CRITICAL JURNAL REVIEW-Christine [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

CRITICAL BOOK REVIEW MK.SOSIOLOGI OLAHRAGA PRODI S1 PENDIDIKAN KEPELATIHAN OLAHRAGA



Skor Nilai :



Hambatan Sosiologis Menuju Olahraga yang Adil Gender ( Caly Setiawan )



NAMA MAHASISWA : CHRISTINE STEVANY HUTABARAT NIM



: 6191121028



DOSEN PENGAMPU



: Yan Indra Siregar,S.Pd., M.Pd.



MATA KULIAH



: SOSIOLOGI OLAHRAGA



PROGRAM STUDI S-1 PENDIDIKAN KEPELATIHAN OLAHRAGA FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN – UNIVERSITAS NEGERI MEDAN NOVEMBER 2020



KATA PENGANTAR



Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas critical jurnal ini tepat pada waktunya. Tugas ini saya selesaikan demi memnuhi kebutuhan tugas wajib dari salah satu dosen saya. Selain itu, tugas ini juga bertujuan untuk menambah wawasan bagi para pembaca dan juga bagi penulis. Saya mengucapkan terima kasih kepada dosen yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni. Saya mengucapkan banyak terima kasih atas partisipasinya dari masing-masing kelompo/teman yang bersangkutan dengan terselesaikannya tugas ini. Makalah yang saya susun ini tak luput juga dari kesalahan ataupun kekurangan dari segi penyusunannya,maka dari itu sangat besar harapan untuk memberikan sarannya atas tugas yang telah saya selesaikan.



Binjai, 09 November 2020



Christine Stevany Hutabarat



DAFTAR ISI Kata pengantar



i



Daftar isi



ii



Bab I Pendahuluan



4



 



Latar belakang Tujuan penulisan



4 4



Bab II Isi



5



    



7 11 13 18 21



Review Artikel 1 Review Artikel 2 Review Artikel 3 Review Artikel 4 Review Artikel 5



Bab III Pembahasan  



Kelebihan Kekurangan



Bab IV Penutup  



Kesimpulan Saran



Daftar Pustaka



24 24 24 25 25 25 26



BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Dalam dua dekade belakangan ini, tuntutan kesetaraan mulai menguat. Para pengembang olahraga mulai mengakomodasi “kategori putri” dalam tiap pertandingan. Namun kenyataannya, membuka peluang kesetaraan dalam bidang olahraga masih memposisikan perempuan sebagai kelas nomor dua di dalam olahraga itu sendiri maupun di masyarakat. Tulisan ini hendak membahas tentang mengapa peningkatan keterlibatan perempuan dalam olahraga tidak serta merta merubah status dan posisi perempuan menjadi lebih baik. Kajiannya akan memfokuskan pada kostruksi sosial gender (Abdullah, 2003) yang menghambat partisipasi perempuan. Pengambilan data dilakukan dengan studi pustaka yang meliputi kajian sitematis dan menyeluruh artikel jurnal, surat kabar, dan internet. Tujuan Penulisan   



Memenuhi salah satu tugas mata kuliah wajib. Menambah wawasan pengetahuan bagi para pembaca maupun penulis. Mereview hasil karya ilmiah seseorang.



BAB II ISI Caly Setiawan PJKR Z/ NIM 132 297 298 Sosiologi Olahraga, IKF 220 Position Paper JURNAL : Hambatan Sosiologis Menuju Olahraga yang Adil Gender Pendahuluan Dalam dua dekade belakangan ini, tuntutan kesetaraan mulai menguat. Para pengembang olahraga mulai mengakomodasi “kategori putri” dalam tiap pertandingan. Namun kenyataannya, membuka peluang kesetaraan dalam bidang olahraga masih memposisikan perempuan sebagai kelas nomor dua di dalam olahraga itu sendiri maupun di masyarakat. Tulisan ini hendak membahas tentang mengapa peningkatan keterlibatan perempuan dalam olahraga tidak serta merta merubah status dan posisi perempuan menjadi lebih baik. Kajiannya akan memfokuskan pada kostruksi sosial gender (Abdullah, 2003) yang menghambat partisipasi perempuan. Pengambilan data dilakukan dengan studi pustaka yang meliputi kajian sitematis dan menyeluruh artikel jurnal, surat kabar, dan internet. Isi Kajian Olahraga memang aktifitas yang bersifat laki-laki. Hal ini disebabkan oleh karakteristik olahraga yang keras, kasar, kompetitif, dominasi, dan penaklukan. Karakteristik tersebut sejalan dengan apa yang menjadi nilai kelelakian. Oleh karena itulah; di dalam, dengan, dan melalui olahraga kaum laki-laki menegaskan identitas maskulinitasnya (Setiawan, 2004). Di sisi lain, partisipasi olahraga bagi perempuan merupakan pergulatan diri terhadap identitas dan konstruksi keperempuanan. Terlebih lagi bagi atlet elit perempuan atau olahraga hyper-masculine, partisipasi bisa menjadi upaya penyangkalan dan pemberontakan diri atas determinasi sosial tentang apa yang patut bagi perempuan. Sejarah seorang atlet pada umumnya diawali dari kepemilikan bakat. Bakat tersebut dapat dikenali baik dari bakat fisik maupun keterampilan motorik umum calon atlet yang dibentuk sepanjang perkembangan kemampuan motorik di usia dini, kanakkanak, dan remaja. Status seseorang itu memiliki bakat dalam suatu cabang olahraga atau tidak, salah satunya ditentukan oleh dukungan sistem nilai masyarakatnya. Sedangkan situasi sosial budaya yang secara dominan laki-laki selalu tidak pernah menguntungkan bagi perkembangan fisik dan motorik anak perempuan (Giulianotti, 2005). Bagaimana hambatan sosiologis ini bekerja dan beroperasi ditunjukkan setidaknya oleh lima praktek budaya (Coakley, 2004). Pertama,



masyarakat diorganisir dengan cara di mana anak perempuan hanya memiliki kemungkinan yang kecil untuk belajar bahwa aktifitas fisik dan prestasi dalam bidang olahraga dapat atau harus secara unik menjadi hal yang penting bagi penghargaan hidupnya. Kedua, dalam melakukan olahraga atau aktifitas fisik, ayah cenderung melakukannya bersama anak lakilaki dari pada anak perempuan. Ketiga, waktu bermain anak perempuan lebih mungkin untuk diatur dan dikontrol secara ketat oleh orangtua. Selain itu orangtua juga lebih cenderung menyediakan permainan seperti mainan pasaran, masak-masakan, boneka yang tidak menuntut mobilitas yang tinggi. Sedangkan anak laki-laki didorong untuk bermain bola atau perang-perangan yang menuntut dan kemudian mengembangkan kompetensi fisik dan ketrampilan motoriknya. Keempat, perempuan mengalami apa yang disebut sebagai belenggu atas tubuh perempuan. Pembelengguan ini berlangsung melalui pewacanaan kepatutan tubuh perempuan. Contohnya; “jangan memanjat!”, “jangan berlari!”, “jangan sampai bajunya kotor!”, “turunkan kakinya!”, “itu berbahaya!”, dan lain sebagainya. Kelima, sebagai salah satu media promosi gaya hidup aktif, pendidikan jasmani di sekolah mengalami bias jender dalam pelaksanaannya (Flintoff & Scraton, 2006). Hal ini dimungkinkan karena hubungan yang dekat antara pendidikan jasmani dan olahraga. Dalam pembelajaran pendidikan jasmani, mudah dijumpai bahwa murid laki-laki dibelajarkan permainan yang keras dan kompetitif seperti bola basket atau sepak bola sedang murid perempuan dibelajarkan permainan yang lembut dan kooperatif seperti kasti atau lompat tali. Pada gilirannya, kondisi fisik dan ketrampilan motorik tidak pernah setara antara laki-laki dan perempuan. Secara umum apa yang disebut sebagai kemampuan fisik seperti kekuatan, daya tahan, daya ledak otot, kelincahan, dan keakuratan yang dimiliki perempuan berada di bawah laki-laki. Belum lagi kompetensi kognitif yang menjadi prasyarat untuk bermain dalam permainan olahraga; pada umumnya perempuan tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang bagaimana cara bermain permainan olahraga, terlebih lagi stategi dan taktiknya. Kesimpulan Walaupun partisipasi perempuan dalam bidang mengalami peningkatan, olahraga masih saja didominasi oleh laki-laki. Hambatan struktural barangkali bisa dieliminir melalui peningkatan peluang. Namun, peningkatan peluang itu tidak akan optimal tanpa dibarengi dengan upaya perubahan ideologis (maskulinisme) di dalam olahraga. Selain itu perlu juga adanya perubahan kultur di masyarakat yang lebih luas terutama yang berkaitan dengan aktifitas jasmani baik di keluarga, masyarakat, maupun system pendidikan. Daftar Pustaka Abdullah, Irwan. (2003). Penelitian Berwawasan Gender dalam Ilmu Sosial. Humaniora XV. No. 3. Coakley, Jay. (2004). Sport in Society: Controversies and Issues. McGraw Hill: New York. Flintoff, Anne & Sheila Scraton. (2006). Girls and Physical Education. In David Kirk, Doune MacDonald & Mary O’Sullivan. The Handbook of Physical Education. Sage: London. Giulianotti, Richard. (2005). Sport: A Critical Sociology. Polity Press: Cambridge.



Setiawan, Caly. (2004). Di Mana Tempat Perempuan Berolahraga? Kompas, 16 Februari 2004. ARTIKEL 1



PENELITIAN BERWAWASAN GENDER DALAM ILMU SOSIAL 1. Pengantar Pertama, realitas itu tersusun dari unsur-unsur yang begitu luas yang menyebabkanpemahaman dan penelitian terhadap realitasitu harus mengindentifikasikan unsur-unsurtersebut dan melihat kaitan antarunsur yangterdapat dalam susunan itu. Tanpa usahayang sistematis untuk memilah-milah danmenghubung-hubungkan unsur-unsur yangmenyusun realitas, tidak akan diperolehsuatu pemahaman yang dalam tentang apa,siapa, dan bagaimana kaum perempuan itu.Dalam hal ini, dapat dilihat bahwa unsur-unsur penyusun realitas itu berupa agama,budaya, ekonomi, politik, atau lingkunganfisik suatu tempat. Dalam kenyataannya,unsur-unsur tersebut tidak dapat diabaikan.Ketimpangan gender, misalnya, dapatberkaitan dengan "budaya" dan "ekonomi".Keluarga dari kebudayaan yang sama di desayang sama memperlihatkan pola hubunganlaki-laki dan perempuan yang berbeda karenakemampuan ekonomi keluarga itu berbeda. Kedua, realitas hidup kaum perempuantersusun dari unsur yang berlapis-lapis yangmenyebabkan usaha penelitian menjadiusaha mengupas lapis demi lapis unsuruntuk menemukan realitas tersebut. Lapis-lapis ini telah menyebabkan realitas hidupkaum perempuan tidak ubahnya suatumisteri yang perlu diungkapkan denganmembuka lapis demi lapis sebelum ditemu-kan apa, siapa, dan bagaimana sesungguh-nya kaum perempuan itu. Susunan yangberlapis-lapis ini terutama disebabkan olehproses sejarah. Misalnya, pada lapisekonomi, harus dilihat apakah ketimpangangender tersusun atas dasar pembagian kerjapertanian yang berkaitan dengan sumberdaya ekonomi yang dimiliki masyarakat dandipengaruhi oleh kesempatan kerja yangdimiliki suatu rumah tangga. Lapis-lapis inidibuka satu per satu untuk mengetahui. Kompleksitas realitas perem- puan sesungguhnya dapat digambarkan analoginya seperti yang ditulis Ignas Kleden sebagai berikut. "... apakah sebuah kedipan mata hanyalah gerak kelopak mata yang mekanis, atau sebuah sinyal yang diberikan, atau parodi untuk sinyal yang gagal, atau latihan untuk sebuah parodi. Jadi si A yang mendengarkan ceramah si B, dan kemudian tidak setuju atau tidak senang dengan isi ceramah, memberikan kode dengan kedipan mata kepada si C tentang reaksinya kepada isi ceramah. Selanjutnya, si D yang melihat kedipan mata B untuk C, merasa kode atau sinyal itu sama sekali tidak meyakinkan sebagai kode. Untuk menyatakan bahwa kedipan si B adalah kode yang gagal, dia kemudian membuat sebuah kedipan lain sebagai parodi. Si E yang melihat kedipan si D kemudian mencoba mengikuti kelakuan D dengan melakukan kedipan juga, tetapi sebagai latihan untuk sebuah kode parodi dan begitu seterusnya " (1998: 100-111). Tulisan ini berusaha menunjukkan kecende- rungan dalam perluasan kajian gender di satu sisi dan persoalan-persoalan yang dihadapi dalam penelitian gender di lain sisi. Pada bagian berikut ini, dipaparkan



pendefinisian yang menjadi dasar dari diskusi gender dalam banyak penelitian.



2. Konseptualisasi gender : Pendekatan konstruksi sosial Menurut Chafetz (1991), ketidakseimbangan berdasar- kan gender (gender inequality) mengacu pada ketidakseimbangan akses ke sumbersumber yang langka dalam masyarakat. Ketidakseimbangan ini didasarkan pada keanggotaan kategori gender. Sumber sumber yang penting itu meliputi kekuasaan barang-barang material, jasa yang diberikan orang lain, prestise, peranan yang menentu- kan, waktu yang leluasa, makanan dan perawatan medis, otonomi pribadi, kesempat- an memperoleh pendidikan dan pelatihan, serta kebebasan dari paksaan atau siksaan fisik. Tampaknya kedua pendapat ini kurang memperhatikan aspek sosial budaya yang mengkonstruksikan ketimpangan gender. Ketimpangan gender di dalam keluarga serta rendahnya otoritas perempuan dilihat pada sumber-sumber yang dianggap langka dan tidak memperhatikan, misalnya, mengapa ketimpangan semacam ini terjadi dan mem- bentuk suatu realitas sosial serta mengapa ketimpangan tersebut dilestarikan oleh berbagai pihak. Objektivasi adalah proses menjadikan tatanan kehidupan yang dibangun oleh manusia sebagai suatu realitas yang terpisah dengan subjektivitasnya. Dalam hal ini, terjadi proses ketika dunia intersubjektif dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi. Proses-proses pembiasaan merupakan langkah awal dari pelembagaan atau proses pembudayaan. Tindakan- tindakan berpola yang sudah dijadikan kebiasaan membentuk lembaga-lembaga yang merupakan milik bersama. Lembaga lembaga ini mengendalikan dan mengatur perilaku individu (Berger dan Luckmann, 1990:75-78). Pada dasarnya, sosialisasi mengandung dua pengertian, yakni sosialisasi primer dan sekunder. Sosialisasi primer merupakan sosialisasi pertama yang dialami individu dalam masa kanak-kanak sebagai bagian dari anggota masyarakat dan dianggap merupakan struktur dasar dari sosialisasi sekunder. Sementara itu, sosialisasi sekunder adalah sosialisasi selanjutnya yang mengimbas individu yang telah disosialisasi- kan ke dalam sektor-sektor baru dunia objektif masyarakat (Berger dan Luckmann, 1990: 187). Hubungan gender yang terbentuk dalam berbagai aspek kehidupan sosial tidak lain merupakan kelanjutan dari bentukan sosial yang telah mendapatkan pengesahan. Sebaliknya, perubahan pola hubungan gender dapat dilakukan dengan mengubah pola sosialisasi gender dan dengan legitimasi- legitimasi sosial melalui berbagai pranata dan lembaga sosial. 3. Subjektifitas : Membangun Perspektif Perempuan Georg Simmel, misalnya, pernah mengatakan sebagai berikut. "Almost all discussions of women deal only with what they are in relation to men in terms of real, ideal of value criteria. No- body asks what they are for themselves" Dalam pandangan Simmel agaknya, sudut pandang struktural pun



melakukan kesalahan saat membandingkan perempuan dengan laki-laki. Perlakuan yang sama terhadap perempuan dan laki-laki me- ngandung makna pengakuan eksistensi perempuan sesuai dengan kapasitasnya. Namun, kita berhadapan dengan kedipan mata tadi, apakah permaknaan suatu kode dapat dilakukan dengan berlapis-lapis. Apakah seorang perempuan yang bekerja dapat diinterpretasikan sebagai "kebutuhan" untuk menyelamatkan ekonomi rumah tangga atau hal itu untuk mengaktualisasi- kan ilmu dan keahlian yang dimilikinya sebagai usaha untuk lari dari rutinitas rumah tangga, atau semacam usaha memenuhi tuntutan lingkungan. Banyak dimensi dari suatu fakta yang sangat membutuhkan "alasan" kaum perempuan sendiri untuk memahaminya. Pendekatan subjektif dalam penelitian dapat didasarkan pada sejumlah syarat. Pertama, ketajaman persepsi si peneliti untuk menangkap segala sesuatu yang terkait dengan eksistensi kaum perempuan. Simbol-simbol yang menghadirkan perem- puan dalam berbagai bentuk harus ditangkap sebagai sign atau isyarat dari sesuatu yang ingin diungkapkan oleh kaum perempuan. Kedua, intuisi peneliti merupakan kekuatan originatif di dalam mengkonstruksikan realitas. Hal ini membedakannya dengan cara penelitian bersifat deduktif yang lebih banyak menggunakan ukuran objektif, yang merupakan sudut pandang "dari luar" (out- side view). Ketiga, penekanan pada sifat-sifat khusus yang mengarahkan peneliti pada suatu deskripsi yang mendalam atas suatu tindakan atau ekspresi perempuan dalam hubungannya dengan berbagai struktur. Usaha mencari keteraturan umum berten- tangan dengan syarat penekanan penelitian yang bersifat ideografis ini. Keempat, perlunya mendiagnosis ada tidaknya suatu gejala dan bagaimana hakikat suatu gejala sehingga penelitian tidak mengarah pada usaha memprediksi. Dalam hal ini, kebera- daan suatu fenomena jauh lebih penting dibandingkan dengan kuantitas dari suatu tindakan. Keempat syarat tersebut akan memung- kinkan "pengetahuan" dan "pengalaman" kaum perempuan dihadirkan sebagai jalan bagi penghargaan kemanusiaan perempuan yang lebih dihargai. Dengan cara semacam ini pula subjektivasi dapat dilakukan, khususnya dengan membiarkan perempuan bercerita dan mengungkapkan ekspresinya secara bebas dengan nilai dan ukuran yang disusunnya sendiri. Dalam hal ini, tataran atau unit pemaknaan suatu simbol atau isyarat yang diberikan oleh kaum perem- puan harus dibedakan pada unit individu, rumah tangga, keluarga, komunitas, atau bahkan institusi dengan struktur hubungan- nya sendiri-sendiri. Derajat otonomi perem- puan dalam mengekspresikan dirinya sangat berbeda antara satu unit dengan unit lain. Unit-unit itu pula yang mendefinisikan ber- bagai bentuk hubungan gender yang hadir secara empiris. Untuk itu, penelitian gender harus merespons berbagai persoalan subjektif kaum perempuan agar dapat didefinisikan sebagai penelitian gender. 4. Reorientasi Kajian Gender Kajian gender kemudian tidak mengalami perkembangan akibat para ilmuwan sosial telah terkontaminasi oleh kepentingan negara yang didukungnya selama lebih dari lima puluh tahun di Indonesia. Kecenderungan berada di bawah bayang-bayang negara tersebut menyebabkan



tidak ter- binanya sikap ilmiah kritis dan wacana akademis yang seharusnya. Hal ini, misal- nya, tampak dari tidak berkembangnya metode-metode penelitian yang lebih terbuka dan naturalistis, seperti dialog atau dekon- struksi sebagaimana dikenal dalam kerja ilmiah kaum post-structuralist. Metode yang berkembang justru metode statistik dan survei dalam ilmu sosial yang menyebabkan terjadinya matematisasi ilmu sosial (lihat Soedjatmoko, 1988). Pendekatan yang beragam tidak hanya akan memberikan kemungkinan pada pengayaan perspektif dalam melihat suatu fenomena, tetapi juga akan menumbuhkan sikap yang terbuka dalam teori dan praktik ilmu sendiri. Kajian gender mengalami masalah yang sangat parah karena negara ikut membidani lahirnya, misalnya, Pusat Studi Perempuan (PSW) yang kemudian mengalami keter- gantungan dalam masa yang cukup lama. Kecenderungan perkembangan kajian gen- der tersebut dapat pula dievaluasi dalam perkembangan diskusi di berbagai universitas yang memperlihatkan perkembangan kajian dan juga orientasi kajian-kajian gender. 5. Perluasan Kajian Gender dalam Ilmu Sosial 1. Perspektif evolusi gender, bertujuan untuk mengidentifikasikan konteks biologis dan evolusi yang mencakup mamalia, primata dan manusia; dimor- fisme seksual, lembaga intim, dan reproduksi; status dan seks; dan sosialisasi. 2. Gender, seks, seksualitas, dan repro- duksi, yang mencakup otonomi, norma- norma labeling, variasi lintas kultural, konsep status, peran, dan hak relatif. 3. Perempuan dan laki-laki dalam masya- rakat, yang bertujuan mengidentifi- kasikan faktor-faktor dan variasi-variasi historis dan kultural dalam berbagai masyarakat kecil. 4. Perempuan dalam pertanian, melihat pengaruh lingkungan dan faktor ekonomi terhadap realitas hidup perempuan. 5. Masyarakat kompleks dan gender, suatu topik yang memperhatikan perluasan ide dan pikiran tentang pengalaman silang budaya modern dan pengaruhnya terhadap konstruksi gender. 6. Konstruksi budaya tentang identitas personal, yang mencoba dalam jangka panjang menganalisis proses-proses budaya (seperti dalam berbagai upacara siklus hidup) yang mempengaruhi orientasi dan identitas gender. 7. Perkawinan dan kontrak sosial, yang memperhatikan kerangka hukum dan politis yang mempengaruhi hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan, termasuk dalam persoalan politik reproduksi. 8. Komunikasi, gender, dan seks, suatu topik yang mencoba menganalisis data interaksi dan sosial, seperti bahasa laki- laki dan perempuan, pornografi, jilbab, homoseksualitas, tingkah laku seksual, dan hubungan gender. 9. Kolonialisme dan pembangunan, yang menghubungkan teori gender dengan gerakan sosial dan teori posmo- dernisme, termasuk konsep ekofeminisme. 10. Ketimpangan gender, melihat aspek- aspek transformasi sosial, hierarki, pola kerja, kesempatan, privilese, dan kelas sosial. 11. Gender dan politik feminitas, yang berisi isu-isu tentang debat nature-nurture, gelombang gerakan feminisme, kons- truksi sosial dan



budaya keibuan, olahraga dan politik maskulinitas, dan rasialisme. 12. Gender, resistensi, dan kebudayaan ekspresif dengan melihat fenomena jilbab, rasialisme, dan politik maskulinitas. 13. Gerakan dan kelompok retoris, yang mencoba mengidentifikasikan konteks dan akibat dari lahirnya Gerakan feminisme dan berbagai gerakan sosial yang progender. 14. Kekerasan dan pelecehan seksual, khususnya memperhatikan berbagai proses yang menyebabkan perempuan menjadi korban atas berbagai tindak kekerasan. 15. Representasi budaya gender, identifi- kasi dan pengaruh berbagai simbol yang menegaskan realitas gender dalam berbagai bentuk. 6. Catatan Penutup Sejalan dengan itu, dapat disarankan beberapa hal. Pertama, penelitian tentang perempuan atau gender sebaiknya menekan- kan pada cakupan yang terbatas (mikro) untuk memungkinkan pemahaman mendalam dilakukan. Oleh karena itu, penelitian mengarah pada analisis tentang satu keluarga, seorang ibu hamil, tiga perempuan karier, pengalaman seseorang yang mengalami trafficking, hubungan Pendidikan dengan profesi lima perempuan, atau sekelompok perempuan yang memberikan pemahaman mendalam atas realitas perempuan dan hubungan-hubungan kekuasaan. Kedua, sangat perlu dilakukan analisis secara lebih komprehensif sehingga diperoleh pemahaman yang utuh (menyeluruh). Hal ini dapat dilakukan dengan melihat isu tertentu dalam suatu konteks sosial. Analisis yang menghubungkan suatu tindakan dengan konteks sosialnya (dalam usaha menemukan logika dan perspektif) sangat dibutuhkan. Demikian juga secara struktural perlu memasukkan perempuan ke dalam suatu rangkaian hubungan agar keberadaannya dapat didefinisikan secara lebih luas dan menyeluruh, termasuk dalam hubungannya dengan negara dan pasar. Ketiga, perlu dilakukan perbandingan dalam rangka mendapatkan pemahaman yang lebih lengkap dan teruji. Perbandingan dapat dilakukan antarunsur yang diperhatikan, misalnya, apakah keputusan perempuan untuk berhenti bekerja dipengaruhi oleh unsur-unsur tekanan suami, kesadaran dari dalam, desakan perusahaan, kebosanan, atau hasil pemikiran yang jernih dengan berbagai pertimbangan. Perbandingan dapat juga dilakukan dengan menghubungkan data satu kasus dengan data dari kasus perempuan yang lain. Dengan perbandingan akan dimungkinkan diperoleh pemahaman yang mendalam dan utuh tentang realitas sosial kaum perempuan. Namun, perbandingan pada tingkat ini membutuhkan payung teori yang cukup membuka ruang pada keber- pihakan. Tanpa keberpihakan dalam pemi- lihan kerangka teori, suatu penelitian gender tidak pernah menghasilkan sesuatu untuk kaum perempuan sendiri karena ia Kembali tersubordinasi oleh orientasi teoretis yang memiliki beban historis dan ideologis untuk pelestarian kekuasaan. ARTIKEL 2



Hambatan Sosiologis Menuju Olahraga yang Adil Gender Pendahuluan Dalam dua dekade belakangan ini, tuntutan kesetaraan mulai menguat.



Para pengembang olahraga mulai mengakomodasi “kategori putri” dalam tiap pertandingan. Namun kenyataannya, membuka peluang kesetaraan dalam bidang olahraga masih memposisikan perempuan sebagai kelas nomor dua di dalam olahraga itu sendiri maupun di masyarakat. Tulisan ini hendak membahas tentang mengapa peningkatan keterlibatan perempuan dalam olahraga tidak serta merta merubah status dan posisi perempuan menjadi lebih baik. Kajiannya akan memfokuskan pada kostruksi sosial gender (Abdullah, 2003) yang menghambat partisipasi perempuan. Pengambilan data dilakukan dengan studi pustaka yang meliputi kajian sitematis dan menyeluruh artikel jurnal, surat kabar, dan internet. Isi Kajian Olahraga memang aktifitas yang bersifat laki-laki. Hal ini disebabkan oleh karakteristik olahraga yang keras, kasar, kompetitif, dominasi, dan penaklukan. Karakteristik tersebut sejalan dengan apa yang menjadi nilai kelelakian. Oleh karena itulah; di dalam, dengan, dan melalui olahraga kaum laki-laki menegaskan identitas maskulinitasnya (Setiawan, 2004). Di sisi lain, partisipasi olahraga bagi perempuan merupakan pergulatan diri terhadap identitas dan konstruksi keperempuanan. Terlebih lagi bagi atlet elit perempuan atau olahraga hyper-masculine, partisipasi bisa menjadi upaya penyangkalan dan pemberontakan diri atas determinasi sosial tentang apa yang patut bagi perempuan. Sejarah seorang atlet pada umumnya diawali dari kepemilikan bakat. Bakat tersebut dapat dikenali baik dari bakat fisik maupun keterampilan motorik umum calon atlet yang dibentuk sepanjang perkembangan kemampuan motorik di usia dini, kanak- kanak, dan remaja. Status seseorang itu memiliki bakat dalam suatu cabang olahraga atau tidak, salah satunya ditentukan oleh dukungan sistem nilai masyarakatnya. Sedangkan situasi sosial budaya yang secara dominan laki-laki selalu tidak pernah menguntungkan bagi perkembangan fisik dan motorik anak perempuan (Giulianotti, 2005). Bagaimana hambatan sosiologis ini bekerja dan beroperasi ditunjukkan setidaknya oleh lima praktek budaya (Coakley, 2004). Pertama, masyarakat diorganisir dengan cara di mana anak perempuan hanya memiliki kemungkinan yang kecil untuk belajar bahwa aktifitas fisik dan prestasi dalam bidang olahraga dapat atau harus secara unik menjadi hal yang penting bagi penghargaan hidupnya. Kedua, dalam melakukan olahraga atau aktifitas fisik, ayah cenderung melakukannya bersama anak laki-laki dari pada anak perempuan. Ketiga, waktu bermain anak perempuan lebih mungkin untuk diatur dan dikontrol secara ketat oleh orangtua. Selain itu orangtua juga lebih cenderung menyediakan permainan seperti mainan pasaran, masak-masakan, boneka yang tidak menuntut mobilitas yang tinggi. Sedangkan anak laki-laki didorong untuk bermain bola atau perang-perangan yang menuntut dan kemudian mengembangkan kompetensi fisik dan ketrampilan motoriknya. Keempat, perempuan mengalami apa yang disebut sebagai belenggu atas tubuh perempuan. Pembelengguan ini berlangsung melalui pewacanaan kepatutan tubuh perempuan. Contohnya; “jangan memanjat!”, “jangan berlari!”, “jangan sampai bajunya kotor!”, “turunkan kakinya!”, “itu berbahaya!”, dan lain sebagainya. Kelima, sebagai salah satu media promosi gaya hidup aktif, pendidikan jasmani di sekolah mengalami bias



ARTIKEL 3



jender dalam pelaksanaannya (Flintoff & Scraton, 2006). Hal ini dimungkinkan karena hubungan yang dekat antara pendidikan jasmani dan olahraga. Dalam pembelajaran pendidikan jasmani, mudah dijumpai bahwa murid laki-laki dibelajarkan permainan yang keras dan kompetitif seperti bola basket atau sepak bola sedang murid perempuan dibelajarkan permainan yang lembut dan kooperatif seperti kasti atau lompat tali. Pada gilirannya, kondisi fisik dan ketrampilan motorik tidak pernah setara antara laki-laki dan perempuan. Secara umum apa yang disebut sebagai kemampuan fisik seperti kekuatan, daya tahan, daya ledak otot, kelincahan, dan keakuratan yang dimiliki perempuan berada di bawah laki-laki. Belum lagi kompetensi kognitif yang menjadi prasyarat untuk bermain dalam permainan olahraga; pada umumnya perempuan tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang bagaimana cara bermain permainan olahraga, terlebih lagi stategi dan taktiknya. Walaupun partisipasi perempuan dalam bidang mengalami peningkatan, olahraga masih saja didominasi oleh laki-laki. Hambatan struktural barangkali bisa dieliminir melalui peningkatan peluang. Namun, peningkatan peluang itu tidak akan optimal tanpa dibarengi dengan upaya perubahan ideologis (maskulinisme) di dalam olahraga. Selain itu perlu juga adanya perubahan kultur di masyarakat yang lebih luas terutama yang berkaitan dengan aktifitas jasmani baik di keluarga, masyarakat, maupun sistem Pendidikan. Sports in Society memberikan pengenalan yang komprehensif untuk memahami isu dan kontroversi seputar olahraga di masyarakat. Coakley memberikan pendekatan kritis terhadap masalah terkait olahraga dengan penekanan pada kelas sosial, ras, dan etnis dalam dunia olahraga. Kursus Connect baru mencakup SmartBook, pengalaman membaca dan belajar adaptif. Teknologi ini mendorong pembaca untuk menerapkan pengetahuan mereka dan mempertimbangkan peran yang dimainkan olahraga dalam pengalaman pribadi, sekolah, dan komunitas mereka. Penulis / Kontributor: Jay J Coakley ISBN: 9780073523545 0073523542 9781259844997 1259844994OCLC Nomor: 946769503 Deskripsi: xvii, 656 Halaman; 24 cm Isi: Isi yang dihasilkan mesin Catatan: 1. Sosiologi Olahraga: Apa Artinya dan Mengapa Mempelajarinya?  Menggunakan Sosiologi untuk Belajar Olahraga  Mendefinisikan Olahraga  Apa Itu Sosiologi Olahraga?  Mengapa Belajar Olahraga di Masyarakat? Ringkasan: Mengapa Mempelajari Sosiologi Olahraga? 2. Memproduksi Pengetahuan Tentang Olahraga di Masyarakat: Bagaimana Pengetahuan Diproduksi Dalam Sosiologi Olahraga?  Menghasilkan Pengetahuan dalam Sosiologi Olahraga  Melakukan Penelitian dan Menggunakan Teori dalam Sosiologi Olahraga: Studi Kasus  Sosiologi Pengetahuan Olahraga  Menggunakan Pendekatan Kritis untuk Menghasilkan



Pengetahuan Ringkasan: Bagaimana Pengetahuan Dihasilkan dalam Sosiologi Olahraga? 3. Olahraga dan Sosialisasi: Siapa yang Bermain dan Apa yang Terjadi dengan Mereka?  Apa Itu Sosialisasi?  Menjadi dan Tetap Terlibat dalam Olahraga  Mengubah atau Mengakhiri Partisipasi Olahraga  Terlibat dalam Olahraga: Apa yang Terjadi?  Bagaimana Olahraga Mempengaruhi Kehidupan Kita? Ringkasan: Who Plays and What Happens? 4. Olahraga untuk Anak-Anak: Apakah Program yang Diselenggarakan Layak untuk Usaha?  Asal dan Perkembangan Olahraga Pemuda Terorganisir  Tren Utama dalam Olahraga Remaja Saat Ini  Olahraga Informal yang Dikendalikan Pemain: Kasus Kesenjangan Generasi  Olahraga Pemuda Saat Ini: Menilai Upaya Kami  Meningkatkan Olahraga Remaja  Rekomendasi untuk Meningkatkan Olahraga Remaja Ringkasan: Apakah Program yang Diorganisir Layak untuk Diusahakan? 5. Penyimpangan dalam Olahraga: Apakah Di Luar Kendali?  dan Mempelajari Penyimpangan dalam Olahraga  Tantangan yang Dihadapi Saat Mempelajari Penyimpangan dalam Olahraga  Penelitian tentang Penyimpangan dalam Olahraga  Zat Peningkat Kinerja: Studi Kasus Deviant Overconformity Ringkasan: Apakah Deviance dalam Olahraga Di Luar Kendali? 6. Kekerasan dalam Olahraga: Apakah Itu Mempengaruhi Kehidupan Kita?  Apakah Kekerasan Itu?  Kekerasan dalam Olahraga Sepanjang Sejarah  Kekerasan di Lapangan  Kekerasan di Luar Lapangan  Kekerasan Diantara Penonton  Terorisme: Kekerasan Politik yang Direncanakan di Acara Olahraga Ringkasan: Apakah Kekerasan dalam Olahraga Mempengaruhi Kehidupan Kita? 7. Gender dan Olahraga: Apakah Kesetaraan Mungkin?  Asal Usul Budaya dari Ketimpangan Gender  Ideologi Gender dan Olahraga Ortodoks  Olahraga Arus Utama Menegaskan Kembali Ideologi Gender Ortodoks  Kemajuan Menuju Kesetaraan Gender  Ketimpangan Gender Tetap Ada  Hambatan Ekuitas  Kesetaraan Gender dan Seksualitas  Strategi Mencapai Ekuitas -



Ringkasan: Apakah Ekuitas Mungkin? 8. Ras dan Etnis: Apakah Mereka Penting dalam Olahraga?  Mendefinisikan Ras dan Etnis  Menciptakan Ras dan Ideologi Ras  Partisipasi Olahraga di antara Etnis Minoritas di Amerika Serikat  Ras, Etnis, dan Olahraga dalam Perspektif Global  Dinamika Hubungan Ras dan Etnis dalam Olahraga Ringkasan: Apakah Ras dan Etnis Penting dalam Olahraga? 9. Kelas Sosial: Apakah Uang dan Kekuasaan Penting dalam Olahraga?  Kelas Sosial dan Hubungan Kelas  Olahraga dan Kesenjangan Ekonomi  Kelas Sosial dan Pola Partisipasi Olahraga  Kesenjangan Global dan Olahraga  Peluang Ekonomi dan Karir dalam Olahraga  Partisipasi Olahraga dan Karir Kerja Diantara Mantan Atlet Ringkasan: Apakah Uang dan Kekuasaan Penting dalam Olahraga? 10. Usia dan Kemampuan: Hambatan Partisipasi dan Inklusi?  Apa yang Dianggap Kemampuan?  Membangun Arti Zaman  Membangun Arti Kemampuan  Olahraga dan Kemampuan  Olahraga Penyandang Cacat  Teknologi dan Kemampuan  To "Dis" atau Not to "Dis" Ringkasan: Apakah Usia dan Kemampuan Menghambat Partisipasi? 11. Olahraga dan Ekonomi: Apa Karakteristik Olahraga Komersial?  Kemunculan dan Pertumbuhan Olahraga Komersial  Komersialisasi dan Perubahan Olahraga  Organisasi Olahraga Profesional di Amerika Utara  Organisasi Olahraga Amatir di Amerika Utara  Status Hukum dan Pendapatan Atlet dalam Olahraga Komersial Ringkasan: Apa Karakteristik Olahraga Komersial? 12. Olahraga dan Media: Bisakah Mereka Bertahan Tanpa Satu Sama Lain?  Karakteristik Media  Olahraga dan Media: Hubungan Dua Arah  Gambar dan Narasi dalam Media Olahraga  Pengalaman dan Konsekuensi Mengkonsumsi Media Olahraga  Jurnalisme Olahraga Ringkasan: Bisakah Olahraga dan Media Bertahan Tanpa Saling? 13. Olahraga dan Politik: Bagaimana Pemerintah dan Proses Politik Global Mempengaruhi Olahraga?  Olahraga  Koneksi Pemerintah  Olahraga dan Proses Politik Global  Politik dalam Olahraga Ringkasan: Bagaimana Pemerintah dan Proses Politik Global Mempengaruhi Olahraga? 14. Olahraga di Sekolah Menengah dan Perguruan Tinggi: Apakah Olahraga Kompetitif Berkontribusi pada Pendidikan?



ARTIKEL 4



 Argumen untuk dan Melawan Olahraga Interscholastic  Olahraga Antar Sekolah dan Pengalaman Siswa Sekolah Menengah  Olahraga Antar Perguruan Tinggi dan Pengalaman Mahasiswa  Apakah Sekolah Mendapat Manfaat dari Olahraga Universitas?  Olahraga Sekolah Menengah dan Perguruan Tinggi menghadapi Ketidakpastian Ringkasan: Apakah Olahraga Kompetitif Berkontribusi pada Pendidikan? 15. Olahraga dan Agama: Apakah Kombinasi yang Menjanjikan?  Bagaimana Sosiolog Mendefinisikan dan Mempelajari Agama?  Persamaan dan Perbedaan Antara Olahraga dan Agama  Olahraga Modern dan Keyakinan dan Organisasi Keagamaan  Tantangan Menggabungkan Olahraga dan Keyakinan Agama Ringkasan: Apakah Ini Kombinasi yang Menjanjikan? 16. Olahraga di Masa Depan: Apa Yang Kita Inginkan?  Membayangkan Kemungkinan untuk Masa Depan  Tren Saat Ini Terkait Olahraga di Masyarakat  Faktor yang Mempengaruhi Tren Saat Ini  Menjadi Agen Perubahan  Tantangan Transformasi Olahraga Ringkasan : Olahraga seperti apa yang kita inginkan ? ANALISIS KEBUTUHAN PEMBELAJARAN PENDIDIKAN JASMANI OLAHRAGA KESEHATAN BERBASIS INTEGRATED PHYSICAL EDUCATION DI SEKOLAH DASAR A. Pendahuluan Pendidikan jasmani yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan yang tentu di dalamnya terdapat pembelajaran. Apabila dibandingkan dengan pembelajaran mata pelajaran lainnya, pembelajaran pendidikan jasmani sangat berbeda. Pendidikan jasmani mengajak siswa untuk dapat berkembang sesuai dengan keinginannya, tetapi kenyataan lain dilapangan mengakibatkan pendidikan jasmani menjadi suatu mata pelajaran yang membosankan dan melelahkan serta tidak sesuai dengan konsep dasar pendidikan jasmani itu sendiri. Mata pelajaran pendidikan jasmani yang mempunyai alokasi waktu 2 jam pelajaran per minggu, dimana satu jam pelajaran berkisar antar 30 – 40 menit. Alokasi waktu tersebut sangat jelas akan mempengaruhi tujuan dari pendidikan jasmani, sehingga pembelajaran tidak dapat mencapai tujuan pendidikan jasmani yang sebenarnya dan tidak dapat memberikan kontribusi maksimal bagi perkembangan anak. Seperti yang diungkap oleh Sri Anitah Wiryawan (Pikiran Rakyat, 11 April 2003), bahwa penelitian di Amerika belum lama ini menunjukkan, pembelajaran yang menerapkan kurikulum dengan mata pelajaran terpisah-pisah menjadikan pembelajar kurang berhasil menumbuhkan potensi diri secara maksimal. Kurikulum dengan mata pelajaran terpisah-pisah dalam waktu 50 menit per jam pertemuan menjadi tidak realistik. Para pebelajar kurang



mendapat kesempatan mempelajari sesuatu secara mendalam. Sekolahsekolah cenderung memberikan alokasi waktu yang sangat banyak pada mata pelajaranmata pelajaran tertentu. PadaSekolah Dasar, hal ini sangat bertolakbelakang dengan perkembangan anak. Kurangnya waktu bagi anak sekolah dasar untuk memenuhi hasrat bergeraknya mengakibatkan permasalahan dalam pembelajaran mata pelajaran, ketika anak berkeinginan untuk bergerak di dalam kelas yang sedang berlangsung pembelajaran, maka anak tidak dapat menahan hasrat bergerak itu yang mengakibatkan pembelajaran menjadi “kacau”.Hal ini merupakan suatu kenyataan yang menjadi tantangan bagi para guru sekolah dasar untuk dapat menciptakan suasana belajar yang kondusif bagi anak seusia sekolah dasar. Guru pendidikan jasmani sekolah dasar harus mengetahui dan mengerti karekteristik pertumbuhan dan perkembangan anak sekolah dasar itu sendiri, kemudian mengerti dan mengetahui strategi pembelajaran yang tepat bagi anak seusia itu. Hal tersebut merupakan nilai tambah, sebagai upaya meningkatkan kualitas pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah dasar.Permasalahan tersebut juga terjadi di Kota Yogyakarta. Kota Yogyakarta yang memiliki sekolah dasar negeri maupun swasta berjumlah 182 sekolah(www.pendidikan-diy.go.id). Dari jumlah sekolah dasar tersebut dapat di lihat bagaimana program pendidikan jasmani yang dirancang secara mencari, menggali, dan menemukan konsep serta prinsip keilmuan yang holistik, bermakna, dan otentik sehingga siswa dapat menerapkan perolehan belajar untuk memecahkan masalahmasalah yang nyata di dalam kehidupan sehari-hari. Secara singkat dapat dismpulkan bahwa pada hakikatnya pembelajaran terpadu adalah upaya memadukan berbagai materi belajar yang berkaitan, baik dalam satu displin ilmu maupun antar disiplin ilmu dengan kehidupan dan kebutuhan nyata para siswa, sehingga proses belajar anak menjadi sesuatu yang bermakna dan menyenangkan anak. Pembelajaran terpadu mengacu kepada dua hal pokok, yaitu: 1) keterkaitan materi belajar antar disiplin ilmu relevan dengan diikat/disatukan melalui tema pokok, dan 2) keterhubungan tema pokok tersebut dengan kebutuhan dan kehidupan aktual para siswa. Dengan demikian tingkat keterpaduannya tergantung kepada strategi dalam mengaitkan dan menghubungkan materi belajar dengan pengalama nyara para siswa.Anak secara alamiah berkembang secara terpadu, maka diperlukan suatu pembelajaran yang terpadu untuk membantu perkembangan anak secara benar.Aspek intelektual, sosio-emosional, dan fisik anak harus dikembangkan pada waktu bersamaan.Pendekatan pembelajaran terpadu merupakan suatu strategi yang memberikan kesempatan kepada anak untuk mengembangkan potensinya secara seimbang, optimal, dan terpadu pula.Pendekatan terpadu pada dasarnya membantu anak untuk mengembangkan dirinya secara utuh, membantu anak untuk menjadi pengembang dan pembangun ilmu pengetahuan melalui pengalaman nyata. Melalui proses pembelajaran terpadu anak dilatih untuk bekerja sama, berekreasi, dan berkolaborasi dengan teman sejawatnya ataupun guru dalam mengembangkan ilmu maupun memecahkan masalahmasalah yang dihadapi. Pendekatan pembelajaran terpadu mencoba untuk menjadikan pembelajaran relevan dan bermakna, proses belajar mengajar



lebih bersifat informal, melalui pendekatan ini aktivitas belajar anak meningkat (Rusli Lutan, 1994: 27).Banyak kemungkinan untuk menghubungkan pendidikan jasmani dengan subjek materi yang lain, terutama untuk kelas awal seperti keterpaduan dengan aritmatika, bahasa, pendidikan alam terbuka, pendidikan sosial, dan sebagainya. B. Analisis terhadap Tujuan Penjasorkes di Sekolah Dasar Pada umumnya, para guru penjasorkes memiliki pemahaman dan persepsi yang berbeda tentang tujuan penjasorkes di sekolah dasar. Hal ini seperti yang diungkap Guru Penjasorkes Sekolah Dasar di Kota Yogyakarta yang berpendapat bahwa tujuan penjasorkes adalah (1) mencapai tingkat kebugaran jasmani, (2) menjadikan tubuh sehat, (3) meningkatkan kemampuan gerak dasar, (4) menanamkan perilaku hidup sehat, (5) menanamkan karakter (kepribadian/perilaku), (6) prestasi dalam olahraga, dan (7) kesenangan. Ada pendapat para guru penjasorkes yang memiliki makna saling berlawanan tentang tujuan penjasorkes. Sebagai contoh, ada guru penjasorkes yang menyatakan bahwa penjasorkes yang dilakukan selama ini sudah disesuaikan dengan karakteristik siswa sekolah dasar, tetapi disisi lain, ada guru penjasorkes yang berpendapat penjasorkes banyak berorentasi pada olahraga untuk berprestasi. Ada pula, guru penjasorkes Kota Yogyakarta yang menganggap bahwa tujuan penjasorkes selama ini sudah ideal sesuai kurikulum, tetapi disisi lain, ada guru penjasorkes juga berpendapat bahwa tujuan penjasorkes kadang di arahkan untuk menjuarai pertandingan-pertandingan olahraga seperti: OOSD. C. Analisis terhadap Pembelajaran Penjasorkes masa kini Pembelajaran penjasorkes di masa sekarang belum dapat dilaksanakan secara maksimal sesuai dengan amanat kurikulum. Hal ini berarti bahwa pelaksanaan pembelajaran penjasorkes saat ini masih jauh dari ideal. Pembelajaran penjasorkes saat ini masih terkendala beberapa hal, seperti: kurangnya sarana dan prasarana untuk mendukung pembelajaran yang aktif dan kreatif, usia guru penjasorkes yang sudah senior menyebabkan kesulitan mengikuti perkembangan hal yang baru, keterbatasan waktu, dan kemampuan guru menyebabakan penjasorkes stagnan. D. Analisis keterkaitan Penjasorkes dan Mata pelajaran lain Ada kemungkinan keterkaitan antara penjasrokes dengan mata pelajaran dilihat dari segi Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar, dan Materi pelajaran. Hal ini terungkap dari pendapat guru penjasorkes yang pernah mengajarkan IPA dan pendidikan kesehatan yang banyak bahasannya dari mata pelajaran IPA. Namun, para guru penjasorkes berpendapat pula tidak tahu bagaimana cara menghubungkan mata pelajaran lain dengan mata pelajaran penjasorkes dalam beberap materi. Para guru penjasorkes menyadari bahwa karakter sangat penting akan tetapi tidak tahu metode



mengajarnya.Para guru kelas berpendapat bahwa pembelajaran penjasorkes saat ini sudah sesuai dengan kurikulum. Namun, pembelajaran penjasorkes masih terkesan monoton, seperti anak laki-laki bermain sepakbola dan perempuan bermain kasti. Disisi lain, didapati pula penjasorkes yang hanya bertujuan pada olahraga saja. Beberapa guru kelas berpendapat bahwa guru penjasorkes kadang salah pahamdengan tujuan penjasorkes itu sendiri. Pandangan lain guru kelas, terhadap mata pelajaran penjasorkes selama ini adalah sebenarnya penjasorkes itu menyenangkan bagi anak karena anak dapat bebas bermain di luar kelas, tetapi kadang terkendala waktu ganti pakaian, berkeringat, waktunya melebihi jam pelajaran sehingga waktu mata pelajaran lain terpotong. Ada pula guru kelas yang mengungkapkan pembiaran anak saat bermain dan guru penjasorkes kurang bertanggungjawab sehingga membuat siswa menjadi kurang displin. Pembelajaran yang dilakukan di kelas bagi guru kelas kadang membosankan sehingga ada sebagian guru yang mengajak siswanya keluar dari kelas untuk belajar mata pelajaran selain penjasorkes. Ada juga guru yang selalu mengajar di dalam kelas kadang menambahkan permaianan-permaianan sederahana di dalam kelas antara lain ice breaking. Kendala yang dihadapi guru kelas adalah tidak adanya sarana dan prasarana yang mencukupi untuk membuat pelajaran yang mereka lakukan di kelas bisa lebih menarik. E. Analisis terhadap pembelajaran penjasorkes masa depan Pembelajaran yang akan datang diharapkan dapat dilaksanakan sesuai dengan kurikulum dan mendekati ideal. Pembelajaran masa datang diharapkan bisa menggunakan media yang lebih inovatif, sarana dan prasarana pembelajaran di kelas yang lebih lengkap dan mencukupi, variasi metode pembelajaran agar anak tidak bosan di dalam kelas. Para guru juga berharap pembelajaran masa depan dapat mengintegrasikan satu mata pelajaran dengan mata pelajaran lainnya. Ada guru yang mengungkapkan pernah mencoba mengintegrasikan mata pelajaran lain dan penjasorkes terutama dengan kesehatan antara lain kesehatan pribadi dan kebersihan lingkungan yang dilakukan di luar kelas. Tetapi, sebagian besar guru kelas tidak pernah berdiskusi untuk mengintegrasikan mata pelajaran lain dan penjasorkes secara bersamaan. Akan tetpai para guru menyadari bahwa mata pelajaran lain dan penjasorkes dapat diajarkan dengan cara terpadu.Para guru penjasorkes dan guru kelas menyadari bahwa pembelajaran penjasorkes menyenangkan bukan hanya sekedar olahraga saja dan guru kelas sebenarnya ingin mengajarkan mata pelajaran dalam kelasnya untuk di bawa ke luar kelas sambil bermain. Berdasarkan tujuan penjasorkes, sebenarnya tidak menutup kemungkinan untuk mengabungkan SKKD mata pelajaran lain dan SKKD penjasorkes dalam sebuah pembelajaran yang menyenangkan. Pada dasarnya, Kemendikbud telah menerbitkan pedoman pelaksanaan pembelajaran tematik. Hal ini membuka kemungkinan berkembangnya model pembelajaran pendidikan jasmani terintegrasi (integrated physical education). Dalam kehidupan nyata, semua jalannya kehidupan terintegrasi. Sebagai contoh, ketika anak-anak membeli suatu makanan, maka anak-anak belajar matematika (berhitung) sekaligus berbahasa. Contoh lainnya, ketika anak-anak bermain sepakbola juga berlajar



berhitung skor pertandingan atau lamanya waktu. F. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan dari peneltian yang dilakukan untuk analisis kebutuhan pembelajaran pendidikan jasmani olahraga kesehatan berbasis integrated physical education di sekolah dasar Kota Yogyakarta adalah bagaimana guru dapat menyusun secara bersama dan mengkolaborasikan SKKD yang ada. Guru Kelas dan penjasorkes membutuhkan sebuah media pembelajaran, sarana dan prasarana yang memadai untuk dapat memvariasikan model pembelajaran yang lebih menyenangkan. Kebutuhan akan diskusi memajukan pembelajaran secara bersama antara guru kelas dan guru penjasorkes juga dapat dilakukan lebih intensif. Keuntungan bersama dapat diperoleh yaitu pembelajaran secara bersama dalam aktifitas yang lebih terintegrasi sehingga siswa menjadi lebih bersemangat dalam belajar karena dapat dengan bermain di luar kelas. ARTIKEL 5



Artikel Jurnal : Giulianotti, Richard. (2005). Sport: A Critical Sociology. Polity Press: Cambridge. tentang Penulis Richard Giulianotti adalah Dosen Senior Sosiologi, Universitas Aberdeen. Informasi produk Paperback : 288 halaman ISBN : -13978-0745625461 produk : 15.29 x 1.73 x 22.86 cm Customer Reviews : 4.2 out of 5 stars 3UlasanPublisherPolity Press (1 Feb. 2005) Bahasa: Inggris ASIN : 0745625460 Peringkat Penjual Terbaik 977.683 di Buku (Lihat 100 Teratas di Buku) 7,313 dalam Antropologi Sosial & Budaya 11.684 dalam Studi Budaya 25.091 di Olahraga Umum, Hobi & Permainan Deskripsi Dalam buku baru yang hidup ini, Richard Giulianotti memberikan interpretasi sosiologis kritis tentang olahraga modern. Seperti yang diperlihatkan oleh festival global seperti Olimpiade dan Piala Dunia sepak bola, signifikansi sosial, politik, ekonomi, dan budaya olahraga menjadi semakin nyata di seluruh dunia. Ulasan "Buku ini mengangkat pertanyaan kunci tentang makna dan masa depan olahraga. Ini layak untuk, dan akan, dibaca secara luas sebagai konsekuensinya."John Williams, Universitas Leicester Ringkasan Dalam buku baru yang hidup ini, Richard Giulianotti memberikan interpretasi sosiologis kritis tentang olahraga modern. Seperti yang diperlihatkan oleh festival global seperti pertandingan Olimpiade dan Piala Dunia sepak bola, signifikansi sosial, politik, ekonomi, dan budaya olahraga menjadi semakin nyata di seluruh dunia. Popularitasnya sendiri membuat sosiolog tidak bisa mengabaikan olahraga. Bab demi bab,



Giulianotti menawarkan pemeriksaan meyakinkan dari berbagai teori sosiologis yang diajarkan secara luas dan isu-isu yang berhubungan dengan olahraga. Ini termasuk fungsionalisme, sosiologi Weberian, Marxisme, sosiologi postmodern, dan globalisasi. Penggunaan berbagai studi kasus dan penelitian internasional oleh penulis, tentang berbagai macam olahraga, membantu membuat akunnya dapat diakses secara khusus oleh pembaca sarjana. Oleh karena itu, 'Olahraga: sosiologi kritis' akan memiliki daya tarik yang kuat bagi sarjana tingkat atas pada kursus seperti studi olahraga dan rekreasi, studi budaya, dan teori sosial modern. Perspektif sosiologis kritis Giulianotti tertanam dalam diskusi yang solid tentang teori sosial dan memperhatikan berbagai makna yang dibawa oleh tindakan sehari-hari individu ke dalam olahraga. Buku ini menginspirasi refleksi kritis yang sangat dibutuhkan tentang ketidaksetaraan kekuatan dalam olahraga sambil mengeksplorasi bentukbentuk alternatif dari latihan olahraga. Ini adalah teks penting bagi setiap pembaca yang tertarik untuk memahami kompleksitas olahraga kontemporer. " Dari Sampul Belakang Dalam buku baru yang meriah ini, Richard Giulianotti memberikan interpretasi sosiologis kritis tentang olahraga modern. Seperti yang diperlihatkan oleh festival global seperti pertandingan Olimpiade dan sepak bola Piala Dunia, signifikansi sosial, politik, ekonomi, dan budaya olahraga menjadi semakin nyata di seluruh dunia. Popularitasnya sendiri membuat sosiolog tidak bisa mengabaikan olahraga. Bab demi bab, Giulianotti menawarkan pemeriksaan meyakinkan dari berbagai teori sosiologis yang diajarkan secara luas dan isu-isu yang berhubungan dengan olahraga. Ini termasuk fungsionalisme, sosiologi Weberian, Marxisme, sosiologi postmodern, dan globalisasi. Penggunaan berbagai studi kasus dan penelitian internasional oleh penulis, tentang berbagai macam olahraga, membantu membuat akunnya dapat diakses secara khusus oleh pembaca sarjana. Olahraga: sosiologi kritis karena itu akan memiliki daya tarik yang kuat untuk sarjana tingkat atas pada program seperti studi olahraga dan rekreasi, studi budaya, dan teori sosial modern.



BAB III PEMBAHASAN



KELEBIHAN    



Pembahasan yang sudah dijelaskan didalam jurnal ini sudah banyak mencakup keseluruhan yang baik. Isinya cukup singkat akan tetapi memiliki inti pembahasan yang lengkap. Hasil dari jurnal ini memiliki efek positif bagi para pembacanya denga nisi yang dicantumkan dalam pembahasan tersebut. meteri yang cukup lengkap terlihat pada sub-sub judul dalam jurnal tersebut yang lengkap dan mendetail dari kelima artikel yang telah tercantumkan.



KEKURANGAN 







Dalam jurnal ini maupun dalam kelima artikel tersebut belum ada solusi yang terjalankan dengan baik bagaimana mengatasi permasalahan gender didunia olahraga ini. Pembahasan yang tercantum didalam jurnal masih terbilang sangat sedikit poin pentingnya padahal dalam artikelnya banyak pembahasan yang menarik.



BAB IV PENUTUP



KESIMPULAN Olahraga telah menyatu selaras dengan gerak dinamis proses sosial yang berlangsung sedemikian pesat ke arah terbentuknya tatanan nilai atau norma yang semakin hari semakin diyakini kebermaknaannya dalam memberikan kontribusi konstruktif untuk peningkatan harkat dan martabat kemanusiaan. Olahraga bukan lagi disikapi sebagai sarana untuk penyehatan ragawi, tetapi lebih luas dari itu, kawasan olahraga telah merambah pada aspekaspek perikehidupan manusia secara utuh menyeluruh. Berdasarkan kajian keilmuannya, olahraga telah diakui sebagai academic discipline. Aspek ontologinya berkaitan dengan keberadaan manusia sebagai homo ludens atau homo se movens, yaitu manusia yang mempunyai hasrat bermain dan bergerak sebagai wujud nyata aktualisasi dirinya. Gerak insani tersebut difungsikan sebagai media untuk mengembangkan dan membina potensipotensi yang dimilikinya, yang berguna bagi keperluan hidup sehari-hari, sebagai ekspresi etik dan estetik, dan pada awalnya dimanfaatkan untuk mempersiapkan diri menghadapi tantangan alam lingkungan yang kurang bersahabat. Walaupun partisipasi perempuan dalam bidang olahraga mengalami peningkatan, olahraga masih saja didominasi oleh laki-laki. Hambatan struktural barangkali bisa dieliminir melalui peningkatan peluang. Namun, peningkatan peluang itu tidak akan optimal tanpa dibarengi dengan upaya perubahan ideologis (maskulinisme) di dalam olahraga. Selain itu perlu juga adanya perubahan kultur di masyarakat yang lebih luas terutama yang berkaitan dengan aktifitas jasmani baik di keluarga, masyarakat, maupun system pendidikan.



SARAN Saran yang bisa ditingkatkan dalam sebuah critical jurnal ini adalah dimana agar lebih meningkatkan peniltian yang lebih lanjut dalam jurnal tersebut. Dan dalam isinya dimana sarannya agar sedikit menambahkan tips, tabel,ataupun lainnya yang bisa membuat seseorang tertarik terkait dalam jurnal tersebut.



DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Irwan. (2003). Penelitian Berwawasan Gender dalam Ilmu Sosial. Humaniora XV. No. 3. Coakley, Jay. (2004). Sport in Society: Controversies and Issues. McGraw Hill: New York. Flintoff, Anne & Sheila Scraton. (2006). Girls and Physical Education. In David Kirk, Doune MacDonald & Mary O’Sullivan. The Handbook of Physical Education. Sage: London. Giulianotti, Richard. (2005). Sport: A Critical Sociology. Polity Press: Cambridge. Setiawan, Caly. (2004). Di Mana Tempat Perempuan Berolahraga? Kompas, 16 Februari 2004.