7 0 1 MB
Case Report Session
PENYAKIT JANTUNG REMATIK
Oleh: Kenty Regina
1840312455
Preseptor DR. Dr. Yusri Dianne Jurnalis, Sp A (K)
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK RSUP DR. M DJAMIL FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS PADANG 2019
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI ...................................................................................................
2
DAFTAR TABEL….……...............................................................................
3
BAB I. PENDAHULUAN ..............................................................................
4
1.1. Latar Belakang .................................................................................
4
1.2. Batasan Masalah...............................................................................
5
1.3. Tujuan Penulisan .............................................................................
5
1.4. Manfaat Penulisan............................................................................
5
1.5. Metode Penulisan.............................................................................
5
BAB II.TINJAUAN PUSTAKA ……...........................................................
6
2.1. Demam rematik dan Penyakit Jantung Rematik ........……..............
6
2.2. Gagal Jantung Kongestif .………………………………….............
21
BAB III. LAPORAN KASUS ......................................................................
33
BAB IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN ……………………………..
51
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
56
LAMPIRAN.....................................................................................................
59
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
2
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 2.1
: Kriteria Jones sebagai pedoman diagnosis rheumatic fever 19
Tabel 2.2
: Kriteria diagnosis WHO 2002-2003 dalam Mendiagnosis
20
Rheumatic Fever dan RHD Tabel 2.3
: Manifestasi klinis gagal jantung menurut American Heart
26
Association Tabel 2.4
: Obat-obatan profilaksis primer untuk rheumatic fever
29
Tabel 2.5
: Obat-obatan Profilaksis Sekunder untuk Rheumatic Fever
30
Tabel 2.6
: Durasi Profilaksis Sekunder untuk Rheumatic Fever
30
Tabel 2.7
: Obat-obatan untuk Mengatasi Gagal Jantung pada Rheumatic 32 Fever
Tabel 2.8
: Tirah Baring yang Dianjurkan pada Rheumatic Fever
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
32
3
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit jantung reumatik (Rheumatic Heart Disease) merupakan penyakit jantung didapat yang sering ditemukan pada anak. Penyakit jantung reumatik (PJR) merupakan kelainan katup jantung yang menetap akibat demam reumatik akut sebelumnya, terutama mengenai katup mitral (75%) dan aorta (25%).1,2 Malfungsi katup dapat menimbulkan kegagalan pompa baik karena kelebihan beban tekanan atau kelebihan beban volume dan menyebabkan gagal jantung kongestif.3 Penyebab penyakit ini adalah reaksi autoimun yang disebabkan demam rematik. Infeksi strepptococcus β-hemolitikus grup A pada tenggorokan selalu mendahului terjadinya demam rematik. Data dari WHO menyebutkan bahwa faringitis adalah infeksi yang paling umum disebabkan oleh Streptokokus β-hemolitikus grup A baik negara berkembang maupun negara maju.3 Pada tahun 2012, diperkirakan terdapat 15,6 juta orang di dunia dengan penyakit jantung rematik dan 1,9 juta lainnya dengan riwayat demam rematik akut tanpa karditis. Terdapat sekitar 470.000 kasus baru demam rematik akut setiap tahun dan lebih dari 230.000 kematian pertahun akibat PJR.1,2 Berdasarkan data dari RS Jantung Harapan Kita, peningkatan kasus gagal jantung akibat penyakit jantung rematik dimulai pada 1997 dengan 248 kasus, kemudian melaju dengan cepat hingga mencapai puncak pada tahun 2000 dengan 532 kasus. 4 Telah diketahui bahwa dalam hal terjadinya demam rematik terdapat beberapa predisposisi antara lain terdapat riwayat demam rematik dalam keluarga, umur antara 5-20 tahun dan jarang pada usia kurang dari 2 tahun, dan lain-lain.4 Dengan data perkembangan seperti ini, penyakit jantung kongestif oleh kelainan katup yang disebabkan penyakit reumatik akan menyebabkan permasalahan yang signifikan bagi mayarakat. Dalam kurun beberapa tahun ke depan, angka statistik ini memiliki kemungkinan
bergerak naik bila tidak
memperhatikan faktor risiko utama yang menjadi awal mula penyakit ini. Hal ini memnyebabkan dibutuhkan pemahaman seputar gagal jantung kongestif akibat penyakit jantung rematik yang disebabkan demam rematik akut.
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
4
1.2 Batasan Masalah Case report session ini membahas mengenai definisi, klasifikasi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, dan penatalaksanaan dari penyakit jantung rematik. 1.3 Tujuan Penulisan Mengetahui definisi, klasifikasi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, dan penatalaksanaan dari penyakit jantung rematik. 1.4 Manfaat Penulisan Menambah pengetahuan tentang definisi, klasifikasi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, dan penatalaksanaan dari penyakit jantung rematik. 1.5 Metode Penulisan Penulisan Case report session ini merujuk pada berbagai kepustakaan dan literatur.
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Demam Reumatik 2.1.1 Definisi Demam rematik merupakan suatu penyakit peradangan yang berkembang sebagai suatu komplikasi dari suatu infeksi Streptokokus beta hemolitikus grup A di faring yang tidak mendapatkan pengobatan atau mendapatkan pengobatan yang kurang adekuat. Demam rematik bukan merupakan suatu infeksi, tetapi merupakan suatu reaksi peradangan terhadap infeksi, yang menyerang berbagai bagian tubuh (misalnya persendian, jantung, kulit).5,6 2.1.2 Etiologi Terdapat bukti-bukti yang mendukung adanya hubungan antara infeksi saluran nafas bagian atas oleh Streptococcus β-hemolyticus grup A dengan demam rematik akut serta penyakit jantung rematik. Sebanyak 2/3 dari pasien yang menderita demam rematik akut, mempunyai riwayat infeksi saluran nafas bagian atas beberapa minggu sebelumnya, dan angka insidens dari demam rematik akut hampir sama dengan infeksi Streptococcus β-hemolyticus grup A. Pasien dengan demam rematik akut hampir selalu mempunyai hasil serologi yang menunjukan adanya infeksi Streptococcus β-hemolyticus grup A baru-baru ini. Titer antibodi pasien-pasien tersebut lebih tinggi dibandingkan pasien-pasien dengan infeksi Streptococcus β-hemolyticus grup A tanpa diikuti demam rematik akut. Wabah faringitis oleh Streptococcus β-hemolyticus grup A pada kelompokkelompok masyarakat yang tertutup seperti di asrama dan pangkalan militer, dapat pula diikuti oleh wabah demam rematik akut. Terapi antimikroba yang digunakan untuk mengeliminasi Streptococcus β-hemolyticus grup A dari faring dapat pula mencegah episode awal dari demam rematik akut, dan sebagai upaya jangka panjang, pengobatan profilaksis yang diberikan untuk mencegah terjadinya faringitis oleh Streptococcus β-hemolyticus grup A kembali, juga dapat mencegah kekambuhan dari demam rematik akut.5,6,7,8,9 Streptococcus β-hemolyticus grup A merupakan bakteri kokus gram-positif, yang sering berkolonisasi di kulit dan orofaring. Bakteri ini dapat menimbulkan penyakit-penyakit supuratif, seperti faringitis, impetigo, selulitis, miositis dan Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
6
pneumonia. Streptococcus β-hemolyticus grup A juga dapat menimbulkan penyakit-penyakit non-supuratif seperti demam reumatik, post-streptokokus glomerulonefritis akut. Streptococcus β-hemolyticus grup A mengeluarkan toksin sitolitik yaitu streptolisin S dan O. Dari kedua jenis toksin ini, streptolisin O menimbulkan titer antibodi yang cukup tinggi dan persisten sehingga menjadi marker berguna untuk mendeteksi adanya infeksi Streptococcus β-hemolyticus grup A dan komplikasinya yang bersifat non-supuratif. 5,6,7,8,9 Hubungan pasti antara infeksi Streptococcus β-hemolyticus grup A dengan timbulnya demam rematik tidak jelas, tetapi terdapat dugaan dimana bakteri ini „mempermainkan‟ sistem imun tubuh. Streptococcus β-hemolyticus grup A memiliki protein yang serupa dengan protein yang ditemukan pada jaringanjaringan tertentu tubuh manusia. Oleh sebab itu, sel sistem imun yang biasanya menyerang bakteri Streptococcus β-hemolyticus grup A dapat memperlakukan jaringan-jaringan tubuh tersebut, terutama jaringan jantung, persendian, kulit dan sistem saraf pusat, sebagai suatu agen infeksi. Reaksi sistem imun inilah yang menyebabkan proses peradangan. 5,6,7,8,9 Tidak semua serotipe Streptococcus β-hemolyticus grup A dapat menyebabkan demam rematik. Terdapat suatu konsep rhematogenicity dari terinfeksinya penyakit ini. Serotipe Streptococcus β-hemolyticus grup A tertentu (M tipe 1, 3, 5, 6, 18, 24) sering diisolasikan dari pasien dengan demam reumatik akut dibandingan serotipe lainnya. 5,6,7,8,9 Seperti yang telah terurai diatas, demam reumatik dipercaya timbul akibat suatu respon autoimun, namun patogenesis pastinya masih belum jelas. Demam reumatik hanya timbul pada anak-anak dan remaja yang sebelumnya telah menderita faringitis oleh Streptococcus β-hemolyticus grup A, dan hanya infeksi faring tersebut yang dapat mencetuskan atau mereaktivasi demam rematik. 5,6,7,8,9 2.1.3 Faktor Resiko Faktor-faktor yang dapat meningkatkan resiko terjadinya demam rematik adalah:5,6,9
Riwayat keluarga. Beberapa orang memiliki gen yang membuat mereka menjadi lebih rentan untuk terkena demam rematik.
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
7
Serotipe Streptococcus β-hemolyticus grup A. Beberapa strain tertentu lebih berperan dalam timbulnya demam rematik dibandingkan strain lainnya.
Faktor-faktor lingkungan. Resiko penting yang juga berperan dalam terjadinya demam rematik berhubungan dengan kepadatan penduduk, sanitasi yang buruk, dan kondisi-kondisi lain yang dapat mempermudah transmisi cepat atau paparan berulang dari Streptococcus β-hemolyticus grup A. 6,8
2.1.4 Epidemiologi Evolusi dari demam rematik cukup signifikan. Angka kejadian penyakit ini pada awal abad ke-20 sangat tinggi (100-200 kasus per 100.000 penduduk di Amerika Serikat pada tahun 1900 dan 50 per 100.000 pada tahun 1940). Dulu demam rematik merupakan salah satu penyebab terbesar dari kematian pada anakanak dan remaja, dan penyebab penyakit jantung didapat pada dewasa muda. Hingga awal tahun 1980 terjadi penurunan tajam sekitar 0,5 per 100.000 di Amerika Serikat. Sejak saat itu, telah terjadi wabah demam rematik di beberapa daerah. Di Eropa telah terjadi penurunan serupa dari angka kejadian demam rematik dan telah menjadi penyakit yang jarang ditemui. Penjelasan dari penurunan tajam dari insidensi demam reumatik akut dan penyakit jantung reumatik di Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya tidak jelas.1,2,4,5 Menurut sejarah, demam reumatik akut telah dikaitkan dengan kemiskinan, terutama didaerah-daerah perkotaan. Kemungkinan penyebab dari penurunan tersebut pada era sebelum tersedianya antibiotik, adalah karena perbaikan kondisi lingkungan hidup. Beberapa penelitian menunjukan bahwa berbagai manifestasi dari kemiskinan, kepadatan, yang sangat berperan dalam penyebaran infeksi Streptococcus β-hemolyticus grup A, adalah yang paling berkaitan dengan insidensi demam reumatik akut. Penurunan insidensi demam reumatik akut di negara-negara maju pada 4 dekade terakhir ini juga disebabkan karena ketersediaan pelayanan kesehatan yang memadai dan penggunaan antibiotik. Terapi antibiotik untuk faringitis oleh Streptococcus β-hemolyticus grup A penting perannya dalam pencegahan serangan awal dan juga pencegahan terhadap kekambuhannya. Sebagai tambahan, penurunan tersebut juga menunjukan
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
8
prevalensi strain Streptococcus β-hemolyticus grup A yang bersifat reumatogenik menjadi non-reumatogentik. 1,2,4,5 Di negara-negara berkembang, demam rematik merupakan suatu epidemik dan menetap sebagai penyebab utama dari penyakit jantung didapat. Penyakit ini juga merupakan penyebab utama dari kematian kelompok usia dibawah 50 tahun, dan insidensi annual dari demam rematik adalah 100-200 kali lebih besar dibanding di negara-negara maju. demam rematik biasanya terjadi pada anak-anak usia 5-15 tahun. Jarang terjadi sebelum usia 3 tahun dan 92% kasus terjadi hingga usia 18 tahun. Demam rematik merupakan komplikasi dari infeksi Streptococcus β-hemolyticus grup A pada orang yang terpredisposisi. Kurang dari 2-3% dari orang yang sebelumnya sehat terkena demam rematik yang diikuti faringitis streptokok. Demam rematik tidak terjadi setelah pioderma streptokok. 1,2,4,5 Prevalensi demam rematik di Indonesia belum diketahui secara pasti, meskipun beberapa penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa prevalensi penyakit jantung rematik berkisar 0,3 sampai 0,8 per 1.000 anak sekolah. Dengan demikian, secara kasar dapat diperkirakan bahwa prevalensi demam rematik di Indonesia pasti lebih tinggi dari angka tersebut, mengingat penyakit jantung rematik merupakan akibat dari demam rematik.6 2.1.5 Patogenesis Hubungan patogenik antara infeksi saluran napas bagian atas oleh Streptococcus β-hemolyticus grup A dengan demam reumatik akut masih belum jelas. Salah satu rintangan terbesar dari usaha untuk memahami patogenesis demam rematik akut dan penyakit jantung rematik adalah tidak terdapatnya binatang percobaan. Banyak teori dari demam rematik akut dan penyakit jantung reumatik yang telah diusulkan, namun hanya 2 yang dapat dipertimbangkan yaitu the cytotoxicity theory dan teori imunologik.5,7,8 The cytotoxicity theory berpendapat bahwa suatu toxin dari Streptococcus βhemolyticus grup A terlibat dalam patogenesis demam rematik akut dan penyakit jantung reumatik. Toksin ini akan beredar melalui pembuluh darah dan mempengaruhi sistem tubuh lainnya. Streptococcus β-hemolyticus grup A memproduksi berbagai enzim yang bersifat sitotoksik untuk sel jantung mamalia, seperti streptolisin O, yang mempunyai efek sitotoksik langsung terhadap sel
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
9
mamalia dalam kultur jaringan. Pendukung terbanyak dari teori cytotoxicity berpusat pada enzim ini. Namun, salah satu masalah utama dari hipotesis ini adalah ketidakmampuannya untuk menjelaskan periode laten antara faringitis oleh Streptococcus β-hemolyticus grup A dengan onset dari demam reumatik akut. 5,7,8 Teori imunologik menyatakan adanya suatu immune-mediated patogenesis untuk demam rematik akut dan penyakit jantung rematik. Munculnya teori ini oleh karena adanya persamaan manifestasi klinik dari demam rematik akut dengan penyakit-penyakit lain yang disebabkan oleh proses imunopatogenik dan adanya periode laten antara infeksi Streptococcus β-hemolyticus grup A dengan demam rematik akut.4 Teori ini menyatakan bahwa penyakit ini disebabkan oleh sistem imun tubuh yang bertindak tidak sesuai. Sel imun tubuh (antibody), yang dibuat secara spesifik untuk mengenali dan menghancurksn agen penyebab penyakit yang memasuki tubuh – dalam hal ini, Streptococcus β-hemolyticus grup A. Antibodi ini mampu mengenali bakteri ini karena bakteri ini mengandung marker spesifik sebagai tanda pengenal yang disebut antigen. Determinan antigenik antara komponen Streptococcus β-hemolyticus Grup A (protein M, membran protoblas, karbohidrat dinding sel grup A, kapsul hialuronat) dan jaringan spesifik mamalia (jantung, otak, persendian) serupa. Sebagai contoh, beberapa M protein (M1, M5, M6, M19) berbagi epitop dengan tropomiosin dan miosin pada manusia. Oleh karena adanya persamaan antara antigen Streptococcus β-hemolyticus grup A dan antigen sel-sel tubuh tertentu, maka antibodi tersebut dapat salah mengenali dan menyerang sel tubuh sendiri.5,6,7,8 Infeksi saluran nafas bagian atas oleh Streptococcus β-hemolyticus grup A adalah pencetus utama dari individu yang terpredisposisi. Usaha terakhir untuk menerangkan suspektabilitas pejamu terhadap kuman ini adalah gen respon imun yang ditemukan pada sekitar 15% seluruh populasi. Respon imun yang dicetuskan oleh kolonisasi Streptococcus β-hemolyticus grup A di faring meliputi: (1) sensitisasi dari limfosit B oleh antigen streptokokus. (2) pembentukan antibodi antistreptokokus. (3) pembentukan kompleks imun yang mengalami reaksi silang dengan antigen sarkolema jantung. (4) respon inflamasi dari miokardium dan katup jantung. 5,6,7,8
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
10
2.1.6 Gejala Klinis Karena tidak terdapatnya manifestasi klinis dan temuan laboratorium yang patognomik untuk demam rematik akut, T. Ducket Jones, pada tahun 1944, mengusulkan pedoman untuk mendiagnosis demam rematik akut dan untuk mencegah overdiagnosis. Kriteria Jones, yang telah direvisi pada tahun 1992 oleh American Heart Association, dibuat dengan maksud untuk mendiagnosis serangan pertama dari demam rematik akut dan bukan untuk serangan ulangan. Terdapat 5 kriteria mayor dan 4 kriteria minor dan persyaratan absolut (mikrobiologik atau serologik) dari bukti adanya infeksi Streptococcus β-hemolyticus Grup A barubaru ini. Diagnosis dari demam rematik akut akut dapat ditegakan dari kriteria Jones jika seorang pasien memenuhi 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor serta memenuhi persyaratan absolut. Meskipun dengan aplikasi ketat dari kriteria Jones, overdiagnosis atau underdiagnosis dari demam rematik akut masih dapat terjadi.8,9 Ada tiga keadaan dimana diagnosis demam rematik akut dapat dibuat tanpa penetapan ketat dari kriteria Jones. Korea mungkin timbul sebagai manifestasi klinis satu-satunya dari demam reumatik akut. Keadaan yang sama mirip dengan seorang pasien yang dengan karditis dan baru datang berobat pertama kali berbulan-bulan setelah onset demam reumatik. Beberapa pasien dengan serangan ulangan dapat memenuhi kriteria Jones, beberapa lainnya tidak. 8,9 a. Manifestasi Mayor Terdapat 5 kriteria mayor. Adanya 2 kriteria mayor dengan bukti (mikrobiologik atau serologik) dari infeksi Streptococcus β-hemolyticus Grup A sebelumnya memenuhi kriteria Jones. 1. Poliartritis Migran Artritis timbul pada 75% pasien dengan demam rematik akut dan sering melibatkan sendi-sendi besar, terutama sendi lutut, pergelangan kaki, pergelangan tangan, dan siku. Keterlibatan tulang belakang, sendi-sendi kecil dari tangan dan kaki, atau sendi panggul sangat jarang. Persendian yang terkena rematik secara umum ditandai oleh adanya nyeri, pembengkakan, kemerahan, teraba panas, dan keterbatasan gerak aktif; bahkan jika bersinggungan dengan sprei menimbulkan perasaan tidak enak. Nyeri ini dapat berlanjut dan dapat tampak tidak sesuai
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
11
dengan temuan klinis lainnya. Keterlibatan sendi pada demam rematik akut bersifat migratory atau berpindah-pindah, sendi yang mengalami peradangan yang sangat berat dapat menjadi normal dalam waktu 1-3 hari tanpa pengobatan, sementara sendi-sendi lainnya mulai meradang. Sehingga dapat ditemukan artritis yang saling tumpang tindih pada beberapa sendi pada waktu yang bersamaan. Keluhan ini dapat menetap hingga berminggu-minggu (2-4 minggu). Artritis monoartikuler jarang terjadi kecuali jika terapi anti-inflamasi diberikan sejak awal sehingga mencegah progresifitas dari poliartritis migran. 5,6,7,8,9 Jika seorang anak dengan demam dan artritis dicurigai menderita demam rematik akut, biasanya akan membantu jika pemberian salisilat ditunda dan pasien diobservasi untuk poliartritis. Respon dramatis terhadap dosis salisilat yang kecil pun adalah salah satu karakteristik untuk artritis dan tidak adanya respon itu menandakan diagnosis alternatif yang lain. Rematik artritis tidak menyebabkan deformitas dan kerusakan sendi jangka panjang. Cairan sinovial pada demam rematik akut biasanya mengandung 10.000-100.000 sel darah putih/mm3 dengan sel dominan neutrofil, protein sebanyak 4 g/dL, kadar glukosa yang normal dan terjadi pembentukan gumpalan musin. Akhir-akhir ini artritis merupakan manifestasi awal dari demam rematik akut dan terdapat hubungan sementara dengan tingginya titer antibodi dari Streptococcus β-hemolyticus Grup A. Ada hubungan yang jelas antara beratnya artritis dengan beratnya keterlibatan jantung. 5,6,7,8,9
2. Karditis Karditis merupakan manifestasi klinik demam rematik yang paling berat karena merupakan satu-satunya manifestasi yang dapat mengakibatkan kematian penderita pada fase akut dan dapat menyebabkan kelainan katup sehingga terjadi penyakit jantung rematik.7 Diagnosis karditis rematik dapat ditegakan secara klinis berdasarkan adanya salah satu tanda berikut: (a) bising baru atau perubahan sifat bising organik, (b) kardiomegali, (c) pankarditis, dan gagal jantung kongestif. 7
Pankarditis
adalah
peradangan
aktif
miokardium,
perikardium
dan
endokardium.7 Miokarditis dan atau perikarditis tanpa bukti adanya endokarditis jarang disebabkan oleh penyakit jantung rematik. Kebanyakan kasus melibatkan kerusakan pada katup mitral atau kombinasi dari katup mitral dan aorta.
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
12
Kerusakan pada katup aorta saja atau kerusakan katup sebelah kanan sangat jarang. Sedangkan efek jangka panjang dari kerusakan jantung yang lebih berat merupakan akibat dari kerusakan katup ini. 5,6,7,8,9 Pada beberapa anak dengan peradangan jantung tidak menunjukan adanya gejala klinis, dan riwayat peradangan sebelumnya baru diketahui bertahun-tahun kemudian saat kerusakan jantung telah terjadi. Beberapa anak akan merasakan jantungnya berdebar-debar. Sedangkan lainnya akan mengeluh nyeri pada dada yang
disebabkan
oleh
peradangan
selaput
yang
menyelimuti
jantung
(perikarditis). Kegagalan jantung dapat terjadi, dan menyebabkan anak tersebut menjadi cepat lelah dan sesak nafas, dengan mual, muntah, nyeri perut atau batuk kering.6 Rematik karditis akut biasanya ditandai dengan danya takikardia dan murmur jantung, dengan atau tanpa bukti danya keterlibatan miokardium atau perkardium. Bising jantung merupakan manifestasi karditis rematik yang seringkali muncul pertama kali, sementara tanda dan gejala perikarditis serta gagal jantung kongestif biasanya baru timbul pada keadaan yang lebih berat. Bising pada demam rematik dapat berupa bising pansistol didaerah apeks (regurgitasi mitral), bising awal diastol di daerah basal (regurgitasi aorta), dan bising middiastol pada apeks (bising Carey-Coombs) yang timbul akibat adanya dilatasi ventrikel kiri. Selain itu, rematik karditis ringan hingga berat dapat menyebabkan kardiomegali dan penyakit jantung kongestif dengan hepatomegali dan edema perifer dan pulmonal. Penemuan ekokardiografi meliputi effusi perikardium, penurunan kontraktilitas ventrikular, dan regurgitasi aorta dan atau mitral. Hasil ekokardiografi yang menunjukan adanya suatu regurgitasi katup tanpa diserta bukti auskultasi tidak cukup untuk memenuhi kriteria Jones untuk karditis.6 Karditis timbul pada 50-60% kasus demam reumatik akut. Serangan ulangan demam reumatik akut pada pasien yang sebelumnya terkena karditis pada serangan pertama kemungkinan untuk terkena karditis lagi pada serangan ulangan sangat tinggi. Dampak utama dari rematik karditis adalah penyakit katup yang bersifat kronik progresif, khususnya stenosis katup, yang mungkin akan membutuhkan penggantian katup dan dapat merupakan suatu predisposisi timbulnya endokarditis terinfeksi.6
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
13
3. Korea Sydenhem Korea sydenham terjadi pada 10-15% pasien dengan demam rematik akut dan biasanya bermanifestasi sebagai suatu gangguan gerakan yang bersifat tibatiba, tidak disadari, tidak berirama, klonik dan tanpa tujuan serta perilaku neurologik yang terisolasi dan halus. Emosi yang labil, inkoordinasi, kinerja sekolah yang buruk, gerakan tak terkendali, dan wajah meringis, yang dicetuskan oleh stress dan hilang dengan tidur merupakan ciri-ciri dari kelainan ini.7 Gerakan tersentak-sentak dan tak terkendali ini mempunyai onset yang tersembunyi dan membahayakan, tetapi biasanya baru timbul setelah gejala lainnya telah menghilang, dan menetap hingga berbulan-bulan (4-8 bulan) sebelum dikenali. Gerakan ini melibatkan seluruh otot-otot tubuh kecuali otot mata. Biasanya dimulai dengan ekstremitas atas lalu menyebar ke ekstremitas bawah dan wajah. Korea sering bersifat unilateral. Masa laten dari infeksi akut Streptococcus βhemolyticus Grup A menjadi korea lebih lama dibanding menjadi artritis atau karditis dan dapat mencapai berbulan-bulan. Pemeriksaan klinis yang dapat dilakukan untuk memperoleh ciri-ciri dari korea meliputi (1) demonstrasi dari milkmaid’s grip’ (pemeras susu) yaitu kontraksi irreguler dari otot-otot tangan sambil memeras jari pemeriksa, (2) gerakan menyendok dan pronasi dari tangan saat lengan penderita di ekstensikan, (3) gerakan seperti cacing dari lidah saat dijulurkan, (4) pemeriksaan tulisan tangan untuk menilai gerakan motorik halus. Diagnosis ditegakan berdasarkan temuan klinis dengan bukti yang mendukung adanya antibodi Streptococcus β-hemolyticus Grup A. Namun, pada pasien dengan periode laten yang lama dari sejak timbulnya infeksi Streptococcus βhemolyticus Grup A, kadar antibodi kemungkinan telah menurun hingga kadar normal. Meskipun penyakit akut ini menyedihkan, korea jarang, bahkan hampir tidak pernah terdapat gejala sisa yang permanen.6 Korea syndenham merupakan satu-satunya tanda mayor yang sedemikian penting sehingga dapat dianggap sebagai petanda adanya demam rematik meskipun tidak ditemukan kriteria lain. 5,6,7,8,9
4. Eritema Marginatum Eritema marginatum merupakan ruam yang jarang ( 4.5 kg dalam 5 hari di tanggapan terhadap pengobatan Kriteria Minor, terdiri dari : Bilateral ankle edema Batuk nokturnal Dyspnea pada aktivitas biasa Hepatomegali Efusi pleura Penurunan kapasitas vital oleh sepertiga dari maksimum terekam Takikardia (denyut jantung> 120 denyut / menit) 2.3 Penatalaksanaan Penatalaksanaan pasien dengan rheumatic heart disease secara garis besar bertujuan untuk mengeradikasi bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A, menekan inflamasi dari respon autoimun, dan memberikan terapi suportif untuk gagal jantung kongestif. Setelah lewat fase akut, terapi bertujuan untuk mencegah rheumatic heart disease berulang pada anak-anak dan memantau komplikasi serta gejala sisa dari rheumatic heart disease kronis pada saat dewasa. Selain terapi medikamentosa, aspek diet dan juga aktivitas pasien harus dikontrol. Selain itu, ada juga pilihan terapi operatif sebagai penanganan kasus-kasus parah. 2.3.1 Terapi Antibiotik a. Profilaksis Primer Eradikasi infeksi Streptococcus pada faring adalah suatu hal yang sangat penting untuk mengindari paparan berulang kronis terhadap antigen Streptococcus beta hemolyticus grup A. Eradikasi dari bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A pada faring seharusnya diikuti dengan profilaksis sekunder jangka panjang sebagai perlindungan terhadap infeksi Streptococcus beta hemolyticus grup A faring yang berulang.10 Pemilihan regimen terapi sebaiknya mempertimbangkan aspek bakteriologi dan efektifitas antibiotik, kemudahan pasien untuk mematuhi regimen yang ditentukan (frekuensi, durasi, dan kemampuan pasien meminum obat), harga, dan juga efek samping.5,10,14
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
28
Penisilin G Benzathine IM, penisilin V pottasium oral, dan amoxicilin oral adalah obat pilihan untuk terapi Streptococcus beta hemolyticus grup A faring pada pasien tanpa riwayat alergi terhadap penisilin. Setelah terapi antibiotik selama 24 jam, pasien tidak lagi dianggap dapat menularkan bakteri Streptococcus beta hemolyticus group A. Penisilin V pottasium lebih dipilih dibanding dengan penisilin G benzathine karena lebih resisten terhadap asam lambung. Namun terapi dengan penisilin G benzathine lebih dipilih pada pasien yang tidak dapat menyelesaikan terapi oral 10 hari, pasien dengan riwayat rheumatic fever atau gagal jantung rematik, dan pada mereka yang tinggal di lingkungan dengan faktor risiko terkena rheumatic fever (lingkungan padat penduduk, status sosio-ekonomi rendah). 5,10,13,14 Tabel 2.4. Obat-obatan profilaksis primer untuk rheumatic fever11
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
29
b. Profilaksis Sekunder Rheumatic fever sekunder berhubungan dengan perburukan atau munculnya rheumatic heart disease. Pencegahan terhadap infeksi Streptococcus beta hemolyticus grup A pada faring yang berulang adalah metode yang paing efektif untuk mencegah rheumatic heart disease yang parah.11 Tabel 2.5 Obat-obatan Profilaksis Sekunder untuk Rheumatic Fever11
Tabel 2.6. Durasi Profilaksis Sekunder untuk Rheumatic Fever11
b. Terapi Anti Inflamasi Manifestasi dari rheumatic fever (termasuk karditis) biasanya merespon cepat terhadap terapi anti inflamasi. Anti inflamasi yang menjadi lini utama adalah aspirin. Untuk pasien dengan karditis yang buruk atau dengan gagal jantung dan kardiomegali, obat yang dipilih adalah kortikosteroid. Kortikosteroid juga menjadi pilihan terapi pada pasien yang tidak membaik dengan aspirin dan terus mengalami perburukan.11,15
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
30
Penggunaan kortikosteroid dan aspirin sebaiknya menunggu sampai diagnosis rheumatic fever ditegakan. Pada anak-anak dosis aspirin adalah 100-125 mg/kg/hari, setelah mencapai konsentrasi stabil selama 2 minggu, dosis dapat diturunkan menjadi 60-70 mg/kg/hari untuk 3-6 minggu. Pada pasien yang alergi terhadap aspirin bisa digunakan naproxen 10-20 mg/kg/hari.5,11,15 Obat kortikosteroid yang menjadi pilihan utama adalah prednisone dengan dosis 2 mg/kg/hari, maksimal 80 mg/hari selama 2 minggu, diberikan 1 kali sehari. Setelah terapi 2-3 minggu dosis diturunkan 20-25% setiap minggu. Pada kondisi yang mengancam nyawa, terapi IV methylprednisolone dengan dosis 30 mg/kg/hari. Durasi terapi dari anti inflamasi berdasarkan respon klinis terhadap terapi. 5,11,15 c. Terapi Gagal Jantung Gagal jantung pada rheumatic fever umumnya merespon baik terhadap tirah baring, restriksi cairan, dan terapi kortikosteroid, namun pada beberapa pasien dengan gejala yang berat, terapi diuterik, ACE-inhibitor, dan digoxin bisa digunakan. Awalnya, pasien harus melakukan diet restriksi garam ditambah dengan diuretik. Apabila hal ini tidak efektif, bisa ditambahkan ACE Inhibitor dan atau digoxin. 10,12,15 Tabel 2.7.Obat-obatan untuk Mengatasi Gagal Jantung pada Rheumatic Fever10,12,15
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
31
d. Diet dan Aktivitas Diet pasien rheumatic heart disease harus bernutrisi dan tanpa restriksi kecuali pada pasien gagal jantung. Pada pasien tersebut, cairan dan natrium harus dikurangi. Suplemen kalium diperlukan apabila pasien diberikan kortikosteroid atau diuretik.16,17 Tirah baring sebagai terapi rheumatic fever pertama kali diperkenalkan pada tahun 1940, namun belum diteliti lebih lanjut sejak saat itu. Pada praktek klinis sehari-hari, kegiatan fisik harus direstriksi sampai tanda-tanda fase akut terlewati, baru kemudian aktivitas bisa dimulai secara bertahap.17 Sesuai dengan anjuran Taranta dan Marcowitz tirah baring yang dianjurkan adalah sebagai berikut : 16,17 Tabel 2.8. Tirah Baring yang Dianjurkan pada Rheumatic Fever
e. Terapi Operatif Pada pasien dengan gagal jantung yang persisten atau terus mengalami perburukan meskipun telah mendapat terapi medis yang agresif untuk penanganan rheumatic heart disease, operasi untuk mengurangi defisiensi katup mungkin bisa menjadi pilihan untuk menyelamatkan nyawa pasien. Pasien yang simptomatik, dengan disfungsi ventrikel atau mengalami gangguan katup yang berat, juga memerlukan tindakan intervensi. 12,16,17 a. Stenosis Mitral: pasien dengan stenosis mitral murni yang ideal, dapat dilakukan ballon mitral valvuloplasty (BMV). Bila BMV tak memungkinkan, perlu dilakukan operasi.12 b. Regurgitasi Mitral: Rheumatic fever dengan regurgitasi mitral akut (mungkin akibat ruptur khordae)/kronik yang berat dengan rheumatic heart disease yang tak teratasi dengan obat, perlu segera dioperasi untuk reparasi atau penggantian katup. 12
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
32
c. Stenosis Aortik: stenosis katut aorta yang berdiri sendiri amat langka. Intervensi dengan balon biasanya kurang berhasil, sehingga operasi lebih banyak dikerjakan.12 d. Regurgitasi Aortik: regurgitasi katup aorta yang berdiri sendiri atau kombinasi dengan lesi lain, biasanya ditangani dengan penggantian katup. 12 2.4 Prognosis Pasien dengan riwayat rheumatic fever berisiko tinggi mengalami kekambuhan. Resiko kekambuhan tertinggi dalam kurun waktu 5 tahun sejak episode awal. Semakin muda rheumatic fever terjadi, kecenderungan kambuh semakin besar. Kekambuhan rheumatic fever secara umum mirip dengan serangan awal, namun risiko karditis dan kerusakan katup lebih besar. 12 Manifestasi rheumatic fever pada 80% kasus mereda dalam 12 minggu. Insiden RHD setelah 10 tahun adalah sebesar 34% pada pasien dengan tanpa serangan rheumatic fever berulang, tetapi pada pasien dengan serangan rheumatic fever yang berulang kejadian RHD meningkat menjadi 60%.12
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
33
BAB III LAPORAN KASUS I. IDENTITAS PASIEN Nama
: An. TA
Umur/Tanggal lahir
: 17 tahun/02 Agustus 2005
Jenis kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Nama Ibu
: Ny. N
Alamat
: Teluk Kabung, Bungus, Padang
Tanggal Masuk
: 29 Juli 2019
Tanggal Pemeriksaan : 16 Agustus 2019 No.Rekam medis
: 00.94.69.90
II. ANAMNESIS Anamnesis diperoleh dari pasien sendiri (autoanamnesis) serta ibu kandung pasien (alloanamnesis). Anak laki-laki berusia 17 tahun dibawa orangtua ke IGD RSUP Dr. M Djamil Padang pada tanggal 29 Juli 2019 dengan : A. Keluhan Utama Sesak nafas semakin bertambah sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. B. Riwayat Penyakit Sekarang Sesak nafas mulai dirasakan sejak 5 hari yang lalu, sesak semakin bertambah dengan aktivitas, sesak tidak dipengaruhi cuaca dan makanan, anak lebih nyaman tidur dengan 3 bantal, sesak dirasakan semakin bertambah sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit, sesak nafas dirasakan saat aktivitas ringan Demam sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit, demam tinggi, terus menerus, tidak menggigil, tidak berkeringat, tidak disertai kejang Nyeri sendi dirasakan sejak 5 hari yang lalu di seluruh sendi ekstremitas, tidak berpindah pindah. Tidak ada riwayat gerakan sendiri yang tidak disadari Tidak ada benjolan di bawah kulit Tidak ada riwayat bercak kemerahan di kulit Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
34
Nafsu makan sangat berkurang sejak sakit, anak hanya mau makan sedikit BAK warna dan jumlah biasa BAB warna dan konsistensi biasa Tidak ada batuk pilek Mual dan muntah disangkal C. Riwayat Penyakit Dahulu Anak telah dikenal menderita Penyakit Jantung Rematik sejak 2016, mendapat pengobatan selama 2 tahun, dan putus obat selama 1 tahun terakhir, anak tidak pernah kontrol selama 1 tahun ini Anak telah dilakukan ekocardiografi (13 Desember 2017) dengan hasil Situs Solitus, AR Severe, MR Moderate ec Prolaps Ujung AML, EF 63%, TAPSE 2,6, good LV, RV Function D. Riwayat Penyakit Keluarga Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan seperti pasien. E. Riwayat Persalinan
Lama hamil
: Cukup bulan (38-39 minggu)
Cara lahir
: Spontan
Ditolong oleh : Bidan
Berat lahir
Panjang lahir : 48 cm
Saat lahir
Kesan
: 3.000 gram
: Langsung menangis kuat : Riwayat persalinan normal, cukup bulan, tidak ada asfiksia janin
F. Riwayat Makanan dan Minuman
Bayi: ASI umur 0 – 24 bulan Susu formula (-) Buah biskuit umur 6 – 12 bulan Bubur susu umur 6 – 12 bulan Nasi tim umur 6 – 12 bulan
Anak: Nasi keluarga sejak usia 1 tahun, 3 kali/hari, menghabiskan 1 porsi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
35
Daging
: 1 kali / minggu
Ikan
: 2 kali / minggu
Telur
: 3 kali / minggu
Sayur
: 4 kali / minggu ( hanya mau sayur bayam)
Buah
: 2 kali / minggu
Kesan: kualitas dan kuantitas makanan cukup baik G. Riwayat Imunisasi Imunisasi
Dasar (Umur)
Booster (Umur)
BCG
2 bulan (+ scar)
-
DPT 1
2 bulan
-
2
4 bulan
-
3
6 bulan
-
Polio 1
2 bulan
5 tahun
2
4 bulan
-
3
6 bulan
-
Hepatitis B 1
0 bulan
-
2
1 bulan
-
3
6 bulan
-
Haemofilus influenza B 1
-
-
2
-
-
3
-
-
9 bulan
-
Campak Kesan: Imunisasi dasar lengkap sesuai usia H. Riwayat Tumbuh Kembang Riwayat Pertumbuhan dan
Umur
Riwayat Gangguan Perkembangan Mental
Umur
Perkembangan Tertawa
4 bulan
Isap jempol
-
Miring
5 bulan
Gigit kuku
-
Tengkurap
6 bulan
Sering mimpi
-
Duduk
9 bulan
Mengompol
-
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
36
Merangkak
9,5 bulan
Aktif sekali
-
Berdiri
10 bulan
Apatik
-
Lari
11 bulan
Membangkang
-
Gigi pertama
9 bulan
Ketakutan
-
Bicara
12 bulan
Pergaulan jelek
-
Membaca
5 tahun
Kesukaran belajar
-
Prestasi di
Baik
sekolah
Kesan: Riwayat pertumbuhan dan perkembangan normal sesuai usia. I. Riwayat Keluarga Ayah
Ibu
Nama
Tn. I
Ny.N
Umur
50 tahun
42 tahun
Pendidikan
SMP
SMP
Pekerjaan
Karyawan Swasta
IRT
Penghasilan
Rp 2.000.000,-
-
Perkawinan
1
1
Tidak ada
Tidak ada
Penyakit yang pernah diderita
No.
Saudara Kandung
Umur
Keadaan Sekarang
1
Perempuan
21 tahun
Sehat
2
Laki-laki
16 tahun
Pasien
3
Laki-laki
14 tahun
Sehat
4
Laki-laki
11 tahun
Sehat
I. Riwayat Perumahan dan Lingkungan
Rumah tempat tinggal : Semi permanen
Sumber air minum
: Air galon
Jamban
: Di dalam rumah
Pekarangan
: Luas
Sampah
: Dibuang ke TPA
Kesan
: Sanitasi dan higiene cukup baik
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
37
III. PEMERIKSAAN FISIK (16 Agustus 2019) Keadaan umum
: Sakit sedang
BB/U
: 81 %
Kesadaran
: Komposmentis
TB/U
: 97 %
Tekanan darah
: 140/40 mmHg
BB/TB
: 88 %
Frekuensi nadi
: 88 x/menit
Status gizi
: gizi kurang
Frekuensi napas
: 21 x/menit
Edema
: tidak ada
Suhu
: 36,7ºC
Ikterus
: tidak ada
BB
: 49,5 kg
Anemia
: tidak ada
PB
: 170 cm
Sianosis
: tidak ada
Kulit
: akral teraba hangat, CRT < 2 detik
Kelenjar getah bening :tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening leher, aksila, inguinal Kepala
: bulat, simetris, normocephal
Rambut
: hitam, tidak mudah dicabut
Mata
: konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, refleks cahaya (+/+), diameter 3mm/3mm
Telinga
: tidak ditemukan kelainan, sekret tidak ada
Hidung
: Deviasi septum tidak ada, napas cuping hidung tidak ada, p erdarahan mukosa hidung tidak ada, sekret tidak ada
Tenggorok
: Tonsil T1-T1, detritus tidak ada, tonsil dan faring tidak hiperemis
Gigi dan mulut
: mukosa, bibir, palatum dan buccal basah, sianosis sirkumoral tidak ada
Leher
: trakea di tengah, tidak ada pembesaran KGB Colli, JVP 5 + 3 cmH2O
Thoraks
: normochest, retraksi tidak ada
Paru : Inspeksi
: simetris kiri = kanan statis dan dinamis, retraksi dinding dada tidak ada
Palpasi
: fremitus kiri = kanan
Perkusi
: sonor kiri = kanan
Auskultasi
: suara napas vesikuler, ronkhi-/-, wheezing -/-
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
38
Jantung : Inspeksi
: iktus cordis terlihat 2 jari lateral LMCS RIC VI
Palpasi
: iktus cordis teraba di 2 jari lateral LMCS RIC VI
Perkusi
: batas atas (RIC II), kanan (LSD), kiri (2 jari lateral LMCS kiri RIC VI)
Auskultasi
: bunyi jantung S1 dan S2 reguler, bising jantung ada terdengar bising pansistolik grade 4/6, punctum maksimum di lateral RIC VI
Abdomen: Inspeksi
: datar, distensi tidak ada
Palpasi
: supel, hepar teraba ¼-¼, tepi tumpul, lien tidak teraba
Perkusi
: timpani
Auskultasi
: bising usus (+) normal 6 kali/menit
Punggung
: tidak ada kelainan
Genitalia
: tidak diperiksa
Anggota gerak
: akral hangat, perfusi baik, CRT < 2 detik, tidak ada edem pretibial
IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM Hematologi (29 Juli 2019)
Hb
: 12,8 g/dL
Leukosit
: 21.000 / mm3
Eritrosit
: 5,2 juta
Trombosit
: 303.000 /mm3
Hematokrit
: 36 %
Hitung jenis
: 0/0/1/79/12/8
Eritrosit
: normositik normokrom
Leukosit
: jumlah meningkat, neutrofilia shift to the right
Trombosit
: jumlah cukup, morfologi normal
Kesan : leukositosis dengan neutrofilia shift to the right
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
39
Kimia Klinik (29 Juli 2019)
GDR
: 125 mg/dl
Ureum
: 29 mg/dl
Kreatinin
: 0,9 mg/dl
Kalsium
: 7,9 mg/dL
Natrium
: 129 mmol/L
Kalium
: 4,6 mmol/L
Klorida
: 100 mmol/L
Kesan : kalsium total menurun, natrium menurun
Hematologi (30 Juli 2019)
LED Kesan
: 40 mm : LED meningkat
Urinalisa (30 Juli 2019)
Makroskopis o Warna
: Kuning
o Kekeruhan
: Positif
o BJ
: 1.030
o pH
: 5,0
Mikroskopis o Leukosit
: 1-2/LPB
o Eritrosit
: 38-40/LPB
o Silinder
: Negatif
o Kristal
: Negatif
o Epitel
: Gepeng (+)
Kimia o Protein
: Positif Tiga (+++)
o Glukosa
: Negatif
o Bilirubin
: Positif Satu (+)
o Urobilinogen
: Positif
Kesan : hematuria, proteinuria, bilirubinuria
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
40
Uji Imunologis Serologis (30 Juli 2019)
ASTO (Rapid)
: Reagen habis
CRP
: Negatif
Kesan
: CRP Negatif
Analisis Gas Darah (30 Juli 2019)
pH
: 7,47
pCO2
: 29,0 mmHg
pO2
: 98,4 mmHg
HCO3-
: 23,5
BE
: 0,7
SPO2
: 96,6 %
Kesan
: Alkalosis respiratorik
Urinalisa (31 Juli 2019)
Makroskopis o Warna
: Kuning
o Kekeruhan
: Positif
o BJ
: 1.015
o pH
: 5,0
Mikroskopis o Leukosit
: 0-1/LPB
o Eritrosit
: 0-1/LPB
o Silinder
: Negatif
o Kristal
: Negatif
o Epitel
: Gepeng (+)
Kimia o Protein
: Positif (+)
o Glukosa
: Negatif
o Bilirubin
: Positif (+)
o Urobilinogen
: Positif
Kesan : proteinuria Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
41
Hematologi (01 Agustus 2019)
Hb
: 13,6 g/dL
Leukosit
: 15.120 / mm3
Eritrosit
: 5,8 juta
Trombosit
: 416.000 /mm3
Hematokrit
: 41 %
Retikulosit
: 0,8 %
MCV
: 72 fL
MCH
: 24 pg
MCHC
: 33 %
Hitung jenis
: 0/0/11/61/20/8
ANC (IT Rasio)
: 0,15
Eritrosit
: normositik normokrom
Leukosit
: jumlah meningkat, neutrofilia shift to the left, limfosit atipik (+)
Trombosit
: jumlah meningkat, morfologi normal
Kesan
: leukositosis dengan neutrofilia shift to the left, trombositosis
Elektrolit (01 Agustus 2019)
Kalsium
: 8,4 mg/dl
Natrium
: 129 Mmol/L
Kalium
Klorida Kesan
: 4,3 mmol/L : 98 mmol/L : natrium menurun
Uji Imunologis Serologis (01 Agustus 2019)
CRP
: Positif
Procalsitonin
: 5,9 ng/ml
Kesan
: high risk to severe sepsis
Elektrolit (02 Agustus 2019)
Natrium
: 129 mmol/L
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
42
Kalium
Klorida Kesan
: 5,3 mmol/L : 94 mmol/L : natrium menurun, kalium menurun, klorida
menurun Pemeriksaan Mikrobiologi (05 Agustus 2019)
Organisme
: No growth
Hematologi (06 Agustus 2019)
Hb
: 11 g/dL
Leukosit
: 34.290 / mm3
Eritrosit
: 4,5 juta
Trombosit
: 381.000 /mm3
Hematokrit
: 33 %
Retikulosit
: 1,0 %
LED
: 94 mm
MCV
: 72 fl
MCH
: 24
MCHC
: 34
Hitung jenis
: 0/0/6/78/10/6
Eritrosit
: anisositosis normokrom
Leukosit
: jumlah meningkat, neutrofilia shift to the right
Trombosit
: jumlah cukup, morfologi normal
Kesan : leukositosis dengan neutrofilia shift to the right
Kimia Klinik (06 Agustus 2019)
Kalsium
: 8,7 mg/dL
Natrium
: 128 mmol/L
Kalium
: 5,5 mmol/L
Klorida
: 96 mmol/L
Kesan : natrium menurun, kalium meningkat, klorida menurun
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
43
Urinalisa (07 Agustus 2019)
Makroskopis o Warna
: Kuning
o Kekeruhan
: Negatif
o BJ
: 1.010
o pH
: 5,5
Mikroskopis o Leukosit
: 0-1/LPB
o Eritrosit
: 0-1/LPB
o Silinder
: Negatif
o Kristal
: Negatif
o Epitel
: Gepeng
Kimia o Protein
: Positif
o Glukosa
: Negatif
o Bilirubin
: Negatif
o Urobilinogen
: Positif
Kesan : Proteinuria Pemeriksaan Dahak (08 Agustus 2019)
BTA
: Negatif
Hematologi (09 Agustus 2019)
Hb
: 11,8 g/dL
Leukosit
: 22.880 / mm3
Trombosit
: 444.000 /mm3
Hematokrit
: 37 %
Kesan : leukositosis, trombositosis Kimia Klinik (09 Agustus 2019)
Kalsium
: 9,3 mg/dl
Natrium
: 136 mmol/L
Kalium
: 4,5 mmol/L
Klorida
: 101 mmol/L
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
44
Kesan : hasil dalam batas normal
Kimia Klinik (16 Agustus 2019)
GDR
: 118 mg/dl
Kalsium
: 8,7 mg/dL
Natrium
: 133 mmol/L
Kalium
: 4,7 mmol/L
Klorida
: 99 mmol/L
Kesan : natrium menurun
PEMERIKSAAN RADIOLOGI (29 Juli 2019)
Kesan : Kardiomegali dengan bendungan paru
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
45
PEMERIKSAAN EKG (29 JULI 2019)
Kesan : PR Interval memanjang, gambaran hipertrofi ventrikel kiri
V. DAFTAR MASALAH
Sesak Nafas
Demam
VI. DIAGNOSIS KERJA CHF factor class II-III ec PJR putus pengobatan Gizi Kurang
VII. TATALAKSANA Tata Laksana Gawat Darurat Terapi oksigen 2-3 liter via nasal canule Pemasangan NGT dan Folley Catheter Injeksi Furosemid 1 x 1 ampul i.v Captopril 3 x 12,5 mg p.o Tata Laksana Nutrisi
Os sementara puasa
IVFD Kaen 1B 75 cc/jam
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
46
Tata Laksana Medikamentosa Paracetamol 3 x 500 mg p.o. (T ≥ 38.5oC) Furosemid 1x1 amp i.v. Captopril 3x 12,5 mg p.o.
VIII. EDUKASI Pasien bed rest total Pasien dipuasakan dahulu Pasien wajib kontrol rutin setelah stabil untuk mencegah kambuh
IX. PROGNOSIS Dubia ad bonam
FOLLOW UP PASIEN 17/08/2019 S/
Anak tidak demam, mual muntah tidak ada, anak tidak sesak, intake masuk toleransi baik, BAK ada, anak terkadang mengeluh berdebar-debar. Anak dalam
O/
terapi prednison hari ke-10. Ku Sedang
Mata
kesadaran
TD
CM
150/40
HR
RR
109 x/i 24x/i
T
Sat02
37⁰ C
99%
: konjungtiva tidak anemis, sclera tidak
ikterik Thoraks : Retraksi (-), Rh (-/-), Wh (-/-). Bising sistolik grade 3/6 terdengar di 1 jari medial LMCS RIC III-IV Abdomen: distensi (-) Ekstremitas : CRT < 2‟, akral hangat A/
BB 49,5 kg RDA 1980 – 2470 kkal
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
47
CHF Fc II-III ec DRA Relaps + PJR P/
LV dilated, MR Moderate, AR moderate Gizi Kurang Sepsis Inj Ceftriaxone 2 x 2 gr iv Inj Furosemid 2 x 40 mg iv Captopril 3 x 12,5 mg p.o Paracetamol 3 x 500 mg p.o Calc 1 x 1 gram p.o Prednison 5-5-6 tab/hari (2 mg/kgbb/hari) Lactulac syr 1 cth MB 2300 kkal MC 1x250 cc
18/08/2019 S/
Anak tidak demam, tidak ada sesak atau palpitasi, intake masuk toleransi baik, BAB dan BAK tidak ada
O/
keluhan. Ku Sedang
kesadaran CM
TD
130/50
HR
RR
109 x/i 20x/i
T
Sat02
36,8⁰ C
99% Mata
: konjungtiva tidak anemis, sclera tidak
ikterik Thoraks : Retraksi (-), Rh (-/-), Wh (-/-). Bising sistolik grade 3/6 terdengar di 1 jari medial LMCS RIC III-IV Abdomen: distensi (-) A/
Ekstremitas : CRT < 2‟, akral hangat BB 49,5 kg
P/
RDA 1980 – 2470 kkal CHF Fc II-III ec DRA Relaps + PJR LV dilated, MR Moderate, AR moderate Inj Ceftriaxone 2 x 2 gr iv Inj Furosemid 2 x 40 mg iv
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
48
Captopril 3 x 12,5 mg p.o Paracetamol 3 x 500 mg p.o Calc 1 x 1 gram p.o Prednison 5-5-6 tab/hari (2 mg/kgbb/hari) Lactulac syr 1 cth MB 2300 kkal MC 1x250 cc 19/08/2019 S/
Saat ini anak tidak demam, tidak ada sesak atau berdebar-debar, intake masuk toleransi baik, BAB dan BAK tidak ada keluhan. Anak masuk antibiotik
O/
amphicilline sulbactam hari ke-13. Ku Sedang
kesadaran CM
TD
130/50
HR
RR
110 x/i 20x/i
T
Sat02
36,5⁰ C
99% Mata
: konjungtiva tidak anemis, sclera tidak
ikterik Thoraks : Retraksi (-), Rh (-/-), Wh (-/-). Bising sistolik grade 3/6 terdengar di 1 jari medial LMCS RIC III-IV Abdomen: distensi (-) A/
Ekstremitas : CRT < 2‟, akral hangat BB 49,5 kg RDA 1980 – 2470 kkal
P/
CHF Fc II-III ec DRA Relaps + PJR LV dilated, MR Moderate, AR moderate Gizi kurang Sepsis dalam perbaikan Furosemid 2 x 40 mg p.o Captopril 3 x 12,5 mg p.o Paracetamol 3 x 500 mg p.o Calc 1x1 gram p.o Prednison 5-5-4 tab/hari (2 mg/kgbb/hari)
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
49
Lactulac syr 1 cth Asetosal 4 x 750 mg p.o MB 2300 kkal MC 1x250 cc 20/08/2019 S/
Pasien tidak ada demam lagi, tidak ada sesak nafas, antibiotik telah di stop 1 hari yang lalu, intake masuk toleransi baik
O/
Ku Sedang
Mata
kesadaran CM
TD
130/50
HR
RR
98 x/i 20x/i
T
Sat02
36,5⁰ C
99%
: konjungtiva tidak anemis, sclera tidak
ikterik Thoraks : Retraksi (-), Rh (-/-), Wh (-/-). Bising sistolik grade 3/6 terdengar di 1 jari medial LMCS RIC III-IV Abdomen: distensi (-) Ekstremitas : CRT < 2‟, akral hangat A/
BB 49,5 kg CHF Fc II-III ec DRA Relaps + PJR LV dilated, MR Moderate, AR moderate
P/
Gizi kurang Sepsis dalam perbaikan Furosemid 2 x 40 mg p.o Captopril 3 x 12,5 mg p.o Paracetamol 3 x 500 mg p.o Calc 1x1 gram p.o Prednison 5-5-4 tab/hari (2 mg/kgbb/hari) Lactulac syr 1 cth Asetosal 4 x 750 mg p.o MB 2300 kkal MC 1x250 cc Pulang
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
50
BAB IV ANALISIS KASUS DAN PEMBAHASAN
Seorang anak laki-laki berusia 17 tahun dirawat di Bangsal Anak RSUP Dr. M.Djamil pada tanggal 29 Juli 2019 dengan diagnosis kerja CHF Factor Class IIIII ec PJR putus pengobatan dengan gizi kurang. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
anamnesis,
pemeriksaan
fisik
dan
pemeriksaan
penunjang.
Berdasarkan anamnesis, pasien sesak nafas semakin bertambah sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit, dimana sesak semakin bertambah dengan aktivitas, dapat dirasakan dengan aktivitas ringan, tidak dipengaruhi cuaca dan makanan, serta anak lebih nyaman tidur dengan 3 bantal. Sesak dipengaruhi posisi namun tidak cuaca, dan tidak disertai batuk , pilek, mual dan muntah. Selain itu, pasien juga mengeluhkan demam tinggi yang terus menerus serta nyeri sendi di seluruh ekstremitas yang tidak berpindah sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit. Anak telah dikenal dengan penyakit jantung rematik sejak tahun 2016 anak didiagnosa dengan penyakit jantung rematik, namun anak putus obat selama 1 tahun terakhir. Gagal jantung merupakan sindroma klinis (sekumpulan tanda dan gejala), yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung, dimana jantung tidak sanggup memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan metabolik jaringan. Gagal jantung ditandai oleh sesak (dyspnea d’effort, orthopnea, paroxysmal nocturnal dypsnea, cheyne-stokes respiration) dan fatigue (saat istirahat atau saat aktivitas). Keluhan sesak disertai edema dapat berasal dari organ paru, jantung, ginjal, serta dari hati. Dari anamesis didapatkan sesak yang dipengaruhi aktivitas merupakan khas sesak yang disebabkan oleh organ jantung. Kemudian dilanjutkan dengan dilakukannya pemeriksan fisik serta pemeriksaan penunjang sehingga dapat dipastikan sesak pada penderita bukan berasal dari organ paru, ginjal atau pun hati. Ditinjau dari sudut klinis secara simptomatologis di kenal gambaran klinis berupa gagal jantung kiri dengan gejala badan lemah, cepat lelah, berdebar, sesak napas dan batuk. serta tanda objektif berupa takhikardia, dyspnea (dyspnea d’effort, orthopnea, paroxysmal nocturnal dypsnea, cheyne-stokes respiration),
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
51
ronkhi basah halus di basal paru, bunyi jantung III, dan pembesaran jantung. Gagal jantung kanan dengan gejala edema tumit dan tungkai bawah, acites, bendungan vena jugularis dan gagal jantung kongestif merupakan gabungan dari kedua bentuk klinik gagal jantung kiri dan kanan. Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik ditemukan dyspnea d’effort, orthopnea, paroxysmal nocturnal dypsnea, bendungan vena jugularis sehingga memenuhi gejala gagal jantung kongestif. Berdasarkan klasisfikasi New York Heart Asscociation sebagai 4 kelas (NYHA1-4) dimana dyspnea dan fatigue sebagai penilaian. Pada kelas 1 tidak ada keluhan, Kelas 2 symptom muncul pada pekerjaan biasa, Kelas 3 symptom muncul pada pekerjaan ringan serta kelas 4 symptom muncul pada saat istirahat Pada pasien ini tampak terjadi perburukan dari 5 terakhir sampai 2 hari SMRS terdapat perubahan kelas I mulai dari sanggup beraktivitas seperti biasa, menjadi terbatas dalam bekerja dan merasakan sesak nafas saat aktivitas ringan (kelas II-III). Berdasarkan kriteria Framingham minimal satu kriteria mayor dan dua kriteria minor yaitu: Kriteria mayor berupa paroksisimal nocturnal dispneu, distensi vena leher, ronki paru, kardiomegali, edema paru akut, Gallop s3, peninggian tekanan vena jugularis, Refluks hepatojugular. Dan kriteria minor berupa edema ekstremitas, batuk malam hari dispnea d‟effort, hepatomegali, Efusi pleura, penurunan kapasitas vital, takikardi ( >120 x/menit). Pada anak yang lebih besar dapat ditemukan gejala gagal jantung kiri berupa takipnea, distress pernafasan, wheezing, fatigue, ekstremitas yang dingin, dan gangguan dalam beraktivitas, sementara gejala jantung kanan yaitu hepatosplenomegaly, distensi vena jugular, edema, asites atau efusi pleura. Hasil pemeriksaan fisik menunjukan tekanan darah 140/40 mmHg, nadi 88 kali/menit, nafas 21 kali/menit, suhu 36,7⁰C, dengan JVP 5+3 cmH2O, dengan hasil pemeriksaan fisik jantung menunjukan ictus cordis tampak dan teraba 2 jari lateral LMCS RIC VI, disertai bising jantung pansistolik grade 4/6 dengan punctum maksimum di lateral LMCS RIC VI. Bising jantung pansistolik pada pasien ini diakibatkan kelainan katup jantung yaitu mitral regurgitasi. Murmur merupakan gejala
yang biasanya ditemukan pada insufisiensi katup jantung,
dengan nada yang tinggi dan timbul pada bagian aksila kiri. Insufisiensi katup
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
52
mitral berhubungan dengan disfungsi dari katup itu sendiri, chordae, dan otototot papillary. Kelainan katup jantung pada pasien ini disebabkan oleh penyakit jantung rematik, akibat kelainan katup menetap yang diakibatkan demam rematik akut sebelumnya. Pada hasil pemeriksaan rontgen dada didapatkan kesan kardiomegali dengan bendungan paru. Pada pasien ini didapatkan tiga kriteria mayor framingham. Pertama terdapatnya orthopnea dari hasil anamnesis. Kedua, dari hasil pemeriksaan fisik perkusi jantung yang dibuktikan melalui rontgen thoraks, didapatkan adanya pembesaran jantung (kardiomegali). Batas jantung kanan terdapat pada linea sternalis dekstra, batas kiri pada lateral LMCS RIC VI, dan batas atas pada RIC II. Ketiga terdapat peninggian tekanan vena jugularis yaitu (5+3) cmH2O. Sedangkan untuk kriteria minor didapatkan batuk malam hari dispnea on exertion dan hepatomegali dengan perabaan yang tumpul. Oleh karena itu pada pasien ini dapat disimpulkan diagnosis fungsionalnya adalah Congestive Heart Failure (CHF). Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 30 Juli 2019 dengan kesan LED meningkat, leukositosis dengan neutrofilia shift to the right dan tanggal 01 agustus 2019 menunjukan CRP positif dengan procalsitonin 5,9 ng/ml (high risk to severe sepsis). Namun tidak dapat dilakukan pemeriksaan ASTO (Rapid) dikarenakan reagen yang habis. Dimana untuk mendiagnosis pasien dengan rheumatic heart disease tidak diperlukan kriteria lainnya sesuai dengan kriteria 2002-2003. Pada pemeriksaan EKG tanggal 29 Juli 2019 didapatkan hasil pemanjangan PR interval dengan kesan hipertropi ventrikel kiri, dimana hal ini sesuai dengan kriteria minor Jones untuk penyakit jantung rematik. Etiologi dari penyakit gagal jantung dapat berupa penyakit jantung bawaan, penyakit jantung rematik, penyakit jantung hipertensi, penyakit jantung koroner, penyakit jantung anemik, penyakit jantung tiroid, cardiomiopati, cor pulmonale serta kehamilan. Penyakit gagal jantung yang terjadi pada usia < 50 tahun, terbanyak adalah disebabkan oleh penyakit jantung reumatik dan penyakit jantung tiroid, dari anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan adalah riwayat sakit jantung reumatik sejak tahun 2016. Pada gambaran rontgen thorax didapatkan kesan kardiomegali dengan bendungan paru. Pada ekokardiografi didapatkan Situs Solitus, AR Severe, MR Moderate ec Prolaps Ujung AML, EF 63%, TAPSE
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
53
2,6, good LV, RV Function. Hal ini sesuai dengan epidemiologi dimana kelainan katup jantung pada pasien ini disebabkan oleh penyakit jantung rematik, akibat kelainan katup menetap yang diakibatkan demam rematik akut sebelumnya, terutama mengenai katup mitral (75%) dan katup aorta (25%). Patofisiologi munculnya gagal jantung berupa beban pengisian (preload) dan beban tahanan (afterload) pada ventricle yang mengalami dilatasi dan hipertropi memungkinkan daya kontraksi jantung yang lebih kuat sehingga terjadi kenaikan curah jantung. Disamping itu karena pembebanan jantung yang lebih besar akan membangkitkan reaksi hemostasis melalui peningkatan rangsangan simpatik. Perangsangan ini menyebabkan kadar katekolamin sehingga memacu terjadinya takikardia dengan tujuan meningkatnya curah jantung. Bila curah jantung menurun maka akan terjadi redistribusi cairan badan dan elektrolit (Na) melalui pengaturan cairan oleh ginjal vasokonstriksi perifer dengan tujuan untuk memperbesar venous return. Dilatasi, hipertropi, takikardia, redistribusi cairan adalah mekanisme kompensasi jantung. Bila semua mekanisme ini telah digunakan namun kebutuhan belum terpenuhi, maka terjadi gagal jantung. Mengingat pada pasien ini, terdapat riwayat sakit jantung rematik sejak lebih kurang 3 tahun yang lalu yang didahului demam tinggi dan nyeri pada sendi. Adanya malfungsi katup pada penyakit jantung rematik dapat menimbulkan kegagalan pompa, baik oleh kelebihan beban tekanan atau dengan kelebihan beban volume yang menunjukan peningkatan volume darah ke ventrikel kiri sehingga sebagai produk akhir dari malfungsi katup akibat penyakit jantung reumatik adalah gagal jantung kongestif. Penatalaksanaan pada gagal jantung tergantung
etiologi, hemodinamik,
gejala klinis serta beratnya gagal jantung. Pengobatan terdiri dari 5 komponen berupa penanganan secara umum, mengobati penyakit dasar, mencegah kerusakan lebih lanjut pada jantung, dan mengendalikan derajat CHF. Secara umum gagal jantung kelas II-III dengan karditis disertai kardikomegali dan gagal jantung perlu untuk membatasi aktivitas dengan istirahat tirah selama gejala gagal jantung masih ditemukan dan mobilisasi bertahap selama 3 bulan. Diet makanan pada penyakit jantung pada rumah sakit umumnya berupa diet jantung. Diet jantung terdiri dari diet jantung I berupa makanan cair, diet jantung II merupakan bubur
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
54
saring, diet jantung III merupakan bubur, diet jantung IV berupa makanan nasi. Namun ketika pasien dibawa ke IGD pasien sementara dipuasakan dan diberi asupan IVFD Kaen 1B 75cc/jam. Kemudian ketika sudah di rawatan diubah menjadi MB (makanan biasa) sebanyak 2300 kkal dan makanan cair sebanyak 250 cc. Pengobatan berdasarkan gejala berupa pembatasan asupan cairan karena cairan yang banyak akan diabsorpsi oleh tubuh dan menambah jumlah cairan pada tubuh sehingga memperberat kerja jantung. Pemberian diuretik sangat diperlukan untuk mengeluarkan cairan yang ada dari tubuh dalam kasus ini di gunakan furosemide sebagai diuretik serta pemberian aspilet (asetil salilisat) untuk mencegah terjadinya agregasi trombosit pada pembuluh darah koroner. Pada pasien ini diberikan 1 ampul furosemid untuk tata laksana gawat darurat (20mg/2 ml) dan 2 x 20 mg iv furosemid dengan dosis 0,5-2 mg/kg/hari sebagai tata laksana rawatan di bangsal akut anak. Pasien diberikan captopril golongan ACE inhibitors sebagai vasodilator yang dimulai dengan dosis 0,5 mg/kg, dinaikan bertahap 0,5 – 3 mg/kg/hari dibagi 3 dosis ( 3 x 12,5 mg p.o). Pasien juga diberikan prednison 5-5-6 tab/hari yang merupakan kortikosteroid pilihan utama pada anak dengan karditis buruk dan gagal jantung yaitu dosis 2 mg/kg/hari dengan dosis maksimal 80 mg/hari selama 2 minggu diberikan 1 x 1 hari. Prognosis ditegakkan berdasarkan dari kemampuan pompa jantung untuk kompensasi serta perbaikan gejala klinik setelah di terapi. Secara klinis, pada pasien ini terdapat perbaikan sehingga prognosis quo ad vitam adalah dubia ad bonam. Tetapi secara fungsional, pada penyakit jantung rematik telah terjadi kerusakan katup yang permanen sehingga prognosis quo ad fungsionam adalah dubia ad malam.
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
55
DAFTAR PUSTAKA 1. Pasyanti NI, Yonata A. Congestive Heart Failure NYHA IV ec Penyakit Jantung Rematik dengan Hipertensi Grade II. April 2017. Journal Medula Unila. Volume 7 (II). pg 75 - 80 2. Chakko S, Bisno AL. Acute Rheumatic Fever. In: Fuster V, Alexander RW, O‟Rourke et al. Hurst The Heart; vol.II; 10th ed. Mc Graw-Hill : New York, 2001; pg. 1657 – 65 3. Mahmud. Congestive Heart Failure. 2008. Available from URL: http://www.scribd.com/doc/3670294/Congestive-Heart-Failure 4. Mustakim, MRD. Congestive Heart Failure ec Rheumatic Heart Disease. 2014. Journal Agromed Unila. 1(2). pg. 119-125 5. Park M, George R. Cardiac Arrhytmias. Dalam : Park M, George R, ed. Pediatric cardiology for practitioner 6th ed Philadelphia : Mosby, 2014, p. 667-712 6. Sudoyo. W. Aru, Buku Ajar penyakit Dalam. FKUI, Jakarta; 2006 7. Lilly LS, Lee CT, dan Williams GH. Mechanisms of Cardiac Arrhythmias. In: Pathophysiology of heart disease. 5th Ed. Boston: Lippincote Williams & Wilkins; 2011:261-278 8. Behrman, Klegman, Arvin, Rheumatic Fever in: Nelson Text Book of Pediatrics, 17th edition, USA, 2006, 1140-1144 9. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Panduan Praktik Klinis (PPK) Dan Clinical Pathway (CP) Penyakit Jantung Dan Pembuluh Darah. Edisi Pertama. 2016; 243-246 10. WHO. Rhematic fever and Rheumatic Heart Disease. Report of a WHO expert
Consultation.
2004.
[Online].
Melalui:
http://www.who.int/cardiovascular_diseases/resources/en/cvd_trs923.pdf 11. Armstrong, C. AHA Guidelines on Prevention of Rheumatic Fever and Diagnosis and Treatment of Acute Streptococcal Pharyngitis. Am Fam Physician. 2010 1;81(3):346-359. 12. Rilantono, LI. Penyakit Kardiovaskular (PKV). Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2013;331-335
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
56
13. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Pelayanan Medis, Ed. 2. Jakarta:Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011:41-42. 14. Mishra T.K., Acute Rheumatic Fever and Rheumatic Heart Disease: current scenario. JIACM. 2007;8(4):324-30. 15. Kumar, R.K., Tandon R. Rheumatic Fever & Rheumatic Heart Disease: The last 50 years. Indian J Med Res. 2013:137; 643-658. 16. Chin TK. 2014. Pediatric Rheumatic Heart disease. Medscape. [Online] Melalui: http://emedicine.medscape.com/article/891897-overview#a0199 17. Ciliers,
A.M.
Rheumatic
Fever
and
Its
Management.
BMJ.
2006;333(7579): 1153-1156
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
57
LAMPIRAN FOTO PASIEN
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
58
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
59
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
60