Case Depresi Berat Dengan Gejala Psikotik [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN KASUS ILMU KESEHATAN JIWA GANGGUAN DEPRESIF BERAT DENGAN GEJALA PSIKOTIK



Disusun oleh: Nevy Ulfah Hanawati 1102014192



Pembimbing: dr. Henny Riana, Sp. KJ



KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN JIWA RUMAH SAKIT BHAYANGKARA TK. I RADEN SAID SUKANTO FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI PERIODE 4 MARET – 6 APRIL 2019



KASUS



I.



IDENTITAS PASIEN



Nama



: Ny. S



Jenis Kelamin



: Perempuan



Tempat Tanggal Lahir



: Indramayu, 11 Mei 1977



Agama



: Islam



Suku



: Jawa



Pendidikan Terakhir



: SMP



Status Pernikahan



: Menikah



Pekerjaan



: TKW



Alamat



: Indramayu



Tanggal Masuk RS



: 03 Maret 2019



Tanggal Pemeriksaan



: 06 dan 07 Maret 2019



Ruang Perawatan



: Ruang Dahlia



1



II. RIWAYAT PSIKIATRI Autoanamnesis : Pada tanggal 06 dan 07 Maret 2019 di Ruang Dahlia Alloanamnesis



: Tidak dapat dilakukan



A. Keluhan Utama Pasien diantar ke rumah sakit oleh petugas BNP2TKI dengan keluhan pasien berteriak-teriak B. Keluhan Tambahan Bicara sendiri dan bicara melantur C. Riwayat Gangguan Sekarang Pasien Ny. S, 41 tahun, datang ke IGD RS. Bhayangkara Tk. I R. Said Sukanto pada tanggal 03 Maret 2019 diantar oleh petugas BNP2TKI. Pasien datang dengan keluhan berteriak-teriak, bicara sendiri dan bicara melantur. Menurut keterangan petugas BNP2TKI di IGD pasien baru saja kembali dari Malaysia. pasien suka berteriak-teriak, berbicara sendiri, bicara melantur, serta tidak dapat melakukan perawatan diri. Pasien mengatakan tidak mengetahui mengapa dirinya dibawa ke rumah sakit. Menurut pasien, Ia ingin pulang ke Indonesia untuk bertemu dengan keluarganya. Namun, Ia tidak dibawa pulang ke rumah melainkan ke rumah sakit. Pasien mengatakan bahwa orang disekitarnya mengatakan Ia gila karena sering bernyanyi. Pasien mengatakan sebelumnya Ia bekerja di Kelantan, Malaysia sebagai TKW selama 5 bulan dengan bantuan penyalur tenaga kerja dari Indonesia. Pasien bekerja sebegai asisten rumah tangga dan menjaga kedai minuman milik majikannya. Selama bekerja sebagai TKW pasien mengatakan Ia tidak diberi gaji. Pasien juga mengatakan bahwa majikannya jahat, karena sering berkata kasar dan apabila ditanya mengenai gaji selalu marah. Pasien juga mengatakan Ia mendapatkan kekerasan berupa pukulan dari majikannya. Pasien juga mengaku bahwa KTP, KK beserta pasportnya ditahan oleh majikannya. Karena tidak sanggup dengan perlakuan dari manjikannya, Ia memutuskan untuk kabur. Kemudian pasien kembali bekerja sebagai asisten rumah tangga melalui seseorang 2



yang Ia temui dijalan. Pada kesepakatan awal Ia digaji 1000 ringgit, namun majikannya hanya memberi Ia gaji sebesar 800 ringgit. Pasien mengaku bahwa majikannya kali ini baik dan pekerjaannya hanya mengasuh 2 anak balita dan 1 orang bayi berusia 5 bulan, namun karena digaji tidak sesuai dengan kesepakatan awal akhirnya setelah 2 bulan bekerja pasien memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Pasien sebelumnya juga mendapatkan kabar bahwa anaknya sakit sehingga pasien sangat ingin cepat kembali ke Indonesia. Pasien mengatakan Ia kemudian menelfon agent untuk membawanya pulang ke Indonesia. Pasien mengatakan bahwa agent tersebut meminta uang sebesar 1200 ringgit dan meminta telpon genggamnya. Namun pasien tidak kunjung dibawa pulang oleh agent, pasien mengatakan Ia ditelantarkan oleh agent dijalanan, hingga akhirnya Ia dibawa oleh Polisi ke KBRI Malaysia. Pasien mengatakan bahwa Ia tinggal selama 6 – 7 bulan di KBRI untuk menunggu dipulangkan ke Indonesia. Selama tinggal disana pasien sering mendengar bisikan-bisikan bahwa Ia harus segera pulang ke Indonesia. Pasien merasa diperlakukan tidak baik oleh TKW lainnya selama berada di KBRI. Ia merasa sering dimarahi dan dibentakbentak oleh TKW lainnya tanpa alasan, sehingga pasien lebih senang untuk menyendiri. Selama ini pasien merasa sedih karena ingin bertemu dengan anak dan keluarganya. Pasien merasa selalu dibodohi dan ditipu oleh orang-orang sekitarnya serta nasibnya tak pernah baik seperti kelurga atau orang lain disekitarnya. Pasien juga mengatakan bahwa Ia tidak mau mandi apabila tidak dipulangkan ke rumahnya. Pasien juga mengatakan Ia menjadi tidak nafsu makan dan sulit untuk tidur karena selalu teringat pulang dan anaknya. Menurut perawat, saat awal perawatan di ruang dahlia pasien tampak bingung, gelisah, bicara kacau, berbicara sendiri, teriak-teriak, emosi labil serta perawatan diri kurang baik. Saat ini pasien sudah mengalami perbaikan dibandingkan saat pertama masuk rumah sakit, pasien sudah tidak terlihat bingung,



3



gelisah, bicara sudah tidak kacau, tidak bicara sendiri, tidak teriak-teriak. Pasien sudah kooperatif diajak bicara. D. Riwayat Gangguan Dahulu 1. Gangguan Psikiatrik Menurut pasien, Ia tidak pernah memiliki gangguan jiwa. 2. Gangguan Medik Tidak terdapat riwayat penyakit yang berarti terhadap gangguan psikiatri pasien. Riwayat trauma kepala dan kejang disangkal. 3. Gangguan Zat Psikoaktif dan Alkohol Pasien menyangkal konsumsi rokok, alkohol, dan zat psikoaktif. Grafik Perjalanan Penyakit



Perjalanan Penyakit 3



2



1



0 SEBELUM MENJADI MUNCUL MASALAH TKW



1



SAAT DI KBRI



SAAT DIBAWA KE RS PERAWATAN HARI POLRI KE-6



Keterangan: 0 : Baseline. Sudah tidak terdapat gejala yang dikeluhkan pasien 1 : Terdapat gejala minimal 2 : Muncul gejala sedang yang cukup mengganggu kehidupan pribadi pasien 3 : Muncul gejala berat yang mengganggu kehidupan pasien 4



E. Riwayat Kehidupan Pribadi 1. Riwayat Perkembangan Kepribadian a. Masa prenatal dan perinatal Pasien lahir di Indramayu, 11 Mei 1977. Pasien lahir dengan persalinan normal. Keadaan pasien dan ibu pasien baik. b. Riwayat masa kanak awal (0-3 tahun) Pasien diasuh oleh orang tuanya. Selama masa ini, proses perkembangan dan pertumbuhan sesuai dengan anak sebaya. Pasien tidak pernah mendapat sakit berat, demam tinggi, kejang, ataupun trauma kepala. c. Riwayat masa kanak pertengahan (3-11 tahun) Orang tua pasien berpisah rumah, Ia dan salah seorang adiknya tinggal bersama ayahnya. Tumbuh kembang baik dan normal seperti anak seusianya. Pasien tergolong anak yang baik dan mudah bergaul. Pasien tidak memiliki masalah yang berarti dalam proses belajarnya. d. Masa kanak akhir dan remaja (12-18 tahun) Pasien tumbuh dalam lingkungan yang sederhana. Pasien sering bermain dengan teman-teman sebayanya, pasien berteman dengan laki-laki dan perempuan. Pasien tidak melanjutkan sekolah ke tingkat SMA karena tidak menyukai pelajaran bahasa inggris. e. Masa dewasa (>18 tahun) Saat berusia 20 tahun pasien menikah dengan seorang laki-laki pilihannya sendiri, kemudian memiliki seorang anak. Pasien berpisah dengan suaminya dikarenakan orang tua suami terlalu ikut campur dengan urusan rumah tangganya. Pada usia 26 tahun, Ia menikah dengan seorang laki-laki yang jauh lebih tua darinya dan memiliki seorang anak. Ia berpisah dengan suami kedua karena merasa bukan jodohnya. Kemudian pada usia 34 tahun Ia kembali menikah dengan seorang laki-laki pilihannya dan memiliki 2 orang anak.



5



2. Riwayat Pendidikan a. SD



: Pasien menyelesaikan pendidikan SD sampai tuntas



b. SMP



: Pasien menyelesaikan pendidikan SMP sampai tuntas



c. SMA



: Pasien tidak melanjutkan sekolah



3. Riwayat Pekerjaan Pada tahun 1998 pasien pernah bekerja sebagai TKW di Arab Saudi, kemudian kembali ke Indonesia karena dibuang oleh majikannya. Setelah kembali ke Indonesia sampai berangkat ke Malaysia pasien merupakan ibu rumah tangga. 4. Kehidupan Beragama Pasien percaya dengan adanya Tuhan, pasien meyakini agama Islam, pasien mengerti tentang ajaran Islam dan taat beribadah. 5. Kehidupan Sosial dan Perkawinan Pasien menikah tahun 1997 ketika berusia 20 tahun dan melahirkan seorang anak laki-laki pada tahun 1998. Pasien pergi ke Arab Saudi ingin menjadi TKW karena orang tua suami terlalu ikut campur dengan urusan rumah tangganya. Kemudian pasien kembali ke Indonesia karena ditelantarkan oleh majikannya. Pasien menikah kembali tahun 2003 saat berusia 26 tahun dan melahirkan seorang anak laki-laki pada tahun 2005. Ia berpisah dengan suami kedua karena merasa suami terlalu tua dan bukan jodohnya. Kemudian pada tahun 2011 saat berusia 34 tahun Ia kembali menikah dan melahirkan anak lakilaki tahun 2013 dan anak perempuan tahun 2015. Pasien mengatakan bahwa suaminya tidak bertanggung jawab dan tidak memberikan uang untuk kehidupan sehari-hari, sehingga pasien memutuskan untuk ke Jakarta dan menjadi TKW di Malaysia. 6. Riwayat Pelanggaran Hukum Pasien tidak pernah terlibat dalam peradilan yang menyangkut hukum dan tidak pernah melanggar serta berurusan dengan aparat hukum.



6



F. Riwayat Keluarga Pasien adalah anak kedua dari empat bersaudara. Ketiga saudara pasien adalah perempuan. Ayah dan ibu kandung pasien berpisah sejak Ia masih kecil. Pasien dan salah seorang adiknya tinggal bersama ayahnya. Pasien menikah sebanyak tiga kali yaitu pada tahun 1997, 2003, dan 2011. Dari pernikahan pertama pasien memiliki satu orang anak laki-laki, dari pernikahan kedua pasien memiliki satu orang anak laki-laki dan dari pernikahan ketiga pasien memiliki satu orang anak laki-laki dan satu orang anak perempuan. Tidak diketahui ada riwayat penyakit yang sama dengan pasien di dalam keluarga pasien.



: Laki-laki



: Menikah



: Perempuan



: Keturunan



: Penderita Perempuan



: Berpisah



G. Persepsi Pasien Tentang Diri dan Kehidupannya Pasien tidak mengerti/menyadari bahwa dirinya sakit H. Impian, Fantasi, dan Cita-Cita Pasien Pasien memiliki impian untuk memiliki rumah. Pasien ingin pulang ke rumah dan bertemu keluarganya terutama anaknya. 7



III. STATUS MENTAL A. Deskripsi Umum 1. Penampilan Pasien perempuan berusia 41 tahun dengan penampakan fisik sesuai dengan usianya. Kulit berwarna kuning langsat dan berambut pendek. Pada saat wawancara, pasien berpakaian cukup rapi dan perawatan diri cukup baik. 2. Kesadaran Compos mentis 3. Perilaku dan aktivitas psikomotor a. Sebelum wawancara



: Pasien terlihat sedang tidur di tempat



tidurnya b. Selama wawancara



: Pasien terlihat tenang dan dapat menjawab



pertanyaan dengan baik c. Sesudah wawancara



: Pasien kembali beristirahat



4. Sikap terhadap pemeriksa Selama wawancara pasien menunjukkan sikap kooperatif dan tenang 5. Pembicaraan Pasien dapat berbicara dan menjawab pertanyaan secara spontan, lancar dan jelas. B. Mood dan Afek 1. Mood



: Disforia (saat pemeriksaan)



2. Afek



: Luas (saat pemeriksaan)



3. Keserasian



: Serasi



C. Gangguan Persepsi 1. Halusinasi



: Tidak ada (saat pemeriksaan)



2. Ilusi



: Tidak ada



3. Depersonalisasi



: Tidak ada



4. Derealisasi



: Tidak ada



8



D. Pikiran 1. Arus pikir a. Kontinuitas



: Tidak terganggu



b. Hendaya bahasa : Tidak ada 2. Isi pikir a. Preokupasi



: Tidak ada



b. Miskin isi pikir : Tidak ada c. Waham



: Tidak ada



d. Obsesi



: Tidak ada



e. Kompulsi



: Tidak ada



f. Fobia



: Tidak ada



E. Sensorium dan Kognitif (Fungsi Intelektual) 1. Taraf pendidikan



: SMP



2. Pengetahuan umum : Kurang baik 3. Kecerdasan



: Kurang baik



4. Konsentrasi



: baik



5. Orientasi a. Waktu



: Baik, pasien dapat menyebutkan pemeriksaan dilakukan pada pagi hari dan dapat menyebutkan sudah berapa lama ia dirawat



b. Tempat



: Baik, pasien dapat memberitahukan bahwa sekarang pasien sedang berada di RS



c. Orang



: Baik, pasien mengenali orang-orang di sekitarnya



6. Daya ingat a. Jangka panjang



: Baik, pasien dapat menyebutkan tahun menikah dan tahun kelahiran anaknya



b. Jangka pendek



: Baik, pasien dapat menyebutkan menu sarapan pasien



9



c. Segera



: Baik, pasien dapat menyebutkan kembali 3 benda yang disebutkan oleh pemeriksa



7. Pikiran abstraktif



: Baik, pasien dapat menyebutkan persamaan meja dan kursi



8. Visuospasial



: Baik, pasien dapat menggambar bentuk yang pemeriksa minta



9. Kemampuan menolong diri : Pasien tidak membutuhkan bantuan untuk makan, namun pasien harus disuruh terlebih dahulu untuk mandi, dan berganti pakaian F. Pengendalian Impuls Baik, selama wawancara pasien tampak tenang dan tidak menunjukkan gejala agresif. G. Daya Nilai 1. Daya nilai sosial



: Baik, pasien dapat membedakan perbuatan baik dan buruk



2. Uji daya nilai



: Baik, pasien menjawab ketika diberikan simulasi jika berada di ruangan yang terbakar apa yang harus dilakukan.



3. RTA



: Baik (saat pemeriksaan)



H. Tilikan Derajat 1 (penyangkalan total terhadap penyakitnya). I. Reliabilitas (Tarif Dapat Dipercaya) Pemeriksa mendapat kesan bahwa keseluruhan jawaban pasien dapat dipercaya.



10



IV. PEMERIKSAAN FISIK A. Status Internus 1. Keadaan umum



: Baik



2. Kesadaran



: Compos mentis



3. Tanda Vital



:



a. Tekanan Darah



: 110/80 mmHg



b. Respiration Rate : 20x/menit c. Heart Rate



: 80x/menit



d. Suhu



: 36,2 ˚C



4. Sistem Kardiovaskular: BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-) 5. Sistem Respiratorius : Vesikuler +/+, Ronkhi -/-, Wheezing -/6. Sistem Gastrointestinal: Bising usus (+) normal 7. Ekstermitas



: Edema (-). Sianosis (-), akral hangat



8. Sistem Urogenital



: Tidak diperiksa



B. Status Neurologik Tidak dilakukan pemeriksaan neurologis C. Pemeriksaan Penunjang Tidak dilakuan pemeriksaan penunjang V. IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA 1. Pasien Ny. S berusia 41 tahun datang ke Rumah Sakit dengan keluhan berteriak-teriak, berbicara sendiri, dan bicara melantur. 2. Pasien sering merasa sedih, merasa selalu dibodohi dan ditipu oleh orangorang sekitarnya, nasibnya tak pernah baik seperti kelurga atau orang lain disekitarnya, serta pasien lebih senang untuk menyendiri. 3. Pasien tidak mau mandi apabila tidak dipulangkan ke rumahnya. Pasien tidak nafsu makan dan sulit untuk tidur. 4. Saat awal perawatan tampak bingung, gelisah, bicara kacau, teriak-teriak, emosi labil serta perawatan diri kurang baik. 5. Pasien sering berbicara sendiri (Halusinasi Auditorik). 11



6. Pada temuan status mental didapatkan mood pasien disforia. 7. Tidak terdapat riwayat penyakit yang berarti terhadap gangguan psikiatri pasien. Riwayat trauma kepala dan kejang disangkal. 8. Pasien tidak membutuhkan bantuan untuk makan, namun pasien harus disuruh terlebih dahulu untuk mandi, dan berganti pakaian. 9. Tilikan pasien derajat 1 (Pasien menyangkal sepenuhnya terhadap penyakitnya). VI. FORMULA DIAGNOSTIK 1. Setelah seluruh pemeriksaan, pada pasien ditemukan adanya sindroma atau perilaku dan psikologi yang bermakna secara klinis dan menimbulkan penderitaan



(distress)



dan



ketidakmampuan/hendaya



(disability/



impairment) dalam fungsi serta aktivitasnya sehari-hari. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami gangguan jiwa yang sesuai dengan definisi yang tercantum dalam PPDGJ III. 2. Pasien ini tidak termasuk gangguan mental organik karena pasien pada saat diperiksa dalam keadaan sadar, tidak ada kelainan secara medis atau fisik yang bermakna. (F0) 3. Pasien ini tidak termasuk dalam gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif karena pasien tidak mengkonsumsi alkohol dan zat psikoaktif. (F1) 4. Pasien ini termasuk dalam gangguan skizofrenia karena terdapat gangguan dalam penilaian realita dengan adanya gangguan persepsi yaitu halusinasi auditorik namun tidak terdapat gangguan isi pikir. (F2) 5. Pada pasien ini didapatkan gejala afektif yang menonjol seperti pasien merasa sedih, merasa selalu dibodohi dan ditipu oleh orang-orang sekitarnya, merasa nasibnya tak pernah baik, serta pasien lebih senang untuk menyendiri selama lebih dari dua minggu. (F3) 6. Pasien ini tidak termasuk dalam gangguan neurotik, gangguan somatoform dan ganguan terkait stress. (F4) 12



Susunan formulasi diagnostik ini berdasarkan dengan penemuan bermakna dengan urutan untuk evaluasi multiaksial, seperti berikut: a. Aksis I : Gangguan Klinis dan Gangguan Lain yang Menjadi Fokus Perhatian Klinis Berdasarkan riwayat perjalanan penyakit, pasien tidak pernah memiliki riwayat trauma kepala maupun kejang. Pasien juga tidak pernah menggunakan zat psikoaktif. Sehingga gangguan mental dan perilaku akibat gangguan mental organik dan penggunaan zat psikoaktif dapat disingkirkan. Berdasarkan anamnesis didapatkan bahwa pasien mengalami gejala halusinasi yang memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia. Pada pasien didapatkan halusinasi auditorik berbicara sendiri. Pada pasien didapatkan gangguan afektif yang menonjol seperti pasien merasa sedih, merasa selalu dibodohi dan ditipu oleh orang-orang sekitarnya, merasa nasibnya tak pernah baik, pasien lebih senang untuk menyendiri, tidak mau makan, dan sulit tidur selama lebih dari dua minggu. Dari hal-hal tersebut, kriteria diagnostik menurut PPDGJ III pada ikhtisar penemuan bermakna pasien digolongkan dalam episode depresif berat dengan gejala psikotik (F32.3). b. Aksis II : Gangguan Kepribadian dan Retardasi Mental Z03.2 Tidak ada diagnosis aksis II c. Aksis III : Kondisi Medis Umum Tidak ada diagnosis aksis III d. Aksis IV : Problem Psikososial dan Lingkungan Masalah pekerjaan, yaitu pasien bekerja sebagai TKW dengan majikan yang melakukan tindak kekerasan dan tidak memberikan gaji kepada pasien. Masalah keluarga, yaitu pasien mendapat kabar bahwa anaknya sakit dan hendak pulang ke Indonesia.



13



e. Aksis V : Penilaian Fungsi Secara Global Penilaian kemampuan penyesuaian menggunakan skala Global Assement of Functioning (GAF) menurut PPDGJ III didapatkan GAF 70-61, beberapa gejala ringan & menetap, disabilitas ringan dalam fungsi, secara umum masih baik (pada saat pemeriksaan). Evaluasi multiaksial Aksis I



: F32.3 Episode Depresif Berat dengan Gejala Psikotik



Aksis II



: Z03.2 Tidak ada diagnosis aksis II



Aksis III



: Tidak ada diagnosis aksis III



Aksis IV



: Masalah pekerjaan dan masalah keluarga



Aksis V



: GAF 70-61 (beberapa gejala ringan & menetap, disabilitas ringan dalam fungsi, secara umum masih baik)



VII. DIAGNOSIS a. Diagnosis



: F32.3 Episode Depresif Berat dengan Gejala Psikotik



b. Diagnosis Banding



: F25.1 Gangguan Skizoafektif Tipe Depresif



VIII. PROGNOSIS a. Ad Vitam



: ad bonam



b. Ad Sanationam : dubia ad malam c. Ad Fungtionam : dubia ad bonam IX. RENCANA TERAPI 1. Psikofarmaka a. Escitalopram 1 x 10 mg b. Aripiprazole 1 x 5 mg 2. Psikoterapi a. Psikoedukasi a) Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakit yang dialami pasien. 14



b) Mengingatkan pasien perlu minum obat sesuai aturan dan datang kontrol ke poli kejiwaan. c) Menjelaskan kepada keluarga pasien bahwa dukungan keluarga akan membantu keadaan pasien. b. Psikoterapi a) Ventilasi : Pasien diberikan kesempatan untuk menceritakan masalahnya. b) Sugesti : Menanamkan kepada pasien bahwa gejala-gejala gangguannya akan hilang atau dapat dikendalikan. c) Reassurance : Memberitahukan kepada pasien bahwa minum obat sangat penting untuk menghilangkan gejala.



15



TINJAUAN PUSTAKA GANGGUAN DEPRESI I.



DEFINISI Menurut Kaplan dkk (2010) depresi adalah suatu periode terganggunya



fungsi manusia yang dikaitkan dengan perasaan yang sedih serta gejala penyertanya, dimana mencakup hal-hal seperti perubahan pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, rasa lelah, anhedonia, rasa tak berdaya dan putus asa dan bunuh diri. II. ETIOLOGI Kaplan (2010) menyebutkan bahwa faktor penyebab dibagi menjadi faktor biologis, faktor genetika dan faktor psikososial. Berikut faktor penyebab depresi meliputi: 1. Faktor Biologis Norepinefrin dan serotonin merupakan dua neurotransmitter yang paling berperan dalam patofisiologi gangguan mood. Disamping norepinefrin, serotonin, dan dopamin, bukti-bukti mengarahkan pada disregulasi asetilkolin dalam gangguan mood. Aktivitas dopamine mungkin berkurang pada depresi. Penemuan subtype baru reseptor dopamine dan meningkatnya pengertian fungsi regulasi presinaptik dan pascasinaptik dopamine memperkaya hubungan antara dopamine dan gangguan mood. Dua teori terbaru tentang dopamine dan depresi adalah jalur dopamine. Aktivitas serotonin berkurang pada depresi. Serotonin bertanggung jawab untuk kontrol regulasi afek, agresi, tidur, dan nafsu makan. Pada penelitian ditemukan beberapa pasien yang bunuh diri memiliki kosentrasi metabolit serotonim didalam cairan serebrospinalis yang rendah. 2. Faktor Genetik Genetik merupakan faktor penting dalam perkembangan gangguan mood, tetapi jalur penurunan sangat kompleks. Tidak hanya sulit untuk 16



mengabikan efek psikososial, tetapi juga faktor nongenetik kemungkinan juga berperan sebagai penyebab berkembangnya gangguan mood setidak – tidaknya pada beberapa orang. Penelitian menunjukkan anak biologis dari orangtua yang terkena gangguan mood beresiko mengalami gangguan mood walaupun anak tersebut dibesarkan oleh keluarga angkat. Penelitian pada anak kembar monozigot lebih besar mengalami gangguan depresi daripada anak kembar dizigot. 3. Faktor Psikososial Peristiwa kehidupan dan stress lingkungan, suatu pengamatan klinis yang telah lama direplikasi bahwa peristiwa kehidupan yang menyebabkan stress lebih sering mendahului episode pertama gangguan mood dari pada episode selanjutnya, hubungan tersebut telah dilaporkan untuk pasien dengan gangguan depresi berat. III. KLASIFIKASI Menurut PPDGJ-III dan DSM-5, Episode depresif dibedakan menjadi beberapa bagian sebagai berikut: F32.0 Episode depresif ringan .00 tanpa gejala somatik .01 dengan gejala somatic F32.1 Episode depresif sedang .00 tanpa gejala somatic .01 dengan gejala somatic F32.2 Episode depresif berat tanpa gejala psikotik F32.3 Episode depresif berat dengan gejala psikotik



17



IV. DIAGNOSIS Menurut PPDGJ-III dan DSM-V mendiagnosa seseorang dengan episode depresif dapat dilakukan dengan melihat gejala – gejala sebagai berikut: 1. Gejala Utama (pada derajat ringan, sedang, dan berat) : a. Afek depresif b. Kehilangan minat dan kegembiraan, dan c. Berkurangnya energy yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktivitas. 2. Gejala lainnya a. Konsentrasi dan perhatian berkurang b. Harga diri dan kepercayaan diri berkurang c. Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna d. Pandangan masadepan yang suram dan pesimistis e. Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri f. Tidur terganggu g. Nafsu makan berkurang. 3. Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan masa sekurang – kurangnya 2 minggu untuk penegakkan diagnosa, akan tetapi periode lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan berlangsung cepat. 4. Kategori diagnosa episode depresif ringan (F32.0), sedang (F32.1) dan berat (F32.2) hanya digunakan untuk episode depresi tunggal (yang pertama). Episode depresif berikutnya diklasifikasikan di bawah salah satu diagnosis gangguan depresif berulang (F33.-) Berikut pedoman diagnostik untuk episode depresif berat tanpa gejala psikosis dengan gejala psikotik ; 1. Depresi berat tanpa gejala psikotik, a. Semua tiga gejala utama depresi harus ada 18



b. Ditambah sekurang-kurangnya empat dari gejala lainnya, dan beberapa diantaranya harus berintensitas berat. c. Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikomotor) yang mencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk melaporkan banyak gejalanya yang secara rinci. d. Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu, akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat, maka masih dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam kurun waktu kurang dari 2 minggu. e. Sangat tidak mungkin pasien akan mampu merumuskan kegiatan sosial, pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat terbatas. 2. Depresi berat dengan gejala psikotik, a. Episode depresif berat yang memenuhi kriteria dari depresif berat tanpa gejala psikotik. b. Disertai waham, halusinasi atau stupor depresif. Waham biasanya melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang mengancam, dan pasien merasa bertanggung jawab atas hal itu. Halusinasi auditorik atau olfatorik biasanya berupa suara yang menghina atau menuduh, atau bau kotoran atau daging membusuk. Retardasi psikomotor yang berat dapat menuju pada stupor. Jika diperlukan, waham atau halusinasi dapat ditentukan sebagai serasi atau tidak serasi dengan afek (mood congruent). V.



TATALAKSANA 1. Psikoterapi Psikoterapi merupakan terapi yang digunakan untuk menghilangkan atau mengurangi keluhan-keluhan dan mencegah kambuhnya gangguan psikologik atau pola perilaku maladaptif. Terapi dilakukan dengan jalan pembentukan hubungan profesional antara terapis dengan penderita. 19



Psikoterapi pada penderita gangguan depresif dapat diberikan secara individu, kelompok, atau pasangan disesuaikan dengan gangguan psikologik yang mendasarinya. Psikoterapi dilakukan dengan memberikan kehangatan, empati, pengertian dan optimisme. Dalam pengambilan keputusan untuk melakukan psikoterapi sangat dipengaruhi oleh penilaian dari dokter atau penderitanya. 2. Farmakoterapi Farmakoterapi atau terapi obat merupakan komponen penting dalam pengobatan gangguan depresif. Saat merencanakan intervensi pengobatan, penting untuk menekankan kepada penderita bahwa ada beberapa fase pengobatan sesuai dengan perjalanan gangguan depresif: a. Fase akut bertujuan untuk meredakan gejala b. Fase kelanjutan untuk mencegah relaps c. Fase pemeliharaan/rumatan untuk mencegah rekuren Pertimbangan untuk pemilihan obat ada di tangan dokter yang akan membicarakannya pada penderita. Konseling diperkuat oleh apoteker. Pertimbangan tersebut meliputi: a. Efek samping dan respon tubuh terhadap obat b. Penyakit dan terapi lain yang dialami penderita c. Kerja obat dalam tubuh ketika dibarengi obat lain. Beberapa orang memerlukan terapi rumatan antidepresan, terutama mereka yang seringkali mengalami pengulangan gejala episode gangguan depresif atau gangguan depresif mayor. Antidepresan baru terlihat efeknya dalam 4 sampai 12 minggu, sebelum ia mengurangi atau menghapus gejala-gejala gangguan depresif meski hasilnya dirasakan sudah membuat perbaikan dalam 2 sampai 3 minggu. Selama masa ini efek samping akan terasa.



20



Penggolongan Antidepresan a. Antidepresan Klasik (Trisiklik & Tetrasiklik) Mekanisme kerja :



menghambat



resorpsi



dari



serotonin



dan



noradrenalin dari sela sinaps di ujung-ujung saraf. a) Imipramin 



Dosis lazim : 25-50 mg 3x sehari. Dosis maksimum 250-300 mg sehari.







Kontra Indikasi : Infark miokard akut



b) Amitriptilin 



Dosis lazim : 25 mg. Dosis maksimum 150-300 mg sehari.







Kontra Indikasi : Penderita koma, diskrasia darah, gangguan depresif sumsum tulang, kerusakan hati, penggunaan bersama dengan MAO.



c) Lithium karbonat 



Dosis lazim : 400-1200 mg. dosis tunggal pada pagi hari atau sebelum tidur malam.







Kontra Indikasi : kehamilan, laktasi, gagal ginjal, hati dan jantung.



d) Mianserin 



Dosis lazim : 30-40 mg malam hari, dosis maksimum 90 mg/ hari







Kontra Indikasi : mania, gangguan fungsi hati.



b. Antidepresan Generasi ke-2 Mekanisme kerja : 



SSRI (Selective Serotonin Re-uptake Inhibitor): menghambat resorpsi dari serotonin.







NaSA (Noradrenalin and Serotonin Antidepressants): tidak berkhasiat selektif, menghambat re-uptake dari serotonin dan noradrenalin. Terdapat beberapa indikasi bahwa obat-obat ini lebih efektif daripada SSRI. 21



a) Fluoxetin 



Dosis lazim : 20 mg sehari pada pagi hari, maksimum 80 mg/hari dalam dosis tunggal atau terbagi.







Kontra Indikasi : hipersensitif terhadap fluoxetin, gagal ginjal yang berat, penggunaan bersama MAO.



b) Sertralin 



Dosis lazim: 50 mg/hari bila perlu dinaikkan maksimum 200 mg/hr.







Kontra Indikasi: Hipersensitif terhadap sertralin.



c) Escitalopram 



Dosis lazim : 20 mg/hari, maksimum 60 mg /hari.







Kontra indikasi : hipersensitif terhadap obat ini.



d) Fluvoxamine 



Dosis lazim : 50mg dapat diberikan 1x/hari sebaiknya pada malam hari, maksimum dosis 300 mg.



e) Venlafaxine 



Dosis lazim : 75 mg/hari. Dosis maximal 150-250 mg 1x/hari.







Kontra Indikasi: penggunaan bersama MAO, hamil dan laktasi, anak < 18 tahun.



c. Antidepresan MAO Inhibitor Monoamin Oksidase (Monoamine Oxidase Inhibitor, MAOI) a) Moclobemid 



Dosis lazim : 300 mg/ hari terbagi dalam 2-3 dosis dapat dinaikkan sampai dengan 600 mg/ hari .







Kontra Indikasi : hipersensitif terhadap moclobemid.



3. Electro Convulsive Therapy (ECT) ECT adalah terapi dengan melewatkan arus listrik ke otak. Pengobatan dengan ECT dilakukan sebanyak 5 – 7 kali. Metode terapi semacam ini sering digunakan pada kasus depresif berat atau mempunyai risiko bunuh diri yang 22



besar dan respon terapi dengan obat antidepresan kurang baik. Pada penderita dengan risiko bunuh diri, ECT menjadi sangat penting karena ECT akan menurunkan risiko bunuh diri dan dengan ECT lama rawat di rumah sakit menjadi lebih pendek. Terapi ini biasanya sangat efektif dan bisa segera meringankan depresi. Pada keadaan tertentu tidak dianjurkan ECT, bahkan pada beberapa kondisi tindakan ECT merupakan kontra indikasi. ECT tidak dianjurkan pada keadaan : a. Usia yang masih terlalu muda ( kurang dari 15 tahun ) b. Masih sekolah atau kuliah c. Mempunyai riwayat kejang d. Psikosis kronik e. Kondisi fisik kurang baik f. Wanita hamil dan menyusui. VI. PROGNOSIS Gangguan depresi berat bukan merupakan gangguan yang ringan. Keadaan ini cenderung merupakan gangguan yang kronis dan pasien cenderung mengalami relaps. Pasien yang dirawat di rumah sakit untuk episode pertama gangguan depresif memiliki kemungkinan 50 % untuk pulih di dalam tahun pertama. Rekurensi episode depresi berat juga sering, kira-kira 30 sampai 50 % dalam dua tahun pertama dan kira-kira 50 sampai 70 % dalam 5 tahun. Insidensi relaps adalah jauh lebih rendah dari pada angka tersebut pada pasien yang meneruskan terapi psikofarmakologis profilaksis dan pada pasien yang hanya mengalami satu atau dua episode depresi.



23



PEMBAHASAN KASUS Pada kasus ini, menunjukkan bahwa pasien mengalami gangguan depresif berat dengan gejala psikotik. Hal ini dibuktikan dengan adanya gangguan afektif yang menonjol selama lebih dari dua minggu disertai dengan halusinasi auditorik. Pada pasien didapatkan gangguan afektif yang menonjol seperti pasien merasa sedih, merasa selalu dibodohi dan ditipu oleh orang-orang sekitarnya, merasa nasibnya tak pernah baik, pasien lebih senang untuk menyendiri, tidak mau makan, dan sulit tidur. Pasien juga mengalami gejala halusinasi auditorik berbicara sendiri. Adanya halusinasi auditorik pada pasien tersebut dapat dipikirkan diagnosis banding yaitu gangguan skizoafektif tipe depresif. Namun halusinasi tersebut kurang menonjol sehingga diagnosis kerja pada pasien ini yaitu episode depresif berat dengan gejala psikotik. Tidak dijumpai adanya gangguan neurologis, riwayat kejang, riwayat trauma, atau gangguan pada fungsi intelektual pasien, sehingga gejala psikosis pada pasien tidak memenuhi kriteria diagnosis untuk gangguan mental organik. Pasien juga bukan merupakan pengguna zat psikoaktif sehingga psikosis pada pasien tidak bisa digolongkan dalam gangguan mental dan perilaku akibat penggunaaan zat psikoaktif. Permasalahan yang diduga merupakan pencetus gangguan afektif pada pasien ini adalah masalah pekerjaan yaitu adanya kekerasan dari majikan dan pasien tidak diberi gaji serta masalah keluarga yaitu pasien mendapat kabar bahwa anaknya sakit dan ingin pulang ke Indonesia. Adanya stressor yang cukup jelas merupakan faktor pendukung untuk prognosis baik. Dilihat dari pertimbangan tersebut maka prognosis pada fungsi vitalnya baik karena tidak ada ide untuk melukai diri sendiri, dan prognosis kembalinya fungsi pasien ke taraf normal kemungkinan adalah baik karena pasien cukup kooperatif untuk diterapi dan pencetusnya jelas, namun prognosis berulangnya gangguan pada pasien adalah kemungkinan buruk.



24



Penatalaksanaan



untuk



gangguan



depresif



dibagi



dua,



yakni



penatalaksanaan farmakologi dan non-farmakologi. Penatalaksanaan farmakologi diberikan obat antidepresan, seperti amitriptyline, escitalopram, dan moclobemide. Pada pasien kasus ini diberikan obat antidepresan yaitu escitalopram untuk mengatasi gejala-gejala depresif pada pasien. Pada pasien ini juga diberikan antipsikotik yaitu aripiprazole karena pasien mengalami gejala psikotik berupa halusinasi auditorik. Sedangkan untuk penatalaksanaan non-farmakologi pada pasien gangguan depresif perlu mendapatkan psikoterapi. Psikoterapi bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi keluhan-keluhan dan mencegah kambuhnya gangguan psikologik atau pola perilaku maladaptif. Psikoedukasi juga perlu diberikan kepada keluarga dan lingkungan sekitar agar tidak terjadi stigmatisasi terhadap pasien dan membangun sistem pendukung yang kuat untuk menunjang perbaikan pasien.



25



DAFTAR PUSTAKA Kaplan HI, BJ Sadock, JA Grebb. 2012. Sinopsis Psikiatri. Jilid 1. Jakarta: Bina Rupa Aksara. Maslim, Rusdi. 2013. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III dan DSM-V. Jakarta : IKJ FK Unika Atma Jaya. Puri BK, dkk. 2011. Buku Ajar Psikiatri edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Muchid, Abdul. 2007. Pharmaceutical care untuk penderita gangguan depresif. Jakarta: Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Depkes RI.



26