CONTOH PUISI NARATIF - EPIK ROMANSA Dan BALADA [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

CONTOH PUISI NARATIF : EPIK, ROMANSA DAN BALADA 1. EPIK : Contoh 1: Diponegoro* Karya: Chairil Anwar Di masa pembangunan ini Tuan hidup kembali Dan bara kagum menjadi api Di depan sekali tuan menanti Tak gentar. Lawan banyaknya seratuus kali. Pedang di kanan, keris di kiri Berselempang semangat yang tidak bisa mati. MAJU Ini barisan tak bergenderang-berpalu Kepercayaan tanda menyerbu. Sekali berarti Sudah itu mati. MAJU Bagimu Negeri Menyediakan api. Punah di atas menghamba Binasa di atas ditinda. Sungguhpun dalam ajal baru tercapai Jika hidup baru bisa merasai. Maju. Serbu. Serang. Terjang. Februari 1943 Sumber: Puisi-Puisi Chairil Anwar (1922-1949), Kakilangit Majalah Horison Edisi April 2016, hlm 3. Contoh 2: Krawang-Bekasi* Karya: Chairil Anwar Kami yang ingin terbaring antara Krawan-Bekasi tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi. Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami, terbayang kami maju dan mendegap hati? Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi Jika dada rusa hampa dan jam dindig yang berdetak Kami maati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu. Kenang, kenanglah kami. Kami sudah coba apa yang kami bisa Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan 4-5 ribu nyawa Kami cuma tulang-tulang berserakan Tapi adalah kepunyaanmu Kaulah lagi yan tentukan nilai tulang-tulang berserakan



Atau kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan atau tidak untuk apa-apa, Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata Kaulah sekarang yang berkata Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak Keang, kenaglah kami Teruskan, teruskan jiwa kami Menjaga Bung Karno menjaga Bung Hatta menjaga Bung Sjahrir Kami sekarang mayat Beri kami arti Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian Keang, keanglah kami yang tinggal tulang-tulang diliputi debu Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi *Sumber: Puput Mugianti, Buku Pintar Pantun Puisi & Peribahasa, Prima Jaya, Hlm 57-58. (Penulisan contoh ini dibedakan dengan versi yang ada di sumber rujukan) Contoh 3: Sebuah Jaket Berlumuran Darah* Karya: Taufiq Ismail Sebuah jaket berlumur darah Kami semua telah menatapmu Telah pergi duka yang agung Dalam kepedihan bertahun-tahun. Sebuah sungai membatasi kita Di bawah terik matahari Jakarta Antara kebeabsan dan penindasan Berlapis senjata dan sangkur baja Akan mundurkah kita sekarang Seraya mengucapkan ‘Selamat tinggal perjuangan’ Berikra setiap kepada tirani Dan mengenakan baju kebesaran pelayan? Spanduk kumal itu, ya spanduk itu Kami semua telah menatapmu Dan di atas bangunan-bangunan Menunduk bendera setengah tiang Pesan itu telah sampai ke mana-mana Melalui kendaraan yang melintas Abang-abang becak, kuli-kuli pelabuhan Teriakan-teriakan di atas bis kota, pawai-pawai perkasa Prosesi jenazah ke pemakaman Mereka berkata Semuanya berkata Lanjutkan Perjuangan.



2. ROMANSA Contoh 1: Lagu Gadis Itali* Karya: Sitor Situmorang Buat Silviana Maccari Kerling danau di pagi hari Lonceng gereja bukit Itali Jika musimmu tiba nanti Jemputlah abang di teluk Napoli Kerling danau di pagi hari Lonceng gereha bukit Itali Sedari abang lalu pergi Adik rindu setiap hari Kerling danau di pagi hari Lonceng gereja bukit Itali Andai abang tak kembali Adik menunggu sampai mati Batu tandus di kebun anggur Pasir teduh di bawah nyiur Abang lenyap hatiku hancur Mengejar bayang di salju gugur Contoh 2: Seumur Hidup** Karya: Candra Malik Kau bilang kau sudah terlalu sabar. Tapi adakah sabar yang terlalu? Atau ternyata kepalamu sudah gegar. Sampai tak kuat memikirkanku? Mencintai itu kegiatan menunggu. Belum sempurna jika belum bosan. Merindukan itu membuang waktu. Masih berapa yang kau simpan? Waktumu sudah habis, sepertinya. Kau rogoh-rogoh sudah tak bersisa. Entah mengapa punyaku masih ada. Mungkin karena aku berusaha lupa. Bagiku mencintai itu tak pernah alpa. Suka tak suka harus seumur hidup. Menyayangi itu berarti mau menderita. Tak menyerah meski tak lagi sanggup. Malang, 26 Januari 2016 Contoh 3: Dua Titik, Satu Garis*** Karya: CAndra Malik Pada mulanya, kita dua titik terpisah yang oleh cinta dianugerahi mahabah. Pada mulanya, kita adalah dua noktah disatukan cinta agar tak lagi memisah. Pada hakikatnya, kita hidup sesuai fitrah lalu kepada cinta akhirnya kita berhijrah.



Hanya kepada-NYa, kita berharap sakinah. Dalam rida-Nya, kita memohon rahmah. Takdir telah menulis dua titik jaadi satu garis. Yang sudah digariskan niscaya dipersatukan. Terima kasih tiada terperi pada Cinta nan sejati. Terima kasih tiada terkiran pada Rindu yang nyata. Telah tiba pada kita yang tersurat sejak mula. Telah dibawah oleh cinta: alasan terhebat kita dicipta. Jakarta, 18 Agustus 2015 *Disadur dari buku “Dalam Sajak” Karya Sitor Situmorang.



3. BALADA Contoh 1: Dongeng Marsinah¹ Karya: Sapardi Djoko Damono /1/ Marsinah buruh pabrik arloji mengurus presisi: merakit jarum, sekrup, dan roda gigi; waktu memang tak pernah kompromi ia sangat cermat dan pasti. Marsinah itu arloji sejati, tak lelah berdetak memintal kefanaan yang abadi: “kami ini tak banyak kehendak sekadar hidup layak, sebutir nasi.” /2/ Marsinah, kita tahu, tak bersenjata, ia hanya suka merebus kata sampai mendidih, lalu meluap ke mana-mana. “Ia suka berpikir,” kata Siapa, “itu sangat berbahaya.” Marsinah tak ingin menyulut api, ia hanya memutar jarum arloji agar sesuai dengan matahari. “Ia tahu hakikat waktu,” kata Siapa, “dan harus dikembalikan ke asalnya, debu.” /3/ Di hari baik bulan baik, Marsinah dijemput di rumah tumpangan untuk suatu perhelatan. Ia diantar ke rumah Siapa, a disekap di ruang pengap, ia diikat di kursi, mereka kira waktu bisa disumpal agar lengkingan detiknya tidak kedengaran lagi. Ia tidak diberi air, ia tidak diberi nasi,



detik pun gerah berloncatan ke sana ke mari. Dalam perhelatan itu, kepalanya ditetak, selangkangannya diacak-acak, dantubuhnya dibirulebamkan dengan besi batangan. Detik pun tergeletak, Marsinah pun abadi. ……………………………………. (1993-1996) ¹Sapardi Djoko Damono, Melipat Jarak, (Gramedia, Jakarta:2015), hlm7-8. Contoh 2: Di Mana Kamu, De’Na?² Karya: WS Rendra Akhirnya berita itu sampai kepada saya: gelombang tsunami setinggi 23 meter melanda rumahmu. Yang tersisa hanyalah puing-puing belaka. Di mana kamu, De’Na? Sia-sia teleponku mencarimu. Bagaimana kamu, Aceh? Di TV kulihat mayat-mayat yang bergelimpangan di jalan. Kota dan desa-desa berantakan. Alam yang murka manusia-manusia terdera dan sengsara. Di mana kamu, De’Na? Ketika tsunami melanda rumahmu apakah kamu lagi bersenam pagi dan ibumu yang janda lagi membersihkan kamar mandi? De’Na, kita tak punya pilihan untuk hidup dan mati. Namun untuk yang hidup kehilangan dan kematian selalu menimbulkan kesedihan. Kecuali kesedihan, selalu ada pertanyaan: kenapa hal itu mesti terjadi dengan akibat yang menimpa kita? Memang ada kedaulatan manusia, De’Na. Tetapi lebih dulu sudah ada daulat alam. Dan kini kesedihanku yang dalam membentur daulat alam. Pertanyaanku tentang nasib ini merayap mengitari alam gaib yang sepi. De’Na! De’Na! Kini kamu jadi bagian misteri yang gelap dan sunyi. Hidupku terasa rapuh oleh duka, amarah, dan rasa lumpuh. Tanpa kejernihan dalam kehidupan bagaimana manusia bisa berdamai dengan kematian? ………………………………………..