CRS Epilepsi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Case Report Session



EPILEPSI



Oleh : Dian Anggraini



1110312114



Preseptor : Prof. dr. H. Basjiruddin Ahmad Sp.S (K)



BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS RSUD ACHMAD MOCHTAR BUKITTINGGI 2018



BAB 1 PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang Kata epilepsi masih menjadi hal yang menakutkan dan tidak diinginkan di benak kebanyakan orang, karena saat seseorang mengalami epilepsi orang tersebut kehilangan kontrol tubuhnya sementara, terutama jika ia tidak sadarkan diri, gerakan yang dapat menyebabkan kekerasan pada diri sendiri dan gangguan komunikasi ditemukan pada keadaan ini. Epilepsi adalah kata yang digunakan untuk menggambarkan beberapa episode di mana berbagai fenomena klinis dapat terjadi, disebabkan arus listrik abnormal di otak.1 Epilepsi ditandai dengan kejang berulang yang bersifat sementara dan dapat mengubah satu atau lebih fungsi otak. Kelainan ini mempengaruhi sekitar 1% dari populasi. Epilepsi bisa dimulai pada usia berapapun, bisa berawal dari pewarisan gen dan juga bisa berakibat dari beragam penyakit atau luka (termasuk cedera kepala), trauma kelahiran, infeksi otak (seperti meningitis), tumor otak, stroke, keracunan obat, alkohol dan gangguan metabolisme. Lebih dari selusin gen yang menyebabkan epilepsi pada manusia telah diidentifikasi selama dekade terakhir. Sekitar 70% dari kasus tidak diketahu penyebabnya.2 Kejang yang terus-menerus terjadi, baik idiopatik atau tidak, bisa menyebabkan kerusakan jaringan korteks dengan beberapa mekanisme termasuk eksitoksisitas dan pada kejang tonik berkepanjangan, dapat menyebabkan hipoksia sistemik sehingga sangat diperlukan obat anti epilepsi untuk mengatasi kejang ini.6



1.2 Batasan Masalah Ilustrasi kasus ini membahas tentang definisi, klasifikasi dan faktor pencetus, epidemiologi, patofisiologi, gejala klinis, diagnosis, pemeriksaan penunjang, serta tatalaksana dari epilepsi



1



1.3 Tujuan Penulisan Ilustrasi kasus ini bertujuan untuk memahami definisi, klasifikasi dan faktor pencetus, epidemiologi, patofisiologi, gejala klinis, diagnosis, pemeriksaan penunjang, serta tatalaksana dari epilepsi.



1.4 Metode Penulisan Metode yang dipakai berupa tinjauan pustaka, ilustrasi kasus, diskusi, dan kesimpulan yang merujuk ke berbagai literatur.



2



BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Epilepsi adalah gangguan otak yang ditandai dengan adanya faktor predisposisi secara terus menerus untuk terjadinya suatu bangkitan epileptik dan juga ditandai oleh adanya faktor neurobiologis, kognitif, psikologis, dan konsekuensi sosial akibat kondisi tersebut.3 Bangkitan epileptik adalah terjadinya tanda atau gejala yang bersifat sesaat akibat aktivitas neuronal yang abnormal dan berlebihan di otak.4



2.2 Epidemiologi Data dari seluruh dunia, didapatkan hampir 40 juta manusia menderita epilepsi.5 Menurut WHO prevalensi epilepsi ini lebih tinggi pada wanita daripada pria. Angka prevalensi untuk pria 0.32:1000 dan wanita 0.46: 1000. Data di Indonesia pada tahun 2000 didapatkan hasil dari rawat inap yaitu 3.949 kasus epilepsi, dimana dari 34.514 pasien dengan penyakit susunan saraf (11.44%), sedangkan dari rawat jalan didapatkan 65.696 dari 351.290 (18.70%) dari jumlah kunjungan dengan penyakit susunan saraf.7



2.3 Klasifikasi Epilepsi Klasifikasi ILAE 1981 untuk tipe bangkitan epilepsi: 5 1.Bangkitan parsial/fokal 1.1 Bangkitan parsial sederhana 1.1.1. Dengan gejala motorik 1.1.2. Dengan gejala somatosensorik 1.1.3. Dengan gejala otonom 1.1.4.Dengan gejala psikis 1.2 Bangkitan parsial kompleks 1.2.1. Bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan gangguan kesadaran 1.2.2. Bangkitan yang disertai gangguan kesadaran sejak awal bangkitan



3



1.3 Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder 1.3.1. Parsial sederhana yang menjadi umum 1.3.2 Parsial kompleks menjadi umum 1.3.3. Parsial sederhana menjadi parsial kompleks, lalu menjadi umum 2. Bangkitan umum 2.1 Lena (absence) 2.1.1 Tipikal lena 2.1.2 Atipikal lena 2.2 Mioklonik 2.3 Klonik 2.4 Tonik 2.5 Tonik-klonik 2.6 Atonik/astatik 3.Bangkitan tak tergolongkan



Klasifikasi ILAE 1989 untuk epilepsi dan sindrom epilepsi:



1. Fokal/partial (localized related ) 1.1 Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan) 1.1.1 Epilepsi benigna dengan gelombang paku di daerah sentrotemporal (childhood epilepsi with centrotemporal spike) 1.1.2 Epilepsi benigna dengan gelombang paroksismal pada daerah oksipital. 1.1.3 Epilepsi prmer saat membaca (primary reading epilepsi) 1.2 Simtomatis 1.2.1 Epilepsi parsial kontinua yang kronis progresif pada anak-anak ( Kojenikow’s Syndrome) 1.2.2 Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu rangsangan (kurang tidur, alkohol, obat-obatan, hiperventilasi, refleks epilepsi, stimulasi fungsi kortikal tinggi, membaca) 1.2.3 Epilepsi lobus temporal 1.2.4 Epilepsi lobus frontal 1.2.5 Epilepsi lobus parietal



4



1.2.6 Epilepsi oksipital 1.3 Kriptogenik 2. Epilepsi umum 2.1 Idiopatik (sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan usia awitan) 2.1.1 Kejang neonates familial benigna 2.1.2 Kejang neonates benigna 2.1.3 Kejang epilepsi mioklonik pada bayi 2.1.4 Epilepsi lena pada anak 2.1.5 Epilepsi lena pada remaja 2.1.6 Epilepsi mioklonik pada remaja 2.1.7 Epilepsi dengan bangkitan umum tonik-klonik pada saat terjaga 2.1.8 Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah satu di atas 2.1.9 Epilepsi tonik klonik yang dipresipitasi dengan aktivasi yang spesifik 2.2 Kriptogenik atau simtomatis (berurutan sesuai dengan peningkatan usia) 2.2.1 Sindrom West (spasme infantile dan spasme salam) 2.2.2 Sindrom Lennox-Gastaut 2.2.3 Epilepsi mioklonik astatik 2.2.4 Epilepsi mioklonik lena 2.3 Simtomatis 2.3.1 Etiologi nonspesifik - Ensefalopati mioklonik dini - Ensefalopati pada infantile dini dengan dengan burst suppression - Epilepsi simtomatis umum lainnya yang tidak termasuk di atas 2.3.2 Sindrom spesifik 2.3.3 Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain. 3. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum 3.1 Bangkitan umum dan fokal 3.1.1 Bangkitan neonatal 3.1.2 Epilepsi mioklonik berat pada bayi 3.1.3 Epilepsi dengan gelombang paku kontinu selama tidur dalam 3.1.4 Epilepsi afasia yang didapat (Sindrom Landau-Kleffner) 3.1.5 Epilepsi yang tidak termasuk klasifikasi di atas



5



3.2 Tanpa gambaran tegas fokal atau umum 4.Sindrom khusus 4.1 Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu 4.1.1 Kejang demam 4.1.2 Bangkitan kejang/status epileptikus yang timbul hanya sekali isolated 4.1.3 Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian metabolic akut, atau toksis, alkohol, obat-obatan, eklamsia, hiperglikemi nonketotik. 4.1.4 Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesfik (epilepsi refrektorik)



2.4 Etiologi Penyebab dari epilepsi belum diketahui secara pasti, namun diduga disebabkan oleh 2 faktor yaitu penyebab primer atau idiopatik dan penyebab sekunder yang sudah diketahui penyebabnya. Penyebab sekunder yang diduga menjadi penyebab terjadinya epilepsi dapat berupa adanya kelainan pada struktur anatomi otak, adanya riwayat trauma kepala pada saat kelahiran, adanya iskemia, fokal infeksi, atau terdapat adanya tumor.5 Pada kasus lainnya epilepsi dapat disebabkan oleh adanya gangguan metabolik ataupun konsisi toksik seperti pada orang-orang yang mengonsumsi alkohol. Berikut beberapa etiologi spesifik penyebab terjadinya epilepsi: 1. Kelainan struktur anatomi



yang terjadi selama perkembangan janin/



kehamilan ibu, seperti konsumsi obat-obatan yang dapat menganggu perkembangan otak janin seperti minum alkohol atau mengalami trauma dan mendapatkan penyinaran atau radiasi. 2. Kelainan yang terjadi saat kelahiran seperti hipoksia janin saat kelahiran, kerusakan ada struktur kepala akibat persalinan menggunakan forcep 3. Cedera kepala 4. Tumor pada otak, jarang terjadi terutama pada anak-anak. 5. Peradangan dan infeksi seperti meningitis. 6. Penyakit keturunuan seperti fenilketouria, sklerosis tuberose dan neurofibromatosis.



6



7. Kecenderungan epilepsi tersebut diturunkan, dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak dengan orang tua dan saudara kandung mengalami epilepsi memiliki faktor risiko sebanyak 5% akan mengalami epilepsi.5



2.5 Faktor Pencetus Penting untuk mengidentifikasi berbagai kemungkinan faktor pencetus kejang untuk mencari etiologi dan edukasi pasien hal-hal yang seharusnya dihindari untuk mencegah munculnya bangkitan :9 1.



Satu kali atau lebih tidak meminum OAE sebelum bangkitan



2.



Kurang tidur, baik kuantitas maupun kualitas tidur dan perubahan durasi yang biasanya dibutuhkan oleh pasien.



3.



Stres psikologis, yang selama ini dihadapi seorang individu di lingkungannya Tekanan emosional melebihi kapasitas adaptif psikologis nya.



4.



Lampu berkedip-kedip seperti yang terjadi saat menonton TV atau bermain video game atau pemicu lainnya seperti sinar matahari yang menyilaukan.



5.



Stres fisik dan mental. Stres fisik diartikan sebagai penurunan sementara kemampuan otot untuk menjaga performa fisik optimal karena aktivitas fisik yang terlalu berat. Stres mental diartikan sebagai penurunan sementara dalam kognitif kinerja maksimal nya karena aktivitas kognitif yang berlebihan. Ini bisa bermanifestasi seperti mengantuk, lesu, atau kelelahan.



6.



Demam yang terjadi serentak dengan kejang.



7.



Penggunaan obat epileptogenik terkini sebelum bangkitan



8.



Perubahan terbaru dari nama generik OAE yang digunakan



2.6 Patofisiologi Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan dari pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi, pergeseran konsentrasi ion e k s t r a s e l u l e r



7



voltage- g a t e d penting



ion



artin ya



channel dalam



sinkronisasi neuron sangat



hal



inisiasi



dan



perambatan



a k t i v i t a s serangan epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion di dalam ruang ekstraseluler dan intraseluler, dan oleh gerakan keluar-masuk ion-ion menerobos membran neuron.7 Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial aksi secara tepat dan berulang-ulang. Cetusan listrik abnormal ini kemudian “mengajak” neuron-neuron yang terkait di dalam proses. Secara klinis serangan epilepsi akan tampak apa bila cetusan listrik dari sejumlah besar neuron abnormal muncul secara bersamasama, membentuk suatu badai aktivitas listrik di dalam otak. Badai listrik tadi menimbulkan bermacam-macam serangan epilepsi yang berbeda (lebih dari 20 macam), bergantung pada d aerah dan fungsiotak yang terkena dan terlibat. Dengan demikian dapat dimengerti apabila epilepsi tampil dengan manifestasi yang sangat bervariasi.7 Sebagai penyebab dasar terjadinya epilepsi terbagi dalam 3 hal yaitu: 1. Non Spesifik Predispossing Factor ( NPF ) yang membedakan seseorang peka tidaknyaterhadap serangan epilepsi dibanding orang lain. Setiap orang sebetulnya dapat dimunculkan bangkitan epilepsi hanya dengan dosis rangsangan berbeda-beda. 2.



Specific



Epileptogenic



Disturbances



(SED).



Kelainan



epileptogenik ini dapat diwariskanmaupun didapat dan inilah yang bertanggung jawab atas timbulnya epileptiform activity diotak. Timbulnya bangkitan epilepsi merupakan kerja sama SED dan NPF. 3. Presipitating



Factor



(PF).



Merupakan



faktor



pencetus



terjadinya bangkitan epilepsi pada penderita epilepsi yang kronis. Penderita dengan nilai ambang yang rendah, PF dapatmembangkitkan reactive seizure dimana SED tidak ada..



8



Ketiga hal di atas memegang peranan penting terjadinya epilepsi sebagai hal dasar. Bangkitan epilepsi karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam otak yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara serentak, secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi.7 Fungsi jaringan neuron penghambat ( neurotransmitter GABA dan Glisin ) kurang optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik ( Glutamat dan Aspartat ) berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan juga. Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi GABA ( gamma aminobutyric acid ) t i d a k n o r m a l . P a d a otak



manusia



GABA



rendah.



ya ng



menderita



Hambatan



oleh



e p i l e p s i ter nyata kandungan GABA



dalam



bentuk



inhibisi



potensial post sinaptik ( IPSPs = inhibitory post synaptic potentials ) adalah



lewat



reseptor



G A B A . Suatu hipotesis mengatakan bahwa



aktivitas epileptik disebabkan oleh hilang atau kurangnya inhibisi o l e h z a t yang



merupakan



neurotransmitter



inhibitorik



utama



pada



o t a k . Ternyata pada GABA ini sama sekali tidak sesederhana seperti yang disangka semula. Riset membuktikan bahwa perubahan pada salah satu komponennya bisa menghasilkan inhibisi tak lengkap yang akan menambah rangsangan. Sinkronisasi dapat terjadi pada sekelompok kecil neuron saja, sekelompok besar atau seluruh neuron otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron ini menimbulkan manifestasi yang berbeda dari serangan. S e c a r a



teoritis



ada



2 penyebabnya



yaitu fungsi



neuron



penghambat kurang optimal ( GABA ) sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, sementara itu fungsi jaringan neuron eksitatorik ( Glutamat ) berlebihan.7 Berbagai



macam



penyakit



dapat



menyebabkan



terjadiny a



perubahan keseimbangan antara neuron inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan herediter, kongenital, hipoksia, infeksi, tumor, vaskuler, obat atau toksin. Kelainan tersebut dapat mengakibatkan



9



rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul epilepsi bila ada rangsangan yang memadai. Daerah yang rentan terhadap kerusakan bila ada abnormalitas otak antara lain di hipokampus. Oleh karena setiap serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan eksitabilitas neuron, maka serangan kejang cenderung berulang dan selanjutnya menimbulkan kerusakan yang lebih luas. Pada pemeriksaan selanjutnya menimbulkan kerusakan yang lebih luas. Pada pemeriksaan jaringan otak penderita epilepsi yang mati selalu didapatkan kerusakan di daerah hipokampus. Oleh karena itu tidak mengherankan bila lebih dari 50% epilepsi parsial, fokus asalnya berada di lobus temporalis dimana terdapat hipokampus dan merupakan tempat asal epilepsi dapatan.



2.7 Gejala Klinis Gejala dan tanda dari epilepsi dibagi berdasarkan klasifikasi dari epilepsi, yaitu : 1) Kejang parsial Lesi yang terdapat pada kejang parsial berasal dari sebagian kecil dari otak atau satu hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada satu sisi atau satu bagian tubuh dan kesadaran penderita umumnya masih baik. a. Kejang parsial sederhana Gejala yang timbul berupa kejang motorik fokal, femnomena halusinatorik, psikoilusi, atau emosional kompleks. Pada kejang parsial sederhana, kesadaran penderita masih baik. b. Kejang parsial kompleks Gejala bervariasi dan hampir sama dengan kejang parsial sederhana, tetapi yang paling khas terjadi adalah penurunan kesadaran dan otomatisme. 2) Kejang umum Lesi yang terdapat pada kejang umum berasal dari sebagian besar dari otak atau kedua hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada seluruh bagian tubuh dan kesadaran penderita umumnya menurun.



10



a. Kejang Absans Hilangnya kesadaran sessat (beberapa detik) dan mendadak disertai amnesia. Serangan tersebut tanpa disertai peringatan seperti aura atau halusinasi, sehingga sering tidak terdeteksi.



b. Kejang Atonik Hilangnya tonus mendadak dan biasanya total pada otot anggota badan, leher, dan badan. Durasi kejang bisa sangat singkat atau lebih lama. c. Kejang Mioklonik Ditandai dengan kontraksi otot bilateral simetris yang cepat dan singkat. Kejang yang terjadi dapat tunggal atau berulang. d. Kejang Tonik-Klonik Sering disebut dengan kejang grand mal. Kesadaran hilang dengan cepat dan total disertai kontraksi menetap dan masif di seluruh otot. Mata mengalami deviasi ke atas. Fase tonik berlangsung 10 - 20 detik dan diikuti oleh fase klonik yang berlangsung sekitar 30 detik. Selama fase tonik, tampak jelas fenomena otonom yang terjadi seperti dilatasi pupil, pengeluaran air liur, dan peningkatan denyut jantung. e. Kejang Klonik Gejala yang terjadi hampir sama dengan kejang mioklonik, tetapi kejang yang terjadi berlangsung lebih lama, biasanya sampai 2 menit. f. Kejang Tonik Ditandai dengan kaku dan tegang pada otot. Penderita sering mengalami jatuh akibat hilangnya keseimbangan.



2.8 Diagnosis 1. Anamnesis Dalam anamnesis juga harus fokus pada faktor risiko dan predisposisi bangkitan kejang. Petunjuk untuk predisposisi kejang termasuk riwayat kejang demam, aura sebelum bangkitan dan riwayat keluarga kejang. Faktor epileptogenik seperti trauma kepala sebelumnya, stroke, tumor, atau infeksi pada sistem saraf pusat harus di identifikasi. Pada anak-anak, penilaiannya cermat



11



tahapan perkembangan dapat memberikan bukti untuk penyakit SSP yang mendasarinya terjadinya kejang apabila ditemukan keterlambatan dalam perkembangan anak tersebut.8 Faktor presipitasi seperti kurang tidur, penyakit sistemik, gangguan elektrolit atau gangguan metabolik, infeksi akut, meminum obat yang menurunkan ambang kejang, atau alkohol atau penggunaan obat terlarang juga harus di identifikasi.



2. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik umum meliputi pencarian untuk tanda-tanda infeksi atau penyakit sistemik. Pemeriksaan teliti dari kulit bisa menunjukkan tanda-tanda kelainan neurokutaneous seperti sklerosis tuberous atau neurofibromatosis, atau penyakit hati kronis atau penyakit ginjal. Temuan dari organomegali dapat mengindikasikan penyakit penyimpanan metabolik, dan asimetri anggota badan bisa memberi petunjuk tentang cedera otak tahap awal. Tanda trauma kepala dan penggunaan alkohol atau obat terlarang harus dicari. Auskultasi dari jantung dan arteri karotis dapat mengidentifikasi kelainan yang menjadi predisposisi penyakit serebrovaskular. Semua pasien memerlukan pemeriksaan neurologis yang lengkap, dengan penekanan khusus pada munculnya tanda-tanda serebral penyakit hemisferik. Penilaian status mental (termasuk memori, fungsi bahasa, dan pemikiran abstrak) mungkin terdapat lesi di anterior lobus frontal, parietal, atau temporal. Pengujian visual akan membantu menyaring lesi pada jalur optik dan lobus oksipital. Tes skrining fungsi motorik seperti kekuatan otot, refleks tendon dalam, gaya berjalan, dan koordinasi mungkin menyarankan lesi pada motor (frontal) korteks, dan pengujian sensorik kortikal (misalnya, dua kali lipat secara simultan stimulasi) dapat mendeteksi lesi pada parietal korteks. 3. Pemeriksaan Laboratorium Penyebab kejang yang umum terjadi seperti kelainan elektrolit, glukosa, kalsium, atau magnesium, dan penyakit hati atau ginjal. Sebuah layar untuk racun dalam darah dan air kencing juga harus didapat dari semua pasien dalam kelompok risiko yang tepat, terutama bila tidak ada faktor pemicu yang jelas.



12



Lumbal pungsi ditandai jika ada kecurigaan meningitis atau ensefalitis, dan ini wajib dilakukan pada semua pasien yang terinfeksi HIV, bahkan dengan ada atau tidaknya gejala yang menunjukkan adanya infeksi.



2.9. Pemeriksaan Penunjang EEG juga bisa membantu dalam periode interiktal dengan menunjukkan kelainan tertentu yang sangat mendukung dari diagnosis epilepsi. Seperti gambaran epilepsi terdiri dari semburan aktivitas abnormal yang mengandung paku atau ombak tajam. Kehadiran gambaran paku atau ombak tajam tidak spesifik untuk epilepsi, tapi memiliki prevalensi yang lebih besar pada pasien dengan epilepsi daripada di individu normal. Namun, bahkan pada individu yang diketahui memiliki epilepsi, interupsi rutin awal EEG mungkin normal sampai 60% dari waktu. Dengan demikian EEG tidak dapat menegakkan diagnosis epilepsi di banyak kasus. EEG rutin yang direkam juga dapat digunakan untuk menilai prognosis gangguan kejang; secara umum, EEG normal menyiratkan prognosis yang lebih baik, sedangkan EEG abnormal atau aktivitas epileptiform yang banyak menunjukkan prognosis buruk. Namun EEG tidak terbukti berguna dalam memprediksi pasien mana dengan kondisi predisposisi seperti cedera kepala atau tumor otak yang dapat menjadi epilepsi, karena dikeadaan seperti itu aktivitas epileptiform umumnya ditemui setelah kejang terjadi.9



2.10 Tatalaksana Epilepsi Penatalaksanaan dalam epilepsi, secara umum ada 2 hal yaitu7 : a. Tatalaksana fase akut (saat kejang) Tujuan pengelolaan pada fase akut adalah mempertahankan oksigenasi otak yang adekuat, mengakhiri kejang sesegera mungkin, mencegah kejang berulang, dan mencari faktor penyebab. Serangan kejang umumnya berlangsung singkat dan berhenti sendiri. Pengelolaan pertama untuk serangan kejang dapat diberikan diazepam per rektal. Jika kejang masih belum berhenti, dapat diulang setelah selang waktu 5 menit dengan dosis dan obat yang sama. Jika setelah dua



13



kali pemberian diazepam per rektal masih belum berhenti, maka penderita dianjurkan untuk dibawa ke rumah sakit. b. Pengobatan epilepsi Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat penderita epilepsi terbebas dari serangan epilepsinya. Serangan kejang yang berlangsung mengakibatkan kerusakan sampai kematian sejumlah sel-sel otak. Apabila kejang terjadi terus menerus maka kerusakan sel-sel otak akan semakin meluas dan mengakibatkan menurunnya kemampuan intelegensi penderita. Karena itu, upaya terbaik untuk mengatasi kejang harus dilakukan terapi sedini dan seagresif mungkin. Pengobatan epilepsi dikatakan berhasil dan penderita dinyatakan sembuh apabila serangan epilepsi dapat dicegah atau dikontrol dengan obatobatan sampai pasien tersebut 2 tahun bebas kejang. Secara umum ada tiga terapi epilepsi, yaitu : 1) Terapi medikamentosa Merupakan terapi lini pertama yang dipilih dalam menangani penderita epilepsi yang baru terdiagnosa. Jenis obat anti epilepsi (OAE) baku yang biasa diberikan di Indonesia adalah obat golongan fenitoin, karbamazepin, fenobarbital, dan asam valproat. Obat-obat tersebut harus diminum secara teratur agar dapat mencegah serangan epilepsi secara efektif. Walaupun serangan epilepsi sudah teratasi, penggunaan OAE harus tetap diteruskan kecuali ditemukan tanda-tanda efek samping yang berat maupun tanda-tanda keracunan obat. Prinsip pemberian obat dimulai dengan obat tunggal dan menggunakan dosis terendah yang dapat mengatasi kejang. Rekomendasi ILAE untuk pemberian obat anti epilepsi (OAE) untuk tipe kejang parsial, yaitu: carbamazepine, fenitoin, topiramate, oxcarbazepine, levetiracetam, lamotrigin dan asam valproat. Pilihan lain termasuk phenobarbital dan primidone. Pada dewasa dengan tipe kejang umum; asam valproat, levetiracetam, topiramate, lamotrigin,



Phenobarbital,



carbamazepine, dan



oxcarbazepine. 2) Terapi bedah



14



Merupakan tindakan operasi yang dilakukan dengan memotong bagian yang menjadi fokus infeksi yaitu jaringan otak yang menjadi sumber serangan. Diindikasikan terutama untuk penderita epilepsi yang kebal terhadap pengobatan. Berikut ini merupakan jenis bedah epilepsi berdasarkan letak fokus infeksi : a. Lobektomi temporal b. Eksisi korteks ekstratemporal c. Hemisferektomi d. Callostomi 3) Terapi nutrisi Pemberian terapi nutrisi dapat diberikan pada anak dengan kejang berat yang kurang dapat dikendalikan dengan obat antikonvulsan dan dinilai dapat mengurangi toksisitas dari obat. Terapi nutrisi berupa diet ketogenik dianjurkan pada anak penderita epilepsi. Walaupun mekanisme kerja diet ketogenik dalam menghambat kejang masih belum diketahui secara pasti, tetapi ketosis yang stabil dan menetap dapat mengendalikan dan mengontrol terjadinya kejang. Hasil terbaik dijumpai pada anak prasekolah karena anak-anak mendapat pengawasan yang lebih ketat dari orang tua di mana efektivitas diet berkaitan dengan derajat kepatuhan. Kebutuhan makanan yang diberikan adalah makanan tinggi lemak. Rasio kebutuhan berat lemak terhadap kombinasi karbohidrat dan protein adalah 4:1. Kebutuhan kalori harian diperkirakan sebesar 75 – 80 kkal/kg. Untuk pengendalian kejang yang optimal tetap diperlukan kombinasi diet dan obat antiepilepsi.



15



Tabel 1. Obat-obatan Anti Epilepsi Nama Obat



Jenis Serangan



Dosis/mg/kg/hari



Waktu



Efek Samping



Paruh (Jam) Fenobartbital



Parsial



2-4



96 jam



Kejang Umum



mengantuk, hiperaktifitas, bingung, perubahan perasaan hati



Fenitoin



Parsial



3-8



24 jam



Kejang Umum



ataksia,



ruam



perubahan



kulit,



kosmetika,



hyperplasia



gingival,



osteomalasia Karbamazepin



Parsial



15-25



12 jam



Kejang Umum



ataksia,



gangguan



gastrointestinal, pandangan



kabur,



gangguan fungsi hepar, perubahan darah Valproat



Parsial



15-60



14 jam



gangguan



Kejang umum



gastrointestinal,



Absence



hepatitis,



Mioklonik



darah, ataksia, alopesia,



diskrasia



mengantuk Klonazepam



Absence



0,03-0,30



30 jam



Mioklonik



mengantuk,



gangguan



gastrointestinal, diskrasia darah, ruam kulit, pengeluaran air liur



Primidon



Parsial Kejang umum



10-20



12 jam



mengantuk, hiperaktivitas, perubahan



perasaan



hati.



16



BAB III LAPORAN KASUS



IDENTITAS PASIEN



:



Nama



: An. DMS



Jenis kelamain



: Perempuan



Umur



: 16 tahun



MR



: 99.93.79



Agama



: Islam



Status



: Belum menikah



Pekerjaan



: Pelajar SMU



Tanggal periksa : 20 September 2018



Seorang pasien perempuan usia 16 tahun datang ke poli saraf RSUP Dr. M. Djamil dengan : ANAMNESIS



:



Keluhan utama Kejang berulang Riwayat penyakit sekarang -



-



kejang 2 hari yang lalu, durasi kejang 1-2 menit, pasien tidak sadar saat kejang. Saat kejang, tangan pasien kaku. Sebelum kejang, pasien merasa punggungnya dingin. Pasien sadar setelah kejang. Tidak ada mulut berbusa, tidak ada mengompol saat kejang. Tidak ada nyeri kepala Tidak ada demam Pasien minum obat sesuai dosis yang diberikan dokter dan diminum secara teratur.



Riawayat penyakit dahulu -



Riwayat kejang saat demam, pada usia 10 bulan frekuensi 1 kali, durasi kejang kurang dari 5 menit, anak sadar setelah kejang. Kejang berulang anpa sebab yang jelas lebih kurang 16 kali dalam 1 bulan terakhir. Kejang berulang tanpa sebab pertama kali dirasakan sekitar 5 tahun yang lalu. Riwayat mengompol, mulut berbusa, dan lidah tergigit saat demam ada.



17



-



Pasien telah mendapatkan obat berupa Depakote ER 1x500 mg, fenitoin 2x100 mg, Topamax 2x100 mg, dan asam folat 1x5 mg.



Riwayat penyakit keluarga Tidak ada anggota keluarga dengan keluhan yang sama seperti pasien Riwayat pribadi dan sosial -



-



Pasien merupakan anak pertama dari 2 bersaudara, lahir spontan pervaginam, kurang bulan dengan usia kehamilan 7 bulan, lahir di tempat bidan, langsung menangis. Tidak ada masalah selama masa kehamilan ibu pasien. Riwayat tumbuh kembang pasien normal sesuai dengan usia. Pasien merupakan siswi SMA kelas 3, menurut orangtua pasien, pasien mengalami penurunan prestasi belajar dibandingkan saat SMP. Riwayat menarche usia13 tahun. Haid teratur, tidak ada keluhan saat haid.



PEMERIKSAAN FISIK I.



Umum Keadaan umum Kesadaran Kooperatif Nadi Irama Pernapasan Tekanan darah Suhu Tinggi badan Berat badan



: Sakit ringan : Composmentis : (+) : 90 x/menit : reguler : 18 x/menit : 110/80 mmHg : 36,60 C : 150 kg : 50 kg



Rambut : Hitam. Tidak mudah rontok dan dicabut Kelenjar getah bening : tidak ditemukan pembesaran KGB Torak Paru Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi



: Simetris kiri dan kanan (statis dan dinamis) : fremitus sama antara kiri dan kanan : Sonor di kedua lapangan paru : Vesikuler. Rhonki -/-. Wheezing -/-



Jantung Inspeksi



: Ictus kordis tidak terlihat



18



Palpasi clavicula sinistra Perkusi Auskultasi gallop (-)



II.



: Ictus kordis teraba 1 jari medial linea mid RIC V : Batas jantung dalam batas normal : BJ 1 dan 2 normal. Irama reguler. Murmur (-). S3



Abdomen Inspeksi Auskultasi Palpasi Perkusi



: Distensi (-) : Bising usus (+) normal : Supel. Hepar dan lien tidak teraba : Timpani



Korpus vertebrae Inspeksi Palpasi



: tidak ditemukan kelainan : tidak ditemukan kelainan



Status Neurologikus Skala Koma Glasgow : E4M6V5 A. Tanda rangsangan selaput otak Kaku kuduk :Brudzinsky I :Brudzinsky II :Kernig :B. Tanda peningkatan tekanan intrakranial Pupil : Isokor. Bentuk bulat, diameter 3 mm/ 3 mm, refleks cahaya (+/+), C. Pemeriksaan Nervus Kranialis Nervus kranialis



Kanan



Kiri



Baik



Baik



Tidak dilakukan



Tidak dilakukan



-tajam penglihatan



Baik



Baik



-lapangan pandang



Baik



Baik



-melihat warna



Baik



Baik



Tidak dilakukan



Tidak dilakukan



N I (Olfaktorius) -subjektif -objektif (dg bahan) N II (Optikus)



-funduskopi



19



N III (Okulomotorius) -bola mata



Ortho



Ortho



Tidak ada



Tidak ada



Ke segala arah



Ke segala arah



-strabismus



Tidak ada



Tidak ada



-nistagmus



Tidak ada



Tidak ada



-ekso/endotalmus



Tidak ada



Tidak ada



Bulat, isokor,  3 mm



Bulat, isokor,  3 mm



reflex cahaya



+



+



reflex akomodasi



+



+



reflex konvergensi



+



+



-gerakan mata ke bawah



Bebas



Bebas



-sikap bulbus



Ortho



Ortho



Tidak ada



Tidak ada



membuka mulut



Baik



Baik



menggerakkan rahang



Baik



Baik



menggigit



Baik



Baik



mengunyah



Baik



Baik



*reflex kornea



+



+



*sensibilitas



+



+



*reflex Masseter



Baik



Baik



*sensibilitas



Baik



Baik



Baik



Baik



-ptosis -gerakan bulbus



-pupil bentuk



N IV (Trochlearis)



-diplopia N V (Trigeminus) -Motorik



-Sensorik Divisi Oftalmika



Divisi Maksila



Divisi Mandibula *sensibilitas



20



N VI (Abdusen) -gerakan mata ke lateral



Bebas



Bebas



-sikap bulbus



Ortho



Ortho



Tidak ada



Tidak ada



-diplopia N VII (Fasialis) -raut wajah



Plika nasolabialis kedua sisi simetris



-sekresi air mata



+



+



-fisura palpebral



+



+



-menggerakkan dahi



+



+



-menutup mata



+



+



-mencibir/bersiul



+



+



-memperlihatkan gigi



+



+



-sensasi lidah 2/3 depan



+



+



-hiperakusis



-



+



-suara berbisik



Baik



Baik



-detik arloji



Baik



Baik



-rinne test



Tidak diperiksa



Tidak diperiksa



-weber test



Tidak diperiksa



Tidak diperiksa



-swabach test



Tidak diperiksa



Tidak diperiksa



Tidak ada



Tidak ada



Tidak ada



Tidak ada



Baik



Baik



+



+



N VIII (Vestibularis)



*memanjang *memendek -nistagmus *pendular *vertical *siklikal -pengaruh posisi kepala N IX (Glossofaringeus) -sensasi lidah 1/3 blkg -refleks muntah (Geg Rx) N X (Vagus)



21



-Arkus faring



Simetris



-uvula



Di tengah



-menelan



Baik



-artikulasi



Baik



-suara



Baik



-nadi



Teratur



N XI (Asesorius) -menoleh ke kanan



+



-menoleh ke kiri



+



-mengangkat bahu kanan



+



-mengangkat bahu kiri



+



N XII (Hipoglosus) -kedudukan lidah dalam



Di tengah



-kedudukan lidah



Di tengah



dijulurkan -tremor



-



-fasikulasi



-



-atropi



-



4. Koordinasi: baik



5. Pemeriksaan Fungsi Motorik; Kanan a.Badan



-Respirasi -duduk



b.Berdiri



Kiri Simetris kiri dan kanan



Simetris



Simetris



ada



Ada



-tremor



Tidak ada



Tidak ada



-atetosis



Tidak ada



Tidak ada



-mioklonik



Tidak ada



Tidak ada



-khorea



Tidak ada



Tidak ada



& -gerakan spontan



berjalan



22



c.Ekstremitas



Superior Kanan



Inferior Kiri



Kanan



Kiri



-gerakan



Pasif



Aktif



Pasif



Aktif



-kekuatan



555



555



555



555



-tropi



Eutropi



Eutropi



Eutropi



Eutropi



-tonus



Eutonus



Eutonus



Eutonus



Eutonus



6. Pemeriksaan sensibilitas: baik



7. Sistim reflex a.fisiologis Kanan



Kiri



Biseps



++



++



Berbangkis



Triseps



++



++



Laring



KPR



++



++



Masseter



APR



++



++



Dinding



Bulbokavernosus Tidak



Kornea



Kanan



Kiri



+



+



perut -atas



Baik



-bawah



Baik



-tengah



Baik Cremaster



Sfingter



Tidak



dilakukan



dilakukan



Tidak



Tidak



dilakukan



dilakukan



Tidak



Tidak



dilakukan



dilakukan



b.Patologis Lengan



Kanan



Kiri



Tungkai



Kanan



Kiri



Hofmann-



-



-



Babinski



-



-



Chaddoks



-



-



Tromner



23



Oppenheim



-



-



Gordon



-



-



Schaeffer



-



-



Klonus paha



-



-



Klonos kaki



-



-



8. Fungsi otonom -miksi



: baik



-defekasi



: baik



-sekresi keringat



: baik



9.Fungsi luhur : Kesadaran



Tanda demensia



-reaksi bicara : baik



-refleks Glabella : -



-reaksi intelek : baik



-refleks Snout



-reaksi emosi : baik



-refleks mengisap : -



:-



-refleks memegang : -refleks Palmomental : -



Pemeriksaan Penunjang EEG



: EEG abnormal dengan gelombang tajam (sharp wave) yang tersebar



menyeluruh (generalized), intermiten, frekuensi sering, sesuai dengan diagnosis generalized seizure disorders.



Diagnosis Diagnosa klinis



: Epilepsi umum



Diagnosa topik



: Intrakranial



Diagnosa etiologi



: Idiopatik



Diagnosa sekunder



:-



24



Prognosis: Quo ad vitam



: bonam



Quo ad sanam : dubia ad bonam Quo ad functionam: bonam



Terapi Umum : -



Hindari stress, begadang, dan aktivitas fisik yang berlebihan



Khusus : -



Fenitoin 3x100 mg p.o



-



Depakote ER 1x500 mg p.o



-



Topamax 2x100 mg p.o



-



Asam folat 1x5 mg p.o



25



BAB IV DISKUSI



Pasien perempuan usia 16 tahun datang dengan keluhan kejang 2 hari yang lalu. pasien tidak sadar saat kejang dengan tangan kaku saat kejang. Pasien kembali sadar setelah kejang. Pola kejang pasien ini menunjukkan sebuah gejala kejang umum. Pasien telah mengalami kejang berulang sebanyak 16 kali dalam rentang 1 bulan belakangan. Kejang terjadi tanpa adanya provokasi apapun. Sebelumnya, pasien juga telah mengalami kejang berulang sejak 5 tahun yang lalu tanpa provokasi apapun. Kondisi pasien ini sesuai dengan kriteria diagnosis untuk epilepsi. Hasil pemeriksaan EEG pada pasien di tahun 2017 juga mendukung adanya epilepsi umum. Pasien juga telah mendapatkan pengobatan anti epilepsi berupa fenitoin dan asam valproat. Hal yang perlu ditelusuri pada pasien ini adalah penyebab munculnya bangkitan. Pasien epilepsy mengalami bangkitan apabila pengobatan tidak teratur dan tidak sesuai, stress atau kelelahan, dan infeksi. Namun, pada pasien ini tidak ditemukan kondisi-kondisi tersebut saat pasien kembali mengalami bangkitan. Penyebab lain munculnya bangkitan epilepsy adalah masalah hormonal. Pada perempuan dikenal adanya epilepsi katamenial, yakni epilepsi yang muncul saat menstruasi dan pola bangkitan mengikuti pola menstruasi. Kondisi tersebut disebabkan oleh pengaruh estrogen sebagai eksitator dan progesteron sebagai sebuah inhibitor. Serangan pertama pada pasien bertepatan dengan menarche pasien. Namun, bangkitan epilepsi selanjutnya tidak bersamaan dan mengikuti pola menstruasi pasien. Sehingga diagnosis epilepsi katamenial dapat disingkirkan pada pasien ini.



26



Kemungkinan lain terjadinya bangkitan adalah kelelahan. Namun pasien menyangkal adanya peningkatan aktivitas belakangan dan adanya stress. Sehingga kemungkinan hal tersebut bukan penyebab bangkitan pada pasien. Masalah lain yang mungkin menimbulkan bangkitan adalah menatap layar terlalu lama. Akan tetapi, pada pasien belum dapat ditentukan bahwa hal tersebut menjadi pencetus. Terapi yang diberikan pada pasien adalah obat anti epilepsi dan neuroprotektor. Anti epilepsi yang diberikan adalah fenitoin 3x100 mg secara per oral. Pemberian terapi secara oral dilakukan karena kondisi pasien yang masih memungkinkan untuk mengonsumi obat per oral.



Tujuan terapi pada kasus



epilepsi adalah tidak ada gejala kejang dan sedikit efek samping. Prinsip terapi epilepsi yaitu menggunakan monoterapi. Rekomendasi ILAE untuk pemberian obat anti epilepsi (OAE) untuk tipe kejang parsial, yaitu: carbamazepine, fenitoin, topiramate, oxcarbazepine, levetiracetam, lamotrigin dan asam valproat. Pilihan lain termasuk phenobarbital dan primidone. Pada dewasa dengan tipe kejang umum, terapi yang diberikan ialah asam valproat, levetiracetam, topiramate, lamotrigin, Phenobarbital, carbamazepine, dan oxcarbazepine.8,9 Penatalaksanaan epilepsi yang penting adalah bagaimana mencegah bangkitan. Oleh sebab itu, diperlukan edukasi yang tepat kepada pasien dan keluarga pasien. Edukasi yang diperlukan adalah keteraturan minum obat, ketepatan dosis, menghindari stress dan kelelahan, serta menjaga asupan nutrisi untuk menghindari risiko infeksi. Hal yang membahayakan dari epilepsi adalah terjadinya status epilepsi yang dapat mengancam nyawa pasien.



27



DAFTAR PUSTAKA



1. Sanchez S, Rincon F. Status epilepticus: epidemiology and public health



needs. J Clin Med. 2016; 5(8):71 2. Betjemann JP, Lowenstein DH. Status epilepticus in adults. Lancet Neurol.



2015;14(6):615-24 3. Kusumastuti K, Endang K, Suryani G. Pedoman tatalaksana epilepsi.



Jakarta: PERDOSSI. 2016.p:23-29 4. Hotlkam M. Status epilepticusdiagnosis, managementandoutcome: an



update. Journal of Clinical Neurophysiology. 2016;33(1). 5. Marchi NA, Novy J, Faozi M, Stahli C, Burnand B, Rosetti A. Status



epilepticus: impact of therapeutic coma on outcame. Critical Care Medicine. 2015; 43(5); 1003-9. 6. Dham BS, Hunter K, Rincon F. The epidemiology of status epilepticus in



the united states. Springer: Neurocritical Care. 2014. 7. Indrawati LA, Wiratman W, Budikayanti A, Octaviana F, Syeban Z. Status



epileptikus. Aninditha T, Wiratman W, editor. Dalam: Buku ajar neurologi. Departemen Neurologi FKUI. Jakarta; 2016.p:98-106 8. Trinka E, Cock H, Hesdorffer D, Rossetti AO, Scheffer IE, Shinnar S,



Shorvon S.A definition and classification of status epilepticus – Report of the ILAE Task Force on Classification of Status Epilepticus. Epilepsia. 2015;56(10):1514-1523 9. Pramesti FA, Husna M, Kurniawan SN, Rahayu M. Penegakkan diagnosis



dan tatalaksana nonconvulsive status epileptikus. MNJ.2017;3(1): 30-38. 10. Fang Y, Wang X.



Ketamine for the treatment of refractory status epilepticus. Elsevier: British epilepsy association. 2015.p:14-20.



11. Brophy GM, Bell R, Claassen J, Alldredge B, Bleck TP, Glauser T, et al.



Guidelines for the evaluation and management of status epilepticus. Neurocritical Care. 2012; 4:1-21 12. Hauser SL dan Josephson SA. Harrison’s Neurology in Clinical Medicine.



New York: McGraw-Hill Education. 2013. Hal.252-253 13. Glausor T, Shinnar S, Gloss D, Alldregde B, Arya R, Bainbridge J, et al. Evidence-based guideline: treatment of convulsive status epilepticus in children and adults: report of the guideline committee of the american epilepsy society. Epilepsy Currents. 2016; 16(1): 48–61.



28