2A - Laporan Mini Riset Teratologi Telur Katak [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN MINI RISET PENGARUH DETERJEN TERHADAP TURUNNYA DAYA TETAS EMBRIO KATAK disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Perkembangan Hewan yang diampu oleh: Drs. H. Dadang Machmudin, MS., Dr. Didik Priyandoko, M.Si., Dr. Hernawati, M.Si.



oleh : Kelompok 2A Pendidikan Biologi A 2017 Hanifah Nur Alfiyyah



(1700139)



Luniar Abdullah



(1700677)



Raihana Nurul Isnaeni



(1700576)



Rizaldi Nurdin Firdaus



(1700957)



Vanni Destianti Kurnia



(1705682)



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI DEPARTEMEN PENDIDIKAN BIOLOGI FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG 2019



KATA PENGANTAR



Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan Taufik dan Hidayah-Nya, sehingga dengan pemberian-Nya itulah penulis dapat menyelesaikan Mini Riset Perkembangan Hewan dengan judul “PENGARUH DETERJEN TERHADAP TURUNNYA DAYA TETAS EMBRIO KATAK”. Salawat dan salam kita sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW yang berjuang untuk melaksanakan ajaran Islam di permukaan bumi Allah ini. Semoga kita semua senantiasa berpedoman kepada dua pusaka yang telah ditinggalkannya yaitu Al Qur’an dan Sunnahnya. Adapun tujuan penulis melakukan miniriset ini adalah sebagai penelitian eksperimen lanjutan dari eksperimen yang telah ada, serta menimbulkan rasa ingin tahu mahasiswa terhadap suatu fenomena hasil eksperimen. Maka dalam penulisan laporan miniriset ini penulis menyadari banyaknya kesalahan dan hambatan yang dihadapi. Namun berkat Taufik dan Hidayah dari Yang Maha Kuasa, akhirnya laporan ini dapat juga diselesaikan. Akhirnya penulis mengucapkan maaf, kiranya dalam penulisan makalah ini terdapat kesalahan, dengan harapan semoga kita semua lebih mudah untuk memahami pelajaran yang diberikan Amin Amin Ya Robbal Alamin.



Bandung, Desember 2019



Penyusun



i



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR .......................................................................................... i DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1 A. Latar Belakang ............................................................................................. 1 B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 2 C. Pertanyaan Penelitian ................................................................................... 2 D. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 2 E. Manfaat Penelitian ........................................................................................ 3 F. Hipotesis ....................................................................................................... 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 4 BAB III METODE PENELITIAN ................................................................... 10 A. Rancangan Penelitian ................................................................................. 10 B. Waktu dan Tempat ..................................................................................... 10 C. Desain Penelitian ....................................................................................... 10 D. Populasi dan Sampel Penelitian ................................................................. 10 E. Variabel Penelitian ...................................................................................... 11 F. Prosedur Penelitian ..................................................................................... 11 G. Analisis Data ............................................................................................... 12 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................... 13 A. Hasil Penelitian .......................................................................................... 13 B. Pembahasan ................................................................................................ 36 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 39 A. Kesimpulan ................................................................................................ 39 B. Saran .......................................................................................................... 39 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 40 DAFTAR PUSTAKA GAMBAR ...................................................................... 42 LAMPIRAN ........................................................................................................ 43



ii



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini penggunaan deterjen sebagai bahan pencuci dalam rumah tangga maupun industri sudah sangat luas. Pemakaian yang terus menerus setiap hari menyebabkan jumlah deterjen yang masuk ke perairan semakin meningkat. Surfaktan adalah bahan kimia organik sintesis yang banyak digunakan dalam deterjen, produk perawatan dan bahan pembersih dalam rumah tangga (Lewis, 1991). Linear Alkybenzene Sulfonae (LAS) merupakan surfaktan anionik yang banyak digunakan dalam deterjen rumah tangga, karena sifatnya yang dapat didegradasi secara biologis (Lewis, 1991; Bressan dkk,. 1991). Menurut Art dan Jesche (1989) ang dikutip oleh Terzic dkk. (1992) penggunan LAS di dunia pada tahun 1987 mencapai total 1.800.000 ton. Penggunaan yang luas deterjen LAS ini menyebabkan dapat ditemukannya dalam berbagai konsentrasi air sungai, air minum, sedimen dan tanah (Lewis, 1991). Kadar deterjen yang tinggi dalam perairan dapat menimbulkan gangguan pada ekosistem perairan. Deterjen dalam kadar yang tinggi dapat bersifat toksik terhadap organisme perairan (Lewis, 1991; Bressan dkk., 1991), termasuk juga jenis-jenis amfibi. Pengaruh lain dari limbah deterjen terhadap lingkungan diantaranya adalah gangguan estetika oleh adanya busa putih di permukaan perairan, penurunan kadar oksigen perairan, tidak normalnya perkembangan embrio hewan perairan, serta terjadinya eutrofikasi yang diakibatkan oleh bahan penunjang dan bahan aditif deterjen yang berupa fosfat dan sulfat (Retnaningdyah dkk., 1991). Menurut laporan USGS-BRD News Release (1998), banyak populasi amfibi menjadi berkurang dan bahkan menuju kepunahan. Berkurangnya habitat merupakan penyebab terbesar penurunan populasi amfibi. Walaupun demikian pencemaran bahan kimia antropogenik pada perairan merupakan faktor yang menambah terjadinya penurunan populasi amfibi (Russel dkk, 1995; Misyura,1996; USGS-BRD News Releases, 1998). Dampak dari pencemaran ini mengganggu komposisi kimia alami ekosistem perairan



1



merupakan faktor yang menambah terjadinya reproduksi amfibi dan perkembangan larvanya sehingga berakibat terjadinya penurunan populasi amfibi.



Efek



teratogenik



pencemar



terhadap



perkembangan



embrio



menurunkan angka tetas dari telur dan keberhasilan hidup larva, sehingga berakibat pada berkurangnya jumlah anakan yang hidup. Selain itu banyak ditemukan deformasi dan malformasi pada populasi katak di daerah Amerika Utara. Hal ini diduga terjadi akibat adanya kerusakan habitat ditambah dengan terjadinya pencemaran bahan-bahan kimia. Selanjutnya deformasi akan diikuti dengan malformasi dan kematian embrio karena eutrofikasi di daerah Amerika Serikat bagian barat. Semuanya ini dapat mengakibatkan penurunan populasi amfibi di berbagai tempat. Amfibi merupakan bagian penting dari ekosistem bahkan mungkin merupakan persentase tertinggi dari biomassa vertebrata. Oleh karena itu terjadinya penurunan populasi amfibi merupakan dampak yang penting terhadap kesehatan ekosistem.



B. Rumusan Masalah Bagaimana pengaruh detergen terhadap turunnya daya tetas embrio katak?



C. Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimana daya tetas embrio katak yang diberi bahan detergen dengan konsentrasi



0,016g/100ml,



0,024g/100ml,



0,032g/100ml,



dan



0,040g/100ml? 2. Bagaimana daya tetas embrio katak yang tidak diberi bahan detergen (sebagai kontrol)? 3. Dosis manakah yang paling berpengaruh terhadap daya tetas embrio katak yang diberi perlakuan? 4. Adakah kelainan daya tetas pada embrio katak yang diberi perlakuan?



D. Tujuan Penelitian 1. Menganalisis daya tetas embrio katak yang diberi bahan detergen dengan konsentrasi berbeda dan embrio katak yang tidak diberi bahan detergen (sebagai kontrol)



2



2. Menganalisis dosis yang paling berpengaruh terhadap daya tetas embrio katak yang diberi perlakuan 3. Menganalisis kelainan daya tetas pada embrio katak yang diberi perlakuan



E. Manfaat Penelitian 1. Memberikan informasi mengenai pengaruh teratogenik detergen terhadap hewan-hewan di perairan. 2. Menjadi dasar untuk dilakuakan penelitian lebih lanjut mengenai potensi penggunaan embrio katak sebagai faktor biologis terjadinya pencemaran air. 3. Dapat mengetahui daya tetas embrio katak yang diberi bahan detergen apakah sama seperti daya tetas embrio katak yang normal atau terdapat perbedaan pada daya tetasnya sekaligus mengetahui kelainan yang mungkin terjadi pada daya tetas embrio katak yang diberi perlakuan bahan detergen dengan konsentrasi berbeda.



F. Hipotesis H0 : Terdapat perbedaan tahapan perkembangan telur katak kontrol dengan telur katak yang diberi bahan detergen. H1 : Tidak terdapat perbedaan tahapan perkembangan telur katak kontrol dengan telur katak yang diberi bahan detergen.



3



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



Amphibi memegang peranan dalam ekosistem yang merupakan salah satu komponen dalam jaring-jaring makanan. Bahkan hal itu tidak menutup kemungkinan rusaknya jaring-jaring makanan yang akan berakibat pula rusaknya keseimbangan ekosistem. Hal lain yang harus diperhatikan adalah kelestarian amphibi yang semakin terancam dengan adanya penggunaan atau eksploitasi yang berlebihan serta rusaknya habitat atau tempat hidupnya. Sekarang sudah jarang ditemukan habitat untuk amphibi karena aktivitas manusia yang merugikan (Firmansyah, 2007). Aktivitas manusia yang merusak tersebut diantaranya adanya perusakan habitat atau pembukaan lahan, pemakaian pestisida bagi tanaman yang akan berdampak terhadap hewan yang ada disekitarnya, berkurangnya sumber makanan hewan akibat pembukaan lahan. Katak merupakan komoditas perikanan yang sangat penting, baik untuk konsumsi dalam negeri maupun ekspor. Hewan ini sangat digemari, terutama di negara-negara Eropa, Amerika dan beberapa negara Asia. Selain rasanya enak, katak juga memiliki kandungan protein yang tinggi. Karena adanya kelebihan dari katak tersebut, tidak mengherankan bila permintaan katak dari negara-negara tersebut tiap tahunnya terus meningkat. Ini merupakan peluang yang sangat besar bagi negara kita untuk meningkatkan ekspor, sebagai sumber devisa Negara yang berasal dari komoditas nonmigas (Arie, 1999). Di samping perburuan liar, beberapa faktor lain diperkirakan telah memperbesar penurunan populasi katak di alam adalah adanya kerusakan habitat, intensifikasi pertanian, pembukaan lahan dan adanya industri beserta limbahnya. Pada masa yang akan datang, tekanan terhadap populasi katak akan terus berlanjut dan bukan tidak mungkin pada suatu saat spesies ini akan punah (Nasaruddin, 2008). Wilhelm Roux (1805-1924), salah seorang siswa Haeckel. Dengan berani Roux menyatakan bahwa, untuk mengetahui penyebab pertumbuhan dan diferensiasi kita harus mencarinya lewat eksperimen. Melalui pengamatan pada telur katak, ia menyimpulkan bahwa, diferensiasi yang komplek dapat disingkat



4



menjadi diferensiasi yang sederhana. dan diferensiasi yang sederhana, pada analisis akhirnya dapat diringkas menjadi proses-proses psiko-kimia yang biasa. Sumbangan Roux yang terkenal pada embriologi, adalah cara dalam memecahkan masalah perkembangan. Tepat seperti gurunya, E. Haeckel, Roux juga mengilhami siswa dan pengikutnya dengan metode riset khusus yang unik. Pengkajiannya pada telur katak, memberikan keyakinan bahwa, area-area tertentu telur selalu telah dipersiapkan dalam ovarium untuk berkembang menjadi daerahdaerah tertentu embrio. Bagian gelap bulatan animal telur katak yang belum terbuahi, akan tumbuh menjadi bagian kepala embrio, dan bulatan vegetalnya akan berkembang menjadi bagian posteriornya (Jpordan, 1948). Sebelum terbuahi, ovum yang utuh adalah radial simetris, sesudah terbuahi, bidang meridional yang lewat melalui kedua kutub telur (kutub animal dan kutub vegetal), dan titik masuknya sperma, menetapkan sisi kanan dan sisi kiri embrio dan menyiapkan bentuk bilateral simetris embrio. Ketika pembelahan segmentasi berlanjut, dan blastomer (sel-sel hasil pembelahan segmentasi zigot) menjadi semakin kecil ukurannya, beberapa area untuk jaringan dan organ yang khusus, telah tergambar pada blastula. Sehingga, telur tadi akan tersusun membentuk mosaik (petak-petak). Ketika teori mosaik diujikan pada seluruh tipe telur, terbukti bahwa tidak seluruh telur berkembang dengan proses yang sama. Pada pembelahan segmentasi pertama, telur-telur seperti amphibia, amphioxus atau Echinodermata, dua atau empat blastomer pertama, bila dipisahkan dan diberi kesempatan tumbuh akan berkembang menjadi dua atau empat larva yang sempurna seperti berasal dari satu telur yang utuh. Dengan demikian, bahan formatif untuk pertumbuhan atau perkembangan ke arah larva yang sempurna tadi, harus ada dalam setiap dua atau empat blastomer dari hasil segmentasi pertama atau kedua, seperti yang ada di dalam ovum utuh (Patten, 1974). Hal seperti ini tidak terjadi pada telur Annelida, Mollusca dan kebanyakan Arthropoda. Bila dua blastomer pertama telur-telur ini dipisahkan dan diberi kesempatan untuk tumbuh dan berkembang yang sama, mereka akan tumbuh dan berkembang menjadi monster, yang dalam perkembangan selanjutnya dapat dikenali sebagai bagian anterior (bagian kepala) dan bagian posterior (bagian



5



ekor) larva normal. Telur-telur Amphibia, amphioxus dan Echinodermata, oleh Conklin dikatakan memiliki indeterminant cleavage dan telur-telur anelida, moluska dan lainnya disebut sebagai telur determinant cleavage. Telur-telur yang termasuk pada kelompok pertama (kelompok indeterminant cleavage) memiliki ciri yaitu adanya area atau zona-zona oleh pigmen, oleh protoplasma yang jernih atau keruh, atau oleh yolk atau oleh pembeda yang lain, yang bisa dibedakan (Soeminto, 1992).



Gambar 1. Perkembangan normal embrio katak (Willis, 1982)



6



Telur-telur Echinodermata dan telur amphibia bersegmentasi sedemikian rupa sehingga dua atau empat blastomer pertama mengandung jumlah yang sama dari setiap area, dan oleh karenanya setiap blastomer yang dihasilkan telah disuplai oleh tiap-tiap bahan pembangun dan akhirnya mampu membentuk larva utuh. Sementara pada telur anelida dan moluska, segmentasi pertama tidak diikuti dengan pendistribusian jumlah material telur yang sama ke dalam dua atau empat blastomer



pertama,



dan



ketika



blastomer-blastomer



tadi



dipisahkan,



perkembangannya menuju ke arah aborsi. Konsep ini adalah dasar dari teori mosaik Roux tentang perkembangan, yang bila kita lihat nanti banyak sekali mengandung kebenaran



dan



mendukung teori



perkembangan



saat



ini.



Perkembangan seperti yang menjadi titik pandangan Roux dan juga penelitipeneliti lain, tersusun dari diferensiasi sel telur yang kurang lebih homogen dan belum terdiferensiasi dengan prelokasi material yang kasar dan sederhana, menjadi



sel-sel



yang



sangat



terdiferensiasi



dan



terspesialisasi



ketika



perkembangan berlangsung (Soeminto, 1992).



Gambar 2. Embrio stadia gastrula: (a) embrio tidak normal; (b) embrio normal (Abdulgani, 2001)



7



Gambar 3. Embrio stadia neurula: (a) tidak normal; (b) normal (Abdulgani, 2001)



Gambar 4. Embrio katak stadia kungelas plastik ekor: (a) normal; (b) tidak normal (Abdulgani, 2001)



Gambar 5. Berudu tidak normal mati (Abdulgani, 2001)



8



Gambar 6. (c-d) Berudu tidak normal hidup (Abdulgani, 2001)



Gambar 7. (f-g) Berudu normal



9



BAB III METODE PENELITIAN



A. Rancangan Penelitian Dalam penelitian ini, rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Petak Terbagi (Split Plot Design) dengan 5 (lima) perlakuan masing-masing 10 telur. Sebelum dilakukan penelitian, dilakukan penentuan kisaran detergen yang akan digunakan pada penelitian teratologi telur katak. Konsentrasi detergen yang digunakan untuk penelitian ini adalah 0,016g/100ml, 0,024g/100ml, 0,032g/100 ml dan 0,040g/100ml. Masing-masing dimasukkan ke dalam botol plastik berisi air kolam 100 ml, kemudian sejumlah telur katak minimal 10 butir dimasukkan ke dalam gelas plastik berisi detergen. Selain itu terdapat kelompok kontrol (0g/100ml) diperlakukan dengan merendam telur katak dalam air kolam yang tidak diberi detergen.



B. Waktu dan Tempat Hari/Tanggal



: Jum’at - Kamis, 06 – 12 Desember 2019



Waktu



: Menyesuaikan dengan jam kuliah



Tempat



: Laboratorium Struktur Hewan, FPMIPA A UPI



C. Desain Penelitian Penelitian ini dilaksanakan menggunakan desain penelitian ekspreimental dimana penelitian eksperimen ini diartikan sebagai metode penelitian yang digunakan untuk mencari pengaruh perlakuan tertentu terhadap yang lain dalam kondisi yang terkendali.



D. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi penelitian ini adalah telur Rana sp. yang didapat dari daerah kolam Kebun Botani UPI. Telur yang akan dikembangkan merupakan hasil dari fertilisasi katak jantan dan betina yaitu pada saat ampleksus pada hari itu juga di tempat yang sama.



10



Sampel yang digunakan dalam peneltian ini adalah telur Rana sp. yang dipilih secara random dari populasi telur katak yang terdapat di kolam Kebun Botani, Universitas Pendidikan Indonesia.



E. Variabel Penelitian Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Variabel bebas (Independent variabel), yaitu konsetrasi detergen. 2. Variabel terikat (Dependent variabel), yaitu perkembangan embrio katak sampai menjadi berudu. 3. Variabel kontrol meliputi air kolam (medium pemeliharaan embrio) dan suhu.



F. Prosedur Penelitian Tabel 3.1. Alat yang digunakan dalam penelitian Teratologi Telur Katak No



Nama Alat



Jumlah



1.



Gelas plastik



5 buah



2.



Microcam



1 buah



3.



Mikroskop cahaya



1 buah



4.



Alat tulis



5.



Label



1 lembar



6.



Laptop



1 buah



7.



Object glass



5 buah



8.



Pipet



5 buah



9.



Milimeter blok



1 buah



1 set



Tabel 3.2. Bahan yang digunakan dalam penelitian Teratologi Telur Katak No



Nama Bahan



1.



Telur katak



2.



Deterjen



3.



Air kolam



Jumlah 50 ekor 1 bungkus 500 ml



11



Langkah Kerja :



Dicari katak yang sedang amplexus



Telur yang dikeluarkan oleh katak betina diambil



Telur dimasukkan ke dalam 4 gelas plastik berisi larutan detergen dan satu gelas plastik sebagai kontrol



Dicatat hasil pengamatan dan dibuat laporan



Diamati perkembangannya dan dibandingkan dengan kontrol



Bagan Alur 1. Langkah Kerja Pengamatan Teratologi Telur Katak



G. Analisis Data Penelitian dilaksanakan menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Metode deskriptif kualitatif digunakan untuk menggambarkan keadaaan dari embrio katak setelah diberi perlakuan, apakah terjadi kelainan atau tidak. Data berupa deskriptif kuantitatif yang bertujuan menjelaskan fenomena yang ada dengan menggunakan angka-angka untuk menjelaskan karakteristik individu atau kelompok.



12



BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Tabel 4.1. Persentase Embrio Katak yang Hidup dan Mati Konsentrasi



Katak



Persentase



(g/100ml)



A



B



C



D



E



F



G



H



I



J



Hidup



0











































100%



0,016











































100%



0,024











































100%



0,032



-



-



-



-



-



-



-



-



-



-



0%



0,040



-



-



-



-



-



-



-



-



-



-



0%



Keterangan:  = Hidup - = Mati



Tabel 4.2. Persentase Embrio Katak Normal dan Cacat Konsentrasi (g/100ml)



Embrio Katak



Persentase Persentase



A B



C



D



E



F



G



H



I



J



Normal



Cacat



0











































100%



0%



0,016



x



x



x



x











x



x











40%



60%



0,024











x



x







x



x



x



x



x



30%



70%



0,032



-



-



-



-



-



-



-



-



-



-



-



-



0,040



-



-



-



-



-



-



-



-



-



-



-



-



Keterangan:  = Hidup - = Mati x = Cacat (tidak normal)



13



Tabel 4.3. Hasil Penelitian Embrio Katak Konsentrasi 0g/100ml Embrio



Deskripsi



Katak A



- Bentuk



tubuh



Dokumentasi normal



(streamline) - Sumbu tubuh normal - Notokord tampak lurus dari bagian kepala sampai ujung ekor - Sepasang



insang



luar



berkembang dan berfungsi - Memiliki sepasang mata Gambar 8. Berudu Katak A 0g/100ml (Dok. Kelompok 2A, 2019)



B



- Bentuk



tubuh



normal



(streamline) - Sumbu tubuh normal - Notokord tampak lurus dari bagian kepala sampai ujung ekor - Sepasang



insang



luar



berkembang dan berfungsi - Memiliki sepasang mata Gambar 9. Berudu Katak B 0g/100ml (Dok. Kelompok 2A, 2019)



14



Embrio



Deskripsi



Katak C



- Bentuk



tubuh



Dokumentasi normal



(streamline) - Sumbu tubuh normal - Notokord tampak lurus dari bagian kepala sampai ujung ekor - Sepasang



insang



luar



berkembang dan berfungsi - Memiliki sepasang mata Gambar 10. Berudu Katak C 0g/100ml (Dok. Kelompok 2A, 2019)



D



- Bentuk



tubuh



normal



(streamline) - Sumbu tubuh normal - Notokord tampak lurus dari bagian kepala sampai ujung ekor - Sepasang



insang



luar



berkembang dan berfungsi - Memiliki sepasang mata Gambar 11. Berudu Katak D 0g/100ml (Dok. Kelompok 2A, 2019)



15



Embrio



Deskripsi



Katak E



- Bentuk



tubuh



Dokumentasi normal



(streamline) - Sumbu tubuh normal - Notokord tampak lurus dari bagian kepala sampai ujung ekor - Sepasang



insang



luar



berkembang dan berfungsi - Memiliki sepasang mata Gambar 12. Berudu Katak E 0g/100ml (Dok. Kelompok 2A, 2019)



F



- Bentuk



tubuh



normal



(streamline) - Sumbu tubuh normal - Notokord tampak lurus dari bagian kepala sampai ujung ekor - Sepasang



insang



luar



berkembang dan berfungsi - Memiliki sepasang mata Gambar 13. Berudu Katak F 0g/100ml (Dok. Kelompok 2A, 2019)



16



Embrio



Deskripsi



Katak G



- Bentuk



tubuh



Dokumentasi normal



(streamline) - Sumbu tubuh normal - Notokord tampak lurus dari bagian kepala sampai ujung ekor - Sepasang



insang



luar



berkembang dan berfungsi - Memiliki sepasang mata Gambar 14. Berudu Katak G 0g/100ml (Dok. Kelompok 2A, 2019)



H



- Bentuk



tubuh



normal



(streamline) - Sumbu tubuh normal - Notokord tampak lurus dari bagian kepala sampai ujung ekor - Sepasang



insang



luar



berkembang dan berfungsi - Memiliki sepasang mata Gambar 15. Berudu Katak H 0g/100ml (Dok. Kelompok 2A, 2019)



17



Embrio



Deskripsi



Katak I



- Bentuk



tubuh



Dokumentasi normal



(streamline) - Sumbu tubuh normal - Notokord tampak lurus dari bagian kepala sampai ujung ekor - Sepasang



insang



luar



berkembang dan berfungsi - Memiliki sepasang mata Gambar 16. Berudu Katak I 0g/100ml (Dok. Kelompok 2A, 2019)



J



- Bentuk



tubuh



normal



(streamline) - Sumbu tubuh normal - Notokord tampak lurus dari bagian kepala sampai ujung ekor - Sepasang



insang



luar



berkembang dan berfungsi - Memiliki sepasang mata Gambar 17. Berudu Katak J 0g/100ml (Dok. Kelompok 2A, 2019)



18



Tabel 4.4. Hasil Penelitian Embrio Katak Konsentrasi 0,016g/100ml Embrio



Deskripsi



Katak A



Dokumentasi



- Bentuk tubuh bulat (tidak normal) - Sepasang



insang



luar



berkembang dan berfungsi - Memiliki sepasang mata - Ekor normal



Gambar 18. Berudu Katak A 0,016g/100ml (Dok. Kelompok 2A, 2019)



B



- Bentuk tubuh bulat (tidak normal) - Sepasang



insang



luar



berkembang dan berfungsi - Memiliki sepasang mata - Ekor normal



Gambar 19. Berudu Katak B 0,016g/100ml (Dok. Kelompok 2A, 2019)



19



Embrio



Deskripsi



Katak C



Dokumentasi



- Bentuk tubuh bulat (tidak normal) - Sepasang



insang



luar



berkembang dan berfungsi - Memiliki sepasang mata - Ekor normal



Gambar 20. Berudu Katak C 0,016g/100ml (Dok. Kelompok 2A, 2019)



D



- Bentuk tubuh bulat (tidak normal) - Sepasang



insang



luar



berkembang dan berfungsi - Memiliki sepasang mata - Ekor normal



Gambar 21. Berudu Katak D 0,016g/100ml (Dok. Kelompok 2A, 2019)



20



Embrio



Deskripsi



Katak E



- Bentuk



tubuh



Dokumentasi normal



(streamline) - Sumbu tubuh normal - Notokord tampak lurus dari bagian kepala sampai ujung ekor - Sepasang



insang



luar



berkembang dan berfungsi - Memiliki sepasang mata Gambar 22. Berudu Katak E 0,016g/100ml (Dok. Kelompok 2A, 2019)



F



- Bentuk



tubuh



normal



(streamline) - Sumbu tubuh normal - Notokord tampak lurus dari bagian kepala sampai ujung ekor - Sepasang



insang



luar



berkembang dan berfungsi - Memiliki sepasang mata Gambar 23. Berudu Katak F 0,016g/100ml (Dok. Kelompok 2A, 2019)



21



Embrio



Deskripsi



Katak G



Dokumentasi



- Bentuk tubuh bulat (tidak normal) - Sepasang



insang



luar



berkembang dan berfungsi - Memiliki sepasang mata - Ekor normal



Gambar 24. Berudu Katak G 0,016g/100ml (Dok. Kelompok 2A, 2019)



H



- Bentuk tubuh bulat (tidak normal) - Sepasang



insang



luar



berkembang dan berfungsi - Memiliki sepasang mata - Ekor normal



Gambar 25. Berudu Katak H 0,016g/100ml (Dok. Kelompok 2A, 2019)



22



Embrio



Deskripsi



Katak I



- Bentuk



tubuh



Dokumentasi normal



(streamline) - Sumbu tubuh normal - Notokord tampak lurus dari bagian kepala sampai ujung ekor - Sepasang



insang



luar



berkembang dan berfungsi - Memiliki sepasang mata Gambar 26. Berudu Katak I 0,016g/100ml (Dok. Kelompok 2A, 2019)



J



- Bentuk



tubuh



normal



(streamline) - Sumbu tubuh normal - Notokord tampak lurus dari bagian kepala sampai ujung ekor - Sepasang



insang



luar



berkembang dan berfungsi - Memiliki sepasang mata Gambar 27. Berudu Katak J 0,016g/100ml (Dok. Kelompok 2A, 2019)



23



Tabel 4.5. Hasil Penelitian Embrio Katak Konsentrasi 0,024g/100ml Embrio



Deskripsi



Katak A



- Bentuk



tubuh



Dokumentasi normal



(streamline) - Sumbu tubuh normal - Notokord tampak lurus dari bagian kepala sampai ujung ekor - Sepasang



insang



luar



berkembang dan berfungsi - Memiliki sepasang mata Gambar 28. Berudu Katak A 0,024g/100ml (Dok. Kelompok 2A, 2019)



B



- Bentuk



tubuh



normal



(streamline) - Sumbu tubuh normal - Notokord tampak lurus dari bagian kepala sampai ujung ekor - Sepasang



insang



luar



berkembang dan berfungsi - Memiliki sepasang mata Gambar 29. Berudu Katak B 0,024g/100ml (Dok. Kelompok 2A, 2019)



24



Embrio



Deskripsi



Katak C



Dokumentasi



- Bentuk tubuh bulat (tidak normal) - Sepasang



insang



luar



berkembang dan berfungsi - Memiliki sepasang mata - Ekor normal



Gambar 30. Berudu Katak C 0,024g/100ml (Dok. Kelompok 2A, 2019)



D



- Bentuk tubuh bulat (tidak normal) - Sepasang



insang



luar



berkembang dan berfungsi - Memiliki sepasang mata - Ekor normal



Gambar 31. Berudu Katak D 0,024g/100ml (Dok. Kelompok 2A, 2019)



25



Embrio



Deskripsi



Katak E



- Bentuk



tubuh



Dokumentasi normal



(streamline) - Sumbu tubuh normal - Notokord tampak lurus dari bagian kepala sampai ujung ekor - Sepasang



insang



luar



berkembang dan berfungsi - Memiliki sepasang mata Gambar 32. Berudu Katak E 0,024g/100ml (Dok. Kelompok 2A, 2019)



F



- Bentuk tubuh tidak simetris (tidak normal) - Sepasang



insang



luar



berkembang dan berfungsi - Memiliki sepasang mata - Ekor normal



Gambar 33. Berudu Katak F 0,024g/100ml (Dok. Kelompok 2A, 2019)



26



Embrio



Deskripsi



Katak G



Dokumentasi



- Bentuk tubuh bulat (tidak normal) - Sepasang



insang



luar



berkembang dan berfungsi - Memiliki sepasang mata - Ekor normal



Gambar 34. Berudu Katak G 0,024g/100ml (Dok. Kelompok 2A, 2019)



H



- Bentuk tubuh bulat (tidak normal) - Sepasang



insang



luar



berkembang dan berfungsi - Memiliki sepasang mata - Ekor normal



Gambar 35. Berudu Katak H 0,024g/100ml (Dok. Kelompok 2A, 2019)



27



Embrio



Deskripsi



Katak I



Dokumentasi



- Bentuk tubuh tidak simetris (tidak normal) - Sepasang



insang



luar



berkembang dan berfungsi - Memiliki sepasang mata - Ekor normal



Gambar 36. Berudu Katak I 0,024g/100ml (Dok. Kelompok 2A, 2019)



J



- Bentuk tubuh bulat (tidak normal) - Sepasang



insang



luar



berkembang dan berfungsi - Memiliki sepasang mata - Ekor normal



Gambar 37. Berudu Katak J 0,024g/100ml (Dok. Kelompok 2A, 2019)



28



Tabel 4.6. Hasil Penelitian Embrio Katak Konsentrasi 0,032g/100ml Embrio Katak A



Deskripsi



Dokumentasi



Tidak berkembang (mati)



Gambar 38. Berudu Katak A 0,032g/100ml (Dok. Kelompok 2A, 2019)



B



Tidak berkembang (mati)



Gambar 39. Berudu Katak B 0,032g/100ml (Dok. Kelompok 2A, 2019)



C



Tidak berkembang (mati)



Gambar 40. Berudu Katak C 0,032g/100ml (Dok. Kelompok 2A, 2019)



29



Embrio Katak D



Deskripsi



Dokumentasi



Tidak berkembang (mati)



Gambar 41. Berudu Katak D 0,032g/100ml (Dok. Kelompok 2A, 2019) E



Tidak berkembang (mati)



Gambar 42. Berudu Katak E 0,032g/100ml (Dok. Kelompok 2A, 2019) F



Tidak berkembang (mati)



Gambar 43. Berudu Katak F 0,032g/100ml (Dok. Kelompok 2A, 2019) G



Tidak berkembang (mati)



Gambar 44. Berudu Katak G 0,032g/100ml (Dok. Kelompok 2A, 2019)



30



Embrio Katak H



Deskripsi



Dokumentasi



Tidak berkembang (mati)



Gambar 45. Berudu Katak H 0,032g/100ml (Dok. Kelompok 2A, 2019) I



Tidak berkembang (mati)



Gambar 46. Berudu Katak I 0,032g/100ml (Dok. Kelompok 2A, 2019) J



Tidak berkembang (mati)



Gambar 47. Berudu Katak J 0,032g/100ml (Dok. Kelompok 2A, 2019)



31



Tabel 4.7. Hasil Penelitian Embrio Katak Konsentrasi 0,040g/100ml Embrio Katak A



Deskripsi



Dokumentasi



Tidak berkembang (mati)



Gambar 48. Berudu Katak A 0,040g/100ml (Dok. Kelompok 2A, 2019)



B



Tidak berkembang (mati)



Gambar 49. Berudu Katak B 0,040g/100ml (Dok. Kelompok 2A, 2019)



C



Tidak berkembang (mati)



Gambar 50. Berudu Katak C 0,040g/100ml (Dok. Kelompok 2A, 2019)



32



Embrio Katak D



Deskripsi



Dokumentasi



Tidak berkembang (mati)



Gambar 51. Berudu Katak D 0,040g/100ml (Dok. Kelompok 2A, 2019) E



Tidak berkembang (mati)



Gambar 52. Berudu Katak E 0,040g/100ml (Dok. Kelompok 2A, 2019) F



Tidak berkembang (mati)



Gambar 53. Berudu Katak F 0,040g/100ml (Dok. Kelompok 2A, 2019) G



Tidak berkembang (mati)



Gambar 54. Berudu Katak G 0,040g/100ml (Dok. Kelompok 2A, 2019)



33



Embrio Katak H



Deskripsi



Dokumentasi



Tidak berkembang (mati)



Gambar 55. Berudu Katak H 0,040g/100ml (Dok. Kelompok 2A, 2019) I



Tidak berkembang (mati)



Gambar 56. Berudu Katak I 0,040g/100ml (Dok. Kelompok 2A, 2019) J



Tidak berkembang (mati)



Gambar 57. Berudu Katak J 0,040g/100ml (Dok. Kelompok 2A, 2019)



34



Tabel 4.8. Pengaruh Perlakuan Deterjen Terhadap Kematian dan Kecacatan Berudu Katak Jumlah Stadium



Embrio



(g/100ml)



Mati



Hidup



Normal



Cacat



10



0



0



100



100



0



10



0,016



0



100



40



60



10



0,024



0



100



30



70



10



0,032



100



0



0



100



10



0,040



100



0



0



100



(ekor) Berudu



Jumlah (%)



Konsentrasi



120 100



100



100



100



100



Persentase (%)



100 80 60 40 20



0



0



0



0



0



0,016 0,024 0,032 Konsentrasi (g/100ml)



0,040



0 0



Mati



Hidup



Gambar 58. Persentase Embrio Katak yang Hidup dan Mati



35



120 100



100



100



Persentase (%)



100 80



70 60



60 40 40



30



20 0



0



0



0 0



0,016 0,024 0,032 Konsentrasi (g/100ml)



Normal



0,040



Cacat



Gambar 59. Persentase Embrio Katak Normal dan Cacat



B. Pembahasan Daya tetas embrio dinyatakan dengan berudu yang tetap hidup saat menetas (hatching). Pengaruh perlakuan deterjen LAS terhadap kematian berudu saat menetas dan terjadinya berudu yang tidak normal yang hidup saat menetas disajikan pada tabel 4.8. Hasil analisis statistik dengan ANAVA Oneway pada lampiran 1 menunjukkan tidak terdapat beda yang nyata (p>0,05) terjadinya kematian embrio terhadap tiap perlakuan deterjen LAS sampai menetas menjadi berudu. Pada tabel 4.8 terlihat bahwa persentase kematian berudu pada perlakuan deterjen LAS konsentrasi 0,032g/100ml dan 0,040 g/100ml meningkat apabila dibandingkan dengan kontrol. Pengamatan lebih lanjut untuk mengetahui daya tahan hidup berudu yang tidak normal (cacat) saat menetas sampai pengamatan 7 hari. Saat itu insang dalam sudah terbentuk dan berudu siap bermetamorfosis. Bentuk ketidaknormalan berudu setelah 7 hari perlakuan adalah ukuran panjang tubuh lebih pendek, dengan ekor yang pendek, sumbu tubuh yang tidak normal dengan ekor yang melengkung ke kanan atau ke kiri, kemudian sirip ekor yang berlekuk-lekuk, dan kepala kecil atau terdapat lekukan (tidak normal). Bentuk ketidaknormalan dapat dilihat pada tabel hasil pengamatan (tabel 4.3-4.7). Bentuk berudu yang normal dengan sumbu tubuh lurus, terlihat



36



notokord tampak lurus dari kepala sampai ujung ekor dan sirip ekor lurus. Kepala tidak menjadi kecil dan kedua mata berkembang normal kanan dan kiri. Dari hasil analisis statistik di dapatkan bahwa perlakuan berbagai konsentrasi deterjen LAS pengaruhnya tidak berbeda baik pada kematian embrio maupun kematian berudu saat menetas. Walaupun demikian dapat dilihat bahwa persentase kematian embrio/telur meningkat pada konsentasi 0,032g/100ml dan 0,040 g/100ml meningkat apabila dibandingkan dengan konsentasi yang lainnya serta control 0g/100ml (tanpa perlakuan). Pada saat menetas, terdapat berudu yang abnormal tetapi tetap hidup dan berudu yang mati. Berudu yang mati berasal dari embrio abnormal yang pada saat menetas mengalami hambatan untuk beradaptasi. Embrio yang menetas dalam keadaan hidup dan cacat lebih besar dibandingkan dengan embrio yang mati. Setelah 7 hari berudu tersebut tetap hidup walaupun cacat. Dari hasil pengamatan persentase embrio cacat yang tetap hidup setelah menetas dapat disimpulkan bahwa perlakuan deterjen LAS pada konsentrasi 0,016g/100ml dan 0,024g/100ml tidak menurunkan daya tetas embrio katak. Salah



satu



abnormalitas



berudu



yang



terlihat



yaitu



adanya



abnormallitas sumbu tubuh yang terlihat dari tubuh berudu yang tidak stream line dengan ekor yang melengkung dan sirip ekor yang berlekuk-lekuk juga kelainan di bagian kepala yang berlekuk atau tidak seperti berudu normal pada umumnya. Menurut Plowman dkk. (1991) kepala yang berlekuk atau tidak seperti berudu normal pada umumnya kemungkinan merupakan hasil gangguan pada saat pembentukan kepala yang tidak selesai. Gangguan perkembangan embrio yang menyebabkan abnormalitas sumbu tubuh adalah gangguan pembentukan notokord yang menurut Carlson (1996) merupakan suatu organ embrional yang berfungsi sebagai sumbu tubuh embrio. Notokord terbentuk dari korda mesoderm yang berasal dari permukaan embrio yang berinvolusi saat gastrulasi dan memisahkan diri dari mesoderm. Jadi gangguan perkembangan embrio saat gastrulasi dapat menyebabkan terjadinya abnormalitas sumbu tubuh pada berudu katak. Gangguan pada pembentukan notokord juga akan memengaruhi terjadinya abnormalitas pada kepala dan



37



mata. Menurut Yatim (1994) dan Carlson (1996), notokord akan menginduksi ektoderm yang ada di atasnya untuk terjadinya neurulasi sehingga terbentuk bumbung neural. Bumbung neural bagian anterior diferensiasi untuk pembentukan otak, dan bentuk kepala tergantung dari proses pembentukan otak. Saat ujung posterior bumbung neural menutup, terbentuk penonjolan baru yaitu vesikula optic yang menonjol dari kedua sisi lateral otak depan. Vesikula optic kontak dengan ektoderm dan melakukan induksi untuk pembentukan lens plakode.



38



BAB V KESIMPULAN DAN SARAN



A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian tentang pengaruh deterjen LAS terhadap perkembangan embrio adalah sebagai berikut: 1.



Deterjen LAS dapat meningkatkan terjadinya embrio dan berudu yang tidak normal. Persentase embrio yang tidak normal semakin besar dengan meningkatnya kosentrasi deterjen LAS.



2.



Deterjen LAS konsentasi 0,016g/100ml air dan 0,024g/100ml air tidak menurunkan daya tetas embrio katak. Walaupun demikian semakin tinggi konsentrasi deterjen LAS akan mengakibatkan persentase kematian embrio meningkat.



3.



Pada saat menetas persentase berudu yang tidak normal turun karena berudu yang abnormal gagal untuk menetas dan mengalami kematian.



4.



Dosis yang paling berpengaruh terhadap daya tetas embrio katak yaitu pada konsentrasi 0g/100ml, 0,016g/100ml dan 0,024g/100ml, sedangkan dosis yang tidak berpengaruh yakni konsentrasi 0,032g/100ml dan 0,040g/100ml.



B. Saran Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa zat pencemar di lingkungan perairan akan berpengaruh terhadap perkembangan embrio katak, terutama pada periode kritisnya, yaitu setelah terjadinya diferensiasi.Karena itu katak dapat digunakan sebagai indikator biologis terjadinya pencemaran pada perairan.



39



DAFTAR PUSTAKA



Arie, Usni. (1999). Pembibitan dan Pembesaran Bullfrog. Malang: Penebar Swadaya. Campbell. (2008). Biology 8th Edition. San Fransisco: Pearson Benjamin Cummings. Firmansyah, R. (2007). Mengenal Amphibi. Bandung: ARMICO. JPordan, H.E. and J.E. Kinred. (1948). Textbook of Embryology. New York: D. Appleton-Century Co., Inc. Komen, J. (1990). Clones of Common Carp, Cyprinus carpio. New Perspectives in Fish Research. Thesis. Agricultural University. Wageningen. 1–44. Lewis, M. A. (1991). Chronic and sublethal Toxicities of Sutfactans to Aquatic Animals : A Review and Risk Assessment. Wat. Res 25 (1) : 101-113. Misyura, A. N. (1996). Amphibians under Pollution Impact in Ukraine. Froglog. Nasaruddin. (2008). Karakteristik Habitat dan Beberapa Aspek Biologi Kodok Raksasa (Limnonectes cf. grunniens). Vol.9 No.4 : 182-187. Diakses dari: http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/udejournal/7.%20na s aruddin.pdf Patten, B.M. (1974). Foundations of Embryology. New Delhi: McGrawHillbook Co., Inc. Retnaningdyah, C. L., W. J. Sadinski and W. A. Dunson. (1992). Effect of Acute and Chronic Acidification on Three Larval Amphibians That Breed in Temporary Ponds. Arch. Environ. Contam. Toxical., 23 (3) : 339-50. Russel, R. W., S. J. Hecnar and G. D. Haffner. (1996). Organochlorine Pesticide Resident in Southern Ontario. Env. Tox. Chem. 14 : 815-817 Soeminto, T. (1992). Dasar-dasar Embriologi I. (Diterjemahkan dari Foundations of Embryology, Patten, B.M. 1954). Purwokerto: Fakultas Biologi Unsoed. Soeminto, T. (1996). Pokok-pokok Embriologi Perbandingan pada Vertebrata. (Diterjemahkan dari Fundamentals of Comparatives Embryology of The Vertebrates, Huettner, F.A. 1961). Purwokerto: Fakultas Biologi Unsoed, Purwokerto.



40



Terzig, S., D. Hrsak and M. Ahel. (1992). Primary Biodegradation Kinetics of Linear Alkylbenzene Sulphonates in Estuarine Waters. Wat . Res. 26 (5) : 585-591.



41



DAFTAR PUSTAKA GAMBAR



Gambar 1. Perkembangan normal embrio katak Willis, W. M. (1982). Atlas of Descriptive Embryology, 4th Ed. Mc Millan Publ. Co. New York. Gambar 2. Embrio stadia gastrula: (a) embrio tidak normal; (b) embrio normal Abdulgani, N. (2001). Pengaruh Surfaktan Deterjen Linear Alkylbenzene Sulfonate terhadap Perkembangan Embrio Katak Fejervarya cancrivora. Tesis. Universitas Airlangga Surabaya. [Halaman 48] Gambar 3. Embrio stadia neurula: (a) tidak normal; (b) normal Abdulgani, N. (2001). Pengaruh Surfaktan Deterjen Linear Alkylbenzene Sulfonate terhadap Perkembangan Embrio Katak Fejervarya cancrivora. Tesis. Universitas Airlangga Surabaya. [Halaman 50] Gambar 4. Embrio katak stadia kungelas plastik ekor: (a) normal; (b) tidak normal Abdulgani, N. (2001). Pengaruh Surfaktan Deterjen Linear Alkylbenzene Sulfonate terhadap Perkembangan Embrio Katak Fejervarya cancrivora. Tesis. Universitas Airlangga Surabaya. [Halaman 51] Gambar 5. Berudu tidak normal mati Abdulgani, N. (2001). Pengaruh Surfaktan Deterjen Linear Alkylbenzene Sulfonate terhadap Perkembangan Embrio Katak Fejervarya cancrivora. Tesis. Universitas Airlangga Surabaya. [Halaman 53] Gambar 6. (c-d) Berudu tidak normal hidup Abdulgani, N. (2001). Pengaruh Surfaktan Deterjen Linear Alkylbenzene Sulfonate terhadap Perkembangan Embrio Katak Fejervarya cancrivora. Tesis. Universitas Airlangga Surabaya. [Halaman 53] Gambar 7. (f-g) Berudu normal Abdulgani, N. (2001). Pengaruh Surfaktan Deterjen Linear Alkylbenzene Sulfonate terhadap Perkembangan Embrio Katak Fejervarya cancrivora. Tesis. Universitas Airlangga Surabaya. [Halaman 53]



42



Lampiran 1. Analisis Varian Daya Tetas Embrio Terhadap Perlakuan Deterjen LAS



43