4 0 197 KB
Bab I Pendahuluan
1.1
Latar belakang Ekosistem pesisir dan lautan merupakan sistim akuatik yang terbesar diplanet
bumi. Ukuran dan kerumitannya menyulitkan kita untuk dapat membicarakannya secara utuh sebagai suatu kesatuan. Akibatnya dirasa lebih mudah jika membaginya menjadi sub-bagian yang dapat dikelola, selanjutnya masing-masing dapat dibicarakan berdasarkan prisip-prinsip ekologi yang menentukkan kemampuan adaptasi organisme dari suatu komunitas. Tidak ada suatu cara pembagian laut yang telah diajukan yang dapat diterima secara universal. Cara pembagiannya telah banyak dipakai oleh para ilmuwan dan pakar kelautan diseluruh dunia. Letak zona intertidal yang dekat dengan berbagai macam aktifitas manusia, dan mmeiliki lingkungan dengan dinamika yang tinggi menjadikan kawasan ini sangat rentan terhadap gangguan. Kondisi ini tentu saja akan berpengaruh terhadap segenap kehidupan di dalamnya. Pengaruh tersebut salah satunya dapat berupa cara beradaptasi. Adaptasi ini diperlukan untuk mempertahankan hidup pada lingkungan di zona intertidal. Keberhasilan beradaptasi akan menentukan keberlangsungan organisme di zona intertidal.
1.2
Manfaat Pemahaman akan kondisi lingkungan dan karakter biota yang ada di zona
intertidal dapat dijadikan sebagai acuan dalam upaya pengelolaan zona intertidal.
Bab II Tinjauan Pustaka
2.1 Pengertian Zona Intertidal Daerah intertidal merupakan suatu daerah yang selalu terkena hempasan gelombang tiap saat. Daerah ini juga sangat terpengaruh dengan dinamika fisik lautan yakni pasang surut. Zona intertidal dimulai dari pasang tertinggi sampai pada surut terendah. Zona ini hanya terdapat pada daerah pulau atau daratan yang luas dengan pantai yang landai. Semakin landai pantainya maka zona intertidalnya semakin luas, sebaliknya semakin terjal pantainya maka zona intertidalnya akan semakin sempit. Akibat seringnya hempasan gelombang dan pasang surut maka daerah intertidal sangat kaya akan oksigen. Pengadukan yang sering terjadi menyebabkan interaksi antar atmosfir dan perairan sangat tinggi sehingga difusi gas dari permukaan keperairan juga tinggi. Selain oksigen daerah ini juga mendapatkan sinar matahari yang cukup, sehingga sangat cocok untuk beberapa jenis organisme untuk berkembang biak.
Pada tiap zona intertidal terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara satu daerah dengan daerah yang lain. Jenis substrat daerah intertidal ada yang berpasir adapula yang berbatu. Hal lain yang dapat dilihat yakni pembagian zona juga dapat dilihat dari pasang surutnya dan organismenya. Jenis-jenis biota yang hidup di Zona Intertidal : Wilayah
Pantai berbatu
Pantai Berpasir
Pantai Berlumpur
Upper Zone
Alga yang menjalar
Scylla
olivacea, nematoda
dan
Cyanobacteria (bakteri Scylla serrata dan oligochaetes hijau biru)
Scylla
cacing kecil,
paramamosain
periwinkles, kepiting, dimana
Middle Zone
Scylla
rajungan
olivacea
Bernakel, Kerang
Scaphopoda
terkadang
tiram, (keong
Harpacticoid
gading), copepoda,
bintang laut, mussels, Crustacea, Cacing mystacocarid, kepiting,
bernacles, policaeta, bivalva, nematoda,
isopods, Mata Kebo Donax sp. Mytilus oligochaetes (Turbo
brunnes), edulis,
Cephalopoda cumi, notilus), (kijing, kepah),
dan
turbelaria
(cumi-
gurita
dan
Bivalvia tiram
dan
Crustacea,
nekton Lower Zone
alga merah, organisme ikan badut, ikan 40-70%, nematoda penghasil
kapur, lepu,
kebanyakan berbentuk barakuda,
ikan dan ikan crustacea,nekton
menjalar,
terkadang baronang, botana,
kelp yang lebat (alga Kepe
strip
coklat) tunicata (sea delapan, squirt),
Chiton,
Kepe
lely coklat,kepe
laut, Asterias asterina, monyong
zebra,
sun star, Brittle star kambingan, Platak (Ophiura),
bulu asli, Brown Kelly,
babi(stongylocentrotus, Brajanata, keling nekton
kalong,
Kenari
biasa,
Kerapu
layar, Dokter ular bibir
merah,
Dokter
neon,
Zebra ekor hitam, Bluester
Biasa,
Betok , Enhalus acoroides, Halophila ovalis, Halophila minor, Thalassia hemprichii, Cymodocea serrulata, Syringodium isoetifolium.
2.2 Faktor Penyebab Distribusi Zonasi Pada Daerah Intertidal Ada berbagai faktor yang menyebabkan adanya berbagai macam distribusi pada daerah intertidal. Pada dasarnya faktor tersebut dibagi menjadi dua bagian besar yang saling terkait yaitu: 1. Faktor fisika. Faktor ini merupakan faktor yang sangat berpengaruh pada ekosistem intertidal. Akibat adanya pasang surut maka menyebabkan faktor pembatas pada daerah ini menjadi lebih ekstrim. Faktor pembatas tersebut yaitu kekeringan, suhu, dan sinar matahari ketiga faktor tersbeut saling terkait. 2. Faktor biologis. Faktor ini sangat tergantung dari faktor fisik perairan. Organisme berusaha untuk menyesuaikan diri pada keadaan yang sangat ekstrim tersebut.
Zonasi Pantai Berbatu Pada Beberapa Belahan Dunia yang Berbeda Pada berbagai belahan dunia terdapat perbedaan pola zonasi pantai berbatu yang terjadi antara satu tempat dengan tempat yang lain. Perbedaan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya kemiringan permukaan batu yang menyusunnya (Nybakken, 1992). PANTAI BERPASIR Pantai berpasir adalah pantai dengan ukuran substrat 0.002-2 mm. Jenis pantai berpasir termasuk dalam jenis pantai dengan partikel yang halus. Sama halnya pada pantai berbatu pada pantai berpasir juga dibagi dalam beberapa zonasi (Dahl, 1952 and Salvat, 1964 in Raffaelli and Hawkins, 1996) yaitu: 1. Mean High Water of Spring Tides (MHWS) rata-rata air tinggi pada pasang purnama. Zona ini berada pada bagian paling atas. Pada daerah ini berbatasan langsung dengan daerah yang kering dan sering terekspose.
2. Mean Tide Level (MLS) rata-rata level pasang surut. Zona ini merupakan daerah yang paling banyak mengalami fluktusi pasang surut. Pada daerah ini juga dapat ditemukan berbagai ekosistem salah satunya ekosistem padang lamun. 3. Mean Water Low of Spring Tides (MLWS) rata-rata air rendah pada pasang surut purnama. Zona ini merupakan zona yang paling bawah. Pada daerah ini fliktuasi pasang surut sangat sedikit yang berpengaruh karena daerah ini tidak terkena fluktuasi tersebut. Daerah ini juga bias ditemukan ekosistem terumbu karang.
BAB III PEMBAHASAN VIBRIO PARAHAEMOLYTICUS
Klasifikasi.
Kingdom
: Bacteria
Filum
: Proteobacteria
Kelas
: Gamma Proteobacteria
Ordo
: Vibrionales
Famili
: Vibrionaceae
Genus
: Vibrio
Species
: Vibrio parahaemolyticus
(Sumber : Wikipedia 2011)
Morfologi Bakteri Vibrio parahaemolyticus (Vp) merupakan bakteri gram negatif, halofilik, bersifat motil atau bergerak, berbentuk bengkok atau koma, menghasilkan energi untuk pertumbuhan dengan oksidasi, fakultatif anaerob dan mempunyai flagelum kutub tunggal dan tidak dapat membentuk spora serta bersifat zoonosis ( Austin 2010). Perubahan bentuk morfologi Vp dapat terjadi dengan perlakuan suhu dingin dan kondisi lingkungan yang tidak menunjang (Chen et al 2009).
Bentuk Vibrio parahaemolyticus
Habitat Vibrio parahaemolyticus Bakteri Vp hidup pada sekitar muara sungai (brackish water atau estuaries), pantai (coastal waters) tetapi tidak hidup pada laut dalam (open sea), ditemukan banyak di sedimen, dan merupakan bagian dari flora alami dari kerang kerang. Bakteri Vp terutama hidup di perairan Asia Timur. Bakteri ini tumbuh pada air laut dengan kadar NaCl optimum 3%, (berkembang baik pada kadar NaCl 0,5% - 8 %) pada kisaran suhu 5 - 43 OC, pH 4,8 –11 dan water activity (aw) 0,940,99. Pertumbuhan berlangsung cepat pada suhu optimum 37 OC dengan waktu generasi hanya 9-11 menit. Pada beberapa spesies Vibrio suhu pertumbuhan sekitar 5 – 43 OC (pada suhu 10 OC merupakan suhu minimum pada lingkungan) (Adams and Moss 2008). Vp adalah bakteri halofilik didistribusikan di perairan pantai di seluruh dunia. Bakteri ini ditemukan di lingkungan muara sungai dan menunjukkan variasi musiman, yang hadir dalam jumlah tertinggi selama musim panas. Selama musim dingin, bakteri ini tetap berada di bawah muara pada bahan chitinous plankton (Ray 2004).
Selama musim dingin, organisme ini ditemukan di lumpur laut, sedangkan selama musim panas mereka ditemukan di perairan pantai. Bakteri Vp dapat hidup sebagai koloni pada kerang-kerangan, udang, ikan dan produk makanan laut lainnya (Sudheesh and Xu 2002). Bakteri Vibrio parahaemolyticus masuk ke dalam tubuh manusia yang mengkonsumsi produk makanan laut seperi udang, kerang, ataupun ikan mentah yang dimasak kurang sempurna. Penularan juga dapat terjadi pada makanan yang telah dimasak sempurna namun tercemar oleh personal/individu yang pada saat bersamaan menangani produk ikan mentah.
Kerang yang terkontaminasi Vibrio parahaemolyticus
Teknik Isolasi dan Identifikasi TEKNIK ISOLASI BAKTERI
Berawal dari pengambilan sampel kemudian dibiakkan dengan menggunakan media universal atau media selektif. Jika menggunakan media universal akan diperoleh biakan mikroba campuran. Untuk proses identifikasi maupun isolasi jenis tertentu saja, dilakukan proses pembuatan isolat tunggal dari isolat campuran tersebut. Isolat tunggal atau biakan murni merupakan biakan yang
asalnya dari pembelahan satu sel tunggal. Ada beberapa metode untuk memperoleh biakan murni dari isolat campuran. Dua di antaranya yang sering digunakan adalah teknik cawan gores dan teknik cawan tuang. Prinsip dari kedua teknik tersebut sama, yaitu mengencerkan biakan campuran hingga setiap individu spesies dapat dipisahkan, sehingga setiap koloni yang terbentuk merupakan hasil dari pembelahan satu sel.
Gambar 5. Koloni Vp pada agar CV (a, warna ungu) dan TCBS (b, warna hijau)
Teknik dot blotting dengan menggunakan monoclonal antibodi juga digunakan untuk membedakan spesies Vibrio tanpa isolasi bakteri terlebih dahulu. Teknik ini merupakan pengembangan monoclonal antibodi untuk deteksi dengan metode sederhana dalam membedakan Vibrio dibandingkan teknik PCR (Pengsuk et al 2010).
Teknik pengambilan dan preparasi sampel berdasar jenis sampel
1. Pengambilan sampel padat. Pengambilan sampel dapat dilakukan dengan pinset,spatula atau alat lain lalu dimasuikkan ke dalam wadah steril. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengambilan sampel padat adalah: 1.aliran udara di sekitar sampel. 2.stratifikasi dan distribusi karakteristik mikroorganisme pada sampel.
3.kedalaman atau letak sampel. Untuk sampel padat,setelah dilakukan pengambilan, maka sampel padat harus dilakukan pengenceran dahulu agar lebih mudah diidentifikasi jenis mikroba yang akan di isolasi
2. Pengambilan sampel tanah, kompos dan lumpur Sampel tanah secara umum diambil dengan kedalaman minimal 4cm untuk memperkecil kemungkinan mendapat mikroba yang bukan berasal dari tanah (hal ini bersifat relatif dan tergantung kebutuhan). Sebaiknya diambil tanah yang tidak mengandung atau berkaitan dengan jaringan akar tumbuhan.
Pengambilan sampel tanah dapat juga menggunakan hand soil auger (gurdi atau penggerek tanah). Prinsip kerjanya adalah dengan menusukkan suatu pipa dengan kedalaman tertentu sehingga tanah yang memiliki lapisan-lapisan akan masuk ke dalam pipa sesuai dengan lapisannya. Alat ini dapat digunakan sampai kedalaman 180 cm. Kemungkinan resiko kontaminan dari bakteri permukaan dapat terjadi saat pipa dimasukkan ke permukaan tanah tetapi dapat diminimalisasi dengan membuang tanah yang berada pada sisi pipa dengan spatula. Pembersihan pipa jika digunakan untuk pengambilan sampel selanjutnya adalah dengan mencuci sisa tanah dengan air lalu dibilas dengan 75% etanol kemudian dibilas lagi dengan air steril. Pengambilan sampel dengan cara ini akan lebih meningkatkan kepresisian karena tanah sangat berkaitan erat dengan beberapa faktor penting seperti konsentrasi oksigen, kelembaban dan kandungan bahan organiknya yang sangat berhubungan dengan kedalaman dan lapisan tanah. Namun kekurangannya yaitu tidak cocok jika digunakan untuk mengambil sampel tanah yang memiliki banyak bebatuan. Selain itu karena keheterogenan karakteristik mikroba tanah yang tinggi dan dengan
keterbatasan diameter pipa auger maka dapat memperkecil kemungkinan terambilnya sampel yang representatif. Hal ini dapat diatasi dengan banyaknya sampel tapi akan mempengaruhi biaya analisa yang dilakukan. Untuk sampel tanah yang lebih dalam dapat dipakai alat yang dirancang untuk tujuan tersebut seperti air rotary drilling atau hollow stem auger drilling yang mampu mencapai kedalaman puluhan meter.
Setelah dilakukan pengambilan sampel, tidak lupa dilakukan pengenceran agar mempermudah identifikasi mikroba
Bab IV Penutup 4.1 Kesimpulan Daerah intertidal merupakan suatu daerah yang selalu terkena hempasan gelombang tiap saat. Daerah ini juga sangat terpengaruh dengan dinamika fisik lautan yakni pasang surut. Vegetasi yang biasa hidup pada daerah ini diantaranya ekosistem mangrove, lamun, dan rawa asin (Saltmarshes). Karena daerah ini berisi keanekaragaman spesies yang tinggi dan zonasi diciptakan oleh pasang surut menyebabkan relatif sederhana untuk mempelajari spesies di seluruh rentang lintas-pantai mereka. Zona intertidal secara bergantian tertutup oleh laut dan terkena udara, sehingga organisme yang hidup di lingkungan ini harus memiliki adaptasi baik untuk kondisi basah dan kering. Bahaya termasuk menjadi hancur atau terbawa oleh gelombang kasar, paparan suhu sangat tinggi, dan pengeringan. Biota zona intertidal antara lain bulu babi, anemon laut, teritip, chitons, kepiting, isopoda, kerang, bintang laut, dan moluska banyak gastropoda laut seperti limpets, whelks, dan bahkan gurita. Untuk terkait isolasi bakteri, setelah pengambilan sampel dari biota atau sampel padat maka harus dilakukan pengenceran terlebih dahulu agar lebih mudah untuk di identifikasi
DAFTAR PUSTAKA Abi.
2010.
http://Abivaleyzone.blogspot.com/2010/01/adaptasi-biota-zona-
intertidal.html. Diakses pada 4 Mei 2011 pukul 16.00 WIB. Efendi,
Eko.
2009.
http://blog.unila.ac.id/ekoefendi/2009/01/01/penyebab-
zonasi.html. Diakses pada 4 Mei 2011 pukul 16.00 WIB. Kurnia, Ika dkk. 2008. Organisme Intertidal. http://scribd.com/intertidal. Diakses pada 4 Mei 2011 pukul 16.30 WIB. Ranggon. 2007. http://rang9on-bekasi.blog.friendster.com/2007/03/zona-intertidal/. Diakses pada 4 Mei 2011 pukul 16.10 WIB. Wikipedia. 2011. http://en.wikipedia.org/wiki/intertidal-zone. Diakses pada 4 Mei 2011 pukul 16.20 WIB.