Case 1 - VSD + Dextrocardia DD Situs Inversus + Anemia (Medik - Peminatan Anak) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN KASUS DOKTER INTERNSHIP



PENYAKIT JANTUNG BAWAAN DAN KELAINAN LETAK JANTUNG SEBAGAI FAKTOR RISIKO TERJADINYA PNEUMONIA DAN ANEMIA PADA ANAK



Pembimbing Dokter Staf Ahli Bagian Ilmu Kesehatan Anak dr. Tundjungsari Ratna Utami, M.Sc, Sp.A



Pendamping dr. M. Pratiknyo



Disusun oleh : dr. Ruth Angelia Putri T.



KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KESEHATAN KABUPATEN SEMARANG RSUD AMBARAWA 2020



1



LAPORAN KASUS PENYAKIT JANTUNG BAWAAN DAN KELAINAN LETAK JANTUNG SEBAGAI FAKTOR RISIKO TERJADINYA PNEUMONIA DAN ANEMIA PADA ANAK



Topik



: Medik



Kasus



: Dextrocardia + VSD besar + Pneumonia + Anemia



Oleh



: dr. Ruth Angelia Putri T.



Pendamping



: dr. Pratiknyo



Objektif



: Ilmu Kesehatan Anak



Deskripsi



: Seorang Anak Umur 2 Bulan dengan Ventricle Septal Defect (VSD) + Dextrocardia Suspect Situs Inversus + Pneumonia Berat + Anemia



Tujuan



: Mampu mengidentifikasi dan melakukan pengelolaan dasar pada kasus VSD, Dextrocardia, Pneumonia dan Anemia pada anak



Bahan Bahasan : Tinjauan Pustaka dan Kasus Cara Membahas : Diskusi



Ambarawa, 23 Juni 2019 Ambarawa, Juli 2020 Dokter Staf Ahli Ilmu Kesehatan Anak



Dokter pendamping



dr. Tundjungsari Ratna Utami, M.Sc, Sp.A



dr. Pratiknyo



2



BERITA ACARA PRESENTASI LAPORAN KASUS Pada tanggal Juli 2020 telah dipresentasikan laporan kasus oleh: Nama



: dr. Ruth Angelia Putri T.



Judul



: Penyakit Jantung Bawaan dan Kelainan Letak Jantung Sebagai Faktor Risiko Terjadinya Pneumonia Dan Anemia Pada Anak : SEORANG ANAK UMUR 2 BULAN DENGAN VENTRICLE SEPTAL DEFECT (VSD) + DEXTROCARDIA SUSPECT SITUS INVERSUS + PNEUMONIA BERAT



Topik



: Ilmu Kesehatan Anak



Wahana



: RSUD AMBARAWA



No



Nama



Tanda Tangan



1



dr. Tundjungsari Ratna Utami, M.Sc, Sp.A



2



dr. Kemalasari



3



dr. Pratiknyo



4



dr. Ruth Angelia Putri T.



5



dr.



6



dr.



7



dr.



8



dr.



9



dr.



10



dr.



11



dr.



12



dr.



13



dr.



14



dr.



15



dr.



16 17 18



3



BAB I PENDAHULUAN



A. Latar Belakang



Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, yang disebabkan oleh mikroorganisme, aspirasi dari cairan lambung, benda asing, hidrokarbon, bahan-bahan lipoid dan reaksi hipersensitivitas.1,2 Secara global, pneumonia merupakan penyebab tersering morbiditas dan mortalitas pada anak usia kurang dari 5 tahun.3 Diestimasikan terdapat 120 juta kasus pneumonia di seluruh dunia setiap tahunnya, yang mengakibatkan 1,3 juta kematian.4 Penyebab kematian anak dengan usia kurang dari 2 tahun di negara berkembang hampir sebesar 80% disebabkan oleh pneumonia.5 Tingkat kematian anak dibawah usia lima tahun di sebagian besar negara berkembang berkisar 60-100 per 1000 kelahiran hidup, seperlima dari kematian ini disebabkan oleh pneumonia.6 Pneumonia yang terjadi pada balita akan memberikan gambaran klinik yang lebih jelek daripada orang dewasa karena pada balita sistem pertahanan tubuh yang dimiliki relatif rendah. Bayi dan anak kecil lebih rentan terhadap penyakit ini karena respon imunitas mereka masih belum berkembang dengan baik.7 Terdapat berbagai faktor risiko yang menyebabkan tingginya angka mortalitas pneumonia pada anak balita di negara berkembang. Faktor risiko tersebut yaitu umur, jenis kelamin, berat badan lahir, imunisasi yang tidak lengkap, tidak mendapatkan ASI yang adekuat, status gizi kurang, defisiensi vitamin A, tingginya prevalens kolonisasi bakteri patogen di nasofaring, orang dengan immunocompromised, tingginya pajanan terhadap polusi udara, kepadatan hunian, dan ventilasi udara rumah yang tidak baik.8 Salah satu komorbid terjadinya pneumonia terutama pada anak adalah karena adanya kelainan jantung bawaan pada anak. Terjadinya infeksi saluran napas pada pasien dengan kelainan jantung bawaan juga merupakan penyebab penting meningkatnya mrobiditas dan mortalitas pasien terkait dengan



4



terjadinya gagal napas, penggunaan ventilasi mekanik jangka panjang, dan lamanya waktu perawatan di rumah sakit.



9



Oleh karena itu, penting bagi



klinisi untuk dapat mengetahui mengenai tatalaksana yang tepat pada pasien dengan pneumonia yang disertai dengan komorbid kelainan kongenital dan penyakit jantung bawaan.



B. Tujuan 1. Tujuan Umum Memperoleh informasi mengenai manajemen pasien dengan pneumonia yang disertai dengan kelainan kongenital dan penyakit jantung bawaan. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui definisi, etiologi dan faktor risiko terjadinya pneumonia, kelainan kongenital situs inversus dan Ventricular Septal Defect (VSD). b. Mengetahui penegakan diagnosis pada kasus pneumonia, kelainan kongenital situs inversus dan Ventricular Septal Defect (VSD). c. Mengetahui penatalaksanaan terutama pada kasus kegawatdaruratan pneumonia, kelainan kongenital situs inversus dan Ventricular Septal Defect (VSD). d. Mengetahui penatalaksanaan lebih lanjut pada pasien dengan pneumonia, kelainan kongenital situs inversus dan Ventricular Septal Defect (VSD).



5



BAB II LAPORAN KASUS



I. IDENTITAS Data



Pasien



Ayah



Ibu



Nama



An. SO



Tn. J



Ny. I



Umur



2 bulan



30 tahun



25 tahun



Jenis Kelamin



Perempuan



Laki-laki



Perempuan



Kintelan 13/5 Pasekan Ambarawa, Kab. Semarang



Alamat Agama



Islam



Islam



Islam



Suku bangsa



Jawa



Jawa



Jawa



Pendidikan



-



SMP



SMP



Pekerjaan



-



Pekerja lepas



IRT



Penghasilan



-



Rp 5.000.000



-



Hubungan dengan Keterangan



orang tua : Anak kandung



II. ANAMNESIS Dilakukan secara Alloanamnesis pada hari Kamis tanggal 9 April 2020 a. Keluhan Utama Sesak sejak 1 jam yang lalu b. Keluhan Tambahan Batuk berdahak, bibir dan ujung jari tampak membiru, berat badan sulit naik. c. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang ke IGD RSUD Ambarawa dengan keluhan sesak napas sejak 1 jam sebelum masuk ke Rumah Sakit. Sesak dirasakan terus menerus, dan terlihat berat saat pasien menarik napas serta pasien menjadi gelisah. Sesak dialami pasien terutama saat menangis dan sehabis menyusu. Selain itu, orang tua pasien juga mengatakan bahwa berat badan pasien sulit untuk naik. Orang tua pasien mengatakan pasien sering tampak kebiruan pada



6



bibir, wajah maupun ujung – ujung jari terutama bila pasien sedang mengalami sesak napas. Orang tua pasien mengatakan bahwa pasien sulit mengalami penaikan berat badan sejak lahir. Pasien juga mengalami batuk berdahak, dengan dahak yang sulit dikeluarkan. Keluhan ini sering kali berulang terjadi sejak pasien baru lahir. Pasien juga pernah di rawat di RSUD Ambarawa akibat keluhan yang sama kurang lebih 1 bulan SMRS. Setelah di rawat di RSUD Ambarawa, pasien sempat dirujuk ke RSUP dr. Kariyadi, Semarang, untuk melakukan pemeriksaan dan mendapatkan tatalaksana lebih lanjut. Setelah dilakukan pemeriksaan, pasien dikatakan memiliki penyakit jantung bawaan. Pasien direncanakan untuk kontrol ke RSUP dr. Kariyadi pada hari pasien datang ke IGD RSUD Ambarawa. Pasien biasa minum susu lewat OGT dengan jumlah 8 x 35 cc. Saat datang ke IGD, OGT pasien dalam kondisi terlepas. Mual, muntah, dan demam disangkal. BAB dan BAK dalam batas normal.



d. Riwayat Penyakit Dahulu Penyakit



Umur



Penyakit



Umur



Penyakit



Umur



Alergi



-



Difteria



-



Jantung



1 bulan



Cacingan



-



Diare



-



Ginjal



-



DBD



-



Kejang



-



Darah



-



Thypoid



-



Maag



-



Radang paru



1 bulan



Otitis



-



Varicela



-



Tuberkulosis



-



Parotis



-



Asma



-



Morbili



-



Riwayat penyakit terakhir : Post rawat inap di RSUP dr. Kariyadi. Tanggal masuk : 12/03/2020 Tanggal keluar : 03/04/2020 Diagnosa masuk : 



Kelainan jantung bawaan : o DE : PJB Asianotik



7



o DA : VSD, dextrocardia. o DF : Gagal jantung Ross III 



Gizi buruk, perawakan pendek, mikrosefal







Gagal tumbuh kembang







Neonatal sepsis



Tatalaksana saat di RS : 



IVFD D10% + Na (2 mEq) 34 ml + K (2 mEq) 17 ml  72/3ml/jam.







Inj. Meropenem 80 mg/8 jam (IV)







Inj. Amikacin 45 mg/24 jam (IV)







Inj. Paracetamol 30 mg/4jam k/p (IV)







Inj. Furosemide 1,5 mg/12 jam (IV)







Digoxin 0,015 mg / 12 jam (PO)







Captopril 1,5 mg/12 jam (PO)



Obat pulang : 



Digoxin 0,015 mg / 12 jam







Captopril 1,5 mg / 12 jam







Furosemide 1,5 mg / 12 jam







Zinc syrup 2,5 ml / 24 jam







Asam folat 1 mg / 24 jam.



e. Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada anggota keluarga yang mengalami penyakit yang serupa.



f. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran : KEHAMILAN



KELAHIRAN



Morbiditas kehamilan



Tidak ditemukan kelainan



Perawatan antenatal



Setiap bulan periksa ke bidan



Tempat kelahiran



Rumah Sakit



Penolong persalinan



Dokter spesialis dan bidan



Cara persalinan



Normal



Masa gestasi



9 bulan



8



Berat lahir 3000 g Panjang badan 48 cm Keadaan bayi



Lingkar kepala tidak ingat Langsung menangis Nilai apgar tidak tahu



Kesan : Riwayat kehamilan dan persalinan pasien baik



g. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan : Pertumbuhan gigi I



: belum ada



(normal: 5-9 bulan)



Psikomotor Menoleh



: usia 2 minggu



Mengenal wajah



: Usia 3 minggu



Tersenyum / tertawa : usia 2 bulan Menegakkan kepala : usia 2 bulan Tengkurap



: belum bisa



(normal: 3-4 bulan)



Duduk



: belum bisa



(normal: 6 bulan)



Berdiri



: belum bisa



(normal: 9-12 bulan)



Berjalan



: belum bisa



(normal: 13 bulan)



Bicara



: belum bisa



(normal: 9-12 bulan)



Baca dan Tulis



: belum bisa



Kesan



: Riwayat pertumbuhan dan perkembangan pasien sesuai



usia.



9



h. Riwayat Makanan Umur



ASI/PASI



Susu formula



Buah/biskuit



Bubur susu



Nasi tim



0-2



+



+



-



-



-



2-4



-



-



-



-



-



4-6



-



-



-



-



-



6-8



-



-



-



-



-



8-9



-



-



-



-



-



10-12



-



-



-



-



-



(bulan)



12-24



-



24-59



-



Kesan : kebutuhan gizi pasien terpenuhi cukup baik, ASI tidak eksklusif.



i. Riwayat Imunisasi : vaksin



Dasar (umur)



Ulangan (umur)



Lahir



BCG



-



DPT



2 bln



-



-



POLIO



Lahir



2 bln



-



-



-



-



Lahir



2 bln



-



CAMPAK HEPATITIS B



-



-



belum -



-



-



belum -



-



-



Kesan : Imunisasi dasar belum lengkap



j. Riwayat Keluarga Ayah



Ibu



Nama



Tn. J



Ny. I



Perkawinan ke



Pertama



Pertama



Umur



30 tahun



25 tahun



Keadaan kesehatan



Baik



Baik



Kesan : Keadaan kesehatan kedua orang tua pasien dalam keadaan baik.



10



k. Riwayat Perumahan dan Sanitasi : Tinggal dirumah sendiri bersama dengan nenek pasien. Terdapat dua kamar. Ventilasi kurang baik, cahaya matahari cukup, air minum dan air mandi berasal dari air tanah. Kesan : Kesehatan lingkungan tempat tinggal pasien kurang baik.



III. PEMERIKSAAN FISIK a. Keadaan umum



: tampak sakit berat



b. Tanda Vital -



Kesadaran



: Apatis, GCS E2V3M5



-



Tekanan darah



:-



-



Frekuensi nadi



: 161x/menit



-



Frekuensi pernapasan : 67x/menit



-



Suhu tubuh



: 37,1 oC



-



SpO2



: 85%



c. Data antropometri -



Berat badan



: 3,5 kg



-



Panjang badan



: 53 cm



-



IMT



: BB/TB2 = 3,5/ (0,52)2 = 12.46



-



BB/U



: Dibawah -2 SD (gizi kurang)



-



TB/U



: – 2 SD (perawakan pendek)



-



BB/TB



: -1 SD (normal)



-



LK/U



: 36 cm  dibawah -2 SD



-



BMI/U



: dibawah -2 SD (kurus)



d. Kepala -



Bentuk



: mikrocephali



-



Rambut



: rambut hitam, tidak mudah dicabut, distribusi merata



-



Wajah



: pucat (+), sianosis (+) pada ujung bibir tidak ada kelainan bentuk pada wajah.



-



Mata



: conjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-,



11



pupil isokor, RCL +/+, RCTL +/+, -



Telinga



: normotia, membran timpani intak, serumen -/-



-



Hidung



: bentuk normal, sekret (-), nafas cuping hidung (-)



-



Mulut



e. Leher



: faring hiperemis sulit dinilai : KGB tidak membesar, kelenjar tiroid tidak membesar



f. Thorax -



Inspeksi



: pergerakan dinding dada simetris, retraksi Intercostal & subcostal (+)



-



Palpasi



: gerak napas simetris



-



Perkusi



: sonor dikedua lapang paru, simetris



-



Auskultasi



: Pulmo SN vesikuler, ronkhi +/+ basah kasar, wheezing -/-. Cor BJ I & II normal, murmur pansistolik (+) pada katup mitral (sisi kanan pasien) grade 3/6, gallop (-)



g. Abdomen -



Inspeksi



: perut datar, tidak tampak massa dan pelebaran pembuluh darah.



-



Auskultasi



: bising usus (+), 8x/menit



-



Palpasi



: supel, nyeri tekan (-), hepar tidak membesar, lien tidak teraba membesar.



-



Perkusi



: nyeri ketok (-), timpani



h. Kulit



: ikterik (-), petechie (-)



i. Ekstremitas



: akral hangat, sianosis (+) pada ujung Jari – jari tangan, edema (-), pucat (+)



12



IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG 



Pemeriksaan OAE (Oto Accoustic Emission) tanggal 05/03/2020 di RSUP dr. Kariyadi, Semarang. Hasil : Pass / Pass Kesan : saat ini fungsi outer hair cell kedua telinga baik. Saran : edukasi pemeriksaan pendengaran 3 bulan lagi.







Rontgen thorax tanggal 17/03/2020 di RSUP dr. Kariyadi, Semarang



Kesan : 



Dextrocardia







Gambaran pneumonia



13







Echocardiography tanggal 12/03/2020 di RSUP dr. Kariyadi, Semarang



14



15



Hasil temuan dan pengukuran : 



Situs inversus







AV – VA konkordans







Drainase vena pulmonalis normal







Dilatasi LA, LV







IAS (Inter Atrium Septal) intak.







VSD inlet besar Ø 12 mm, left to right shunt







Katup Atrioventrikuler dan semilunar normal.







Kontraktilitas miokard baik.







PDA (-)



Kesan : 



Dextrocardia







VSD inlet besar Ø 12 mm



16







Rontgen thorax tanggal 09/04/2020 di RSUD Ambarawa



Kesan : 



Dextrocardia







Gambaran pneumonia



V. RESUME a. Anamnesis Pasien datang ke IGD RSUD Ambarawa dengan keluhan sesak napas sejak 1 jam sebelum masuk ke Rumah Sakit. Sesak dirasakan terus menerus, dan terlihat berat saat pasien menarik napas serta pasien menjadi gelisah. Sesak dialami pasien terutama saat menangis dan sehabis menyusu. Selain itu, orang tua pasien juga mengatakan bahwa berat badan pasien sulit untuk naik. Orang tua pasien mengatakan pasien sering tampak kebiruan pada bibir, wajah maupun ujung – ujung jari terutama bila pasien sedang mengalami sesak napas. Orang tua pasien mengatakan bahwa pasien sulit mengalami penaikan berat badan sejak lahir. Pasien juga mengalami batuk berdahak, dengan dahak yang sulit dikeluarkan. Keluhan ini sering kali berulang terjadi sejak pasien baru lahir. Pasien juga pernah di rawat di



17



RSUD Ambarawa akibat keluhan yang sama kurang lebih 1 bulan SMRS. Setelah di rawat di RSUD Ambarawa, pasien sempat dirujuk ke RSUP dr. Kariyadi, Semarang, untuk melakukan pemeriksaan dan mendapatkan tatalaksana lebih lanjut. Setelah dilakukan pemeriksaan, pasien dikatakan memiliki penyakit jantung bawaan. Pasien direncanakan untuk kontrol ke RSUP dr. Kariyadi pada hari pasien datang ke IGD RSUD Ambarawa. Pasien biasa minum susu lewat OGT dengan jumlah 8 x 35 cc. Saat datang ke IGD, OGT pasien dalam kondisi terlepas.



b. Pemeriksaan fisik Keadaan umum



: tampak sakit berat



Tanda Vital -



Kesadaran



: Apatis, GCS E2V3M5



-



Tekanan darah



:-



-



Frekuensi nadi



: 161x/menit



-



Frekuensi pernapasan : 67x/menit



-



Suhu tubuh



: 37,1 oC



-



SpO2



: 85%



Data antropometri : -



BB/U



: Dibawah -2 SD (gizi kurang)



-



TB/U



: – 2 SD (perawakan pendek)



-



LK/U



: 36 cm  dibawah -2 SD



-



BMI/U



: dibawah -2 SD (kurus)



c. Pemeriksaan fisik : Kepala -



Bentuk



: mikrocephali



-



Wajah



: pucat (+), sianosis (+) pada ujung bibir



-



Mata



: conjungtiva anemis +/+



Thorax -



Inspeksi



: retraksi Intercostal & subcostal (+)



-



Auskultasi



: ronkhi +/+ basah kasar, murmur



18



Pansistolik (+) pada katup mitral (sisi kanan pasien) grade 3/6, -



Ekstremitas



: sianosis (+) pada ujung jari– jari tangan, pucat (+)



d. Pemeriksaan penunjang 



Rontgen thorax tanggal 17/03/2020 di RSUP dr. Kariyadi, Semarang Kesan :











Dextrocardia







Gambaran pneumonia



Echocardiography tanggal 12/03/2020 di RSUP dr. Kariyadi, Semarang Kesan :











Dextrocardia







VSD inlet besar Ø 12 mm



Rontgen thorax tanggal 09/04/2020 di RSUD Ambarawa Kesan : 



Dextrocardia







Gambaran pneumonia



VI. DIAGNOSIS KERJA 



VSD







Dextrocardia







Situs inversus







Pneumonia







Susp. anemia



VII. PENATALAKSANAAN a. Non medikamentosa -



Pro rawat inap



-



Cek rontgen thorax dan darah rutin



19



b. Medikamentosa -



IVFD D 5 ¼ % 15 tpm (mikro)



-



O2 NRM 10 lpm



-



Inj. Vicillin 3 x 125 mg (IV)



-



Nebulisasi procaterol + budesonide / 8 jam



PENEGAKAN DIAGNOSIS, ASSESMENT, PLANNING Temuan



Assesment



Abnormal - Berat badan



Planning



Planning terapi



diagnosis PJB (VSD)



-



sulit



Rontgen thorax



bertambah



Planning monitoring



- IVFD D 5 ¼



- TTV



% 15 tpm



(bedisde



(mikro)



monitor)



- Sianosis - Murmur pansistolik grade 3/6 Dextrocarida -



Rontgen



terdengar di



, situs



thorax



sebelah kanan



inversus



- Bising jantung



- IVFD D 5 ¼



-



% 15 tpm (mikro) - Digoxin 0,01 mg/KgBB - Furosemide



- Sesak napas



Pneumonia



-



- Batuk



Rontgen thorax



berdahak



- Inj. Vicillin 3 x 125 mg (IV) - O2 NRM 10 lpm



- TTV (bedisde monitor)



- Ronkhi basah kasar +/+ - Konjungtiva



Anemia



-



anemis, kulit pucat



20



Lab DR



-Transfusi (sesuai



- Lab DR



hasil lab)



post transfusi



VIII. PROGNOSIS -



Ad vitam



: Dubia ad malam



-



Ad fungsionam



: Dubia ad malam



-



Ad sanationam



: Dubia ad malam



Follow Up Pasien



9 April 2020 pukul 10.00 S



Pasien masih tampak sesak, kesadaran menurun



O



KU: Apatis, TTV : HR



: 162x/menit



RR



: 48x/menit



T



: 37,30 C



SpO2 : 87% (dengan O2 NRM 10 lpm) Terpasang monitor bedside (+) Kepala -



Wajah



: pucat (+), sianosis (+) pada ujung bibir



-



Mata



: conjungtiva anemis +/+



Thorax -



Inspeksi



: retraksi Intercostal & subcostal (+)



-



Auskultasi



: ronkhi +/+ basah kasar, murmur Pansistolik (+) pada katup mitral (sisi kanan pasien) grade 3/6,



Ekstremitas



: sianosis (+) pada ujung jari– jari tangan, pucat (+)



A P



VSD besar + dextrocardia + Situs inversus + Pneumonia berat 



IVFD D 5 ¼ % 15 tpm (mikro)







O2 NRM 10 lpm







Inj. Ampicillin 3 x 175 mg (IV)







Inj. Furosemide 2 x 3,5 mg (IV)







Captopril 2 x 1,5 mg (PO)



21







Digoxin 2 x 15 mcg (PO)







Nebulisasi procaterol + budesonide / 8 jam







Pro pasang NGT ulang  intake ASI 40 – 50 cc / 3 jam



9 April 2020 pukul 17.00 S



Pasien masih tampak sesak, kesadaran menurun



O



KU: Apatis, TTV : HR



: 167x/menit



RR



: 47x/menit



T



: 37,20 C



SpO2 : 90% (dengan O2 NRM 10 lpm) Terpasang monitor bedside (+) Kepala -



Wajah



: pucat (+), sianosis (+) pada ujung bibir



-



Mata



: conjungtiva anemis +/+



Thorax -



Inspeksi



: retraksi Intercostal & subcostal (+)



-



Auskultasi



: ronkhi +/+ basah kasar, murmur Pansistolik (+) pada katup mitral (sisi kanan pasien) grade 3/6,



Ekstremitas



: sianosis (+) pada ujung jari– jari tangan, pucat (+)



Hasil Lab DR (+) terlampir A P



VSD besar + dextrocardia + Situs inversus + Pneumonia berat 



IVFD D 5 ¼ % 15 tpm (mikro)







O2 NRM 10 lpm







Inj. Ampicillin 3 x 175 mg (IV)







Inj. Furosemide 2 x 3,5 mg (IV)







Captopril 2 x 1,5 mg (PO)







Digoxin 2 x 15 mcg (PO)







Nebulisasi procaterol + budesonide / 8 jam



22







NGT sudah terpasang  intake ASI 40 – 50 cc / 3 jam Konsul hasil lab pasien kepada DPJP, advice :







Transfusi PRC 35 cc dalam 3 jam.







Premedikasi transfusi : inj. Furosemide 3,5 mg







Post transfusi : injeksi furosemide







Terapi lain lanjut



Darah rutin (09 April 2020) Pemeriksaan



Hasil



Nilai Rujukan



Satuan



8,0* (L)



9,2 – 13,6



g/dl



Leukosit



18,9* (H)



6 – 17,5



ribu



Eritrosit



2,77* (L)



2,8 – 4,8



juta



Hematokrit



23,6* (L)



35 – 47



%



Trombosit



242



150 – 400



MCV



85,1



82 – 98



fL



MCH



28,8



27 – 32



pg



MCHC



33,8



32 – 37



g/dl



RDW



17,3* (H)



10 – 16



%



MPV



8,3



7 – 11



Mikro m3



Limfosit



3,81



2,0 – 11,0



103/mikro



Monosit



1,38* (H)



0,05 – 1,1



103/mikro



Eosinofil



0,07* (L)



0,2 – 1,2



103/mikro



0,14



0 – 0,2



103/mikro



13,48* (H)



1,5 – 8,5



103/mikro



Limfosit%



20,2* (L)



25 – 40



%



Monosit%



7,3



2–8



%



Eosinofil%



0,4* (L)



2–4



%



0,7



0–1



%



71,4* (H)



50 – 70



%



0,199



0,2 – 0,5



%



Darah lengkap Hemoglobin



Basofil Neutrofil



Basofil% Neutrofil% PCT



23



Ribu



PDW



8,2* (L)



10 - 18



%



10 April 2020 pukul 04.45 S



Pasien tampak sesak berat, kesadaran menurun, nafas mulai satu – satu setelah diberikan minum via NGT



O



KU: Sopor TTV : HR



: 140x/menit



RR



: 20x/menit



T



: 37,80 C



SpO2 : 84% (dengan O2 NRM 10 lpm) Terpasang monitor bedside (+) Kepala -



Wajah



: pucat (+), sianosis (+) pada ujung bibir



-



Mata



: conjungtiva anemis +/+



Thorax -



Inspeksi



: retraksi Intercostal & subcostal (+)



-



Auskultasi



: ronkhi +/+ basah kasar, murmur Pansistolik (+) pada katup mitral (sisi kanan pasien) grade 3/6,



Ekstremitas



: sianosis (+) pada ujung jari– jari tangan, pucat (+)



Hasil Lab DR (+) terlampir A P



VSD besar + dextrocardia + Situs inversus + Pneumonia berat 



IVFD D 5 ¼ % 15 tpm (mikro)







O2 NRM 10 lpm







Inj. Ampicillin 3 x 175 mg (IV)







Inj. Furosemide 2 x 3,5 mg (IV)







Captopril 2 x 1,5 mg (PO)







Digoxin 2 x 15 mcg (PO)







Nebulisasi procaterol + budesonide / 8 jam







NGT sudah terpasang  intake ASI 40 – 50 cc / 3 jam



24







Post Transfusi PRC 35 cc dalam 3 jam.







Pemberian VTP tiap 10 menit Pukul 05.30







Pasien mendadak henti napas







RJP 5 siklus  cek nadi dan nafas  nadi dan nafas (-)







Lanjut RJP 5 siklus  cek nadi dan napas (-)







Lanjut RJP 5 siklus  cek nadi dan napas (-)







Edukasi keluarga







Epinefrin 0,01 mg/kgBB  lanjut RJP 5 siklus  cek nadi dan napas (-)







Lanjut RJP 5 siklus  cek nadi dan napas (-)







RCL dan RCTL -/-, pupil midrisasis maksimal, monitor bedside tampak flat







Pasien dinyatakan meninggal pukul 05.45 WIB



25



BAB III TINJAUAN PUSTAKA



A.



DEFINISI DAN KLASIFIKASI DARI PENYAKIT JANTUNG BAWAAN DAN VENTRICULAR SEPTAL DEFECT Penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan bentuk kelainan jantung yang sudah didapatkan sejak bayi baru lahir. Manifestasi klinis kelainan ini bervariasi dari yang paling ringan sampai berat. Pada bentuk yang ringan, sering tidak ditemukan gejala, dan tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan klinis. Sedangkan pada PJB berat, gejala sudah tampak sejak lahir dan memerlukan tindakan segera.10 Secara garis besar penyakit jantung bawaan dibagi 2 kelompok, yaitu penyakit jantung bawaan sianotik dan penyakit jantung bawaan nonsianotik. Penyakit jantung bawaan sianotik ditandai oleh adanya sianosis sentral akibat adanya pirau kanan ke kiri, sebagai contoh tetralogi Fallot, transposisi arteri besar, atresia trikuspid. Termasuk dalam kelompok penyakit jantung bawaan nonsianotik adalah penyakit jantung bawaan dengan kebocoran sekat jantung yang disertai pirau kiri ke kanan di antaranya adalah defek septum ventrikel, defek septum atrium, atau tetap terbukanya pembuluh darah seperti pada duktus arteriosus persisten. Selain itu penyakit jantung bawaan nonsianotik juga ditemukan pada obtruksi jalan keluar ventrikel seperti stenosis aorta, stenosis pulmonal dan koarktasio aorta.10 Ventricular Septal Defect (VSD) atau defek septum ventrikel adalah defek yang terjadi pada septum ventricularis, dinding yang memisahkan ventriculus dextra dengan sinistra. Defek ini muncul secara kongenital akibat septum interventriculare tidak menutup dengan sempurna selama perkembangan embrio. Defek ini menyebabkan aliran darah dari ventriculus sinistra akan masuk ke dalam ventriculus dextra. Darah yang kaya akan oksigen akan dipompa ke paru - paru yang menyebabkan jantung bekerja lebih berat.11



26



Secara garis besar septum ventrikel dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu septum ventrikel pars membranasea yang terletak di bagian atas, dan septum ventrikel pars muskularis. Sebagian besar defek terdapat pada pars membranasea (defek membran), akan tetapi karena hampir selalu mencakup bagian muskular yang berdekatan, maka kelainan ini lebih sering disebut sebagai defek perimembran. Defek ini dibagi lagi berdasarkan pada tempatnya, apakah di daerah jalan keluar ventrikel (disebut defek perimembran outlet), dekat katup atrioventrikular (defek perimembran inlet), atau di dekat trabekula.12 Jenis kedua adalah defek pada pars muskularis, disebut sebagai defek septum ventrikel muskular. Jenis ketiga adalah defek yang terdapat tepat di bawah katup kedua arteri besar (aorta dan a. pulmonalis), yang disebut pula sebagai defek subarterial, atau doubly committed subarterial defect atau defek septum ventrikel tipe Oriental, karena lebih banyak ditemukan pada orang Asia dibanding pada orang kufit putih. Atap defek ini adalah pertemuan antara anulus katup aorta dan katup pulmonal, sedangkan sisanya adalah septum muskular outlet. Defek ini dahulu disebut sebagai defek suprakristal. Dengan demikian maka defek septum ventrikel dapat diklasifikasikan sebagai berikut:12 1. Defek septum ventrikel perimembran, yang dibagi menjadi: a. Defek perimembran inlet mengarah ke posterior ke daerah inlet septum b. Defek perimembran outlet mengarah ke depan, di bawah akar aorta ke dalam septum pars muskularis c. Defek trabekular mengarah ke bawah, ke arah septum trabekularis d. Defek perimembran konfluen, yang mencakup ketiga bagian septum muskular, sehingga merupakan defek yang besar 2. Defek septum ventrikel muskular, dibagi menjadi: a. Defek muskular inlet b. Defek muskular trabekular c. Defek muskular outlet 3. Defek subarterial (doubly committed subarterial defect).



27



Dari sejumlah 694 kasus defek septum ventrikel, 472 mempumyai rincian letak defeknya sebagai tampak pada tabel dibawah. Persentase defek subarterial ini (26%) jauh lebih tinggi dari yang ada di kepustakaan Barat (yaituu sekitar 7%, yang memang telah lama dicatat di banyak negara di Asia).13 Tabel 2.1 – Klasifikasi Anatomik Defek Septum Ventrikel (N=472)4



Berdasarkan tabel dibawah, dapat diketahui bahwa gejala klinis yang paling banyak ditemukan pada sampel adalah sesak nafas dengan sampel sebanyak 28 sampel (50,9%) dan gejala yang paling sedikit ditemukan pada sampel adalah retraksi epigastrium dengan jumlah sampel sebanyak 4 sampel (7,3%). Diketahui juga bahwa terdapat 11 sampel (20%) dengan tanpa gejala klinis.14



Tabel 2.2 - Distribusi gejala klinis yang menyertai penyakit jantung bawaan5



28



B. ETIOLOGI PJB



Pada sebagian besar kasus, penyebab penyakit jantung bawaan tidak diketahui. Berbagai jenis obat, penyakit ibu, peranan terhadap sinar X, telah diduga menjadi penyebab eksogen penyakit jantung bawaan. Penyakit rubela yang diderita ibu pada awal kehamilanya dapat menyebabkan penyakit jantung bawaan pada bayinya, terutama duktus arteriosus persisten, defek septum ventrikel, atau stenosis pulmonal perifer. Apapun sebabnya, pajanan terhadap faktor penyebab tersebut harus ada sebelum akhir bulan kedua kehamilan, oleh karena pada minggu kedelapan pembentukan jantung sudah selesai. Di samping faktor eksogen terdapat pula faktor endogen yang berhubungan dengan kejadian penyakit jantung bawaan, seperti penyakit genetik dan sindrom tertentu erat berkaitan dengan kejadian penyakit jantung bawaan seperti sindrom Down, dll. Para ahli cenderung berpendapat bahwa penyebab endogen maupun eksogen tersebut jarang secara terpisah menyebabkan penyakit jantung bawaan. Diperkirakan bahwa lebih dari 90% kasus penyebabnya adalah multifaktorial, yakni gabungan antara kerentanan individual (yang sifatnya endogen akan tetapi belum dapat dijelaskan) dengan faktor eksogen. Kedua faktor tersebut secara bersama dapat menyebabkan kelainan struktural jantung apabila terjadi pada minggu-minggu pertama kehidupan janin.10,13



Tabel 2.3 – Etiologi PJB



29



Tabel 2.4 – Beberapa faktor lingkungan yang dapat menyebabkan PJB



C. PEMBENTUKAN SEPTUM CARIDUM, ANATOMI SEPTUM VENTRICULARE DAN PATOFISIOLOGI PJB DAN VSD



Septum utama dari jantung terbentuk mulai hari ke-27-37 dari perkembangan embrio, dimana panjang embrio berkisar mulai dari 5 mm sampai 16-17 mm. Salah satu teori mengenai pembentukan septum ini adalah adanya dua massa jaringan yang aktif tumbuh mendekati satu sama lainnya sehingga bergabung menjadi satu memisahkan lumen menjadi dua canal. Septum cardium bisa juga terbentuk akibat aktifnya salah satu massa jaringan yang terus memanjang sampai mencapai sisi berlawanan dari lumen.12 Pembentukan dari massa jaringan tersebut tergantung pada sintesis dan deposisi dari matriks ekstraseluler dan proliferasi dari sel. Massa jaringan itu disebut tubera endocardiaca, berkembang pada regio atrioventricular dan conotruncal. Pada kedua regio ini, tubera endocardiaca berperan dalam pembentukan septum atria dan septum ventriculare (pars membranosa), canalis atrioentricularis dan valvula, dan canalis aorticus dan pulmonalis.12 Karena peran penting pada regio ini, kelainan pada pembentukan tubera endocardiaca dapat menyebabkan terjadinya malformasi dari jantung



30



meliputi defek pada atrial dan ventricular septal defect (VSD). Defek ini bisa melibatkan pembuluh darah besar (transposisi pembuluh darah besar, truncus arteriosus, dan tetralogy Fallot).12 Ada teori lain dari pembentukan septum cardium tanpa melalui terbentuknya tubera endocardiaca. Yaitu jika tidak terbentuk tonjolan jaringan di dinding atria dan ventrikel tetapi dinding dari masing-masing sisinya terus berkembang, maka akan terbentuklah tonjolan di tengahtengah sisi dinding yang mengembang tadi. Jika kedua bagian sisi yang mengembang tadi terus berkembang diantara tonjolan tadi, kedua dinding lumen akan mendekati satu sama lain dan akhirnya tonjolan tadi membentuk septum. Namun septum yang terbentuk tadi tidak memisahkan lumen secara lengkap sehingga menyebabkan terjadinya hubungan antara kedua lumen. Septum ini akan menutup secara lengkap melalui kontribusi proliferasi jaringan di sekitarnya.12



Gambar 2.1 - Proses Pembentukan Septum Cardium3



Septum ventriculare dibagi menjadi dua komponen yaitu: pars membranacea dan pars muscularis. Pars membranacea berukuran kecil dan terletak pada basis jantung diantara komponen outlet dan inlet dari pars



31



muscularis dan di bawah cuspis posterior dari valvula aorta. Cuspis septalis dari valvula tricuspidalis membagi pars membranacea menjadi dua komponen yaitu: pars atrioventricularis dan pars interventricularis. Defek yang melibatkan pars membranacea sampai mengenai 1-3 komponen dari pars



muscularis



disebut



perimembranosa,



paramembranosa,



atau



infracristalis.12



Gambar 2.2 – Anatomi Jantung dan Septum Interventrikularis



Pars muscularis dibagi menjadi komponen inlet, trabekular, dan infundibular. Komponen inlet merupakan bagian inferioposterior dari pars membranacea. Mulai setinggi valvula atrioventricularis sampai dengan perlekatan chorda di bagian apikal. Jika ada VSD di komponen inlet, maka defek tersebut tidak memiliki muscular rim diantara defek dan annulus dari valvula atrioventiculare. Defek yang terjadi pada komponen inlet disebut inlet VSD.12



32



Komponen trabekular merupakan bagian terbesar dari septum interventriculare. Terbentang mulai pars membranacea sampai apex dan superior dari komponen infundibulum. Defek yang terjadi di komponen trabekular disebut muscular VSD dan defek ini memiliki muscular rim. Lokasi dari defek di komponen trabekular dibagi menjadi anterior, midmuskular, apikal, dan posterior. Defek anterior jika lokasinya anterior dari septal band, midmuscular jika lokasinya di posterior dari septal band, apikal lokasinya inferior dari moderate band dan defek posterior lokasi di bawah cuspis septal dari valvula tricuspidalis.12 Komponen infundibular mimisahkan outflow dari ventriculus dextra dan sinistra. Pada sisi kanan dibatasi oleh garis yang dibentuk dari pars membranacea menuju ke musculus papillary inferior nya dan valvula semilunaris superior nya. Sisi kanan dari komponen infundibular lebih luas. Jika terjadi defek di komponen infundibular disebut infundibular, outlet, supracristal, conal, conoventricular, subpulmonary.12



33



Gambar 2.3 – Letak Defek pada VSD



Perubahan fisiologis yang terjadi akibat adanya defek di septum ventriculare adalah tergantung ukuran defek dan tahanan vaskular paru. Aliran darah ke paru-paru akan meningkat setelah kelahiran sebagai respon menurunnya tahanan vaskular paru akibat mengembangnya paru-paru dan



34



terpaparnya alveoli oleh oksigen. Jika defeknya berukuran besar, aliran darah ke paru-paru akan meningkat dibandingkan aliran darah sistemik diikuti regresi sel otot polos arteri intrapulmonalis. Perubahan ini berhubungan dengan munculnya gejala setelah kelahiran bayi aterm berumur 4-6 minggu atau awal dua minggu pertama pada kelahiran bayi prematur.12 Darah di ventriculus dextra didorong ke arteria pulmonalis, resistensi relatif antara dua sirkulasi bersifat dinamis dan berubah dengan waktu :12 1. Periode neonatus: a. Tahanan vaskular paru tinggi b. Tahanan ventriculus sinistra sama dengan ventriculus dextra c. Minimal atau tidak ada shunt 1. Bayi (3-4 minggu): a. Tahanan vaskular paru menurun b. Tahanan ventriculus sinistra lebih besar dibandingkan tahanan ventriculus dextra c. Adanya shunt dari kiri ke kanan Jika defek berukuran kecil, akan terjadi perubahan hemodinamik yang terbatas, yang juga membatasi terjadinya shunting dari kiri ke kanan. Defek yang besar akan menyebabkan terjadinya shunting dari kiri ke kanan. Tekanan pada arteri pumonalis akan meningkat yang menyebabkan terjadinya hipertensi pulmonal. Meningkatnya tekanan dan volume darah pada arteri pulmonalis akan menyebabkan kerusakan pada sel endotel dan perubahan permanen pada tahanan vaskular paru. Jika tahanan vaskular paru melebihi tahan vaskular sistemik maka akan terjadi perubahan aliran darah dari ventriculus sinistra menuju dextra melalui defek tersebut (left to right shunt).12 Menurut besarnya, defek septum ventrikel diklasifikasi menjadi defek septum ventrikel kecil (luas defek kurang dari 5 mm2/m2 luas permukaan tubuh), sedang (luas defek 5-10 mm2/m2 luas permukaan tubuh), dan besar (luas defek lebih dari setengah diameter aorta atau lebih dari 10 mm2/m2 luas permukaan tubuh).



35



D. HEMODINAMIK PADA VSD



Hemodinamik pada defek septum ventrikel berkaitan dengan besarnya defek yang terjadi :11 1. Defek Septum Ventrikel Kecil Pada defek kecil ini hanya terjadi pirau dari kiri ke kanan yang minimal, sehingga tidak terjadi gangguan hemodinamik yang berarti. Kelainan ini dikenal dengan nama maladie de Roger (penyakit Roger). Kira-kira 70% pasien dengan defek kecil menutup spontan dalam 10 tahun, sebagian besar dalam 2 tahun pertama. Bila setelah berusia 2 tahun defek tidak menutup, maka kemungkinannya menutup secara spontan adalah kecil. 2. Defek Septum Ventrikel Sedang dan Besar Pada defek sedang dan besar ini terjadi pirau yang bermakna dari ventrikel kiri ke ventrikel kanan. Pada hari-hari pertama pascalahir belum terdapat pirau kiri ke kanan yang bermakna, oleh karena resistensi vaskular paru yang masih tinggi. Pirau yang bermakna baru terjadi setelah tahanan vaskular paru menurun, yakni di antara minggu ke-2 sampai ke-6. Karena itulah biasanya bising yang nyata baru terdengar pada saat bayi dibawa melakukan kunjungan pertama setelah pulang dari rumah bersalin. Pirau kiri ke kanan yang besar menyebabkan meningkatnya tekanan ventrikel kanan. Bila tidak terdapat obstruksi jalan keluar ventrikel kanan, maka tekanan ventrikel kanan yang tinggi tersebut akan diteruskan ke a. pulmonalis. Dengan pertumbuhan pasien, maka dapat terjadi beberapa kemumgkinan, yakni: b. Defek mengecil, sehingga pirau dari kiri ke kanan berkurang. Pasien biasanya tampak membaik. c. Defek menutup. d. Terjadi stenosis infundibular sehingga pirau kiri ke kanan berkurang.



36



e. Defek terus membesar dengan pirau dari kiri ke kanan berlanjut, menyebabkan tekanan yang selalu tinggi pada sirkulasi paru. Akibatnya terjadi perubahan vaskular paru (dari derajat 1 sampai derajat VI). Bila tekanan di ventrikel kanan melampaui tekanan ventrikel kiri maka akan terjadi pirau yang terbalik (dari kanan ke kiri), sehingga pasien menjadi sianotik. Keadaan ini disebut sindrom Eisermienger. Pada defek yang besar proses terjadinya hipertensi pulmonal dapat terjadi pada anak berumur 1 tahun, bahkan pada pasien sindrom Down hipertensi pulmonal tersebut dapat terjadi lebih dini.



E.



KRITERIA DIAGNOSIS & MANIFESTASI KLINIS VSD



Diagnosis



klinis



VSD



dapat



ditegakkan



melalui



anamnesis,



pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Gambaran klinis defek septum ventrikel sangat bervariasi, dari yang asimptomatis sampai gagal jantung yang berat disertai dengan gagal tumbuh (failure to thrive). Manifestasi klinis ini sangat beigantung kepada besamya defek serta derajat pirau dari kiri ke kanan yang terjadi. Letak defek biasanya tidak mempengaruhi derajat manifestasi klinis. Manifestasi gejala klinis VSD tergantung pada ukuran defek dan hubungan antara tahanan vaskular paru dan sistemik. Gejala klinis biasanya muncul saat bayi berumur 4-8 minggu, seiring dengan menurunnya tahanan vaskular paru akibat adanya remodelling arteriol paru.12,13 1. VSD kecil12,13 Biasanya pasien tidak ada keluhan. Bayi biasanya dibawa ke kardiologis karena ditemukan adanya murmur selama pemeriksaan rutin. Keluhan berupa gangguan makan dan pertumbuhan tidak ditemukan. Jantung normal atau hanya sedikit membesar, Pada auskultasi biasanya bunyi jantung terdengar normal. Bila defek septum ventrikel sangat



37



kecil, terutama defek muskular, dapat ditemukan bising sistolik dini (early systolic murmur) pendek yang mungkin didahului early systolic click. Pada defek septum ventrikel kecil ditemukan bising pansistolik yang biasanya keras, disertai oleh getaran bising dengan pungtum maksimum di sela iga lll-lV garis parasternal kiri dan menjalar ke sepanjang garis stemum kiri, bahkan ke seluruh prekordium. 2. VSD sedang12,13 Bayi terlihat berkeringat akibat rangsangan saraf simpatis, terlihat saat diberi makanan. Terlihat lelah selama makan oleh karena aktifitas makan memerlukan cardiac output yang tinggi. Adanya tachypnea saat istirahat ataupun saat makan. Gangguan pertumbuhan bisa juga dijumpai karena meningkatnya kebutuhan kalori dan kurangnya kemampuan bayi untuk makan secara adekuat. Sesak napas pada waktu minum, atau memerlukan waktu ayang lebih lama untuk menyelesaikan makan dan minumya, atau tidak mampu menghabiskan minuman dan makanannya, merupakan keluhan yang sering dinyatakan oleh orangtua pasien. Kenaikan berat badan tidak memuaskan dan pasien seringkali menderita infeksi paru yang memerlukan waktu lebih lama untuk sembuh. Gagal jantung mungkin terjadi sekitar umur 3 bulan, seringkali dengan didahului oleh infeksi paru, tetapi pada umumnya responsif terhadap pengobatan medik. Pada pemeriksaan fisis bayi tampak kurus, dengan dispnea, takipnea, serta retraksi. Pada pasien yang besar dada mungkin sudah menonjol, namun pada bayi biasanya bentuk dada masih normal. Pada auskultasi akan terdengar bunyi jantung 1 dan II yang normal dengan bising pansistolik yang keras, kasar, disertai getaran bising dengan pungtum maksimum di sela iga III-IV garis parasternal kiri, yang menjalar ke seluruh prekordium. Bising pada defek septum ventrikel sedang merupakan salah satu bising yang paling keras di bidang kardiologi. Bising mid-diastolik di daerah mitral dapat terjadi oleh karena flow murmur pada fase pengisian cepat dari atrium ke ventrikel kiri; hal



38



tersebut merupakan petunjuk tidak langsung, bahwa pirau yang terjadi cukup besar. 3. VSD besar12,13 Pada pasien dengan defek septum ventrikel besar, gejala dapat timbul pada masa neonatus. Ditemukan gejala yang sama dengan VSD sedang, tetapi dengan skala yang lebih berat. Dispnea dapat terjadi bila terdapat pirau kiri ke kanan yang bermakna dalam minggu pertama setelah lahir, meskipun hal itu tidak sering ditemukan. Pada minggu kedua atau ketiga gejala biasanya mulai timbul tetapi gagal jantung biasanya baru timbul setelah minggu keenam, sering didahului infeksi saluran napas bawah. Infeksi ini sering kali memperberat kegagalan pertumbuhan pada anak. Bayi tampak sesak napas pada saat istirahat, kadang tampak sianosis karena kekurangan oksigen akibat gangguan pernapasasan. Gangguan pertumbuhan tampak sangat nyata. Pada pemeriksaan biasanya bunyi jantung masih normal, dan dapat didengar bising pansistolik, dengan atau tanpa getaran bising. Bising pada defek septum ventrikel besar ini sering tidak memenuhi seluruh fase sistole seperti pada defek septum ventrikel sedang, tetapi melemah pada akhir sistole. Hal ini disebabkan oleh peningkatan tekanan ventrikel kanan akibat peningkatan resistensi vaskular paru sehingga terjadi tekanan sistolik yang sama besamya pada kedua ventrikel pada akhir sistole. Bising mid-diastolik di daerah mitral mungkin terdengar akibat flow murmur pada fase pengisian cepat. 4. Defek Septum Ventrikel Besar dengan Penyakit Vaskular Paru / Sindrom Eisenmenger3,4 Pasien dengan defek septum ventrikel dan hipertensi pulmonal akibat penyakit vaskular paru memperlihatkan dada membonjol akibat pembesaran ventrikel kanan yang berat. Pada peralihan antara pirau kiri ke kanan dan kanan ke kiri, seringkali pasien akan tampak lebih baik, lebih aktif, dengan toleransi latihan yang relatif lebih baik dibanding sebelumnya. Dengan berlanjutnya kerusakan vaskular paru, sehingga terjadi pirau terbalik, dari kanan ke kiri, sehingga pasien menjadi



39



sianotik. Dalam tahapan ini kembali pasien memperlihatkan tolerasi latihan yang menurun, batuk barulang dan infeksi saluran napas berulang dan gangguan pertumbuhan yang makin berat. Saat beraktivitas pasien akan mengeluh sesak nafas, sianosis, nyeri dada, sinkop, dan hemoptysis. Pada pemeriksaan fisis didapatkan anak gagal bertumbuh, sianotik, dengan jari - jari tabuh. Dada kiri membonjol dengan perungkatan aktivitas ventrikel kanan yang hebat. Bunyi jantung 1 normal, akan tetapi bunyi jantung II mengeras dengan split yang sempit. Bising yang sebelumnya jelas menjadi berkurang intensitasnya; kontur bising yang semula pansistolik berubah menjadi ejeksi sistolik. Tidak jarang bising menghilang sama sekali, yang menunjukkan tidak terdapatnya pirau yang bermakna. Hati menjadi teraba besar akibat bendungan sistemik, namum edema jarang ditemukan. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis yaitu: 12,13 1. Pemeriksaan radiologi Gambaran radiologi defek septum ventrikel mempakan refleksi besarnya pirau kiri ke kanan. Pirau kiri ke kanan ini bergantung kepada ukuran defek, tahanan vaskular paru, serta terdapatnya lesi obstruktif baik pada jalan keluar ventrikel kiri maupun kanan. Pemeriksaan foto dada pasien dengan defek septum ventrikel kecil biasanya memperlihatkan bentuk dan ukuran jantung yang normal dengan vaskularisasi paru normal atau hanya sedikit meningkat. Pada pasien defek septum ventrikel sedang, radiologi toraks akan menunjukkan kardiomegali sedang dengan konus pulmonalis yang menonjol, peningkatan vaskularisasi paru, serta pembesaran pembuluh darah di sekitar hilus. Peningkatan vaskular paru yang nyata memberi petunjuk bahwa perbandingan antara aliran darah ke paru dan aliran darah sistemik (Qp/Qs) adalah 2:1 atau lebih. Pada defek besar foto toraks menunjukkan kardiomegali yang nyata dengan konus pulmonalis yang menonjol, pembuluh darah hilus



40



membesar, dengan vaskularisasi paru meningkat. Pada defek besar yang disertai hipertensi pulmonal atau sindrom Eisenmenger tampak konus pulmonalis sangat menonjol dengan vaskularisasi paru yang meningkat di daerah hilus namun berkurang di perifer (pruning). Pemeriksaan



berkala



foto



dada



dapat



memberikan



petunjuk



perkembangan kelainan. Apabila pada tindak lanjut foto toraks menunjukkan vaskularisasi paru yang makin berkurang dibandingkan dengan foto sebelumnya, maka mungkin defek telah mengecil atau telah terjadi stenosis infundibular sekunder yang mengurangi pirau kiri ke kanan. Namun apabila berkurangnya vaskularisasi paru tersebut disertai dengan segmen pulmonal yang makin menonjol harus dicurigai terdapatnya peningkatan tahanan vaskular paru yang mengarah pada hipertensi pulmonal.



41



Gambar 2.4 – Radiologi pada VSD



42



2. Elektrokardiogram Perulaian elektrokadiogram pada bayi dan anak dengan defek septum ventrikel, atau dengan penyakit apa pun, harus dilakukan dengan hatihati, karena nilai normal EKG sangat bergantung kepada umur pasien. Pada bayi dan anak dengan defek kecil gambaran EKG sama sekali normal, atau sedikit terdapat peningkatan aktivitas ventrikel kiri. Gambaran EKG pada neonatus dengan defek sedang dan besar juga normal, namun pada bayi yang lebih besar serta anak pada umumnya menunjukkan kelainan. Pada defek septum ventrikel sedang biasanya terdapat peningkatan aktivitas ventrikel kiri dan kanan, akan tetapi aktivitas ventrikel kiri lebih meningkat. Pada defek septum ventrikel besar EKG memperlihatkan hipertiofi biventrikular yang menunjukkan terdapatnya peningkatan aktivitas yang hebat baik ventrikel kanan maupun kiri. Kadang tampak gambaran pembesaran atrium kiri (P mitral). Bila telah terjadi hipertensi pulmonal maka hipertiofi ventrikel kanan tampak makin menorrjol; pada sindrom Eisenmenger dominasi kanan yang makin jelas, bahkan hipertrofi ventrikel kiri yang semula ada dapat menghilang. Pembesaran atrium kanan (P pulmonal) dapat menyertai hipertiofi ventrikel kanan yang berat. Jelaslah bahwa EKG dapat menggambarkan perubahan hemodinamik, sehingga pemeriksaan berkala perlu dilakukan dalam tata laksana pasien.



43



Gambar 2.5 – Gambaran P mitral dan P pulmonal pada EKG



Gambar 2.6 – Gambaran EKG pada VSD dengan biventrikular hypertrophy (Katz – Wachtel phenomenon)



44



3. Echocardiography Pemeriksaan ekokardiografi perlu untuk menentukan letak serta ukuran defek septum ventrikel di samping untuk menentukan terdapatnya kelainan penyerta Dengan teknik Doppler dapat memastikan arah pirau serta dapat memperkirakan secara kasar tekanan a. pulmonalis, tekanan sistolik ventrikel kanan, serta rasio antara aliran paru dengan aliran sistemik (Qp/ Qs). Pada defek kecil nilai ekokardiografi M-mode dalam batas normal. Tidak jarang defek kecil tersebut sulit dideteksi dengan pemeriksaan ekokardiografi 2-dimensi, namun dengan Doppler serta Doppler berwarna lokasi arus sistolik dari ventrikel kiri ke ventrikel kanan dapat mudah dideteksi. Apabila pemeriksaan non-invasif menunjukkan defek yang kecil, serta dipastikan bahwa tidak terdapat kelainan penyerta, maka tidak perlu dilakukan kateterisasi jantung. Pada defek yang sedang, lokasi serta ukuran defek dapat ditentukan dengan mudah dengan pemeriksaan ekokardiografi 2-dimensi. Ekokardiografi M-mode mungkin menunjukkan adanya pelebaran ventrikel kiri dan/atau atrium kiri, namun kontraktilitas ventrikel umumnya masih baik. Pada defek besar, ekokardiogram mungkin menunjukan adanya pembesaran keempat ruang jantung dan pelebaran a. pulmonalis. Pada hipertensi pulmonal tampak ventrikel dan atrium kanan melebar, demikian pada a. pulmonalis. Sering ditemukan insufisiensi trikuspid dengan atau tanpa insufisensi pulmonal. Bila terdapat



insufisiensi



trikuspid,



maka



dengan



Doppler



dapat



diperkirakan tekanan sistolik ventrikel kanan serta tekanan a. pulmonalis. Pada defek subarterial, dapat diketahui prolaps sinus Valsalva dengan atau tanpa disertai regurgitasi aorta.



45



Gambar 2.7 – Echocardiography pada VSD



4. Kateterisasi Jantung dan Angiokardiografi Kateterisasi jantung umumnya masih diperlukan sebelun operasi defek septum ventrikel, meskipun di beberapa pusat kardiologi sebagian pasien defek septum ventrikel langsung dioperasi tanpa kateterisasi lebih dahulu. Dengan kateterisasi jantung dapat dibuiktikan kenaikan saturasi oksigen di ventrikel kanan, Qp/Qs, serta tekanan di ruang jantung dan pembuluh darah besar. Pada defek septum ventrike kecil tekanan ruang jantung dan pembuluh darah dalam batas normal. Pada defek sedang tekanan a. pulmonalis masih dalam batas normal pada waktu bayi, akan terus meningkat dengan bertambahnya umur. Angiografi ventrikel kiri dapat menunjukkan besar dan arah pirau. Aortografi diperlukan untuk mendeteksi regurgitasi aorta pada defek septum ventrikel subarterial.



G. TATALAKSANA VSD



Tatalaksana VSD dapat dibagi menjadi tatalaksana medikamentosa dan pembedahan / non medika mentosa13 Pasien dengan defek yang kecil tidak memerlukan pengobatan apapun, kecuali pemberian profilaksis terhadap terjadinya endokarditis infektif terutama apabila pasien akan dilakukan tindakan operatif di daerah rongga mulut



(ekstraksi



gigi,



tonsilektomi) atau tindakan pada traktus



gastrointestinal atau urogenital (misal sirkumsisi). Tidak diperlukan



46



pembatasan aktivitas pada pasien dengan defek septum ventrikel kecil. Di samping itu perlu diingat bahwa tindakan imunisasi pada semua jenis penyakit jantung bawaan harus dilakukan seperti pada anak sehat. Gagal jantung pada pasien defek septum ventrikel sedang atau besar biasanya diatasi dengan digoksin (dosis rumat 0,01 mg/kg/hari, dalam 2 dosis) namun diuretik lebih jarang diperlukan. Infeksi saluran napas diatasi dengan pemberian antibiotik dini dan adekuat.13 Tatalaksana selanjutnya yaitu melalui tindakan pembedahan. Seperti telah disebutkan, dalam 2 tahun pertama defek mungkin mengecil atau menutup spontan. Akan tetpi jika pada umur 3 atau 4 tahun defek belum menutup dan terdapat pembesaran jantung, pletora paru, dan masih terdapat gejala maka dianjurkan untuk tindakan penutupan defek. Kenyataan tidak adanya kemungkinan penutupan spontan di atas umur 6 tahun menyebabkan kesepakatan bahwa defek sebaiknya dikoreksi pada usia 4-6 tahun. Akan tetapi waktu operasi ini cenderung makin muda, sesuai dengan kemampuan tim kardiologi anak dan terutama tim bedah jantung setempat. Sebagian besar pasien defek septum ventrikel berukuran besar memerlukan tindakan bedah korektif. Jika pasien defek septum ventrikel besar mengalami gagal jantung yang refrakter terhadap pengobatan medis, defek harus dikoreksi pada umur berapa pun, meski biasanya belum perlu dilakukan sebelum umur 3-6 bulan. Tindakan bedah korektif di negara maju pada umunmya dilakukan pada masa anak, bahkan di bawah 1 tahun, tetapi di negara berkembang, bedah korektif seringkali dilakukan pada usia dewasa muda, bahkan usia dewasa, sehingga membawa konsekuensi mortalitas dan morbiditas. Penyulit yang timbul akibat kelambatan tindakan bedah korektif adalah terjadinya hipertensi pulmonal, timbulnya stenosis pulmonal infimdibular, dan prolaps katup aorta (khususnya pada defek subarterial) dengan atau tanpa reguigitasi aorta, serta endokarditis infektif Beberapa tahun terakhir ini dikembangkan teknik penutupan defek septum ventrikel dengan mempergunakan alat serupa payung yang dimasukkan dengan kateter, sehinggaa tindakan pembedahan dapat



47



dihindarkan. Teknik ini hanya dapat dilakukan untuk defek yang jauh dari struktur penting misalnya katup aorta. Defek septum muskular, khususnya yang multipel, mungkin merupakan kandidat yang baik untuk ditutup dengan teknik tersebut.



H. PROGNOSIS VSD



Kemungkinan penutupan spontan defek kecil cukup besar, terutama pada tahun pertama kehidupan. Kemungkinan penutupan spontan sangat berkurang setelah pasien berusia 2 tahun, dan umunmya tidak ada lagi kemungkinan penutupan spontan di atas usia 6 tahun. Hipertensi pulmonal sampai batas tertentu hanyalah akan mengakibatkan bertambahnya meningkatnya risiko pascabedah, tetapi jika tahanan vaskular paru telah melampaui batas (umumnya > 12 HRU/m2) pasien defek septum ventrikel sudah tidak lagi layak operasi. Pada defek subarterial kejadian prolaps katup aorta sangat tinggi. Pada kelompok umur > 20 tahun prolaps katup aorta terdapat pada 76% kasus, 12-20 tahun sebesar 73% 6-12 tahun sebesar 75% dan di bawah 6 tahun sebesar 26% 13 Pada ras Oriental kejadian prolaps katup aorta yang disertai regurgitasi aorta jauh lebih tinggi daripada ras Kaukasus dan Negro. Defek subarterial dengan prolaps katup aorta dan regurgitasi katup aorta yang bermakna merupakan indikasi tindakan bedah. Apabila tidak dilakukan koreksi dapat terjadi kerusakan katup aorta yang parah yang membutuhkan penggantian katup. Endokarditis infektif pada defek septum ventrikel terjadi; penyulit ini lebih sering terjadi pada defek kecil, lebih sering diderita oleh pasien lelaki, dan akan meningkat dengan bertambahnya umur.13 Defek septum ventrikel besar dapat mengecil atau menutup spontan atau mengalami stenosis infundibular oleh karena perubahan hemodinamik sehingga secara klinis menyerupai tetralogi Fallot. Sebagian pasien dengan defek septum ventrikel besar tetap stabil tanpa hipertensi pulmonal, dan sebagian lagi akan mengalami hipertensi pulmonal dan pirau terbalik dari



48



kanan ke kiri sehingga menyebabkan sianosis dan jari tabuh (Sindrom Eisenmenger).13



I. DEFINISI, EPIDEMIOLOGI, DAN KLASIFIKASI DEXTROCARDIA DAN SITUS ANOMALI



Dextrocardia adalah sebuah istilah yang digunakan secara eksklusif untuk menunjukkan posisi jantung, terutama puncak dari jantung yang terletak pada sisi kanan tubuh, apabila dibandingkan dengan kondisi normal dimana jantung biasanya terletak di sebelah kiri tubuh (posisi seperti cermin).15,16 Kondisi ini merupakan abnormalitas posisi jantung yang bersifat kongenital.17 Kelainan ini biasanya ditemukan secara tidak sengaja dan berkaitan erat dengan kelainan kongenital lainnya.18 Kondisi ini pula harus dibedakan dengan dextroposition, yaitu pergeseran jantung ke sebelah kanan dada sebagai konsekuensi dari kondisi patologis yang melibatkan diafragma, paru, pleura aau jaringan lainnya, sedangkan dextrocardia merupakan kondisi dimana aksis mayor dari jantung (dari basis menuju apex jantung melalui septum interventrikuler) mengarah ke kanan.19 Penting untuk mengetahui istilah lain yang digunakan untuk mendeskripsikan posisi jantung lainnya. Levoposition merupakan posisi jantung yang normal, menunjukkan lokasi jantung pada sisi kiri secara anatomis. Mesoposition menunjukkan lokasi jantung yang terletak ditengah batang tubuh. Umumnya, posisi jantung ini jarang disebutkan pada apabila dibandingkan dengan letak posisi apex jantung itu sendiri.20 Umumnya, levocardia menunjukkan kondisi levoposition dengan posisi apex jantung yang mengarah pada kondisi normal secara anatomis yaitu ke arah kiri. Dextrocardia adalah kondisi dextroposition dengan apex jantung yang mengarah ke bagian kanan tubuh. Istilah lain yang harus dipahami adalah levoversi atau dextroversi, yaitu posisi apex jantung yang



49



mengarah ke kiri atau ke kanan tubuh, terlepas daripada posisi dan letak jantung tersebut pada bagian tubuh.20 Situs anomali merupakan kondisi yang jarang ditemukan, rumit dan masih belum dapat dimengerti sepenuhnya. Istilah situs berarti posisi, atau lokasi, yang mengacu pada garis tengah tubuh.20 Posisi normal dari organ dalam abdomen dibatasi oleh vena cava inferior dan superior pada bagian kanan abdomen yang masuk ke atrium kanan.20 Organ – organ dalam yang terletak pada daerah kanan tubuh yaitu hepar, kantung empedu, vena cava inferior dan paru trilobus. Organ – organ dalam yang terletak pada bagian kiri tubuh yaitu atrium vena pulmonaris, lambung, lien, aorta, apex jantung, paru bilobus.20 Apabila organ dalam ini berada pada posisi yang normal, maka kondisi ini disebut dengan situs solitus.21 Apabila letak organ dalam abdomen ini terbalik, maka kondisi ini disebut dengan situs inversus / situs transversus, dan posisi yang tidak dapat dispesifikasikan atau terletak pada posisi yang lain dapat disebut dengan situs ambiguous.17,21 Secara harfiah, situs inversus / transversus merupakan kondisi kelainan kongenital dimana organ dalam mayor dalam tubuh terletak pada posisi yang terbalik dari posisi normalnya.17 Situs inversus dibagi menjadi dua jenis. Apabila situs inversus disertai dengan dextrocardia, maka kondisi ini disebut sebagai situs inversus totalis. Terjadinya keterbalikan dari rongga jantung dan organ dalam, namun dengan posisi jantung yang tetap terletak pada sisi kiri dari batang tubuh, atau situs inversus dengan levocardia dapat disebut dengan situs inversus incompletus.20 Heterotaxy atau situs ambiguous didefinisikan sebagai gangguan distribusi posisi organ dalam antara sisi kiri dan kanan yang tidak sesuai kepada keterbalikan secara total maupun sebagian.20 Dalam hal ini, situs ambiguous berarti kelainan posisi lainnya yang tidak dapat dikategorikan dalam situs inversus baik totalis maupun incompletus.



50



Gambar 2.8 – Macam – macam situs anomali



Dextrocardia sendiri merupakan suatu kelainan terkait genetik autosomal resesif yang tergolong jarang terjadi. Terdapat 0,01% kasus dextrocardia dari keseluruhan angka kelahiran hidup yang terjadi di Amerika Serikat. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan untuk terjadinya kelainan ini pada wanita bila dibandingkan dengan pria.16 Insidensi dextrocardia dilaporkan kurang dari 1%, dan sebuah penelitian menyebutkan bahwa insidens kejadian ini hanya sekitar 0,22%.18 Pada suatu penelitian yang dilakukan oleh Bernasconi et all (2005), didapatkan bahwa dari 36.765 ibu yang menjalani pemeriksaan fetal echocardiography, terdapat 82 kasus dextrocardia yang terdiagnosis.19 Situs anomali sendiri merupakan suatu jenis kelainan jantung kongenital dengan jumlah kasus yang paling sedikit dari antara kelainan kongenital jantung lainnya. Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh National Birth Defects Prevention Study, prevalensi dari situs anomali diestimasikan sebesar 1,1 per 10.000 kelahiran hidup.20 Situs inversus totalis sendiri memiliki prevalensi sebesar 0,01% dari populasi umum. Insidensi terjadinya defek struktur jantung pada kasus situs inversus totalis diperkirakan sebesar 5% hingga 10%.20 Etiologi pasti dari dextrocardia dan situs anomali ini masih belum dapat dijelaskan secara mendalam. Namun diperkirakan kelainan ini terkait dengan kondisi genetik.20 Kelainan ini diperkirakan terjadi akibat gangguan pada genetik autosomal resesif dimana defek tersebut terjadi pada



51



kromosom nomor 14.22 Diperkirakan bahwa primitive loop pada proses perkembangan embrionik bergerak melintas ke arah yang berlawanan dari posisi yang normal sehingga menghasilkan perpindahan organ ke lokasi yang abnormal.22 Pada kondisi situs solitus, apex jantung awalnya akan berada pada hemithorax kanan, namun secara normal akan bermigrasi ke hemithorax kiri pada bulan pertama gestasi. Apabila migrasi ini tidak terjadi, maka dextrocardia akan terjadi.23 Neonatus yang lahir dari ibu yang mengalami diabetes selama kehamilannya memiliki risiko lebih tinggi terhadap terjadinya anomali kongenital, terutama malformasi jantung. Hal ini disebabkan oleh efek teratogenik dari kadar gula darah yang tinggi.24



J. KRITERIA DIAGNOSIS DEXTROCARDIA DAN SITUS ANOMALI



Pada sebagian kasus, kondisi dextrocardia dan situs anomali sering kali tidak terdeteksi karena pasien biasanya tidak memiliki keluhan apapun (asimptomatik). Pada beberapa kasus, kondisi ini sering kali terdeteksi setelah pasien dewasa atau ketika pasien melakukan pemeriksaan kesehatan, atau mengalami gangguan serius pada ginjal, saluran napas, saluran cerna maupun sistem kardivaskuler mereka.17,25 Sering kali kondisi ini baru terdeteksi ketika terdapat gejala Primary Ciliary Dyskinesia (PCD) atau malformasi splenik.24 Angka harapan hidup pada kelainan ini biasanya berkurang pada kasus – kasus dengan defek yang berat.15 Salah satu keluhan yang dapat muncul pada pasien biasanya dapat terjadi apabila pasien mengalami sindrom Kartagener. Sindrom ini merupakan subgrup dari PCD yang terdiri dari situs inversus, sinusitis kronik dan bronkiektasis.20 Sekitar 50% pasien dengan PCD memiliki kondisi situs inversus totalis.20 Pada kondisi ini, biasanya pasien akan lebih mudah mengalami infeksi paru.26 Diagnosis dari dextrocardia dengan situs inversus totalis dapat dilakukan dengan menggunakan modalitas pencitraan yaitu radiografi thorax, echocardigraphy 2 dimensi, barium meal, barium enema, USG abdomen dan CT Scan. Pada radiografi thorax dapat ditemukan bayangan



52



jantung pada sisi kanan tubuh dengan apex jantung mengarah ke sisi kanan tubuh dan melalui echocardigraphy 2 dimensi menunjukkan ruangan – ruangan jantung mengarah ke sisi yang berlawanan dari posisi normalnya.16



(a)



(b) Gambar 2.9 – Gambar Echocardiography (a) dan Foto Thorax (b) pada Pasien dengan Situs Inversus.



53



Pada pemeriksaan barium meal dan barium enema, dapat ditemukan gambaran lambung pada sisi kanan abdomen dan lengkung “C” yang dimiliki oleh duodenum akan mengarah ke sebelah kanan, serta ileus terminal, ileo-caecal junction, caecum dan kolon ascendens terletak pada sisi kiri tubuh meskipun kolon descenden dan kolon sigmoid tampak pada sisi sebelah kanan abdomen.



Gambar 2.10 – Gambaran Barium Enema pada Pasien dengan Situs Inversus



USG abdomen dan CT scan pada kondisi ini menunjukkan letak hepar yang berada di sebelah kanan pasien, dan lien berada di sebelah kanan pasien.16



54



(a)



(b) Gambar 2.11 – Gambaran USG Abdomen (a) dan CT Scan abdomen (b) pada Pasien dengan Situs Inversus



Modalitas lainnya yang dapat digunakan untuk mendiagnosa kondisi ini adalah dengan penggunaan elektrokardiografi (EKG). Temuan yang umum pada EKG pasien yang mengalami dextrocardia adalah adanya impuls jantung yang maksimal pada bagian kanan jantung. Gambaran RKG yang terbentuk biasanya menunjukkan deviasi aksis jantung ke arah kanan, gambaran gelombang P dan kompleks QRS yang positif pada aVR, dan



55



gambaran gelombang P dan kompleks QRS yang negatif pada leads I dan AVL, dan pada beberapa kasus terdapat gelombang T inverted pada leads I (global negativity). Gambaran R-wave progression akan menghilang pada leads prekordial, disertai dengan gelombang S yang menjadi lebih dominan. 23



Terkadang, gambaran ini sering kali disalahartikan sebagai peletakan



leads yang salah. Oleh karena itu, sering kali dilakukan pengulangan perekaman EKG untuk memastikan kembali apakah terjadi kesalahan pada peletakan leads atau tidak.



Gambar 2.12 – Gambaran USG Abdomen (a) dan CT Scan abdomen (b) pada Pasien dengan Situs Inversus



Diagnosa situs anomali dan dextrocardia ini penting untuk ditegakkan berkaitan dengan kondisi penyakit lainnya. Pengenalan terhadap kondisi ini merupakan sesuatu yang bersifat esensial apabila akan dilakukan suatu prosedur atau pembedahan darurat untuk menghindari kesalahan tindakan.22 Penatalaksanaan pembedahan dan preoperasi pada pasien terkait dengan penyakit lain yang dimiliki pasien akan menjadi lebih berisiko apabila diagnosa kelainan ini tidak ditegakkan.15,17,27 Penegakkan diagnosis situs inversus dapat membantu pasien dengan kondisi penyakit tertentu seperti appendicitis, dimana nyeri yang dirasakan akan terletak pada sisi



56



sebelah kiri dan bukan di sebelah kanan. Kondisi keterlambatan penegakkan diagnosis ini dapat menyebabkan kesalahan diagnosis pada penyakit lainnya yang dialami pasien dan memungkinkan terjadinya kematian akibat penundaan tindakan pembedahan.15,17,27



K. TATALAKSANA DAN PROGNOSIS PADA DEXTROCARDIA DAN SITUS INVERSUS TOTALIS



Populasi yang memiliki kondisi situs inversus totalis ini biasanya tidak membutuhkan terapi spesifik kecuali ketika pasien memiliki gejala dan tanda tertentu atau disertai dengan anomali jantung kongenital yang dapat ditatalaksana.22 Tatalaksana pada kasus dextrocardia dengan situs inversus hanyalah berupa tatalaksana yang bersifat simptomatik dan suportif ketika dibutuhkan.16 Tidak diperlukan tatalaksana terkait situs anomali ini. Pasien dengan kondisi situs inversus dan dextrocardia tanpa anomali kongenital lainnya dapat memiliki angka harapan hidup dan faktor risiko untuk mendapatkan penyakit lain yang sama dengan orang – orang tanpa situs anomali ini, dengan usia dan jenis kelamin yang sama. Pada kondisi yang disertai dengan penyakit jantung kongenital lainnya yang jarang terjadi, biasanya angka harapan hidupnya akan lebih berkurang, tergantung dengan seberapa berat defek yang terjadi.15 Penyebab utama mortalitas dan morbiditas pada situs anomali adalah adanya malformasi jantung lainnya. Kondisi ini akan menyebabkan terjadinya malkoneksi vaskular yang dapat menyebabkan meningkatnya mortalitas dan morbiditas. Karena adanya kondisi patologis intrakardiak dan menurunnya fungsi imun, maka seringkali prognosis dari situs anomali ini menjadi buruk.28



57



L. DEFINISI, EPIDEMIOLOGI, ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI PNEUMONIA



Pneumonia adalah inflamasi pada parenkim paru dengan konsolidasi ruang alveolar. Pneumonia lobaris adalah kondisi yang menggambarkan pneumonia yang terlokalisir pada satu atau lebih lobus paru. Pneumonia atipikal



merupakan



bentuk



selain



daripada



pneumonia



lobaris.



Bronkopneumonia sendiri merupakan inflamasi paru yang terfokus pada area bronkiolus dan memicu produksi eksudat mukopurulen yang dapat mengakibatkan obstruksi saluran respiratori berkaliber kecil dan menyebabkan konsolidasi yang merata pada lobulus yang berdekatan.29 Pneumonia masih merupakan penyebab kematian utama yang diakibatkan oleh infeksi pada anak kurang dari 5 tahun, dengan jumlah 920.000 kematian setiap tahunnya.30 Diestimasikan terdapat 120 juta kasus pneumonia di seluruh dunia setiap tahunnya, yang mengakibatkan 1,3 juta kematian.4 Penyebab kematian anak dengan usia kurang dari 2 tahun di negara berkembang hampir sebesar 80% disebabkan oleh pneumonia.5 Tingkat kematian anak dibawah usia lima tahun di sebagian besar negara berkembang berkisar 60-100 per 1000 kelahiran hidup, seperlima dari kematian ini disebabkan oleh pneumonia.6 Pada tahun 2010, terdapat 265.000 kematian secara kasar yang terjadi akibat kasus pneumonia pada ruang perawatan, 99% dari jumlah tersebut terdapat pada negara – negara berkembang. Kematian akibat pneumonia berkaitan dengan tingkat kemiskinan penduduk. Lebih dari 99% kematian akibat pneumonia terjadi di daerah dengan pendapatan rendah hingga menengah, dengan tingkat kematian tertinggi akibat pneumonia terjadi di negara yang berkembang dengan buruk di Afrika dan Asia Selatan.30



58



Gambar 2.13 – Epidemiologi Pneumonia



Sebagian besar kasus pneumonia disebabkan akibat infeksi oleh mikroorganisme, penyebab noninfeksius termasuk aspirasi (makanan atau asam lambung, benda asing, hidrokarbon dan zat lipoid), reaksi hipersensitif dan pneumonitis akibat obat atau radiasi.30 Mikroorganisme penyebab pneumonia berbeda – beda berdasarkan usia.29 Patogen virus merupakan penyebab tersering dari infeksi saluran napas bagian bawah pada neonatus dan anak dengan usia diatas 1 tahuun namun dibawah 5 tahun.30 Penyebab pneumonia tersering pada bayi adalah Respiratory Syncytial Virus (RSV) sedangkan virus respiratori lainnya (RSV, parainfluenza, influenza, dan adenovirus) lebih sering ditemukan pada anak berusia kurang dari 5 tahun.29 Infeksi oleh lebih dari satu jenis virus dapat terjadi hingga 20% dari keseluruhan kasus. Streptococcus pneumoniae (pneumococcus) merupakan bakteri patogen tersering pada anak yang berusia 3 minggu hingga 4 tahun, dimana Mycoplasma pneumonia dan Chlamydophila pneumoniae merupakan bakteri petogen tersering pada anak dengan usia 5 tahun atau lebih dan pneumonia atipikal. Bakteri lainnya yang seringkali menyebabkan pneumonia adalah Streptococcus grup A (Streptococcus pyogenes) dan



59



Staphylococcus aureus. Pneumonia akibat S. Aureus seringkali menjadi komplikasi dari penyakit yang disebabkan oleh virus influenza.29,30 S. pneumoniae, H. Influenzae dan S. aureus merupakan penyebab utama pneumonia akibat bakteri yang menyebabkan tingginya angka perawatan di rumah sakit dan angka kematian.30 Beberapa agen juga dapat menyebabkan pneumonia walaupun jarang terjadi. Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) diakibatkan oleh SARSassociated CoronaVirus (SARS-CoV) juga dapat memberikan gambaran pneumonia. Avian influenza yang lebih dikenal dengan flu burung, merupakan penyakit akibat virus yang sangat menular melalui unggas dan jenis burung lainnya yang disebabkan oleh virus influenza A (H5N1). Sindrom karidopulmoner Hantavirus (Hantavirus Cardiopulmonary Syndrome) yang disebabkan oleh virus Sin Nombre yang dibawa oleh Peromyscus maniculatus (tikus rusa) dan menular melalui kotoran tikus yang teraerosolasi. Penyakit Legionaire yang disebabkan oleh Legionella pneumophillia juga dapat menyebabkan pneumonia pada anak, meskipun jarang terjadi.29 Penyebab lainnya yang dapat ditemukan yaitu Francisella tularensis, Brucella Spp., Coxiella burnetti, Chlamydophika psittaci, Histoplasma



capsulatum,



Coccidiodes



immitis,



dan



Blastomyces



dermatitidis.31 Chlamydia trachomatis dan Mycoplasma hominis, Ureaplasma urealyticum dan sitomegalovirus (CMV) juga dapat menyebabkan terjadinya sindrom respiratori yang sama pada bayi berusia 1 – 3 bulan, dengan awitan subakut yang ditandai dengan pneumonia afebril, dengan batuk dana hiperinflasi paru sebagai gejala predmonian. Pada pasien dewasa, kuman ini merupakan flora normal genital. Wanita dapat menularkannya pada bayinya secara perinatal.29



60



Gambar 2.14 – Etiologi dan Terapi Antimikroba Empiris untuk Pneumonia pada Pasien Tanpa Riwayat Terapi Antibiotik



61



Penyebab pneumonia pada pasien imunokompromais adalah bakteri enterik gram negatif, mikobakteria (Mycobacteria tuberculosis dan Myccobacteria avium kompleks), jamur (aspergilosis, histoplasmosis), virus (CMV) dan Pneumocystis jirovecii (carinii). Pneumonia pada pasien dengan kistik fibrosis umumnya disebabkan oleh Staphylococcus aureus pada masa bayi dan Pseudomonas aeruginosa atau Burkholderia cepacia pada pasien yang berusia lebih tua.29,30 Pneumonia adalah invasi saluran pernapasan bagian bawah, di bawah laring oleh patogen baik melalui inhalasi, aspirasi, invasi epitel pernapasan, atau penyebaran hematogen.32 Saluran pernapasan bawah memiliki sejumlah mekanisme pertahanan terhadap infeksi, termasuk struktur anatomi (rambut hidung, turbinat, epiglotis, silia), pembersihan mukosiliar, mekanisme pembersihan saluran udara dengan mekanisme batuk dan imunitas humoral dan seluler (makrofag serta sekresi imunoglobulin A).30,32 Telah dipercaya bahwa saluran pernapasan bagian bawah terjaga untuk tetap menjadi steril dalam kondisi tanpa infeksi oleh karena mekanisme tersebut. Namun, saat ini beberapa penelitian menunjukkan bahwa saluran pernapasan bawah juga mengandung berbagai koloni mikroba. Data ini sangat berlawanan dengan model patogenesis tradisional pneumonia yang mengatakan bahwa pneumonia adalah hasil dari invasi saluran pernapasan bagian bawah yang steril oleh satu jenis patogen. Model konseptual yang lebih baru mengungkapkan bahwa pneumonia dihasilkan dari gangguan pada sistem pernapasan bagian bawah yang kompleks, yang merupakan hasil dari interaksi dinamis antara koloni patogen yang berpotensi menyebabkan pneumonia, mikroba flora normal, dan kekebalan tubuh penjamu.29,30 Setelah mekanisme pertahanan saluran pernapasan bawah ini dilewati oleh bakteri patogen, infeksi, baik oleh penyebaran fomite / droplet (kebanyakan virus) atau kolonisasi nasofaring (sebagian besar bakteri), menghasilkan peradangan dan cedera atau kematian epitel di sekitarnya dan alveoli. Hal ini pada akhirnya disertai dengan migrasi sel-sel inflamasi ke



62



tempat infeksi, menyebabkan proses eksudatif, yang pada akhirnya akan mengganggu proses oksigenasi.32 Ada empat tahapan pada proses terjadinya pneumonia lobaris. Tahap pertama terjadi dalam 24 jam dan ditandai oleh edema alveolar dan kongesti vaskular. Bakteri dan neutrofil terdapat di dalam jaringan saluran pernapasan bagian bawah. Tahap kedua adalah hepatisasi merah. Tahap ini ditandai oleh adanya neutrofil, sel darah merah, dan sel epitel yang mengalami deskuamasi. Deposit fibrin dalam alveoli juga sering terjadi. Tahap ketiga adalah hepatisasi abu-abu yang terjadi dalam waktu 2-3 hari kemudian. Pada tahapan ini, paru tampak berwarnaa coklat gelap. Ada akumulasi hemosiderin dan terjadinya hemolisis sel darah merah. Tahap keempat adalah tahap resolusi, di mana infiltrat seluler akan diserap, dan arsitektur paru dipulihkan. Jika penyembuhan tidak ideal, maka dapat menyebabkan efusi parapneumonik dan adhesi pleura.32 Pada bronkopneumonia, sering ada konsolidasi dari satu atau lebih lobus. Infiltrat neutrofilik sering terdapat di sekitar pusat bronkus.32 Pneumonia yang disebabkan oleh virus biasanya merupakan hasil dari penyebaran infeksi di sepanjang saluran napas, disertai dengan adanya kerusakan langsung dari epitel pernapasan, yang menyebabkan obstruksi jalan napas karena pembengkakan, sekresi abnormal, dan debris seluler. Sedikit kerusakan saluran napas pada bayi dapat membuat pasien menjadi lebih rentan terhadap infeksi yang berat. Atelektasis, edema interstitial, dan hipoksemia akibat ketidakcocokan ventilasi-perfusi sering menyertai obstruksi jalan napas. Infeksi virus pada saluran pernapasan juga dapat menyebabkan infeksi bakterial sekunder dengan cara mengganggu mekanisme imunitas normal penjamu, mengubah sekresi, dan terjadinya gangguan pada mikrobiota flora normal saluran pernapasan.30 Pneumonia bakteri paling sering terjadi ketika organisme patogen saluran pernapasan berkolonisasi di trakea dan selanjutnya mendapatkan akses ke paru-paru, nemun pneumonia dapat juga terjadi akibat penyebaran langsung mikroorganisme ke jaringan paru setelah terjadinya bakteremia. Saat infeksi bakteri terjadi di parenkim paru-paru, suatu proses patologis



63



yang bervariasi terjadi sesuai dengan organisme yang menyerang. M. pneumoniae menempel pada epitel pernapasan, menghambat kerja silia pernapasan, dan menyebabkan penghancuran sel serta respons inflamasi pada submukosa. Ketika infeksi terus terjadi debris sel, sel-sel inflamasi, dan mukus akan menyebabkan obstruksi jalan napas, dengan penyebaran infeksi yang terjadi di sepanjang cabang bronkiolus, seperti yang terjadi pada pneumonia akibat virus. S. pneumoniae menghasilkan edema lokal yang berfungsi untuk proliferasi mikroorganisme dan penyebarannya ke bagian yang berdekatan dari paru-paru, sering mengakibatkan keterlibatan fokus lobus yang khas. Infeksi saluran pernapasan bawah oleh streptokokus grup A biasanya menghasilkan lebih banyak keterlibatan paru secara difus yang disertai dengan pneumonia interstitial. Kondisi patologis yang akan terjadi adalah nekrosis mukosa trakeobronkial; pembentukan sejumlah besar eksudat, edema, perdarahan lokal, dengan ekstensi ke septum interalveolar; dan keterlibatan pembuluh limfatik serta pleura cukup sering terjadi.



Pneumonia



akibat



S.



aureus



bermanifestasi



sebagai



bronkopneumonia konfluen, yang seringkali unilateral dan ditandai dengan adanya area nekrosis hemoragik yang luas dan area kavitasi parenkim paru yang tidak teratur, menghasilkan pneumatokel, empiema, dan terkadang dapat terjadi fistula bronkopulmonalis.30 Pneumonia rekuren didefinisikan sebagai 2 atau lebih episode terjadinya pneumonia dalam satu tahun, atau 3 atau lebih episode sepanjang kehidupan, dengan gambaran radiografi yang baik diantara kejadian tersebut. Bila anak mengalami pneumonia rekuren, maka penyebab yang mendasari harus segera diselidiki.30



M. KRITERIA DIAGNOSIS PNEUMONIA



Pneumonia sering didahului oleh gejala dari infeksi saluran pernapasan bagian atas beberapa hari, biasanya berupa rinitis dan batuk. Pneumonia virus lebih sering berasosiasi dengan batuk, mengi atau stridor,



64



gejala demam dengan suhu yang umumnya lebih rendah dari pada infeksi akibat bakteri.29,30 Takipnea adalah manifestasi klinis yang paling sering ditemukan pada pneumonia.30,33 Pada anak dengan demam, ketiadaan gejala takipnea merupakan penanda negatif paling tinggi untuk menegakkan diagnosis pneumonia. World Health Organization (WHO) menggunakan takipnea yang disertai dengan batuk sebagai kriteria diagnosis dari pneumonia pada negara berkembang dimana rontgen thoraks tidak selamanya tersedia.33 Peningkatan kerja organ pernapasan disertai dengan retraksi interkostal, subkostal, dan suprasternal, pernapasan cuping hidung, dan penggunaan otot-otot bantu pernapasan. Infeksi yang berat dapat disertai dengan sianosis dan kelemahan, terutama pada bayi. Pada pemeriksaan auskultasi thoraks dapat ditemukan bunyi crackles dan wheezing (mengi), tetapi seringkali sulit untuk melokalisasi sumber dari bising napas ini, terutama pada anak-anak yang sangat muda. Seringkali sulit untuk membedakan secara klinis pneumonia akibat virus (terutama adenovirus) dengan pneumonia yang disebabkan oleh Mycoplasma dan bakteri patogen lainnya.30 Pneumonia bakteri pada orang dewasa dan anak yang lebih besar biasanya dimulai secara tiba-tiba dengan gejala demam tinggi, batuk, dan nyeri dada. Gejala lain yang mungkin terlihat yaitu kelemahan disertai dengan kondisi gelisah; pernapasan cepat; dan terkadang terjadi delirium. Temuan pada pemeriksaan fisik tergantung pada tahapan pneumonia. Di awal perjalanan penyakit, bunyi nafas dasar dapat berkurang,terdengar ronkhi tersebar, umumnya pada lapangan paru yang terkena. Dengan perkembangan peningkatan konsolidasi atau komplikasi pneumonia seperti efusi pleura atau empiema, bunyi pekak pada perkusi paru dan suara nafas yang melemah dapat ditemukan. Keterlambatan proses pernapasan sering terjadi pada sisi yang sakit. Nyeri perut sering terjadi pada pneumonia lobus bawah. Hati mungkin terlihat membesar karena tekanan ke bawah dari diafragma sekunder akibat hiperinflasi paru-paru.30,33 Gejala tersebut dapat ditemukan pada anak – anak yang lebih dewasa namun jarang diamati pada bayi dan anak kecil, yang mana memiliki pola



65



klinis jauh lebih bervariasi.30 Dalam hal ini, usia merupakan faktor penentu dalam manifestasi klinis pneumonia.29 Neonatus dapat menunjukkan hanya gejala demam tanpa ditemukannya gejala – gejala fisis pneumonia.29 Pada bayi, mungkin terdapat gejala infeksi saluran pernapasan atas dan nafsu makan yang menurun, yang kemudian dapat terjadi demam, gelisah, dan gangguan pernapasan. Bayi tersebut biasanya tampak sakit, dengan gejala gangguan pernapasan yaitu grunting, hidung melebar, retraksi daerah supraklavikular, interkostal, dan subkostal, takipnea, takikardia, tanda kekurangan



udara;



dan



seringkali



sianosis.



Auskultasi



mungkin



menyesatkan, terutama pada bayi muda, dengan sedikit sekali temuan yang tidak spesifik ke arah beratnya takipnea. Beberapa bayi dengan pneumonia bakteri mungkin menderita gangguan gastrointestinal yang ditandai dengan muntah, anoreksia, diare, dan perut tampak kembung akibat ileus paralitik. Perkembangan gejala yang cepat adalah karakteristik pada kasus pneumonia yang berat.30,33 Radiografi thoraks merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering digunakan untuk mendiagnosis pneumonia. Banyak penelitian menggunakan radiografi dada sebagai modalitas diagnostik yang disukai, tetapi temuan positif belum terbukti meningkatkan hasil luaran secara klinis atau mengubah pengobatan secara signifikan. Pencitraan dada dirasakan bermanfaat ketika diagnosis masih belum jelas atau ketika temuan dari riwayat dan pemeriksaan fisik tidak spesifik.33 Radiografi frontal dan lateral diperlukan



untuk



melokalisasi



penyakit



dan



dirasakan



cukup



memvisualisasikan infiltrat retrokardiak dan direkomendasikan untuk diagnosis pada anak-anak yang dirawat di rumah sakit. Meskipun terdapat karakteristik khas secara radiografi yang mengarah pada pneumonia, namun radiografi saja tidak dapat memberikan diagnosis definitif secara mikrobiologis.31



66



Gambar 2.15 – Gambaran Pneumonia Akibat Virus dengan Infiltrat Bilateral



Infiltrat pada radiografi dada (tampak posteroanterior dan lateral) mendukung



diagnosis



pneumonia;



gambar



tersebut



juga



dapat



mengidentifikasi komplikasi seperti efusi pleura atau empiema.30 Pneumonia bakteri dapat dicurigai berdasarkan temuan radiografi; Namun, temuan ini tidak terlalu spesifik. Efusi pleura pada radiografi dada adalah prediktor paling signifikan dari pneumonia bakteri.33 Pneumonia bakteri



67



secara khas menunjukkan konsolidasi lobar, atau pneumonia bulat, dengan efusi pleura pada 10% hingga 30% kasus.31 Pneumonia virus biasanya ditandai dengan hiperinflasi, umumnya secara difus dengan infiltrat bilateral interstitial dan peribronchial cuffing atau corakan bronkopneumonia.30,31 Infiltrat alveolar lebih menunjukkan infeksi bakteri dibandingkan dengan virus, terutama jika infiltrat terjadi secara lobaris. Konsolidasi lobus yang berkonfluen biasanya terlihat pada pneumonia akibat pneumokokus.30 Infiltrat interstitial dapat terjadi pada infeksi virus atau bakteri. Kemungkinan gambaran radiografi yang normal masih mungkin terjadi pada pasien dengan pneumonia bakterialis tahap awal.31,33 Limfadenopati hilar tidak umum terjadi pada pneumonia bakteri tetapi mungkin merupakan tanda terjadinya tuberkulosis, histoplasmosis, atau neoplasma ganas.31



Gambar 2.16 – Gambar Pneumonia Lobaris Akibat Infeksi Bakteri



Tampilan radiografi saja tidak akurat dalam mengidentifikasi etiologi pneumonia, sehingga gambaran klinis penyakit yang lain juga harus dipertimbangkan. Radiografi dada ulangan tidak diperlukan sebagai bukti kesembuhan pasien dengan pneumonia tanpa komplikasi.30 Penggunaan ultrasonografi portabel diperkirakan sangat sensitif dan spesifik dalam mendiagnosis pneumonia pada anak-anak dengan menemukan konsolidasi paru dan gambaran air bronchogram atau efusi. Namun tingkai reliabilitas dari modalitas pencitraan ini untuk diagnosis



68



pneumonia



sangat



tergantung



pada



pengguna,



yang



membatasi



penggunaannya secara luas yaitu hanya terbatas pada ahli radiologi.30



Gambar 2.17 – Gambaran USG pada Kasus Pneumonia



Computed



tomography



(CT)



umumnya



digunakan



untuk



mengevaluasi kelainan yang lebih serius, seperti abses pleura, bronkiektasis, dan karakteristik efusi. Diperlukan etiologi yang tidak biasa atau pneumonia berulang sebagai pertimbangan khusus untuk dilakukannya pemeriksaan ini.31



69



Protein C-reaktif dan kadar prokalsitonin, jumlah sel darah putih, dan tingkat sedimentasi eritrosit juga dapat digunakan dalam diagnosis pneumonia bakteri.30,33 Hitung sel darah putih perifer dapat berguna dalam membedakan pneumonia akibat virus dibandingkan bakteri. Pada pneumonia virus, jumlah WBC bisa normal atau meningkat tetapi biasanya tidak lebih tinggi dari 20.000/mm3, dengan sel yang dominasi oleh limfosit. Pneumonia bakteri sering dikaitkan dengan peningkatan jumlah sel darah putih / leukosit, dalam kisaran 15.000-40.000/mm3, dan lebih didominasi oleh leukosit polimorfonuklear / neutrofil. Eosinofilia ringan merupakan karakteristik yang dapat ditemukan pada bayi dengan pneumonia akibat C. trachomatis. 31,30 Satu studi pada anak – anak kurang dari usia 16 tahun menunjukkan bahwa 93% dari pasien dengan jumlah sel darah putih lebih besar dari 20.000 / mm3 (20 × 109 / L) mengalami perbaikan gejala dengan terapi antibiotik, dibandingkan dengan 50% dari pasien dengan jumlah leukosit kurang dari 10.000 sel / mm3 (10 × 109 / L). Perbaikan gejala secara signifikan dengan antibiotik juga tampak pada pasien dengan jumlah sel darah putih lebih dari 15.000 sel / mm3 (15 × 109 / L), yang menunjukkan kecenderungan terhadap pneumonia bakteri.33 Pneumonia atipikal yang disebabkan oleh C. pneumoniae atau M. pneumoniae sulit dibedakan dari pneumonia akibat pneumokokus bila dilihat dari gambaran radiologis dan hasil laboratorium.30



70



Tabel 2.5 – Faktor untuk Pertimbangan Rawat Inap pada Pasien Anak dengan Pneumonia



Diagnosis definitif infeksi virus didasari pada deteksi genom virus atau antigen yang terkandung dalam sekret saluran pernapasan. Tes PCR yang baik sudah tersedia untuk deteksi cepat banyak virus pernapasan, termasuk RSV, parainfluenza, influenza, metapneumovirus manusia, adenovirus, enterovirus, dan rhinovirus. Teknik serologis juga dapat digunakan untuk mendiagnosis infeksi virus pernapasan namun umumnya memerlukan pengujian secara cepat dan sampel serum konvensional untuk peningkatan antibodi terhadap virus tertentu. Teknik diagnostik ini dianggap melelahkan, lambat, dan umumnya tidak bermanfaat secara klinis karena infeksi biasanya sudah sembuh pada sampel tersebut dikonfirmasi secara serologis. Pengujian serologis mungkin bermanfaat sebagai alat diagnostik epidemiologi untuk menentukan kejadian dan prevalensi berbagai patogen virus pernapasan.30 Diagnosis pasti dari infeksi bakteri tipikal membutuhkan isolasi mikroorganisme dari darah, cairan pleura, atau paru. Kultur dahak sedikit dapat memberikan penilaian dalam diagnosis pneumonia pada anak, karena aspirasi paru secara perkutaneus bersifat invasif dan tidak dilakukan secara rutin.30 Flora bakteri pada saluran pernapasan atas tidak akurat dalam mencerminkan flora yang terdapat pada infeksi saluran pernapasan bawah, dan dahak berkualitas tinggi jarang didapat dari anak-anak. Umumnya pada



71



anak-anak yang sehat tanpa penyakit yang mengancam jiwa, prosedur invasif untuk mendapatkan jaringan atau sekresi dari saluran pernapasan bawah biasanya tidak diindikasikan.31 Kultur darah hanya memberikan hasil positif pada 10% anak dengan pneumonia akibat pneumokokus dan tidak direkomendasikan untuk anak-anak yang dirawat sebagai pasien rawat jalan. Kultur darah direkomendasikan untuk anak yang gagal mengalami perbaikan atau mengalami penurunan klinis, mengalami pneumonia yang berat, atau memerlukan rawat inap.30,31 Tes antigen dengan menggunakan spesimen dari urine terutamasangat berguna pada pasien pneumonia akibat L. pneumophila (penyakit legionnaires).31 Infeksi akibat pertusis dapat didiagnosis dengan PCR atau biakan dari spesimen nasofaring. meskipun kultur bakteri dianggap sebagai standar emas untuk diagnosis pertusis, namun tetap dianggap kurang sensitif apabila dibandingkan tes PCR. Infeksi akut yang disebabkan oleh M. pneumoniae dapat didiagnosis berdasarkan tes PCR dengan spesimen yang didapat dari saluran pernapasan atau serokonversi dari imunoglobulin G. Titer aglutinin > 1: 64 juga ditemukan dalam darah secara kasar pada setengah dari pasien dengan infeksi M. pneumoniae; Namun, pemeriksaan ini tidak spesifik karena patogen lain seperti virus influenza juga dapat menyebabkan peningkatan titer aglutinin. Bukti serologis, seperti antistreptolysin O dan titer anti-DNase B, mungkin juga berguna dalam diagnosis pneumonia akibat streptococcus grup A.30 Kebutuhan untuk menegakkan diagnosis etiologi pneumonia cenderung lebih sering dilakukan pada pneumonia yang cukup berat sehingga perlu dirawat di rumah sakit, pasien immunocompromised, pasien dengan pneumonia berulang, atau pasien dengan pneumonia yang tidak responsif dengan terapi empiris. Untuk pasien ini, bronkoskopi dengan lavage bronchoalveolar dan brush mucosal biopsy, aspirasi jarum pada jaringan paru, dan biopsi paru terbuka adalah metodeyang dapat dilakukan untuk mendapatkan sampel mikrobiologis.31 Apabila ada efusi pleura atau empiema, torakosentesis untuk mendapatkan cairan pleura bisa dilakukan sebagai kriteria diagnostik dan terapeutik. Evaluasi perlu dilakukan untuk membedakan antara empiema



72



dan efusi parapneumonik yang bersifat steril akibat iritasi pada pleura. Pewarnaan gram, kultur, atau PCR bakteri dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis. Cairan pleura ini harus dikultur untuk bakteri, mikobakteri, jamur, dan virus. Jika akumulasi dari cairan efusi sangat besar hal ini dapat merusak kemampuan paru-paru untuk mengembang, mengurangi proses pengurangan cairan dan mengurangi mekanika paru dan pertukaran gas.31 Pneumonia harus dibedakan dari penyakit paru akut lainnya, termasuk pneumonitis alergi, asma, dan kistik fibrosis; penyakit jantung, seperti edema paru yang disebabkan oleh gagal jantung; dan penyakit autoimun, seperti vaskulitis tertentu dan lupus eritematosa sistemik. Secara radiografi, pneumonia harus dibedakan dari trauma paru-paru dan memar, pendarahan, aspirasi benda asing, dan efusi simpatik karena peradangan subdiafragma.



Tabel 2.6 – Diagnosis Banding Pneumonia



73



N. TATALAKSANA, KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS PNEUMONIA



Terapi untuk pneumonia merupakan pengobatan yang bersifat suportif dan spesifik, tergantung pada derajat penyakit, komplikasi, dan pengetahuan tentang agen infeksi yang mungkin menyebabkan pneumonia. Sebagian besar kasus pneumonia pada anak sehat dapat dikelola secara rawat jalan. Namun



anak-anak



dengan



hipoksemia,



ketidakmampuan



untuk



mempertahankan hidrasi yang memadai, atau gangguan pernapasan sedang hingga berat harus dirawat di rumah sakit. Rawat inap harus dipertimbangkan pada bayi di bawah 6 bulan dengan dugaan pneumonia bakteri, terutama apabila terdapat kekhawatiran terhadap patogen dengan peningkatan virulensi (contoh, Staphylococcus aureus yang resisten terhadap methicillin), atau apabila terdapat kekhawatiran mengenai kemampuan keluarga untuk merawat anak dan untuk menilai perkembangan gejala.29,31 Anak-anak harus menerima perawatan suportif dan mungkin memerlukan cairan intravena, alat bantu pernapasan, termasuk oksigen tambahan, Continuos Positive Airway Pressure (CPAP), atau ventilasi mekanis, atau obat vasoaktif untuk fisiologi hipotensi atau sepsis.31 Pengobatan dugaan pneumonia bakteri didasarkan pada penyebab dugaan dan usia serta penampilan klinis anak.30 Karena virus menyebabkan sebagian besar pneumonia yang didapat di masyarakat pada anak kecil, tidak semua anak membutuhkan pengobatan antibiotik empiris pada kasus pneumonia.30,31 Kondisi ini dilaksanakan terutama untuk pasien usia prasekolah yang sakit ringan, memiliki bukti klinis menunjukkan infeksi virus, dan tidak dalam kesulitan pernapasan. Namun, hingga 30% pasien dengan infeksi virus yang diketahui, terutama virus influenza, mungkin infeksi ganda dari bakteri patogen. Karena itu, jika keputusan dibuat untuk menahan terapi antibiotik berdasarkan diagnosis dugaan infeksi virus, terjadinya penurunan status klinis harus menandakan kemungkinan terdapat pula infeksi bakteri, dan terapi antibiotik harus dimulai.29,31



74



Situasi lain yang perlu diperhatikan termasuk kurangnya respons terhadap terapi empiris, gejala dan tanda yang parah, pneumonia nosokomial, dan anak-anak dengan kondisi immunocompromised umumnya lebih rentan untuk mendapatkan infeksi dengan patogen oportunistik. Berbeda dengan meningitis pneumokokus, diduga pneumonia akibat pneumokokus dapat diobati dengan sefalosporin dosis tinggi meskipun dengan resistensi penisilin tingkat tinggi. Vankomisin dapat digunakan jika isolat menunjukkan resistensi tingkat tinggi dan pasien dengan pneumonia berat. Untuk bayi usia 4 hingga 18 minggu dengan pneumonia afebril yang kemungkinan besar disebabkan oleh C. trachomatis, maka disarankan untuk mendapatkan terapi dengan antibiotik golongan makrolid. Oseltamivir atau zanamivir dapat digunakan jika keluhan diidentifikasi atau dicurigai terjadi akibat influenza, dengan idealnya terapi diberikan dalam waktu 48 jam dari onset gejala.29,31 Untuk anak – anak dengan pneumonia ringan yang tidak memerlukan rawat inap, amoksisilin dianjurkan sebagai tatalaksana etiologi. Dengan munculnya pneumokokus yang resisten terhadap penisilin, amoksisilin dosis tinggi (90 mg / kg / hari secara oral, dibagi dua kali sehari) dapat diberikan, kecuali data lokal menunjukkan prevalensi resistensi yang rendah. Alternatif terapi yang dapat diberikan yaitu cefuroxime dan amoxicillin / clavulanate. Untuk anak usia sekolah dan remaja atau ketika terdapat kecurigaan infeksi oleh M. pneumoniae atau C. pneumoniae, antibiotik makrolida adalah pilihan yang tepat untuk tatalaksana rawat jalan. Azitromisin umumnya lebih disukai, sedangkan klaritromisin atau doksisiklin (untuk anak-anak 8 tahun atau lebih dewasa) dapat digunakan sebagai alternatif. Untuk remaja, fluoroquinolone untuk pernapasan (levofloxacin, moxifloxacin) juga dapat dipertimbangkan sebagai alternatif jika ada kontraindikasi dengan terapi lain.30



75



Tabel 2.7 – Pilihan Terapi Empiris Pada Beberapa Etiologi Pneumonia



76



Terapi empiris dari dugaan pneumonia akibat bakteri yang didapat di rumah sakit pada anak memerlukan pendekatan berdasarkan epidemiologi lokal, status imunisasi anak, dan manifestasi klinis pada saat infeksi terjadi. Di daerah tanpa resistensi penisilin tingkat tinggi yang substansial di antara S. pneumoniae, anak-anak yang diimunisasi lengkap terhadap H. influenzae tipe b dan S. pneumonia dan tidak menunjukkan gejala yang parah dapat diberikan ampisilin atau penisilin G. Untuk anak-anak yang tidak memenuhi kriteria ini, ceftriaxone atau cefotaxime dapat digunakan. Jika gambaran klinis menunjukkan pneumonia akibat stafilokokus (pneumatokel, empiema), terapi antimikroba awal juga harus mencakup vankomisin atau klindamisin. Terutama jika terdapat kecurigaan infeksi disebabkan oleh M. pneumoniae atau C. Pneumoniae, maka antibiotik makrolida harus dimasukkan dalam regimen pengobatan.30 Durasi optimal pengobatan antibiotik untuk pneumonia belum ditetapkan dengan baik dalam studi terkontrol. Namun, antibiotik umumnya harus diberikan dan dilanjutkan hingga 72 jam bebas demam, dan total durasi tidak boleh kurang dari 10 hari (atau 5 hari jika menggunakan azitromisin). Tatalaksana yang singkat (5-7 hari) mungkin juga efektif, terutama untuk anak-anak yang direncanakan untuk rawat jalan, namun masih diperlukan penelitian lebih lanjut. Tidak dianjurkan untuk penatalaksanaan jangka panjang pada kasus pneumonia tanpa komplikasi. Selain antibiotik, sediaan zink oral (10 mg / hari untuk anak 6 bulan, sedangkan vaksin influenza yang dilemahkan dapat digunakan untuk anak usia 2 hingga 49 tahun.29,30,31 Vaksinasi universal sejak masa



80



anak – anak dengan vaksinasi H. influenzae dan S. pneumoniae telah menurnkan insidensi terjadinya pneumonia secara bermakna.29,31 Beberapa vaksin RSV saat ini sedang dalam tahap pengembangan. Pengenalan vaksin yang efektif terhadap RSV akan dilakukan untuk mengurangi kejadian pneumonia pada anak-anak, terutama bayi.30 Namun, untuk mengurangi tingkat keparahan infeksi RSV dapat dilakukan dengan menggunakan palivizumab pada pasien dengan risiko tinggi.29,31 Upaya mengurangi durasi ventilasi mekanik dan pemberian antibiotik secara bijaksana mengurangi kejadian pneumonia terkait ventilator (Ventilator – Associated Pneumonia). Kepala tempat tidur harus dinaikkan setinggi 30 hingga 45 derajat pada pasien yang diintubasi untuk meminimalisasi risiko aspirasi, dan semua instrumen penghisap lendir dan cairan salin harus steril. Mencuci tangan baik sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan penggunaan sarung tangan steril untuk setiap prosedur invasif adalah langkah penting untuk mencegah penularan infeksi nosokomial. Staf rumah sakit dengan penyakit pernapasan atau yang menjadi pembawa suatu penyakit tertentu, seperti MRSA (Methicillin – Resistant S. Aureus), harus mematuhi kebijakan pengendalian infeksi untuk mencegah transmisi penyakit kepada pasien. Sterilisasi peralatan sumber aerosol (misalnya pendingin udara), dapat mencegah pneumonia akibt Legionella.29,31 Biasanya, pasien dengan pneumonia bakteri yang didapat dari komunitas tanpa komplikasi menunjukkan respon yang baik terhadap terapi, dengan perbaikan gejala klinis (demam, batuk, takipnea, nyeri dada), dalam 48-72 jam setelah pemberian antibiotik. Sejumlah kemungkinan harus dipertimbangkan ketika seorang pasien tidak membaik dengan terapi antibiotik yang tepat: (1) komplikasi, seperti efusi pleura atau empiema, (2) resistensi bakteri, (3) etiologi non-bakteri seperti virus atau jamur dan aspirasi benda atau makanan asing, (4) obstruksi bronkial dari lesi endobronkial, benda asing, atau sumbat mukosa, (5) penyakit yang sudah ada sebelumnya seperti imunodefisiensi, diskinesia silia, kistik fibrosis, sekuestrasi paru, atau kelainan jalan napas dan paru secara kongenital, dan



81



(6) penyebab tidak menular lainnya (termasuk bronkiolitis obliterans, pneumonitis



akibat



hipersensitif,



pneumonia



eosinofilik,



dan



granulomatosis dengan poliangiitis / granulomatosis Wegener). Rontgen dada adalah langkah pertama dalam menentukan alasan kurangnya respons dari tatalaksana awal. Bilas bronkoalveolar dapat diindikasikan pada anakanak dengan gagal napas. CT scan resolusi tinggi dapat mengidentifikasi komplikasi dengan lebih baik atau etiologi secara anatomi pada kondisi respon yang buruk terhadap terapi.30 Pada umumnya anak akan sembuh dari pneumonia dengan cepat dan dapat sembuh secara sempurna, walaupun kelainan secara radiologis dapat bertahan selama 6 – 8 minggu sebelum kembali kepada kondisi yang normal. Pada beberapa anak, pneumonia dapat berlangsung lebih lama dari 1 bulan atau dapat pula berulang. Pada kasus seperti ini, kemungkinan adanya penyakit lain yang mendasari harus diinvestigasi lebih lanjut, seperti dengan melakukan uji tuberkulin, pemeriksaan hidroklorida keringat untuk menentukan penyakit kistik fibrosis, pemeriksaan imunoglobulin serum dan determinasi sub kelas IgG, bronkoskopi untuk identifikasi kelainan anatomis atau mencarir benda asing, dan pemeriksaan barium meal untuk refluks gastroesofageal.29,31 Jarang ditemukan kematian akibat pneumonia pada masyarakat di negara maju, dan kebanyakan anak-anak dengan pneumonia tidak mengalami gejala sisa pada saluran pernapasan dalam jangka panjang. Beberapa data menunjukkan bahwa hingga 45% anak memiliki gejala asma 5 tahun setelah dirawat di rumah sakit akibat pneumonia; Temuan ini dapat mencerminkan adanya asma yang tidak terdiagnosis pada saat munculnya keluhan atau kecenderungan untuk terjadinya asma setelah pneumonia.30 Komplikasi pneumonia biasanya merupakan akibat langsung dari penyebaran infeksi bakteri dalam rongga toraks (efusi pleura, empiema, dan perikarditis) atau bakteremia dan penyebaran secara hematologi. Meningitis, endokarditis, artritis supuratif, dan osteomielitis merupakan komplikasi yang jarang terjadi akibat penyebaran hematologi dari infeksi pneumokokus atau H. influenzae tipe B.30



82



S. aureus, S. pneumoniae, dan S. pyogenes adalah penyebab paling umum dari efusi pleura dan empiema parapneumonik.29,30,31 Meski demikian, banyak efusi akibat komplikasi dari pneumonia bakteri yang steril. Analisis parameter cairan pleura, termasuk pH, glukosa, protein, dan laktat dehidrogenase, dapat membedakan cairan yang bersifat transudatif maupun eksudatif. Namun, hal ini tidak direkomendasikan untuk dilakukan karena hasil yang ada jarang mengubah manajemen. Cairan pleural harus dikirim untuk pewarnaan Gram dan kultur bakteri karena hal ini dapat mengidentifikasi bakteri penyebab pneumonia. Metode molekuler, termasuk tes PCR yang spesifik terhadap spesies bakteri tertentu atau sekuensing gen RNA ribosom bakteri 16S, dapat mendeteksi DNA bakteri dan sering dapat menentukan etiologi bakteri pada efusi jika kultur bakteri memberikan hasil yang negatif, terutama jika sampel cairan pleura diperoleh setelah inisiasi antibiotik. Jumlah leukosit pada cairan pleura dengan diferensial dapat membantu jika terdapat kecurigaan terhadap TB paru atau etiologi yang tidak pada efusi pleura, seperti keganasan.30



Gambar 2.18 – Perbedaan Cairan Transudat dan Eksudat pada Efusi Pleura



Efusi parapneumonia yang minimal (