A-Tugas Akhir Bab 1-3 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Alterasi batuan ultramafik yaitu serpentinisasi, pengubahan mineralmineral pada batuan ultramafik sehingga teksturnya ikut berubah. Serpentinisasi adalah suatu reaksi eksotermis, hidrasi dimana air bereaksi dengan mineral mafik seperti olivin dan piroksin untuk menghasilkan lizardit, antigorit dan krisotil (Palandri dan Reed, 2004). Proses serpentinisasi akan menyebabkan perubahan tekstur mineralogi dan senyawa pada mineral olivin dan piroksin pengurangan atau perubahan komposisi unsur Mg, Ni, dan Fe pada mineralnya (Ahmad, 2006). Batuan



ultramafik



terserpentinisasi



yang



tersingkap



dipermukaan



bumi



selanjutnya akan mengalami proses laterisasi dan membentuk endapan laterit. Sumberdaya mineral endapan nikel laterit hanya dikenal satu tipe sumber batuan ultramafik, yaitu batuan ultramafik terserpentinisasi (Boldt, 1967; Elias, 2002). Pengetahuan tentang serpentinisasi dan kemampuan mengidentifikasi mineral-mineral serpentin sangat bermanfaat terhadap eksplorasi utamanya terhadap endapan nikel laterit. Mayoritas produksi bijih nikel laterit secara global berasal dari hasil pelapukan kimia batuan ultramafik terserpentinkan dan hanya sebagian kecil yang berasal dari batuan ultramafik yang tidak terserpentinkan (Freyssinet dkk, 2005). PT. Oti Eya Abadi merupakan perusahaan nikel yang berada didaerah Siumbatu, Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah. Perusahaan ini telah melakukan eksplorasi dan penambangan nikel laterit.



1



Namun, belum adanya data penelitian mengenai alterasi batuan ultramafik pada daerah tersebut. Hal inilah yang melatarbelakangi penulis melakukan penelitian dengan menggunakan metode analisis petrografi dan XRD (X-Ray Diffraction). 1.2 Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah pada penelitian ini sebagai berikut : 1. Apa saja mineral-mineral alterasi pada batuan ultramafik Daerah Siumbatu? 2. Apa saja tipe alterasi batuan ultramafik pada Daerah Siumbatu? 3. Bagaimana pengaruh alterasi batuan ultramafik terhadap laterisasi pada Daerah Siumbatu? 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian sebagai berikut : 1. Mengetahui mineral-mineral alterasi batuan ultramafik pada Daerah Siumbatu. 2. Mengetahui tipe alterasi batuan ultramafik pada Daerah Siumbatu. 3. Mengetahui pengaruh alterasi batuan ultramafik terhadap laterisasi pada Daerah Siumbatu. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini di harapkan dapat memberikan manfaat untuk ilmu pengetahuan dan pemanfaatan sumber daya geologi di antaranya : 1. Menjadi bahan pembelajaran dan menambah pemahaman terhadap alterasi batuan ultramafik dan pengaruhnya terhadap laterisasi.



2



2. Menghasilkan peta alterasi batuan ultramafik daerah Siumbatu pada PT. Oti Eya Abadi. 3. Memudahkan para ahli geologi untuk menambah pengetahuan tentang alterasi batuan ultramafik dan memudahkan dalam eksplorasi pada nikel laterit. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian dibatasi oleh beberapa hal, yakni : 1. Penelitian ini dilakukan di daerah Siumbatu, Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah. 2. Metode yang digunakan dalam analisis penelitian ini adalah metode petrografi untuk mengetahui mineral batuan yang terdapat pada daerah penelitian dan menggunakan metode XRD (X-Ray Difraction) untuk mengetahui komposisi mineral lempung dalam menentukan tipe alterasi pada daerah penelitian. 1.6 Lokasi Penelitian Secara administratif daerah penelitian termasuk dalam daerah Siumbatu, Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah. Secara astronomis daerah penelitian terletak pada 121°56'00" - 121°57'00" BT dan 2°41'00" - 2°42'00" LS dengan luas daerah penelitian ± 3,40 km 2 . Jarak dari Kota Palu menuju daerah penelitian sekitar ±625 Km dengan waktu tempuh ±12 jam perjalanan menggunakan kendaraan roda dua dan roda empat.



3



Gambar 1.1 Peta Lokasi Penelitian



1.7 Penelitian Terdahulu 1. T.O Simandjuntak, dkk (1993), memetakan daerah penelitian secara regional dalam Peta Geologi Lembar Bungku. 2. Sufriadin (2013), meneliti tentang mineralogi, geokimia dan proses ”leaching” pada endapan nikel laterit di Soroako, Sulawesi Tenggara. 3. Aditya Febrianto Ramadhan (2017) meneliti tentang Hubungan tingkat serpentinisasi terhadap karakteristik perkembangan nikel laterit di daerah Gumbil dan Kalang Batang, Kecamatan Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan.



4



4. Faris Ahad Sulistyohariyanto dan Joko Soesilo (2017), meneliti tentang serpentinisasi pada ofiolit Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan. 5. Adi Tonggiroh (2019), meneliti tentang geokimia serpentinisasi, ultramafik dan potensi sumberdaya mineral di Sulawesi Selatan – Sulawesi Tenggara. 6. Sufriadin, dkk (2017), meneliti tentang karateristik mineral bijih pada batuan ultramafik di daerah Latao, Kolaka Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara.



5



BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Geologi Regional Secara regional daerah penelitian termasuk kedalam bagian dari mandala timur dan mengacu kepada peta geologi tinjau lembar Bungku skala 1 : 250.000 (T.O Simandjuntak, E. Rusmana, J.B Supandjono, A. Koswara, 1993). (Gambar 2.1)



Gambar 2.1 Geologi regional Bungku dan sekitarnya. (Modifikasi dari T.O Simandjuntak, E. Rusmana, J.B Supandjono, A. Koswara, 1993)



6



Batuan kompleks ofiolit dan sedimen pelagis di Lengan Timur dan Tenggara Sulawesi dinamakan Sabuk Ofiolit Sulawesi Timur. Sabuk ini terdiri atas batuan-batuan mafik dan ultramafik disertai batuan sedimen pelagis dan melange di beberapa tempat. Batuan ultramafik dominan di Lengan Tenggara, tetapi batuan mafiknya dominan lebih jauh ke utara, terutama di sepanjang pantai utara lengan Tenggara Sulawesi. Sekuen ofiolit yang lengkap terdapat di Lengan Timur, meliputi batuan mafik dan ultramafik, pillow lava dan batuan sedimen pelagis yang didominasi limestone laut dalam serta interkalasi rijang berlapis. Berdasarkan data geokimia sabuk Ofiolit Sulawesi Timur ini diperkirakan berasal dari mid- oceanic ridge (Surono, 1995., dalam Sompotan, 2012). 2.1.2 Geomorfologi Regional Morfologi daerah Lembar Bungku dapat dibagi menjadi lima satuan, yakni dataran rendah, dataran menengah, perbukitan bergelombang, karst dan pegunungan. (T.O Simandjuntak, E. Rusmana, J.B Supandjono, A. Koswara, 1993). 1. Morfologi dataran randah umumnya mempunyai ketinggian antara 0 dan 50 m di atas muka laut. Dataran ini menempati daerah sepanjang pantai timur Lembar, kecuali pantai dekat desa Todua, Tabo dan Lalompe. Batuan penyusunnya terdiri atas endapan sungai, pantai dan rawa. 2. Morfologi dataran menengah menempati daerah sekitar Desa Tokolimbu dan Tosea yang terletak di pantai timur Danau Towuti, serta daerah yang terletak antara Danau Mahalona dan Bulu Biniu. Dataran ini tersusun oleh endapan danau, dan memiliki ketinggian sekitar 300 mdpl atas muka laut.



7



3. Morfologi pebukitan bergelombang, dengan ketinggian antara 100 - 400 mdpl. Pebukitan ini menempati daerah antara S. Ongkaya dan S. Bulu Mbelu, sebelah utara Peg. Verbeek, sekitar daerah Lamona, sekitar daerah Bahu Mahoni, sekitar Kampung Tabo serta di sekitar Bulu Talowa. Batuan penyusun pebukitan ini ialah batuan sedimen dan Formasi Tomata. 4. Morfologi karst, memiliki ketinggian antara 400 - 800 mdpl, dicirikan oleh adanya pebukitan kasar, sungai bawah tanah dan dolina. Pebukitan kars meliputi daerah S. Ongkaya, S. Tetambahu, antara S. Bahu Mbelu dan S, Wata, antara S. Ambuno ke arah tenggara sampai sekitar G. Wahombaja, serta daerah pebukitan selatan membentang dan Peg. Wawoombu di barat sampai Peg. Lalompa di timur. Daerah pebukitan kras ditempati oleh batuan karbonat dan Formasi-formasi Tokala, Matano dan Salodik. 5. Morfologi Pegunungan, umumnya ditempati oleh batuan ultramafik, berketinggian lebih dari 700 mdpl. Daerah pegunungan ini menempati lebih dan separuh daerah Lembar, yakni pegunungan sekitar punggungan pemisah air Bulu Karoni yang ke arah baratlaut-tenggara, serta punggungan pemisah air Wawoombu yang arahnya baratdaya-timurlaut. Puncaknya antara lain Bulu Lampesu (1068) dan Bulu Karoni (1422). 2.1.3 Stratigrafi Regional Stratigrafi regional daerah penelitian dan sekitarnya terdiri dari Formasi Tokala, Kompleks Ultramafik, dan Endapan Aluvium.



8



a. TRJt Formasi Tokala : perselingan batugamping klastika, batupasir sela, wake, serpih, napal dan lempung pasiran dengan sisipan argilit. Batugamping klastika, berwarna kelabu muda, kelabu sampai merah jambu, berbutir halus, sangat padu, serta memiliki perlapisan yang baik, dengan kekar yang diisi urat kalsit putih kotor. Umumnya telah mengalami pelipatan kuat; tidak jarang ditemukan sinklin dan antiklin, serta lapisan yang hampir tegak (melebihi 80o). Setempat terdaunkan. Batupasir sela, berukuran halus sampai kasar, berwarna kelabu kehijauan sampai merah kecoklatan terakat lempung dan oksida besi lunak, setempat padat, mengandung sedikit kuarsa, berlapis baik. Wake, berwarna kelabu kehijauan sampai kecoklatan, berbutir sedang sampai kasar, terekat lempung. Perlapisan berkisar dari tidak jelas sampai baik. Di beberapa tempat tampak perlapisan bensusun; tebal lapisan mencapai 50 cm. Serpih dan napal, berwarna kelabu sampai kekbu tua, memiliki perlapisan baik, tebal lapisan antara 10 - 20 cm. Lempung pasiran, berwarna kelabu sampai kecoklatan, perlapisan baik, tebal lapisan antara 1 - 10 cm berselingan dengan batuan yang disebutkan terdahulu. Argilit, menunjukkan kesan rijang, berwarna kelabu, beberapa sisipan. Batugamping, mengandung fosil Halobia, Amonit dan belemnit yang diperkirakan berumur Trias Jura Awal dan lingkungan laut dangkal (neritik). Formasi Tokala tersingkap di bagian selatan dan tenggara Lembar. Sedang nama formasi berdasarkan pada tempat singkapan yang baik di G. Tokala, Lembar Batui (Surono, drr., 1984). Satuan batuan ini berketebalan melebihi 1000 m,



9



secara selaras tertindih Formasi Nanaka dan secara tektonik bersentuhan dengan batuan ultramafik. b. Ku Kompleks Ultramafik : harzburgit, lherzolit, wehrlit, websterit, serpentinit, dunit, diabas dan gabro. Harzburgit, berwana hijau sampai kehitaman, padat dan pejal setempat ada perhaluan mineral; tersusun dan mineral halus sampai kasar, terdiri atas olivin (sekitar 55%), dan piroksen (sekitar 35%), serta mineral serpentin sebagai hasil ubahan piroksen dan olivin (sekitar 10%). Setempat dijumpai blastomilonit dan porfiroblas dengan megakris piroksen yang tumbuh dengan massadasar minolit. Lherzolit, berwarna hijau kehitaman, pejal dan padat, berbutir sedang sampai kasar hipidiomorf. Di beberapa tempat terdapat tekstur ofit dan poikilitik. Batuan terutama terdiri dari mosaik olivin dan piroksen-klino atau piroksenorto; yakut dan epidot merupakan mineral ikutan. Nampaknya batuan ini telah mengalami gejala penggerusan yang dicirikan oleh pelengkungan pada kembaran polisintesis dan pada mineral piroksen. Werhlit berwarna kehitaman, pejal dan padat, berbutir halus sampai kasar, alotriomoif. Batuan terutama terdiri atas olivin, dan kadang-kadang piroksen klino. Mineral olivin, dan piroksen hampir seluruhnya memperlihatkan retakan dalam jalur memanjang yang umumnya terisi serpentin dan talkum, strukturnya menyerupai jala. Gejala deformasi telah terjadi dalam batuan ini dengan diperlihatkannya penyimpangan dan pelengkungan kembaran yang dijumpai pada mineral piroksen klino. Setempat mineral olivin selain terubah



jadi



serpentin



dan talkum,



10



juga jadi



igningsit coklat kemerahan. Websterit, berwarna hijau



kehitaman, padat dan pejal. Terutama tersusun oleh mineral olivin dan piroksen klino, berukuran halus sampai sedang, serta hampir seluruh kristalnya berbentuk anhedron. Serpentin hasil ubahan olivin dan piroksen terutama mengisi rekahan kristal tembah, dan membentuk struktur jala. Batuan mengalami penggerusan, hingga setempat terdapat pemilonitan dalam ukuran sangat halus dan memperlihatkan struktur kataklastik. Klorit, zoisit dan mineral gelap, terdapat terutama pada lajur milonit, kecuali itu mineral ini terdapat pula di seluruh bagian batuan. Serpentinit, berwarna kelabu tua sampai hijau kehitaman, pejal dan padat. Mineral penyusunnya terdiri dari antigont, lempung dan magnetit, berbutir halus, dengan retakan tidak teratur, yang umumnya terisi magnetit hitam kedap. Mineral lempung berwarna kelabu, sangat halus, berkelompok pada beberapa tempat. Batuan ini umumnya memperlihatkan struktur kekar dan cermin sesar (slickenside) yang dapat dilihat dengan mata telanjang. Diabas, berwarna kelabu, kelabu kehijauan sampai hitam kehijauan, padat dan pejal, berbutir halus sampai sedang, setempat hablur penuh. Mineral penyusunnya terdiri atas plagioklas, ortoklas, piroksen dan bijih, jenis plagioklasnya labradorit. Di beberapa tempat batuan terubah kuat. Dunit, berbutir halus sampai kasar, berwarna kehijauan, kelabu kehijauan sampai kehitaman, pejal dan padat. Setempat tampak porfiroblastik. Susunan mineral terdiri atas olivin (sekitar 90%), piroksen, plagiokias, dan bijih; mineral ubahan terdiri dari serpentin, talkum, dan klorit, masing-masing



11



hasil ubahan olivin dan piroksen. Di beberapa tempat batuan terubah kuat; memperlihatkan struktur sarang, bank-bank, bentuk sisa, dan bentuk semu dengan serpentin dan talkum sebagai mineral pengganti. Gabro, berbintik hitam, berbutir Sedang sampai kasar, padat dan pejal. Mineral penyusunnya terdiri atas plagioklas, dan olivin jenis plagioklas yakni labradorit-bitaonit. Sebagian olivin terubah jadi antigorit, dan bijih, plagioklas jadi serisit. Batuan ini ditemukan berupa retas menerobos batuan ultramafik. (T.O Simandjuntak, E. Rusmana, J.B Supandjono, A. Koswara, 1993). c. Qa Aluvium : lumpur, lempung, pasir, kerikil, dan kerakal. Lempung, berwarna coklat muda sampai coklat tua; kelabu tua sampai kehitaman berselingan dengan pasir, kerikil dan kerakal. Sebagian endapan danau agak padat. Tebal lapisannya beberapa cm sampai puluhan cm. Pasir, berwarna coklat, berbutir halus sampai kasar, perlapisan buruk dan tidak padat. Tebalnya dari beberapa cm sampai puluhan cm. Setempat membentuk struktur perlapisan bersusun, mengandung sisa tumbuhan. Kerikil dan kerakal, bersifat lepas dan kemas terbuka; komponennya berukuran sampai 5 cm, membulat-tanggung sampai membulat, terdiri atas kepingan batuan ultramafik, sedimen malih, kuarsit, batugamping terdaunkan dan rijang. Aluvium berupa endapan sungai, rawa, danau dan pantai; diperkirakan berumur Plistosen - Holosen. Sebarannya terdapat di sepanjang tepi danau dan pantai timur Lembar Bungku. 2.1.4 Struktur dan Tektonik Geologi Regional



12



Struktur utama di lembar Bungku berupa sesar dan lipatan. Sesar meliputi sesar turun, sesar geser, sesar naik dan sesar sungkup. Penyesaran diduga berlangsung sejak Mesozoikum. Sesar Matano merupakan sesar utama dengan arah baratlaut-tenggara. Sesar ini menunjukkan gerakan mengiri, diduga bersambung dengan Sesar Sorong. Keduanya merupakan satu sistem sesar jurus yang mungkin telah terbentuk sejak Oligosen. Kelanjutannya diperkirakan pada Sesar Palu-Koro yang juga menunjukkan gerakan mengiri (di luar Lembar Bungku; diperkirakan masih aktif). Sesar yang lain di daerah ini lebih kecil dan merupakan sesar tingkat kedua atau mungkin tingkat ketiga. Lipatan yang terdapat di Lembar ini tergolong lipatan terbuka, tertutup, dan pergentengan. Lipatan terbuka berupa lipatan lemah yang mengakibatkan kemiringan lapisan tidak melebihi 35°. Lipatan ini terdapat dalam batuan yang berumur Miosen hingga Plistosen. Biasanya sumbu lipatannya menggelombang dan berarah barat-timur sampai baratlaut-tenggara. Lipatan tertutup berupa lipatan sedang sampai kuat yang mengakibatkan kemiringan lapisan dan 50° sampai tegak. Setempat, lapisan itu hingga terbalik. Lipatan ini terdapat dalam batuan sedimen Mesozoikum, dengan sumbu lipatan yang umunmya berarah baratlauttenggara. Diduga, lipatan ini terbentuk pada Oligosen atau lebih tua. Lipatan pergentengan (superimposed fold) terdapat dalam satuan batuan Mesozoikum, pada Mendala Sulawesi Timur dan Mendala Banggai-Sula. Sumbu lipatannya berarah baratlaut-tenggara. Kekar terdapat dalam hampir semua satuan batuan, tetapi terutama dalam batuan beku dan batuan sedimen Mesozoikum. Terjadinya mungkin dalam



13



beberapa perioda, sejalan dengan perkembangan tektonik di daerah ini. Sejarah pengendapan batuan sedimen dan perkembangan tektonik di Lembar Bungku diduga sangat erat hubungannya dengan perkembangan Mendala Banggai-Sula yang sudah terkratonkan pada akhir Paleozoikum. Pada Zaman Trias, terjadi pengendapan Formasi Tokala yang berlangsung sampai Jura Awal. Kemudian pada Jura Akhir menyusul pengendapan Formasi Nanaka secara selaras di atasnya. Pada Eosen Akhir-Miosen Awal, Formasi Salodik diendapkan secara tidak selaras di atasnya; lingkungannya laut dangkal sampai darat. Ketiga satuan ini terbentuk di tepian benua yang saat ini berupa Mendala Banggai - Sula. Di bagian lain, dalam cekungan laut-dalam di barat Banggai-Sula, pada Zaman Jura terendapkan bahan pelagos Formasi Masiku. Pengendapan ini terus berlangsung hingga awal Zaman Kapur. Formasi Matano secara selaras terendapkan di atas Formasi Masiku. Kedua satuan ini terendapkan di laut dalam. Pada Zaman Paleogen Akhir pengendapan batuan karbonat Formasi Salodik berlangsung dalam busur luar yang semakin mendangkal. Proses ini berlangsung sampai awal Kala Miosen. Pada Kala Oligosen, Sesar Sorong yang menerus ke Sesar Matano dan Palu-Koro mulai aktif dalam bentuk sesarjurus mendatar, sehingga benua mini Banggai-Sula bergerak ke arah barat dan memisahkan diri dan Benua Australia. Pada Kala Miosen Tengah, bagian timur kerak samudra di Mendala Sulawesi Timur menumpang tindih (obducted) benua mini Banggai - Sula yang bergerak ke arah barat lajur penunjaman dan busur luar tersungkupkan (overthrusted) di atas rumpang parit busur gunungapi, yang mengakibatkan ketiga mendala geologi tersebut saling berdempetan. Pada akhir Miosen hingga Pliosen



14



batuan klastika halus sampai kasar dan bagian bawah Formasi Tomata mulai terendapkan dalam lingkungan laut-dangkal dan terbuka. Pada Kala Pliosen keseluruhan daerah mengalami orogenesa yang dibarengi oleh lipatan dan sesar bongkah, mengakibatkan terbentuknya cekungan kecil dan dangkal. Batuan klastika kasar dan bagian atas Formasi Tomata terendapkan di dalamnya, kemudian seluruh daerah terangkat. Pada bagian tertentu, endapan aluvium, danau, sungai dan pantai berlangsung terus hingga sekarang. (T.O Simandjuntak, E. Rusmana, J.B Supandjono, A. Koswara, 1993). 2.1.5 Sumberdaya Mineral Bahan galian yang ditemukan di daerah Bungku di antaranya nikel, bijih besi, pasir besi, minyak bumi, batugamping, batuan beku, pasir dan kerikil. Bijih tersebut biasanya terdapat dalam endapan laterit berasal dan batuan ultramafik yang melapuk. Bijih nikel ini biasanya berasosiasi dengan bijih besi, yang merupakan lapisan penutup endapan laterit yang biasanya berupa daerah datar (PT. Inco, 1972; Sukamto, 1975).  Pasir besi berupa endapan pantai setebal 1 - 2 m, ditemukan disepanjang pantai mulai dan Wata sampai Wosu, di bagian timurlaut Lembar. Endapan tersebut pernah diteliti oleh PT. Indochrom pada tahun 1978/1979. Rembesan minyak bumi merupakan petunjuk adanya sumber minyak bumi, yang banyak dijumpai terutama di sepanjang S. Wosu, di bagian timurlaut Lembar; diduga berasal



dari



satuan



batuan



sedimen



Mendala



Banggai-Sula.



Dengan



diketemukannya rembesan minyak bumi tersebut, diperkirakan daerah Bungku memiliki potensi penting di masa mendatang. 



15



Batugamping bersifat pejal, terdapat di beberapa tempat seperti di Peg. Wawoombu, dan sekitar Kampung Kuluri di bagian selatan dan tenggara Lembar. Penduduk setempat telah memanfaatkan sebagai bahan pengeras jalan dan secara kecil-kecilan sebagai bahan bangunan, Singkapan batuan cukup luas dan tebal, diduga memiliki mutu yang baik, sehingga sebagai bahan bangunan batugamping ini memiliki prospek cukup baik. Batuan beku terdiri atas batuan ultramafik, gabro dan diorit; terdapat di sekitar D. Towuti dan bagian tengah Lembar. Batuan ini bersifat pejal dan padat, sehingga dapat digunakan sebagai bahan pengeras jalan dan balian bangunan. Pasir dan kerikil merupakan bahan baku untuk pembuatan jalan dan bahan bangunan. Di daerah ini ditemukan sebagai endapan pantai yang terletak antara Tanjung Lingkobu dan Tanjung Lalompa; dan dalam satuan batuan dan Formasi Tomata, di sekitar Bulu Talowa, hulu S. Ongkaya dan S. Bahu Mbelu, di bagian tenggara dan utara Lembar. (T.O Simandjuntak, E. Rusmana, J.B Supandjono, A. Koswara, 1993). 2.2 Landasan Teori 2.2.1 Alterasi Batuan Ultramafik Alterasi batuan ultramafik yaitu serpentinisasi, mengubah mineral-mineral pada batuan ultramafik sehingga teksturnya ikut berubah. Serpentinisasi adalah suatu reaksi eksotermis, hidrasi dimana air bereaksi dengan mineral mafik seperti olivin dan piroksin untuk menghasilkan lizardit, antigorit dan krisotil (Palandri dan Reed, 2004). Beberapa hal yang mempengarui terjadinya proses serpentinisasi adalah adanya penambahan air, adanya pelarutan magnesia (atau penambahan silika), adanya pelepasan besi dalam olivin (Fe, Mg). Proses serpentinisasi akan



16



menyebabkan perubahan tekstur mineralogi dan senyawa pada mineral olivin dan piroksin pengurangan atau perubahan kompisisi unsur Mg, Ni, dan Fe pada mineralnya. (Ahmad, 2006). Selanjutnya menurut O’Hanley & Robin (1992), serpentinisasi terbagi atas dua yaitu : 1. Mengandung antigorit, dimana grup mineral serpentin akan stabil di atas suhu 260° pada sistem MSH (MgO-SiO 2-H2O), dengan dasar inilah makan terbentuk mineral krisotil, antigorit, dan brusite. 2. Alterasi menyebabkan pembentukan mineral serpentin dan menghasilkan mineral tremolite, mineral klorit, mineral talc dan antigorit. Ubahan tremolite adalah hasil dari kurangnya hidrasi pada sepentinisasi. Menurut M.G Bostock, dkk (2002), hidrasi pada batuan peridotit (dominasi batuan mantel terdiri dari olivin, orthopiroksin, clinopiroksin dan Crspinel) akan stabil dengan varietas mineral serpentin. Kestabilan ini tergantung pada temperatur, tekanan, dominasi mineral khususnya kandungan SiO2. Proses pengayaan mineral serpentin, atau hidrasi pada peridotit menyebabkan penambahan mineral hidrous seperti amphibole, brucite, klorit, dan talk. Sedangkan mineral antigorit adalah mineral utama serpentin, terbentuk di bawah suhu metamorfisme dan akan stabil pada suhu 620-720°C, kedalaman 30-150 km. 2.2.1.1 Proses Serpentinisasi Pada



prinsipnya,



serpentinisasi



merupakan



proses



alterasi



hidrotermal retrograde batuan ultramafik seperti dunit, peridotit, dan



17



piroksenit atau proses metamorfisme prograde batuan serpentinit yang telah ada (Deer, dkk. 1992). Reaksi yang mungkin dapat terjadi adalah sebagai berikut : Mg2SiO4 + 3H2O = Mg3Si2O5(OH)4 + Mg(OH)2 Forsterit



Air



Serpentin



Brucite



Atau dapat mengikuti reaksi seperti berikut (Mcdonald & Fyfe, 1985) : MgSiO3 + Mg2SiO4 + H2O = Mg3Si2O5(OH)4 Piroksin



Olivin



Air



Serpentin



Hadirnya brucite menunjukkan bahwa serpentinisasi terjadi pada kondisi temperatur rendah (Moody, 1976). Akan tetapi pada zona pelapukan, brucite sangat rentan terhadap pelapukan sehingga akan berubah dengan cepat menjadi hidromagnesit. Brucite cenderung tidak muncul pada serpentin yang berasal dari peridotit yang kaya piroksin (>40%). Besi dalam olivin mengalami redistribusi selama serpentinisasi. Sebagian memasuki struktur mineral serpentin atau brucite, atau membentuk fasa mineral opak seperti magnetit, awarunit, pentlandite, dan Fe-kromit. Pembentukan magnetit berkorelasi terhadap peningkatan temperatur



dengan



fugasitas



oksigen



(FO2)



rendah.



Hal



ini



mengindikasikan bahwa pada temperatur rendah, subtitusi Fe lebih cenderung terjadi pada brucite dan lizardite daripada membentuk magnetit. Pada batuan metamorfik yang telah mengalami progade metamorfisme, antigorite lebih dominan dibanding dengan lizardit dan krisotil. Serpentinit



18



yang banyak mengandung antigorite juga memiliki kandungan magnetit yang tinggi dibanding dengan serpentinit yang rata-rata mengandung lizardit-krisotil. Selain brucite dan magnetit, proses serpentinisasi pada batuan peridotit juga dapat menghasilkan mineral sekunder lainnya (mineral opak) seperti awaruite, pentlandite, sedikit heazlewoodite, millerite, markasit, dan valerit (Alt & Shanks, 1998). Pembentukan mineral-mineral opak pada tahap awal serpentinisasi akibat adanya introduksi sulfat air laut pada kerak samudera (Awan & Sheikh, 1998). Reaksi sulfat dengan silikat pembawa Fe2+ mengakibatkan reduksi SO42- menjadi H2S. Pembentukan serpentinit pada batuan peridotit dianggap sebagai salah satu contoh klasik dari metamorfisme temperatur rendah. (O’Hanley, 1991). Menurut O’Hanley (1991), proses pembentukan serpentinit dapat terjadi melalui 3 subproses serpentinisasi yaitu : 1. Hidrasi olivin membentuk antigorite atau lizardit. Proses ini disertai oleh konsumsi air dan merupakan reaksi eksotermik 2. Rekristalisasi lizardit menghasilkan lizardit dengan tekstur baru atau memproduksi krisotil dan merupakan reaksi antar padatan (solid reaction) yang bersifat endotermik karena hanya sedikit atau tidak melibatkan fluida atau uap. Jika terdapat H 2O pada reaksi, maka fungsinya sebagai katalis dan bukan reaktan atau produk sehungga reaksi yang berlangsung tidak menunjukkan nisbah air batuan selama proses.



19



3. Deserpentinisasi adalah metamorfisme prograde serpentinit, merupakan



pembentukan



mineral



olivin



dari



antigorit,



menghasilkan H2O dan bersifat endotermik. Menurut Wicks & Whittaker (1977), proses pembentukan serpentin dapat ditinjau dari hasil analisis stabilitas fasa sebagai contoh reaksi : 1. forsterite + air = serpentin + brucite (terbentuk pada suhu 380° C pada tekanan 2 kb). 2. forsterite + talk + air = serpentin (terbentuk pada suhu 440° 460°C dengan tekanan 2 kb). Selanjutnya Moody (1976), menyebutkan beberapa kesimpulan mengenai proses serpentinisasi dengan keterdapatan fluida pada proses tersebut: 1. Serpentinisasi lizardit – krisotil kemungkinan besar disebabkan oleh pencampuran air meteorik – hidrotermal atau air formasi dengan komponen air meteorik dominan. 2. Antigorit terbentuk selama metamorfisme regional dengan hadirnya air non-meteorik. 3. pengkayaan boron pada batuan serpentinit menunjukkan Sebagian fluida berasal dari air laut. 2.2.1.2 Mineralogi Serpentinit Kelompok



mineral



serpentin



mempunyai



struktur



lapisan/



filosilikat. Dengan rumus kimia dasarnya adalah X6Y4O10(OH)8, variabel X berupa Magnesium dengan peluang untuk tergantikan oleh



20



nikel, kobalt, mangan, besi, dan seng. Struktur kristal dari krisotil adalah bedasarkan dari kisinya yang silindris (Whittaker, 1954, Waser, 1955 dalam Faust dan Fahey 1962), dan dari karekteristik tubularnya yang diamati dalam mikrsokop electron (Turkevich dan Hiller, 1949 dalam Faust dan Fahey 1962). Menurut Whittaker dan Zussman (1956) berdasarkan polymorsfisme nya, serpentin dibedakan atas 3 yaitu krisotil (klinokrosotil, ortokrisotil, parakrisotil) , lizardit, dan antigorit). Perbedaan mineral secara singkat disajikan dalam Tabel 2.1. 1. Krisotil Adalah mineral yang paling berkembang di lingkungan tektonik aktif, lithotype yang berasosiasi memperlihatkan derajat metamorfosa sekis hijau. Mineral ini tumbuh pada lingkungan mikro seperti pori, void, dan vein. Variasi dari krisotil dapat diidentifikasi melalui studi fiber bedasarkan X- ray. Bedasarkan studi, krisotil terbentuk dari serpertinit yang telah mengalami rekristalisasi yang mana mineral serpentin akan membentuk tekstur yang saling mengunci. (Wicks 1984 dalam Evans, 2004) melaporkan bahwa krisotil berfoliasi biasanya merupakan mineral dominan pada zona gerusan suhu rendah yang memperlihatkan hancuran ductile – brittle, yang mana akan menghasilkan serpertin planar (lizardit dan antigorit) pada suhu lebih tinggi. Krisotil terbentuk pada temperatur 0 – 400°C tekanan 0,7GPa).



22



Dekomposisi antigorit akan terjadi mulai pada suhu 460°C dan kemudian akan hilang secara total pada suhu antara 650°C dan 700°C dan tekanan 2,0 GPa (Gambar 2.2). Pada sayatan tipis, mempunyai warna interfrensi maksimal adalah kuning orde 1.



Tabel 2.1 Generalisasi kondisi pembentukan polimorf serpentin (Evans, 2004)



Jenis



Lizardit



Krisotil °



°



Antigorit



Perkiraan Temperatur Saturasi Fluida



50 – 300 C Kecil



0 – 400 C Besar



320 – 600°C Kecil



Shear Stress



Stabil



Tidak stabil



Stabil



Konsep Pembentukan



Hidrasi



Vein,



Rekristalisasi



peridotit



replacement



serpentinit



23



Gambar 2.2 Diagram tekanan – suhu dari stabilitas jenis serpentin dari percobaan dan observasi petrologi pada serepentinit alami. Batas fasies metamorf dan gradient subduksi dingin. Diagram ini memperlihatkan domain kehadiran serpentin sementara 2.2.1.3 Tekstur Mineral krisotil munculSerpentin dalam vein. (Gulliot dkk, 2015).



Menurut Wicks dan Whittaker (1977) tekstur serpentinit yang diamati pada sayatan tipis dapat dibagi menjadi 3 jenis yaitu tekstur pseudomorf olivin dan piroksen, tekstur non pseudomorf terbentuk dari mineral primer maupun dari tekstur pseudomorf serpentin, dan tekstur yang terbentuk pada vein serpentin. 1. Tekstur Pseudomorfik Tekstur yang terbentuk dari serpentinisasi mineral pada batuan ultramafik yang mana masih memperlihatkan tekstur dari mineral asal, ketika sudah mengalami serpentinisasi lanjut, maka akan berubah menjadi teksur non pseudomorfik. Olivin terubah sepanjang rekahan dan batas kristal membentuk tekstur mesh dan hourglass. Melalui pengamatan X-ray dapat diketahui bahwa tekstur dari olivin tersebut mengasilkan mineral lizardit dengan sedikit krisotil, brusit, dan aksesori magnetit. Sementara itu pseudomorf serpentin pada piroksen (biasanya enstatit) disebut bastit (Haidinger, 1845 dalam Wicks dan Whittaker, 1977). Istilah tersebut juga diaplikasikan untuk amfibol yang terserpentinisasi (Hochstetter,



1965



dalam



Wicks



dan



Whittaker,



1977).



24



Serpentinisasi piroksen dimulai pada batas butir dan rekahan, kemudian



pada



belahanya.



terserpentinisasi



dibanding



Klinopiroksen dengan



lebih



ortopiroksen.



susah Menurut



penelitian, tekstur ini tersusun atas dominasi mineral lizardit dengan sedikit brusit. Pada batuan peridotit terserpentinisasi, teksur bastit berasosiasi dengan mesh. 2. Tekstur Non Pseudomorf Tekstur rekristalisasi



ini



adalah



dari



xenoblastik



tekstur



dan



pseudomorf



terbentuk



atau



melalui



langsung



dari



serpentinisasi olivin dan piroksen. Tekstur ini dapat dibagi menjadi 2 yaitu interlocking dan interpenetrasi. Pada tekstur non pseudomorfik, brusit lebih mudah dikenal sebagai mineral anhedral diskrit. Tektstur interpenetrasi terdiri atas blades, flakes, atau plates yang membentuk kemas yang rapat. Tekstur ini terdiri atas dominasi mineral antigorit. Sementara tekstur interlocking terdiri atas tekstur iregular, equant, dan terkadang butiran yang spherulitic. 3. Tekstur Vein Serpentinit Vein serpentin sepanjang rekahan, shear, dan bidang kekar dapat ditemukan pada serpentinit derajat tinggi dan rendah. Rekahan tersebut dapat membaji maupun bercabang, dan apabila tergeruskan, akan memperlihatkan arah gerusan dan slickensides. Serpentinit yang tergeruskan kuat disebut fish scale atau fish meat



25



(Cooke, 1973 dalam Wicks dan Whittaker 1977). Jenis ini jarang diamati pada sayatan tipis maupun megasokpis karena sifatnya yang sangat mudah hancur. Vein pada serpentinit biasanya berwarna hijau karena magnetit yang berasosiasi tersegegrasi dalam bentuk butiran yang menyebar. 2.2.1.4 Batuan Ultramafik Terserpentinisasi Batuan ultramafik terserpentinisasi memperlihatkan perubahan warna dari abu-abu gelap sampai abu-abu terang, mudah hancur, permukaan licin dan dijumpai mineral garnierite, kuarsa (SiO 2), serpentin (Mg3Si2O5(OH)4), brusit (Mg(OH)2) dan talk (Mg6(Si8O20)(OH)4. Sebaran batuan ultramafik terserpentinisasi menunjukkan jenis warna yang berbeda yaitu: hijau tua, hijau muda, hijau kecoklatan, putih keabu-abuan, putih kecoklatan dan abu-abu. Warna tersebut merupakan ciri perubahan pada mineral olivin yang membentuk besi oksida, magnesium oksida, mineral serpentin, kuarsa (SiO2), krisotil, dan mineral brusit (Mg(OH)2). Mineral olivin mengalami perubahan akan membentuk mineral oksida dan brusit yang terjadi akibat pengaruh struktur geologi. (F.A Mumpton & C.S Thompson, 1966; O’Hanley, 1991).



26



Gambar 2.3 Kenampakan Batuan Ultramafik Terserpentinisasi. (Sumber : Lokasi Penelitian)



Serpentinisasi pada batuan ultramafik peridotit terjadi pada suhu 50°-75°C dan ciri utamanya adalah terbentuknya mineral lizardit. Serpentinisasi pada suhu tersebut dipengaruhi oleh infiltrasi air dan mineral olivin terubah lebih awal kemudian mineral piroksin. (Nicholas P. Ikin & Russell S. Harmon, 1983). 2.2.1.5 Pengaruh Batuan Ultramafik Terserpentinisasi Terhadap Karakteristik Tanah Laterit Peran atau kemunculan mineral serpentin pada batuan dasar penghasil laterit terkadang memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap karakteritisasi tanah laterit yang ada. Secara umum batuan dasar penghasil tanah laterit merupakan batuan-batuan ultramafik, yaitu batuan yang rendah akan unsur Si, namun tinggi akan unsur Fe,Mg dan terdapat unsur Ni yang berasal langsung dari mantel bumi (Ahmad, 2006). Unsur-unsur Si, Fe dan Mg terdapat pada mineral olivin [(Mg,Fe)2SiO2] juga mineral piroksen [Ca,Fe,Mg(SiO3)2]. Untuk unsur Ni sendiri keterdapatannya sangat kecil pada batuan ultramafik dibanding dengan unsur Si pada senyawa SiO2 dengan rata-rata kelimpahannya 40 50%, unsur Mg pada senyawa MgO dengan rata-rata kelimpahannya 30 45% dan unsur Fe pada senyawa FeO dengan rata-rata kelimpahannya 5 -



27



8%. Untuk kelimpahan unsur Ni sendiri bisa dilihat pada Tabel 2.2 menurut Ahmad (2006). Kelimpahan unsur Ni dilihat dari batuan ultramafik, mineral olivin, piroksen dan kromit.



Tabel 2.2 Kelimpahan unsur Ni (Ahmad, 2006) Jenis Sampel



Ni %



NiO %



Olivin Harzburgit, Poro, New Caledonia



0,39



0,50



Peridotit Tidak Terserpentinisasi, Bonsora W, Sorowako



0,358



0,456



Opx di harzburgite, Poro, New Caledonia



0,10



0,127



Opx di Peridotit Tidak Terserpentinisasi, Bonsora W, Sorowako



0,067



0,085



Rata-rata komposisi pada dunit



0,26



0,33



Peridotit Tidak Terserpentinisasi



0,22



0,28



Rata-rata komposisi pada peridotit



0,16



0,20



Rata-rata komposisi pada piroksenit



0,08



0,102



Piroksen



Ultramafik



Penjelasan di atas merupakan kondisi secara umum kelimpahan unsur Si, Fe, Mg, dan Ni pada batuan ultramafik yang belum mengalami serpentinisasi. Serpentinisasi merupakan proses perubahan mineral olivin dan piroksen menjadi mineral serpentin, mineral serpentin mempunyai rumus kimia [H4Mg3 Si2O9]. Proses serpentinisasi dapat terjadi dengan mudah pada batuan ultramafik karena sebagian besar memiliki komposisi mineral olivin dan piroksen. Untuk mineral olivin sendiri merupakan mineral yang paling mudah mengalami proses serpentinisasi.



28



Menurut Ahmad (2006) proses serpentinisasi terjadi karena adanya proses penambahan air atau senyawa H2O, pelindian mineral magnesium (Mg) atau bisa juga terjadi penambahan unsur silika (Si), lepasnya unsur besi (Fe) pada mineral olivin ataupun piroksen, selain lepasnya unsur besi bisa juga terjadi perubahan ion unsur besi Fe2+ menjadi Fe3+ sehingga pada mineral serpentin terdapat juga mineral magnetit (Fe2O3) berukuran sangat halus. Mineral serpentin menjadi lebih bermagnet daripada mineral olivin maupun piroksen. Kehadiran mineral serpentin pada batuan ultramafik menjadi suatu peranan penting dalam pembentukan karakteristik tanah laterit yang ada terutama pada pengkayaan unsur logam Ni pada tanah laterit. Proses serpentinisasi akan menyebabkan perubahan tekstur mineralogi dan senyawa pada mineral olivin maupun piroksen. Namun secara umum yang mudah mengalami serpentinisasi adalah mineral olivin sehingga mineral olivin yang semula memilki senyawa [(Mg,Fe)2SiO2] akan menjadi mineral serpentin dengan senyawa [H4Mg3 Si2O9] pada proses itu terjadi penambahan air atau air dengan unsur silika sehingga terjadi pengurangan atau perubahan komposisi unsur Mg, Ni dan Fe pada mineralnya. Secara umum pada saat menjadi mineral serpentine terjadi penambahan senyawa hidroksida (H2O) dan pengurangan komposisi unsur Mg (Tabel 2.3) dan Ni (Gambar 2.4). Namun bisa juga unsur Ni bertambah kelimpahannya yaitu pada kondisi saat olivin terubahkan menjadi mineral serpentin terjadi pelindian senyawa SiO2 dan MgO dan proses tersebut merupakan proses



29



alterasi hidrothermal yang menjadi mineral serpentin sekunder atau biasa disebut Ni-serpentin akan tetapi proses ini jarang terjadi. Tabel 2.3 Proses perubahan mineral olivin (Ahmad, 2006) Komposisi



Olivin Mg2SiO4



Serpentin H4Mg3Si2 O9



Komposisi dalam oksida



2MgO.SiO2



3MgO.2SiO2.2H 2O



MgO



57,30%



43,00%



SiO2



42,70%



44,10%



H2O



0%



12,90%



Densitas



3.2



2.2 - 2.4



Gambar 2.4 Proses perubahan mineral olivin (Ahmad, 2006)



Bila batuan ultramafik mengalami proses serpentinisasi dan tingkat serpentinisasi nya tinggi bahkan menjadi batuan serpentinit maka karakteristik tanah laterit yang terbentuk akan berbeda dengan karakteristik tanah laterit dari batuan ultramafik yang terserpentinisasi rendah



hingga



tidak



terserpentinisasi.



Perbedaan



karakteristiknya



kemungkinan besar terlihat pada kelimpahan unsur Ni dan Fe pada zona



30



laterit itu sendiri. Berdasarkan tinjauan pustaka yang dikutip dari Ahmad (2006) kelimpahan unsur Ni akan menurun dan kelimpahan unsur Fe akan meningkat pada batuan ultramafik yang tingkat serpentinisasinya semakin tinggi bahkan menjadi serpentinit. Pada batuan yang mengalami serpentinisasi akan mengalami peningkatan volume karena adanya penambahan unsur H2O dalam proses hidrasi dan akan cenderung sukar mengalami pengekstrakan kadar Ni pada saat proses pelapukan hal itu dikarenakan mineral serpentin lebih resisten terhadap pelapukan daripada mineral olivin (Colin dkk, 1990). 2.2.1.6 Implikasi Serpentinisasi Terhadap Eksplorasi Endapan Nikel Laterit Karakteristik endapan nikel laterit yang berkembang pada batuan ultramafik terserpentinisasi memiliki perbedaan dengan endapan hasil laterisasi pada batuan peridotit non serpentinisasi. Perbedaan tersebut meliputi komposisi mineralogi dan kimia, ketebalan zona limonit dan saprolit, dan bahkan warna laterit yang dihasilkan. Tingkat serpentinisasi berkorelasi dengan warna batuan. Semakin tinggi tingkat serpentinisasi, maka warna batuan semakin gelap, hal ini disebabkan karena pembentukan mineral serpentin juga disertai dengan pembentukan mineral opak terutama magnetit. Tekstur batuan semakin halus dengan meningkatnya derajat serpentinisasi. Demikian pula dengan kerentanan magnetik akan meningkat dengan bertambahnya tingkat serpentinisasi.



31



Menurut Pelletier (1996), serpentin lebih resisten dibanding olivin selama pelapukan. Pada batuan peridotit terserpentinisasi, saprolit yang dihasilkan bersifat lebih kohesif, warna umumnya hijau kekuningan, batas antara zona limonit dan saprolit umumnya lebih mudah dibedakan dan jarang mengandung bongkah. Kalaupun ada masih mengandung nikel yang tinggi. Lizardit cenderung lebih banyak mengakomodasi Ni dibanding antigorite dan krisotil karena ukuran kristalnya lebih kecil. Pengkayaan nikel pada zona saprolit terjadi dimana unsur Ni mensubtitusi atom Mg pada struktur octahedral mineral sepentin dan smektit atau juga dapat terpresipitasi pada rekahan bersama dengan larutan yang mengandung Mg dan Si membentuk Ni-serpentint (garnierite). Struktur dan warna saprolit pada umumnya tidak berkorelasi dengan kadar nikel, namun tergantung pada kelimpahan serpentin primer. 2.2.2 Laterisasi Laterisasi terbentuk dari hasil proses pelapukan yang sangat intensif di daerah tropis pada batuan yang mengandung nikel seperti, dunit (olivin), peridotit (olivin+piroksin), dan serpentinit. Proses pelapukan pada batuan asal tersebut (laterisasi) menyebabkan nikel berubah menjadi larutan dan diserap oleh mineralmineral oksida besi yang membentuk garnierite pada lapisan saprolit (Golightly, 1981 dalam Maulana, 2017). Mineral piroksin dan olivin pada batuan asalnya mengalami proses serpentinisasi oleh akibat adanya interaksi dengan air laut (seawater) atau selama proses low-grade metamorfisme atau alterasi. Pada beberapa kasus proses



32



serpentinisasi ini terjadi sebelum adanya proses laterisasi. Alterasi olivin akibat proses hidrasi, yang menyebabkan perubahan menjadi silika amorphous serpentin dan limonit. 2.2.2.1 Proses Laterisasi Proses



lateritisasi



merupakan



serangkaian



proses



yang



menyebabkan terjadinya tanah laterit. Proses utama yang membentuk tanah laterit ini adalah pelapukan kimia. Pelapukan kimia terdiri dari empat proses, yaitu: hidrolisis, oksidasi, hidrasi, dan pelarutan (Ahmad, 2006). a. Hidrolisis merupakan proses peluruhan struktur kristal mineral asal karena pengaruh oksigen, karbon dioksida, air tanah, dan larutan asam atau air yang bersifat asam, sehingga terjadi pembentukan mineral baru atau mengalami pelindian sehingga unsurunsurnya terpisah dan membentuk senyawa baru. b. Oksidasi merupakan proses terlepasnya unsur pada suatu senyawa mineral karena pengaruh oksigen yang mudah berikatan dengan unsur-unsur lain pada suatu senyawa yang kemudian membentuk senyawa baru. c. Hidrasi merupakan proses reaksi kimia karena pengaruh air yang sangat dominan dan menyebabkan pembentukan mineral-mineral hidrous.



33



d. Pelarutan merupakan proses pelarutan senyawa kimia sehingga menyebabkan terlapuknya suatu batuan dimana unsur-unsur atau mineral yang mudah larut dalam air akan ikut terbawa larutan sehingga menyebabkan rapuhnya suatu batuan



2.2.2.2 Mineralogi Tanah Laterit Pada kondisi batuan ultramafik yang tidak terserpentinisasi dan mengalami serpentinisasi akan membentuk mineralogi dan kadar nikel yang berbeda pada tiap lapisan profil laterit yang ada.



Gambar 2.5 Skematik profil pelapukan yang menggambarkan horizon berbeda dan distribusi mineral yang berkembang pada protolit ultramafik tak terserpentinisasi (Sufriadin, 2013).



34



Pada skema profil laterit (Gambar 2.5) dibagi menjadi tiga zona profil pelapukan tanah laterit. Zona pertama merupakan batuan dasar yang tidak mengalami proses serpentinisasi memiliki kadar Ni 0,2 – 0,3%. Untuk mineraloginya memiliki komposisi mineral olivin sebagai mineral utama dengan kelimpahan paling banyak, terdapat mineral kuarsa, garnierit dan talk yang memiliki kelimpahan yang banyak juga pada bagian atas zona batuan dasar, terdapat mineral piroksen dengan kelimpahan sedikit, dan mineral jejak berupa amfibol, serpentin dan sapionit (Sufriadin, 2013). Zona kedua merupakan saprolit dengan kadar Ni 1,5 – 4,1%. Untuk mineraloginya memiliki komposisi mineral goetit dan talk sebagai mineral yang memiliki kelimpahan yang banyak, terdapat mineral garnierit, kuarsa yang kelimpahannya banyak pada batas bawah zona saprolit, terdapat mineral jejak berupa amfibol, smektit dan serpentin yang berada di batas bawah zona saprolit (Sufriadin, 2013). Zona ketiga merupakan zona limonit – limonit merah dengan kadar Ni pada zona limonit 1,2 – 1,6 % dan pada zona limonit merah 0,6 – 1,3%. Untuk mineraloginya memiliki komposisi mineral goetit dengan kelimpahan terbanyak dari limonit hingga limonit merah, terdapat mineral hematit dengan kelimpahan sedikit pada zona limonit merah, dan mineral jejak berupa talk dan kuarsa (Sufriadin, 2013).



35



Pada skema profil laterit (Gambar 2.6) dibagi menjadi tiga zona profil pelapukan tanah laterit. Zona pertama merupakan batuan dasar yang tidak mengalami proses serpentinisasi memiliki kadar Ni 0,23 – 0,27%. Untuk mineraloginya memiliki komposisi mineral serpentin sebagai mineral utama dengan kelimpahan paling banyak, terdapat mineral piroksen dengan kelimpahan sedikit, dan mineral jejak berupa magnetit, amfibol, silika, klorit dan garnierit pada batas atas zona batuan dasar (Sufriadin, 2013). Zona kedua merupakan saprolit dengan kadar Ni 1,2 – 2,4%. Untuk mineraloginya memiliki komposisi mineral serpentin sebagai mineral yang memiliki kelimpahan yang banyak, terdapat mineral goetit yang kelimpahannya sedikit, terdapat mineral jejak berupa amfibol, smektit dan magemit yang berada di batas bawah zona saprolit (Sufriadin, 2013).



36



Zona ketiga merupakan zona limonit – limonit merah dengan kadar Ni pada zona limonit 1,0 – 1,5 % dan pada zona limonit merah 0,5 – 1,1%. Untuk mineraloginya memiliki komposisi mineral goetit dengan kelimpahan terbanyak dari limonit hingga limonit merah, terdapat mineral klorit magemit dengan kelimpahan sedikit pada zona limonit, dan mineral jejak berupa smektit (Sufriadin, 2013).



BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu Pelaksanaan Penelitian Waktu pelaksanaan penelitian akan dilaksanakan dalam waktu 5 bulan terhitung dari bulan Mei hingga Oktober 2021. Bagan jadwal penelitian dapat dilihat pada tabel 3.1 3.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Global Positioning System (GPS) dapat memberikan informasi posisi di permukaan bumi, dalam survei geologi GPS berfungsi sebagai orientasi langkah pertama untuk menentukan suatu koordinat singkapan b. Kompas Geologi digunakan untuk mengukur arah (azimuth) pada suatu titik ataupun kelurusan struktur, menqukur kemiringan lereng,maupun



37



mengukur jurus ataupun kedudukan perlapisan dan kemiringan lapisan batuan. c. Palu geologi digunakan untuk pengambilan sampel batuan. d. Kamera digital berfungsi untuk mengabadikan gambar. Dalam kegiatan survei geologi ini kamera diperlukan untuk mengabadikan kondisi singkapan ataupun kondisi batuan. e. Loupe, adalah salah satu alat survei geologi yang digunakan untuk melihat komponen penyusun batuan dengan bantuan lensa optis yang berguna untuk memperbesar ukuran kenampakan batuannya. f. Buku catatan lapangan digunakan untuk mencatat data di lapangan. g. Alat tulis menulis, dalam survei geologi tentunya hasil output-nya akan berupa data. h. Komputer/Laptop, digunakan untuk pengetikan data koordinat dan data lainnya, serta pembuatan laporan hasil penelitian. i. Mikroskop polarisasi untuk analisis petrografi. Mikroskop polarisasi adalah



mikroskop yang menggunakan cahaya terpolarisasi untuk



mengamati objek yang salah satunya merupakan sayatan tipis (thin section) batuan. j. Alat uji



X-Ray Diffraction



adalah alat yang digunakan



untuk



mengidentifikasi fasa kristalin dalam material dengan cara menentukan parameter struktur kisi serta untuk mendapatkan ukuran partikel, Penentuan kristal tunggal dan Penentuan struktur kristal dari material yang tidak diketahui.



38



Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) lembar Bungku skala 1 : 50.000 terbitan Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) edisi I terbitan tahun 1993, sebagai acuan awal



kondisi topografi daerah



penelitian. b. Peta Geologi Lembar Bungku oleh T.O Simandjuntak, E. Rusmana, J.B Supandjono, A. Koswara, skala 1 : 250.000 terbitan Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi tahun 1993, sebagai acuan awal kondisi geologi dan tatanan litologi batuan daerah penelitian c. Kantong sampel berfungsi untuk menyimpan sampel batuan yang akan diuji d. Sampel sayatan tipis batuan ultramafik e. Sampel batuan untuk uji XRD 3.3 Metode Penelitian Metode penelitian di bagi menjadi 2 yaitu metode pengambilan data dan metode analisis data. Metode pengambilan data menggunakan metode observasi dan metode dokumentasi. Metode observasi dilakukan dengan cara mengamati keadaan langsung terhadap objek yang akan diteliti untuk mendapatkan sampel batuan dan data penunjang lainnya yang akan diperlukan. Sedangkan metode dokumentasi dilakukan dengan cara pengambilam gambar pada titik pengamatan dan pengambilan sampel batuan agar dapat mengingat kembali kondisi dilapangan dan sebagai bukti penelitian.



39



Sedangkan metode analisis data menggunakan metode kualitatif. Metode kualitatif di lakukan dengan cara analisis laboratorium. Data yang di analisis yaitu sampel analisis petrografi dan analisis XRD (X-Ray Diffraction). Analisis petrografi dilakukan untuk meneliti tekstur, kandungan mineral sehingga diketahui mineral apa saja yang terkandung pada batuan tersebut. Analisis XRD meghasilkan data berupa kandungan mineral lempung, karbonat, dan mineral yang teralterasi lainnya. 3.4 Tahapan Penelitian Kegiatan ini dilakukan dengan beberapa tahapan penelitian, yaitu tahap persiapan, tahap penelitian lapangan, tahap preparasi sampel, tahap analisis laboratorium, tahap pengolahan data, dan tahap interpretasi data. Adapun penjelasan mengenai tahapan penelitian sebagai berikut :



3.4.1



Tahap Persiapan Sebelum melakukan penelitian hal yang harus dilakukan adalah



melakukan persiapan agar kegiatan penelitian dapat berjalan dengan lancar, tahap persiapan dimulai dari pengurusan administrasi berupa surat izin Kerja Praktek dari Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Universitas Tadulako dan diserahkan kepada PT. Oti Eya Abadi bertepatan di daerah Siumbatu, Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali Provinsi Sulawesi Tengah yang merupakan daerah penelitian. Selanjutnya, melakukan studi pustaka geologi regional daerah penelitian untuk memperoleh gambaran



40



umum lokasi penelitian serta interpertasi peta topografi sebagai data awal perencanaan kegiatan penelitian. 3.4.2 Tahap Penelitian Lapangan Tahapan penelitian lapangan dilakukan di beberapa titik lokasi. Adapun hal yang dilakukan dalam penelitian lapangan adalah sebagai berikut: 1. Pengambilan sampel batuan Pengambilan sampel batuan terdiri atas dua bagian yaitu pengambilan sampel batuan ultramafik dengan ukuran hand spesiment dan pengambilan sampel batuan yang telah mengalami alterasi. 2. Pengambilan data geologi umum Pengambilan data geologi berupa data geomorfologi dan data singkapan, yang terdapat didaerah penelitian 3.4.3 Tahap Preparasi Sampel Tahapan preparasi sampel batuan yang masuk ke dalam kriteria yang baik dipersiapkan untuk dikirim pada instansi khusus penyayatan tipis batuan di Museum Geologi Bandung dan XRD Room-Laboratorium Terpadu Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin. Adapun sampel yang masuk dalam kriteria yang baik untuk dianalisis adalah sampel petrografi adalah batuan dalam kondisi fresh yaitu sampel batuan yang masih memperlihatkan mineral-mineral yang jelas serta belum menunjukkan adanya perubahan warna dari batuan akibat proses pelapukan. Pemilihan



41



sampel batuan fresh dilakukan agar analisis laboratorium dapat menghasilkan data yang maksimal. Batuan yang masuk kriteria untuk dianalisis sampel XRD yaitu sampel batuan yang telah mengalami alterasi atau perubahan komposisi mineral. Data yang bagus akan mengahasilkan interpretasi yang bagus pula. Selanjutnya setelah sampel batuan sampai pada instansi terkait dilakukan preparasi sebagai berikut: 1. Preparasi sampel sayatan tipis Sayatan tipis adalah potongan batuan atau material yang dilekatkan pada kaca preparate mikroskop menggunakan media khusus atau mounting agent (lem epoxy atau Canadabalsam) kemudian ditipiskan hingga mencapai ketebalan ± 0.03 mm. Pada ketebalan tersebut, kaca penutup dilekatkan pada bagian permukaan untuk kemudian diamati menggunakan mikroskop polarisasi dengan sinar transmisi. Proses pembuatan sayatan tipis merupakan proses standar pada batuan yang tidak sensitif terhadap panas atau air. Beberapa batuan memiliki karakteristik dan perlakuan tersendiri dalam pembuatan sayatan tipis. Jenis lem epoxy juga mempengaruhi teknik pembuatan sayatan tipis karena waktu dan suhu pengerasan bervariasi (Setiawan, 2016). 2. Preparasi sampel analisis XRD Proses preparasi sampel XRD terbagi menjadi 2 metode yaitu: metode bulk powder dan oriented clay mineral aggregates. Untuk penelitian ini menggunakan metode oriented clay mineral aggregates



42



yaitu untuk mengetahui keberadaan mineral sekunder di dalam batuan ataupun mendeteksi suatu jenis mineral lempung/clay didalam suatu sampel padatan. Analisis preparate mineral lempung/clay dilakukan dengan tiga tahapan yaitu air dried (untreated), glikolasi dengan ethylene glycol dan pemanasan. Langkah pertama yang dilakukan dalam analisis preparate mineral lempung adalah pemisahan mineral lempung



dengan



mineral



berat



melalui



metode



sentrifugasi



berdasarkan gaya gravitasi. Langkah-langkah preparasi sampel oriented clay mineral aggegares



mengacu pada USGS (yang



dimodifikasi) dan Simpson and Tillick (1999). 3.4.4 Tahap Analisis Laboratorium Analisis data laboratorium dilakukan dengan dua cara yaitu analisis petrografi dan analisis geokimia. 3.4.4.1 Analisis Petrografi Analisis sayatan tipis batuan dilakukan karena sifat-sifat fisik, seperti tekstur, struktur, komposisi dan mineral-mineral penyusun



batuan



tersebut



tidak



dapat



dideskripsi



megaskopis dilapangan. Untuk dapat melakukan



secara



pengamatan



secara optis atau petrografi diperlukan alat yang disebut mikroskop polarisasi. Hal itu berhubungan dengan teknik pembacaan data yang dilakukan melalui lensa yang mempolarisasi obyek pengamatan. Hasil polarisasi obyek tersebut selanjutnya dikirim melalui lensa obyektif dan lensa okuler ke mata (pengamat).



43



Analisis petrografi dilakukan pada sampel batuan yang berada pada daerah penelitian atau batuan yang teralterasi di lapangan selanjutnya sampel batuan dikirim ke instansi khusus penyayatan tipis batuan di Museum Geologi Bandung untuk di preparasi sayatan tipis berukuran 0,03 mm kemudian hasil preparasi sampel sayatan tipis tersebut diamati di Laboratorium Mineral Optik dan Petrografi Universitas Tadulako untuk mengetahui mineral-mineral batuan dari sayatan tipis. 3.4.4.2 Analisis XRD (X-Ray Diffraction) Analisis XRD dilakukan pada sampel batuan yang telah selesai di preparasi mrnggunakan instrument Shimadzu XRD7000L yang dilakukan di XRD Room-Laboratorium Terpadu Fakultas Teknik Universitas Tadulako. Hasil yang keluar berupa data grafik XRD yang memperlihatkan mineral-mineral sekunder pada batuan yang teralterasi. Kemudian di interpretasi dengan tujuan untuk mengetahui jenis alterasi pada daerah penelitian. 3.4.5 Tahap Pengolahan dan Interpretasi Data Setelah melakukan tahap analisis laboratorium, akan diperoleh beberapa data yaitu : 1. Dalam analisis petrografi diperoleh data karakteristik batuan berupa tekstur, struktur, dan jenis mineral berdasarkan sifat optiknya sehingga jenis/nama batuan dapat ditentukan. Beberapa mineral alterasi juga dapat di identifikasi dalam analisis petrografi.



44



2. Dalam analisis XRD diperoleh data-data mineral sekunder atau mineral teralterasi yang tidak dapat diamati melalui pengamatan megaskopis dan petrografis sehingga dapat melengkapi data mineral yang diperoleh dari analisis petrografi. Setelah data diatas diperoleh dilakukan interpretasi berdasarkan kajian pustaka dan studi literatur. Kemudian setelah di interpretasi data-data tersebut akan menjadikan hasil mineral alterasi, tipe alterasi, pengaruh alterasi terhadap laterisasi, dan peta alterasi skala 1: 10.000. 3.4.6



Tahap Penyusunan Laporan Tahapan ini merupakan rangkuman dari semua tahap penelitian



dan hasil penelitian dalam sebuah pembahasan hingga dapat memenuhi penulisan penelitian tugas akhir dengan judul “Alterasi Batuan Ultramafik dan Pengaruhnya Terhadap Laterisasi Pada Daerah Siumbatu, Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah”.



45



Gambar 3.1 Diagram Alir Penelitian



46



No 1 2



3



4 5 6



7



8



Jenis Kegiatan Tahap Persiapan Tahap Penelitian Lapangan Tahap Preparasi Sampel Sayatan Tipis Tahap Preparasi Sampel XRD Tahap Analisis Petrografi Tahap Analisis XRD Tahap Pengolahan dan Interpretasi Data Tahap Penyusunan Laporan



Jadwal Kegiatan Penelitian Mei Juni Juli Agustus September Oktober November 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4  



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



 



Tabel 3.1 Jadwal Rencana Ppelaksanaan Kegiatan



47



DAFTAR PUSTAKA Ahmad, W. (2006). Nickel Laterites: Fundametal of Chemistry, Mineralogy, Weathering Processes, Formation, and Exploration. VALE Inco.\ Colin, F., Nahon, D., Trescases, J.J., dan Melfi, A.J. (1990). Lateritic weathering of pyroxenites at Niquelandia, Goias, Brazil: The supergene behaviour of nickel. Economic Geology, 85, 1010 – 1023. Elias, M. (2005). Nickel Laterite Deposits Geological Overview, Resources and Exploitation; Australia. Evans, B.W. (2004). The Serpentinite Multisystem Revisited: Chrysotile Is Metastable. International Geology Review. Vol 46. Evans, B.W. (2008). Control of the products of Serpentinization by the Fe2+Mg1 Exchange Potential of Olivine and Orthopyroxene. Journal of Petrology, Vol. 49. No. 10, pp.1873-1887. Evans, B.W., Hattori, K.H., dan Baronnet, A. (2013). Serpentinite: What, Why, Where?, Elements 9, 99-106. doi:10.2113/gselements.9.2.99. Faust, G.T., dan Fahey, J.J. (1962), The Serpentinite – Group Minerals, Washington: United States Government Printing Office. Gulliot, S., Schwartz, S., Reynard, B., Agard, P., dan Prigent, C. (2015). Tectonic significance of serpentinites. International Journal of Geotectonics and the Geologu and physics of the interior earth, No 646. Golightly, J. P. (1981). Nickeliferous Laterite Deposits. Economic Geology 75 th Anniversary. Vol. pp. 710-735. Freyssinet, Ph. Butt, C.R.M. Morris, R.C Piantone. (2005). Ore-Forming Processes Related to Lateritic Weathering. Economics Geology 100 th Anniversary, Vol, pp.682-722. Maulana, A. (2017). Endapan Mineral. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Moody, J.B. (1976). Serpentinization : a review, Lithos. Vol. 9, pp.125-138. Moody, J.B. (1979). Serpentinites, Spilites and Ophiolite Metamorphism. Canadian Mineralogist. Vol. 17, pp.871-887.



48



O’Hanley, D.S. dan Offler, R., (1992), Characterization Of Multiple Serpentinization Woodsreef, New South Wales, Canadian Mineralogist, Vol 30. O’Hanley, D.S. (1991). Fault-Related Phenomena Associated With Hydration and Recrystallization during Serpentinization. Canadian Mineralogist. Vol. 29, pp.2-35. Palandri, J. L. dan Reed, M. H. (2004). Geochemical Models of Metasomatism in Ultramafic Systems: Serpentinization, Rodingitization, and Sea Floor Carbonate Chimney Precipitation. Geochiica et Cosmochimica Acta, Vol. 68, pp.1115-1133. Ramadhan, Aditya Febrianto., Winarno., Tri., Ali., Rinal Khaidar. (2017). Hubungan Tingkat Serpentinisasi Terhadap Karakteristik Perkembangan Nikel Laterit Daerah Gumbil dan Kalang Batang, Kecamatan Pulau Sebuku,



Kalimantan



Selatan.



Undergraduate



thesis.



Faculty



of



Engineering. Sufriadin., A. Idrus., S. Pramumijoyo., I. W. Warmada., I. Nur., Suharto. (2009). Serpentinisasi Pada Batuan Ultramafik dan Implikasinya Terhadap Eksplorasi Endapan Nikel Laterit. International Conference Earth Science And Technology; Yogyakarta. Sufriadin. (2013), Mineralogy, Geochemistry, And Leaching Behavior of The Soroako Nickeliferous Laterite Deposit, South Sulawesi, Indonesia. (Doctoral Degree). Sufriadin., Widodo. S., Thamrin. M. (2017). Karakteristik Mineral Bijih Pada Batuan Ultramafik di Daerah Latao, Kolaka Utara, Propinsi Sulawesi Tenggara. Proceeding; Seminar Nasional Kebumian Ke-10; Sulawesi Selatan. Simandjuntak, T.O., Rusmana, E., Supandjono, J.B., Koswara, A. (1993). Peta Geologi Lembar Bungku, Sulawesi, sekala 1: 250.000. Pusat Penelitian dan Pengembangn Geologi; Bandung. Tonggiroh, A. (2019). Geokimia Serpentinisasi, Ultramafik dan Potensi Sumberdaya Mineral di Sulawesi Selatan-Sulawesi Tenggara (Hasil



49



Penelitian Disertasi). Makassar: CV. Social Politic Genius (SIGn); Makassar. Whittaker, Eric J. W., dan Zussman, Jack. (1956). The characterization of serpentine minerals by X-ray diffraction, Mineralog. Mag., v. 31, p. 107126. Wicks,



F.G.,



dan



Wittaker,



E.J.W.



(1977),



Serpentine



texture



and



serpentinisation, Canadian Mineralogist, 15, 459–488.



50