Dengue Dalam Multi Perkspektif Proof Final-Rev [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

k



da



Ti uk



nt



U er



ip



D



n



ik a



el



ju al b



Ti



da



k



U



nt



uk



D



ip



er



ju



al be



lik



an



DENGUE DALAM MULTI PERSPEKTIF



an lik al be



3.



4.



ju



er



nt



Ti



da



k



U



2.



uk



D



ip



1.



Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah). Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/ atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).



an



DENGUE DALAM MULTI PERSPEKTIF



nt



uk



D



ip



er



ju



al be



lik



Endang Puji Astuti - Asep Jajang Kusnandar Andri Ruliansyah - Tri Wahono Nurul Hidayati Kusumastuti - Firda Yanuar Pradani Heni Prasetyowati - Rohmansyah Wahyu Nurindra Muhammad Umar Riandi - Joni Hendri - Mara Ipa EDITOR



Ti



da



k



U



Prof. Upik Kesumawati Hadi



Dengue dalam Multi Perspektif Endang Puji Astuti, dkk. 00161 Copyright © 2018 Penerbit Lingkarantarnusa



al be



lik



an



ISBN : 978-602-6688-65-1 Penyunting : Prof. Upik Kesumawati Hadi Penyelaras aksara : Willy Satya Putranta Perancang sampul : M. Abdul Hakim Penata letak : Neno Pratikasari



k



U



nt



uk



D



ip



er



ju



Penerbit Lingkarantarnusa (Anggota IKAPI) Jl. Nangka I/154 D, Karangnongko RT 09/RW 14 Sanggrahan, Maguwoharjo, Depok, Sleman, Yogyakarta E-mail : [email protected] [email protected] Website : http://www.lingkarantarnusa.com Cetakan Pertama, Juli 2018



Ti



da



Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun secara elektronik maupun mekanik, termasuk memfotokopi, merekam, atau dengan teknik perekaman lainnya tanpa izin tertulis dari Penerbit. Dicetak oleh: Percetakan Lingkar Graphic (Mencetak satu buku pun kami layani) Email : [email protected] Facebook : Lingkar Graphic Telepon : 0818 26 3939



lik



an



KATA PENGANTAR



Ti



da



k



U



nt



uk



D



ip



er



ju



al be



Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan buku “bunga rampai” ini. Buku ini merupakan kumpulan tentang permasalahan dengue sebagai penyakit tular vektor yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia. Peneliti Loka Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Pangandaran Kementerian Kesehatan RI berupaya mengupas dengue yang ditelusur dari beberapa hasil penelitian yang telah ada. Di dalam buku ini berisi tentang informasi dengue yang dilihat dari berbagai perspektif, mulai dari kasus, vektor, agen (penyebab), serta upaya pengendalian dan pencegahan dengue. Tidak lupa kami mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dan dukungan selama proses perencanaan sampai penerbitan buku, karena tanpa bantuan semua pihak, mungkin kami tidak akan mampu menyelesaikan buku “bunga rampai” ini. Harapan kami, buku tentang “Dengue dalam Multi Perspektif ” ini bermanfaat bagi masyarakat dan mampu menjadi referensi bagi masyarakat ilmiah yang membutuhkan tentang permasalahan penyakit dengue.



v



Salam,



al be



lik



an



Penulis menyadari bahwa buku “bunga rampai” ini masih jauh dari sempurna. Masih banyak kekurangan dan kelemahan sehingga kami memohon maaf atas kesalahan ini. Kami menerima segala bentuk kritik, pesan-pesan, dan saran yang membangun agar ke depan kami selaku penulis dapat memperbaiki dan meningkatkan kualitas penulisan karya ilmiah serta mampu menerbitkan kembali buku edisi selanjutnya yang lebih baik.



Ti



da



k



U



nt



uk



D



ip



er



ju



Prof. Upik Kesumawati Hadi, Ph.D



vi



Daftar Isi KATA PENGANTAR.................................................................................... v PROLOG: SEPUTAR DEMAM BERDARAH DENGUE Upik Kesumawati Hadi......................................................................... ix BAB 1 ETIOLOGI DAN DINAMIKA DENGUE Endang Puji Astuti................................................................................... 1



al be



lik



an



BAB 2 BIOEKOLOGI VEKTOR DENGUE Asep Jajang Kusnandar dan Andri Ruliansyah.......................... 19



U



nt



uk



D



ip



er



ju



BAB 3 TRANSMISI TRANSOVARIAL: MEKANISME VIRUS DENGUE DALAM MEMPERTAHANKAN EKSISTENSI DIRI DI ALAM Tri Wahono................................................................................................. 43



Ti



da



k



BAB 4 INSEKTISIDA DALAM PENGENDALIAN VEKTOR DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) Nurul Hidayati Kusumastuti, Firda Yanuar Pradani.............. 59 BAB 5 DAYA UNGKIT PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PENGENDALIAN DEMAM BERDARAH DENGUE Heni Prasetyowati, Rohmansyah W. Nurindra......................... 79



vii



BAB 6 “SILENT INFECTION” DENGUE Muhammad Umar Riandi................................................................... 97 BAB 7 PERKEMBANGAN DAN TANTANGAN VAKSIN DENGUE DI INDONESIA Joni Hendri................................................................................................. 117



al be



lik



an



BAB 8 EPIDEMIOLOGI DAN BEBAN PENYAKIT DENGUE DI INDONESIA Mara Ipa........................................................................................................ 149



er



ju



EPILOG: DENGUE DALAM BERBAGAI PERSPEKTIF Upik Kesumawati Hadi......................................................................... 159



D



ip



DAFTAR SINGKATAN.............................................................................. 162



uk



Indeks..................................................................................................................... 166



Ti



da



k



U



nt



BIODATA PENULIS.................................................................................... 170



viii



al be



lik



an



PROLOG : SEPUTAR DEMAM BERDARAH DENGUE



ju



Upik Kesumawati Hadi



Ti



da



k



U



nt



uk



D



ip



er



Demam Berdarah Dengue (DBD) atau dengue hemorrhagic fever tergolong penyakit tular nyamuk (mosquito borne disease) yang disebabkan oleh virus dengue yang hingga saat ini menjadi perhatian utama masyarakat di Indonesia maupun di luar negeri. Dengue ditemukan di daerah tropik dan subtropik, terutama wilayah urban dan peri-urban. Dengue pertama kali diketahui di Asia Tenggara tahun 1950-an, tetapi mulai tahun 1975 hingga sekarang merupakan penyebab kematian utama pada anak-anak di negara-negara Asia. Penyebarannya secara global sebanding dengan malaria, dan diperkirakan kini setiap tahun terdapat sebanyak 2.500 juta orang, atau dua per tiga dari penduduk dunia berisiko terkena DBD. Setiap tahun terdapat 10 juta kasus infeksi dengue di seluruh dunia dengan angka kematian sekitar 5% terutama pada anak-anak. Di Indonesia penyakit ini dilaporkan pertama kali pada tahun 1968, di Kota Jakarta dan Surabaya. Epidemi penyakit DBD di luar Jawa pertama kali dilaporkan di Sumatra Barat dan Lampung tahun 1972. ix



Sejak itu, penyakit ini semakin menyebar luas ke berbagai wilayah di Indonesia. Penularan DBD hanya dapat terjadi melalui gigitan nyamuk yang di dalam tubuhnya mengandung virus dengue. Bancroft (1906) telah berhasil membuktikan bahwa nyamuk Aedes aegypti adalah vektor penyakit DBD. Di Indonesia, Ae. aegypti dikenal sebagai vektor utama dan Ae. albopictus sebagai vektor sekunder DBD. Keduanya adalah nyamuk domestik yang senang berkembang biak di wadahwadah air yang berada di dalam dan di luar rumah atau di sekitar permukiman.



Ti



da



k



U



nt



uk



D



ip



er



ju



al be



lik



an



Nyamuk Ae. aegypti sebagai vektor primer DBD mempunyai kemampuan adaptasi terhadap lingkungan dengan sangat baik. Kajian mendalam terhadap bioekologi Ae. aegypti sangat diperlukan agar strategi dan operasional pengendalian vektor berjalan dengan efektif, efisien, rasional, dan diterima oleh masyarakat di berbagai wilayah yang mempunyai kekhasan tersendiri. Berbagai penelitian terkait DBD pada manusia dan vektor penularnya telah banyak dilakukan, baik di Indonesia khususnya dan juga di luar negeri. Namun demikian, berbagai permasalahan terkait DBD masih belum terurai dengan sempurna. Sepanjang tahun di berbagai daerah, kejadian luar biasa DBD masih ditemukan, terutama saat peralihan musim. Untuk lebih mengenal dan memahami permasalahan tersebut, disusunlah buku “bunga rampai” dengan judul “Dengue dalam Multi perspektif ”. Buku ini ditulis dalam 8 bab oleh penulis yang berlainan, yang semuanya adalah Tim Peneliti dari Loka Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Pangandaran Kementerian Kesehatan RI. Bab 1 diawali dengan penjelasan perkembangan terkini tentang Etiologi dan Dinamika Dengue. Bab 2 menguraikan Bioekologi Vektor Dengue, bab 3 tentang Transmisi Transovarial: Mekanisme Virus Dengue dalam Mempertahankan Eksistensi Diri di Alam, dan bab 4 tentang Insektisida dalam Pengendalian Vektor Demam Berdarah Dengue. Daya Ungkit x



Peran Serta Masyarakat dalam Pengendalian Demam Berdarah Dengue dijelaskan dalam bab 5. Selanjutnya, bab 6 menjelaskan tentang “Silent Infection” Dengue, dan bab 7 tentang Perkembangan dan Tantangan Vaksin Dengue Di Indonesia. Adapun bab terakhir atau bab 8 berisi penjelasan tentang Epidemiologi dan Beban Penyakit Dengue di Indonesia.



er



ju



al be



lik



an



Penulis mengajak pembaca untuk mengikuti alur tulisan tersebut, tetapi juga pembaca dapat memanfaatkan tulisan tersebut sesuai dengan kepentingan dan minat masing-masing, tanpa harus mengikuti keseluruhan uraian secara berurutan. Tulisan ini masih terdapat kekurangan, dan tetap harus update untuk mengikuti perkembangan hasil-hasil penelitian dan perkembangan terkini. Bagaimanapun, kehadiran buku ini turut memperkaya khazanah pengetahuan Demam Berdarah Dengue di tanah air. Selamat membaca.



ip



Sumber Acuan



U



nt



uk



D



Hadi, UK. 2016. Pentingnya Pemahaman Bioekologi Vektor Demam Berdarah Dengue dan Tantangan Upaya Pengendaliannya. Orasi Ilmiah Guru Besar IPB. PT Penerbit IPB Press. 99 hal.



Ti



da



k



[Kemenkes RI]. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Profil PP dan PL 2013. Kementerian Kesehatan RI: Jakarta [WHO]. World Health Organization. 2009. Dengue Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention and Control Treatment, Prevention and Control. Geneva. [WHO]. World Health Organization 2014. About Vector-borne Diseases. http://www.who.int/campaigns/world-health-day/2014/ vector-borne-diseases/en/



xi



Ti k



da U uk



nt al be



ju



er



ip



D



an



lik



al be



lik



an



BAB 1 ETIOLOGI DAN DINAMIKA DENGUE



ju



Endang Puji Astuti



ip



er



Pendahuluan



Ti



da



k



U



nt



uk



D



“Demam berdarah” adalah istilah awam yang sering kita dengar ketika seseorang mengalami gejala terserang virus Dengue. Gejala klinis yang mudah dikenal masyarakat adalah panas/demam tinggi dan timbul bintik-bintik merah di bagian atau seluruh tubuhnya. Istilah dengue sendiri jika dilihat dari sejarahnya, tidak ditemukan ada kejelasan asal penyebutan kata “dengue”. Beberapa pendapat menyatakan istilah dengue berasal dari Ka-dinga pepo Swahili yang menceritakan bahwa penyebab penyakit ini adalah arwah jahat. Frase Swahili dinga yang artinya adalah “berhati-hati” diperkirakan dari bahasa Spanyol, yang digunakan untuk menggambarkan penyakit nyeri tulang akibat demam. Nyeri sendi atau tulang menyebabkan penderita tidak bisa melakukan aktivitas sehari-hari sehingga produktivitasnya menurun (WHO, 2015b). Pada tahun 1789, Benyamin Rush menggunakan istilah “breakbone fever” ketika melaporkan kejadian luar biasa (KLB)



1



dengue, karena adanya gejala myalgia (nyeri otot) dan atralgia (nyeri pada satu atau lebih sendi) (WHO, 2015b).



uk



D



ip



er



ju



al be



lik



an



Dengue merupakan virus dari RNA untai tunggal, termasuk genus Flavivirus, Famili Flaviviridae. Sejak isolasi pertama virus dengue (DENV) di dunia tahun 1943, telah teridentifikasi empat serotipe, yaitu Den-1, Den-2, Den-3, dan Den-4. Asal muasal virus ini diperkirakan telah terjadi 1.000 tahun yang lalu, yang melibatkan primata dan nyamuk, beberapa ratus tahun berikutnya, dengue mulai menyebar dan menginfeksi ke manusia (Holmes & Twiddy, 2003; Messina et al., 2014). Serotipe virus dengue pertama kali telah dikonfirmasi di beberapa wilayah, yaitu Den-1, yang pertama kali dilaporkan tahun 1943 di Jepang dan Polinesia; Den-2 terlaporkan di Papua Nugini dan Indonesia pada tahun 1944; Den-3 dan Den-4 terlaporkan di Filipina dan Thailand pada tahun 1953 (Messina et al., 2014). Di Asia, serotipe Den-2 dan Den-3 mempunyai kontribusi penting dalam tingkat keparahan dengue seperti infeksi sekunder yang dapat menyebabkan shock (Messer et al., 2003).



Ti



da



k



U



nt



Sampai saat ini, keempat virus dengue tersebut telah bersirkulasi sehingga beberapa wilayah telah menjadi wilayah hiperendemisitas dengue. Wilayah hiperendemisitas adalah ditemukannya lebih dari satu serotipe dengue yang bersirkulasi di wilayah tersebut (Rosen, 1977). Indonesia, sejak tahun 1972-1992 telah terlaporkan sebaran empat serotipe dengue (Den-1, Den-2, Den-3, dan Den-4). Semua serotipe tersebut ditemukan pada penderita dengue dengan kasus ringan sampai berat. Sirkulasi keempat serotipe tersebut berlangsung dari tahun ke tahun, hingga 17 tahun pengamatan, serotipe Den-2 dan Den-3 mendominasi dibandingkan serotipe Den-1 dan Den-4 (Karyanti & Hadinegoro, 2009). Penelitian di Indonesia lainnya yang mendukung yaitu di Bandung (tahun 2005) yang melaporkan bahwa Den-2 merupakan serotipe predominan yang telah diidentifikasi (Porter et al., 2



2005). Hal ini berbeda dengan hasil di Semarang (tahun 2013), yakni serotipe Den-1 yang mendominasi (Fahri et al., 2013). Hasil penelitian di Surabaya terlihat perbedaan dominansi serotipe, pada tahun 2005 dan 2010 dominan ditemukan pada Den-2 dan Den-3, sedangkan tahun 2012 yang mendominasi Den-1 (Yohan et al., 2012).



da



k



U



nt



uk



D



ip



er



ju



al be



lik



an



Virus dengue menyebabkan infeksi dengan gejala (symptomatic) atau tanpa gejala (asymptomatic). Penderita dengan gejala klinis (symptomatic) setelah masa inkubasi akan mengalami gejala tingkat sedang sampai berat, yang diikuti tiga fase, yaitu fase febris (demam) – fase kritis – fase pemulihan (recovery). Fase febris (hari ke-1 sampai hari ke-4-5), pada umumnya penderita akan mengalami demam tinggi yang sering disertai dengan eritema kulit, nyeri pada tubuh, myalgia, athralgia, sakit kepala (Guo et al., 2017) dan beberapa kasus juga disertai dengan sakit tenggorokan, mual, dan muntah. Fase kritis (setelah hari ke-4-5); jika penderita pada masa transisi demam ke penurunan suhu mengalami peningkatan permiabilitas kapiler, maka dapat terjadi kebocoran plasma sehingga akan menimbulkan shock. Sebaliknya, jika penderita tidak mengalami peningkatan permiabilitas kapiler, maka penderita akan membaik tanpa melalui fase kritis. Fase pemulihan (recovery) adalah ketika penderita mampu bertahan di fase kritis (24-48 jam)(WHO, 2012).



Ti



Penelusuran sejarah dalam ensiklopedia medis Cina mencatat tentang gejala klinis dengue pada tahun 992 Masehi, namun pertama kalinya telah tercatat pada masa Dinasti Jin (265-420 M). Catatan tersebut menjelaskan tentang penyebab dengue, yaitu “racun air” yang berhubungan dengan serangga terbang (Anne et al., 2013). “Serangga terbang” yang dimaksud adalah vektor penular dengue, yaitu nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor primer dan Ae. albopictus sebagai vektor sekunder (WHO, 2018b). Nyamuk Ae. aegypti merupakan nyamuk yang habitatnya banyak ditemukan di dalam rumah, pada tempat3



tempat penampungan air seperti bak mandi, ember, penampung sisa air pada dispenser, kulkas, air conditioner (AC), dan kontainer bekas, sedangkan habitat nyamuk Ae. albopictus banyak ditemukan di luar rumah.



Ti



da



k



U



nt



uk



D



ip



er



ju



al be



lik



an



Virus dengue ditularkan oleh nyamuk vektor ke manusia pada saat nyamuk Aedes sp betina infektif mengisap darah manusia (proses pematangan telur) yang dikenai. Virus dengue akan bersirkulasi dalam darah manusia yang terinfeksi selama 2-7 hari (WHO, 2018b). Selain itu, penularan lainnya ialah dengan cara vertikal, yaitu nyamuk betina infektif menularkan virus dengue ke telurnya melalui proses transovarial. Beberapa penelitian melaporkan bahwa ditemukan virus dengue pada larva Ae. aegypti dan Ae. albopictus pada keturunan selanjutnya. Beberapa penelitian tentang transovarial yaitu di wilayah perkotaan Malaysia bahwa Minimum Infection Rate (MIR) Ae. albopictus dan Ae. aegypti di wilayah tersebut masing-masing berkisar 2,35-14,3 dan 5,77-40,0 (Lee & Rohani, 2005). Hasil penelitian transovarial di laboratorium membuktikan bahwa nyamuk betina Ae. aegypti dapat menularkan virus Den-2 sampai keturunan generasi ke-5 (F5) (Rohani et al., 2008). Di Indonesia, transmisi transovarial juga terjadi di Kabupaten Malalayang, Manado dengan angka transmisi transovarial pada nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus sebesar 6,117,1% (Sorisi et al., 2011). Hal ini membuktikan telah terjadi proses penularan transovarial di beberapa wilayah endemis dengue. Sebaran Dengue di Dunia Pertama kali epidemi dengue terlaporkan pada tahun 17791780 di Asia, Afrika, dan Amerika Utara, kejadian serentak pada tiga benua ini diindikasikan bahwa virus yang dibawa oleh nyamuk vektor telah tersebar di wilayah tropis tersebut lebih dari 200 tahun (Gubler, 1995). Bagi para pengunjung di wilayah tropis, dengue masih dianggap bukan penyakit yang berbahaya. Pelayaran global pada abad ke-18-19 4



menyebabkan pertumbuhan kota-kota pelabuhan dan meningkatkan urbanisasi. Hal ini menciptakan habitat yang kondusif untuk nyamuk vektor dengue (Gubler, 2006).



ju



al be



lik



an



Persebaran dengue awalnya berjalan sangat lambat dan jarang ditemukan adanya Kejadian Luar Biasa (KLB). Namun, setelah Perang Dunia (PD) II terjadi ekspansi meluas, mobilitas penduduk yang tinggi, serta pembangunan permukiman menyebabkan ditemukan tempat perkembangbiakan potensial vektor Dengue (Gubler, 2006). Sebelum tahun 1970, hanya sembilan negara yang telah mengalami epidemi dengue parah. Namun, penyakit ini semakin mewabah dan meluas sebarannya lebih dari 100 negara di wilayah Afrika, Amerika, Mediterania Timur, Asia Tenggara, Pasifik Barat. Wilayah yang berdampak paling serius adalah Amerika, Asia Tenggara, dan Pasifik Barat (WHO, 2018a).



Ti



da



k



U



nt



uk



D



ip



er



Beberapa wilayah lainnya juga melaporkan epidemi dengue pertama kali di wilayahnya seperti Filipina dan Thailand (1950)(CDC, 2014; Halstead, 1965); Vietnam (1958-1960)(Halstead, 1965); Karibia (1977-1981); Amerika Selatan (sejak awal tahun 1980-an); Pasifik (1979); China (1978-1980) serta Asia dan Afrika Selatan telah terjadi peningkatan kasus dengue, baik dari segi frekuensi, perluasan geografi, serta jumlah kasus (White & Fenner, 1994). Epidemi besar pertama juga terlaporkan terjadi di Asia Tenggara (Gubler, 2006). Perkiraan persentase jumlah penduduk yang tinggal di wilayah yang berisiko dengue sebanyak 40% dari 2,5 miliar penduduk dunia (CDC, 2014).



5



an lik al be ju er



U



nt



Dengue di Indonesia



uk



D



ip



Gambar 1. Sebaran Negara yang Berisiko Terinfeksi Dengue Tahun 2010-2016 (WHO, 2018a)



Ti



da



k



Asia menempati urutan tertinggi dalam jumlah penderita dengue setiap tahunnya, sementara sejak tahun 1968 sampai dengan 2009, WHO mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus dengue terbesar di Asia Selatan (Departemen Kesehatan, 2010). Di Indonesia, kasus dengue pertama kali ditemukan sebanyak 58 kasus di Surabaya dan DKI Jakarta tahun 1968 (Saroso, 1978). Persebaran virus dengue mulai terlihat pada tahun-tahun berikutnya, yang awalnya hanya 2 provinsi yang melaporkan adanya kasus dengue pada tahun 1968. Pada tahun 2009 telah terlaporkan di 32 provinsi dari 33 provinsi (Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementerian Kesehatan RI, 2010), sedangkan tahun 2015 terdistribusi di seluruh provinsi (34 provinsi) Indonesia 6



U



nt



uk



D



ip



er



ju



al be



lik



an



(Kementerian Kesehatan RI, 2017). Jumlah kabupaten/kota terjangkit dengue juga terjadi pertambahan, berturut-turut dari tahun 2011-2016 yaitu 374; 417; 412; 433; 446; 463 Kabupaten/Kota. Pada tahun 2015 jumlah kabupaten/kota terjangkit mencapai 86,77% dan meningkat menjadi 90,07% (Kementerian Kesehatan RI, 2017). Peningkatan kasus dengue dari tahun ke tahun juga semakin signifikan selama 45 tahun sejak dilaporkan adanya kasus dengue. Insiden dengue pada tahun 1968 sebesar 0,05/100.000 menjadi 35-40/100.000 di tahun 2013 dengan puncak kasus pada tahun 2010, yaitu 86/100.000(Karyanti et al., 2014).



da



k



Gambar 2. Angka Kesakitan Demam Berdarah Dengue Indonesia Tahun 2010-2016 (Kementerian Kesehatan RI, 2017)



Ti



Data Incidence Rate (IR) atau angka insiden dengue suatu wilayah dikategorikan menjadi tiga, yaitu (1) risiko tinggi bila IR > 55 per 100.000 penduduk; (2) risiko sedang bila IR 20-55 per 100.000 penduduk; dan (3) risiko rendah bila IR < 20 per 100.000 penduduk (Departemen Kesehatan, 2010). Distribusi sebaran kasus dengue secara nasional pada Gambar 2. terlihat bahwa IR dengue berfluktuasi dari tahun 2010-2016, kasus semakin meningkat dari kategori risiko sedang pada tahun 2015 (50,75 per 100.000 penduduk) menjadi kategori risiko tinggi pada tahun 2016 (78,85 per 100.000 penduduk) 7



(Kementerian Kesehatan RI, 2017). Angka kesakitan tersebut masih di atas IR nasional, yaitu 49 per 100.000 penduduk.



Ti



da



k



U



nt



uk



D



ip



er



ju



al be



lik



an



Case Fatality Rate (CFR) atau angka kematian akibat dengue di Indonesia pada tahun 1968 masih tinggi, yaitu 41% dan mulai menurun drastis pada tahun 1970 (Departemen Kesehatan, 2010). Pada tahun 2009, angka kematian nasional telah berhasil mencapai target di bawah 1%. Angka kematian dengue selama 45 tahun mengalami penurunan signifikan dengan p-value < 0,01, pada tahun 1968 sebesar 41%, dan tahun 2013 sebesar 0,73% (Karyanti et al., 2014). Sebaran angka kematian dengue terbesar dengan angka di atas 1% adalah wilayah di luar Pulau Jawa dan Bali. Pada tahun 2009 teridentifikasi lima wilayah dengan angka kematian tertinggi, yaitu Kep. Belitung, Bengkulu, Gorontalo, Jambi, dan Maluku Utara (Departemen Kesehatan, 2010). Terjadi pergeseran angka kematian dengue pada tahun 2016, angka kematian di atas 1% terlaporkan di 11 provinsi, sedangkan secara nasional angka kematian dengue sebesar 0,78% (Kementerian Kesehatan RI, 2017) (Gambar 3). Provinsi Gorontalo dan Maluku Utara masih menjadi wilayah dengan angka kematian dengue tertinggi, yaitu di atas 2%, dan Provinsi Maluku yang berkontribusi dengan kematian tertinggi sebesar 5,79% (Kementerian Kesehatan RI, 2017).



8



an lik al be ju er ip D uk nt U k da Ti Gambar 3. Case Fatality Rate Demam Berdarah Dengue Per Provinsi Tahun 2016 (Kementerian Kesehatan RI, 2017)



9



D



ip



er



ju



al be



lik



an



World Health Organization (WHO) melaporkan Kejadian Luar Biasa (KLB) dengue di Indonesia pada Januari-April 2004 sebanyak 58.301 kasus dengan 658 kematian di 293 kota/kabupaten di 17 Provinsi (WHO, 2015a). Data Ditjen PP dan PL Depkes RI tahun 2009 mencatat bahwa tahun 1998 kasus KLB menyumbang 58% (41.843/72.133) dari total laporan kasus dengue, sedangkan tahun 2004 mulai menurun, yaitu 9,5% (7.588/79.462) dari kasus dengue (Departemen Kesehatan, 2010). Tahun 2014 telah terlaporkan KLB dengue di 5 provinsi, terdiri dari 7 kabupaten/kota, sedangkan awal tahun 2015 telah terjadi KLB di 14 provinsi dengan 52 kabupaten/kota (Kementerian Kesehatan RI, 2015). Kasus KLB kembali terlaporkan pada awal tahun 2016, Direktorat Penyakit Tular Vektor dan Zoonosis menyebutkan akhir Januari telah terjadi KLB di 12 kabupaten dan 3 kota dari 11 provinsi, di antaranya adalah Provinsi Banten, Sumatra Selatan, Bengkulu, Bali, Sulawesi Selatan, Gorontalo, Papua Barat, Papua, NTT, Jawa Tengah, dan Sulawesi Barat (Kementerian Kesehatan, 2016).



uk



Dinamika Sebaran Dengue



Ti



da



k



U



nt



Populasi penduduk dunia semakin meningkat, hal ini seiring dengan adanya peningkatan pertumbuhan wilayah perkotaan. Organisasi dunia, yaitu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), memprediksi bahwa pertumbuhan ini akan meningkat dari 3,3 miliar pada tahun 2007 menjadi 6,3 miliar pada tahun 2050. Peningkatan pertumbuhan perkotaan terjadi terutama di negara-negara berkembang yang menimbulkan dampak terhadap kesehatan global. Urbanisasi menjadi faktor penting dalam penularan suatu penyakit (Alirol et al., 2011), terutama urbanisasi yang tidak terencana di negara-negara berkembang; mobilitas penduduk (nasional dan internasional) yang didukung oleh transportasi modern; serta globalisasi merupakan fenomena yang menjadi faktor penting dalam penyebaran dengue (Gubler, 2006; Messina et al., 2014). Hasil penelitian di Indonesia, 10



mengaitkan urbanisasi dengan penularan dengue di Kota Semarang, selama tahun 2006-2013 terdapat kenaikan rata-rata laju pertumbuhan penduduk dan selama itu pula terjadi kenaikan kasus dengue. Meskipun tidak terdapat hubungan signifikan, namun secara bersama-sama urbanisasi memengaruhi 28% kejadian DBD (Pratama & Rahayu, 2015). Walaupun begitu, hasil penelitian di Kota Semarang ini belum dapat digeneralisasi untuk semua wilayah dan masih harus dilakukan penelitian lebih lanjut.



Ti



da



k



U



nt



uk



D



ip



er



ju



al be



lik



an



Globalisasi berkontribusi dalam perkembangan segala aspek, baik ekonomi, sosial, budaya, dan lainnya. Bentuk globalisasi yang terlihat adalah terjadinya peningkatan mobilitas penduduk dan pertukaran komoditas yang semakin mudah. Gubler melaporkan bahwa tahun 2011, data penumpang perjalanan udara terjadi peningkatan sebesar 40 kali lipat hingga pertengahan abad ke-20 dengan rute perjalanan ke beberapa wilayah endemis dengue atau sebaliknya (Gubler, 2011; Murray et al., 2013). Perjalanan manusia (host) merupakan salah satu faktor terjadinya perluasan transmisi dengue, kasus impor penyakit dengue terlaporkan di wilayah-wilayah nonendemis dan sebaliknya. Selain itu, faktor perdagangan melalui pelayaran (pengiriman barang) juga dapat menimbulkan dampak terjadinya persebaran nyamuk vektor dengue (Murray et al., 2013) sehingga terjadi perluasan wilayah endemis serta peningkatan jumlah kasus. Penelitian di USA dan Eropa yang terkait dengan mobilitas penduduk menggunakan analisis model regresi berbasis jaringan dengan mengukur beberapa variabel, yaitu volume perjalanan penumpang, jarak, model distribusi spesies vektor, serta data infeksi dengue. Hasilnya menunjukkan telah terjadi peningkatan jumlah kasus dengue di kedua wilayah penelitian tersebut (Gardner et al., 2012; Murray et al., 2013). Wisatawan memainkan peranan penting dalam epidemiologi penularan dengue secara global (WHO, 2011). Wisatawan yang 11



uk



D



ip



er



ju



al be



lik



an



terinfeksi virus dengue dapat menularkan penyakit ini ke wilayah yang dikunjunginya atau sebaliknya. Hal ini didukung hasil penelitian pada wisatawan mancanegara dengan menggunakan data kunjungan wisatawan pada GeoSentinel Surveillance Network selama Oktober 1997-Februari 2006. Hasil penelitian menyebutkan terjadinya kasus dengue pada 522 wisatawan dari 24.920 orang (2,1%). Kasus dengue yang terjadi pada 522 wisatawan tersebut di antaranya 12 orang terdiagnosis positif Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Dengue Shock Syndrome (DSS). Jumlah kasus terbanyak adalah wisatawan yang pulang dari negara Thailand (154); India (66); Indonesia (38); dan Brasil (22)(Schwartz et al., 2008). Penelitian lain yang menyebutkan risiko dengue pada wisatawan adalah penelitian yang menggunakan data The European Network on Surveillance of Imported Infectious Diseases selama rentang tahun 2003-2005. Hasilnya menunjukkan bahwa tercatat 219 wisatawan telah terinfeksi dengue, 17% di antaranya mengalami infeksi sekunder, dan 8% di antaranya mengalami pendarahan (Wichmann et al., 2007).



nt



Penutup



Ti



da



k



U



Dengue berdasarkan sejarah merupakan penyakit lama yang riwayat klinisnya dapat ditelusuri dari ensiklopedia medis di China, awalnya tercatat pada masa Dinasti Jin (265-420 Masehi). Saat ini, penularan dengue berjalan cepat dan persebarannya makin meluas ke berbagai wilayah. Hal ini terkait dengan terjadinya perubahan iklim; globalisasi; mobilitas seperti arus migrasi, urbanisasi, meningkatnya volume perjalanan (wisatawan); perdagangan; perubahan tata guna lahan; serta pertumbuhan wilayah perkotaan.



12



Daftar Pustaka Alirol E, Getaz L, Stoll B, Chappuis F & Loutan L, 2011. Urbanisation and infectious diseases in a globalised world. The Lancet Infectious Diseases, 11(2), pp.131–141. Anne NE, Murray, Quam MB & Wilder-Smith A, 2013. Epidemiology of dengue: past, present and future prospects. Clinical Epidemiology, 5, pp.299–309.



lik



an



CDC, 2014. Epidemiology of Dengue. Centers for Disease Control and Prevention, 9 June 2014., Available at: www.cdc.gov. [disitasi 12 Maret 2015].



er



ju



al be



Departemen Kesehatan, 2010. Topik Utama. Demam Berdarah Dengue di Indonesia tahun 1968 – 2009., Jakarta. Available at: www. depkes.go.id.



nt



uk



D



ip



Fahri S, Yohan B, Trimarsanto H, Sayono S, Hadisaputro S, Dharmana E, et al., 2013. Molecular Surveillance of Dengue in Semarang, Indonesia Revealed the Circulation of an Old Genotype of Dengue Virus Serotype-1. PLoS Negl Trop Dis, 7(8).



Ti



da



k



U



Gardner LM, Fajardo D, Waller ST, Wang O & Sarkar S, 2012. A predictive spatial model to quantify the risk of air-travel-associated dengue importation into the United States and Europe. Journal of Tropical Medicine. Gubler D, 2006. Dengue/dengue haemorrhagic fever: history and current status. Novartis Found Symp., 277, p.3–16; discussion 16–22, 71–3, 251–3. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/. Gubler DJ, 2011. Dengue, Urbanization and Globalization: The Unholy Trinity of the 21st Century. Tropical Medicine and Health, 39(4SUPPLEMENT), pp.S3–S11. Available at: http://joi.jlc.jst. go.jp/JST.JSTAGE/tmh/2011-S05?from=CrossRef. 13



Guo C, Zhou Z, Wen Z, Liu Y, Zeng C, Xiao D, et al., 2017. Global epidemiology of dengue outbreaks in 1990–2015: A systematic review and meta-analysis. Frontiers in Cellular and Infection Microbiology, 7(JUL). Available at: https://www.scopus.com/ inward/record.uri?eid=2-s2.0-85027570647&doi=10.3389%2Ff cimb.2017.00317&partnerID=40&md5=0ad16582281d5040be 2283335fc07651.



an



Halstead S, 1965. Dengue and hemorrhagic fevers of Southeast Asia. Yale J Biol Med, 37(6), pp.434–454. Available at: http://www. ncbi.nlm.nih.gov/ [sitasi : 12 Juli 2016].



ju



al be



lik



Holmes EC & Twiddy SS, 2003. The origin, emergence and evolutionary genetics of dengue virus. Infection, Genetics and Evolution, 3(1), pp.19–28.



nt



uk



D



ip



er



Karyanti M, Uiterwaal C, Kusriartuti R & Hadinegoro S, 2014. The Changing Incidence of Dengue Haemorragic Fever in Indonesia: a 45-year Registry-based analysis. BMC Infectious Disease, 14, p.412. Available at: http://www.biomedcentral.com.



da



k



U



Karyanti MR & Hadinegoro SR, 2009. Perubahan Epidemiologi Demam Berdarah Dengue Di Indonesia. Sari Pediatri, 10(6).



Ti



Kementerian Kesehatan, 2016. Wilayah KLB DBD ada di 11 Provinsi. [dipublikasikan: 7 Maret 2016], Jakarta. Available at: http://www. depkes.go.id/. Kementerian Kesehatan RI, 2017. Profil Kesehatan Indonesia, Jakarta. Kementerian Kesehatan RI, 2015. Program Pengendalian DBD dan Resistensi Insektisida. [Presentasi di MOT Penelitian Resistensi]. [disampaikan : Kasubdit Pengendalian Vektor P2B2]., Jakarta. Lee HL & Rohani A, 2005. Transovarial transmission of dengue virus in Aedes aegypti and Aedes albopictus in relation to dengue outbreak 14



in an urban area in Malaysia. Dengue Bulletin, 29, pp.106–111. Messer WB, Gubler DJ, Harris E, Sivananthan K & De Silva AM, 2003. Emergence and global spread of a dengue serotype 3, subtype III virus. Emerging Infectious Diseases, 9(7), pp.800–809. Messina J, Brady O & Scott T, 2014. Global Spread of Dengue Virus Types : Mapping The 70 Year History. Trends in Microbiology,, 22(3), pp.138–146.



lik



an



Murray NEA, Quam MB & Wilder-Smith A, 2013. Epidemiology of dengue: Past, present and future prospects. Clinical Epidemiology, 5(1), pp.299–309.



D



ip



er



ju



al be



Porter KR, Becket CG, Kosasih H, Tan RI, Alisjabana B, Rudiman, et al., 2005. Epdemiology of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever in a Cohort of Adults Living in Bandung, West Java, Indonesia. The American Society of Tropical Medicine and Hygiene, 72(1), pp.60–66.



da



k



U



nt



uk



Pratama IP & Rahayu S, 2015. Hubungan tingkat urbanisasi dengan kejadian demam berdarah dengue(DBD) di Kota Semarang. Universitas Diponegoro. Available at: http://eprints.undip. ac.id/62235/.



Ti



Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementerian Kesehatan RI, 2010. Demam Berdarah Dengue di Indonesia tahun 1968-2009. Buletin Jendela Epidemiologi, 2, pp.1–14. Rohani A, Zamree I, Joseph RT & Lee HL, 2008. Persistency of transovarial dengue virus in Aedes aegypti (Linn.). Southeast Asian Journal of Tropical Medicine and Public Health, 39(5), pp.813–816. Rosen L, 1977. The Emperor’s New Clothes revisited, or reflections on the pathogenesis of dengue hemorrhagic fever. Am J Trop Med Hyg., 26(3), p.337–43. 15



Saroso J, 1978. Dengue Haemorragic Fever in Indonesia. Asian J Infect Dis., 2, pp.7–18. Schwartz E, Weld LH, Wilder-Smith A, Von Sonnenburg F, Keystone JS, Kain KC, et al., 2008. Seasonality, annual trends, and characteristics of dengue among Ill returned travelers, 1997-2006. Emerging Infectious Diseases, 14(7), pp.1081–1088.



an



Sorisi AMH, Umniyati SR & Satoto TBT, 2011. Transovarial Transmission Index of Dengue Virus on Aedes aegypti and Aedes albopictus Mosquitoes in Malalayang District in Manado, North Sulawesi, Indonesia. Tropical Medicine Journal, 1(2).



al be



lik



White D & Fenner F, 1994. Flaviviridae. Medical Virology., California: Academic Press.



ip



er



ju



WHO, 2015a. Dengue Out Breaks, Geneva, Switzerland. Available at: www.who.int. [disitasi 12 Maret 2015].



uk



D



WHO, 2018a. Dengue vector. Epidemiology. [sitasi : 16/10/2018], Available at: www.who.int.



Ti



da



k



U



nt



WHO, 2012. Handbook for clinical management of dengue. TDR. for research on diseases of poverty, Geneva, Switzerland: World Health Organization Library Cataloguing-in-Publication Data. Available at: www.who.int. WHO, 2015b. History of Dengue. [disitasi : 10 Maret 2015], Geneva, Switzerland. Available at: www.denguevirusnet.com. WHO, 2011. “Monitoring Epidemiological Assesment of Mass Drug Administration  : Lymphatic Filariasis, Manual for National Elimination Programmes”., Geneva, Switzerland. WHO, 2018b. WHO Report on Global Surveillance of Epidemic-prone Infectious Diseases - Dengue and dengue haemorrhagic fever. [sitasi : 15 okt 2018), Available at: www.who.int. 16



Wichmann O, Gascon J, Schunk M, Puente S, Siikamaki H, Gjørup I, et al., 2007. Severe Dengue Virus Infection in Travelers: Risk Factors and Laboratory Indicators. The Journal of Infectious Diseases, 195(8), pp.1089–1096. Available at: https://academic. oup.com/jid/article-lookup/doi/10.1086/512680.



Ti



da



k



U



nt



uk



D



ip



er



ju



al be



lik



an



Yohan B, Aryani, Setianingsih TY, Puspitasari D, Vitanata M & Soeharto RTS, 2012. Dengue Virus Distribution and Clinical Manifestation in Surabaya-Indonesia during 2012. [Sitasi : 31 Oktober 2018], Available at: www.researchgate.net/publication/237764637.



17



Ti k



da U uk



nt al be



ju



er



ip



D



an



lik



al be



lik



an



BAB 2 BIOEKOLOGI VEKTOR DENGUE



ju



Asep Jajang Kusnandar dan Andri Ruliansyah



ip



er



Pendahuluan



Ti



da



k



U



nt



uk



D



Satu di antara masalah kesehatan yang sampai saat ini belum dapat diatasi adalah Demam Berdarah Dengue (DBD), terutama di kota-kota besar yang penduduknya padat dengan mobilitas yang tinggi. Penyakit ini disebabkan oleh virus dengue (genus Flavivirus, famili Flaviviridae), ditularkan oleh nyamuk (Mosquito Borne Diseases). Demam dengue merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh empat serotipe virus dengue (DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4). Daya infeksi keempat virus dengue ini cukup tinggi serta memiliki gejala klinis, epidemiologi distribusi yang mirip, terutama di daerah tropis dan subtropis di dunia (Gubler, 1998). Penularan penyakit terjadi karena setiap kali nyamuk mengisap darah, sebelumnya akan mengeluarkan air liur melalui saluran probosisnya agar darah yang diisap tidak membeku. Bersama air liur inilah DENV dipindahkan dari nyamuk ke orang lain (Gubler, 1998). Kemampuan nyamuk sebagai vektor penyakit berhubungan langsung dengan kemampuan mengisap darah. Inilah 19



yang menyebabkan adanya perbedaan kemampuan pada setiap jenis nyamuk untuk berperan sebagai vektor penyakit (Mellink, 1981).



al be



lik



an



Penyakit ini menjadi masalah klasik yang kejadiannya hampir dipastikan muncul setiap tahun, terutama pada awal musim hujan. Vektor DBD adalah nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor utama dan Ae. albopictus sebagai vektor potensial. Sebagai vektor primer DBD, Ae. aegypti mengalami metamorfosis sempurna (holometabola), yaitu bentuk siklus hidup berupa telur, jentik-jentik (tahapan instar), pupa, dan dewasa (Herms et al., 1969). Beberapa faktor yang dapat memengaruhi siklus hidup nyamuk Aedes yaitu temperatur, kelembaban nisbi, pH, intensitas cahaya, kepadatan populasi, dan makanan (Christophers, 1960).



Ti



da



k



U



nt



uk



D



ip



er



ju



Meningkatnya kasus DBD dari tahun ke tahun diperlukan penanganan yang tepat, serius, dan terpadu. Upaya penanganan kasus DBD di antaranya terfokus pada pengendalian vektor, yaitu memutus transmisi dan atau mengurangi frekuensi kontak antara nyamuk dengan host. Pengendalian terhadap vektor harus sesuai sasaran sehingga efektif, efisien, dan dapat diterima di masyarakat. Oleh karena itu, informasi tentang vektor sangat dibutuhkan dalam kegiatan pengendalian. Aspek bioekologi vektor seperti siklus hidup, tempat perkembangbiakan, perilaku mengisap darah, perilaku istirahat, kepadatan populasi, serta pengaruh faktor lingkungan (biotik dan abiotik) sangat membantu dalam perencanaan pelaksanaan pengendalian vektor di suatu wilayah endemis. Siklus Hidup Telur. Jumlah telur yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas makanan serta frekuensi gigitan nyamuk betina. Telur Aedes memiliki morfologi yang khas bila dibandingkan dengan nyamuk lain, yaitu berbentuk bulat lonjong yang letaknya tidak teratur 20



Ti



da



k



U



nt



uk



D



ip



er



ju



al be



lik



an



dan berserakan. Telur tersebut diletakkan secara terpisah di permukaan air. Media air yang dipilih untuk tempat bertelur itu adalah air yang bersih yang tidak mengalir dan tidak berisi spesies lain sebelumnya (Supartha, 2008). Pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa Ae. aegypti juga mampu hidup dan tumbuh normal pada air terpolusi dan dapat menjadi tempat perindukan dan berkembangbiaknya nyamuk A. aegypti. Kandungan media air terpolusi tanah berpengaruh terhadap peletakan telur A. aegypti dan perkembangan jentik nyamuk Aedes aegypti (Agustina, 2013). Pada jenis air selokan dengan karakter fisik berwarna hitam, keruh, dan berbau menyengat, perkembangan dari telur hingga dewasa relatif lebih lambat dibanding perkembangan pada jenis air lainnya (Yahya & Warni, 2017). Daya tetas telur dipengaruhi oleh suhu, kelembaban, nutrisi (pakan darah), umur nyamuk betina, dan lama penyimpanan telur (Subagyo et al., 1998). Sebuah penelitian di Kota Bogor menyebutkan bahwa semakin lama telur disimpan, daya tetas telur semakin menurun. Daya tetas telur tertinggi terjadi pada saat umur telur berusia 0 hari, sedangkan daya tetas terendah terjadi pada umur 180 hari setelah disimpan (Mursid, 2016).



21



an lik al be ju



Ti



da



k



U



nt



uk



D



ip



er



Gambar 1. Siklus Hidup Aedes sp (Hopp & A. Foley, 2001)



Gambar 2. Telur Vektor DBD, Ae. aegypti (Linnaeus) (Photograph by Rohmansyah WN-Loka Litbangkes Pangandaran) 22



Ti



da



k



U



nt



uk



D



ip



er



ju



al be



lik



an



Larva/Jentik-jentik. Tubuh jentik-jentik Aedes terdiri atas tiga bagian, yaitu kepala, thorax, dan abdomen. Bagian kepala jentikjentik terdapat sepasang mata, sepasang antena, dan mulut; bagian thorax terdiri dari prothorax, mesothorax, dan metathorax pada sisi lateralnya terdapat bulu; bagian abdomen terdiri dari delapan segmen. Ujung abdomen terdapat sifon yang berfungsi sebagai alat pernapasan, berbentuk seperti kerucut, gemuk, dan pendek. Sifon berfungsi menyerap oksigen melalui permukaan air, sehingga posisi jentik-jentik akan mengikuti bentuk dan arah sifon (Nelson et al., 1976). Posisi tubuh jentik-jentik Aedes pada waktu istirahat, sifonnya menempel pada permukaan air secara tegak lurus. Pertumbuhan dan perkembangan jentik-jentik di suatu tempat sangat dipengaruhi oleh suhu, tempat keadaan air, dan kandungan zat makanan yang ada di tempat perkembangbiakan (Horsfall, 1972). Stadium jentik-jentik merupakan stadium penting karena gambaran jumlah jentik akan menunjukkan populasi dewasa. Selain itu, stadium jentik juga mudah untuk diamati dan dikendalikan karena berada di tempat perkembangbiakan.



Gambar 3. Jentik-jentik Ae. aegypti dan Ae. albopictus (Photograph by Rohmansyah WN-Loka Litbangkes Pangandaran(a & Michele M. Cutwa University of Florida—IFAS Florida Medical Entomology Laboratory(b) 23



uk



D



ip



er



ju



al be



lik



an



Pupa. Fase pupa tidak memerlukan makanan, tetapi pada stadium ini masih membutuhkan oksigen untuk metabolismenya serta mengalami perkembangan organ-organ dan sistem tubuh nyamuk dari fungsi kehidupan akuatik menjadi kehidupan dewasa (Horsfall, 1972). Adapun perbedaan antara Ae. aegypti dan Ae. albopictus ada pada bagian dayung, yaitu pada Ae. aegypti mempunyai dayung yang seperti tunggul, sedangkan pada Ae. albopictus pada bagian dayung memiliki bulu.



da



k



U



nt



Gambar 4. Pupa Aedes (Photograph by Rohmansyah WN-Loka Litbangkes Pangandaran(a & Michele M. Cutwa University of Florida—IFAS Florida Medical Entomology Laboratory(b)



Ti



Nyamuk Dewasa. Setelah jadi nyamuk dewasa, Aedes banyak mendapat perhatian dari kalangan dunia kesehatan, karena nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus banyak menimbulkan masalah kesehatan dan berperan sebagai vektor penyakit DBD. Perbedaan di antara Ae. aegypti dan Ae. albopictus tidak terlalu mencolok, karena mempunyai ciri-  ciri yang sama. Namun, apabila diamati secara seksama, pada Ae. aegypti mempunyai



sepasang garis lengkung (bentuk lyre) pada tepinya dan sepasang garis putih submedian di tengah pada bagian punggungnya, sedangkan pada Ae. albopictus mempunyai satu strip putih memanjang yang sempit. 24



al be



lik



an



Selain itu, pada bagian kaki Ae. aegypti memiliki basal putih, sedangkan pada Ae. albopictus memiliki pita basal putih dengan tarsi segmen 5 sepenuhnya putih.



er



ip



Tempat Perkembangbiakan



ju



Gambar 5. Nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus (Photograph by Asep Jajang K(a & Rohmansyah WN-Loka Litbangkes Pangandaran(b)



Ti



da



k



U



nt



uk



D



Kontainer adalah tempat penampungan air (TPA) atau bejana yang digunakan sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes sp. Keberadaan tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes sp banyak ditemukan di lingkungan permukiman, seperti barang-barang bekas, ember, tempat alas pot bunga, lubang di celah-celah kolam, akuarium tak terpakai, dan masih banyak yang lainnya. Kontainer yang paling disukai untuk menyimpan dan meletakkan telurnya di antaranya adalah bak mandi, selain itu ember juga menjadi salah satu kontainer yang banyak ditemukan positif jentik-jentik. Karakteristik kontainer seperti letak, volume dan sumber air, jenis, bahan, dan warna juga memengaruhi keberadaan nyamuk vektor Aedes sp. Penelitian di Kabupaten Sumedang menyebutkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara jenis, bahan, warna, dan letak kontainer, serta kondisi penutup, pencahayaan matahari, volume dan sumber air terhadap keberadaan jentik-jentik Ae. aegypti (Kursianto, 2017). 25



an lik al be ju



D



ip



er



Gambar 6. Macam-macam Tempat Perkembangbiakan Aedes sp (Photograph by Andri Ruliansyah – Loka Litbang Kesehatan Pangandaran)



Ti



da



k



U



nt



uk



Bahan Kontainer. Jenis bahan kontainer merupakan suatu keadaan dinding permukaan kontainer. Pemilihan tempat bertelur nyamuk Aedes sp dipengaruhi oleh bahan dasar kontainer, karena telur diletakkan menempel pada dinding tempat penampungan air. Jenis bahan dasar kontainer paling berisiko terhadap keberadaan jentik-jentik Aedes sp, yaitu semen, kemudian logam, tanah, keramik, dan plastik. Hal ini terjadi karena bahan semen mudah berlumut, permukaannya kasar, dan berpori-pori pada dindingnya. Permukaan kasar memiliki kesan sulit dibersihkan, mudah ditumbuhi lumut, dan refleksi cahaya yang rendah. Refleksi cahaya yang rendah dan permukaan dinding yang berpori-pori mengakibatkan suhu dalam air menjadi rendah sehingga jenis bahan TPA yang demikian akan disukai oleh nyamuk Aedes Aegypti sebagai tempat perindukkannya (Badrah & Hidayah, 2011).



26



Letak Kontainer. Letak kontainer merupakan keadaan ketika kontainer diletakkan, baik di dalam maupun di luar rumah. Hasil penelitian di New Delhi melaporkan bahwa kontainer yang terletak di dalam rumah berpeluang lebih besar ditemukan jentik-jentik dibandingkan dengan kontainer yang terletak di luar rumah (Singh et al., 2011). Kondisi ini sesuai dengan kesukaan nyamuk untuk beristirahat di tempat-tempat yang gelap, lembab, dan tersembunyi di dalam rumah atau bangunan yang terlindung dari sinar matahari secara langsung.



da



k



U



nt



uk



D



ip



er



ju



al be



lik



an



Volume Kontainer. Nyamuk Aedes sp meletakkan telurnya pada batas air atau sedikit di atas batas air pada dinding kontainer, jarang sekali di bawah permukaan air, serta tidak akan meletakkan telurnya bila di dalam kontainer tidak terdapat air. Knox et al (2007) melaporkan bahwa terdapat hubungan antara volume kontainer dengan jumlah jentik-jentik yang dihasilkan. Kontainer dengan volume besar (>50 liter) akan menjadi tempat perkembangbiakan jentik-jentik yang kondusif karena air tersebut akan berada cukup lama di kontainer dan perlu rentang waktu yang lama dalam proses pengeringan. Kondisi ini banyak ditemui pada wilayah-wilayah yang kekurangan air sehingga masyarakat membuat tandon penampungan air, terutama saat musim hujan.



Ti



Keberadaan Penutup Kontainer. Keberadaan penutup kontainer erat kaitannya dengan keberadaan jentik Aedes sp. Kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan pengelolaan lingkungan hidup, yaitu 3M, salah satunya dilakukan dengan menutup kontainer rapat-rapat agar nyamuk tidak dapat masuk untuk meletakkan telurnya (Depkes RI, 2005). Nyamuk Aedes sp akan mudah untuk meletakkan telurnya pada kontainer yang terbuka sehingga ada kecenderungan yang signifikan kontainer yang terbuka (84%) akan menyebabkan nyamuk bebas masuk ke dalam kontainer untuk berkembang biak (Hasyimi et al., 2009). 27



ju



er



Perilaku dan Kepadatan Vektor



al be



lik



an



Sumber Air Kontainer. Sumber air kontainer yang dimaksudkan adalah asal air yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan seharihari yang ditampung pada kontainer, baik berasal dari air sumur gali/ artesis dan air PDAM. Tersedianya air dalam wadah akan menyebabkan telur nyamuk Ae. aegypti menetas dan setelah 10-12 hari berubah menjadi nyamuk (Ayuningtyas, 2013). Nyamuk Aedes sp lebih suka meletakkan telurnya pada air yang jernih dan tidak suka meletakkan telurnya pada air yang kotor/keruh serta bersentuhan langsung dengan tanah. Tempat perkembangbiakan nyamuk ini sangat dekat dengan manusia yang menggunakan air bersih sebagai kebutuhan sehari-hari. Kondisi kontainer berhubungan dengan keberadaan jentik Ae. aegypti dengan air yang jernih lebih banyak terdapat jentik-jentik Ae. aegypti (Setyobudi, 2011).



Ti



da



k



U



nt



uk



D



ip



Perilaku Mencari Pakan Darah. Kemampuan nyamuk menjadi vektor sangat berkaitan dengan populasi dan aktivitas mengisap darah yang diperlukan oleh nyamuk betina untuk proses pematangan telur demi melanjutkan keturunannya (Sigit & Hadi, 2006). Nyamuk Aedes sp bersifat antropofilik dan perilaku mengisap darah nyamuk terjadi setiap dua-tiga hari sekali pada pagi sampai sore hari, yakni pada pukul 08:00-12:00 dan pukul 15:00-17:00 WIB. Nyamuk betina untuk mendapatkan darah yang cukup, sering mengisap darah lebih dari satu kali (multiple bitter) (Gubler, 1998). Hasil penelitian di Kabupaten Bogor (Hadi et al., 2012) dan di Pangandaran (Prasetyowati et al., 2014) menunjukkan bahwa Ae. aegypti dapat mengisap darah baik pada siang hari maupun malam hari (nokturnal). Selain itu, penelitian di lokasi lain juga menyatakan bahwa nyamuk Ae. aegypti ditemukan mencari pakan pada malam hari (nokturnal) Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan (2011), Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur (2012), Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (2015), dan 28



Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan (2016) (Ridha et al., 2018), begitu pula Malaysia bagian utara, baik Ae. aegypti maupun Ae. albopictus ditemukan juga mengisap darah pada malam hari (Dieng et al., 2010). Aktivitas mengisap darah nyamuk ini dapat berubah oleh pengaruh angin, suhu, dan kelembaban udara.



da



k



U



nt



uk



D



ip



er



ju



al be



lik



an



Perilaku Istirahat. Nyamuk Aedes sp memerlukan istirahat setelah proses mengisap darah inang sekitar 2-3 hari untuk mematangkan telurnya di tempat-tempat yang kondusif (Soegijanto, 2012). Tempat istirahat yang paling disukai adalah tempat yang lembab, gelap seperti kelambu, di bawah tempat tidur, tirai, baju yang menggantung, serta kamar mandi. Tempat istirahat nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus yaitu di semak-semak dan tanaman rendah seperti rerumputan yang terdapat di halaman, kebun, dan pekarangan rumah. Hasil penelitian di Bogor, jumlah nyamuk Ae. aegypti istirahat lebih dominan ditemukan di dalam rumah (54,05%), berbeda dengan Ae. albopictus lebih banyak ditemukan istirahat di luar rumah (85,71%) (Fadilla et al., 2015). Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Panama (Perich et al., 2000) dan India (Tandon & Ray, 2000) yang menunjukan bahwa nyamuk Ae. aegypti bersifat endofilik, nyamuk ini banyak ditemukan di dalam rumah seperti pada pakaian yang digantung, gorden, jendela, dinding, lemari, bagian bawah meja, kursi, dan peralatan rumah tangga.



Ti



Kepadatan Populasi. Estimasi kepadatan nyamuk Aedes sp di suatu wilayah dapat dihitung menggunakan indeks entomologi, di antaranya adalah Angka Bebas Jentik (ABJ). House Indeks (HI) merupakan parameter entomologi yang paling banyak digunakan untuk memantau tingkat investasi, tetapi indeks ini tidak memperhitungkan jumlah kontainer positif atau produktivitas kontainer tersebut. Demikian pula, Container Indeks (CI) hanya memberikan informasi tentang proporsi kontainer penampung air yang positif. Sedangkan Breateau Indeks (BI) digunakan untuk mengetahui hubungan antara kontainer 29



Ti



da



k



U



nt



uk



D



ip



er



ju



al be



lik



an



positif di rumah, dan dianggap sebagai parameter entomologi yang paling informatif, tetapi sekali lagi tidak ada refleksi produktivitas dari kontainer. Namun demikian, dalam proses pengumpulan informasi dasar untuk menghitung BI, bisa digunakan untuk mendapatkan data tentang kondisi dan karakteristik dari habitat larva dengan mendapatkan status kelimpahan relatif dari berbagai jenis kontainer, baik sebagai kondisi potensial maupun kepadatan larva yang sebenarnya (misalnya jumlah drum positif per 100 rumah, jumlah ban positif per 100 rumah, dll). Data ini sangat relevan dalam upaya fokus untuk manajemen pengendalian habitat larva berbasis masyarakat (WHO, 2011). Parameter entomologi Aedes sp tersebut mempunyai relevansi langsung dengan dinamika penularan penyakit DBD (Kinansi et al., 2017). Tingkat ambang batas investasi vektor yang merupakan pemicu terjadinya transmisi dengue dipengaruhi oleh banyak faktor, di antaranya kepadatan vektor termasuk umur nyamuk dan status imunologi manusia (Sigit & Hadi, 2006). Beberapa penelitian menunjukan bahwa indeks entomologi Aedes sp merupakan parameter yang banyak digunakan untuk melihat kepadatan vektor DBD, seperti di Kota Cimahi (Santoso et al., 2010); Kota Tasikmalaya (Riandi et al., 2017); Kabupaten Sumedang yang wilayah endemis DBD-nya mempunyai kepadatan kategori sedang (Kursianto, 2017); dan Jakarta (Ramadhani & Astuty, 2013). Peran Faktor Lingkungan Terhadap Kehidupan Vektor Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kehidupan vektor adalah faktor abiotik dan biotik. Faktor biotik seperti predator, parasit, kompetitor, dan makanan yang berinteraksi dalam kontainer sebagai habitat akuatiknya pradewasa (jentik-jentik) sangat berpengaruh terhadap keberhasilannya menjadi dewasa (nyamuk). Keberhasilan itu juga ditentukan oleh kandungan air kontainer seperti bahan organik, komunitas mikroba, dan serangga air yang ada dalam kontainer itu 30



juga berpengaruh terhadap siklus hidup Aedes sp. Faktor abiotik juga tidak kalah penting dalam memengaruhi populasi nyamuk Aedes sp di alam seperti curah hujan, temperatur, tutupan lahan, ketinggian, serta evaporasi.



nt



uk



D



ip



er



ju



al be



lik



an



Curah Hujan. Di Indonesia perkembangan nyamuk dipengaruhi oleh karakteristik dan distribusi curah hujan di suatu wilayah. Semakin banyak hari hujan dengan intensitas normal, mengakibatkan perkembangan nyamuk cenderung meningkat, namun sebaliknya pada intensitas curah hujan normal akan tetapi hari hujannya relatif sedikit, perkembangan nyamuk cenderung berkurang (Suryana, 2006). Banyaknya lahan kosong, baik di perkotaan maupun pedesaan yang biasa digunakan sebagai tempat pembuangan sampah, seperti kaleng bekas, botol bekas air mineral, ban bekas, dan lain-lain akan menjadi tempat berisiko untuk perkembangbiakan nyamuk Aedes sp jika datang musim hujan. Curah hujan dapat meningkatkan transmisi penyakit yang ditularkan oleh vektor dengan cara memacu proliferasi tempat berkembang biak, tetapi juga dapat mengeliminasi tempat berkembang biak dengan cara menghanyutkan vektor (Gharbi et al., 2011).



Ti



da



k



U



Penelitian di Kota Palembang menyebutkan bahwa terdapat korelasi antara curah hujan dan peningkatan jumlah kasus DBD yang dirawat. Korelasi mulai terjadi satu bulan sebelum puncak curah hujan, meningkat saat puncak curah hujan, dan menurun satu bulan sesudahnya. Bulan serta tanggal curah hujan berimpitan dengan prevalensi kasus DBD yang dirawat. Anomali bulan puncak hujan diikuti perubahan puncak prevalensi DBD (Iriani, 2012). Hal tersebut sejalan dengan penelitian di Thailand bahwa transmisi dengue berkorelasi dengan curah hujan, temperatur, serta kelembaban. Efek curah hujan terhadap prevalensi dengue sangat penting untuk diteliti karena diperlukan sebagai alat untuk meramalkan variasi insiden dan risiko yang berhubungan dengan dampak perubahan iklim (Wiwanitkit, 2006). 31



k



U



nt



uk



D



ip



er



ju



al be



lik



an



Suhu dan Kelembaban. Suhu dan kelembaban udara merupakan faktor lingkungan yang memengaruhi perkembangan jentik-jentik nyamuk Ae. aegypti. Pada umumnya, nyamuk akan meletakkan telurnya pada temperatur sekitar 20-30°C. Toleransi terhadap suhu tergantung pada spesies nyamuk. Telur nyamuk tampak telah mengalami embriosasi lengkap dalam waktu 72 jam dalam temperatur udara 25-30°C. Ratarata suhu optimum untuk pertumbuhan nyamuk adalah 25-27°C dan pertumbuhan nyamuk akan berhenti sama sekali bila suhu kurang dari 10°C atau lebih dari 40°C. Kelembaban udara juga merupakan salah satu kondisi lingkungan yang dapat memengaruhi perkembangan jentik-jentik nyamuk Ae. aegypti. Kelembaban udara yang berkisar 81,589,5% merupakan kelembaban yang optimal untuk proses embriosasi dan ketahanan hidup embrio nyamuk (Yudhastuti & Vidiyani, 2005). Temperatur dan kelembaban nisbi udara selama musim hujan sangat kondusif untuk kelangsungan hidup nyamuk dewasa, yang juga meningkatkan kemungkinan hidup nyamuk yang terinfeksi virus dengue (Ruliansyah et al., 2011). Penelitian Serang, Banten (Alizkan, 2017) dan Gunung Kidul (Djati et al., 2012) menyebutkan bahwa terdapat korelasi yang bermakna antara tingkat kelembaban udara dengan angka kejadian kasus DBD.



Ti



da



Tutupan Lahan. Perubahan penggunaan lahan yang cepat dari kawasan pertanian menjadi kawasan nonpertanian serta pola pemukiman penduduk menyebabkan semakin memudahkan penyebaran nyamuk (Wijaya & Sukmono, 2017). Pemanfaatan lahan untuk pemukiman memiliki keterkaitan yang sangat erat terhadap persebaran DBD, hal tersebut menyangkut habitat nyamuk Aedes sp berkembang biak. Permukiman yang padat, tingkat sanitasi yang rendah, dan kesadaran masyarakat akan kebersihan lingkungan yang kurang akan meningkatkan risiko transmisi virus dengue oleh nyamuk Aedes sp (Ruliansyah et al., 2011). Perubahan tutupan hutan dan lahan tidak langsung menyebabkan peningkatan DBD, melainkan satu tahun 32



setelah konversi baru terlihat dampak yang terjadi. Suatu penelitian di Provinsi Lampung menyatakan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara tutupan lahan dengan insiden DBD pada tahun 2003, 2010, dan 2014 (Mustika et al., 2004). Selain itu, terdapat hubungan antara perubahan luasan hutan, luasan kebun campuran, luasan pertanian lahan kering, dan luasan semak belukar terhadap prevalensi penyakit DBD di Kabupaten Tanggamus (Zulhaidir, 2014).



Ti



da



k



U



nt



uk



D



ip



er



ju



al be



lik



an



Ketinggian. Ketinggian merupakan faktor penting yang membatasi penyebaran Ae. Aegypti. Di India nyamuk ini tersebar mulai dari ketinggian 0 hingga 1.000 meter di atas permukaan laut. Di dataran rendah (kurang dari 500 meter) tingkat populasi nyamuk dari sedang hingga tinggi, sementara di daerah pegunungan (lebih dari 500 meter) populasi rendah. Wilayah Asia Tenggara, ketinggian 1000-1500 meter menjadi batas untuk distribusi Ae. Aegypti. Namun, pemanasan global menyebabkan terjadinya peningkatan suhu pada daerah pegunungan sampai hampir 1°C lebih tinggi. Hal ini menyebabkan populasi Ae. aegypti yang hidupnya dibatasi temperatur pada ketinggian 1000 meter ternyata juga dapat ditemukan pada ketinggian 1100 meter di Mexico, dan 2200 meter di Pegunungan Andes Colombia (Epstein, 2001). Saat ini penyebaran dengue yang terkait dengan vektornya tidak hanya terpusat di wilayah tropis, namun sudah meluas ke daerah-daerah beriklim dingin (Sembel, 2009). Sebuah penelitian di Kota Padang menyebutkan bahwa secara statistik terdapat hubungan antara ketinggian dengan angka kejadian DBD, yakni hubungannya berpola negatif yang artinya semakin rendah ketinggian tempat maka akan semakin meningkat angka kejadian DBD (Handayani et al., 2015). Hal ini sejalan dengan penelitian di Kota Gorontalo bahwa terdapat hubungan signifikan antara DBD dengan ketinggian tempat. Pada ketinggian > 100 mdpl ditemukan penyebaran Ae. aegypti di Kota Gorontalo, tetapi tidak merata. Ketinggian tempat 33



merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh pada perkembangan nyamuk Ae. aegypti sebagai vektor DBD (Boekoesoe, 2013).



Ti



da



k



U



nt



uk



D



ip



er



ju



al be



lik



an



pH Air. Kelangsungan hidup jentik-jentik dipengaruhi oleh pH air, di samping fertilitas telur itu sendiri, sehingga telur nyamuk yang sudah berada dalam tempat penampungan air menjadi tempat yang optimal untuk berkembang biak sehingga hal ini dapat meningkatkan kepadatan jentik-jentik nyamuk (Budiman, 2016). pH air yang terlalu asam atau terlalu basa akan mudah mengakibatkan kematian jentik. pH yang terlalu asam diduga akan menghambat pertumbuhan plankton sedangkan diketahui bahwa plankton merupakan salah satu sumber makanan terbesar bagi jentik-jentik. Dengan berkurangnya sumber makanan bagi jentik-jentik, maka peluang jentik-jentik untuk mempertahankan hidupnya sangatlah kecil (Hadi et al., 2009). Hal lain yang diduga erat hubungannya antara keadaan pH dan keberadaan jentik-jentik yaitu pembentukan enzim sitokrom oksidase di dalam tubuh jentik-jentik yang berfungsi dalam proses metabolisme. Pembentukan enzim tersebut sangatlah dipengaruhi oleh tinggi rendahnya kadar oksigen yang terlarut dalam air. Suasana yang terlalu asam akan menyebabkan pesatnya pertumbuhan mikroba yang juga akan menyebabkan kadar oksigen dalam air berkurang. Keadaan seperti itulah yang diduga menghambat pembentukan enzim sitokrom oksidase dalam tubuh jentik-jentik (Hidayat et al., 1997). Jentik-jentik Ae. aegypti dapat hidup dalam wadah yang mengandung air dengan pH 5,8-8,6 dan tahan terhadap air yang mengandung kadar garam dengan konsentrasi 0-0,7‰ (Hoedojo, 1993). Jentik-jentik akan mati pada pH ≤3 dan ≥ 12 (Clark et al., 2004) dan pertumbuhan jentik-jentik secara optimal terjadi pada kisaran pH 6,0-7,5 (Hidayat et al., 1997). Dalam penelitian lain menyebutkan Ae. aegypti dapat berkembang pada berbagai kondisi pH air dengan rentang pH 4 – pH 34



10. Nyamuk Ae. aegypti betina gravid I dapat melakukan oviposisi pada pH 3 – pH 10. Oviposisi nyamuk betina gravid I dengan persentase tertinggi yaitu pH 9 (22,75%) dan terendah yaitu pH 4 (5,93%). Larva Instar II dapat berkembang pada pH 4 – pH 10. Perkembangan larva tertinggi terjadi pada pH 9 (83,33%) dan persentase perkembangan larva terendah pada pH 4 (40,83%) (Anggraini & Cahyati, 2017). Penutup



da



k



U



nt



uk



D



ip



er



ju



al be



lik



an



Nyamuk Ae. aegypti dikenal sebagai vektor utama DBD karena inang utamanya adalah manusia, sedangkan Ae. albopictus mempunyai banyak inang alternatif selain manusia. Kedua spesies itu menyukai air jernih untuk media peletakan telur dan kelangsungan hidup pradewasanya. Imago Ae. aegypti lebih memilih habitat di dalam rumah sementara Ae. albopictus di luar rumah. Sampai saat ini, populasi vektor DBD masih sangat tinggi dan penyebarannya semakin meluas. Saat ini, dinamika perubahan lingkungan sangat cepat sehingga dibutuhkan pemahaman terhadap bioekologi nyamuk. Pengetahuan dan pemahaman tentang bioekologi vektor sangat diperlukan bagi upaya pengendalian vektor yang efektif dan efisien sehingga populasi vektor DBD di alam dapat ditekan dan pada akhirnya dapat menurunkan angka kasus DBD.



Ti



Daftar Pustaka



Agustina E, 2013. Pengaruh Media Air Terpolusi Tanah Terhadap Perkembangbiakan Nyamuk Aedes aegypti. Jurnal Biotik, 1(2), pp.103–107. Alizkan U, 2017. Analisis Korelasi Kelembaban Udara Terhadap Epidemi Demam Berdarah yang Terjadi di Kabupaten dan Kota Serang. Gravity: Jurnal Ilmiah Penelitian dan Pembelajaran Fisika, 3(1), pp.23–29.



35



Anggraini TS & Cahyati WH, 2017. Perkembangan Aedes aegypti Pada Berbagai PH Air dan Salinitas Air. HIGEIA Journal, 1(3), pp.1–10. Ayuningtyas ED, 2013. Perbedaan Keberadaan Jentik Aedes aegypti Berdasarkan Karakteristik Kontainer di Daerah Endemis Demam Berdarah Dengue (Studi Kasus di Kelurahan Bangetayu Wetan Kota Semarang Tahun 2013). [Thesis] Universitas Negeri Semarang.



lik



an



Badrah S & Hidayah N, 2011. Hubungan Antara Tempat Perindukan Nyamuk Aedes Aegypti dengan Kasus Demam Berdarah Dengue di Kelurahan Penajam Kecamatan Penajam Kabupaten Penajam Paser Utara. J. Trop. Pharm. Chem., 1(2), pp.150–157.



er



ju



al be



Boekoesoe L, 2013. Kajian Faktor Lingkungan Terhadap Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) Studi Kasus di Kota Gorontalo Provinsi Gorontalo. [Disertasi] Universitas Negeri Gorontalo.



nt



uk



D



ip



Budiman, 2016. Hubungan Pelaksanaan Kegiatan 3M Dengan Kepadatan Jentik Aedes aegypti Di Kelurahan Kawua Kabupaten Poso. Jurnal Kesehatan Tadulako, 2(2), pp.1–8.



Ti



da



k



U



Christophers R, 1960. Aedes aegypti (L.) The Yellow Fever Mosquito Its Life History, Bionomics And Structure, London: Cambridge University Press. Clark TM, Flis BJ & Remold SK, 2004. pH tolerances and regulatory abilities of freshwater and euryhaline Aedine mosquito larvae. The Journal of experimental biology, 207(Pt 13), pp.2297–2304. Depkes RI, 2005. Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Demam Berdarah Dengue, Jakarta: Ditjen P2M&PLP Depkes RI. Dieng H, Saifur RGM, Hassan AA, Che Salmah MR, Boots M, Satho T, et al., 2010. Indoor-breeding of Aedes albopictus in northern



36



peninsular Malaysia and its potential epidemiological implications. PLoS ONE, 5(7), pp.1–9. Djati RAP, Santoso B & Satoto TBT, 2012. Hubungan Faktor Iklim Dengan Demam Berdarah Dengue di Kabupaten Gunung Kidul Tahun 2010. Jurnal Ekologi Kesehatan, 11(3), pp.230–239. Epstein PR, 2001. Climate change and emerging infectious diseases. Microbes and infection, 3(9), pp.747–754.



al be



lik



an



Fadilla Z, Hadi U & Setiyaningsih S, 2015. Bioekologi vektor demam berdarah dengue (DBD) serta deteksi virus dengue pada Aedes aegypti (Linnaeus) dan Ae. albopictus (Skuse) (Diptera: Culicidae) di kelurahan endemik DBD Bantarjati, Kota Bogor. Jurnal Entomologi Indonesia, 12(1), pp.31–38.



uk



D



ip



er



ju



Gharbi M, Quenel P, Gustave J, Cassadou S, Ruche G La, Girdary L, et al., 2011. Time series analysis of dengue incidence in Guadeloupe, French West Indies: Forecasting models using climate variables as predictors. BMC Infectious Diseases, 11, p.166.



U



nt



Gubler DJ, 1998. Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. Clinical Microbiology Reviews, 11(3), pp.480–496.



Ti



da



k



Hadi UK, Sigit SH & Agustina E, 2009. Habitat jentik Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) pada Air Terpolusi di Laboratorium. Prosiding Seminar Nasional Hari Nyamuk 2009, (10 Agustus 2009), pp.1– 13. Hadi UK, Soviana S & Gunandini DD, 2012. Aktivitas nokturnal vektor demam berdarah dengue di beberapa daerah di Indonesia Nocturnal biting activity of dengue vectors in several areas of Indonesia. Jurnal Entomologi Indonesia, 9(1), pp.1–6. Handayani S, Fannya P, Roza SH & Angelia I, 2015. Analisis Spasial Temporal Hubungan Kepadatan Penduduk Dan Ketinggian 37



Tempat Dengan Kejadian DBD Kota Padang. Jurnal Kesehatan Medika Saintika, 8(1), pp.25–34. Hasyimi M, Harmany N & Pangestu, 2009. Tempat-Tempat Terkini yang Disenangi Untuk Perkembangbiakan Vektor Demam Berdarah Aedes sp. Media Litbang Kesehatan, 19(2), pp.71–76. Herms WB, James MT & Harwood RF, 1969. Herms’s Medical entomology, [New York: Macmillan.



lik



an



Hidayat, Santoso L & Suwasono H, 1997. Pengaruh pH Air Perindukan Terhadap Pertumbuhan dan Perkembangbiakan Aedes aegypti Pra Dewasa. Cermin Dunia Kedokteran, 119, pp.47–49.



er



ju



al be



Hoedojo, 1993. Vektor demam berdarah dengue dan upaya penanggulangannya. Majalah parasitologi Indonesia, 6(1), pp.31– 44.



uk



D



ip



Hopp M & A. Foley J, 2001. Global-scale relationships between climate and the dengue fever vector, Aedes aegypti. Climatic Change, 48, pp.441–463.



k



U



nt



Horsfall WR, 1972. Mosquitoes, their bionomics and relation to disease, New York: Hafner Publishing Company.



Ti



da



Iriani Y, 2012. Hubungan antara Curah Hujan dan Peningkatan Kasus Demam Berdarah Dengue Anak di Kota Palembang. Sari Pediatri, 13(6), pp.378–383. Kinansi RR, Widjajanti W & Ayuningrum FD, 2017. Kepadatan jentik vektor demam berdarah dengue di daerah endemis di Indonesia (Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Sulawesi Tengah dan Papua). Jurnal Ekologi Kesehatan, 16(1), pp.1–9. Kursianto, 2017. Kajian Kepadatan Dan Karakteristik Habitat Larva Aedes Aegypti Di Kabupaten Sumedang Jawa Barat. [Tesis] Institut Pertanian Bogor. 38



Mellink J, 1981. Selection for bloodfeeding efficiency in colonized Aedes aegypti. Mosq.News, 41(1), pp.119–125. Mursid S, 2016. Daya Tetas Telur Aedes aegypti Berdasarkan Lama Penyimpanan Di Kota Bogor. [Thesis] Institut Pertanian Bogor. Mustika AA, Bakri S & Wardani DWSR, 2004. Perubahan Penggunaan Lahan Di Provinsi Lampung Dan Pengaruhnya Terhadap Insidensi Demam Berdarah Dengue (DBD). Jurnal Sylva Lestari, 4(3), pp.35–46.



al be



lik



an



Nelson MJ, Pant CP, Self LS & Usman S, 1976. Observations on the breeding habitats of Aedes aegypti (L.) in Jakarta, Indonesia. The Southeast Asian journal of tropical medicine and public health, 7(3), pp.424–429.



uk



D



ip



er



ju



Perich MJ, Davila G, Turner A, Garcia A & Nelson M, 2000. Behavior of resting Aedes aegypti (Culicidae: Diptera) and its relation to ultra-low volume adulticide efficacy in Panama City, Panama. Journal of medical entomology, 37(4), pp.541–546.



da



k



U



nt



Prasetyowati H, Marina R, Hodijah DN, Widawati M & Wahono T, 2014. Survey Jentik dan Aktivitas Noktural Aedes SPP Di Pasar Wisata Pangandaran. Jurnal Ekologi Kesehatan, 13(1), pp.33–42.



Ti



Ramadhani MM & Astuty H, 2013. Kepadatan dan Penyebaran Aedes aegypti Setelah Penyuluhan DBD di Kelurahan Paseban, Jakarta Pusat. eJournal Kedokteran Indonesia, 1(1), pp.10–14. Riandi MU, Hadi UK & Soviana S, 2017. Karakteristik Habitat dan Keberadaan Larva Aedes spp . pada Wilayah Kasus Demam Berdarah Dengue Tertinggi dan Terendah di Kota Tasikmalaya. Aspirator, 9(1), pp.43–50. Ridha MR, Fadilly A & Rosvita NA, 2018. Aktivitas nokturnal Aedes ( Stegomyia ) aegypti dan Ae . ( Stg ) albopictus ( Diptera : 39



Culicidae ) di berbagai daerah di Kalimantan Nocturnal activity of Aedes ( Stegomyia ) aegypti and Ae . ( Stg ) albopictus ( Diptera : culicidae ) in several area in K. Journal of Health Epidemiology and Communicable Diseases (JHECDs), 3(2), pp.50–55. Ruliansyah A, Gunawan T & Juwono S, 2011. Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis untuk Pemetaan Daerah Rawan Demam Berdarah Dengue (Studi Kasus di Kecamatan Pangandaran Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat). Aspirator, 3(2), pp.72–81.



lik



an



Santoso B, Hakim L, Prasetyowati H & K AJ, 2010. Bionomik Ae. aegypti di Kota Cimahi, Pangandaran.



al be



Sembel DT, 2009. Entomologi Kedokteran, Yogyakarta: Penerbit Andi.



nt



uk



D



ip



er



ju



Setyobudi A, 2011. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Keberadaan Jentik Nyamuk di Daerah Endemik DBD di Kelurahan Sananwetan Kecamatan Sananwetan Kota Blitar. In Peran Serta Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia. Tasikmalaya: FKM Universitas Siliwangi, pp. 273–283.



Ti



da



k



U



Sigit SH & Hadi UK, 2006. Hama Pemukiman Indonesia : Pengenalan, Biologi, Dan Pengendalian Bogor., Unit Kajian Pengendalian Hama Permukiman (UKPHP). Singh RK, Mittal PK, Yadav NK, Gehlot OP & Dhiman RC, 2011. Aedes aegypti indices and KAP study in Sangam Vihar, south Delhi, during the XIX Commonwealth Games, New Delhi, 2010. Dengue Bulletin, 35, pp.131–140. Soegijanto S, 2012. Demam Berdarah Dengue, Surabaya: Airlangga University Press. Subagyo Y, S S, Rosmanida & Sulaiman, 1998. Dinamika Populasi Vektor pada Lokasi dengan Kasus Demam Berdarah Dengue yang 40



Tinggi di Kotamadya Surabaya. Kedokteran Tropis Indonesia, 9, pp.1–2. Supartha IW, 2008. Pengendalian Terpadu Vektor Virus Demam Berdarah Dengue , Aedes aegypti ( Linn .) dan Aedes albopictus ( Skuse )( Diptera : Culicidae ). Pertemuan Ilmiah Universitas Udayana, (September), pp.3–6. Suryana N, 2006. Interpretasi citra dan factorfaktor yang mempengaruhi penyebaran Demam Berdarah (DBD) studi kasus kota bandung. [thesis] Institut Teknologi Bandung.



al be



lik



an



Tandon N & Ray S, 2000. Host feeding pattern of Aedes aegypti and Aedes albopictus in Kolkata, India. Dengue Bulletin, 24, pp.117– 120.



D



ip



er



ju



WHO, 2011. Comprehensive guidelines for prevention and control of dengue and dengue haemorrhagic fever World Health Organization, ed., new Delhi: SEARO Technical Publication Series.



U



nt



uk



Wijaya AP & Sukmono A, 2017. Estimasi Tingkat Kerawanan Demam Berdarah Dengue Berbasis Informasi Geospasial. Jurnal Geografi, 14(1), pp.40–53.



Ti



da



k



Wiwanitkit V, 2006. An observation on correlation between rainfall and the prevalence of clinical cases of dengue in Thailand. Journal of vector borne diseases, 43(2), pp.73–76. Yahya & Warni SE, 2017. Daya Tetas dan Perkembangan Larva Aedes aegypti Menjadi Nyamuk Dewasa pada Tiga Jenis Air Sumur Gali dan Air Selokan. Jurnal Vektor Penyakit, 11(1), pp.9–18. Yudhastuti R & Vidiyani A, 2005. Hubungan Kondisi Lingkungan, Kontainer, Dan Perilaku Masyarakat Dengan Keberadaan Jentik Nyamuk Aedes Aegypti Di Daerah Endemis Demam Berdarah Dengue Surabaya. Jurnal Kesehatan Lingkungan, 1(2), pp.170– 183. 41



Ti



da



k



U



nt



uk



D



ip



er



ju



al be



lik



an



Zulhaidir, 2014. Studi Perubahan Ekologis Makro: Dampak Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Prevalensi Penyakit Tubercolusis Paru, Demam Berdarah Dengue, Dan Malaria Di Kabupaten Tanggamus. [Thesis] Universitas Lampung.



42



D



ip



er



ju



al be



lik



an



BAB 3 TRANSMISI TRANSOVARIAL: MEKANISME VIRUS DENGUE DALAM MEMPERTAHANKAN EKSISTENSI DIRI DI ALAM



nt U



Pendahuluan



uk



Tri Wahono



Ti



da



k



Indonesia merupakan daerah endemik Demam Berdarah Dengue (DBD). Sejak pertama kali ditemukan di Kota Surabaya tahun 1968, angka kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) memiliki kecenderungan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Persebaran virus dengue mulai terlihat pada tahun-tahun berikutnya, yang awalnya hanya dua provinsi yang melaporkan adanya kasus dengue pada tahun 1968, pada tahun 2009 telah terlaporkan di 32 provinsi dari 33 provinsi, dan data terakhir menunjukkan bahwa DBD telah dinyatakan endemik di seluruh provinsi di Indonesia (Kemenkes RI, 2015). Kejadian Luar Biasa (KLB) atau epidemi DBD hampir terjadi setiap tahun di daerah



43



yang berbeda dan sering kali berulang di wilayah yang sama. Secara nasional, kejadian DBD berulang setiap lima tahun (Suroso, 2004).



U



nt



uk



D



ip



er



ju



al be



lik



an



Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue yang tergolong Arthropod-Borne Virus, genus Flavivirus, dan famili Flaviviridae. Berdasarkan sifat antigenisitasnya virus terdiri dari 4 serotipe, yaitu DEN1, DEN-2, DEN-3, DEN-4 (Henchal & Putnak, 1990). Virus dengue ditularkan oleh nyamuk vektor, yaitu Ae. aegypti sebagai vektor utama DBD, karena nyamuk ini bisa menjadi reservoir maupun amplifier host bagi virus dengue (Borucki et al., 2002). Selain Ae. aegypti, di beberapa wilayah di Indonesia Ae. albopictus dan Ae. scutellaris juga berperan sebagai vektor. Ketiga jenis nyamuk Aedes ini memang tersebar luas di wilayah tropis dan subtropis, bahkan jenis nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus ini hampir terdapat di seluruh wilayah Indonesia (Sigit et al., 2006). Dalam tubuh nyamuk Ae. aegypti, virus dengue dapat tumbuh dan berkembang biak tanpa menimbulkan kematian pada nyamuk karena tidak terbentuk cytopathic effect (Yotopranoto et al., 1998). Virus dengue mampu bereplikasi dalam tubuh nyamuk dalam jaringan ovarium dan embrio tanpa ada efek yang merusak (Borucki et al., 2002).



Ti



da



k



Secara epidemiologi kejadian suatu penyakit dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu agen, host atau inang, dan lingkungan. Pada kasus transmisi infeksi virus dengue terdapat tiga faktor yang memegang peranan, yaitu virus dengue sebagai agen, manusia sebagai inang, dan vektor perantara yaitu nyamuk Ae. aegypti sebagai vektor utama dan Ae. albopictus sebagai co-vektor (Mardihusodo et al., 2007). Kondisi lingkungan yang sesuai juga turut mendukung terjadinya transmisi infeksi dengue.



44



Mekanisme Transmisi Virus Dengue



an



Transmisi atau penularan virus dengue dapat secara horizontal dengan melalui vertebra infektif dan nyamuk, maupun secara vertikal atau transovarial pada nyamuk (Halstead, 2008). Transmisi virus dengue secara horizontal berlangsung dari nyamuk vektor ke dalam tubuh vertebrata (manusia dan kelompok kera tertentu) dan sebaliknya dari vertebrata ke dalam tubuh vektor. Transmisi horizontal pada nyamuk Ae. aegypti dapat berlangsung di hutan (sylvan cycle) dengan monyet sebagai inangnya dan di perkotaan (urban cycle) dengan manusia sebagai inangnya.



Ti



da



k



U



nt



uk



D



ip



er



ju



al be



lik



Nyamuk mendapatkan virus pada saat melakukan gigitan pada manusia (vertebrata) yang pada saat itu sedang mengandung virus dengue di dalam darahnya (viremia). Virus yang sampai ke dalam lambung nyamuk akan mengalami replikasi (memecah diri atau berkembang biak), kemudian akan migrasi yang akhirnya akan sampai di kelenjar ludah. Virus yang berada di lokasi ini setiap saat siap untuk dimasukkan ke dalam kulit tubuh manusia melalui gigitan nyamuk .



Gambar 1. Dua macam transmisi horizontal virus dengue, silvan cycle dengan primata sebagai inangnya dan urban cycle dengan manusia sebagai inangnya (Whitehead et al., 2007)



45



an



Transmisi vertikal atau transovarial terjadi tanpa adanya perantara inang vertebrata. Mekanisme transmisi vertikal hanya terjadi dalam tubuh nyamuk. Virus dengue dapat ditularkan oleh nyamuk betina ke telurnya (transovarial), yang nantinya akan menjadi nyamuk dengan tingkat infeksi yang bisa melebihi 80% (Beaty & Marquardt, 2004). Transmisi vertikal terjadi sesuai dengan siklus hidup nyamuk, yaitu nyamuk betina yang telah terinfeksi bertelur di microniches, kemudian telur berkembang menjadi larva dan pupa yang terinfeksi virus dengue dan akhirnya muncul sebagai nyamuk dewasa infektif yang masuk dalam siklus transmisi manusia-nyamuk-manusia.



Ti



da



k



U



nt



uk



D



ip



er



ju



al be



lik



Nyamuk betina yang telah infektif akan menurunkan virus kepada semua tahap perkembangan siklus hidup nyamuk, baik telur, larva, pupa, dan dewasa. Dalam keadaan habitat hidupnya kering, semua pradewasa Ae. aegypti akan mati, kecuali telur masih dapat bertahan hidup antara tiga bulan sampai satu tahun. Telur Ae. aegypti akan menetas bila cukup air terutama pada saat musim hujan (Supartha, 2008). Telur Ae. aegypti mampu bertahan terhadap kekeringan selama lima bulan pada suhu ruang dengan persentase tetas telur yang menurun setiap bulannya (Setiyaniingsih & Alfiah, 2014). Virus dengue secara eksperimental pernah terbukti dapat ditransfer dari induk yang terinfeksi ke kapsula dan sel telurnya. Virus tersebut juga dapat diisolasi dari larva dan nyamuk generasi berikutnya (Rosen, L.;Gubler, 1974).



46



an lik al be ju er ip D nt



uk



Gambar 2. Siklus hidup Aedes aegypti (Sigit et al., 2006).



da



k



U



Mekanisme transmisi transovarial arbovirus pada nyamuk menurut Leake (1984) ada tiga macam, yaitu:



Ti



1. Nyamuk betina yang belum terinfeksi mengisap darah inang viremik, kemudian virus mengalami replikasi dalam nyamuk. Telur yang terinfeksi tersebut menghasilkan larva yang infeksiosa, 2. Nyamuk betina yang belum terinfeksi kawin dengan nyamuk jantan yang terinfeksi secara transovarial. Selama nyamuk kawin terjadi penularan secara seksual yang berakibat ovarium nyamuk betina terinfeksi virus, 3. Jaringan ovarium nyamuk betina mengalami infeksi virus dan kondisi ini terpelihara sampai generasi berikutnya secara genetik. 47



Transmisi Transovarial di Indonesia



er



ju



al be



lik



an



Transmisi transovarial virus dengue di Indonesia di alam dibuktikan oleh Umniyati di Kelurahan Klitren, Yogyakarta dengan metode Imunositokimia-imunoperoksidase streptavidin biotin complex (IISBC) pada sediaan pencet kepala (head squash) (Umniyati, 2004). Penelitian selanjutnya dengan metode yang sama oleh Widiarti di Kota Semarang, Kabupaten Kendal, dan Kabupaten Sukoharjo ditemukan adanya transmisi DBD secara transovarial dengan persentase angka infeksi (infection rate) berkisar 0,66 - 8,77%, juga oleh Mardihusodo di beberapa kelurahan Kota Yogyakarta juga ditemukan telah terjadi transmisi vertikal dalam tubuh nyamuk, dengan angka infeksi 38,5 – 70,2% (Widiarti; Boewono, DT; Widyastuti, 2009; Mardihusodo et al., 2007). Setelah terbukti adanya transmisi transovarial di beberapa daerah tersebut mulai banyak penelitian di berbagai tempat untuk membuktikan adanya transmisi transovarial di daerah lain.



Ti



da



k



U



nt



uk



D



ip



Gustiansyah (2008) melaporkan transmisi transovarial virus dengue di dua daerah berbeda, yaitu daerah endemis dan sporadik dengan indeks transmisi transovarial 19,4 - 25,0% pada daerah endemis dan 2,8 - 8,3% pada daerah sporadik di Sampit, Kotawaringin Timur (Kalimantan Tengah), dengan catatan daerah endemis dengue mempunyai indeks transmisi transovarial yang lebih tinggi dibandingkan pada daerah yang sporadik dengue. Penelitian Umniyati selanjutnya juga melaporkan indeks transmisi transovarial virus dengue di Kabupaten Bantul, Sleman, dan Kota Yogyakarta pada periode November berturut-turut sebesar 10,86%, 29,31%, dan 16,16% (Umniyati, 2009). Sementara itu, di daerah lain Hartanti melaporkan adanya bukti transmisi transovarial di daerah endemis dengue di Kecamatan Tebet, Jakarta dengan indeks transmisi transovarial sebesar 20% (Monica Dwi Hartanti and Ingrid A.Tirtadjaja, 2010). Pramestuti juga melaporkan adanya transmisi transovarial di beberapa lokasi di 48



Kabupaten Banjarnegara, yaitu di enam kecamatan dengan kasus DBD baru, yaitu Kecamatan Kutabanjarnegara, Parakancanggah, Klampok, Wanadadi, Tapen, dan Singamerta (Pramestuti et al., 2013). Dari enam kecamatan tersebut didapatkan hasil positif transmisi transovarial pada Kecamatan Kutabanjarnegara, Parakancanggah, dan Wanadadi.



k



U



nt



uk



D



ip



er



ju



al be



lik



an



Transmisi transovarial juga dilaporkan di beberapa daerah di Sulawesi seperti yang dilaporkan oleh Sorisi di Kecamatan Malalayang, Kota Manado (Sorisi et al., 2010). Lidiasani et al. (2016) melaporkan di Kelurahan Kombos Barat, Kecamatan Singkil, Kota Manado dengan indeks transmisi transovarial berkisar antara 39,1-70%. Dua daerah tersebut merupakan daerah endemis DBD di Kota Manado. Trovancia et al. (2016) membuktikan adanya transmisi transovarial virus dengue di Kota Manado dengan Teknik imunohistokimia SBPC. Deteksi dilakukan pada nyamuk liar Ae. aegypti dan ditemukan sebanyak 12,2 % positif virus dengue. Berbeda halnya dengan penelitian Rini (2015) yang bertujuan melihat perbedaan ekspresi virus dengue melalui transmisi transovarial pada daerah endemis dan nonendemis di Kota Semarang, hasilnya menunjukkan ada perbedaan signifikan antara ekspresi virus dengue melalui transmisi transovarial pada daerah endemis dan nonendemis dengue.



Ti



da



Wasilah (2015) juga melakukan penelitian untuk melihat perbandingan status entomologi vektor dengue di daerah endemis urban dan daerah endemis rural di Kabupaten Kulon Progo. Hasilnya menunjukkan bahwa transmisi transovarial di daerah endemis urban (Gadingan, Wates) sebesar 11,43%, lebih tinggi dibandingkan di daerah rural (Siwalan, Sentolo) sebesar 4,89%. Putri (2017) juga melakukan deteksi transmisi transovarial di Kampung Inggris, Kecamatan Pare, Kota Kediri. Hasilnya menunjukkan bahwa secara imunohistokimia terdapat nyamuk positif virus dengue sebesar 46,43% dan secara Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) terdapat angka 49



infeksi minimum 71,43 untuk DEN-4 dan 35,71 untuk DENV-3. Kampung Inggris sendiri merupakan daerah endemis dengan jumlah kasus DBD paling banyak pada tahun 2016 di Kecamatan Pare, Kota Kediri. Berikut adalah tabel rekapitulasi deteksi transmisi transovarial yang sudah dilakukan di Indonesia (Tabel 1). Tabel 1. Deteksi Transmisi Transovarial di Indonesia Peneliti



Tahun



Lokasi



2004



Kelurahan Klitren, Kota Yogyakarta



Widiarti



2006



Kabupaten Semarang, Kendal, Sukoharjo



Mardihusodo



2007



Kota Yogyakarta



Gustiansyah



2008



Kecamatan Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur



Umniyati



2009



Kota Bantul, Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta



Sucipto



2009



Kota Pontianak



Hartanti



2010



Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan



Riandini



2010



Sorisi



2011



Kota Malalayang, Manado



Saranani



2012



Kota Kendari



lik



al be



ju



er



ip D



uk



nt U



Kota Pekanbaru



2013



Kecamatan Kutabanjarnegara, Parakancanggah, Wanadadi, Kabupaten Banjarnegara



2015



Kecamatan Mijen, Kota Semarang



Karyadi



2015



Kecamatan Sangatta Utara, Kutai Timur



Wasilah



2015



Kelurahan Gedangan, Kecamatan Wates, Kelurahan Siwalan, Kecamatan Sentolo



Lidiasani



2016



Kelurahan Kombos Barat, Kecamatan Singkil, Kota Manado



Trovancia



2016



Kota Manado



Putri



2017



Kampung Inggris, Kecamatan Pare, Kota Kediri



50



Ti



Rini



da



k



Prametuti



an



Umniyati



al be



lik



an



Dari berbagai penelitian tersebut dapat kita lihat bahwa transmisi transovarial telah terdeteksi pada hampir seluruh wilayah Indonesia. Mulai dari Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi sudah terdeteksi adanya transmisi transovarial di berbagai daerah yang merupakan daerah endemis dengue. Wilayah lain kemungkinan besar juga terjadi transmisi transovarial hanya saja belum ada yang melakukan penelitian di wilayah tersebut. Selain mendeteksi transmisi transovarial di alam, beberapa penelitian di Indonesia telah membuktikan adanya transmisi transovarial secara laboratoris dengan cara menginfeksi virus dengue pada nyamuk Ae. aegypti. Umniyati telah membuktikan adanya transmisi transovarial dan transstadial pada telur, larva, pupa, dan nyamuk dewasa Ae. aegypti yang telah diinfeksi dengan virus dengue secara per-oral menggunakan teknik imunositokimia (Umniyati, 2009).



Ti



da



k



U



nt



uk



D



ip



er



ju



Seran dan Prasetyowati membuktikan transmisi transovarial dengan mendeteksi keberadaan antigen virus dengue dari telur nyamuk yang telah diinfeksi virus dengue DEN-2 secara per-oral. Deteksi antigen virus dengue dilakukan pada telur Ae. aegypti betina dewasa generasi F2 hasil kolonisasi sampel telur dari nyamuk Ae. aegypti (F1) betina yang terbukti terinfeksi virus DEN-2 secara per-oral. Hasil menunjukkan bahwa terdapat adanya transmisi transovarial pada telur dengan indeks transmisi transovarial sebesar 52% (Desiree & Prasetyowati, 2012). Satoto et al. (2013) melakukan penelitian untuk melihat pengaruh suhu dan kelembapan terhadap transmisi virus DEN-2 dalam tubuh nyamuk Ae. aegypti. Infeksi dilakukan pada kelompok nyamuk Ae. aegypti betina (F0) secara per-oral dan diamati transmisi transovarial sampai generasi F2. Hasil penelitian menunjukkan indeks transmisi transovarial sebesar 93,3% pada generasi F0 dan 82,2% pada generasi F1. Transmisi transovarial juga terbukti ditemukan pada semua stadium (telur-larva-pupa-dewasa) dari nyamuk induk Ae. aegypti betina dewasa yang diinfeksi dengan virus DEN-3 secara per-oral (Setya, 2015; Wahono, 2017) . 51



Peranan Transmisi Transovarial dalam Endemisitas Dengue



Ti



da



k



U



nt



uk



D



ip



er



ju



al be



lik



an



Transmisi transovarial virus dengue pada awalnya dianggap tidak berperan bagi epidemiologi dengue tetapi hasil penelitian menunjukkan hal yang lain. Hasil penelitian menyebutkan bahwa adanya transmisi transovarial virus dengue pada nyamuk Ae. aegypti di Malaysia berperan dalam meningkatkan dan mempertahankan epidemik dengue. Transmisi transovarial virus dengue pada nyamuk Ae. albopictus terdeteksi 7-41 hari sebelum kasus dengue pertama kali dilaporkan (Lee & Rohani, 2005). Hal tersebut senada dengan yang disampaikan oleh Thavara bahwa transmisi transovarial virus dengue berpotensi meningkatkan kemungkinan wabah dengue atau setidaknya memberikan kontribusi untuk terpeliharanya virus dengue di suatu daerah endemis (Thavara et al., 2006). Nyamuk betina yang telah terinfeksi bertelur di microniches, tempat sebagian besar telur bertahan hidup melalui musim inter-epidemi, muncul sebagai nyamuk dewasa yang kemungkinan masuk dalam siklus manusia-nyamuk-manusia. Generasi berikutnya yang diperoleh dari induk nyamuk yang terinfeksi menunjukkan bahwa virus tersebut dapat bertahan dalam generasi nyamuk berikutnya melalui transovarian passage (Gubler, 1998). Nyamuk yang terinfeksi secara transovarial mempunyai kemampuan menularkan virus dengue secara oral melalui kelenjar ludah kepada seorang individu sehat (Lee & Rohani, 2005). Beberapa penelitian secara laboratoris hasilnya menunjukkan adanya kecocokan dengan argumentasi tersebut. Joshi melaporkan hasil eksperimennya di laboratorium bahwa virus DEN-3 secara persisten ditularkan secara transovarial yang meningkat frekuensinya sampai F7 kemudian tetap (persisten) infeksinya pada generasi-generasi (F) berikutnya (Joshi et al., 2002). Rohani et al. (2008) juga membuktikan secara laboratoris bahwa transmisi transovarial bisa bertahan sampai 52



generasi ke-5 pada nyamuk Ae. aegypti yang diinfeksi dengan virus dengue serotipe 2 secara per-oral. Hasil penelitian ini memberikan indikasi bahwa transmisi transovarial berpotensi sebagai pendukung pemeliharaan endemisitas DBD, dengan nyamuk Ae. aegypti berlaku sebagai reservoir virus dengue sepanjang waktu.



ip



er



ju



al be



lik



an



Saat ini, transmisi transovarial virus dengue merupakan fenomena penting yang menjadi penyebab bertahannya virus dengue selama periode inter-epidemic di alam (Angel & Joshi, 2008). Transmisi transovarial tampaknya berpotensi sebagai pendukung untuk inisiasi KLB, atau minimal berperan sebagai faktor persistensi endemisitas DBD di suatu wilayah (Joshi et al., 2002). Transmisi transovarial pada daerah endemis dan nonendemis menunjukkan perbedaan yang signifikan. Transmisi transovarial pada daerah endemis lebih tinggi daripada transmisi transovarial di daerah nonendemis (Gustiansyah, 2008; Putri, 2017).



Ti



da



k



U



nt



uk



D



Umniyati (2009) menyatakan bahwa telur-telur yang diletakkan pada akhir musim hujan sebelumnya akan menetas pada awal musim hujan berikutnya. Jika telur tersebut berasal dari induk infeksius, maka sebagian telur tersebut berpeluang untuk terinfeksi secara transovarial selama stadium telur yang berlangsung selama berbulan-bulan. Telur yang menetas pada musim hujan berikutnya tersebut berpeluang besar menjadi larva yang infeksius dan selanjutnya menjadi nyamuk yang infeksius virus dengue walaupun belum pernah menggigit dan mengisap darah inang infeksius virus dengue. Mulyatno (2012) melaporkan transmisi vertikal pada larva lapangan menunjukkan hasil yang lebih tinggi saat musim hujan. Faktor ini kemungkinan yang berperan dalam mempertahankan keberadaan DEN 1 dan 2 melewati musim kemarau di Indonesia. Tidak seperti negara-negara kontinental yang mengalami pergantian serotipe dengue, pada negara kepulauan seperti Indonesia



53



transmisi transovarial cenderung memainkan peran utama dalam pemeliharaan keberadaan virus dengue di suatu wilayah (Satoto et al., 2014). Penutup



al be



lik



an



Transmisi transovarial merupakan suatu mekanisme virus dengue dalam mempertahankan keberadaannya di alam. Transmisi transovarial terbukti berperan penting dalam meningkatkan dan mempertahankan epidemik dengue di suatu wilayah. Transmisi transovarial virus dengue dianggap sebagai penyebab bertahannya virus dengue selama periode inter-epidemic di alam. Transmisi transovarial tampaknya berpotensi besar sebagai pendukung untuk inisiasi kejadian luar biasa atau minimal berperan sebagai faktor persistensi endemisitas DBD di suatu wilayah.



ju



Daftar Pustaka



nt



uk



D



ip



er



Angel B & Joshi V, 2008. Distribution and seasonality of vertically transmitted dengue viruses in Aedes mosquitoes in arid and semiarid areas of Rajasthan, India. Journal of Vector Borne Diseases, 45(1), pp.56–9.



da



k



U



Beaty BJ & Marquardt W, 2004. The Biology of Disease Vectors 2nd ed., Academic Press.



Ti



Borucki MK, Kempf BJ, Blitvich BJ, Blair CD & Beaty BJ, 2002. La Crosse virus: Replication in vertebrate and invertebrate hosts. Microbes and Infection, 4(3), pp.341–50. Desiree M & Prasetyowati H, 2012. Transmisi transovarial virus dengue pada telur nyamuk Aedes aegypti ( L .). Aspirator, 4(2), pp.53–58. Gubler DJ, 1998. Dengue and dengue hemorrhagic fever. Clinical microbiology reviews.



54



Gustiansyah M, 2008. Bukti Adanya Transmisi Transovarial Virus Dengue pada nyamuk Aedes aegypti (Diptera; Culicidae) di Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur Kalimantan Tengah. Program Studi Ilmu Kedokteran Tropis. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Halstead SB, 2008. Dengue Virus–Mosquito Interactions. Annual Review of Entomology. Henchal EA & Putnak JR, 1990. The Dengue Viruses. Clinical Microbiology Reviews, 3(4), pp.376–96.



al be



lik



an



Joshi V, Mourya DT & Sharma RC, 2002. Persistence of dengue-3 virus through transovarial transmission passage in successive generations of Aedes aegypti mosquitoes. American Journal of Tropical Medicine and Hygiene.



D



ip



er



ju



Kemenkes RI, 2015. Profil Kesehatan Indonesia, Available at: http://www. depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatanindonesia/profil-kesehatan-Indonesia-2015.pdf.



U



nt



uk



Lee HL & Rohani A, 2005. Transovarial transmission of dengue virus in Aedes aegypti and Aedes albopictus in relation to dengue outbreak in an urban area in Malaysia. Dengue Bulletin, 29, pp.106–21.



Ti



da



k



Mardihusodo S., Satoto T, Mulyaningsih B, Umniyati S & Ernaningsih, 2007. Bukti Adanya Penularan Virus Dengue secara Transovarial pada Nyamuk Aedes aegypti di Kota Yogyakarta. In Simposium Nasional Aspek Biologi Molekuler, Patogenesis, Manajemen, dan Pencegahan KLB. Yogyakarta: Pusat Studi Bioteknologi UGM. Monica Dwi Hartanti and Ingrid A.Tirtadjaja S, 2010. Dengue virus transovarial transmission by Aedes aegypti. Universa Medicina, 29(2), pp.65–70. Pramestuti N, Widiastuti D & Raharjo J, 2013. Transmisi transovari virus Dengue pada nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus 55



di Kabupaten Banjarnegara. Jurnal Ekologi Kesehatan, 12(3), pp.187–194. Putri N, 2017. Detection Of Transovarial Dengue Virus Transmission In Aedes Aegypti Mosquitoes From Kampung Inggris, Pare, Kediri, East Java. Fakultas Kedokteran. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Rosen, L.;Gubler D, 1974. The use of mosquitoes to detect and propagate dengue viruses. The American journal of tropical medicine and hygiene, 23(6), pp.1153–1160.



al be



lik



an



Satoto TBT, Umniyati SR, Astuti FD, Wijayanti N, Gavotte L, Devaux C, et al., 2014. Assessment of vertical dengue virus transmission in Aedes aegypti and serotype prevalence in Bantul, Indonesia. Asian Pacific Journal of Tropical Disease, 4(S2), pp.S563–S568.



D



ip



er



ju



Setiyaniingsih R & Alfiah S, 2014. Pengaruh Suhu Penyimpanan Terhadap Presentase Tetas Telur Aedes Aegypti Di Laboratorium. journal Vektora, 6, pp.9–12.



U



nt



uk



Setya A, 2015. Deteksi Transmisi Transovarial Virus DEN 3 pada Semua Stadium Aedes aegypti secara Imunositokimia dengan Konfirmasi RT-PCR. Universitas Negeri Surakarta. Surakarta.



Ti



da



k



Sigit SH, Hadi UK, Koesharto FX, Soviana S, Gunandini DJ, Yusuf S, et al., 2006. Hama pemukiman Indonesia: Pengenalan, Biologi, dan Pengendalian 1st ed., Bogor: Institut Pertanian Bogor. Sorisi AMH, Umniyati SR & Satoto TBT, 2010. Transovarial transmission index of dengue virus on Aedes aegypti and Aedes albopictus mosquitoes in Malalayang District in Manado, North Sulawesi, Indonesia. Tropical Medicine Journal, 01(02), pp.87–95. Supartha IW, 2008. Pengendalian Terpadu Vektor Virus Demam Berdarah Dengue, Aedes aegypti (Linn.) dan Aedes albopictus



56



(Skuse)(Diptera: Culicidae). Makalah disampaikan dalam Seminar DiesUnud 2008. Suroso T, 2004. Situasi Epidemiologi dan Program Pemberantasan DBD di Indonesia. In Seminar Kedokteran Tropis, Kajian KLB Demam Berdarah Dengue dari Biologi Molekuler hingga Pemberantasannya. Pusat Kedokteran Tropis. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.



al be



lik



an



Thavara U, Siriyasatien P, Tawatsin A, Asavadachanukorn P, Anantapreecha S, Wongwanich R, et al., 2006. Double infection of heteroserotypes of dengue viruses in field populations of Aedes aegypti and Aedes albopictus (Diptera: Culicidae) and serological features of dengue viruses found in patients in southern Thailand. Southeast Asian Journal of Tropical Medicine and Public Health.



D



ip



er



ju



Umniyati S, 2004. Preliminary Investigation on The Transovarial Transmission of Dengue Virus in The Population Ae. sp aegypti in The Well. In Seminar Peringatan Hari Nyamuk IV. Surabaya.



da



k



U



nt



uk



Umniyati SR, 2009. Teknik Imunositokimia dengan Antibodi Monoklonal DSSC7 untuk Kajian Patogenesis Infeksi dan Penularan Transovarial Virus Dengue serta Surveilans Virologis Vektor Dengue. Universitas Gadjah Mada.



Ti



Wahono T, 2017. Pengaruh Lama Penyimpanan Telur Dan Umur Nyamuk Terhadap Derajat Infeksi Transovarial Virus Dengue Pada Nyamuk Aedes aegypti. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Whitehead SS, Blaney JE, Durbin AP & Murphy BR, 2007. Prospects for a dengue virus vaccine. Nature Reviews Microbiology, 5, p.518. Widiarti; Boewono, DT; Widyastuti U, 2009. Deteksi antigen virus dengue pada progeni vektor demam berdarah dengan metode imunohistokimia. Buletin Penelitian Kesehatan, 37(3), pp.126– 136. 57



Ti



da



k



U



nt



uk



D



ip



er



ju



al be



lik



an



Yotopranoto S, Subekti R, Rosmanida & Salamun, 1998. Analisis Dinamika Populasi Vektor pada Lokasi dengan Kasus Demam Berdarah Dengue yang Tinggi di Kotamadya Surabaya. Majalah Kedokteran Tropis Indonesia, 9, pp.23–31.



58



ju



al be



lik



an



BAB 4 INSEKTISIDA DALAM PENGENDALIAN VEKTOR DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)



ip



er



Nurul Hidayati Kusumastuti, Firda Yanuar Pradani



D



Pendahuluan



Ti



da



k



U



nt



uk



Upaya pengendalian vektor mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan RI (Permenkes) Nomor 374/Menkes/Per/III/2010 tanggal 17 Maret 2010 tentang pengendalian vektor yang mengatur beberapa hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan, perizinan, pembiayaan dan peran serta masyarakat, monitoring dan evaluasi, serta pembinaan dan pengawasan pengendalian vektor (Dirjen P2PL, 2012). Pengendalian vektor sendiri dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu dengan cara kimia, fisika, biologi, dan pengelolaan lingkungan. Cara kimia yang dilakukan untuk penanggulangan wabah DBD (kegiatan pengendalian vektor) yang sering dilakukan adalah dengan menggunakan insektisida sintetis, baik itu kelompok sintetik piretroid maupun insektisida sintetis lainnya. Cara kimia yang telah dilakukan program meliputi penggunaan larvasida dan fogging, sedangkan di masyarakat menggunakan insektisida rumah tangga. 59



er



ju



al be



lik



an



Pendekatan Pengendalian Vektor Terpadu (PVT) perlu diterapkan yang salah satu prinsipnya adalah penggunaan insektisida merupakan pilihan terakhir dan dilakukan secara rasional serta bijaksana. Insektisida yang digunakan harus mendapat izin dari Menteri Pertanian atas saran atau pertimbangan Komisi Pestisida (KOMPES) dan memerhatikan petunjuk teknis WHO. Pengendalian vektor dengan menggunakan insektisida harus memerhatikan beberapa aspek, yaitu efektif terhadap serangga sasaran, teknologi aplikasinya, keamanan bagi kesehatan masyarakat, petugas dan lingkungan. Insektisida, selain dapat memutus rantai penularan penyakit juga memberikan dampak negatif jika penggunaannya kurang bijak, antara lain menimbulkan kematian organisme bukan sasaran, masalah lingkungan, dan timbulnya resistensi vektor (Dirjen P2PL, 2012). Pada bab ini selanjutnya akan dibahas lebih terperinci tentang penggolongan cara kerja dan penggunaan insektisida di rumah tangga.



D



ip



Penggolongan dan Cara Kerja Insektisida



Ti



da



k



U



nt



uk



Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1973 tentang Pengawasan atas Peredaran, Penyimpanan, dan Penggunaan Insektisida, definisi insektisida adalah semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik, serta virus yang dipergunakan untuk memberantas atau mencegah hewan yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia. Insektisida kesehatan masyarakat adalah insektisida yang digunakan untuk pengendalian vektor penyakit dan hama permukiman seperti nyamuk, serangga pengganggu lain (lalat, kecoa/lipas), dan lain-lain yang dilakukan di wilayah permukiman endemis, pelabuhan, bandara, dan tempat-tempat umum lainnya (Dirjen P2PL, 2012). Insektisida menurut jenis dibagi menjadi beberapa, antara lain berdasarkan cara masuk ke dalam tubuh serangga, insektisida dapat dibedakan atas racun pernapasan (fumigants), racun kontak, dan racun perut. Racun pernapasan (fumigants) digunakan untuk membunuh 60



al be



lik



an



serangga tanpa harus memerhatikan bentuk mulutnya, insektisida ini berbentuk gas. Penggunaan fumigants harus hati-hati, terutama penggunaan di ruang tertutup. Insektisida sebagai racun kontak, yang terpenting adalah kontak antara serangga yang ingin dibunuh dengan insektisida yang digunakan. Insektisida sebagai racun perut berarti insektisida harus masuk melalui sistem pencernaan. Cara kerja insektisida dalam tubuh serangga terbagi menjadi lima kelompok, yaitu mengganggu sistem syaraf, menghambat produksi energi, memengaruhi sistem endokrin, menghambat produksi kutikula, dan menghambat keseimbangan air. Mengetahui cara kerja insektisida akan bermanfaat dalam memilih dan merotasi insektisida yang ada untuk mendapatkan hasil yang optimal dalam rangka pengelolaan resistensi (Sigit et al., 2006).



Ti



da



k



U



nt



uk



D



ip



er



ju



Insektisida berdasarkan bahan kimia merupakan kelompok pestisida yang terbesar dan terdiri atas beberapa subkelompok kimia yang berbeda. Untuk jenis insektisida nyamuk, bahan kimia yang digunakan antara lain Organoklorin, Organofosfat, Karbamat, Piretroid, DEET dan nabati. Organoklorin merupakan chlorinated hydrocarbon yang secara kimiawi tergolong insektisida yang relatif stabil dan kurang reaktif, ditandai dengan dampak residunya yang lama terurai di lingkungan. Satu di antara insektisida organoklorin yang terkenal adalah DDT yang telah menimbulkan banyak perdebatan. Kelompok organoklorin merupakan racun terhadap susunan syaraf, baik pada serangga maupun mamalia. Keracunan dapat bersifat kronis dan akut. Semua insektisida golongan ini telah terbukti menginduksi hepatoma pada binatang percobaan (mencit). Pada burung predator, DDT berdampak mengurangi ketebalan kulit telur burung predator sehingga mengurangi populasi burung tersebut. Sebagian besar organoklorin seperti aldrin, klordan, DDT, dieldrin, endrin, heptaklor, mirex, dan toksafen telah dilarang penggunaannya di sebagian besar negara di dunia karena alasan kesehatan dan kerusakan lingkungan. Insektisida 61



ini mempunyai waktu paruh yang panjang sehingga meskipun telah dihentikan pemakaiannya, insektisida ini masih terdapat di lingkungan sampai beberapa tahun kemudian. Di Indonesia sejak tahun 1996, insektisida golongan ini telah dilarang untuk digunakan sebagai insektisida rumah tangga (Lu, 1995).



k



U



nt



uk



D



ip



er



ju



al be



lik



an



Organofosfat merupakan ester asam fosfat atau asam tiofosfat. Insektisida ini mempunyai waktu paruh yang bervariasi tergantung pada derajat keasaman (pH). Waktu paruh pada pH netral berkisar beberapa jam untuk diklorvos hingga beberapa minggu untuk parathion, sedangkan pada pH sedikit asam waktu paruh ini akan meningkat beberapa kali (Chemical Safety Information from Intergovernmental Organizations, 2008). Organofosfat umumnya merupakan racun pembasmi serangga yang paling toksik terhadap binatang bertulang belakang seperti ikan, burung, cicak, dan mamalia yang bekerja memblokade penyaluran impuls syaraf dengan mengikat enzim asetilkolinesterase. Akibatnya terjadi penumpukan asetilkolin yang meningkatkan aktivitas syaraf, dengan gejala mulai dari sakit kepala hingga kejang-kejang otot dan kelumpuhan. Di Indonesia, insektisida Organofosfat jenis diklorvos dan klorfirifos telah dilarang sejak tahun 2007 (Departemen Pertanian RI, 2007).



Ti



da



Karbamat merupakan ester asam N-metilkarbamat. Bekerja menghambat asetilkolinesterase seperti insektisida Organofosfat, tetapi pengaruhnya terhadap enzim tersebut tidak berlangsung lama, karena prosesnya cepat dan reversible. Kondisi ini jika timbul gejala tidak bertahan lama dan cepat kembali normal. Insektisida kelompok ini dapat bertahan dalam tubuh antara 1-24 jam (Lu, 1995). Insektisida karbamat jenis propoksur masih digunakan sebagai insektisida rumah tangga dengan waktu paruh sekitar empat jam, sehingga kandungan propoksur cepat hilang tetapi tetap berbahaya jika terjadi akumulasi (Raini, 2009). 62



U



nt



uk



D



ip



er



ju



al be



lik



an



Piretroid. Jenis insektisida ini paling banyak digunakan dalam insektisida rumah tangga, terutama pada insektisida bakar dan semprot. Berdasarkan produknya, piretroid dibedakan dengan piretroid alam yang diperoleh dari bunga Chrysanthemum cinerariaefolium dan piretroid sintetis yang merupakan sintesis dari piretrin. Piretroid sintetis sering dikombinasikan dengan bahan kimia lain sehingga mempunyai efek yang sinergis. Piretroid sintetis lebih lambat terurai dibandingkan dengan piretroid alam. Piretroid merupakan racun syaraf yang bekerja menghalangi sodium channels sehingga mencegah transmisi impuls syaraf. Piretroid sering dikombinasikan dengan piperonyl butoxide yang merupakan penghambat enzim mikrosomal oksidase pada serangga sehingga kombinasi senyawa ini dengan piretroid mengakibatkan serangga mati (Departemen Pertanian RI, 2007). Piretroid mempunyai toksisitas rendah pada manusia karena piretroid tidak terabsorpsi dengan baik oleh kulit. Walaupun demikian insektisida ini dapat menimbulkan alergi pada orang yang peka. Piretroid jenis transflutrin, d-alletrin, permetrin, dan sipermetrin banyak digunakan sebagai insektisida rumah tangga, baik dalam bentuk semprot nonaerosol (manual) maupun aerosol (dengan gas pendorong), elektrik maupun bakar.



Ti



da



k



DEET mempunyai nama The International Union of Pure and Applied Chemistry (IUPAC) adalah N,N-Diethyl-3-methylbenzamide atau nama lain N,N-Diethylm-toluamide. Insektisida DEET digunakan sebagai repellent, bekerja dengan memblokade receptor olfactory pada serangga sehingga menghilangkan insting atau keinginan serangga untuk menggigit manusia (Two Rivers Public Health Department, 2008). Potensi DEET sebagai repellent akan meningkat dengan tidak adanya bau keringat. Sifat lain DEET adalah sukar larut dalam air dan tidak diklasifikasikan sebagai penyebab kanker pada manusia. Meskipun demikian, disarankan tidak digunakan pada pemakaian berulang setelah delapan jam, karena DEET dapat berpenetrasi melalui kulit sehingga berpotensi menimbulkan keracunan (Two Rivers Public 63



an



Health Department, 2008). Lotion (losio) yang mengandung 100% DEET mampu melindungi kulit selama lebih dari 12 jam, sedangkan yang mengandung 20-34% DEET hanya mampu melindungi 3-6 jam. Sebagai repellent, The Center for Disease (CDC) merekomendasikan kadar DEET 30-50% untuk mencegah resistensi dari serangga (Fishel, 2008). The America Academy of Pediatrics menyatakan tidak ada perbedaan dalam hal keamanan pada produk yang mengandung DEET 10% dan 30% dan merekomendasikan agar DEET tidak digunakan pada bayi yang berumur kurang dari 2 bulan (Two Rivers Public Health Department, 2008).



Ti



da



k



U



nt



uk



D



ip



er



ju



al be



lik



Nabati merupakan insektisida alami yang didapat dari alam. Beberapa insektisida nabati yang masih digunakan antara lain piretrum, nikotin, rotenone, lionene, dan azadirachtin. Di Indonesia, sebelum banyaknya penggunaan piretroid, piretrin digunakan sebagai bahan aktif antinyamuk. Harga piretrin yang relatif mahal menyebabkan pengusaha memilih piretroid. Mikroba merupakan insektisida dari mikroorganisme. Contoh mikroorganisme yang digunakan untuk mengendalikan nyamuk adalah Bacillus thuringiensis dan Bacillus sphaericus. Bakteri tersebut merupakan racun perut bagi larva/jentikjentik nyamuk. Setelah termakan oleh larva/jentik-jentik, kristal endotoksin dari bakteri pun larut sehingga mengakibatkan sel epitel rusak dan larva/jentik-jentik mati. Bakteri untuk larva nyamuk tersebut tidak membahayakan binatang maupun tanaman. Zat Pengatur Tumbuh Serangga (ZPT) adalah senyawa yang mampu menghambat pertumbuhan normal serangga. Pada nyamuk, ZPT yang digunakan antara lain metopren dan piriproksifen. Metopren dan piriproksifen diaplikasikan pada perairan atau penampung air di sekitar rumah, baik penampung alam ataupun buatan. Ketika nyamuk bertelur dan menjadi larva, pertumbuhannya akan terganggu akibat metopren dan piriproksifen. Piriproksifen telah mendapat izin dari WHO untuk diaplikasikan pada air minum. Sinergis sebenarnya bukan insektisida, 64



tetapi jika digunakan bersama insektisida akan meningkatkan aktivitas insektisida tersebut. Sinergis biasanya digunakan bersama insektisida piretrin ataupun piretroid, contoh sinergis yang banyak digunakan adalah Piperonil butoksida (PBO) (Sigit et al., 2006).



D



ip



er



ju



al be



lik



an



Berdasarkan cara penggunaannya, insektisida dibedakan atas tujuh kelompok. Pertama, insektisida semprot dalam bentuk gas (aerosol) dan manual tanpa aerosol. Insektisida ini digunakan dengan cara menyemprotkan insektisida pada ruangan atau tempat yang mempunyai hama serangga. Insektisida semprot dengan aerosol berbentuk kemasan siap pakai, biasanya mengandung propana atau butana sebagai propellant. Pada umumnya mempunyai kadar insektisida lebih tinggi dibandingkan insektida nonaerosol. Residu insektisida akan tinggal di permukaan yang disemprotkan, tempat serangga bersarang dan berjalan yang akan membunuh serangga setelah beberapa waktu kemudian. Bahan yang digunakan ialah propoksur, silica gel, resmetrin atau piretrin (Michigan State University Extension, 2006).



Ti



da



k



U



nt



uk



Kedua, fogger/pengasapan. Menggunakan kemasan tabung beraerosol, pada umumnya melepaskan kabut yang jenuh pada ruang tertutup. Paling baik digunakan pada ruang yang banyak hama. Penggunaan fogger memerlukan persiapan yang baik (memindahkan tanaman dalam ruangan, hewan peliharaan, makanan, menutup furniture). Insektisida yang digunakan pada pengasapan tidak menimbulkan residu, karena itu pengasapan tidak akan membunuh hama, tetapi hanya mengusir hama serangga. Insektisida yang digunakan adalah piretroid dan yang sinergis (Michigan State University Extension, 2006). Ketiga, insektisida elektrik, yang berbentuk padatan keping (mat) dan cairan. Insektisida ini biasanya digunakan untuk membunuh nyamuk dengan menggunakan aliran listrik. Aliran listrik dapat menimbulkan panas sehingga insektisida yang terkandung dalam mat atau cairan menguap. Uap atau gas yang ditimbulkan dapat membunuh 65



hama serangga seperti nyamuk. Bahan yang digunakan ialah propoksur, piretroid ditambah bahan yang sinergis (Michigan State University Extension, 2006).



al be



lik



an



Keempat, insektisida bakar. Insektisida ini berbentuk bulatan seperti koil dan biasanya digunakan untuk membunuh nyamuk. Asap yang ditimbulkan dapat melumpuhkan atau membunuh nyamuk. Bahan yang digunakan piretroid ditambah dengan bahan yang sinergis. Kelima, insektisida losion sebagai repellent. Insektisida ini juga digunakan untuk menghindarkan gangguan atau gigitan nyamuk, bahan yang digunakan ialah DEET atau dimetilftalat. Nyamuk yang datang pada kulit yang diolesi insektisida ini segera pergi dan tidak menggigit (Michigan State University Extension, 2006).



Ti



da



k



U



nt



uk



D



ip



er



ju



Keenam, cairan insektisida. Tersedia dalam bentuk konsentrat yang jika akan digunakan dicampur dengan air atau pelarut siap pakai. Bahan yang digunakan: propoksur atau piretroid ditambah bahan yang sinergis. Ketujuh, kepingan kertas. Insektisida ini berbentuk sepotong kertas yang dilapisi dengan racun pada salah satu sisinya dan lem perekat agar menempel pada sisi yang lain. Kertas ini ditempatkan pada tempat yang banyak serangga sehingga serangga akan mati setelah kontak dengan insektisida ini (propoksur) (Michigan State University Extension, 2006). Racun insektisida dari berbagai zat aktif tersebut tidak hanya dirasakan oleh organisme yang menjadi sasaran, tetapi bisa menghinggapi hewan peliharaan maupun manusia (Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2009). Insektisida di Rumah Tangga dan Penggunaannya Pemerintah beserta masyarakat selalu berusaha menanggulangi DBD yang terus menjadi masalah setiap tahunnya. Pemerintah dengan program-program penanggulangannya dan masyarakat dengan partisipasinya pada program pemerintah. Sebagian masyarakat telah 66



mengetahui cara mencegah DBD, yaitu dengan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dan menggunakan obat nyamuk. Masyarakat menggunakan obat nyamuk dengan beberapa alasan yang melandasi pertimbangan menggunakan obat nyamuk seperti murah, mudah didapat, dan memiliki aroma khusus (Wahyono & Oktarinda, 2016).



Ti



da



k



U



nt



uk



D



ip



er



ju



al be



lik



an



Produk insektisida yang beredar di pasaran banyak jenis dan mereknya, mulai dari bakar, aerosol, oles, mat, dan cair elektrik. Data Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa sebanyak 12,2% menggunakan insektisida di dalam rumah tangga dalam upaya pencegahan gigitan nyamuk (Badan Litbang Kesehatan, 2013). Perilaku penggunaan insektisida di masyarakat setidaknya didorong oleh tiga alasan, yaitu kebutuhan manusia atas kenyamanan dan kesehatan, kemudahan mendapatkan insektisida, dan ketersediaan informasi mengenai insektisida (Wijaya et al., 2016). Penelitian di Desa Pangandaran, Kabupaten Pangandaran Tahun 2014 menunjukkan 82% responden menggunakan insektisida antinyamuk setiap harinya (Kusumastuti, 2014). Begitu pula dengan hasil penelitian di kelurahan Kutowinangun, Kota Salatiga didapatkan hasil bahwa 72 responden dari 100 menggunakan insektisida rumah tangga dan 28 responden (28%) tidak menggunakan (Wigati & Susanti, 2012). Penelitian tahun 2011 yang dilakukan di Jakarta menemukan bahwa responden cenderung tertarik dan mendapatkan informasi mengenai insektisida dari iklan komersial di media elektronik. Tanpa mengetahui kandungan zat aktif dari insektisida, responden menggunakan insektisida di rumahnya untuk jangka waktu yang lama, sampai insektisida tersebut dianggap tidak efektif lagi (Yuliani et al., 2011). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2013 menyatakan bahwa berdasarkan jenisnya insektisida yang digunakan, sebagian besar masyarakat memilih menggunakan obat nyamuk bakar. Hal ini kemungkinan disebabkan adanya perubahan perilaku masyarakat yang 67



U



nt



uk



D



ip



er



ju



al be



lik



an



cenderung lebih menyukai hal-hal yang sifatnya lebih praktis, termasuk pemilihan jenis insektisida (Badan Litbang Kesehatan, 2013). Provinsi Jawa Barat sebagian besar memilih jenis insektisida elektrik (36%) dan jenis aerosol menempati urutan kedua. Jenis ini lebih disukai karena selain cara penggunaannya lebih mudah, jenis insektisida ini relatif banyak dan mudah diperoleh. Selain itu, alasan utama rumah tangga lebih suka menggunakan insektisida jenis ini adalah tidak menimbulkan asap yang dapat mencemari lingkungan, mengotori rumah, dan membuat sesak pernapasan (Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes RI, 2013). Berbeda juga dengan hasil penelitian Lembaga Gita Pertiwi di Solo Raya, diketahui 94% responden menggunakan insektisida antinyamuk. Bentuk penggunaannya antara lain 54% bakar, 19% semprot, 17% oles, 15% mat (tablet) listrik. Beberapa responden mengaku menggunakan lebih dari satu macam produk antinyamuk (Wahyuningsih, 2011). Berbeda dengan hasil penelitian di Pangandaran, masyarakat lebih memilih jenis insektisida oles karena kenyamanan dan kemudahan memperolehnya (Kusumastuti, 2014). Terlihat bahwa penggunaan jenis insektisida rumah tangga tersebut berbeda satu dengan yang lain.



Ti



da



k



Banyaknya variasi penggunaan jenis insektisida dipengaruhi oleh berbagai faktor. Menurut Martono (2010), pola pemilihan jenis insektisida yang dipakai masyarakat tergantung ketersediaan produk di pasaran, tingkat efektifitas produk dalam membunuh hama, pengetahuan konsumen, jenis bahan aktif, harga, dan intensitas promosi produk insektisida tersebut. Masing-masing formulasi insektisida mengandung bahan aktif yang berbeda-beda. Semakin banyak varian yang digunakan oleh masyarakat, semakin banyak pula bahan aktif sintetik yang beredar di lingkungan masyarakat pengguna insektisida rumah tangga (Joharina, 2014).



68



Berdasarkan bahan aktif insektisida dari kelompok sintetik piretroid yang digunakan di rumah tangga, ada tiga jenis yaitu praletrin, d-aletrin, dan transflutrin. Piretroid merupakan jenis insektisida yang paling banyak digunakan dalam industri insektisida rumah tangga, terutama pada insektisida jenis koil/bakar dan semprot. Piretroid lebih disukai karena relatif memiliki toksistas rendah pada manusia karena piretroid tidak terabsorbsi dengan baik oleh kulit meskipun dapat menimbulkan alergi pada orang yang peka (Illinois Departement of Public Health Enviromental Health, 2007).



Ti



da



k



U



nt



uk



D



ip



er



ju



al be



lik



an



Berdasarkan produknya, piretroid dibedakan dengan piretroid yang berasal dari alam yang diperoleh dari bunga Chrysanthemum cinerariaefolium dan piretroid sintetis yang merupakan sintesis dari piretrin. Piretroid sintetis sering dikombinasikan dengan bahan kimia lain sehingga mempunyai efek yang sinergis, menaikkan potensi namun lebih persisten di lingkungan. Piretroid pada serangga merupakan racun saraf yang bekerja menghalangi sodium channels pada serabut syaraf sehingga mencegah transmisi impuls syaraf. Piretroid sering dikombinasikan dengan piperonyl butoxide yang merupakan penghambat enzim mikrosomal oksidase pada serangga sehingga kombinasi senyawa ini dengan piretroid mengakibatkan serangga mati. Piretroid mempunyai toksisitas rendah pada manusia karena piretroid tidak terabsorpsi dengan baik oleh kulit. Walaupun demikian, insektisida ini dapat menimbulkan alergi pada orang yang peka. Piretroid jenis transfultrin, d-alletrin, permetrin, dan sipermetrin banyak digunakan sebagai insektisida rumah tangga, baik dalam bentuk semprot nonaerosol (manual) maupun aerosol (dengan gas pendorong), elektrik maupun koil/bakar. Hasil evaluasi insektisida yang dilakukan oleh The United State of Environmental Protection Agency (USEPA) mengemukakan bahwa dampak risiko pada manusia dan lingkungan sangat kecil jika mengikuti petunjuk yang tertera pada label (Illinois Departement of Public Health Enviromental Health, 2007). Penelitian 69



terbaru yang dilakukan Irva Hertz-Picciotto dari Universitas California tahun 2008, mendukung adanya korelasi antara piretrin dengan autism (Fishel, 2008).



lik



an



Hasil penelitian di Depok juga menyebutkan bahwa sebagian besar masyarakat menggunakan insektisida piretroid (42,96%), Karbamat (25,35%), dan Organofosfat (6,34%) (Wahyono & Oktarinda, 2016). Penelitian lain di Kecamatan Tingkir, Salatiga bahan aktif yang banyak digunakan masyarakat adalah sipermetrin, daletrin, transflutrin, siflutrin, dan praletrin. Variasi bahan aktif ini ditemukan di berbagai merek dan formulasi insektisida yang beredar di pasaran (Wigati & Susanti, 2012).



Ti



da



k



U



nt



uk



D



ip



er



ju



al be



Berdasarkan frekuensi penggunaan, 85,4% masyarakat di Kabupaten Grobogan, Provinsi Jawa Tengah menggunakan insektisida rumah tangga sehari sekali dalam jangka waktu pemakaian enam sampai sepuluh tahun (Sunaryo et al., 2015). Hasil ini sama dengan penelitian di Jakarta Timur yang menunjukkan bahwa sebagian besar responden menggunakan insektisida setiap hari atau tujuh kali per minggu (Prasetyowati et al., 2016). Begitu pula dengan penelitian di Pangandaran menunjukkan lebih dari 80% masyarakat menggunakan satu kali sehari (Kusumastuti, 2014). Penggunaan insektisida rumah tangga dengan dosis dan cara yang tidak tepat dan dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan matinya musuh alami dan terjadinya resistensi vektor sehingga menurunkan efektivitas insektisida yang berakibat penggunaan insektisida meningkat (Pratamawati et al., 2012). Tata Cara Penggunaan Insektisida yang Aman Adapun beberapa petunjuk yang aman dalam penggunaan insektisida antara lain (Michigan State University Extension, 2006): 1. Jauhkan insektisida dari jangkauan anak-anak, dari makanan, atau jangan disimpan bersama makanan. 70



2. Jangan terkena luka terbuka. 3. Jangan menyemprot sewaktu ada orang di ruangan, jangan diarahkan pada makanan, hewan peliharaan, dan gunakan ruangan setelah 30 menit ruangan selesai disemprot. 4. Jangan mengoleskan lotion antinyamuk secara berlebihan. Bila terjadi iritasi, hentikan pemakaian, kemudian cuci kulit dengan air yang mengalir.



lik



an



5. Obat nyamuk bakar hendaknya dibakar pada ruangan yang berventilasi cukup, jangan menggunakan obat nyamuk bakar dekat makanan.



al be



6. Bila terkena mata, cuci mata dengan air yang mengalir, kemudian penderita dibawa ke dokter atau pelayanan kesehatan terdekat.



uk



D



ip



er



ju



7. Insektisida semprot gas mempunyai tekanan tinggi yang dapat meledak pada suhu 55°C, jangan ditusuk, jangan disimpan di tempat yang panas, di dekat api, atau dibuang di tempat pembakaran sampah.



Ti



da



k



U



nt



8. Apabila terjadi gejala pusing, keluar keringat, sesak napas, dan kejang perut akibat menghirup insektisida rumah tangga, segera dibawa ke dokter atau unit pelayanan kesehatan terdekat untuk mendapatkan pertolongan pertama dengan membawa wadah/ kemasan insektisida. Jika tertelan, usahakan agar penderita muntah. 9. Pada keracunan akut fumigant jenis naftalen dan PDB secara inhalasi, penderita dibawa ke ruang berudara segar. Jika terkena mata atau kulit, mata dicuci dengan air mengalir dan kulit dicuci dengan air dan sabun hingga bersih. Penderita segera dibawa ke unit pelayanan kesehatan terdekat (Michigan State University Extension, 2006).



71



Dampak Penggunaan Insektisida



er



ju



al be



lik



an



Penggunaan insektisida dalam pengendalian vektor DBD dalam masyarakat dapat menguntungkan sekaligus dapat merugikan. Insektisida bila digunakan secara tepat sasaran, tepat dosis, tepat waktu, dan cakupan akan mampu mengendalikan vektor dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan serta organisme yang bukan sasaran (Sukowati, 2010). Penggunaan insektisida kimia di rumah tangga memiliki risiko pemajanan, terutama pada golongan usia anak-anak. Risiko terhirup, tertelan, atau iritasi merupakan salah satu contoh bahaya pajanan insektisida rumah tangga (Goldman, 1995). Secara fisiologis, anak-anak lebih rentan karena anak-anak cenderung menghirup udara lebih banyak dan mengonsumsi makanan lebih banyak. Selain itu, rasa penasaran atau kebiasaan memasukan benda ke mulut, khususnya pada anak batita meningkatkan risiko pajanan insektisida terhadap anak-anak (Ruliansyah, 2015).



Ti



da



k



U



nt



uk



D



ip



Efek samping yang kurang menguntungkan lainnya adalah terganggunya kelangsungan ekosistem, terjadinya keracunan baik yang akut maupun kronis, pencemaran, hingga terbentuknya galur-galur vektor yang resisten terhadap insektisida kimia (Sigit et al., 2006). Dampak buruk dari penggunaan insektisida kimia bagi pengendalian vektor adalah terjadinya resistensi nyamuk, yaitu kemampuan serangga (nyamuk) untuk bertahan hidup terhadap pengaruh insektisida yang biasanya mematikan. Kondisi ini tidak akan menjadi masalah sampai suatu populasi didominasi oleh individu-individu yang resisten sehingga pengendalian vektor menjadi tidak efektif lagi (Sukowati, 2010). Penggunaan insektisida rumah tangga ikut berkontribusi pada status kerentanan vektor. Salah satu faktor yang memengaruhi kerentanan Ae. aegypti adalah perilaku penggunaan insektisida di masyarakat. Kecenderungan memilih cara mudah terkait pengendalian vektor di masyarakat sejalan dengan semakin sibuknya anggota rumah 72



tangga sehingga tidak ada lagi waktu untuk membersihkan tempat penampungan air ataupun membersihkan lingkungan sekitar (Yuliani et al., 2011).



k



U



nt



uk



D



ip



er



ju



al be



lik



an



Beberapa penelitian yang mendukung adanya resistensi di Indonesia antara lain penelitian (Gionar, 2005) menunjukkan bahwa 90% Culex quinquefasciatus di Jakarta dikategorikan resisten terhadap organofosfat dan 25% Ae. aegypti di Bandung resisten terhadap organofosfat. Penelitian di Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul, Sleman, Jepara, Blora, Kota Semarang, Kota Salatiga, Kota Surakarta, Kota Tegal, Kota Magelang, dan Kota Purwokerto Tahun 2010 (Widiarti, 2011). Begitu pula di Kabupaten Kendal, Grobogan, dan Purbalingga telah terjadi status resistensi vektor DBD terhadap beberapa insektisida (Ikawati et al., 2015). Sementara itu Kota Padang, Provinsi Sumatra Barat juga telah terjadi penurunan kerentanan vektor DBD meskipun belum terjadi resistensi (Putra et al., 2017). Beberapa kota/kabupaten Sumatra Selatan juga telah melaporkan terjadinya resistensi vektor DBD (Lasbudi et al., 2015), hal yang sama terjadi di Banjarbaru, Kalimantan Selatan (Diona & Nisa, 2011). Kabupaten Sumbawa, wilayah Timur Indonesia ini pun melaporkan terjadinya resistensi vektor DBD terhadap malation dan temefos (Simbarawa et al., 2017)



Ti



da



Penelitian lain melaporkan adanya resistensi nyamuk Ae. aegypti terhadap insektisida golongan karbamat (bendiocarb) yang banyak ditemukan pada formulasi insektisida rumah tangga. Tidak kurang dari 8 wilayah di provinsi Jawa Tengah (Kabupaten Jepara, Blora, Semarang, Salatiga, Magelang, Tegal, Surakarta, dan Purwokerto) dan 3 wilayah di DIY (Yogyakarta, Bantul, dan Sleman) menunjukan hasil kematian kurang dari 80% ketika isolat Ae. aegypti dipaparkan insektisida bendiocarb (Ikawati et al., 2015). Resistensi terhadap malation juga ditemukan pada nyamuk Ae. aegypti di 11 kabupaten/ kota di Provinsi Sumatra Selatan dengan 4 kabupaten menunjukkan 73



status toleran dan 7 kabupaten sudah resisten terhadap malation 0,8%. Kondisi ini berkembang cepat dengan kontribusi dari frekuensi dan dosis insektisida yang terus ditambah ketika dirasa sudah tidak efektif lagi (Lasbudi et al., 2015).



al be



lik



an



Salah satu strategi yang dapat digunakan dalam menghadapi kondisi resitensi insektisida dalam pengendalian vektor di antaranya adalah dengan metode rotasi. Monitoring tingkat kerentanan (peka, toleran, dan resisten) serangga vektor terhadap insektisida secara rutin perlu dilakukan agar dapat menentukan insektisida yang tepat untuk pengendalian (Dirjen P2PL, 2012). Efek toksik insektisida baik akut maupun kronis pada manusia maupun pada lingkungan dapat diminimalkan dengan mematuhi petunjuk keamanan yang tertera pada label kemasan insektisida.



er



ju



Penutup



Ti



da



k



U



nt



uk



D



ip



Insektisida sebagai salah satu upaya pengendalian vektor DBD, implementasinya masih perlu dilakukan pengawasan. Pengawasan dapat berupa uji kerentanan vektor terhadap insektisida secara periodik dan adanya regulasi yang lebih komprehensif melibatkan multisektor. Optimalisasi dan formulasi gerakan pemberdayaan masyarakat dalam rangka pengendalian vektor tetap dikedepankan sebagai program unggulan. Sifatnya yang masih berupa imbauan perlu ditingkatkan menjadi lebih mengikat dengan adanya aturan yang tegas dan sanksinya. Daftar Pustaka Badan Litbang Kesehatan, 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013, Jakarta: Kemenkes RI. Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2009. Bahaya Keracunan Pestisida di Rumah Tangga. Available at: http://www.pom.go.id/public/ siker/desc/produk/RacunPesRT.pdf [Accessed June 26, 2012]. 74



Chemical Safety Information from Intergovernmental Organizations, 2008. Organophosporus Pesticide. Available at: www.inchem.org/ documents/pims/chemical/pingOO1.htm. Departemen Pertanian RI, 2007. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 01/ Permentan/OT.140/1/2007 Tentang Daftar Bahan Aktif Insektisida yang Dilarang dan Insektisida Terbatas, Diona M & Nisa K, 2011. Larva Aedes aegypti sudah toleran terhadap Temefos di Kota Banjarbaru Kalimantan Selatan. Jurnal Vektora, 3, pp.93–111.



al be



lik



an



Dirjen P2PL, 2012. Pedoman Penggunaan Insektisida (Pestisida) Dalam Pengendalian Vektor. In Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.



ip



er



ju



Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes RI, 2013. Data Kasus DBD Berdasarkan Kabupaten/Kota di Indonesia tahun 2011-2013,



D



Fishel F, 2008. Pesticide Toxicity Profile Synthetic Pyrethroid.



k



U



nt



uk



Gionar et all, 2005. Penggunaan Metode Microtitre Plate Assay untuk Deteksi Gejala Kekebalan terhadap Insektisida Organofosfat Pada Tiga Spesies Nyamuk di Indonesia., Jakarta.



Ti



da



Goldman L., 1995. Children Unique and Vulnerable Enviromental Risk Facing Children and Recomendation for Response. Health perspective, 103, pp.13–18. Ikawati B, Sunaryo & Widiastuti D, 2015. Peta status kerentanan Aedes aegypti ( Linn .) terhadap insektisida cypermethrin dan malathion di Jawa Tengah. Aspirator, 7(1), pp.23–28. Illinois Departement of Public Health Enviromental Health, 2007. Pyrethroid Insecticides. Available at: http://www.idph.state.il.us/ envhealth/factsheets /pyrethroid.htm [Accessed November 17, 2008]. 75



Joharina AS, 2014. Kepadatan Larva Nyamuk Vektor sebagai Indikator Penularan Demam Berdarah Dengue di Daerah Endemis di Jawa Timur. Vektora, 8(2), pp.33–40. Kusumastuti NH, 2014. Penggunaan Insektisida Rumah Tangga Anti Nyamuk di Desa Pangandaran Kabupaten Pangandaran. Widyariset, 17(3), pp.417–424.



an



Lasbudi, Pahlepi RI, Tavip Y, Budiyanto A, Sitorus H & Febriyanto., 2015. Tingkat Kerentanan Aedes aegypti (Linn) Terhadap Malation di Propinsi Sumatera Selatan. Buletin Penelitian Kesehatan, 43(2), pp.97–104.



al be



lik



Lu F, 1995. Toksikologi Dasar II., Universitas Indonesia (UI) Press.



D



ip



er



ju



Michigan State University Extension, 2006. Selection and Use of Household Insecticides,If Needed. Available at: http://www. msue.msu.edu/objects/content_revision/download.cfm/revision_ id.496095/workspace_id.-4/01500539.html/.



Ti



da



k



U



nt



uk



Prasetyowati H, Astuti PE & Ruliansyah A, 2016. Penggunaan Insektisida Rumah Tangga dalam Pengendalian Populasi Aedes aegypti di Daerah Endemis Demam Berdarah Dengue ( DBD ) di Jakarta Timur. ASPIRATOR - Journal of Vector-borne Disease Studies, 8(1), pp.29–36. Pratamawati DA, Irawan AS & Widiarti, 2012. Hubungan Antara Pengetahuan Tentang Vektor Dengan Perilaku Penggunaan Insektisida Rumah Tangga Pada Daerah Endemis Demam Berdarah Dengue di Provinsi Bali. Vektora, IV(2), pp.99–116. Putra K, Hasmiwati & Amir A, 2017. Status Kerentanan Aedes aegypti Vektor DBD di Kota Padang. Jurnal Kesehatan Andalas.



76



Raini M, 2009. Toksikologi Insektisida Rumah Tangga dan Pencegahan Keracunan. Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, XIX(II), pp.27–33. Ruliansyah A dkk, 2015. Pemetaan Status Kerentanan Vektor DBD Aedes spp Terhadap Insektisida Menurut Kabupaten di Indonesia Tahun 2015 (Studi di Provinsi Jawa Barat),



an



Sigit SH, Hadi UK, Koesharto F, Gunandini DJ, Soviana S, Wirawan IA, et al., 2006. Hama Pemukiman Indonesia: Pengenalan, Biologi dan Pengendalian 1st ed. S. H. Sigit & U. K. Hadi, eds., Bogor: Institut Pertanian Bogor.



ju



al be



lik



Simbarawa L, Soviana SH & Kesumawaati U, 2017. Status Resistensi Aedes aegypti terhadap Malathion dan Temefos Serta Distribusi Spasialnya di Daerah Endemis DBD Kabupaten Sumbawa.



uk



D



ip



er



Sukowati S, 2010. Masalah Vektor Demam Berdarah Dengue dan Pengendaliannya di Indonesia. Buletin Jendela Epidemiologi., 2, pp.26–30.



da



k



U



nt



Sunaryo, Astuti P & Widiastuti D, 2015. Gambaran pemakaian insektisida rumah tangga di daerah endemis dbd kabupaten grobogan tahun 2013. Balaba, 11(01), pp.9–14.



Ti



Two Rivers Public Health Department, 2008. DEET. Available at: http://www.tworiverspublichealth.com/Resources/documents/ Deet. [Accessed November 20, 2008]. Wahyono TYM & Oktarinda W, 2016. Penggunaan Obat Nyamuk dan Pencegahan Demam Berdarah di DKI Jakarta dan Depok. Jurnal Epidemiologi Kesehatan Indonesia, volume 1(1), pp.35–40.



77



Wahyuningsih YS, 2011. Bahaya Obat Anti Nyamuk dan Cara Penanggulangannya. Available at: http://www.gitapertiwi.org/ media-publikasi/artikel/168-bahaya-obat-anti-nyamuk-dan-carapenanggulangannya.html [Accessed October 19, 2011]. Widiarti et all, 2011. Peta Resistensi Vektor DBD Aedes aegypti terhadap Insektisida Kelompok Organofosfat, Karbamat dan Piretroid di Propinsi Jawa Tengah dan Daerah Istemewa Yogyakarta. Buletin Penelitian Kesehatan, 39(4), pp.176–189.



al be



lik



an



Wigati RA & Susanti L, 2012. Hubungan Karakteristik, Pengetahuan,dan Sikap dengan Perilaku Masyarakat Dalam Penggunaan Anti Nyamuk di Kelurahan Kutowinangun. Buletin Penelitian Kesehatan, 40(3), pp.130–141.



D



ip



er



ju



Wijaya HO, Yulianti AB & Sakinah R kince, 2016. Hubungan Antara Penggunaan Insektisida Kesehatan Masyarakat dengan Karakteristik Ibu Rumah Tangga di Kelurahan Taman Sari Kota bandung,



Ti



da



k



U



nt



uk



Yuliani T, Hermanu T, Kooswardhono M & Nurmala K, 2011. Perilaku Penggunaan Pestisida: Studi Kasus Pengendalian Hama Permukiman Di Permukiman Perkotaan DKI Jakarta. Forum Pascasarjana, Vol. 34 No, pp.195–212.



78



er



ju



al be



lik



an



BAB 5 DAYA UNGKIT PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PENGENDALIAN DEMAM BERDARAH DENGUE



D



ip



Heni Prasetyowati, Rohmansyah W. Nurindra



nt



uk



Pendahuluan



Ti



da



k



U



Sampai saat ini, penemuan vaksin dan obat yang dapat mencegah dan mengobati Demam Berdarah Dengue (DBD) masih dalam tahap uji coba. Titik berat pemberantasan dan pencegahan penularan DBD dilaksanakan dengan mengendalikan populasi nyamuk penularnya. Nyamuk penular DBD, yaitu Aedes spp., hidup di sekitar tempat tinggal manusia. Berbagai upaya pengendalian populasi Aedes spp. telah dilakukan, di antaranya adalah pengasapan nyamuk dewasa (fogging), larvasidasi, serta Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) (Kemenkes RI, 2017; Wafa, 2011; Supartha, 2008). Di antara ketiga upaya pengendalian, program PSN merupakan program unggulan yang menjadi ujung tombak dalam memutus rantai penularan DBD. Hal ini dikarenakan program ini relatif murah, mudah, dan aman dilakukan. 79



er



ju



al be



lik



an



Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) DBD dalam program kesehatan dikenal dengan istilah “3M”. Pelaksanaannya meliputi: (1) menguras tempat-tempat penampungan air sekurang-kurangnya seminggu sekali; (2) menutup rapat tempat-tempat penampungan air; dan (3) mengubur atau memusnahkan barang-barang bekas yang dapat menampung air seperti kaleng bekas dan plastik bekas. Selain kegiatan 3M, kegiatan PSN DBD ditambah dengan tindakan plus, yaitu memberantas jentik-jentik dan menghindari gigitan nyamuk Aedes aegypti pembawa virus dengue. Upaya yang dapat dilakukan dalam pelaksanan PSN adalah sebagai berikut: abatisasi, memelihara ikan pemakan jentik nyamuk, mengusir nyamuk menggunakan antinyamuk, mencegah gigitan nyamuk menggunakan lotion antinyamuk, memasang kawat kasa pada jendela dan ventilasi, tidak menggantung pakaian di dalam kamar, serta menggunakan kelambu pada waktu tidur (Kemenkes RI, 2016).



Ti



da



k



U



nt



uk



D



ip



Tujuan utama dalam PSN adalah menghilangkan tempat perkembangbiakan potensial vektor DBD. Pelaksanaan PSN diharapkan mampu berjalan dengan baik sehingga dapat menekan populasi nyamuk Aedes spp. Salah satu indikator berjalannya program PSN dalam upaya pengendalian penyakit DBD yaitu Angka Bebas Jentik (ABJ). Target ABJ secara nasional adalah 95%, namun sampai dengan tahun 2016, ABJ secara nasional belum mencapai target program. Walaupun belum memenuhi target program, ABJ tahun 2016, yaitu sebesar 67,6% meningkat dibandingkan tahun 2015 sebesar 54,2% (Kemenkes RI, 2017). Masih rendahnya ABJ di lingkungan masyarakat menunjukkan masih adanya kontainer yang berpotensi menjadi tempat perkembangbiakan Aedes spp. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa habitat tempat perkembangbiakan Aedes spp. pada umumnya adalah tempat penampungan air yang kerap kali digunakan oleh manusia untuk 80



al be



lik



an



kebutuhan sehari-hari. Contoh kontainer yang sering dijumpai dan banyak ditemukan larva Aedes spp. adalah bak mandi, ember, dispenser, tampungan air pada belakang kulkas, drum, pot bunga, tutup ember, dan barang-barang bekas yang terbengkalai di sekitar rumah. Hal ini berisiko terhadap penularan DBD di lingkungan tersebut, terlebih lagi jika lingkungan tersebut merupakan daerah endemis. Peran serta masyarakat sangat diperlukan dalam meningkatkan ABJ di lingkungan mereka. Pemberantasan penyakit DBD bukanlah tanggung jawab sektor kesehatan semata, hal ini karena penanggulangan penyakit DBD lebih banyak terkait dengan peran serta masyarakat. Hal ini dibuktikan pada hasil penelitian Chadijah ( 2011) di Desa Palupi dan Desa Senggani, Palu yang peran serta masyarakatnya mampu meningkatkan ABJ dari 68% sampai 89% setelah tujuh minggu intervensi.



Ti



da



k



U



nt



uk



D



ip



er



ju



Peran serta masyarakat dalam bidang kesehatan dapat diartikan sebagai suatu bentuk kegiatan yang melibatkan bantuan masyarakat dalam hal pelaksanaan upaya kesehatan. Upaya tersebut dapat berupa upaya preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif. Bentuk bantuan masyarakat dapat berupa tenaga, dana, sarana, prasarana, serta bantuan moralitas sehingga tercapai tingkat kesehatan yang optimal di masyarakat tersebut. Adanya keikutsertaan masyarakat diharapkan dapat menumbuhkan dan meningkatkan tanggung jawab individu, keluarga terhadap kesehatan dirinya, keluarganya dan masyarakat. Peran serta masyarakat juga mengembangkan kemampuan untuk berkontribusi dalam bidang kesehatan, sehingga individu/keluarga tumbuh menjadi perintis pembangunan (agent of development) yang dilandasi semangat gotong royong (Depkes RI dan WHO, 2003). Peran serta masyarakat adalah kunci terlaksananya kegiatan PSN dan upaya menggerakkan mereka tentunya banyak faktor yang memengaruhinya. Pada artikel ini akan membahas tentang berbagai faktor yang berperan dalam peningkatan pemberdayaan masyarakat. 81



Diharapkan artikel ini dapat menjadi referensi dalam upaya peningkatan peran serta masyarakat dalam suatu lingkungan. Booster Pengetahuan dan Motivasi



nt



uk



D



ip



er



ju



al be



lik



an



Suatu lingkungan masyarakat terdiri dari kumpulan keluarga yang di dalamnya terdapat individu. Peran serta masyarakat diawali dengan adanya peran serta dari individu yang merupakan bagian terkecil dalam sebuah masyarakat. Peran serta individu dalam upaya pemberantasan DBD bergantung pada berbagai hal, salah satunya adalah adanya motivasi. Motivasi diartikan sebagai suatu dorongan yang timbul dari diri individu, baik secara sadar atau tidak sadar untuk melakukan tindakan dengan tujuan tertentu (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2002). Motivasi akan menggerakkan seseorang untuk melakukan sesuatu dengan dorongan dalam dirinya untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Perbuatan yang dilakukan dengan motivasi tertentu mengandung tema sesuai dengan motivasi yang mendasarinya. Semakin tinggi motivasi yang dimiliki seseorang, maka semakin tinggi intensitas perilaku untuk mencapai tujuan (Uno, 2015; Sobur, A., 2009).



Ti



da



k



U



Pemicuan motivasi diawali dengan kegiatan memengaruhi seseorang. Kegiatan tersebut merupakan proses pembentukan persepsi yang diterima seseorang. Persepsi merupakan proses kognitif seseorang dalam memahami informasi dari lingkungan melalui penglihatan, pendengaran, penghayatan, dan perasaan berupa suatu penafsiran terhadap situasi dan kenyataan (Notoatmodjo, 2010). Proses persepsi ini ditentukan oleh kepribadian, sikap, pengalaman, dan harapan seseorang, selanjutnya apa yang diterima tersebut diberi arti oleh yang bersangkutan menurut minat dan keinginan. Minat ini mendorongnya untuk mencari informasi yang digunakan oleh yang bersangkutan dalam mengembangkan beberapa alternatif tindakan dan pemilihan tindakan (Uno, 2015). Manfaat motivasi yang utama adalah 82



menciptakan semangat atau gairah untuk melakukan usaha sehingga kinerja seseorang dapat meningkat. Sesuatu yang dikerjakan karena ada motivasi yang mendorongnya akan membuat seseorang senang mengerjakannya (Milviyati, 2017).



al be



lik



an



Motivasi individu dalam ikut serta upaya PSN dimulai dengan pembentukan persepsi sehingga individu tersebut mempunyai dorongan melakukan upaya PSN. Persepsi individu tentang PSN dapat dibangun melalui pengetahuan tentang PSN. Pengetahuan diperlukan agar seseorang lebih bisa membangun persepsi akan masalah yang dihadapi. Pengetahuan dipengaruhi oleh faktor pendidikan, yakni semakin tinggi pendidikan semakin luas pengetahuannya. Peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh dari pendidikan formal, tetapi bisa juga dari pendidikan nonformal (Lendrawati, 2013).



Ti



da



k



U



nt



uk



D



ip



er



ju



Dalam hal pemberantasan DBD, seseorang memerlukan pengetahuan dasar tentang bahaya penyakit DBD, bagaimana cara menghindari penularannya, dan bagaimana cara melakukan pengendalian vektor DBD. Seseorang akan membangun persepsi tentang DBD dan mengambil sikap dalam tindakan PSN dari pengetahuan yang dimilikinya. Hal ini ditegaskan oleh Trisnaniyanti (2015) dalam Wulandari et al. (2016) menyebutkan adanya hubungan yang bermakna antara pengetahuan tentang pencegahan DBD dengan persepsi kader PSN DBD dalam pencegahan DBD serta adanya hubungan bermakna antara persepsi kader PSN DBD dengan aktivitas pencegahan DBD. Semakin baik tingkat pengetahuan tentang penyakit, maka semakin tinggi pula motivasi yang dimiliki untuk mencegah penyakit tersebut (Romadhan & Sudaryanto, 2011). Orang yang memiliki pengetahuan baik diharapkan mampu bersikap baik dan akhirnya berperilaku yang baik (Purnama et al., 2013). Peningkatan pengetahuan masyarakat tentang DBD berdampak dalam peningkatan upaya pengendalian vektor 83



DBD. Berbagai penelitian menunjukkan adanya korelasi antara tingkat pendidikan dan pengetahuan dengan perilaku pengendalian vektor, yakni semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang tentang pentingnya upaya pengendalian vektor maka upaya untuk mengendalikan vektor DBD juga semakin besar (Bakta & Bakta, 2014; Ayudhya et al., 2014).



U



nt



uk



D



ip



er



ju



al be



lik



an



Ketidakberhasilan program pengendalian DBD yang dicanangkan oleh pemerintah dalam menurunkan angka kejadian DBD berhubungan erat dengan belum adanya peran serta masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan aktivitas-aktivitas program. Pengetahuan masyarakat masih kurang karena tidak memiliki akses langsung terhadap informasi dan pengetahuan mengenai program, yang merupakan prakondisi bagi peran serta warga dalam suatu program. Hal ini disebabkan penyuluhan, yang merupakan saluran penyampaian informasi dari para pelaksana program di lapangan kepada warga masyarakat belum berjalan dengan baik; karena adanya berbagai kendala pada pelaksana program di lapangan. Bervariasi dan kurang akuratnya pengetahuan warga masyarakat setempat mengenai penyakit ini mengakibatkan upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD yang mereka lakukan masih kurang tepat (Indera, 1998; Sakti & Budi, 2014; Hatang, 2010)



Ti



da



k



Pengetahuan dapat dibangun melalui upaya-upaya sosialisasi dan penyuluhan. Berbagai media dapat berperan dalam meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang pengendalian DBD. Pengetahuan dalam PSN perlu ditingkatkan, yakni pengetahuan masyarakat sebaiknya tidak hanya terpaku pada bak mandi dan penampungan air minum, tetapi ke penampungan air lain seperti pot bunga, vas bunga, talang air, dan lain-lain. Pengetahuan masyarakat yang kurang tentang tempattempat perkembangbiakan jentik-jentik Aedes spp. menyebabkan masih ditemukan jentik-jentik di permukiman. Masyarakat hanya fokus pada menguras bak mandi dan tempat-tempat penampungan air minum, padahal di sekitar mereka masih terdapat tempat penampungan air yang 84



potensial sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk (Prasetyowati et al., 2015).



ip



er



ju



al be



lik



an



Widyastuti & Yuniarti (2009) mengungkapkan bahwa secara umum pengetahuan masyarakat Dukuh Kenteng, Kelurahan Tegalrejo, Kota Salatiga meningkat lebih tinggi sesudah penyuluhan mengenai DBD. Penyuluhan yang dilakukan mampu membangun motivasi masyarakat untuk belajar, meskipun di antara kesibukan mereka berdagang. Pengetahuan dan motivasi masyarakat yang positif terhadap upaya pemberantasan DBD akan mendorong warga untuk melaksanakan PSN dalam kehidupan sehari-hari. Tingginya motivasi positif yang dimiliki masyarakat tentang pencegahan DBD, semakin tinggi pula kesadaran untuk berperan serta dalam mencegah DBD. Motivasi akan muncul jika masyarakat paham terhadap persoalan yang dihadapi sehingga sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat perlu dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat.



D



Pemicuan, Strategi Membangun Kesadaran



Ti



da



k



U



nt



uk



Habitat dan aktivitas nyamuk Aedes spp. tidak dibatasi oleh tembok rumah, nyamuk tersebut dapat terbang dan menularkan penyakit dalam satu lingkungan masyarakat. Oleh karena itu, gerakan PSN tidak hanya melibatkan individu dalam keluarga, namun juga masyarakat dalam satu lingkungan. Adanya motivasi yang cukup dalam individu untuk melakukan kegiatan PSN, menjadi bekal mereka untuk berperan serta dalam kegiatan PSN di lingkungan masyarakat. Individu yang memiliki motivasi positif yang tinggi dapat berperan sebagai motivator di lingkungan masyarakat. Kesadaran masyarakat tentang bahaya DBD perlu dipicu dalam rangka menumbuhkan dan meningkatkan motivasi masyarakat dalam melalukan PSN. Pemicuan kesadaran masyarakat dapat dilaksanakan melalui forum pertemuan masyarakat, baik pertemuan formal maupun 85



informal. Beberapa kegiatan masyarakat seperti posyandu, PKK, dasa wisma, pengajian rutin, arisan, dan kegiatan lain dapat dimanfaatkan dalam rangka meningkatkan kesadaran masyarakat dalam melakukan PSN. Forum pertemuan ini dapat difasilitasi oleh tenaga-tenaga kesehatan, kader maupun tokoh masyarakat yang tujuannya mengajak masyarakat berkumpul dan berdiskusi dalam penanganan pemberantasan DBD di lingkungan mereka (Trapsilowati et al., 2015; Wijayanti, 2010).



nt



uk



D



ip



er



ju



al be



lik



an



Upaya pemicuan kesadaran masyarakat perlu adanya kegiatan peningkatan pengetahuan mengenai DBD dan vektornya, perkembangan kasus DBD wilayah tersebut, dan upaya-upaya yang telah dilakukan oleh masyarakat dan petugas kesehatan. Forum pertemuan merupakan forum diskusi, maka masyarakat juga dapat secara aktif menyampaikan pendapat serta pengalaman saat ada keluarga yang sakit atau mengalami sakit, termasuk kerugian yang disebabkan oleh sakit DBD. Dalam kegiatan ini masyarakat diajak menganalisis risiko penularan DBD yang ada di lingkungan mereka, serta upaya yang bisa dilakukan untuk melakukan pencegahannya (Prasetyowati et al., 2015).



Ti



da



k



U



Pemicuan kesadaran bertujuan agar masyarakat merasa bahwa pemberantasan DBD adalah suatu keharusan mengingat kerugian yang ditimbulkan dan akan dirasakan oleh warga. Kegiatan pemicuan diharapkan dapat meningkatkan kesadaran warga untuk melakukan upaya pengendalian vektor DBD melalui gerakan PSN. Kesadaran masyarakat ini selanjutnya diharapkan memiliki motivasi dan komitmen bersama dan memilih bentuk upaya pengendalian vektor DBD yang tepat dan sesuai dengan lingkungannya. Bentuk upaya pengendalian vektor DBD hasil kesepakatan bersama dilaksanakan secara bersama oleh seluruh warga masyarakat dengan kesadaran penuh tanpa paksaan.



86



ip



er



ju



al be



lik



an



Indikator peningkatan motivasi dapat dilihat dengan meningkatnya upaya masyarakat dalam pengendalian vektor DBD dan tingkat keberlangsungan kegiatan pengendalian vektor di masyarakat tanpa ada rasa diawasi atau dinilai. Masyarakat melakukan upaya pengendalian vektor DBD murni karena kesadaran masyarakat. Peningkatan upaya ini karena adanya motivasi dalam diri masyarakat dan karena pengetahuan masyarakat semakin tinggi mengenai DBD. Meningkatnya upaya pengendalian vektor DBD oleh masyarakat berdampak pada perubahan indeks entomologis di lingkungan masyarakat ke arah yang lebih baik. Hasil penelitian di Kota Sukabumi, Demak, dan Jakarta menunjukkan berdasarkan hasil dari survei jentik-jentik yang dilakukan sebelum dan sesudah pemicuan kesadaran dan motivasi masyarakat didapatkan kondisi yang berbeda. Umumnya ABJ di lokasi penelitian pada saat sesudah pemicuan mengalami kenaikan sedangkan HI, CI, BI, dan PI mengalami penurunan (Prasetyowati et al., 2015; Donanti et al., 2017; Azam et al., 2016).



Ti



da



k



U



nt



uk



D



Banyak faktor yang memengaruhi keberhasilan pemicuan kesadaran masyarakat untuk berperan serta dalam gerakan PSN. Adanya persepsi berbeda yang diterima tentang masalah kesehatan yang dihadapi serta adanya kondisi sosial budaya yang berbeda-beda dapat menjadi faktor penghambat (Erfandi, 2008). Faktor lingkungan dan karakteristik penduduk diduga berpengaruh bagi proses peningkatan motivasi. Penduduk yang tinggal di daerah perumahan dengan tipe permukiman dan bangunan yang teratur dan berasal dari berbagai etnis, misalnya, sebagian dari mereka juga merupakan penyewa yang berpindah-pindah dari tempat satu ke tempat lain. Kondisi tersebut terkadang membuat antarsebagian masyarakat tidak mengenal satu sama lain sehingga mengurangi rasa kebersamaan dan menurunkan motivasi masyarakat. Kondisi berbeda akan ditunjukkan oleh masyarakat yang tinggal di perumahan dengan tipe permukiman tidak teratur. Permukiman padat dan dengan tipe bangunan yang berbeda-beda, terkadang justru 87



menjadikan warga mengenal satu sama lain. Rasa saling kenal menjadi dasar untuk membangun kebersamaan melaksanakan gerakan PSN bersama-sama (Prasetyowati et al., 2015). Selain itu, jenis pekerjaan diduga juga memengaruhi partisipasi masyarakat. Masyarakat yang tinggal di daerah yang mayoritas adalah pegawai yang hanya memiliki waktu senggang pada hari-hari tertentu akan menjadi faktor pembatas dalam gerakan PSN secara bersama-sama (Dalimuthe, 2008). Jenis pekerjaan yang banyak memiliki waktu luang menjadikan gerakan PSN secara bersama-sama dapat lebih berjalan.



nt



uk



D



ip



er



ju



al be



lik



an



Adanya komitmen bersama masyarakat menunjukkan adanya iktikad baik dalam mencari solusi untuk mengatasi masalah DBD di lingkungan mereka. Komitmen ini juga memberikan motivasi dalam diri masyarakat untuk meningkatkan upaya pengendalian populasi Aedes spp. sebagai vektor DBD. Motivasi inilah yang menjadi dasar kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam pencegahan DBD. Hal ini selaras dengan hasil penelitian Putri (2012) yang menyebutkan bahwa adanya motivasi sebagai hal yang mampu meningkatkan partisipasi warga RW 09 Kelurahan Pondok Cina mampu dalam mencegah DBD.



da



k



U



Agent of Change dalam Peningkatan Peran Serta Masyarakat



Ti



Dalam suatu lingkungan masyarakat, umumnya terdapat tokohtokoh yang disegani, dituakan, atau menjadi panutan masyarakat. Dalam upaya peningkatan peran serta masyarakat, peran tokoh masyarakat sangat penting karena merupakan barisan pertama yang berhadapan langsung dengan masyarakat dalam keseharian maupun kondisi tertentu. Seorang tokoh mempunyai pengaruh besar dalam menggerakkan masyarakat di lingkungannya. Masyarakat pada umumnya akan lebih mudah menerima apa yang dijelaskan oleh seorang tokoh panutannya. Tokoh masyarakat sebaiknya berperan aktif untuk menyebarluaskan informasi sesuai kemampuan dan 88



pengetahuannya. Melalui kemampuannya tersebut, tokoh masyarakat mengimbau dan mengajak masyarakat untuk berperan serta dalam kegiatan kemasyarakatan (Trapsilowati & Suskamdani, 2004).



al be



lik



an



Dalam hal pemberantasan DBD di lingkungan masyarakat, tokoh masyarakat diharapkan mampu menggerakkan masyarakat di wilayahnya untuk melakukan PSN. Peran tokoh masyarakat dapat diwujudkan dengan menyebarluaskan informasi kegiatan PSN dalam kegiatankegiatan kemasyarakatan. Dalam upaya tersebut, tokoh masyarakat perlu memiliki pengetahuan dan sikap positif dalam pengendalian demam berdarah (Bahtiar, 2012; Trapsilowati & Suskamdani, 2004). Selain menyebarluaskan informasi, tokoh masyarakat juga dapat berperan sebagai fasilitator dan mengarahkan masyarakat agar tercapai komitmen bersama dalam pelaksanaan PSN di lingkungan mereka.



Ti



da



k



U



nt



uk



D



ip



er



ju



Dukungan tokoh masyarakat juga diperlukan dalam meningkatkan motivasi masyarakat untuk melaksanakan PSN. Dukungan tokoh masyarakat membuat motivasi masyarakat menjadi lebih tinggi untuk berpartisipasi. Seorang tokoh mempunyai pengaruh yang besar dalam menggerakkan masyarakat luas, karena masyarakat umum lebih mudah menerima apa yang dijelaskan oleh tokoh panutannya (Bahtiar, 2012). Sitorus (2009) menyebutkan bahwa peran tokoh masyarakat besar dalam program pengendalian Aedes spp. mulai dari RT, RW, kader, bahkan sesepuh masyarakat di daerah tersebut (Sitorus, 2009). Pemberian contoh pelaksanaan kegiatan pencegahan DBD oleh tokoh masyarat di lingkungan tempat tinggal guna peningkatan kesadaran masyarakat untuk berperilaku lebih baik dalam pencegahan DBD (Andriani, 2006). Peran aktif masyarakat dan tokoh masyarakat inilah yang menjadikan motivasi dan gerakan PSN di suatu lingkungan terpelihara.



89



Kesinambungan Peran Serta Masyarakat



al be



lik



an



Partisipasi masyarakat merupakan proses panjang dan memerlukan ketekunan, kesabaran, dan upaya dalam memberikan pemahaman dan motivasi kepada individu, kelompok, masyarakat, bahkan pejabat secara berkesinambungan. Program yang melibatkan masyarakat adalah mengajak masyarakat mau dan mampu melakukan 3M plus atau PSN di lingkungan mereka (Sukowati, 2010). Meskipun telah ada komitmen bersama di masyarakat, namun dalam pelaksanaannya perlu adanya upaya untuk mempertahankan motivasi masyarakat agar tidak menurun. Diperlukan pendekatan yang sesuai dengan karakteristik tempat dan penduduk agar upaya peningkatan motivasi bisa berjalan baik.



Ti



da



k



U



nt



uk



D



ip



er



ju



Tidak jarang dijumpai masyarakat yang mengalami penurunan motivasi sehingga hanya mau berperan aktif ketika dilakukan pengawasan atau pendampingan. Tanpa pengawasan, maka pengendalian populasi Aedes spp. tidak berjalan secara berkesinambungan. Terjaganya motivasi masyarakat untuk menjalankan komitmen perlu dijaga agar komitmen tersebut bisa dilaksanakan dengan baik dan berkelanjutan. Komitmen masyarakat akan terus terpelihara apabila masyarakat memelihara motivasi yang ada pada diri mereka. Dalam suatu daerah, bila masyarakatnya mempunyai persepsi/pandangan bersama tentang pentingnya menjaga kebersihan untuk mencegah DBD akan memengaruhi tingkat kejadian DBD di daerah tersebut (Chahaya, 2003). Upaya untuk mempertahankan motivasi dalam peran serta gerakan PSN di suatu lingkungan masyarakat dapat dilakukan melalui penyuluhan berkesinambungan. Hal ini diharapkan masyarakat selalu ingat pentingnya PSN untuk mencegah penularan DBD. Kegiatan penyuluhan berkesinambungan dapat dilaksanakan tokoh masyarakat dan kader pada berbagai kesempatan di berbagai tempat, misalnya 90



posyandu, sekolah, masjid, tempat arisan, pertemuan RT/RW, dan lainnya. Penyuluhan kelompok ini akan efektif apabila dilaksanakan secara rutin dan berkesinambungan di seluruh lapisan masyarakat. Menurut Rosidi & Adisasmito (2006) ada hubungan yang bermakna antara penyuluhan kelompok tentang DBD dan kondisi ABJ-nya. Untuk itu perlu diupayakan adanya kesinambungan gerakan PSN dengan melibatkan masyarakat sedini mungkin. Keterlibatan masyarakat akan meningkatkan motivasi dan upaya PSN di lingkungan mereka yang akan berdampak pada meningkatnya ABJ di lingkungan masyarakat.



an



Penutup



Ti



da



k



U



nt



uk



D



ip



er



ju



al be



lik



Pelibatan masyarakat dalam PSN sebagai upaya pengendalian DBD tidak terlepas dari individu sebagai subjek. Motivasi dan pengetahuan individu memberikan peran penting dalam diri seseorang untuk ikut melibatkan diri dalam kegiatan PSN. Selanjutnya adalah membangun kesadaran masyarakat, upaya pemicuan adalah salah satu metode yang diharapkan dapat menumbuhkan komitmen bersama dalam pengendalian DBD di lingkungannya. Peran penting lainnya adalah adanya keterlibatan agent of change, dalam hal ini adalah tokoh masyarakat sebagai role model penggerak pelaksanaan kegiatan PSN. Upaya untuk meningkatkan peran serta masyarakat terkait erat dengan perilaku dan hal tersebut tidak bisa dilakukan dalam waktu yang singkat. Perlu strategi untuk menyiasati dinamika dalam proses pelaksanaan dan keberlangsungan kegiatan tersebut. Daftar Pustaka Andriani F., 2006. Gambaran Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Masyarakat terhadap Pencegahan Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kelurahan Nyomplong Wilayah Kerja Puskesmas Pabuaran Kota Sukabumi. Universitas Kristen Maranata.



91



Ayudhya P, I.Ottay R, P.J.Kaunang W, Kandou GD & Pandelaki A., 2014. Hubungan Pengetahuan dan Sikap Masyarakat Tentang Penyakit Demam Berdarah Dengue Dengan Pencegahan Vektor di Kelurahan Malalayang 1 Barat Kota Manado. Jurnal Kedokteran Komunitas dan Tropik, 2(1). Azam M, Azinar M & Fibriana AI, 2016. Analisis Kebutuhan Dan Perancangan “Ronda Jentik” Sebagai Model Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pemberantasan Sarang Nyamuk. Unnes Journal of Public Health, 5(4).



lik



an



Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.



er



ju



al be



Bahtiar Y., 2012. Hubungan pengetahuan dan sikap tokoh masyarakat dengan perannya dalam pengendalian demam berdarah diwilayah puskesmas Kawalu Kota Tasikmalaya. Aspirator, 4(2).



da



k



U



nt



uk



D



ip



Bakta NNYK & Bakta IM, 2014. Hubungan Antara Pengetahuan dan Sikap Terhadap Perilaku Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) Sebagai Pencegahan Demam Berdarah Dengue (DBD) di Banjar Badung, Desa Melinggih, Wilayah Puskesmas Payangan Tahun 2014. Available at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/ view/13855/9539.



Ti



Chadijah S, 2011. Peningkatan Peran Serta Masyarakat dalam Pelaksanaan Pemberantasan Sarang Nyamuk DBD (PSN-DBD) di Dua Kelurahan di Kota Palu Sulawesi Tengah. Media Litbang Kesehatan, 21(4), p.183–190. Chahaya I, 2003. Pemberantasan Vektor Demam Berdarah di Indonesia. Universitas Sumatera Utara.



92



Dalimuthe, 2008. Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam program pencegahan malaria di Kecamatan saibu Kabupaten Mandailing Natal. Universitas Sumatera Utara. Depkes RI dan WHO, 2003. Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue, Jakarta.



an



Donanti E, Hardjanti A & Indrawati I, 2017. Penyuluhan dan Pelatihan Jumantik Mandiri di Kelurahan Rawasari Sebagai Salah Satu Upaya Meningkatan Kepedulian Masyarakat Terhadap Demam Berdarah Dengue. In Seminar Nasional Penelitian dan Pengabdian Masyarakat. UNISBA.



al be



lik



Erfandi, 2008. Peran Serta masyarakat. http://forbetterhealth.wordpess. com.



uk



D



ip



er



ju



Hatang IT, 2010. Analisis perbandingan pelaksanaan pengelolaan program pemberantasan sarang nyamuk Demam Berdarah Dengue antara Puskemas ”X” dan Puskesmas ”Y”, Kota Bogor, tahun 2010. Universitas Indonesia.



da



k



U



nt



Indera, 1998. Peranserta masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit demam berdarah dengue: kasus di Jakarta. Universitas Indonesia.



Ti



Kemenkes RI, 2016. Kendalikan DBD Dengan PSN 3M Plus. Available at: http://www.depkes.go.id/article/view/16020900002. Kemenkes RI, 2017. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2016, Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Lendrawati, 2013. Motivasi Masyarakat dalam Memelihara dan Mempertahankan Gigi. Andalas Dental Journal. Available at: adj. fkg.unand.ac.id/index.php/adj/article/download/9/9.



93



Milviyati L, 2017. Peranan Motivasi Terhadap Peningkatan Kinerja Pegawai Pada PT Perkebunan Nusantara III (PERSERO) Medan. Universitas Sumatera Utara. Notoatmodjo S, 2010. Ilmu perilaku kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta, pp.20–40. Prasetyowati H, Santya RNRE & Nurindra RW, 2015. Motivasi Dan Peran Serta Masyarakat Dalam Pengendalian Populasi Aedes spp. Di Kota Sukabumi. Jurnal Ekologi Kesehatan, 14(2).



al be



lik



an



Purnama SG, Satoto TB & Prabandari Y, 2013. Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Pemberantasan Sarang Nyamuk Terhadap Infeksi Dengue di Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Bali. Arc. Com. Health, 2(1), pp.20–27.



D



ip



er



ju



Putri P, 2012. Motivasi dan Partisipasi Warga dalam Mencegah Angka kejadian DBD di RW 09 Kelurahan Pondok Cina Kecamatan Beji, Depok. Universitas Indonesia.



Ti



da



k



U



nt



uk



Romadhan FA & Sudaryanto A, 2011. Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan dengan Motivasi Melakukan Latihan Jasmani pada Klien Diabetes Mellitus di Desa Delanggu Kabupaten Klaten. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Available at: https:// publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/11617/3634/FAJAR - AGUS SUDARYANTO Fix.pdf;sequence=1. Rosidi AR & Adisasmito W, 2006. Hubungan Faktor Penggerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue Dengan Angka Bebas Jentik di Kecamatan Sumberjaya Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Available at: http://journal.fk.unpad. ac.id/index.php/mkb/article/viewFile/187/pdf_71. Sakti TS & Budi K, 2014. Upaya Meningkatkan Parsitipasi Masyarakat dalam Program Pemberantasan Sarang Nyamuk (Studi di Kelurahan 94



Kota Bambu Selatan, DKI Jakarta). Universitas Indonesia. Available at: http://www.lib.ui.ac.id/naskahringkas/2016-06/ S55246-Tri Saputra Sakti. Sitorus R, 2009. Perilaku Masyarakat Dalam Pencegahan Penyakit Demam Berdarah Dengue di Puskesmas Medan Johor Kota Medan. Sobur, A., 2009. Psikologi Umum 2nd ed., Bandung: Pustaka Setia. Sukowati S, 2010. Masalah Vektor Demam Berdarah Dengue dan Upaya Pengendaliannya. Buletin jendela epidemiologi, 2.



al be



lik



an



Supartha IW, 2008. Pengendalian Terpadu Vektor VirusDemam Berdarah Dengue, Aedes aegypti(Linn.) dan Aedes albopictus(Skuse) (Diptera: Culicidae). In Seminar DiesUnud2008. Denpasar: Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.



uk



D



ip



er



ju



Trapsilowati W, Mardihusodo SJ, Prabandari YS & Mardikanto T, 2015. Parsitipasi Masyarakat dalam Pengendalian Vektor Demam Bedarah Dengue di Kota Semarang Provinsi Jawa Tengah. Vektora, 7(1).



da



k



U



nt



Trapsilowati W & Suskamdani, 2004. Studi Kualitatif Pengetahuan dan Peran Tokoh Masyarakat dalam Pengendalian Demam Berdarah Dengue di Kota Salatiga. Media Litbang Kesehatan, 17(4).



Ti



Uno Hamzah B, 2015. Teori Motivasi dan Pengukurannya, Jakarta: Bumi Aksara. Wafa L, 2011. Pengetahuan dan Perilaku Masyarakat Desa Babakan Kabupaten Bogor Terhadap Masalah Vektor dan Penyakit Demam Berdarah Dengue. Institut Pertanian Bogor. Widyastuti U & Yuniarti R, 2009. Pengendalian Jentik Aedes aegypti menggunakan Mesocyclops aspericornis melalui partisipasi masyarakat. Media Penelitian. dan Pengembangan. Kesehatan, 19.



95



Wijayanti Y, 2010. Peningkatan Kemandirian Dasa Wisma Kelurahan Sekarang dalam Pencegahan Demam Berdarah Dengue. UNNES. Available at: http://download.portalgaruda.org/article. php?article=135990&val=5657.



Ti



da



k



U



nt



uk



D



ip



er



ju



al be



lik



an



Wulandari W, Istiningtyas A & Oktariani M, 2016. Hubungan Motivasi Kader Pemeberantasan Sarang Nyamuk dengan Upaya Pencegahan Demama Berdarah Dengue di Wilayah Kerja Puskesmas Gemolong. Available at: http://digilib.stikeskusumahusada.ac.id/ files/disk1/34/01-gdl-wiwikwulan-1696-1-artikel-i.pdf.



al be



lik



an



BAB 6 “SILENT INFECTION” DENGUE



ju



Muhammad Umar Riandi



ip



er



Pendahuluan



Ti



da



k



U



nt



uk



D



Selama lebih dari 50 tahun, dengue telah menyebar dari sembilan negara menjadi lebih dari 100 negara. Kenaikan kejadian dengue hingga 30 kali lipat menjadikan dengue sebagai penyakit tular vektor dengan penyebaran paling cepat. Hari ini, hampir separuh populasi dunia hidup di negara endemis dengue. Besaran masalah penyakit dengue telah meningkat dari 15.000 kasus per tahun pada 1960-an menjadi 390 juta kasus, lebih dari setengah populasi penduduk Eropa. Setelah dianggap sebagai penyakit wilayah perkotaan, kini dengue juga telah meningkat menjadi masalah di wilayah pedesaan. Dahulu, sekitar tahun 1940-an, penyakit dengue memiliki sifat berupa epidemis yang jarang terjadi dan umumnya setiap lokasi melibatkan hanya satu serotipe virus. Ketika jumlah vektor dan inang yang rentan bagi serotipe tertentu dilampaui, maka terjadi peningkatan kasus infeksi. Kini keadaannya telah jauh berbeda, pola penyebaran global yang terjadi berupa hiperendemisitas dengue, yakni terjadi 97



sirkulasi terus-menerus dari serotipe virus yang berbeda dalam lingkup host dan vektor yang rentan dan konstan (Teo et al., 2009).



da



k



U



nt



uk



D



ip



er



ju



al be



lik



an



Besaran masalah infeksi dengue dengan gejala dan tanpa gejala (apparent and inapparent) ternyata tiga kali lebih besar dibandingkan yang diprediksi sebelumnya oleh WHO (Bhatt et al., 2013). Diperkirakan terdapat 96 juta infeksi dengan gejala nyata secara global pada tahun 2010. Diperkirakan juga terdapat tambahan 294 (217-392) juta infeksi tanpa gejala yang terjadi di seluruh dunia pada 2010. Infeksi dengan gejala ringan atau tanpa gejala ini tidak terdeteksi oleh sistem pengawasan kesehatan publik yang ada dan tidak memiliki implikasi langsung terhadap manajemen klinis. Akan tetapi, adanya potensi besar sebagai reservoir bagi infeksi baru menghasilkan pengaruh bagi: (1) pengukuran pengaruh ekonomi yang benar (misalnya berapa banyak vaksin yang diperlukan untuk mencegah infeksi dengan gejala) dan triangulasi dengan penilaian independen bagi disability adjusted life years (DALYs); (2) menerangkan populasi dinamis virus dengue; (3) membuat hipotesis tentang pengaruh populasi bagi keberlangsungan program vaksin pada masa mendatang (volume, target efikasi, pengaruhnya, dan kombinasi dengan pengendalian vektor), yang akan diperlukan dan diatur untuk memaksimalkan perlindungan silang dan kerentanan setelah vaksinasi.



Ti



Karakteristik Penyakit Dengue Infeksi dengue dapat menghasilkan respons klinis mulai dari demam nonspesifik, Demam Dengue (Dengue Fever/DF), DBD (Dengue Haemorraghic Fever/DHF), dan Dengue shock syndrome (DSS). Demam Dengue merupakan demam tinggi seperti flu yang dapat menyerang bayi, anak-anak, dan dewasa, namun jarang menyebabkan kematian. Kondisi ini dicurigai dengan suhu tubuh tinggi (400C) yang diikuti oleh dua gejala berikut: sakit kepala hebat, sakit di belakang mata, sakit otot dan persendian, mual, muntah, pembengkakan kelenjar 98



atau bintik merah pada kulit. Gejala biasanya berlangsung selama 2-7 hari setelah masa inkubasi 4-10 hari semenjak gigitan nyamuk terinfeksi (WHO, 2014).



uk



D



ip



er



ju



al be



lik



an



Infeksi lanjutan yang terjadi karena serotipe virus dengue yang lain dapat menyebabkan perdarahan diathesis dan kebocoran endothelial yang merupakan ciri dari DBD. Sebagian kecil dari penderita DBD dapat mengalami perdarahan hebat, kegagalan fungsi organ, serta kegagalan pernapasan yang disebut dengan DSS sehingga dapat berakibat fatal (Gubler, 1998). Dari semua gejala klinis yang berhubungan dengan infeksi dengue, dilihat dari ancaman bahaya yang ditimbulkan, DSS merupakan gejala klinis yang paling diwaspadai. Gejala DSS ini lebih mudah terjadi pada anak-anak dikarenakan pembuluh kapilernya relatif lebih rentan dibandingkan orang dewasa dan masih dalam masa pertumbuhan. Observasi dan intervensi yang hati-hati pada keadaan ini harus dilakukan untuk mendapatkan hasil yang baik dan mencegah komplikasi sekunder lebih lanjut. Oleh karena itu, pengenalan secara dini gejala klinis sindrom ini merupakan hal yang krusial.



Ti



da



k



U



nt



Kegiatan tentang dengue yang dikembangkan sekitar tahun 1960an dan 1970-an menghasilkan deskripsi klinis klasik, definisi dan strategi dari DBD dan DSS. Hal ini memprakarsai petunjuk perawatan serta definisi kasus dan klasifikasi penyakit yang dibuat oleh WHO (2009) (Tabel 1).



99



Tabel 1. Definisi Kasus Dengue World Health Organization



Definisi kasus untuk demam berdarah dengue



da



k



U



nt



uk



D



ip



er



ju



al be



lik



an



Hal berikut harus ada: • Demam, atau riwayat demam akut, berlangsung 2-7 hari, biasanya biphasic (dua fase) • Kecenderungan haemorrhagic (perdarahan), dibuktikan sedikitnya oleh satu hal berikut: o Tes torniquet positif;* o Petechia, ecchymosis, atau purpura; o Pendarahan dari mukosa, saluran gastrointestinal, lokasi injeksi, atau lokasi lain; o Haematemesis atau melaena. • Trombocytopenia (100.000 sel per mm3 atau kurang)1 • Bukti perembesan plasma karena meningkatnya permeabilitas vaskular, dinyatakan oleh setidaknya salah satu hal berikut: o Peningkatan haematokrit sama atau lebih besar dari 20% di atas rata-rata untuk usia, jenis kelamin, dan populasi; o Penurunan haematokrit setelah perawatan penggantian volume sama atau lebih besar 20% dari garis dasar; o Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleural, ascites, dan hypoproteinemia.



Ti



Definisi kasus untuk dengue shock syndrome Semua empat kriteria untuk DHF di atas harus ada ditambah bukti kegagalan sirkulasi darah yang disebabkan oleh: • Denyut nadi cepat dan lemah • Tekanan darah rendah [ 49/100.000 penduduk), dengan rata-rata IR Nasional 26,10 (26/100.000 penduduk) (Kementerian Kesehatan RI, 2018).



Gambar 1. Incidence Rate (IR) per Provinsi Tahun 2017 Sumber: Ditjen P2P, 2018



al be



lik



an



Faktor determinan epidemiologi dengue meliputi beberapa hal berikut: 1) perubahan demografi termasuk pertumbuhan penduduk, tren ekonomi di negara-negara tropis, dan pola penggunaan lahan; 2) peningkatan ukuran dan kepadatan penduduk perkotaan karena migrasi desa ke perkotaan; 3) transportasi modern dengan peningkatan pergerakan orang, komoditas, hewan, vektor, dan patogen; dan 4) perubahan dalam kebijakan dan infrastruktur kesehatan publik (Gubler, 2010). Namun demikian, penentuan beban kesehatan dan ekonomi masyarakat akibat DBD merupakan elemen dari strategi Global WHO sebagai upaya pencegahan dan pengendalian DBD. Sebagai salah satu elemen penting, maka bahasan “ancaman” akan diterjemahkan dalam konsep beban penyakit demam berdarah di Indonesia. Beban Penyakit



Ti



da



k



U



nt



uk



D



ip



er



ju



Setiap kejadian penyakit (menular maupun tidak menular) selalu menimbulkan beban (burden) bagi komunitas atau negara. Beban penyakit dapat diidentikkan dengan biaya, waktu, dan tenaga yang hilang akibat kejadian yang berhubungan dengan kesehatan. Lebih lanjut beban penyakit didefinisikan sebagai konsekuensi biaya, yakni sebagai akumulasi biaya medis, ekonomis, dan psikososial pada suatu kondisi penyakit. Namun demikian, beban penyakit tidak hanya dikalkulasikan dalam bentuk biaya (Agyemang, 2016). Beberapa ahli epidemiologi memasukkan unsur biaya dan tenaga/manusia dalam menentukan beban penyakit. Beberapa ukuran dalam mengestimasi beban penyakit dan disabilitas pada populasi tertentu antara lain: Insiden (jumlah kasus baru pada periode tertentu); Prevalens (jumlah pasien dengan kasus penyakit pada satu periode); Mortalitas (angka kematian). Pada penyakit tidak menular (PTM), perhitungan beban penyakit yang paling mudah adalah dengan angka mortalitas (Brownson, 1998); CaseFatality Rate (CFR); jumlah hari disabilitas (disability days) selama berlangsungnya kejadian penyakit; hidup (lives), jumlah tahun-hidup 151



(life-years), atau jumlah tahun-sehat (healthy-years) yang hilang pada satu kondisi penyakit tertentu; kualitas kehidupan (quality of life); QALY (Quality-Adjusted Year Life), DALY (Disability-Adjusted Life Year), atau HeaLY (Healthy Life Year); biaya perawatan per pasien/ individu pada kondisi tertentu atau cost of illness; dan kontribusi kondisi penyakit terhadap produktivitas yang hilang (Kelsi, Jennifer L., Diana B. Petiti, 1998).



U



nt



uk



D



ip



er



ju



al be



lik



an



Konsep beban penyakit atau lebih dikenal dengan Burden of Disease mulai dipublikasikan oleh World Health Organization (WHO) tahun 1996 dengan konsep Global Burden Disease (GBD) atau beban penyakit secara global. Konsep ini merupakan konsep yang paling komprehensif dan konsisten dalam mengestimasi mortalitas dan morbiditas penyakit. Konsep ini dibuat untuk mengkuantifikasi beban akibat kematian dini (prematur mortality) dan disabilitas (disability) bagi penyakit-penyakit utama atau kelompok penyakit. Konsep GBD menggunakan ukuran sederhana kesehatan populasi yang disebut DALYs (Disability-Adjusted Life Years). DALY mengkombinasikan Years Life Lost (YLL) dan YLD (Years Live with Disability) (Mathers et al., 2004).



da



k



Beban Penyakit Dengue



Ti



Beban penyakit dengue berawal pada tahun 1950 dan 1960-an, penyakit ini terbatas pada beberapa negara di Asia Tenggara. Seiring pertumbuhan ekonomi, maka epidemi dengue tumbuh dan semakin meluas, kondisi ini terjadi karena sedikitnya upaya pengendalian vektor nyamuk. Epidemi dengue dalam dua dekade terakhir abad ke-20 terjadi perluasan secara regional dan global. Epidemi meningkat baik secara jumlah dan luasannya, dan virus menjadi hiperendemik (cocirculation dari beberapa serotipe virus) di sebagian besar kota-kota besar di daerah tropis. Terlepas dari kemunculan yang mengkhawatirkan ini dari bentuk epidemi dengue yang parah dan mematikan, penyakit 152



er



ju



al be



lik



an



itu masih dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat kecil oleh para pembuat kebijakan (Gubler, 2012).



uk



D



ip



Gambar 2. Perkiraan jumlah tahunan kasus demam berdarah dan rawat inap di Indonesia 2006–2015 (Halasa Y; Shepard D; Zeng W., 2017)



Ti



da



k



U



nt



Beban penyakit dengue telah dilakukan di negara-negara Asia dan Amerika dalam upaya mengukur dampak ekonomi di komunitas. Studi dilakukan di Puerto Rico terhadap pasien dengue anak-anak dan dewasa antara Juli 2008 dan Maret 2010 baik rawat jalan dan rawat inap. Hasil wawancara secara komprehensif menggali bagaimana dengue yang dideritanya memengaruhi kondisi finansial (mengukur biaya, baik langsung maupun tidak langsung) dan diketahui hasilnya bahwa individu rumah tangga menanggung beban terbesar (48%) dibandingkan dengan pemerintah (24%) dan asuransi (22%). Total biaya tahunan demam berdarah antara 2002 dan 2010 adalah $ 46,45 juta ($ 418 juta selama periode 9 tahun) (Halasa Y; Shepard D; Zeng W., 2017).



153



uk



D



ip



er



ju



al be



lik



an



Hasil studi di negara-negara Asia Tenggara tahun 2010 dalam mengestimasi beban ekonomi demam berdarah (biaya dalam US$) dihitung berdasarkan rata-rata kasus dari tahun 2001-2005. Studi ini menunjukkan bahwa biaya tahunan untuk demam berdarah di Kamboja sebesar $US 3,1 juta; Malaysia $US 42,4 juta; dan Thailand $US 53,1 juta (JA, Suaya; DS, 2009). Penelitian serupa tentang beban ekonomi dan penyakit demam berdarah di Asia tenggara tahun 2001-2010 (perhitungan di luar biaya pencegahan dan pengendalian vektor dan kasus sequale dengue jangka panjang), diperoleh rata-rata tahunan 2,9 juta satu periode menderita dengue dan 5.906 kematian. Beban ekonomi tahunan (CI=95%) adalah US $ 950 juta (US $ 610 – US $ 1.384 juta) atau sekitar US $ 1,65 (US $ 1,06 – US $ 2,41) per kapita. Penelitian ini menyimpulkan bahwa dengue menimbulkan beban ekonomi dan penyakit yang substansial di kawasan Asia tenggara dengan beban DALY 372 (210–520) per juta penduduk di wilayah tersebut. Beban ini lebih tinggi daripada 17 kondisi lainnya, termasuk Japanese encephalitis, infeksi saluran pernapasan bagian atas, dan hepatitis B (Shepard and Eduardo A. Undurraga; Yara A. Halasa, 2013).



Ti



da



k



U



nt



Beban penyakit dengue di Indonesia berdasar literatur review, hasil estimasi melalui metode Delphi diketahui bahwa rata-rata tahunan (2006–2015) dari 612.005 kasus demam berdarah, maka 183.297 adalah rawat inap. Perkiraan ini lebih rendah daripada yang dipublikasikan di tempat lain, mungkin karena definisi kasus, lokal, persepsi klinis, dan perilaku mencari pengobatan (Halasa Y; Shepard D; Zeng W., 2017). Penelitian yang dilakukan Banjarnegara terhadap 57 responden penderita DBB di rumah sakit (RS) dan puskesmas, disimpulkan biaya penyakit demam berdarah adalah 275.307.500 IDR, yakni 75.29% adalah biaya langsung dan 24.71% biaya tidak langsung (Sihite et al., 2017). Pada umumnya besar biaya perawatan, baik rawat jalan dan rawat inap, berbanding lurus dengan lama sakit penderita. Lama sakit penderita DBD sebagian besar (96,49%) >7 154



hari sehingga biaya yang harus dikeluarkan lebih besar dibandingkan dengan penderita yang lama sakitnya ≤ 7 hari. Seperti hasil penelitian Campenhausen, yang menyatakan biaya meningkat sejalan dengan tingkat keparahan penyakit (von Campenhausen S et.al., 2011).



k da



Penutup



U



nt



uk



D



ip



er



ju



al be



lik



an



Demam berdarah merupakan salah satu penyakit yang peningkatan IR tertinggi antara tahun 1990-2003, kondisi ini melawan tren global dalam mengurangi penyakit menular. Stanaway et al., (2013) menyatakan bahwa salah satu hasil yang paling komprehensif untuk mengukur beban penyakit DBD di beberapa negara salah satunya di Indonesia. Limitasi dalam penelitiannya disebutkan salah satunya adalah Data gaps, yaitu adanya data yang under reported di Indonesia bahwa data kematian faktanya lebih besar daripada yang terlaporkan. Keterbatasan tersebut tidak menghalangi untuk dilakukan penelitian selanjutnya terkait beban penyakit DBD dengan memperbarui dan meningkatkan keakuratan data. Situasi beban penyakit DBD sangat urgensi dalam membantu para pembuat kebijakan dalam menilai dan mengidentifikasi strategi pengendalian dengan biaya yang efektif sehingga dapat mengurangi penularan dan beban penyakit DBD itu sendiri.



Ti



Ketersediaan data yang komprehensif terkait Beban Penyakit Demam Berdarah Dengue adalah sebuah kebutuhan di negara-negara endemis, termasuk Indonesia. Studi ini diperlukan untuk membantu para pembuat kebijakan dan pejabat kesehatan masyarakat dalam membuat keputusan berdasarkan informasi efektivitas biaya program pengendalian demam berdarah.



155



Daftar Pustaka (WHO)., W. H. O. (2012) Global Strategy for Dengue Prevention and Control 2012-2020. Geneva, Switzerland. Agyemang, A. A. de-G. C. (2016) “Introduction: Addressing the Chronic Non-communicable Disease Burden in Low-and-Middle-income Countries. UK. Bhatt S, et al. (2013) ‘The global distribution and burden of dengue.’, Nature 2013; 496: 504–507., 496, p. 504–507.



al be



lik



an



Brady OJ, Gething PW, Bhatt S, Messina JP, Brownstein JS, H. A. et al. (2012) ‘Refining the global spatial limits of dengue virus transmission by evidence-based consensus.’, PLoS Negl Trop Dis., 6:e1760. doi: doi:10.1371/journal.pntd.0001760.



D



ip



er



ju



Brownson, R. C. (1998) “Epidemiology: the Foundation of Public Health”, Applied Epidemiology: Theory and Practice. New York: Oxford University Press.



k



U



nt



uk



von Campenhausen S et.al. (2011) ‘Costs of illness and care in Parkinson’s disease: an evaluation in six countries. European’, Neuropsychopharmacology., Feb 1;21(2, p. 180–91.



Ti



da



Gubler (2010) The epidemiology and disease burden of dengue fever. Available at: http://www.globe-network.org/documents/ conferences/2010/Flavirus-vaccination/%0APresentation-Gubler. pdf. Gubler, D. J. (2012) ‘The economic burden of dengue’, American Journal of Tropical Medicine and Hygiene. doi: 10.4269/ ajtmh.2012.12-0157. Halasa Y; Shepard D; Zeng W. (2017) ‘Indonesian dengue burden estimates: Review of evidence by an expert panel’, Epidemiology and Infection. doi: 10.1017/S0950268817001030. 156



JA, Suaya; DS, S. J. S. et al. (2009) ‘Cost of dengue cases in eight countries in the Americas and Asia: A prospective study.’, Am J Trop Med Hyg, 80, p. 846–855. Kelsi, Jennifer L., Diana B. Petiti, dan A. C. K. (1998) “Key Methodologic Concepts and Issues” Applied Epidemiology: Theory and Practice,. New York: Oxford University Press,. Kementerian Kesehatan RI (2018) Evaluasi Pelaksanaan Program P2PTVZ. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.



lik



an



Mathers, C. et al. (2004) ‘The global burden of disease 2004’, Update, p. 1–160. doi: 10.1038/npp.2011.85.



ip



er



ju



al be



Shepard, D. S. and Eduardo A. Undurraga; Yara A. Halasa (2013) ‘Economic and Disease Burden of Dengue in Southeast Asia’, PLoS Neglected Tropical Diseases, 7(2). doi: 10.1371/journal. pntd.0002055.



nt



uk



D



Sihite et al. (2017) ‘Beban biaya penyakit demam berdarah dengue di rumah sakit dan puskesmas’, Berita Kedokteran Masyarakat, Volume 33, pp. 357–364.



Ti



da



k



U



Stanaway JD, et al. (2013) ‘The global burden of dengue: an analysis from the Global Burden of Disease Study 2013.’, Lancet Infectious Diseases, 3099, pp. 1–12.



157



Ti k



da U uk



nt al be



ju



er



ip



D



an



lik



al be



lik



an



EPILOG: DENGUE DALAM MULTI PERSPEKTIF



ju



Upik Kesumawati Hadi



Ti



da



k



U



nt



uk



D



ip



er



Buku bunga rampai dengan tema “Dengue dalam Multi Perspektif ” mengupas secara komprehensif permasalahan Demam Berdarah Dengue (DBD) mulai dari etiologi dan dinamikanya, diikuti dengan bioekologi vektor, transmisi transovarial sebagai mekanisme virus dengue dalam mempertahankan eksistensi diri di alam, insektisida dalam pengendalian vektor demam berdarah dengue, daya ungkit peran serta masyarakat dalam pengendalian demam berdarah dengue, “silent infection” dengue, perkembangan dan tantangan vaksin dengue, dan beban penyakit dengue di Indonesia. Secara ringkas, tulisan itu membawa kepada pembaca untuk menyelami segala permasalahan DBD yang selama ini seakan-akan tidak kunjung selesai dan tetap menjadi masalah kesehatan utama di Indonesia, terutama di daerah perkotaan. Gejala klinis DBD pada awalnya muncul menyerupai gejala flu dan tifus (typhoid), yang dapat berkembang menjadi kematian apabila salah dalam penanganan. Dalam buku ini dijelaskan juga oleh penulis tentang berbagai tipe 159



DBD dan bahkan khusus mengangkat peran “silent infection” dengue dalam satu topik bahasan tersendiri. Siklus normal infeksi DBD secara epidemiologi, terjadi antara manusia-nyamuk Aedes-manusia. Selain dapat menimbulkan kematian, infeksi DBD dapat menular dengan cepat melalui gigitan vektor, oleh karenanya menimbulkan keresahan masyarakat khususnya, dan secara umum menjadi beban negara yang cukup mengganggu kesejahteraan masyarakat Indonesia.



Ti



da



k



U



nt



uk



D



ip



er



ju



al be



lik



an



Sejatinya, DBD disebabkan oleh satu dari empat bahan antigenik (virus) yang dikenal serotipe 1-4 (DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN4) dari genus Flavivirus, famili Flaviridae. Sejauh ini, nyamuk Aedes aegypti dan Ae. albopictus dikenal sebagai vektor utama dan sekunder infeksi DBD di Indonesia. Sekali nyamuk tertular virus, seumur hidupnya akan menjadi nyamuk yang infektif dan mampu menyebarkan virus ke inang/orang lain ketika mengisap darah berikutnya. Nyamuk infektif ini juga dapat menularkan virus ke generasi berikutnya secara transovarial melalui telur. Jadi, transmisi atau penularan virus dengue dapat secara horizontal melalui gigitan, juga terjadi secara vertikal atau transovarial pada nyamuk ke keturunannya. Para ahli menyatakan bahwa transmisi transovarial virus dengue berpotensi meningkatkan kemungkinan terjadinya wabah atau kejadian luar biasa dengue, atau setidaknya memberikan kontribusi untuk terpeliharanya virus dengue di suatu daerah endemis. Hingga saat ini belum ditemukan obat khusus yang dapat membunuh virus demam berdarah. Demikian pula dengan vaksin, meskipun saat ini sudah tersedia, namun beberapa kelemahan yang muncul memacu para peneliti menemukan kandidat lain yang lebih baik. Sampai saat ini kandidat tersebut masih dalam tahap pengembangan termasuk di Indonesia. Oleh karena itu, upaya pencegahan yang utama adalah dengan cara menghindarkan diri dari gigitan nyamuk dan upaya memutus siklus hidup vektor penularnya. Pemahaman bioekologi 160



nyamuk menjadi penting sebagai landasan dalam menyusun strategi pengendalian vektor yang tepat. Upaya pengendalian nyamuk demam berdarah seharusnya sudah menjadi bagian kita semua, masyarakat dapat melakukannya dengan mudah melalui pola hidup bersih dan sehat. Misalnya, upaya menghilangkan habitat pradewasa nyamuk seminggu sekali dengan 3M plus, atau 4M plus yaitu Menguras (kalau mungkin), Menutup (jangan lupa), Mengubur/Memusnahkan/ Mendaur ulang, dan Memantau semua wadah air yang ada di sekitar rumah. Plus menggunakan antinyamuk secara bijak.



da



k



Sumber Acuan



U



nt



uk



D



ip



er



ju



al be



lik



an



Akhir kata, tidaklah berlebihan buku bunga rampai ini mengajak pembaca untuk lebih jauh menyelam ke dalam berbagai pertanyaan terkait dengan “Dengue dalam Berbagai Perspektif?”. Konsep One Health diharapkan juga dapat berperan mengatasi permasalahan DBD. Konsep tersebut mengharuskan adanya peran lintas sektor dan lintas program antara pemerintah, asosiasi/perhimpunan profesi, dunia usaha, para pemerhati lingkungan, pemerhati nyamuk, dan masyarakat untuk bersama-sama memberikan kontribusi melawan DBD. Semoga terbitnya buku ini akan menggugah kita bersama untuk berpartisipasi mengendalikan demam berdarah dengue di tanah air tercinta.



Ti



Hadi, UK. 2016. Pentingnya pemahaman bioekologi vektor demam berdarah dengue dan tantangan upaya pengendaliannya. Orasi Ilmiah Guru Besar IPB. PT Penerbit IPB Press. 99 hal. [Kemenkes RI]. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Profil PP dan PL 2013. Kementerian Kesehatan RI: Jakarta [WHO]. World Health Organization. 2009. Dengue Guidelines For Diagnosis, Treatment, Prevention And Control Treatment, Prevention And Control. Geneva.



161



DAFTAR SINGKATAN : Menguras, Menutup, Mengubur



ABJ



: Angka Bebas Jentik



AC



: Air Conditioner



ADE



: Antibody Dependent Enhancement



Ae



: Aedes



BI



: Breateau Index



BPPT



: Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi



C



: Celsius



C



: Core



CDC



: Center for Disease Control



CFR



: Case Fatality Rate



CI



: Container Index



DALY



: Disability-Adjusted Life Year



DALYs



: Disability-Adjusted Life Years



DBD



: Demam Berdarah Dengue



lik al be



ju



er



ip



D



uk



nt



U



k



da



: Diethyl Meta Toluamide



Ti



DEET



an



3M



DEN



: Dengue



DENV



: Dengue Virus



Depkes



: Departemen Kesehatan



DF



: Dengue Fever



DHF



: Dengue Haemorraghic Fever



dll



: dan lain-lain



162



: Deoxyribonucleic Acid



DSS



: Dengue Shock Syndrome



E



: Envelope



ELISA



: Enzyme Linked Imunosorbent Assay



F



: Filial



GBD



: Global Burden Disease



HCV



: Hepatitis C Virus



HeaLY



: Healthy Life Year



HI



: House Index



IDR



: Indonesian Rupiah



IgM



: Immunoglobulin M



IISBC



: Imunositokimia - imunoperoksidase Streptavidin Biotin Complex



IPB



: Institut Pertanian Bogor



IR



: Incidence Rate



IUPAC



: The International Union of Pure and Applied Chemistry : Kilo Dalton



Ti



kDa



da



k



U



nt



uk



D



ip



er



ju



al be



lik



an



DNA



Kemenkes



: Kementerian Kesehatan



KLB



: Kejadian Luar Biasa



KOMPES



: Komisi Pestisida



LAV



: Life Attenuated Vaccines



LIPI



: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia



Litbangkes



: Penelitian dan Pengembangan Kesehatan



163



M



: Membrane



M



: meter



MAC-ELISA : Membrane Attack Complex - Enzyme Linked Imunosorbent Assay : Minimum Infection Rate



Mm



: milimeter



NIAID



: National Institute of Allergy and Infectious Diseases



NS



: Non Structural



ORF



: Open Reading Frame



P2B2



: Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang



P2PL



: Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan



PBO



: Piperonil Butoksida



PD



: Perang Dunia



PDAM



: Perusahaan Daerah Air Minum



PDK



: Primary Dog Kidney



PI



: Pupae Index



prM



: Pre Membrane



lik



al be



ju



er



ip



D



uk



nt



U



k



da



: Forum Riset Vaksin Nasional



Ti



PRVN



an



MIR



PSN



: Pemberantasan Sarang Nyamuk



PSSP



: Pusat Studi Satwa Primata



Puskesmas



: Pusat Kesehatan Masyarakat



PVT



: Pengendalian Vektor Terpadu



QALY



: Quality-Adjusted Year Life



RDT



: Rapid Diagnostic Test



164



: Republik Indonesia



RNA



: Ribonucleic Acid



RS



: Rumah Sakit



RT



: Rukun Tetangga



RT-PCR



: Reverse Transcriptase Polimerase Chain Reaction



RW



: Rukun Warga



S:I



: Sympthomatic Inapparent



SBPC



: Streptavidin Biotin Peroxidase Complex



sp



: Spesies



TBV



: Transmition Blocking Vaccine



TPA



: Tempat Penampungan Air



UGM



: Universitas Gadjah Mada



UI



: Universitas Indonesia



UNAIR



: Universitas Airlangga



USA



: United States of America



USEPA



: The United State of Environmental Protection Agency



lik



al be



ju



er



ip



D



uk



nt



U



k da



: Untranslated Region



Ti



UTR WHO



an



RI



: World Health Organization



WIB



: Waktu Indonesia Barat



WRAIR



: Walter Reed Army Institute of Research



YF



: Yellow Fever



YLD



: Years Life with Disability



YLL



: Years Life Lost



ZPT



: Zat Pengatur Tumbuh 165



Indeks Symbols 3M 163



A



er



ju



al be



lik



an



ABJ 163 Ae. aegypti x, 3, 4, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 28, 29, 32, 33, 34, 35, 40, 44, 45, 46, 49, 51, 52, 53, 72, 73 Ae. albopictus x, xi, 3, 4, 20, 23, 24, 25, 29, 35, 37, 44, 52, 160 Aedes aegypti x, 3, 14, 15, 16, 20, 21, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 47, 54, 55, 56, 57, 75, 76, 77, 78, 80, 95, 114, 121, 145, 160 Aedes albopictus 14, 16, 37, 41, 55, 56, 57, 95 Antibodi 57, 145 asymptomatic 3, 112



D



ip



B



nt



uk



Beban Penyakit xi, 151, 152, 155 bioekologi x, 20, 35, 159, 160, 161



U



C



D



Ti



da



k



Case Fatality Rate 8, 9, 162 curah hujan 31



DALYs 98, 152, 162 DEET 63, 64, 66, 77, 162 Demam Berdarah Dengue ix, x, xi, 7, 9, 12, 13, 14, 15, 19, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 56, 57, 58, 76, 77, 79, 91, 92, 93, 94, 95, 145, 149, 150, 155, 159, 162 Dengue iv, v, ix, x, xi, 1, 2, 4, 5, 6, 7, 9, 10, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 19, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 45, 52, 54, 55, 56, 57, 58, 76, 77, 79, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 98, 100, 101, 111, 112, 113, 114, 115, 117, 118, 121, 122, 125, 132, 134, 136, 137, 138, 139, 140, 141, 142, 143, 144, 145, 147, 166



148, 149, 150, 152, 155, 156, 157, 159, 161, 162, 163 Dengue Haemorrhagic Fever 15, 139, 142, 148 dengue virus 14, 15, 55, 56, 57, 111, 112, 137, 138, 139, 140, 141, 142, 143, 144, 146, 156



E endemis 4, 11, 20, 30, 38, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 60, 77, 81, 97, 102, 105, 106, 155, 160 epidemiologi 11, 19, 44, 52, 95, 102, 103, 104, 151, 160



F



al be



lik



an



Flaviviridae 2, 16, 19, 44, 117, 143 Flavivirus 2, 19, 44, 118, 138, 160 fogger 65 fogging 59, 79



ju



I



da Ti



J



k



U



nt



uk



D



ip



er



inang 29, 35, 44, 46, 47, 53, 119, 160 Inapparent 113, 165 Infection Rate 4, 164 infeksi ix, 2, 3, 11, 12, 19, 44, 46, 47, 48, 50, 97, 98, 99, 101, 102, 103, 106, 107, 108, 110, 111, 117, 118, 120, 121, 122, 126, 129, 130, 132, 133, 135, 136, 154, 160 Insektisida x, 14, 60, 61, 62, 63, 65, 66, 70, 71, 72, 74, 75, 76, 77, 78



jentik-jentik 20, 23, 25, 26, 27, 28, 30, 32, 34, 35, 64, 80, 84, 87



K Karbamat 62, 70, 78 Kasus 10, 12, 36, 38, 39, 40, 41, 58, 75, 78, 100, 109 kejadian luar biasa x, 1, 54, 105, 111, 160 kelembapan 51 kesadaran 33, 85, 86, 87, 88, 89, 91 ketinggian 31, 33, 34 Kontainer 25, 26, 27, 28, 36, 42



167



L larva 4, 30, 35, 46, 47, 51, 53, 64, 81 larvasida 59



O Organofosfat 62, 70, 75, 78 Organoklorin 61



P



ip



er



ju



al be



lik



an



PCR 49, 56, 106, 165 Pemicuan 82, 85, 86 pengendalian vektor x, 20, 35, 59, 60, 72, 74, 83, 84, 86, 87, 98, 118, 121, 125, 152, 154, 159, 161 Pengendalian Vektor Terpadu 60, 164 Peran Serta Masyarakat xi, 40, 88, 90, 92, 94 piretroid 59, 63, 64, 65, 66, 69, 70 PSN 27, 67, 79, 80, 81, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 164 Pupa 24



uk



D



R



da



S



k



U



nt



RDT 104, 164 replikasi 45, 47, 119, 120, 121, 123, 124, 125 reservoir 44, 53, 98, 110



Ti



serotipe 2, 3, 19, 44, 53, 97, 98, 99, 103, 104, 106, 117, 118, 119, 121, 126, 127, 129, 135, 136, 139, 141, 147, 150, 152, 160 siklus hidup 20, 31, 46, 160 Silent Infection xi, 106 suhu 3, 21, 23, 26, 29, 32, 33, 46, 51, 71, 98 symptomatic 3, 103, 104



T telur 4, 20, 21, 26, 28, 34, 35, 46, 51, 52, 53, 54, 61, 160 transmisi 4, 11, 20, 30, 31, 33, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 63, 69, 110, 125, 131, 159, 160 168



transovarial 4, 15, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 159, 160



V



Ti



da



k



U



nt



uk



D



ip



er



ju



al be



lik



an



vaksin 79, 98, 118, 121, 122, 125, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 135, 136, 137, 139, 140, 141, 145, 146, 147, 159, 160 vektor v, x, 3, 4, 5, 11, 19, 20, 24, 25, 28, 30, 31, 34, 35, 37, 38, 44, 45, 49, 57, 59, 60, 70, 72, 73, 74, 80, 83, 84, 86, 87, 88, 97, 98, 118, 121, 125, 127, 129, 151, 152, 154, 159, 160, 161



169



BIODATA PENULIS



Upik Kesumawati Hadi



D



ip



er



ju



al be



lik



an



Staf Pengajar di Divisi Parasitologi & Entomologi Kesehatan Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Institut Pertanian Bogor (IPB) sejak 1984 sampai sekarang. Ditetapkan sebagai Guru Besar FKH IPB pada tahun 2013. Pendidikan Ph.D ditempuh di Oita Medical University, Japan; Master of Science Entomologi Kesehatan dan Dokter Hewan dari IPB. Beberapa publikasi ilmiah telah banyak diterbitkan dalam berbagai jurnal internasional dan nasional di bidang Entomologi Kesehatan. Beliau telah menulis beberapa buku, antara lain penulis dan editor buku referensi Hama Permukiman Indonesia, Ektoparasit Pengenalan, Identifikasi dan Pengendaliannya, Kupas Tuntas dan Penangan Kutu Busuk.



U



nt



uk







Endang Puji Astuti



Ti



da



k



Peneliti Ahli Madya di Loka Litbangkes Pangandaran Badan Litbangkes Kemenkes RI. Menyelesaikan pendidikan Sarjana Kesehatan Masyarakat di Universitas Airlangga Surabaya; dan Master of Science Entomologi Kesehatan di Institut Pertanian Bogor. Beberapa penelitian telah dilakukan pada bidang epidemiologi penyakit tular vektor seperti malaria, filariasis, demam berdarah dengue. Kontributor penulis dalam buku Fauna Anopheles, Filariasis di Jawa Barat (Penyakit Tropis yang Terabaikan), Seputar Dengue dan Malaria, Pestisida Nabati, dan Buku Saku Menghapus Jejak Kaki Gajah. 170



Andri Ruliansyah



uk



D



ip



er



ju



al be



lik



an



Peneliti Ahli Muda di Loka Litbangkes Pangandaran Badan Litbangkes Kemenkes RI. Menyelesaikan pendidikan Diploma Kesehatan Lingkungan di Akademi Kesehatan Lingkungan Bandung; Sarjana Kesehatan Masyarakat di Universitas Indonesia Depok; dan Master of Science Program Studi Penginderaan Jauh di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Beberapa penelitian telah dilakukan pada bidang epidemiologi penyakit tular vektor seperti malaria, filariasis, demam berdarah dengue. Kontributor penulis dalam buku Seputar Dengue & Malaria dan buku Surveilans & Pengendalian Vektor Demam Berdarah Dengue



nt



Asep Jajang



Ti



da



k



U



Teknisi Litkayasa Mahir di Loka Litbangkes Pangandaran. Menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri Pangandaran. Beberapa penelitian telah dilakukan pada bidang epidemiologi penyakit tular vector seperti malaria, filariasis, demam berdarah dengue. Kontributor penulis dalam buku Fauna Anopheles, Metode Bioassay Insektisida Nabati Terhadap Nyamuk: Buku Pestisida Nabati 2016 .



171



Tri Wahono



ip



er



ju



al be



lik



an



Peneliti Ahli Muda di Loka Litbangkes Pangandaran Badan Litbangkes Kemenkes RI. Menyelesaikan pendidikan Sarjana Kedokteran Hewan dan Pendidikan Profesi Dokter Hewan di Institut Pertanian Bogor; Master of Science Program Studi Ilmu Kedokteran Tropis di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Beberapa penelitian telah dilakukan pada bidang epidemiologi penyakit tular vektor seperti malaria, filariasis, dan demam berdarah dengue. Kontributor penulis dalam buku Filariasis di Jawa Barat (Penyakit Tropis yang Terabaikan), editor dalam buku Surveilans dan Pengendalian Vektor Demam Berdarah Dengue.



uk



D



Nurul Hidayati Kusumastuti



Ti



da



k



U



nt



Peneliti Ahli Pertama di Loka Litbangkes Pangandaran Badan Litbangkes Kemenkes RI. Menyelesaikan pendidikan Sarjana Kesehatan Masyarakat di Universitas Diponegoro Semarang. Beberapa penelitian telah dilakukan pada bidang epidemiologi penyakit tular vektor seperti malaria dan Demam Berdarah Dengue. Kontributor penulis dalam buku Seputar Dengue dan Malaria.



172



Firda Yanuar Pradani



al be



lik



an



Peneliti Ahli Muda di Loka Litbangkes Pangandaran Badan Litbangkes Kemenkes RI. Menyelesaikan pendidikan Sarjana dan Magister Biologi di Universitas Jendral Soedirman Purwokerto; aktif dalam berbagai kegiatan penelitian yang diselenggarakan oleh Badan Litbang Kesehatan maupun Lokalitbangkes Pangandaran. Kontributor penulis dalam buku Fauna Anopheles dan Pestisida Nabati.



ju



Heni Prasetyowati



Ti



da



k



U



nt



uk



D



ip



er



Peneliti Ahli Muda di Loka Litbangkes pangandaran Badan Litbangkes Kemenkes RI. Menyelesaikan pendidikan Sarjana Sains di Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman; dan Master of Science di Prodi Kedokteran Tropis Universitas Gadjah Mada. Beberapa penelitian telah dilakukan pada bidang epidemiologi penyakit tular vektor seperti malaria dan demam berdarah dengue. Kontributor penulis dalam buku Fauna Anopheles, Pestisida Nabati dalam Pengendalian Demam Berdarah Dengue, dan Seputar Dengue dan Malaria.



173



Rohmansyah Wahyu Nurindra



er



ju



al be



lik



an



Peneliti Ahli Pertama di Lokalitbangkes Pangandaran Badan Litbangkes Kemenkes RI. Pernah berkuliah di Jurusan Antropologi Universitas Padjadjaran. Bekerja mulai tahun 2005 sampai dengan saat ini dan telah mengikuti berbagai pendidikan dan pelatihan berkait bidang pekerjaan. Selama bekerja juga telah melakukan berbagai penelitian dan menjadi kontributor penulis beberapa buku yang berkaitan dengan pengendalian penyakit bersumber binatang, humaniora kesehatan, dan kesehatan masyarakat, baik berskala regional maupun nasional.



D



ip



Muhammad Umar Riandi



Ti



da



k



U



nt



uk



Seorang Peneliti Ahli Muda di Loka Litbangkes Pangandaran Kementerian Kesehatan RI sejak 2009 sampai sekarang. Alumnus Sarjana Biologi Universitas Pendidikan Indonesia dan Magister Parasitologi dan Entomologi Kesehatan Institut Pertanian Bogor. Penulis Buku Sekolah Elektronik (BSE) Mudah dan Aktif Belajar Biologi Kelas IX-XII, Mengenal Filariasis: Penyakit Tropis yang Terabaikan di Jawa Barat, beberapa artikel jurnal serta editor buku lainnya.



174



Joni Hendri



Mara Ipa



uk



D



ip



er



ju



al be



lik



an



Peneliti Ahli Muda di Loka Litbangkes Pangandaran, Badan Litbangkes Kemenkes RI. Menyelesaikan pendidikan Sarjana Kesehatan Masyarakat di Universitas Siliwangi Tasikmalaya Tahun 2009; dan Master of Biotechnology dari Universitas Gadjah Mada Tahun 2014. Beberapa penelitian telah dilakukan pada bidang tular vektor termasuk Demam Berdarah Dengue. Kontributor penulis dalam buku Fauna Anopheles, Insektisida Nabati dalam Pengendalian Demam Berdarah Dengue; Seputar Dengue dan Malaria; dan Buku Saku Menghapus Jejak Kaki Gajah. Beberapa tulisan ilmiah semipopuler juga pernah di muat di Koran Pikiran Rakyat dan Majalah Inside.



Ti



da



k



U



nt



Peneliti Ahli Muda di Loka Litbangkes Pangandaran Badan Litbangkes Kemenkes RI. Menyelesaikan pendidikan Sarjana Kesehatan Masyarakat di Universitas Airlangga Surabaya; dan Master of Science Program Studi Ilmu Kedokteran Tropis di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Beberapa penelitian telah dilakukan pada bidang epidemiologi penyakit tular vektor seperti malaria, filariasis, demam berdarah dengue. Kontributor penulis dalam buku Fauna Anopheles, Filariasis di Jawa Barat (Penyakit Tropis yang Terabaikan), Seputar Dengue dan Malaria dan Buku Saku Menghapus Jejak Kaki Gajah. 175



Ti k



da U uk



nt al be



ju



er



ip



D



an



lik