Diagnosis Okupasi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT PENYAKIT AKIBAT KERJA



Oleh Bisart Benedicto Ginting, S.Ked Dian Octaviani, S.Ked Iqbal Reza Pahlavi, S.Ked Nidya Tiaz Putri Azhari, S.Ked Tarrinni Inastyarikusuma, S.Ked Widya Pebryanti Manurung, S.Ked



Pembimbing dr. Kemas Abdul Hamid



KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG PT. GREAT GIANT PINEAPPLE TERBANGGI BESAR PERIODE 30 JULI-18 AGUSTUS 2018



KATA PENGANTAR



Penulis mengucapkan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah serta pertolongan-Nya yang tak terhingga sehingga penulis dapat menyelesaikan referat ini. Referat dengan judul “PENYAKIT AKIBAT KERJA” merupakan salah satu tugas dalam kepaniteraan Ilmu Kedokteran Komunitas di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Pada kesempatan ini penulis haturkan terima kasih yang tulus kepada dr. Kemas Abdul Hamid selaku pembimbing makalah ini yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing hingga terselesaikannya makalah ini. Rasa terima kasih juga penulis haturkan kepada staff dan pegawai PT Great Giant Pineapple yang telah memberikan saran, bantuan dan kerjasamanya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada makalah ini, akan tetapi dengan kerendahan hati penulis berharap makalah ini dapat memperkaya ilmu pengetahuan bagi dunia pendidikan dan bermanfaat bagi kita semua.



Bandar Lampung, Agustus 2018



Penulis



i



DAFTAR ISI



COVER KATA PENGANTAR .......................................................................................i DAFTAR ISI ......................................................................................................ii BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................1 1.1 Latar Belakang .................................................................................1 1.2 Rumusan Masalah ............................................................................3 1.3 Tujuan...............................................................................................3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................4 2.1 Keselamatan dan Kesehatan Kerja Di Lingkungan Pertanian .........4 2.2 Penyakit Akibat Kerja ......................................................................6 2.3 Undang-Undang Keselamatan dan Kesehatan Kerja .......................6 2.4 Penyebab Penyakit Akibat Kerja......................................................6 2.5 Prinsip-Prinsip Penyakit Akibat Kerja .............................................7 2.6 Penegakan Diagnosis Penyakit Akibat Kerja ...................................7 2.7 Jenis Penyakit Akibat Kerja .............................................................10 2.8 Penatalaksanaan ...............................................................................21 2.9 Alur Diagnosis dan Tatalaksana .......................................................25 BAB III PENUTUP ...........................................................................................27 3.1 Kesimpulan.......................................................................................27 3.2 Saran .................................................................................................27 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................28



ii



BAB I PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah kepentingan pengusaha, pekerja dan pemerintah di seluruh dunia. Menurut perkiraan ILO, setiap tahun di seluruh dunia 2 juta orang meninggal karena masalah-masalah akibat kerja. Dari jumlah ini, 354.000 orang mengalami kecelakaan fatal. Disamping itu, setiap tahun ada 270 juta pekerja yang mengalami kecelakaan akibat kerja dan 160 juta yang terkena penyakit akibat kerja. Biaya yang harus dikeluarkan untuk bahaya-bahaya akibat kerja ini amat besar. ILO memperkirakan kerugian yang dialami sebagai akibat kecelakaan-kelakaan dan penyakit-penyakit akibat kerja setiap tahun lebih dari US$1,25 triliun atau sama dengan 4% dari Produk Domestik Bruto (ILO, 2010).



Tingkat kecelakan fatal di negara-negara berkembang empat kali lebih tinggi dibanding negara-negara industri. Di negara-negara berkembang, kebanyakan kecelakaan dan penyakit akibat kerja terjadi di bidang-bidang pertanian, perikanan dan perkayuan, pertambangan dan konstruksi. Tingkat buta huruf yang tinggi dan pelatihan yang kurang memadai mengenai metode-metode keselamatan kerja mengakibatkan tingginya angka kematian yang terjadi karena kebakaran dan pemakaian zat-zat berbahaya yang mengakibatkan penderitaan dan penyakit yang tak terungkap termasuk kanker, penyakit jantung, dan stroke (Barry dan David, 2000).



1



Di era globalisasi dan pasar bebas WTO dan GATT yang akan berlaku tahun 2020 mendatang, kesehatan dan keselamatan kerja merupakan salah satu prasyarat yang ditetapkan dalam hubungan ekonomi perdagangan barang dan jasa antar negara yang harus dipenuhi oleh seluruh negara anggota, termasuk bangsa Indonesia. Untuk mengantisipasi hal tersebut serta mewujudkan perlindungan masyarakat pekerja Indonesia; demi mewujudukan gambaran masyarakat Indonesia di masa depan, yang penduduknya hidup dalam lingkungan dan perilaku sehat, memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya (Direktorat Kesehatan Kerja dan Olahraga Kementrian Kesehatan RI dan PERDOKI, 2011).



Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan Kecelakaan Kerja (KK) di kalangan petugas kesehatan dan non kesehatan kesehatan di Indonesia belum terekam dengan baik. Hal ini disebabkan karena sumber daya manusia yang mampu melakukan diagnosis penyakit akibat kerja masih kurang sehingga pelayanan untuk penyakit akibat kerja belum optimal. Jika kita pelajari angka kecelakaan dan penyakit akibat kerja di beberapa negara maju (dari beberapa pengamatan) menunjukan kecenderungan peningkatan prevalensi. Sebagai faktor penyebab, sering terjadi karena kurangnya kesadaran pekerja dan kualitas serta keterampilan pekerja yang kurang memadai. Banyak pekerja yang meremehkan risiko kerja, sehingga tidak menggunakan alat-alat pengaman walaupun sudah tersedia. Dalam penjelasan undang-undang nomor 23 tahun 1992 tentang



2



Kesehatan telah mengamanatkan antara lain, setiap tempat kerja harus melaksanakan upaya kesehatan kerja, agar tidak terjadi gangguan kesehatan pada pekerja, keluarga, masyarakat dan lingkungan disekitarnya (Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional, 2003).



Dalam bekerja Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan faktor yang sangat penting untuk diperhatikan karena seseorang yang mengalami sakit atau kecelakaan dalam bekerja akan berdampak pada diri, keluarga dan lingkungannya. Salah satu komponen yang dapat meminimalisir Kecelakaan dalam kerja adalah tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan mempunyai kemampuan untuk menangani korban dalam kecelakaan kerja dan dapat memberikan penyuluhan kepada masyarakat untuk menyadari pentingnya keselamatan dan kesehatan kerja (Markkanen, 2004).



1.2 Rumusan Masalah 1. Apa definisi dari penyakit akibat kerja? 2. Bagaimana langkah melakukan dan menentukan diagnosis okupasi dalam rangka meningkatkan kesehatan dan keselamatan kerja?



1.3 Tujuan 1. Mengetahui definisi penyakit akibat kerja 2. Memahami langkah melakukan dan menentukan diagnosis okupasi dalam rangka meningkatkan kesehatan dan keselamatan kerja



3



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1. Keselamatan dan Kesehatan Kerja Di Lingkungan Pertanian Keselamatan kerja merupakan suatu keadaan terhindar dari bahaya saat melakukan kerja. Menurut Suma’mur (1987), keselamatan kerja adalah keselamatan yang bertalian dengan mesin, pesawat, alat kerja, bahan dan proses pengolahannya, tempat kerja dan lingkungannya serta cara-cara melakukan pekerjaan. Keselamatan kerja menyangkut semua proses produksi dan distribusi baik barang maupun jasa.



Keselamatan kerja sangat bergantung pada jenis, bentuk, dan lingkungan dimana pekerjaan itu dilaksanakan. Adapun unsur-unsur penunjang keselamatan kerja adalah sebagai berikut: a. Adanya unsur-unsur keamanan dan kesehatan kerja. b. Adanya kesadaran dalam menjaga keamanan dan kesehatan kerja. c. Teliti dalam bekerja. Kesehatan berasal dari bahasa inggris ‘health´ yang dewasa ini tidak hanya berarti terbebasnya seseorang dari penyakit, tetapi pengertian sehat mempunyai makna sehat secara fisik, mental dan juga sehat secara sosial. Dengan demikian, pengertian sehat secara utuh menunjukkan pengertian sejahtera (well-being). Kesehatan sebagai suatu pendekatan keilmuan maupun pendekatan praktis yang berupaya mempelajari faktor-faktor yang menyebabkan manusia menderita sakit dan sekaligus berupaya untuk mengembangkan berbagai cara atau pendekatan untuk mencegah agar manusia tidak menderita sakit, bahkan menjadi lebih sehat.



Sektor pertanian di Indonesia memegang peranan penting, mengingat lebih dari 40% angkatan kerjanya menggantungkan hidup di sektor ini. Berdasarkan data International Labour Organization (ILO), sekitar 1,3 juta orang bekerja di bidang pertanian di seluruh dunia. Dari angka tersebut, 60% diantaranya bekerja di negara



4



berkembang. Tingkat kecelakaan fatal di negara berkembang empat kali lebih besar dari negara industri yang kebanyakan terjadi di bidang pertanian.



Penggunaan mesin-mesin dan alat-alat berat seperti traktor, mesin permanen, alat tanam dan sebagainya di sektor pertanian merupakan sumber bahaya yang dapat mengakibatkan cedera dan kecelakaan kerja yang fatal. Selain itu, penggunaan pestisida dapat menyebabkan keracunan atau penyakit yang serius, serta debu binatang dan tumbuhan yang mengakibatkan alergi dan penyakit pernafasan. Faktor lain yang memicu terjadinya kecelakaan kerja di bidang pertanian adalah terbatasnya waktu yang tersedia untuk menyelesaikan suatu pekerjaan yang diakibatkan oleh batasan iklim sehingga petani cenderung bekerja terburu-buru tanpa memperhatikan keselamatan dirinya.



Hal yang mempengaruhi tingginya kecelakaan kerja di negara berkembang (termasuk Indonesia) adalah perspektif masyarakat terhadap pentingnya menjaga kesehatan dan keselamatan kerja. Di negara maju, kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan dan keselamatan kerja sangat tinggi, hal ini diakibatkan oleh adanya perangkat sistem dan hukum yang memadai dan diterapkan hukum secara tegas. Pemerintah Indonesia telah berupaya membuat perangkat hukum keselamatan dan kesehatan kerja (K3) yang cukup lengkap, namun perangkat hukum yang spesifik pada bidang pertanian kurang memadai. Kondisi ini diperparah dengan lemahnya penegakan hukum dan rendahnya kesadaran, perilaku dan sikap untuk menerapkan budaya keselamatan dan kesehatan kerja (K3) (Topobroto HS, 2002).



Keterbatasan mengenai perangkat hukum mengenai keselamatan dan kesehatan kerja di Indonesia terlihat dengan terbatasnya hukum yang hanya mengatur mengenai penggunaan pestisida saja, yaitu PP. No. 7 tahun 1973 tentang pengawasan distribusi, penyimpanan dan penggunaan pestisida dan Peraturan Menteri No. 3 tahun 1986 tentang pemakaian pestisida di tempat kerja . Mengingat Indonesia merupakan negara agraris dengan sekitar 70% wilayahnya terdiri dari daerah pedesaan dan pertanian, maka konvensi ILO No. 184 tahun 2001 (ILO,



5



2001) tentang K3 di bidang pertanian dianggap sebagai perangkat kebijakan yang bermanfaat, namun kendalanya adalah Indonesia dianggap belum siap meratifikasi konvensi ini karena tingkat kesadaran akan K3 oleh masyarakat masih rendah (Markkanen P, 2004).



2.2 Penyakit Akibat Kerja Penyakit akibat kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dan atau lingkungan kerja termasuk penyakit terkait kerja. Menurut PERDOKI penyakit akibat kerja adalah penyakit yang mempunyai penyebab spesifikatau asosiasi kuat dengan pekerjaan yang sebab utama terdiri dari satu agen penyebab yang sudah diakui. Penyakit terkait kerja mempunyai beberapa agen penyebab dengan faktor pekerjaan dan atau lingkungan kerja memegang peranan bersama dengan faktor risiko lainnya (Direktorat Kesehatan Kerja dan Olahraga Kementrian Kesehatan RI dan PERDOKI, 2011).



2.3 Undang-undang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Indonesia mempunyaki kerangka hukum K3 yang ekstensif, sebagaimana terlihat pada daftar peraturan perundang-undangan K3 yang terdapat dalam lampiran II. Undang-undang K3 yang terutama di Indonesia adalah Undang-undang No.1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Undang-undang ini meliputi semua tempat kerja dan menekankan pentingnya upaya atau tindakan pencegahan primer.



Undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan memberikan ketentuan mengenai kesehatan kerja dalam pasal 23 yang menyebutkan bahwa kesehatan kerja dilaksanakan supaya semua pekerja dapat bekerja dalam kondisi kesehatan yang baik tanpa membahayakan diri mereka sendiri atau masyarakat, dan upaya mereka dapat mengoptimalkan produktivitas kerja mereka sesuai dengan program perlindungan tenaga kerja (Markkanen, 2004).



2.4 Penyebab Penyakit akibat kerja Penyebab penyakit akibat kerja dibagi menjadi 5 (lima) golongan, yaitu:



6



a. Golongan fisika Suhu ekstrem, bising, pencahayaan, vibrasi, radiasi pengion dan non pengion dan tekanan udara b. Golongan kimia Semua bahan kimia dalam bentuk debu, uap, uap logam, gas, larutan, kabut, partikel nano dan lain-lain. c. Golongan biologi Bakteri, virus, jamur, bioaerosol dan lain-lain. d. Golongan ergonomi Angkat angkut berat, posisi kerja janggal, posisi kerja statis, gerak repetitif, penerangan, Visual Display Terminal (VDT) dan lain-lain. e.



Golongan psikososial Beban kerja kualitatif dan kuantitatif, organisasi kerja, kerja monoton, hubungan interpersonal, kerja shift, lokasi kerja dan lain-lain. (La Dou, 2004)



2.5 Prinsip-prinsip penyakit akibat kerja Menurut PMK RI no 56 tahun 2016 dalam mendiagnosis penyakit akibat kerja terdapat 3 (tiga) prinsip yang harus diperhatikan: a. Hubungan antara pajanan yang spesifik dengan penyakit. b. Frekuensi kejadian penyakit pada populasi pekerja lebih tinggi daripada pada masyarakat. c. Penyakit dapat dicegah dengan melakukan tindakan promosi kesehatan dan pencegahan penyakit.



2.6 Penegakan diagnosis Penyakit Akibat Kerja Diagnosis penyakit akibat kerja memiliki : a. Aspek medik: dasar tata laksana medis dan tata laksana penyakit akibat kerja serta membatasi kecacatan dan keparahan penyakit. b. Aspek komunitas: untuk melindungi pekerja lain c. Aspek legal: untuk memenuhi hak pekerja Diagnosis penyakit akibat kerja dilakukan dengan pendekatan sistematis untuk mendapatkan informasi yang diperlukan dalam melakukan interpretasi secara



7



tepat. Pendekatan tersebut dilakukan melalui 7 (tujuh) langkah diagnosis penyakit akibat kerja dilakukan sebagai berikut :



Keterangan : Langkah 1. Menegakkan diagnosis klinis Diagnosis klinis harus ditegakkan terlebih dahulu dengan melakukan: a. Anamnesa; b. Pemeriksaan fisik; c. Bila



diperlukan



dilakukan



pemeriksaan



penunjang



dan pemeriksaan



khusus. Langkah 2. Menentukan pajanan yang dialami pekerja di tempat kerja Beberapa pajanan dapat menyebabkan satu penyakit, sehingga dokter harus mendapatkan informasi semua pajanan yang dialami dan pernah dialami oleh pekerja. Untuk memperoleh informasi tersebut, dilakukan anamnesis pekerjaan yang lengkap, mencakup:



8



a. Deskripsi semua pekerjaan secara kronologis dan pajanan yang dialami (pekerjaan terdahulu sampai saat ini). b. Periode waktu melakukan masing-masing pekerjaan. c. Produk yang dihasilkan. d. Bahan yang digunakan. e. Cara bekerja. f. Proses kerja. g. riwayat kecelakaan kerja (tumpahan bahan kimia). h. Alat Pelindung Diri (APD) yang digunakan. Informasi tersebut semakin bernilai, bila ditunjang dengan data yang objektif, seperti MSDS (Material Safety Data Sheet) dari bahan yang digunakan dan catatan perusahaan mengenai informasi tersebut diatas. Langkah 3. Menentukan hubungan antara pajanan dengan diagnosis klinis. Pajanan yang teridentifikasi berdasarkan evidence based dihubungkan dengan penyakit yang dialami. Hubungan pajanan dengan diagnosis klinis dipengaruhi oleh waktu timbulnya gejala setelah terpajan oleh bahan tertentu. Penyakit lebih sering timbul apabila berada di tempat kerja dan berkurang saat libur atau cuti. Hasil pemeriksaan pra-kerja dan berkala dapat digunakan sebagai salah satu data untuk menentukan penyakit berhubungan dengan pekerjaannya. Langkah 4. Menentukan besarnya pajanan Penilaian untuk menentukan kecukupan pajanan tersebut untuk menimbulkan gejala penyakit dapat dilakukan secara : a. Kualitatif : 



Pengamatan



cara,



proses



dan



lingkungan



kerja



dengan



memperhitungkan lama kerja dan masa kerja. 



Pemakaian alat pelindung secara benar dan konsisten untuk mengurangi besar pajanan.



b. Kuantitatif : 



Data pengukuran lingkungan kerja yang dilakukan



secara



periodik.



9







Data monitoring biologis.



Langkah 5. Menentukan faktor individu yang berperan Faktor individu yang berperan terhadap timbulnya penyakit antara lain: a. Jenis kelamin b. Usia c. Kebiasaan d. Riwayat penyakit keluarga (genetik) e. Riwayat atopi f. Penyakit penyerta. Langkah 6. Menentukan pajanan di luar tempat kerja Penyakit yang timbul mungkin disebabkan oleh pajanan yang sama di luar tempat kerja sehingga perlu informasi tentang kegiatan yang dilakukan di luar tempat kerja seperti hobi, pekerjaan rumah dan pekerjaan sampingan. Langkah 7. Menentukan Diagnosis Penyakit Akibat Kerja Berdasarkan enam langkah diatas, dibuat kesimpulan penyakit yang diderita oleh pekerja adalah penyakit akibat kerja atau bukan penyakit akibat kerja (PERDOKI, 2011).



2.7 Jenis Penyakit Akibat Kerja Jenis penyakit akibat kerja berdasarkan agen dan pekerjaaannya sesuai dengan International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems (ICD-10) in Occupational Health (OH) yang dikeluarkan oleh World Health Organization (WHO). Terdapat beberapa penyebab PAK yang umum terjadi di tempat kerja. Berikut merupakan beberapa jenis penyakit yang digolongkan berdasarkan penyebab yang ada di tempat kerja: 1. Golongan Fisik: bising, radiasi, suhu ekstrem, tekanan udara, vibrasi dan penerangan. 2. Golongan Kimiawi: semua bahan kimia dalam bentuk debu, uap, gas, larutan



10



dan kabut. 3. Golongan Biologik: bakteri, virus, jamur dan lain-lain. 4. Golongan Fisiologik/Ergonomik: desain tempat kerja dan beban tempat kerja. 5. Golongan Psikososial: stress psikis, tuntutan pekerjaan dan lain-lain.



Pada pekerja yang berada di sektor agrikultur seperti petani, ditemukan beberapa penyakit akibat kerja. Namun, rasio penyakit akibat kerja jauh lebih sulit untuk diukur, karena penyakit pribadi yang dimiliki oleh petani sulit diidentifikasi sebagai penyakit yang berhubungan dengan pekerjaannya. Tiga besar kondisi yang menyebabkan penyakit ini termasuk kondisi kulit (56%), trauma kumulatif (14%) dan penyakit pernafasan (13%). Adapun kondisi penyakit akibat kerja lain yang berisiko pada petani adalah dermatitis dan penyakit saluran pernafasan akibat paparan racun pestisida khususnya zat kimia penghambat kolinesterase, penyakit muskuloskeletal seperti low back pain dan osteoarthritis (OA) pada bagian pinggul dan lutut yang diperberat dengan kondisi yang tidak ergonomis, penyakit akibat paparan faktor fisik seperti panas, dingin, ketulian yang diinduksi kebisingan dan penyakit akibat paparan vibrasi, penyakit mental dan sosial seperti stress yang dapat berkembang menjadi kondisi depresi serta penyakit lainnya (Donham KJ dan Thelin A, 2006). Penyakit akibat kerja cenderung sulit untuk ditegakkan karena terkadang saling tumpang tindih dengan penyakit lain di luar pekerjaan yang diderita oleh pekerja.



Tabel 1. Potensi bahaya keselamatan dan kesehatan kerja didasarkan pada dampak korban Kategori A Potensi bahaya yang menimbulkan risiko dampak panjang pada kesehatan  Bahaya faktor kimia (debu, uap logam, uap)  Bahaya faktor biologi (penyakit dan gangguan oleh



Kategori B Kategori C Kategori D Potensi bahaya Risiko terhadap Potensi bahaya yang menimbulkan Kesejahteraan atau yang menimbulkan risiko langsung Kesehatan Seharirisiko pribadi dan pada keselamatan hari psikologis  Kebakaran Listrik  Air Minum  Pelecehan, termasuk  Toilet dan intimidasi dan fasilitas pelecehan seksual mencuci



11



virus, bakteri, binatang dsb.)  Bahaya faktor fisik (bising, penerangan, getaran, iklim kerja, jatuh)  Cara bekerja dan bahaya factor ergonomis (posisi bangku kerja, pekerjaan berulangulang, jam kerja yang lama)  Potensi bahaya lingkungan yang disebabkan oleh polusi pada perusahaan di masyarakat



 Potensi bahaya Mekanikal (tidak adanya pelindung mesin)  House keeping (perawatan buruk pada peralatan)



 Ruang makan atau Kantin



 Terinfeksi HIV/AIDS



 P3K di tempat kerja



 Kekerasan di tempat kerja  Stress



 Transportasi



 Narkoba di tempat kerja



Tabel 1 menggambarkan bahwa keselamatan dan kesehatan kerja mencakup semua dampak kesehatan pada pekerja, dari keselamatan fisik sampai kesejahteraan mental dan sosial serta bahaya/risiko yang ditimbulkannya. Tidak akan mungkin bagi seorang pengusaha untuk mengidentifikasi dan menemukan solusi untuk semua elemen ini tanpa kerjasama dengan tenaga kerja. Inilah salah satu alasan lagi mengapa konsultasi antara pekerja dan manajemen sangat penting.



Tidak semua pekerja sama Manajemen harus menyediakan lingkungan kerja yang aman untuk pria, wanita, pekerja penyandang cacat dan lain-lain karena kebutuhan setiap kelompok yang mungkin berbeda. Contohnya, mengangkat benda berat selama kehamilan dapat meningkatkan risiko keguguran. Begitu pula, zat beracun tertentu yang mengekspos para pekerja laki-laki muda dapat meningkatkan kemungkinan cacat lahir pada anak-anak.



Pada risiko yang berbeda (kadang sementara dan kadang permanen), juga dapat



12



mempengaruhi kesejahteraan pekerja. Sebagai contoh, untuk ibu menyusui dan anaknya agar tetap sehat, maka ibu perlu untuk istirahat guna menyusui bayinya. Begitu pula, seorang pekerja penyandang cacat mungkin perlu ruang toilet yang lebih luas. Sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja harus cukup sensitif dalam mengidentifikasi dan membuat ketentuan untuk semua situasi ini.



Sektor-sektor, perusahaan dan tempat kerja yang berbeda bisa menghadapi masalah keselamatan dan kesehatan kerja yang berbeda



Kategori tabel di atas mungkin hanya berlaku sebagian untuk perusahaan dan mungkin tidak mencakup semua potensi bahaya/risiko yang ada. Ketika menganalisis pajanan (“exposure”) risiko, kita memikirkan tentang bahaya lain di luar kategori tersebut (misalnya bahaya lalu lintas bagi sebuah perusahaan logistik, kekerasan yang dihadapi oleh petugas keamanan).



Kategori A: Potensi bahaya yang mengakibatkan dampak risiko jangka panjang pada kesehatan Suatu bahaya kesehatan akan muncul bila seseorang kontak dengan sesuatu yang dapat menyebabkan gangguan/kerusakan bagi tubuh ketika terjadi pajanan (exposure) yang berlebihan. Bahaya kesehatan dapat menyebabkan penyakit yang disebabkan oleh pajanan suatu sumber bahaya di tempat kerja.



Potensi bahaya kesehatan yang biasa di tempat kerja berasal dari lingkungan kerja antara lain faktor kimia, faktor fisik, faktor biologi, faktor ergonomis dan faktor psikologi. Bahaya faktor-faktor tersebut akan dibahas secara rinci lebih lanjut di bawah ini antara lain kimia, fisik, biologi dan ergonomis. Sedangkan faktor psikologi dibahas dalam kategori D.



Bahaya Faktor Kimia Risiko kesehatan timbul dari pajanan berbagai bahan kimia. Banyak bahan kimia yang memiliki sifat beracun dapat memasuki aliran darah dan menyebabkan kerusakan pada sistem tubuh dan organ lainnya. Bahan kimia berbahaya dapat



13



berbentuk padat, cairan, uap, gas, debu, asap atau kabut dan dapat masuk ke dalam tubuh melalui tiga cara utama antara lain: 



Inhalasi (menghirup): Dengan bernapas melalui mulut atau hidung, zat beracun dapat masuk ke dalam paru-paru. Seorang dewasa saat istirahat menghirup sekitar lima liter udara per menit yang mengandung debu, asap, gas atau uap. Beberapa zat, seperti fiber/serat, dapat langsung melukai paruparu. Lainnya diserap ke dalam aliran darah dan mengalir ke bagian lain dari tubuh.







Pencernaan (menelan): Bahan kimia dapat memasuki tubuh jika makan makanan yang terkontaminasi, makan dengan tangan yang terkontaminasi atau makan di lingkungan yang terkontaminasi. Zat di udara juga dapat tertelan saat dihirup, karena bercampur dengan lendir dari mulut, hidung atau tenggorokan. Zat beracun mengikuti rute yang sama sebagai makanan bergerak melalui usus menuju perut.







Penyerapan ke dalam kulit atau kontak invasif: Beberapa di antaranya adalah zat melewati kulit dan masuk ke pembuluh darah, biasanya melalui tangan dan wajah. Kadang-kadang, zat-zat juga masuk melalui luka dan lecet atau suntikan (misalnya kecelakaan medis).



Manfaat mengantisipasi dampak negatif yang mungkin terjadi di lingkungan kerja akibat bahaya faktor kimia maka perlu dilakukan pengendalian lingkungan kerja secara teknis sehingga kadar bahan-bahan kimia di udara lingkungan kerja tidak melampaui nilai ambang batas (NAB).



Bahan kimia di tempat kerja Bahan-bahan kimia digunakan untuk berbagai keperluan di tempat kerja. Bahanbahan kimia tersebut dapat berupa suatu produk akhir atau bagian bentuk bahan baku yang digunakan untuk membuat suatu produk. Juga dapat digunakan sebagai pelumas, untuk pembersih, bahan bakar untuk energi proses atau produk samping.



14



Banyak bahan kimia yang digunakan di tempat kerja mempengaruhi kesehatan kita dengan cara-cara yang tidak diketahui. Dampak kesehatan dari beberapa bahan kimia bisa secara perlahan atau mungkin membutuhkan waktu bertahuntahun untuk berkembang.



Pencegahan Bahaya  Kemampuan bahan kimia untuk menghasilkan dampak kesehatan negatif (sifat beracun). Semua bahan kimia harus dianggap sebagai sumber potensi bahaya sampai dampak bahan kimia tersebut sepenuhnya diketahui  Wujud bahan kimia selama proses kerja. Hal ini dapat membantu untuk menentukan bagaimana mereka bisa kontak atau masuk ke dalam tubuh dan bagaimana paparan dapat dikendalikan  Bagaimana mengenali, menilai dan mengendalikan risiko kimia misalnya dengan memasang peralatan pembuangan (exhaust) pada sumber polutan, menggunakan rotasi pekerjaan untuk mempersingkat pajanan pekerja terhadap bahaya  Jenis alat pelindung diri (APD) yang diperlukan untuk melindungi pekerja, seperti respirator dan sarung tangan  Bagaimana mengikuti sistem komunikasi bahaya bahan kimia yang sesuai melalui lembar data keselamatan (LDK) dan label dan bagaimana menginterpretasikan LDK dan label tersebut.



Bahaya Faktor Fisik Faktor fisik adalah faktor di dalam tempat kerja yang bersifat fisika antara lain kebisingan, penerangan, getaran, iklim kerja, gelombang mikro dan sinar ultra ungu. Faktor-faktor ini mungkin bagian tertentu yang dihasilkan dari proses produksi atau produk samping yang tidak diinginkan. 1. Kebisingan Kebisingan adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat- alat proses produksidan atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat



15



me- nimbulkan gangguan pendengaran. Suara keras, berlebihan atau berkepanjangan dapat merusak jaringan saraf sensitif di telinga, menyebabkan kehilangan pendengaran sementara atau permanen. Hal ini sering diabaikan sebagai masalah kesehatan, tapi itu adalah salah satu bahaya fisik utama. Batasan pajanan terhadap kebisingan ditetapkan nilai ambang batas sebesar 85 dB selama 8 jam sehari.



Pencegahan Bahaya Kebisingan  Identifikasi sumber umum penyebab kebisingan, seperti mesin, system ventilasi, dan alat-alat listrik. Tanyakan kepada pekerja apakah mereka memiliki masalah yang terkait dengan kebisingan.  Melakukan inspeksi tempat kerja untuk pajanan kebisingan. Inspeksi mungkin harus dilakukan pada waktu yang berbeda untuk memastikan bahwa semua sumber- sumber kebisingan teridentifikasi.  Terapkan 'rule of thumb' sederhana jika sulit untuk melakukan percakapan, tingkat kebisingan mungkin melebih batas aman.  Tentukan sumber kebisingan berdasarkan tata letak dan identifikasi para pekerja yang mungkin terekspos kebisingan  Identifikasi kontrol kebisingan yang ada dan evaluasi efektivitas pengendaliannya  Setelah tingkat kebisingan ditentukan, alat pelindung diri seperti penutup telinga (earplug dan earmuff) harus disediakan dan dipakai oleh pekerja di lokasi yang mempunyai tingkat kebisingan tidak dapat dikurangi.  Dalam kebanyakan kasus, merotasi pekerjaan juga dapat membantu mengurangi tingkat paparan kebisingan.



16



2. Penerangan Penerangan di setiap tempat kerja harus memenuhi syarat untuk melakukan pekerjaan. Penerangan yang sesuai sangat penting untuk peningkatan kualitas dan produktivitas. Sebagai contoh, pekerjaan perakitan benda kecil membutuhkan tingkat penerangan lebih tinggi, misalnya mengemas kotak.



Studi menunjukkan bahwa perbaikan penerangan, hasilnya terlihat langsung dalam peningkatan produktivitas dan pengurangan kesalahan. Bila penerangan kurang sesuai, para pekerja terpaksa membungkuk dan mencoba untuk memfokuskan penglihatan mereka, sehingga tidak nyaman dan dapat menyebabkan masalah pada punggung dan mata pada jangka panjang dan dapat memperlambat pekerjaan mereka.



Pencegahan Bahaya Penerangan 



Pastikan setiap pekerja mendapatkan tingkat penerangan yang sesuai pada pekerjaannya sehingga mereka tidak bekerja dengan posisi membungkuk atau memicingkan mata;







Perubahan posisi arah dan lampu untuk meningkatkan visibilitas.



3. Getaran Getaran adalah gerakan bolak-balik cepat (reciprocating), memantul ke atas dan ke bawah atau ke belakang dan ke depan. Gerakan tersebut terjadi secara teratur daribenda atau media dengan arah bolak balik dari kedudukannya. Hal tersebut dapat berpengaruh negatif terhadap semua atau sebagian dari tubuh.



17



Misalnya, memegang peralatan yang bergetar sering mempengaruhi tangan dan lengan pengguna, menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah dan sirkulasi di tangan. Sebaliknya, mengemudi traktor di jalan bergelombang dengan kursi yang dirancang kurang sesuai sehingga menimbulkan getaran ke seluruh tubuh, dapat mengakibatkan nyeri punggung bagian bawah.



Getaran dapat dirasakan melalui lantai dan dinding oleh orang-orang disekitarnya. Misalnya, mesin besar di tempat kerja dapat menimbulkan getaran yang mempengaruhi pekerja yang tidak memiliki kontak langsung dengan mesin tersebut dan menyebabkan nyeri dan kram otot.



Batasan getaran alat kerja yang kontak langsung maupun tidak langsung pada 2



lengan dan tangan tenaga kerja ditetapkan sebesar 4 m/detik .



Pencegahan Bahaya Getaran 



Mengendalikan getaran pada sumbernya dengan mendesain ulang peralatan untuk memasang penyerap getaran atau peredam kejut.







Bila getaran disebabkan oleh mesin besar, pasang penutup lantai yang bersifat menyerap getaran di workstation dan gunakan alas kaki dan sarung tangan yang menyerap kejutan , meskipun itu kurang efektif dibanding di atas.







Ganti peralatan yang lebih tua dengan model bebas getaran baru.







Batasi tingkat getaran yang dirasakan oleh pengguna dengan memasang peredam getaran pada pegangan dan kursi kendaraan atau sistem remote control. Menyediakan alat pelindung diri yang sesuai pada pekerja yang mengoperasikan mesin bergetar, misalnya sarung tangan yang bersifat menyerap getaran (dan pelindung telinga untuk kebisingan yang menyertainya.)



Bahaya Faktor Biologi Faktor biologi penyakit akibat kerja sangat beragam jenisnya. Seperti pekerja di



18



pertanian, perkebunan dan kehutanan termasuk di dalam perkantoran yaitu indoor air quality, banyak menghadapi berbagai penyakit yang disebabkan virus, bakteri atau hasil dari pertanian, misalnya tabakosis pada pekerja yang mengerjakan tembakau, bagasosis pada pekerja - pekerja yang menghirup debudebu organic misalnya pada pekerja gandum (aspergillus) dan di pabrik gula,. Penyakit paru oleh jamur sering terjadi pada pekerja yang menghirup debu organik, misalnya pernah dilaporkan dalam kepustakaan tentang aspergilus paru pada pekerja gandum. Demikian juga “grain asma” sporotrichosis adalah salah satu contoh penyakit akibat kerja yang disebabkan oleh jamur.



Penyakit jamur kuku sering diderita para pekerja yang tempat kerjanya lembab dan basah atau bila mereka terlalu banyak merendam tangan atau kaki di air seperti pencuci. Agak berbeda dari faktor-faktor penyebab penyakit akibat kerja lainnya, faktor biologis dapat menular dari seorang pekerja ke pekerja lainnya. Usaha yang lain harus pula ditempuh cara pencegahan penyakit menular, antara lain imunisasi dengan pemberian vaksinasi atau suntikan, mutlak dilakukan untuk pekerja-pekerja di Indonesia sebagai usaha kesehatan biasa. Imunisasi tersebut berupa imunisasi dengan vaksin cacar terhadap variola, dan dengan suntikan terhadap kolera, tipus dan para tipus perut. Bila memungkinkan diadakan pula imunisasi terhadap TBC dengan BCG yang diberikan kepada pekerja-pekerja dan keluarganya yang reaksinya terhadap uji Mantaoux negatif, imunisasi terhadap difteri, tetanus, batuk rejan dari keluarga-keluarga pekerja sesuai dengan usaha kesehatan anak-anak dan keluarganya, sedangkan di Negara yang maju diberikan pula imunisasi dengan virus influenza.



Bahaya Faktor manusia dalam kesehatan kerja Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagai konsekuensinya tuntutan manusia semakin tinggi dalam memenuhi peralatan dan perlengkapan yang lebih canggih untuk mencapai hasil yang efisien. Semakin canggih peralatan yang digunakan akan semakin besar pula bahaya yang ditimbulkan. Aspek manusia merupakan faktor penting dalam mencapai keselamatan dan kesehatan kerja. Faktor penting dari aspek manusia dalam hubungannya dengan hal ini adalah



19







Ergonomi Secara harfiah ergonomi diartikan sebagai peraturan tentang bagaimana melakukan kerja, termasuk menggunakan peralatan kerja. Batasan ergonomi adalah ilmu penyesuaian peralatan dan perlengkapan kerja dengan kondisi dan kemampuan manusia, sehingga mencapai kesehatan tenaga kerja dan produktifitas kerja yang optimal.



Ergonomi terdiri dari 2 subsistem yaitu, subsistem peralatan kerja dan subsistem manusia. Tujuan dari ergonomi adalah untuk menciptakan suatu kombinasi yang paling serasi antara subsistem peralatan kerja dengan manusia sebagai tenaga kerja. Tujuan utama dari ergonomi ialah mencegah kecelakaan kerja, mencegah ketidakefisienan kerja dan mengurangi beban kerja. Contoh : ukuran-ukuran antropometri dijadikan dasar untuk penempatan alat-alat kerja. 



Psikologi kerja Pekerjaan akan menimbulkan reaksi psikologi bagi pekerja, reaksi ini dapat bersifat positif dan negatif. Reaksi positif misalnya, senang, bergairah, dan merasa sejahtera sedangkan reaksi negatif misalnya, bosan, acuh, tidak serius, dsb. Banyak faktor yang menyebabkan reaksi negatif antara lain, ketidakcocokan terhadap pekerjaan, ketidaktahuan prosedur melakukan pekerjaan yang baik, kurang insentif, lingkungan kerja yang kurang menyenangkan, dll. Melakukan pekerjaan secara efisien tidak hanya tergantung pada kemampuan atau keterampilan kerja saja, tetapi juga dipengaruhi oleh cara kerja yang ergonomis.



Cara ergonomis yang sesuai dengan teori psikologis antara lain : (Silalahi, 1985) 



Memberikan pengarahan dan pelatihan tugas kepada pekerja sebelum melaksanakan tugasnya.







Memberikan uraian tugas tertulis terhadap pekerja.







Memfasilitasi pekerja dengan fasilitas yang cocok dan cukup.







Menciptakan lingkungan kerja yang aman dan nyaman.



20



Aspek lain dari psikologi kerja sering menjadi masalah kesehatan kerja adalah stress. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan stress dilingkungan kerja dikelompokkan menjadi 2, yaitu :  Faktor internal Kepercayaan diri dalam melakukan pekerjaan, kurangnya kemampuan dan keterampilan dalam melakukan pekerjaan, dsb.  Faktor eksternal Faktor lingkungan kerja dan lingkungan manusia.



2.8 Penatalaksanaan Tata laksana penyakit akibat kerja secara garis besar dibagi menjadi dua yaitu tata laksana medis dan tata laksana okupasi. a. Tata Laksana Medis Tata laksana medis dilakukan setelah diagnosis klinis pada langkah pertama diagnosis penyakit akibat kerja ditegakkan. Tata laksana medis berupa rawat jalan dan/atau rawat inap yang dapat dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan dilakukan oleh dokter sesuai dengan kompetensinya. Terapi yang diberikan berupa medikamentosa dan/atau non medikamentosa seperti edukasi, exercise, fisioterapi, konseling, psikoterapi



dan



nutrisi.



Rujukan klinis dilakukan apabila diagnosis klinis belum dapat ditegakkan karena : -



Timbul keraguan dari dokter yang melakukan pemeriksaan.



-



Sumber daya manusia, sarana, dan prasarana yang tidak memadai.



b. Tata Laksana Okupasi Tata laksana okupasi diberikan setelah diagnosis PAK ditegakkan. Sasaran tata laksana okupasi adalah individu pekerja dan komunitas pekerja. Tata laksana okupasi pada individu pekerja terdiri dari penetapan kelaikan kerja, program kembali bekerja dan penentuan kecacatan. 1. Tata laksana Okupasi pada Individu Pekerja a. Penetapan Kelaikan Kerja Penetapan kelaikan kerja meliputi penilaian risiko, kapasitas dan tolerasi pekerja dengan tuntutan pekerjaan



21



yang ada di tempat kerja. Hasil penilaian digunakan untuk menentukan pekerja tersebut dapat kembali bekerja pada pekerjaan



sebelumnya,



bekerja



dengan



keterbatasan



(limitasi) ataupun restriksi tertentu atau berganti pekerjaan yang sesuai dengan kondisi kesehatan pekerja. Rujukan penentuan kelaikan kerja diperlukan jika: o Status kesehatan pasien kompleks (melibatkan lebih dari 1(satu) sistem organ atau melibatkan hanya 1 (satu) sistem organ tetapi sistem organ yang vital). o Pajanan



faktor



risiko



yang



ada



di



tempat



kerja



kompleks dan saling berkaitan. o Terdapat keraguan dalam menentukan besaran risiko yang ada dan risiko yang dapat diterima (acceptable risk). o Terdapat



ketidakpuasan



pekerja



atas



penetapan



kelaikan kerja. o Penetapan



kelaikan



kerja



diperlukan



untuk



penetapakan kelaikan kerja calon kepala daerah atau pimpinan lembaga tinggi negara lainnya. o Ada permintaan dari bagian kepegawaian atau bagian keselamatan dan kesehatan kerja suatu perusahaan. o SDM dan sarana prasarana di fasilitas pelayanan kesehatan tidak memadai. b. Program Kembali Bekerja (return to work) Suatu



upaya



terencana



agar



pekerja



yang mengalami



cedera/sakit dapat segera kembali bekerja secara produktif, aman dan berkelanjutan. Dalam upaya ini termasuk pemulihan medis, pemulihan kerja, pelatihan keterampilan, penyesuaian pekerjaan, penyediaan pekerjaan baru, penatalaksanaan biaya asuransi dan kompensasi serta partisipasi pemberi kerja. Rujukan program kembali bekerja dilakukan jika: -



Diperlukan kunjungan ke tempat kerja pasien untuk melihat pekerjaan lain yang tersedia yang cocok dengan kondisi



22



medis pasien. -



Status kesehatan pasien kompleks (melibatkan lebih dari 1(satu) sIstem organ atau melibatkan hanya 1 (satu) sistem organ tetapi sistem organ yang vital).



-



Pajanan faktor



risiko



yang ada di tempat kerja



kompleks dan saling berkaitan. -



Terdapat keraguan dalam menentukan besaran risiko yang ada dan risiko yang dapat diterima (acceptable risk).



-



Terdapat ketidakpuasan pekerja atas program kembali bekerja.



c. Penentuan Kecacatan Penyakit akibat kerja dapat menimbulkan disabilitas akibat kecacatan anatomi maupun fungsi persentasenya



sehingga



pekerja



yang perlu dinilai berhak



mendapatkan



kompensasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Rujukan penentuan kecacatan diperlukan jika: -



Jenis kecacatan belum ada dalam pedoman penentuan kecacatan.



-



Terdapat



ketidakpuasan



pekerja



atas



pihak



pemberi



penetapan



persentase kecacatan. -



Terdapat



keberatan



dari



jaminan



pelayanan kesehatan atas penetapan persentase kecacatan. -



Diperlukan



untuk



kepentingan



legal



seperti



kompensasi ganti rugi di luar dari yang dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. 2. Tatalaksana Okupasi pada Komunitas Pekerja Tatalaksana okupasi pada komunitas pekerja terdiri dari pelayanan pencegahan penyakit akibat kerja dan penemuan dini penyakit akibat kerja. a. Upaya Pencegahan Penyakit Akibat Kerja Pada umumnya penyakit akibat kerja bersifat irreversible sehingga tindakan pencegahan sangat diperlukan, karena bila



23



tidak dilakukan akan menimbulkan penyakit akibat kerja pada pekerja lain dengan risiko pekerjaan yang sama. Upaya pencegahan penyakit akibat kerja antara lain: o Melakukan identifikasi potensi bahaya penyakit akibat kerja. o Promosi



kesehatan



kerja



sesuai



dengan



hasil



identifikasi potensi bahaya yang ada di tempat kerja. o Melakukan pengendalian potensi bahaya di tempat kerja. o Pemberian informasi mengenai alat pelindung diri yang sesuai dengan potensi bahaya yang ada di tempat kerja dan cara pemakaian alat pelindung diri yang benar. o Pemberian imunisasi bagi pekerja yang terpajan dengan agen biologi tertentu. b. Penemuan Dini Penyakit Akibat Kerja Penemuan dini penyakit akibat kerja dilakukan dengan : o Pemeriksaan kesehatan pra kerja o Pemeriksaan berkala o Pemeriksaan khusus dilakukan sesuai indikasi bila ditemukan ada keluhan dan/atau potensi bahaya di tempat kerja. Sebagai pemeriksaan lanjutan dari pemeriksaan berkala dan menjelang masa akhir kerja. o Surveilans kesehatan pekerja dan lingkungan kerja Pemeriksaan kesehatan dilakukan sesuai potensi bahaya yang dihadapi di tempat kerja. Hal ini merupakan bagian dari surveilans kesehatan pekerja. Data surveilans kesehatan pekerja dihubungkan dengan data surveilans lingkungan kerja untuk mengetahui keterkaitan penyakit dengan potensi bahaya di tempat kerja.



24



2.9 Alur Diagnosis dan Tatalaksana Pasien datang ke fasilitas pelayanan kesehatan dan dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk menegakan diagnosis klinis. Jika diperlukan, dilakukan pemeriksaan penunjang. Apabila terdapat keraguan dalam mendiagnosis dapat dilakukan konsultasi atau merujuk ke dokter spesialis klinis terkait. Setelah diagnosis klinis ditegakkan, langkah selanjutnya adalah melakukan diagnosis penyakit akibat kerja dengan menggunakan tujuh langkah diagnosis penyakit akibat kerja. Akibat terdapat keraguan dalam mendiagnosis penyakit akibat kerja, dapat berkonsultasi atau merujuk ke dokter spesialis kedokteran okupasi. Langkah selanjutnya melakukan penatalaksanaan kasus yaitu penatalaksanaan medis dan penatalaksanaan okupasi (PERDOKI, 2011).



Gambar 2. Alur Diagnosis dan Tatalaksana



25



Gambar 3.Alur rujukan pelayanan



26



BAB III PENUTUP



3.1



Kesimpulan 1. Penyakit akibat kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dan atau lingkungan kerja termasuk penyakit terkait kerja. 2. Tujuh langkah dalam melaksanakan diagnosis okupasi terdiri dari menegakkan diagnosis klinis, menentukan pajanan yang dialami pekerja di tempat kerja, menentukan hubungan pajanan dengan diagnosis klinis, menentukan besarnya pajanan, menentukan faktor individu yang berperan, menentukan pajanan di luar tempat kerja, dan menentukan diagnosis akibat penyakit akibat kerja.



3.2



Saran 1. Perlu dilakukan pencegahan dalam mengatasi penyakit akibat kerja dengan melakukan 5 level of prevention di setiap tempat kerja untuk menjamin kesehatan dan keselamatan pekerjanya. 2. Penting bagi tenaga kesehatan untuk menerapkan langkah sistematis dalam melakukan pelayanan kesehatan seorang oerkerja yng terkena penyakit akibat kerja dengan melakukan diagnosis okupasi. 3. Meningkatkan perekaman atau pendataan penyakit akibat kerja yang terjadi di Indonesia agar dapat meningkatkan pelayanan untuk penyakit akibat kerja menjadi lebih optimal.



27



DAFTAR PUSTAKA



Barry SL dan David HW. Occupational Health : Recognizing and Preventing Work Related Diseases and Injury. Lippincott Williamas and Wilkins. Phi. USA. 2000. Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional. Pedoman Diagnosis dan Penilaian cacat karena Kecelakaan dan Penyakit Akibat Kerja. Jakarta. 2003. Direktorat Kesehatan Kerja dan Olahraga Kementerian Kesehatan RI dan PERDOKI. Buku Pelatihan Diagnosis PAK. Jakarta, April 2011. Donham KJ dan Thelin A. Agricultural Medicine: Occupational and Environmental Health for the Health Profesion. Wiley-Blackwell. USA, 2006. ILO. Occupational Health Services in ILO Encyclopaedia, 2000 : 16.1-62. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2016. Jakarta, 2016. Markkanen PK. Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Indonesia. International Labour Organization. Manila, April 2004. Silalahi RB. Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta, 1986. Suma’mur. 2014. Hygiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (HIPERKES). Edisi 2. Jakarta. Sagung Seto. Topobroto HS. Kebijakan dan Kondisi Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Indonesia. ILO. 2002.



28