Asuhan Keperawatan Hirschprung [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TUGAS KEPERAWATAN ANAK LP DAN ASKEP TEORI HISRCHPRUNG KELAS III.A



Disusun Oleh 1. Putu Adinda Saraswati



(18C10002)



2. Ni Putu Ananda Putri Astawa



(18C10004)



3. Kadaek Ari Saputra Jaya



(18C10007)



4. Putu Artawan



(18C10009)



5. Ni Putu Ayu Mariani Erawati



(18C10015)



6. Ni Kadek Ayu Sarastini



(18C10017)



7. Ni Made Cempaka Ningrum



(18C10020)



8. Dewa Ayu Dalem Welli Meilani



(18C10021)



9. Ni Wayan Nonik Yudiani



(18C10047)



PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN FAKULTAS KESEHATAN INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN BALI TAHUN 2021 i



KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya telah diselasaikannya Tugas yang berjudul " TUGAS KEPERAWATAN ANAK LP DAN ASKEP TEORI HISRCHPRUNG ". Adapun tujuan umum dari penyusunan Asuhan Keperawatan ini adalah tugas dari mata kuliah Keperawatan Anak. Atas dukungan moral dan materil yang diberikan dalam penyusunan makalah ini, maka kami mengucapkan banyak terima kasih kepada : 1. Ns. Ni Kadek Sriasih, S.Kep.,M.Kep.,Sp.Kep.An yang telah memberikan Tugas Keperawatan Anak II yang telah memberikan bimbingan dalam penulisan Makalah ini. 2. Kepada teman kami dan rekan-rekan yang lainnya di Sarjana Keperawatan A yang sudah menginspirasi saya dalam pembuatan Tugas ini. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun dari rekan-rekan sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan makalah ini



Denpasar, 14 Maret 2021



Penyusun



ii



DAFTAR ISI COVER......................................................................................................................................i KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii DAFTAR ISI............................................................................................................................iii BAB I.........................................................................................................................................1 PENDAHULUAN.....................................................................................................................1 1.1



Latar Belakang...................................................................................................................1



1.2



Rumusan masalah..............................................................................................................2



1.4



Tujuan.................................................................................................................................2



BAB II........................................................................................................................................3 PEMBAHASAN.......................................................................................................................3 2.1



Definisi................................................................................................................................3



2.3



Macam-macam Penyakit Hirschprung.............................................................................4



2.4



Etiologi Penyakit Hirschprung..........................................................................................4



2.5



Patofisiologi.........................................................................................................................5



2.6



Manifestasi Klinis...............................................................................................................6



2.7



Komplikasi..........................................................................................................................6



2.8



Pemeriksaan Penunjang....................................................................................................7



2.9



Penatalaksanaan...............................................................................................................12



BAB III....................................................................................................................................13 ASKEP TEORI.......................................................................................................................13 3.1



Pengkajian........................................................................................................................13



3.2



Analisi Data......................................................................................................................15



3.3



Diagnosa Keperawatan....................................................................................................16



3.4



Intervensi Keperawatan...................................................................................................17



3.5



Implementasi....................................................................................................................22



3.6



Evaluasi.............................................................................................................................22



WOC........................................................................................................................................23 Bab IV 4.1Kesimpulan …………………………………………………………………………..24 4.2 Saran…………………………………………………………………………………24 DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................25



iii



iv



BAB I PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang Penyakit hisprung merupakan suatu kelainan bawaan yang menyebabkan gangguan pergerakan usus yang dimulai dari spingter ani internal ke arah proksimal dengan panjang yang bervariasi dan termasuk anus sampai rektum. Penyakit hisprung adalah penyebab obstruksi usus bagian bawah yang dapat muncul pada semua usia akan tetapi yang paling sering pada neonatus. Menurut catatan Swenson, 81, 1 % dari 880 kasus yang diteliti adalah laki-laki. Sedangkan Richardson dan Brown menemukan tendensi faktor keturunan pada penyakit ini (ditemukan 57 kasus dalam 24 keluarga). Beberapa kelainan kongenital dapat ditemukan bersamaan dengan penyakit Hirschsprung, namun hanya 2 kelainan yang memiliki angka yang cukup signifikan yakni Down Syndrome (5-10 %) dan kelainan urologi (3%). Hanya saja dengan adanya fekaloma, maka dijumpai gangguan urologi seperti refluks vesikoureter, hydronephrosis dan gangguan vesica urinaria (mencapai 1/3 kasus) (Budi Irwan, 2003). Hirschsprung terjadi pada 1/5000 kelahiran hidup. Insidensi Hirschsprung di Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1 diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan penyakit Hirschsprung. Kartono mencatat 20-40 pasien penyakit Hirschprung yang dirujuk setiap tahunnya ke RSUPN Cipto Mangunkusomo Jakarta. Mortalitas dari kondisi ini dalam beberapa dekade ini dapat dikurangi dengan peningkatan dalam diagnosis, perawatan intensif neonatus, teknik pembedahan dan diagnosis dan penatalaksanaan Hirschsprung dengan enterokolitis (Medicine and Linux, 01 September 2007) Karekteristik megakolon didapat pada anak-anak adalah akibat dari kombinasi latihan BAB (Buang air besar) yang salah dan gangguan mental dan emosional yang dikarenakan oleh anak tersebut tidak mau mencoba untuk BAB. Selain pada anak, penyakit ini ditemukan tanda dan gejala yaitu adanya kegagalan mengeluarkan mekonium dalam waktu 24-48 jam setelah lahir, muntah berwarna hijau



1



dan konstipasi faktor penyebab penyakit hisprung diduga dapat terjadi karena faktor genetik dan faktor lingkungan.



1.2 Rumusan masalah 1.1.1



Apakah definisi dari penyakit hisprung ?



1.1.2



Bagaimana anatomi dan fisiologi penyakit hisprung ?



1.1.3



Apa saja macam-macam penyakit hirschprung ?



1.1.4



Bagaimana etiologi penyakit hirschprung ?



1.1.5



Bagaimana patofisiologi penyakit hirschprung ?



1.1.6



Apa saja manifestasi klinis penyakit hirschprung ?



1.1.7



Apa saja komplikasi penyakit hirschprung ?



1.1.8



Apa saja pemeriksaan penunjang penyakit hirschprung ?



1.1.9



Apa saja penatalaksanaan penyakit hirschprung ?



1.1.10 Bagaimana askep teori penyakit hirschprung ?



1.4 Tujuan 1.1.11 Untuk mengetahui definisi dari penyakit hisprung. 1.1.12 Untuk mengetahui anatomi dan fisiologi penyakit hisprung. 1.1.13 Untuk mengetahui macam-macam penyakit hirschprung. 1.1.14 Untuk mengetahui etiologi penyakit hirschprung. 1.1.15 Untuk mengetahui patofisiologi penyakit hirschprung. 1.1.16 Untuk mengetahui manifestasi klinis penyakit hirschprung. 1.1.17 Untuk mengetahui komplikasi penyakit hirschprung. 1.1.18 Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang penyakit hirschprung. 1.1.19 Untuk mengetahui penatalaksanaan penyakit hirschprung. 1.1.20 Untuk mengetahui askep teori penyakit hirschprung.



2



BAB II PEMBAHASAN



2.1 Definisi Penyakit Hisprung disebut juga kongenital aganglionik megakolon. Penyakit ini merupakan keadaan usus besar (kolon) yang tidak mempunyai persarafan (aganglionik). Jadi, karena ada bagian dari usus besar (mulai dari anus kearah atas) yang tidak mempunyai persarafan (ganglion), maka terjadi “kelumpuhan” usus besar dalam menjalanakan fungsinya sehingga usus menjadi membesar (megakolon). Panjang usus besar yang terkena berbeda-beda untuk setiap individu. Penyakit Hirschsprung merupakan penyakit yang terjadi pada usus, dan paling sering pada usus besar (colon). Normalnya, otot pada usus secara ritmis akan menekan feses hingga ke rectum. Pada penyakit Hirschsprung, saraf (sel ganglion) yang berfungsi untuk mengontrol otot pada organ usus tidak ditemukan. Hal ini mengakibatkan feses tidak dapat terdorong, seperti fungsi fisiologis seharusnya (Henna N, 2011). Penyakit Hirschsprung adalah suatu penyakir tidak adanya ganglion saraf parasimpatis pada lapisan mukosa dan submukosa usus besar mulai anus hingga usus di atasnya. Dalam kondisi normal, otot-otot di usus akan memeras dan mendorong feses (kotoran) secara ritmis melalui rektum. Pada penyakit Hirschsprung, saraf yang mengendalikan otot-otot ini (sel ganglion) hilang dari bagian usus sehingga tinja tidak dapat didorong melalui usus secara lancar. Panjang bagian yang terkena usus bervariasi pada masing-masing anak. Kotoran akan menumpuk terus di bagian bawah hingga menyebabkan pembesaran pada usus dan juga kotoran menjadi keras kemudian membuat bayi tidak dapat BAB. 2.2 Anatomi dan fisiologi Usus besar atau kolon berbentuk tabung muskular berongga dengan panjang sekitar 1,5 m yang terbentang dari sekum hingga kanalis ani. Diameter usus besar lebih besar daripada usus kecil yaitu sekitar 6,5 cm (2,5 inci), namun semakin dekat dengan anus diameternya pun semakin kecil. Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon, dan rektum. Pada sekum terdapat katup ileosekal dan apendiks yang melekat pada ujung sekum. Sekum menempati sekitar dua atau tiga inci pertama dari usus besar. Katup ileosekal 3



mengendalikan aliran kimus dari ileum ke dalam sekum dan mencegah terjadinya aliran balik bahan fekal dari usus besar ke dalam usus halus. Kolon terbagi atas kolon asenden, tranversum, desenden, dan sigmoid. Kolon membentuk kelokan tajam pada abdomen kanan dan kiri atas berturut-turut disebut dengan fleksura hepatika dan fleksura lienalis. Kolon sigmoid mulai setinggi krista iliaka dan membentuk lekukan berbentuk-S. Lekukan bagian bawah membelok ke kiri sewaktu kolon sigmoid bersatu dengan rektum. Bagian utama usus yang terakhir disebut sebagai rektum dan membentang dari kolon sigmoid hingga anus (muara ke bagian luar tubuh). Satu inci terakhir dari rektum disebut sebagai kanalis ani dan dilindungi oleh otot sfingter ani eksternus dan internus. Panjang rektum dan kanalis ani adalah sekitar 15 cm (5,9 inci). Usus besar memiliki berbagai fungsi yang semuanya berkaitan dengan proses akhir isi usus. Fungsi usus besar yang paling penting adalah absorpsi air dan elektrolit. Kolon sigmoid berfungsi sebagai reservoir yang menampung massa feses yang sudah terdehidrasi sampai berlangsungnya defekasi. Kolon mengabsorpsi sekitar 800 ml air per hari dengan berat akhir feses yang dikeluarkan adalah 200 gram dan 80%-90% diantaranya adalah air. Sisanya terdiri dari residu makanan yang tidak terabsorpsi, bakteri, sel epitel yang terlepas, dan mineral yang tidak terabsorpsi.



2.3 Macam-macam Penyakit Hirschprung Berdasarkan panjang segmen yang terkena, dapat dibedakan 2 tipe yaitu : a.       Penyakit Hirschprung segmen pendek Segmen aganglionosis mulai dari anus sampai sigmoid; ini merupakan 70% dari kasus penyakit Hirschprung dan lebih sering ditemukan pada anak laki-laki dibanding anak perempuan. b.      Penyakit Hirschprung segmen panjang Kelainan dapat melebihi sigmoid, bahkan dapat mengenai seluruh kolon atau usus halus.



4



2.4 Etiologi Penyakit Hirschprung Mungkin karena adanya kegagalan sel-sel ”Neural Crest” ambrional yang berimigrasi ke dalam dinding usus atau kegagalan pleksus mencenterikus dan submukoisa untuk berkembang ke arah kranio kaudal di dalam dinding usus. Disebabkan oleh tidak adanya sel ganglion para simpatis dari pleksus Auerbach di kolon. Sebagian besar segmen yang aganglionik mengenai rectum dan bagian bawah kolon sigmoid dan terjadi hipertrofi serta distensi yang berlebihan pada kolon. (Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 1985 : 1134).



2.5 Patofisiologi Secara normal, neural crest-derived neuroblast terlihat pada perkembangan esofagus pada masa gestasi minggu ke-5. Sel ini akan mengalami migrasi ke arah craniocaudal kemudian memasuki fase perkembangan usus pada usia gestasi minggu ke-5 sampai ke12 (Amiel, et al., 2001; Georgeson, et al., 2010). Abnormalitas seluler dan molekuler dalam perkembangan enteric nervous system, yaitu tidak sempurnanya migrasi neural crest cells adalah penyebab utama Hirschsprung’s disease. Fenotif Hirschsprung disebabkan oleh besarnya kemungkinan abnormalitas selama perkembangan enteric nervous system dan menahan migrasi neural crest-derived cells. Semakin dini migrasi nueral crest tertahan, maka akan semakin panjang segmen usus yang tidak memiliki sel ganglion



(aganglionosis).



Faktor



lain



yang



juga



dicurigai



sebagai



penyebab



berkembangnya Hirschsprung’s disease antara lain berubahnya matriks. Beberapa penelitian terbaru yang dilakukan para ahli mendukung bahwa faktor genetik besar kaitannya sebagai etiologi Hirschsprung’s disease, yaitu kurang lebih 12% dari keseluruhan



kasus. Walaupun banyak perkembangan



yang menunjukkan



kemungkinan peran mekanisme malfungsi gen dalam patofisiologi Hirschsprung’s disease, etiologi kompleks penyakit ini tetap berkaitan dengan dua hal utama, genetik dan microenvironmental, dalam mempengaruhi perkembangan klinis fenotif (Moore, 2010). Selain itu, beberapa kondisi lain yang dicurigai berkaitan dengan penyakit ini antara lain hydrocephalus, diverticulum kandung kemih, Meckel’s diverticulum, imperforated anal, ventricular septal defect, agenesis ginjal, cryptorchidism, Waardenburg’s syndrome, neuroblastoma, dan Ondine’s curse (Diaz, et al., 2015). Terdapat empat jenis kasus Hirschsprung’s disease yang dilaporkan para ahli, yaitu (1) total colon aganglionosis 5



(TCA, 3-8% kasus), (2) total intestinal Hirschsprung’s disease dimana seluruh usus besar terlibat, (3) ultra short segment Hirschsprung’s disease dimana melibatkan rectum bagian distal, dan (4) tidak termasuk Hirschsprung’s disease yang merupakan kondisi yang kontroversial dimana bagian colon yang aganglionosis berada di atas segmen distal yang normal.



2.6 Manifestasi Klinis Menurut (Suriadi, 2001 : 242) manifestasi Penyakit Hirschprung yaitu : a.



Kegagalan lewatnya mekonium dalam 24 jam pertama kehidupan.



b.



Konstipasi kronik mulai dari bulan pertama kehidupan dengan terlihat tinja seperti



pita. c.



Obstruksi usus dalam periode neonatal.



d.



Nyeri abdomen dan distensi.



e.



Gangguan pertumbuhan.



Selain itu, manifestasi klinis menurut (Betz, 2002 : 197) yaitu : A. Masa Neonatal : 1.



Gagal mengeluarkan mekonium dalam 48 jam setelah lahir.



2.



Muntah berisi empedu.



3.



Enggan minum.



4.



Distensi abdomen.



B. Masa bayi dan anak-anak : 1.



Konstipasi



2.



Diare berulang



3.



Tinja seperti pita, berbau busuk



4.



Distensi abdomen



5.



Gagal tumbuh



2.7 Komplikasi Berikut adalah komplikasi penyakit Hirschprung yaitu : a.       Gawat pernapasan (akut)



6



b.      Enterokolitis (akut) c.       Striktura ani (pasca bedah) d.      Inkontinensia (jangka panjang)



2.8 Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan foto polos abdomen dan khususnya barium enema merupakan pemeriksaan diagnostik untuk mendeteksi PH secara dini pada neonatus. Keberhasilaan pemerikasaan radiologi pasien neonatus sangat bergantung pada kesadaran dan pengalaman spesialis radiologi pada penyakit ini, disamping teknik yang baik dalam memperlihatkan tanda-tanda yang diperlukan untuk penegakkan diagnosis. a. Foto Polos Abdomen



Gambar 1. Foto polos abdomen pada noenatus dengan PH PH pada neonatus cenderung menampilkan gambaran obstruksi usus letak rendah. Daerah pelvis terlihat kosong tanpa udara. Gambaran obstruksi usus letak rendah dapat ditemukan penyakit lain dengan sindrom obstruksi usus letak rendah, seperti atresia ileum, sindrom sumbatan mekonium, atau sepsis, termasuk diantaranya enterokolitis nekrotikans neonatal. Foto polos abdomen dapat menyingkirkan diagnosis lain seperti peritonitis intrauterine



7



ataupun perforasi gaster. Pada foto polos abdomen neonatus, distensi usus halus dan distensi usus besar tidak selalu mudah dibedakan. Pada pasien bayi dan anak gambaran distensi kolon dan gambaran masa feses lebih jelas dapat terlihat. Selain itu, gambaran foto polos juga menunjukan distensi usus karena adanya gas. Enterokolitis pada PH dapat didiagnosis dengan foto polos abdomen yang ditandai dengan adanya kontur irregular dari kolon yang berdilatasi yang disebabkan oleh oedem, spasme, ulserase dari dinding intestinal. Perubahan tersebut dapat terlihat jelas dengan barium enema.



b. Barium enema



Pemeriksaan barium enema harus dikerjakan pada neonatus dengan keterlambatan evakuasi mekonium yang disertai dengan distensi abdomen dan muntah hijau, meskipun dengan pemeriksaan colok dubur gejala dan tanda-tanda obstruksi usus telah mereda atau menghilang. Tanda klasik khas untuk PH adalah segmen sempit dari sfingter anal dengan panjang segmen tertentu, daerah perubahan dari segmen sempit ke segmen dilatasi (zona transisi), dan segmen dilatasi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Theodore, Polley, dan Arnold dari tahun 1974 sampai 1985 mendapatkan hasil bahwa barium enema dapat mendiagnosis 60% dari 99 pasien dengan PH.6. Dalam literatur dikatakan bahwa pemeriksaan ini mempunyai sensitivitas 6580% dan spesifisitas 65-100%.8 Hal terpenting dalam foto barium enema adalah



8



terlihatnya zona transisi. Zona transisi mempunyai 3 jenis gambaran yang bisa ditemukan pada foto barium enema yaitu 1. Abrupt, perubahan mendadak. 2. Cone, berbentuk seperti corong atau kerucut. 3. Funnel, bentuk seperti cerobong. Selain itu tanda adanya enterokolitis dapat juga dilihat pada foto barium enema dengan gambaran permukaan mukosa yang tidak teratur. Juga terlihat gambar garis-garis lipatan melintang, khususnya bila larutan barium mengisi lumen kolon yang



berada



dalam



keadaan



kosong.



Pemerikasaan



barium



enema



tidak



direkomendasikan pada pasien yang terkena enterokolitis karena adanya resiko perforasi dinding kolon. c. Foto retensi barium



Retensi barium 24-48 jam setelah pengambilan foto barium enema merupakan hal yang penting pada PH, khusunya pada masa neonatus. Foto retensi barium dilakukan dengan cara melakukan pemeriksaan foto polos abdomen untuk elihat retensi barium. Gambaran yang terlihat yaitu barium membaur dengan feses ke arah proksimal di dalam kolon berganglion normal. Retensi barium dengan obtipasi kronik yang bukan disebabkan PH terlihat semakin ke distal, menggumpal di daerah rektum dan sigmoid. Foto retensi barium dilakukan apabila pada foto enema barium ataupun yang dibuat pasca-evakuasi barium tidak terlihat tanda PH. Apabila terdapat jumlah retensi barium yang cukup signifikan di kolon, hal ini juga meningkatkan kecurigaan PH walaupun zona transisi tidak. 2. Anorectal manometry



9



Pemeriksaan anorektal manometri dilakukan pertama kali oleh Swenson pada tahun 1949 dengan memasukkan balón kecil dengan kedalaman yang berbeda- beda dalam rektum dan kolon. Alat ini melakukan pemeriksaan objektif terhadap fungsi fisiologi defekasi pada penyakit yang melibatkan spingter anorektal. Pada dasarnya, alat ini memiliki 2 komponen dasar yaitu transduser yang sensitif terhadap tekanan seperti balon mikro dan kateter mikro, serta sistem pencatat seperti poligraph atau komputer. Beberapa hasil manometri anorektal yang spesifik bagi penyakit Hirschsprung adalah : 1. Hiperaktivitas pada segmen yang dilatasi. 2. Tidak didapati kontraksi peristaltik yang terkoordinasi pada segmen usus aganglionik; Motilitas usus normal digantikan oleh kontraksi yang tidak terkoordinasi dengan intensitas dan kurun waktu yang berbeda-beda. 3. Refleks inhibisi antara rektum dan sfingter anal internal tidak berkembang. Tidak dijumpai relaksasi spinkter interna setelah distensi rektum akibat desakan feses. Tidak dijumpai relaksasi spontan. Dalam prakteknya pemeriksaan anorektal manometri tersebut dikerjakan apabila hasil pemeriksaan klinis, radiologis, dan histologis meragukan, misalnya pada kasus PH ultra pendek. Laporan positif palsu hasil pemeriksaan manometri berkisar antara 0-62% dan hasil negatif palsu 0-24%. Pada literature disbutkan bahwa sensitivitas manometri ini sekitar 75-100% dan spesifisitasnya 85-95 %. Hal serupa hamper tidak jauh beda dengan hasil penelitian lain yang menyatakan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas 75% dan spesifisitas sebesar 95%. Perlu diingat bahwa refleks anorektal pada neonatus prematur atau neonatus aterm belum berkembang sempurna sebelum berusia 12 hari. Keuntungan metode pemeriksaan anorektal manometri adalah aman, tidak invasif dan dapat segera 10



dilakukan sehingga pasien bisa langsung pulang karena tidak dilakukan anestesi umum. 3. Pemeriksaan Histopatologi



Standar diagnosis untuk PH adalah pemeriksaan histopatologi yang dapat dikerjakan dengan open surgery atau biopsi isap rektum. Pada kolon yang normal menampilkan adanya sel ganglion pada pleksus mienterik (Auerbach) dan pleksus sub-mukosa (Meissner). Diagnosis histopatologi PH didasarkan atas absennya sel ganglion pada kedua pleksus tersebut. Disamping itu akan terlihat dalam jumlah banyak penebalan serabut saraf (parasimpatis). Akurasi pemeriksaan akan semakin tinggi apabila menggunakan pengecatan immunohistokimia asetilkolinesterase, suatu enzim yang banyak ditemukan pada serabut saraf Gambar 4: gambaran manometri anorekatal,yang memakai balon berisi udara sebagai transducernya. Pada penderita Hirschsprung (kanan), tidak terlihat relaksasi sfingter ani. Pada beberapa pusat pediatric dengan adanya peningkatan asetilkolinesterase di mukosa dan submukosa disertai dengan manifestasi gejala yang khas dan adanya foto barium enema yang menunjukkan adanya zona transisi sudah cukup untuk menegakkan



diagnosis



PH.



Hanya



saja



pengecatan



immunohistokimia



asetilkolinesterase memerlukan ahli patologi anatomi yang berpengalaman, sebab beberapa keadaan dapat memberikan interpretasi yang berbeda seperti dengan adanya perdarahan. Disamping memakai pengecatan asetilkolinesterase, juga digunakan pewarnaan enolase spesifik neuron dan pewarnaan protein S-100, metode peroksidase-antiperoksidase yang dapat memudahkan penegakan diagnosis PH. Swenson pada tahun 1955 mempelopori pemeriksaan histopatologi dengan eksisi seluruh tebal dinding otot rektum, untuk mendapatkan gambaran pleksus mienterik. Secara teknis, prosedur ini relatif sulit dilakukan sebab memerlukan 11



anastesi umum, dapat menyebabkan inflamasi dan pembentukan jaringan ikat yang mempersulit tindakan bedah definitif selanjutnya. Disamping itu juga teknik ini dapat menyebabkan komplikasi seperti perforasi, perdarahan rektum, dan infeksi. Noblett tahun 1969 mempelopori teknik biopsi isap dengan menggunakan alat khusus, untuk mendapatkan jaringan mukosa dan sub-mukosa sehingga dapat melihat keberadaan pleksus Meissner. Metode ini dapat dikerjakan lebih sederhana, aman, dan tidak memerlukan anastesi umum serta akurasi pemeriksaan yang mencapai 100%. Akan tetapi, menurut sebuah penelitian dikatakan bahwa akurasi diagnostic biopsi isap rektum bergantung pada specimen, tempat specimen diambil, jumlah potongan seri yang diperiksa dan keahlian dari spesialis patologis anatomi. Apabila semua kriteria tersbeut dipenuhi akurasi pemeriksaan dapat mencapai yaitu 99,7%.9 Untuk pengambilan sampel biasanya diambil 2 cm diatas linea dentate. Diagnosis ditegakkan apabila ditemukan sel ganglion Meisner dan ditemukan penebalan serabut saraf. Apabila hasil biopsi isap meragukan, barulah dilakukan biopsi eksisi otot rektum untuk menilai pleksus Auerbach.



2.9 Penatalaksanaan Pembedahan hirschsprung dilakukan dalam 2 tahap, yaitu dilakukan kolostomi loop atau double-barrel sehingga tonus dan ukuran usus yang dilatasi dan hipertropi dapat kembali normal (memerlukan waktu 3-4 bulan), lalu dilanjutkan dengan 1 dari 3 prosedur berikut : a) Prosedur



Duhamel



:



Penarikan



kolon



normal



kearah



bawah



dan



menganastomosiskannya dibelakang usus aganglionik. b) Prosedur Swenson : Dilakukan anastomosis end to end pada kolon berganglion dengan saluran anal yang dibatasi. c) Prosedur saave : Dinding otot dari segmen rektum dibiarkan tetap utuh. Kolon yang bersaraf normal ditarik sampai ke anus. d) Intervensi bedah Ini terdiri dari pengangkatan ari segmen usus aganglionik yang mengalami obstruksi. Pembedahan rekto-sigmoidektomi dilakukan teknik pull-through dapat dicapai dengan prosedur tahap pertama, tahap kedua atau ketiga, rekto sigmoidoskopi di dahului oleh suatu kolostomi. Kolostomi ditutup dalam prosedur kedua.



12



1)



Persiapan prabedah



a)



Lavase kolon



b)



Antibiotika



c)



Infuse intravena



d)



Tuba nasogastrik



e)



Perawatan prabedah rutin



f)



Pelaksanaan pasca bedah, terdiri dari : • Perawatan luka kolostomi • Perawatan kolostomi • Observasi distensi abdomen, fungsi kolostomi, peritonitis dan peningkatan suhu. • Dukungan orangtua, bahkan kolostomi sementara sukar untuk diterima. Orangtua harus belajar bagaimana menangani anak dengan suatu kolostomi. Observasi apa yang perlu dilakukan bagaimana membersihkan stoma dan bagaimana memakaikan kantong kolostomi. (Betz, 2002 : 198) BAB III ASKEP TEORI



3.1 Pengkajian 1. Identitas Penyakit ini sebagian besar ditemukan pada bayi cukup bulan dan merupakan kelainan tunggal. Jarang pada bayi prematur atau bersamaan dengan kelainan bawaan lain. Pada segmen aganglionosis dari anus sampai sigmoid lebih sering ditemukan pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Sedangkan kelainan yang melebihi sigmoid bahkan seluruh kolon atau usus halus ditemukan sama banyak pada anak laki-laki dan perempuan (Ngastiyah, 1997).



2. Riwayat kesehatan a. Keluhan utama Obstipasi merupakan tanda utama dan pada bayi baru Iahir. Trias yang sering ditemukan adalah mekonium yang lambat keluar (lebih dari 24 jam setelah Iahir), perut kembung dan muntah berwarna hijau. Gejala lain adalah muntah dan diare. 13



b. Riwayat kesehatan sekarang Merupakan kelainan bawaan yaitu obstruksi usus fungsional. Obstruksi total saat Iahir dengan muntah, distensi abdomen dan ketiadaan evakuasi mekonium. Bayi sering mengalami konstipasi, muntah dan dehidrasi. Gejala ringan berupa konstipasi selama beberapa minggu atau bulan yang diikuti dengan obstruksi usus akut. Namun ada juga yang konstipasi ringan, enterokolitis dengan diare, distensi abdomen, dan demam. Diare berbau busuk dapat terjadi



c. Riwayat kesehatan dahulu Tidak ada penyakit terdahulu yang mempengaruhi terjadinya penyakit Hirschsprung



d. Riwayat kesehatan keluarga Tidak ada keluarga yang menderita penyakit ini diturunkan kepada anaknya



e. Riwayat kesehatan lingkungan Tidak ada hubungan dengan lingkungan



f.



Imunisasi Tidak ada imuniasi untuk bayi atau anak dengan penyakit Hirschsprung



3. Pemeriksaan fisik a. Sistem kardiovaskuler



: Tidak ada kelainan



b. Sistem pernapasan



: Tidak ada kelainan



c. Sistem saraf



: Tidak ada kelainan.



d. Sistem lokomotor/musculoskeletal



: Gangguan rasa nyaman : nyeri



e. Sistem endokrin



: Tidak ada kelainan



f.



: Akral hangat, hipertermi



Sistem integument



g. Sistem pendengaran



: Tidak ada kelainan



h. Sistem pencernaan



: Pemeriksaan yang didapatkan sesuai



dengan manifestasi



klinis. Pada survey umum terlihat Iemah atau gelisah.



TTV biasa didapatkan hipertermi dan takikardi dimana menandakan terjadinya iskemia usus dan gejala terjadinya perforasi. Tanda dehidrasi dan demam bisa 14



didapatkan pada kondisi syok atau sepsis diikuti dengan keluarnya udara dan mekonium atau tinja yang menyemprot. Pada pemeriksaan fisik fokus pada area abdomen, lipatan paha, dan rectum akan didapatkan : 1) Inspeksi: Tanda khas didapatkan adanya distensi abnormal. Pemeriksaan rectum dan feses akan didapatkan adanya perubahan feses seperti pita dan berbau busuk 2) Auskultasi: Pada fase awal didapatkan penurunan bising usus, dan berlanjut dengan hilangnya bising usus. 3) Perkusi: Timpani akibat abdominal mengalami kembung. 4) Palpasi: Teraba dilatasi kolon abdominal.



4. Pola Kebiasaan 1. Bernafas :pada pasien hirscprug biasanya mengalami gangguan pola napas atau sesak karena adanya distensi abdomen 2. Makan dan minum : Biasanya pasien yang menderita penyakit hirschprung akan mengalami gangguan pola makan karena pasien yang menderita hirscprung disertai denga muntah-muntah 3. Eliminasi: biasanapasien penderita hirscprung mengalami gangguan eliminasi karena pasien dengan penyakit hirscprung disertai demgan diare 4. Bergerak : biasanya pada pasien hirscprung tidak mengalami gangguan bergerak 5. Tidur dan istirahat : biasanya pada pasien hirscprung takan mengalami gangguan tidur dan istirahat karena nyeri pada perut 6. Pakaian : Biasanya pasien yang mengalami hirscprung tidak ada masalah pada berpakaian 7. Suhu :pada pasien hirscprung akan mengalami gamgguan pola kebutuhan suhu Karena pasien hirscprug mengalami deman diatas normal 37,8 c 8. Kebersihan: pada pasien hirscprung tidak mengalami gangguan pola kebutuhan kebersihan 9. Menghindari bahaya lingkungan : pada pada pasien hirscprung tidak mengalami gangguan pada pola kebutuhan menghindai bahaya lingkungan 10. Berkomunikasi dengan orang lain : pada pasien hiscprung tidak mengalami gangguan pada pola kebutuhan berkomunikasi 11. Beribadah : biasanya pada pasien hirscprung tidak mengalami gangguan kebutuhan beribadah 15



12. Bekerja : Biasanya pada pasien hirscprung akan mengalami gangguan pada pola bekerja/ beraktivitas karena kondisinya lemah 13. Bermain/berekreasi : biasanya pada pasien hirsprung akan mengalami gangguan pola kebutuhan bermain/berekreasi karena kondisi lemah 14. Belajar : Pada pasien hirscprung tidak mengalami gangguan pada kebutuhan belajar atau memanfaatkan fasilitas kesehatan 3.2 Analisi Data Data Subjektif : a.



Biasanya ibu klien mengatakan anaknya dengan perut kembung



b.



Ibu klien biasanya mengatakan muntah berwarna hijau



c.



Ibu klien biasanya mengatakan diare



d.



Ibu klien biasanya mengeluh anaknya demam



e.



Ibu klien biasanya mengeluh anaknya sesak nafas



f.



Ibu klien biasanya mengeluh anaknya tidak nyaman



g.



Ibu klien biasanya mengeluh anaknya nyeri saat di pegang



Data Objektif : a.



Klien tampak obstipasi.



b.



Tampak mekonium yang lambat keluar.



c.



Ada obstruksi usus yang fungsional.



d.



Terjadi distensi abdomen.



e.



Klien konstipasi selama beberapa minggu/ bulan.



f.



Terjadi obstruksi usus akut.



g.



Distress pernafasan.



h.



Akral teraba hangat.



3.3 Diagnosa Keperawatan 1. Gangguan eliminasi BAB : obstipasi berhubungan dengan spastis usus dan tidak adanya daya dorong. 2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang inadekuat. 3. Resiko kekurangan cairan tubuh berhubungan muntah dan diare. 4. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan adanya distensi abdomen. 5. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan distensi abdomen 16



6. Nyeri akut berhubungan dengan insisi pembedahan 7. Kurang pengetahuan berhubungan dengan keadaan status kesehatan anak



17



3.4 Intervensi Keperawatan NO



1



PERENCANAAN



DIAGNOSA KEPERAWATAN Gangguan eliminasi BAB : obstipasi



TUJUAN Dapat



berhubungan dengan spastis usus dan dengan tidak adanya daya dorong



KRITERIA HASIL



melakukan



eliminasi



beberapa



adaptasi



sampai fungsi eliminasi secara normal dan bisa dilakukan



INTERVENSI



RASIONAL



1. Mual muntah berkurang



1. Monitor bising usus setiap 2 jam sekali



2. Defekasi lencer



2. Monitor



3. Tidak memuntahkan ASI dan formula yang diberikan



pergerakan



usus,



meliputi



frekuensi, konsistensi, bentuk, volume, dan warna dengan cara yang tepat 3. Monitor tanda – tanda vital 4. Jaga intake/asupan yang akurat dan catat output 5. Anjurkan ibu untuk memberikan ASI pada anaknya setiap 2 jam 6. Berikan terapi IV, jika diperlukan 7. Kolaborasi dengan dokter tentang rencana pembedahan



1. Untuk mengetahui pergerakan usus 2. Untuk mengetahui konsistensis , frekuensi, bentuk, volume, warna feses 3. Untuk mengetahui adanya tanda – tanda syok 4. Menjaga keseimbangan cairan dalam tubuh pasien 5. Agar asupan cairan tubuh seimbang 6. Membantu memenuhi cairan dalam tubuh 7. Untuk melanjutkan pengobatan selanjutnya



2



Gangguan



nutrisi



kebutuhan



tubuh



kurang



berhubungan



dengan intake yang inadekuat. 18



dari Asupan nutrisi dapat terpenuhi



1. Berat badan normal



1. Timbang pasien secara berkala



2. Intake ASI/formula yang adekuat



2. Monitor tanda- tanda vital



3. Mual/muntah berkurang



3. Monitor makanan/cairan yang dikonsumsi



1. Mengetahui penurunan atau peningkatan berat badan 2. Mengetahui tanda – tanda syok



4. Nafsu makan meningkat



4. Tingkatkan asupan oral (ASI/formula)



3. Mengetahui asupan cairan yang



5. Gunakan sute alternative (NGT dan



masuk pada tubuh



parenteral), jika diperlukan



4. Membantu meningkatkan asupan nutrisi 5. Nutrisi parenteral dibutuhkan jika kebutuhan per-oral yang sangat kurang dan untuk mengantisipasi pasien yang sudah mulai merasa mual dan muntah



3



Resiko kekurangan cairan tubuh Asupan cairan tubuh dapat terpenuhi berhubungan muntah dan diare.



1. Tidak terjadi tanda – tanda dehidrasi 2. Tanda – tanda vital dalam rentang normal 3. Intake ASI/formula yang adekuat 4. Mual/muntah berkurang



1. Timbang pasien secara berkala



1. Mengetahui adanya penurunan



2. Monitor tanda – tanda vital 3. Monitor



perubahan



status



atau peningkatan berat badan paru



jantung yang menunjukkan



atau



kelebihan



cairan atau dehidrasi status



hidrasi



status paru dan jantung



(misalnya,



membrane mukosa lembab, denyut nadi adekuat, dan tekanan darah ortostatik) 6. Intruksikan



anggota



keluarga



untuk



mencatat warna, volume, frekuensi dan konsistensi tinja 19



tanda syok 3. Mengetahui adanya perubahan



4. Amati turgor kulit secara berkala 5. Monitor



2. Mengetahui adanya tanda –



4. Untuk mengetahui status hidrasi 5. Untuk mengetahui status hidrasi 6. Mengetahui karakteristik dari



7. Berikan terapi IV, seperti yang ditentukan 8. Tingkatkan intake/cairan per oral 9. Posisikan untuk mencegah aspirasi 10. Konsultasikan dengan dokter jika tanda – tanda dan gejala kelebihan volume cairan menetap atau memburuk



tinja 7. Membantu memenuhi kebutuhan cairan dalam tubuh 8. Meningkatkan asupan cairan dalam tubuh 9. Mencegah aspirasi saat muntah 10. Untuk melakukan tindakan selanjutnya



4



Gangguan rasa nyaman berhubungan Diharapkan kebutuhan rasa



1. Bayi/ anak tidak menangis



dengan adanya distensi abdomen.



2. Bayi.anak tenang



nyaman terpenuhi



3. Tidak mengalami gangguan pola tidur



1. Sarankan orang tua hadir selama prosedur pengobatan 2. Berikan tindakan kenyamanan sesuai usia 3. Kaji nyeri 4. Ciptakan lingkungan yang mendukung dan penuh kasih saying 5. Berikan analgetik yang sesuai



1. Untuk kenyamanan anak 2. Menyediakan manajemen nyeri non- pharcological 3. Mengetahui tingkat nyeri dan menentikan



tindakan



selanjutnya 4. Terapi menggabungkan budaya klien dan usia serta faktor perkembangan 5. Mengurangi nyeri



5



Ketidakefektifan berhubungan abdomen



pola dengan



nafas Pola nafas pasien paten distensi



1. Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, iram



2. Monitor respirasi dan status O2



nafas, frekuensi pernafasan dalam



3. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara



rentang normal, tidak ada suara nafas 20



1. Monitor tanda – tanda vital secara berkala



1. Untuk



mengetahui



tanda







tanda syok 2. Mengetahui status O2 dalam



abnormal) 2. Tanda – tanda vital dalam rentang normal 3. Tidak ada sianosis dan dispnea



tambahan 4. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi 5. Atur intake cairan untuk mengoptimalkan keseimbangan



tubuh dan respirasi 3. Mengetahui



adanya



suara



tambahan 4. Untuk



memaksimalkan



ventilasi dan mencegah aspirasi 5. Mengoptimalkan keseimbangan cairan dalam tubuh



6



Nyeri akut berhubungan dengan Rasa nyeri dapat berkurang



1. Bayi/anak tidak menangis



1. Monitor tanda – tanda vital



insisi pembedahan



2. Bayi/anak tenang



2. Observasi dan monitor skala nyeri



3. Tidak mengalami gangguan pola



3. Anjurkan keluarga berada disisi klien



tidur 4. Nyeri dapat berkurang ke skala 0- 2



untuk meningkatkan rasa aman dan mengurangi ketakutan 4. Dorong keluarga untuk mendapingi klien dengan cara yang tepat 5. Ciptakan lingkungan yang tenang dan mendukung 6. Berikan sentuhan usapan yang lembut dan menenangkan pada anak/bayi 7. Berikan pijatan bagian tubuh dan lembut dan menenangkan 8. Berikan analgesik sesuai resep



21



1. Untuk



mengetahui



tanda







tanda syok 2. Mengetahui tingkat nyeri 3. Memberikan rasa nyaman dan tenang pada klien 4. Memberikan rasa aman dan tenang pada klien 5. Mendukung



keamanan



dan



ketenangan pada klien 6. Memberikan rasa aman dan tenang



pada



klien



untuk



distraksi rasa nyeri 7. Memberikan rasa aman dan tenang



pada



klien



untuk



distraksi rasa nyeri 8. Mengurangi nyeri 7



Kurang pengetahuan berhubungan Pengetahuan orang tua tentang dengan keadaan status kesehatan kesehatan anaknya dapat anak



bertambah



1. Ibu mengungkapan suatu pemahan tentang proses penyakitnya 2. Ibu memahami terapi yang di programkan oleh dokter



1. Jelaskan pada ibu tentang penyakit yang dialami oleh anaknya 2. Berikan ibu jadwal pemeriksaan diagnostik 3. Berikan informasi tentang rencana operasi 4. Berikan penjelasan pada ibu tentang perawatan setelah operasi



A.



22



1. Untuk



mengetahui



perkembangan anaknya 2. Mengurangi kecemasan 3. Mengurangi ras kecemasan 4. Untuk pengetahuan



meningkatkan ibu



perawatan anaknya



dalam



3.5 Implementasi Implementasi adalah pengolahan dari perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan. Jenis tindakan pada implementasi ini terdiri dari tindakan mandiri, saling ketergantungan / koaborasi dan tindakan rujukan / ketergantungan implementasi tindakan keperawatan disesuaikan dengan rencana tindakan keperawatan. 



3.6 Evaluasi 1. Gangguan eliminasi BAB : obstipasi berhubungan dengan spastis usus dan tidak adanya daya dorong dapat teratasi dengan kriteria hasil a. Pola eliminasi berfungsi normal dengan kriteria defekasi normal 2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang inadekuat dapat teratasi dengan kriteria hasil a. Kebutuhan nutrisi terpenuhi 3. Resiko kekurangan cairan tubuh berhubungan muntah dan diare dapat teratasi dengan kriteria hasil a. Kebutuhan cairan dapat terpenuhi dengan kriteria tidak mengalami dehidrasi, turgor kulit normal 4. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan adanya distensi abdomen dapat teratasi dengan kriteria hasil a. Kebutuhan rasa nyaman terpenuhi dengan kriteria tenang, tidak menangis, tidak mengalami gangguan pola tidur. 5. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan distensi abdomen dapat teratasi dengan kriteria hasil a. Pola nafas efektif b. Kecepatan dan irama pernafasan dalam batas nomal 6. Nyeri akut berhubungan dengan insisi pembedahan dapat teratasi dengan kriteria hasil a. Nyeri berkurang b. Kebutuhan rasa nyaman terpenuhi dengan kriteria tenang, tidak meringis, tidak mengalami gangguan pola tidur 7. Kurang pengetahuan berhubungan dengan keadaan status kesehatan anak dapat teratasi dengan kriteria hasil a. Pengetahuan orang tua bertambah tentang kesehatan anaknya



23



Predisposisi genetik gangguan perkembnngan dari sistem saraf enterik dengan tidak adanya sel – sel ganglion bagian distal kolon



WOC Ketidakmampuan pengembangan dan pengempisan pada area aganglionik



Penyakit Hirschprung



Gerakan peristaltik tidak teratur



Obstruksi pada usus



Tidak dapat mendorong bahan – bahan yang dicerna



Konstipasi



Perut membesar dan distensi abdomen



MK : Gangguan Rasa Nyaman



MK : Resiko kekurangan cairan tubuh



24



konstipasi



Obstruksi kolon proksimal



penyumbatan



Penimbunan feses MK : Ketidakefektifan pola nafas



Obstruksi kolon distal



MK : Gangguan eliminasi



G3 gastrointestinal



Intervensi pembedahan



Kerusakan jaringan pascabedah



Mual, muntah, kembung MK : Nyeri Akut anoreksia



MK : Kebutuhan nutisi kurang dari kebutuhan



MK : Kurang Pengetahuan



BAB IV PENUTUP 3.1 Kesimpulan Penyakit Hisprung disebut juga kongenital aganglionik megakolon. Penyakit ini merupakan keadaan usus besar (kolon) yang tidak mempunyai persarafan (aganglionik). Jadi, karena ada bagian dari usus besar (mulai dari anus kearah atas) yang tidak mempunyai persarafan (ganglion), maka terjadi “kelumpuhan” usus besar dalam menjalanakan fungsinya sehingga usus menjadi membesar (megakolon). Panjang usus besar yang terkena berbeda-beda untuk setiap individu. Penatalaksanaan yang benar mengenai penyakit hisprung harus difahami dengan benar oleh seluruh pihak. Baik tenaga medis maupun keluarga. Untuk tecapainya tujuan yang diharapkan perlu terjalin hubungan kerja sama yang baik antara pasien, keluarga, dokter, perawat maupun tenaga medis lainnya dalam mengantisipasi kemungkinan yang terjadi. 3.2 Saran Kami berharap setiap mahasiswa mampu memahami dan mengetahui tentang penyakit hisprung. Walaupun dalam makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan.



25



DAFTAR PUSTAKA



Bulechek, Gloria M, Howa d K. But her, Joanne M.Dochterman, Cheryl M.Wagner. 2016. Nursing Intervensions Classification (NIC). Jakarta : Elsevier CAHYANINGSIH DWI. 2013. ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN PADA ANAK DENGAN POST KOLOSTOMI HARI KE-2 KARENA HIRSCHPRUNG DI RUANG TERATAI LANTAI 3 UTARA RSUP FATMAWATI. lib.ui.ac.id (Diases 13 Maret 2021) Dianita ayu.R 2015. Hirschprung disease. Fakultas kedokteran



Universitas Brawijaya.



https://id.scribd.com/document/265104694/LP-Hisprung akses : 11 maret 2021 pukul 20.00 WITA Fitroh



Nasrowi.



Keperawatan



pada



penyakit



hisprung.



Academi.edu



https://www.academia.edu/37614378/Askep_Hisprung_Asuhan_Keperawatan_pada_Penyakit_Hispru ng akses : 11 maret 2021 pukul 20.15. Herdman, T. Heather, Shigemi Kamitsuru.2018. Nanda-I Diagnosis Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi. Jakarta : EGC Motorhead, Sue, Marion Johnson, Meridean L.Maas, Elizabeth Swanson. 2016. Nursing Outcomes Classification (NOC). Jakarta: Elsevier Santosa Yohanes. 2017. CONGENITAL MEGACOLON (HIRSCHSPRUNG'S DISEASE). Link : spesialis1.iba.fk.unair.ac.id (Diases 13 Maret 2021) Sinta.



2011.



BAB



II



KAJIAN



PUSTAKA



2.1



Hirschsprung's



Disease.



Link



:



sinta.unud.ac.id (Diases 13 Maret 2021) Trisnawan Putu,dkk. 2016. METODE DIAGNOSIS PENYAKIT HIRSCPRUNG. Link : ojs.unud.ac.id (diakses 13 Maret 2021)



26