Anak Tunarungu Wicara [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KATA PENGANTAR Seiring alunan kata Alhamdulillah, segala puji syukur semata-mata hanya untuk Allah SWT. Yang telah melimpahkan karunia, taufik, dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat merampungkan makalah ini. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah atas junjungan Nabi besar Muhammad SAW. Pembawa risalah kebenaran bagi seluruh umat di alam ini. Penulis menyadari bahwa terselesaikannya makalah ini berkat dorongan dan arahan dan menyampaikan ucapan terimakasih kepada : 1.    Renie Tri Herdiani, M. Pd 2.    Teman-teman mahasiswa yang telah membantu memberikan sumbang saran penulisan makalah ini. Terlalu banyak yang penulis peroleh dari mereka. Untuk itu, semoga amal dan kebaikan Ibu dan rekan-rekan mendapat balasan dari Allah SWT. Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa kemampuan yang ada pada penulis sangat tebatas. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mohon kepada pembaca untuk memberikan saran dan kritik yang membangun demi kebaikan penulisan makalah selanjutnya. Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca.



ii



DAFTAR ISI



JUDUL ........................................................................................................ i KATA PENGANTAR ............................................................................... ii DAFTAR ISI ............................................................................................. iii BAB I PENDAHULUAN A.           Latar belakang masalah........................................................................... 1 B.            Rumusan Masalah ................................................................................. 2 C.            Tujuan Penulisan ................................................................................... 2 BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Tuna rungu dan tuna wicara.................................... 3 B. klasifikasi tuna rungu................................................................ 6 C. Karakteristik tuna wicara dan tuna rungu ................................. 9 D. Terapi Terpadu untuk anak tuna rungu.................................... 12 E Perkembangan pendidikan tunarungu dan tuna wicara.............15 F. Peranan orang tua Dalam Pendidikan Anak Tunarungu ..........19 G. Penyebab Terjadinya Tunarungu ......................................................21 H. Cara Pencegahan Terjadinya Tunarungu..........................................22 I. Analisis Kasus....................................................................................23 J. Layanan Yang Diperlukan..................................................................30 K. Implementasi Model Pembelajaran Anak Tunarungu......................32 L. Kurikulum Pendidikan Khusus Anak Tunarungu.............................36 M. Alat Pendidikan Khusus...................................................................39 N. Bimbingan dan Konseling bagi Anak Tunarungu.............................41



1



BAB III PENUTUP Simpulan 44 DAFTAR PUSTAKA



BAB I PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Manusia memiliki tiga sifat penting sifat atau tritunggal yaitu mampu mendengar, mampu berfikir sebagai manusia, dan mampu bercakap-cakap. Ketiga fungsi itu mempunyai hubungan yang sangat erat. Fungsi pendengaran tergolong yang paling tua dan mempengaruhi fungsi berfikir, sedangkan fungsi berfikir itu sendiri melatih dan mempergunakan fungsi berbicara sebagai alat untuk menyatakan kepada dunia luar apa yang tersembunyi dalam alam pikirannya. Pada tahun-tahun pertama kehidupan, mendengar adalah bagian terpenting dari perkembangan sosial, emosional dan kognitif anak. Kehilangan pendengaran yang ringan atau parsial saja dapat mempengaruhi kemampuan anak untuk berbicara dan memahami bahasa. Bagi anak-anak, pendengaran dan kemampuan berbahasa adalah alat yang sangat penting untuk belajar, bermain dan membangun kemampuan sosial. Anak belajar untuk berkomunikasi dengan meniru suara yang mereka dengar. Jika mereka memiliki gangguan pendengaran yang tidak diketahui sebelumnya dan tidak ditangani, informasi untuk perkembangan bahasa dari lingkungan mereka akan terbuang sia-sia. Hal ini akan mengakibatkan lambatnya perkembangan kemampuan verbal serta menimbulkan masalah soaial dan akademik. Tuna rungu wicara biasanya terjadi yang diawali dengan tuna rungu(gangguan pendengaran) pada awal anak tersebut lahir, baik dapatan ataupun kongenital. Selanjutnya tuna rungu ini, anak dengan tuna rungu ini disertai dengangangguan keterbelakangan mental, gangguan emosional, gangguan bahasa atau bicara(tuna wicara). Gangguan pendengaran dibedakan antara tuli sebagian (hearing impaired) dan tuli total (deaf). Tuli sebagian (hearing impaired) adalah keadaan fungsi pendengaran berkurang namun masih dapat dimanfaatkan untuk berkomunikasi dengan atau tanpa bantuan alat bantu dengar, sedangkan tuli total (deaf) adalah keadaan fungsi pendengaran yang sedemikian terganggunya sehinggatidak dapat berkomunikasi sekalipun mendapat perkerasan bunyi (amplikasi). Tuna rungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran permanen maupun temporer (tidak permanen).



B. Rumusan masalah 1.      Apa yang dimaksud dengan tuna rungu dan tuna wicara? 2.      Bagaimana sistem dan implementasi pendidikan tuna wicara dan tuna rungu? C. Tujuan penulisan 1. Untuk mengetahui maksud dari tuna rungu dan tuna wicara, 2. Untuk mengetahui sistem dan implememntasi pendidikan tuna wicara dan tuna rungu.



2 BAB II PEMBAHASAN



A. Pengertian Tunarungu dan Tunawicara Menurut Pernamari Somad dan Tati Herawati (1996, hal. 27) menyatakan bahwa “Tunarungu adalah seseorang yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar baik sebagian atau seluruhnya yang diakibatkan karena tidak berfungsinya sebagaian atau seluruh alat pendenganran, sehingga ia tidak dapat menggunakan alat pendengarannya dalam kehidupan sehari-hari yang membawa dampak terhadap kehidupan secara kompleks”. Sedangkan menurut Sardjono (1997, hal. 7) mengatakan bahwa: “Anak tunarungu adalah anak yang kehilangan pendengaran sebelum belajar bicara atau kehilangan pendengaran demikian anak sudah mulai belajar bicara karena suatu gangguan pendengaran, suara dan bahasa seolah-olah hilang”. Sedangkan sebagian tunawicara adalah mereka yang menderita tuna rungu sejak bayi/lahir, yang karenanya tidak dapat menangkap pembicaraan orang lain, sehingga tak mampu mengembangkan kemampuan bicaranya meskipun tak mengalami ganguan pada alat suaranya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa anak penyandang tunarungu dan tunawicara adalah anak yang kehilangan kemampuan untuk mendengar baik sebagian maupun seluruhnya yang mengakibatkan tidak mampu untuk menggunakan alat pendengarannya dalam kehidupannya sehari-hari dan juga tidak mampu mengembangkan kemampuan bicaranya.



3



Tuna wicara merupakan gangguan verbal pada seseorang sehingga mengalami kesulitan dalam berkomunikasi melalui suara. Tuna wicara sering dikaitkan dengan tuna rungu. Van Uden (1971) menyatakan bahwa penyandang tuna rungu bukan saja tuna rungu



tetapi juga tuna bahasa. Sedangkan Leigh (1994)  mengemukakan bahwa terhadap anak tuna rungu, orang akan langsung berpikir tentang ketidakmampuan mereka dalam berkomunikasi secara lisan (berbicara), padahal masalah utamanya bukan pada ketidakmampuan dalam berbicara



melainkan



pada



akibat



dari



keadaan



ketunarunguan



tersebut



terhadap



perkembangan bahasa. Pendapat Van Uden yang menyatakan bahwa penyandang tuna rungu juga pasti tuna bahasa, berlawanan dengan pendapat Morag Clark, seorang International Consultant in Natural Auditory Oral Education for children who are hearing impaired. Clark (2007) menyatakan bahwa apabila anak-anak dengan gangguan pendengaran diberi alat bantu dengar yang tepat sehingga dapat baik maka kualitas bicara mereka sangat mengagumkan. Andreas Dwijosumarto dalam seminar ketuna runguan di bandung (19 juni 1988) mengemukakan bahwa tuna rungu adalah suatu kehilangan pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai perangsang, terutama indra pendengaran. Menurut batasan dari Sri Moerdiani (1987: 27) dalam buku psikologi anak luar biasa bahwa anak tuna rungu adalah mereka yang menaglami gangguan pendengaran sedemikian rupa sehingga tidak mempunyai fungsi praktis dan tujuan komunikasi dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya.



4



Adapun Moh Amin dalam buku Ortopedagogik umum mengemukakan bahwa anak tuna rungu adalah mereka yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan



mendengar yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya sebagian atau seluruh organ pendengaran yang mengakibatkan hambatan dalam perkembanganya sehingga memerlukan bimbingan pendidikan khusus. (1991: 1). Ahli lainnya memberikan batasan mengenai tunarungu ditinjau dari segi medis dan pedagogis sebagai berikut : “Tunarungu berarti kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kerusakan seluruh alat pendengaran yang mengakibatkan hambatan dalam perkembangan bahasa sehingga memerlukan bimbingan dan pelayanan khusus”. ( Salim, 1984 : 8). Orang tuli adalah seseorang yang mengalami ketidakmampuan untuk mendengar sehingga tidak dapat mengembangkan, biasanya pada tingkat 70 dB ISO atau lebih besar sehinga menghalangi untuk mengerti pembicaraan orang lain melalui pendengaranya sendiri tanpa mengunakan alat bantu dengar. Seseorang dikatakan kurang mendengar adalah ketidak mampuan untuk mendengar sehingga tidak dapat mengembangkan, bisanya pada tingkat 35 sampai 69 Db ISO tetapi tidak menghalangi untuk mengerti pembicaraan orang lain melalui pendengaranya sendiri tanpa atau menggunakan alat bantu dengar. Atau dengan menggunakan bahasa lain, bahwa anak tuna rungu adalah anak yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang diakibatkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya indra pendengaran sehingga mengalami hambatan dalam perkembanganya. Dengan demikian anak tuna rungu memerlukan pendidikan secara khusus untuk mencapai kehidupa lahir batin yang layak.



5



B. Klasifikasi Tunarungu Ketunarunguan dapat diklasifikasikan berdasarkan empat hal, yaitu tingkat kehilangan pendengaran, saat terjadinya ketunarunguan, letak gangguan pendengaran secaraanatomis, serta etiologis.



1.      Berdasarkan tingkat kehilangan pendengaran yang diperoleh melalui tes dengan menggunakan audiometer ketunarunguan dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a)      Tunarungu ringan (mild hearing loss) b)      Tunarungu sedang (moderate hearing loss) c)      Tunarungu agak berat (moderately csevere hearing loss) d)     Tunarungu berat (severe hearing loss) e)      Tunarungu berat sekali (profound hearing loss) 2.      Berdasarkan saat terjadinya ketunarunguan dapat diklasifikasikan sebagai berikut. a)      Ketunarunguan prabahasa (prelingual deafness), yaitu kehilangan pendengaran yang terjadi sebelum kemampuan bicara da bahsa berkembang. b)      Ketunarunguan pascabahasa (post lingual deafness), yaitu kehilangan pendengaran yang terjadi beberapa tahun setelah kemampuan bicara dan bahasa berkembang.



6



3.      Berdasarkan letak gangguan pendengaran secara anatomis, ketunarunguan dapat diklasifasikan sebagai berikut. a)      Tunarungu tipe konduktif, yaitu kehilangan pendengaran yang disebabkan oleh terjadinya kerusakan pada telinga bagian luar dan tengah, yang berfungsi sebagai alat konduksi atau pengantar getaran suara menuju telinga bagian dalam. b)      Tunarungu tipe sensorineural, yaitu tunarungu yang disebabkan oleh terjadinya kerusakan pada telinga dalam serta saraf pendengaran (nervus chochlearis). c)      Tunarungu tipe campuran yang merupakan gabungan tipe konduktif dan sensorineural, artinya kerusakan terjadi pada telinga luar/tengah dengan telinga dalam/saraf pendengaran. 4.      Berdasarkan etiologi atau asal usul ketunarunguan diklasifikasikan sebagai berikut. a)      Tunarungu endogen, yaitu tunarungu yang disebabkan oleh faktor genetik (keturunan) b)      Tunarungu eksogen, yaitu tunarungu yang disebabkan oleh factor nongenetik (bukan keturunan). Tuna rungu diklasifikasikan berdasarkan tingkat gangguan pendengaran, yaitu gangguan pendengaran sangat ringan(27-40dB), gangguan pendengaran ringan(41-55 dB), gangguan pendengaran sedang(56-70 dB), gangguan pendengaran berat(71-90 dB), gangguan pendengaran ekstrem/tuli(diatas 91 dB).



7



Klasifikasi ketunarunguan sangat bervariasi menurut BOOThroyd. Klasifiksi dan karakteristik ketunarunguan diantaranya didsarkan pada: Kelompok I      : Kehilangan 15-30 dB: mild hearing losses atau ketunarunguan ringan;   daya tangkap suara cakapan manusia normal. Kelompok II     : kehilangan 31-60 dB: moderate hearing losses atau ketunarunguan sedang; daya tangkap terhadap cakapan manusia hanya sebagian. Kelompok III   : kehilangan 61-90 dB: severve hearing losses atau ketunarunguan berat; daya tangkap terhadap cakapan suara manusia tidak ada.



Kelompok IV   : kehilangan 91-120 dB: profound hearing losses atau ketunarunguan sangat berat; daya tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak ada sama sekali. Kelompok V     : kehilangan lebih ari 120 dB: total hearing losses atau ketunarunguan total; daya tangkap terhadap suara manusia tidak ada sama sekali. Uden (1977) mebagi klasifikasi ketunarunguan menjadi tiga, yakni berdasarkan saat terjadinya ketunarunguan, berdasarkan tempat keruasakan pada organ pendengaran, dan berdasarkan pada taraf penguasaan bahasa.



8



C. Karakteristik Tuna Wicara dan Tuna Rungu Masalah



yang



kehilangan/terganggunya



utama fungsi



pada



diri



seorang



pendengaran



tunawicara



(tunarungu)



dan



adalah  atau



mengalami



fungsi



bicara



(tunawicara), yang  disebabkan karena bawaan lahir, kecelakaan maupun penyakit. Umumnya anak dengan gangguan dengar/wicara yang disebabkan karena faktor bawaan (keturunan/genetik)  akan berdampak pada kemampuan bicara  Walaupun tidak selalu. Sebaliknya anak yang tidak/kurang dapat bicara umumnya masih dapat menggunakan fungsi pendengarannya walaupun tidak selalu. Anak dengan gangguan dengar/wicara dikelompokan sebagai berikut : a.       Ringan (20 – 30 db) Umumnya mereka masih dapat berkomunikasi dengan baik, hanya kata-kata tertentu saja yang tidak dapat mereka dengar langsung, sehingga pemahaman mereka menjadi sedikit terhambat. b.      Sedang (40 – 60 db)



Mereka mulai mengalami kesulitan untuk dapat memahami pembicaraan orang lain, suara yang mampu terdengar adalah suara radio dengan volume maksimal. c.       Berat/parah (di atas 60 db) Kelompok ini sudah mulai sulit untuk mengikuti pembicaraan orang lain, suara yang mampu mereka dengar adalah suara yang sama kerasnya dengan jalan pada jam-jam sibuk. Biasanya kalau masuk dalam kategori ini sudah menggunakan alat bantu dengar, mengandalkan pada kemampuan membaca gerak bibir, atau bahasa isyarat untuk berkomunikasi. 9 Hambatan dalam pendengaran pada individu tuna rungu berakibat terjadinya hambatan dalam berbicara. Sehingga, mereka biasa disebut tuna wicara. Cara berkomunikasi dengan individu tuna rungu menggunakan bahasa isyarat. Bahasa isyarat melalui abjad jari telah dipatenkan secara internasional. Untuk komunikasi dengan isyarat bahasa masih berbeda-beda disetiap negara. Saat ini, beberapa SLB bagian B tengah mengembangkan komunikasi total, yaitu cara berkomunikasi dengan melibatkan bahasa verbal, bahasa isyarat,bahasa tubuh. Individu tunarungu cenderung kesulitan dalam memahami konsep dari sesuatu yang abstrak. Karakteristik tunawicara: a. Berbicara keras dan tidak jelas b. Suka melihat gerak bibir atau gerak tubuh teman bicaranya c. Telinga mengeluarkan cairan d. Menggunakan alat bantu dengar e. Bibir sumbing f. Suka melakukan gerakan tubuh g. Cenderung pendiam h. Suara sengau i. Cadel Berikut ini diuraikan karakteristik anak tunarungu dilihat dari segi intelegensi, bahasa dan bicara, emosi serta sosial :



10 1.      Karakteristik Dalam segi Intelegensi Pada umumnya anak tunarungu memiliki intelegensi normal atau rata-rata, akan tetapi karena perkembangan intelegensi sangat dipengaruhi oleh perkembangan bahasa maka anak tunarungu akan menampakkan intelegensi yang rendah disebabkan oleh kesulitan memahami bahasa. Rendahnya tingkat prestasi anak tunarungu bukan berasal dari kemampuan intelektual yang randah, tetapi pada umumnya disebabkan karena intelegensinya tidak mendapat kesempatan untuk berkembang dengan maksimal. Tidak semua aspek intelegensi anak tunarungu terhambat, tetapi hanya yang bersifat verbal, misalnya dalam merumuskan pengertian, menarik kesimpulan dan meramalkan kejadian. 2.      Karakteristik Dalam Segi Bahasa dan Bicara Perkembangan bicara dan bahasa anak tunarungu sampai masa meraban tidak mengalami hambatan karena meraban merupakan kegiatan alami pernafasan dan pita suara. Setelah masa meraban perkembangan bahasa dan bicara anak tunarungu terhenti. Pada masa meniru anak tunarungu terbatas pada peniruan yang sifatnya visual yaitu gerak dan isyarat. Karena anak tunarungu tidak bisa mendengar bahasa, kemampuan bahasanya tidak akan berkembang bila ia tidak di didik atau dilatih secara khusus. Karena itu anak tunarungu bicara dan bahasanya pada awalnya seringkali sukar ditangkap, akan tetapi bila bergaul lebih lama dengan mereka kita akan terbiasa dengan cara bicara mereka sehingga akan mempermudah kita dalam memahami maksud bicara anak tunarungu itu. 11



3.      Karakteristik Dalam segi Emosi dan Sosial Ketunarunguan dapat mengakibatkan terasing dari pergaulan sehari-hari, yang berarti mereka terasing dari pergaulan atau aturan sosial yang berlaku dalam masyarakat dimana ia hidup / keadaan ini menghambat perkembangan kepribadian anak menuju dewasa. Akibat dari keterasingan tersebut dapat menimbulkan efek-efek negatif seperti ; 1.      Egosentrisme yang melebihi anak normal 2.      Mempunyai perasaan takut akan lingkungan yang lebih luas 3.      Ketergantungan terhadap orang lain 4.      Perhatian mereka lebih sukar dialihkan



5.      Mereka umumnya memiliki sifat yang polos, sederhana dan tanpa banyak masalah 6.      Mereka lebih mudah marah dan cepat tersinggung. D.    Terapi Terpadu untuk Anak Tuna Rungu Keywords: terapi mendengar / terapi dengar, auditory verbal therapy / terapi auditori verbal, auditory oral therapy, AVT / TAV, terapi wicara, implan koklea / cochlea implant, alat bantu dengar / ABD, komunikasi, tunarungu.



12



Prinsip Dasar Terapi Ellen (Terapi terpadu = terapi mendengar + terapi wicara) : 1.      Mendengar melalui telinga yang dibantu ABD, bukan karena melihat gerakan tangan atau gerakan mulut. 2.      Keterbatasan si anak dalam merespon pembicaraan kita adalah karena belum mengerti kata/kalimat yang didengar (keterbatasan kosa kata, karena baru mulai mendengar selama 2 tahun), sehingga perlu dibantu dengan gambar/gerakan tangan. Tetapi bantuan inipun sifatnya hanya sesaat dalam rangka memasok kata baru, setelah kata tersebut dimengerti, bantuan visual dihilangkan. 3.      Karena itu yang penting adalah memasok kosa kata ke telinga Ellen, tanpa menuntut dia segera/langsung dapat mengerti apalagi mengucapkan. John Tracy Clinic menuliskan: untuk dapat mengerti suatu kata si anak harus mendengar 100 kali, untuk dapat mengucapkan ia harus mendengar 1000 kali. Jadi sejak Ellen memakai ABD kami konsentrasi memasok dan memasok kata ke telinganya (saat bercakap-cakap normal, maupun saat spesifik mengajarkan kata-kata baru). 4.      Teknik berbicara adalah dengan volume suara normal di dekat telinganya. Hal ini bertujuan agar suluruh konsonan dapat ditangkap. Bicara pada jarak yang lebih jauh dengan suara keras (berteriak) menyebabkan yang ditangkap hanya vokal saja.



13



5.      Kami telah menerapkan point 1-4 selama 1 tahun dan telah terbukti menunjukkan hasil yang baik. Pada akhir tahun pertama, dia baru memiliki bahasa reseptif (paham beberapa kata yang kami ucapkan tanpa dia melihat gerak bibir, tapi dia belum bisa mengucapkannya), lalu setelah itu mulai muncul kata-kata pertamanya (walau pengucapan tidak sempurna, tetapi konsisten), dan langsung disusul dengan kata-kata berikutnya. Metode ini biasa disebut teknik auditory verbal. 6.      Kendala yang muncul adalah pengucapan yang masih sangat lemah, karena itulah atas saran John Tracy Clinic kemudian Ellen dibantu terapi wicara (di suatu RS). Terapis wicara membantu membentuk pengucapan Ellen dengan teknik terapi wicara terhadap kata-kata yang sudah dimengerti Ellen tetapi belum bagus pengucapannya. Walaupun hanya 4 bulan (terpaksa quit karena tidak tertampung jadwal baru mereka yang hanya pagi–siang), pola ini telah menunjukkan hasil yang menggembirakan. Metode auditory verbal + terapi wicara ini biasa disebut auditory oral. Ini yang kami lanjut-terapkan saat ini (dengan bantuan terapis wicara di sekolah). Catatan: -          Penelitian modern menyatakan hampir semua anak tuna rungu masih punya sisa pendengaran (tidak 100% tuli). Sisa pendengaran ini dapat dioptimalkan dengan bantuan alat bantu dengar (ABD, walaupun tidak secanggih implan koklea). 14



-          Tetapi memakai ABD tidak sama dengan orang memakai kaca mata, yang langsung bisa melihat dengan lebih jelas. Karena respon atas stimuli visual adalah langsung, sedangkan respon atas stimuli auditori adalah melalui tahap pemahaman/interpretasi dulu. Untuk mencapai tahap pemahaman yang penting adalah harus sering mendengar dan mendengar, dengan pengucapan yang jelas, kalimat pendek, dan jika perlu disertai bantuan visual: gambar & gerakan tangan (kadang tanpa bantuan akan sulit anak memahami kata-kata baru, mirip kita nonton film berbahasa asing dimana kita mendengar pemain berbicara cas-cis-cus tanpa kita menangkap artinya). Tetapi bantuan itu perlahan dihilangkan, sehingga nantinya hanya akan berkomunikasi secara verbal. (by: mama Ellen, edited by papa Ellen).



E. Perkembangan pendidikan Tunarungu dan Tunawicara Salah satu literatur tertua mengenai tunarungu dan tunawicara tercatat pada abad kelima SM, dalam Plato Cratylus, di mana Socrates berkata: "Jika kami tidak memiliki suara atau lidah, dan ingin mengungkapkan hal-hal yang satu sama lain, tidak akan kami mencoba untuk membuat tanda-tanda dengan menggerakkan tangan, kepala, dan seluruh tubuh kita, seperti orang bodoh lakukan saat ini ?” Disini tampak bahwa orang yang disebut Socrates sebagai orang bodoh adalah sekelompok orang yang tidak bersuara dan tidak berlidah. Terdapat juga literatur pada abad ke-2 Yudea, rekaman dalam traktat Mishnah Gittin menyatakan bahwa untuk tujuan transaksi komersial "Seorang tuli-bisu dapat mengadakan percakapan melalui suatu gerakan tertentu.” 15 Di masa yang lebih modern, yaitu pada tahun 1620, Juan Pablo Bonet menerbitkan “Reducción de las letras y arte para enseñar a hablar mudos los” (Pengurangan huruf dan seni untuk mengajar orang bisu untuk berbicara') di Madrid. Sejumlah esai modern pertama Fonetik dan Logopedia, kemudian menetapkan metode pendidikan oral bagi penyandang tunarungu dengan cara penggunaan tanda-tanda manual, dalam bentuk alfabet manual untuk memperbaiki komunikasi dari penyandang tunarungu dan tunawicara. Terinpirasi dari bahasa tanda-tanda Bonet ini, Charles-Michel de l'Épée kemudian  menerbitkan alfabet manualnya di abad ke-18, yang sampai kini terus bertahan di Perancis dan Amerika Utara. Ini merupakan masa-masa awal berkembangnya pendidikan khusus penyandang tunarungu dan tunawicara. Pada 1755, Abbé de l'Épée mendirikan sekolah pertama untuk anak-anak penyandang tunarungu dan tunawicara di Paris. Salah satu lulusannya yang juga berperan dalam pengembangan pendidikan ini Laurent Clerc. Clerc melakukan migrasi ke Amerika Serikat bersama Thomas Hopkins Gallaudet untuk mendirikan Sekolah Amerika untuk Tuli di Hartford, Connecticut, pada tahun 1817. Perjuangan ini diteruskan oleh Edward Miner Gallaudet (putra T.H Gallaudet) yang mendirikan sekolah untuk penyandang tunarungu pada tahun 1857 di Washington, DC. Pada tahun 1864 sekolah ini menjadi National Deaf-Mute College. Universitas ini kemudian disebut Gallaudet University, dan masih merupakan universitas seni liberal hanya untuk orang-orang tunarungu dan tunawicara di dunia.



16



Di Indonesia sendiri, pendirian lembaga pendidikan yang menangani Anak Tunarungu (ATR) baru dirintis oleh C.M.Roelfsma Wesselink, di Bandung pada tahun 1933. 5 tahun kemudian,  di Wonosobo didirikan lembaga pendidikan oleh Misi Katolik yang hanya menerima siswi–siswi tuna rungu yang terkenal pula dengan metode oralnya. Lalu pada tahun 1953 didirikan sekolah lain di kota yang sama oleh Misi Bruder Charitas yang khusus mendidik siswa putra. Dimulai tahun 1970-an mulai berkembang berbagai versi perangkat isyarat dalam menerapkan komunikasi pada penyandang tunarungu di Indonesia. Baru tahun 1933 , Balitbang Dikbud, Dekdikbut mulai menyusun kamus baku bahasa isyarat. Dan pada tahun yang sama Direktorat Pendidikan Dasar, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Dan Menengah, Depdikbud mengambil keputusan membakukan suatu Sistem Isyarat Nasional, yang kemudian lebih dikenal dengan istilah Sistem Isyarat Bahasa Indonesia. Menurut sejarah pendidikan anak tunarungu dimulai setelah adanya perkembangan dan pengalaman terhadap kemampuan-kemampuan anak tunarungu. Kemampuan tersebut meliputi berbagai bidang, antara lain ; mampu dilatih mengeluarkan suara/bicara walaupun tidak dapat mendengar suara orang lain maupun suaranya sendiri, serta mampu berkomunikasi dengan masyarakat umumnya walaupun hanya menggunakan isyarat dan kadang-kadang disertai suara.



17



1.      Perkembangan anak tunarungu di luar negeri Berdasarkan pengalaman-pengalaman dan kemajuan-kemajuan yang telah dicapai dalam memberikan layanan pendidikan dinegara-negara maju khususnya di amerika serikat dan eropa barat, ternyata penyandang tunarungu dapat hidup wajar seperti halnya anggota masyarakat lainnya, asal saja mereka dipersiapkan sebaik-baiknya yaitu diupayakan pengembangan kemampuan seoptimal mungkin sesuai dengan kondisinya. Hambatan utama



anak tunarungu adalah kurang lancarnya berkomunikasi dengan orang lain yang diakibatkan oleh tidak berfungsinya pendengaran secara baik. Orang pertama yang menaruh perhatian terhadap pendidikan anak tunarungu adalah St. Yohannes of Baverly yang hidup pada akhir abad ke tujuh sampai abad kedelapan. Pada abad pertengahan itu menjadi lebih intensif karena pada zaman itu perhatian terhadap kemanusian lebih besar. 2.      Perkembangan pendidikan anak tunarungu di indonesia Pendidikan anak tunarungu diindonesia mulai dirintis pada tahun 1930 dibandung oleh Ny. Roelfsma Wesselink ( istri dokter THT ) dengan mendirikan sekolah anak tunarungu, yang kemudian dikelola oleh perkumpulan penyelenggaraan pengajaran bagi anak Tuli Bisu di indonesia yang berkedudukan di Bandung. Kepala sekolah pertama adalah D.W. Bluenink berkebangsaan Belanda. Sekolah anak tunarungu yang kedua didirikan di wonosoba oleh Broeder-Broeder Charitas pada tahun 1938 yang mempunyai hubungan dengan sekolah bagi anak tunarungu dinegeri belanda, yakni St. Micliect’s gestel. 18 Setelah indonesia merdeka, khususnya setelah tahun tujuh puluhan, perkembangan pendidikan anak tunarungu semakin berarti meskipun jumlah sekolah belum memadai, tetapi sudar tersebar di kota-kota besar di indonesia. Sejak Pelita III dan awal Pelita IV pemerintah mendirikan Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) sebanyak 200 buah, yang prioritas didirikan dikota-kota yang belum memiliki SLB.



F. Peranan Orang Tua Dalam Pendidikan Anak Tunarungu Masa-masa yang paling kritis dalam kehidupan orang tua adalah ketika mereka harus mengakui bahwa anaknya berkelainan. Keadaan tersebut akan menimbulkan bermacammacam reaksi. Beberapa diantaranya akan berusaha menghindarkan diri dari kenyataan ini, seperti dengan menyembunyikan anak tersebut. Selain itu ada juga yang berhati mulia menghadapi kenyataan tersebut bahkan sekaligus memikirkan masa depan anaknya yang berkelainan. Penting untuk disadari bahwa penerimaan yang secepatnya dari orang tua terhadap anaknya serta membuat rencana untuk masa depan anaknya adalah merupakan suatu kebajikan untuk kebahagiaan anak itu sendiri maupun bagi orang tua/keluarganya sendiri.



19



Sikap positif yang dituntut dari orang tua adalah sikap menerima sebagaimana adanya yaitu sikap yang bijaksana yang mencerminkan ketulusan terhadap kehendak ilahi, sehingga dapat membahagiakan anak tunarungu. Sikap menerima berarti  adanya pengakuan terhadap eksistensi anak tunarungu sebagai mahkluk tuhan dan anggota keluarga yang sederajat dan berhak memperoleh kasih sayang seperti halnya anak yang lain. Pendidikan kepada anak tunarungu hendaknya didasarkan pada aspek penerimaan yang tulus atas kondisi kelainannya. Pendidikan pertama-tama adalah merupakan tanggung jawab orang tuanya. Pendidikan dan latihan harus diberikan kepada anak tunarungu sedini mungkin untuk menghindari / mengurangi kemungkinan terjadi kelainan tambahan, seperti tunawicara atau bisu. Agar dapat mendidik dan melatih anak tunarungu sebaik-baiknya, orang tua dituntut memiliki berbagai pengetahuan dan keterampilan antara lain : -       Pengetahuan tentang jenis dan tingkat ketunarunguan -       Pengetahuan tentang karakteristik anak tunarungu -       Pengetahuan tentang cara-cara mendidik anak tunarungu yang meliputi segi-segi teori maupun praktek.



20



-       Pengetahuan tentang cara mamilih, menggunakan, serta merawat alat bantu dengar. -       Pengetahuan dan keterampilan tentang cara berkomunikasi dengan anak tunarungu agar kemampuan berbicara dan berbahasanya makin berkembang.



G. Penyebab Terjadinya Tunarungu a.       Penyebab Tunarungu Tipe Konduktif: 1)      Kerusakan/gangguan yang terjadi pada telinga luar yang dapat disebabkan antara lain oleh: ·         tidak terbentuknya lubang telinga bagian luar (atresia meatus akustikus externus), dan ·         terjadinya peradangan pada lubang telinga luar (otitis externa). 2)      Kerusakan/gangguan yang terjadi pada telinga tengah, yang dapat disebabkan antara lain oleh hal-hal berikut: ·         Ruda Paksa, yaitu adanya tekanan/benturan yang keras pada telinga seperti karena jatuh tabrakan, tertusuk, dan sebagainya. ·         Terjadinya peradangan/inpeksi pada telinga tengah (otitis media).



21



·         Otosclerosis, yaitu terjadinya pertumbuhan tulang pada kaki tulang stapes. ·         Tympanisclerosis, yaitu adanya lapisan kalsium/zat kapur pada gendang dengar (membran timpani) dan tulang pendengaran. ·         Anomali congenital dari tulang pendengaran atau tidak terbentuknya tulang pendengaran yang dibawa sejak lahir. ·         Disfungsi tuba eustaschius (saluran yang menghubungkan rongga telinga tengah dengan rongga mulut), akibat alergi atau tumor pada nasopharynx. 3)      Penyebab Terjadinya Tunarungu Tipe Sensorineural ·         Disebabkan oleh faktor genetik (keturunan), ·         Disebabkan oleh faktor non genetik antara lain: -          Rubena (Campak Jerman) -          Ketidaksesuaian antara darah ibu dan anak. -          Meningitis (radang selaput otak ) -          Trauma akustik.



H. Cara Pencegahan Terjadinya Tunarungu 1)   Pada saat sebelum nikah (pra nikah) antara lain: menghindari pernikahan sedarah atau pernikahan dengan saudara dekat; melakukan pemeriksaan darah; dan melakukan konseling genetika.



22



2)   Upaya yang dapat dilakukan pada waktu hamil,antara lain: menjaga kesehatan dan memeriksakan kehamilan secara teratur; mengkonsumsi gizi yang baik/seimbang; tidak meminum obat sembarangan; dan melakukan imunisasi tetanus. 3)   Upaya yang dapat dilakukan pada saat melahirkan, antara lain: tidak menggunakan alat penyedot dan apabila Ibu tersebut terkena virus herpes simplek pada daerah vaginanya,maka kelahiran harus melalui operasi caesar. 4)   Upaya yang dapat dilakukan pada masa setelah lahir antara lain: melakukan imunisasi dasar serta imunisasi rubela yang sangat penting, terutama bagi wanita; mencegah sakit influenza yang terlalu lama (terutama pada anak); dan menjaga telinga dari kebisingan.



I. Analisis Kasus Kasus 1 Cerita Shafa: Tuna Rungu Jangan Menjadi Hambatan Shafa, adalah seorang anak yang merupakan inspirator untuk anak-anak lain agar tidak menyerah dengan ke”tidak normal”an pada pendengaran. Berikut merupakan penuturannya.



23



Namaku Shafa Husnul Khatimah, aku lahir di Bandung tanggal 20 Juni 1991. Aku adalah anak pertama dari 3 bersaudara. Aku dilahirkan dengan keadaan normal, aku cucu



pertama dari keluarga ibuku, aku sangat disayang dan diperhatikan oleh keluarga besar ibuku. Ibu dan keluargaku bercerita bahwa aku adalah anak yang sangat lucu dan menggemaskan. Ketika aku bayi sampai usiaku 20 bulan tidak ada yang dikhawatirkan terhadap diriku sebab aku tumbuh dengan sangat wajar, namun pamanku sedikit takut dengan pendengaranku, karena setiap mereka memanggil namaku, tak penah sekalipun aku menoleh, sehingga pamanku menyarankan kepada ibuku untuk memeriksakan pendengaranku, ketika itu ibuku marah besar karena menurut beliau tidak ada masalah dengan pendengaranku. Namun akhirnya ibuku ikut juga saran paman untuk memeriksakan pendengaranku. Aku diperiksa oleh dokter THT namun dokter tidak yakin apakah aku tuli atau tidak, untuk meyakinkan apakah aku punya masalah pada pendengaranku akhirnya aku periksa BERA (test pendengaran dengan peralatan computer). Setelah selesai pemeriksaan dan mendapatkan hasilnya betapa terkejutnya keluargaku karena dokter menyatakan bahwa aku termasuk anak tuna rungu berat, ini semua dilihat dari hasil tes BERA yang menunjukkan bahwa untuk telinga kanan tidak tembus ambang 110 Db (Decibel) - kekerasan suara yang terdengar diatas 110 Db - , dan telinga kiri mencapai 110 db.



24



Setelah mendapatkan hasil tes BERA tersebut keluarga besarku mencari solusi untuk pengobatanku baik melalui dokter sampai ke alternatif, karena mereka beranggapan bahwa kita harus berusaha dan berdoa semaksimal mungkin karena Allah akan memberikan hasil sesuai dengan usaha dan doa kita. Saat aku memasuki bangku sekolah, aku masuk TK umum di Cimahi ketika usiaku 4 tahun. Aku belum bisa bicara seperti teman-teman yang lain, namun aku tidak berkecil hati sebab aku terus belajar dan mengikuti terapi bicara, namun orang tuaku kasihan melihatku yang sering kali dibicarakan oleh teman-temanku. Akhirnya aku dipindahkan ke sekolah khusus anak tuna rungu di Jakarta. Padahal ketika itu banyak sekali hal-hal yang dikorbankan termasuk karir ayahku dimana ayahku harus cari kerja baru di Jakarta, padahal karir ayahku saat itu cukup bagus, namun demi aku mereka rela memulai dari awal lagi. Di samping itu juga aku sangat sedih harus berpisah dengan ibu Dewi Tirtatawati, beliau adalah salah satu orang yang sangat berharga bagiku, karena tanpa beliau aku belum tentu bisa berbicara



seperti sekarang ini. Ibu Dewi adalah guru terapi bicaraku, dia sangat sabar dan sayang kepadaku, aku terapi setiap hari dari hari Senin sampai Jum’at, di rumah sakit Hasan Sadikin Bandung. Ketika kami pindah ke Jakarta aku dimasukkan ke sekolah SLB-B Santi Rama, namun aku hanya bisa sekolah di sana 2 minggu sebab ibuku melihat aku tidak cocok sekolah di sana. Akhirnya aku dipindahkan lagi ke TK umum Mutiara Indonesia cabang Kayu Putih,selama 2 tahun. 25



Alhamdulilah ketika aku bersekolah di sana aku punya banyak teman, karena mereka sangat peduli dan mau berteman denganku, walaupun aku belum lancar bicara tapi mereka mau mengerti dan memahamiku. Setelah itu aku pindah lagi ke Cimahi untuk masuk SD. Di Cimahi aku masuk sekolah SD umum yaitu SDN 2 Cimahi. Aku masuk SD berumur 7 tahun. Alhamdulillah aku bisa mengikuti pelajaran dengan baik dan bicaraku pun semakin baik juga sebab aku tetap terapi bicara terus sampai usiaku 7 tahun. Ketika aku baru masuk SD sampai kelas 4 aku sering dihina teman-temanku, mereka bilang aku si kuping robot sebab di telingaku ada alat bantu dengar, tapi aku tak menghiraukan mereka yang penting aku tidak merugikan mereka dan tidak membalasnya. Alhamdulillah setelah kelas 5 teman-temanku tidak lagi menghinaku. Aku di sekolah tidak minder. Aku berpikir, aku seperti ini adalah kehendak Allah. Aku, orang tuaku dan keluarga besarku tidak ingin aku dikasihani, sehingga aku diperlakukan sama seperti yang lain. Aku di sekolah memang tidak dapat ranking 5 besar tapi nilaiku cukup bagus terbukti dengan nilai UPMPku sehingga aku bisa masuk SMPN 1 Cimahi.yang menurut orang-orang SMPN favorit yang sangat bagus dan berat untuk bisa masuk ke sana. Ketika aku duduk di kelas 1 SMP, aku memutuskan untuk menggunakan kerudung. Alhamdulillah aku punya banyak teman. Teman-temanku tidak menyangka kalau aku adalah anak tuna rungu, bahkan guru-guru juga. Ibuku selalu bercerita kepada guru-guru BP, padahal aku tidak ada masalah dengan pelajaran di sekolah, kecuali setiap ada pelajaran mendengar (listening), aku sangat susah untuk mengikuti. Alhamdulillah pada pelajaran lain aku dapat menerima dengan cukup baik. 26



Sekarang aku kelas 3 SMP, aku pernah ikut olimpiade matematika se-kota Cimahi ketika kelas 2 SMP, alhamdulillah aku dapat peringkat 3 ketika tes tertulis. Ketika SD aku juga sering juara lomba Sempoa Aritmatika dan Mewarnai. Aku juga belajar drum sampai sekarang sebab setelah aku belajar drum aku bisa belajar alat musik lain seperti gitar, keyboard, recorder. Sebelum aku belajar drum aku tidak bisa belajar alat musik apapun dan entah kenapa setelah aku belajar drum aku bisa belajar alat musik yang lain. Mungkin di drum aku belajar ketukan sehingga aku sedikit tahu tentang alat musik yang ditentukan dengan tempo (ketukan). Aku juga tidak malu kalau tampil main drum dan aku pernah tampil ketika kota Cimahi berulang tahun. Orang-orang yang tidak tahu tentang keadaanku mereka tidak menyangka bahwa aku anak tuna rungu berat sebab aku bisa bicara seperti anak normal. Namun, memang aku sering tidak bisa mendengar kalau orang bicara pelan walaupun aku sudah pakai Alat Bantu Dengar. Aku dan keluargaku ingin sekali berbagi kepada semua orang yang memiliki anak tuna rungu, sebab orang sering beranggapan kalau anak tuna rungu itu tidak bisa berbicara dengan lancar. Aku ingin tunjukkan bahwa yang tuna rungu bisa berbicara dengan lancar dan baik sebagaimana orang normal. Kami ingin menginformasikannya kepada semua orang.



27



Kasus II Epi merupakan seorang anak yang tinggal di daerah desa Padang Alai, Kecamatan V Koto Timur, Kabupaten Padang Pariaman. Epi awalnya dibesarkan oleh orang tua kandungnya sendiri. Orang tua kandungnya merupakan tuna wicara yang berprofesi sebagai petani. Orang tua Epi membesarkannya dengan penuh kasih sayang, meskipun serba kekurangan. Namun sayang sekali, dikarenakan orang tuanya tuna wicara, maka Epi pun berangsur-angsur tidak dapat berbicara. Padahal menurut bidan yang mengurus persalinannya, pada saat ia dilahirkan hingga umur beberapa bulan, ia masih bisa menangis seperti anak normal pada umumnya. Epi tinggal di daerah terpencil sehingga sangat jarang berkomunikasi dengan orang lain. Uniknya, Epi dapat meniru suara gonggongan anjing. Ini dikarenakan orang tuanya memelihara seekor anjing. Suara anjing tersebut sering didengar



oleh Epi dan ditirunya. Jadi meskipun Epi tidak bisa berbicara, ia masih bisa meniru suarasuara yang ia dengar disekelilingnya. Saat ini, Epi diasuh oleh saudara ibunya. Meskipun telah diajarkan mengucapkan kata-kata oleh orang tua angkatnya, ternyata Epi tetap tidak dapat berbicara. Ia hanya bisa meniru bunyi-bunyian yang pernah didengarnya dahulu sewaktu masih dibesarkan oleh otang tua kandungnya. Kenyataan inilah yang membuat penulis tertarik untuk menganalisis pemerolehan bahasa pertamanya selama dibesarkan oleh orang tua yang tua wicara. Pemerolehan bahasa pertama pada anak tergantung pada bunyibunyian atau kata-kata yang mereka dengar pada masa-masa awal mereka tumbuh. Sejauh mana mereka bisa meniru, membunyikan, dan mengucapkan suatu kata tergantung dari bahasa ibu yang mereka dapatkan. 28 Karenanya jika mereka tidak mendapatkan bunyi-bunyian untuk ditiru, maka alat ucap mereka menjadi tidak berfungsi. Ini disebabkan karena mereka tidak mengoptimalkan penggunaan alat ucap mereka. Hal ini yang terjadi pada Epi. Selama dibesarkan oleh orang tuanya yang tuna wicara, Epi tidak pernah mendengar bunyi-bunyian atau kata-kata yang dapat ia tiru untuk kemudian diucapkan. Padahal, pada awalnya Epi mamapu bersuara seperti anak-anak pada umumnya. Ia mampu menangis seperti pada umumnya. Namun, setelah berumur beberapa bulan hingga umur 4 tahun, ia tidak pernah mendengar kata-kata dari orang tuanya. Sehingga ia pun tidak bisa berbicara. Epi hanya bisa membunyikan bunyi-bunyian tertentu, dimana bunyi-bunyi tidak pernah ia dapatkan dari kedua orang tuanya. Bunyi-bunyian yang ia dengungkan pun tidak jelas maknanya dan tidak berupa kata-kata, hanya berupa lenguhan-lenguhan singkat. Epi mengalami masa-masa pertumbuhan yang tidak seperti biasa dialami oleh anakanak pada umumnya. Ia tidak pernah mengalami masa-masa membabel, holofrasa, dan dua kata seperti yang biasa dialami anak-anak pada umumnya. Ia tidak pernah berusaha menggunakan alat ucapnya untuk mengucapkan suatu kata, ini dikarenakan tak ada kata-kata yang bisa ia tiru. Dengan demikian  jelas sudah. Terdapat hubungan antara cara mendidik orang tua dengan pemerolehan bahasa pertama anak. Seorang anak apabila tidak mendapatkan kata-kata untuk ia tiru pada masa-masa ia seharusnya meniru sebuah kata, maka alat ucapnya tidak akan berfungsi lagi.



29



J. Layanan Yang Diperlukan a.       Sistem Layanan Pendidikan Tunarungu b.      Anak yang mendengar, semasa usia balita, akan secara spontan menemukan bermacammacam lambang; baik lambang untuk benda, berbagai kegiatan, maupun segala perasaan orang, serta menemukan aturan tata bahasa yang dipakai oleh ibunya. Lambang bahasa serta aturan tata bahasa yang telah ditemukan tersebut kemudian diterapkan secara tepat dalam percakapan sehari-hari tanpa mengetahui istilah tata bahasa bakunya. A.van Uden; seorang tokoh pendidikan anak tunarungu dari Belanda; mengatakan bahwa anak tunarungu yang ditangani secara dini, dalam arti sejak bayi diajak dan dilatih untuk berkomunikasi seperti bayi yang mendengar, akan terhindar dari ketertinggalan perkembangan bahasa-nya yang amat jauh dari anak dengar seusianya. Maka A. van Uden kemudian mengembangkan suatu metode atau model pengajaran bahasa untuk anak tunarungu yang menggunakan dasar tahapan perkembangan bahasa pada anak dengar.



30



c.       Permasalannya adalah bahwa akibat ketunarunguan anak tidak hanya tidak dapat mendengar/ terganggu pendengarannya, tetapi juga tidak berbahasa, artinya tidak dapat berkomunikasi secara wajar (secara oral/lisan). Menurut kenyataan, tidak semua anak tunarungu berhasil dididik untuk menungkapkan bahasanya dengan cara yang lazim dipakai orang dengar, yaitu secara oral. Dari sinilah muncul pemikiran untuk mencarikan berbagai cara berkomunikasi, di samping mencarikan metode untuk pengajaran bahasanya. Kebanyakan guru SLB-B tidak menyadari perbedaan antara kedua hal tersebut. Ada empat Aliran dalam Media Komunikasi dalam pembelajaran yakni (1) Aliran Oral : ada yang secara



murni + membaca ujaran, ada juga secara oral + aural (memanfaatkan sisa pendengarannya). (2) Aliran Manual : Ada juga dengan isyarat/gesti saja. Ada pula yang dengan isyarat baku + abjad jari/SIBI (3) Aliran Campuran : secara oral + salah satu media lain atau semua media lain dalam Komunikasi Total, (4) Aliran Auditory Verbal/AVT : mengandalkan kemampuan dengar saja tanpa membaca ujaran. Sedangkan pendekatan pemerolehan / pengajaran bahasa bagi siswa tunarungu meliputi , pertama aliran Konstruktif/Struktural/gramatikal : yaitu pengajaran bahasa secara Formal, kedua aliran Natural yaitu pengajaran bahasa secara informal dengan pendekatan percakapan atau menggunakan bahasa ibu. Pada pertengahan abad 20 ini muncul sebuah metode pengajaran bahasa yang menggabungkan antara pendekatan Informal dengan Formal menjadi Semi Formal, yang terkenal dengan Metode Maternal Reflektif atau Metode Pengajaran Bahasa Ibu yang Reflektif. Dengan Metode Maternal Reflektif kita akan membawa anak tunarungu dari keadaan tak berbahasa hingga menguasai bahasa seperti yang dipakai oleh lingkungannya. 30 d.      Metode Maternal Reflektif tersebut dalam pelaksanaannya ditunjang dengan pelaksanaan Bina Komunikasi Persepsi Bunyi dan Irama, yang terdiri dari : Bina Wicara, Bina Persepsi Bunyi dan Irama Musik maupun Bahasa serta Bina Isyarat, secara terprogram , kontinyu dan berkesinambungan. Bagaimana Bina Wicara, BPBI, Bina Isayarat tersebut dilaksanakan di SLB B ? e.       Penyelenggaraan Sekolah Luar Biasa Tunarungu yang Ideal f.       Mengubah peran guru dari pendidik yang spesialis ke generalis, pendekatan interdisipliner dengan meningkatkan kelenturan dalam menggunakan pendekatan/metode pembelajaran bagi tunarungu. g.      Perlunya pengkaderan pengurus yayasan, kepala sekolah, baik sebagai manager maupun leader yang memahami atau menguasai bidang keahliannya dalam pendidikan tunarungu, sehingga terampil mengelola sistem pendidikan tunarungu. h.      Dalam kegiatan belajar mengajar, menggunakan “Kurikulum Lintas Bahasa”, dengan pendekatan metode pemerolehan bahasa dan sistem komunikasi tunarungu yang tepat (metode pemerolehan bahasa yang ditawarkan Metode Maternal Reflektif). i.        Terlaksananya layanan deteksi dan intervensi dini, dengan memberikan layanan Bina Komunikasi Persepsi Bunyi dan Irama secara terprogram, terarah, kontinyu dan berkesinambungan.



j.        Pemanfaatan sisa pendengaran dengan mengoptimalkan alat bantu dengar secara benar, meliputi : pemilihan, pemanfaatan dalam rehabilitasi dan habilitasinya, serta sistem perawatanya. 31 k.      Strategi optimalisasi semua komponen sekolah ; guru, orangtua/masyarakat, lingkungan dan sarana prasarana dalam pelayanan pendidikan siswa tunarungu secara berkualitas. K.    Implementasi Model Pembelajaran Anak Tunarungu di Kelas Inklusi Pembelajaran anak tunarungu di kelas inklusi tidaklah mudah. Sebelum menempatkan anak tunarungu di kelas inklusi, sebaiknya persyaratan dibawah ini dapat dipenuhi, yaitu: 1. Anak tunarungu harus memiliki bahasa yang cukup. Artinya sebelum anak tunarungu dimasukan dalam kelas inklusi terlebih dahulu harus memiliki bahasa yang dapat menjembatani



pembelajaran



yang



dilakukan



dikelas



inklusi



dan



mampu



berkomunikasi dengan baik. Hal ini sangat diperlukan agar anak tunarungu mampu mengikuti pembelajaran dengan anak regular lainnya tanpa harus menjadi penonton di dalam kelas. Tanpa bahasa yang cukup anak tunarungu hanya sebagai hiasan di kelas inklusi tanpa bisa mencerna dan memahami pembelajaran yang diberikan oleh guru. 2. Sekolah yang di dalamnya menyertakan anak berkebutuhan khusus harus memiliki guru pendamping yang berlatarbelakang PLB, lebih baik lagi jika guru pendamping tersebut berlatarbelakang dari sekolah luar biasa dengan bidang kajian yang sama dengan anak berkebutuhan khusus yang ada di kelas inklusi. 3. Guru regular hendaknya memahami karakteristik anak tunarungu serta sedapat mungkin mampu berempati terhadap anak tunarungu agar pembelajaran yang diberikan dapat dipahami dengan mudah.



32



4. Guru regular mampu menggunakan prinsip-prinsip pembelajaran bagi anak tunarungu seperti prinsip keterarah wajahan, keterarah suaraan, prinsip intersubyektivitas dan prinsip kekonkritan. 5. Lingkungan di sekolah inklusi harus kondusif dan dapat menerima keberadaan anak berkebutuhan khusus. 6. Sarana dan prasarana yang mendukung bagi anak berkebutuhan khusus. Jika persyaratan diatas telah dipenuhi, maka selanjutnya pembelajaran di kelas inklusi bagi anak tunarungu dapat dilakukan. Pembelajaran tunarungu yang paling utama dan terutama adalah pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa ini diperoleh melalui percakapan. Untuk mencapai kepada pembelajaran yang bermakna bagi tunarungu dibutuhkan pendekatan khusus yaitu metode maternal reflektif (MMR). Pembelajaran bagi tunarungu berbeda dari pembelajaran yang ada pada umumnya. Hal ini dikarenakan tunarungu tidak dapat menerima informasi melalui pendengarannya dan untuk itu maka diperlukan adanya visualisasi untuk lebih memudahkan tunarungu menyerap informasi. Melalui metode maternal reflektif ini tunarungu diolah bahasanya. Mulai dari mengeluarkan suara, mengucapkan kata dengan benar sesuai dengan artikulasinya, hingga tunarungu mampu berkomunikasi dengan menggunakan beberapa kalimat yang baik dan benar.Secara garis besar, kegiatan pembelajaran dengan menggunakan metode ini terdiri atas kegiatan percakapan, termasuk di dalamnya menyimak, membaca dan menulis yang dikemas secara terpadu dan utuh. Dengan ini anak memahami dan dapat menemukan sendiri kaidahkaidah percakapan.



33 1.         Kegiatan Percakapan Kegiatan percakapan menjadi ciri utama dalam menggunakan metode maternal reflektif, karena penyampaian materi ajar semua bidang studi dilakukan melalui percakapan. Dalam metode ini dikenal dua jenis percakapan, yaitu percakapan dari hati ke hati atau conversation form heart to heart dan percakapan linguistik atau linguistic conversation (Uden, 1977). Percakapan dari hati ke hati merupakan percakapan yang spontan, fleksibel untuk mengembangkan empati anak. Ungkapan yang dimaksud anak melalui kata-kata atau suara



yang kurang jelas, gesti atau gerakan-gerakan lainnya dan isyarat ditangkap oleh guru (seizing method) dan dibahasakan sesuai dengan maksudnya kemudian meminta anak untuk mengucapkannya kembali (play a double part). Namun dalam kegiatan ini guru tetap menjaga lajunya percakapan dan pertukaran yang terjadi di antara anggota yang bercakap (anak dengan anak atau anak dengan guru) misalnya berupa persetujuan, penyangkalan, imbauan, atau komentar atau pertanyaan untuk memperjelas pesan komunikasi.



34



Membaca dan menulis penyandang tunarungu dikembangkan melalui percakapan. Pada awalnya perilaku berbahasa mereka berada pada taraf pengungkapan diri melalui gesti atau gerakan-gerakan lainnya, isyarat, dan suara-suara yang kurang jelas maknanya yang kemudian dibahasakan oleh guru melalui seizing method dan play a double part. Anak menerima masukan bahasa tersebut melalui membaca ujaran dan atau melalui pemanfaatan sisa pendengarannya. Ungkapan-ungkapan bahasa yang belum ditangkap secara sempurna dari diucapkannya dalam kegiatan percakapan itu dituliskan atau divisualkan dalan bentuk tulisan yang kemudian dibacanya. Bacaan visualisasi hasil percakapan dipahami anak secara global intutif karena apa yang ditulisi dan dibacanya merupakan ide-ide mereka sendiri. Oleh karena itu membaca merupakan ide-ide mereka sendiri. Oleh karena itu membaca permulaan pada anak tunarungu menurut MMR merupakan membaca ideo visual. Pengenalan bunyi fonem (vokalisasi dan konsonan) diberikan menyatu dalam kata dan pengucapannya sehingga lebih bermakna yang pada akhirnya anak mengenal huruf, kata, cara pengucapan, dan cara penulisannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perkembangan kemampuan berbahasa anak berlangsung secara serempak.



35



Pelaksanaan pembelajaran di kelas inklusi bagi guru reguler hendaknya mengikuti teknik atau kaidah-kaidah guru sekolah luar biasa dalam membelajarkan anak tunarungu, prinsipprinsip MMR harus dipahami oleh guru reguler, sehingga sekalipun di dalam kelas regular anak tunarungu tetap dilibatkan dalam proses pembelajaran yang sedang berlangsung. Kemampuan guru dalam melibatkan anak tunarungu dalam proses pembelajaran memang tidak semudah membelajarkan anak-anak yang mendengar, dikarenakan setiap kata yang diucapkan oleh guru harus dimengerti dan dipahami anak terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam substansi materi yang akan diberikan. Pembelajaran anak tunarungu di kelas inklusi haruslah benar-benar terprogram dan selalu berbasis pada pengembangan bahasa anak yang dilakukan secara berkesinambungan, karena tanpa bahasa yang dikuasai anak tunarungu, maka pembelajaran di kelas inklusi tidak akan bermanfaat. L. Kurikulum Pendidikan Khusus Anak Tunarungu Ketunarunguan yang berdampak kepada kemiskinan bahasa dan hambatan dalam berkomunikasi, dianggap menyulitkan orang lain termasuk dalam layanan pendidikannya. Hal ini dapat dibuktikan terutama di Indonesia, hingga kini layanan pendidikan bagi anak tunarungu sebagian besar bersifat segregatif, yaitu pelayanan pendidikan bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus yang terpisah dari satuan pendidikan pada umumnya. Wujud dari pendidikan segregatif ini adalah yang lazim dikenal Sekolah Khusus (SKh).



36 Sistem segregatif ini baik, jika hanya untuk kepentingan pembelajaran, namun jika sampai kepada layanan pendidikan, segregatif tentu saja akan merugikan anak. Mereka akan kehilangan haknya untuk belajar, bersosialisasi dan berkomunikasi dengan teman sebayanya yang mendengar. Sistem pendidikan segregatif (SKh) sangat tidak membantu perkembangan sosialitas peserta didik. Sehingga tetap sulit bagi anak khusus, khususnya anak tunarungu



yang sudah tamat dari SKh untuk dapat diterima sebagai anggota masyarakat. Hal ini merupakan akibat dari adanya penyederhanaan strategi pembelajaran yang tidak memperhitungkan bahwa pergaulan antar peserta didik dalam komunitasnya merupakan bentuk proses pembelajaran natural yang seharusnya tidak boleh diabaikan. Berdasarkan karakteristik anak tunarungu, khususnya miskinnya bahasa yang disebabkan karena ketunarunguannya yang berakibat ia tidak mengalami masa pemerolehan bahasa seperti halnya anak dengar lainnya, maka dalam pengembangan kurikulum untuk anak tunarungu harus dilandasi pada kompetensi berbahasa dan komunikasi yang selanjutnya dapat diimplementasikan dalam pengajaran bahasa yang menggunakan pendekatan percakapan. Disinilah nampak metode ini sejalan dengan konsep Language Across the Curricullum atau kurikulum lintas bahasa, yang memiliki filosofi bahwa tujuan kurikulum akan dapat dicapai dahulu jika didahului dengan keterampilan dan penguasaan bahasa yang tinggi.



37



Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dari Language Across the Curricullum itu adalah sebuah metode pembelajaran yang senantiasa disajikan melalui konteks kebahasaan melalui percakapan, yang tahapannya dari mulai penguasaan bahasa, aturan bahasa, hingga ke pengetahuan umum.Untuk itu perlu dikembangkan satu model kurikulum bagi anak dengan gangguan pendengaran yang berbasiskan Kompetensi Berbahasa dan Komunikasi untuk menuju kecakapan hidup. Kurikulum yang berlaku di pendidikan khusus untuk anak tunarungu masih menggunakan Kurikulum 1994, sedangkan wacana yang berkembang sekarang ini kurikulum yang berbasis kompetensi sehingga mengarah pada skill dan keterampilan masing-masing peserta didik sesuai dengan kekhususannya. Secara proporsional kurikulum pada SMPKh menitikberatkan pada program keterampilan 42% dan SMAKh menitikberatkan pada program keterampilan 62%. Pelaksanaannya di lapangan sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan di mana sekolah tersebut berada dan hal ini pun masih harus disesuaikan dengan keberadaan situasi dan kondisi lingkungan daerah masing-masing. Sebagai contoh:



1. Sekolah yang berada di lingkungan pantai, maka kurikulum muatan lokalnya antara lain pengolahan hasil laut, atau keterampilan yang menunjang perangkat nelayan, misalnya merajut jaring, jala dan sebagainya; 2. Sedangkan untuk sekolah yang berada pada daerah pegunungan atau dataran rendah dapat menerapkan keterampilan pertanian, perikanan darat, keterampilan menganyam dan sebagainya.



38 3.      Sekolah yang berada di perkotaan dapat menerapkan keterampilan otomotif, percetakan, sablon,



mengukir



atau



membatik.



M.   Alat Pendidikan Khusus Berhubung dengan ketulian yang dideritanya, maka sangat diperlukan alat-alat bantu khusus meningkatkan potensinya, yang masih dapat diperbaiki dan dikembangkan terutama masalah komunikasi baik dengan menggunakan bahasa lisan maupun tulisan. Kebutuhan minimal alat kebutuhan khusus di Sekolah Luar Biasa untuk anakanak tunarungu antara lain: 1)      Audiometer Yaitu alat penelitian yang dapat mengukur segala aspek dari pendengaran seseorang. Dengan audiometer dapat dibuat sebuah audigram yang dapat memberitahukan angka dari sisa pendengaran anak. 2)      Alat bantu mendengar (hearing aid) Dengan mempergunakan alat bantu dengar (hearing aid) perorangan dan alat bantu dengan (group hearing aid) kelompok, anak-anak tunarungu diberikan latihan mendengar. Latihan-latihan tersebut dapat diberikan secara individual atau secara kelompok.



39



3)      Cermin Untuk memberikan cantoh-contoh ucapan dengan artikulasi yang baik diperlukan sebuah cermin. Dengan bantuan cermin kita dapat menyadarkan anak terhadap posisi bicara yang kurang tepat. Dengan bantuan cermin kita dapat mengucapkan beberapa contoh konsonan, vokal dan kata-kata atau kalimat dengan baik. 4)      Alat bantu wicara (speech trainer) Speech trainer ialah sebuah alat elektronik terdiri dari amplifaer, head phone dan mickrophone. Gunanya untuk memberikan latihan bicara individual. Bagi yang masih mempunyai sisa pendengaran cukup banyak akan sangat membantu pembentukan ucapannya. Bagi yang sisa pendengarannya sedikit akan membantu dalam pembentukan suara dan irama. Alat Peraga Untuk memperkaya perbendaharaan bahasa anak hendaknya jangan dilupakan alatalat peraga tradisional seperti: 1)      Miniatur binatang-binatang 2)      Miniatur manusia 3)      Gambar-gambar yang relevan 4)      Buku perpustakaan yang bergambar 5)      Alat-alat permainan anak. 40 Sesuai dengan kemampuan anak tunarungu dalam kurikulum lebih diutamakan mata pelajaran keterampilan yang menuju kearah irama. Untuk itu diperlukan alat-alat keterampilan untuk pria dan atau wanita antara lain sebagai berikut : 1)      Alat pertukangan 2)      Alat pertanian 3)      Alat perbengkelan 4)      Alat tenun 5)      Alat masak memasak 6)      Alat jahit menjahit 7)      Alat salon kecantikan 8)      Alat potong rambut (barber shop) 9)      Komputer



N. Bimbingan dan Konseling bagi Anak Tunarungu Masalah-masalah bimbingan anak tunarungu bukan karena anak memiliki kelainan ( tunarungu ) tetapi karena ia seorang anak yang sedang berkembang. Agar dapat memberikan layanan kepada anak tunarungu secara tepat dalam merencanakan dan menentukan masa depannya, dan agar mereka dapat memiliki kehidupan yang layak sehingga dapat mensupport diri sendiri maupun keluarganya, maka pendidikan bagi anak tunarungu perlu dilengkapi dengan program bimbingan yang jelas dan terarah sesuai dengan kebutuhan anak. 41 Untuk lebih jelasnya apa yang dimaksud dengan bimbingan anak tunarungu dan jenis bimbingan apa yang diperlukannya, perhatikan baik-baik uraian berikut ini : 1.    Pengertian Bimbingan Anak Tunarungu Bimbingan terhadap anak tunarungu merupakan suatu usaha mempersiapkan anak tunarungu agar dapat mencapai kondisi yang optimal dalam proses pendidikan serta mampu menghadapi tuntutan yang datang dari masyarakat. Tujuan utam bimbingan adalah untuk mengembangkan potensi setiap anak tunarungu sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Usaha ini berkaitan erat dengan pengembangan kemampuan fisik, psikologis, kestabilan emosi serta kemampuan pribadi. 2.    Bimbingan Komunikasi kepada Anak Tunarungu Bimbingan komunikasi kepada anak tunarungu bertujuan membuka dan memperlancar komunikasi mereka, hal ini merupakan langkah utama dalam melaksanakan pendidikan mereka, sehingga akan memperlancar pencapaian tujuan bimbingan yang akan dilakukan secara serempak dilingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Bimbingan yang perlu diberikan ialah : -            Bimbingan dilingkungan keluarga -            Bimbingan dilingkungan sekolah -            Bimbingan dilingkungan masyarakat. 42



3.    Bimbingan Pribadi kepada Anak Tunarungu



Bimbingan pribadi kepada anak tunarungu bertujuan agar mereka dapat mengenal dirinya, menyadari kemampuan serta kekurangannya, dan akhirnya mereka diharapkan mempunyai sikap positif terhadap keadaan dirinya, mempunyai kemauan untuk belajar dan bekerja, tidak merasa rendah diri, serta memiliki kestabilan emosi. Bimbingan pribadi diberikan kepada seseorang yang mempunyai masalah pribadi dengan harapan agar ia mampu mengatasi masalahnya. Masalah pribadi dapat bersumber dari dirinya sendiri, lingkungan, keluarganya, dan juga dapat bersumber dari masyarakat sekitarnya. 4.    Bimbingan Pekerjaan kepada Anak Tunarungu Bimbingan pekerjaan kepada anak tunarungu bertujuan agar anak tunarungu pada akhirnya mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya dan yang cocok dengan kepribadiannya, agar mereka merasa mantap dalam pekerjaan dan menikmati kebahagiaan dalam hidupnya. Langkah pertama dalam bimbingan pekerjaan kepada anak tunarungu adalah menganalisis kepribadian, bakat dan minat mereka. Kegiatan itu perlu untuk mengarahkan dan menentukan langkah selanjutnya, sehingga dapat memberikan masukan berharga kepada pembimbing dalam memilih dan melatih pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan anak. Pemilihan pekerjaan bagi anak yang tidak sesuai akan merusak perkembangan jiwa anak. 43



BAB III PENUTUP



A. Simpulan 1. anak penyandang tunarungu dan tunawicara adalah anak yang kehilangan kemampuan untuk mendengar baik sebagaian maupun seluruhnya yang mengakibatkan tidak mampu untuk menggunakan alat pendengarannya dalam kehidupannya sehari-hari dan juga tidak mampu mengembangkan kemampuan bicaranya. 2. Masalah yang utama pada diri seorang tunawicara adalah  mengalami kehilangan/terganggunya fungsi pendengaran (tunarungu) dan atau fungsi bicara (tunawicara), yang  disebabkan karena bawaan lahir, kecelakaan maupun penyakit. 3. Masa-masa yang paling kritis dalam kehidupan orang tua adalah ketika mereka harus mengakui bahwa anaknya berkelainan. 4. Ketunarunguan yang berdampak kepada kemiskinan bahasa dan hambatan dalam berkomunikasi, dianggap menyulitkan orang lain termasuk dalam layanan pendidikannya. 5. Masalah-masalah bimbingan anak tunarungu bukan karena anak memiliki kelainan ( tunarungu ) tetapi karena ia seorang anak yang sedang berkembang.



44 DAFTAR PUSTAKA http : www. //Terapi Terpadu untuk Anak Tuna Rungu. Com http: www.// Ortopedagogik anak tuna rungu. com http://www. sejarah-berkembangnya-kependidikan.html http: //www. Pendidikan anak tuna rungu.com www.google.com Bunawan, Lani dan C. Susila Yuwati (2000), Penguasaan Bahasa Anak Tunarungu, Yayasan Santi Rama, Jakarta Departemen Pendidikan Nasional (2000), Pengajaran Bina Persepsi Bunyi dan Irama untuk Anak Tunarungu, Jakarta



Direktorat Pendidikan Luar Biasa (2004), Pedoman Pendidikan Terpadu/Inklusi Alat Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus, Dirjen Dikdasmen, Depdiknas, Jakarta Gatty (1994), Mengajarkan Wicara kepad anak-anak Tunarungu, Alih bahasa Hartotanojo, Yayasan Karya Bakti, Wonosobo Nugroho Bambang (2004), Pentingnya Intervensi Dini Secara Edukatif Bagi Anak Tunarungu, Makalah Pelatihan Teknis Tunarungu, Jakarta Satmoko Budi Santoso (2010), Sekolah Alternatif, Diva press, Jogjakarta



45



FAKTOR PENYEBAB KETUNARUNGUAN



Secara umum penyebab ketunarunguan dapat terjadi sebelum lahir (prenatal), ketika lahir (natal) dan sesudah lahir (post natal) (Sutjiahati Sumantri, 1996: 75). 1)      Pada saat sebelum dilahirkan (prenatal)



      Karena



keturunan : salah satu atau kedua orang tua anak menderita tunarungu atau



mempunyai gen sel pembawa sifat abnormal. Misalnya: dominant gent, resesiv gen dan lain-lain.       Infeksi maternal, yaitu si Ibu hamil terserang penyakit rubella.       Karena keracunan obat-obatan: pada saat hamil ibu minum obat-obatan terlalu banyak, atau ibu seorang pecandu alcohol, tidak dikehendaki kelahiran anaknya atau minum obat penggugur kandungan akan dapat menyebabkan ketunarunguan pada anak yang dilahirkan.



2)      Pada saat kelahiran (natal)       Sewaktu ibu melahirkan mengalami kesulitan sehingga persalinan dibantu dengan vacuum/ penyedot (tang)       Prematuritas yaitu bayi yang lahir sebelum waktunya. 3)      Pada saat setelah kelahiran (post natal)       Karena infeksi, misalnya: infeksi pada otak (meningitis) atau infeksi umum seperti differi, morbili, dan lain-lain       Pemakaian obat-obatan otopsi pada anak                                                      



Daftar Pustaka:          Abdurrachman Muljono. & S. Sudjadi. (1994). Pendidikn Luar Biasa Umum. Jakarta: B3PTKSM.          Wardani IG. A. K. dkk. (2011). Pengantar Pendidikan Luar Biasa. Jakarta : Universitas Terbuka.



TUNA RUNGU A.    PENGERTIAN TUNARUNGU & GANGGUAN PENDENGARAN Anak tuna rungu/ gangguan pendengaran adalah anak yang karena berbagai hal menjadikan pendengarannya mendapatkan gangguan atau mengalami kerusakan sehingga sangat mengganggu aktifitas kehidupannya, (Edja Sadjaah, 2005). Selanjutnya Greg Leigh (1994) menemukakan bahwa anak tuli pada umumnya menderita ketidakmampuan berkomunikasi lisan (bicara). Biasanya akibat kekurangannya tersebut akan membawa dampak yaitu terhambatnya perkembangan kemampuan berbahasa, sehingga dapat berpengaruh terhadap masalah bahasa dan komunikasi pada diri. Menilik dari kurun terjadinya ketunarunguan, Krik (1970) mengemukakan bahwa anak yang lahir dengan kelainan pendengaran atau kehilangan pendengarannya pada masa kanak-kanak sebelum bahasa dan bicaranya terbentuk, kondisi anak yang demikian disebut anak tuna rungu pre-lingual. Jenjang ketunarunguan yang dibawa sejak lahir, atau diperoleh pada masa kanak sebelum bahasa dan bicaranya terbentuk, ada kecenderungan termasuk dalam kategori tuna rungu berat. Sedangkan anak lahir dengan pendengaran normal, namun setelah mencapai usia di mana anak sudah memahami suatu percakapan tiba-tiba mengalami kehilangan ketajaman pendengaran, kondisi anak yang demikian disebut anak tunarungu post-lingual. Jenjang ketunarunguan yang diperolah setelah anak memahami percakapan atau bahasa dan bicaranya sudah terbentuk, ada kecenderungan termasuk dalam kategori sedang atau ringan. Kelainan pendengaran atau tunarungu dalam percakapan sehari-hari di masyarakat awam sering diasumsikan sebagai orang tidak mendengar sama sekali atau tuli. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa kelainan dalam aspek pendengaran dapat mengurangi fungsi pendengaran. Namun demikian, perlu dipahami bahwa kelainan pendengaran dilihat dari derajat ketajamannya untuk mendengar dapat dikelompokkan dalam beberapa jenjang. Asumsinya, makin berat kelainan pendengaran berarti semakin besar intensitas kekurangan ketajaman pendengarannya (hearing loss). B.     KLASIFIKASI ANAK TUNARUNGU Ditinjau dari kepentingan tujuan pendidikannya, secara terinci anak tunarungu dapat dikelompokkan menjadi sebagai berikut : 1.      Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 20-30 dB (slight losses). Ciri-ciri      : a.       Kemampuan mendengar masih baik karena berada di garis batas antara pendengaran normal dan kekurangan pendengaran taraf ringan. b.      Tidak mengalami kesulitan memahami pembicaraan dan dapat mengikuti sekolah biasa dengan syarat tempat duduknya perlu diperhatikan, terutama harus dekat guru. c.       Dapat belajar bicara secara efektif dengan melalui kemampuan pendengarannya. d.      Perlu diperhatikan kekayaan perbendaharaan bahasanya supaya perkembangan bicara dan bahasanya tidak terhambat. e.       Disarankan yang bersangkutan menggunakan alat bantu dengar untuk meningkatan ketajaman daya pendengarannya. Untuk kepentingan pendidikannya pada anak tunarungu kelompok ini cukup hanya memerlukan latihan membaca bibir untuk pemahaman percakapan. 2.      Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 30-40 dB (mild losses). Ciri-ciri      : a.       Dapat mengerti percakapan biasa pada jarak sangat dekat. b.      Tidak mengalami kesulitan untuk mengekspresikan isi hatinya.



c.       Tidak dapat menangkap suatu percakapan yang lemah. d.      Kesulitan menangkap isi pembicaraan dari lawan bicaranya, jika berada pada posisi tidak searah dengan pandangannya (berhadapan). e.       Untuk menghindari kesulitan bicara perlu mendapatkan bimbingan yang baik dan intensif. f.       Ada kemungkinan dapat mengikuti sekolah biasa, namun untuk kelas-kelas permulaan sebaiknya dimasukkan dalam kelas khusus. g.      Disarankan menggunakan alat bantu dengar (hearing aid) untuk menambah ketajaman daya pendengarannya. Kebutuhan layanan pendidikan untuk anak tunarungu kelompok ini yaitu membaca bibir, latihan pendengaran, latihan bicara, artikulasi, serta latihan kosakata. 3.      Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 40-60 dB (moderate losses). Ciri-ciri      : a.       Dapat mengerti percakapan keras pada jarak dekat, kira-kira satu meter, sebab ia kesulitan menangkap percakapan pada jarak normal. b.      Sering terjadi mis-understanding terhadap lawan bicaranya, jika ia diajak bicara. c.       Penyandang tunarungu kelompok ini mengalami kelainan bicara, terutama pada huruf konsonan. d.      Kesulitan menggunakan bahasa dengan benar dalam percakapan. e.       Perbendaharaan kosakatanya sangat terbatas. 4.      Anak tunarungu yang kehilangan pendengarannya antara 60-75 dB (severe losses). Ciri-ciri      : a.       Kesulitan membedakan suara. b.      Tidak memiliki kesadaran bahwa benda-benda yang ada disekitarnya memiliki getaran suara. 5.      Anak tuna rungu yang kehilangan pendengaran 75 dB ke atas (profoundly losses). Ditinjau dari lokasi terjadinya ketunarunguan, klasifikasi anak tunarungu dapat dikelompokkan menjadi sebagi berikut : 1.      Tunarungu Konduktif 2.      Tunarungu Perseptif 3.      Tunarungu Campuran C.     PENCEGAHAN INSIDEN KETUNARUNGUAN Untuk meminimalkan insiden ketunarunguan pada anak-anak, upaya yang bersifat preventif akan lebih baik. Hal ini dimaksudkan menghindari keadaan yang lebih buruk lagi, disamping sebagai bantuan supaya anak-anak kita tidak mengalami ketunarunguan menurut kurun wakunya upaya-upaya pencegahan dapat dilakukan sebagai berikut : 1.      Masa Persiapan yaitu sebelum kedua insan melakukan perkawinan . a.       Calon suami istri hendaknya memeriksakan kesehatan dirinya hal ini dimaksudkan kalau diantara keduanya terdapat atau menderita suatu penyakit atau kelainan lainnya. Misalnya penyakit syphilis, tuber colosis, sehingga perlu pengobatan selekas mungkin , sebab penyakit-penyakit tersebut besar kemunginannya berpengaruh terhadap bayi yang bakal di kandung . b.      Senantiasa menjaga diri agar terhindar dari penyakit-penyakit terutama yang bersifat hereditif. c.       Menjaga diri agar tidak terkena infeksi yang sangat membahayakan. 2.      Masa prenatal, yaitu masa ketika bayi masih berada di dalam kandungan . Hal-hal yang perlu diperhatikan : a.       Menjaga supaya ibu yang mengandung tetap mendapat vitamin yang cukup dan makanan yang mempunyai gizi yang tinggi. b.      Selama mengandung secara ibu harus rajin periodik memeriksakan diri ke Balai Kesejahteraan Ibu dan Anak ( BKIA ), atau ke klinik bersalin.



c.       Jika terjadi kelainan-kelainan dalam kandungannya , maka secepatnya memeriksakan diri ke dokter ahi kandungan sebab jika placenta rusak dapat mengakibatkan ketunarunguan pada anak. d.      Kesehatan ibu dijaga agar tidak terjadi lahir sebelum tiba waktunya (prematur). e.       Suasana emosi ibu yang sedang mengandung harus selalu baik, tidak gelisah, tertekan, tegang, atau kurang stabil sebab keadaan emosi yang negatif kemungkinan dapat berakibat lahir prematur. f.       Ibu yang sedang mengandung sebaiknya menghindarkan diri pekerjaan-pekerjaan yang berat, karena hal ini dapat menyebabkan letak kandungan tidak normal. g.      Selama ibu mengandung hendaknya tidak minum obat-obat antibiotika yang dapat membahayakan kandungan. h.      Menjaga diri ibu selama mengandung agar tidak terserang penyakit. i.        Menjaga diri supaya tidak keracunan darah yang dapat merusakkan jaringan organ pendengaran. 3.      Masa natal, yaitu masa bayi dalam proses lahir. Hal-hal yang perlu diperhatikan pada masa natal adalah sebagai berikut : a.       Sedapat mungkin dalam proses lahir dihindarkan penggunaan tang (forceps), karena lahir dengan bantuan yang terdapat kemungkinan dapat merusak sentral saraf pendengaran. b.      Dalam proses lahir seyogyanya selalu dalam pengawasan dokter, sehingga jika terjadi kelainan dan kesukaran dalam melahirkan, secara cepat dapat diberikan pertolongan, menghindari kelainan yang menyebabkan ketunarunguan. c.       Ibu yang melahirkan sebaiknya mematuhi petunjuk dokter supaya tidak terjadi kesukaran dalam proses lahir yang sering juga menyebabkan anaxia. 4.      Masa Posnatal, yaitu masa setelah bayi dilahirkan. Hal-hal yang perlu diperhatikan pada masa setelah bayi dilahirkan antara lain : a.       Penjagaan kesehatan, kebersihan dan keamanan pada masa bayi dan kanak-kanak adalah sangat penting untuk mencegah timbulnya infeksi pada organ pendengaran dan rongga mulut. b.      Pada waktu anak sakit, temperaturnya dijaga agar tidak terus menggigil, sebab hal itu dapa berakibat pada kelemahan saraf dengar. c.       Mengadakan pengawasan terhadap makanan anak, agar terhindarkan diri dari keracunan darah yang dapat merusakkan atau menghambat pertumbuhannya. d.      Mengadakan pengawasan agar anak-anak tidak bermain dengan permainan yang dapat membahayakan kondisi dirinya, misalnya menyebabkan gagar otak, infeksi otak dan lain-lain yang dapat merusakkan fungsi organ-organ pendengaran. D.    DAMPAK KETUNARUNGUAN Anak yang mengelami kelainan pendengaran akan menanggung konsekuensi yang sangat kompleks, terutama berkaitan dengan masalah kejiwaanya. Pada diri penderita seringkali dihinggapi rasa keguncangan sebagai akibat tidak mampu mengontrol lingkungannya. Kondisi ini semakin tidak menguntungkan bagi penderita tunarungu yang harus berjuang dalam meniti tugas perkembangannya. Disebabkan rentetan yang muncul akibat gangguan pendengaran ini, penderita akan mengalami berbagai hambatan dalam meniti perkembangannya, terutama dalam aspek bahasa, keceerdasan, dan penyesuaian sosial. Oleh karena itu, untuk mengembangkan potensi anak tunarungu secara optimal praktis memerlukan layanan atau bantuan secara khusus. Proses internalisasi suara pada sesorang yang mengalami ketunarunguan mengalami masalah, sebab organ pendengaran di bagian luar, bagian tengah dan bagian dalam yang mengubungkan ke saraf pendengaran sebagai organ terakhir dari rangkaian proses pendengaran mengalami gangguan. Terganggunya organ ini berpengaruh terhadap kepekaan penerima suara. Variasi kepekaan menerima suara berupa kepekaan suara nada rendah dan tinggi. Ada dua bagian penting mengikuti dampak terjadinya hambatan, antara lain :



1.      Konsekuensi akibat gangguan pendengaran atau tuarungu tersebut bahwa penderitanya akan mengalami kesulitan dalam menerima segala macam rangsang atau peristiwa bunyi yang ada di sekitarnya. 2.      Akibat kesulitan menerima rangsang bunyi tersebut konsekuensinya penderita tunarungu akan mengalami kesulitan pla dalam memproduksi suara atau bunyi bahasa yang terdapat disekitarnya. Sebagaimana yang diketahui, peranan bahasa, bicara, pendengaran dalam konteks komunikasi kehidupan sehari-hari merupakan tiga serangkai potensi manusia yang mampu menjembatani proses momunikasi, sebab ketiga unsur tersebu dalam proses komunikasi masing-masing dapat menjadi pengontrol efektif dan tidaknya sebuah komunikasi. Oleh sebab itu, kepincangan salah satu komponen komunikasi tersebut berarti kehilangan kontributor besar yang dapat membantumanusia dalam meniti fase tugas perkembangannya. Banyak anggapan bahwa anak berkelainan pendengaran atau anak tunarungu diantara penderita kelainan yang lain dianggap paling ringan , sebab terganggunya hanya terjadi pada aspek pendengaran. Penderita tunarungu seringan apapun kondisinya tetap tidak luput dari problem yangmenyertainya terutama yang berkaitan dengan masalah kemampuan fisiknya yang lain, kejiwaan, dan penyesuaian sosial dengan lingkungannya. E.     FUNGSI PENGLIHATAN ANAK TUNARUNGU Para pakar mengakui bahwa pendengaran dan penglihatan merupakan indra manusia yang amat penting. Begitu besar fungsi kedua indra tersebut dalam membantu aktifitas manusia, sehingga banyak orang yang menyandingkan kedua indra tersebut sebagai dwitunggal. akibatnya, jika seseorang kehilangan salah satu diantarannya maka sama artinya ia harus kehilangan sesuatu yang sangat berarti dalam hidupnya. untuk menggantinya dapat dialihkan pada indra penglihatan sebagai kompensasinya. Apapun keistimewaan yang dimiliki oleh kedua idra tersebut sebagai indra terdepan manusia, namun tetap saja keduanya memiliki keterbatasan tertentu sesuia karakteristiknya. Penglihatan mempunyai karakteristik jangkauannya terpusat pada bidang di mukanya, di batasi oleh ruang sosial, bersifat statis, dan menetap. Sedangkan pendengaran karakteristiknya dapat menjangkau segala arah, bersifat temporal, tidak di batasi oleh ruang. Khusus kelebihan yang lain dari indra pendengaran berdasar karakteristiknya, bahwa indra ini merupakan satu-satunya indra yang mengatur apa-apa yang dimengerti dari lingkunganya kepada sisten saraf sehingga dalam keadaan tidurpun indra pendengaran masih berfungsi. Pendengaran sering pula disebut sebagai indra latar belakang, karena pendengaran seseorang dapat meramalkan sesuatu yang belum tampak wujudnya. Oleh sebab itu, jika melalui suara menunjukkan tanda-tanda yang dapat membahayakan, misalnya kentongan, tanda bahaya, pohon tumbang dan lain sebagaianya maka seseorang dapat bersiap-sipa untuk menyelamatkan diri. Kondisi ketunarunguan yang dialami oleh seseorang mendorong yang bersangkutan untuk mencari kompensasinya. Mata sebagai sarana yang berfungsi sebagai indra penglihatanmerupakan alternatif yang utama sebelum yang lainnya, peranan penglihatan, selain sebagai sarana memperoleh pengalaam persepsi visual, sekaligus sebagai ganti persepsi auditif anak tunarungu. Dapat dikatakan bahwa hilangnya ketajaman bagi anak tunarungu akan memnuat dirinya sangat tergantung pada indra penglihatanya. Akibat dari kondisi ketunarunguan dapat berpengaruh terhadap perkembangan bahasa, kondisi kecerdasan, serta sosio emosionalnya. Kondisi ini sekaligus merupakan ciri khas yang dimiliki oleh anak tunarungu. Pada umumnya Sanders (1980) menyimpulkan bahwa sifat khas yang tampak pada



anak tunarungu yakni adanya keragu-raguan dalam melakukan tindakan dan menarik kesimpulan sehingga kondisi ini akan berpengaruh juga pada perubahan perlakuannya. Silvernoon (1967) berpendapat bahwa anak tunarungu yang kemampuannya terbatas akan memperlihatkan banyak sekali keterlambatan dalam menguasai beberapa atau lebih konsep-konsep abstrak, akibatnya akan berpengaruh terhadap kemampuan sosial emosionalnya. F.     KEMAMPUAN BAHASA DAN BICARA ANAK TUNARUNGU Terdapat kecenderungan bahwa seorang anak yang mengalami tunarungu seringkali diikuti dengan tunawicara. Kondisi ini tampaknnya sulit dihindari, karena keduannya saling dapat menjadi satu rangkaian sebab akibat. Namun, tidak demikian halnya dengan tunawicara, tidak dtemukan rangkaian langsung dengan kondisi tunarungu. Kasus-kasus seperti penderita stuttering (gagap) dan cluttering (kekacauan artikulasi). Adalah contoh kelainan yang kemungkinan kecil berkaitan dengan kondisi tunarungu. Ada dua hal penting yang menjadi ciri khas hambatan anak tunarungu dalam aspek kebahasanya. Pertama, konsekuensi pada penderita tunarungu berdampak pada kesulitan dalam menerima rangsang bunyi atau peristiwa bunyi. Kedua, akibat keterbatasannya dalam menerima rangsang bunyi pada anak akan mengalami kesulitan dalam memproduksi suara atau bunyi. Kedua kondisi tersebut secara langsung menghambat kelancaran perkembangan bahasa dan bicara. Anak yang mengalami tunarungu sejak lahir sulit melewati fase-fase perkembangan bahasa dan bicara seperti anak normal. Pada ketunarunguan sejak lahir ketika meniti fase pertama perkembangan bahasa dan bicara barangkali tidak mengalami kesulitan karena pada fase ini anak hanya merefleksi suara yang tidak terartur dan hanya menanngis saja. Namun, untuk fase selanjutnya yakni fase babbling (merabaan) perkembangan bahasa dan bicara anak akan terhambat. Kekhasan fase ini, anak akan meluapkan rasa puas dengan variasi suara yang tidak jelas. Fase ini berlangsung hingga 6 bulan. Terhambatnya perkembangan bahasa dan bicara anak tunarungu jelas merupakan masalah utama, karena perkembangan bahasa mempunyai peranan penting. Perkembangan bahasa dan bicara digunakan untuk memahami konsep-konsep dan tentang peristiwa benda. Itu karena anak tunarungu mengalami kesulitan dalam menerima rangsang suara. Sehingga terganggu dengan rangsang suara yang diterima. Beda halnya dengan anak normal, anak tunarungu segala sesuatu yang terekam di otak melalui persepsi visual seperti melihat film bisu. Sebab, anak tunarungu hanya mrnangkap peristiwa dari   melihat dan tidak lebih dari itu. Atas dasar itu rata-rata anak tunarungu dari aspek kebahasaanya tampak : 1.      Miskin kosakata 2.      Sulit mengartikan unkapan bahasa yang mengandung arti kiasan 3.      Sulit mengartikan dengan kata-kata abstrak, seperti Tuhan, Pandai, Mustahil dan lainnya. 4.      Kesulitan menguasai irama dan gaya bahasa. Quiqley (1978) pernah mengadakan penelitian tentang penafsiran bahasa anak tunarungu yang berusia 4 tahun. Ia berusaha mengajarkan dengan pola susunan subyek, predikat, dan objek dalam suatu kalimat.  Dapat dimengerti anak tunarungu memiliki kterbatasan dalam mengitrepestasikan kalimat. Karena anak mengitrepetasikan hanya bersadar pada pengalaman bahasa yang terbatas. Oleh karena itu, semakin bertambahnya usia semakin serius permasalahan yang dihadapi terutama bahasa dan bicara. Ada beberapa factor yang menyebabkan anak tunarungu mengalami gangguan kemampuan bicara : 1.      Anak tunarungu mengalami kesulitan dalam penyesuaian volume suara.



2.      Anak tunarungu memiliki kualitas suara yang monoton 3.      Anak tunarungu mengalami kesulitan dalam melakukan artikulasi bicara secara tepat. Memperhatikan keterbatasan bahasa dan bicara anak tunarungu, maka sejak masuk sekolah awal kemampuan bahasa dan bicara sebagai prioritas pertama. Pendekatan yang lazim untuk meningkatkan kemampuan bahasa dan bicara dengan oral dan isyarat. Selama decade pendekatan ini dugunakan secara controversial, sebab masing-masing institusi mempunyai dasar filosofi yang berbeda. Sejak tahun 1960-an mulai diperkenalkan kombinasi kedua pendekata tersebut. Dari penelitian yang dilakukan oleh beberapa ahli dengan kombinasi ini meningkatkan pencapaian pendidikan umum (Stevenson 1964), kemampuan membaca ujaran (Stuckless dan Birch, 1966) dan kematangan menulis dan kematangan social (Meadow, 1968). Kemampuan mengungkapkan dalam berbicara menjadi ratarata 66% (Mulyana, 1993). Demikian dengan membaca efektif akan lebih berkembang daripada anak tunarungu yang dididik menggunakan metide oral (Asikin, 1995). G.    KARAKTERISTIK KECERDASAN ANAK TUNARUNGU Kecerdasan seseorang sering dihubungkan dengan prestasi akademis sehingga orientasi akademis tertentu yang dicapai seseorang merupakan gamaran riil kecerdasan. Gambaran tentang tingkat kecerdasan sendiri secara spesifik hanya dapat diketahui melalui tes kecerdasan. Sebenarnya distribusi kecerdasan anak tunarungu tidak berbeda dengan anak normal. Hal ini disebabkan anak tunarungu ada yang superior, rata-rata dan subnormal. Namun, untuk menggambarkan secara riil keragaman kecerdasan anak tunarungu sering kali mengalami kesulitan. Untuk mengetahui kecerdasannya memerlukan cara yang agak berbeda dibandingkan dengan anak normal. Telah disinggung pada bagian sebelumnya, kehilangan pendengaran yang dialami oleh anak tunarungu berdampak pada kemiskinan kosakata, kesulitan berbahasa dan berkomunikasi. Efeknya dapat menyebabkan perbedaan sangat signifikan tentang apa yang dapat dilakukan dan yang dapat dilakukan oleh anak tunarungu dengan anak normal. Tanpa memperhatikan kenyataan ini, jelas akan mengakibatkan kekeliruan dalam mengambil kesimpulan tentang kondisi kecerdasan anak tunarungu. Atas dasar itulah, dalam menyajikan perangkat tes apapun terhadap anak tunarungu, hendaknya mempergunakan perintah-perintah yang akurat dan sudah dipahami anak tunarungu. Hal ini disebabkan tidak mustahil kekeliruan seorang tester dalam menyampaikan perintah tes kepada anak tunarungu berdampak pada kesesatan interprestasi terhadap kondisi kecerdasan anak tunarungu yang sebenarnya. Cruickshank (1980) mengemukakan bahwa anak tunarungu seringkali memperlihatkan keterlambatan dalam belajar dan kadang-kadang tampak terbelakang. Kondisi ini tidak hanya disebabkan oleh derajat gangguan kecenderungan yang dialami oleh banyak anak, melainkan juga tergantung kepada kecerdasan yang dimilikinya. Rangsangan mental serta dorongan dari lingkungan sekitar dapat memberikan kesempatan bagi anak tunarungu untuk mengembangkan kecerdasannya. Pintner, seorang psikologi yang bekerja pada lembaga pendidikan anak tunarungu mengemukakan bahwa anak tunarungu hanya dapat menunjukan kemampuan dalam bidang motorik dan mekanik, serta intelegensi konkret, tetapi memiliki keterbatasan dalam intelegensi verbal dan kemampuan akademik (Siregar, 1981) Berdasarkan hasil kajian Pusat Studi Demografi Universitas Gallaudet (universitas yang sebagian besar penderita tunarungu) yang berkedudukan di Amerika Serikat. Setiap tahun menyelenggarakan tes prestasi Stanford bagi anak tunarungu. Dapat disimpulkan bahwa anak tunarungu berusia 10 tahun memiliki kemampuan setingkat dengan anak kelas 2 dalam membaca dan berhitung. Sedangkan anak tunarungu berusia 17 tahun memiliki kemampuan setingkat dengan anak kelas IV dalam hal berhitung. Masih menggunakan tes yang. (gentile, 1972)



Jemsema (1975) mencatat bahwa anak tunarungu yang memasuki periode 10 tahun dari usia 810 tahun, rata-rata yang mengalami penambahan kosakata sebanyak pada murid-murid normal yang pendengarannya antara permulaan taman kanak-kanak hingga akhir kelas 2. Pada bagian lain ditemukan bahwa usia terjadinya tunarungu dan tingkat keparahan memainkan peranan penting dalam mencapai prestasi siswa. Prestasi anak yang mengalami tunarungu pada usia 3 tahun akan lebih tinggi dari anak yang mengalami ketunarunguan lebih awal, dan anak yang memiliki taraf ketunarunguan kategori ringan memiliki prestasi lebih besar. Fruth dalam penelitian dengan memberikan tes kepada anak tunarungu untuk mengetahui kemampuannya dalam memahami : 1.      Konsep klasifikasi yaitu menyimpulkan benda-benda yang sama 2.      Konsep servasi yaitu menyusun benda-benda dari segi bentuk dan ukurannya 3.      Konsep observasi yaitu pengertian bahwa berat dan isi dari benda cair sifatnya tetap. Hasilnya menunjukan bahwa dalam hal ini kemampuan anak tunarungu dengan anak normal sama. Menurut Fruth, kemampuan kognitif anak tunarungu tidak mengalami hambatan kecuali konsep yang tergantung pada pengalaman bahasa. Selain itu, akibat yang ditimbulkan oleh kelainan pendengaran adalah kelemahan mengidentifikasi ucapan yang diterimanya sebab speech intelegency dan speech comprehensive anak tunarungu tidak berfungsi secara penuh. Factor lain yang menyebabkan terjadinnya perbedaan dalam hasil penelitian yang dilakukan para ahli seperti yang telah diuraikan di atas terletak pada : 1.      Perangkat tes yang digunakan 2.      Testernya Pada umumnya tes yang digunakan untuk mengukur kecerdasan atau kepribadian anak tunarungu memang tidak dibuat secara khusus. Tes yang digunakan seringkali susah diterima oleh anak tunarungu. Akibatnya dapat mempengaruhi hasil tes serta tidak memberi gambaran yang tepat. Atas dasar itulah tes yang dgunakan untuk anak tunarungu dibuat dalam bentuk perfomance test,  misalnya form board tes, picture complication, block design dan lain-lainnya. Demikian seorang seperti CPM (colour progressive matriks), WISC (wescbler intelegence scale for children) dan lainlain yang juga dapat digunakan untuk anak normal dengan beberapa modifikasi. Namun, saat ini telah diciptakan tes kecerdasan untuk anak tunarungu seperti Snijders Oumen Non-verbal test (SON) dan World intelligibility picture identifikacion (Sander, 1980). H.    PENYESUAIAN SOSIAL ANAK TUNARUNGU Salah satu modal utama untuk melakukan proses penyesuaian adalah kepribadian. Kepribadian pada dasarnya keseluruhan sifat dan sikap seseorang yang akan menentukan cara-cara unik dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Oleh Karena itu untuk mengetahui kepribadian seorang anak harus melihat bagaimana proses penyesuainnya dengan lingkungan. Kepribadian seorang anak tunarungu juga dipengaruhi bagaimana penyesuain anak terhadap lingkungan, lingkungan yang pertama adalah keluarga. Oleh karena itu, harmonis tidaknya perkembangan social dan kepribadian seorang anak tergantung pada proses komunikasi yang terjalin antara anak dengan keluarga dan masarakat sekitar. Salah satu perangkat pengukuran berupa sekala yang dgunakan untuk mengukur kematangan social anak tunarungu yaitu The Veneland Sosial maturity Test. Dari penelitian dengan sekala ini menunjukan bahwa : 1.      Anak tunarungu tingkat kematanganya sosialnya berada di bawah tingkatan kematangan social anak normal. 2.      Anak tunarungu dari orang tua yang tunarungu juga menunjukan relative matang dari pada anak tunarungu dari orang tua normal.



3.      Anak tunarungu yang dari residential school ( sekolah berasrama ) menunjukan social immaturity. Berdasarkan kesulitan dalam berbahasa dan berbicara sehingga memungkinkan kesulitan juga dalam berkomunikasi. Oleh karena itu, anak tunarungu sering kali tampak frustasi, akibatnya sering menampakan sikap asocial, bermusuhan, atau menarik diri dari lingkungannya. Keadaan ini semakin tidak menguntungkan jika terdapat tekanan dari lingkungan sekitar yang kurang mendukung, yang berupa cemoohan, ejekan, dan bentuk penolakan lainnya. Siregar (1981) berpendapat untuk mencapai kematangan social anak tunarungu setidaknya memiliki : 1.      Pengetahuan yang cukup mengenai nilai-nilai social dan kebiasaan masyarakat 2.      Mempunyai kesempatan yang banyak untuk menerapkan pengetahuan tersebut 3.      Cukup mendapat kesempatan mengalami berbagai macam bentuk hubungan social. 4.      Mempunyai dorongan untuk mencari pengalaman di atas. 5.      Struktus kejiwaaan yang sehat dapat mendorong motivasi yang baik. Hal-hal di atas juga bias berlaku bagi anak yang normal. Derajat kematangan yang dicapai seorang memang sangat dipengaruhi oleh beberapa factor antara lain pengalaman hidup di tahuntahun pertama kehidupannya, yakni komunikasi anak dengan orang tua. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan secara terus menerus, Van Uden berhasil mencatat beberapa sifat kepribadian anak tunarungu yang berbeda dengan anak normal, antara lain : 1.      Anak tunarungu lebih egosentris 2.      Anak tunarungu lebih tergantung pada oranglain dan apa-apa yang sudah dikenal. 3.      Perhatian anak tunarungu lebih sukar dialihkan 4.      Anak tunarungu lebih memperhatikan yang kongkret 5.      Anak tunarungu lebih miskin dan fantasi. 6.      Anak tunarungu biasanya lebih polos, sederhana, tanpa banyak masalah 7.      Perasaan anak tunarungu cenderung dalam keadaan ekstrem tanpa banyak nuansa. 8.      Anak tunarungu lebih mudah marah dan mudah tersinggung. 9.      Anak tunarungu kurang mempunyai konsep tentang hubungan. 10.  Anak tunarungu mempunyai perasaan takut akan hidup yang lebih besar. Dengan memahami karakteristik kepribadian anak tunarungu secara spesifik dalam kaitanya dengan proses penyesuaian social. Maka harus mengeliminasi masalah-masalah yang menghambat penyesuaiaan social anak tunarungu. Masalah penyesuaian social anak berkelainan pendengaran memang tidak lepas dari intervensi dan diagnosis. Semakin dini diketahui letak kelainan maka akan lebih baik pelaksanaan intervensinnya.  Habilitasi anak tunarungu yang diketahui sejak lahir, dimaksudkan untuk mengembangkan srategi apa yang diperlukan untuk belajar anak, komunakasi dan penyesuaian. Orang tua yang mengetahui kelainan pendengaran hal pertama yang dilakukan adalah menyesuaikan secara cepat apa yang harus dilakukan, agar dapat berbuat lebih banyak untuk kepentingan anak. Hal yang lebih penting dari itu, perlu diantisipasi presepsi-presepsi baru yang muncul dari adik, kakak, dan saudara sebab persepsi tersebut secara langsung maupun tidak langsung sangat berpengaruh terhadap pemenuhan perkembangan potensi anak tunarungu dalam penyesuaian social. I.       KARAKTERISTIK DAN PERMASALAHAN ANAK TUNARUNGU Seseorang dikatakan tunarungu bila seseorang itu tidak memiliki atau masih memiliki sisa pendengaran sedemikian rendahnya sehingga tidak dapat berfungsi untuk kehidupan sehari-hari sebagaimana pada umumnya baik dengan atau menggunakan alat bantu mendengar. Masalah anak tunarungu tidak dapat dipisahkan dengan anak tunawicara. Karena secara factual antara keduanya ini sulit untuk dideteksi dalam waktu singkat, meskipun yang selalu dapat dilihat itu ketidakmampuannya dalam berkomunikasi.



Karena kompleksnya individu ini, maka didalam usaha untuk mengenal dan mengidentifikasikannya perlu adanya kemampuan untuk mengetahui beberapa karakteristik tertentu yang dimilikinya. 1.      Karakteristik Fisik, meliputi: a.          Cara berjalannya kaku dan agak membungkuk karena daya keseimbangannya terganggu. b.         Gerakan kaki dan tangannya lincah/ cepat sebaba sering digunakan untuk berkomunikasi dengan lingkungannya sebagai pengganti bahasa lisannya. c.          Gerakan matanya cepat dan bringas, apabila organ ini tidak dijaga dengan baik dapat berakibat kemampuan melihat menurun karena selalu digunakan sebagai pengganti alat pendengarannya. d.         Kemampuan  pernafasannya pendek- pendek terganggu, sehingga tidak mampu berbahasa dengan baik. 2.      Karakteristik fisik: a.        Biasanya iindividu yang tuli jugan mengalami ketidakmampuan dalam berbahasa. b.      Tunarungu yang sejak lahir dapat belajar berbicara dengan suara normal. c.       Anak tunarungu miskin dalam kosa kata. d.      Dia mengalami kesulitan di dalam mengartikan ungkapan- ungkapan bahasa yang mengandung arti kiasan dan kata- kata abstark. e.       Dia kuarang menguasai irama dan gaya bahasa. f.       Dia mengalami kesulitan dalam berbahasa verbal dan pasif dalam berbahasa. 3.      Karakteristik fisik, meliputi: a.       Anak tunarungu yang tidak berpendidikan cenderung murung, penuh curiga, curang, kejam, tidak simpatik, tidak dapat dipercaya, cemburu, tidak wajar, egois, ingin membalas dendam dsb. b.      Lingkungan yang menyenangkan dan memanjakan dapat berpengaruh terhadap ketidakmampuan dalam penyesuaian mental maupun emosi, dan c.       Anak tunarungu menunjukan kondisi yang lebih neurotic, mengalami ketidakamanan, dan berkepribadian tertutup (introvet). 4.      Karakteristik fisik, meliputi: a.       Suka menafsirkan secara negative, b.      Kurang mampu dalam mengendalikan emosinya dan sering emosinya bergejolak. c.       Memiliki perasaan rendah diri dan merasa diasingkan, dan d.      Memiliki rasa cemburu dan sak wasangka karena merasa tidak diperlukan dengan adil serta sulit bergaul. Masalah- masalah dapat di golongkan menjadi : 1.      Masalah komunikasi. Masalah ini adalah masalah yang pertama-tama di alami mereka. Masala ini adalah masalah anak tunarungu yang paling kompleks, karena dengan terbatasnya kemampuan berkomunikasi ternyata berakibat fatal bagi kehidupannya. Misalnya masalah-masalah karena masalah komunikasI yaitu: tingkah laku yang ditandai dengan tekanan emosi, suka marah, gelisah dan sebagainya, kesulitan dalam penyesuaian social, perkembangan bahasa lalmbat dsb. 2.      Masalah pribadi Masalah ini mencakup permasalahan yang berkaitan dengan masalah kondisi pribadi anak tunarungu, dimana- mana masalah- masalah berkisar pada perasaan tertekan, perasaan ragu-ragu dan selalu curiga, agresif, dsb. Masalah ini muncul karena adanya keterbatasan auditif. Dan disamping itu bila dilihat dari sumbernya dapat timbul dari dirinya sendiri, lingkungan keluarga, taraf ketunaannya, dan dapat juga disebabkan dari kondisi masyarakat yang kurang menguntungkan. 3.       Masalah pengajaran atau kesulitan belajar



Dengan kelainan tunarungu ternyata banyak dilihat berbagai masalah yang timbul dalam proses belajar mengajar. Misalnya: kesulitan menangakap kata-kata abstrak, terutama mengalami kesulitan belajar bidang studi bahasa, metode yang tepat digunakan dalam proses belajar mengajar dan srana yang sesuai utnuk kegiatan belajar mengajar. 4.         Masalah penggunaan waktu terluang. Anak tunarungu sering membuang waktu luangnya denga sia-sia, tidak sedikitpun kegiatan yang berguna dilakukannya. Yang menjadi maslah disini adalah kegiatan- kegiatan apa yang dapat dilakukan sehingga waktu luangnya itu penuh manfaat. Kegiatan yang mungkin bisa dilakukan kegiatan ekstrakulikuler, kerja kelompok, kerja bakti, dsb. Hal ini ditekankan karena bila tidak diadakan tindakan preventif, dapat berakibat waktu luangnya diisi dengan kegiatan- kegiatan yang sangat merugikan, misalnya: kenakalan remaja/anak, mengganggu ketertiban, dsb. 5.      Masalah pembinaan ketrampilan dan pekerjaan. Mengingat segi kognisi anak tunarungu atau dengan kata lain kemampuan akademiknya terbatas/ terhambat didalam pengembangannya, maka sebagai alternatif penggantinya di dalam mempersiapkan diri anak tunarungu untuk masa depannya, Nampak perlu diadakan pembinaan ketrampilan atau latihan kerja sehingga bila mereka keluar dari pendidikan tidak mengalami kesulitan didalam mencari pekerjaan sebagai salah satu usaha untuk menghadapi dirinya, sehingga tidak terlalu menggantungkan dirinya pada orang lain. J.      JENIS GANGGUAN PENDENGARAN Jenis gangguan pendengaran dapat dilihat dari keterkaitannya dengan berat atay ringannya suatu kondisi kerusakan alat dengar. Kondisi kerusakan yang demikian memberikan gambaran sejauh mana alat pendengarannya dapat berfungsi. Iwin Suwarman (1981), pakar bidang medic, memiliki pandangan bahwa anak tuna rungu dapat dikategorikan sebagai hard of hearning dan the deaf. Istilah “the deaf” yang dikemukaan oleh akademik otolangilorogi Amerika adalah terdiri dari dua kata yaitu: Hearing Impairment, yang ditandai dengan ukuran dengar dari tuna rungu dapat dikategorikan sebagai hard of hearning dan the deaf. Hard of hearing adalah seseorang yang masih memiliki sisa pendengaran sedemikian rupa sehingga masih cukup untuk digunakan sebagai alat penangkap proses mendengar sebagai bekal primer penguasaan kemahiran bahasa dan komunikasi dengan yang lain baik dengan maupun tanpa menggunakan APM. Sedangkan the deaf, diartikan bahwa seseorang yang tidak memiliki indra dengar sedemikian rendah sehingga tak mampu berfungsi sebagai alat penguasaan bahasa dan komunikasi, baik dengan maupun tanpa menggunakan alat bantu dengar. Jenis-jenis rincian gangguanpendengaran adalah sbb: 1.      Not significant, berada pada derajat 0 dB- 25 Db (ISO), kesulitan tak berarti atau sedikit dalam berbicara. 2.      Slight Handicap, pada derajat 24- 40 db, mulai kesulitan berbahasa dan berbicara / berkata-kata. 3.      Mild Handicap, pada derajat 40- 55 db, memahami percakapan pada jarjak 3-5 kaki atau antara 90150 cm secara berhadap-hadapan. Dapat melemah sebesar 50% daladm pembelajaran di kelas. Apabila suara guru lelmah dan tidak segaris pandangan. 4.      Mark Handicap pada jarak 55-70 db, lemah dalam berbicara, lemah dalam penggunaan bahasa dan percakapan serta terbatasnya perbendaharan kata, mengalami kesulitan dalam grup diskusi, percakapan harus keras agar dapat dimengerti. 5.      Severe Handicap antara 70-90 db, dapat mendengar suara yang diperkeras  pada jarak satu kaki (30 cm). lemah dalam berbicara serta berbahasa semakin memburuk. Ketajaman penglihatan lebih baik dari pada pendengarannya sebagai alat berkomunikasi. Lemah dalam berbicara dan berbahasa bahkan semakin memburuk.



K.    PENYEBAB TERJADINYA GANGGUAN PENDENGARAN Para pakar di bidang medis/kedokteran THT menyebutkan : bahwa faktor penyebab anak menjadi tuli atau kurang pendengaran adalah faktor-faktor eksogen yaitu didapat dari luar diri anak/bayi erat kaitannya dengan saat terjadinya faktor penyebab tadi penyerang. Faktor eksogen ini perlu perhatian dan dipertimbangkan sebagai penyebab gangguan, seperti: a.       Saat prenatal Disebabkan pada waktu ibu hamil diserang penyakit morbili/ campak Jerman. Penyakit ini merusak jaringan kulit sampai mengenai persyarafan disertai demam yang sangat tinggi dalam waktu lama, sehingga mengganggu pertumbuhan dan pertumbuhan janin. 1)      Terjadi pendarahan (blooding) pada ibu hamil 2)      Terjadi kelahiran muda (prematur) atau bayi lahir kurang waktu Terdapat juga kepustakaan yang membagi kelainan/ penyebab cacat pendengaran dilihat dari letak (lokasi) kelainannya. Terdapat dua kelompok inti (master) kelainan pendengaran, yaitu: 1)      Kelainan yang terdapat pada daerah konduksi, maka akan terjadi cacat/gangguan pendengaran konduktif 2)      Kelainan yang terdapat pada daerah persepsi, maka terdapat cacat/gangguan pendengaran sensori neural. Berdasarkan dua kelompok ini pula para ahli kedokteran menganalisis penyebab yang lebih rinci dan spesifik lagi. Surinah dkk (1989:2), membadi sebagai berikut: 1)      Gangguan yang didapat selama masa pertumbuhan/ Developmental Defects meliputi: a)      Gangguan pendengaran yang sifatnya sensori neural yang herediter anak menderita gangguan pendengaran sensori neural deafness, yang terkena adalah perangkat syaraf pendengaran yang sifatnya dominan herediter atau pembawa sifat (ressesive) b)      Gangguan pendengaran herediter deafness, predominan conductive c)      Gangguan pendengaran berat yang terjadi prenatal influences, oleh karena; ibunya menderita penyakit Rubella pada waktu hamil, kelahiran yang injuries, akibat minuman keras/narkoba, cretinism. d)     Penyakit anomaly, yaitu terserangnya daerah luaran telingan bagian tengah, telinga bagian dalam atau tulang sekitar pendengaran e)      Pertumbuhan telinga yang tidak sempurna oleh karena menyerang chromosom (Trisonny dysplasia)



b.      Terjadi infeksi 1.      Infekso bakteri; antara lain berakibat kerusakan pada selaput gendang telinga, otitis media (congean) dan infeksi tulang pendengaran. 2.      Terjadinya infeksi alat keseimbangan di telinga dalam, otitis internal (telinga dalam) dan lain-lain 3.      Keracuan, terjadi oleh karena ibu hamil meminum obat-obatan antibiotic dengan over dosis, obat kimia terlalu banyak atau obat-obat penggugur kehamilan. 4.      Traumatis, terjadi akibat tusukan benda keras, atau akibat operasi tulang temporal, kerusakan tulangtulang pendengaran lainnya, atau kebisingan keras yang mengganggu pendengaran dalam waktu lama. 5.      Gangguan circulasi, antara lain pecahnya pembuluh darah, dan terjadinya pendarahan pada ibu hamil atau bayi. 6.      Gangguan persyarafan, antara lain sistem syaraf muka terganggu, diabetes yang menyerang sistem syaraf pendengaran seta gangguan-gangguan lain di telinga bagian dalam.



7.      Gangguan pertumbuhan metabolisme dan karenadisebabkan oleh usia, bisa disebabkan oleh diabetes, pengeroposan tulang pendengaran , dsb 8.      Keganasan, penyakit primary neoplasma dan other neoplastic disease. 9.      Penyakit-penyakit lain yang tidak diketahui penyebabnya antara lain Meniere Desiase dan Sudden Deafness, dsb L.     PERKEMBANGAN KOGNITIF ANAK TUNARUNGU Kehilangan pendengaran yang dialami anak tunarungu membuat ia kesulitan berkomunikasi yang berdampak kemiskinan kosakata, kesulitan berbahasa, kurang menguasai irama dan gaya bahasa. Anak tunarungu cenderung memiliki prestasi yang rendah dibanding anak mendengar sesuainya pada mata-mata pelajaran yang bersifat verbal, seperti Bahasa Indonesia, IPA, IPS, PKn, Matematika (dalam soal cerita), dan Seni Suara; tetapi pada mata pelajaran yang bersifat nonverbal, seperti pelajaran Olahraga dan Keterampilan, pada umumnya relatif sama dengan temannya yang mendengar. Dalam membahas perkembangan kognitif anak tunarungu, ada tiga masalah yang akan dibahas yaitu: a.       Masalah perkembangan struktur kognitif Perkembangan kognitif anak tunarungu sangat bervariasi tingkaytannya. Perkembangan kognitif anak tunarungu ditentukan oleh: 1.      Tingkat kemampuan bahasa. 2.      Variasi pengalaman. 3.      Pola asuh atau kontrol lingkungan. 4.      Tingkat ketunarunguan dan daerah bagian telinga yang mengalami kerusakan. 5.      Ada tidaknya kecacatan lainnya. b.      Masalah intelegensi Pada umumnya, anak tunarungu punya tingkat intelegensi yang secara potensial sama dengan anak pada umumnya namun anak tunarungu kurang mampu dalam mengembangkan fungsi intelegensinya. Hal ini disebabkan keterbatasan kemampuan fungsi auditori, yang mengakibatkan kurangnya kemampuan penguasaan bahasa, gangguan dalam komunikasai, dan keterbatasan informasi. Perkembangan kognitif dipengaruhi dua faktor yaitu pembawaan dan lingkungan. Anak tunarungu memiliki keterbasan dalam menangkap rangsang melalui pendengaran, akibatnya anak tunarungu sering salah dalam memaknai suatu konsep yang datang dari luar. Kesalahan dalam memaknai konsep ini mengakibatkan komunikasai terganggu, informasi yang diterima kadang dimaknai tidak sama. c.       Masalah perkembangan bahasa Ada dua masalah dalam perkmbangan bahasa anak tunarungu yaitu: 1.      Masalah kekacauan berbahasa. ·         Kelambatan bicara ·         Kekacauan dalam bahasa reseptif (menerima) ·         Kekacauan dalam bahasa ekspresif 2.      Masalah kekacaun berbicara. ·         Kesulitan dalam artikulasi, misal tidak dapat menghasilkan suara r, k dan sebagainnya. ·         Kekacauan suara. ·         Kurang lancar dalam hal berbicara, misal gagap. Dalam berkomunikasi anak tunarungu menggunakan berbagai alat komukasi, antara lain: 1.      Menggunakan bahasa oral, lebih ditekankan pada gerak bibir. 2.      Menggunakan tulisan dan membaca.



3.      Menggunakan bahasa isyarat. M.   PERKEMBANGAN SOSIAL, EMOSI DAN KEPRIBADIAN ANAK TUNARUNGU. Perkembangan sosial emosi anak tunarungu. Anak tunarungu sebagai makhluk sosial seperti juga manusia yang lain memilik kebutuhan untuk melakukan interaksi sosial. Kebutuhan untuk melakukan interaksi sosial ini sering terhambat gangguan komunikasi akibat keterbatasan fungsi pendengaran. Bentuk-bentuk perilaku sosial yang ada pada anak tunarungu adalah sugesti, simpati, imitasi visual, dorongan untukl bersahabat, menarik diri dari lingkungan sosial yang lebih luas, dan kecemasan sosial. Beberapa ahli mengatakan bahwa anak tunarungu mempunyai perkembangan sosial yang lambat antara lain merasa rendah diri, disingkirkan oleh keluarga, kurang dapat bergaul, ada perasaan cemburu, mudah marah, dan agresif, tidaklah benar. Sebab tidak semua penderita tunarungu mempunyai perkembangan sosial emosi seperti itu. Kondisi tunarungu tidak secara langsung menghambat perkembanagan sosial dan emosi.  Perkembangan emosi anak tunarungu banyak ditentukan oleh kematangandan bagaimana anak tunarungu belajar pada lingkungan sekitar. Tetapi kekurangan akan pemahaman bahasa lisan atau tulisan sering kali menyebabkan anak tunarungu menafsirkan sesuatu secara negative atau salah dan ini sering menjadi tekanan bagi emosinya. Tekanan pada emosinya itu dapat menghambat perkembangan pribadinya dengan menampilkan sikap menutup diri, bertindak agresif, atau sebaliknya menampakkan keimbangan dan keragu-raguan emosi anak tunarungu selalu bergolak di satu pihak karena kemiskinan bahasanya dan di pihak lain karena pengaruh dari luar yang diterimanya. Anak tunarungu bila di tegur oleh orang yang tidak di kenalnya akan tampak resah dan gelisah. Perkembangan Kepribadian Anak Tunarungu Kepribadian anak tunarungu juga banyak ditentukan oleh disposis (pembawaan) dan perlakuanperlakuan dari lingkungan. Ada 5 faktor yang mempengaruhi kepribadian, yaitu : a.       Pengalaman usia dini b.      Pola asuh c.       Kondisi atau tingkatan ketunarunguan d.      Pemberian cap e.       Kesehatan fisik Pertemuan antara faktor-faktor dalam diri anak tunarungu, yaitu ketidakmampuan menerima ransangan pendengaran, kemiskinan berbahasa, ketidaktetapan emosi, dan keterbatasan intelegensi di hubungkan denagn sikap lingkungan terhadapnya menghambat perkembangan kepribadiannya. DAFTAR PUSTAKA Effendi, Mohammad. 2006. Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan. Jakarta : Bumi Aksara Sunaryo, Ilham dan Surtikanti. 2011. Pendidikan Anak Berkabutuhan Khusus (Inklusif).Surakarta : FKIP UMS Wardani, I.G.A.K , dkk. 2007. Pengantar Pendidikan Luar Biasa. Jakarta : Universitas Terbuka Nur Isneni, Siti. 2010. “Karakteristik dan Masalah Perkembangan “