Case Hirschprung [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN KASUS Identitas Nama



: By. D.Z.A.



Jenis Kelamin



: Laki-laki



Tanggal Lahir



: 26 Agustus 2014



Tanggal Dirawat : 12 September 2014 Tanggal Diperiksa : 15 September 2014 Alamat



: Jl. Suryani Dalam 1. Jamika. Bandung



Bangsa



: Indonesia



No. RM



: 01176160



Anamnesis Keluhan utama: Perut kembung sejak 6 hari sebelum masuk rumah sakit Perjalanan Penyakit Sejak + 10 hari yang lalu, penderita mengalami BAB cair 2 hari sekali, sebanyak satu sendok makan, lendir (-), darah (-), perut belum tampak kembung, muntah tidak ada, demam, terus menerus tapi tidak terlalu tinggi, penderita tidak rewel, penderita tidak dibawa berobat. 6 hari SMRS perut penderita tampak semakin kembung, BAB satu kali dalam seminggu, sebanyak satu sendok makan, lendir(-), darah(-), muntah ada, + 5kali, sebanyak satu sendok , tidak menyemprot, warna kehijauan, demam tidak terlalu tinggi, penderita kemudian dibawa berobat ke RS Immanuel. Riwayat Kehamilan dan persalinan Anak ke 1 dari 1 anak. Lahir hidup 1. Riwayat obstetri: Trimester I, II, III ANC teratur di bidan Riwayat persalinan 1



Lahir : aterm (38-39 minggu gestasi) Spontan ditolong oleh bidan BB lahir : 2600 gram PB lahir : 48 cm Riwayat Imunisasi Hepatitis B segera setelah lahir Makanan ASI Status Generalis Kesadaran



: compos mentis



Nadi



: 130 x/menit, isi dan tegangan cukup



Pernapasan



: 40 x/menit



Temperatur



: 37,6oC



Berat badan



: 3200 gram



Panjang badan



: 45 cm



Kulit: Warna sawo matang, tidak pucat, tidak sianosis, ikterik Turgor kembali cepat Tidak ada edema Rambut: Warna hitam, tersebar merata, tumbuh lebat Kelenjar getah bening: Tidak teraba membesar Kepala: Normocephal, ubun-ubun normal



2



Mata: Conjunctiva tidak anemis, reflex kornea +/+, sclera ikterik, pupil bulat isokor THT: Tidak ada kelainan Mulut: Tidak ada kelainan Leher: Tidak ada kelainan Dada: Bentuk normal, simetris, retraksi (-) Pulmo: Tidak ada kelainan Jantung: Tidak ada kelainan Abdomen: Inspeksi: cembung, distensi (+) Palpasi : lembut Perkusi: timpani Auskultasi: bising usus (+) Alat kelamin: Laki-laki, tidak ada kelainan Ektremitas: 3



Tidak ada kelainan



Pemeriksaan penunjang Hematologi rutin (12 September 2014) Hb



: 11,6 gr/dL



Ht



: 33%



Leukosit



: 10.400 /mm3



Trombosit



: 508.000/mm3



Bilirubin total



: 12,24 mg/dL



Bilirubin direk



: 0,84 mg/dL



Bilirubin indirek SGOT



: 38



SGPT



: 12



Na



: 128



K



: 4,7



GDS



: 344



: 11,40 mg/dL



Hematologi rutin (14 September 2014) Hb



: 10,1 gr/dl



Ht



: 28,2 %



Leukosit



: 11.110 / mm3



Trombosit



: 383.000/mm3



Eritrosit



: 3,4 juta/mm3



Bilirubin total Bilirubin direk



: 11,05 mg/dL : 0,43 mg/dL 4



Bilirubin indirek



: 10,62 mg/dL



Radiologi (12 September 2014) Barium enema Kesan : Elongasi sigmoid dengan kemungkinan Hirschsprung’s disease di distal sigmoid ultra short segment.



5



RESUME Seorang bayi laki-laki usia 17 hari berat badan 3200 gram panjang badan 45 cm datang dengan keluhan perut kembung. Pada anamnesis lebih lanjut didapatkan sejak + 10 hari yang lalu, penderita mengalami BAB cair 2 hari sekali, sebanyak satu sendok makan, lendir (-), darah (-), perut belum tampak kembung, muntah tidak ada, demam, terus menerus tapi tidak terlalu tinggi, penderita tidak rewel, penderita tidak dibawa berobat. Sejak 6 hari SMRS perut penderita tampak semakin kembung, BAB satu kali dalam seminggu, sebanyak satu sendok makan, lendir(-), darah(-), muntah ada, + 5kali, sebanyak satu sendok , tidak menyemprot, warna kehijauan, demam tidak terlalu tinggi, penderita kemudian dibawa berobat ke RS Immanuel. Tanda Vital Kesadaran



: compos mentis



Nadi



: 130 x/menit, isi dan tegangan cukup



Pernapasan



: 40 x/menit



Temperatur



: 37,6oC



Berat badan



: 3200 gram



Panjang badan



: 45 cm



Pemeriksaan Fisik Kulit



: tidak sianosis, turgor kembali cepat, ikterik



Rambut



: warna hitam, tersebar merata, tumbuh lebat



Kelenjar getah bening



: tidak teraba membesar



Kepala



: normocephal, ubun-ubun normal



Mata



: conjunctiva tidak anemis, reflex kornea +/+, sclera



ikterik THT



: tidak ada kelainan



Mulut



: tidak ada kelainan 6



Leher



: tidak ada kelainan



Dada



: bentuk normal, simetris, retraksi -



Pulmo



: VBS kiri=kanan, Rh -/-, Wh -/-



Jantung



: tidak ada kelainan



Abdomen



: cembung, distensi +, lembut, timpani, bising usus



+ Alat kelamin



: laki-laki, tidak ada kelainan



Ektremitas



: akral hangat, CRT 5 kg (10 pon). Ada 3 pilihan yang dapat digunakan, untuk setiap prosedurnya, prinsip dari pengobatan termasuk menentukan lokasi dari usus di mana zona transisi antara usus ganglionik dan aganglionik, reseksi bagian yang aganglionik dari usus dan melakukan anastomosis dari daerah ganglionik ke anus atau bantalan mukosa rektum. Dewasa ini ditunjukkan bahwa prosedur pull-through primer dapat dilakukan secara aman bahkan pada periode neonatus. Pendekatan ini mengikuti prinsip terapi yang sama seperti pada prosedur bertingkat melindungi pasien dari prosedur pembedahan tambahan. Banyak dokter bedah melakukan diseksi intra abdominal menggunakan laparoskop. Cara ini terutama



banyak



pada



periode



neonatus



yang



dapat



menyediakan



visualisasi pelvis yang baik. Pada anak-anak dengan distensi usus yang signifikan



adalah



penting



untuk



dilakukannya



periode



dekompresi 18



menggunakan rectal tube jika akan dilakukan single stage pull-through. Pada anak-anak yang lebih tua dengan kolon hipertrofi, distensi ekstrim, kolostomi dilakukan dengan hati-hati sehingga usus dapat dekompresi sebelum dilakukan prosedur pull-through. Namun, harus ditekankan, tidak ada batas umur pada prosedur pull-through. Dari



ketiga



prosedur pull-through yang



dilakukan



pada



penyakit



Hirschsprung yang pertama adalah prosedur Swenson. Pada operasi ini rektum aganglionik diseksi pada pelvis dan dipindahkan ke anus. Kolon ganglionik lalu dianastomosis ke anus melalui pendekatan perineal. Pada prosedur Duhamel, diseksi di luar rektum dibatasi terhadap ruang retrorektal dan kolon ganglionik dianastomosis secara posterior tepat di atas anus. Dinding anterior dari kolon ganglionik dan dinding posterior dari rektum aganglionik dianastomosis menggunakan stappler. Walaupun kedua prosedur ini sangat efektif, namun keterbatasannya adalah adanya kemungkinan kerusakan



syaraf



parasimpatis



yang



menempel



pada



rektum.



Untuk



mengatasi masalah ini, prosedur Soave menyertakan diseksi seluruhnya dari rektum. Mukosa rektum dipisahkan dari mukosa muskularis dan kolon yang ganglionik dibawa melewati mukosa dan dianastomosis ke anus. Operasi ini dapat dilakukan sepenuhnya dari bawah. Dalam banyak kasus, sangat penting untuk menentukan dimana terdapat usus yang ganglionik. Banyak ahli bedah mempercayai bahwa anastomosis dilakukan setidaknya 5 cm dari daerah



yang



sel



ganglion



terdeteksi.



Dihindari



dilakukannya



pull-



through pada zona transisi yang berhubungan dengan tingginya angka komplikasi karena tidak adekuatnya pengosongan segmen usus yang aganglionik. Sekitar 1/3 pasien yang di pull-through pada zona transisi akan membutuhkan reoperasi. Komplikasi utama dari semua prosedur diantaranya enterokolitis post operatif, konstipasi dan striktur anastomosis. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, hasil jangka panjang dengan menggunakan 3 prosedur sebanding dan secara umum berhasil dengan baik bila ditangani oleh tangan



19



yang ahli. Ketiga prosedur ini juga dapat dilakukan pada aganglionik kolon total dimana ileum digunakan sebagai segmen yang di pull-through. Beberapa metode operasi biasa digunakan dalam penatalaksanaan penyakit hirschsprung: · Secara klasik, dengan melakukan insisi di bagian kiri bawah abdomen kemudian dilakukan identifikasi zona transisi dengan melakukan biopsy seromuskuler. · Terapi definitive yang dilakukan pada penyakit hirschprung ada 3 metode: 1. Metode Swenson: pembuangan daerah aganglion hingga batas sphincter ani interna dan dilakukan anastomosis coloanal pada perineum 2. Metode Duhamel: daerah ujung aganglionik ditinggalkan dan bagian yang



ganglionik



ditarik



ke



bagian



belakang



ujung



daerah



aganglioner. stapler GIA kemudian dimasukkan melalui anus. 3. Teknik Soave: pemotongan mukosa endorectal dengan bagian distal aganglioner. Setelah operasi pasien-pasien dengan penyakit hirschprung biasanya berhasil baik, walaupun terkadang ada gangguan buang air besar. Sehingga konstipasi adalah gejala tersering pada pascaoperasi.



20



IKTERUS NEONATORUM Definisi Ikterus adalah diskolorasi kuning pada kulit, mukosa membran, sklera atau organ lain oleh karena peningkatan kadar bilirubin dalam serum (> 2mg/dl). Ikterus secara klinis akan tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah 5-7 mg/dl. Metabolisme Bilirubin Bilirubin



berasal



dari



pemecahan



protein



yang



mengandung



heme



di



sistem



retikuloendotelial. Bayi baru lahir memproduksi bilirubin 6-10 mg/kgBB/hari, sedangkan orang dewasa sekitar 3-4mg/kgBB/hari.



Klasifikasi Ikterus Fisiologis dan Ikterus Patologis Bilirubin sebagai suatu produk metabolisme pada suatu saat oleh suatu sebab dan keadaan dapat menumpuk. Penumpukan adalah suatu penyimpangan dari normal jadi dengan sendirinya



21



ikterus itu adalah patologis. Masalahnya ialah apakah konsentrasi bilirubin tersebut mengganggu, merusak atau tidak. Bila tidak menimbulkan patologi itulah yang disebut ikterus fisiologis. Ikterus dapat diklasifikasikan menjadi ikterus fisiologis dan ikterus patologis berdasarkan waktu timbulnya ikterus, pemeriksaan klinik, dan peningkatan kadar bilirubin. Ikterus Fisiologis 1



Terjadi setelah 24 jam pertama. Pada bayi aterm nilai puncak 6-8 mg/dL, biasanya tercapai pada hari ke 3-5. pada bayi prematur nilainya 10-12 mg/dL bahkan sampai 15 mg/dL.



2.



Peningkatan /akumulasi bilirubin serum 250



26



Diagnosis Anamnesis ikterus pada riwayat obstetri sebelumnya sangat membantu dalam menegakkan diagnosis hiperbilirubinemia pada bayi. Termasuk dalam hal ini anamnesis mengenai riwayat inkompatabilitas darah, riwayat transfusi tukar atau terapi sinar pada bayi sebelumnya. Disamping itu faktor risiko kehamilan



dan



persalinan



juga



berperan



dalam



diagnosis



dini



ikterus/hiperbilirubinemia pada bayi. Faktor risiko tersebut antara lain adalah kehamilan dengan komplikasi, persalinan dengan tindakan/komplikasi, obat yang diberikan pada ibu selama hamil/persalinan, kehamilan dengan diabetes melitus, gawat janin, malnutrisi intrauterin, infeksi intranatal, dan lain-lain. Secara klinis ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau beberapa hari kemudian. Ikterus yang tampak pun sangat tergantung kepada penyebab ikterus itu sendiri. Pada bayi dengan peninggian bilirubin indirek, kulit tampak berwarna kuning terang sampai jingga, sedangkan pada penderita dengan gangguan obstruksi empedu warna kuning kulit terlihat agak kehijauan. Perbedaan ini dapat terlihat pada penderita ikterus berat, tetapi hal ini kadang-kadang sulit dipastikan secara klinis karena sangat dipengaruhi warna kulit. Penilaian akan lebih sulit lagi apabila penderita sedang mendapatkan terapi sinar. Selain kuning, penderita sering hanya memperlihatkan gejala minimal misalnya tampak lemah dan nafsu minum berkurang. Keadaan lain yang mungkin menyertai ikterus adalah anemia, petekie, pembesaran lien dan hepar, perdarahan tertutup, gangguan nafas, gangguan sirkulasi, atau gangguan syaraf. Keadaan tadi biasanya ditemukan pada ikterus berat atau hiperbilirubinemia berat. Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti yang penting pula dalam diagnosis dan penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya ikterus mempunyai kaitan yang erat dengan kemungkinan penyebab ikterus tersebut. Ikterus yang timbul hari pertama sesudah lahir, kemungkinan besar disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah (ABO, Rh atau golongan darah



lain).



Infeksi



intra



uterin



seperti



rubela,



penyakit



sitomegali, 27



toksoplasmosis, atau sepsis bakterial dapat pula memperlihatkan ikterus pada hari pertama. Pada hari kedua dan ketiga ikterus yang terjadi biasanya merupakan ikterus fisiologik, tetapi harus pula dipikirkan penyebab lain seperti inkompatibilitas golongan darah, infeksi kuman, polisitemia, hemolisis karena



perdarahan



tertutup,



kelainan



morfologi



eritrosit



(misalnya



sferositosis), sindrom gawat nafas, toksositosis obat, defisiensi G-6-PD, dan lain-lain. Ikterus yang timbul pada hari ke 4 dan ke 5 mungkin merupakan kuning karena ASI atau terjadi pada bayi yang menderita Gilbert, bayi dari ibu penderita diabetes melitus, dan lain-lain. Selanjutnya ikterus setelah minggu pertama biasanya terjadi pada atresia duktus koledokus, hepatitis neonatal, stenosis pilorus, hipotiroidisme, galaktosemia, infeksi post natal, dan lain-lain. Diagnosis Banding Ikterus yang terjadi pada saat lahir atau dalam waktu 24 jam pertama kehidupan mungkin sebagai akibat eritroblastosis foetalis, sepsis, penyakit inklusi sitomegalik, rubela atau toksoplasmosis kongenital. Ikterus pada bayi yang mendapatkan tranfusi selama dalam uterus, mungkin ditandai oleh proporsi bilirubin bereaksi-langsung yang luar biasa tingginya. Ikterus yang baru timbul pada hari ke 2 atau hari ke 3, biasanya bersifat “fisiologik”, tetapi dapat pula merupakan manifestasi ikterus yang lebih parah yang dinamakan



hiperbilirubinemia



neonatus.



Ikterus



nonhemolitik



familial



(sindroma Criggler-Najjar) pada permulaannya juga terlihat pada hari ke-2 atau hari ke-3. Ikterus yang timbul setelah hari ke 3, dan dalam minggu pertama, harus dipikirkan kemungkinan septikemia sebagai penyebabnya; keadaan ini dapat disebabkan oleh infeksi-infeksi lain terutama sifilis, toksoplasmosis dan penyakit inklusi sitomegalik. Ikterus yang timbul sekunder akibat ekimosis atau hematoma ekstensif dapat terjadi selama hari pertama



kelahiran



atau



sesudahnya,



terutama



pada



bayi



prematur.



Polisitemia dapat menimbulkan ikterus dini.



28



Ikterus



yang



permulaannya



ditemukan



setelah



minggu



pertama



kehidupan, memberi petunjuk adanya, septikemia, atresia kongenital saluran empedu, hepatitis serum homolog, rubela, hepatitis herpetika, pelebaran idiopatik duktus koledoskus, galaktosemia, anemia hemolitik kongenital (sferositosis) atau mungkin krisis anemia hemolitik lain, seperti defisiensi enzim piruvat kinase dan enzim glikolitik lain, talasemia, penyakit sel sabit, anemia non-sperosit herediter), atau anemia hemolitik yang disebabkan oleh obat-obatan (seperti pada defisiensi kongenital enzim-enzim glukosa-6-fosfat dehidrogenase, glutation sintetase, glutation reduktase atau glutation peroksidase) atau akibat terpapar oleh bahan-bahan lain. Ikterus persisten selama bulan pertama kehidupan, memberi petunjuk adanya apa yang dinamakan “inspissated bile syndrome” (yang terjadi menyertai penyakit hemolitik pada bayi neonatus), hepatitis, penyakit inklusi sitomegalik, sifilis, toksoplasmosis, ikterus nonhemolitik familial, atresia kongenital saluran empedu, pelebaran idiopatik duktus koledoskus atau galaktosemia. Ikterus ini dapat dihubungkan dengan nutrisi perenteral total. Kadang-kadang ikterus fisiologik dapat berlangsung berkepanjangan sampai beberapa minggu, seperti pada bayi yang menderita penyakit hipotiroidisme atau stenosis pilorus. Tanpa mempersoalkan usia kehamilan atau saat timbulnya ikterus, hiperbilirubinemia yang cukup berarti memerlukan penilaian diagnostik yang lengkap, yang mencakup penentuan fraksi bilirubin langsung (direk) dan tidak langsung (indirek) hemoglobin, hitung leukosit, golongan darah, tes Coombs dan pemeriksaan sediaan apus darah tepi. Bilirubinemia indirek, retikulositosis



dan



sediaan



apus



yang memperlihatkan bukti



adanya



penghancuran eritrosit, memberi petunjuk adanya hemolisis; bila tidak terdapat ketidakcocokan golongan darah, maka harus dipertimbangkan kemungkinan



adanya



hemolisis



akibat



nonimunologik.



Jika



terdapat



hiperbilirubinemia direk, adanya hepatitis, kelainan metabolisme bawaan, fibrosis kistik dan sepsis, harus dipikirkan sebagai suatu kemungkinan



29



diagnosis. Jika hitung retikulosit, tes Coombs dan bilirubin direk normal, maka mungkin terdapat hiperbilirubinemia indirek fisiologik atau patologik. Penatalaksanaan I. Menentukan kemungkinan penyebab Menetapkan penyebab ikterus tidak selamanya mudah dan membutuhkan pemeriksaan



yang



banyak



dan



mahal,



sehingga



dibutuhkan



suatu



pendekatan khusus untuk dapat memperkirakan penyebabnya. Pendekatan yang dapat memenuhi kebutuhan itu yaitu



menggunakan saat timbulnya



ikterus seperti yang dikemukakan oleh Harper dan Yoon 1974, yaitu : A. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama Penyebab ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama menurut besarnya kemungkinan dapat disusun sebagai berikut : - Inkompatibilitas darah Rh, ABO atau golongan lain. - Infeksi intrauterin (oleh virus, toksoplasma, lues dan kadangkadang bakteri). - Kadang-kadang oleh defisiensi G-6-PD. Pemeriksaan yang perlu diperhatikan yaitu : - Kadar bilirubin serum berkala -



Darah tepi lengkap



-



Golongan darah ibu dan bayi



-



Uji coombs



-



Pemeriksaan penyaring defisiensi enzim G-6-PD, biakan darah atau biopsi hepar bila perlu.



B. Ikterus yang timbul 24- 72 jam sesudah lahir - Biasanya ikterus fisiologis - Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah ABO atau Rh atau golongan lain. Hal ini dapat diduga kalau peningkatan kadar bilirubin cepat, misalnya melebihi 5 mg%/24 jam. - Defisiensi enzim G-6-PD juga mungkin 30



- Polisitemia - Hemolisis



perdarahan



tertutup



(perdarahan



subaponeurosis,



perdarahan hepar subkapsuler dan lain-lain). - Hipoksia. - Sferositosis, eliptositosis dan lain-lain. - Dehidrasi asidosis. - Defisiensi enzim eritrosit lainnya. Pemeriksaan yang perlu dilakukan : Bila keadaan bayi baik dan peningkatan ikterus tidak cepat, dapat dilakukan pemeriksaan daerah tepi, pemeriksaan kadar bilirubin berkala, pemeriksaan penyaring enzim G-6-PD dan pemeriksaan lainnya bila perlu. C. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama - Biasanya karena infeksi (sepsis). - Dehidrasi asidosis. - Difisiensi enzim G-6-PD. - Pengaruh obat. - Sindrom Criggler-Najjar. - Sindrom Gilbert. Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya - Biasanya karena obstruksi. - Hipotiroidisme. - “breast milk jaundice” - Infeksi. - Neonatal hepatitis. - Galaktosemia. - Lain-lain. Pemeriksaan yang perlu dilakukan : - Pemeriksaan bilirubin (direk dan indirek) berkala. - Pemeriksaan darah tepi. - Pemeriksaan penyaring G-6-PD. 31



- Biakan darah, biopsi hepar bila ada indikasi. - Pemeriksaan



lainnya



yang



berkaitan



dengan



kemungkinan



penyebab. Dapat diambil kesimpulan bahwa ikterus baru dapat dikatakan fisiologis sesudah observasi dan pemeriksaan selanjutnya tidak menunjukkan dasar patologis dan tidak mempunyai potensi berkembang menjadi ‘kernicterus’. Ikterus yang kemungkinan besar menjadi patologis yaitu : 1. Ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama. 2. Ikterus dengan kadar bilirubin melebihi 12,5 mg% pada neonatus cukup bulan dan 10 mg% pada neonatus kurang bulan. 3. Ikterus dengan peningkatan bilirubin-lebih dari 5 mg%/hari. 4. Ikterus yang menetap sesudah 2 minggu pertama. 5. Ikterus yang mempunyai hubungan dengan proses hemolitik, infeksi atau keadaan patologis lain yang telah diketahui. 6. Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%. Pencegahan Ikterus dapat dicegah dan dihentikan peningkatannya dengan : 1. Pengawasan antenatal yang baik. 2. Menghindari obat yang dapat meningkatkan ikterus pada bayi pada masa kehamilan dan kelahiran, misalnya sulfafurazole, novobiosin, oksitosin dan lain-lain. 3. Pencegahan dan mengobati hipoksia pada janin dan neonatus. 4. Penggunaan fenobarbital pada ibu 1-2 hari sebelum partus. 5. Iluminasi yang baik pada bangsal bayi baru lahir. 6. Pemberian makanan yang dini. 7. Pencegahan infeksi. Mengatasi hiperbilirubinemia  Mempercepat proses konjugasi, misalnya dengan pemberian fenobarbital. Obat ini bekerja sebagai ‘enzyme inducer’ sehingga konjugasi dapat 32



dipercepat. Pengobatan dengan cara



ini tidak



begitu efektif



dan



membutuhkan waktu 48 jam baru terjadi penurunan bilirubin yang berarti. Mungkin lebih bermanfaat bila diberikan pada ibu kira-kira 2 hari sebelum melahirkan.  Memberikan substrat yang kurang untuk transportasi atau konjugasi. Contohnya yaitu



pemberian albumin untuk mengikat bilirubin yang



bebas. Albumin dapat diganti dengan plasma dengan dosis 15-20 ml/kgBB. Albumin biasanya diberikan sebelum tranfusi tukar dikerjakan oleh



karena



albumin



akan



mempercepat



keluarnya



bilirubin



dari



ekstravaskuler ke vaskuler sehingga bilirubin yang diikatnya lebih mudah dikeluarkan dengan tranfusi tukar. Pemberian glukosa perlu untuk konjugasi hepar sebagai sumber energi.  Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi. Walaupun fototerapi dapat menurunkan kadar bilirubin dengan cepat, cara ini tidak dapat menggantikan tranfusi tukar pada proses hemolisis berat. Fototerapi dapat digunakan untuk pra dan pasca-tranfusi tukar.  Tranfusi tukar Pada umumnya tranfusi tukar dilakukan dengan indikasi sebagai berikut : - Pada semua keadaan dengan kadar bilirubin indirek  20 mg%. - Kenaikan kadar bilirubin indirek yang cepat, yaitu 0,3-1 mg%/jam. - Anemia yang berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung. - Bayi dengan kadar hemoglobin talipusat < 14 mg% dan uji Coombs direk positif. Sesudah tranfusi tukar harus diberi fototerapi. Bila terdapat keadaan seperti asfiksia perinatal, distres pernafasan, asidosis metabolik, hipotermia, kadar protein serum kurang atau sama dengan 5 g%, berat badan lahir kurang dari 1.500 gr dan tanda-tanda gangguan susunan saraf pusat, penderita harus diobati seperti pada kadar bilirubin yang lebih tinggi berikutnya.



33



Pengobatan umum Bila mungkin pengobatan terhadap etiologi atau faktor penyebab dan perawatan yang baik. Hal lain yang perlu diperhatikan yaitu



pemberian



makanan yang dini dengan cairan dan kalori cukup dan iluminasi kamar bersalin dan bangsal bayi yang baik. Tindak lanjut Bahaya hiperbilirubinemia yaitu ‘kernicterus’. Oleh karena itu terhadap bayi yang menderita hiperbilirubinemia perlu dilakukan tindak lanjut sebagai berikut : 1. Penilaian berkala pertumbuhan dan perkembangan 2. Penilaian berkala pendengaran 3. Fisioterapi dan rehabilitasi bila terdapat gejala sisa Prognosis Hiperbilirubinemia baru akan berpengaruh buruk apabila bilirubin indirek telah melalui sawar darah otak. Pada keadaan ini penderita mungkin menderita kernikterus atau ensefalopati biliaris. Gejala ensefalopati biliaris ini dapat segera terlihat pada masa neonatus atau baru tampak setelah beberapa lama kemudian. Pada masa neonatus gejala mungkin sangat ringan dan hanya memperlihatkan gangguan minum, latergi dan hipotonia. Selanjutnya bayi mungkin kejang, spastik dan ditemukan epistotonus. Pada stadium lanjut mungkin didapatkan adanya atetosis disertai gangguan pendengaran dan retardasi mental di hari kemudian. Dengan memperhatikan hal di atas, maka sebaiknya pada semua penderita hiperbilirubinemia dilakukan pemeriksaan berkala, baik dalam hal pertumbuhan fisis dan motorik, ataupun perkembangan mental serta ketajaman pendengarannya.



34



Daftar Pustaka 1. Warner B.W. 2004. Chapter 70 Pediatric Surgery in TOWNSEND SABISTON TEXTBOOK of SURGERY. 17th edition. Elsevier-Saunders. Philadelphia. Page 2113-2114 2. Holschneider A., Ure B.M., 2000. Chapter 34 Hirschsprung’s Disease in: Ashcraft Pediatric Surgery 3rd edition W.B. Saunders Company. Philadelphia. page 453-468 3. Hackam D.J., Newman K., Ford H.R. 2005. Chapter 38 Pediatric Surgery in: Schwartz’s PRINCIPLES OF SURGERY. 8th edition. McGraw-Hill. New York. Page 1496-1498 4. Ziegler M.M., Azizkhan R.G., Weber T.R. 2003. Chapter 56 Hirschsprung Disease In: Operative PEDIATRIC Surgery. McGraw-Hill. New York. Page 617-640 5. Leonidas J.C., Singh S.P., Slovis T.L. 2004. Chapter 4 Congenital Anomalies of The Gastrointestinal Tract In: Caffey’s Pediatric Diagnostic Imaging 10thedition. ElsevierMosby. Philadelphia. Page 148-153 6.



Abdurachman Sukadi, Ali Usman, Syarief Hidayat Efendi. 2002. Ikterus Neonatorum. Perinatologi. Bandung. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS. 64-84.



7.



Behrman, Kliegman, Jenson. 2004. Kernicteru. Textbook of Pediatrics. New Yorkl. 17th edition. Saunders. 596-598.



8.



Garna Herry, dkk. 2000. Ikterus Neonatorum. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Edisi kedua. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS. 97-103



35