13 0 1 MB
See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/327935180
Dinamika Psikologis Remaja Korban Perceraian: Sebuah Studi Kasus Kenakalan Remaja Article · September 2018 DOI: 10.25077/jip.2.1.1-14.2018
CITATIONS
READS
0
815
1 author: Ardian Praptomojati Universitas Gadjah Mada 3 PUBLICATIONS 1 CITATION SEE PROFILE
All content following this page was uploaded by Ardian Praptomojati on 03 July 2019. The user has requested enhancement of the downloaded file.
JURNAL ILMU PERILAKU Volume 2, Nomor 1, 2018 :1 -14 ISSN (Online) : 2581-0421
http://jip.fk.unand.ac.id
Dinamika Psikologis Remaja Korban Perceraian: Sebuah Studi Kasus Kenakalan Remaja Ardian Praptomojati 1 1Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada [email protected] Abstract. Parental divorce can be a very stressful experience for adolescents. Adolescents will lose their parent figure and feel different atmosphere in the family. This study aimed to identify the psychological dynamics of adolescents that have experienced parental divorce developing into juvenile delinquency. This was a case study research. The subject of this study was a 13-year-old boy with divorced parent and lived in an orphanage. Data were collected through observations, interviews, and psychological tests. The result revealed that juvenile delinquency happens because of the need of gaining attention from others. The wrong mindset "I will get attention if I commit juvenile delinquency and disturb others" became the basis of the subject’s socially inappropriate behaviors. It was the way to compensate his inferior feelings. Keywords : Adolescent, Parental Divorce, Juvenile Delinquency Abstrak. Perceraian orangtua dapat menjadi pengalaman yang sangat menekan bagi remaja. Remaja akan merasa kehilangan figur orangtua dan merasakan atmosfer keluarga yang berbeda. Penelitian ini bertujuan melihat dinamika psikologis remaja korban perceraian orangtua yang selanjutnya berkembang menjadi kenakalan remaja. Metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus. Subjek penelitian merupakan seorang anak laki-laki berusia 13 tahun dengan orangtua yang telah bercerai dan tinggal di Panti Asuhan. Data dikumpulkan melalui observasi, wawancara, dan tes psikologi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kenakalan remaja terjadi karena didasari oleh kebutuhan subjek untuk mendapatkan perhatian dari lingkungannya. Adanya pola pikir yang salah, yaitu “Aku akan mendapatkan perhatian jika aku bandel dan mengganggu orang lain” menjadi dasar kenapa subjek berperilaku negatif. Perilakunya ini juga sebagai cara subjek untuk mengkompensasikan perasaan inferiornya. Kata Kunci: Remaja, Perceraian Orangtua, Kenakalan Remaja
Keluarga yang
sangat
merupakan
dalam perkembangan konsep diri (Emam &
anak (Kagan, 1999;
Abu-Serei, 2014), efikasi diri (Mishra &
Mackay, 2005; Santrock, 2011; Wenar &
Shanwal, 2014), serta harga diri anak
Kerig, 2006). Secara ideal, perkembangan
(Blattner, Liang, Lund, & Spencer, 2013;
anak dan remaja akan optimal apabila
Weber, 2001; Yabiku, Axinn, & Thornton,
mereka bersama keluarga yang harmonis
1999).
sehingga
diri
kaitannya
orangtua menjadi faktor yang penting
dengan
pembentukan
erat
lingkungan
berbagai
yang
Indonesia menjadi salah satu negara
diperlukan dapat terpenuhi (Wenar &
dengan tingkat perceraian yang cukup
Kerig,
tinggi. Data Badan Pusat Statistik (BPS)
2006).
Dalam
kebutuhan keluarga,
JURNAL ILMU PERILAKU
peran
1
PRAPTOMOJATI menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun jumlah
kasus
perceraian
di
Indonesia
Adofo studinya
dan
Etsey
menguraikan
(2016) bahwa
dalam dampak
mengalami peningkatan. Pada tahun 2013,
perceraian orangtua bagi remaja dapat
tercatat
termanifestasikan
dalam
behavior
externalizing
ada
324.247 kasus
perceraian, jumlahnya
kemudian meningkat
talak
tahun
dan 2013
menjadi
ataupun
internalizing behavior.
344.237
Internalizing behavior meliputi ketakutan,
kasus, dan terakhir pada tahun 2015 tercatat
rasa malu, depresi, rendahnya harga diri,
ada 347.256 kasus talak dan perceraian
kesedihan, kecemasan, kebingungan, rasa
(BPS, 2017).
tidak aman, rasa sakit, dan rendahnya
Berbagai studi menunjukkan bahwa
kepercayaan
diri.
Externalizing
behavior
perceraian memberikan dampak yang besar
meliputi perilaku agresi, kesulitan dalam
bagi anak-anak mulai dari dampak ringan
menjalin hubungan dengan orang lain,
sampai berat, dari yang tampaknya kecil
ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri
hingga sangat signifikan, dan dari yang
dengan figur otoritas, perilaku bermasalah
jangka pendek hingga jangka panjang
di sekolah, kenakalan remaja, perilaku
(Fagan & Churchill, 2012). Berbagai studi
mabuk-mabukan, perilaku seksual berisiko,
menunjukkan
mencuri, merokok, dan keterlibatan dengan
bahwa
anak
korban
perceraian dapat mengalami permasalahan
obat-obat
perilaku (Aseltine, 1992; Babalis, Tsoli,
menunjukkan
Nikolopoulos, & Maniatis, 2014; Morrison
memiliki kecenderungan yang lebih besar
& Coiro, 1999), permasalahan penyesuaian
untuk
diri
internalizing
(Landsford,
2009),
rendahnya
kesejahteraan subjektif (Dewi & Utami, 2008), permasalahan emosi (Aseltine, 1992), rendahnya
kualitas
bahwa
Lebih
remaja
mengalami behavior
jauh,
riset
laki-laki
permasalahan dan
externalizing
behaviours daripada remaja perempuan. Masa remaja menjadi periode yang
(Eymann,
sangat penting dan kritis dalam kehidupan
Busaniche, Llera, Cunto, & Wahren, 2009),
manusia (Santrock, 2011). Hurlock (2002)
rendahnya harga diri (Esmaeili & Yaacob,
menyebutkan bahwa masa remaja sering
2012),
depresi
diibaratkan sebagai masa storm dan stress,
(Uphold-Carrier & Utz, 2012), kecemasan
masa transisi baik secara fisik maupun
(Pálmarsdóttir,
dan
psikologis dari masa anak-anak menuju ke
ketidakpuasan hidup (Çivitci, Çivitci, &
masa dewasa. Banyak studi menunjukkan
Fiyakali, 2009), prestasi yang rendah di
bahwa remaja korban perceraian yang
sekolah (Aseltine, 1992; Babalis et al., 2014),
dibesarkan oleh orangtua tunggal memiliki
ketergantungan alkohol (Thompson Jr.,
risiko yang tinggi terhadap gangguan
Lizardi, Keyes, & Hasin, 2008), risiko yang
perilaku dan kenakalan remaja (Aseltine,
tinggi
obat-obat
1992; Fagan & Churchill, 2012; Fry, 2010;
terlarang (Needle, Su, & Doherty, 1990),
Singh & Kiran, 2012; Thornberry, Smith,
serta risiko munculnya perilaku antisosial
Rivera, Huizinga, & Stouthamer-Loeber,
dan kriminal (Wells & Rankin, 1991).
1999; Wenar & Kerig, 2006). Ketidakhadiran
risiko
tinggi
terhadap
2015),
hidup
terlarang.
terhadap
kesepian
keterlibatan
salah satu figur orangtua dalam kehidupan JURNAL ILMU PERILAKU
2
VOLUME 2, NOMOR 1, 2018 : 1-14 remaja
berpengaruh
perkembangan
dan
besar
terhadap
kondisi
psikologis
overt (memukul, berkelahi, penganiayaan) atau
covert
(berbohong,
mencuri).
remaja. Remaja akan mengalami krisis
Intensitasnya pun mulai dari mild (ringan),
kasih sayang dan perhatian dari kedua
moderate (sedang), hingga severe (parah).
orangtuanya sehingga ia pun merasa tidak
Onset dapat terjadi pada masa anak-anak
aman secara emosional (emotionally insecure)
(awal usia 10 tahun) maupun masa remaja.
(Fagan
&
Churchill,
2012).
Ia
akan
Melihat besarnya dampak negatif
mengalami kebingungan, marah, dan putus
perceraian
asa sehingga mengarahkan kepada reaksi-
kenakalan remaja, maka penting untuk
reaksi perilaku di luar norma sebagai
mengetahui
bentuk
dan
psikologis remaja korban perceraian hingga
koleganya (1999) menambahkan bahwa
akhirnya mengalami kenakalan remaja.
adanya perubahan-perubahan kondisi yang
Menjadi penting pula untuk menganalisis
terjadi
developmental pathway anak dengan melihat
pelariannya.
pada
Thornberry
keluarga
yang
bercerai,
terhadap
tingginya
bagaimana
dinamika
menuntut remaja untuk dapat melakukan
riwayat
penyesuaian diri ke depannya. Ketika dia
hidupnya hingga terdeteksi munculnya
tidak
kemarahan,
permasalahan atau psikopatologi (Wenar &
tekanan, dan emosi negatif lainnya, maka
Kerig, 2006). Hal ini untuk mengidentifikasi
mengarahkan pada perilaku kenakalan
pada
remaja dan perilaku maladaptif lainnya.
menunjukkan perilaku psikopatologis dan
mampu
mengontrol
Berdasarkan Diagnostic and Statistical
perkembangan
risiko
titik
apa
kapan
anak
anak
penyebab
atau
yang
remaja
mendasari
Manual of Mental Disorders (DSM-IV-TR),
psikopatologi
kenakalan remaja masuk dalam kategori
berkembang dari track perkembangan yang
conduct disorder, yang didefinisikan sebagai
awalnya normal menjadi abnormal. Pada
pola perilaku pelanggaran hak orang lain
penelitian ini, teori yang digunakan untuk
atau pelanggaran terhadap norma-norma
membahas
sosial yang berulang dan menetap. Hal ini
adalah Teori Kognitif Keperilakuan. Teori
dapat termanifestasi dalam perilaku agresi
Kognitif Keperilakuan menekankan bahwa
terhadap orang atau hewan, perusakan
perilaku abnormal dapat terjadi karena
terhadap
adanya
properti
orang
lain,
senang
melakukan kecurangan, kebohongan, atau
ini
menguraikan
dinamika
dapat
dikategorikan
dalam
Pertama,
destructive
dimensi. kekejaman
terhadap
remaja
beberapa
orang
(seperti lain,
psikologis
kesalahan
berpikir
dan
subjek
(distorsi
Berdasarkan uraian di atas, penelitian
yang serius. Wenar dan Kerig (2006) kenakalan
dinamika
muncul
kognitif) pada individu (Beck, 2011).
pencurian, dan pelanggaran norma-norma bahwa
tersebut
selama
bertujuan
untuk
psikologis
mengeksplorasi remaja
korban
perceraian yang selanjutnya berkembang menjadi penelitian
kenakalan yang
remaja.
diajukan
Pertanyaan adalah:
1)
penyerangan) dan nondestructive (menipu,
Bagaimana dinamika psikologis remaja
melanggar aturan). Dimensi kedua fokus
korban
kepada apakah gangguan perilaku tersebut
permasalahan kenakalan remaja? 2) Faktor
JURNAL ILMU PERILAKU
perceraian
hingga
terjadi
3
PRAPTOMOJATI protektif
apa
saja
yang
berperan
di
cara memadatkan dan mengaitkan data.
dalamnya? 3) Faktor risiko apa saja yang
Peneliti mencoba menemukan pola dan
berperan di dalamnya?
hubungan
dari
tema-tema.
Terakhir,
temuan penelitian ditinjau menggunakan Metode
teori-teori psikologi sehingga didapatkan
Studi ini menggunakan pendekatan
dinamika psikologis subjek penelitian.
kualitatif dengan metode studi kasus untuk mendapatkan
gambaran
lebih
jelas
mengenai aspek-aspek yang diteliti. Subjek
Hasil Hasil Observasi dan Wawancara
penelitian dalam penelitian ini adalah
Subjek penelitian (selanjutnya disebut
seorang remaja awal dengan kondisi kedua
dengan Bagus) adalah remaja laki-laki
orangtuanya
dan
berusia 13 tahun dan duduk di bangku
tinggal di Panti Asuhan. Subjek memiliki
kelas 6 Sekolah Dasar (SD). Bagus adalah
gangguan perilaku dan dilaporkan banyak
anak
pihak
lingkungan
memiliki seorang kakak perempuan beda
diperoleh
ayah dan seorang adik kandung laki-laki.
melalui observasi, wawancara, dan tes
Ibu Bagus hidup merantau dan cenderung
psikologi.
berpindah-pindah.
yang
telah
sekitarnya.
telah
bercerai
mengganggu Data
penelitian
Observasi
dilakukan
kedua
dari
tiga
Ibu
bersaudara.
Bagus
Ia
sudah
menggunakan metode pencatatan anecdotal
bercerai dua kali. Bagus adalah anak dari
record, yang bertujuan untuk mengetahui
pernikahan ibunya yang kedua. Perceraian
aktivitas
pertama
dan
interaksi
subjek
dengan
dikarenakan
anggota keluarga di rumah, di sekolah, dan
meninggalkannya.
juga
Wawancara
keduanya, Ibu Bagus merasa terpaksa
dilakukan terhadap orang tua, saudara
karena dijodohkan oleh orangtuanya. Ibu
(kakak
guru,
dan ayah Bagus berpisah karena beberapa
pramusosial, pekerja sosial, dan psikolog di
kali ibu memergoki ayah Bagus berusaha
Panti Asuhan. Tes psikologi yang diberikan
merenggut kegadisan anak pertamanya.
meliputi asesmen kecerdasan yakni Standar
Suami juga tidak pernah memberi nafkah
Progressive Matrices (SPM) dan asesmen
dan bertanggung jawab pada keluarga. Ibu
kepribadian, yakni Tes Proyektif (BAUM,
Bagus tinggal di sebuah rumah kontrakan
DAP, HTP, dan Wartegg). Ketiga metode
kecil dengan luas tidak lebih dari 3x5 meter
digunakan
bersama
di
Panti dan
Asuhan. adik),
teman,
untuk
meningkatkan
kakak
Pada
suami pernikahan
perempuan
Bagus,
kredibilitas penelitian kualitatif atau yang
sedangkan Bagus dan adiknya tinggal
biasa
triangulasi
bersama di Panti Asuhan. Setiap dua
(Poerwandari, 2011). Berbagai data yang
minggu sekali di akhir pekan, Bagus dan
telah
adiknya pulang ke rumah.
disebut terkumpul
dengan kemudian
dianalisis
melalui beberapa tahapan. Pada mulanya,
Sejak kecil Bagus tinggal bersama ibu
data-data diorganisasikan dan didapatkan
kandungnya. Pada usia 9 tahun, Bagus
tema-tema spesifik. Setelah data dipahami,
dititipkan di Pondok Pesantren. Karena
peneliti melakukan analisis awal dengan
tidak
JURNAL ILMU PERILAKU
betah,
maka
ia
kemudian 4
VOLUME 2, NOMOR 1, 2018 : 1-14 dipindahkan ke Panti Asuhan. Beberapa alasan
yang
mendasari
orangtua
Bagus memiliki kakak tiri perempuan yang
sangat
peduli
dan
perhatian
menitipkan Bagus ke Panti Asuhan antara
kepadanya. Pada awal ketika ibu Bagus
lain: (1) keluarga memiliki kondisi ekonomi
menikah dan mengandung Bagus, sang
yang rendah sehingga kurang mampu
kakak
memenuhi kebutuhan anak baik secara fisik
membencinya. Kakak kerap berperilaku
dan pendidikan formal; (2) keluarga tidak
kasar dan kurang bersahabat dengan Bagus
punya tempat tinggal menetap; dan (3)
dan adiknya. Namun kini kakak merasa
hubungan keluarga inti dan keluarga besar
sangat sayang pada Bagus dan adiknya. Ia
yang kurang harmonis.
justu menjadi sosok yang peduli dengan
Sehari-hari, Ibu Bagus bekerja untuk membiayai hidup ketiga anaknya. Ibu
sangat
tidak
senang
dan
pendidikan serta kehidupan Bagus dan adiknya.
Bagus mengaku merasa benci dengan ayah
Hasil
wawancara
kepada
teman,
Bagus. Ibu cenderung tidak mengijinkan
pramusosial, dan pekerja sosial di Panti
Bagus dan adiknya untuk tinggal bersama
Asuhan mengungkapkan bahwa selama ini
ayahnya
karena
Bagus
pengaruh
yang
dipandang buruk.
memberi
Menurut
wawancara, sejak kecil
hasil
Bagus dikenal
dipandang
sebagai
anak
yang
memiliki tingkat agresivitas tinggi. Bagus kerap
mengganggu
sebagai anak yang aktif, susah diatur,
berkata
mudah tersulut emosinya, dan bandel. Ibu
memprovokasi temannya untuk bertindak
Bagus
kerap
kasar.
dengan
adiknya yang tergolong lebih
membandingkan
Bagus
penurut dan tidak bandel. Hasil
observasi
dan
kasar,
teman-temanya,
Ia
semaunya
juga
kurang
sendiri.
mengungkapkan wawancara
memukul,
Di
bahwa
disiplin
dan dan
sekolah,
guru
hampir
setiap
harinya Bagus selalu berulah, entah itu
menunjukkan bahwa Ibu Bagus adalah
mengusili
temannya,
berkata
kasar,
orangtua yang tergolong keras dan kaku.
berteriak-teriak di kelas, ataupun ramai di
Jika berbicara dan memberitahu anak kerap
kelas.
kali menggunakan nada yang keras, bahkan
Hasil observasi menunjukan bahwa
tak jarang membentak dan memarahi. Ibu
jika berinteraksi dengan anak yang lebih
juga kerap menggunakan cara fisik jika
muda darinya, Bagus cenderung senang
anak dirasa bandel. Di rumah, Bagus kerap
menjahilinya dan membuat ulah. Bagus
bertengkar dan berkonflik dengan ibunya.
akan
Ibu kerap melabeli Bagus secara negatif jika
tersebut marah atau menangis atau setelah
tidak mau menurut kepadanya. Bagus
diingatkan oleh orang yang lebih dewasa.
sendiri cenderung lebih banyak acuh jika
Jika diingatkan atau dinasihati oleh anak
disuruh ibunya. Tampak adanya hubungan
yang
yang kurang hangat antara Bagus dengan
seusianya, Bagus justru akan marah dan
ibunya. Bagus juga kerap pergi tanpa pamit
tidak
dari rumah terutama pada saat berkonflik
memprovokasi temannya untuk bertindak
dan marah dengan sang ibu.
kasar seperti memukul. Di sekolah, Bagus
JURNAL ILMU PERILAKU
5
berhenti
berada terima.
menjahili
di
bawah Bagus
sampai
usianya juga
anak
atau kerap
PRAPTOMOJATI kerap ditegur oleh gurunya karena sering
dorongan-dorongan dengan kontrol yang
ramai sendiri dan mengganggu teman di
tidak cermat. Lebih jauh, titik berat klien
kelasnya. Beberapa perilaku Bagus yang
lebih pada keinginan, ingin berkuasa,
mencolok baik ketika di Panti Asuhan
angkuh, dan sombong. Hal ini sering kali
maupun
sebagai
di
sekolah
adalah
perilaku
kompensasi
dirinya
untuk
menjahili temannya, berteriak-teriak hingga
menutupi perasaan inferiornya. Bagus juga
mengganggu orang lain, memukul, berkata
mengalami
kasar, dan ramai sendiri hingga membuat
mengekspresikan emosinya. Hal ini tidak
gaduh lingkungan.
terlepas dari kecenderungan Bagus yang
Di
Panti
Asuhan,
Bagus
kerap
kesulitan
di
dalam
impulsif dan sulit untuk tenang.
mengeluhkan bahwa dirinya sakit kepala,
Asesmen
kepribadian
dada sakit, dan beberapa keluhan sakit
menunjukkan
lainnya. Ketika ditanya lebih jauh dan
kebutuhan yang besar untuk bisa menjalin
diminta untuk diperiksakan ke dokter, ia
hubungan interpersonal dengan orang lain.
menolaknya. Pernah pula Bagus naik ke
Hal ini didasari oleh keinginannya untuk
atas
bahwa
mendapatkan perhatian dan pengakuan
dirinya ingin lompat. Ia kerap mengatakan
dari orang lain. Hanya saja, Bagus kurang
“Tidak
memiliki kemampuan manajemen konflik
genteng ada
dan
yang
mengatakan sayang
dan
perhatian
denganku”.
perilaku-perilaku
Berdasarkan
asesmen
kecerdasan
dengan menggunakan Standar Progressive Matrices (SPM), Bagus memiliki skor 43 sehingga dapat dikategorikan memiliki inteligensi
rata-rata
karena
menghasilkan persentil 25 dan berada pada tingkat
atau
grade
(III-).
Asesmen
kepribadian menggunakan Tes Proyektif (BAUM,
Bagus
memiliki
yang baik. Hal ini mengarahkannya kepada
Hasil Tes Psikologi
tingkat
bahwa
juga
DAP,
menunjukkan
HTP,
bahwa
dan
Wartegg)
Bagus
memiliki
kebutuhan yang besar akan rasa aman, serta membutuhkan banyak dorongan. Ada kecenderungan
untuk
yang
kurang
sesuai
dengan norma ketika menghadapi konflik. Pola
pemikiran
cenderung
Bagus
bersifat
juga
egosentris.
tampak Salah
satunya disebabkan karena perasaan tidak aman yang besar pada dirinya. Bagus tampak memiliki kebutuhan untuk bisa lebih dekat dengan figur ibunya. Tampak adanya perasaan kurang berperan, kurang mampu dipercaya, kurang diperhatikan, dan kurang berharga pada Bagus di dalam lingkungan keluarganya. Riwayat Perkembangan
mengharapkan
Untuk mendapatkan gambaran yang
perhatian dan kasih sayang dari orang lain.
lebih jelas, riwayat kehidupan Bagus sejak
Jika
kecil telah dirangkum pada Tabel 1.
dibandingkan
dengan
anak-anak
seusianya, Bagus memiliki kontrol diri yang kurang baik. Kendali dirinya cenderung kaku didasari atas rasa tertekan dan tidak mampu.
Sering
kali
ia
JURNAL ILMU PERILAKU
membiarkan
6
VOLUME 2, NOMOR 1, 2018 : 1-14 Tabel 1. Rangkuman Riwayat Perkembangan Bagus
Diskusi
dampak
Sejak kecil, Bagus sering diperlakukan
yang
besar
terhadap
perkembangannya di masa depan. Albert
keras dan kasar oleh ibunya. Kata-kata
Bandura
keras,
serta
adalah seorang pembelajar yang paling
kurang
cepat. Anak-anak akan melakukan proses
mampu menghargai ibunya. Pengalaman
belajar melalui pengamatan terhadap apa
tersebut
terhadap
yang dilakukan orang lain (Santrock, 2011).
dan
Pada masa ini, anak juga mengembangkan
menggambarkan dirinya sendiri. Santrock
kemampuan untuk membedakan antara
(2011) menjelaskan bahwa masa kanak-
apa yang menjadi milik atau bagian dari
kanak merupakan masa pertumbuhan dan
dirinya dan hal-hal lain yang dilihat,
pembelajaran yang pesat. Pengalaman yang
didengar, diraba, atau diciumnya ketika dia
diperoleh anak pada masa ini memiliki
mulai
kalimat-kalimat
hukuman
bagaimana
fisik juga
labeling,
membuatnya berpengaruh
Bagus
menilai
JURNAL ILMU PERILAKU
mengungkapkan
membentuk
suatu
bahwa
lukisan
anak
dan
7
PRAPTOMOJATI gambaran
tentang
siapa
dirinya
dalam perkembangan kelekatan. Kelekatan
(perkembangan konsep diri) (Schultz, 1991).
yang aman (secure attachment) diharapkan
Bagus berasal dari keluarga yang
dapat
mampu
mengurangi
bercerai. Kedua orangtuanya telah lama
munculnya
berpisah dan tidak tinggal satu rumah lagi.
Sebaliknya, anak dengan kelekatan yang
Sumber kasih sayang dan perhatian yang
penuh
dimiliki Bagus sudah tidak lengkap lagi.
berisiko
Figur
kemandirian yang kompulsif, agoraphobia,
ibu
yang
seharusnya
dapat
perilaku
risiko
dengan
rasa
untuk
memenuhi kebutuhan afeksinya, namun
rasa
dipandang
peristiwa-peristiwa,
Bagus
kurang
mampu
berkabung
maladaptif.
kecemasan
mengalami yang
dapat depresi,
kronis
dalam
kenakalan
yang
memenuhi kebutuhan afeksinya karena
persisten, serta masalah yang berkaitan
ibunya dipandang sebagai sosok yang keras
dengan
dan emosional serta memiliki keterbatasan
keintiman (Colin, 1996). Secure attachment
ekonomi. Akibatnya, Bagus pun berusaha
juga berkaitan dengan perkembangan yang
mencari
lebih
figur
lain
yang
dapat
kecemasan,
positif
pada
kemarahan,
masa
dan
kanak-kanak,
menggantikannya, salah satunya adalah
seperti harga diri yang lebih tinggi dan
ayah kandungnya yang tinggal terpisah
hubungan dengan teman sebaya yang lebih
dengannya. Hal inilah yang menjadi alasan
baik, daripada insecure attachment (dalam
Bagus kerap pergi tanpa izin dari rumah
Leon, 2003). Pada kasus Bagus, terjadinya
ibunya ke rumah ayahnya, terutama ketika
perceraian orangtua mengganggu kelekatan
ia sedang merasa kecewa dan marah
yang aman pada anak. Ditambah lagi
dengan
adanya
ibunya.
mendambakan
Bagus
orangtua
yang
menghambat tercapainya secure attachment
memuaskan kebutuhan afeksinya. Namun
pada anak (dalam Leon, 2003). Sikap ibu
ternyata pada kenyataannya ayah Bagus
yang kerap menjelek-jelekkan sang ayah di
pun
depan Bagus juga menjadi pengaruh yang
dipandang
yang
pertengkaran
mampu
juga
sosok
benar-benar
kurang
mampu
memenuhi kebutuhan afeksinya, bahkan untuk
memenuhi
kebutuhan
ekonomi
negatif bagi Bagus. Kedua
orangtua
Bagus
kerap
sehari-harinya saja dirasa kesulitan. Sebagai
bertengkar sejak Bagus kecil. Perceraian
kompensasinya,
yang terjadi membuat Bagus semakin
Bagus
selalu
berusaha
untuk mendapatkan perhatian dan kasih
tertekan.
sayang di luar dari kedua orangtuanya
bahwa perceraian memiliki efek yang
dengan cara dan pemikirannya sendiri.
negatif pada perkembangan anak. Anak-
Bagus
tidak
Banyak
studi
menunjukkan
mengembangkan
anak yang orangtuanya bercerai akan
kelekatan (attachment) yang baik dengan
menanggung beban besar yang mereka
orangtuanya. Santrock (2011) menjelaskan
tidak dapat pahami sendiri. Mereka juga
kelekatan sebagai ikatan emosional yang
cenderung akan menyalahkan diri mereka
erat antara dua orang. Pada masa bayi,
sendiri, memiliki kekhawatiran tentang
kontak yang menimbulkan rasa nyaman
siapa yang akan merawat mereka, dengan
dan kepercayaan menjadi faktor penting
siapa mereka akan tinggal, dan bagaimana
JURNAL ILMU PERILAKU
8
VOLUME 2, NOMOR 1, 2018 : 1-14 mereka harus memilih antara dua orang tua
demikian,
(dalam Mahmud, Yunn, Aziz, Salleh, &
diperhatikan
Amat, 2011). Wyman, Cowen, Hightower,
sekitarnya.
dan Pedro-Caroll (1985) dalam studinya menemukan orangtua
bahwa bercerai
dirinya
menjadi
oleh
Maccoby
merasa
orang-orang
(dalam
Leon,
di 2003)
anak-anak
dengan
mengatakan bahwa pada masa prasekolah,
memiliki
tingkat
anak-anak belajar untuk mengembangkan
kecemasan yang tinggi serta memandang
kontrol
diri
dan
kemampuan
kompetensi kognitif diri mereka jauh lebih
mengatur perilaku mereka. Pada beberapa
rendah dibandingkan mereka yang tinggal
kasus,
dalam keluarga utuh. Studi metanalisis
mengalami kesulitan di dalam mengatur
Amato (dalam Wenar & Kerig, 2006) juga
perilaku
menunjukkan bahwa anak-anak dengan
berhubungan dengan perasaan yang kuat
orangtua yang bercerai memiliki tingkat
seperti rasa takut, marah, atau sedih.
penyesuaian psikologis, harga diri, serta
Perceraian orangtua dapat membangkitkan
pencapaian akademik yang lebih rendah
emosi yang kuat tersebut sehingga akan
dibandingkan anak-anak dengan keluarga
mempengaruhi regulasi perilaku mereka.
utuh. Banyak dari mereka mengalami
Perasaan
masalah perilaku dan kesulitan menjalin
diekspresikan
hubungan interpersonal.
karena kemampuan verbal yang masih
anak-anak
untuk
mungkin
mereka
masih
terutama
tertekan
yang
anak-anak
dalam
bentuk
kerap perilaku
Sama halnya dengan yang terjadi
terbatas. Hal inilah yang terjadi pada Bagus
pada Bagus dimana ia menyimpan rasa
sejak kecil dimana kekecewaannya selalu
kecemasannya sejak kecil. Tahun-tahun
diekspresikan
awal
yang kurang tepat hingga sampai saat ini.
kehidupan
yang
merupakan
perkembangan konsep diri anak (Schultz,
dengan
Berdasarkan
perilaku-perilaku
pendekatan
kognitif
1991) menjadi kabur dan mengarahkannya
keperilakuan, kasus Bagus dapat dijelaskan
kepada tingkat keberhargaan diri yang
bahwa kondisi yang dialami merupakan
rendah, terlebih karena perceraian dan
akibat adanya pemikiran dan pemahaman
konflik orangtua (Leon, 2003). Hilangnya
yang
figur yang seharusnya dapat memenuhi
pengalaman
kebutuhan afeksi membuat anak merasa
seseorang, maka akan mampu membantu
semakin tidak berharga dalam keluarga (hal
menemukan
bagaimana
ini terlihat dalam hasil tes grafis). Bagi
mengembangkan
core
Bagus,
dapat
kepercayaan tertentu yang mempengaruhi
memberikan perhatian yang diharapkan
perilaku mereka dalam waktu sekarang ini.
sehingga ia berusaha untuk melakukan hal-
Hal ini karena core belief terkadang muncul
hal yang dapat mendatangkan perhatian
tidak disadari karena sudah terbentuk sejak
dari orang-orang di sekitarnya, seperti
kecil.
mengganggu teman, memukul, berteriak-
kepercayaan
teriak, berkata-kata kotor, ramai di kelas,
terkadang
dan lain sebagainya. Dengan berperilaku
seseorang sebagai kebenaran dan fakta.
keluarganya
JURNAL ILMU PERILAKU
tidak
salah.
Core
Dengan awal
(early
belief paling salah
mengidentifikasi experience)
belief
sendiri
ia atau
merupakan
mendasar
yang
diinterpretasi
oleh
9
PRAPTOMOJATI Secondary
belief
conditional
belief
hal ini memunculkan asumsi bahwa ia akan
negatif
yang
mendapatkan perhatian jika mengganggu
menghubungkan belief dengan cara berpikir
orang lain. Dengan begitu, ketika subjek
sehari-hari.
juga
berhadapan pada situasi tertentu atau
membuat peraturan untuk hidup. Beliefs ini
berinteraksi dengan orang lain, negative
kemudian dihubungkan oleh assumption ke
automatic thought yang muncul pertama kali
pemikiran sehari-hari (automatic thoughts).
adalah “Aku harus bandel dan mengganggu
Assumptions adalah ide yang didapatkan
orang lain agar diperhatikan”. Berdasarkan
oleh seseorang mengenai dirinya sendiri,
pola pemikiran yang salah tersebut maka
orang lain, dan kehidupan pada umumnya
memunculkan pola perilaku yang tidak
yang
tepat
merupakan
atau
asumsi Conditional
belief
menyebabkan
mengembangkan
individu
menjahili
teman-teman,
memukul, berkata-kata kotor, berteriak-
tertentu. Assumptions ini juga menimbulkan
teriak hingga mengganggu, atau membuat
aturan dalam hidup untuk melindungi diri
gaduh
(Wilding & Milne, 2008).
dinamika psikologis Bagus berdasarkan
kasus,
dalam
seperti
hidup
Dalam
aturan
ini
Bagus
memiliki
keyakinan bahwa dirinya tidak disayang
lingkungan.
Secara
ringkas,
pendekatan kognitif keperilakuan dapat dilihat pada Gambar 1.
dan diperhatikan oleh siapapun. Kemudian
Early Experience Sejak kecil selalu dititipkan di institusi yang mau menampungnya (Pondok Pesantren, Panti Asuhan) Kedua orangtua yang tidak akur dan sering bertengkar sehingga sangat sedikit sumber perhatian dan kasih sayang yang didapatkan Seringnya dibanding-bandingkan dengan adiknya; kakak tiri sangat membencinya
Core Belief Tidak ada yang menyayangi dan memberi perhatian kepadaku
Secondary Conditional Belief / Assumption Aku akan mendapatkan perhatian jika aku bandel dan mengganggu orang lain
Situation Situasi ketika bertemu atau bersama dengan orang lain
Automatic Thought “Aku harus bandel dan mengganggu orang lain agar diperhatikan”
Reaction Menjahili teman atau anak yang lebih muda darinya Memukul teman atau anak yang lebih kecil darinya Berkata-kata kasar kepada orang lain Berteriak di kelas atau di ruangan sehingga membuat gaduh Ramai sendiri dan membuat gaduh kelas
Gambar 1. Dinamika Psikologis Bagus berdasar Teori Kognitif Keperilakuan
JURNAL ILMU PERILAKU
10
VOLUME 2, NOMOR 1, 2018 : 1-14 Untuk
memahami
permasalahan
sangat
penting
untuk
menjadi
dasar
subjek lebih jauh, sangat penting pula
pengambilan langkah yang tepat dalam
untuk mengidentifikasi faktor risiko dan
usaha pengatasan permasalahan anak. Hal
faktor protektif pada subjek. Faktor risiko
ini sebagai cara untuk mempertahankan
adalah
anak
segala
kondisi
yang
dapat
agar
mampu
berkembang
tetap
mendorong muncul dan berkembangannya
berada pada garis perkembangan yang
psikopatologi, sedangkan faktor protektif
normal. Analisis faktor risiko dan faktor
adalah segala hal yang mampu mendukung
protektif Bagus berdasarkan konsep Wenar
dan menjaga perkembangan yang positif
dan Kerig (2006) dapat dilihat pada Tabel 2.
dari anak (Wenar & Kerig, 2006). Analisis faktor risiko dan faktor protektif menjadi Tabel 2. Analisis Faktor Risiko dan Faktor Protektif Bagus
JURNAL ILMU PERILAKU
11
PRAPTOMOJATI Penutup
Daftar Pustaka
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perhatian dan kasih sayang dari orangtua dan orang-orang di sekitarnya menjadi suatu hal yang didambakan oleh anak dan remaja, tidak terkecuali subjek. Keluarga subjek telah bercerai sehingga orangtua
subjek
kurang
mampu
memberikan kebutuhan afeksi pada subjek secara
penuh.
Hal
ini
kemudian
mengarahkan subjek untuk melakukan perilaku-perilaku maladaptif dengan tujuan untuk mendapatkan perhatian dari orangorang di sekitarnya. Adanya labelling dan hukuman yang keras baik secara verbal maupun nonverbal dari ibu membentuk subjek menjadi remaja yang inferior dan memiliki pola pikir yang maladaptif. Untuk mengkompensasi
perasaan
inferiornya
tersebut, ia melakukan tindakan-tindakan yang kurang tepat karena dipandangnya mampu
mendatangkan
perhatian
dari
orang lain. Hal ini didapatkannya dari proses belajarnya yang salah selama ini. Adanya pola berpikir yang salah yakni “Aku akan mendapatkan perhatian jika aku bandel dan mengganggu orang lain” menjadi dasar
munculnya
perilaku
maladaptif
tersebut. Berdasarkan temuan penelitian, menjadi sangat penting bagi orangtua untuk dapat menanamkan nilai-nilai dan pemikiran positif kepada anak sejak dini. Dalam hal ini bukan berarti anak korban perceraian pasti akan mengalami kenakalan remaja. Hal ini kembali lagi kepada peran dan pola asuh orangtua dalam mendidik dan mengasuh anak, salah satunya dalam pemenuhan
kebutuhan
afeksi,
kasih
sayang, dan pemahaman diri pada anak.
JURNAL ILMU PERILAKU
Adofo, P. Y. & Etsey, Y. K. A. (2016). Family processes in one-parent, step parent, and intact families: The child's point of view. Pyrex Journal of Psychology and Counseling, 2(4), 21-27. American Psychiatric Association. (2000). Diagnostic and statistical manual of mental disorders fourth edition text revision. Washington, DC: Author. Aseltine, R. H. (1992). The impact of parental divorce on adolescents (Disertasi tidak dipublikasikan). University of Michigan, Michigan. Babalis, T., Tsoli, K., Nikolopoulos, V., & Maniatis, P. (2014). The effect of divorce on school performance and behavior in preschool children in Greece: An Empirical Study of Teachers’ Views. Scientific Research, Psychology, 5(1), 20-26. Badan Pusat Statistik. (2017). Nikah, Talak dan Cerai, serta Rujuk, 2012–2015. Diunduh dari https://www.bps.go.id/linkTableDinam is/view/id/893 Beck, J. S. (2011). Cognitive behavior therapy: Basics and beyond (2nd ed.). New York: The Guilford Press. Blattner, M. C. C., Liang, B., Lund, T., & Spencer, R. (2013). Searching for a sense of purpose: The role of parents and effects on self-esteem among female adolescents. Journal of Adolescence, 36, 839–848. Colin, V. L. (1996). Human attachment. New York: McGraww-Hill Companies, Inc. Çivitci, N., Çivitci, A., & Fiyakali, N. C. (2009). Loneliness and life satisfaction in adolescents with divorced and nondivorced parents. Educational Sciences: Theory & Practice 9(2), 513-525 12
VOLUME 2, NOMOR 1, 2018 : 1-14 Dewi, P. S. & Utami, M. S. (2008). Subjective well‐being anak dari orang tua yang bercerai. Jurnal Psikologi, 35(2), 194 – 212. Emam, M. M. & Abu-Serei, U. S. (2014). Family functioning predictors of selfconcept and self-esteem in children at risk for learning disabilities in Oman: Exclusion of parent and gender contribution. International Education Studies, 7(10), 89-99. Esmaeili, N. S. & Yaacob, S. N. (2012). Correlates of self-esteem among adolescents of divorced families. Archives Des Sciences, 65(8), 52-59. Eymann, A., Busaniche, J., Llera, J., Cunto, C. D., & Wahren, C. (2009). Impact of divorce on the quality of life in schoolage children. Jornal de Pediatria, 85(6), 547-552. Fagan, P. F. & Churchill, A. (2012). The Effects of Divorce on Children. Marri Research. Diunduh dari http://marri.us/wpcontent/uploads/publications/research_ papers/EF12A22. pdf Fry, J. A. (2010). Change in family structure and rates of violent juvenile delinquency (Tesis tidak dipublikasikan). Virginia Polytechnic Institute and State University, Virginia. Hurlock, E. B. (2002). Development psychology: A life-span aprroach (Psikologi Perkembangan, Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan). Diterjemahkan oleh Istiwidayanti dan Soedjarwo. Jakarta: Erlangga. Kagan, J. (1999). The role of parents in children’s psychological development. Pediatrics, 104(1). 164-167.
JURNAL ILMU PERILAKU
Lansford, J. E. (2009). Parental divorce and children's adjustment. Perspectives on Psychological Science, 4(2), 140-152 Leon, K. (2003). Risk and protective factors in young children’s adjustment to parental divorce: a review of the research. Family Relations, 52, 258-270. Mackay, R. (2005). The impact of family structure and family change on child outcomes: a personal reading of the research literature. Social Policy Journal of New Zealand, 4, 111-133. Mahmud, Z., Yunn, Y. P., Aziz, R., Salleh, A., & Amat S. (2011). Counseling children of divorce. World Applied Sciences Journal 14 (Learning Innovation and Intervention for Diverse Learners), 2127. Mishra, S. & Shanwal, V. K. (2014). Children’s self-concept and perception of parents’ behavior. Children’s SelfConcept and Perception of Parents’ Behavior, 1(1), 28-30. Morrison, D. R. & Coiro, M. J. (1999). Parental conflict and marital disruption: Do children benefit when high-conflict marriages are dissolved? Journal of Marriage and Family, 61(3), 626-637. Needle, R. H., Su, S. S., & Doherty, W. J. (1990). Divorce, remarriage, and adolescent substance use: A prospective longitudinal study. Journal of Marriage and Family, 52(1), 157-169 Poerwandari, K. (2001). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Jakarta: LPSP3 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Pálmarsdóttir, H. M. L. (2015). Parental divorce, family conflict and adolescent depression and anxiety (Tesis tidak
13
PRAPTOMOJATI dipublikasikan). Reykjavik University, Reykjavik. Santrock, J. W. (2011). Life-Span Development (13th Ed.). New York: McGraw-Hill. Singh, H. & Kiran, U. V. (2012). Effect of single parent family on child delinquency. International Journal of Science and Research (IJSR), 3(9), 866868. Schultz, D. (1991). Psikologi pertumbuhan, model-model kepribadian sehat. Yogyakarta: Kanisius. Thompson Jr, R. G., Lizardi, D., Keyes, K. M., & Hasin, D. S. (2008). Childhood or adolescent parental divorce/separation, parental history of alcohol problems, and offspring lifetime alcohol dependence. Drug and Alcohol Dependence, 98, 264–269.
Wells, L. E. & Rankin, J. H. (1991). Families and delinquency: A meta-analysis of the impact of broken homes. Social Problems, 38(1), 71-93. Wenar, C. & Kerig, P. (2006). Developmental psychopathology: From infancy through adolescence (5th Ed.). London: McGrawHill. Wilding, C., Milne, A. (2008). Cognitive behavioural therapy. London: Hodder Headline. Wyman, P. A., Cowen, E. L., Hightower, A. D., Pedro-Carroll, J. L. (1985). Perceived competence, self-esteem and anxiety in latency-aged children of divorce. Journal of Clinical Child Psychology, 14(1), 20-26.
Thornberry, T. P., Smith, C. A., Rivera, C., Huizinga, D., & Stouthamer-Loeber, M. September (1999). Family disruption and delinquency. Juvenile Justice Bulletin. 1-7. Uphold-Carrier, H. & Utz, R. (2012). Parental divorce among young and adult children: A long-term quantitative analysis of mental health and family solidarity. Journal of Divorce & Remarriage, 53(4), 247-266. Yabiku, S. T., Axinn, W. G., & Thornton, A. (1999). Family integration and children's self‐esteem. American Journal of Sociology, 104(5), 1494-1524. Weber, A. D. (2001). Influence of family environment on self-esteem and hostility (Disertasi tidak dipublikasikan). Southern Illinois University, Carbondale.
JURNAL ILMU PERILAKU
View publication stats
14