana dengan thermal endovenous (dengan radiofrekuensi atau laser) atau, dengan yang lebih jarang, stripping vena saphenous besar efektif untuk menangani refluks yang terjadi pada vena saphenous besar. Koreksi pada refluks dilakukan pada saat yang sama dengan dilakukannya eksisi pada varises yang bergejala. Plebektomi tanpa koreksi pada refluks menghasilkan rata-rata kekambuhan varikositis yang tinggi, sebagaimana refluks yang tidak dikoreksi akan menyebabkan progresivitas dilatasi dari vena sekitar. Deteksi refluks vena yang terjadi bersamaan dapat dilakukan dengan ultrasonografi pada sistem vena dalam dan bukan merupakan kontraindikasi untuk tatalaksana vena superfisial yang refluks karena kebanyakan dialatasi vena dalam menyebabkan kelebihan volume sekunder pada letaknya, yang akan terselesaikan dengan koreksi pada refluks vena superfisial.



Prognosis Hasil yang memuaskan diperoleh pada tatalaksana pembedahan dan eksisi pada varises yang venanya mengalami insufisiensi (refluks). Rata-rata keberhasilan 5 tahun (didefiniskan berupa berkurangnya nyeri dan kambuhnya varikositis) adalah 85-90%. Eksisi sederhana (plebektomi) atau injeksi skleroterapi tanpa koreksi pada refluks berkaitan dengan tingginya rata-rata kekambuhan. Meskipun



MEP Books Cardiovascular page 69



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



diberikan



terapi



yang



adekuat,



perubahan



jaringan



sekunder,



seperti



lipodermosklerosis, dapat muncul.



Daftar Pustaka 1. Papadakis MA, McPhee SJ, Rabow MW. Current Medical Diagnosis & Treatment. 55th ed. New York: McGraw Hill Education; 2015.



MEP Books Cardiovascular page 70



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



AORTIC DISSECTION



1. Definisi 1 Diseksi aorta adalah hal yang jarang namun memilki potensi yang sangat fatal, yaitu mengakibatkan pemisahan lapisan tunika media dengan masuknya darah, menghasilkan lumen palsu dengan variabel proksimal dan distal perpanjangan. Diseksi aorta ascendens merupakan yang paling umum terjadi , yaitu 2-3 kali daripada pecahnya aorta perut. Mortalitas dari diseksi akut yang tidak diobati melibatkan aorta ascending adalah sekitar 1-2% per jam selama 48 jam pertama. Kasus terkenal pertama kali didokumentasikan adalah Raja George II.1 2. Patofisiologi 1 Diseksi aorta lebih sering terjadi pada laki-laki dengan insiden puncak pada usia 50-70 tahun. Diseksi aorta berasal dari robekan dalam intima dan propagasi dari darah ke dalam lapisan media atau dari perdarahan intramural dan pembentukan hematoma dilap[isan



media



diikuti oleh perforasi intima; pembentuk lebih umum. Karakteristik gambar aorta diseksi adalah adanya flap intima di aorta. Ini biasanya didahului oleh degenerasi dinding medial atau nekrosis kistik medial. Darah dapat kembali memasuki lumen berlaku disetiap titik, sehingga membuatnya berhubungan disuatu dissection. Robekan intima dapat terjadi di daerah aorta yang mengalami stres terbesar dan fluktuasi tekanan, karena mekanik stres pada dinding aorta sebanding dengan intramuraltekanan dan diameter pembuluh, hipertensidan dilatasi aorta yang diketahui sebagai faktor risiko untuk dissection. Kelainan dinding Integral seperti sindrom Marfan juga mungkin menjadi predisposisi dissection. Meskipun tidak ada gangguan tunggal yang bertanggung jawab, beberapa faktor risiko telah diidentifikasi yang dapat merusak dinding aorta dan menyebabkan diseksi.



MEP Books Cardiovascular page 71



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



3. Manifestasi Klinik1 Secara klinis, diseksi aorta muncul akibat dua proses. Pertama adalah gangguan intima yang berhubungan dengan sakit parah dan hilangnya volume nadi. Kedua ketika tekanan melebihi batas kritis dan akhirnya pecah. Intensitas tinggi nyeri dada yang tajam mendadak di awal adalah yang paling spesifik. Ini digambarkan sebagai stabbing, tearing, or ripping in nature. Analysis of the International Registry of Acute Dissection (Irad), mencatat bahwa nyeri dada yang parah lebih umum dengan tipe A diseksi, sedangkan nyeri punggung dan nyeri perut lebih sering terjadi pada tipe B diseksi. Rasa sakit bermigrasi dan mengikuti jalan propagasi dari diseksi. MEP Books Cardiovascular page 72



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



Pemeriksaan fisik mendapatkan takikardia, biasanya disertai dengan hipertensi pada pengaturan utama dasar hipertensi dan peningkatan kadar katekolamin dari kecemasan dan rasa sakit. Takikardia dan hipotensi merupakan hasil dari pecahnya aorta, perikardial tamponade, akut katup regurgitasi aorta, atau bahkan akut iskemia miokard dengan keterlibatan ostia koroner. Diferensial atau absent pulse di ekstremitas dan diastolik murmur dari regurgitasi aorta juga ditemuka. Sinkop, stroke, dan manifestasi skunder neurologis lainnya untuk malperfusion sindrom dapat berkembang. 4. Diagnosis1 Diseksi aorta memiliki berbagai presentasi klinis. Indeks tertinggi kecurigaan yang penting pada pasien dengan risiko predisposisi faktor, misalnya hipertensi, penyakit aneurisma aorta, atau familial gangguan jaringan ikat. Biasanya pasien adalah laki-laki hipertensi di usia 60-an, dengan riwayat onset mendadak sakit dada. Pada semua pasien, EKG segera harus dilakukan untuk menyingkirkan infark miokard akut yang pengobatannya sangat berbedadan mungkin melibatkan trombolisis. Sekitar 20% dari pasien dengan tipe A diseksi memiliki perubahan iskemik pada EKG karena perluasan diseksi menjadi ostium koroner. Pada pasien tersebut, pencitraan lebih lanjut harus dilakukan sebelum trombolisis atau revaskularisasi prosedur dicoba. Penanda biokimia dari kerusakan miokar dapat membantu dalam diagnosis.2 Waktu yang paling menjanjikan



pada



penanda biokimia



untuk mendiagnosis diseksi aorta akut adalah elevated circulating smooth muscle myosin heavy chain ; ini dilepaskan dari kerusakan aortic medial smooth muscle.3 Pencitraan Beberapa modalitas (CT, MRI scanning, dan ekokardiografi) dapat digunakan untuk melengkapi satu sama lain untuk memfasilitasi diagnosis



MEP Books Cardiovascular page 73



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



tergantung pada ketersediaan. Keseluruhan akurasi diagnostik modalitas yang berbeda adalah mirip.4



Tabel 3 menguraikan tujuan diagnostik.



5. Tatalaksana 1 a. Initial management



Pasien harus dirawat dalam lingkungan perawatan kritis dan keterlibatan bedah awaladalah penting. Tergantung pada urgensi, berdampingan dengan medis kondisi harus diselidiki dan diobati. Nyeri harus diobati dengan analgesik yang memadai. Tujuan utamanya adalah untuk mengurangi kekuatan kontraksi ventrikel kiri tanpa mengorbankan perfusi, sehingga mengurangi pergeseran dan MEP Books Cardiovascular page 74



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



mencegah perluasan lebih lanjut dari diseksi atau mungkin pecah. Beta-blocker (misalnya esmolol, metoprolol) dan labetalol (Beta dan alpha-blocker) dapat digunakan. Jika pengurangan lebih lanjut di blood pressure diperlukan, natrium nitroprusside, gliseril trinitrat, atau hydralazine sesuai. Beta-blocker harus diberikan terlebih dahulu sebelum vasodilator, sebagai pelepasan katekolamin refleks karena vasodilatasi dapat meningkatkan kontraksi ventrikel kiri. Jika pasien memiliki Glasgow koma skala rendah (GCS, 8) atau hemodinamik yang ketidakstabilan mendalam, intubasi dan ventilasi diindikasikan.



Surgical management Akut aorta dissection type A harus dioperasi pada tanpa penundaan, karena ruptur mungkin akan terjadi. Kemungkinan kontraindikasi termasuk paraplegia dan komorbiditas parah dapat disembuhkan . Keterlibatan neurologis, asidosis metabolik, dan gangguan ginjal akut dikaitkan dengan prognosis yang buruk. Beberapa pendekatan bedah dijelaskan. Tujuan dari bedah yaitu terapi yang mencegah ekstensi, pemotongan intima yang robek , dan menggantikan segmen aorta rentan yang untuk pecah dengan interposisi cangkok sintetik (elephant trunk technique). Kombinasi katup aorta dan pergantian aorta ascendens dengan re-implantasi arteri koroner menggunakan graft komposit dilakukan jika aorta yang katup tidak diselamatkan. Pada tipe B pembedahan aorta akut, intervensi bedah hanya diindikasikan jika ada persisten atau berulang nyeri keras, aneurisma ekspansi, komplikasi iskemik perifer, dan pecah. Hal ini karena perbaikan bedah tidak memiliki keunggulan yang terbukti daripad a nonsurgical pengobatan pada pasien B diseksi tipe stabil.



Anaesthetic considerations Anaesthetists terlibat dalam resusitasi dan stabilisasi, nyeri lega, sedasi untuk TOE, transfer, anestesi, dan perawatan perioperatif pasien diseksi aorta. Peran dokter anestesi juga dapat mencakup diagnostik TOE perioperatif untuk membantu pengambilan keputusan bedah.



B. Interventional management MEP Books Cardiovascular page 75



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



Intervensi endovascular seringa pada tipe B aorta pembedahan, terutama pada pasien berisiko tinggi untuk torakotomi karena kelainan hidup bersama cardiopulmonary parah atau masalah medis lainnya. Munculnya stenting perkutan dan / atau teknologi fenestration memberikan alternatif untuk membuka operasi untuk pasien tertentu. Tujuan pengobatan meliputi rekonstruksi dari segmen aorta toraks yang merobek, induksi trombosis dari lumen palsu, dan pembentukan kembali lumen aliran cabang samping. 3



C. Medical management Manajemen medis lebih dianjurkan karena tidak meyembabkan komplikasi diseksi aort. Adequate pain relief diperlukan. Fokus utama dari manajemen medis adalah untuk mengurangi darah tekanan dan karenanya mencegah perluasan diseksi.



6. Klasifikasi1 Beberapa klasifikasi yang berbeda telah menggambarkan diseksi aorta. sistem klasifikasi umum digunakan adalah baik berdasarkan durasi timbulnya gejala sebelum presentasi atau anatomi diseksi. Diseksi aorta akut jika diagnosis dibuat dalam waktu 2 minggu setelah onset awal gejala, dan kronis jika ada lebih dari 2 minggu. Baru-baru ini the European Society of Cardiology Task Force on Aortic Dissection telah datang dengan klasifikasi etiologi yang lebih komprehensif.



MEP Books Cardiovascular page 76



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



Kemajuan teknologi pencitraan telah menunjukkan intramural perdarahan, intramural hematoma, dan ulkus aorta mungkin tanda-tanda berkembang pembedahan atau subtipe diseksi. Semua ini dikelompokkan dalam sindrom aorta akut. Klasik diseksi aorta anatomi adalah diklasifikasikan menurut DeBakey atau Stanford. Yang paling umum digunakan adalah Stanford klasifikasi, yang didasarkan pada keterlibatan aorta menaik.



A. Stanford classification Tipe A melibatkan aorta menaik tapi mungkin meluas ke lengkungan dan turun aorta (Tipe I DeBakey dan II). Tipe B melibatkan aorta menurun hanya (DeBakey tipe III). Dalam Stanford tipe A, yang selalu terlibat adalah ascendensd aorta. Di Stanford tipe B, diseksi adalah distal asal subklavia kiri pembuluh darah. Sistem Stanford juga membantu untuk menggambarkan dua kelompok resiko yang nyata bagi manajemen. Biasanya, tipe A pembedahan memerlukan operasi, sementara pembedahan tipe B sebaiknya dikelola secara konservatif dengan pengobatan medis di bawah yang paling kondisi.



MEP Books Cardiovascular page 77



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



B. DeBakey classification 1. Tipe I melibatkan ascending aorta, arkus aorta, dan turun aorta. 2. Tipe II terbatas pada ascending aorta saja. 3. Tipe III terbatas pada aorta menurun distal arteri subklavia kiri saja; IIIa meluas hingga diafragma, IIIb melampaui diafragma.



Daftar Pustaka 1. Hebballi R, Swanevelder J. Diagnosis and management of aortic dissection. Contin Educ Anaesth Crit Care Pain. 2009 Feb;9(1):14–8. 2. Khan IA, Nair CK. Clinical, diagnostic, and management perspectives of aortic dissection. Chest 2002; 122: 311–28 3. Tsai TT, Nienaber CA, Eagle KA. Acute aortic syndromes. Circulation 2005; 112: 3802–13 4. Erbel R, Alfonso F, Boileau C et al. Task Force on Aortic Dissection Diagnosis and Management of aortic dissection. Eur Heart J 2001; 22: 1642–81



MEP Books Cardiovascular page 78



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



AORTIC DISSECTION Definisi 1 Diseksi aorta adalah hal yang jarang namun memilki potensi yang sangat fatal, yaitu mengakibatkan pemisahan lapisan tunika media dengan masuknya darah, menghasilkan lumen palsu dengan variabel proksimal dan distal perpanjangan. Diseksi aorta ascendens merupakan yang paling umum terjadi , yaitu 2-3 kali daripada pecahnya aorta perut. Mortalitas dari diseksi akut yang tidak diobati melibatkan aorta ascending adalah sekitar 1-2% per jam selama 48 jam pertama. Kasus terkenal pertama kali didokumentasikan adalah Raja George II.1 Patofisiologi 1 Diseksi aorta lebih sering terjadi pada laki-laki dengan insiden puncak pada usia 50-70 tahun. Diseksi aorta berasal dari robekan dalam intima dan propagasi dari darah ke dalam lapisan media atau dari perdarahan intramural dan pembentukan hematoma dilap[isan



media



diikuti oleh perforasi intima; pembentuk lebih umum. Karakteristik gambar aorta diseksi adalah adanya flap intima di aorta. Ini biasanya didahului oleh degenerasi dinding medial atau nekrosis kistik medial. Darah dapat kembali memasuki lumen berlaku disetiap titik, sehingga membuatnya berhubungan disuatu dissection. Robekan intima dapat terjadi di daerah aorta yang mengalami stres terbesar dan fluktuasi tekanan, karena mekanik stres pada dinding aorta sebanding dengan intramuraltekanan dan diameter pembuluh, hipertensidan dilatasi aorta yang diketahui sebagai faktor risiko untuk dissection. Kelainan dinding Integral seperti sindrom Marfan juga mungkin menjadi predisposisi dissection. Meskipun tidak ada gangguan tunggal yang bertanggung jawab, beberapa faktor risiko telah diidentifikasi yang dapat merusak dinding aorta dan menyebabkan diseksi.



MEP Books Cardiovascular page 79



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



Manifestasi Klinik1 Secara klinis, diseksi aorta muncul akibat dua proses. Pertama adalah gangguan intima yang berhubungan dengan sakit parah dan hilangnya volume nadi. Kedua ketika tekanan melebihi batas kritis dan akhirnya pecah. Intensitas tinggi nyeri dada yang tajam mendadak di awal adalah yang paling spesifik. Ini digambarkan sebagai stabbing, tearing, or ripping in nature. Analysis of the International Registry of Acute Dissection (Irad), mencatat bahwa nyeri dada yang parah lebih umum dengan tipe A diseksi, sedangkan nyeri punggung dan nyeri perut lebih sering terjadi pada tipe B diseksi. Rasa sakit bermigrasi dan mengikuti jalan propagasi dari diseksi. MEP Books Cardiovascular page 80



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



Pemeriksaan fisik mendapatkan takikardia, biasanya disertai dengan hipertensi pada pengaturan utama dasar hipertensi dan peningkatan kadar katekolamin dari kecemasan dan rasa sakit. Takikardia dan hipotensi merupakan hasil dari pecahnya aorta, perikardial tamponade, akut katup regurgitasi aorta, atau bahkan akut iskemia miokard dengan keterlibatan ostia koroner. Diferensial atau absent pulse di ekstremitas dan diastolik murmur dari regurgitasi aorta juga ditemuka. Sinkop, stroke, dan manifestasi skunder neurologis lainnya untuk malperfusion sindrom dapat berkembang. Diagnosis1 Diseksi aorta memiliki berbagai presentasi klinis. Indeks tertinggi kecurigaan yang penting pada pasien dengan risiko predisposisi faktor, misalnya hipertensi, penyakit aneurisma aorta, atau familial gangguan jaringan ikat. Biasanya pasien adalah laki-laki hipertensi di usia 60-an, dengan riwayat onset mendadak sakit dada. Pada semua pasien, EKG segera harus dilakukan untuk menyingkirkan infark miokard akut yang pengobatannya sangat berbedadan mungkin melibatkan trombolisis. Sekitar 20% dari pasien dengan tipe A diseksi memiliki perubahan iskemik pada EKG karena perluasan diseksi menjadi ostium koroner. Pada pasien tersebut, pencitraan lebih lanjut harus dilakukan sebelum trombolisis atau revaskularisasi prosedur dicoba. Penanda biokimia dari kerusakan miokar dapat membantu dalam diagnosis.2 Waktu yang paling menjanjikan



pada



penanda biokimia



untuk mendiagnosis diseksi aorta akut adalah elevated circulating smooth muscle myosin heavy chain ; ini dilepaskan dari kerusakan aortic medial smooth muscle.3



Pencitraan Beberapa modalitas (CT, MRI scanning, dan ekokardiografi) dapat digunakan untuk melengkapi satu sama lain untuk memfasilitasi diagnosis MEP Books Cardiovascular page 81



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



tergantung pada ketersediaan. Keseluruhan akurasi diagnostik modalitas yang berbeda adalah mirip.4



Tabel 3 menguraikan tujuan diagnostik.



Tatalaksana 1 b. Initial management



Pasien harus dirawat dalam lingkungan perawatan kritis dan keterlibatan bedah awaladalah penting. Tergantung pada urgensi, berdampingan dengan medis kondisi harus diselidiki dan diobati. Nyeri harus diobati dengan analgesik yang memadai. Tujuan utamanya adalah untuk mengurangi kekuatan kontraksi ventrikel MEP Books Cardiovascular page 82



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



kiri tanpa mengorbankan perfusi, sehingga mengurangi pergeseran dan mencegah perluasan lebih lanjut dari diseksi atau mungkin pecah.



Beta-blocker



(misalnya



esmolol, metoprolol) dan labetalol (Beta dan alpha-blocker) dapat digunakan. Jika pengurangan lebih lanjut di blood pressure diperlukan, natrium nitroprusside, gliseril trinitrat, atau hydralazine sesuai. Beta-blocker harus diberikan terlebih dahulu sebelum vasodilator,



sebagai



pelepasan



katekolamin



refleks



karena



vasodilatasi dapat meningkatkan kontraksi ventrikel kiri. Jika pasien memiliki Glasgow koma skala rendah (GCS, 8) atau hemodinamik yang



ketidakstabilan



mendalam,



intubasi



dan



ventilasi



diindikasikan.



Surgical management Akut aorta dissection type A harus dioperasi pada tanpa penundaan, karena ruptur mungkin akan terjadi. Kemungkinan kontraindikasi termasuk paraplegia dan komorbiditas parah dapat disembuhkan . Keterlibatan neurologis, asidosis metabolik, dan gangguan ginjal akut dikaitkan dengan prognosis yang buruk. Beberapa pendekatan bedah dijelaskan. Tujuan dari bedah yaitu terapi yang mencegah ekstensi, pemotongan intima yang robek , dan menggantikan segmen aorta rentan yang untuk pecah dengan interposisi cangkok sintetik (elephant trunk technique). Kombinasi katup aorta dan pergantian aorta ascendens



dengan re-implantasi arteri



koroner menggunakan graft komposit dilakukan jika aorta yang katup tidak diselamatkan. Pada tipe B pembedahan aorta akut, intervensi bedah hanya diindikasikan jika ada persisten atau berulang nyeri keras, aneurisma ekspansi, komplikasi iskemik perifer, dan pecah. Hal ini



MEP Books Cardiovascular page 83



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



karena perbaikan bedah tidak memiliki keunggulan yang terbukti daripad a nonsurgical pengobatan pada pasien B diseksi tipe stabil. Anaesthetic considerations Anaesthetists terlibat dalam resusitasi dan stabilisasi, nyeri lega, sedasi untuk TOE, transfer, anestesi, dan perawatan perioperatif pasien diseksi aorta. Peran dokter anestesi juga dapat mencakup



diagnostik



TOE



perioperatif



untuk



membantu



pengambilan keputusan bedah.



c. Interventional management Intervensi endovascular seringa pada



tipe B aorta



pembedahan, terutama pada pasien berisiko tinggi untuk torakotomi karena kelainan hidup bersama cardiopulmonary parah atau masalah medis lainnya. Munculnya stenting perkutan dan / atau teknologi fenestration memberikan alternatif untuk membuka operasi untuk pasien tertentu. Tujuan pengobatan meliputi rekonstruksi dari segmen aorta toraks yang merobek, induksi trombosis dari lumen palsu, dan pembentukan kembali lumen aliran cabang samping. 3



d. Medical management Manajemen medis meyembabkan



lebih



dianjurkan



karena tidak



komplikasi diseksi aort. Adequate pain relief



diperlukan. Fokus utama dari manajemen medis adalah untuk mengurangi darah tekanan dan karenanya mencegah perluasan diseksi.



Klasifikasi1 Beberapa klasifikasi yang berbeda telah menggambarkan diseksi aorta.



MEP Books Cardiovascular page 84



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



sistem klasifikasi umum digunakan adalah baik berdasarkan durasi timbulnya gejala sebelum presentasi atau anatomi diseksi. Diseksi aorta akut jika diagnosis dibuat dalam waktu 2 minggu setelah onset awal gejala, dan kronis jika ada lebih dari 2 minggu. Baru-baru ini the European Society of Cardiology Task Force on Aortic Dissection telah datang dengan klasifikasi etiologi yang lebih



komprehensif.



Kemajuan teknologi pencitraan telah menunjukkan intramural perdarahan, intramural hematoma, dan ulkus aorta mungkin tanda-tanda berkembang pembedahan



MEP Books Cardiovascular page 85



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



atau subtipe diseksi. Semua ini dikelompokkan dalam sindrom aorta akut. Klasik diseksi aorta anatomi adalah diklasifikasikan menurut DeBakey atau Stanford. Yang paling umum digunakan adalah Stanford klasifikasi, yang didasarkan pada keterlibatan aorta menaik. e. Stanford classification Tipe A melibatkan aorta menaik tapi mungkin meluas ke lengkungan dan turun aorta (Tipe I DeBakey dan II). Tipe B melibatkan aorta menurun hanya (DeBakey tipe III). Dalam Stanford tipe A, yang selalu terlibat adalah ascendensd aorta. Di Stanford tipe B, diseksi adalah distal asal subklavia kiri pembuluh darah. Sistem Stanford juga membantu untuk menggambarkan dua kelompok resiko yang nyata bagi manajemen. Biasanya, tipe A pembedahan memerlukan operasi, sementara pembedahan tipe B sebaiknya dikelola secara konservatif dengan pengobatan medis di bawah yang paling kondisi. f. DeBakey classification 1. Tipe I melibatkan ascending aorta, arkus aorta, dan turun aorta. 2. Tipe II terbatas pada ascending aorta saja. 3. Tipe III terbatas pada aorta menurun distal arteri subklavia kiri saja; IIIa meluas hingga diafragma, IIIb melampaui diafragma.



Daftar Pustaka Hebballi R, Swanevelder J. Diagnosis and management of aortic dissection. Contin Educ Anaesth Crit Care Pain. 2009 Feb;9(1):14–8. Khan IA, Nair CK. Clinical, diagnostic, and management perspectives of aortic dissection. Chest 2002; 122: 311–28 Tsai TT, Nienaber CA, Eagle KA. Acute aortic syndromes. Circulation 2005; 112: 3802–13 Erbel R, Alfonso F, Boileau C et al. Task Force on Aortic Dissection Diagnosis and Management of aortic dissection. Eur Heart J 2001; 22: 1642–81 MEP Books Cardiovascular page 86



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



TAKIKARDI SUPRAVENTRIKULAR A. Definisi takikardi supraventrikular Takikardi adalah kelainan pada asal, waktu, atau urutan depolarisasi jantung yang menyebabkan laju denyut jantung >100x per menit. Takikardi mungkin berasal dar supraventrikular yang jauh lebih umum terjadi, yang pada kasus tersebut, takikardi muncul dari atrium atau nodus AV. TSV sering juga disebut Paroxysmal Supraventrikular Takikardi (PSVT). Paroksismal disini artinya adalah gangguan tiba-tiba dari denyut jantung yang menjadi cepat. Sebagian besar takikardi supraventrikular (TSV) menyulitkan namun tidak mengancam jiwa, meskipun kematian mendadak dapat terjadi namun jaranag. Gejala yang umum terjadi adalah rasa pusing, palpitas dan napas pendek. Kelainan pada TSV mencakup komponen sistem konduksi dan terjadi di bagian atas bundel HIS. Pada kebanyakan TSV mempunyai kompleks QRS normal. Bila kita perhatikan SVT dapat diidentifikasikan sebagai berikut : 1. Denyut jantung yang cepat, disebut takikardi yang artinya denyut jantung melebihi > 100 denyut per menit. Pada SVT denyut jantung ini berkisar antara 150-250 denyut per menit. 2. Denyut jantung yang reguler (dapat dilihat dari kompleks QRS yang teratur) dengan gelombang P yang superimposed dengan komplek QRS (tidak terlihat gelombang P). 3. Komplek QRS sempit (QRS < 0,12 detik atau 3 kotak kecil)



MEP Books Cardiovascular page 87



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



B. Elektrofisiologi takikardi supraventrikular 1.



Gangguan pembentukan rangsang Gangguan ini dapat terjadi secara pasif atau aktif. Bila gangguan rangsang terbentuk secara aktif di luar urutan jaras hantaran normal, seringkali menimbulkan gangguan irama ektopik dan bila terbentuk secara pasif sering menimbulkan escape rhytm (irama pengganti). a.



Irama ektopik timbul karena pembentukan rangsang ektopik secara



aktif dan fenomena reentry b. Escape beat (denyut pengganti) ditimbulkan bila rangsang normal tidak atau belum sampai pada waktu tertentu dari irama normal, sehingga bagian jantung yang belum atau tidak mendapat rangsang itu bekerja secara otomatis untuk mengeluarkan rangsangan instrinsik yang memacu jantung berkontraksi. c. Active ectopic firing terjadi pada keadaan dimana terdapat kenaikan kecepatan automasi pembentukan rangsang pada sebagian otot jantung yang melebihi keadaan normal. d.



Reentry terjadi bila pada sebagian otot jantung terjadi blokade unidirectional (blokade terhadap rangsang dalam arah antegrad) dimana rangsang dari arah lain masuk kembali secara retrograd melalui bagian yang mengalami blokade tadi setelah masa refrakternya dilampaui. Keadaan ini menimbulkan rangsang baru secara ektopik. Bila reentry terjadi secara cepat dan berulang-ulang, atau tidak teratur (pada beberapa tempat), maka dapat menimbulkan keadaan takikardi ektopik atau fibrilasi tuk secara pasif sering menimbulkan escape rhytm (irama pengganti).



2. Gangguan konduksi rangsang Kelainan irama jantung dapat disebabkan oleh hambatan pada hantaran (konduksi) aliran rangsang yang disebut blokade. Hambatan tersebut mengakibatkan tidak adanya aliran rangsang yang sampai ke bagian MEP Books Cardiovascular page 88



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



miokard yang seharusnya menerima rangsang untuk dimulainya kontraksi. Blokade ini dapat terjadi pada tiap bagian sistem hantaran rangsang mulai dari nodus SA atrium, nodus AV, jaras HIS, dan cabang-cabang jaras kanan kiri sampai pada percabangan purkinye dalam miokard.



3. Gangguan pembentukan serta penghantaran rangsang Gangguan irama jantung dapat terjadi sebagai akibat gangguan pembentukan rangsang bersama gangguan hantaran rangsang



C.



Klasifikasi takikardi supraventrikular 1.



Takikardi atrium primer (takikardi atrial ektopik) Terdapat sekitar 10% dari semua kasus TSV, namun TSV ini sukar diobati. Takikardi ini jarang menimbulkan gejala akut. Penemuannya biasanya karena pemeriksaan rutin atau karena ada gagal jantung akibat aritmia yang lama. Pada takikardi atrium primer, tampak adanya gelombang “p” yang agak berbeda dengan gelombang p pada waktu irama sinus, tanpa disertai pemanjangan interval PR. Pada pemeriksaan elektrofisiologi intrakardiak tidak didapatkan jaras abnormal (jaras tambahan).



2.



Atrioventricular re-entry tachycardia (AVRT) Pada AVRT pada sindrom Wolf-Parkinson-White (WPW) jenis orthodromic, konduksi antegrad terjadi pada jaras his-purkinye (slow conduction) sedangkan konduksi retrograd terjadi pada jaras tambahan (fast conduction). Kelainan yang tampak pada EKG adalah takikardi dengan kompleks QRS yang sempit dengan gelombang p yang timbul segera setelah kompleks QRS dan terbalik. Pada jenis yang antidromic, konduksi antegrad terjadi pada jaras tambahan sedangkan konduksi retrograd terjadi pada jaras his-purkinye. Kelainan pada EKG yang tampak adalah takikardi dengan kompleks QRS yang lebar dengan gelombang p yang terbalik dan timbul pada jarak yang jauh setelah kompleks QRS.



3.



Atrioventricular nodal reentry tachycardia (AVNRT) MEP Books Cardiovascular page 89



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



Pada jenis AVNRT, reentry terjadi di dalam nodus AV, dan jenis ini merupakan mekanisme yang paling sering menimbulkan TSV pada bayi dan anak. Sirkuit tertutup pada jenis ini merupakan sirkuit fungsional. Jika konduksi antegrad terjadi pada sisi lambat (slow limb) dan konduksi retrograd terjadi pada sisi cepat (fast limb), jenis ini disebut juga jenis typical (slow-fast) atau orthodromic. Kelainan pada EKG yang tampak adalah takikardi dengan kompleks QRS sempit dengan gelombang p yang timbul segera setelah kompleks QRS tersebut dan terbalik atau kadang-kadang tidak tampak karena gelombang p tersebut terbenam di dalam kompleks QRS. Jika konduksi antegrad terjadi pada sisi cepat dan konduksi retrograd terjadi pada sisi lambat, jenis ini disebut jenis atypical (fast-slow) atau antidromic. Kelainan yang tampak pada EKG adalah takikardi dengan kompleks QRS sempit dan gelombang p terbalik dan timbul pada jarak yang cukup jauh setelah komplek QRS.



D. Penyebab takikardi supraventrikular 1.



Idiopatik Ditemukan pada hampir setengah jumlah pasien. Tipe idiopatik ini biasanya terjadi lebih sering pada bayi daripada anak.



2.



Sindrom Wolf Parkinson White (WPW) Terdapat pada 10-20% kasus dan terjadi hanya setelah konversi menjadi sinus aritmia. Sindrom WPW adalah suatu sindrom dengan interval PR yang pendek dan interval QRS yang lebar; yang disebabkan oleh hubungan langsung antara atrium dan ventrikel melalui jaras tambahan.



3.



Beberapa penyakit jantung bawaan (anomali Ebstein’s, single ventricle,



L-TGA).



E.



Tanda dan gejala takikardi supraventrikular



MEP Books Cardiovascular page 90



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



1.



Perubahan TD (hipertensi/hipotensi), nadi mungkin tidak teratur, defisit nadi, bunyi irama jantung tidak teratur, bunyi ekstra, denyut menurun, kulit pucat, sianosis, berkeringat, edema, keluaran urin menurun bila curan jantung menurun.



2.



Sinkop, pusing, sakit kepala, disorientasi, bingung, letargi, perubahan



pupil. 3.



Nyeri dada ringan sampai berat.



4.



Nafas pendek serta perubahan kecepatan/kedalaman pernafasan.



5.



Demam, kemerahan pada kulit (eritema) & kehilangan tonus otot



(kekuatan otot).



F.



Tatalaksana takikardi supraventrikular 1.



Penatalaksanaan segera a) Adenosin Adenosin merupakan obat pilihan dan sebagai lini pertama dalam terapi TSV karena dapat menghilangkan hampir semua TSV. Adenosin diberikan secara bolus intravena diikuti dengan flush saline, mulai dengan dosis 50 µg/kg dan dinaikkan 50 µ/kg setiap 1 sampai 2 menit (maksimal 250 µ/kg). Dosis yang efektif pada anak yaitu 100 – 150 µg/kg. Pada sebagian pasien diberikan digitalisasi untuk mencegah takikardi berulang. b) Prokainamid Obat ini bekerja memblok konduksi pada jaras tambahan atau pada konduksi retrograd pada jalur cepat pada sirkuit reentry di nodus AV. c) Digoksin Digoksin memperbaiki fungsi ventrikel, baik melalui pengaruh inotropiknya maupun melalui blokade nodus AV yang ditengahi vagus. d) Bila adenosin tidak bisa digunakan serta adanya tanda gagal jantung kongestif atau kegagalan sirkulasi jelas dan alat DC shock tersedia, dianjurkan penggunaan direct current synchronized cardioversion dengan kekuatan listrik sebesar 0,25 watt-detik/pon yang pada umumnya cukup efektif. MEP Books Cardiovascular page 91



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



e) Bila DC shock tidak tersedia baru dipilih alternatif kedua yaitu preparat digitalis secara intravena. Dosis yang dianjurkan pada pemberian pertama adalah sebesar ½ dari dosis digitalisasi (loading dose) dilanjutkan dengan ¼ dosis digitalisasi, 2 kali berturut-turut berselang 8 jam. f) Beta-blocker Propanolol dapat digunakan secara hati-hati, sering efektif dalam memperlambat fokus atrium pada takikardi atrial ektopik. g) Flecainide dan Sotalol Merupakan kombinasi baru, yang aman dan efektif untuk mengontrol TSV yang refrakter. Untuk TSV yang refrakter pada anak yang berusia kurang dari 1 tahun



2. Penanganan jangka panjang Umur pasien dengan TSV digunakan sebagai penentu terapi jangka panjang TSV. Di antara bayi-bayi yang menunjukkan tanda dan gejala TSV, kurang lebih sepertiganya akan membaik sendiri dan paling tidak setengah dari jumlah pasien dengan takikardi atrial automatic akan mengalami resolusi sendiri. Berat ringan gejala takikardi berlangsung dan kekerapan serangan merupakan pertimbangan penting untuk pengobatan. Pada sebagian besar pasien tidak diperlukan terapi jangka panjang karena umumnya tanda yang menonjol adalah takikardi dengan dengan gejala klinis ringan dan serangan yang jarang dan tidak dikaitkan dengan preeksitasi. Bayi-bayi dengan serangan yang sering dan simptomatik akan membutuhkan obat-obatan seperti propanolol, sotalol atau amiodaron, terutama untuk tahun pertama kehidupan. Pada pasien TSV dengan sindrom WPW sebaiknya diberikan terapi propanolol jangka panjang. Sedangkan pada pasien dengan takikardi resisten digunakan procainamid, quinidin, flecainide, propafenone, sotalol dan amiodarone. Pada pasien dengan serangan yang sering dan berusia di atas 5 tahun, radiofrequency ablasi catheter merupakan pengobatan pilihan. Pasien yang MEP Books Cardiovascular page 92



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



menunjukkan takikardi pada kelompok umur ini umumnya takikardinya tidak mungkin mengalami resolusi sendiri dan umunya tidak tahan atau kepatuhannya kurang dengan pengobatan medikamentosa. Terapi ablasi dilakukan pada usia 2 sampai 5 tahun bila TSV refrakter terhadap obat anti aritmia atau ada potensi efek samping obat pada pemakaian jangka panjang. Pada tahun-tahun sebelumnya, alternatif terhadap pasien dengan aritmia yang refrakter dan mengancam kehidupan hanyalah dengan anti takikardi pace maker atau ablasi pembedahan.



G.



Pemeriksaan penunjang takikardi supraventrikular 1. EKG Menunjukkan pola cedera iskemik & gangguan konduksi. Menyatakan tipe/sumber disritmia & efek ketidakseimbangan elektrolit % obat jantung. 2. Monitor Holter Gambaran EKG (24 jam) mungkin diperlukan untuk menentukan dimana disritmia disebabkan oleh gejala khusus bila pasien aktif. Juga dapat digunakan untuk evaluasi fungsi pacu jantung/efek obat disritmik. 3. Foto dada Menunjukkan pembesaran bayangan jantunsehubungan dengan disfungsi ventrikel atau katup. 4. Scan pencitraan miokardia Menunjukkan area iskemik/kerusakan miokard yang dapat mempengaruhi konduksi normal atau mengganggu gerakan dinding & kemampuan pompa. 5. Tes stress latihan Untuk mendemonstrasikan latihan yang menyebabkan aritmia. 6. Elektrolit Peningkatan atau penurunan kalium, kalsium & magnesium yang dpaat menyebabkan aritmia. 7. Pemeriksaan obat Dapat menyatakan toksisitas obat jantung, adanya obat jalanan atau dugaan interaksi obat. Contoh : digitalis, quinidin. 8. Pemeriksaan tiroid MEP Books Cardiovascular page 93



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



Peningkatan atau penurunan kadar tiroid serum dapat menyebabkan, meningkatkan disritmia. 9. Laju sedimentasi Peninggian dapat menunujukkan proses inflamasi akut. Contoh: Endokarditis sebagai faktor pencetus disritmia. 10. GDA/nadi oksimetri Hipokalemia dapat menyebabkan /mengeksaserbasi disritmia.



MEP Books Cardiovascular page 94



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



ATRIAL FIBRILASI



Definisi Fibrilasi atrium adalah takiaritmia supraventrikular yang khas, dengan aktivasi



atrium



yang tidak terkoordinasi mengakibatkan perburukan fungsi



mekanis atrium. Pada elektrokardiogram (EKG), ciri dari FA adalah tiadanya konsistensi gelombang P, yang digantikan oleh gelombang getar (fibrilasi) yang bervariasi



amplitudo, bentuk dan durasinya. Pada fungsi NAV yang



normal, FA biasanya disusul oleh respons ventrikel yang juga ireguler, dan seringkali cepat. Ciri-ciri FA pada gambaran EKG umumnya sebagai berikut: 1. EKG permukaan menunjukkan pola interval RR yang ireguler 2. Tidak dijumpainya gelombang P yang jelas pada EKG permukaan. Kadang-kadang



dapat



terlihat



aktivitas



atrium yang ireguler pada



beberapa sadapan EKG, paling sering pada sadapan V1. 3. Interval



antara



dua



gelombang



aktivasi



atrium



tersebut biasanya



bervariasi, umumnya kecepatannya melebihi 450x/menit.



Etiologi Sebagian besar fibrilasi atrial (atrial fibrillation/AF) tidak diketahui penyebabnya.penyebabnya yang telah terbukti adalah usia, hipertensi, gagal jantung simptomatik, stenosis atau isufiensi katup mitral, atrial septal defect (ASD), infark Miokard, obesitas, penyakit paru obstruksi kronik (PPOK), diabetes mellitus, gagal ginjal kronik, hipertiroidisme, intoksikasi alcohol atau pasca operasi mayor seperti operasi abdomen, toraks atau vascular.



Klasifikasi Secara klinis FA dapat dibedakan menjadi lima jenis menurut waktu presentasi dan durasinya, yaitu:



MEP Books Cardiovascular page 95



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



1. FA yang pertama kali terdiagnosis. Jenis ini berlaku untuk pasien yang pertama kali datang dengan manifestasi klinis FA, tanpa memandang durasi atau berat ringannya gejala yang muncul. 2. FA paroksismal adalah FA yang mengalami terminasi spontan dalam 48 jam, namun dapat berlanjut hingga 7 hari. 3. FA persisten adalah FA dengan episode menetap hingga lebih dari 7 hari atau FA yang memerlukan kardioversi dengan obat atau listrik. 4. FA persisten lama(long standing persistent) adalah FA yang bertahan hingga ≥1 tahun, dan strategi kendali irama masih akan diterapkan. 5. FA permanen merupakan FA yang ditetapkan sebagai permanen oleh dokter (dan pasien) sehingga strategi kendali irama sudah tidak digunakan lagi. Apabila strategi kendali irama masih digunakan maka FA masuk ke kategori FA persisten lama.



Epidemiologi Fibrilasi



atrium



(FA)



merupakan



aritmia



yang



paling



sering



ditemui dalam praktik sehari-hari. Prevalensi FA mencapai 1-2% dan akan



terus



observasional



meningkat



dalam



50



tahun



mendatang. data



(MONICAmultinational MONItoring



of



dari



studi



trend



and



determinant in CArdiovascular disease) pada populasi urban di Jakarta menemukan



angka



kejadian FA sebesar 0,2% dengan rasio laki-laki dan



perempuan 3:2 Selain itu,karena terjadi peningkatan signifikan persentase populasi usia lanjut di Indonesia yaitu 7,74% (pada tahun 2000-2005) menjadi 28,68% (estimasi WHO tahun 2045-2050),maka angka kejadian FA juga akan meningkat secara signifikan. Fibrilasi atrium menyebabkan peningkatan mortalitas dan morbiditas, termasuk



stroke,



gagal



jantung



serta



penurunan



kualitas hidup. Pasien



dengan FA memiliki risiko stroke 5 kali lebih tinggi dan risiko gagal jantung 3 kali lebih tinggi dibanding pasien tanpa FA.Stroke merupakan salah satu komplikasi FA yang paling dikhawatirkan, karena stroke yang diakibatkan oleh FA mempunyai risiko kekambuhan yang



lebih



tinggi. Fibrilasi



atrium



juga



berkaitan erat dengan penyakit kardiovaskular lain seperti hipertensi, gagal MEP Books Cardiovascular page 96



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



jantung, penyakit jantung koroner, penyakit



jantung bawaan



hipertiroid,



seperti



defek



diabetes



septum



melitus,



atrium,



obesitas,



kardiomiopati,



penyakit ginjal kronis maupun penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Gagal jantung simtomatik dengan kelas fungsional New York Heart Association (NYHA) II sampai IV dapat terjadi pada 30% pasien FA, namun sebaliknya FA dapat terjadi pada 30-40% pasien dengan gagal jantung tergantung dari penyebab dari gagal jantung



itu



sendiri.



Fibrilasi



atrium



dapat menyebabkan gagal jantung



melalui mekanisme peningkatan tekanan atrium, peningkatan beban volume jantung, disfungsi katup dan stimulasi neurohormonal yang kronis. Distensi pada atrium kiri dapat menyebabkan FA seperti yang terjadi pada pasien penyakit katup jantung dengan prevalensi sebesar 30% dan 10-15 % pada defek septal atrium.



Penegakan diagnosis Dalam penegakan diagnosis FA, terdapat beberapa pemeriksaan minimal yang harus dilakukan dan pemeriksaan tambahan sebagai pelengkap. Pada panduan



ini,



rekomendasi



yang diberikan



dapat



disesuaikan



dengan



tingkat kelengkapan pusat kesehatan terkait.



MEP Books Cardiovascular page 97



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



MEP Books Cardiovascular page 98



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



Tatalaksana  Terapi antitrombotik pada FA



MEP Books Cardiovascular page 99



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



Tata Laksana pada Fase Akut  Kendali laju fase ak



Tata laksana jangka panjang  Kendali laju jangka panjang



MEP Books Cardiovascular page 100



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



 Kendali irama jangka panjang



MEP Books Cardiovascular page 101



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



 Kardioversi elektrik (direct current cardioversion)



 Ablasi atrium kiri



MEP Books Cardiovascular page 102



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



DAFTAR PUSTAKA 



Pedoman Tatalaksana Fibrilasi Atrium,Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI) 2014.







Kapita Selekta Kedokteran.Edisi Ke-4,2014,Jakarta: Media Aesculapius



MEP Books Cardiovascular page 103



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



FLUTTER ATRIUM



Gambar 1. Flutter atrium



Flutter atrium merupakan salah satu bentuk dari Supraventricular Takikardi yang diakibatkan makro reentrant sirkuit yang aling sering terjadi ada atrium kanan (di sekeliling cincin katup trikuspid) (Gambar 1). Ciri dari flutter atrium adalah 



Teratur, gambaran gigi gergaji (Gambar 2), blokade 2:1, 3:1, 4:1 dan seterusnya



Gambar 2. Flutter atrium, tampak gigi gregaji







Frekuensi atrium: 250-350 denyut per menit







Frekuensi ventrikel : setengah, sepertiga, seperempat frekuensi atrium, dan seterusnya.







Pemijatan karotis: meningkatan blokade (Gambar 3)



MEP Books Cardiovascular page 104



Gambar 3. Flutter atrium. Pemijatan karotis memperparah blokade dari 3:1 menjadi 5:1



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



Sekitar 200.000 kasus flutter atrium didiagnosis setiap tahun di Amerika Serikat. Flutter atrium biasanya menyertai berbagai keadaan berikut: 



Hipertensi







Obesitas







Diabetes Melitus







Gangguan Keseimbangan Elektrolit







Intoksifikasi alkohol







Penyalahgunaan obat, khususnya kokain dan amfetamin







Penyakit Paru (PPOK dan emboli paru)







Tiroktosikosis







Berbagai kelainan jantung, kongenital (defek septum atrium) mauun didapat (penyakit katup rrematik, penyakit arteri koroner dan gagal jantung kongestif)



DAFTAR PUSTAKA



Thaler, Malcolm S. 2012. Satu-Satunya Buku EKG Yang Anda Perlukan. Ed. 7. Jakarta: EGC



MEP Books Cardiovascular page 105



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



SUPRA VENTRICULAR EXTRA SYSTOLE



Definisi Suatu jenis aritmia jantung dengan kontraksi atrium prematur atau ketukan yang disebabkan oleh sinyal yang berasal dari bagian ektopik atrium. Sinyal ektopik ini mungkin atau mungkin juga tidak mengonduksi ventrikel jantung. Kompleks atrium prematur ditandai dengan gelombang P dini pada EKG yang berbeda dalam konfigurasi dari gelombang P yang dihasilkan oleh kompleks pacemaker jantung normal pada nodus sinoatrial. Sinonim Supraventricular extrasystoles, premature atrial contraction, atrial ectopic beats, premature atrial contractions, supraventricular extrasystole, Extrasystoles Atrial, extrasystoles supraventricular, atrial extrasystoles



Gambaran EKG



Sebuah extrasystole supraventricular tunggal (warna biru pada gambar di atas) adalah aritmia yang sangat umum dan biasanya tidak berbahaya. Ekstrasistol supraventricular muncul pada orang sehat dan tidak dianggap sebagai temuan abnormal. ekstrasistol supraventricular tidak selalu menyebabkan sensasi apapun, tetapi mereka mungkin merasa seperti "berdebar" di dada anda. ekstrasistol



MEP Books Cardiovascular page 106



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



supraventricular paling sering tidak memerlukan obat, tapi obat-obatan seperti beta blockers dapat menurunkan terjadinya gejala SVES.



MEP Books Cardiovascular page 107



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



EKSTRASISTOL VENTRIKEL Definisi Gangguan irama di mana timbul denyut jantung prematur yang berasal dari focus yang terletak di ventrikel,dapat berasal dari satu focus atau lebih (multifokal). Ekstrasistol ventrikel merupakan kelainan irama jantung yang paling sering ditemukan dan dapat timbul pada jantung yang normal.



Faktor Risiko 



Pertambahan usia







Banyak minum kopi







Merokok







Emosi



Etiologi 



Iskemia miokard







Infark miokard akut







Gagal jantung







Sindrom QT yang memanjang







Prolaps katup mitral







Cerebrovascular accident







Keracunan digitalis







Hipokalemia







Miokarditis







Kardiomiopati



Komplikasi 



Takikardia ventrikel







Fibrilasi ventrikel



Ekstrasistol Maligna (Ekstrasistol yang dapat berkembang menjadi aritmia ventrikel yang berbahaya seperti takikardia atau fibrilasi ventrikel) : 



Ekstrasistol yang jumlahnya lebih dari 5 kali per menit MEP Books Cardiovascular page 108



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2







Ekstrasistol ventrikel yang timbul secara berturut-turut (consecutive)







Ekstrasistol ventrikel yang multifokal







Ekstrasistol yang timbul pada gelombang T (R on T)



Penatalaksanaan 1. Farmakoterapi 



Xilocain intravena dengan dosis bolus 1-2 mg per kg BB dilanjutkan dengan infus 1-2 mg per menit dosis dapat dinaikkan sampai 4 mg per menit







Amiodaron,meksiletin,dilantin.



2. Non-Farmakoterapi 



Menghentikan kebiasaan minum kopi







Menghentikan kebiasaan merokok







Menghindari



obat-obatan



simpatomimetik



seperti



adrenalin,efedrin,dll. Pemberian tranquilizer pada pasien yang banyak ketegangan



MEP Books Cardiovascular page 109



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



FIBRILASI VENTRIKEL Fibrilasi ventrikel ialah irama ventrikel yang chaos dan sama sekali tidak teratur. Hal ini menyebabkan ventrikel tidak dapat berkontraksi dengan cukup sehingga curah jantung menurun, bahkan sama sekali tidak ada, sehingga tekanan darah dan nadi tidak bisa diukur, pasien tidak sadar dan bila tidak segera ditolong akan menyebabkan kematian. Fibrilasi ventrikel paling sering karena penyakit jantung koroner, terutama infark miokard akut, penyebab lain intoksikasi digitalis, sindrom QT yang memanjang. Pada pasien harus secepatnya dilakukan resusitasi jantung paru, yaitu pernapasan buatan dan pijat jantung dan secepatnya dilakukan direct current countershock dengan dosis 400 joules. Pasien juga diberikan xilocain atau amiodaron secara intravena. Pertolongan harus diberikan dalam 2-4 menit, bila tidak terlambat prognosis cukup baik. Bila sudah lebih dari5menit dapat terjadi kerusakan otak, sehingga walaupun irama jantung kembali normal, mungkin kesadaran pasien tidak dapat kembali. Fibrilasi ventikel (VF) merupakan keadaan terminal dari aritmia ventrikel yang ditandai oleh kompleks QRS, gelombang P dan segmen ST yang tidak beraturan dan sulit dikenali (disorganized). VF merupakan penyebab utama kematian mendadak. Penyebab utama VF adalah infark miokard akut, blok AV total denganrespon ventrikel sangat lambat, gangguan elektrolit (hipokalemia dan hiperkalemia), asidosis berat dan hipoksia. Salah satu penyebab VF primer yang sering pada orang dengan denyut jantung normal adalah sindrom Brugada. Pada kelainan ini terjadi kelainan genetik pada gen yang mengatur kanal natrium sehingga tercetus VF primer. Angka kejadiannya tinggi pada populasi asia dan kelompok laki-laki usia muda. Pada EKG permulaan saat irama sinus ditemukan adanya gambaran RBBB inkomplit dengan elevasi segmen ST di sadapan VI-V3. VF akan menyebabkan tidak adanya curah jantung sehingga pasien dapat pingsan dan mengalami henti napas dalam hitungan detik. VF kasar (coarse VF) menunjukkan aritmia ini baru terjadi dan lebih besar peluangnya untuk diterminasi dengan defibrilasi. Sedangkan VF halus (fine VF) sulit dibedakan dengan asistol dan biasanya sulit diterminasi. Penanganan VF harus cepat dengan protokol resusitasi kardiopulmonal yang baku MEP Books Cardiovascular page 110



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



meliputi pemberian unsynchronized DC shock mulai 200 J sampai 360 J dan obat-obatan seperti adrenalin, amiodaron, dan magnesium sulfat.



Gambaran vibrilasi ventrikel



MEP Books Cardiovascular page 111



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



HENTI JANTUNG ( CARDIACT ARREST ) Etiologi/Patofisiologi 



Adalah berhentinya sirkulasi yang disebabkan oleh fungsi jantung yang tidak efektif (asistol, fibrilasi ventrikular, takikardi ventrikular tanpa teraba denyut nadi, atau aktivitas elektrik taraba tanpa denyut nadi).







Keadaan ini mengakibatkan tidak terabanya denyut nadi, tekanan darah tidak terukur, serta berhentinyya fungsi respirasi, dan serebral







Pemulihan yang cepat aktivitas jantung dan perfusi perifer yang terorganisir memegang peranan penting.







Aritmia ventrikular merupakan penyebab henti jantung yang paling sering pada pasien dengan kelainan jantung- defibrilasi yang dini merupakan kunci untuk memperthanakan kehidupan pasien.







Penatalaksanaan henti jantung yang direkomendasikan dimuat dalam protokol Advnced Cardiac Life Support (ACLS) – suatu pendekatan skematik yang disajikan dengan algoritme yang didasarkan pada manifestasi klinis.



Manifestasi/Tanda & Gejala Klinis 



Pasien kemungkinan tidak berespons (atau memberikan respons yang minimal jika henti jantung mengancam).







Dinilai patensi jalan napas dan kemampuan pasien melindungi jalan napas.







Pernapasan dinilai (napas spontan, respirasi agonal, takipnea, pernapasan memadai atau dangkal, oksigenasi, suara napas).







Sirkulasi dinilai terhadap denyut nadi, tekanan darah, serta tanda klinis perfusi perifer dan oksigenasi yang buruk (misalnya pucat, anggota gerak yang dingin).



Diagnosis Banding 



Infark miokardium







Kelainan struktural jantung







Hipoksia MEP Books Cardiovascular page 112



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2







Asidosis







Metabolik (misalnya hiperkalemia).







Hipovolemia/perdarahan







Obat-obatan (misalnya anti-aritmia, antagonis kalsium/beta blocker, TCA)







Tamponade jantung







Pneumothoraks ventile (tension)







Embolisme pulmonal







Stroke/perdarahan serebral







Hipotermia







Trauma







Tersengat aliran listrik



Pemeriksaan Diagnostik 



Jika denyut nadi dan respirasi tidak ada, dilakukan tunjangan hidup dasar (komprsi dada dan pernapasan) dengan segera.







Monitor jantuung







Dilakukan penilaian denyut nadi dan irama jantung pertama kali dilakukan defibrilasi dengan segera bila ditemukan Ventrikel fibrilasi atau Ventrikel takikardia tanpa denyut nadi







Dilakukan survei primer dan sekunder







Jalan napas/pernapadan : lacak adanya obstruksi, alat bantu jalan napas mulai diberikan (misalnya jalan napas oral, bag-valve mask), dan dilakukan intubasi secara dini bila diperlukan (berdasarkan pada manifestasi klinis dan setiap dekompensasi lebih lanjut yang diharapkan).







Sirkulasi: dilakukan pijat dada jika denyut nadi tidak teraba dan jalur IV dipasang.







Diberikan obat-obatan kardiovaskular (dengan IV atau pipa endotrakea) sesuai dengan algoritme ACLS.







Keadaan



yang



kemungkinan



reversibel



(misalnya



hiperkalemia,



hipokalsemia) hatus diperhatikan timbangkan dan diterapi.



MEP Books Cardiovascular page 113



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



Terapi/ Penatalaksanaan 



Penyabab



yang



potensial



diterapi



(misalnya



hiperkalemia



perlu



mendapatkan kalsium IV), 



V fib/ V tach tanpa teraba denyut nadi o Diberikan defibrilasi x 3 (renjatan dengan 200 J, 300 J, selanjutnya 360 J) o Dilakukan pemeriksaan irama jantung dan denyut nadi setelah setiap kali defibrilasi dilakukan. o Pasien degan aritmia yang menetap perlu mendapatkan terapi obat yang diselingi dengan kejutan (shocks) (epinefrin setiap 3-5 menit, bolus vasopresin, amiodaron, lidokain, dan/ atau prokainamide; bikarbonat



perlu



dipertimbangkan



pada



resusitasi



yang



memanjang). 



V tach yang stabil (takikardia kompleks-luas); diberikan amiodaron atau lidokain jika monomorfik ; diberikan magnesium jika terdapat torsades de pointes.







Aktivitas elektrik tanpa teraba denyut nadi; diberikan epinefrin setiap 3-5 menit yang diselingi dengan atropin; penyebab yang potensial perlu diindentifikasi dan diterapi secara agresif.







Asistol: pacu transkutaneus (terutama selama beberapa menit pertama) dan epinefrin dan diselingi atropin.







Bradikardia simptomatik: atropin, dopamin, epinefrin, pacu transkutan, dengan atau tanpa pacu transvenosa.







Takikardia kompleks-sempit : dilakukan kardioversi untuk gejala klinis yang berat; jikalau tidak diberikan terap medikamentosa berdasarkan pada irama dan komorbiditas.



Prognosis / komplikasi 



Takikardi kompleks- luas sebaiknya dipertimbangkan sebagai V tach hingga terbukti tidak



MEP Books Cardiovascular page 114



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2







Defibrilasi yang dini untuk Vfib dan Vtach tanpa teraba denyut nadi merupakan intervensi yang paling efektf.







Dilanjutkan secepat mungkin degan perawatan definitif (misalnya PTCA untuk MI, koreksi elektrolit).







Pronosis umumnya buruk o Henti jantung tanpa saksi mata dan CPR segera oleh saksi mata sedikit memperbaiki hasil. o Penyebab yang reversibel mempunyai hasil yang lebih baik o Banyak pasien yang hidup mengalami gejala sisa neurologik yang menetap







Komplikasi mencakup kematian (pada sebagian besar pasien), trauma otak, hipoksi, shock liver, MI, dan gagal ginjal akut.



DAFTAR PUSTAKA M.Caterino Jeffrey. Kahan Scott. 2013. Master Plan Kedaruratan Medik: disertai contoh klinik. Jakarta : Binarupa Aksara.



MEP Books Cardiovascular page 115



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



GAGAL JANTUNG



A. Definisi Gagal jantung adalah sindrom klinis yang kompleks yang timbul disebabkan kelainan sekunder dari abnormalitas struktur jantung dan atau fungsi (yang diwariskan atau didapat) yang merusak kemampuan ventrikel kiri untuk mengisi atau mengeluarkan darah (Braunwald, 2007). Adanya gejala gagal jantung yang reversibel dengan terapi, dan bukti objektif adanya disfungsi jantung (European society of cardiology)



B. Klasifikasi



MEP Books Cardiovascular page 116



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



C. Etiologi



Etiologi Gagal jantung



Disritmia Malfungsi katup Abnormalitas otot jantung Ruptur miokard Hipertensi sistemik Obat-obatan



D. Patofisiologi



MEP Books Cardiovascular page 117



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



GAGAL JANTUN G KIRI



Penurunan curah jantung



Peningkatan EDP ventrikel kiri &tekanan vena pulmonalis



Jantung berdilatasi



Edema pulmonal



Dispnea



Akumulasi cairan pada jaringan interstisial paru



Peningkatan kapiler pulmonal



Hipoksemia



Gagal jantung kanan



E. Manifestasi klinis •



Diaphoresis







Sesak nafas







Mudah lelah







Paroxysmal Nocturnal Dyspnea







Nyeri dada







Bengkak pada kaki







Rasa tidak nyaman pada perut bagian atas kanan







Dyspnea







Orthopnea







Nocturia







Batuk







Gallop







Distensi



F. Diagnosis Diagnosis Gagal Jantung ditegakkan minimal ada 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor atau 2 kirteria mayor.



MEP Books Cardiovascular page 118



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



G. Pemeriksaan Penunjang Tidak ada pemeriksaan khusus yang dapat menegakkan diagnosis gagal jantung ( T.Santoso, Gagal Jantung 1989 ).Pemeriksaan laboratorium dibutuhkan untuk mengetahui sejauh mana gagal jantung telah mengganggu fungsi-fungsi organ lain seperti : hati,ginjal dan lain-lain.Pemeriksaan hitung darah dapat menunjukan anemia , karena anemia ini merupakan suatu penyebab gagal jantung output tinggi dan sebagai faktor eksaserbasi untuk bentuk disfungsi jantung lainnya. Pemeriksaan enzim jantung NT- proBNP (N.Terminal protein BNP) < 50 pg/mL : Gagal jantung (-) > 100 pg/mL : Prediksi gagal jantung



NT-proBNP adalah bagian dari BNP (Brain Natriuretic Peptide),dimana NTproBNP (N.Terminal protein BNP) lebih sensitif daripada BNP. BNP termasuk golongan Natriuretik peptide bersamaan dengan ANP (Atriale Natriuretic Peptide) dan CNP (C-type Natriuretic Peptide), BNP akan diproduksi bila terjadi regangan pada ventrikel kiri sehingga pada pasien gagal jantung kadar BNP dan NT-proBNP akan meningkat. Pada saat terjadi peregangan otot jantung, proBNP akan dipecah menjadi 2 bagian yaitu bagian yang aktif (BNP) dan bagian yang lebih stabil yaitu NT-ProBNP, dan keduanya akan dibebaskan masuk ke dalam aliran darah/sirkulasi. MEP Books Cardiovascular page 119



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



Ureum Darah Peningkatan ureum dapat terjadi karena shok, penurunan volume darah ke ginjal, perdarahan, dehidrasi dan lain-lain. SGOT (Serum glutamic oxaloacetic transaminase) Serum transaminase oksaloasetat glutamat, enzim yang biasanya terdapat dalam hati dan jantung sel. Pelepasan enzim SGOT yang tinggi dalam serum menunjukkan adanya kerusakan pada jaringan jantung dan hati (misalnya, dari serangan jantung). Dari studi klinik terdahulu diketahui bahwa pemakaian BNP untuk diagnostik di UGD pada pasien yang dicurigai gagal jantung dapat memperpendek masa rawat inap, sehingga biaya yang dikeluarkan lebih kecil. Sebagai hormon endokrin jantung, kadar BNP dipengaruhi oleh mekanisme umpan balik dari organ target, dan keberhasilan mengurangi beban volume dan rangsangan simpatis. NT-proBNP yang merupakan hormon inaktif, kadarnya relatif stabil karena tidak banyak dipengaruhi oleh mekanisme umpan balik seperti BNP.



MEP Books Cardiovascular page 120



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



Pemeriksaan ECG menunjukkan LVH (Left Ventricular Hypertrophy: hipertropi ventrikel kiri). Pola khas adalah LVH plus ST depresi. Dapat juga terjadi gambaran aritmia.



H. Tatalaksana



1. Mengurangi



beban



jantung:



Obat2



vasodilator







mengurangi



impedans/tahanan yang harus diatasi pompa jantung. Contoh obat: Penghambat ACE, nitrat long acting, prazosin dan hidrolazin 2. Mengatasi kelebihan cairan: Diuretika, yg sering digunakan gol tiazid dan loop diuretik 3. Memperkuat kontraktilitas miokard: Obat2 inotropik contoh: Preparat digitalis, dopamin, dobutamin, amrinon. 4. Tindakan khusus, terutama ditujukan pada kelainan yang mendasari. Mis: Akibat stenosis lakukan katup valvuloplasti atau pembedahan. Akibat PJK lakukan angiografi koroner



MEP Books Cardiovascular page 121



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



MEP Books Cardiovascular page 122



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



ANGINA PECTORIS A. Infark Miokard •



Definisi : – area nekrosis koagulasi pada jaringan akibat iskemi lokal, paling sering karena trombus / embolus (Dorland 2002). – Perkembangan cepat dari nekrosis otot jantung disebabkan o/ ketidakseimbangan antar suplai dan kebutuhan O2 (Fenton2009).







Tipe berdasar etiologi penyebab: – Tipe 1 : spontan, ruptur plak, fisura, atau diseksi plak aterosklerosis. Disebabkan krn > keperluan O2 akibat dari anemia, aritmia, hiper/hipo-tensi. – Tipe 2 : krn vasokonstriksi & spasme arteri. – Tipe 3 : ditemukan adanya petanda biokim. – Tipe 4 : A. Petanda biokim meningkat 3x lipat dari normal krn pemasangan PCI. B. Akibat pemasangan sten trombosis. – Tipe 5 : troponin meningkat 5x lipat dari normal & berhub dg operasi bypass.







Klasifikasi – IMA subendokardial – IMA transmural







Patogenesis



Aterosklerosis  nekrosis miokard akut •



Tanda dan gejala – Nyeri yg sangat dan mendadak, diikuti rasa berkeringat; pusing; mual; muntah – Pada infark miokard besar bisa terjadi dyspnea & sianosis akibat dari payah jantung







Pemeriksaan penunjang



MEP Books Cardiovascular page 123



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



– Lab



: troponin, CK-MB, mioglobin, CRP,



ESR,



LDH (↑). – Imaging



: X-ray dada, echocardiography,



Thalium scanning – EKG •



Tatalaksana – supply O2, aspirin, NTG SL / spray – Morfin, beta-blocker, CCB, ACEI – Fibrinolisis







Prognosis : Tergantung besar infark, umur, & cadangan tenaga miokardium.







Komplikasi – Gagal jantung – Stroke – Ruptur jantung  mati mendadak – Emboli perife



Angina Pectoris



MEP Books Cardiovascular page 124



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



Klasifikasi A. Stable/tipical Angina Pectoris -Nyeri tumpul seperti tertindih/berat di dada, rasa desakan yg kuat dr dalam/bawah diafragma. -Nyeri berhub dgn aktivitas, hilang saat istirahat krn terjadi pemulihan suplai O2 -Nyeri jg dpt dipresipitasi oleh stress fisik ataupun emosional APS: sindrom klinik yang ditandai rasa tidak nyaman pada dada/substernal agak dikiri, menjalar leher  rahang  bahu/punggung kiri  lengan kiri dan jari-jari bag. Ulna. B. Unstable/cressendo/prainfark Angina Pectoris -pasien dgn angina yg semkn ber(+) berat, sblmnya angina stabil, lalu seragangan angina timbul lbh sering & lbh berat skt dadanya, sdgkn faktor presipitasinya makin ringan. -serangan jg terjd pd saat istirahat, apalg saat aktivitas. C. Angina Varian -Vasospasme = spasme PD yg menyebabkan vasokonstriksi (penyempitan PD)



MEP Books Cardiovascular page 125



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



Patofisiologi



Diagnosis



Patofisiologi



Diagnosis



MEP Books Cardiovascular page 126



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



MEP Books Cardiovascular page 127



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



MEP Books Cardiovascular page 128



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



HIPERTENSI A. Defisnisi Hipertensi: Peningkatan Tekanan Darah diatas normal, Tekanan yang lebih tinggi dari 140 / 90 mmHg ( JNC on Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure ( JIVC ) ). •



Berdasarkan etiologi: 1.Hipertensi primer/esensial: Tidak diketahui penyebabnya (insidens



80-95%) 2. Hipertensi sekunder: Akibat suatu penyakit atau kelainan mendasari, mis: stenosis arteri renalis, penyakit parenkim ginjal,dsb. •



Faktor Resiko: •



Faktor genetik ( Tidak dapat diubah ) : Usia, Etnis, Keturunan







Faktor lingkungan ( Dapat diubah ) : Diet, Obesitas/kegemukan, merokok, kondisi penyakit lain



Klasifikasi Menurun JNC 7



MEP Books Cardiovascular page 129



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



MEP Books Cardiovascular page 130



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



Algoritme Tatalaksana menurut JNC 8



MEP Books Cardiovascular page 131



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



MEP Books Cardiovascular page 132



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



MEP Books Cardiovascular page 133



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



COR PULMONALE 1.1 DEFINISI Cor Pulmonale adalah keadaan patologis dengan ditemukannya hipertrofi ventrikel kanan yang disebabkan kelainan fungsional dan struktur paru. Cor pulmonale tidak termasuk kelainan karena penyakit jantung primer pada jantung kiri dan penyakit jantung kongenital (WHO). Menurut Braunwahl (1980), cor pulmonale adalah keadaan patologis akibat hipertrofi atau dilatasi ventrikel kanan yang disebabkan oleh hipertensi pulmonal



1.2 ETIOLOGI 



Kelainan vaskular paru







Kelainan parenkim paru



1.3 PATOFISIOLOGI Mekanisme



Akibat



Sindrom



PENYAKIT SISTEM VASKULAR PARU Emboli besar atau multipel



Hipertensi pulmonal akibat obstruksi akut



KP akut



Emboli kecil, vaskulitis, ARDS



Hipertensi pulmonal akibat hipoksia luas dan obstruksi mikrovaskular



KP subakut



Emboli sedang dan berulang, hipertensi pulmonal primer; diet dan obat vasopathy



Hipertensi pulmonal akibat obstruksi vaskular



KP kronik



PENYAKIT SISTEM RESPIRASI Obstruksi Bronkitis kronik dan Hipertensi pulmonal emfisema; asma akibat hipoksia, kronik peregangan vaskular, dan berkurangnya pembuluh darah



KP kronik



Restriksi 1. Intrinsik: fibrosis interstisial, reseksi paru



KP kronik



2. Ekstrinsik: obesitas, miks-edema, kelemahan otot, kifoskoliosis,



Hipertensi pulmonal akibat hipoksia, distorsi MEP Books Cardiovascular page 134 dan berkurangnya vaskular Hipertensi pulmonal akibat hipoksia alveolar



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



1.4 MANIFESTASI KLINIS  Gejala : o Sesak nafas, dapat disertai mengi o Batuk-batuk produktif, nyeri dada, mudah lelah  Tanda : o Takipnea, rapid pulse of small amplitude o JVP meningkat o Murmur sistolik dan heaving di trikuspid (LSS) o Efusi pleura, asites, hepatomegali o Edema di kaki  Lab : o Polisitemia (peningkatan Hb) o Keseimbangan V/P terganggu  pO2  o Hiperventilasi  pCO2  o Tapi lama-lama bisa terjadi hiperkapnia  gagal nafas



1.5 PEMERIKSAAN  Foto toraks: o Pulmonal prominen  dilatasi arteri pulmonal o Enlargement of RV  loss of retrosternal air space  EKG: o P pulmonal o RAD (Right Axis Deviasi o RVH (Right Ventricel Hypertrophy)  Ekokardiografi: o RVH (Right Ventricel Hypertrophy) o Tricuspid Regurgitation o Pulmonary Hypertension



1.6 TATALAKSANA  Atasi penyebabnya: o COPD: steroid, kontrol infeksi, teofllin MEP Books Cardiovascular page 135



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



 Continuous O2 : < 2-3L/min o Memperbaiki vasokontriksi → ↓ tekanan arteri pulmonal → ↓ resistensi vaskular sistemik → ↓ polisitemia.  Restriksi cairan dan garam  Inotropik o Meningkatkan kontraktilitas RV o Vasodilatasi arteri pulmonal → ↓ afterload RV  Diuretik, harus hati-hati karena dapat: o Menurunkan stroke volume o Hipokalemia → aritmia dan asidosis metabolic  Flebotomi  Digoksin: o Hanya diberikan bila disertai gagal jantung kiri  Vasodilator  Bila tidak membantu, atau terdapat impending gagal nafas segera lakukan pemasangan ventilator mekanik



MEP Books Cardiovascular page 136



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



DEMAM REMATIK DAN PENYAKIT JANTUNG REMATIK 1.7 DEFINISI DAN KLASIFIKASI Penyakit jantung reumatik (PJR) atau dalam reumatik heart disease (RHD) adalah suatu kondisi dimana terjadi kerusakan pada katup jantung yang bisa berupa penyempitan atau kebocoran, terutama pada katup mitral (stenosis katup mitral) sebagai akibat adanya gejala sisa dari demam rematik (DR). Penyakit Jantung Rematik (PJR) adalah hasil dari DR , yang merupakan suatu kondisi yang dapat terjadi 2-3 minggu setelah infeksi Streptococcus beta hemolyticus grup A pada saluran nafas bagian atas.



Klasifikasi PJR memiliki 4 (empat) bagian,di antaranya insufisiensi mitral,stenosis mitral, insufisiensi aorta, dan stenosis aorta. a. Insufisiensi Mitral (Regurgitasi Mitral) Insufisiensi mitral merupakan lesi yang paling sering ditemukan pada masa anak-anak dan remaja dengan PJR kronik. Pada keadaan ini bisa juga terjadi pemendekan katup, sehingga daun katup tidak dapat tertutup dengan sempurna. Penutupan katup mitral yang tidak sempurna menyebabkan terjadinya regurgitasi darah dari ventrikel kiri ke atrium kiri selama fase sistol. Pada kelainan ringan tidak terdapat kardiomegali, karena beban volume maupun kerja jantung kiri tidak bertambah secara bermakna. Insufisiensi mitral merupakan klasifikasi ringan,karena tidak terdapat kardiomegali yang merupakan salah satu gejala gagal jantung.



MEP Books Cardiovascular page 137



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



Tanda-tanda fisik insufisiensi mitral utama tergantung pada keparahannya. Pada penyakit ringan,tanda-tanda gagal jantung tidak akan ada. Pada insufisiensi berat, terdapat tanda-tanda gagal jantung kongestif kronis, meliputi kelelahan, lemah, berat badan turun, pucat.



b. Stenosis Mitral Stenosis mitral merupakan kelainan katup yang paling sering diakibatkan oleh PJR. Perlekatan antar daun-daun katup, selain dapat menimbulkan insufisiensi mitral(tidak dapat menutup sempurna) juga dapat menyebabkan stenosis mitral (tidak dapat membuka sempurna). Ini



akan



menyebabkan



beban jantung



kanan



akan



bertambah,sehingga terjadi hipertrofi ventrikel kanan yang dapat menyebabkan gagal jantung kanan. Dengan terjadinya gagal jantung kanan, stenosis mitra ltermasuk ke dalam kondisi yang berat c. Insufisiensi Aorta (Regurgitasi Aorta) PJR menyebabkan sekitar 50% kasus regurgitasi aorta. Pada sebagian besar kasus ini terdapat penyakit katup mitralis serta stenosis aorta. Regurgitasi aorta dapat disebabkan oleh dilatasi aorta,yaitu penyakit pangkal aorta. Kelainan ini dapat terjadi sejak awal perjalanan penyakit akibat perubahan-perubahan yang terjadi setelah proses radang rematik pada katup aorta. Insufisiensi



aorta ringan bersifat asimtomatik. Oleh karena itu,



insufisiensi aorta juga bisa dikatakan sebagai klasifikasi PJR yang ringan. Tetapi apabila penderita PJR memiliki insufisiensi mitral dan insufisiensi aorta, maka klasifikasi tersebut dapat dikatakan sebagai MEP Books Cardiovascular page 138



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



klasifikasi PJR yang sedang. Hal ini dapat dikaitkan bahwa insufisiensi mitral dan insufisiensi aorta memiliki peluang untuk menjadi klasifikasi berat, karena dapat menyebabkan gagal jantung. d. Stenosis aorta Stenosis aorta adalah obstruksi aliran darah dari ventrikel kiri ke aorta



dimana



lokasi



obstruksi



dapa



tterjadi



di



valvuler,



supravalvuler, dan subvalvuler. Gejala-gejala stenosis aorta akan dirasakan penderita setelah penyakit berjalan lanjut termasuk gagal jantung dan kematian mendadak. Pemeriksaan fisik pada stenosis aorta yang berat didapatkan tekanan nadi menyempit dan lonjakan denyut arteri melambat.



1.8 EPIDEMIOLOGI Penelitian retrospektif mengungkapkan negara-negara berkembang memiliki angka tertinggi untuk terkena penyakit jantung rematik dan tingkat kekambuhan demam rematik yang tinggi. Di seluruh dunia, ada lebih dari 15 juta kasus penyakit jantung rematik, dengan 282.000 kasus baru dan 233.000 kematian akibat penyakit ini setiap tahun.



Penyakit jantung rematik merupakan penyebab utama morbiditas dari demam rematik dan penyebab utama insufisiensi mitral dan stenosis di Amerika Serikat dan dunia. Hal-hal yang berkaitan dengan keparahan penyakit katup meliputi jumlah serangan sebelumnya demam rematik, lamanya waktu antara timbulnya penyakit dan memulai terapi, dan jenis kelamin. (Penyakit ini lebih parah pada wanita dibandingkan pada pria). Insufisiensi katup karena penyakit jantung rematik akut sembuh dalam 60-80 % dari pasien yang mematuhi penggunaan profilaksis antibiotik.



MEP Books Cardiovascular page 139



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



Pada penelitian di bawah ini terlihat insiden DR dan PJR di Eropa dan Amerika menurun, sedangkan di Negara tropis dan sub tropis masih terjadi peningkatan seperti karditis dan payah jantung yang meningkat. Majeed 1992 melapoorkan insiden DR di beberapa Negara tercantum pada table berikut :



Tabel 2. Insiden DR di beberapa negara Negara



Tahun



Kel. Umur



Insiden



( th )



populasi



Inggris & wales



1963



1-14



4,7



Kuwait



1984-1988



5-14



29



Saudi arabia



1980-1984



5-14



22



Swedia



1971-1980



0-15



0,2



USA



1978



0-14



9



Iran



1975



Semua umur



59-100



Cekoslowakia



1972



1-15



8,5



Hongkong



1972



Semua umur



23



Indonesia



( belum ada laporan )



a. Ras Penduduk



Hawaii



dan



Maori



(keduanya



keturunan



Polinesia) memiliki insiden yang lebih tinggi terkena demam rematik (13,4 per 100.000 anak per tahun dirawat di rumah sakit), bahkan dengan profilaksis antibiotik faringitis streptokokus. b. Seks Demam rematik terjadi dalam jumlah yang sama pada pria dan wanita, tetapi prognosis lebih buruk untuk perempuan daripada laki-laki. c. Usia MEP Books Cardiovascular page 140



/



100.000



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



Demam rematik adalah penyakit pada kanak-kanak, dengan rata-rata berusia 10 tahun, meskipun juga dapat terjadi pada orang dewasa (20 % kasus).



1.9 ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO Kuman Streptokokus grup A merupakan kuman yang terbanyak menimbulkan tonsilofaringitis, di mana juga menyebabkan demam reumatik. Hampir semua Streptokokus grup A adalah beta hemolitik.



Infeksi



terjadi



apabila



organisme



melekat



pada



permukaan



endokardium selama episode bakteremia. Pada beberapa kasus, penyebab infeksi hematogen jelas, seperti pada kasus pemakai obat terlarang intravena yang menyuntikkan bahan tercemar secara langsung ke dalam aliran darah; infeksi di tempat lain atau riwayat tindakan gigi, bedah, atau intervensi lainnya (misal: kateterisasi urin) juga dapat menyebabkan penyebaran kuman ke aliran darah.



Namun, pada kasus lain, sumber bacteremia tidak jelas dan mungkin berkaitan dengan cedera ringan di kulit atau mukosa, seperti yang mungkin ditemukan selama menggosok gigi. Demam reumatik dapat menyerang semua bagian jantung. Meskipun pengetahuan tentang penyakit ini serta penelitian terhadap kuman Beta Streptococcus Hemolyticus Grup A sudah berkembang pesat, namun mekanisme terjadinya demam reumatik yang pasti belum diketahui.



Pada umumnya para ahli sependapat bahwa demam remautik termasuk dalam penyakit autoimun. Streptococcus diketahui dapat menghasilkan tidak kurang dari 20 produk ekstrasel yang terpenting diantaranya ialah streptolisin O, streptolisin S, hialuronidase, streptokinase, difosforidin nukleotidase, dioksiribonuklease



serta



streptococcal



erytrogenic



toxin.



Produk-produk tersebut merangsang timbulnya antibodi. MEP Books Cardiovascular page 141



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



Pada penderita yang sembuh dari infeksi streptococcus, terdapat kira-kira 20 sistem antigen-antibodi; beberapa diantaranya menetap lebih lama daripada yang lain.



Anti DNAase misalnya dapat menetap beberapa bulan dan berguna untuk penelitian terhadap penderita yang menunjukkan gejala korea sebagai manifestasi tunggal demam reumatik, saat kadar antibodi lainnya sudah normal kembali.



ASTO ( anti-streptolisin O) merupakan antibodi yang paling dikenal dan paling sering digunakan untuk indikator terdapatnya infeksi streptococcus. Lebih kurang 80 % penderita demam reumatik /penyakit jantung reumatik akut menunjukkan kenaikkan titer ASTO ini; bila dilakukan pemeriksaan atas 3 antibodi terhadap streptococcus, maka pada 95 % kasus demam reumatik /penyakit jantung reumatik didapatkan peninggianatau lebih antibodi terhadap streptococcus.



FAKTOR RESIKO Faktor-faktor pada individu : 1. Faktor genetic Adanya antigen limfosit manusia ( HLA ) yang tinggi. HLA terhadap demam rematik menunjkan hubungan dengan aloantigen sel B spesifik dikenal dengan antibody monoklonal dengan status reumatikus.



2. Jenis kelamin Demam



reumatik



sering



didapatkan



pada



anak



wanita



dibandingkan dengan anak laki-laki. Tetapi data yang lebih besar menunjukkan tidak ada perbedaan jenis kelamin, meskipun manifestasi tertentu mungkin lebih sering ditemukan pada satu jenis kelamin. MEP Books Cardiovascular page 142



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



3. Golongan etnik dan ras Data di Amerika Utara menunjukkan bahwa serangan pertama maupun ulang demam reumatik lebih sering didapatkan pada orang kulit hitam dibanding dengan orang kulit putih. Tetapi data ini harus dinilai hati-hati, sebab mungkin berbagai faktor lingkungan yang berbeda pada kedua golongan tersebut ikut berperan atau bahkan merupakan sebab yang sebenarnya.



4. Umur Umur agaknya merupakan faktor predisposisi terpenting pada timbulnya demam reumatik / penyakit jantung reumatik. Penyakit ini paling sering mengenai anak umur antara 5-15 tahun dengan puncak sekitar umur 8 tahun. Tidak biasa ditemukan pada anak antara umur 3-5 tahun dan sangat jarang sebelum anak berumur 3 tahun atau setelah 20 tahun. Distribusi umur ini dikatakan sesuai dengan insidens infeksi streptococcus pada anak usia sekolah. Tetapi



Markowitz



menemukan



bahwa



penderita



infeksi



streptococcus adalah mereka yang berumur 2-6 tahun.



5. Keadaan gizi dan lain-lain Keadaan gizi serta adanya penyakit-penyakit lain belum dapat ditentukan apakah merupakan faktor predisposisi untuk timbulnya demam reumatik.



Faktor-faktor lingkungan :



1. Keadaan sosial ekonomi yang buruk Mungkin ini merupakan faktor lingkungan yang terpenting sebagai predisposisi untuk terjadinya demam reumatik. Insidens demam reumatik di negara-negara yang sudah maju, jelas menurun sebelum era antibiotik termasuk dalam keadaan sosial ekonomi MEP Books Cardiovascular page 143



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



yang buruk sanitasi lingkungan yang buruk, rumah-rumah dengan penghuni padat, rendahnya pendidikan sehingga pengertian untuk segera mengobati anak yang menderita sakit sangatkurang; pendapatan yang rendah sehingga biaya untuk perawatan kesehatan kurang dan lain-lain. Semua hal inimerupakan faktor-faktor yang memudahkan timbulnya demam reumatik.



2. Iklim dan geografi Demam reumatik merupakan penyakit kosmopolit. Penyakit terbanyak didapatkan didaerah yang beriklim sedang, tetapi data akhir-akhir ini menunjukkan bahwa daerah tropis pun mempunyai insidens yang tinggi, lebih tinggi dari yang diduga semula. Didaerah yang letaknya agak tinggi agaknya insidens demam reumatik lebih tinggi daripada didataran rendah.



3. Cuaca Perubahan cuaca yang mendadak sering mengakibatkan insidens infeksi saluran nafas bagian atas meningkat, sehingga insidens demam reumatik juga meningkat.



1.10 patofisiologi dan pathogenesis dan morfologi patologi anatomi Demam reumatik yang mengakibatkan PJR terjadi akibat sensitasi dari antigen SGA setelah 1-4 minggu infeksi Streptococcus Grup A beta hemolitikus di faring. Terdapat dua mekanisme yang diajukan sebagai pathogenesis dari demam reumatik : 1. Respons hiperimun yang bersifat autoimun maupun alergi, 2. Efek langsung organisme streptococcus atau toksinnya. Yang paling dapat diterima adalah mekanisme pertama yaitu dari sudut imunologi, dimana reaksi autoimun terhadap infeksi streptococcus



MEP Books Cardiovascular page 144



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



akan menyebabkan kerusakan jaringan atau manifestasi demam reumatik, dengan cara : 1. Streptococcus grup A akan menyebabkan infeksi faring, 2. Antigen Streptococcus akan menyebabkan pembentukan antibody pada pejamu yang hiperimun, 3. Antibodi akan bereaksi dengan antigen streptococcus, dan dengan jaringan pejamu yang secara antigenic sama seperti streptococcus, 4. Autoantibodi tersebut bereaksi dengan jaringan pejamu sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan. Patofisiologi Demam reumatik dapat menyebabkan katup jantung menjadi fibrosis sehingga menimbulkan gangguan hemodinamik dengan penyakit jantung yang kronik dan berat. Infeksi oleh kuman Streptococcus Beta Hemolyticus group A yang menyebabkan seseorang mengalami demam rematik dimana diawali terjadinya peradangan pada saluran tenggorokan, dikarenakan penatalaksanaan



dan



pengobatannya



yang



kurang



terarah



menyebabkan racun/toxin dari kuman ini menyebar melalui sirkulasi darah dan mengakibatkan peradangan katup jantung. Akibatnya daun-daun katup mengalami perlengketan sehingga menyempit, atau menebal dan mengkerut sehingga kalau menutup tidak sempurna lagi dan terjadi kebocoran. PJR akibat DR terjadi karena sensitasi dari antigen Streptococus setelah 1-4 minggu infeksi Streptokokus di faring. Lebih dari 95% pasien menunjukkan



peninggian



titer



antistreptoksin



O



(ASTO),



antideoksiribonukleat B (anti DNA ase B).



MEP Books Cardiovascular page 145



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



Terjadi



mekanisme



antigen-antibodi



autoimunitas



terhadap



antigen



karena



didapatkan



streptokokus



rekasi



(Protein



M



streptokokus ) yang ditemukan pada serum pasien DR. Rekasi ini terjadi di miokard, otot skelet dan sel otot polos. Pada lesi DR terdapat Abdan aschoff



sebagai diagnostik



histopatologik. Umumnya terdapat pada septum fibrosa intervaskularm di jaringan ikat perivaskular dan 50% mengenai katup mitral. Mekanisme Imunitas Terhadap Infeksi Streptokokus Infeksi



streptokokkus



akan



mengaktifkan



proses



imun







streptokokkus (protein M dan N asetil glukosamin) + makrofag  dipresentasikan pada T CD4+ naif  Th1 dan Th2 Reaksi imun yang terjadi akan menyebabkan kerusakan pada sel  pajanan



yang



terus



menerus



menyebabkan



makrofag



akan



meningkatkan sitoplasma dan organellanya sehingga mirip seperti sel epitel  sel epiteloid  bergabung menjadi granuloma aschoff body



sel yang rusak akan diganti dengan jaringan fibrosa  scar Morfologi penyakit jantung rematik  Makroskopik Stenosis pada katup mitral. Berdasarkan penelitian yang ada bahwa sekitar 60% dengan riwayat Demam Rematik dijumpai stenosis pada katup mitral. Seseorang dengan stenosis katup mitral bisa saja tidak bergejala,namun gejala umum yang sering adalah sesak nafas saat beraktifitas,fatigue dan bedebar-debar. Pada pemeriksaan fisik ditemukan low-pitched mid-diastolic “rumble” pada apeks ventrikel kiri.



Perikarditis adalah komplikasi yang serius dari Demam Rematik dan prevalensinya mencapai 50% dari kasus yang ada. Dalam kasus yang lebih lanjut mungkin pasien mengeluhkan dispnea ringan MEP Books Cardiovascular page 146



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



sampai sedang, nyeri dada, edema, batuk ataupun ortopnea. Pada pemeriksaan fisik suara jantung menjauh menandakan adanya efusi perikardium.



Stenosis dan Insufisiensi Aorta Penyakit Jantung Rematik jarang menyebabkan stenosis pada aorta, dan lebih jarang terjadi di negara-negara



maju



bila



dibandingkan



dengan



penyakit



degeneratif katup aorta danpenyakit degeneratif katup bikuspidalis.



Gambar 03. Stenosis pada katup aorta ditandai adanya nodul kalsifikasi fokal



 Mikroskopik Pada pemeriksaan histologi, neovaskularisasi katup jantung sering ditemukan paska demam rematik.Aschoff bodies adalah gambaran spesifik untuk karditis paska demam rematik, sedangkan sel Anitschkow



dapat



ditemukan



pada



berbagai



kondisi.



Bahkan Aschoff bodies dianggap patognomonik untuk Penyakit Jantung Rematik. Aschoff bodies adalah suatu lesi fibroinflamasi intersisial dengan makrofag dan nekrosis jaringan kolagen. Sel Anitschkow biasanya memiliki inti yang bergelombang, disebut juga sel ulat dan biasanya hadir bersama dengan Aschoff bodies, tetapi bisa MEP Books Cardiovascular page 147



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



juga diihat dalam kondisi lain yang tidak berkaitan dengan Aschoff bodies.



Gambar 04.Sel Anitschkowyang berada di sentralAschoff bodies. Sel-sel ini tidak spesifik untuk demam rematik tetapi dapat terlihat dalam kondisi lain. Sel Anitschkow adalah makrofag.



1.11 manifestasi klinis Kriteria Jones (yang diperbaiki) untuk diagnosis demam rematik Kriteria mayor



Kriteria minor



Karditis, Pankarditis



Klinis



Poliatritis



menderita demam rematik



Korea



Laboratorium :



Eritema marginatum



-reaksi fase akut : laju endapdarah



:



Demam,



atralgia,



tinggi, C-reactive protein positif Nodul subkutan



-Interval P-R memanjang



Kriteria mayor 1. Karditis, Pankarditis Karditis merupakan manifestasi klinik demam rematik yang paling berat karena merupakan satu-satunya manifestasi yang dapat mengakibatkan kematian penderita pada fase akut dan dapat menyebabkan kelainan katup



MEP Books Cardiovascular page 148



pernah



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



sehingga terjadi penyakit jantung rematik. Diagnosis karditis rematik dapat ditegakkan secara klinik berdasarkan adanya salah satu tanda berikut: -



Bising baru atau perubahan sifat bising organik



-



Kardiomegali



-



Perikarditis



-



Gagal jantung kongesti



Bising jantung merupakan manifestasi karditis rematik yang seringkali muncul pertama kali, sementara tanda dan gejala perikarditis serta gagal jantung kongestif biasanya baru timbul pada keadaan yang lebih berat. Bising pada karditis rematik dapat berupa bising pansistol di daerah apeks (regurgitasi mitral), bising awal diastol di daerah basal (regurgitasi aorta), dan bising mid-diastol pada apeks (bising Carey-Coombs) yang timbul akibat adanya dilatasi ventrikel kiri.



Pankarditis (radang pada seluruh jantung) adalah komplikasi paling serius dan kedua paling umum dari demam reumatik (sekitar 50 %). Pada kasus-kasus yang lebih lanjut, pasien dapat mengeluh sesak nafas, dada terasa tidak nyaman, nyeri dada, edema (bengkak), batuk.



2. Poliartritis Poliartritis (radang sendi dibeberapa bagian tubuh) adalah gejala umum dan merupakan manifestasi awal dari demam reumatik (70 – 75 %). Umumnya artritis dimulai pada sendi-sendi besar di ekstremitas bawah (lutut dan engkel) lalu bermigrasi ke sendi-sendi besar lain di ekstremitas atas atau bawah (siku dan pergelangan tangan). Sendi yang terkena akan terasa



sakit,



bengkak,



terasa



hangat,



kemerahan



dan



gerakan



terbatas.Kelainan ini hanya berlangsung beberapa hari sampai seminggu pada satu sendi dan kemudian berpindah, sehingga dapat ditemukan artritis yang saling tumpang tindih pada beberapa sendi pada waktu yang sama.



MEP Books Cardiovascular page 149



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



Gejala artritis mencapai puncaknya pada waktu 12 – 24 jam dan bertahan dalam waktu 2 – 6 hari (jarang terjadi lebih dari 3 minggu) dan berespon sangat baik dengan pemberian aspirin. Poliartritis lebih umum dijumpai pada remaja dan orang dewasa muda dibandingkan pada anak-anak.



Perlu diingat bahwa artritis yang hanya mengenai satu sendi (monoartritis) tidak dapat dijadikan sebagai suatu kriterium mayor. Selain itu, agar dapat digunakan sebagai suatu kriterium mayor, poliartritis harus disertai sekurang-kurangnya dua kriteria minor, seperti demam dan kenaikan laju endap darah, serta harus didukung oleh adanya titer ASTO atau antibodi antistreptokokus lainnya yang tinggi.



3. Khorea Sydenham, khorea minor atau St. Vance, dance mengenai hampir 15% penderita demam reumatik. Korea Sydenham ditandai oleh adanya gerakan tidak disadari dan tidak bertujuan yang berlangsung cepat dan umumnya bersifat bilateral, meskipun dapat juga hanya mengenai satu sisi tubuh. Manifestasi demam rematik ini lazim disertai ke- lemahan otot dan ketidak-stabilan emosi. Korea jarang dijumpai pada penderita di bawah usia 3 tahun atau setelah masa pubertas dan lazim terjadi pada perempuan.



Korea Syndenham merupakan satu-satunya tanda mayor yang sedemikian penting sehingga dapat dianggap sebagai pertanda adanya demam rematik meskipun tidak ditemukan kriteria yang lain.Periode laten antara mulainya infeksi streptokokus dan mulainya gejala-gejala khorea lebih lama daripada periode laten yang diperlukan untuk arthritis maupun karditis. Periode laten khorea ini sekitar 3 bulan atau lebih, sedangkan periode laten untuk arthritis dan karditis hanya 3 minggu.



Penderita dengan khorea ini datang dengan gerakan-gerakan yang tidak terkoordinasi dan tidak bertujuan dan emosi labil. Manifestasi ini lebih nyata bila penderita bangun dan dalam keadaan stres. Penderita tampak selalu gugup dan seringkali menyeringai. Bicaranya tertahantahan dan MEP Books Cardiovascular page 150



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



meledak-ledak. Koordinasi otot-otot halus sukar. Tulisan tangannya jelek dan ditandai oleh coretan ke atas yang tidak mantap dengan garis yang raguragu. Pada saat puncak gejalanya tulisannya tidak dapat dibaca sama sekali.



4. Eritema Marginatum Merupakan wujud kelainan kulit yang khas pada demam rematik dan tampak sebagai makula yang berwarna merah, pucat di bagian tengah, tidak terasa gatal, berbentuk bulat atau dengan tepi yang bergelombang dan meluas secara sentrifugal. Keadaan ini paling sering ditemukan pada batang tubuh dan tungkai yang jauh dari badan, tidak melibatkan muka. Ruam makin tampak jelas bila ditutup dengan handuk basah hangat atau mandi air hangat, sementara pada penderita berkulit hitam sukar ditemukan.



Kelainan ini dapat bersifat sementara atau menetap, berpindah-pindah dari satu bagian tubuh ke bagian tubuh yang lain, dapat dicetuskan oleh pemberian panas, dan memucat jika ditekan. Tanda mayor demam rematik ini hanya ditemukan pada kasus yang berat.



5. Nodulus subkutan Pada umumnya hanya dijumpai pada kasus yang berat dan terdapat di daerah ekstensor persendian, pada kulit kepala serta kolumna vertebralis. Nodul ini berupa massa yang padat, tidak terasa nyeri, mudah digerakkan dari kulit di atasnya, dengan diameter dan beberapa milimeter sampai sekitar 2 cm. Tanda ini pada umumnya tidak akan ditemukan jika tidak terdapat karditis.



Kriteria Minor MEP Books Cardiovascular page 151



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



1.Riwayar demam rematik sebelumnya dapat digunakan sebagai salah satu kriteria minor apabila tercatat dengan baik sebagai suatu diagnosis yang didasarkan pada kriteria obyektif yang sama. Akan tetapi, riwayat demam rematik atau penyakit jantung rematik inaktif yang pernah diidap seorang penderita seringkali tidak tercatat secara baik sehingga sulit dipastikan kebenarannya, atau bahkan tidak terdiagnosis.



2.Artralgia adalah rasa nyeri pada satu sendi atau lebih tanpa disertai peradangan atau keterbatasan gerak sendi. Gejala minor ini harus dibedakan dengan nyeri pada otot atau jaringan periartikular lainnya, atau dengan nyeri sendi malam hari yang lazim terjadi pada anak-anak normal. Artralgia tidak dapat digunakan sebagai kriteria minor apabila poliartritis sudah dipakai sebagai kriteria mayor.



3. Demam pada demam rematik biasanya ringan,meskipun adakalanya mencapai 39°C, terutama jika terdapat karditis. Manifestasi ini lazim berlangsung sebagai suatu demam derajat ringan selama beberapa minggu. Demam merupakan pertanda infeksi yang tidak spesifik, dan karena dapat dijumpai pada begitu banyak penyakit lain, kriteria minor ini tidak memiliki arti diagnosis banding yang bermakna.



4. Peningkatan kadar reaktan fase akut berupa kenaikan laju endap darah, kadar protein C reaktif, serta leukositosis merupakan indikator nonspesifik dan peradangan atau infeksi. Ketiga tanda reaksi fase akut ini hampir selalu ditemukan pada demam rematik, kecuali jika korea merupakan satu-satunya manifestasi mayor yang ditemukan. Perlu diingat bahwa laju endap darah juga meningkat pada kasus anemia dan gagal jantung kongestif. Adapun protein C reaktif tidak meningkat pada anemia, akan tetapi mengalami kenaikan pada gagal jantung kongestif. Laju endap darah dan kadar protein C reaktif dapat meningkat pada semua kasus



Perjalanan klinis penyakit demam reumatik / penyakit jantung reumatik dapat MEP Books Cardiovascular page 152



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



dibagi dalam 4 stadium :



1. Stadium I: Berupa infeksi saluran nafas atas oleh kuman Beta Streptococcus Hemolyticus Grup A. Keluhan : Demam, Batuk, Rasa sakit waktu menelan, Muntah, Diare, Peradangan pada tonsil yang disertai eksudat. 2. Stadium II: Stadium ini disebut juga periode laten, ialah masa antara infeksi streptococcus dengan permulaan gejala demam reumatik : biasanya periode ini berlangsung 1 – 3 minggu, kecuali korea yang dapat timbul 6 minggu atau bahkan berbulan-bulan kemudian. 3. Stadium III: Yang dimaksud dengan stadium III ini ialah fase akut demam reumatik, saat ini timbulnya berbagai manifestasi klinis demam reumatik /penyakit jantung reumatik. Manifestasi klinis tersebut dapat digolongkan dalam gejala peradangan umum dan menifesrasi spesifik demam reumatik /penyakit jantung reumatik. Gejala peradangan umum : Demam yang tinggi, lesu, Anoreksia, Lekas tersinggung, Berat badan menurun, Kelihatan pucat, Epistaksis, Athralgia, Rasa sakit disekitar sendi, Sakit perut. 4. Stadium IV: Disebut juga stadium inaktif. Pada stadium ini penderita demam reumatik tanpa kelainan jantung / penderita penyakit jantung reumatik tanpa gejala sisa katup tidak menunjukkan gejala apa-apa. Pada penderita penyakit jantung reumatik dengan gejala sisa kelainan katup jantung, gejala yang timbul sesuai dengan jenis serta beratnya kelainan. Pasa fase ini baik penderita demam reumatik maupun penyakit jantung reumatik sewaktu-waktu dapat mengalami reaktivasi penyakitnya. 1.12 diagnosis dan diagnosis banding Diagnosis kemungkinan besar demam reumatik memakai kriteria Jones sebagai pedoman, yaitu :  2 manifestasi mayor, atau  1 manifestasi mayor + 2 manifestasi minor, ditambah adanya gejala infeksi streptokokus beta hemolitikus golongan A sebelumnya.



MEP Books Cardiovascular page 153



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



Kriteria ada atau tidaknya Streptococcus β hemolitic grup A harus terpenuhi salah satu dari hal berikut: a. Kultur tenggorokan atau hasil rapid test streptococcus antigen positif b. Tinggi atau meningkat titer antibodi streptokokus c. Riwayat demam rematik sebelumnya atau penyakit jantung rematik Kriteria ini tidak mutlak, diagnosis demam rematik dapat dibuat pada pasien dengan chorea saja jika pasien telah terpapar Streptococcus β hemolitic grup A.Setelah diagnosis demam rematik dibuat, gejala yang konsisten dengan gagal jantung seperti kesulitan bernapas, intoleransi dalam melakukan kegiatan, dan detak jantung yang cepat tidak sesuai dengan demam, mungkin indikasi karditis dan penyakit jantung rematik.  Pemeriksaan fisik  Murmur Murmur demam rematik akut biasanya disebabkan oleh insufisiensi katup. Murmur berikut yang paling sering diamati selama fase akut:  Apikal murmur pansistolik Adalah murmur bernada tinggi, tiupan dari murmur yang terjadi karena regurgitasi mitral ini dapat menjalar sampai ke ketiak kiri. Murmur jenis ini tidak terpengaruh oleh respirasi atau posisi. Insufisiensi mitral berhubungan dengan disfungsi katup, chorda tendineae, dan muskulus papilaris.  Murmur diastolik apikal (juga dikenal sebagai murmur Carey-Coombs) Terdengar dengan karditis aktif dan menyertai insufisiensi mitral parah. Mekanisme untuk murmur ini adalah stenosis mitral relatif, bergantung pada besar volume aliran regurgitasi yang melintasi katup mitral selama pengisian ventrikel. Murmur jenis ini terdengar jelas dengan bel stetoskop pada pasien dengan posisi lateral kiri dan nafas saat ekspirasi.  Basal murmur diastolik



MEP Books Cardiovascular page 154



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



Adalah murmur diastolik awal regurgitasi aorta dan bernada tinggi, dapat terdengar jelas sepanjang perbatasan sternum kanan atas dan midsternalis kiri setelah ekspirasi yang dalam dengan posisi pasien condong ke depan.  Pemeriksaan penunjang  Pemeriksaan laboratorium  Kultur tenggorokan Temuan kultur tenggorokan untuk Streptococcus β hemolitic grup A biasanya negatif dengan gejala saat demam rematik atau penyakit jantung rematik muncul. Upaya harus dilakukan untuk mengisolasi organisme sebelum memulai terapi antibiotik untuk membantu mengkonfirmasi diagnosis dari faringitis streptokokus.  Rapid antigen detection test Tes ini memungkinkan deteksi cepat antigen Streptococcus β hemolitic grup A dan memungkinkan diagnosis faringitis streptokokus dan inisiasi terapi antibiotik. Karena tes deteksi antigen cepat memiliki spesifisitas lebih dari 95 % tetapi sensitivitas hanya 60-90 %, kultur tenggorokan harus diperoleh dalam hubungannya dengan tes ini.  Antibodi Antistreptococcal Gambaran klinis demam rematik dimulai pada saat kadar antibodi antistreptococcal berada di puncak demam. Dengan demikian, tes antibodi antistreptococcal berguna untuk mengkonfirmasikan Streptococcus β hemolitic grup A. Tingkat tinggi dari antibodi antistreptococcal berguna, terutama pada pasien yang hadir dengan chorea sebagai satu-satunya kriteria diagnostik. Sensitivitas untuk infeksi baru-baru ini dapat ditingkatkan dengan menguji beberapa antibodi. Titer antibodi harus diperiksa pada interval 2 minggu untuk mendeteksi titer meningkat.



MEP Books Cardiovascular page 155



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



Antibodi antistreptococcal ekstraseluler yang paling umum diuji meliputi antistreptolysin antihyaluronidase,



O



(ASO),



antideoxyribonuclease



antistreptokinase,



esterase



(DNAse)



B,



antistreptococcal,



dan



anti-DNA. Tes antibodi untuk komponen seluler Streptococcus β hemolitic grup A termasuk polisakarida antistreptococcal, antibodi asam antiteichoic, dan protein antibodi anti-M. Ketika puncak titer ASO (2-3 minggu setelah timbulnya demam rematik), sensitivitas tes ini adalah 80-85 %. Anti-DNAse B memiliki sensitivitas yang sedikit lebih tinggi (90 %) untuk mendeteksi demam rematik atau glomerulonefritis akut. Hasil Antihyaluronidase sering abnormal pada pasien demam rematik dengan tingkat titer ASO normal dan akan naik lebih awal dan bertahan lebih lama dari peningkatan titer ASO selama demam rematik.  Fase akut reaktan Protein dan laju endap C-reaktif meningkat pada demam rematik karena sifat inflamasi dari penyakit. Kedua tes memiliki sensitivitas yang tinggi tetapi spesifisitas rendah untuk demam rematik. Mereka dapat digunakan untuk memantau resolusi peradangan, mendeteksi kekambuhan saat mengonsumsi aspirin, atau mengidentifikasi kekambuhan penyakit.  Antibodi reaktif jantung Tropomyosin meningkat pada demam rematik akut.  Uji deteksi cepat untuk D8/17 Teknik immunofluorescence ini untuk mengidentifikasi penanda sel B D8/17 positif pada 90% pasien dengan demam rematik. Ini mungkin berguna untuk mengidentifikasi pasien yang berisiko untuk terkena demam rematik.  Pemeriksaan radiologi



MEP Books Cardiovascular page 156



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



 Roentgenografi dada



Kardiomegali, kongesti paru, dan temuan lain yang sesuai dengan gagal jantung dapat terlihat pada radiografi dada. Bila pasien mengalami demam dan gangguan pernapasan, radiografi dada membantu membedakan gagal jantung akibat pneumonia rematik.



Gambar 2. Kardiomegali  Doppler–echocardiogram Dalam



penyakit



jantung



rematik



akut,



Doppler-echokardiografi



mengidentifikasi dan menghitung insufisiensi katup dan disfungsi ventrikel. Dengan karditis ringan, regurgitasi mitral dapat hadir selama penyakit fase akut tetapi sembuh dalam beberapa minggu atau bulan. Sebaliknya, pasien dengan karditis sedang hingga parah memiliki mitral persisten dan/atau regurgitasi aorta. Fitur echocardiographic yang paling penting dari regurgitasi mitral dari valvulitis rematik akut adalah dilatasi annulus, pemanjangan korda ke anterior leaflet, dan regurgitasi mitral mengarah ke posterolateral. Selama demam rematik akut, ventrikel kiri sering melebar. Dengan demikian, beberapa ahli jantung percaya bahwa insufisiensi katup (dari endokarditis), disfungsi miokard (dari miokarditis), adalah penyebab dominan gagal jantung pada demam rematik akut. Pada penyakit jantung rematik kronis, echocardiography dapat digunakan untuk melacak perkembangan stenosis katup dan dapat membantu menentukan waktu untuk intervensi bedah. Cuspis dari katup yang terkena



MEP Books Cardiovascular page 157



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



menjadi difus menebal, dengan fusi komisura dan korda tendinea. Peningkatan echodensity katup mitral dapat menandakan kalsifikasi.



Gambar 3. Sistolik Insufisiensi Mitral



Tampilan parasternal long-axis menunjukkan insufisiensi sistolik mitral dengan pancaran khas dengan penyakit jantung rematik (pancaran biru membentang dari ventrikel kiri ke atrium kiri). Pancaran ini biasanya diarahkan ke dinding lateral dan posterior. (LV : ventrikel kiri, LA : atrium kiri, Ao : aorta, RV : ventrikel kanan).



Gambar 4. Diastolik Insufisiensi Aorta



Tampilan parasternal long-axis menunjukkan diastolik insufisiensi aorta memiliki pancaran khas diamati dengan penyakit jantung rematik (pancaran merah membentang dari aorta ke ventrikel kiri). (LV : ventrikel kiri, LA : atrium kiri, Ao : aorta, RV : ventrikel kanan). The World Heart Federation telah menerbitkan pedoman untuk mengidentifikasi individu dengan penyakit rematik tanpa riwayat yang jelas dari demam rematik akut. Berdasarkan gambaran 2 dimensi (2D) dan pulsasi dan warna Doppler, pasien dibagi menjadi 3 kategori : penyakit MEP Books Cardiovascular page 158



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



jantung rematik yang pasti, penyakit jantung rematik, dan normal. Untuk pasien anak-anak (didefinisikan pada usia 10. berbagai intensitas jantung suara pertama. opening snap tidak terdengar kadang-kadang. absen gelombang di pembuluh darah leher. aksentuasi presystolic dari murmur diastolik menghilang. manifestasi emboli mungkin muncul. [Sunting] Ekokardiografi Keparahan Gelar stenosis mitral stenosis mitral Berarti daerah gradien katup mitral Ø Stenosis mitral ringan 1,5 cm2 Ø Sedang mitral stenosis 5 - 10 mmHg 1,0-1,5 cm2 Ø Stenosis mitral berat> 10 mmHg 5 years) results and a low rate of complications, which vary with the laser wavelength used. RFA is performed by passing a special radiofrequency (RF) catheter from the knee to the groin and then carrying out controlled and preset heating of the targeted vessel until thermal injury causes shrinkage. The process is repeated every 7 cm along the course of the vein. Initial thermal injury is followed by fibrosis of the treated vessel. RFA has been shown to be effective, with a low rate of complications. It has produced excellent results that have been confirmed with up to 10 years of follow-up. Subfascial endoscopic perforator surgery (SEPS) has also been employed to treat CVI. Endoscopic techniques are used to find and ligate perforating veins. Preliminary reports showed that after SEPS, the average healing time for ulcers was 42 days, with a recurrence rate of 3%, and that ulcers treated with SEPS healed 4 times faster than ulcers treated conventionally. In addition, the morbidity of SEPS was significantly lower than that of traditional operations. Overall, approximately 8% of patients require surgical intervention for CVI. Different options are suitable for different conditions (see below). Careful monitoring of a patient’s cardiac status and vital signs is extremely important. In addition, periodic monitoring of hemoglobin and hematocrit levels yields essential intraoperative data.



Varicose bleeding Patients with varicose bleeding usually present to an emergency department (ED), where the traditional management is to oversew the involved vessel. Patients who have had significant blood loss may be admitted to the hospital, particularly if the bleeding varicosity is large and if the overlying tissue is friable. Oversewing a vessel almost always results in short-term control, but it can also cause short-term recurrence of hemorrhage because the procedure does nothing to ablate the dilated, superficial, thin-walled vessel that has ruptured.



MEP Books Cardiovascular page 230



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



Variceal hemorrhage is best managed by means of primary sclerotherapy with sodium tetradecyl sulfate. Tretbar reported a series of cases that were successfully treated by means of primary compression sclerotherapy over a 3-year period.[31] Superficial venous insufficiency For superficial vein treatment, primary surgery offers a lower rate of early recurrence, whereas sclerotherapy produces fewer complications and offers higher rates of patient satisfaction both early and at follow-up. The lower likelihood of early recurrence after surgical treatment offsets the greater risk of complications.[32, 33]



Vein stripping with ligation of the saphenofemoral junction has long been the most commonly adopted surgical approach in cases of superficial venous insufficiency. At present, it is increasingly being replaced by endovenous ablation techniques such as RFA and EVLT. The original approach to vein ligation for superficial vein disorders involved removal of the entire GSV system; this approach has largely been supplanted by the stab evulsion technique. In stab evulsion, several 2- to 3-mm incisions are made overlying the GSV at various levels. The vein is dissected from the underlying tissues, and any perforators are ligated. A small hook or blunt needle is used to extract as much of the vein as possible. Typically, stab evulsion is limited to areas above the knee in the GSV system to avoid damage to the saphenous nerve or sural nerve. This technique is reserved for CVI in which reflux in the saphenous system occurs and causes severe symptoms. For this reason, it is mandatory to establish a diagnosis of reflux preoperatively. Simple ligation and division of the incompetent vessels is not an effective way of treating failed perforating vessels, because this procedure is associated with a high incidence of early recurrence of reflux when it is applied to the GSV. Skin grafts do not survive for very long unless the venous insufficiency has been treated, and after the venous insufficiency is ablated, the ulcer usually heals quickly, even without grafting.



Deep venous insufficiency The decision to operate on a patient with venous obstruction in the deep veins should be made only after a careful assessment of symptom severity and direct measurement of both arm and foot venous pressures. Venography alone is not sufficient, because many patients with occlusive disease have extensive collateral circulation, which renders them less symptomatic. Clot lysis (eg, with tissue MEP Books Cardiovascular page 231



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



plasminogen activator [TPA] or urokinase) and thrombectomy have been tried but have largely been abandoned because of extremely high recurrence rates. For iliofemoral disease, the operation of choice is a saphenous vein crossover graft. In this procedure, the contralateral saphenous vein is mobilized and divided at its distal end, then tunneled suprapubically and anastomosed to the femoral vein on the diseased side (see the image below). The result is diversion of venous blood through the graft and into the intact contralateral venous system. Because of a relatively high failure rate (20%), ringed polytetrafluoroethylene (PTFE) grafts are used. Long-term patency has not been determined.



Venous insufficiency iliofemoral obstruction (Palma operation). Saphenous vein from contralateral leg tunneled subcutaneously to femoral vein of affected limb; cumulative patency of 75% at 5 years. Procedure relieves venous claudication but may not heal ulcers or relieve swelling. For occlusion of the superficial femoral vein, the Husni bypass, described by Warren in 1954 and Husni in 1983,[34] may be considered. In this procedure, the ipsilateral GSV is harvested and used as an in-situ popliteal-femoral vein bypass. Because of its high failure rate (approximately 40%), the Husni bypass is performed infrequently. A minimally invasive technique using stents has been described.[35] Valvuloplasty is reserved for patients with a congenital absence of functional valves. A phlebotomy is performed, and the valve cusps are plicated. To ensure an adequate result, plicating 20-25% of each cusp is recommended. Addition of a PTFE sleeve around the operating site to maintain valve integrity is routine. When MEP Books Cardiovascular page 232



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



combined with ligation of perforating veins, valvuloplasty yields a superior outcome in 80% of cases after 5 years. With vein segment transposition, a normally functioning vein that is in close proximity to the diseased vessel is identified. The incompetent vein is then dissected, mobilized, and transposed onto the normal vein distal to a functional valve. With vein valve transplantation, a valve-containing segment of a competent axillary or brachial vein is mobilized and inserted into either the popliteal or the femoral system. The incompetent segment of the leg vein is excised and replaced with the transplant segment. Allograft or cadaveric vein transplants are being evaluated, with long-term results pending.



Complications Potential complications of surgical ablation of refluxing veins include the following: Infection Nerve injury (eg, to sural or saphenous nerves) Arterial injury Undesirable cosmetic outcomes Potential complications of sclerotherapy include the following: Allergic reactions to sclerosants Cutaneous necrosis due to extravasation Inadvertent arterial injection (may cause loss of a limb) Potential complications of RFA and EVLT include the following: Skin burns Thermal injury to adjacent tissues Inadvertent injury to deep veins



Postprocedural care MEP Books Cardiovascular page 233



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



Anticoagulation with heparin (or low-molecular-weight heparin) in the immediate postoperative period and long-term prophylaxis with warfarin are recommended. Observe patients frequently for wound infection after discharge, beginning 1 week postoperatively. Sutures or staples typically stay in 2-4 weeks, depending on the health of the skin at the operative site. Increased pain or swelling is an indication for repeat duplex ultrasonography to rule out DVT.



Activity Regular activity is an important ameliorating factor in patients with early or mild venous insufficiency syndrome. Prolonged standing or sitting can aggravate the symptoms of venous insufficiency. Patients with advanced disease do not tolerate activity well. Walking or running, bicycling, and swimming are excellent activities for patients with an intact and functioning calf muscle pump. Patients with obstructed venous outflow usually experience increased pain and swelling with activity. Patients with muscle pump failure usually have a markedly reduced exercise tolerance because of early leg fatigue.



Prevention In general, patients with venous insufficiency should avoid prolonged standing or sitting. Correction of the underlying problem prevents progression of the disease. In patients with early venous insufficiency, progression to overt signs of disease (eg, stasis dermatitis, skin breakdown, and ulceration) can virtually always be prevented with the use of compression hose that provide a pressure gradient of 30-40 mm Hg between foot and knee.



Implications The importance of addressing CVI resides in the fact that over 2.5 million individuals have this disorder, from which around 20% percent present with venous ulcers as a complication.[20] Therefore, a reduction in the quality of life, exposure to financial constraints, and disability are frequently seen in this type of patient. The estimated annual expenditures dedicated to the management of venous ulcer disease exceeds $1 billion; hence, it is important to reduce the risk factors and MEP Books Cardiovascular page 234



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



increase the therapeutic options that could prevent disease and disability from complications of CVI.



Prognosis The syndromes of venous hypertension and reduced venous clearance are important causes of morbidity and disability in patients with varicose venous disease (see also Complications). Without correction of the underlying cause, venous insufficiency is inexorably progressive. Subjective symptoms usually worsen over time. In many patients, the skin eventually breaks down and nonhealing ulcers develop. A study by Abbade et al determined that longstanding and large ulcers and recurrences are the primary complications encountered by patients who have venous ulcers.[10] Risk factors for these complications include severe lipodermatosclerosis, a previous history of ulcers, and time since first ulcer episode of 2 years or longer. Chronic nonhealing leg ulceration can be debilitating. Approximately 1 million Americans have an ulceration due to superficial venous disease, and approximately 100,000 are disabled because of their condition. Reflux need not be entirely eliminated for the ulceration to resolve. Ulcers will heal if the net volume and pressure of reflux are reduced below a threshold level. Tissue atrophy and staining are usually not reversible. Patients have an increased lifetime risk of DVT and pulmonary embolism. Tsai et al, examining the National Inpatient Sample from 1988-2000, found that DVT affected 1.3% of patients and that amputation was necessary in 1.2%, with an overall mortality of 1.6%.[11] As many as 50% of patients with untreated varicose veins develop superficial thrombophlebitis at some time. This is of grave concern, because unrecognized DVT is present in as many as 45% of patients with what appears to be purely superficial phlebitis. The risk of DVT is 3 times higher in patients with superficial varicosities than in the general population. Bed rest and intercurrent illness place patients with venous insufficiency at higher risk for DVT. Phlebitis develops in 60% of hospitalized patients with clinically MEP Books Cardiovascular page 235



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



evident superficial venous insufficiency, and in nearly one half of cases, the condition progresses to DVT. Approximately one half of patients with DVT have detectable pulmonary embolism, and the death rate in this group exceeds 1 in 3. Venous insufficiency syndromes can also lead to death from hemorrhage. Bleeding from lower-extremity varicosities can be fatal[12] ; 23 such fatalities were reported in England and Wales in 1973,[13] and, although there is no central registry to tabulate the frequency with which it occurs, such cases are not unusual in the United States. Bleeding is not a rare problem, but it is often managed incorrectly. Outcomes for different therapies have varied. Clot lysis (eg, with tissue plasminogen activator or urokinase) and thrombectomy have been tried but have largely been abandoned because of the extremely high recurrence rates. Saphenous vein crossover grafting for iliofemoral disease has a relatively high failure rate (20%), and thus, ringed polytetrafluoroethylene (PTFE) grafts are now being used. Long-term patency rates have not been determined. The Husni bypass for superficial femoral vein occlusion has an even higher failure rate (approximately 40%) and thus is now performed infrequently. Surgery for CVI resulting from deep vein incompetence includes valvuloplasty and allograft or cadaveric vein transplant. Valvuloplasty for patients with congenital absence of functional valves, when combined with ligation of perforating veins, yields a superior outcome in 80% of cases after 5 years. Allograft or cadaveric vein transplants are undergoing further evaluation, with long-term results pending.



Guidelines Summary The Clinical, Etiology, Anatomic, Pathophysiology (CEAP) classification was developed by an international consensus conference to provide uniformity in the reporting, diagnosing, and treating CVI.[20] Clinical classification is as follows: C0 - No visible signs of venous disease C1 - Telangiectases or reticular veins C2 - Varicose veins C3 - Edema without skin changes



MEP Books Cardiovascular page 236



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



C4 - Changes in skin and subcutaneous tissue: A = Pigmentation or eczema; B = Lipodermatosclerosis or atrophie blanche C5 - Healed ulcer C6 - Active ulcer Etiologic classification is as follows: Congenital (ie, Klippel-Trenaunay syndrome) Primary Secondary (ie, postthrombotic syndrome, trauma) No venous cause identified Anatomic classification is as follows: Superficial Deep Perforator No venous location identified Pathophysiologic classification is as follows: Reflux Obstruction, thrombosis Reflux and obstruction No venous pathophysiology identified in advanced stages



MEP Books Cardiovascular page 237



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



RADIOLOGI Beberapa teknik pencitraan jantung mencakup : 1. Angiografi/DSA 2. Cardiac Computed Tomography 3. Cardica Magnetic Resonance 4. Echocardiography



1. Angiografi/DigitalSubstractionAngiography (DSA) Prosedur tersebut melibatkan



kontras yang diinjeksikan ke dalam



vaskuler tubuh yang akan diperiksa melalui kateter kemudian gambar diambil menggunakan sinar X-ray.DSA meliputi teknik pengambilan yang sama, namun gambar yang didapatkan nantinya akan diproses secara digital untuk menghilangkan bagian-bagian yang dapat menganggu gambar vaskuler (tulang atau jaringan lunak). Angiografi dapat digunakan untuk memeriksan pasien yang mengalami angina, stenosis aorta, gagal jantung,



atau atypical chest pain.



2. CardiacComputedTomography CT mengambil gambar menggunakan sinar-X yang ditembakkan melewati tubuh dari berbagai sudut sehingga menghasilkan gambar-gambar MEP Books Cardiovascular page 238



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



dengan potongan cross-sectional. Sinar-X akan melewati bagian tubuh dengan densitas yang berbeda-beda dimana semakin tinggi densitasnya akan menghasilkan gambaran yang semakin putih dan semakin rendah densitasnya akan menghasilkan gambaran yang semakin hitam. CT jantung nantinya akan memberikan gambaran tomografi jantung dan struktur sekitarnya. CT juga dapat digunakan untuk memeriksa skor kalsium, koroner jantung maupun vaskuler perifer (CT Angiography). Pengambilan gambar arteri koroner menggunakan CT merupakan sebuah tantangan akibat ukuran lumen yang kecil serta adanya gerakan jantung dan pernapasan. Gerak pernapasan dapat dikurangi dengan menahan napas ketika pengambilan gambar dan gerakan jantung dapat dikurangi dengan obat beta bloker ataupun obat lain yang dapat menurunkan denyut jantung. CT arteri koroner diindikasikan bagi pasien dengan atypical chest pain, risk assessment pada penderita asimptomatik seperti perokok berat, penderita DM, hiperkolesterol, hipertensi, riwayat



keluarga sakit jantung, assesmentpostby-passgraft, dan anomali vaskular.



Pengambilan gambar arteri koroner di sesuaikan dengan siklus kardiak yang dapat dilihat menggunakan electrocardiogram (ECG). Sinar x-ray hanya ditembakkan pada saat tertentu saja dalam siklus kardiak (akhir MEP Books Cardiovascular page 239



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



sistolik, kombinasi akhir sistolik dan akhir diastolik, atau pertengahan diastolik) untuk menimilisasi eksposur sinar radiasi. Di antara fase sistolik dan diastolik, jantung akan terlihat lebih lebih stabil untuk diambil gambarannya oleh karena itu, ketenangan pasien sangat penting dalam cardiac imaging karena detak jantung yang tinggi dapat mempersulit pengambilan gambar.



Sebelum cardiac imaging, pasien diistirahatkan terlebih dahulu untuk diukur nadi dan tekanan darahnya. Bila denyut nadi berada diatas 60 bpm maka pasien diberi beta blocker tablet, kemudian tunggu kira-kira satu jam kemudian (pemberian diulang/ditambahkan bila nadi masih diatas 60 bpm). Nadi rutin di pantau setiap 15 menit, bila nadi tidak teratur pemberian obat tenang dapat membantu.Pasien sedikitnya puasa 6 jam dan menghindari minum kopi 12 jam sebelum pemeriksaan. Sebelum diinjeksikan kontras, pasien dapat diberikan nitrogliserin sublingual untuk melebarkan lumen arteri koroner sehingga gambar yang didapatkan akan lebih baik. Kalsifikasi arteri merupakan salah satu faktor risiko atherosclerosis yang dapat menyebabkan kelainan kardiovaskuler. Skor kalsium dapat dikategorikan (berdasarkan



Agatston score) menjadi minimal (0-10), MEP Books Cardiovascular page 240



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



ringan (10-100), sedang (100-400), atau tinggi (>400). Skor kalsium arteri koroner (CAC) nantinya akan disesuaikan dengan umur dan jenis kelamin dan dipresentasikan dalam bentuk skor persentil.



Acute Coronary Snydrome



ECG + Enzyme +



STEMI



ECG – Enzyme +



NSTEMI



ECG – Enzyme-



Unstable angina



CTA +



CTA -



(No indication to CTA) Coronary angiography



discharged



3. CardiacMagneticResonance(CMR) CMR merupakan teknik pencitraan yang menggunakan proton pada hidrogen sebagai dasar pengambilan gambar. Hidrogen terdapat banyak di dalam tubuh dan ketika tubuh kita masuk ke dalam mesin MRI maka proton dalam hidrogen akan berputar disekitar sumbunya dengan frekuensi yang spesifik. Perputaran pada air



akan berbeda frekuensinya dengan



perputaran pada markomolekul yang lebih kompleks seperti protein dan lemak. Mesin MRI memancarkan energi radiofrekuensi yang menyebabkan perputaran tersebut dan setelah radiofrekuensi dihentikan, energi yang yang diabsorbsi oleh tubuh akan segera dilepaskan kembali. Energi yang dilepaskan kembali ini dapat ditangkap dengan permukaan kumparan



MEP Books Cardiovascular page 241



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



khusus sehingga dapat dibaca dan nantinya direkonstruksi menjadi gambar



MRI.



CMR bersifat noninvasif dan mempunyai resolusi yang tinggi namun memerlukan waktu pengambilan yang lebih lama dibandingkan pencitraan menggunakan CT maupun X-ray biasa. Untuk mengecek keadaan vaskuler (MagneticResonanceAngiography) biasanya kontras gadolinium diinjeksikan agar dapat terlihat lebih jelas. CMR diindikasikan bagi pasien dengan penyakit jantung koroner, gagal jantung, gangguan katup jantung, penyakit jantung kongenital, dan tumor pada jantung.



4. Echocardiography Echocardiography menggunakan gelombang suara berfrekuensi tinggi (ultrasound) yang ditembakkan melewati tubuh dan dipantulkan kembali oleh struktur dalam tubuh sehingga dapat membentuk gambar. Struktur pada tubuh yang memiliki densitas tinggi akan memberikan warna



MEP Books Cardiovascular page 242



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



putih pada gambar dan warna hitam pada densitas yang rendah. Gambar yang dihasilkan nantinya dapat berbentuk 2 atau 3 dimensi. Resolusi dari echocardiography tergantung dari panjang gelombang yang digunakan. Semakin pendek panjang gelombang dan semakin tinggi frekuensinya maka gambar yang dihasilkan akan semakin detail tapi kemampuan penetrasinya akan semakin rendah. Echocardiography juga dapat digunakan untuk memeriksa aliran darah dalam jantung maupun pembuluh darah menggunakan prinsip Doppler. Ketika aliran darah bergerak menuju transduser maka ultrasound yang dipantulkan kembali akan memiliki frekuensi yang sedikit lebih tinggi dibandingkan yang pertama kali ditembakkan. Begitu juga sebaliknya, aliran darah yang bergerak menjauhi transduser akan memantulkan frekuensi yang lebih rendah. Perbedaan frekuensi ini dinamakan Doppler shift. Doppler shift berkaitan erat dengan kecepatan sel darah merah dalam pembuluh darah. Kecepatan aliran darah di antara dua ruang yang berbeda akan mempengaruhi



gradien tekanannya di antaranya. Perbedaan gradien



tekanan inilah yang dapat dijadikan prinsip memeriksa kelainan katup pada jantung. Terdapat tiga tipe ultrasound Doppler yang biasanya digunakan : spectralDoppler



yang



continouswaveDoppler



terdiri serta



dari



pulsedwaveDoppler



colorflowDoppler.



dan



PulsedwaveDoppler



digunakan untuk memeriksa aliran darah yang lambat dan untuk memeriksa aliran darah pada daerah tertentu pada jantung. ContinuouswaveDoppler digunakan untuk memeriksa aliran darah yang cepat namun tidak dapat memeriksa aliran darah pada daerah tertentu. ColorflowDoppler merupakan pulsedwaveDoppler yang dimana kecepatan darahnya diberi warna pada layar berdasarkan suatu skala sehingga dapat memberikan gambaran ‘real-time’ jantung.



MEP Books Cardiovascular page 243



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



Transesophagealechocardiography



adalah



salah



satu



teknik



echocardiography dimana transduser akan diletakkan di ujung endoskop dan dimasukkan kedalam esofagus. Teknik ini dapat memberikan gambaran jantung yang lebih jelas dan karena penetrasi lebih tidak diperlukan, maka resolusi dan detail gambar yang didapatkan juga akan lebih baik. Teknik ini merupakan indikasi utama bagi pasien dengan lesi kecil pada jantungnya seperti vegetasi katup. Pasien yang akan menjalani pemeriksaan ini diberikan anestesia lokal dan sistemik.



MEP Books Cardiovascular page 244



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



DAFTAR PUSTAKA 1. Kasper DL, editor. Harrison’s principles of internal medicine. 19th edition / editors, Dennis L. Kasper, MD, William Ellery Channing, Professor of Medicine, Professor of Microbiology, Department of Microbiology and Immunobiology, Harvard Medical School, Division of Infectious Diseases, Brigham and Women’s Hospital, Boston, Massachusetts [and five others]. New York: McGraw Hill Education; 2015. 1 p. 2. Cardiac Tumor Imaging: Overview, Radiography, Computed Tomography. 2016



Jun



1



[cited



2016



Jun



29];



Available



from:



http://emedicine.medscape.com/article/347878-overview 3. Radiology Articles (presentation, history, clinical details, interpretation, imaging, findings, techniques, accuracy, diagnosis, intervention) - Medscape Reference



[Internet].



[cited



2016



Jun



29].



Available



from:



http://emedicine.medscape.com/radiology



MEP Books Cardiovascular page 245



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



REHABILITASI KARDIOVASKULAR DI INDONESIA “A process by which a person is restored to an optimal physical, medical, psychological, social, emotional, sexual, vocational and economic status.” Itulah definisi Cardiac Rehabilitation dari WHO tahun 19691 , yang kemudian ‘disempurnakan’ pada saat ini dengan memperhatikan dasar penyakit, proses dan kondisi pasca sakit . Definisi tersebut dijabarkan dalam definisi terkini yaitu: “The rehabilitation of cardiac patients is the sum of activities required to influence favourably the underlying cause of the disease, as well as the best possible physical, mental and social conditions, so that they may by their own efforts, preserve or resume when lost, asnormal a place as possible in the society”.2 Secara ringkas, program rehabilitasi jantung yang komprehensif harus mencakup beberapa komponen berikut: (1) pengkajian kondisi dan riwayat medis pasien, (2) edukasi dan konseling dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan kesadaran pasien agar dengan upaya sendiri mampu menghindari faktor risiko, mampu mengatasi faktor risiko agar proses penyakit atau proses atherosklerosis dapat dihentikan atau dihambat, demikian pula kecemasan, (3) upaya pengontrolan faktor risiko; menyangkut edukasi, modifikasi gaya hidup kearah hidup sehat dan pengobatan yang diperlukan, (4) program latihan fisik dan konseling aktifitas fisik, terutama dalam upaya meningkatkan pola hidup sehat, tingkat kebugaran, kualitas hidup dan pengendalian faktor risiko.3 Rujukan untuk program rehabilitasi jantung diindikasikan kelas I pada sebagian besar pedoman tatalaksana klinis penyakit jantung seperti pada pasien pasca sindroma koroner akut, angina pectoris kronis stabil, pasca operasi bedah pintas koroner (CABG), pasca intervensi koroner perkutan (PCI), gagal jantung, penyakit jantung katup, penyakit arteri perifer, dan prevensi pada wanita. 4 MEP Books Cardiovascular page 246



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



Dalam pelaksanaannya program rehabilitasi jantung dikelompokan kedalam beberapa fase: Fase I adalah upaya yang segera dilakukan disaat pasien masih dalam masa perawatan, tujuan utama fase ini adalah mengurangi atau menghilangkan efek buruk dari ‘dekondisi’ akibat tirah baring lama, melakukan edukasi dini dan agar pasien mampu melakukan aktifitas hariannya secara mandiri dan aman. Fase II, yang dilakukan segera setelah pasien keluar dari RS, merupakan program intervensi untuk mengembalikan fungsi pasien seoptimal mungkin, segera mengontrol faktor risiko, edukasi dan konseling tambahan mengenai gaya hidup sehat. Fase III dan IV merupakan fase pemeliharaan, dimana diharapkan pasien tersebut telah mampu melakukan program rehabilitasi secara mandiri, aman, dan mempertahankan pola hidup sehat untuk selamanya, dibantu atau bersama-sama keluarga dan masyarakat sekitarnya. Sejak 1994, American Heart Association (AHA) mendeklarasikan bahwa rehabilitasi jantung tidak terbatas hanya pada program latihan fisik saja, tetapi harus mencakup upaya-upaya multidisiplin yang bertujuan untuk mengurangi atau mengontrol faktor risiko yang dapat dimodifikasi. 5, 6 Di Indonesia upaya rehabilitasi kardiovaskular dimulai sekitar tahun 1978 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) diinisiasi oleh dr. Dede Kusmana dan dr. Lutfi Usman (alm) yang merupakan staf-staf Bagian Kardiologi FKUI-RSCM pada saat itu. Kegiatan yang dilakukan pada masa-masa awal lebih terfokus pada upaya program bagaimana mengurangi akibat dekondisi karena tirah baring dengan menyegerakan aktifitas fisik dan dengan program latihan fisik setelahnya, karena pada masa itu penderita infark miokard harus menjalani tirah baring yang lama. Setelah terlihat hasil yang memuaskan, maka dilakukan upaya yang serupa pada pasien-pasien yang lain. Konsep rehabilitasi dini secara nasional dipopulerkan dalam Kongres Rehabilitasi Nasional Pertama pada tahun 1980 dan yang kedua pada tahun 1987. 7 MEP Books Cardiovascular page 247



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



Saat ini upaya rehabilitasi jantung dilaksanakan baik di luar rumah sakit maupun di dalam rumah sakit. Program rehabilitasi jantung yang dilaksanakan di rumah sakit telah dilaksanakan di beberapa kota seperti Jakarta, diantaranya RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, RSCM, RS Fatmawati. Di Bandung: dilaksanakan di RSHS, di Jogja: di RS Dr. Sardjito, dan juga di Padang. Seperti halnya di negara-negara lain, pelaksanaan program rehabilitasi kardiovaskular tersupervisi di RS pada umumnya masih dianggap underutilized. Beberapa kondisi dianggap sebagai penyebabnya, antara lain banyaknya ko-morbid pada pasien, status sosio-ekonomi, jarak yang jauh dari fasilitas rehabilitasi jantung, rujukan dari dokter yang merawat pasien masih sedikit, rendahnya motivasi pasien serta cakupan asuransi atau cara pembayaran. 4 Selain itu ditambah masalah lain seperti ketersediaan sarana rehabilitasi jantung yang tersupervisi, masalah transportasi untuk menjangkau saran dan masalah pekerjaan yang tidak dapat ditinggalkan. Hal lain yang bisa menyebabkan rendahnya rujukan adalah pesatnya perkembangan ilmu kardiologi yang menyebabkan semakin canggih dan agresifnya tatalak- sana penyakit kardiovaskular seperti infark miokard akut karena berkembangnya intervensi non-bedah yang menyebabkan memendeknya masa perawatan penyakit jantung. Upaya rehabilitasi kardiovaskular sebagai upaya mengurangi efek dekondisi untuk hal tersebut menjadi kurang relevan lagi. Di RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita misalnya, dimana komponen-komponen rehabilitasi jantung telah relatif lebih lengkap, data pada tahun 2008, dengan jumlah kunjungan pasien rehabilitasi jantung sebanyak 20.200 dan dengan jumlah pasien baru fase II sebanyak 583 orang menunjukan bahwa mayoritas pasien yang baru mengikuti program rehabilitasi fase II didominasi oleh penderita pasca tindakan operasi dengan distribusi berikut: penderita pasca CABG (66%), pasca tindakan operasi katup jantung (15%), operasi koreksi kelainan congenital (3%). Sedangkan penderita pasca angioplasti koroner 6%, PJK tanpa tindakan 3% dan CHF 2,9% saja. Peserta pada umumnya laki-laki (81%) dengan usia rata-rata 54,9 tahun. Program rehabilitasi fase II pasca tindakan operasi dan untuk beberapa diagnosis dan tindakan seperti PTCA dimasukan ke dalam clinical MEP Books Cardiovascular page 248



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



pathway rumah sakit untuk program rehabilitasi selama perawatan. Asuransi Kesehatan (ASKES) menjamin pembayaran program rehabilitasi fase II untuk pasien pasca operasi saja, hal inilah salah satu kemungkinan penyebab dominasi peserta pasca tindakan operasi jantung. Berdasarkan pengelompokan cara pembayaran, sebanyak 53% peserta program fase II dibayar oleh ASKES, sedangkan sisanya membayar sendiri atau dibayar oleh perusahaan. Bila dibandingkan dengan jumlah pasien yang “eligible” untuk program rehabilitasi, sebenarnya peserta program rehabilitasi fase II ini masih sangat kecil persentasenya, misalnya pasien pasca PTCA hanya 2% saja yang mengikuti program rehabilitasi, apalagi pasien pasca MCI dan pasien gagal jantung. Pasien pasca operasi CABG yang persentasenya mendominasi peserta baru program rehabilitasi jantung sebenarnya hanya 58% saja dari mereka yang menjalani operasi CABG. Sisanya tidak secara formal menjalani program rehabilitasi fase II di rumah sakit karena harus kembali ke daerah asalnya atau jangkauan ke RS yang jauh. Program rehabilitasi fase II biasanya dijadwalkan selama 1-2 bulan, dengan 12 sampai 24 kali kunjung- an. Pasen datang ke sarana rehabilitasi kardiovaskular 3 kali seminggu, tapi mereka yang berasal dari luar kota Jakarta biasanya akan dijadwalkan kunjungan tiap hari kerja dan setelah menjalani 12 kali kunjungan akan segera dilakukan evaluasi untuk rencana program lanjutan saat pasien tersebut kembali ke kota asal. Di RS Dr. Sardjito, Jogjakarta, pelayanan rehabilitasi jantung dikolaborasikan Bagian Kardiologi dengan Ba- gian Rehabilitasi Medik. Pada tahun 2008, mereka sudah mulai melayani 29 pasien baru di fase II untuk menjalani program latihan fisik tersupervisi di rumah sakit dengan total kunjungan keseluruhan 307 kunjungan. Di RS Hasan Sadikin, Bandung, pelayanan latihan fisik tersupervisi di rumah sakit juga telah dimulai, dan pada tahun 2008 telah melayani 23 pasien baru fase II dan 4 pasien masuk ke fase III, dengan jumlah total 283 kunjungan, Aktifitas pelayanan di klinik Kardiologi dikolaborasikan bersama dokter spesialis MEP Books Cardiovascular page 249



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



rehabilitasi medik di RS tersebut.
Demikian juga halnya di RSCM dan di RS Fatmawati Jakarta, program latihan fisik sebagai bagian dari rehabilitasi jantung sudah mulai dalam waktu yang lama, dan pada fasilitas ini pada umumnya adalah program rehabilitasi pada fase III. Saat ini beberapa pusat pelayanan atau pendidikan sedang mempersiap- kan fasilitas dan program untuk rehabilitasi jantung. Hal-hal yang tersebut diatas belum mencakup upaya rehabilitasi jantung yang dilakukan di luar rumah sakit oleh berbagai organisasi, lembaga swadaya masyarakat atau kelompok-kelompok masyarakat tertentu di lingkungan masing-masing. Misalnya klub jantung sehat Yayasan Jantung Indonesia yang bisa dijumpai di seluruh provinsi, dengan lebih dari 3600 klub yang terdaftar, dan sekitar 3000 pelatih yang terlatih, juga telah mempunyai kelompok-kelompok khusus yang bisa diikuti oleh penderita penyakit jantung. Mengingat kesulitan-kesulitan dalam hal transportasi, ketersediaan fasilitas rehabilitasi di RS dan untuk meningkatkan jangkauan pelayanan maka perlu dipertimbangkan



program



rehabilitasi



jantung



dikembangkan



ke



arah



“group-base”, “home-base”, atau “community-base” rehabilitation terutama untuk mereka yang termasuk dalam stratifikasi risiko rendah atau mereka yang melanjutkan



program.



Pemantauan



dapat



dilakukan



dengan



teknologi



trans-telefonik atau telekardiologi, kunjungan supervisi oleh perawat atau dokter. Sementara itu program pengkajian pasien, stratifikasi risiko, edukasi dan konseling, serta evaluasi program dapat tetap dilakukan di rumah sakit atau dengan bantuan media elektronik seperti internet. Gagal jantung yang merupakan akhir atau akibat dari penyakit jantung yang lainnya menunjukan insidensi dan prevalensi yang tinggi, maka program rehabilitasi jantung di RS seyogyanya lebih mem- fokuskan pada kasus gagal jantung dan usia lanjut. Rehabilitasi jantung yang mencakup latihan fisik pada penderita gagal jantung saat ini telah diterima sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam tatalaksana gagal jantung yang kronis serta telah direkomendasikan oleh berbagai perhimpunan, misalnya AHA.8 Program latihan fisik pada penderita gagal jantung juga telah terbukti keamanan dan manfaatnya pada penelitian besar seperti MEP Books Cardiovascular page 250



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



HF-ACTION Trial. 9 Sebagai kesimpulan, rehabilitasi kardiovaskular komprehensif tidak hanya mencakup program latihan fisik, tetapi harus mencakup pengkajian pasien, stratifikasi risiko, edukasi dan konseling dan program pengontrolan faktor risiko. Walaupun manfaat program ini sudah ditunjukan berbagai laporan dan direkomendasikan berbagai perhimpunan ahli kardiovaskular, aplikasi program ini bagi penderita penyakit kardiovaskular masih dianggap rendah, demikian juga yang terjadi di Indonesia dan negara- negara lainnya. Beberapa pusat pelayanan atau RS di Indonesia selain RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita telah memulai menjalankan program rehabilitasi kardiovaskular ini walaupun jumlah penderita yang dilayani masih terbatas.



DAFTAR PUSTAKA 1.



WHO. Rehabilitation of patients with cardiovascular disease. Report of WHO Expert Committee. Geneva: WHO; 1964. Report No.: 270.




2.



WHO. Rehabilitation after cardiovascular disease with special emphasis on developing countries. Geneva: WHO; 1993. Report No.: 831.



3.



Balady GJ, Williams MA, Ades PA, Bittner V, Comoss P, Foody JM, et al. AHA/AACVPR Scientific Statement: Core Components of Cardiac Rehabilitation/ Secondary Prevention Programs: 2007 Update. Circulation 2007;115:2675-82.



4.



Wenger NK. Current Status of Cardiac Rehabilitation. J Am Coll Cardiol 2008 2008;51:1619-31.



5.



Mathes P. From Exercise Training to Comprehensive Cardiac Rehabilitation. In: Perk J, Mathes P, Gohlke H, Monpère C, Hellemans I, McGee H, et al., editors. Cardiovascular Prevention and MEP Books Cardiovascular page 251



Medical Education and Profession (MEP) ISMKI Wilayah 2



Rehabilitation. London: Springer-Verlag; 2007. p. 3-8. 6.



Leon AS, Franklin BA, Costa F, Balady GJ, Berra KA, Stewart KJ, et al. AHA Scientific Statement: Cardiac Rehabilitation and Secondary Prevention of Coronary Heart Disease. Circulation 2005;111:369-76.



7.



Kusmana



D.



Rehabilitasi



Jantung



Komprehensif,



Pengalaman



Pengelolaan Selama 31 Tahun. In: Minicourse on Cardiac Prevention and Rehabilitation; 21st Weekend Course on Cardiology; 2009; Jakarta; 2009. 8.



Hunt SA, Abraham WT, Chin MH, Feldman AM, Francis GS, Ganiats TG, et al. ACC/AHA 2005 Guideline Update for the Diagnosis and Management of Chronic Heart Failure in the Adult. A Report of the American College of Cardiology/ American Heart Association Task Force on Practice Guidelines (Writing Committee to Update the 2001 Guidelines for the Evaluation and Management of Heart Failure). Circulation 2005;112:e154-e235.



9.



O’Connor CM, Whellan DJ, Lee KL, Keteyian SJ, Cooper LS, Ellis SJ, et al. Efficacy and safety of exercise training in patients with chronic heart failure: HF-ACTION randomized controlled trial. Jama 2009;301(14):1439-50.



MEP Books Cardiovascular page 252