CBR Fisika Matematika I [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN



1.1. Latar Belakang Critical Book Report adalah penganalisisan, penilaian, dan pengevaluasian mengenai keunggulan & kelemahan buku, bagaimana isi artikel tersebut bisa mempengaruhi cara berpikir kita & menambah pemahaman kita terhadap kajian Fisika Matematika. Melalui critical review kita menguji pikiran pengarang/ penulis berdasarkan sudut pandang kita berdasarkan pengetahuan & pengalaman yang kita miliki. Maksud pemberian tugas kuliah berupa critical review ini adalah memenuhi salah satu tugas mata kuliah Fisika Matematika I. 1.2. Tujuan CBR 1. Mengulas bab materi dengan cara meringkas isi buku. 2. Menyelesaikan tugas wajib CBR dalam mata kuliah Fisika Matematika I 3. Mencari dan mengetahui informasi mengenai setiap topik tersebut yang terkandung dalam buku. 4. Melatih diri untuk berpikir kritis dalam mencari informasi yang diberikan pada buku.



1.3. Manfaat CBR 1.



Mampu berpikir kritis dalam mencari informasi yang diberikan oleh buku.



2.



Menambah wawasan dan informasi terutama tentang materi yang terkandung dalam buku tersebut.



1



BAB II ISI



2.1. Identitas Buku 1.



Judul



: Matematika Fisika



2.



Pengarang



: Dr. Nurdin Siregar, M.Si Drs. Togi Tampubolon, M.Si, Ph.D



3.



Penerbit



: UNIMED PRESS



4.



Tahun Terbit



: 2018



5.



Jumlah Halaman



: 116 halaman



2.2. Ringkasan Buku BAB I DERET TAK HINGGA DAN PERHITUNGAN NUMERIK 1. Konvergen Dan Divergen Deret Jumlah dari suatu deret, dapat menghasilkan suatu jumlah tertentu disebut dengan konvergen sedang deret yang tidak menuju sutau jumlahh tertentu disebut dengan divergen. Misalkan suatu deret dinyatakan sebagai ๐‘†๐‘› = โˆ‘๐‘›๐‘š ๐‘Ž๐‘š , dimana dalam deret ini terdapat n buah barisan. Deret tersebut dikatakan konvergen jika: lim ๐‘†๐‘› = S dengan S < โˆž artinya ๐‘›>๐‘Ž



berhingga. Jika S divergen bila lim ๐‘†๐‘› =โˆž atau S โ†’ โˆž artinya limit tidak ada. ๐‘›>๐‘Ž



Sifat-sifat Utama Deret : Sifat 1: Jika โˆ‘ ๐‘Ž๐‘› konvergen, maka lim ๐‘Ž๐‘› =0, tetapi kebalikannya tidak selalu berlaku maka ๐‘›โ†’โˆž



deret โˆ‘ ๐‘Ž๐‘› dapat juga konvergen tetapi dapat juga divergen. Sifat 2: Jika suku ke-n dari deret tidak menuju 0 maka deret itu divergen. Bukti : Jika โˆ‘ ๐‘Ž๐‘› konvergen maka lim ๐‘†๐‘› =0, andaikan jika lim ๐‘†๐‘› โ‰ 0 maka โˆ‘ ๐‘Ž๐‘› ๐‘›โ†’โˆž



๐‘›โ†’โˆž



konvergen. Karena โˆ‘ ๐‘Ž๐‘› konvergen lim ๐‘†๐‘› =0. Hal ini bertentangan dengan ๐‘›โ†’โˆž



pengandaian bahwa lim ๐‘†๐‘› โ‰ 0, jadi pengandaian salah. Dengan perkataan lain jika ๐‘›โ†’โˆž



lim ๐‘†๐‘› โ‰ 0 deret divergen.



๐‘›โ†’โˆž



Sifat 3: Mengalikan semua suku-suku suatu deret dengan suatu bilangan konstanta yang tidak sama dengan 0, tidak akan merubah konvergensi. Sifat 4: Penghapusan beberapa suku yang berhingga banyaknya dari suatu deret juga merubah konvergensi atau divergensi deret itu. Demikian juga dengan penambahan berhingga sebuah suku-suku. 2



1.1. Uji Konvergensi Deret Uji konvergensi tak hingga hanya dilakukan untuk deret bersuku positif. 1.1.1. Uji Pendahuluan Memeriksa apakah untuk barisan yang tidak hingga lim ๐‘Ž๐‘› โ‰ 0 jika hal ini dipenuhi ๐‘›โ†’โˆž



maka deret tersebut adalah divergen. Contoh : Deret โˆ‘โˆž ๐‘›=1 ๐‘Ž๐‘› merupakan deret tak hingga yang divergen karena: lim ๐‘Ž๐‘› =โˆž, sedangkan ๐‘›โ†’โˆž



untuk deret tak hingga



1 โˆ‘โˆž ๐‘›=1 ๐‘›



1



memiliki kemungkinan konvergen Karena lim ๐‘›=0. ๐‘›โ†’โˆž



1.1.2. Uji Banding Uji banding adalah untuk menguji divergensi dan divergensidari suatu deret misalnya โˆ‘ ๐‘Ž๐‘› dengan membandingkan deret yang sudah diketahui konvergensinya atau divergensinya misalnya โˆ‘ ๐‘๐‘› . Jika kondisi ๐‘Ž๐‘›< ๐‘๐‘› dan ๐‘๐‘› โ‰ฅ 0 dipenuhi untuk semua ๐‘› โ‰ฅ ๐‘ maka deret tersebut adalah konvergen. Selanjutnya jika, โˆ‘โˆž ๐‘›=1 ๐‘๐‘› divergen, ๐‘๐‘› โ‰ฅ 0 dan โ”‚๐‘Ž๐‘› โ”‚โ‰ฅ ๐‘๐‘› maka โˆž deret โˆ‘๐‘›=1 ๐‘Ž๐‘› divergen. Contoh: 1



1



โˆž 1. Selidiki konvergensi dari deret (i) โˆ‘โˆž ๐‘›=1 ๐‘› dan (ii) โˆ‘๐‘›=1 ๐‘›! dengan n! = (n-1)(n-2)โ€ฆ dengan 1



deret pembanding โˆ‘ 2๐‘› dari perbandingan dan diperolah sebagai berikut. Untuk deret (1) selaku berlaku



1 ๐‘›



>



1



untuk seluruh n, maka deret tersebut adalah



2๐‘›



1



1



divergen. Sedangkan deret (ii) terlihat bahwa untuk n โ‰ฅ 4 selalu terpenuhi kondisi ๐‘›! > 2๐‘› maka deret (ii) konvergen. N



๐‘›โˆ’1



1



1



2 3 4 5



(๐‘›!)โˆ’1 1



1 2 1 3 1 4 1 5



1 2 1 6 1 24 1 20



2โˆ’๐‘› 1 2 1 4 1 8 1 16 1 32



1



1



2. Gunakan uji banding untuk menentukan apakah konvergen atau divergen โˆ‘โˆž ๐‘›โ†’1 ๐‘›! =1+ 2 + 1 6



1



+ 24 + โ‹ฏ 3



Penyelesaian: 1



1



1



1



1



Deret geometri โˆ‘โˆž ๐‘›โ†’1 ๐‘›! =1+ 2 + 6 + 8 + 24 + โ‹ฏ ๐‘Ž



๐‘† = 1โˆ’๐‘Ÿ=



1 2



1



1



๐‘Ÿ = 2 dan ๐‘Ž = 2



1



1 1โˆ’ 2



, maka deret โˆ‘โˆž ๐‘›โ†’1 2๐‘› adalah deret konvergen



1



Deret โˆ‘โˆž ๐‘›โ†’1 ๐‘›! =1+



1 2



1



1



+ 6 + 24 + โ‹ฏ untuk nโ‰ฅ 4, dimana



1 ๐‘›!



1



1



< 2๐‘›, maka deret โˆ‘โˆž ๐‘›โ†’1 ๐‘›!,



konvergen jika n> 3. 1.1.3. Uji Integral โˆž



Uji ini dilakukan dengan cara integrasi kontini terhadap n dimana โˆ‘โˆž ๐‘›=1 ๐‘Ž๐‘› menjadi



โˆซ0 ๐‘Ž๐‘› dn jika hasilnya terbatas maka deret tersebut adalah konvergen, selanjutnya jika hasilnya tidak terhingga maka deret tersebut dinyatakan sebagai deret divergen. Hal ini dipenuhi jika 0< ๐‘Ž๐‘›+1 < ๐‘Ž๐‘› . Contoh: 1



1. Tentukan konvergensi deret โˆ‘~ ๐‘›=1 ๐‘› Penyelesain: 1



1



๐‘Ž๐‘›+1 < ๐‘Ž๐‘› maka dapat di uji integral sehingga, f(n)= ๐‘› โ†’ ๐‘“(๐‘ฅ) = ๐‘ฅ ~



~ ๐‘‘๐‘ฅ



Maka I= โˆซ๐‘ ๐‘“(๐‘ฅ)๐‘‘๐‘ฅ โˆซ๐‘



๐‘‹



= ln IN ~ = ln ~ โˆ’ ln N sehingga, I = ~ dan deret tersebut



dinamakan divergen. ๐‘›



2. Gunakan uji integral untuk menentukan apakah deret konvergen atau divergen: โˆ‘โˆž ๐‘› ๐‘›2 +12 โˆž



๐‘›



๐‘› dn Misalkan u=๐‘›2 + 1 sehingga du = 2n ๐‘›2 +12 โˆž ๐‘› โˆž 1 ๐‘‘๐‘ข 1 โˆž 1 1 โˆซ๐‘› ๐‘›2 +12dn=โˆซ๐‘› 2 ๐‘ข2 = 2 โˆซ๐‘› ๐‘ขโˆ’2 ๐‘‘๐‘ข=-2 ๐‘ขโˆ’1 โ”‚โˆž = โˆ’ 2 u(๐‘›2 +



Penyelesaian: โˆ‘โˆž ๐‘› ๐‘›2 +12 dibentuk menjadi โˆซ๐‘› dn maka ndn = ยฝ du sehingga: 1



๐‘›



1) โ”‚1โˆž =2, maka deret โˆ‘โˆž ๐‘› (๐‘›2 +12 ) adalah: konvergen. 1.1.4. Uji Bagi atau Rasio ๐‘Ž๐‘›+1



Tinjau deret โˆ‘โˆž ๐‘›=1 ๐‘Ž๐‘› , selanjutnya deret ini dimisalkan ๐‘™๐‘–๐‘š๐‘›โ†’โˆž ว€ apabila:



๐‘Ž๐‘›



ว€ = ๐œŒ๐‘›



๐œŒ < 1 maka deret tersebut konvergen ๐œŒ > 1 maka deret tersebut divergen ๐œŒ = 1 deret tersebut tidak dapat ditentukan divergen atau konvergen



Contoh: 1



1. Gunakan uji rasio/bagi untuk menentukan apakah deret konvergen atau divergen โˆ‘โˆž ๐‘›โ†’1 ๐‘›! 4



1



Penyelesaian: โˆ‘โˆž ๐‘›โ†’1 ๐‘›! =1+ ๐œŒ๐‘› =



๐‘›(๐‘›โˆ’1)(๐‘›โˆ’2)(๐‘›โˆ’3)โ€ฆ ว€ (๐‘›+1)๐‘›(๐‘›โˆ’1)(๐‘›โˆ’2)(๐‘›โˆ’3) ว€



1



1



1



1



๐‘›!



+ 3! + 4! + โ‹ฏ + ๐‘‘๐‘–๐‘๐‘’๐‘Ÿ๐‘œ๐‘™๐‘’โ„Ž ๐œŒ๐‘› = ว€ ๐‘›+1 ว€ diperoleh: 1 ว€ = ว€ (๐‘›+1)! 2! ๐‘›!



1



= ว€ ๐‘›+1 ว€



maka ๐œŒ = lim ๐œŒ๐‘› = 0 sehingga deret tersebut konvergen ๐‘›โ†’โˆž



1.1.5. Uji Banding Limit (Uji Lebniz) Tinjau deret posirtif โˆ‘โˆž ๐‘›=1 ๐‘Ž๐‘› ,kemudian: ๐‘Ž



๐‘› a. Uji konvergensi, jika terdapat deret positif โˆ‘โˆž ๐‘›=1 ๐‘๐‘› yang konvergen ๐‘™๐‘–๐‘š๐‘Žโ†’โˆž ว€ ๐‘ ว€ < ~, ๐‘›



maka deret konvergen. ๐‘Ž๐‘› b. Uji devergensi jika deret positif โˆ‘โˆž ๐‘›=1 ๐‘๐‘› yang divergen, sehingga ๐‘™๐‘–๐‘š๐‘Žโ†’โˆž ว€ ๐‘ ว€ < 0, maka ๐‘›



deret



โˆ‘โˆž ๐‘›=1 ๐‘Ž๐‘›



divergen.



Contoh: 1. uji konvergensi deret: (3๐‘›+1)



10+๐‘›



๐‘Ž. โˆ‘~ ๐‘›โ†’1 (๐‘›+1)2



b. โˆ‘~ ๐‘›โ†’1 (๐‘›3 +1) 3๐‘›+1



Penyelesaian: a. ๐‘Ž๐‘› = 3๐‘›+1



3



(๐‘›+1)2



3



maka ๐‘๐‘› = ๐‘›, untuk n besar maka โˆ‘~ ๐‘›โ†’1 ๐‘› adalah divergen. 3๐‘›2 +๐‘›



๐‘›



(3๐‘›+1)



Juga ๐‘™๐‘–๐‘š๐‘Žโ†’~ ว€ (๐‘›+1)2 . 3 ว€ = ๐‘™๐‘–๐‘š๐‘Žโ†’~ ว€ 3๐‘›2 +6๐‘›+3 ว€ = 1 > 0 maka deret โˆ‘~ ๐‘›โ†’1 (๐‘›+1)2 adalah divergen. 10+๐‘›



a. โˆ‘~ ๐‘›โ†’1 (๐‘›3 +1) โ†’ ๐‘Ž๐‘› = 10+๐‘› ๐‘›2



๐‘™๐‘–๐‘š๐‘›โ†’~ ว€ ๐‘›3 +1 .



1



10+๐‘› (๐‘›3 +1)



untuk n besar maka: ๐‘๐‘› =



1 ๐‘›2



1



, โˆ‘~ ๐‘›โ†’1 ๐‘›2 adalah konvergen jadi



10+๐‘›



ว€ = 1 < ๐‘› maka deret โˆ‘~ ๐‘›โ†’1 (๐‘›3 +1) adalah konvergen.



1.2. Deret Bolak-Balik Dalam hal ini kita akan membahas deret tak tetap positif istimewa yang suku-sukunya bergantian bernilai positif dan negatif, seperti deret berikut : 1



1



1



1 โˆ’ 2 + 3 โˆ’ 4 + โ‹ฏโˆ‘



โˆž ๐‘›=1



โˆ’1n+1



(2.22)



n



Deret ini tergolong deret istimewa yang disebut deret bolak-balik atau berayun Deret :



โˆ‘โˆž ๐‘›=1 a n



=



n+1 |an | โˆ‘โˆž n=1(โˆ’1)



Disebut deret bolak-balik atau berayun.



5



(2.23)



Marilah kita lihat kembali deret (2.22) dan memeriksa apakah deret ini konvergen atau divergen. Karena deretnya tak tetap positif, maka kita uji dulu apakah dia konvergen mutlak. Deret mutlak adalah 1



1



โˆž



1



1 โˆ’ 2 + 3 โˆ’ 4 + โ‹ฏโˆ‘



1



๐‘›=1 n



Ini adalah deret harmonik yang telah kita perlihatkan adalah divergen. Namun demikian kita belumlah mengetahui secara pasti kekonvergenan deret bolak-balik 1.2.1. Uji Deret Bolak Balik โˆž n+1 |an | Deret bolak-balik โˆ‘โˆž konverge, jika kedua syarat berikut ๐‘›=1 an = โˆ‘n=1(โˆ’1) dipenuhi :



a. |๐‘Ž๐‘›+1 | < |๐‘Ž๐‘› | b. lim |๐‘Ž๐‘› | = 0 ๐‘›โ†’โˆž



Contoh : 1



Untuk deret bolak-balik (2.22), karena |๐‘Ž๐‘› | = ๐‘›, maka |๐‘Ž๐‘›+1 | < |๐‘Ž๐‘› | dan lim |๐‘Ž๐‘› | = lim ๐‘›โ†’โˆž



1



๐‘›โ†’โˆž ๐‘›



0. Jadi, menurut Teorema ,deret ini konvergen



1.3. Konvergen Bersyarat Satu hal yang perlu diperhatikan pada deret tak tetap positif adalah bahwa bila deret tersebut konvergen tetapi tak konvergen mutlak, maka pengubahan urutan suku-sukunya dapat terjadi dan memberi hasil yang jumlah yang berbeda. Contoh : Pandang deret bolak-balik (2.22). Karena telah kita perlihatkan deret ini konvergen, maka jumlahnya ada, katakanlah S, yaitu : 1โˆ’



1 2



1



1



+3โˆ’4+โ‹ฏ=๐‘†



(2.24)



Akan kita perlihatkan bahwa deret yang diperoleh dari (2.24) dengan susunan urutan sukusukunya sebagai berikut : 1+



1 3



1



1



1



1



1



1



1



โˆ’ 2 + 5 + 7 โˆ’ 4 + 9 + 11 โˆ’ 6 + โ‹ฏ



(2.25)



3



Memiliki jumlah 2 ๐‘  โ‰  ๐‘†



6



=



Bukti : Deret (2.25) dapat kita peroleh dengan cara sebagai berikut. Pertama, kalikan deret 1



(2.24) dengan 2, yang memberikan deret : 1 2



1



1



1



โˆ’ 4+ 8 +โ‹ฏ = 2๐‘†



(2.26)



Jumlahkan deret (2.24) dengan (2.26), kita peroleh deret (2.25) : 1+



1



1



1



1



1



1



1



1



โˆ’ 2 + 5 + 7 โˆ’ 4 + 9 + 11 โˆ’ 6 + โ‹ฏ 3 1



3



Hasil jumlahnya : S + 2 ๐‘† = 2 ๐‘† , seperti disebutkan diatas 1.3.1. Defenisi Konvergen Bersyarat Jika deret tak tetap positif โˆ‘โˆž ๐‘›=1 a n konvergen tetapi tak konvergen mutlak, maka konvergensinya disebut konvergen bersyarat. Sebuah deret yang konvergen bersyarat tak boleh diubah urutan suku-sukunya. 1.4. Deret Pangkat Selama ini kita hanya membahas deret takhingga yang semua sukunya berupa bilangan tetap. Dalam sisa bab ini, kita akan mempelajari deret takhinggal variabel. Yaitu, deret yang semua bergantung pada sebuah variabel x; secara khusus, yang suku-sukunya berbentuk fungsi pangkat: ๐‘Ž๐‘›= ๐‘Ž๐‘› (x) = ๐‘๐‘› ๐‘ฅ ๐‘› dengan koefisien ๐‘๐‘› = ๐‘“(๐‘›) membentuk suatu barisan bilangan tetap. 1.4.1. Defenisi Deret Pangkat Deret tak hingga variabel, ๐‘› 2 ๐‘› โˆ‘โˆž ๐‘›=1 ๐‘๐‘› (๐‘ฅ โˆ’ ๐‘Ž) โ‰ก ๐‘๐‘œ + ๐‘1 (x-a) + ๐‘2 (๐‘ฅ โˆ’ ๐‘Ž) + .... + ๐‘๐‘› (๐‘ฅ โˆ’ ๐‘Ž) +....



(2.28)



Dengan x sebuah variabel sedangkan a dan ๐‘๐‘› bilangan tetap, disebut โ€œderet pangkatโ€ atau โ€œderet kuasaโ€ Perhatikan bahwa dalam notasi deret pangkat ini kita telah sengaja memilih indeks nol untuk menyatakan suku pertama deret, ๐‘๐‘œ , yang selanjutnya akan kita sebut suku ke nol. Penamaan indeks atau suku ini hanyalah sekedar untuk memudahkan penulisan, terutama bila kelak kita membahas uraian sebuah fungsi kedalam deret pangkat, yakni uraian Taylor. Contoh : 1. 1 โˆ’



๐‘ฅ



+ 2



x2 4



โˆ’



x3 8



โˆ’๐‘ฅ ๐‘›



+ โ‹ฏ + 2๐‘› + .... โ‰ก โˆ‘โˆž ๐‘›=0



1.5. Deret Binomial Deret binomial dituliskan sebagai berikut : 7



(โˆ’๐‘ฅ)๐‘› 2๐‘›



(๐‘Ž + ๐‘)๐‘› =๐‘Ž๐‘› +๐‘›๐‘Ž๐‘›โˆ’1b + โ‹ฏ + ๐‘›๐‘Ž๐‘›โˆ’1 b + ๐‘ ๐‘› = โˆ‘โˆž ๐‘›=0



(๐‘›โˆ’๐‘š) ๐‘›!



๐‘Ž๐‘›โˆ’๐‘š ๐‘ ๐‘š



Contoh : 1. Uraikan fungsi f(x) = sin x atas deret Maclaurin Penyelesaian : f(x) = (1 + ๐‘ฅ)โˆ’1 (โˆ’1)(โˆ’2)



= 1-x +



2!



๐‘ฅ2+



(โˆ’1)(โˆ’2)(โˆ’3) 3!



+....



Hitunglah deret nilai sisa deret 1 โˆ’



1 2



1



1



1



1



+ 4 โˆ’ 8 + 16-32 pada suku ke enam



Penyelesaian : ๐‘Ž



1



S = 1โˆ’๐‘Ÿ, a= 1, r = -2 1



2



S = 1+1/2 = 3 S=1โˆ’



1 2



1



1



1



1



+ 4 โˆ’ 8 + 16-32 = S-๐‘†6 = 0,6666-0,65 = 0,0106



BAB II BILANGAN KOMPLEKS 2.1. Bilangan Real dan Imajiner Tiap-tiap persamaan dengan bentuk : ax2 + bx + c = 0............................................................................................... (2.1) dinamakan persamaan kuadrat, yang akar-akar persamaannya adalah :



x1,2 =



โˆ’๐‘ยฑโˆš๐‘ 2 โˆ’4๐‘Ž๐‘ 2๐‘Ž



.................................................................................. (2.2)



Jika diskriminan D = b2 โ€“ 4ac < 0, maka tak ada akar-akar yang real (dua buah akar yang gabungan kompleks), dan untuk melukiskan akar-akar ini, maka dinyatakan dengan bilangan : bilangan khayal(imajiner) ai dengan a bilangan riel dan i satuan kayal yang memenuhi aturan : i = โˆšโˆ’1............................................................................................................ (2.3) i2 = (โˆšโˆ’1 ) = -1,i3 = -i,t4 = 1,t4n = 1 suatu bilangan kompleks adalah suatu bilangan dengan bentuk : 8



c = a + ib........................................................................................................... (2.4) dengan c = bilangan kompleks a = Re c = bagian riel c b = Im c = bagian imajiner?kayal c sehingga sebuah bilangan kompleks c dapat ditulis sebagai : c = Re c + Im c Contoh 1 Nyatakanlah apakah bilangan kompleks real atau imajiner soal dibawah ini : a.



10 + 5i



โ†’ sebuah bilangan kompleks



b.



0 + 8i atau 8i



โ†’ sebuah bilangan imajiner



c.



10 + 0i atau 10



โ†’ sebuah bilangan riel



d.



0 + 0i



โ†’ sebuah bilangan kompleks



2.2. Aljabar Bilangan Kompleks Misalkan dua bilangan kompleks c1 = a1 + ib1 dan c2 = a2 + ib2, maka operasi aljabar antara kedua bilangan kompleks ini didefenisikan memberikan pula suatu bilangan kompleks baru. a. Penjumlahan/Pengurangan c1 ยฑ c2 = (a1 + ib2) ยฑ(a2 + ib2) = (a1 ยฑ a2) + i(b1 ยฑ b2)....................................... (2.5) b. Perkalian c1.c2



= (a1 + ib2) (a2 + ib2) = a1a2 + ia1b2+ 1 b1a2 + i2b1b2 = (a1a2 โ€“ b1b2) + i(a1b2 + a2b1).......................................................................... (2.6)



c. Pembagi



9



๐‘1 ๐‘2



=



(๐‘Ž1+๐‘–๐‘1) (๐‘Ž2+๐‘–๐‘2



(๐‘Ž1+๐‘–๐‘1)(๐‘Ž2โˆ’๐‘–๐‘2)



= (๐‘Ž2+๐‘–๐‘2)(๐‘Ž2โˆ’๐‘–๐‘2) =



(๐‘Ž1๐‘Ž2+๐‘1๐‘2) ๐‘Ž12



+๐‘22 )



+i



(๐‘1๐‘Ž2โˆ’๐‘Ž1๐‘2) (๐‘Ž22 + ๐‘22 )



Contoh 2. Jika c1 = 2 โ€“ 3i dan c2 = -5 + i , hitunglah : a. c1 + c2



d. c1.c2



b. c1 - c2



e. c1 / c2



Penyelesaian : a. c1 + c2 = -3 โ€“ 2i



d. c1 c2 = -7 + 17i



b. c1 - c2 = 7 - 4i



e. c1 / c2 = (-1 + i)/2



Di dalam operasi aljabar bilangna kompleks berlaku sifat-sifat : c1 + c2 = c2 + c1



โ†’ aturan kumulatif



c1 .c2 = c2 .c1



โ†’ aturan kumulatif



(c1 + c2) + c3 = c1 + (c2 + c3)



โ†’ aturan asosiatif



(c1 .c2) + c3 = c1(c2 + c3)



โ†’ aturan asosiatif



c1 (c2 + c3) = c1 .c2 + c2 .c3



โ†’ aturan distributif



0+c=c+0=c



โ†’ aturan distributif



2.3. Bidang Kompleks / Diagram argand Pada sistem koordinat suku dapat digambarkan suatu pasangan bilangan yang dapat menyatakan sebuah titik dalam bidang, dan sebaliknya suatu titik dapat menyatakan suatu pasangan bilangan. Karena suatu pasangan bilangan (x,y) ditentukan oleh suatu bilangan kompleks z = x + iy, maka setiap bilangan kompleks z = x + iy dapat dinyatakan sebagai sebuah titik P (x,y) pada suatu bidang xy dan sebalikmya sebuah titik P (x,y) sesuai dengan suatu bilangan kompleks z = x + iy. Bilangan xy tersebut dinamakan bidang kompleks atau diagram Argand.



P(x,y) = x + iy = (r,ษต) 10



Y



สณ Letak titik P(x,y) dalam koordinat siku dengan r adalah jarak titik asal 0 ke titik P(x,y) dan sudut ๐œƒ sudut positif yang diapit garis OP dengan sumbu x positif, dapat juga ditentukan dengan koordinat0 polar (r,๐œƒ).



X



0



Hubungan dengan koordinat adalah : x = r cos ๐œƒ



y = r sin ๐œƒ ...................................( 2.11)



r = โˆš๐‘ฅ 2 + ๐‘ฆ 2



๐œƒ = arc tan ๐‘ฅ ................................(2.12)



๐‘ฆ



Berdasarkan hubungan koordinat, diperoleh bentuk kutub (polar) bilangan kompleks : z = x + iy = r cos ๐œƒ + ir sin ๐œƒ atau : z = r(cos ๐œƒ + i sin ๐œƒ )......................................(2.13) Dengan : r = modulus atau harga mutlak z ๐œƒ = argumen z = sudut = fase Jika ๐‘ง1 = ๐‘Ÿ1 ( cos ๐œƒ1 + i sin ๐œƒ1 ) dan ๐‘ง2 = ๐‘Ÿ2 ( cos ๐œƒ2 + i sin ๐œƒ2 ) Maka perkalian : ๐‘ง1 ๐‘ง2 = ๐‘Ÿ1 ๐‘Ÿ1 [cos(๐œƒ1 + ๐œƒ2 ) + ๐‘– sin(๐œƒ1 + ๐œƒ2 ) ] Dan jika ๐‘ง1 = ๐‘ง2 , ๐‘š๐‘Ž๐‘˜๐‘Ž ๐‘‘๐‘–๐‘๐‘’๐‘Ÿ๐‘œ๐‘™๐‘’โ„Ž : ๐‘ง1 ๐‘ง2 = ๐‘ง 2 = ๐‘Ÿ 2 ( ๐‘๐‘œ๐‘  2 ๐œƒ + ๐‘– ๐‘ ๐‘–๐‘›2 ๐œƒ ) ๐‘ง 2 = ๐‘Ÿ 2 ( ๐‘๐‘œ๐‘  2 ๐œƒ + ๐‘– ๐‘ ๐‘–๐‘›2 ๐œƒ ) Selanjutnya jika ada nz yang tidak berbeda masing-masing sama dengan z =๐‘Ÿ(๐‘๐‘œ๐‘ ๐œƒ + ๐‘– ๐‘ ๐‘–๐‘›๐œƒ ), maka diperoleh : ๐‘ง ๐‘› = [๐‘Ÿ(๐‘๐‘œ๐‘ ๐œƒ + ๐‘– ๐‘ ๐‘–๐‘›๐œƒ) ]๐‘› = ๐‘Ÿ ๐‘› (๐‘๐‘œ๐‘ ๐‘›๐œƒ + ๐‘– ๐‘ ๐‘–๐‘›๐œƒ) Persamaan ini dikenal dengan Teorema De Moivre 2.4. Persamaan Kompleks dan Kurva Bilangan Kompleks 11



Duah buah bilangan konpleks adalah sama, jika dan hanya jika bagian real nya sama, dan juga bagian kayal/imajiner sama. Contohnya x + iy = 2 +3i. Adalah suatu persamaan kompleks dengan x = 2 dan y = 3 sebagai variabel-variabel riel. Suatu persamaan kompleks yang menghasilkan hanya satu persamaan riel, akan memberikan pemecahan dengan x dan y saling bergantungan. Saling bergantungan ini, pada bilangan kompleks, menggambarkan sebuah kurva. Jika kita memiliki sebuah persamaan kompleks yang memberikan hanya satu persamaan rill atau f(z) = C dimana z = x + iy, dengan f(z) dan C masing-masing berharga rill, maka sistem persamaan tersebut akan memberikan pemecahan dalam variabel x dan y yang saling tergantung, sehingga menggambarkan suatu kurva dalam bidang x โ€“ y tersebut Contoh : 1. Cari pemecahan persamaan kompleks ๐‘ง 2 = 1 dengan z = x + iy. Penyelesaian : Nyatakan persamaan tersebut dalam variabel rill x dan y sebagai berikut. (๐‘ฅ + ๐‘–๐‘ฆ)2 = 1. Selanjutnya kita jabarkan persamaan tersebut menjadi ๐‘ฅ 2 + 2๐‘–๐‘ฅ๐‘ฆ โˆ’ ๐‘ฆ 2 = 1 sehingga diperoleh persamaan untuk bagian rill dan imajiner masing-masing a) ๐‘ฅ 2 โˆ’ ๐‘ฆ 2 = 1 b) 2๐‘ฅ๐‘ฆ = 0 Dari persamaan b) jika x = 0 maka dari persamaan a) diperoleh ๐‘ฆ 2 = โˆ’1 dan karena y seharusnya merupakan bilangan rill, maka hasil ini bukan pemecahan persamaan yang kita tinjau. Jika y = 0 maka diperoleh ๐‘ฅ 2 = 1 yang memberikan nilai rill bagi variabel x. Dengan demikian pemecahan persamaan tersebut adalah {x = ยฑ 1, y = 0} atau z = ยฑ1 2. Tentukan kurva yang terkait persamaan |๐‘ง โˆ’ 3| = 1 Penyelesaian : Ungkapkan persamaan tersebut dalam variabel x dan y adalah |๐‘ฅ โˆ’ 3 + ๐‘–๐‘ฆ| = โˆš(๐‘ฅ โˆ’ 3)2 + ๐‘ฆ 2 = 1 lalu kuadratkan kedua ruas sehingga diperoleh persamaan lingkaran (๐‘ฅ โˆ’ 3)2 + ๐‘ฆ 2 = 1 dengan titik pusat di (3,0) dan berjari-jari 1. 12



2.5. Deret kompleks Seperti halnya ketika kita membahas deret pangkat pada sistem bilangan riil pada bab 1, dalam sistem bilangan kompleks kita juga dapat membangun suatu deret pangkat takhingga yang didefinisikan sebagai: โˆž



๐‘†(๐‘ง) = โˆ‘ ๐‘Ž๐‘› ๐‘ง ๐‘› ๐‘›=1



Dengan z=x+iy, dan an merupakan bilangan kompleks. Untuk menguji konvergensi dari deret tersebut, kita dapat memakai kembali semua perangkat yang telah kita bahas di bab 1 lalu. Tinjau deret berikut: โˆž



๐‘ง2 ๐‘ง3 ๐‘ง4 ๐‘ง๐‘› ๐‘ง โˆ’ + โˆ’ + โ‹ฏ = โˆ‘(โˆ’1)๐‘›+1 2 3 4 ๐‘› ๐‘›=1



Untuk menentukan konvergensi dari deret pangkat kompleks bolak-balik ini kita uji bahwa deret ini konvergen karena memenuhi syarat konvergen mutlaknya. Dari lim ว€ ๐‘›โ†’โˆž



๐‘ง ๐‘›+1



dan ว€ (๐‘›+1)ว€ < ว€



๐‘ง๐‘› ๐‘›



๐‘ง๐‘› ๐‘›



ว€=0



ว€. Jelas bahwa deret ini konvergen karena memenuhi syarat konvergen



mutlak. Selanjutnya untuk mengetahui harga z yang membuat deret tersebut konvergen kita gunakan uji rasio: ๐‘›๐‘ง ๐‘›+1



Lim ว€ (๐‘›+1)๐‘ง ๐‘›ว€ ว€ ๐‘งว€ < 1 ๐‘›โ†’โˆž



Dengan demikian diperoleh untuk harga ว€ ๐‘งว€ < 1 deret konvergen. Mengingat ว€ ๐‘งว€ = 1 tidak lain adalah kurva lingkaran dalam bidang kompleks, maka untuk semua nilai (x,y) yang berada di dalam kurva tersebut deret tersebut konvergen. Untuk (x,y) yang berada tepat di lingkaran yaitu ketika z=1, maka kita harus melakukan uji terpisah untuk menentukan konvergensinya dan mengingat analisis pemeriksaannya cukup panjang, maka hal ini tidak kita lakukan. Deret tak hingga kompleks adalah pernyataan penjumlahan bilangan kompleks yang tak hingga banyaknya berbentuk: 13



๐ถ1 + ๐ถ2 + ๐ถ3 + โ‹ฏ ๐ถ๐‘› + โ‹ฏ = โˆ‘โˆž ๐‘›=1 ๐ถ๐‘› โ€ฆ โ€ฆ โ€ฆ โ€ฆ.



Dengan setiap suku ๐ถ๐‘› adalah suatu bilangan kompleks yang tergantung pada bilangan bulat n. Jumlah parsial/pembagiannya deret tak hingga kompleks dituliskan: ๐‘†๐‘› = ๐‘‹๐‘› + ๐‘–๐‘Œ๐‘› dengan: ๐‘†๐‘› = โˆ‘โˆž ๐‘˜=1 ๐ถ๐‘˜ = 1,2,3 โ€ฆ ๐‘› ๐‘‹๐‘› ๐‘‘๐‘Ž๐‘› ๐‘Œ๐‘› ๐‘๐‘–๐‘™๐‘Ž๐‘›๐‘”๐‘Ž๐‘› ๐‘Ÿ๐‘–๐‘’๐‘™. Jika n โ†’ โˆž, ๐‘†๐‘› menuju s= x+iy, maka deret kompleksnya konvergen, dengan s jumlahnya. Berarti jika ๐‘‹๐‘› โ†’ ๐‘ฅ ๐‘‘๐‘Ž๐‘› ๐‘Œ๐‘› โ†’ ๐‘ฆ maka deret bagian riel dan kayal adalah konvergen. Contoh: Ujilah konvergensi deret kompleks berikut ini: โˆž โˆž ๐‘› ๐‘–๐œƒ ๐‘› ๐‘–๐‘›๐œƒ โˆ‘โˆž โ†’ ๐‘‘๐‘’๐‘Ÿ๐‘’๐‘ก ๐‘”๐‘’๐‘œ๐‘š๐‘’๐‘ก๐‘Ÿ๐‘– ๐‘˜๐‘œ๐‘š๐‘๐‘™๐‘’๐‘˜๐‘  ๐‘›=0 ๐‘ง = โˆ‘๐‘›=0(๐‘Ÿ๐‘’ ) = โˆ‘๐‘›=0 ๐‘Ÿ ๐‘’



๐œŒ= ว€



๐‘ง ๐‘›+1 ๐‘ง๐‘›



ว€ = Lim |๐‘ง| ๐‘›โ†’โˆž



๐œŒ = |๐‘ง| adalah konvergen jika |z| = ๐‘Ÿ < 1 sehingga disebut lingkaran konvergensi.



2.6. Fungsi Eksponensial Dan Rumus Euler Seperti halnya pada pembahasan deret pangkat riil, setiap deret pangkat kompleks yang konvergen akan mendefinisikan sebuah fungsi f (z) dengan variabel kompleks z dalam daerah konvergensi deret tersebut dan deret tersebut secara khusus dinamakan sebagai uraian taylor. Sekarang kita akan meninjau uraian taylor dari fungsi kompleks () z ezf = di sekitar 0 =z sebagai berikut (buktikan!): ๐‘’๐‘ง = 1 + ๐‘ง +



๐‘ง2 2!



+



๐‘ง3 3!



+



๐‘ง4 4!



+โ‹ฏ



๐‘ง๐‘›



= 1 + โˆ‘โˆž ๐‘›=1 ๐‘›!



14



๐‘ง๐‘›



Dapat dibuktikan bahwa deret โˆ‘โˆž ๐‘›=1 ๐‘›! konvergen untuk seluruh z, sehingga uraian taylor fungsi f(z) = ๐‘’ ๐‘ง juga memiliki rentang konvergensi yang sama. Dapat diperlihatkan pula bahwa perkalian dan pembagian dua fungsi eksponensial kompleks juga memenuhi hubungan yang sama dengan fungsi eksponensial riil yaitu:



๐‘’ ๐‘ง1 ๐‘’ ๐‘ง2 = ๐‘’ (๐‘ง1+๐‘ง2) ๐‘’ ๐‘ง1 ๐‘’ ๐‘ง2



= ๐‘’ (๐‘ง1โˆ’๐‘ง2 )



misalkan kita ambil z = iy atau z murni bilangan imajiner. Dengan memasukkannya ke dalam persamaan, kemudian mengelompokkannya dalam bagian riil dan imajiner diperoleh:



๐‘’ ๐‘–๐‘ฆ =



(1โˆ’



๐‘ฆ2 ๐‘ฆ4 ๐‘ฆ6 + + +โ‹ฏ ) 2! 4! 6!



Cos ๐‘ฆ



+ ๐‘–



๐‘ฆ3 ๐‘ฆ5 ๐‘ฆ7 + + +โ‹ฏ ) 3! 5! 7!



(๐‘ฆโˆ’



Sin ๐‘ฆ



Bagian imajiner dari ruas kanan persamaan tidak lain adalah uraian taylor untuk fungsi sin y , sedangkan bagian riilnya dapat ditunjukkan merupakan uraian taylor fungsi cos y . Sehingga dengan demikian kita dapati bahwa bentuk fungsi eksponensial bilangan imajiner ekuivalen dengan representasi trigonometrik: ๐‘’ ๐‘–๐‘ฆ = Cos ๐‘ฆ + ๐‘– sin ๐‘ฆ Hubungan yang diberikan oleh persamaan (17) di atas dikenal sebagai rumusan euler. Contoh: Nyatakan bilangan kompleks a=โˆš3 + ๐‘– = 2



ke dalam bentuk eksponensial kompleks.



Modulus bilangan tersebut adalah : |a| = โˆš3 + ๐‘– = 2 dari argumennya arg ๐ด = arctan sehingga repsentasinya dalam bentuk eksponesial kompleks adalah ๐ด = 2๐‘’ ๐‘–๐œ‹/6 Soal!! 1. Jika ๐ถ1 = 2 + 5๐‘– ๐‘‘๐‘Ž๐‘› ๐ถ2 = 5 + 2๐‘–, โ„Ž๐‘–๐‘ก๐‘ข๐‘›๐‘”๐‘™๐‘Žโ„Ž a. ๐ถ1 + ๐ถ2 jawab: = (๐‘Ž1 ยฑ ๐‘Ž2 ) + ๐‘–(๐‘1 ยฑ ๐‘2 ) =(2 + 5) + ๐‘–(5 + 2) 15



1 โˆš3



๐œ‹



= 6,



2. hitunglah konjugat kompleks dan modulus dari soal dibawah ini a. (2+5i) jawab: (๐ถ โˆ— ) = a-ib



konjugat



= 2-5i Modulus



|c| = โˆš(๐‘Ž + ๐‘–๐‘)(๐‘Ž โˆ’ ๐‘–๐‘) = โˆš๐‘Ž2 + ๐‘ 2 |๐ถ| = โˆš22 +5๐‘– 2 = 2 + 5๐‘–



2.7. Fungsi Logaritma Kompleks Kita akan mempelajari bagaimana menentukan nilai logaritma dari sembarang bilangan kompleks zโ‰ 0, termasuk bilangan negative sebagai kasus khusus. Seperti diketahui bentuk eksponensial z = ๐‘’ ๐‘ค ekuivlen dengan w = ln z Dari defenisi bilangan kompleks dengan menggunakan ungkapan z = ๐‘’ ๐‘ค , diperoleh salah satu sifat logaritma, yaitu: ๐‘ง1 ๐‘ง2 = ๐‘’ ๐‘ค1 ๐‘’ ๐‘ค2 = ๐‘’ ๐‘ค1 +๐‘ค2 atau ln ๐‘ง1 ๐‘ง2 = ๐‘ค1 + ๐‘ค2 = ln๐‘ง1 + ln๐‘ง2 Dari sifat ini kita dapat menghitung bagian real dan bagian imajiner dari fungsi logaritma kompleks. Rumus fungsi logaritma kompleks : ln z = Lnr +๐‘–๐œƒ +2nฯ€ Dengan Ln r menunjukkan logaritma dengan bilangan pokok e dari bilangan real positif r. tampak bahwa fungsi logaritma kompleks bernilai jamak, tergantung pada nilai n yang tak hingga banyaknya (n=0) Besar Ln r dikenal sebagai nilai utama (principal value) dari Ln z. Contoh soal : Hitunglah ( l โ€“ i )4 Penyelesaian : Jika z = l-i, maka r=โˆš2 dan ๐œƒ5ฯ€/4. Bentuk eksponensialnya adalah: z=โˆš2. ๐‘’ 5๐‘–ฯ€/4 , sehingga (l-i)4 = (โˆš2. ๐‘’ 5๐‘–ฯ€/4 )4 = 4๐‘’ 5๐‘–ฯ€ = -4 2.8. Fungsi Trigonometri dan Hiperbolik Kompleks 16



Fungsi trigonometri kompleks 1



1



Sin z =2๐‘– (๐‘’ ๐‘–๐‘ง โˆ’ ๐‘’ โˆ’๐‘–๐‘ง ) dan cos z =2๐‘– (๐‘’ ๐‘–๐‘ง โˆ’ ๐‘’ โˆ’๐‘–๐‘ง ) Untuk semua bilangan kompleks z Empat fungsi trigonometri yang lain didefinisikan: ๐‘ ๐‘–๐‘› ๐‘ง



tan z =cos ๐‘ง



cos ๐‘ง



cot z = sin ๐‘ง



1



sec z =cos ๐‘ง



1



csc z = sin ๐‘ง



BAB III ALJABAR VEKTOR 1. Defenisi Vektor Vector adalah besaran yang mempunyai besar dan arah. Contoh besaran fisika vector adalah kecepatan, percepatan, gaya, momentum sudut, medan listrik, dll. Agar dapat dibedakan besaran scalar dan besaran vector, maka lambang untuk besaran scalar ditulis dengan huruf a, b, A; sedangkan lambang vector ditulis dengan tanda anak panah a , b , A . Besar vector A ditulis A = |A| dan arah vector A ditentukan oleh suatu vector satuan pada arah A dengan besar satu satuan yaitu A yang didefenisikan sebagai: A =



A ๐ด



Dengan | A | = 1 satuan 2. Penjumlahan dan pengurangan vector Operasi penjumlahan dan pengurangan vector sama sekali berbeda dengan operasi penjumlahan dan pengurangan bilangan-bilangan dalam aljabar biasa. Jika A dan B adalah dua buah vector sembarang, maka jumlah kedua vector didefenisikan sebagai: A + B = B + A (aturan komutatif)



Jika B adalah sebuah vector, maka - B didefenisikan sebagai vector yang sama besarnya dengan arah yang berlawanan dengan vector B . Maka mengurangkan vector



A dengan



vector B sama artinya menambahkan vector A dengan vector negative - B A - B = + A + (- B )



3. Komponen Vektor Vector sembarang A di dalam ruang berdimensi tiga dapat diuraikan atas tiga komponen yang saling tegak lurus satu sama lain dengan menggunakan sistem koordinat Cartesius, dengan meletakkan titik tangkap A pada titik asalnya 0. 17



Vector-vektor xห† Ax, yห† Ay, dan zห† Az dinamakan vector-vektor komponen yang segaris dengan sumbu x, sumbu y, dan sumbu z. maka vector A dinyatakan dalam komponen sebagai: A = xห† Ax + yห† Ay + zห† Az



Besar vector A = | A | = (Ax2 + Ay2 + Az2 ) ยฝ 4. Perkalian Skalar Dua Vektor Jika A dan B adalah dua buah vector tak nol yang mengapit sudut ๏ฑ , maka perkalian scalar (titik) dari dua vector A dan B didefenisikan sebagai: A . B = A B cos ๏ฑ = AB cos ๏ฑ



Karena | A || B | cos ๏ฑ , maka berlaku hubungan komutatif A.B= B.A



Di dalam perkalian scalar dua vector dapat dijumpai beebrapa keadaan istimewa, antara lain: 1. Jika A . B = AB cos ๏ฑ = dan A โ‰  0 , B โ‰  0 , maka cos ๏ฑ = 0, atau ๏ฑ =1/2 ฯ€, sehingga vector A tegak lurus pada vector vector B 2. Jika ๏ฑ = 0 maka A . B = AB cos ๏ฑ = AB, yaitu pada saat A sejajar dengan B 3. Jika ๏ฑ = ฯ€ maka A . B = AB cos ฯ€ = -AB, yaitu pada saat A anti parallel (berlawanan arah) dengan B . 5. Perkalian Silang Perkalian silang dari dua vector dan didefenisikan sebagai: A x B = nห† (AB sin ๏ฑ )



Dengan, ๏ฑ = sudut antara A dan B nห† = vector satuan dengan arah tegak lurus pada bidang (A,B) dan arah positif ditentukan dengan putaran sekrup



AB = luas jajaran genjang yang sisi-sisinya adalah vector A dan B Perkalian silang dari dua vector A dan B , yaitu A x B , mempunyai 3 buah komponen yang didefenisikan sebagai: ( A x B )x โ‰ก AyBz - AzBy ( A x B )y โ‰ก AzBx โ€“ AxBz ( A x B )z โ‰ก AxBy โ€“ AyBx 18



Dapat dituliskan menjadi: ( A x B ) = (AyBz - AzBy) xห† + (AzBx โ€“ AxBz ) yห† + (AxBy โ€“ AyBx ) zห† 6. Hasil Kali Tripel Berdasarkan tiga buah vector A , B dan C diperoleh 3 jenis perkalian, yaitu: 1. ( A . B ) C 2. A .( B x C ) 3. A x ( B x C ) Masing-masing penafsiran sebagai berikut: 1. A . B = AB cos ๏ฑ adalah sebuah scalar, sehingga ( A . B ) C adalah sebuah vector yang sejajar C 2. A .( B x C ) disebut hasil kali tripel/ perkalian ganda tiga scalar. 7. Persamaan Garis Lurus dan Bidang Persamaan garis lurus Sebuah garis lurus L dalam ruang ditentukan oleh dua buah titik berbeda P1 dan P2 yang dilaluinya. Dalam rumusan vector, ini berarti bahwa jika OP1 dan OP 2 adalah berturut-turut vector kedudukan P1 dan P2, relative terhadap titik acuan O, maka setiap titik P yang terletak pada garis , memenuhi persamaan vector



OP = OP1 + P1P = OP1 + t ( OP 2 - OP1 ) Atau P1P = t P2 P Dengan ฯ„ sebuah parameter real. Persamaan bidang Misalkan L adalah sebuah garis lurus dan P sembarang titik yang tepat terleta di garis L. dari geometri kita ketahui bahwa melalui bahwa melalui titik P hanya ada satu bidang datar V yang memotong tegak lurus garis L. Jadi, sebuah bidang v tertentukan oleh sebuah titik P0(x0,y0,z0), yang dilewatinya, dan sebuah vector N = A i = B ห†j + C kห† yang tegak lurus padanya. Jadi, jika P(x,y,z) adalah sembarang titik pada bidang v, maka vector P0 P tegak lurus vector N, atau dalam rumusan hasil kali titik:



P0 P . N = 0 Jarak Titik ke Bidang



19



Misalkan Q(xq,yq,zq) sebuah titik di luar bidang v. jika Qโ€™ adalah proyeksi tegak Q pada bidang, jadi vector QQ ' tegak lurus bidang v, maka jarak d dari titik Q ke bidang v, adalah panjang vector QQ ' d = | QQ ' | untuk menghitung panjang vector QQ ' ini secara analistis, kita tidak menghitung langsung koordinat titik Qโ€™, melainkan menempuh langkah berikut. Pertama, kita pilih sembarang titik P1(x1,y1,z1) pada bidang v. kemudian kita bentuk vector P1Q . Karena vector QQ ' tegak lurus bidang v, maka QQ ' sejajar vector normal bidang v, yakni N. ini berarti, panjang vector QQ ' , yakni | QQ ' | adalah panjang proyeksi vector P1Q pada vector normal N. jadi, nห† = N/N adalah vector satuan, maka | QQ ' | = ( P1Q ) . nห† BAB IV DERET FOURIER 4.1. Fungsi Periodik Sebuah fungsi yang terkait dengan suatu variabel tertentu dikatakan periodik jika bentuknya akan kembali berulang setelah rentang tertentu. Misalkan fungsi tersebut merupakan fungsi dari waktu t , jika ๐‘“(๐‘ก) = ๐‘“(๐‘ก + ๐‘›๐‘‡), dimana n adalah sebuah bilangan integer, maka fungsi tersebut mendefinisikan sebuah fungsi periodik dengan kuantitas T dinamakan periode dari fungsi tersebut. Contoh sederhana dari fungsi seperti ini adalah fungsi sin(t), dengan t dalam radian. Telah kita ketahui akan memiliki harga yang sama pada t + n2๐œ‹ atau sin(t) = sin( t + n2๐œ‹). Dalam hal ini jelas bahwa T = 2๐œ‹ Suatu fungsi f(x) disebut mempunyai periode T (atau periodic dengan periode T) bila untuk semua x berlaku: f(x+t) = f((x)โ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆโ€ฆ(4.1) Dimana t adalah suatu konstanta positif. Harga terkecil dari T> 0 disebut periode terkecil atau periode dari f(x) saja Contoh 1. 1. Periode dari sin nx atau cos nx dimana n adalah suatu bilangan bulat positif adalah 2๐œ‹/๐‘› 2. Periode dari tan x adalah ๐œ‹ 3. Periode dari suatu konstanta adalah sembarang bilangan positif 20



4.2. Deret Fourier Misalkan f(x) didefenisikan dalam selang (-L,L) dan diluar selang ini oleh f(x+2L)= f(x). Jadi f(x) mempunyai priode 2L. Deret Forier atau Forier yang berhubungan dengan f(x) ditentukan oleh : ๐‘“(๐‘ฅ) =



๐‘Ž๐‘œ 2



+ โˆ‘โˆž ๐‘›=1 (๐‘Ž๐‘› ๐‘๐‘œ๐‘ 



๐‘›๐œ‹๐‘ฅ ๐ฟ



+ ๐‘๐‘› ๐‘ ๐‘–๐‘›



๐‘›๐œ‹๐‘ฅ ๐ฟ



)



(4.2)



Dimana koefisien Fourier an dan bn adalah : 1



๐ฟ



๐‘Ž๐‘› = ๐ฟ โˆซโˆ’๐ฟ ๐‘“(๐‘ฅ)๐‘๐‘œ๐‘  1



๐ฟ



๐‘๐‘› = ๐ฟ โˆซโˆ’๐ฟ ๐‘“(๐‘ฅ)๐‘ ๐‘–๐‘›



๐‘›๐œ‹๐‘ฅ ๐ฟ ๐‘›๐œ‹๐‘ฅ ๐ฟ



๐‘‘๐‘ฅ



(4.3)



๐‘‘๐‘ฅ



(4.4)



n=0,1,2,3,.... 1



๐ฟ



๐‘Ž๐‘› = ๐ฟ โˆซโˆ’๐ฟ ๐‘“(๐‘ฅ)๐‘‘๐‘ฅ



untuk n = 0



atau boleh juga dipakai : 1



๐‘+2๐ฟ



๐‘Ž๐‘› = ๐ฟ โˆซ๐‘ 1



๐‘+2๐ฟ



๐‘๐‘› = ๐ฟ โˆซ๐‘



๐‘“(๐‘ฅ)๐‘๐‘œ๐‘  ๐‘“(๐‘ฅ)๐‘ ๐‘–๐‘›



๐‘›๐œ‹๐‘ฅ ๐ฟ ๐‘›๐œ‹๐‘ฅ ๐ฟ



๐‘‘๐‘ฅ



(4.5)



๐‘‘๐‘ฅ



(4.6)



Dimana c sembarang bilangan nyata. 4.3. Fungsi Ganjil dan Genap Suatu fungsi f(x) disebut ganjil bila f(-x) = - f(x) dan disebut fungsi genap bila f(-x) = f(x). Dalam deret Fourier yang berhubungan dengan suatu fungsi ganjil, hanya mungkin ada suku-suku sinus, dan deret Fourier yang berhubungan dengan fungsi genap, maka yang mungkin ada hanya suku-suku cosinus ( atau mungkin konstanta yang akan kita pandang sebagai suatu cosinus ). Hal ini disebabkan karena fungsi sinus adalah merupakan fungsi ganjil dan fungsi cosinus merupakan fungsi genap. Contoh : Apakah fungsi ganjil dan genap! a. ๐‘“(๐‘ฅ) = โˆ’๐‘ฅ 5 โˆ’ 3๐‘ฅ 3 + 2๐‘ฅ b. ๐‘“(๐‘ฅ) = sin ๐‘ฅ c. ๐‘“(๐‘ฅ) = cos ๐‘ฅ d. ๐‘“(๐‘ฅ) = ๐‘ฅ 3 e. ๐‘“(๐‘ฅ) = 2๐‘ฅ 4 21



Penyelesaian : a. ๐‘“(โˆ’๐‘ฅ) = โˆ’ ๐‘ฅ 5 + 3๐‘ฅ 3 โˆ’ 2๐‘ฅ = โˆ’( ๐‘ฅ 5 โˆ’ 3๐‘ฅ 3 + 2๐‘ฅ) = โˆ’๐‘“(๐‘ฅ) Jadi fungsi ganjil b. ๐‘“(โˆ’๐‘ฅ) = sin(โˆ’๐‘ฅ) = โˆ’ sin ๐‘ฅ = โˆ’ ๐‘“(๐‘ฅ) Adalah Fungsi ganjil c. ๐‘“(โˆ’๐‘ฅ) = cos(โˆ’๐‘ฅ) = cos ๐‘ฅ = ๐‘“(๐‘ฅ) Adalah Fungsi genap d. ๐‘“(โˆ’๐‘ฅ) = (โˆ’๐‘ฅ)3 = โˆ’๐‘“(๐‘ฅ) Adalah fungsi ganjil e. ๐‘“(โˆ’๐‘ฅ) = 2(โˆ’๐‘ฅ)4 = 2๐‘ฅ 4 = ๐‘“(๐‘ฅ) Adalah Fungsi genap 4.4. Deret Fourier Jangkauan Setengah Deret Fourier Sinus atau deret Fourier Cosinus adalah berturut-turut suatu deret dimana hanya ada suku-suku sinus atau hanya suku-suku cosinus. Jika suatu deret setengah daerah yang berhubungan dengan suatu fungsi yang diinginkan maka fungsi itu umumnya didefenisikan dalam selang ( 0, L ) [ yang merupakan setengah dari selang ( -L, L ), untuk yang menyebabkan nama setengah daerah ( half range ) ] atau didefenisikan akan selang ( -L, 0 ). Dalam hal ini didapatkan : 2



๐ฟ



๐‘Ž๐‘› = 0, ๐‘๐‘› = ๐ฟ โˆซ0 ๐‘“(๐‘ฅ) sin



๐‘›๐œ‹๐‘ฅ ๐ฟ



๐‘‘๐‘ฅ โ‹ฏ (4.7)



Untuk deret Fourier sinus, dan 2



๐ฟ



๐‘๐‘› = 0, ๐‘Ž๐‘› = ๐ฟ โˆซ0 ๐‘“(๐‘ฅ) cos



๐‘›๐œ‹๐‘ฅ ๐ฟ



๐‘‘๐‘ฅ โ‹ฏ (4.8)



Contoh soal : Ekspansikan f(x) = x; 0 0 dan D > 0



c.



Titik pelana (saddle), jika ๐‘“๐‘ฅ๐‘ฅ (a,b) < 0 dan D > 0 32



Jika D = 0, tak ada yang dapat di simpulkan mengenai jenis ekstrem fungsi z = f(x,y) Contoh : Carilah titik ekstrem dari fungsi f(x,y) = xy - ๐‘ฅ 2 โˆ’ ๐‘ฆ 2 โˆ’ 2๐‘ฅ โˆ’ 2๐‘ฆ + 4, dan tentukan jenis ekstremnya. Penyelesaian: Dari syarat ekstrem (5.8), diperoleh : ๐‘“๐‘ฅ = y โ€“ 2x โ€“ 2 = 0 ๐‘“๐‘ฆ = x โ€“ 2y โ€“ 2 = 0 Atau, x = y = -2 Jadi titik P(-2, -2) adalah satu-satunya titik ekstrem fungsi f. Jenis ekstremnya, di tentukan dari turunan kedua fungsi f : ๐‘“๐‘ฅ๐‘ฅ = 2, ๐‘“๐‘ฆ๐‘ฆ = โˆ’2, ๐‘“๐‘ฅ๐‘ฆ = 1 Dari nilai diskriminanya di titik (-2, -2) adalah : D = ๐‘“๐‘ฅ๐‘ฅ ๐‘“๐‘ฆ๐‘ฆ โˆ’ ๐‘“ 2 ๐‘ฅ๐‘ฆ = (โˆ’2)(2) โˆ’ 12 = 3 > 0 Karena ๐‘“๐‘ฅ๐‘ฅ = -2 < 0 dan D = 3 > 0, maka titik ekstrem maksimum fungsi f. Nilai ekstremnya adalah : f( -2, -2) = 8 5.6 Persoalaan Ekstrem Terkendala Pada percobaan ekstrem fungsi f (x,y,z) yang ditinjau diatas, variable x dan y berubah secara bebas. Tetapi dalam berbagai persoalaan fisika dan geometri, variable x dan y seringkali disyaratkan memenuhi suatu hubungan tertentu, โˆ…(๐‘ฅ, ๐‘ฆ, ๐‘ง) = 0 dalam bab ini akan dibahas dua cara pemecahannya, yaitu cara eliminasi dan pengali lagrange. Cara Eliminas



33



Pada cara eliminasi, dipecahkan dahulu persamaan kendala โˆ…(๐‘ฅ, ๐‘ฆ, ๐‘ง) = 0 untuk salah satu variable, kemudian menggunakannya untuk mengeliminasi variabel bersangkutan dari fungsi f, dan selanjutnya mencarikan nilai ekstrem fungsi f dalam variabel yang sisa. Sebagai contoh soal berikut:



Contoh 6 Tentukan letak titik P(a,b) pada sebuah permukaan bidang V: x-y+2z=2, yang jaraknya terdekat ketitik asal nol. Penyelesaian Pada bab 3 dipelajari bahwa jarak sebuah titik P(x,y,z) ke titik asal nol adalah: ฬ…ฬ…ฬ…ฬ…| = โˆš๐‘ฅ 2 + ๐‘ฆ 2 + ๐‘ง 2 karena |๐‘‚๐‘ƒ ฬ…ฬ…ฬ…ฬ…| minimum jika fungsi: |๐‘‚๐‘ƒ ๐‘“(๐‘ฅ, ๐‘ฆ, ๐‘ง) = ๐‘ฅ 2 + ๐‘ฆ 2 + ๐‘ง 2 Maka dapat diambil f sebagai fungsi yang hendak dicari nilai ekstremnya. Karena titik P (x,y,z) haruslah terletak pada bidang V : x-y+2z=2, maka persamaan bidang ini adalah persamaan kendala โˆ…(๐‘ฅ, ๐‘ฆ, ๐‘ง) = ๐‘ฅ โˆ’ ๐‘ฆ + 2๐‘ง โˆ’ 2 = 0 Metode Eliminasi Cara jelas untuk memecahkan persoalaan ekstrem terkendala ini adalah cara eliminasi. Yaitu, memecahkan dahulu persamaan kendala bagi salah satu variabel kemudian disisipkan pada fungsi f. dari persamaan kendala di peroleh: y = x + 2z โ€“ 2 sisipkan ke dalam fungsi kuadrat jarak f, memberikan: ๐‘“(๐‘ฅ, ๐‘ฆ(๐‘ฅ, ๐‘ง), ๐‘ง) = ๐‘ฅ 2 + (๐‘ฅ + 2๐‘ง โˆ’ 2)2 + ๐‘ง 2 2๐‘ฅ 2 + 4๐‘ฅ๐‘ง + 5๐‘ฅ 2 โˆ’ 4๐‘ฅ โˆ’ 8๐‘ง + 4 Penerapan syarat ekstrem, memberikan: ๐‘“๐‘Ž = 4๐‘ฅ + 4๐‘ง โˆ’ 4 = 0 34



๐‘“๐‘ง = 4๐‘ฅ + 10๐‘ง โˆ’ 8 = 0 Pemecahannya memberikan: x = 1/3, dan z = 2/3. Untuk menyelidiki jenis ekstrem f yang bersangkutan yang bersangkutan, dalam variable (x,y), dihitung lagi turunan parsial keduanya: ๐‘“๐‘ฅ๐‘ฅ = 4



๐‘“๐‘ง๐‘ง = 10,



๐‘“๐‘‹๐‘ = ๐‘“๐‘๐‘‹ = 4



Metode Pengali Langrange Persamaan kendala โˆ…(๐‘ฅ, ๐‘ฆ, ๐‘ง) = 0 seringkali sangatlah rumit untuk dipecahkan, begitu pula halnya dengan pemecahan syarat ekstrem : ๐‘“๐‘ฅ = 0, ๐‘“๐‘ง = 0 atau dalam dua variable lainnya. Untuk mengatasinya, matematikawan perancis Louis langrange mengembangkan metode pengali langrange, yang menghasilkan suatu system persamaan setara yang relative mudah mencari penyelesaiannya. Gagasan dasarnya betolak dari hasil penalaran berikut: Dititik ekstrem berlaku: ๐‘‘๐‘“ = ๐‘“๐‘ฆ ๐‘‘๐‘ฅ + ๐‘“๐‘ฆ ๐‘‘๐‘ฆ + ๐‘“๐‘ง = 0 Dengan memandang x,y, dan z bebas, maka dx, dy, dan dz juga bebas sehingga diperoleh ๐‘“๐‘ฅ + ๐‘Žโˆ…๐‘ฅ ๐‘‘๐‘ฅ = 0



๐‘“๐‘ฆ + ๐‘Žโˆ…๐‘ฆ ๐‘‘๐‘ฆ = 0



๐‘“๐‘ง + ๐‘Žโˆ…๐‘ง ๐‘‘๐‘ง = 0



BAB VI. INTEGRAL-INTEGRAL BERLIPAT 6.1 Integral Berlipat Perhatikan suatu pelat datar berhingga (dua dimensi), dengan distribusi massa tak seragam (non uniform) dalam daerah tertentu R dalam bidang xy (bidang kartesis xy). ๐œŒ = f (x,y) adalah massa atau massa persatuan luas pada setiap titik (x,y).



Gambar 6.1. Daerah R pada bidang xy dengan elemen kecil ๐œŽ๐‘–



35



Daerah R dibagi atas n buah elemen daerah kecil dan dengan meninjau sebuah titik (xi, yi) didalam elemen daerah (i= 1,2,โ€ฆ.n). Massa setiap elemen daerah adalah : โˆ†๐‘š๐‘– = ๐œŒ|๐œŽ๐‘– | = ๐‘“ (๐‘ฅ๐‘– , ๐‘ฆ๐‘– ) |๐œŽ๐‘– | ........................................................................................................ (6.1) |๐œŽ๐‘– | = luas elemen daerah ๐œŽ๐‘– Massa total (M) pelat dalam dearah R adalah : โˆž M โ‰… โˆ‘โˆž ๐‘–=1 โˆ†๐‘š๐‘– = โˆ‘๐‘–=1 ๐‘“(๐‘ฅ๐‘– , ๐‘ฆ๐‘– ) |๐œŽ๐‘– | .............................................................................. (6.2)



Selanjutnya jika daerah ๐œŽ๐‘– sangat kecil, maka |๐œŽ๐‘– | โ†’ 0 dan jmlah daerah nโ†’ โˆž. Jika ๐œŽ๐‘– berbentuk segi empat ( โˆ†๐‘ฅ๐‘– dan โˆ†๐‘ฆ๐‘– ), maka |๐œŽ๐‘– | = | โˆ†๐‘ฅ๐‘– โˆ†๐‘ฆ๐‘– | sehingga : M = lim โˆ‘โˆž ๐‘–=1 ๐‘“(๐‘ฅ๐‘– , ๐‘ฆ๐‘– ) | โˆ†๐‘ฅ๐‘– โˆ†๐‘ฆ๐‘– |................................................................................... (6.3) ๐‘›โ†’โˆž



Dimana : โˆ†๐‘ฅ๐‘– โ†’ 0, โˆ†๐‘ฆ๐‘– โ†’ 0 Maka integral lipat dua fungsi ๐‘“(๐‘ฅ๐‘– , ๐‘ฆ๐‘– ) dalam daerah R didefenisikan sebagai berikut : โˆฌ ๐‘“ (๐‘ฅ, ๐‘ฆ)๐‘‘๐‘ฅ๐‘‘๐‘ฆ = lim โˆ‘โˆž ๐‘–=1 ๐‘“(๐‘ฅ๐‘– , ๐‘ฆ๐‘– ) | โˆ†๐‘ฅ๐‘– โˆ†๐‘ฆ๐‘– | ......................................................... (6.4) ๐‘›โ†’โˆž



Sifat integral lipat dua sebaai berikut : 1. Jika f = f(x,y) dan g = g(x,y), dua fungsi terdefenisikan pada daerah R, maka : โˆฌ(๐‘“ ยฑ ๐‘Ÿ)๐‘‘๐‘ฅ๐‘‘๐‘ฆ = โˆฌ ๐‘“๐‘‘๐‘ฅ๐‘‘๐‘ฆ ยฑ โˆฌ ๐‘”๐‘‘๐‘ฅ๐‘‘๐‘ฆ 2. Jika c sebuah tetapan, maka : โˆฌ(๐‘๐‘“)๐‘‘๐‘ฅ๐‘‘๐‘ฆ = cโˆฌ ๐‘“๐‘‘๐‘ฅ๐‘‘๐‘ฆ 3. Jika R merupakan gabungan daerah R1 dan R2 atau R= R1 โˆช R2 dengan R1 โˆฉ R2 = c sebuah kurva batas, maka : โˆฌ(๐‘“)๐‘‘๐‘ฅ๐‘‘๐‘ฆ = โˆฌ๐‘… ๐‘“๐‘‘๐‘ฅ๐‘‘๐‘ฆ ยฑ โˆฌ๐‘… ๐‘“๐‘‘๐‘ฅ๐‘‘๐‘ฆ 1



2



Defenisi daerah normal sebagai berikut : 1. Sumbu x, jika setiap garis



sumbu x hanya memotong dua kurva batas R yang



fungsi koordinatnya y = y1 (x) dan y = y2 (x) tak berubah bentuk. 36



2. Sumbu y, jika setiap garis



sumbu y hanya memotong dua kurva batas R yang



funsi koordinatnya x= x1(y) dan x = x2(y) tak berubah bentuk. Integral Lipat Dua Sebagai Volume Jika z = f (x,y) adalah sebuah persamaan permukaan, maka integral lipat dua sebagai berikut : V = โˆฌ ๐‘ง๐‘‘๐‘ฅ๐‘‘๐‘ฆ = โˆฌ ๐‘“(๐‘ฅ, ๐‘ฆ)๐‘‘๐‘ฅ๐‘‘๐‘ฆ ................................................................................... (6.5) Adalah volume bagian ruang tegak antara daerah R pada bidang xy dengan permukaan z = f(x,y) Dengan cara yan sama diperoleh : 1. X = f (y,z) โ†’ ๐‘ฃ = โˆฌ ๐‘ฅ๐‘‘๐‘ฆ๐‘‘๐‘ง = โˆฌ ๐‘“ ( ๐‘ฆ, ๐‘ง)๐‘‘๐‘ฆ๐‘‘๐‘ง .............................................. (6.8) 2. Y = f (x,z) โ†’ ๐‘ฃ = โˆฌ ๐‘ฆ๐‘‘๐‘ฅ๐‘‘๐‘ง = โˆฌ ๐‘“(๐‘ฅ, ๐‘ง)๐‘‘๐‘ฅ๐‘‘๐‘ง ................................................ (6.7)



Contoh 1



4



Hitunglah โˆซ๐‘ฅ=0 โˆซ๐‘ฆ=2 3๐‘ฅ๐‘‘๐‘ฆ๐‘‘๐‘ฅ Penyelesaian 1



4



1



4



โˆซ๐‘ฅ=0 โˆซ๐‘ฆ=2 3๐‘ฅ๐‘‘๐‘ฆ๐‘‘๐‘ฅ = (โˆซ0 3๐‘ฅ๐‘‘๐‘ฅ ) (โˆซ2 dy) 1 4 = (3๐‘ฅ 2 /2)| ) (๐’š| ) 0 2 =3 6.2 Integral Lipat Tiga Sifat Integral Lipat Tiga sebagai berikut : 1. Kelinieran โˆญ๐‘ฃ (๐‘“ ยฑ ๐‘”)๐‘‘๐‘ฅ๐‘‘๐‘ฆ๐‘‘๐‘ง = โˆญ๐‘ฃ ๐‘“๐‘‘๐‘ฅ๐‘‘๐‘ฆ๐‘‘๐‘ง ยฑ โˆญ๐‘ฃ ๐‘”๐‘‘๐‘ฅ๐‘‘๐‘ฆ๐‘‘๐‘ง 2. Jika v = v1 โˆช v2 dan v1 โˆฉ v2 = S (suatu permukaan), maka : โˆญ๐‘ฃ (๐‘“)๐‘‘๐‘ฅ๐‘‘๐‘ฆ๐‘‘๐‘ง = โˆญ๐‘ฃ ๐‘“๐‘‘๐‘ฅ๐‘‘๐‘ฆ๐‘‘๐‘ง ยฑ โˆญ๐‘ฃ ๐‘“ ๐‘‘๐‘ฅ๐‘‘๐‘ฆ๐‘‘๐‘ง 1



2



37



Contoh 1



1



1



Hitunglah โˆซ๐‘ง=0 โˆซ๐‘ฆ=0 โˆซ๐‘ฅ=0 8๐‘ฅ๐‘ฆ๐‘ง ๐‘‘๐‘ฅ๐‘‘๐‘ฆ๐‘‘๐‘ง Penyelesaian : 1 1 1 1 1 1 โˆซ๐‘ง=0 โˆซ๐‘ฆ=0 โˆซ๐‘ฅ=0 8๐‘ฅ๐‘ฆ๐‘ง ๐‘‘๐‘ฅ๐‘‘๐‘ฆ๐‘‘๐‘ง = โˆซ๐‘ง=0 โˆซ๐‘ฆ=0 (4๐‘ฅ 2 ๐‘ฆ๐‘ง)| ) ๐‘‘๐‘ฆ๐‘‘๐‘ง 0 1 1 = โˆซ๐‘ง=0 (2๐‘ฆ 2 ๐‘ง)| ) ๐‘‘๐‘ง 0



=1 6.3 Aplikasi Integral Dalam Fisika 1.



Jika f(x,y,z) = adalah masa benda yang menempati volume ruang v, maka massa total benda adalah : M = lim โˆ‘๐‘–=1 โˆ†๐‘š๐‘– = ๐œŒ(๐‘ฅ๐‘– ๐‘ฆ๐‘– ๐‘ง๐‘– )๐‘‘๐‘ฃ๐‘– = โˆญ ๐œŒ๐‘‘๐‘ฃ .............................................. (6.11) ๐‘›โ†’โˆž



2. Jika r (x,y,z) adalah jarak elemen massa โˆ†๐‘š๐‘– dalam elemen volume โˆ†๐‘ฃ๐‘– ke garis L, maka : Momen inersianya ke sumbu L adalah : โˆ†๐ผ = ๐‘Ÿ 2 (๐‘ฅ๐‘– ๐‘ฆ๐‘– ๐‘ง๐‘– )โˆ†๐‘š = ๐‘Ÿ 2 (๐‘ฅ๐‘– ๐‘ฆ๐‘– ๐‘ง๐‘– )๐œŒ(๐‘ฅ๐‘– ๐‘ฆ๐‘– ๐‘ง๐‘– )๐‘‘๐‘ฃ๐‘– Momen inersia benda ke sumbu L adalah : ๐ผ๐ฟ = lim โˆ‘๐‘–=๐‘™ ๐‘Ÿ 2 (๐‘ฅ๐‘– ๐‘ฆ๐‘– ๐‘ง๐‘– )๐œŒ(๐‘ฅ๐‘– ๐‘ฆ๐‘– ๐‘ง๐‘– )๐‘‘๐‘ฃ๐‘– = โˆญ ๐‘Ÿ 2 ๐œŒ๐‘‘๐‘ฃ ........................................ (6.12) ๐‘›โ†’โˆž



Jika L adalah sumbu z, maka r2 = x2 + y2, momen lembam benda adalah : I = โˆญ๐‘ฃ ( ๐‘ฅ 2 + ๐‘ฆ 2 )๐œŒ๐‘‘๐‘ฃ ...................................................................................... (6.13) Dengan cara yang sama, diperoleh untuk sumbu x dan y yaitu : I = โˆญ๐‘ฃ ( ๐‘ฆ 2 + ๐‘ง 2 )๐œŒ๐‘‘๐‘ฃ ...................................................................................... (6.14) I = โˆญ๐‘ฃ ( ๐‘ฅ 2 + ๐‘ง 2 )๐œŒ๐‘‘๐‘ฃ ....................................................................................... (6.15) 3. Pusat massa benda terhadap masing-masing bidang koordinat : โˆซ ๐‘ฅ โˆ’ ๐‘‘๐‘€ = โˆซ ๐‘ฅ๐‘‘๐‘€ โˆซ ๐‘ฆ โˆ’ ๐‘‘๐‘€ = โˆซ ๐‘ฆ๐‘‘๐‘€ ............................................................................................ (6.16) โˆซ ๐‘ง โˆ’ ๐‘‘๐‘€ = โˆซ ๐‘ง๐‘‘๐‘€



38



6.4. Transformasi Variabel Integral a. Dalam dua dimensi Andaikan dipunya suatu integral lipat dua : ๐ผ = โˆฌ ๐‘“(๐‘ฅ, ๐‘ฆ)๐‘‘๐‘ฅ๐‘‘๐‘ฆ = โˆฌ ๐‘“(๐‘ฅ, ๐‘ฆ)|(๐‘‘๐‘ฅ๐‘ฅ๐‘‘๐‘ฆ)| ............................................................... (6.17) Dapat diubah variabelnya yaitu dengan cara melakukan transformasi koordinat dari system (x,y) ke system (u,v) menurut persamaan transformasi. X=x (u,v) Y = y (u,v) ...................................................................................................................... (6.18) Maka setiap elemen diferensial vector bertransformasi menjadi : _ ๐œ•๐‘ฅ ๐œ•๐‘ฅ ๐‘‘๐‘ฅ = (๐œ•๐‘ข) ๐‘‘๐‘ข + (๐œ•๐‘ฃ) ๐‘‘๐‘ฃ ๐‘‘๐‘ข = udu โˆ’ ๐œ•๐‘ฆ ๐œ•๐‘ฆ ๐‘‘๐‘ฆ = (๐œ•๐‘ข) ๐‘‘๐‘ข + ( ๐‘ฃ ) ๐‘‘๐‘ฃ ๐‘‘ ๐‘ฃ = ๐‘ฃ๐‘‘๐‘ฃ Elemen luas dA dalam koordinat (u,v) adalah : ๐‘‘๐ด = |๐‘‘๐‘ฅ๐‘ฅ๐‘‘๐‘ฆ| ๐œ•๐‘ฅ



๐œ•๐‘ฅ



๐œ•๐‘ฆ



๐œ•๐‘ฆ



= |[(๐œ•๐‘ข) ๐‘‘๐‘ข + (๐œ•๐‘ฃ) ๐‘‘๐‘ฃ] ๐‘ฅ [(๐œ•๐‘ข) ๐‘‘๐‘ข + (๐œ•๐‘ฃ ) ๐‘‘๐‘ฃ]| ๐‘ฆ



๐‘‘๐ด = |๐‘‘๐‘ฅ๐‘‘๐‘‘๐‘ฆ| = ๐ฝ (๐‘ฅ, ๐‘ข , ๐‘ฃ) ๐‘‘๐‘ข๐‘‘๐‘ฃ .............................................................................. (6.19) ๐‘ฆ



๐ฝ (๐‘ฅ, ๐‘ข , ๐‘ฃ) = det [



๐œ•๐‘ข/๐œ•๐‘ฅ ๐œ•๐‘ฃ/๐œ•๐‘ฅ



๐œ•๐‘ข/๐œ•๐‘ฆ ] .............................................................................. (6.20) ๐œ•๐‘ฃ/๐œ•๐‘ฆ



๐ฝ = faktor Jacobi yang bersangkutan Transformasi koordinat yang memiliki invers U = u (x,y) V = v (x,y) ...................................................................................................................... (6.21) ๐œ•๐‘ข/๐œ•๐‘ฅ ๐‘ฃ ๐ฝ (๐‘ฅ, ๐‘ฅ , ๐‘ฆ) = det [ ๐œ•๐‘ฃ/๐œ•๐‘ฅ



๐œ•๐‘ข/๐œ•๐‘ฆ ] ............................................................................. (6.22) ๐œ•๐‘ฃ/๐œ•๐‘ฆ



Karena elemen luas tak berubah, maka : โˆ’ ๐‘ฆ ๐‘ฆ ๐‘ฃ ๐‘‘ ๐ด = ๐‘‘๐‘ฅ๐‘‘๐‘ฆ = ๐ฝ (๐‘ฅ, , ๐‘ฃ) |๐‘‘๐‘ข๐‘ฅ๐‘‘๐‘ฃ| = ๐ฝ (๐‘ฅ, , ๐‘ฃ) ๐ฝ (๐‘ข, , ๐‘ฆ) ๐‘‘๐‘ฅ๐‘‘๐‘ฆ ๐‘ข ๐‘ข ๐‘ฅ Yang adalah taat azas jika : ๐‘ฆ



๐‘ฃ



๐‘ฆ



๐‘ฃ



๐ฝ (๐‘ฅ, ๐‘ข , ๐‘ฃ) ๐ฝ (๐‘ข, ๐‘ฅ , ๐‘ฆ) = 1 ๐‘Ž๐‘ก๐‘Ž๐‘ข ๐ฝ (๐‘ฅ, ๐‘ข , ๐‘ฃ) = ๐ฝ(๐‘ข, ๐‘ฅ , ๐‘ฆ)โˆ’1 b. ...........................................................................................................................Dala m tiga dimensi Suatu integral lipat tiga : โˆญ ๐‘“(๐‘ฅ, ๐‘ฆ, ๐‘ง)๐‘‘๐‘ฅ๐‘‘๐‘ฆ๐‘‘๐‘ง .................................................................................................... (6.23) 39



Dalam beberapa himpunan variable x,y,z. Persamaan transformasi koordinat dari system (x,y,z) ke system (u,v,w) adalah : X= x(u,v,w) Y = y (u,v,w) .................................................................................................................. (6.24) Z = z (u,v,w) Hubungan transformasi elemen volume dv = dxdydz dalam system koordinat (x,y,z) dengan dv =dudvdw dalam system koordinat (u,v,w). Elemen volume dv =dxdydz, dapat dipandang sebagai hasil kali tripel scalar : Dv = (ds x dy ) dz Dv = J (x,y,z/u,v,w) dudvdw ๐œ•๐‘ฅ/๐œ•๐‘ข ๐œ•๐‘ฆ/๐œ•๐‘ข ๐ฝ (๐‘ฅ, ๐‘ฆ, ๐‘ข , ๐‘ฃ, ๐‘ค) = det [ ๐œ•๐‘ง/๐œ•๐‘ข ๐‘ง



๐œ•๐‘ฅ/๐œ•๐‘ฃ ๐œ•๐‘ฆ/๐œ•๐‘ฃ ๐œ•๐‘ง/๐œ•๐‘ฃ



๐œ•๐‘ฅ/๐œ•๐‘ค ๐œ•๐‘ฆ/๐œ•๐‘ค ] ..................................................... (6.25) ๐œ•๐‘ง/๐œ•๐‘ค



6.5. Sistem Koordinat Selinder dan Bola a. Sistem Koordinat Silinder Sistem koordinat silider merupakan perluasan system koordinat polar ( r, ำจ) dalam bidang xy, kedalam ruang tiga dimensi.



Gambar 6.5 Sistem koordinat selinder Titik P dalam system koordinat kartesis dicirikan (x,y,z) dan dalam system koordinat selinder dicirikan (r, ำจ,z ) Persamaan transformasi dan koordinat kartesis (x,y,z) dengan koordinat selinder adalah : 40



X= r cosำจ Y = r sinำจ Z=z Hubungan elemen volume dv dalam system koordinat kartesis dan selinder adalah : ๐‘‘๐‘ฃ = (๐‘‘๐‘ฅ๐‘‘๐‘ฆ๐‘‘๐‘ง) = ๐‘Ÿ (๐‘‘๐‘Ÿ๐‘‘๐œƒ๐‘‘๐‘ง) .................................................................................... (6.26) Contoh Hitunglah faktor Jacobi transformasi koordinat dari koordinat kartesis ke kordinat selinder : X= r cosำจ Y = r sinำจ Z=z Penyelesaian ๐œ•๐‘ฅ/๐œ•๐‘Ÿ ๐‘ง ๐ฝ (๐‘ฅ, ๐‘ฆ, , ๐œƒ, ๐‘ง) = det [๐œ•๐‘ฆ/๐œ•๐‘Ÿ ๐‘Ÿ ๐œ•๐‘ง/๐œ•๐‘Ÿ ๐‘๐‘œ๐‘ ๐œƒ ๐ฝ (๐‘ฅ, ๐‘ฆ, ๐‘Ÿ , ๐œƒ, ๐‘ง) = det [sin ๐œƒ 0 ๐‘ง



โˆ’๐‘Ÿ ๐‘ ๐‘–๐‘›๐œƒ ๐‘Ÿ cos ๐œƒ 0



๐œ•๐‘ฅ/๐œ•๐œƒ ๐œ•๐‘ฆ/๐œƒ ๐œ•๐‘ง/๐œ•๐œƒ



๐œ•๐‘ฅ/๐œ•๐‘ง ๐œ•๐‘ฆ/๐œ•๐‘ง] ๐œ•๐‘ง/๐œ•๐‘ง



0 0] 1



๐‘ง ๐ฝ (๐‘ฅ, ๐‘ฆ, , ๐œƒ, ๐‘ง) = ๐‘Ÿ ๐‘Ÿ b. Sistem Koordinat Bola Ditinjau titik asal koordinat 0 sebagai pusat simetri, maka titik P dengan koordinat dalam system koordinat bola dicirikan dengan (r,๐œƒ, โˆ…)



Gambar 6.6 Sistem Koordinat Bola



41



Persamaan transformasi koordinat dari system (x,y,z) ke system (r,๐œƒ, โˆ…) adalah : X= r sinำจ cos โˆ… Y = r sinำจ sin โˆ… ............................................................................................................. (6.27) Z= r cos ำจ Hubungan elemen volume dv dalam system koordinat kartesis dan bola adalah : ๐‘‘๐‘ฃ = (๐‘‘๐‘ฅ๐‘‘๐‘ฆ๐‘‘๐‘ง)๐‘Ÿ 2 sin ๐œƒ (๐‘‘๐‘Ÿ๐‘‘๐œƒ๐‘‘โˆ…) .............................................................................. (6.28) BAB VII Fungsi Vektor Satu Variabel Tinjau sebuah partikel yang bergerak dalam ruang berdimensi, koordinatnya kedudukannya (x, y, z) selalu berubah, atau bergantung pada waktu t: r = x(t) iห† + y(t) ห†j + z(t) kห† = r(t) Vektor kedudukan r(t) pada persamaan diatas adalah contoh fungsi vector satu variabel, yang secara geometris menyatakan sebuah kurva C dalam ruang dengan parameter t. Secara umum vector A = Ax(u) iห† + Ay(u) ห†j + Az(t) kห† dengan ketiga komponennya Ax, Ay, Az merupakan fungsi dari sebuah variabel u, yakni: A = Ax(u) iห† + Ay(u) ห†j + Az(t) kห† = A (u) Adalah sebuah fungsi variabel. 1. Differensial Fungsi Vektor Satu Variabel



Pada gambar (a), C adalah kurva lintasan benda. Misalkan pada saat t = t1 benda berada dititik P dengan vector kedudukan r(t1), dan pada saat t = t2 ia berada di titik Q dengan vector kedudukan r(t2). Selisih kedua vector ini, yakni: โˆ†r = r(t2) - r(t1) 42



= [x(t2) - x(t1)] iห† + [y(t2) - y(t1)] ห†j + [z(t2) - z(t1)] kห† = โˆ†x iห† + โˆ†y ห†j + โˆ†z kห† Disebut vektor perpindahan benda. โˆ†r adalah vector PQ . Maka, dalam selang waktu โˆ†t = (t2t1), kecepatan rata-rata v benda didefenisikan sebagai berikut: โˆ†r



= โˆ†t = (



โˆ†x โˆ†t



โˆ†y โˆ†z ) iห† + ( โˆ†t ) ห†j + ( โˆ†t ) kห†



Jika โˆ†t dibuat sekecl mungkin, maka vector perpindahan โˆ†r yang bersangkutan semakin menghampiri busur kurva lintasan C, seperti diperlihatkan pada gambar (b). bila โˆ†t๏ƒ 0, maka vector โˆ†r ๏ƒ  dr, yang kini berimpit dengan busur kurva dan arahnya sejajar garis singgung kurva lintasan di r(t). pada keadaan limit ini, kecepatan rata-rata yang bersangkutan praktis adalah kecepatan benda pada saat ketika kedudukannya di r(t), yang disebut kecepatan sesaat atau kecepatan benda, yakni: โˆ†๐‘Ÿ



v = lim



โˆ†๐‘กโ†’0 โˆ†๐‘ก



= ( lim



โˆ†๐‘ฅ



โˆ†๐‘กโ†’0 โˆ†๐‘ก



โˆ†๐‘ฆ



) iห† + ( lim



โˆ†๐‘กโ†’0 โˆ†๐‘ก



) ห†j + ( lim



โˆ†๐‘ง



โˆ†๐‘กโ†’0 โˆ†๐‘ก



) kห†



Rumus Diferensiasi Jika A(u), B(u) dan C(u) adalah fungsi-fungsi vector diferensiabel dari scalar u, maka: 1.



๐‘‘



๐‘‘๐ด



๐‘‘๐‘ข



๐‘‘๐ต



(A + B) = ๐‘‘๐‘ข + ๐‘‘๐‘ข



2. Jika ษธ(u) adalah sebuah fungsi diferensiabel dari u, maka: ๐‘‘



3. 4. 5. 6.



๐‘‘ษธ



๐‘‘๐‘ข ๐‘‘ ๐‘‘๐‘ข ๐‘‘



๐‘‘A



(ษธA) = ๐‘‘๐‘ข A + ษธ ๐‘‘๐‘ข ๐‘‘๐ด



๐‘‘๐ต



(A.B) = ๐‘‘๐‘ข .B + A. ๐‘‘๐‘ข ๐‘‘๐ด



๐‘‘๐ต



(AxB) = ๐‘‘๐‘ข xB + Ax ๐‘‘๐‘ข ๐‘‘๐‘ข ๐‘‘ ๐‘‘๐‘ข ๐‘‘ ๐‘‘๐‘ข



(๐ด. ๐ต๐‘ฅ๐ถ) = ๐ด. ๐ต๐‘ฅ



๐‘‘๐ถ



๐‘‘๐ต



๐‘‘๐ด



๐‘‘๐ถ



+ A. ๐‘‘๐‘ข Xc + ๐‘‘๐‘ข x (Bx ๐‘‘๐‘ข)



๐‘‘๐‘ข ๐‘‘๐ถ



๐‘‘๐ต



๐‘‘๐ด



๐‘‘๐ถ



(AxBxC) = Ax (Bx ๐‘‘๐‘ข) + Ax (๐‘‘๐‘ข xC+ ๐‘‘๐‘ข x (Bx ๐‘‘๐‘ข )



2. Gradien dan Turunan Arah Tinjaulah sebuah medan scalar ษธ(x, y, z) yang didefenisikan dalam daerah D, misalkan suhu dalam ruang. Diferensial totalnya, d ษธ diberikan oleh: dษธ =



๏‚ถษธ ๏‚ถษธ ๏‚ถษธ dx + dy + dz ๏‚ถx ๏‚ถy ๏‚ถz



ruas kanan dapat dituliskan dalam pernyataan hasil kali titik: dษธ = (



๏‚ถษธ ห† ๏‚ถษธ ห† ๏‚ถษธ ห† i + j + k ) . (dx iห† + dy ห†j +dz kห† ) ๏‚ถx ๏‚ถy ๏‚ถz



43



๏‚ถษธ ๏‚ถษธ ๏‚ถษธ ini adalah hasil kali titik antara vector dr dengan medan vector iห† ( ) + ห†j ( ) + kห† ( ). x y ๏‚ถ ๏‚ถ ๏‚ถz Medan vector ini disebut gradient yang dilambangkan dengan gradient ษธ atau ๏ƒ‘ ษธ. Secara defenisi: ๏‚ถษธ ๏‚ถษธ ๏‚ถษธ ๏ƒ‘ ษธ = grad ษธ = iห† ( ) + ห†j ( ) + kห† ( ) ๏‚ถx ๏‚ถy ๏‚ถz



Vektor Normal Permukaan Tinjau sebuah permukaan S dalam ruang R3 yang persamaannya diberikan dalam bentuk implisit: ษธ(x, y, z) = c, dengan c sebuah tetapan. Maka, pada permukaan S ini berlaku: d ษธ=0 atau



๏ƒ‘ ษธ. dr = 0



karena koordinat (z, y, z) ๏ƒŽ S, maka dr menyinggung permukaan setiap kurva pada permukaan S, atay dengan kata lain, dr menyinggung permukaan S. 3. Divergensi dan Curlk a. Divergensi Andaikan suatu medan vector A (x, y, z) = iห† Ax + ห†j Ay + kห† Az terdefenisikan dan diferensiabel dalam suatu daerah tertentu dari ruang. Divergensi A didefenisikan sebagai berikut ๏‚ถ ๏‚ถ ๏‚ถ + ห†j + kห† ) . ( iห† Ax + ห†j Ay + kห† Az ) ๏ƒ‘ . A = ( iห† ๏‚ถX ๏‚ถY ๏‚ถZ ๏ƒ‘. A = (



๏‚ถ Ax ๏‚ถ Ay ๏‚ถ Az + + ) ๏‚ถX ๏‚ถX ๏‚ถX



b. Curl Jika A(x, y, z) adalah medan vector diferensiabel maka curl dari A didefenisikan sebagai berikut: ๏ƒ‘ x A = ( iห†



๏‚ถ ๏‚ถ ๏‚ถ + ห†j + kห† ) x ( iห† Ax + ห†j Ay + kห† Az ) ๏‚ถ ๏‚ถX ๏‚ถY ๏‚ถZ iห†



๏ƒ‘x A = ๏‚ถ /๏‚ถ x Ax



ห†j



kห†



๏‚ถ /๏‚ถ y Ay



๏‚ถ /๏‚ถ z Az



4. Integral garis dan teorema Green pada bidang datar Bila A dan ษธ masing-masing adalah medan vector dan medan scalar sembarang di dalam ruang V maka bentuk bentuk integral:



44



๐‘ ๏ถ ๐‘ ๏ถ ๐‘ ๏ถ โˆซ๐‘Ž A . d r , โˆซ๐‘Ž A x d r , โˆซ๐‘Ž ษธ d r



Yang dihitung dari titik a ke titik b mengikuti suatu lintasan C dinamakan integralintegral garis. Integral garis pada bidang datar dan teorema Green Untuk memperlihatkan hubungan antara integral garis dengan rotasi dari suatu medan vector, akan dihitung integral garis dari medan vector A mengelilingi empat persegi panjang yang cukup kecil dengan ukuran โˆ†x dan โˆ†y, yang terletak pada bidang x y. integral garis ๏ถ โˆฎ๐‘ A . d r berasal dari sumbangan-sumbangan sebagai berikut: -



Sepanjang AB : Axโˆ†x



๏‚ถ ๐ด๐‘ฅ โˆ†x) โˆ†y ๏‚ถ๐‘ฅ ๏‚ถ ๐ด๐‘ฅ - Sepanjang CD : - (Ax + โˆ†y) โˆ†y ๏‚ถ๐‘ฆ - Sepanjang DA : -Ayโˆ†y 5. Integral luasan, integral volume dan teorema divergensi Gauss



-



Sepanjang BC : (Ay +



Permukaan seluas S dibagi-bagi menjadi unsur-unsur luasan yang banyaknya tak terhingga. Bila dianggap adalah nilai medan vector A di daerah unsur luasan nomor I (โˆ†Si) maka besaran: lim โˆ‘๐‘›๐‘–=๐‘ก A i . nห† i โˆ†Si โ‰ก โˆฌ๐‘  A . nห† Ds โˆ†Si ๐‘›โ†’ ๏‚ฅ Dinamakan integral luasan dari medan vector A meliputi luasan S, dengan nห† adalah vector satuan yang tegak lurus pada dS. 6. Teorema Green Bila di dalam teorema Gauss diambil A = ษธ ๏ƒ‘๏น Maka



๏ƒ‘ . A = ๏ƒ‘ . (ษธ ๏ƒ‘ ๏น ) = ษธ ๏ƒ‘ 2 ๏น + ๏ƒ‘ ษธ . ๏ƒ‘ ๏น Sehingga diperoleh 45



โˆญ๐‘ฃ ( ษธ ๏ƒ‘ 2 ๏น + ๏ƒ‘ ษธ . ๏ƒ‘ ๏น ) . nห†



dS



Yang dinamakan identitas Green I. 7. Teorema Stokes



Berlaku kaitan



๏ถ ๏ถ ๏ถ ๏ถ โˆฎ๐ด๐ต๐ถ A . d r = โˆฎ๐‘‚๐ด๐ต A . d r + โˆฎ๐‘‚๐ต๐ถ A . d r + โˆฎ๐‘‚๐ถ๐ด A . d r Sebab sumbangan-sumbangan yang berasal dari integral-integral sepanjang OA, OB dan OC saling melenyapkan



๏ถ โˆฎ๐‘‚๐ด๐ต A . d r = โˆฌ๐‘‚๐ด๐ต ( ๏ƒ‘ x A )z dx dy ๏ถ โˆฎ๐‘‚๐ต๐ถ A . d r = โˆฌ๐‘‚๐ต๐ถ ( ๏ƒ‘ x A )x dy dz ๏ถ โˆฎ๐‘‚๐ถ๐ด A . d r = โˆฌ๐‘‚๐ถ๐ด ( ๏ƒ‘ x A )y dx



46



BAB III PEMBAHASAN



3.1. Kelebihan Buku 1. Didalam buku ini tidak terdapat salah pengetikan atau cetakan serta bahasa yang mudah dipahami 2. Pembahasannya sangat jelas dan sesuai dengan materi yang dibahas 3. Buku ini beriskan banyak contoh soal serta latihan-latihan 4. Memiliki grafik yang membuat pembaca semakin mengerti 5. Kertas yang digunakan baik



3.2. Kekurangan Buku 1.



Didalam buku tidak terdapat daftar pustaka sehingga pembaca tidak mendapat informasi lain dari materi tersebut



2.



Cover buku kurang menarik



3.



Ada beberapa bab yang sulit di pahami dengan kata-kata yang kurang dimengerti



47



BAB IV PENUTUP 4.1. Kesimpulan Jadi buku yang berjudul โ€œMatematika Fisikaโ€ ini memiliki kekurangan serta kelebihan. Walaupun demikian, buku ini sangat bermanfaat bagi mahasiswa sebagai salah satu sumber belajar dan digunakan untuk menambah wawasan serta pengetahuan yang lebih mendalam lagi tentang Fisika dan Matematika dan akan berguna jika kita melanjutkan pendidikan S2 pada jurusan fisika. 4.2. Saran Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, ke depannya penulis harus lebih fokus dan detail dalam menjelaskan tentang materi di atas dengan menulis didalamnya sumber - sumber yang tentunya dapat di pertanggung jawabkan. Materi tentang Fisika Matematika ini harus dibaca dan diterapkan dalam pembelajaran Fisika dan juga Matematika agar dapat menambah pengetahuan dan wawasan yang lebih luas tentang Fisika ataupun Matematika. Mohon maaf bila ada salah kata dan penulisan makalah. Untuk saran bisa berisi kritik yang membangun dan saran terhadap penulisan juga bisa untuk menanggapi terhadap kesimpulan dari bahasan makalah yang telah di jelaskan.



48