Cleft Lip and Palate [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT



Cleft Lip and Palate Disusun Oleh: Martin Yohanes Suryadinata



(180070200011011)



Yurike Putri



(180070200011038)



Aulia Sita Hapsari



(180070200011141)



Isnaini Yuliana Wardani



(180070200011153)



Pembimbing: dr. Wilma Agustina, Sp. BP-RE



DEPARTEMEN / SMF ILMU BEDAH RSUD DR. SAIFUL ANWAR MALANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2020



Cleft Lip and Palate Disusun Oleh: Martin Yohanes Suryadinata



(180070200011011)



Yurike Putri



(180070200011038)



Aulia Sita Hapsari



(180070200011141)



Isnaini Yuliana Wardani



(180070200011153)



Disetujui untuk dibacakan pada: Hari



:



Tanggal



: Menyetujui, Pembimbing



dr. Wilma Agustina, Sp. BP-RE



ii



DAFTAR ISI



Judul……………………………………………………………………………………….i Halaman Pengesahan…………………………………………………………………..ii Daftar isi …………………………………………………………………………………iii BAB 1 PENDAHULUAN………………………………………………………………...1 1.1 Latar Belakang …………………………………………………………………..1 1.2 Rumusan Masalah...…………………………………………………………….2 1.3 Tujuan Penulisan………………………………………………………………...2 1.4 Manfaat Penulisan……………………………………………………………….2 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………………….…4 2.1 Definisi Umum……………………………………………………………………4 2.2 Epidemiologi……………………………………………………………………...4 2.3 Etiologi…………………………………………………………………………….7 2.3.1 Faktor Genetik……………………………………………………………7 2.3.2 Faktor Non-Genetik……………………………………………………….8 2.4 Patogenesis…………………………………………………………………….10 2.5 Klasifikasi dan GambaranKlinis……………………………………………...11 2.6 Sistem Kode Lokasi Celah……………………………………………………13 2.7 Pengobatan dan Manajemen…………………………………………………16 2.8 Permasalahan pada kasus Celah Bibir dan Langit-Langit………………...18 2.9 Pencegahan Celah Bibir dan Langit-Langit…………………………………21 BAB 3 KESIMPULAN………………………………………………………………...23 DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………24



iii



BAB 1 PENDAHULUAN



1.1



Latar Belakang Cleft lip and palate atau Labiopalatoschizis atau celah bibir dan langit-



langit mulut atau bibir sumbing adalah suatu kelainan bawaan kraniofasial yang paling banyak ditemukan (Supit, 2008). Kelainan celah bibir dan langit-langit merupakan kelainan bawaan yang paling sering didapatkan, sekitar 1 dari 700 bayi yang lahir memiliki kelainan bawaan ini (Gatti, 2017). Kelainan celah bibir dan langit-langit terjadi karena adanya gangguan pada kehamilan trimester pertama sehingga menyebabkan terganggunya proses tumbuh kembang janin (Marzoeki dkk, 2002). Penyebab terjadinya bibir sumbing adalah akibat terganggunya fusi prosesus frontonasal dan maksilla selama masa pertumbuhan intra uterine (Gatti, 2017). Kejadiannya bervariasi di antara populasi etnis yang berbeda dan dianggap lebih tinggi di negara berkembang. Bibir sumbing dengan atau tanpa sumbing langit-langit merupakan kelainan kongenital yang sering terjadi di Indonesia. Pada tahun 2012, jumlah penderita kelainan bibir sumbing di Indonesia mencapai 7.500 orang per tahun (Kembaren, 2012). Selain jumlah kasus yang banyak ditemui di Indonesia, bibir sumbing dengan atau tanpa langit-langit juga akan memberikan dampak yang besar terhadap penderita maupun orang tuanya. Anak dengan bibir sumbing dan langitlangit akan kesulitan untuk makan dan minum sehingga berdampak pada status nutrisi dan gizi penderita. Hal ini disebabkan karena celah akan membuat anak mengalami kesulitan saat minum karena kekuatan menghisap yang kurang serta banyak yang tumpah atau bocor ke hidung. Selain itu, anak dengan bibir



1



sumbing akan lebih rentan terkena infeksi pada telinga tengah hingga dapat menyebabkan hilangnya pendengaran, terhambatnya pertumbuhan gigi dan rahang serta dapat menyebabkan suara menjadi sengau. Dampak psikologis pada anak dan orangtua juga harus diperhatikan, anak dengan bibir sumbing akan merasa bahwa diri mereka berbeda dengan orang lain serta pada beberapa orang tua yang mungkin timbul perasaan malu (Priyono,2018).



1.2



Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah definisi umum, epidemiologi dan etiologi celah bibir dan langit-langit? 2. Bagaimanakah patogenesis terjadinya celah bibir dan langit-langit? 3. Bagaimanakah klasifikasi gambaran klinis anak dengan celah bibir dan langit-langit? 4. Bagaimanakah cara penulisan sistem kode lokasi celah? 5. Bagaimanakah prinsip penanganan pasien celah bibir dan langit-langit?



1.3



Tujuan Penulisan 1. Untuk memahami definisi umum, epidemiologi dan etiologi celah bibir dan langit-langit. 2. Untuk memahami patogenesis terjadinya celah bibir dan langit-langit. 3. Untuk memahami klasifikasi gambaran klinis anak dengan celah bibir dan langit-langit. 4. Untuk memahami cara penulisan sistem kode lokasi celah. 5. Untuk memahami prinsip penanganan celah bibir dan langit-langit.



2



1.4



Manfaat Penulisan Penulisan



tinjauan



pustaka



ini



diharapkan



dapat



meningkatkan



pengetahuan dan pemahaman dokter muda mengenai bibir sumbing dan langitlangit dalam hal penegakan diagnosis, penanganan awal, serta melakukan sistem rujukan dengan benar dan tepat sehingga dapat berguna saat berpraktik di masyarakat kelak.



3



BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA



2.1



Definisi Umum Celah bibir dan langit-langit merupakan suatu kelainan bawaan sejak lahir



berupa kelainan celah pada bibir, gusi, rahang hingga langit-langit mulut. Kelainan ini merupakan hasil dari gagal bergabungnya prosesus frontonasal dan maksilla saat masa perkembangan intra uterine, tepatnya pada kehamilan trimester pertama (Gatti, 2017). Celah dapat terjadi pada bibir, langit-langit mulut (palatum), ataupun pada keduanya. Celah pada bibir disebut labioschisis (cleft lip atau disingkat CL), celah pada langit-langit mulut/palatum disebut palatoschisis (cleft palate atau disingkat CP), sedangkan celah pada bibir dan palatum disebut labiopalatoschisis (cleft lip and palate atau disingkat CLP). Penanganan pada kasus ini adalah dengan cara operasi pembedahan. Tindakan operasi perbaikan terhadap bibir disebut cheiloraphy, sedangkan operasi perbaikan terhadap palatum disebut palatoraphy (Djohansjah Marzoeki et al, 2002).



2.2



Epidemiologi Angka kejadian bibir sumbing bervariasi, tergantung pada etnis. Pada



etnis Asia terjadi sebanyak 2,1:1000 kelahiran, pada etnis Kaukasia 1:1000 kelahiran, dan pada etnis Afrika-Amerika 0,41:1000 kelahiran. Di Indonesia, jumlah pasien bibir dan celah langit-langit terjadi 3000-6000 kelahiran per tahunnya atau 1 bayi tiap 1000 kelahiran. Kasus paling umum yaitu sumbing bibir dan palatum sebanyak 46%, sumbing palatum (isolated cleft palate) sebanyak 33%, dan sumbing bibir saja 21%. Sumbing pada satu sisi 9 kali lebih banyak dibandingkan sumbing dua sisi, dan sumbing pada sisi kiri 2 kali lebih banyak



4



daripada sisi kanan. Laki-laki lebih sering mengalami sumbing bibir dan palatum, sedangkan wanita lebih sering mengalami sumbing palatum (Fortuna, 2020).



Insiden per 1000 Etnis kelahiran Amerika-indian



3.6



Jepang



2.1



Cina



1.7



Kulit putih



1.0



Afrika-amerika



0.3



Tabel 2.1 Insiden dari sumbing bibir atau sumbing langit-langit pada kelompok etnis yang berbeda (Wyszynsky, 1996; Vieira, 2001)



Penelitian yang dilakukan oleh Loho pada tahun 2012 di RSUP. Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode Januari 2011 – oktober 2012 didapatkan 60 pasien dengan Labioschisis (57%) dan Labiopalatoschisis (43%). Pada penelitian tersebut didapatkan 30 pasien dengan bibir sumbing unilateral dan 19 pasien bibir sumbing dengan lagit-langit unilateral. Sedangkan bibir sumbing bilateral berjumlah 3 pasien dan bibir sumbing dengan langit-langit bilateral berjumlah 8 pasien. Pada penelitian ini juga didapatkan prevalensi terjadinya bibir sumbing paling sering terjadi pada laki-laki (Loho, 2013).



Gambar 2.1 Distribusi Jenis labioschisis



5



Gambar 2.2 Distribusi labioschisis menurut lokasi defek



Gambar 2.3 Distribusi labioschisis menurut jenis kelamin



2.3



Etiologi Etilogi dari celah bibir dan langit-langit bersifat multifaktorial dan belum



dapat diketahui secara pasti. Pada masa perkembangan janin dalam kandungan, faktor lingkungan seperti zat teratogenik (zat yang mempengaruhi pertumbuhan janin) dan faktor genetik mampu mempengaruhi pembentukan celah bibir dan palatum (Fortuna, 2020). 2.3.1



Faktor Genetik



6



Faktor genetik merupakan salah satu faktor resiko sumbing bibir dan palatum ini, bila dalam keluarga terdapat 1 orang tua sumbing atau anak sebelumnya sumbing, maka risiko sumbing pada anak berikutnya adalah 4%, bila 2 anak sebelumnya menderita sumbing maka risiko meningkat menjadi 9%, dan bila salah satu orang tua dan 1 orang anak sebelumnya menderita sumbing maka risiko anak berikutnya menderita sumbing adalah 17% (Fortuna, 2020). Faktor herediter mempunyai dasar genetik untuk terjadinya celah bibir telah diketahui tetapi belum dapat dipastikan sepenuhnya. Kruger (1957) mengatakan sejumlah kasus yang telah dilaporkan dari seluruh dunia tendensi keturunan sebagai penyebab kelainan ini diketahui lebih kurang 25-30%. Jika anak dilahirkan dengan kelainan ini maka bayi yang dilahirkan berikutnya pada orang tua yang sama mempunyai resiko terjadinya celah bibir dan langit-langit sebesar 5% dan jika orang tua dan satu anaknya mempunyai kelainan ini maka kemungkinan terjadinya kelainan ini pada anak berikutnya sebesar 15%. Pada anak kembar persentasenya 30-50% (monozygot) dan 5% (dizygot) (Herdiana et al., 2007). Dasar genetik terjadinya celah bibir dikatakan sebagai gagalnya mesodermal berproliferasi melintasi garis pertemuan, di mana bagian ini seharusnya bersatu dan biasa juga karena atropi dari pada epithelium ataupun tidak adanya perubahan otot pada epithelium ataupun tidak adanya perubahan otot pada daerah tersebut. Sebagai tanda adanya hipoplasia mesodermal. Adanya gen yang dominan dan resesif juga merupakan penyebab terjadinya hal ini. Teori lain mengatakan bahwa celah bibir terjadi karena:



7



-



Dengan bertambahnya usia ibu hamil dapat menyebabkan ketidak kebalan embrio terhadap terjadinya celah.



-



Adanya abnormalitas dari kromosom menyebabkan terjadinya malformasi kongenital yang ganda.



-



Adanya tripel autosom sindrom termasuk celah mulut yang diikuti dengan anomali kongenital yang lain (Manickam, 2012).



2.3.2



Faktor Non-Genetik Faktor lainnya yang tidak berasal dari genetik adalah fakto



lingkungan. Faktor lingkungan mempunyai peranan pada periode terhadap perkembangan embriologi ketika bibir dan palatum akan berfusi. Faktor pemicu yang menyebabkan kelainan celah bibir dan langit-langit ini diantaranya adalah: kekurangan nutrisi, radiasi (menyebabkan mutasi gen pembentuk wajah), hipoksia, kelebihan atau kekurangan riboflavin dan asam folat, bahan kimia (ethanol), diabetes melitus maternal, asap rokok, pemakaian obat-obatan (kortison, antihistamin, fenitoin), infeksi (rubella, toksoplasmosis, dan sifilis) dan trauma pada trimester pertama kehamilan (Herdiana et al, 2007). Paparan obat anti kejang fenitoin dapat meningkatkan kejadian sumbing hingga 10 kali lipat. Ibu yang merokok selama kehamilan meningkatkan kejadian sumbing hingga 2 kali lipat. Zat teratogenik lain seperti alkohol, asam retinoat, obat-obatan antikejang lainnya juga berhubungan dengan malformasi (kelainan) kongenital termasuk celah bibir dan palatum. Selain itu faktor gizi juga dapat mempengaruhi terjadinya kelainan sumbing, diantaranya kekurangan asam folat, vitamin B6, dan Zinc (Fortuna, 2020). Beberapa hal yang berperan penyebab terjadinya celah bibir:



8



a. Defisiensi nutrisi Nutrisi yang kurang pada masa kehamilan merupakan satu hal penyabab terjadinya celah. Melalui percobaan yang dilakukan pada binatang dengan memberikan vitamin A secara berlebihan atau kurang. Yang hasilnya menimbulkan celah pada anak-anak tikus yang baru lahir. Begitu juga dengan defisiensi vitamin riboflavin pada tikus yang sedang dan hasilnya juga adanya celah dengan persentase yang tinggi, dan pemberiam kortison pada kelinci yang sedang hamil akan menimbulkan efek yang sama. b. Zat kimia Pemberian aspirin, kortison dan insulin pada masa kehamilan trimester pertama dapat meyebabkan terjadinya celah. Obat-obat yang bersifat teratogenik seperti thalidomide dan phenitonin, serta alkohol, kaffein, aminoptherin dan injeksi steroid. c. Trauma Strean dan Peer melaporkan bahwa trauma mental dan trauma fisik dapat menyebabkan terjadinya celah. Stress yang timbul menyebabkan fungsi korteks adrenal terangsang untuk mensekresi hidrokortison sehingga nantinya dapat mempengaruhi keadaan ibu yang sedang mengandung dan dapat menimbulkan celah, dengan terjadinya stress yang mengakibatkan celah yaitu: terangsangnya (ACTH).



hipothalamus



Sehingga



glukokortikoid



adrenocorticotropic



merangsang



mengeluarkan



kelenjar



hidrokortison,



hormone



adrenal sehingga



bagian akan



meningkat di dalam darah yang dapat menganggu pertumbuhan (Manickam, 2012).



9



2.4



Patogenesis Pada morfogenesis wajah, sel neural crest bermigrasi ke daerah wajah



dimana mereka akan membentuk jaringan tulang, jaringan ikat, serta seluruh jaringan pada gigi kecuali enamel. Bibir atas merupakan turunan dari prosesus medial nasal dan maksilaris. Kegagalan penggabungan prosesus medial nasal dan maksilaris pada minggu kelima kehamilan, baik pada satu atau kedua sisinya, berakibat cleft lip. Cleft lip biasanya terjadi pada pertemuan antara bagian sentral dan lateral dari bibir atas. Cleft dapat memengaruhi bibir atas saja atau bisa juga melebar lebih jauh ke maksila dan palatum primer. Jika terjadi kegagalan pada penggabungan palatal shelves juga, maka akan terjadi cleft lip disertai dengan cleft palatum, yang membentuk kelainan Cleft Lip and Palate (Tolarova,2018). Normalnya, perkembangan palatum sekunder dimulai dari prosesus palatal kanan dan kiri. Fusi palatal shelve dimulai pada minggu ke-8 kehamilan dan berlanjut sampai minggu ke-12 kehamilan. Cleft palate terjadi karena kegagalan fusi total atau sebagian dari palatal shelve. Hal ini dapat terjadi dengan beberapa cara, yaitu ada kelainan pada gen yang mengatur diferensiasi sel, pertumbuhan, apoptosis, adhesi antar sel, dan pensinyalan sel, serta adanya gangguan pada fungsi sel yang disebabkan lingkungan yang teratogenik, atau gabungan keduanya (Tolarova,2018). Faktor lingkungan dan genetik saling memengaruhi dan berperan penting dalam patogenesis dari Cleft Lip and Palate (CLP). Ibu yang merokok selama kehamilan berisiko melahirkan anak yang mengalami CLP karena bisa terjadi mutasi gen TGF α. Merokok saat kehamilan juga memengaruhi pertumbuhan embrionik



dengan



menghasilkan



hipoksia



jaringan



yang



mengganggu



pertumbuhan jaringan, khususnya pertumbuhan palatum. Selain itu juga, serum



10



folat juga dapat menurun pada ibu hamil tersebut yang dapat terbentuknya celah atau cleft yang sering diasosiasikan dengan defisiensi folat (Prabhu,2012). Konsumsi alkohol pada kehamilan sering dikaitkan dengan pola abnormalitas pada keturunannya yang disebut Fetal Alcohol Syndrome (FAS). Hal ini dikarenakan konsumsi alkohol oleh ibu hamil dapat memberikan efek teratogenik seperti retardasi mental, gangguan kardiovaskuler, dan terkadang juga terjadi clefting atau terbentuknya celah pada ronggal mulut bayinya (Prabhu,2012). Beberapa



obat



dapat



menginduksi



terjadinya



CLP.



Obat-obatan



kemoterapi seperti aminopterin, methotrexate, cyclophospamide, procarbazine, dan turunan asam hydroxamic mengganggu sintesis DNA yang menghasilkan malformasi pada fetus. Penggunaan obat-obatan anti kejang, contohnya phenytoin, dapat menghambat pertumbuhan embrio secara keseluruhan, termasuk facial prominences, yang ditandai dengan menurunnya laju proliferasi sel mesenkimal pada facial prominences sekitar 50% (Prabhu,2012).



2.5



Klasifikasi dan Gambaran Klinis Bibir sumbing atau yang juga dikenal dengan cleft lip with or without



palate merupakan tipe orofacial cleft yang dapat diklasifikasikan berdasarkan lateralitas,



jangkauan,



dan



keparahannya.



Lateralitas



(kiri,



kanan,



asimetris/simetris bilateral) dicatat lebih sering dengan deformitas unilateral dibandingkan dengan bilateral. Jangkauan dari cleft lip bervariasi dan dapat diikuti oleh cleft alveolus, bisa berupa komplit atau lekukan (notched). Pada jenis bibir sumbing, celah langit-langit digambarkan sebagai unilateral (satu palatal shelf melekat pada septum nasal) atau bilateral. Jangkauan dari bibir sumbing dapat diklasifikasikan sebagai bibir sumbing yang lengkap, tidak lengkap, atau bentuk mikro. Pada jenis bibir sumbing yang lengkap, ada gangguan pada



11



mukosa bibir hingga ke dasar hidung dengan deformitas nasal terkait. Bibir sumbing bilateral yang tidak lengkap bisa sangat asimetris (Shaye D,2015). Keparahan lebar bibir sumbing dapat membuat perbaikan lebih sulit karena ketegangan luka. Penatalaksanaan bibir sumbing yang lebih parah sering membutuhkan periode persiapan pra-operasi yang lebih lama, misalnya pada kasus ortopedi bayi pra-bedah (Shaye D, 2015). Pada bibir sumbing unilateral lengkap, terdapat rotasi eksternal ke atas dari segmen medial premaxilla dan rotasi internal pada segmen lateral. Serat orbikularis oris menempel secara medial ke dasar columella dan lateral ke basis alar.



Septum



hidung



mengalami



dislokasi



dari



alur



vomerian



dengan



pemendekan columella. Tulang rawan alar dari sisi sumbing mengalami deformasi sedemikian rupa sehingga crus medial bergeser ke posterior dan crus lateral diratakan di atas sumbing (Tollefson, 2014). Pada deformitas celah bibir bilateral lengkap, premaxilla dan prolabium sepenuhnya terpisah dari bibir lateral dan segmen maksila. Akibatnya, premaksila menjorok melewati segmen lateral. Prolabium dapat bervariasi dalam ukuran dan tidak memiliki struktur philtral normal dari alur tengah dan punggungan philtral. Persimpangan vermilion dan gulungan kulit (putih) sering kurang.



Pada



bibir



sumbing



bilateral



yang



lengkap,



proklamium



tidak



mengandung otot orbicularis oris. Deformitas hidung yang terkait dengan bibir sumbing bilateral adalah columella yang diperpendek, ujung hidung pipih, dan alar hooding. Pembakaran dari basis alar ini sama dengan perbaikan yang tidak memadai. (Tollefson, 2014).



2.6



Sistem Kode Lokasi Celah



12



Kriens memperkenalkan sebuah klasifikasi menggunakan akronim “LAHSHAL” yang sangat sederhana, dimana istilah ini menjelaskan anatomi bilateral dari bibir kanan (L), alveolus/gusi kanan (A), hard palate kanan (H), soft palate (S), hard palate kiri (H), alveolus/gusi kiri (A), dan bibir kiri (L). Bila normal (tidak ada celah), maka urutannya diberi tanda (-), celah komplit (lengkap) dengan huruf besar, celah inkomplit (tidak lengkap) dengan huruf kecil, dan huruf kecil dalam kurung untuk kelainan microform. Sistem klasifikasi inilah yang sekarang dipakai oleh ICD (International Code of Diagnosis) dan American Cleft Palate and Craniofacial Association (Djohansjah Marzoeki et al, 2002).



Gambar 2.4 Sistem klasifikasi LAHSHAL dari Otto Kriens



13



Gambar 2.5 CLP/---SHAL memiliki pengertian Cleft Lip and Palate dengan lokasi celah komplit pada soft palate, hard palate, alveolus, dan bibir bagian kiri.



Gambar 2.6 CLP/L-----L memiliki pengertian Cleft Lip and Palate dengan lokasi celah komplit berada di bibir kanan dan kiri.



14



Gambar 2.7 CLP/---SHAL memiliki pengertian Cleft Lip and Palate dengan lokasi celah komplit berada pada soft palate, hard palate, alveolus, dan bibir bagian kiri.



Gambar 2.8 CLP/l------ memiliki pengertian Cleft Lip and Palate dengan lokasi celah inkomplit pada bibir sebelah kanan.



15



2.7



Pengobatan dan Manajemen



Penderita



dengan



celah



bibir



dan



langit-langit



memerlukan



perawatan yang ektensif dan rutin dengan prosedur pembedahan dan waktu pelaksanaannya yang bervariasi sesuai dengan usia penderita serta tingkat keparahan (Stone C et al, 2013). Tindakan operasi perbaikan terhadap bibir disebut cheiloraphy, dikerjakan dengan memperhatikan rule over tens, dimana pada usia 3 bulan atau lebih dari 10 minggu, berat badan telah mencapai 10 pounds atau 5 kilogram dan Hb lebih dari 10 gr %. Penutupan bibir awal dilakukan selama beberapa bulan pertama dengan tujuan untuk mendapatkan kosmetik yang lebih baik serta mengurangi insiden penyakit saluran pernapasan (Erwin et al, 2000). Sedangkan operasi perbaikan terhadap langit-langit (palatum) disebut palatoraphy dilakukan pada usia anak 10 bulan sampai 12 bulan. Usia tersebut akan memberikan hasil fungsi bicara yang optimal karena memberi kesempatan jaringan pasca operasi sampai matang pada proses penyembuhan luka sehingga soft palate sudah dapat berfungsi dengan baik sebelum penderita mulai belajar untuk berbicara. Setelah operasi palatoraphy, terapi wicara (speech therapy) diperlukan untuk melatih bicara benar dan meminimalkan timbulnya suara sengau. Bila setelah palatoraphy dan speech therapy masih didapatkan suara sengau maka selanjutnya dapat dilakukan pharygoplasty pada usia 5-6 tahun untuk memperkecil suara nasal (nasal escape). Kemudian pada usia 8-9 tahun, ahli ortodonti memperbaiki lengkung alveolus sebagai persiapan tindakan alveolar bone graft dan pada usia 9-10 tahun dokter Spesialis Bedah



16



Plastik melakukan operasi bone graft pada celah tulang alveolus seiring dengan pertumbuhan gigi selanjutnya



penderita



CLP



caninus. Evaluasi pada perkembangan yaitu



sering



didapatkan



hipoplasia



pertumbuhan maksila sehingga terjadi dish face muka cekung, keadaan ini dapat dikoreksi dengan cara operasi advancement osteotomy Le Fort I pada usia anak 17 tahun dimana tulang-tulang muka telah berhenti pertumbuhannya (Djohansjah Marzoeki et al, 2002). Penanganan kecacatan pada kasus celah bibir dan langit-langit tidaklah sederhana, melibatkan berbagai multidisiplin ilmu seperti ahli Bedah



Plastik,



ahli



Ortodonti,



ahli



THT,



speech



therapist,



psikolog/psikiater, dan social worker. Ahli THT diperlukan untuk mencegah dan menangani timbulnya otitis media serta evaluasi kontrol pendengaran. Sedangkan jasa psikolog diperlukan untuk mengatasi dampak psikologis pada anak dan orangtua. Setiap spesialisasi punya peran yang tidak tumpang tindih tapi saling melengkapi dalam menangani penderita CLP secara paripurna (Djohansjah Marzoeki et al, 2002).



17



Tabel 2.2 Penatalaksanaan celah bibir dan langit – langit sesuai perkembangan usia.



2.8



Permasalahan pada kasus Celah Bibir dan Langit-Langit Masalah asupan makanan merupakan masalah pertama yang terjadi pada



bayi penderita celah bibir. Adanya celah bibir pada bayi akan mengurangi kemampuan menghisap payudara ibu atau dot. Tekanan lembut pada pipi bayi dengan celah bibir mungkin dapat meningkatkan kemampuan hisapan oral. Namun, adanya keadaan tambahan yang ditemukan pada bayi dengan celah bibir seperti menurunnya refleks hisap dan refleks menelan akan menyebabkan bayi dengan celah bibir menghisap lebih banyak udara pada saat menyusu. Cara-cara untuk mengatasi hal tersebut seperti memegang bayi dengan posisi tegak lurus serta menepuk-nepuk punggung bayi secara berkala dapat membantu proses menyusui bayi. Bayi yang hanya menderita labioschisis atau



18



dengan celah kecil pada palatum biasanya masih dapat menyusui, namun pada bayi dengan labiopalatochisis biasanya membutuhkan penggunaan dot khusus, yaitu dot dengan cairan di dalamnya yang sudah dapat keluar hanya dengan tenaga hisapan yang kecil (Kummer AW, 2008).



Gambar 2.9 Penggunaan dot khusus pada bayi dengan celah.



Masalah lainnya adalah mengenai gigi (dental), infeksi dan pendengaran. Anak yang lahir dengan celah bibir mungkin mempunyai masalah tertentu yang berhubungan dengan kehilangan, malformasi dan malposisi dari gigi geligi pada area dari celah bibir yang terbentuk. Bayi dengan labiopalatoschisis lebih mudah untuk



menderita



infeksi



telinga



karena



terdapatnya



abnormalitas



atau



kelumpuhan perkembangan dari otot-otot yang mengontrol pembukaan dan penutupan tuba eustachius, yaitu otot levator palatine dan tensor vili palatine yang terinsersi pada daerah palatum durum. Selain itu, pada bayi dengan celah bibir rawan terjadi infeksi saluran nafas atas (ISPA) yang berulang. Hal ini disebabkan karena bayi dengan celah bibir akan bernafas melalui mulut sehingga udara akan langsung masuk ke dalam saluran nafas tanpa dilembabkan dan disaring terlebih dahulu seperti pada pernafasan melalui



19



hidung. Hal ini akan menyebabkan terjadinya ISPA yang berulang. Adanya ISPA meningkatkan resiko terjadinya otitis media karena adanya hubungan antara hidung dengan telinga melalui tuba eustachius (Mulliken, 2014). Masalah berikutnya mengenai gangguan bicara dan psikologis. Pada bayi dengan



labiopalatoschisis



biasanya



juga



memiliki



abnormalitas



pada



perkembangan otot-otot palatum mole. Saat palatum mole tidak dapat menutup rongga nasal pada saat bicara, maka didapatkan suara dengan kualitas nada yang lebih tinggi (hypernasal quality of 6 speech). Meskipun telah dilakukan reparasi palatum, kemampuan otot-otot tersebut diatas untuk menutup rongga nasal pada saat bicara mungkin tidak dapat kembali sepenuhnya normal. Penderita celah palatum memiliki kesulitan bicara, sebagian karena palatum mole yang cenderung pendek dan kurang dapat bergerak sehingga selama berbicara udara dapat keluar dari hidung. Anak mungkin mempunyai kesulitan untuk memproduksi suara/ kata "p, b, d, t, h, k, g, s, sh, dan ch". Dalam masalah ini, terapi bicara (speech therapy) menjadi sangat diperlukan supaya di kemudian hari juga tidak berpengaruh terhadap psikologis sang anak. Secara garis besar, permasalahan pada penderita celah bibir dan langitlangit dikelompokkan menjadi psikis, fungsi dan estetika dimana ketiganya saling berhubungan. Untuk masalah psikis diperlukan peran dari psikolog dan pekerja sosial, sedangkan untuk masalah fungsi dan nilai estetik, diperlukan tindakan pembedahan (Quinn, 2015). Selain jasa seorang ahli Bedah Plastik, juga dibutuhkan ahli lain seperti ahli THT, dokter gigi spesialis ortodonti, dokter anak, psikolog, tim terapi wicara dan pekerja sosial. Ahli THT dan dokter anak diperlukan untuk mengatasi masalah infeksi dan pendengaran. Masalah suara sengau ditangani oleh tim terapi wicara, sedangkan pekerja sosial berperan dalam memberikan nasehat agak keluarga penderita tidak mengalami stres dan menjelaskan hasil serta harapan yang bisa didapat dengan perawatan yang



20



menyeluruh bagi anaknya. Selain itu dijelaskan masalah-masalah apa saja yang dapat dihadapi anaknya kelak, seperti cara memberi minum bayi agak tidak tumpah. Pekerja sosial akan mengikuti perkembangan psikososial anak serta keadaan keluarga dan lingkungannya (Mulliken, 2014).



2.9



Pencegahan Celah Bibir dan Langit-Langit Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi resiko



seorang ibu melahirkan bayi dengan celah bibir dan langit-langit. Beberapa diantaranya adalah menghindari merokok, alkohol, nutrisi yang adekuat serta modifikasi pekerjaan. Ibu yang menggunakan tembakau dan alkohol selama kehamilan secara konsisten terkait dengan peningkatan resiko terjadinya celah bibir dan langitlangit. Mengingat frekuensi kebiasaan kalangan perempuan di Amerika Serikat, merokok dapat menjelaskan sebanyak 20% dari kejadian celah orofasial yang pada populasi negara itu. Lebih dari satu miliar orang merokok di seluruh dunia dan hampir tiga perempatnya tinggal di negara berkembang, sering kali dengan adanya dukungan publik dan tingkat politik yang relatif rendah untuk upaya pengendalian



tembakau



mendokumentasikan



(Aghi



bahwa



et



tingkat



al.,



2002).



prevalensi



Banyak merokok



laporan pada



telah



kalangan



perempuan berusia 15-25 tahun terus meningkat secara global pada dekade terakhir (Windsor, 2002). Peminum alkohol berat selama kehamilan diketahui dapat mempengaruhi tumbuh kembang embrio, dan langit-langit mulut sumbing telah dijelaskan memiliki hubungan dengan terjadinya defek sebanyak 10% kasus pada sindrom alkohol fetal (fetal alcohol syndrome). Dalam banyak penelitian tentang merokok, alkohol diketemukan juga sebagai pendamping, namun tidak ada hasil yang benar-benar disebabkan murni karena alkohol (Kummer AW, 2008).



21



Selain itu, pemenuhan nutrisi yang adekuat dari ibu hamil saat konsepsi dan trimester I kehamilan sangat penting bagi tumbuh kembang bibir, palatum dan struktur kraniofasial yang normal dari fetus. Beberapa zat gizi seperti asam folat, vitamin B6, dan vitamin A telah diteliti untuk dicari kaitannya dalam mengurangi insiden terjadinya celah bibir dan langit-langit. Asam folat memiliki dua peran dalam menentukan hasil kehamilan. Satu, ialah dalam proses maturasi janin jangka panjang untuk mencegah anemia pada kehamilan lanjut. Kedua, ialah dalam mencegah defek kongenital selama tumbuh kembang embrionik. Telah disarankan bahwa suplemen asam folat pada ibu hamil memiliki peran dalam mencegah celah orofasial yang non sindromik seperti bibir dan/atau langit-langit sumbing. Sedangkan untuk vitamin A, paparan yang kurang atau berlebih (ebih dari 10.000 IU vitamin A pada masa perikonsepsional) dikaitkan dengan peningkatan resiko terjadinya celah orofasial. Selain itu, dari data-data yang ada dan penelitian skala besar menyebutkan bahwa ada hubungan antara celah orofasial dengan pekerjaan ibu hamil, seperti pegawai kesehatan, industri reparasi, pegawai agrikulutur. Teratogenesis karena trichloroethylene dan tetrachloroethylene pada air yang diketahui berhubungan dengan pekerjaan bertani mengindikasikan adanya peran dari pestisida. Maka sebaiknya pada wanita hamil lebih baik mengurangi jenis pekerjaan yang terkait. Pekerjaan ayah dalam industri cetak, seperti pabrik cat, operator motor, pemadam kebakaran atau bertani telah diketahui meningkatkan resiko terjadinya celah orofasial.



22



BAB 3 KESIMPULAN Celah bibir dan langit-langit merupakan suatu kelainan kongenital akibat proses pembentukan bibir dan palatum tidak sempurna pada janin, dapat berupa kelainan sindromik dan nonsindromik. Penelitian yang dilakukan Gatti et al (2017) menyebutkan bahwa periosteoplasty dan lip-adhesion adalah operasi yang menjadi kunci pada kasus bibir sumbing dengan tujuan terpentingnya adalah pemanjangan optimal dari pharyngeal velum dan penutupan dari semua lapisan anatomi, dengan reposisi otot dan rekonstruksi. Sedangkan evaluasi post operasi yang harus dilakukan adalah speech assesment dan facial growth. Secara garis besar, permasalahan pada penderita celah bibir dan langit-langit dikelompokkan menjadi psikis, fungsi dan estetika dimana ketiganya saling berhubungan. Untuk masalah psikis diperlukan peran dari psikolog dan pekerja sosial, sedangkan untuk masalah fungsi dan nilai estetik, diperlukan tindakan pembedahan. Kunci keberhasilan terapi bukan tergantung dari teknik operasi apa yang dipilih, melainkan dari waktu intervensi, pengetahuan operator mengenai anatomi dan kemampuan dari surgeons itu sendiri. Perlu diperhatikan pula tatalaksana multidisiplin pada anak dengan bibir sumbing juga mempengaruhi outcomes. Untuk tindakan pencegahan, beberapa usaha seperti menghindari alkohol dan merokok terbukti dapat mengurangi resiko terjadinya celah bibir dan langit-langit.



23



DAFTAR PUSTAKA Djohansjah Marzoeki, M. Jailani, D. S. P. Kusuma. Teknik Pembedahan Celah Bibir dan Langit-Langit, Jakarta, Sagung Seto, 2002. Erwin S. Perawatan Ortodontik Pada Pasien Celah Bibir dan Langitlangit. Jurnal Kedokteran Gigi Universitas Indonesia. 2000; 7; 607-613. Fortuna F. Cleft lip and palate [Internet]. RS Universitas Andalas. 2020 [Cited]. Available from: http://rsp.unand.ac.id/artikel/cleft-lip-and-palate-celah-bibirdan-langit-langit. Gatti GL, Freda N, Giacomina A, Montemagni M, Sisti A. Cleft lip and palate repair. Journal of craniofacial surgery. 2017 Nov 1;28(8):1918-24. Herdiana A, Ismaniati NA. Perawatan ortodonsia pada kelainan celah bibir dan langit-langit. Indonesian journal of dentistry. 2007. Jakarta. 14(2):117-122. Kembaren L. Penderita bibir sumbing tambah 7.500 per tahun. Jurnal Nasional. 2012. Kuta. Hal. 11. Kummer AW. Cleft palate and craniofacial anomalies effects on speech and resonance. 2nd ed. New York: Thomson Delmar Learning. 2008: 37-40, 93104, 133-4. Loho JN. Prevalensi labioschisis di rsup. Prof. Dr. R. D. Kandou manado periode januari 2011 – oktober 2012. Jurnal e-Biomedik (eBM), Volume 1, Nomor 1, Maret 2013, hlm. 396-401. Manickam MV, Rekonstruksi celah bibir bilateral dengan metode barsky. University of Sumatera Utara Institutional Repository. 2012. Mulliken JB. The Changing Faces of Children with Cleft Lip and Palate. NEJM. Vol: 351. August 2014. Page 745-7. Prabhu S, Jose M, Krishnapillai R, Prabhu V. Etiopathogenesis of orofacial clefting



revisited.



Journal



of



Oral



and



Maxillofacial



Pathology.



2012;16(2):228. Priyono GP, Rafiyah I, Nurhidayah I. Parents’ self esteem of children with cleft lip and palate. JNC – Vol 1 Issue 2 June 2018. Quinn FB. Cleft Lip and Palate. UTMB Dept. Of Otolaryngology Grand Rounds. July 2014 Smith’s Plastic surgery. 6th edition. 2015: p.201-8. Shaye D, Liu C, Tollefson T. Cleft Lip and Palate. Facial Plastic Surgery Clinics of North America. 2015;23(3):357-372.



24



Stone C. Cleft Lip and Palate: Etiology, Epidemiology, Preventive and Intervention Strategies. Anatomy & Physiology. 2013;04(03). Supit L, Prasetyono TOH, Cleft lip and palate review: Epidemiology, risk factors, quality of life, and importance of classifications. Med J Indonesia. 2008. 17: 226-39. Tolarova M. Pediatric Cleft Lip and Palate: Background, Pathophysiology, Etiology [Internet]. Emedicine.medscape.com. 2018 [diakses pada 16 April 2018].



Tersedia



di:



https://emedicine.medscape.com/article/995535-



overview#a2 Tollefson TT, Sykes JM. Unilateral cleft lip. In: Goudy SG, Tollefson TT, editors. Complete cleft care. New York: Thieme; 2014. p. 37–59. Vieira AR, Orioli IM. Candidate genes for nonsyndromic cleft lip and palate. ASDC J. Dent. Child. 2001. 68 (229), 272–279. Wyszynski DF, Beaty TH, Maestri NE. Genetics of nonsyndromic oral clefts revisited. Cleft Palate Craniofac. J. 1996. 33, 406–417



25