Dinamika, Tahapan, Dan Siklus Keluarga [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PSIKOLOGI KELUARGA Dinamika, Tahapan, dan Siklus Keluarga Dosen Pengampu: Nailul Fauziah, S.Psi., M.Psi.



Disusun oleh : Mutianita Gaisani



(15000117130090)



Ardhia Pramesti



(15000117130084)



Febriani Sihombing



(15000117140087)



Riyani



(15000117130161)



Ainaya Rahmadila



(15000117130128)



FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2019



KATA PENGANTAR Puji syukur penyusun panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Dinamika, Tahapan, dan Siklus Keluarga” dengan baik. Penyusun juga berterima kasih kepada Ibu Nailul Fauziah, S.Psi., M.Psi. selaku dosen pengampu mata kuliah Psikologi Keluarga atas bimbingan dan arahan selama proses penyusunan makalah ini. Peyusun berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan mengenai teori-teori dalam Psikologi Keluarga khususnya materi Dinamika, Tahapan, dan Siklus Keluarga. Penyusun juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna, oleh karena itu, kritik serta saran dari seluruh pihak sangat penyusun harapkan.



Semarang, 08 April 2019



Penyusun



i



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ................................................................................................................................... i DAFTAR ISI................................................................................................................................................. ii BAB I ............................................................................................................................................................ 1 PENDAHULUAN ........................................................................................................................................ 1 A.



Latar Belakang .................................................................................................................................. 1



B.



Tujuan Penulisan ............................................................................................................................... 1



C.



Manfaat Penulisan ............................................................................................................................. 2



BAB II........................................................................................................................................................... 3 ISI.................................................................................................................................................................. 3 A.



Pemilihan Pasangan dan Pembentukan Keluarga ............................................................................. 3



B.



Pengasuhan Anak dan Remaja .......................................................................................................... 8



C.



Relasi Orang Tua-Anak (Parent-Child Relationship)..................................................................... 10



D.



Siklus Kehidupan Keluarga ............................................................................................................ 12



BAB III ....................................................................................................................................................... 17 KESIMPULAN ........................................................................................................................................... 17 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................. 19



ii



BAB I PENDAHULUAN A.



Latar Belakang Dalam dinamika siklus kehidupannya, manusia pasti mengalami proses perkembangan,



baik dari segi fisik maupun psikologis. Dalam proses perkembangan menuju dewasa manusia akan mencari pasangan untuk dijadikan sebagai teman hidup sebelum ia menjadi dewasa dan akan membangun sebuah keluarga. Dalam Teori Proses Perkembangan (dalam Degenova, 2008), mengungkapkan bahwa pemilihan pasangan merupakan suatu proses penyaringan yang dilakukan seseorang dalam memilih calon pasangan hidupnya sampai akhirnya didapatkan seorang pasangan hidup yang cocok. Selanjutnya manusia akan berkeluarga dan masuk dalam tahapan dan hubungan keluarga. Dalam hubungan berkeluarga orangtua berperan sebagai lingkungan pertama anak untuk tumbuh dan berkembang. Kepribadian sosial mereka dipengaruhi oleh pengalaman mereka bersama orang-orang terdekat. Menurut Thompson, hubungan menjadi katalis (mempercepat atau memperlambat) bagi perkembangan. Selain itu, hubungan juga menjadi jalur atau saran bagi peningkatan pengetahuan, penguasaan keterampilan, dukungan emosi, dan berbagai pengaruh lain sejak kecil. Suatu hubungan dengan kualitas yang baik akan berpengaruh positif pada perkembangan. Sedangkan hubungan yang buruk, dapat menimbulkan ketidaksesuaian, masalah perilaku, atau psikopatologi pada anak. Pada tahapan keluarga Duvall dan Milller mengajukan teori "8 Stages of The Family Life Cycle" yaitu tahap keluarga baru, tahap keluarga dengan kelahiran anak pertama, tahap keluarga dengan anak usia pra sekolah, tahap keluarga dengan anak- anak sekolah, tahap keluarga dengan anak remaja, tahap keluarga dengan anak dewasa, tahap keluarga usia pertengahan, dan tahap keluarga orangtua usia lanjut.



B.



Tujuan Penulisan 1. Mengetahui pemilihan pasangan dan pembentukan keluarga 2. Mengetahui faktor yang mempengaruhi pemilihan pasangan 3. Mengetahui fase umum perkembangan keluarga 4. Mengetahui macam- macam gaya pengasuhan orangtua. 1



5. Mengetahui teori yang menjelaskan tentang relasi orang tua-anak 6. Mengetahui Siklus Kehidupan Keluarga 7. Mengetahui tahap-tahap perjalanan kehidupan sebuah keluarga



C.



Manfaat Penulisan 1. Dapat menambah ilmu pengetahuan bagi penulis dan pembaca mengenai teori dinamika, tahapan, dan siklus keluarga. 2. Memenuhi tugas makalah.



2



BAB II ISI



A.



Pemilihan Pasangan dan Pembentukan Keluarga Memilih pasangan berarti memilih seseorang yang diharapkan dapat dijadikan sebagai



teman hidup, seorang rekan untuk menjadi orang tua dari anak-anak nantinya (Lyken dan Tellegen, 1993).Teori Proses Perkembangan (dalam Degenova, 2008), mengungkapkan bahwa pemilihan pasangan merupakan suatu proses penyaringan yang dilakukan seseorang dalam memilih calon pasangan hidupnya sampai akhirnya didapatkan seorang pasangan hidup yang cocok. Pada masyarakat yang memegang kuat nilai-nilai keagamaan, umumnya tidak memilih pasangan melalui proses pacaran. Contohnya dalam agama Islam melarang pacaran karena dapat mendekatkan seseorang kepada hal yang diharamkan Allah sebelum menikah seperti melakukan kontak fisik,berduaan, menumbuhkan perasaan emosional dengan yang bukan mahram yang pada akhirnya dapat berakibat buruk kepada orang itu sendiri (Al-Makassari, 2007). Pada agama Islam karena pacaran tidak dilakukan, maka pencarian pasangan biasanya dilakukan melalui proses ta’aruf yakni proses dimana seseorang dibantu oleh orang lain atau lembaga yang dapat dipercaya sebagai perantara untuk memilih pasangan sesuai dengan kriteria yang diinginkan sebagai proses awal menuju pernikahan. Proses dilakukan tanpa adanya interaksi intensif antara pasangan serta tidak ada kelekatan fisik dan emosional sebelum benarbenar masuk ke dalam ikatan pernikahan. Proses ini cenderung berlangsung singkat dan dijalani tanpa diketahui banyak orang (Abdullah dalam Kusumastuti, 2006). Pada umumnya dalam memilih pasangan seseorang akan menilai berbagai macam hal untuk mendapatkan persamaan atau kecocokan. Sebagian besar orang cenderung memilih pasangan yang tidak jauh berbeda dalam usia, , agama, kesukuan,Pendidikan, kelas sosial, dan sebagainya. Berdasarkan Stimulus-Value-Role Theory (Murstein dalam Bird & Melville, 1994), seseorang biasanya pertama kali akan tertarik pada calon pasangan berdasarkan penampilan fisik, cara berpakaian, reputasi, kedudukan sosial, dan sebagainya. Kemudian mulai mencari kecocokan dalam hal-hal nilai dan sikap terhadap agama, keyakinan, pendidikan, politik, prestasi, dan sebagainya. Semakin banyak ketidaksamaan yang nantinya ditemui, semakin mungkin hubungan nantinya tidak berlanjut. Selanjutnya seseorang akan mengevaluasi 3



kecocokan dalam hal peran lawan jenis sebagai pasangan, apakah tipe orang yang bertanggung jawab, mendukung, dan sebagainya. Penilaian ini umumnya didasarkan pada harapan dan nilainilai seseorang terhadap tipe pasangan dan hubungan pernikahan yang diinginkan. Menurut Exchange Theory, pemilihan pasangan juga dapat berlangsung dengan menilai seberapa besar kelebihan dan seberapa kecil kekurangan yang ada pada pasangan dan hubungan yang akan dibangun. Enam hal yang biasanya dinilai adalah kasih sayang, uang, harta, status, informasi, dan sikap melayani. Semakin besar kelebihan atau keunggulan yang diperoleh, semakin besar pula kemungkinan hubungan tersebut akan berlanjut. Hubungan yang setara biasanya lebih cenderung stabil dan bertahan sepanjang waktu (Foa & Foa dalam Bird & Melville, 1994). Menurut Degenova (2008) terdapat dua faktor yang mempengaruhi pemilihan pasangan, yaitu : A. Latar Belakang Keluarga Hal ini akan sangat mempengaruhi individu ketika memilih pasangan hidup. Melihat latar belakang calon pasangan sangat membantu dalam mempelajari sifat calon pasangan yang dipilih. Dalam mempelajari latar belakang keluarga calon pasangan, terdapat dua hal yang menjadi fokus perhatian, yakni : 1. Kelas Sosio- ekonomi Kepuasan pernikahan umumnya terjadi apabila memilih pasangan dengan status sosioekonomi yang baik. 2. Pendidikan dan inteligensi Pada umumnya seseorang akan memilih pasangan mempunyai perhatian mengenai pendidikan. Pernikahan dengan latar belakang pendidikan yang sama pada kedua pasangan akan lebih cocok bila dibandingkan dengan pernikahan yang mempunyai latar belakang pendidikan yang berbeda. 3. Agama Faktor yang penting dalam memilih pasangan ialah agama, dengan asumsi bahwa pernikahan yang mempunyai latar belakang agama yang sama akan lebih stabil, dan dengan prinsip bahwa agama mempunyai kemungkinan anak-anak nantinya akan tumbuh dengan keyakinan dan moral yang sesuai dengan standar masyarakat. 4



4. Ras atau Suku Beberapa pasangan umumnya mengalami masalah yang terjadi ketika menjalin hubungan dengan individu yang berbeda suku atau ras. Permasalahan tidak selalu terjadi pada pasangan, melainkan dari keluarga, teman ataupun masyarakat disekitar. Secara umum, tanpa adanya dukungan dari keluarga atau teman, hubungan dengan perbedaan suku atau ras juga tidak akan terjadi.



B. Karakteristik Personal Terdapat beberapa faktor yang dapat mendukung kecocokan dari pemilihan pasangan, yaitu : 1. Sikap dan Tingkah Laku Pencarian pemilihan pasangan yang didasarkan pada sifat individu, berfokus pada fisik, kepribadian, dan faktor kesehatan mental. Beberapa sifat dari kepribadian seseorang mungkin akan dapat membuat suatu hubungan menjadi sulit. Sifat ramah dapat menyebabkan suatu hubungan pernikahan menjadi lebih positif dan stabil (J.J Larson & Holman, dalam Degenova, 2008). 2. Perbedaan Usia Umumnya rata–rata perbedaan usia yang dimilki oleh setiap pasangan adalah dua hingga lima tahun. Sebagai contoh, ketika seorang perempuan muda menikah dengan pria yang lebih tua itu seperti siap menjadi janda di usia muda, tetapi ketika keduanya adalah pria yang tua dan perempuan tua, mereka cenderung hidup bersama lebih lama jika telah menikah sejak mereka muda. 3. Kesamaan Sikap dan Nilai Kecocokan dalam hubungan pernikahan akan sangat tinggi apabila keduanya mengembangkan memiliki kesamaan sikap dan nilai karena keduanya akan merasa lebih nyaman satu sama lain. 4. Peran Gender dan Kebiasaan Pribadi Umumnya pasangan akan lebih merasa puas dalam menjalani pernikahan apabila pasangannya dapat membagi harapan yang sama mengenai peran gender dan saling bertoleransi terhadap kebiasaan-kebiasaan dari pasangan. Salah satu pengukuran dari kecocokan dalam suatu pernikahan adalah persamaan harapan 5



dari peran pria dan wanita. Setiap pria pasti mempunyai berbagai peran yang harus ditunjukkan sebagai seorang pria dan peran seperti apa yang harusnya ditunjukkan sebagai sepasang suami istri. Setiap wanita juga mempunyai beberapa konsep dari peran yang harus ditunjukkannya sebagai seorang istri dan berbagai harapan mengenai harapan dari peran sebagai pasangan suami istri yang harus ditunjukkannya. Dalam Interpersonal Process Theory mengatakan bahwa proses interaksi yang dijalani dan keterbukaan pasangan juga merupakan hal penting dalam pemilihan pasangan (Cate & Lloyd, dalam Bird & Melville, 1994). Pasangan yang sudah siap untuk berkomitmen akan berlanjut menuju pernikahan dan memasuki perkembangan hubungan sebagai suatu keluarga. Terdapat empat fase umum perkembangan keluarga (Bird & Melville, 1994), yaitu: A. Newlywed marriage (Masa Pengantin Baru) Dimulai sejak awal pernikahan hingga lahirnya anak pertama. Pada tahap ini pasangan akan melakukan penyesuaian diri. Mereka akan menerima identitas dan peran baru sebagai suami dan istri serta berusaha mengatasi perbedaan asumsi akan pernikahan yang masing-masing dari mereka miliki (role taking). Pasangan secara aktif membangun peran pernikahan berdasarkan atas nilai, kebutuhan, dan tujuan pribadi (role making). Suami istri akan mengkomunikasikan harapan serta menegosiasikan strategi untuk mengatasi perbedaan yang ada dalam hubungan pernikahannya. Mereka juga beradaptasi untuk menjaga keseimbangan antara pernikahan dan tanggung jawab pekerjaan, serta membangun ikatan baru dengan teman serta keluarga pasangan. Pada tahapan ini, apabila suami istri menemukan ketidakmampuan role-making umumya akan berujung pada perceraian. Namun, pasangan yang berhasil melewati tahapan ini umumnya akan belajar untuk mentoleransi ketidaksempurnaan yang dimiliki pasangan dan berkomitmen untuk melanjutkan pernikahan dan mengatasi masalah-masalah yang mereka hadap sebagai pasangan.



B. Parental marriage (Masa menjadi orang tua) Tahapan ini dimulai sejak anak pertama lahir. Kelahiran anak pertama otomatis membuat tanggung jawab peran primer dan kepuasan pernikahan berubah seketika. 6



Ketidakpuasan pernikahan umumnya leboh besar dialami oleh wanita dikarenakan tanggung jawabnya yang lebih besar untuk pengasuhan. Walapun begitu,peran baru sebagai orang tua dapat menumbuhkan perasaan kedekatan dengan pasangan. Untuk dapat mempertahankan kelekatan dan kepuasan pernikahan dalam tahap ini hal-hal yang perlu dilakukan oleh pasangan menurut Carolyn Cowan dan Philip Cowan (dalam Bird & Melville, 1994) antara lain: saling membicarakan harapan dan kecemasan mengenai gambaran ideal keluarga yang diinginkan; masalah yang muncul secara regular, dan pada waktu yang tenang dan tepat; membuat kesepakatan rencana menghabiskan waktu bersama secara rutin tiap minggu; menganggap bahwa masalah merupakan sesuatu yang normal dan dapat dinegosiasikan; menemukan cara-cara untuk mengekspresikan cinta dan kelekatan ketika frekuensi kontak seksual menurun; mengalokasikan waktu untuk kebutuhan personal dan sosial.



C. Mid-life marriage (Periode pernikahan jangka menengah) Disebut juga dengan periode empty-nest ditandai ketika anak-anak melalui masa remaja hingga meninggalkan rumah. Empty nest sendiri merupakan sindrom yang muncul pada beberapa orang tua akibat perasaan kehilangan dan krisis identitas yang mereka alami setelah anak-anak meninggalkan rumah dan memilih hidup terpisah dari orang tua (Gunarsa, 2004). Suami istri umumnya mengalami dilema antara kebutuhan anak akan otonomi dari orang tua dengan kebutuhan orang tua yang mulai memasuki usia lanjut sehingga hal ini dapat mengakibatkan pasangan mengalami stres. Pasangan akan menghadapi masa kekosongan dalam periode yang lebih lama yang mungkin dapat menjadi masalah baru atau malah memberikan kesempatan untuk memperbarui rasa kebebasan dan keintiman. Namun, pasangan orang tua yang menghadapi masa ini secara positif akan merasakan bahwa masa ini merupakan masa kebebasan dan memberikan peluang untuk melakukan hal-hal yang tidak bisa dilakukan saat mengasuh anak dan kepergian anak-anak yang sudah dewasa dapat memberikan peluang adanya bulan madu kedua (Papalia dkk, 2008).



D. Later-life marriage (Pernikahan jangka panjang)



7



Ditandai ketika pasangan mulai memasuki usia pensiun hingga meninggalnya salah satu pasangan. Pasangan memiliki ikatan yang khusus karena telah menghabiskan waktu bersama sekian lama, menghadapi berbagai peristiwa dan transisi kehidupan, serta mengembangkan cara berkomunikasi dan mengatasi stres yang unik sehingga menganggap pernikahan mereka memberikandukungan emosional yang besar. Pria biasanya menikah kembali ketika pasangannya meninggal sementara wanita lebih banyak memilih hidup sendiri.



B.



Pengasuhan Anak dan Remaja Orang tua memiliki gaya masing-masing dalam mendidik anak mulai dari dalam



kandungan, bayi, remaja bahkan sampai usia dewasa. Pola pengasuhan orang tua yang diterapkan pada setiap tahapan usia akan terus mempengaruhi perkembangan fisik dan psikis seseorang.Bagaimana orang tua mendidik seseorang mulai dari usia bayi akan terus mempengaruhi perilaku seseorang ketika mencapai usia dewasa. Ada bermacam cara untuk menggolongkan tingkah laku orang tua terhadap remaja. Salah satu pendekatan yang sering dipilih, berakar dari kerja seorang ahli psikologi Diana Baumrind. Baumrind menggambarkan adanya dua macam tingkah laku orang tua terhadap remaja, yaitu: parental responsiveness dan parental demandingness. Parental responsiveness menunjuk pada sejauh mana orang tua menanggapi kebutuhan-kebutuhan remaja dalam suatu sikap menerima dan mendukung, sedangkan parental demandingness menunjuk pada sejauhmana orangtua menaruh harapan dan tuntutan perilaku bertanggungjawab dan matang pada remaja. Baumrind menempatkan kedua macam itu dalam parental behavioral. Orang tua memiliki keragaman dalam dimensi-dimensi tersebut. Beberapa di antaranya memperlihatkan kadar parental responsiveness yang tinggi seperti tampak pada sikap hangat dan menerima, sementara orang tua lainnya ada yang tidak mau mendengarkan (unresponsiveness) dan yang menolak (rejecting). Macam-macam gaya pengasuhan orangtua menurut Baumrind yakni: 1. Gaya Pengasuhan Authoritative



8



Orang tua memiliki responsifitas yang tinggi dan menaruh harapan serta tuntutan yang tinggi juga. Orang tua authoritative berusaha untuk mengontrol remaja, oleh karena itu, orang tua macam ini memberi dorongan lisan (verbal) saling memberi dan menerima. Orang tua menggunakan kontrol terhadap remaja, tetapi tidak membebani remaja dengan restriksi atau kekangan. 2. Gaya Pengasuhan Authoritarian Gaya pengasuhan orang tua kedua diberi nama authoritarian yaitu responsifitas orang tua rendah dan terlalu tinggi tuntutan terhadap anak. Orang tua berusaha untuk menentukan, mengontrol, dan menilai tingkah laku dan sikap remaja sesuai dengan yang telah di tentukan, terutama berdasarkan standar absolute yang mengenai prilaku. Orang tua jenis ini menekan nilai kepatuhan yang tinggi terhadap kekuasaan atau wewenangnya, mengontrol remaja dengan peraturan dan menggunakan ganjaran dan hukuman. 3. Gaya Pengasuh Indulgent Orang tua jenis ini memiliki renponsifitas yang tinggi sedangkan tuntutan serta harapan ke anak rendah. Orang tua



indulgent mencoba untuk menunjukan reaksi



terhadap perilaku remaja, hasrat atau keinginan, impuls-impuls, dengan cara yang tidak menghukum, menerima, lunak, pasiif ddalam hal berdisiplin dan cara yang serba membolehkan. Orang tua menampilkan dirinya sebagai sumber penghidupan bagi remaja (resource) bagi remaja, dam menuruti keinginan atau kehendak remaja. Orang tua kebanyakan memperbolehkan atau membiarkan remajanya untuk menentukan mematuhi



tingkah



lakunya



menggambarkan orang tua



sendiri.



Gaya



pengasuhan



orang



tua



indulgent



yang meberi kebebasan sangat luas pada remaja dan



mebiarkan remaja untuk melakukan apa yang terbaik bagi dirinya sendiri. Alasan orang tua indulgent memilih gaya pengasuhan orang tua karena mereka percaya bahwa remaja harus mempunyai kebebasan yang luas dan bukan dikontrol oleh orang dewasa. Orang tua indulgent berperilaku menerima, lunak dan pasif dalam disiplin. 4. Gaya Pengasuhan Indiferrent Orang tua indifferent yaitu orang tua memiliki responsifitas dan tuntutan yang rendah. Orang tua indifferent adalah orang tua yang gagal. Mereka tidak mau tahu 9



banyak tentang anak mereka. Orang tua indifferent adalah “parent-centered” yaitu orang tua yang hanya mengurusi hidupnya sendiri baik itu kebutuhan, keinginan, maupun hobi. Orang tua seperti ini cenderung menolak kehadiran anaknya (neglectful). Akibatnya apabila terjadi sejak lahir maka perilaku penelantaran ini akan menganggu seluruh macam perkembangan anak. Minimnya kehangatan dan pengawasan dari orang tua secara berkelanjutan akan menimbulkan perilaku agresif dan pengucilan diri pada remaja.



C.



Relasi Orang Tua-Anak (Parent-Child Relationship) Anak-anak menjalani proses tumbuh dan berkembang dalam suatu lingkungan dan



hubungan (Thompson, 2006). Konsep dan kepribadian sosial mereka dipengaruhi oleh pengalaman mereka bersama orang-orang terdekat serta berbagai karakteristik dan kecenderungan yang mulai mereka pahami. Menurut Thompson, hubungan menjadi katalis (mempercepat atau memperlambat) bagi perkembangan. Selain itu, hubungan juga menjadi jalur atau saran bagi peningkatan pengetahuan dan informasi, penguasaan keterampilan dan kompetensi, dukungan emosi, dan berbagai pengaruh lain sejak kecil. Suatu hubungan dengan kualitas yang baik akan berpengaruh positif pada perkembangan, seperti penyesuaian, perilaku prososial, dan transmisi (penerusan) nilai. Sedangkan hubungan yang buruk, dapat menimbulkan ketidaksesuaian, masalah perilaku, atau psikopatologi pada anak. Beberapa teori yang menjelaskan tentang relasi orang tua-anak, antara lain : 1. Teori Kelekatan (attachment theory) Ditinjau dalam psikologi perkembangan, relasi orang tua dan anak merujuk pada teori kelekatan (attachment theory). Bowlby menyatakan bahwa pengaruh perilaku dalam pengasuhan pada anak sebagai faktor kunci dalam hubungan orang tua-anak yang dibangun sejak usia dini. Pada masa awal kehidupan anak, ia mengembangkan hubungan emosi yang mendalam dengan pengasuhnya, hubungan emosi tersebut sering disebut sebagai kelekatan. Kelekatan menggambarkan hubungan khusus antara bayi dan pengasuhnya (Rosen & Rothbaum, 2003). Menurut Mercer (2006), pengertian yang lebih luas dari kelekatan yaitu ikatan emosi yang terjadi diantara manusia yang memandu perasaan dan perilaku. Karakteristik dari kelekatan sendiri yaitu sebagai



10



hubungan timbal balik antara sistem kelekatan bagi anak dan sistem pengasuhan dari orang tua. 2. Teori Penerimaan dan Penolakan Orang tua (Parental Acceptance-Rejection Theory) Teori ini dikembangkan oleh Rohner (Schwartz, Zambonga, Ravert, Kim, Weisskirch, Williams, Bersamin, & Finley, 2009). Penerimaan dan penolakan orang tua membentuk dimensi kehangatan (warmth dimension) dalam pengasuhan, yaitu suatu kualitas ikatan afeksi antara orang tua dan anak (Rohner, Khaleque, & Cournoyer, 2009). Dimensi kehangatan yang ditandai oleh penerimaan mencakup berbagai perasaan dan perilaku yang menunjukkan kehangatan, afeksi, kepedulian, kenyamanan, perhatian, perawatan, dukungan, dan cinta. Sedangkan dimensi kehangatan yang ditandai oleh penolakan, mencakup ketiadaan atau penarikan berbagai perasaan atau perilaku tersebut (kehangatan, afeksi, dan lain-lain), adanya berbagai perasaan atau perilaku yang menyakitkan secara fisik maupun psikologis (tidak menghargai, penelantara, tak acuh, caci maki, dan penyiksaan). Menurut Rohner dkk, persepsi anak terhadap penerimaan dan penolakan orang tua akan berpengaruh pada perkembangan kepribadian individu dan mekanisme yang dikembangkan dalam menghadapi masalah.



Kualitas hubungan orang tua-anak merefleksikan tingkatan dalam hal kehangatan (warmth), rasa aman (security), kepercayaan (trust), afeksi positif (positive affect), dan ketanggapan (responsiveness) dalam hubungan mereka. Rasa aman yang dimiliki anak akan mengembangkan rasa kepercayaan diri anak serta mendorong anak untuk berani melakukan eksplorasi bagi perkembangannya. Interaksi dan waktu merupakan dua komponen mendasar bagi relasi orang tua-anak (Hindie, 1976). Menurut Hindie, relasi orang tua dan anak mengandung beberapa prinsip pokok, yaitu : 1. Interaksi Orang tua dan anak berinteraksi pada suatu waktu untuk menciptakan suatu hubungan, yang nantinya akan membentuk kenangan pada interaksi di masa lalu dan antisipasi di kemudian hari. 2. Kontribusi Mutual Orang tua dan anak sama-sama memiliki sumbangan dan peran dalam interaksi serta relasi keduanya. 11



3. Keunikan Setiap relasi orang tua-anak bersifat unik yang melibatkan dua pihak, dan berbeda pada relasi orang tua-anak lainnya. 4. Pengharapan masa lalu Interaksi orang tua-anak yang telah terjadi membentuk suatu cetakan pada pengharapan keduanya. Berdasarkan pengalaman dan pengamatan, orang tua akan memahami bagaimana anaknya akan bertindak pada suatu situasi. Begitupun sebaliknya anak kepada orang tuanya. 5. Antisipasi masa depan Karena relasi orang tua-anak bersifat kekal, masing-masing membangun pengharapan yang dikembangkan dalam hubungan keduanya.



D.



Siklus Kehidupan Keluarga Siklus hidup keluarga (Family life cycle) adalah istilah yang digunakan untuk



menggambarkan perubahan-perubahan dalam jumlah keluarga, komposisi, dan fungsi keluarga sepanjang hidupnya. Siklus keluarga juga merupakan gambaran rangkaian tahapan yang akan terjadi atau diprediksi akan dialami kebanyakan keluarga. Dalam ilmu kependudukan biasanya dikenal dengan 6 tahap siklus hidup keluarga, yaitu : 1. Tahap Tanpa Anak → Dimulai dari perkawinan hingga kelahiran anak pertama. 2. Tahap Melahirkan (Tahap Berkembang) → Dimulai dari kelahiran anak sulung hingga anak bungsu. 3. Tahap Menengah → Dimulai dari kelahiran anak bungsu, hingga anak sulung meninggalkan rumah atau menikah 4. Tahap Meninggalkan Rumah → Dimulai dari anak sulung meninggalkan rumah sampai anak bungsu meninggalkan rumah (perkawinan biasanya dianggap meninggalkan rumah). 5. Tahap Purna Orang Tua → Dimulai dari saat anak bungsu meninggalkan rumah, hingga salah satu pasangan meninggal dunia. 6. Tahap Menjanda/Menduda → Dimulai dari saat meninggalnya suami atau istri, hingga pasangannya meninggal dunia. 12



Duvall dan Milller mengajukan teori "8 Stages of The Family Life Cycle" yang banyak digunakan oleh dunia akademik untuk menjelaskan tahap-tahap perjalanan kehidupan sebuah keluarga dari awal sampai akhir. 1. Tahap 1 : Keluarga Baru (Beginning Family) Tahap pertama sebuah keluarga dimulai pada saat seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk keluarga melalui proses perkawinan. Setelah menikah, mereka berdua mulai diakui sebagai sebuah keluarga yang eksis di tengah kehidupan masyarakat. Pengantin laki-laki dan pengantin perempuan meninggalkan keluarga masing-masing, karena sudah memiliki keluarga baru. Mereka sudah dianggap mandiri dan bertanggung jawab atas diri serta keluarga yang dibentuknya bersama pasangan. Dalam keluarga baru ini, hanya ada suami dan istri. Mereka melakukan proses penyesuaian peran dan fungsi. Masing-masing belajar hidup bersama serta beradaptasi dengan kebiasaan sendiri dan pasangannya, seperti pola makan, tidur, bangun pagi, kebiasaan berpakaian, bepergian, dan lain sebagainya. Mereka akan melewati masamasa indah saat fase romantic love, namun akan mengalami pula masa ketegangan saat berada pada fase disappointment atau distress. 2. Tahap 2 : Keluarga dengan Kelahiran Anak Pertama (Childbearing Family) Keluarga baru yang sudah terbentuk, akan mulai mengalami perubahan ketika sudah terjadi kehamilan. Ada yang mulai berubah dalam interaksi di antara suami dan istri karena hadirnya "pihak ketiga" berupa janin yang harus dijaga dan dirawat oleh mereka berdua. Semula, hanya ada seorang suami dan seorang istri, yang mereka bebas melalkan apapun dalam rumah tangganya. Namun, kehadiran janin membuat ada yang mulai membatasi. Ada aktivitas tertentu sebagai suami istri yang harus menenggang kondisi janin dan ibu hamil. Tahap kedua ini, menurut Duvall, dimulai dari kelahiran anak pertama hingga bayi pertama ini berusia 30 bulan atau 2,5 tahun. Ada status yang mulai berubah pada diri suami dan istri tersebut. Kini mereka menjadi calon ayah dan calon ibu bagi janin yang tengah dikandung. Mereka harus mulai belajar dan bersiap untuk menyambut kelahiran anak pertama. Apalagi ketika sudah lahir bayi pertama, maka status sudah berubah lagi sudah menjadi ayah dan ibu. 3. Tahap 3 : Keluarga dengan Anak Usia Prasekolah (Family With Preschoolers)



13



Tahap ketiga sebuah keluarga dimulai ketika anak pertama melewati usia 2,5 tahun, dan berakhir saat ia berusia 5 tahun. Anak mulai berulah, anak mulai punya keinginan, dan anak mulai dipersiapkan untuk memasuki bangku sekolah. Di Indonesia, ada Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang menampung anak-anak usia prasekolah. Pada beberapa keluarga, di tahap ketiga ini mereka sudah memiliki lebih dari satu anak. Pada keluarga muda dengan dua atau tiga anak kecil-kecil, menjadikan suasana yang sangat dinamis dalam keluarga tersebut. Orangtua merasakan kesibukan yang sangat berubah dibanding dengan tahap sebelumnya. 4. Tahap 4 : Keluarga dengan Anak-anak Sekolah (Family With School-age Children) Tahap keempat dalam kehidupan keluarga dimulai ketika anak pertama mulai berumur 6 tahun, berakhir pada saat anak berumur 12 tahun. Anak pertama mulai masuk Sekolah Dasar, maka orangtua harus menyesuaikan diri dengan kebutuhan anak pada usia sekolah tersebut. Begitu sudah masuk SD, anak mulai mengenal stress karena memasuki lingkungan dan tantangan baru. Mulai ada PR yang harus dikerjakan di rumah. Pada tahap ini biasanya keluarga mencapai jumlah maksimal sehingga suasana menjadi sangat sibuk. Selama enam tahun pada tahap keempat, rata-rata keluarga di Indonesia sudah memiliki lebih dari satu anak. Ayah dan ibu yang harus mempersiapkan keperluan sekolah anak-anak, urusan PR, urusan pembagian perhatian terhadap tiga anak. Di sisi yang lain, suami dan istri sudah mencapai posisi yang lebih "tinggi" dalam pekerjaan atau karier mereka, sehingga memiliki kesibukan yang juga sangat padat. 5. Tahap 5 : Keluarga dengan Anak Remaja (Family With Teenagers) Tahap kelima kehidupan sebuah keluarga dimulai ketika anak pertama mencapai umur 13 tahun, berlangsung sampai 6 atau 7 tahun kemudian ketika anak pertama berumur 19 atau 20 tahun. Orangtua harus kembali belajar, bagaimana mendidik anak remaja. Pada tahap kelima ini, orangtua harus mulai memberikan tanggung jawab serta pendidikan yang lebih baik guna mempersiapkan anak mencapai kedewasaan baik secara biologis maupun psikologis. Anak usia remaja, yang sekolah SMP dan SMA, memiliki kepribadian dan karakter yang khas. Di Indonesia kita menyaksikan fenomena



14



kenakalan remaja yang marak, yang menjadi salah satu persoalan yang harus dihadapi dalam keluarga. 6. Tahap 6 : Keluarga dengan Anak Dewasa (Launching Family) Tahap keenam dimulai sejak anak pertama meninggalkan rumah, berakhir pada saat anak terakhir meninggalkan rumah sehingga rumah menjadi kosong. Maka disebut sebagai Launching Family, karena ada peristiwa "pelepasan" anak meninggalkan rumah induk. Lamanya tahapan ini tergantung jumlah anak dan ada tidaknya anak yang belum berkeluarga serta tetap tinggal bersama orangtua. Pada contoh anak tunggal, maka tahap keenam ini menjadi sangat pendek. Saat satu-satunya anak pergi meninggalkan rumah, maka suasana keluarga kembali tinggal suami dan istri saja, tanpa anak. Namun pada keluarga dengan sepuluh anak, maka tahap ini menjadi panjang. Fenomena di Indonesia, ketika anak sudah lulus SMA, sebagian dari mereka melanjutkan kuliah, baik D3, S1 serta lanjut S2 maupun S3. Ada yang harus pergi meninggalkan rumah karena kuliah di kota yang berbeda, ada pula yang tetap tinggal bersama orangtua karena kuliah di kota yang sama. Sebagian lagi memilih langsung bekerja, baik di kota yang sama taupun di kota yang berbeda dari orangtua, tidak mengikuti studi lanjut ke perguruan tinggi. Namun, anak yang sudah dewasa, memiliki kebutuhan yang berbeda, dibanding pada tahap-tahap sebelumnya. Pada tahap keenam ini, mulai ada sangat banyak perubahan dalam komposisi keluarga. Ada yang berkurang, namun juga ada yang bertambah. Berkurang pada contoh anak lulus SMA yang pergi kuliah atau bekerja di kota lain, sehingga mereka meninggalkan rumah orangtua. Namun ada saatnya bertambah, yaitu ketika anak sudah menikah. Setelah anak menikah, maka dalam keluarga ada status baru, yaitu anak menantu. Ditambah lagi ada relasi kekeluargaan yang baru, yaitu besan. 7. Tahap 7 : Keluarga Usia Pertengahan (Middleage Family) Tahap ini berakhir saat masa pensiun kerja atau salah satu dari suami atau istri meninggal dunia. Pada tahap sebelumnya, masih ada anak yang ikut bersama orangtua, pada tahap ini sudah tidak ada lagi anak yang tinggal bersama mereka. Semua anak sudah "meninggalkan" rumah, baik dalam artian fisik maupun dalam artian psikologis. Anak-anak sudah dewasa semua, sudah menikah, dan tinggal bersama keluarga barunya. 15



Pada beberapa pasangan, tahap ketujuh ini dianggap berat dan sulit dilalui karena adanya perubahan suasana kejiwaan akibat orangtua mulai memasuki usia lanjut. Ada sangat banyak hal yang berubah, dimulai dari peristiwa perpisahan dengan anak-anak, dimana anak-anak mulai membentuk keluarga sendiri dan memulai tahapan perkembangannya sendiri, hingga proses penuaan yang dalam beberapa kasus diserta perasaan gagal sebagai orang tua. Pada contoh keluarga berantakan, anak-anak berulah tidak seperti harapan orangtua, maka di masa ini orangtua merasakan kegagalan dalam mendidik anak. Tugas perkembangan keluarga pada saat ini adalah: •



Mempunyai lebih banyak waktu bebas sehingga pasangan dapat mengolah minat sosial dan menikmati waktu bersantai







Memulihkan hubungan antara generasi muda dan tua







Keakraban dengan pasangan







Memelihara hubungan dan kontak dengan anak dan keluarga







Persiapan masa tua/pensiun



8. Tahap 8 : Keluarga Orangtua Usia Lanjut (Aging Family) Tahap kedelapan yang menjadi tahap terakhir dari perjalanan sebuah keluarga, dimulai ketika salah satu dari suami dan istri atau keduanya sudah mulai pensiun kerja, sampai salah satu atau keduanya meninggal dunia. Sebagian dari pasangan manula ini hidup berdua saja, karena sama sekali tidak ada anak atau cucu atau anggota keluarga lain yang tinggal bersama mereka. Namun banyak pula pada contoh di Indonesia yang memilih untuk tinggal bersama keluarga salah satu anak mereka. Di negara-negara Barat, ketika pasangan sudah meninggal dunia, banyak yang memutuskan untuk tinggal di panti jompo sampai akhir usia. Pertimbangannya, daripada hidup sendiri dalam kondisi sudah tua dan lemah, lebih baik tinggal di panti jompo dimana ada perawat dan pangelolanya. Di Indonesia, ada tradisi pertemuan keluarga pada momentum tertentu, seperti Idul Fithri atau Natal atau saat liburan bersama, dimana semua anak dan cucu mengunjungi orangtua atau kakek nenek mereka. Peristiwa ini adalah hiburan yang sangat menyenangkan pada pasangan manula, atau pada lelaki dan perempuan yang hidup sendiri karena ditinggal mati pasangan. 16



BAB III KESIMPULAN



Teori Proses Perkembangan (dalam Degenova, 2008), mengungkapkan bahwa pemilihan pasangan merupakan suatu proses penyaringan yang dilakukan seseorang dalam memilih calon pasangan hidupnya sampai akhirnya didapatkan seorang pasangan hidup yang cocok. Berdasarkan Stimulus-Value-Role Theory (Murstein dalam Bird & Melville, 1994), seseorang biasanya pertama kali akan tertarik pada calon pasangan berdasarkan penampilan fisik, cara berpakaian, reputasi, kedudukan sosial, dan sebagainya. Kemudian mulai mencari kecocokan dalam hal-hal nilai dan sikap terhadap agama, keyakinan, pendidikan, politik, prestasi, dan sebagainya. Semakin banyak ketidaksamaan yang nantinya ditemui, semakin mungkin hubungan nantinya tidak berlanjut. Selanjutnya seseorang akan mengevaluasi kecocokan dalam hal peran lawan jenis sebagai pasangan, apakah tipe orang yang bertanggung jawab, mendukung, dan sebagainya. Penilaian ini umumnya didasarkan pada harapan dan nilai-nilai seseorang terhadap tipe pasangan dan hubungan pernikahan yang diinginkan. Baumrind menggambarkan adanya dua macam tingkah laku orang tua terhadap remaja, yaitu: parental responsiveness dan parental demandingness. Parental responsiveness menunjuk pada sejauh mana orang tua menanggapi kebutuhan-kebutuhan remaja dalam suatu sikap menerima dan mendukung, sedangkan parental demandingness menunjuk pada sejauhmana orangtua menaruh harapan dan tuntutan perilaku bertanggungjawab dan matang pada remaja. Baumrind menempatkan kedua macam itu dalam parental behavioural. Anak-anak menjalani proses tumbuh dan berkembang dalam suatu lingkungan dan hubungan (Thompson, 2006). Konsep dan kepribadian sosial anak- anak dipengaruhi oleh pengalaman mereka bersama orang-orang terdekat serta berbagai karakteristik dan kecenderungan yang mulai mereka pahami. Beberapa teori yang menjelaskan tentang relasi orang tua-anak, antara lain Teori Kelekatan (attachment theory), yaitu ikatan emosi yang terjadi diantara manusia yang memandu perasaan dan perilaku, dan teori Penerimaan dan Penolakan Orangtua (Parental Acceptance-Rejection Theory) yaitu penerimaan dan penolakan dari orangtua yang membentuk dimensi kehangatan (warmth dimension) dalam pengasuhan, yaitu suatu kualitas ikatan afeksi antara orang tua dan anak. 17



Siklus hidup keluarga (Family life cycle) adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan perubahan-perubahan dalam jumlah keluarga, komposisi, dan fungsi keluarga sepanjang hidupnya. Duvall dan Milller mengajukan teori "8 Stages of The Family Life Cycle" yang banyak digunakan oleh dunia akademik untuk menjelaskan tahap-tahap perjalanan kehidupan sebuah keluarga yaitu tahap keluarga baru, tahap keluarga dengan kelahiran anak pertama, tahap keluarga dengan anak usia pra sekolah, tahap keluarga dengan anak- anak sekolah, tahap keluarga dengan anak remaja, tahap keluarga dengan anak dewasa, tahap keluarga usia pertengahan, dan tahap keluarga orangtua usia lanjut.



18



DAFTAR PUSTAKA



Jannah. M. 2015. Pola pengasuhan orang tua dan moral remaja dalam Islam. Jurnal Ilmiah Edukasi, 1(1), 63-79. Kusumastuti, D. (2006). Kepuasan pernikahan pada pria dan wanita yang menikah melalui proses ta’aruf. Fakultas Psikologi UI Depok: Skripsi S1 tidak dipublikasikan. Monte, C.F. & Sollod, R.N. (2003). Beneath the mask: An introduction to theories of personalities (7th Ed.). New Jersey: John Wiley & Sons, Inc. Lestari, S. (2012). Psikologi keluarga. Jakarta : Kencana. Evelyn M. Duvall & Brent C. Miller. (1997). Marriage and Family Development. Philadelphia : J.B. Lippincott Company. Susilo, Aji. (2010). Asuhan Keperawatan Keluarga Dengan Fokus Utama Anggota Keluarga Menderita Kurang Gizi. Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Purwokerto: Tesis Diploma



19