Dimensi Islam Profesi [PDF]

  • Author / Uploaded
  • Zulfa
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

DIMENSI ISLAM PROFESI Makalah Ini Disusun Guna Untuk Menyelesaikan Tugas Kelompok Pada Mata Kuliah Kajian Islam Profesi Dosen pengampu Abdul Basit Attamimi, M. Hum



Disusun oleh: Azmia Aulia Rahmi



180911063



Rismadani



180911047



PROGRAM STUDI TASAWUF PSIKOTERAPI FAKULTAS AGAMA ISLAM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH CIREBON 2020



KATA PENGANTAR Puji serta syukur hanya milik Allaah SWT yang telah memberikan kita syafa’at kehidupan yang fana ini, dengan kenikmatan iman dan kenikmatan islam sehingga kami dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Kajian Islam Profesi ini yang bertema “Dimensi Islam Profesi”. Sholawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada nabi akhir zaman Nabi Muhammad SAW yang mana telah memberikan pencerahan kepada kita semua dari zaman kegelapan hingga zaman millenial ini yang penuh dengan cahaya islam Rahmatan Lil ‘Aalamiin ini. Adapun makalah yang kami kerjakan ini adalah kumpulan dari beberapa referensi buku dan journal yang kami pilih untuk menjadi acuan dalam penyusunan makalah ini. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Maka dari itu kami memohon maaf apabila ada kesalahan teknis yang kami buat karena kesempurnaan hanyalah milik Allah Azza Wazalla. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua dan mendapatkan Ridlo Allah SWT. Aamiin



Garut, 17 Oktober 2020



Penyusun



i



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR .......................................................................................



i



DAFTAR ISI .......................................................................................................



ii



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang .......................................................................................



1



B. Rumusan Masalah ..................................................................................



2



C. Tujuan Penulisan ...................................................................................



2



BAB II ISI A. Islam Profesi ...........................................................................................



3



B. Konsep Profesi Yang Islami ..................................................................



4



C. Profesi Perdagangan Dalam Islam .......................................................



10



BAB III PENUTUP Kesimpulan .........................................................................................................



19



DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................



20



ii



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Islam sebagai sebuah agama yang mempunyai ajaran dan aturan yang sangat komprehensif jelas mengatur segala sesuatu berdasarkan nilai-nilai moralitas. Islam juga senatiasa mengajarkan akan pentingnya nilai-nilai spiritual tanpa meninggalkan nilai-nilai material dalam kehidupan umatnya. Hal itulah yang menjadi satu landasan dasar bahwa umat Islam harus menjadikan keduanya sebagai satu kesatuan dalam meraih tujuan kebahagiaan didunia dan diakhirat kelak. Dalam hal ini kehadiran Islam bukan untuk diingkari melainkan untuk dipatuhi, Islam tidak mempercayai kehidupan yang hanya berorientasi pada akhirat tanpa memikirkan materi. Dalam beberapa ayat Al Qur’an serta Hadits nabi menganjurkan kepada manusia, khususnya umat Islam agar memacu diri untuk bekerja keras dan berusaha semaksimal mungkin, dalam arti seorang muslim harus memiliki etos kerja tinggi sehingga dapat meraih sukses dan berhasil dalam menempuh kehidupan dunianya di samping kehidupan akheratnya. Namun dalam realitas kehidupan, masih banyak bangsa Indonesia khususnya umat Islam yang bersikap malas, tidak disiplin, tidak mau kerja keras, dan bekerja seenaknya. Hal ini didukung kenyataan berupa kebiasaan yang disebut dengan ”jam karet”, maksudnya kalau mengerjakan sesuatu sering tidak tepat waktu atau sering terlambat dan sebagainya. Ini berarti bahwa bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya umat Islam masih memiliki etos kerja rendah. Bekerja didefinisikan sebagai upaya mengerahkan segala kemampuan dan kesanggupan yang dimilikinya baik jasmani, ruhani, maupun akal pikiran untuk memenuhi kebutuhan hidup diri dan kelurganya. Bekerja dapat berupa berusaha sendiri (berwiraswasta) maupun dengan bekerja kepada orang lain/institusi



sebagai



pegawai/buruh/karyawan



dengan



mendapatkan 1



imbalan/gaji/upah. Islam mendorong para pemeluknya untuk bekerja dan menekuni kegiatan ekonomi dalam segala bentuknya seperti pertanian, industri, perdagangan, dan bekerja dalam berbagai bidang keahlian atau profesi.



B. Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan islam profesi? 2. Bagaimana konsep profesi yang islami? 3. Bagaimana profesi perdagangan dalam islam?



C. Tujuan Penulisan 1. Untuk mengetahui macam-macam profesi yang islami 2. Untuk mengetahui konsep profesi yang islami 3. Untuk mengetahui tentang profesi perdagangan dalam islam



2



BAB II PEMBAHASAN A. Islam Profesi Islam mengandung artikulasi kongkrit dalam gerak dan aktivitas keseharian. Kebenaran Islam tidak hanya dipidatokan, diwawancarakan, diseminarkan atau didiskusikan, akan tetapi tampak dalam wujud keseharian ummatnya. Dalam teologi umat Islam, memilih Islam sebagai system keyakinan



beragama



mengandung



harapan



untuk



keselamatan



dan



kesejahteraan.Oleh karena itu, dimensi berislam tidak sekedar untuk indvidu (personal) tetapi juga bersama-sama dengan sesama manusia melahirkan masyarakat yang Islami.1 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia profesi itu diartikan sebagai bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejuruan, dan sebagainya) tertentu. Istilah profesi dalam terminology Arab tidak ditemukan padanan katanya secara eksplisit. Hal ini terjadi karena bahasa Arab adalah bahasa yang sangat sedikit menyerap bahasa asing. Di Negara Arab modern, istilah profesi diterjemahkan dan dipopulerkan dengan dua kosakata bahasa Arab. Pertama, Al-mihnah. Kata ini sering dipakai untuk menunjuk pekerjaan yang lebih mengandalkan kinerja otak.Karena itu, kaum professional disebut almihaniyyun atau ashab al-mihnah. Misalnya pengacara, penulis, dokter, konsultan hukum, pekerja kantoran, dan lain sebagainya. Kedua, Al-hirfah. Kata ini lebih sering dipakai untuk menunjuk jenis pekerjaan yang mengandalkan tangan atau tenaga otot. Misalnya, para pengrajin, tukang



1



Khaerul Wahidin, dkk. Jurnal Hadariyah; Jurnal Peradaban dan Pendidikan, Vol. 1, No. 1, (Cirebon: UMC Press, 2013), hal. 4.



3



pandai besi, tukang jahit pada konveksi, buruh bangunan, dan lain sebagainya.Mereka disebut ashab al-hirfah.2 Bekerja didefinisikan sebagai upaya mengerahkan segala kemampuan dan kesanggupan yang dimilikinya baik jasmani, ruhani, maupun akal pikiran untuk memenuhi kebutuhan hidup diri dan kelurganya. Bekerja dapat berupa berusaha sendiri (berwiraswasta) maupun dengan bekerja kepada orang lain/institusi



sebagai



pegawai/buruh/karyawan



dengan



mendapatkan



imbalan/gaji/upah. Islam mendorong para pemeluknya untuk bekerja dan menekuni kegiatan ekonomi dalam segala bentuknya seperti pertanian, industri, perdagangan, dan bekerja dalam berbagai bidang keahlian atau profesi.3 Islam menempatkan bekerja sebagai ibadah untuk mencari rezeki dari Allah guna menutupi kebutuhan hidupnya.Bekerja untuk mendapatkan rezeki yang halalan thayiban termasuk kedalam jihad di jalan Allah yang nilainya sejajar dengan melaksanakan rukun Islam. Dengan demikian bekerja adalah ibadah dan menjadi kebutuhan setiap umat manusia. Bekerja yang baik adalah wajib sifatnya dalam Islam.4



B. Konsep Profesi yang Islami Banyak nash-nash Islam baik berupa Firman Allah SWT maupun Hadits Rasulullah SAW yang memuat ajakan dan perintah untuk melakukan usaha dalam rangka mencari rezeki dan mengembangkan hartanya dengan disertai tawakkal kepada Allah. Perintah bekerja ini sejajar dengan perintah sholat, shodaqoh, dan jihad di jalan Allah SWT. Rasulullah, para nabi dan para sahabat adalah para profesional yang memiliki keahlian dan pekerja keras. Mereka selalu menganjurkan dan menteladani orang lain untuk mengerjakan hal yang



2



Deny Setiawan, Zakat Profesi dalam Pandangan Islam, Jurnal Sosial Ekonomi Pembangunan, Tahun I, No. 2 Maret 2011, hal. 200. 3



MAZAHIB: Vol. XIII, No. 2, Desember 2014



4



Rina Indiastuti, Bekerja Profesional dan Cerdas menurut Islam, (Unpad : Rubrik, 2014), Hal. 3.



4



sama. Profesi Nabi Daud adalah seorang ahli pertenunan (kain dan baju besi), Nabi Adam seorang petani, Nabi Idris adalah tukang jahit dan nabi Musa adalah seorang pengembala. Bekerja menurut pandangan Islam bukan hanya sekedar bekerja atau bekerja asal-asalan. Namun ada nilai-nilai yang harus diperhatikan dan diamalkan oleh setiap muslim yang bekerja. Nilai-nilai tersebut adalah ihsan (baik), jiddiyah (integritas), dan itqon (profesional).5 Secara implisit banyak ayat al Qur’an yang menganjurkan umatnya untuk bekerja keras, dalam arti umat Islam harus memiliki etos kerja tinggi, diantaranya dalam Quran disebutkan yang artinya ”Apabila kamu telah selesai (dari satu urusan), maka kerjakan dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain”. Ayat ini menganjurkan kepada manusia, khususnya umat Islam agar memacu diri untuk bekerja keras dan berusaha semaksimal mungkin, dalam arti seorang muslim harus memiliki etos kerja tinggi sehingga dapat meraih sukses dan berhasil dalam menempuh kehidupan dunianya di samping kehidupan akheratnya. 6 Keseimbangan antara Kerja dan Ibadah Yusuf Qardhawi (1996:12) menjelaskan, bahwa Agama Islam memiliki beberapa karakteristik, salah satu di antaranya adalah wasatiyah atau dengan istilah lain tawazun, yaitu sikap hidup pertengahan atau sikap seimbang antara kehidupan material dan spiritual. Ini artinya sebagai seorang Muslim harus dapat menyeimbangkan antara dua kutub kehidupan yaitu kehidupan material yang bersifat duniawi dan kehidupan spiritual yang bersifat ukhrawi. Nilai moderat inilah yang mengantarkan dan mengisyartkan umat Islam menempatkan diri sebagai umat pertengahan, kelompok moderat dibanding dengan umat-umat lain yang cenderung berlebih-lebihan di antara salah satu aspek yang berlawanan. Misalnya ada umat yang cenderung kepada spiritual



5 6



MAZAHIB: Vol. XIII, No. 2, Desember 2014, diakses pada hari selasa, 20 Oktober 2020 pukul 20.40 Saifullah, Etos Kerja Dalam Perspektif Islam, Jurnal Sosial Humaniorah, Vol 3 No.1, Juni 2010



5



belaka sehingga mengabaikan aspek fisik material, yang cenderung hidup bertapa mengasingkan diri dari halayak ramai, pantang kawin, dan berpuasa sepanjang waktu. Tetapi sebaliknya terdapat pula golongan yang berwawasan keduniaan belaka dan menganggap akhirat tidak penting, ini penganut faham materialisme dan sekulerisme, mereka tidak mau tahu tentang Tuhan dan agama serta tidak percaya adanya hari pembalasan di hari kiamat. (Hamzah Ya’qub, 1992; 62) ’Aqidah, syari‘ah Islam menolak keduanya dan mengambil jalan lurus, yaitu jalan moderat sesuai dengan satusnya sebagai ummah wasatiyah (ummat pertengahan), sebagaimana difirmankan Allah dalam al-Qur’an surat AlBaqarah: 143:



َ َ ٓ ُ ْ ُ ُ ِ ٗ َ َ ٗ َّ ُ ۡ ُ َ ۡ َ َ َ َ َ َ ٗ َ ُ َ َ ُ ُ َّ َ ُ َ َ َۗ‫َعل ۡيك ۡمَش ِهيدا‬ ‫اسَويكونَٱلرسول‬ ِ َّ‫اَّلَكونواَش َه َدا َءَلَعَٱنل‬ ِ ‫ِكَجعلنَٰكمَأمةَوسط‬ َ ‫وكذَٰل‬



َ َ َّ َ ُ َّ ُ َّ َ َ َ َ ۡ َ َّ ٓ َ ۡ َ َ َ ُ َّ َ َ ۡ ۡ َ ۡ َ َ َ َ َ ‫َلَع‬ َٰ َ َ ‫نقل ُِب‬ َ‫َعق َِب ۡي ِۚهَِِإَون‬ ‫وماَجعلناَٱلقِبلةَٱل ِِتَكنتَعليهاَإَِّلَنلِ علمَمنَيتبِعَٱلرسولَمِمنَي‬



ٞ َ ُ َ َ َ ُ ُ َّ َ َ َ َ ُ َّ َ َ َّ َ َ َّ ً َ َ َ ۡ َ َ َ َّ ‫ك ۡمَإ َّن‬ َ‫اسَل ََر ُءوف‬ ِ َّ‫َٱّللَبِٱنل‬ ِ ‫ِينَه َدىَٱّللَۗوماََكنَٱّلل‬ ‫َكَنتَلكبِريةَإَِّلَلَعَٱَّل‬ ِ ‫َِل‬ ِ ۡۚ ‫ضيعَإِيمَٰن‬ ٞ ‫َّرح‬ )١٤٣( ََ‫ِيم‬ “Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) "umat pertengahan" agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu (berkiblat) kepadanya melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sungguh, (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sungguh, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia”. Ayat ini memberikan penjelasan bahwa umat Islam bukanlah ummat yang ekstrim dan radikal, yang condong pada salah satu aspek kehidupan saja, akan tetapi umat Islam adalah ummat yang berupaya berpegang teguh pada



6



prinsip keseimbangan hidup, keselarasan hidup dan prinsip inilah yang mewarnai etos kerjanya, sehinga kerja-kerja ekonomi dan ibadah pun menjadi selaras dan seimbang, dalam arti masing-masing dikerjakan sesuai dengan jadwal waktunya. Islam memiliki banyak kelebihan, yang dengannya dapat membedakan dengan agama lainnya. Di antara kelebihan Islam adalah adanya asas keseimbangan, wawasan keselarasan dan keserasian antara duniawi dan ukhrawi, antara material dan spiritual, antara lahir dan batin, antara kerja guna memenuhi kebutuhan keluarga dengan ibadah. Dalam ayat lain, Allah berfirman :



َ َ َ ۡ ُّ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ ۡ َ ُ َّ َ َ ۡ َ ٓ َ َ َ َٰ َ َ ٓ َ ۡ َّ ‫َٱّلل‬ ُ َّ ‫ك‬ ََۖ‫َٱّللَإِِلك‬ َ ‫صيبكَمِنَٱدلنياََۖوأحسِنَكماَأحسن‬ ‫َو ۡٱب َتغِ َفِيماَءاتى‬ ِ ‫َٱدل َارَٱٓأۡلخ َِرةََۖوَّلَتنسَن‬



َۡ ۡ ۡ ُّ ُ َ َ َّ َّ َ َ َۡ َۡ ََ َ ‫سد‬ َ ََ‫ِين‬ ‫ۡرضَِۖإِنَٱّللََّلَُي‬ ِ ‫َِفَٱۡل‬ ِ ‫ِبَٱل ُمف‬ ِ ‫وَّلَتبغِ َٱلفساد‬



Artinya : Dan carilah karunia yang Allah berikan kepadmu di negeri akherat , tetapi janganlah kamu lupakah bagianma di dunia.(Qs. Al Qashash:77). Melalui ayat tersebut Allah hendak memberikan informasi tentang pentingnya keharmonisan atau keseimbangan antara kerja-kerja ukhrawi tanpa melupakan kerja-kerja ekonomi guna memenuhi kebutuhan hidup duniawi. Tentang pentingnya keseimbangan antara dua aspek kehidupan manusia (material dan spiritual) telah disinggung oleh Rasulullah Muhammad Saw melalui sabdanya: ‘Berusahalah untuk urusan duniamu seolah-olah engkau akan hidup selamanya, dan berusahalah untuk urusan akhiratmu seolah-olah engkau akan mati besok pagi’. (Al Hadis: Ibnu Asakir) Hadis tersebut menganjurkan kepada manusia, khususnya umat Islam tentang pentingnya dua tempat kehidupan, yaitu: Pertama, tentang pentingnya kehidupan dunia. Jika manusia ingin meraih sukses dan berhasil dalam menempuh kehidupan dunianya, maka manusia harus memacu dirinya untuk bekerja keras dan berusaha semaksimal mungkin, dalam arti seorang muslim harus memiliki etos kerja tinggi.



7



Kedua, tentang pentingnya kehidupan akherat. Jika manusia ingin meraih sukses dan berhasil dalam kehidupan akheratnya, maka manusia harus meningkatkan spiritualitasnya, mendekatkan diri kepada Allah Swt, sehingga akhirnya diperoleh ketenangan jiwa. Untuk memenuhi kebutuhan hidup yang bersifat duniawi, seorang muslim dituntut berikhtiar semaksimal mungkin, baik secara lahir maupun batin. Ikhtiar lahir dilakukan dengan berusaha seoptimal mungkin sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, dalam arti harus memiliki etos kerja atau semangat kerja tinggi, dan ikhtiar batin dilakukan dengan banyak berdhikir dan berdo’a memohon pertolongan hanya kepada Allah Swt. Banyak faktor yang turut menentukan dalam suatu pekerjaan. Di antaranya adalah faktor spiritualitas (mental, jiwa), sehebat apapun peralatan canggih yang digunakan di jaman modern ini, jika pekerja-pekerja tidak memiliki mentalitas dan semangat kerja tinggi maka tujuan pekerjaan tidak akan dapat tercapai. Hamzah Ya’qub (1992) menjelaskan bahwa ada beberapa sikap kematangan spiritual yang perlu diperhatikan dalam menghadapi pekerjaan di antaranya: 1. Niat ikhlas Niat merupakan kemantapan tujuan luhur untuk apa pekerjaan itu dilakukan. Hal ini sesuai dengan falsafah hidup muslim yang bekerja dengan tujuan mengharapkan ridha Allah Swt. Islam memberikan petunjuk pada umatnya, agar dalam setiap aktivitas dunia yang dilaksanakannya tidak boleh keluar dari tujuan taqarrub dan ibadah. Walaupun pekerjaan itu formalnya duniawi, tetapi hakekatnya bernilai ibadah jika disertai niat yang ihlas karena Allah Swt. Dengan demikian ihlas merupakan energi batin yang akan membentengi diri seseorang dari segala bentuk perbuatan kotor dalam bekerja, seperti korupsi, mencuri, berbohong,



8



menipu, dan lainnya, karena itu termasuk jalan haram yang amat dibenci oleh Allah Swt.(Toto Tasmara:2004). 2. Kemauan Keras (‘azam) Untuk mengembangkan usaha apapun bentuknya, agar dapat maju dan sukses maka diperlukan kemauan keras, tekat membaja. Hal ini merupakan bahan bakar yang dapat menggerakkan seseorang berbuat dan bertindak. Karya besar dimulai dari kemauan keras, tanpa kemauan keras sangat kecil kemungkinan untuk maju dan sukses. Tidak ada keberhasilan kecuali dengan usaha yang sungguh-sungguh walaupun terkadang menyakitkan. Jadi kemauan keras (‘azam) harus selalu menghiasi sikap hidup para pekerja atau usahawan muslim. Apabila sudah ber‘azam maka kebulatan tekat tentang berhasil dan tidaknya diserahkan sepenuhnya kepada Allah, inilah arti tawakkal yang sebenarnya. 3. Ketekunan (istiqamah) Istiqamah adalah daya tahan mental dan kesetiaan melakukan sesuatu yang telah direncanakan sampai ke batas akhir suatu pekerjaan. Istiqamah juga berarti tidak mudah berbelok arah betapapun kuatnya godaan untuk mengubah pendiriannya, ia tetap pada niat semula. Walaupun dihadapkan dengan segala rintangan, ia masih tetap berdiri (konsisten), ia tetap menapaki jalan yang lurus, tetap tangguh menghadapi badai, tetap berjalan sampai batas, tetap berlayar sampai ke pulau, walaupun sejuta halangan menghadang. Ini bukan idialisme, tetapi sebuah karakter yang melekat pada jiwa seorang muslim yang memiliki semangat tauhid yang tangguh. (Toto Tasmara: 2004). 4. Kesabaran Kesabaran adalah sikap hidup seorang muslim yang sangat berharga. Sikap ini sangat dibutuhkan dalam berjuang dan bekerja, dan ini termasuk akhlakul karimah yang seharusnya diperjuangkan dalam hidup. Berbagai hambatan dan tantangan akan dapat ditanggulangi selama kesabaran masih 9



melekat dan bersemi dalam jiwa manusia. Ahli hikmah mengatakan bahwa kesabaran itu pahit laksana jadam, tetapi buahnya manis bagaikan madu. Kenyataan hidup mengatakan bahwa orang-orang yang sukses dan berhasil mencapai kemajuan dalam hidup karena mereka memiliki kesabaran dalam mengatasi berbagai ujian dan cobaan dalam kehidupan.(Hamzah Ya’qub: 1992). Keempat sikap hidup yang menunjukkan kematangan spiritual seseorang tersebut, seharusnya dijadikan motor penggerak kehidupan seorang muslim dalam menghadapi pekerjaan, sehingga akan memperoleh hasil secara maksimal dalam arti sukses dalam kehidupan duniawi maupun ukhrawinya. Hal inilah yang seharusnya diimplementasikan dalam kehidupan seorang Muslim.7



C. Profesi Perdagangan Dalam Islam Dalam Islam pasar merupakan wahana transaksi ekonomi yang ideal, karena secara teoritis maupun praktis Islam menciptakan suatu keadaan pasar yang dibingkai oleh nilai-nilai syari’ah, meskipun tetap dalam suasana bersaing. Agar mekanisme pasar dapat berjalan dengan baik dan memberikan mutual qoodwill bagi para pelakunya, maka nilai-nilai moralitas mutlak harus ditegakkan. Secara khusus nilai moralitas yang mendapat perhatian penting dalam pasar adalah persaingan yang sehat (fair play), kejujuran (honesty), keterbukaan (transparancy) dan keadilan (justice). Nilai-nilai moralitas ini memiliki akar yang kuat dalam ajaran Islam, sebagaimana dicantumkan dalam berbagai ayat Al-qur’an.8 Setiap orang Islam boleh mencari nafkah dengan cara jual beli, tetapi cara itu harus dilakukan sesuai hukum Islam, yaitu harus saling rela merelakan, tidak boleh menipu, tidak boleh berbohong, tidak boleh merugikan kepentingan



7 8



Jurnal Sosial Humaniorah, Vol 3 No.1, Juni 2010 Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, hal. 20.



10



umum, bebas memilih dan riil. Islam memang menghalalkan usaha perdagangan, perniagaan atau jual beli. Namun tentu saja untuk orang yang menjalankan usaha perdagangan secara Islam, dituntut menggunakan tata cara khusus, ada aturan mainnya yang mengatur bagaimana seharusnya seorang muslim berusaha di bidang perdagangan agar mendapatkan berkah dan ridha Allah SWT di dunia dan akhirat. 1. Dasar Hukum Perdagangan Perdagangan dalam pandangan Islam merupakan aspek kehidupan yang dikelompokan dalam masalah mu’amalah 5 , yakni masalah yang berkenaan dengan hubungan yang bersifat horizontal dalam kehidupan manusia. Sekalipun sifatnya adalah hubungan yang horizontal namun sesuai dengan ajaran islam, rambu-rambunya tetap mengacu kepada Al-Qur’an dan Hadis. Bukankah perniagaan yang menguntungkan adalah perniagaan dengan Allah? Jadi, mengapa kita harus menyimpang dari aturan-Nya? Selain itu, Rasulullah SAW sendiri adalah seorang pedagang yang terkenal karena kejujuranya. Islam mengajarkan tentang etika jual beli sebagaimana dalam Al Qur’an :



َٰٓ َّ ‫َٰيََٰٓأَيُّ َها ٱلَّذِينَ َءا َمنُواْ ََل ت َۡأ ُكلُ َٰٓواْ أَمۡ َٰ َولَ ُكم بَ ۡينَ ُكم بِ ۡٱل َٰبَ ِط ِل ِإ‬ ‫اض ِمن ُك ۡۚۡم‬ َ ً ‫َل أَن تَ ُكونَ تِ َٰ َج َرة‬ ٖ ‫عن ت ََر‬ َّ ‫س ُك ۡۚۡم ِإ َّن‬ )٢٩( ‫ٱَّللَ َكانَ ِب ُك ۡم َر ِح ٗيما‬ َ ُ‫َو ََل تَ ۡقتُلُ َٰٓواْ أَنف‬ Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka, dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. “ (QS. An Nisaa [4] : 29) Salah satu profesi yang dianjurkan dalam Islam bahkan sering tersebut dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah adalah profesi petani dan pedagang. Karenanya banyak sekali sahabat Rasulullah berprofesi menjadi petani atau pedagang. Hanya saja, di dalam Islam setiap profesi yang dibenarkan untuk ditempuh tujuannya bukan sematamata untuk menghasilkan uang atau meraih



11



kekayaan. Akan tetapi yang jauh lebih penting daripada itu adalah untuk mendapatkan keberkahan dari hasil jerih payahnya. Dan keberkahan dari harta bukan dinilai dari kuantitasnya akan tetapi dinilai dari kualitas harta tersebut, darimana dia peroleh dan kemana dia belanjakan. Dalam sebuah hadis diriwayatkan oleh Tirmidzi yang artinya: “Dari Abu Sa’id Radhiyallahu Anhu, katanya Rasalullah SAW berabda, pedagang yang benar dan terpercaya bergabung dengan para nabi, orang-orang benar (shidiqin), dan para syuhada.” (HR Tirmidzi). Dari hadist ini dapat di ambil kesimpulan bahwa bagi seorang pedagang haruslah bersikap jujur. Karena dengan bersikap jujur terhadap pembeli sama seperti yang dilakukan para nabi ketika berjualan dana dengan sikap jujur seorang pedagang akan di tempatkan di surga bersama dengan orang-orang yang berbuat jujur dan para kekasih Allah yang mati sahid dalam peperangan.9 Perdagangan adalah merupakan pusat kegiatan perekonomian, yang dibangun atas dasar saling percaya diantara pelaku perdagangan. Andai kata dalam dunia perdagangan ini tidak ada rasa saling percaya di antara pelakupelakunya, maka akan terjadi resesi dan kemacetan kerja. Didalam Surat al-Baqarah ayat 198:



ۡ َ‫علَ ۡي ُك ۡم ُجنَا ٌح أَن ت َۡبتَغُواْ ف‬ )١٩٨( ...‫ض ٗٗل ِمن َّر ِب ُك ۡۚۡم‬ َ ‫س‬ َ ‫لَ ۡي‬ Artinya: “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu” Ayat ini merujuk pada keabsahan menjalankan usaha guna mendapatkan anugerah Allah. Menurut riwayat Ibnu Abbas dan Mujahid, ayat ini diturunkan untuk menolak anggapan bahwa menjalankan usaha dan perdagangan pada musim haji merupakan perbuatan dosa, karena musim haji adalah saat-saat untuk mengingat Allah (dzikir). Ayat ini sekaligus memberikan



9



Mardani, Ayat-ayat dan Hadis Ekonomi Syariah, Jakarta: Rajawali Press, 2011, h. 178



12



legalisasi atas transaksi ataupun perniagaan yang dilakukan pada saat musim haji.10 Didalam Surat an-Nisa’ ayat 29 disebutkan: َٰٓ َّ ‫َٰيََٰٓأَيُّ َها ٱلَّذِينَ َءا َمنُواْ ََل ت َۡأ ُكلُ َٰٓواْ أ َ ۡم َٰ َولَ ُكم بَ ۡينَ ُكم ِب ۡٱل َٰبَطِ ِل ِإ‬ ‫اض‬ َ ً ‫َل أَن ت َ ُكونَ تِ َٰ َج َرة‬ ٖ ‫عن ت ََر‬ )٢٩( ‫ٱَّلل َكانَ ِب ُك ۡم َرحِ ٗيما‬ َ َّ ‫س ُك ۡۚۡم ِإ َّن‬ َ ُ‫ِمن ُك ۡۚۡم َو ََل ت َۡقتُلُ َٰٓو ْا أَنف‬ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu” Ayat ini merujuk pada perniagaan atau transaksi-transaksi dalam muamalah yang dilakukan secara batil. Ayat ini mengindikasikan bahwa Allah SWT melarang kaum muslimin untuk memakan harta orang lain secara batil. Secara batil dalam konteks ini memiliki arti yang sangat luas, di antaranya melakukan transaksi ekonomi yang bertentangan dengan syara’, seperti halnya melakukan transaksi berbasis riba (bunga), transaksi yang bersifat spekulatif (maisir, judi), ataupun transaksi yang mengandung unsur gharar (adanya uncertainty/risiko dalam transaksi) serta hal-hal lain yang bisa dipersamakan dengan itu. Ayat ini juga memberikan pemahaman bahwa upaya untuk mendapatkan harta tersebut harus dilakukan dengan adanya kerelaan semua pihak dalam transaksi, seperti kerelaan antara penjual dan pembeli. Dalam kaitanya dengan transakasi jual beli, transaksi tersebut harus jauh dari unsur bunga, spekulasi ataupun mengandung unsur gharar di dalamnya. Selain itu, ayat ini juga memberikan pemahaman bahwa dalam setiap transaksi yang dilaksanakan harus memperhatikan unsur kerelaan bagi semua pihak. 11 2. Rukun perdagangan Menurut Jumhur Ulama rukun jual beli itu ada empat, yaitu:



10 11



Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, 71. Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, 70-71.



13



a. Ada orang yang berakad atau muta’aqidain (penjual dan pembeli). b. Ada shighat (pelafalan ijab qobul). c. Ada barang yang diperjual belikan. d. Ada nilai tukar pengganti barang.12 3. Syarat perdagangan/ jul-beli a. Syarat orang yang berakad atau muta’aqidain (penjual dan pembeli) Adapun syarat-syarat bagi orang yang melakukan akad adalah sebagai berikut: 1) Aqil (berakal). Karena hanya orang yang sadar dan berakallah yang akan sanggup melakukan transaksi jual beli secara sempurna. Karena itu anak kecil yang belum tahu apa-apa dan orang gila tidak dibenarkan melakukan transaksi jual beli tanpa kontrol pihak walinya, karena akan menimbulkan berbagai kesulitan dan akibatakibat buruk, misalnya penipuan dan sebagainya. 2) Tamyiz (dapat membedakan). Sebagai pertanda kesadaran untuk membedakan yang baik dan yang buruk. 3) Mukhtar (bebas atau kuasa memilih). Yaitu bebas melakukan transaksi jual beli, lepas dari paksaan dan tekanan, berdasarkan dari dalil al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 29.13 b. Syarat shighat (ijab qobul) Para ulama’ menetapkan tiga syarat dalam ijab qobul, yaitu: 1) Ijab qobul harus jelas maksudnya sehingga dipahami oleh pihak yang melangsungkan akad. 2) Antara ijab qobul harus sesuai dan tidak diselangi dengan katakata lain antara ijab qobul.



12



Nasroen Haroen, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), hal. 115. Hamzah Ya’qub, Kode Etik Dagang Menurut Islam (Pola Pembinaan Hidup Dalam Berekonomi), (Bandung: Diponegoro, Cet. II, 1992), hal. 79-81. 13



14



3) Antara ijab qobul harus bersambung dan berada di tempat yang sama jika kedua pihak hadir, atau berada di tempat yang sudah diketahui oleh keduanya. Bersambungnya akad dapat diketahui dengan adanya sikap saling mengetahui di antara kedua pihak yang melangsungkan akad, seperti kehadiran keduanya di tempat berbeda, tetapi dimaklumi oleh keduanya.14 c. Syarat barang yang yang diperjualbelikan 1) Barang itu ada, atau tidak ada di tempat, tetapi pihak penjual menyatakan kesanggupannya untuk mengadakan barang itu. 2) Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia. Oleh sebab itu bangkai, khamar dan darah tidak sah menjadi obyek jual beli, karena dalam pandangan syara’ benda-benda seperti itu tidak bermanfaat bagi muslim. 3) Milik seseorang. Barang yang sifatnya belum dimiliki seseorang tidak boleh dijualbelikan, seperti memperjualbelikan ikan di laut atau emas dalam tanah, karena ikan dan emas itu belum dimiliki penjual. 4) Boleh diserahkan saat akad berlangsung, atau pada waktu yang disepakati bersama ketika transaksi berlangsung.15 d. Syarat nilai tukar pengganti barang Nilai tukar barang adalah termasuk unsur yang terpenting. Zaman sekarang disebut uang. Berkaitan dengan nilai tukar ini, ulama fiqih membedakan antara as-tsamn dan as-si’r. Menurut mereka, as-tsamn adalah harga pasar yang berlaku di tengah-tengah masyarakat, sedangkan as-si’r adalah modal barang yang seharusnya diterima para pedagang sebelum dijual kepada konsumen. Dengan demikian ada dua



14 15



Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah, 51-52. Nasroen Haroen, Fiqih Muamalah, 118.



15



harga yaitu harga antara sesama pedagang dan harga antara pedagang dan konsumen (harga jual pasar). Adapun harga yang dapat dipermainkan para pedagang adalah: 1) Harga yang disepakati kedua belah pihak harus jelas jumlahnya 2) Dapat diserahkan pada saat waktu akad (transaksi), sekalipun secara hukum seperti pembayaran dengan cek atau kartu kredit. Apabila barang itu dibayar kemudian (hutang), maka waktu pembayarannya pun harus jelas waktunya. 3) Apabila jual beli itu dilakukan secara barter, maka barang yang dijadikan nilai tukar, bukan barang yang diharamkan syara’ seperti babi dan khamar, karena kedua jenis benda itu tidak bernilai dalam pandangan syara’.16 4. Macam-macam jual beli Dari segi obyeknya jual beli dibedakan menjadi beberapa macam: a.



Bai’ al-muqayadhah, yaitu jual beli barang dengan barang, atau yang lazim disebut dengan barter. Seperti menjual hewan dengan gandum.



b. Ba’i al-muthlaq, yaitu jual beli barang dengan barang lain secara tangguh atau menjual barang dengan as-tsamn secara mutlaq, seperti dirham, dolar atau rupiah. c. Ba’i as-sarf, yaitu menjualbelikan as-tsamn (alat pembayaran) dengan astsamn lainnya, seperti dirham, dinar, dolar atau alat-alat pembayaran lainnya yang berlaku secara umum. d. Ba’i as-salam. Dalam hal ini barang yang diakadkan bukan berfungsi sebagai mabi’ melainkan berupa dain (tangguhan) sedangkan uang yang dibayarkan sebagai as-tsamn, bisa jadi berupa ‘ain bisa jadi berupa dain



16



M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 124-125.



16



namun harus diserahkan sebelum keduanya berpisah. Oleh karena itu as-tsaman dalam akad salam berlaku sebagai ‘ain. Ditinjau dari segi pelaku akad (subyek) jual beli terbagi menjadi tiga bagian, yaitu: a. Akad jual beli yang dilakukan dengan lisan, yaitu akad yang dilakukan oleh kebanyakan orang, bagi orang bisu diganti dengan isyarat yang merupakan pembawaan alami dalam menampakkan kehendak, dan yang dipandang dalam akad adalah maksud atau kehendak dan pengertian, bukan pembicaraan dan pernyataan. b. Penyampaian akad jual beli melalui utusan, perantara, tulisan atau suratmenyurat, jual beli seperti ini sama dengan ijab qobul dengan ucapan, misalnya via pos dan giro. Jual beli ini dilakukan antara penjual dan pembeli tidak berhadapan dalam satu majlis akad, tapi melalui pos dan giro. Jual beli seperti ini dibolehkan menurut syara’. Dalam pemahaman sebagian Ulama’ , bentuk ini hampir sama dengan bentuk jual beli salam, hanya saja jual beli salam antara penjual dan pembeli saling berhadapan dalam satu majlis akad. Sedangkan dalam jual beli via pos dan giro antara penjual dan pembeli tidak berada dalam satu majlis akad. c. Jual beli dengan perbuatan (saling memberikan) atau dikenal dengan istilah mu’athah, yaitu mengambil dan memberikan barang tanpa ijab qobul, seperti seseorang mengambil barang yang sudah bertuliskan label harganya, dibandrol oleh penjual dan kemudian memberikan uang pembayaranya kepada penjual. Jual beli dengan cara demikian dilakukan tanpa ijab qobul antara penjual dan pembeli, menurut sebagian ulama’ Syafi’iyah tentu hal ini dilarang, tetapi menurut sebagian lainnya, seperti



17



Imam Nawawi membolehkan jual beli barang kebutuhan sehari-hari dengan cara yang demikian, yaitu tanpa ijab qobul terlebih dahulu.17



17



Ghufron A. Masadi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 141.



18



BAB III PENUTUP Kesimpulan Islam menempatkan bekerja sebagai ibadah untuk mencari rezeki dari Allah guna menutupi kebutuhan hidupnya. Bekerja untuk mendapatkan rezeki yang halalan thayyiban termasuk kedalam jihad di jalan Allah yang nilainya sejajar dengan melaksanakan rukun Islam. Dengan demikian bekerja adalah ibadah dan menjadi kebutuhan setiap umat manusia. Bekerja yang baik adalah wajib sifatnya dalam Islam. Agama Islam memiliki beberapa karakteristik, salah satu di antaranya adalah wasatiyah atau dengan istilah lain tawazun, yaitu sikap hidup pertengahan atau sikap seimbang antara kehidupan material dan spiritual yang diartikan sebagai seorang Muslim harus dapat menyeimbangkan antara dua kutub kehidupan yaitu kehidupan material yang bersifat duniawi dan kehidupan spiritual yang bersifat ukhrawi. Perdagangan dalam pandangan Islam merupakan aspek kehidupan yang dikelompokan dalam masalah mu’amalah , yakni masalah yang berkenaan dengan hubungan yang bersifat horizontal dalam kehidupan manusia. Sekalipun sifatnya adalah hubungan yang horizontal namun sesuai dengan ajaran islam, rambu-rambunya tetap mengacu kepada Al-Qur’an dan Hadits. Maka konsep perdagangan dalam islam yang disesuaikan dengan syari’at yang berlandaskan al Qur’an dan Hadits nabi.



19



DAFTAR PUSTAKA Khaerul



Wahidin,



dkk. Jurnal



Hadariyah;



Jurnal



Peradaban



dan



Pendidikan, Vol. 1, No. 1, (Cirebon: UMC Press, 2013). Deny Setiawan, Zakat Profesi dalam Pandangan Islam, Jurnal Sosial Ekonomi Pembangunan, Tahun I, No. 2 Maret 2011 Rina Indiastuti, Bekerja Profesional dan Cerdas menurut Islam, (Unpad : Rubrik, 2014) Saifullah, Etos Kerja Dalam Perspektif Islam, Jurnal Sosial Humaniorah, Vol 3 No.1, Juni 2010 Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008). Mardani, Ayat-ayat dan Hadis Ekonomi Syariah, (Jakarta: Rajawali Press, 2011). Hamzah Ya’qub, Kode Etik Dagang Menurut Islam (Pola Pembinaan Hidup Dalam Berekonomi), (Bandung: Diponegoro, Cet. II, 1992). Ghufron A. Masadi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002). Nasroen Haroen, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007). MAZAHIB: Vol. XIII, No. 2, Desember 2014 Jurnal Sosial Humaniorah, Vol 3 No.1, Juni 2010



20