KLP 6 Lafadz Segi Taklifi Dan Dilalah [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH LAFADZ SEGI TAKLIFI DAN DILALAH Dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh Dosen Pengampu: Drs. H. Azhari, M.A.



Disusun oleh: Kelompok VI Nama



: M. Khatami



NIRM



: 1209.18.08389



Nama



: Mahyudi



NIRM



: 1209.18.08390



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AULIAURRASYIDIN TEMBILAHAN 2019/2020



KATA PENGANTAR Puji syukur penulis haturkan khadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayahnya makalah ini dapat di selesaikan dengan tepat waktu dan sesuai dengan rencana. Makalah yang berjudul “Lafadz Segi Taklifi dan Dilalah” ini sebagai pemenuhan tugas dari dosen bahasa Indonesia. Pembuatan makalah ini banyak kendala yang di hadapi, namun berkat bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak semua kendala tersebut dapat teratasi. Pada kesempatan ini dengan ketulusan hati penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada pihak yang telah berkonstribusi. Penulis telah berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan, tetapi masih memerlukan kritik dan saran dari pembaca untuk penyempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi panutan bagi para pembaca, khususnya bagi para penulis sehingga tujuan yang di harapkan dapat tercapai, amin.



Tembilahan, 21 september 2019.



Penulis



i



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ......................................................................................... i DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1 A. Latar Belakang ....................................................................................... 1 B. Rumusan Masalah .................................................................................. 1 C. Tujuan .................................................................................................... 2 D. Manfaat .................................................................................................. 2 BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................... 3 A. Lafadz Segi Taklifi ................................................................................. 3 1. Amr (Perintah).................................................................................... 3 2. Nahi (Larangan) ................................................................................. 4 B. Lafal Dari Segi Kandungan Pengertian .................................................. 6 1. Lafal Umum (‘Am) ............................................................................. 6 2. Lafal Khusus (Khas) ........................................................................... 11 3. Mutlaq dan Mukayyad ....................................................................... 11 C. Lafaz Dari Segi Dilalah .......................................................................... 14 1. manthuq .............................................................................................. 14 2. mafhum............................................................................................... 17 D. Lafal Dari Segi Kejelasan Arti ................................................................ 18 1. Lafal Yang Jelas Dilalahnya .............................................................. 18 E. Lafal Dari Segi Tidak Terangnya Arti .................................................... 20 1. Lafal Yang Tidak Jelas Dilalahnya .................................................... 20 BAB III PENUTUP ............................................................................................. 21 A. Kesimpulan ............................................................................................. 21 B. Saran ....................................................................................................... 21 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 22



ii



BAB I PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Salah satu unsur penting yang digunakan sebagai pendekatan dalam mengkaji hukum Islam adalah ilmu Ushul Fiqh, yaitu ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah yang dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum-hukum syariat yang bersipat amaliyah yang diperoleh melalui dalil-dalil yang rinci. Melalui kaidah-kaidah ushul fiqh akan diketahui nash-nash syara’ dan hukum-hukum yang ditunjukkannya. Diantara kaidah-kaidah ushul fiqh yang penting diketahui adalah istinbath hukum dari segi kebahasaan. Istimbath hukum dari segi kebahasaan maupun lafadz sangat penting, karena tidak mungkin bagi orang faqih dapat mengetahui suatu hukum tanpa mengetahui ushlub bahasa dari bahasa (wahyu) ataupun lafadz yang akan diambilnya, karena bahasa (wahyu) yang ada dalam al-qur’an itu berbahasa Arab, maka sudah tentu bagi seorang ahli ushul atau faqih harus bisa memahami dan mengerti ushlub bahasa tersebut. Kebanyakan sekarang orang hanya bisa menetepkan hukumnya saja, tetapi pemahaman dari segi bahasa maupun lafadz mereka tidak mengetahui secara utuh. Oleh karena itu, untuk menyikapi hal tersebut agar tidak terjadi kesalah pahaman dalam penetapan hukum maka penulis mengangkat judul makalah yang berjudul “Lafadz Segi Taklifi dan Pengertian Dilalah” semoga dengan hadirnya makalah ini, dapat menambah wawasan serta bermanfaat bagi pembaca maupun penulis sendiri, Aamiin. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalahnya yaitu: 1. Apakah yang dimaksud dengan istimbat hukum taklifi? 2. Apasajakah macam-macam lafadz dari segi taklifi?



1



3. Apakah yang dimaksud dengan lafadz ‘am, khas, mutlaq dan mukayyad? 4. Apakah yang dimaksud dengan mathuq dan mafhum dari segi dilalah? 5. Apakah maksud lafal dari segi kejelasan arti? 6. Apakah yang dimaksud dari khafi, musykil, mujmal dan mutasyabih dari segi lafal dilalahnya? C. Tujuan 1. Dapat mengetahui pengertian istimbat hukum taklifi. 2. Dapat mengetahui lafadz-lafadz dari segi taklifi. 3. Dapat mengetahui maksud dari lafadz ‘am, khas, mutlaq dan mukayyad. 4. Dapat Mengetahui pengertian mathuq dan mafhum dari segi dilalah. 5. Dapat menegtahui macam lafal dari segi kejelasan arti. 6. Dapat menegetahui penegrtian dari khafi, musykil, mujmal dan mutasyabih dari segi lafal dan dilalahnya. D. Manfaat 1. Dapat memahami dan menerapkan hukum yang benar dan tepat. 2. Dapat memahami serta mengamalkan dalam kehidupan bermasyarakat yang agamis. 3. Dapat memahami hukum islam dari segi lafadz, dialalah maupun lafal dari kejelasan artinya.



2



BAB II PEMBAHASAN



Kata istimbat bila dihubungkan dengan hukum, seperti dijelaskan oleh Muhammad bin Ali al-Fayyumi (w. 770 H) ahli bahasa Arab dan fikih, berarti upaya menarik hukum dari al-Qur’an dan Sunnah dengan jalan ijtihad.1 Kaidah istimbathiyah banyak berkaitan dengan amar, nahyu, ‘am, khas, mutlak, mujmal, mufasshal.2 A. LAFADZ DARI SEGI TAKLIFI 1. Amar (perintah) Secara bahasa amr berarti perintah, adapun menurut istilah Amar adalah tuntutan mengerjakan sesuatu perbuatan dari yang lebih tinggi derajatnya untuk bawahannya. 3 Menurut mayoritas ulama ushul fiqh, amr adalah suatu tuntutan (perintah) untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya. Contohnya Allah memerintahkan hambanya untuk sholat, guru memerintahkan siswanya untuk membuat tugas mandiri. a. Bentuk-bentuk amr Ada beberapa bentuk kata yang telah di rumuskan oleh ahli bahasa sebagai lafaz yang menunjukan perintah. Bentuk-bentuk tersebut antara lain:4 1) Fi’il amr 2) Fi’il mudhari yang didahului oleh lam amar 3) Lafaz-lafaz yang mengandung arti perintah



1



A. Khisni, Epistemologi Hukum Islam; Sumber dan Dalil Hukum Islam, Metode Istimbath dan Ijtihad Dalam Kajian Epistemologi Ushul Fiqih, Semarang: Unissula Press, 2012, h. 83. 2 Mukhlis Usman, Kaidah-Kaidah Istinbath Hukum Islam; Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002, h. 15. 3 ibid 4 Yastin Ismityas Septiani, Lafadz Dari Segi Sighat Taklif dan Lafadz Dari Segi Penggunaannya, 2013, dikutip pada 21 september 2019 pukul 00: 56.



3



b. Hukum-hukum yang mungkin di tunjukan oleh bentuk amr 1) Menunjukan hukum wajib seperti perintah 2) Untuk menjelaskan bahwa sesuatu boleh dilakukan, seperti dalam surah Al- muminin ayat 51 3) Sebagai anjuran, seperti dalam surat Al- bakarah ayat 282 4) Untuk melemahkan, misalnya dalam surah Al- bakarah ayat 23 5) Sebagai ejekan dan pehinaan misalnya pirman Allah berkenaan dengan orang yang di timpa siksa di akhirat nanti sebagai ejekan atas diri mereka sebagaimana firman Allah dalam surat Al- dukhan ayat 9 c. Kaidah-kaidah yang berkaitan dengan amr Ada beberapa kaedah yang berhubungan dengan amr di antaranya 1) Pada dasaranya perintah menghendaki hukum wajib 2) Perintah itu pada dasarnya tidak meng hendaki pengulangan 3) Perintah itu pada asalnya tidak menunjukan segera 4) Memerittah sesuatu berarti memerintahkan mediumnya (alat) dan hukum medium itu sama sama dengan hukum perintah yang di maksud 5) Perintah dengan sesuatu berarti melarang kebalikannya 6) Perintah yagn jatuh setelah larangan maka hukumnya boleh 2. Nahi (larangan) Secara bahasa nahi berarti larangan atau mencegah. Adapun dalam istilah usul fiqh hahi berarti tuntutan untuk meninggalkan. Jumhur ulama sepakat bahwa pada asalnya nahi mengandung hukum haram karna semua bentuk larangan akan mendatangkan kerusakan. Menurut mayoritas ulama usul fiqh mendefinisikan nahi sebagai larangan melakukan suatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya dengan kalimat yang menunjukan atas hal itu. Contohnya larangan merusak alam, larangan berzina, laranngan melakukan riba. jika larangan-larangan tersebut



4



dilanggar manusia maka anak mengakibatkan dan kemusnahan bagi manusia. a. Bentuk-bentuk nahi Dalam bahsa Arab bentuk-bentuk larangan (nahi) dapat diketahui sebagai berikut: 1) Fi’il mudhari’ 2) Lafadz-lafadz yang mengandung pengertian haram Pada dasarnya nahi itu mengandung hukum haram, selama tidak ada dalil yang memalingkannya. Hal ini didasari oleh kaidah dasar nahi. Pada dasarnya larangan itu menunjukkan arti haram. Seperti laranganan minum khamar, larangan berjudi, dan larangan membunuh. Jika larangan ini disertai dengan dalil lain, maka arti nahi itu disesuaikan dengan konteks yang menyertainya, misalnya: a) Larangan bermakna makruh, seperti larangan Nabi untuk sholat di kandang unta. b) Nahi bermakna harapan (doa), seperti berdoa kepada Allah supaya tidak menghukum karena kealfaan. c) Nahi bermakna petunjuk, contoh larangan bertanya yang bila dijawab akan menjadikan beban. d) Nahi bermakna menghibur (i’tinas), seperti larangan bersedih karena Allah selalu bersama orang-orang yang sabar. e) Nahi bermakana angan-angan (tamanni), seperti orang-orang yang berdosa mengharapkan agar kembali kedunia setelah mati. f) Nahi berarti biasa (iltimas), misalnya seorang berkata kepada temannya: “jangan berkunjung ke rumahku!” g) Nahi bermakna menjelaskan suatu akibat, seperti larangan menganggap orang yang gugur dijalan Allah, tetapi pada hakikatnya mereka itu hidup. h) Nahi bermakna keputusan (tay’is), seperti larangan bagi orang kafir untuk diampuni pada hari peperangan.



5



b. Kaidah-kaidah yang berhubungan dengan nahi 1) Pada dasarnya larangan itu menunjukkah haram 2) Larangan terhadap sesuatu berarti perintah kebalikannya. 3) Pada awalnya nahi itu akan mengakibatkan kerusakan secara mutlak 4) Pada dasarnya nahi itu menghendaki pengulangan sepanjang masa B. Lafal Dari Segi Kandungan Pengertian 1. Lafal Umum (‘Am) Secara bahasa berarti umum, merata, dan menyeluruh.5 Adapun menurut istilah ‘am sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Hamid Hakim ialah ‘am adalah lafal yang menunjukkan pengertian umum yang mencakup satuan-satuan (afrad) yang ada dalam lafal itu tanpa pembatasan jumlah tertentu. Muhammad Adib Saleh menyimpulkan lafal umum ialah lafal yang diciptakan untuk pengertian umum sesuai dengan pengertian lafal itu sendiri tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu.6 Banyak kata yang menunjukan kata yang bersifat umum, misalnya dalam surah al-Baqarah ayat 233:



)٢٣٣(... َ‫عة‬ ِ ‫ض ْعنَ أ َ ْوالدَهن َح ْولَي ِْن َك‬ َ ‫ضا‬ َ ‫املَي ِْن ِل َم ْن أ َ َرادَ أ َ ْن يتِم الر‬ ِ ‫َو ْال َوا ِلدَات ي ْر‬ Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. (QS. Al-Baqarah: 233).7 Kata al-Walidat dalam ayat tersebut bersifat umum yang mencakup setiap yang bernama ibu. a. Pembagian Lafal Umum (‘Am) Lafal umum seperti dikemukakan oleh Musthafa Sa’id al-Khin, guru besar usul fikih Universitas Damaskus, dibagi kepada tiga macam, yaitu: 1) Lafal umum yang dikehendaki keumumannya dikarenakan ada dalil atau indikasi yang menunjukkan tertutupnya kemungkinan ada takhsis (pengkhususan). Misalnya dalam al-Qur’an surah Hud ayat 6 . 5



Am ialah yang meliputi seluruh objek-objeknya. Lihat: Muchtar Adam, Ulumul Qur’an; Studi Perkembangan Pesantren Al-Qur’an, Bandung: Ma’rifat Media Utama. 2016, h. 245. 6 A. Khisni, Epistemologi Hukum Islam ... h. 93. 7 Ahmad Hatta, Tafsir Qur’an Per Kata; Dilengkapi Dengan Azbabun Nuzul dan Terjemahan, Jakarta: Maghfirah Pustaka. 2009. h. 37.



6



‫علَى ّللاِ ِر ْزق َها َو َي ْعلَم م ْستَقَرهَا‬ ‫َو َما ِم ْن دَابة ِفي‬ ْ ِ ‫األر‬ َ ‫ض ِإال‬



.)٦( ‫َوم ْستَ ْودَ َع َها كل فِي ِكتَاب م ِبين‬ Artinya: Dan tidak ada suatu binatang melata8pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya.9 semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh). (QS. Huud: 6) 2) Lafal umum padahal yang dimaksud adalah makna khusus karena ada indikasi yang menunjukkan makna sepeti itu. Misalnya dalam alQur’an surah at-Taubah ayat 120.



‫ع ْن َرسو ِل ّللاِ َوال‬ ِ ‫َما َكانَ أل ْه ِل ْال َمدِينَ ِة َو َم ْن َح ْولَه ْم ِمنَ األع َْرا‬ َ ‫ب أ َ ْن يَتَخَلفوا‬ َ ‫صيبه ْم‬ ‫صة فِي‬ ِ ‫ع ْن نَ ْف ِس ِه ذَلِكَ ِبأَنه ْم ال ي‬ َ ‫يَ ْرغَبوا بِأ َ ْنف ِس ِه ْم‬ َ ‫صب َوال َم ْخ َم‬ َ َ‫ظ َمأ َوال ن‬ َ َ‫س ِبي ِل ّللاِ َوال ي‬ ‫ب لَه ْم ِب ِه‬ َ ِ‫عدو نَيْال ِإال كت‬ َ ‫ار َوال يَنَالونَ ِم ْن‬ َ َ ‫طئونَ َم ْو ِطئًا يَ ِغيظ ْالكف‬ )١٢٠( َ‫ضيع أَجْ َر ْالمحْ ِسنِين‬ ِ ‫صا ِلح إِن ّللاَ ال ي‬ َ َ ‫ع َمل‬ Artinya: Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orangorang Arab Badwi yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri rasul. yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik. (QS. at-Taubah: 120).10 Yang dimaksud binatang melata di sini ialah segenap makhluk Allah yang bernyawa. “ Tidaksatu binatang melatapun (dabah) di bumi melainkan Allahlah yang memberi rizkinya”. Yang dimaksud dengan binatang melata dalam ayat tersebut adalah umum, mencakup seluruh jenis binatang tanpa kecuali, karena diyakini bahwa setiap yang melata di permukaan bumi adalah Allah yang memberi rizkinya. 9 Menurut sebagian ahli tafsir yang dimaksud dengan tempat berdiam di sini ialah dunia dan tempat penyimpanan ialah akhirat. dan menurut sebagian ahli tafsir yang lain maksud tempat berdiam ialah tulang sulbi dan tempat penyimpanan ialah rahim. Lihat: Ahmad Hatta, Op.Cit., h. 222. 10 Ahmad Hatta, Op.Cit., h. 206. 8



7



Sepintas lalu dipahami bahwa ayat tersebut menunjukkan makna umum yaitu setiap penduduk Madinah dan orang-orang Arab sekitarnya termasuk orang-orang sakit dan orang-orang lemah harus turut menyertai Rasulullah pergi berperang. Namun yang dimaksud oleh ayat tersebut bukanlah makna umum itu, tetapi hanyalah orangorang yang mampu. 3) Lafal umum yang terbebas dari indikasi baik menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah makna umumnya atau adalah sebagian cakupannya. Misalnya dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 228.



َ ‫َو ْالم‬ ‫طلقَات يَت ََربصْنَ بِأ َ ْنف ِس ِهن ثَالثَةَ قروء َوال يَ ِحل لَهن أ َ ْن يَ ْكت ْمنَ َما َخلَقَ ّللا فِي‬ ‫اآلخ ِر َوبعولَتهن أ َ َحق ِب َر ِدهِن فِي ذَلِكَ ِإ ْن‬ ِ ‫ام ِهن ِإ ْن كن يؤْ ِمن ِباّللِ َو ْاليَ ْو ِم‬ ِ ‫أ َ ْر َح‬ ‫علَ ْي ِهن دَ َر َجة َوّللا‬ ِ ‫علَ ْي ِهن بِ ْال َم ْعر‬ ْ ‫أ َ َرادوا ِإ‬ َ ‫وف َو ِل ِلر َجا ِل‬ َ ‫صال ًحا َولَهن ِمثْل الذِي‬ .)٢٢٨( ‫ح ِكيم‬ َ َ ‫ع ِزيز‬ Artinya: Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.11 tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya.12 dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. al-Baqarah: 228).



َ ‫( ْالم‬al-mutallaqat) Lafal umum dalam ayat tersebut yaitu ‫طلقَات‬ (wanita-wanita



yang



ditalak),



terbebas



dari



indikasi



yang



menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah makna umumnya itu atau sebagian. Misalnya dalam hal ini, menurut jumbur ulama usul fikih, seperti dikemukakan oleh Muhammad Adib Saleh, kaidah usul fikih



11



Quru' dapat diartikan suci atau haidh. al ini disebabkan karena suami bertanggung jawab terhadap keselamatan dan Kesejahteraan rumah tangga (Lihat surat An Nisaa' ayat 34). 12



8



yang berlaku adalah bahwa sebelum terbukti ada pentakhsishnya, ayat itu harus diterapkan kepada semua satuan cakupannya secara umum. Berkaitan dengan lafal umum, termasuk pembahasan tentang takhsis. Seperti dikemukakan oleh Khudari Bik dalam bukunya usul al-Figh, takhsis adalah penjelasan bahwa yang dimaksud dengan suatu lafal umum adalah sebagian dari cakupannya, bukan seluruhnya. Atau dengan kata lain, mengeluarkan sebagian dari satuan-satuan yang dicakup oleh lafal umum dengan dalil. Di antara dalil-dalil pentakhsis dengan Sunnah dan takhsis dengan qiyas. Lafal umum setelah ditakhsis, keumumannya menjadi khusus (makna sebagian). Makna sebagian yang masih tinggal itulah sesungguhnya yang dimaksud oleh ayat umum semenjak diturunkan atau oleh hadis semenjak diucapkan. Para ulama usul fikih sepakat bahwa ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits mutawatir (Hadits yang diriwayatkan sekelompok orang banyak yang tidak mungkin berbohong), dapat mengtakhsis ayat-ayat umum dalam al-Qur’an. Demikian pula hadits masyhur (Hadits yang di masa sahabat adalah hadits yaitu diriwayatkan oleh perorangan, kemudian menjadi hadits mutawatir pada periode tabi’in), diakui sebagai pentakhsis, karena dinilai sebagai dalil-dalil yang sama kuatnya. Perbedaan pendapat terjadi pada Hadits ahad, yaitu Hadits yang diriwayatkan oleh seseorang atau beberapa orang yang tidak mencapai tingkat Hadits mutawatir atau Hadits masyhur, apakah sah sebagai pentakhsis atau tidak sah. Perbedaan pendapat ini diawali dari perbedaan dalam menilai bobot dalalat (penunjukan) lafal umum kepada seluruh satuannya. Menurut Abu Hanifah, penunjukan lafal umum kepada seluruh satuan yang dicakupnya adalah pasti (qath’i). Keqath’iyannya berlaku selama belum terbukti pernah ditakhsis oleh dalil yang sama bobotnya seperti oleh ayat al-Qur’an, Hadits mutawatir atau Hadits masyhur. Aliran ini menggunakan alasan kebahasaan, bahwa suatu lafal bilamana telah ditetapkan oleh penciptanya untuk seluruh cakupannya,



9



maka lafal itu menunjuk kepada seluruh satuannya itu secara pasti, dan dalam pemakaiannya harus sesuai dengan makna penciptaannya itu, karena makna itulah makna hakikat dari lafal itu. Jika seseorang bermaksud menggunakan suatu lafal kepada selain pengertian aslinya itu, maka perlu diiringi dengan tanda-tanda yang menunjukkan kepada pengertian yang dimaksudnya itu. Selama tidak ada tanda, maka secara qath’i (pasti) kita harus memastikannya dengan pengertan hakikatnya yaitu makna umum. Pengertian seperti inilah. Seperti dikemukakan Abu Zahrah, yang dimaksud dengan qath’i dari lafal umum. Adapun adanya kemungkinan pengertian lain yang tidak didukung oleh dalil dan hanya didasarkan atas khayal (imaginasi), tidak mempengaruhi kepastian penunjukan suatu lafal kepada pengertiannya. Atas dasar itu, kalangan Hanafiyah tidak menerima Hadits ahad sebagai pentakhsis ayat-ayat umum dalam al-Qur’an. Alasannya karena antara pentakhsis dan yang ditakhsis harus seimbang kekuatannya. Sedangkan Hadits ahad tidak seimbang dengan ayat- ayat umum dalam al-Qur’an. Hadits ahad meskipun dalamnya bisa qath’i, namun dari segi kebenaran datangnya dari Rasulullah adalah dhanny (dugaan kuat, tidak mencapai tingkat pasti). Sedangkan ayat-ayat umum, dalam al-Qur’an baik dari segi kebenaran datangnya dari Allah maupun dari segi penunjukannya kepada pengertian umum adalah qath’i. Berbeda dengan itu, mayoritas ulama secara tegas mengatakan bahwa lafal umum secara tegas mengatakan bahwa lafal umum terhadap seluruh satuan cakupannya bersifat dhanny, karena kemungkinan besar ayat-ayat umum itulah pernah ditakhsis oleh dalil yang sama kuat dengannya. Menurut mereka, berdasrkan penelitian disimpulkan, bahwa pada umumnya lafal-lafal umum dalam al-Qur’an terbukti telah ditakhsis, sehingga populer di kalangan para ahlinya ungkapan bahwa: “ Tidak ada teks yang umum keculi telah ditakhsis”.



10



2. Lafal Khusus (Khas) Seperti dikemuakan Adib Saleh, lafal khas adalah lafal yang mengandung suatu pengertian secara tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas atau lafadz yang menunukkan makna tertentu.13 Para ulama usul fikih sepakat, seperti dikemukakan Abu Zahrah, bahwa lafal khas dalam nash syara’, menunjuk kepada pengertiannya yang khas secara pasti (qath’i) dan hukum yang dikandungnya bersifat pasti (qath’i) selama tidak ada indikasi yang menunjukkan pengertian lain. Contoh lafal khas dalam alQur’an surah al-Maidah ayat 89.



ْ ِ‫ارته إ‬ )٨٩(... َ‫ساكِين‬ َ ‫طعَام‬ َ ‫عش ََرةِ َم‬ َ ‫فَ َكف‬... Artinya: ... Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi Makan sepuluh orang miskin .... (QS. al-Maidah: 89) Kata ‫عش ََر ِة‬ َ (‘asyarah) dalam ayat tersebut diciptakan hanya untuk bilangan sepuluh, tidak lebih dan tidak pula kurang. Arti sepuluh itu sendiri sudah pasti tidak ada kemungkinan pengertian lain. 3. Mutlaq dan Mukayyad Secara bahasa kata mutlaq berarti bebas tanpa ikatan, dan kata muqayyad



berarti



terikat.14



Kata



mutlaq



menurut



istilah



seperti



dikemukakan oleh Abdul Wahhab Khallaf adalah lafal yang menunjukkan suatu kesatuan tanpa dibatasi secara harfiyah dengan suatu ketentuan, seperti misriy (artinya seorang Mesir), dan Rajulun (seorang laki-laki), dan sebaliknya lafal muqayyad adalah lafal yang menunjukkan suatu satuan yang secara lafziyah dibatasi dengan suatu ketentuan. Misalnya, Mishriyun muslimun (seorang berkebangsaan Mesir yang beragama Islam), dan rajulun rasyid-un (seorang laki-laki yang cerdas). Ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an ada yang bersifat mutlaq dan ada pula yang bersifat muqayyad. Kaidah usul fikih berlaku di sini adalah bahwa ayat yang bersifat mutlaq harus dipahami secara mutlaq selama tidak 13



Muchtar Adam, Op.Cit., h. 246. Lihat juga: Achmad Yasin, Ilmu Ushul fiqh; DasarDasar Istimbat Hukum, Surabaya: UIN Sunan Ampel, 2013, h. 212. 14 Ibid., h. 248.



11



ada dalil yang membatasinya, sebaliknya ayat yang bersifat muqayad harus dilakukan sesuai dengan batasan (kaitan) nya. Misalnya mutlaq dalam alQur’an surah al-Baqarah ayat 234.



َ‫ع ْش ًرا فَإِذَا بَلَ ْغن‬ ْ ‫َوالذِينَ يت ََوف ْونَ ِم ْنك ْم َويَذَرونَ أ َ ْز َوا ًجا يَت ََرب‬ َ ‫صنَ بِأ َ ْنف ِس ِهن أ َ ْربَعَةَ أ َ ْشهر َو‬ )٢٣٤( ‫وف َوّللا بِ َما ت َ ْع َملونَ َخبِير‬ ِ ‫علَيْك ْم فِي َما فَعَ ْلنَ فِي أ َ ْنف ِس ِهن بِ ْال َم ْعر‬ َ ‫أ َ َجلَهن فَال جنَا َح‬ Artinya: Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka15 menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (QS. al-Baqarah: 234) Ayat di atas menegaskan bahwa ‫( أ َ ْز َوا ًجا‬azwajan) atau istri-istri yang atas kematian suami, masa tuggu mereka (‘iddah) selama empat bulan sepuluh hari. Kata ‘azwajan’ (istri-istri) tersebut adalah lafal mutlak karena tidak membedakan apakah wanita itu sudah pernah digauli oleh suaminya itu atau belum. Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa masa ‘iddah wanita atas kematian suami baik baik telah pernah dipersetubuhi oleh suaminya itu atau belum adalah empat bulan sepuluh hari. Contoh muqayyad dalam al-Qur’an surah al-Mujadalah ayat 3 dan 4.



َ ‫َوالذِينَ ي‬ ‫سائِ ِه ْم ثم يَعودونَ ِل َما قَالوا فَتَحْ ِرير َرقَبَة ِم ْن قَ ْب ِل أ َ ْن يَت َ َماسا ذَ ِلك ْم‬ َ ِ‫ظاهِرونَ ِم ْن ن‬ ‫ش ْه َري ِْن متَت َا ِب َعي ِْن ِم ْن قَ ْب ِل‬ َ ‫صيَام‬ ِ ‫) فَ َم ْن َل ْم يَ ِج ْد َف‬٣( ‫عظونَ ِب ِه َوّللا ِب َما ت َ ْع َملونَ َخ ِبير‬ َ ‫تو‬ ْ ِ ‫أ َ ْن يَت َ َماسا فَ َم ْن لَ ْم يَ ْست َِط ْع فَإ‬ ِ‫ط َعام ِستِينَ ِم ْس ِكينًا ذَلِكَ ِلتؤْ ِمنوا ِباّللِ َو َرسو ِل ِه َو ِت ْلكَ حدود ّللا‬ )٤( ‫عذَاب أ َ ِليم‬ َ َ‫َو ِل ْل َكافِ ِرين‬ Artinya: Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak Kuasa (wajiblah atasnya) memberi Makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya 15



Berhias, atau bepergian, atau menerima pinangan. Lihat: Ahmad Hatta, Op.Cit., h.



38.



12



kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Itulah hukumhukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih. (QS. al-Mujadalah: 3-4). Ayat di atas,



menjelaskan bahwa yang menjadi kifarat zihar



(menyerupakan punggung istrinya dengan punggung ibunya) adalah memerdekakan seorang hambah sahaya, jika tidak mampu, wajib berpuasa selama ‫ش ْه َري ِْن متَت َابِ َعي ِْن‬ َ (syahrain mutatabi’ain) (dua bulan berturut-turut), dan jika tidak juga mampu berpuasa, maka memberi makan enam puluh orang miskin. Kata ‫ْن‬ َ (syahrain) atau dua bulan dalam ayat tersebut adalah lafal ِ ‫ش ْه َري‬ muqayyad (dibatasi) dengan ‫( متَت َا ِب َعي ِْن‬mutatabi’ain) (berturut-turut). Dengan demikian puasa dua bulan yang menjadi kifarat zihar itu wajib dengan berturut-turut tanpa terputus-putus. Permasalahan selanjutnya adalah apabila suatu lafal dalam sebuat ayat disebut secara mutlaq, dan di ayat yang lain disebut secara muqayyad. Ulama usul fikih sepakat untuk memperlakuan ketentuan yang terdapat dalam ayat muqayyad terhadap ayat yang mutlaq bilamana hukum dan sebabnya adalah sama. Contohnya pada al-Qur’an surah al-Maidah ayat 3.



ْ ‫ح ِر َم‬ )٣( ... ‫ير َو َما أهِل ِلغَ ْي ِر ّللاِ ِب ِه‬ َ ‫ت‬ ِ ‫علَيْكم ْال َم ْيت َة َوالدم َولَحْ م ْال ِخ ْن ِز‬ Artinya: Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah,16 daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah. (QS. AlMaidah: 3) Ayat di atas yang menegaskan bahwa diharamkan atas kalian bangkai, dan al-dam (darah), dan daging babi”. Kata ‫( الدم‬al-dam) (darah) dalam ayat tersebut disebut secara mutlaq tanpa membedakan antara darah yang mengalir dan darah yang masih tinggal dalam daging sembelihan.



16



Ialah: darah yang keluar dari tubuh, sebagaimana tersebut dalam surat Al An-aam



ayat 145.



13



Dengan demikian darah yang diharamkan adalah darah yang mengalir dari binatang sembelihan, bukan yang masih tinggal di dalam daging, atau hati. Ulama berbeda pendapat bilamana dua ayat itu sama hukumnya tetapi berbeda sebabnya. Contohnya, lafal ‘raqabah’ sebagai kifarat zihar dalam Surat al-Mujadalah disebut secara mutlaq: “fatahriru raqabatin” (maka wajib memerdekakan seorang hamba sahaya), tanpa mensyaratkan beriman, sedangkan dalam kifarat pembunuhan bersalah. C. Lafal Dari Segi Dilalah (penunjukan) Atas Hukum Dalam pandangan ulama syafi’iyyah, dilalah17 itu terbagi menjadi dua macam yaitu mantuq dan mafhum. 1. Mantuq Mantuq



secara



bahasa



berarti



suatu



yang



diucapkan.



Erat



hubungannya dengan pengertian itu mantuq menurut istilah usul fikih berarti pengertian harfiyah dari suatu lafal yang diucapkan.18 Menurut aliran ini, mantuq dibagi menjadi dua yaitu mantuq sarih dan mantuq gharu sarih. a. Mantuq sarih secara bahasa berarti sesuatu yang diucapkan secara tegas. Menurut istilah, seperti dikemuakan oleh Mushtafa Sa’id al-Khin, ialah makna yang secara tegas ditunjukkan oleh suatu lafal sesuai dengan penciptanya baik secara penuh atau berupa bagiannya. Misalnya, firman Allah dalam Surat an-Nisa’ ayat 3 yang mencantumkan hukum boleh kawin lebih dari satu orang dengan syarat adil. Jika tidak, wajib membatasi seorang saja.



َ ‫َوإِ ْن ِخ ْفت ْم أَال ت ْقسِطوا فِي ْاليَت َا َمى فَا ْن ِكحوا َما‬ َ ‫اء َمثْنَى َوث‬ ‫الث‬ ِ ‫س‬ َ ‫ط‬ َ ِ‫اب لَك ْم ِمنَ الن‬ ْ ‫احدَة ً أ َ ْو َما َملَ َك‬ )٣( ‫ت أ َ ْي َمانك ْم ذَلِكَ أ َ ْدنَى أَال ت َعولوا‬ ِ ‫ع فَإ ِ ْن ِخ ْفت ْم أَال ت َ ْعدِلوا فَ َو‬ َ ‫َوربَا‬ Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu 17 Dilalah berasal dari bahasam dalalah adalah bentuk bentuk masdar dari kata dalla yadillu yang berarti yang menunjukkan dan kata dillah sendiri berarti petunjuk. Lihat: Maizul Imran, Konsentrasi hukum Islam, 2015. 18 Manthuq ialah makna yang ditunuki oleh ucapan itu sendiri atau makna tersurat. Lihat: Muchtar Adam, Op.Cit., h. 252.



14



mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil19, Maka (kawinilah) seorang saja20, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. an-Nisa: 3). b. Mantuq ghairu sarih Mantuq ghairu sarih yaitu pengertian yang ditarik bukan dari makna asli dari suatu lafal, tetapi sebagai konsekuensi dari suatu ucapan. Mantuq ghairu sarih terbagi kepada tiga, yaitu: 1) Dilalah al-Ima’, yaitu suatu pengertian yang bukan ditujukan langsung oleh suatu lafal, tetapi lewat pengertian logisnya karena menyebutkan suatu hukum langsung setelah menyebut suatu lafal atau peristiwa. Misalnya, Hadits riwayat Ahmad dan Tirmizi dari Sa’id bin zaid bahwa Rasulullah saw. bersabda : “ Barang siapa yang menghidupkan (mulai mengolah) tanah yang sudah mati, maka tanah itu menjadi miliknya”. Hadits tersebut di samping menunjukkan hukum lewat mantuqnya seperti yang jelas tertulis, juga lewat ‘dilalah al-ima’nya’, yaitu bahwa aktifitas menghidupkan tanah mati itulah yang menjadi ‘illat bagi pemilikan tanah untuknya. Dilalah al-Ima’ menjadi ‘illat bagi pemilikan tanah untuknya. Dilalah al-Ima’ ini adalah bagian dari ibarat al-nash di kalangan Hanafiyah. 2) Dilalah al-Isyarat, yaitu suatu pengertian yang ditunjukkan oleh suatu redaksi, namun bukan pengertian aslinya , tetapi merupakan suatu kemestian atau konsekuensi dari hukum yang ditunjukkan oleh redaksi itu. Oleh karena erat hubungannya dengan hukum yang jelas dalam mantuq, maka hukum yang ditarik lewat dalalat al-isyarat ini dianggap sebagai hukum yang ditunjuk oleh mantuq secara tidak tegas. 19



Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah. 20 Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh Para Nabi sebelum Nabi Muhammad s.a.w. ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja.



15



Sebagai contoh ayat 15 Surat al-Ahqaaf menjelaskan : “ Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah (pula), mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan ...”. Dalam ayat 14 Surat alLuqman dijelaskan pula : “ Dan Kami perintahkan kepada manusia (bebuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun ...”. Mantuq ayat pertama tadi menjelaskan jumlah masa kandungan dan jumlah masa menyusukan selama tiga puluh bulan, dan pada ayat kedua dijelaskan masa menyusui selama dua puluh empat bulan (dua tahun). Hal itu menunjukkan (dilalah isyarah) bahwa sisanya yaitu enam bulan adalah masa minimal dalam kandungan. Kesimpulan bahwa masa minimal kandungan adalah enam bulan bukan dimaksud oleh turunnya ayat tersebut. Dilalah al-isyarat ini juga dikenal sebagai dalalat al-isyarat atau isyarat al-Nash di kalangan Hanafiyah. 3) Dalalat al-iqtida’, ialah pengertian kata yang disisipkan secara tersirat (dalam pemahaman) pada redaksi tertentu yang tidak bisa dipahami secara lurus kecuali dengan adanya penyisipan itu. Contohnya sebuah Hadits Rasulullah menjelaskan : “ Diangkatlah dari umatku bersalah, lupa dan keterpaksaan”. Hadits tersebut secara leterlek menunjukkan bahwa tersalah, lupa, dan keterpaksaan diangkat (tidak dicatat benarbenar apa adanya) dari umat Muhammad SAW. Pengertian tersebut sudah jelas tidak lurus, karena bertentangan dengan kenyataan. Untuk meluruskan maknanya perlu disisipkan secara tersirat kata al-ism (dosa) atau al-hukm (hukum), sehingga dengan demikian arti Hadits menjadi : “ Diangkatlah dari umatku (dosa atau hukum) perbuatan bersalah, karena lupa atau karena terpaksa. Dilalah al-iqtida’ di kalangan jumbur ini juga dikenal dengan dilalah al-iqtida’ atau disebut iqtida’ al-nash di kalangan Hanafiyah.



16



2. Mafhum Mafhum secara bahasa ialah suatu yang dipahami dari suatu teks, dan menurut istilah adalah pengertian tersirat dalam suatu lafal (mafhum muafaqah) atau pengertian kebalikan dari pengertian lafal yang diucapkan (mafhum mukhalafah). Mafhum menurut mayoritas ulama usul fikih, seperti tergambar dalam defenisi di atas dapat dibagi kepada dua macam, yaitu: a. Mafhum Muwafaqah yaitu penunjukan hukum lewat motivasi tersirat atau alasan logis di mana rumusan hukum dalam mantuq dilandaskan21. Contohnya dalam alQur’an surah an-Nisa ayat 10.



‫يرا‬ ْ َ‫سي‬ ً ‫س ِع‬ ً ‫إن الذِينَ يَأْكلونَ أ َ ْم َوا َل ْاليَت َا َمى ظ ْل ًما إِن َما يَأْكلونَ فِي بطونِ ِه ْم ن‬ َ َ‫صلَ ْون‬ َ ‫َارا َو‬ )١٠( Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyalanyala (neraka). (QS. an-Nisa: 10) Mantuq dari ayat tersebut menunjukkan haram memakan harta anak yatim di luar ketentuan hukumnya. Segera dapat diketahui bahwa alasan larangan tersebut adalah karena tindakan itu mengakibatkan lenyap atau rusaknya harta anak yatim. Lewat mafhum muwafaqah tanpa melakukan ijtihad diketahui bahwa setiap



tindakan yang bisa



melenyapkan atau merusak harta anak yatim, seperti menipu, membakar, dan sebagainya, adalah haram hukumnya. Mafhum muwafaqah di kalangan jumbur ini dikenal dengan dalalat al-nash di kalangan Hanafiyah. b. Mafhum mukhalafah menurut jumbur ulama usul fikih, seperti dinukil oleh Mustafa Sa’id al-Khin adalah menunjukkan lafal atas tetapnya hukum kebalikan dari yang tersurat ketika ternafinya suatu persyaratan. Mafhum



21



Dengan pengertian lain yaitu adanya penyesuaian antara ungkapan tersurat denga tersirat. Lihat: Muhchtar Adam, Op.Cit., h. 254.



17



mukhalafah didapati pada obyek hukum yang dikaitkan dengan sifat, syarat, batasan waktu, atau jumlah bilangan tertentu, sehingga hukum sebaliknya menurut mayoritas ulama usul fikih secara sah dapat ditarik bilamana obyek hukum itu terlepas dari berbagai kaitan tersebut. Berbeda dengan itu, kalangan Hanafiyah menolak mafhum mukhalafah sebagai landasan pembentukan hukum. Alasan mereka antara lain, bahwa dapat dibuktikan dalam al-Qur’an di mana apabila mafhum mukhalafah difungsikan, akan rusaklah pemahaman ayat hukum. Misalnya ayat 130 Surat Ali ’Imran : “ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda ...”. Mafhum mukhalafah dari ayat tersebut berarti halalnya riba yang tidak berlipat ganda, namun pemahaman seperti itu adalah keliru, karena riba yang tidak berlipat gandapun haram hukumnya. D. Lafal Dari Segi Kejelasan Arti Kalangan Hanafiyah seperti dijelaskan Adib Shahih membagi lafal dari segi jelas dan tidak jelasnya menjadi beberapa bagian: 1. Lafal yang jelas dilalahnya a. Zahir Zahir secara bahasa al-wuduh (jelas), sedangkan menurut istilah, menurut jumhur ulama Ushul Fiqh dikemukakan oleh Abdul Wahab Khallaf ialah lafal yang menunjukkan arti secara langsung dari nas itu tanpa memerlukan penyerta lain yang datang dari luar untuk memahami maksud nas itu. Akan tetapi bukan pengertian itu yang menjadi maksud utama dari pengucapannya. Karena terdapat pengertian lain yang menjadi maksud utama dari pihak yang mengucapkannya maka kata zahir sangat dimungkinkan untuk menerima takhsis, ta’wil dan naskh. b. Nas Secara bahasa nas berarti al-zuhur (jelas). Secara istilah nas bisa memiliki dua pengertian yaitu pengertian umum dan khusus, pengertian pertama sebagaimana dikemukakan oleh imam Syafi’i, nas adalah teks



18



al-Qur’an dan Hadits Rasulullah baik yang tegas maupun yang tidak tegas. Nas dalam pengertian kedua (khusus), yaitu lafal yang menunjukkan arti yang asli yang muncul dari lafal itu secara jelas, tidak mungkin mengandungn makna lain, pengertiannya cepat ditangkap melalui lafal itu. Dilihat dari segi dilalahnya nas dilihat dari segi zahir, oleh karena itu jika teradi pertentangan antara nas dan zahir maka yang dimenangkan adalah nas untuk diamalkan. Namun demikian menurut Abu Zahra nas bisa menerima ta’wil sebagaimana zahir bisa menerima nasakh. c. Muffasar Muffasar



menurut



ulama



Ushul



Fiqh



adalah



lafal



yang



menunjukkan kepada maknanya secara jelas dan terperinci dan tidak mungkin menerima ta’wil (dipalingkan maknanya). Lafal muffasar dibagi menadi dua: 1) Lafal yang maknanya jelas dan terperinci dari semua tanpa memerlukan penjelasan. 2) Lafal yang pada mulanya adalah mujmal atau dalam bentuk global kemudian dari pembuat syari’at sendiri datang penjelasan yang merincinya sampai jelas bisa diamalkan. d. Muhkam Muhkam22 adalah lafal yang menunjukkan maknanya secara jelas tertutup kemungkinan untuk di ta’wil, dan menurut sifat ajaran yang dikandungnya tertutup pada kemungkinan pernah dibatalkan (nasakh) oleh Allah dan Rasul-Nya. Hukum yang ditunjukkan tidak menerima pembatalan (nasakh), karena merupakan ajaran-ajaran pokok yang tidak berlaku padanya nasakh. Misalnya kewajiban menyembah Allah.



22



Muhkam diambil dari kata ahkama dan hukama yang kadang-kadang berarti kuat atau kokoh dan kadang-kadang berarti mencegah dari kerusakan. Lihat: Muhchtar Adam, Ibid., h. 103.



19



E. Lafal Dari Segi Tidak Terangnya Arti 1. Lafal Yang Tidak Jelas Dilalahnya a. Khafi Khafi yaitu lafal yang maknanya jelas tetapi ketika ditetapkan kepada



kasus



tertentu



menimbulkan



ketidak



jelasan.



Untuk



menghilangkan ketidak jelasan itu dibutuhkan pemikiran dan analisi. Lawan dari khafi adalah zahir. b. Musykil Musykil adalah lafal yang tidak jelas pengertiannya, dan ketidak jelasan itu disebabkan oleh lafal itu diciptakan untuk beberapa pengertian yang berbeda sehingga untuk mengetahui pengertian mana yang dimaksud dalam sebuah redaksi memerlukan indikasi atau dalil-dalil luar seperti lafal musytarak. c. Mujmal Mujmal adalah lafal yang mencakup kemungkinan segala keadaan dan hukum yang terkandung di dalamnya.23 Lafal mujmal tidak dapat diketahui secara jelas tanpa adanya mubayyan (penelasan). Jika terdapat lafal



mujmal



dalam



al-Qur’an



maka



sunah



berfungsi



untuk



menjelasknnya. Sunah dimaksud dapat berupa perkataan atau perbuatan. d. Mutasyabih Mutasyabih adalah lafal tidak jelas maknanya dan tidak ada indikator dari luar yang menjelaskan maknanya. Yang mengetahui hakikatnya hanyalah pembuat syari’ah yaitu Allah SWT.24



23 Dalam pengertian lain mujmal adalah suatu lafadz yang belum jelas dan belum dapat dimengerti arti yang sebenarnya apabila tidak ada keterangan lain yang menelaskannya. Lihat: Muchtar Adam, Ibid., h. 251. 24 Ibid., h. 104.



20



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dilalah sebenarnya merupakan salah satu pembahasan dari ilmu logika, dimana untuk mengetahui sesuatu tidak mesti harus dilihat atau mengamati sesuatu itu secara langsung, tetapi cukup dengan menggunakan petunjuk yang ada. Berfikir dengan menggunakan petunjuk atau isyarat disebut berfikir secara dilalah. Oleh karena itu, dalam pembahasan ilmu ushul fiqh, dilalah adalah memahami suatu hukum syar’i berdasarkan dalil hukum syar’i. Macam-macam lafadz terbagi menjadi lima: 1. Lafadz segi taklifi a. Amr b. Nahi 2. Lafadz dari segi kandungan pengertian a. Lafadz umum (‘am) b. Lafadz khusus (khas) c. Muthlaq dan mukayyad 3. Lafal dari segi dilalah a. Mantuq b. Mafhum 4. Lafal dari segi kejelasan arti a. Lafal yang jelas dilalahnya 5. Lafal dari segi tidak terang arti a. Lafal yang tidak jelas dilalahnya B. Saran Dengan penjelasan makalah penulis di atas, semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk kita semua walaupun makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca. Agar penulis bisa mengevaluasi kembali untuk lebih sempurna.



21



DAFTAR PUSTAKA



A. Khisni, Epistemologi Hukum Islam; Sumber dan Dalil Hukum Islam, Metode Istimbath dan Ijtihad Dalam Kajian Epistemologi Ushul Fiqih, Semarang: Unissula Press, 2012. Ahmad Hatta, Tafsir Qur’an Per Kata; Dilengkapi Dengan Azbabun Nuzul dan Terjemahan, Jakarta: Maghfirah Pustaka. 2009. Achmad Yasin, Ilmu Ushul fiqh; Dasar-Dasar Istimbat Hukum, Surabaya: UIN Sunan Ampel, 2013. Muchtar Adam, Ulumul Qur’an; Studi Perkembangan Pesantren Al-Qur’an, Bandung: Ma’rifat Media Utama. 2016. Maizul Imran, Konsentrasi hukum Islam, 2015. Mukhlis Usman, Kaidah-Kaidah Istinbath Hukum Islam; Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002. Yastin Ismityas Septiani, Lafadz Dari Segi Sighat Taklif dan Lafadz Dari Segi Penggunaannya, 2013, dikutip pada 21 september 2019 pukul 00: 56.



22