Dilalah Nash Dan Iqtidha Nash [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Lafal dari Segi Cara Penunjukannya Terhadap Makna (Dalalah Nash & Iqtidha’ Nash) Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqh Dosen Pengampu : Dr. M. Tamyiz Muharram, MA



Disusun Oleh : Ning Malihah (18913034)



PROGRAM MAGISTER STUDI ISLAM PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS ILMU AGAMA ISLAM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA 2018



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumber hukum dalam qaidah ushuliyah adalah wahyu yang berupa bahasa, sementara qaidah ushuliyyah itu berkaitan dengan bahasa. Dengan demikian qaidah ushuliyyah berfungsi sebagai alat untuk menggali ketentuan hukum yang terdapat dalam bahasa (wahyu) itu. Menguasai qaidah ushuliyyah dapat mempermudah fakih untuk mengetahui hukum Allah dalam setiap peristiwa hukum yang dihadapinya. Dalam hal ini Qaidah fiqhiyah pun berfungsi sama dengan qaidah ushuliyyah, sehingga terkadang ada suatu qaidah yang dapat disebut qaidah ushuliyyah dan qaidah fiqkiyah. Salah satu unsur penting yang digunakan sebagai pendekatan dalam mengkaji hukum Islam adalah Ilmu Ushul Fiqh, yaitu ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah yang dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum-hukum syari'at yang bersifat amaliyah yang diperoleh melalui dalil-dalil yang rinci. Melalui kaidah-kaidah Ushul Fiqh akan diketahui nash-nash syara' dan hukumhukum yang ditunjukkannya. Diantara kaidah-kaidah Ushul Fiqh yang penting diketahui adalah Istinbath hukum dari segi kebahasaan. Pemahaman terhadap dalalah memiliki babarapa metode, tergantung dari segi mana akan dipahami dalalah tersebut. Namun dalam pembahasan makalah ini hanya yang berhubungan dengan penunjukan nash terhadap makna yang ada dalam lafadz nash. B. Rumusan Masalah 1. Apakah yang dimaksud dengan dalalah? 2. Bagaimana macam-macam dalalah? 3. Bagaimana kontradiksi antara Ibarat, Isyarat, Dalalah, dan Iqtidla alNash ?



2



BAB II PEMBAHASAN 1.



Pengertian Dalalah Dalalah adalah petunjuk yang menunjukkan kepada yang di maksudkan atau



memahami sesuatu atas sesuatu. Kata sesuatu yang disebutkan pertama disebut Madlul (‫ )المدلول‬yang ditunjuk. Dalam hubungannya dengan hukum, yang disebut madlul adalah hukum itu sendiri. Kata sesuatu yang disebutkan kedua kalinya disebut dalil (‫ )دليل‬yang menjadi petunjuk Dalam hubungannya dengan hukum dalil itu disebut dalil hukum. Di dalam Al Misbah Al Munir, dijelaskan bahwa:1



‫الداللة مايقتضيه اللفظ عند اإلطالق‬ “Dalalah adalah apa yang dikehendaki oleh lafal ketika lafal itu diucapkan secara mutlaq” Dalam ilmu ushul fiqih dapat ditegaskan bahwa dalalah adalah “pengertian yang ditunjuk oleh suatu lafadh kepada makna tertentu pembahasan tentang dilalah memiliki peranan penting dalam ilmu logika dan ushul fiqih’. Dalam berfikir dengan pola dilalah tidak mesti melihat atau mengamati sesuatu itu secara langsung tetapi cukup menggunakan petunjuk dan isyarat yang ada. Pola berfikir dengan menggunakan petunjuk dan isyarat disebut dengan berfikir dilalah. Dilalah berasal Secara bahasa kata “‫ ”داللـة‬adalah bentuk mashdar (kata dasar) dari kata “‫ يَـدُل‬-‫ ”دَل‬yang berarti menunjukkan. Sedangkan Dilalah menurut istilah adalah penunjukkan suatu lafadz nash kepada pengertian yang dapat dipahami, sehingga dengan pengertian tersebut kita dapat mengambil kesimpulan hukum dari sesuatu dalil nash. Tegasnya, dilalah lafadz itu ialah makna atau pengertian yang ditunjukkan oleh suatu lafadz nash dan atas dasar pengertian tersebut kita dapat mengetahui ketentuan hukum yang dikandung oleh sesuatu dalil nash.2



1 2



Amir, Syariffudin. Ushul Fiqh , (Jakarta: Kencana. 2009), hlm 135 ibid



3



Nash Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah merupakan kumpulan lafadz-lafadz yang dalam ushul fiqh disebut pula dengan dalil dan setiap dalil memiliki dilalah atau dilalah tersendiri. Yang dimaksud dengan dalil di sini, sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Wahab Khalaf adalah sebagai berikut;



Artinya: “segala sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk dengan menggunakan pemikiran yang benar untuk menetapkan (menemukan) hukum syara’ yang bersifat amali, baik sifatnya qoth’iy maupun zhanniy.” Oleh karena itu dapat dipahami bahwa, pada dasarnya, yang disebut dengan dalil atau dalil hukum itu ialah segala sesuatu yang dapat dijadikan alasan atau pijakan dalam usaha menemukan dan menetapkan hukum syara’ atas dasar pertimbangan yang benar dan tepat. Sementara itu, yang dimaksud dengan dilalah, seperti dijelaskan oleh Dr.wahbah Zuhaili dalam kitab ushulnya Dilalah adalah :



‫عـلَى ْال َمـ ْعـنَى‬ ِ ‫ َكـيْـ ِفـيَّةُ دَ ََللَـ ِة اللَّـ ْف‬atau ‫علَى ال ُم َرا ِد ال ُمت َ َك ِل ِم‬ َ ‫ــظ‬ َ ‫َك ْي ِفيَّةُ دَ ََللَتِ ِه‬ “penunjukan suatu lafadz atas sesuatu yang dimaksud oleh mutakallim atau cara penunjukkan lafaz atas sesuatu makna” Dilalah sebenarnya merupakan salah satu bagian dalam pembahasan ilmu logika, di mana untuk mengetahui sesuatu tidak mesti harus melihat atau mengamati sesuatu itu secara langsung, tetapi cukup dengan menggunakan petunjuk yang ada. Berpikir dengan menggunakan petunjuk atau isyarat disebut berpikir secara dilalah. Oleh karena itu, dalam pembahasan ilmu Ushul al-Fiqh, dilalah adalah memahami suatu hukum syar’i berdasarkan dalil hukum syar’i. 2.



Macam-macam dalalah Dilihat dari segi cara penunjukkan suatu makna 



Dilalah Lafzhiyyah (‫)داللة لفظية‬



Dilalah lafzhiyyah adalah dilalah yang menggunakan dalil menurut lahiriyahnya sebagai petunjuk hukum. Para fuqaha’ hanafiyyah membedakan empat tingkat makna dalam suatu urutan yang dimulai dengan makna eksplisit atau makna langsung suatu nash. Urutan berikutnya adalah makna yang tersirat yang diikuti oleh makna yang tersimpul dan terakhir oleh makna yang



4



dikehendaki. Adapun penjelasan keempat bagian tersebut secara terperinci adalah sebagaimana berikut:3 2.1 ( ‫ داللة العبارة‬atau ‫( عبارة النص‬makna eksplisit) Dalalah ibaratun nash ialah petunjuk lafadz kepada suatu arti yang mudah dipahami baik dimaksudkan untuk arti asli maupun untuk arti tab’i. dikatakan demikian, karena petunjuk lafadz tersebut kepada arti yang lahir (dharirud dalalah), sebagaimana dikatakan bidran abul’aini bidran, dalalah ibratun nash ialah petunjuk lafadz pada artinya yang cukup jelas baik dimaksudkan sebagai arti ashli maupun arti tab’i. Dengan demikian petunjuk lafadz dalam dalalah ‘ibratun nash ini bukan petunjuk lafadz kepada arti yang tidak jelas dan bukan pula petunjuk lafaz kepada arti yang tersirat atau tersimpul atau arti yang tersembunyi dibalik arti yang terang itu. Sehingga dalam memahaminya tidak perlu mencari arti yang tersembunyi pada lafaz tersebut karena telah memiliki kejelasan makna. Sebagaimana contoh QS. al-Baqarah (2): 275



‫واحل هللا البيع و ّحرم الر بوأ‬ Artinya: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” Menurut Abd. Wahab Khallaf, sighat nas dalam QS. al-Baqarah (2): 275, menunjukkan dengan Dalalah yang jelas atas dua makna, yang masing-masing makna dikehendaki dari susunan kalimatnya, yaitu pertama, meniadakan persamaan antara jual beli dengan riba, kedua bahwasannya hukum jual beli dihalalkan dan hukum riba diharamkan. Kedua makna itu dipahami dari susunan kalimat nas tersebut dan dimaksudkan dari susunannya, akan tetapi makna yang pertama dikehendaki secara asal dari susunannya, karena ayat tersebut dikemukakan untuk membantah



3



Homaidi, hamid. Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Q-Media, 2013), hlm 137-139



5



opini orang-orang kafir yang mengatakan bahwasannya jual beli itu adalah seperti riba, sedangkan makna yang kedua dimaksudkan dari susunan kalimatnya secara mengikut, karena sesungguhnya penafian persamaan diikuti dengan penjelasan hukum masing-masing dari kedua duanya, sehingga dari perbedaan hukum tersebut diambil kesimpulan bahwasannya kedua hal tersebut tidaklah sama. Kalau sekiranya Allah mencukupkan pada makna yang dikehendaki dari susunan kalimatnya saja secara asal. Niscaya Allah mengatakan, jual beli itu tidaklah seperti riba. Contoh firman QS al-Hasyr (59): 7 ‫وما نهكم عنه فا نتهوا‬



‫قل‬



‫وما ا تكم الرسول قخذوه‬



Artinya: “Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah” Arti asli yang dipahami dengan dalalah ibarah al-nas ialah apa yang diberikan Rasul dari harta rampasan ketika dilakukan pembagian maka terimalah dan yang dilarang bagimu dari harta rampasan itu maka tinggalkanlah. Arti ini dikatakan sebagai arti asli karena susunan lafaz dalam ayat tersebut terkait dengan pembagian harta rampasan perang sebagaimana yang diterangkan sebelumnya. Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, sedangkan arti tab’i yang dapat dipahami dengan dalalah al-nas dari ayat tersebut adalah wajib taat kepada Rasulullah pada setiap yang diperintahkan dan yang dilarang yaitu makna yang dapat segera dipahami dari shighatnya. Makna tersebut adalah yang dimaksudkan dari susunan kalimatnya, makna tersebut bisa langsung dipahami dari lafazh yang disebutkan baik dalam bentuk penggunaan menurut asalnya (nash) atau bukan menurut asalnya (zhahir).4 2.2 ( ‫ داللة اإلشارة‬atau ‫( إشارة النص‬makna tersirat) Menurut arti istilah (terminology) ulama ushul adalah Petunjuk lafaz kepada arti atau hukum yang dipahami dengan jalan mengambil kelaziman dari arti yang dipahami dengan dalalah ibarah al-nas. Menurut Abu Zahrah dilalah ibarah al-nas 4



Ibid



6



yaitu dengan menyimpulkan satu hukum dari arti yang dipahami dengan dalalah ibarah al-nas. Contoh ini dapat dilihat dalam QS. al-Baqarah (2): 236 ‫ال جناح عليكم ان طلقتم النساء ما لم تمسو هن او تفر ضوالهن فريضة‬ Artinya: ”Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya”. Arti yang dipahami dengan dalalah ibarah al-nas ialah boleh mentalak istri yang belum digauli serta belum ditentukan maharnya. Dari arti tersebut dapat disimpulkan hukum lain bahwa perkawinan tanpa ditentukan maharnya terlebih dahulu adalah sah. Karena talaknya sah maka pernikahannya juga sah karena talak yang sah itu dari pernikahan yang sah. Hukum ini dapat dipahami dari istilah isyarah al-nas karena hukum itu tidak tertera dalam ayat tetapi merupakan suatu kelaziman baik secara akal maupun kebiasaan. 2.3 ( ‫ داللة الداللة‬atau ‫( داللة النص‬makna yang tersimpul) Dalalah al-nas menurut istilah ulama usul adalah Petunjuk lafaz kepada berlakunya suatu hukum yang disebut oleh lafaz itu kepada peristiwa lain yang tidak disebutkan hukumya oleh suatu lafaz karena ada persamaan makna yang dipahami oleh ahli bahasa bahwa itu adalah illah yang menjadi sebab adanya hukum itu. Perlu dijelaskan bahwa illah dalalah al-nas adalah jelas dan dapat dipahami dari susunan kalimat atau bahasa dari nas itu sendiri dan bukan illah yang dihasilkan dari ijtihad. Atas dasar ini ulama membedakan antar dalalah al-nas dengan qiyas. Ilah dalalah al-nas dapat dipahami dari lafaz atau dari sisi bahasa. Sementara Ilah dalam qiyas tidak bisa dipahami kecuali dengan jalan ijtihad. Namun demikian imam Syafi’i menyamakan antara dalalah al-nas dengan qiyas karena hukum dihasilkan oleh keduanya berdasarkan dengan illah.5 Ketika Allah swt melarang suatu perbuatan, maka bukan sekedar perbuatan itu yang dilarang, tapi yang lebih penting lagi adalah apa yang ditimbulkan setelah 5



Ibid



7



pekerjaan itu dilakukan atau kesan apa yang ditimbulkan setelah pekerjaan itu terjadi, apakah menimbulkan manfaat atau mudarat, mafsadat atau mashlahat dari akibat inilah muncul suatu hukum, wajib, haram dan lain-lain. Contoh firman Allah swt QS. Al-Isra (17) 23: ‫ف َو َال ت َ ْنه َْر ُه َما‬ ّ ُ ‫فَ ََل تَقُ ْل لَ ُه َما أ‬ Artinya: Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” Maka lafaz ‘ah’ atau al-ta’fif satu ungkapan untuk menyatakan ketidak senangan atau penolakan kita atas perintah orang lain dan ucapan itu dapat menyakiti hati atau perasaan orang lain, sementara dalam pandangan Islam menyakiti perasaan sama hukumnya dengan menyakiti badan, bahkan terkadang dampaknya lebih besar lagi, apalagi kalau yang melakukan itu adalah anak kepada orang tuanya. Ini dipahami dari pemahaman bahasa semata tanpa ada unsur ijtihad di dalamnya. Demikian pulalah kalimat memukul dari sisi bahasa kata ‘memukul’ adalah kata yang sudah dipahami oleh semua orang baik bentuknya maupun tujuannya, dan tujuannya adalah untuk memberikan rasa sakit seseorang baik fisik maupun perasaan dan lebih menyakitkan lagi jika kalau itu dilakukan oleh seorang anak kepada orang tuanya maka memahami makna dan tujuannya tidak membutuhkan ijtihad, hanya dipahami dari sisi bahasa dan asar yang ditimbulkannya.6 2.4 ( ‫ داللة اإلقتضاء‬atau ‫( إقتضاء النص‬makna yang dikehendaki) Dalalah al-Iqtida’a yaitu Petunjuk lafaz terhadap suatu makna yang dipahami dari makna yang ditakdirkan kepada berlakunya suatu hukum sebagaimana yang dimaksudkan oleh al-syari. Kebenaran dan kesahihan makna tersebut sangat tergantung kepada makna yang ditakdirkan itu baik secara syara maupun secara akal. Contoh sabda Rasulullah saw: ‫علَيْه‬ َ ‫ستَك َْره ُْوا‬ ْ ‫سيَانُ َو َما ا‬ ْ ‫ُرف َع ع َْن َّمتى اُا ْل َخ َطا ُء َو الن‬ Artinya: 6



Effendi, Satria. Ushul Fiqh, (Jakarta:Prenada Media, 2005), hlm 150



8



“Diangkat dari umatku, kesalahan, dan lupa dan apa yang dipaksakan atasnya” Secara zahir hadis ini menunjukkan bahwa, kesalahan, sifat lupa dan dipaksa, tidak akan menimpa seseorang, tetapi ini bertentangan dengan kenyataan karena manusia bukanlah makhluk yang ma’sum. Begitupulah ketika manusia melakukan sesuatu karena lupa atau dipaksa, maka sesungguhnya pekerjaan itu tidaklah diangkat atau dihapus karena pekerjaan itu tetap ada.7 Oleh sebab itu apa yang dikhabarkan Rasulullah saw kepada kita menyalahi kenyataan, tetapi Rasulullah tidak pernah mengucapkan kecuali kebenaran, maka dapat dipahami bahwa disitu ada makna yang harus ditakdirkan supaya makna menjadi sempurna. 3.



Kontradiksi antara Ibarat, Isyarat, Dalalah, dan Iqtidla al-Nash Setelah memahami pengertian tentang Ibarat nash, Isyarat nash, Dalalah nash,



dan Iqtidla al-Nash. Pemahaman yang lebih mendalam tentang kekuatan penunjukan dalil-dalilnya serta jika terjadi kontradiksi antara keduanya. Hal ini penting



mengingat



bahwa,



seseorang



yang



memutuskan



hukum



harus



menggunakan dalil yang paling rajih (kuat). Pengambilan makna ungkapan lebih kuat dari pada isyarat, karena ungkapan menunjukan makna yang langsung dipahami maksudnya dari susunan kata, sedangkan isyarat menunjukan makna lazim yang tidak dimaksud oleh susunan katanya. Kedua cara itu lbih kuat dari pada pengambilan makna secara dalalah (petunjuk). Karena keduanya terucapkan dalam nash dan yang ditunjuk nash ada pada bentuk dan kata-katanya, tetapi cara dalalah adalah pemahaman nash yang ditunjukkan oleh jiwa dan rasionalitas nash. Kekuatan inilah maka ketika terjadi pertentangan makna nash, maka yang dimenangkan adalah pemahaman dari ungkapan dari pada pemahaman secara isyarat. Salah satunya yang dimenangkan dari pada pemahaman dari petunjuk nash. Tingkatan-tingkatan



tersebut



mempunyai



konsekuensi



ketika



kontradiksi (ta’arudl) antara satu dilalah dengan dilalah yang lain, seperti:



7



Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2010). Hlm 210



9



terjadi



3.1 Pertentangan Makna antara ibarat dan isyarat Firman Allah Swt: ( ‫ البقرة‬: 178) ‫َاص في ا ْلقَتْ َلى‬ َ ‫كُت َب‬ ُ ‫علَ ْي ُك ُم ا ْلقص‬ Artinya : Di wajibkan atas kamu qishos berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh. (Qs.al- Baqarah: 178). Dengan firman Allah Swt: (‫ النساء‬: 93) ‫و َم ْن يَ ْقت ُ ْل ُمؤْ منًا ُمتَعَمدًا فَج ََزا ُؤهُ َج َهنَّ ُم َخالدًا فيهَا‬. َ Artinya : Dan barang siapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah jahannam.( Qs.al-Nisa’: 93). Pada ayat pertama, Ibarat lafadz menunjukkan bahwa wajibnya qishas bagi pembunuh secara sengaja. Sedangkan ayat kedua menjelaskan bahwa pembunuh secara sengaja balasannya adalah jahannam, disini menunjukkan adanya isyarat bahwa pembunuh secara sengaja tidak harus qishas, karena dianggap cukup dengan balasan jahannam. Dari pemahaman ini, ada kontradiksi antara ibarat dan isyarat nash. Maka yang di menangkan adalah ibarat nash. Hadis Nabi : ‫عش ََرةُ أ َ َّيام‬ َ ُ‫أَقَل ْل َحيْض اث َ ََلثَةُ أ َ َّيام َوأ َ ْكث َ ُره‬ Artinya : Masa haid minimal tiga hari dan maksimal sepuluh hari. ‫صو ُم َو َل تُصَلي‬ َ َّ‫ت َ ْقعُ ُد إحْ دَاهُن‬ ُ ‫ش ْط َر‬ ُ َ‫ع ْمر َها َل ت‬ Artinya : Separoh umur wanita itu sia-sia karena tidak shalat. Hadis



pertama, ibarat



nash



menunjukkan



bahwa



maksimal waktu haid adalah 10 hari. Sedangkan hadis kedua, secara isyarat menunjukkan bahwa maksimal waktu haid adalah 15 hari. Dari sini di ambil pengertian bahwa maksimal masa haid adalah setengah bulan untuk membuktikan pengertian setengah umurnya tidak shalat. Ketika terjadi pertentangan dari makna ibarat nash hadis pertama dengan makna isyarat nash



10



hadis kedua maka pemahaman dari ibarat lebih dimenangkan, yaitu mengira-ngirakan maksimal masa haid adalah 10 hari . 3.2 ) Pertentangan Makna antara isyarat dan dalalah Firman Allah SWT :



Artinya: Dan barang siapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasanya adalah neraka jahannam, kekal didalamnya ( Qs. al-Nisa’ 93).



Artinya: Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya. ( Qs. al-Nisa’ 92). Ayat pertama, menurut isyaratnya dapat diambil pengertian bahwa pembunuh sengaja tidak wajib memerdekakan budak, karena pada ayat tersebut telah dikatakan bahwa balasan bagi pembunuh dengan sengaja adalah kekal di neraka jahannam, tidak yang lain. Ayat tersebut juga memberikan isyarat bahwa tidak ada penebusan dosa bagi sipembunuh di dunia. Sedangkan ayat kedua, menurut ibaratnya menunjukkan adanya kewajiban kafarat bagi pembunuh yang tidak sengaja, hal ini juga berarti adanya dalalah (pentunjuk) bahwa pembunuh yang sengaja juga harus membayar kafarat, karena pembunuhan sengaja lebih berat kriminalitasnya dibanding dengan pembunuh yang tidak sengaja. Sehingga kalau pembunuh tidak sengaja saja harus membayar kafarat apalagi yang sengaja, ini menurut dalalah nashnya. Akan tetapi dalam hal ini yang dimenangkan adalah isyarat nash dari pada dalalah nash, karena isyarat lebih



11



kuat dari pada dalalah. Maka pembunuh sengaja tidak wajib membayar kafarat.8



BAB III KESIMPULAN



Dalalah itu ialah penunjukan suatu lafal nash kepada pengertian yang dapat dipahami, sehingga dengan pengertian tersebut kita dapat mengambil kesimpulan hukum dari suatu dalil nash, Ibarat al-Nash itu ialah petunjuk lafal kepada suatu pengertian atas suatu ketentuan hukum yang diungkapkan langsung oleh lafal nash itu sendiri. Isyarat al-nash adalah petunjuk lafal atas sesuatu yang bukan dimaksudkan untuk arti menurut asalnya. Dalalah al-Nash adalah penunjuk lafal nash atau suatu ketentuan hukum juga berlaku sama atas sesuatu yang tidak disebutkan karena terdapatnya persamaan ‘illat antara keduanya. Iqtida’ al-Nash adalah penunjuk lafal nash kepada sesuatu yang tidak disebutkan dan penunjuk ini akan dapat dipahami jika yang tidak disebutkan itu harus diberi tambahan lafal sebagai penjelasannya. Dalam pandangan ulama ushul, dari keempat macam cara penunjukkan dilalah yang telah dikemukakan di atas, maka yang paling kuat adalah dilalah ibarat al-nash, kemudian menyusul isyarat al-nash dan setelah itu baru dilalat alnash dan yang terakhir adalah iqtidla’ al-nash.



8



Ibid



12



Daftar Pustaka Abu Zahrah, Muhammad. Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2010 Hamid, Homaidi. Ushul Fiqh, Yogyakarta: Q-Media, 2013 Satria, Effendi. Ushul Fiqh, Jakarta:Prenada Media, 2005 Syariffudin. Amir. Ushul Fiqh 2. Jakarta: Kencana. 2009 https://elmisbah.wordpress.com/kontradiksi-antara-ibarat-isyarat-dalalah-daniqtidla-al-nash/ diakses pada senin, 22 oktober 2018 pukul 19.00 Wib https://duniacemoro.wordpress.com/2012/09/27/ibarah-nas-isyarah-nash-dalalahnash-dan-iqtida-nash/ diakses pada senin, 22 oktober 2018 pukul 19.00 Wib.



13



14